Ceritasilat Novel Online

Kelas Dua Di Malory 1

Kelas Dua Di Malory Towers Karya Enid Blyton Bagian 1


Kelas Dua di Malory Towers
Ebook : Raynold (www.tagtag.com/tamanbacaan)
Pdf : DewiKZ (Kangzusi.com)
1. KEMBALI KE MALORY TOWERS
"Aku sungguh menikmati liburan ini," kata Darrell saat ia memasuki mobil
ayahnya, siap untuk berangkat ke sekolahnya kembali. "Tetapi aku gembira waktu
sekolah sudah tiba. Bayangkan, dua minggu aku telah meninggalkannya!"
"Wah, wah, wah, terlalu lama, ya" Ibumu terlambat lagi!" kata ayahnya. "Sudah
siap atau belumkah dia" Apakah harus kubunyikan klakson" Aneh, bukan" Kalau
waktu berangkat ke sekolah, selalu aku saja yang pertama kali siap. Ah, itu
dia!" Nyonya Rivers bergegas menuruni tangga. "Oh, maaf, tadi ada telepon!" katanya.
"Dari ibu Sally Hope, Darrell. Ia bertanya kapan kita akan menjemput Sally."
Sally Hope adalah sahabat terdekat Darrell. Pak Rivers, ayah Darrell, akan
membawa keduanya dengan mobil menuju Malory Towers, sekolah berasrama mereka di
daerah Cornwall. Mereka merencanakan untuk berangkat seawal mungkin, agar bisa
mencapai tempat itu sebelum gelap.
Sedih juga meninggalkan rumah, tetapi aku gembira sekali kembali ke sekolah,"
kata Darrell. "Ini semester kelimaku di Malory Towers, Ibu, dan aku akan berada di kelas dua.
Wah, alangkah gagah rasanya aku!"
"Ya, tetapi itu wajar. Sekarang kau berumur tiga belas tahun, jadi kalau kau
tidak naik ke kelas dua itu aneh namanya," kata ibunya, masuk ke mobil. "Kau
pasti akan memandang rendah anak-anak kelas satu, ya" Pasti mereka kauanggap
bayi saja semua." "Mungkin juga," kata Darrell, tertawa. "Kan anak-anak kelas tiga juga memandang
rendah pada kami. Jadi ya, sama-samalah!"
"Itu adikmu melambaikan tangan padamu," kata Pak Rivers. Ia nanti akan sangat
rindu padamu, Darrell."
Darrell melambaikan tangannya dengan bersemangat. "Selamat tinggal, Felicity!"
serunya. "Kau harus menyusulku kelak, kalau sudah besar, ke Malory Towers. Jadi
kita bisa bersekolah bersama!"
Mobil meninggalkan halaman dan memasuki jalan. Untuk terakhir kalinya Darrell
memandang ke rumahnya. Selama tiga bulan mendatang ia tak akan melihat lagi
rumah itu. Ia merasa sedih sesaat. Tetapi dengan cepat ia mengalihkan pikirannya
ke sekolahnya, dan rasa sedihnya hilang, ia begitu mencintai sekolahnya, ia
bangga menjadi murid sekolah itu. Empat semester telah dilewatinya di kelas satu
dengan Nona Potts, dan kini ia harus melewati setahun lagi di kelas dua. Setahun
yang pasti menyenangkan baginya.
Satu jam kemudian mereka sampai di rumah Sally Hope. Sally sudah siap. Kopor
besarnya dan tas kecilnya berdiri di tangga rumah. Di samping Sally berdiri
ibunya, dan di dekat keduanya berdiri seorang anak kecil berumur sekitar satu
setengah tahun yang memegang tangan Sally erat-erat.
"Halo, Sally! Halo, Daffy!" teriak Darrell. "Bagus, kau sudah siap!"
Kopor besar Sally dimasukkan ke tempat barang di mobil, tas kecil diikatkan di
rak di atap mobil. Tongkat lacrosse (permainan bola dengan menggunakan tongkat
hampir mirip hockey) diselipkan di antara berbagai barang, dan Sally siap sudah
untuk berangkat. "Ikut!" jerit Daffy dengan mata tergenang air mata saat ia sadar bahwa Sally
yang dicintainya akan pergi.
"Selamat tinggal, Ibu! Aku akan segera kirim surat!" seru Sally. "Selamat
tinggal, Daffy sayang!"
Mobil berangkat lagi. Daffy mulai menangis. Sally agak gelisah. "Berat rasanya
meninggalkan Ibu," katanya. "Dan kini berat bagiku untuk meninggalkan Daffy. Ia
lucu sekali kini, bisa berlarian ke sana kemari dan kata-katanya sungguh lucu!"
"Padahal dulu kau membencinya, waktu ia masih bayi," kata Darrell. "Kini aku
yakin kau takkan bisa berpisah terlalu lama dengannya. Menyenangkan kan punya
adik?" "Ya, dan memang aku dulu sungguh jahat padanya," kata Sally. "Sungguh tak
menyenangkan semester pertamaku di Malory Towers itu. Aku begitu sedih. Kukira
aku sudah tak dikehendaki ibu lagi di rumah, hingga aku dikirim ke sekolah
berasrama. Kukira ibuku tak menyukai aku lagi, karena Daffy sudah lahir. Wah,
saat itu aku bahkan benci padamu, Darrell! Aneh, ya?"
"Dan kini kita bersahabat baik!" kata Darrell, tertawa. "Oh, ya, siapa kira-kira
yang akan jadi ketua kelas di kelas dua nanti" Katherine kini sudah naik ke
kelas tiga. Ia takkan mungkin jadi ketua kelas dua. Harus diganti."
"Mungkin Alicia," kata Sally. "Ia yang tertua."
"Aku tahu. Tapi coba pikir, apakah ia akan menjadi ketua yang baik" Aku tahu ia
pintar, cerdas, angkanya selalu terbaik. Tetapi bukankah ia terlalu suka
bercanda?" "Mungkin ia akan menghentikan kegemarannya itu bila sudah menjadi ketua kelas,"
kata Sally. "Apa yang diperlukan Alicia adalah sedikit tanggung jawab. Begitulah
pendapatku. Selama ini ia tak mau menerima tanggung jawab. Kau ingat Perjalanan
Ilmiah di semester yang lalu" Ia dipilih menjadi pimpinan, tetapi ia menolak.
Tetapi kurasa ada alasan lain yang membuatnya tidak cocok untuk menjadi ketua!"
"Apa?" tanya Darrell, menyukai gunjingan tentang kawan-kawan sekelasnya itu.
"Sifatnya yang terlalu keras," kata Sally. "Ia tak pernah peduli bila ada anak
lain menderita kesulitan, ia tak pernah berusaha untuk punya hati yang pemurah.
Kalau ia jadi ketua kelas, maka ia akan hanya memberi perintah dan menghendaki
perintah itu dilaksanakan, tanpa memikirkan perasaan anak-anak lain. Kau takkan
mau punya ketua kelas seperti itu, kan?"
"Lalu siapa yang kaupikir cocok untuk jadi ketua kelas?" tanya Darrell.
"Bagaimana kalau kau sendiri" Kau pandai sekali menyelami jiwa orang lain. Kau
senang sekali membantu orang lain. Dan kau... kau begitu mantap, tak pernah tak
bisa menguasai diri seperti aku, atau tak pernah terlalu gusar pada sesuatu yang
tak perlu. Aku akan senang bila kau jadi ketua kelas."
"Aku tak ingin jadi ketua kelas," kata Sally. "Dan lagi pula, takkan mungkin aku
jadi ketua kelas. Aku rasa kaulah yang tepat untuk jadi ketua kelas, Darrell.
Semua menyukaimu dan mempercayaimu."
Sesaat Darrell memikirkan, apakah memang mungkin baginya untuk menjadi ketua
kelas. Memang benar bahwa semua anak, kecuali satu-dua orang, suka padanya.
"Tetapi aku suka marah," kata Darrell, dengan rasa sesal. "Lihat, bagaimana aku
meledak semester yang lalu, ketika Marigold memarahiku di lapangan tenis - hanya
karena ia keliru mengenaliku, dikiranya aku anak lain. Tentu saja saat itu aku
tak tahu bahwa ia keliru, dan langsung saja aku menjerit-jerit padanya,
membanting raketku, dan menghentak-hentakkan kaki. Aku sama sekali tak sadar
akan apa yang kulakukan!"
"Oh, hari itu agaknya kau terlalu banyak terkena sinar matahari, hingga mudah
meledak," kata Sally, tertawa. "Kan biasanya kau tak sembarangan marah besar.
Kau telah belajar menguasai rasa marahmu hanya untuk hal-hal yang perlu saja.
Untuk menghadapi si Tolol Gwendoline Mary itu, misalnya."
Darrell ikut tertawa. "Ya. Ia memang keterlaluan, ya" Kau ingat, bagaimana
tergila-gilanya ia pada Nona Terry, guru menyanyi yang menggantikan Pak Young
selama dua bulan itu" Dan betapa tololnya Nona Terry, mau meladeni rayuan anak
manja itu!" "Oh, Gwendoline akan selalu tergila-gila pada seseorang," kata Sally. "Ia memang
bersifat begitu. Aku yakin semester ini ia juga akan memilih seseorang kemudian
merapatinya, memujanya, mengikutinya terus ke mana pun ia pergi. Untunglah
takkan mungkin Gwendoline tergila-gila padaku."
"Mudah-mudahan ada murid baru," kata Darrell. "Senang ya bila ada pribadi baru
dan kita harus mulai mempelajarinya lagi?"
"Pasti ada murid baru," Sally mengangguk. "Hei, akan sangat lucu sekali kalau
Mary-Lou yang terpilih menjadi ketua kelas!"
Kedua anak itu tertawa tergelak-gelak. Mary-Lou sangat menyukai baik Sally
maupun Darrell - walaupun sesungguhnya Darrell-lah yang sangat dipujanya
bagaikan seorang pahlawan. Sally serta Darrell juga sangat menyukai anak ini.
Mary-Lou seorang anak yang pemalu, penakut, selalu mencoba menghindar dari
bentuk pertanggungjawaban apa pun. Pastilah sangat lucu untuk melihat wajahnya
bila ia diserahi tugas menjadi ketua kelas.
"Bisa pingsan dia," kata Darrell. "Tetapi kurasa sekarang ia jauh lebih baik,
Sally. Kau ingat, betapa kakinya selalu gemetar bila ketakutan" Kini hal itu
jarang sekali terjadi. Kita telah bersikap menghargainya, hingga rasa takutnya
mulai lenyap, ia mulai punya rasa kepercayaan pada diri sendiri, ia telah
berubah. Takkan seperti dulu lagi."
Perjalanan ke Cornwall sungguh jauh. Beberapa kali mereka berhenti di pinggir
jalan, makan dan minum, duduk di rerumputan. Dan sekali-sekali Nyonya Rivers
menggantikan suaminya memegang kemudi mobil. Darrell dan Sally yang duduk di
belakang kadang-kadang ribut bercakap-cakap, kadang-kadang hampir tertidur
lelap. "Sudah hampir sampai," kata Pak Rivers akhirnya. "Sebentar lagi kita pasti akan
melihat mobil-mobil yang juga membawa murid-murid Malory Towers. Cobalah pasang
mata." Benar juga. Segera mereka melihat sebuah mobil rendah, merah. Milik keluarga
Irene. Irene yang duduk di belakang melambaikan tangan begitu bersemangat,
sehingga hampir membuat kaca mata ayahnya terlontar jatuh. Hampir saja mobil itu
keluar dari jalanan. "Sungguh khas Irene," kata Sally, tertawa. "Hei, Irene! Bagaimana liburanmu?"
Untuk beberapa saat kedua mobil itu berdampingan. Sally dan Darrell gembira
sekali melihat Irene yang berwajah ria itu. Mereka menyukai anak itu. Irene
seorang anak yang sangat pandai, terutama dalam bidang musik, tetapi ia sangat
pelupa. Selalu saja ia kehilangan sesuatu. Tetapi ia sangat periang, hingga
jarang ada yang merasa gusar terhadapnya.
"Itu ada mobil lagi! Punya siapa, ya?" kata Sally. Sebuah mobil muncul dari
jalan kecil, dan di bagasinya tampak kopor dengan tanda sekolah mereka. Mobil
itu kini berada di depan mobil mereka.
"Mungkin milik anak di kelas atas," kata Darrell. "Tampaknya Georgina Thomas.
Entah siapa yang akan menjadi ketua umum nanti, ya" Pamela sudah lulus. Kuharap
bukan Georgina yang menggantikannya, ia terlalu suka memerintah!"
Mereka telah dekat sekali dengan Malory Towers. Satu tikungan lagi dan muncullah
sekolah itu di hadapan mereka. Kedua anak itu sesaat terdiam. Mereka sangat
mencintai sekolah itu dan sangat bangga. Bangunan kelabu, besar, dan megah,
dengan keempat menara berbentuk silinder - Menara Utara, Menara Selatan, Menara
Timur, dan Menara Barat. Beberapa tanaman sulur-suluran yang kini mulai berwarna
merah merambat sampai ke atap.
"Itulah puri kita," kata Darrell bangga. "Malory Towers. Sekolah terbaik di
dunia!" Tak lama mobil telah memasuki halamannya yang luas, berhenti di depan pintu
gedung yang besar serta bertelundakan melengkung itu. Beberapa mobil sudah
berada di tempat itu. Anak-anak berkelompok-kelompok berceloteh ramai. Saling
panggil dengan suara gembira terdengar.
"Halo, Lucy! Hei, itu Freda! Wah, coklat benar kulitnya! Senang liburan, Freda"
Agaknya kau tinggal terus di dalam air, ya" Kulitmu coklat sekali!"
"Halo, Jenny! Kau terima suratku" Kau tak pernah membalas! Sialan! Hei, jangan
injak tasku!" "Selamat jalan, Ibu! Selamat jalan, Ayah! Aku akan segera menulis surat. Jangan
lupa memberi makan tikusku!"
"Hei, minggir! Ada mobil! Oh, itu Betty Hill. Betty! Betty! Kau bawa lelucon apa
lagi?" Mata Betty yang licik menjenguk ke luar mobil, dengan dahi hampir tertutup oleh
segulung rambut. "Pasti ada!" katanya, sambil keluar. "Kau pasti takkan
menduganya. Ada yang lihat Alicia" Atau, apakah ia belum datang?"
"Kereta api belum datang. Seperti biasanya, terlambat."
"Darrell! Darrell Rivers! Halo! Dan Sally juga! Ayo cepat, kita cari kamar kita!
Ayo!" Betapa ributnya. Hiruk-pikuk! Darrell merasa berkobar semangatnya. Sungguh
menyenangkan kembali ke sekolah. Ke Malory Towers.
2. TIGA ANAK BARU Darrell mengucapkan selamat jalan pada kedua orang tuanya dan mereka segera
meninggalkan sekolah itu. Darrell selalu gembira bahwa ayah dan ibunya selalu
bersikap wajar bila mereka berpisah. Tidak seperti ibu Gwendoline yang selalu
menangis tak keruan bila berpisah dengan putrinya. Ayah-ibu Darrell tetap saja
berbicara dan bercanda dengan dia sebelum meninggalkannya, berjanji akan datang
lagi di hari libur tengah semester. Dan mereka berangkat sambil melambaikan
tangan dengan gembira. Tak lama ia dan Sally telah masuk ke dalam gedung besar itu, membawa tas kecil
mereka dan tongkat-tongkat lacrosse yang begitu sering mengenai kaki-kaki anakanak di sekitar mereka. Di ruang utama Nona Potts menunggu, ia adalah wali kelas mereka ketika di kelas
satu. Dan ia masih menjadi ketua asrama, sedang baik Sally maupun Darrell masih
tinggal di asrama Menara Utara. Semua murid tinggal di asrama-asrama yang
masing-masing berada di menara-menara sekolah itu, dinamai menurut nama
menaranya, dan tiap asrama diketuai oleh seorang guru dan diurus oleh seorang
ibu asrama. Nona Potts melihat Sally dan Darrell, dan segera memanggil mereka. "Sally!
Darrell. Bantu aku mengurus murid baru ini. Ia akan masuk kelas dua seperti
kalian, dan akan tinggal di asrama kalian. Bawalah dia ke Ibu Asrama."
Darrell melihat seorang anak bertubuh tinggi kurus di samping Nona Potts, tampak
gugup dan takut. Darrell ingat betapa gugupnya ia dulu sewaktu pertama kali
datang ke Malory Towers. Ia kasihan pada anak baru itu. Didekatinya dia, dengan
Sally mengikuti di belakangnya.
"Halo, mari ikut kami. Akan kami tunjukkan apa-apa yang harus kauketahui. Siapa
namamu?" "Ellen Wilson," kata anak itu. Wajahnya sangat pucat, tampak lelah. Di tengah
dahinya terdapat suatu garis dalam, hampir tepat di antara kedua alisnya, hingga
tampak seolah-olah ia selalu mengernyitkan kening. Darrell tak begitu menyukai
wajah anak ini. Tetapi ia tetap juga tersenyum ramah.
"Pastilah kau kebingungan oleh hiruk-pikuk ini," kata Darrell. "Aku merasa
begitu juga tahun lalu. Namaku Darrell Rivers. Dan ini sahabatku, Sally Hope."
Ellen tersenyum sopan, kemudian tanpa bersuara ia mengikuti Darrell dan Sally.
Bertiga mereka berusaha menembus kerumunan anak-anak itu.
"Hei, itu Mary-Lou!" tiba-tiba Darrell berseru. "Halo, Mary-Lou! Wah, kau masih
bisa tumbuh, ya?" Mary-Lou tersenyum. "Mudah-mudahan begitu," katanya. "Aku sudah bosan menjadi
anak terkecil di kelas. Siapa ini?"
"Ellen Wilson. Anak baru. Kelas dua," kata Darrell.
"Tinggal di asrama kita," tambah Sally. "Kami akan membawanya menghadap Ibu
Asrama. Hai, itu Irene. Irene! Kami lihat kau tadi menampar kaca mata ayahmu
hingga hampir terjatuh waktu kau melambai pada kami."
Irene tertawa. "Ya, itu ketiga kalinya. Ayah sudah bosan padaku. Kalian akan
menemui Ibu Asrama?"
"Kau sudah siap dengan surat doktermu?" tanya Sally menahan tawa. Irene selalu
jadi bahan tertawaan bila mereka kembali ke sekolah. Irene selalu lupa membawa
surat dokter, tak peduli bagaimanapun ibunya menaruh surat tersebut baik-baik di
tas kecilnya, atau menaruhnya dalam amplop serta dimasukkan ke saku Irene agar
ia tak lupa. "Kau bawa?" Darrell bertanya pada Ellen Wilson. "Kita harus segera memberikannya
pada Ibu Asrama. Dan celakalah anak yang kena suatu penyakit padahal ia baru
saja menyerahkan surat dokter dan yakin tak pernah dekat dengan orang sakit
sekali pun. Hei, Irene! Masa kau lupa lagi?"
Irene sedang sibuk mencari-cari di saku bajunya. Mukanya tampak lucu-lucu
bingung. "Wah, di mana, ya?" katanya. "Mungkin di tas kecilku. Tetapi tidak.
Kata Ibu tadi, beliau tak akan menaruh lagi surat dokter di dalam tas, sebab di
situ surat tersebut selalu lenyap. Sialan!"
"Ibu Asrama berjanji akan mengucilkanmu bila kau berani datang tanpa bawa surat
dokter," kata Sally. "Kau akan terpaksa harus tinggal di sana selama dua hari
sampai ibumu bisa mengirimkan lagi selembar surat dokter. Kau sungguh
keterlaluan, Irene!"
Sambil terus mencari-cari di seluruh saku-sakunya, Irene mengikuti Sally,
Darrell, dan Ellen ke Menara Utara. Kamar untuk kelas dua tak jauh dari kamar
untuk kelas satu dulu. Letaknya di tingkat dua. Sebuah kamar yang indah rapi
dengan sepuluh tempat tidur yang masing-masing ditutup dengan selimut bulu
angsa. Anak-anak melontarkan tas-tas kecil mereka di kamar dan kini mereka pergi untuk
mencari ibu asrama mereka. Ah, itu dia, sedang mendorong masuk seorang anak baru
lagi. Darrell memperhatikan anak itu. Umurnya agaknya seumur dengan Darrell,
rambutnya sama - hitam pendek berombak, pendek sekali sehingga mirip rambut anak
lelaki. Anak itu tampak tak begitu rapi dan kotor. Tetapi senyumnya begitu
menarik, matanya berseri saat ia menoleh pada Darrell dan kawan-kawannya, ia
sama sekali tidak tampak kebingungan dalam hiruk-pikuk itu. Tidak seperti Ellen.


Kelas Dua Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, Sally, Darrell. Ini ada anak baru lagi," kata Ibu Asrama. "Tolong urus.
Namanya Belinda Morris. Kalian semua sudah bawa tas tempat keperluan seharihari" Dan surat dokter?"
"Tas-tas kami ada di sana." Darrel menunjuk ke tempat mereka tadi melemparkan
tas-tas di lantai. "Dan ini surat dokterku, Ibu."
"Di mana tasku?" tanya Belinda tiba-tiba.
"Kan baru saja kaupegang?" Ibu Asrama melihat berkeliling. "Pokoknya berikan
dulu surat doktermu, nanti kau bisa mencari tas itu."
"Tetapi surat itu ada di dalam tas." Belinda melihat ke sana kemari.
"Paling-paling kau menaruh tas itu di gang, hingga tertendang oleh semua orang!"
kata Ibu Asrama. "Yang lain dulu! Terima kasih, Darrell. Dan ini punya Sally...
ini punya Mary-Lou... ini punya El'en. Bagaimana kau, Irene?"
"Aneh sekali, Ibu," kata Irene, mulai mencari-cari di saku-sakunya lagi. "Aku
yakin aku membawanya waktu aku berangkat pagi tadi. Aku ingat ibuku berkata..."
Ibu Asrama ternganga memperhatikan Irene. "Irene! Jangan kau nekat mengatakan
bahwa kau tak membawa surat dokter lagi! Kau tahu apa yang kukatakan semester
yang lalu. Anak yang tidak membawa surat dokter akan di karantina sampai surat
itu ada! Aku belum pernah melakukan peraturan itu, tetapi dalam hal dirimu ini
kukira..." "Oh, Ibu, jangan tempatkan aku di pengasingan!" pinta Irene, sambil mengambil
tasnya dan membongkar semua isinya. "Aku pasti akan menemukannya!"
Anak-anak yang lain tertawa menonton ulah Irene. Irene sangat lucu tingkahnya
bila kehilangan sesuatu. Ibu Asrama menunggu dengan wajah kaku. Irene membungkuk
untuk memeriksa isi tasnya lebih teliti. Dan tiba-tiba ia berseru kesakitan,
memegang dadanya. "Oh, ada yang menusuk dadaku. Apa, ya" Tajam sekali," katanya, menggosok-gosok
dadanya. Dibukanya kancing depan jaketnya - dan anak-anak tertawa terpingkalpingkal! "Irene! Keledai kau! Surat doktermu kaupenitikan di dadamu! Jadi takkan mungkin
hilang walaupun kau berniat untuk menghilangkannya!"
Irene lega kembali. "Oh, tentu saja!" Ia membuka peniti yang melekatkan surat
dokter tadi. "Aku ingat kini. Aku tahu bahwa pasti aku akan menghilangkan surat
ini, jadi kupenitikan di sini. Nih, Ibu. Anda tak usah mengasingkan aku."
Ibu Asrama menerima surat tadi dan mengumpulkannya dengan surat-surat dokter
yang lain. "Hampir saja, Irene," katanya. Wajahnya yang gemuk tersenyum. "Kau
membuatku semakin tua di tiap awal semester. Nah, Anak-anak, kalian boleh
membongkar isi tas-tas kalian. Kopor besar baru akan dibuka besok dan kemudian
kalian harus memeriksa daftar pakaian yang kalian bawa."
Ibu Asrama pergi meninggalkan mereka, menemui anak-anak lain, mengumpulkan surat
dokter, menenangkan keributan di sana-sini, menyambut kedatangan sekitar enam
puluh orang anak yang akan menjadi penghuni Menara Utara itu. Di menara-menara
lain ibu-ibu asrama juga melakukan hal yang sama. Sungguh tugas berat untuk
menyambut kedatangan sekitar dua ratus lima puluh orang anak dengan berbagai
tingkah dan bawaan itu! Belinda telah pergi untuk mencari tasnya. Sementara yang lain telah mengeluarkan
dan mengatur kembali isi tas masing-masing, Belinda datang membawa sebuah tas
berwarna coklat. Dibukanya tas itu dan dikeluarkannya selembar piyama, ia
mengamat-amati piyama itu dengan keheranan.
"Hei, aku tak tahu aku punya piyama seperti ini!" katanya. "Dan sandal ini...
wah, bagusnya! Mungkin ibuku diam-diam memasukkannya ke dalam tasku. Untuk
kejutan!" Darrell memperhatikan tas Belinda dan ia tertawa. "Kau akan mendapat kesulitan
kalau kauteruskan mengeluarkan barang-barang di tas itu, Belinda," katanya. "Itu
milik Georgina Thomas! Ia pasti marah besar kalau tahu kau membuka tasnya.
Mungkin saat ini ia sedang mencari tas ini. Tak dapatkah kau membaca, Belinda?"
Darrell menunjuk nama yang disulamkan di leher piyama itu. Di situ tertulis,
'Georgina Thomas'. "Ya, ampun! Aku sungguh keledai!" seru Belinda, cepat-cepat memasukkan apa yang
telah dikeluarkannya kembali ke dalam tas itu sembarangan saja. "Aku kira ini
tasku!" Ia berlari ke luar kamar dengan tas tersebut. Darrell tertawa pada Irene.
"Entah apa jadinya sekarang, dengan dua orang anak pelupa seperti kau, Irene,"
katanya. "Satu saja sudah tak keruan, apalagi dua! Berdua kalian akan membuat
Mam'zelle gila! Dan wali kelas kita, Nona Parker... Yah, kau tahu ia itu
bagaimana. Sama sekali tak mau mengampuni siapa pun yang kurang teliti! Kita
pasti akan menyaksikan berbagai peristiwa meriah dengan adanya kalian berdua di
kelas!" Irene tidak marah digoda seperti itu. Ia seorang anak yang sangat pandai dan
sabar. Cemerlang dalam pelajaran, tetapi begitu pelupa dalam kehidupan seharihari. Tak ada anak yang begitu sering kehilangan buku, begitu sering keliru
masuk kelas kecuali Irene. Dan kini datang Belinda, yang nampaknya mempunyai
sifat seperti Irene. Irene senang pada tingkah Belinda itu dan memutuskan untuk
menjadikannya sahabatnya nanti.
Belinda segera muncul, kali ini membawa tasnya sendiri. Ditumpahkannya semua
isinya, dan kemudian mulai mengatur isi tas tadi seperti yang dilakukan anakanak lain. Piyama di bawah bantal, sikat gigi, kain pembasuh, pasta gigi, spon
di rak di ujung kamar dekat tempat basuh muka. Kemudian tas yang telah kosong
diletakkannya di gang di luar kamar, untuk nanti dikumpulkan dan dibawa ke
gudang tas. Terdengar keributan di tangga dan anak-anak itu mengangkat kepala. "Anak-anak
kereta api telah datang! Wah! Terlambat sekali!"
Kembali asrama itu diserbu oleh kedatangan banyak sekali anak-anak, kembali
saling teriak terdengar lagi.
Alicia Johns bergegas masuk dengan mata bersinar-sinar. Di belakangnya tampak
Jean, anak Skot yang biasa berbicara terus terang itu. Kemudian muncul Emily,
anak pendiam yang agaknya hanya tertarik pada jahit-menjahit dan sulam-menyulam.
"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan," Darrell menghitung.
"Tinggal dua lagi. Siapa, ya?"
"Yang satu Gwendoline Mary, kukira," kata Irene, mencibir. "Gwendoline Mary
Sayang. Aku yakin saat ini ibunya masih menangis tersedu-sedu di stasiun. Siapa
yang kesepuluh?" "Itu dia Gwendoline!" kata Darrell. Mereka mendengar suara melengking yang
sangat mereka kenal. Gwendoline Mary seorang anak manja. Dan walaupun Malory
Towers sudah banyak memperbaiki pribadinya, namun setiap sehabis liburan ia
selalu kembali dengan tingkah seperti semula.
Ia masuk, menggandeng anak yang kesepuluh. Gwendoline memperkenalkan anak itu.
"Halo, semuanya! Ini Daphne Millicent Turner, anak baru. Ia akan sekelas dengan
kita, dan juga sekamar. Tadi kami segerbong. Aku yakin kita semua akan segera
suka padanya!" 3. HARI PERTAMA Itu tentu saja suatu cara yang aneh untuk memperkenalkan seorang anak baru.
