Monster Di Danau Strawberry Klub Ilmuwan Edan The Mad Scientists Club Karya Bertrand R. Brinley Bagian 3
tersangkut pada kemudi, ia mulai menarik balon berikut kami semua ke arahnya.
Kemudian ia mengikatkan ujung tali pada tiang kemudi, dan melompat ke bak truk
di mana ia mengikatkan tali kedua. Si Bawang Hijau tetap meronta-ronta, tetapi
gerakannya tertahan oleh mobil Zeke.
"Wah, terima kasih!" kata Harmon setelah balonnya berhasil diamankan dan tiupan
angin mulai melemah. "Tidak apa-apa," jawab Jeff. "Balon gas memang aneh. Suatu waktu dia hampir
tidak bisa dicegah untuk lepas-landas, tetapi sesaat kemudian dia tidak mau
mengudara sama sekali."
"Kami takkan mengalami kesulitan untuk menerbangkan balon kami!" teriak Stony
Martin dengan kesal. "Hah, lihat saja bagaimana nanti!" balas Freddy Muldoon sambil ngeloyor pergi.
Lima belas menit setelah matahari menampakkan diri di cakrawala, kami pun mulai
mengisikan gas ke dalam balon. Angin bertiup lembut, dan langit nampak cerah.
Kami masih punya waktu satu jam sampai aba-aba start dibunyikan. Seperti biasa,
Henry mengharuskan kami menjalankan pemeriksaan terakhir untuk setiap tahap
persiapan. Ia menyebutkan angka-angka yang merupakan kode bagi pekerjaan
tertentu, dan kami menyahut "Oke!" jika pekerjaan tersebut sudah ditangani.
Kedengarannya persis seperti countdown sebelum peluncuran roket.
"Inilah satu-satunya cara untuk memastikan bahwa tidak ada yang terlewat," Henry
menjelaskan. "Kalau ada banyak hal yang harus diingat, maka mudah sekali untuk
melupakan salah satu di antaranya. Tapi kalau setiap pekerjaan diberi nomor
urut, maka takkan ada kesulitan. Rasanya tidak mungkin kita lupa bahwa di antara
tiga dan lima ada angka empat."
Balon-balon udara panas juga mulai diisi, dan tidak lama kemudian lapangan
tempat start sudah menyerupai dunia impian yang penuh kain sutera berwarnawarni. Balon-balon dan tenda-tenda terlihat di mana-mana. Orang-orang
berdatangan dari segala penjuru untuk menyaksikan saat pemberangkatan. Dinky
Poore duduk di atas ranselnya dengan mata terbelalak.
"Hebat!" ia terkagum-kagum.
Tiba-tiba pengeras suara berkeresek dan seorang anggota panitia mulai memberi
petunjuk pada para peserta. Para penonton pun mulai gelisah, dan menuju ke
tengah-tengah lapangan. Sepertinya hampir setiap orang membawa kamera atau
teropong atau kedua-duanya. Beberapa orang bahkan memanjat ke atas tenda untuk
memasang kamera video. Tetapi mereka segera diusir oleh petugas keamanan.
Saat yang dinanti-nanti akhirnya tiba, setelah berangan-angan dan mempersiapkan
diri selama berminggu-minggu. Hanya beberapa menit memisahkan balon kami dari
penerbangan perdananya. Perutku mulai terasa tidak enak, dan aku melihat Henry
melepaskan kacamata lalu menggosok-gosoknya tanpa alasan sama sekali.
Walikota White Fork berdiri di atas panggung dan memperkenalkan Alonzo Scragg;
rekannya dari Mammoth Falls. Kemudian ia memanggil gadis-gadis yang merupakan
calon Ratu County Fair. Mereka masing-masing memberikan pidato singkat, kemudian
melemparkan bunga mawar pada pemimpin kelompok yang mensponsorinya. Jika
mawarnya jatuh ke tanah, maka itu diartikan sebagai pertanda buruk. Melissa
Plunkett, pacar Stony Martin, memberikan kata sambutan dengan lancar. Tetapi
lemparannya meleset, sehingga Harmon Muldoon terpaksa menjatuhkan diri agar
dapat menangkap bunga yang dilemparkan.
"Satu hal harus diakui, dalam hal memilih pacar, Stony memang hebat," Mortimer
Dalrymple mendesah. "Melissa benar-benar cantik sekali!"
"Ah, giginya tonggos, kok," Dinky Poore berkomentar.
Ketika nama Daphne Muldoon dipanggil, kami segera bersuit-suit dan bersoraksorai. Daphne memberi ciuman jarak jauh pada Homer sebelum melemparkan bunganya,
dan Homer masih berdiri dengan wajah merah ketika kami mulai mempersiapkan
penerbangan balon kami. Dinky, Henry, dan aku memanjat ke dalam gondola. Yang lain mulai memeriksa talitali pengikat. Peraturan pertandingan mengharuskan empat buah tali tetap terikat
sampai aba-aba start dibunyikan. Dengan gelisah Henry meraba-raba mekanisme
pelepas dan mengamati alat pengukur tekanan gas. Jeff Crocker memandang ke arah
tenda panitia sambil mengangkat tangan kanan.
Kami melihat bendera kotak-kotak dikibaskan. Gumpalan asap muncul dari tenda
panitia, diikuti oleh suara tembakan pistol. Tapi bunyinya tidak seberapa keras.
Kami belum percaya bahwa pertandingan dimulai, sampai kami mendengar sorak-sorai
para penonton dan melihat sebuah balon mulai mengangkasa.
"Lepaskan tali pengikat!" teriak Jeff sambil melompat mundur dari gondola.
Kami segera mengikuti perintahnya. Balon kami naik beberapa puluh sentimeter,
lalu oleng dan mulai berputar berlawanan arah jarum jam. Ternyata kami masih
tertahan oleh seutas tali, dan Dinky Poore sedang berusaha keras untuk
melepaskannya. Aku mengulurkan tangan dan mencoba membantu, tetapi alat
pelepasnya bengkok dan tidak bergerak sama sekali. Dari sudut mata aku melihat
Zeke Boniface melompat maju. Pisau belati di tangannya nampak berkilau-kilau.
Dengan sekali sayat ia berhasil memotong tali pengikat terakhir. Balon kami
langsung menanjak dan mulai terbawa angin. Perjalanan telah dimulai.
Henry duduk di lantai gondola. Pandangannya beralih-alih dari jam tangan yang ia
pakai ke alat pengukur ketinggian. Kemudian ia menatap alat pengukur tekanan
gas, lalu mendongak menatap balon kami. Dinky dan aku bersandar pada tepi
gondola. Sambil tersenyum lebar kami melambaikan tangan pada teman-teman di
bawah, yang semakin lama semakin kelihatan kecil.
Tiba-tiba gondola mulai terguncang-guncang dengan hebat. Sebuah balon besar
berwarna jingga muncul dari bawah, dan sekali lagi menabrak kami. Setelah itu
balonnya naik secara tegak lurus.
"Uh, hampir saja!" Henry mendesah sambil mengamati balon yang kini telah berada
di atas kami. "Hmm, mereka naik terlalu cepat. Sebentar lagi mereka harus
melepaskan gas dari selubung kalau tidak mau kehilangan kontrol"
Sejauh ini kami tidak punya waktu untuk memperhatikan balon Harmon, si Bawang
Hijau. Langit di sekitar kami penuh dengan balon-balon. Ada yang naik secara
perlahan-lahan, ada yang mengangkasa secepat roket, tapi ada juga yang masih
tertahan di tanah. Gondola kami kembali terayun-ayun dengan hebat, ketika tiupan angin kencang
mulai mendorong balon kami. Dua balon yang belum sempat mengudara ikut
terperangkap dalam tiupan angin. Mereka terseret-seret melintasi ladang, dan
akhirnya kandas di tepi hutan. Salah satunya langsung mengempis, dan kami
menyaksikannya terkoyak-koyak.
Dinky dan aku memandang ke segala arah. Sebenarnya kami bermaksud mencari si
Bawang Hijau, tetapi terlalu banyak yang terjadi secara bersamaan di sekitar
kami. Balon jingga tadi telah berada jauh di atas kami, dan kini sedang melayang
ke arah Mammoth Falls dengan kecepatan yang relatif tinggi. Balon itu sudah satu
kilometer di depan kami. Henry segera menudingnya.
"Mereka sudah memasuki lapisan udara yang kita tuju," ia berkata. "Tapi mereka
masih naik terlalu cepat. Tunggu saja, sebentar lagi mereka akan menembus batas
atas dari lapisan udara itu."
Aku mengarahkan teropong pada balon itu dan melihat awaknya saling menepuk
punggung. Mereka menyangka bahwa mereka telah berhasil. Namun ramalan Henry
kembali terbukti tepat. Balon jingga itu terus naik sampai hanya terlihat
sebagai bintik hitam di langit Dan balonnya nampak berhenti di tempat. Kami
melintas tepat di bawahnya, ketika balon kami memasuki lapisan udara berangin
kencang dan mulai meluncur ke Mammoth Falls. Tiba-tiba balon jingga tadi mulai
turun dengan cepat. "Mereka terlalu banyak melepaskan gas!" kata Henry. "Dan terlalu cepat!
Seharusnya awak itu tetap tenang dan jangan panik karena balon mereka naik
terlalu cepat. Katup untuk melepaskan gas harus diputar secara perlahan-lahan.
Kalau begitu caranya, mereka mungkin akan membentur permukaan tanah."
Memang, balon jingga itu semakin cepat mendekati tanah. Gondolanya terguncangguncang dengan hebat ketika melewati lapisan udara berangin kencang. Kami sempat
melihat awak balon itu melemparkan kantong-kantong pasir ke bawah.
"Balon itu takkan sampai di Mammoth Falls," Henry berkomentar. "Mereka terlalu
banyak membuang beban untuk mengurangi kecepatan, padahal mereka masih
membutuhkannya nanti."
Balon jingga itu akhirnya berhenti jauh di bawah kami. Kemudian ia naik lagi,
tapi hanya sekitar tiga puluh meter. Perlahan-lahan balonnya mulai bergerak ke
arah barat. Pada waktu itu kami sudah dua atau tiga kilometer di depannya, dan
kami bergerak maju dengan sangat cepat.
"Tamatlah riwayat mereka," kata Henry. "Kecuali kalau mereka masih punya banyak
kantong pemberat yang bisa dilempar ke luar, mereka takkan sanggup mencapai
ketinggian yang cukup untuk melewati bukit-bukit di sekitar Danau Strawberry."
Kini tinggal sepuluh balon yang masih bertahan. Yang lainnya mungkin sudah
terpaksa mendarat, atau tertinggal begitu jauh sehingga tidak lagi perlu
dianggap sebagai saingan. Aku akhirnya menemukan si Bawang Hijau jauh di sebelah
selatan, pada ketinggian yang kurang lebih sama dengan balon kami. Rupanya
Harmon dan anak buahnya juga berhasil masuk ke dalam lapisan udara berangin
kencang. Ada satu hal yang membuat perjalanan naik balon begitu unik. Jika kalian tidak
melihat ke bawah, kalian takkan tahu bahwa kalian sedang bergerak. Sebuah balon
akan terbang ke mana pun angin meniupnya. Dan karena kalian bergerak searah
angin, maka tak ada angin yang menerpa wajah kalian. Semuanya begitu tenang,
sehingga kalian kadang-kadang merasa seperti mengambang di langit tanpa bergerak
maju. Tentu saja urusannya sedikit berbeda kalau kalian terperangkap dalam arus
angin naik atau turun, atau jika balon kalian dipermainkan oleh angin badai.
Tapi, dalam cuaca cerah kalian bisa terbang di atas sekawanan sapi yang sedang
merumput, dan mereka sama sekali tidak mengetahui kehadiran kalian.
Dinky sedang mengagumi pemandangan di sekitar kami sambil menyandarkan dagu pada
tepi gondola. Suasana di dalam sebuah balon udara memang tidak mencerminkan
suasana hiruk-pikuk yang biasa terjadi pada setiap pertandingan. Aku memberitahu
posisi si Bawang Hijau pada Henry. Ia melirik jam tangannya, kemudian memeriksa
peta yang ia pasang pada sepotong papan.
"Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, maka kita bisa mencapai tempat finish
dalam waktu kurang dari dua jam," katanya. "Ujian paling berat adalah di sekitar
Danau Strawberry, di mana kita harus melewati bukit-bukit yang mengelilingi
danau. Kalau balon Harmon masih ada di udara nanti, maka perlombaannya akan
berakhir secara menarik."
