Ceritasilat Novel Online

Sang Penebus 13

Sang Penebus Karya Wally Lamb Bagian 13


Ke sini duduklah di sebelahku, kelinci kecil. Duduklah di pangkuan Mama
"Lebih mudah dicintai o\eh-nya," kataku. "Ibumu" Ya?"
Aku duduk diam, memandangi tangan kananku mengotak-atik gelang di pergelangan
tanganku membuka, menutup, membukanya lagi. Ketika aku memandang ke Dr. Patel,
?dia sedang memandangiku.
"Aku ingin bertanya padamu," katanya. "Mengingat kelembutan kakakmu, kepekaanya,
maka bisa diasumsikan bahwa Thomas lebih feminin" Apakah itu perbedaan yang akan
kau akui, Dominick?"
Aku mengangkat bahu. Merasakan diriku menegang mendengar perkataan itu. Turunlah
ke bawah sekarang, Dominick. Aku sudah membuatkan snack spesial untukmu. Kakakmu
dan aku hanya mau 'bermain ramah-ramahan'.
"Mungkin," kataku.
"Apa maksudnya 'mungkin1" Apakah itu, ya atau tidak?"
"Ya!" tukasku. Dr. Patel mulai membuatku marah.
"Ah. Dan apakah selalu begitu sepanjang hidupmu" Pada masa kanak-kanak juga pada
masa dewasa" Bahwa kau anak yang lebih maskulin dan Thomas yang lebih feminin?"
"Ya." "Dan apakah aspek itu dari sifat kakakmu, kualitas itu yang mungkin membuat
Thomas lebih mudah dicintai ibumu?"
Aku memaksa diriku memandangnya. "Apa maksudmu?" kataku. "Kau bilang dia homo
atau semacamnya" Bahwa dia skizofrenik karena dia banci?"
Dr. Patel tersenyum. Dia tidak bilang begitu tidak, tidak. Itu adalah
?hipotesis Freud, tapi psikoterapis sudah melewati dari teori awal itu dan masuk
ke bidang yang lebih kompleks. "Namun kesimpulanmu yang langsung itu menarik
hatiku, Dominick," katanya. "Mungkin itu akan berarti untuk kita diskusikan
mengapa kau menyamakan kepekaan kerapuhan dengan homoseksualitas."?Aku menggeleng. "Oh, aku mengerti," kataku. "Kau kira dia yang normal dan aku
yang gay." Dr. Patel menunggu senyum sinis hilang dari wajahku.
"Yang kukira adalah," katanya, "bahwa kau sebenarnya juga punya kepekaan,
kelembutan, dan kerapuhan seperti kakakmu kelemahannya seperti yang kau
?bilang dan itu membuatmu takut. Dan
?mungkin penolakan terus-menerus dari pihakmulah yang membuatmu kelelahan.
Membuatmu sakit." "Dialah yang sakit," kataku mengingatkan. "Aku yang /ainnya."
"Ya, ya," katanya. "Si pria tangguh. Si kembar yang tak terlalu ramah. Yang itu
tidak berarti membuatmu normal, Dominick. Benar begitu" Lihat sekeliling,
Temanku. Kau di sini, sedang menjalani terapi."
Dr. Patel berkata, dia sering sekali melihat gejala itu pada pasien
lelakinya mungkin itu bisa dikatakan sebagai sebuah epidemi di antara para pria
?Amerika: penolakan untuk mengakui keseluruhan diri kita penolakan sok tangguh
?untuk mengakui bahwa kita juga berasal dari ibu kita selain dari ayah kita.
Sebenarnya menyedihkan juga tragis. Menyia-nyiakan nyawa manusia, seperti
?perang dan penembakan yang sering terjadi di negara ini; yang perlu kita lakukan
hanyalah menyalakan CNN atau CBS News. Namun, lucu juga kalau dilihat usaha
?yang dilakukan sebagian besar pria untuk membuktikan bahwa mereka adalah "priapria tangguh". Dewa-dewa pasti meremehkan kita, tertawa dan menangis bersamaan.
"Cucu lelakiku yang berusia dua belas tahun, Sava, tinggal bersamaku beberapa
waktu lalu, ketika kedua orangtuanya pergi ikut konferensi," katanya. "Dan
selama dia menginap, dia terus memintaku untuk membawanya nonton film berjudul
Die Hard the Second."
"Die Hard 2," kataku mengoreksi. "Bruce Willis."
Enak juga mendengarkan Dr. Patel membicarakan cucunya, bukan melulu masalahku.
Membayangkan dia sebagai nenek seseorang dan bukannya psikiaterku.
"Ya, ya, itu benar," katanya."'Oh, Muti, please, please!' dia terus memintaku.
'Aku harus nonton Die Hard 2 atau hidupku akan hancur!' Jadi, akhirnya aku
menurut. Menyerah. Dan saat aku duduk di sebelahnya di dalam bioskop yang gelap,
menonton kekacauan yang mustahil terjadi di dunia nyata, aku berkata dalam hati,
inilah: katalog sinematik dari apa yang ditakutkan anak laki-laki dan para pria.
Semua hal yang menurut mereka harus ditembak, dipukul, dan dibunuh untuk
memusnahkan kepekaan mereka menolak kromosom X mereka." Dr. Patel berhenti,
?menertawakan leluconnya sendiri. "Kami duduk di kursi depan, kau tahu, karena
Sava memintanya: agar senang dia harus punya Coca Cola gelas besar, popcorn
ukuran besar dengan mentega dan kursi di bagian depan. Jadi, di tengah-tengah
film Die Hard the Second, aku berkesempatan untuk menengok ke belakang dan
melihat, dalam refleksi cahaya film, wajah-wajah para penonton. Sebagian besar
pria dan anak laki-laki terpaku menatap layar. Membiarkan Bruce Willis menembak,
memukul, dan membunuh, untuk mereka semua, hal-hal yang membuat mereka takut.
Film itu sebenarnya sangat instruktif, aku sangat bersyukur atas pengalaman
itu." Dr. Patel menggelengkan kepala dan tersenyum. "Ya, maafkan aku karena
menceritakan polemik ini padamu, Dominick. Tapi bukankah
dongeng-dongeng kita itu adalah cermin yang menunjukkan apa yang kita takutkan?"
Pada akhir sesi, Dr. Patel bilang dia merasa kami sudah menapaki area yang
penting, membuat kemajuan berarti. Dia menyarankan, untuk pertemuan berikutnya,
agar aku memikirkan apa yang selama ini coba /cu-tembak, pukul dan bunuh apakah
?mungkin aku selama ini menyangkal sifat lembutku dan kalau ya, apa akibatnya
bagiku. "Dan jangan menato dahimu," katanya tersenyum. "Itu tak perlu." Sebagai
buktinya, dia mengangkat tangannya di depan wajahnya.
Menggerak-gerakkan jarinya dan tersenyum. Sebagai manusia kita memang tragis
sekaligus lucu, katanya; dewa-dewa tertawa sekaligus menangis.
Di pintu, Dr. Patel bertanya padaku apakah aku punya pertanyaan sebelum pergi
dan bertemu lagi minggu depan.
"Kisah kakekku," kataku. "Apakah aku sebaiknya berhenti membacanya" .... Apalagi
kalau membacanya hanya membuatku emosional."
Pertanyaan itu membuat Dr. Patel mengerutkan kening. Dia agak bingung dengan
keinginanku itu, katanya; dia pikir aku sedang mencari masa laluku. Dia
mengingatkanku kalau aku selama ini frustrasi oleh ketidakmauan ibuku
menceritakan sejarah keluarga dan sekarang, aku punya kesempatan unik: hadiah
berupa suara dari mendiang kakekku.
Kakekku, tak peduli hadiah itu problematis atau tidak. Mengapa aku ingin
menghindari hadiah seperti itu"
"Aku tak ingin kakekku," kataku. "Aku ingin ayahku. Terkait dengan masalah
ayahku, ibuku tak pernah menyebutkan nama."
"Ini pemberian, Dominick. Tapi seseorang harus menerima apa yang ditawarkan
seseorang bukan" Akan sangat tidak berterima kasih mengatakan pada seseorang
yang memberikan hadiah, 'Tidak, tidak, aku tak mau ini. Aku mau yang lain.' Dan
mendapatkan komunikasi dari masa lalu seperti yang kau punya kurasa itu adalah ?kesempatan langka, Dominick. Lagi pula, berapa banyak kakek yang mau menyewa
Dictaphone, menyewa stenografer dan menghabiskan sepanjang siang mengingat
kenangan, demi cucu mereka"
"Itu bukan demi aku. Atau demi kami. Kurasa kakekku tak tahu ibuku hamil."
Aku mengerti, kata Dr. Patel. Domenico ingin meninggalkan sesuatu dari dirinya
untuk generasi mendatang. Baik dia tahu ataupun tidak tentang keberadaan Thomas
dan aku sebelum meninggal, kami pada dasarnya memang keturunannya, penghubungnya
ke masa depan. Kesempatanku membaca kisahnya memungkinkan kakekku meraih
tujuannya, katanya. Mungkin kalau aku terus membacanya, Domenico mungkin bisa
juga membantu/ctv meraih tujuanku.
Kita sudah melewati batas waktu kita, kata Dr. Patel. Kita harus berhenti dulu.
"Tapi ke sinilah dulu." Dia menggandeng lenganku dan membimbingku ke jendela.
"Semua dalam hidup ini berkaitan, Dominick," katanya. "Hidup bukanlah
serangkaian kolam dan cekungan yang terpisah-pisah; hidup adalah sungai seperti
yang kau lihat di sana. Dia mengalir dari masa lalu ke masa sekarang dan ke masa
depan. Itu bukanlah sesuatu yang kupahami sejak dulu; aku memahaminya secara
bertahap, melalui pekerjaanku sebagai antropolog sekaligus psikolog."
Aku memandang ke luar lagi, ke sungai yang mengalir deras.
"Hidup adalah sungai," dia mengulang. "Secara literal kita memang terlahir pada
hari kita meninggalkan rahim ibu kita. Tapi dalam skala yang lebih besar dan
lebih sejati, kita terlahir dari masa lalu terhubung dengan alirannya, baik
?secara genetika maupun secara pengalaman." Dr. Patel menangkupkan kedua
tangannya seakan-akan berdoa terhadap apa yang kami lihat di bawah. "Jadi, itu
tadi pendapat-/cu, Teman. Apakah kau sebaiknya melemparkan leluhurmu ke
perapian" Tentu saja tidak. Apakah kau sebaiknya membacanya meskipun itu
membuatmu tak bisa tidur" Ya, apa pun risikonya. Baca kisah kakekmu, Dominick.
Lompatlah ke sungai itu. Dan kalau itu membuatmu resah, datanglah ke sini dan
katakan padaku mengapa."
Saat keluar dari kantornya, aku bertemu dengan pasien berikutnya: pria besar dan
kekar bot kerja, sweter dengan penutup kepala. Kami saling?mengangguk menyapa. "Pria tangguh" lainnya menjalani terapi, pikirku. Anggota
dari para pria tangguh yang terluka.
Lalu lintas dalam perjalanan pulang sangat padat dan mengesalkan. Aku gelisah.
Terus-menerus menekan tombol mencari gelombang radio. "Night Moves"... "I Shot The
Sheriff1.... "The Boys Are Back in Town". Kalau aku menyalakan volumenya cukup
keras, kepalaku akan penuh oleh suaranya. Sehingga tak perlu berpikir. Tapi
ketika sampai di rumah, memarkir mobil, dan mematikan mesin, kesunyian itu
kembali, dan kembali pula kenangan pada pagi hari ketika ibuku meninggal ....
Hanya ada aku dan dia di kamar rumah sakit saat aku mengucapkan janji itu janji
?yang sama yang dia minta dariku sepanjang hidupku. Ray dan aku menjaganya
sepanjang malam duduk diam, memandangnya menderita, karena tak ada hal lain
?yang bisa kami lakukan. "Dia bisa pergi kapan saja," kata mereka: dokter,
perawat, sukarelawan rumah sakit. Hanya saja, Ma terus membuktikan bahwa
prediksi mereka salah. Selama dua hari dua malam, dia sekarat. Kami semua sudah
kelelahan saat itu Aku ingat, matahari baru muncul. Selama sejam atau lebih Ma bergerak-gerak
gelisah di ranjang, mengerang dan mencoba melepaskan masker oksigennya. Lalu
tepat menjelang fajar, dia jadi tenang. Berhenti melawan.
Ray keluar beberapa menit untuk menelepon tempat kerja. Dan aku mencondongkan
?tubuh ke Ma, mengelus dahinya. Dan Ma memandangku dia sadar waktu itu, aku tahu itu ....
?Dan aku bilang padanya aku mencintainya. Mengatakan terima kasih atas semua yang
telah dia lakukan untuk kami semua pengorbanan yang dia lakukan. Dan lalu aku
?mengatakannya: satu hal yang kutahu sudah ditunggu-tunggunya: "Aku akan
menjaganya untukmu, Ma. Aku akan melindunginya. Kau bisa pergi sekarang."
Dan dia pergi dengan mudah. Ketika Ray kembali, Ma sudah tak sadar lagi. Dan
meninggal pada jam berikutnya .... Begitu dia mendengar bahwa "kelinci kecilnya"
akan aman, dia rela pergi.
Aku mencintaimu, Ma. Aku membencimu ...
Ada satu hal yang belum diketahui Dr. Patel. Sesuatu yang baru mulai kupahami
sendiri: bagaimana aku membenci ibuku karena menyuruhku menjadi penjaga seumur
hidupku. Karena membuatku jadi satpam ....
"Bermain ramah-ramahan" mereka menyebutnya apa pun yang mereka lakukan di
?sana. Berdandan: apa maksud semua itu" Thomas berjalan mondar-mandir dengan
sepatu tumit tinggi, berputar-putar memakai gaun Ma .... Ma tak punya teman. Dia
kesepian .... Pergilah ke bawah sekarang, Dominick. Aku membuatkan snack khusus untukmu.
Thomas dan aku hanya akan bermain "ramah-ramahan".
Dan aku pun duduk di bawah, makan puding atau keripik kentang, menonton TV yang
kemudian meledak itu. Membakar ruang duduk.
Berjaga. Melihat apakah ada Ray ....
Ini tak akan menyenangkan untukmu, Dominick. Ini jenis permainan yang hanya
disukai kakakmu .... Beri tahu aku secepatnya kalau Ray datang. Kalau Ray tahu
tentang main "ramah-ramahan", dia akan memarahi kita bertiga. Lebih marah
daripada yang biasanya ....
Bukan berarti Ma tidak mencintaiku, Dok. Dia memang mencintaiku. Aku tahu itu.
Dia hanya selalu lebih mencintai Thomas. Mencintai hal dalam diri Thomas yang
dibenci Ray. Yang membuat Ray selalu memukulinya ... "manisnya". "Kelinci kecil Ma
yang lucu". Aku akan menjaganya untukmu, Ma. Aku akan melindunginya. Kau bisa pergi
sekarang. Seakan-akan menjanjikan itu akan membuatku jadi anak emasnya, walau hanya
semenit semenit sebelum dia meninggal .... Sepanjang hidupku, aku selalu jadi ?nomor dua. Nomor dua dalam balapan yang hanya diikuti dua orang. Bahkan sekarang
pun, saat Ma sudah empat tahun meninggal dan Thomas terkurung di Hatch. Selalu
nomor dua dalam persaingan dua orang.
Dan itu menyakitkan. Itu menyakitkan, Ma menjadi penjaga, si monyet kecil yang
? ?tak pernah kau undang naik ke pangkuanmu ....
Itu menyakitkan, Ma. Sungguh menyakitkan ....
Tiga Puluh Tujuh S Agustus 1949 Aku pindah dari rumah pemondokan Signora Siragusa dan tinggal di casa di due
appartamentiku yang baru pada 1 April 1916. Aku menjadi orang Italia pertama
yang menjadi bos pencelup di American Woolen and Textile. Sekarang aku menjadi
orang Italia pertama yang mempunyai rumah sendiri di Three Rivers rumah yang
?kubangun dengan kedua tanganku sendiri! Aku menyewakan rumah sisi kiri pada
Tusia, si tukang cukur, dengan istri dan anak-anaknya, dengan sewa sebesar
sebelas dolar lima puluh sen per bulan. Aku sebenarnya mau dua belas dolar
sebulan, tapi Tusia berhasil menawar dengan bersedia memberiku potong rambut
gratis kapan pun aku mau dan mencukur janggutku setiap hari. Aku meminta Tusia
memotong rambutku tiap hari Jumat biar aku tak rugi karena kehilangan uang lima
puluh sen itu. Aku menulis surat pada sepupuku di Brooklyn bahwa aku akan mengunjungi mereka
selama dua hari saat Paskah, dan meminta mereka mengatakan kedatanganku pada
Iaccoi bersaudara di sebelah. Perjalanan itu akhirnya akan mempertemukanku
dengan calon istriku, Prosperine. Saat itu, aku dan Iaccoi akan menentukan
tanggal pernikahan dan jumlah mahar. Agar adil, aku akan meminta ganti uang
tiket perjalananku dengan kereta pulang pergi ke New York dan harga setelan
three pieces yang kukenakan saat perjalanan dan saat pernikahan nanti.
Saat perjamuan Paskah di rumah sepupuku hari Minggu, aku mengangkat gelasku dan
membuat pidato mengesankan tentang Italia dan keluarga Tempesta. Aku memberikan
eulogi untuk Papa dan Mama, dan menyebut kedua adikku yang sudah meninggal.
Kata-kataku membuat semua yang hadir berlinangan air mata, kecuali anak terkecil
Lena dan Vitaglio, yang diizinkan merangkak-rangkak di bawah meja makan,
menggelitik kaki dan menarik-narik kaus kaki orang dewasa. Perilaku yang
memalukan dan tak punya rasa hormat! Ketika nyamuk kecil itu menarik tali bajuku
di tengah-tengah pidatoku, aku membungkuk ke bawah meja dan memukulnya dengan
pantas. Tangisan, kepalanya yang terbentur meja dan anggur yang tumpah merusak
pidatoku. "Yah," kata Lena tersenyum, "sudahlah mari kita makan, sebelum
makaroninya jadi dingin."
"Ya," kataku, "kalau kau dan Vitaglio tak bisa mengatur anak-anakmu lebih baik
daripada ini, kita abaikan saja yang sudah mati dan makan."
Malam itu, aku minta permisi dan berkunjung ke sebelah untuk bertemu dengan
Iaccoi bersaudara. Akhirnya aku akan melihat pengantin Sisiliaku.
Mengoceh seperti dua merpati, Rocco dan Nun-zio Iaccoi menemuiku di beranda dan
berulang-ulang mengatakan bahwa mereka mendapatkan kehormatan besar menerima
seseorang yang sukses di rumah mereka. Mereka mempersilakanku ke ruang duduk dan
memintaku duduk di sofa yang terbesar, menyalakan cerutu untukku, dan
mendekatkan asbak agar aku nyaman. Saat mereka yakin aku sudah nyaman, mereka
memanggil sepupu mereka Prosperine, yang menunggu di dapur. "Buka anisettanya,
Sepupu," kata mereka. "Bawa tiga gelas."
Kami menunggu cukup lama, lalu di dapur terdengar suara barang jatuh dan gelas
pecah. "Scusi," kata Nunzio Iaccoi, tersenyum sangat lebar seakan-akan dia
kesakitan. Rocco tertawa dan mengangkat bahu, mengangkat bahu dan tertawa. "Selama hampir
dua tahun tinggal di sini, ini pertama kalinya gadis manis itu memecahkan
sesuatu," katanya. "Adik tiriku yang keras kepala, Ignazia, dia melemparkan
barang-barang ke dinding kalau marah, dan juga ceroboh, tapi Prosperine kecil
sangat anggun dan luwes seperti gadis muda baik lainnya."
Tukang pipa berengsek itu tak akan bisa menipuku. Kecerobohan gadis itu yang
terlihat jelas adalah senjata bagiku, pikirku. Itu akan bisa menaikkan jumlah
mahar yang bisa kuminta. Nunzio kembali ke ruang duduk. "Cuma masalah kecil, nana," katanya. "Kalau saja
semua masalah kita bisa disapu ya, Domenico" Hahaha." Tawa dan
helaan napas kedua kakak beradik itu gagal menyembunyikan kegugupan mereka.
Ketika Prosperine muncul dari dapur, aku berusaha berdiri, tapi dua bersaudara
Iaccoi menekanku dengan meletakkan tangan di bahuku. "Duduk, duduk saja," kata
Rocco. "Tak perlu berdiri. Santai saja."
Awalnya, aku tak bisa melihat wajahnya, tapi hanya bisa melihat tubuhnya yang
kecil. Dia tak lebih tinggi dari anak usia dua belas tahun. Tak lebih besar dari
Mama! Pandanganku jatuh ke lantai.
Aku pelan-pelan melihat ke atas, dari sepatunya yang berkancing ke gaun hitamnya
dengan pinggang kecil. Dia menempelkan bros bunga buatan di gaunnya. Mataku
melewati anisetta dalam gelas-gelas kecil yang dia pegang di nampan. Melewati
dadanya yang rata ke bros batu yang dipasang di kerahnya. Ketika mataku sampai


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke faccia-nya, aku ternganga.
"Signore Domenico Tempesta," kata Nunzio. "Perkenalkan Prosperine Tucci, sposa
futura Anda!" "Tak mungkin bahkan jika neraka membeku sekalipun!" teriakku. Lalu aku mendorong
kedua kakak beradik itu dan segera keluar dari sana!
Hal yang membuatku melupakan etika kepantasan adalah wajah Prosperine. Pertama,
dia bukanlah gadis muda seperti yang dijanjikan para tukang pipa pendusta itu.
Nenek kurus itu minimal berusia tiga puluh tahun! Lebih buruk jauh lebih buruk ?lagi wajah kurusnya sangat mirip dengan Filippa, monyet yang telah memukau
adikku Pasquale dan kutenggelamkan
Malam itu, aku bergerak-gerak gelisah di ranjang berkasur tipis di rumah
sepupuku seakan-akan aku masih ada di kapal SS Napolitan! Apakah arwah adikku
Pasquale telah mengirimku si jalang kurus ini dari mundo suttomari untuk
membalas dendam karena aku telah menenggelamkan "ratu kecilnya?" Atau Mama
mengirimkan monyet itu untuk kunikahi karena aku telah meninggalkannya untuk
mencari peruntungan ke Amerika"
"Meglio celibe che mal sposa tol"' Bisikku pada diri sendiri. Lebih baik mati
tanpa meninggalkan putra daripada harus membuatnya dengan itu.1
Pada tengah malam panjang di Brooklyn itu terdengar lonceng gereja berbunyi tiga
kali. Mama, Pasquale, Vincenzo: mungkin mereka bertiga bersekongkol dan
mengirimkan wanita monyet ini padaku! Tapi hadiah yang diberikan tak sama dengan
hadiah yang diterima. Aku memutuskan akan menunggu hingga pagi, naik kereta
paling pagi, kembali ke rumah besarku di Three Rivers Connecticutt, dan hidup
sebagai bujangan. 6 Agustus 1949 Iaccoi bersaudara dan sepupu monyet mereka sudah ada di dapur Lena dan Vitaglio
saat aku terbangun keesokan paginya. Suara-suara marah
* "Lebih baik membujang daripada menikah dan tak t>3h3g>3." Catatan penerjemah:
Kalimat aslinya, dicoret, tertulis "fO Lebih baik membujang
dua bersaudara itulah yang membuatku terbangun dari tidur yang gelisah. "Ha!
Jadi inilah dia pria yang tak menghormati janjinya sendiri!" kata Rocco saat aku
masuk dapur. "Tolonglah," kata Lena pada Iaccoi. "Biarkan sepupu malangku sarapan dengan
tenang. Teriakan buruk untuk digestione." Lena meletakkan frittata, sosis dan
kentang, serta kopi di depanku. Juga roti Paskah. Inilah wanita yang tahu
bagaimana mengurus pria! Aku meneguk kopiku, menyuap telur. Aku biarkan dua tukang pipa sialan itu
menunggu. "Janji batal dengan sendirinya jika dibuat oleh pria pembohong,"
kataku akhirnya. Berani sekali aku menuduh mereka pembohong, teriak Nunzio. Aku, bukan mereka
yang memulai pembicaraan tentang \stv-dua istri, bukan satu, dia mengingatkanku.
"Jadi, apa menurutmu" Bahwa aku naik atap itu dan mendorong adikku yang malang"
Apa yang kalian berdua harapkan dariku" Menikahi dua wanita dan hidup sebagai
bigamo?" "Menikahi salah seorang dari mereka juga tak apa-apa!" kata Rocco. "Yang memang
kau janji akan kau nikahi. Gadis yang sudah menunggu selama dua tahun agar
rumahnya selesai dan sekarang menangis semalaman karena kau memperlakukannya
dengan buruk." "Makanlah, Domenico," desak Lena. "Makan sarapanmu selagi hangat lalu baru
bicara." Saat aku mengunyah dan menelan, menelan dan
mengunyah, aku beberapa kali melirik Prosperine. Dia duduk di kursi dekat
jendela. Dalam cahaya pagi, dia terlihat baru berumur dua puluh lima mungkin,
bukan tiga puluh, tapi dia bahkan lebih jelek daripada semalam. Hari ini dia
mengenakan pakaian petani dan saputangan yang menutupi kepala berkerutnya. Dan
dia merokok pipa! "Kau sengaja memberikan gambaran yang salah tentang makhluk ini," kataku pada
dua bersaudara Iaccoi. "Lihat saja dia di sana, merokok seperti pria! Dia tidak
cantik! Dia tidak muda!"
Nunzio terbata-bata dan mengatakan peribahasa. "Gadina vecchia fa bonu brodo,"katanya. Dan aku menjawabnya dengan peribahasaku sendiri: "Cucinaia come vuoi,
ma sempre cocuzza e.'* - "Wanita ini sesuci Perawan Maria," kata Rocco.
"Kalau yang ini vergine, * kataku, "itu karena dia memang tak punya kesempatan.
Tak ada daging di tulangnya! Tak ada tettei Wanita ini bahkan akan membuat cazzu
adikku Vincenzo mengerut!" Mendengar vulgaritasku, yang terucap di tengah
panasnya pertengkaran, membuat sepupuku Lena berteriak dan menutupkan celemeknya
ke wajah. Tapi Prosperine tidak. Wanita itu memang sekeras paku!
"Berhati-hatilah, Tempesta," Nunzio Iaccoi memperingatkanku. "Di Amerika ada
hukum yang memaksa seorang pria memenuhi janjinya. Kami menyimpan setiap surat
dan telegram yang kau kirim."
* "Ayam betina tua membuat sup semakin enak."
** 'Terjemahan bebasnya, "fO Masak labu seperti apa pun, tetap saja itu labu."
"Jangan coba-coba menakutiku, tukang pipa!" teriakku membalas. "Hakim mana yang
punya mata yang tega memberiku hukuman seumur hidup untuk bersama wanita itu"
Dia pantasnya dirantai, bukan menjadi istri seorang pemilik tanah!"
Tentu saja, aku adalah pria yang gentleman dan tak mungkin akan bicara seperti
itu di depan wanita kalau saja kedua bersaudara itu tidak memaksaku, tapi sudah
terlambat. Mataku mengikuti mata yang lain ke arah Prosperine dan aku merinding.
Tanpa berkedip ataupun memalingkan muka, dia mengembuskan asap dari pipanya dan
melotot padaku dengan tatapan marah seperti // mal occhio sendiri. Seperti yang
sudah kukatakan dulu, pria modern seperti Domenico Tempesta tak percaya takhayul
seperti wanita tua. Tapi saat itu di dapur sepupuku Lena, aku sangat ingin
memegang gobbo, cabe merah, gigi babi apa pun untuk menangkal mata setan wanita?monyet itu!
Sepupuku Lena yang manis, dalam usaha untuk menghentikan perdebatan sebelum
menjadi perkelahian, menuangkan kopi, menyajikan biscotti dan roti Paskah pada Iaccoi bersaudara, dan mengingatkan
kami semua bahwa sejak awal negosiasi ada dua calon pengantin di rumah Iaccoi.
"Scusa, Signorina Prosperine," katanya pada wanita itu tanpa melihat padanya.
"Maafkan aku berjuta kali karena mengatakan ini, tapi Domenico berubah pikiran."
Prosperine melepaskan pipa dari mulutnya dan meludah ke jendela yang terbuka.
"Bah!" katanya,
lalu memasukkan pipanya lagi ke mulut.
Lena berpaling padaku dan memegang tanganku. "Domenico, sebelum kau memulai
perjalanan pulang, bukankah sebaiknya kau bertemu dulu dengan adik Iaccoi yang
cantik, Ignazia?" "Biarkan saja mereka menikahkan yang satunya ke orang bodoh lainnya!" kataku.
"Aku sudah muak berurusan dengan Iaccoi!"
Mendengar ini, Rocco mengangkat tinjunya, tapi Nunzio mencegahnya. "Aspetta un
momento!" katanya, lalu berbisik ke Rocco, yang lari keluar dapur. Kami semua
menunggu dan menunggu ... untuk apa" Sedangkan perutku rasanya seperti baru
menelan SS Napolitano dan bukannya telur masakan sepupuku, roti dan kopi!
Sepuluh menit kemudian, Rocco masuk kembali. Di tangannya dia membawa surat
imigrasi Ignazia dan foto gadis itu. Surat-surat itu menetapkan bahwa dia memang
lahir tahun 1898 sehingga dia benar-benar baru delapan belas tahun. Fotonya
memastikan kalau dia adalah gadis yang cantik, tidak seperti yang satunya gadis?yang pantas menjadi istri pemilik tanah. Gadis dengan daging di tulangnya.
Aku berhasil dibujuk untuk kembali setelah makan siang ke ruang duduk Iaccoi dan
menunggu kedatangan Ignazia dari rumah seorang teman. Saat menunggu aku
memandangi foto gadis itu dan terpesona. Rambutnya yang mengombak dan bibirnya
yang penuh menggugahku. Mata hitamnya menatap langsung ke mataku. Wajahnya yang
penuh mengisyaratkan figura yang montok dan seindah Venus.
Aku jatuh cinta dengan foto itu dan semakin jatuh cinta dengan gadis sebenarnya
yang masuk dengan penuh percaya diri melewati pintu depan rumah kedua kakaknya
sejam lebih lambat daripada yang seharusnya.
"Dari mana saja kau?" tanya kakaknya.
"Dari mana saja yang kusukai" jawabnya berani.
Dia mengenakan mantel wol berwarna merah darah. Vermiglio mencolok seperti itu
pasti bukan berasal dari celupan American Woolen and Textile. Dan wanita seperti
itu tak mungkin berasal dari desa kecil Giuliana atau Three Rivers, Connecticut.
Rambutnya hitam dan liar, panjang hingga ke pantat. Pinggulnya yang lebar memang
diciptakan untuk menangkap suami dan melahirkan anak. Dia sudah membuatku
terpesona bahkan sebelum mantelnya dilepas! Akhirnya, aku jatuh cinta!
"Domenico Tempesta, aku sangat senang bisa mengenalkan adik tiriku Ignazia,"
kata Rocco. Inilah orangnya, kataku dalam hati. Inilah wanita yang sudah kutunggu selama
ini. Di depanku, bersungut, berdiri istriku!
Tapi gadis itu bahkan tak memerhatikanku. Dia bertanya kepada Prosperine apakah
bracioia dari Paskah kemarin masih ada. Dia lapar seperti seekor elefante,
katanya dan menepuk perutnya.
"Tolong Ignazia, pikirkan perutmu nanti," kata Nunzio. "Duduklah. Tunjukkan
sedikit penghormatan pada pemilik tanah dan bos pabrik!"
Ignazia berpaling pada Prosperine. "Ah, jadi ini rupanya innamoratomu yang
selama ini kau tunggu?" dia tertawa.
"Bah!" jawab yang satunya, terus mengisap pipanya.
"Jangan seperti itu," Nunzio memarahinya. "Bikinkan kami espresso. Cepat sebelum
aku mengusirmu dari rumah ini."
Si Monyet bersungut-sungut masuk ke dapur; Iaccoi bersaudara mulai tersenyum
palsu kembali. Mereka mulai bertanya-tanya tentang casa di due appartamentiku
dan mengulangi setiap jawabanku pada adik tirinya. Ignazia mengetuk-ngetukkan
kakinya yang bersepatu ke lantai dan bersenandung sendiri, tak mendengarkan.
"Aku akan membantu di dapur," katanya.
Aku memandangnya berdiri dan berjalan keluar ruangan. Meskipun aku tahu itu
buruk untuk tawar-menawar mahar, aku tak bisa menahan pandanganku darinya.
"Pekerjaan Ignazia di pabrik sepatu membuatnya terkena banyak pengaruh buruk,"
bisik Rocco setelah Ignazia meninggalkan ruangan. "Dia mendapatkan gagasan
bodoh, misalnya bahwa seperti 'Mehcani, wanita Italia seharusnya menikah karena
cinta. Hahaha." "Kau suka apa yang kau lihat, Domenico?" kata Nunzio dari seberang ruangan.
"Kalau dia jadi istrimu, dia akan segera melupakan semua cara 'Mericana. Kau
akan membuatnya jadi Siciiiana lagi!"
Sedangkan aku, tak bisa mengatakan apa pun
kecuali menelan ludah dan memandang mengusap-usap fotonya di tanganku dan ?menunggu dia keluar dari dapur.
Pintu ruangan membanting terbuka semenit kemudian. Ignazia memegang setangkup
roti di satu tangan, paha ayam di tangan sebelahnya. "Oh, tidak!" teriaknya,
menggelengkan kepala keras-keras. "Oh, tidak, tidak, tidak!"
"Scusa?" kata salah satu Iaccoi.
"Dia baru saja bilang padaku di dapur apa yang kalian bertiga niatkan," kata
gadis itu. "Aku sudah bilang berkali-kali. Aku akan menikah dengan Padraic
McGannon dan dialah yang akan kunikahi!"
"Orang Irlandia pengangguran yang malas itu?" teriak Rocco. "Anak mami berkepala
merah yang mulutnya saja masih bau ASI?"
Aku baru saja melihat Ignazia beberapa saat lalu, tapi mendengar dia berniat
menikahi pria lain membuat hatiku mencelos dan aku ingin mencari pria Irlandia
itu dan mencekiknya! Begitulah pengaruh Ignazia atasku!
"Di mana kau dan pemalas itu akan tinggal?" kata Nunzio.
Ignazia berkacak pinggang. "Dengan ibunya," katanya.
"Bermodalkan apa?"
"Bermodalkan sesuatu yang tak diketahui pria-pria tua seperti kalian. L'amore!
Passione!" Nunzio menggelengkan kepala mendengarkan kebodohan Ignazia dan Rocco membuat
tanda salib. Hanya dalam beberapa saat terakhir ini, aku sudah
banyak belajar tentang passione dan amore. Seakan-akan lahar panas Gunung Etna
mendidih di dalam darahku yang dingin selama ini. Ignazia membuat ruangan itu
seakan-akan kehabisan udara. Aku bertekad: bahwa dia tak akan jadi istri siapa
pun kecuali Domenico Onofrio Tempesta!
"Scusa, Nona Muda, scusa," aku berdiri dan mulai. "Kedua kakakmu dan aku
mempunyai perjanjian yang akan memberikan keuntungan untukmu, kalau aku mau ?menjadikan kau istriku." Di sini, aku menarik napas panjang dan membidangkan
dadaku agar dia bisa melihat, secara penuh, pria seperti apa yang akan dia
dapat. "Kalau kau mau?" Ignazia tertawa. "Kalau kau mau" Siapa yang mau jadi istrimu,
orang tua" Nikahi saja nonna tua berambut putih!" Dia menggigit paha ayam yang
dipegangnya dengan gemas, melepaskan daging dari tulang dan mengunyah dengan
geram sambil melotot pa-daku.
Passione yang ditunjukkan Ignazia saat menolak untuk menikahiku hanya membuatku
lebih menginginkannya. Gadis lancang ini harus jadi istriku, tak peduli dia suka
atau tidak! "Nona Muda," kataku, berusaha membujuk. "Kehormatan kakakmu dipertaruhkan di
sini. Aku sudah membayar biaya banyak untuk perjalanan kereta api dari
Connecticut untuk bertemu dengan sposa futura-ku. Percayalah saat aku katakan
bahwa perjanjian antara pria Sisilia yang tak perlu kau pusing-pusing
?memikirkannya mengikat!"
?"Berapa?" "Eh?" "Berapa uang yang kau keluarkan untuk naik kereta?" tanyanya padaku.
Aku bilang kalau aku membayar satu dolar lima puluh sen.
Dengan kurang ajar, dia mengeluarkan dompet uang receh dari balik roknya. Dia
membukanya dan menghitung koin. "Nih, kuganti uangmu yang berharga itu,"
teriaknya, melemparkan segenggam koin ke kakiku. Perilaku yang kurang ajar,
tetapi hanya membuatku semakin
menginginkannya membuatku ingin memukul pantatnya karena kekurangajarannya,
?mengimpitnya, menjinakkannya dengan ardore-ku\ Gadis itu membuatku kehabisan
napas membuatku membayangkan hal-hal yang gila. Aku berdiri di sana, mabuk oleh
?keberadaannya dan tiba-tiba aku mengenal mendiang adikku Vincenzo lebih baik
daripada semasa dia masih hidup.
"Aku akan menikahi Padraic McGannon, titik!" katanya lagi dan lari keluar
ruangan. "Gadis itu temperamennya keras sekali," kataku pada kedua Iaccoi, "tapi kurasa
dia boleh. Aku akan membawanya dengan mahar tujuh ratus dolar."
"Tujuh ratus!" teriak Rocco. "Apa yang kau pikirkan bahwa kami berdua sekaya
?dirimu" Gadis ini adalah permata berlian yang menunggu diasah. Begitu dia
?sembuh dari kebodohan cintanya dengan pemalas berambut merah itu"
Mendengar nama pemuda itu disebutkan lagi membuat telingaku sakit. "Lima ratus
lima puluh kalau begitu. Itu penawaran terakhirku. Lagi pula, uang itu akan digunakan untuk
membeli perabot appartamento di mana adik tirimu akan tinggal seperti ratu.
Kalau kalian berdua berkunjung nanti, kalian akan tidur di kasur bulu yang
dibeli dari uang mahar yang kalian berikan."
"Itu bagus sekali, Tempesta," kata Nunzio, "tapi adikku dan aku adalah pekerja,
bukan sultan. Kami tak punya kekayaan yang bisa diberikan begitu saja padamu.
Dua ratus dan yang satunya juga tinggal bersamamu." Dari dua ular itu, Nunzio
yang lebih buruk. "Yang satunya" Yang satunya apa?" kataku, walau aku tahu pasti siapa yang mereka
maksudkan. "Yang itu," kata Nunzio, menunjuk pada si Muka Monyet yang baru saja masuk
ruangan dengan kopi kami.
"Tak mungkin!" kataku. "Aku tak akan merampok pengurus rumah kalian."
"Jangan bodoh, Tempesta," saran Rocco. "Dia bisa masak dan membantu Ignazia
membersihkan rumah besarmu, dia bisa membantu kelahiran bayi dan lalu saat
waktunya tepat nikahkan dia dengan duda yang butuh pembersih rumah. Sedangkan
bagi kami, untuk menemukan pembantu di kota ini kami tinggal membuka pintu dan
berteriak saja." "Tak mungkin!" ulangku. "Kalau kalian tak bisa menemukan suami untuk yang ini di
seluruh New York, bagaimana aku bisa menemukan untuknya di Connecticut" Empat
ratus dan dia tetap di sini."
Nunzio mengangkat bahu dan menghela napas.
"Kalau begitu, kurasa Ignazia akan menjadi istri si Irlandia rambut merah itu
dan kau, Signore Domenico, kehilangan harta berharga karena keserakahanmu. Aku
kasihan padamu dan menangisi kebodohanmu."
Di ruangan sebelah, gadis cantik itu terdengar mondar-mandir dan menggerutu
sendiri. Pintu tiba-tiba terbuka. Dia mengancam akan menusuk jantungnya jika
kami menghalanginya bersatu dengan pacar Irlandianya. Pintu tertutup lagi.
"Tiga ratus tujuh puluh lima," kataku pada Nunzio. "Untuk gadis itu saja."
"Tiga ratus," kata Nunzio. "Dan kau bawa Prosperine."
"Tiga ratus lima puluh dan satunya tetap di sini," kataku. "Ini tawaran
terakhir." Rocco membuka mulut untuk menyetujui, tapi si Nunzio berengsek itu meletakkan
tangannya yang gemuk dan berbulu ke pundak adiknya dan menekan. "Sebagai anak
tertua keluarga ini, Signore Domenico, aku takut aku terpaksa menolak demi
kebaikan adik tiriku Ignazia." Dia berjalan ke pintu depan dan membukanya.
"Arrivederci". Aku berdiri tergagap di serambi depan mereka, memandang bingung pada mereka


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdua. Mungkinkan ini terjadi" Aku akan kehilangan makhluk berdarah panas yang
telah menggugah ardore-ku seperti Gunung Etna yang terbangun kembali" Baiklah
kalau begitu! Aku tak akan mau dicurangi dari mahar yang akan mengisi rumahku.
Dan aku tak mau membawa monyet kurus itu.
Pintu terbuka sekali lagi. Pipi Ignazia memerah karena emosi dan di atas
bibirnya yang penuh terlihat bintik-bintik keringat. "Kau dengar dia, orang
tua," teriaknya. "Arrivederci! pergi!"
Aku mengerang pelan, tiba-tiba mendamba untuk masuk kembali dan menjilat bintik
keringat yang jernih di atas bibirnya, merasakan asinnya. Aku mendamba melepas
pakaiannya dan memilikinya. Begitulah pengaruh Ignazia atasku.
"Arrivederci," ulang Nunzio Iaccoi. Dia menutup pintu dan menggerendelnya. Aku
berdiri diam di trotoar Brooklyn, merasa sangat kesepian seperti yang belum
pernah kurasakan sebelumnya.
8 Agustus 1949 Sepanjang perjalanan kereta api dari New York, tubuhku bergetar karena
keinginanku, menggumamkan berbagai alasan pada diriku sendiri dan pada Iaccoi
bersaudara sehingga para penumpang lain melengos dan beralih menjauh dariku. Apa
peduliku" Aku memejamkan mataku yang panas dan melihat wajahnya, figura-nya. Aku
duduk dengan mantel terlipat di pangkuanku, seekor bandot dengan cazzu mengeras
seperti adikku Vincenzo. Aku akan mendapatkan si liar itu! Bagaimanapun aku
harus memilikinya! Yang paling aneh pada hari yang aneh itu adalah apa yang kulakukan ketika kereta
api masuk ke stasiun New London. Saat itu pukul lima sore. Empat jam lagi aku
harus pergi kerja. "Scusa," aku meraih lengan jaket kondektur. "Scusa signore,
jam berapa kereta yang tercepat berangkat ke New York?"
Kondektur itu melihat arlojinya. "Satu jam lima belas menit lagi," katanya.
Di secarik kertas aku menulis pesan pada Flynn di pabrik: "Ada masalah keluarga
darurat. Aku kembali besok. Tempesta." Aku memberikan uang satu dolar pada
seorang pria yang akan menuju Three Rivers agar dia mengantarkan pesanku itu.
Itulah yang diperbuat ga-dis gila itu padaku! Satu dolar, untuk seorang asing
agar mau mengantarkan pesanku!
Aku mondar-mandir di stasiun, keluar stasiun, mengelilingi stasiun. Aku bukan
lagi sekadar Domenico Tempesta aku adalah diriku sendiri sekaligus orang gila! ?"Ada apa denganmu?" teriakku dalam hati. "Mereka bisa memecatmu karena tidak
masuk kerja! Kau bisa kehilangan rumah besarmu!"
"Biarkan saja hilang kalau begitu," diriku yang lain membalas. "Biarkan mereka
memecat pekerja terbaiknya dan bangkrut!"
"Tapi kucing liar itu tak pantas untuk semua ini!"
"Diam! Aku akan memilikinya, tak peduli dia pantas atau tidak!"
"Kau lebih menginginkannya daripada menginginkan apa yang telah kau usahakan
selama ini" Lebih dari mimpi-mimpimu?"
"Si, lebih daripada mimpiku!"
Begitulah perdebatan yang berkecamuk di pikiranku, lebih buruk daripada sakit
kepala yang terburuk. Ketika kereta api masuk ke stasiun, aku
enggan naik. Dia hanya akan menimbulkan kesedihan, kataku pada diri sendiri.
Tapi ketika roda kereta mulai bergerak ke New York, aku buru-buru naik kereka,
menemukan kursi kosong dan terduduk lemas di sana. Pikiranku dipenuhi ketakutan
dan keputusasaan dan juga kelegaan. Apa yang terjadi padaku" Apa yang terjadi"
?Setengah jalan menuju New York, aku berdiri, membuka pintu dan berdiri di
bordes, membiarkan udara segar menerpaku. Angin menerbangkan topiku dan aku
hampir tak merasakannya! Aku memandang ke tanah di bawah yang berlalu secepat
laju kereta. Melompat dengan kepala di bawah mungkin lebih baik daripada
kegilaan cinta ini, kataku dalam hati. Tapi kalau aku melompat, aku tak akan
memiliki gadis itu. Dia akan jadi milik si bodoh rambut merah yang dengan senang
hati aku mau memotong tenggorokannya kalau aku tahu orangnya.
Yang membuka pintu depan adalah Ignazia sendiri. Matanya bengkak membiru,
wajahnya bengkak di satu sisi.
"Apa" Kau lagi?" teriaknya. "Lihat apa yang kudapat karena kau! Pergi!" Dia
meludah di depan kakiku. Lalu Nunzio muncul di belakangnya, tersenyum seperti rubah yang licik. "Signore
Domenico," katanya. "Kejutan!"
"Aku akan membayarmu," kataku, mataku masih terpaku pada Ignazia. "Aku akan
memberimu empat ratus untuk dia."
"Tidak!" teriak Ignazia. "Aku akan minum racun!
Aku akan menusuk jantungku!"
Sekarang Rocco juga muncul di pintu. "Lima ratus," kata Nunzio tenang, seakanakan tiap hari pelamar muncul di depan pintunya menawarkan untuk membalik
tradisi membayar mahar. "Dan kau juga membawa satunya."
"Aku akan melompat dari jembatan!" teriak Ignazia. "Aku akan memotong hatiku!"
"Lima ratus," ulangku, seakan-akan tak sadar. "Dan aku akan membawa yang
satunya." Nunzio Iaccoi menjabat tanganku dan menarikku masuk. Rocco membuka botol anggur
untuk merayakan. Dua kakak beradik itu dengan puas minum anggur mereka sekali
teguk, lalu menuang lagi. Sedangkan aku, mual membuatku hanya bisa membasahi
bibirku saja untuk merayakan keberuntunganku ini. Ignazia terus berteriak dan
meraung dari ruang sebelah. Prosperine merokok pipanya dan melotot marah.
9 Agustus 1949 Ignazia dan aku menikah di Brooklyn tanggal 12 Mei 1916, di catatan sipil.
Prosperine dan sepupuku Vitaglio sebagai saksinya. Dalam perjalanan kereta ke
Connecticut, tidak ada kursi untuk bertiga, dan Ignazia memilih duduk dengan
Prosperine, bukan aku. Dari tempat dudukku di seberang gang dan di belakangnya, aku bisa melihat wajah
si Muka Monyet, tapi hanya sutra biru topi istriku yang bisa kulihat. Topi
Ignazia dihiasi stroberi merah yang
bergoyang sesuai goyangan kereta. Dia akan mencintaiku begitu melihat rumahku,
kataku dalam hati. Dia akan mencintaiku.
Sedangkan untuk wanita satunya, aku akan mencarikannya kerja di pabrik. Kalau
aku terpaksa membawanya, setidaknya dia harus bisa membawa uang ke rumahku.
Kami sampai di rumah nomor 66 dan 68 Hollyhock Avenue menjelang malam. Aku
meminta Ignazia menunggu di pintu, lalu tergesa-gesa masuk ruang demi ruang,
menyalakan lampu. Lalu aku menggandeng tangannya dan membawanya berkeliling
rumah, sedangkan gadis satunya membuntuti kami seperti bayangan gelap.
Ketika kami sampai di ruang terakhir di lantai atas, aku membawa istri baruku ke
jendela dan menunjukkan kebun belakang Sisilia kecilku. Aku ingat malam itu ?bulan purnama; semuanya bersinar indah di bawah terang bulan. "Ini rumah barumu,
Ignazia," kataku. "Kau suka?"
Dia mengangkat bahu, membuat hatiku seakan-akan tertusuk pisau.
Dari laci, aku mengambil seprai berbordir yang dikirimkan Signora Siragusa
sebagai hadiah pernikahan. "Pakai ini," kataku. Akhirnya, aku akan menikmati
tubuh wanita yang merasuk ke mimpiku dan menggoyahkan akal sehatku. Akhirnya,
aku punya kesempatan untuk melepaskan passione yang mencengkeramku dan membuatku
gila. Ignazia dan Prosperine menata ranjang sementara aku menunggu di kebun halaman
belakang, merokok dan melihat kunang-kunang. Dari jendela yang terbuka aku bisa melihat
mereka berdua di atas sana si jelek menyisir rambut si cantik. Aku juga bisa ?mendengar mereka sedu sedan Ignazia dan gumam menghibur dari Prosperine.
?Di ranjang kami, aku menyentuh wajahnya dan menciumnya. "Pada saatnya nanti,
hidup denganku akan membuatmu bahagia," kataku. Ignazia melengos. Air mata
mengalir ke pipinya dan jatuh ke tanganku.
Saat aku melepaskan hasratku, aku melihat mulutnya yang berkerut, matanya kosong
memandang langit-langit seperti patung. Setelahnya, aku memeriksa seprai
berbordir itu. Dia tidak berdarah. "Vergine?" tanyaku.
Takut melintas di matanya. "Si, vergine," katanya. "Jangan pukul! Jangan pukul!"
Cintanya dengan si rambut merah itu adalah cinta suci, katanya padaku. Beberapa
wanita memang tidak berdarah saat pertama kali, itu saja. Kalau aku ragu,
sebaiknya aku mengirimnya kembali ke Brooklyn.
Ignazia terlihat sangat cantik. Di mata hitamnya, aku merasa melihat kejujuran.
Tapi aku tetap memukulnya, untuk memberinya pelajaran apabila dia berbohong. Aku
tak bisa mengambil risiko kehilangan harga diri karena punya istri pengkhianat.
Keesokan harinya, saat aku terbangun untuk pergi kerja dan masuk dapur, Ignazia
tak ada di sana. Prosperine sedang mengupas kentang untuk makan malamku. "Di
mana dia?" tanyaku. "Seorang
pria ingin istrinya yang memasak. Bukan seekor monyet."
Prosperine menjatuhkan kentang yang dikupasnya, tapi dia menghunus pisau dan
berjalan mendekatiku. "Kalau kau memukulnya lagi, Tempesta," dia berbisik. "Aku
akan memotong zakarmu saat kau tidur."
Pikiran pertama yang melintas di kepalaku adalah ingin memukul monyet kurus itu
tapi, monyet itu mengarahkan pisaunya ke bawah dekat di antara pahaku. Dia
terlihat dan terdengar cukup gila untuk melakukan ancamannya. Lagi pula, apa
yang kutahu tentang sepupu, penyihir dari Iaccoi bersaudara ini, kecuali bahwa
mereka sangat ingin menyingkirkannya"
Aku berpaling dan tertawa untuk menyembunyikan rasa takutku. "Kalau kau berani
menghunus pisau itu padaku lagi, kau akan tahu akibatnya!"
Prosperine menaikkan pisaunya, setinggi jantungku. "Itu juga dulu yang dikira
orang yang sekarang sudah mati," katanya. Dia meludah ke lantai.
"Aku serius. Jangan ikut campur urusanku. Aku tak akan segan mematahkan lenganmu
kalau aku harus." "Aku juga serius," dia menjawab. "Kau pukul dia lagi, aku akan mengubahmu jadi
wanita!" Ketika aku kembali bekerja minggu itu, setiap orang memberiku selamat atas
pernikahanku dan menjabat tanganku sehingga tanganku serasa copot. Aku dua kali
tertidur dalam shift-ku, sekali di meja dan sekali saat berdiri bersandar di
dinding ketika aku mengawasi pengeringan kain yang sudah dicelup. Aku diam dan
menerima saja godaan Flynn tentang passione pengantin baru, tapi aku tidak bisa
menerima gangguan serupa dari karyawan di bawahku. Ketika Indian sialan itu, si
Drinkwater, bergurau bahwa istri baruku tak memperbolehkanku tidur kecuali di
tempat kerja, aku menyuruhnya pulang dan mengurangi upahnya setengah malam. Aku
juga menyuruh pulang dua gadis centil yang terus terkikik. Setelah itu, mereka
tak berani berkomentar tentang apa yang terjadi di rumahku!
Sebenarnya aku tak bisa tidur karena memikirkan apa yang mungkin diperbuat si
gila mingia Prosperine. Akhirnya, aku bisa mengatasi masalah itu dengan menarik
rak oak berat ke depan pintu kamar sebelum tidur tiap pagi. "Aku harus masuk dan
membersihkan kamar!" protes Ignazia. "Mengambil cucian! Mengepel lantai!"
"Lakukan pekerjaanmu saat aku tak di sini," kataku padanya.
"Saat kau tak di rumah, aku tidur! Itu kan, malam hari!"
"Ubah kebiasaanmu kalau begitu."
Hanya dengan perlindungan rak berat itu aku bisa tidur, meskipun tak nyenyak dan
diganggu mimpi buruk. Suatu kali, aku bermimpi melihat Prosperine melompat dari
pohon maple ke jendela kamar yang terbuka, dengan pisau tergigit di antara
giginya. Ratusan burung bluejay beterbangan di belakangnya. Mereka beterbangan
ke dalam kamar, mematukku dan mengepak-ngepakkan sayap berputar-putar di kamar
.... Apakah ini nasib pria yang sangat speciale yang pernah melihat air mata
Perawan Maria" Apakah aku menjadi bos pencelup di tempat kerja dan menjadi
buruan monyet di casa di due appartamentiku sendiri rumah yang kubangun dengan ?kedua tanganku sendiri"
11 Agustus 1949 Suatu sore pada musim gugur, aku bertemu dengan Signora Siragusa di jalan.
"Domenico, kau pria nakal," katanya tertawa. "Aku bertemu dengan istrimu di toko
Hurok kemarin. Perutnya sudah mulai membuncit, ya" Ada apa denganmu, kau tak
bisa menunggu, ya?" Esok paginya, aku pulang ke rumah dari pabrik dan mengangkat gaun Ignazia saat
dia tidur di ranjang kami. Aku melihatnya.
Aku juga melihat, cemberut di wajah Ignazia yang selalu muncul saat aku ada di
depannya, hilang ketika dia tidur. Apakah ini ketenangan yang dia punyai saat
kecil dulu di Sisilia" Di pelukan pria Irlandia berambut merah itu" Ketika
matanya terbuka dan dia melihatku, cemberutnya kembali lagi.
"Apa ini nah?" tanyaku, tanganku menepuk perutnya.
Bukannya menjawab, dia malah menangis. "Hah?" ulangku.
"Memangnya kau pikir apa kalau barangmu terus-menerus masuk ke tubuhku?"
"Kapan terjadinya?" tanyaku padanya.
"Bagaimana aku tahu?" dia mengangkat bahu, mendorongku, dan cepat-cepat turun
dari ranjang. "Ramalan seperti itu tak pernah tepat. Mungkin Februari. Mungkin
Maret .... Kenapa kau melihatku begitu?"
"Apa kau senang?" tanyaku.
Dia mengangkat bahu lagi, menarik bajunya. Dia menggulung kepangnya jadi sanggul
di batas lehernya. "Sekarang ini aku menerima saja apa yang terjadi. Pilihan apa
lagi yang kau beri untukku?"
Aku membawa Ignazia ke Pedacci, pembuat sepatu di East Side dan presidente Figli
d'Italia. Pedacci bisa meramal yang lahir anak laki-laki atau perempuan dengan
menyuruh sang ibu berjalan mondar-mandir di trotoar depan tokonya.
Pedacci berdiri di pintu sementara Ignazia berjalan mondar mandir di depannya,
tiga, empat kali. Setiap kali dia sampai ke depan toko, dia berhenti, tapi
Pedacci melambaikan tangan menyuruhnya berjalan lagi.
Permintaan kami agar meramalkan bayi telah menghentikan permainan pinochle di
ruang belakang toko Pedacci. Pemain kartu lainnya Colosanto (tukang roti) dan ?Golpo Abruzzi (buruh pabrik baja) juga melihat Ignazia berjalan. Karena
?berjalan dan dilihat semua pria itu membuat wajah Ignazia memerah. Dia berhenti
dan menyuruhku mendekat, mengeluh dengan suara cukup keras
untuk didengar Pedacci dan lainnya. "Semuanya memandangku! Memangnya aku
apa patung di museum?"
?"Jangan kurang ajar," aku memperingatkan. "Kalau Pedacci bilang jalan, kau harus
jalan." Dua kali lagi berjalan ke perempatan dan kembali lagi, Pedacci mengusap dagunya,
memicingkan mata. Lalu dia menaikkan tangan menyuruh Ignazia berhenti.
Kehamilan istriku sangat sulit diramalkan, bisiknya padaku yang paling sulit
?yang pernah dia lihat. Bayinya tidak dalam posisi biasanya. Wanita Tuscan kadang
memang hamil seperti itu. Apakah Ignazia berasal dari Tuscany"
"Tidak, tidak," kataku padanya. "Siciliana."
Vah, katanya, kalau begitu, dia terpaksa harus mengangkat tettenya untuk
memutuskan. Hanya agar ramalannya akurat. Aku mengerti, bukan"
"Tentu saja, Don Pedacci, tentu," kataku. "Aku pria modern, bukan petani buta
huruf Italia yang cemburuan. Biar aku bilang istriku dulu."
Dengan hati-hati aku mendekati Ignazia. Temperamen wanita itu kadang meledak tak
terduga seperti peluit penanda ganti shift di American Woolen and Textile dan
tidak baik baginya bersikap kurang ajar padaku di depan semua pria ini.
"Kau harus masuk ke dalam selama beberapa menit dengan Signore Pedacci," bisikku
padanya. "Biar ramalannya tepat, dia perlu mengangkat tette."
"Apa?" dia berteriak. "Punyaku" Tidak, tidak, tidak, tidak! Katakan pada bandot
tua itu untuk mengangkat tette istrinya sendiri!"
"Tolong pelankan suaramu," kataku, lebih tegas kali ini. "Pria malang itu duda."
"Katakan padanya untuk meraba mefanzana di pasar buah kalau begitu, dan jangan
sentuh aku! Aku tak mau dipegang seperti sepasang sepatu di tokonya!"
Aku memegang pergelangan istriku, memelintirnya sedikit untuk menunjukkan kalau
aku serius. "Patuhlah pada suamimu," aku memperingatkannya. "Lakukan yang
kuperintahkan." "Bah!" katanya. Tapi pelintiran itu memunculkan rasa takut di matanya dan dia
pun patuh. Mereka berdua di dalam selama empat, lima menit. "Selamat, Domenico!" kata
Pedacci saat dia keluar lagi. "Seorang putra!"
Ignazia berdiri di belakangnya. Berita itu tak membuatnya senang. Justru
membuatnya menangis dan cemberut, yang masih kuingat hingga sekarang, bahkan
saat aku duduk di kebun belakang menulis cerita ini, bertahun-tahun kemudian.
Ignazia dari awal memang seorang istri yang ditakdirkan untuk mematahkan hati
seorang pria. "Masuklah untuk minum sedikit," kata Pedacci. "Golpo, Colosanto, dan aku, ingin
minum untuk merayakan bambino-mu." Dia berpaling ke Ignazia. "Hanya sedikit,
Signora Tempesta. Lalu aku akan menyuruhnya keluar lagi. Duduklah hahaha, bilang
pada pelangganku untuk kembali sejam lagi, sejam setengahlah."
Ignazia tak menjawab dan mendengus marah.
Dia tak mau duduk. Di ruang belakang toko Pedacci, aku minum sedikit, kemudian sekali lagi dan
Pedacci serta yang lain mengajakku main kartu. Apakah sebuah tindak kejahatan
bagi seseorang yang membanting tulang bertahun-tahun kerja di pabrik, untuk
duduk dengan satu atau dua paisano dan main kartu" Menurut istriku, ya!Aku baru
saja mendapat kartu bagus saat Abruzzi tertawa dan menganggukkan kepala ke arah
pintu. Ignazia berdiri di sana. Aku berdiri dan mendekatinya. "Ada apa denganmu ha?" bisikku.
"Mi scappa ia pippi!" bisiknya. Kakinya mengentak-entak, tangannya menggenggam.
"Jangan bicara sekasar itu di depan pria lain! Di mana martabatmu" Tahan hingga
kita pulang nanti."

Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tak tahan lagi!" protesnya. Ketiga pria lain tersenyum dan memegang
kartunya. Pedacci mulai bersiul-siul.
"Kencingi dirimu sendiri kalau begitu," kataku. "Dan kencingi ketidakpatuhanmu
juga!" Ignazia membanting pintu. Di balik pintu, di ruang toko, aku bisa mendengarnya
berteriak marah. "Pasti dia kapok," kata Abruzzi. "Seorang raja tidak ada bedanya dengan petani,
di istana yang dikuasai wanita."
"Si," kata Pedacci mengangguk. "Wanita seperti kuda harus dijinakkan dulu atau
mereka akan jadi istri yang buruk. Benar bukan, Domenico?"
"Si, signore, si," kataku. "Menjinakkan keliaran
mereka hanyalah satu-satunya cara."
Ketika aku kembali ke ruang depan toko sekitar dua atau tiga permainan kartu ?lamanya Ignazia tak ada. Abruzzi sialan itu membuat lelucon bahwa istriku yang
?malang sudah melawanku atau melayang keluar pintu karena "masalah kecilnya".
Ketika aku sampai di rumah, Ignazia ada di dapur, merendam kakinya yang melepuh
di air hangat dan garam. Matanya merah. Dia berlari tiga mil ke rumah.
Perempuan yang satunya sedang di depan bak cuci, mencuci baju dan pakaian dalam
Ignazia. "Pergi ke kamarmu!" perintahku pada Prosperine. "Aku mau bicara pada
istriku sendirian." Tapi Monyet itu hanya berdiri diam, memandang menantang padaku dan meremas
pakaian dalam Ignazia seakan-akan itu adalah leherku.
"Pergi!" perintahku, menepukkan tangan. "Cepat!"
Pelan-pelan dia meninggalkan dapur, mengawasiku saat dia masuk kamar sepen.
Aku memulai dengan manis, semanis gula. "Jadi, di dalam perutmu sekarang ada
seorang anak laki-laki, ya" Tak lama lagi, kau dan aku akan punya putra."
"Semoga Tuhan tidak memberikan putra yang tumbuh menjadi manusia tak berhati
(inhuman) seperti dirimu," katanya
"Inumano" Mengapa aku inumano?"
Air di baskom mengombak dan tumpah ke lantai. Seluruh tubuh Ignazia bergetar
karena sedu sedannya. "Sudahlah, sudahlah," kataku dari seberang ruangan. "Kau gugup karena sedang
hamil muda." Lalu Prosperine keluar dari sepen dengan membawa dua bawang bombai besar. Dia
mulai memotong-motongnya, tapi bukannya memandang ke arah bawang, dia malah
memandangiku. Dia menggunakan pisau yang terlalu besar untuk mengiris bawang.
Siap. Siap. Siap. Kres.Kres. Kres. Dia bekerja dan melihat, mengawasiku,
memotong bawang bombai dengan pisau besarnya.
Pada malam 2 Desember 1916, aku sedang bekerja, sibuk mengawasi pencelupan wol
untuk jaket hijau muda Angkatan Laut Amerika Serikat. Pada awal minggu, ada
masalah di shift pertama dua pencelupan pertama keliru dan dibiarkan saja oleh ?bos celup shift kedua (orang Prancis Kanada berengsek bernama Pelletier).
Kesalahan itu membuat American Woolen and Textile merugi, dan Pelletier
diturunkan jabatannya. Dia sekarang jadi petugas kebersihan, janitore di shift
ketiga. "Suruh si Italia itu mengawasi pencelupan selanjutnya," kata Baxter, menantu
pemilik pabrik pada Flynn. "Kalau si Italia itu yang mengawasi, pasti akan
beres." Flynnlah yang mengatakan padaku apa yang dikatakan Baxter. "Dia tak
bermaksud buruk ketika memanggilmu si Italia," katanya. "Anggap saja itu sebagai
pujian. Hanya saja, kau harus berhati-hati dan jangan biarkan
semuanya jadi kacau lagi."
Aku tak bisa tidur minggu itu, dan saat tak bisa tidur itu aku teringat
pekerjaan pertamaku di Amerika. Sudah bertahun-tahun berlalu sejak aku menyapu
lobi utama Perpustakaan Umum New York atau menyikat kotoran pria dan wanita di
jajaran toilet di sana, tapi sambil berbaring dengan mata nyalang, bau dan
beratnya kerja itu teringat kembali olehku lagak orang New York yang sok
?penting, berjalan tak peduli melewati janitore, memberi selamat pada diri mereka
sendiri dan menganggap mereka lebih baik dariku. Aku sudah berjalan jauh, meraih
peluang dan mendapatkan imbalan dari kerja kerasku. Tapi satu langkah salah bisa
mengubahku dari bos menjadi penyikat toilet lagi.
Pada malam 2 Desember itu, aku sedang mengamati dan mencocokkan lagi sampel
celupan dengan kaca pembesar dan lampu khusus yang sudah kubeli untuk penerangan
yang lebih baik meyakinkan satu kali lagi sebelum menyetujui pencelupan. Tiba?tiba terdengar Flynn memanggilku.
"Eh?" Saat aku mengangkat kepala, aku melihat Prosperine berjalan ke arahku
dengan Flynn. "Sebaiknya kau pulang," katanya. "Sudah waktunya dia melahirkan."
"Apa" Bagaimana mungkin sudah waktunya?"
Prosperine memandang Flynn yang melengos. "Air ketubannya pecah," bisiknya.
"Kontraksinya sudah mulai. Mungkin bermasalah mungkin juga tidak."
"Masalah seperti apa?"
Dia mengangkat bahu. "Kau meninggalkannya sendirian?"
Si Monyet menggelengkan kepala. "Signora Tusia dari sebelah menjaganya."
Aku memandang dari wajah si Monyet ke Flynn, lalu kembali lagi. Aku melihat
Baxter mengawasi kami dari dinding kaca kantornya. "Pulanglah," kataku. "Biarkan
wanita yang mengurusi masalah wanita. Memangnya kau pikir aku bisa meninggalkan
semuanya dan lari" Jangan mengganggu pria di tempat kerjanya."
Prosperine mengabaikan perintahku. "Dia butuh dottore," katanya. "Signora Tusia
juga berpikir begitu. Sebaiknya kau memanggil dokter dalam perjalanan pulang ke
rumah." Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. "Dokter menghabiskan uang pekerja yang
jujur," kataku. "Pulanglah dan bantu dia. Jangan malah berkeliaran. Coba buat
dirimu berguna untuk sekali saja, kau mingia malas." Kalau aku tak bisa
mengusirnya dari sini mungkin aku akan kembali jadi janitore.
Aku berjalan kembali ke sampelku. Flynn berdiri memandangiku. Baxter juga.
"Figiiu d'una mingia!" terdengar teriakan Prosperine. "Baiklah kau simpan saja
satu pennymu itu dan kau akan kehilangan istrimu."
Para pekerjaku berhenti bekerja dan memandang perempuan jalang kurus yang berani
berteriak padaku. Aku tak bisa melakukan hal lain kecuali mencengkeram kerah dan
lengan mantelnya dan melemparnya keluar. Aku sibuk! Pendapatan seorang janitore tak bisa membiayai
hidup di rumah seperti milikku tak bisa memberi makan dan baju istri dan ?seorang putra, apalagi monyet dengan nafsu membunuh di matanya!
Sepanjang sisa shift itu, aku tak bisa konsentrasi. Aku selalu melihat jam
dinding. Apakah putraku sudah terlahir ke dunia sekarang" Apakah aku sebaiknya
memukuli Prosperine karena melawanku di depan umum" Apakah aku sebaiknya
menjemput dottore Italia, Quintiliani, dalam perjalanan pulang dari kerja"
Setiap jam yang berlalu serasa seminggu. Tapi pencelupan berlangsung sukses, dan
Baxter memang benar: kalau kau ingin pekerjaan dilakukan dengan benar, tugaskan
Domenico Tempesta untuk mengawasi bahkan pada malam ketika kepalanya penuh
?dengan kekhawatiran! Saat fajar, aku meninggalkan pabrik dan buru-buru ke rumah Quintiliani.
Pelayannya bilang bahwa dia masih belum pulang dari tengah malam, ada anak yang
usus buntunya pecah. Dia bilang pelayanku sudah datang mencarinya tadi dan dia
menyuruhnya untuk pergi ke Yates, si dottore Yankee.
Ketika aku sampai di rumah, mobil Yates sudah terparkir di depan c as a di due
appartamentiku. Jantungku berdetak keras seperti drum. Aku membuka pintu depan
dan mengikuti suara jeritan Ignazia ke belakang rumah.
Dia berbaring di meja dapur, berselimut dan
gemetar. Istri Tusia mengusap wajah, leher, dan rambutnya. Yates sibuk di bawah
kakinya. Prosperine adalah orang pertama yang melihatku. "Figiiu d'una mingia," gumamnya
pelan. Lalu Ignazia melihatku. "Keluar! Keluar kau!" teriaknya. "Lihat apa akibat
pekerjaan kotormu padaku!"
Dottore Yankee itu menyuruhku menunggu di ruang depan katanya dia dan aku harus?bicara, tapi tidak sekarang.
"Oh! Oh! Oh!" Ignazia menjerit.
"Avanzataf Prosperine memerintah istriku. "Avanzata!"
Aku pergi ke kamar sepen, bukan ke ruang depan seperti yang dikatakan dottore
Yankee itu padaku. Memangnya siapa dia menyuruh-nyuruhku di rumahku sendiri"
"Ayo, Mrs. Tempesta! Jangan berhenti! Ayo, sekarang!"
"Bagus Ignazia, sangat bagus, teruskan," istri Tusia menyemangati. Arahan
mereka, jeritan Ignazia, dan teriakan, terdengar samar di kejauhan.
Dia ada di meja sepen, dekat pompa air ....
Buntalan kecil, dibungkus terburu-buru dengan seprai berdarah. Aku tahu apa itu
sebelum aku membukanya. Dia punya kaki biru dan jari-jari biru. Bulu mata hitam, rambut hitam, masih
basah terkena air ketuban. Penisnya seperti kancing kecil. Dia sangat sempurna,
tapi biru. Aku mendekat. Mencium baunya. Menyentuh
bibirnya. Dia tak dingin ataupun hangat. Jiwanya masih di kamar sepen ini ....
Aku menggunakan apa yang ada air pencuci piring, minyak zaitun yang diteteskan
?dari botol ke tanganku. Tangan seorang pekerja kasar dan bernoda celup. Bukan
?tangan halus seorang pastor. Bukan tangan yang pantas menyentuh sebuah
perfezione. Aku menggunakan apa yang ada.
Dengan jempolku, aku menggambar salib di dahinya, juga di kedua kelopak matanya.
Dengan tanganku yang tertangkup, aku meneteskan air ke kepala mungilnya. "Aku
membaptismu atas nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus." Bisikku dalam bahasa Inggris,
bukan Italia, karena putraku yang mati dan belum punya nama ini adalah seorang
'Mericano. Masa depannya pasti cerah, tapi dia tak punya kehidupan.
Apakah yang kulakukan ini adalah sebuah sakramen atau pelanggaran" Battesimo
dilakukan pria yang telah melemparkan semen menodai seorang uskup dan
menyebabkan kematian adiknya" Apakah aku sudah menyelamatkan jiwa putraku atau
mengutuknya ke neraka malam itu di kamar sepen" Itu adalah pertanyaan yang
berkecamuk ribuan kali dalam diriku setelah pembaptisan itu ... pertanyaan yang
selalu kutanyakan pada Tuhan yang diam.
Selalu dari Dia, siienzio ....
Aku mencium tangan mungil anakku dan membungkusnya lagi dengan kain.
Menggendongnya dan memeluknya erat.
"Aieeh!" Ignazia berteriak dan lalu bayi kedua terlahir dan menangis. Dari pintu
sepen, aku memeluk putraku yang tak bernyawa dan melihat Yates memotong tali
pusar bayi yang terlahir hidup.
"Perempuan!" suara Prosperine.
"Capiddi russo!" istri Tusia mengumumkan.
"Dia memang berambut merah," kata dottore Yankee. "Bibirnya juga sumbing,"
Ignazia mengangkat kepala untuk melihatnya. "Oh, oh, oh," bisiknya, memandang
bayi yang menangis itu, mendambanya, dengan cinta di matanya.
"Bambina mia .... * Aku memeluk putraku lebih erat.
"Bambina mia," Ignazia terus berkata. "Bambina mia." Dia terus menciumi
wajahnya, kepalanya, mulut kecilnya yang sumbing. Saat itu jelas bagiku: dia
bukan vergine saat menikahiku. Dia sudah membukakan kakinya tidak hanya pada
suaminya, tapi juga pria Irlandia yang dia cintai. Perutnya berisi dua bambini,
bukan satu. Dan sekarang jelas: dia tak mencintai putraku yang mati. Dia hanya
mencintai anak perempuan cacat yang hidup itu anak dari si pemalas berambut ?merah.
Setelah selesai dengan Ignazia, dottore keluar ke kebun belakangku yang dingin
dan meranggas. Kita harus bicara, katanya.
Bicaralah kalau begitu, kataku padanya. Aku masih memeluk jasad putraku.
Mengapa aku tidak memberikan bayi malang itu pada para wanita di dalam sehingga
mereka bisa membersihkannya" Dia harus membawanya ke
koroner saat pergi nanti. Itu adalah prosedur resmi dalam kasus seperti ini.
Ignazia dan aku akan mendapatkannya lagi untuk dimakamkan. Aku akan memanggil
pastor bukan" Tidak ada koroner, kataku. Tidak ada pastor.
"Yah, urusan religiusmu memang terserah Anda, Mr. Tempesta, tapi masalah koroner
itu adalah masalah hukum. Sudahlah, lihat saja hal positifnya. Kau beruntung
kali ini." "Beruntung?" tanyaku. Apa dia mengejekku" Meludahi kehilanganku"
"Yang kukatakan adalah, kau bisa saja kehilangan kedua bayimu, juga istrimu. Si
kecil yang kau gendong itu sungsang. Dia menghalangi jalan lahir. Susah juga
mengeluarkan mereka berdua. Jangan khawatir tentang bibir sumbing putrimu.
Langit-langit mulutnya normal, setahuku. Dia akan baik-baik saja. Dia tak akan
susah bicara." Dia menunggu sebelum mengatakan sisanya.
"Mr. Tempesta, istri Anda bisa saja meninggal tadi malam. Jantungnya lemah. Dia
pernah sakit saat masih kecil katanya. Beberapa penyakit memang merusak jantung.
Dua kelahiran ini membuat jantungnya sangat tertekan." Dia bicara dengan suara
keras dengan tempo yang perlahan, seakan aku ini tuli dan bodoh. "Kelahiran
sulit seperti ini lagi bisa membunuhnya, mengerti" Bahkan kelahiran normal
pun satu bayi tanpa komplikasi. Agar amannya, kau dan dia harus berhenti
?berhubungan. Atau aku bisa mensterilkannya sebelum aku pergi."
Aku menangkupkan tanganku ke kepala mungil putraku, memandang kosong.
"Anda mengerti yang kukatakan, Mr. Tempesta" Aku sebaiknya mengatakannya dengan
jelas. Pilihannya adalah aku mensterilkannya atau kau berhenti menidurinya."
Aku memejamkan mata, mengelus kepala dingin putraku. "Tak perlu bicara kotor,"
kataku. "Tidak perlu bicara jorok di depan putraku." "Dengar, jangan marah
padaku. Aku hanya memberitahumu, itu saja. Lepaskan beban itu dari bahumu, oke"
Hitunglah anugerah yang telah kau terima." Dia berdiri dan mengulurkan tangan
untuk mengambil putraku, tapi aku tidak memberikannya.
Air mata yang kucurahkan untuk putraku, kucurahkan di keheningan kebun ini. Tak
pernah di rumah. Tidak di depan para wanita. Bahkan pada tengah malam musim
dingin, aku selalu ke sini untuk menangis.
Hari itu, Yates kembali lagi dengan koroner, seorang polisi dan Baxter dari
pabrik. Baxter yang bicara, "Kau pekerja yang baik, Domenico," katanya. Itu
adalah pertama kalinya dia memanggil namaku biasanya dia memanggilku si Italia.?"Dan aku menghargai kesedihanmu aku tahu bagaimana rasanya. Tapi sialan, Mari!
?Perusahaan akan terlihat buruk kalau hal seperti ini muncul di koran, mengerti"
Kami tak suka masalah. Kami tak bisa mempertahankan karyawan yang melanggar
hukum. Jangan membuat masalah untuk dirimu sendiri. Anak itu mati. Serahkanlah."
Aku tiba-tiba merasa dingin dan lapar ... dan sangat lelah sehingga aku takut akan
menangis di depan mereka. Putraku yang kugendong di pelukanku tiba-tiba terasa
berat seperti sekarung batu bata.
Aku melihat istri Tusia melihat dari jendela dapurnya. Melihat kesedihan di
matanya. Dia wanita yang baik. Cintanya pada suami dan anak-anaknya manis dan
murni. Tak kotor. Dia menjaga Ignazia sepanjang malam dan pagi. Aku menunjuk
padanya, istri Tusia. "Suruh Signora Tusia keluar," kataku. "Kalian tunggu di depan."
Signora Tusia keluar rumah dan berjalan ke kebun. "Semoga Tuhan memberkati anak
ini," bisiknya, mengambilnya dariku. Air mata mengalir di pipinya. "Dan semoga
Tuhan memberkatimu juga, Domenico, dan menunjukkan kasihnya padamu."
"Simpan doamu,Signora," kataku padanya. "Tuhan tak menunjukkan kasihNya pada
Tempesta." Sepanjang siang itu, aku duduk membatu di kebunku terlalu lelah bahkan untuk
?berdiri dan masuk ke rumah.
Menjelang malam, Prosperine keluar dengan semangkuk farina panas.
"Apakah dia tidur?" tanyaku.
"Mereka berdua tidur," katanya. "Di kamarku di
belakang. Makanlah. Masukkan sesuatu ke perutmu sebelum pergi kerja."
Aku menggigit sereal itu. Kehangatannya menyamankan perutku. "Persetan dengan
kerja," kudengar suaraku berkata. "Aku berharap pabrik itu terbakar bersama para
bos di dalamnya! Berikan korek api dan minyak padaku dan aku akan membakarnya
sendiri!" Si Monyet itu berdiri di udara dingin, napasnya beruap di depannya. "Seharusnya
yang perempuan saja yang mati," katanya akhirnya. "Sudah tak beruntung lahir
sebagai perempuan. Lebih buruk lagi terlahir sebagai perempuan dan berbibir
kelinci. Hidupnya akan berat."
Aku memicingkan mata memandangnya, mengamatinya dengan cahaya sore yang tersisa.
Dia mengenakan gaun malam dan mantel panjang. Rambutnya terurai dikepang hitam
?lurus seperti jarum. "Di-ngin," katanya. "Masuklah."
"Ignazia senang bayi perempuan yang hidup," kataku. "Istriku hanya peduli pada
bayi dengan wajah kelinci dan rambut oranye itu."
"Apa lagi yang bisa dia lakukan," kata Prosperine. "Kalau tidak, kesedihan bisa
membunuhnya. Dia akan mati di ranjang karena kehilangan anak laki-lakinya."
"Bah!" kataku. "Beri dia waktu, Tempesta. Biarkan dia sembuh." Aku berdiri dan masuk ke dalam.
Berpakaian. Pergi kerja. 12 Agustus 1949 Keesokan paginya adalah hari Sabtu. Ketika aku kembali ke rumah, aku duduk di
dapur, makan dan mendengarkan Ignazia bersenandung pada si bayi di balik pintu
kamar si Monyet yang setengah terbuka. Aku bangun dan berdiri di depan pintu
kamar itu. Ketika Ignazia melihatku, dia menyuruhku masuk dan melihat. "Kau mau


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggendongnya?" tanyanya.
Aku menggeleng. Memandangnya. Bayi itu berbaring di ranjang, meleletkan
lidahnya. Melambaikan genggaman tangannya padaku. "Mungkin dia akan besar
sebagai petinju," kataku.
Ignazia tersenyum pada lelucon kecilku, lalu mulai menangis. "Bagaimana
menurutmu kalau namanya Concettina?" katanya.
"Concettina?" kataku. "Itu nama ibuku."
"Si. Aku mengingatnya. Nama yang cantik."
"Concettina," ulangku.
"Kau sebaiknya istirahat, Domenico," katanya padaku. "Lalu kau harus pergi
menemui pastor. Mengatur misa pemakaman putra kita dan battesimo Concettina."
Aku menggeleng. "Tidak ada pastor," kataku. "Tidak ada battesimo."
Air mata menggenangi mata istriku. Untuk putra kita memang tak ada waktu,
katanya, tapi dia ingin anak ini dibersihkan dari dosa.
Aku berdiri. Anak itu dibuat dari dosa, aku ingin berteriak padanya. Domenico
Tempesta terlalu pintar untuk dibohongi! Tapi yang aku katakan
hanyalah, "No battesimo."
Sepanjang hari itu aku tidur seperti orang mati, dan ketika aku terbangun lagi,
hari sudah malam. Aku turun ke bawah. Prosperine duduk di meja dapur dengan
gelas dan seguci anggurku dari ruang bawah tanah. "Dia dan bayinya baru saja
tidur," katanya. "Duduklah. Minumlah anggur."
"Aku tak mau anggur," kataku. "Aku baru bangun."
"Tuangkan untukku, kalau begitu," perintahnya, seakan-akan diaiah tuan di
rumahku dan aku pelayannya.
Biasanya si Monyet menyelinap seperti pencuri di rumahku, tak bicara, hanya satu
kata, dengusan, gerutuan. Tapi pada malam yang aneh itu, anggur dan keadaan
melemaskan lidah si Monyet. Selama berjam-jam kami duduk di dapur itu. Dia minum
dan merokok pipanya dan bicara, mengetuk-ngetukkan gelas kosongnya ke meja
ketika dia mau anggur lagi. Malam itu dia minum setengah guci, mungkin lebih.
Itu adalah malam ketika dia menceritakan kisahnya padaku. Malam ketika si Monyet
minum anggurku dan membuka kebenaran padaku tentang siapa dia sebenarnya siapa ?mereka berdua sebenarnya ....
Tiga Puluh Delapan Aku menutup pintu di tengah derasnya hujan dan angin. Angin bertiup sangat keras
di luar sana. Koran jadi basah kuyup. Sialan. Aku akan bilang pada anak tukang
koran itu: kalau hujan, letakkan korannya di dalam pintu kasa.
Aku coba menyalakan TV lagi: bintik-bintik tanpa gambar. Layanan kabel tak akan
ada sampai badai ini usai.
Jadi aku punya tiga pilihan: keluar dalam hujan, membaca koran yang basah kuyup,
atau membaca lagi kisah si Kakek Tua. Aku berbaring kembali di sofa dan
mengambil Daily Record yang basah kuyup.
100.000 MELAWAN GORBACHEV, MEMBANJIRI LAPANGAN MERAH MENUNTUT DIAKHIRINYA REZIM?SOVIET. Dari berita itu sepertinya "Kekaisaran Kejahatan" sudah kembang kempis.
Aku berpikir tentang kapal selam yang telah dibangun Ray dan teman-temannya
sebagai persiapan melawan serangan Soviet, semua tempat perlindungan dari bom
yang dibuat orang-orang di halaman belakang mereka. Tiarap dan berlindung!
Mereka mengajari kami di SD dulu. Kalau Rusia menjatuhkan bom .... Jadi kami semua
Mickey Mouseketeers tumbuh besar siap-siap menghadapi akhir dunia, musnahnya
dunia, atas jasa Komunis .... Aneh juga melihat bagaimana situasi berubah. Pecah.
Mereka meruntuhkan tembok Berlin. Ayatullah sudah dijatuhkan. Saddam digiring
kembali ke bungkernya. Yesus, kalau kita tak hati-hati, kami akan kehilangan
penjahat .... BERHASIL DIIDENTIFIKASI, KORBAN PEMUKULAN LAPD.
Kecuali diri kami sendiri mungkin. Kecuali penjahat yang kita lihat di cermin ....
Foto korban pemukulan itu memandangku dari halaman koran Daily Record yang lemas
dan basah. Dia hitam, tentu saja; selalu kulit hitam. Dia punya nama
sekarang Rodney King wajahnya biru lebam, matanya tinggal segaris .... Hei, man,
? ?aku bersyukur layanan kabel tidak ada bersyukur karena ketenangannya. Selama
?tiga hari berturut-turut mereka terus menayangkan video kabur itu. Yang
menunjukkan bagaimana polisi menghajar orang ini menendangnya, memukulnya
?dengan tongkat, menyetrumnya dengan pistol listrik mereka. Mereka mengikatnya,
mematahkan kaki, rahang, dan kelopak matanya. Membuat sisi kiri wajahnya lumpuh.
Mereka menayangkannya lagi dan lagi: benar-benar real home video Amerika. Dan
pengulangan itu sudah mulai membuatku mati rasa membuatku semakin tak kaget
?lagi setiap kali melihat polisi itu menghajarnya ....
Kecuali bahwa Rodney King tidak membiarkan itu terjadi. Dia melihat langsung ke
kamera saat penyiksaan itu terjadi, dan sekarang di halaman
pertama koran dia memandangku, sama-sama berwaja lebam, mata sama-sama bengkak.
Dia menang ... aku berkedip duluan. Aku yang melengos duluan.
Aku meletakkan koran, bangun, dan mondar-mandir di ruang duduk .... Sudah dua hari
ini hujan turun deras dan diramalkan besok badai akan membesar. Kalau ini terus
terjadi, semua toko di pusat kota akan terbawa air Sungai Sachem ....
Penindasan: si kaya menendang si miskin, menendang saat mereka terjatuh. Yang
kuasa itu yang benar, iya Domenico" Kau harus memberinya sedikit pelajaran.
Menunjukkan pada istrimu siapa yang memiliki siapa siapa bos di rumahmu. Benar,
?Pria Besar" .... Yah setidaknya pelayan bermuka monyetmu itu menyeimbangkan
sedikit kekuasaan di rumahmu di Hollyhock Avenue. Kekuatan pisau pengupas. Kau
sentuh dia lagi dan aku akan mengubahmu jadi wanita ....
Ya Tuhan, aku capek. Tegang dan kelelahan. Tak bisa tidur kemarin malam, aku
mengambil kisah Kakek Tua ini dari bawah ranjang. Tindakan bodoh, Birdsey, tak
peduli apa yang dikatakan psikiatermu .... Lari dari masa /alumu, Dominick" Kukira
masa lalu adalah yang kau cari .... Tapi Dr. Patel benar. Aku harus menghadapi
kakekku tak peduli aku menginginkannya atau tidak. Aku harus mendengar suaranya
karena ... karena manuskrip sialan itu ada. Karena sebelum meninggal, Ma turun
tangga menyeret brankas berisi benda itu. Ini untukmu, Sayang .... Karena aku
jatuh dari atap dan berbaring di rumah sakit dengan tunangan Nedra Frank. Aneh, betapa aku dulu
sangat kesal kehilangan kisah Domenico dan sekarang kisah itu kembali padaku.
Berapa banyak dari kisah ini yang kau tahu, Ma" Apa kau tahu kalau kau juga
kembar" Apa Papa pernah menceritakan padamu tentang kakak laki-lakimu yang
meninggal saat lahir ....
DOMENICO ONOFRIO TEMPESTA, 1880-1949 "KEDUKAAN TERDALAM ADALAH DIAM"
Aku mengingat batu nisannya di pemakaman Boswell Avenue. Dan nisan
istrinya nenekku nisan kecil yang terlupakan yang bahkan tak diketahui Thomas ? ?dan aku hingga kami berdua bekerja di Dinas Pekerjaan Umum musim panas itu.
Makam itu jauh di seberang makam Papa. Mengapa mereka tak dimakamkan bersama"
Mengapa Ma tak pernah membawa kami melihat makam ibunya" Dan nisan granit besar
punya Papa: tujuh atau delapan kaki tingginya, patung malaikat, wajah mereka
berduka karena kematiannya. Ma bilang, Papa mempersiapkan pemakamannya sendiri
jauh sebelumnya. Benar juga. Siapa lagi yang akan memilih nisan sebesar itu
kalau bukan, "pria besar yang berangkat dari nol?" ... kedukaan terbesar adaiah
diam. Jadi kenapa kau menyewa stenografer kalau begitu Papa .... Mengapa kau
menyewa Dictaphone untuk menceritakan kisahmu" Mengapa kau harus membebani aku"
Sejauh yang kutahu, Papa tidak mengisahkan bagaimana menjadi teladan pemuda
Italia. Itu hanya alasan "resminya" dari apa pun yang coba dia lakukan. Dan apa
yang dia lakukan" Menunjukkan egonya sekali lagi sebelum dia pergi"
Menyombongkan dirinya karena menjadi orang menyebalkan" .... Aneh: saat kami
kecil, Ma biasanya akan membawa kami ke makam Papa, menghias makamnya dan bahkan
tak pernah menyebut ibunya .... Berapa usia Ma ketika ibunya meninggal" Aku tak
bisa mengingat tanggal di nisan nenekku itu. Aku harus ke pemakaman
nanti mencari nisan itu, melihat tanggal kematian Ignazia.
?Aku kembali teringat bagaimana wajahnya di mimpi anehku saat itu. Ignazia,
nenekku yang tenggelam. Pada malam Halloween, malam ketika aku menabrakkan
trukku. Di mimpi itu aku berdiri di atas es, melihat mayat-mayat bayi itu
mengapung di bawahku. Dan lalu ... apa bahasa Italianya nenek" Nonna" Mengapa kau
datang padaku Nonna" Apa yang kau inginkan" ....
Dia tenggelam, kata Ma terjatuh ke bawah lapisan es di Rosemark's Pond. Apa dia
?sedang bermain skating" Mengambil jalan pintas melewati lapisan es yang tipis"
Aku tak pernah tahu cerita sebenarnya.
Kedukaan terdalam adalah diam ....
Di mimpi itu, mata Ignazia memandangku dari
lapisan es dia menemukanku, memandang ke mataku. Apa yang kau coba katakan
?padaku Nonna" Apa"
Teruslah membaca sejarah kakekmu, Dominick ....
Tapi itu hanya membuatku bingung. Membuatku merasa lebih buruk ....
Hidup itu seperti sungai, Dominick ....
Persetan. Kau bisa tenggelam di sungai .... Aku melihat diriku sendiri terjun di
The Falls. Melemparkan manuskrip Kakek Tua itu ke jurang. Melihatnya
berhamburan, halaman demi halaman, ke air. Aku melihat kisah Domenico hanyut
terbawa arus. Masalahnya adalah aku benci si berengsek itu bagaimana dia memperlakukan
?putrinya. Istrinya. Dia bahkan tak mau meninggalkan pekerjaannya untuk menjemput
dokter .... Si "pria besar yang berangkat dari nol". "Sang terpilih" yang dibuahi
ketika gunung api meletus yang pernah melihat patung bodoh menangis .... Tapi dia
?sudah membayarnya atas semua kesombongannya. Aku melihat dia di kebunnya,
memeluk putranya yang mati, menolak menyerahkannya. Bahkan ketika mereka membawa
orang-orang besar polisi, bosnya di pabrik .... Yah, Domenico dan aku punya
? persamaan dalam hal itu. Kami tahu bagaimana rasanya: memeluk anakmu yang
meninggal. Mengakui betapa kau tidak berdaya ....
Hentikan, Dominick. Jangan pergi ke sana. Lakukan sesuatu.
Aku mengambil koran lagi membuka halaman?berita lokal. WEQUONNOCS BERDOA PADA LELUHUR, MEMBERSIHKAN LAHAN UNTUK KASINO.
Bagus, pikirku. Biar mereka lebih punya kekuatan. Aku berharap mereka
mendapatkan jutaan dolar di sana. Berharap mereka mengosongkan kantong setiap
kulit pucat yang leluhur penindasnya telah menipu mereka dan membiarkan mereka
kelaparan. Lalu aku melihatnya: di tengah foto artikel berita itu. Foto Ralph Drinkwater,
melompat dan berteriak berputar-putar, dengan baju Indian. Dia sangat
menghayatinya kurasa. Dan hei, mengapa tidak" Kalau kasino itu mulai beroperasi
seperti yang dibilang semua orang, mungkin dia akan jadi jutawan. Dia akan bisa
bilang ke Hatch Forensic Institute untuk mengambil kain pel, sapu, dan sikat
toiletnya dan persetan dengan mereka. Ralph Drinkwater: sebagian kulit hitam,
sebagian Indian, dan menari seperti badai ....
Hidup telah mengikat Ralph-menendang Ralph di kepala lebih dari sekali. Kami
semua sudah melakukannya: guru-guru di sekolah, Del Weeks dan istrinya, aku di
ruang interogasi polisi malam itu. Dan lihatlah dia, menari dan merayakan.
Berdoa pada leluhurnya. Namanya adalah Serigala Gesit, menurut keterangan foto, bukan Ralph Drinkwater.
Dia adalah penjaga pipa perdamaian suku Bangsa Wequonnoc, bukan anak kecil kacau
yang berpose di foto-foto porno itu .... Aku melihat Ralph di mejanya di kelas
Mrs. Jeffrey, kelas empat, memalingkan muka ketika aku membawa kotak sumbangan
sehingga kami bisa "mengenang" adik kembarnya yang terbunuh. Aku melihatnya beberapa tahun
kemudian, di kelas sejarah Mr. LoPresto, tersenyum sinis berusaha mempertahankan
diri ketika Mr. LoPresto mengumumkan bahwa suku Wequonnoc dimusnahkan, semuanya
atas nama kemajuan. Manifest Destiny. Dia jujur pada dirinya sendiri berusaha
?mengakui keturunannya sejak dulu. Darah hitamnya, darah Wequonnocnya. "Bacalah
Soul on Ice!" katanya terus-menerus pada kami musim panas itu. "Buku itu
menceritakan sebenarnya!" dan Leo dan aku menertawakannya mengubahnya jadi
?lelucon .... Yah bagus untukmu, Ralph. Nikmatilah tawamu, Sobat. Kuharap kau
mendapatkan jutaan dolar di sana ....
Mungkin dunia memang berubah, pikirku. Tembok Berlin runtuh, Rusia ternyata
tidak mengirimkan bom, dan suku Indian bangkit dari abu ....
* Aku tak tahu berapa lama aku tertidur. Cukup lama rupanya karena hari sudah
mulai gelap. "Ya, ya, tunggu dulu," kataku pada telepon yang berdering. Aku
terhuyung-huyung mendekati telepon sambil masih setengah tertidur.
Tepat seperti yang kubutuhkan, pikirku: aku terpeleset dan jatuh
lagi meremukkan kakiku lagi. Aku mengangkat gagang telepon. "Yup?"
?"Birdsey?" "Mungkin. Siapa ini?"
"Ini Dominick Birdsey atau bukan?" Aku kenal suara itu, tapi tak ingat siapa.
Aku menunggu. "Kau menulis nomor teleponmu dan memintaku menelepon kalau aku melihat sesuatu."
Drinkwater" Ralph meneleponku" "Hey, man, aku baru saja melihat gambarmu di"
Lalu aku sadar: ada yang salah dengan kakakku.
"Dan aku tak mau terlibat," katanya. "Mengerti" Itu adalah hal yang tak
kuinginkan. Jangan kau bawa-bawa namaku."
"Ada apa?" kataku. "Apa yang terjadi padanya?" Aku berdiri, gemetaran seperti
yang selalu terjadi setiap kali aku menerima kabar tentang Thomas.
"Tes dia," kata Ralph.
"Tes" Tes untuk apa?"
"HIV."^ Tiga Puluh Sembilan 12 Agustus 1949 Itu adalah malam ketika si Monyet menceritakan kisahnya padaku ... malam ketika
musuhku meminum anggurku dan membuka rahasia tentang siapa dia sebenarnya siapa?mereka berdua sebenarnya.
"Dulu, bertahun-tahun lalu," kata si Monyet memulai kisahnya, "Aku menyaksikan
kejadian magis yang aneh. Dan itu mengubah hidupku. Dan sekarang, apa yang
kulihat bertahun-tahun lalu kembali padaku dengan kelahiran si kembar ... dan
karena yang hidup adalah anak perempuan yang dikutuk dengan bibir kelinci itu."
Dia berbisik membagi rahasianya padaku dengan cara seperti seorang kriminal.
?"Kejadian magis yang kumaksud melibatkan kelinci," katanya.
Saat itu, katanya, dia baru berusia empat belas tahun, tinggal di kampung
halamannya, Desa Pescara di pinggir pantai. "Pescara?" Aku menukas. "Kukira
kalian siciliana." "Kau berpikir begitu karena itulah yang diinginkan dua tukang pipa itu. Kau juga
mengira aku sepupu mereka, padahal bukan."
"Jangan bodoh, Perempuan," kataku. "Mengapa mereka menawarkan makhluk sejelek
kamu, bersedia mengambil beban untuk menikahkanmu, kalau bukan karena obiigio di
famigiia?" "Mengapa orang melakukan hal seperti itu?" katanya, dan mengusapkan jempol dan
jarinya. "Dusta itu menguntungkan bagi dua tukang pipa itu. Mereka menipumu,
Tempesta." Aku membungkuk ke arahnya dan mencengkeram lengannya, menuntut penjelasan.
"Aku akan mulai dari awal," katanya. "Tapi jangan harap kau mendengarnya kalau
kau mencengkeram lenganku seperti mencengkeram leher ayam begini. Dan juga tidak
dengan gelas yang kosong. Lepaskan aku dan tuangkan anggurnya! Dan jangan
pelit." Ayahnya adalah pembuat makaroni miskin yang dikutuk dengan peruntungan buruk,
katanya. Tifus telah mengambil istri dan putranya dan meninggalkannya dengan
tiga putrinya untuk dibesarkan. Prosperine adalah yang tertua dari mereka
bertiga, dan karena keadaan, terpaksa menjadi ibu dua adiknya dan membuat
makaroni sepanjang hari. Pekerjaan itu harus dilakukan dengan ripetizione
rapida, katanya, dan gerakan berulang-ulang itu masih diingatnya. Kadang ketika
sedang melamun, tiba-tiba jarinya bergerak sendiri seperti sedang membuat
makaroni. Bahkan sekarang, di sini, jauh di seberang lautan dari adik-adiknya dan kehidupan yang
terpaksa dia tinggalkan. Begitu mereka bisa, ketiga bersaudara itu diminta membantu bekerja di bagian
pembuatan dan penjualan di toko makaroni. Mereka mulai setiap pagi menjelang
fajar, ayah mereka menumbuk semolina jadi adonan, ketiga putrinya mengepres,
memotong, dan membentuk makaroni panjang dan datar dengan jari. Tepung
beterbangan di udara, kata si Monyet, menempel di mulut mereka saat bernapas,
dan menempel di rambut dan kulit mereka, sehingga mereka bertiga seperti nonna
pucat beruban saat tengah hari.
Di Pescara, siang hari adalah waktu favoritnya. Ketika ayahnya tidur siang dan
makaroni sedang dijemur di rak dan nampan, Anna, Teodolina, dan dia bebas untuk
bermain di lapangan yang sibuk itu. Saat bermain-main, mereka sering bersama
gadis piatu lainnya, putri seorang penjual ikan bernama Violetta D'Anunzio. Dia
lebih muda daripada si Monyet sebaya dengan Teodolina. Dia anak yang manis! ?Teman-teman Violetta, tiga bersaudara itu, wajahnya biasa saja, tapi Violetta
sendiri sangat cantik. Dia punya mata dan rambut hitam dan kulitnya seperti
krim. Alisnya tumbuh mengarah ke atas sehingga dia terlihat seperti seorang
santa yang tersiksa. Seperti gadis kecil di mana-mana, keempat teman itu tertawa dan berlarian di
desa, menyentuh dan mengusap barang-barang mahal yang tak bisa
dibelikan oleh ayah mereka yang miskin. Mereka menghibur diri dengan apa pun
yang baru hari itu di pasar akrobat, pertunjukan boneka, baju dan barang-barang
?wanita kaya. Ketika tak ada hal baru, mereka memuaskan rasa gelisah mereka
dengan menggoda dan menertawai eccenthci desa yang malang, penduduk desa yang
tak beruntung, yang cacat atau gila.


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Target favorit gadis-gadis kecil itu adalah Ciccolina, wanita penjagal tua
berkaki bengkok dan bungkuk, yang mempunyai payudara menggantung seperti dua
karung semolina. Ciccolina menggumam sendiri dan mengutuk anak-anak itu setiap
kali mereka menggodanya dari seberang jalan, sambil mengayun-ayunkan tongkatnya.
Setengah buta karena katarak, wanita itu juga menderita tumor di
dahinya benjolan sebesar genggaman bayi dengan warna gelap keunguan seperti
?terong. Benjolan mengerikan itu membuat Prosperine takut sekaligus tertarik
layaknya magnet pada wanita tua itu. Jangan lihat! Jangan lihat! Kata si Monyet
pada dirinya sendiri, bahkan saat dia memandang benjolan di dahi wanita tua itu
dengan rasa takut sekaligus terpukau.
Setiap pagi dari jendela toko ayahnya, Prosperine melihat Ciccolina berjalan
terhuyung-huyung ke lapangan desa, menarik kereta kecil dengan kandang di
atasnya. Di dalam kandang itu terdapat kelinci kurus dan ayam betina setengah
botak. Makhluk-makhluk malang wanita tua ini kadang terjual ke pelanggan, yang
memilih ayam atau kelinci, kemudian berdiri dan melihat calon makan malam mereka dipelintir
lehernya, dipotong kepalanya, dibersihkan bulunya dan dikuliti. Wanita tua itu
menggunakan golok dan pisau berkarat untuk menguliti dan menyembelih, dan
talenan bernoda darah yang dia letakkan di atas lututnya. Tettenya yang
besar dua karung semolina besar itu menempel di talenan saat dia bekerja.
? ?Gosip di desa mengatakan bahwa Ciccolina adalah juga seorang penyihir selain
seorang penjagal, dan dengan imbalan beberapa keping koin dia bisa disewa untuk
melakukan tindakan balas dendam.Orang bilang dia bisa menyembuhkan sekaligus
mengirimkan // mal icchio. Ibu-ibu yang percaya takhayul menyembunyikan anakanak mereka dari pandangan buram wanita tua itu dan pria-pria yang merasa
bersalah lebih memilih menyeberang ke sisi jalan lain daripada berpapasan dengan
strega itu. Wanita tua bungkuk itu digosipkan telah menyebabkan istri pegawai
cukai yang sombong rontok rambutnya dan menyebabkan susu sapi seorang petani
habis sepanjang musim panas. Menurut kabar burung, petani malang itu tersandung
kandang kelinci dan ayam Ciccolina dan jatuh tertelungkup ke tanah, sehingga
ditertawakan orang. Merasa malu, dia berdiri dan menampar wanita tua itu atas
kecerobohannya sendiri. Keesokan harinya susu sapinya langsung berhenti
mengalir. Adik-adik Prosperine tak mau dekat-dekat Ciccolina, tapi risiko sihir membuat si
Monyet dan temannya si pemberani Violetta, tertarik. Gadis-gadis kecil yang bodoh, mereka
ingin mengetahui kemungkinan melakukan kejahatan dan menertawakannya. Jadi, dari
seberang jalan, mereka bersembunyi di balik tenda trattoria, memanggil dan
mengejek penyihir tua itu.
Finocchio, finocchio! No dami ii mai occhio! Padahal, kata si Monyet, saat kecil dulu dia adalah anak yang pemalu dan paling
penurut dibandingkan dengan ketiga anak yang lain, tapi saat mengejek strega tua
itu, dia justru menjadi yang paling keras dan kejam, karena Violetta suka itu.
Satu kali, Prosperine bahkan berani mengatakan wanita tua itu adalah orang
terpintar di Pescara karena dia punya otak kedua yang menonjol di dahinya.
Ciccolina langsung berpaling ke arah suara mengejek itu, memicingkan mata dan
bertanya siapa yang mengatakan itu. Prosperine berteriak kalau dia, Befana,
penyihir baik dari Epiphany. "Jadilah gadis yang baik, sekarang!" teriaknya pada
wanita tua itu. "Atau aku akan meninggalkan batu bara di sepatumu dan bukannya
daging yang manis!" Dari belakang tenda, Violetta berteriak kesenangan mendengar
keberanian temannya dan Prosperine juga tertawa sangat keras sehingga
tenggorokannya sakit. Si Monyet berhenti beberapa saat untuk meneguk anggur milikku lagi dan aku
mengamatinya saat dia tersenyum dan mengenang .... Senyum si Monyet itu sangat jarang muncul di rumahku,
dan segera hilang digantikan cemberutnya yang biasa. "Itu sebelum aku tahu bahwa
gadis-gadis muda, seperti anak kucing dan kelinci, tumbuh besar dan menapaki
jalannya sendiri-sendiri," dia melanjutkan. "Sebelum aku tahu bahwa ayah bisa
menjual putri tertuanya. Anggur lagi, Tempesta. Tuangkan!"
"Jangan ceritakan tentang para ayah," kataku, mengisi kembali gelasnya. Malam
itu, aku seakan-akan jadi bartender dan dia pelanggan yang membayar! "Katakan
padaku mengapa kau berbohong tentang tempat lahirmu. Katakan padaku bagaimana
dua tukang pipa itu menipuku! Aku bertanya satu hal padamu dan kau menjawab hal
lainnya!" "Tutup mulut," katanya. "Tutup mulut dan dengarkan. Malam ini aku ingin bicara
dan aku akan bicara!"
Saat keempat teman itu tumbuh menjadi gadis muda, Prosperine, adik-adiknya, dan
Violetta tak hanya berjalan ke lapangan desa, tapi juga ke pelabuhan untuk
mengintip para nelayan. Di sana, Violetta kadang melemparkan jaringnya untuk
mendapatkan perhatian pria, mendorong mereka untuk menggodanya dan balas
menggoda pria yang paling tampan bahkan yang sudah menikah sekalipun! Meskipun ?dia paling muda di antara mereka berempat, Violetta tahu hal-hal yang tak
diketahui gadis lain dan dengan senang memberi tahu ketiga putri pembuat
makaroni tentang apa yang terjadi antara pria dan wanita. Satu kali, ketika
mereka kembali dari pelabuhan, keempat gadis itu melihat kuda jantan sedang
menaiki kuda betina putih di ladang seorang kaya.
"Lihat," kata Teodolina polos. "Dua cavalli itu sedang menari."
"Si,* kata Violetta, "tahan yang membuat perut kuda betina itu terisi bayi.
Semua pria suka tahan itu!" Lalu dia menyuruh ketiga gadis lain mendekat dan
berjongkok di tanah, agar bisa melihat dengan baik kuda jantan itu keluar masuk
tubuh kuda betina, yang tubuhnya bergetar dengan setiap tusukan, berdiri diam
dan pasrah menerima apa pun yang dilakukan kuda jantan itu.
"Aspetti uno momento!" kataku pada si Monyet, memotongnya. "Aku bilang agar kau
menjelaskan mengapa dua tukang pipa dari Brooklyn itu menipuku dan kau malah
bicara tentang fungoi yang dilakukan dua kuda di desamu. Ceritalah yang masuk
akal, perempuan, atau tutup lagi guci anggur itu, tutup mulutmu dan pergilah
tidur." "Aku akan menceritakan kisahku sesuai dengan keinginanku," katanya. "Atau aku
tak akan menceritakannya sama sekali. Mana yang kau mau, Tempesta?" Aku menghela
napas dan menuangkan anggur untukku sendiri dan menunggu. Si jalang kurus itu
benar-benar pezzo grosso malam itu.
Setelah mendapatkan perhatian dari para nelayan, Violetta, Anna, dan Teodolina
mulai berdandan sebelum berjalan-jalan siang hari. Teodolina dan Anna
mengusapkan minyak zaitun ke rambut dan kulit mereka untuk menghilangkan jejak
tepung yang menempel di badan mereka sepanjang pagi, yang membuat mereka
terlihat seperti wanita tua; peminyakan itu membuat mereka menjadi gadis
penggoda. Sedangkan si Monyet, dia tak berminat berdandan. Dengan wajah seperti
dia, apa gunanya minyak zaitun" Tapi Violetta yang setiap pagi memotong ikan
untuk ayahnya, ingin sisik ikan dan bekas-bekas kulit ikan yang menempel bersih
dari rambut hitam panjangnya. Dia menyimpan dua sisir penyu di celemeknya dan
selalu meminta Prosperine untuk menyisir rambutnya hanya Prosperine yang tahu ?bagaimana melakukannya, katanya. Kadang, Violetta mencuri satu atau dua jeruk
nipis di kereta buah di pasar saat menuju ke toko makaroni. Dia memotong jeruk
itu dan mencuci tangannya dengan air jeruk nipis untuk menghilangkan bau ikan.
Kadang dia juga mengusapkan air jeruk itu ke lehernya, dan memeras airnya di
antara payudaranya yang indah. Kenakalan Violetta pasti mengejutkan para
orangtua dan bahkan ketiga bersaudara itu kadang juga terkejut!
Pada musim panas saat Violetta lima belas tahun, padre desa memilihnya sebagai
gadis yang akan memasangkan mahkota pada Patung Perawan
di Festival Pengangkatan Bunda Maria ke Surga. Tradisi yang berlaku di Pescara
adalah membawa patung Bunda Maria yang berat itu dengan kereta dan kuda dari
gereja ke pantai saat pasang surut. Di sana, air laut Adriatico akan membasuh
kaki patung Bunda Maria dan laut akan aman bagi para nelayan untuk setahun
mendatang. Setelah upacara pemberkatan oleh pastor desa, patung itu kemudian
akan diangkat oleh para pria Pescara, nelayan dan lainnya, dan dibawa dalam
sebuah prosesi kembali ke desa, melewati lapangan dan menaiki tangga gereja. Di
sana para jemaat akan meletakkan persembahan mereka pada Bunda Maria dan berdoa,
meminta Sang Vergine untuk menjaga keluarga mereka. Di puncak festival, gadis
desa yang beruntung dipilih untuk memahkotai Perawan Maria akan muncul, memakai
gaun pengantin dan cadar, dan menaiki tangga untuk meletakkan mahkota bunga dan
daun periwinkle di kepala patung. Keputusan pastor memilih Violetta untuk
mendapatkan kehormatan ini mengejutkan semua orang dan merupakan kemenangan bagi
keempat gadis yang berteman itu! Biasanya yang dipilih adalah gadis anak orang
kaya. Ketika berlangsung prosesi para pria mengangkat patung Bunda Maria berkeliling
desa, saat itulah pertama kali Violetta melihatnya, dari balik cadar
pengantinnya, wajah dan tubuh seorang pria berambut pirang, bermata setan yang
bersinar, bernama Gallante Selvi. Selvi adalah seniman mosaik kaca terkenal dari
Milano. Dia pergi ke Pescara musim panas itu untuk mengunjungi famiglia, mandi di laut Adriatico, dan
mencari inspirasi dari sinar matahari Pescara yang spektakuler. Mata si Monyet
pagi itu juga melihat Gallante Selvi. Dari awal, dia tahu bajingan itu akan
menimbulkan masalah. Saat Violetta pelan-pelan naik tangga membawa mahkota Sang Perawan, para jemaat
menundukkan kepala dan membuat tanda salib. Tapi tidak Gallante Selvi. Si Monyet
melihat anjing berengsek itu mengelus kumisnya yang licin, menghirup minuman
dari sloki peraknya, dan memandangi Violetta. Violetta yang seharusnya
berkonsentrasi pada Bunda Maria, naik ke puncak tangga sambil berpaling untuk
melirik ke Selvi. Saat itulah dia kehilangan keseimbangan dan jatuh, menimpa
deretan persembahan di altar dan menghancurkan bebe-ra-pa persembahan yang
rapuh. Tapi bahkan di tengah kejadian memalukan itu, Violetta masih terpaku
melihat Gallante Selvi. Dari awal, passione-nya pada pelukis kaca tak berguna
itu seperti sebuah penyakit dan obsesi, kata si Monyet.
Keesokan paginya, Selvi masuk ke toko makaroni saat mereka tengah sibuk membuat pasta. "Panggil ayahmu,"
perintahnya pada Prosperine, seakan-akan dia adalah raja Italia. Adik-adik si
Monyet berhenti bekerja dan terpukau memandangnya. Tapi Prosperine tidak! Dia
tidak terhipnotis seperti yang lain oleh ketampanan pria itu. Dia bilang padanya
untuk kembali nanti, setelah adonan dicetak dan dipotong, tapi sebelum ayah
mereka tidur siang. Tapi Gallante Selvi yang hebat tak mau menunggu. Seperti
Garibaldi yang memerintahkan pasukannya, dia memerintahkan Prosperine melakukan
apa yang dia minta atau dia akan mencubit hidungnya hingga putus.
Selvi berkata pada ayah Prosperine bahwa beberapa orang menyarankannya untuk
pergi ke pembuat makaroni yang kekurangan uang, tapi kelebihan anak perempuan.
Dia akan segera meninggalkan Pescara, katanya, untuk memulai sebuah pekerjaan
penting di Kota Torino. Gempa bumi telah menyebabkan kerangka kaca pembatas
altar kuno di Katedral Perawan Maria longgar dan karya seni itu pecah
berantakan. Tragedi apa lagi yang bisa lebih buruk daripada hilangnya sebuah
karya seni besar" Tapi siapa yang lebih baik daripada dia, Gallante Selvi, yang
bisa membuat gantinya" Dia akan butuh waktu sekitar setahun atau lebih mendesain
dan membuat pembatas altar yang baru, yang akan ditujukan pada Santa Lucio, yang
mencongkel matanya sendiri dalam usaha menggagalkan seseorang yang akan
memerkosanya yang membuat dirinya terlihat mengerikan agar tetap suci. Pelukis ?sombong itu terus-menerus bicara hingga akhirnya ayah Prosperine memotongnya.
"Scusa Signore," kata ayah Prosperine. "Aku tak bermaksud kurang ajar, tapi apa
hubungannya semua itu denganku dan putri-putriku?"
Gallante Selvi mengatakan pada ayah si Monyet bahwa dia selama ini tinggal
bersama madrinanya yang sudah tua dan rapuh sehingga membutuhkan seorang pelayan. Dia berharap bisa
mendapatkan seorang pelayan sebelum pergi. Apakah pembuat makaroni bisa
memberikan salah satu putrinya" Bayaran di Torino cukup besar. Dia bisa membayar
ayah Prosperine. Walaupun ketiga putrinya berdiri berdampingan, ayah Prosperine hanya melihat
padanya. "Masuklah ke ruangan sebelah, Signore Selvi, masuklah dan silakan
duduk," katanya pada sang seniman dan lutut Prosperine bergemelutuk karena tahu
apa yang sedang mereka berdua rencanakan.
Ketika Gallante Selvi meninggalkan toko, si Monyet telah disewa untuk menyapu
dan mengumpulkan kayu bakar untuk ibu baptis pelukis itu, memberi makan kambing
dan ayam, dan membantu usaha kecil yang dia lakukan. Sebagai gantinya, dia akan
mendapatkan tempat untuk makan dan tidur. Ayahnya sudah menerima sebagian uang
muka dan akan mendapatkan sisanya saat Natal nanti, ketika Gallante Selvi
kembali ke Pescara. Ayah Prosperine mengatakan pada putrinya bahwa dia menyesal
kehilangan putri dan pembuat makaroni yang baik, tapi tak mungkin baginya
melewatkan kesempatan yang ditawarkan Gallante Selvi. Bisnis semakin lesu,
katanya, dan kesempatan seperti itu tak mungkin datang lagi ke pintu toko
makaroni. Prosperine berlutut dan memohon kepada ayahnya untuk membatalkan perjanjian yang
telah dibuat. Dalam bayangannya, dia melihat Teodolina,
Anna, dan Violetta, berjalan mengelilingi desa tanpanya. Siapa yang akan menjaga
gadis-gadis bodoh itu saat mereka pergi ke pelabuhan" Siapa yang akan menyisir
dan membersihkan sisik ikan dari rambut Violetta" Hanya dia yang bisa
melakukannya dengan baik! "Mengapa kau memilih-Zctv?" sedunya.
"Karena kau anakku yang paling jelek dan paling bertanggung jawab," kata
ayahnya. "Aku memilihmu karena aku menghargai ketekunan dan kemampuanmu
melakukan pekerjaan rumah."
"Kalau ini adalah pujian bagiku, aku tak membutuhkannya!" teriak Prosperine pada
ayahnya. Ayahnya mengulurkan tangan dan menampar wajahnya. Dia sering memukul putrinya,
tapi tak pernah sekeras ini.
"Kau bisa melihat adik-adikmu setiap hari di lapangan kalau kau suka," kata
ayahnya kemudian, setelah Prosperine tenang dan wajahnya membengkak seperti
makaroni di panci. "Usaha wanita tua itu membuatnya harus ke kota tiap hari. Kau
tahu siapa dia: wanita penjagal yang biasa duduk di depan gereja, di seberang
trattoria. Si bongkok yang malang."
"Ciccolina?" teriak Prosperine. "Kau telah mem-berikanku pada penyihir gila
itu?" Ketika dia mendengar berita mengerikan ini, si Monyet menangis sangat
keras sehingga terdengar sampai ke Surga. Dia memeluk kaki ayahnya, memohon pada
para santa dan orang suci agar mengakhiri hidupnya dan menyelamatkannya dari
nasib mengerikan itu. Sekarang yang paling dia takutkan
bukanlah berpisah dari adik dan temannya, tapi pembalasan dendam penyihir itu.
Pasti Ciccolina akan mengenali suara gadis yang paling sering menghinanya!
Prosperine pasti akan mati akibat perjanjian yang dibuat ayahnya ini, atau botak
atau menemukan bahwa darahnya membeku!
Tapi ayahnya tak menunjukkan belas kasihan. Ketika Violetta D'Anunzio mendengar
nasib Prosperine, dia ikut menangis dan memeluk temannya dan menawarkan diri
untuk mengantarnya ke rumah sang strega di dekat hutan keesokan paginya dan
membawakan keranjang berisi barang-barang miliknya, sehingga dia bisa
mengucapkan perpisahan. Sepanjang perjalanan keesokan harinya, langkah si Monyet lamban dan berat, tapi
Violetta hampir-hampir terlihat tak sabar dan ingin berlari ke tujuan mereka.
Berapa lama si pelukis angkuh itu berkata akan tinggal di Pescara" Tanyanya pada
Prosperine. Bagaimana suaranya ketika dia masuk ke toko ayah Prosperine" Apakah
matanya hijau atau biru"
Ketika atap rumah Ciccolina yang terbuat dari jerami sudah terlihat di antara
pepohonan, Violetta mendesak agar mereka berhenti dulu dan mencuci kaki mereka
yang kotor di sungai di dekat situ, siapa tahu wanita tua itu sedang ada tamu.
Violetta mengeluarkan sisir penyunya dan mendesak agar temannya menyisir
rambutnya untuk terakhir kalinya. Hari itu, Violetta mengenakan blusnya yang
paling bagus blus yang dijahit dan dibordir sendiri?oleh Prosperine dengan motif bunga-bunga liar, dan lubang kerahnya sekitar satu
atau dua inci di bawah ciavioia. Ketika Violetta menunduk, Prosperine menyisir
dan mengintip tette temannya yang indah. Air matanya jatuh ke rambut panjang
temannya. Aku meminum anggur lagi dan menertawakannya. "Untuk apa seorang gadis mengintip
tette gadis lain?" kataku. "Kau terdengar seperti laki-laki."
Si Monyet berdiri dan berjalan pergi.
"Kau mau ke mana, nah?" kataku. "Tidur," katanya. "Di mana tak ada yang
menertawakanku dan memanggilku uomo."
"Duduklah," kataku. Aku menarik lengan bajunya agar dia duduk lagi. "Duduklah
dan selesaikan ceritamu, Signorina Pemarah. Habiskan juga guci anggurku,
persetan! Jangan pergi sekarang setelah aku tertarik."
"Tertarik?" tanyanya. Matanya memandang kosong dan mabuk.
"Si," kataku. "Aku mau tahu apa yang terjadi padamu dan penyihir itu ....
Ceritakan lagi tentang tette indah temanmu."
Dia duduk. "Kalau kau tertarik," katanya, "hargailah aku. Tutup mulutmu saat aku
bicara. Nah, sampai di mana tadi?" Aku bilang padanya dan dia melanjutkan.
Ketika Violetta dan Prosperine tiba di tanah terbuka halaman rumah Ciccolina,
kata si Monyet, mereka berhenti, tiba-tiba dan terpana. Di depan mereka, di
tanah terbuka, berdiri Gallante Selvi, telanjang kaki, rambutnya berantakan,
tubuhnya hanya ditutupi oleh selembar baju tidur yang terlalu rendah dan tipis.
Kedua gadis itu berdiri terpaku selama beberapa menit memandang sang artiste
melukis di udara dengan kuas yang tak terlihat, berbicara pada dirinya sendiri,
membungkuk dan menggambar di kertas yang diletakkan di atas tanah. "Demente!"
bisik si Monyet, tapi Violetta terlalu terpesona untuk mendengarnya.


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, di situ kau rupanya, gadis malas," kata Selvi ketika dia melihat pelayan
barunya. "Untung bagimu pekerjaanku membuat suasana hatiku sedang baik, kalau
tidak, aku pasti menamparmu karena terlambat."
Prosperine berkata bahwa dia tidak terlambat dia malah datang lebih awal. ?(Karena Violetta terburu-buru sepanjang jalan.) Dia berpaling pada Violetta
untuk mencari dukungan atas apa yang baru saja dikatakannya, tapi gadis nakal
itu tak memerhatikan dia. Dia terlalu sibuk memandang menembus terawang baju
tidur Selvi, ke tempat pribadinya.
Tak merasa diperhatikan, Selvi mulai mengoceh tentang pekerjaannya tentang
?sebuah pertanda yang muncul padanya saat terbangun dari mimpi pagi itu. "Ini
akan menjadi mahakaryaku warisanku untuk seluruh Italia!" bualnya. Lalu dia
?berpaling ke Violetta, melihat gadis itu untuk pertama kalinya.
Ketika Selvi mengamatinya dari ujung rambut sampai ujung kaki, wajah Violetta
memerah dan dia melengos. "Dan angin apa yang membawamu ke sini, Gadis Manis?"
tanya Selvi. "Aku tak ingat tawar-menawar dengan pembuat makaroni untuk dua
pelayan bagi Zia Ciccolina."
"Sir," kata Violetta gemetaran. "Aku hanya mengantar temanku."
"Sir," ulang Gallante Selvi. "Aku hanya mengantar temanku." Dia berkacak
pinggang dan bergoyang genit. Pria itu memang benar-benar tak punya malu!
Cogiioni-nya bergoyang ke kanan dan ke kiri di balik baju tidurnya.
Lalu, tiba-tiba Selvi menarik tangan Prosperine sehingga dia menjerit kaget.
"Lihatlah kisah tragis ini bersamaku, Pelayan Kecil," katanya, menyeret si
Monyet ke ladang dan menunjuk-nunjuk ke udara kosong. "Lihatlah pertanda yang
kulihat! Di panel pertama, sebelah kiri, Lucia Gadis Tak Berdosa yang berdoa
dengan tulus! Di panel sebelah kanan, seorang santa di Surga, pelindung suci. Di
tengah di panel terbesar dia mencongkel matanya sendiri! Gembira karena dia
? ?sekarang tak menarik lagi! Darah mengalir di wajahnya! Para penyiksanya
ketakutan dan para malaikat menyaksikannya! Oh, tragedi luar biasa yang akan
membuatmu menangis, kisah santa kecil yang berani! Aku akan melukis Luciaku
sehingga sacrificio-nya, yang digambarkan di depanmu ini dengan vetro cohrito,
akan membuatmu jatuh berlutut dan menangis penuh duka untuk gadis suci itu!"
Tiba-tiba, figiiu d'una mingia seniman bodoh itu berhenti dan memalingkan
kepalanya lagi ke Violetta. Dia memutari gadis itu, membuat tanda salib dan
memandang dengan kurang ajar. Napasnya mengembus di wajah Violetta. "Apakah aku
sudah melihatmu sebelumnya?" tanyanya.
Violetta terlalu takut untuk menjawab.
"Sir," kata Prosperine. "Anda melihatnya di desa saat Festival Pengangkatan
Maria ke Surga, tapi saat itu wajahnya ditutupi cadar. Dia adalah gadis ceroboh
yang memahkotai Bunda Suci dan jatuh dari tangga."
Tapi Selvi mengabaikan si Monyet dan berkata ke Violetta. "Kau adalah dia. Ya?"
"Yang mana, signore?" tanya Violetta takut-takut.
"Dia yang diturunkan padaku lewat wahyu suci." "Diturunkan, Tuan?"
Pedang Berkarat Pena Beraksara 6 Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung Sembilan Pusaka Wasiat Dewa 2

Cari Blog Ini