Si Bongkok Dari Notre Dame Karya Victor Hugo Bagian 1
Victor Hugo Si Bongkok Dari Notre-Dame
Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Chapter 1 SI PENARI "AKU kedinginan dan lapar," kata Pierre Gringoire, "dan aku tak punya uang untuk
membeli makanan malam ini. Tak seorang pun mau membeli sajak-sajak dan naskahnaskah sandiwara yang kutulis, dan tak seorang pun menghendaki aku."
Kota Paris, dua belas hari setelah Natal dalam tahun 1482, adalah sebuah kota
yang dingin; dan banyak penduduknya yang miskin, kurus dan kedinginan seperti
Pierre Gringoire penyair itu.
"Aku harus berhenti menjadi seorang pengarang," katanya, "kalau tidak, aku akan
mati kelaparan." Dimasukkannya kedua tangannya ke dalam sakunya yang kosong lalu dia berjalan ke
alun-alun yang bernama Place de Grve.
"Tuh ada orang banyak! Mereka kelihatannya hangat; aku akan menggabungkan diri
dengan mereka dekat api itu."
Banyak laki-laki dan perempuan berdiri di tengah alun-alun. Mereka tampak hitam
kena sinar api kayu besar yang merah yang menyala di atas batu. Gringoire
bergegas ke arah mereka. Di antara orang-orang itu dan api ada suatu ruang
kosong yang cukup lapang.
"Saya kedinginan!" kata Gringoire, sambil menelusup ke tengah-tengah orang
banyak itu. "Mengapa kita tidak lebih mendekati api itu saja?"
"Karena kita tentu harus menyediakan ruang untuk Esmeralda!" sahut seorang lakilaki gendut di sebelahnya.
"Siapa" Saya tak pernah mendengar..."
"Gunakanlah matamu. Tuh lihat dia. Cantik sekali bukan?"
Gringoire menjulurkan lehernya untuk dapat melihat melampaui topi wanita yang
ada di depannya, kemudian barulah dia mengerti.
Itulah dia Esmeralda! Dia menari di antara orang banyak yang menontonnya dan api
yang menyala besar. Mula-mula Gringoire penyair itu tak yakin benar apakah penari yang lentur itu
seorang gadis ataukah peri!
Dia bertubuh kecil, berkulit gelap dan rambutnya hitam. Matanya pun hitam pula
dan mata itu bersinar waktu dia menari. Kakinya yang kecil bergerak di atas
permadani Persia yang dihamparkannya di atas batu-batu alun-alun itu. Bajunya
beraneka warna, cemerlang oleh warna keemasan. Kaki dan pundaknya indah. Di
tangan kanannya dia memegang sebuah rebana, dan dia memainkannya sambil menari
berputar-putar. "Bukan," kata Gringoire nyaring, "dia bukan seorang peri; aku sudah biasa
melihat gipsy dengan mata dan rambut seperti itu - tapi tak ada yang secantik
dia!" "Memang dia seorang gipsy," kata laki-laki gendut itu. "Dia salah seorang dari
pengelana-pengelana yang tinggal dalam tenda-tenda dan berpindah-pindah tempat,
dan dia tahu semua gerak-tipu kaum gipsy.... Lihat saja!"
Esmeralda mengambil dua buah pedang dari tanah dan memasangnya berdiri tegak di
atas kepalanya. Lalu dia menari-nari.
Warna api yang merah menambah pesona geraknya, sedang orang banyak mengawasi
tanpa suara dan keheranan.
"Aku bisa menggubah suatu syair tentang ini," pikir Gringoire.
Dia menoleh ke sebelah lain dari api ke sudut alun-alun tempat tiang gantungan
yang mengerikan itu berdiri. Banyak laki-laki dan perempuan telah digantung di
situ. Gringoire tiba-tiba merasa takut.
"Tapi mengapa aku harus takut?" pikirnya. "Aku belum pernah melanggar hukum."
Lalu dia menoleh ke sudut lain dari alun-alun, ke bangunan kecil yang disebut
Lubang Tikus. Suster Gudule tinggal di Lubang Tikus itu, dalam sebuah kamar yang
hanya berjendela satu dan jendela itu berjeruji besi. Dia tak pernah bisa
keluar: Lubang Tikus itu tak ada pintunya. Semua orang tahu bahwa dia membenci
gipsy. Dia tentu tak dapat melihat Esmeralda, kalau bisa dia tentu telah
meneriakkan sumpah serapahnya, sebagaimana yang selalu dilakukannya setiap kali
kaum gipsy datang ke Place de Greve.
*** Tarian Esmeralda makin lama makin cepat, sedang sepasang mata di antara orang
banyak di sekeliling Gringoire, tertancap ke arahnya dengan pandangan aneh.
Wajah itu tenang dan kaku, namun matanya berapi-api. Laki-laki itu berumur tidak
lebih dari tiga puluh lima tahun, tetapi rambut di kepalanya tinggal beberapa
lembar dan beruban pula. Gringoire hanya bisa melihat kepalanya: pakaian lakilaki itu tersembunyi di antara orang banyak.
Gadis yang sudah kehabisan nafas itu berhenti menari, dan orang banyak berteriak
menyuruhnya menari lagi. "Djali!" seru Esmeralda.
Gringoire melihat seekor kambing putih kecil mendekatinya. Kakinya berwarna
keemasan, dan di lehernya tergantung seuntai kalung perak. Gringoire semula
tidak melihat kambing itu, karena binatang itu tadi berbaring memperhatikan
Esmeralda menari. "Djali," kata gadis itu, "sekarang giliranmu." Dia duduk lalu mengulurkan
rebananya pada kambing itu.
"Djali, tanggal berapa hari ini?" tanyanya.
Kambing itu mengangkat kakinya lalu memukul rebana itu enam kali. Alangkah
senangnya penonton. "Bagus Djali!" teriak anak-anak di barisan terdepan.
"Sungguh binatang yang hebat!" seru si gendut.
"Djali," kata gadis gipsy itu sambil memindahkan rebana itu sedikit, "jam berapa
sekarang?" Djali mengangkat kakinya yang keemasan lalu memukul rebana tujuh kali. Pada saat
itu jam di menara di dekat alun-alun berbunyi tujuh kali.
"Itu semua karya sihir," kata suatu suara jahat di tengah-tengah penonton. Suara
itu adalah suara orang yang selalu menatap gadis gipsy itu.
Esmeralda menoleh cepat, tapi penonton yang lain bersorak dan sorak-sorai itu
menghilangkan kata-kata laki-laki itu.
Untuk menyenangkan penonton, gadis itu berkata lagi, "Djali, bagaimana para imam
berbicara pada orang banyak dalam gereja?"
Kambing itu duduk lalu mengeluarkan suara lucu sambil mengacung-acungkan kedua
kaki depannya dengan cara yang menggelikan.
Penonton tertawa dan bersorak nyaring.
"Itu tak benar! Itu jahat!" seru suara laki-laki yang hanya berambut uban
beberapa lembar. Gipsy itu menoleh lagi. "Oh!" katanya, "orang jelek itu rupanya!" lalu dijulurkannya lidahnya ke arah
laki-laki itu. Tapi setelah dia berpaling lagi, matanya membayangkan ketakutan,
kemudian dia berkeliling di tengah-tengah penonton mengumpulkan uang dalam
rebananya. Para penonton itu pemurah, dan waktu gadis itu tiba dekat Gringoire rebananya
sudah berisi banyak mata uang emas dan perak, besar dan kecil. Tanpa sadar,
Gringoire merogoh sakunya. Dia tentu tidak mendapat apa-apa karena sakunya
kosong. "Setan!" gerutu Gringoire. Dirasakannya tubuhnya panas dingin dan dungu melihat
gadis cantik itu berdiri saja di hadapannya dengan menadahkan rebananya. Gadis
itu memperhatikannya dengan matanya yang indah, sedang laki-laki itu makin
merasa dirinya dungu. Kalau saja dia kaya, akan diberikannya seluruh kekayaannya
pada gadis itu! Suatu suara menyelamatkan laki-laki itu, suara wanita dari sudut yang jauh dari
alun-alun itu. "Pergi gadis jahat! Gipsy!" teriak suara wanita alim dari Lubang Tikus itu.
Suara yang menjadikan Esmeralda ketakutan itu, menyenangkan anak-anak dan mereka
tertawa. "Itu Suster Gudule!" teriak mereka. "Belum makankah dia" Dia tentu lapar! Mari
kita carikan dia makan!" Dan mereka pun lari.
Gringoire jadi ingat betapa laparnya dia dan dia jadi berpikir di mana dia akan
bisa memperoleh makanan. "Suster Gudule yang malang!" kata laki-laki gendut di sebelahnya. "Tak banyak
kesenangan dalam hidupnya. Kesedihan apa gerangan yang menyebabkan dia
meninggalkan dunia ramai ini dan hidup menyendiri di Lubang Tikus itu."
"Tak tahukah Anda tentang kisahnya?" tanya Gringoire. "Saya sangka semua orang
di Paris ini tahu." "Tentu saya tahu kisah tentang bayi perempuannya yang dicuri kaum gipsy, tapi
saya sama sekali tak percaya. Suster Gudule tua yang malang itu terlalu jelek
untuk punya anak yang pantas dicuri."
"Kesedihanlah yang telah membuatnya jelek," kata Gringoire. "Saya percaya bahwa
dia cantik enam belas tahun yang lalu, ketika kaum gipsy menukar bayi
perempuannya dengan seorang anak laki-laki yang berumur empat tahun."
"Seorang anak laki-laki yang hanya bermata satu, sedang kaki dan tangannya tak
tentu bentuknya. Saya tahu kisah itu, tapi saya tetap tak percaya bahwa Suster
Gudule...." "Tidak pernahkah Anda melihat sepatu bayi kecil di Lubang Tikus-nya itu" Dan tak
pernahkah Anda melihatnya menangisi sepatu itu" Hatinya hancur. Jika Anda punya
jiwa penyair barang sedikit saja, Anda akan mengerti bahwa kisah itu sesuai
dengan kenyataannya."
"Penyair!" ejeknya. "Nanti Anda bahkan berkata bahwa Anda sendiri seorang
penyair!" Gringoire tak berkata apa-apa, karena dia mendengar suatu nyanyian asing tapi
sangat manis. Esmeralda sedang menyanyikannya. Kata-katanya yang dalam bahasa gipsy, penuh
keriangan, dan suaranya semerdu dan sebersih suara burung.
Anak-anak yang tadi pergi mencarikan makanan untuk Suster Gudule, telah kembali
dari jalan gelap yang sempit. Anak perempuan yang terbesar membawa sebuah kue.
Mereka berdiri lagi di bagian depan dari penonton, mendengarkan lagu yang indah
itu. Anak-anak itu lapar juga. Mereka mendengarkan nyanyian Esmeralda sambil
mencubiti kue itu dan memakannya.
Nyanyian itu tidak berlangsung lama. Dari Lubang Tikus terdengar lagi suara
teriakan Suster Gudule yang kasar. "Diam. Diam. Hentikan keributan itu dan
berikan kami ketenangan."
Nyanyian berhenti tiba-tiba.
"Anda mengganggu nyanyian terindah yang pernah saya dengar!" seru Gringoire.
Orang-orang lain juga marah dan berteriak. Beberapa di antaranya berseru,
"Semoga Suster Gudule diambil setan!" dan sambil menyumpah-nyumpah suster itu,
mereka mulai bergerak ke arah Lubang Tikus dengan marah.
Tepat pada saat itu ada sesuatu yang menyebabkan mereka semua berbalik dan
bergerak ke sebelah lain dari alun-alun. Dari kegelapan malam di musim dingin
itu, suatu gerombolan lain berjalan menuju mereka dengan membawa obor dan pekiksorak serta musik aneh yang jelek.
Anak-anak cepat-cepat menghabiskan sisa kue sambil berlari ke arah gerombolan
yang mendekat itu. Mereka lupa Suster Gudule.
Demikian pula semua orang di alun-alun itu, karena laki-laki dan perempuan yang
mendekati mereka mengusung di pundak mereka seseorang yang ingin sekali mereka
lihat; mereka sedang mengarak Imam Tertinggi Orang-orang Dungu.
Chapter 2 QUASIMODO SETIAP tahun penduduk Paris memilih seorang Imam Tertinggi Orang-orang Dungu
yang baru, dan pagi itu mereka telah memilihnya dengan cara baru.
Di salah sebuah gereja ada sebuah jendela berlubang sebesar kepala manusia.
Semua orang yang terjelek di Paris pergi ke gereja itu, dan mereka bergantian
menjulurkan kepala mereka di lubang bekas tempat kaca itu, supaya orang banyak
di luar dapat menentukan muka mana yang paling jelek. Orang yang mukanya paling
jelek akan menjadi Imam Tertinggi Orang-orang Dungu tahun 1482 itu.
Orang-orang bersorak-sorai kesenangan memilihnya.
"Demi setan, aku belum pernah melihat hidung sebesar itu!" teriak seorang
serdadu tua. "Lihatlah mulut itu!" pekik seorang petani sambil tetap memegang tali pengikat
leher sapinya. "Coba kita lihat yang lain lagi. Ayo keluar!"
Muncullah sebuah wajah lagi. "Lihat!" teriak seorang laki-laki jangkung. "Sama
benar mukanya dengan sapi itu!"
