Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet Bagian 1
SBOOK BY OBI PRC BY OTOY http://ebukita.wordpress.com
KEKAYAAN YANG MENYESATKAN
SKANDAL PERBANKAN TERBESAR DI INGGRIS
Pada tahun 1866, seorang murid Windfield School mati tenggelam secara misterius
ketika berenang di kolam bersama teman-temannya. Misteri ini tak pernah
terpecahkan hingga bertahun-tahun kemudian. Anak-anak yang terlibat, mengambil
jalan hidup masing-masing setelah dewasa, namun nasib menakdirkan mereka untuk
bersilang jalan kembali dalam skala yang jauh lebih besar dan penting: Hugh
Pilaster yang selalu bersaing dengan sepupunya, Edward Pilaster, dalam
memperebutkan posisi mitra di bank keluarga mereka yang berpengaruh; Micky
Miranda, pemuda tampan putra seorang tuan tanah yang kejam di Kordoba, dan
Antonio Silva, teman senegara Micky yang mengagumi sekaligus takut padanya.
Berawal dari tragedi semasa sekolah itu, dimulailah serangkaian kebohongan yang
terus berlanjut hingga tiga dekade dan meracuni mereka semua, dan pada puncaknya
mengakibatkan keruntuhan Pilasters Bank dalam skandal perbankan paling
menghebohkan pada masa itu.
Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu
ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama
7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta
rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama S (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah).
KEKAYAAN YANG MENYESATKAN
KEN FOLLETT Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 1996
A DANGEROUS FORTUNE by Ken Follett Copyright " 1993 by Ken Follett All rights
reserved including the rights of reproduction in whole or in part in any form.
KEKAYAAN YANG MENYESATKAN
Dialihbahasakan oleh John Marto Desain cover oleh Pagut Lubis
GM402 96.154 Hak cipta terjemahan Indonesia: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270 Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit
PT Gfiamedia Pustaka Utama, anggota IKAPI, Jakarta, September 1996
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) FOLLETT, Ken
Kekayaan Yang Menyesatkan/Ken Follett; alihbahasa, John Marto.Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996. 656 him.; 18 cm.
Judul Asli: A Dangerous Fortune ISBN 979-655-154-3
I. Judul. 813 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan
UCAPAN TERIMA KASIH Kepada teman-teman, relasi, dan rekan-rekan di bawah ini, saya mengucapkan
terima kasih atas bantuan besar yang diberikan pada saya untuk penulisan buku
ini: Carole Baron, Joanna Bourke, Ben Braber, George Brennan, Jackie Farber,
Barbara Follett, Emanuele Follett, Katya Follett, Michael Haskoll, Pam Mendez,
M.J. Orbell, Richard Overy, Dan Starer, Kim Turner, Ann Ward, Jane Wood dan Al
Zuckerman. SILSILAH KELUARGA Pilaster JOHN PILASTER [almarhum] EZEKIEL [almarhum] SETH MADELEINE + GEORGE"YOUNG" WILLIAM
HARTSHORN BEATRICE JOSEPH + AUGUSTA TOBIAS + LYDIA SAMUEL
EDWARD CLEMENTINE HUGH DOTTY
HARRY TONKS PROLOG 1866 SBOOK BY OBI PRC BY OTOY http://ebukita.wordpress.com
PADA hari terjadinya tragedi itu, para murid laki-laki Windfield School tidak
diizinkan meninggalkan kamar mereka.
Semuanya berawal pada suatu hari Sabtu yang terik di bulan Mei. Para murid
biasanya melewatkan waktu sesudah tengah hari di lapangan sebelah selatan.
Sebagian bermain cricket dan yang lainnya menonton dari sisi yang rindang
kawasan pepohonan Bishop's Wood. Tapi di luar kebiasaan, ternyata ada yang
melakukan tindak kriminal. Enam keping uang logam emas satu poundsterling telah
dicuri dari meja Dr. Offerton. guru bahasa Latin, dan seluruh murid menjadi
sasaran kecurigaan. Semua dikurung, tidak diperbolehkan keluar dari kamar dan
gedung sekolah sampai pencurinya dibekuk.
Micky Miranda duduk menghadap mejanya yang penuh ukiran inisial sejumlah murid
laki-laki dari beberapa kelas sebelumnya yang dilanda kebosanan. Di salah satu
tangannya ada buku terbitan pemerintah berjudul Equipment of Infantry. Gambargambar pedang, senapan kuno. dan senapan modern biasanya mampu membuatnya
terpesona, tapi kali ini ia merasa terlalu gerah, sehingga tak bisa
berkonsentrasi. Di sisi lain meja itu, teman sekamarnya, Edward Pilaster, sedang
menulis di sebuah buku latihan bahasa Latin. Ia menyontek satu halaman yang
diterjemahkan Micky dari buku Plutarch. Kini ia menudingkan salah satu jarinya
yang ternoda tinta dan berkata, "Aku tak bisa membaca kata ini."
Micky menoleh. "Decapitated" katanya. "Kata ini sama dengan kata Latin,
decapitare." Bagi Micky, bahasa Latin itu gampang, barangkali karena sebagian
besar kata-katanya serupa dengan kosa kata dalam bahasa Spanyol, bahasa ibunya.
Pen Edward terus mencoret. Micky bangkit dengan gelisah dan beranjak ke jendela
yang terbuka. Tak ada embusan angin. Ia memandang dengan penuh kerinduan ke
halaman istal yang menuju hutan. Ada tempat berenang yang teduh di tambang batu
dan pasir yang tidak" digunakan lagi, di ujung utara Bishop's Wood. Airnya
dingin dan dalam. "Kita berenang, yuk," ujarnya sekonyong-konyong.
"Tidak bisa," kata Edward.
"Kita bisa keluar lewat sinagog." Yang dimaksud "sinagog" adalah kamar sebelah,
yang ditempati oleh tiga murid dari keluarga Yahudi. Windfield School
mengajarkan teologi dengan sentuhan sangat netral, tidak terikat pada satu
mazhab agama, juga sangat toleran terhadap perbedaan-perbedaan keagamaan. Karena
itu, sekolah ini berhasil menarik minat para orangtua Yahudi, keluarga Edward
yang anggota Kristen Methodist, dan ayah Micky yang Katolik. Tapi, kendati ada
perlindungan resmi sekolah, para murid Yahudi hingga tingkat tertentu tetap saja
mendapat perlakuan buruk dari teman-teman sekolah. Micky melanjutkan, "Kita bisa
lolos melalui jendela mereka dan terjun ke atap ruang cuci, merayap menuruni
sisi istal yang tidak bertingkap, dan menyelinap ke hutan."
Edward kelihatan takut. "Kita akan dipukul dengan Striper kalau tertangkap."
Striper adalah tongkat dari tangkai pohon ash yang digunakan oleh kepala
sekolah, Dr. Poleson. Hukuman untuk murid yang melanggar hukuman kurungan dalam
gedung sekolah adalah dua belas pukulan yang menyakitkan. Micky pernah digebuk
oleh Dr. Poleson, karena berjudi, dan ia masih bergidik jika memikirkannya.
Namun kecil kemungkinan ia akan tertangkap, dan bayangan meluncur ke dalam ke
kolam begitu menyenangkan, sehingga ia hampir dapat merasakan dinginnya air yang
menyentuh kulitnya yang bermandi keringat karena kepanasan.
Ia menatap teman sekamarnya. Edward tidak disenangi di sekolah: ia terlalu malas
untuk bisa menjadi murid yang baik, terlalu canggung untuk berprestasi dalam
olah raga, dan terlalu egois untuk memiliki banyak teman. Micky adalah temannya
satu-satunya, dan ia tidak senang Micky bermain dengan anak-anak lain. "Coba
kita tanya Pilkington, dia mau ikut tidak," kata Micky, dan melangkah ke pintu.
"Jangan ajak dia," kata Edward cemas.
"Kenapa tidak?" kata Micky. "Kau terlalu takut."
"Aku tidak takut," kala Edward. Ucapan yang sulit dipercaya. "Aku harus
menyelesaikan PR bahasa Latinku."
"Kalau begitu, selesaikan saja sementara aku berenang dengan Pilkington."
Edward kelihatan bersikeras sesaat, lalu mengalah. "Baiklah, aku ikut," katanya
enggan. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Micky membuka pintu. Terdengar sedikit bunyi berisik dari bagian lain gedung,
tapi tidak terlihat ada guru di lorong rumah. Ia bergegas ke kamar sebelah.
Edward menyusul. SBOOK BY OBI PRC BY OTOY http://ebukita.wordpress.com
"Halo, orang Ibrani." ujar Micky.
Dua dari ketiga anak di situ sedang bermain kartu di meja. Mereka memandang
Micky sekilas, kemudian meneruskan permainan tanpa mengucapkan sepatah kata.
Anak ketiga, Fatty Greenbourne, sedang makan sepotong kue. Ibunya selalu
mengiriminya makanan. "Halo juga untuk kalian berdua," katanya ramah. "Mau kue?"
"Demi Tuhan, Greenbourne, kamu makan kayak babi hutan," ucap Micky.
Fatty angkat bahu dan terus melahap kuenya. Ia sering diolok-olok karena
tubuhnya yang gemuk, dan karena ia orang Yahudi, tapi ia tak peduli. Konon
ayahnya orang paling kaya di dunia; mungkin itu membuatnya kebal terhadap ejekan
apa pun, pikir Micky. Micky berjalan ke jendela, membukanya, melihat ke
sekeliling. Halaman istal lengang. Fatty berkata; "Kalian mau apa?"
"Mau berenang," kata Micky.
"Nanti digebuk."
Edward berkata dengan memelas, "Ya, sudah tahu."
Micky duduk di palang jendela, bertiarap, melorotkan tubuhnya dan menjatuhkan
diri beberapa inci ke atas atap ruang cuci yang miring. Ia mengira mendengar
bunyi genteng retak, namun atap itu ternyata cukup kuat menyangga berat
badannya. Ia melihat sekilas ke atas. Edward sedang memandang ke luar jendela
dengan cemas. "Ayo," kata Micky. Ia menuruni atap dan menggunakan pipa saluran
untuk memudahkan dirinya sampai ke tanah. Semenit kemudian, Edward mendarat di
sampingnya. Micky mengintai ke sekitar sudut dinding ruang cuci. Tidak tampak seorang pun.
Tanpa ragu-ragu lagi ia melesat melintasi halaman istal dan menerobos hutan. Ia
berlari melintasi pepohonan, hingga ia yakin dirinya tidak terlihat lagi dari
kompleks gedung sekolah. Kemudian ia berhenti untuk melepaskan lelah. Edward
menyusul di sebelahnya. "Kita berhasil!" seru Micky. "Tidak ada yang melihat
kita." "Kita mungkin tertangkap waktu pulangnya," kata Edward dengan gundah.
Micky tersenyum padanya. Penampilan Edward sangat khas Inggris; rambutnya lurus
dan agak pucat, mata biru, dan hidung besar seperti pisau berbilah lebar.
Tubuhnya jangkung, bahunya bidang, kekar tapi tak selaras. Selera berbusananya
benar-benar payah. Ia dan Micky sebaya, enam belas tahun, namun dalam hal-hal
tertentu mereka sangat kontras: Micky memiliki rambut hitam pekat dan ikal, dan
sepasang mata hitam; ia cermat sekali dalam segi penampilan, tidak suka
kelihatan tidak rapi atau kotor. "Percayalah padaku. Pilaster," kata Micky. "Kan
aku selalu menjagamu?"
Edward tersenyum, marahnya agak reda. "Ayo, kita pergi."
Mereka menelusuri jalan setapak yang nyaris tak terlihat, menembus hutan. Udara
terasa lebih sejuk di bawah pepohonan beech dan elm, dan Micky merasa lebih
nyaman. "Apa rencanamu selama musim panas ini?" tanyanya pada Edward.
"Biasanya kami pergi ke Skotlandia pada bulan Agustus."
"Apa keluargamu punya pondok berburu di sana?" Micky menggunakan jargon kalangan
atas Inggris, dan ia tahu betul bahwa "pondok" merupakan istilah yang tepat,
walaupun yang dimaksud adalah sebuah puri berkamar lima puluh.
"Keluargaku menyewa tempat," jawab Edward. "Tapi kami tidak menembak burung atau
binatang di Skotlandia. Ayahku bukan penggemar berburu."
Micky mendengar nada defensif dalam suara Edward dan merenungkan maknanya. Ia
tahu kaum aristokrat Inggris suka menembak burung pada bulan Agustus dan berburu
rubah selama musim dingin. Ia juga tahu kaum aristokrat tidak menyekolahkan
anaknya ke sini. Para ayah murid Windfield lebih tepat disebut pengusaha dan
para teknokrat ketimbang earl dan bishop, dan orang-orang seperti mereka tidak
punya waktu untuk berburu atau menembak. Keluarga Pilaster adalah bankir ketika
Edward berucap, "Ayahku bukan penggemar berburu," ia mengakui bahwa keluarganya
tidak termasuk golongan bangsawan.
Micky heran mengapa orang Inggris lebih menghormati orang yang bermalas-malasan
daripada yang bekerja. Di negerinya sendiri, yang dihormati bukanlah kaum
bangsawan yang tak punya tujuan hidup atau pengusaha yang bekerja keras.
Masyarakat negeri Micky tidak menghormati apa pun kecuali kekuasaan. Kalau
seseorang memiliki kekuasaan untuk mengendalikan
orang lain untuk makan atau membuat mereka kelaparan, memenjarakan atau
membebaskan mereka, membunuh atau membiarkan mereka hidup, apa lagi yang mereka
butuhkan" SBOOK BY OBI PRC BY OTOY http://ebukita.wordpress.com
"Kau bagaimana?" tanya Edward. "Bagaimana kau akan melewatkan musim panas?"
Micky sudah berharap temannya akan menanyakan hal itu. "Di sini," katanya. "Di
sekolah." "Apa" Masa lagi-lagi kau melewatkan masa liburan di sekolah ini?"
"Terpaksa, karena aku tak bisa pulang. Butuh waktu enam minggu untuk sekali
jalan saja. Aku harus kembali sebelum sampai di sana."
"Astaga, repot sekali."
Sebenarnya Micky tak ingin pulang. Ia tidak suka rumahnya, apalagi sejak ibunya
meninggal dunia. Yang ada di sana sekarang laki-laki semua: ayahnya, kakaknya
Paulo, beberapa orang paman dan sepupu, dan empat ratus koboi. Ayah adalah sosok
pahlawan bagi mereka dan orang asing bagi Micky: sikapnya dingin, sulit
didekati, tidak sabaran. Tapi yang paling menyebalkan adalah kakak laki-Iakinya,
Paulo. Paulo agak bebal, tapi kuat. Ia benci Micky karena Micky lebih pintar,
dan karenanya ia senang merendahkan adiknya. Setiap ada kesempatan, ia akan
membuktikan pada setiap orang bahwa Micky tak bisa menjerat ternak jantan muda
yang dikebiri, menjinakkan kuda, atau menembak kepala ular. Trik favoritnya
adalah menakut-nakuti kuda Micky sehingga kuda itu mendadak lari, dan Micky
mesti menutup matanya rapat-rapat dan memegang kekang kuat-kuat, ketakutan
setengah mati, sementara kudanya menerjang garang melintasi padang rumput,
sampai kelelahan. Tidak, Micky tak ingin pulang ke rumahnya. Tapi ia juga tak
ingin tinggal di sekolah. Yang ia inginkan adalah diundang melewatkan musim
panas bersama keluarga Pilaster.
Meskipun demikian, Edward tidak segera menyinggung soal ini, dan Micky
membiarkan topik itu tidak dibicarakan lebih lanjut. Ia yakin hal itu akan
muncul lagi. Mereka memanjat pagar yang sudah lapuk dan mendaki sebuah bukit rendah. Saat
hampir tiba di puncak, mereka melihat tempat berenang itu. Sisi-sisi tambang
batu dan pasir yang terpahat itu curam, tapi anak-anak yang gesit dapat
menuruninya. Di dasarnya terdapat kolam air yang dalam berwarna hijau keruh,
berisi kodok, katak, dan kadang-kadang ular air.
Micky heran karena ternyata sudah ada tiga anak laki-laki di situ.
Ia menyipitkan mata, menantang kilatan sinar matahari yang memantul dari
permukaan air, dan dengan susah payah mengamati sosok-sosok itu. Ketiganya duduk
di kelas empat di Windfield.
Yang rambutnya berwarna wortel adalah Antonio Silva, rekan Micky setanah air,
meski warna kulit mereka-berbeda. Tanah ayah Tonio tidak seluas milik ayah
Micky, tapi keluarga Silva tinggal di ibu kota dan mempunyai teman-teman yang
berpengaruh. Seperti Micky, Tonio tidak dapat pulang berlibur, namun ia cukup
beruntung mempunyai teman di Perwakilan Pemerintah Kordoba di London, sehingga
ia tidak perlu tinggal di sekolah selama musim panas.
Anak kedua adalah Hugh Pilaster, sepupu Edward. Tak ada kemiripan sedikit'pun
antara kedua sepupu itu: Hugh memiliki rambut hitam, raut wajahnya kecil dan
bagus, dan ia biasanya menyunggingkan senyum cerdiknya. Edward benci pada Hugh
yang pintar, sebab ia membuat Edward tampak seperti anak paling bodoh dalam
keluarga. Yang lainnya adalah Peter Middleton, anak pemalu yang dekat dengan Hugh yang
lebih percaya diri. Ketiganya berusia tiga belas tahun, memiliki tubuh putih tak
berbulu dengan lengan dan betis kecil.
SBOOK BY OBI
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
PRC BY OTOY http://ebukita.wordpress.com Lalu Micky melihat anak keempat. Ia berenang
menyendiri di ujung kolam. Ia lebih tua daripada tiga anak lainnya dan tampaknya
tidak termasuk kelompok mereka. Micky tak bisa melihat wajahnya dengan jelas,
sehingga tak dapat mengenalinya.
Edward menyunggingkan senyum jahatnya. Ia telah melihat peluang untuk berbuat
usil. Ia meletakkan jari di bibir, lalu mulai menuruni sisi tambang batu dan
pasir itu. Micky mengikutinya.
Mereka mencapai permukaan cadas yang datar, tempat anak-anak itu meletakkan
pakaian mereka. Tonio dan Hugh menyelam, mungkin sedang menyelidiki sesuatu,
sedangkan Peter berenang dengan tenangnya, menyendiri. Peter-Iah yang pertama
melihat kedua pendatang baru itu.
"Oh, tidak," katanya.
"Bagus, bagus," kata Edward. "Kalian melanggar perintah, ya?"
Hugh Pilaster memperhatikan sepupunya dan balas berteriak, "Kalian juga!"
"Kalian sebaiknya kembali, sebelum tertangkap," kata Edward. Ia memungut
sepasang celana panjang. "Tapi jangan sampai pakaian kalian basah, nanti setiap
orang tahu dari mana saja kalian." Kemudian ia melemparkan celana panjang itu ke
tengah kolam dan tertawa ngakak.
"Bajingan!" Peter berteriak sambil menggapai celana yang terapung itu.
Micky tersenyum kegirangan.
Edward memungut sebuah sepatu boot dan melemparkannya ke dalam kolam.
Anak-anak itu mulai panik. Edward memungut sepasang celana panjang lagi dan
melemparkannya ke dalam kolam. Suasana jadi riuh rendah karena ketiga korban
menjerit dan menyelam untuk mengambil pakaian mereka, dan Micky mulai tertawa.
Pada waktu Edward asyik melemparkan sepatu bot dan pakaian ke dalam air, Hugh?Pilaster naik ke tebing. Micky mengira ia akan kabur, tapi di luar dugaan ia
berlari langsung ke arah Edward. Sebelum Edward sempat berbalik, Hugh
mendorongnya kuat-kuat. Kendati Edward jauh lebih besar, ia kehilangan
keseimbangan. Tubuhnya sempoyongan di tepi cadas, kemudian terjungkal dan jatuh
ke dalam kolam dengan deburan dahsyat.
Kejadian ini berlangsung cepat sekali. Hugh menyambar sejumlah pakaian dan
menaiki sisi tambang dengan gesit, seperti monyet. Peter dan Tonio menjerit
dengan tawa gelak meledek.
Micky mengejar Hugh beberapa langkah, namun sadar ia tak mungkin bisa menangkap
anak yang lebih kecil dan lebih lincah itu.
Sambil membalikkan badan, ia mengarahkan pandangan ke arah Edward untuk
mengetahui apakah Edward baik-baik saja. Ia tak perlu khawatir. Edward telah
muncul ke permukaan. Micky memegang Peter Middleton dan mulai mendorong kepala
anak itu ke dalam air berulang-ulang, menghukum anak itu karena telah
menertawakannya, Tonio berenang menjauh dan mencapai tepi kolam, memegang erat-erat satu bundel
pakaian basah. Ia berpaling ke arah Edward. "Jangan ganggu dia, monyet bongsor!"
teriaknya kepada Edward. Tonio senantiasa nekat dan kini Micky bertanya-tanya
dalam hati, apa yang akan dilakukannya sesudah itu. Tonio melangkah lebih jauh
sepanjang tepi kolam, kemudian kembali dengan batu di tangan. Micky berteriak
untuk memperingatkan Edward, tapi sudah terlambat. Tonio melemparkan batu itu
dengan ketepatan menakjubkan, pas mendarat di kepala Edward. Darah segar muncrat
di dahinya. Edward meraung kesakitan; ia meninggalkan Peter dan berenang melintasi kolam,
menyerbu ke arah Tonio. SBOOK BY OBI PRC BY OTOY http://ebukita.wordpress.com
HUGH berlari telanjang menerjang hutan, ke arah sekolah, memeluk erat-erat
pakaiannya yang tersisa, sambil mencoba tidak menghiraukan rasa perih di kakinya
yang tanpa alas, karena menginjak tanah berbatu kerikil. Sampai di persimpangan
jalan setapak, ia berbelok ke kiri, menyusuri sebuah jalur kecil, kemudian
menembus semak-semak dan bersembunyi.
Ia menunggu, berusaha meredakan napasnya yang tersengal-sengal sambil tetap
memasang telinga. Sepupunya Edward dan teman karibnya, Micky Miranda, adalah
bedebah paling jahat di sekolah: pemalas, berjiwa kerdil, dan pengacau. Ia tahu,
mestinya ia menjauhi mereka. Tapi ia yakin Edward akan mengincarnya. Sejak dulu
Edward benci pada Hugh. Ayah mereka juga bertengkar. Ayah Hugh, Toby, telah menarik modalnya dari bisnis
keluarga dan memulai usaha sendiri, berdagang bahan pewarna untuk industri
tekstil. Bahkan pada usia tiga belas tahun Hugh tahu pasti bahwa kejahatan
terburuk dalam keluarga Pilaster adalah menarik modalmu dari bank. Ayah Edward,
Joseph, tak pernah memaafkan adiknya, Toby.
Hugh bertanya-tanya dalam hati, apa yang telah terjadi atas teman-temannya.
Mereka berempat berada di kolam sebelum Micky dan Edward muncul: Tonio, Peter,
dan Hugh sedang berenang air di salah satu sisi kolam, dan seorang anak yang
lebih tua, Albert Cammel, berenang menyendiri di ujung.
Tonio biasanya berani, malah nekat, tapi ia takut pada Micky Miranda. Mereka
sama-sama berasal dari sebuah negara Amerika Latin bernama Kordoba, dan menurut
Tonio, keluarga Micky berkuasa dan bengis. Hugh tidak sepenuhnya memahami hal
itu, namun ia melihat Tonio selalu sopan terhadap Micky, malah mau
20 saja mengikuti kemauannya, padahal terhadap anak-anak kelas lainnya ia berani
bersikap kurang ajar. Peter biasanya penakut sekali; pada bayangannya sendiri pun ia takut. Hugh
berharap Peter bisa menghindar dari para pengacau itu.
Albert Cammel, yang dijuluki Hump, tidak termasuk kelompok Hugh dan kawan-kawan,
dan ia meletakkan pakaiannya di tempat lain, jadi mungkin ia sudah kabur.
Hugh juga telah melarikan diri, tapi ia belum lepas dari kesulitan. Ia
kehilangan pakaian dalam, kaus kaki, dan sepatu bot. Ia harus menyelinap ke
sekolah dengan kemeja dan celana panjang basah, dan berharap tidak sampai
dilihat oleh salah seorang guru atau murid senior. Ia mengerang memikirkan hal
itu. Mengapa hal-hal seperti ini selalu menimpa diriku" tanyanya pada diri
sendiri dengan kesal. Ia sudah menghadapi berbagai masalah sejak datang ke Windfield delapan belas
bulan yang lalu. Ia tak punya masalah dalam belajar: ia rajin dan selalu menjadi
juara dalam setiap ujian. Tapi peraturan-peraturan kecil di sekolah itu sangat
menjengkelkannya. Waktu tidur ditetapkan jam sembilan empat puluh lima menit,
tapi ia selalu punya alasan untuk tidak pergi tidur hingga jam sepuluh lima
belas. Tempat-tempat terlarang selalu menggodanya, dan sulit baginya melawan
godaan untuk tidak menjelajahi kebun milik pendeta, kebun buah kepunyaan kepala
sekolah, ruang tempat menyimpan batu bara, dan ruang bawah tanah tempat
menyimpan bir. Ia berlari ketika seharusnya ia berjalan, membaca pada jam tidur,
dan bercakap-cakap pada acara berdoa. Dan ia selalu berakhir begini, merasa
bersalah dan ketakutan, bertanya-tanya mengapa ia selalu menyulitkan diri
sendiri. Hutan hening selama beberapa menit, sementara ia merenungkan nasibnya dengan
sedih, bertanya-tanya dalam hati apakah akhirnya nanti ia akan dicampakkan
oleh masyarakat, atau bahkan menjadi penjahat yang dijebloskan ke penjara atau
dibuang ke Australia dalam keadaan dirantai, atau mungkin digantung mati.
Akhirnya, setelah yakin Edward tidak akan mengejarnya, ia berdiri, mengenakan
celana panjang dan kemejanya yang basah. Kemudian ia mendengar seseorang
menangis. Dengan hati-hati ia mengintip... dan melihat rambut Tonio yang berwarna wortel.
Rupanya anak itu sedang menyusuri jalan setapak dalam keadaan telanjang, basah
kuyup, membawa pakaian, dan menangis terisak-isak.
"Ada apa?" tanya Hugh. "Di mana Peter?"
Tonio tiba-tiba menjadi galak. "Aku tidak mau bilang! Tidak!" katanya. "Mereka
akan membunuhku." "Baiklah, tidak usah," kata Hugh. Seperti biasa, Tonio takut sekali pada Micky
apa pun yang terjadi. Tonio akan diam seribu bahasa. "Sebaiknya kenakan
pakaianmu," kata Hugh.
Tonio melemparkan pandangan hampa pada bundel pakaian basah dalam pelukannya.
Shock yang dialaminya terlalu besar, sehingga ia tak sanggup memilah-milah
pakaian itu. Hugh mengambil semua itu dari Tonio. Ada sepatu bot. celana
panjang, dan satu kaus kaki, tapi tidak ada kemeja. Hugh menolongnya mengenakan
sisa pakaiannya, lalu mereka berjalan ke sekolah.
Tonio tidak menangis lagi, meski masih tampak terguncang. Hugh berharap para
pengacau itu tidak keterlaluan terhadap Peter. Namun sekarang ia harus berpikir
untuk menyelamatkan dirinya sendiri. "Kalau bisa masuk ke asrama, kita bisa
mengenakan pakaian bersih dan sepatu bot cadangan," katanya, mulai menyusun
rencana. "Lalu, begitu larangan keluar dicabut, kita bisa jalan-jalan ke kota
dan mencicil pakaian baru di toko Baxted."
Tonio manggut-manggut. "Baik." katanya lesu.
Sementara menempuh perjalanan melewati pepohonan,
Hugh kembali penasaran, mengapa Tonio begitu risau. Bukanlah mengancam dan
menyakiti anak-anak yang lebih lemah bukan baru sekali ini saja terjadi di
Windfield" Apa yang terjadi di kolam setelah Hugh melarikan diri" Tapi Tonio
tidak mengatakan apa-apa lagi selama perjalanan pulang ke sekolah.
Sekolah itu terdiri atas enam gedung yang dulu merupakan pusat suatu peternakan
besar, asramanya berada di tempat bekas pemerahan susu, di dekat gereja. Untuk
sampai ke sana, mereka harus melompati tembok dan menyeberangi lima halaman.
Mereka memanjat tembok itu dan mengintip. Halaman gedung lengang seperti
perkiraan Hugh, tapi ia ragu. Bayang-bayang siksaan lecutan Striper di
punggungnya membuatnya kehilangan . nyali. Tapi tak ada alternatif. Ia mesti
kembali ke sekolah dan mengenakan pakaian kering. "Aman." desisnya. "Cabut!"
Bersama-sama mereka melompati tembok dan berlari melintasi halaman, ke arah
naungan sejuk gereja yang terbuat dari batu. Sampai tahap ini, keadaan aman-aman
saja. Kemudian mereka merayap mengitari ujung timur sambil merapatkan diri ke
tembok. Setelah itu mereka harus bergegas menyeberangi jalan dan masuk ke gedung
mereka. Hugh berhenti. Tidak tampak seorang pun. "Sekarang!" katanya.
Kedua anak itu berlari menyeberangi jalan. Ketika mereka sampai di pintu,
bencana menghadang. Suara yang tak asing lagi dan penuh wibawa berkata dengan
lantang dan jelas, "Pilaster Cilik! Kaukah itu?" Dan Hugh tahu permainan sudah
berakhir. Kandaslah harapannya. Ia berhenti dan berbalik. Dr. Offerton keluar dari gereja,
dan kini berdiri dalam bayangan berandanya; sosoknya yang jangkung mengenakan
jubah dan topi akademis, dan ia tampak marah. Hugh menahan erangannya. Dr.
Offerton, yang baru saja kehilangan uang, mustahil akan memperlihatkan
SBOOK BY OBI PRC BY OTOY http://ebukita.wordpress.com
belas kasihan. Ia akan menghukum Striper. Otot-otot di bagian belakang tubuh
Hugh merapat tanpa bisa dicegah.
"Ayo ke sini, Pilaster," kata Dr Offerton.
Hugh berjalan gontai ke arahnya. Tonio melangkah di belakangnya. Mengapa aku
nekat mengambil risiko ini" Hugh berpikir putus asa.
"Ke kantor Kepala Sekolah, sekarang juga," kata Dr. Offerton.
"Ya, Sir," kata Hugh dengan lesu. Keadaan jadi semakin buruk. Bila Kepala
Sekolah melihat penampilannya barangkali ia akan dikeluarkan dari sekolah. Tapi
bagaimana ia menjelaskan hal ini pada ibunya"
"Sudah, pergilah!" kata Kepala Sekolah tak sabar.
Kedua anak itu berbalik, tapi kata Dr. Offerton, "Kau tidak, Silva."
Hugh dan Tonio dengan cepat bertukar pandang keheranan. Mengapa Hugh dihukum,
sedangkan Tonio tidak" Tapi mereka tak boleh mempertanyakan perintah, maka Tonio
menyelinap ke asrama, sementara Hugh melangkah ke kediaman Kepala Sekolah.
Ia sudah bisa merasakan Striper. Ia pasti akan menangis, dan itu malah lebih
buruk ketimbang rasa sakit, sebab pada usia tiga belas tahun, ia merasa sudah
terlalu tua untuk menangis.
Kediaman Kepala Sekolah berada di sisi ujung kompleks sekolah, dan Hugh berjalan
dengan sangat lambat, tapi rasanya ia sampai di situ terlalu cepat. Pelayan
membukakan pintu sedetik setelah ia mengetuk. Ia menemui Dr. Poleson di balai.
Kepalanya botak dan wajahnya seperti anjing buldog, namun karena alasan
tertentu, kemarahannya tampaknya tidak terlalu hebat seperti biasanya. Ia
bukannya menuntut ingin tahu mengapa Hugh meninggalkan kamarnya dan mengapa
pakaiannya basah kuyup. Ia hanya membuka pintu kamar kerjanya dan berkata
perlahan, "Masuklah, Pilaster." Tidak diragukan lagi, ia menghemat amarahnya
untuk hukuman penggebukan. Hugh masuk dengan jantung berdebar keras.
Ia heran melihat ibunya duduk di sana.
Dan yang lebih parah lagi, ibunya tengah menangis.
"Aku cuma berenang!" tanpa sadar kata-katanya menghambur keluar dengan cepat.
Pintu ditutup setelah ia masuk, dan ia sadar ternyata Kepala Sekolah tidak
mengikutinya. Lalu ia mengerti bahwa hal ini tak ada kaitannya dengan ulahnya melanggar
perintah tidak boleh meninggalkan kamar dan pergi berenang, juga masalah ia
kehilangan pakaian, dan kepergok sedang dalam keadaan setengah telanjang.
Ia merasa telah terjadi sesuatu yang lebih buruk daripada itu.
"Ibu, ada apa?" katanya. "Ada apa Ibu datang?"
"Oh, Hugh," Ibunya terisak-isak, "ayahmu meninggal."
HARI Sabtu adalah hari terbaik dalam seminggu bagi Maisie Robinson. Pada hari
Sabtu, Papa menerima gaji. Malam ini mereka akan makan daging dan roti yang
masih baru. Ia duduk di tangga pintu depan dengan kakak laki-lakinya, Danny, menunggu Papa
pulang kerja. Danny berumur tiga belas tahun, dua tahun lebih tua daripada
Maisie, dan menurut Maisie, kakaknya itu hebat, meskipun tidak selalu baik
padanya. Rumah itu merupakan salah satu dari sederetan tempat tinggal yang lembap dan
pengap di lingkungan galangan kapal sebuah kota kecil di pantai barat laut
Inggris. Rumah itu milik Mrs. MacNeil, seorang janda.
SBOOK BY OBI PRC BY OTOY http://ebukita.wordpress.com
la tinggal di kamar depan di bawah. Keluarga Robinson tinggal di kamar belakang,
dan ada keluarga lain tinggal di atas. Kalau nanti Papa sampai di rumah, Mrs.
MacNeil pasti sudah berada di tangga pintu, menunggu untuk menagih sewa rumah.
Maisie merasa lapar. Kemarin ia minta sedikit pecahan tulang dari penjual
daging, Papa membeli lobak dan membuat air rebusan daging dan sayur, dan itulah
makanan terakhir yang ia nikmati. Tapi sekarang hari Sabtu!
Maisie mencoba tidak memikirkan makan malam, karena itu membuat perutnya
bertambah sakit. Untuk mengalihkan pikiran, ia berkata pada Danny: "Papa marahmarah pagi ini." "Apa katanya?" "Katanya Mrs. MacNeil seorang paskudniak."
Danny tertawa cekikikan. Kata itu berarti kantong kotoran. Kedua anak itu bisa
berbicara bahasa Inggris dengan fasih setelah setahun berada di negeri mereka
yang baru ini, tapi mereka masih ingat bahasa Yiddish.
Nama mereka sebenarnya bukan Robinson, tapi Rabinowicz. Mrs. MacNeil membenci
mereka setelah tahu mereka orang Yahudi. Ia belum pernah bertemu dengan orang
Yahudi, dan ketika menyewakan kamar itu pada mereka, ia mengira mereka orang
Prancis. Tak ada lagi orang Yahudi lain di kota ini. Keluarga Robinson
sebenarnya tidak berniat datang ke sini, mereka membayar ongkos perjalanan ke
suatu tempat bernama Manchester, di sana banyak orang Yahudi. Kapten kapal
menipu mereka, mengatakan di sinilah Manchester. Setelah tahu mereka tertipu,
Papa berjanji akan mengumpulkan uang untuk pindah ke Manchester; tapi kemudian
Mama jatuh sakit. Ia masih sakit, dan sampai sekarang mereka masih menetap di
sini. Papa bekerja di pelabuhan, di sebuah gudang tinggi bertulisan "Tobias Pilaster
and Co", dengan huruf-huruf
26 besar di atas gerbangnya. Maisie sering bertanya dalam hati, siapa Co. itu. Papa
bekerja di bagian administrasi, melakukan pencatatan jumlah tong bahan pewarna
yang keluar-masuk dari gedung itu. Ia orang yang sangat hati-hati, pencatat dan
penyusun daftar yang teliti. Mama adalah kebalikannya. Ia pemberani. Mamalah
yang ingin pergi ke Inggris. Mama suka mengadakan pesta, melakukan perjalanan,
berkenalan dengan orang baru, mengenakan pakaian bagus, dan bermain. Karenanya
Papa sangat mencintainya, begitulah menurut Maisie, karena dalam diri Mama ada
sifat-sifat yang tidak dimiliki Papa.
Mama sekarang sudah tidak bersemangat lagi. Ia berbaring saja seharian di kasur
tua, tidur dan terjaga, wajahnya yang pucat mengilat oleh keringat, napasnya
panas dan berbau. Kata dokter, ia perlu menambah kekuatan dengan makan banyak
telur segar dan krim, dan daging setiap hari; kemudian Papa membayar dokter itu
dengan uang untuk makan malam mereka. Namun kini Maisie merasa bersalah setiap
kali ia makan, karena ia tahu bahwa ia mengambil makanan yang mungkin bisa
menyelamatkan nyawa ibunya.
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maisie dan Danny sudah tahu bagaimana mencuri. Pada hari pasar, mereka biasa
pergi ke pusat kota, mengutil kentang dan apel dari beberapa kios di lapangan.
Mata para pedagang itu tajam-tajam, tapi kadang-kadang perhatian mereka teralih
oleh sesuatu pertengkaran karena uang kembalian, ada anjing berkelahi, ada orang
mabuk dan kedua anak itu akan menjambret apa saja. Bila sedang beruntung, mereka
bertemu dengan anak orang kaya yang sebaya; kemudian mereka akan menyerang dan
merampoknya. Anak-anak seperti itu sering mempunyai jeruk atau sekantong kembang
gula di saku mereka, di samping uang beberapa penny. Maisie takut sekali
tertangkap karena ia tahu Mama akan sangat malu, tapi ia terpaksa karena lapar.
Ia menengadah dan melihat beberapa orang menyusuri
jalan dalam suatu kelompok. Ia bertanya dalam hati, siapa mereka. Hari belum
begitu sore; tak mungkin para pekerja galangan kapal sudah pulang. Mereka
bercakap-cakap dengan nada marah, mengayunkan-ayunkan lengan dan menggoyanggoyangkan kepalan tinju. Ketika mereka mendekat, ia melihat Mr. Ross rekan kerja
Papa di perusahaan keluarga Pilaster. Mengapa ia tidak bekerja" Apakah mereka
dipecat" Kelihatannya Mr. Ross sangat marah. Wajahnya merah dan mulutnya
mengeluarkan sumpah serapah tentang para mandor yang bodoh dan para bajingan
pemeras keringat buruh yang hanya bisa mengumbar janji dan berbohong. Pada waktu
kelompok itu berada di depan rumah, Mr. Ross tiba-tiba memisahkan diri dan masuk
ke dalam dengan mengentakkan kaki; Maisie dan Danny harus menyingkir supaya
tidak terkena sepatu botnya yang berpaku.
Ketika Maisie menengadah lagi, ia melihat Papa, seorang lelaki kurus dengan
cambang hitam dan mata cokelat lembut, mengikuti yang lain di kejauhan, berjalan
dengan kepala menunduk; ia kelihatan begitu sedih dan putus asa, sehingga Maisie
ingin menangis. "Papa, ada apa?" tanyanya. "Mengapa Papa cepat pulang?"
"Ayo ke dalam," kata Papa, suaranya demikian rendah, hingga Maisie nyaris tak
bisa mendengarnya. Kedua anak itu mengikutinya ke belakang rumah. Papa berlutut di kasur dan
mencium bibir Mama. Mama terjaga dan tersenyum pada suaminya. Papa tidak
membalas senyumnya. "Perusahaan bangkrut," katanya, menggunakan bahasa Yiddish.
"Toby Pilaster bangkrut."
Maisie tidak yakin apa maksudnya, tapi nada suara Papa membuatnya terdengar
seperti bencana. Maise melemparkan pandang ke arah Danny; Danny angkat bahu. Ia
juga tak mengerti. "Tapi mengapa?" kata Mama.
"Ada bencana keuangan," kata Papa. "Sebuah bank besar di London bangkrut
kemarin." 28 Mama mengerutkan kening, berusaha berkonsentrasi dengan susah payah. "Tapi ini
bukan London," katanya. "Apa artinya London bagi orang seperti kita?"
"Rinciannya aku tidak tahu."
"Jadi, kau tak punya pekerjaan lagi?"
"Tak punya pekerjaan, dan tak memperoleh gaji."
"Tapi hari ini kan mereka membayar gajimu."
Papa menundukkan kepala. "Tidak, mereka tidak membayar gaji kami."
Maisie kembali menatap Danny. Yang ini mereka mengerti. Tidak ada uang berarti
tidak ada makanan bagi mereka. Danny tampak takut. Maisie ingin menangis.
"Mereka harus membayar gajimu," bisik Mama. "Kau bekerja seminggu penuh, mereka
harus membayar gajimu."
"Mereka tak punya uang." kata Papa. "Itulah artinya bangkrut. Meminjam uang pada
beberapa orang, dan tak bisa membayar mereka."
"Tapi katamu Mr. Pilaster orang baik."
"Toby Pilaster meninggal dunia. Dia gantung diri kemarin malam, di kantornya di
London. Dia mempunyai anak laki-laki seumur Danny."
"Tapi bagaimana kita akan memberi makan anak-anak kita?"
"Entahlah," kata Papa, dan Maisie jadi ketakutan karena Papa mulai menangis.
"Maafkan aku, Sarah." katanya ketika tetesan air matanya jatuh ke dalam
jambangnya. "Aku telah membawamu ke tempat buruk ini, padahal di sini tidak ada
orang Yahudi dan tak seorang pun akan menolong kita. Aku tak bisa membayar
dokter, aku tak bisa membeli obat, aku tak bisa memberi makan anak-anak kita.
Aku gagal. Maafkan aku, maafkan aku." Ia membenamkan wajahnya yang basah di dada
Mama. Mama membelai rambut suaminya dengan tangan gemetar.
29 SBOOK BY OBI PRC BY OTOY http://ebukita.wordpress.com
Maisie terkejut. Papa tak pernah menangis. Tampaknya itu berarti akhir semua
harapan. Barangkali mereka semua akan mati sekarang.
Danny bangkit, menatap Maisie, dan memberi isyarat ke arah pintu. Maisie berdiri
dan bersama-sama mereka berjingkat ke luar kamar. Maisie duduk di anak tangga
depan dan mulai menangis.
"Apa yang harus kita lakukan?" kata Maisie. "Kita mesti kabur," kata Danny.
Kata-kata Danny menimbulkan perasaan dingin di dadanya. "Tidak bisa," katanya.
"Harus. Kita tak punya makanan. Kalau kita tinggal di sini, kita akan mati
kelaparan." Maisie tak peduli kalau ia harus mati, tapi ada hal lain yang melintas dalam
pikirannya: Mama sendiri akan kelaparan karena harus memberi makan anak-anaknya.
Kalau mereka tinggal di situ, Mama akan mati. Mereka harus pergi demi
keselamatannya. "Kau benar," kata Maisie pada Danny. "Kalau kita pergi,
barangkali Papa bisa mencari cukup makanan untuk Mama. Kita harus pergi, demi
Mama." Mendengar dirinya mengucapkan kata-kata itu, ia terkesima oleh apa yang
terjadi atas keluarganya. Hal ini bahkan lebih buruk ketimbang hari ketika
mereka meninggalkan Viski, tatkala rumah-rumah di desa itu masih terbakar di
belakang mereka, dan menaiki kereta yang dingin dengan semua harta milik mereka
dalam dua kantong kain layar; karena saat itu ia tahu Papa akan selalu
menjaganya, apa pun yang terjadi; tapi sekarang ia harus menjaga dirinya
sendiri. "Ke mana kita pergi?" katanya berbisik. "Aku mau pergi ke Amerika."
"Amerika! Bagaimana?"
"Di pelabuhan ada kapal yang akan menuju Boston pada waktu air pasang pagi. Aku
akan memanjat tali kapal malam ini dan bersembunyi di palka, di salah satu
sekocinya." 30 "Kau mau jadi penumpang gelap," kata Maisie dengan rasa takut dan kagum dalam
suaranya. "Betul."
Saat menatap saudara laki-lakinya, untuk pertama kali ia melihat bahwa sebaris
kumis tipis mulai membayang di atas bibir Danny. Ia akan menjadi seorang lelaki
dewasa, dan suatu hari ia akan mempunyai cambang penuh seperti Papa. "Berapa
lama naik kapal ke Amerika?" tanya Maisie.
Danny ragu, wajahnya tampak dungu, dan ia berkata, "Aku tidak tahu."
Maisie sadar bahwa dirinya tidak diikutkan dalam rencana Danny. Ia merasa sedih
dan takut. "Kalau begitu, kita tidak pergi bersama-sama," katanya sedih.
Danny tampak merasa bersalah, tapi tidak membantahnya. "Dengar," katanya pada
adiknya. "Pergilah ke New Castle. Kau bisa jalan kaki ke sana dalam waktu empat
hari. Kotanya besar, lebih besar daripada Gdansk. Takkan ada yang
memperhatikanmu di sana. Potong rambutmu, curi satu celana, dan pura-puralah
jadi anak laki-laki. Pergilah ke suatu istal besar dan bantu mereka mengurus
kuda. Sejak dulu kau pintar mengendalikan kuda. Kalau mereka suka padamu, kau
akan diberi tip, lalu mereka mungkin akan memberimu pekerjaan yang cocok."
Maisie tak bisa membayangkan dirinya sebatang kara. "Lebih baik aku ikut
denganmu," katanya. 'Tidak bisa. Naik kapal sudah cukup sulit, aku sendiri harus bersembunyi di
kapal, harus mencuri makanan, dan seterusnya. Aku tak bisa sekaligus menjagamu."
"Kau tak perlu menjagaku. Aku akan diam seperti tikus."
"Aku pasti mengkhawatirkanmu." "Apa kau tidak khawatir meninggalkanku
sendirian?" "Kita harus menjaga diri kita sendiri!" kata Danny dengan marah.
31 Maisie melihat pikiran kakaknya sudah bulat. Ia tak pernah sanggup membujuk
kakaknya kalau pikirannya sudah demikian. Dengan rasa takut di hati ia berkata,
"Kapan kita pergi" Pagi-pagi?"
Danny menggelengkan kepala. "Sekarang juga. Aku mesti naik ke kapal begitu hari
gelap." "Kau sungguh-sungguh?"
"Ya." Seolah-olah ingin membuktikannya, Danny bangkit.
Maisie juga berdiri. "Apa yang harus kita bawa?" "Apa?"
Maisie angkat bahu. Ia tak punya pakaian lebih, tak punya suvenir, tak punya
apa-apa. Tak ada makanan atau uang yang akan dibawa. "Aku mau memberikan ciuman
selamat tinggal pada Mama," katanya.
"Jangan," kata Danny keras. "Kalau itu kaulakukan, kau takkan jadi pergi."
Benar juga. Kalau Maisie menemui Mama sekarang, ia akan goyah dan akan
membocorkan segalanya. Ia menelan air liur dengan tegar. "Baiklah," katanya
sambil menahan air mata. "Aku siap."
Mereka berjalan berdampingan.
Sampai ke ujung jalan, Maisie ingin berbalik dan melihat rumahnya untuk terakhir
kali; tapi ia takut akan goyah; karena itu ia terus berjalan, dan tak pernah
menoleh ke belakang. SBOOK BY OBI PRC BY OTOY http://ebukita.wordpress.com
Dikutip dari koran The Times:
. Karakter anak sekolah Wakil Penyidik Kematian untuk Ashton, Mr. H.S. ?Wasbrough, mengadakan penyidikan resmi kemarin di Station Hotel, Windfield,
terhadap jenazah Peter James St. John Middleton, berusia 13 tahun, seorang anak
sekolah. Anak itu telah berenang di sebuah kolam bekas tambang batu dan pasir
dekat Windfield School, ketida dua anak yang lebih tua melihatnya sedang
menghadapi kesulitan, demikian diberitahukan pada sidang. Salah satu dari anak
yang lebih tua itu, Miguel Miranda, seorang warga negara Kordoba, memberikan
bukti bahwa temannya, Edward Pilaster, berusia 16 tahun, melepaskan pakaian
luarnya dan menyelam untuk mencoba menyelamatkan anak yang lebih muda itu, tapi
sia-sia. Kepala Sekolah Windfield, Dr. Herbert Poleson, memberikan kesaksian
bahwa tambang batu dan pasir itu adalah daerah tertutup bagi para murid, tapi ia
sadar bahwa peraturan itu tidak selamanya dipatuhi. Dewan juri mengeluarkan
keputusan kematian tak sengaja karena tenggelam. Wakil Penyidik Kematian
kemudian meminta perhatian pada keberanian Edward Pilaster dalam mencoba
menyelamatkan nyawa temannya, dan berkata bahwa karakter anak sekolah Inggris,
seperti ditempa oleh lembaga semacam Windfield, sudah sepantasnya membuat kita
bangga. MICKY MIRANDA terpesona oleh penampilan ibu Edward.
Augusta Pilaster adalah seorang wanita jangkung dan anggun berusia tiga puluhan.
Rambut dan alisnya hitam, wajahnya yang bertulang pipi tinggi tampak angkuh,
dengan hidung mancung dan lurus serta dagu kukuh. Ia
33 tidak bisa dikatakan cantik, apalagi manis, namun wajah angkuh itu sangat
memikat. Ia mengenakan mantel dan topi hitam ketika menghadiri penyidikan resmi
itu, hingga penampilannya semakin dramatis. Namun yang paling memukau Micky
adalah perasaan bahwa di balik pakaian formal itu tersembunyi tubuh yang indah,
dan sikapnya yang angkuh serta suka memerintah menyembunyikan sifat yang penuh
gairah. Micky nyaris tak kuasa melepaskan pandang dari wanita itu.
Di sampingnya duduk suaminya Joseph, ayah Edward, seorang lelaki berwajah jelek
dan masam, berusia sekitar empat puluh tahun. Ia memiliki hidung besar seperti
Edward, dan warna kulit yang sama pucatnya, tapi rambut pirangnya mulai menipis.
Dan ia memiliki cambang model Dundreary yang lebat, seolah-olah untuk
mengimbangi kebotakannya. Micky bertanya dalam hati, kenapa wanita seanggun
Augusta menjadi istrinya. Lelaki itu sangat kaya... barangkali itulah sebabnya.
Mereka kembali ke sekolah dengan kereta yang disewa dari Station Hotel; Mr. dan
Mrs. Pilaster, Edward dan Micky, dan Dr. Poleson. Micky heran melihat Kepala
Sekolah juga terpesona oleh Augusta Pilaster. Mr. Pole bertanya apakah
penyidikan itu melelahkannya, apakah wanita itu merasa nyaman di kereta,
memerintahkan kusir memperlambat jalan kereta, dan meloncat di akhir perjalanan
untuk merasakan kenikmatan menyentuh tangan Augusta ketika wanita itu melangkah
turun. Wajah buldognya belum pernah terlihat demikian hidup.
Penyidikan berjalan lancar. Micky pintar sekali bersandiwara; memperlihatkan
ekspresi paling terbuka dan jujur ketika menyampaikan cerita yang telah
dikarangnya dengan Edward, padahal dalam hati ia merasa takut. Orang Inggris
sangat keras dalam hal kejujuran, dan jika kesalahannya ketahuan, ia akan
menghadapi masalah besar. Namun sidang itu begitu terpesona oleh cerita tentang
heroisme anak sekolah, hingga tak seorang pun
mempertanyakannya. Edward gugup, dan menyampaikan buktinya dengan gagap, tapi
penyidik kematian memaafkannya dengan menyiratkan mungkin batin Edward masih
tersiksa karena gagal menyelamatkan nyawa Peter. Penyidik itu juga menekankan
agar Edward tidak menyalahkan dirinya.
Anak-anak lainnya tidak diminta datang menghadiri penyidikan resmi itu. Hugh
telah dijemput dari sekolah pada hari terjadinya peristiwa, karena ayahnya
meninggal. Tonio tidak diminta memberikan bukti karena tak seorang pun tahu ia
telah menyaksikan kematian itu. Micky menakut-nakutinya agar tutup mulut. Saksi
lain, anak tak dikenal yang berenang di ujung kolam, belum menghubungi pihak
berwajib. SBOOK BY OBI PRC BY OTOY http://ebukita.wordpress.com
Orangtua Peter Middleton sangat terpukul, sehingga tak bisa menghadiri
penyidikan itu. Mereka mengutus pengacara mereka, seorang tua dengan mata
mengantuk yang ingin cepat-cepat menuntaskan masalah itu tanpa ribut-ribut.
Kakak Peter yang bernama David hadir di situ, dan sangat kesal ketika pengacara
itu menolak menanyai Micky atau Edward, tapi Micky lega karena orang tua itu
menampik bisikan protes David dengan isyarat tangannya. Micky merasa bersyukur
atas kemalasan pengacara tua itu. Edward mungkin saja ambruk kalau dicecar
dengan pertanyaan-pertanyaan yang meragukan ceritanya.
Di ruang duduk Kepala Sekolah yang berdebu, Mrs. Pilaster memeluk Edward dan
mencium luka di dahinya, bekas hantaman batu yang dilemparkan Tonio. "Anak manis
yang malang," katanya. Micky dan Edward tidak bercerita pada siapa-siapa bahwa
Tonio telah melemparkan batu pada Edward, sebab jika demikian mereka harus
menjelaskan mengapa Tonio sampai melakukannya. Sebagai gantinya, mereka berkata
kepala Edward membentur batu ketika ia menyelam untuk menyelamatkan Peter.
35 Saat mereka minum teh, Micky melihat segi lain pada diri Edward. Ibunya, yang
duduk di sampingnya di sofa, selalu menyentuhnya dan memanggilnya Teddy. Edward
bukannya menjadi kikuk dipanggil demikian, malah senang dan selalu memberi
ibunya senyum manis yang belum pernah dilihat Micky. Ibunya terlalu sayang pada
anak itu, pikir Micky, dan Edward senang akan hal itu.
Setelah mengobrol beberapa menit Mrs. Pilaster tiba-tiba bangkit. Yang lain
terkejut dan lekas-lekas berdiri. "Saya yakin Anda ingin merokok, Dr. Poleson,"
katanya. Tanpa menunggu jawaban, wanita itu meneruskan, "Mr. Pilaster akan
menemani Anda berjalan-jalan di kebun sambil menikmati cerutunya. Teddy manis,
pergilah dengan ayahmu. Aku ingin menyepi sebentar di gereja. Barangkali Micky
mau menunjukkan jalan."
"Dengan senang hati, dengan senang hati," sahut Kepala Sekolah dengan gagap,
karena terlalu bersemangat ingin mematuhi perintah itu. "Pergilah, Miranda."
Micky terkesan. Betapa mudahnya wanita ini membuat mereka melakukan
permintaannya! Ia membukakan pintu dan mengikuti wanita itu keluar.
Di dalam balai Micky berkata dengan sopan: "Apakah Anda perlu payung, Mrs.
Pilaster" Mataharinya panas sekali."
'Tidak, terima kasih."
Mereka beranjak keluar. Banyak anak-anak bermain di luar rumah Kepala Sekolah.
Micky sadar telah beredar cerita tentang ibu Edward yang mengagumkan itu, dan
mereka ingin melihatnya, walau hanya sekilas. Karena merasa senang menjadi
pengawalnya, Micky mengajaknya melewati serangkaian halaman, menuju gereja
sekolah. "Apakah saya harus menunggu Anda di luar?" ia menawarkan diri.
"Masuklah. Aku ingin bicara denganmu."
36 Ia mulai gugup. Perasaan senangnya karena berhasil mengantar wanita mengagumkan
ini mengelilingi sekolah mulai pupus, dan hatinya bertanya-tanya mengapa wanita
ini ingin bicara dengannya.
Gereja itu kosong. Mrs. Pilaster memilih salah satu deretan bangku belakang dan
menyilakan Micky duduk di sebelahnya. Sambil menatap mata Micky, wanita itu
berkata; "Sekarang ceritakan padaku kejadian sebenarnya."
Sekilas Augusta melihat rasa heran dan takut dalam ekspresi anak itu, dan ia
tahu bahwa ia benar. Tapi, Micky segera pulih. "Saya telah menceritakan yang sebenarnya pada Anda,"
katanya. Wanita itu menggelengkan kepala. "Belum."
Micky tersenyum. Senyuman itu mengherankan Augusta. Ia telah menangkap basah Micky; ia tahu Micky
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berada dalam posisi bertahan; meskipun demikian, Micky masih bisa tersenyum
padanya. Tak banyak lelaki yang sanggup melawan kekuatan kemauannya, tapi
kelihatannya Micky luar biasa, kendati masih muda. "Berapa usiamu?" tanya wanita
itu. "Enam belas." Wanita itu mengamatinya. Ia sangat tampan, dengan rambut cokelat tua ikal dan
kulit mulus, kendati telah terlihat tanda-tanda dekadensi dalam mata besar dan
berpelupuk tebal serta bibir penuh itu. Micky agak mengingatkannya pada Earl
Strang, dengan ketenangan dan ketampanannya. Augusta mengesampingkan pikiran itu
dengan rasa bersalah. "Peter Middleton tidak sedang menghadapi kesulitan ketika
kau tiba di kolam itu," katanya. "Dia berenang dengan gembira."
"Kenapa Anda mengatakan ini?" tanya Micky tenang.
Anak ini ketakutan, Augusta bisa merasakannya, namun Micky dapat mempertahankan
sikap tenangnya. Anak muda itu benar-benar matang. Mau tak mau, Augusta semakin banyak membuka
kartunya. "Kau lupa Hugh Pilaster juga berada di sana," katanya. "Dia
keponakanku. Ayahnya bunuh diri minggu lalu. Kau mungkin sudah dengar. Itulah
sebabnya dia tidak berada di sini. Tapi dia sudah berbicara pada ibunya, saudara
iparku." "Apa katanya?"
Augusta merengut. "Katanya Edward melemparkan pakaian Peter ke air," katanya
enggan. Ia betul-betul tak mengerti mengapa Teddy melakukan hal seperti itu.
"Lalu?" Augusta tersenyum. Anak ini jadi menguasai percakapan. Seharusnya dialah yang
menanyainya, tapi malah anak ini yang menginterogasinya. "Katakan saja apa yang
sebenarnya terjadi," kata Augusta.
Micky mengangguk. "Baiklah."
Mendengar itu, Augusta merasa lega, namun juga cemas. Ia ingin tahu yang
sebenarnya, tapi ia takut mendengarkannya. Teddy yang malang... ia nyaris mati
ketika masih bayi, karena ada yang tidak beres dengan air susu Augusta, dan bayi
itu nyaris tinggal tulang berbalut kulit sebelum para dokter menemukan akar
masalahnya dan menyarankan agar dicarikan perawat yang bersedia menyusuinya.
Sejak itu kondisinya lemah sekali, sehingga memerlukan perlindungan khusus.
Kalau menurutkan kehendak Augusta, anak itu tidak akan dimasukkan ke sekolah
asrama ini, namun ayahnya bersikap tegas tentang hal itu. Augusta kembali
mengalihkan perhatiannya pada Micky.
"Edward tidak bermaksud mencelakakannya," Micky memulai ceritanya. "Dia cuma
bercanda. Dia melemparkan pakaian anak-anak lain ke air sebagai gurauan."
Augusta mengangguk. Keterangan anak itu kedengarannya normal sudah biasa anakanak saling mengganggu. Teddy yang malang pasti juga pernah mengalami hal
semacam itu. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Lalu Hugh mendorong Edward ke air."
"Hugh cilik itu selalu jadi biang keladi," kata Augusta. "Dia persis ayahnya
yang payah itu." Dan seperti ayahnya, ia mungkin akan bernasib buruk pada
akhirnya, pikir Augusta dalam hati.
"Anak-anak lainnya tertawa, dan Edward mendorong kepala Peter ke air supaya anak
itu jera. Hugh kabur. Kemudian Tonio melemparkan batu ke arah Edward."
Augusta merasa ngeri. "Edward bisa pingsan dan tenggelam!"
"Nyatanya, dia tidak apa-apa, dan terus mengejar Tonio. Aku menonton mereka: tak
seorang pun memperhatikan Peter Middleton. Tonio akhirnya lolos dari kejaran
Edward. Pada saat itulah kami memperhatikan bahwa Peter tak berkutik lagi. Kami
sebenarnya tidak tahu apa yang telah terjadi atas dirinya; barangkali dia
kehabisan tenaga setelah dibenamkan Edward, atau kehabisan napas, sehingga tak
bisa keluar dari kolam. Pokoknya, dia mengambang dengan wajah menghadap ke
bawah. Kami langsung mengeluarkannya dari air, namun dia sudah mati."
Tidak bisa dikatakan kesalahan Edward, pikir Augusta. Anak-anak memang suka
bermain kasar. Meskipun demikian, ia sangat bersyukur cerita ini tidak mencuat
dalam penyidikan. Micky telah melindungi Edward, syukurlah.
"Anak-anak lainnya bagaimana?" ujarnya. "Mereka pasti tahu apa yang telah
terjadi." "Mujur sekali Hugh meninggalkan sekolah pada hari itu juga."
"Dan yang satunya... namanya Tony?"
"Antonio Silva. Nama pendeknya Tonio. Jangan mencemaskannya. Dia berasal dari
negara saya. Dia akan menuruti apa kata saya."
"Bagaimana kau bisa yakin?"
"Dia tahu, kalau dia menyulitkan saya, keluarganya di rumah akan menanggung
akibatnya." 39 Ada sesuatu yang menegakkan bulu roma dalam suara anak itu ketika
mengucapkannya, dan Augusta merinding.
"Bolehkah saya mengambilkan syal?" kata Micky dengan penuh perhatian.
Augusta menggelengkan kepala. "Tak ada anak lain yang melihat kejadian itu?"
Micky cemberut. "Ada satu anak lagi yang berenang di kolam ketika kami sampai di
sana." "Siapa?" Ia menggelengkan kepala. "Saya tidak melihat wajahnya, dan saya tidak tahu hal
ini akan penting." "Apakah dia melihat kejadian itu?"
"Saya tidak tahu. Saya tidak yakin kapan dia pergi."
"Tapi dia sudah pergi waktu kau mengeluarkan tubuh Peter dari air?"
"Ya." "Seandainya aku tahu siapa anak itu," kata Augusta dengan cemas.
"Barangkali dia malah bukan anak sekolah," ujar Micky. "Mungkin dia dari kota.
Apa pun alasannya, dia belum menawarkan diri sebagai saksi, jadi saya kira dia
tidak berbahaya bagi kita."
Tidak berbahaya bagi kita. Dalam pikiran Augusta, timbul kesan bahwa ia terlibat
dengan Micky dalam sesuatu yang tidak jujur dan mungkin melawan hukum. Ia tidak
menyukai situasi ini. Ia telah terjerumus ke dalamnya tanpa sadar, dan sekarang
terjebak. Ia memandang anak itu dengan keras dan berkata, "Apa yang
kauinginkan?" Untuk pertama kalinya, Micky terkesiap. Dengan bingung ia berkata, "Maksud
Anda?" "Kau melindungi anakku. Kau bersumpah palsu hari ini." Micky kehilangan
keseimbangan karena langsung dicecar, begitulah yang dilihat Augusta. Hal itu
menyenangkannya; ia dapat menguasai dirinya kembali.
"Kurasa kau mengambil risiko seperti ini semata-mata bukan karena kebaikan
hatimu. Kurasa kau menginginkan sesuatu sebagai imbalan. Mengapa tidak
kaukatakan saja padaku, apa yang kauinginkan?"
Ia melihat pandangan anak itu jatuh ke dadanya sesaat, dan sejenak ia mengira
anak itu akan mengajukan permintaan yang tidak-tidak. Lalu kata Micky, "Saya
ingin menghabiskan musim panas bersama Anda."
Augusta tidak menduga hal itu. "Mengapa?"
"Rumah saya jauhnya enam minggu perjalanan dari sini. Saya harus tinggal di
sekolah selama liburan. Saya benci sekali... sepi dan menjemukan. Saya ingin
diundang melewatkan musim panas bersama Edward."
Tiba-tiba ia menjadi anak sekolah lagi. Augusta mengira ia akan minta uang, atau
mungkin minta pekerjaan di Pilasters Bank. Tapi ternyata permintaannya sederhana
sekali, nyaris kekanak-kanakan. Meskipun demikian, ternyata bagi anak ini
liburan bersama keluarga Pilaster bukan hal remeh. Bisa dimaklumi, pikir
Augusta, dia kan baru berusia enam belas tahun.
"Baiklah, kau akan tinggal bersama kami selama musim panas. Selamat datang,"
katanya. Pikiran itu tidak menyusahkannya. Anak muda itu agak sulit juga dalam
beberapa hal, namun tata kramanya sempurna dan ia tampan; tidak sulit
menghadapinya sebagai tamu. Dan mungkin saja ia akan memberikan pengaruh baik
atas Edward. Kelemahan Edward adalah ia agak tidak mempunyai tujuan. Micky
justru kebalikannya. Barangkali Teddy tersayangnya akan kecipratan, sebagian
dari karakter dan kemauannya yang kuat.
Micky tersenyum, memperlihatkan sebaris giginya yang putih. "Terima kasih,"
katanya. Kegembiraannya tampak tulus.
Augusta ingin menyendiri sebentar dan merenungkan apa yang telah didengarnya.
"Tinggalkan aku sekarang," katanya. "Aku tahu jalan ke rumah Kepala Sekolah."
41 Micky bangkit dari tempat duduknya. "Saya sangat berterima kasih," katanya dan
mengulurkan tangannya. Wanita itu menyambutnya. "Aku berterima kasih padamu karena telah melindungi
Teddy." Micky menunduk, seakan-akan ingin mencium tangannya; kemudian, Augusta
terkesima, sebab Micky mencium bibirnya. Ciuman itu demikian cepat, sehingga ia
tak sempat menghindar. Ia mencoba memprotes ketika Micky tegak kembali, namun
tahu apa yang harus diucapkannya. Sesaat kemudian anak itu sudah menghilang.
Agresif sekali anak itu! Tidak semestinya ia mencium Augusta, apalagi di
bibirnya. Memangnya siapa dia" Terlintas dalam benak Augusta untuk membatalkan
undangan musim panas itu. Namun rasanya kurang tepat.
Mengapa tidak" Augusta bertanya pada dirinya. Mengapa ia tidak dapat membatalkan
undangan pada seorang anak sekolah" Anak itu sama sekali tidak menunjukkan rasa
hormat, jadi tidak sepatutnya ia diundang tinggal selama musim panas.
Namun pikiran untuk tidak menepati janji membuatnya tidak enak. Ia sadar, bukan
karena Micky telah menyelamatkan Teddy dari aib. Tapi lebih buruk dari itu. Ia
telah berkomplot dalam tindak kejahatan dengan anak itu. Hal itu membuatnya tak
berdaya terhadap anak itu.
Lama ia duduk di gereja yang sejuk itu, memandangi tembok-tembok yang kosong,
dan bertanya dalam hati, dengan perasaan takut yang nyata, bagaimana anak muda
yang tampan dan banyak tahu itu akan memanfaatkan kekuasaannya.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY I BAGIAN SATU 1873 di scan dan di djvu kan untuk dimhader (dimhad.co.cc) oleh
Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan, menimpa anda selamanya
BAB SATU Mei KETIKA Micky Miranda berusia dua puluh tiga tahun, ayahnya datang ke Inggris
untuk membeli senapan. Senor Carlos Raul Xavier Miranda, yang senantiasa dikenal sebagai Papa, bertubuh
pendek dan mempunyai bahu bidang. Di wajahnya yang terbakar matahari terpahat
gurat-gurat kekasaran dan kebrutalan. Kalau mengenakan celana pelindung dari
kulit dan topi bertepi lebar, dengan menunggang seekor kuda jantan berwarna
cokelat kemerahan, sosoknya tampak anggun dan membuat orang hormat dan patuh
padanya; namun di sini, di Hyde Park, dengan jas sebatas lutut dan topi tinggi,
ia merasa tolol, dan itu membuatnya jengkel serta cepat marah.
Mereka tidak mirip. Micky jangkung dan ramping, raut wajahnya bagus, dan ia
lebih berhasil menangani sesuatu dengan tersenyum daripada dengan cemberut. Ia
sangat terpikat dengan kesempurnaan kehidupan kota London: busana indah, tata
krama, seprai linen, serta sistem pipa dan air di dalam rumah. Ia sangat takut
Papa akan membawanya kembali ke Kordoba. Ia tidak tahan kembali menjalani hariharinya dengan duduk di pelana kuda dan malam-malamnya tidur beralaskan tanah keras. Lebih buruk lagi
adalah kemungkinan ia harus menuruti perintah kakak lelakinya, Paulo, yang tak
lain merupakan replika Papa. Barangkali Micky ingin pulang suatu hari nanti,
tapi mesti sebagai orang penting, bukan hanya sebagai putra Papa Miranda yang
lebih muda. Sementara itu, ia harus membujuk ayahnya bahwa ia lebih berguna di
Inggris ketimbang di Kordoba.
Mereka berjalan sepanjang South Carriage Drive pada suatu Sabtu siang yang
cerah. Taman dipenuhi oleh para penduduk London yang berpakaian rapi. Mereka
berjalan kaki, menunggang kuda, atau naik kereta kuda terbuka, menikmati cuaca
hangat. Tapi Papa kelihatan tidak senang. "Aku mesti mendapatkan senapan-senapan
itu!" ia menggumam pada dirinya sendiri dalam bahasa Spanyol. Diucapkannya
kalimat itu sampai dua kali.
Micky berbicara dengan bahasa yang sama. "Papa bisa membelinya di negara kita
sendiri," katanya. "Sebanyak dua ribu?" kata Papa. "Mungkin bisa. Tapi pembelian ini besar sekali,
setiap orang akan tahu."
Jadi, dia ingin merahasiakan pembelian ini. Micky tidak tahu apa yang diinginkan
Papa. Mengeluarkan uang untuk membeli dua ribu pucuk senjata, dan amunisi yang
menyertainya, mungkin akan menghabiskan semua cadangan uang tunai keluarga.
Mengapa Papa tiba-tiba membutuhkan begitu banyak senjata" Belum pernah ada
perang di Kordoba sejak adanya gerakan Barisan Koboi yang sekarang legendaris,
ketika Papa memimpin orang-orangnya melintasi Pegunungan Andes untuk membebaskan
Provinsi Santamaria dari para penguasa Spanyol. Untuk siapa senjata itu" Jumlah
para koboi Papa, kerabat, pejabat, dan penjilat, semuanya tidak sampai seribu
orang. Papa pasti merencanakan untuk merekrut lebih banyak orang lagi. Akan
bertempur dengan siapa mereka" Papa belum mau memberikan informasi dan Micky
takut bertanya. Daripada mengajukan pertanyaan seperti itu, Micky berkata; "Walau bagaimanapun,
di Kordoba Papa mungkin tidak akan mendapatkan senjata berkualitas tinggi."
"Benar," kata Papa. "Westley-Richards adalah senapan terbaik yang pernah
kulihat." Micky telah berhasil menolong Papa mencari senapan pilihannya. Micky sejak dulu
terpesona oleh segala macam senjata, dan ia selalu mengikuti perkembangan teknis
mutakhir. Papa memerlukan senapan berlaras pendek yang tidak akan terlalu
menjadi beban bagi penunggang kuda. Micky telah mengantar Papa ke sebuah pabrik
di Birmingham dan memperlihatkan padanya karaben Westley-Richards dengan aksi
pengisian peluru di bagian belakang. Karaben itu digelari Ekor Monyet karena
tuasnya yang keriting. "Pabrik itu memproduksinya begitu cepat," kata Micky.
"Biasanya aku mesti menunggu enam bulan sampai senjata itu selesai diproduksi,
tapi di sini mereka bisa mengerjakannya dalam beberapa hari!"
"Mereka menggunakan mesin Amerika." Dulu, senjata dibuat oleh pandai besi yang
memasang bagian-bagiannya dengan cara coba-coba, dan kalau salah diulang lagi;
tidak heran jika butuh waktu enam bulan untuk membuat dua ribu pucuk senapan;
tapi mesin modern begitu tepat, sehingga bagian-bagian sebuah senjata bisa
dipasang ke senjata lain yang polanya sama. Pabrik yang lengkap dapat
menghasilkan ratusan senapan yang sama dalam sehari, seperti membuat peniti.
"Dan mesin yang membuat dua ratus selongsong peluru sehari!" kata Papa,
menggelengkan kepala karena kagum. Kemudian suasana hatinya berubah lagi dan ia
berkata lirih, "Tapi bagaimana mereka bisa meminta uangnya sebelum senapannya
diserahkan?" Papa tidak tahu apa-apa mengenai perdagangan internasional. Dikiranya pabrik
akan menyerahkan senapan itu di Kordoba dan menerima uangnya di sana juga. Ternyata sekarang lain,
pembayaran harus dilunasi sebelum senjata keluar dari pabriknya di Birmingham.
Namun Papa enggan mengirimkan uang perak dalam tong-tong kayu melintasi Lautan
Atlantik. Dan yang lebih buruk lagi, ia tidak dapat menyerahkan seluruh harta
keluarga sebelum senjata itu diserahkan dengan aman.
"Kita akan memecahkan masalah ini, Papa," kata Micky menghibur. "Itu gunanya
bank dagang." "Ulangi lagi penjelasanmu," kata Papa. "Aku harus memahaminya."
Micky senang karena sanggup menjelaskan sesuatu pada Papa. "Bank akan membayar
pabrik di Birmingham, juga akan mengurus pengiriman senjata itu ke Kordoba, dan
mengasuransikannya selama perjalanan di laut. Pada waktu senjata itu tiba, bank
akan menerima pembayaran dari Papa di kantor mereka di Kordoba."
"Tapi kemudian mereka harus mengirimkan peraknya ?"ke Inggris."
"Tidak mesti demikian. Mereka bisa menggunakannya untuk membayar muatan daging
asin yang datang dari Kordoba ke London."
"Bagaimana mereka cari makan?"
"Mereka mengambil potongan dari apa saja. Mereka akan membayar harga diskon pada
pabrik senapan, mengambil komisi pengapalan dan asuransi, dan mengenakan tagihan
ekstra untuk senjata itu."
Papa mengangguk. Ia berusaha untuk tidak menunjukkannya, tapi ia memang
terkesan, dan itu membuat Micky senang.
Mereka meninggalkan taman dan berjalan menyusuri Kensington Gore, menuju rumah
Joseph dan Augusta Pilaster.
Selama tujuh tahun semenjak Peter Middleton mati
tenggelam, Micky melewatkan setiap liburan bersama keluarga Pilaster. Sesudah
menyelesaikan sekolahnya, ia berkeliling Eropa dengan Edward selama setahun, dan
tinggal sekamar dengan Edward selama tiga tahun mereka kuliah di Universitas
Oxford, minum-minum, berjudi, dan membuat onar, dan pura-pura saja kuliah.
Micky memang tidak pernah lagi mencium Augusta, meski sebenarnya ingin. Ia ingin
lebih dari sekadar menciumnya. Dan ia bisa merasakan bahwa wanita itu akan
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membolehkannya. Di bawah tabir keangkuhannya yang beku terdapat hati yang
bergelora, penuh gairah, dan sensual; ia yakin akan hal itu. Tapi Micky menahan
diri. Ia telah meraih sesuatu yang tak ternilai: diterima hampir seperti seorang
anak dalam lingkungan salah satu keluarga paling kaya di Inggris, dan tidak
waraslah membahayakan kedudukan berharga itu dengan merayu istri Joseph.
Meskipun demikian, ia masih saja mengkhayalkannya.
Orangtua Edward baru-baru ini pindah ke rumah baru. Di Kensington Gore, yang
sebelumnya merupakan jalan pedalaman yang memanjang dari Mayfair, melintasi
ladang-ladang ke desa Kensington, tapi kini sepanjang sisi selatannya dipenuhi
rumah-rumah megah yang asri. Di sisi utara jalan adalah Hyde Park dan tamantaman Istana Kensington. Daerah ini merupakan lokasi sempurna bagi kediaman
keluarga pedagang kaya. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Tapi Micky tidak begitu yakin mengenai gaya arsitekturnya.
Rumah itu memang mengesankan. Terbuat dari bata merah dan batu putih, dengan
jendela besar bergrafit di lantai dasar dan lantai satu. Di atas lantai pertama
ada tembok besar berbentuk segi tiga yang mengelilingi tiga baris jendela enam,?kemudian empat, lalu dua di puncaknya: kamar-kamar tidur untuk kerabat, tamu,
dan pelayan yang tak terhitung jumlahnya. Sisi-sisinya diberi anak tangga, dan
di situ terdapat patung-patung
49dari batu: singa, naga, dan kera. Di puncaknya ada perahu dengan layar
terkembang. Mungkin menggambarkan perahu budak yang, menurut legenda keluarga,
merupakan fondasi kekayaan keluarga Pilaster.
'"Saya yakin tidak ada rumah seperti ini di London," kata Micky ketika ia dan
ayahnya berdiri di luar sambil memandang rumah itu.
Papa menjawab dalam bahasa Spanyol. "Tidak diragukan lagi, itulah yang
diinginkan wanita itu."
Micky mengangguk. Papa belum pernah bertemu dengan Augusta, tapi Papa telah
mengetahui standarnya. Rumah itu juga mempunyai ruang bawah tanah yang besar. Sebuah jembatan
menghubungkan daerah ruang bawah tanah, menuju beranda pintu masuk. Pintu
terbuka dan mereka masuk.
Augusta sedang mengadakan pesta minum teh siang untuk memamerkan rumahnya. Aula
rumah yang berlapis kayu ek dipenuhi oleh tamu dan pelayan. Micky dan ayahnya
menyerahkan topi mereka pada pelayan laki-laki berseragam, lalu berjalan
menembus kerumun menuju ruang duduk besar di belakang rumah. Jendela kaca
terbuka, dan para tamu tumpah ruah ke teras berhias bendera dan taman yang
panjang. Micky sengaja memilih mengenalkan ayahnya pada acara ramai ini, karena tata
krama Papa tidak selalu memenuhi standar London. Lebih baik jika keluarga
Pilaster mengenalnya secara bertahap. Bahkan menurut standar Kordoba, Papa
kurang memperhatikan tata krama pergaulan, dan mengantarnya berkeliling London
rasanya bagaikan menuntun seekor singa. Ia bersikeras untuk selalu membawa
pistol di bawah jasnya. Micky tak perlu menunjukkan Augusta pada Papa; Papa tahu dengan sendirinya.
Augusta berdiri di tengah ruangan, mengenakan busana sutra biru dengan garis
leher persegi yang rendah, yang memperlihatkan lekuk payudaranya. Ketika Papa
50 menjabat tangannya, wanita itu menatapnya dengan sepasang bola mata gelap yang
menghipnotis dan berkata dengan suara seempuk beludru, bernada rendah, "Senor
Miranda, senang sekali akhirnya bisa bertemu dengan Anda."
Papa langsung terkesima. Ia menunduk rendah di atas tangan wanita itu. "Saya tak
dapat membalas kebaikan Anda pada Miguel", katanya dalam bahasa Inggris patahpatah. Micky memperhatikan wanita itu saat ia melemparkan pesonanya pada ayahnya.
Penampilan Augusta tidak banyak berubah semenjak saat Micky menciumnya di
gereja, di Windfield School. Satu-dua guratan di sekitar matanya malah membuat
sepasang mata itu semakin memukau; sentuhan perak di rambutnya makin menonjolkan
warna hitamnya; dan meski ia sedikit lebih gemuk sekarang tubuhnya justru
kelihatan lebih montok. "Micky sering bercerita pada saya mengenai peternakan Anda yang hebat," kata
Augusta pada Papa. Papa merendahkan suaranya. "Anda mesti datang dan mengunjungi kami suatu hari
nanti." Semoga Tuhan tidak berkenan, pikir Micky. Kehadiran Augusta di Kordoba tidak
akan sesuai, bagaikan burung flamingo berada di tambang batu bara.
"Mungkin saya akan ke sana," ujar Augusta. "Berapa jauhnya dari sini?"
"Dengan kapal cepat yang baru, hanya memakan waktu sebulan."
Papa masih menggenggam tangannya, Micky memperhatikan itu. Dan suaranya menjadi
serak. Papa telah jatuh hati padanya. Micky merasakan tusukan kecemburuan. Jika
ada orang yang mau bermain api dengan Augusta, orang itu mestinya Micky, bukan
Papa. "Saya dengar Kordoba negeri yang indah," ucap Augusta.
Micky berdoa semoga Papa tidak berbuat sesuatu yang memalukan. Sebenarnya Papa
bisa memikat, kalau mau, dan kini ia tengah memainkan peran bangsawan Amerika
Latin yang romantis, demi kesenangan Augusta. "Saya berjanji pada Anda, kami
akan menyambut Anda seperti seorang maharani," katanya dengan suara rendah; dan
jelas Papa mencoba mencari simpatinya.
Tapi Augusta merupakan tandingannya. "Prospek yang sangat menggoda," katanya;
nadanya jelas terdengar tulus, namun ia sama sekali tidak merasa malu. Papa
semakin terpukau. Sambil menarik tangannya dari genggaman Papa, Augusta berseru
pada orang di belakang Papa, "Oh, Kapten Tillotson, baik sekali Anda mau
datang!" Dan ia beranjak untuk menyambut tamunya yang baru tiba.
Papa kehilangan semangat. Ia memerlukan beberapa saat untuk menenangkan dirinya
kembali. Kemudian ia berkata dengan tiba-tiba, "Antarkan aku ke direktur bank."
"Ayo," ujar Micky gagap. Ia melihat sekeliling, mencari Old Seth. Seluruh klan
Pilaster ada di sini, termasuk bibi-bibi yang belum menikah, keponakan, saudara
ipar, dan sepupu jauh. Micky dapat mengenali sepasang Anggota Parlemen dan
segelintir kaum ningrat yang lebih rendah. Sebagian besar tamu lainnya adalah
koneksi bisnis, begitulah penilaian Micky... dan para pesaing juga. pikirnya
ketika melihat sosok tegak dan kurus Ben Greenbourne, pimpinan Greenbournes
Bank, yang dikatakan sebagai orang paling kaya di dunia. Ben adalah ayah
Solomon, anak yang dikenal Micky sebagai Fatty Greenbourne. Mereka tak pernah
bertemu lagi setamat sekolah. Fatty tidak masuk universitas atau keliling Eropa,
tapi langsung menerjuni bisnis ayahnya.
Para aristokrat umumnya berpendapat tak pantas membicarakan uang, tapi kelompok
ini tidak, dan Micky terus mendengar kata "crash" ambruk. Di koran-koran?52
kadang-kadang dieja "Krach", karena kejadiannya bermula di Austria. Harga-harga
saham jatuh dan tingkat suku bunga bank naik, demikian menurut Edward, yang
baru-baru ini mulai bekerja di bank milik keluarga. Sebagian orang panik, namun
keluarga Pilaster yakin London tidak akan ikut-ikutan ambruk seperti Wina.
Micky mengajak Papa keluar menuju teras berlapis semen. Di situ beberapa bangku
kayu ditempatkan di bawah naungan awning bergaris-garis. Mereka bertemu dengan
Old Seth yang sedang duduk. Kedua lututnya diselimuti, kendati cuaca musim semi
terasa hangat. Ia lemah karena digerogoti penyakit yang tidak ketahuan, dan
tampak serapuh kulit telur, namun ia memiliki hidung keluarga Pilaster yang
bengkok dan besar, yang membuatnya masih tampak angker.
Seorang tamu lain sedang mencecar laki-laki tua itu. "Sayang sekali Anda tidak
cukup sehat untuk hadir di pesta para bangsawan itu, Mr. Pilaster!"
Micky ingin mengatakan pada tamu wanita itu bahwa tidak patut berkata demikian
pada seorang anggota keluarga Pilaster.
"Sebaliknya, aku senang karena punya alasan kesehatan," Seth menggeram sedikit.
"Aku tidak mengerti mengapa aku harus berlutut pada orang yang belum pernah
bekerja untuk memperoleh sepeser pun dalam hidupnya."
"Tapi kan ada Pangeran Wales... yang begitu terhormat!"
Seth sedang tak ingin didebat... biasanya pun demikian, dan kini ia berkata,
"Nona, nama Pilaster sudah diterima sebagai jaminan kalau orang berurusan bisnis
di pelosok-pelosok dunia yang tak pernah mendengar tentang Pangeran Wales."
"Tapi Mr. Pilaster, Anda seolah-olah tidak terlalu suka pada keluarga kerajaan!"
wanita itu bersikeras, mencoba agar suaranya bernada bercanda.
Seth belum pernah bercanda selama tujuh puluh tahun. "Aku tidak membenarkan
sikap berpangku tangan," katanya. "Dalam Alkitab, Tuhan berfirman, 'Jika
seseorang tidak mau bekerja, dia tidak sepatutnya makan.' St. Paul menuliskannya
dalam Tesalonika Kedua, pasal tiga, ayat sepuluh, dan dia jelas tidak mengatakan
bahwa keluarga kerajaan merupakan kekecualian bagi peraturan itu."
Wanita itu mundur dengan kebingungan. Sambil menahan senyum, Micky berkata, "Mr.
Pilaster, bolehkah saya memperkenalkan ayah saya, Senor Carlos Miranda, yang
jauh-jauh datang dari Kordoba untuk berkunjung ke sini?"
Seth menjabat tangan Papa. "Kordoba, eh" Bankku punya kantor di ibu kotamu,
Palma." SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Saya jarang pergi ke ibu kota," kata Papa. "Saya mempunyai peternakan di
Provinsi Santamaria."
"Jadi, Anda menggeluti bisnis daging sapi."
"Ya." "Pelajarilah cara mengawetkan daging dengan mesin pendingin."
Papa bingung. Micky menjelaskan, "Seseorang telah menemukan mesin yang dapat
menjaga agar daging tetap dingin. Kalau mereka dapat menemukan cara untuk
memasangnya di kapal, kita bisa mengirimkan daging ke seluruh dunia tanpa harus
mengasinkannya." Papa merengut. "Itu mungkin buruk bagi kita. Aku punya pabrik pengasinan yang
besar." 'Tutup saja." kata Seth. "Beralihlah ke mesin pendingin."
Papa tidak senang kalau orang mengatur apa yang harus dilakukannya, dan Micky
agak cemas. Dari sudut matanya ia melihat Edward. "Papa, saya ingin
memperkenalkan Papa pada sahabat sejati saya," katanya. Ia berhasil menjauhkan
ayahnya dari Seth. "Perkenankan saya memperkenalkan Edward Pilaster."
Papa mengamati Edward dengan tatapan matanya
54 yang bening dan dingin. Edward tidak tampan, ia mirip ayahnya, bukan ibunya,
penampilannya seperti anak tani yang sehat, berotot, dan berkulit cerah.
Begadang hampir setiap malam dan banyak menenggak anggur belum memperlihatkan
dampak buruknya belum lagi. Papa menjabat tangannya dan berkata, "Kalian berdua?telah bertahun-tahun bersahabat."
"Sahabat sejiwa," ucap Edward.
Papa mengerutkan keningnya, tidak mengerti,
Micky berujar, "Boleh kita bicara bisnis sebentar?"
Mereka beranjak dari teras, ke halaman rumput yang baru ditata. Batas-batasnya
baru ditanami, semuanya tanah mentah dan tanaman semak yang masih kecil-kecil.
"Papa melakukan beberapa transaksi pembelian besar di sini, dan beliau perlu
mengatur pengapalan dan dananya," Micky meneruskan. "Ini mungkin merupakan
transaksi kecil pertama yang bisa kautangani sendiri untuk bank keluargamu."
Edward tampak bergairah. "Dengan senang hati saya akan menangani transaksi itu
demi Anda," katanya pada Papa. "Bisakah Anda datang ke bank besok pagi, sehingga
kita bisa mengatur segala sesuatunya?"
"Ya," kata Papa.
Micky berkata, "O ya, bagaimana seandainya kapalnya tenggelam" Siapa yang
menanggung kerugian" Kami atau pihak bank?"
"Keduanya tidak akan menanggung kerugian," kata Edward senang. "Muatannya akan
diasuransikan pada Lloyd's. Kami hanya menagih uang asuransi dan melakukan
pengiriman baru ke alamatmu. Kau tidak akan membayar, sampai kau menerima
barang-barangmu. O ya, apa isi muatannya?"
"Senapan." Air muka Edward berubah. "Oh, kalau begitu kami tidak dapat menolongmu."
Micky menjadi heran. "Mengapa?"
"Karena Old Seth. Dia penganut Methodist. Ya, sebenarnya semua keluarga juga,
tapi dia lebih fanatik dibandingkan yang lainnya. Pokoknya, dia tidak mau
mendanai penjualan senjata, dan karena dia merupakan Mitra Senior, itu sudah
merupakan kebijakan bank."
"Persetan," Micky mengutuk. Ia melemparkan pandangan takut pada ayahnya.
Untunglah Papa belum memahami percakapan itu. Micky merasa lemas. Rencananya
tidak boleh berantakan hanya karena sesuatu yang konyol. "Si munafik tua sialan
itu praktis sudah mati, mengapa dia mesti turut campur?"
"Sebentar lagi dia akan mengundurkan diri," kata Edward. "Tapi kurasa Paman
Samuel akan mengambil alih, dan dia setali tiga uang."
Keadaan semakin buruk. Samuel adalah putra Seth yang masih lajang, berusia lima
puluh tiga tahun, dan masih sehat sekali. "Kita terpaksa mencari bank dagang
lain," kata Micky. Edward berkata, "Itu tidak sulit, asal kau bisa memberikan dua referensi bisnis
yang meyakinkan." "Referensi" Mengapa?"
"Begini, bank selalu mengambil risiko bahwa pembeli melanggar ketentuan
transaksi, karenanya bank harus menanggung muatan barang dagangan yang tidak
diinginkan di belahan dunia yang jauh. Mereka cuma memerlukan jaminan bahwa
mereka berbisnis dengan pengusaha terhormat."
Yang tidak disadari oleh Edward adalah bahwasanya konsep pengusaha terhormat
belum lagi ada di Amerika Latin. Papa adalah seorang caudillo, tuan tanah
tingkat provinsi dengan ratusan ribu ekar pampa dan para koboi sebagai tenaga
kerja, yang merangkap sebagai tentara pribadinya. Ia menggunakan kekuasaannya
dengan cara yang belum pernah dikenal oleh Inggris sejak Abad Pertengahan. Ini
sama saja dengan meminta referensi pada William sang Penakluk.
Micky pura-pura tidak merasa terusik. "Tentu kita akan memberikan sesuatu,"
katanya. Sesungguhnya ia bingung. Tapi kalau ingin tinggal di London, ia harus
berhasil mewujudkan transaksi ini.
Mereka berbalik dan melangkah kembali ke teras yang penuh sesak itu; Micky
menyembunyikan rasa cemasnya. Papa belum mengerti bahwa mereka menghadapi
kesulitan serius, tapi Micky harus menjelaskannya nanti... setelah itu, baru ada
masalah. Papa tidak sabar menghadapi kegagalan, dan kemarahannya akan
mengerikan. Augusta muncul di teras dan berbicara pada Edward. "Tolong cari Hastead, Teddy
sayang," ujarnya. Hastead adalah kepala pelayannya yang sangat penurut. "Kita
kehabisan cordial, tapi laki-laki sialan itu tidak kelihatan batang hidungnya."
Edward pergi. Wanita itu memberikan senyum hangat dan akrab pada Papa. "Apakah
Anda menikmati pesta kecil kami, Senor Miranda?"
"Saya sangat menikmatinya, terima kasih," ujar Papa.
"Anda harus minum teh, atau segelas cordial."
Papa lebih menyukai tequila, Micky tahu itu, tapi minuman keras tidak
dihidangkan di pesta minum teh yang diselenggarakan oleh seorang penganut
Methodist. Augusta menatap Micky. Karena dia cepat mengendus suasana hati orang lain, ia
berkata; "Kulihat kau tidak menikmati pesta ini. Ada apa?"
Micky tidak ragu-ragu mencurahkan isi hatinya pada wanita itu. "Saya berharap
Papa dapat membantu Edward dengan memasukkan bisnis baru ke bank keluarga
Pilaster, tapi bisnisnya meliputi senjata api dan amunisi. Edward baru saja
menjelaskan bahwa Paman Seth tidak akan mendanai pembelian senjata."
"Seth tidak akan menjadi Mitra Senior lebih lama lagi," kata Augusta.
"Tapi putranya, Samuel, mempunyai perasaan yang sama dengan ayahnya."
"O ya?" kata Augusta, nadanya meninggi. "Dan siapa bilang Samuel akan menjadi
Mitra Senior berikutnya?"
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY HUGH PILASTER mengenakan cravat baru gaya ascot, warna biru langit, yang sedikit
digembungkan di bagian kerah, lalu disematkan dengan peniti. Seharusnya ia
memakai jas baru, tapi penghasilannya hanya 68 poundsterling setahun, karenanya
ia mesti menyemarakkan pakaian-pakaian lamanya dengan dasi baru. Ascot itu mode
mutakhir, dan biru langit merupakan warna pilihan yang berani, tapi ketika
mengamati sosoknya di cermin besar di atas rak perapian di ruang duduk Bibi
Augusta, ia melihat dasi biru dan setelan jas hitam yang dikenakannya tampak
menarik dan serasi dengan matanya yang biru dan rambutnya yang hitam, dan ia
berharap ascot itu akan memberinya kesan berani yang memikat. Barangkali
Florence Stalworthy akan beranggapan demikian. Hugh mulai menaruh perhatian pada
busana sejak bertemu dengan gadis itu.
Keadaan jadi agak serba salah: tinggal dengan Augusta dan dalam keadaan begitu
miskin; namun ada tradisi di Pilasters Bank bahwa orang dibayar menurut
kemampuannya, tanpa memandang apakah orang itu anggota keluarga. Tradisi lain
adalah setiap orang harus mulai dari bawah. Hugh dulu bintang pelajar di
sekolah, dan mungkin sudah menjadi ketua kelas seandainya ia tidak-menghadapi
banyak kesulitan; namun pendidikannya nyaris tidak diperhitungkan di bank
keluarga tempatnya bekerja; ia melakukan pekerjaan karyawan administrasi yang
magang, dan tentu saja dibayar sesuai dengan pekerjaannya itu. Bibi dan pamannya
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tak pernah 58 memberikan bantuan finansial padanya, jadi mereka harus bisa memaklumi jika
busananya agak lusuh. Tentu saja ia tidak begitu peduli akan tanggapan mereka mengenai penampilannya.
Florence-lah yang di-cemaskannya. Gadis itu berwajah cantik dan berkulit putih
bak porselen, putri Earl Stalworthy; namun hal terpenting mengenai gadis itu
adalah ia tertarik pada .Hugh Pilaster. Padahal Hugh selalu terpesona pada
setiap wanita yang mau berbicara dengannya. Hugh sadar gejala seperti ini kurang
sehat, karena menandakan bahwa perasaannya terlalu dangkal. Namun apa daya, ia
tak mampu menanggulanginya. Lebih-lebih jika seorang gadis menyentuhnya secara
tak sengaja. Mulutnya langsung kering, tubuhnya panas dingin, dan darahnya
menggelegak. Ia tersiksa oleh rasa ingin tahu mengenai seperti apa bentuk betis
seorang gadis di balik lapisan roknya. Adakalanya keinginan itu menyiksanya. Ia
telah berusia dua puluh tahun, dan ia merasakan ini sejak berumur lima belas
tahun. Selama lima tahun itu ia belum pernah mencium seorang wanita pun, kecuali
tentu saja ibunya sendiri.
Pesta seperti yang diadakan oleh Bibi Augusta ini sangat menyiksanya. Karena ini
pesta, setiap orang bersusah payah menyenangkan hati masing-masing, mencari-cari
bahan pembicaraan, dan saling menunjukkan perhatian. Para gadis itu kelihatan
cantik dan saling melempar senyum, dan kadang-kadang mencoba menggoda para pria.
Begitu banyak orang memadati rumah, sehingga tanpa dapat dielakkan, sebagian
dari gadis-gadis itu menyenggol tubuh Hugh, menabraknya ketika mereka
membalikkan badan, menyentuh lengannya, atau bahkan menekankan payudara ke
punggungnya saat mereka lewat berdesakan. Sesudah pesta seperti itu, biasanya
Hugh akan sukar tidur selama seminggu.
Suasana pestanya sendiri sebenarnya membosankan. Yang hadir sebagian besar
anggota kerabat besar Pilaster. Almarhum ayahnya, Tobias, dan ayah Edward,
Joseph, adalah kakak beradik. Namun ayah Hugh telah menarik modalnya dari bisnis
keluarga, memulai usaha sendiri, jatuh bangkrut, dan bunuh diri. Itulah sebabnya
Hugh meninggalkan sekolah asrama Windfield yang mahal dan menjadi siswa di
Folkestone Academy untuk putra-putra dari kelas pekerja; itulah sebabnya ia
mulai bekerja pada usia sembilan belas tahun, bukannya melakukan perjalanan
keliling Eropa dan membuang-buang waktu selama beberapa tahun di universitas;
itulah sebabnya ia tinggal dengan bibinya; itulah sebabnya ia tidak mempunyai
pakaian baru untuk ke pesta itu. Ia salah seorang kerabat, tapi kerabat yang
miskin dan merupakan ganjalan bagi keluarga yang mendasarkan kebanggaan, rasa
percaya diri, dan status sosial hanya pada satu hal: kekayaan materi.
Tak pernah terlintas dalam pikiran mereka untuk memecahkan masalah ini dengan
memberinya uang. Kemiskinan merupakan hukuman atas kegagalan menjalankan bisnis,
dan bila orang yang gagal dikasihani, ia takkan terdorong untuk bangkit lagi.
"Itu sama saja dengan menyediakan tempat tidur empuk di penjara," begitulah kata
mereka, setiap kali ada yang menganjurkan untuk menolong orang-orang yang gagal.
Ayah Hugh telah menjadi korban krisis keuangan, tapi apa bedanya. Ia tetap
dianggap orang gagal dalam hidupnya. Ia jatuh pada tanggal 11 Mei 1866, tanggal
yang dikenal oleh para bankir sebagai Jumat Hitam. Pada hari itu sebuah
perusahaan pialang surat berharga bernama Overend and Gurney Ltd jatuh bangkrut
dengan meninggalkan utang sebesar lima juta poundsterling. Kepailitan itu
menyeret banyak perusahaan termasuk London Joint Stock Bank, perusahaan
kontraktor, milik Sir Samuel Peto, dan perusahaan Tobias Pilaster and Co. Tapi
tak ada dalih "mengampuni kegagalan" dalam bisnis, demikian menurut filosofi
keluarga Pilaster. Sama 60 halnya seperti krisis keuangan yang terjadi saat ini. Tidak diragukan lagi, satu
atau dua perusahaan akan jatuh pailit sebelum krisis keuangan ini berakhir,
namun keluarga Pilaster dengan gigih berhasil melindungi diri mereka,
menyisihkan klien yang lebih lemah, mengetatkan kredit, dan tanpa ampun menolak
hampir semua bisnis baru, kecuali yang paling aman. Mereka percaya bahwa
menyelamatkan diri adalah kewajiban tertinggi seorang bankir.
Aku juga seorang anggota keluarga besar Pilaster, pikir Hugh. Mungkin hidungku
tidak seperti hidung keluarga Pilaster, tapi aku juga mengerti soal
menyelamatkan diri. Adakalanya kemarahan berkecamuk dalam hatinya apabila ia
merenungkan apa yang telah terjadi atas ayahnya, dan hal itu semakin membulatkan
tekadnya untuk menjadi yang paling kaya dan paling dihormati dari semua
kerabatnya yang keparat itu. Sekolahnya yang murah telah mengajarnya ilmu hitung
dan sains yang bermanfaat, sementara sepupunya yang kaya berjuang keras untuk
menguasai bahasa Latin dan Yunani; dan tidak masuk universitas membuat Hugh
memulai bisnis lebih dini. Ia tak pernah tergoda untuk menempuh jalan hidup yang
berbeda, menjadi pelukis atau Anggota Parlemen atau biarawan. Bidang keuangan
telah mendarah daging dalam dirinya. Ia mampu menghitung tingkat suku bunga bank
saat ini lebih cepat daripada kalau ia diminta meramal apakah hujan akan turun.
Ia bertekad tidak akan cepat merasa puas dan munafik seperti para kerabatnya
yang lebih tua, tapi ia sudah memastikan diri akan menjadi bankir.
Kendati demikian, ia tidak terlalu memikirkan hal itu. Pikirannya tersita oleh
wajah dan tubuh para gadis rupawan yang melintas di depannya.
Ia melangkah keluar dari ruang duduk, menuju teras, dan melihat Augusta
mendatanginya dengan seorang gadis.
"Hugh sayang," kata Augusta, "ini temanmu Miss Bodwin."
Hugh merintih dalam hati. Rachel Bodwin adalah seorang gadis jangkung yang
intelek, dengan opini radikal. Wajahnya tidak cantik, rambutnya berwarna cokelat
buram, dan matanya yang tidak gelap terletak agak berdekatan, namun ia ceria dan
menawan, penuh dengan gagasan yang berani, dan Hugh sangat menyukainya ketika
pertama kali berkenalan dengannya. Waktu itu ia baru saja tiba di London, untuk
bekerja di bank keluarga Pilaster. Rupanya sejak awal Augusta sudah merencanakan
bahwa jodoh Hugh adalah Rachel, karena itu Hugh selalu merasa agak canggung jika
bertemu dengan Rachel. Sebelumnya mereka sering berdebat sengit dan bebas
mengenai perceraian, agama, kemiskinan, dan hak suara bagi kaum wanita. Semenjak
Augusta mulai menjodohkan mereka, mereka cenderung menjadi kaku dan percakapan
mereka terkesan formal.. "Kau tampak sangat cantik, Miss Bodwin," kata Hugh spontan.
"Kau baik sekali," gadis itu menjawab datar.
Augusta baru saja hendak berpaling ketika ia melihat dasi yang dikenakan Hugh.
"Ya Tuhan," serunya. "Apa itu" Kau tampak seperti pengurus penginapan!"
Wajah Hugh merah padam. Kalau saja ia bisa memikirkan jawaban yang menggigit, ia
berani mengambil risiko untuk menyuarakannya, namun ilham tak kunjung datang,
jadi ia hanya bisa bergumam, "Cuma dasi baru. Namanya ascot."
"Berikan itu pada anak penyemir sepatu besok," komentar Augusta sambil melangkah
pergi. Rasa kesal bergejolak di dada Hugh terhadap nasib yang memaksanya tinggal
bersama bibi yang terlalu menggurui itu. "Wanita tidak sepantasnya menanggapi
busana pria," ujarnya kesal. "Itu sangat tidak feminin."
Rachel berkata, "Kurasa sudah semestinya wanita
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY mengemukakan pendapatnya tentang apa saja yang menarik hati mereka, jadi aku
ingin bilang bahwa aku menyukai dasimu, dan dasi itu serasi dengan matamu."
Hugh tersenyum. Ia merasa lebih enak sekarang. Pada dasarnya Rachel punya sifat
baik. Meskipun demikian, bukan kebaikannya yang menyebabkan Augusta ingin Hugh
mengawini gadis itu. Rachel adalah putri seorang pengacara yang ahli di bidang
kontrak bisnis. Keluarganya hanya mengandalkan penghasilan yang didapat dari
profesi ayahnya, dan kedudukan sosial mereka beberapa tingkat di bawah keluarga
Pilaster; sebenarnya mereka tidak akan hadir di pesta ini kalau bukan karena Mr.
Bodwin telah memberikan jasanya pada bank milik keluarga itu. Status sosial
Rachel lebih rendah dari status keluarga Pilaster, dan dengan mengawininya, Hugh
akan mengukuhkan status dirinya lebih rendah dari anggota keluarga Pilaster
lainnya. Dan inilah yang sebenarnya diinginkan Augusta.
Hugh tidak sepenuhnya menentang dorongan agar ia melakukan pendekatan pada
Rachel. Augusta telah menyiratkan bahwa ia akan memberikan hadiah perkawinan
yang besar kalau Hugh kawin dengan gadis pilihan bibinya. Tetapi bukan kado
perkawinan yang menggoda Hugh, melainkan pemikiran bahwa setiap malam ia akan
merasakan nikmatnya tidur seranjang dengan seorang wanita.
"Jangan memandangiku seperti itu," kata Rachel dengan cerdik. "Aku cuma bilang
aku menyukai dasimu."
Hugh kembali tersipu. Apakah gadis itu bisa menduga apa yang berkecamuk dalam
benaknya" Pemikirannya tentang gadis-gadis memang sering bersifat badaniah,
sehingga ia acap kali malu terhadap dirinya sendiri. "Maaf," gumamnya.
"Banyak sekali anggota keluarga Pilaster di sini," kata Rachel riang sambil
melihat ke sekitarnya. "Bagaimana kau bergaul dengan mereka semua?"
Hugh ikut melihat ke sekelilingnya, dan melihat Florence Stalworthy sedang
memasuki ruangan. Ia tampak sangat cantik. Rambut ikalnya yang pirang jatuh di
atas pundaknya yang halus. Tepi gaun merah mudanya dihiasi renda dan pita sutra,
dan bulu-bulu burung unta bertengger di topinya. Saat melintasi ruangan, ia
bertemu pandang dengan Hugh dan menyunggingkan senyum ke arahnya.
"Kau tidak memperhatikanku lagi," kata Rachel terus terang.
"Aku mohon maaf yang sebesar-besarnya," ucap Hugh.
Rachel menyentuh lengannya. "Hugh yang baik, dengarkan sebentar. Aku menyukaimu.
Kau salah satu dari segelintir orang dalam masyarakat di London yang tidak
membosankan. Tapi aku tidak mencintaimu dan tidak akan mengawinimu, betapa pun
seringnya bibimu mempertemukan kita."
Hugh tersentak. "Maksudku...," ia mulai bicara.
Namun gadis itu belum selesai. "Dan aku tahu perasaanmu sama terhadapku, jadi
kau tak usah pura-pura patah hati."
Setelah terpaku sesaat, Hugh tersenyum. Sikap terus terang inilah yang
disukainya dari Rachel. Tetapi menurutnya gadis itu benar: suka tidak berarti
cinta. Hugh tidak yakin apakah cinta itu, tapi gadis itu kelihatannya tahu.
"Apakah ini berarti kita bisa berdebat kembali tentang hak suara kaum wanita?"
katanya riang. "Ya, tapi jangan hari ini. Aku ingin mengobrol dengan teman sekolahmu dulu,
Senor Miranda." Hugh mengernyitkan kening. "Micky tak mampu mengeja kata suffrage hak ?suara apalagi menjelaskan artinya padamu."
?"Meskipun demikian, separuh wanita muda kalangan atas di London menjadi histeris
kalau dekat dengannya."
"Aku tak habis pikir kenapa bisa begitu."
"Dia adalah Florence Stalworthy dalam penjelmaan seorang lelaki," kata Rachel;
sesudah itu ia meninggalkan Hugh yang masih setengah terperangah.
Hugh mengerutkan dahi memikirkan hal itu. Micky tahu Hugh adalah kerabat
Pilaster yang miskin, dan ia memperlakukan Hugh sesuai dengan keadaannya itu,
karenanya sulit bagi Hugh untuk bersikap objektif terhadap Micky. Micky sangat
menarik dan selalu berpakaian indah. Ia mengingatkan Hugh akan seekor kucing,
rapi dan sensual, dengan bulu berkilau. Sebenarnya ia tidak perlu begitu cermat
berdandan, dan menurut desas-desus para pria, Micky sebenarnya tidak begitu
jantan, namun wanita tidak terlalu .memedulikan hal itu.
Hugh mengikuti Rachel dengan pandangan matanya ketika Rachel melintasi ruangan,
mendatangi Micky yang bersama-sama ayahnya sedang berbincang-bincang dengan
saudara perempuan Edward, Clementine, Bibi Madeleine, dan Bibi Beatrice yang
masih muda. Kini Micky berpaling ke arah Rachel, memberikan perhatian penuh pada
gadis itu ketika menyalami tangannya dan mengucapkan sesuatu yang membuat Rachel
tertawa. Ia selalu mampu berbicara pada tiga atau empat wanita sekaligus, pikir
Hugh. Meskipun demikian, ia tidak menyukai anggapan bahwa Florence seperti Micky.
Gadis itu memang memikat dan populer seperti Micky, namun menurut Hugh, Micky
bukanlah pemuda terhormat, sedangkan Florence terhormat dan elegan.
Hugh menerobos kerumunan dan berdiri di sisi Florence, merasa seakan-akan sedang
di awang-awang, namun masih juga gugup. "Lady Florence, apa kabar?"
Dara itu tersenyum cemerlang sekali. "Hebat sekali rumah ini!"
"Kau menyukainya?"
"Entahlah." "Kebanyakan orang bilang begitu."
Gadis itu tertawa, seakan-akan Hugh telah mengemukakan pendapat yang jitu dan
menyenangkan, dan pemuda itu bukan main senangnya.
Ia melanjutkan, "Rumah ini modern sekali. Kamar mandinya lima! Di ruang bawah
tanah ada ketel besar untuk menghangatkan seisi rumah dengan pipa air panas."
"Barangkali ornamen kapal batu di puncak dinding itu agak berlebihan."
Hugh merendahkan suaranya. "Kurasa juga begitu. Kapal itu mengingatkanku pada
kepala sapi di luar toko daging."
Gadis itu cekikikan lagi. Hugh senang karena berhasil membuatnya tertawa.
Menurutnya ada baiknya menjauhkannya dari orang banyak. "Ayo kita melihat-lihat
taman," katanya. "Baiklah." Taman itu sebetulnya belum indah betul, karena baru saja ditanami, namun itu
tidak penting. Hugh menuntun gadis itu dari ruang duduk menuju teras, tetapi di
situ ia dihadang oleh Augusta yang melemparkan pandangan menyalahkan dan
berkata, "Miss Florence, baik hati sekali Anda sudi datang. Edward akan mengajak
Anda melihat-lihat taman." Wanita itu merenggut Edward yang berdiri di dekat
tempat itu, dan menuntun keduanya menjauh sebelum Hugh sempat membuka suara.
Hugh merapatkan gigi karena frustrasi dan bertekad tidak akan membiarkan bibinya
pergi begitu saja. "Hugh sayang, aku tahu kau ingin berbicara dengan Rachel,"
ujar wanita itu. Ia memegang lengan Hugh dan membawanya kembali ke dalam. Pemuda
itu tak bisa berbuat apa-apa untuk melawannya, misalnya merenggutkan lengannya
dan menunjukkan kemarahannya di depan orang banyak. Rachel tengah berhadapan
dengan Micky Miranda dan ayahnya. "Micky, aku ingin memperke-SBOOK BY OBI
PRC/TXT BY OTOY naikan ayahmu dengan saudara iparku, Mr. Samuel Pilaster." Ia memisahkan Micky
Miranda dan ayahnya dan membawa mereka pergi meninggalkan Hugh dan Rachel berdua
lagi. Rachel tertawa. "Kau tak bisa mendebatnya."
"Sama saja berdebat dengan kereta api lewat," Hugh mengomel. Melalui jendela, ia
bisa melihat gerakan gaun Florence ketika gadis itu berjalan di sisi Edward.
Rachel mengikuti mata Hugh dan katanya, "Sudahlah, datangi saja gadis itu lagi."
Hugh tersenyum. "Terima kasih."
Ia bergegas ke taman. Ketika hampir mendekati mereka, sebuah gagasan licik
terlintas di benaknya. Mengapa tidak menggunakan saja permainan licik bibinya
untuk memisahkan Edward dari Florence" Augusta akan mengamuk kalau tahu, tapi
biar saja, asalkan ia bisa berduaan dengan Florence di taman selama beberapa
menit. Persetan dengan semua itu, pikirnya. "Hei, Edward," katanya. "Ibumu
menyuruhku memanggilmu. Dia di aula dalam."
Edward tidak mempertanyakannya; ia sudah terbiasa kalau tiba-tiba ibunya berubah
pikiran. Katanya, "Maafkan saya, Lady Florence." Ia meninggalkan mereka dan
masuk ke rumah. Florence berkata, "Benar dia dipanggil ibunya"'
"Tidak." "Kau jahat!" kata gadis itu, namun ia tersenyum.
Hugh memandang matanya. Ia merasa senang sekali gadis itu tidak mencela ulahnya.
Augusta pasti akan sangat marah, tapi Hugh rela menanggung yang lebih parah dari
itu, demi memperoleh senyum gadis pujaannya. "Mari, kita melihat-lihat kebun
buah-buahan," ajaknya.
[Ill] AUGUSTA merasa terhibur oleh Papa Miranda. Sosoknya yang gempal dan pendek
benar-benar khas peternak! Lelaki ini begitu berbeda dengan anaknya, Micky
Miranda, yang santun dan elegan. Augusta sangat menyukai Micky Miranda. Ia
merasa lebih feminin setiap kali bersama pemuda itu, meski Micky masih begitu
muda. Tatapan Micky membuatnya merasa menjadi wanita yang paling didambakan.
Kadang-kadang ia ingin pemuda itu bukan sekadar memandangnya. Keinginan tolol
memang, namun perasaan itu kadang-kadang muncul.
Augusta saat ini sedang cemas mendengar perbincangan tentang Seth. Micky
beranggapan apabila Old Seth meninggal atau mengundurkan diri, putranya Samuel
akan mengambil alih sebagai Mitra Senior di Pilasters Bank. Micky sendiri tidak
akan membuat asumsi seperti itu, ia pasti mengetahuinya dari salah seorang
anggota keluarga Pilaster. Augusta tak ingin Samuel mengambil alih. Ia
menginginkan pekerjaan itu bagi suaminya, Joseph, yang dari garis keturunan
adalah keponakan Seth. Ia melihat sekilas melalui jendela ruang duduk. Empat mitra Pilasters Bank
sedang berkumpul di teras. Tiga orang dari keluarga Pilaster: Seth, Samuel, dan
Joseph penganut Methodist pada awal abad kesembilan belas, senang memakai namanama dari Alkitab. Old Seth yang tampak seperti orang jompo, tengah duduk dengan
selembar selimut di atas lututnya. Hidupnya tampak tak lagi berguna. Di
sampingnya adalah putranya. Samuel tidak menonjol seperti ayahnya. Ia memiliki
hidung betet yang sama, namun bentuk mulutnya agak lembut, dengan gigi jelek.
Menurut tradisi, ia lebih pantas menjadi pengganti Mitra Senior, karena ia mitra
tertua setelah Seth.
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
68 Suami Augusta, Joseph, tengah berbicara, menyampaikan buah pikirannya pada paman
dan sepupunya dengan gerakan-gerakan pendek tangannya yang menggambarkan
ketidaksabaran. Joseph juga memiliki hidung betet Pilaster, namun ciri-ciri
fisik lainnya agak kurang serasi, apalagi rambutnya tampak semakin menipis.
Mitra keempat berdiri di belakang, asyik mendengarkan dengan lengan terlipat. Ia
adalah Mayor George Hartshorn, suami adik Joseph, Madeleine. Sebagai mantan
perwira Angkatan Darat, ia mempunyai parut yang menonjol di dahinya, akibat luka
yang dideritanya dua puluh tahun silam dalam Perang Krim. Namun, ia bukan
pahlawan: kudanya ketakutan melihat mesin uap, perwira itu jatuh, dan kepalanya
membentur roda gerbong dapur. Ia telah pensiun dari Angkatan Darat dan ikut
bekerja di bank keluarga itu ketika mengawini Madeleine. Ia orang yang ramah dan
mengikuti saja pendapat orang lain, dan ia tidak cukup pintar untuk mengurus
bank keluarga; lagi pula mereka belum pernah mempunyai Mitra Senior yang namanya
bukan Pilaster. Jadi, sekarang, calon-calon serius tinggal Samuel dan Joseph.
Secara teknis, keputusan diambil melalui pemungutan suara di antara para mitra.
Secara tradisi, keluarga itu biasanya mencapai konsensus. Dalam kenyataan,
Augusta bertekad untuk menggunakan caranya sendiri. Tapi jelas hal itu tidak
mudah. Mitra Senior Bank Pilaster adalah salah satu dari orang paling penting di dunia.
Keputusannya untuk memberikan pinjaman bisa menyelamatkan sebuah monarki;
penolakannya dapat menyulut suatu revolusi. Bersama-sama dengan sekelompok
lainnya J.P. Morgan, keluarga Rothschild, Ben Greenbourne ia menggenggam ? ?kemakmuran bangsa-bangsa dalam tangannya. Para kepala negara menyanjungnya, para
perdana menteri berkonsultasi dengannya, para diplomat mengunjunginya, dan
mereka semua mencoba mengambil hati istrinya.
Joseph mengincar pekerjaan itu, namun tak mampu menyamarkan keinginannya.
Augusta takut suaminya, akan membiarkan peluang itu lepas begitu saja. Jika
dibiarkan bertindak sendiri, akan mengatakan terus terang keinginannya menjadi
mitra senior, lalu membiarkan yang lain memutuskan. Tak pernah terlintas dalam
kepalanya untuk melakukan kecurangan terse-lubung, misalnya dengan mencoba
menjatuhkan pamor atau nama baik pesaingnya.
Augusta mesti menemukan cara untuk melakukan itu demi kepentingan suaminya.
- Tidak sulit baginya mengenali kelemahan Samuel. Pada usia lima puluh tiga, ia
masih lajang, dan tinggal dengan seorang pemuda yang disebutnya "sekretaris"nya. Sampai sekarang keluarga besar itu tidak menaruh perhatian pada urusan mmah
tangga Samuel, namun Augusta masih bertanya-tanya, apakah ia dapat mengubah itu
semua. Samuel mesti ditangani dengan cermat. Pria itu cerewet. Ia akan mengganti semua
pakaiannya kalau ada setetes anggur^ mengotori celananya; tapi ia tidak lemah
dan tak bisa diintimidasi. Serangan langsung bukanlah cara yang tepat untuk
menjatuhkannya. Augusta tidak menyesal jika harus merusak nama Jbaik Samuel. Ia tak pernah
menyukai lelaki tua lajang itu. Samuel kadang-kadang-seolah meremehkannya, dan
memiliki cara untuk menolak menanggapinya dengan serius. Hal itu membuat Augusta
kesal. Sementara mondar-mandir di antara para tamunya, Augusta mencoba melupakan
kejengkelannya pada keponakannya, Hugh, yang tak mau dijodohkan dengan gadis
yang cocok baginya. Anggota keluarga Pilaster yang satu ini memang
menjengkelkan, Augusta tak akan membiarkan hal itu mengalihkannya dari masalah
yang lebih penting menangani Samuel.?Dari jauh ia melihat ipar perempuannya, Madeleine Hartshorn, di aula. Madeleine
yang malang, orang bisa 70 langsung tahu bahwa ia saudara perempuan Joseph, m sebab ia memiliki hidung
Pilaster. Pada sebagian laki-laki dalam keluarga Pilaster, hidung semacam itu
bisa membuat mereka tampak menonjol, namun di wajah seorang wanita, hidung betet
seperti itu membuatnya kelihatan lucu dan kaku.
Dulu Madeleine dan Augusta bersaing. Bertahun-tahun yang lalu, ketika Augusta
baru menikah dengan Joseph, Madeleine kesal karena perhatian keluarga mulai
tertuju pada Augusta, apalagi Madeleine sendiri tidak memiliki daya tarik atau
kemampuan seperti Augusta mengatur perkawinan dan pemakaman, menjadi
?perantara, menjadi juru damai sengketa, dan mengorganisasikan santunan bagi yang
sakit, ibu-ibu yang hamil, dan bagi yang berkabung. Sikap Madeleine nyaris
menimbulkan perpecahan dalam keluarga. Kemudian ia jatuh menjadi mangsa Augusta.
Pada suatu siang, Augusta masuk ke sebuah-toko eksklusif yang menjual barangbarang perak di Bond Street dan memergoki Madeleine menyelinap ke belakang toko.
Augusta sengaja berlama-lama, pura-pura agak ragu memilih perlengkapan pembakar
roti, hingga ia melihat seorang pemuda tampan menempuh rute yang sama. Ia pernah
mendengar kamar-kamar di atas toko semacam ini digunakan untuk pertemuan
romantis, dan kini ia hampir yakin bahwa Madeleine terlibat dalam suatu hubungan
cinta. Selembar uang kertas lima poundsterling berhasil membujuk pemilik toko
yang bernama Mrs. Baxter untuk mengungkapkan nama pemuda itu, Viscount Tremain.
Augusta benar-benar shock, tapi yang mula-mula terlintas dalam pikirannya adalah
apa yang mungkin dilakukan oleh Madeleine dengan Viscount Tremain bukan tak
mungkin dilakukan Augusta dengan Micky Miranda. Nnmun itu tentu saja mustahil.
Selain itu, seandainya Madeleine ketahuan, hal yang sama mungkin juga terjadi
atas Augusta. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Dari segi sosial, kejadian itu bisa menghancurkan nama baik Madeleine. Laki-laki
yang terlibat dalam skandal cinta dianggap keji, namun romantis, tapi wanita
yang melakukan hal serupa akan dicap sebagai pelacur. Kalau rahasianya
terbongkar, ia akan dikucilkan masyarakat dan keluarganya akan menanggung malu.
Mula-mula Augusta berniat memanfaatkan rahasianya untuk mengendalikan Madeleine
dengan mengancam akan membeberkan skandalnya. Namun itu akan membual Madeleine
memusuhinya untuk selamanya. Tindakan bodoh menambah musuh tanpa ada perlunya.
Mesti ada jalan untuk membuat Madeleine tak berdaya, sekaligus menjadikannya
sekutu. Setelah berpikir panjang, ia menyusun suatu strategi. Daripada
mengintimidasi Madeleine dengan informasi itu, Augusta pura-pura berpihak
kepadanya. Dalam sebuah kesempatan berduaan, ia membisiki Madeleine, "Pesan bagi
orang bijak, Madeleine yang baik," katanya. "Mrs. Baxter tak bisa dipercaya.
Bilang pada viscount-mu untuk mencari tempat pertemuan yang lebih aman."
Madeleine memohon padanya agar merahasiakan hal itu dan sangat berterima kasih
ketika Augusta dengan ikhlas berjanji akan tutup mulut untuk selamanya. Semenjak
kejadian itu, tak ada lagi persaingan di antara mereka.
Kini Augusta memegang tangan Madeleine sambil berkata, "Ayo melihat-lihat
kamarku. Kurasa kau akan menyukainya."
Di lantai pertama rumah itu terdapat kamar tidur dan kamar rias Augusta, kamar
tidur dan kamar rias Joseph, serta sebuah kamar kerja. Ia menuntun Madeleine ke
kamar tidurnya, menutup pintu, dan menunggu reaksinya.
Augusta telah mengisi kamar itu dengan seperangkat perabot gaya Jepang, dengan
kursi-kursi berukir, kertas pelapis dinding bermotif bulu merak, dan seperangkat
barang dari porselen di atas rak perapian. Ada sebuah
72 lemari besar berlukiskan motif Jepang, dan kursi dekat jendela di ceruk kamar
yang sebagian terlindung oleh tirai bermotif capung.
"Augusta, tata ruang kamar ini berani sekali!" ujar Madeleine.
"Terima kasih." Augusta sangat puas dengan interior kamarnya. "Ada bahan tirai
yang lebih baik sebenarnya, tapi toko Liberty sudah kehabisan stok. Ayo kita
melihat-lihat kamar Joseph."
Ia membawa Madeleine melalui pintu penghubung. Kamar tidur Joseph diisi dengan
versi yang lebih moderat, meski gayanya sama, dengan kertas kulit warna gelap di
dinding dan tirai brokat. Augusta terutama bangga akan lemari peraga mengilat
yang berisi koleksi suaminya kotak-kotak bubuk tembakau bertatah permata.?"Joseph itu eksentrik sekali," ujar Madeleine sambil melihat kotak-kotak itu. Augusta tersenyum. Suaminya sama sekali tidak eksentrik, tapi memang aneh juga
bagi seorang pengusaha bijak penganut Methodist untuk mengoleksi benda yang
tidak begitu penting dan indah, hingga seluruh keluarga merasa lucu melihatnya.
"Kata Joseph, benda-benda itu merupakan investasi," kata Augusta. Sebenarnya
seuntai kalung berlian untuk dirinya juga bisa dianggap investasi yang bagus,
tapi suaminya tak pernah membelikannya barang-barang seperti itu, karena kaum
Methodist menganggap perhiasan sebagai kemewahan yang mubazir.
Terjebak Di Hutan Serigala 1 Pendekar Rajawali Sakti 150 Orang Orang Atas Angin Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama