Ceritasilat Novel Online

Membuat Kapal Selam 3

Membuat Kapal Selam Klub Ilmuwan Edan Karya bertrand R. Brinley Bagian 3


Pada detik berikutnya suara Henry terdengar lewat radio. Ia
ingin tahu apakah piring terbang kami sudah kelihatan.
"Sudah," jawab Homer. "Dan orang-orang di lapangan juga
sudah melihatnya. Sebaiknya kau cepat-cepat membawanya kabur dari
sini." "Oke, tapi sebelumnya kita akan mengadakan pertunjukan kecil
dulu," ujar Henry. "Perhatikan saja apa yang akan terjadi."
Pukul 20.00. Sepertinya Henry baru saja menyalakan sejumlah
roket pemutar. Aku melihat percikan api beterbangan ke segala arah....
Yeah! Kelihatannya persis seperti kembang api. Sekarang UFO kita
mulai terbang naik. Rupanya Henry telah menghidupkan sistem
pendorong. Billy Dahr muncul lagi... sepertinya dia bawa teropong.
Sekarang dia melangkah mundur... di sekelilingnya ada sekerumunan
orang.... Eit, dia terpeleset dan jatuh telentang. Rasanya piring terbang
kita sudah tidak berputar lagi. Beritahu Henry agar dia mematikan
lampu di kokpit! UFO kita sudah hampir tidak kelihatan... mestinya
sudah berada di atas danau ...
Pukul 20.15. Orang-orang masih bergerombol di lapangan.
Mereka sibuk mondar-mandir sambil bercakap-cakap. Sebentarsebentar ada yang menunjuk ke langit. Aku rasa beberapa di antara
mereka akan bermalam di lapangan. Barangkali mereka berharap agar
UFO kita kembali lagi....
Itulah akhir dari laporan mengenai pemunculan perdana si
Penyihir Terbang di atas Mammoth Falls. Anak-anak di tambang tua
berhasil mendaratkan UFO kami dengan selamat. Tapi mereka sempat
mengejar-ngejarnya karena terbawa angin.
Orang-orang di lapangan menganggap UFO kami lenyap begitu
saja ketika Henry mematikan lampu di kokpit. Tetapi ketika UFO
kami berada di atas danau, Henry terpaksa menyalakan lampu lagi
supaya ia bisa mengarahkan si Penyihir Terbang kembali ke tambang
tua. Kesulitan utama yang dihadapinya adalah bahwa ia tidak bisa
memastikan ke mana pipa penyembur mengarah pada waktu ia
menyalakan sistem pendorong. Kadang-kadang si Penyihir Terbang
malah semakin menjauh ketika Henry mengirim sinyal untuk
menyemburkan gas karbon dioksida. Untung angin yang bertiup dari
arah timur membantu membawa UFO kami ke tempat yang
seharusnya. Kami memutuskan untuk tidak menerbangkan UFO kami
sebelum dilengkapi dengan semacam kemudi. Dengan demikian si
Penyihir Terbang lebih mudah dikendalikan, dan di samping itu Henry
juga bisa mengetahui ke mana pipa penyembur mengarah.
Pada pagi berikutnya, harian Gazette langsung menurunkan
berita khusus pada halaman pertama.
BENDA MISTERIUS TERLIHAT DI LANGIT. SEJUMLAH
WARGA MAMMOTH FALLS MENGAKU TELAH MELIHAT
PIRING TERBANG. SERSAN BILLY DAHR MEMBER IK AN
KETERANGAN TERINCI MENGENAI BENDA MISTERIUS
TERSEBUT. PIHAK ANGKATAN UDARA BERJANJI AKAN
MENGADAKAN PENYELIDIKAN. Freddy Muldoon membawa beberapa koran, dan kami
menggunting semua artikel mengenai UFO kami. Artikel-artikel itu
kami tempel dalam sebuah buku khusus untuk dokumentasi.
Sementara kami bekerja, Mortimer Dalrymple membacakan artikelartikel itu untuk kami. Luar biasa reaksi orang-orang itu!
Seorang pria menjelaskan bahwa ia melihat pesawat UFO
melesat dengan kecepatan lima ribu kilometer per jam. Ketika
wartawan yang mewawancarainya bertanya bagaimana ia bisa begitu
yakin, pria itu menjawab, "Saya memang jago menaksir kecepatan!"
Pria lain mengatakan bahwa UFO yang dilihatnya berukuran sebesar
rumah. Ia menambahkan bahwa UFO itu naik sampai ketinggian tiga
ribu meter, lalu turun lagi, seakan-akan mencari tempat untuk
mendarat. Beberapa orang mengaku bahwa mereka menjadi pusing
setelah memandang UFO itu selama beberapa saat. Dan seorang anak
muda menjelaskan bahwa ia hampir buta selama lima menit, setelah
matanya terkena cahaya yang dipancarkan oleh UFO itu. Seorang
wanita berkeras bahwa ia melihat makhluk aneh melompat keluar dari
UFO, lalu bergelantungan pada parasut, tetapi tidak ada yang
memperkuat keterangannya itu. Harian Gazette juga menerima
sejumlah laporan mengenai suara berdengung yang ditimbulkan oleh
UFO itu, dan beberapa orang bahkan mencium bau aneh di udara.
"Hei! Itu ide bagus!" seru Mortimer. "Bagaimana kalau lain kali
kita menjatuhkan telur busuk dari piring terbang kita?"
Bahkan Henry pun ikut ketawa ketika mendengar usul itu.
"Gagasan Mortimer patut dipertimbangkan," ia mengakui. "Tapi
sekarang belum waktunya untuk mengadakan atraksi seperti itu. Kita
tidak boleh gegabah."
Keesokan harinya Gazette memuat wawancara dengan Kolonel
March, komandan Pangkalan Udara Westport Field. Pak Kolonel
mengatakan bahwa ia telah melaporkan kejadian itu ke kantor Proyek
Buku Biru di Pangkalan Wright-Patterson di Ohio.
"Mereka bertugas menyelidiki semua laporan. mengenai UFO,"
ia menjelaskan pada wartawan Gazette. "Kepala proyek tersebut
berjanji akan segera mengirimkan tim penyelidik ke sini."
Para penyelidik, yang dipimpin oleh seorang profesor psikologi
dari Universitas Columbia, tiba hari itu juga. Namun mereka bersikap
sangat tertutup. Mula-mula mereka tidak bersedia memberi keterangan
apa pun pada pers, kecuali bahwa kejadian di Mammoth Falls
bukanlah hal yang aneh. Namun setelah didesak terus, salah seorang
anggota tim"seorang profesor ilmu fisika"mengatakan bahwa data
meteorologis pada hari yang bersangkutan menunjukkan inversi suhu
di daerah Mammoth Falls dan sekitarnya. Ia lalu menambahkan bahwa
kondisi seperti itu sering diiringi oleh pembayangan udara. Tapi tentu
saja tidak ada yang puas dengan penjelasan itu.
Tim penyelidik tersebut menghabiskan tiga hari untuk
mewawancarai para saksi mata. Kami yakin bahwa banyak di antara
para "saksi mata" itu sebenarnya tidak melihat apa-apa. Sehari setelah
tim penyelidik meninggalkan Mammoth Falls, kami kembali
menerbangkan si Penyihir Terbang.
Pada penerbangan kedua ini, piring terbang kami tampil
sempurna. Mortimer bahkan sempat memancarkan serangkaian bunyi
aneh lewat pengeras suara, sekadar untuk memuaskan orang-orang
yang mengaku bahwa mereka telah mendengar suara aneh yang keluar
dari dalam UFO. Namun ada satu hal yang tidak kami perhitungkan. Ternyata
begitu si Penyihir Terbang terlihat di atas kota, seseorang langsung
menghubungi pihak Angkatan Udara di Westport Field. Petugas radar
di sana lalu melaporkan bahwa ia tidak melihat apa-apa pada layar
monitor. Meskipun demikian Kolonel March memutuskan untuk
mengirim dua pesawat pengintai.
Mula-mula kami tidak menyadari ancaman baru itu. Tetapi
ketika suara pesawat jet melintas di atas kota, kami segera bisa
menyimpulkan artinya. Homer cepat-cepat menyuruh Henry mematikan lampu di
kokpit UFO, sebelum kedua pesawat itu kembali lagi. Henry langsung
pasang kecepatan penuh, lalu mengarahkan piring terbang kami ke
daerah bukit-bukit. Dari tambang tua kami melihat sisa-sisa cahaya
matahari terpantul dari badan kedua pesawat jet yang sedang memutar
di kejauhan. Henry langsung sadar bahwa si Penyihir Terbang tidak
mungkin kembali ke tempat pendaratan sebelum terlihat oleh kedua
penerbang. Untung suasana dengan cepat bertambah gelap. Mungkin
masih ada kesempatan lolos kalau UFO kami terbang rendah di atas
permukaan danau. Keadaan di sana sudah hampir gelap gulita.
Ide itu sebenarnya cukup baik. Namun karena begitu
bersemangat, Henry melepaskan terlalu banyak gas helium. Akibatnya
piring terbang kami jatuh ke danau. Untung si Penyihir Terbang tidak
tenggelam. Baru beberapa jam kemudian, setelah menembus hutan
lebat di bagian barat Danau Strawberry, kami menemukannya
mengambang di permukaan air"kira-kira dua ratus meter dari darat.
Jeff dan Mortimer langsung melompat ke air, kemudian menarik
piring terbang kami ke pinggir. Bersama-sama kami lalu
membawanya ke teluk kecil yang banyak terdapat di kaki bukit sekitar
danau. Setelah menutupi si Penyihir Terbang dengan dahan-dahan
serta daun-daun, kami memutuskan untuk membiarkannya di sana
sampai kami menemukan cara untuk menerbangkannya lagi.
Yang tidak kami ketahui pada saat itu adalah bahwa salah
seorang pilot sempat melihat UFO kami sebelum menghilang dalam
keremangan di atas Danau Strawberry. Penerbang itu bahkan sempat
mengarahkan kameranya. Foto yang dibuatnya merupakan foto UFO
pertama yang dibuat oleh pesawat Angkatan Udara. Petugas humas di
Westport Field tidak membuang-buang waktu, sehingga keesokan
harinya foto si Penyihir Terbang telah terpampang pada halaman
pertama Gazette. Seluruh kota gempar. Reaksi para warga Mammoth Falls
ternyata jauh lebih hebat dari yang kami bayangkan sebelumnya. Tak
seorang pun tahu pasti apa yang terjadi dengan UFO misterius itu
setelah si pilot kehilangan kontak mata. Menurut desas-desus yang
beredar di kota, piring terbang itu jatuh di daerah bukit-bukit. Bahkan
ada orang yang mengaku telah melihat sejumlah makhluk berwarna
hijau yang berusaha menghentikan kendaraan yang lewat.
Rasa panik mulai mencengkeram kota Mammoth Falls. Hampir
tidak ada orang yang berani berada di luar setelah matahari tenggelam,
dan Lem Perkins baru mau mengantarkan susu setelah hari benarbenar terang. Para ibu rumah tangga sempat kalang-kabut ketika
seseorang menyebarkan berita bahwa semua telur ayam di daerah
Mammoth Falls telah tercemar radiasi, sehingga Pak Walikota
terpaksa minta Departemen Pertanian untuk menguji semua telur di
toko-toko. Elvira Lightbody, yang merupakan ketua Organisasi
Wanita Mammoth Falls, mengirim surat pembaca ke harian Gazette.
Dalam surat itu ia menuntut agar Pak Walikota memberlakukan jam
malam setelah pukul 20.00. Abner Sharpies, yang sejak dulu
mengincar kursi walikota, mengatakan pada Lions Club bahwa ia akan
minta Bapak Gubernur untuk mengirim Garda Nasional seandainya
dia yang berkuasa di Mammoth Falls.
Kali ini Kolonel March tidak perlu menghubungi kantor Proyek
Buku Biru untuk minta agar mereka mengirim tim penyelidik. Begitu
mendapat laporan, tim mereka langsung kembali ke Mammoth Falls
dan membuka kantor sementara di Balai Kota. Peneliti-peneliti amatir
pun mulai berdatangan. Pilot yang mengambil foto diwawancarai secara panjang-lebar.
Kemudian ia dikirim ke Pangkalan Udara Wright-Patterson untuk
menjalani pemeriksaan kejiwaan, sehingga baik pers maupun para
penyelidik amatir tidak memperoleh keterangan darinya. Letnan
Graham"petugas humas di Westport Field"mendapat teguran keras
karena telah menyerahkan foto UFO yang belum terbukti asli pada
pers. Sementara itu, Kolonel March menghadapi kesulitan lain. Para
wartawan terus mendesaknya untuk mengeluarkan pernyataan resmi,
sedangkan Pentagon memerintahkannya untuk tetap tutup mulut.
Siang hari berikutnya, puluhan petualang terlihat menyusuri
bukit-bukit di sebelah barat Danau Strawberry. Semuanya berharap
bisa menemukan awak piring terbang yang sedang menunggu
undangan ke Gedung Putih. Namun usaha pencarian itu sia-sia saja,
dan mereka pun pulang dengan tangan kosong.