Sesaat kemudian kami dihubungi oleh Jeff. Ia bertanya apakah kami dapat melihat
si Bawang Hijau, dan kami memberitahunya bahwa balon itu berada di sebelah
selatan kami. Di sebelah utara, pada jalan utama antara White Fork dan Mammoth
Falls, kami melihat iring-iringan mobil yang sedang menuju ke tempat finish.
Dengan bantuan teropong, aku menemukan truk milik Zeke Boniface. Konvoi
kendaraan dipimpin oleh sejumlah sepeda motor, dan semua calon Ratu County Fair
duduk dalam mobil terbuka. Tapi aku tidak bisa memastikan yang mana Daphne
Muldoon. Radio kami kembali berkeresek, dan ternyata suara Jeff lagi yang terdengar. Ia
mengatakan bahwa ia sudah bisa melihat kami. Ia juga mengingatkan bahwa jika
tidak ada balon yang bisa mendarat tepat di tempat finish, maka yang akan
dipilih sebagai pemenang adalah awak balon yang pertama-tama sampai dengan
berlari. Tiba-tiba terdengar suara lain, suara Harmon Muldoon. "Kalau kalian mau lari,
maka sebaiknya kalian mulai dari sekarang saja. Soalnya kami akan mendarat tepat
di depan meja juri!"
Kami menoleh ke arah si Bawang Hijau, dan melihat bahwa balon itu kini sudah
berada di dekat balon kami. Sosok Harmon, Stony Martin, dan Buzzy McCauliffe
kelihatan jelas. Dinky Poore mulai melompat-lompat sambil membalas ejekan lawan kami. Henry
terpaksa menyuruhnya diam, agar gondola kami tidak terlalu bergoyang-goyang.
Tetapi beberapa saat setelah itu Dinky nyaris kehilangan seluruh semangatnya.
Kami terbang di bawah segumpal awan hitam yang besar sekali. Balon kami
diombang-ambingkan oleh hujan badai. Guncangan-guncangan hebat membuat wajah
Dinky jadi pucat-pasi. Kali ini ia sungguh-sungguh harus bergelantungan pada
tepi gondola, sementara aku memegangi kakinya. Kami semua basah-kuyup. Dinky
duduk di tengah genangan air di lantai gondola, sambil bergumam mengenai segala
hal yang akan ia kerjakan seandainya kami bisa mendarat dengan selamat.
Ketika akhirnya berhasil keluar dari bayangan awan hitam tadi, ternyata kami
hanya kehilangan sedikit ketinggian. Selebihnya tidak ada kerusakan. Henry
memeriksa alat pengukur ketinggian dan alat pengukur tekanan gas, lalu
memutuskan untuk melepaskan sedikit gas ke dalam balon.
"Pelan-pelan!" Dinky berkata dengan cemas. "Aku tidak mau mengalami nasib yang
sama dengan awak balon jingga tadi!"
Setelah kembali berada pada lapisan udara berangin kencang, Henry menyuruh Dinky
mengawasi alat pengukur ketinggian.
"Kita bakal naik lagi setelah balon mengering," ia berkata. "Berarti kita harus
bersiap-siap untuk memompa kelebihan gas yang ada dalam balon kembali ke dalam
tangki." Henry mulai mengamati saingan-saingan yang masih tersisa. Hanya tiga balon yang
kelihatan. Salah satunya adalah si Bawang Hijau. Balon Harmon Muldoon itu berada
jauh di depan kami dan sedang menuju ke perbukitan di sebelah timur Danau
Strawberry. Rupanya Harmon berhasil menghindari badai hujan tadi. Kedua balon
lainnya berada lebih dekat ke balon kami, tapi juga lebih rendah. Keduanya
bergerak lebih lamban dibandingkan kami. Yang satu berwarna merah-putih-biru,
sedangkan yang satu lagi mirip seekor ulat hijau. Kalau masih ada peserta lain,
maka balon mereka sudah tertinggal terlalu jauh untuk ikut memperebutkan tempat
pertama. "Balon yang mirip ulat itu akan beruntung sekali kalau berhasil melewati bukitbukit di depan," kata Henry. "Dia terus kehilangan ketinggian sejak start, dan
aku yakin awaknya sudah membuang seluruh beban yang mereka bawa. Aku sempat
melihat mereka membuang kantong-kantong pasir sebelum kita terperangkap dalam
badai hujan." "Bagaimana dengan si Bawang Hijau?" aku bertanya. "Kelihatannya dia berada
sekitar dua kilometer di depan kita."
"Aku punya ide!" jawab Henry sambil mencoret-coret bagian belakang papan peta.
"Ya, rasanya bisa berhasil. Kalau arus udara bergerak seperti yang kuperkirakan,
maka kita bisa menyusul si Bawang Hijau di atas Danau Strawberry."
"Mudah-mudahan saja perkiraanmu tidak meleset," aku menanggapinya. "Soalnya,
dengan posisi seperti sekarang, kita tidak punya harapan untuk menang."
"Pokoknya kita akan berjuang sampai detik terakhir!" Dinky berseru. Sinar
matahari dan udara segar telah membuat semangatnya pulih kembali.
"Hidupkan kompresor!" kata Henry. "Sebagian gas di dalam balon harus dipompa
kembali ke dalam tangki."
Aku segera menyalakan kompresor, kemudian memutar katup pada tangki.
"Perhatikan si Bawang Hijau kalau dia sudah mencapai bukit-bukit di sebelah sini
danau," ujar Henry. "Punggung bukit itu menimbulkan arus udara yang bergerak
naik. Dan kalau arus itu bertemu dengan udara hangat yang naik dari danau, maka
hasilnya adalah apa yang dinamakan efek corong. Jika si Bawang Hijau mencoba
melewati bukit pada ketinggiannya sekarang, maka dia bisa dibawa naik sampai
tiga ribu meter. Kita bisa memanfaatkan hal ini untuk menyelinap di bawahnya dan
memenangkan perlombaan."
"Aku tidak tahu apa rencanamu, tapi aku harap perkiraanmu tidak meleset!" aku
berkata cemas. "Serahkan saja semuanya pada Henry!" Dinky berseru.
"Semuanya tergantung pada seberapa cepat kita bisa memompa gas keluar-masuk dari
balon untuk mengubah daya angkat balon kita," Henry menjelaskan. "Kita harus
keluar dari lapisan udara berangin kencang sebelum mencapai bukit-bukit itu.
Kalau kita beruntung, maka arus udara ke atas akan mengangkat kita melewati
punggung bukit. Setelah itu kita harus segera mengisi gas ke dalam balon, supaya
kita jangan sampai turun terus dan tercebur ke danau."
"Mudah-mudahan kau tahu apa yang akan kaulakukan," kataku, sebab aku sama sekali
tidak memahami rencana Henry.
"Oh, Yang Mahabesar, pimpinlah kami menuju kemenangan!" Dinky berdoa dengan
sungguh-sungguh. Si Bawang Hijau kini mendekati bukit-bukit. Balon Harmon itu berada sekitar satu
kilometer di depan kami. Ia nampak gagah sekali. Tapi sekali lagi ramalan Henry
terbukti tepat. Ketika sudah hampir melewati punggung bukit, si Bawang Hijau
tiba-tiba terangkat dan mulai naik dengan cepat.
"Nah, si Bawang Hijau mulai merasakan pengaruh efek corong!" Henry berseru.
"Hidupkan kompresor, Charlie. Kita harus turun sekitar 250 meter lagi."
Kompresor kembali bekerja, dan tidak lama kemudian kami telah keluar dari
lapisan udara berangin kencang. Diam-diam aku mulai meragukan rencana Henry.
Balon kami memang masih bergerak maju. Tapi kalau tetap turun dengan kecepatan
seperti ini, maka kami pasti akan menabrak bukit.
"Jangan mabuk dulu, Dinky!" Henry memperingatkannya. "Kita masih membutuhkan
seluruh beban yang ada."
Di sebelah kiri bawah kami melihat balon yang mirip ulat. Balon itu telah
menabrak lereng bukit. Gondolanya terseret ke dalam selokan dan berhenti.
Awaknya nampak sibuk membuang beban agar balon mereka mengudara lagi. Nasib
Monster Di Danau Strawberry Klub Ilmuwan Edan The Mad Scientists Club Karya Bertrand R. Brinley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
balon berwarna merah-putih-biru tidak jauh berbeda. Balon itu memang berhasil
mencapai arus udara naik, tetapi semuanya sudah terlambat. Gondolanya membentur
lereng bukit, dan balonnya tersangkut pada pohon-pohon.
"Perlombaan sudah berakhir bagi mereka!" Henry berkomentar. "Matikan kompresor,
Charlie, dan berdoalah."
Aku melaksanakan perintah Henry, lalu bersiap-siap untuk membuka katup tangki
agar gasnya dapat kembali ke dalam balon. Dalam beberapa detik kami berhenti
kehilangan ketinggian. Tapi kini balon kami menuju tepat ke lereng bukit. Untuk
sesaat aku merasa pasti bahwa kami akan kandas. Dinky Poore duduk dengan mata
terbelalak. Wajahnya nampak pucat pasi. Barangkali wajahku juga begitu, hanya
saja aku tidak dapat melihatnya. Henry berdiri sambil bersandar pada tepi
gondola. Dengan kening berkerut ia menatap lereng bukit yang semakin mendekat.
Aku mendapat kesan bahwa ia sedang menghitung tanpa bersuara. Sikapnya seperti
ilmuwan sejati. Satu-satunya hal yang ia pikirkan adalah hasil dari eksperimen
yang sedang kami jalankan.
Tiba-tiba kami merasakan arus udara hangat menerpa wajah kami. Kami begitu dekat
ke lereng bukit, sehingga kami bisa melompat ke luar seandainya perlu. Gondola
kami terguncang dengan hebat ketika balon berubah arah dan mulai naik lagi. Kami
telah berada di arus angin yang dibicarakan Henry tadi.
"Tambah gas sedikit, Charlie!" Henry berseru, dan aku membuka katup selama
beberapa detik, "Cukup! Sekarang tutup lagi!"
Kami naik dengan cepat, dan terbang tepat di atas puncak pepohonan. Kedua mata
Dinky kembali dalam keadaan normal, dan kami semua mendesah lega.
"Kita harus berhati-hati kalau sudah sampai di puncak," ujar Henry. "Lerengnya
jauh lebih terjal di sana, dan kita tidak boleh terperangkap dalam arus udara
ini. Kita harus berusaha untuk melewati puncak serendah mungkin."
Sementara itu si Bawang Hijau masih terus menanjak. Harmon dan anak buahnya
terjebak dalam arus udara yang naik dari sisi timur danau. Tapi kami tidak punya
waktu untuk memperhatikan mereka. Kami terlalu sibuk menyelamatkan diri sendiri.
Kira-kira tigapuluh meter menjelang puncak bukit, kami tiba-tiba turun secara
tak terduga. Rasanya seperti berada dalam lift berkecepatan tinggi yang mendadak
berhenti. "Gawat!" Henry berteriak, "Kita akan..." Suara benturan yang timbul karena
gondola kami menabrak lereng memotong seruan Henry. Balon kami terpantul,
terombang-ambing sejenak, lalu tiba-tiba turun lagi dan kembali menabrak lereng
bukit. Henry segera mencengkeram bahu Dinky.
"Kau harus melompat ke luar!" ia berseru. Tanpa berpikir panjang Dinky melompat,
lalu berusaha agar tidak merosot menuruni lereng. Balon kami naik beberapa meter
dan terkatung-katung di udara selama beberapa detik. Henry mengambil gulungan
tangga tali, lalu melemparkannya ke arah Dinky.
"Tangkap dan lari ke atas bukit!" ia berseru. Dinky meraih salah satu pijakan
kaki pada tangga tali, menjepitnya di bawah lengan, kemudian berlari ke arah
puncak bukit sambil menghindari batu-batu dan semak-semak. Balon kami mengambang
di atas kepalanya-persis seperti payung raksasa. Henry melepaskan kacamata dan
mulai menggosok-gosoknya secara sistematik.
"Kelihatannya kita berhasil!" katanya sambil kembali mengenakan kacamata.
Kemudian ia menarik tangga tali sampai kencang, dan berseru pada Dinky, "Pasang
tangga tali melingkar pada pinggangmu, lalu bersiap-siap untuk memanjat ke atas
setelah kuberi aba-aba!"
Dinky segera melaksanakan perintah Henry.
"Tambah gas lagi, Charlie, tapi jangan terlalu banyak," Henry berkata padaku.
Aku membuka katup dan membiarkan sejumlah gas masuk ke dalam balon. Seketika
balon kami mulai terangkat. Kami telah melewati punggung bukit, dan dapat
melihat Danau Strawberry di seberang bukit berikutnya. Dinky memanjat naik
seperti seekor tupai, dan kami membantunya masuk ke dalam gondola. Dalam waktu
singkat kami telah berada dalam lapisan udara berangin kencang. Kami berhasil
melewati punggung bukit tanpa terjebak dalam arus udara naik, dan kini tinggal
menuju ke tempat finish. Baru sekarang kami punya waktu untuk melihat bagaimana nasib si Bawang Hijau.
Balon itu hanya terlihat sebagai bintik hitam di langit. Sepertinya ia belum
bertambah dekat ke Mammoth Falls. Sementara kami sibuk melewati punggung bukit,
si Bawang Hijau ternyata terus naik secara tegak lurus. Jika angin tidak berubah
arah, maka kami pasti lebih dulu sampai di tempat finish. Tiba-tiba bintik kecil
di langit itu mulai membesar. Rupanya si Bawang Hijau telah keluar dari arus
udara naik, dan kini mendekati permukaan bumi seperti seekor merpati yang
terluka. Henry merebut teropong dari tanganku, lalu mengarahkannya pada balon
yang sedang turun itu. "Mereka sedang mengalami kesulitan," ia berkata setelah memantau keadaan untuk
beberapa saat. "Selubung balon mereka kelihatan keriput. Itu berarti Harmon
terlalu banyak melepaskan gas. Wah, itu kesalahan fatal! Kalau kita terjebak
dalam arus udara naik, maka satu-satunya hal yang dapat dilakukan adalah
menunggu. Kalau kita melepaskan gas, maka balonnya akan kehilangan daya angkat.
Itu sangat berbahaya kalau arus udara naik yang mendorong balon kita tiba-tiba
terhenti." "Apa yang akan terjadi sekarang?" tanya Dinky.
"Mula-mula mereka akan jatuh bebas. Tapi setelah beberapa saat kecepatan mereka
akan berkurang. Soalnya semakin jauh mereka jatuh, udara pun akan semakin padat.
Tapi melihat kecepatan mereka sekarang, mereka pasti akan tercebur ke danau!"
Henry segera memanggil Jeff Crocker lewat radio, lalu menyuruhnya menghubungi
polisi perairan. "Katakan bahwa mereka mungkin harus melancarkan operasi
penyelamatan," Henry berpesan pada Jeff.
"Hidupkan kompresor lagi," ia lalu berkata padaku. "Kita akan turun sampai
mendekati permukaan air. Kalau kita beruntung, kita mungkin bisa menolong
mereka." "Ah, biarkan saja!" Dinky berseru. "Kita harus memenangkan perlombaan ini."
"Barangkali tahun ini tidak perlu ada pemenang," kata Henry. "Tolong ambilkan
bungkusan berisi jaket pelampung. Harmon dan yang lain pasti akan
membutuhkannya." Pandangan kami tetap tertuju pada si Bawang Hijau ketika kami
mengambang di atas permukaan air. Harmon dan anak buahnya nampak sibuk membuang
segala macam barang untuk mengurangi beban. Baju, sepatu dan kaus kaki, dan
bahkan celana dilempar ke luar, lalu jatuh ke danau. Tapi semuanya sia-sia saja.
Si Bawang Hijau tetap tercebur seperti bebek mati.
Kekuatan benturan membalikkan gondola mereka, dan Stony Martin serta Buzzy
McCauliffe terlempar ke luar. Harmon Muldoon masih berpegangan erat-erat dan
ikut terseret oleh angin, sampai beban gondola yang telah tenggelam akhirnya
menghentikan laju balonnya. Kami menuju tepat ke arahnya ketika aku mematikan
kompresor, dan balon kami mengambang kira-kira 15 meter di atas permukaan danau.
"Lemparkan jaket pelampung!" Henry berseru.
Dua jaket pelampung jatuh sekitar 50 meter dari tempat Stony Martin dan Buzzy
McCauliffe terkatung-katung di air. Mereka langsung mulai berenang ke arah itu.
Kemudian Henry melemparkan tangga tali ke bawah.
"Bersiap-siaplah untuk melepaskan gas ke dalam balon," ia berkata padaku.
"Segera buka katup kalau aku memberi aba-aba. Kita akan mencoba menyelamatkan
Harmon, dan sampai dia terangkat dari air, beban tambahannya cukup besar."
Henry lalu berseru pada Harmon untuk berenang mendekati tangga tali. Jarak
antara kami dengan dia sekitar 150 meter. Harmon masih berpegangan pada balonnya
yang kini hampir kempis sama sekali. Ia hanya punya satu kesempatan untuk meraih
tangga tali yang terulur ke dalam air. Jika gagal, kami tak mungkin berbalik
untuk mencobanya sekali lagi.
Selama menit berikut kami bertiga berdoa dalam hati, sementara Harmon berenang
mendekati ujung tangga tali. Ia terpaksa mengerahkan seluruh tenaganya, tapi
akhirnya berhasil meraih pijakan kaki paling bawah. Balon kami langsung tertarik
ke bawah, dan aku membuka katup gas tanpa menunggu aba-aba dari Henry. Pada saat
itu gondola kami hanya tiga meter di atas permukaan air. Balon kami terguncang
hebat, lalu mulai menanjak. Serta-merta Harmon tertarik keluar dari air.
"Bagus, Charlie!" Henry memuji. "Tahan, Harmon! Kami akan menurunkanmu di tepi
danau!" Kami melihat salah satu perahu motor berangkat dari dermaga untuk menjemput
Stony dan Buzzy. Sementara Harmon terus berpegangan erat-erat, ketika balon kami
terbang mendekati daratan. Waktu mencapai tepi danau sebelah barat, Henry segera
memotong tangga tali dan Harmon melompat ke pasir. Setangkap roti jatuh tepat di
sebelahnya. "Lumayan, daripada tidak makan siang sama sekali!" teriak Dinky sambil nyengir
lebar. Balon kami naik dengan cepat. Dalam sekejap kami telah berada di atas pepohonan.
Lapangan tempat finish terlihat jelas di hadapan kami. Henry dan aku menoleh ke
belakang untuk melihat apakah ada peserta yang masih bertahan. Kami menemukan
tiga balon, tetapi semuanya masih berada di balik punggung bukit. Kecuali kalau
langit mendadak runtuh, tak ada yang dapat merebut kemenangan dari tangan kami.
Begitu melewati punggung bukit terakhir, kami mulai memompa gas dari balon ke
dalam tangki. Perlahan-lahan kami bergerak turun sampai ketinggian tiga meter di
atas tanah. Langsung saja kami melemparkan tali pengikat, dan sekitar seratus
orang berebutan untuk menarik kami sampai ke depan tenda panitia.
Marching band sudah mulai bermain sejak kami masih berada di atas danau.
Permainan mereka diiringi sorak-sorai para penonton dan bunyi petasan.
Kebisingannya benar-benar memekakkan telinga. Balon kami ditarik ke segala arah
secara bersamaan, sehingga gondolanya terombang-ambing dengan hebat. Aku melirik
ke arah Dinky dan melihat bahwa ia mulai mabuk udara lagi. Tidak lama kemudian
ia telah menyelinap ke luar, lalu menghilang di antara orang-orang yang
mengelilingi kami. Akhirnya Chief Putney dan Sersan Billy Dahr berhasil membelah
kerumunan massa. Mereka lalu mengawal kami menuju tenda panitia.
Alonzo Scragg sedang melambai-lambaikan topi sambil tersenyum riang. Daphne
Muldoon berdiri di sampingnya. Ia nampak tersipu-sipu dan berusaha untuk tidak
ketawa cekikikan ketika Pak Walikota memasang mahkota di atas kepalanya.
Setelah rangkaian pidato berakhir, kami mulai mencari Dinky Poore. Akhirnya kami
menemukannya sedang duduk di bak truk Zeke Boniface. Ia sedang diwawancarai oleh
beberapa wartawan dari harian Gazette. Salah satu dari mereka bertanya apakah
Dinky ingin jadi astronot setelah dewasa, tapi Dinky segera menggelengkan
kepala. "Tidak!" katanya. "Aku lebih tertarik jadi insinyur kereta api, atau bintang
film." "Sepertinya ada yang tidak beres dengan dia," Freddy Muldoon berkomentar sambil
melirik ke arah Dinky. "Aku terpaksa menghabiskan makan siangnya. Dia bahkan
tidak mau menyentuh milk shake yang sudah kusediakan!"
6. Hantu-hantu Penghuni Istana Harkness
DINKY POORE mengerutkan alis dan menyipitkan mata agar dapat melihat lebih
jelas. Ia menunjuk ke arah jalan yang menuju puncak Blueberry Hill.
"Hei, itu kan si Harmon" Sepertinya dia sedang melempar batu ke rumah Pak
Harkness" Tuh, lihat! Dia dikelilingi beberapa anak perempuan!"
Freddy Muldoon menggunakan sebelah tangan untuk melindungi matanya dari sinar
matahari, lalu memandang ke arah yang ditunjuk Dinky. Atap serta cerobong asap
rumah kosong di hadapan mereka nampak jelas. Freddy melihat sepupunya, Harmon,
serta sejumlah gadis berdiri di depan rumah tua, yang di kalangan penduduk
Mammoth Falls lebih dikenal sebagai Istana Harkness. Dan pengamatan Dinky
ternyata benar. Harmon memang sedang melempar batu ke teras, serta mengacungkan
tinju pada dinding-dinding yang membisu.
"Yeah, itu memang sepupuku," ujar Freddy. "Entah apa lagi yang dilakukan anak
sinting itu. Coba kita mendekat lewat hutan, supaya kita bisa mengintai mereka."
Langsung saja Freddy dan Dinky memanjat lewat tembok pembatas di tepi jalan.
Mereka menyusup ke hutan, dan mengambil jalan melingkar untuk mencapai bagian
belakang rumah tua yang dibiarkan kosong sejak Simon Harkness meninggal sepuluh
tahun yang lalu. Menurut cerita orang-orang, Pak Harkness tua pada masa hidupnya merupakan
seorang pria yang tidak menyenangkan. Dia hanya merasa gembira kalau bisa
menimbulkan kesulitan bagi orang lain. Tidak mengherankan jika ia tidak disukai
oleh tetangga-tetangganya. Tapi karena uangnya banyak, maka orang-orang tidak
pernah menunjukkan ketidaksenangan mereka.
Bahkan setelah meninggal pun Pak Harkness masih bisa menimbulkan masalah. Tak
ada yang dapat mengartikan surat wasiatnya, dan hal ini mengakibatkan saudarasaudaranya terus bertengkar mengenai warisan yang seharusnya mereka terima.
Karena itulah rumahnya di Blueberry Hill tetap kosong, dan semakin lama semakin
tak terurus. Di musim panas, penduduk-penduduk Mammoth Falls sering berpiknik di pekarangan
Istana Harkness. Dan jika para orangtua sedang asyik mengobrol, maka anak-anak
akan menyelinap ke dalam rumah yang kosong itu, dan bermain-main di kamarkamarnya yang besar dan penuh debu. Di musim dingin, Istana Harkness hampir
tidak pernah didatangi orang. Seharusnya, Sersan Billy Dahr seminggu sekali
pergi ke sana untuk memeriksa keadaan. Tapi ia tidak mungkin mengawasi rumah itu
secara terus-menerus, sehingga lama-kelamaan segala macam barang hilang dicuri
orang. Ketika Dinky dan Freddy sampai di bagian belakang rumah, mereka menembus semaksemak sambil merangkak untuk mengintip melalui celah-celah pagar yang
mengelilingi pekarangan. Mereka melihat Harmon, saudara perempuannya, Daphne,
serta tiga gadis lain berdiri di tengah rumput setinggi lutut. Waktu Pak
Harkness masih hidup, pekarangan rumahnya merupakan pekarangan yang paling
terpelihara di seluruh Mammoth Falls.
Harmon sedang melemparkan sebongkah batu ke arah jendela di lantai dua. Tapi
lemparannya kurang jauh, sehingga batu itu jatuh ke atap teras. Harmon lalu
mengacungkan tinjunya, dan berseru, "Ayo, keluar kalau berani, dasar hantu tua
tak tahu diri!" Kemudian ia membalik dan nyengir lebar, sementara anak-anak gadis memekik sambil
berlagak ketakutan. "Tukang pamer!" Dinky menggerutu dengan kesal.
"Memang!" Freddy menanggapinya.
