Ceritasilat Novel Online

Si Bongkok Dari Notre 2

Si Bongkok Dari Notre Dame Karya Victor Hugo Bagian 2


Frollo mengucapkan doa-doanya nyaring-nyaring. Kemudian lonceng-lonceng
berbunyi, dan dia menyaringkan suaranya, seolah-olah Tuhan tak bisa mendengar
kata-katanya gara-gara suara lonceng-lonceng itu.
Suaranya makin lama makin nyaring, hingga akhirnya imam itu berteriak. Tapi tak
ada satu perkataan pun yang masuk ke pikirannya, dan dia tidak memikirkan Tuhan
barang sesaat pun. "Ah, gipsy itu!" teriak Frollo. Dia berdiri. "Aku serasa selalu melihatnya
berada dalam pelukan laki-laki lain, dan aku tak tahan membayangkan orang lain
memilikinya, sedang aku sendiri tak bisa!"
Dia berjalan hilir-mudik dalam kamar itu di tengah buku-bukunya, seperti seekor
binatang liar dalam kandang.
"Aku tak tahan lagi!" serunya. "Aku tak bisa tinggal di sini. Kalau aku tinggal
di sini, aku bisa menjadi gila. Aku harus menemukannya, di mana pun dia berada.
Di mana aku akan mulai mencarinya malam ini?"
Dia berhenti dan berpikir sejenak.
"Aku tahu!" katanya, "aku akan mulai di rumah besar di tikungan itu. Ke sanalah
dia pergi untuk menari sebelum aku bertemu dengan suaminya - terkutuk laki-laki
itu!" Diambilnya sebuah pisau kecil, disembunyikannya dalam jubahnya, lalu dia
keluar dari kamar itu. Nyaring benar bunyi lonceng itu, seolah-olah menertawakannya, sementara Frollo
bergegas melalui gereja dan keluar ke malam gelap. Bintang-bintang gemerlapan
terang, seperti permata dan bulan bersinar di langit.
*** Pintu rumah di tikungan itu terbuka. Dia bersembunyi dalam gelap waktu beberapa
orang gadis berpakaian bagus-bagus keluar. Dia memasang telinga, mendengarkan
mereka: "Aku yakin dia akan merasa lebih baik besok," kata seseorang.
"Memang! Kasihan si Fleur, aku benar-benar kasihan padanya," kata yang lain.
"Benar kata ibunya tentang kaum gipsy, bukan" Phoebus seharusnya jangan
memintanya untuk naik tadi!" seru yang ketiga.
"Tapi dia lalu menyusul gadis itu! Itulah yang paling memalukan!"
"'Phoebus'?" kata Frollo. "Phoebus! Kalau begitu Phoebus itu nama seorang lakilaki, sebagaimana yang kukuatirkan, dan dia sekarang berada bersama si gipsy!"
Gadis-gadis itu terus berjalan, dan Frollo tak dapat lagi mendengar apa yang
mereka katakan. Dia berlari ke rumah itu.
Pembantu rumah itu - seorang perempuan gemuk yang sederhana - baru saja akan
menutup pintu. Waktu dilihatnya imam itu, dia tak jadi menutup pintu itu.
"Anda tentu akan menemui putri majikan saya yang malang," katanya. "Imam-imam
baik hati seperti Anda, segera datang begitu mendengar ada orang dalam
kesusahan! Silakan masuk saja, meskipun malam ini gadis manis itu sebenarnya tak
bisa menerima tamu karena sakitnya - meski seorang imam sekali pun."
"Saya akan masuk sebentar saja," sahut Frollo, "untuk mendengar dari Anda
sendiri apa sebenarnya yang telah terjadi, dan bagaimana keadaan Fleur, sesudah
itu saya akan pergi dan besok saya akan kembali lagi."
Mereka masuk ke lorong rumah, dan pembantu itu bercerita pada Frollo. Air
matanya berlinang waktu dia mengisahkan keadaan Fleur, tapi bila dia
menceritakan tentang Kapten Phoebus, dia jadi marah sekali.
"Saya sudah sering mengatakan bahwa dia laki-laki jahat," katanya, "tak pantas
dia berada dalam jarak satu mil dari Fleur kami yang cantik itu!"
"Memang," kata Frollo, "dan apa yang Anda ketahui tentang dirinya?"
"Banyak sekali!" katanya. "Dengarkan!" lalu diajaknya imam itu ke sudut. "Setiap
minggu dia mengejar perempuan lain! Wajahnya yang tampan itu dengan mudah
menarik mereka, perempuan-perempuan dungu itu! Mereka tergila-gila akan
pundaknya yang kekar, janggutnya, serta langkahnya yang tegap. Dia bisa berbuat
sesuka hatinya terhadap gadis-gadis itu. Dan dia memang berbuat sesukanya! Saya
bahkan tahu di mana dia berbuat!"
"Di mana?" tanya imam. Dia mencoba menahan diri supaya tidak kelihatan dia
terlalu ingin tahu. "Di rumah perempuan tua di jembatan Saint Michel. Perempuan yang benama
Falourdel. Bayangkan bahwa Fleur kami yang cantik dan masih murni itu...."
Tiba-tiba terdengar bunyi bel dari kamar di loteng.
"Saya harus pergi segera!" seru pembantu itu. "Gadis kecilku tersayang
membutuhkan saya!" lalu berlarilah dia menaiki tangga tanpa berkata sepatah pun
lagi. Frollo membuka pintu lalu keluar ke jalan. Pikirannya terbakar oleh api setan
dan tangannya terasa panas di gagang pisau yang tersembunyi waktu dia berjalan
melalui jalan-jalan sempit menuju jembatan Saint Michel.
Chapter 10 Rumah di tepi sungai SEBUAH rumah di jembatan Saint Michel kelihatan lebih tua, lebih kecil dan lebih
kotor daripada yang lain-lain. Dindingnya di sebelah luar kasar, dan kalau
seseorang mau memanjatnya bisa saja. Tapi satu-satunya alasan untuk mau memanjat
rumah seburuk itu tentulah alasan yang buruk pula.
Perempuan tua yang bernama Falourdel, sama buruknya dengan rumahnya. Dia bungkuk
sekali hingga tubuhnya seperti terlipat dua, dan dia gemetar waktu berjalan
lambat-lambat untuk melihat siapa yang mengetuk pintunya. Dengan tangan yang
gemetar dia memegang sebuah lampu. Lampu itu tergoyang-goyang ke kiri dan ke
kanan dan membuat bayangan yang bergerak seperti raksasa pada dinding kelabu
yang gelap. "Siapa itu?" serunya, dengan suaranya yang melengking.
"Kapten Phoebus," kata suara laki-laki di luar, dan perempuan itu membuka pintu.
"Oh, Anda lagi," katanya sambil mengangkat mukanya yang berkerut yang berambut
putih di dagunya, "masuklah."
Kapten Phoebus masuk diiringi oleh Esmeralda dan kambingnya.
"Kamar yang terbaik," kata Phoebus dengan tajam.
Esmeralda kelihatan takut, tapi Phoebus menuntunnya dan dia kelihatan lebih
senang. Phoebus memberikan sebuah mata uang perak pada perempuan tua itu, yang
dimasukkannya ke dalam sebuah kotak di atas meja yang berdebu.
Mereka meninggalkan ruangan itu.
Seorang anak laki-laki keluar dari tempat tersembunyi, perlahan-lahan
mengeluarkan mata uang itu lalu memasukkannya ke dalam sakunya. Sepotong kayu
yang masih ada daun keringnya, terletak di dekat tempat berdiang yang dingin.
Anak laki-laki itu mematahkan kayu itu sedikit demi sedikit di bagian yang masih
ada daun keringnya, lalu dimasukkannya ke dalam kotak di mana mata uang tadi
dimasukkan. Dia mendengar orang-orang naik ke loteng. Dia tahu bahwa tak seorang
pun melihatnya dan kalau digoncang kotak itu tidak akan terdengar kosong.
"Aku seorang pencuri yang pandai sekali!" pikirnya.
Kamar ke mana Phoebus mengajak Esmeralda, kecil dan kotor, dan di dalamnya tak
banyak perabot. Jendelanya yang menghadap ke sungai, kacanya pecah. Bulan
bersinar terang menerangi sungai, tapi kemudian ditutupi awan.
Esmeralda dan Phoebus duduk berdampingan. "Oh, Phoebus," katanya, "kurasa aku
berbuat dosa!" "Dalam hal apa, Sayang?" tanya Phoebus.
"Karena aku ikut kau ke mari," kata Esmeralda.
"Aku harus bekerja keras dan berbicara berjam-jam dalam usahaku membawamu ke
mari," kata Phoebus.
"Aku tak ingin melanggar janjiku bahwa aku tidak akan main cinta," kata
Esmeralda lagi. "Sebab jika kulanggar kekuatan gaibnya akan hilang dan aku tak
akan bisa menemukan ibu-bapakku. Tapi aku kan tidak membutuhkan mereka lagi ya?"
tanyanya penuh bahagia, sambil memandangi Phoebus dengan air mata berlinang.
"Aku sungguh tak mengerti kau!" seru Phoebus.
Esmeralda diam sejenak, air matanya menitik, lalu dia berkata lagi, "Aduh, aku
cinta padamu, sungguh cinta!"
"Kau cinta padaku!" desah Phoebus, lalu merangkulnya.
Sinar bulan di jendela ditutupi oleh sesuatu yang lebih gelap daripada awan,
yaitu seorang laki-laki - tapi baik Esmeralda maupun Phoebus tidak melihatnya
karena mereka membelakangi jendela itu. Apa lagi, mata maupun pikiran mereka
hanya terpaku untuk mereka berdua saja.
Imam di jendela itu memperhatikan mereka. Matanya berapi-api dan bibirnya terasa
kering waktu dia menggertakkan giginya.
"Phoebus," kata Esmeralda, sambil melepaskan rangkulan Phoebus dengan halus, kau
baik - kau pemurah - kau telah menyelamatkan diriku, seorang gadis gipsy yang
miskin tanpa ibu dan bapak. Sudah lama aku memimpikan seorang prajurit yang akan
menyelamatkan hidupku. Aku memimpikan dirimu, Phoebus sayang, sejak sebelum aku
pernah bertemu denganmu."
Kapten tampak puas akan dirinya, waktu Esmeralda berkata lagi, "Pahlawan dalam
mimpiku berpakaian bagus seperti kau, bergaya anggun dan mempunyai pedang.
Namamu Phoebus: suatu nama yang bagus. Aku cinta pada nama itu, aku cinta pada
pedangmu. Coba cabut pedangmu Phoebus, supaya aku bisa melihatnya."
"Ah, Anak bodoh!" kata Kapten. Dia tersenyum lalu mencabut pedangnya.
Gadis itu melihatnya, diciumnya pedang itu lalu dia berbisik, "Kau pedang
seorang pria pemberani. Aku cinta pada kaptenku!"
Imam yang mengintai di jendela, marah dan panas benar hatinya, dipegangnya mata
pisau yang tersembunyi dalam jubahnya. Mata pisau itu tajam dan imam itu
tersenyum puas. "Dengarkan sayangku...." kata Phoebus sambil menggeser mendekati Esmeralda.
Esmeralda menjauh, "Tidak, aku tak mau mendengarkan. Cintakah kau padaku" Aku
ingin kau mengucapkan bahwa kau cinta padaku."
"Ragukah kau akan cintaku, jantung hatiku?" seru kapten. Dia berlutut dekat
Esmeralda. "Tubuhku, darahku, jiwaku - semuanya milikmu. Aku cinta padamu, dan
aku tak pernah mencintai orang lain kecuali kau!"
Telah sering sekali dia mengucapkan kata-kata itu pada gadis-gadis lain, pada
berpuluh-puluh kesempatan seperti sekarang, hingga kata-kata itu diucapkannya
selancar seorang dramawan jempolan.
Gipsy itu memandangnya penuh bahagia.
"Aduhai," seru Esmeralda, "saat seperti inilah saat yang baik untuk mati
bersama!" "Mati" Tidak. Tidak, jangan manisku." Kemudian dia menambahkan sambil tertawa,
"Aku tahu seorang gadis berpakaian bagus-bagus yang pada saat ini sedang
terbakar oleh kemarahannya!"
"Siapa?" tanya Esmeralda tiba-tiba penuh perhatian.
"Ah, tak usahlah kita peduli padanya," kata Phoebus. "Cintakah kau padaku?"
"Aduh, mengapa kau masih harus bertanya?" seru Esmeralda.
"Aku tahu kau cinta padaku," katanya, "dan kita akan benar-benar berbahagia.