Harmon Muldoon"sepupu Freddy"membawa tim penyelidik
dari Proyek Buku Biru ke tambang tua. Tetapi kami telah
memindahkan semua peralatan, sehingga tempat itu kembali sepi
seperti semula. Karena scgala hiruk-piruk mengenai UFO itu, kami
memutuskan untuk menunggu sampai keadaan agak tenang. Namun
ternyata ketenangan kami sendiri hanya bertahan sampai keesokan
paginya. Freddy dan aku sedang membantu Henry memotong rumput di
pekarangan belakang rumahnya, ketika Mrs. Mulligan memanggil
kami dari pintu dapur. Ia lalu memberitahu Henry bahwa ada tamu
penting yang ingin bertemu dengan kami.
"Rasanya aku tahu siapa orangnya," ujar Henry sambil ketawa
dengan gelisah. "Sebaiknya kalian juga ikut menemuinya."
Kami masuk ke dalam rumah dan menemukan Kolonel March
sedang duduk di kursi antik di ruang tamu Mrs. Mulligan. Ia nampak
lelah dan seragamnya agak kusut, tetapi sikapnya tetap cerah ceria
seperti biasa. Mrs. Mulligan sibuk memungut koran-koran di atas sofa,
kemudian membersihkan debu di rak buku. Sambil minta maaf pada
Kolonel March karena ruang tamunya berantakan, ia menyingkirkan
kulit kacang yang berserakan di meja, lalu menghilang ke dapur.
"Saya kebetulan lewat," ujar Kolonel March sambil berdiri
untuk bersalaman. "Jadi saya sekalian saja mampir ke sini."
"Terima kasih," kata Henry.
"Bagaimana Kolonel March bisa kebetulan lewat?" Freddy
bertanya padaku. "Ini kan jalan buntu!"
Rupanya Kolonel March mendengar bisikan itu, sebab ia
tersenyum sabar lalu menjewer telinga Freddy. Setelah duduk lagi,
perwira Angkatan Udara itu menatap Henry dan bertanya secara
sambil lalu, seakan-akan tanpa maksud tertentu, "Apa saja kegiatan
kalian belakangan ini?"
"Ah, tidak ada yang istimewa."
"Tidak ada yang istimewa?"
"Ya, semua seperti biasanya," jawab Henry sambil mengangkat
bahu. Kolonel March merogoh kantong dada untuk mencari sebatang
rokok. "Bagaimana pendapat kalian mengenai kegemparan yang
melanda kota kita?" ia lalu bertanya.
"Kegemparan yang mana?" Freddy Muldoon berlagak bodoh.
Kolonel March kembali tersenyum, kemudian menyalakan
rokoknya. "Maksud saya, kegemparan yang ditimbulkan oleh piring
terbang yang terlihat di atas Mammoth Falls," ia menjelaskan.
"Oh, itu! Orang-orang memang suka mengada-ada!" kata
Freddy. "Pendapatmu bagaimana, Henry?"
"Saya kira semuanya lucu sekali," jawab Henry sambil
menggosok-gosok hidung. "Ya, memang lucu sekali," Kolonel March berkata. "Tapi garagara UFO itu saya sudah tiga malam berturut-turut tidak bisa tidur."
"Wah, kasihan betul," Henry berkomentar.
Percakapan terhenti, dan untuk beberapa saat Kolonel March
menatap langit-langit. Kemudian ia mulai memutar-mutar topinya,
seakan-akan sedang bingung mencari bahan omongan. Setelah
berdehem, ia akhirnya berkata, "Sebenarnya saya mengharapkan
bantuan kalian." "Bagaimana maksud Bapak?" tanya Henry sambil mengerutkan
kening. "Mungkin lebih baik kalau Bapak minta bantuan dokter saja,"
Freddy mengusulkan. "Kami kurang berpengalaman dalam mengatasi
gangguan tidur." Sekali lagi Kolonel March tersenyum. Namun kali ini
senyumnya nampak agak getir.
"Saya rasa saya tidak memerlukan jasa dokter" ia berkata.
"Saya pasti akan bisa tidur nyenyak lagi kalau penyelidikan mengenai
UFO ini bisa diselesaikan dalam waktu singkat."
Ucapan ini kembali disusul oleh suasana hening. Tiba-tiba Mrs.
Mulligan muncul sambil membawa secangkir teh serta sepiring roti isi
ketimun. "Silakan minum dulu, Kolonel March," ia menawarkan. "Anda


Membuat Kapal Selam Klub Ilmuwan Edan Karya bertrand R. Brinley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasti sibuk sekali dalam beberapa hari terakhir ini. Urusan piring
terbang itu benar-benar menyita perhatian, bukan" Maaf, tapi saya
harus menjemur cucian dulu."
Langsung saja ia kembali ke dapur.
Kolonel March segera mencicipi tehnya. Namun kemudian ia
mengerutkan kening. "Roti isi ketimun?" ia bertanya heran.
"Ya! Rasanya enak sekali!" Henry mempromosikan roti buatan
ibunya. "Silakan," kata Freddy sambil meraih sepotong roti.
"Kebetulan saya memang belum sempat makan siang," ujar
Kolonel March. Ia mengambil sepotong roti lalu memandang tajam ke
arahku. "Kembali ke pembicaraan semula," katanya. "Apakah kalian
sempat melihat piring terbang di sekitar sini?"
Aku menatap Freddy, Freddy menatap Henry, dan Henry
memindahkan posisi duduknya.
"Apa yang Bapak maksud dengan piring terbang?" ia bertanya.
"Apakah kalian sempat melihat benda aneh tak dikenal di
langit?" Kolonel mengulangi pertanyaannya dengan kata lain.
"Tidak!" Henry menjawab tegas.
Aku langsung menarik napas lega, dan Freddy kembali meraih
sepotong roti. Kolonel March menggigit sisa rotinya, kemudian mengunyah
sambil merenung. "Sayang sekali!" ia berkomentar. "Sebenarnya saya berharap
kalian punya informasi untuk saya."
Freddy bergumam dengan mulut penuh, tapi ucapannya tidak
bisa dimengerti. "Ya, saya setuju sekali!" kata Pak Kolonel. "Dan kau benar,
Henry. Roti ini memang enak sekali. Kalau boleh, saya ambil satu
lagi." Namun tangannya yang telah siap meraih tiba-tiba terhenti,
karena piring roti ternyata sudah kosong.
"Bapak harus bergerak cepat kalau duduk satu meja dengan
Freddy," ujar Henry. "Biar saya ambil sepotong lagi dari dapur."
"Oh, tidak perlu! Terima kasih," Kolonel March menolak.
"Saya toh sudah harus berangkat lagi."
Ia mengenakan topinya dan langsung menuju pintu.
"Uh, hampir saja!" aku mendesah setelah Pak Kolonel pergi.
"Mungkin lebih baik kalau kita jangan macam-macam dulu."
"Kau membohongi Pak Kolonel tadi!" Freddy Muldoon
menuduh sambil menuding Henry.
"Aku tidak berbohong!" Henry membantah. "Pak Kolonel
bertanya apakah kita melihat benda aneh yang tak dikenal di langit.
Tentu saja aku menjawab "tidak"."
Untuk beberapa saat Freddy memikirkan ucapan Henry, dan
akhirnya ia pun menyadari bahwa Henry memang benar.
"Busyet, seharusnya kau terjun ke bidang politik setelah dewasa
nanti," Freddy berkomentar sambil geleng-geleng kepala. "Kalau kau
kapan-kapan mencalonkan diri sebagai presiden, tolong ingatkan aku
agar aku memilih orang lain saja. Kau terlalu hebat dalam urusan
permainan kata." "Tapi aku tetap berpendapat bahwa kita sebaiknya jangan
macam-macam dulu," kataku.
"Aku kurang setuju," kata Henry. "Justru itu yang diharapkan
oleh Kolonel March. Kelihatannya Pak Kolonel sudah mulai
mencurigai kita. Dengan mengistirahatkan si Penyihir Terbang, kita
malah memberikan bukti bahwa kecurigaannya memang beralasan.
Nah, karena itu aku berpendapat bahwa kita justru harus
menerbangkan UFO kita secepatnya"kalau perlu malam ini juga!
Takkan ada yang menyangka bahwa kita berani melakukannya persis
setelah dikunjungi oleh Kolonel March."
Alasan yang dikemukakan Henry masuk akal, sehingga kami
semua menyetujui gagasannya. Namun karena Harmon Muldoon telah
membawa tim penyelidik ke tambang tua, maka kami terpaksa
mencari pusat kontrol baru. Agar lebih mudah berpindah-pindah
tempat, kami memutuskan untuk memasang segala peralatan di bak
sebuah truk besar. Zeke Boniface memiliki truk yang sesuai dengan
kebutuhan kami, dan karena itu kami mengajaknya bekerja sama.
Truk kepunyaan Zeke sebenarnya sudah tua sekali. Tapi entah
bagaimana caranya, truk itu tidak pernah mogok atau rusak. Ada
hubungan misterius antara Zeke dengan truknya, yang sulit dijelaskan
dengan akal sehat. Kalau bukan karena Zeke, maka truknya pasti
sudah jadi tumpukan besi tua. Untung saja Zeke memiliki kemampuan
mekanik yang luar biasa. Ia percaya bahwa segala hal harus
dikerjakan dengan usaha sekecil mungkin. Karena itu tempat
penampungan besi tuanya penuh dengan berbagai peralatan yang
menghemat waktu dan memudahkan pekerjaan. Zeke memang cerdas
sekali. Kalau mau, dia sudah lama jadi jutawan. Hanya saja dia lebih
suka pergi memancing. Pagi-pagi sekali, setelah memasang semua peralatan radio di
truk Zeke, kami menuju danau untuk mengeluarkan si Penyihir
Terbang dari tempat persembunyiannya. Kemudian Zeke membawa
piring terbang kami ke tambang tua. Ia ditemani oleh Henry,
Mortimer, dan Jeff. Homer dan aku kembali ditugaskan di loteng di
atas toko kelontong ayah Homer. Dari sana kami akan memantau si
Penyihir Terbang. Berita radio sore itu menyiarkan pengumuman dari Kolonel
March. Perwira Angkatan Udara itu mengatakan bahwa
penyelidikannya tidak menunjukkan bukti mengenai keberadaan
piring terbang di daerah Mammoth Falls. Ia menambahkan bahwa
semua kejadian selama ini dapat dijelaskan secara ilmiah, dan bahwa
tim penyelidik dari Proyek Buku Biru akan segera kembali ke
Pangkalan Wright-Patterson. Ketika ditanya oleh wartawan radio,
Kolonel March hanya mengatakan bahwa ia telah memecahkan
misteri yang dihadapi Mammoth Falls. Kemudian ia menjelaskan
keyakinannya bahwa takkan ada lagi laporan mengenai UFO di
Mammoth Falls. Henry langsung mulai merenung setelah mendengar siaran
berita. Selama lima belas menit ia tidak bisa diajak bicara oleh siapa
pun. Setelah puas berpikir, Henry memutuskan bahwa ini adalah
terakhir kali si Penyihir Terbang akan beraksi. Sambil tersenyum
lebar, ia lalu memberi tugas khusus pada Dinky dan Freddy. Mereka
langsung meninggalkan markas, dan kami tidak melihat mereka
sampai malam hari. Dari loteng di atas toko kelontong Mr. Snodgrass, deretan bukit
di seberang Danau Strawberry hanya terlihat samar-samar karena
diterangi dari belakang oleh cahaya matahari. Di lapangan Balai Kota,
tiga tingkat di bawah kami, orang-orang sedang berjalan-jalan sambil
saling menukar gosip mengenai kejadian-kejadian sepanjang hari.
Para petugas Dinas Pemadam Kebakaran nampak sibuk menggulung
selang-selang air, yang telah selesai dijemur di depan markas mereka.
Empat anggota marching band Bala Keselamatan sedang memainkan
sebuah hymne di muka toko sosis milik Mr. Garmisch. Permainan
mereka agak sumbang dan agak terlalu keras. Tak ada yang
memperhatikan mereka, kecuali dua ekor anjing yang selalu
menunggu di depan toko sosis itu. Setiap kali si pemain terompet
membunyikan nada tinggi, kedua anjing itu pun mengiringinya
dengan lolongan panjang. Tiba-tiba Homer menarik bajuku, lalu menunjuk ke seberang
danau. Aku melihat dua benda kecil muncul di cakrawala, tepat di atas
puncak bukit-bukit. Kedua benda itu mengeluarkan cahaya yang
cukup terang. Tidak lama kemudian benda serupa muncul, dan setelah
itu satu lagi, dan satu lagi. Jumlah benda misterius itu terus
bertambah. Beberapa di antaranya memancarkan cahaya putih terang.
Tapi sebagian besar mengeluarkan cahaya kebiru-biruan. Salah satu di
antaranya mendadak naik dengan cepat, sampai jauh melebihi yang
lain, dan akhirnya hanya kelihatan sebagai titik kecil di langit.