Harmon kembali melempar batu. Yang ini membentur dinding kayu dan terpental ke
rumput. Kemudian Harmon berlari ke teras, melompat-lompat beberapa kali sambil
mengayun-ayunkan tangannya dengan liar, lalu sekali lagi berteriak di hadapan
jendela yang ditutupi papan-papan kayu.
"Dasar sinting!" Freddy berkomentar.
"Memang," Dinky menanggapinya.
"Sudah, Harmon! Jangan macam-macam, deh!" salah seorang gadis berseru.
"Bagaimana kalau ada apa-apa nanti?"
"Ah, masa begini saja kalian sudah ketakutan?" balas Harmon.
Kemudian, sekadar untuk memamerkan keberaniannya, Harmon berlari ke pintu masuk
dan menendangnya dengan keras. Kelihatan jelas bahwa tendangan itu membuat
jempol kakinya terasa sakit. Sebuah genteng terlepas dari atap utama, jatuh
menerpa atap teras, dan pecah berantakan. Harmon segera membalik dan berusaha
kabur. Tapi karena terlalu terburu-buru, ia tidak memperhatikan langkahnya. Ia
menginjak papan lantai yang telah keropos dimakan rayap, lalu jatuh terjerembab.
Lutut kanannya lecet. Tapi Harmon bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa dan
sekali lagi mengacungkan tinju. Namun kali ini ia tidak berani membelakangi
rumah tua itu. Para gadis menjerit dan ketawa cekikikan, dan salah seorang dari mereka mengajak
yang lainnya pergi. "Oke!" ujar Harmon. "Kalau kalian memang benar-benar ketakutan, kita akan
kembali ke kota saja. Tapi nanti malam aku mau ke sini lagi."
"Bagaimana pendapatmu, Dinky?" tanya Freddy Muldoon sambil berbisik.
"Dasar pembual!" jawab Dinky Poore.
"Sejak dulu aku memang sudah ingin main hantu-hantuan di sebuah rumah kosong!"
kata Henry Mulligan setelah Freddy dan Dinky menceritakan kejadian di Istana
Harkness. Kami sedang berkumpul di markas kami di gudang jerami Jeff Crocker.
Henry menyandarkan kursinya pada dinding, lalu menatap tumpukan kayu di pojok
ruangan. Itu tandanya ia sedang berpikir. Kami semua tidak membuka mulut sampai
Henry kembali duduk tegak.
"Nah, bagaimana?" tanya Jeff, yang menghabiskan waktu dengan membuat peluit dari
sepotong ranting dedalu, sementara Henry sedang berpikir.
"Homer Snodgrass yang paling kurus di antara kita, bukan?" tanya Henry.
Semuanya sependapat bahwa Homer yang paling kurus, kecuali Homer sendiri, yang
kebetulan tidak hadir pada pertemuan kali ini.
"Aku rasa dia bisa berperan sebagai tengkorak hidup!" kata Henry. Dan itulah
asal mula keterlibatan perkumpulan kami dalam misteri Istana Harkness. Sorenya,
sebelum matahari terbenam, kami telah memindahkan setengah dari peralatan kami
dari markas ke rumah tua itu. Kemudian kami membereskannya untuk membuat suasana
senyaman mungkin bagi Homer, yang akan bermalam di sana.
Istana Harkness memang cocok sekali untuk bermain hantu-hantuan. Bangunan itu
didirikan sekitar satu abad yang lalu. Pada waktu itu semua kamar berukuran
besar, dan hampir di setiap pojok ada perapian dan cerobong asap. Belakangan
keluarga Harkness memasang sistem pemanas sentral. Tungku pembakarannya
berukuran besar, dan memenuhi hampir seluruh ruang bawah tanah. Saluran udara
Monster Di Danau Strawberry Klub Ilmuwan Edan The Mad Scientists Club Karya Bertrand R. Brinley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
panas yang menyebar ke segala arah mirip lengan cumi-cumi raksasa. Saluransaluran itu menembus lantai dan dinding, dan berhubungan dengan semua kamar.
Ukurannya cukup besar untuk dilewati sambil merangkak. Rumah itu juga dilengkapi
dengan lemari-lemari rahasia yang tersembunyi dalam dinding. Dan di dapur ada
cerobong berisi alat pengerek yang berhubungan dengan kamar-kamar tidur di
lantai tiga. "Wah, tempat ini memang cocok untuk hantu!" kata Jeff Crocker setelah kami
memeriksa Istana Harkness dari atas sampai ke bawah.
"Kita akan memberikan sambutan hangat untuk Harmon kalau dia datang nanti
malam," ujar Henry Mulligan. Kemudian ia mulai mengatur langkah-langkah
persiapan. Ketika malam tiba, pekerjaan kami sudah hampir rampung. Dinky Poore duduk di
sebuah kursi yang kami gantungkan di dalam cerobong asap utama. Ia berada tepat
di depan ujung saluran asap dari tungku pembakaran di ruang bawah tanah. Kalau
Dinky meniru suara hantu dari tempat persembunyiannya itu, maka suaranya akan
menggema lewat saluran-saluran udara panas sehingga terdengar sampai ke semua
kamar. Homer Snodgrass harus berdiri seperti patung sementara Henry dan Jeff
menempelkan selotape yang dapat berpendar pada tubuhnya. Selotape itu disusun
agar menyerupai tulang-belulang manusia. Mortimer Dalrymple mengenakan sepotong
kain yang telah dicelup ke dalam cat yang nampak menyala-nyala dalam gelap. Kain
itu diikat melingkari leher Mortimer, sehingga hanya kepalanya yang tidak
tertutup. Ketika keduanya berdiri di depan lampu ultraviolet yang sedang
dipasang oleh Freddy dan aku, mereka memancarkan cahaya hijau menyeramkan.
Mortimer kelihatan seperti hantu tanpa kepala, sebab wajahnya tidak terlihat
dalam cahaya ultraviolet, dan Homer nampak seperti kerangka yang baru bangkit
dari kubur. Jeff memberikan sepasang kastanyet (alat perkusi dari Spanyol)
padanya, sehingga Homer dapat mengiringi tarian khusus yang ia ciptakan dengan
bunyi yang mirip bunyi tulang beradu.
Kami memasang satu lampu ultraviolet untuk menerangi balkon yang terdapat di
ujung ruang duduk. Balkon itu akan berfungsi sebagai panggung untuk tarian
Homer. Lampu yang satu lagi diarahkan pada tangga melingkar di dekat pintu
masuk. Mortimer akan beraksi di sini. Henry dapat mengatur kedua lampu itu dari
sebuah kamar di lantai dua. Kamar itu merupakan pusat operasi dari mana Henry
dan Jeff mengatur segala sesuatu. Dengan melubangi dinding kayu, mereka bisa
mengintip ke ruang duduk dan ke pintu masuk, sebab langit-langit di ruang duduk
sangat tinggi. Freddy Muldoon ditempatkan di loteng. Setiap kali Henry menghubunginya lewat
interkom, Freddy akan menyeret-nyeret sebuah rantai besi, dan menimbulkan suara
hantu lainnya. Tugasku adalah menjalankan alat pengerek di dapur, dan
menimbulkan kekacauan sebesar mungkin. Selain itu aku juga bisa naik-turun dari
ruang bawah tanah ke lantai tiga melalui tangga tali yang kami pasang di sebuah
cerobong, yang dulunya dipakai untuk melemparkan pakaian kotor ke ruang cuci.
Sesuai janjinya, Harmon benar-benar muncul pada malam hari. Ia ternyata ditemani
Stony Martin dan Buzzy McCauliffe, yang diajak untuk memberikan dukungan moral.
Tanpa bersuara mereka masuk lewat jendela di ruang bawah tanah.
Dengan sabar kami membiarkan mereka menaiki tangga. Kami tetap tidak beraksi
ketika mereka keluar-masuk ruangan di lantai dasar sambil memegang senter.
Karena keadaannya aman-aman saja, Harmon dan kedua temannya mulai berani
bercanda dan ketawa-ketawa. Tepat pada saat itulah Henry memberikan aba-aba pada
Freddy untuk mulai menyeret-nyeret rantai di loteng. Secara bersamaan Dinky
mengeluarkan suara-suara aneh dari tempat persembunyiannya di dalam cerobong
asap. Harmon, Stony, dan Buzzy nampak kaget setengah mati. Untuk sesaat mereka hanya
berdiri seperti patung. Kemudian ketiganya segera bergegas ke tangga yang menuju
ke bawah tanah. Namun sebelum mereka sampai ke sana, suasana kembali hening.
Harmon dan kedua temannya saling berpandangan. Sayup-sayup aku mendengar mereka
berunding sambil berbisik-bisik. Akhirnya mereka mengumpulkan seluruh
keberanian, lalu menaiki tangga utama menuju lantai dua.
Tiba-tiba potret Simon Harkness yang tergantung di atas perapian di ruang duduk
jatuh ke lantai. Harmon, Stony, dan Buzzy melompat menuruni tangga, dan
mengarahkan senter-senter mereka ke semua sudut ruangan. Dua buah lukisan
kembali jatuh, dan Harmon, Stony, serta Buzzy mulai gemetaran. Berkas cahaya
senter di tangan Buzzy McCauliffe menyapu dinding yang tadinya merupakan tempat
salah satu lukisan tergantung. Ia segera memeriksa lukisan itu, kemudian
mengamati dinding di atasnya.
"Hei, Harmon!" ia berkata dengan suara tertahan. "Di sini tidak ada paku untuk
menggantungkan lukisan."
"Mungkin pakunya ikut copot," balas Harmon. "Biarkan saja!"
"Tapi lukisan ini tidak digantung pada paku," Buzzy berkeras. "Di belakangnya
tidak ada tali maupun kawat"
"Biarkan saja!" Harmon kembali berkata.
"Rumah tua ini seram juga, ya?" ujar Buzzy sambil memandang ke sekeliling.
Pada detik berikutnya tulang-belulang Homer Snodgrass menyeberangi balkon di
ujung ruang duduk sambil menari-nari. Buzzy sempat melihatnya, meskipun hanya
sepintas lalu. "Ya, Tuhan!" ia berseru, lalu mengarahkan senternya ke balkon. Ternyata tidak
ada apa-apa di sana. "Ada apa, sih?" tanya Harmon.
"Aku melihat hantu di atas balkon!"
Harmon pun mengarahkan senternya ke sana. "Ah, omong kosong!" katanya. "Kau
jangan menakut-nakuti kita, dong! Dan jangan teriak-teriak."
"Tapi aku benar-benar melihat hantu!" Buzzy tetap ngotot.
Stony Martin tersenyum mengejek. "Seperti apa hantunya?"
"Eh, kok tiba-tiba ada bau telur busuk, sih?" ujar Harmon sambil mengendusendus. "Aku kan sudah bilang bahwa aku melihat hantu," Buzzy berkata.
Sementara itu, di ruang bawah tanah, aku kembali melemparkan bubuk belerang ke
dalam api di tungku pembakaran. Kemudian aku segera naik tangga tali di cerobong
pakaian kotor sampai ke lantai dasar.
"Bah! Baunya semakin menusuk," ujar Harmon. Berkas cahaya senternya menyapu
dinding. "Baunya berasal dari lubang ventilasi itu. Pasti ada bangkai di ruang
bawah tanah." Tiba-tiba terdengar bunyi dari arah balkon. Harmon dan kedua temannya segera
menoleh, dan masih sempat melihat tulang-belulang Homer Snodgrass menghilang di
balik tembok pembatas. Harmon terbelalak, dan mereka langsung berlari menuju
pintu keluar. Tapi di sana mereka disambut oleh hantu tanpa kepala, yang berdiri
di atas tangga utama. Bau belerangnya tak tertahankan lagi. Dan kemudian sebuah erangan tertahan
terdengar menggema di setiap sudut ruangan. Harmon, Stony, dan Buzzy benar-benar
ketakutan. Mereka ambil langkah seribu, dan berlari ke tangga yang menuju ruang
bawah tanah. Ketika mereka melewati dapur, aku menghalangi langkah Buzzy
McCauliffe dengan gagang sapu. Buzzy sempat terjerembap, tapi langsung berdiri
lagi dan menyusul kedua temannya.
"Tolong! Ada bayangan hitam yang mau menangkapku!" ia berseru sambil menuruni
tangga, dan keluar lewat jendela yang telah mereka bongkar sebelumnya.