Kita akan mendapatkan sebuah kamar kecil di jalan yang bagus, dan akan kusuruh
prajurit-prajuritku berbaris hilir-mudik di bawah jendelamu. Lalu akan kubawa
kau melihat singa di kebun raja, singa-singa itu binatang yang cantik, dan semua
wanita suka sekali melihatnya."
Beberapa saat lamanya Esmeralda terbuai oleh suaranya, dia tidak mendengarkan
kata-katanya. "Ya, kau akan berbahagia sekali!" kapten melanjutkan, dan matanya bersinarsinar. Esmeralda berpaling padanya: "Phoebus - Phoebus," katanya dengan suara penuh
kecintaan, "ajari aku tentang Tuhanmu dan gerejamu."
"Tuhanku dan Gerejaku!" serunya lalu tertawa nyaring.
"Apa saja yang kauharapkan dari hal-hal itu?"
"Supaya kita bisa kawin," sahut Esmeralda.
Wajah Phoebus berubah, "Mengapa orang harus kawin?" tanyanya parau.
Esmeralda berpaling, "Aduhai...." bisiknya.
"Kekasihku sayang," katanya lembut, "apakah artinya semua gagasan dungu itu"
Perkawinan memang bagus, tapi orang-orang yang betul-betul saling mencintai
seperti kita, tidak membutuhkan perkawinan."
Imam mendengar setiap perkataan itu dan melihat semua gerak dalam kamar itu.
Tiba-tiba baru terpandang oleh Phoebus kantong hijau yang tergantung di leher
Esmeralda. "Apa itu?" tanyanya, lalu dia mendekati Esmeralda, dia berpura-pura melihat
kantong itu, tapi dia lebih tertarik pada orangnya daripada kantong itu.
"Jangan sentuh!" kata Esmeralda cepat. "Ini pelindungku. Inilah yang akan
membantuku menemukan ibu dan bapakku. Aduh, lepaskan aku Kapten Phoebus! Ibuku!
Ibuku yang malang! Di mana kau" Datanglah dan selamatkan aku! Kapten,
kasihanilah aku!" Phoebus menjauh lalu berkata dingin, "Sudah jelas bagiku bahwa kau tidak cinta
padaku." "Bagaimana mungkin!" seru gadis itu pilu, dan dia pun merangkul Phoebus lalu
ditariknya supaya laki-laki itu duduk di sisinya. "Tidak cinta padamu, Phoebus"
Mengapa kau berbicara seolah-olah kau musuhku saja" Apakah kau ingin
menghancurkan hatiku" Aduhai, kemarilah! - aku milikmu."
Sambil menangis dia berkata lagi, "Tenaga gaib kantong hijauku ini kini tak
berarti lagi bagiku. Aku sudah memiliki kau, jadi aku tidak membutuhkan seorang
ayah atau seorang ibu lagi. Tak usahlah kita kawin, sebab kau tidak
menghendakinya. Aku akan menjadi pembantumu, asal kaucintai aku, Phoebus! Gadisgadis gipsy tidak membutuhkan apa-apa kecuali cinta. Beri aku cintamu!"
Esmeralda tersenyum dengan air mata bercucuran. Wajahnya berseri-seri oleh
kebahagiaan, seolah-olah dia berada dalam surga, lalu dia memandang ke bulan
melalui jendela. Tiba-tiba, di atas kepala Phoebus dilihatnya suatu wajah kelabu yang tersiksa suatu wajah manusia yang kehilangan jiwa. Kecuali wajah yang mengerikan itu
tampak pula tangan yang memegang sebilah pisau kecil. Yang dilihatnya itu adalah
wajah dan tangan imam. Dia telah memanjat jendela dan kini dia sudah masuk ke
dalam kamar itu. Phoebus tidak bisa melihatnya.
Gadis itu bagai membeku ketakutan.
Dia tak dapat bergerak atau berteriak. Dilihatnya pisau itu ditikamkan pada
Phoebus dan dicabut kembali dalam keadaan merah oleh darah.
Dia pingsan. Waktu matanya terpejam, dia merasa seolah-olah bibirnya disentuh, suatu ciuman
sepanas api. Sesudah itu segala sesuatu menjadi gelap.
Waktu dibukanya lagi matanya, dilihatnya prajurit-prajurit mengelilinginya.
Dilihatnya pula orang-orang menggotong kapten.
Dia bermandikan darah. Imam itu sudah menghilang, dan jendela yang kacanya pecah
yang menghadap ke sungai sudah terbuka lebar.
Seolah dalam mimpi dia mendengar orang berkata, "Gadis ini telah mencoba
membunuh kapten!" Dan suatu suara lain berkata, "Ya....dengan ilmu sihirnya!"
Chapter 11 Sidang Pengadilan ESMERALDA telah menghilang. Gringoire tidak melihatnya sepanjang hari.
Didatanginya Raja kaum pengemis.
"Esmeralda telah menghilang. Sudah sepanjang hari ini dia tak kembali."
"Kamulah suaminya," kata Raja kaum pengemis itu, "kaulah yang harus mencoba
mencarinya." "Tapi bagaimana saya bisa, seorang diri?" tanya Gringoire.
"Aku akan membantumu," kata seorang pengemis tua, "besok kau kubantu."
"Aku juga!" kata yang lain.
"Dan aku juga," seru seorang anak muda yang berhidung besar dan jelek, "aku akan
mulai malam ini juga. Kita butuh Esmeralda di sini, dialah yang membuat tempat
ini semarak dan menyenangkan."
"Ya, kita harus menemukannya!" teriak salah seorang sahabatnya. "Ayo, Sahabatsahabat!" Dan keluarlah dia dari rumah itu, disusul oleh serombongan besar pengemis.
Tapi malam itu mereka tidak menemukannya, esok harinya pun tidak, lusanya pun
belum pula ditemukan. Sebulan lamanya mereka tak tahu dimana Esmeralda. Dia dan
Djali telah menghilang tanpa bekas.
*** Pada suatu hari, ketika Gringoire berjalan ke arah Kantor Pengadilan, dilihatnya
banyak orang berdiri di salah satu pintunya. Seorang laki-laki muda keluar,
Gringoire mencegatnya. "Ada apa di situ?" tanyanya.
"Ada sidang pengadilan seorang gadis atas percobaan membunuh seorang kapten,"
katanya. "Kata orang, mungkin dia menggunakan ilmu sihir. Jadi ada imam-imam di
pengadilan, banyak mereka. Perkaranya kotor," katanya, lalu dia melanjutkan
perjalanannya. Gringoire masuk ke ruang sidang. Dia mengikuti seorang imam menaiki tangga ke
dalam bangsal yang besar.
"Mana tertuduhnya?" tanya Gringoire pada seorang laki-laki jangkung yang berdiri
di sampingnya. "Tuh," sahutnya, "Yang duduk di belakang orang banyak itu. Saya sendiri pun
hampir tak bisa melihatnya, jadi Anda tentu sama sekali tak bisa melihatnya.
Punggungnya menghadap kita. Tapi saya rasa Anda bisa melihat perempuan tua yang
sedang berbicara sekarang, bisa" Namanya Falourdell."


Si Bongkok Dari Notre Dame Karya Victor Hugo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih," kata Gringoire, dan dia lalu mendengarkan suara perempuan tua
yang jelek itu. "Lalu," kata perempuan tua itu, "masuklah seekor kambing sungguhan, bertanduk
keemasan - benar-benar jenis kambing yang selalu dimiliki seorang tukang sihir.
Saya sama sekali tak senang, benar-benar tak senang! Kambing itu mengikuti gadis
itu ke loteng, dan rumah sunyi-sepi sebentar. Saya mendengar suara mereka dari
kamar saya yang terbaik. Suara kapten dan suara gadis itu, sama sekali tak ada
suara lain, hingga tiba-tiba kapten berteriak mengerikan dan terdengar sesuatu
yang berat, jatuh. Saya bergegas naik secepat mungkin. Dan saya jumpai kapten
itu terkapar di lantai, dengan sebuah pisau tertancap di tengkuknya!"
Dia berhenti berbicara dan semua yang mendengarkan menahan nafasnya. Sebentar
kemudian dia melanjutkan; "lantai kamar saya yang terbaik penuh darah - dan di
mana-mana darah. Saya belum sempat rnembersihkannya sama sekali, ketika para
prajurit datang. Mereka menggotong kapten yang malang itu, dan membawa pergi
gadis dan kambing itu."
"Dan apakah itu akhir cerita Anda?" tanya seorang imam yang berleher kurus panjang dan berambut hitam. Kelihatannya dia orang penting.
"Belum, Pak," kata perempuan tua itu, "masih ada yang lebih aneh lagi yang harus
saya ceritakan. Keesokan paginya saya memerlukan uang untuk membeli telur, maka
saya pergi akan mengambilnya dari kotak di mana malam sebelumnya saya menaruh
uang perak. Uang perak itu hilang, yang saya temukan di situ hanyalah sepotong
kayu kecil yang ada daun keringnya!"
Perempuan tua itu berhenti dan terdengarlah bisik-bisik ketakutan di antara
orang banyak. "Seekor kambing memang sering kali merupakan teman seorang tukang sihir," kata
seorang laki-laki di sebelah Gringoire.
"Dan daun kering itu!" sambung seorang wanita gemuk di sebelahnya lagi, "hanya
ilmu sihir yang bisa mengubah mata uang perak menjadi sepotong kayu dengan daun
kering!" Kini hakim berbicara, "Saudara- saudara, pada Anda ada kesaksian tertulis yang
telah diucapkan oleh Kapten Phoebus."
Mendengar nama itu, gadis yang sedang diadili berdiri melompat, kini kelihatan
kepalanya. Dia Esmeralda - tapi Esmeralda yang sudah sangat berubah!
Mukanya pucat sekali, rambutnya yang selama ini terpelihara rapi, kini menutupi
sebagian mukanya dan acak-acakan, bibirnya biru, matanya mengerikan.
"Phoebus!" teriaknya, "di mana dia" Bapak-bapak! Sebelum kalian membunuh saya,
kasihanilah saya dan katakanlah apakah dia masih hidup!"
"Diam," jawab hakim, "itu bukan urusanmu."
"Aduh kasihanilah! Kasihanilah saya! Katakanlah apakah dia masih hidup,"
ulangnya, sambil mengangkat tangannya yang indah-kecil. Rantai pengikat
tangannya mengeluarkan bunyi yang kejam waktu bersentuhan dengan pakaiannya.
"Yah," kata hakim dengan kasar, "dia hampir meninggal. Cukup?"
Gadis malang yang tak dapat lagi berbicara atau menangis itu, terduduk lagi dan
berubah seolah-olah dia sudah menjadi batu.
"Bawa masuk terhukum yang kedua!" teriak seorang laki-laki yang memegang sebuah
tongkat perak. Semua mata kini tertuju pada sebuah pintu kecil yang kini terbuka. Melalui pintu
itu masuklah seekor kambing bagus yang bertanduk dan berkaki keemasan. Sejenak
lamanya kambing itu berdiri saja dan memandang sekelilingnya. Lalu dilihatnya
gipsy itu, dia berlari ke arahnya, melompati meja, lalu bergolek di kakinya
seolah-olah mengharapkan sentuhan tangannya. Tapi gadis yang malang itu tidak
bergerak, dia bahkan tidak melihat pada Djali!
"Itulah binatang jahatnya!" seru perempuan tua Falourdel, "saya tahu benar
pasangan itu." Imam yang berleher panjang berdiri, dan berkata dengan suara nyaring, "Jika roh
jahat kambing ini menakuti pengadilan dengan perbuatan-perbuatannya yang jahat,
binatang ini harus kita bawa ke tiang gantungan."
"Ke tiang gantungan!" bisik Gringoire. "Akan mereka apakan makhluk malang itu di
sana?" Dilihatnya imam itu mengambil rebana Esmeralda dari meja, lalu
memegangnya dengan cara yang khusus.
"Jam berapa sekarang?" tanya imam pada kambing itu.
Kambing itu memandangnnya dengan mata yang cerdas, diangkatnya kakinya lalu
dipukulnya rebana itu tujuh kali. Waktu itu memang jam tujuh. Orang-orang di
ruangan itu ketakutan semua.
Dalam ketakutannya Gringoire tak dapat menahan dirinya dan berteriak, "Binatang
malang itu akan membunuh dirinya, dia tak tahu apa yang diperbuatnya!"
"Diam di belakang sana!"
Imam itu memutar rebana, dan menyuruh kambing memperlihatkan tanggal hari itu.
Diputarnya lagi, dan disuruhnya kambing menghitung bulan keberapa waktu itu.
