Ceritasilat Novel Online

Monster Didanau Strawberry 2

Monster Di Danau Strawberry Klub Ilmuwan Edan The Mad Scientists Club Karya Bertrand R. Brinley Bagian 2


Homer menjelaskan sambil berbisik. "Tapi kemungkinan besar lubang itu sudah
tertutup karat." Henry menjulurkan tangan kirinya. "Tongkat!" ia memerintah. Aku segera
menyodorkan tongkat pembersih laras senapan yang kami bawa. Henry menusukkannya
ke dalam lubang tadi. Tapi sepertinya tongkat itu tidak bisa masuk terlalu
dalam, dan Henry segera mengembalikannya padaku.
"Bor!" ia lalu berkata. "Mata bornya yang tiga per delapan!" Aku memasang mata
bor yang diminta, dan memberikan bor bertenaga baterai itu pada Henry. Ia
membungkus motornya dengan sepotong kain untuk meredam suara, kemudian mulai
bekerja. Dalam sekejap ia telah berhasil menembus lapisan karat di dalam lubang
tadi, dan kembali minta tongkat. Henry menyodokkannya berulang-ulang, sampai
seluruh tongkat masuk ke dalam lubang. Lalu ia menarik tongkat itu keluar, dan
sekali lagi menjulurkan tangan.
"Tolong serahkan kotak yang panjang," katanya. "Tapi hati-hati!"
Aku menyerahkan sebuah kotak panjang berwarna hitam, yang merupakan salah satu
peralatan yang dibawa Jeff dan Henry. Kotak itu mirip tempat penyimpanan pancing
seharga 300 dollar. Henry meletakkannya di atas meriam, kemudian membuka
tutupnya. Perlahan-lahan ia mengeluarkan sebuah benda panjang yang mirip selang
air. Dengan hati-hati Henry memasukkan ujung benda itu ke dalam lubang pada
meriam, terus didorong masuk, sampai ke bagian yang telah ia tandai dengan
selotape. "Jepitan!" Henry berbisik.
"Jepitan!" aku membalas, juga sambil berbisik, lalu menyerahkan barang yang
diminta. Henry segera memasang jepitan itu sehingga menahan selang tadi tepat
pada tempat yang diinginkannya. Kemudian ia berhenti sejenak dan mengusap alis.
"Ada yang datang?" ia bertanya.
"Tidak ada," jawabku. "Jeff dan Dinky tidak membunyikan isyarat bahaya. Teruskan
saja pekerjaanmu, Henry."
Sekali lagi Henry mengusap alis, lalu kembali bekerja. Berulang kali aku
menyerahkan berbagai peralatan padanya. Semakin lama, Henry semakin bersemangat.
Ujung slang yang dimasukkannya ke dalam meriam bercabang dua. Masing-masing
dibungkus dengan sejenis bahan insulasi. Henry memisahkan kedua cabang itu, lalu
memasang sebuah tabung logam pada salah satunya. Kemudian ia menyuruh aku
menghubungkan sepotong kabel tembaga dengan accu yang telah dipersiapkan.
Setelah itu ia meraih kotak hitam tadi, mengeluarkan sebuah kamera yang
kelihatan canggih sekali, dan memasangnya pada cabang selang yang satu lagi.
"Mudah-mudahan semuanya bekerja dengan balk," Henry berkata sambil mengarahkan
senter untuk memeriksa segala persiapannya. Akhirnya ia minta kabel accu dan
memasangnya pada kamera. Freddy Muldoon, yang ikut-ikutan memanjat ke atas meriam, tak bisa lagi menahan
rasa ingin tahunya. "Alat apa sih ini, Henry?" ia bertanya sambil mengerutkan kening. "Apakah kau
akan meledakkan meriam kuno ini?"
Dari tangannya yang gemetaran aku bisa menebak bahwa Henry sedang berkonsentrasi
penuh. Aku yakin, ia pasti terganggu oleh pertanyaan Freddy. Meskipun demikian,
ia berusaha menjawab dengan sabar.
"Alat ini dinamakan gastroskop," Henry menjelaskan. "Para dokter memakai alat
ini untuk mengambil foto di dalam perut pasien mereka. Nah, kalau, kau bisa diam
sebentar saja, maka aku mungkin bisa memotret bagian dalam meriam ini."
Freddy pasang tampang masam, lalu merosot turun dari laras meriam. Aku sempat
mendengarnya menggerutu mengenai orang-orang jenius yang terlalu cepat
tersinggung. Henry mengambil empat foto dengan kameranya. Setiap kali habis menekan tombol,
ia mengatur panjang selang yang masuk ke dalam laras meriam dengan menggeser
jepitan. Dengan demikian ia dapat memotret bagian lain di perut meriam. Dan
setiap kali ia memotret, kami dapat melihat kilatan cahaya keluar dari lubang
sumbu. "Bagaimana cara kerjanya?" aku bertanya sambil berbisik.
"Sederhana sekali," kata Henry. "Tabung logam ini sebenarnya sebuah lampu kilat.
Dan selang yang masuk ke dalam meriam berisi dua buah serat optik. Yang satu
mengalirkan cahaya lampu kilat untuk menerangi bagian dalam meriam. Yang satu
lagi mempunyai lensa kecil pada ujungnya. Serat yang kedua ini mengalirkan
pantulan cahaya untuk direkam oleh kamera."
"Wuaaah, hebat sekali!" aku terkagum-kagum.
"Tidak lama lagi kita sudah tahu apa yang ada di dalam meriam ini," ujar Henry,
"asal semuanya berjalan sesuai rencana!"
Tiba-tiba suara orang bersendawa memecahkan keheningan malam. Jeff Crocker
muncul dari bawah pepohonan, dan langsung menghampiri Freddy Muldoon.
"Hei, Freddy!" katanya dengan tegas. "Jangan ribut, dong! Kalau begini caranya,
lain kali kau lebih baik tinggal di markas saja."
"Tapi... bukan aku yang bersendawa!" Freddy membela diri. "Sungguh, Jeff, aku
sama sekali tidak buka mulut."
Jeff menoleh ke arah kami. "Oke, kalau begitu siapa, dong?"
"Sepertinya bunyi itu berasal dari sana," kata Freddy sambil menunjuk ke sebelah
timur Memorial Point, ke arah patung tentara pemberontak.
Jeff segera bergegas ke arah itu, lalu memeriksa semak-semak di sekitar patung.
Kemudian ia balik lagi. "Rasanya di sana ada seseorang yang tidak seharusnya berada di sini," Jeff
berkata. Kemudian ia berpaling ke arah pohon-pohon tempat ia berjaga tadi.
"Tunggu dulu, aku punya ide!"
Tidak jauh dari meriam ada sebuah gudang peralatan, dan kami mendengar pintu
gudang berderak ketika Jeff membukanya. Dalam sekejap ia sudah muncul kembali
sambil membawa selang air. "Tolong hidupkan keran air di gudang," ia berbisik
pada Homer, Sesaat kemudian slang di tangan Jeff telah menyemprotkan air bertekanan tinggi.
Kami terheran-heran ketika Jeff mengarahkan semburan air tepat pada patung
tentara pemberontak. Semburan airnya tepat mengenai bagian samping wajah patung
itu. Topi tentaranya terlepas dan terbang ke semak-semak di tepi hutan.
Patungnya sendiri kehilangan keseimbangan dan jatuh ke tanah.
Kejadian selanjutnya benar-benar di luar dugaan kami. Begitu membentur tanah,
patung tadi sekonyong-konyong berdiri, mengeluarkan teriakan nyaring, lalu
berlari menuruni bukit. Ketika rasa kaget kami hilang, patung itu sudah lenyap
ditelan kegelapan malam. Jeff ketawa terbahak-bahak dan melepaskan selang di tangannya. Kami sudah hampir
basah-kuyup ketika Homer mematikan keran air di dalam gudang.
"Gila, orang itu berlari sekencang sepupuku Harmon," kata Freddy Muldoon.
"Itu memang Harmon!" seru Jeff dari tempat ia terduduk di tanah. "Dia sudah
menunggu kita di sini sejak hari mulai gelap."
"Bagaimana kau tahu bahwa Harmon ada di sana?" aku bertanya.
"Aku menemukan patung tentara pemberontak yang asli waktu memeriksa semak-semak
tadi," Jeff menjelaskan. "Karena tahu bahwa di sini hanya ada dua patung, aku
menyimpulkan bahwa ada yang tidak beres dengan patung tentara pemberontak yang
kita lihat!" "Cerdik sekali!" Freddy Muldoon berkomentar.
"Gawat," ujar Henry. "Kita sudah mengirim pengintai dan memeriksa setiap batu
dan semak di sekitar sini, tahu-tahu Harmon malah berada di tengah-tengah kita.
Hmm, harus diakui, si Harmon memang berotak cerdas."
"Yeah! Dan itu berarti bahwa dia mendengar segala sesuatu yang kita bicarakan,
dan tahu semua yang kita kerjakan di sini," Homer mendesah.
"Kecuali satu hal," ujar Henry sambil menepuk-nepuk kameranya. "Harmon tidak
tahu apa yang terekam pada film ini!"
Sebelum meninggalkan Memorial Point, Henry menyuruh kami memasang beberapa
peralatan lain. Ia mengeluarkan dua benda bulat seukuran kancing besar, lalu
menempelkan keduanya pada bagian bawah meriam sehingga tidak kelihatan.
"Apa yang kautempelkan itu?" tanya Freddy.
"Detektor infra merah yang terbuat dari silikon," kata Henry. "Detektor jenis
ini sangat peka terhadap perubahan suhu. Jika seseorang mendekati meriam, maka
panas yang terpancar dari badannya akan menimbulkan aliran listrik di dalam
detektor. Aliran listrik ini akan mengirimkan sinyal yang bisa kita tangkap
melalui radio di markas. Kalau ada yang datang ke sini, maka kita bisa
mengetahui kapan orang itu datang, dan berapa lama dia berada di sini."
"Tapi bagaimana kita bisa tahu siapa yang datang?" tanya Dinky.
"Nah, untuk itu sudah kusiapkan film infra merah," Henry menjelaskan. "Aku akan
menghubungkan kamera dengan kedua detektor tadi. Dengan demikian kita bisa
memperoleh foto orang itu, biarpun dalam keadaan gelap-gulita."
"Busyet!" Freddy berseru. "Para ilmuwan selalu memikirkan segala sesuatu."
Kami menghubungkan kamera dengan kedua detektor, lalu memasangnya di atas
sebatang pohon di belakang meriam. Setelah itu kami kembali ke kota.
Begitu sampai di markas, Mortimer segera mencuci foto-foto yang diambil Henry.
Kami semua mengerumuni Henry, ketika ia memeriksa negatif-negatif di atas lightbox (kotak dengan penerangan dari bawah). Kedua negatif pertama ternyata tidak
menunjukkan apa-apa. Tetapi negatif ketiga memperlihatkan sesuatu bersandar pada
dinding laras meriam. Benda itu mirip pegangan tas yang terbuat dari kulit.
"Kita harus memperbesar foto ini, lalu mencetaknya dengan jelas," kata Henry.
"Sepertinya aku melihat sesuatu yang menarik di sini."
Mortimer menyelipkan negatif itu ke dalam alat pembesar, kemudian mematikan
semua lampu. Ia memperbesar negatifnya sampai ukuran maksimum, dan kami semua
menahan napas ketika ia mengatur fokus. Setelah fotonya tajam, kami bisa melihat
apa yang dimaksud Henry. Bentuk pegangan tas itu nampak jelas sekali. Tepat di
bawahnya terdapat pelat logam berukuran kecil, dengan inisial EMS.
Pagi berikutnya kami kembali berkumpul di markas untuk mengadakan rapat mengenai
strategi selanjutnya. Mortimer duduk di pojok ruangan tempat kami memasang
peralatan radio. Dengan cermat ia memeriksa alat pencatat yang terpasang pada
radio kami. Tiba-tiba ia memanggil kami.
"Hei!" Mortimer berseru sambil menunjuk garis zig-zag pada kertas pencatat.
"Semalam ada yang mendatangi meriam tua di Memorial Point! Orang itu datang
menjelang tengah malam."
"Pasti Harmon!" kata Jeff. "Dia kembali ke sana setelah kita pergi."
"Ayo, kita ke sana," Henry mengusulkan. "Mudah-mudahan kamera kita berhasil
memotret orang itu."
Pada detik berikutnya pena pada alat pencatat mulai bergerak lagi. Kami semua
mengamatinya selama satu menit. Tiba-tiba ada perasaan aneh dalam diriku. Orang
yang berada di meriam tua pasti menyangka bahwa ia sendirian di sana. Tapi pada
saat yang sama, kami bisa memantau hampir setiap gerakannya, padahal kami berada
sekitar delapan kilometer dari Memorial Point.
Mortimer memutar tombol volume pada radio. Dengan jelas kami mendengar suara
bip, bip, bip setiap kali orang itu mendekati meriam.
"Ayo, apa lagi yang kita tunggu"!" Homer mendesak. "Kita harus tahu siapa dia."
"Mestinya kita sekalian pasang mikrofon semalam," kata Mortimer.
"Tapi bagaimana kalau yang datang ternyata cuma beberapa ekor sapi yang
kesasar?" Dinky berkata pada Freddy Muldoon.
"Tak jadi masalah," Freddy berkomentar. "Mortimer mengerti bahasa sapi. Dia
pasti tahu apa yang mereka bicarakan."
Hari masih pagi ketika kami sampai di Memorial Point dan menyembunyikan sepedasepeda kami di semak-semak. Kami membentuk dua kelompok, lalu mulai mendaki
bukit. Dengan demikian kami bisa mendekati meriam tua dari dua arah.
Jeff, Henry, dan aku sudah hampir sampai di puncak bukit, ketika kami mendengar
suara tembakan, disusul bunyi peluru memantul pada logam. Kami langsung berhenti
di tempat. Tak seorang pun di antara kami berani bernapas-apalagi bergerak!
Akhirnya Henry berbisik, "Kedengarannya seperti senapan berkaliber besar."
Begitu kami merebahkan diri di tanah, dua sosok muncul dari arah meriam tua.
Dengan langkah panjang mereka berlari menuruni bukit. Yang di depan adalah
Harmon Muldoon. Ia disusul oleh Abner Sharpies. Dasi pengacara itu nampak
melambai-lambai, dan ia harus memegangi topinya agar tidak terlepas dari
kepalanya. Mereka lewat satu meter di hadapan kami. Tapi karena begitu terburuburu, keduanya sama sekali tidak mengetahui kehadiran kami. Dalam sekejap saja
Harmon sudah tidak nampak. Dan hal terakhir yang kami lihat dari Abner Sharpies
adalah topinya yang melayang-layang di udara, ketika ia terpeleset dan
menggelinding menuruni jalan setapak.
"Aneh," ujar Jeff. "Untuk apa Abner Sharpies datang ke Memorial Point?"
"Mungkin Harmon sudah menceritakan semuanya, dan Abner berharap untuk menemukan
petunjuk yang bisa menghubungkan Alonzo Scragg dengan perampokan bank yang
terjadi puluhan tahun lalu," balas Henry.
"Tapi untuk itu mereka masih harus mengeluarkan uangnya dari meriam tua," kata
Jeff. "Ayo, kita ke sana. Barangkali kita bisa mengetahui apa yang terjadi."
Kami merangkak menembus semak-belukar sambil berusaha untuk tidak menimbulkan
suara. Setelah berada di dekat meriam, kami berhenti dan mengintip dengan hatihati. Seorang pria tinggi-kurus sedang berdiri di samping meriam. Ia memandang
ke arah jalan setapak yang menuju ke kota. Dengan tangan kiri ia melindungi
matanya dari cahaya matahari pagi. Di tangan kanannya ada sebuah senapan berburu
kuno. "Itu Elmer Pridgin!" bisik Jeff. "Pasti dia yang menembak tadi."
"Kalau begitu Mortimer benar, dong!" kataku. "Kenapa sih dia begitu tergila-gila
terhadap meriam tua itu?"
"Aku juga tidak tahu," Jeff membalas, "tapi yang jelas, kita harus segera pergi
dari sini. Aku rasa Elmer yang datang kesini semalam."
Kami mengelilingi lapangan, menemui teman-teman yang lain, kemudian kembali ke
kota. "Kita tidak boleh buang-buang waktu lagi," ujar Henry ketika kami menyusuri Old
South Road. "Berita mengenai rahasia meriam kuno pasti segera tersebar ke manamana." Dugaan Henry benar. Ketika kami sampai di markas, Daphne Muldoon ternyata sudah
menunggu. Ia telah mencari Homer ke mana-mana, dan wajahnya yang cantik nampak
berkerut-kerut. "Abner Sharpies sudah tahu segala sesuatu mengenai meriam tua dan uang yang ada
di dalamnya," ia mengeluh. "Ia akan menceritakan semuanya pada wartawan, dan aku
kehilangan berita untuk koran sekolah."
"Itu semua gara-gara adikmu yang cerewet itu," ujar Freddy Muldoon.
"Tapi dia belum tahu semuanya," Homer cepat-cepat berkata. "Aku yakin Harmon
ingin sekali melihat foto ini," ia lalu menambahkan sambil melambaikan fotocopy
dari foto bagian dalam meriam.
"Barangkali justru ada baiknya kalau dia melihat foto itu," sebuah suara
terdengar dari pojok ruangan.
Kami semua menoleh dan melihat Henry duduk di kursi kesayangannya sambil menatap
tumpukan kayu. Wajahnya dihiasi senyum simpul.
Dua jam kemudian Daphne dan Homer 'kebetulan' berada di antara orang-orang yang
berkerumun di depan ruang rapat Dewan Kota, ketika Abner Sharpies muncul dan
mendesak Dewan Kota untuk membongkar rahasia meriam tua di Memorial Point.
Secara 'kebetulan' juga Homer menjatuhkan foto bagian dalam meriam. Sambil
melirik ia lalu melihat Harmon Muldoon memungut foto itu. Sesaat kemudian Harmon
telah sibuk berkonsultasi dengan Abner Sharpies.
Ketika Homer bergabung kembali dengan kami, Abner Sharpies sedang melancarkan
salah satu siasat politiknya. Sambil melambai-lambaikan foto tadi di hadapan
Dewan Kota, ia menegaskan bahwa fotonya membuktikan keterlibatan Elijah Scragg,
kakek Alonzo Scragg, dalam kasus perampokan bank yang sampai kini belum
terungkap. Sementara itu, kami sedang menyusuri Turkey Run Road di atas truk kecil butut
milik Zeke Boniface. Turkey Run Road menyusuri sisi belakang Brake Hill, dan
Henry berpendapat bahwa kami tidak akan menarik perhatian orang kalau melewati
jalan itu. Zeke duduk di belakang kemudi. Dengan sigap ia melewati jalan yang
berkelok-kelok dan penuh lubang. Abu cerutu yang jatuh menimpa bajunya, yang
memang sudah penuh bercak oli, tak diperhatikan sama sekali. Dari dulu kami
sudah mengagumi kemampuan Zeke untuk memindahkan cerutunya dari sudut mulut
sebelah kiri, ke sudut mulut sebelah kanan tanpa menggunakan tangan sama sekali.
Henry dan Jeff telah memutuskan untuk berterus-terang pada Zeke. Henry
memerlukan peralatan berat untuk melaksanakan rencananya, dan Zeke Boniface
memiliki semua peralatan yang kami butuhkan, antara lain sebuah derek yang bisa
dibongkar-pasang. Kecuali itu, Zeke juga sangat kuat dan bisa menyimpan rahasia.
Begitu Jeff memberi tanda, Zeke langsung memberhentikan truknya. Dinky Poore
serta Freddy Muldoon melompat turun dari bak. Jeff memberikan petunjuk terakhir,
lalu menugaskan mereka untuk mencari Elmer Pridgin. Mereka harus membujuk Elmer
agar mau mengajarkan cara menguliti kelinci. Dengan demikian ia tidak punya
waktu untuk menembaki kami di Memorial Point.
"Usahakan agar dia sibuk selama dua atau tiga jam!" Jeff berpesan pada Dinky dan
Freddy. "Kalian harus berlagak bodoh dan pura-pura tidak mengerti bagaimana dia
bisa menguliti kelinci secepat itu."
"Bersikap wajar saja, dan kalian pasti berhasil!" Mortimer berseru ketika
keduanya menuju tepi hutan.
Yang lainnya tetap duduk di atas truk, sampai Zeke akhirnya berhenti di ujung


Monster Di Danau Strawberry Klub Ilmuwan Edan The Mad Scientists Club Karya Bertrand R. Brinley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebuah jalan setapak pada sisi belakang Brake Hill.
Kami tinggal berjalan kaki sejauh seratus meter untuk mencapai meriam tua di
Memorial Point. Tapi kami terpaksa mondar-mandir dua kali untuk menggotong semua
perlengkapan yang kami bawa. Diam-diam aku bersyukur bahwa Henry dan Jeff
mengajak Zeke. Tenaganya benar-benar luar biasa. Ia bisa membawa dua balok kayu
besar sejauh beberapa kilometer tanpa merasa lelah.
Kami sudah hampir selesai, ketika Homer datang naik sepeda dan melaporkan
perkembangan di Balai Kota.
"Kelihatannya Abner Sharpies akan membujuk Dewan Kota untuk membongkar sumbat
beton pada moncong meriam tua," ia berkata. "Para anggota Dewan Kota tertarik
sekali dengan ceritanya."
"Bagus!" ujar Henry. "Persis seperti yang kuharapkan."
"Aku sangsi bahwa mereka akan mengirim orang hari ini juga," Jeff berkomentar,
"tapi sebaiknya kita jangan membuang-buang waktu. Ayo, Homer, bantu kami
mengangkut barang-barang yang masih tersisa."
Dengan susah-payah kami membawa derek yang telah dibongkar ke puncak bukit, lalu
merakit bagian-bagiannya di depan moncong meriam. Kemudian kami mencari kayu
kering untuk membuat api unggun yang panas, tetapi tidak mengeluarkan asap
banyak. Sementara itu Zeke mengebor sejumlah lubang menyilang pada sumbat beton,
dan memasang jepitan besi yang akan menggigit tepi lubang-lubang itu dengan
keras. Jepitan itu diikat dengan tali panjang. Ujung tali yang satu lagi
dililitkan pada sebatang pohon.
Mengeluarkan sumbat beton dari moncong meriam bukan pekerjaan yang sulit, sebab
kami bisa mengandalkan otak Henry. Kami menyalakan api unggun di bawah meriam,
dan Jeff serta Mortimer memanaskan moncong meriam dengan alat penyembur api.
Henry duduk di atas sebongkah batu sambil mengawasi pengukur voltase yang berada
di sebelahnya. Alat ukur itu dihubungkan ke sejumlah termokopel yang ditempelkan
pada laras meriam. Dengan cara ini Henry dapat mengetahui penyebaran panas,
kemudian menghitung pemuaian laras meriam. Beberapa kali ia memberi petunjuk
pada Jeff dan Mortimer mengenai bagian-bagian mana saja yang perlu dipanaskan.
"Aku rasa sudah cukup," ia akhirnya berkata. "Zeke, sekarang giliranmu! Tarik
pelan-pelan!" Zeke melilitkan ujung tali pada pergelangan tangannya, memperkokoh pijakan, lalu
menggeram dengan suara tertahan. Otot-otot di bawah bajunya nampak mengencang
ketika ia mulai menarik. Perlahan-lahan sumbat beton pada moncong meriam mulai
bergerak. Semuanya bersorak dengan gembira, sekaligus memberikan petunjuk dan semangat
pada Zeke. Ia kembali melilitkan tali, menjejakkan kaki pada tanah, kemudian
sekali lagi mengerahkan seluruh tenaganya. Tanpa sadar ia menggigit cerutunya
sampai putus. Dalam waktu singkat sumbat beton pada moncong meriam telah
tertarik keluar sejauh satu setengah jengkal.
"Tambahkan kayu pada api unggun," kata Henry. "Dan jangan berhenti menyemburkan
api. Laras meriamnya pasti cepat dingin kalau sudah kemasukan udara."
Homer dan aku menambahkan kayu bakar, lalu mengipas-ngipas api unggun yang
kembali berkobar dengan hebat. Kemudian kami berlari ke depan meriam untuk
mengatur posisi derek. Kami menggeser kedudukannya sampai pengait utama dapat
dipasang pada ujung sumbat beton. Kemudian, ketika Zeke mulai menarik lagi, kami
mendorong dereknya ke depan. Tidak lama setelah itu kami sudah bisa memasang
pengait kedua, dan selanjutnya tidak ada kesulitan lagi.
Zeke Boniface mendekat dan hendak memasukkan kepalanya ke dalam mulut meriam.
"Awas!" Henry langsung berteriak. "Laras meriam itu masih panas sekali. Kau bisa
terpanggang hidup-hidup nanti."
Kami memadamkan api unggun, lalu menimbun dahan-dahan yang masih membara dengan
tanah. Jeff mengambil selang air dari gudang, dan kami menyemprot laras meriam
sampai cukup dingin untuk diperiksa.
Jeff menyerahkan lampu senter pada Homer. "Kami akan mendorongmu masuk ke laras
meriam, Homer. Kau akan menyelidiki apa yang ada di dalamnya."
"Wah, sayang Dinky tidak ada di sini," Homer mendesah. "Tugas ini lebih cocok
untuk dia." "Kenapa" Kau takut?" tanya Mortimer.
"Aku bukannya takut, tapi siapa yang tahu apa yang ada di dalam sana"!" balas
Homer. "Bagaimana kalau aku menemukan tengkorak atau sejenisnya?"
"Justru tengkorak itu yang seharusnya takut melihatmu," ujar Mortimer sambil
mengangkat Homer. Kami semua membantu mendorong Homer ke dalam meriam, dan dalam waktu singkat ia
telah menghilang di dalam lubang yang gelap itu. Meriam tua di Memorial Point
merupakan meriam Rodney ukuran 15 inci, sehingga Homer punya cukup tempat untuk
merangkak. Setiap kali ia menyerukan sesuatu, suaranya terdengar menggema dengan
nyaring. Dan ketika mencapai ujung belakang laras, Homer berteriak-teriak
seperti orang gila. "Horeee! Aku menemukan tasnya! Cepat, keluarkan aku dari sini sebelum aku mati
lemas! Panasnya seperti di neraka!"
Gema suaranya merambat sampai ke dasar lembah, dan akhirnya memantul pada bukitbukit di seberang Danau Strawberry. Jeff dan Mortimer segera menarik tali yang
kami ikatkan pada kaki Homer. Ketika muncul dari moncong meriam, pakaiannya
penuh debu dan basah karena keringat. Tapi di tangannya ada sebuah tas kulit
yang sudah hampir hancur dimakan waktu.
"Masih ada barang lain di dalam?" tanya Henry.
"Ya!" jawab Homer sambil meludah dan menggosok mata. "Sekitar selusin sarang
tupai dan dua ribu labah-labah!"
Kami mencoba membuka tas itu, namun ternyata tasnya dalam keadaan terkunci.
Henry lalu berpaling pada Zeke Boniface, yang sedang bersandar pada laras meriam
sambil memilih puntung cerutu mana yang akan ia nyalakan.
"Zeke, kau bisa membuka tas ini, bukan?"
Zeke nampak agak tersinggung karena Henry menyangsikan kemampuannya. Ia
menghampiri kami, lalu mengusap rambutnya yang tebal. Dari balik telinga kanan
ia mengeluarkan sebuah alat sebesar jepitan rambut, dengan kait tegak lurus pada
ujungnya. Sambil berjongkok Zeke memeriksa kunci pada tas, kemudian memasukkan
kait pada lubang kunci. Dengan dua gerakan jari tas itu telah terbuka.
Henry segera menumpahkan isinya, dan kami semua membelalakkan mata. Ratusan
lembaran uang tergeletak di atas rerumputan di hadapan kami.
"Wah, ini bukan uang benaran," kata Homer. "Ini sih uang mainan! Lihat saja,
mana ada lembaran uang sebesar ini?"
"Ini uang benaran!" Henry langsung membantah. "Dulu ukuran lembaran uang memang
seperti ini." "Sebaiknya kita hitung uangnya, lalu pergi dari sini," Jeff mendesak.
Kami segera duduk dan mulai menghitung. Jumlah uangnya ternyata 75.000 dollar
lebih sedikit. "Berarti ini uang yang dirampok dari bank," Homer menyimpulkan. "Jumlahnya
persis seperti dikatakan Mr. Willis."
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Mortimer. "Melarikan diri ke
Amerika Selatan?" "Masih banyak yang harus kita kerjakan," jawab Henry. "Sekarang acaranya baru
mulai ramai." Ia meraih ke dalam ransel perlengkapannya, ransel besar itu
sepertinya berisi segala macam barang yang ada di dunia, lalu mengeluarkan
sebuah tas kulit yang mirip sekali dengan tas kulit yang tergeletak di hadapan
kami. "Aku menemukannya di loteng rumahku," Henry menjelaskan sambil melemparkan
tas itu ke dalam laras meriam. Rupanya ia telah menyusun rencana rahasia yang
tak diketahui oleh siapa pun.
Untuk mengembalikan sumbat beton ke tempat semula, kami terpaksa sekali lagi
memanas kan laras meriam. Setelah sumbatnya terpasang, dan setelah kami
membereskan sisa-sisa api unggun, meriam tua itu nampak seperti tak tersentuh
sama sekali. Kami membongkar derek kepunyaan Zeke, lalu membawa segala peralatan
ke truknya. Untung kami segera meninggalkan Memorial Point. Sebab begitu sampai di kota,
kami mendengar bahwa Dewan Kota sudah mengirim regu pekerja untuk membuka sumbat
meriam tua itu. "Seharusnya kita bisa menebak bahwa mereka pun takkan membuang-buang waktu,"
kata Jeff. "Besok adalah hari pemilihan walikota. Jika Abner Sharpies ingin
menggembar-gemborkan berita mengenai uang hasil rampokan bank, maka dia harus
melakukannya hari ini juga."
Mortimer dan aku ditugaskan untuk menyusul regu pekerja ke Memorial Point. Kami
berangkat bersama-sama serombongan penduduk Mammoth Falls yang ingin tahu apa
yang sedang terjadi. Henry, Jeff, dan Homer langsung menuju bank untuk menemui
Mr. Willis. Pada saat itu kami semua sama sekali tidak teringat pada Dinky dan
Freddy. Kejadian di Memorial Point ternyata benar-benar menggelikan. Mortimer dan aku
duduk di atas dahan pohon yang menggantung rendah di atas permukaan tanah. Dari
sana kami bisa mengamati setiap perkembangan. Para pekerja berusaha keras untuk
mencabut sumbat beton dari moncong meriam. Mereka membawa kompresor dari kota,
lalu menggunakan semacam bor yang digerakkan oleh udara bertekanan tinggi untuk
menghancurkan sumbat yang memisahkan mereka dari tas berisi uang hasil rampokan.
Mortimer dan aku hanya bisa ketawa melihat mereka begitu ngotot.
Jim Callahan, kepala dinas teknik, bertanggung jawab atas pekerjaan ini. Tetapi
Abner Sharples-lah yang nampak paling repot. Ia terus berjalan mondar-mandir
sambil memberi perintah pada para pekerja. Setiap beberapa menit ia berpidato di
hadapan para penonton, agar tak seorang pun lupa bahwa dialah yang mencetuskan
gagasan untuk memeriksa meriam tua itu. Harmon Muldoon juga tidak mau
ketinggalan. Anak itu sibuk membawa peralatan ke sana kemari, sambil memberikan
petunjuk-petunjuk yang sebenarnya tak berguna sama sekali. Yang penting orangorang menyangka bahwa ia memegang posisi menentukan dalam operasi ini. Mortimer
dan aku menyaksikan semuanya dari atas pohon. Kami harus berusaha keras untuk
tidak ketawa, agar jangan sampai menarik perhatian. Tapi lama-lama tulang igaku
mulai terasa sakit, karena Mortimer selalu menyikutku kalau Abner Sharpies
mengatakan sesuatu yang konyol.
Hari telah menjelang sore ketika para pekerja akhirnya berhasil menyelesaikan
tugas mereka. Harmon Muldoon masuk ke dalam laras meriam untuk melihat apa yang
ada di dalamnya. Waktu muncul lagi sambil menggenggam tas kulit, orang-orang
telah berkerumun di depan moncong meriam. Abner Sharpies segera merebut tas itu
lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, agar semua orang bisa melihatnya. Kemudian ia
memberikan pidato politik tersingkat dalam sejarah Mammoth Falls.
"Ikut saya!" katanya dengan lantang. Penuh rasa bangga Harmon Muldoon memandang
ke sekeliling. Ketika melihat Mortimer dan aku, ia segera tersenyum mengejek.
Kami tetap duduk di atas pohon dan pura-pura tidak melihatnya.
Orang-orang mengikuti Abner Sharpies, yang sudah mulai menuruni jalan setapak.
Begitu juga Mortimer dan aku. Abner memimpin iring-iringan kendaraan ke Mammoth
Falls sambil berdiri di bangku belakang jeepnya. Dengan gagah ia melambailambaikan tas kulit di atas kepalanya. Beberapa menit kemudian ia melambailambaikan tas itu di hadapan Dewan Kota. Orang-orang yang mengikutinya dari
Memorial Point kini berdesak-desakan di ruang pertemuan.
"Tuan-tuan yang terhormat," Abner membuka pembicaraan. "Dengan bantuan detektif
muda bernama Harmon Muldoon ini, saya berhasil mengamankan suatu barang bukti
penting, yang akan memecahkan misteri perampokan bank yang terjadi pada tahun
1910." Mendengar namanya disebut dalam forum sepenting ini, Harmon langsung cengarcengir. "Pertama-tama saya mohon agar para anggota Dewan Kota yang terhormat sudi
memperhatikan inisial pada tas kulit ini."
Abner menatap tas di tangannya. Kemudian ia memandang Dewan Kota. Ternyata tak
ada inisial pada tas yang sedang dipegangnya. Wajah Abner langsung pucat. Sambil
mengerutkan kening ia menoleh ke arah Harmon. Tapi Harmon pun hanya bisa
mengangkat bahu dengan heran.
"Aneh, seharusnya ada inisial pada tas ini!" Abner Sharpies akhirnya berkata.
"Saya yakin benar... Tapi tidak apa-apa! Yang lebih penting adalah apa yang
terdapat di dalam tas ini!" Dengan sigap ia mengeluarkan pisau lipat, lalu,
membuka tas kulit yang telah usang. Tanpa membuang-buang waktu untuk memeriksa
isi tas, ia langsung menumpahkan semuanya ke meja di depan para anggota Dewan
Kota. Beratus-ratus lencana kampanye berwarna merah, putih, dan biru berhamburan
keluar. Seketika ruang pertemuan diguncang tawa yang seakan-akan takkan
berhenti. Tangan Abner Sharpies gemetar ketika ia memungut salah satu lencana, lalu
membaca, "Alonzo Scragg pilihan utama!"
Alonzo Scragg sendiri nampak membelalakkan mata ketika meraih sebuah lencana.
"Bagaimana lencana-lencana ini bisa berada di dalam sebuah tas yang telah
berpuluh-puluh tahun tersembunyi di dalam laras meriam tua itu?" ia bertanya
dengan heran. "Ini... ehm... Saya rasa ini ulah oknum tak bertanggung jawab yang hendak
mempermainkan Panitia Pemilihan Walikota!" Abner Sharpies berusaha menyelamatkan
mukanya. Wajahnya nampak merah padam karena marah.
"Kelihatannya justru Anda yang dipermainkan, Abner," Mr. Snodgrass berkomentar
dengan tenang. Mr. Willis, anggota Dewan Kota dan juga Presiden Direktur Bank Mammoth Falls,
berdiri dari kursinya. "Tuan-tuan, saya bisa menjelaskan duduk perkaranya," ia berkata setelah
menenangkan para hadirin. "Beberapa jam yang lalu saya dikunjungi oleh Henry
Mulligan dan dua rekannya yang tergabung dalam Klub Ilmuwan Edan. Saya percaya
bahwa Anda semua telah mengenal perkumpulan tersebut lewat kegiatan-kegiatannya
yang... ehm... kadang-kadang agak... ehm... agak menyimpang dari aturan yang
berlaku. Tapi kali ini saya merasa bahwa mereka telah berjasa untuk kota kita."
Mr. Willis meraih ke bawah meja, lalu mengambil tas kulit yang asli.
"Mungkin inilah tas yang Anda cari," ia berkata pada Abner Sharpies sambil
meletakkan tas di tangannya ke atas meja. "Tadi pagi Henry Mulligan mengantarkan
tas ini ke kantor saya. Saya diberitahu bahwa tas ini berisi 75.000 dollar yang
dirampok dari Bank Mammoth Falls pada tahun 1910. Sampai saat ini saya belum
membukanya, karena saya tidak memiliki kuncinya. Selain itu, saya juga
berpendapat bahwa tas ini sebaiknya dibuka di hadapan anggota-anggota Dewan Kota
yang lain, sehingga tidak terjadi salah paham di kemudian hari."
Abner Sharpies segera menyambar tas itu. "Ya, tas inilah yang saya maksud!" ia
berseru penuh semangat. "Anda bisa melihat inisial EMS di bawah pegangannya.
Hmm, saya jadi bertanya-tanya... Mungkinkah ini inisial Elijah Scragg yang
terhormat" Mungkinkah tas ini miliknya" Mungkinkah kemunculan tas ini akan
membawa aib bagi anak-cucunya?"
Kini giliran Alonzo Scragg untuk berwajah merah padam. Dengan geram ia
berpegangan pada tepi meja.
"Menurut saya, inisial itu juga bisa diartikan Emory Sharpies," ujar Mr.
Snodgrass tanpa berkedip.
Pada detik yang sama terdengar kegaduhan dari arah pintu. Ternyata Dinky Poore
dan Freddy Muldoon sedang bersusah-payah menembus kerumunan orang. Mereka
diikuti oleh sosok yang tinggi-kurus, Elmer Pridgin! Seperti biasa, Elmer
memakai topi bulu dan menggenggam senapan berburu di tangannya.
Sambil menyikut ke kiri dan kanan, Dinky akhirnya berhasil menghampiri Jeff
Crocker dan membisikkan sesuatu ke telinganya. Jeff lalu menarik lengan baju Mr.
Willis. Bankir itu membungkukkan badan, dan mulai berkonsultasi dengan rombongan
yang baru tiba. Abner Sharpies langsung mengajukan protes keras. Tapi Alonzo
Scragg segera mengetokkan palu ketua sidang, dan menyuruhnya diam.
Tidak lama kemudian Mr. Willis sekali lagi berdiri dari kursinya.
"Tuan-tuan," ia berkata, "saya rasa kita baru saja memperoleh bukti tambahan
yang sangat penting. Anda tentu mengenal Elmer Pridgin, bukan" Elmer punya
cerita yang perlu disampaikan pada Anda semua. Tapi karena tidak terbiasa
berbicara di depan umum, Elmer meminta saya untuk mewakilinya."
Mr. Willis minta agar Elmer mendekat. Sambil menunjuk tas kulit di atas meja, ia
bertanya, "Elmer, apakah Anda pernah melihat tas ini sebelumnya?"
Elmer menggelengkan kepala.
"Tentu saja Anda belum pernah melihatnya," Mr. Willis melanjutkan. "Seseorang
telah menyembunyikan tas ini di dalam meriam tua sebelum Anda lahir." Mr. Willis
menunjuk kalung emas yang melingkar pada leher Elmer. "Apa yang tergantung pada
kalung Anda itu?" "Ini sebuah kunci," jawab Elmer sambil membuka kalungnya.
"Boleh saya pinjam sebentar?"
Elmer mengangguk. Mr. Willis mengambil kalung berikut kunci yang terpasang pada kalung Elmer, lalu
menyerahkannya pada para anggota Dewan Kota yang lain. "Perhatikan bahwa inisial
pada kunci itu ditulis dengan gaya yang sama seperti inisial pada tas di hadapan
Anda." Kemudian ia kembali berpaling pada Elmer. "Tolong sebutkan nama depan ibu
Anda." "Lisbeth!" Elmer menjawab dengan patuh.
"Maksud Anda Elizabeth, bukan?"
"Saya rasa begitu," ujar Elmer.
"Tuan-tuan," kata Mr. Willis, "di antara Anda tentu ada beberapa orang yang
masih ingat bahwa Jacob Pridgin menikahi seorang gadis bernama Elizabeth


Monster Di Danau Strawberry Klub Ilmuwan Edan The Mad Scientists Club Karya Bertrand R. Brinley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Margaret Sargent, anggota keluarga Sargent dari Hookers Point, kota tetangga
kita. Sayangnya Elizabeth Margaret Sargent meninggal ketika melahirkan anaknya
yang pertama, yaitu Elmer Pridgin yang kini berdiri di hadapan Anda." Sekali
lagi Mr. Willis mengajukan pertanyaan pada Elmer. "Apakah almarhum ayah Anda
pernah berpesan, pesan khusus, sehubungan dengan kunci ini?"
"Dia berpesan agar kunci ini jangan diberikan pada orang lain," jawab Elmer.
"Suatu hari, katanya, kunci ini akan menghasilkan uang dalam jumlah besar bagi
saya. Ayah saya juga berpesan agar saya selalu mengawasi meriam tua di Memorial
Point." "Kenapa dia menginginkan agar Anda mengawasi meriam itu?"
"Saya tidak tahu. Mungkin ayah saya tidak rela kalau meriam itu dirusak oleh
tangan-tangan jail."
"Tuan-tuan," Mr. Willis berkata pada para anggota Dewan Kota, "kelihatannya
misteri perampokan bank pada tahun 1910, serta rahasia meriam tua di Memorial
Point kini telah terungkap. Tas kulit berinisial EMS ini, yang selama berpuluhpuluh tahun tersembunyi di dalam meriam, merupakan kuncinya. Tas ini berhasil
dikeluarkan oleh Henry Mulligan dan kawan-kawannya. Saya sendiri tidak tahu
bagaimana mereka mengeluarkannya, tapi saya yakin mereka bersedia memberi
penjelasan, asal saja tidak menyangkut rahasia perusahaan."
Mr. Willis lalu mengembalikan kalung beserta kuncinya pada Elmer.
"Elmer," katanya, "saya minta agar Anda mencoba membuka tas itu dengan kunci
pada kalung Anda!" "Nanti dulu!" Abner Sharpies berseru, kemudian berdiri.
"Sebaiknya Anda tetap duduk saja," kata Mr. Snodgrass sambil menepuk punggung
pengacara itu. Elmer Pridgin menggosok-gosok kunci dengan telunjuk dan jempol. Seakan-akan
kebingungan, ia menatap ke sekeliling. Kemudian ia menyandarkan senapannya pada
tepi meja, dan memasukkan kunci ke dalam lubang kunci. Dengan sekali putar
tasnya sudah terbuka. Orang-orang bergumam dengan suara tertahan ketika Mr.
Willis menumpahkan isi tas ke atas meja, lalu menyerahkan dua ikat lembaran uang
untuk diperiksa oleh anggota-anggota Dewan Kota yang lain.
"Tak ada yang perlu diragukan lagi," katanya dengan mantap. "Inilah uang yang
dulu dirampok dari bank. Saya kira kita bisa memastikan bahwa Jacob Pridgin tahu
di mana uang ini disembunyikan. Selain itu, ia juga memiliki kunci untuk membuka
tas ini. Tuan-tuan, atas dasar itu, saya menarik kesimpulan bahwa Jacob Pridginlah yang merampok Bank Mammoth Falls pada tahun 1910, dan bahwa ia lalu
melarikan diri dengan menunggangi kuda milik Elijah Scragg."
Secara mendadak Abner Sharpies bangkit dari kursinya. Dengan wajah merah padam
ia bergegas ke pintu. Ledakan tawa mengantarkannya keluar ruangan. Tanpa
disadarinya, sebuah lencana bertulisan "Alonzo Scragg pilihan utama!" menempel
pada mantelnya. "Apakah ayah saya melakukan kejahatan?" Elmer bertanya ketika suasana di ruang
pertemuan kembali tenang.
"Kelihatannya begitu," jawab Alonzo Scragg. "Tapi semuanya terjadi sebelum Anda
lahir. Uangnya sudah ditemukan lagi, dan Anda sama sekali tidak bersalah dalam
hal ini. Kami justru berterima kasih karena Anda telah bersedia datang ke sini
dan membantu memecahkan misteri perampokan bank itu."
"Anak-anak inilah yang membujuk saya," Elmer menjelaskan sambil menunjuk Dinky
Poore dan Freddy Muldoon. "Si kecil itu yang melihat kunci di kalung saya,
ketika saya membungkuk untuk melepaskan seekor kelinci dari perangkap yang saya
pasang. Dan setelah itu dia tidak mau diam sebelum saya menceritakan riwayat
kunci itu. Belum pernah saya menemui seorang anak yang begitu ngotot!"
"Berarti tinggal satu hal yang harus diselesaikan," ujar Mr. Willis sambil
berdehem. "Miss Daphne Muldoon mengingatkan saya bahwa pemimpin bank pada waktu
perampokan itu terjadi menjanjikan hadiah sebesar 5.000 dollar. Saya kira janji
itu masih berlaku sampai sekarang."
Para hadirin segera mulai bersorak-sorai sambil bertepuk tangan.
"Tenang! Tenang!" Mr. Willis berseru sambil mengangkat kedua tangan. "Saya ingin
mengumumkan bahwa hadiah itu akan diberikan pada para anggota Klub Ilmuwan Edan,
serta Miss Daphne Muldoon. Saya sudah membicarakan hal ini dengan mereka. Mereka
telah bersepakat untuk menyerahkan setengah dari hadiah itu kepada Fakultas
Kedokteran, dan setengahnya lagi kepada Elmer Pridgin. Saya tidak tahu bagaimana
hubungan Fakultas Kedokteran dengan kasus ini, tapi saya jamin bahwa pihak bank
tidak merasa keberatan."
Beberapa hari kemudian kami semua berjalan kaki menuju pondok Elmer Pridgin.
Alonzo Scragg dan Mr. Willis lalu menyerahkan 2.500 dollar pada Elmer. Dan Henry
memberikan foto infra merah yang diambil oleh kamera kami. Elmer memperhatikan
foto itu sambil garuk-garuk kepala.
"Saya tidak pernah pergi ke sana setelah gelap, soalnya tempatnya agak seram,"
ia berkata. "Tapi ini merupakan foto yang bagus sekali dari almarhum ayah saya.
Terima kasih banyak!"
Kami saling berpandangan dengan mata terbelalak. Sejak itu, Memorial Point mulai
jarang dikunjungi orang untuk berpiknik.
4. Manusia Terbang dari Mammoth falls
SUATU hari, Dinky Poore dan Freddy Muldoon muncul di markas perkumpulan kami
sambil membawa sebuah mannequin (boneka untuk memajang pakaian di etalase toko),
yang mereka temukan di tempat pembuangan sampah Mammoth Falls. Sebuah department
store telah membuang boneka itu karena wajahnya sedikit tergores. Tetapi
selebihnya belum ada cacat sama sekali. Dinky dan Freddy menggotong boneka itu
sampai ke markas kami, kemudian memberdirikannya di salah satu pojok ruangan.
Henry Mulligan sebenarnya tidak setuju. Ia keberatan kalau markas kami dipenuhi
oleh barang-barang tak berguna. Tapi ketika kami mengadakan pemungutan suara
untuk menentukan nasib boneka itu, Henry ternyata kalah jauh. Homer Snodgrass,
yang hampir sama cerdasnya dengan Henry dan Jeff, mengemukakan bahwa kami bisa
menggunakannya untuk latihan ilmu anatomi. Ia lalu mengusulkan untuk menambahkan
program tersebut pada daftar kegiatan perkumpulan kami.
Freddy Muldoon dan Dinky Poore ditugaskan untuk menggambarkan sistem peredaran
darah manusia pada boneka itu. Tetapi mereka tidak pernah merampungkan tugas
itu. Selama berbulan-bulan boneka itu hanya berdiri di pojok ruangan, dan lamalama kami mulai muak melihatnya. Akhirnya Mortimer menutupi kepala boneka itu
dengan kaus kaki wanita yang terbuat dari nilon, kemudian menamakannya Invisible
Man (manusia tak kasat-mata). Karena merasa cocok dengan julukan itu, kami terus
mempergunakannya, sampai suatu hari Henry mendapat ide yang gemilang.
Pada hari itu, kami tiba di markas dan menemukan Henry sedang duduk di tengah
ruangan. Sambil berkonsentrasi penuh ia menatap boneka di pojok. Lama sekali ia
memandangnya. Kemudian ia melepaskan kacamata, mendongakkan kepala, dan menatap
langit-langit. Kami tak berani bersuara. Henry selalu mengatakan bahwa dengan cara itu darah di
kepala akan mengalir ke bagian belakang otak. Dan menurut Henry, ide-ide yang
paling cemerlang justru terbentuk di bagian itu.
Begitu juga kali ini. Apa yang diusulkan Henry ketika kembali ke posisi duduk
normal adalah ide paling aneh yang pernah dicetuskannya.
"Aku rasa kita bisa memodifikasi boneka ini agar sanggup terbang," ia berkata
dengan yakin. "Terbang"!" Dinky Poore berseru. "Mana mungkin"!"
"Rencanaku sederhana saja," Henry melanjutkan seakan-akan tidak mendengar
komentar Dinky. "Kita bisa membuat si Invisible Man terbang. Kalau semuanya
berjalan dengan lancar, kita akan menggemparkan Mammoth Falls dengan penemuan
ini." "Tapi kalau begitu kita harus mencari nama lain, dong!" ujar Mortimer.
"Bagaimana dengan Flying Sorcerer, penyihir terbang?"
"Hei, siapa tahu dia bakal dianugerahi medali penghargaan dari Angkatan Udara!"
Freddy menambahkan. "Jangan bercanda saja!" Jeff Crocker berkata dengan tegas.
"Begini," Henry melanjutkan, "minggu depan ada acara peringatan ulang tahun
Mammoth Falls. Dan seperti biasa Pak Walikota akan berpidato di depan Balai
Kota. Pada saat itulah kita adakan pertunjukan yang akan membuat semua orang
tercengang... Nah, kalian tahu Monumen Hannah Kimball, bukan?"
Hannah Kimball adalah pahlawan kota kami. Beberapa orang berpendapat bahwa
wanita itulah yang mendirikan Mammoth Falls. Tapi itu belum terbukti sampai
sekarang. Yang pasti, Hannah Kimball merupakan wanita pemberani yang
mempertahankan pondoknya terhadap serangan suku Indian, hanya dengan sebuah
boneka pengusir burung yang biasa berdiri di tengah ladang gandum. Ia memasang
boneka itu pada sebatang kayu, lalu mendorongnya lewat cerobong asap. Orangorang Indian, yang belum pernah melihat boneka semacam itu, segera menghujaninya
dengan anak panah. Tetapi boneka itu terus melambai-lambaikan kedua tangan,
biarpun seluruh tubuhnya telah tertembus anak panah. Orang-orang Indian menduga
bahwa mereka berhadapan dengan roh jahat, lalu melarikan diri.
Setelah Henry menjelaskan garis besar rencananya, kami segera mulai bekerja.
Selama beberapa hari berikutnya, kami membuat lubang pada punggung boneka dan
memasang dua buah alat penerima gelombang radio. Kami juga memasang pengeras
suara berukuran mini pada tenggorokannya, lalu mencari pakaian yang cocok.
Mortimer akhirnya membawa overall usang milik ayahnya. Setelah selesai
berpakaian, penampilan boneka kami tidak berbeda dari penduduk-penduduk Mammoth
Falls yang lain. Pada malam sebelum peringatan ulang tahun Mammoth Falls, kami berkumpul di
markas untuk membawa boneka kami ke lapangan di depan Balai Kota.
Dinky Poore nampak mengerutkan kening. "Bagaimana caranya menaikkan boneka kita
ke puncak monumen?" ia bertanya. "Pokoknya, aku tidak mau disuruh memanjat
naik!" "Ah, dasar bodoh!" ujar Freddy Muldoon dengan nada melecehkan. "Itu sih
gampang!" "Oh, ya?" balas Dinky dengan sengit "Kalau begitu tolong jelaskan bagaimana
caranya, Tuan Otak Encer!"
"Mudah saja!" Freddy bergumam. "Serahkan saja semuanya pada Henry, jenius kita."
Kami menatap Henry, dan Henry langsung menjabarkan rencana yang telah
disusunnya. Monumen Hannah Kimball berada di tengah-tengah sebuah taman kecil di depan Balai
Kota. Tugu peringatan itu berbentuk pilar marmer yang menjulang tinggi ke
angkasa. Patung Hannah Kimball berdiri di atasnya. Tempat di samping patung itu
masih cukup lebar untuk satu orang lagi, asalkan orang itu bisa naik ke atas
monumen. Untung saja ada tiang-tiang telepon di kedua sisi taman, dan tiangtiang itu sedikit lebih tinggi dibandingkan tugu peringatan.
Ketika malam telah larut, kami mendatangi taman itu dengan membawa tali
sepanjang 250 meter. Kami mengikat ujung tali pada leher boneka, kemudian juga
memasang tali jemuran sebagai tali pembantu. Dua orang di antara kami memanjat
ke atas tiang telepon yang berdiri segaris dengan monumen, dan melewatkan tali
pada tempat pijakan kaki di puncak tiang. Setelah itu talinya ditarik sampai
kencang, sehingga boneka kami terangkat dari tanah. Dengan menarik tali
pembantu, dalam waktu singkat kami telah berhasil menempatkan boneka itu di
puncak pilar marmer, bersebelahan dengan patung Hannah Kimball. Kemudian kami
menarik tali utama sampai terlepas.
Pada pagi hari berikutnya, sebelum acara peringatan ulang tahun Mammoth Falls
dimulai, si Manusia Terbang nampak berdiri dengan gagah sambil bertolak
pinggang. Tapi karena monumen itu dikelilingi pepohonan, ia tak menarik
perhatian sampai barisan marching band tiba sekitar pukul sepuluh. Marching band
itu memimpin parade yang dimulai di Jembatan Lemon Creek.
Mortimer, Henry, dan aku duduk di loteng di atas toko kelontong Snodgrass, toko
milik ayah Homer. Kami membawa peralatan radio, dan dapat mengawasi lapangan di
depan Balai Kota dengan leluasa. Homer berada di lapangan. Ia bertugas memantau
perkembangan dan memberitahu kami jika ada kejadian di luar rencana.
Kami menangkap laporannya dengan bantuan mikrofon-mikrofon. yang kami
sembunyikan di sekitar monumen.
Alonzo Scragg beserta panitia peringatan duduk di atas mobil dengan kap terbuka,
yang berjalan di samping marching band. Pak Walikota berdiri di kursi belakang
sambil melambaikan topi dan tersenyum cerah. Tiba-tiba sebuah suara mengalahkan
musik dan sorak-sorai para penonton.
"Awas, Pak Walikota! Saya akan melompat!"
Suara itu seakan-akan keluar dari mulut boneka kami. Namun sebenarnya Mortimer
Dalrymple yang sedang berbicara.
Mobil yang ditumpangi Pak Walikota mendadak berhenti, dan Pak Walikota hampir
kehilangan keseimbangan. Para anggota panitia peringatan segera menahannya agar
jangan sampai terjatuh. Ketika Pak Walikota kembali berdiri tegak, ia menoleh ke
atas dan melihat boneka di puncak monumen.
"Hei anak muda, bagaimana caranya kau bisa naik ke sana?" Pak Walikota berseru
sambil menudingkan payungnya ke arah sosok itu.
"Mudah saja! Saya terbang!" terdengar jawabannya.
Terheran-heran Pak Walikota menatap para anggota panitia. Para anggota panitia
mengerut-kan kening, lalu memandang Chief Harold Putney, Kepala Polisi Mammoth
Falls. Kepala Polisi mengangkat bahu, kemudian menoleh ke arah Pak Walikota.
Pak Walikota berdehem beberapa kali, lalu berbisik pada Chief Putney,
"Sepertinya kita berhadapan dengan orang gila."
"Saya juga berpikiran seperti itu," ujar Chief Putney. "Tapi barangkali dia akan
pergi dengan sendirinya kalau kita tidak memperhatikan dia."
"Mana mungkin?" balas Pak Walikota. "Orang seperti itu tidak akan pergi begitu
saja. Kita harus segera menurunkan dia dari atas sana. Jangan sampai upacara
peringatan jadi kacau-balau"
"Barangkali Pak Walikota punya usul?"
"Anda Kepala Polisi di kota ini," kata Pak Walikota. "Saya kira sudah waktunya
Anda memperlihatkan bahwa Anda pantas menerima gaji kepala polisi." Kemudian ia
berpaling dan tersenyum serta melambaikan tangan pada para penonton.
"Berani benar kalian menyebut aku orang gila!" terdengar suara dari atas
monumen. Dengan geram Pak Walikota menoleh ke atas.
"Saya bukan orang gila, saya manusia terbang dari Mammoth Falls!" boneka di
samping patung Hannah Kimball berseru. "Eh, kalian mau melihat saya melompat?"
Taman kecil di sekitar monumen telah dipadati oleh orang-orang yang ingin tahu
apa yang sedang terjadi. Semuanya berebutan mencari tempat yang paling baik. Pak
Walikota masih berdiri di atas mobil. Ia mengangkat kedua tangannya, dan
berusaha menenangkan massa. "Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang terhormat," ia berkata
dengan lantang. "Bapak-bapak dan Ibu-ibu," boneka di atas monumen menirukan.
Pak Walikota memelototi boneka itu, lalu berseru, "Diam!"
"Diam!" boneka itu mengulangi, dan seruannya disambut dengan tawa berderai.
"Warga kota yang terhormat!" kata Pak Walikota.
"Warga kota yang terhormat!" ujar boneka itu.
"Saya mengimbau agar Anda semua tidak memperhatikan pemuda di atas monumen. Saya
percaya bahwa kepala polisi kita, Harold Putney, dibantu oleh dinas pemadam
kebakaran, sanggup mengamankan orang itu."
"Awas, saya akan melompat kalau ada yang berani mendekati saya!" boneka itu
berseru. Pak Walikota kembali mengerutkan kening. "Jangan perhatikan laki-laki malang
itu," katanya. "Dia memerlukan bantuan dan pengertian dari kita semua."
"Bukan aku tapi justru Anda yang butuh bantuan!" si Manusia Terbang berseru.
Henry dan aku tidak kuat lagi, dan mulai ketawa terbahak-bahak. Mortimer pun
ikut-ikutan, sehingga alat pemancar terpaksa dimatikan sampai kami kembali
tenang. Para penonton kini mengelilingi mobil Pak Walikota. Semuanya memberikan
usul tentang cara terbaik untuk menurunkan orang gila yang berdiri di atas
monumen. Beberapa anak muda bersorak-sorai dan mendesak si Manusia Terbang untuk
melompat. "Kapan kita membiarkan dia lepas landas?" aku bertanya.
"Sebentar lagi," kata Henry. "Setelah itu Pak Walikota kembali jadi pusat
perhatian." Kemudian ia menyalakan alat pemancar. "Aku mau menghubungi Jeff dan
yang lain dulu." Menurut rencana, Jeff, Dinky, serta Freddy Muldoon seharusnya berada di suatu
tempat di sebelah barat Danau Strawberry. Ketika Henry berhasil menghubungi
mereka, ketiga rekan kami itu sedang duduk di puncak sebuah bukit. Dengan
bantuan teropong, mereka dapat mengikuti perkembangan di lapangan di depan Balai
Kota. Henry mengamati bendera-bendera yang menunjukkan arah angin, lalu
memberitahu Jeff agar pindah ke suatu bukit yang lebih ke selatan. Hal ini
sangat penting bagi keberhasilan rencana kami.
Kami kembali memperhatikan keramaian di sekitar tugu peringatan. Orang-orang
masih bergerombol sambil menuding dan meneriaki boneka kami. Tapi si Manusia
Terbang tetap tak ambil pusing.
Kemudian kami mendengar suara sirene, yang menandakan bahwa mobil pemadam
kebakaran sedang mendekat. Dengan sigap Pak Walikota turun dari mobil. Langsung
saja ia memberi perintah dan petunjuk. Para petugas memarkir kendaraan mereka
bersebelahan dengan monumen, lalu mulai menaikkan tangga.
Pak Walikota berdiri di atas mobil pemadam kebakaran, dan berseru, "Silakan
turun dari sana! Ini perintah!"


Monster Di Danau Strawberry Klub Ilmuwan Edan The Mad Scientists Club Karya Bertrand R. Brinley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah Bapak berjanji untuk tidak menggigit saya!"
Ucapan itu kembali disambut dengan ledakan tawa.
"Terus terang saja, Bung! Saya tidak punya kebiasaan menggigit orang. Nah,
silakan turun lewat tangga. Saya menjamin bahwa Bung akan diperlakukan dengan
baik." "Saya tidak mau turun lewat tangga," boneka di atas monumen membalas. "Saya
tidak butuh tangga kalian! Saya seekor rajawali!"
Pak Walikota mengumpat tertahan, lalu berusaha menenangkan massa.
"Hei, kalian ingin melihat saya terbang?" teriak Mortimer berlagak histeris.
"Jangan! Jangan!" Pak Walikota berusaha mencegah bencana yang bakal terjadi.
"Tunggu dulu!" Pak Walikota menoleh ke arah panitia upacara peringatan, para anggota panitia
menatap Chief Putney, dan Chief Putney memandang Sersan Billy Dahr. Sersan
polisi itu berkumis lebat. Ia selalu mengenakan mantel panjang dan membawa
tongkat kayu. Ketika menyadari bahwa semua orang memandang dirinya, ia langsung
mulai salah tingkah. "Sersan Dahr akan memanjat ke atas monumen dan menangkap laki-laki itu," ujar
Chief Putney. "Tidak ada orang yang lebih tepat, Mr. Putney," Pak Walikota mendukung.
Para anggota panitia upacara peringatan pun mengangguk-angguk.
Billy Dahr pura-pura tidak mendengar apa-apa. Namun ia tidak bisa berkelit.
Dengan berat hati ia akhirnya menaiki tangga. Tapi baru pada anak tangga ketiga
petugas polisi itu sudah berhenti, lalu mengacungkan tongkatnya.
"Turun, Bung!" ia berseru dengan lantang."Kalau kau naik ke sini, aku akan memelintir ujung kumismu," si Manusia Terbang
membalas sambil mencibir.
Orang-orang ketawa terbahak-bahak. Pak Walikota segera menyodok Sersan Dahr
dengan ujung payung. "Sersan Dahr, jangan diam saja!" ia marah-marah. "Tangkap orang itu!"
"Maaf, Pak Walikota," ujar Sersan Dahr. "Mata saya selalu berkunang-kunang kalau
saya berada di tempat yang tinggi."
"Ya, ampun!" Pak Walikota mendesah. Sementara itu kepala dinas pemadam kebakaran
berbicara dengan Chief Putney, yang kemudian menghampiri Pak Walikota. Chief
Putney mengatakan sesuatu yang tidak terdengar oleh kami, dan Pak Walikota
menganggukkan kepala. Sesaat kemudian empat kelompok petugas pemadam kebakaran
telah merentangkan empat buah jala pada keempat sisi monumen. Beberapa penonton
ikut membantu secara sukarela. Sementara dua petugas mulai menaiki tangga, Chief
Putney dan Sersan Dahr sibuk mengatur kerumunan orang.
"Cepat, Mortimer!" Henry mendesak. "Keadaan sudah mulai gawat."
Mortimer segera menyalakan alat pemancar. "Jangan dekati aku!" ia berseru. "Aku
akan melompat kalau kalian tetap mendekat."
Kedua petugas pemadam kebakaran pun berhenti. Pak Walikota mengumpat dengan
suara tertahan. "Ayo, tangkap orang itu!" si kepala dinas pemadam kebakaran memberi perintah
pada anak buahnya. "Jangan takut! Kalau dia nekat melompat, maka kita akan
menangkapnya dengan salah satu jala."
"Tapi siapa yang akan menangkap mereka?" si Manusia Terbang bertanya.
Para petugas pemadam kebakaran kembali berhenti. Akhirnya, setelah didesak-desak
oleh atasan mereka, kedua petugas itu naik perlahan-lahan. Sambil memanjat ke
atas, mereka berusaha membujuk boneka kami agar menyerahkan diri tanpa
mengadakan perlawanan. Ketika kedua petugas itu hampir mencapai puncak monumen, Mortimer kembali
berteriak dengan histeris. Henry segera menekan tombol pada alat pemancar, yang
berhubungan dengan alat penerima kedua di dalam badan boneka. Seketika terdengar
suara ledakan mirip ledakan mercon, dan sebuah bungkusan terdorong dari punggung
boneka. Bungkusan itu jatuh dan sempat menggantung-gantung di ujung sejumlah
tali. Kemudian bungkusannya mulai mengembang dan perlahan-lahan berubah bentuk
menjadi sebuah balon. Kedua petugas pemadam kebakaran di atas tangga menyaksikan kejadian itu dengan
mata terbelalak. Para penonton di bawah pun nampak terpukau. Kemudian semuanya
bersorak-sorai ketika balon tadi semakin membesar dan terbawa oleh tiupan angin.
Serta-merta si Manusia Terbang terangkat dari puncak monumen.
"Aku seekor rajawali! Aku seekor rajawali!" terdengar seruan dari mulut boneka
itu. Ketinggiannya bertambah dengan cepat, dan dalam sekejap ia telah melewati atap
Balai Kota, lalu mengambang ke arah Danau Strawberry.
Henry, Mortimer, dan aku melompat-lompat kegirangan sambil ketawa sampai perut
terasa kaku. Berkat kejeniusan Henry, rencana kami berhasil dengan sempurna.
Balon cuaca yang kami pasang pada punggung boneka dipompa dengan tabung berisi
helium bertekanan tinggi. Henry telah memindahkan mekanisme pemicu dari sebuah
pistol CO2, yang biasa digunakan sebagai pemberi tanda start pada pertandingan
atletik. Mekanisme itu berfungsi untuk melubangi tabung helium pada saat balon
terlempar dari bungkusnya.
Suasana di lapangan di depan Balai Kota menjadi kacau-balau. Begitu si Manusia
Terbang lepas landas, kerumunan orang segera bubar. Semuanya berhamburan
menyusuri jalan menuju danau, agar jangan sampai kehilangan jejak.
"Mortimer, coba hubungi Jeff!" Henry memerintah. "Kita harus terus berhubungan
dengan dia agar tidak kehilangan setengah dari peralatan radio kita."
Mortimer segera menyalakan alat pemancar. Henry memonitor frekuensi polisi dan
frekuensi darurat untuk menyadap setiap informasi yang mungkin berguna bagi
kami. Sementara itu aku mengawasi si Manusia Terbang melalui teropong. Ia kini
telah berada di atas Danau Strawberry. Arahnya persis seperti yang kami
perkirakan. Homer Snodgrass melaporkan bahwa Pak Walikota nampak kalang-kabut. Ia telah
memerintahkan keadaan siaga penuh, lalu menyuruh Chief Putney untuk melaporkan
kejadian ini ke Pangkalan Udara Westport Field.
Berkat persiapan yang matang, Henry berhasil menyadap pembicaraan Chief Putney
dengan pangkalan udara. Chief Putney ternyata minta bantuan dua buah helikopter
untuk mengikuti si Manusia Terbang sampai mendarat. Ia ingin memastikan bahwa
orang itu ditangkap, dan dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Operator radio di
Westport Field mula-mula menanggapi permintaan itu sebagai lelucon. Tetapi
ketika Chief Putney tetap mendesak, petugas itu lalu mengatakan bahwa ia akan
meneruskan permintaan bantuan dari Chief Putney kepada Kolonel March, Komandan
Pangkalan Udara Westport Field. Dua menit kemudian kami menangkap siaran radio
pada frekuensi darurat. Kolonel March sedang menghubungi semua pos pengamatan di
wilayahnya. "Manusia Terbang tak dikenal terlihat di atas Mammoth Falls dan kini mengarah ke
barat. Laporan diterima dari Dinas Kepolisian Mammoth Falls, dan diperkuat oleh
seorang pilot pesawat penumpang yang sedang melintas. Arah dan ketinggian
terbang tidak diketahui dengan pasti. Tujuan tidak diketahui. Tidak ada
permintaan izin terbang ke Westport Field maupun ke lapangan terbang setempat.
Harap stand by. Over and out."
Perkembangan tak terduga ini membuat kami kalang-kabut. Henry pun mulai
berkeringat dingin. "Kita harus bergerak cepat," katanya. "Mudah-mudahan Kolonel March tidak
menemukan bahwa kita biang keladi semuanya. Dia pasti marah besar."
Tapi semenit kemudian cucuran keringat Henry malah bertambah deras. Westport
Field memberitahu semua pos pengamatan bahwa mereka menugaskan dua buah pesawat
pengintai serta sebuah helikopter buru-sergap untuk mencari si Manusia Terbang.
"Apakah bonekanya masih kelihatan, Charlie?" Henry bertanya padaku, "Apakah kau
bisa menentukan posisinya?"
Untung saja si Manusia Terbang sedang berada di depan gumpalan awan, sehingga
sosoknya terlihat dengan jelas. Langsung saja aku mengamati kompas di tanganku.
"Kurang lebih dua ratus enam puluh lima derajat," aku melaporkan pada Henry.
"Mestinya dia sudah berada di atas danau sekarang."
"Bagus," ujar Henry. "Berarti kita masih punya waktu."
Cepat-cepat ia menggambarkan sebuah garis pada peta yang dibawanya. Kemudian ia
meraih radio CB kami. "Sultan I kepada Sultan II!"
"Silakan masuk Sultan I. Ini Sultan II."
"Jeff! Kalian harus kembali ke bukit yang pertama. Kalian punya waktu sekitar
enam menit. Arah boneka kita adalah duaratus enampuluh lima derajat, berarti
sekitar delapanpuluh lima derajat dari tempat kalian nanti. Beritahu aku kalau
dia sudah kelihatan. Dan beritahu aku kalau dia berada di atas kalian, supaya
aku bisa menekan tombol, tepat pada waktunya."
"Oke, kami akan berusaha kembali ke tempat tadi. Over and out."
Dari arah lapangan terdengar suara sirene meraung-raung. Sepertinya setiap mobil
ambulans di Mammoth Falls sedang menuju ke Danau Strawberry. Mobil-mobil lain
menyusul. Beberapa kendaraan mengambil jalan yang menyusuri tepi utara danau,
untuk berjaga-jaga kalau si Manusia Terbang terbawa angin ke sana, Pak Walikota
masih berdiri di dekat monumen dan tetap sibuk memberi petunjuk sambil
menudingkan payungnya. "Kita harus angkat topi untuk Pak Walikota," ujar Mortimer. "Bayangkan, dalam
waktu sesingkat ini dia telah berhasil menggerakkan seluruh kota!"
"Hal itu semakin menyulitkan kita," kata Henry. "Aku tidak menyangka bahwa Pak
Walikota akan bergerak secepat ini."
Suara Jeff terdengar dari pengeras suara. "Sultan II kepada Sultan I! Sultan II
kepada Sultan I!" "Di sini Sultan I. Bagaimana perkembangannya?"
"Kami sudah berada di bukit pertama."
"Bonekanya sudah kelihatan?"
"Sudah, dia sedang mendekati tepi danau di seberang Mammoth Falls. Dia sedang
menuju ke arah kami, tapi kami harus menuruni bukit ke arah kanan sedikit.
Jangan tekan tombol sebelum aku memberi isyarat."
"Oke, aku akan menunggu."
"Wah, kita benar-benar kepepet waktu," Henry berkomentar. "Sebentar lagi
pesawat-pesawat dari Westport Field sudah tiba di Danau Strawberry. Kalau
helikopternya sempat melihat apa yang kita lakukan, maka seluruh rencana kita
bisa bubar." "Mudah-mudahan Kolonel March tidak marah," Mortimer mengharap. "Dia kan sudah
sering membantu kita."
"Justru itu yang aku takutkan." Henry menanggapinya sambil menyeka keringat dari
kening. Lapangan di depan Balai Kota kini benar-benar sepi. Pak Walikota pun telah
bergabung dengan iring-iringan mobil yang menuju ke danau. Regu-regu pencari
berharap agar mereka dapat melacak si Manusia Terbang sampai ke tempat ia
mendarat di daerah perbukitan di sebelah barat danau. Aku terus mengarahkan
teropong pada boneka itu, dan memberitahu arah terbang serta posisinya pada
Henry. Kedua pesawat yang dikirim oleh Kolonel March kini sudah berputar-putar tinggi
di atas Danau Strawberry. Di sebelah utara aku melihat dua buah helikopter
sedang mendekat. Dalam tiga atau empat menit mereka pasti sudah mencapai tepi
danau. "Jangan buang-buang waktu lagi," aku berkata pada Henry. "Helikopter-helikopter
itu kelihatannya terbang dengan cepat."
Pada detik berikutnya suara Jeff kembali terdengar. "Bonekanya sudah hampir
berada di atas kepala kami. Kau bisa menekan tombol sekarang."
"Oke," jawab Henry. "Tapi kalian harus bekerja dengan cepat. Dan usahakan agar
kalian tetap berada di bawah naungan pepohonan. Sudah ada dua pesawat di atas
kalian, dan sebentar lagi dua buah helikopter akan menyusul!"
Henry menekan tombol pada alat pemancar utama, kemudian lari ke arah jendela.
Kami melihat balon kami terguncang dengan hebat, lalu mengempis. Bahan peledak,
yang oleh Henry dihubungkan pada alat penerima gelombang radio kedua, telah
melubangi selubung balon. Dengan cepat si Manusia Terbang turun mendekati
permukaan tanah, dan dalam sekejap ia telah menghilang dari pandangan kami.
Kejadian selanjutnya dilaporkan oleh Jeff melalui radio. Si Manusia Terbang
ternyata turun lebih cepat dari yang kami duga sebelumnya. Jeff, Freddy, dan
Dinky memperhatikannya dengan cemas. Dalam hati mereka berharap agar boneka kami
mendarat di tempat yang empuk. Ketiga rekan kami itu berlari menuruni bukit, dan
masih sempat melihat si Manusia Terbang menembus puncak pepohonan. Kemudian
balonnya tersangkut pada dahan-dahan, sehingga boneka kami tergantung sekitar
enam meter di atas tanah.
"Cepat naik ke sana dan potong tali pengikat balon!" Jeff berseru sambil
mengangkat Dinky ke atas pohon.
Dinky memanjat secepat mungkin. Gerakannya lincah, persis seekor kucing hutan.
Dalam beberapa detik ia telah memotong semua tali pengikat balon. Jeff dan
Freddy menangkap boneka yang jatuh ke tanah. Kemudian Dinky turun lagi, dan
ketiganya menuju ke gua tempat mereka menyembunyikan sepeda.
Gua itu sebenarnya mulut sebuah terowongan yang sudah tak terpakai sejak
kegiatan penambangan timah dihentikan. Mulut terowongan itu tersembunyi di balik
semak-semak, sehingga tidak langsung kelihatan.
Ketika muncul lagi dari gua, si Manusia Terbang telah mengenakan pakaian
pramuka, sama seperti anak-anak yang lain. Ia didudukkan di boncengan sepeda
Jeff. Kedua tangannya diikat melingkar pada pinggang Jeff. Ditambah ransel dan
pancing sebagai pelengkap, rombongan itu kelihatan seperti baru pulang berkemah.
Mereka menuruni jalan sambil bersepeda. Jeff berada di depan.
Ketika Jeff, Dinky, dan Freddy membelok ke Turkey Hill Road yang menyusuri tepi
utara Danau Strawberry, mereka mulai berpapasan dengan iring-iringan kendaraan
yang sedang mencari si Manusia Terbang. Mobil terbuka yang membawa Pak Walikota
pun baru saja membelok. "Hei, anak-anak! Segera kembali ke kota!" Pak Walikota berseru.
"Baik, Pak," balas Dinky. "Kami memang dalam perjalanan pulang." Langsung saja
ia kembali menggenjot sepeda.
Seperempat kilometer kemudian sebuah sedan berwarna biru berpapasan dengan
mereka, lalu mengerem secara mendadak. Pengemudinya memasukkan gigi mundur, dan
mundur dengan kencang. Kepala Kolonel March muncul di jendela belakang.
"Halo, anak-anak!" ia menyapa Jeff, Dinky, dan Freddy sambil tersenyum.
Jeff melambaikan tangan sambil nyengir tak keruan, tapi terus saja menggenjot
sepedanya. Dinky Poore hampir terjatuh karena berusaha memberi hormat secara
militer sambil melewati mobil Kolonel March. Namun rupanya komandan pangkalan
udara itu sudah mencium bahwa ada yang tidak beres. Langsung saja ia mengulurkan
tangan dan menghentikan Freddy Muldoon.
"Sebentar, Freddy! Siapa yang dibonceng oleh Jeff?" ia bertanya.
"Oh, dia" Ehm... dia kawan kami," jawab Freddy. "Kalau tidak salah, dia menginap
di rumah Henry Mulligan."
"Apakah dia berasal dari luar kota?" tanya Pak Kolonel. "Rasanya saya belum
pernah melihatnya." "Henry penduduk asli Mammoth Falls, kok."
"Saya tahu itu," ujar Kolonel March. "Kawan kalian tadi yang saya maksud."
"Oh, dia" Ehm... soal itu... ehm... soal itu saya kurang tahu," balas Freddy
dengan gugup. "Mungkin dia tinggal di Kanada... mungkin juga di Inggris. Tapi
saya rasa Pak Kolonel pasti tidak punya waktu untuk berkenalan dengan dia."
"Kelihatannya dia lebih tua dari kalian. Tapi kenapa dia malah dibonceng oleh
Jeff?" "Soalnya, soalnya dia lagi sakit," ujar Freddy cepat-cepat. "Ehm, maksud saya,
ehm. Begini, Pak Kolonel, orang-orang di negara-negara tertentu tidak punya uang
banyak." "Oh, ya! Saya kira itu memang benar," Kolonel March berkomentar. "Tapi sayang
ya, pemuda itu kelihatannya cukup ramah. Kapan-kapan saya ingin berkenalan
dengannya." "Oh, dia memang ramah sekali," kata Freddy, "dan sama sekali tidak sok tahu!"
"Saya rasa saya mengerti apa yang kaumaksud, Freddy," Pak Kolonel membalas.
"Baiklah, sampai jumpa, Freddy! Salam untuk anak-anak yang lain."
"Sampai ketemu, Pak Kolonel!"
Freddy langsung melesat seperti panah terlepas dari busur, dan dalam sekejap
telah menyusul Jeff dan Dinky.
Sementara itu, kami yang berada di loteng di atas toko Mr. Snodgrass juga tidak
tinggal diam. Kini benar-benar tidak ada siapa-siapa di lapangan di depan Balai
Kota, kecuali Sersan Billy Dahr yang tengah tidur pulas. Begitu yakin bahwa
keadaannya aman, Homer Snodgrass memanjat salah satu tiang telepon dan memasang
kawat pada pijakan kaki paling atas. Ujung kawat yang satu lagi telah kami
pakukan pada dinding loteng.
Ketika Jeff, Dinky, dan Freddy kembali sambil membawa si Manusia Terbang, kami
segera mengeluarkan semua peralatan radio dari tubuh boneka itu, lalu mengganti
pakaian pramukanya dengan overall berwarna biru. Setelah itu kami menggunakan
cara yang sama dengan tadi pagi untuk menempatkannya di puncak monumen.
Kami baru saja menutup jendela loteng, ketika Sersan Billy Dahr menguap lebar
dan membuka mata. Secara mendadak ia melompat ke tengah jalan. Sambil
terbengong-bengong ia memandang monumen di hadapannya. Petugas polisi itu
menggosok-gosok mata dengan kedua tangan, kemudian kembali melotot. Ia menoleh
ke segala arah untuk memastikan bahwa tidak ada orang lain, kemudian kabur ke


Monster Di Danau Strawberry Klub Ilmuwan Edan The Mad Scientists Club Karya Bertrand R. Brinley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arah pos polisi di ujung jalan.
Setengah jam setelah itu, lapangan di depan Balai Kota sudah penuh orang lagi.
Mobil yang ditumpangi Pak Walikota berhenti di depan monumen, dan tidak lama
kemudian mobil pemadam kebakaran pun tiba. Para petugas pemadam kebakaran segera
menaikkan tangga, dan dua orang dari mereka menaikinya. Kali ini laki-laki di
puncak monumen tidak mengatakan apa-apa. Sepertinya ia telah kehilangan suara.
Petugas pertama mencapai puncak monumen, lalu memegang si Manusia Terbang dengan
dua tangan. Tetapi kemudian ia mundur selangkah dan menatapnya sambil
mengerutkan kening. Tiba-tiba ia maju lagi, dan menggenggam pundak boneka kami.
Para penonton yang berkerumun di bawah memekik kaget ketika petugas itu
melemparkannya dari puncak monumen. Sedetik kemudian si Manusia Terbang telah
jatuh ke jala yang direntangkan oleh petugas-petugas yang lain.
Orang-orang segera mendesak maju agar dapat melihat laki-laki yang baru saja
jatuh dari ketinggian. Begitu juga Pak Walikota, ia menyodok boneka kami dengan ujung payung, lalu
mendengus dengan kesal. Setelah itu ia bergegas menuju Balai Kota. Perlahanlahan kerumunan orang mulai bubar. Dan ketika matahari mulai tenggelam, Mike
Corcoran terlihat berjalan menuju tempat biliar di Blake Street sambil menenteng
boneka kami. Keesokan harinya upacara berjalan lancar tanpa gangguan. Leher Pak Walikota
sempat terasa kaku, karena ia berulang kali menoleh ke puncak monumen untuk
melihat apakah si Manusia Terbang muncul lagi. Tapi kecuali itu, semuanya
berjalan sesuai rencana. Kolonel March juga hadir. Ia memanfaatkan undangan Pak Walikota untuk berpidato
mengenai kesiapan dalam menghadapi hal-hal yang tak terduga. Ia mengatakan pada
semua orang bahwa kini bukan saatnya lagi untuk mengandalkan tipu-muslihat,
seperti yang dilakukan Hannah Kimball ketika menghalau orang-orang Indian. Ia
juga menambahkan bahwa kita harus selalu waspada terhadap kejadian-kejadian di
luar dugaan kita. Jika hal seperti itu terjadi, maka kita harus tetap tenang dan
tidak boleh panik. Peristiwa yang terjadi kemarin merupakan pelajaran berharga
bagi kita semua, katanya.
Seusai upacara, Kolonel March menghampiri kami dan langsung menatap Henry
Mulligan. "Ke mana teman kalian yang dari Kanada itu?" ia bertanya. "Saya ingin sekali
berkenalan dengannya."
"Teman kami yang mana?" Henry balik bertanya.
"Teman kalian yang dibonceng oleh Jeff kemarin," ujar Pak Kolonel.
"Oh, dia!" Henry berseru sambil melirik ke arah kami. "Ehm, terus terang saja,
Pak Kolonel." "Dia meninggal semalam!" Freddy cepat-cepat memotong.
"Wah, syukurlah!" Pak Kolonel menanggapinya. Tapi ucapan itu segera diralatnya.
"Maksud saya, kasihan sekali. Saya turut berdukacita"
"Ya! Kami semua masih dilanda kesedihan," kata Freddy.
"Tampangnya memang sudah kurang sehat waktu saya melihatnya kemarin," ujar Pak
Kolonel. "Ya, dia memang benar-benar sakit keras," Freddy menjelaskan.
"Baiklah, tolong sampaikan pada keluarganya bahwa saya turut merasa sedih," kata
Kolonel March sambil mengedipkan sebelah mata.
"Kami akan menyampaikannya."
Dengan demikian kasus si Manusia Terbang telah selesai bagi Kolonel March.
Namun kebanyakan penduduk Mammoth Falls merasa bahwa misteri itu tetap belum
terbongkar secara tuntas. Sampai sekarang pun orang-orang masih berdebat
mengenai kejadian itu. Ada yang percaya bahwa memang ada laki-laki di puncak
monumen, dan bahwa seseorang kemudian menempatkan sebuah boneka dengan pakaian
yang persis sama. Ada juga yang menduga bahwa hanya ada dua boneka, dan bahwa
ada orang yang membuat boneka pertama bisa berbicara. Namun tak seorang pun bisa
menjelaskan apa yang terjadi dengan boneka yang pertama maupun balon yang
digunakan, sebab kedua barang itu tidak pernah ditemukan.
Orang-orang yang berbeda pendapat itu biasanya lalu pergi ke tempat biliar milik
Mike Corcoran, di mana boneka si Manusia Terbang ditempatkan sebagai penjaga
pintu. Mike telah menaruh sebuah papan pengumuman di kaki boneka itu. Pengumuman
itu berbunyi: Jangan Mau Ditipu oleh Boneka Pengusir Burung!
5. Pertandingan Balon Gas
ZEKE BONIFACE memiliki junk yard (tempat pengumpulan barang bekas) yang paling
lengkap di seluruh dunia. Asal tekun dan mau meluangkan waktu untuk mencari agak
lama, orang bisa mendapat hampir apa saja. Setiap kali seorang calon pembeli
menanyakan suatu barang, Zeke akan menggigit-gigit cerutu yang jarang terlepas
dari bibir, lalu mengusap kumisnya dengan satu jari. Setelah itu ia akan
mengerutkan kening sambil menggaruk-garuk kepala, seakan-akan belum pernah
mendengar nama barang yang ditanyakan. Tapi cepat atau lambat, Zeke akan
teringat bahwa ia pernah melihat barang yang diminta, lalu menuju salah satu
tumpukan barang bekas yang memenuhi pekarangannya.
Zeke tidak pernah menyentuh barang-barang itu. Ia hanya menunjukkan tempat
barang yang diminta, kemudian membiarkan si calon pembeli mencari dan
mengambilnya sendiri. Dengan cara inilah kami menemukan perahu karet sisa Perang Dunia II, yang
kemudian kami pakai sebagai gondola (tempat penumpang) untuk balon rancangan
Henry Mulligan. Henry merancang balon itu dalam rangka menghadapi pertandingan
balon gas di Mammoth Falls.
Setiap tahun kota kami menjadi tuan rumah County Fair, dan sepanjang ingatan
orang, selalu ada acara pertandingan pada hari pembukaan. Mula-mula pertandingan
itu berupa balapan kereta kuda. Kemudian kereta kuda diganti dengan traktor.
Tetapi selama beberapa tahun terakhir, pihak panitia selalu mengadakan
pertandingan balon gas. Orang-orang berdatangan dari segala penjuru negara
bagian untuk menyaksikan acara itu. Jika angin bertiup seperti biasa, maka
pertandingan dimulai di White Fork dan berakhir di Mammoth Falls. Jarak yang
harus ditempuh sekitar 75 kilometer.
Pada umumnya sebagian besar peserta tidak mencapai finish karena kehabisan
beban, atau balon gas mereka bocor sebelum sampai di Mammoth Falls. Sering kali
pihak polisi menghabiskan satu hari penuh untuk mencari peserta-peserta yang
terpaksa mendarat darurat di tengah hutan. Kadang-kadang ada peserta yang benarbenar tersesat, sehingga semalam suntuk mencari jalan ke kota.
Henry berpendapat bahwa kami berpeluang untuk memenangkan pertandingan tahun
ini. Ia telah menyiapkan rancangan balon yang tidak memerlukan beban dan dapat
mengambang untuk waktu yang tak terbatas.
"Balon macam apa itu?" tanya Freddy Muldoon sambil menggosok-gosok hidungnya
yang nampak merah. Ia memang lagi pilek berat.
"Lihat saja nanti kalau sudah selesai," jawab Henry. "Aku tidak mau rencanaku
diketahui oleh seluruh kota, soalnya Harmon Muldoon juga ikut bertanding. Jangan
sampai dia mencuri ide-ide kita."
"Siapa saja yang akan bertugas sebagai awak balon?" tanya Dinky Poore, sambil
berharap-harap untuk terpilih.
Jeff Crocker segera mengetokkan palunya. "Selaku ketua perkumpulan kita,"
katanya, "dengan ini aku memberi wewenang pada Henry Mulligan untuk menentukan
awak balon. Keputusannya tidak bisa diganggu-gugat, dan harus ditaati oleh kita
semua!" Selama tiga minggu berikutnya kami disibukkan oleh berbagai pekerjaan persiapan.
Kami tahu bahwa kami akan menghadapi persaingan ketat, karena di antara peserta
pertandingan yang telah mendaftarkan diri ada beberapa orang yang sudah sangat
berpengalaman. Harmon Muldoon juga ikut. Ia disponsori oleh Mike Corcoran, pemilik tempat
biliar di Blake Street. Mike ingin memenangkan pertandingan untuk mendapatkan
publisitas. Karena itu ia bersedia mengeluarkan uang banyak untuk memastikan
bahwa Harmon memperoleh balon yang paling baik. Dengan demikian pertandingan
tahun ini sesungguhnya merupakan adu kemampuan antara Henry Mulligan, yang
mengandalkan kecerdasan, dan Harmon Muldoon, yang didukung oleh sponsornya.
Tapi kalau menyangkut ilmu pengetahuan, otak yang cerdas sering kali lebih
bermanfaat dibandingkan uang, dan kami semua percaya penuh pada kemampuan Henry.
Balon kami dipersiapkan di loteng di atas toko kepunyaan Mr. Snodgrass, ayah
Homer. Kami sengaja tidak bekerja di markas, soalnya selalu ada anggota gang
Harmon yang berusaha mengintip kegiatan kami di sana. Sementara itu, loteng di
atas toko ayah Homer berada di lantai tiga, sehingga sulit untuk diintip pihak
lawan. Ada satu hal yang harus diperhatikan kalau merancang balon, yaitu gerakan balon
yang sering kali menyerupai gerakan yoyo. Sebuah balon bisa mengangkasa dengan
cepat, tetapi kemudian turun lagi dengan kecepatan yang sama.
Menurut Henry, hal itu berhubungan dengan keseimbangan antara suatu benda dengan
medium di mana benda tersebut mengambang. Selama sebuah balon sedikit lebih
ringan dibandingkan udara yang tergeser, maka semuanya aman-aman saja. Balon itu
akan terus mengambang pada ketinggian tertentu, dan tidak menimbulkan kesulitan
sama sekali. Tapi jika suhu udara meningkat, atau balon itu terjebak dalam arus
udara naik, maka awak balon bisa dibawa sampai ketinggian enam ribu meter. Kalau
kemudian arus udara berhenti, atau suhu udara turun lagi, maka balon tadi akan
jatuh seperti batu. Gawatnya, balon tersebut tidak kembali ke posisi semula.
Balon itu akan meluncur begitu cepat, sehingga bisa terempas ke tanah. Untuk
mencegah hal itu, awaknya harus cepat-cepat melepaskan kantong-kantong beban
berisi pasir. Kebanyakan awak balon akan mengurangi gas dari dalam balon kalau mereka naik
terlalu cepat, atau melemparkan kantong pasir jika mereka turun terlalu cepat.
Kesulitannya adalah bahwa mereka lambat-laun akan kekurangan gas atau kantong
pasir, sehingga ketinggian balon tidak bisa diatur lagi. Kalau sudah begitu,
mereka terpaksa mendarat. Dalam pertandingan yang menempuh jarak 75 kilometer,
dapat dipastikan bahwa sekitar 90% dari semua peserta tidak berhasil mencapai
tempat finish. Henry telah mendapat ide untuk mengatasi kesulitan itu, dan inilah rahasia yang
harus kami jaga dengan ketat.
Henry memang berotak cerdas. Mrs. Mulligan sampai mengeluh, karena anaknya itu
lebih suka berpikir daripada makan. Kadang-kadang Henry tiba-tiba merenung di
tengah-tengah acara santap malam. Kalau sudah begitu, ia akan menggeser
piringnya ke samping lalu berkonsentrasi penuh. Makanannya takkan disentuh
sebelum ia berhasil memecahkan masalah yang menghantui pikirannya. Jika ditegur,
maka Henry secara sembunyi-sembunyi akan memberikan makanannya kepada anjing
mereka. Anjing keluarga Mulligan adalah anjing paling gemuk dalam radius
beberapa kilometer. Beberapa orang menganggap Henry agak gila. Tapi dia sendiri tidak peduli. Kita
harus makan agar tetap sehat dan kuat, ia selalu berpetuah, tapi jangan sampai
kita lupa hal-hal yang lebih penting. Semuanya tergantung pada niat kita, apakah
kita mau menjadi ilmuwan setelah dewasa, atau orang gembrot yang dipertontonkan
di sirkus. Freddy Muldoon punya prinsip yang lain. Dia juga selalu berpikir, tetapi
pikirannya hanya berkisar di sekitar makanan. Ketika Freddy bertanya pada Henry
apakah ia boleh jadi awak balon, Henry menjawab bahwa kami tidak memerlukan
beban seberat dia. Ide Henry sebenarnya sederhana saja. Sebagian besar ide gemilang memang seperti
itu. Ia yakin bahwa sebuah balon bisa dikontrol jika jumlah gas di dalamnya
dapat diatur secara teliti, sehingga awak balon tidak memerlukan kantong pasir
sebagai pemberat. Dengan bantuan kompresor serta sejumlah tangki gas di dalam
gondola, maka gasnya dapat dipompa ke dalam tangki untuk mengurangi ketinggian
terbang. Untuk menambah ketinggian, awak balon tinggal menambahkan gas ke dalam
balon. Kami menggunakan parasut-parasut bekas untuk membuat balon, yang kemudian kami
bawa ke gudang Jeff Crocker. Tahap berikut adalah pengisian gas helium ke dalam
balon sampai mengembang penuh, agar balonnya dapat dicat. Jika kalian belum
pernah mengecat sebuah balon, maka lebih baik jangan dicoba, deh! Pekerjaan itu
jauh lebih berat ketimbang mengecat rumah, soalnya sebuah balon tidak bisa
dipanjat. Sebagian besar tugas ini dikerjakan oleh Dinky Poore sambil berdiri di
sebuah tong yang tergantung pada balok atap di gudang Jeff.
Setelah selesai dicat, kami siap melakukan rangkaian uji coba. Untuk itu kami
pergi ke sebuah lapangan terbuka di daerah perbukitan di seberang Danau
Strawberry. Perhitungan Henry ternyata hampir tepat. Balon kami punya daya
angkat sebesar 250 kilogram. Itu cukup untuk membawa tiga awak, dua tangki gas
bertekanan tinggi, sebuah kompresor, dan sejumlah perlengkapan lainnya. Kami
mengambang di ketinggian 30 meter, balon kami ditahan oleh tali-tali panjang,
sehingga Henry dapat bereksperimen dengan kompresor untuk mengetahui seberapa
cepat balon kami menambah atau mengurangi ketinggian. Henry juga mengikatkan
balon kami pada timbangan berpegas untuk mengukur daya angkat dengan beban
maksimum. Seusai mengadakan serangkaian uji coba, Henry tersenyum puas.
"Aku sudah mempelajari medan antara White Fork dan Mammoth Falls," katanya.
"Kita harus terbang di atas ketinggian 350 meter agar dapat melewati bukit-bukit
yang paling tinggi. Tapi kalau semua berjalan sesuai rencana, dan cuaca
mendukung, maka daya angkat balon kita cukup untuk mengambang pada ketinggian
600 meter." "Ah, 600 meter sih belum apa-apa," ujar Freddy Muldoon.
"Kecuali kalau kau terpaksa melompat dari ketinggian segitu," Mortimer Dalrymple
menanggapinya. "Kenapa harus 600 meter?" aku bertanya.
"Soalnya pada ketinggian itu terdapat lapisan udara berangin kencang. Tapi arus
udaranya hanya muncul kalau cuaca sedang cerah. Kecepatannya sekitar 40 sampai
50 kilometer per jam, dan arahnya tepat ke tempat finish. Aku sudah
berkonsultasi dengan ahli cuaca di Pangkalan Udara Westport Field mengenai hal
ini." "Sebaiknya Harmon Muldoon jangan sampai tahu," Dinky berkomentar.
"Wah, keberadaan lapisan udara itu pasti bukan rahasia lagi," kata Homer
Snodgrass. "Jangan lupa, di antara peserta-peserta yang lain ada beberapa orang
yang sudah sangat berpengalaman. Mereka pasti tahu segala sesuatu mengenai cuaca
dan kondisi angin di daerah ini."
"Memang," ujar Henry, "tapi pertanyaannya, apakah mereka sanggup naik sampai 600
meter lalu bertahan pada ketinggian itu" Aku yakin kita sanggup kalau awak balon
kita terdiri dari tiga orang, dan salah satunya adalah Dinky."
"Ah, payah!" kata Freddy Muldoon.
Kami semua tahu bahwa Henry harus ikut terbang, yang berarti hanya tinggal satu
tempat lagi. Untuk menentukan siapa yang beruntung, kami segera melakukan
undian. Ternyata akulah pemenangnya.
"Ah, payah!" Freddy mendesah tertahan.
Pada malam sebelum pertandingan, Zeke Boniface membawa truknya, dan mengangkut
semua peralatan kami ke White Fork. Kami berkemah di tepi lapangan yang akan
digunakan sebagai tempat start. Dengan demikian kami langsung bisa mulai bekerja
setelah bangun. Soalnya ada banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum sebuah
balon bisa mengudara. Malam itu kami hanya tidur sebentar. Pagi-pagi sekali kami sudah terbangun.
Selain kami masih ada banyak kelompok yang sedang melakukan persiapan menjelang
start. Homer Snodgrass berjalan-jalan untuk mencari informasi dan gosip yang
beredar di antara mereka. Homer memang sangat berkepentingan, karena Daphne
Muldoon, pacar Homer, akan terpilih sebagai Ratu County Fair seandainya kami
memenangkan pertandingan.
Ada duapuluh kelompok yang mendaftarkan diri sebagai peserta. Balon-balon mereka
nampak berwarna-warni. Beberapa di antaranya mirip hiasan pohon Natal. Satu
balon menyerupai seekor ikan besar, dan satu lagi nampak seperti ulat raksasa.
Balon Harmon Muldoon diberi nama Green Onion (Bawang Hijau), dan penampilannya
memang cocok dengan namanya.
"Mudah-mudahan balon Harmon nanti bertunas," Dinky berkomentar ketika pertama
kali melihatnya. Balon kami sendiri menampilkan wajah yang mirip wajah Alonzo Scragg, Walikota
Mammoth Falls. Kami menjulukinya "Si Kepala". Hidung pada wajah itu sekaligus
berfungsi sebagai katup darurat. Katup ini diperlukan untuk mengempiskan balon
kalau kami terperangkap dalam angin kencang di dekat permukaan tanah. Kalau hal
itu tidak dilakukan, maka balonnya akan terseret angin dan bisa menabrak pohon
atau batu karang. Menurut jadwal pertandingan, start akan dilakukan pukul delapan pagi. Empat jam
sebelumnya sudah ada beberapa kelompok yang mulai mengisi balon-balon mereka
dengan gas. Setelah mengembang penuh, balon-balon itu diikatkan pada sejumlah
pasak agar tidak lepas-landas. Tapi Henry berpendapat bahwa sebaiknya kami
menunggu sampai matahari terbit, sebab pada waktu itu suhu udara akan naik
sekitar sepuluh derajat. Kenaikan suhu udara ini diiringi oleh tiupan angin yang
cukup kencang, sehingga para peserta yang telah mengisi balon-balon mereka
dengan gas akan kerepotan sendiri. Perkiraan Henry ternyata benar.
Menjelang matahari terbit, Harmon Muldoon beserta anak buahnya mendatangi kami.
Seperti biasa, mereka hanya bisa mengejek dan mencari perkara.


Monster Di Danau Strawberry Klub Ilmuwan Edan The Mad Scientists Club Karya Bertrand R. Brinley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan tanggapi mereka," ujar Jeff ketika melihat Harmon dan gerombolannya
mendekat. "Biar Henry dan aku saja yang bicara. Kita tidak punya waktu untuk
bertengkar dengan mereka."
"Wah, inilah balon yang paling!" ujar Stony Martin, yang di kelompoknya sendiri
pun dijuluki si Mulut Besar.
"Yang paling apa?" teman-temannya menyahut dengan kompak.
"Balon paling kempis yang pernah kulihat!" Stony berseru sambil menendang
pinggiran balon kami, yang terbentang di atas tanah dan dibebani dengan batu dan
papan kayu. Tindakan ini disambut dengan gelak tawa.
"Kalau kalian sudah selesai ketawa, tolong jelaskan bagaimana kami bisa membantu
kalian," ujar Jeff sambil bersandar pada sleeping bag-nya. "Mungkin kalian
datang untuk minta petunjuk"!"
Harmon Muldoon mendengus kesal. Sambil bertolak pinggang ia berdiri di hadapan
Jeff. "Kami hanya ingin memastikan bahwa kalian tidak membawa senapan angin atau
ketapel," katanya. "Asal tahu saja, panitia melarang para peserta membawa
barang-barang seperti itu."
"Oh, ya?" balas Mortimer Dalrymple. Dengan geram ia mengepalkan tangannya.
"Ya, ampun!" Freddy Muldoon menimpali. "Aku baru ingat bahwa aku lupa membawa
busur dan anak panah!"
"Hei, aku kan sudah memperingatkan kalian!" dengan tegas Jeff menegur Mortimer
dan Freddy. Lalu ia berdiri dan menatap Harmon Muldoon, "Kalau kami memenangkan
pertandingan ini, Harmon, maka kami akan memenangkannya secara jujur. Kami tidak
biasa berbuat curang."
"Kami tidak khawatir mengenai itu," jawab Stony Martin. "Kami hanya mau
memastikan bahwa kalian takkan menghalangi kami nanti, itu pun kalau kalian
berhasil mengudarakan karung beras yang menyedihkan ini."
"Tulis surat saja kalau kami menghalangi kalian," ujar Mortimer sambil menguap.
"Mortimer! Diam!" Jeff memerintah.
"Di mana awak kalian akan duduk nanti?" tanya Harmon. "Aku tidak melihat gondola
di sekitar sini." "Inilah gondola kami," kata Henry sambil menepuk-nepuk bungkusan di belakangnya.
"Apa itu?" "Sebuah perahu karet," jawab Henry. "Memangnya kalian tidak tahu bahwa kalian
harus menyeberangi Danau Strawberry untuk sampai ke tempat finish?"
"Kami bukannya tidak tahu," balas Stony sambil nyengir. "Cuma kami tidak
merencanakan untuk mendarat sebelum sampai ke sana."
Henry menghadapi ledakan tawa yang menyusul sambil tersenyum. "Berdasarkan
pembicaraan kalian, aku menebak bahwa kalian akan menggunakan udara panas untuk
mengisi balon kalian," ia berkata dingin.
"Barangkali kalian punya mantra khusus untuk menyeberangi danau!" Dinky Poore
berkomentar. "Cukup!" Jeff berseru sambil menegakkan badan. "Sepertinya tamu-tamu kita sudah
mau pulang. Terima kasih atas kunjungan kalian!"
Ketika hendak pergi, Stony Martin mencoba menyikut tengkuk Dinky. Tapi entah
bagaimana, tiba-tiba ia kehilangan keseimbangan dan jatuh berdebam.
"Oh, sorry!" ujar Mortimer sambil menarik kakinya yang terselonjor ke depan.
Dengan sopan ia mengembalikan topi Stony yang tergeletak di tanah. "Belum apaapa kok sudah mabuk udara?"
Begitu matahari menampakkan diri, angin kencang mulai bertiup dari arah timur,
persis seperti yang diramalkan oleh Henry. Beberapa peserta nampak kalang-kabut
Dengan susah payah mereka menjaga balon-balon mereka agar tidak terbawa angin.
Tapi dua kelompok bernasib buruk. Balon mereka terseret menyeberangi lapangan,
kemudian kandas di antara pohon-pohon.
"Nah, saingan kita sudah mulai berkurang," Henry menanggapi kejadian itu.
"Mereka takkan sanggup memperbaiki kerusakan sebelum pertandingan dimulai."
Setengah jam kemudian giliran kami mengunjungi Harmon Muldoon dan gang-nya,
untuk melihat bagaimana persiapan mereka. Ternyata mereka sedang mengalami
kesulitan. Harmon terpaksa melepaskan sejumlah gas untuk mencegah balonnya
terbawa angin. Tetapi beberapa pasak penahan sudah tercabut dari tanah. Ketika
kami sampai di sana, Harmon dan anak buahnya sedang berjuang melawan angin
kencang. Semuanya sibuk menarik tali pengikat untuk mendekatkan balon mereka ke
permukaan tanah. Si Bawang Hijau nampak terombang-ambing seperti sebuah perahu
yang dihantam badai di laut lepas.
"Kalau begini caranya, kalian takkan berhasil!" Henry berseru. "Kalian harus
menarik tali-tali itu satu per satu!"
Pada saat bersamaan, tiupan angin kencang mengangkat balon mereka. Dua rekan
Harmon terseret-seret, sehingga akhirnya harus melepaskan tali yang sedang
mereka genggam. Satu lagi pasak penahan tercabut dari tanah. Stony Martin,
dengan tali membelit lengan kirinya, terangkat dari tanah dan melayang-layang di
udara. Tinggal satu pasak yang masih menahan balon, namun pasak itu pun sudah
hampir tercabut. Stony menggantung sekitar dua meter di atas tanah. Kedua
kakinya menendang-nendang dengan liar.
Jeff Crocker segera bertindak. Ia melompat dengan sekuat tenaga dan berhasil
menangkap kaki Stony. Kedua anak itu jatuh ke rumput. Tapi sebelum mereka sempat
berdiri, si Bawang Hijau kembali terangkat oleh tiupan angin.
"Panggil Zeke! Suruh dia bawa truknya ke sini!" teriak Mortimer sambil mendorong
pundak Dinky. Ia dan Henry kemudian bergegas menuju pasak yang masih tertinggal.
Bersama-sama mereka lalu menindih pasak itu. Homer Snodgrass dan aku menangkap
seutas tali yang tergantung dari gondola, dan memperkokoh pijakan kaki.
Anak buah Harmon nampak terbengong-bengong. Tapi kemudian mereka segera membantu
kami. Semuanya berhasil meraih seutas tali, tapi sebuah balon udara yang
terjebak dalam angin kencang sama saja dengan seekor kuda liar. Hanya dengan
susah-payah kami mempertahankan posisi. Untung Dinky segera datang bersama Zeke
Boniface. Zeke menghentikan truknya tepat di bawah balon, melompat turun, lalu
menangkap seutas tali dengan tangannya yang mirip godam. Dengan sebelah kaki
Laron Pengisap Darah 3 Tiga Maha Besar Karya Khu Lung Kereta Berdarah 13

Cari Blog Ini