Apalagi karena anak-anak yang mendengarkan pengumuman' Gwendoline itu langsung
mengerti bahwa anak baru itu akan sangat disukai olehnya - dan barang siapa yang
disukai Gwendoline, hampir bisa dipastikan tak akan disukai anak-anak lain. Tapi
mereka semua tersenyum sopan pada anak baru itu, sambil diam-diam
memperhatikannya. Anak itu sangat cantik. Rambutnya yang keemasan ikal di dahinya, dan matanya
jauh lebih biru daripada mata Gwendoline. Tetapi kedua matanya lebih berdekatan
sehingga memberi kesan sifat licik pada wajahnya. Giginya putih bersih dan
senyumnya menawan. Senyum itu digunakannya sebaik-baiknya. "Aku senang sekali bisa datang ke Malory
Towers ini," katanya. "Aku belum pernah bersekolah selama ini!" (Anak-anak orang
kaya biasa belajar di rumah dengan guru pribadi).
"Dalam hal itu kita berdua sama," kata Gwendoline dengan lagu lega. "Aku juga
tak pernah bersekolah sebelum masuk kemari."
"Sesungguhnya lebih baik bagimu kalau sebelum kemari kau pernah bersekolah,"
kata Alicia pada Gwendoline. "Begitu banyak yang harus kaupelajari agar kau di
sini bisa berlaku seperti seorang anak yang betul-betul waras. Aku yakin selama
liburan ini kau dimanjakan oleh- guru pribadimu dan ibumu yang memuji-mujimu
sebagai anak yang paling luar biasa di dunia, ya?"
"Kurasa kau tak perlu langsung begitu tak sopan padaku, Alicia, segera setelah
baru saja kau bertemu denganku," kata Gwendoline gusar. "Ayo, Daphne,
kutunjukkan apa saja yang harus kaulakukan, dan tempat-tempat yang harus
kauketahui. Aku tahu bagaimana perasaan seseorang yang baru saja sampai di
tempat ini." Daphne tampaknya sangat berterima kasih. Tingkah lakunya sopan. Dengan manis ia
mengucapkan terima kasih pada siapa pun yang telah membantunya menunjukkan
sesuatu. Begitu cantik dan " anggun. Jelas bahwa Gwendoline agaknya telah
memilih Daphne ini untuk sahabat karibnya kelak.
"Betul juga kan kataku?" kata Sally pada Darrell. "Ia pasti akan tergila-gila
pada seseorang. Yah, biarlah ia menjadi sahabat Daphne. Anak baru itu terlalu
banyak tingkah yang dibuat-buat kulihat."
"Kata Gwendoline, ayah Daphne seorang jutawan," kata Darrell. Kedua anak itu
sedang turun ke lantai bawah untuk makan malam. "Katanya Daphne punya jururawat
sendiri, guru pribadi, dan pelayan khusus untuknya di rumahnya."
"Oh, mungkin karena itu Gwendoline sangat tertarik padanya," kata Sally. "Aku
sudah merasa, pasti ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Hei, Irene, kau masih
memakai topi! Apakah kau ingin memakainya terus" Juga waktu makan malam?"
"Ya, ampun!" seru Irene, menanggalkan topinya. "Aku lupa kalau aku memakai topi!
Mengapa tak kauingatkan aku, Belinda?"
Belinda menyeringai. "Aku sih tak yakin, apakah memang sudah adat di sini
memakai topi pada waktu makan malam," katanya.
"Banyak sekali hal yang aneh di sini. Tambah satu keanehan kukira tak apa."
"Kalian berdua sungguh pasangan yang cocok," kata Sally. "Ayo, Darrell, MaryLou... kita harus bergegas!"
Malam itu semua anak merasa sangat lelah. Anak-anak kelas dua begitu lega ketika
waktu tidur sudah tiba. Gwendoline telah memilih tempat tidur yang bersebelahan
dengan tempat tidur Daphne. "Kalau kau merasa sedih kesepian, bilang saja
padaku," katanya pada Daphne yang tampak sangat cantik dalam piyama biru dengan
rambut tergerai ke bahunya. Rambutnya kuning keemasan bagai rambut Gwendoline,
tetapi rambut Gwendoline lurus, sedangkan rambut Daphne ikal indah. Ini membuat
Gwendoline sedikit iri. "Aku memang akan merasa sedikit kesepian," kata Daphne. "Biasanya banyak orang
yang mengantarkan aku tidur.... Ibuku mengucapkan selamat malam, guru pribadiku
memeriksa apakah tidurku nyaman, dan pelayanku membereskan semua barangku. Aku
akan..." "Harap diam semua," kata Sally tiba-tiba.
Gwendoline langsung bangkit duduk. "Kau kan bukan ketua kelas, Sally," katanya.
"Kau tak berhak memerintah!"
"Memang," kata Sally. "Tetapi kau tahu peraturan di sini, Gwendoiine. Aku hanya
mengingatkanmu." Gwendoline berbaring lagi, dan mulai berbisik-bisik dengan Daphne. Sally jadi
gusar. "Tutup mulut, Gwendoline. Sudah lewat waktu tidur! Kita semua ingin tidur!"
"Tunggu saja sampai kau jadi ketua, baru nanti aku akan mengikuti perintahmu,"
kata Gwendoline, ingin pamer pada kawan barunya bahwa ia tak sudi diperintah
oleh siapa pun. "Besok baru kita tahu siapa yang akan jadi ketua!"
"Yang pasti bukan kau!" kata Alicia mengejek dari ujung ruangan.
"Sssst!" kata Darrell, mendengar suara langkah kaki di gang. Ternyata Ibu Asrama
yang hampir tak bersuara memasuki ruangan itu. Melihat beberapa orang belum
tidur, ia berkata lembut, "Belum tidur" Cepatlah! Jangan berbicara lagi. Selamat
tidur." Ibu Asrama keluar! Gwendoline berpikir-pikir, berbisik-bisik lagi atau tidak.
Tetapi dengkur lembut dari arah Daphne menyatakan bahwa anak itu telah tidur.
Tak ada gunanya mengganggu Sally dengan berbisik-bisik, sebab Daphne tak akan
menjawab bisikan itu. Tak lama semua anak kelas dua di kamar itu telah tidur nyenyak. Mereka tak
mendengar Nona Potts masuk untuk melihat-lihat. Mereka tak mendengar anak-anak
kelas enam agak ribut berjalan di depan kamar mereka untuk pergi tidur. Mereka
lelah sekali. Lonceng bangun pagi membuat semua terlompat terkejut. Beberapa saat Sally tak
tahu di mana dia berada. Tetapi kemudian ia tertawa sendiri. "Oh, itu tadi
lonceng sekolah!" katanya. "Kukira tadi apa!"
Hari pertama selalu menggembirakan. Tidak ada pelajaran yang sesungguhnya,
walaupun kelas-kelas sudah dimulai. Ulangan diberikan untuk mengetahui tingkat
pelajaran anak-anak baru. Buku, pensil, dan alat-alat sekolah lainnya dibagikan.
Daftar tugas disusun. Tiap anak akan mempunyai tugas-tugas tertentu, bergantian
setiap minggunya. Anak-anak baru dibawa menghadap Nona Grayling, kepala sekolah yang bersuara
lembut tapi berwibawa. Kepala Sekolah berbicara pada anak-anak itu tentang apa
yang diharapkannya dari mereka, seperti yang dulu pernah dikatakannya pada
Darrell sewaktu ia baru masuk. "Kalian akan memperoleh pelajaran banyak dari
Malory Towers, jadi kuharap kalian juga mau berbuat banyak untuknya dengan
menjadi salah satu murid yang berhasil. Yang aku anggap murid yang berhasil
adalah mereka yang kelak meninggalkan sekolah ini sebagai seorang yang cerdas,
bertanggung jawab, berhati lembut, dapat dipercaya, dan berpikiran terang seseorang yang bisa diandalkan oleh masyarakat sekelilingnya kelak. Bagi kami,
kegagalan adalah mereka yang tidak berhasil mempelajari apa saja yang diajarkan
di sini." Daphne, Ellen, dan Belinda serta anak-anak baru di kelas-kelas lain memperoleh
nasihat yang sama. Semua mendengarkan dengan teliti. Semuanya terkesan. Ada yang
ingat terus kata-kata tadi, sehingga biasanya mereka menjadi murid yang
berhasil. Ketiga anak dari kelas dua itu mendengarkan dengan penuh perhatian,
terutama Daphne. Nona Grayling menatap pandangan anak itu tanpa mengundang
perhatian si anak. Ia tahu banyak tentang Daphne Millicent Turner.
Daphne melihat pandangan kepala sekolah itu, dan ia mencoba memikat mata Nona
Grayling dengan matanya yang biru, menunjukkan bahwa ia sangat bersungguhsungguh mendengarkan petuah kepala sekolah tersebut, ia bahkan mencoba untuk
tersenyum semanis mungkin. Tetapi Nona Grayling tidak membalas senyum itu. Ia
melanjutkan nasihat-nasihatnya, kemudian menyuruh anak-anak itu meninggalkan
ruangannya. "Sungguh hebat ya dia?" kata Daphne setelah berada di luar ruang Kepala Sekolah.
"Gwendoline berkata bahwa petuah Kepala Sekolah pasti akan membuat kesan yang
mendalam. Betul juga katanya!"
Tetapi tak ada yang tertarik pada kenyataan apakah Daphne terkesan atau tidak.
Anak-anak itu berpisah untuk menuju kelas masing-masing.
Darrell dan Sally melewati ruang kelas satu tempat mereka dulu belajar. Pintu
ruang itu terbuka dan terlihat keributan anak-anak kelas satu, berebut tempat
duduk. "Dasar bayi!" kata Darrell angkuh. "Anak-anak ingusan yang mungkin perkalian dua
belas saja belum hafal."
Dua orang anak kelas tiga yang baru saja naik dari kelas dua bertemu dengan
mereka di gang. "Halo, Anak-anak," salah seorang di antaranya menggoda Darrell
dan Sally, "hati-hati terhadap si Hidung Panjang. Dia sangat jahat pada anak
yang terlalu banyak berbuat salah dalam mengeja."
Hidung Panjang adalah julukan untuk wali kelas dua, Nona Parker. Ia memang punya
hidung yang lebih panjang dari hidung yang wajar, tetapi julukan itu lebih
diartikan pada kiasannya - suka menyelidiki apa saja sampai tuntas atas dasar
suatu kecurigaan yang sedikit sekali, ia tak akan puas bertanya ini dan itu,
sampai ia tahu semua persoalan.
Nona Parker memang tegas. Tetapi sering secara tiba-tiba ia termenung dan
melamun di kelasnya. Inilah kejadian yang sangat didambakan oleh murid-muridnya,
dan mereka menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Darrell merasa yakin ia
tak akan begitu menyukai Nona Parker, ia lebih menyukai ketegasan Potty, wali
kelasnya di kelas satu dulu.
Belinda dan Ellen tampak sangat bersemangat untuk mengetahui secara mendalam
tentang semua guru. Darrell dan Sally dengan gembira memenuhi permintaan
keduanya. Daphne tentu saja lebih banyak bertanya pada Gwendoline.
"Kalian harus sangat berhati-hati pada kedua Mam'zelle," kata Darrell, "terutama
pada Mam'zelle Rougier, yang jangkung kurus itu. Keduanya suka marah, tetapi
marah Mam'zelle Dupont biasanya pendek saja, sementara Mam'zelle Rougier bisa
berkepanjangan." "Dan hati-hati terhadap Nona Carton, guru sejarah," kata Alicia. "Sebab bila kau
tak suka sejarah, maka kau akan selalu menjadi sasaran lidahnya yang tajam. Aku
sih suka sejarah, jadi tak ada persoalan bagiku. Tetapi kalau kau tak suka
sejarah, ya hati-hati saja!"
Hari pertama mereka lewati dengan lancar. Anak-anak baru dibawa berkeliling
untuk lebih mengenali sekolah mereka, tempat bermain tenis, dan taman-tamannya.
Mereka tercengang melihat kolam renang yang begitu besar dan dibuat di pantai
batu karang dengan air laut yang bisa keluar-masuk ke dalamnya.


Kelas Dua Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku yakin kau pandai berenang," kata Daphne pada Gwendoline. Gwendoline
tertegun sesaat, melihat berkeliling dulu sebelum menjawab, ia telah membual
cukup banyak juga pada Daphne, di luar pendengaran anak-anak yang lain. Kini
Darrell ternyata berada di dekat mereka dan pasti akan bisa mendengarnya bila ia
mengatakan sesuatu yang tak benar.
"Yah... begitulah, sama dengan yang lain," kata Gwendoline.
"Aku yakin kau bisa mengalahkan semua anak dalam renang," kata Daphne. "Kau
terlalu rendah hati."
Darrell tertawa terkikik-kikik. Bayangkan, Gwendoline dikatakan rendah hati! Ia
seorang pembual yang paling hebat di sekolah dan bahkan tak bisa membedakan
antara membual dan berdusta.
Ellen berkata bahwa ia tak bisa berenang. "Aku tak pernah berolahraga," katanya.
"Tetapi kalau ada kesempatan pasti aku suka mengikutinya. Aku selalu harus terus
belajar." "Kau pastilah sangat pandai," kata Mary-Lou. "Kau datang ke Malory Towers ini
karena memenangkan bea siswa, kan?"
"Ya, tetapi kukira sesungguhnya aku tidak pandai," jawab Ellen, kerut di dahinya
tampak semakin dalam. "Maksudku... aku harus belajar terus, harus bersusah payah
belajar, agar aku bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Tidak seperti anak yang
betul-betul berbakat pandai. Tak usah belajar pun mereka selalu mencapai nilainilai tinggi. Tetapi aku harus betul-betul memeras tenaga untuk bisa menguasai
pelajaranku. Tapi kurasa susah payahku itu tak sia-sia. Aku memang ingin sekali
bersekolah di Malory Towers ini."
"Coba saja untuk mempelajari berbagai jenis olahraga setekun kau belajar," kata
Sally yang harus banyak belajar juga dalam hal olahraga. Kau tahu apa kata
orang... 'Belajar terus tanpa permainan...'"
"Akan membuat Ellen sangat membosankan," sahut Ellen, tertawa kecil. "Ya,
begitulah kukira. Cukup membosankan."
Belinda menyukai semua hal tentang Malory Towers. Irene yang agaknya langsung
lekat padanya seperti Gwendoline lekat pada Daphne, begitu gembira melihat
Belinda terpesona pada semua yang dilihatnya.
"Oh, lihat pemandangannya! Lihat lautnya!" seru Belinda. "Lihat warna kolam
renang itu! Mana kotak lukisku, cepat!"
Dan saat itulah, untuk pertama kalinya, anak-anak tahu akan bakat Belinda yang
luar biasa. Ia dapat menggambar dan melukis dengan sangat baik! Lebih dari itu,
Belinda dapat membuat karikatur semua orang. Dengan goresan pensil atau konte
yang tajam, Belinda berhasil membuat wajah-wajah yang langsung bisa mereka
kenal, dengan menonjolkan kelucuan wajah tersebut.
Semua tertawa tergelak-gelak melihat hasil coretan Belinda.
"Wah, kita pasti senang dengan adanya kau, Belinda," kata Irene. "Kau bisa
membuat gambar si Hidung Panjang, atau Mam'zelle - keduanya - dan Ibu Asrama,
dan... semuanya! Aku gembira bisa berteman denganmu! Pasti hari-hari kita akan.
lebih meriah!" 4. MINGGU PERTAMA Pada hari pertama semester itu, Nona Parker mengumumkan siapa yang akan jadi
ketua kelas. Saat itu kelas sunyi senyap. Semua menunggu dengan berdebar-debar
sementara Nona Parker sibuk membolak-balik kertas dan mencari pensilnya.
"Kalian semua pasti ingin tahu siapa yang terpilih menjadi ketua kelas semester
ini," katanya kemudian. "Baiklah, akan segera kukatakan. Setelah pembicaraan
dengan guru-guru lain, maka untuk kelas dua telah kami pilih... Sally Hope!"
Semua bertepuk tangan. Muka Sally jadi merah padam, ia gembira, tetapi malu.
Nona Parker melihat catatannya.
"Mungkin kalian ingin tahu siapa saja yang kami pertimbangkan untuk kedudukan
itu," katanya. "Pertama, Darrell Rivers. Kedua, Jean MacDonald. Ketiga, Winnie
Toms. Jadi empat orang dengan Sally Hope. Dan Sally terpilih."
Semua mengira bahwa nama Alicia juga akan disebut sebagai salah satu calon. Atau
Irene. Tetapi ternyata kedua nama itu tidak disebut. Irene tak berkeberatan, ia
tahu ia pelupa dan ia memang tak punya keinginan untuk jadi ketua kelas. Asalkan
dia bisa main musik, ia sudah puas. Menjadi ketua kelas mungkin berarti ia harus
melepaskan beberapa waktunya untuk berlatih.
Sebaliknya, di dalam hati Alicia merasa sangat tersinggung, ia selalu berada di
tempat tertinggi dalam pencapaian nilai pelajaran. Otaknya cemerlang, daya
ingatnya hebat Walaupun ia tidak begitu tekun belajar, toh ia bisa mencapai
nilai terbaik... dan ternyata menjadi calon saja namanya tidak disebut! Dengan
geram Alicia menggigit bibir, berusaha agar perasaan hatinya tidak tampak.
"Wah, ini pasti karena Sally jadi anak emas guru-guru.... Sungguh tidak adil!"
pikir Alicia. "Hanya karena aku beberapa kali mengganggu beberapa orang guru,
maka mereka sama sekali tak mencalonkan aku! Sungguh pendendam mereka. Sungguh
tak adil!" Tetapi sesungguhnya pikiran Alicia keliru. Bukannya karena ia suka mengganggu
guru-guru maka ia tak terpilih sebagai calon, tetapi karena suatu hal lain. Hal
tersebut adalah: kekerasan Alicia pada anak yang tak disukainya, ia senang
sekali mengejek mereka yang tak begitu pandai, mereka yang sesungguhnya lebih
memerlukan bantuannya, dan bukan ejekannya. Guru-guru diam-diam senang akan
lelucon serta ulah Alicia di kelas, walaupun di kelas mereka tampak marah.
Mereka sering membicarakan ulah Alicia itu serta tertawa tergelak-gelak. Bukan
kenakalan itulah yang membuat mereka tidak memilih Alicia. Tetapi idahnya yang
tajam serta tak kenal ampun itu!
Alicia pasti akan selalu dikagumi dan diirikan oleh anak lain," kata Nona
Grayling di rapat guru. Tetapi ia tak akan bisa merebut rasa sayang dan
persahabatan sejati dari kawan-kawannya. Tentang Betty, yang selama ini dekat
dengannya, memang pandai juga. Tetapi dibanding Alicia, otaknya kosong. Otak
Alicia sungguh cemerlang, dan tak pelak lagi, salah satu yang terbaik di sekolah
ini. Tetapi hatinya adalah salah satu yang terburuk."
Begitulah. Pilihan dijatuhkan pada Sally Hope yang dinilai berpribadi mantap,
setia, berhati lembut, dan adil. Sally, sahabat Darrell. Mungkin saja Sally tak
bisa menjadi yang terpandai di kelasnya, tetapi ia selalu bersedia untuk
menolong siapa saja yang memerlukan bantuan. Mungkin saja Sally tidak akan
secemerlang Alicia dalam ujian, tetapi ia akan siap membantu anak lain yang
lemah dalam olahraga maupun pelajaran, ia berhati jujur dan adil. Ia berkemauan
keras. Ia akan patuh pada semua peraturan.
Anak-anak kelas dua tahu bahwa pilihan atas Sally sungguh tepat. Memang ada
beberapa yang lebih menginginkan suatu pilihan yang tak begitu baik, asal yang
jadi ketua bukan Sally. Gwendoline, misalnya, ia sangat gusar. Juga Betty, yang
ingin agar Alicia terpilih. Juga beberapa teman Betty yang lain, yang tidak
seasrama dengan Sally. Darrell meremas tangan Sally. "Bagus sekali," bisiknya. "Aku sangat gembira.
Ibumu pasti senang, Sally! Dan kau akan jadi ketua kamar pula! Wah, bisa pingsan
Gwendoline!" Memang, Gwendoline sangat gusar malam itu, saat Sally sudah jadi ketua kelas
sekaligus ketua kamar tempat mereka tidur. Sally sebetulnya tak ingin memamerkan
kekuasaannya sebagai ketua, tetapi ia tahu bahwa ia harus memperlihatkan
kekuasaan itu kalau Gwendoline berbuat menyalahi peraturan. Menghadapi
Gwendoline ia harus bersikap tegas dan keras, sebab kelembutan dianggap
kelemahan oleh Gwendoline.
Maka begitu terdengar bisik-bisik lagi sewaktu lampu sudah padam, Sally berkata
tegas, "Gwendoline, kemarin aku menyuruhmu tutup mulut Saat itu kaujawab bahwa
aku bukan ketua kelas, bukan ketua kamar. Nah, aku kini keduanya. Maka kau harus
diam bila kusuruh diam!"
"Daphne sedang sedih, rindu akan rumahnya," kata Gwendoline.
"Ia takkan bertambah lebih baik bila kaubisikkan omong kosongmu ke telinganya,"
kata Sally. Sesaat sunyi. Kemudian terdengar suara Belinda dalam kegelapan itu, bertanya,
"Sally! Apa yang terjadi bila kami terus berbisik-bisik, walaupun ketua kamar
telah mengatakan tak boleh berbuat itu?"
"Hal itu belum pernah terjadi," kata Sally tegas. "Tetapi seingatku ada
peraturan tak tertulis di Malory Towers ini. Kalau ada seseorang yang mengganggu
waktu tidur, maka akan dipilih sebuah sikat yang terbesar untuk menampari anak
Itu." "Oh!" seru Belinda, kemudian cepat menyembunyikan dirinya di bawah selimut,
menyeringai. Biar kini Gwendoline mengerti apa yang akan terjadi bila ia
membandel terus. Apakah ia berani menentang Sally"
Gwendoline tadinya sudah akan membuka mulut untuk berbicara dengan Daphne, agar
semua tahu bahwa ia tak mau diperintah Sally. Tetapi setelah mendengar
pertanyaan Belinda dan jawaban Sally, ia tertegun. Mana mungkin hukuman seperti
itu dijatuhkan pada seorang anak kelas dua! Lama ia berpikir-pikir apakah Sally
benar-benar akan melakukan hukuman itu ataukah hanya untuk menakut-nakutinya.
Tetapi bila teringat suara Sally yang tegas, maka ia mengambil keputusan untuk
tidak mencobanya. Sungguh sangat memalukan bila ternyata Sally memang berani
melaksanakan hukuman itu! Daphne pastilah tak akan menghormatinya lagi.
Maka tenanglah di kamar itu. Ketika Ibu Asrama datang menjenguk, yang terdengar
hanyalah napas teratur anak-anak itu. Delapan orang anak tidur nyenyak. Tetapi
dua orang sesungguhnya masih bangun.
Yang satu adalah Gwendoline. Yang lainnya, Ellen. Gwendoline karena merasa
gusar, dan itu selalu membuatnya susah tidur. Ellen memikirkan tentang
pekerjaannya. Pagi tadi sewaktu diuji ia memang lulus. Tetapi nilainya biasa
saja, tak begitu cemerlang. Apakah ia bisa mengikuti pelajaran kelas dua di
sini" Oh, ya. Ia memang telah memenangkan bea siswa, tetapi itu karena ia
belajar dan belajar dan belajar lagi begitu keras. Apakah di sekolah ini ia bisa
belajar cukup keras untuk mengikuti yang lain" Otaknya serasa tak begitu cerah
tadi. Dan Ellen sangat khawatir. Bahkan setelah Gwendoline tertidur Ellen masih
saja terjaga. Anak-anak baru memerlukan waktu beberapa hari untuk menyesuaikan diri. Ellen dan
Daphne cukup cepat menghafal tempat-tempat di sekolah itu. Tidak seperti Belinda
yang begitu sering salah masuk kelas. Beberapa kali ia salah masuk ke kelas
satu, sampai akhirnya Nona Potts jadi gusar sekali sewaktu suatu kali ia muncul
di kelas Nona Potts itu. "Belinda! Jangan bilang kau tersesat lagi!" kata Nona Potts. "Apakah kau
sesungguhnya lebih senang berada di kelas satu" Baiklah, kalau kau berpendapat
bahwa pelajaran di kelas dua terlalu..."
Belinda telah meninggalkan tempat itu, menggumamkan permintaan maaf, bergegas
mencari kelasnya yang benar. Ia kemudian muncul di kelasnya, terlambat satu atau
dua menit, sambil menahan tawa.
"Maafkan, aku terlambat, Nona Parker," ia berkata sambil duduk di kursinya.
Biarlah untuk selanjutnya ia kuantarkan, Nona Parker," kata Irene. Tetapi Nona
Parker langsung memutuskan pembicaraan Irene.
Paling-paling itu akan membuat kalian berdua salah masuk kelas," kata Nona
Parker. "Misalnya kalian berdua sibuk berada di kolam renang sana, menunggu
pelajaran loncat indah, padahal sesungguhnya jam itu jam matematika. Sudah,
borkan Belinda mengatur dirinya sendiri. Toh selama tiga hari ini ia sudah
berusaha keras untuk Baik, Nona Parker," kata Belinda lemah, langsung membuat gambar sketsa di buku
sketsanya, gambar Nona Parker. Buku sketsa kecil selalu berada di sakunya.
Setiap saat buku itu bisa keluar, diisinya dengan gambar yang kebetulan
disukainya dan ada di tempat itu saat itu, misalnya: teman-teman sekelasnya,
bunga-bunga di jendela, pemandangan di luar jendela, pokoknya apa saja yang
tertangkap oleh matanya. Mam'zelle Dupont yang pendek, gemuk, bermata kecil, serta berkaca mata dengan
gagang pegangan, paling disukai Belinda sebab paling mudah digambar. Kini hampir
semua anak di kelas dua punya gambar Mam'zelle Dupont untuk batas halaman buku
tatabahasa bahasa Prancis mereka. Anak-anak itu malahan ingin agar mereka
memiliki batas halaman buku yang bergambar semua guru, sesuai dengan buku yang
bersangkutan - misalnya gambar Nona Carton untuk buku sejarah, gambar Nona
Grayling untuk pelajaran agama, gambar Pak Young untuk buku musik, dan
seterusnya. Belinda telah berjanji akan membuatkan teman-temannya gambar-gambar tersebut,
dengan imbalan mereka harus merapikan lemari dan mejanya, serta mengingatkannya
apa-apa yang terlupa olehnya.
"Aku selalu melupakan sesuatu," katanya. "Aku lebih pelupa daripada Irene. Kalau
aku dimarahi, aku begitu tegang sehingga tak bisa menggambar."
"Jangan khawatir. Akan kami bantu kau," kata Alicia, sambil dengan gembira
melihat hasil karya Belinda, gambar lucu Pak Young, guru menyanyi mereka. Di
situ terlihat Pak Young, digambar sangat tepat, dengan kumisnya yang kecil lucu
mencuat ke atas, kepalanya yang botak dengan tiga-empat helai rambut yang
melekat rapi, leher baju yang terlalu tinggi, dan mata yang sangat besar di
balik kaca matanya. "Kau sungguh luar biasa, Belinda," kata Betty, melihat gambar tadi dari balik
punggung Alicia. "Apa yang akan kaugambar untukku bila aku berjanji mengambil
alih tugasmu membersihkan kelas minggu depan?"
Begitulah. Belinda melakukan tawar-menawar di sana-sini dan berhasil lolos dari
berbagai tugas yang tak disukainya! Nona Parker sangat heran melihat betapa
anak-anak banyak sekali mau berkorban untuk Belinda. Belinda yang selalu
membuatnya kesal karena tak punya tanggung jawab itu! Entah kenapa tampaknya ia
begitu disukai teman-temannya!
"Aneh sekali," ia berkata pada Mam'zelle, anak-anak itu tak pernah berbuat
seperti itu pada Irene, yang juga sangat pelupa tetapi sangat pandai. Mengapa
mereka lebih menyukai Belinda" Aku tak mengerti bagaimana anak setolol itu
begitu dimanjakan oleh teman-temannya. Coba, tadi pagi bahkan kulihat Gwendoline
merapikan meja Belinda dan tidak beristirahat sewaktu jam istirahat!"
"Ah, Belinda memiliki selera seniman," kata Mam'zelle. "Ia tak punya waktu untuk
melakukan hal-hal yang begitu remeh seperti merapikan meja, tempat tidur, atau
menyapu kelas. Aku juga punya selera seni. Tetapi di sekolah Inggris ini, hal
itu malah kalian anggap suatu sifat buruk. Sungguh orang-orang Inggris tak bisa
menghargai seni!" "Tentu saja tidak kalau selera seni tersebut seperti yang biasa Anda lakukan,"
kata Nona Parker, ia tahu benar apa yang disebut selera seni Mam'zelle Dupont.