Beberapa minggu sebelumnya, di alun-alun kota, kepandaian-kepandaian Djali itu
menjadikan orang banyak senang, kini kepandaian-kepandaian yang sama hanya
menimbulkan ketakutan. Orang-orang yakin bahwa kambing itu adalah setan-setan dalam bentuk kambing.
Imam itu mengambil sebuah kantong coklat dari leher kambing itu, lalu menuangkan
potongan-potongan kayu dari kantong itu ke lantai. Pada potongan-potongan kayu
itu tertulis huruf-huruf merah, dan dengan kakinya yang keemasan kambing itu
menyusun nama yang berbahaya 'Phoebus'. Orang banyak berteriak.
Esmeralda mematung saja, dia seolah-olah tak bernyawa. Dia seolah-olah tak
mendengar atau melihat apa-apa. Seorang prajurit bertubuh besar menggoncang
lengannya waktu imam itu berseru padanya,
"Apakah kau masih tetap berkata bahwa kau tidak mencoba membunuh Kapten Phoebus,
dengan ilmu sihir dan dengan bantuan tenaga setan kambing ini?"
"Aduhai Phoebus!" tangis Esmeralda, lalu dia menutup mukanya dengan tangannya.
"Phoebus-ku! Ini lebih buruk daripada kematian!"
"Masihkah kau berkata bahwa kau tidak mencoba membunuhnya?" tanya imam dingin.
"Membunuhnya!" seru Esmeralda dengan suara ngeri, "saya tidak akan pernah punya
niat untuk membunuhnya - tak pernah!"
"Lalu bagaimana penjelasanmu mengenai hal-hal yang sudah kami dengar dan lihat?"
Esmeralda menjawab dengan terbata-bata, "Sudah saya katakan siapa yang mencoba
membunuhnya. Dia adalah - seorang imam seorang imam yang tidak saya kenal seorang imam yang rupanya seperti setan dan yang mengikuti saya!"
"Seorang imam seperti setan!" ulang imam itu dengan tawa yang kejam.
"Bapak-bapak, kasihanilah saya! Saya ini hanyalah seorang gadis malang...."
"Seorang gipsy!" kata hakim.
Imam mengangkat tangannya lalu berteriak, "Karena dia tak mau mengakui
kesalahannya, saya tuntut supaya dia disiksa!"
"Dia akan disiksa," kata hakim.
Gadis malang itu gemetar ketakutan, namun dia bangkit, waktu diperintahkan
seorang prajurit, dan berjalan di sepanjang bangsal itu dengan langkah-langkah
pasti. Sebuah pintu di ujung bangsal terbuka, lalu tertutup lagi setelah
Esmeralda memasukinya. Bagi Gringoire, pintu itu seolah-olah sebuah mulut yang mengerikan yang baru
saja memakan Esmeralda. Setelah dia menghilang, terdengarlah suatu jeritan. Jeritan itu adalah jeritan
kambing kecil itu. Chapter 12 Siksaan ESMERALDA dituntun menuruni tangga dan melalui banyak lorong gelap hingga dia
sampai di kamar di mana para terhukum disiksa. Dia terhenti di pintu.
"Jalan terus!" kata suatu suara kasar di belakangnya. "Kita tak bisa membuangbuang waktu. Makin cepat kau mengaku, makin cepat semuanya ini berlalu. Jadi
jalan terus, cepat!"
Seorang prajurit memegang lengannya lalu mendorongnya masuk ke kamar itu. Kamar
itu gelap, di sana ada cahaya merah dari perapian yang besar, tak ada jendela.
Banyak batangan besi yang berbentuk macam-macam, tergantung di atas arang yang
terbakar itu supaya menjadi panas sekali. Besi-besi itu adalah beberapa dari
alat siksaan. Yang lain terletak di lantai dan banyak lagi yang tergantung dari
atap - berbentuk aneh dan jelek.
Esmeralda memandang barang-barang yang mengerikan itu.
"Tidak, tidak!" teriaknya, "saya tak tahan!"
"Kau tak perlu merasakan satu pun dari barang-barang yang menyakiti ini," kata
seorang imam yang ikut serta ke ruang itu. "Kau hanya harus berkata bahwa kau
telah mencoba membunuh Kapten Phoebus dengan ilmu sihir, maka kau akan segera
boleh berbalik dari alat-alat ini dan langsung ke luar - lihat, pintu ini tetap
kita buka bagimu!" Esmeralda mengangkat matanya lalu memandang ke sana kemari, seperti binatang
yang diburu. Orang-orang yang kelihatan hitam saja dengan pakaian kasar siap
berdiri di sudut-sudut ruangan, sedang algojonya sendiri duduk bersila di tempat
tidur hitam dari kayu. Dia memandang Esmeralda, dan bangkit. Mukanya kejam.
Esmeralda mundur ketakutan sambil berteriak.
Imam berbicara lagi. "Tak maukah kau mengaku pada kami?" tanyanya.
"Saya sudah mengaku," bisik Esmeralda dan dia menutup matanya.
"Baiklah," katanya dengan suara yang lebih keras, "akan kita lihat apa yang
kaukatakan setelah algojo membantumu berbicara. Mari kita mulai."
Seorang prajurit berpakaian merah mengeluarkan pedangnya dan dengan ujungnya dia
menunjuk sebuah sepatu besar yang terbuat dari kayu, yang terletak di bawah
tempat tidur. "Mulai dengan ini," katanya. Dengan tersenyum ditambahkannya, "Kelihatannya
terlalu besar untuk kaki penari kita yang kecil, tapi kau bisa mengecilkan
sepatu ini bukan, algojo?"
"Kita bisa menjadikannya sedang untuk semua ukuran kaki, baik besar maupun
kecil," sahutnya. "Ya, ini sepatu tua yang bagus, benar-benar cantik!"
Dipegangnya dan diangkatnya sepatu itu dengan kedua belah tangannya lalu dia
tertawa. Dua orang prajurit memegang kedua lengan Esmeralda lalu mendorongnya ke tempat
tidur, algojo mengenakan sepatu kayu itu ke kaki kanan Esmeralda, kemudian dia
bersiap-siap akan memutar sepotong logam yang bisa mendekatkan bagian atas dan
telapak sepatu perlahan-lahan hingga kaki Esmeralda akan terjepit sampai remuk
tulang-tulangnya. Maka gadis itu terbelalak ketakutan.
"Kau datang tepat pada waktunya," kata perwira berpakaian merah kepada seseorang
yang kini masuk dari arah belakang Esmeralda. Dia adalah imam yang berleher
panjang, "Tepat pada waktunya membawa berita yang akan menjadikannya benar-benar
senang!" katanya, lalu dia berjalan mendekati Esmeralda dan berdiri di
hadapannya. Sang algojo tinggal diam. Sebentar kemudian imam itu berkata, "Nah, kau telah
berhasil!" katanya, sambil menatapnya, "kau telah berhasil dalam percobaanmu
membunuh Kapten Phoebus. Dia meninggal lima menit yang lalu!"
"Meninggal?" bisik Esmeralda, "Aduhai! Kalau dia meninggal, aku tak bisa hidup!"
"Dia sudah meninggal, dan engkaulah yang membunuhnya," kata imam itu. "Kau dan
kambingmu yang telah membunuhnya dengan ilmu sihir, bukan?"
Lama keadaan sepi. Tak seorang pun bergerak.
Tiba-tiba gadis itu mendongakkan kepalanya. "Ya!" serunya,
"ya!" Matanya berapi-api waktu dia menoleh pada perwira, "ya, saya telah
membunuhnya! Saya telah membunuhnya dengan ilmu sihir. Anda menginginkan supaya
saya mengakui hal itu, bukan?"
Imam itu cepat memandang perwira, sang algojo mengumpat sendiri.
"Kami menginginkan pengakuan," kata imam itu, "dan aku yakin, Nak, bahwa
akhirnya kini telah kauberikan pengakuan yang sebenarnya. Puji syukur bagi
Tuhan!" Seluruh tubuh Esmeralda gemetar, dan dia menutup matanya.
"Tanggalkan sepatu itu," kata perwira pada algojo yang dengan sedih mematuhi
perintah itu. "Anakku," kata imam sambil menggenggam tangan Esmeralda yang dingin, "setelah
kauakui kebenarannya, kini kau tinggal harus membayar kematian Phoebus dengan
kematianmu sendiri. Kau akan digantung secepatnya."
"Saya harap demikian," kata Esmeralda dengan suara hampa.
Orang-orang membantunya berdiri karena dia hampir tak bisa berdiri lagi. Perwira
terpaksa menggendongnya keluar, di sepanjang lorong sampai ke kamar di mana dia
harus tinggal sampai hari kematiannya di tiang gantungan.
Chapter 13 Jalan Untuk Lolos JAUH di bawah tanah ada ruangan-ruangan tempat menahan para terhukum secara
terpisah, selama menunggu kematiannya.
Kamar-kamar itu kecil dan saling berjauhan. Tak ada bunyi yang dapat didengar,
dan para terhukum itu tak dapat membedakan siang dari malam karena kamar-kamar
itu tak berjendela. Dinding-dinding dan lantai-lantainya basah, dan dingin
seperti es. Waktu Esmeralda mendengar tentang kematian Phoebus, hidupnya seolah-olah
kehilangan matahari. Dia tak punya keinginan untuk hidup lagi.
Masa telah berhenti baginya. Kamar yang ditempatinya dingin gelap seperti
kuburan. Waktu pintu yang tebal itu terbuka, dia semula tidak tahu. Kemudian
matanya terasa silau, kemudian baru dilihatnya bahwa di kamar itu ada lampu,
seorang laki-laki memegang lampu itu.
Perlahan-lahan dia mulai berpikir dan akhirnya dia berbicara.
"Siapakah Anda?" tanyanya.
"Seorang imam."
Dia merasa takut, karena suara itu bergema dalam ingatannya, tapi dia tak bisa
ingat suara siapa itu. Suara itu berkata lagi, "Sudah siapkah kau?"
"Siap untuk......untuk apa?"
"Siap untuk mati," katanya.
"Akan segerakah?" tanya Esmeralda.
"Besok." "Mengapa tidak hari ini saja?" bisiknya. "Apakah arti perbedaan sehari bagi
mereka?" "Sedih sekalikah kau?"
"Saya dingin sekali," sahutnya.
Imam itu memandang Esmeralda yang duduk di lantai yang basah. Tangannya kurus
dan kotor, dan perlahan-lahan digosok-gosoknya kakinya dengan tangannya yang
kurus itu. "Tanpa penerangan!" katanya. "Tanpa perapian! Dan seluruh kamar basah,
mengerikan sekali!" "Ya," bisik Esmeralda. "Semua orang menikmati siang hari. Mengapa saya hanya
diberi malam?" "Tahukah kau mengapa kau berada di sini?"
"Saya rasa saya pernah tahu," jawab Esmeralda, lalu dipejamkannya matanya dan
berpikir, "tapi sekarang saya tak tahu. Saya tak ingat."
Lalu dia menangis seperti anak kecil.
"Saya ingin pergi dari sini," kata Esmeralda. "Saya kedinginan dan takut."
"Kalau begitu, ikut aku."
Imam itu memegang lengannya, dan meskipun dia merasa dingin, dirasanya tangan
imam itu dingin seperti es.
"Tangan kematian!" bisiknya, "siapakah Anda?"
Claude Frollo mendekatkan lampu itu ke mukanya lalu berlutut dekat Esmeralda.
Esmeralda memandangnya, lalu matanya ditutupnya rapat-rapat dengan tangannya,
dan dia gemetar ketakutan.
"Imam!" serunya, "andalah imam itu!" dan dia mencoba menjauh darinya.
"Mengapa kau memandangiku begitu?" tanya Frollo. "Mengapa kau begitu takut?"
Esmeralda tak menjawab. "Mengapa?" tanyanya lagi.
"Andalah imam itu," bisik Esmeralda, "imam yang membunuhnya - membunuh Phoebusku!" lalu dia menangis.
Kemudian dia berkata dengan air mata bercucuran, "Apa yang telah kuperbuat
terhadap Anda" Mengapa Anda membenciku" Pernahkah saya menyakiti Anda?"
"Aku cinta padamu!" seru imam itu.
Dia tiba-tiba berhenti menangis, dipandanginya imam itu dengan mata hampa,
seakan-akan dia gila. "Adakah kau dengar" Aku cinta padamu!" seru imam itu lagi.
"Cinta yang bagaimanakah cinta Anda pada saya itu?" bisiknya.
"Cinta seseorang yang telah kehilangan pegangan!"
Mereka diam beberapa lamanya, lalu akhirnya berkatalah imam itu dengan suara
yang tenang tapi aneh, "Dengarkan akan kuceritakan segalanya, juga semua rahasia
yang selama ini kusembunyikan bahkan terhadap diriku sendiri....kecuali pada jamjam sunyi-sepi malam hari bila keadaan begitu gelap hingga Tuhan hampir tak
dapat melihat kita. Dengarkan. Sebelum aku bertemu denganmu aku bahagia...."
