Ceritasilat Novel Online

Because Of Winn Dixie 1

Because Of Winn Dixie Karya Kate Dicamillo Bagian 1


Bab Satu Namaku India Opal Buloni, dan musim panas yang lalu ayahku, sang pendeta, menyuruhku pergi ke toko untuk membeli sekotak makaroni-dan-keju, beras putih, dan dua tomat, dan aku pulang membawa anjing. Begini kejadiannya : aku berjalan ke bagian makanan segar toserba Winn-Dixie untuk mengambil dua tomat pesanan ayahku dan hampir bertabrakan dengan manajer toko. Ia berdiri di sana dengan muka merah padam, berteriak-teriak dan melambai-lambaikan kedua tangannya.
"Siapa yang membawa anjing kemari ?", ia terus berteriak-teriak. "Siapa yang memasukkan anjing kotor kemari ?".
Mula-mula aku tidak melihat seekor anjing pun di dalam toko. Hanya ada banyak sekali sayuran yang bergulingan ke segala arah di lantai, tomat, bawang, dan paprika hijau. Dan tampaknya seluruh pegawai Winn-Dixie berlarian ke sana kemari sambil melambai-lambaikan tangan seperti yang dilakukan si manajer toko.
Lalu anjing itu datang berlari-lari dari pojok. Anjing yang besar. Dan jelek. Dan ia tampak senang sekali. Lidahnya menjulur keluar dan ekornya mengibas-ngibas. Ia meluncur sebelum berhenti dan tersenyum tepat padaku. Seumur hidup belum pernah aku melihat anjing tersenyum, namun itulah yang dilakukannya. Ia menarik bibirnya ke belakang dan menunjukkan semua giginya padaku. Kemudian ia mengibaskan ekornya begitu kuat sehingga menjatuhkan beberapa butir jeruk dari rak pajang dan jeruk-jeruk tersebut menggelinding ke mana-mana, bercampur dengan tomat-tomat, bawang-bawang, dan paprika-paprika hijau.
Si manajer memekik, "Tangkap anjing itu !".
Anjing tadi berlari mendatangi si manajer, mengibas-ngibaskan ekor dan tersenyum. Ia berdiri di kaki belakang. Kau bisa melihat bahwa ia hanya ingin berhadapan muka dengan manajer itu dan berterima kasih padanya karena ia telah bersenang-senang di bagian makanan segar, namun entah bagaimana ia malah membuat si manajer terjengkang. Dan hari itu si manajer pasti mengalami berbagai kejadian tidak enak, karena saat tergeletak di lantai begitu, di hadapan semua orang, ia menangis. sI anjing berdiri di atasnya, sangat prihatin, dan menjilat wajahnya.
"Tolong", ujar manajer tersebut, "telepon tempat penampungan anjing".
"Tunggu sebentar !" , aku berseru. "Itu anjingku. Jangan telepon tempat penampungan anjing".
Semua pegawai Winn-Dixie berputar dan memandangku, dan aku tahu tindakanku tadi tidak bisa dianggap enteng. Dan mungkin goblok, juga. Tapi aku tidak bisa menahan diri. Aku tidak bisa membiarkan anjing itu dibawa ke tempat penampungan anjing.
"Sini, boy," panggilku.
Anjing itu berhenti menjilati muka si manajer dan telinganya mencuat tinggi. Ia manatapku, seolah berusaha mengingat di mana ia kenal denganku.
"Sini, boy", aku berkata lagi. Kemudian aku terpikir bahwa anjing itu mungkin seperti orang-orang lain di dunia ini, bahwa ia ingin dipanggil dengan namanya, tapi aku tidak tahu siapa namanya, jadi kuucapkan saja nama pertama yang muncul di kapalaku. Aku berkata, "Sini, Winn-Dixie".
Dan anjing itu berlari-lari kecil ke tempatku, seakan seumur hidup memang itulah yang biasa dilakukannya.
Manajer toko duduk dan memandang tajam padaku, seolah aku sengaja mempermalukannya.
"Itu namanya", aku menerangkan. "Sungguh".
Manajer tersebut berkata, "Kau tidak tahu dilarang membawa anjing ke dalam toserba?".
"Tahu, Sir", aku berkata padanya. "Ia tidak sengaja masuk. Saya minta maaf. Tidak akan terjadi lagi".
"Ayo, Winn-Dixie", kataku pada si anjing.
Aku mulai berjalan dan ia mengikuti di belakangku saat aku pergi dari bagian makanan segar dan menyusuri gang sereal, melewati semua kasir dan keluar dari pintu.
Begitu kami aman di luar, aku memeriksanya dengan sangat cermat dan penampilannya tidak terlalu bagus. Ia memang besar, tapi kurus ; kau bisa melihat tulang-tulang rusuknya. Dan di sekujur tubuhnya ada pitak-pitak, tempat-tempat di mana tidak ada bulu sama sekali. Secara umum, ia kelihatan seperti karpet cokelat lapuk besar yang lama dibiarkan kehujanan.
"Kau berantakan sekali", kataku padanya. "Aku yakin kau bukan anjing siapa-siapa".
Ia tersenyum padaku. Ia mengulangi perbuatannya : menarik bibirnya ke belakang dan menunjukkan gigi-giginya padaku. Anjing itu tersenyum begitu lebar sampai bersin. Ia seakan berkata, "Aku tahu aku berantakan. Tapi lucu kan ?".
Sulit untuk tidak langsung sayang pada anjing yang punya selera humor bagus.
"Ayo", aku berkata padanya. "Mari kita lihat apa kata sang pendeta tentang kau".
Dan kami berdua, aku dan Winn-Dixie, mulai berjalan pulang.
Bab Dua Musim panas ketika aku menemukan Winn-Dixie juga merupakan musim panas aku dan sang pendeta pindah ke Naomi, Florida, supaya ia bisa menjadi pendeta baru di Gereja Baptis Open Arms of naomi. Ayahku pendeta yang andal dan orang yang baik, namum kadang-kadang aku susah menganggap dia sebagai ayahku karena ia begitu sering berkotbah atau memikirkan khotbah, atau bersiap-siap berkhotbah. Karena itu, dalam hatiku, aku menganggap dia sebagai "sang pendeta". Sebelum aku lahir dia misionaris di India dan itulah asal nama depanku. Tapi ia memanggilku dengan nama keduaku, Opal, karena itu nama Ibunya. Dan ia sangat menyayangi ibunya.
Begitulah, sementara aku dan Winn-Dixie berjalan pulang, aku memberitahu dia tentang asal namaku, dan bahwa aku baru saja pindah ke Naomi. Aku juga memberitahu dia soal sang pendeta dan bahwa ia orang yang baik, biarpun ia terlalu asyik dengan khotbah, doa, dan orang-orang yang menderita sehingga tidak sempat belanja di toserba.
"Tapi tahu tidak?", kataku pada Winn-Dixie. "Kau anjing yang menderita, jadi mungkin ia akan langsung menerimamu. Mungkin ia akan mengizinkan aku memeliharamu".
Winn-Dixie mendongak memandangku dan menggoyang-goyang ekor. Ia agak pincang, seakan salah satu kakinya sakit. Dan aku tak suka mengakui ini, tapi ia bau. Bau sekali. Ia memang anjing yang jelek, namun aku sudah menyayanginya dengan sepenuh hatiku.
Ketika kami sampai di Taman Karavan Friendly Corners, kuberitahu Winn-Dixie bahwa ia harus bersikap baik dan jangan ribut, sebab ini taman parkir yang semua penghuninya orang dewasa dan satu-satunya alasan aku boleh tinggal di situ adalah karena sang pendeta merupakan pendeta dan aku anak yang baik, tidak ribut. Aku disebut Mr. Alfred, manajer Taman Karavan Friendly Corners, "perkecualian". Dan kukatakan pada Winn-Dixie ia harus bersikap seperti perkecualian juga ; secara spesifik kularang ia berkelahi dengan kucing-kucing Mr. Alfred atau dengan Samuel, anjing Yorkie kecil yang suka menyalak miliki Mrs. Detweller. Winn-Dixie mendongak memandangku saat aku mengatakan semua itu padanya, dan aku berani bersumpah ia memahami omonganku.
"Duduk", aku berkata padanya sesampainya kami di karavanku. Ia langsung duduk. Ia tahu aturan. "Tunggu di sini", perintahku. "Aku akan segera kembali".
Sang pendeta duduk di ruang keluarga,bekerja di meja lipat kecil. Kertas-kertas bertebaran di sekelilingnyadan ia menggosok-gosok hidung, yang selalu berarti ia sedang berpikir. Berpikir keras.
"Daddy ?", aku memanggil.
"Hmmm", sahutnya.
"Daddy, Daddy tahu kan Daddy selalu bilang padaku kita harus membantu orang-orang yang tidak seberuntung kita ?".
"Mmmm-hmmm", katanya. Ia menggosok hidung dan memandang kertas-kertasnya.
"Yah", aku berkata, "Aku menemukan Yang Tidak Seberuntung Kita di toserba".
"Benarkah ?", ia bertanya.
"Ya, Sir", jawabku. Kupandangi sang pendeta lekat-lekat. Kadang ia mengingatkanku pada kura-kura yang bersembunyi di dalam tempurungnya, di dalam sana memikirkan berbagai hal dan tak pernah menjulurkan kepala ke dunia di luar. "Daddy, aku ingin tahu. Bolehkah Yang Tidak Seberuntung Kita ini, bolehkah ia tinggal bersama kita beberapa lama ?".
Akhirnya sang pendeta mengangkat kepala memandangku. "Opal", ia berkata, "kau ngomong apa sih ?".
"Aku menemukan anjing", aku memberitahunya. "Dan aku ingin memeliharanya".
"Tidak boleh ada anjing", sang pendeta menukas. "Kita sudah pernah membicarakan masalah ini. Kau tidak memerlukan anjing".
"Aku tahu", sahutku. "Aku tahu aku tidak perlu anjing. Tapi anjing ini perlu aku. Lihat", kataku.
Aku pergi ke pintu karavan dan berteriak, "Winn-Dixie !".
Kedua telinga Winn-Dixie langsung mencuat dan ia nyengir dan bersin, kemudian terpincang-pincang menaiki tangga, masuk ke karavan, dan membaringkan kepala tepat di pangkuan sang pendeta, persis di atas setumpuk kertas.
Sang pendeta memandang Winn-Dixie. Ia menatap tulang-tulang rusuk anjing itu, bulunya yang bergumpal-gumpal, dan pitak-pitaknya. Hidung sang pendeta berkerut. Seperti yang kubilang tadi, anjing itu sangat bau.
Winn-Dixie mendongak memandang sang pendeta. Ia menarik bibirnya ke belakang, menampakkan gigi-giginya yang bengkok dan kuning, melambai-lambaikan ekor, dan menjatuhkan beberapa lembar kertas sang pendeta dari atas meja. Kemudian ia bersin dan beberapa lembar kertas lagi beterbangan ke lantai.
"Kau menamai anjing ini siapa tadi ?", sang pendeta bertanya.
"Winn-Dixie", aku berbisik. Aku takut bicara terlalu keras. Aku bisa melihat Winn-Dixie berpengaruh baik terhadap sang pendeta. Ia membuat ayahku menjulurkan kepala dari tempurungnya.
"Yah", kata sang pendeta, "Ia anjing paling tak terurus yang pernah kulihat". Diletakkannya pensil dan digaruknya Winn-Dixie di belakang telinga. "Dan Tidak Seberuntung Kita pula. Itu sudah jelas. Apakah kau mencari rumah ?", sang pendeta bertanya, lembut sekali, pada Winn-Dixie.
Winn-Dixie menggoyang-goyang ekornya.
"Yah", sang pendeta berkata, "kurasa kau punya rumah sekarang".
Bab Tiga Aku langsung menggarap Winn-Dixie, berusaha membersihkannya. Mula-mula kumandikan dia. Aku memakai slang taman dan shampo bayi. Ia berdiri diam, tapi aku tahu ia tidak menyukainya. Ia tampak terhina dan sepanjang waktu tidak menampakkan giginya padaku atau mengibaskan ekor sekali pun. Sesudah ia dimandikan sampai bersih dan dikeringkan, aku menyikat bulunya dengan cermat. Kupakai sikat rambutku sendiri dan bekerja keras menguraikan semua simpul dan gumpalan bulu. Winn-Dixie tidak keberatan disikat. Ia menggoyang bokongnya, seolah mengatakan ia keenakan.
Selama membersihkannya, aku terus mengobrol dengannya. Dan ia mendengarkan. Kukatakan padanya betapa kami berdua mirip. "Kau tahu", kataku, "kau tidak punya keluarga, aku juga begitu. Aku memang punya sang pendeta, tentu saja. Tapi aku tak punya mama. Maksudku, aku punya, tapi aku tidak tahu di mana dia. Ia pergi waktu aku masih berumur tiga tahun. Aku hampir tidak bisa mengingatnya. Dan aku berani bertaruh kau juga tidak terlalu ingat ibumu. Jadi kita hampir seperti yatim piatu".
Winn-Dixie menatapku lurus-lurus ketika aku mengatakan itu padanya, seolah ia merasa lega karena akhirnya ada yang memahami keadaannya. Aku mengangguk kepadanya dan kembali bicara.
"Aku bahkan tak punya teman, karena aku harus meninggalkan mereka semua waktu kamipindah kemari dari Watley. Watley ada di Florida utara. Kau pernah ke Florida utara ?".
Winn-Dixie menunduk memandang tanah, seakan berusaha mengingat apakah ia pernah ke sana atau tidak.
"Tahu tidak ?", kataku. "Sejak kami pindah kemari, aku lebih sering memikirkan mamaku, jauh lebih sering daripada ketika masih di Watley".
Winn-Dixie menggerak-gerakkan kuping dan mengangkat alis.
"Kurasa sang pendeta selalu memikirkan mamaku juga. Ia masih mencintainya. Aku tahu karena aku mendengar ibu-ibu di gereja Watley membicarakan sang pendeta. Mereka bilang Daddy masih berharap ia akan kembali. Tapi Daddy tidak mengatakannya padaku. Ia sama sekali tidak mau membicarakan mamaku padaku. Aku ingin tahu lebih banyak tentang dia. Tapi aku takut bertanya pada sang pendeta ; aku takut ia akan marah padaku".
Winn-Dixie menatapku tajam, seakan berusaha menyampaikan sesuatu.
"Apa ?", aku bertanya.
Ia terus menatapku. "Menurutmu aku seharusnya memaksa sang pendeta memberitahuku tentang dia?".
Winn-Dixie memandangku begitu tajam sampai ia bersin.
"Akan kupikirkan", kataku.
Setelah aku selesai menggarapnya, Winn-Dixie nampak jauh lebih bagus. Ia memang masih botak di sana-sini, namun bulu yang dimilikinya sekarang bersih. Bulunya mengilap dan lembut. Kau masih bisa melihat tulang-tulang rusuknya, namun aku berniat memberinya makan banyak-banyak dan dengan begitu akan membuatnya gemuk. Aku tidak dapat berbuat apa-apa soal gigi-giginya yang kuning dan bengkok sebab ia jadi bersin-bersin tidak keruan setiap kali aku mulai menggosoknya dengan sikat gigiku, dan aku akhirnya harus menyerah. Tapi secara umum ia tampak jauh lebih bagus, jadi kubawa ia ke dalam karavan dan memamerkannya pada sang pendeta.
"Daddy", aku memanggil.
"Hmmm", katanya. Ia sedang menulis khotbah dan menggumam sendiri.
"Daddy, aku ingin menunjukkan pada Daddy Winn-Dixie yang baru".
Sang pendeta meletakkan pensil dan menggosok hidung, lalu akhirnya mengangkat kepala.
"Wah, katanya", tersenyum sangat lebar pada Winn-Dixie, "wah, wah. Kau tampan sekali".
Winn-Dixie membalas senyum sang pendeta. Ia mendekat dan merebahkan kepala di pangkuan sang pendeta.
"Ia juga harum", sang pendeta menambahi. Dibelainya kepala Winn-Dixie dan ditatapnya matanya.
"Daddy", aku berkata, cepat-cepat sebelum kehilangan keberanian, "aku tadi bicara dengan Winn-Dixie".
"Aku bicara dengannya dan ia sependapat denganku bahwa, karena aku sudah berumur sepuluh tahun, Daddy harus memberitahukan sepuluh hal tentang mamaku padaku. Hanya sepuluh, itu saja".
Sang pendeta berhenti mengusap-usap kepala Winn-Dixie dan duduk diam. Aku bisa melihat ia berpikir-pikir untuk menarik kepalanya kembali ke balik tempurung.
"Satu hal untuk setiap tahun umurku", aku berkata kepadanya. "Please".
Winn-Dixie mendongak pada sang pendeta dan mendorongnya sedikit dengan hidungnya.
Sang pendeta mengembuskan napas dalam. Ia berkata pada Winn-Dixie, "Mestinya aku tahu kau cuma akan bikin masalah". Kemudian ia memandangku. "Duduklah. Dan aku akan memberitahukan padamu sepuluh hal mengenai mamamu".
Bab Empat "Satu", kata sang pendeta. Kami duduk di spfa dan Winn-Dixie berada di antara kami. Winn-Dixie sudah memutuskan ia amat menyukai sofa. "Satu", sang pendeta berkata lagi. Winn-Dixie menatapnya agak tajam. "Mamamu lucu. Ia bisa membuat hampir semua orang tertawa".
"Dua", katanya. "Rambutnya merah dan mukanya berbintik-bintik".
"Persis aku", aku menimpali.
"Persis kau". Sang pendeta mengangguk.
"Tiga. Ia suka menanam. Ia berbakat dalam hal itu. Ia bisa menanam ban di tanah dan ban itu akan tumbuh jadi mobil".
Winn-Dixie mulai menggigiti kaki depannya. Karena itu kutepuk kepalanya supaya ia berhenti melakukannya.
"Empat", ujar sang pendeta."Ia bisa berlari dengan cepat. Kalau kau berlomba lari dengannya, jangan pernah membiarkan ia lari duluan, sebab ia pasti akan mengalahkanmu".
"Aku juga begitu", kataku. "Dulu, waktu di Watley, aku berlomba lari dengan Liam Fullerton, dan mengalahkannya, dan ia bilang tidak adil, karena anak perempuan mestinya tidak boleh berlomba dengan anak laki-laki. Kukatakan padanya ia ngomong begitu karena ia kalah saja".
Sang pendeta mengangguk. Ia terdiam sebentar.
"Aku siap mendengarkan yang kelima", aku memberitahunya.
"Lima", katanya. "Ia tidak bisa memasak. Ia membuat semua jadi gosong, bahkan air sekalipun. Ia sangat sulit membuka sekaleng kacang. Ia tidak tahu apa-apa soal daging. Enam". Sang pendeta menggosok-gosok hidung dan memandang langit-langiti. Winn-Dixie mengangkat kepala juga. "Nomor enam adalah mamamu sangat suka cerita. ia bersedia duduk mendengarkan cerita-cerita sepanjang hari. Ia suka sekali diceritai. Ia terutama suka cerita-cerita lucu, cerita-cerita yang membuatnya tertawa". Sang pendeta mengangguk seakan mengiyakan kata-katanya sendiri.
"Apa nomor tujuh ?", aku bertanya.
"Coba kuingat", katanya. "Ia mengetahui semua rasi bintang, semua planet di langit malam. Tak ada yang terlewat. Ia bisa menyebutkan nama-nama mereka. Dan menunjukkan letaknya. Dan ia tidak pernah bosan mendongak memandang mereka".
"Nomor delapan", sang pendeta melanjutkan dengan mata terpejam, "adalah ia tidak suka menjadi istri pendeta. Katanya ia tidak sanggup karena para wanita di gereja selalu menilai apa yang dipakainya, apa yang dimasaknya, dan bagaimana ia bernyanyi. Ia bilang ia jadi merasa seperti serangga yang diperiksa dengan mikroskop".
Winn-Dixie berbaring di sofa. Diletakkannya hidungnya di pangkuan sang pendeta dan ekornya di pangkuanku.
"Sepuluh", kata sang pendeta.
"Sembilan", aku mengoreksinya.
"Sembilan", sang pendeta berkata. "Ia minum alkohol. Ia minum bir. Dan wiski. Dan anggur. Kadang-kadang ia tidak bisa berhenti minum. Dan itu cukup sering membuat aku dan mamamu bertengkar. Nomor sepuluh", katanya sambil mendesah panjang, "nomor sepuluh adalah mamamu sangat menyayangimu. Ia sayang sekali padamu".
"Tapi ia meninggalkan kita", aku menukas.
"Ia meninggalkan kita", sang pendeta berkata pelan. Aku bisa melihat ia menarik kepala kura-kuranya kembali ke balik tempurung. "Ia mengemasi tas-tasnya dan meninggalkan kita, tanpa menyisakan satu barang pun".
"Oke", kataku. Aku melompat turun dari sofa. Winn-Dixie melompat turun juga. "Terima kasih Daddy telah memberitahuku", aku berkata.
Aku langsung kembali ke kamar dan menuliskan sepuluh hal yang tadi diberitahukan sang pendeta padaku. Aku menuliskannya persis seperti yang dikatakannya supaya aku tidak lupa, kemudian kubacakan keras-keras pada Winn-Dixie sampai hafal. Dengan begitu, jika mamaku kembali suatu hari nanti, aku bisa mengenalinya, dan aku bisa memeluk dan merangkulnya erat-erat dan tidak akan melepaskannya dariku lagi.
Bab Lima Winn-Dixie tidak tahan ditinggal sendirian. Kami mengetahui fakta ini cepat sekali. Kalau aku dan sang pendeta pergi dan meninggalkannya sendirian di dalam karavan, ia menarik semua bantal kursi dari sofa dan semua kertas toilet dari gulungannya. Jadi kami mulai mengikatnya di luar dengan tali kalau kami pergi. Itu juga tidak berhasil. Winn-Dixie melolong sampai Samuel, anjing Mrs. Detweller, mulai melolong juga. Suara seperti itulah yang tidak ingin didengar orang-orang dewasa di taman karavan.
"Ia cuma tidak mau ditinggal sendirian", aku memberitahu sang pendeta. "Hanya itu. Ayo kita bawa dia bersama kita". Aku dapat memahami perasaan Winn-Dixie. Ditinggal begitu mungkin membuat hatinya terasa kosong.
Setelah beberapa lama sang pendeta menyerah.dan kemanapun kami pergi, kami membawa Winn-Dixie. Bahkan ke gereja sekalipun.
Gereja Baptis Open Arms of Naomi bukanlah gereja yang biasa. Bangunannya dulu toko Pick-It-Quick, dan ketika kau masuk dari pintu depan, hal pertama yang kau lihat adalah moto Pick-It-Quick. Moto tersebut tertulis di lantai berupa tegel-tegel merah kecil yang disusun membentuk huruf-huruf besar yang berbunyi "PICK PICK PICK QUICK QUICK QUICK". Sang pendeta berusaha mengecat tegel-tegel itu, namun huruf-hurufnya tetap kelihatan. Jadi sang pendeta angkat tangan dan membiarkannya.
Hal lain mengenai Open Arms yang membuatnya berbeda dari gereja-gereja lain adalah tidak ada bangku di dalamnya. Orang-orang membawa sendiri kursi lipa dan kursi taman masing-masing, sehingga kadang tampak seolah jemaat sedang menonton karnaval atau duduk di pesta kebun, bukan beribadah di gereja. Gerejanya agak aneh dan menurutku Winn-Dixie akan pas di situ.
Namun waktu pertama kali kami membawa Winn-Dixie ke Open Arms, sang pendeta mengikatnya di luar pintu depan.
"Buat apa kita jauh-jauh membawanya kemari kalau cuma mau mengikatnya ?", aku bertanya pada sang pendeta.
"Karena gereja bukan tempat buat anjing, Opal", sahut sang pendeta. "Itulah sebabnya".
Ia mengikat Winn-Dixie di pohon dan mengatakan tempat itu sangat teduh dan seharusnya nyaman bagi Winn-Dixie.
Yah, ternyata tidak. kebaktian dimulai, orang-orang bernyanyi, berbagi cerita, berdoa, lalu sang pendeta mulai berkhotbah. Dan ia baru saja mengucapkan dua atau tiga patah kata ketika terdengar lolongan mengerikan di luar.
Sang pendeta berusaha mengabaikannya.
"Hari ini", ia berkata.
"Auuuuuuuuu", kata Winn-Dixie.
"Tolong", kata sang pendeta.
"Auuuuuuuuu", balas Winn Dixie.
"Teman-teman", sang pendeta berkata lagi.
"Auuuuuuuuu", ratap Winn-Dixie.
Semua orang menoleh ke kursi taman dan kursi lipat mereka, berpandang-pandangan.
"Opal", sang pendeta memanggil.
"Ouuuuuu", kata Winn-Dixie.
"Ya, Sir", aku menjawab.
"Ambil anjing itu !", ia berteriak.
"Ya, Sir !", aku balas berteriak.
Aku pergi ke luar dan membuka ikatan Winn-Dixie, lalu membawanya masuk. Ia duduk di sampingku dan tersenyum pada sang pendeta. Sang pendeta tidak bisa menahan diri ; ia membalas senyumnya. Winn-Dixie punya efek seperti itu terhadap dirinya.
Jadi sang pendeta mulai berkhotbah lagi. Winn-Dixie duduk di sana mendengarkan, menggerak-gerakkan telinganya ke sana kemari, berusaha mendnegar semua kata. Dan segalanya akan berjalan lancar, kalau tidak ada tikus yang berlari melintasi lantai.
Gereja Open Arms punya tilku-tikus. Mereka sudah tinggal di sana sejak tempat itu masih menjadi Pick-It-Quick dan ada banyak makanan enak yang bisa dimakan dalam bangunan tersebut, dan ketika Pick-It-Quick menjadi Gereja Baptis Open Arms of Naomi, tikus-tikus tetap tinggal untuk memakan semua remah sisa makanan yang dibawa jemaat. Sang pendeta berulangkali bilang akan membereskan tikus-tikus tersebut, namun omongan tinggal omongan. Karena sebetulnya, ia tidak sanggup memikirkan akan menyakiti apa pun, bahkan tikus sekalipun.
Yah, Winn-Dixie melihat si tikus, dan langsung bangun dan mengejarnya. Sesaat semua tenang dan serius dan sang pendeta terus berbicara, menit berikutnya Winn-Dixie tampak seperti peluru yang melesat melintasi bangunan, memburu tikus itu. Ia menyalak dan keempat kakinya terpeleset-peleset di lantai Pick-It-Quick yang licin. Orang-orang bertepuk tangan, berteriak-teriak, dan menunjuk-nunjuk. Mereka heboh sekali waktu Winn-Dixie akhirnya menangkap si tikus.
"Seumur hidup tak pernah aku melihat anjing menangkap tikus", ujar Mrs. Nordley. Ia duduk di sebelahku.
"Ia anjing istimewa", kataku padanya.
"Kurasa begitu", ia menyahut.
Winn-Dixie duduk tegak di hadapan jemaat gereja, mengibas-ngibaskan ekor dan menggigit si tikus dengan sangat hati-hati, memegangnya erat namun tidak meremukkannya.
"Aku yakin anjing kampung itu keturunan anjing retriever", kata seseorang di belakangku. "Anjing pemburu".
Winn-Dixie membawa tikus tadi ke sang pendeta dan menjatuhkannya di kakinya. Dan ketika si tikus berusaha kabur, Winn-Dixie langsung menjepit ekor si tikus dengan kaki depan. Kemudian ia tersenyum pada sang pendeta. Ia memamerkan semua giginya pada ayahku. Sang pendeta merunduk menatap si tikus. Ia menatap Winn-Dixie. Ia menatapku. Digosok-gosoknya hidungnya. Hening sekali suasana di dalam Pick-It-Quick.
"Mari kita berdoa", kata sang pendeta akhirnya, "untuk tikus ini".
Dan semua orang mulai tertawa dan bertepuk tangan. Sang pendeta mengangkat si tikus dengan memegang ekornya, berjalan, dan melemparnya dari pintu depan Pick-It-Quick, lalu semua orang bertepuk tangan lagi.
Setelah itu ia kembali dan kami semua berdoa bersama. Aku mendoakan mamaku. Kuberitahu Tuhan betapa ia akan sangat suka mendengar kisah Winn-Dixie menangkap tikus tadi. Ia pasti akan tertawa. Aku bertanya pada Tuhan apakah aku dapat menjadi orang yang menceritakan kisah itu padany asuatu hari nanti.
Lalu aku memberitahu Tuhan bahwa aku kesepian di Naomi sebab tidak kenal banyak anak, hanya yang dari gereja. Dan anak-anak di Open Arms tidak terlalu banyak. Hanya Dunlap dan Stevie Dewberry, dua bersaudara yang bukan kembar tapi kelihatan seperti kembar. Dan Amanda Wilkinson, yang wajahnya selalu berkerut seolah ia mencium bau yang sangat busuk ; dan Sweetie Pie Thomas, yang baru berusia lima tahun dan masih sangat kecil. Lagi pula tak satu pun dari mereka mau jadi temanku, sebab mereka mungkin menganggap aku akan mengadukan segala perbuatan tidak baik mereka, sesepele apa pun, pada sang pendeta, sehingga mereka akan harus berurusan dengan Tuhan dan orangtua mereka. Jadi kuberitahu Tuhan bahwa aku kesepian, walaupun ada Winn-Dixie.
Dan akhirnya aku mendoakan si tikus, sesuai saran sang pendeta. Aku berdoa semoga ia tidak sakit karena dilemparkan dari pintu Gereja Baptis Open Arms of Naomi. Aku berdoa semoga ia mendarat di petak rumput yang empuk.
Bab Enam Musim panas itu aku sering berada di perpustakaan Herman W. Block Memorial. Perpustakaan Herman W. Block Memorial kedengarannya seperti tempat yang besar dan bagus, padahal tidak. Perpustakaan itu hanyalah rumah tua kecil yang penuh buku, dan Miss Franny Block yang mengurus semuanya. Ia wanita yang sangat kecil, sangat tua, dengan rambut pendek beruban, dan ia teman pertamaku di Naomi.
Segalanya diawali karena Winn-Dixie tidak suka aku masuk ke perpustakaan, sebab ia tidak boleh ikut masuk. Tapi kuberitahu ia bahwa ia bisa berdiri di kaki belakangnya, emmandang dari jendela dan melihatku di dalam sana, memilih buku-buku. Ia setuju saja, asal masih bisa melihatku. Tapi masalahnya, waktu pertama kali Miss Franny Block melihat Winn-Dixie berdiri di kaki belakangnya seperti itu, memandang ke balik jendela, ia tidak mengira Winn-Dixie anjing. Ia mengira Winn-Dixie beruang.
Begini kejadiannya : Aku sedang ayik memilih-milih buku dan bersenandung sendiri, ketika tiba-tiba terdengar jeritan keras dan menakutkan. Aku berlari ke bagian depan perpustakaan, dan tampaklah Miss Franny Block, duduk di lantai di balik meja kerjanya.
"Miss Franny ?", aku memanggil. "Anda baik-baik saja ?".
"Beruang", katanya.
"Beruang ?", aku bertanya.
"Ia kembali", ia berkata.
"Oya", kataku. "Mana dia ?".
"Di luar sana", ia menjawab dan mengangkat satu jarinya, menunjuk Winn-Dixie yang berdiri di kaki belakang, memandangku dari balik jendela.
"Miss Franny Block", aku berkata, "Itu bukan beruang. Itu anjing. Anjingku. Winn-Dixie".
"Kau yakin ?", ia bertanya.
"Ya, Ma"am", sahutku. "Aku yakin. Ia anjingku. Aku pasti mengenalinya di mana pun".
Miss Franny duduk gemetaran di lantai.
"Ayo", aku berkata. "Biar kubantu Anda berdiri. Tidak ada apa-apa kok". Kuulurkan tangan dan Miss Franny menyambutnya, lantas aku menariknya dari lantai. Ia bisa dibilang tak berbobot sama sekali. Begitu berdiri di atas kedua kakinya, ia bersikap malu sekali, mengatakan aku pasti menganggapnya wanita tua yang sudah sinting, mengira anjing adalah beruang, tapi ia juga memberitahuku bahwa ia punya pengalaman buruk waktu ada beruang masuk Perpustakaan Herman W. Block Memorial dahulu sekali dan ia tidak pernah melupakan pengalaman tersebut.
"Kapan terjadinya ?", aku bertanya padanya.
"Yah", kata Miss Franny", "ceritanya sangat panjang".
"Bukan masalah", kataku. "Aku seperti ibuku, senang diceritai. Namun sebelum Anda mulai menceritakannya, bolehkah Winn-Dixie masuk dan ikut mendengarkan " Ia kesepian tanpa aku".
"Yah, entahlah", Miss Franny berkata. "Anjing tidak diijinkan masuk Perpustakaan Herman W. Block Memorial".
"Ia akan bersikap manis", aku meyakinkannya. "Ia anjing yang pergi ke gereja".dan sebelum ia mengatakan ya atau tidak, aku pergi ke luar dan menjemput Winn-Dixie. Anjing itu masuk lalu berbaring sambil berbunyi "huummmppff" dan mendesah, tetap di kaki Miss Franny.
Wanita tua tersebutu menunduk memandangnya dan berkata, "Ia jelas anjing yang besar".
"Ya, Ma"am", aku membenarkan. " Hatinya juga besar".
"Yah", ujar Miss Franny. Ia membungkuk dan menpuk kepal Winn-Dixie. Winn-Dixie mengibas-ngibaskan ekor dan mengendus-endus kaki Miss Franny yang kecil dan keriput. "Biar kuambil kursi dulu dan duduk, supaya aku bisa menceritakan kisah ini dengan benar".
Bab Tujuh "Waktu Florida masih liar dulu, ketika isinya cuma pohon-pohon palmetto dan nyamuk-nyamuk begitu besar sehingga mereka sanggup terbang sambil mengangkatmu", Miss Franny Block mulai bercerita, "dan aku hanya gadis kecil yang tidak lebih besar daripada kau, ayahku, Herman W. Block, memberitahuku bahwa aku boleh meminta apa saja untuk hadiah ulang tahunku. Apa saja".
Miss Franny memandang ke sekeliling perpustakaan. Ia mencondongkan badan ke arahku. "Aku tidak mau terkesan sombong", katanya, "tapi ayahku kaya sekali. Amat kaya". Ia mengangguk lalu menyandar kembali dan berkata, "Dan aku gadis kecil yang sangat suka membaca. Jadi kuberitahu dia, aku berkata, "Daddy, aku akan senang sekali kalau mendapat kado ulang tahun perpustakaan ; perpustakaan kecil mungil pasti asyik".
"Anda minta perpustakaan utuh ?".
"Yang kecil". Miss Franny mengangguk. "Aku menginginkan rumah kecil yang isinya hanya buku-buku dan aku juga ingin bukan cuma aku yang membacanya. Dan keinginanku dikabulkan. Ayahku membangun rumah ini untukku, rumah tempat kita duduk sekarang ini. Dan pada usia yang sangat muda aku sudah menjadi pustakawati. Ya, Ma"am".
"Bagaimana dengan beruangnya ?", aku bertanya.
"Apakah aku tadi sudah bilang Florida pada masa itu masih liar ?", Miss Franny Block balik bertanya.
"He-eh, sudah".
"Semua masih liar. Penghuninya para pria liar, wanita liar, dan binatang liar".
"Misalnya beruang".
"Ya, Ma"am. Benar. Nah, aku harus memberitahumu, aku waktu itu sok tahu. Aku nona sok pintar dengan perpustakaan yang penuh buku. Oh, ya, Ma"am, aku merasa aku tahu jawaban semua pertanyaan. Yah, pada suatu hari Kamis yang panas aku sedang duduk di perpustakaanku, semua pintu dan jendelanya terbuka dan aku tenggelam dalam buku yang tengah kubaca, ketika tiba-tiba ada bayangan di meja. Dan tanpa mengangkat kepala, ya, Ma"am, bahkan tanpa mengangkat kepala, aku berkata, "Ada buku yang bisa kubantu untuk kucarikan ?".
"Yah, tak ada jawaban. Dan aku berpikir mungkin yang datang itu pria liar atau wanita liar, yang gentar melihat semua buku yang ada dan takut berbicara. Tapi kemudian aku mencium bau yang sangat aneh, sangat menusuk. Kuangkat pandanganku pelan-pelan. Dan tampaklah bahwa yang berdiri di hadapanku ternyata beruang. Ya, Ma"am. Beruang yang besar sekali".
"Seberapa besar ?", aku bertanya.
"Oh, well", kata Miss Franny, "barangkali tiga kali anjingmu".
"Lalu apa yang terjadi ?", aku ingin tahu.
"Yah", jawab Miss Franny, "aku memandangnya dan ia memandangku. Ia mengangkat hidungnya tinggi-tinggi dan mengendus-endus, seolah berusah memutuskan apakah pustakawati sok tahu adalah makanan yang ingin dinikmatinya saat ini. Dan aku duduk terpaku. Lalu aku berpikir, yah, kalau beruang ini berniat memakanku, aku takkan membiarkannya terjadi tanpa perlawanan. Tidak, Ma"am. Jadi dengan sangat perlahan-lahan dan sangat hati-hati aku mengangkat buku yang sedang kubaca".
"Apa judulnya ?", aku bertanya.
"Wah, judulnya Perang dan Damai, buku yang sangat besar. Kuangkat buku tersebut pelan-pelan, lalu kubidik dengan cermat dan kulemparkan persis ke si beruang, sambil memekik, "Pergi sana !" Dan kau tahu apa yang terjadi ?".
"Tidak, Ma"am", jawabku.
"Ia pergi. Tapi inilah yang tidak akan pernah kulupakan. Ia membawa pergi bukunya".
"Tidak", kataku.
"Ya, Ma"am", ujar Miss Franny. "Ia menyambarnya dan kabur".
"Apakah ia kembali ?", aku ingin tahu.
"Tidak, aku tak pernah melihatnya lagi. Yah, orang-orang di kota sering menggodaku tentang kejadian itu. Mereka sering bilang, "Miss Franny, kami melihat beruangmu di hutan hari ini. Ia sedang membaca bukunya dan ia bilang bukunya bagus dan bertanya apakah ia boleh meminjamnya seminggu lagi". Ya, Ma"am. Mereka memang menggodaku soal beruang itu". Ia menghela napas. "Kurasa aku satu-satunya yang masih ingat beruang tersebut. Semua temanku, setiap orang yang kukenal waktumasih muda, mereka semua telah meninggal dan pergi".
Ia mendesah lagi. Miss Franny tampak sedih dan tua dan keriput. Kadang-kadang aku juga merasa seperti itu, tak punya teman di kota yang baru dan tidak punya mama untuk menghiburku. Aku mendesah juga.
Winn-Dixie mengangkat kepala dan kaki depannya dan memandang aku dan Miss Franny bergantian. Ia kemudian duduk tegak dan memamerkan gigi-giginya pada Miss Franny.
"Wah, coba lihat itu", katanya. "Anjing itu tersenyum padaku".
"Itu bakatnya", aku memberitahunya.
"Bakat yang bagus", ujar Miss Franny. "bakat yang sangat bagus". Dan ia membalas senyum Winn-Dixie.
"Kita bisa berteman", aku berkata pada Miss Franny. "Maksudku, Anda dan aku dan Winn-Dixie, kita semua bisa berteman".
Miss Franny tersenyum mekin lebar. "Wah, asyik sekali", katanya, "pokoknya asyik".
Dan tepat pada saat itu, tepat ketika kami bertiga memutuskan untuk berteman, siapa yang berderap masuk Perpustakaan Herman W. Block Memorial selain si muka kusut Amanda Wilkinson. Ia langsung mendatangi meja Miss Fdranny dan berkata, "Aku sudah selesai membaca Johnny Tremain dan sangat menyukainya. Aku ingin bacaan yang lebih sulit sekarang, karena aku pembaca tingkat tinggi".
"Ya, Sayang, aku tahu", ujar Miss Franny. Ia berdiri dari kursinya.
Amanda berpura-pura aku tidak ada di sana. Ia memandang lurus melewatiku. "Apakah anjing diijinkan masuk perpustakaan ?", ia bertanya pada Miss Franny saat mereka melangkah menjauh.
"Anjing-anjing tertentu boleh", Miss Franny menjawab, "anjing-anjing yang sangat terpilih. Kemudian ia berbalik dan mengedipkan sebelah mata padaku. Aku balas tersenyum. Aku baru saja menemukan teman pertamaku di Naomi, dan tidak seorang pun boleh mengacaukannya, tidak juga si muka kusut Amanda Wilkinson.
Bab Delapan Bulu-bulu di pitak-pitak Winn-Dixie mulai tumbuh, dan bulu-bulu yang sejak dulu dimilikinya mulai tampak mengilap dan sehat ; dan ia juga tidak terpincang-pincang lagi. Dan kau bisa melihat bahwa ia bangga karena tampak begitu bagus, bangga karena tidak kelihatan seperti anjing liar. Menurutku yang paling diperlukannya adalah kalung anjing dan talinya, jadi aku pergi ke Toko Binatang Gertrude yang menjual berbagai ikan, ular, tikus, kadal, gerbil, dan makanan binatang, dan aku menemukan kalung anjing dari kulit merah yang sangat bagus, dengan tali yang serasi.
Winn-Dixie tidak diperbolehkan masuk ke toko binatang itu (ada papan tanda besar di pintu yang berbunyi ANJING DILARANG MASUK), jadi kubawa kalung anjing dan tali itu ke jendela. Dan Winn-Dixie, yang berdiri di sisi lain jendela, menarik bibirnya ke atas, menunjukkan gigi-giginya padaku, bersin, dan melambai-lambaikan ekornya kuat-kuat ; jadi aku tahu ia sangat menyukai perpaduan tali dan kalung anjing itu. Tapi harganya mahal sekali.
Kuputuskan untuk menjelaskan situasiku pada pria di balik konter. Aku berkata, "Aku tidak punya uang jajan cukup banyak untuk mampu membeli benda sebagus ini. Tapi aku suka sekali kalung anjing dan talinya ini, begitu juga anjingku, dan aku berpikir mungkin Anda dapat memberiku sistem pembayaran cicilan".
"Sistem pembayaran cicilan ?", ulang pria itu.
"Gertrude !", jerit seseorang dengan suara yang sangat menusuk telinga.
Aku memandang berkeliling. Ternyata yang menjerit itu burung kakaktua. Ia duduk di atas salah satu akuarium, memandang tepat ke arahku.
"Sistem pembayaran cicilan", aku berkata, mengabaikan si burung kakaktua, "Anda tahu, aku berjanji memberi uang jajanku setiap minggu dan Anda memberiku tali dan kalung anjingnya sekarang".
"Kurasa aku tidak bisa melakukannya", orang itu berkata. Ia menggeleng. "Tidak, si pemilik, ia takkan suka". Ia menunduk memandang konter. Ia tidak mau menatapku. Rambutnya hitam tebal, dan disisir ke belakang seperti Elvis Presley. Di dadanya ada papan nama bertuliskan OTIS.
"Atau aku bisa bekerja untuk Anda". Aku menambahkan. "Aku bisa datang dan menyapu lantai, mengelap rak-rak, dan membuang sampah. Aku bisa melakukan itu".
Aku memandang ke sekeliling Toko Binatang Gertrude. Di lantai berserakan pasir, kulit biji bunga matahari, dan gumpalan-gumpalan debu berukuran besar. Aku bisa melihat lantai itu perlu disapu.
"Uh", kata Otis. Ia menunduk memandang konter lagi.
"Gertrude !", si burung kakatua kembali menjerit.
"Aku sangat bisa dipercaya kok", kataku. "Aku orang baru di kota ini, tapi ayahku pendeta. Ia pendeta di Gereja Baptis Open Arms of Naomi, jadi aku jujur sejujur-jujurnya. Cuma ada satu masalah, Winn-Dixie, anjingku, ia harus ikut ke dalam bersamaku, sebab kalau kami berpisah terlalu lama, ia akan melolong keras sekali.
"Gertrude tidak suka anjing", Otis memberi tahu.
"Apakah ia pemilik toko ini ?", aku bertanya.
"Ya, maksudku, tidak, maksudku ?" Ia akhirnya mengangkat kepala. Ditunjuknya akuarium. "Itu Gertrude. Si burung kakatua. Aku menamainya seperti nama pemilik toko ini".
"Gertrude burung cantik !", jerit Gertrude.
"Ia mungkin saja menyukai Winn-Dixie", aku berkata pada Otis. "Hampir semua orang suka. Barangkali ia bisa masuk kemari dan berjumpa dengannya, dan kalau mereka berdua cocok, maka aku boleh mendapat pekerjaannya ?".
"Barangkali", gumam Otis. Ia menunduk memandang konter lagi.
Jadi aku pergi dan membuka pintu, dan Winn-Dixie berlari-lari kecil memasuki toko.
"Anjing !", pekik Gertrude.
"Aku tahu", kata Otis padanya.
Kemudian Gertrude tenang sekali. Ia duduk di atas akuarium dan memiringkan kepala ke kiri dan kanan, sambil menatap Winn-Dixie. Dan Winn-Dixie berdiri dan membalas tatapannya. Anjingku sama sekali tidak bergerak. Ia tidak mengibas-ngibaskan ekor. Ia tidak tersenyum. Ia tidak bersin. Ia hanya memandangi Gertrude dan Gertrude juga memandanginya. Lalu burung kakaktua tersebut mengembangkan sayapnya lebar sekali, terbang dan mendarat di kepala Winn-Dixie.
"Anjing", katanya serak.
Winn-Dixie mengibaskan ekornya sedikit.
Dan Otis berkata, "Kau bisa mulai hari Senin".
"Terima kasih", kataku padanya. "Anda takkan menyesal".
Ketika melangkah keluar dari Toko Binatang Gertrude, aku berkata pada Winn-Dixie, "Kau lebih jago berteman daripada siapa pun yang pernah kukenal. Aku berani bertaruh kalau mamaku mengenalmu, ia akan menganggapmu anjing paling hebat sepanjang masa".
Winn-Dixie tersenyum padaku dan aku juga tersenyum padanya, jadi kami sama-sama tidak melihat arah jalan kami dan hampir bertabrakan dengan Sweetie Pie Thomas. Ia berdiri di sana, mengisap buku jari tengahnya, menatap ke balik kaca etalase Toko Binatang Gertrude.
Ia mengeluarkan jarinya dari mulut dan memandangku. Matanya besar sekali dan bundar. "Yang duduk di kepala anjing itu burung, ya ?", ia bertanya. Rambuitnya dikuncir buntut kuda dengan pita merah jambu. Tapi buntut kudanya sangat pendek, yang kelihatan hanya pita dan beberapa helai rambut.
"Ya", jawabku. "Aku pernah melihatnya", katanya. Ia mengangguk dan memasukkan buku jarinya lagi ke mulut. Kemudian ia mengeluarkannya lagi dengan sangat cepat. "Aku juga pernah lihat anjing itu di gereja. Ia menangkap tikus. Aku mau anjing persis seperti itu, tapi mamaku tidak mengijinka aku piara anjing. Katanya kalau aku tidak nakal, aku mungkin boleh membeli ikan mas atau marmut. Begitu katanya. Boleh aku mengelus anjingmu ?".
"Tentu", aku berkata.
Sweetie Pie mengelus kepala Winn-Dixie begitu lama dan serius sampai mata anjingku setengah terpejam dan air liur menetes dari bagian samping mulutnya. "Aku akan berumur enam tahun September nanti. Aku harus berhenti mengisap buku jari kalau sudah berumur enam tahun", Sweetie Pie memberitahu. "Aku akan bikin pesta. Kau mau datang ke pestaku " Temanya merah jambu".
"Tentu", kataku.
"Boleh anjing ini datang ?", ia bertanya.
"Jelas", aku menyahut.
Dan tiba-tiba aku merasa bahagia. Aku punya anjing. Aku punya pekerjaan. Aku berteman dengan Miss Franny Block. Dan aku baru saja diundang ke pesta pertamaku di Naomi. Tidak penting undangannya datang dari anak berumur lima tahun dan pestanya baru akan diadakan September nanti. Aku sekarang tidak merasa terlalu kesepian lagi.
Bab Sembilan Bisa dibilang hampir semua yang terjadi padaku musim panas itu gara-gara Winn-Dixie. Misalnya, kalau tidak ada dia aku takkan pernah bertemu Gloria Dump. Dialah yang memperkenalkan kami.
Kejadiannya begini : Aku bersepeda pulang dari Toko Binatang Getrude dan Winn-Dixie berlari di sampingku. Kami melewati rumah Dunlap dan Stevie Dewberry, dan ketika Dunlap dan Stevie melihatku, mereka naik ke sepeda mereka dan mulai mengikutiku. Mereka tak mau bersepeda bersamaku, mereka cuma membuntutiku dan membisikkan hal-hal yang tidak dapat kudengar. Tak satu pun dari mereka nerambut, sebab ibu mereka mencukur kepala mereka setiap minggu selama musim panas karena rambut Dunlap pernah kena kutu dari kucing mereka, Sadie. Dan sekarang mereka tampak bagai dua bayi kembar yang botak, walaupun mereka sebetulnya tidak kembar. Dunlap berusia sepuluh tahun, seperti aku, dan Stevie sembilan tahun dan termasuk jangkung untuk ukuran anak seumurnya.
"Aku bisa mendengar kalian", aku berteriak ke belakang kepada mereka. "Aku bisa mendengar apa yang kalian katakan". Tapi sebetulnya tidak.
Winn-Dixie mulai berlari mendahuluiku.
"Sebaiknya kau hati-hati", Dunlap berseru. "Anjingmu lari persis ke rumah si penyihir".
"Winn-Dixei", aku memanggil. Namun Winn-Dixie terus berlari makin cepat dan melompati pintu pagar, masuk ke halaman yang ditumbuhi rumput dan semak-semak paling tinggi yang pernah kulihat.


Because Of Winn Dixie Karya Kate Dicamillo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebaiknya kaukeluarkan anjingmu dari sana", Dunlap menambahkan.
"Si penyihir akan mengganyang anjing itu", stevie menimpqali.
"Diam !", perintahku pada mereka.
Aku turun dari sepeda dan mendekati pintu pagar, lalu berteriak, "Winn-Dixie, sebaiknya kau keluar dari sana".
Tapi ia tidak muncul. "Mungkin ia sedang memakannya sekarang", ujar Stevie. Ia dan Dunlap berdiri di belakangku. "Ia biasa makan anjing".
"Enyah sana, bayi-bayi gundul", tukasku.
"Hei", kata Dunlap, "anak pendeta kok bicara seperti itu". Ia dan Stevie mundur sedikit.
Aku berdiri di sana dan berpikir-pikir sebentar. Akhirnya kuputuskan aku lebih takut kehilangan Winn-Dixie daripada harus berhadapan dengan penyihir pemakan anjing, jadi aku melewati pintu gerbang dan memasuki halaman.
"Penyihir itu akan memakan anjingmu untuk makan malam dan kau jadi hidangan penutupnya", Stevie menakut-nakuti.
"Kami akan memberitahukan apa yang terjadi padamu pada sang pendeta", Dunlap berteriak di belakangku.
Saat itu aku sudah jauh di dalam semak-semak. Di mana-mana tampak segala macam tanaman. Ada bunga, sayuran, pepohonan, dan tanaman merambat.
"Winn-Dixie ?", aku memanggil.
"Heh-heh-heh", begitu jawaban yang kudengar. "Anjing ini jelas suka makan".
Aku mengitari pohon sangat besar yang seluruh batangnya ditumbuhi lumut, dan tampaklah Winn-Dixie. Ia memakan sesuatu langsung dari tangan si penyihir. Wanita itu mendongak memandangku. "Anjing ini jelas senang selai kacang", katanya. "Kau selalu bisa mempercayai anjing yang suka selai kacang".
Ia sudah tua, kulitnya cokelat keriput. Ia memakai topi lebar berukuran besar yang penuh bunga, dan ia tak punya gigi sama sekali, namun ia tidak kelihatan seperti penyihir. Kelihatannya ia baik. dan Winn-Dixie menyukainya, aku bisa melihatnya.
"Aku minta maaf ia masuk ke kebun Anda", kataku.
"Kau tidak perlu minta maaf", katanya. "Aku suka kok ditemani".
"Namaku Opal", aku memberitahunya.
"Namaku Gloria Dump", ia menimpali. "Mengerikan ya nama belakangku " Dump " Tempat sampah ".
"Nama belakangku Buloni", aku berkata. "Kadang anak-anak di sekolahku di Watley dulu menjulukiku "makan siang?".
"Ha !", Gloria Dump tertawa. "Bagaimana dengan anjing ini " Kau memanggilnya apa ?".
"Winn-Dixie", jawabku.
Winn-Dixie memukul-mukulkan ekornya di tanah. Ia berusaha tersenyum, tapi susah, karena mulutnya penuh selai kacang.
"Winn-Dixie ?", Gloria Dump mengulangi. "Maksudmu seperti nama toserba itu ?".
"Ya, Ma"am", aku menjawab.
"Wuuuiii", katanya. "Nama yang asyik, bukan ?".
"Ya, Ma"am", kataku lagi.
"Aku sedang membuat roti lapis selai kacang", ia memberitahu. "Kau mau juga ?".
"Baiklah", jawabku. "Ya, terima kasih".
"Ayo, duduk", ia berkata, menunjuk kursi taman yang sandarannya sudah jebol. "Tapi duduklah dengan hati-hati".
Aku duduk dengan hati-hati dan Gloria Dump membuatkan aku roti lapis selai kacang dengan menggunakan roti putih.
Kemudian ia membuat roti lapis lagi untuk dirinya sendiri dan memakai gigi palsunya untuk memakan roti itu. Setelah selesai, ia berkata padaku, "Kau tahu, mataku sudah tidak terlalu tajam. Aku hanya bisa melihat bentuk kasar benda-benda, jadi aku harus mengandalkan hatiku. Bagaimana kalau kau menceritakan segala hal tentang dirimu, supaya aku dapat melihatmu dengan hatiku".
Dan karena Winn-Dixie memandang wanita itu seolah ia pemandangan paling indah yang pernah dilihatnya, dan karena roti lapis selai kacangnya enak sekali, dan karena aku telah sangat lama menunggu kesempatan menceritakan segala hal mengenai diriku, aku pun bercerita.
Bab Sepuluh Kuceritakan semuanya pada Gloria Dump. Kuceritakan padanya bahwa aku dan sang pendeta baru saja pindah ke Naomi dan bahwa aku harus meninggalkan semua temanku. Kuceritakan padanya bahwa ibuku meninggalkan aku, dan kususun daftar sepuluh hal yang kuketahui tentang dirinya ; kujelaskan bahwa di sini, di Naomi, aku merindukan mama lebih daripada kapan pun di Watley. Kukatakan padanya soal sang pendeta yang seperti kura-kura, selalu bersembunyi di dalam tempurungnya. Kuceritakan padanya tentang bagaimana aku menemukan Winn-Dixie di bagian makanan segar dan bagaimana, karena dia, aku jadi berteman dengan Miss Franny Block dan mendapat pekerjaan jadi pegawai orang bernama Otis di Toko Binatang Gertrude dan diundang ke pesta ulang tahun Sweetie Pie Thomas. Aku bahkan memberitahu Gloria bahwa Dunlap dan Stevie Dewberry menjulukinya si penyihir. Tapi kukatakan padanya bahwa mereka anak-anak leleki yang goblok, jahat, dan berkepala botak, dan aku tidak mempercayai mereka, setidaknya tidak bisa lama-lama.
Dan selama aku berbicara, Gloria Dump mendengarkan. Ia mengangguk-angguk, tersenyum, mengerutkan kening, dan berkata, "Hmmm", dan "Betulkah ?".
Aku dapat merasakan ia mendengarkan dengan sepenuh hatinya, dan aku jadi senang.
"Tahu tidak ?", ia berkata setelah aku selesai bercerita.
"Apa ?" "Mungkin saja warisan mamamu pada dirimu bukan cuma rambut merah, bintik-bintik di muka, dan kemampuan berlari cepat".
"Benarkah ?", aku bertanya. "Apa lagi ?".
"Mungkin saja kau bertangan dingin soal tanaman. Kita bverdua bisa menanam sesuatu dan melihat pertumbuhannya, menguji tanganmu".
"Oke", jawabku.
Yang dipilih Gloria Dump untuk kutanam adalah sebatang pohon. Atau begitulah katanya. Di mataku, pohon itu lebih mirip semak. Ia menyuruhku menggali lubang, memasukkannya, dan menepuk-nepuk tanah di sekelilingnya supaya padat, seperti menepuk-nepuk bayi yang akan ditidurkan.
"Pohon apa ini ?", aku bertanya pada Gloria Dump.
"Pohon lihat-saja-nanti", jawabnya.
"Apa artinya itu ?"
"Artinya kau harus menunggu ia tumbuh baru kau tahu pohon apa ini ".
"Boleh aku datang lagi dan melihatnya besok ?", aku bertanya.
"Nak", katanya, "selama ini masih jadi tamanku, kau boleh memasukinya. Tapi pohon iti tidak akan berubah banyak besok ".
"Tapi aku ingin bertemu Anda juga", aku menambahkan.
"Hmmmph", ujar Gloria Dump. "Aku takkan ke mana-mana. Aku akan ada di sini".
Setelah itu aku membangunkan Winn-Dixie. Kumisnya berlepotan selai kacang, dan ia terus menguap dan menggeliat. Dijilatnya tangan Gloria Dump sebelum kami pergi, dan aku mengucapkan terima kasih pada wanita tua tersebut.
Malamnya, ketika sang pendeta akan menidurkan aku, kuceritakan padanya bagaimana aku memperoleh pekerjaan di Toko Binatang Gertrude, dan kuberitahu dia cerita komplet mengenai bagaimana aku jadi berteman dengan Miss Franny Block dan diundang ke pesta Sweetie Pie, dan aku juga menceritakan pertemuanku dengan Gloria Dump. Winn-Dixie berbaring di lantai, menunggu sang pendeta pergi supaya ia bisa melompat ke tempat tidur seperti yang biasa dilakukannya. Sesudah aku selesai berbicara, sang pendeta memberiku ciuman selamat malam, kemudian ia membungkuk dalam-dalam dan mencium Winn-Dixie juga, tepat dipuncak kepalanya.
"Kau boleh bangun dan melompat ke atas sini sekarang", ia berkat apada Winn-Dixie.
Winn Dixie memandang sang pendeta. Ia tak tersenyum padanya, namun ia membuka mulutnya lebar-lebar seperti tertawa, seolah sang pendeta baru saja mengatakan lelucon paling lucu sedunia, dan inilah yang paling membuatku takjub ; sang pendeta ikut tertawa. Winn-Dixie melompat ke tempat tidur, dan sang pendeta bangun dan mematikan lampu. Aku membungkuk dan mencium Winn-Dixie juga, persis di hidung, tapi ia tidak menyadarinya. Ia sudah pulas dan mendengkur.
Bab Sebelas Malam itu badai guntur yang hebat melanda. Tapi yang membangunkan aku bukan guntur dan kilat, melainkan Winn-Dixie. Ia menguik-uik dan memukul-mukulkan kepala ke pintu kamarku.
"Winn-Dixie", aku memanggil. "Kenapa kau ?".
Ia sama sekali tidak memedulikan aku. Ia terus saja memukul-mukulkan kepala ke pintu, sambil menguik-uik dan mendengus-dengus. Ketika aku turun dari tempat tidur dan mendatanginya, lalu memegang kepalanya, ia gemetar begitu hebat sampai aku ketakutan. Aku berlutut dan memeluknya erat-erat, namun ia tidak menoleh dan memandangku atau tersenyum atau bersin atau mengibas-ibaskan ekor, atau melakukan aksi Winn- Dixie yang normal ; ia tetap memukul-mukulkan kepalanya ke pintu, sambil menangis dan gemetar.
"Kau mau pintunya dibuka ?", aku bertanya. "Heh " Itukah yang kau mau ?" Aku berdiri dan membuka pintu dan Winn-Dixie langsung terbang melewatinya seolah ada makhluk besar , jelek, dan jahat mengejarnya.
"Winn-Dixie", aku mendesis, "kembali kemari". Aku tidak mau ia membangunkan sang pendeta.
Tapi sudah terlambat. Winn "Dixie sudah berada di ujung lain karavan, di dalam kamar sang pendeta. Aku bisa mengetahuinya sebab terdengar bunyi toiiiiing yang pasti karena Winn-Dixie melompat ke tempat tidur, kemudian ada suara sang pendeta yang menunjukkan ia sangat terkejut. Tapi semua suara tadi tidak bertahan lama, sebab Winn-Dixie melesat keluar dari kamar sang pendeta, terengah-engah dan lari seperti gila. Aku mencoba menyambarnya, tapi ia terlalu cepat.
"Opal ?", panggil sang pendeta. Ia berdiri di ambang pintu kamarnya, rambutnya kacau-balau, berdiri semua di puncak kepala, dan ia memandang sekitarnya seakan tidak tahu di mana dia berada. "Opal, ada apa ?".
"Entahlah", jawabku. Tapi, tepat pada saat itu terdengar derak keras petir, begitu keras sehingga menggetarkan seluruh karavan. Winn-Dixie melesat keluar dari kamarku dan berlari ngebut melewatiku. Aku menjerit, "Daddy, awas !".
Namun sang pendeta masih bingung. Ia berdiri bengong di sana, dan Winn-Dixie meluncur tepat ke arahnya seperti bola boling dan sang pendeta satu-satunya pin yang tersisa, dan brak, mereka sama-sama jatuh ke lantai.
"Uh-oh", kataku.
"Opal ?", ujar sang pendeta. Ia tertelungkup, dan Winn-Dixie duduk di atasnya, terengah-engah dan menguik-uik.
"Ya, Sir", aku menjawab.
"Opal", ujar sang pendeta lagi.
"Ya, Sir", jawabku dengan suara lebih keras.
"Kau tahu yang namanya ketakutan patologis ?"
"Tidak, Sir", aku menyahut.
Sang pendeta mengangkat tangan. Digosok-gosoknya hidungnya. "Yah", katanya, beberapa saat kemudian, "itu rasa takut yang jauh melebihi rasa takut yang normal. Itu rasa takut yag tidak bisa dihilangkan biarpun kau sudah dibujuk atau diberi penjelasan".
Persis pada saat itu terdengar derak petir lagi dan Winn-Dixie tersentak berdiri seakan ada yang menusuknya dengan sesuatu yang panas. Begitu menyentuh lantai lagi, ia mulai berlari. Ia berlari kembali ke kamarku dan aku bahkan tidak berusaha menangkapnya ; aku langsung minggir saja.
Sang pendeta tergeletak di lantai, menggosok-gosok hidung. Akhirnya ia duduk. Ia berkata, "Opal, aku yakin Winn-Dixie menderita ketakutan patologis terhadap badai guntur". Dan begitu ia selesai bicara, Winn-Dixie muncul lagi, berlari seolah nyawanya terancam. Kutarik sang pendeta dari lantai dan menyingkirkannya tepat pada waktunya.
Kelihatannya tidak ada yang dapat kami lakukan bagi Winn-Dixie untuk membuatnya merasa lebih baik, jadi kami duduk saja dan menontonnya lari mondar-mandir, ketakutan dan terengah-engah. Dan setiap kali terdengar derak petir, Winn-Dixie bersikap seolah kiamat telah tiba.
"Badai ini takkan berlangsung lama", sang pendeta memberitahu aku. "Dan kalau badai sudah berlalu, Winn-Dixie yang sebenarnya akan kembali".
Setelah beberapa lama badai memang berlalu. Hujan berhenti. Dan tidak ada lagi petir, dan akhirnya gemuruh terakhir guntur pun pergi dan Winn-Dixie berhenti lari bolak-balik. Ia datang ke tempat aku dan sang pendeta duduk dan menelengkan kepala, seolah berkata, "Apa maksud kalian berdua, tidak berada di tempat tidur tengah malam begini ?".
Kemudian ia naik ke sofa bersama kami dengan cara lucu yang biasa dilakukannya : ia naik ke sofa sedikit demi sedikit, bisa dibilang merayap, memandang ke arah yang berbeda, seakan semua itu tak sengaja terjadi, seakan ia tidak bermaksud naik ke sofa, tapi tiba-tiba, ia sudah ada di sana.
Jadi kami bertiga duduk di sofa. Kubelai-belai kepala Winn-Dixie dan kugaruk-garuk bagian belakang kupingnya seperti yang disukainya. Dan sang pendeta berkata, "Pada musim panas, di Florida sering sekali terjadi badai guntur".
"Ya, Sir", sahutku. Aku takut ia akan bilang kami tidak bisa memelihara anjing yang jadi sinting karena ketakutan patologis setiap kali ada petir berderak
"Kita harus mengawasi dia", sang pendeta menambahkan. Dipeluknya Winn-Dixie. "Kita harus memastikan ia tidak keluar waktu ada badai. Ia bisa kabur. Kita harus memastikan keselamatannya".
"Ya, Sir", kataku lagi. Mendadak aku jadi susah bicara. Aku sangat menyayangi sang pendeta. Aku menyayanginya karena ia menyayangi Winn-Dixie. Aku menyayanginya karena ia mau memaafkan Winn-Dixie yang ketakutan. Tapi yang paling utama aku menyayanginya karena ia memeluk Winn-Dixie seperti itu, seakan saat ini pun ia sudah berusaha memastikan keselamatannya.
Bab Dua Belas Aku dan Winn-Dixie sampai ke Toko Binatang Gertrude begitu pagi pada hari kerja pertamaku sehingga tanda TUTUP masih tergantung di jendela. Tapi waktu kudorong pintunya, ternyata terbuka, jadi kami pun masuk. Aku hampir berteriak memberitahu Otis bahwa kami sudah datang, tapi aku lalu mendengar suara musik. Seumur hidupku, itulah musik paling indah yang pernah kudengar. Aku memandang sekelilingku untuk melihat dari mana asalnya, dan ketika itulah aku baru menyadari bahwa semua binatang berada diluar kandang mereka. Ada kelinci, marmut, gerbil, tikus, burung, kadal, dan ular, dan mereka semua duduk diam lantai seolah berubah jadi patung. Otis berdiri di tengah-tengah mereka. Ia bermain gitar dan memakai sepatu bot koboi dari kulit yang bagian depannya mencuat. Diketuk-ketukannya sepatunya saat ia bermain musik. Matanya terpejam dan ia tersenyum.
Ekspresi wajah Winn-Dixie tampak seperti sedang melamun. Ia tersenyum sangat manis pada Otis, lalu bersin dan kumisnya jadi basah. Ia kemudian mendesah dan bisa dibilang terpaku di lantai bersama semua binatang lain. Tepat pada saat itu, Gertrude melihat Winn-Dixie. "Anjing", ia berkata parau, lantas terbang dan mendarat di kepalanya. Otis mendongak memandangku. Ia berhenti main gitar dan suasana khidmat tadi pun berakhir. Kelinci-kelinci mulai berlompatan, burung-burung mulai terbang, kadal-kadal mulai kabur, ular-ular mulai merayap, dan Winn-Dixie mulai menyalak dan mengejar semua yang bergerak, sedangkan Otis berteriak, "Tolong aku !".
Selama waktu yang rasanya lama sekali, aku dan Otis berlarian ke sana kemari untuk mencoba menangkap semua tikus, gerbil, marmut, ular, dan kadal itu. Kami berulang kali bertabrakan dan tersandung binatang-binatang tersebut, dan Gertrude terus berteriak-teriak, "Anjing ! Anjing !".
Setiap kali berhasil menangkap sesuatu, aku memasukkannya ke kandang pertama yang kulihat ; aku tak peduli kandangnya benar atau tidak. Aku langsung saja memasukkannya dan membanting pintunya. Dan saat sibuk menangkapi makhluk-makhluk itu, aku berpikir Otis pasti semacam pawang ular, soalnya ia mampu membuat binatang-binatang mematung dengan permainan gitarnya. Lalu aku berpikir, ini konyol. Aku berteriak mengalahkan suara salakan Winn-Dixie dan teriakan Gertrude. Kubilang, "Mainkan musik lagi, Otis".
Ia menatapku sebentar. Kemudian ia memainkan gitarnya, dan dalam beberapa detik semua senyap, Winn-Dixie berbaring di lantai, mengedip-ngedipkan mata dan tersenyum sendiri, lalu bersin sesekali, sementara para tikus, gerbil, kelinci, kadal, dan ular yang belum kami tangkap jadi diam dan duduk tak bergerak. Kupungut mereka satu demi satu dan kumasukkan kembali ke kandang.
Setelah aku selesai, Otis berhenti bermain. Ia menunduk memandang sepatu botnya. "Aku hanya main musik sebentar buat mereka. Mereka jadi senang".
"Ya, Sir", kataku. "Apakah mereka kabur dari kandang ?".
"Tidak", jawab Otis. "Aku mengeluarkan mereka. Aku sedih mereka dikurung terus. Aku tahu bagaimana rasanya, dikurung begitu".
"Oya ?", aku berkata.
"Aku pernah dipenjara", Otis melanjutkan. Ia memandangku sekilas kemudian menatap sepatu botnya lagi.
"Benarkah ?", aku menegaskan.
"Sudahlah", kata Otis. "Kau kemari untuk menyapu lantai, kan ?".
"Ya, Sir", jawabku.
Ia berjalan menuju konter dan mulai menggali tumpukan barang, dan akhirnya memegang sapu.
"Nih", katanya. "Sebaiknya kau mulai menyapu". Tapi ia pasti sedang bingung. Ia menyodorkan gitarnya padaku, bukan sapu.
"Dengan gitarmu ?".
Ia merah padam dan menyerahkan sapu padaku. Aku mulai bekerja. Aku penyapu yang andal. Kusapu seluruh penjuru toko, lantai mengelap beberapa rak. Sementara aku bekerja, Winn-Dixie mengikutiku, dan Gertrude mengikutinya, terbang di belakangnya dan duduk di kepala dan punggungnya, sambil menguak sangat pelan pada dirinya sendiri, "Anjing, anjing".
Setelah aku selesai, Otis berterima kasih padaku. Kutinggalkan Toko Binatang Gertrude sambil berpikir bahwa sang pendeta mungkin tidak akan terlalu suka aku bekerja pada kriminal.
Sweetie Pie Thomas sudah menungguku di depan. "Aku lihat", katanya. Ia berdiri di sana dan mengisap buku jarinya, memandangiku.
"Lihat apa ?", aku bertanya.
"Aku lihat semua binatang keluar kandang dan diam saja. orang itu tukang sihir ?", ia bertanya.
"Begitulah", aku berkata padanya.
Ia memeluk leher Winn-Dixie. "Persis seperti anjing toserba ini, kan ?".
"Betul", kataku.
Aku mulai berjalan, dan Sweetie Pie mengeluarkan buku jari dari mulutnya dan menggenggam tanganku.
"Mau kau datang ke pesta ulang tahunku ?", ia bertanya.
"Tentu", kataku padanya.
"Temanya merah jambu", ia menambahkan.
"Aku tahu", sahutku.
"Aku harus pergi", katanya tiba-tiba. "Aku harus pulang dan memberitahu mamaku tentang apa yang kulihat. Aku tinggal di ujung sana. Di rumah kuning itu. Itu mamaku di teras. Kau melihatnya " Ia melambai padamu".
Aku melambai pada wanita di teras itu dan ia membalasnya. Kupandangi Sweetie Pie yang berlari mendatangi mamanya untuk bercerita tentang Otis si tukang sihir. Aku jadi teringat pada mamaku sendiri dan betapa aku ingin memberitahunya mengenai Otis yang memikat semua binatang. Aku mengumpulkan cerita-cerita untuknya. Aku juga ingin bercerita padanya soal Miss Franny dan beruang, dan soal pertemuan dengan Gloria Dump dan bahwa aku sempat percaya ia penyihir. Aku merasa kisah-kisah seprti inilah yang disukai mamaku, kisah yang akan membuatnya tertawa terbahak-bahak, yang kata sang pendeta merupakan tawa khasnya.
Bab Tiga Belas Aku dan Winn-Dixie jadi punya kegiatan rutin setiap hari. Kami meninggalkan karavan pagi-pagi dan sampai di Toko Binatang Gertrude tepat pada waktunya untuk mendengar Otis main gitar bagi binatang-binatang. Kadang-kadang Sweetie Pie juga menyelinap masuk untuk mendengarkan konser. Ia duduk di lantai dan memeluk Winn-Dixie, sambil menggoyang-goyangnya ke depan dan ke belakang, seolah ia boneka beruang besar. Kemudian setelah musik berakhir, ia berjalan berkeliling untuk mencoba memilih bintanag mana yang akan dipeliharanya ; namun ia sellau menyerah dan pulang, sebab satu-satunya binatang yang ingin dipeliharanya hanyalah anjing seperti Winn-Dixie. Sesudah ia pergi, aku menyapu, bersih-bersih, dan bahkan menata beberapa rak Otis, karena pria itu tidak pandai menata barang-barang dan aku pandai. Dan ketika aku selesai bekerja, Otis menuliskan waktuku di buku catatan yang bagian luarnya ditulisinya, "Satu kalung anjing dari kulit merah, satu tali anjing dari kulit merah". Dan selama ini, ia tidak pernah sekali pun bersikap seperti kriminal.
Setelah bekerja di Toko Binatang Gertrude, aku dan Winn-Dixie pergi ke Perpustakaan Herman W. Block Memorial dan mengobrol dengan Miss Franny Block, mendengarkan ia bercerita pada kami. Tapi tempat favoritku musim panas itu adalah halaman rumah Gloria Dump. Dan kurasa itu juga tempat favorit Winn-Dixie, sebab ketika kami sampai di blok terakhir sebelum rumah wanita itu, Winn-Dixie melesat meninggalkan sepedaku dan berlari secepat kilat, menuju halaman belakang rumah Gloria Dump dan selai kacang yang akan diterimanya.
Kadang-kadang Dunlap dan Stevie Dewberry membuntutiku. Mereka berteriak-teriak, "Itu dia si putri pendeta, mengunjungi penyihir".
"Ia bukan penyihir", aku memberitahu mereka. Aku marah sekali karena mereka tidak mau mendengarkan aku dan terus meyakini apa pun yang ingin mereka yakini tentang Gloria Dump.
Suatu kali Stevie berkata padaku, "Mamaku bilang mestinya kau tidak menghabiskan seluruh waktumu terkurung di toko binatang dan perpustakaan itu, duduk-duduk mengobrol dengan ibu-ibu tua. Katanya kau seharusnya menikmati udara segar di luar dan bermain dengan anak-anak seumurmu. Itulah kata mamaku".
"Oh, jangan ganggu dia", Dunlap mengomeli Stevie. Kemudian ia menoleh padaku. "Ia tidak serius kok".
Tapi aku sudah keburu marah besar. Aku berteriak pada Stevie. Kubilang, "Aku tidak peduli apa kata mamamu. Ia bukan mamaku, jadi ia tidak bisa melarang-larang aku".
"Aku akan bilang pada mamaku kau ngomong begitu", Stevie balas berteriak, "dan ia akan membertahu ayahmu dan ayahmu akan mempermalukan kau di depan seluruh jemaat gereja. Dan penjaga toko binatang itu cacat mental dan pernah dipenjara. Aku ingin tahu apakah ayahmu mengetahuinya".
"Otis tidak cacat mental", aku menukas. "Dan ayahku tahu ia pernah dipenjara". Aku bohong. Namun aku tidak peduli. "Dan kau silakan saja mengadukan aku, dasar bayi besar botak".
Aku bersumpah, aku nyaris kehabisan tenaga karena marah-marah pada Dunlap dan Stevie Dewberry setiap hari ; sesampainya di halaman rumah Gloria Dump aku merasa seperti tentara yang barusan bertempur habis-habisan. Gloria Dump langsung membuatkan aku roti lapis selai kacang, kemudian ia menuangkan secangkir kopi untukku yang terdiri atas setengah gelas kopi dan setengah gelas susu. Biasanya setelah itu aku jadi merasa segar lagi.
"Kenapa kau tidak bermain dengan anak-anak lelaki itu ?", Gloria bertanya padaku.
"Karena mereka tolol", jawabku. "Mereka masih menganggapmu penyihir. Padahal sudah berkali-kali aku memberitahu mereka kau bukan penyihir".
"Menurutku mereka cuma berusaha berteman denganmu dengan cara yang berbelit-belit", Gloria menimpali.
"Aku tidak mau jadi teman mereka", tukasku.
"Siapa tahu asyik punya teman anak laki-laki ?".
"Aku lebih suka mengobrol denganmu", aku berkata. "Mereka goblok. Dan jahat. dan mereka laki-laki".
Gloria menggeleng dan menghela napas, kemudian ia menanyakan kabar di dunia luar dan apakah aku punya kisah untuk diceritakan padanya. Dan aku selalu punya.
Bab Empat Belas Kadang-kadang kuceritakan pada Gloria kisah yang baru saja disampaikan Miss Franny Block padaku. Atau kutiru Otis yang mengetuk-ngetukkan sepatu bot berujung runcingnya dan bermain musik untuk semua binatang, dan itu selalu membuatnya tertawa. Dan kadang aku mengarang cerita dan Gloria Dump mendengarkannya sampai selesai, dari awal sampai akhir. Ia bercerita dulu suka sekali membaca cerita, namun sekarang tidak bisa lagi karena matanya telah sangat kabur.
"Tidak bisakah kau memakai kacamata sangat tebal saja ?", aku bertanya padanya.
"Nak", katanya. Tidak ada kacamata yang cukup tebal untuk mata ini".
Suatu hari, setelah acara bercerita selesai, kuputuskan untuk memberitahu Gloria bahwa Otis kriminal. Kupikir mungkin sebaiknya aku memberitahu orang dewasa tentang hal tersebut, dan Gloria orang dewasa paling pas yang kukenal.
"Gloria", aku memanggil.
"Mmmm-hmmm", jawabnya.
"Kau kenal Otis ?".
"Aku tidak mengenalnya. Tapi aku tahu apa yang kauberitahukan padaku tentang dia".
"Yah, dia kriminal. Ia pernah dipernjara. Apakah menurutmu mestinya aku takut padanya ?".
"Karena apa ?".
"Entahlah. Karena melakukan hal-hal buruk, kurasa. Karena dipenjara".
"Nak", Gloria berkata, "biar kutunjukkan sesuatu padamu". Ia bangun dari kursinya pelan-pelan sekali dan memegang lenganku. "Mari kita berdua jalan ke bagian belakang halaman".
"Oke", kataku. Kami berjalan dan Winn-Dixie mengikuti persis di belakang kami. Halamannya luas sekali dan aku belum pernah ke belakangnya. Sesampainya di pohon tua yang amat besar, kami berhenti.
Mencari Bende Mataram 19 Sherlock Holmes - Petualangan Penyewa Dorset Street Siluman Penghisap Darah 1

Cari Blog Ini