Biasanya itu terwujud dalam hal berkeluh kesah tentang pekerjaan yang harus
dibuat, mempersiapkan pelajaran, bekerja di kamar, dan sebagainya. Selera seni
Mam'zelle selalu bertempur dengan tugas-tugasnya sehari-hari, ia selalu mencoba
mengalihkan tugas tersebut pada orang-orang lain yang dianggapnya tak berselera
seni, seperti Nona Potts dan Nona Parker.
"Kita harus bersabar dengan anak seperti Belinda itu," kata Mam'zelle. "Betapa
aku sering merasa tertekan karena..."
"Kalau begitu Belinda harus kita tekan pula agar membuang sifat-sifat buruknya,"
kata Nona Parker tegas. "Aku tahu benar betapa sulitnya Nona Potts harus
menanggulangi Irene tahun lalu. Untunglah Nona Potts berhasil menanamkan sedikit
kesadaran pada Irene, hingga tahun ini agak mudah tugasku. Belinda juga harus
dipaksa untuk mengikuti peraturan yang ada. Sayang sekali anak-anak itu
tampaknya sangat senang padanya."
Tak ada yang bercerita pada Nona Parker sebab sebenarnya dari sikap anak-anak
itu terhadap Belinda. Dan walaupun Nona Parker berusaha keras, ia tak bisa
membongkar rahasia yang satu ini. Tak seorang pun menunjukkan hasil karya
Belinda pada Nona Parker. Pensil Belinda kadang-kadang sangat kejam
menggambarkan apa yang ingin digambarnya. Misalnya saja, hidung Nona Parker
selalu tampak lebih besar daripada ukuran sebenarnya. Mam'zelle Rougier selalu
tampak lebih kurus. Mam'zelle Dupont lebih gemuk dan bulat. Tidak. Anak-anak itu
tak ingin guru-guru mereka melihat gambar-gambar lucu ini.
Satu-satunya guru yang menyukai Belinda hanyalah Nona Linnie, guru kesenian.
Nona Linnie masih sangat muda, periang, dan suka bercanda. Ia segera mengetahui
bakat Belinda dan selalu mendorongnya untuk berkarya lebih baik.
"Sungguh menyenangkan di sini," kata Belinda pada Irene. "Nona Linnie begitu
bersemangat membantuku. Dan semua pekerjaan yang kubenci tak usah kulakukan!
Emily bahkan berjanji untuk menjahitkan kaus kakiku."
"Kau sungguh beruntung," kata Irene iri. "Aku tak keberatan memberikan karangan
musikku pada seseorang kalau saja ia mau melakukan beberapa pekerjaan untukku.
Tetapi tak seorang pun berminat pada musikku. Mereka tergila-gila pada
lukisanmu!" 5. MENYESUAIKAN DIRI Minggu pertama terasa lambat berlalu. Memang selalu begitu, untuk kemudian
minggu-minggu berikutnya terasa begitu cepat lewat. Anak-anak itu mulai bisa
menyesuaikan diri dengan kehidupan di sekolah dan mulai menyukai sekolah mereka.
Cuaca baik dan hangat, dan bagi yang menginginkan, kolam renang telah dibuka.
Lapangan tenis juga masih digunakan, walaupun lacrosse, yang sesungguhnya
olahraga musim dingin, sudah mulai juga dimainkan. Maka terasa begitu banyak
yang bisa mereka lakukan di waktu-waktu terluang mereka.
Gwendoline dan Daphne telah menjadi sahabat erat. Sebelum ini, di tahun pertama
ia di Malory Towers, Gwendoline boleh dikata tak punya seorang sahabat, ia
sangat gembira punya sahabat seperti Daphne yang begitu cantik, anggun, dan
mewah cerita-ceritanya. Kedua anak itu banyak mempunyai kemiripan. Misalnya saja, keduanya tak suka air,


Kelas Dua Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan sangat sulit untuk mengajak mereka bermain di kolam renang.
"Kita sudah cukup banyak berenang di musim panas," kata Gwendoline saat beberapa
orang anak mengajaknya berenang. "Kita kan tidak diharuskan berenang di semester
ini, dan karenanya aku tak mau. Lagi pula kalian mengajakku berenang hanya untuk
mendorongku masuk ke dalam kolam secara tiba-tiba!"
"Bukan begitu," kata Alicia. "Kami ingin melihatmu menggeletar kedinginan agar
bisa dilukis oleh Belinda. Pasti akan menjadi gambar yang sangat lucu bagi kelas
kita, Gwendoline." "Sialan!" seru Gwendoline yang tak suka diolok-olokkan. Ia meninggalkan tempat
itu bersama Daphne. "Hanya karena mereka suka hal-hal kasar seperti berenang,
tenis, dan lainnya, mereka mengira semua orang juga harus melakukan hal itu,"
katanya pada Daphne. "Lagi pula, kau dan aku belum pernah bersekolah sebelumnya,
dan karenanya kita berdua takkan pernah bisa terbiasa dengan kebiasaan mereka
yang gila-gilaan itu. Alangkah senangnya kalau aku lahir di Prancis. Dengan
begitu takkan ada yang memaksaku berenang bila aku tak suka, atau memaksaku
bercapai-lelah memukuli bola melewati net!"
"Kami punya tiga buah lapangan tenis di rumah," kata Daphne. "Dua lapangan
keras, satu lapangan rumput. Kau harus tahu, Ibu sangat suka mengadakan pesta
sambil main tenis. Banyak yang diundangnya. Tetapi orang-orang paling suka bila
diundang ibuku untuk berpesta di kapal pesiar milik Ayah."
Gwendoline belum pernah mendengar Daphne bercerita tentang kapal pesiar
sebelumnya. Dengan rasa iri dipandangnya sahabatnya itu. Mungkin libur musim
panas kelak Daphne mau mengundangnya untuk berlibur di kapal pesiar itu. Betapa
girangnya ibunya nanti kalau tahu bahwa ia punya sahabat yang begitu kaya!
"Pastilah kau sangat tidak suka datang ke sekolah ini, Daphne," kata Gwendoline.
"Banyak kemewahan yang harus kautinggalkan. Bagimu tinggal di sekolah ini
pastilah seperti tinggal di kandang babi saja. Aku yakin kau tak pernah
merapikan tempat tidurmu sendiri sebelum ini."
"Tentu saja tidak," kata Daphne, mengibaskan rambutnya yang indah. "Tetapi kau
pasti juga tak pernah."
"Memang," kata Gwendoline. "Guru pribadiku, Nona Winters, yang melakukan
pekerjaan semacam itu untukku. Bahkan kini bila aku sedang berlibur, ia juga
yang melakukan tugas-tugasku di rumah, ia seorang tua yang tolol, dan tak begitu
pandai mengajar, tetapi sangat berguna dalam hal membantuku menyelesaikan
berbagai tugas. Aku sangat ketinggalan saat pertama kali aku di sini."
Sekarang pun Gwendoline masih ketinggalan. Dia agaknya lebih suka pamer dan
bermalas-malasan daripada belajar tekun dan bekerja keras. Jadi sedikit sekali
kemajuannya. Kedua orang tuanya sudah terbiasa dengan catatan di rapotnya:
Cukup, bisa lebih baik kalau mau belajar';. Buruk sekali, tak pernah memakai
otaknya': Paling buruk, tak mau berusaha'.
Ayahnya selalu memarahinya, tetapi ibunya malah membelanya, menghiburnya. Jadi
kata-kata tajam ayahnya akhirnya tak berbekas pada Gwendoline. Paling-paling
membuat Gwendoline menangis, dan harus dihibur oleh ibunya serta Nona Winters.
Gwendoline tahu benar cara menggunakan air matanya.
Dan Daphne tahu benar cara mempergunakan senyum manisnya. Senyum manis tersebut
begitu sering menolongnya dari bahaya kemarahan guru-guru, terutama dengan
Mam'zelle Dupont, Nona Linnie, dan Pak Young.
Mam'zelle sama sekali tak bisa bertahan bila terkena senyum itu. Senyum Daphne
bisa memberi kesan manis, sedih, bersemangat, atau hangat - luar biasa sekali
kemampuannya memberi kesan pada suatu senyum!
Bila Daphne tak bisa mengerjakan pekerjaan rumah bahasa Prancisnya, maka ia
tersenyum sewaktu menyerahkan buku pekerjaan rumah itu pada Mam'zelle. Mam'zelle
merasa cair hatinya. Betapa manisnya anak ini!
"Aku telah berusaha keras, Mam'zelle," kata Daphne sambil terus tersenyum.
"Tetapi sayang sekali aku belum begitu menguasai pelajaran ini. Anda tahu,
sebelum ini aku tak pernah bersekolah, jadi cara-caranya aku tak mengerti."
Senyum tadi berubah menjadi senyum penyesalan sedemikian dalam, sehingga
Mam'zelle jadi terharu. Dibelainya tangan Daphne dan berkata, "Aku tahu kau
sudah berusaha keras, mon enfant, Anakku! Aku tahu kau takkan bisa berbuat lebih
dari itu. Bagaimana kalau kau datang seusai sekolah nanti ke kamarku, akan
kuberi kau pelajaran tambahan."
Bagi Mam'zelle tawaran itu sudah menggambarkan betapa baik hatinya pada anak
yang menarik ini. Tetapi Daphne tahu bahwa tawaran tadi akan membuat bebannya
semakin bertambah. Maka dengan air muka sangat menyesal ia menggelengkan kepala
sambil berkata bahwa ia telah punya pelajaran tambahan dengan guru lain.
Kemudian senyumnya muncul kembali, matanya yang biru indah menatap mengharap
pada Mam'zelle. "Tolong jangan suruh aku mengerjakan soal ini lagi, Mam'zelle," katanya. "Begitu
banyak pekerjaanku untuk mengejar ketinggalanku dari anak-anak lain."
Dan tak peduli anak lain harus mengerjakan kembali pekerjaan rumah mereka,
Daphne tak pernah menerima hukuman seperti itu. Ia bisa membujuk Mam'zelle untuk
melakukan apa saja yang diingininya dengan senyumnya yang memikat itu.
Sayang sekali senyum itu tak berguna bagi Nona Parker, Nona Potts, dan Mam'zelle
Rougier - terutama Mam'zelle Rougier yang terbiasa untuk membenci siapa saja
yang disukai Mam'zelle Dupont dan menyukai siapa saja yang dibenci rekannya itu.
Mam'zelle Rougier sangat keras terhadap Daphne, hingga akhirnya anak itu sama
sekali tak bisa tersenyum padanya. Mereka agaknya saling membenci. Kalau saja
tak ada seseorang yang membantu Daphne, pastilah Daphne selalu mendapat
kesulitan di kelas Mam'zelle Rougier dan semua pekerjaannya dikembalikan.
Sungguh tak disangka, orang yang membantu Daphne itu adalah Mary-Lou! Kini MaryLou telah pandai sekaji berbahasa Prancis, sebab di rumah ibunya telah menggaji
seorang anak Prancis untuk menemaninya selama liburan. Kini Mary-Lou sangat
lancar berbahasa Prancis, selancar bahasa Inggrisnya, sehingga kedua Mam'zelle
sangat menyukainya. Mary-Lou berpendapat Daphne sangatlah cantik. Rasanya tak puas-puasnya ia
memandang anak itu. Tentu saja ia tidak akan menyukai Daphne seperti ia menyukai
Darrell dan Sally, tetapi mau tak mau ia merasa sayang juga pada wajah yang
begitu cantik serta tingkah laku yang begitu manis.
Suatu hari ia melihat Daphne hampir menangis karena pekerjaan rumahnya
dikembalikan oleh Mam'zelle Rougier. Mam'zelle Rougier mengancam Daphne untuk
mengembalikan lagi pekerjaan tersebut bila belum juga betul semua. Mary-Lou
mendekati Daphne. "Apakah Gwendoline tak bisa membantumu?" tanyanya malu-malu. "Dia kan sedang
tidak sibuk. Bagaimana kalau ia kupanggil dan kuminta membantumu?"
Daphne mengusap air matanya dan berpaling dengan senyum sedih pada Mary-Lou.
"Tak ada gunanya minta bantuan Gwen," katanya. "Ia pasti mau membantuku. Tetapi
ia tak lebih baik dariku dalam bahasa Prancis."
"Yah... sayang sekali. Dan mungkin kau tak mau bila kubantu, ya" Kalau bisa sih,
aku mau membantumu."
"Oh, terima kasih banyak!" kata Daphne kegirangan. "Kau memang sangat pandai
dalam bahasa Prancis. Betul-betul luar biasa. Coba lihat, di manakah
kesalahanku?" Daphne menunjukkan pekerjaannya. Dan dengan gembira Mary-Lou duduk di
sampingnya, mulai menerangkan beberapa hal. Tanpa disadarinya, ia telah
mengerjakan kembali semua pekerjaan Daphne. Dan Daphne tersenyum dalam hati saat
ia berterima kasih pada Mary-Lou.
"Oh, tak apa," kata Mary-Lou malu, sementara ia memandang rambut keemasan
Daphne. "Rambutmu indah sekali."
Daphne seperti Gwen. Ia suka sekali pada orang yang memuja dirinya dan
mengatakan hal-hal yang menyenangkan. Dipandangnya si Kecil Mary-Lou itu. Ia
bisa menyukai anak ini, dan pastilah sangat berguna bersahabat dengan Mary-Lou
yang begitu pandai dalam bahasa Prancis.
"Kapan-kapan kau bisa membantuku lagi dalam bahasa Prancis, kan?" katanya pada
Mary-Lou. Aku tak ingin mendapat pelajaran tambahan dari Mam'zelle. Kau jauh
lebih jelas dalam menerangkan berbagai soal daripada kedua mam'zelle itu."
Belum pernah ada yang minta bantuan Mary-Lou dengan cara yang begitu manis,
bukanya jadi merah dan napasnya sesak.
"Oh, kalau kau mau kubantu, tentu saja aku sangat gembira," katanya. "Aneh juga,
padahal biasanya akulah yang minta bantuan anak-anak lain. Aku senang sekali
bisa membantumu, Daphne."
Begitulah. Anak-anak kelas dua itu cukup heran sewaktu kemudian mereka melihat
si Kecil Mary-Lou duduk di samping Daphne tiap malam di ruang rekreasi,
menerangkan pelajaran bahasa Prancis yang mereka dapat pagi harinya.
"Ia bahkan mengerjakan pekerjaan rumah Daphne!" kata Darrell gusar, ia tak suka
melihat Mary-Lou yang setia itu rapat dengan anak lain. Padahal semester demi
semester biasanya Mary-Lou selalu mengikuti Darrell dan Sally! Tak mungkin
rasanya kini Mary-Lou akan berganti sahabat. Dengan Daphne lagi.
"Biarkan saja," kata Sally yang berpandangan jernih. "Kalau Mary-Lou ingin
membantu Daphne, apa salahnya" Daphne begitu buruk dalam bahasa Prancis, dan aku
tak menyalahkannya kalau ia menolak pelajaran tambahan dari kedua mam'zelle itu.
Kau tahu betapa pemarahnya Mam'zelle Rougier bila harus mengajar malam-malam,
dan betapa lamanya Mam'zelle Dupont menahanmu bila ia memberi pelajaran
tambahan. Waktu satu jam bisa jadi dua jam!"
"Mudah-mudahan saja Daphne tidak menulari Mary-Lou dengan sikapnya yang
memuakkan itu," kata Darrell.
"Mudah-mudahan Mary-Lou menularkan kepandaiannya pada Daphne," kata Sally. "Aku
tahu kau ingin turun tangan, Darrell, tetapi lebih baik jangan."
Anak-anak itu mulai menyesuaikan diri dengan lingkungan dan teman-temannya.
Masing-masing memilih kawan-kawan yang kira-kira cocok dengan dirinya. Memang
menyenangkan mempunyai seorang sahabat khusus, yang bisa diajak berbicara dari
hati ke hati. Sally memilih Darrell dan Darrell memilih Sally untuk itu. Irene punya Belinda.
Kedua anak itu kini sulit dipisahkan, dan keduanya sama-sama tak bisa saling
membantu! Kalau yang satu lupa, maka yang satu tidak ingat. Agaknya mereka
saling membuat salah satu di antara mereka semakin pelupa. Tetapi mereka saling
menyukai! Alicia tentu saja memilih Betty. Alicia kini tidak begitu penyabar dan periang
seperti dulu. Ia masih sakit hati karena tidak terpilih menjadi ketua kelas.
Sering ia tidak begitu manis menghadapi Sally, dan tidak begitu akrab lagi
dengannya. Sally tak mempedulikan hal itu, walaupun dalam hati ia
menyayangkannya. Gwen punya Daphne, tentu saja. Dan kini acaknya Mary-Lou juga menghendaki
Daphne! Bagaimana perasaan Gwen tentang hal itu"
"Kau tak usah khawatir," kata Daphne pada Gwen. "Aku hanya memperalat dia, si
Tolol itu! Tentu saja aku akan terpaksa mengajaknya bermain-main bila kau sedang
sibuk, agar ia tak tahu bahwa yang aku ingini darinya hanyalah kepandaiannya
dalam bahasa Prancis. Kau juga bisa memperalat dia, Gwen. Kau bisa mencontoh
pekerjaanku setelah dibuatkan oleh Mary-Lou."
Maka Gwendoline terpaksa menerima kehadiran Mary-Lou dan tak keberatan bila
Daphne meninggalkannya untuk berjalan-jalan dengan Mary-Lou. Apa salahnya" Kan
Daphne hanya memperalat rak itu.
Tetapi lama-kelamaan Daphne lebih suka pada Mary-Lou yang begitu baik hati dan
pandai itu. Sungguh berbeda rasanya jalan-jalan bersama Mary-Lou, dibandingkan
dengan jalan-jalan bersama Gwendoline yang berotak kosong itu.
6. KAPUR AJAIB Setelah beberapa minggu, Alicia jadi gelisah. "Sudah waktunya kita membuat
ramai-ramai," katanya pada Betty. "Aku tahu kita kini sudah kelas dua dan
sebagainya, tetapi tak ada alasan mengapa kita tak boleh bersenang-senang
sedikit. Sally sungguh membosankan, tak pernah bercanda, tak pernah melucu!"
"Apa yang akan kita lakukan?" tanya Betty, matanya yang hitam bersinar-sinar
"Aku punya kapur ajaib. Mula-mula tak terlihat kemudian memberi bekas merah. Kau
punya apa?" "Kapur ajaib" Kau belum pernah mengatakannya padaku!" Wajah Alicia juga berseriseri seketika. "Coba lihat!"
Kedua anak itu pergi ke ruang rekreasi. Betty membuka lacinya, mengeluarkan
sebuah kotak logam. Di dalamnya, terbungkus rapi oleh kertas, terlihat sebatang
kapur merah muda. "Kelihatannya tak begitu ajaib!" kata Alicia.
"Begini. Kalau kapur ini kita goreskan di kursi, maka bekasnya tak terlihat,"
kata Betty. "Tetapi kalau ada orang duduk di kursi itu dan membuatnya hangat,
maka kapur tadi akan membekas di bajunya, memberi warna merah muda!"
"O, begitu!" Alicia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau begitu mari kita
goreskan kapur itu di kursi guru-guru di kelas kita - mungkin saat Mam'zelle
Rougier mengajar!" "Begini saja. Kita goreskan di kursi Pak Young bila ia mengajar kita menyanyi
nanti!" kata Betty. Di kursi pianonya! Dia akan lama duduk dikursi tersebut,
sebab ia harus mengiringi nyanyian kita dengan piano itu. Dan kemudian bila ia
berdiri untuk menulis sesuatu di papan tulis... wah! Betapa lucunya!"
Alicia tertawa keras-keras. "Ya, lebih baik mempermainkan Pak Young daripada si
Hidung Panjang atau Mam'zelle... ia tak akan curiga sedikit pun! Lagi pula akan
banyak yang menikmati lelucon itu, sebab anak-anak kelas satu akan digabung
dengan kita!" Alicia tampak lebih cerah kini. Ia dan Betty mencoba kapur ajaib itu dengan
hati-hati dan ternyata hasilnya sangat memuaskan.
Betty mengambil sebuah kursi kayu dan digosokkannya kapur ajaibnya berkali-kali
pada tempat duduknya. "Lihat, sama sekali tak tampak, kan?" tanyanya pada
Alicia. Alicia memeriksa kursi tersebut dengan sangat teliti. "Bagus sekali!" akhirnya
ia berkata. "Sama sekali tak terlihat. Sungguh kapur ajaib, kaugosokkan dan tak
terlihat bekasnya. Nah, sekarang duduklah, dan kita lihat hasilnya."
Betty duduk untuk beberapa lama. Kapur itu tak bisa bekerja kalau tidak
dihangati oleh panas badan orang yang mendudukinya. Saat Betty duduk diam-diam
di kursi itu dengan Alicia yang memperhatikannya terus, Gwendoline menjengukkan
kepala, mencari Daphne. Ia heran melihat tingkah kedua anak itu, Betty diam dan
Alicia memperhatikan. "Apa yang kalian lakukan?" tanyanya heran. "Apa yang sedang terjadi?"
"Tak apa-apa!" kata Alicia. "Pergilah, Daphne tak ada di sini."
"Tetapi apa yang kalian lakukan?" Gwendoline mendesak. "Untuk apa Betty duduk di
kursi yang keras itu di tengah kamar?"
"Alicia! Kau dipanggil si Hidung Panjang!" tiba-tiba terdengar seseorang berseru
dari luar. Jean menjenguk ke dalam. "Cepatlah! Agaknya ia sedang gusar! Mungkin
tentang pekerjaan matematikamu!"
"Sialan!" seru Alicia dan berlari ke luar. "Tunggu sebentar, Betty!" teriaknya
dari luar. Jean dengan heran memperhatikan Betty yang duduk sendirian di tengah
ruangan. "Capai?" tanyanya. Betty cemberut, ia merasa kikuk. Ingin sekali ia mengambil
buku dan melempar kepala keemasan Gwendoline. Tetapi ia tak berani berdiri untuk
mengambil buku, takut kalau Jean dan Gwendoline melihat bekas kapur di bajunya,
ia tak ingin ada yang mengetahui tentang tipu muslihat itu.
"Kasihan sekali Betty, mungkin ia lumpuh," kata Gwendoline. "Mungkin ia
rematik." Untung juga akhirnya Gwendoline bosan terus menggoda Betty. Ia keluar untuk
mencari Daphne. Jean menyeringai dan pergi juga. Betty bangkit, melihat bagian
belakang dirinya sendiri. Dan ia tertawa sendiri. Di roknya tergambar coretan
kapur berwarna merah muda cerah. Betapa ajaibnya kapur ajaib itu bila sudah
dipanasi. Alicia berlari masuk. "Bagaimana?" tanyanya. Dan ia pun tertawa terpingkalpingkal waktu Betty menunjukkan roknya. "Wah, bagus sekali!" kata Alicia. "Besok
akan kita coba pada Pak Young."
"Apakah akan kita beri tahu yang lain?" tanya Betty.
"Tidak," kata Alicia. "Pasti nanti ada yang membuka rahasia, dengan tertawa
terkikik-kikik sebelum Pak Young berdiri. Tidak. Biarlah Pak Young sendiri yang
membuat kejutan." Baik Betty maupun Alicia tak banyak bisa melakukan pekerjaan malam itu, saat
mereka mengerjakan pekerjaan rumah. Nona Potts yang mengawasi kelas mereka jadi
curiga. Ia bisa menduga bahwa kedua anak itu sedang memikirkan sesuatu yang
lebih menyenangkan mereka daripada mengerjakan pekerjaan rumah.
Potty tahu benar gerak-gerik murid-murid asuhannya dulu itu. Ia memberi
peringatan pada Nona Parker. "Hati-hati terhadap Alicia dan Betty.
Agaknya mereka sedang merancang sesuatu. Mungkin besok Anda akan harus berurusan
dengan bau aneh, suara ganjil, atau buku-buku yang tiba-tiba saja berjatuhan."
"Terima kasih," kata Nona Parker. "Akan kuawasi keduanya."
Tetapi keesokan harinya di jam pelajaran pertama tak ada yang mencurigakan. Juga
di jam pelajaran kedua. Hanya Alicia dan Betty memang tampak gelisah. Tetapi itu
tak terlalu luar biasa, terutama pada Alicia yang sering kesal karena anak lain
begitu lambat mengerti tentang suatu pelajaran.
Pelajaran sebelum waktu istirahat adalah pelajaran menyanyi. Tepat beberapa saat
sebelum jam pelajaran kedua selesai, Betty mengacungkan tangan dan berkata
"Maaf, Nona Parker, hari ini giliranku menyiapkan kelas untuk Pak Young di ruang
menyanyi. Bolehkah aku keluar?"


Kelas Dua Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nona Parker melirik jam dan mengangguk. "Ya. Kau punya waktu sekitar empat
menit." Betty sesaat menyeringai cepat pada Alicia kemudian dengan langkah tenang ia
keluar. Begitu berada di luar pintu, ia berlari cepat menuju ruang menyanyi. Tak
ada orang di situ. Untung, Pak Young selalu terlambat dua atau tiga menit.
Betty cepat mendekati kursi piano, kursi dengan tempat duduk bulat dari kulit,
dan bisa diputar-putar untuk menambah atau mengurangi tingginya. Dikeluarkannya
kapur ajaibnya, dan digoreskannya hingga merata di tempat duduk itu. Ia yakin
tak ada satu tempat pun yang terlewat, walaupun ia tak bisa melihat hasil
goresannya. Sungguh kapur ajaib!
Kemudian diputarnya tempat duduk itu hingga terlalu rendah pagi Pak Young. Pak
Young punya kebiasaan untuk menduduki dulu kursi itu dan baru memutarnya untuk
mencari tinggi yang tepat baginya, bukannya memutar dulu baru mendudukinya.
Kalau kali ini ia melakukan kebiasaan itu, maka kapur tadi akan bisa bekerja
telak sekali padanya. Betty menumpuk kertas-kertas musik dan membersihkan papan tulis. Kemudian
terdengar derap langkah anak-anak kelas satu mendatangi. Mereka masuk dengan
diantar oleh Nona Potts. Dan setelah itu muncul anak-anak kelas dua. Mata Alicia bersinar-sinar. Betty
menyeringai dan mengerdipkan mata padanya. Kemudian ia membukakan pintu,
mempersilakan Nona Potts dan Nona Parker keluar, sementara Pak Young masuk.
Pak Young bertubuh kecil, berpakaian lengkap, rapi dan bersih, dengan leher baju
terlalu tinggi. Dipelintirnya kumisnya dan ia membungkuk pada semua murid.
"Selamat pagi, Nona-nona!"
"Selamat pagi, Pak Young," serentak anak-anak itu menjawab, dan kemudian
bergemersik suara kertas-kertas nyanyian mereka. Pelajaran dimulai. Pak Young
memberi beberapa latihan dari papan tulis untuk selama lima menit, memberi
keterangan tentang berbagai tanda musik yang ada. Setelah itu ia pergi ke piano.
Betty menggamit Alicia dan menahan napas. Tetapi ternyata Pak Young tidak duduk
di kursi piano itu. Ia hanya memukul beberapa nada dengan satu tangan, menghadap
ke murid-muridnya, sementara tangan yang lain memegang tongkat irama.
"Sekarang latihan suara," kata Pak Young. "Aku ingin kalian membuka mulut lebarlebar, aku ingin suara kalian datang dari pangkal tenggorokan!"
Pak Young sangat percaya bahwa suara yang indah hanya bisa keluar kalau semua
suara dikeluarkan dari 'pangkal tenggorokan'. Latihan apa pun, selalu 'pangkal
tenggorokan' keluar. Dan kini ia berdiri, tidak duduk di kursi piano, untuk memimpin latihan. Alicia
kecewa sekali. Bagaimana kalau Pak Young tidak duduk sama sekali" Mungkin orang
yang akan duduk nanti adalah pemain piano yang biasa menyertai pelajaran dansa
nanti. Dan biasanya pemain piano itu memakai pakaian yang berwarna cemerlang,
jadi kapur itu mungkin tak akan terlihat! Sayang sekali.
Tetapi akhirnya Pak Young duduk juga. Ada lagu baru yang akan diajarkannya, dan
seperti biasanya ia memainkan lagu tersebut dua-tiga kali agar anak-anak itu
bisa menangkap iramanya. Ia duduk. Aha! Sekali lagi ternyata kursi piano terlalu rendah baginya. Pak
Young memutar diri di atas kursi tersebut, cepat sekali, sampai akhirnya
mencapai tinggi yang dikehendakinya. Anak-anak tertawa kecil. Pak Young seakan
tak pernah merasa bahwa sungguh lucu dirinya berputar-putar di kursi tersebut.
"Kini aku akan mengajarkan sebuah lagu baru," katanya. "Kalian dengarkan baikbaik. Kalian bisa mendengarkan di mana bagian ulangan masuk, sebab aku akan
menyanyikannya." Dan mulailah ia bermain piano. Jari-jarinya bergerak lincah sekali di tuts
piano, kemudian suaranya ikut mengiringi lagu itu. Alicia dan Betty saling
mengerjapkan mata. Pastilah kini kapur itu sudah bekerja!
Tiga kali Pak Young memainkan lagu tadi, kemudian ia berdiri. "Bagaimana" Bagus
bukan lagunya?" tanyanya pada anak-anak. "Bagus, Pak Guru!" sahut anak-anak
serempak. Pak Young pergi ke papan tulis, mengambil sebatang kapur. Dan saat itulah semua
anak melihat betapa bagian belakang celananya tergores warna merah muda yang
sangat cemerlang! Beberapa saat anak-anak ternganga.
"Lihat Pak Young itu! Dia tadi terkena apa" Lihatlah!"
Tak lama semua anak sudah tertawa terkikik-kikik, dan Pak Young agak bingung
berpaling, berseru, "Harap diam!"
Sesaat diam. Tetapi begitu guru musik itu berpaling ke papan tulis, suara tawa
terdengar lagi. Dan Irene mengeluarkan suara tawanya yang meledak luar biasa.
Pak Young berpaling dan membanting kapurnya. Tampaknya ia sangat gusar dan
hendak menghentakkan kaki. Tetapi tiba-tiba pintu kelas terbuka dan Nona
Grayling muncul bersama seseorang.
"Oh, maaf, aku mengganggu kelas Anda sebentar, Pak Young," kata Nona Grayling.
"Tetapi bisakah Anda membicarakan piano kita dengan Pak Lemming ini?"
Pak Young terpaksa menelan kegusarannya dan menerangkan apa yang tidak beres
dengan pianonya. Untuk itu ia harus membelakangi Nona Grayling dan Nona Grayling
begitu tercengang melihat warna merah muda cemerlang di belakang Pak Young itu.
Saat itu anak-anak sudah sunyi senyap. Alicia dan Betty berdebar-debar menunggu.
Nona Grayling berpaling pada Sally, ketua kelas kelas dua. "Tolong ambilkan
sikat pakaian di ruang depan," katanya. "Agaknya Pak Young telah terkena sesuatu
di pakaiannya." Sally berlari ke luar mengambil sikat tersebut. Pak Young begitu heran
mendengar, kata-kata Nona Grayling. Ia berusaha melihat apa yang terjadi dengan
pakaiannya. "Apakah terkena cat?" katanya khawatir. "Mudah-mudahan tidak! Oh, hanya kapur!
Tapi bagaimana aku bisa kena kapur berwarna?"
7. 'OY!' Segera kapur yang mengotori pakaian Pak Young disikat bersih oleh Pak Lemming
yang kemudian duduk di kursi piano itu, untuk mencoba beberapa nada rendah yang
diduga salah. Alicia dan Betty menahan napas. Anak-anak lain mengira bahwa suatu
tipu muslihat sedang dijalankan. Mereka pun menunggu dengan berdebar-debar.
Mereka semua merasa penantian mereka tak sia-sia saat Pak Lemming berdiri dari
kursinya, ia memakai jas panjang dan kini bagian belakang jas tersebut terhias
oleh goresan kapur berwarna merah muda menyala! Pak Young tertegun melihatnya.
"Ah, Anda juga kena!" katanya. "Lihatlah, Nona Grayling, Pak Lemming juga
terkena sesuatu di pakaiannya. Biar kini aku yang membersihkan dia!"
Walaupun di situ ada Nona Grayling, anak-anak tak bisa menahan tawa mereka. Nona
Grayling tampak kebingungan.
"Jas Anda tadi bersih sewaktu datang kemari," katanya pada Pak Lemming. "Kalau
Anda tergores sesuatu di luar kelas ini, pastilan aku mengetahuinya. Lagi pula
di sini tak ada dinding yang berwarna merah muda begitu! Lalu bagaimana kapur
merah muda itu melekat di jas Anda?"
Nona Grayling memeriksa kursi piano itu. Alicia dan Betty tak berani bernapas.
Tetapi kapur ajaib itu memang ajaib. Nona Grayling sama sekali tak melihat
bekas-bekasnya. Untung tak terpikir olehnya untuk mencoba duduk di kursi itu.
Masih terheran-heran ia mengajak Pak Lemming pergi dan pelajaran pun diteruskan
lagi. Menjelang akhir pelajaran Pak Young duduk lagi di kursi piano. Dan ketika ia
berdiri lagi, anak-anak terpaksa menyumpalkan sapu tangan ke mulut mereka agar
tidak meledak tertawa! Dengan demikian Pak Young tidak curiga ada hal yang aneh
pada dirinya. Dengan penuh gaya seperti biasanya, ia berjalan ke pintu, dan
membungkuk memberi hormat pada murid-muridnya.
"Selamat pagi, Nona-nona," katanya, berpaling dan berjalan dengan warna begitu
menyolok di celananya. Saat itu pula lonceng istirahat berbunyi. Anak-anak
berhamburan ke Taman Dalam untuk melepaskan tawa mereka yang sudah tertahan
sejak tadi. "Alicia! Ini pasti hasil ulahmu! Ayo katakan, apa yang terjadi?"
"Oh, sungguh hebat! Waktu ia membelakangi kita... wah hampir mati aku menahan
tawa!" "Betty! Cepat ceritakan! Aparah ini tadi ulahmu" Bagaimana kau melakukannya" Aku
periksa kursi itu, tetapi tak ada yang mencurigakan!"
"Wah, ya!" kata Betty pada Alicia. "Kita harus menggosok kursi itu dengan kain
basah!" Ia segera pergi mengambil kain basah sementara anak-anak mengerumuni
Alicia. Sementara itu Pak Young berjalan di salah satu gang yang terpanjang, sama sekali
tak sadar akan hiasan menyolok di belakangnya. Mam'zelle Dupont secara kebetulan
keluar dari salah satu kamar di gang itu dan sesaat ia tertegun melihat bagian
belakang guru yang berjalan gagah itu. Ia cepat mengejar Pak Young.
"Monsieur Young! Monsieur Young!" panggilnya.
Pak Young takut pada kedua mam'zelle itu. Ia mempercepat langkahnya, tetapi
Mam'zelle juga mempercepat langkah mengejarnya.
"Monsieur, attendez, je vous prie! Tunggu sebentar! Tunggu! Anda tak bisa
berkeliaran seperti itu! Sungguh buruk!"
Pak Young terpaksa berpaling, sedikit kesal. "Ada apa" Apa yang buruk?"
"Ini! Ini!" Mam'zelle menepuki tempat yang terkena kapur, yaitu tepat di pantat
celana Pak Young. Debu kapur merah muda segera beterbangan, tetapi Pak Young
sudah terlanjur sangat terkejut akan tindakan Mam'zelle yang sangat berani itu.
Ia mencoba menghindar, namun Mam'zelle yang sangat baik hati itu telah menangkap
lengannya. "Biarlah aku akan mengurus Anda, ayolah!"
Mam'zelle setengah menyeret Pak Young ke ruang depan, di mana tersedia sikatsikat jas dan mantel. Dengan penuh kekuatan ia menyikat kapur dari celana Pak
Young. Bukannya berterima kasih, Pak Young jadi sangat marah, ia sadar apa yang terjadi
dan sesungguhnya karena itulah ia marah. "Dua kali hal ini terjadi, pagi ini!"
katanya keras pada Mam'zelle sambil mengacungkan tinju, seolah-olah Mam'zelle
yang bersalah. Mam'zelle tentu saja ketakutan, mundur selangkah. Pak Young
menyambar topinya yang tergantung di dekat tempat itu dan bergegas pergi sambil
terus menggumam. "Sungguh tidak sopan orang itu," kata Mam'zelle pada dirinya sendiri. "Aku bantu
dia, tetapi dia mau meninju mukaku! Aku tak sudi berbicara dengannya lagi."
Satu-satunya anak yang melihat adegan di ruang utama ini adalah Darrell. Cepatcepat ia bergabung dengan teman-temannya untuk menceritakan hal itu. "Aku baru
saja lewat di ujung ruang depan," katanya. "Dan kulihat Mam'zelle memukuli
pantat Pak Young dengan sikat pakaian! Pak Young begitu marah! Oh, Alicia! Ayo,
lakukan lagi muslihatmu itu!"
Sesungguhnya tak baik untuk melakukan suatu muslihat dua kali berturut-turut.
Tetapi Alicia tergoda untuk melakukannya pada Mam'zelle Dupont.
"Bagaimana?" tanyanya pada Betty. Betty mengangguk sambil tertawa geli. Anakanak berkerumun untuk melihat kapur ajaib itu. Mereka masih kegelian bila
mengingat apa yang terjadi di kelas nyanyi tadi. Dan anak-anak kelas satu pun
mereka beri tahu apa yang terjadi.
Kejadian dengan kapur ajaib itu membuat anak-anak bergairah. Dan mereka menunggu
kesempatan kedua untuk menyaksikan kapur tersebut beraksi.
"Siapa yang bisa menggoreskan kapur ini di kursi guru sebelum pelajaran bahasa
Prancis sore ini?" tanya Betty. "Alicia dan aku tak mungkin. Kami takkan punya
kesempatan untuk memasuki ruang kelas. Siapa petugas kelas?"
"Aku," kata Darrell. "Biarlah aku yang melakukan itu. Mana kapur tadi dan
katakan cara penggunaannya."
Sepuluh menit sebelum waktu pelajaran sore hari, Darrell menyelinap masuk ke
dalam kelasnya. Hari itu ia memang bertugas untuk merapikan kelas, menyediakan
kapur, dan membersihkan papan tulis. Semua itu bisa dilakukannya sekitar satu
menit, kemudian ia pergi ke kursi guru, mengeluarkan kapur ajaib tadi dari
sakunya, ia sudah akan menggoreskan kapur tersebut ke alas kursi ketika tibatiba terpikir sesuatu olehnya.
Bagaimana kalau ia menuliskan suatu kata agar kata tersebut kemudian muncul di
rok Mam'zelle" Pasti semua akan tertawa tergelak-gelak melihat itu! Tapi kata
itu harus singkat, sebab tempatnya juga tak begitu banyak.
"Aku akan menulis OY," pikir Darrell, geli sendirian. "Akan kutulis terbalik
dikursi, sehingga bila nanti menempel di pantat Mam'zelle, akan terbaca seolaholah pantat itu menjerit riang! Oh, alangkah lucunya!"
Dilaksanakannya pikirannya tersebut. Ditulisnya huruf O dan Y terbalik di kursi.
'OY!' Pasti semua akan tertawa membaca kata seru itu.
Lonceng pelajaran dimulai terdengar. Darrell memasukkan kapur ajaibnya ke saku
dan pergi ke tempatnya, ia tertawa terkikik sewaktu kawan-kawannya mulai masuk.
"Sudah kaugoreskan" Masih sempat?" bisik anak-anak. Darrell mengangguk. Kemudian
Mam'zelle masuk, agaknya sedang riang hatinya. Pintu pun ditutup.
Mam'zelle langsung duduk. Kakinya kecil, badannya besar. Karena itulah ia tak
suka terlalu lama berdiri. Anak-anak berdebar-debar menunggu. Kapankah ia akan
berdiri" Darrell tak sabar menanti saat Mam'zelle berdiri dan membelakangi
kelas. Apa kata teman-temannya kalau mereka melihat apa yang tertulis di
belakang Mam'zelle itu"
Jean dipanggil maju ke papan tulis untuk menuliskan sesuatu. "Tulislah yang
keliru," bisik Darrell. "Dengan begitu Mam'zelle akan meninggalkan kursinya
untuk membetulkan tulisanmu!"
Begitulah. Heran juga Mam'zelle. Jean yang biasanya begitu teliti dalam bahasa
Prancis ternyata hari ini begitu bodoh! Selalu salah apa yang ditulisnya,
walaupun telah dituntun oleh Mam'zelle. Akhirnya dengan sangat kesal Mam'zelle
bangun dari kursinya dan menyuruh Jean duduk.
Saat itulah seisi kelas melihat apa yang tertulis di bagian belakang Mam'zelle.
Tertulis jelas dengan warna merah muda cemerlang di rok yang ketat itu kata
'OY!' Bahkan Darrell sangat terkejut melihat tulisan yang begitu menyolok itu.
Ia jadi gelisah. Membuat pakaian seorang guru bernoda merah muda cerah rasanya
masih bisa diterangkan karena tidak sengaja. Tetapi menuliskan sesuatu yang
begitu jelas, serta di tempat yang begitu khusus, maka itu adalah suatu
kekurangajaran yang mungkin tak bisa diampuni!
Seisi kelas ternganga, tak tahu harus tertawa ataukah harus ketakutan.
"Darrell! Kau sungguh gila! Bagaimana kalau dia jalan ke luar dan guru-guru lain
melihatnya?" bisik Alicia. "Mestinya kau tahu bahaya tulisanmu itu!"
Benar kata Alicia. Sungguh berbahaya bila guru lain melihat tulisan 'OY!' di
pantat Mam'zelle itu. Nona Parker pasti sangat marah, ia pasti menganggapnya
suatu kekurangajaran yang kelewat batas terhadap seorang guru.
Tetapi bagaimana menghapusnya" Tulisan OY! merah muda cerah itu seakan-akan
melambai-lambai saat Mam'zelle bergantian menulis di papan tulis dan menghadap
murid-muridnya. "Aku akan berkata pada Mam'zelle bahwa roknya terkena debu dan akan kusikat
tulisan itu," bisik Darrell berjanji. "Akan kulakukan itu di akhir pelajaran
ini." Tetapi ternyata ia tak punya kesempatan untuk itu. Mam'zelle ternyata segera
bergegas pergi, teringat bahwa ia sudah terlambat datang ke kelas berikutnya,
kelas satu yang bersebelahan dengan kelas Darrell. Dan anak-anak kelas satu
mendapat kejutan terbesar sepanjang hidup mereka saat berulang kali kata 'OY!'
berkibar di hadapan mereka, setiap saat Mam'zelle menghadap ke papan tulis.
Mereka tak bisa menahan geli, tertawa terkikik-kikik sehingga Mam'zelle jadi
marah. "Apa sih yang lucu?" ia bertanya kesal. "Rambutku tak rapi" Ada arang di
wajahku" Sepatuku tidak sepasang?"
"Tidak, Mam'zelle!" jawab anak-anak kelas satu, hampir tak kuat menahan geli.
"Aku tidak lucu dan aku tidak merasa lucu," kata Mam'zelle marah. "Tetapi kalau
kalian ribut terus, aku akan membuat suatu kelucuan. Ah, ya! Aku akan segera
berkata begini - 'Seratus baris sajak Prancis harus kau, kau, kau, dan
kautulis!' Aha! Lucu, bukan?"
Selesai berkata itu sekali lagi ia menghadap papan tulis sehingga tulisan OY!
terlihat lagi. Anak-anak kelas satu itu saling berpegangan erat-erat untuk
menahan tawa. Betapapun, mereka merasa bahwa kata OY! itu tak boleh sampai terlihat oleh guruguru lain. "Kita harus bisa menghapusnya sebelum ia keluar!" kata Hilda. "Kalau
tidak, anak-anak kelas dua akan mendapat kesulitan! Aku yakin sesungguhnya
mereka bermaksud akan menghapus tulisan tersebut tetapi tidak sempat."
Maka sebelum Mam'zelle meninggalkan ruangan kelas satu, Hilda bergegas
menghadangnya dengan sopan menawarkan diri untuk menyikat roknya yang katanya
terkena kapur. "Tiens!" kata Mam'zelle, melihat roknya tetapi tak bisa melihat apa yang
tertulis di belakangnya tentu. "Terima kasih! Kapur papan tulis ini sungguh
jelek, selalu mengganggu pakaian. Terima kasih, Hilda, vous etes gentille! Kau
sungguh baik hati!" Ia berdiri sabar dan diam, saat Hilda dengan rajin dan keras menyikat semua
kapur yang ada di roknya. Dan tulisan OY! merah muda itu pun lenyap. Kemudian ia
pergi meninggalkan ruang kelas tersebut. Anak-anak kelas dua yang sudah
menyelesaikan pelajaran mereka sudah menunggu Mam'zelle lewat. Mereka berharap
akan sempat menyikat tulisan tadi sebelum Mam'zelle pergi ke ruang guru. Dengan
perasaan lega mereka melihat bahwa rok Mam'zelle telah bersih. Mereka pun
kembali ke dalam kelas dan lemas duduk di kursi masing-masing.
"Cih! Syukurlah!" kata Alicia lega. "Kita bisa-bisa dihukum berat untuk
kesalahan seperti itu tadi! Potty atau si Hidung Panjang pastilah akan melapor
pada Nona Grayling bila mereka melihat OY! itu.


Kelas Dua Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kau tahu betapa marahnya guru-guru kalau mereka mengira kita bersikap tak hormat
pada mereka, Darrell! Kau sungguh tolol! Aku yakin-Sally-lah yang menyuruhmu
berbuat seperti itu! Sungguh ketua kelas yang baik ya dia itu!"
"Tutup mulut!" tukas Darrell, merasa kesal pada dirinya sendiri dan pada anakanak lainnya. "Sally sama sekali tak tahu apa-apa tentang hal ini. Aku memang
kurang berpikir!" 8. SEMESTER BERLANGSUNG TERUS
Peristiwa kapur ajaib itu menjadi bahan pembicaraan selama beberapa hari setelah
itu. Beberapa anak dari kelas-kelas tinggi diam-diam ingin sekali bisa ikut
menyaksikan tulisan OY! di pantat Mam'zelle itu. Dan mereka yang mengerti latar
belakangnya selalu menyeringai geli serta berbisik "OY!" di telinga Darrell
setiap kali mereka berpapasan dengannya.
Agaknya semua mengira bahwa kapur ajaib itu khusus ulah Darrell seorang. Alicia
dan Betty jadi cukup iri karenanya. Mengapa Darrell sendiri yang jadi pujaan
anak-anak di sekolah itu sedang yang dilakukannya sebenarnya hanyalah menuliskan
dua huruf itu di rok Mam'zelle dan hampir membuat seluruh kelas celaka"
Keduanya jadi bersikap dingin terhadap Darrell. Dan Darrell membalas dengan
mengabaikan mereka kapan saja ia bisa. Ia tahu bahwa Alicia masih sakit hati
karena yang terpilih jadi ketua kelas adalah Sally, karenanya setiap kesempatan
digunakannya untuk menjelekkan Sally. Darrell yang setia pada sahabatnya tentu
saja berkeberatan bila hal itu dilakukan Alicia atau Betty di dekatnya.
Lidah Alicia jadi tajam dan kejam lagi. Darrell tahu bahwa kini Alicia berusaha
membuatnya begitu marah hingga tak bisa menahan diri. Namun Darrell berusaha
keras untuk selalu bisa mengendalikan amarahnya, walaupun dadanya serasa akan
meledak, tak tahan ejekan Alicia. Ia tak boleh marah! Tak boleh! Bila ia marah,
ia pasti akan menjerit-jerit atau melempar Alicia dengan sesuatu - dan ini
berarti ia berada di pihak yang salah! Kadang-kadang terasa ia hampir tak tahan,
tetapi ia terus berusaha.
Dan ini membuatnya berperasaan kesal terus-menerus. Sally mencoba
menenangkannya, tetapi ini malah membuat Darrell semakin kesal.
Tak tahukah kau bahwa karena kau adalah sahabatku maka aku begitu gemas terhadap
Alicia?" katanya ketus. "Kalau aku yang diolok-oloknya, terserahlah, aku takkan
peduli. Tetapi rasanya aku hampir tak bisa menahan diri bila mereka mengejekmu,
Sally! Itu dilakukannya arena Alicia iri terhadap dirimu! Ia berbuat begitu
Karena tahu aku mudah marah dan merasa pasti aku akan membelamu!"
"Kalau kau sudah tahu, maka jagalah jangan sampai kau terjebak olehnya!" kata
Sally dengan bijaksana. "Itu suatu kelakuan yang tolol. Bila kau sampai tak bisa
menahan diri, Alicia dan Betty dengan mudah akan membuatmu jadi bahan tertawaan
seluruh isi sekolah ini!"
Ini termakan pula oleh Darrell, hingga ia selalu mengatupkan gigi rapat-rapat
setiap kali Alicia dan Betty bercakap-cakap, menyindir-nyindir memancing
kemarahannya. "Sally yang tercinta!" Alicia biasa memulai percakapannya dengan Betty. "Begitu
baik - tetapi membosankan! Contoh ketua kelas teladan! Bukankah begitu, Betty?"
"Oh, aku sangat setuju pada pendapatmu itu," kata Betty dengan senyum yang
membuat darah Darrell menggelegak. "Betapa bagusnya ia memberi contoh pada kita.
Penuh kasih, jujur... sering aku jadi malu sendiri akan semua kesalahan yang
kubuat setiap kulihat Sally duduk begitu tenang dan rapi di kelas. Tak pernah
melucu, tak pernah tersenyum. Sungguh seorang murid teladan!"
"Bayangkan kalau dia tidak ada, kita ini lalu harus menyontoh siapa?" Alicia
tertawa, melirik Darrell untuk melihat apakah anak itu sudah hampir meledak.
Kalau Darrell meninggalkan tempat itu, maka mereka akan menganggap ia kalah.
Tetapi kalau ia tetap tinggal di situ. Darrell merasa ia pasti takkan kuat
menahan diri lagi! Maka di hari-hari itu hati Darrell selalu gelisah dan ingin marah saja. Dan ada
anak lain yang merasakan hal serupa, gelisah dan suka marah seperti Darrell,
yaitu Ellen. Pada minggu-minggu pertama Ellen tampak tenang-tenang saja, walaupun tampak
selalu khawatir. Kemudian ia berubah menjadi cepat marah. Untuk alasan yang
kecil-kecil saja ia sudah membentak tajam, dan kerut di dahinya terlihat semakin
dalam, hingga semakin jelas ia tampak selalu mengerutkan kening.
Jean mencoba mencari tahu apa yang menyebabkan perubahan ini. Sally sudah pernah
mencobanya. Tetapi Ellen mengira Sally ingin menegurnya, maka ia langsung
membentak Sally, melarangnya mencampuri urusannya. Ini tentu saja membuat ketua
kelas itu tersinggung dan tak mau membicarakan tentang hal itu lagi.
"Anak aneh," kata Sally pada Darrell. "Aku tak bisa mengerti dirinya, ia
memenangkan bea siswa untuk masuk sekolah ini, dan itu berarti ia luar biasa
pandainya. Tetapi ternyata walaupun tiap hari ia belajar lebih giat dari kita,
ia tak pernah mencapai angka tertinggi di kelas, ia bahkan tak pernah termasuk
empat besar! Agaknya karena itulah ia sulit diajak berbicara dan jadi pemarah.
Aku tak suka padanya."
"Aku juga," kata Darrell. "Dan tak ada gunanya kau memikirkan dia, Sally. Lebih
baik kaubiarkan saja?"
"Oh, kukira tak boleh dia kita biarkan saja," kata Sally. "Semua anak patut kita
perhatikan dan bila ada yang bisa kita bantu, maka kita harus membantu. Aku akan
minta bantuan Jean untuk berbicara dengannya, ia duduk dekat Ellen di kelas."
Jean seorang anak yang biasanya selalu berterus terang dan melakukan apa saja
secara langsung, tanpa tedeng aling-aling. Biasanya bila ia ingin tahu sesuatu,
maka ia langsung menanyakan pokok persoalannya, tak peduli caranya itu mungkin
bisa membuat orang sakit hati. Tetapi aneh juga bahwa saat ia menghadapi Ellen,
maka siasatnya berbeda. Mungkin ini karena ia duduk di samping Ellen di kelas,
dan tidur di samping tempat tidur Ellen di kamar. Dia begitu sering mendengar
Ellen secara tak sadar berkeluh kesah saat melakukan pekerjaan sekolah atau saat
mencoba untuk tidur. Ia tahu bahwa Ellen sering tak bisa tidur sampai larut malam, ia menarik
kesimpulan bahwa anak itu sedang mengkhawatirkan sesuatu. Mungkin bukan
pelajarannya - sebab tak mungkin seseorang yang memperoleh bea siswa sampai
harus merasa kesulitan tentang pelajaran. Menurut pikiran Jean, semua anak yang
mendapat bea siswa pastilah anak yang luar biasa pandainya!
Jean sesungguhnya berhati lembut, walaupun tindak-tanduknya sehari-hari
membuatnya kelihatan bertabiat kasar, ia mencoba memikirkan bagaimana untuk
mendekati Ellen. Rasanya tak ada jalan lain kecuali bertanya secara langsung
persoalan apa yang sedang dihadapi anak itu dan apakah ia bisa membantu
pemecahannya. Tetapi itu takkan mungkin bisa dilakukan. Ellen pasti akan langsung membentaknya
seperti yang dilakukannya pada Sally. Maka untuk pertama kalinya Jean menangani
suatu persoalan dengan membuat siasat lebih dulu, tidak tergesa-gesa seperti
biasanya. Ellen tak punya sahabat. Ia memang tak mengundang orang lain untuk bersahabat
dengannya. Bahkan si Pendiam Emily juga tidak. Jean memutuskan untuk mencoba
bersahabat dengan Ellen dengan cara yang tak terlalu menyolok. Ia tahu bahwa ia
tak akan bisa secara paksa minta Ellen membuka rahasianya. Tetapi mungkin kalau
ia bisa membuat anak itu mempercayainya sebagai seorang sahabat, mungkin Ellen
akan mau mengatakan apa yang jadi persoalannya! Ini sungguh suatu yang luar
biasa dalam cara berpikir anak skot ini, yang biasanya tak peduli pada apa
pendapat orang lain tentang cara-caranya.
Salah satu sebabnya adalah bahwa ia merasa begitu bangga Sally minta bantuannya
untuk mencoba menangani Ellen sebab dirinya sendiri telah gagal. Maka tanpa
diketahui oleh Ellen, Jean mulai berbuat baik dan memberi bantuan-bantuan kecil
kepadanya. Jean menghabiskan waktu lama sekali untuk membantu Ellen mencari sepatu
olahraganya yang hilang, ia menghibur Ellen saat potret ayah-ibu Ellen jatuh
dari meja dan bingkainya pecah. Ia bahkan menawarkan diri untuk mencari ganti
kaca bingkai itu. ia membantu Ellen mengeringkan rambutnya ketika anak itu
selesai keramas. Beberapa bantuan kecil yang tak disadari oleh anak-anak lain,
juga Ellen pada mulanya. Dan memang lambat-laun Ellen tumbuh juga percayanya pada anak Skot yang cerdik
ini. Ia mulai mau berkata pada Jean bila ia jedang sakit kepala, walaupun ia
menolak tegas usul Jean untuk memeriksakannya pada Ibu Asrama, ia juga tak
pernah lagi membentak Jean, walaupun anak-anak lain masih dibentakinya - kecuali
Marry-Lou. Dan memang, tentang Mary-Lou, hanya anak yang berhati sangat jahat
saja yang tega membentak si Kecil itu.
Ada saat-saat di mana Ellen sangat mengganggu teman-temannya., "Aku yakin ia
terkena apa yang dikatakan ibuku 'sakit syaraf," kata Alicia suatu malam.
"Sedikit-sedikit terkejut, sedikit-sedikit keliru bertindak, sedikit-sedikit
membentak orang - lihat itu, cemberut pada keranjang jahitannya seolah-olah
keranjang itu baru menggigitnya!"
Kalau ada seseorang yang lewat terlalu dekat dengannya dan menyinggung
lengannya, langsung saja Ellen terlonjak dari tempat duduknya dan membentak
"Awas! Tak dapatkah kau melihat ke mana kau pergi?"
Kalau ada seseorang menyela berkata sesuatu padanya saat ia sedang membaca buku,
maka dihempaskannya bukunya itu ke meja dan ia melotot marah, membentak, "Tak
tahukah kau aku sedang membaca" Apakah di sini tak ada yang bisa diam sedikit
pun?" "Kau kan tak membaca," tukas Darrell. "Kulihat tak sekali pun kau membuka
lembaran buku itu sejak kau mengambilnya tadi!"
"Oh, jadi kau mengawasi aku, ya?" tanya Ellen, dan tiba-tiba matanya bergenang
air mata, dan dengan geram ia meninggalkan ruangan itu, membanting pintunya.
"Jahat sekali dia! Bagaikan kucing saja, langsung mencakar bila diganggu!"
"Alangkah baiknya bila ia memenangkan bea siswa untuk pergi ke sekolah lainnya
saja!" "Selalu pura-pura membaca dan belajar, tetapi nilainya terus-menerus turun tiap
Murka Penghuni Kubur 2 Fear Street - Mimpi Buruk Bad Dreams Senopati Pamungkas 18

Cari Blog Ini