Ceritasilat Novel Online

Sang Penebus 4

Sang Penebus Karya Wally Lamb Bagian 4


kukatakan adalah, kalau buang air besar, aku ingin menarik tisu sendiri dari
gulungan tisu toilet dan bukan mengandalkan seseorang yang berdiri di belakangku
dan menarikkan tisu toilet untukku. Aku tak butuh pelayan, terima kasih banyak.
Dan jangan bilang kalau aku mengoleskan tisu kotor ke dinding karena aku tidak
mengoleskannya ke dinding."
Sheffer membelalakkan mata, memutar-mutarnya. Berdiri dan membuka pintu.
"Permisi Ozzie, bisakah kau memelankan suaramu" Aku punya tamu di kamarku dan
kami sedang-" "Persetan kau, Ms. Sheffer!"
Saat aku menengok ke luar, ternyata suara itu milik seorang pria botak paruh
baya, kurus kering dan keropeng, piama rumah sakitnya terbuka di bagian
belakang. Seorang petugas menemaninya pria kulit putih dengan rambut gimbal.
"Aku sudah bifang padanya untuk pelan-pelan, Lisa," kata petugas itu.
"Nggak apa-apa, Andy. Hei Andy, tolong aku, ya" Kalau kau lihat Dr. Patel,
katakan kalau adik Thomas Birdsey di sini, mungkin dia mau datang dan menemuinya
kalau punya waktu." "Tentu," kata petugas itu. "Ayo, Ozzie. Ayo, kita pergi."
"Jangan sentuh aku!" protes Ozzie. "Memangnya kau pikir ini apa kebun binatang
peliharaan?" Sheffer menggelengkan kepala dan menutup pintu lagi. "Maaf. Kadang-kadang
situasi di sini memang terasa tak nyata," katanya.
Aku berdiri dan berjalan kembali ke jendela kecil itu. Sulit dipercaya: bahwa
tahun ini Angela sudah akan tujuh tahun. Petugas sosial cerewet ini
melengahkanku dengan sebatang cokelat, spageti, dan bakso matzo-nya.
Mengagetkanku. Juri masih belum bisa menentukan keputusan di sini.
Di luar, di halaman, para pasien berbaris di depan seorang pria dengan topi
koboi. Satu per satu, pria itu menyalakan rokok para pasien. Begini disebut
rekreasi" Semua orang duduk di meja piknik, mengenakan seragam militer dan
merokok" Satu-satunya kegiatan olahraga yang kulihat dilakukan oleh seorang pria
kulit hitam kurus yang men-dribbiing bola basket tanpa berusaha memasukkannya ke
keranjang. Thunk, thunk, thunk: tatapannya kosong. Mungkin karena pengaruh
Thorazine, pikirku. Dan dia bisa dibilang yang paling aktif.
"Hei, katakan padaku," kataku. "Mengapa semua orang di luar sana mengenakan
seragam militer" Apa itu lagi mode di sini?"
Lisa berdiri dari kursinya dan memandang ke luar, tersenyum. "Unit Empat,"
katanya. "Sekitar setengah pasien di sana adalah korban Perang Vietnam."
"Pria yang dari Mystic itu juga di sini, kan" Orang yang mengira keluarganya
adalah Viet Cong?" "Aku tak bisa mendiskusikan kasus yang lain denganmu," katanya. "Tapi, tak semua
veteran perang ini punya catatan kriminal; banyak di antara mereka ada di sini
karena rumah sakit veteran terlalu penuh dan karena banyak program yang bisa
menolong mereka telah dibatalkan. Mereka harus ditempatkan di suatu tempat,
bukan" Vietnam: perang yang terus memberi."
"Dan kini, kita bersiap-siap untuk satu lagi," kataku.
Lisa menggelengkan kepala, jijik. "Mereka membuatnya terdengar sangat mulia
bukan" "Operation Desert Shield". Seakan-akan seluruh negeri mengalami amnesia
selektif. Yea, hore, Amerika! Kita mulai lagi."
Sekarang jam di dinding menunjukkan angka 1D.D7. Kami sudah tujuh menit melewati
jam perjanjian dan dia masih keletak-keletik di keyboard-nya dan mengocehkan
opini politiknya padaku. "Itulah yang coba dilakukan kakakku di perpustakaan,"
kataku. "Menghentikan perang sebelum dimulai." Lisa memandangku. Mengangguk.
Di halaman, pria dengan topi koboi sedang melayani pasukannya. Tanpa petunjuk
kau bisa langsung tahu yang mana pasien kesayangannya dan mana yang bukan.
"Siapa koboi di luar sana?" tanyaku.
"Hmm?" Lisa memandang ke luar. "Oh, itu Duane. Dia salah seorang petugas FTS."
"Salah seorang petugas apa" Ya ampun, aku nggak bisa mengingat semua inisial
itu." "Forensic Treatment Specialists. Salah seorang psikolog. Dia pribadi yang unik."
"Jadi, memangnya kalian punya pyromaniak di sini, ya" Nggak ada yang boleh
menyalakan rokok sendiri?"
Lisa tidak menjawab. "Oke! Tunggu. Ini dia," katanya. Dia berpaling padaku,
tersenyum lebar. "Aku tadi coba mentransfer data dengan menekan tombol shift
bukannya contro/. Program yang dulu memang begitu. Tekan shift. Aku benci
komputer, ya nggak" Maksudku, memangnya siapa sih, penemunya" Siapa yang bertanggung
jawab" Alexander Graham Bell, kita tahu menemukan telepon. Eli Whitney menemukan
minuman cotton gin. Siapapun penemu komputer, mungkin dia takut menunjukkan
mukanya." Di luar, suara pantulan bola basket berhenti. Kantor ini tiba-tiba tenang.
"Jadi, bagaimana," kataku. "Tentang kakakku?"
Lisa mengangguk, membenarkan duduknya dan membuka file Thomas. "Silakan duduk,"
katanya. Dia mulai berbicara masalah perawatan rumah sakit: Thomas dimasukkan ke sini
dengan surat perintah pengamatan selama "lima belas hari". Ketika masa observasi
selesai, kasusnya akan diajukan ke pengadilan percobaan dan mungkin ke PSRB.
"Begini," kataku padanya. "Aku nggak bermaksud kasar kau adalah manusia pertama
yang kutemui di tempat ini tapi pertama-tama, jangan duduk di sana dan
mengatakan singkatan-singkatan padaku dan kedua, jangan mengatakan tentang surat
perintah observasi selama 'lima belas hari' karena aku akan mengeluarkannya dari
sini hari ini juga."
"Hei, bagaimana kalau nadamu diturunkan sedikit, oke?" katanya. "Tenanglah."
"Aku akan tenang begitu masalah ini selesai. Yang perlu kau lakukan hanyalah
menghubungi dokternya. Dr. Willis Ehlers. Dia akan setuju bahwa tempat kakakku
bukan di sini. Bahwa ini adalah kesalahan dan dia harus dipindahkan ke Settle."
Lisa menggeleng. "Ehlers bukan dokternya lagi, Dominick. Mereka menggantinya."
"Siapa yang menggantinya?"
Lisa membuka file Thomas. "Sepertinya perintah itu datang dari dewa. Kantor
Komisi Negara Bagian di Hartford."
Dia menyorongkan kertas ke arahku dan menunjukkan jarinya ke tanda tangan
beberapa orang. "Mengapa dari Hartford?" tanyaku. "Apa hubungannya Hartford
dengan ini?" "Aku tak yakin. Jangan percaya kata-kataku, tapi mungkin kakakmu dianggap kasus
politik." "Apa artinya itu?"
Lisa memandang ke langit-langit. Menggembungkan pipinya dan mengembuskan napas.
"Tutup mulutmu, Sheffer," katanya pada diri sendiri.
"Nggak," kataku. "Ayo, katakan."
"Aku tak yakin, oke?" katanya. "Aku belum mendengar apa pun, lewat gosip ataupun
resmi, jadi ini hanya teori, oke" Tapi, biasanya kalau Hartford terlibat dalam
kasus seperti ini, ini berkaitan dengan pengendalian kerusakan. Selain itu, kami
lumayan punya otonomi sendiri di sini. Perkiraanku adalah ini kasus seperti
kasus kambuhnya Jimmy Lane. Aku tidak seratus persen positif, tapi aku lumayan
yakin. Tapi seperti kubilang tadi, jangan bi-lang kalau aku yang bilang."
Aku tak tahu sama sekali apa yang dia ocehkan. "Tapi tak semuanya berita buruk,
kok," sambungnya. "Psikiater barunya adalah Dr. Chase bisa saja lebih buruk dari
itu dan psikolognya Dr. Patel, yang sangat baik. Aku sangat menghormati."
"Dokternya adalah Dr. Ehlers, " kataku. "Ehlers sudah merawatnya selama empat
tahun ini dan bisa dibilang sukses."
"Sukses?" tanya Lisa. "Dia memotong tangannya sendiri, Domenico."
"Karena dia berhenti minum obat, itu sebabnya," tukasku. Aku tak mau diremehkan
oleh si kecil kurus ini. "Oke, mungkin Ehlers seharusnya tahu. Tapi aku juga
seharusnya tahu. Kami semua tak menduganya. Kami semua lengah."
"Ini bukan urusanku," kata Lisa. "Tapi aku bisa melihat kalau kau terlalu berat
memikirkan hal ini. Dibandingkan dengan saudara-saudara pasien lain, maksudku.
Apa ini karena kalian kembar?"
"Jangan urusi aku," kataku. "Yang kukatakan hanyalah Ehlers lebih baik daripada
dokter-dokter lainnya setidaknya dia konsisten. Thomas merasa aman dengannya.
Nyaman. Jadi, aku tak peduli apa yang diinginkan orang di Hartford. Bilang saja
ke Dr. Chase atau Dr. ...?" "
"Dr. Patel." "Bilang sama si Pak Dr. Patel ini untuk menelepon Ehlers sehingga aku bisa
mengeluarkan kakakku dari sini."
"Dr. Patel seorang wanita," katanya.
Aku memejamkan mata. "Oke, baiklah, terserah," kataku. "Itu nggak ada
hubungannya." "Aku cuma memberitahumu. Dia Indian. Indian yang dari India, bukan Indian
Amerika." Aku menggebrak mejanya. "Hei, ada apa sih
dengan tempat ini?" kataku. "Mengapa nggak ada orang yang mau mendengar" Ini
kesalahan. Aku tak peduli kalau Dr. Patel dari Mars atau kalau dia pria atau
wanita atau alien berkepala tiga, oke" Kakakku terjebak di lubang ini hanya
karena kesalahan bodoh seseorang di birokrasi."
Lisa memiringkan kepalanya seperti burung kayu di mejanya. "Kesalahan bagaimana,
Domenico?" katanya. "Teruskan. Aku mendengarkan."
"Karena Thomas selalu ke Settle kalau kambuh. Dia bisa dibilang penghuni tetap
di sana. Dia punya pekerjaan paruh waktu di sana."
Lisa duduk diam. Menunggu.
"Dan karena "Ya" Karena apa?"
"Karena sekarang dia pasti sangat ketakutan, oke" Kakakku itu tak bisa
mempertahankan diri. Sama sekali. Nol. Dan ini bukan karena kami kembar. Ini
karena ... sejak dulu aku selalu harus mengurus Thomas, oke" Menempatkannya di
sini seperti melemparkan kelinci ke kerumunan serigala."
Lisa menghela napas panjang lalu mengembuskannya pelan-pelan. "Kopi dan koran,
kan?" "Apa?" "Pekerjaannya" Dia menceritakannya padaku. Kami berbincang selama empat jam
lebih semalam." "Dengarkan aku," kataku.
"Oh, aku dengar kok. Bahkan, sepertinya aku mendengarkan diriku sendiri bicara.
Diriku yang dulu." "Apa maksudnya itu?"
"Oh, bukan apa-apa. Pengamatan pribadi, itu saja. Tidak ada hubungannya." Aku
terdiam, mencoba memahami apa yang dia bicarakan. "Aku pernah punya hubungan
dengan seorang pecandu selama sembilan bulan, itu saja. Jadi, aku tahu maksudmu
dengan mengurusi. Menjadi benteng bagi orang lain. Aku menyebutnya sindroma Don
Quixote. Membuatmu merasa mulia membela orang yang tak bisa mempertahankan diri.
Plus, itu adalah taktik penghindaran yang hebat. Kau tak harus berurusan dengan
masalahmu sendiri, kan" Tapi, aku sudah keluar jalur di sini. Aku cuma berpikir,
aku mengenali sesama penderita sindroma Don Quixote, itu saja. Aku minta maaf."
"Yeah, terima kasih atas psikoanalisisnya," kataku. "Tapi ini tentang kakakku,
bukan aku. Atau kamu."
"Aduh," kataku. "Cukup adil. Benar aku minta maaf. Biarkan aku berterus terang,
Sobat. Mereka menempatkan kakakmu di rumah sakit forensik karena dia menderita
gangguan mental yang serius dan karena dia telah melakukan tindak kriminal yang
serius." "Kriminal apa" Apa yang telah dia lakukan" Mengganggu beberapa wanita tua yang
sedang membaca sore hari" Meneteskan darah di karpet perpustakaan" Dengar, aku
tahu apa yang dilakukannya memang aneh. Dia benar-benar kacau kalau nggak minum
obat. Aku tidak mengatakan sebaliknya. Tapi, 'tindak kriminal' serius apa yang
telah dia lakukan?" "Membawa senjata berbahaya."
"Dia tidak ... dia mengarahkan senjata itu ke dirinya sendiri1."
"Yah," Lisa mengangkat bahu. "Tetap saja dia membawanya. Benar, kan?"
Kami duduk diam, saling memandang-dua jago tembak, masing-masing menunggu
lawannya bergerak duluan. "Dia punya ... dia mengalami delusi religius," kataku.
"Berpikir bahwa Tuhan memilihnya untuk menyelamatkan dunia .... Hei, dia punya
pandangan politik sama denganmu. Mempunyai perasaan yang sama denganmu tentang
krisis Teluk Persia .... Dia ingin melakukan sesuatu membuat sebuah pengorbanan
besar yang bisa menyadarkan Saddam Hussein dan Bush. Dia bilang, Tuhan
memerintahnya lewat Alkitab .... Dia gila, oke" Dia bukan kriminal."
"Dan ada cara lain untuk memandang perbuatannya," kata Lisa. "Dia menghunus
pisau di bangunan publik. Dia harus dikurung sehingga orang-orang tak bersalah
aman berjalan di luar."
"Menghunus" Apa maksudmu menghunus?"
Lisa mengangkat tangannya ke udara. "Jangan marah, Sobat. Aku cuma mencoba
menjadi jaksa penuntut di sini. Aku, Mr., dan Mrs. Jonh Q. Public membaca
beritanya di koran. Kau tahu kan apa yang kumaksudkan?"
"Tapi dia tidak menghunusnya. Dia tidak mengancam siapa pun. Dia duduk di salah
satu meja belajar mengurusi urusannya sendiri. Dengar, aku kenal dia. Aku kenal
dia lebih baik daripada siapa
pun. Aku mungkin lebih berbahaya daripada dia."
Lisa tersenyum. "Dengar. Kau tahu apa masalahmu" Bisakah kau tenang semenit dan
mendengarkan" Kau berasumsi seakan-akan ini adalah tempat terburuk di dunia
untuk kakakmu, padahal tidak seperti itu kenyataannya. Dan lagi pula, kau tak
bisa melakukan apa-apa saat ini. Kau harus percaya saja."
Aku menghirup napas dalam-dalam. Menghitung hingga sepuluh. "Kau benar-benar
cewek perusahaan ya?" kataku.
Lisa tertawa terbahak-bahak hingga mendengus. "Aku sering dijuluki macam-macam
di sini, Domenico, tapi tak pernah-"
"Tapi kau memang begitu. Kau tidak terlihat seperti itu, tapi gaya bicara dan
jalanmu seperti itu. Tapi kau cuma corong seperti yang lainnya."
Lisa menggelengkan kepala. Tetap tersenyum. "Nah, itu baru menyakitkan,"
katanya. "Hei, dengar" "Tidak, kau yang dengar. Biarkan aku yang memegang kendali selama setengah detik
saja. Pertama-tama, Sobat, aku wanita bukan cewek. Oke" Kalau kita akan bekerja
sama dalam masalah ini, kau harus mengingat perbedaan itu. 'Cewek' terdengar
seperti kuda seseorang, dan itu bukan aku. Oke" Dan kedua"
"Siapa supervisormu?" tanyaku.
Dia tersenyum, mengusapkan tangannya ke rambut potongan crew cut-nya. "Kenapa
kamu mau bicara dengan supervisorku?"
"Karena kalau aku mau bertemu dengan seseorang yang punya kuasa untuk mengangkat
telepon dan menelepon dokter kakakku, maka aku harus menemui supervisormu. Aku
ingin kakakku keluar dari sini hari ini."
Ekspresinya tetap tak berubah."Supervisorku adalah Dr. Barry Farber."
"Dan ada di mana lelaki itu?"
"Dr. Farber sedang menghadiri konferensi di Florida. Dan dia adalah dokter
wanita yang menjadi pembicara di sana." Dia tersenyum melihat wajahku yang
terkejut. "Kena lagi. Iya nggak, Domenico" Lucu juga tentang wanita profesional
zaman sekarang, ya" Dunia merangkak bersamanya."
"Siapa supervisor dia?" kataku.
"Dia adalah Dr. Leonard Lessard. Salah seorang dari kalian."
"Hei, dengar," kataku. "Aku sangat berterima kasih kalau kamu tidak sarkastik
seperti itu, oke" Aku sudah punya satu atau dua masalah yang kucoba selesaikan
di sini tanpa kamu" Lisa mengetukkan jarinya di atas tanda tangan di kertas yang ada di hadapanku.
"Dr. Lessard adalah Deputi Untuk Layanan Klinis. Dia orang yang memerintahkan
pemindahan kakakmu."
Aku berdiri. Membuka mulut. Menutupnya lagi dan duduk.
"Aku katakan satu hal padamu," kataku. "Kalau kakakku tergores kecil saja ketika
dia di sini" "Nggak akan," katanya. "Aku janji padamu. Dan kau benar, dia memang takut. Dan
aku juga bisa melihat kau juga takut, dan karena itu kau jadi sangat menyebalkan. Tapi biar
kukatakan sesuatu padamu. Apa kau mendengarkan sekarang" Apakah kau bisa benarbenar mendengarkanku sekarang, Domenico?"
"Dominick," kataku lagi. "Namaku Dominick."
"Dominick," katanya. Dia duduk diam menunggu.
"Baiklah. Aku mendengarkan."
"Kau mungkin benar," sambungnya. "Kakakmu mungkin akan lebih baik di Settle
daripada di Hatch. Keamanan di sini ketat, tapi memang dibutuhkan; orang
paranoid biasanya susah menerima semua pengawasan dan pengecekan keamanan di
sini. Tapi ada anggapan yang salah tentang tempat ini bahwa ini adalah rumah ?horor, ruang penyiksaan, dan semacamnya. Bukan. Apa ada masalah di bangsal"
Memang ada. Tiap hari. Apa orang memang ingin masuk ke sini" Nggak. Di sini
bukan Club Med. Tapi, secara keseluruhan perawatan di sini lumayan baik. Cukup
manusiawi." Aku tertawa sinis. "Aku tak ingin merendahkan anggapanmu, tapi tempat ini sangat
baik dan manusiawi sehingga semalam pelirku ditendang oleh salah satu penjaga


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bodohmu. Aku benar-benar dapat pelayanan manusiawi di sini. Kau ingin tahu
mengapa aku memakai celana bodoh yang kau tertawakan tadi" Karena selangkanganku
lebam, memar, dan bengkak. Aku hampir-hampir tak bisa berjalan karena tindakan
salah satu penjaga manusiawimu di tempat ini. Dan aku bahkan belum melewati
pintu baja yang terkunci itu."
"Aku tahu, aku tahu," katanya. "Aku melihat bagian akhir peristiwa itu. Aku
minta maaf. Itu seharusnya tak terjadi, betapa pun menjengkelkannya sikapmu.
Tapi hanya karena satu penjaga giliran malam berpikir dia seorang Rambo, itu tak
berarti seluruh rumah sakit ini buruk. Pertama , umumnya para penjaga tinggal di
area keamanan kecuali kalau ada masalah. Mereka tidak masuk ke bangsal pasien;
kontak mereka dengan pasien sangat terbatas, sebenarnya. Dan kedua, aku kenal
tempat ini terutama Unit Dua tempat kakakmu berada. Dia ada di unit terbaik di ?sini. Aku mungkin terdengar seperti cewek corong perusahaan saat aku mengatakan
ini, tapi orang-orang di Unit Dua benar-benar peduli. Aku serius. Dan, seperti
yang kubilang sebelumnya, Dr. Patel benar-benar baik. Kakakmu beruntung punya"
"Baiklah," kataku. "Hebat. Tapi ini kesalahan."
"Hei, Sobat," katanya. "Ini bukan kesalahan. Biar aku memberitahumu tahap demi
tahap. Kau mau mendengarkan?"
"Ya, aku mendengarkan," kataku. "Cuma jangan ngomong singkatan. Dan jangan
mengatakan hal-hal seperti, 'Dia kasus politik,' atau 'Oh, ini kasus kambuhnya
Jimmy Lane,' ketika aku malah nggak mengerti apa yang kau bicarakan."
Lisa mengulurkan tangan dan mengambil sebatang cokelat yang sudah kubeli
darinya. Membuka bungkusnya di ujung. Mematahkan satu untukku dan mengambil satu
potongan lagi untuk dirinya. "Oke, biarkan aku menjelaskan semuanya,"
katanya. Dia melirik cepat ke interkom yang menempel di dinding. "Jangan bilang
kalau aku yang mengatakan semua ini," katanya. "Ya?"
Dia menjelaskan teorinya dulu: bahwa perintah pemindahan Thomas ke Hatch mungkin
datang dari Hartford akibat publisitas yang disebabkan tindakannya memotong
tangan. "Aku tahu dia dalam masalah begitu, aku melihat dia dimuat di halaman
depan Courant," katanya. "Dan lalu, ketika kasus ini diangkat ke media
nasional saat mulai muncul di koran-koran seperti USA Today
?Aku mengatakan padanya tentang Enquirer, Inside Edition, Connie Chung.
"Sial," katanya. "Pemerintah nggak suka publisitas negatif seperti itu. Kau
ingat Jimmy Lane, kan" Pasien rumah sakit jiwa yang mencekik mahasiswa di Gunung
Avon?" "Di depan pacarnya, bukan?"
Lisa mengangguk. "Ya Tuhan, betapa mengerikan. Aku tak tahu apakah kamu ingat
bagian ini, tapi Jimmy Lane sedang mendapatkan hari libur dari Westwood ikut
?hiking bersama sekelompok pasien lain dan dalam pengawasan dan dia memisahkan
?diri dari kelompoknya. Langsung menyeret anak malang itu. Jimmy sebelumnya tak
punya riwayat perilaku kekerasan tak ada hal dalam catatannya yang
?mengindikasikan bahwa dia akan bertindak seperti itu. Tiba-tiba saja hari itu
dia kambuh. Kasus itu memundurkan evaluasi departemen selama bertahun-tahun.
Menegaskan semua stereo tip lama tentang pasien sakit jiwa bahwa mereka
?semua adalah pembunuh psikopat, yang bersembunyi di balik bayangan. Bahwa tak
seorang pun aman di dekat mereka. Peristiwa itu mimpi buruk bagi citra rumah
sakit jiwa. Ingat semua surat-surat yang dikirimkan ke koran waktu itu" Dan
editorial koran dan TV" Aku bahkan pernah melihat stiker mobil bertuliskan:
'Hukum mati Jimmy Lane di kursi listrik'. Ya ampun, semua orang di negara ini
haus darah. Dan ketika pembelaan karena kegilaan mencegah terlaksananya hukuman
mati, orang-orang justru ingin mematikan sistem. Dan sistem sangat peka akan hal
ini. Sangat memerhatikan Citranya di media. Kau paham, kan yang kukatakan ini?"
"Dia ada di sini bukan" Si Lane" Dikurung di tempat ini?"
Lisa mengabaikan pertanyaanku. "NGRI-not guilty by reason of insanity (tak
bersalah karena alasan kegilaan) menjadi bola panas politik karena kasus itu,"
?katanya. "Jadi, untuk menyelamatkan muka, gubernur memecat beberapa orang. Dia
memecat komisioner. Mereka merestrukturisasi seluruh departemen. Dan lalu,
voila, terbentuklah PSRB."
"Apa itu" PSRB" Kau sudah menyebutkannya tadi."
"Psychiatric Security Review Board (Dewan Kajian Keamanan Psikiatrik)," katanya.
"Sangat konservatif dan sangat peka akan media. Mereka juga berkuasa. Mereka
yang menentukan hukuman."
Sejak Dewan Kajian itu berkuasa, kata Sheffer,
para pengacara mulai menghindari pengakuan bersalah atas dasar kegilaan, bahkan
saat kasusnya memang legal. Pasien jiwa yang melakukan tindak kriminal
disarankan untuk melalui sistem pengadilan: menerima hukuman, dikurung di
penjara negara, di sana selama setengah atau sepertiga masa hukuman, dan lalu
keluar karena penjara terlalu penuh atau karena perilaku baik. "Jika PSRB
menangkap seseorang yang terbebas atas dasar kegilaan," kata Sheffer, "mereka
bisa mengurungnya di Hatch selamanya. Dan itulah yang sering mereka lakukan.
Sejauh ini polanya seperti itu."
"Jadi, apa maksudmu?" tanyaku. "Bahwa mereka harus menangkap Thomas dan
mengirimnya ke penjara atas apa yang dia lakukan" Itu menggelikan."
"Aku tidak mengatakan itu. Sama sekali tidak. Kalau dia dipenjara maka ?perawatan mentalnya akan sangat minimal pendekatannya hanya seperti menutup
?luka dengan perban saja, dan itu pun kalau dia beruntung. Padahal dia butuh
perawatan menyeluruh, Dominick. Tak diragukan lagi, sakit kakakmu sangat parah.
Tapi kalau ini bukan masalah kriminal, maka Dewan Kajian adalah pihak yang
berhak memutuskan kapan dia bisa keluar dari sini. Dan seperti yang kubilang
tadi, mereka sangat konservatif. Juga takut akan media. Kedengarannya lebih
baik, tahu" Freddy Kruger sudah terkurung dan semuanya baik. Keluarlah,
keluarlah, di mana pun kau berada, tak perlu takut lagi. Apa kau sudah baca
koran hari ini?" Sudahkah" Aku tak ingat.
Telepon berdering lagi. Sembari bicara di telepon, Lisa membuka koran Daily
Record di mejanya dan menunjuk ke halaman dalam, tertulis:
PASIEN JIWA THREE RIVERS YANG MEMOTONG TANGAN SENDIRI DIMASUKKAN KE RUMAH SAKIT
FORENSIK Perutku menegang. Yesus Kristus, pikirku. Mulai lagi. Tapi setidaknya kini dia
bukan lagi berita halaman depan. Dia ada di halaman kedua. Mungkin waktu lima
belas menit ketenaran Thomas sudah mulai habis.
Artikel itu menyatakan kalau saja kakakku tidak langsung mengalami syok setelah
memotong tangannya, dia mungkin akan mengejar orang-orang lain. Berita itu
membuatnya terlihat seperti seorang psikopat yang memang sudah seharusnya
dikirim ke Hatch. Berita itu mendukung pengiriman Thomas ke Hatch. Sang wartawan
mengutip kata-kata birokrat di Hartford tentang keamanan publik bahwa hak
?pasien "berdampingan sejajar" dengan hak masyarakat mendapatkan lingkungan yang
aman, tapi hak masyarakat mendapatkan prioritas nomor satu.
Itu gombal: Thomas ancaman bagi publik" Aku tahu itu, demikian juga para dokter
yang pernah merawatnya. Tapi, aku mulai paham masalahnya. Dengan bantuan
Sheffer, situasinya mulai jelas bagiku seperti foto Polaroid yang mulai
memunculkan gambarnya perlahan-lahan: pengurungan kakakku di Hatch terkait erat
dengan masalah public relation. Tatanan sudah ditertibkan lagi. Mereka menutup
pintu di depannya, dan kini Dewan Kajian Keamanan Psikiatrik akan membuang
kuncinya sehingga dia tak bisa keluar. Oke, aku duduk dan berpikir. Sekarang aku
mengerti. Sekarang setidaknya aku mulai mengerti kartu apa yang kupunya.
"Maafkan aku, Dominick," kata Lisa, setelah meletakkan gagang telepon. "Aku
tahu, aku memberitahumu terlalu banyak malah lebih banyak daripada yang
?diizinkan pemerintah negara bagian Connecticut."
"Siapa peduli apa yang diinginkan pemerintah Connecticut?" tukasku.
"Yah, untuk awalnya, aku harus peduli setidaknya," katanya. "Kecuali jika kau
mau menafkahiku dan putriku. Dengar, biarkan aku mengulang sedikit
lagi mengatakan kepadamu tentang dasar aturan dari apa yang telah terjadi dan ?apa yang bisa kau harapkan sekarang. Oke?"
"Yeah," kataku. "Oke."
Thomas dimasukkan ke Hatch dengan Surat Darurat Medis, yang dikeluarkan oleh
dokter bedah di Shanley Memorial.
"Itu adalah surat untuk observasi lima belas harinya, bukan?"
"Benar," kata Lisa. Rumah sakit sekarang punya waktu lima belas hari untuk
mengamati sang pasien menentukan dalam periode dua minggu
?apakah dia berbahaya bagi dirinya sendiri dan orang lain. "Surat observasi lima
belas hari itu sebuah keharusan, Dominick," tambahnya. "Kau tak mungkin bisa
mengeluarkan kakakmu dari sini hari ini. Kau tak punya kuasa lagi. Thomas
minimal akan berada di sini selama lima belas hari sesuai perintah pengadilan."
"Ini menyebalkan," kataku. "Benar-benar siatan." Aku berdiri berjalan kembali ke
jendela. Para pasien di halaman telah masuk ke dalam. "Tak ada jalan untuk
melawan perintah lima belas hari ini?"
"Sebenarnya ada, tapi makan waktu lama. Mungkin malah membuang waktu saja.
Kakakmu atau kau bisa memohon pemeriksaan pengadilan. Lalu rumah sakit harus
membuktikan bahwa Thomas memang berbahaya bagi dirinya sendiri. Tapi coba
pikirkan: hakim hanya tinggal melihat pergelangannya yang terpotong. Itulah
buktinya, kan" Kau mau saranku?"
Aku masih memandang ke luar jendela. "Teruskan," kataku.
"Tahan saja lima belas hari ini. Biarkan kami yang merawatnya, mengamatinya,
melihat bagaimana perkembangannya setelah dia mulai minum obat lagi. Ini mungkin
menjadi tempat yang paling aman baginya."
"Oh, ya, benar," kataku. "Bersama segerombolan psikopat dengan riwayat
kekerasan." "Itu nggak adil, Dominick, dan tidak benar juga. Ada berbagai pasien sakit jiwa
di sini tak semuanya agresif. Cepat atau lambat, kau harus
?menghadapi fakta bahwa orang yang paling berbahaya bagi Thomas adalah Thomas
sendiri. Tapi dia akan selalu diawasi. Selama empat puluh delapan hingga tujuh
puluh dua jam ke depan akan ada seorang perawat yang berada di radius sepuluh
kaki darinya, dua puluh empat jam sehari. Jika dia ingin bunuh diri, akan ada
orang yang mencegahnya."
"Dia tak ingin bunuh diri," kataku.
"Yah, baiklah, itu kan, cuma kalau." "Lalu apa?" tanyaku. "Apa yang akan terjadi
setelah lima belas hari?"
Menurut Lisa, tim evaluasi Unit Dua akan memasukkan laporan kepada hakim
percobaan. Dia juga berperan. Dr. Patel, Dr. Chase, dan kepala perawat Unit Dua
juga. Rekomendasinya adalah bahwa dia bisa dibebaskan, atau dipindahkan ke
fasilitas lain, atau tetap di sini, di bawah yurisdiksi Dewan Kajian Keamanan
Psikiatrik. "Oke, misalkan hakimnya menyerahkan dia ke Dewan Kajian. Apa yang akan mereka
lakukan?" "Mereka akan memasukkan dia?"
"Ke mana?" "Menurutku ke sini. Ke Hatch." "Untuk berapa lama?"
Matanya menghindari pandanganku. "Setahun." "Setahun!"
Lisa mengangkat tangannya ke atas, tak berdaya. "Jangan bunuh si pembawa pesan,
Sobat. Dia akan di sini selama setahun, lalu kasusnya akan masuk ke kajian
tahunan." Aku duduk di kursi, melorot, bersidekap. "Setahun," kataku lagi. "Bagaimana aku
bisa memandangnya saat aku menemuinya hari ini dan mengatakan, 'Oke. Thomas,
begini perjanjiannya. Kau akan di sini selama lima belas hari ke depan dan
mungkin 365 hari setelahnya. Bagaimana aku harus mengatakan itu kepadanya?"
"Dominick?" kata Sheffer. "Itu juga hal lain lagi."
"Apa?" "Soal berkunjung. Kau tak bisa menemuinya."
Kunjungan dilarang, katanya, karena status keamanan maksimum. Thomas dan dia
akan membuat sebuah daftar pengunjung hingga lima orang. Pihak keamanan akan ?mengecek semua orang yang didaftar. Kami harus menunggu hingga diberi tahu.
Setidaknya butuh dua minggu sebelum izin turun.
"Dua minggu" Dalam dua minggu, dia sudah akan keluar dari sini!"
Lisa mengingatkanku bahwa itu tak bisa ditawar. Dia juga menyarankan agar aku
memelankan suaraku. "Jadi, kau bilang bahwa selama dua minggu ini dia akan sendirian di sini. Dia
bahkan tidak boleh bertemu dengan adiknya sendiri" Yesus, itu bagus sekali. Dia
mungkin ingin bunuh diri saat itu."
Lisa mengangkat bahu minta maaf. "Tak ada yang bisa kulakukan tentang hal ini,"
katanya. "Kecuali mengisi kesenjangan sebisa mungkin. Bertindak sebagai
sekutumu." Dia tersenyum. "Dan aku akan sangat senang melakukannya. Kau bisa
meneleponku kapan saja. Kapan saja kau butuh. Kalian berdua bisa berkomunikasi
melalui aku hingga izin berkunjung keluar."
Aku mengangguk, menyerah. Tiba-tiba aku merasa sangat mengantuk.
Selanjutnya, Lisa Sheffer menjelaskan lingkungan sekitar Thomas, rutinitas
hariannya: bagaimana kamarnya, bagaimana prosedur saat makan, bagaimana pasien
bisa mengakses komputer, seni, dan kerajinan, bahkan program ekstensi sarjana.
Aku tak benar-benar mendengarkan. Selama tiga puluh enam jam terakhir, aku sudah
melepaskan semua kemarahan dan kemurkaan. Aku merasa diriku kosong.
Dalam perjalanan keluar, kami bertemu dengan Dr. Patel. Wanita setengah baya:
rambut keperakan disanggul, sari oranye di bawah mantel labnya. "Sungguh
menyenangkan," katanya, menjabat tanganku. Dr. Patel mengatakan bahwa dia
sekarang dalam tahap mengumpulkan informasi terkait dengan terapinya pada
kakakku. Dia akan meneleponku setelah membaca semua catatan medisnya, dia dan
Thomas sudah bertemu dua atau tiga kali. Mungkinkah aku mau berbagi beberapa
pandangan pribadi yang bisa melengkapi riwayat medis Thomas"
Lisa Sheffer mengantarkanku hingga ke pintu utama; aku merasa seakan-akan
berjalan dalam tidur. "Aku akan masuk dan mengunjunginya begitu kau pergi,"
janjinya. "Aku akan bilang bahwa kau tadi ke sini mencoba menjenguknya. Ada hal
lain yang ingin kau pesankan?" "Apa?"
"Kau tahu tidak" Kau terlihat sangat butuh tidur. Aku bertanya, apa ada yang
ingin kau sampaikan pada kakakmu lewat aku?"
"Tidak, kurasa tidak."
"Kau nggak ingin aku bilang kalau kau mencintainya?"
Aku memandangnya. Melengos. "Dia tahu kalau aku mencintainya."
Lisa menggeleng dan mengeluh. "Ada masalah apa sih, kalian para pria dengan
huruf C?" katanya. Dia melangkahi garis batas lagi, tapi aku terlalu lelah untuk menolak. "Oke,
baiklah," kataku. "Katakan padanya."
Kami berjabat tangan. Dia bilang, aku boleh meneleponnya kapan saja. Bertanya
aku mau ke mana. "Mau ke mana aku sekarang?" Aku mengangkat bahu. "Rumah, kurasa. Kukira aku akan
pulang saja, mencabut kabel telepon dan tidur. Kau benar, aku belum tidur
sedikit pun." "Oh," katanya. Dia memandang sekitar, melambai pada penjaga di pintu dan
memelankan suaranya. "Kupikir sebaiknya kau ke dokter."
"Untuk apa" Kau bilang Ehlers bukan dokternya lagi. Sudah di luar kuasaku."
"Maksudku bukan Dr. Ehlers," katanya. "Maksudku dokter medis. Periksakan memar
dan lukamu. Ambil beberapa foto saat kau masih bengkak."
Aku memandangnya, bertanya-tanya.
"Siapa tahu, kau butuh dokumentasi. Sebuah senjata untuk nanti. Alat tawarmenawar dengan pemerintah Connecticut .... Tentu kau tidak mendapatkan gagasan itu
dari cewek corong perusahaan seperti aku. Aku tak pernah menyarankan hal seperti
itu." Setengah jalan keluar, aku berbalik. Dia masih berdiri di sana. Penjaga berahang
besar dan metal detector memisahkan kami. "Sampai jumpa lagi, Mr. Birdsey,"
katanya. Mengacungkan jempol. "Shalom! Arrivederci!
Sepuluh 1962 Thomas dan aku sudah pergi ke tiga negara bagian: Massachusetts, Rhode Island,
dan New Hampshire. Empat, kalau kau menghitung Connecticut juga.
Satu-satunya tempat yang pernah kami kunjungi di New Hampshire adalah Danau
Massabesic. Ray membawa kami memancing di sana tahun lalu. Kami menginap semalam
di sebuah pondok kayu dan sepanjang malam nyamuk mengerubungi kami. Kami juga
tak menangkap ikan. Tak satu pun. Satu-satunya hal yang kuingat tentang
perjalanan itu adalah tupai mati yang dijebak seseorang dalam kotak peralatan
pemadam kebakaran. Seseorang telah menaruh batu-batu di atas kotak sehingga
tupai itu terperangkap di sana. Mayat tupai itu meringkuk di salah satu pojok,
tapi kau bisa tahu kalau dia sudah berusaha mati-matian keluar dari sana. Ada
darah kering menghitam di sekitar mulutnya dan bangkai berbau juga serangga yang
sudah mulai memakan salah satu matanya. Ray mengangkat bangkai tupai itu dengan
tongkat dan melemparkannya. Bangkai itu tidak jatuh ke tengah
hutan; tapi tepat di pinggir hutan. Thomas ingin menguburkannya dan
memakamkannya, tapi Ray melarangnya. Jangan cengeng. Dan sepanjang waktu
menginap di sana, kami dengan jelas bisa melihat bangkai tupai itu. Bahkan
setelah itu, setiap kali ada orang menyebutkan New Hampshire, aku selalu
teringat bangkai tupai itu. Aku berani bertaruh bahwa aku memikirkan bangkai
tupai itu berjuta-juta kali.
Kurang dari satu jam lagi, kami akan pergi ke negara bagian yang lain, New York,
karena kami sedang dalam perjalanan darmawisata kelas enam ke Patung Liberty dan
Radio City Music Hall. Kami naik bus dengan kursi busa dan sebuah toilet di
belakang. Kami masih di Bridgeport, Connecticut. Eddie Otero mengatakan kalau


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bridgeport dekat dengan perbatasan New York. Otero punya sepupu yang tinggal di
Bronx, dan ini adalah jalan yang sama kalau dia pergi mengunjungi sepupunya.
Kami sudah berkendara selama hampir dua jam. Aku duduk di kursi paling belakang
dengan Otero dan Channy Harrington. Thomas duduk di bagian tengah. Dia duduk
dengan Eugene Savitsky, anak aneh di kelas kami, yang gemuk dan selalu mengoceh
tentang planet, geologi, dan air. Mrs. Hanka memperbolehkan kami memilih teman
duduk. Thomas dan Channy sama-sama memilihku. Dan aku memilih Channy. Tak
seorang pun memilih Eugene. Saat istirahat minggu lalu, Billy Moon menyuruh
Eugene menyebutkan nama lima tim football dan dia tak bisa menyebutkannya. Tak
satu pun. Kakakku dan aku menantikan darmawisata ini sejak lama, tapi untuk alasan yang
berbeda. Thomas ingin melihat pertunjukan paskah di Radio City. Ma pernah nonton
sekali: katanya adegan religiusnya sangat indah hingga membuatnya menangis. Itu
terdengar membosankan bagiku; terdengar seperti gereja. Aku menantikan saat
pergi ke New York ini karena dengan begitu aku sudah pergi ke empat negara
bagian dan karena aku punya uang jajan-tiga puluh tujuh dolar yang kudapatkan
dari menyekop salju, membawa anjing Mrs. Pusateri jalan-jalan, dan membantu Ray
pada akhir pekan. Akhir pekan lalu, Ray dan aku memasang lemari peralatan di
truknya. Dia memperbolehkan aku mengebor dan
mengencangkan bautnya. Selalu aku yang meminta agar diperbolehkan menolong Ray,
bukan Thomas. "Andy si Ringan Tangan", begitu dia menjulukiku. Sedangkan kakakku
adalah "Charlie si Jempol Sepuluh". Kalau dipikir-pikir, aku teringat pada tupai
di Danau Massabesic saat kami memasang lemari peralatan itu bahwa mungkin saja
seekor tupai juga terjebak di lemari ini. Terperangkap.
Di sekolah, kami menonton film paskah. Film yang kami tonton adalah The Music
Man. Mrs. Hanka kami menjulukinya Muriel Baby di belakang punggungnya melihat
The Music Man saat masih ditampilkan dalam bentuk drama, bukan film. Dia membawa
semua kaset lagu-lagu film itu dan menyuruh kami mendengarkannya. Semua anak
tertawa karena itu sangat kuno. Eddie Otero mulai
mendengus seperti babi. Lalu, tiga atau empat anak mengikutinya. Muriel Baby
sangat tersinggung, sehingga dia menghentikan musiknya dan seakan-akan mau
menangis. Katanya, kalau saja dia belum membeli tiket pertunjukan Radio City,
dia akan membatalkan acara darmawisata. Dia berpidato kalau kami tak peduli apa
pun, maka dia juga tak mau peduli. Lalu dia melakukan hal yang aneh. Dia
mematikan semua lampu di kelas, pergi ke lemari di belakang mejanya dan memakai
mantel. Dia duduk saja di mejanya. Tak ada pelajaran sosial seperti biasanya.
Tak ada apa pun. Tak seorang pun bicara. Kami semua duduk diam, tak berani
bicara, hingga interkom berbunyi dan memanggil anak-anak pulang naik bus sekolah
pukul 14.55. Seperti yang kubilang, itu aneh sekali. Menakutkan. Keesokan
harinya, semua anak bertingkah baik, bahkan Otero.
Kalau ada waktu, kami mungkin bisa berkunjung ke toko suvenir di Times Square.
Kalau itu toko yang sama seperti yang diceritakan Marie Sexton, maka toko itu
punya satu lorong penuh yang berisi hadiah-hadiah iseng: permen karet meletup,
bantal duduk yang bersuara, es batu dengan lalat di dalamnya, muntahan palsu.
Ketika aku bertanya pada Ma seberapa banyak aku boleh jajan, dia menyuruhku
bertanya pada Ray. Ray bilang lima dolar, tapi aku membawa tiga puluh tujuh
dolar: selembar sepuluh dolar, selembar lima dolar, dan dua puluh dua lembar
satu dolaran. Aku mungkin saja hanya jajan sedikit, atau mungkin
menghabiskan semuanya kalau aku mau. Kenapa tidak" Ini uangku, bukan uang Ray.
Semalam saat Ma membuat bekal kami untuk di jalan, dia mengatakan pada kami
bahwa kami nanti akan naik ferry Staten Island, kami akan melihat pemandangan
yang sama dengan yang dilihat ayahnya ketika pertama kali datang ke Amerika
tahun 1901: pelabuhan, Patung Liberty, kota New York di cakrawala. Ma selalu
bicara tentang ayahnya. Papa, Papa, bla, bla, bta. Awalnya, dia tidak
memperbolehkan kami menaruh kaleng soda bekal kami semalaman di lemari es.
"Bagaimana kalau meledak?" tanyanya, tapi aku berhasil membujuknya. Kau selalu
bisa mendapatkan apa yang kau mau dari Ma kalau Ray sedang kerja. Sekarang,
kaleng soda itu ada di kotak makan siang kami, di rak di atas kepala kami. Aku
baru saja mengecek punyaku. Sudah meleleh setengahnya. Saat makan siang nanti,
soda beku itu sudah meleleh semua, tapi masih dingin. Dengan kata lain,
sempurna. Channy Harrington melakukan hal yang sama dengan sodanya. Sebenarnya,
itu adalah gagasannya. Dia bilang, anak-anak di California selalu melakukan itu
dengan kaleng sodanya. Ayah Channy adalah salah satu bos besar di Electric Boat.
Ketika aku bermain ke rumah Channy, Ray bilang aku "sok". Tapi sebenarnya dia
suka kalau aku main ke sana. Keluarga Harrington punya pembantu dan kolam
renang, dan mesin pelontar bola bisbol untuk Channy dan kakak-kakaknya. Mesin
itu punya tiga kecepatan berbeda.
Kecepatan lontaran maksimal adalah tujuh puluh mil per jam. Kadang, pembantu
Channy membuatkan kami camilan sepulang sekolah: kue oatmeal, keripik kentang
dan saus bawang, sandwich selai kacang, dan Marshmallow Fluff. Thomas tak pernah
diundang ke rumah Channy. Dia bilang, dia muak setiap saat mendengar cerita
tentang pembantu Channy dan sandwich-nya, juga mesin pelontar bola bisbol
bodohnya. Eugene Savitsky sedang menguliahi kakakku tentang bagaimana benda-benda bisa
mendobrak pembatas suara. Dia sangat bersemangat, sehingga suaranya terdengar ke
mana-mana. Kami tak hanya pergi ke Patung Liberty; kami akan masuk. Patung itu
punya tangga yang naik sampai ke atas. Eddie Otero bilang, dia akan menaiki
hidung Liberty dan bergantung di sana seakan-akan dia kotoran hidung Sang Dewi
Liberty. Dia pasti melakukannya. Otero memang gila.
Muriel Baby datang ke bagian belakang dan menyuruh kami berhenti menyanyikan "A
Hundred Bottles of Beer on The Wall". Katanya tidak pantas kami menyanyikan lagu
tentang alkohol dalam perjalanan darma wisata sekolah. Kami seharusnya tahu itu.
Dia juga memarahi Marty Overturf karena makan bekal makan siangnya ketika waktu
bahkan belum menunjukkan pukul 09.15 pagi. Memangnya, apa peduli dia" Itu kan,
makan siang Marty, bukan punyanya.
Channy Harrington adalah satu-satunya anak lelaki kelas kami yang sudah
bercukur. Setiap anak perempuan di sekolah kami jatuh cinta padanya, hampir semua. Debbie Chase tadi
mengajaknya duduk berdampingan di bus, tapi Mrs. Hanka bilang padanya kalau anak
laki-laki dan anak perempuan tak boleh duduk bersama. Ketika Channy pindah ke
sekolah kami November lalu, dia langsung populer, bahkan pada hari pertama. Dia
punya piala renang dan basket dari sekolah lamanya yang ditata rapi di rak
kamarnya. Channy bilang, setiap orang di California mempunyai kolam renang,
bahkan orang miskin sekalipun. Kakaknya, Clay, masuk tim bisbol di universitas.
Dia kini diincar oleh klub Cardinals.
Sekarang Eugene menggombal pada kakakku tentang planet. Uranus begini, Uranus
begitu. Tiba-tiba Otero berteriak, "Hei, Savitsky! Berhenti membicarakan lubang
pantatmu!" Seluruh anak di bus memandang ke arah kami di belakang dan tertawa.
Muriel Baby berdiri dari kursinya di depan, merengut marah ke arah kami, lalu
duduk lagi. Sopir bus memandangi kami lewat kaca spion. Lihat apa dia" Tugasnya
adalah menyetir, bukan memelototi kami. "Sopir jelek itu seharusnya memotret
kita saja," kata Channy. "Jadi dia bisa memandang sepuasnya."
Kursi kami tepat di samping toilet bus. Umumnya yang harus pergi ke toilet
adalah anak-anak perempuan. Otero, Channy, dan aku meledek mereka saat mereka
keluar masuk. "Jangan jatuh, ya .... Jangan melakukan apa-apa di dalam sana yang
tak akan kami lakukan." Kami saling melucu. Channy sudah pernah ke Radio City.
Dua kali. Dia bilang, ketika pintu terbuka, kami harus segera menuju ke kursi depan sehingga
ketika penari Rockette mengangkat kakinya, kami bisa mengintip "lipatannya".
Walaupun Channy yang mengatakan itu, Susan Gillis berbalik dan memelototi aku,
dan aku membalas dengan sok, "Lihat apa kamu?" Ibu Susan harusnya menjadi
pembimbing kami dalam darmawisata ini, tapi dia sakit gondong. Sekarang, Susan
bersikap seakan-akan dialah pembimbingnya. "Kau sebaiknya berhenti bicara
seperti itu," katanya. "Seperti apa?" tantangku.
"Seperti yang baru saja kau katakan tentang penari Rockette." "Coba saja."
"Kau sudah mengatakannya dan kacau sekali."
Bagaimanapun, sepertinya Mrs. Hanka tidak akan memperbolehkan kami duduk di mana
pun kami mau saat kami sampai di Radio City nanti. Dia pasti menyuruh kami semua
duduk bersama di satu barisan, seperti bayi, dan aku berani bertaruh kalau dia
akan duduk di sebelah Otero. Minggu lalu, kami belajar kata incorrigible (tak
bisa diperbaiki) dalam pelajaran kosa kata dan Muriel Baby menggunakan Otero
sebagai contohnya. Thomas berdiri dari kursinya, melewati Eugene, dan berjalan ke belakang.
Seseorang sengaja menyorongkan kakinya dan Thomas pun jatuh, semua orang
tertawa, Channy dan Eddie yang tertawa paling keras. Thomas kadang sangat idiot.
Aku memandang ke luar jendela sehingga aku tak harus melihatnya.
Dia membuka pintu toilet. "Jangan mengencingi dirimu sendiri," kata Channy.
"Kalau Althea ke sini, aku akan memasukkannya ke dalam untukmu," janji Otero.
Yang dia maksud adalah Althea Ebbs, anak perempuan gemuk di kelas kami yang
badannya bau dan selalu menangis. Thomas tak menjawab mereka. Aku mendengar
pintu toilet tertutup. Mendengarnya mengunci pintu.
Lima menit berlalu dan dia masih di sana. Lalu enam atau tujuh menit. Aku
mendengarnya menyiram sejak tadi. Marie Sexton dan Bunny Borsa sudah berkalikali bangkit dari kursi untuk melihat apakah toilet kosong. "Siapa di dalam?"
tanya Bunny pada kami. "Kakaknya," kata Otero, menusukkan jempolnya padaku. "Dia buang air besar
sebanyak dua ton." "Itu atau dia lagi asyik yang lain," kata Channy.
Mereka tertawa ketika Bunny mengatai mereka babi jorok.
Lalu pegangan toilet bergerak naik turun cepat sekali. "Dominick?" Itu Thomas.
"Dominick?" Dia terkunci. Dia tak bisa keluar. Aku bisa mendengar kepanikan dalam suaranya,
dalam gerakan pegangan pintu, dalam hantaman tinjunya berkali-kali ke pintu.
Channy dan Otero tertawa tak terkendali.
Marie Sexton, Susan, dan aku meneriakkan instruksi pada Thomas, tapi dia terlalu
takut atau terlalu kejang untuk mengikutinya. "Aku akan muntah kalau aku tak
bisa keluar dari sini!" teriaknya. Itu membuat Channy dan Otero tertawa
makin keras. "Tenanglah," kataku padanya. "Pelankan suaramu. Kau membuat keadaan lebih
buruk." "Pintu ini macet. Tak mau terbuka!" Lima atau enam anak lain kini berkerumun di
belakang; semua orang meneriakkan perintah pada Thomas. Beberapa anak perempuan
mengeluh sudah tak tahan lagi ingin buang air kecil. Mrs. Hanka berjalan ke
belakang. Di kelas, dia lebih menyukai Thomas dibandingkan aku. Kau bisa
melihatnya. Mr. Goody Twoshoes. Mr. Perfect. Tapi, sekarang dia marah pada
Thomas. "Ke kiri! Dorong ke kiri!" dia berteriak kesal, dengan suara yang
biasanya dia gunakan untuk Otero atau Althea Ebbs.
Aku tahu situasi jadi serius ketika sopir bus menepi dan menghentikan bus.
"Duduk! Duduk!" dia berteriak pada semua orang, berusaha jalan ke belakang. Aku
tak percaya: kakakku yang bodoh dan idiot menghancurkan darmawisata kami ke New
York City. "Bersamaan1. Gerakan pegangan pintu dan kuncinya bersama1." teriak sopir bus
pada pintu toilet yang terkunci. Dia melepas jaket seragamnya dan punggung
kemejanya basah kuyup berkeringat. Wajahnya merah seperti daging panggang
mentah. Kami sudah berhenti di pinggir jalan raya selama lima belas menit.
"Keluarkan ... aku ... dari ... sini!" Thomas terus berteriak. "Tolong! Tolong!
KELUARKAN AKU!" Badannya terus menghantam pintu. Perutku terasa
mual seperti aku berada di lift yang turun terlalu cepat. Kalau aku sampai
menangis di depan Channy dan Otero, aku tak peduli apa kata orang, aku mau
pindah sekolah. "Dua belas tahun aku menyopir bus," kata sopir pada Mrs. Hanka. "Dan hanya
beberapa kali aku lupa membawa peralatanku." Dia bilang kami harus keluar dari
jalan tol di pintu terdekat dan pergi ke pompa bensin. Mungkin dengan besi datar
dia bisa membuka paksa pintunya. Atau mungkin pompa bensin punya bor untuk
membuka baut pegangan pintu. Kalau tidak, dia harus menelepon perusahaannya dan
meminta seseorang datang dengan peralatan untuk membuka pintu bus.
"Berapa lama waktu yang dibutuhkan?" Tanya Mrs. Hanka. "Tiket Radio City kami
adalah untuk pertunjukan pukul 14.30. Kami harus naik feri pukul 10.45 paling
lambat atau kami tak bisa pergi ke Patung Liberty."
"Aku tak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan, Nyonya," kata sopir. "Aku tak
bisa memberikan jaminan."
"Maafkan aku, Dominick!" teriak Thomas dari balik pintu. "Maafkan aku!"
Bus keluar dari jalan tol di pintu berikutnya dan merayap di lalu lintas jalan
utama yang padat. Eugene Savitsky datang ke belakang. Dia berdiri diam di sana,
mencubit-cubit kursi, dan memandang pintu toilet seakan-akan itu adalah masalah
ilmiah. "Suruh dia mendorong gerendel ke arah sebaliknya," katanya padaku.
"Suruh dia mendorongnya ke
kanan bukan ke kiri."
"Arahnya bukan ke kanan," kata seseorang.
"Katakan saja. Mungkin dia bingung."
"Dorong ke kanan," kataku pada Thomas.
Gerendel bergeser. Pintu berderit membuka.
Thomas muncul di antara suara tepuk tangan dan ejekan. Dia sangat pucat,
kulitnya membiru. Awalnya dia tersenyum. Lalu wajahnya berkerut. Dan dia mulai
menangis. Aku kasihan padanya. Dan marah. Dan malu. Anak-anak juga memandang padaku, bukan
hanya Thomas. Si kembar Birdsey: kembar identik idiot. Aku ingin meninju senyum
mengejek di wajah bodoh si kaya Channy Harrington. Menghantam hidung besar dan
jelek Otero. Sopir bus berbalik di lahan parkir yang kosong dan kembali menuju jalan tol.
Mrs. Hanka mengatur kembali tempat duduk kami. Sekarang Thomas dan aku duduk
berdua di depan dan Otero harus duduk dengan Eugene Savitsky. Channy, Debbie
Chase, dan Vvette Margritte tertawa cekikikan di belakang.
Sepanjang sisa hari yang panjang itu, Thomas bertingkah keterlaluan. Di Patung
Liberty, dia bilang pada Mrs. Hanka dia terlalu takut untuk masuk ke dalam. Dia
memintaku menemaninya di bawah. Seorang pria berseragam meneriakiku karena
melempar kerikil ke air. Setelah itu, kakakku dan aku duduk di pagar melihat
pelabuhan. "Coba pikir," kata Thomas akhirnya memecah kesunyian. "Ini persis apa
yang dilihat kakek ketika dia pertama kali datang dari Italia."
"Maukah kau menolongku?" kataku padanya. "Maukah kau diam, Sialan?" Aku belum
pernah bilang sialan keras-keras sebelumnya. Mengatakan itu keras-keras terasa
enak. Aku merasa marah dan kejam, seperti Ray.
Aku menghabiskan semua uangku. Di Radio City, aku membeli buku suvenir deluxe
seharga tiga dolar yang sebenarnya tak begitu kuinginkan. Di toko suvenir di
Times Square itu memang toko yang sama yang diceritakan Marie aku membeli
penggaruk punggung, plakat Roger Maris dan Mickey Mantle, tarantula karet, dan
muntahan palsu dari plastik. Di restoran dalam perjalanan pulang, aku memesan
shrimp cocktail, T-bone steak, dan Dutch apple pie a la mode. Channy dan Otero
makan hamburger mereka di pojok bersama Debbie dan Vvette. Aku terjebak di meja
dengan si gemuk bodoh Eugene Savitsky dan kakakku yang bodoh dan jelek. Eugene
memesan hati dan bawang bombai. Vang dimakan Thomas hanyalah sup mi ayam dan
biskuit asin. Kakak Channy, Trent, memberi tumpangan kepada Thomas dan aku ke rumah. Itu sudah
direncanakan sebelumnya idenya Channy. Channy dan Trent duduk di depan, Thomas
dan aku duduk di belakang. Channy tak mengatakan apa pun pada kami berdua. Dia
bicara pada kakaknya, menyalakan radio keras-keras, menyebut sesuatu tentang
seseorang yang mereka kenal di California yang bodoh. Aku tahu, aku tak akan
lagi pergi ke rumah Channy bahwa sandwich selai kacang dan
marshmaiiow dengan pinggir dipotong adalah sandwich terakhir yang dibuatkan
pembantu rumah Harrington untukku. Aku tak akan lagi mencoba memukul bola dari
mesin pelontar bola bisbol itu.
"Bagaimana perjalanan kalian?" tanya Ma pada kami di rumah.
"Lumayan bagus," kata Thomas. "Aku benar-benar suka pertunjukan Paskahnya. Bagus
sekali." Dia tak bilang apa pun tentang kejadian dia terkunci di toilet bus. Aku
juga diam saja. "Dan bagaimana denganmu, Dominick?" tanya Ma. "Apa kau juga bersenang-senang?"
Suvenir buku program deiuxe-ku tertinggal di bus. Seseorang duduk di penggaruk
punggungku dan mematahkannya. Dari tiga puluh tujuh dolar yang kubawa, hanya
tinggal delapan puluh tiga sen. Untuk sedetik aku ingin menangis. Tapi kemudian
aku berhasil menguasai diri. "Membosankan," kata-ku pada Ma. "Menyebalkan,
seperti semua yang memang selalu menyebalkan."
Malam itu, aku bermimpi terperangkap di gua kecil gelap di hutan yang tak
kukenal. Gelap gulita. Aku meninju-ninju dinding dan berteriak-teriak minta
tolong, dan ketika akhirnya aku menemukan jalan keluar, aku sadar kalau aku
tidak terperangkap di gua, tapi di dalam Patung Liberty.
Sebelas Di ruang tunggu klinik medis yang fuif-music itu aku, duduk sambil membaca
Newsweeks edisi berbulan-bulan lalu. Saat menunggu, aku harus menahan lirikan
dan pandangan mengintip semua orang yang ingin melihat duplikat si gila dari
perpustakaan. Seorang gadis remaja terus-menerus memandangi kedua tanganku.


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Resepsionis yang memberikan formulir asuransi untuk kutandatangani langsung
menarik tangannya menjauh ketika aku mengulurkan tangan untuk mengambil pulpen.
Setelah namaku dipanggil, aku menunggu di ruang periksa selama lima belas atau
dua puluh menit. Lalu aku menceritakan kisahku pada Dr. Judy Yup.
Dr. Yup, dengan senyum yang tak pernah meninggalkan wajahnya selama sepuluh
menit memeriksaku, mengatakan bahwa aku sudah menjadi korban tindak kekerasan
dan menyatakan bersedia bersaksi atas fakta ini. Dia bilang dia pernah belajar
setahun di Cina dan punya teman yang terlibat demonstrasi Lapangan Tiananmen.
Sepupunya, katanya, bersembunyi di Provinsi Cina Selatan sejak peristiwa itu.
"Yah," kataku, "kau tak bisa membandingkan tindakan salah satu penjaga
menyebalkan di rumah sakit jiwa dengan apa yang terjadi di sana." "Mengapa
tidak?" tanyanya, senyum menghilang dari wajahnya. "Penindasan tetap
penindasan." Dale, perawat pembantu yang memfoto lukaku, menceritakan kejadian saat dia dan
sepupunya dihentikan dan dikasari oleh sekelompok polisi negara bagian ketika
pulang dari menonton konser Aerosmith. "Coba kalau aku pintar dan melakukan apa
yang kau lakukan sekarang, Man," katanya. "Kami pasti bisa mendapat uang
banyak." Aku tak ingin dapat uang banyak. Tapi gambaran itu mulai muncul di kepalaku:
kakakku keluar melewati pintu utama Hatch, berkedip silau terkena matahari.
Petugas sosial itu benar kurasa; aku memang bertindak menyebalkan semalam. Apa
pun hasil dari pemeriksaan medis, Sheffer telah mempertaruhkan lehernya sendiri
dengan menyarankan padaku untuk melakukannya. Memikirkan dia ada di sana,
mengawasi kakakku, membuatku sedikit lega. Membuatku santai. Membuatku
mengantuk. Ketika aku kembali ke truk, aku duduk diam, hampir tertidur sebelum
akhirnya aku berhasil memasukkan kunci dan menderum pergi.
Dari klinik, aku mampir ke rumah Henry Rood. Sebaiknya membereskan masalah ini
sekalian, kataku pada diri sendiri. Aku akan membersihkan dinding rumah itu
hingga tuntas akhir pekan nanti, mengikis dan menyiapkannya untuk dicat pada
minggu berikutnya. Mungkin dengan bantuan Ray, aku bisa selesai mengecat rumah
tingkat tiga yang membuat sakit kepala ini saat Halloween nanti. Aku tak ingin lebih lama lagi.
Suhu bulan November musuh bagi cat dinding berbahan dasar minyak; matahari hanya
muncul tiga atau empat jam sehari, itu pun kalau kau beruntung. Aku juga
sekalian mau meminta Rood untuk memperhalus pesan-pesannya di telepon. Aku sudah
muak dengan omelannya. Pagi tadi lumayan dingin, namun sekarang udara cerah dan hangat, suhu mencapai
dua puluh lima derajat Celcius. Cuaca yang sempurna untuk mengecat. Ketika aku
sampai di rumah di Gillette Street itu, istri Rood, Ruth sedang duduk-duduk
berjemur di beranda depan. Dengan rambut hitamnya yang kaku dan lurus serta
kulitnya yang warna pastel dia sedikit mengingatkanku pada Morticia Addams.
Terutama saat dia duduk di depan rumah horor gaya Victoria miliknya. Ruth
tersenyum saat aku mendekat. "Aku seharusnya di dalam menilai ujian," katanya,
"tapi aku malah di sini, merayakan musim panas India." Di sebelahnya, radio saku
menyiarkan pertandingan pembukaan World Series.
Saat aku bilang mau bertemu dengan Henry, Ruth bilang dia tak ingin
mengganggunya. Suaminya sedang mengetik di depan komputer atau tidur siang,
katanya. Atau mabuk karena alkohol, pikirku. Ruth sendiri juga sedang minum
siang. Gelas dingin berembun berisikan minuman alkohol entah jenis apa ada di
lantai di dekatnya. "Katakan saja, aku minta maaf karena keterlambatanku," kataku. "Tak bisa
kuhindari. Selama beberapa hari ini banyak terjadi peristiwa yang tak bisa kukendalikan."
"Ya, kami juga membacanya," katanya. Aku melengos.
"Katakan ... katakan padanya mungkin aku akan menyiapkan rumah ini Rabu atau Kamis
depan bergantung berapa banyak cat yang harus kukelupas." Kukatakan aku mungkin
akan menyelesaikan semuanya dan menurunkan perancah sekitar dua minggu lagi
maksimal, selama cuaca menguntungkan. "Minggu depan mungkin aku sudah bisa kerja
penuh," kataku. "Jadi, katakan dia tak perlu meneleponku terus."
Saat Ruth menanyakan bagaimana kabar Thomas, aku menjawabnya sambil memandang
pagar beranda mereka, dan tidak melihat ke matanya. "Dia baik-baik saja,"
kataku. "Sudah mulai sembuh."
Ruth bilang saat dia masih kecil, tetangganya di Ohio mencungkil matanya
sendiri. Untuk alasan religius, katanya, sama seperti kakakku. Saat itu Ruth
sedang duduk di sofa, membaca buku, ketika dia mendengar istri pria itu
menjerit. Kemudian, dia melihat paramedis membimbing pria itu ke ambulans,
sebuah handuk melingkar di kepalanya. Dia selalu teringat betapa pria itu
terlihat tenang-betapa tenangnya dia, padahal telah mencungkil matanya sendiri.
Mencekam sekali, katanya. Tetangganya itu pindah tak lama kemudian-pria itu,
istrinya, dan dua anak perempuan mereka. Tapi Ruth bilang dia selalu teringat
pria itu. "Padahal, dia cuma tetanggaku.
Jadi, aku bahkan tak bisa membayangkan apa yang kau alami," katanya. "Yah, aku
bisa dan tak bisa. Yang ingin kukatakan adalah, aku turut prihatin."
Aku mengangguk. Memandang ke matanya yang gugup dan berkedip-kedip. Simpati
adalah hal yang tak kuharapkan kudapat dari tempat ini.
Ruth bertanya apakah aku mau minum rye dan jahe bersamanya. Mereka juga punya
bir, katanya. Pabst Blue Ribbon. Atau gin. Tubuhnya bergetar penuh antisipasi.
Aku pamit mengarang beberapa hal yang harus kulakukan. Aku mengangguk ke arah
radio pertandingannya. "Jadi, kau bertaruh untuk siapa?" tanyaku.
"Oh, aku penggemar Cincinnati," katanya. "Dari dulu sekali. Ayahku sering
mengajak kakakku dan aku menonton pertandingan Red Legs saat ke-cil dulu.
Bagaimana denganmu?"
"Yeah, Cincinnati juga kurasa. Apalagi sekarang Boston payah lagi seperti biasa.
Kalau saja Clemen tidak mengamuk saat play off dan dikeluarkan, mungkin Sox yang
akan bermain di Series, bukannya A's. Terus te-rang saja, aku benci Oakland."
"Aku juga," katanya. "Jose Canseco" Yecch."
Aku mengangguk ke arah jendela kamar kerja Rood. "Ngomong-ngomong, apa yang dia
tulis di sana?" kataku. "Novel Amerika Terhebat?"
Ruth menggeleng. Nonfiksi, katanya. Sebuah pembeberan.
"Yeah" Apa yang dia beberkan" Tukang cat rumah?"
Ruth tersenyum, jarinya bermain-main dengan kancing blusnya. Jelas terlihat
kalau dia depresi. Henry sudah menulis buku ini selama sebelas tahun, katanya
padaku. Berat sekali baginya; dan dia mulai tertekan. Ruth bilang, dia tak bisa
membicarakan topik ini. Henry akan marah kalau dia membicarakannya.
Itu membuatku teringat cerita Ma tentang saat ayahnya menulis auto biografi:
bagaimana selama musim panas saat Papa menulis kisahnya dan semua orang harus
diam. Bagaimana Papa menyewa seorang stenografer, menyewa dictaphone, dan
akhirnya menyepi di halaman belakang dan menyelesaikannya sendiri.
Aku bilang pada Ruth Rood bahwa aku akan datang dua hari lagi-dan bahwa saat aku
sudah menyelesaikan rumahnya, dia dan suaminya akan bosan melihatku.
"Oh, sepertinya itu tak mungkin," katanya. Di radio, penonton bersorak. Suara
penyiar menjadi bersemangat. Eric Davis baru saja mengalahkan dua home run Dave
Stewart. "Yippeef" teriak Mrs. Rood, menghabiskan segelas rye dan jahenya.
Dengan dua urusan selesai, dan tinggal satu lagi, aku menuju ke Hollyhock Avenue
untuk menemui Ray. Di perjalanan aku teringat pada Nedra Frank sialan itu. Dia
mencuri manuskrip kisah kakekku. Menguangkan cekku dan menghilang. Saat ini,
mungkin dia telah membuang kisah itu ke tempat sampah. Kisah kakekku mungkin
sudah tak ada lagi sekarang.
Aku pelan-pelan menyusuri Hollyhock Avenue, berhenti di depan rumah dan
mematikan mesin. Aku tak segera turun, duduk di mobil dan memandang "rumah" yang
dibangun Papapohon-pohonnya terlihat rimbun dan perlu dipotong; pagar tanamannya
butuh dipangkas. Tak biasanya Ray membiarkan halaman berantakan seperti itu.
Thomas dulu sering bilang bahwa Ray tak bisa tidur sebelum pagar tanaman
berbaris rapi dan tegak rumput halaman terpotong pendek seperti potongan crew
cut-nya. Tong-tong sampah juga masih di luar-sudah dikosongkan truk sampah
kemarin dan masih belum dibawa kembali ke belakang. Padahal, itu dulu selalu
mengesalkan Ray; orang-orang yang malas menyimpan tong sampahnya. Kami sering
mendengar kuliahnya tentang itu.
Aku keluar dari truk. Melewati tong-tong sampah itu dan menaiki tangga teras ke
rumah kopel keluarga kami. Home Sweet Home, alias Rumah Horor. Keterbatasan kami
menghadapi semua kekerasan Ray sudah berhenti sejak kami dewasa, tetapi kembali
ke Hollyhock Avenue nomor 68 selalu membuatku merasa marah dan kerdil. Kembali
menjadi anak umur sepuluh tahun lagi dan tak berdaya.
Kalau dipikir lucu juga semua hal yang telah terjadi. Ma meninggal, aku punya
kondominium di Hillyndale. Selama beberapa tahun terakhir, Thomas tinggal di
rumah sakit atau di asrama, tidak di rumah ini. Satu-satunya orang yang
tertinggal di rumah yang dibangun oleh Domenico Tempesta tua
adalah Ray Birdsey, seorang WASP (White Anglo-Saxon Protestant) dari Youngstown,
Ohio. Tak ada keturunan Tem pesta lagi yang tinggal di rumah ini. Bahkan Ray tak
punya darah Italia. Ray tak ingin menyewakan sisi rumah kopel satunya setelah
Little Sal, yang terakhir dari keluarga Tusia, pindah ke Arizona ke tempat
anaknya. "Kenapa kalian nggak pindah ke sini lagi saja?" tanyanya padaku,
setelah aku dan Dessa bercerai. "Jadi, kau tak usah mengangsur hipotek. Lagi
pula, kau dan kakakmu berbagi kepemilikan atas rumah ini. Setelah aku mati,
semua akan jadi milik kalian."
Secara finansial itu tindakan yang bagus, tapi secara emosional juga bisa
dibilang tindakan bunuh diri. Jadi, aku membeli kondominium dan kopel sebelah
tetap kosong. Ketika suatu kali aku memintanya untuk menyewakan rumah itu, Ray
bilang dia tak butuh pendapatan tambahan. "Yeah, mungkin kau tak butuh," kataku
padanya, "tapi, aku tak bisa berpaling dari kesempatan mendapatkan 700 dolar
sebulan dari biaya sewanya." Bukannya menyewakan tempat itu, Ray malah pergi ke
Liberty Bank dan membuka tabungan dengan Thomas dan aku sebagai ahli waris.
Setiap bulan, dia memasukkan 350 dolar ke tabungan itu. Itu seimbang dan pantas,
kata Ray padaku. Kau tak tahu kau bisa terjebak dengan siapa saja. Temannya
Nickerson di Boat menyewakan lantai atas rumahnya pada segerombolan babi bodoh
yang tak bisa dia usir, walaupun dia sudah melakukan berbagai usaha. Ray tak
butuh masalah seperti itu.
Jadi, dia membayar ke tabungan itu tiap bulan dan tinggal sendirian di rumah
kopel dua keluarga yang dibangun Domenico Tempesta dengan enam belas kamar.
Aku tidak mengetuk, tapi masuk sendiri dengan kunciku. La chiave, pikirku. Aku
berjalan menyusuri rumah, dari depan ke belakang. Lumayan lama aku tak ke sini.
Kamar-kamar terlihat penuh, semua barang ditumpuk rapi, tapi tak disimpan.
Peralatan, tumpukan surat kabar lama, dan teka-teki jigsaw yang baru selesai
setengahnya terhampar di meja makan. Karpetnya terasa kotor dan risi di bawah
botku. Di dapur, bau makanan gorengan berlemak menguar. Piring, panci, dan
cangkir semua bersih dan tertata di meja, tapi Ray tak memasukkannya ke lemari.
Juga berderet di meja, obat tekanan darah tinggi dan diabetesnya, setumpuk
Reader's Digests dan dua tumpukan surat yang diikat karet. Daily Record hari ini
terlipat empat, terbuka tepat di bagian berita masuknya Thomas ke Hatch.
Jadi Ray sudah tahu. Setidaknya aku tak perlu memberitahunya.
Aku menemukan Ray di kamar belakang, di bawah selimut, mendengkur di kamar yang
gelap. Dia mulai tidur di bawah sejak Ma meninggal. Alasan resminya adalah ada
pencuri di daerah ini-beberapa waktu lalu seseorang telah membuka paksa pintu
ruang bawah tanah rumah keluarga Anthony di seberang jalan. Tapi aku yakin,
alasan sebenarnya bukan itu. Setelah Dessa meninggalkanku, salah satu hal paling
sulit kuatasi adalah sisi kosong di
ranjangku. Aku biasanya tertidur di sofa di depan TV sehingga aku tak perlu naik
ke atas dan melihat sisi kosong itu. Bukan berarti masalah itu adalah masalah
yang bisa kaubicarakan dengan Ray. Dia harus tidur di bawah dengan linggis di
bawah tempat tidur untuk berjaga-jaga kalau ada pencuri. Menjadi pria sok kuat
daripada menghadapi apa pun perasaan yang dirasakannya setelah kematian
istrinya. Kalau Ray tidur pada siang hari, dia pasti baru mendapat shift kerja malam di
galangan kapal. Kau harus kagum padanya. Enam puluh tujuh tahun dan pria itu
masih bekerja seperti kuda bajak. Aku berdiri di sana, memandanginya tidur.
Cahaya matahari siang hari memberkas dari sela-sela gorden, wajahnya terlihat
bergaris. Dengan mulut terbuka menampakkan giginya, Ray terlihat lebih tua.
Rambutnya berwarna putih, tak lagi abu-abu. Kapan semua ini terjadi"
Selama aku tumbuh, aku sering berharap ayah tiriku mati, dan bah-kan itu telah
menjadi hobiku. Aku membunuhnya lagi dan lagi dalam angan-angan mendorongnya ke
jurang, menyetrumnya saat dia berendam di bak mandi, menembak mati dia, seolaholah kecelakaan saat berburu. Dia telah mengatakan dan melakukan hal-hal yang
masih belum bisa kulupakan. Dia telah membuat tempat ini menjadi rumah penuh
ketakutan. Namun, melihatnya seperti ini rambut beruban dan rapuh, bagai mayat
yang mendengkur hatiku penuh dengan simpati tak terduga untuknya.
Simpati yang tak ingin kurasakan. Simpati yang segera ingin kuhilangkan.
Aku kembali ke dapur. Menemukan selembar kertas dan menuliskan pesan tentang
Thomas di kertas itu. Aku menjelaskan apa yang telah dikatakan Sheffer tentang
pengamatan lima belas hari, pengecekan keamanan yang harus dilakukan untuk
pengunjung, sidang di depan De-wan Kajian. "Telepon kalau kau ada pertanyaan,"
tulisku di paling bawah. Tapi kukira Ray tak akan menelepon. Kukira Ray sudah
mulai melupakan masalah ini.
Saat kembali ke truk, aku melewati tong-tong sampah itu lagi. Lalu aku berhenti.
Mengangkat pegangannya satu di tiap tangan naik ke teras terus ke halaman ? ?belakang dan meletakkannya di situ. Jadi, Ray tak perlu melakukannya.
Halaman belakang kami ....
Aku meletakkan tong-tong itu dan melewati dua pot semen besar tempat Ma menanam
parsley dan basil. Basil segar. Ya ampun, aku suka baunya bagaimana bau itu
?menempel di jarimu sepanjang hari ... Dominick" Tolong aku ya, Sayang" Pergi ke
belakang dan petik beberapa helai daun basilico untukku. Sekitar setengah lusin
saja. Aku mau mencampurkannya ke saus ....
Aku menaiki enam anak tangga semen menuju "sekeping kenangan Papa dari Old
Country". Itulah julukan Ma untuk tempat ini. Menurut Ma, Papa suka duduk di
sini di antara pohon-pohon anggurnya, kandang ayam, tanaman tomat, dan
merica duduk di bawah sinar matahari dan minum
?anggur buatan sendiri, mengingat Sisilia .... Mungkin itu sebabnya mengapa Ma
mendengarnya menangis pada hari terakhir dia duduk di sana, menyelesaikan
kisahnya. Mungkin di akhir hidupnya, "Pria Besar yang Mulai dari Nol" itu
menangisi Sisilia. Aku ingat bagaimana Thomas dan aku sering bermain di sini saat masih kecil. Kami
main egrang keliling halaman, main Indian dan koboi dari boneka plastik,
mengejar ular sayur hingga ke pagar dinding. Setiap Juni, saat semak honeysuckle
mekar, kami biasa mengisap madu dari bunganya. Setetes madu di lidahmu dari
setiap bunga itu saja yang kau dapat.
?Aku berjalan ke meja piknik yang dibuat Ray dengan mengajakku di suatu musim
panas. Tempat duduknya sudah lapuk di salah satu ujungnya. Aku harusnya mampir
kapan-kapan dan membuang meja ini ke tempat sampah untuk membantu Ray. Mungkin
musim semi depan aku akan ke sini dan menanami kebun mencangkul tanah,
?menghidupkan kembali halaman ini dari kematian. Ray juga membiarkan halaman ini
tak terurus; aku belum pernah melihat halaman belakang berantakan seperti ini.
Pohon anggurnya mati terkena benalu. Rumputnya setinggi lutut. Mungkin belum
pernah dipotong sekalipun sepanjang musim panas. Mungkin penuh serangga. Ada apa
sih, dengan Ray" Aku berpikir akan apa yang dikatakan Ma waktu itu hari ketika dia pergi ke
lantai atas dan mengambil brankas. Brankas yang berisi kisah Papa. Dia keluar ke
sini dengan membawa makan siang
Papa, kata Ma padaku. Dan menemukan ayahnya duduk merosot di kursi .... Dan ketika
Ma menunggu bantuan-menunggu ambulans datang dia berjalan keliling halaman
memunguti kertas-kertas yang bertuliskan kisah hidup kakekku .... Suatu hari
nanti, aku akan mencari manuskrip itu: mencari Nedra si wanita jalang itu.
Mengambil kembali kisah kakekku kalau dia belum merusaknya. Dia bilang mantan
suaminya adalah salah satu bos di rumah sakit jiwa. Mungkin aku bisa mencari
Nedra lewat dia. Siapa tahu mantan suaminya masih mengirimkan tunjangan untuk
dia, kan" Dan kalau itu nggak berhasil, aku akan pergi menemui Jerry Martineau
di kantor polisi. Karena yang dilakukan Nedra adalah pencurian, belum lagi dia
melanggar kontrak .... Musim panas saat kakekku meninggal di halaman belakang sini adalah musim panas
yang sama ketika Ma mengandung aku dan Thomas. Dihamili laki-laki yang namanya
mungkin tak akan kuketahui. Dan bagaimana dengan laki-laki itu" Apakah dia tahu
tentang kami" Mengapa Ma merahasiakannya" Anak siapa aku ini"
Dan siapa sebenarnya Papa" Dalam pikiranku, aku kembali melihat dan merasakan
helaian-helaian kertas yang kuambil dari brankas pagi itu: lima belas atau dua
puluh halaman pertama ditik dan disalin dengan karbon, sisanya ditulis tangan
dengan bolpoin tinta. Dia menyimpan sejarah ayahnya untukku, kata Ma. Thomas
juga boleh membacanya, tapi kisah Papa itu milikku .... Dan aku juga melihat
mobil Yugo Nedra Frank meluncur miring di jalan di tengah-tengah hujan salju.
Melihatnya pergi untuk selamanya. Sungguh sial, berhubungan dengan orang itu.
Benar-benar sial. Setelah masalah Hatch ini selesai, aku akan melacak wanita itu, bahkan jika
Martineau tak bisa membantuku. Bahkan jika aku harus menyewa detektif swasta.
Karena kalau dipikir-pikir, dia telah mencuri kakek dariku. Itu pencurian yang


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak sebanding dengan empat ratus dolar yang telah kubayarkan padanya .... Dan
mungkin aku juga akan mencari tahu tentang stenografer itu. Si Angelo yang
disewa Papa selama musim panas itu. Ma bilang, dia sepupuan dengan keluarga
Mastronunzio. Aku kenal Dave Mastronunzio dari Perserikatan Tukang Pipa. Mungkin
aku akan mulai darinya. Mulai di suatu tempat. Mungkin.
Mungkin juga tidak. -V*- Dua Belas Orang waras mana saja pasti akan berhenti di titik itu. Mereka akan bilang,
"Oke, aku sudah cukup omong kosong selama sehari ini," dan pulang untuk tidur.
Tapi, siapa bilang kewarasan adalah ciri keluarga kami" Lelah dan kesemutan, aku
belok kiri dan pergi ke diler mobil untuk bertemu dengan Leo.
Constantine Chrysler Plymouth Isuzu. "Beri tawaran jujur pada anak-anak Gene,
dan mereka akan memberimu perjanjian yang jujur." Yeah, tentu saja. Jika
perjanjian yang jujur adalah cara Diogenes "Gene" Constantine, mantan mertuaku,
dalam mencari uang, maka aku pasti Luke Skywalker.
Leo sedang ada di luar, di halaman parkir, memegang sekuntum bunga carnation
merah dan membantu wanita paruh baya berambut merah masuk ke mobil Grand Prix
putih. "Yah, semoga beruntung dengan mobil ini, Jeanette," katanya. "Terima
kasih sekali lagi untuk bunganya."
"Oh, itu bukan apa-apa, Leo. Kau sangat baik. Aku berharap bisa membeli dua
mobil baru dan bukan satu."
"Kau telepon saja aku kalau ada yang bisa kulakukan untukmu, oke?"
Jeanette menderumkan mesinnya seperti salah
satu keluarga Andretti. "Oops, sorry," dia terkikik. "Aku masih belum terbiasa."
"Tak apa-apa, Jeanette. Kau nanti juga terbiasa. Hati-hati."
Wanita itu memundurkan mobilnya, berputar dan menjauh. "Pergi sana, Jeanette,"
kata Leo, mulutnya membeku seperti boneka ventriloquist. "Kau wanita bodoh.
Kuharap mesin Grand Prixmu ambrol."
"Biar kutebak," kataku. "Tak berhasil menjual?"
"Perempuan sialan itu tinggal sedikit saja mau menandatangani transaksi
penjualan sebuah Le Baron. Mobil itu benar-benar hampir terjual, Birdsey. Lalu
aku izin sehari untuk pergi ke kota dan dia membeli sampah jelek itu dari Andy
Butrymovic di diler Pontiac. Kau tahu Butrymovic" Musang sialan. Orang Polandia
sialan." Masuk ke showroon, kami melewati seorang pembuat tanda yang bersiul-siul dan
menulisi jendela kaca untuk membuat promosi baru. "Jadi, untuk apa bunga itu?"
tanyaku. "Kau mendapatkan gelar Miss Congeniality atau apa?"
Leo mendengus. "Semacam itulah." Mematahkan tangkai bunga itu dan membuangnya ke
tempat sampah Omar. Omar adalah salesman paling baru di Constantine Motors.
Kulit hitam, spanyol, atau semacamnya. Itu adalah sesuatu yang tak mungkin kau
lihat sepuluh tahun lalu, atau lima tahun lalu: mantan ayah mertuaku
mempekerjakan salesman dari kalangan minoritas. Kau waktu itu juga tak mungkin
melihatnya mempekerjakan wanita.
Sekarang mereka punya dua sales wanita.
"Bagaimana kakakmu?" tanya Leo. "Angie bilang mereka memasukkannya ke Hatch" Apa
maksudnya itu?" Aku menceritakan masuknya Thomas ke Hatch malam kemarin. Tentang tendangan ke
selangkangan dan nasihat yang kudapatkan dari Lisa Sheffer. "Dia boleh mendaftar
lima orang yang bisa mengunjunginya," kataku. "Mereka mengecek setiap orang yang
telah dia tulis. Lalu mereka menggeledahmu dan menyuruhmu melewati detektor
metal" "Lisa Sheffer, Lisa Sheffer," kata Leo. "Aku kenal nama itu. Duduklah."
Aku duduk di kursi depan mejanya. Beginilah kondisi Leo: fakta bahwa dia sudah
bekerja di diler ini selama bertahun-tahun dan Pak Tua itu masih menempatkannya
di lantai showroom. Peter, sepupu Dessa dan Angie, yang bergabung ke diler ini
empat atau lima tahun setelah Leo bahkan sudah mendapatkan salah satu kantor
pribadi di lantai atas. Peter diangkat menjadi Manajer Leasing dan leasing kini
adalah trend baru. Pernis di pinggiran meja Leo sudah mulai bengkok dan di pojok
sudah mulai lepas. Begitulah kalau pernis murahan. Berbeda dengan meja di kantor
suite Pak Tua. Meja itu bahkan cukup besar untuk didarati pesawat. Leo mencaricari di Rolodex di atas mejanya. "Lisa Sheffer, Lisa sheffer .... Ini dia. Lisa
Sheffer. Dia pernah test drive mobil Charger denganku sekitar enam bulan lalu.
Perawat bukan?" "Petugas sosial psikiatrik."
"Cewek kecil kurus" Rambut pendek, nggak punya dada?" Aku teringat teguran
Sheffer padaku; bahwa dia adalah seorang wanita, bukan "cewek". Dia pasti sangat
cocok dengan Leo. "Kau tahu apa yang akan kulakukan?" kata Leo. "Tentang kakakmu" Aku akan menyewa
pengacara dan melaporkan kebrutalan mereka pada polisi. Tunjukkan catatan medis
dan foto-foto medisnya, semuanya. Mungkin kau bisa tawar-menawar dengan
mereka berjanji tak akan membawa masalah ini ke pengadilan asal kakakmu ?dipindah lagi ke Settle. Lalu, kau tahu apa yang akan kulakukan seterusnya"
Setelah kau berhasil mengeluarkan kakakmu" Aku akan berbalik dan tetap menuntut
pemerintah sialan itu."
"Kau pasti akan melakukan itu. Benar kan, Leo?"
"Berani bertaruh aku akan melakukannya. Apa yang akan mereka lakukan" Mengeluh
kalau kau menyalahi perjanjian di bawah meja" Lebih baik menjadi penipu daripada
yang ditipu." Dia berdiri. "Tunggu sebentar ya, Birdseed! Aku akan segera
kembali. Aku harus mengecek sesuatu di bagian layanan."
Bisa dibilang, menjual mobil adalah pekerjaan ideal buat Leo. Dia pembual
profesional. Dia telah menggombaliku sejak musim panas 1966, saat aku duduk di
sebelahnya di kelas perbaikan aljabar dan dia membuatku percaya kalau dia adalah
sepupu kedua Sam the Sham dari Sam The Sham dan The Pharaohs. Lagu hit mereka,
"Woolly Bully", sangat
populer tahun itu saat aku masih lima belas tahun. Lagu itu terus terdengar ?dari radio transistor merahku sepanjang musim panas saat aku memotong rumput
halaman, mencari nilai x, dan angkat beban meregang dan mengangkat dalam usaha
?mengubah diriku menjadi Hercules, bebas lepas. Leo bilang padaku bahwa dia
pernah datang ke apartemen Sam The Sham di Greenwich Village dalam sebuah pesta
dan seorang cewek playboy duduk di pangkuannya. Bahwa pamannya adalah pencari
bakat di Hollywood, dan ibunya akan membelikannya Corvette kalau dia berhasil
lulus aljabar dan mendapatkan SIM.
Saat itu dia gemuk dan gingsul, remaja umur enam belas tahun yang terlihat
seperti pria paruh baya yang bisa membuat kami sesama siswa yang gagal aljabar
terpesona hanya melihatnya masuk ruangan. Kadang, aku dengan terpesona sekaligus
agak jijik melihatnya mengupil, mengamati upilnya, lalu mengusapkan upil itu ke
bawah meja. Dia menyusahkan hidup guru kami, Mrs. Paladino tua yang selalu
gemetaran, yang sebenarnya sudah semipensiun. Leo akan mengacungkan tangan
meminta penjelasan untuk soal yang bahkan tak dia kerjakan dan Paladino akan
terhuyung-huyung mendekatinya sambil terpincang-pincang. Lalu tepat saat Mrs.
Paladino menjelaskan soal itu yang bahkan tak didengarkan oleh Leo, Leo akan
kentut kentut tak bersuara namun mematikan yang baunya sangat busuk sehingga
?semua orang dalam radius dua puluh kaki akan mengerang dan
mengipas-ngipaskan buku di depan hidung mereka. Paladino yang malang akan
berdiri saja di sana, berusaha bersikap tenang dan kurasa berusaha agar tak
pingsan membaui kentut Leo.
Leo beruntung musim panas itu, dia berhasil lulus aljabar dengan mengambil
stensil jawaban ujian dari tempat sampah ruang guru. Namun pada musim gugur,
keberuntungannya berakhir. Neck Veins (nadi leher, penerj.), wakil kepala
sekolah di SMU JFK, menangkap basah Leo sedang memakaikan kondom Trojan di
kepala boneka-boneka kecil di lemari piala di koridor utama. Neck Veins: aku
lupa namanya yang sebenarnya, tapi saat dia berteriak marah, nadi di lehernya
akan bertonjolan seperti kabel listrik. Neck Veins benar-benar menangkap Leo.
Dia menyuruhnya meminta maaf kepada semua alumni dan siswa yang menjadi atlet
berprestasi yang pialanya telah dia jahili lewat speaker sekolah saat jam
pengumuman pagi. Lalu dia menyuruh Leo berlari mengelilingi lapangan setiap
pulang sekolah selama dua bulan. Ibu Leo, yang baru saja menjadi wanita anggota
dewan kota pertama di Three Rivers, menyeret Leo seminggu sekali menemui
"spesialis". Setelah lari dan konseling, berat badan Leo turun lima belas kilogram dan dia
memanjangkan rambutnya. Pada musim semi, dia menjadi vokalis utama band garasi
yang bernama The Throbbers. Sekarang, anak-anak perempuan menyukainya. Awalnya
cewek-cewek biasa yang suka, lalu cewek-cewek yang populer juga menyukainya,
termasuk Natalie Santerre, yang menurut semua orang mirip Senta Berger dan yang
menurut Leo pernah bercumbu dengannya pada akhir pekan sebelum keluarganya
pindah ke North Carolina. The Throbbers memainkan lagu-lagu populer saat itu:
"Wild Thing", "Good Lovin", "Nineteenth Nervous Break-down". Leo be-nar-benar
bergaya; setiap kali mereka menyanyikan lagu "Ninety-six Tears" dari Question
Mark dan the Mysterians, dia akan berlutut dan berakting seakan-akan benar-benar
sedih karena gadis dalam lagu itu meninggalkannya. Band itu bubar setelah
beberapa lama, namun saat itu Leo sudah kecanduan menjadi pusat
perhatian berdiri di atas panggung. Dia masuk jurusan akting di UConn,
?sekaligus bekerja sampingan jadi penyalur ganja, dan pada tahun pertamanya sudah
meniduri ketiga anggota Chekhov Three Sisters selama dua bulan latihan bersama.
Tentu itu cerita Leo, yang tak pernah bisa dibilang sumber yang
meyakinkan terutama tentang topik kehidupan seksnya. Pada tahun pertamanya, Leo
?memerankan anjing Snoopy dalam You're a Good Man, Charlie Brown. Itu adalah
puncak karier dramatik Leo: Snoopy. Saat itu, aku dan Dessa sudah berpacaran
sekitar enam atau tujuh bulan. (Dessa tak terlalu suka Leo; tapi dia
menoleransinya.) Ketika Dessa dan aku pergi untuk melihat You're A Good Man,
Charlie Brown, kami mengajak adik Dessa, Angie. Sebelumnya, Angie pernah dua
bulan berkencan dengan Thomas sebuah bencana yang aku bahkan tak mau?mengingatnya lagi. Tapi pokoknya, malam itu Angie duduk di antara kursi penonton
dan langsung jatuh cinta. Sepanjang perjalanan pulang, Dessa dan aku harus
mendengarkan betapa menggemaskannya Leo, betapa lucu dia, bagaimana Angie
tertawa begitu keras di satu adegan sehingga celananya basah. Setelah Leo
menemukan ada fans klubnya yang hanya punya satu anggota, dia mengajak Angie
kencan. Mereka sangat panas dan rapat sepanjang musim panas itu musim panas
?1971 lalu sepertinya hubungan mereka mendingin. Tapi, Natal sesudahnya, ketika
?aku dan Dessa mengatakan pada mereka kalau kami berencana bertunangan setelah
lulus, mereka bilang pada kami bahwa Angie hamil. Sialan, kalau Angie tak
keguguran, anak itu sekarang usianya sudah berapa, ya" Delapan belas"
Tukang cat yang bersiul-siul itu telah menyelesaikan huruf pertama di kaca
jendela: huruf "G" biru setinggi Joy. Leo berjalan kembali menyeberangi
showroom. "Hei, aku lupa bilang padamu," kataku. "Tebak siapa yang kulihat di Hatch di
tengah-tengah kekacauan tadi malam" Ralph Drinkwater."
"Drinkwater" Yang benar. Ya Tuhan, aku tak pernah melihat Ralph lagi sejak ...
kapan kita punya pekerjaan bersama musim panas itu?"
"Sembilan belas enam puluh sembilan," kataku. "Musim panas saat kita mendarat di
bulan." "Jadi, bagaimana tampangnya" Ralph?"
"Tidak terlalu berbeda sebenarnya. Aku langsung mengenalinya."
"Yesus, kau ingat tidak, jebakan yang kita pasang untuknya" Dengan polisi?"
"Jebakan yang kau pasang untuknya?" kataku. "Kau yang duduk di kantor polisi itu
dan mengatakan pada mereka"
"Oh, yeah, Birdsey, malam itu kau memang Tak Bersalah, bukan" Hei, bukan
maksudku mengganti topik. Bagaimana setelan ini menurutmu?" Leo berdiri dari
mejanya, berjalan ke samping dan mendekat ke model LeBaron putih. Virgins itulah
sebutan Leo untuk model di showroom. Setelan itu berwarna cokelat kulit,
berkancing ganda. Menurutku terlihat terlalu besar untuknya.
"Aku beli ini di New York kemarin ketika aku audisi," katanya. "Armani paling
?baru. Aku ingin merayakan karena audisinya berjalan sangat lancar."
Leo dan audisinya. Dari semua audisi dan percobaan yang dia lakukan di New York
selama bertahun-tahun, hanya dua kali aku melihatnya di TV iklan Lobster
?Landlubbers yang ditayangkan sekitar pertengahan delapan puluhan dan iklan
layanan publik untuk pencegahan AIDS. Di iklan restoran itu, Leo menjadi ayah
ideal yang membawa keluarga bahagianya makan seafood. Iklan itu dimulai dengan
wajah ciose-up Leo dengan mata membelalak dan terlihat seakan-akan mengalami
orgasme. Lalu, kamera mundur dan kau melihat seorang pelayan menalikan celemek
plastik di lehernya. Dan di depannya ada sebuah lobster monster yang luar biasa besar.
Anggota keluarga yang lain memandang lobster itu, tersenyum seakan-akan mereka
habis mengisap ganja atau apa bahkan sang nenek juga. Iklan satunya iklan
?layanan masyarakat masih ditayangkan sekali atau dua kali pada pukul 2.00 atau
?3.00 pagi, biasanya ketika aku tak bisa tidur. Leo juga menjadi ayah di iklan
ini main basket dengan anak remajanya dan berbicara antar pria tentang tanggung
?jawab. Di akhir, Leo berkata, "Dan ingat, Nak, yang paling aman dari semuanya
adalah menunggu hingga kamu siap." Leo dan anaknya saling tersenyum, dan Leo
melempar bola ke keranjang. Lemparan itu disyuting chse-up, hanya bola masuk
net. Lalu Leo dan anaknya tos. Pertama kali aku melihatnya, aku tertawa
terbahak-bahak. Pertama, Leo sama sekali tak pernah bisa melempar bola ke
keranjang basket. Di SMU dulu, dia mengarang cerita tentang bilik kiri
jantungnya yang bocor dan berhasil tak ikut kelas olahraga selama dua tahun
berturut-turut. Dan kedua, melihat Leo berbicara tentang menahan nafsu sama
seperti melihat Donald Trump bicara tentang berkorban untuk orang lain.
"Jadi begini, Birdsey," lanjut Leo. "Aku beli setelan ini, meminta mereka
mengubahnya biar cocok dengan ukuranku, dan aku sampai rumah sekitar tengah
malam. Rumah sudah gelap, Angie dan anak-anak sudah tidur. Jadi aku makan
makanan sisa makan malam, menyalakan TV, dan di TV terlihat Arsenio mengenakan
setelan yang sama persis dengan yang baru kubeli. Arsenio, Bung! Yang baru terpilih menjadi salah
seorang dari sepuluh orang berbusana terbaik di Amerika. Ini adalah pertanda
baik." "Pertanda?"
"Kalau aku akan dapat peran itu. Lagi pula, memang kau pikir berapa harga
setelan ini?" Dia mengelus salah satu lengannya. "Sutra Italia," katanya. "Ayo,
coba tebak." "Hei, Leo," kataku. "Aku sudah punya banyak urusan untuk kupikirkan sekarang.
Aku tak ingin bermain Tebak Harga denganmu dan setelan barumu."
"Ayo, dong. Tebak!"
"Aku tak tahu. Dua ratus" Dua ratus lima puluh?" Leo mendengus. Mengacungkan
jari tengahnya. "Tiga ratus lima puluh?"
"Coba seribu empat ratus lima puluh, Sobatku." "Seribu empat ratus lima puluh"
Untuk satu setelan?"
"Bukan sembarang setelan. Setelan ini. Rasakan!"
Aku mengusap bagian lengan bawahnya dengan jempol dan jari telunjukku. "Ya?"
kataku. "Terus kenapa" Tetap saja rasanya seperti setelan."
Leo membersihkan jaket itu dari kotoran yang sebenarnya tak ada. "Ah, kau tahu
apa, Birdsey?" katanya. "Kau kan bekerja pakai celana monyet. Ngomong-ngomong,
apa aku sudah bilang kalau ini audisi untuk film, bukan iklan?" Dia duduk lagi
dan bersandar, berusaha menyeimbangkan kursinya
yang kini hanya bertumpu pada dua kaki belakang. "Bukan film besar, tapi ini
penting, tahu" Sebuah batu pijakan. Film tentang psikopat mungkin akan ?dipasarkan di sini dalam format video dan peredaran terbatas di pasar asing.
Korea, Hong Kong seperti itulah. Mereka suka film horor keras di sana."
?"Kau sudah cerita itu untuk film," kataku.
"Aku belum bilang padamu. Kapan aku bilang?"
"Aku tak ingat. Waktu main racquetball?"
"Aku baru saja ke New York kemarin. Kita main racquetball, kemarin lusa."
Aku mulai merasa sedikit pusing. "O, yeah. Itu benar. Angie yang bilang kurasa.
Hei, kau punya kopi?"
"Kau tahu kami punya kopi. Tanpa krim, kan" Kapan kau bertemu dengan Angie?"
"Aku nggak bertemu dia. Aku bicara padanya semalam saat aku telepon mencarimu."
"Kau mau apa?" "Hmm" Nggak. Aku cuma mau bilang padamu tentang kakakku. Tanpa krim, gulanya
dua." "Hei, apa aku sudah bilang kalau aku nggak minum kopi lagi" Aku membaca buku
berjudul Fit For Life. Angie yang membelikannya untukku. Kami juga membeli
pembuat jus. Buku itu bilang, kafein sama saja dengan racun bagi tubuhmu. Juga
pemanis buatan: tak boleh. Tapi, ngomong-ngomong, aku ceritakan tentang film ini
ya" Ceritanya tentang cewek aneh. Dia seorang seniman sekaligus pembunuh wanita
berantai. Awalnya, dia ditiduri banyak pria, oke" Mengalami peristiwa-peristiwa
yang traumatis. Lalu dia tak tahan dan meledak. Mulai membunuh semua pria yang
menidurinya dan melukis lukisan-lukisan aneh dengan darah mereka. Dan tiba-tiba,
kritikus seni menemukannya. Dia menjadi terkenal di dunia seni, hanya tak ada
orang yang tahu apa yang dia gunakan untuk melukis. Bahwa dia melukis pada siang
hari dan membunuh pria pada malam hari. Aku audisi untuk peran salah seorang
korbannya seorang profesor seni yang mau memberinya nilai A asal cewek itu mau ?tidur dengannya. Kurasa aku bagus setidaknya pasti dipanggil lagi untuk tes
?selanjutnya. 'Very nice,1 kata casting directornya setelah aku berakting di
depannya. 'Very nice.'"
"Dan kau juga tak harus berusaha keras, bukan," kataku. "Main film porno seperti
itu." "Hei, sialan kau, Birdsey. Tapi beneran kok, aku punya firasat baik tentang yang
ini, oke?" Leo memandang sekitarnya, lalu mencondongkan tubuhnya padaku.


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berbisik. "Dan dengar ini. Kalau aku dapat peran itu, ada adegan di mana cewek
psikopat itu bercinta denganku. Sebelum dia membunuhku. Jangan bilang-bilang
pada Angie, oke" Dia akan mengamuk. Aku mulai sit-up tiap pagi karena aku
sembilan puluh sembilan koma sembilan persen yakin akan mendapatkan peran ini."
"Kopi hitam. Gula dua," kataku.
Kaki depan kursinya turun ke lantai dan Leo berdiri. "Racun, Birdseed. Aku
bilang padamu, ya. Hiduplah dengan bersih atau mati."
Sembari menunggu Leo kembali dengan kopiku,
aku berjalan-jalan di showroom. Melihat-lihat truk Isuzu yang diparkir di dekat
jendela. Membuka-buka brosur. Tukang cat itu sekarang sedang mengecat huruf
kedua: G-O. Aku senang ayah mertuaku tidak ada. Mantan ayah mertuaku. Kami dulu sangat
akrab, Gene dan aku. Dia lebih menyukaiku daripada Leo. Kadang itu sangat jelas,
sehingga memalukan. Saat hari libur atau apa, kami biasanya berkumpul di
rumahnya, dan Gene akan mengajak dua lelaki keluarga Peter dan Costas dan aku ke
ruang kerjanya untuk minum-minum, atau berjalan-jalan di kebun, dan Leo akan
ditinggal di ruang lain bersama anak-anak dan para wanita. Itu juga agak
menyedihkan, karena itu menunjukkan bahwa betapa Pak Tua lebih menyayangi Dessa
daripada Angie. Itu sangat jelas sehingga menyakitkan. Tapi semua itu sudah
berubah. Sejak perceraian kami, jika aku mampir ke showroom untuk bertemu dengan
Leo dan Gene ada di kantor, dia bersikap seakan-akan aku ini Pria Tak Terlihat
atau semacamnya. Seakan-akan aku tak pernah menjadi menantunya selama hampir
enam belas tahun. Seakan-akan, akulah yang meninggalkan Dessa bukan sebaliknya.
Aku bisa mendengar Leo di area servis, mengobrol dengan seseorang bukannya
mengambilkan kopiku. Meja Leo adalah salah satu dari empat meja yang ada di
lantai showroom. Jangan tanya kenapa aku ingat ini, ta-pi memang begitulah
kenyataannya: Leo mulai bekerja di Constantine Motors pada hari Reagan dilantik
dan Iran membebaskan sandera. Sembilan tahun dan masih belum punya kantor sendiri. Suatu
kali, saat Leo mengeluh tentang ini, dia berkata, "Kalau kamu yang bekerja di
sana, Dominick, dan bukan aku, mungkin saat ini kau sudah jadi wakil direktur,
mendapatkan tak hanya sekadar kantor kecil dengan pintu kecil." Dan dia benar.
Kalau aku, mungkin sudah begitu.
Kantor Pak Tua itu memang luar biasa. Dia bahkan punya kamar mandi sendiri di
sana lumayan luas juga. Mungkin sekitar tiga setengah kali tiga setengah meter.?Dengan bak mandi berwarna merah dengan keran emas dan mural lukisan tangan
tentang Perang Trojan. Coba dengar ini, benar-benar dewasa sekali. Leo selalu
buang hajat di kamar mandi pribadi Gene setiap kali Pak Tua itu pergi ke luar
atau ke tempat lain untuk mengecek tambang emasnya yang lain. (Selain diler
mobil, Gene dan Thula punya dua mal satu di sini, di Three Rivers dan satunya
?di jalan raya menuju Willimantic.)
Pasangan Constantine juga sangat tergila-gila dengan mural: mereka juga punya di
rumah. Satu di ruang makan dan satunya di kamar Gene dan Thula. Laut Aegean. Di
dinding, di depan ranjang mereka.
Leo dan aku bertunangan dengan Constantine bersaudara pada minggu yang sama.
Dessa dan aku sudah merencanakannya sejak lama, tapi Leo dan Angie tidak.
Pertunangan mereka dikarenakan alasan klasik, hamil sebelum menikah. Pak Tua
mengirim pesan pada kedua putrinya kalau dia ingin
bertemu dengan Leo dan aku di kantornya. Memberikan pidato pada "para calon
menantunya". Ini terjadi sebelum dia tahu kalau Angie sudah hamil sebelum Angie
?menjatuhkan bom kecil itu pada ayahnya, yang dilakukannya dalam limusin saat
perjalanan ke gereja untuk upacara pernikahan. Gene bilang, Leo dan aku boleh
datang bersamaan untuk berbincang dengannya: apa yang akan dia katakan bisa dia
katakan pada kami berdua. Aku ingat semuanya, pertemuan tingkat tinggi yang
diadakan di kantor pribadi Gene. "Masuk, gentlemen, masuk," katanya pada kami
setelah kami duduk menunggu beberapa saat di ruangan luar kantornya. Leo
menganggap semua ini adalah lelucon, tapi bagiku rasanya seperti menunggu dokter
memanggil untuk menyuntikmu. "Di sini," kata Gene, dan yang kutahu, selanjutnya
kami berada di dalam kamar mandinya. Dia mandi berendam di bath tub merahnya.
Aku berdiri di sana, tak ingin memandang tubuh gorilanya yang berbulu atau
memandang matanya. Dessa tidak hamil, dan itu atas jasa pil antihamil, bukan
kemampuan kami menahan godaan. Alih-alih aku memandang lukisan mural Perang
Trojan di belakang bahu Pak Tua itu tentara di dalam gerbang, melompat keluar
?dari perut patung kuda raksasa.
"Gentlemen," Diogenes memulai pidatonya. "Dua anak perempuanku sejauh ini
menikmati hidup yang enak. Ibu mereka dan aku telah berusaha yang terbaik untuk
memberikan semua kebutuhan hidup mereka dan beberapa kemewahan. Dan sekarang,
mereka memilih untuk pindah dari rumah kami ke rumah kalian." Meskipun gugup,
aku sempat tersenyum mendengarnya. Keluarga Constantine tinggal di "gubuk" empat
belas kamar di Bayview Terrace dengan kebun apel dan anggur serta kolam renang
pribadi. Saat pertemuan di kamar mandi itu, aku tinggal di apartemen bekas
garasi yang penuh tikus di Careen Avenue dengan pintu lemari es yang harus
kuisolasi agar bisa tertutup rapat.
"Sekarang, aku tidak menuntut suami anakku seorang jutawan atau pahlawan,"
lanjut Gene. "Satu-satunya hal yang kuharapkan dari kalian berdua adalah cucucucu yang sehat dan bahagia juga pengetahuan bahwa setiap malam anak perempuanku
tidur di samping pria jujur yang takut pada Tuhan. Jika kalian bisa memenuhi
persyaratan itu, aku mengucapkan selamat datang ke keluarga kami dengan restuku.
Kalau tidak, kalian bisa bilang sekarang dan kita berpisah sebagai teman."
Leo yang lebih banyak menanggapi untuk kami berdua memberikan gaya Eddie
?Haskell terbaiknya pada Pak Tua itu dengan gaya menjilat "ya Pak" dan "tidak,
Pak" hingga Diogenes menyelesaikan pidato dan mandinya. Dia berdiri, memegang
tangan Leo yang terulur menolongnya keluar dari bath tub, dan menyalakan cerutu
Panatela Extra untuk kami bertiga. Masih bertelanjang bulat. Dia tak berpikiran
untuk memakai jubah mandi hingga setelah kami bertiga mengisap cerutu.
Leo maupun aku tak berkata sepatah pun saat kami kembali berjalan melintasi
showroom dan menuju pintu keluar, mengembuskan asap cerutu dalam tatapan semua karyawan di
diler itu. Saat kami kembali ke mobil Kharmann Ghia Leo, aku menyandarkan kepala
ke sandaran kursi dan mengerang. "Yah," kataku, "aku tak tahu tentang jujur dan
takut pada Tuhan, tapi setidaknya kau sudah hampir memberi dia cucu."
"Apa kau lihat, betapa mengerutnya "punya" dia?" kata Leo. "Bah, aku pernah
melihat yang lebih besar di botol mentimun bayi Heinz." Keluar dari lapangan
parkir, kami berdua meledak tertawa hingga tersedak. Air mata keluar karena kami
tertawa begitu keras. "Kalau aku sampai punya susu melorot seperti dia, tolong
aku ya, Birdseed?" kata Leo. "Bawa aku ke tempat terpencil dan tembak aku."
Sambil mengebut, tertawa terbahak-bahak, kami menurunkan kaca jendela dan
melemparkan cerutu bau itu.
Kalau dipikir-pikir, aku masih merasa aneh: bagaimana Dessa dan aku akhirnya
berpisah sementara Leo dan Angie tidak. Yah, mereka sempat berpisah
sementara ketika klub dansa yang diurus Leo bangkrut. Le Club, namanya. ?Pemiliknya adalah anak kaya pecandu heroin dari Fairfield yang membuat Leo ikut
kecanduan menghirup heroin. Namanya Rik dia akan terkena serangan jantung jika
?seseorang tidak sengaja menambahkan "c" di nama depannya. Saat itulah,
persahabatanku dengan Leo merenggang. Aku tidak tahan melihat efek heroin
padanya tingkah lakunya yang berbahaya, cara dia memperlakukan Angie.
?Lalu, akuntan ayah Rik suatu siang datang ke klub dan memeriksa pembukuan
anaknya. Dan yang terjadi selanjutnya adalah Leo ditendang dari sana.
Saat Leo sedang menjalani rehabilitasi obat atas pembiayaan keluarga
?Constantine dia ketahuan pernah meniduri salah satu hostes di Le Club. Bahkan,
?aku pun tak tahu peristiwa itu; seperti kubilang, aku dan Leo memang jarang
bersama seperti dulu. Nama hostes itu adalah Tina dan sudah menjalani aborsi,
tapi dia memutuskan untuk memberi tahu Angie. Angie minta pisah dan dia serta
Shannon kembali ke rumah orangtuanya. Lalu, tiga bulan setelah Leo keluar dari
rehabilitasi, Angie hamil lagi karena dia. Pak Tua mengamuk; dia sudah berusaha
keras agar mereka berdua bercerai. Tetapi akhirnya, dia malah memperkerjakan Leo
sebagai salesman di diler mobilnya.
Itu adalah salah satu saat aku melihat Pak Tua Diogenes menyerah pada sesuatu.
Angie terpaksa harus memohon pada ayahnya agar Leo mendapatkan pekerjaan itu.
Dia beralasan bahwa orang bisa berubah menjadi lebih baik bahwa Leo telah
?berubah. Bahwa Leo telah menjadi ayah yang baik untuk satu-satunya cucu Gene dan
Thula. Dan kalau Angie sendiri bisa memaafkan dan melupakan, mengapa ayahnya tak
bisa" Gene bilang padanya kalau memaafkan dan melupakan itu satu hal dan
memperkerjakan si penyebab sembelit itu adalah hal lain. Lalu, Angie
mengeluarkan kartu asnya: kalau Dessa yang meminta, ayahnya pasti mengiyakan
tanpa syarat. Dessa tak harus berdiri di sini dan
menghinakan dirinya sendiri seperti yang dia lakukan sekarang.
Dan itu mungkin benar. "Bagaimana pendapatmu tentang permintaan adikmu?" tanya Pak Tua di sofa kami
suatu malam pada Dessa. Thula duduk di sebelahnya, diam dan murung, lengannya
terlipat di atas perutnya yang gendut. Mereka datang dengan mobil New Yorker
besarnya ke rumah kami setelah berdebat selama seminggu. Selama enam belas tahun
menikah, itulah satu-satunya saat orangtua Dessa mengunjungi kami.
"Kurasa aku akan memilih apa pun yang menyembuhkan, Daddy," kata Dessa. "Tapi
terserah. Apakah kau bisa tahan melihat Leo bekerja di sana?"
"Apakah aku bisa tahan" Ya. Apakah aku mau datang ke tempat bisnisku tiap pagi
dan melihat si idiot yang dinikahi adikmu yang bodoh itu" Tidak, aku tak mau."
Aku duduk diam, tapi itu tak mudah. Memang Leo punya kelemahan. Memang, dia
sudah membuat kekacauan besar. Tapi, aku kesal ketika Gene menyebutnya idiot.
Kami punya sejarah panjang, Leo dan aku. Lelaki itu punya kebaikan juga.
"Kau tidak melakukan ini untuknya," kata Thula. "Kau melakukannya untuk putrimu.
Darah dagingmu." "Siapa bilang aku akan melakukannya" Titik." Tukas Pak Tua.
"Tapi, Angie benar saat bilang kalau Leo ayah yang baik," Dessa mengingatkan
ayahnya. "Dia dan Shannon sangat saling menyayangi." Dessa dan aku juga sangat menyayangi
keponakan kami itu, meski berada di dekatnya adalah campuran dari kesenangan
sekaligus kepedihan. Saat itu, Dessa sudah dua kali keguguran. Mempunyai anak
adalah salah satu hal yang bisa dilakukan lebih baik oleh Angie ketimbang Dessa.
Sekarang, setelah dia dan Leo bersama lagi, Angie bilang pada kakaknya kalau dia
ingin punya anak lagi setelah yang kedua ini lahir. Mungkin lebih.
"Aku ingin tahu, di mana kau sekarang kalau saja ayahku dulu tak memberimu
kesempatan?" tanya Thula pada suaminya. Aku tak begitu paham waktu itu, namun
dengan caranya yang kalem, Thula mengeluarkan persenjataan beratnya di depan
Dessa dan aku. Meskipun seorang pengusaha yang pintar, Diogenes Constantine
mendapatkan modal awal usahanya dari keluarga sang istri sebuah fakta yang tak ?pernah dia lupakan dan selalu, pada akhirnya, dia hargai.
Jadi, begitulah. Pada akhir bulan, Leo menjadi salah satu "anak-anak Gene" di
iklan koran satu halaman penuh di Three Rivers Daily Record wajahnya yang
?lebar dan bulat memandangmu dari lembaran koran, gelembung kartun di atas
kepalanya bertuliskan moto Constantine Motors: "Berikan aku tawaran yang jujur,
aku akan memberimu perjanjian yang jujur!"
Leo kembali membawa dua cangkir kopi, satu
untukku, sementara satunya dia minum sendiri. Tipikal dari setiap rencana
kebugaran dirinya yang selalu gagal. "Sialan kau, Birdsey," katanya. "Kalau saja
aku tak ha-rus bikin kopi baru dan berdiri di sana mencium baunya, aku pasti tak
ingin." Si pengecat tanda itu sudah sampai ke huruf ketiga sekarang: G-O-D.
"God?" kataku mengangguk ke arah tulisan di jendela. "Kalian di sini sudah mulai
pakai agama atau apa?"
"Nggak. Kalau sudah selesai, tulisannya jadi, 'Goddam It, Masuk Sini dan Beli
Mobil sebelum Kami Bangkrut!1"
"Seburuk itukah?"
"Selamat datang di tahun sembilan puluhan." Leo membungkuk ke arahku, menurunkan
suaranya. "Pak Tua mengalami kerugian di tiga kali catur wulan. Setengah harian
kemarin dia menelepon manajer regional. Dengan bangkrutnya United Nuclear dan
PHK Electric Boat, tak seorang pun membeli. Setiap orang menyimpan baik-baik apa
yang mereka punya. Hei, ngomong-ngomong berapa umur trukmu itu?"
"Delapan puluh satu ribu mil," kataku. "Dan masih bagus."
"Kami bisa saja memberikan penawaran Dodge atau Isuzu baru untukmu seharga"
"Nggak," kataku. "Lupakan saja."
"Tidak, dengar. Isuzu lima gigi adalah truk kecil yang bagus."
"Aku tak peduli kalaupun itu kereta para dewa,
Leo. Kompresorku bocor seperti menderita emphysema dan peralatan pencuci
dindingku harus diganti dua tahun mendatang. Belum lagi seorang kakak yang
terkurung bersama segerombolan"
"Hei, aku dengar, Dominick. Tapi Pop dan aku bisa memberimu"
"Nggak. Tidak."
"Oke,oke," kata Leo mengangkat tangannya. "Yang aku katakan hanyalah kalau kau
berubah pikiran, aku dan Pop akan mengurusnya."
Aku menguap. Menghirup kopiku lagi. Menguap
lagi. "Kau terlihat berantakan sekali, Birdsey," kata Leo. "Kau sudah tidur?" "Belum."
"Kupikir juga begitu. Jangan tersinggung, Bung, tapi kau mulai kelihatan seperti
anjing basset hound. Jangan khawatir. Kau pasti bisa mengeluarkannya dari sana.
Kubilang padamu, temui pengacara." Leo berdiri lagi, menarik-narik kerah
setelannya dan mengamati bayangan dirinya di jendela. "Kau tahu, yang tak kau
pahami tentang baju, Dominick, adalah hukum rimba. Bisa dibilang seribu empat
ratus dolar memang mahal untuk sebuah setelan. Tapi kalau kau ingin kualitas,
kau harus berani membayarnya."
Aku memandangnya. "Itu bukan hukum rimba. Hukum rimba adalah: Hanya yang kuat
yang bertahan. Makan atau dimakan."
"Tepat sekali!" tukas Leo. "Di audisi berikutnya, casting director keluar ke
ruang tunggu. Siapa yang kau kira akan dia lihat pertama kali semua orang tak bernama yang memakai ?Levi's dan sweter atau orang yang memakai Armani"'
Omar lewat sambil minum Diet Coke. Mengenakan setelan hijau jeruk limau. "Yo,
Omar, ke sinilah," kata Leo. "Pria yang duduk di sini ini bilang kalau hukum
rimba adalah: Makan atau dimakan. Bagaimana menurutmu?"
Omar meminum sodanya. "Yang mana saja cocok untukku," katanya. "Jadi, kapan
cewek itu datang?" "Sobatku!" teriak Leo. Dia melompat dari kursinya dan tos dengan Omar. Empat
atau lima tahun lalu, Omar adalah pahlawan di halaman olahraga koran dan
majalah: Omar Rodriguez dan lompatannya yang terkenal telah memenangi tiga kali
kejuaraan SMU Three Rivers. Dia kuliah di UConn; saat itu pertengahan delapan
puluhan. Bermain untuk tim UConn selama dua tahun. Sebelum Calhoun jadi pelatih
dan UConn kalah di NCAA. Kalau tak salah, Omar main satu musim di Eropa sebelum
berhenti. Posisinya point guard.
"Kau dengar itu, Lorna?" kata Leo. Sales wanita di seberang ruangan mengangkat
kepala dari laporan yang ditulisnya. "Omar bilang makan atau dimakan. Terserah
sang wanita." Dia kembali menunduk, menggeleng. "Dasar pria," katanya.
"Diam, Leo," gumamku. "Kau membuatnya malu."
"Apa aku membuatmu malu, Lorna?" tanya Leo. "Menyakiti telingamu yang masih
perawan?" Tanpa mengangkat kepala, wanita itu mengacungkan jari
tengahnya ke arah Leo. Leo berpaling padaku. "Lihat kan, ini sama dengan menjual mobil, Dominick.
Karena itulah mengapa setelan ini adalah investasi yang bagus. Misalnya, si Pria
Besar datang ke sini dengan istrinya yang berpantat besar dan topi Patriotnya,
kau setidaknya sudah menang satu ronde dengannya, tahu" Jadi, kau berdiri,
biarkan dia tahu kalau dia berurusan dengan orang berkelas sedikit ?mengintimidasinya dengan penampilanmu. Gunakan kemenangan ini untuk
keuntunganmu. Bergayalah sehingga menarik perhatian sang istri, sehingga dia
akan mendukungmu saat pengambilan keputusan nanti. Memberikan keuntungan
tersembunyi sebelum kau membuka mulut. Kau mengerti kan, apa yang aku bilang"
Hukum rimba." "Jadi, kau jadi apa?" tanyaku. "Cheetah?" Leo memperbaiki dasinya, menarik
lengan kemejanya. "Memangnya apa yang kau tahu, Birdseed" Seperti yang kubilang
tadi, kau kerja pakai celana monyet."
"Dan itu membuatmu jadi lebih baik dibanding dengan aku kan, Leo?" tukasku
pedas. "Bahwa kau saat pergi kerja berdandan seperti gigolo kelas tinggi?"
Lorna mengangkat kepalanya memandangku. Aku berdeham, melengos.
"Tidak, Birdsey, itu tidak membuatku menjadi lebih baik. Atau lebih buruk.
Karena kita semua adalah pelacur. Bahkan juga para tokoh agama. Bahkan juga para
tukang cat." Aku mendengus. "Bagaimana mungkin seorang tukang cat itu pelacur?"
"Apa kau mau naik tangga dua lantai dan membersihkan cat di depan hidungmu
secara gratis" Hanya untuk seni" Kau menjual tubuhmu juga seperti kami semua,
Tolol. Jangan tipu dirimu sendiri."
"Baiklah. Kalau begitu, bagaimana tokoh agama bisa dibilang pelacur?"
"Aku tak bisa bilang bagaimana," katanya. "Aku tak kenal wanita itu secara
personal. Aku cuma tahu kalau teori ini benar. Bahwa kita semua bermain untuk
mendapatkan uang. Menjajakan semua yang kita punya di pasar terbuka. Aku cuma
bicara jujur tentang ini."
Saat bermain racquetball beberapa waktu lalu, Leo sendiri mengatakan kalau


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pekerjaan menjual mobil adalah "permainan pelacur". Mengoceh tentang buku
rahasia di bidang psikologi penjualan mobil yang tak boleh dibicarakan pada
siapa pun. Musim dingin lalu, Gene, Costas, dan Peter Jr. pergi ke konvensi
"Hadapi Tantangan pada Era Sembilan Puluhan" di Miami Leo sangat tersinggung
?karena tak diajak dan saat kembali ketiganya, dengan kulit cokelat karena
?matahari Mediterania, mulai melakukan perubahan. Mendorong sistem leasing,
mempekerjakan wanita dan kalangan minoritas untuk tenaga penjualan. Pak Tua
membayar mahal untuk mendatangkan sejumlah "konsultan" yang bekerja dengan tim
penjualan baru ini. Konsultan itu mengajari mereka untuk mengategorisasi setiap
korban potensial yang datang melihat-lihat mobil. Mereka punya sistem di mana
mereka tahu sebelum pembeli masuk pintu, sales mana yang akan berdiri
menyambutnya dan pendekatan apa yang akan digunakan.
Pelanggan minoritas adalah tugas Omar: kulit hitam dan hispanik, kata Leo. Omar
juga ditugasi menghadapi pembeli yang suka olahraga, wanita usia dua puluhan,
dan dengar ini homo. Yaitu, mereka yang memandangi pantat dan badan Omar saat
? ?dia bolak-balik ke kantor Costa untuk melakukan strategi "polisi baik, polisi
jahat" permainan yang mereka mainkan, yakni sales yang baik harus terus-menerus
?mengecek harga jualnya dengan manajer jahat dan pelanggan dibiarkan duduk
Hina Kelana 12 Pendekar Gila 36 Balada Di Karang Sewu Siluman Bukit Menjangan 1

Cari Blog Ini