Itulah aba-aba yang telah disepakati untuk memulai operasi
malam. Henry, Mortimer, dan Jeff telah meluncurkan sejumlah "sosok
hantu" dengan bantuan Zeke. Sosok hantu itu sebenarnya merupakan
kantong-kantong plastik, dengan bagian yang terbuka diikatkan pada
sepotong kawat kasa, atau tutup kaleng berlubang. Kantong plastiknya
berisi lilin, yang dipasang pada tutup kaleng. Hasilnya sama dengan
balon udara panas. Tetapi kalau terbawa angin, maka "sosok hantu"
itu bisa melakukan atraksi yang lebih hebat dibandingkan layanglayang.
Kini telah ada sekitar dua lusin sosok hantu di atas Danau
Strawberry" cukup banyak untuk meyakinkan para penduduk
Mammoth Falls bahwa kota mereka sedang diserbu oleh piring
terbang. Semakin lama, sosok-sosok hantu itu semakin mendekati kota
karena terbawa angin. Tidak jauh di belakang sosok-sosok itu kini
terlihat cahaya hijau yang dipancarkan UFO kami. Satu menit lagi
orang-orang di lapangan pasti sudah melihat cahaya itu. Homer dan
aku menahan napas. Keadaan amat menegangkan.
Sambil memperhatikan si Penyihir Terbang mendekati kota, aku
menghidupkan radio dan menghubungi Henry. Menurut rencana,
Homer dan aku akan mengambil alih kendali setelah piring terbang
kami berada di atas kota. Kami merencanakan atraksi luar biasa, yang
lebih mudah dilaksanakan jika si Penyihir Terbang di-kontrol dari
dekat. UFO kami terbang pada ketinggian rendah" hanya beberapa
puluh meter di atas tanah"karena kami telah menambahkan beban
berupa bongkahan timah. Akibatnya, semua orang terkejut sekali
ketika si Penyihir Terbang tiba-tiba muncul di atas lapangan Balai
Kota. Homer segera melepaskan sejumlah gas helium, sehingga piring
terbang kami mendarat dengan mulus di atap markas Dinas Pemadam
Kebakaran dan menghilang dari pandangan orang-orang.
Para warga kota yang mulai panik bergegas ke sisi lapangan
yang berlawanan"beberapa di antara mereka agar bisa melihat lebih
jelas, tetapi sebagian besar supaya bisa segera menyingkir jika terjadi
sesuatu. Dua pemuda pemberani berusaha memanjat tiang telepon
agar dapat mengintip ke atap markas Dinas Pemadam Kebakaran.
Keempat anggota marching band Bala Keselamatan telah berhenti
bermain. Mereka nampak terbengong-bengong ketika para petugas
pemadam kebakaran berlari keluar dari markas. Suasana semakin
hiruk-piruk oleh lolongan kedua anjing yang masih duduk di depan
toko sosis Mr. Garmisch. Yang tidak terlihat oleh orang-orang di lapangan adalah Dinky
dan Freddy. Mereka mengenakan kostum serba hijau, dan sudah dua
jam bersembunyi di atap. Kini mereka menghampiri si Penyihir
Terbang, lalu cepat-cepat mencopot bongkah-bongkah timah yang
terpasang pada bagian bawahnya. Setelah semua beban dicopot,
mereka melambai-lambaikan tangan ke arah kami. Tapi Homer hanya
mengerutkan kening, dan menatapku dengan pandangan bertanyatanya.
"Mereka memberikan aba-aba," aku berbisik dengan nada
mendesak. Namun Homer belum juga bereaksi, sehingga aku segera
menonjok tulang iganya. "Hidupkan pipa penyembur! Hidupkan pipa penyembur!" aku
berteriak ke telinga Homer.
Homer seakan-akan baru sadar kembali ketika melihat si
Penyihir Terbang mulai bergerak naik. Alat pemancar kami terdengar
mendengung sewaktu Homer mengirim sinyal untuk menyalakan pipa
penyembur. Si Penyihir Terbang segera mengangkasa, dan sekali lagi
mengejutkan orang-orang di lapangan.
Para petugas pemadam kebakaran telah mengeluarkan tangga
dari gudang. Mereka tengah bersiap-siap untuk memanjat naik, ketika
mereka mendengar suara aneh.
Semua orang memandang ke atas dan melihat dua makhluk
berwarna hijau dengan kepala bertanduk mengintip lewat tepi atap. Di
ujung tanduk kedua makhluk itu terdapat lampu yang berkedap-kedip.
Suasana semakin kacau-balau ketika makhluk-makhluk itu mulai
berlari mondar-mandir, seakan-akan sedang mencari tempat untuk
melompat turun ke jalan. Yang satu berbadan kurus, sedangkan yang
lainnya bertubuh gemuk; tapi dua-duanya sama-sama pendek.
Sejumlah petugas pemadam kebakaran kembali ke dalam
markas, lalu keluar lagi sambil membawa jaring. Untuk sesaat terlihat
pemandangan yang benar-benar menggelikan. Kedua makhluk
berbadan hijau berlari bolak-balik di atas atap, sementara para petugas
di bawah berusaha keras untuk mengikuti arah gerakan mereka.
Tiba-tiba saja kedua makhluk itu menghilang dari pandangan.
Selama beberapa detik tidak terjadi apa-apa. Orang-orang di lapangan
menahan napas, seakan-akan menunggu makhluk-makhluk itu muncul
kembali. Para petugas pemadam kebakaran berdiri seperti terpaku.
Tapi kemudian mereka segera bersiap-siap untuk menaiki tangga.
Namun Freddy dan Dinky sudah lama kabur.
Homer dan aku begitu terpukau oleh keramaian di muka markas
pemadam kebakaran, sehingga untuk sesaat si Penyihir Terbang
sempat terlupakan. Suara Henry yang keluar dari radio membawa
kami kembali ke alam nyata.
"Hei, kau belum mematikan pipa penyembur, Homer!" aku
berteriak. "Piring terbang kita sudah hampir tidak kelihatan."
"Katakan pada Henry agar dia mengambil alih kendali," jawab
Homer. "Dia lebih bisa mengaturnya dibandingkan aku."
Namun ketika aku menyampaikan pesan Homer, Henry
langsung menolak. "Aku tidak bisa. Kami... ehm... kami lagi ada tamu. Aku rasa...
kalian harus melanjutkan eksperimen kita sesuai rencana."
"Rencana yang mana?" aku bertanya dengan heran. "Henry, kita
belum merencanakan apa-apa. Maksudmu, kami yang harus
mengendalikan si Penyihir Terbang agar kembali ke tambang tua?"
"Tidak... itu tidak perlu. Sebaiknya kalian cari lokasi baru saja."
"Hei, Henry! Kau sudah gila" Masih ingat, kan" Ini aku,
Charlie!" "Aku kan sudah bilang di sini lagi ada tamu!" Henry
mengulangi. "Mereka sangat terkesan dengan eksperimen atmosfir
yang sedang kita laksanakan."
Aku menatap Homer sambil mengerutkan kening. Kami berdua
memang tidak menyadari bahwa Henry dan yang lain memang
kedatangan tamu. Pada waktu si Penyihir Terbang sedang mendarat di
atap markas pemadam kebakaran, Kolonel March beserta tim
penyelidik dari Proyek Buku Biru tiba-tiba muncul di tambang tua.
Tentu saja mereka bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan para
anggota Klub Ilmuwan Edan dengan segala peralatan radio di atas truk
milik Zeke Boniface"apalagi pada saat bersamaan langit sedang
dipenuhi benda-benda bercahaya yang nampak berputar-putar.
"Kami sedang melakukan eksperimen untuk menyelidiki
lapisan atmosfir yang paling luar," Henry menjelaskan ketika si
profesor dari Universitas Columbia menanyakan kegunaan antena
pengarah yang berada di atas truk. "Kami sengaja memasang segala
peralatan di atas truk, supaya kami mudah berpindah ke tempat lain
kalau terjadi gumpalan awan yang aneh di sana. Kami mengukur daya
penerimaan di beberapa tempat dengan memantulkan sinyal pada
awan-awan itu." "Sangat menarik!" ujar seorang laki-laki berpakaian rapi.
Kolonel March kemudian memperkenalkannya sebagai Profesor
Rhama Dhama Rau dari Institut Teknologi Massachusetts.
"Bagaimana cara kalian mengukur kekuatan pantulan?"
"Masalah itu belum berhasil kami pecahkan," jawab Henry.


Membuat Kapal Selam Klub Ilmuwan Edan Karya bertrand R. Brinley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian ia menghidupkan radio untuk memberitahu kami
mengenai kunjungan mendadak itu. Aku tidak bisa memastikan apa
yang hendak dikatakan Henry padaku, tapi aku langsung merasa
bahwa ada yang tidak beres.
"Dengar, Henry, kami menghadapi kesulitan besar," aku
berkata padanya. "Homer kehilangan kontrol atas piring terbang kita,
soalnya dia membiarkan seluruh karbon dioksida tersembur ke luar. Si
Penyihir Terbang sudah begitu tinggi, sehingga aku nyaris tidak bisa
melihat lampu di kokpitnya. Sepertinya dia sedang melayang ke arah
timur laut, dan kecepatannya cukup tinggi."
"Ya, aku pun melihatnya!" Henry membalas. "Maksudku...
ehm... aku mengerti. Ehm... rasanya sudah cukup untuk malam ini."
"Terus, apa yang harus kami lakukan, Henry?"
Henry jadi kebingungan. Untuk beberapa saat ia terdiam, lalu
berkata, "Mungkin ada baiknya kalau kalian naik sepeda dan menemui
kami di Jembatan Lemon Creek, di White Fork Road. Udara malam
pasti akan menyegarkan pikiran kita semua."
Kali ini aku bisa menebak maksud Henry. "Kapan?" aku
bertanya padanya. "Sekarang juga!"
Sementara Henry berbicara denganku melalui radio, Mortimer
diam-diam meninggalkan rombongan di sekitar truk Zeke. Belakangan
kami mengetahui bahwa ia berhasil mencabut rotor dari distributor
pada mesin mobil Kolonel March. Ketika ia kembali, Henry dan Jeff
sedang bersalaman dengan kedua profesor, sementara Zeke sibuk
menghidupkan mesin truknya.
"Kami akan mengikuti kalian, supaya yakin bahwa kalian
selamat sampai di rumah." Kolonel March berseru untuk mengalahkan
suara truk Zeke. "Terima kasih, tapi sebenarnya Bapak tidak perlu repot-repot,"
balas Jeff. "Pasti masih banyak hal yang penting yang perlu Bapak
pikirkan. Bapak tidak perlu khawatir, kami pasti selamat sampai di
rumah." Ketika truk Zeke menyeberangi jembatan di bawah tambang
tua, mereka mendengar bahwa Kolonel March masih berusaha
menyalakan mesin mobilnya. Si Penyihir Terbang kini hanya terlihat
sebagai titik kecil di langit, dan tetap mengarah ke timur laut.
Sementara itu tiupan angin semakin kencang. Dan dari arah tenggara
suara guntur terdengar menggemuruh.
"Ke arah Claiborne!" Henry berseru pada Zeke sambil
mengarahkan antene ke piring terbang kami. "Terus-terang, aku
merasa sangsi bahwa kita bisa mengamankan si Penyihir Terbang,
tetapi bagaimanapun juga kita harus mencobanya."
Seluruh warga kota masih kalang-kabut ketika Homer dan aku
menembus kerumunan orang di lapangan Balai Kota dalam perjalanan
menuju Jembatan Lemon Creek. Pendapat mereka tentang peristiwa
menggemparkan yang baru saja terjadi terbagi dua. Beberapa orang
mencoba membentuk kelompok untuk mencari kedua makhluk hijau
tadi. Sedangkan yang lain bersikap seakan-akan tidak melihat sesuatu
yang aneh. Bunyi sirene terdengar meraung-raung ketika sejumlah mobil
patroli tiba di lapangan Balai Kota. Kami mendengar seorang petugas
berkata bahwa Henry Applegate menelepon mereka. Mr. Applegate
melaporkan bahwa dua benda bercahaya melintasi ladangnya,
sehingga sapi-sapinya kaget setengah mati. Ia berharap agar polisi
segera bertindak, sebab ia yakin, susu sapinya pasti sudah asam pada
waktu diperah besok pagi. Petugas lain melaporkan lewat radio,
bahwa mobil patrolinya sedang dikejar-kejar oleh cahaya biru.
Tiupan angin kini sanggup membuat pohon-pohon di sepanjang
Chestnut Street tertunduk-tunduk. Homer dan aku segera menyadari
bahwa badai telah di ambang pintu. Karena itu kami langsung
menggenjot sepeda masing-masing dengan sekuat tenaga.