"Saya pun berbahagia waktu itu!" sahut Esmeralda.
"Aku harus berbicara denganmu," kata Frollo, "aku harus menceritakan segalanya
padamu. Aku semula bahagia, jiwaku penuh cahaya...."
Imam itu berbicara terus, tapi Esmeralda tak mendengarnya. Dia terlalu lemah
untuk mendengarkan cerita yang mengerikan tentang nafsu imam itu terhadapnya.


Si Bongkok Dari Notre Dame Karya Victor Hugo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Imam itu bercerita terus, sambil berlutut di dekatnya di lantai yang dingin dan
basah. Esmeralda tak merasa apa-apa, tak melihat apa-apa, kecuali suatu dinding
awan kelabu yang rasanya ditutupkan ke matanya. Kemudian akhirnya semua katakata imam itu masuk ke pikirannya.
"Aku membunuhnya demi kau!" serunya, "demi kau! Aku bisa menyelamatkanmu.
Ikutlah dengan aku sekarang aku cinta padamu! Kita bisa hidup berdua di suatu
kota kecil jauh dari sini. Kita berdua bisa berbahagia!"
"Aku benci padamu," bisik Esmeralda. "Tenagaku tinggal sedikit, tapi aku
membencimu dengan seluruh tenaga yang tersisa itu! Aku membencimu sekarang.
Besok pun aku membencimu, padahal besok aku akan mati. Jadi akan kubawa rasa
benciku padamu untuk selamanya." Dipejamkannya matanya, lalu dia bersandar ke
dinding. Imam itu melompat berdiri sambil memekik seperti binatang luka.
Esmeralda seperti tidak mendengar waktu imam itu mengumpatnya.
Ditinggalkannya Esmeralda dengan membanting pintu kamar itu, tapi Esmeralda
tetap tak bergerak. Waktu berlalu. Kemudian, perlahan-lahan digerakkannya
tangannya dan dia mulai menggosok-gosok kakinya.
"Dingin benar aku - dingin benar!" katanya berulang-ulang, dan air matanya
meleleh di pipinya. Chapter 14 Tali "MENYINGKIRLAH!" teriak Suster Gudule dari jeruji besi Lubang Tikusnya.
"Kepalamu yang bebal itu menghalangi pemandanganku, Anak muda!"
"Ya, ya baiklah perempuan tua, masih belum ada yang akan dilihat." Namun
prajurit itu menyingkir juga. "Gerobak itu belum lagi membelok di tikungan."
"Kalau dia membelok, tolong beritahu aku. Tak banyak yang dapat dilihat dari
jendela ini, aku tak mau kehilangan kesempatan melihat gipsy itu pergi ke tiang
gantungan." "Keras benar hati Anda, Suster Gudule, sekeras batu!" kata prajurit itu.
"Kau tak tahu apa-apa tentang hatiku atau apa yang telah ditanggungnya, jadi
urus saja urusanmu sendiri!"
"Jaga sopan santunmu, perempuan tua!" kata prajurit itu, dan dia lalu berdiri di
depan jendela hingga suster itu tak bisa melihat.
"Jaga sopan santunmu, kalau tidak, aku akan tetap berdiri di sini sepanjang
siang ini!" Orang-orang yang berada di dekat situ tertawa.
"Betul itu!" teriak seorang laki-laki gemuk. "Ajar dia supaya tahu sopan santun,
Prajurit!" "Dia sudah terlalu tua untuk belajar," kata temannya.
"Tuh dia!" teriak seorang wanita jangkung yang berdiri di dekat mereka, dan
semua orang menoleh ke arah tikungan, "gerobak yang membawa tukang sihir itu
datang!" Orang-orang terdiam waktu gerobak itu mendekat. Gerobak itu ditarik oleh seekor
kuda besar berwarna kelabu, dan serdadu-serdadu berpakaian merah dan kuning
menunggang kuda di kiri kanannya. Mereka membawa salib putih.
"Aku tak bisa melihat," teriak Suster Gudule, "menyingkirlah!"
"Tutup mulutmu," kata prajurit tadi, tapi dia menyingkir juga. "Kalau Anda
bicara sepatah kata saja lagi, saya akan kembali, lihat saja!"
Suster Gudule memegang jeruji dan berdiri berjingkat supaya bisa melihat, tapi
dia tak cukup tinggi dan dia tak bisa melihat Esmeralda.
Gadis malang itu duduk dengan sedapat mungkin merendahkan dirinya dalam gerobak,
untuk menyembunyikan dirinya dari orang banyak. Tangan dan kakinya diikat dan
kepalanya ditundukkannya saja karena malu. Dia mengenakan baju putih, dan
rambutnya yang hitam terurai di bahunya.
Orang di tiang gantungan akan segera memotong rambut itu, tapi kini rambut itu
ditiup angin. Ketika rambut itu tertiup-tiup angin, sekali-sekali terlihat
rantai perak dan kantong sutera hijau yang masih tergantung di lehernya.
Matahari musim salju yang pucat muncul sebentar dan kaca hijau di kantong
bersinar cemerlang. Derap kaki kuda mengeluarkan bunyi - Plok! Plok! Plok! - sementara mereka
melewati alun-alun, dan roda-roda gerobak gemeratak di atas batu, tapi orangorang tidak bersuara. Mereka merasa kasihan sekali pada gadis yang seperti anak
kecil yang letih dan sesat yang duduk di lantai gerobak itu. Wajahnya seputih
bajunya, dan dia kelihatan seperti setengah tidur.
"Kelihatannya dia membunuh seekor tikus pun tak sanggup!" kata seorang prajurit.
"Aku tak yakin dia telah membunuh Kapten Phoebus.
"Pasti dia yang membunuhnya," kata wanita jangkung tadi, "dengan ilmu sihir."
"Seorang tukang sihir perlu tubuh yang kuat," kata laki-laki gendut.
"Sumber kekuatannya adalah roh jahatnya," sahut wanita tadi, "tapi dia memang
kelihatan lemah sekali."
"Mana dia?" teriak Suster Gudule.
"Adakah dia dalam gerobak itu" Adakah dia di situ, kasihan benar gadis kecil
yang malang itu," jawab prajurit.
"Hei gipsy, dengarkan," teriak perempuan tua itu dari Lubang Tikusnya,
"dengarkan kutukan seorang ibu yang bayinya telah dicuri rumpun bangsamu yang
jahat itu!" Prajurit itu berpaling dengan marah pada Suster Gudule. Dimasukkannya pedangnya
ke celah jeruji jendela hingga ujungnya hampir mengenai dadanya yang pipih.
"Tutup mulutmu, kalau kau masih mau hidup!" bentaknya.
Suster Gudule melepaskan jeruji itu lalu berlutut di lantai Lubang Tikus, supaya
pedang panjang itu tak bisa mencapainya lagi.
"Bawa serta kutukan ke tiang gantungan!" teriaknya, "bawa serta kutukanku sampai
matimu!" Suaranya terdengar lantang, kejam dan keras, tapi Esmeralda seolah-olah
tak mendengarnya. "Diam!" teriak orang-orang dekat Lubang Tikus itu,"sudah cukup penderitaan gadis
itu." Dari gerobak terdengar jeritan binatang yang kesakitan.
"Itu kambingnya," kata wanita jangkung itu. 'Dia tahu bahwa dia akan dibunuh
bersama majikannya."
Djali terbaring di kaki Esmeralda. Kakinya terikat menjadi satu, dan dia hanya
dapat menggoyang-goyangkan kepalanya. Kini pun dia sedang berbuat demikian,
digoyang-goyangnya dari kiri ke kanan, dan dia mengembik karena tali itu melukai
kakinya. "Djali yang malang!" bisik Esmeralda, "tapi hidup kita berdua akan segera
berakhir, dan kita akan mendapat kedamaian."
Pintu-pintu Notre-Dame yang besar terbuka. Di alun-alun di mana banyak orang
berkumpul dan menunggu di samping tiang gantungan terdengar suara nyanyian sedih
dan lambat dari gereja. Sebarisan imam keluar melalui pintu-pintu itu. Mereka semua berpakaian hitam.
Mereka berjalan lambat dan bergerak menuruni tangga seperti seekor ular gemuk,
ke antara barisan orang-orang banyak.
Mata semua orang tertuju ke arah gerobak itu, tak seorang pun yang mengangkat
muka, melihat ke bagian atas pintu-pintu Notre-Dame.
Di sana, di antara patung-patung batu berdirilah seorang aneh. Dia memegang
seutas tali, dan ujungnya diikatkannya pada sebuah pilar batu. Ujung yang satu
lagi dijuntaikannya ke alun-alun, di sepanjang dinding batu yang kelabu.
Setelah tali itu terpasang seperti yang diingininya, laki-laki itu berdiri diam.
Dia adalah Quasimodo, dan mukanya sama jeleknya dengan gargoyle - yaitu makhlukmakhluk aneh yang terpahat pada batu dan yang mulutnya menjadi saluran air hujan
dari atap Notre-Dame. Beberapa ekor burung terbang melalui si bongkok, dan dia
tersenyum sambil memandangi alun-alun di bawahnya.
Gerobak berhenti di depan tangga, dan empat orang melepaskan tali-tali yang
mengikat Esmeralda dan Djali. Kambing itu mengembikkegirangan ketika dia dapat
menggerakkan kakinya lagi, tapi Esmeralda memandang imam-imam di hadapannya
dengan mata ngeri. Frollo ada di antara mereka. Mukanya putih sepucat orang mati
dan matanya merah seperti api.
Esmeralda melihatnya, dan dia hampir pingsan. Dia hampir jatuh, tapi dua orang
memegangnya dan mengangkatnya dari gerobak.
Orang-orang lain mengangkat kambingnya, dan menaruhnya di sampingnya. Nyanyian
dari Notre-Dame berakhir, dan Esmeralda serta Djali berdiri dan melihat ke dalam
gereja yang besar dan gelap melalui pintu-pintunya yang terbuka. Para imam mulai
berdoa, suara bersama mereka terdengar seperti badai di laut.
Tiba-tiba si bongkok memegang tali dengan kedua belah tangannya, dijepitkannya
di antara lutut dan kakinya dan dia meluncur ke bawah secepat monyet. Dia
menjatuhkan diri di tangga, berlari di antara para imam dan berdiri di hadapan
Esmeralda. Dengan tangannya yang besar dan kuat, sebentar saja dia menjatuhkan
kedua orang yang memegang Esmeralda, lalu dengan tangan sebelah dia mengangkat
Esmeralda dan dengan tangan sebelah lagi mengangkat Djali, kemudian berlari
menaiki tangga-tangga Notre-Dame selincah kucing.
Dalam gereja, semua orang bebas dari undang-undang. Tak seorang pun berhak
mengganggu gugat gipsy dan kambing itu di dalam Notre-Dame. Mereka selamat
selama mereka berada di dalamnya.
"Dia selamat di sini!" kata Quasimodo setelah dia memasuki pintu. Diangkatnya
Esmeralda ke atas kepalanya lalu dia berteriak, "Dia selamat!"
"Dia selamat! Dia selamat!" ulang orang banyak hiruk-pikuk.
Keributan itu menyebabkan Esmeralda membuka matanya. Dia memandang Quasimodo,
lalu cepat-cepat memejamkan matanya lagi, karena si bongkok yang telah
menyelamatkan jiwanya itu terlalu mengerikan untuk dilihat. Kepalanya yang besar
dan berambut lebat itu seperti kepala singa.
Quasimodo menggendong Esmeralda dengan sangat hati-hati seolah dia takut
Esmeralda akan pecah. Dia seakan-akan menyadari bahwa sesuatu yang seindah itu
tak sesuai dengan tangannya yang kasar.
Kemudian tiba-tiba didekapnya Esmeralda erat-erat ke dadanya yang buruk, seolaholah gadis itu adalah harta miliknya sendiri, seorang anak yanwg berharga.
Quasimodo mendekapnya seperti seorang ibu mendekap anaknya. Ditatapnya wajah
gadis itu, dengan sedih dan iba.
Sedang di luar, di alun-alun, orang banyak melihat seolah-olah tubuh Quasimodo
yang mengerikan itu memancarkan keindahan tersendiri.
Para wanita tertawa dan menangis, sedang yang laki-laki bersorak-sorai. Dia baik
sekali. Dia anak bongkok yang tak berayah-ibu, yang telah dibuang orang banyak,
kini merasa bahwa dia kuat dan hebat. Dia memandang ke bawah ke wajah orangorang yang telah melarangnya untuk hidup bersama mereka. Dia telah mengalahkan
kekuatan undang-undang mereka dengan tenaga gaib Tuhannya.
Quasimodo berlari masuk lebih jauh ke dalam gereja dengan Esmeralda dalam
gendongannya. Kambing mengikuti mereka. Tanduk dan kakinya bersinar keemasan
dalam gelapnya Notre-Dame.
Orang-orang banyak berdiri diam dan ingin tahu apa yang akan terjadi lagi. Lalu
si bongkok muncul lagi. Dia berada di ujung lorong jauh di atas pintu-pintu.
Diacungkannya gadis itu tinggi-tinggi, lalu berteriak, "Dia selamat!"
Orang-orang banyak mengulangi teriakannya itu.
Dia menghilang, dan sejenak kemudian dia menampakkan dirinya di tempat yang
lebih tinggi, sambil menggendong Esmeralda seolah-olah dia seringan sekuntum
bunga. Orang banyak berteriak kegirangan lagi, dan Quasimodo menghilang lagi.
Mereka melihatnya untuk ketiga kalinya ketika dia berada di puncak menara
lonceng besar. Dari sana seolah-olah akan memperlihatkan gadis itu pada seluruh
kota. Terdengar lantang suaranya meneriakkan pekik kemenangan, "Aman! Aman!
Aman!" Orang banyak membalas pekik itu dengan kegirangan yang meluap-luap sampai-sampai
menggetarkan jeruji Lubang Tikus di mana Suster Gudule terus meneriakkan
kutukannya. Chapter 15 Di Atas Kota QUASIMODO membawa Esmeralda ke sebuah kamar kecil di bawah atap menara. Selama
berada dalam gendongan Quasimodo, Esmeralda merasa seolah-olah dia terbang dalam
tidurnya. Sekali-sekali didengarnya suara si bongkok tertawa nyaring dan
suaranya yang kasar. Rasanya suara itu adalah suara dalam mimpinya.
Esmeralda membuka matanya sedikit dan dilihatnya atap-atap rumah di kota Paris,
jauh di bawahnya. Waktu dia kemudian memandang ke atas dilihatnya muka si
bongkok yang jelek berseri-seri karena kegirangan.
Esmeralda memejamkan matanya lagi dan berpikir, "Mungkin aku sudah mati di tiang
gantungan dan rohku sedang dibawa oleh suatu makhluk aneh - suatu roh dari dunia
lain." Quasimodo membaringkannya di kamar kecil itu.
Esmeralda terbangun. Kini mata dan pikirannya bisa bekerja lagi. Dilihatnya
bahwa dia berada di menara. Dia ingat bahwa dia tadi telah dibebaskan dari
orang-orang yang akan membunuhnya. Dia berpaling pada Quasimodo.
"Mengapa kau selamatkan aku?" tanyanya.
Quasimodo tampak heran, seolah-olah dia mencoba memahami apa yang dikatakan
Esmeralda. "Mengapa kau menyelamatkan aku?" tanya Esmeralda lagi.
Quasimodo memandangnya dengan sedih sekali, lalu pergi.
Esmeralda keheranan, dia tak tahu bahwa Quasimodo tuli.
Beberapa saat kemudian dia kembali dengan membawa pakaian yang diletakkannya
dekat kaki Esmeralda. Seorang wanita yang baik hati telah meletakkan pakaian itu
di tangga Notre-Dame. Esmeralda melihat ke dirinya sendiri dan dilihatnya bahwa dia hanya memakai baju
putih yang tipis. Dia membelakangi Quasimodo.
Rupanya Quasimodo mengerti. Tangannya yang besar ditutupkannya ke matanya lalu
dia keluar dari kamar itu.
Esmeralda mengenakan pakaian itu sederhana namun hangat. Baru saja dia selesai,
Quasimodo sudah kembali. Tangan sebelahnya menjinjing sebuah keranjang sedang di
tangan yang sebelah lagi dia mengepit alat-alat tidur.
Dalam keranjang itu terdapat sebuah botol, roti dan makanan lainnya.
Diletakkannya keranjang itu ke lantai dan dia berkata, "Makan."
Alat-alat tidurnya dibentangkannya lalu berkata, "Tidur."
Yang dibawa si bongkok itu adalah makanan dan alat tidurnya sendiri. Esmeralda
mengangkat matanya memandang Quasimodo seakan mengucapkan terima kasih, namun
kata-kata itu tak terucapkan.
Laki-laki itu jeleknya bukan kepalang!
"Kau takut padaku," kata si bongkok. "Aku jelek sekali ya" Jangan lihat aku,
dengarkan saja aku. Siang hari kau harus tetap tinggal di sini, malam hari kau
bebas berjalan ke mana saja dalam gereja ini. Tapi jangan keluar gereja barang
selangkah jua pun, baik siang maupun malam. Kau akan tersesat. Mereka akan
membunuhmu, dan aku akan mati."
Perlahan-lahan Esmeralda mengangkat kepalanya akan menjawab, tapi dia sudah
tiada. Setelah tinggal seorang diri, Esmeralda mengingat lagi kata-kata aneh yang
diucapkan makhluk jelek itu, dan tentang suaranya, begitu kasar namun begitu
lembut. Kemudian Esmeralda melihat-lihat kamarnya. Kamar itu hanya cukup untuk sebuah
tempat tidur, tak ada apa-apa di dalamnya. Pada sebuah jendelanya terulur kepala
tiga ekor binatang dari batu yang menyalurkan air ke luar melalui lehernya yang
panjang. Binatang-binatang gargoyle itu jelek, namun jauh kurang jeleknya
daripada si bongkok. Jauh dari atap gereja, Esmeralda melihat banyak cerobong asap, yang mengepulkan
asap api dari kota Paris. Dibayangkannya keluarga-keluarga yang duduk
mengelilingi perapian di rumah mereka, dan dia merasa sedih seorang diri, tak
bisa meninggalkan kamar itu siang hari dan tak boleh meninggalkan gereja siang
maupun malam. Dia duduk di atas tempat tidur dan berpikir-pikir apa yang akan
terjadi atas dirinya. Tiba-tiba dirasanya suatu kepala berbulu digesek-gesekkan di tangannya.
Esmeralda memandang kepala itu. Rupanya Djali.
Diciumnya kepala kambing itu, "Djali sayang," katanya, "aku sampai lupa padamu,
namun kau tetap ingat padaku!"
Pada saat itu juga, seolah-olah ada tangan yang tak kelihatan mengangkat pintu
bendungan yang selama ini menahan air matanya, dia pun menangis dan dengan
mengalirnya air matanya, dirasanya kesedihannya yang paling menusuk ikut
mengalir meninggalkan dirinya.
Ketika malam tiba, malam baginya begitu indah, cahaya bulan begitu lembut. Dia
berjalan-jalan di menara dan melihat ke bawah ke kota yang sedang tidur. Bumi
kelihatan begitu tenang bila ditinjau dari tempat yang tinggi.
Dia merasa agak bahagia lagi, berada di bawah langit yang berbintang, sedang
kota berada begitu jauh di bawah kakinya.
Keesokan paginya sinar cerah matahari yang baru terbit memancar melalui jendela
menyinari muka Esmeralda. Bersamaan dengan matahari, Esmeralda melihat sesuatu
yang lain di jendela, sesuatu yang menjadikannya takut. Wajah Quasimodo yang
jelek. Esmeralda memejamkan matanya lagi ketakutan, tapi dia mendengar suatu suara
kasar berkata sangat lembut,


Si Bongkok Dari Notre Dame Karya Victor Hugo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan takut. Aku sahabatmu. Aku datang untuk melihat kau tidur. Kau tidak
keberatan, bukan, kalau aku datang dan melihatmu tidur" Bukankah tidak apa-apa
kalau aku di sini, sedang kau memejamkan matamu" Aku akan pergi sekarang. Nah!
Aku bersembunyi di balik dinding, sekarang kau boleh melihat matahari lagi."
Esmeralda merasa terharu oleh suara Quasimodo yang sedih. Dibukanya matanya dan
memang Quasimodo tak ada lagi di jendela itu.
Esmeralda pergi ke jendela dan dilihatnya si bongkok menyelipkan dirinya di
dinding. Dikuatkannya dirinya untuk mengatasi rasa mual yang timbul begitu
melihatnya. "Kemarilah," kata Esmeralda padanya lembut.
Dari gerak bibirnya, Quasimodo menyangka bahwa Esmeralda menyuruhnya pergi.
Ditutupnya matanya dengan tangannya, dan dia menjauh.
"Kataku, kemarilah!" ulang Esmeralda, tapi si bongkok menjauh terus.
Lalu Esmeralda berlari keluar dari kamar, bergegas mendatanginya dan memegang
lengannya. Merasakan sentuhan tangan Esmeralda, seluruh tubuh Quasimodo gemetar.
Dipandanginya Esmeralda dengan matanya yang satu itu dengan penuh kesedihan.
Tapi ketika dilihatnya bahwa Esmeralda mencoba menariknya untuk mendekatinya,
mukanya bersinar kesenangan.
Esmeralda mengajaknya masuk ke kamarnya, tapi dia tak mau.
Djali berdiri saja di pintu, sedang Esmeralda duduk di tempat tidur sambil
memandanginya. Setiap saat dilihatnya suatu segi keindahan pada tubuhnya yang
buruk itu. Quasimodo-lah yang mula-mula memecah kesepian."Jadi benar-benarkah kau
menyuruhku kembali?"
"Ya," kata Esmeralda.
Quasimodo mengerti apa maksudnya dari anggukan kepalanya saja. Kemudian dia
berkata lagi sedih dan perlahan, "Aku - aku tuli."
"Kasihan benar kau!" kata gipsy itu dengan suara penuh iba.
"Ya, aku tuli. Begitulah aku diciptakan. Aku jelek sekali. Sedang kau - kau
begitu cantik." Suaranya kedengaran begitu sedih hingga Esmeralda tak sampai hati untuk
mengucapkan sepatah kata pun.
Si bongkok berkata lagi, "Aku tak pernah menyadari diriku sebelum ini. Bagimu
aku tentu seperti binatang saja. Sedang kau - kau seperti seberkas sinar
matahari, sekuntum bunga, seekor burung. Aku ini - aku bukan manusia, tapi bukan
pula binatang." Lalu dia tertawa, dan suara tawanya itulah yang paling menyedihkan. Dia berkata
lagi, "Ya, aku tuli, tapi kau bisa berbicara memakai isyarat denganku. Aku punya
majikan yang berbicara dengan cara demikian denganku. Maka dalam waktu singkat
aku akan tahu apa yang kauingini dari gerak bibirmu, dan dari caramu
memandangku." "Kalau begitu coba ceritakan, mengapa kau menyelamatkanku," kata Esmeralda
sambil tersenyum. Si bongkok memperhatikannya dengan teliti sementara dia berbicara.
"Aku mengerti," sahutnya. "Kau bertanya mengapa aku menyelamatkan kau. Kau telah
melupakan seorang malang yang jahat, yang pada suatu malam mencoba melarikanmu pada makhluk malang yang sama itu pula kauberikan bantuan pada esok harinya,
waktu dia berada di ruang siksaan yang mengerikan itu, berupa air dan rasa belas
kasihan. Untuk itu tak cukup kalau kubalas dengan hidupku saja. Kau telah
melupakan makhluk malang itu, tapi dia ingat."
Laki-laki aneh ini menimbulkan rasa sedih Esmeralda.
Quasimodo mulai menjauh. Esmeralda memberikan isyarat supaya dia jangan pergi.
"Tidak, tidak, aku tak boleh tinggal terlalu lama. Hanya karena kau kasihan
padaku sajalah maka kau tidak membuang muka. Aku akan pergi ke suatu tempat dari
mana aku bisa melihatmu tanpa kau bisa melihatku, cara itu lebih baik. "
Dari sakunya dikeluarkannya sebuah peluit kecil dari logam.
"Ini," katanya, "kalau kau membutuhkan aku atau kalau kau ingin aku datang,
tiuplah peluit ini. Aku bisa mendengar bunyinya."
Diletakkannya peluit itu di lantai lalu dia pergi.
Chapter 16 Rencana Serangan WAKTU berlalu, dan jiwa Esmeralda perlahan-lahan menjadi tenang kembali.
Kesedihan yang terlalu besar, tak bisa bertahan lama, sebagaimana halnya
kegembiraan yang terlalu besar. Hati kita tak kuat menanggungnya. Keindahan
Notre-Dame membantu penyembuhan luka hatinya.
Dia mendengarkan nyanyian-nyanyian khidmat, dan mulai melupakan rasa sakitnya.
Musik yang agung menjadikannya ingin hidup lagi, dan bila orang-orang di gereja
menyanyi, dia ingin menyanyi pula. Tapi yang paling disukainya adalah suara
lonceng-lonceng. Bunyinya mengaliri pikirannya dan dia merasa terhibur.
Tak pernah dia meniup peluit yang diberikan Quasimodo padanya, tapi dia sering
datang selama hari-hari pertama, meskipun tak dipanggil. Dia membawakan
keranjang makanan dan botol air minum. Tapi gerakan terkecil yang dibuat
Esmeralda untuk berpaling dari dirinya dapat dirasakannya dengan segera, dan
dalam keadaan demikian dia pergi dengan sedih.
Pada suatu hari dia datang pada saat Esmeralda sedang bermain-main dengan Djali.
Beberapa saat lamanya dia berdiri, memandangi keserasian gadis dan binatang itu.
Akhirnya dia berkata sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang besar dan jelek
itu, "Buruk benar nasibku, aku lebih menyerupai manusia. Betapa senangnya kalau
aku benar-benar merupakan seekor binatang, seperti kambing umpamanya."
Esmeralda memandangnya dengan heran.
Melihat keheranan Esmeralda itu, dia berkata lagi, "Mungkin kau tak bisa
mengerti, tapi aku - aku tahu betul!" lalu dia pergi.
Pada kesempatan lain dia tiba di pintu kamar waktu Esmeralda sedang menyanyikan
sebuah lagu Spanyol tua. Dia tak tahu apa arti kata-katanya, tapi dia masih
ingat karena waktu dia masih kecil, perempuan gipsy selalu menyanyikan lagu itu
untuk menidurkannya. Melihat wajah jelek Quasimodo, yang datang tiba-tiba di tengah-tengah
nyanyiannya itu, Esmeralda menghentikan nyanyiannya dengan sikap ketakutan.
Quasimodo mengatupkan kedua tangannya yang jelek, lalu berseru, "Teruskan,
kumohon! Jangan suruh aku pergi."
Esmeralda tak mau menyakiti hatinya, dia meneruskan nyanyiannya. Rasa takutnya
perlahan-lahan hilang, dan dalam meresapi keindahan lagu itu dia melupakan
Quasimodo. Selama itu Quasimodo diam dengan sikap seperti semula yaitu seperti orang
berdoa. Dia seolah-olah takut bernafas dan menatap mata Esmeralda seolah-olah
dia dapat membaca lagu itu di sana.
Pada peristiwa lain dia mendatangi Esmeralda seperti orang ketakutan.
"Dengarkan," katanya, seolah-olah dia harus berjuang untuk mengucapkan katakatanya. "Ada sesuatu yang harus kukatakan padamu."
Esmeralda memberi isyarat bahwa dia mendengarkan.
Quasimodo membuka mulutnya sedikit akan berbicara, kelihatan berpikir sebentar,
lalu menggeleng dan kemudian pergi perlahan-lahan, sambil menutup matanya dengan
tangannya. Esmeralda merasa heran. Di antara makhluk-makhluk gargoyle di luar jendela Esmeralda, Quasimodo paling
menyukai semacam binatang yang aneh. Dia seringkali memandanginya seakan-akan
binatang itu dapat mengerti apa yang dikatakannya.
Pada suatu kali Esmeralda mendengar dia berkata pada binatang itu, "Mengapa aku
tidak terbuat dari batu seperti kau?"
Belas kasihan yang dirasakan Esmeralda terhadap Quasimodo, mengusir rasa
takutnya terhadap laki-laki lain. Dia mulai melupakan algojo penyiksa dan imam
yang matanya mengerikan. Tapi imam dengan mata yang mengerikan itu tidak melupakannya. Berjam-jam setiap
hari dia mengurung dirinya dalam kamarnya di antara buku-bukunya dan berjuang
melawan keinginannya untuk mendatanginya. Padahal, dia ada di menara di
sebelahnya dalam gedung yang sama!
Meskipun dia sering pergi mematai-matainya, dia tak pernah berani menampakkan
dirinya. Dia bersembunyi di tempat-tempat gelap dan memperhatikannya bila dia
berjalan-jalan dalam gereja malam hari. Disembunyikannya dirinya di tangga dan
diperhatikannya Quasimodo yang mengunjunginya siang hari. Siang malam pikirannya
dipenuhi oleh bayangan Esmeralda.
"Lihat bagaimana si bongkok itu memandangnya!" gumamnya sendiri pada suatu
petang waktu dilihatnya mereka sedang berdua. "Pandangan seperti itu kulihat
juga ketika dia mencoba melarikannya dan Kapten Phoebus menghalang-halanginya.
Dan lihat pula bagaimana gadis itu memandang Quasimodo!"
Air muka Esmeralda yang manis mengandung iba menjadikan Frollo marah sekali.
Ingin dia berlari mendatangi mereka, menghantam si bongkok dan memeluk gadis
itu. Tapi dia tahu itu tak mungkin, dan dengan berlari dia menuruni tangga masuk
ke gereja. Nyanyian yang indah itu terdengar bagaikan bunyi yang jahat baginya, dan dia
berlari menjauhkan dirinya naik ke kamarnya sendiri seperti orang gila. Malam
itu mimpinya lebih mengerikan daripada biasanya.
Ada seorang laki-laki lain yang bermimpi buruk pula tentang Esmeralda, dia
adalah Gringoire si penyair. Dia ada di antara orang-orang banyak waktu
Quasimodo melarikan Esmeralda dan Djali masuk ke Notre-Dame.
"Syukurlah!" seru Gringoire waktu dilihatnya bahwa Esmeralda selamat, dan dia
berteriak kegirangan sampai suaranya habis. Kemudian dia mulai berpikir-pikir
bagaimana dia bisa menemukannya kembali.
"Aku suaminya," katanya sendiri, "dan aku harus mencoba untuk memperolehnya
kembali. Dia tak bisa menghabiskan sisa hidupnya di Notre-Dame! Aku harus
mencoba menemukannya kembali."
Setiap hari dia pergi ke gereja untuk mencarinya, tapi ia tak pernah melihatnya.
Dicobanya pula menemukan Quasimodo, tapi si bongkok itu tak pernah turun dari
menara bila Gringoire ada di sana. Juga Claude Frollo agaknya sudah menghilang.
Dalam mimpinya, Gringoire sering melihat Esmeralda dalam pelukan si bongkok,
maka dia berteriak dan bangun. Ditinggalkannya tempat tidurnya dan dia bergumam,
"Sesudah mimpi seburuk itu, aku tak akan bisa tidur lagi malam ini. Sebaiknya
aku pergi berjalan-jalan saja sampai pagi."
Berjalanlah dia dalam gelap, di kota yang sepi itu. Tanpa disadarinya dia
berjalan ke arah Notre-Dame.
"Tentunya nasib yang membawaku ke mari!" bisiknya, waktu didapatinya dia telah
berada di luar gereja itu, " aku yakin aku akan menemukan Esmeralda sekarang!"
Bergegas dia menaiki tangga ke pintu-pintu yang besar, tapi pintu-pintu itu
tertutup rapat dan dia tak bisa menggerakkannya. Tiba-tiba terdengar suatu suara
berkata di telinganya, "Jangan sentuh pintu-pintu itu malam ini, Sahabatku!"
Sebuah tangan yang kuat menggenggam lengan Gringoire.
Gringoire gemetar ketakutan memandang dalam gelap akan melihat tangan siapa
gerangan itu. "Kau tidak akan pernah menjadi seorang pencuri yang baik kalau kau tak bisa
melihat dalam gelap gulita!" kata laki-laki itu sambil tertawa kecil.
"Siapa kau?" seru Gringoire.
"Rajamu!" kata laki-laki itu, dan mukanya didekatkannya ke arah Gringoire,
"bisakah kau melihatku sekarang, Penyair?"
"Ya - ya bisa," kata Gringoire.
Orang itu adalah Raja kaum pengemis. Gigi gipsy laki-laki itu putih bersinar
waktu dia menertawakan penyair yang ketakutan itu.
"Sedang mencari istrimu yang cantik itukah kau?" tanya sang Raja.
"Benar," sahut Gringoire berbisik. "Tahukah kau' di mana dia?"
"Kau tidak akan menemukannya malam ini," kata Raja, "meskipun aku tahu di mana
dia... Mari ikut aku sekarang, akan kuceritakan tentang rencanaku."
Dia bergegas menuruni tangga, dengan terus mencengkam lengan Gringoire.
Mereka berjalan tanpa berkata-kata melalui jalan-jalan sampai mereka tiba di
jembatan Saint Michel. Raja kaum Pengemis itu menuntun Gringoire ke tepi air.
"Ini tempat tenang yang baik untuk berbicara," katanya. "Aku tak suka
membicarakan tentang rencanaku itu di mana orang lain bisa mendengarkan.
Terutama karena rencanaku adalah untuk mencuri barang-barang dari gereja NotreDame yang masyhur itu."
"Mencuri dari Notre-Dame!" bisik Gringoire terkejut.
"Di gereja itu banyak emas, permata-permata dan uang, kata Raja kaum pengemis,
"semua barang yang disukai rakyatku dan aku," lanjutnya, "Esmeralda ada di sana,
dan kita menginginkannya kembali ke tengah-tengah kita, bukan?"
"Ya, ya!" seru Gringoire.
"Akan kita bawa dia keluar dari Notre-Dame besok malam," kata Raja, "dan kita
akan membawa cukup banyak emas juga, untuk menjamin kita sepanjang sisa hidup
kita!" Chapter 17 Keributan Malam Hari MALAM berikutnya tak ada awan di langit, dan bulan bersinar. Sinar bulan
menerangi lantai Notre-Dame yang gelap menjadi berwarna biru seperti laut.
Esmeralda sedang berjalan-jalan di sana dan Djali berada di sampingnya. Gerakgerik Esmeralda tenang sekali, tapi jejak kaki Djali yang keemasan bergema tajam
di lantai batu itu. Kadang-kadang dia berhenti, diangkatnya kambingnya lalu
diciumnya. "Gereja ini cantik di malam hari, bukan Djali?" bisiknya. "Begitu sepi, begitu
tenang, hingga kadang-kadang kurasa aku akan senang tinggal di sini selamalamanya." Diturunkannya kambing itu lalu dia mulai berjalan lagi.
"Tapi kadang-kadang kuingin bisa keluar ke kota, dan bebas hidup dengan caraku
sendiri," katanya. Dia berhenti lagi, berdiri sambil merenung.
"Rasanya sudah bertahun-tahun aku tak menyanyi di jalan-jalan lagi ya Djali" Aku
ingin tahu apakah aku masih bisa menari! Apakah menurut kau aku masih bisa,
sahabat kecilku" Kucoba ya?"
Dia mulai menyanyi dan menggerakkan kakinya dengan halus di atas lantai batu
yang dingin dalam gereja itu.
Suaranya terdengar kecil dan halus dalam gedung yang besar itu, dan dia
kelihatan begitu kecil waktu dia menari sendiri itu. Dia tersenyum girang ketika
menarikan tarian yang selalu diingatnya itu.
Si bongkok memperhatikannya dari tempat yang gelap itu, mulutnya ternganga
lebar. Dia lupa segala-galanya karena senangnya melihat gerak-gerik yang begitu
lentur, dan dia mulai melompat-lompat kesenangan.
Gadis itu berputar-putar makin lama makin cepat, dan kambing itu mulai
menggerakkan kakinya yang keemasan pula.
Quasimodo merasa begitu senang hingga dia tertawa nyaring. Dia tidak mendengar
suaranya sendiri, tapi suara tawanya yang aneh, yang serupa dengan bunyi
binatang kasar, bergema nyaring dalam gereja yang kosong.
Gadis itu berhenti, tapi dia tidak merasa takut. Dia sudah kenal benar suara
Quasimodo sekarang, hingga tidak lagi ngeri. Dia menoleh sambil tersenyum, dan
melihat di mana Quasimodo berdiri. Lalu dia berlari mendatanginya, diulurkannya
tangannya akan menunjukkan bahwa dia senang melihatnya, dan kemudian memegang
tangannya. Djali mengejarnya dan berbaring dekat kakinya.
"Mari!" kata Esmeralda, dan ditariknya Quasimodo ke tengah-tengah gereja. "Akan
kutarikan suatu tarian khusus untuk penjaga loncengku yang baik!"
Wajah Quasimodo penuh kebahagiaan waktu Esmeralda mulai menari dan menyanyi
lagi. Tiba-tiba terdengar bunyi yang kuat dan nyaring di luar pintu-pintu gereja yang
besar. Mula-mula Esmeralda tidak mendengar bunyi itu karena asyiknya menyanyi
dan menari, tapi sebentar kemudian dia mendengarnya. Dia berhenti tiba-tiba lalu
memandang Quasimodo dengan ketakutan.
Quasimodo tak mengerti mengapa dia berhenti, karena dia tidak mendengar
keributan di luar meskipun bunyi itu makin lama makin nyaring. Kedengarannya
seperti orang banyak sedang mencoba merusak pintu-pintu.
"Mengapa tak kauteruskan tarianmu yang indah itu?" tanyanya. "Apakah aku
menyebabkan kau takut lagi" Ada apa?"
Esmeralda menunjuk ke pintu-pintu, dan membuat isyarat-isyarat yang mengatakan
apa yang didengarnya. "Mari ikut aku!" teriaknya, segera setelah dia mengerti. "Aku tak tahu siapa
itu, tapi aku akan menyelamatkanmu. Jangan takut!".
Dipegangnya tangan Esmeralda lalu dibawanya lari ke arah menara dan menaiki
tangga ke kamarnya. Kambingnya menyusul tak jauh dari mereka.
"Tetaplah tinggal di situ sampai aku kembali padamu," teriaknya, lalu dia
berlari ke atap dan melihat ke alun-alun di bawahnya.
Alun-alun itu penuh manusia membawa obor, dan ada pula yang berada di tangga
Notre-Dame. Mereka sedang mencoba memecahkan pintu dengan sebatang kayu besar
dan panjang, suatu pohon yang besar. Mereka berlari ke pintu-pintu itu berulang
kali. Pintu-pintu itu kuat sekali, dan dilapisi logam, tapi tentu tidak akan kuat


Si Bongkok Dari Notre Dame Karya Victor Hugo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menahan orang-orang dengan pohon-pohon itu. Orang-orang itu berulang-kali
berlari menaiki tangga dan menghantam pintu-pintu itu dengan pohon.
"Mereka itu bukan prajurit-prajurit," kata Quasimodo sendiri, waktu
diperhatikannya orang-orang itu. "Siapakah mereka itu" Kelihatannya mereka
sangat miskin dan kasar-kasar. Aku harus menyembunyikan kekasihku terhadap
mereka!" Dia berlari kembali pada Esmeralda.
"Aku tak tahu siapa mereka atau apa yang mereka ingini," katanya pada Esmeralda.
Esmeralda sedang duduk di tempat tidur sambil mendekap kambingnya yang
ketakutan. "Tapi aku akan menjaga keselamatanmu, biar pun aku harus mati!"
Dari sakunya dikeluarkannya sebuah kunci.
"Hanya ada sebuah kunci lain untuk pintu kamarmu," katanya, "dan itu disimpan
majikanku. Aku harus mengurungmu di sini dan membawa kunci ini. Segera setelah
aku yakin bahwa tak ada seorang pun dalam gereja ini yang akan mengancam
keselamatanmu, aku akan kembali dan membuka pintu ini. Kau akan aman sampai aku
kembali." Wajahnya penuh rasa kuatir waktu dia berkata-kata itu, namun dia mencoba
tersenyum pada Esmeralda sebelum dia meninggalkannya.
Esmeralda mendengar kunci diputar di pintu, dan dia mendekap Djali makin erat.
"Apa yang akan terjadi atas diri kita sekarang" Apa yang akan terjadi?"
bisiknya, dan dia memejamkan matanya.
*** Siang hari, orang bekerja memperbaiki atap Notre-Dame. Mereka pulang senja hari,
tapi alat-alat kerja mereka ditinggalkan di menara.
Quasimodo berlari di sepanjang atap ke tempat alat-alat disimpan. Ditemukannya
setumpuk batu-batu besar, banyak kepingan logam panjang - logam itu adalah timah
hitam yang berat. Ada pula sebuah tungku besi tempat pekerja-pekerja itu membuat
api. Mereka memanaskan timah-timah hitam di api itu lalu menuangkan logam cair
itu ke lubang-lubang di atap.
"Inilah yang kuperlukan!" teriak Quasimodo, dan dia tertawa sambil mengangkat
batu yang ada di dekatnya. Batu itu berat sekali, hingga dengan susah-payah
sekali dia bisa mengangkatnya tinggi, padahal kekuatannya sama dengan kekuatan
tiga orang. Diangkatnya batu itu di atas kepalanya, dia pergi ke tepi atap lalu
dijatuhkannya batu itu ke orang-orang banyak di bawah. Dia tidak menunggu lagi
untuk melihat apa yang terjadi di bawah sebagai akibat perbuatannya itu,
melainkan ia lari kembali untuk mengambil sebuah batu besar lagi dan
melemparkannya lagi. Sesudah itu barulah dia berhenti untuk melihat apakah dia
berhasil. Orang-orang banyak kini berada agak jauh, tangga gereja kosong; yang tinggal
hanya beberapa tubuh manusia yang terbaring seperti orang mati. Pohon pendorong
tadi terletak di tanah, tapi dua puluh orang keluar lagi dari kumpulan orang
banyak, mengangkat pohon itu dan membawanya lari kembali ke tangga.
"Sekarang akan kupanasi mereka!" teriak Quasimodo. Dia pergi ke tungku lalu
menghidupkan api para pekerja.
Beberapa saat kemudian, asap naik ke udara. Api di tungku mulai menyala besar
dan si bongkok membesarkannya dengan potongan-potongan kayu besar. Kemudian
digantungkannya sebuah periuk besar penuh timah hitam di atas api itu.
Di alun-alun di bawah, seseorang yang sedang memegang sebuah pedang panjang
menunjuk ke atap dan berteriak, "Lihat! Kebakaran! Atap itu terbakar!"
"Ayo, orang-orang!" teriak Raja kaum pengemis. "Api telah datang dari langit
untuk membantu kita! Dewa ingin menghancurkan gereja! Ayo!"
Orang-orang yang memegang pohon, berlari maju ke tangga, terus ke pintu. Kayukayu mulai berderak, tapi besinya hanya cacad sedikit.
"Lagi!" teriak orang-orang itu, "kita hantam lagi!" dan mereka pun berlari-lari
lagi ke tangga, bersiap-siap akan membentur pintu lagi.
Tiba-tiba sebuah batu besar jatuh di tengah-tengah pohon itu, hingga pohon itu
terlepas dari tangan mereka, sedang seorang kena dan dia tewas seketika. Tiga
orang lainnya tertindih pohon itu, dan kakinya patah. Terdengar pekik yang
dahsyat. Satu lagi batu besar jatuh ke tengah-tengah orang banyak, dan orang-orang yang
sempat menyingkir, lari. "Jangan takut, sahabat-sahabatku!" teriak sang Raja. "Jangan mau dikalahkan oleh
beberapa batu saja! Ayo, maju lagi!"
Anak buahnya mengikutinya menaiki tangga sambil berteriak, lalu menghantamkan
pohon itu berulang-ulang lagi ke pintu.
"Retak pintunya makin besar!" seru orang-orang yang memegang bagian depan pohon
itu. "Lagi! Lagi!" dan mereka maju terus di antara batu-batu yang jatuh bergantian
dari atas. Kalau seseorang kena, yang lain menggantikannya memegang pohon itu,
sedang orang yang lain menyingkirkan orang yang kena tadi.
Alun-alun penuh dengan pengemis dan pencuri.
"Sudah mulai terbuka! Sudah mulai terbuka!" teriak seorang laki-laki kecil yang
berdiri dekat pintu. "Tiga kali lagi, dan kita sudah bisa masuk!"
"Satu!" Lubang pada kayu pintu sebelah kiri sudah hampir cukup besar untuk dimasuki
seorang anak kecil. "Dua!" Besi yang melintang pada lubang itu patah dengan bunyi yang nyaring, dan
orang banyak bersorak. Tak ada lagi batu yang jatuh, dan orang-orang yang membawa pohon berlari dan
menghantam pintu dengan sekuat tenaga mereka.
"Ingat emas, sahabat-sahabatku!" teriak sang Raja. "Emas itu akan menjadi milik
kita!" "Tiga!" Orang-orang itu berlari menaiki tangga dengan pohon itu dan menghantam pintu
dengan dorongan hebat yang terakhir. Lubangnya sudah cukup besar untuk dimasuki
seorang dewasa. Tapi sebelum ada orang yang sempat masuk, terdengar pekik
mengerikan dari orang-orang yang berada terdekat dengan pintu.
Timah panas tercurah ke kepala mereka. Timah cair itu keluar melalui gargoyle batu yang dibuat untuk menyalurkan air hujan dari atap. Orang-orang itu
jatuh, sambil berteriak kesakitan, dan yang tak sempat lolos, mati dalam arus
logam yang mendidih. Orang-orang lari menuruni tangga, sedang timah cair makin lama makin banyak
tercurah dari gargoyle itu.
Orang banyak dapat melihat si bongkok. Suatu sosok hitam yang bergerak di depan
api di atas menara. Mereka mengutuknya, tapi dia tak bisa mendengarnya.
"Masih ada cukup timah cair untuk mencegah mereka masuk selama beberapa menit,"
katanya. "Sekarang aku akan lari memanggil prajurit-prajurit!"
Dia menuruni atap dan berlari terus di sepanjang lorong ke tempat tali lonceng
yang besar. Dengan suatu lompatan dia menjangkau tali itu lalu menariknya
sekuat-kuatnya. Lonceng itu berdentang, dan bunyinya memecahkan kesunyian malam.
Quasimodo tertawa nyaring.
"Bunyi itu akan memanggil prajurit-prajurit dan mereka akan datang!" serunya.
Lalu dilepaskannya tali itu.
"Sekarang aku akan menyiapkan timah panas lagi!" teriaknya seperti orang gila
sambil lari kembali ke tungku di atas atap.
Dalam perjalanannya ke atas atap itu, dia tiba-tiba berhenti.
"Apa itu?" serunya ketakutan. Digelengkannya kepalanya, seolah-olah tak
mempercayai telinganya. Yang didengar adalah bunyi peluit yang tajam, dan bunyi
itu melengking seperti pedang yang ditusukkan ke kepalanya.
Sambil berteriak ketakutan dia bergegas lari ke kamar di mana Esmeralda
ditinggalkannya. Esmeralda memerlukan bantuannya!
Bunyi peluit itu terdengar lagi dari pintu kamar itu.
Quasimodo tidak membuang-buang waktu. Didorongkannya tubuhnya ke pintu itu, dan
pintu itu rusak seketika. Dia berlari masuk.
Imam Frollo sedang berdiri dekat tempat tidur. Dia menoleh ketika si bongkok
masuk. Esmeralda yang mukanya seputih salju, terbaring sambil mendekap Djali. Peluit
terjatuh dari bibir Esmeralda waktu Quasimodo masuk. Matanya membelalak
ketakutan, sedang mata imam itu tampak liar terbakar nafsu.
Quasimodo tidak mengacuhkan Frollo. Imam itu didorongnya ke samping, dia
berlutut di tempat tidur, lalu menggendong gadis yang ketakutan itu.
"Kau selamat sekarang!" katanya, "kau selamat bersamaku!"
Esmeralda memejamkan matanya dan berteriak kecil kegirangan.
"Apakah dia mengganggumu?" tanya Quasimodo. "Disentuhnyakah kau?"
"Tidak, tidak!" bisik Esmeralda. "Aku segera memanggilmu begitu dia masuk. Aku
tak apa-apa." Quasimodo tak bisa mendengar apa yang dikatakannya, tapi dia bisa membaca air
muka yang pucat itu, seperti membaca buku saja.
Kini Quasimodo baru mengangkat mukanya memandang imam, yang berdiri saja di situ
seperti patung. Tiba-tiba Frollo berlari cepat melewati si bongkok dengan berteriak aneh, lalu
berlari terus di sepanjang lorong ke atap.
Perlahan-lahan Quasimodo berdiri.
"Aku akan kembali," katanya. "Percayalah." Dia pergi menyusul Frollo. Gerakgeriknya penuh keyakinan dan kekuatan yang dahsyat.
Chapter 18 Yang Hilang dan Yang Ditemukan
SETELAH timah panas itu berhenti mengalir dari mulut gargoyle ke tangga NotreDame, pencuri-pencuri yang ketakutan tadi mendapatkan keberaniannya kembali.
"Nah, saudara-saudara, sekarang tak ada lagi penghalang antara kita dan emas
kita!" teriak Raja gipsy. "Ikut aku!"
Diayunkannya pedangnya di atas kepalanya dan dia memimpin anak buahnya menuju
tangga, melalui lorong kecil yang tak dialiri logam cair itu.
"Maju terus, ke tempat emas!" teriak orang banyak, dan mereka menyusul pemimpin
mereka ke dalam Notre-Dame.
Di antara orang-orang yang terdepan terdapat Gringoire.
Pada saat itu terdengar teriakan dari belakang orang banyak itu. "Serdadu
datang! Serdadu!" Sebagaimana yang diharapkan oleh Quasimodo, lonceng telah memanggil mereka dan
kini para prajurit pengawal memasuki alun-alun.
Prajurit-prajurit itu mengayunkan pedang mereka ke kiri dan ke kanan, dan banyak
pencuri yang terinjak-injak kuda. Darah mulai mengalir. Pekik ketakutan dan
kemarahan memenuhi alun-alun.
Di dalam gereja, Raja berteriak, "Mari kita ambil apa yang bisa diambil!" dan
dia berlari ke tempat piring-piring dan cangkir dari emas yang bersinar kena
cahaya obor para pencuri itu. Emas itu menyebabkannya melupakan niatnya untuk
membawa lari penari gipsy dari gereja itu.
"Semuanya kepunyaan kita, semua emas ini emas kita!" seruorang-orang itu, dan
mereka mengambil semuanya yang bisa mereka bawa.
"Cepat ambil semua!"
"Aku tak suka begini," gumam Gringoire sendiri. "Kalau aku tetap di sini, aku
akan dianggap pencuri pula. Saatnya belum tepat untuk mencari istriku. Aku akan
keluar lewat jalan lain saja!"
Dia berlari ke ujung gereja, di sebelah lain dari alun-alun.
"Seingatku, di sebelah ini ada sebuah pintu kecil," katanya dan dia bergegas ke
tempat itu. "Benar ini dia!"
Pintu itu tertutup rapat dengan palang besi. Gringoire menarik palang besi itu
dengan sekuat tenaganya. Dia berhasil.
Di langit sudah kelihatan tanda-tanda fajar, waktu dia berlari keluar dari
Notre-Dame dan langsung ke jalan.
*** Setelah Quasimodo meninggalkan Esmeralda di tempat tidur, dia tetap berbaring di
situ beberapa lamanya sambil tetap mendekap Djali untuk menenangkan hatinya.
Didengarkannya keributan-keributan aneh yang memenuhi gereja, dan dia bertanyatanya keributan apakah itu gerangan.
Akhirnya dia bangkit, pergi ke pintu kamarnya dan melihat ke bawah tangga.
Dilihatnya banyak bayangan bergerak - bayangan itu disebabkan oleh obor yang
dibawa pencuri-pencuri. "Sebaiknya kita kembali ke kamar kita, Djali," katanya. Tapi pada saat itu,
terdengar suatu pekik yang mengerikan dari sebuah jendela yang menjorok ke atap,
dekat kepalanya. "Apa itu?" serunya, "siapa itu?"
Pekik itu terdengar terus beberapa lamanya, kemudian hilang. Tapi kambing itu
tidak menunggu sampai suara itu hilang. Binatan yang ketakutan itu lari dari
Esmeralda, dan lari terus menuruni tangga.
"Djali!" teriak gadis gipsy itu. "Djali, kemari, kemari!" Gadis itu tidak
mengingat bahaya yang mengancam dirinya sendiri, barang sesaat pun, disusulnya
kambingnya menuruni tangga.
Tangga itu berakhir di dekat pintu kecil yang dilalui Gringoire waktu keluar
tadi. Pintu itu dibiarkannya terbuka tadi.
Esmeralda tiba di kaki tangga, dan sempat melihat Djali keluar dari pintu itu.
Dia menyusulnya. "Djali!" panggilnya, "Djali!"
Pencuri-pencuri di dalam gereja itu semuanya terlalu sibuk, hingga mereka tak
melihat gadis itu melewati gereja tadi dan terus keluar. Tak seorang pun
melihatnya. Ketika dia berlari di jalan itu, didengarnya lagi suara teriakan yang mengerikan
tadi dari atas, tapi dia tidak berhenti untuk melihatnya.
Teriakan itu keluar dari bibir Frollo, bibir yang putih ketakutan. Waktu dia
meninggalkan kamar gadis gipsy itu, dia merasa seolah-olah dia terbakar. Dia
ingin mencari udara, udara sejuk di malam buta itu. Dilihatnya sebuah pintu yang
terbuka dan langit di luarnya dan dia berlari ke atap. Di sana dia berbaring
dengan nafas yang tersengal-sengal.
Kemudian didengarnya si bongkok menyusulnya. Dia bangkit, lalu berlari terus di
sepanjang atap. Kakinya tersandung, lalu dia jatuh ke arah luar atap. Dia sempat
berpegang pada leher salah satu gargoyle, dan bergantung saja di situ. Jalan
berada jauh di bawahnya, dan waktu dia melihat ke bawah, dia berteriak sehabis
suaranya, karena ngeri. Kemudian dia menengadah. Di atasnya, berdirilah si bongkok. Air mukanya polos
sekali, tiada membayangkan perasaan apa-apa, dia hanya menatap imam itu.
"Tolong aku!" teriak Frollo.
Quasimodo tidak bergerak.
"Demi Tuhan, tolonglah aku!" pekik Frollo lagi.
Dengan hanya mengulurkan tangannya dan menariknya saja, si bongkok sebenarnya
sudah bisa menyelamatkan imam itu. Namun Quasimodo berdiri saja dengan kedua
belah tangannya tergantung di sisinya. Dia tidak berkata apa-apa, tidak pula
berbuat apa-apa. Dia hanya menunggu akan menyaksikan imam itu jatuh sampai mati.
Imam itu melihat ke jalan yang berada jauh di bawahnya dan dia mulai berteriak
lagi. Kemudian diangkatnya lagi kepalanya, dan digigitnya bibirnya yang gemetar
sampai berdarah. Kekuatannya makin berkurang. Dia tak bisa bertahan lama lagi.
Namun si bongkok tetap berdiri mengawasinya menderita.
Jari-jari yang mencengkam leher gargoyle itu mulai melemas.
*** Setelah Gringoire meninggalkan Notre-Dame dia berjalan cepat sepanjang jalan
yang sempit, tapi kemudian dia berhenti dan berpikir.
"Aku harus tetap menjauh dari para prajurit," katanya, "dan aku harus tetap
menjauh dari pencuri-pencuri yang membawa emas itu. Kalau aku berjalan tenangtenang seorang diri saja, aku akan selamat."
Dia baru saja akan mulai berjalan lagi, waktu dilihatnya seekor binatang putih
berlari di jalan itu ke arahnya.
"Itu si Djali!" serunya waktu dilihatnya tanduk keemasan kambing itu. "Djali,
mari, kemari!" Tapi kambing yang ketakutan itu berlari terus melewatinya.
Gringoire berbalik akan mengejar kambing itu, tapi kemudian dilihatnya Esmeralda
berlari melewatinya pula dengan rambutnya yang hitam terurai-urai.
"Berhenti!" teriaknya, "berhenti! berhenti!" dan dia berlari bersisian dengan
Esmeralda. Esmeralda tak menoleh untuk melihat siapa dia. Seluruh pikirannya tertuju pada
Djali. Dia tak tahu lagi ke mana dia berlari dan demikian pula Gringoire. Mereka
berdua hanya mengikuti kambing itu saja, di sepanjang jalan kecil itu.
"Esmeralda!" panggilnya, "istriku!"
Esmeralda tetap seperti tak mendengarnya. "Esmeralda! Esmeralda!"
Mereka membelok dan di sana ada sekumpulan orang banyak. Dua di antara orangorang itu sedang memegang Djali. Yang lain sedang menyerang sebuah bangunan
kecil dengan segala macam alat yang berat dan tajam. Sebagian dari bangunan itu
sudah runtuh. "Itu Esmeralda!" teriak laki-laki yang telah menangkap Djali, "itu penari cantik
kita!" Mereka itu rupanya pencuri-pencuri, demikian pula yang lain yang sedang merusak.


Si Bongkok Dari Notre Dame Karya Victor Hugo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Esmeralda pernah tinggal dengan mereka.
"Esmeralda!" teriak mereka.
Barulah gadis gipsy itu melihat di mana dia berada. Dia sedang berdiri di
samping Lubang Tikus, dan pencuri-pencuri itu sedang menghancurkannya. Yang
tinggal dari bangunan itu hanyalah setengah dari dindingnya saja lagi, dari
dalamnya Suster Gudule berteriak, "Jangan ganggu aku! Jangan ganggu aku!"
"Apa salahnya?" tanya Esmeralda. "Mengapa kalian menghancurkan rumahnya?"
"Dia suka mengutuk kita. Kami ingin memberi pelajaran padanya."
"Benar!" teriak seorang laki-laki kecil yang membawa obor, "kita akan segera
memberi pelajaran padanya!" Suaranya, suara orang yang telah minum anggur
terlalu banyak. "Kasihan wanita tua itu, biar aku masuk menemuinya!" kata gadis si gipsy lalu
menyelinap di tengah-tengah orang-orang itu.
Suster Gudule terbaring di lantai, seperti binatang yang sudah kalah. Dia
menggenggam sesuatu erat-erat dan dia berteriak berulang kali, "Jangan ganggu
aku! Jangan ganggu aku! Jangan ganggu aku!"
Esmeralda berlutut di sampingnya.
"Mereka tidak akan mengganggu Anda," katanya. "Saya tidak akan membiarkan mereka
mengganggu Anda. Jangan takut!"
Dirangkulnya pundak wanita tua itu. Barulah Suster Gudule menyadari kehadiran
gadis itu di sampingnya. Dia mendongak memandang Esmeralda dalam keremangan
fajar dan obor pencuri-pencuri yang mulai memudar itu.
"Siapa kau?" tanyanya. "Aku kenal kau! Rupamu seperti gipsy! Kau...."
Tiba-tiba dia terhenti. Sesuatu terjatuh dari tangannya, dan dia menjatuhkan
dirinya ke lantai untuk mencarinya.
"Nah ini dia! Untung tak hilang!" serunya, lalu dipungutnya sebelah sepatu bayi.
"Coba saya lihat sepatu itu!" seru Esmeralda. "Saya harus melihatnya."
Setelah dilihatnya, gadis itu lalu membuka kantong hijau yang berkaca hijau,
yang selalu digantungkannya di lehernya. Dari kantong itu dikeluarkannya sebelah
sepatu bayi pula, yang sama benar dengan kepunyaan Suster Gudule. Pada sepatu
itu tertulis dengan tinta yang sudah mengabur, kata-kata berikut,
"Bila kaujumpai pasangan sepatu ini, akan kaujumpai pula ibumu."
Wanita tua itu dengan cepat menyamakan kedua sepatu tersebut dan mengamatamatinya, kemudian dibacanya tulisan pada kertas itu, dan dipandangnya
Esmeralda. "Anakku!" teriaknya, "anakku!"
Esmeralda merangkul ibunya, dan menciumnya berulang kali, sedang wanita tua itu
berbisik, "Anakku! Aku telah menemukan anakku!"
"Cepat lari!" teriak pencuri yang tadi menangkap Djali. "Cepat lari, sebelum
serdadu-sedadu itu datang."
Dibantunya Esmeralda berdiri.
"Kami akan melindungimu lagi," katanya. "Ya, kami akan menjagamu," kata yang
lain. "Aku tak bisa meninggalkan ibuku," kata Esmeralda.
"Kami akan melindungi dia juga," katanya. "Kalian berdua akan aman dengan kami,
tapi cepatlah ikut kami!"
*** Setelah Frollo jatuh sampai mati di jalan di bawah menara itu,
Quasimodo perlahan-lahan kembali ke kamar Esmeralda. Waktu dilihatnya bahwa
kamar itu kosong, dia berbaring di tempat tidur lalu menangis seperti anak
kecil. Akhirnya dia bangkit lalu pergi ke jendela.
Matahari telah terbit dan kota telah bangun. Dia melihat terus ke bawah, seolaholah mencari gipsy cantik itu, yang tersembunyi di kota di bawahnya. Kemudian
matanya tertuju ke arah Lubang Tikus yang sudah rusak dan kosong. Tapi
reruntuhan yang sudah ditinggalkan itu terlalu jauh, hingga dia tak dapat
melihatnya. Berjam-jam dia berdiri di situ, seperti salah satu gargoyle yang
selalu melihat ke bawah, siang malam, dari menara-menara Notre-Dame.
Setelah matahari di musim salju itu mulai memudar, barulah dia masuk perlahanlahan. Sebentar kemudian salah sebuah lonceng Notre-Dame mulai berbunyi dengan
nada-nada sedih yang aneh, yang terus berlangsung sampai jauh malam.
END Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Pulau Setan 2 Pendekar Bayangan Sukma Iblis Berbaju Hijau Geger Dunia Persilatan 16

Cari Blog Ini