Kalau saja ketiga anak itu sempat menoleh ke belakang ketika mereka menyeberangi
pekarangan dan menyusuri jalan menuju kota, maka mereka akan melihat sebuah
lentera terayun-ayun di jendela kamar di loteng. Kabarnya, ketika masih hidup
Pak Harkness suka duduk di sana selama berjam-jam, sambil mengamati kegiatan
para tetangganya lewat sebuah teropong. Setelah puas ketawa, kami membereskan
segala peralatan, lalu kembali ke markas.
Dalam waktu singkat, cerita mengenai hantu di Istana Harkness telah tersebar ke
seluruh Mammoth Falls. Beberapa kali selama minggu berikutnya, sebuah lentera
terlihat terayun-ayun di jendela di loteng. Tetapi orang-orang yang kebetulan
melihatnya selalu segera berlalu. Mereka pun segan menceritakan pengalaman itu
pada teman-teman mereka. Tak ada yang berani mendekati Istana Harkness pada
malam hari. Namun sebuah rumah berhantu memang memiliki daya tarik tersendiri,
sehingga pada siang hari banyak orang yang berkunjung ke sana, dan saling
menantang untuk masuk ke dalam.
Akhirnya Chief Harold Putney memerintahkan Sersan Billy Dahr untuk memeriksa
rumah tua itu secara seksama, sekaligus memastikan kebenaran cerita tentang
hantu yang beredar di kalangan penduduk Mammoth Falls.
"Sebenarnya saya ingin turun tangan sendiri," ujar Chief Putney, "tapi sayang
saya berhalangan. Saya harus menemani Pak Walikota bermain golf."
"Apakah saya harus memeriksa rumah itu malam ini juga, atau bisa besok pagi?"
Sersan Billy Dahr bertanya.
"Tentu saja besok siang! Mau lihat apa Anda kalau ke sana malam-malam"!"
Ketika mendengar berita mengenai rencana Chief Putney, kami segera mengadakan
rapat di markas untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya.
"Pokoknya aku tidak mau lagi berperan sebagai hantu!" ujar Mortimer Dalrymple.
"Bagaimana kalau aku ketangkap dan dituduh mempermainkan alat negara?"
"Jangan khawatir," kata Jeff Crocker. "Kostum yang kaupakai memang tidak berguna
pada siang hari." Karena Sersan Billy Dahr merupakan anggota polisi, maka ia tidak perlu
membongkar jendela untuk masuk ke Istana Harkness. Dengan mengenakan mantel
panjang seperti biasanya, ia melangkah ke teras rumah itu, lalu mencopot dua
papan kayu yang dipakukan menyilang pada kusen pintu. Kemudian ia membuka kunci
pintu. Begitu masuk ke ruang duduk, polisi itu memandang ke segala arah. Ternyata tak
ada tanda-tanda yang mencurigakan. Sersan Billy Dahr sudah mau keluar lagi,
ketika tiba-tiba ia mendengar bunyi gesekan.
"Halo, siapa itu?" ia berkata setengah berbisik.
Tentu saja tak ada yang menjawab. Sambil bergumam tak jelas, Sersan Billy Dahr
membalik dan hendak menuju pintu keluar. Namun pada detik berikutnya, semua
lukisan yang terpasang pada dinding ruang duduk jatuh ke lantai. Billy Dahr
berdiri terpaku seperti patung. Perlahan-lahan ia menoleh ke belakang. Matanya
nampak terbelalak. Setelah beberapa saat, ia mulai memeriksa setiap lukisan.
Kemudian ia mengamati dinding sambil mengerutkan kening dan menggaruk-garuk
kepala. Kini suara rantai terdengar dari loteng, dan di dapur sebuah panci jatuh
ke lantai. Billy Dahr segera pergi ke dapur.
Sementara itu, aku menyelinap ke ruang duduk lewat pintu yang satu lagi, lalu
menggantungkan semua lukisan di tempat semula. Tipuan kami sebenarnya sederhana
saja. Henry telah menempelkan sebuah elektromagnet pada dinding di belakang
setiap lukisan, lalu memasang pelat baja tipis di balik setiap bingkai. Jika ia
memutuskan aliran listrik ke magnet-magnet itu, maka semua lukisan akan
berjatuhan. Suara gesekan dari dalam cerobong asap membawa Billy Dahr kembali ke ruang
duduk. Ketika sampai di sana, ia terbengong-bengong melihat semua lukisan sudah
tergantung di dinding. Kemudian ia mengendap-endap ke arah cerobong asap, dan
memelototi potret Simon Harkness. Tiba-tiba lukisan itu jatuh tepat ke depan
kakinya. Billy Dahr kaget setengah mati dan langsung melompat ke belakang.
Pandangannya menyapu seluruh dinding ruangan itu. Begitu ia membalik badan,
lukisan-lukisan yang lain pun kembali jatuh.
Billy Dahr bergegas ke pintu keluar, tapi bunyi berderak yang ditimbulkan oleh
alat pengerek sekali lagi mengusik rasa ingin tahunya.
Sambil mengacungkan tongkat yang selalu dibawanya, ia mengendap-endap ke arah
dapur. Pintu ke cerobong alat pengerek terdengar diketok-ketok dari dalam. Billy
menghampirinya sambil memegang tongkat di tangan kanan dan borgol di tangan
kiri. Untuk sesaat ia menempelkan telinga pada pintu kecil di hadapannya.
Setelah menghitung sampai tiga, ia membuka pintu lalu melompat mundur sambil
memekik kaget. Seorang laki-laki nampak tergantung pada tali pengerek. Dan tali
itu melingkar pada lehernya!
Billy Dahr yang malang. Seluruh keberaniannya lenyap seketika. Ia langsung
berlari sampai ke kota untuk melaporkan temuannya pada Chief Putney. Atasannya
itu ternyata sedang bermain golf dengan Pak Walikota. Billy segera mengajak
mereka berdua ke Istana Harkness. Namun pada saat mereka tiba di sana, kami
telah melepaskan boneka yang tergantung pada tali pengerek dan memasang semua
lukisan pada tempat semula. Sersan Billy Dahr berusaha setengah mati untuk
meyakinkan Pak Walikota dan Chief Putney bahwa memang ada hantu di rumah tua
itu. Setengah terpaksa mereka memeriksa setiap ruangan, dan setelah selesai
Chief Putney menatap tajam ke arah Billy Dahr.
"Kapan Anda terakhir mengambil cuti?" ia bertanya.
"Wah, saya sendiri sudah lupa," jawab Billy. "Mungkin delapan tahun yang lalu.
Waktu itu saya dan istri saya berlibur di Danau Beruang."
Chief Putney menatap Pak Walikota, dan Pak Walikota menatap Billy Dahr.
"Saya sependapat dengan Anda, Chief," ujar Pak Walikota. "Kelihatannya Sersan
Dahr memang perlu mengambil cuti lagi."
"Ambil cuti yang panjaaang... yang panjaaang!" sebuah suara terdengar dari dalam
cerobong asap. "Ya, saya setuju sekali dengan usul itu!" kata Pak Walikota.
"Suara apa itu?" tanya Chief Putney, sambil melangkah ke ruang duduk.
"Suara yang mana?" tanya Pak Walikota.
"Saya mendengar sebuah suara dari dalam cerobong asap."
"Ah, paling-paling suara angin," Pak Walikota menanggapinya sambil ketawa.
"Tidak mungkin! Angin tidak mungkin mengucapkan sebuah kalimat utuh!"
"Hmm, barangkali Anda juga perlu ambil cuti, Harold," kata Pak Walikota sambil
mengerutkan kening. "Belakangan ini permainan golf Anda agak buruk,"
"Saya memang tidak perlu bermain dengan baik kalau melawan Bapak!" jawab Chief
Putney. "Sudahlah," ujar Pak Walikota. Ia mulai berjalan ke arah pintu. "Sekarang kan
sudah jelas bahwa tidak ada hantu di rumah ini."
"Entahlah, saya jadi tidak yakin," kata Chief Putney sambil menggaruk dagunya.
"Saya mulai percaya bahwa Sersan Dahr tidak mengada-ada."
"Astaga!" Pak Walikota mendesah. "Sekarang Anda pun ikut-ikutan mengkhayal."
"Apakah Bapak berani bertaruh bahwa tidak ada hantu di sini?"
"Hmm, sebenarnya saya tidak suka berjudi," Pak Walikota membalas. "Tapi kalau
Anda memang yakin bahwa ada hantu di sini, maka saya tidak keberatan untuk
bertaruh dengan Anda. Bagaimana dengan lima dollar, setuju?"
"Tidak! Saya tidak mengatakan bahwa rumah ini ada hantunya. Saya hanya
berpendapat bahwa Sersan Dahr tidak mengada-ada. Ada sesuatu yang tidak beres di
sini. Begini saja, saya tantang Bapak untuk bermalam seorang diri di sini."
"Apa taruhannya" Makan malam di restoran paling mahal di Mammoth Falls?"
"Baiklah!" "Oke!" Pak Walikota menyambutnya sambil ketawa. "Takkan ada yang bisa mengatakan
bahwa Alonzo Scragg takut pada hantu."
Ketika malam telah larut, kami menyaksikan sebuah mobil polisi berhenti di depan
Istana Harkness. Chief Putney mengantarkan Pak Walikota sampai ke teras, lalu
membuka pintu. Pak Walikota melangkah masuk. Ia membawa kantong tidur dan sebuah
lentera. "Bapak tidak keberatan kalau saya mengunci pintu dari luar, bukan?" tanya Chief
Putney sambil tersenyum simpul. "Saya hanya ingin memastikan bahwa Bapak
memenangkan taruhan ini."
Sebelum Pak Walikota sempat menjawab, Chief Putney sudah keluar dan mengunci
pintu. Dari kamar di loteng, tempat aku berjaga, aku melihat mobil polisi yang
dikemudikan oleh Chief Putney menjauh. Mobil itu menyusuri Blueberry Hill Road
sejauh setengah kilometer, kemudian berhenti di tepi jalan. Sesaat kemudian
lampunya dipadamkan. Aku segera bisa menebak rencana Chief Putney. Ia dan Sersan
Billy Dahr pasti akan kembali ke Istana Harkness untuk menakut-nakuti Pak
Walikota. Perlahan-lahan aku menuruni tangga untuk melaporkan hal ini pada Jeff
dan Henry. Dugaanku ternyata benar. Tidak lama kemudian Chief Putney dan Sersan Billy Dahr
masuk lewat jendela yang dibongkar oleh Harmon Muldoon dan kedua temannya. Kami
memasang telinga dan mencoba menangkap suara langkah mereka, tetapi tidak
mendengar apa-apa. Rupanya kedua polisi itu memutuskan untuk menunggu di ruang
bawah tanah sampai yakin bahwa Pak Walikota telah tertidur.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" aku berbisik pada Jeff. "Bagaimana kalau
mereka menangkap kita?"
"Tenang saja!" jawab Jeff, juga sambil berbisik. "Kita tahu bahwa mereka ada di
sini, tapi mereka tidak tahu bahwa kita ada di rumah ini. Asal kita berhatihati, mereka takkan tahu bahwa ada orang lain."
Sementara itu Pak Walikota telah menggelar kantong tidur di salah satu sudut
ruang duduk. Lenteranya diletakkan di lantai. Dalam cahaya remang-remang, Jeff
dan Henry melihat Pak Walikota membuka sepatu. Aku turun lewat alat pengerek,
lalu mengentak-entakkan kaki di dapur. Ketika Pak Walikota pergi ke dapur untuk
menyelidiki asal-usul bunyi itu, aku segera menyelinap ke ruang duduk lewat
pintu ruang makan. Cepat-cepat aku meniup lenteranya sampai padam, kemudian
memindahkan kantong tidur Pak Walikota ke sudut ruangan yang lain. Setelah itu
aku menaiki tangga, lalu turun ke ruang bawah tanah lewat tangga tali di
Monster Di Danau Strawberry Klub Ilmuwan Edan The Mad Scientists Club Karya Bertrand R. Brinley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cerobong pakaian kotor. Mula-mula aku mendengar Chief Putney menggerutu karena tidak bisa merokok.
Kemudian aku mendengar kedua polisi itu menyusun rencana untuk menakut-nakuti
Pak Walikota, agar Chief Putney bisa memenangkan taruhannya. Akhirnya, setelah
menunggu cukup lama, aku mendengar mereka menghampiri tungku pembakaran. Mereka
memeriksa bagian dalamnya dengan bantuan senter. Kemudian mereka mulai
menelusuri saluran udara panas yang menuju ke ruang duduk. Chief Putney membuka
pintu di bagian belakang tungku. Pintunya cukup besar untuk dilewati orang
dewasa yang ingin membersihkan saluran-saluran udara panas. Chief Putney
membisikkan beberapa petunjuk ke telinga Billy Dahr, lalu mendorongnya ke dalam
tungku. Setelah itu ia mulai menaiki tangga ke dapur.
