Ceritasilat Novel Online

Konspirasi Langit 1

Konspirasi Langit Karya Unknown Bagian 1


22 Juli 1942, La Spezia, Pantai Liguria Italia Utara Maggiore1 Tiberio Bertoglio, mengenakan seragam anggota Brigadi Hitam Mussolini"lengkap dengan emblem dari kayu eboni di pundak, label ukuran dobel-M berwarna merah-darah dan perak di bagian kerah, serta sebuah lencana bergambar tengkorak dan tulang-bersilang berwarna perak dan hitam pada bagian depan-atas topinya"duduk di jok belakang mobil-dinas Lancia yang berdebu. Kedua lengan disilangkan didadanya dengan gaya II Duce.2 Ia tak merasa sebesar yang tampak, setengahnya pun tidak. Seragam itu hanyalah tipuan. Dia sama sekali bukan anggota tentara melainkan anggota OVRA, Organizzasione di Vigilanza Represseione dell" Antifascismo"Organisasi Kewaspadaan terhadap Paham Anti-Fasis"yang terkutuk itu: polisi rahasia Mussolini, gestapo Italia.
Pagi itu dia habis terbang dari Roma dengan sebuah pesawat engkol kuno, Savoia-Marchetti SM.75, yang dibagian ekornya samar-samar masih terlihat lencana tua bergambar burung biru Ala Littoria persis dibelakang simbol fasis angkatan udara Italia, yaitu tiga kapak hitam yang tertancap pada seikat batang pohon. Setelah empat jam melonjak-lonjak di udara, ia tiba di pangkalan angkatan laut La Spezia, meminjam mobil-dinas itu berikut seorang supir dan sekarang ia hampir sampai di akhir perjalanannya.
Sang supir membawa mereka melewati jalan-jalan sempit nan berliku di kota Portovenere, menyusur ke pelabuhan ikan di La Grazie. Di belakangnya terbentang benteng raksasa abad kedua belas, Castello Doria, yang dibangun delapan ratus tahun lalu untuk menjaga jalan menuju Teluk Spezia, dan benteng itu masih menjalankan fungsinya. Di teluk yang terlindungi itu sendiri, Bertoglio dapat melihat setengah angkatan laut Italia berlabuh, termasuk kapal perang yang amat besar Andrea Doria dan kapal sejenisnya, Giulio Cesare. Dihentak-hentak dan diinjak-injak tapi masih terapung.
Mobil dinas itu akhirnya sampai di dermaga tua yang sudah rapuh. Bertoglio melangkah keluar dari jeep besar yang berbalut-pasir itu dan memberi salam hormat singkat ala Fasis kepada sang supir dengan menghentakkan sepatu botnya.
"Kembalilah setengah jam lagi, jangan lebih," Bertoglio berpesan.
"Pasti, Maggiore. Setengah jam."
Supir itu mengangguk, mendorong persneling mobil Lancia dan meninggalkan tempat itu. Di pulau Palmaria yang berpohon besar-besar, sejauh setengah mil di seberang teluk yang merupakan pelabuhan desa perikanan, Bertoglio dapat melihat gedung rendah nan panjang yang mencirikan biara San Giovanni All" Orfenio. Biara itu berdiri hampir diatas pantai dengan sebuah dermaga kecil bersemen miliknya sendiri; di dermaga itu ada sebuah perahu-kuno besar yang diikatkan pada pancang besi tua berwarna hitam. Bertoglio menengok-nengok ke sekeliling dan akhirnya dalam jarak beberapa yard ia melihat sebuah perahu penangkap ikan yang ditambatkan. Pemiliknya sedang merokok dan bercakap-cakap dengan laki-laki lain.
"Berapa ongkos menyeberang ke biara?" Bertoglio bertanya dengan suara keras. Sang nelayan memandanginya naik-turun, memperhatikan tanda-pangkat mayor, strip satu yang melengkung di lengannya, serta label brigade Mussolini.
"Kenapa Anda ingin pergi kesana?" orang tua itu bertanya. Kedua mata cokelatnya yang sayu menata topi-militer berwarna hitam dan lencana bergambar tengkorak manusia. Ia tidak tampak terpengaruh.
"Saya ada urusan disana, Pak Tua. Nah, berapa ongkos untuk mengangkut saya dengan perahumu?"
"Hanya sekali jalan ke sana, atau pergi-pulang?"
"Pergi-pulang," Bertoglio berteriak. "Kau mesti menunggu di dermaga. Saya akan kembali bersama seorang lagi penumpang."
"Berarti akan ada ongkos tambahan."
"Sudah saya duga, Pak Tua."
Laki-laki yang satunya tersenyum dan untuk pertama kalinya ia angkat bicara. "Setiap kali Anda menyebutnya "Pak Tua", ongkosnya nak. Pikirnya ia masih semua seekor kambing. Ia yakin semua biarawati itu kepingin tidur dengannya."
"Saya serahkan para biarawati kepada pendeta Bertole itu," kata Pak Tua sambil tertawa, mempertontonkan setengah lusin gigi cokelatnya yang sudah tak utuh lagi. "Mungkin dia suka mengulir wanita tua dengan kumis,3 tapi aku lebih menyukai ostrica4 kecil dan muda yang ada di tempat-tempat pelesiran."
"Memangnya mereka akan lebih memilihmu!" teriak lelaki yang satuna.
"Berapa," Bertoglio memotong.
"Tergantung berapa banyak uang yang Anda punya."
"Perjalanan ini hanya 200 yard."
"Rupanya Anda ini Kristus, Maggiore. Anda dapat berjalan di atas air?"
Bertoglio merogoh kantong jaketnya dan mengeluarkan segepok lira, menarik enam lembar uang kertas itu. Pak Tua mengernyitkan alis, dan Bertoglio menarik enam lembar lagi.
"Cukup, bagus," kata Pak Tua. Ia memberikan isyarat dengan mengayunkan satu tangan yang gemetaran. "Masuklah ke perahu-bangsawanku dan aku akan mengantar Anda menyeberang ke biara itu."
Dengan canggung Bertoglio berusaha sendiri melangkah ke dalam perahu dan turun dengan hati-hati ke atas papa-perintang bagian belakang. Pak Tua menyusul naik ke dalam perahu dan menarik kayuh-kayuh panjang. Dengan satu kayuh dia mendorong perahu menjauh dari dermaga, lalu memasukkan kedua kayuh ke lubang pengunci dan mulai mendayung perahu dengan kuat. Bertoglio duduk kukuh di bagian belakang, kedua tangannya memegang erat bibir perahu. Ia merasa sedikit mual ketika mereka mengarungi teluk lebih jauh. Didekatnya ada sebuah ember besar yang didalamnya terdapat sesuatu berwarna cokelat dan berbentuk kenyal mengapung. Isi ember itu berbau busuk, dan perut Bertoglio yang sudah mulas itu mulai terdorong.
"Kepala cumi-cumi," Pak Tua menjelaskan. "Cumi-cumi itu dijaring ketika mulai kawin dan muncul ke permukaan disaat berahi. Potong kepalanya sebelum mereka sempat menyemburkan sperma, lalu berjemur di bawah sinar matahari selama satu atau dua hari. Begitulah cara membuat umpan yang lebih baik."
Bertoglio tak bicara sepatah kata pun. Biara sudah menampak lebih dekat di depan mereka. Itulah sebuah gedung rendah nan panjang, yang dibangun dengan tangga unik sesuai dengan susunan bebatuannya. Di bagian belakang ada sebuah padang rumput curam, dan tampak olehnya sebuah pagar besi-tempa bercat putih, yang didalamnya terdapat sebidang kecil tanah kuburan, dinaungi oleh beberapa pohon zaitun yang dikerdilkan, serta ditancapi beberapa batu dan kayu salib sederhana dalam jarak yang renggang.
Lelaki tua itu menarik kayuhnya yang sebelah kanan. Perahu meluncur sekitar garis lurus yang merupakan bendungan ikan sarden dan haring yang dibuat untuk menangkap sekumpulan ikan yang sedang berenang pada permulaan musim pasang. Kemudian ia mengayuh lurus ke arah dermaga kecil di depan biara. Karena mereka mendekati dermaga dengan suara gemerisik, seorang perempuan tua berjubah biru tua dengan kerudung putih yang menutup sebagian besar wajahnya keluar dari pintu depan gedung dan berjalan turun ke dermaga, dengan kedua tangan yang tersembunyi di dalam lengan bajunya. Dia berdiri di sana menunggu dengan tenang sementara Bertoglio mendekat. Sejenak Bertoglio merasa takut dan malu seakan-akan ia menjadi seperti anak-anak sedangkan makhluk-makhluk seperti ini adalah penguasa daerah bermainnya dan mengendalikannya dengan sebatang kayu. Ditambah dengan perutnya yang sedang berpilin-pilin, keadaan itu membuatnya merasa benar-benar khawatir ketika melompat keluar dari perahu kecil si nelayan dan naik ke dermaga. Perempuan tua itu menatapnya, kemudian berbalik tanpa sepatah kata pun. Dia melangkah kembali menuju biara, sedangkan Bertoglio berjalan di belakangnya. Tak lama kemudian dia mengikuti biarawati itu memasuki kesejukan gedung yang terbuat dari batu itu. Suasana gelap; disitu kelihatannya tak ada cahaya buatan. Bertoglio mengerjapkan mata. Biarawati tua itu melewati sebuah ruang depan yang kosong tanpa hiasan apa pun, lalu berbelok memasuki tempat semacam kamar yang dilengkapi dengan sejumlah rak buku, sebuah meja kayu, beberapa kursi, dan sebuah tungku-api dari tanah liat. Di kamar itu ada satu-satunya jendela yang tengah tertutup. Melalui celah antar kisi-kisinya yang lebar, Bertoglio dapat melihat ke bawah ke arah pantai yang sempit dan dermaga. Nelayan tua itu ternyata kabur dan terlihat sudah setengah jalan melintasi teluk.
Bertoglio mengumpat. "Caccati in mano e prenditi a schiaffi!" Dia memukulkan satu kepalan tangannya ke telapak tangan lainnya.
"Adakah Anda mengatakan sesuatu, Mayor?"
Seorang biarawati pendek berwajah menyenangkan berusia empat puluhan melangkah dari bayangan di sisi yang jauh dari tungku api. Tidak seperti suster tua yang telah mengantarkannya kemari, biarawati ini memakai semacam tasbih besar"terbuat dari manik-manik kayu yang diukir"di sekeliling pinggangnya yang gendut, dan sebuah salib besi yang besar bergantung pada rantai yang melingkar di lehernya, menjulur ke bawah diantara sepasang payudara besarnya yang menggantung.
"Saya tidak mengatakan apa-apa," jawab Bertoglio. "Siapa gerangan Anda?" dia bertanya keras, sambil memajukan dagunya untuk mengekspresikan ejekan spontan ala II Duce.
"Saya kepala biara, Suster Benedetta. Barangkali Andalah orang yang mereka katakan akan datang."
"Saya Maggiore Tiberio Bertoglio, MVSN Ketujuh Divisi Tevere," Bertoglio berkata keras.
"Yang saya tunggu adalah seorang anggota polisi rahasia," kata Suster Benedetta.
"Tidak ada polisi rahasia di Italia," jawab Bertoglio.
"Bila begitu, Anda tidak benar-benar ada disini, Maggiore. Anda hanyalah kilasan khayalan saya." Perempuan itu tersenyum kelelahan. "Saya kira pasukan Gestapo cukup untuk kedua negara."
"Saya datang untuk anak itu," kata Bertoglio. Dia merogoh kantong kemejanya dan mengeluarkan sebuah paket kecil yang disegel dengan tanda salib dan tiga mahkota sebagai bukti sah dan resmi dari Vatikan.
"Anda punya banyak kawan diatas," kata Suster Benedetta. Ia meletakkan jari telunjuknya yang gemuk di atas segel dan membuka paket itu. Didalamnya ada selembar akta kelahiran dan selembar tiket perjalanan yang sudah dibubuhi cap oleh Vatikan, pemerintah Swiss, dan Otoritas Imigrasi Nazi. Ada satu set lagi dokumen perjalanan untuk satu orang dewasa yang tak disebut namanya. "Dokumen-dokumen ini atas nama Frederico Botte," katanya.
"Begitulah nama anak itu."
"Tidak, itu bukan namanya, dan Anda tahu itu, Maggiore."
"Sekarang itulah namanya. Jemputlah dia."
"Dan jika kukatakan tak ada Frederico Botte di biara ini?"
"Saya lebih suka tak menjawabnya, Suster Kepala. Tak baik bagi Anda ataupun saya. Jika Anda menyembunyikan anak itu enggan menyerahkannya, maka akan ada akibat yang amat serius." Ia berhenti sejenak. "Saya hanya melaksanakan apa yang diperintahkan, Suster. Yakinlah, bagi saya ini tidak menyenangkan."
"Baik." Suster Benedetta mengambil sebuah lonceng kecil dari rak diatas tungku perapian dan membunyikannya. Suara lonceng amat keras di dalam ruangan itu. Beberapa saat kemudian muncul seorang perempuan yang amat muda, dengan rok, kemeja dan sweater yang tampak kurang nyaman dikenakan. Ia menggandeng tangan seorang bocah lelaki berusia kira-kira tiga tahun. Anak itu memakai celana pendek, kemeja putih, dan dasi tipis. Rambut gelapnya licin dibasahi dengan air. Dia tampak ketakutan.
"Inilah anak itu. Ini Suster Filomena. Ia akan menyiapkan segala keperluan anak ini. Dia dapat berbicara dalam bahasa Jerman dan Italisa sehingga tak ada kesulitan untuk mengetahui segala kebutuhannya dan kebutuhan anak itu." Suster Benedetta melangkah maju, mencium ke dua pipi wanita muda itu dan memberikan dokumen-dokumen perjalanan serta akta kelahiran itu kepadanya. Suster Filomena memasukkan kertas-kertas itu ke saku panjang sweater sederhananya. Ia tampak ketakutan seperti anak-anak. Bertoglio paham kenapa perempuan muda itu ketakutan; dia pun ketakutan jika berada dalam kondisi seperti itu.
"Perahu yang mengantar saya ke sini sudah pergi. Bagaimana kami bisa kembali ke pulau utama?"
"Kami punya angkutan sendiri," jawab Suster Benedetta. "Pergilah bersama Suster Filomena. Dia akan menunjukkan kepadamu."
Bertoglio mengangguk, kemudian mengatupkan kedua tumitnya dengan keras. Tangannya mulai bergerak keras ke atas untuk memberikan salam hormat ala Fasis, tapi kemudian ia berpikir lebih baik tidak melakukan hal itu; sebagai gantinya buru-buru ia menganggukkan kepala. "Terima kasih atas kerja sama Anda, Suster yang Terhormat."
"Saya lakukan ini demi anak itu; dia tidak bersalah dalam kegilaan ini ... tidak seperti kebanyakan kita. Selamat tinggal.
Tanpa berkata lagi, Bertoglio memutar tumitnya menghadap ke luar ruangan. Suster Filomena dan anak itu mengikutinya dari belakang tanpa perlawanan. Di pintu keluar anak itu berhenti sejenak dan menoleh ke belakang.
"Selamat tinggal Eugenio," Suster Benadetta berkata lirih, dan kemudian pergi.
Dia berjalan melewati jendela dan menatap dari celah daunnya, mengamati ketiga sosok yang bergerak turun ke dermaga. Dominic, laki-laki muda dari desa yang membantu pekerjaan itu, sudah menunggu di dekat dermaga. Dia membantu anak itu masuk ke perahu milik biara, kemudian ia juga membantu Filomena ke tempat duduknya. Sang Maggiore duduk di haluan seperti seseorang dari Wahington yang berseragam menggelikan sedang melewati Delaware. Dominic naik ke kapal dan mengambil kayuh. Beberapa saat kemudian mereka sudah berada jauh di teluk yang sempit antara pulau kecil itu dan daratan yang luas.
Suster Benadette mengamatinya sampai ia tak lagi dapat melihat sosok anak itu. Kemudian ia berjalan keluar dari ruangan itu dan melewati sebuah koridor panjang di antara sel-sel pribadi, dan akhirnya mencapai pintu keluar di bagian bawah gedung di belakang kamar mandi dan toilet. Ia keluar dalam keredupan sinar matahari petang dan mengikuti sebuah jalan sempit berlantai arang diatas bukit menuju makam. Dengan memotong jalan, ia menyusur lebih jauh ke dalam pepohonan yang gelap, dan akhirnya sampai disebuah lembah kecil yang ditumbuhi aneka bunga dan dipenuhi aroma aneh dari pohon-pohon pinus di sekelilingnya.
Dia mengikuti jalan itu memasuki lahan bundar kecil dan berpagar, mendengar sepoi angin tinggi diatasnya dan gemuruh angin laut di kejauhan. Jika ada sesuatu yang disukai katherine, maka tempat inilah yang ia sukai; satu-satunya kedamaiannya dalam sebuah kehidupan yang hancur karena ketakutan dan keprihatinan. Pendeta dari Portovenere tidak berkeberatan Katherine dikubur di tanah suci, dan akhirnya Suster Benedetta pun tidak menentangnya. Tak ada keraguan dalam hatinya bahwa tempat ini lebih dekat dengan Tuhan daripada tempat lainnya dan bahwa Katherine akan lebih menyukainya.
Dengan mudah ia menemukan salib marmer sederhana, walaupun disekelilingnya sudah ditumbuhi semak-semak yang lebat. Ia berlutut, meluangkan waktu sebentar untuk mencabuti tetumbuhan kecil yang menjalar diatas batu, menyibak tulisan:
Katherine Maria Teresa Annunzio
26 - 5 - 1914 22 - 10 - 1939 PACEM Perlahan Suster Benedetta melepaskan tasbih yang ia kenakan di pergelangan tanan kanannya dan mengepitnya dalam genggaman kedua tangannya. Ia menatap batu itu dan membisikkan doa lama para paus sebagaimana kata-kata terakhir perempuan muda itu sebelum ia menceburkan dirinya ke dalam laut:
"Kata-kata ini adalah musik indah bagi telinga:
Aku menghormatimu, wahai Bunda!
Inilah lagi manis untuk diulang:
Aku menghormatimu, wahai Bunda Suci!
Engkaulah kesenangan, harapan dan cinta suciku
kekuatanku dalam segala kesengsaraan.
Jika jiwaku yang dikacaukan dan diserang oleh nafsu menderita karena beban meyakitkan
berupa kesedihan dan tangisan,
jika engkau melihat anakmu dibanjiri kemalangan,
wahai Maria Perawan Suci,
izinkan aku beristirahat dalam pelukan keibuanmu.
Tetapi duhai, hari akhir telah menjelang dengan cepat,
Usirlah Iblis ke neraka yang dalam,
dan tetaplah, Bunda terkasih,
berada di dekat anakmu yang telah renta dan banyak kesalahan.
Dengan jamahan lembut, Lindungilah para murid yang waspada
dan serahkanlah kepada Tuhan dengan rasa sayang
jiwa yang sedang kembali kepada-Nya.
Amin." Angin yang bertambah kencang ketika menerpa pepohonan, menjawab doanya dan untuk setiap saat kedamaian, keyakinan masa kanak-kanaknya kembali dan sekali lagi ia merasakan kenikmatan Tuhan. Kemudian kenikmatan itu memudar karena hembusan keras yang bergulung dan tetes air mata dipipinya yang tak terbendung. Dia memikirkan Bertoglio, memikirkan Filomena dan anak itu. Dia memikirkan Katherine, dan dia memikirkan orang itu, laki-laki kotor nan angkuh yang telah melakukan perbuatan itu terhadap Katherine sehingga menghantarkannya kepada kematian ini. Tak ada doa para paus baginya. Yang ada hanya sebuah kutukan yang Cuma sekali ia dengar dari ibu Katherine beberapa tahun yang lalu.
"Semoga kau membusuk di dalam kuburmu. Semoga kau hancur digerogoti belatung ketika terbaring mati. Semoga jiwamu rusak membusuk di hadapan keluargamu dan dunia. Semoga kau celaka dalam kegelapan yang kekal dan tidak menemukan kehormatan kecuali dalam siksa api neraka."
1 Maggiore adalah kata dalam bahasa Italia yang berarti mayor. [peny.]
2 II Duce adalah sebutan untuk pemimpin rezim Fasisme Italia di masa kekuasaan Benito Mussolini. [penerj.]
3 Ungkapan untuk menyatakan kegemaran melakukan seks oral dengan wanita tua. [penerj.]
4 Dalam bahasa Italia, ostrica berarti kerang, kata kiasan untuk menyebut alat kelamin wanita. [penerj.]
Next1 Rambutnya berwarna tembaga, disemir dan berkilau, menggantung lurus dari puncak kepalanya sepanjang beberapa inci petama sebelum kemudian berubah menjadi serimbunan rambut keriting alami yang tak teratur, menjuntai ke bawah menutup sekitar batas pundaknya, cukup panjang untuk menutupi sebagian dadanya. Kedua lengannya panjang dan tampak lebih kuat daripada perkiraan Anda tentang wanita yang tidak sampai 165 cm. Tangannya lembut, jemarinya kurus seperti jemari anak-anak, kuku-kukunya dipotong pendek dan rapi.
Tulang rusuknya panjang-panjang dan melengkung. Perutnya rata. Punggungnya halus, membujur dari leher panjang yang tersembunyi di bawah juntaian rambutnya. Pada pangkal bawah tulang belakangnya terdapat sebuah tanda lahir kecil berbentuk terompet dan berwarna merah muda. Kakinya panjang, betisnya kuat, pergelangan kakinya yang berbentuk indah bersambung ke bawah menjadi sepasang kaki yang mungkil, berlekuk panjang, dan lembut.
Wajahnya yang terbingkai oleh juntaian rambut berwarna tembaga itu hampir sesempurna tubuhnya. Dahinya lebar dan bersih; tulang pipinya tinggi; mulutnya sempurna alami; dagunya melengkung sedikit lebar, menguatkan kesan lugu yang tampak memancar darinya. Untuk ukuran kecantikan klasik, hidungnya agak terlalu panjang dan sempit, ditaburi sejumlah bintik pada ujung batangnya. Matanya memesona: besar dan tajam hampir menakutkan, berwarna hijau tua.
"Baik, waktu habis, tuan-tuan dan nona-nona." Dennis, instruktur pelajaran menggambar-objek-langsung di New York Studio School, menepuk tangannya dengan keras dan tersenyum diatas mimbar pose yang letaknya agak tinggi. "Terima kasih, Finn, cukup sekian untuk hari ini." Belasan orang lainnya di dalam studio itu meletakkan berbagai peralaan gambar diatas papan meja gambar masing-masing dan ruangan mulai riuh dengan obrolan mereka.
Wanita muda itu membungkuk untuk meraih kimono tua bergambar bunga hitam-putih yang selalu ia bawa pada saat-saat semacam ini. Ia mengenakan kimono itu, mengikatkan talinya di sekeliling pinggangnya yang ramping, kemudian turun dari panggung kecil itu dan masuk ke belakang sekat tinggi model Cina yang berdiri jauh di sebelah ruangan itu. Namanya Fiona Katherine Ryan, dipanggil Finn oleh teman-temannya. Usianya 24 tahun. Sebagian besar masa hidupnya dijalaninya di Columbus, Ohio, tetapi sejak satu setengah tahun belakangan ia bersekolah dan bekerja di Nyw York, dan ia menyukai saat-saat itu.
Finn mulai melepas kimono dan meletakkannya di kursi lipat di belakang sekat lalu cepat-cepat berganti pakaian, melemparkan kimono itu ke dalam tas punggungnya. Beberapa saat kemudian, ia sudah mengenakan celana Levi"s usangnya, sepatu karet kesukaannya, dan T-Shirt kuning menyala yang pasti menyita perhatian para pengemudi kendaraan ketika dia menuju pusat kota. Finn melambaikan tangan kepada seluruh kelas sebagai salam perpisahan, dan mereka membalas lambaian tangan itu. Ketika keluar ia mengambil selembar cek dari Dennis, dan sebentar kemudian sudah berada di bawah matahari sore yang cerah, melepaskan sepeda kuno merek Schwinn Lightweight yang gemuk dan sudah payah itu dari tiang tambatnya.
Ia melemparkan tas punggungnya ke dalam keranjang baja berbentuk tube besar, bersama kotak pisang bermerek Chiquita yang menempel di tas itu, lalu menggeser rantai dan kuncinya ke salah satu kantong-pinggirnya. Ia menyatukan rambutnya menjadi bentuk ekor kuda yang keriting, mengikatnya dengan ikat-rambut nilon berwarna hitam, lalu mencabut topi baseball kumal berwarna hijau polos dari tas itu dan memakaikan ke kepalanya, menarik rambut ekor kudanya dari lubang yang ada di belakang topinya itu. Ia melangkahi badan sepedanya, menangkap gagang kemudinya, dan mengayuhnya menuju Eight Street. Ia berkendara sejauh dua blok, lalu berbelok ke Sixth Avenue, ke arah utara.
Next2 Museum Seni Parker-Hale berlokasi di Fifth Avenue diantara Sixty-fourth Street dan Sixty-fifth Street, berhadapan dengan Kebun Binatang Central Park. Gedung yang pada mulanya dirancang sebagai sebuah rumah mewah bagi Jonas Parker"yang mencari nafkah dengan memproduksi Pil Lever cap Ibu Tua dan meninggal dunia karena problem pernapasan yang tak teridentifikasi sebelum ia dapat menempatinya"ini dialihfungsikan menjadi museum oleh rekan bisnisnya, William Whitehead Hale. Setelah berhenti mengurusi lever masyarakat, kedua orang itu menghabiskan waktu di Eropa demi kegemaran mereka di bidang seni. Hasilnya, museum Parker-Hale sangat banyak mendapat bantuan, sehingga kedua orang itu lebih dikenang karena koleksi seninya daripada sebagai penemu Pil Lever Cap Ibu Tua. Lukisan-lukisan yang ada di museum itu terdiri atas campuran-pilihan dari karya Braque dan Constable sampai Goya dan Monet.
Bergerak sebagai sebuah lembaga kepercayaan, museum Parker-Hale beroleh penghargaan berupa piringan emas dari wali kota dan komisaris polisi melalui sekretaris kardinal New York. Meski bukan yang terbesar di New York, Parker-Hale benar-benar merupakan salah satu museum yang paling bergengsi. Bagi Finn, memperoleh pekerjaan honorer di bagian cetakan dan lukisan pada museum itu adalah sebuah capaian yang sudah pasti mengesankan. Pekerjaan kuratorial yang sedikit lebih baik daripada orang lain yang sama-sama mengambil gelar master di bidang sejarah seni. Pekerjaan itu juga membantu memupus stigma yang melekat padanya karena mendapat gelar sarjananya dari perguruan tinggi semcam Ohio State University.
Bukan karena ia hanya punya sedikit pilihan; ibunya bekerja di fakultas arkeologi Ohio State University sehingga ia bisa kuliah di sana secara cuma-Cuma. Sebaliknya, ia tinggal di New York tidak gratis. Ia terpaksa melakukan pekerjaan apa saja dan segala sesuatu semampunya untuk menambah dana kuliah dan beasiswanya yang kecil itu. Itulah sebabnya mengapa ia bekerja sebagai model seni, sebagai model tangan dan kaki untu katalog ketika ada tawaran dari agensi, memberikan kursus bahasa Inggris sebagai bahasa kedua kepada para imigran baru dari berbagai ras, dan bahkan mengasuh balita-balita karyawan fakultas, menjaga rumah, mengurus tanaman dan mengurus hewan peliharaan sebagai tambahan. Terkadang jalan hidupnya yang berliku itu seolah tak akan pernah berubah normal.
Setengah jam setelah meninggalkan kelas menggambar-objek-langsung, ia berhenti di depan gedung Parker-Hale, merantai sepedanya di tiang-lampu yang kosong dan berlari menuju pintu besar yang diatasnya terdapat sebuah relief klasik sederhana bergambar orang telanjang yang sedang berbaring. Sejenak sebelum menarik pintu yang berbalut kuningan itu, ia mengedipkan mata ke arah relief itu"kedipan dari seorang model telanjang ke model telanjang yang lain. Ia mencopot topinya, melepaskan ikat rambutnya, dan mengguncang-guncangkan kepala agar rambut itu bebas terurai, lalu memasukkan topi dan ikat rambut itu ke tas punggungnya. Ia tersenyum kepada Willie, satpam tua berambut abu-abu, kemudian berlari menaiki tangga marmer yang lebar berwarna pink, berhenti sejenak pada lantai jeda untuk menatap sebentar karya Renoir yang terpampang disitu, Bathers in the Forest.
Ia mencermati goresan penuh keanggunan itu dan warna hijau-biru lembut dari pemandangan hutan yang membuat lukisan itu tampak luar biasa, suasananya hampir tak tergambarkan, dan terlihat menakjubkan. Lukisan ini merupakan salah satu dari fantasi atau impian Renior yang sering berulang: tiba-tiba tergambar sekelompok wanita cantik dalam kelesuan di suatu tempat yang jauh terpencil. Anda dapa menulis pembahasan lengkap tentang objek semacam itu, tetapi apa pun yang dipikirkannya, itu adalah sebuah lukisan indah.
Selama lima menit penuh Finn mencermati lukisan itu, lalu berbalik dan menaiki lantai tingkat kedua. Ia berjalan melewati ruangan kecil tempat pameran karya Braque, lalu menyusuri sebuah koridor pendek menuju pintu tak bertanda kemudian masuk. Seperti pada kebanyakan gedung pameran dan museum, lukisan-lukisan atau artifak-artifak dipamerkan di bagian tengah bilik-bilik buatan yang menempel di dinding, sementara aktivitas museum yang sesungguhnya berlangsung di belakang dinding-dinding itu. Area "tersembunyi" yang baru saja ia masuki itu adalah departemen cetakan dan lukisan (C&L) dari museum Parker-Hale. Sebenarnya departemen C&L adalah sebuah ruang panjang tunggal yang menyusur sisi utara gedung"kantor-kantor kurator yang sempit berjendela. Bagian luar dari area-area koleksi itu diberi penerangan buatan dengan lampu sorot yang berspektrum penuh.
Semua koleksi itu dilapisi kertas bebas-asam dan disimpan dalam laci-laci penyimpanan yang tersusun sepanjang bagian dalam dinding, yang masing-masing ditempeli nomor yang sepertinya tak berkesudahan. Diantara lemari-lemari penyimpanan setinggi bahu itu terdapat ruang-ruang menjorok ke dalam yang masing-masing berisi sebuah meja tulis yang ukurannya pas dengan ruangnya, sebuah kursi dan sebuah meja-sinar datar yang besar untuk memeriksa koleksi. Meja-meja sinar itu terbuat dari selembar kaca putih buram yang disinari dari bawah dan ditahan oleh bingkai kayu yang kukuh. Masing-masing meja sinar persis seluas gambar salinan yang dibuat oleh juru foto, berfungsi untuk membuat slide inventaris dari setiap cetakan atau lukisan. Di sebelah setiap ruang seperti itu terdapat sebuah ruang lain dengan terminal komputer yang memuat seluruh inventaris koleksi itu di dalam database-nya, lengkap dengan gambar fotonya, dokumen-dokumen yang berhubungan dengan perolehan barang dan cetakan tentang asal-usul atau sumber karya itu.
Tugas Finn selama musim panas adalah mmeriksa apakah nomor inventaris, nomor slide, dan nomor sumbernya cocok. Tentu saja itu pekerjaan yang membosankan, tapi seorang kurator junior yang belum berpengalaman dan masih berusia 24 tahun seperti Finn harus mau membiasakan diri. Seperti yang selalu dikatakan oleh ibunya, "Kamu adalah ilmuwan, Nak, sekalipun ilmu pengetahuan yang kamu kuasai itu adalah seni. Segala sesuatu itu pada saatnya akan memberi manfaat bagimu."
Memberi manfaat bagimu. Ia tersenyum lebar mengingat ucapan itu, mengambil sebuah buku catatan stenografi dan pensil dari lemari peralatan tulis, lalu menuju jajaran laci-laci penyimpanan lukisan ditempat yang kemarin ia garap. Setelah merampungkan kuliahnya di Ohio, ia tinggal di Florens selama setahun, belajar di kota kelahiran Michelangelo, berjalan-jalan ke berbagai tempat dan juga mempelajari bahasa Italia. Sekarang semuanya itu memberi manfaat baginya, sekalipun untuk itu ia harus berkorban dengan menanggung hitam-dan-biru di pantatnya akibat cubitan setiap orang, mulai dari para pekerja dikantor tata-usaha sapai pendeta tua yang dungu di perpustakaan gereja Santo Spirito.
Ia enggan menjadi pengatur pameran karya-karya para pelukis Florens zaman Renaisans pada hari pertama ia bekerja di museum Parker-Hale. Lagi pula, ia telah mendapat janji bahwa jika sebagai pegawai honorer ia bekerja dengan baik, tahun depan ia akan menjadi pegawai tetap. Ia ingin bisa hidup layak di New York sambil meraih gelar masternya, tetapi biaya hidup disana mahal, bahkan untuk sebuah tempat kotor di Alphabet City seperti yang ia sewa sekarang.
Willie muncul lagi, memeriksa semua ruangan. Mencocokkan kuncinya di dalam gardu penjagaan dan berlalu. Setelah itu, seluruh departemen tampak kosong, suasana yang memang ia sukai. Ia menemukan laci penyimpanan yang belum selesai ia kerjakan kemarin, mengenakan sepasang sarung tangan katun putih yang memang diwajibkan, mencatat angka-angka yang tertera pada kertas-kertas asetat yang melapisi lukisan, kemudian membawa angka-angka dan kadang-kadang lukisan itu sendiri ke meja di ruang menjorok tadi untuk disesuaikan dengan informasi yang ada di database komputer. Setelah dua jam, ia menguap dan pandangan matanya mulai tampak ganda, tetapi ia tetap menekuni pekerjaan itu. Ia menyelesaikan satu laci dan kemudian mulai mengerjakan laci berikutnya yang begitu rendah sehingga ia terpaksa berjongkok untuk membukanya. Dari posisinya itu, ia melihat bahwa salah satu lukisan tersangkut ke dalam sebuah celah kecil di belakang laci dan hampir tak terlihat. Kalau laci itu tidak dibuka penuh, maka lukisan yang terselip itu tak mudah terlihat.
Dengan hati-hati Finn membuka laci sedapa mungkin, lalu memegang lukisan itu dengan mata terpejam, merasakan ada sedikit ketidakberesan pada sampul asetat yang ia lihat. Adegan itu berlangsung sebentar, sampai akhirnya ia menariknya perlahan dengan menggunakan jempol dan jari telunjuknya. Akhirnya lukisan itu terlepas dan Finn segera membawanya ke tempat yang terang. Ia mengangkat lukisan itu dan mendorong laci dengan jari kakinya agar tertutup sambil mengamati lukisan itu lebih dekat. Ia hampir pingsan.
Lukisan itu berukuran kira-kira 6x8 inci, terpotong kasar atau barangkali robek pada sisi kirinya. Meski demikian, melalui sampul asetat ia dapat melihat bahjwa kertas itu sebenarnya adalah kulit berkualitas tinggi, mungkin kulit domba, digosok dengan kapur dan batu apung. Entah kapan, lukisan itu pernah menjadi bagian dari sebuah buku catatan, karena di bagian pojok bawahnya ia dapat melihat adanya bekas jahitan.
Ilustrasinya dibuat dengan tinta cokelat tua, begitu tua usianya sehingga garis-garisnya sudah pudar seperti gambar sarang laba-laba yang nyaris tak terlihat. Kualitas karya itu bagus sekali, jelas buatan zaman Renaisans. Gambarnya berupa seorang wanita; payudaranya yang besar tampak dengan jelas. Wanita itu berpinggul lebar, nyaris gemuk. Kepalanya dan juga bagian bawah tangan atau lengannya tidak ada dalam lukisan itu.
Yang luar biasa adalah fakta bahwa tubuh wanita itu tampak teriris menganga lurus sepanjang garis tengahnya, dan daging serta tulang iganya hilang sama sekali. Lehernya juga menganga, menampakkan pembuluh tipis maupun pembuluh tebal dari urah merihnya dan pembuluh carotid yang lebih menonjol menembus bagian depan dan belakang telinga. Paru-parunya terbuka, begitu pula ginjal dan jantungnya.
Hatinya menonjol dan tertarik dengan rapi, tetapi perutnya tampak dihilangkan agar rahimnya terlihat lebih jelas dan saluran vaginanya yang terbuka itu menjulur turun dari rahimnya. Leher rahimnya tertarik ke dalam dengan cermat, sedangkan bibir kemaluannya tertarik ke ujung lainnya. Ikatan sendi tulang dan otot yang menyangga rahim dan organ-organ lainnya terpasang dengan baik, begitu juga semua urat darah utama dan pembuluh-pembuluh sistem peredaran darahnya.
Tampaknya itu adalah sebuah lukisan autopsi anatomis dari seorang wanita paruh baya yang disajikan dengan indah. Hanya ada satu hal yang tidak benar. Di zaman Renaisans tidak ada autopsi; hal seperti itu disebut vivisection, dan hukuman atas perbuatan itu adalah eksekusi mati. Leonardi da Vinci telah didakwa dan diadili atas perbuatan semacam itu meskipun akhirnya tuntutan dibatalkan. Michelangelo, yang sezaman dengan da Vinci, juga telah didakwa tetapi tidak pernah dibawa ke pengadilan.
Selama bertahun-tahun, memoar para seniman dan cendekiawan melaporkan bahwa Michelangelo, bekerja sama dengan pendeta gereja, telah menggunakan kamar mayat yang ada di rumah sakit internal gereja Santo Spirito di Florens untuk membuat lukisan-lukisan tubuh orang mati. Tetapi hal itu tidak terbukti karena mitos buku catatan Michelangelo tak pernah terbongkar.
Finn melanjutkan mencermati lukisan itu. Satu tahun ia telah menghabiskan waktunya di Florens dan sebagian besarnya dipakai untuk mempelajari karya dan masa-masa hidup Michelangelo. Tulisan yang menubruk sisi kiri dan kanan lukisan itu tampak seperti contoh-contoh yang telah ia lihat dalam naskah kecil dan tipis Michelangelo. Tanpa berhenti sejenak untuk berpikir tentang lukisan itu, Finn menghampiri tas punggungnya dan mengambil kamera digital merek Minolta. Ia tahu bahwa ia pasti dimarahi jika tertangkap basah, tetapi ia merasa harus mengambil foto lukisan itu untuk dipelajari di waktu-waktu luangnya. Foto itu akan menjadi ilustrasi yang sempurna bagi disertasinya. Alex Crawley, direktur museum Parker-Hale, adalah seorang pemimpin yang amat teguh memegang aturan. Harus ada serangkaian panjang dokumen, izin-izin, dan pekerjaan tulis menulis yang jelas terlebih dahulu sebelum ia membolehkannya"bahkan untuk sekedar berniat"memotret lukisan itu. Cepat-cepat ia memotret beberapa kali lalu menyimpan kameranya kembali ke dalam tasnya, supaya tidak ada seorang pun yang melihatnya.
Dengan hati-hati ia mengambil lukisan itu, membawanya ke meja sinar dan memeriksanya lebih teliti dengan sebuah kaca pembesar dari laci mejanya. Tulisan tangan itu sudah terlalu pudar untuk bisa memunculkan kalimat-kalimat yang jelas, tetapi ia menduga bahwa itu adalah catatan-catatan yang dibuat tentang pembedahan tubuh wanita.
Menurut dokumentasi yang ada, seseorang yang mati di rumah sakit gereja Santo Spirito akan disimpan di kamar mayat, ditutupi selembar kain selama satu malam, lalu dikafani dan disimpan di dalam peti jenazah pada hari berikutnya. Dengan sebuah kunci-besi tiruan yang diberikan kepadanya, Michelangelo akan menyelinap masuk ke kamar mayat pada malam hari, membedah mayat untuk memeriksa bagian tubuh manakah yang menarik baginya ketika itu, dan keluar sebelum pagi tiba.
Diperkirakan Michelangelo menggunakan suatu alat aneh dari logam untuk memasang sebuah lilin di dahinya guna menerangi aktivitasnya, tetapi Finn tidak benar-benar percaya akan hal itu. Ia sudah melakukan perjalanan mengelilingi gereja Santo Spirito, termasuk ke kamar mayat. Berdasarkan kondisi ekonomi zaman itu yang ia baca, Finn dapat meyakini adanya uang yang berpindah tangan dari seniman itu kepada kepala biara. Finn juga hampir yakin bahwa semua rumor dan kisah itu memang benar.
Sekarang ia yakin bahwa lukisan yang dilihatnya itu bukan dibuat berdasarkan ingatan, melainkan berdasarkan model langsung, atau tepatnya jasad yang sudah mati. Perlahan-lahan mulai terkuaklah apa yang ia temukan: ini benar-benar selembar halaman dari buku catatan Michelangelo yang menjadi mitos. Finn bahkan tahu siapa yang telah menjilidnya: Salvatore del Sarto, tukang jilid teman Michelangelo yang secara tetap membundel lembaran-lembaran karton yang ia gunakan untuk lukisan-lukisan dindingnya. Tapi kenapa lukisan itu terdorong ke bagian belakang laci di museum Parker-Hale, dan bagaimana barang itu bisa sampai di sini"
Finn memeriksa nomor invetaris di sampul asetat dan mencatatnya dalam buku catatan stenograf. Ia membawa buku catatan itu ke ruang sebelah dimana terdapat sebuah komputer yang sudah menyala. Ia memasukkan data, mengetikkan nomor, dan meminta gambar slide yang dipindai. Anehnya, di monitor tidak tampak apa-apa, hanya layar putih kosong dan notasi "Tidak Diarsipkan." Ia kembali ke menu utama dan meminta dokumentasi apa saja yang berkaitan dengan nomor inventaris itu dan keluarlah nama seorang seniman minoir dari Venice yang samar-samar ia ingat pernah membacanya, yaitu Santiago Urbino, dan satu nomor lagi yang membawanya kembali ke menu utama dan file-file dokumentasi asal. Indeks silang dari lukisan, seniman, dan asal usul semuanya sesuai.
Menurut file komputer, lukisan itu adalah karya Urbino, dibeli dari koleksi pribadi oleh Hoffman Gallery cabang Swiss pada 1924, dijual lagi kepada Etienne Bignou Gallerie di Paris pada 1930, dijual kepada Rosenberg Gallery pada 1937, dan akhirnya kembali dari Hoffman Gallery dijual kepada William Whitehead Hale di akhir perjalanannya ke Eropa sebelum perang pada 1939. Sejak itulah lukisan tersebut menjadi bagian dari koleksi tetap museum Parker-Hale.
Finn sudah kembali ke menu utama dan mengakses file biografi Santiago Urbino. Hidup sezaman dengan Michelangelo dan da Vinci, Urbino ditangkap karena melakukan vivisection terhadap beberapa binatang untuk tujuan-tujuan tak bermoral. Ia dikucilkan dan akhirnya dieksekusi. Finn mengamati layar monitor, menarik rambutnya ke belakang, dan menyimpan lukisan itu dengan perasaan prihatin. Secara historis hal itu mungkin saja terjadi, tetapi ia tahu bahwa seorang pelukis minor seperti Urbino sama sekali tidak mungkin mengerjakan lukisan seperti itu.
"Bolehkah kutanya, apa yang kau pikirkan tentang barang yang sedang kau kerjakan ini, Nona Ryan?"
Finn melompat dan berpindah tempat duduk. Alexander Crawley, sang direktur, sudah berdiri tepat di belakangnya, dengan lukisan karya Michelangelo ada di tangannya dan ekspresi kemarahan tampak di wajahnya.
Next3 Crawley adalah seorang pria ganteng di usianya yang meninjak awal enam puluhan. Rambutnya tebal berwarna abu-abu, wajahnya berbentuk persegi, matanya menampakkan tanda-tanda kecerdasan. Tingginya sekitar 170 sampai 173 cm, dan Finn hampir yakin ia memakai lapisan peninggi di dalam sepatunya yang mahal. Biasanya, ia memakai stelan jas rangkap tiga, tetapi sore ini ia tampak lebih rapi dari biasanya, barangkali karena ada penyandang dana yang datang malam ini"acara di mana Finn tidak diundang. Finn juga melihat Crawley tidak mengenakan sarung tangan putih padahal ia sedang memegang selembar inventaris museum. Mungkin tangan seseorang yang sudah menjadi direktur tidak lagi terkena minyak atau bahan yang bisa mengotori barang. Ia berkomentar tentang hal itu kepada Crawley. Rona wajah Crawley berubah dari merah menjadi ungu.
"Aku pakai sarung tangan atau tidak bukanlah urusanmu," katanya. "Yang menjadi urusanku adalah kau telah memindahkan lukisan ini padahal kau tidak berkepentingan melakukan itu."
"Lukisan ini sudah ada di laci yang sedang saya kerjakan, Dr. Crawley. Pada mulanya saya berpikir lukisan itu memang bagian dari inventaris biasa."
"Pada mulanya?"
"Saya pikir lukisan ini telah diberi label yang salah."
"Bagaimana salahnya?"
"Menurut nomor inventaris, lukisan itu adalah karya Santiago Urbino, salah seorang pelukis minor dari Venice."
Ego profesional Crawley tampak tertohok. "Aku tahu siapa Santiago Urbino itu.?"
"Saya piker keliru. Menurut saya lukisan ini karya Michelangelo."
"Michelangelo Bounarroti?" kata Crawley, kaget. "Kau gila."
"Saya kira tidak, Pak," kata Finn. "Saya sudah memeriksanya dengan lebih teliti. Lukisan ini memiliki semua ciri karya Michelangelo."
"Jadi, tanpa sadar kita telah menyembunyikan satu halaman dari buku catatan Michelangelo yang telah hilang selama 65 tahun terakhir, dan tiba-tiba seorang karyawan honorer muda yang masih berjuang keras meraih gelar masternya muncul dengan lukisan itu?" Ia mengeluarkan tawa kecil yang dibuat-buat. "Aku kira tidak, Nona Ryan."
"Saya sudah mengecek daftar inventaris," kata Finn, tak menyerah. "Museum ini tidak memiliki koleksi karya Urbino yang mana pun. Kenapa ada di sini?"
"Barangkali, sayangku, karena Tuan Parker atau Tuan Hale menyukainya."
"Anda bahkan tak mau berpikir bahwa lukisan ini boleh jadi karya Michelangelo."
"Dan membiarkanmu membuat karya tulis tentang ini sampai akhirnya menimbulkan problem yang sangat memalukan bagi museum, dan juga bagi diriku" Di mataku, nilai pekerjaanmu di sini sebagai pegawai honorer dan juga egomu ini tidak setinggi itu, sayangku."
"Sayangku" Panggil saya Finn, atau Nona Ryan," katanya dengan marah, "dan secara pribadi saya tak mau berurusan dengan masalah ini. Lukisan itu bukan karya Urbino, melainkan karya Michelangelo. Lukisan itu salah di inventarisasi, siapa pun yang melakukannya."
"Siapa yang telah mencatat karya itu, dan kapan?" tanya Crawley. Finn memencet beberapa tombol keyboard dan menekan space bar untuk menggerakkan kursor sampai di akhir baris inventaris.
"AC, 11 Juni 2003." Aduh. Sedikit kesalahan politis saja dapat membawa banyak masalah bagi Anda.
"Alexander Crawley. Saya. Belum terlalu lama berselang."
"Jadi, mungkin ego Andalah masalahnya," kata Finn.
"Tidak Nona Ryan, bukan egoku masalahnya, tetapi kompetensimu"dan, perlu kutambahkan, arogansimu itu."
"Saya telah mempelajari karya Michelangelo di Florens selama setahun penuh."
"Dan aku sudah mempelajari para pelukis ulung sepanjang karierku. Kau salah dan penolakanmu untuk mengakui bahwa kau salah serta keenggananmu untuk tunduk pada putusan orang yang lebih memahami masalah ini, menunjukkan kepadaku bahwa kau bukanlah jenis orang yang kami butuhkan di sini. Ketika egomu sendiri terbawa dalam pekerjaan, maka sikap profesional akan lenyap. Rasanya aku harus memberhentikan sebagai karyawan honorer di museum Parker-Hale."
"Anda tak bisa melakukan itu!"
"Tentu saja bisa." Crawley tersenyum lembut. "Aku baru saja melakukannya." Ia tersenyum lagi. "Aku sarankan kau kemasi semua barang milik pribadimu dan pergilah sekarang untuk menghindari kesulitan lebih jauh." Ia menggelengkan kepalanya. "Sayang sekali. Sebenarnya kau adalah karyawan tambahan yang amat cantik di departemen kecil kami."
Finn menatapnya lama, belum benar-benar memercayai apa yang telah dikatakan pria itu. Ia lalu keluar dari ruang kecil itu, meraih ranselnya, dan berlari pergi. Finn sadar bahwa ia akan mulai menangis, dan ia tak ingin menunjukkan semua kelemahannya di depan manusia kerdil yang menyebalkan dan sombong itu. Lima menit kemudian ia sudah diatas sepedanya lagi, mengarah ke selatan menuju Alphabet City.
Next4 Dahulu, Alphabet City adalah permukiman yang terdengar dari radio polisi di acara criminal TV; sekarang daerah itu sepertinya menjadi permukiman penyanyi rap masa kini atau tempat mencari warung pojok terbaru. Mungkin karena itulah kota itu membangun perumahan baru di pinggiran Tompkins Square Park. Tetapi pembangunan perumahan baru itu barangkali lebih disebabkan desakan terus-menerus, tanpa alasan yang jelas, dari New York, agar kota itu"sebagai tetangga dekat"memperbarui dirinya. Makanya dibukalah lahan-lahan baru untuk perumahan, dan kemudian dihuni oleh orang-orang dari kelas sosial tinggi untuk mencari kenyamanan ketika mereka merasa bosan di kota besar.
Finn tinggal di sebuah gedung apartemen kecil, berdinding tembok, berlantai lima, di sudut Fourth Street blok A yang hanya bisa dicapai dengan menaiki tangga, karena satu-satunya elevator yang tersedia sudah bobrok. Di sebelah kiri gedung ada banyak toko, bar, dan restoran yang membuat Alphabet City menyenangkan. Di kanan terhampar Houston Street, batas selatan dari Lower East Side, yang merupakan lingkungan yang amat baru. Tepat dibelakangnya adalah Village View, salah satu "proyek" pembaruan kota era 1960-an, berbentuk segi empat dan bertingkat tinggi, yang biasanya mengotori lingkungan seperti serombongan kalajengking raksasa yang menyerbu suatu tempat dan membuat kerusakan disana.
Dengan masih memendam rasa marah, Finn berhenti di depan gedung apartemennya, mematut-matut diri dan mengunci sepeda tuanya di luabng dinding yang gelap di belakang ruangan tempat tangga. Ia memencet tombol "Naik" dan terkejut ketika tangga elevator tampak bergerak tiba-tiba. Jendela fibernya yang bundar membuat elevator itu tampak seperti monster bermata satu rekaan Stephen King yang muncul dari dalam gedung. Finn menaiki elevator dan bertahan dalam hentakan tangga yang bergerak lamban ke puncak gedung.
Apartemen itu sangat kecil menurut standar New York. Gang berukuran amat lebar yang dimulai dari pintu depan merupakan ruang tamu pada satu ujungnya dan dapur pada ujung lainnya. Daput itu menghadap Lower East Side, disitu terdapat sebuah meja dekat jendela yang ukurannya hanya cukup untuk menampung paling banyak dua tamu makan malam. Di kiri terdapat sebuah kamar tidur kecil menghadap ke Fourth Street, jendelanya dilengkapi dengan sebuah kunci rantai meskipun berada di lantai kelima.
Di sebelah kanan dapur terdapat sebuah ruangan kecil. Ketika Finn menyewa apartemen itu, pemiliknya sangat menyarankan agar ruang itu dijadikan sebagai tempat "belajar". Pada mulanya ruangan itu tampak seperti sebuah lemari dinding yang menjorok ke dalam atau seperti sebuah kamar khusus untuk bayi kecil. Tetapi Finn lalu meminta seorang teman kuliahnya untuk membuatkan semacam lemari buku sederhana dari kayu, lalu dipasanglah sebuah meja gambar yang pas dengan sempitnya ruangan itu dan akhirnya ia pun mempunyai sebuah tempat untuk bekera. Di dalam apartemen itu terdapat sebuah kamar mandi dengan wastafel, bak mandi, dan kloset paling kecil sedunia. Kalau ia duduk diatas kloset, kedua lututnya berada di bawah wastafel. Kalau mau mandi ia menutup kloset dan merendam kakinya di dalam bak. Yang dimaksud mandi sebenarnya adalah melipat kedua lututnya ke atas hingga menyentuh dagunya.
Ketika Finn menyewa apartemen itu, seluruh dindingnya bercat warna kuning-nikotin gelap, tetapi sekarang ia membuat semuanya lebih terang dengan cat warna pink di kamar mandi, hijau-daun di kamar tidur, dan warna kulit rusa di ruang tamu yang merangkap sebagai dapur. Ruang kecil untuk belajar itu berwarna putih polos yang tampak bagus. Di waktu senggangnya Finn telah membongkar ubin linoleum hijau lumut itu dan menggantinya dengan lantai kayu tua yang dihaluskan dengan ampelas.
Komputernya adalah laptop bekas merek Sony yang ia beli murah dari kantor dosen tempat ibunya bekerja. Laptop itu disimpan dibawah dipan berbalut beludru merah yang sudah usang di "ruang tamu", khawatir kalau-kalau ada seorang pencoleng yang punya kekuatan untuk naik lima tingkat atau lima lantai dan mencurinya. Bagi Finn, apartemen yang sumpek itu adalah sebuah istana dan sebuah pintu gaib menuju masa depannya. Dari sini ia dapat pergi kemana pun"meskipun saat ini ia benar-benar tak dapat membayangkan dirinya berada dimana.
Tanpa mengunci pintu, dengan kemarahan yang belum mereda, ia masuk ke apartemen sambil sewot, melemparkan tas punggungnya ke atas ranjang dan kemudian melepaskan pakaiannya begitu saja sehingga berserakan di lantai mulai dari ranjang sampai kamar mandi. Ia merendam diri dalam bak mandi mini selama hampir satu jam, mencukur bulu kakinya meskipun sebenarnya tidak perlu dan juga mencuci rambutnya yang tak perlu dicuci.
Masih diliputi rasa marah setelah semua kejadian itu, ia membiarkan air bak mengalir keluar, membuka pancuran air dingin dan berdiri dibawahnya selama mungkin, menghitung-hitung peruntungannya dan membayangkan Crawly berjalan-jalan disekitar Central Park sambil menggerak-gerakkan sebuah tongkat putih di depannya dan menjerit, "Aku buta! Aku buta!" Setimpal bagi orang yang menyebalkan. Ia menarik mantelnya yang sudah usang dari cantelan di pintu kamar mandi, meraih selembar handuk dan berjalan perlahan menuju kamar tidurnya, mencari sesuatu untuk dipakai sambil mengeringkan rambutnya. Ia rebah diatas tempat tidur dan menatap hampa ke arah lemari pakaiannya.
Ia mendesah. Ini adalah malam pertemuannya dengan Peter, pacarnya selama hampir dua bulan ini. Ia mesti bertemu dengannya dan dengan beberapa teman lainnya di Max"s Garden di Avenue B untuk makan malam. Ada sebuah perjanjian tersirat bahwa akhirnya "malam ini harus menjadi malam istmiwa." Perjanjian itu lebih banyak datang dari Peter, dan Finn tak mungkin lagi menolaknya. Peter cukup tampan, cukup pandai, dan cukup baik, tetapi Finn selalu amat berhati-hati dalam memutuskan dengan siapa ia bersedia tidur.
Di Columbus, pada usia enam belas tahun, Finn sudah menjadi gadis yang sangat cantik sekaligus amat pemalu. Itu adalah suatu kombinasi maut. Para pemuda sebayanya ngeri akan si gadis impian itu dan mengakui kelemahan mereka sendiri dengan menyebut Finn sebagai Gunung Es Berpijar atau Ikan Snapper Merah. Akibatnya ia tak pernah pergi berkencan, dan pada akhir usianya yang ke enam belas ia hanya memperoleh ciuman di pipinya dari seorang pemuda.
Akhirnya Finn memberanikan diri dan mengmukakan masalahnya kepada seorang profesor muda yang mempekerjakannya sebagai pengasuh anaknya, seorang duda yang bekerja di jurusan bahasa Inggris di Ohio State University yang mempunyai seorang putra berusia dua tahun. Diam-diam Finn jatuh hati padanya sejak saat pertama mereka bertemua ketika mengganti popok. Akhirnya ia begitu mudah percaya sehingga pada suatu malam ia berubah dari seorang gadis yang tak pernah dicium menjadi wanita yang tak lagi perawan, dan ia menyesalinya cukup lama. Oprah akan menyebut hal semacam itu sebagai pelecehan seksual. Tetapi waktu itu, bahkan sampai sekarang, ia tidak merasa diperlakukan demikian. Baginya itu merupakan suatu keajaiban. Laig pula hal semacam itu bukanlah sesuatu yang sering kali diperbincangkan.
Profesor itu baik hati, lembut dan dibandingkan dengan pria lain ia termasuk pencinta yang baik. Ia juga cukup pandai membatasi hubungan itu hanya sampai beberapa bulan saja, tak cukup lama untuk membuat Finn merasa bahwa hubungan mereka harus lebih dari sekedar pertemanan akrab. Tetapi pria itu telah memberikan cukup waktu bagi Finn untuk memperoleh pengalaman dan rasa percaya diri yang sangat ia perlukan. Ia juga mengajarkan kepada Finn beberapa hal tentang para pria remaja.
Duda itu juga memberikan pelatihan praktis dan jelas tentang kondom dan cara penggunaannya dan mengatakan kepadanya bahwa setiap laki-laki sangat mungkin mengajukan alasan untuk tidak menggunakannya. Sebelum ini ia memang telah mendengar semuanya dan malah lebih dari itu. Ia mempunyai beberapa kondom di laci meja di sisi tempat tidurnya kalau-kalau diperlukan, dan ia selalu menyelipkan sebuah kondom di salah satu saku rahasia di dompetnya. AIDS ataupun hamil rasanya tak akan terjadi pada dirinya di masa-masa mendatang, dan entah bagaimana iapun tak berpikir Peter akan terkena penyakit itu. Dari lima pria yang sudah tidur bersamanya semenjak sang profesor, hanya dua orang yang mempunyai komplikasi sekaligus emosi yang naik turun; yang lainnya terus lengket, posesif karena butuh atau cemburu"dan dalam satu kasuss, ketiganya.
Dahulu ia berpendapat bahwa seks dan cinta terlalu sering dicampurbaurkan, tetapi sekarang ia amat yakin bahwa ia keliru tentang Peter. Sekarang ini Peter sedang memburu baik seks maupun cinta, dan Finn sebenarnya tidak mencari keduanya. Pria yang berhubungan Finn sekarang haruslah pria yang menganggapnya sebagai teman akrab juga. Yang dikehendakinya adalah memberi dan menerima; Peter hanya mau menerima dan enggan memberi.
Ia menjangkau dan mencomot telepon di atas meja disamping tempat tidur dan duduk disana. Sambil memegang pesawat telepon itu, ia membuat coret-coretan diatas sebuah buku catatan tipis. Sebenarnya ia dapat saja menolak kencan itu dengan mengatakan kepada sang pacar bahwa ia sedang merasa kurang sehat, tetapi kemungkinan Peter bakal datang dengan membawa sup ayam atau sesuatu lainnya. Finn melihat ternyata ia sudah menggambar sebuah sketsa kasar dari lukisan Michelangelo diatas buku catatannya, dan ia meringis. Siapa sangka bahwa menemukan sebuah lukisan kuno bakal menjerumuskannya dalam kesulitan" Ia masih belum dapat memahami bagaimana Crawley bisa begitu marah. Ia mulai menggambar urat darah, tubuh, dan ikatan sendi tulang seingatnya dan kemudian berhenti. Ia meletakkan pesawat telepon itu tanpa melakukan panggilan. Paling tidak, yang mesti dilakukannya ialah berbicara sendiri kepada Peter. Ia mendesah, bangun dan mulai berpakaian. Ia takut malam ini akhirnya tak akan menjadi malamnya Peter. Jadi, bagaimana seorang wanita berdandan untuk menyiratkan kepada seorang pria bahwa malam ini ia bakal tak beruntung"
Next5 Keduanya kembali ke apartemen Finn, berjalan-jalan santai menyusuri Avenue A, mendengarkan suara musik dari klab kecil di lantai bawah gedung, mencium aroma berbagai macam masakan dari seluruh dunia. Sebenarnya Finn tidak buru-buru ingin pulang dari Max Garden, tapi ia dapat merasakan adanya irama ketegangan yang tak menentu pada diri Peter.
Peter merangkul pinggang Finn, tangannya dimasukkan ke saku celana Levi"s Finn yang ketat, dan kira-kira setiap tiga langkah pinggulnya akan bertubrukan dengan pinggul Finn. Di SMA, Finn akan menjauhkan dada kirinya kalau berjalan bersama seorang laki-laki seperti itu, tetapi sekarang hal itu bakal terlihat ... SMA. Seorang laki-laki seperti itu bakal pergi dan menemukan papan-papan nama jalan yang bertuliskan namamu dan mencurinya untukmu. Finn mendesah. Barangkali itulah masalahnya; Peter terlalu bergaya SMA.
"Kau baik-baik saja?"
"Tentu. Kenapa?"
"Kau baru saja mendesah."
"Kau tidak sedang menstruasi atau mengalami sesuatu?" Peter bertanya dengan nada khawatir, seakan-akan menstruasi adalah sejenis penyakit.
"Mengalami sesuatu" Sesuatu seperti apa" Gonorrhe" Infeksi jamur" Kutil di vagina. Atau aku berpikir barangkali ..."
"Berpikir barangkali hal itu akan mengacaukan malammu atau menyebabkan sesuatu " Membuat segalanya berantakan bagimu" Darah diatas seprai?"
"Tidak," Peter menjawab sambil agak merenggang. "Sama sekali bukan itu maksudku." Ia menarik tangannya dari saku celana Finn dan bergeser dari sampingnya. Peter tersenyum tipis. "Ditempat asalku, para gadis tidak berkata seperti itu."
"Ya, mereka mengatakannya, Peter. Kau saja yang tak pernah mendengarnya."
Finn mendesah lagi. Ia telah membuat Peter tak senang, dan itu bukanlah tindakan yang benar-benar disengaja. Ia telah menjatuhkan harga diri Peter, dan itu sama sekali bukan sifatnya. Ucapannya itu dimaksudkan hanya untuk membuat seseorang diam dengan mudah; selain itu untuk menghentikan gejolak hati Peter yang berkobar-kobar.
"Begini," Finn menjelaskan, "aku baru saja dipecat dari pekerjaanku tanpa alasan yang jelas. Aku amat yakin telah melakukan sesuatu yang baik tetapi ternyata justru menjadi sesuatu yang buruk. Aku terlibat pertengkaran dengan seseorang dan kelihatan tegang seperti orang tolol. Selain itu, Alexander Crawley adalah duri chauvinistik paling egois yang pernah kutemui dalam hidupku!"
"Astaga," sahut Peter. "Kupikir aku masalahnya." Ia menyeringai kekanak-kanakan dan ketetapan hati Finn goyah sesaat. Mereka sampai di pintu depan gedung apartemen dan Finn mengeluarkan kunci-kuncinya.
Entah bagaimana, beberapa saat kemudian ia mencium Peter. Setelah sehari itu ia berada di museum, Finn dapat merasakan putusannya mulai melemah lagi.
Kemudian ia merasakan permen Tic Tac rasa kayu manis dan menyadari bahwa entah bagaimana Peter telah mengulum satu butir di dalam mulutnya sesaat sebelumnya; ia sudah menyiapkan "serangan"-nya. Tangan Peter merayap naik dan dengan lemah lembut Finn menepisnya. Finn menyudahi ciuman itu.
"Jangan malam ini, Peter. Sungguh. Aku amat lelah."
"Setidaknya izinkan aku mengantarmu sampai di pintu apartemenmu." Ia meringis lagi. Ringisan dan Tic Tac tampaknya lebur bersama-sama.
"Kau tak perlu mengantar aku."
"Tapi aku ingin." Ia mengangkat bahu. "Hanya Tuhan yang tahu apa yang sedang menantimu di tangga elevator."
"Monster elevator,: jawab Finn. "Dan itu dirimu."
"Makanya aku akan melindungimu dari diriku," katanya. Finn tertawa dan memutar anak kunci, lalu keduanya masuk.
Peter mulai menciumnya lagi dalam perjalanan naik diatas elevator. Dihitung berdasarkan waktu, elevator yang lama menghentak-hentak naik ke tingkat lima itu sudah sampai. Finn tahu bahwa ia barangkali akan melakukan suatu kesalahan dan akhirnya mengundang Peter masuk.
Finn juga tahu bahwa sebenarnya ia hanya mencari kesenangan dan pelarian dari peristiwa yang terjadi pada hari itu, tetapi Peter mencoba mengubahnya menjadi lebih dari sekedar itu. Barangkali inilah saatnya ia membiarkan dirinya menjadi orang yang mementingkan diri sendiri. Bagaimanapun, bukankah tugasnya untuk melindungi Peter dari berbagai realitas kehidupan. Demi Tuhan, ia bukanlah ibunya! Finn menertawai implikasi dari pemikiran seperti itu yang dianut oleh pengikut Freud, dan ia memutar anak kunci pintu apartemennya.
"Apanya yang lucu?" tanya Peter.
"Tak ada, hanya pikiran bodoh. Kau boleh mampir kalau mau. "Finn melangkah masuk ke apartemen yang gelap dan Peter mengikutinya.
"Hai, kenapa kau terdengar sedikit kurang bersemangat?" Peter menggerutu.
Seseorang muncul entah dari mana, laksana sebuah bayangan hitam tak bersuara. Seberkas cahaya menyorot sesaat ke wajah Finn sehingga ia mengangkat satu tangan untuk menutupi matanya. Jantung di dadanya berdebar keras, sementara kekuatan mencengkeram di kerongkongannya.
"Apa yang terjadi?" hanya itu yang sempat Peter katakan.
Ada suara mendesau singkat persis dari depan mereka, dan Finn mencium sekelebat bau wangi murahan dari minyak yang bisa digunakan sehabis bercukur, sebelum sesuatu menghantam bagian samping kepalanya. Cukup keras, sehingga membuatnya jatuh berlutut. Lampu senter" Mungkin, karena semuanya menjadi gelap.
Ia mendengar Peter cepat-cepat maju untuk menolongnya. Dan dalam sekejap terakhir sebelum kegelapan menelannya, ia sempat mendengar jeritan menakutkan di kejauhan yang terhenti oleh tarikan napas panjang berdeguk. Finn ingin tahu siapa yang mengeluarkan suara mengerikan itu.
Next6 Lelaki itu kelihatan seperti berusia 65 tahun. Tingginya kira-kira 170 sampai 173 cm, agak kurus. Rambutnya keriting bergelombang dan berwarna abu-abu, memutih ke belakang dari batas-batas wajah sampai bagian tengah kepalanya, sehingga lebar dahinya tampak tidak normal. Matanya berwarna cokelat amat tua, hampir hitam, dibalik kacamatanya yang berbingkai logam dan berbentuk bulat. Ia mengenakan setelan bergaris-garis yang dijahit rapi. Ia mengenakan setelan bergaris-garis yang dijahit rapi. Setelan itu barangkali tampak konservatif; jas merek Brooks Brothers, sepotong kemeja putih yang dikanji, sederhana dan tanpa nama, serta sepotong dasi merek Turnbull & Asser dengan garis-garis tipis berwarna biru tua. Sepatunya merek Bally model wing tips. Arloji emas di pergelangan tangan kanannya bermerek Bulgari, sedikit mengkilat tetapi serasi dengan cincin Yale yang melingkar di jari telunjuk tangan kirinya. Tak ada cincin kawin. Ia sedikit berbau parfum Lagerfeld.
Seseorang telah menghunjamkan sebilah belati koumnya, senjata tradisional Maroko, pisau melengkung dengan panjang kira-kira sembilan inci, ke dalam mulut si korban. Pangkal senjata yang terbuka itu mengeluarkan sesuatu yang tampak seperti lidah menjijikkan berwarna perak dan hitam, diantara kedua bibir korban. Perisai panjang buatan tangan membuat kepala korban tampak agak tersembul dari bilik lembar pengisap tinta yang terbuat dar ikulit dan bulu berwarna hijau yang menutupi meja antik itu. Sangat sedikit darah yang tampak. Perincian Delaney, kepala Special Action Squad (Pasukan Tindakan Khusus).
Nama yang tertulis di pintu kantor menunjukkan bahwa pria yang mati dengan pisau belati di mulutnya itu adalah Alexander Crawley, direktur Museum Parker-Hale di Sixty-fifth Street dan Fifth Avenue, berseberangan langsung dengan Kebun Binatang Central Park. Delaney memandang ujung kantor yang berlawanan dari jendela-jendela yang tinggi. Tirai gaya lama dari beludru hijau disingkapkan dan diikat dengan tali beludru pasanannya. Barangkali seekor babon di kebun binatang itu telah melihat sesuatu, tetapi Delaney meragukannya. Ia tak pernah memperoleh keberuntungan semacam itu. Sebenarnya ia tak pernah mengunjungi Kebun Binatang Central Park dan ia bahkan tidak yakin kalau ada babon disana.
Ada empat orang lain di ruangan itu: Singh dari kantor pemeriksa medis, Don Putkin spesialis TKP, Yance si tukang foto, dan Sersan William Boyd rekan kerjanya yang bertubuh tambun dan berpakaian jelek. Billy mengambil mulut pria yang sudah tewas itu sementara Singh memutar sedikit leher korban untuk memeriksa apakah sudah kaku. Belum. Di lantai bawah yang sedang ada pesta cocktail, yang berbusana elegan tengah menikmati minuman martini dan bertanya-tanya mengapa hidangan pembuka tak kunjung datang. Orang-orang enting, gubernur dan walikota, berada di bawah. Delaney mendesah. Ini akan menjadi kasus yang sulit.
"Apa yang terungkap, Singh?"
Lelaki dari kantor pemeriksa medis itu memandang dan mengangkat bahu. "Tewas kira-kira satu jam lebih sedikit. Belum kaku. Dicekitk, kemungkinan dengan seutas tali nilon. Sejauh ini aku telah mengambil beberapa serabut. Kemungkinan besar, seseorang masuk dari belakang dan mencekiknya."
"Ada gambaran tentang pisau belati?"
"Bukan buatan Pakistan atau India. Aku dapat menjelaskan kepadamu panjang lebar. Terlalu lama. Dari model pekerjaannya, mungkin senjata itu buatan orang Barbar, salah satu suku bangsa Arab."
"Katamu ia dicekik," kata Billy sembari mengamati belati itu. "Bukan ditikam?"
"Mungkin semacam ritual. Korban sudah tewas sewaktu belati itu dimasukkan ke mulutnya."
"Semacam kegilaan," kata Delaney.
"Belum tentu." Singh mengangkat bahu lagi. "Siapa tahu, barangkali pelakunya hanya benar-benar membenci seni."
Telepon seluler Delaney berkedip-kedip mengeluarkan nada dering The Simpsons. Anak perempuannya yang masih remaja memprogram nada dering itu sebagai lelucon, dan setiap kali pesawat telepon itu berdering, Delaney seperti melihat papan luncur Bart Simpson melintas di Springfield. Ia membuka telepon itu, mendengarkan sebentar, bergumam sekali atau dua kali dan kemudian menutupnya kembali.
Delaney menatap lurus ke arah Billy. "Sebaiknya cari keterangan apa mereka punya seorang karyawan honorer di sini bernama Ryan" Nama depannya Finn.
Next7 Dengan seragam lengkap, laki-laki itu duduk di ruangan kosong. Benar-benar tak ada apa pun kecuali sebuah ruangan dengan tembok-tembok beton bercat putih polos, sebuah kursi kayu yang dicat abu-abu dan satu lubang ventilasi di dinding yang paling ujung, selalu tertutup, selalu diselubunhi, bahkan di saat-saat musim panas sekalipun. Satu-satunya mebel di ruangan itu adalah sebuah tempat tidur dan selimut tentara disalah satu sudut, sebuah kursi dan sebuah meja panjang untuk ia bekerja, sementara di sudut yang lain terdapat sebuah kombinasi lampu juru-gambar dan kaca pembesar yang disatukan di satu sisi. Itulah satu-satunya penerangan di dalam ruangan itu"satu-satunya yang diperlukan. Ia tidak membaca, tidak makan atau melakukan hal lainnya disitu kecuali tidur dan duduk di kursi, bekerja. Kadang kala ia berpikir lama, tapi apa pun yang ia lakukan dapat dilakukannya dalam kegelapan. Tak ada suara kecuali gema guntur di kejauhan sana dan riuhnya gemerisik binatang-binatang kecil dan hal-hal gila yang sepertinya dapat dengan mudah merasuki pikirannya yang meluap-luap.
Ia berdiri dan berjalan menuju pintu baja yang berat di kamarnya. Pertama ia memastikan bahwa semua mekanisme penguncian bekerja semestinya dan kemudian ia melepaskan pakaian pelan-pelan, menggantungkan setiap potong seragamnya pada cantelan kuningan di pintunya. Sepatu botnya dilepas dan diletakkan dengan rapi di ujung tempat tidur tentaranya. Ketika sudah bertelanjang bulat, ia kembali ke kursinya dan duduk lagi. Ia mengerti bahwa ia sudah lelah, tetapi ia mempunyai kawan untuk melampiaskan nafsu berahinya, jadi lebih baik mengesampingkan keinginan itu sama sekali.
Ia menjangkau dan mengeluarkan sepasang sarung tangan operasi yang masih baru dari kotak diatas mejanya, lalu memainkan jemarinya diatas sampul kulit yang tebal da berukir dari buku besar dan berat yang terletak persis dibagian tengah meja.
Motif sampul itu sederhana dan jelas, hal pertama yang dicobanya: sebuah guratan dalam berbentuk salib, garis-garis cahaya memancar keluar dari salib itu seperti sinar yang memancar dari sebuah bintang. Bunda Maria menggantung terbalik, kedua tangannya dipaku di bagian atas salib, kedua kakinya merentang diatas batang salib yang mendatar, menyuratkan penderitaan atas penyalibannya maupun kelahiran putra satu-satunya yang pernah ia miliki"seorang putra yang dilahirkan untuk naik bukan ke bumi melainkan ke tempatnya di sisi Bapaknya. Kuasa anak Tuhan justru membunuhnya. Bahkan sewaktu ia rela mati di tiang salib demi membelanya, sang Bunda tak pernah tahu betapa agung putra yang dilahirkannya. Keajaibannya dan kemarahan itu, janjinya untuk membalas perbuatan manusia di dunia dengan adil dan benar. Lelaki bugil itu berdoa singkat kepada Bunda Maria lalu membuka buku itu pada halaman terakhir yang tengah ia pelajari dan memulai ayat baru.
Seperti di setiap Injil mana pun, karena lembar itu adalah permulaan pokok bahasan, maka ia perlu dijelaskan. Lelaki itu membuka mangkuk perekat dan dengan menggunakan kuasnya yang paling kecil, ia menyaputkan sebuah garis tipis dari larutan encer dan lengket itu sepanjang garis berbentuk huruf yang dibuat dengan pensil. Ia meniup saputannya itu dengan hati-hati kemudian menempelkan satu lembar kertas-emas, dengan penyeka dari katun, untuk menutup saputan perekat yang sudah dibuatnya itu.
Next8 Finn duduk berdempetan di ujung dipan sementara perawat menyaput pilipisnya dengan kain seka beralkohol. Perawat itu berkulit hitam, gemuk dan sangat lemah lembut.
"Harus menggunakan semacam minyak oles atau sesuatu. Kulitnya sedikit rusak. Bagian ini pasti membengkak, tapi di bagian lain tidak terlalu. Anda beruntung, Nona."
Finn mengangguk pelan dan berusaha tak melihat noda darah yang sangat banyak di atas karpet, tercecer sampai di dekat pintu. Ia sama sekali tidak merasa beruntung, tapi setidaknya ia masih hidup. Tidak seperti Peter. Ia merasakan lagi panasnya air mata yang menggenang dimatanya dan merasa sulit menelan. Suara yang terus didengarnya dalam kegelapan sebelum akhirnya ia pingsan adalah suara kematian Peter. Tenggoroknya menganga akibat satu sayatan lurus sehingga mengeluarkan suara bisikan aneh di telinga Finn, seperti sayap seekor burung malam dan kemudian berubah menjadi saat-saat terakhir itu, suara deguk yang mengerikan.
Apartemen itu penuh sekali. Dua orang petugas kesehatan sekarang sedang berkemas-kemas, dan sedikitnya ada tiga orang polisi berseragam serta dua orang detektif. Seorang ahli TKP sedang menaburi segala sesuatu dengan bubuk sidik jari dan meniup perlahan dengan napasnya. Petugas kesehatan berbicara lagi kepadanya.
"Anda yakin tak mau ke rumah sakit supaya diperiksa dokter" Barangkali Anda mengalami gegar otak. Saya harap tidak, tetapi siapa tahu.: Petugas kesehatan itu mengerutkan dahi. "Ada hal lain lagi, barangkali Anda ingin melakukan pemeriksaan itu."
"Aku pasti tahu jika aku diperkosa," kata Finn. "Aku tidak diperkosa."
"Kalau begitu, baiklah, Manis," kata wanita itu. Ia menutup kantong plastik tempat penyimpanan peralatannya dengan mengatupkan kancingnya. "Kami akan menuruti kemauan Anda. Kami ikut berduka atas kesusahan dan kerugian yang Anda derita."
"Terima kasih."
"Tentu." Kedua petugas kesehatan itu keluar melalui pintu, melewati noda-noda darah. Salah seorang detektif keluar dari kamar Finn, dan Finn heran kenapa dia yang pertama-tama berada disitu. Ia memperkenalkan diri sebagai Detektif Tracker. Ketika pertama kali ia menyebutkan namanya itu, Finn mengiranya sebagai gurauan yang keterlaluan. Dan namanya hanya begitu"sebuah nama yang boleh keterlaluan. Ia tampaknya tak dapat mengalihkan matanya dari memandang bagian dada Finn dan napasnya berbatu tak sedap. Detektif itu berbadan tigngi, berbahu lebar dan rambutnya berminyak.
"Kau dan Peter ini sudah berteman lama?"
"Beberapa bulan."
"Tidur dengannya?"
"Aku pikir itu bukan urusanmu."
"Tentu saja urusanku. Kau tidur dengannya. Seorang pria lain merasa cemburu, membobol pintu masuk dan menunggu, begitulah.
"Aku tidak tidur dengannya."
"Jadi kau tak tahu siapa laki-laki yang telah membunuhnya?"
"Tidak." "Bagaimana kau bisa yakin" Katamu suasananya gelap."
"Aku tak kenal seorang pun yang berkeliaran membunuh orang?"
"Ada barang yang diambil?"


Konspirasi Langit Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku belum memeriksanya dengan teliti."
"Boleh jadi seorang perampok."
"Mungkin." "Tak banyak yang dicuri?"
"Tidak." "Mahasiswi, kan?"
"Ya. Universitas New York."
"Peter juga?" "Ya." "Bagaimana kau sampai berhubungan dengannya"satu kelas, teman sejawat, atau apa?"
"Dia ... mengikuti program seni murni."
"Jadi" Apa hubungannya denganmu"
"Dia mengambil pelajaran menggambar objek langsung. Aku modelnya."
"Telanjang?" Matanya tertuju ke dada Finn lagi. Tatapan, untuk pertama kali selama bertahun-tahun, yang benar-benar mengganggunya.
"Tak berbusana."
"Berbeda tapi sama, Manis. Kau tak mengenakan busana selembar pun."
"Itu berbeda, Detektif Tracker, percayalah padaku."
"Mungkinkah ini perbuatan orang lain yang ada di kelas itu?"
"Tidak." "Di New York ini, orang-orang sinting ada di mana-mana."
Kepala Finn berdenyut-denyut. Yang ingin dilakukannya hanyalah melekuk diatas ranjang dan tidur.
"Bukan seorang pun dari kelas itu, mengerti?"
"Pelan-palan, Sayang, aku bukan penjahatnya."
"Makanya jangan bergaya seperti itu."
Salah seorang polisi berseragam tersenyum. Tracker memberengut. Pintu diketuk dan terbuka. Seorang pria tinggi dan amat kurus berdiri disana. Ia berambut gondrong warna gelap dan berwajah kotak pipih dengan sepasang mata cekung yang sesuai dengan warna rambutnya. Di pipi dan dagunya tampak bekas bercukur. Sepertinya ia orang Irlandia. Laki-laki itu menunduk melihat genangan darah yang mengental berceceran di atas karpet dan ia mengerutkan dahi.
"Siapa kau?" tanya Tracker. "Ini TKP kejahatan dan engkau telah mengganggu."
Lelaki kurus itu merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah dompet kecil dari kulit yang sudah usang. Ketika menarik dompetnya itu, sepintas Finn melihat lelaki itu mengenakan sarung pistol di bahunya. Tracker melihatnya juga. Lelaki itu membuka dompet tersebut dan menyodorkannya ke wajah Tracker.
"Delaney, Letnan Vincent Delaney, Special Action Squad." Ia tersenyum. "Anda?"
"Tracker, Sektor 23."
"Bagus. Ini Nona Ryan?"
"Itulah dia, Bung."
"Aku ingin bicara dengannya jika kau tak keberatan."
"Aku tengah melakukan investigasi di sini."
"Tidak, kau tak perlu lagi melakukannya," tukas Delaney.
Next9 Fajar sedang menyingsing di langit Vatikan. Kota rahasia dibalik dinding-dinding yang tinggi itu masih diliputi bayangan gelap, pepohonan di sepanjang jalan yang berliku dan disekitar gedung-gedung kuno berbisik-bisik di antara mereka sendiri dalam embusan sepoi-sepoi angin subuh.
Lampu-lampu tampak disana-sini. Pria berjubah hitam panjang itu dapat mendengar sayup-sayup suara nyanyian gereja ketika ia keluar dari kantor Departemen Luar Negeri di istana kepausan dan menuruni gang sempit berkerikil diantara Istana Belvedere dan tembok tua pembangkit tenaga listrik.
Ia mengepit pesan bersandi dari New York dengan satu tangannya dan mempercepat langkahnya di jalan itu. Sepatu talinya yang berwarna hitam polos itu mengeluarkan suara berderak diatas kerikil basah berembun. Sekali waktu, pada permulaan kariernya, ia merasa terpesona dengan tempat ini dan melihatnya sebagai pusat kehendak-Tuhan yang senantiasa hidup di muka bumi.
Selama bertahun-tahun rambutnya menipis dan pandangannya mulai kabur. Tetapi sekarang, ia melihat Vatikan dengan mata yang lebih jelas. Sekali waktu, ia melihat dirinya sebagai seorang pendeta yang mempunyai hak-hak istimewa, dibawa ke sini karena kesalehan dan kecintaannya kepada Kristus. Sekarang ia tahu lebih jelas; ia dibawa kesini karena kecakapannya dalam kriptografi"ilmu membaca sandi, dan kemampuan bahasanya Jika ia kuliah di Universitas Harvard, bukan di Notre Dame, maka saat ini barangkali ia sudah bekerja untuk CIA.
Ah, pikirnya, agaknya Tuhan pun memerlukan mata-mata.
Ia melanjutkan perjalanan itu, lalu melewati pintu masuk kecil dan naik menuju perpustakaan. Tempati itu sebenarnya bukanlah perpustakaannya Vatikan, tetapi lebih merupakan sekumpulan barang pameran turis dengan puluhan lukisan dinding dan meja-meja pamernya yang menampung artefak-artefak naskah-naskah kuno yang lebih tampak semarak ketimbang penting. Ia tiba di tangga kedua dan naik ke lantai atas.
Sebuah ruangan panjang menurun menuju sebuah pintu kayu yang tebal dan dijaga"meskipun disiang hari begini"oleh pengawal Swiss yang berseragam penuh hiasan, lengkap dengan jus panjang, helm, dan pedang halberd. Si pendeta sudah tahu bahwa dibawah jaket yang tampak gembung itu ada sebuah senapan ringan Baretta S12 disatu sisi dan sebuah senjata otomatis Baretta M9 disisi lainnya. Rahasia-rahasia Yesus Kristus dilindungi dengan seperangkat pengunci dari besi yang sangat rumit.
Pendeta itu menarik keluar kartu identitasnya yang dilaminasi dengan plastik dari saku jubahnya, mengangkatnya sehingga terlihat oleh si penjaga yang memeperhatikannya dengan sikap tegak. Sang pendeta mengangguk singkat kepada pemuda itu lalu membuka pintu yang bertuliskan ARCHIVO SECRETO, arsip-arsip rahasia Vatikan.
Pria yang hendak ia temui berada di ruang pertama diantara sejumlah ruangan arsip, menunggu dengan sabar di meja kayu sederhana, duduk diatas kursi kayu yang sederhana pula. Disekelilingnya terdapat rak-rak kayu yang dalam, berisi timbunan dokumen-dokumen. Di situ ada sebuah jendela kecil yang bila kita melongok ke bawah melaluinya, tampaklah halaman gedung Pigna. Pria yang duduk di kursi itu adalah Carlos Cardinal Abruzzi, yang sekarang ini merupakan sekretaris negara, posisi tertinggi kedua di Vatikan setelah paus. Pendeta itu sudah tahu bahwa Abruzzi jauh lebih daripada si lelaki tua yang duduk di Kursi Peter. Semua alur kekuasaan akhirnya berpangkal di tangan Abruzzi, dan ia memetik mereka seperti sebuah harpa yang dimainkan dengan cantik. Ia sadar, sebagaimana sejumlah orang Katolik atau bahkan sebagai pendeta Katolik, bahwa Vatikan lebih merupakan sebuah pusat bisnis dan pemerintahan ketimbang sebagai sebuah pusat bisnis dan pemerintahan ketimbang sebagai sebuah pusat keagamaan. Faktanya Vatikan adalah korporasi terbesar kedua di dunia dengan hampir dua miliar populasi dunia berada dibawah kendalinya, setidaknya secara spiritual.
"Apa yang kau dapatkan untuk kita, Frank?" Abruzzi bertanya, menggunakan sebutan pendek dari nama depan pendeta itu. Si pendeta menyerahkan telegram bersandi itu.
"Astaga, Crawely terbunuh," bisik Kardinal itu. "Betap sialnya." Tekanan suaranya tidak menyiratkan adanya rasa haru atau penyesalan. "Sebilah belati Maroko?"
"Saya rasa begitu."
"Jadi kita tahu siapa yang membunuhnya."
"Ya." "Nah, setidaknya dia muncul setelah sekian lama."
"Cukup dramatis."
"Dia seharusnya ditemukan dan dibereskan sebelum polisi mengusutnya."
"Ya." "Seorang karyawan telah memotret salah satu lukisan Michelangelo?"
"Ya. " "Bagaimana kita tahu?"
"Dia terlihat pada kamera keamanan di dalam museum."
"Adakah upaya yang dilakukan untuk mengambil kembali foto itu?"
"Ada. Upaya itu gagal."
"Dia harus dihentikan juga." Kardinal itu meneruskan mencermati catatan itu sambil berpikir. "Peristiwa ini dapat menjadi kesempatan besar bagi kita, terutama dengan kematian Crawley." Kardinal itu berhenti sejenak. "Adakah hubungan antara kematiannya dengan gadis itu?"
"Belum pasti." "Tetapi dapat dibuat tampak seperti itu."
"Barangkali bisa."
"Siapa yang kau perlukan?"
"Sorvino." "Apa dia siap?"
"Ya. Dia menunggu perintah Anda, Yang Mulia."
"Perintahmu, Francis. Aku tak bisa ambil bagian dalam hal ini. Kau harus paham."
"Tentu, Yang Mulia." Dirinyalah yang akan jatuh jika segala sesuatunya berantakan."
"Betapa baiknya jika kasus ini dapat dicarikan pemecahannya secara permanen. Ada banyak sekali yang dipetaruhkan, termasuk integritas Gereja."
"Dan kesucian salah seorang pausnya," kata pendeta itu.
"Jika dapat membereskan kasus ini, kau mungkin dapat membahagiakan dirimu.
"Betapa baiknya jika kasus ini dapat dicarikan pemecahannya secara permanen. Ada banyak sekali yang dipertaruhkan, termasuk integritas Gereja."
"Jika dapat membereskan kasus ini, kau mungkin dapat membahagiakan dirimu." Kardinal itu tersenyum. "Kita selalu dapat memberikan gelar St. Francis."
Pendeta itu membalas senyuman sang Kardinal tetapi tidak ada canda dalam perbincangan itu. "Tak ada orang suci yang dibakar api neraka, Yang Mulia," katanya. "Tapi, saya khawatir itu justru akan menjadi nasib saya setelah kasus ini dibereskan."
"Ada kemungkinan," kata sang Kardinal. "Tetapi barangkali aku dapat mengusahakan supaya kau dapat mengenakan topi uskup selama ada di neraka dunia ini. Apa kau suka, Francis?"
"Saya tidak mengharapkan imbalan, Yang Mulia. Ini adalah tugas saya. Ini adalah pelayanan saya."
"Francis, membersihkan kekotoran moral seseorang yang seharusnya lebih tahu bukanlah tugas siapa pun, orang biasa maupun pendeta."
"Pendeta tiada lain seorang manusia juga, Yang Mulia. Dari awal hingga akhir, dia seorang manusia. Dan paus hanyalah seorang pendeta."
"Engkau mau mengajariku etika agama?" Kardinal itu tersenyum lembut.
"Ini adalah doktrin sederhana."
"Semuanya telah kita pelajari di seminari, tetapi seorang manusia biasa akan dianggap sebagai Iblis bila melakukan apa yang dilakukan oleh wakil Kristus ini. Bahkan pernah hukumannya adalah dibakar. Sekarang dia malah akan menjadi orang suci."
"Ini adalah sebuah kata klise, Yang Mulia, tetapi Tuhan bertindak dengan cara yang misterius, mukjizatnya-Nya pasti terlaksana.:
"Aku ragu bahwa Tuhan atau mukjizat-Nya ada kaitannya dalam hal ini, Francis," kata sang Kardinal. "Aku benar-benar meragukan itu."
Next10 Delaney dan Finn hanya berdua di apartemen itu. Delaney duduk disamping Finn di atas ranjang. Ketika ia bicara, sauranya halus dan lemah lembut. Sebentar saja Finn tahu bahwa itu bukanlah gaya bicara Delaney yang sebenarnya, karena tak pelak lagi Delaney berasal dari Hell"s Kitchen di New York, dan bukan dari Fode Street di Dublin"namun ini bukan berarti Finn sudah tahu banyak tentang salah satu dari kedua daerah itu. Di lain pihak, yang ada di benak Finn adalah kecurigaan spontan ala Midwest kepada orang-orang yang terlalu baik karena sebab yang amat sepele. Permen yang paling enak adalah permen pemberian orang asing, itulah yang bisa dikatakan ibunya.
Pembunuh ini barangkali cuma seorang tukang loak yang mencari barang untuk dijual," kata detektif itu. "Sesuatu yang buruk sekali, tentu, tetapi tampaknya pembunuhan Dr. Crawley adalah suatu peristiwa kebetulan yang mengerikan Aku yakin kau mengerti tentang hal itu. Dan sore tadi kau terlibat perdebatan dengannya dan sebagainya."
"Aku tak mengeri apa hubungan antara kedua hal itu."
"Aku pun tak melihatnya, Finn, itulah sebabnya mengapa aku ada disini"untuk melihat apakah ada hubungan antara keduanya atau tidak."
"Tidak ada." "Perdebatan tentang apa?"
"Perbedaan pendapat tentang seni. Aku menemukan sebuah lukisan terjepit di belakang laci penyimpanan. Aku yakin lukisan itu karya Michelangelo. Dr. Crawley berpendapat lain. Kami bertengkar. Dia memecatku."
"Perbedaan pendapat rasanya tak mungkin menjadi alasan untuk memecat."
"Aku setuju." "Lalu, kenapa dia melakukannya?" tanya Delaney, ia tersenyum tenang. "Itu satu hal lagi. Kau lihat, Finn, satu lagi miseri."
"Menurutku, dia tidak suka jika seseorang yang begitu muda membantah keahliannya. Laki-laki itu pun punya ego sebesar rumah.
"Apa dia mengenal Peter?" Delaney bertanya lembut.
"Tidak. Kukira sama sekali tidak."
"Apa kau punya gambaran tentang siapa orang yang begitu marah kepada Crawley sampai tega membunuhnya?"
"Aku sulit untuk mengetahuinya."
"Apa yang terjadi atas lukisan Michelangelo itu?"
Finn mengerutkan dahi. Pertanyaan itu menurutnya aneh, dan ia bilang begitu kepada Delaney.
"Dugaanku, sebuah karya Michelangelo pasti sangat berharga," kata Delaney.
"Tentu saja." Delaney mengangkat bahu. "Jadi, ada motif untuk membunuhnya."
"Terakhir kali aku lihat, lukisan itu ada di tangan Crawley. Aku telah meletakkannya kembali ke sampul asetatnya."
"Mengapa kau keluarkan barang itu dari tempatnya semula?" tanya Delaney tajam.
Finn tertegun. Mengapa Delaney begitu tertarik pada lukisan itu" Baginya lukisan itu tidak tampak terkait dengan kematian Peter atau Crawley. Ia mengeluarkan barang itu dari sampulnya untuk mendapatkan gambar yang lebih jelas ketika ia memotretnya, tetapi ia memutuskan untuk tidak menceritakan hal itu kepada Delaney"setidaknya, belum.
"Aku ingin melihatnya dengan lebih jelas." Bukan sebuah kebohongan, sungguh.
"Tetapi, luksian itu sudah kembali berada di dalam sampulnya ketika Crawley membawanya?"
"Ya." "Dan itulah terakhir kali kau melihat lukisan itu?"
"Ya." "Ia tidak menyimpannya kembali ke dalam laci?"
"Mungkin ia mengembalikannya setelah aku pergi."
"Tetapi, kau tidak melihatnya melakukan itu?"
"Tidak." Delaney duduk kembali diatas dipan dan memandang Finn. Seorang gadis Irlandia yang cantik dengan wajah tak berdosa seperti wajah anak-anak, dan ia akan mengacaukan perbincangan itu kalau ia mempertanyakan apakah Finn berbohong atau tidak. Besok ia akan tahu lebih jelas setelah melihat rekaman kamera pengawas dan bicara dengan sejumlah orang.
"Kau adalah perempuan muda yang pandai, bukan begitu Finn?"
"Kurasa begitu."
"Menurutmu, siapa yang telah membunuh pacarmu, dan mengapa seseorang ingin melakukan perbuatan yang amat mengerikan itu?"
"Aku tidak tahu."
"Jika kau jadi akku, apa yang kau pikirkan?"
"Tentu saja seperti yang sedang kau pikirkan: ada hubungan diantara dua kematian itu."
"Bukan kematian, Finn. Pembunuhan. Sangat berbeda."
"Haruskah ada sebuah alasan?" Finn bertanya. "Apa tidak mungkin kedua pembunuhan itu hanya sebuah kebetulan?" Suaranya hampir bernada memohon. Ia begitu lelah, kejadian itu hampir seperti rasa sakit fisik yang menggerogotinya. Bagaimanapun, ia merasa seakan-akan dirinya adalah penjahat, bukan sebagai korban.
Delaney memandanginya lama, berpikir sebentar. Akhirnya ia bicara. "Menurutmu, apa yang akan terjadi jika kau pulang ke rumah setengah jam lebih awal" Itu benar-benar pertanyaan, bukan" Atau, apa yang akan terjadi jika kau tidak pulang ke rumahmu tapi ke tempat Peter?"
"Kenapa kau mengajutkan banyak pertanyaan hipotesis yang bodoh" Peter sudah tewas. Kau tidak tahu kenapa, aku tidak tahu kenapa, dan tugasmulah untuk menyelidikinya." Ia menggelengkan kepalanya. "Kau terus bertanya tentang lukisan itu. Kenapa kau begitu tertarik pada sebuah lukisan" Aku salah! Oke, lukisan itu memang bukan karya Michelangelo!"
"Kerongkongan Dr. Crawley ditusuk dengan sebilah belati. Kami kira belati itu buatan orang Maroko. Disebut koumnya. Kau tahu apa itu?"
"Tidak." "Peter mungkin dibunuh dengan pisau yangjenisnya sama. Kau yakin tak pernah melihat orang di sekitar museum?"
"Tidak." "Kau terdengar sedikit lelah, Finn."
"Tebaklah, siapa yang membuatku begitu."
Delaney menoleh ke bawah untuk melihat jam tangan Hamilton kuno yang ia kenakan. Sudah lewat pukul satu dini hari. "Adakah orang yang tinggal bersamamu?"
"Aku sendiri." "Kau tak boleh tinggal di sini sendirian, Nak."
"Oh, demi Tuhan! Aku bukan anak-anak. Aku bisa menjaga diri sendiri, oke?" Finn melakukan segala upaya untuk menahan agar tak terjadi banjir air mata. Tak ada yang diinginkannya saat ini kecuali meringkuk diatas ranjang dan tidur.
Delaney berdiri. "Baiklah kalau begitu," katanya pelan, "sebaiknya aku menyelidikinya sendiri."
"Ya, sebaiknya begitu."
Delaney berjalan beberapa langkah menuju pintu sambil menghindari bercak-bercak darah. Ia berbalik. "Kau yakin lukisan itu karya Michelangelo, bukan?"
"Ya," kata Finn datar. "Itu adalah karya Michelangelo. Aku tak peduli apa yang dikatakan Crawley atau kenapa ia berkata begitu."
"Mungkin karena berkata begitulah ia terbunuh," kata Delaney. "Pernahkah kau berpikir begitu" Dan pengetahuanmu tentang lukisan itu barangkali membuat temanmu Peter dibunuh, padahal kau targetnya."
"Kau hanya mencoba menakut-nakuti aku."
"Lho, kenapa aku harus melakukan hal seperti itu?" Delaney berbalik menuju pintu dan keluar. Beberapa saat kemudian, Finn mendengar bunyi derik elevator dan kemudian menghilang. Ia sendirian. Finn memandangi bercak-bercak hitam itu dan kemudian berpaling. Mengapa Delaney ingin menakut-nakutinya, dan mengapa pria itu begitu tertarik pada sebuah lukisan yang boleh jadi sama sekali bukan karya Michelangelo"
Dengan rasa letih Finn berdiri sambil bertumpu pada kedua kakinya, mengunci pintu apartemen dengan dua kali klik, memasang rantai pengaman, melangkahi noda-noda darah di karpet dan berjalan ke kamar tidurnya, membiarkan lampu di ruang depan menyala; mustahil baginya dapat tidur malam ini dalam keadaan gelap.
Di dalam kamar tidur Finn melucuti busananya, mengenakan T-Shirt panjang "Ohio-Home of Elsie" dengan ilustrasi amat besar di bagian depannya berupa sapi berkalung bunga aster. Ia menyelinap ke ranjang. Mematikan lampu di samping ranjang dan merebahkan diri di situ. Melalui pintu kamar tidur, cahaya dari ruang depan mengenai ujung ranjang. Finn dapat mendengar hiruk pikuk kota di sekitarnya seperti semburan tenaga raksasa yang tak pernah berhenti. Gedung itu berkeriat-keriut, terdengar suara-suara aneh bergema dari elevator, pekikan dari proyek di belakangnya, kegaduhan suara seseorang yang membuka paksa jendela dilantai bawah. Mungkin suatu keputusan yang bodoh untuk tinggal di situ malam ini.
Finn teringat ketika ayahnya meninggal dunia. Ia masih berusia empat belas tahun. Ketika ibunya berkata kepadanya bahwa ayahnya sudah meninggal dunia karena serangan jantung yang parah di suatu tempat terkutuk di Amerika Tengah saat sedang melakukan penambangan, ia tengah berbaring di ranjang persis seperti ini, memandang ke atas ke arah kipas angin, mendengera suara-suara malam, bertanya-tanya bagaimana segala sesuatu dapat berlalu tanpa penjelasan sedikit pun bahwa ayahnya sudah wafat"bahwa ayahnya telah perti dan tak pernah akan kembali, bahwa eksistensi ayahnya telah hilang sepenuhnya, terbuang dari dunia. Peter sudah tewas; Finn tak pernah lagi mendengar suaranya, merasakan kehangatan bibirnya, bahkan tak pernah memperoleh kesempatan untuk memilih: tidur dengannya atau tidak.
Ia berusaha keras untuk mendengar, menekan matanya supaya terkatup, berusaha sedapat mungkin untuk merasakan sisa-sisa aura tubuh Peter yang masih melekat di apartemen itu. Finn dapat merasakan air matanya keluar lagi; tidak berhasil ketika ayahnya meninggal dunia, juga tidak berhasil sekarang. Hanya bayangan-bayangan yang terus menghantui.
Finn tahu bahwa seperti pada saat kematian ayahnya, ia akan melihat bayangan Peter selama beberapa pekan, sosok di kelokan jalan, lewat sepintas di keramaian jalan raya yang padat, wajah di jendela taksi, suara bisik-bisik nyanyian yang tak jelas, dan kemudian secara lambat, seiring berlalunya waktu, semuanya itu akhirnya akan memudar seperti gemerisik dedaunan kering yang tertiup angin, dan kemudian menghilang untuk selama-lamanya. Tinggal kenangan dan tulang-belulang"ayahnya hilang dalam kepekatan hutan, terbujur tanpa alas di kedalaman lubang hitam, berbatu dan dingin.
Finn berbaring disitu lama dan akhirnya duduk di ranjang. Ia tahu ibunya sedang ada di Yucatan, menggali kuburan keluarga kerajaan di Copan, tetapi sang ibu biasa mengecek voice-mail-nya secara rutin. Jelas, Finn kini benar-benar perlu bicara dengan seseorang, sekalipun malalui voice-mail.
Ia menyalakan lampu di samping ranjang, mengangkat telepon, dan mulai memutar nomor telepon ibunya di Columbus. Ia menunggu, mendengarkan nada dering, dan ketika rekaman suara ibunya yang panjang-panjang seperti tebaran asap mulai terdengar, jantung Finn hampir berhenti. Cairan empedunya naik seperti asam panas di belakang kerongkongannya ketika ia duduk tegak. Pelan-pelan ia meletakkan telepon itu, tanpa meninggalkan pesan. Ia tak ingin membuat ibunya khawatir akibat pesan yang disampaikan dengan suara paniknya. Sekarang ini Finn tahu benar bagaimana nada suara bicaranya.
Sketsa lukisan Michelangelo yang dibuatnya dengan coretan asal-asalan itu telah hilang dari buku catatan di samping telepon. Dengan hati-hati ia mengulurkan tangan dan mengambil buku catatan itu, menggesekkan jemarinya pada halaman yang kosong. Orang yang mengambil gambar itu rupanya telah menyobek beberapa halaman di bawahnya, karena tidak merasa sedikit pun ada bekas-bekas tulisan. Buku catatan itu seolah-olah tak pernah ditulisi apa-apa.
Kejadiannya sama. Seperti ayah. Seperti Peter. Seperti ia juga, barangkali, jika si pembunuh tidak panik. Ia menyandarkan badannya, meletakkan kakinya yang mulus di atas lantai kayu yang dingin. Crawley tewas, Peter tewas, sketsa gambar yang ia buat hialng. Seseorang sedang berusaha membuat peristiwa ini tampak tak pernah ada, seperti halaman buku catatan itu, tetapi kenapa" Pemalsuan" Sesuatu yang Parker-Hale coba bebankan kepada seorang kurator lugu di museum lain" Mungkin bukan seperti itu, bukan gara-gara sebuah lukisan yang keliru diarsipkan. Faktanya, sebuah museum sekaliber Parker-Hale tak akan mempertaruhkan reputasinya hanya demi sebuah lukisan yang kemungkinan karya Michelangelo.
Finn yakin dapat mendengar keriat-keriut langkah seseorang di tangga darurat di luar jendela dapurnya. Ia tahu jendela itu sudah dikunci, tetapi ia juga tahu bahwa kaca jendela itu dapat dipecahkan dengan satu pukulan tangan yang dibalut kemejanya. Dengan penuh ketakutan, ia mencari-cari sesuatu diseputar kamar tidur. Ia melihat alat pemukul dan sarung tangan softball-nya di pojok dekat pintu. Segera ia menghampiri dan mengambil alat pemukul itu, lalu beranjak ke ruang depan. Ia kembali ke ruangan dapur, melangkah ke wastafel dan memukul kaca berwarna gelap itu dengan atu ayunan roundhouse. Kaca itu pecah menjadi ratusan keping karena benturan keras. Tetapi tidak ada suara dari tangga darurat kecuali gemericik kaca yang pecah itu, seperti suara hujan yang turun di lantai lima dan kemudian menerjang kontainer sampah di lorong bawah.
Finn tidak membuang-buang waktu untuk memikirkan apa yang mesti ia lakukan; pasti ada seseorang di luar sana. Jika dugaan Delaney benar, bahwa pembunuh Peter kemungkinan adalah juga pembunuh Crawley, maka kini akhirnya pembunuh itu akan berada di hadapannya. Sambil memegang pemukul softball, ia cepat-cepat kembali masuk ke kamar tidur, meraih ranselnya dari pinggir ranjang karena ia akan pergi.
Finn mengeluarkan semua bukunya dari ransel itu, membiarkan buku-buku berserakan di atas ranjang, hanya kamera digitalnya saja yang tetap di dalam ransel bersama tas make-up yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Ia menuju kamar mandi, mengemasi segala macam barang, dari sampo sampai tampon, menyisipkan barang-barang itu ke dalam ransel dan kemudian menambahkan empat lima potong pakaian dalam dari katun, dua bra, setengah lusin T-Shirt dan beberapa kaus kaki.
Finn mengambil dan mengenakan celana jeans ketat merek Gap warna hitam, memakai sepatu karetnya dan menyisipkan topi baseball-nya di kepala. Sebentar kemudian ia sudah berada di luar pintu dan, alih-alih menunggu elevator, ia turun menggunakan tangga biasa. Ia sampai di lantai dasar dengan sedikit terengah-engah membuka kunci sepedanya yang diparkir di belakang tangga, lalu mendorongnya keluar menuju kegelapan malam. Ia melihat arloji Timex-nya; pukul dua kurang seperempat. Memang bukan waktu yang baik untuk berkendara, tetapi ia tak punya banyak pilihan. Diantara kematian Peter dan pembunuhan Crawley di kantornya, Finn semakin merasa seakan-akan ia menjadi target dengan tanda yang tertulis dipunggungnya.
Ia meletakan ransel ke dalam keranjang besar di bagian depan, naik ke sepedanya dan mengayuh dari Fourth Street ke First Avenue. Di situ Finn menghentikan sepedanya dan berjalan menuju telepon umum. Dikeluarkannya buku hitam kecil dari saku belakang celananya, memasukkan uang logam 25 sen ke lubang koin dan memutar nomor. Terdengar jawaban pada dering yang ketiga.
"Coolidge." "Ini kau, Eugene?" Nama sebenarnya adalah Yevgeny, tetapi ia mengubahnya agar sesuai dengan lidah Amerika.
"Ya, aku. Siapa ini?" Ia bicara sedikit waswas, seolah-olah KGB atau ibunya yang sedang menelepon.
"Ini Finn Ryan, Eugene. Aku dapat masalah."
"Feen!" pria muda itu berseru. Ia adalah salah seorang murid bahasa Inggris Finn dan memendam rasa pada dada Finn"atau pantatnya, manapun yang tampak dihadapannya ketika itu"meskipun beberapa kali ia menyangkalnya. "Masalah apa?" Aku pasti bantu, no sweeat (gampang)." Yevgeny adalah manajer klab malam di Hotel Coolidge.
"Yang benar: sweat," Finn mengoreksi pengucapan Yevgeny." Aku perlu satu kamar untuk malam ini."
"Di sini?" sahut Eugene, terkejut. Finn tersenyum. Ia sudah tahu Coolidge Hotel. Sebuah bangunan tembok empat tingkat tempat bertenggernya burung merpati. Hotel ini tersembunyi di bawah Jembatan Manhattan, menghadap ujung akhir Division Street, seakan-akan berusaha menjauhkan diri dari rumah-rumah kumuh di Bowery. Hotel itu tak mungkin dapat diperbarui dan tampaknya tak mungkin ada seorang pun yang berpikir untuk memperbaruinya.
"Ya. Di sana. Jangan khawatir. Aku punya kartu kredit. Aku bisa bayar."
Walet Besi 2 Lupus Topi Topi Centil Siti Nurbaya 5

Cari Blog Ini