Sementara itu Dinky dan Freddy telah menyelesaikan tugas
mereka untuk malam ini. Setelah kabur dari markas Dinas Pemadam
Kebakaran, keduanya masuk ke dalam gorong-gorong di ujung jalan,
lalu lenyap dari pandangan. Mammoth Falls memiliki jaringan
gorong-gorong yang mengagumkan sekali. Musim semi di Mammoth
Falls biasanya diiringi oleh hujan lebat, sehingga kota kami sering
mengalami banjir. Setelah dibiarkan selama beberapa tahun, Dewan
Kota akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan persoalan itu secara
tuntas. Mereka lalu membangun sistem drainase dengan menggunakan
pipa-pipa beton berukuran hampir dua meter. Orang dewasa pun bisa
berdiri tegak di dalamnya. Dinky dan Freddy hanya perlu menyusuri
jaringan gorong-gorong sejauh beberapa ratus meter, sampai keluar
dari pusat kota. Setelah itu mereka bisa melepaskan kostum, dan
kembali ke permukaan tanah dengan aman. Kami tidak perlu
mencemaskan mereka. Hujan sudah mulai turun sewaktu Homer dan aku mencapai
jembatan. Ketika truk milik Zeke akhirnya muncul di ujung jalan,
badai hujan telah mengamuk. Hujan turun deras sekali, seakan-akan
seseorang sedang mengguyurkan berember-ember air dari atas.
Karena truknya tidak memiliki pintu, maka Zeke terpaksa
mengenakan jas hujan. Seperti biasa ia menggigit puntung cerutu yang
sudah padam. Homer dan aku sudah basah-kuyup ketika kami
menyerahkan sepeda-sepeda pada Jeff dan Mortimer, lalu memanjat
ke atas bak. "Aku mengalami kesulitan untuk mengontak si Penyihir
Terbang," Henry berseru untuk mengalahkan suara hujan yang jatuh
ke terpal penutup bak truk. "Kelihatannya angin akan membawanya
menuju Claiborne Turnpike. Kita menuju ke sana sekarang."
"Apa yang terjadi dengan Kolonel March dan kedua profesor
tadi?" aku bertanya padanya.
"Mereka memutuskan untuk tetap tinggal di tambang tua," ujar
Mortimer. "Pak Kolonel mengalami sedikit kesulitan dengan mesin
mobilnya," Jeff menjelaskan. "Aku rasa dia tidak sempat menikmati
akhir dari pertunjukan kita."
Mortimer terus memantau siaran polisi. Dengan demikian tak
ada laporan mengenai keberadaan si Penyihir Terbang yang luput dari
perhatian kami. Sementara itu, Jeff terus berkutat-kutet dengan antene
pengarah. Setiap kali kami melewati tikungan, Jeff terpaksa
menyesuaikan arah antene. Dan setiap kali sinyal dari piring terbang
kami terdengar lewat headphonenya, Henry segera mengangkat tangan
agar Jeff jangan memindahkan letak antene. Tapi jika sinyal tersebut
hilang lagi, maka Henry memberi isyarat pada Jeff untuk
mengarahkan antene ke kiri atau kanan.
"Kalau saja sinyalnya tertangkap untuk waktu yang cukup lama,
maka aku bisa mengeluarkan seluruh gas helium yang masih tersisa,"
ujar Henry. "Dengan demikian kita bisa berusaha mendaratkan UFO
kita di suatu tempat yang mudah dicapai dengan mobil."
"Setuju sekali!" Mortimer berkomentar. "Itu jauh lebih masuk
akal daripada mengejar-ngejar si Penyihir Terbang seperti sekarang."
Jeff melayangkan tinju ke arah kepala Mortimer, tapi Mortimer
keburu menunduk. "Ini bukan waktunya untuk bercanda," kata Jeff tegas. "Lebih
baik kaupusatkan perhatian pada tugasmu."
"Oke, aku akan mengingat-ingat nasihatmu," balas Mortimer
sambil cengar-cengir. Zeke tidak bisa memacu truknya dengan kecepatan penuh,
sebab pandangannya terhalang oleh hujan deras. Meskipun demikian
Henry berpendapat bahwa si Penyihir Terbang seharusnya sudah
mulai tersusul. Soalnya menurut laporan cuaca, kecepatan angin
paling tinggi hanya dua puluh lima kilometer per jam. Dalam
perjalanan, kami disusul oleh dua mobil patroli dengan sirene
meraung-raung. "Kelihatannya mereka menuju kebun Hiram Poore," kata
Mortimer. "Ia melaporkan bahwa ada benda aneh bercahaya hijau
melayang-layang di atas kebun apelnya."
"Bagus!" Henry menanggapinya dengan gembira. "Kalau
begitu, kita bisa mengira-ngira di mana si Penyihir Terbang berada.
Tolong katakan pada Zeke agar membelok ke Jalan Indian Hill, lalu
menuju peternakan Prendergast. Mudah-mudahan kita bisa mencegat
si Penyihir Terbang di sana."
Aku segera menyampaikan pesan Henry pada Zeke. Setelah
membelok ke Jalan Indian Hill, aku minta agar Zeke menambah
kecepatan. Kami menuju punggung bukit yang memisahkan Claiborne
Turnpike dari Jalan Indian Hill.
Henry berharap agar kami bisa mencapai peternakan
Prendergast sebelum si Penyihir Terbang melewati punggung bukit
itu. Tiba-tiba Henry mengangkat tangan dan bersorak, "Horeee!
Horeee! Aku menangkap sinyalnya. Sekarang aku akan melepaskan
seluruh gas helium dari dalam selubung."
Aku merangkak ke depan, lalu berdiri di samping Zeke. Sambil
melindungi wajah dari terpaan hujan, aku mencoba menemukan piring
terbang kami. Dalam sekejap saja seluruh tubuhku kembali basahkuyup. Dan kali ini malah lebih parah dari tadi. Rasanya seperti
berendam di bak mandi. Bagian belakang bajuku sama basahnya
dengan bagian depan. Tapi ada untungnya juga aku berdiri di depan,
sebab tiba-tiba aku melihat kilatan cahaya hijau di antara pepohonan.
Aku segera menyimpulkan bahwa kilatan cahaya itu dipancarkan dari
kokpit UFO kami, sebab cuaca terlalu buruk untuk pesawat terbang,
sedangkan di Indian Hill tidak ada apa-apa selain batu, pohon, dan
rumput. "Aku menemukannya, Henry! Turunkan dia!" aku berteriak
sambil menelan air hujan. "Itu dia! Itu dia!"
Kedua tanganku menggenggam kaca depan erat-erat, lalu
kembali memandang langit. Tetapi si Penyihir Terbang sudah lenyap.
Baru ketika kami melewati Jembatan Willow Creek, UFO kami
kelihatan lagi. Si Penyihir Terbang sedang menuruni lereng Indian
Hill. Kemudian piring terbang itu tiba-tiba menghilang di balik
gundukan tanah di sebelah kiri kami.
"Belok ke jalan yang menuju peternakan Prendergast!" aku
berseru pada Zeke. Zeke melambaikan tangan, lalu menggigit puntung cerutunya
keras-keras. Ketika ia membelokkan truknya, hujan mendadak
berhenti. Bulan muncul dari balik lapisan awan dan menerangi
hamparan rumput di kedua sisi jalan dengan cahaya keperakan.
"Hei, itu dia!" aku berteriak sewaktu si Penyihir Terbang tibatiba muncul.
Piring terbang itu melayang perlahan pada ketinggian sekitar
enam meter di atas tanah, menabrak gudang jerami milik Mr.
Prendergast, lalu kembali terbawa angin dan menuju kandang sapi.
Kami melihat dua orang muncul dari balik rumah Mr.
Prendergast. Pada detik yang sama si Penyihir Terbang membentur
kandang sapi. Sapi-sapi yang berada di dalam langsung berhamburan
ke luar. Kemudian kami kehilangan kontak mata, karena jalan yang
kami lalui membelok ke balik sebuah gundukan tanah.
"Ambil jalan setapak yang naik ke Chestnut Hill," aku memberi
petunjuk pada Zeke. "Mungkin kita bisa menyusul si Penyihir
Terbang sebelum dia menabrak lereng bukit. Daya angkatnya tidak
cukup untuk melewati bukit itu."
Anak-anak di belakang mengintip dari bawah kain terpal. Kami
masih menyusuri jalan setapak yang berkelok-kelok, ketika kami
mendengar dua letusan senapan.
"Berhenti!" aku berseru pada Zeke, dan Zeke langsung
menginjak rem. Seluruh truknya terasa bergetar hebat.
Kami segera melompat turun, melewati pagar kayu yang
memisahkan jalan dari hamparan rumput, lalu menuju semak-semak
yang berjarak sekitar enam meter dari tepi jalan. Tiba-tiba kami
kembali tersentak oleh suara tembakan. Dengan hati-hati kami
mengintip, lalu melihat Joel Prendergast sedang menaiki bukit sambil
menenteng senapan. Setiap kali si Penyihir Terbang masuk dalam
jarak tembak, Joel Prendergast segera membidikkan senjatanya dan
menarik picu. Mrs. Prendergast berada agak di belakang suaminya. Ia
membawa tongkat besar untuk menghalau sapi jantan mereka yang
sedang mendengus-dengus sambil mengais-ngais tanah dengan
sebelah kaki. Pembantu mereka nampak berusaha agar selalu berada
di belakang sapi jantan itu. Dengan demikian ia kelihatan sibuk,
meskipun sebenarnya tidak melakukan apa-apa.
Kami tetap berlindung di balik semak-semak. Dalam hati kami
ingin segera keluar dari tempat persembunyian untuk menyelamatkan
si Penyihir Terbang. Tapi kami pun sadar sepenuhnya bahwa kami
pasti akan menjadi sasaran tembakan Joel. Tanpa bisa berbuat apaapa, kami terpaksa menyaksikan Joel Prendergast melepaskan dua
tembakan lagi ke arah piring terbang kami.
Joel merupakan penembak ulung, dan setiap tembakannya
selalu mengenai sasaran. Akibatnya, di bagian samping si Penyihir
Terbang kini terdapat lubang yang menganga. Gas helium yang masih
tersisa mengalir ke luar, sehingga si Penyihir Terbang jatuh
membentur tanah. Tepat pada saat itulah sapi jantan milik Joel mengangkat kepala,
lalu melenguh keras. Sa-sarannya jelas sekali. Binatang bertubuh
besar itu kembali mengais-ngais tanah sambil mendengus-dengus,
kemudian menyerang si Penyihir Terbang secara mendadak. Mrs.
Prendergast langsung melompat ke samping. Joel pun harus
menyelamatkan diri dengan berlindung di balik bongkahan batu
granit. Sepasang tanduk tajam, yang didorong oleh ratusan kilo otot,
melesat melewati Joel. Dengan kepala menunduk sapi jantan itu
menerjang si Penyihir Terbang.
Rangka bambu dan selubung sutera tentu saja tidak sanggup
menahan serangan dahsyat seperti itu. Si Penyihir Terbang pun
langsung ambruk. Meskipun seluruh tubuhnya tertutup kain sutera,
sapi jantan kebanggaan Joel tetap saja mengamuk sambil mengayunayunkan kepalanya ke kiri-kanan. Ketika kami merangkak keluar dari
semak-semak, si Penyihir Terbang yang sempat menggemparkan
Mammoth Falls telah tamat riwayatnya.
"Hancur total!" Mortimer Dalrymple berkomentar setelah kami
melewati pagar. "Kalau saja sapi jantan itu punya akal sehat, maka dia
pasti tahu bahwa dia sedang menghadapi piring terbang yang mungkin
saja penuh prajurit dari planet Mars dengan senjata-senjata
pemusnah." "Itulah masalahnya," ujar Henry. "Sapi jantan hanya terdorong
oleh naluri, sehingga kita tidak bisa mengelabuinya."
Dinky Poore mulai menangis tersedu-sedu, seperti biasa kalau
sebuah proyek kami mengalami nasib tragis. Namun keadaan kali ini
agak lebih parah, sebab sejak semula Dinky merasa bahwa si Penyihir
Terbang khusus dibuat untuknya. Homer Snodgrass mencoba
menenangkan Dinky, tetapi malah didorong olehnya.
"Huh! Kau bau!" Dinky berseru.
"Sembarangan!" Homer memprotes.
"Kau memang bau!" Freddy Muldoon membela Dinky. "Dan
yang pasti baunya tidak sewangi bunga mawar."
"Hmm, mungkin aku menginjak sesuatu," kata Homer sambil
memeriksa sepatunya dalam gelap.
"Aku rasa kau malah menduduki sesuatu tadi," Mortimer
Dalrymple menanggapinya sambil nyengir lebar. "Dan karena itu kau
boleh berdiri di tempat injakan kaki dalam perjalanan pulang nanti.
Aku keberatan kalau harus duduk bersamamu di bak truk Zeke."
"Aku juga!" seru Freddy.
Akhirnya Homer menempuh perjalanan ke Mammoth Falls
sambil berdiri di tempat injakan kaki, sementara yang lainnya
membaringkan diri di bak dan bermimpi tentang UFO sungguhan.
Anggota Klub Ilmuwan Edan Diculik!


Membuat Kapal Selam Klub Ilmuwan Edan Karya bertrand R. Brinley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

KALI ini kami menghadapi perang terbuka! Gang Harmon
Muldoon telah menyerbu setiap tempat rahasia yang biasa digunakan
oleh Klub Ilmuwan Edan. Mula-mula kami tidak mengambil pusing ketika mereka
menggunakan lingkaran upacara di Indian Hill untuk mengadakan
pertemuan rahasia, sebab setiap saat kami bisa mengintai kegiatan
mereka. Kami juga tidak peduli ketika mereka mengisi rumah Mr.
Harkness dengan berbagai peralatan untuk menakut-nakuti orang
lewat. Sebelumnya kami telah melakukan hal yang sama, dan kami
tahu bahwa tidak ada orang yang percaya bahwa ada hantu di rumah
kosong itu. "Dasar!" Dinky Poore mencemooh ketika mendengar apa yang
dikerjakan Harmon dan anak buahnya. "Mereka hanya bisa meniru
saja." Kami baru mulai khawatir sewaktu Harmon dan gangnya
mengambil kereta tua dari tambang tua, kemudian menceburkannya
ke sungai. Dan akhirnya, setelah mereka menyerang markas kami untuk
menculik Dinky dan Freddy, kami pun sadar bahwa mereka memang
sengaja cari perkara. Jeff-lah yang pertama-tama mengetahui penculikan Dinky dan
Freddy. Ia dan Henry Mulligan baru mau memasuki markas untuk
mengadakan sebuah eksperimen kimia. Pada waktu membuka pintu,
mereka disambut oleh suara Harmon Muldoon yang terekam pada
salah satu tape recorder kami. Tape recorder itu dihubungkan dengan
rangkaian elektronik untuk membuka pintu. Dan volumenya dipasang
sekeras-kerasnya. Agar dapat masuk ke markas kami, seseorang harus mengatasi
berbagai hambatan yang dirancang oleh Henry Mulligan. Mula-mula
ia harus mengetahui lokasi berkas sinar foto-elektrik yang berfungsi
untuk membuka pintu. Pintu markas kami baru bisa dibuka setelah
orang itu menghalau berkas sinar tadi dengan cara tertentu. Henry
biasanya menggunakan berbagai kombinasi sandi Morse, namun
untuk minggu itu ia memakai isyarat SOS (...---...). Untuk tanda "-"
berkas sinar harus dihalau selama sekitar satu detik. Sedangkan untuk
tanda "." kami hanya perlu menghalanginya dengan gerakan tangan
secepat kilat. Setelah memberikan isyarat yang tepat, kami akan
mendengar bunyi ceklek, lalu tinggal mendorong pintu.
Tetapi setelah Henry memberikan isyarat SOS, yang terdengar
bukannya bunyi ceklek, melainkan suara Harmon Muldoon. Harmon
mengawali pesannya dengan umpatan yang pedas,
TFFFFFFFFRRRRRMMMMPPPPH! KALAU KALIAN
INGIN TAHU DI MANA DINKY DAN FREDDY BERADA,
MAKA KALIAN HARUS MENYERAHKAN KAPAL SELAM
KALIAN PADA KAMI. SELAIN ITU, KAMI JUGA MENUNTUT
HAK UNTUK MEMAKAI GUA DI BALIK AIR TERJUN.
JANGAN BUANG-BUANG WAKTU, KAWAN-KAWAN,
SOALNYA FREDDY TAKKAN MENEMUKAN APA-APA
UNTUK DIMAKAN DI TEMPAT KE MANA IA AKAN DIBAWA.
TINGGALKAN JAWABAN KALIAN DI BELAKANG MERIAM
TUA DI MEMORIAL POINT. Jeff langsung menendang pintu, yang sama sekali tidak
terkunci. Kemudian ia mengambil tape recorder untuk mengulangi
pesan Harmon. Ada dua hal yang tidak diketahui oleh Harmon, Jeff berkata
dalam hati. Pertama, jalan masuk ke gua di balik air terjun telah
terhalang tanah longsor. Dan kedua, Freddy tidak pernah
meninggalkan rumahnya tanpa menyembunyikan dua potong roti
dalam pakaiannya. Freddy bahkan pernah menyimpan sepotong roti di
dalam sepatunya. Rotinya memang agak gepeng, tetapi yang lebih
penting bagi Freddy adalah nilai gizinya.
Selama beberapa menit Jeff numpang duduk di kursi piano
Henry. la nampak merenung sambil bertopang dagu. Akhirnya ia
berdiri dan menekan tombol keadaan darurat, yang membunyikan
alarm di rumah para anggota Klub Ilmuwan Edan. Sebagai ketua, Jeff
Crocker sebenarnya memiliki wewenang untuk mengadakan rapat
darurat tanpa perlu menekan tombol itu, seperti anggota-anggota yang
lain. Tapi kali ini ia ingin agar kami berkumpul secepatnya.
****************** Sementara anggota-anggota Klub Ilmuwan Edan bergegas
menuju markas, Dinky dan Freddy sedang berdiri di sebuah pulau
kecil di tengah-tengah Danau Strawberry. Penuh dendam mereka
meneriakkan berbagai kata" yang tak pantas ditulis di sini"ke arah
sebuah perahu dayung yang sedang menjauh. Harmon Muldoon dan
Stony Martin melambaikan tangan pada Dinky dan Freddy, sedangkan
Buzzy McCauliffe mendayung dengan sekuat tenaga. Tujuan mereka
adalah sebuah teluk kecil di pojok timur laut Danau Strawberry.
Dinky dan Freddy masih mengumpat-umpat, ketika perahu itu
menghilang di balik sebuah tanjung berbatu.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Dinky meratap
sewaktu perahu yang ditumpangi Harmon beserta kedua anak buahnya
lenyap dari pandangan. "Awas saja kalau aku ketemu lagi dengan si Harmon!" Freddy
komat-kamit sambil mengacungkan tinju. "Aku akan mencekiknya
sampai matanya mau copot!"
"Sebenarnya kau sudah punya kesempatan tadi," Dinky
berkomentar. "Oh, yeah" Hmm, aku memang belum siap tadi," Freddy
menggerutu. Dengan kesal ia menendang sebuah batu kecil di
hadapannya. "Kalau mukanya sudah kupermak, maka Daphne pun
takkan mengenalinya lagi."
Daphne adalah kakak perempuan Harmon Muldoon, dan
wajahnya cukup manis. Ia bahkan lebih cantik dibandingkan Melissa
Plunkett, pacar Stony Martin. Dan giginya juga tidak tonggos, seperti
gigi Melissa. "Awas, Harmon!" Freddy kembali bergumam sambil
mengambil ancang-ancang, kemudian menendang batu yang lebih
besar. Tapi batunya tidak bergerak sama sekali. Justru Freddy yang
melompat-lompat sambil meraung-raung kesakitan.
"Ah, jangan bercanda saja," ujar Dinky. "Lebih baik kita cari
jalan keluar!" Ia mulai tidak sabar melihat tingkah sahabatnya. "Kita
terdampar di sini, dan tak ada yang tahu di mana kita berada," Dinky
lalu menambahkan dengan serius.
Baik Dinky maupun Freddy bisa berenang, tetapi tidak begitu
jauh. Padahal daratan terdekat berjarak hampir satu kilometer dari
pulau tempat mereka ditawan. Sebenarnya sih, Freddy bisa
mengambang untuk waktu yang tak terbatas. Tapi ia takkan maju
kalau tidak ada yang mendorongnya.
"Mungkin kita bisa bikin rakit," Dinky mengusulkan.
"Bagaimana caranya?" Freddy mencemoohkan gagasan Dinky.
"Kita tidak punya kapak, paku, atau alat-alat lain."
"Bisa saja, asal kita mau pakai akal sehat," balas Dinky dengan
kesal. "Well, kau kan sering baca cerita Indian," ujar Freddy.
"Barangkali kau tahu bagaimana cara mereka membuat perahu?"
"Bagaimana kita bisa membuat perahu, kalau membuat rakit
saja kita tak sanggup"!" kata Dinky kesal. "Kadang-kadang kau
memang menjengkelkan."
"Yang pasti, kita tidak bisa tinggal di sini untuk selamalamanya. Sebentar lagi sudah waktunya makan siang, dan aku harus
mengisi perut." "Busyet!" Dinky berseru. "Apakah kau tidak pernah
memikirkan hal lain kecuali makanan" Aku takkan heran kalau kau
bangkit dari peti mayat untuk minta sepotong roti sebelum dikubur
nanti." "Pokoknya aku tidak sekurus kau!" Freddy menanggapinya
dengan tenang. "Ah, sudahlah! Lebih baik kita kelilingi pulau ini dulu. Siapa
tahu kita menemukan batang kayu yang bisa mengambang."
Setengah jam kemudian mereka telah kembali ke tempat
semula. Mereka tidak berhasil menemukan benda apa pun yang bisa
mengambang. Freddy melepaskan sepatu, lalu melompat ke dalam air.
"Ahhh, enaknya. Hei! Bagaimana kalau kita nyalakan api
unggun, lalu mengirim isyarat asap" Pasti ada yang melihatnya."
"Sama saja bohong!" Dinky berkomentar.
"Kenapa memangnya" Aku pernah melihat kau menyalakan api
tanpa korek. Lagi pula kau hafal sinyal-sinyal asap yang biasa dipakai
oleh orang Indian." "Tapi takkan ada yang memperhatikan sinyal-sinyal itu," kata
Dinky. "Orang-orang yang lagi piknik di pulau-pulau sekitar sini juga
selalu menyalakan api unggun. Kita harus membakar seluruh pulau
sebelum kita bisa menarik perhatian."
"Mungkin lebih baik kalau kita menunggu sampai nanti
malam." "Aku tidak berminat bermalam di sini," ujar Dinky sambil
berdiri. "Tunggu sebentar, aku dapat ide, nih!"
Ia mengeluarkan sebuah kantong kulit dari saku celana, lalu
menumpahkan seluruh isinya. Tiga kelereng dan sebuah batu cincin
jatuh ke pasir. Dua mata kail, gulungan benang, bukaan botol, serta
sebuah benda yang terbuat dari logam menyusul.
"Apa itu?" tanya Freddy.
"Ini peluit anjing."
"Apa yang akan kaulakukan dengan peluit itu?"
"Aku akan meniupnya," ujar Dinky. Dan itulah yang
dilakukannya. Freddy langsung mengerutkan kening.
"Aku tidak mendengar apa-apa," ia berkomentar.
"Memang seharusnya begitu," kata Dinky. "Suara peluit ini
hanya tertangkap oleh telinga anjing. Anjing punya pendengaran yang
bagus." "Sok pintar," Freddy mengejek. "Sayangnya ada satu hal yang
kau lupa: di pulau ini tidak ada anjing."
"Tunggu saja!" Dinky membalas dengan yakin. Kemudian ia
kembali meniup peluitnya.
************* Sementara itu di tempat penimbunan barang bekas milik Zeke
Boniface, beberapa orang sedang sibuk mencari barang-barang yang
mereka butuhkan. Zeke sendiri malah bersantai di kantornya sambil
menggigit-gigit puntung cerutu. Wajahnya setengah tertutup topi,
sehingga kedua matanya terlindung dari sinar matahari yang
menyilaukan. Zeke tidak perlu mengawasi orang-orang yang sedang
mencari barang. Tugas itu sudah dikerjakan oleh Kaiser Bill, anjing
herder milik Zeke. Kaiser Bill sedang berjemur di bawah sinar matahari.
Moncongnya yang berwarna hitam pekat disandarkan ke atas kedua
kaki depannya. Bulunya yang coklat keemasan nampak berkilau-kilau.
Matanya mengamati setiap gerakan orang-orang yang sedang mencari
barang. Tidak pernah ada orang yang meninggalkan tempat Zeke
tanpa membayar barang yang dipilihnya.
Suasana pada hari Minggu itu persis seperti suasana pada hari
Minggu yang lain. Namun tiba-tiba Zeke melihat perubahan pada
sikap Kaiser Bill. Selama seperempat jam anjing itu terbaring tanpa
bergerak. Secara mendadak kumis di ujung moncongnya nampak
menegang. Alisnya nampak berkerut-kerut. Perlahan-lahan ia
mengangkat kepala. Kemudian, secara tak terduga, Kaiser Bill melesat
seperti panah terlepas dari busur. Dengan sekali melompat ia melewati
pagar setinggi dua meter yang mengelilingi pekarangan Zeke.
Zeke langsung duduk tegak. Ia sama sekali lupa bahwa kursi
yang didudukinya hanya memiliki tiga kaki. Kaki yang satu lagi sudah
patah sejak entah kapan. Pada detik berikutnya Zeke menemukan
dirinya tergeletak di tengah awan debu. Ia segera berdiri sambil
membuang puntung cerutu yang nyaris tertelan olehnya.
"Brengsek! Ada apa sih dengan anjing itu?" Zeke menggerutu
sementara orang-orang di sekitarnya ketawa sampai terpingkalpingkal.
"Barangkali anjingmu tiba-tiba teringat bahwa dia punya janji
penting!" salah satu calon pembeli berseru.
"Mungkin dia baru saja dapat kabar bahwa Lassie berkunjung
ke Mammoth Falls!" "Mungkin juga dia kepingin potong rambut sebelum tukang
cukurnya tutup," orang lain menimpali.
Zeke tidak mempedulikan komentar-komentar itu. Ia kembali
duduk sambil geleng-geleng kepala, lalu menyalakan puntung cerutu
lain. ************ Lima belas menit setelah itu, Kaiser Bill muncul di tepi danau
di seberang pulau tempat Dinky dan Freddy terdampar.
"Ayo, Kaiser! Ke sini!" seru Dinky, yang segera melihat anjing
besar itu. "Hei, itu kan Kaiser Bill!" Freddy bersorak sambil melompatlompat di tempat.
"Yang pasti bukan anak sapi!" balas Dinky. "Kaukira untuk apa
aku meniup terus peluit ini sejak tadi?"
Beberapa menit kemudian Kaiser Bill telah tiba di pulau. Ia
segera merentangkan keempat kakinya, lalu mengguncangkan seluruh
tubuh untuk mengeringkan diri. Setelah itu Kaiser Bill menghampiri
Dinky. Sambil berdiri di atas kaki belakang, ia meletakkan kaki
depannya pada dada Dinky dan menjilat-jilat wajah anak itu.
"Anjing pintar!" Dinky memujinya.
"Ternyata peluit itu lebih ampuh dari yang kuduga," Freddy
mengakui. "Tapi aku tetap belum tahu apa yang akan kita lakukan
sekarang. Kita masih tetap terdampar di pulau ini."
"Aku sudah punya rencana," kata Dinky.
"Rencana apa" Naik ke punggung Kaiser Bill, lalu membiarkan
dia membawa kita ke seberang?"
"Bukan! Dia akan membawa pesan kita."
"Ide bagus! Rupanya kau punya kertas dan pensil, ya?"
Untuk sesaat wajah Dinky nampak merah.
"Aku tidak bawa pensil," ia berkata dengan lesu. "Tapi kalau
aku boleh pinjam pisaumu, maka aku bisa mengukir pesan pada
sepotong kulit kayu."
"Sorry," ujar Freddy, "aku tidak bawa pisau."
"Hah, kau datang ke pulau ini tanpa membawa pisau?"
"Aku kan tidak tahu bahwa aku akan datang ke sini," jawab
Freddy. "Lagi pula, di mana pisaumu?"
"Bukan urusanmu!" kata Dinky dengan ketus. Kemudian ia
melemparkan beberapa batu ke dalam air.
Freddy duduk di bawah pohon, lalu mengeluarkan sepotong roti
dari balik kemejanya. Ia baru saja hendak membuka kertas
pembungkus, ketika Dinky menoleh dan langsung menuding Freddy.
"Hei, itulah yang kita perlukan!" Dinky berseru.
"Apa maksudmu" Kertas pembungkus ini?"
"Bukan! Kertas pembungkus dan rotinya!"
"Huh, enak saja. Kalau kau lapar, maka kau seharusnya bawa
makanan sendiri." "Aku tidak lapar," ujar Dinky, "tapi kita bisa pakai rotimu
untuk mengirim pesan "
"Hah" Ada-ada saja!"
"Dengar dulu, dong! Kita kirim rotimu lewat Kaiser Bill. Zeke
pasti tahu bahwa roti itu milikmu, dan karena itu dia akan mencari
kita." "Dasar sinting!" kata Freddy sambil menggigit rotinya. "Rotiku
pasti keburu habis dimakan si Kaiser Bill sebelum dia menyeberang


Membuat Kapal Selam Klub Ilmuwan Edan Karya bertrand R. Brinley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

danau." "Rotimu pasti aman kalau kita mengikatkannya pada leher
Kaiser Bill," balas Dinky.
"Ah, terlalu berbahaya," ujar Freddy sambil mengunyah. "Lagi
pula aku perlu makan siang."
"Dasar rakus!" Dinky marah-marah. "Coba pikir mana yang
lebih menguntungkan: kenyang tapi mati, atau lapar tapi hidup?"
"Hmm, itu harus kupikirkan dulu," jawab Freddy sambil
menjilat bibir. "Cepat, serahkan rotimu!" Dinky memaksa. Kemudian ia
mengerahkan seluruh tenaga dan menerjang Freddy. Freddy
menyambutnya dengan dorongan ke arah dada, sehingga Dinky
terpental sejauh tiga meter dan jatuh telentang. Namun dalam sekejap
anak itu sudah berdiri lagi, lalu melempar segenggam pasir ke arah
Freddy. Freddy hendak membalas, tapi tangannya tak sempat
bergerak. Geraman mengerikan membuatnya berdiri seperti patung.
Dengan mata terbelalak ia melihat Kaiser Bill memamerkan gigi
taring di hadapannya. Freddy langsung mundur satu langkah sambil mengangkat
rotinya setinggi mungkin. Kaiser Bill langsung maju. Bulu
tengkuknya nampak berdiri tegak.
"Pergi! Pergi!" Freddy berusaha menggertak anjing itu. Tetapi
suaranya terdengar gemetar, dan Kaiser Bill malah maju lagi.
"Dinky! Panggil dia! Panggil dia!" Freddy meratap.
"Serahkan dulu rotimu!"
"Oke! Oke! Ambil saja. Tapi habis itu suruh dia menyingkir!"
Dinky segera menyelinap di antara Freddy dan Kaiser Bill, lalu
mengambil roti dari tangan Freddy. Ketika Dinky berpaling untuk
memungut kertas pembungkus yang dilempar ke air oleh Freddy,
Kaiser Bill pun berbalik dan mengikutinya.
"Sekarang serahkan tali sepatumu," ujar Dinky sambil
melepaskan tali sepatunya sendiri.
"Untuk apa?" Freddy bertanya.
"Supaya aku bisa mengikatkan rotimu ke leher Kaiser Bill."
"Di kantongmu kan ada gulungan benang! Kenapa tidak pakai
itu saja?" "Soalnya kita mungkin akan memerlukannya untuk
memancing," balas Dinky. "Ayo, mana tali sepatumu?"
"Ambil saja sendiri kalau berani!"
Dinky menjentikkan jari, dan Kaiser Bill langsung menghampiri
Freddy. "Oke! Oke!" Freddy menggerutu. "Tahan anjing gila itu." Ia
mulai melepaskan tali sepatunya sambil pasang tampang cemberut.
Dengan hati-hati Dinky membungkus sisa roti
Freddy, kemudian mengikatkannya ke leher Kaiser Bill.
"Ayo, pulang! Pulang ke tempat Zeke!" Dinky memberi
perintah sambil menepuk punggung anjing itu. Kaiser Bill maju
selangkah, lalu berhenti dan menatap Dinky.
"Ayo, pulang!" Dinky berseru sambil bertepuk tangan.
Kaiser Bill segera melompat ke air, dan berenang ke arah
daratan. Dinky dan Freddy hanya melihat ujung moncong, dua telinga
yang terlipat ke belakang, serta bungkusan berisi roti menyembul di
permukaan air. "Yeah! Cepat, pulang sana!" Freddy berseru dengan kesal.
Kemudian ia duduk, mengeluarkan sepotong roti yang sejak tadi
masih tersimpan di balik bajunya, dan menggigitnya dengan lahap.
************** Sementara itu di markas kami, para anggota Klub Ilmuwan
Edan yang lain berdiri menghadapi peta besar yang tergantung di
dinding. Jeff dan Henry sedang menyusun rencana untuk operasi
pencarian. Mereka menandai semua tempat yang mungkin dipakai
oleh Harmon dan gang-nya untuk menyekap Dinky serta Freddy.
Sejak berkumpul di markas, kami terus terlibat perdebatan
sengit mengenai pelaksanaan pencarian. Mortimer Dalrymple
mengusulkan agar kami menyerang ke markas Harmon di Egan"s
Alley. Tapi usul itu ditolak dengan suara tiga banding dua. Aku
mendukung rencana Mortimer; tapi Homer Snodgrass berpihak pada
Henry dan Jeff. Mereka berpendapat bahwa Harmon terlalu cerdik
untuk menyekap Dinky dan Freddy di markasnya. Mortimer memang
selalu ingin segera bertindak, sementara Homer cenderung
memikirkan segala sesuatu secara matang.
"Barangkali salah seorang dari mereka bawa alat pemancar,"
aku berharap. "Mungkin ada baiknya kalau kita memantau radio."
Jeff menggelengkan kepala.
"Kalaupun mereka membawa pemancar, maka Harmon pasti
sudah mengambilnya," ia berkomentar.
Tiba-tiba lampu di samping pesawat interkom kami mulai
berkedap-kedip. Ternyata Zeke Boniface yang menghubungi kami.
"Halo, aku ingin bicara dengan Freddy," ia berkata ketika Henry
menyahut. "Freddy lagi tidak di sini, dan kami tidak tahu di mana dia
berada," Henry menjelaskan. "Apakah kau ketemu Freddy, Zeke?"
"Tidak! Tapi sepertinya Kaiser Bill sempat bertemu
dengannya." "Bagaimana maksudmu?"
"Well, kira-kira sejam yang lalu anjing sinting itu tiba-tiba
kabur dari sini, dan aku tidak berhasil mencegahnya. Nah, dia baru
saja kembali. Seluruh tubuhnya basah-kuyup, dan aku menemukan
sepotong roti terikat pada lehernya. Aku pikir roti itu mungkin milik
Freddy." "Wah, Zeke, berkat bantuanmu kami bisa menghemat waktu
banyak," ujar Henry. "Sepuluh menit lagi kami sudah sampai di
tempatmu." "Oke! Tapi apakah Freddy sedang dalam kesulitan?"
Henry tidak menjawab pertanyaan itu. "Hei, Zeke! Kau bilang
bahwa roti itu terikat pada leher Kaiser Bill?"
"Yeah!" "Apa yang digunakan untuk mengikatnya?"
"Kelihatannya sih seperti tali sepatu."
"Jangan dibuang dulu! Kami akan segera ke sana."
******************** Sepuluh menit kemudian kami telah tiba di tempat
penampungan barang bekas milik Zeke. Suasananya biasa-biasa saja.
Hanya tingkah Kaiser Bill yang kelihatan agak aneh. Anjing itu
berjalan mondar-mandir tanpa henti, dan terus mengigit-gigit celana
Zeke setiap kali berpapasan dengannya. Kami memperhatikan roti
yang ditunjukkan oleh Zeke. Ternyata memang roti si Freddy.
"Coba kulihat tali sepatunya," ujar Henry.
Zeke mengeluarkan tali sepatu itu dari kantong, dan Henry
segera memeriksanya dengan saksama.
"Kelihatannya dugaanmu benar," kata Jeff Crocker sambil
mengintip lewat bahu Henry. "Mereka kirim pesan untuk kita."
Pada tali sepatu itu terdapat sejumlah simpul. Ada yang berupa
simpul ganda, dan ada yang berupa simpul tunggal. Henry segera
merentangkan tali sepatu itu di tanah. Dengan bantuan Jeff ia lalu
mencoba mengartikan pesan itu.
"Dinky dan Freddy menggunakan sandi Morse," Henry
menjelaskan pada Zeke. "Simpul ganda berarti isyarat panjang,
sedangkan simpul tunggal berarti isyarat pendek."
Jeff langsung mencoretkan setiap huruf yang berhasil diartikan
ke permukaan tanah. Sejauh ini sudah ada huruf P, U, dan L.
"Apakah kau yakin pesan ini ditulis oleh Freddy?" tanya
Mortimer. "Tidak! Ini kerjaan Dinky," Jeff membalas dengan ketus.
"Freddy tidak bisa mengikat simpul serapi ini."
Setelah Henry selesai mengeja semua huruf, kata P-U-L-A-U
terbaca di tanah. "Hei, mereka pasti disekap di salah satu pulau!" Homer berseru.
"Kesimpulan yang jitu, Snodgrass!" Mortimer berkomentar
dengan sinis. "Satu-satunya pertanyaan adalah, di pulau yang mana?" Henry
berkata sambil mengerutkan kening.
"Kemungkinan besar salah satu pulau di Danau Strawberry,"
aku berspekulasi. "Tapi di sungai juga banyak pulau. Mana mungkin kita datangi
satu per satu?" tanya Homer.
"Kita tidak perlu repot-repot," kata Henry. "Jawabannya sudah
ada di tangan kita."
"Oh, oh!" Mortimer mencemooh. "Tidak ada teka-teki yang
tidak bisa dijawab oleh Profesor Mulligan."
"Kau pun bisa memecahkan teka-teki ini, kalau saja kau mau
pakai otak," balas Henry sambil menunjuk anjing Zeke. "Kaiser Bill
tahu di mana Dinky dan Freddy berada. Kita tinggal mengikutinya ke
sana." Dan itulah yang kami lakukan. Zeke menempelkan roti Freddy
ke hidung Kaiser Bill, lalu berseru, "Cari! Cari!" Kaiser Bill langsung
melesat. Jeff dan aku mengikuti anjing itu sambil berlari. Yang
lainnya naik ke atas truk Zeke. Tugasku adalah berlari sekuat tenaga
agar tidak kehilangan jejak Kaiser Bill. Jeff tidak bisa berlari secepat
aku; karena itu ia berusaha agar tidak tertinggal terlalu jauh, sekaligus
memandu Henry dan yang lain dengan bantuan walkie-talkie.
Aku mengejar Kaiser Bill melewati segala macam rintangan"
mulai dari rawa, hutan lebat, selokan dalam, sampai punggung bukit"
ketika ia berlari menuju tepi danau di seberang pulau tempat Dinky
dan Freddy disekap. Setiap kali melewati suatu tempat yang mudah
diingat"seperti bukit, pohon besar, atau kandang domba yang sudah
runtuh"aku berhenti sebentar untuk menghidupkan walkie-talkie,
lalu memberitahukan arah yang harus ditempuh pada Jeff. Kadangkadang aku harus mengulangi pesanku sampai tiga atau empat kali,
karena aku begitu tersengal-sengal sehingga Jeff tidak memahami
maksudku. Kalau sudah begitu aku langsung kesal, dan mengumpatumpat tak keruan. Tapi untung komunikasi kami tidak sampai
terputus, dan Zeke pun berhasil mengikuti kami lewat jalan-jalan
setapak yang jarang dilewati kendaraan.
Setelah mencapai tepi danau, Kaiser Bill mulai melompat lewat
batu-batu besar dan pohon-pohon tumbang, sampai akhirnya berhenti
di bagian pantai danau yang berpasir putih. Sesaat ia hanya berdiri
tanpa bergerak. Sambil mengendus-endus, anjing itu memandang ke
arah sebuah pulau kecil. Setelah itu ia masuk ke air dan langsung
minum, kemudian kembali berdiri seperti patung.
Aku segera memahami maksudnya. Kaiser Bill menginginkan
agar aku ikut berenang ke pulau itu. Sayangnya aku sudah kehabisan
napas. Karena itu aku memanggilnya, lalu mengelus-elus
punggungnya. Aku menunggu sampai napasku agak tenang, kemudian
menghubungi Jeff lewat walkie-talkie.
"Hei, Jeff! Rasanya aku sudah menemukan pulau itu," aku
melaporkan tanpa mempedulikan segala aturan yang seharusnya
ditaati kalau kami bicara lewat radio.
"Roger! Pesanmu sudah kuterima. Nomor Tiga harap standby!" jawab Jeff.
Beberapa menit kemudian, setelah berkonsultasi dengan Henry,
suara Jeff kembali terdengar.
"Nomor Satu mengatakan: kau harus menunggu di tempat yang
terlindung!" "Di tempat terlindung" Ada apa, sih" Apakah kalian tidak mau
menyelamatkan Dinky dan Freddy secepatnya?"
"Halo, Nomor Tiga" Ini Nomor Satu! Laksanakan perintah, dan
amankan si kurir. Untuk selanjutnya gunakan tata cara komunikasi
yang benar. Kau membocorkan informasi penting. Sekian."
Setelah berlari begitu jauh, teguran Henry terasa bagaikan
tamparan ke wajahku. Aku menekan tombol "bicara" pada walkietalkie, lalu langsung marah-marah.
"Pfffffrrrrrttttt!" aku berseru dengan kesal. Kemudian aku
mematikan radio. Sebenarnya aku sadar, bahwa aku seharusnya tidak boleh
membantah instruksi Henry. Kadang-kadang Henry memang bersikap
agak misterius, tapi dia hampir selalu tahu apa yang sedang
dilakukannya. Karena itu aku memanggil Kaiser Bill, kemudian
mendaki sebuah bukit dan bersembunyi di balik batu besar.
Kurang lebih seperempat jam setelah itu, sebuah batu tiba-tiba
terlepas dari puncak tebing, lalu jatuh ke air. Kaiser Bill segera berdiri
dan menggeram. Cepat-cepat aku memeluk lehernya, dan berbisik ke
telinga anjing itu untuk menenangkannya. Setiap otot di tubuhnya
terasa mengencang. Tiba-tiba Kaiser Bill mulai mengibaskan ekornya.
Aku menoleh ke atas dan melihat Henry serta Jeff berdiri di tepi
danau. Dengan hati-hati mereka berjalan menyusuri pepohonan, lalu
menuju tempat aku dan Kaiser Bill bersembunyi.
"Apa-apaan sih ini?" aku bertanya. "Untuk apa kalian bersikap
seperti pasukan komando?"
"Henry yakin, Harmon dan anak buahnya pasti sedang
mengawasi pulau tempat mereka menyekap Dinky dan Freddy," Jeff
menjelaskan. "Mereka tidak boleh tahu bahwa kita sudah tahu di mana
Dinky dan Freddy berada."
"Kenapa" Memangnya kita sedang berperang?"
"Anggap saja begitu," ujar Henry. "Kita harus memberi
pelajaran pada Harmon dan gang-nya."
Aku hanya duduk dan memperhatikan Henry dan Jeff
mengikatkan sebuah kantong plastik pada leher Kaiser Bill. Kantong
plastik itu berisi sebuah walkie-talkie, pemancar mini, pisau, korek
api, dan sebuah pesan. Pesan itu memberitahu Dinky untuk
menyembunyikan pemancar mini di rambutnya, sehingga kami selalu
bisa melacak jejak Dinky seandainya Harmon memindahkannya ke
tempat lain. Jika Harmon dan anak buahnya kembali, maka Dinky
harus menyembunyikan walkie-talkie kami di suatu tempat yang
aman. Dinky dan Freddy juga harus tetap di pulau. Jika mereka
terpaksa bermalam di sana, maka kami akan mengirim makanan dan
selimut setelah matahari tenggelam.
"Freddy pasti memilih berenang menyeberang danau, daripada
harus menunggu tanpa makanan," kataku.
"Mungkin saja," Henry berkomentar. "Tapi ini merupakan
kesempatan yang baik untuk mengetahui pengaruh rasa lapar pada
tingkah laku Freddy."
Itulah Henry. Setiap persoalan selalu dipandang secara ilmiah.
Setelah kantong plastik terikat kencang, aku menunjuk ke arah
pulau di tengah danau dan berkata "Cari Dinky!" pada Kaiser Bill.
Anjing itu langsung mengerti. Dengan beberapa lompatan panjang ia
telah berada di dalam air. Dari belakang hanya ujung kepala serta
ujung moncongnya saja yang kelihatan.
Dugaan Henry ternyata benar. Kaiser Bill baru menempuh
setengah jalan, ketika kami melihat perahu dayung berisi dua orang
muncul dari sebuah teluk kecil di sebelah selatan tempat kami. Jeff
segera mengarahkan teropongnya ke perahu itu.
"Itu Buzzy McCauliffe dan Joe Turner," ia berkata. "Sepertinya
mereka mau mengunjungi tawanan mereka."
Kedua anak buah Harmon itu memang sedang menuju pulau
tempat Dinky dan Freddy disekap. Tetapi Kaiser Bill sudah berada
jauh di depan. Kami memutuskan untuk menunggu. Sayangnya kami
tidak bisa terus mengawasi Buzzy dan Joe, sebab perahu mereka
menghilang di balik pulau. Tetapi tidak lama kemudian perahu itu
muncul kembali, dan Jeff segera mengangkat teropong.
"Hmm, ini agak mencurigakan," ia bergumam. "Perahu itu
masih berisi dua orang, tapi sekarang Kaiser Bill duduk di depan. Hei,
itu Dinky dan Freddy! Bagaimana caranya mereka bisa berada di
perahu itu?" Beberapa menit kemudian Jeff telah memperoleh jawaban atas


Membuat Kapal Selam Klub Ilmuwan Edan Karya bertrand R. Brinley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertanyaannya. Dinky dan Freddy mendarat sambil ketawa terbahakbahak. Ternyata ketika Buzzy dan Joe mendekati pulau, Kaiser Bill
langsung berlari ke tepi air, lalu menggeram sambil menyeringai.
"Lho, kok ada anjing di sini?" Buzzy berseru heran.
"Dia tinggal di pulau ini!" balas Dinky.
"Apakah dia menggigit?"
"Kau akan mengetahuinya setelah mendarat."
Joe Turner mendekatkan perahu mereka ke pulau. Buzzy berdiri
di haluan, sambil berlagak mengambil ancang-ancang untuk melompat
ke tepian. Untung ia hanya berpura-pura, sebab Kaiser Bill
membiarkan perahu mereka mendekat sampai jarak sekitar tiga meter,
kemudian tiba-tiba menerjang Buzzy. Buzzy kehilangan
keseimbangan dan langsung jatuh ke air. Kaiser Bill mendarat mulus
di dalam perahu, dengan moncong menempel di tengkuk Joe Turner.
Joe bahkan tidak berusaha menoleh untuk mengetahui apa yang
terjadi. Ia langsung melompat ke air dan berenang menjauh. Lompatan
itu membuat perahu mereka terdorong ke pantai. Dinky meraih tali
pengikat leher Kaiser Bill, kemudian naik ke atas perahu. Freddy
segera menyusul. Freddy bertugas mendayung, sementara Dinky
berdiri di haluan sambil bertolak pinggang. Ia nampak gagah seperti
kapten kapal. "Sebenarnya kami hanya ingin menjemput kalian!" Buzzy
berseru sambil berdiri di dalam air setinggi pinggang.
"Hah, siapa yang percaya?" balas Freddy.
"Terima kasih, tapi sepertinya kami tidak butuh bantuan
kalian!" Dinky menambahkan.
Ketika Dinky selesai menceritakan kejadian di pulau, kami
menarik perahu mereka ke darat, menyelipkannya di antara dua batu
besar, kemudian menutupinya dengan dahan-dahan dan daun-daun.
Setelah itu kami menuju tempat Zeke menunggu dengan truknya.
Kami semua kembali ke markas. Henry menghabiskan lima
belas menit untuk berpikir sambil menatap tumpukan kayu di pojok,
sementara yang lain bermain kelereng di tanah. Kaiser Bill berbaring
di ambang pintu. Ia menggigit-gigit sepotong tulang sapi pemberian
Mrs. Crocker. Di antara kami, Mortimer-lah yang paling jago main
kelereng. Namun kali ini aku sempat menang tiga kali, ketika Henry
tiba-tiba berdiri. Kami segera menoleh untuk mengetahui ide
cemerlang apa lagi yang terlintas di kepalanya. Tapi selama beberapa
saat Henry diam saja. Ia malah menggosok-gosok kacamata dengan
tenang. Kemudian ia memasangnya kembali, lalu menatap kami
seakan-akan baru sadar bahwa kami ada di markas.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" aku bertanya padanya.
"Kita harus mengirim pesan pada Harmon," jawab Henry, "dan
kau yang akan menyampaikan pesan itu, Charlie. Kita akan membuat
mereka kapok. Kali ini Harmon harus benar-benar terjebak."
"Terjebak bagaimana?" tanyaku.
"Kapan-kapan saja kujelaskan," ujar Henry. "Sebenarnya bukan
kebetulan bahwa pintu markas kita tidak terkunci tadi pagi, ketika
Dinky dan Freddy berada di sini."
Ia segera menulis sebuah pesan yang harus kubawa ke
Memorial Point. Pesan itu berbunyi:
JIKA FREDDY DAN DINKY BELUM KEMBALI KE
MARKAS KAMI PADA PUKUL EMPAT SORE NANTI, MAKA
KAMI AKAN MELAPOR KE POLISI. TERIMA KASIH BAHWA
KAU SUDI MENINGGALKAN REKAMAN SUARAMU DI SINI.
TERTANDA, MULLIGAN "Kenapa tidak dari semula saja kita hubungi polisi?" tanya
Homer. "Kau tahu, bukan, aku tidak mungkin melakukan hal seperti
itu"!" balas Henry. "Itu hanya akan merusak acara kita. Tapi Harmon
tidak mengetahuinya"
Kemudian Henry memanggil Dinky dan Freddy, lalu
membisikkan beberapa instruksi rahasia ke telinga mereka. Langsung
saja mereka berangkat sambil membawa Kaiser Bill. Homer dan aku
mengambil sepeda, kemudian berangkat ke Memorial Point. Sampai
di sana, kami tinggalkan pesan Henry di balik meriam tua dan
menindihnya dengan sebuah batu. Habis itu kami kembali menyusuri
jalan setapak" tetapi hanya sejauh beberapa puluh meter. Kami
sembunyikan sepeda, menembus hutan, lalu berjongkok di balik
semak-semak di dekat meriam. Tidak lama sesudah itu kami melihat
Speedie Brown, salah satu pemanjat pohon terbaik di gang Harmon,
muncul dari atas pohon cemara. Ia mengambil pesan yang kami
tinggalkan, membacanya, dan memasukkannya ke dalam kantong
celana. Kemudian ia mengambil sepeda dan menuju kota.
"Dia pasti langsung ke markas Harmon," Henry berkomentar
setelah menerima laporan kami lewat walkie-talkie. "Jadi persoalan
pertama sudah beres. Sekarang kalian berdua pergi ke danau. Lihat
apakah Harmon mendatangi tempat di mana Buzzy dan Joe Turner
seharusnya mengawasi pulau."
Harmon benar-benar sibuk sore itu. Rupanya pesan Henry
cukup mengena. Tiga puluh menit kemudian Harmon dan Stony
Martin tiba di teluk kecil di tepi danau. Harmon nampak cemas. Ia
terus melirik jam tangan sambil memanggil-manggil Buzzy dan Joe.
"Hei! Aku menemukan radio dan makanan mereka!" Stony
berseru. "Mereka pasti ada di sekitar sini."
"Brengsek! Aku kan sudah peringatkan mereka agar radionya
jangan ditinggal-tinggal," Harmon marah-marah. "Pantas saja dari tadi
tidak ada jawaban dari mereka." ebukulawas.blogspot.com
"Eh, rasanya ada yang tidak beres di sini," ujar Stony.
"Apanya yang tidak beres?" tanya Harmon.
"Aku tidak melihat perahu mereka!"
"Yeah! Aku juga tidak melihatnya."
Sambil bertolak pinggang keduanya mendekati tepi air, lalu
berjalan menyusuri pantai.
"Aku yakin mereka lagi bercanda dengan Freddy dan Dinky di
pulau itu," ujar Harmon setelah beberapa saat.
"Kalau Buzzy dan Joe memang di sana, maka kepala mereka
seharusnya dicukur sampai gundul!" kata Stony.
Harmon mengangkat kedua tangannya, membentuk corong di
depan mulut, lalu berteriak sekuat tenaga. Suaranya terdengar
menggema, tetapi selain itu tidak ada reaksi apa-apa. Kemudian Stony
mencobanya"juga tanpa hasil. Semakin lama, Harmon kelihatan
semakin kesal. Dan tidak lama kemudian ia dan Stony nampak
bersorak-sorak seperti orang gila.
Akhirnya dua sosok muncul di pulau sambil melambaikan
tangan. Harmon memberi isyarat agar keduanya segera menyeberangi
danau, namun keduanya hanya menggelengkan kepala, lalu kembali
melambai. "Kenapa sih mereka melambai-lambaikan tangan seperti itu?"
"Kelihatannya mereka ingin mengatakan sesuatu padamu," ujar
Stony. "Oh, kau memang cerdik sekali!" Harmon membalas dengan
ketus. "Cepat, buka bajumu!"
Dengan menggunakan baju Stony sebagai bendera, Harmon
mulai mengirim isyarat ke arah pulau. Tidak lama kemudian Buzzy
McCauliffe dan Joe Turner menjawab dengan cara yang sama.
"Huh, mereka bilang: tidak punya perahu, dan minta agar kita
menjemput mereka," Harmon mendengus.
"Ke mana perahu mereka?" tanya Stony sambil mengerutkan
kening. "Aku juga tidak tahu, bodoh! Kita baru akan mengetahuinya
setelah mereka dijemput."
"Oke!" ujar Stony dengan wajah cemberut. "Sekarang aku akan
buka sepatu, lalu berjalan kaki ke sana."
"Jangan bertingkah seperti anak kecil! Kita harus cari tahu apa
yang telah terjadi," kata Harmon, "dan kita juga harus menjemput
mereka dari pulau itu. Sekarang pakai otakmu!" "Bagaimana kalau
kita pakai batang kayu di sebelah sana" Kita bisa mendorongnya ke
air, lalu memakainya sebagai pelampung."
"Ide bagus!" Harmon memuji. "Aku akan membantu
mendorongnya ke air."
"Terima kasih banyak," Stony menyindir. Keduanya segera
mulai bekerja. Mereka sampai bercucuran keringat, sementara Homer
dan aku duduk di tempat persembunyian kami sambil berusaha untuk
tidak ketawa. Ketika batang kayu itu akhirnya berada dalam air, Stony
membuka celana dan mendekatinya.
"Ayo! Buka pakaianmu, dong!" ia berseru pada Harmon.
"Kaulah yang begitu terburu-buru dari tadi."
"Dasar bodoh! Siapa yang akan menjaga pakaian kita kalau aku
ikut" Sudah, jangan banyak omong. Kita tidak punya waktu banyak."
Stony melompat ke dalam air, meraih ujung batang kayu, lalu
mengayunkan kaki. Perlahan-lahan batang kayu itu mulai maju, dan
Stony membelokkannya ke arah pulau. Ia membutuhkan waktu
hampir seperempat jam untuk sampai ke sana. Pada waktu kembali ia
hanya menghabiskan waktu sepuluh menit, sebab Buzzy dan Joe ikut
membantu. Pakaian mereka ditumpuk di atas batang kayu.
Selama itu Harmon berjalan mondar-mandir di tepi danau.
Sebentar-sebentar ia melirik jam tangannya.
"Oke! Sekarang aku ingin tahu kenapa kalian bisa berada di
pulau itu?" Harmon bertanya sebelum anak buahnya sempat keluar
dari air. Buzzy dan Joe melompat-lompat untuk mengeringkan diri agar
bisa mengenakan celana. Buzzy lalu mencoba menjelaskan bagaimana
Dinky dan Freddy merampas perahu mereka, kemudian
meninggalkannya bersama Joe di pulau.
"Ah, kalian hanya bisa merepotkan saja!" Harmon mengeluh.
"Seharusnya tugas sepenting ini tidak diserahkan pada dua bocah tak
berotak seperti kalian. Busyet, anak ingusan saja bisa merampas
perahu dari tangan kalian!"
"Bukan mereka yang melakukannya, tapi anjing raksasa itu!"
Joe Turner membela diri. "Galaknya minta ampun. Lihat, nih! Bajuku
sampai robek gara-gara dia!"
"Aduh!" Buzzy McCauliffe tiba-tiba berteriak. Ia melompat
setinggi satu meter dan menepuk-nepuk pantat celananya. "Aku
digigit!" "Tentu saja," ujar Harmon sambil menjauh. "Celanamu penuh
semut merah dari batang kayu itu."
"Semut api!" kata Turner berseru. "Aduh! Aku juga digigit!"
"Hah, pantas saja kau tidak mau ikut berenang!" Stony Martin
berseru sambil memelototi Harmon.
"Diam!" balas Harmon. "Di antara kita berempat harus ada satu
yang bisa pakai otak. Ayo, kita kembali ke markas. Aku ingin tahu
apa yang terjadi dengan Dinky dan Freddy."
Sementara Harmon dan gang-nya menaiki bukit untuk
mengambil sepeda, aku segera menghidupkan walkie-talkie untuk
melaporkan perkembangan ini pada Henry.
"Oke!" ujar Henry. "Dinky dan Freddy sedang mengawasi
markas mereka dari seberang jalan. Kalian ikuti Harmon sampai
kalian tahu ke mana tujuan mereka. Setelah itu beritahu aku, lalu pergi
ke stasiun langsir kereta api. Bantuan kalian mungkin diperlukan
nanti. Tapi jangan bertindak sebelum aku memberi aba-aba."
"Beres!" Homer dan aku langsung menyusul Harmon ke atas
bukit. Ketika Harmon dan ketiga pengikutnya muncul di Egan"s Alley
beberapa waktu kemudian, Freddy dan Dinky sedang mengintip lewat
jendela di gudang jerami Mr. Blaisdell. Gudang jerami itu berada di
seberang garasi Stony Martin, yang berfungsi sebagai markas gang
Harmon. Harmon baru saja turun dari sepeda, ketika Dinky diam-diam
membuka pintu gudang jerami, lalu berbisik ke telinga Kaiser Bill,
"Cari tulangmu, Kaiser! Cari tulangmu!" Kemudian ia menepuk
punggung anjing itu. Kaiser Bill langsung melesat ke luar dan berlari menyusuri
Egan"s Alley. Joe Turner begitu kaget, sehingga jatuh dari sepedanya.
"Itu dia! Itu anjingnya!" ia berteriak.
"Yeah!" seru Buzzy McCauliffe sambil menunjuk awan debu
yang baru saja membelok di ujung gang. "Anjing itu yang kami lihat
di pulau tadi. Ikuti dia! Ikuti dia! Aku yakin dia tahu di mana Freddy
dan temannya berada."
"Dari mana dia muncul?"
"Entahlah! Tiba-tiba saja dia sudah menabrakku," kata Joe.
"Tapi dia ikut dengan Freddy dan Dinky tadi. Aku jamin, dia pasti
sedang mengejar mereka. Ayo, ikuti dia!"
"Oke! Oke!" ujar Harmon. "Kalian berdua tinggal di sini
bersama Speedie. Biar aku dan Stony yang menangani urusan ini."
Harmon segera naik ke sepedanya, lalu mulai menggenjot dengan
sekuat tenaga. Stony Martin menyusul beberapa detik kemudian.
Mereka tidak tahu ke mana Kaiser Bill sedang menuju. Tetapi
setelah membelok di ujung Egan"s Alley, mereka melihat bahwa
anjing itu sedang menuju stasiun langsir kereta api. Karena jalanan
terus menurun, Harmon dan Stony sempat mendekati Kaiser Bill,
sampai akhirnya memasuki sebuah jalan buntu yang terhalang oleh
pagar stasiun langsir. Kaiser Bill melompati pagar itu tanpa
mengurangi kecepatan. Harmon dan Stony segera melemparkan
sepeda, lalu memanjat lewat pagar.
Setelah masuk ke stasiun langsir, Harmon dan Stony mulai
kewalahan mengikuti Kaiser Bill. Soalnya anjing itu potong kompas
dan berlari lewat kolong kereta barang. Kaiser Bill tahu di mana
tulangnya disembunyikan, dan ia tidak mau membuang-buang waktu
untuk mendapatkannya. Harmon dan Stony terpaksa menunduk dan
merangkak. Beberapa kali kepala kedua anak itu membentur batang
besi. Akhirnya Kaiser Bill melompat ke dalam sebuah gerbong
barang berwarna merah, yang berhenti dengan pintu terbuka. Harmon
dan Stony menyusul sekitar dua puluh detik setelah itu. Begitu mereka
masuk, Jeff Crocker dan Mortimer Dalrymple keluar dari balik pintu
gerbong berikut. Jeff menempelkan jari ke bibir, lalu bersuit keraskeras. Sambil menggigit tulang pemberian Mrs. Crocker, Kaiser Bill
muncul di pintu gerbong berwarna merah. Jeff bertepuk tangan, dan
anjing itu segera melompat turun. Cepat-cepat Jeff menutup pintu.
Mortimer menguncinya dari luar. Kemudian mereka meninggalkan
stasiun langsir. Aku merasa agak kasihan pada Harmon dan Stony yang
terperangkap di dalam gerbong merah. Tapi rasanya mereka memang
pantas menerima hukuman seperti itu. Dan mereka juga tidak
sendirian. Ketika gerbong barang itu tersentak maju pada waktu
keretanya berangkat, Harmon dan Stony dihibur oleh suara Henry
Mulligan. Suara itu berasal dari walkie-talkie yang dipasang di atap
gerbong. "Nama saya Kapten Mulligan," Henry berkata, sementara yang
lain ketawa terpingkal-pingkal sampai perut terasa mau kejang.
"Selamat datang! Saya berharap Anda akan menikmati perjalanan ini.
Kami akan terbang pada ketinggian kurang lebih seratus lima puluh
meter di atas permukaan laut, dengan kecepatan sekitar 18 knot. Saat
ini angin sedang bertiup dari belakang dengan kecepatan 3 knot, tetapi
saya sangsi apakah tiupan angin ini akan membantu. Persinggahan
berikut adalah Cobb"s Junction, dan saya perkirakan kita akan
mendarat tiga jam lagi. Terima kasih atas perhatian Anda, dan selamat
jalan!" Dalam hati aku bisa membayangkan Harmon dan Stony
mengacungkan tinju ke arah walkie-talkie di atap gerbong. Mungkin
salah seorang dari mereka malah mencopotnya, lalu melemparkannya
ke dinding gerbong sebelum Henry sempat menyelesaikan pesannya.


Membuat Kapal Selam Klub Ilmuwan Edan Karya bertrand R. Brinley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi kami tidak peduli. Yang penting kami sudah berhasil membalas
perbuatan mereka. Ketika sampai di Cobb"s Junction, Harmon dan Stony terpaksa
menelepon orangtua masing-masing, dan minta dijemput. Jauh lewat
tengah malam mereka baru kembali ke Mammoth Falls. Tetapi
keduanya tidak berani menjelaskan bagaimana mereka bisa sampai ke
Cobbs Junction. Setelah peristiwa itu, usaha untuk menculik anggota Klub
Ilmuwan Edan tidak pernah terjadi lagi.END
Gelang Kemala 2 Pendekar Cambuk Naga 11 Istana Langit Perak Pendekar Super Sakti 5

Cari Blog Ini