"Besar benar telinganya! Sampai sulit dia mengeluarkannya dari jendela itu."
Makin lama makin nyaring sorak-sorai orang-orang itu melihat muka-muka jelek
yang bermunculan, hingga akhirnya suatu wajah membuat mereka bersorak serempak,
"Itu dia! Begitu seharusnya wajah Imam Tertinggi kita! Itu yang kita mau! Itu
wajah yang paling jelek dari semua!"
Wajah itu dikelilingi oleh rambut merah yang kotor. Matanya hanya satu, kuning
dan redup. Di atas mata itu terdapat alis yang tebal sedang di sebelahnya di
tempat yang seharusnya ada mata terdapat segumpal rambut yang lebih besar.
Beberapa buah gigi besar menonjol keluar dari mulut sebesar gua yang sedang
tersenyum, sedang kulitnya penuh bintik-bintik hitam.
"Bawa dia keluar dari gereja!" teriak orang banyak itu. "Harus kita arak Imam
Tertinggi Orang-orang Dungu itu!"
*** Quasimodo, si bongkok, tertawa senang waktu dia keluar di tangga gereja itu.
Inilah saat yang indah baginya: dia belum pernah merasa terkenal seperti
sekarang. Biasanya orang-orang benci dan takut padanya karena dia begitu jelek.
Kepalanya terbenam di antara kedua bahunya dan kaki tangannya yang besar-besar
tak tentu bentuknya. Tapi kini orang banyak menghendakinya.
Dia tak mengerti karena dia tak bisa mendengar apa-apa. Selaput gendang
telinganya yang besar itu telah pecah gara-gara bunyi lonceng yang dibunyikannya
setiap hari di gereja Notre-Dame. Dia mencintai lonceng-lonceng itu, meskipun
dia tak bisa mendengarnya, kecuali kalau lonceng itu berbunyi nyaring sekali.
Dia hanya dapat merasakan bunyi lonceng itu, dan lonceng-lonceng itu
membahagiakannya lebih dari apa pun juga dalam hidupnya yang menyedihkan itu.
Gilles Clopin, seorang anak muda buruk, menaiki anak tangga gereja sambil
menari-nari lalu berdiri menirukan Quasimodo, dengan kepalanya terbenam di
antara kedua bahunya. Dia mengejek-ejek Quasimodo. Meskipun si bongkok tak dapat
mendengar, dia bisa melihat dengan matanya yang satu itu. Clopin sedang
memperolok-olokkannya, dan si bongkok marah.
Orang banyak tertawa, tapi si bongkok tidak. Dengan cepat dia mendekati Clopin,
diangkatnya anak muda itu dengan tangannya yang jelek tapi kuat itu, diangkatnya
tinggi-tinggi seolah-olah Clopin itu seringan seorang bayi, lalu dilemparkannya
ke bawah tangga. Orang banyak terdiam, lalu mereka berteriak lebih nyaring lagi. Tapi kebanyakan
wanita merasa takut akan Quasimodo.
"Dia seburuk monyet!" kata seorang wanita. "Dan jahatnya sepadan dengan
jeleknya!" kata yang lain.
"Saya tinggal dekat Notre-Dame, dan saya mendengarnya berlari-lari di atas atap
sepanjang malam." "Seperti kucing."
"Kalau kau sedang mengandung, Louise, jauhilah si bongkok itu," kata seorang
nenek. "Dia mengerikan sekali."
Tapi kaum laki-laki suka sekali pada si bongkok, mereka tertawa dan bersorak
waktu melihat kekuatannya.
Para pengemis yang ada di antara orang banyak itu membawa sebuah mahkota dari
kertas dan sehelai kain panjang yang digambari dengan warna-warna menyala.
Mereka pasang mahkota itu di kepala Quasimodo, sedang kain panjang disampirkan
ke tubuhnya yang buruk itu. Kemudian mereka suruh dia membawa sebuah salib besar
dari kayu kasar. Mereka dudukkan dia di atas sebuah bekas pintu yang sudah tua dan mereka usung
dia berkeliling kota dengan musik yang jelek, nyanyian-nyanyian dan sorak sorai.
"Quasimodo!' teriak mereka. "Imam Tertinggi Quasimodo! Beri jalan bagi Imam
Tertinggi Orang-orang Dungu!"
*** Enam belas tahun sebelum kisah ini berawal, pada suatu hari yang cerah dalam
musim semi, ditemukan seorang anak sesudah misa pagi di gereja Notre-Dame. Dia
terbaring di tangga. Tubuhnya hanya dibungkus dengan sepotong kain kotor, dan
dia menangis dengan cara yang aneh.
Bayi-bayi kecil yang tak diingini ibu mereka sering ditinggalkan di tempat itu
di gereja: lalu wanita-wanita yang baik hati memungutnya dan membesarkannya
seolah-olah anaknya sendiri.
Tapi anak laki-laki yang ini sudah berumur empat tahun. Rambutnya merah, matanya
Si Bongkok Dari Notre Dame Karya Victor Hugo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya satu dan bentuk tubuhnya tak keruan. Tak seorang pun menginginkan anak
ini. Beberapa orang wanita berdiri memandanginya.
"Makhluk apa itu?" tanya seseorang.
"Ampun Tuhan, kalau bayi-bayi lahir begitu sekarang!" kata yang lain.
"Saya ingin melihatnya! Saya tak bisa melihatnya!" seru seorang gadis cilik
cantik yang berpakaian bagus.
"Jangan Fleur sayang, dia tak bagus, sama sekali tak bagus, mari kita pergi dari
sini sekarang juga!" dan ibu si Fleur yang kaya itu menarik lengannya.
Bayi laki-laki itu menangis nyaring. Tangisnya tidak seperti anak-anak lain.
"Kurasa itu adalah seekor binatang siluman, sama sekali bukan anak laki-laki,"
kata seorang wanita tua ketakutan.
"Dia buatan seorang penyihir."
"Anda benar," kata yang lain. "Itu binatang aneh yang jahat."
Seorang laki-laki berdiri di belakang perempuan-perempuan itu dan mendengarkan
pembicaraan mereka. Laki-laki muda itu adalah Claude Frollo, seorang imam
terkemuka di gereja Notre-Dame, dan salah seorang di antara sarjana-sarjana
terkemuka di Paris. Orang-orang takut melihat wajahnya yang selalu serius, ada
pula yang sampai membisikkan bahwa dia demikian pandainya hingga dia pandai ilmu
gaib. Waktu perempuan-perempuan itu melihat Frollo mereka cepat-cepat
menyingkir. Frollo memandangi anak laki-laki kecil itu, dan dia merasa kasihan sekali. "Tak
seorang wanita pun menghendaki kau, Nak, karena kau lain dari anak-anak yang
lain," pikirnya. "Tapi Tuhan telah menciptakanmu dan Tuhan menghendaki semua
orang yang telah diciptakannya. Kita harus mencintai semua manusia, baik yang
cantik maupun yang jelek, seperti juga Dia. Mari ikut aku, anak malang!"
Frollo mengangkat anak itu dan menggendongnya, dan anak itu berhenti menangis.
Tiba-tiba imam itu merasa damai. Dia yakin bahwa dia telah melakukan suatu
perbuatan yang dikehendaki Tuhan.
"Aku akan merawat dan membesarkanmu, anakku," kata Frollo. "Sekarang kau jadi
anakku. Mari." Dia berjalan melalui gereja sambil menggendong anak itu. Frollo menamakan anak
laki-laki kecil itu Quasimodo.
Quasimodo hanya punya satu mata, tapi telinganya semula tidak cacad. Dia pun
bisa berbicara, tapi tidak sejelas pendengarannya, Suaranya kasar dan aneh.
Frollo mencoba mengajarnya berbicara lebih baik, dan anak itu berusaha keras
untuk berkembang. Tapi tubuh Quasimodo begitu jelek dan dia tak mau orang lain
melihatnya. Dia menyingkirkan diri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak lain,
dan menyembunyikan diri di menara gereja. Dia hanya mau tinggal dengan Frollo,
tak mau dengan siapa pun juga yang lain, Frollo memeliharanya dan mengajarnya
membunyikan lonceng-lonceng gereja Notre-Dame.
Lonceng-lonceng itulah yang merusak telinganya, dan menjadikannya tuli, hingga
dia sama sekali tak bisa mendengar apa-apa: lalu Quasimodo tak mau lagi
berbicara. Dia terlalu takut orang lain mendengar suaranya yang aneh. Kalau dia
berbicara orang-orang lain mungkin menertawakannya.
Frollo telah mencoba menyuruh Quasimodo berbicara, tapi Quasimodo tetap membisu.
Meskipun Quasimodo tak dapat berbicara dengan lidahnya sendiri, si bongkok bisa
berbicara dengan seluruh kota Paris melalui lonceng Notre-Dame. Dia mencintai
segala sesuatu di gereja yang indah itu, tapi dia paling mencintai loncengloncengnya, terutama lonceng besar yang bernama Marie.
Marie tergantung di menara selatan, dengan sebuah lonceng kecil bernama
Jacqueline. Di menara yang kedua ada enam buah menara lainnya, sedang enam
lonceng yang terkecil ada di menara tengah, dengan lonceng kayu yang hanya
dibunyikan kalau ada orang meninggal. Jadi ada lima belas buah lonceng yang
dicintai Quasimodo. Tapi Marie adalah yang paling dicintainya.
Kesenangan Quasimod meluap-luap bila dia bisa membunyikan semua lonceng pada
hari-hari istimewa. Dia dan Frollo berbicara dengan isyarat-isyarat aneh. Baru
saja Frollo mengatakan pada si bongkok bahwa dia sudah bisa mulai membunyikan
lonceng-lonceng, Quasimodo berlari menaiki tangga lebih cepat daripada siapa pun
juga kalau menuruni tangga yang sama. Bergegas dia memasuki ruangan tempat
lonceng besar itu, dan mengelus Marie seolah-olah lonceng itu adalah seekor kuda
yang baik yang akan memulai perjalanan jauh. Dia merasa kasihan pada lonceng itu
karena harus melakukan pekerjaan itu.
Kemudian diberikannya isyarat pada orang-orang di bawah yang harus menarik
talinya. Bunyi pertama dari anak lonceng tembaga itu menggetarkan lantai tempat
Quasimodo berdiri seperti sehelai daun dalam badai. Quasimodo ikut bergetar
dengan lonceng itu. Nafasnya menjadi lebih nyaring dan cepat, dengan makin
cepatnya bunyi lonceng. Matanya yang hanya satu itu, terbelalak, dan seolah-olah
bersinar oleh cahaya tersendiri dalam menara gelap itu.
Lalu semua lonceng mulai berbunyi dan bergetarlah seluruh menara, batunya,
kayunya dan logam semua bergetar bersama-sama, dari atas sampai ke bawah.
Quasimodo seperti menjadi gila. Dia berlari-lari dari lonceng yang satu ke
lonceng yang lain, dan tertawa oleh kegaduhan lonceng-lonceng itu, satu-satunya
bunyi yang bisa ditangkap oleh telinganya. Kemudian dia berdiri ke dekat sebuah
lonceng kecil dan melompat-lompat sementara lonceng itu berayun-ayun. Akhirnya
ditinggalkannya lonceng itu: dia berlari mendapatkan Marie, dia melompat lalu
bergantung pada lonceng itu dengan kaki tangannya. Dia merasa seolah-olah dia
sedang menunggang awan-awan dalam badai, seperti dalam mimpinya.
Penduduk Paris sering berhenti di jalan dan mendengarkan bunyi lonceng yang
seperti suara musik yang indah itu. Setelah itu semua berakhir, Quasimodo turun
ke bawah ke tempat Frollo dan mereka berbicara dengan isyarat-isyarat yang
artinya hanya diketahui mereka berdua.
*** Kini Quasimodo, Imam Tertinggi Orang-orang Dungu, sedang diusung ke Place de
Greve. Dia merasa senang sekali seolah-olah dia berada di atas, di menara dan
Marie sedang berbunyi. Dia terayun-ayun di pundak orang-orang banyak itu dengan
mahkota kertas di kepalanya dan kain beraneka warna menutupi punggungnya, serta
sebuah salib di tangannya. Dia tertawa waktu melihat makin banyak orang berjalan
ke alun-alun mendatanginya.
Seorang pria berlari di depan semua orang itu, pria yang berambut uban tipis dan
berjubah hitam itu seorang imam. Dialah yang telah menatap Esmeralda dengan cara
yang aneh dan berteriak padanya. Kini dia mendekat terus sampai Quasimodo bisa
melihat dengan matanya yang hanya satu bahwa dia adalah Frollo, dan dilihatnya
bahwa Frollo marah. Quasimodo melompat dari pundak orang yang mengusungnya. Dia bergegas mendatangi
majikannya, Frollo, lalu berlutut di hadapannya. Frollo merenggutkan mahkota
dari kepala Quasimodo, merenggutkan kain dari punggungnya dan mematahkan salib
kayu itu. Quasimodo tetap berlutut. Kemudian orang banyak melihat keduanya membuat
isyarat-isyarat aneh. Imam itu marah dan memerintah, sedang si bongkok sedih dan
minta dikasihani. Padahal jika dia mau, si bongkok itu bisa saja melemparkan
imam itu ke seberang alun-alun dengan tangan sebelah!
Akhirnya Frollo menggoncang pundak Quasimodo yang kuat itu, lalu memberi tanda
supaya dia bangkit dan menyusulnya. Mereka berbalik dan pergi.
Orang banyak marah karena kehilangan imam Tertinggi Orang-orang Dungu itu, lalu
mengelilingi Frollo dan berteriak-teriak padanya. Tapi Quasimodo lebih cepat
dari mereka. Dia berlari ke depan Frollo dan berdiri dengan merentangkan
tangannya, siap untuk memukul siapa saja yang berani mendekat.
Lalu imam itu berjalan perlahan-lahan meninggalkan lapangan itu.
Sambil berteriak-teriak seperti seekor binatang yang mengamuk, Quasimodo
menyusul menyelinap di antara orang-orang banyak, dan orang-orang semua
ketakutan dan tak berani menyentuh mereka.
Chapter 3 JALAN-JALAN YANG BERBAHAYA
"ANEH benar semuanya ini," gumam Gringoire sendiri, "tapi demi setan, di mana
aku bisa mendapatkan makan malamku?"
Orang banyak pun meninggalkan alun-alun, mereka masih merasa heran mengingat
cara Imam Tertinggi Orang-orang Dungu itu meninggalkan mereka. Orang berbicara
dengan nada marah sambil berjalan melewati Gringoire, akan pulang atau ke rumahrumah minum. "Orang-orang itu beruntung!" pikir Gringoire. "Mereka tahu di mana mereka bisa
mendapatkan makanan, minuman dan tempat tidur yang hangat. Sedang bagiku malam
ini akan menyiksa sekali, karena aku sama sekali tak punya uang. Tak seorang pun
tahu ke mana aku harus pergi, supaya aku tak mati kelaparan dan kedinginan."
Tak seorang pun di antara orang banyak itu yang memperdulikannya, mereka
berjalan terus. Api sudah padam.
Waktu Gringoire bersiap-siap meninggalkan alun-alun yang sudah gelap dan kosong
itu, dia melihat Esmeralda dan kambing kecilnya berjalan di jalan yang sempit di
depannya. "Dia tentu punya rumah tempatnya pulang," pikir Gringoire sambil mulai mengikuti
Esmeralda. "Hati wanita gipsy biasanya baik. Mungkin dia mau membawaku ke tempat yang
hangat." Dia berjalan lebih cepat menyusul Esmeralda yang hampir menghilang di tikungan.
"Akan kulihat akan ke mana dia!"
Seorang laki-laki tua melangkah ke pintu masuk rumah minum yang diterangi lampu
terang, tapi Gringoire bergegas saja melewatinya.
Gringoire mendengar orang-orang tertawa dan bernyanyi-nyanyi senang di dalam.
Kemudian pintu ditutup. Dan jalan menjadi gelap dan sepi, hanya diwarnai oleh
derap kaki saja. Dia berlari ke tikungan dan dilihatnya gadis itu berjalan di
depannya lagi dengan kambingnya. Mereka tidak menoleh.
Gringoire berjalan lambat supaya gadis itu tidak tahu bahwa dia sedang mengikuti
mereka. Mereka berjalan terus. Malam makin lama makin gelap. Di jalan-jalan yang dingin
dan gelap itu mereka hanya berpapasan dengan dua orang miskin. Esmeralda dan
Djali berjalan melalui jalan-jalan sempit yang berliku-liku. Kemudian Gringoire
tak tahu lagi di mana dia berada.
Kemudian Esmeralda membelok ke suatu tikungan lalu memasuki sebuah jalan yang
tidak segelap yang lain-lain.
Ketika Gringoire memasuki jalan itu dilihatnya bahwa Esmeralda sedang menunggu
di samping sebuah etalase toko yang terang, di mana roti dibuat untuk esok
paginya. Mungkin dia mendengar suara jejak kakinya. Dia lalu menoleh akan
melihat siapa orangnya. Esmeralda memandangnya tanpa berkata apa-apa. Dia tersenyum sedikit dengan
senyum yang mengandung iba di wajahnya yang cantik: dia tahu bahwa Gringoire
lemah dan tak mungkin menyakitinya. Kemudian dia berjalan terus dengan cepat di
jalan yang sempit itu. Kambingnya yang kecil berlari-lari kecil dengan senangnya
di sampingnya dan kakinya yang keemasan berkilau di atas batu.
Gringoire merasa dirinya dungu, mukanya terasa merah waktu dia berdiri dekat
etalase yang terang itu. Dia berdiri terus sampai Esmeralda membelok ke kanan di
ujung jalan, lalu disusulnya lambat-lambat.
Waktu dia tiba di tikungan di dengarnya suatu pekik ketakutan.
Suara itu suara Esmeralda.
Gringoire bergegas mendekatinya. Jalan itu gelap oleh bermacam-macam bayangan,
tapi di ujung jalan ada lampu kecil menyala. Lampu itu lampu minyak yang
terdapat dalam kotak besi kecil, dinyalakan sebagai penghormatan terhadap Bunda
Maria, ibu Kristus yang patung batunya berdiri di atasnya. Dalam cahaya lampu
itu, Gringoire bisa melihat Esmeralda.
Dia sedang berjuang dalam cengkraman dua orang laki-laki. Salah seorang lakilaki itu berpakaian hitam. Mereka mencoba menghentikan pekik Esmeralda, sedang
kambing kecilnya yang malang ketakutan dan menundukkan kepalanya sambil
mengembik-embik. "Tolong! Tolong!" teriak Gringoire. "Tolong pasukan ronda, tolong di sini!"
Salah seorang dari yang mencengkram Esmeralda itu menoleh padanya. Laki-laki itu
hanya bermata satu dan mukanya jelek sekali.
Dia adalah Quasimodo! Gringoire tidak melarikan diri, tapi dia tidak pula mendekat barang selangkah
pun. Quasimodo berlari mendatanginya dan menghantamnya dengan punggung sebelah
tangannya saja sampai Gringoire jatuh ke batu.
Kemudian Quasimodo mengangkat gadis itu, lalu menggendongnya seolah-olah dia
seringan bulu. Mereka menghilang dalam gelap. Laki-laki yang seorang lagi
menyusul mereka. "Pembunuh! Pembunuh!" teriak gadis itu. Dan kambing kecil itu pun lari.
Tiba-tiba saja terdengar suatu suara yang dalam dan besar seperti suara dentuman
meriam. Suara itu suara seorang laki-laki penunggang kuda.
"Berhenti-berhenti! Lepaskan wanita itu!"
Dia adalah kapten pasukan raja. Dia tiba-tiba muncul dari jalan lain. Dia
bersenjata lengkap dan di tangannya ada pedang.
Diambilnya gadis gipsy itu dari tangan si bongkok yang amat terkejut, lalu
didudukkannya di atas kuda di depannya. Quasimodo mengejarnya akan mengambil
kembali Esmeralda, tapi lima belas atau enam belas orang prajurit yang masingmasing memegang pedang terhunus muncul di belakang pemimpin mereka.
Prajurit-prajurit itu mengepung Quasimodo, mereka menangkapnya lalu menahannya.
Dia berteriak-teriak, melawan dan menggigit, tapi mereka tak mau melepaskannya.
Laki-laki yang berpakaian hitam tadi melarikan diri lalu menghilang dari jalan
itu. Esmeralda kini duduk di depan kapten di atas kudanya yang besar. Diletakkannya
tangannya ke pundak anak muda itu dan dipandangnya wajahnya yang tampan.
Kemudian dia bertanya sambil tersenyum, "Kapten, siapakah nama Anda?"
"Kapten Phoebus, siap melayani Anda, Gadis cantik," sahut perwira itu sambil
menegakkan duduknya. "Terima kasih," kata Esmeralda. "Terima kasih, kapten yang baik."
Sedang kapten Phoebus memegang janggut kecilnya dengan bangga, Esmeralda
menjatuhkan dirinya dari kuda dan melarikan diri dalam gelap.
"Setan sialan!" umpat kapten itu sambil mengeratkan ikatan tali di tubuh
Quasimodo dan melihat mukanya yang jelek, ''Aku lebih senang menahan gadis itu!"
*** Gringoire terbaring di jalan di bawah lampu kecil itu. Dia tak ingat bagaimana
dia sampai berada di situ, dan waktu dia memandang ke atas, terlihat kaki Bunda
Maria dari batu itu, tapi kemudian dia merasa seolah-olah tubuh Bunda Maria itu
berputar-putar sangat cepat.
"Apa yang telah terjadi?" pikirnya. "Dan apa ini, yang dingin membeku di
punggungku?" Dipegangnya pakaiannya. Semuanya basah oleh air jalanan yang kotor dan dingin.
"Benar-benar tempat yang buruk untuk tidur di malam sedingin ini!" Dia berusaha
untuk berdiri.... tapi geraknya lambat sekali, karena kepalanya masih terasa
aneh. Rasanya berputar ke arah terbalik sekarang. Dia berbaring lagi.
Kemudian didengarnya suara anak-anak laki-laki berteriak-teriak nyaring sekali,
"Michel sudah mati! Michel sudah mati! Pengemis tua sudah mati! Mari kita bakar
kasur tuanya yang kotor itu di hadapan Bunda Maria!"
Gringoire merasa ada sesuatu yang lembut jatuh di atasnya.
"Berat sekali benda ini," pikir Gringoire, "lagi pula busuk baunya." Anak-anak
itu tidak melihatnya terbaring di jalan. Salah seorang di antaranya menyalakan
sepotong kain pada lampu di bawah kaki Bunda Maria, untuk membakar kasur yang
telah mereka lemparkan. "Aku mencium sesuatu yang terbakar!... ya, ini asap!....matang aku kalau aku
tetap di sini!" pikir Gringoire.
"Tolong!" teriaknya. Dia berusaha keluar dari bawah kasur itu. Kemudian kasur
itu diambilnya, dilemparkannya ke arah anak-anak itu lalu lari secepat mungkin.
"Hei, itu arwah pengemis itu!" teriak anak-anak itu. "Ayo lari!"
Mereka lari ke arah lain.
Gringoire berjalan dari satu jalan ke jalan lain tanpa tahu ke mana dia pergi.
Akhirnya dia berhenti, menyandarkan punggungnya pada dinding sebuah rumah.
Dibukanya mulutnya lebar-lebar untuk menghirup udara malam yang dingin.
"Bodoh benar aku!" pikirnya. "Seharusnya aku tidak melarikan diri dari anak-anak
itu. Mereka pun ketakutan melihat aku! Aku seharusnya diam-diam di sana dan
menghangatkan diriku dekat api yang mereka nyalakan, atau bahkan - kalau anakanak itu sudah pergi dan aku bisa memadamkan apinya - kasur tua itu akan bisa
menjadi milikku dan aku bisa menidurinya enak-enak! Sebaiknya aku cepat-cepat
kembali ke sana!" Dia berbalik, lalu berjalan memasuki jalan gelap tadi. Dia bergegas terus, dan
sering membelok ke kanan dan ke kiri - ke arah yang salah - sampai akhirnya dia
tiba ke suatu jalan di mana ada sesuatu yang menyala.
"Itulah dia!" serunya, "itu kasurku!" dan dia mulai berlari.
"Berilah uang sedikit untuk pengemis miskin dan tua!" terdengar suara jelek di
sampingnya, dan Gringoire melihat suatu makhluk tanpa kaki mendatanginya dari
kegelapan. "Maaf," kata Gringoire, "Saya sendiri sama sekali tak punya uang."
"Berilah uang sedikit saja!" Pengemis tanpa kaki itu berjalan dengan bantuan dua
Si Bongkok Dari Notre Dame Karya Victor Hugo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buah tongkat di belakang Gringoire.
"Berilah saya sesuatu, Tuan!" seru suatu suara kasar lagi, dan muncullah
pengemis kedua, yang berjalan dengan bantuan sebuah tongkat.
"Sudah kukatakan, aku sendiri tak punya apa-apa, sahabatku," kata Gringoire.
Kemudian muncul lagi seorang pengemis di hadapannya. Dia seorang laki-laki kecil
yang buta, berjanggut hitam yang panjang, dengan sebuah tongkat putih dan seekor
anjing besar yang kasar untuk menuntunnya.
"Demi Tuhan yang Maha Pengasih, beri saya uang!" bisik pengemis buta dengan
suara lemah. "Aku tak punya apa-apa, tak ada apa-apa!" seru Gringoire.
Ketiga pengemis itu mengikutinya. Dia mulai merasa takut. Mereka mengikutinya
terus. "Saya tak bisa memberi kalian apa-apa, Sahabat-sahabatku. Jangan ikuti saya
terus!" Dia mulai berlari.
Pengemis-pengemis itu mengikutinya dan Gringoire keheranan karena mereka pun
berlari cepat. Dua laki-laki tak berkaki tadi melemparkan tongkatnya dan
kelihatanlah bahwa mereka sebenarnya punya dua kaki yang kuat! Orang yang buta
sebenarnya bisa melihat dengan jelas, dan larinya lebih cepat daripada anjingnya
yang besar! Mereka semua mengejar Gringoire. Mereka makin lama makin dekat.
Gringoire gemetar ketakutan hingga kakinya hampir-hampir tak terangkat lagi.
Tiba-tiba dilihatnya bahwa dia berada di sebuah alun-alun yang besar. Banyak api
menyala di batu-batu. Ada pula kelompok orang-orang, laki-laki, perempuan dan
anak-anak. Ada yang masak, yang lain berteriak, menyanyi dan menari. Mereka
adalah orang-orang yang paling kotor di kota Paris. Mereka kelihatan miskinmiskin, dan rumah-rumah di alun-alun itu tua, reot dan jelek-jelek - tapi orangorangnya sebenarnya kaya. Mereka berpura-pura miskin dan sakit seperti pengemispengemis yang mengejar Gringoire. Mereka berpura-pura miskin, sakit atau buta
supaya bisa meminta uang lebih banyak dari pria dan wanita pemurah yang
mempercayai mereka. Tapi kini mereka berada di alun-alun mereka sendiri. Alunalun para pengemis, dan pencuri-pencuri, pembohong-pembohong dan pembunuhpembunuh itu tidak lagi berpura-pura tak bertangan, berkaki atau bermata. Banyak
orang yang tak berkaki sedang menari, dan orang-orang buta sedang main kartu.
"Aku rasanya tak bisa percaya," pikir Gringoire. "Ini tak mungkin suatu
kenyataan! Mungkin aku sedang tidur enak-enak di kasurku, dan ini semua hanya
suatu mimpi buruk. Aku rasanya tak bisa mempercayai penglihatanku!"
Tapi itu bukan suatu mimpi. Tiga orang pengemis tadi sedang berteriak-teriak
mengelilinginya, "Bawa dia menghadap Raja! Bawa dia menghadap Raja!"
Pengemis-pengemis lain datang pula dan mengelilinginya, dan mereka semua ikut
berteriak, "Menghadap Raja! Menghadap Raja!"
"Raja mereka tentu setan!" pikir Gringoire waktu para pengemis itu berebut-rebut
untuk mendekatinya. Tapi ketiga pengemis tadi berteriak pada yang lain,
"Dia kepunyaan kami! Biar kami yang menanganinya! Dia kepunyaan kami!"
Mereka menangkapnya, mencakarnya dengan kuku mereka yang panjang dan patahpatah, dan berteriak, "Menghadap Raja! Dia kepunyaan kami!"
Sementara itu mereka menyeretnya terus.
"Aduh Bunda Maria, Bunda Jesus, tolonglah aku!" dia mencoba berdoa. "Kasihanilah
aku dan selamatkanlah aku dari setan-setan ini!"
Chapter 4 CANGKIR PECAH GRINGOIRE melihat bahwa dia berada di sebuah dapur. Sebuah dapur yang
kelihatannya seperti tempat setan. Laki-laki dan perempuan sedang duduk-duduk di
sana dengan muka kotor dan berkeringat sambil minum minuman keras. Dari lampulampu yang tergantung, minyak menetes-netes ke meja-meja yang sudah rusak.
Beberapa di antara laki-laki itu sedang menanggalkan pembalut dari kaki dan
tangan mereka dan mereka membuang "luka-luka" - bukan luka-luka sungguhan,
melainkan luka-luka yang dicorengkan di kulit mereka. Yang lain sedang
membersihkan cat hitam dari mata mereka hingga hilanglah kesan butanya. Ruangan
itu dipenuhi oleh suara tawa dan nyanyian-nyanyian kotor.
Seorang anak yang dicuri dari ibunya yang kaya, sedang duduk di meja dan
memukul-mukul sebuah kaleng dengan sendok.
"Ayo ikut!" teriak pengemis yang pertama, dan Gringoire didorongnya ke arah api.
Di dekat api itu duduklah seorang laki-laki gemuk dengan sebuah mahkota emas di
kepalanya. Rupanya seperti seorang gipsy. Seekor anjing hitam yang besar
terbaring dekat kakinya. "Buka topimu di hadapan Raja kami!" teriak pengemis yang kedua.
Gringoire merasa topinya direnggutkan dari kepalanya. Dia menoleh, tapi topinya
sudah hilang. Hampir saja dia tersandung seorang anak kecil yang tergolek di
lantai yang kotor. "Berdiri, Tolol!" teriak suatu suara marah.
"Siapa orang ini?" tanya Raja. Dia mengacungkan sebuah tongkat tajam ke arah
Gringoire, "Siapa dia?"
"Tuan... tuanku... Raja.....bagaimana saya harus menyebut Anda?" tanya Gringoire.
"Sebut saja aku sesuka hatimu. Asal kau cepat dan bela dirimu."
"Membela diriku?" bisik Gringoire. "Membela diriku terhadap apa?"
"Jangan membuang-buang waktuku," teriak Raja. "Aku hakimmu. Kau telah datang ke
dalam kerajaanku yaitu kerajaan para pengemis. Tak seorang pun mengundangmu ke
sini. Kau harus diganjar karena kau datang. Nah, siapa kau?"
"Tuan.... saya seorang pengarang...."
"Cukup!" teriak raja itu. "Pengarang-pengarang selalu menceritakan yang jahatjahat tentang rakyatku, para pengemis."
"Tapi saya ini Gringoire si penyair, dan naskah-naskah sandiwara saya...."
"Aku sudah melihat salah satu sandiwaramu. Buruk, buruk sekali. Orang yang
menulisnya tentu sepantasnya digantung."
"Tapi, Anda tentu tidak akan membunuh saya tanpa mendengarkan apa yang saya
katakan?" seru Gringoire.
Seorang anak menyiramkan sebotol kecil minyak ke api, dan nyala apinya menjadi
besar sekali. Terdengarlah pekik-sorak dan suara tawa. Daging yang sedang
dimasak, hangus mengeluarkan bau sangit dan asap tebal.
"Jaga masakan itu, Goblok!" seru suatu suara berat.
"Diam!" teriak Raja para pengemis. Dia memberikan isyarat kasar pada beberapa
orang di ujung dapur, lalu berpaling lagi pada Gringoire, "Aku tidak bisa
mendapatkan alasan mengapa kau tak perlu digantung."
Gringoire menjadi pucat ketakutan.
"Tapi," Raja melanjutkan, "kalian orang-orang baik-baik agaknya tak suka
digantung, kan" Dan, lebih-lebih kami tak mau menyakitimu. Coba kupikirkan
dulu...." lalu Raja itu menggosok-gosokkan tangannya di mukanya yang hitam itu.
"Aku tahu," katanya akhirnya. "Ada suatu jalan keluar, kau bisa menjadi salah
seorang anggota kami, seorang pencuri seperti kami semua. Bagaimana?"
Gringoire bisa bernafas lagi mendapatkan kesempatan hidup ini.
"Oh ya, saya mau!" serunya, "tentu saya mau!"
"Maukah kau menjadi anggota barisan kami?"
"Ya, ya saya mau, dan saya mau disuruh pergi ke mana pun juga!"
"Menjadi seorang pencuri seperti kami?"
"Menjadi seorang pencuri seperti kalian!"
"Demi jiwamu?" "Demi jiwa saya."
"Tentu harus kuberi tahu kau bahwa akibatnya kau akan digantung."
"Benarkah?" bisik Gringoire, yang lalu merasa panas dingin ketakutan.
"Tapi kau akan digantung oleh orang-orang Paris yang jujur di tiang gantungan
yang bagus dengan cara yang lebih baik. Itu suatu hiburan juga, bukan?"
"Ya memang, benar!" sahut Gringoire.
"Dan kau tidak usah membayar apa-apa pada pemerintah. Kau boleh berbuat apa saja
di kota Paris ini!" "Ya, ya benar!"
"Dan kau mau menjadi salah seorang anak buahku?"
"Tentu." "Tidak cukup hanya mau saja. Keinginan baik saja tak ada gunanya, kecuali hanya
untuk masuk surga. Jika kau mau menjadi salah seorang anggotaku, kau harus
membuktikan bahwa engkau pandai mengerjakan pekerjaan kami. Nah, kau harus
mencuri dari si George, orang kecil kami."
"Saya akan mencuri dari siapa pun yang Anda kehendaki," kata Gringoire.
Raja memberi isyarat, dan beberapa orang meninggalkan lingkaran untuk mengambil
sesuatu. Sebentar kemudian mereka kembali dengan dua buah tiang kayu dan
mendirikannya di lantai. Melintang di atas kedua tiang itu mereka memasang
sepotong kayu lagi, dan dari kayu itu mereka menggantungkan sepotong tali.
Keseluruhannya merupakan sebuah tiang gantungan yang sempurna.
Gringoire merasa ngeri sekali. "Bagaimana kesudahan semuanya ini?" tanyanya
sendiri. Bunyi lonceng-lonceng kecil menyebabkan dia berhenti berpikir. Bunyi itu berasal
dari seorang manusia tiruan yang dibuat dari kain, yang digantung pencuripencuri itu dari tali pada tiang gantungan itu. Orang-orangan itu diberi pakaian
merah, dilengkapi dengan lonceng-lonceng kecil dari tembaga. Lonceng-lonceng
kecil itu berbunyi bagus sebentar, waktu tali itu berayun, tapi suaranya makin
lama makin halus dan menghilang sama sekali ketika orang-orangan itu menjadi
diam tak bergerak. Raja mengacungkan tongkatnya ke arah sebuah kursi tua yang ada di bawah orangorangan merah itu, lalu berkata pada Gringoire, "Berdirilah di atas kursi itu."
"Setan!" kata Gringoire. "Bisa patah leher saya! Kakinya yang satu lebih pendek
daripada yang tiga."
"Naik," ulang Raja itu dengan tenang.
Gringoire naik dan berdiri di atas kursi itu, terhuyung-huyung ke belakang dan
ke depan beberapa kali, tapi dia tidak jatuh.
"Nah," kata Raja, "ulurkanlah badanmu sampai setinggi mungkin."
"Apakah Anda ingin tulang-tulang saya patah?" tanya Gringoire.
Sang Raja menggeleng. "Dengarkan, Sahabat," katanya, "kau terlalu banyak bicara.
Dengar, ini yang harus kaulakukan: ulurkan badanmu sampai setinggi mungkin,
sampai kau bisa menjangkau saku merah si George kecil kami. Masukkan tanganmu ke
dalamnya dan keluarkan uang yang tersembunyi di dalamnya. Jika semuanya itu bisa
kaulakukan tanpa lonceng itu berbunyi sedikit pun, baguslah - maka kau akan
menjadi salah seorang anak buahku."
"Saya akan berhati-hati sekali," kata Gringoire. "Tapi kalau lonceng-lonceng di
tubuh George berbunyi ....... ?"
"Jika lonceng-loncengnya berbunyi, kau akan digantung menggantikan dia,
sahabatku. Nah sekarang kerjakan, jangan bicara lagi. Dan ingat, kalau ada satu
lonceng yang berbunyi sedikit saja, lehermu akan digantung di situ!"
Semua pencuri melingkari tiang gantungan itu, mereka berteriak dan tertawa-tawa
tanpa rasa kasihan barang sedikit juga pun.
Gringoire sadar bahwa dia sama sekali tak punya harapan kecuali kalau
dilakukannya sebagaimana yang diperintahkan. Dia menengadah memandang pada
George, dan berdoa sepenuh hati terhadap orang-orangan merah itu, hatinya tentu
lebih lembut daripada hati pencuri-pencuri yang berdiri menontonnya. Loncenglonceng logam itu kelihatan seperti lebah yang sedang marah dan bersiap-siap
akan menyerangnya. Gringoire masih mendapat suatu harapan terakhir, dia berpaling pada Raja dan
bertanya, "Bagaimana kalau angin bertiup dan meniup lonceng-lonceng itu sampai
berbunyi?" "Maka kau akan digantung," sahut Raja segera.
Menyadari bahwa tak ada jalan keluar, Gringoire mulai menjalankan tugasnya. Dia
meninggikan dirinya sedapat-dapatnya, dan perlahan-lahan menjangkaukan
tangannya. Tapi pada saat tangannya menyentuh kain merah itu, dirasakannya
dirinya jatuh ke kursi, dan untuk bertahan dia berpegang pada George. Pada saat
itu pula semua lonceng mulai berbunyi dan jatuhlah Gringoire ke lantai dengan
suara lonceng itu memenuhi telinganya.
George terayun-ayun ke belakang dan ke depan di atasnya, di antara kedua buah
tiang. "Tolong!" teriak Gringoire, waktu dia jatuh dan dia tersungkur di lantai seolaholah mati. Lonceng-lonceng itu berbunyi terus, dan pencuri-pencuri itu tertawa.
"Angkat orang itu, dan gantung dia segera," kata sang Raja.
Gringoire bangun sendiri. Pencuri-pencuri itu telah menurunkan George untuk
digantikan tempatnya oleh Gringoire nanti. Mereka mengangkat penyair itu ke atas
sebuah kursi, dan sang Raja memasang tali ke lehernya.
"Selamat jalan, Sahabat," kata sang Raja. "Kau tak bisa lolos lagi sekarang, tak
ada kesempatan lagi!"
Kata 'kasihanilah' tak jadi diucapkan oleh Gringoire. Dia melihat ke
sekelilingnya, namun tidak melihat bayangan harapan barang sedikit jua pun.
Semua muka itu tertawa seperti setan.
"Nah sekarang kalian bertiga sini," kata Raja, "seorang menangani kayu melintang
itu, seorang siap untuk menyepak kursi tempatnya berdiri, dan seorang lagi
menarik kakinya." Ketiga pengemis yang membawa Gringoire tadi, maju. Yang kecil dan berjanggut
hitam, dengan cepat memanjat kayu melintang dan melongok ke bawah, tertawa pada
Gringoire. Kedua orang yang lain berdiri di bawah dan menunggu saatnya melakukan
apa yang diperintahkan. "Bila tongkatku memukul meja...." kata sang Raja. Dia memasukkan beberapa potong
kayu kecil-kecil ke dalam perapian.
Keadaan sepi dan tegang. "Sudah siapkah kalian?"' tanyanya.
"Siap!" jawab mereka bertiga dengan suara datar.
"Sudah siap?" tanyanya lagi, sambil mengangkat tongkatnya.
Tangannya tak bergerak menunggu: sedetik lagi, maka....
Tetapi dia terhenti. Dia tiba-tiba teringat akan sesuatu.
"Tunggu dulu," katanya. "Aku lupa kebiasaan kita untuk tidak menggantung
seseorang, sebelum bertanya apakah tak ada wanita kita yang mau menjadikannya
suaminya. Inilah kesempatanmu yang terakhir sahabat: pilih salah satu, kawin
dengan salah seorang wanita kami atau kawin dengan tali gantungan kami."
Gringoire bernafas lega. "Nah," kata sang Raja, "mari sini, kalian kaum wanita dan gadis-gadis! Ini ada
seorang laki-laki yang bisa kalian kawini dengan cuma-cuma! Siapa yang mau?"
Perempuan-perempuan itu tak suka melihat rupanya.
"Gantung saja dia! Kami akan senang!" teriak salah seorang di antaranya. Banyak
yang tertawa. Tapi tiga orang di antaranya, keluar dari kumpulannya lalu memandangnya. Yang
pertama, seorang wanita muda berwajah segi empat, mengamat-amati pakaiannya yang
buruk. "Perlihatkan jasmu," perintahnya pada Gringoire.
"Sudah hilang," sahut Gringoire.
"Topimu?" "Sudah mereka rampas daripadaku."
"Sepatumu?" "Tinggal sedikit sekali bagian yang tersisa."
"Apa isi sakumu?"
"Kosong. Menyesal saya harus mengatakan saya tak punya uang sesen pun."
"Kalau begitu biar saja orang menggantungmu, aku tak peduli," katanya, lalu
berbalik. Wanita kedua, sudah tua dan berkulit gelap, berjalan mengelilinginya.
"Dia terlalu kurus," katanya, lalu meninggalkannya.
Yang ketiga masih muda, berwajah cukup cantik.
"Selamatkanlah saya!" bisik laki-laki malang itu. Wanita itu memandangnya dengan
iba, lalu menekur. Dia tak bisa mengambil keputusan. Gringoire memperhatikan
setiap gerak wanita itu. Itulah harapannya yang terakhir. Kemudian wanita itu
mengambil keputusan. "Tidak," katanya; "Henri nanti memukulku." Dia kembali ke kumpulannya.
"Jadi tak adakah yang mengingini si penyair?" kata sang Raja.
"Bagaimana.... bagaimana...." lalu dia berpaling ke tiang gantungan itu seolaholah akan memberikan kata terakhir.
Pada saat itu terdengar suatu teriakan dari ujung lain ruangan itu, "Esmeralda!
Esmeralda!" Gringoire terkejut, dan menoleh. Orang-orang menyisih dan memberi jalan pada
seorang gadis yang bersih dan cemerlang. Dia adalah gadis gipsy tadi.
"Esmeralda!" bisik Gringoire dengan suara penuh rasa kagum.
Kecantikan dan keanggunan sikapnya memberikan semarak pada ruangan itu, dan
wajah pencuri-pencuri yang keras dan kejam menjadi lembut waktu dia melewati
mereka. Djali, kambing kecilnya, mengikutinya.
Esmeralda mendekati Gringoire yang merasa dirinya lebih mendekati kematian
daripada hidup. Dipandanginya Gringoire beberapa lamanya tanpa berkata apa-apa.
"Apakah Anda akan menggantung orang ini?" tanyanya dengan tenang pada Raja.
"Benar, Saudara," jawabnya; "kecuali kalau kau mau mengambilnya sebagai
suamimu."
Si Bongkok Dari Notre Dame Karya Victor Hugo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku mau mengambilnya," katanya.
Gringoire yakin bahwa dia bermimpi sejak pagi-pagi tadi. Mereka melepaskan tali
dan membantunya turun dari kursi. Tanpa berkata apa-apa, sang Raja mengambil
sebuah cangkir dari meja lalu memberikannya pada Esmeralda. Esmeralda
memberikannya pula pada Gringoire.
"Lemparkan ke lantai," katanya.
Cangkir itu pecah menjadi empat.
"Sahabat," kata sang Raja, sambil meletakkan tangannya ke kepala Gringoire dan
Esmeralda, "dia menjadi istrimu, Saudara, dia suamimu - selama empat tahun.
Pergilah." Chapter 5 MALAM PENGANTIN KAMAR kecil itu hangat dan nyaman. Gringoire langsung duduk, dan Esmeralda
membawa barang-barang dari rak, supaya Gringoire bisa makan malam.
Dia sama sekali tidak mengacuhkan Gringoire waktu dia melewatinya membawa sebuah
piring, pisau dan cangkir.
Gringoire memperhatikan Esmeralda, dan merasa seolah-olah dirinya berada dalam
sebuah dongeng. Sambil hilir-mudik itu, Esmeralda berbicara dengan kambing
kecilnya. Suaranya terlalu halus hingga tak dapat Gringoire mendengarnya.
Akhirnya Esmeralda mendatanginya dan duduk dekat meja, dan Gringoire dapat
melihatnya dengan jelas. "Sungguh cantik dia!" pikirnya. "Dan gadis cantik yang biasa menari di jalan
ini, telah menyelamatkan nyawaku. Dia tentu tergila-gila padaku, maka dia mau
mengambilku. Dan kini aku suaminya!"
Gringoire bangkit, mendekatinya, lalu tersenyum. Tapi Esmeralda menjauh.
"Mau apa kau?" serunya. "Mengapa masih kautanyakan, Esmeralda-ku yang cantik?"
sahutnya. "Aku tak tahu apa maksudmu," kata Esmeralda.
"Bagaimana mungkin! Bukankah aku milikmu, Manis" Dan kau kepunyaanku?" Gringoire
merangkul Esmeralda. Seperti seekor ular Esmeralda melepaskan dirinya dari rangkulan itu. Dia berlari
ke ujung kamar dan berbalik ke arah Gringoire dengan sebuah pisau kecil di
tangannya. Matanya berapi-api karena marah. Pada saat yang sama kambing kecil
putih berdiri di depannya, dan menggoyang-goyangkan kepalanya yang bertanduk
keemasan yang tajam, seolah-olah akan mengatakan pada Gringoire supaya menjauh.
Gringoire melihat pada kambing dan gipsy itu.
"Demi Bunda Maria," kata Gringoire, "tipu muslihat apa yang sedang kaulakukan
atas diriku sekarang ini?"
Esmeralda terdiam. "Kau tentunya laki-laki pemberani," kata Esmeralda akhirnya, "karena kau begitu
berani mendekati Esmeralda!"
"Maafkan aku, perempuan yang baik," kata Gringoire dengan tersenyum, "tapi
mengapa kaukawini aku?"
"Apakah harus kubiarkan mereka menggantungmu?"
"Jadi," kata Gringoire dengan sedih karena harapan-harapan cintanya lenyap, "kau
tak punya tujuan lain waktu mengawiniku, selain akan menyelamatkan aku dari
tiang gantungan?" "Lalu kausangka tujuan lain apa yang ada padaku?"
Gringoire menggigit bibirnya. "Yah," katanya, "aku rupanya tak berhasil dalam
bercinta, sebagaimana yang kuharapkan! Tapi, lalu apa gunanya pemecahan cangkir
segala tadi, kalau kau tak menghendaki diriku sebagai seorang suami?"
Pisau Esmeralda dan tanduk Djali masih teracung padanya.
"Aku menyadari," kata Gringoire, "bahwa aku tidak akan mendapatkan cinta. Tapi
setelah segala macam kejadian atas diriku hari ini, aku benar-benar butuh
makanan." Esmeralda tidak berkata apa-apa. Dia mendongakkan kepalanya, lalu tertawa. Pisau
kecil tadi menghilang secepat dia mengeluarkannya tadi.
Gringoire tak sempat melihat di mana dia menyembunyikannya.
Sesaat kemudian sebatang roti, sepotong daging, beberapa buah apel yang keriput
serta sekendi anggur sudah tersedia di meja.
Gringoire mulai makan dengan lahap. Bunyi pisau yang nyaring di piring
membuktikan bahwa rasa cinta telah berubah menjadi rasa lapar.
Esmeralda duduk di dekatnya, memperhatikannya tanpa berbicara. Dia sedang sibuk
dengan pikirannya sendiri. Sekali-sekali dia tersenyum, sementara tangannya
membelai kepala kambingnya lalu menekannya dengan lembut ke lututnya. Lampu
memantulkan cahaya kuning kepada mereka.
Setelah Gringoire merasa kenyang dia merasa malu karena yang tersisa hanyalah
sebuah apel dan roti sedikit sekali.
"Esmeralda," katanya, "kau sendiri tak makan."
Esmeralda menggeleng, tapi tidak berkata apa-apa. Dia masih tenggelam dalam
angan-angannya. Gringoire ingin tahu apa yang diangankannya. Gringoire memanggilnya, tapi
Esmeralda tetap diam. Sekali lagi dia memanggil, tapi Esmeralda tetap tak
memperdulikannya. Tapi tak demikian dengan kambingnya, binatang itu menarik baju
gadis itu perlahan-lahan.
"Mau apa kau Djali?" tanya gipsy itu.
"Djali lapar," kata Gringoire, dia senang karena bisa berbicara lagi dengan
gadis itu. Esmeralda mengambil roti lalu memotongnya sedikit dengan tangannya.
Djali memakannya. Sebelum Esmeralda sempat berpikir lagi, Gringoire bertanya dengan suara sedih,
"Jadi tetap tak maukah kau mengambilku sebagai suamimu?"
Esmeralda memandang tenang padanya, dan menjawab, "Tidak."
"Sebagai pacarmu?"
"Tidak." "Sebagai sahabatmu?"
Esmeralda berpikir, lalu menyahut, "Mungkin."
"Tahukah kau apa arti persahabatan?" tanya Gringoire.
"Ya," sahutnya, "yaitu kita harus seperti saudara saja - dua jiwa yang bertemu
tapi tidak bersatu seperti dua jari pada satu tangan."
"Sedang cinta?"
"Oh, cinta!" katanya dengan mata berbinar-binar, "itu berarti dua namun tetap
satu. Cinta itu surga!"
Ketika dia berbicara itu wajahnya kelihatan lebih cantik lagi.
"Laki-laki macam mana yang akan membahagiakanmu?" tanya Gringoire.
"Seorang prajurit dengan pedang di tangannya. Dia bersenjata lengkap, dan dia
menunggang kuda yang bagus."
"Dan cintakah kau pada laki-laki seperti itu?"
"Hal itu akan segera kuketahui," sahutnya.
"Tapi tak bisakah kau mencintai seorang penyair?" tanya Gringoire perlahan, "tak
bisakah kau mencintaiku?"
Esmeralda memandangnya dengan serius, lalu berkata, "Aku tak bisa mencintai
laki-laki yang tak bisa melindungiku."
Gringoire merasa malu karena dia ingat bahwa dia tak bisa membantu Esmeralda di
jalan dua jam yang lalu. Dia teringat lagi akan pergumulan tadi, dan dia
bertanya, "Bagaimana kau bisa lolos dari cengkraman Quasimodo?"
"Oh, si bongkok jahat itu!" seru Esmeralda. Ditutupnya mukanya dengan kedua
belah tangannya, dan dia gemetar seolah-olah kedinginan.
"Memang jahat," kata Gringoire. "Tapi bagaimana kau bisa lepas dari dia?"
Esmeralda tersenyum, dan diam-diam dia kembali pada kenangannya. Lalu dia mulai
bersenandung halus. Gringoire memotong nyanyian itu lalu bertanya, "Mengapa orang menamakanmu
Esmeralda?" "Entahlah," sahutnya. "Mungkin karena ini." Dari dalam bajunya dikeluarkannya
sebuah kantong kecil yang tergantung pada seutas rantai perak di lehernya.
Kantong itu terbuat dari sutera hijau, di mana dilekatkan sepotong kaca hijau
cerah. "Kata orang memang ada batu mulia yang berwarna hijau cerah seperti ini,
dan kami kaum gipsy menyebutnya 'La Esmeralda'."
"Bagus sekali," kata Gringoire, sambil mengulurkan tangannya ke kantong itu.
"Jangan!" seru Esmeralda, "Jangan sentuh, ini ada tenaga gaibnya." Dimasukkannya
lagi kantong itu ke dalam bajunya.
"Siapa yang memberimu barang itu?" tanya Gringoire, tapi Esmeralda meletakkan
jarinya ke bibirnya dan tak mau menjawab.
"Masih hidupkah ibu-bapakmu?" tanyanya. Esmeralda lalu menyanyikan lagu tua,
"Ibuku adalah burung,
ayahku juga burung, di udara, melalui air kuterbang,
selalu bebas aku terbang,
ibuku adalah burung, demikian pula ayahku."
"Tahun lalu aku datang ke Paris ini," kisahnya. "Waktu Djali dan aku berjalan
melalui gerbang kota, seekor burung kecil terbang ke luar, dan aku berkata,
'Musim salju ini akan dingin sekali.' "
"Dan ternyata memang demikian!" seru Gringoire. "Sepanjang waktu tiada lain
kerjaku, harus meniup-niup tanganku terus untuk menghangatkannya. Kau seorang
peramal yang baik!" "Bukan," katanya.
Lalu Gringoire menceritakan tentang dirinya.
"Aku tak punya ayah dan ibu," kisahnya. "Keduanya meninggal waktu aku masih
bayi. Aku dibesarkan dan diajar oleh para imam, supaya kalau aku sudah besar aku
akan bisa menjadi seorang imam dan guru pula. Imam-imam itu pandai sekali.
Claude Frollo, yang paling terpelajar di Paris ini pun pernah memberi aku
pelajaran! Tapi aku ingin menjadi seorang pengarang, dan kini aku memang seorang
penulis. Bukan," katanya lagi dengan sedih, "semula aku memang seorang penulis.
Tapi aku tak bisa mendapatkan uang yang cukup untuk membeli rotiku saja.
Bagaimana kita berdua bisa hidup, setelah kita jadi suami istri ini?"
Gringoire menunggu supaya Esmeralda berbicara, tapi dia menekur saja. Lalu dia
berkata perlahan sekali, "Phoebus... Phoebus."
Lalu dia mengangkat kepalanya memandang Gringoire.
"Apa arti kata itu?" tanyanya.
Gringoire tak mengerti mengapa Esmeralda ingin tahu arti kata itu, tapi dia
senang bisa menunjukkan kepandaiannya.
"Itu suatu perkataan dari bahasa lain," katanya, "dan berarti 'matahari'!"
"Matahari!" ulang Esmeralda, dengan senyum yang manis sekali, "matahari!"
"Phoebus adalah dewa yang mulia dan cemerlang."
"Seorang dewa!" ulang Esmeralda, dengan suara merenung dan rasa kagum.
Kemudian, sebelum Gringoire mengerti apa yang akan terjadi, Esmeralda sudah lari
ke luar. Kambingnya cepat melompat menyusulnya. Pintu ditutupnya.
Gringoire bangkit dan cepat menyusulnya. Tapi lalu didengarnya kunci diputar.
Dia menggedor pintu sampai tangannya sakit.
"Jadi aku harus menghabiskan malam pengantinku ini seorang diri," katanya dengan
sedih. "Kuharap saja dia sekurang-kurangnya menyediakan tempat bagiku di sini!"
Tapi yang didapatinya di kamar itu hanyalah sebuah peti kayu panjang, dan dia
meletakkan tubuhnya di situ. Dia begitu letihnya hingga dia langsung tertidur.
Chapter 6 RUANG SIKSAAN PRAJURIT-PRAJURIT berhasil menangkap Quasimodo di jalan waktu dia mencoba
melarikan Esmeralda, lalu mereka membawanya ke penjara. Di sana, sepanjang malam
dia ketakutan. Esok paginya dia dihadapkan pada hakim di pengadilan. Quasimodo tak dapat
mendengar sepatah pun dari apa-apa yang dikatakan di sana. Waktu pertanyaanpertanyaan diajukan, dia bisa melihat bahwa orang berbicara dengan dia, dan
diperhatikannya gerak bibir orang-orang itu. Lalu dia mencoba menjawab sedapatdapatnya. Tapi jawaban-jawabannya tak ada hubungannya dengan pertanyaanpertanyaannya, dan ruang pengadilan itu pun langsung riuh oleh suara tawa orang.
Hakim menjadi marah sekali. Pak hakim semalam menghadiri suatu jamuan makan
besar dan penting. Kini perutnya terasa tak enak karena kebanyakan makan, dan
kepalanya sakit sekali gara-gara kebanyakan minum minuman keras. Pada sangkanya
si bongkok bermata satu ini sedang mempermainkan dia, terutama karena telinga
pak hakim sendiri pun tidak begitu baik juga meskipun dia pura-pura bisa
mendengar segala-galanya dengan baik sekali, sedang orang-orang takut
menunjukkan kesalahan-kesalahannya.
Pak hakim tadi mulai terlambat, padahal hari itu dia harus mengadili banyak
perkara, oleh karenanya dia ingin cepat menyelesaikan perkara Quasimodo.
Diperintahkannya saja supaya si bongkok dipasung di roda dan dipukuli selama
satu jam. Quasimodo tak mendengar sepatah pun apa yang dikatakan pak hakim, jadi dia
berbicara lagi, "Mungkin Anda ingin tahu nama saya" Nama saya Quasimodo...."
"Diam!" teriak seorang perwira.
Tapi Quasimodo tak mendengar.
"Pekerjaan saya membunyikan lonceng di gereja Notre-Dame...."
"Diam! Diam!" "Dan umur saya...."
Pak hakim makin marah dan mukanya yang kuning jadi merah padam.
"Bawa orang itu ke luar!" teriaknya, "dan biarkan dia di ruang siksa itu satu
jam lagi. Biar dia jera! Tak ada gunanya mempermainkan hukum, Saudara!"
Maka dibawalah Quasimodo pergi, sedang pak hakim melanjutkan dengan perkara
selanjutnya. *** Roda itu berada di puncak suatu menara batu di sebelah tiang gantungan, di Place
de Grve. Di dalamnya tak ada apa-apa kecuali beberapa anak tangga yang kasar dan
curam yang menuju ke puncaknya.
Di puncak itu, ada sebuah roda besar. Orang-orang yang bersalah diikat pada roda
itu dengan cara yang menyakitkan, punggungnya menghadap alun-alun dan lengannya
diikat pada lututnya. Lalu mereka dipukuli, dan sementara itu roda itu diputar
perlahan-lahan terus supaya semua orang di alun-alun bisa melihat mereka
menderita. Quasimodo dibawa ke ruang siksa itu.
Semalam Quasimodo dibawa ke alun-alun, diusung dengan sorak-sorai, nyanyi dan
tawa, sebagai Imam Tertinggi Orang-orang Dungu. Waktu itu orang-orang banyak
menghendakinya. Kini mereka tak tahu kesalahan apa yang telah dilakukannya, tapi
hati mereka telah menjadi batu, sekeras dan sedingin batu ruang siksa itu dan
mereka datang untuk menambah siksaannya.
Suster Gudule menjenguk melalui jeruji besi jendela Lubang Tikus waktu
didengarnya orang-orang lewat menuju ke Roda di Place de Grve. Dia mencoba
menjulurkan kepalanya, dan matanya bersinar dengan sinar kegila-gilaan lalu
berteriak pada prajurit-prajurit yang lewat:
"Demi Tuhan yang Pengasih, mudah-mudahan itu seorang gipsy! Mudah-mudahan yang
akan dipukul hari ini adalah seorang gipsy!"
"Kali ini doa Anda tak makbul, Suster," katanya sambil tertawa dan berjalan
terus cepat-cepat. "Kukutuk mereka itu!" teriaknya, "kukutuk semua gipsy!"
Suster Gudule masuk kembali ke Lubang Tikusnya, berbaring di lantai yang dingin
dan kotor dan membaca doa-doanya.
Para prajurit menggabungkan diri dengan orang banyak di sekeliling ruang siksa,
dan melihat apa yang terjadi atas diri Quasimodo. Lengan si bongkok diikat
demikian kuat hingga kulitnya luka.
Tapi kelihatannya dia tidak merasa sakit sama sekali, atau bahkan tak mengerti
apa yang sedang dilakukan orang-orang atas dirinya. Dia acuh tak acuh saja,
seolah-olah dia buta. Orang-orang mendorongnya supaya berlutut di Roda. Dia sama sekali tidak mencoba
membela dirinya. Mereka membuka jas dan kemejanya, lalu mengikatnya dengan
rantai, tapi dia tetap tak bergerak. Dia hanya sekali-kali menarik nafas dengan
suara nyaring, seperti seekor binatang sebelum disembelih.
Orang banyak tertawa waktu melihat punggung Quasimodo tanpa pakaian, dan mereka
merasa lucu sekali waktu melihat pundaknya yang jelek penuh dengan rambut. Bagi
orang-orang yang tak kenal rasa kasihan itu, dia seperti suatu makhluk aneh
dalam suatu pertunjukan. Algojo menaiki tangga di menara dan berdiri dekat roda. Algojo adalah seseorang
yang menyiksa dan amat menyakiti orang lain.
Algojo ditugaskan untuk menyiksa orang-orang yang telah berbuat salah, atau
menyakiti seorang terhukum untuk memaksanya mengakui kesalahannya.
Orang-orang banyak berteriak kesenangan waktu mereka melihat algojo itu muncul.
Ditaruhnya sebuah 'botol-jam' yang tinggi di samping roda itu. Benda itu
merupakan dua buah cangkir besar dari kaca yang disusun ke atas. Cangkir yang di
atas penuh pasir merah, yang jatuh sedikit -sedikit melalui suatu celah ke dalam
cangkir yang di bawah. Setelah satu jam, pasir itu baru habis. Selama waktu itu,
Quasimodo harus dipukuli.
Kemudian algojo itu bersiap-siap untuk memukul Quasimodo dengan tali-tali yang
diikatkan pada sepotong kayu. Tali-tali itu banyak simpul-simpulnya, dan di
ujung tali-tali itu terdapat logam yang tajam-tajam.
Si Bongkok Dari Notre Dame Karya Victor Hugo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah semuanya siap, sang algojo memberikan isyarat, roda mulai berputar, dan
terdengar suara mendengung dari kumpulan orang-orang banyak.
Wajah Quasimodo membayangkan keheranan amat sangat waktu merasa dirinya
bergerak. Algojo mengangkat tangannya, dan jatuhlah pukulan yang pertama di
pundak si bongkok yang malang itu.
Tubuh Quasimodo bergerak seperti orang yang baru bangun tidur. Tubuhnya gemetar
kesakitan, tapi dia tidak mengeluarkan suara. Hanya kepalanya yang digoyanggoyangkannya ke kiri dan ke kanan seperti seekor binatang yang mencoba untuk
mengusir lalat yang ada di punggungnya. Orang-orang bersorak.
Tali-tali pemukul jatuh lagi ke pundaknya - pukulan kedua - ketiga - sekali lagi
- dan lagi. Roda berputar terus-menerus, dan tali-tali memukulnya terus.
Darah pun mengalir dari punggung dan pundak Quasimodo, sampai tali yang putih
tadi menjadi merah. Lalu si bongkok berjuang untuk melepaskan diri. Matanya
bersinar penuh ketakutan, dan dia mengumpulkan seluruh tenaganya untuk
melepaskan rantai yang mencengkeram dirinya.
Tapi sia-sia. Dia tak dapat melepaskan diri.
Jadi dia menyerah dan tak peduli lagi. Dia sama sekali tak bergerak lagi, sedang
sang algojo makin lama makin geram dan memukul makin kuat untuk melukai si
bongkok. Quasimodo menutup matanya. Akhirnya habislah pasir merah itu jatuh ke cangkir
yang di bawah. Satu jam pertama yang mengerikan sudah berlalu.
Seorang pegawai pengadilan yang duduk di atas seekor kuda besar yang hitam dan
mengawasi, mengangkat tombaknya lalu menunjuk ke arah pasir merah. Sang algojo
berhenti. Roda juga berhenti.
Si bongkok perlahan-lahan membuka matanya yang hanya satu itu. Dua orang
prajurit mengoleskan minyak obat ke luka Quasimodo di punggungnya, hingga darah
tidak mengalir lagi. Lalu punggung itu mereka tutup dengan sehelai kain kuning.
Sang algojo mencuci darah dari tali-tali pemukul dalam air seember.
Tapi siksaan bagi si bongkok belumlah berakhir. Dia masih harus tinggal di ruang
siksaan itu satu jam lagi. Maka botol yang berisi pasir merah itu dibalikkan
lagi, dan dia dibiarkan terikat pada roda.
Orang banyak tak suka pada si bongkok karena dia jelek. Mereka meneriakinya,
tapi dia tak bisa mendengar. Mereka bahkan melemparinya dengan batu, dan itu
menyakitinya. Ditahannya rasa sakit itu beberapa lamanya tanpa bergerak. Tapi kemudian waktu
dia melihat ke bawah ke wajah-wajah kaku yang menertawakannya, dia merasa benci
sekali, dan dia mulai memberontak. Hal itu menyebabkan roda itu bergerak
berputar-putar dan orang banyak makin nyaring tertawa.
Quasimodo menyerah, seperti seekor binatang yang tak dapat memutuskan rantai
yang mengikat lehernya. Perasaan yang menyebabkan darahnya mendidih, menjadikan
warna mukanya makin lama makin merah.
Seorang imam yang menunggang seekor keledai melalui kumpulan orang banyak itu.
Quasimodo melihatnya, dan kemarahan yang membayang di muka si bongkok
menghilang. Dia merasa senang melihat Claude Frollo, dan dia tersenyum. Tapi
waktu Frollo cukup dekat untuk melihat siapa orang yang di ruang siksaan itu,
dia cepat-cepat menunduk dan - sebelum Quasimodo sempat berbicara padanya atau
menunjukkan bahwa mereka saling mengenal - dia membelokkan keledainya dan
memberi isyarat pada keledainya supaya cepat-cepat lari meninggalkan orang
banyak itu. Muka si bongkok menjadi lebih merah, senyumnya menjadi sedih dan kemudian hilang
sama sekali. Waktu berlalu. Sudah hampir satu setengah jam dia berada di situ, dan dia tidak
berucap barang sepatah kata pun. Kini dia memberontak lagi dalam rantainya,
hingga roda itu bergoyang-goyang, dan dia berteriak senyaring-nyaringnya dengan
suara yang menyerupai suara anjing yang melolong, mengatakan, "Air!"
Orang banyak menertawakan jeritnya itu dan mengolok-olokkan rasa hausnya itu.
Mereka tak mau menolongnya. Lidahnya terjulur, dan matanya berputar-putar.
Pasir merah terus jatuh sedikit demi sedikit, kemudian dengan suara yang lebih
mengerikan, terdengarlah lagi jeritan, "Air!"
Semua orang tertawa. "Minumlah ini!" teriak seorang laki-laki. Dipungutnya selembar kain basah dari
jalan yang kotor. "Pakailah ini untuk menghilangkan hausmu!" seru seseorang yang lain, lalu
dilemparkannya sebuah cangkir pecah ke kepala si bongkok.
"Air!" teriak Quasimodo untuk ketiga kalinya.Kemudian, tampillah dari kumpulan
orang banyak itu seorang gadis, yang diikuti oleh seekor kambing kecil - gadis
itu adalah gadis yang akan dibawanya lari semalam. Esmeralda berlari menaiki
tangga ruang siksa itu dengan membawa sebuah botol. Tanpa mengatakan apa-apa
dibukanya botol itu lalu ditaruhnya ke bibir laki-laki malang itu.
Meleleh air mata Quasimodo. Esmeralda terus menuangkan isi botol itu ke
mulutnya. Quasimodo meminumnya dengan lahapnya. Dia haus sekali. Setelah puas dia minum,
Quasimodo memoncongkan bibirnya yang hitam untuk mencium tangan orang yang telah
menolongnya. Tapi Esmeralda yang ingat akan serangan Quasimodo dan usahanya untuk membawanya
lari, menarik tangannya, seperti anak kecil yang takut kalau-kalau dia digigit
binatang. Orang banyak pun terkesan melihat gadis cantik yang berdiri dekat laki-laki
cacad di ruang siksaan itu. Sesaat sebelum itu ejekan-ejekan mereka menyiksa
laki-laki itu. Kini mereka merasa iba dan bersorak memuji kebaikan budi gadis
itu. Pada saat itu Suster Gudule dari Lubang Tikus melihat Esmeralda.
"Kutukanku atas dirimu, gipsy yang jahat!" teriaknya. "Kutukanku atas dirimu
selalu!" Chapter 7 Mengeja Rahasia LEBIH dari dua bulan telah berlalu. Malam pada awal musim semi itu terasa hangat
dan nyaman, dan Notre-Dame tampak cantik.
Di seberang jalan, sebuah rumah yang bagus di tikungan sedang bermandikan cahaya
merah dari matahari yang mulai terbenam. Di loteng dekat jendela, duduklah
beberapa orang gadis cantik berpakaian bagus-bagus. Semua gadis itu berasal dari
keluarga-keluarga kaya, dan mereka datang mengunjungi sahabat mereka Fleur, yang
tinggal di rumah itu bersama ibunya - seorang wanita gemuk yang agak dungu.
Ayah Fleur sudah meninggal. Fleur duduk agak terpisah dari gadis-gadis lain. Dia
sedang bercakap-cakap dengan pemuda yang diharapkan ibunya akan mengawininya Kapten Phoebus de Chtheaupers. Ibu Fleur tersenyum memandangi mereka.
"Pasangan yang serasi sekali mereka, bukan?" katanya pada Alice, seorang gadis
berambut hitam yang merupakan sahabat karib Fleur.
Tapi Kapten Phoebus sudah bosan pada Fleur yang cantik itu. Dia tak bisa
memikirkan apa lagi yang akan dikatakannya pada gadis itu. Dia berdiri diam saja
sambil menggosok-gosok gagang pedangnya atau mempermainkan kancing bajunya.
Fleur menengadah melihat padanya. "Kau kan pernah bercerita bahwa kau telah
menyelamatkan seorang gadis gipsy beberapa bulan yang lalu?" katanya.
"Memang benar," sahut kapten itu.
"Nah," kata gadis itu lagi, "mungkin itu dia gadis yang sedang menari di bawah
sana, di alun-alun di depan Notre-Dame. Coba lihatlah."
Diajaknya Phoebus ke jendela besar yang menjorok ke jalan, lalu digandengnya
Phoebus. "Lihat itu di bawah itu," katanya. "Gadis gipsy-mukah yang sedang
menari itu?" Phoebus melihat, lalu tersenyum,
"Benar saya mengenalinya karena kambingnya."
"Cantik benar kambingnya!" seru Fleur.
Gadis-gadis yang lain datang pula ke jendela itu.
"Bisakah kau melihat, Monique?" tanya Alice pada adiknya, sambil mengangkatnya
supaya bisa melihat lebih baik.
"Kambing cantik! Kambing cantik!" teriak si Monique kecil.
"Bertanduk emas di kepalanya yang indah! Sungguh cantik!" seru Fleur, dan dia
tersenyum memandang Kapten Phoebus.
Ibu Fleur tak bergerak dari kursinya, "Apakah itu salah seorang gipsy itu,
Sayang?" tanyanya, "kurasa mereka seharusnya tak diijinkan masuk ke Paris.
Mereka itu orang kotor yang berbahaya. Jangan percayai mereka."
"Lihat orang laki-laki di sana itu!" seru Monique kecil, "laki-laki yang
berpakaian hitam itu."
"Yang mana, Sayang?" tanya Fleur.
Monique menunjuk ke suatu sosok di menara sebelah utara Notre-Dame. Laki-laki
itu berpakaian hitam. Dia sedang menopang kepalanya dan dia sedang melihat ke
bawah ke tarian gipsy itu. Dia berdiri diam tak bergerak hingga tampaknya
seolah-olah dia merupakan bagian dari menara itu.
"Dia seorang imam," kata Fleur.
"Asyik benar dia memandangi penari kecil itu!" seru Alice.
"Seperti seekor burung hitam yang jahat saja dia, yang sedang menunggu
kesempatannya untuk terbang ke bawah, mengangkatnya dan membawanya lari!"
"Tariannya memang bagus sekali," kata seorang gadis berbaju sutera biru.
"Phoebus," teriak Fleur tiba-tiba, "karena kau kenal gadis gipsy itu, coba
lambai dia supaya dia mau naik ke mari! Suruh dia menghibur kita. Biarkan dia
datang ya Bu. Kami tidak akan membiarkan dia membuat kami kotor, dan kalau dia
mencoba menyusahkan kita... yah, kapten kita akan melindungi kita, ya kan
Phoebus?" "Baiklah, Sayang," sahut ibunya, "selama Kapten Phoebus yang pemberani ada di
sini!" "Ah," kata Phoebus, "dia pasti sudah lupa padaku, dan aku bahkan tak tahu
namanya.... Tapi karena kalian mengingininya akan kucoba." Diulurkannya
kepalanya dari jendela itu, lalu berseru, "Si Kecil yang di bawah itu! Lihat ke
mari, Gadis kecil!" Pada saat itu Esmeralda sedang tidak memainkan rebananya. Dia mendongak, tampak
olehnya Phoebus, dan dia tiba-tiba berhenti menari.
"Gadis kecil!" ulangnya, lalu dilambaikannya tangannya mengisyaratkan supaya dia
naik. Esmeralda melihat padanya lagi, wajahnya bersemu dadu, dan dia lalu berjalan
menerobos orang banyak ke arah rumah.
Dalam waktu singkat saja Esmeralda sudah berada di kamar itu, tapi dia tak
berani mendekat barang selangkah pun lagi.
Sebelum Esmeralda masuk, semua gadis dalam kamar berusaha untuk menyenangkan
hati Kapten Phoebus yang tampan itu.
Semua gadis itu kira-kira sama cantiknya. Tapi segera setelah gadis gipsy itu
muncul dengan wajahnya yang elok, kecantikan semua gadis yang lain itu menjadi
pudar. Gadis-gadis itu menyadari hal itu dan mereka memandang Esmeralda dengan
pandangan sedingin es. Phoebus-lah yang pertama-tama memecah kesunyian itu.
"Dia benar-benar makhluk yang cantik!" katanya.
"Boleh juga," sahut Fleur dengan suara dingin. ''Dia membawa kecantikannya
sendiri." Gadis-gadis yang lain berbisik-bisik.
"Gadis yang baik," kata Phoebus, sambil maju mendekati Esmeralda, "masih
ingatkah kau padaku?"
"Oh ya," sahutnya. "Saya masih ingat."
"Ingatannya baik," kata Fleur.
"Tapi kau cepat sekali melarikan diri malam itu," sambung Phoebus. "Apakah kau
takut padaku?" "Ah tidak," kata Esmeralda.
"Alangkah merdu suaranya," pikir Phoebus.
Fleur juga berpikiran demikian, dan dia mulai merasa tak senang. Perlukah
Phoebus berbicara begitu banyak pada gadis itu dan dengan cara seramah itu pula"
"Kau meninggalkan seorang laki-laki yang jelek sekali waktu itu," kata Phoebus.
"Apa yang diinginkannya darimu?"
"Saya tak tahu," jawab Esmeralda.
"Yah, perlu kukatakan bahwa dia menebus perbuatannya itu! Dia telah dipasung di
roda dan dipukuli." "Ya, kasihan dia," kata Esmeralda. Dia teringat akan Quasimodo di roda itu.
"Malang benar dia. Saya kasihan benar padanya!"
Gadis-gadis yang lain terus berbisik-bisik.
"Aneh benar pakaiannya!" kata Alice. "Jelek ya?"
"Memang," kata gadis yang lain. "Lihat lengannya! Terbakar matahari!"
"Kakinya juga," kata gadis lain. "Jelek sekali bajunya! Aku tak pernah melihat
baju sejelek itu!" "Aduhai!" kata gadis yang berbaju sutera biru. "Kelihatannya kapten kita mudah
terbakar oleh mata gipsy yang cemerlang!"
"Mengapa tidak?" kata Phoebus.
Tiba-tiba ibu Fleur berteriak, "Apa itu" Binatang" Pergi kau, binatang kotor!"
Rupanya kambing putih itu. Dia telah masuk untuk mencari majikannya. Waktu dia
bergegas masuk mendekati Esmeralda, tanduknya tersangkut pada baju wanita yang
sedang duduk itu. Tanpa berkata apa-apa, Esmeralda melepaskan tanduk Djali. Lalu dia berlutut dan
meletakkan kepalanya ke sisi badan kambing itu, seolah-olah akan mengatakan
penyesalannya bahwa dia telah meninggalkan Djali.
Alice mendekati Fleur dan berbisik, "Bagaimana aku bisa lupa tadi! Kami sudah
pernah mendengar tentang dia. Inilah dia gipsy dengan kambing, yang dikatakan
orang bisa melakukan banyak hal dengan ilmu gaib. Dia itu tukang sihir."
Fleur berpaling pada Esmeralda lalu berkata, "Coba suruh kambingmu
memperlihatkan kepandaian-kepandaiannya untuk menghibur kami. Kepandaiankepandaian yang dilakukannya dengan ilmu gaib itu!"
"Saya tak mengerti maksud Anda," sahut Esmeralda, sambil meletakkan tangannya di
kepala kambing itu. Pada saat itu, Fleur menampak sebuah kantong coklat tergantung di leher kambing
itu. "Apa itu?" tanyanya.
Esmeralda memandang Fleur, "Itu rahasia saya," jawabnya dengan tenang.
Fleur menjauh. Dia ingin sekali tahu apa rahasia itu!
"Hei gipsy," kata ibu Fleur, "kalau kau maupun kambingmu tidak juga akan
menghibur kami, untuk apa kalian di sini?"
Esmeralda berjalan ke pintu tanpa menjawab, dan gadis-gadis itu mengawasinya.
Tak seorang pun melihat si Monique kecil, yang memegang sepotong kue, yang
membujuk Djali ke sudut dan cepat-cepat menanggalkan kantong coklat itu dari
leher kambing itu akan melihat isinya. Isinya adalah beberapa potongan kayu
kecil, yang masing-masing bertuliskan suatu huruf berwarna merah. Djali
menghabiskan kue tadi, sedang Monique menuangkan isi kantong itu ke lantai.
Sesampai di pintu, gipsy itu menoleh. Dia berhenti sambil memandang Phoebus
dengan mata yang mengandung air mata.
"Astaga!" seru Phoebus, "kau tak boleh pergi dalam keadaan begini. Mari masuk
lagi dan menarilah untuk kami! Ngomong-ngomong, siapa namamu?"
"Esmeralda," sahutnya.
"Es-mer-al-da! Hebat sekali!" Gadis-gadis yang lain tertawa karena gipsy itu
punya nama sehebat itu. "Lihat Alice, pandai sekali kambing ini!" teriak Monique kecil. "Dia bisa
menyusun suatu perkataan! Suatu perkataankah ini" Apa bacaannya ini?"
Dengan kakinya yang keemasan, Djali telah menyusun huruf-huruf itu sebagaimana
yang telah diajarkan Esmeralda padanya.
Gadis-gadis itu berlari ingin melihat perkataan itu.
"Hei, tulisannya P-H-O-E-B-U-S, Phoebus!" teriak Alice. "Phoebus!"
Memang benar, perkataan itulah yang telah dibentuk oleh kambing itu.
"Padahal 'Phoebus' kan nama kapten!" Alice melanjutkan.
"Jadi, itulah rupanya rahasia gadis itu," pikir Fleur.
Dia menangis lalu menutup mukanya dengan kedua belah tangannya.
"Dia seorang tukang sihir!" Lalu dia jatuh pingsan ke lantai.
"Anakku! Anakku" seru ibunya. Lalu dia berpaling dan berteriak, "Pergi kau gipsy
jahat, pergi sekarang juga!"
Esmeralda mengumpulkan huruf-huruf itu ke dalam kantongnya, memberi isyarat pada
Djali lalu lari dari kamar itu. Pada saat yang bersamaan Fleur diangkat melalui
pintu yang lain. Sesaat lamanya Phoebus berdiri saja di antara Kedua buah pintu itu. Dia belum
bisa memutuskan akan pergi ke pintu yang manakah dia. Kemudian sambil tersenyum,
dia menyusul gipsy itu. Chapter 8 Frollo Bertanya-tanya LAKI-LAKI berpakaian hitam yang dilihat Monique di menara adalah Claude Frollo.
Dia ada di kamar kecil di menara Notre-Dame.
Setiap malam dia ke kamar itu untuk belajar. Tapi tarian Esmeralda lebih menyenangkan hatinya daripada buku-bukunya, meskipun dia amat menyukai bukubuku itu. Sementara matahari terbenam, dia berdiri dan memuaskan matanya dengan
kecantikan Esmeralda yang berada di jalan di bawahnya.
Kemudian dilihatnya seseorang lain. Seorang laki-laki yang berjas merah-kuning
sekali-sekali berjalan mengelilingi orang banyak yang menonton penari itu. Lalu
Si Bongkok Dari Notre Dame Karya Victor Hugo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
laki-laki itu duduk di kursi, dekat Esmeralda dengan kambing di sebelahnya.
"Siapakah laki-laki itu?" tanya imam itu sendiri dengan marah.
"Dia bisa begitu dekat dengan gadis itu, terlalu dekat! Sebelum ini aku selalu
melihat dia seorang diri dengan kambingnya." Frollo berlari menuruni tangga
dengan nafas tersengal-sengal. Dalam perjalanannya turun itu dia melalui sebuah
jendela kecil. Quasimodo berdiri di jendela itu, memandangi jalan di bawahnya. Setelah kembali
dari ruang siksa, Quasimodo tidak sesering dulu lagi membunyikan loncengloncengnya. Tapi yang menyebabkan dia meninggalkan tugasnya itu bukanlah karena
dia lemah, melainkan kesenangan. Bunyi lonceng-lonceng itu mengingatkannya pada
gipsy yang cantik itu, yang begitu baik hati padanya. Dia berdiri di antara
lonceng-loncengnya dengan hati penuh bahagia, memikirkannya, dan lupalah dia
untuk membunyikan loncengnya.
Frollo tidak melihat Quasimodo berdiri di situ. Dia bergegas terus turun.
Sesampai di jalan, dia menggabungkan diri dengan orang banyak. Tapi gipsy itu
telah tiada! "Mana dia?" tanyanya.
"Dia baru saja pergi ke rumah yang di sana itu," kata laki-laki di sebelahnya,
"saya rasa untuk mempertunjukkan beberapa tari-tarian istimewa. Rumah besar yang
di sudut itu." Di atas permadani Persia, di mana Esmeralda biasanya menari, laki-laki yang
berpakaian merah-kuning kini sedang mencoba menghibur orang-orang. Dia berjalan
berkeliling sambil mendongakkan kepalanya hingga mukanya kelihatan merah
berkeringat. Dia menggigit sebuah kursi dan seekor kucing terikat pada kursi
itu. Laki-laki itu melewati Frollo dekat sekali.
"Aku kenal orang itu!" kata Frollo sendiri. "Aku pernah mengajarnya waktu dia
sedang belajar untuk menjadi seorang imam. Lihat apa jadinya dia sekarang,
menjadi orang yang mencoba mencari nafkah dengan mengumpulkan uang dari orang
banyak dengan pertunjukan-pertunjukan dungu itu!"
Waktu laki-laki itu mendekat lagi dalam putaran berikutnya, Frollo memanggilnya,
"Pierre Gringoire, beginikah caramu menggunakan pelajaran yang telah kuberikan
padamu" Sungguh memalukan."
Gringoire demikian terkejut hingga kursi dan kucingnya jatuh ke tengah-tengah
orang banyak. Kucing itu membebaskan diri dari kursi itu, dan mencakar muka
seorang laki-laki tua dan dua orang wanita!
Untuk meloloskan diri dari kemarahan orang itu, Gringoire lari masuk ke dalam
Notre-Dame. Imam menyusulnya.
"Mari naik ke kamarku," kata Frollo.
Mereka menaiki tangga. "Nah, Pierre," kata Frollo setelah mereka duduk di tengah-tengah buku-buku imam
yang terpelajar itu, "Ceritakan bagaimana kau sampai melakukan perbuatan dungu
seperti itu." "Saya tahu itu pekerjaan rendah," kata Gringoire, "Tidak semulia pekerjaan
seorang pengarang. Tapi dengan cara itu saya mendapatkan penghasilan, lebihlebih karena saya sudah kawin."
"Kawin!" teriak Frollo. "Kawin" Siapa yang begitu beruntung menjadi istrimu"'"
"Anda tak mungkin mengenalnya," kata Gringoire, "dia hanya seorang gipsy...."
"Seorang gipsy!" teriak imam itu, dengan pandangan yang mengerikan, "sudah
begitu jauhnya kau dari Tuhan sampai-sampai kau mau main cinta dengan seorang
gipsy?" "Tapi saya tak pernah main cinta dengan dia," kata Gringoire. "Sungguh mati, tak
pernah, meskipun dia istriku."
"Aneh sekali," kata imam itu. "Kalau orang sudah kawin...."
"Memang kami sudah kawin, sebaiknya saya ceritakan bagaimana kami menjadi suamiistri." Maka berceritalah penyair itu tentang pertemuannya dengan raja para pengemis
itu. Dikisahkannya tentang George, orang-orangan berpakaian merah dengan
lonceng-lonceng kecil, dan tentang cangkir yang dipecahkan.
"Dan dengan demikian, kawinlah saya dengan dia," katanya mengakhiri ceritanya.
"Tapi kami tak boleh main cinta, katanya tak boleh."
"Baguslah kalau begitu!" kata imam. "Alasannya adalah ilmu gaib."
"Gaib?" "Ya, begitulah kata Raja Gipsy pada saya," kata Gringoire. "Diceritakannya bahwa
Esmeralda waktu masih bayi ditemukan oleh kaum gipsy, jadi dia tak tahu siapa
ibu-bapaknya. Tapi Esmeralda yakin bahwa dia akan menemukannya pada suatu hari,
dengan bantuan sebuah kantong yang selalu tergantung di lehernya. Kantong itu
mempunyai kekuatan gaib, tapi kekuatan gaib itu akan segera hilang kalau dia
main cinta dengan seorang laki-laki, laki-laki mana pun juga, bahkan suaminya."
"Oh begitu," kata Frollo, yang kini kelihatan lebih senang. "Jadi tak adakah
laki-laki yang rnencoba main cinta dengan dia?"
"Kalau laki-laki itu mau selamat tentu tidak!"
"Mengapa" Siapa yang akan membunuhnya?"
"Dia sendiri yang akan membunuh laki-laki itu dengan sebuah pisau kecil yang
selalu dibawanya dalam bajunya. Dia tak kenal takut," kisah Gringoire.
"Tak kenal takut?"
"Tidak," kata Gringoire. Kemudian dia berpikir sejenak dan menambahkan, "Ya ada,
dia takut pada dua orang - pada Suster Gudule, yang selalu meneriakkan kata-kata
yang mengerikan dari Lubang Tikus itu, dan pada seorang laki-laki yang
mengenakan jubah hitam seorang imam, dan yang matanya bersinar seperti api. Mata
itu membakar ingatannya pada malam si bongkok mencoba membawanya lari, dan dia
merasa bahwa mata itu mengikutinya terus ke mana pun dia pergi."
"Oh, suatu angan-angan yang dungu!" seru Frollo, dan dia tiba-tiba bangkit dan
berdiri di jendela. "Dia tentu gadis yang dungu sekali!"
"Sudah saya katakan padanya bahwa itu semua hanya mimpi buruk, dan sudah saya
minta supaya dia melupakannya," kata Gringoire.
"Kau benar!" seru imam itu. "Ya, kau memang benar, Pierre. Tak ada yang perlu
ditakutkannya." "Saya mencoba untuk membujuknya. Dia gadis yang manis."
"Begitukah?" "Saya cinta sekali padanya. Dia baik hati sekali, bukan hanya terhadap saya
saja, tapi terhadap semua makhluk. Caranya merawat Djali luar biasa sekali."
"Siapa Djali itu?" tanya Frollo.
"Kambingnya yang berkaki dan bertanduk emas itu. Akan saya ceritakan bagaimana
Esmeralda mengajar Djali." Kemudian Gringoire menerangkan bagaimana gipsy itu
melatih kambingnya hingga pandai memukul rebana untuk menunjukkan jam berapa
atau tanggal berapa. Djali tahu benar berapa kali dia harus memukul rebana itu dengan melihat
bagaimana Esmeralda memegang rebana itu.
"Dan," Gringoire menambahkan dengan bangga, "Esmeralda hanya memerlukan dua
bulan untuk mengajar Djali bagaimana menyusun huruf-huruf menjadi 'Phoebus'!"
" 'Phoebus'!" kata Frollo. "Mengapa 'Phoebus'?"
"Entahlah," sahut Gringoire. "Mungkin disangkanya perkataan itu mengandung
kekuatan gaib. Dia sering-sering mengulang-ulangnya sendiri perlahan-lahan bila
disangkanya tak ada orang lain di dekatnya."
"Yakinkah kau bahwa itu bukan suatu nama?" tanya Frollo tajam.
"Nama siapa?" tanya penyair itu.
"Mana aku tahu?" kata imam.
"Agaknya kaum gipsy itu menyangka bahwa matahari adalah dewa mereka," kata
Gringoire, "tapi Esmeralda tidak tahu akan hal itu, sebelum saya memberitahukan
padanya, bahwa orang lain menyebut dewa itu 'Phoebus'. Kelihatannya dia suka
akan nama itu. Djali bisa menyusun nama itu setiap kali!"
Imam tampak merenung. Lalu tiba-tiba dia berpaling pada Gringoire dan berkata
padanya dengan suara rendah, "Maukah kau bersumpah bahwa kau benar-benar tak
pernah main cinta dengan gipsy itu, dan bersumpah bahwa kau tidak akan pernah
berbuat demikian?" "Saya bisa saja bersumpah kalau saya mau," kata Gringoire dengan marah. "Tapi
sekarang giliran saya bertanya pada Anda."
"Berbicaralah, Pierre. Akan kucoba menjawabnya."
"Apakah soal itu tadi urusan Anda?"
Wajah imam yang pucat itu menjadi merah karena marah. Dia diam sebentar,
Kemudian dia berkata, "Dengar, Pierre. Kuberi tahu kau, kalau kau main cinta
dengan seorang gipsy, rohmu akan dibakar dalam api neraka selama-lamanya. Hal
itu tertulis dalam banyak buku yang terdapat di rak-rak buku dalam kamar ini
juga! Maka itu jangan sentuh dia."
"Dia cantik sekali," kata Gringoire sedih, "saya bangga menjadi suaminya."
"Kalau begitu pergilah!" seru imam itu dengan pandangannya yang menakutkan,
"pergilah ke neraka!" lalu ditangkapnya pundak Gringoire yang keheranan dan
didorongnya ke luar kamar.
Chapter 9 Kapten dan gadis-gadis FROLLO kini tinggal seorang diri di kamarnya, berlutut lalu menadahkan tangannya
berdoa. Matanya dipejamkannya rapat-rapat dan dia mencoba memikirkan tentang
Tuhan. Bibirnya mengucapkan doa-doa, tapi pikirannya tidak tertuju pada Tuhan,
melainkan tertuju pada gipsy yang cantik itu. Sejak dia melihatnya pertama kali,
Esmeralda selalu memenuhi pikirannya sepanjang hari, dan tariannya membungai
impiannya sepanjang malam.
Ching Ching 1 Pengemis Binal 08 Tabir Air Sakti Putera Sang Naga Langit 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama