Ceritasilat Novel Online

Sibadung Jadi Pahlawan 1

Si Badung Jadi Pahlawan Karya Enid Blyton Bagian 1


SI BADUNG JADI PAHLAWAN Petualangan Baru Cewek Paling Badung karya Enid Blyton
Anne Digby Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2002
Djvu by: k80 Jar, txt, pdf by: inzomnia
Re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
DAFTAR ISI Bab 1 Elizabeth dan Julian Berkumpul Lagi
Bab 2 Harapan-harapan Elizabeth
Bab 3 Isyarat Misterius dari Daniel
Bab 4 Rapat Besar yang Menarik
Bab 5 Pelaksanaan Tes Peran
Bab 6 Elizabeth Kelewat Gembira
Bab 7 Pertengkaran Hebat Bab 8 Pemilik Kancing Ditemukan
Bab 9 Dengan Julian jadi Berlima
Bab 10 Kebakaran! Kebakaran!
Bab 11 Cewek Paling Badung jadi Pahlawan
Bab 12 William dan Rita Bercerita
Bab 13 Pentas Drama Musim Panas-dan Setelahnya
Bab 1 Elizabeth dan Julian Berkumpul Lagi
"Barangkali kereta dari London terlambat!" ujar Elizabeth tidak sabar.
"Bagaimana menurutmu, Joan" Atau mungkin bus dari stasiun mogok! Mungkin bus itu
sekarang sedang terhenti di tengah jalan saat mendaki bukit karena bannya
kempes. Bayangkan semua anak cowok dan cewek terpaksa duduk di dalam bus yang
sumpek menunggu bannya diganti..."
Elizabeth berpindah dari satu kaki ke kaki yang lain dengan gelisah. Ia berdiri
di puncak tangga batu, di luar gerbang utama Sekolah Whyteleafe. Pandangannya
terus tertuju pada tikungan yang tertutup bebatuan, tempat bus sekolah
seharusnya muncul. "...Bagaimana menurutmu, Joan?" ia menyelesaikan.
Joan adalah sahabat Elizabeth di Sekolah Whyteleafe, meskipun Joan agak lebih
tua dan sudah duduk di kelas dua. Gadis itu tenang dan bisa berpikir jernih,
sementara Elizabeth bersemangat dan impulsif. Joan menggelengkan kepala dan
tersenyum pada temannya. "Menurutku kau suka berkhayal, Elizabeth. Itu pendapatku!" ia menyahut pelan.
"Bus itu sama sekali belum terlambat."
"Tapi seharusnya bus sudah tiba jam setengah dua dan itu berarti lima menit yang
lalu!" Elizabeth memprotes. "Lagi pula aku sangat lapar, kau juga kan, Joan" Dan
tak seorang pun dari kita boleh memasuki aula makan dan bersantap siang sampai
semua orang tiba dari liburan tengah semester!"
Memang benar Elizabeth sedang merasa lapar dan kecewa karena ternyata waktu
makan siang hari itu diundur. Aroma lezat kue pai panggang berbumbu dalam oven
besar melayang ke arahnya dari dapur. Dan sebelumnya, ia sempat melihat staf
pelayan sekolah menumpuk kentang dan wortel segar dari kebun sekolah. Tak
diragukan lagi, sekarang semua sayuran itu pasti sudah selesai dikukus. Selalu
ada santapan istimewa setelah liburan, dan banyak anak-anak yang kelaparan
setelah menempuh perjalanan panjang kembali ke sekolah asrama mereka.
Tapi ada yang lebih penting dari semua itu.
"Sebenarnya, aku tak sabar bertemu lagi dengan teman-teman sekelasku, Joan," ia
mengakui. "Terutama Julian. Aku ingin sekali memberitahunya tentang pengumuman
yang ditempel Miss Ranger di papan pengumuman. Pelajaran Bahasa Inggris kami
bakal lebih menarik dan bersemangat!"
Hampir semua anak-anak kelas satu pulang ke rumah masing-masing selama liburan
tengah semester, termasuk teman istimewa Elizabeth, Julian. Elizabeth sendiri
tinggal di sekolah mengikuti kegiatan perkemahan musim panas di lapangan
sekolah. Banyak suka-duka yang dialaminya selama kegiatan tersebut, namun semua
adalah petualangan yang menyenangkan. Kini ia tak sabar menghadapi pertengahan
kedua semester musim panas, tidur di ranjang empuk lagi dan menjalani kehidupan
normal. "Halo Daniel! Kau termasuk yang terakhir datang!" ia berseru riang, ketika mobil
beratap terbuka melintas. Daniel Carter adalah salah seorang teman sekelasnya
dan tinggal di desa sebelah. Seperti halnya anak-anak lain yang tinggal di dekat
Whyteleafe, ia kembali ke sekolah naik mobil. "Kau seharusnya termasuk yang
datang awal!" Anak cowok berkulit pucat dan berambut pirang itu duduk di bangku belakang mobil
sambil membaca buku. Ia mendongak sebentar dan membalas lambaian Elizabeth,
kemudian segera kembali memusatkan perhatian pada bukunya.
"Tadi kau lihat bus sekolah, tidak?" Elizabeth berseru. Namun mobil itu sudah
melewati mereka dan kata-katanya tertelan deru angin.
"Pasti menyenangkan naik mobil beratap terbuka seperti itu," Joan berkomentar.
"Daniel anak yang aneh, terus membaca buku sementara ayahnya mengemudikan mobil
untuk mengantarnya!"
"Ya, dia cenderung memilih buku daripada memandang dan mendengar dunia nyata dan
berteman" kata Elizabeth setuju. "Kurasa itu sebagian besar karena sifat
pemalunya." "Tapi dia anak yang paling hebat memprotes orang lain dalam Rapat Besar," Joan
menjelaskan. "Bukan sikap yang baik untuk mencari teman."
"Ya, lucu sekali waktu dia mengeluhkan Arabella yang mencebik-cebikkan wajah ke
arahnya," kata Elizabeth sambil tertawa. "Ia membuat dirinya tampak seperti anak
kecil ketika mengajukan berbagai keluhan dan pengaduan bodoh. Sungguh sayang dia
tak mau belajar bergaul dengan baik, karena dengan begitu orang-orang bisa lebih
menyukainya." "Kuharap Whyteleafe akan bisa mengubahnya nanti," senyum Joan. "Kau paling
mengerti soal ini daripada anak lain, Elizabeth. Waktu pertama kali datang ke
sini, kau Cewek Paling Badung di Sekolah!"
"Ya. Sejak itu aku selalu berusaha menghapus julukan itu!" gerung Elizabeth.
Panggilan Cewek Paling Badung telah melekat pada dirinya dan pasti akan terus
begitu! "Oh, Joan, apakah aku ini begitu menyebalkan?" ia mendesah.
Ia menatap ke seberang lapangan hijau ke pepohonan di belakangnya. Seekor burung
berputar-putar di atasnya di langit yang berawan. Indah sekali di Whyteleafe,
pikir Elizabeth. "Waktu itu aku melakukan apa saja yang terpikirkan olehku agar dipulangkan,
kan?" ia melanjutkan. "Dari sekolah terbagus di seluruh dunia!"
"Aku senang kau tidak berhasil melakukannya," ujar Joan perlahan, sambil meremas
tangan temannya. "Aku bersungguh-sungguh."
Beberapa saat kemudian bus besar bertuliskan SEKOLAH WHYTELEAFE di bagian
depannya tampak melintasi tikungan.
"Sudah datang!" sorak Elizabeth. "Hore! Sekarang semua orang telah kembali!"
Bus itu berhenti di dasar tangga. Semua anak cowok dan cewek yang tadi naik
kereta dari London berhamburan keluar. Elizabeth berlari menyapa mereka. Joan,
sebagai pengawas kelas dua, mengikutinya dengan langkah yang lebih anggun untuk
menemui beberapa teman sekelasnya.
"Julian!" teriak Elizabeth, rambut cokelatnya yang ikal melambai-lambai.
"Halo, Cewek Paling Badung!" sapa cowok berambut gelap itu sambil tersenyum.
Sepupunya, Patrick, berada tepat di belakangnya. "Bagaimana perkemahannya?"
"Menyenangkan! Tapi dengar, Julian, ada pengumuman amat menarik di papan. Tunggu
saja sampai kau melihatnya! Miss Ranger yang menempelkannya pagi ini. Tahun ini
giliran kelas kita untuk mengadakan Pentas Drama Musim Panas! Pementasannya akan
dilakukan di luar gedung, di lapangan sekolah! Kalau kita ingin ambil bagian di
dalamnya, kita harus mencatatkan diri pada pengumuman itu. Tes perannya akan
mengambil waktu sepanjang pelajaran Bahasa Inggris!" Elizabeth telah menahan
berita ini lebih dari satu jam sehingga kini menyembur keluar dengan deras. "Oh,
Julian, bukankah akan menyenangkan kalau kau dan aku mendapatkan peran utama"
Dramanya berjudul Petualangan di Hutan Ajaib dan ditulis oleh kedua kepala
sekolah kita!" Ia meraih tangan Julian. "Ayo, kita harus bergegas. Kalau kita cepat, kita bisa menuliskan nama kita di
urutan teratas dalam daftar-"
"Hei, sabar dulu. Nona Angin Puyuh-" Julian memulai, tampak geli.
"Ya, sabar dulu, Elizabeth," senyum Miss Thomas, ketika ia menggiring anak-anak
terakhir keluar dari bus. Ia bisa melihat Cewek Paling Badung itu tengah mencoba
mengajak Julian pergi! "Julian tidak diizinkan menghilang ke mana pun pada saat
ini. Semua anak yang naik kereta dari London telah diinstruksikan untuk langsung
menuju ke aula makan begitu mereka selesai mencuci tangan dan wajah. Kusarankan
kau melakukan hal yang sama, Elizabeth. Kita semua amat kelaparan. Apa pun
rencanamu, itu terpaksa ditunda dulu."
Elizabeth mendesah dan menyadari bahwa ia harus bersabar
Bab 2 Harapan-Harapan Elizabeth
Julian menolak untuk buru-buru selama makan siang. Ia amat lapar dan ingin makan
seporsi lagi dari setiap hidangan. Elizabeth harus mengakui bahwa pai berbumbu
itu salah satu kue terlezat yang pernah dipanggang oleh Juru Masak. Kentang dan
wortel segarnya membuat air liur menetes. Sedangkan puding yang dihidangkan,
berlapis kue tarcis dan agar-agar, salah satu kegemaran mereka.
Murid-murid bersantap dengan gembira, semua orang saling bertukar kabar dan
berita. Beberapa anak telah melihat pertunjukan-pertunjukan di London. Ruth dan
Tessa berkunjung ke Kebun Binatang Taman Regents bersama ibu Tessa. Patrick
berada di Lords sepanjang minggu bersama ayahnya, menonton cricket. Cerita
Patrick tentang itu agak membosankan, namun Elizabeth sama sekali tak peduli. Ia
merasa gembira dikelilingi kawan-kawan sekelasnya lagi. Julian mengaku bahwa
yang dilakukannya sepanjang liburan, tidak jauh dari bermalas-malasan dan
sesekali pergi berenang. Elizabeth, Belinda, dan Kathleen senang bercerita pada anak-anak lain tentang
kegiatan perkemahan sekolah. Arabella, yang berkelakuan buruk saat itu dan
terlibat masalah, jadi terdiam.
"Kenapa, Arabella" Bukankah kau amat suka berkemah di alam bebas?" tanya Julian
seenaknya. Ia selalu paling cepat dan lihai. "Tampaknya kau tak banyak bicara
soal itu." Gadis manja itu mengubah raut mukanya yang cantik seperti boneka dan mengangkat
bahu. "Kemahnya lumayan," ia bergumam.
Elizabeth tak berniat mengadukan keburukan Arabella, namun diam-diam ia merasa
sangat puas. Arabella yang tak banyak bicara adalah perubahan yang menyenangkan!
Namun kegembiraan ini tidak berlangsung lama.
Di akhir makan siang, percakapan beralih pada berita menggembirakan tentang
pentas drama kelas satu. Kathleen, seperti halnya Elizabeth, telah melihat
pengumuman yang ditempel Miss Ranger, wali kelas mereka, di papan pengumuman dan
menyebarkan berita ini. "Ayo kita ramai-ramai mendaftarkan diri!" ia berkata. "Oh, pasti akan sangat
menyenangkan mengikuti tes peran di jam pelajaran Bahasa Inggris."
"Aku sudah menuliskan namaku di sana," Arabella mengumumkan. "Dan aku telah
membaca jalan ceritanya! Begitu Miss Ranger menempelkan pengumuman itu, aku
meminta izin meminjam salinannya. Sungguh-sungguh menakjubkan."
"Ceritanya tentang gadis cilik bernama Fay yang tertidur di dalam hutan!"
Rosemary, teman Arabella, memotong. Ia sangat bersemangat. "Ketika Fay
terbangun, dia telah berubah menjadi ratu peri yang cantik. Kemudian dia
mengalami berbagai petualangan yang indah dengan goblin- jembalang-bernama
Jonkin dan mereka bertemu berbagai makhluk penghuni hutan ajaib itu..."
"Miss Belle dan Miss Best sendiri yang menulis cerita itu," ujar Arabella, sok
tahu. "Mereka menulisnya khusus untuk kita. Karena sudah lima tahun yang lalu
sejak kelas satu mendapat giliran menampilkan Pentas Drama Musim Panas, mereka
ingin membuatnya istimewa. Wah, dua kepala sekolah kita cerdas sekali, ya, bisa
menulis seluruh cerita yang sama sekali baru?"
"Dan peran Fay benar-benar dibuat untuk Arabella!" oceh Rosemary. "Bisakah
kalian bayangkan Arabella jadi ratu peri" Aku dapat. Tentu saja," ia menambahkan
cepat-cepat, "masih banyak peran lain untuk semua orang dan banyak hal yang
harus dilakukan, seperti membuat kostum dan lain-lain. Aku berharap akan
terpilih menjadi juru bisik," ia menambahkan dengan rendah hati.
Elizabeth mendengar semuanya sambil diam terpaku.
Arabella dan Rosemary kini berdiri dari kursinya, bersiap-siap untuk pergi.
Rosemary masih terus mengoceh dengan bersemangat.
"Ayo kita ambil naskah cerita itu dari mejamu, Arabella! Kita bisa membawanya ke
luar seperti yang kausarankan! Aku ingin sekali mendengarmu membacakannya keraskeras. Itu akan jadi latihan yang bagus untukmu! Aku jadi bertanya-tanya, cowok
mana yang akan dipilih memainkan peran Jonkin" Oh, peran itu bakal bagus juga,
kan-" Arabella menoleh dan melemparkan senyum manis pada Julian.
"Kurasa Julian bisa menjadi Jonkin yang bagus!" ia tersenyum simpul. "Dalam
drama nanti pemeran Jonkin memang akan memakai topeng, tapi matanya berwarna
hijau, seperti Julian, dan ia sangat lucu dan cerdas. Kuharap kau mau
mendaftarkan diri, Julian!"
Ketika kedua cewek itu meninggalkan aula makan, Elizabeth menundukkan kepala di
atas potongan kue tarcisnya yang terakhir, berjuang untuk tetap tenang. Samarsamar ia mendengar beberapa anak berceloteh saat mereka bersiap-siap
meninggalkan meja... "Astaga! Arabella memang biasa gerak cepat, ya?"
"Begitulah!" "Tapi kau harus mengakui kalau dia mungkin pantas jadi ratu peri. Setidaktidaknya, ia cocok dengan peran itu karena wajahnya yang seperti peri."
"Terlalu mirip boneka. Kurang bersemangat."
"Well, ayo kita melihat pengumuman itu."
"Sekalian saja kita tuliskan nama kita di sana. Pasti akan menyenangkan."
Tak lama kemudian, hanya tinggal Elizabeth, Julian, dan Patrick yang duduk di
meja panjang, bertiga saja.
"Sudah kuduga seharusnya kita buru-buru menuliskan nama kita di daftar, Julian!"
Elizabeth berkata jengkel, mencoba sekuat tenaga untuk tidak cemberut. Arabella
telah mendaftarkan diri duluan. Bisa jadi namanya tercantum di baris teratas!
Bukan hanya itu, ia juga sudah punya salinan naskah drama. Ia telah membacanya
dan mulai latihan untuk tes peran. "Sekarang Arabella selangkah lebih maju
daripada yang lain!"
"Well, aku sih tak berminat memerankan ratu peri!" ujar Julian. Ia tertawa pada
Elizabeth. "Dan kalau kau berminat, Elizabeth, sebaiknya kau berhenti cemberut
dan pasang tampang cewek pemberani yang nakal. Mulailah berlatih tampak manis!"
"Aku tak tahu apa yang kumau sekarang," sahut Elizabeth dongkol. "Barangkali
Arabella memang akan jadi yang paling baik. Barangkali aku memang tidak bagus
sama sekali. Lagi pula, sekarang ia pasti telah mencantumkan namanya di deretan
teratas daftar itu."
"Dasar bodoh." Julian menarik rambut Elizabeth. "Letak nama dalam daftar takkan
mempengaruhi apa pun! Miss Ranger akan memberikan peran itu pada orang yang
dapat membacakan dialog terbaik pada saat tes peran. Menurutku Arabella akan
kaku ketika membacanya. Nah, sekarang kau pergilah dan daftarkan dirimu, seperti
yang katamu ingin kaulakukan."
Elizabeth langsung merasa riang lagi.
"Tentu saja!" ia berseru, tersenyum, dan bertepuk tangan. Tapi-"
Ia memandang Julian dengan cemas.
"-Bagaimana denganmu, Julian" Kau akan ikut ambil bagian dalam drama itu, kan"
Takkan menyenangkan kalau kau tak ikut. Arabella mungkin benar soal kau berperan
sebagai goblin. Aku bisa membayangkannya!" Julian menguap.
"Kurasa bermain drama bukan bakatku Elizabeth," ia berkata lembut.
Patrick yang duduk jauh di ujung meja dan tengah memainkan potongan kue tarcisnya yang terakhir, tiba-tiba menengadah mendengar kata-kata Julian.
Elizabeth baru akan berdebat dengan Julian. Ia tahu betul bahwa temannya itu
aktor berbakat, Julian bisa mengeluarkan bermacam-macam suara dan pandai meniru,
sekaligus lucu. Pasti sebenarnya cowok itu hanya merasa bahwa ikut serta dalam
drama kelas satu itu membosankan. Ia selalu begitu. Jahat sekali!
Namun sebelum Elizabeth sempat membuka mulut untuk protes, Patrick mengeluarkan
suara untuk yang pertama kalinya. Tadi ia tampak agak muram, tapi sekarang tibatiba gembira. Ia tak dapat menahan kecemburuannya pada sepupunya yang berbakat
dan segala bisa. Mendengar Julian dipuji, sekalipun oleh Arabella, jadi membuat
Patrick merasa sebal. "Senang mendengar otakmu bisa berpikir jernih, Julian," ujarnya. "Aku tak mau
menyaksikan sepupuku tersayang membuat dirinya sendiri tampak bodoh."
"Oh, jadi begitu menurutmu, ya?" tanya Julian tajam.
Mendadak ia berdiri. "Ayo, Elizabeth. Ayo kita pergi mendaftarkan diri."


Si Badung Jadi Pahlawan Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Patrick mengawasi mereka pergi, mulutnya menganga.
"Kupikir kau tak ingin ikut sandiwara itu!" ujar Patrick jengkel.
Julian menoleh melalui bahunya.
"Aku berubah pikiran," sahurnya sembarangan. "Pasti akan menyenangkan. Aku jadi
punya kesempatan membuat diriku sendiri tampak bodoh!"
Tatkala mereka berdua meninggalkan aula makan dan bergegas menuju papan
pengumuman sekolah, Elizabeth merasa agak kasihan pada sepupu Julian. Ia bisa
melihat bahwa setiap kali Patrick menginginkan sesuatu, Julian pasti akan
melakukan kebalikannya. Ketika mereka menuliskan nama mereka dalam daftar, Elizabeth merasa penuh
harapan lagi. Akan menyenangkan kalau dirinya terpilih menjadi pemeran utama
dengan Julian sebagai lawan mainnya. Julian akan membuat segalanya mengasyikkan.
Siapa lagi yang telah mendaftarkan diri"
Elizabeth melihat nama-nama yang tercantum di situ. Lebih banyak cewek daripada
cowok. Tapi ada satu nama yang agak tak terduga.
"Lihat, Julian!" ia berseru. "Daniel Carter juga mendaftar."
Sepanjang makan siang, seperti biasanya, Daniel duduk diam-diam sambil membaca
buku di bawah meja dan tidak sedikit pun tertarik pada pembicaraan tentang drama
itu. Daniel memang tak pernah mengikuti kegiatan apa pun yang mungkin dapat
dihindarinya. "Mengejutkan," ujar Julian. "Apakah menurutmu dia ingin mendapatkan peran utama
cowok, peran goblin?"
Elizabeth tertawa gembira.
"Kalau ada kau, Julian," sahutnya, "kurasa dia harus membuang jauh-jauh
harapannya itu." Bab 3 Isyarat Misterius dari Daniel
Di pelajaran Bahasa Inggris keesokan harinya, Daniel sama sekali tak tampak
seperti orang yang berharap bisa memenangkan peran yang baik dalam drama. Ia
bahkan kelihatan agak tak senang dengan segala hal tentang pentas itu!
"Ini untukmu, Daniel," ujar Miss Ranger gembira saat guru itu selesai membagibagikan salinan naskah sandiwara pada mereka yang mendaftarkan diri. "Setelah
membacanya, kau akan tahu bahwa cerita ini amat bagus. Aku ingin agar kau
mempelajarinya beberapa hari ke depan dan memutuskan peran mana yang akan kaucoba. Kau harus menghafalkan beberapa baris kalimat dari peran favoritmu. Dan-"
Miss Ranger menengadah dan tersenyum pada semua anak "-hal yang sama juga
berlaku pada kalian semua. Cobalah menghafalkan beberapa baris kalimat yang
ingin kalian ucapkan pada tes peran minggu depan. Kalian akan lebih mudah
memainkan peran itu kalau dilakukan tanpa membaca naskah."
"Saya sudah menghafal beberapa bagian yang ingin saya perankan!" seru Arabella
sombong. "Kau yakin?" tanya Miss Ranger ramah. Ia tahu tentang kesulitan anak yang paling
tua di kelas itu dalam menghafalkan sesuatu.
Elizabeth senang karena tes peran masih beberapa hari lagi. Tes peran itu akan
diadakan pada jam-jam pelajaran Bahasa Inggris minggu depan dan dua kepala
sekolah akan ikut duduk dalam beberapa tes untuk menjadi juri! Arabella memang
telah mencuri start, tapi kini mereka semua mendapatkan kesempatan mengejar
ketinggalan. Ini menggembirakan.
Tapi Daniel tak sedikit pun tampak senang. Elizabeth yang tengah duduk di sudut
meja Julian dan dengan bersemangat menelusuri lembaran naskah, memperhatikan
betapa malasnya cowok berambut pirang itu mengambil salinan naskah bagiannya.
Bahkan ia anggota kelas yang terakhir mengambil naskah. Kini ia berjalan kembali
ke mejanya, membuka laci, dan memasukkan naskah tadi ke dalam, tanpa sedikit pun
memandangnya. Lalu ia duduk dan melipat tangan.
Ketika Miss Ranger berbicara pada seluruh kelas, Daniel tampak makin murung.
Miss Ranger memberitahu mereka bahwa nantinya latihan sandiwara akan memakai
waktu di luar jam sekolah-dan di alam terbuka. Karena Pentas Drama Musim Panas
selalu dilangsungkan di luar ruangan, maka latihan akting di luar akan baik bagi
murid-murid! Daniel membenci segala macam bentuk kegiatan di luar ruangan. Ia salah seorang
dari sedikit anak di Whyteleafe yang punya kamar pribadi mungil di loteng di
atas kamar-kamar asrama. Musim panas maupun musim dingin, ia menyukai kamar
mungilnya yang nyaman tepat di bawah atap, tempat ia dapat membaca buku-buku
cerita favoritnya sepuasnya.
"Jadi, mereka yang terpilih harus bersiap-siap meluangkan waktu," Miss Ranger
menyimpulkan. "Masih banyak tugas yang harus kita selesaikan dalam pelajaran
Bahasa Inggris. Ingat, kalian akan menghadapi ujian di akhir semester dan itu
juga sangat penting bagi mereka yang ingin naik ke kelas dua pada bulan
September. Jadi sekarang," Miss Ranger tiba-tiba bertepuk tangan, "harap semua
berhenti bicara dan kembali ke meja masing-masing, keluarkan buku ejaan Bahasa
Inggris kalian." Tapi saat itu Elizabeth masih terus mengobrol dengan Julian.
"Sepertinya ceritanya menyenangkan, ya, Julian" Aku bisa membayangkanmu jadi
Jonkin! Aku tak keberatan sama sekali meluangkan waktu senggangku kalau aku
terpilih, bagaimana denganmu" Aku bakal harus membolos latihan piano beberapa
kali! Tapi apakah kau memperhatikan sesuatu?" Ia merendahkan suara sampai
berbisik. "Kau lihat tidak, betapa murungnya tampang Daniel sejak tadi" Aku tak
percaya ada anak yang benci main sandiwara, khususnya di luar ruangan! Kalau
begitu, kenapa dia mendaftarkan diri?"
"Barangkali ada satu jawaban sederhana," Julian balik berbisik. Ia juga telah
memperhatikan sikap Daniel. "Aku sama sekali tak yakin bahwa cowok malang itu
sungguh-sungguh ingin ikut main sandiwara. Kurasa salah satu guru telah
menyuruhnya mendaftarkan diri. Barangkali Miss Ranger yang melakukannya. Para
guru pasti agak khawatir karena Daniel tak pernah ikut serta dalam kegiatan apa
pun." "Oh, Julian! Kau memang pintar!" sahut Elizabeth. "Ya, pasti itu jawaban-"
"ELIZABETH!" seru Miss Ranger. "Tolong hentikan percakapan kalian dan turun dari
meja Julian. Julian, tolong keluarkan buku ejaan Bahasa Inggrismu seperti yang
telah kuperintahkan tadi. Kurasa kalian berdua harus dipisahkan."
Miss Ranger menyapukan pandangan ke sekeliling ruangan dan menunjuk ke satu meja
kosong yang berdiri sendirian di bagian belakang kelas di bawah jendela yang
terbuka. "Elizabeth, ambil buku-bukumu dan pindah ke meja di belakang. Kau amat suka
berbicara, jadi kurasa lebih baik kau di sana." Miss Ranger berbicara pada gadis
kecil itu dengan ramah. "Kau akan terbebas dari godaan di sana, dan aku tahu aku
bisa mempercayaimu untuk memusatkan perhatian pada pelajaran dan belajar giat
walaupun berada di belakang sana."
"Baik, Miss Ranger," jawab Elizabeth.
Julian memandang temannya dengan pandangan minta maaf, tapi Elizabeth sama
sekali tak keberatan. Ia tahu Miss Ranger telah mengambil tindakan yang terbaik,
lagi pula tempat itu sangat menyenangkan karena di dekat jendela yang terbuka.
Aroma lembut musim panas terbang dibawa angin yang hangat. Hal terakhir yang
diinginkan Elizabeth pada saat ini adalah kehilangan salinan naskah sandiwaranya
gara-gara mengobrol dengan teman-teman di kelas. Kini segala godaan untuk
melakukan itu telah tersingkir.
Ia merenungkan kata-kata Julian barusan. Daniel yang malang! pikirnya.
Namun di hari yang sama, di penghujung siang, Daniel membuat kejutan untuk
mereka lagi. Begitu semua pelajaran usai hari itu, Elizabeth dan Julian pergi sebentar untuk
menunggang kuda poni di lapangan sekolah. Mereka muncul dari balik pepohonan
setelannya, turun, dan menuntun kuda-kuda mereka kembali ke istal sekolah.
Seorang anak cowok tengah bersandar pada salah satu pintu istal, seolah-olah
sedang menikmati sinar matahari. Ia melambai dengan riang ketika melihat mereka
dan berlari menyambut. "Halo, Julian! Halo, Elizabeth!" serunya, menepuk-nepuk leher kuda-kuda. "Hari
yang indah, bukan" Kalian senang berkuda?"
Anak itu Daniel. Kedua sahabat itu melepaskan pelana dan menepuk-nepuk kuda-kuda mereka, sambil
saling bertukar pandang keheranan. Mengejutkan melihat Daniel berada di alam
terbuka! Ia juga tampak sangat gembira. Pipinya bersemu merah dan ada aura
kebahagiaan terpancar dari dirinya. Apa yang telah membawa perubahan besar ini
padanya" Ini sungguh membingungkan.
"Bukankah ini hari yang hebat?" ia mengulangi, begitu pelana telah dilepaskan
dari kuda-kuda poni itu. "Sini. biar kubantu kalian menyimpan tali kekang dan
pelana serta mengantarkan kuda-kuda kalian pada petugas istal."
"Sungguh?" ujar Julian, berterima kasih.
"Kau baik sekali, Daniel," sahut Elizabeth.
Mereka melepas tali kekang dan pelana kuda-kuda poni, lalu sedang bersiap-siap
pergi ketika- "Apakah kalian tahu kapan Rapat Besar yang akan datang diadakan?" anak itu
bertanya dengan semangat.
"Jumat," sahut Elizabeth. "Kenapa?"
"Mau menyampaikan pengaduan, Daniel?" tanya Julian menggoda. "Atau mungkin
keluhan?" Wajah anak itu bersemu merah.
"Tidak, tidak sama sekali. Tak seorang pun sudah melakukan sesuatu yang
membuatku jengkel saat ini," ujarnya bersungguh-sungguh. "Aku punya permintaan
khusus pada rapat nanti, hanya itu. Permintaan yang sangat istimewa!"
"Apa itu?" tanya Elizabeth tertarik.
"M-maafkan aku, aku tak dapat mengatakannya pada kalian. Belum bisa..."
"Oh, ayolah!" pinta Elizabeth. "Kenapa kau tak dapat mengatakannya pada kami?"
"A-aku harus melihat perkembangannya dulu" gumam anak itu. "Maaf. Seharusnya aku
tidak mengatakannya. Aku tak bermaksud membuat kalian penasaran..."
Ia tampak menyesal. "Tak masalah" kata Julian, sambil ber-balik untuk pergi.
Daniel buru-buru menyusulnya dan menyambar lengan Julian.
"Tapi please, saat aku meminta... ketika aku akhirnya benar-benar jadi meminta
hal ini dalam Rapat Besar, kuharap kalian berdua mau mendukungku. Please."
Kini rasa ingin tahu Elizabeth makin besar.
"Aku yakin, kami akan mendukungmu kalau kami bisa, Daniel."
"Begitu kami tahu apa yang harus didukung!" tawa Julian.
Kejadian itu amat mengejutkan. Kedua sahabat itu membicarakannya sepanjang
perjalanan kembali ke gedung sekolah. Daniel tampak sangat berbeda dari
biasanya. "Apa yang telah terjadi padanya?" Julian bertanya-tanya. "Apakah mungkin dia
cowok yang sama dengan yang bertampang begitu muram di pelajaran Bahasa Inggris
pagi ini?" Pikiran cemas tiba-tiba terlintas dalam benak Elizabeth.
"Menurutmu, mungkin tidak, penyebabnya adalah karena dia telah membaca naskah"
Dan dia menyadari betapa hebatnya drama itu dan peran Jonkin, dan betapa ini
bisa jadi kesempatan besar baginya untuk terkenal...?"
Elizabeth tak suka bila peran Jonkin dimainkan oleh anak lain, selain Julian.
"Jelas tidak! Bila memang begitu, dia akan kembali ke kamar mungilnya untuk
menghafalkan naskah dengan sungguh-sungguh. Dia takkan bersenang-senang di alam
terbuka," jawab Julian. "Tidak, aku yakin bukan itu penyebabnya. Tapi pasti
memang ada sesuatu yang mengubahnya, jelas."
"Apakah hal itu mungkin berhubungan dengan permintaan misterius yang ingin dia
sampaikan pada Rapat Besar?" renung Elizabeth. "Aku tak dapat membayangkan apa
yang ingin diajukannya."
"Kita akan mendapat jawabannya," ujar Julian ringan, "tak lama lagi."
Bab 4 Rapat Besar yang Menarik Di hari Jumat, akhir pelajaran selama seminggu, Elizabeth berlari ke asrama dan
bersiap-siap menghadiri Rapat Besar. Ia mencuci tangan, menyisir rambut, dan
memutuskan bahwa hari ini ia akan memakai jaket sekolahnya, sekalipun jaket itu
masih agak kebesaran. Saat mengancingkan kancing-kancing jaketnya yang berwarna
perak mengilap sambil memandang cermin, ia merasa senang dan kerasan.
Ia bangga memakai jaket itu dan menjadi anggota Sekolah Whyteleafe. Ia kagum
pada cara William dan Rita, ketua murid laki-laki dan perempuan, memimpin
jalannya Rapat Besar. Dalam rapat itu semua keputusan penting tentang segala
permasalahan yang timbul ada di tangan murid-murid, tanpa campur tangan para
guru. Ketika Elizabeth beriringan memasuki aula bersama Belinda, Kathleen, dan Jenny
ia melihat arlojinya. Mereka terlalu cepat datang. Tapi seseorang telah lebih
dulu tiba di situ. Daniel, yang biasanya menjadi salah seorang yang datang terakhir, duduk di
deretan terdepan di ujung bangku panjang yang kosong. Anak-anak cewek itu
mengambil tempat di sampingnya dan Elizabeth menyadari betapa rapinya penampilan
Daniel. Ia duduk tegak, tangan dilipat, menunggu rapat dimulai. Ia tampak sangat
tegang. Masih ada aura kegembiraan yang sama pada Daniel seperti beberapa hari
yang lalu. Anak-anak lain, seperti halnya Elizabeth dan Julian, telah menyadari perubahan
dalam diri Daniel. Sekalipun buku masih menemaninya ke mana pun ia pergi, ia
lebih banyak menghabiskan waktu di luar ruangan. Ia tampak lebih gembira dan
hidup. Bahkan ia mulai tertarik pada Pentas Drama Musim Panas. Sebenarnya ia
telah berlatih beberapa peran yang berbeda dan dengan malu-malu meminta Martin
untuk mengujinya. Well, kini kita semua akan menemukan penyebabnya, akhirnya, pikir Elizabeth.
Daniel tampak begitu bersemangat mengajukan permintaan istimewanya, apa pun itu!
Kedua belas pengawas sekolah masuk dan mengambil tempat mereka di panggung di
belakang William dan Rita, yang duduk di meja khusus. Di atas meja itu
tergeletak sebuah buku besar. Kejadian-kejadian penting yang terjadi dalam rapat
selalu dituliskan dalam Buku Besar. Pemandangan di situ selalu mengingatkan
Elizabeth pada ruang pengadilan, dengan William dan Rita sebagai hakim dan para
pengawas sebagai juri. Aula segera penuh sesak begitu semua kelas hadir. Miss Belle dan Miss Best, dua
kepala sekolah, dan Mr. Johns, guru senior, duduk diam-diam di kursi khusus yang
disediakan untuk mereka, di bagian belakang aula. Mereka hadir sebagai pengamat
dan tak pernah ikut campur dalam rapat, kecuali kalau nasihat mereka diminta.
Ketika semua orang sudah duduk dan celoteh ramai mereka semakin lama semakin
keras, William mengangkat palu kecil dan memukulkannya ke atas meja dengan
keras. "Harap tenang! Rapat Besar akan segera dimulai."
Seperti biasa, Elizabeth menyambut ketukan palu itu dengan getaran kesenangan.
Di sekelilingnya langsung hening. Apa yang akan dihasilkan rapat hari ini"
"Pertama-tama, keuangan," ujar William. "Banyak di antara kalian yang membawa
uang sekembalinya dari liburan. Thomas sedang mengedarkan Kotak Dana Sekolah
dari baris ke baris. Tolong masukkan semua uang kalian ke dalamnya."
Terdengar suara gemerisik uang kertas dan gemerincing uang logam yang dengan
riang dimasukkan anak-anak ke dalam kotak besar itu. Ada uang yang dikirimkan
melalui pos untuk beberapa anak yang ikut berkemah. Uang-uang itu juga
dimasukkan ke dalam kotak. Sekolah Whyteleafe punya peraturan tegas bahwa semua
uang saku harus dikumpulkan lalu dibagikan secara adil, sehingga tak ada murid
yang mendapatkan keuntungan lebih dibanding yang lain.
Setelah itu, setiap anak di sekolah dibagikan dua pound. Itu adalah uang saku
selama seminggu. "Sekarang, apakah ada permintaan untuk mendapatkan uang lebih?" tanya ketua
murid perempuan. Eileen mengangkat tangan.
"Rita, aku telah memutuskan senar raketku dalam latihan tim kemarin. Padahal
dalam waktu dekat kami akan bertanding, tapi setelah Mr. Warlow memeriksanya,
beliau merasa raket itu telah usang dan aku sungguh membutuhkan raket baru, yang
lama akan tetap disimpan sebagai cadangan."
Rita berdiskusi singkat dengan William dan mereka berdua mengangguk.
"Semester ini, raket tenismu memang sering kali mengalami tempaan dan siksaan
demi mengabdi pada sekolah kita, Eileen," senyum Rita. "Tak heran kalau raket
itu sudah usang. Kau akan diizinkan mengambil dana untuk membeli yang baru."
Patrick, yang bermain dalam tim kedua bersama Eileen, tampak senang. Kini Eileen
bisa bermain dengan lebih baik lagi.
Permintaan berikutnya lebih sulit untuk dikabulkan.
Salah seorang anggota kelas junior (yang selalu duduk bersila di lantai di muka
bangku paling depan) berdiri.
"Aku sangat menyukai tenis dan kami telah memulai latihannya, tapi aku tak punya
raket. Ada raket di toko barang-barang bekas sekolah dan harganya hanya lima
pound. Bolehkah aku mendapatkan uang saku tambahan untuk membelinya?"
Kedua ketua murid mendiskusikan permintaan itu dengan para pengawas. Setelah dua
atau tiga menit, mereka kembali duduk dan William meminta agar para hadirin
tenang. "Kami rasa kami tak dapat mengeluarkan uang untukmu, Henry, soalnya itu tidak
adil bagi para junior lain yang tidak memiliki raket sendiri. Yang dapat kami


Si Badung Jadi Pahlawan Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

usulkan adalah kau menyimpan uang sakumu selama dua minggu ke depan. Ditambah
uang saku hari ini, berarti enam pound."
Anak kecil itu tampak amat kecewa. "Tapi, William, itu berarti uang sakuku untuk
beli permen dan lain-lain tinggal satu pound, dan itu harus bertahan sampai tiga
minggu ke depan!" "Ya, Henry," sahut Rita lembut. "Usulan ini penawaran bagus untuk mengujimu.
Sementara kau berlatih, ini bisa membantumu mengetahui seberapa besar rasa
sukamu pada tenis dan seberapa inginnya kau memiliki raket sendiri tanpa
menggunakan uang kas sekolah. Pikirkan dulu masak-masak. Beritahu kami
Keputusanmu di akhir rapat."
"Baik, Rita." "Ada lagi yang membutuhkan uang?" Rita bertanya.
Elizabeth memandang ke ujung bangku ke arah Daniel. Namun anak itu tetap diam.
Jadi apa pun yang ingin dimintanya, tidak berhubungan dengan uang.
Rapat dengan cepat beralih kepada diskusi soal perkemahan sekolah. William
menyampaikan terima kasihnya pada para pengawas tenda, menjelaskan bahwa mereka
semua telah melaksanakan tugas dengan memuaskan. Sambil duduk di panggung, Joan
tampak bangga dan melambai penuh terima kasih pada Elizabeth. Hanya mereka
berdua yang tahu apa saja masalah yang pernah dihadapi Joan sebagai pengawas
tenda dan bagaimana mereka mengatasinya.
Setelah itu tiba giliran untuk keluhan dan pengaduan.
Untuk minggu ini tak ada yang mengajukannya.
"Bagus," ujar William. "Masih ada satu hal penting lagi yang perlu kita
bicarakan. Setelah itu baru kita akhiri dengan hal lain..."
"Saatmu hampir tiba, Daniel," bisik Elizabeth sambil tersenyum. "Sebentar lagi
kau dapat mengajukan permintaanmu."
"Aku tahu!" angguk Daniel, nampak bersemangat dan gembira.
Tiba-tiba Elizabeth menyadari betapa serius wajah William.
"Aku menyesal harus menyampaikan hal ini," William berkata, "karena masalah yang
kini akan kita bicarakan adalah masalah yang serius. John, silakan berdiri dan
tolong sampaikan pada Rapat Besar apa yang telah kauberitahukan pada Rita dan
aku." John Terry, ketua murid bagian kebun sekolah dan salah satu orang yang disukai
Elizabeth, berdiri. Cowok itu suka berterus terang, berbicara blak-blakan, dan
sangat berbakat dalam berkebun, tapi tidak dalam berbicara di depan umum.
"Ada orang bodoh yang mencabuti tanaman stroberi!" semburnya dengan pipi yang
memerah karena marah. "Anak itu terlalu rakus untuk menunggu buah-buah itu
masak! Aku yakin dia mencabuti tanaman itu untuk melihat kalau-kalau buah beri
di bawahnya sudah cukup merah. Dia menarik tanaman-tanaman sampai ke akarakarnya, padahal buah-buahnya masih hijau!"
Aula dipenuhi suara terperangah heran. Terdengar suara berbisik-bisik dari
barisan tempat anak-anak duduk. Perbuatan yang amat hina. Padahal satu bulan
lagi, setelah dimatangkan oleh matahari, kebun sekolah seperti biasa akan
menghasilkan stroberi merah yang besar dan manis- melimpah ruah. Stroberi dan
krim untuk teman minum teh... Mereka semua suka musim stroberi! Tapi tanaman apa
pun yang telah dicabut sampai ke akar-akarnya akan mati sebelum buah-buahnya
masak betul. "Betapa rakus dan bodohnya!" bisik Elizabeth.
"Rakus, konyol, dan tolol," Kathleen setuju.
William memukul palu agar aula tenang. Masih ada kejutan lain. Ia memegang
sesuatu di antara jempol dan telunjuknya. Semua orang melihat pada benda itu.
Ternyata kancing jaket berwarna perak mengilap.
"Ini sangat menarik," ujarnya. "Pelakunya telah kehilangan kancing jaket ketika
mencabuti stroberi. John menemukannya tergeletak di antara tanaman-tanaman yang
telah dicabuti. Siapa yang merasa bertanggung jawab harap mengaku sekarang," ia
berkata dengan kesedihan yang dalam, "agar kami dapat mengembalikan kancing
jaket ini..." Hening. "Harap berdiri dan mengaku," ulang William.
Mereka semua menahan napas dan menunggu. Setengah menit berlalu sudah. Tapi
tetap saja tak seorang pun bergerak.
"Baiklah," ujar William, akhirnya. "Tak diragukan lagi, siapa pun yang telah
melakukan tindakan bodoh ini pasti juga memiliki teman dan rekan sekelas. Mereka
akan bisa melihat siapa yang telah kehilangan kancing jaket. Kuharap mereka
dapat membujuk pelakunya untuk datang ke ruang kerja kami dan mengaku. John
punya banyak tugas di kebun bagi mereka. Nah, sekarang, apakah masih ada urusan
lain yang perlu disampaikan sebelum rapat ditutup?"
Karena masih terkejut dengan kejadian tadi, Elizabeth sempat lupa sama sekali
pada permintaan khusus Daniel. Namun ia memandang anak itu sekarang. Daniel
sendiri tampaknya juga sudah melupakan niatnya! Ia hanya duduk diam sambil
menatap kosong ke depan. "Ayo, Daniel!" bisik Elizabeth sambil menyikutnya.
Anak itu terkejut. Lalu secara perlahan ia mengangkat tangan.
"Ya, Daniel?" tanya Rita.
"Aku... aku..." Anak cowok berambut pirang itu berdiri, tampak begitu canggung.
Begitu saat-saat yang ditunggunya tiba, ia tampak malu dan kehilangan kata-kata.
Daniel yang malang! Elizabeth merasa kasihan padanya. Pasti permintaan itu amat
penting baginya. Daniel pasti merasa gentar menyampaikannya di hadapan seluruh
sekolah seperti ini. "Ayo!" Elizabeth menyemangati.
"Bolehkah aku membantu merawat kuda-kuda, membersihkan kandang-kandang mereka,
dan hal-hal lain?" semburnya. "Aku tahu Robert kadang-kadang melakukannya, dan
aku juga ingin membantu."
Rita menatap Daniel dengan terheran-heran. Permintaan itu hal yang hampir tidak
perlu disampaikan di Rapat Besar.
"Well, hanya pengurus kandang yang dapat memutuskan hal itu, Daniel," sahut Rita
lembut. "Aku yakin dia akan senang mendapatkan bantuan tambahan dan dapat
mencarikan tugas untukmu. Kau harus ke sana dan berbicara dengannya tentang hal
ini." Daniel duduk. Wajahnya memerah.
Elizabeth memandang padanya, takjub. Anak itu tak pernah sedikit pun tertarik
pada kandang kuda sebelumnya. Ia salah satu dari sedikit murid yang tak pernah
menunggangi kuda. Tapi, di atas segalanya, entah bagaimana Elizabeth merasa
tertipu. Kecewa. Kenapa Daniel sampai harus membuat permintaan itu kedengaran
seperti masalah besar"
"Mengecewakan sekali!" ujar Elizabeth pada Julian setelah Rapat Besar. "Apa yang
begitu khusus dari permintaan itu" Kenapa ia sampai memohon pada kita untuk
mendukungnya tempo hari" Kekhawatiran yang sia-sia! Oh, Julian, menurutku anak
itu memang aneh!" "Ia memang membingungkan," sahut Julian sambil mengangkat bahu. "Tapi aku lebih
tertarik pada misteri pengrusakan tanaman stroberi."
Bab 5 Pelaksanaan Tes Peran "Misteri pengrusakan tanaman stroberi" Kau benar, Julian," angguk Elizabeth.
"Itu memang lebih menarik!"
Elizabeth merasa jengkel pada Daniel karena telah membuatnya penasaran soal
sesuatu yang sepele. Tapi Rapat Besar telah memberi mereka sesuatu yang lain
untuk dipikirkan! Kasihan John. Ia pasti kaget sekali mendapati sebagian
tanamannya dicabut. Elizabeth jelas berniat untuk menghabiskan sebagian waktunya
di kebun sekolah akhir minggu ini dan mengajukan diri untuk membantu mengerjakan
tugas-tugas di sana. Dapatkah tanaman-tanaman itu diselamatkan"
"Yang membingungkan bagiku adalah kenapa mereka tidak mengaku saja," ujar
Julian. "Anak-anak kan biasa melakukan itu."
"Terlalu takut, mungkin!" desah Elizabeth. "Terlalu takut dan bernyali kecil."
"Tapi pelakunya pasti tahu kalau pada akhirnya dia akan ketahuan juga" Julian
berpikir sambil membenamkan tangan dalam-dalam ke saku celananya. Ia memandangi
tiga kancing berwarna perak mengilap pada jaket Elizabeth. "Jaket sekolah kita
cuma punya tiga kancing. Kalau ada yang kehilangan satu, maka dia takkan dapat
menyembunyikannya!" "Ya," Elizabeth setuju. "Dan kenapa orang itu memakai jaket waktu melakukan
aksinya" Aku takkan mau memakai jaket ini saat mencabuti tanaman di kebun
sekolah." "Itulah yang kupikirkan," sahut Julian.
"Tapi untung dia memakainya!" ujar Elizabeth riang. "Kancing jaket itu menjadi
petunjuk yang bagus. Orang yang melakukannya bisa lebih cepat tertangkap. Kita
bisa ikut menyelidiki, Julian. Kita mulai dengan mengamati anak-anak yang
memakai jaket sekolah."
"Salah besar, Elizabeth!" jawab Julian.
"Salah, kenapa?" tanya Elizabeth jengkel.
Julian tampak senang. "Justru kita harus memulainya dengan mengamati anak-anak yang tidak memakai
jaket sekolah. Pasti ada seseorang di suatu tempat yang tidak pernah mau memakai
jaketnya karena alasan tertentu!"
"Karena terlalu takut?" tebak Elizabeth. "Oh, tentu saja."
"Ya. Dan itu berarti aksi kita ini akan jadi jauh lebih sulit. Tantangan yang
menarik." Mereka sepakat untuk memasang mata lebar-lebar. Namun bukan hanya mereka berdua
yang berniat begitu. Misteri pengrusakan tanaman stroberi menjadi topik pembicaraan utama pada acara
minum teh hari itu. Semua anak yang memakai jaket sekolah menjadi pusat
perhatian, termasuk Elizabeth! Ia langsung kesal menghadapi godaan anak-anak
soal dirinya yang dijuluki "Cewek Paling Badung", ketika mereka mendekat untuk
menghitung kancing jaketnya!
Keesokan paginya, Elizabeth pergi menuju kebun sekolah. Ia melihat John Terry
tengah menggelar net di atas rumpun tanaman stroberi. Ia sangat senang melihat
kedatangan Elizabeth. "Halo, Elizabeth. Senang sekali kedatangan pembantu terbaikku! Pekerjaan ini
akan lebih cepat selesai kalau dikerjakan berdua."
Elizabeth merasa lega melihat sebagian besar tanaman stroberi itu tetap tidak
tersentuh dan tumbuh rimbun, berbuah banyak berwarna hijau. Tanaman-tanaman yang
telah dicabut dari deretan pertama kini telah dirapikan dan ditumpuk di sebelah
jalan setapak. Tanaman-tanaman itu telah mulai layu dan tak bisa diselamatkan
lagi. Elizabeth memperhatikan, sebagian besar tanaman itu tampak tak subur dan
kurus, dengan hanya sedikit buah menggantung di sana. Ternyata kerusakan pada
ladang stroberi tidaklah seburuk yang disangka. Bodoh sekali orang yang
menyangka akan menemukan buah-buahan masak dengan cara ini.
"Biasanya aku tidak memasang net secepat ini," John menjelaskan, tatkala mereka
membuka gulungan panjang net berwarna hijau dan dengan hati-hati menggelarnya di
atas rumpun tanaman stroberi. "Ini berguna untuk menghalau burung-burung yang
ingin memakan buah-buah yang sudah masak-terutama burung-burung hitam! Mereka
tak pernah tertarik untuk mampir ke sini sampai melihat buah-buah stroberi yang
merah dan lezat dan berada dalam kondisi siap panen! Kalau melihat burung hitam
mematuk-matuk buah stroberi, kau bisa yakin bahwa buah itu telah mencapai
kondisi yang sempurna!"
"Pintar sekali mereka!" Elizabeth tertawa, air liurnya menetes ketika teringat
hari-hari yang penuh dengan stroberi dan krim di akhir semester musim panas yang
lalu. "Kira-kira bagaimana mereka bisa tahu, ya" Jadi kauputuskan untuk
menyiapkan pertahanan diri lebih awal?"
"Ya," angguk John.
Ketika net itu telah terpasang pada tempatnya, mereka menyemat ujung dan seluruh
sisi net ke tanah dengan pasak-pasak kecil. Burung-burung itu, John menjelaskan,
akan menerobos masuk melalui pinggir net kalau mereka melihat ada lubang yang
cukup besar. "Namun terkadang mereka tak dapat menemukan jalan keluar!" ia menjelaskan.
"Mereka menjadi panik sebelum sempat melarikan diri. Kadang-kadang kau dapat
menemukan seekor burung tersangkut di net, sehingga kau harus membebaskannya.
Tapi hal itu takkan terjadi dalam waktu dekat."
Ketika mereka selesai, Elizabeth berdiri dan meregangkan punggungnya. Capek
juga. Ia memeriksa penutup tanaman stroberi itu sambil mendesah puas.
"Apakah pemasangan net yang lebih cepat ini juga berhubungan dengan perusakan
tempo hari, John?" ia bertanya perlahan.
John mengangguk. "Ya. Kalau ada anak yang tergoda untuk mengusik tanaman stroberi lagi, maka net
ini akan mengingatkan mereka," ujarnya. "Dasar orang tak tahu aturan. Aku amat
terkejut karena tak ada yang mengaku. Tapi kancing jaket itu akan menunjukkan
siapa pelakunya." "Pasti," Elizabeth setuju. "Dan aku yakin orang itu takkan berani melakukannya
lagi!" Kemudian ketika Elizabeth menemui Julian, ia tahu bahwa cowok itu telah
berkeliling bersama Harry menanyai anak-anak tentang kancing jaket yang hilang
tersebut. "Kami banyak menerima jawaban kasar," ujar Julian sambil tersenyum lebar. Ia
menguap. "Ini membuktikan bahwa tugas kita memang bakal sulit."
"Kerusakan tanaman stroberi ternyata tidak seburuk seperti yang dikatakan John,"
kata Elizabeth. "Masih ada cukup banyak stroberi yang bisa dijadikan teman minum
teh di akhir semester ini! Barangkali lebih baik kita menunggu sebentar sampai
ada yang mengaku. Oh, Julian, tentunya akan ada yang mengaku, kan?"
Kini pikiran Elizabeth kembali melayang ke Pentas Drama Musim Panas.
Dalam perjalanan dari kebun setelah membantu John Terry, ia melihat Arabella,
dan teman setianya, Rosemary, di dekat pohon cedar. Arabella berlatih
mengucapkan beberapa kalimat yang sudah dihafal-kannya, sementara Rosemary
memegang naskah dan berperan sebagai juru bisik.
Kini setelah membaca Petualangan di Hutan Ajaib dari awal sampai akhir,
Elizabeth semakin ingin terpilih sebagai pemeran utama cewek. Begitu banyak
kalimat menyenangkan yang harus diucapkan Fay, terutama dalam adegan bersama
Jonkin, goblin lucu yang-sudah jelas!- hanya dapat diperankan oleh Julian.
Dan tes peran untuk kedua peran utama itu akan dilakukan lebih dulu pada hari
Senin! Kedua kepala sekolah akan datang untuk menyumbangkan pendapat, walaupun
keputusan akhir tetap berada di tangan Miss Ranger. Akhir minggu depan, dalam
jam pelajaran Bahasa Inggris berikutnya, peran-peran yang lain akan dibagibagikan. "Julian, kita harus memutuskan bagian mana yang ingin kita tampilkan untuk hari
Senin," ujar Elizabeth, "setelah itu kita harus menghafalkannya di luar kepala.
Maukah kau mengujiku setelah aku menghafalnya?"
"Aku akan mengujimu besok," janji Julian, karena ia berencana untuk main tenis
bersama Harry hari ini. "Hafalkan yang baik, ya?"
Pada hari Minggu malam, Julian masih juga belum tergerak untuk menghafalkan satu
kalimat pun dan menghadapi masalah pentas drama dengan santai seperti biasa.
"Berhentilah mendesakku, Elizabeth. Aku belum memutuskan bagian mana yang ingin
kutampilkan. Besok juga beres, aku jamin deh."
Elizabeth, sebaliknya, telah mempelajari tiga bagian yang berbeda dari peran
Fay, mengabaikan sebagian besar PR-nya pada akhir minggu itu agar bisa berlatih.
"Aku akan memainkan ketiga bagian ini secara bergantian, Julian, lalu kaunilai
bagian mana yang terbaik untukku."
Julian melihat dan mendengarkan dengan penuh perhatian dan menyarankan beberapa
petunjuk berakting ketika Elizabeth berlatih melakukannya.
"Aku paling suka yang pertama," ujar Julian, pada akhirnya. "Ketika Fay
terbangun di hutan dan menyadari bahwa dirinya telah berubah menjadi ratu peri
dan merasa sendirian sampai Jonkin muncul dari balik pohon! Kau melakukannya
dengan baik. Kau tahu" Menurutku kau bakal bisa jadi bintang sandiwara betulan!"
Julian tampak bangga waktu mengatakan itu.
Mulut Elizabeth terasa kering karena gembira.
Ia tak sabar menunggu tes peran dimulai.
Waktu tiba di kelas untuk mengikuti pelajaran Bahasa Inggris pada keesokan
harinya, Elizabeth melihat Julian telah sampai lebih dulu. Cowok itu dengan
santai sedang membolak-balik halaman-halaman naskahnya. Jadi ia belum juga
mempelajari satu kalimat pun! Dari gerak-geriknya, Julian tampak baru saja mulai
memikirkan hal itu. Elizabeth merasa jengkel. Tapi ia tahu bahwa sekarang ia
harus berkonsentrasi penuh dan tak mengizinkan apa pun mengalihkan perhatiannya.
"Kita akan mulai dengan peran Fay," Miss Ranger berkata. "Belinda, kau yang
pertama." Miss Belle dan Miss Best, kedua kepala sekolah duduk di depan Miss Ranger.
Belinda berdiri dan bersiap-siap mengucapkan dialognya. Sungguh menegangkan.
Elizabeth mengamati dan menahan napas, bertanya-tanya seberapa baguskah akting
Belinda" Belinda memilih adegan menyentuh dalam sandiwara itu, ketika Fay menemukan Mr.
Badger yang terluka di hutan. Ia berakting dengan cukup baik, sekalipun ada
satu-dua kalimat yang dilupakannya. Ketika ia duduk kembali, semua anak bertepuk
tangan. "Giliranmu, Elizabeth," senyum Miss Ranger.


Si Badung Jadi Pahlawan Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bolehkah saya duduk di lantai, di bawah jendela ini?" tanya Elizabeth. "Semua
orang harus membayangkan bahwa saya sedang duduk di bawah pohon besar dan baru
saja terbangun dari tidur dalam adegan pembuka sandiwara."
Kedua kepala sekolah mengangguk setuju. Mereka senang melihat sandiwara mereka
mulai terwujud menjadi nyata. Semua orang di kelas berpaling untuk melihat
penampilan Elizabeth. Entah bagaimana, Elizabeth telah berhasil menyita
perhatian mereka. Ia mulai dengan menggeliat, menguap, dan membuka mata.
Ia memandang ke sekelilingnya dengan terheran-heran.
"Kenapa aku ada di sini" Di manakah aku?"
Kemudian ia berdiri dan menjelajahi gaunnya dengan tangan.
"Kenapa aku memakai gaun seperti ratu peri?"
Elizabeth melanjutkan monolognya dengan sempurna, berakting sesuai dengan
kalimat-kalimat yang diucapkannya. Ia menghela napas, terperangah, dan berputarputar di atas kakinya ketika untuk pertama kalinya ia menemukan hutan yang
indah. Semua tampak seperti sungguhan. Ia mengakhirinya dengan meng-enyakkan
diri ke atas lantai lagi di bawah "pohon" tadi, suaranya terdengar sedih.
"...Tapi ketika malam tiba aku akan kesepian. Dan merindukan sahabat-sahabatku
di rumah." Elizabeth menghela napas keras, seperti yang tertulis dalam naskah.
Penampilannya seharusnya berakhir di situ. Tapi tiba-tiba Julian berdiri dari
kursi, meloncat, lalu melompat kecil ke arah meja Elizabeth dan bersembunyi di
belakangnya. Ia mengintip ke arah Elizabeth dari sudut meja, berpura-pura
menganggap meja itu sebagai pohon. Wajahnya dibuat sedemikian rupa sehingga
menyerupai goblin, mata hijaunya bersinar-sinar, lalu ia memainkan peran Jonkin"Jangan takut, jangan ragu,
Ayo ikut, padukaku. Ayo ikut!"
Ia menarik Elizabeth berdiri dan menari-nari dengannya ke sekeliling meja"Paduka akan temukan teman-teman baru di hutan hijau ini, Dan kau si ratu peri
akan mereka sukai!" Kejadian itu sungguh tak terduga sehingga Elizabeth tertawa gembira. Tes
perannya sungguh-sungguh berakhir sekarang dan teman-teman sekelasnya bersorak
dan bertepuk tangan. Para guru juga ikut tersenyum. Tapi Miss Ranger mengangkat
tangan untuk menenangkan kelas.
"Bagus sekali, Julian. Tapi kita belum menguji peran Jonkin. Giliranmu akan tiba
beberapa menit lagi. Terima kasih, Elizabeth. Sekarang kita akan melihat
penampilan Arabella."
Arabella adalah cewek ketiga dan terakhir yang ingin mencoba memerankan Fay. Ia
berdiri, wajahnya pucat karena tegang.
"Tapi, Miss Ranger, saya juga mempelajari adegan yang sama dengan Elizabeth.
Bagian pembukaan. Dan saya juga berencana untuk duduk dan bersandar pada
dinding, persis seperti yang dilakukan Elizabeth."
"Tidak apa-apa, Arabella," ujar Miss Ranger lembut.
Cewek berambut pirang itu, yang tampak secantik lukisan, beranjak dan duduk di
lantai di bawah jendela-persis seperti yang telah dilakukan Elizabeth.
Sambil menggigit bibir karena jengkel, Elizabeth memaksa dirinya melihat dan
mendengarkan ketika saingannya itu mengulang semua yang telah dilakukannya. Ia
menggeliat, menguap, membuka mata...
"Kenapa aku ada di sini" Di manakah aku?"
Arabella berusaha keras untuk mengekspresikan perasaannya. Usaha yang bagus- dan
tak diragukan lagi wajahnya memang cocok untuk memainkan peran itu.
Tapi dalam kalimat kedua, ia membuat kesalahan konyol.
Dengan berhati-hati ia meniru gerak-gerik Elizabeth lalu dengan lembut merapikan
gaunnya sambil berkata- "Kenapa aku memakai ratu seperti gaun peri?"
Suara dengusan dan kikikan pecah di sekeliling ruang kelas dan Miss Ranger harus
memukul meja untuk menenangkannya. Dengan terbata-bata, Arabella membetulkan
kata-katanya dan melanjutkan monolog pembukanya.
Kecuali salah mengucapkan beberapa kalimat lagi, dan benar-benar melupakan salah
satunya, penampilan Arabella sungguh menakjubkan. Anak-anak memberinya tepukan
riuh di akhir penampilan. Guru-guru juga ikut bertepuk tangan. Ketika Arabella
kembali ke kursinya, bersemu merah karena gembira, Elizabeth mulai merasa amat
tegang. "Sekarang kita akan melakukan tes peran Jonkin," umum Miss Ranger. "Setelah itu
aku akan mengadakan pembicaraan tertutup dengan Miss Belle dan Miss Best. Lalu
di akhir pelajaran, kami akan meng umumkan hasilnya."
Elizabeth nyaris tak dapat menahan ke tegangannya.
Bab 6 Elizabeth Kelewat Gembira
Beberapa anak cowok ingin ikut serta dalam sandiwara, terutama untuk peran Mr.
Badger dan Mr. Grasshopper. Keduanya memiliki karakter yang bagus! Berani
bertaruh, kedua peran itu akan diperebutkan pada akhir minggu ini. Tapi hanya
dua anak cowok yang mencoba peran Jonkin, karena peran itu sulit.
Anak cowok yang satunya adalah Daniel. Ia yang dipanggil duluan dan bahkan ia
sendiri pun tampak ragu-ragu.
"Aku... aku tidak begitu yakin ingin mencoba peran ini," ujarnya dengan kaku.
"Tak begitu yakin."
"Ayolah, Daniel," bujuk Miss Ranger. "Kau pasti bisa melakukannya."
Elizabeth menyadari bahwa anak cowok berambut pirang itu merasa malu. Memang
aneh melihat Daniel kembali lagi pada kebiasaan lamanya akhir-akhir ini. Minggu
lalu ia tampak begitu berbeda, sangat hidup dan ceria, bahkan ia meminta Martin
untuk mengujinya berlatih sandiwara! Namun sejak saat itu, ia berubah seperti
dulu lagi. Memang betul bahwa setelah berbicara dengan petugas istal, ia banyak
menghabiskan waktu di istal sekolah. Namun Robert mengeluh karena anak itu tidak
banyak membantu. Ia selalu membaca buku sepanjang waktu, atau bermalas-malasan,
persis seperti biasanya. Kalau begini, lebih baik ia berada di dalam kamarnya!
Anak cowok ini aneh sekali, pikir Elizabeth.
Namun Elizabeth kini merasa gelisah. Ia teringat dugaan Julian bahwa para
gurulah yang telah mendesak Daniel untuk mencantumkan namanya dalam sandiwara.
Mungkinkah ia akan diunggulkan oleh mereka"
Daniel memulai kalimat pertamanya, masih dengan malu-malu.
"Tunggu, Daniel!" kata Miss Ranger, mengangkat tangan. Sambil tersenyum lembut,
ia merogoh ke dalam tas. "Lihat, ini mungkin bisa membantumu. Dalam sandiwara,
Jonkin selalu memakai topeng. Banyak karakter binatang yang juga akan memakai
topeng. Coba pakai topeng ini sambil berakting. Kau akan merasakan bahwa benda
ini dapat membantumu menjiwai peran!"
Miss Ranger menyodorkan topeng padanya. Bukan topeng goblin seperti yang akan
dipakai dalam Petualangan di Hutan Ajaib. Topeng itu belum dibuat. Topeng tua
yang ini berasal dari peti kostum sekolah dengan ekspresi lucu, berhidung
mencuat panjang dan berpipi merah jambu.
Ketika Daniel memakai topeng itu, anak-anak tertawa, dan bertepuk tangan.
Elizabeth menjadi semakin gelisah. Ia semakin yakin bahwa dugaan Julian tepat.
Para guru menginginkan Daniel ikut dalam sandiwara, mereka amat menginginkannya
berhasil. Kini saat ia berakting dari balik topeng, perbaikan aktingnya terlihat amat
mencolok. Tampaknya ia telah mempelajari bagiannya dengan baik dan sifat
pemalunya mulai hilang. Kini ia jauh lebih santai.
Penampilannya sama sekali tidak buruk.
"Selamat, Daniel," ujar Miss Belle setelannya. "Kau melakukannya dengan baik.
Betul, kan. Miss Best?"
Kedua kepala sekolah tampak senang.
"Sekarang giliranmu, Julian," ujar Miss Ranger. "Dan kau juga harus memakai
topeng yang sama, sehingga kami dapat menilai kalian berdua dengan adil!"
Semua anak bersorak ketika Julian memakai topeng itu dan langsung bergaya
seperti goblin, meringkuk di atas kursinya.
"Aku belum menghafal satu kalimat pun," ujarnya sambil tanpa merasa bersalah
mengambil naskah. "Aku hanya hafal bagian singkat yang kulakukan tadi bersama
Elizabeth. Tapi-tunggu-ini ada adegan yang agak menarik, menurutku."
Sebelum Elizabeth sempat merasa jengkel lagi pada Julian karena cowok itu
bersikap seenaknya, Julian telah meloncat ke depan. Bagian yang dimainkannya
adalah bagian ketika Jonkin telah memutuskan akan memanggang kue untuk ratu peri
secara diam-diam. "Kuberi sejumput adas manis. Lalu bahan-bahan lain akan kucari Bunga tempat
lebah mengisap sari Dan dari bunga honeysuckle, madu manis. Mentega dari bunga
buttercup..." Semua melihat dan mendengarkan dengan bersemangat. Sulit dipercaya bahwa Julian
sedang membaca naskah, penampilannya begitu hebat. Ketika membacakan kalimatkalimatnya, ia juga melakukan gerakan-gerakan yang tepat sepanjang
penampilannya! Ia mengakhiri aktingnya dengan berdiri di atas tangan seperti
yang tertulis dalam naskah.
Semua orang bertepuk tangan. Penampilan yang amat mengagumkan!
"Terima kasih, Julian," angguk Miss Ranger ketika Julian menyerahkan topengnya.
"Tapi sebaiknya kau menghafalkan dialogmu, seperti yang lain."
Kemudian Miss Ranger menyuruh semua anak mengeluarkan buku Bahasa Inggris dan
membaca dengan tenang. Ia akan berdiskusi bersama kedua kepala sekolah.
Saat ketiga orang dewasa itu berdiskusi, Elizabeth menegakkan telinga, mencoba
menangkap ucapan mereka. Namun mereka berbicara dengan suara rendah yang lembut.
Tak lama sesudahnya, kedua kepala sekolah keluar dari ruang kelas. Siapa yang
lebih disukai si Beauty dan si Beast" Elizabeth bertanya-tanya. Karena
bagaimanapun, merekalah penulis cerita sandiwara itu.
Namun Miss Ranger-lah penanggung jawab kelas satu sekaligus penyelenggara
sandiwara. Maka Keputusan akhir dari tes peran ini berada di tangannya, karena
ia lebih mengenal murid-muridnya.
Setelah Miss Belle dan Miss Best keluar Miss Ranger kembali dan berdiri di depan
kelas untuk menyampaikan pengumuman.
"Elizabeth akan bermain sebagai Fay" ujarnya. "Dan Arabella akan menjadi pemeran
penggantinya..." Elizabeth terkesiap senang.
"Dan kami akan mencoba Julian sebagai Jonkin asalkan dia bertingkah laku sopan
dan mau menghafalkan dialognya. Daniel akan menjadi pemeran penggantinya."
Elizabeth merasa lemas karena gembira ketika teman-teman sekelasnya mengelilingi
dan menepuk-nepuk punggungnya.
"Hebat," ujar Belinda sportif.
"Kau sungguh bagus." Julian juga mendapat ucapan selamat. Kebisingan dan
keriuhan memenuhi seluruh kelas.
Ketika bel berbunyi untuk menandai tibanya akhir pelajaran, Miss Ranger menepuk
tangan agar kelas hening.
"Aku tahu kalian semua sangat gembira," ujarnya. "Tapi ingat, ini masih jam
pelajaran sekolah. Kita punya setumpuk tugas berat yang harus dikerjakan kalau
kalian ingin berhasil dalam ujian musim panas di akhir semester ini. Pelajaran
selanjutnya adalah geografi. Saya akan pergi sebentar untuk mengambil peta cuaca
kita dari Mr. Johns..."
Ia menatap mereka dengan tegas.
"Ketika aku kembali ke kelas ini, aku ingin melihat kalian semua duduk di meja
masing-masing dengan tenang. Ambil buku-buku geografi kalian dan bersiap-siap
untuk menerima pelajaran selanjutnya."
Permintaan Miss Ranger terlalu sulit untuk dikabulkan. Begitu beliau pergi,
dengung celotehan kelas langsung terdengar. Elizabeth, seperti biasanya,
bersikap terlalu gembira.
Rasanya begitu menegangkan, menunggu hasil tes peran tadi. Kini impiannya telah
tercapai. Ia akan memainkan peran Fay, dan Julian sebagai Jonkin! Dengan Julian
menjadi lawan mainnya, maka Pentas Drama Musim Panas akan amat sangat
menyenangkan. Elizabeth tak sabar menunggu saat latihan diadakan. Mereka akan
menyumbangkan acara terbaik di Sekolah Whyteleafe!
Elizabeth melihat Daniel memberi selamat pada Julian. Cowok pirang itu tampaknya
tak terganggu karena hanya menjadi pemeran pengganti. Tapi tidak demikian halnya
dengan Arabella. Ia satu-satunya anak di kelas itu yang tidak memberi selamat
pada Elizabeth. Ia duduk di mejanya dengan kepala tertunduk, sambil melihatlihat buku geografinya. "Jangan murung, Arabella," Elizabeth berseru dengan bersemangat. "Aku mungkin
terjatuh dan kakiku patah!"
"Ya, kau akan menjadi pemeran pengganti yang bagus, Arabella," Belinda terkikik.
"Kau bisa menirukan setiap gerak-gerik Elizabeth dengan sempurna."
Elizabeth mengernyit. Tak terpikir olehnya untuk menyatakan gagasan itu. Tapi ia
terharu karena ada anak lain yang juga memperhatikan hal itu.
Arabella menengadah dengan dongkol.
"Aku bukan tukang tiru! Aku telah merencanakan semuanya. Bukan salahku kalau aku
mendapat giliran terakhir-"
Belinda tertawa terus, membuat Arabella kehilangan kesabarannya. Ia melonjak
berdiri dan menunjuk pada Elizabeth.
"Dia curang! Dia memakai Julian untuk membantunya! Aku melihat mereka berlatih
bersama tadi malam. Mereka telah merencanakannya. Tidak adil! Karena bantuan
Julian di akhir adeganlah, dia mendapatkan peran itu!"
"Omong kosong!" teriak Julian.
Elizabeth merasakan api amarah mulai membakarnya. Ia akan membalas penghinaan
Arabella itu. Dasar cewek jahat!
Ketika datang dari arah koridor dengan peta dua menit kemudian. Miss Ranger bisa
mendengar keributan yang terjadi di dalam kelas. Ada apa ini" Ia berdiri di
ambang pintu dan melihat apa yang terjadi.
Elizabeth Allen sedang berdiri di atas mejanya, sambil berdeklamasi dengan
keras, wajahnya bersemu merah karena bersemangat. Ia tengah menirukan Arabella.
"Kenapa aku ada di sini" Di manakah aku" Kenapa aku memakai gaun seperti iblis
berbulu?" Beberapa teman Elizabeth berkumpul di sekitarnya sambil menyorakinya dan
menjejakkan kaki-kaki mereka ketika melihat penampilan spontan anak itu.
"DIAM!" terdengar suara dari ambang pintu.
Semua anak langsung menyerbu meja masing-masing. Elizabeth buru-buru melompat
dari mejanya dan duduk. Terdengar suara gesekan kertas-kertas yang ditarik
secara terburu-buru dan bunyi entakan tutup meja ketika mereka semua mengambil
buku-buku geografi masing-masing. Lalu kelas betul-betul hening, hanya terdengar
dengusan beberapa anak yang berusaha menahan tawa.
Namun mata Miss Ranger hanya terpaku pada Elizabeth, yang pipinya masih memerah
karena bersemangat. "Aku tak menyangka, Elizabeth. Apa kau tidak sadar bahwa siapa pun dapat salah
mengucapkan dialog dalam sandiwara, bahkan juga kau sendiri" Apa kau tidak sadar
kau telah bersikap kejam dan bodoh?"
Elizabeth membuka mulut untuk berbicara. Ia ingin mengatakan pada Miss Ranger,
betapa kejam dan bodohnya sikap Arabella terhadap dirinya. Dan itu bukan hanya
hari ini, tapi sejak pertama kali mereka berjumpa. Saat-saat mengerikan pada
liburan Hari Natal ketika Arabella tinggal di rumahnya hanya karena orangtua
mereka saling mengenal. Dan ibu Elizabeth memberitahunya bahwa Arabella akan
masuk Whyteleafe dan akan jadi teman yang baik baginya, dengan perilakunya yang
santun dan pakaiannya yang indah! Padahal Elizabeth sudah membenci cewek manja
itu sejak pertemuan pertama mereka.
Tapi, dengan mulut tetap menganga, Elizabeth terdiam.
"Kau sadar, tidak?" ulang gurunya.
"HUH!" terdengar jawaban tidak sopan.
Begitu keras, disengaja agar terdengar konyol, dan kurang ajar.
Untuk beberapa saat, suasana menjadi hening karena terkejut, kemudian terdengar
suara dengusan tawa gugup. Kenyataan bahwa kata "Huh!" yang diucapkan seperti
itu datang dari arah Elizabeth, benar-benar mengejutkan. Dan kini si Cewek
Paling Badung itu menyapukan pandangan ke sekelilingnya, berpura-pura ikut
terkejut. "Siapa yang berkata begitu?"
"Kau, Elizabeth," sahut Miss Ranger. Tak sedikit pun menganggap hal itu lucu.
"Berhentilah pamer, Elizabeth. Kau baru saja bersikap tidak sopan padaku. Kau
harus minta maaf sekarang juga."
"Bukan saya. Miss Ranger!" protes Elizabeth kebingungan. Ia berpaling dan
melihat ke jendela yang terbuka, yang berada tepat di belakangnya. "Pasti ada
orang yang iseng di luar sana!"
Ia membuka jendela itu lebar-lebar dan melongok ke luar melalui ambangnya,
melihat ke kanan lalu ke kiri. Beberapa teman Elizabeth berlari dari meja mereka
ke belakang kelas dan berkerumun di sekelilingnya.
"Aneh, tak ada orang di sana," Elizabeth berkata. "Ups! Tak ada orang di sana!"
"Kau melihat seseorang, Martin?"
"Tidak." "Jangan-jangan hantu!"
Beberapa anak cowok, seperti biasa, menikmati selingan seperti itu. Cewek Paling
Badung beraksi kembali! Ini lebih menyenangkan daripada pelajaran geografi.
"Duduk semuanya!" seru Miss Ranger. "Elizabeth, tutup jendela itu segera.


Si Badung Jadi Pahlawan Karya Enid Blyton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekarang berbalik, duduk, dan menghadap padaku."
"Ya, Miss Ranger."
Guru itu berbicara dengan nada sedingin es.
"Kurasa, ditunjuknya kau sebagai pemeran utama dalam drama telah membuatmu
kelewat gembira, Elizabeth. Kau jadi berlebihan. Kalau kau tak dapat menenangkan
diri, aku harus mengkaji ulang Keputusanku tadi. Sekarang, untuk yang terakhir
kalinya, aku minta kau mengakui perbuatanmu dan minta maaf karena telah
berbicara padaku dengan tidak sopan."
Seluruh kelas hening. Lelucon itu telah berakhir.
Mereka menunggu untuk mendengar apa yang akan dikatakan Elizabeth.
Bab 7 Pertengkaran Hebat "Saya tidak mau minta maaf, Miss Ranger" jawab Elizabeth. "Saya tidak bisa minta
maaf karena bukan saya yang melakukannya."
Anak-anak menatap si Cewek Paling Badung dengan terkejut. Tentu saja Elizabeth
yang melakukannya! Siapa lagi yang berani berbuat begitu" Mereka semua mendengar
ucapannya. Anak itu bodoh sekali berbicara seperti itu pada Miss Ranger. Kini
bisa dipastikan ia akan kehilangan perannya dalam drama.
Elizabeth tak bermaksud bersikap kurang ajar, tapi ia sering kali cepat naik
darah. Sungguh tak enak rasanya tidak dipercaya seperti ini. Sekalipun ini
berarti ia akan kehilangan kesempatan memainkan peran utama dalam drama, pikir
Elizabeth dengan marah, ia takkan mau berpura-pura telah mengeluarkan komentar
kurang ajar itu, karena memang bukan ia yang melakukannya.
"Sungguh, Elizabeth," mulai Miss Ranger, sangat jengkel. "Kau membuatku tak
mempunyai pilihan lain-"
Mendadak terdengar suara.
NGUNGGGGGGGG. Sepertinya datang dari arah Elizabeth, dekat jendela.
NGUNGGGGGG. Terdengar lagi. Namun kali ini dari atas ambang pintu. Apakah itu suara tawon
besar yang terbang berkeliling ruangan"
NGUNGGG. NGUNGGGGG. Suara itu berdengung di sini, di sana, dan di mana-mana. Tapi mana sumber
suaranya" Tak seorang pun dapat melihatnya.
Julian! Patrick menyadari.
Dan tiba-tiba Julian tersenyum lebar dan semua anak di kelas ingat. Julian
pernah melakukan hal ini sebelumnya! Ia peniru yang hebat. Ia juga bisa melempar
suaranya. Ia bisa membuat suara seakan berasal dari mana-mana, tanpa
menggerakkan bibir... Julian, pikir Elizabeth, dengan takut. Tentu saja.
Elizabeth tidak terhibur.
Tidak juga Miss Ranger. "Kau telah salah dituduh, Elizabeth," ia berkata. "Aku minta maaf. Sepertinya
kita semua telah melupakan temanmu, Julian, dan kepintarannya dalam mengolah
suara, ya" Namun sayangnya ada satu kepintaran yang tidak akan dilakukan Julian
dengan suaranya di masa mendatang. Harap berdiri, Julian. Dan keluarkan tanganmu
dari dalam saku saat aku sedang berbicara padamu."
Miss Ranger menceramahi Julian dengan tegas tentang bagaimana anak itu telah
mengacaukan pelajaran dan hampir membuat Elizabeth dipermalukan.
"Kurasa kau dan Elizabeth akan menjadi semakin berlebihan dan konyol kalau aku
membiarkan kalian bermain bersama dalam drama nanti," ia menyimpulkan. "Maka aku
berubah pikiran tentang peran Jonkin. Jonkin akan dimainkan oleh Daniel. Kau
akan menjadi pemeran pengganti Daniel."
"Ya, Miss Ranger."
Sisa jam pelajaran dilalui kelas itu dengan tenang, bahkan Arabella dan Daniel
juga. Elizabeth juga tenang, namun hatinya terasa mendidih.
Ia sempat merasa lega begitu misteri terungkap. Ia betul-betul bingung dari mana
datangnya suara tadi. Awalnya ia berpikir bahwa suara itu datang dari jendela di
belakangnya, tapi tentu saja tak ada orang di sana! Ia tak pernah menyangka
bahwa itu salah satu keisengan Julian. Perbuatan itu terlalu bodoh untuk
dilakukan Julian. Tapi memang ia pelakunya! Dan kalau Julian tidak mengaku, maka Elizabeth bisa
kehilangan perannya dalam sandiwara sekolah.
Kelegaan yang dirasakan Elizabeth dengan cepat berubah menjadi kemarahan ketika
ia memikirkan tentang sikap bodoh Julian dan pembatalan peran yang akan
Cinta Bernoda Darah 11 Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan Darah Di Supit Urang Pusaka Negeri Tayli 9

Cari Blog Ini