Aku mendengar Billy Dahr merangkak di dalam saluran udara yang menuju ke ruang
duduk. Begitu Chief Putney sampai di puncak tangga, aku keluar dari cerobong
pakaian kotor. Dengan hati-hati aku lalu menutup pintu di bagian belakang
tungku. Pintu itu tidak bisa dibuka dari dalam. Kecuali kalau ada yang
membebaskannya, maka Sersan Billy Dahr semalam suntuk akan terperangkap dalam
saluran udara panas. Aku sedang memanjat tangga tali di cerobong pakaian kotor, ketika suasana tibatiba menjadi kacau-balau. Seseorang terbatuk-batuk, dan bunyinya menggema di
seluruh rumah. Bunyi itu diikuti oleh seruan minta tolong. Pemilik suara itu
sepertinya sedang dalam keadaan tercekik. Meskipun demikian aku segera mengenali
suara itu, suara Dinky Poore!
Ketika sampai di lantai dua, aku segera bergegas ke balkon di ujung ruang duduk.
Pak Walikota ternyata berhasil menemukan beberapa potong kayu bakar, lalu
menyalakan api di perapian. Ia sedang berdiri di depannya, sambil berusaha
mengintip ke dalam cerobong asap. Setiap kali ia membuka penutup lubang
ventilasi agar asap dapat terbawa ke atas, penutup itu akan kembali ke posisi
semula. Pak Walikota terbatuk-batuk sambil mengibaskan tangan. Aku segera
menyadari bahwa kami harus bergerak cepat untuk menyelamatkan Dinky Poore.
Aku membalik dan berlari menaiki tangga ke kamar di loteng. Secara bersamaan
Homer Snodgrass menyeberangi balkon dengan kostumnya yang menyeramkan. Tulangbelulang itu nampak menyala-nyala dalam gelap. Untuk melengkapi penampilannya,
Homer juga mengerang-erang, seakan-akan menahan rasa sakit yang luar biasa. Pak
Walikota langsung kabur ketika melihatnya. Tetapi di tangga utama ia disambut
oleh hantu tanpa kepala. Kali ini hantunya tidak diam di tempat, melainkan
mengambang menuruni tangga. Dengan mata terbelalak, Pak Walikota membalik dan
lari ke dapur. Ia menerjang pintu dapur, menabrak Chief Putney yang berdiri di
belakang pintu, lalu berusaha membuka pintu belakang. Tetapi pintu itu terkunci
rapat. Dalam kegelapan Pak Walikota berputar-putar sambil mencari jalan keluar.
Akhirnya ia menemukan sebuah pintu kecil. Terburu-terburu ia membukanya, lalu
masuk ke cerobong untuk alat pengerek.
Chief Putney masih terbaring di lantai dapur. Dengan susah-payah ia berusaha
menarik napas. Ia tak pernah tahu siapa orang yang menabraknya.
Mortimer Dalrymple telah membuka kostumnya, ketika ia mendengar kegaduhan di
dapur. Secara samar-samar ia melihat sosok Jeff Crocker yang sedang memanggilnya
dengan lambaian tangan. Jeff berdiri di depan cerobong untuk alat pengerek.
Waktu Morty menghampirinya, ia segera berbisik, "Sepertinya Pak Walikota
bersembunyi di dalam alat pengerek. Kalau aku membuka pintu, kau tarik talinya
sampai naik sekitar tiga meter. Dengan demikian Pak Walikota akan terjebak
antara lantai dasar dan lantai dua."
Jeff lalu membuka pintu, dan Mortimer meraih tali yang tergantung dalam
cerobong. Bersama-sama mereka menarik tali itu, kemudian mengikatkannya pada
sebuah kait besi. Walikota Mammoth Falls telah terperangkap.
Sementara itu aku sampai di loteng dan menemui Freddy Muldoon. Freddy dan aku
naik ke atap, dan merangkak ke cerobong asap.
Kami menarik tali yang menahan tempat duduk Dinky, lalu membantunya keluar dari
cerobong. Seluruh tubuhnya penuh jelaga, dan matanya nampak berair. Tapi
semangatnya masih menggebu-gebu. Kami segera kembali ke loteng, lalu turun ke
lantai dua. Seseorang sedang menggedor-gedor dinding cerobong untuk alat
pengerek sambil berteriak-teriak minta tolong. Dari ruang bawah tanah terdengar
bunyi tongkat diketok-ketokkan pada logam. Jeff dan Henry menunggu di tempat
gelap. "Chief Putney masih di dapur," bisik Jeff. "Tapi sebentar lagi dia akan muncul
untuk menyelidiki asal-usul kegaduhan ini. Kita harus bersiap-siap untuk
menyambutnya." Kami mendengar polisi itu kembali ke ruang duduk sambil menyalakan korek api. Ia
menemukan lentera milik Pak Walikota dan menghidupkannya. Kemudian ia menuju
tangga. Secara samar-samar Chief Putney melihat hantu tanpa kepala berdansa
dengan tengkorak hidup di puncak tangga. Ketika cahaya lampunya mengenai mereka,
keduanya segera kabur sambil ketawa menyeramkan. Sebagai polisi yang baik, Chief
Putney langsung melakukan pengejaran.
Homer bersembunyi di balik pintu salah satu ruang tidur, sementara Mortimer
terus naik tangga sampai ke lantai tiga, dan dari sana ke loteng. Mortimer bisa
berlari kencang sekali, tapi kali ini ia sengaja memperlambat langkahnya agar
tetap terlihat oleh Chief Putney. Ketika sampai di loteng, Mortimer segera
membuka kostum kemudian memasangnya pada tali yang digantungkan pada sebuah
katrol di kamar loteng. Ia lalu bersembunyi di dalam sebuah peti, sedangkan
kostumnya mengambang masuk ke kamar. Chief Putney menyusul beberapa detik
setelah itu. Freddy cepat-cepat menutup pintu dari luar dan menguncinya. Dengan
demikian Chief Putney pun telah menemukan tempat yang nyaman untuk bermalam.
*** "Aku percaya bahwa rumah itu memang ada hantunya," kata Freddy Muldoon sambil
menunjuk ke belakang, ketika kami berjalan ke arah kota. Kami segera menoleh ke
arah rumah tua di kaki Blueberry Hill. Ternyata Chief Putney sedang mengayunayunkan lentera Pak Walikota di kamar loteng. Sayup-sayup terdengar teriakan
minta tolong. "Ah, kau ada-ada saja!" Mortimer menanggapinya. "Aku tidak melihat hal yang
aneh." "Aku juga tidak," ujar Homer Snodgrass.
Ketika malam telah larut, Lou Perkins dan Johnny Soames menyusuri jalan di depan
Istana Harkness naik mobil Lou. Mereka baru saja pulang dari sebuah lelang sapi
di kota lain. "Hei, Lou! Kok ada cahaya bergoyang-goyang di atap Istana Harkness?" Johnny
bertanya dengan heran. "Aku tidak melihat apa-apa!" kata Lou.
"Itu, tuh!" Johnny berkeras. "Di atas atap, wah, sekarang hilang lagi. Berhenti
sebentar." "Kau sudah mulai mengantuk, ya?" balas Lou. "Biarpun aku melihat cahaya lentera,
aku takkan percaya bahwa ada orang di sana. Rumah itu kan sudah kosong selama
bertahun-tahun." "Hmm, barangkali kau benar," kata Johnny. "Sebaiknya kita tidak ikut campur
dalam urusan orang lain."
"Terutama kalau orangnya sudah meninggal," Lou menambahkan. Kemudian ia segera
menginjak pedal gas dalam-dalam.
Sepanjang malam, Pak Walikota dan Sersan Billy Dahr terus berteriak minta
tolong. Namun usaha mereka sia-sia saja. Sedangkan Chief Putney sibuk mengayunayunkan lentera di jendela kamar loteng, juga tanpa hasil. Mereka baru
dibebaskan ketika Daphne Muldoon dan beberapa temannya mengunjungi rumah tua itu
siang berikutnya. Sejak itu, Chief Putney tidak pernah mengadakan penyelidikan kalau mendengar
cerita-cerita mengenai hantu di Istana Harkness beredar di masyarakat. Dan wajah
Pak Walikota selalu menjadi merah kalau ada yang menyinggung-nyinggung soal
hantu di rumah tua itu. Kebanyakan penduduk Mammoth Falls tidak percaya bahwa
ada hantu di sana. Mereka malah berpendapat bahwa Pak Walikota dan Chief Putney
ingin menakut-nakuti mereka, agar tidak ada yang mendekati rumah itu.
7. Penyelamatan di Malam Hari
"KALAU kalian ingin menemukan sebuah jarum dalam tumpukan jerami, maka kalian
harus melakukan pencarian secara sistematis," kata Henry Mulligan. "Kalau tidak,
maka itu sama saja dengan mencari jarum dalam tumpukan jerami."
Ucapan itu mula-mula tidak dipahami oleh Dinky Poore, yang memang bukan anggota
tercerdas dalam perkumpulan kami. Tetapi seperti biasanya, Henry membuktikan
bahwa ia benar. Suatu ketika, sebuah pesawat tempur milik Angkatan Udara meledak di atas Mammoth
Falls. Pihak Angkatan Udara langsung melancarkan operasi pencarian dan
penyelamatan secara besar-besaran. Namun ketika Henry dan aku menawarkan bantuan
perkumpulan kami, Alonzo Scragg langsung menampik. Ia malah minta agar kami
jangan ikut campur. "Saya tidak butuh bantuan kalian," ujar Pak Walikota sambil menghapus keringat
yang menempel pada kacamatanya. "Setiap kali kalian terlibat sesuatu, sayalah
yang mendapat kesulitan. Kenapa kalian tidak pulang saja dan jangan ganggu
saya?" "Tapi kami sudah menyusun rencana, Pak Walikota...," Henry mencoba menjelaskan.
"Saya kira kita tidak boleh menolak tawaran bantuan dari siapa pun," seorang
pria tegap berseragam Angkatan Udara berkata. Pria itu adalah Kolonel March,
Komandan Pangkalan Udara Westport Field. "Kalau pilot itu masih hidup, maka
kemungkinan besar dia takkan mampu bertahan sampai besok pagi. Sebentar lagi
hari sudah gelap, dan kami terpaksa menghentikan kegiatan pencarian dari udara.
Biarkan saja kalau anak-anak ini mau membantu. Rasanya mereka tidak mungkin
merepotkan kita." "Pak Kolonel belum kenal anak-anak ini, sih!" ujar Pak Walikota dengan nada
pasrah. "Rasanya mereka tadi menyebutkan bahwa mereka tergabung dalam suatu
perkumpulan," kata Kolonel March.
"Mereka menamakan diri Klub Ilmuwan Edan dari Mammoth Falls. Tuh, namanya saja
sudah aneh, bukan?" "Kami mengkhususkan diri dalam bidang ilmu pengetahuan," Henry segera
menjelaskan. "Jason Barnaby melihat pesawat tempur itu meledak, tepat di atas
kebun apelnya di Brake Hill. Waktu itu ia sedang memotong alang-alang di sana."
"Kami tahu bahwa si pilot berhasil menyelamatkan diri," kata Kolonel March.
"Kursi pelontarnya tidak ada di antara reruntuhan pesawat, dan sampai sekarang
belum ditemukan." "Saya sudah bayangkan di mana pilot itu mendarat," Henry menerangkan dengan
serius. "tapi saya masih harus melakukan beberapa eksperimen dulu."
"Oke!" Kolonel March tersenyum. "Silakan kerjakan apa yang kauanggap perlu.
Kalau kau sudah siap terjun ke lapangan, tolong beritahu saya, supaya usaha
pencarian kalian jangan tumpang-tindih dengan kelompok-kelompok yang lain."
"Baik, Pak!" jawab Henry.
Kami langsung menuju markas kami di gudang jerami Jeff Crocker. Dalam perjalanan
ke sana, Henry sudah mulai memberikan tugas padaku.
Henry lalu mengatakan bahwa ia harus mampir di rumahnya untuk mengambil beberapa
barang. Karena itu kami berpisah di pojok Carmel Street, dan aku berlari ke
markas. Setelah sampai, aku langsung menekan tombol darurat. Tombol ini
membunyikan alarm di semua rumah anggota-anggota perkumpulan kami. Artinya,
"Harap segera berkumpul di markas!"
Lima belas menit kemudian Henry muncul sambil membawa dua tabung yang terbuat
dari karton berwarna hitam. Kedua tabung itu dimasukkan ke dalam ranselnya.
Anggota-anggota yang lain sudah hadir.
"Kok lama sekali?" Jeff bertanya pada Henry. "Kami sebenarnya sudah siap
berangkat. Masalahnya kami tidak tahu ke mana kami harus pergi."
"Sorry, aku tadi menelepon ke Pangkalan Udara untuk menanyakan informasi
penting," Henry menjelaskan. "Kita akan pergi ke Brake Hill, ke kebun apelnya
Jason Barnaby." Henry meraih lengan Homer Snodgras, lalu mendudukkan anak itu di hadapan
peralatan radio kami. "Kau harus berjaga dekat telepon, Homer. Kemungkinan kami perlu menghubungi
Kolonel March di Balai Kota nanti. Orang sipil tidak diizinkan menggunakan
frekuensi radio darurat. Kami akan membawa walkie-talkie. Begitu sampai di Brake
Hill, aku akan menghubungimu."
Sebuah peta besar yang memperlihatkan daerah sekitar Mammoth Falls tergantung
pada dinding markas. Henry menggambarkan lingkaran merah untuk menandai tempat
kami akan mendirikan pos. Dengan demikian Homer tahu persis di mana kami akan
berada. Hari sudah mulai gelap ketika kami akhirnya mencapai puncak Brake Hill. Henry
lalu menyuruh Dinky Poore dan Freddy Muldoon mengukur jarak ke dua pohon besar
yang berdiri di sebelah utara dan selatan dari tempat kami berada. Waktu
keduanya kembali, Henry segera mencatat hasil pengukuran mereka. Kemudian ia
menyuruh aku merentangkan sebuah peta besar yang persis sama dengan peta di
markas. Ia minta agar aku menyesuaikan letak peta dengan jarum pada kompas,
sehingga panah penunjuk arah utara pada peta benar-benar menunjuk ke utara.
Setelah itu kami memasang kedua tabung karton yang dibawa Henry.
"Ini adalah dua buah flare, sejenis kembang api khusus, yang biasa dipakai oleh
tentara," Henry menjelaskan. "Flare ini akan naik setinggi tiga ratus meter,
lalu meledak dan ikut terbawa angin. Dengan bantuan kompas, kita bisa melacak di
mana flare ini jatuh. Aku telah melengkapinya dengan pemancar mini. Jadi, kalau
apinya keburu padam sebelum mencapai tanah, kita masih bisa melacak tempat
jatuhnya dengan peralatan radio kita."
"Kau yakin kita akan bisa menemukan pilot itu, Henry?" tanya Jeff.
"Kalau perhitunganku tepat, kita pasti akan menemukannya," jawab Henry. "Aku
sudah minta informasi dari Pangkalan Udara. Angin masih bertiup ke arah yang
sama seperti tadi pagi, waktu pilot itu terpaksa melompat keluar dari
pesawatnya. Dengan meluncurkan flare ini, kita akan mendapat bayangan ke arah
mana pilot itu terbawa angin. Kemudian aku masih harus menghitung seberapa jauh
ia mengambang sebelum mendarat."
Beberapa menit kemudian Dinky Poore telah berada di puncak pohon sebelah utara.
Tangan kanannya menggenggam sebuah kompas yang berpendar dalam gelap. Jeff
Crocker duduk di bawah pohon itu. Ia membawa salah satu radio kami. Mortimer
Dalrymple dan Freddy Muldoon berada di pohon sebelah selatan. Mereka dilengkapi
dengan peralatan yang sama.
Henry menghampiri batu besar tempat ia memasang flare pertama, kemudian
melepaskan jepitan pengaman. Kami sembunyi di balik pohon ketika flare itu
meluncur tegak lurus ke angkasa.
Flare-nya meledak setelah mencapai ketinggian 300 meter, lalu memancarkan cahaya
kemerahan sambil tergantung pada sebuah parasut kecil. Cahayanya menerangi
seluruh bukit dan lembah di sebelah barat, dan setengah Danau Strawberry
seterang pada siang hari. Flare yang kami luncurkan mulai terbawa angin ke arah
barat, dan cahayanya bertambah terang.
Ketika flare-nya padam, Henry berlari ke peta lalu mencatat arah yang terbaca
pada kompasnya. Kemudian ia mengambil walkie-talkie dan berbicara dengan Jeff
dan Mortimer. Keduanya mengatakan bahwa mereka masih menerima sinyal yang
dikirim oleh alat pemancar mini.
Sepuluh menit setelah itu kami semua kembali berkumpul. Henry mencatat arah yang
dilaporkan oleh masing-masing tim. Dengan menggunakan penggaris dan alat
pengukur sudut, ia lalu mencantumkannya pada peta.
"Aku tetap belum mengerti bagaimana ini semua bisa membantu kita untuk menemukan
pilot itu," ujar Dinky sambil mengerutkan kening. "Kenapa kita tidak langsung
mulai mencari saja?"
"Kita akan melakukan pencarian," kata Henry. "Tapi kalau eksperimen ini
berhasil, maka kita akan mengetahui di mana kita harus mencari."
Kemudian Henry mulai unjuk gigi. Ia duduk di atas batu pipih sambil memegang
pensil dan penggaris. Di sampingnya ada setumpuk kertas. Dalam sekejap lembaranlembaran kertas telah berserakan di mana-mana, tapi Henry berhasil menentukan
titik di mana si pilot seharusnya mendarat.
Titik itu berada di daerah perbukitan, sekitar enam kilometer sebelah barat
Mammoth Falls. Kami tahu bahwa di sekitar sana ada bekas tambang batu kerikil.
Dinky Poore disuruh memanjat ke atas sebuah pohon cemara yang tinggi, untuk
memasang lampu berkedap-kedip pada puncaknya. Henry menjelaskan bahwa kami akan
menggunakan lampu itu sebagai patokan, sehingga kami dapat menentukan arah yang
harus ditempuh. Freddy Muldoon ditugaskan untuk menjaga peralatan radio di Brake
Hill, agar kami dapat terus berhubungan dengan Homer di markas. Setelah
menyiapkan kantong tidur, walkie-talkie, ransum darurat serta kotak P3K, kami
segera berangkat. Kami memanfaatkan siluet punggung bukit yang nampak jelas di hadapan kami untuk
menentukan arah perjalanan, sampai kami tiba di kaki Brake Hill dan memasuki
hutan. Sesudah itu punggung bukit tadi tidak kelihatan lagi. Berjalan menembus
hutan pada malam hari, tanpa kehilangan arah, bukan pekerjaan mudah. Tapi Jeff
dan Henry sudah memikirkan persoalan ini.
"Yang paling penting," ujar Jeff, "kita harus mencek arah perjalanan secara
terus-menerus. Kita harus mengambil titik acuan sejauh mungkin. Dengan demikian
kemungkinan untuk membuat kesalahan semakin kecil. Prinsipnya sama saja dengan
membuat garis lurus pada secarik kertas. Kalau kita memakai penggaris yang
Monster Di Danau Strawberry Klub Ilmuwan Edan The Mad Scientists Club Karya Bertrand R. Brinley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
panjang, maka kita takkan mengalami kesulitan. Tapi dengan menggunakan penggaris
sepanjang lima senti, rasanya cukup sulit untuk membuat garis yang lurus."
"Tapi bagaimana kalau keadaannya gelap sekali, dan kita tidak bisa melihat apaapa?" tanya Dinky. "Sebentar lagi akan kutunjukkan bagaimana cara mengatasi persoalan itu," jawab
Jeff. "Soalnya kita akan memasuki bagian hutan yang paling rimbun."
Benar saja, lima menit kemudian kami telah berada di suatu tempat yang begitu
gelap, sehingga kami tidak bisa saling melihat. Langsung saja Jeff
mendemonstrasikan suatu cara untuk menentukan arah dalam kegelapan. Cara itu
dinamakannya "lompat kodok". Ia menyuruh Mortimer berjalan mendahului kami
sambil membawa senter yang menyala. Setelah berada sekitar 100 sampai 150 meter
di depan kami, Mortimer disuruh berhenti. Kemudian Jeff menyerukan pada Mortimer
untuk bergerak ke kiri atau ke kanan. Setelah cahaya senternya berada segaris
dengan arah yang harus ditempuh, kami semua menyusul ke tempat Mortimer berdiri.
Demikianlah seterusnya. Kadang-kadang kami mencek arah perjalanan dengan mengacu pada lentera yang
ditinggalkan di Brake Hill, kalau lentera itu kebetulan lagi kelihatan.
Kami menghadapi masalah kecil ketika mencapai sebuah sungai yang mengalir dari
Danau Strawberry. Peralatan radio yang kami bawa tidak boleh kena air, sehingga
kami tidak bisa berenang ke seberang. Akhirnya Jeff menemukan sebuah tebing yang
cukup terjal di tepi sungai. Ia mengikatkan seutas tali tambang pada sebatang
pohon yang menjorok ke atas air, kemudian minta agar kami menerangi tepi sungai
di seberang dengan senter. Setelah memasang tali jemuran pada ikat pinggang dan
mempelajari medannya, ia mengayunkan diri menyeberangi sungai, persis seperti
Tarzan. Ketika mendarat, Jeff langsung amblas ke dalam lumpur. Sambil menggerutu
dengan kesal, ia mengikatkan tali tambang pada sebatang pohon. Kami memasang
segala peralatan pada tali tambang, dan Jeff lalu menariknya dengan tali
jemuran. Setelah peralatan radio berhasil diseberangkan, kami menyusul satu per satu,
sambil bergelantungan pada tali tambang. Tali jemuran diikatkan pada ikat
pinggang masing-masing, sehingga kami tidak mungkin jatuh seandainya
tergelincir. Semuanya tiba dengan selamat, kecuali Dinky Poore. Ia terpeleset
ketika hendak melompat ke tepi sungai, dan kami terpaksa menariknya keluar dari
air dengan menggunakan tali jemuran. Seluruh tubuh Dinky basah-kuyup dan
berlepotan lumpur. Ia menggigil kedinginan dan merengek-rengek minta pulang.
Tapi Jeff menyuruhnya membuka pakaian, lalu membungkus tubuhnya dengan selimut.
"Kau harus bergerak terus agar badanmu tetap hangat," Jeff berkata pada Dinky.
"Ayo, kita berangkat lagi. Kita tidak boleh membuang-buang waktu di sini."
"Tapi selimutnya gatal!" Dinky mendesah.
"Lebih baik gatal daripada mati kedinginan," Mortimer menanggapinya.
Sekitar tengah malam kami mencapai daerah yang menurut perkiraan Henry merupakan
tempat pilot malang itu mendarat. Kami menemukan lapangan kecil yang cocok untuk
mendirikan kemah, lalu mengadakan rapat untuk menentukan langkah selanjutnya.
Pertama-tama Jeff bersikeras agar kami membuat api unggun di tengah-tengah
lapangan. Api unggun itu akan berfungsi sebagai titik acuan, dan memudahkan kami
untuk kembali ke kemah. Kecuali itu, Dinky sekaligus bisa mengeringkan
pakaiannya. "Kita hanya tahu sedikit mengenai bekas tambang batu kerikil di sebelah sana,"
ujar Jeff. "Jadi sebelum mulai mencari, kita sebaiknya menyiapkan diri dulu."
Kami memutuskan untuk membentuk dua tim, masing-masing beranggotakan dua orang.
Untuk berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan, kami meniru para pendaki gunung
dan saling mengikatkan diri dengan sepotong tali. Dinky ditugaskan untuk
menunggui radio di api unggun. Kemudian kami mulai mencari.
"Jangan terlalu dekat ke tepi lubang tambang!" Jeff mengingatkan. "Kalian bisa
terperosok dan langsung jatuh sampai ke dasar. Henry dan aku akan menyusuri tepi
sebelah kiri. Kalian berdua mencari di tepi sebelah kanan. Kalau kalian melihat
sesuatu, atau menemukan jalan menuju ke dasar, segera hubungi kami lewat walkietalkie." Dengan seutas tali terikat pada ikat pinggang masing-masing, Mortimer dan aku
mulai menembus semak-semak. Setelah sampai di tepi tambang, aku bisa melihat
Jeff dan Henry di seberang. Mereka sedang mengarahkan senter ke dasar lubang
penggalian. Tapi karena keadaannya begitu gelap, kami tidak bisa melihat banyak.
Dasar lubang penggalian pun hanya terlihat secara samar-samar. Aku menaksir
kedalamannya sekitar 25 meter. Dan kelihatannya, dasar lubang itu ditumbuhi
semak-belukar. Henry memberitahu kami lewat walkie-talkie, bahwa ia akan melemparkan sebuah
flare ke dalam lubang penggalian. Flare itu meledak ketika mencapai dasar
lubang, dan memancarkan cahaya kemerahan. Kami melihat bahwa sisi lubang sebelah
barat tertutup oleh genangan air hujan yang terkumpul di sana.
"Hei, lihat itu!" Mortimer tiba-tiba berseru.
Aku segera menoleh ke arah yang ditunjuknya. Tepat di bawah tempat Jeff dan
Henry berdiri, kami melihat sebuah parasut yang telah koyak-koyak. Parasut itu
tersangkut pada sebatang pohon yang tumbuh pada tepi lubang tambang. Pada dasar
lubang di bawahnya, kami melihat sebuah sosok gelap tergeletak di antara batubatu besar. "Hei!" Mortimer dan aku berseru dengan sekuat tenaga. "Pilot pesawat itu ada di
bawah sana!" Seperempat jam kemudian berlalu begitu cepat, sehingga aku tidak mengingat semua
yang terjadi. Yang pasti, Jeff menyuruh kami memanggil Dinky, serta mengambil
semua tali yang ada di kemah, lalu kembali ke tambang.
Dinky mengikat tali melingkar pada pinggangnya, kemudian menuruni tepi lubang
penggalian. Kami mendengar suara langkahnya di dasar lubang. Tiba-tiba ia
berseru, "Aku menemukan pilotnya!"
"Bagaimana keadaannya" Apakah dia masih hidup?"
"Aku tidak tahu!" jawab Dinky. "Tapi suasana di bawah sini benar-benar
menyeramkan." Kami segera menarik Dinky ke atas, dan tempatnya digantikan oleh Jeff. Kemudian
kami mengambil sisa perlengkapan di kemah. Kami memadamkan api unggun, lalu
memindahkan semua barang ke tepi lubang penggalian.
"Pilotnya masih hidup!" Jeff berseru dari bawah. "Tapi cederanya cukup parah.
Dia pingsan, dan aku tidak berani memindahkannya. Aku takut tulang punggungnya
patah. Sebaiknya kita biarkan dia di sini dulu."
Kami lalu memutuskan untuk membawa semua perlengkapan ke dasar lubang
penggalian. Hanya Mortimer yang tidak ikut ke bawah. Ia menempati pos di tepi
lubang, agar dapat terus berhubungan dengan Freddy. Sementara Henry dan aku
sibuk menurunkan barang, Mortimer berusaha memanggil Freddy lewat walkie-talkie.
Tapi yang menjawab ternyata seorang wanita.
"Di mana posisi Anda?" wanita itu bertanya.
"Di mana Freddy?" Mortimer balik bertanya.
"Freddy" Freddy siapa" Hei, siapa sih ini" Nomor Tujuh?"
"Siapa Anda?" "Di sini Perusahaan Taksi Ayax. Ada perlu apa?"
"Tolong matikan radio Anda. Ini sangat penting!"
"Sebaiknya Anda saja yang mematikan radio! Kami punya izin resmi untuk
menggunakan frekuensi ini."
"Sudahlah!" ujar Henry. "Pindah ke radio portable saja. Cari frekuensi empat
lima koma dua megahertz. Itu frekuensi darurat yang dipakai oleh tim SAR.
Hubungi Balai Kota dan katakan di mana kita berada."
Selama satu setengah jam berikutnya kami bekerja sampai bercucuran keringat.
Henry dan Jeff mengurus si pilot, sementara Dinky dan aku mendirikan kemah di
dasar lubang penggalian. Tim SAR di Balai Kota berulang kali mengirimkan pesan
lewat radio. Tulang paha si pilot ternyata patah. Jeff dan Henry membelat kakinya dengan
dahan-dahan pohon yang diikat dengan bajuku. Mereka menyelimutinya, kemudian
memindahkan batu-batu sehingga ia dapat berbaring. Pilot itu tetap dalam keadaan
tidak sadar. Jeff lalu menugaskan kami untuk membuat api unggun di tiga tempat
terpisah. Dengan demikian Kolonel March dapat mengirim pesawat untuk memastikan
posisi kami. "Aku punya usul yang lebih baik, Jeff," kata Henry. "Aku bawa balon cuaca bekas
dan benang nilon sepanjang 300 meter di ranselku. Kita bisa memasang lampu
senter, lalu menerbangkan balon itu. Pada ketinggian 300 meter, balon itu akan
terlihat dari Mammoth Falls."
Ransel milik Henry memang ajaib. Ransel itu berisi aneka macam barang yang tak
pernah terpikirkan oleh kami.
Kami baru saja menerbangkan balon itu, ketika tim SAR kembali mengirim pesan
lewat radio. Kalau ada tempat untuk mendarat, maka mereka mungkin akan mengirim
sebuah helikopter sebelum matahari terbit. Jeff menjawab bahwa kami akan
menyiapkan tempat pendaratan, dan bahwa ia akan menghubungi mereka kalau
semuanya sudah beres. Tidak lama kemudian suara sebuah pesawat ringan terdengar di atas kepala kami.
Rupanya pilotnya melihat balon serta api unggun kami, sebab ia sempat berputar
beberapa kali di atas lubang tambang. Ketika melewati lubang penggalian untuk
ketiga kali, ia melemparkan sesuatu ke luar jendela. Benda itu tergantung pada
sebuah parasut kecil, dan akhirnya jatuh di genangan air hujan.
"Cepat!" Jeff berseru. "Bawa senter!"
Ia menerobos semak-semak dan segera melompat ke dalam air. Ketika aku tiba, aku
masih sempat mengarahkan cahaya senter ke parasut yang mengambang di permukaan
air, lalu menyusul Jeff. Genangan airnya ternyata cukup dalam, sehingga kami
terpaksa berenang. Tapi kami berhasil menyelamatkan paket tadi sebelum
tenggelam. Kami membawanya ke tepi dan segera membukanya. Isinya ternyata empat
buah flare, perlengkapan P3K, serta sebuah pesan tertulis. Pesan itu mengatakan
bahwa jika tim SAR memutuskan untuk mengirim helikopter, maka pilotnya akan
berputar dulu di atas lubang penggalian, lalu menjatuhkan flare untuk menerangi
daerah sekitar. Kemudian kami harus menyalakan keempat flare yang ada dalam
paket, dua buah berwarna merah dan dua buah berwarna kuning, untuk menandai
tempat pendaratan. Jeff dan aku basah-kuyup, tapi pakaian kami segera mengering ketika kami mulai
menyiapkan tempat mendarat. Tidak lama setelah itu, kami mendengar suara sebuah
helikopter yang sedang mendekat. Tiba-tiba kami melihat lampu berkedap-kedip di
tepi lubang penggalian. Langsung saja kami menyalakan keempat flare yang
ditempatkan di sekeliling tempat pendaratan. Dalam cahaya yang terang-benderang,
kami melihat pilot helikopter serta dokter di sebelahnya sedang memandang ke
arah kami. Angin yang ditimbulkan oleh baling-baling helikopter menarik-narik
pakaian kami. Seluruh dasar tambang penggalian terasa bergetar ketika
helikopternya mendarat. Kami terpaksa bersembunyi di balik sebuah batu besar
untuk melindungi diri dari debu yang beterbangan.
Dokter Angkatan Udara yang baru tiba hanya membutuhkan satu menit untuk
memeriksa keadaan pilot yang mengalami kecelakaan.
"Kalian telah menyelamatkan nyawa orang ini," ia lalu berkata pada kami.
"Sekarang tolong ambilkan tandu di sebelah sana."
Dalam lima belas menit si pilot yang malang telah siap diterbangkan menuju rumah
sakit terdekat. Ia terbaring di atas tandu. Tubuhnya dibungkus selimut lalu
ditutupi lembaran plastik.
Pilot helikopter melakukan pengecekan secara saksama, lalu menghubungi Pangkalan
Udara Westport Field untuk minta informasi mengenai angin dan suhu. Kemudian ia
menatap ke arah tepi lubang penggalian, di mana matahari sudah mulai menampakkan
diri. Ia menggaruk dagunya sambil merenung, dan berunding sejenak dengan Pak
Dokter. Setelah itu mereka menghampiri kami.
"Berapa berat badanmu?" si pilot bertanya sambil menatap Dinky Poore.
"Ehm... tiga puluh delapan kilo," jawab Dinky gugup.
"Begini, daya angkut helikopter saya terbatas. Saya tidak bisa membawa pilot itu
dan Pak Dokter sekaligus. Tapi saya memerlukan satu penumpang agar beban yang
akan dibawa terbagi secara merata. Apakah kau berminat ikut terbang?"
"Tentu... ehm... dengan senang hati...!" Dinky menggaruk-garuk kepala, lalu
menatap kami seakan-akan memerlukan dukungan moral.
Tubuh Dinky agak gemetar ketika ia membaringkan diri pada tandu yang satu lagi.
Kami membantu mengikatkan tubuhnya.
"Tolong ikat aku erat-erat!" Dinky berpesan pada kami.
Tiba-tiba suara Kolonel March terdengar lewat radio. Ia menyuruh kami menunggu
di lubang penggalian sampai hari mulai terang. Sebuah helikopter H21 akan
menjemput kami, lalu membawa kami beserta seluruh peralatan ke Mammoth Falls.
Kami semua bersorak-sorai ketika mendengar berita menggembirakan itu.
Kemudian kami menurunkan Mortimer berikut peralatan radio dengan bantuan seutas
tali. Karena bagian yang paling menegangkan telah berlalu, kami segera tertidur
dengan pulas. Aku terbangun karena mendengar suara helikopter H21 yang sedang bersiap-siap
untuk mendarat. Begitu heli itu menyentuh tanah, Kolonel March melompat keluar
dari pintu. Ia berjabatan tangan dengan kami semua, lalu memberitahu kami bahwa
pilot yang mengalami kecelakaan telah diperiksa di rumah sakit di Pangkalan
Udara. Kami naik helikopter sampai ke lapangan di belakang Balai Kota, tempat tim SAR
mendirikan tenda-tenda untuk memberi makan pada semua pihak yang terlibat dalam
pencarian. Freddy Muldoon sedang menikmati semangkuk sup panas ketika kami tiba.
Ternyata ia dijemput oleh helikopter lain, yang sekaligus membawa peralatan
radio kami dari Brake Hill. Dinky Poore sedang tidur-tiduran sambil mengisap
limun lewat sedotan, sementara seorang juru rawat memeriksa kakinya yang lecetlecet. Waktu kami turun dari helikopter, kami segera dihampiri oleh Pak Walikota dan
beberapa anggota Dewan Kota. Mereka disusul oleh sejumlah perwira dari Pangkalan
Udara Westport Field. Para juru foto mulai memotret-motret, dan kami diberitahu
bahwa besok akan diadakan pawai di Pangkalan Udara untuk menghormati kami.
Seperti biasa, Alonzo Scragg memanfaatkan kesempatan ini untuk memberi sambutan
yang berbunga-bunga. Mortimer Dalrymple mendengarkannya sambil bersin terusmenerus. Mendengar pidato Pak Walikota, orang akan menarik kesimpulan bahwa
dialah yang mengusulkan agar kami ikut membantu dalam pencarian. Tapi kami tidak
ambil pusing, sebab sebelumnya Pak Walikota sempat lari pulang ke rumahnya untuk
berganti pakaian. Ia mengenakan setelan jasnya yang paling necis, kemudian
membangunkan beberapa anggota Dewan Kota agar mereka ikut menyambut kami.
Kolonel March lalu memberitahu kami, bahwa ia akan mengusulkan agar kami diberi
bintang kehormatan atas jasa-jasa kami. Dadaku terasa mau pecah saking
bangganya. Ia juga berharap agar kami mau mempertimbangkan untuk masuk Akademi
Angkatan Udara setelah lulus nanti, sebab Angkatan Udara selalu memerlukan
ilmuwan-ilmuwan tangguh. Kami semua menikmati makanan panas di tenda palang merah, kemudian diantar
pulang naik mobil. Pak Walikota sekali lagi berjabatan tangan dengan kami, lalu
bertanya apakah kami masih punya permintaan.
"Ada!" Freddy Muldoon cepat-cepat berkata. "Apakah saya boleh minta semangkuk
sup lagi?" TAMAT PDF: kiageng80 ePub: ePub Lover http://facebook.com/epub.lover
Pendekar Mata Keranjang 26 Dewa Arak 68 Biang-biang Iblis Dewa Cadas Pangeran 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama