Ceritasilat Novel Online

Siluman Bukit Menjangan 1

Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU BUKIT Menjangan pada tengah malam. Anjing liar melolong. Meratap-ratap agar malam laknat ini segera menyingkir. Seolah sejuta iblis tengah menyeret-nyeret mereka
menuju neraka. Alam
seolah tersihir oleh sebuah kekuatan gaib yang
meraja. Angin malam mendengus-dengus. Di angkasa sana, segerombolan awan hitam mengepung
sepotong bulan suram. Pekat. Seolah tak ingin
membiarkan sang Dewi Malam lepas begitu saja.
Di bekas sebuah reruntuhan candi, seorang
perempuan tua duduk bersila dengan kepala tertunduk di depan sebuah peti mati. Sesekali tangannya menaburkan kemenyan di atas pedupaan.
Asap pun menggeliat makin banyak, terbawa angin
dan bergentayangan entah ke mana. Si perempuan
tua tak peduli. Perhatiannya tetap melekat pada
bayangan yang tengah berkecamuk dalam benaknya. Wajahnya amat mengerikan. Nyaris tak menyisakan kulit, karena tertutup borok berlendir
yang menyebarkan bau busuk. Matanya mencorong berwarna kemerahan. Rambutnya tipis tak
terawat, menjadi sarang kutu. Pakaiannya mirip
jubah berwarna kelabu. Sebuah tongkat berwarna
putih tergenggam di tangan kanannya.
Siapakah perempuan tua jelek itu" Dialah
Nini Berek. Perempuan tua terselimut dendam
akibat kematian suaminya Ki Ageng Wirakrama.
Masih diingatnya, ketika dia menemukan kuburan
suaminya di kaki Bukit Srondol. Dan dia tidak tahu, siapa pembunuhnya. Tapi dari jenis pukulan,
dia punya dugaan kalau yang membunuhnya adalah tokoh sakti bernama Dongdongka. Entah benar
atau tidak, Nini Berek merasa perlu membuktikannya dulu. "Jangan khawatir, Suamiku. Dendammu
akan kubalaskan. Aku tahu, arwahmu belum tenang kalau setan laknat yang membunuhmu belum mampus di tanganku. Bersabarlah...," desis si nenek jelek. Serak penuh
getaran pada suaranya.
Angin malam mendesis. Membawa suara si
nenek, dan mengabarkannya pada pohon, gunung,
hutan, dan seluruh isi alam ini bahwa darah harus dibayar darah. Nyawa bayar
nyawa. Begitu tekadnya. "Demi setan-setan neraka! Demi arwaharwah gentayangan! Dan demi Dewa Kegelapan!
Aku bersumpah akan melenyapkan siapa pun
yang terlibat dalam pembunuhan suamiku!"
Bibir kendor si nenek mendesis seraya
menghujamkan tongkat putihnya ke tanah. Dahsyat! Entah menggunakan kekuatan macam apa,
tanah di sampingnya kontan terbelah. Memisah,
membentuk parit selebar satu tombak. Meruntuhkan bangunan-bangunan candi yang masih berdiri
disertai suara bergemuruh.
Si nenek jelek itu sendiri telah melenting ke
belakang tanpa bangkit dari duduk bersilanya. Sedang peti mati di depannya pun ikut terguling ke
dalam parit ciptaan si nenek.
Di tempat berdirinya kini, Nini Berek memandang ke arah parit. Tajam. Lalu tongkat di
tangannya menuding.
"Beristirahatlah kau di kuburmu, Kakang
Wirakrama. Empat puluh hari lagi, dunia akan
gempar oleh kemunculanmu kembali. Musnahkan
orang-orang yang menjadi musuhmu!"
Di ujung kalimatnya, Nini Berek menghentakkan kaki kanannya.
Berdebam. Peti mati makin terbenam.
Tertanam. Diam. Parit yang diciptakan si nenek menyatu
kembali. Menyimpan peti mati yang berisi jasad Ki Ageng Wirakrama. Tokoh tua
sesat yang mati
membawa dendam.
* * * Kerajaan Demak pada pagi hari.
Pagi menawarkan keceriaan.
Ada sebuah keramaian di keraton, sejak
kembalinya Putri Dewi Sekarputri sejak hilang sekitar delapan belas tahun lalu. Kanjeng Gusti Pra-bu Sutawijaya amat berterima
kasih pada Satria
Gendeng. Karena, pemuda sakti itulah yang telah
menyelamatkan Dewi Sekarputri dari penyanderaan Adipati Kutowinangun yang bersekongkol
dengan Panglima Ganang Laksono dalam upaya
menjatuhkan takhta Kerajaan Demak.
Putri Dewi Sekarputri atau Arya Wadam itu
pun telah sembuh berkat pertolongan si bocah
tengik. Tak percuma memang Satria Gendeng
menjadi murid Ki Kusumo alias Tabib Sakti Pulau
Dedemit. Berkat ramuan obat yang dibuat Satria,
racun-racun yang mengendap di seluruh jaringan
syaraf Arya Wadam berhasil ditawarkan. (Untuk
lebih jelasnya, baca episode: "Badai di Keraton Demak").
Di keraton saat ini akan diadakan hajat besar-besaran. Tak tanggung-tanggung, tujuh hari
tujuh malam seluruh rakyat dipersilakan untuk
ambil bagian dalam hajat besar dalam rangka syukuran atas kembalinya Dewi Sekarputri.
Di alun-alun depan keraton, telah berdiri
beberapa panggung untuk menampilkan kesenian
rakyat. Seputar alun-alun sendiri telah dihiasi
umbul-umbul berwarna-warni. Acara memang
akan dimulai malam nanti, tapi rakyat Kerajaan
Demak telah mulai bergerombol. Seolah tak sabar
untuk menantikan kemeriahan.
Sebagian rakyat pun dengan suka rela menyediakan tenaga untuk membantu kesibukan di
keraton. Yang pandai memasak, dipersilakan untuk menuju dapur keraton. Yang pandai bertukang, dipersilakan untuk membuat panggung.
Yang pandai berkesenian, dipersilakan untuk menampilkan kebolehan masing-masing. Sementara
yang hanya pandai bicara saja tanpa bekerja, dipersilakan menyingkir jauh-jauh.
Di Taman Sari, seorang pemuda tampan
malah duduk termenung. Kedua kakinya terlipat,
diikat oleh kedua tangannya. Dagunya bersandar
di dengkulnya. Pakaian si pemuda berupa rompi
putih dari kulit binatang. Wajahnya bergaris rahang jantan. Rambutnya panjang melebihi bahu
berwarna kemerahan. Tatapan mata sembilunya
menerawang, tapi tertuju ke arah kolam di depannya. Siapa lagi dia kalau bukan bocah tengik Satria" "Mengapa kau tak bersenang-senang dengan yang lain, Adi Satria?" tegur
sebuah suara. Berat, mengandung wibawa tinggi.
Lamunan si bocah cerdas ini terpangkas.
Sedikit kepalanya menoleh dengan lirikan seperti
tak peduli. Lalu perhatiannya kembali ke arah kolam. "Aku mau kembali ke Tanjung Karangbolong, Kang Bagaspati," sahutnya, tanpa menoleh lagi. Si pemilik teguran yang
memang Mahapatih
Bagaspati tersenyum maklum. Dia tahu betul tabiat si bocah tengik ini. Didekatinya Satria, lalu ikut duduk di sebelahnya.
"Aku tahu, kau tak betah dengan suasana
di sini, kan?" tebaknya. Mahapatih Demak ini mengerti kalau Satria paling tak
betah pada acara-acara yang penuh tatakrama. Orang-orang yang
bersikap dengan tatakrama berlebihan bagi Satria
hanya sekadar basa-basi. Tidak keluar dari hati
nurani. Segala tetek bengek tatakrama justru membuat Satria terperangah dalam kebosanan. Dan
sialnya, si Bocah tengik seperti tak mau kenal
dengan segala tatakrama. Begitulah sikapnya. Apa
adanya, keluar begitu saja dari hati nuraninya.
"Begitulah, Kang," jawab Satria polos. "Makanya sekarang aku mau minta diri."
"Apa tak bisa kau tunda barang sehari" Kerajaan sedang membuat hajat besar. Apa kau tak
mau menikmatinya barang sehari?" Mahapatih
Bagaspati mencoba menekan.
"Maaf, Kang. Aku sudah janji pada guruku
untuk segera pulang ke Tanjung Karangbolong setelah menuntaskan persoalan dengan Setan Madat
dan Panglima Ganang Laksono. Jadi, mohon mengertilah. Tahu sendiri, guruku Dongdongka paling
bawel kalau aku punya janji tak dipenuhi," Satria memberengut. Jelek sekali
wajahnya kalau sedang
begini. "Baiklah kalau memang itu alasannya. Aku tidak bisa menahanmu lagi,"
desah Mahapatih Bagaspati.
Satria beringsut dari duduknya. Juga Mahapatih Bagaspati. Keduanya saling berhadapan.
Saling menatap, saling memahami.
"Atas nama kerajaan, aku menyampaikan
penghargaan setinggi-tingginya kepadamu, Adi Satria," ucap Mahapatih Bagaspati.
Entah, sudah berapa kali lelaki tinggi besar
ini mengucapkan kata-kata itu selama Satria Gendeng berada di lingkungan keraton. Gatal rasanya
telinga si pemuda perkasa ini mendengar katakata yang terlalu banyak berbau pujian.
"Atas jasa-jasamu dalam menegakkan...,
ufs!" Satria Gendeng yang sengaja meledek Mahapatih Bagaspati dengan melanjutkan kata-kata
sanjungan terpaksa memenggal kalimatnya. Sang
Mahapatih sendiri telah buru-buru menyodorkan
tangannya membekap mulut si bocah bertabiat
sinting. "Jangan meledekku, Adi Satria. Aku berkata
yang sesungguhnya," Ingat Mahapatih Bagaspati.
"Makanya Kakang juga jangan keterlaluan.
Yang wajar-wajar sajalah, Kang," berengut Satria.
"Baik, baik. Sekarang, kapan kau akan berangkat?" "Sekarang."
"Lho" Tak mau bertemu Ar..., eh! Putri Sekarputri dulu?" pancing Mahapatih Bagaspati.
"Tak perlulah. Sekalian aku titip salam pada Kanjeng Gusti Prabu Sutawijaya.
Katakan saja, aku harus pulang ke Tanjung Karangbolong," jawab Satria, polos. Si pemuda memang
tak ingin menemui Kanjeng Gusti Prabu Sutawijaya lagi, karena tak ingin terlibat dalam aturan tatakrama.
Daripada dibilang tak sopan, lebih baik pergi dengan menitip salam.
Sejenak mereka berjabat tangan. Tak puas,
justru Mahapatih Bagaspati memeluk tubuh si
anak muda erat-erat. Kontan Saja napas Satria jadi sesak bukan main dipeluk oleh lelaki tinggi besar macam Bagaspati.
"Maaf, Kang. Aku bukan istrimu yang harus
di peluk dengan penuh semangat," ingat Satria, megap-megap.
"Oh, maaf. Aku terlalu haru untuk melepasmu, Adi Satria. Kau bukan saja sahabat, tapi
sudah seperti adik kandungku," Mahapatih Bagaspati buru-buru melepas pelukan.
Satria cengar-cengir. Bukan karena katakata Bagaspati, tapi lebih tepat berupaya mengembalikan jalan napasnya agar lebih lancar.
* * * Satria Gendeng tak kuasa menolak pemberian seekor kuda putih perkasa dari pihak Kerajaan Demak. Seekor kuda Arab tinggi besar berotot-otot kekar. Sekali menyentakkan tali kekang
saja, tubuh Satria telah dibawa melesat bak dikejar setan. Tapi di tikungan jalan yang mengarah ke
Tanjung Karangbolong, mendadak langkah kudanya dihentikan. Ada satu sosok tubuh ramping
yang menghadang jalannya. Cermat, si bocah sakti
mencoba mengamati.
"Arya Wadam?" sebutnya, nyaris tak kenta-ra. Bergegas, Satria melompat dari
punggung ku- danya. Dihampirinya sosok gadis yang memang
Arya Wadam alias Dewi Sekarputri. Kali ini sikap
si pemuda berusaha hati-hati, karena yang dihadapinya bukan lain Arya Wadam yang dulu. Tapi
Arya Wadam yang telah menjadi keluarga kerajaan. "Ada apa, Putri Dewi Sekarputri" Mengapa berdiri di tengah jalan" Di
pinggir jalan saja masih luas?" sapa Satria, sedikit bercanda. Tapi panggilannya terhadap gadis di depannya telah dirubah.
"Jangan memanggilku begitu, Satria. Panggil aku sebagaimana kau memanggilku dulu," ujar Arya Wadam, agak sungkan juga
dipanggil demikian oleh Satria
"Eits, tak bisa. Kau sekarang adalah putri
Gusti Prabu Sutawijaya. Dan aku wajib memanggilmu demikian," tandas si pemuda perkasa.
"Dulu atau sekarang sama saja buatku. Aku
tetap seperti yang dulu."
"Itu buatmu. Tapi buatku kan lain. Kalau
ada prajurit yang mendengar aku memanggilmu
dengan nama sembarangan, bisa dikemplang kepalaku. Kau tahu sendiri telapak tangan prajurit.


Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jari-jarinya saja sebesar pisang Ambon. Kena pipi-ku yang halus begini, bisa
jadi oncom pipiku," se-loroh Satria.
"Alah, tak usah bercanda, Satria. Sekarang
aku mau tanya, kau mau pergi ke mana?" tepis Arya Wadam yang tak mau dipanggil
Dewi Sekarputri. Kini sikapnya agak lain dari sebelumnya. Si gadis sedikit demi
sedikit mulai bisa mengikis rasa cintanya terhadap bocah bertabiat sinting ini.
Karena selama ini disadari kalau Satria memang tidak mencintainya. Tak gampang memang untuk
mengenyahkan perasaannya. Mengingkari nuraninya yang paling dalam. Tapi itu terpaksa dilakukan kala menyadari cintanya
hanya bertepuk sebelah tangan. Disadari pula, sesuatu yang dipaksa
biasanya menghasilkan kesia-siaan. Dan agaknya,
Arya Wadam memang telah cukup matang untuk
berpikir panjang.
"Aku mau ke Tanjung Karangbolong, Arya,"
jawab Satria. Diluluskannya permintaan si gadis
untuk memanggil seperti biasa. Toh pada dasarnya
si anak muda cuma mau menguji, sampai di mana
perubahan sikap Arya Wadam setelah menjadi keluarga kerajaan. Ternyata sikapnya tak berubah.
Tetap seperti dulu, saat menjadi pendekar persilatan. "Mau apa ke sana?" kejar
Arya Wadam. "Mau apa" Kau bilang mau apa" Ya, mau pulang.
Kau kan tahu rumahku di sana?" tukas Satria.
"Apa aku ke sana sekadar buang hajat" Kan tak mungkin!"
Arya Wadam tersenyum. Manis sekali. Dia
kini semakin memahami tabiat si pemuda. Bicara
ceplas-ceplos, apa adanya. Tak suka berbasa-basi
menyiratkan kejujurannya. Kalau dari mulut Satria meluncur kata-kata bernada menyanjung kecantikannya, itu memang keluar dari hati nuraninya yang paling dalam. Tapi apakah itu dinamakan cinta" Belum tentu.
"Nah, sekarang giliran aku yang mau tanya.
Kenapa kau berdiri di sini menghadangku?" tanya Satria. "Aku ingin minta maaf
kepadamu," sahut Arya Wadam, terus terang.
"Untuk apa?"
"Untuk peristiwa beberapa hari yang lalu di
kedai." "Rasanya kau tak bersalah. Justru aku yang bersalah, karena bicara terus
terang padamu bahwa aku sudah punya kekasih. Mestinya kan aku
tak bicara terus terang, sehingga bisa dapat kekasih lagi," jawab Satria, mulai
kambuh penyakitnya.
Gatal mulutnya kalau tak meledek gadis ini.
"Dasar mata keranjang! Eh, Satria. Aku juga
ingin mengucapkan terima kasih. Tanpa pertolonganmu, mungkin aku tinggal nama saja," ucap
Arya Wadam. "Ah, sudahlah. Nah, sekarang aku mohon
diri," ujar Satria.
"Kau tak mau menikmati keramaian yang
diadakan Gusti Prabu?"
"Aku tidak betah."
"Kenapa?"
"Terlalu banyak orang."
"Namanya juga keramaian."
"Tapi ada juga keramaian tanpa banyak
orang," sergah Satria.
"Apa?" tanya Arya Wadam. "Menjerit-jerit di tengah kuburan."
"Sial!"
"Ha ha ha...." Tawa Satria meledak. "Sudah, ya. Aku pamit dulu."
"Kalau ada waktu, kapan-kapan mampirlah
ke keraton," pinta Arya Wadam.
"Asal aku boleh bersamamu terusmenerus." "Boleh. Asal mau kena bogem mentah prajurit, silakan. Ha ha ha...."
Satria berbalik. Kakinya lantas melangkah
lebar menuju kuda putihnya. Tangkas, dia melompat ke punggung kuda.
"Satria! Itu kuda betina. Hati-hati, lho?" ledek Arya Wadam lagi.
"Tapi dia tak sebinal kau, Arya! Ha ha ha....
Hia.... Hiaaa...!"
Di ujung tawanya, Satria menggebah kuda
putihnya. Sedangkan Arya Wadam masih terkikik
geli. Lalu kakinya melangkah menuju keraton.
DUA ALAM tak selamanya menawarkan keramahan. Semua orang tahu itu. Tapi ada kalanya, kemurkaan alam justru diakibatkan oleh ulah manusia itu sendiri. Kerakusan, ketamakan, mau
menang sendiri, nafsu berlebihan adalah sifat-sifat dalam kehidupan manusia yang
sulit terpisahkan.
Pada gilirannya, semua sifat-sifat itu justru membuat kesengsaraan orang lain.
Lebih jauh dari itu, alam pun seolah tak rela dikotori oleh sifat-sifat
demikian. Tak heran kalau kali ini alam menum-pahkan segala kemurkaannya.
Seperti halnya malam ini.
Desa Jatianom yang baru saja terkurung
malam, tiba-tiba menggeliat oleh terjangan angin
menggila. Meski angin belum seberapa melabrak,
tapi sudah membuat keberanian para penduduk
terdepak entah ke mana.
Awan gelap sudah mengepung beberapa lama sebelumnya. Angin kencang mendengusdengus, membuat pepohonan meliuk-liuk liar.
Rembulan benar-benar terkurung, sedikit pun tak
diberi celah untuk meloloskan diri. Malam yang
sudah gelap makin terlihat pekat. Tak terlihat tan-da-tanda kalau angin akan
mereda. Malah beberapa atap rumah penduduk terlihat mulai beterbangan dihempas angin nakal.
Jerit tangis perempuan dan anak kecil meledak, tersamar oleh dengusan angin menggila. Binatang-binatang menjerit-jerit gelisah berusaha
keluar dari kandangnya. Dan sehimpun keributan
lain berbau membangun suasana hiruk-pikuk.
Beberapa penduduk telah mulai keluar dari
rumahnya yang telah doyong tersapu angin. Tinggal menunggu disenggol saja, mungkin rumah mereka telah ambruk. Barang-barang yang perlu dibawa telah terpanggul di punggung para lelaki.
Sementara para wanita menyeret-nyeret anak mereka untuk segera menyelamatkan diri.
Tak terlalu jauh dari ujung desa, tepatnya
di bibir tebing jurang menganga, seorang perempuan muda malah berdiri terpekur penuh keputusasaan. Bila orang-orang di desa berusaha menyelamatkan selembar nyawa mereka, maka gadis
muda ini justru seperti memilih mencari mati.
"Tak ada lagi gunanya hidup di dunia.... Harapanku telah hancur. Kakang Pandu tak mau
mengakui bayi dalam kandunganku.... Biarlah derita ini kutanggung sendiri.... Maafkan aku, bayi-ku.... Aku tak bisa merawatmu
tanpa Kakang Pandu...." Di ujung kalimatnya, si gadis melempar tubuhnya ke mulut jurang di
bawahnya. Membawa
segala kedukaan, sakit hati, serta bayi tak berdosa dalam kandungannya yang baru
berusia tiga bulan! Tubuh ramping perempuan muda berpakaian kuning itu terus meluncur, tertelan mulut
jurang menganga di mana batu-batu runcing di
bawahnya siap melahap.
Namun satu tombak lagi tubuh ramping itu
menghujam bumi, dari celah-celah dinding tebing
melesat satu bayangan menyambar.
Tap! Tubuh si gadis tahu-tahu telah berada di
kedua tangan satu sosok melengkung. Seorang perempuan tua berambut panjang digelung ke atas.
Gelungan rambutnya menggunakan konde dari tulang lengan manusia. Wajahnya tirus berhidung
bengkok seperti paruh burung betet. Bibir kendornya menebar senyum.
"Hi hi hi.... Untung ada aku, Cah Ayu.... Untung iseng-iseng aku ingin mencari
telur burung. Kalau tidak, tak bakalan kau selamat, Cah! Hi hi
hi.... Tak ada luka di tubuhmu. Berarti kau senga-ja menceburkan diri ke jurang
ini, ya?" cerocos si nenek berwajah penuh keriput seperti kain wiron.
Si gadis yang diajak bicara justru malah tak
tahu apa-apa. Kesadarannya telah tersingkir entah ke mana, ketika tubuhnya
meluncur ke bawah ta-di.
Si nenek segera meninggalkan tempat ini.
Sekali menghentak, tubuhnya telah melesat. Kakinya menotol ujung-ujung runcing bebatuan, lalu
menghilang di sebuah goa dinding tebing.
* * * Perlahan namun pasti, angin yang mengamuk di Desa Jatianom mereda. Tepat ketika matahari mengintip malu-malu dari celah-celah bukit,
yang ada kini hanya desahan angin halus. Membelai pepohonan yang sebagian telah tumbang. Sementara para penduduk sudah bisa bernapas lega,
seraya membenahi barang-barang mereka yang
tercecer. Membawa anak-istri mereka kembali ke
rumah yang sebagian telah porak poranda.
Tapi, apa sebenarnya di balik bencana itu"
Sebenarnya, ada suatu kepercayaan kuat
yang melekat di tiap-tiap hati para penduduk. Bila salah seorang gadis desa itu
ada yang hamil di luar nikah, maka bisa dipastikan bencana alam akan
datang. Entah bencana apa, mereka belum dapat
memastikan. Tapi malam tadi, bukankah telah terjadi kemurkaan alam lewat tiupan angin beliung
yang amat keras. Itukah bencana yang dimaksudkan" Tapi kenapa hanya sebentar. Sebab biasanya
kemurkaan alam bisa berlangsung berhari-hari
dan lebih dahsyat!
Lantas, gadis siapa yang telah hamil di luar
nikah" Dan rasanya, penduduk Desa Jatianom belum bisa menerka, siapa gadis yang mendatangkan
kemurkaan alam. Tapi yang jelas, saat ini di rumah kepala desa telah terjadi kegemparan. Lestari, putri satu-satunya sang
Kepala Desa telah lenyap
entah ke mana. Tewas akibat bencana" Rasanya tak mungkin. Sebab para pembantu kepala desa telah mencari di sekitar rumah, tetap tak ditemukan mayatnya. Apalagi, kerusakan rumah juga tak begitu parah. Satu-satunya petunjuk di rumah Ki Pawit,
si kepala desa, adalah jendela kamar Lestari yang terbuka. Itu artinya, si gadis
memang telah pergi meninggalkan rumah. Tapi ke mana"
Ke rumah Pandu" Sebab selama ini, putra
juragan kambing yang cukup kaya di Desa Jatianom itu adalah kekasih Lestari. Semua orang di
desa sering melihat kalau Lestari dan Pandu kerap terlihat jalan berdua. Mereka
bagaikan kembang
dan kumbang. Tak dapat dipisahkan.
Ki Pawit hanya bisa menggigit jari ketika
mendengar kabar kalau anak gadisnya tak ditemukan di sana. Yang lebih menyakitkan, Ki Pawit
malah mendapat kabar bahwa Pandu justru akan
menikah dengan gadis pilihannya sendiri pada
purnama depan. "Benar apa yang kau katakan itu, Jumeneng?" tanya Ki Pawit seperti belum yakin dengan apa yang didengarnya.
"Benar, Ki. Buat apa aku berkata dusta kepada Kepala Desa?" sahut lelaki tinggi besar bernama Jumeneng.
"Jahanam! Pandu telah mencoreng namaku
kalau begitu! Semua orang telah tahu kalau anakku sering bersamanya. Eh, tiba-tiba dia mau menikah dengan orang lain. Keparat!" geram Ki Pawit.
"Jumeneng! Seret Pandu kemari! Suruh dia bertanggung jawab atas kepergian
anakku. Aku yakin,
perginya Lestari lantaran dia!"
"Baik, Ki," sahut Jumeneng
"Dan kau, Parjan! Cari anakku ke seluruh
sudut desa. Kalau perlu, cari sampai ke desa-desa lain," lanjut Ki Pawit.
"Baik, Ki," sahut lelaki berperut buncit bernama Parjan.
* * * Kembali ke dasar jurang.
Di bawah jurang sana dikenal sebagai Lembah Setan. Sebuah tempat terakhir bagi orangorang berpikiran pendek. Tempat bagi orang-orang
yang ingin mengakhiri hidupnya lantaran putus
asa. Entah mengapa, Lembah Setan sudah sejak
dulu dikenal sebagai pilihan bagi orang-orang yang ingin mengakhiri hidupnya.
Memenuhi panggilan
iblis untuk menyerahkan jasadnya di dasar jurang.
Tapi kali ini, beruntung Lestari dapat diselamatkan oleh seorang perempuan tua berwajah
tirus. Berpakaian kebaya kusam dengan kain batik, juga telah compang-camping. Tusuk konde pada gelungan rambutnya dari tulang lengan manusia. Dialah Nini Manten.
Seorang tokoh silat wanita yang telah bertahun-tahun menghilang dari peredaran. Sewaktu
mudanya, wanita ini tergolong tokoh atas dunia
persilatan tanpa aliran. Hanya karena dikhianati
oleh seorang lelaki, dia tiba-tiba menghilang entah ke mana. Sejak saat itu,
kabar tentang Nini Manten tak terdengar lagi. Lenyap bagai ditelan bumi.
Setelah bertahun-tahun bersemadi di dalam
goa di dinding tebing jurang Lembah Setan, Nini
Manten merasa harus nongol diri ke dunia luar.
Tapi baru saja hendak mencari makan berupa telur-telur burung yang bersarang di celah-celah tebing, mata tajamnya menangkap
satu bayangan meluncur deras ke dasar jurang.
Naluri tajamnya segera memerintahkan untuk melesat. Tangkas, langsung ditangkapnya
bayangan yang meluncur tadi. Bayangan yang ditangkapnya segera dibawa ke dalam goa tempatnya bersemadi. Itulah sosok seorang gadis yang


Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hendak mengakhiri hidupnya di Lembah Setan.
Di dalam goa, Nini Manten memeriksa keadaan si gadis. "Tekanan batin yang begitu kuat membuat
kandungannya tak mampu bertahan. Dia telah keguguran," gumam si nenek ketika melihat darah terus-terusan mengalir dari selasela paha si gadis.
Lewat satu pijatan halus, Nini Manten berhasil mengeluarkan janin bayi yang baru berusia
tiga bulan. Lalu ditotoknya jalan darah di tubuh
gadis itu. Darah pun berhenti mengalir.
"Ternyata dia seorang ibu.... Hmm..., kenapa mesti bunuh diri" Atau dia seorang gadis malang korban rayuan lelaki" Bisa jadi," kata si nenek, menjawab pertanyaannya
sendiri. Di atas tumpukan jerami, si gadis masih
terbaring pingsan. Sejak tubuhnya meluncur ke
dasar jurang, kesadarannya memang telah lenyap.
Bersamaan dengan lenyapnya harapan yang telah
dibina beberapa bulan yang lalu.
Siapa gadis ini"
Dialah Lestari.
Gadis putri Kepala Desa Jatianom yang berusaha mengakhiri hidupnya karena kekasihnya
begitu tega menyingkirkannya. Padahal benihbenih cinta kasih mereka telah membentuk sebuah janin tak berdosa. Hanya karena kerakusan
sang kekasih, Lestari terpaksa harus terdepak dari sisinya.
Betapa terpukulnya Lestari ketika dengan
tiba-tiba Pandu mengatakan kalau purnama depan
akan segera menikah dengan gadis lain. Gadis
yang lebih cantik dan kaya, anak juragan palawija desa tetangga. Lebih terpukul
lagi ketika Pandu
tak mengakui bayi dalam kandungan Lestari. Dengan berbagai dalih, si pemuda berusaha lepas dari tanggung jawab.
Merasa terlalu percuma bila mendesak terus, akhirnya Lestari memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Pada saat yang bersamaan, malam itu angin puting beliung menerjang desa. Tapi itu tak mengendurkan tekad si
gadis. Lewat jendela kamarnya, dengan hati hampa dia berjalan
hingga ke jurang Lembah Setan. Tempat di mana
orang-orang putus asa biasa mengakhiri hidupnya
di sana. "Hi hi hi.... Kau senasib denganku, Cah!
Aku pun juga korban kaum lelaki. Tapi itu dulu....
Tujuh puluh tahun yang lalu..... Kendati begitu,
dendam ini tak bakal pupus dalam hatiku. Kau
harus bisa mewakili aku melenyapkan lelaki mata
keranjang. Lelaki hidung belang yang membuat hidup kita menderita. Kau akan kuangkat sebagai
murid, Cah! Hi hi hi...," celoteh Nini Manten. Dalam benaknya masih terbayang,
bagaimana ha- tinya terkoyak oleh ulah kaum lelaki.
Nini Manten kini tengah menyalurkan hawa
murni ke tubuh Lestari. Dia terus berusaha agar si gadis cepat siuman. Hatinya
tak sabar lagi untuk
mewujudkan cita-citanya. Menuntaskan dendam
pada kaum lelaki!
* * * Tiba di rumah Pandu, Jumeneng menemukan kesia-siaan. Pandu tetap bersikeras kalau dia tak tahu-menahu tentang
Lestari. Bahkan dia menolak untuk diajak ke rumah Ki Pawit.
"Kalau kau tak mau ke sana, lebih baik kau
berhadapan denganku, Pandu. Aku harus bisa
menyeretmu ke sana!" bentak Jumeneng, galak.
"Terserah apa maumu. Jumeneng. Kau bisa
seret aku ke sana setelah kau mampu melumpuhkanku!" sahut pemuda tampan berpakaian indah dari sutera berwarna biru. Pandu
Perbawa namanya. "Bangsat! Itu artinya kau menantangku, Pandu!"
"Aku tak mau mengotori tanganmu hanya
untuk mengurusi manusia tengik macammu! Hadapi dulu para pengawalku!"
Plok! Plok! Plok!
Tiga kali Pandu bertepuk, tiga lelaki kasar
yang sejak tadi berdiri di depan pintu berlompatan ke halaman. Mantap, mereka
menginjak bumi di
sisi Pandu. Senyum pongah si pemuda terkembang. Ekor matanya melirik ke arah tiga lelaki
pengawalnya. "Usir anjing kurap peliharaan kepala desa
itu dari sini!" ujarnya, dingin.
"Setan kau, Pandu! Kau pikir aku takut
menghadapi monyet-monyet peliharaanmu"!"
"Tak perlu banyak omong. Buktikan saja,"
Pandu segera berbalik. Ditinggalkannya tempat ini, lalu masuk ke dalam rumahnya.
Tiga orang lelaki kasar telah mengepung
Jumeneng. Tatapan liar mereka menjilati wajah si
calon korban. Sedangkan gagang golok telah tergenggam dengan tangan kanan.
Jumeneng sama sekali tak mengenali ketiga
tukang pukul Pandu. Jelas, mereka bukan penduduk desa ini. Tapi dari gerakan jurus pembuka
mereka, jelas kalau Jumeneng tak bisa memandang remeh. Gerak ringan yang diperlihatkan menandakan kalau ketiga lelaki kasar itu memiliki
kepandaian yang patut diperhitungkan.
Srattt...! Serempak, ketiga lelaki tukang pukul Pandu
telah mencabut golok masing-masing. Mata golok
langsung berputaran, membentuk lingkaran cahaya berkilatan akibat tertimpa sinar matahari.
Suara menderu putaran golok seolah hendak meruntuhkan nyali Jumeneng.
"Hiaaat...!"
Puas memperlihatkan kemahiran memutar
golok, ketiga lelaki kasar itu segera bergerak menerjang. Liar dan ganas. Hendak
dibabatnya tubuh
Jumeneng menjadi beberapa bagian. Dua golok
menyambar bagian atas, sisanya ke arah pinggang.
"Hih!"
Jumeneng tahu kalau berusaha memapak
ketiga golok sekaligus tak akan mungkin mampu.
Maka untuk sementara dicobanya menghindar
dengan membuang tubuh ke belakang. Dengan
dua kali bersalto, maka sambaran ketiga golok luput. Begitu menginjak bumi, Jumeneng segera
mencabut goloknya pula. Pikirnya, bila lawan telah langsung menggunakan senjata,
maka tak ada salahnya kalau goloknya pun segera digunakan.
Wut! Wut! Wut! Beberapa putaran golok dibuat Jumeneng.
Cepat, bertenaga dalam tinggi. Deru angin yang
tercipta sempat menggetarkan ketiga lelaki pengeroyoknya. "Chiaa...!"
Sambil terus memutar golok, Jumeneng melesat. Yang jadi sasaran adalah pengeroyok yang
berada paling kiri. Perhitungannya, sasarannya
kali ini lebih dekat dengannya. Selain itu, lawan yang dituju masih dalam
keadaan bersiap betul.
Tapi sebelum Jumeneng tiba, salah seorang
lawan yang lain telah melempar goloknya. Cepat
dan ganas. Wrrrr.... Mata golok menerabas udara. Di dalamnya
terkandung kekuatan dahsyat, siap mencabut
nyawa Jumeneng. Bila Jumeneng tidak sigap, maka siap-siap saja melawat ke akhirat.
"Hih!"
Tak! Setelah menghentikan laju serangannya,
Jumeneng langsung memapak luncuran golok. Jiwanya memang lolos dari mulut. Tapi tak urung
tubuhnya kontan bergetar keras. Tangannya pun
terasa bagai kesemutan. Cepat dibuatnya satu
sentakan ke samping. Karena saat itu, lawan yang
lain telah menerjang disertai tebasan golok dari
atas ke bawah. Jumeneng langsung bergulingan, mencari
jarak. Lima belas tombak dari tempat semula, dia
bangkit berdiri. Tapi belum juga bersiap, lawan
yang tadi hendak dirangsaknya kali ini ganti menyerangnya. Wutt! Wutt! Sambaran liar golok lawan memangkas
udara. Deru angin tajam menggeliat, menyergap
nyali. Tak ada waktu lagi bagi Jumeneng untuk
menghindar. Tangkas, dibuatnya dua kali tebasan
golok untuk memapak serangan.
Tak! Tak! Gempuran tebasan golok lawan berhasil ditahan Jumeneng. Tapi goloknya sendiri terlepas
dari pegangan, dan terpental entah ke mana. Tangannya pun kini terasa nyeri bukan main. Mulutnya meringis seperti orang telat buang hajat.
Lawan tak menyia-nyiakan kesempatan.
Langsung dihantamnya dada Jumeneng dengan
satu tendangan setengah lingkaran. Keras dan bertenaga dalam tinggi.
Desss...! Jumeneng terpental. Sepuluh tombak dari
tempat semula dia jatuh telentang. Bersamaan
dengan itu, lawan yang tadi melemparkan golok telah menerjang cepat. Ketika tubuhnya melayang di
udara, kaki kanannya telah terjulur ke depan. Begitu berada di atas Jumeneng, diinjaknya dada lelaki yang masih telentang menikmati sakitnya itu.
Kreakk! "Tamat riwayatmu!"
Dengusan liar lawan mengiringi kepergian
nyawa Jumeneng ke alam baka. Tulang-tulang dadanya berpatahan, terinjak kaki penyerangnya
yang berisi tenaga dalam tinggi. Dari mulutnya
mengalir darah segar karena isi dalam dadanya
hancur. "Buang mayatnya ke hutan!" seru salah seorang lelaki kasar itu. "Biar aku yang
memberi lapo-ran pada Tuan Pandu," lanjutnya.
TIGA TANJUNG Karangbolong masih seperti dulu.
Ombak tak pernah lelah menjilati pantai. Meninggalkan buih-buih putih yang kemudian diterbangkan angin. Suara gemuruhnya sampai terdengar ke sebuah gubuk yang berdiri tak jauh dari pantai. Di dalam gubuk dua
lelaki bangkotan guru
Satria seperti tak terusik. Masing-masing asyik
dengan kesendiriannya. Ki Kusumo alias Tabib
Sakti Pulau Dedemit duduk menyelonjor di dipan.
Memperlihatkan kedua kakinya yang buntung sebatas dengkul dan disambung dengan dua batang
logam runcing. Seperti tak pernah lepas dari tabiat sintingnya, Dongdongka alias Dedengkot Sinting Kepala
Gundul malah mendengkur keras tak beraturan
dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Kedua
tangan kurusnya yang berkulit keriput menjadi
penopang tubuhnya.
"Gawat..., gawat....'" desah Ki Kusumo tiba-tiba. Sepulas-pulasnya Dongdongka,
nyatanya ku- pingnya sempat mendengar desahan barusan. Dedengkot Sinting Kepala Gundul terjaga dari tidurnya. Kelopak keriputnya membuka perlahanlahan. Dicobanya menatap Ki Kusumo dengan menaikkan kepalanya.
"Ada apa dengan syahwatmu, Kusumo?" Salah dengar rupanya Dongdongka. Atau kupingnya
memang sedang mabuk"
"Aku bilang gawat, Panembahan," ralat Ki Kusumo, halus.
"Oh, aku salah dengar ya" Lalu, apa yang
gawat Kusumo" Tentang murid kita lagi?" tebak Dedengkot Sinting Kepala Gundul,
sok tahu. "Bukan, Panembahan. Tentang dirimu," sahut Ki Kusumo.
Dongdongka tersentak. Kedua kakinya diturunkan. Mata kelabunya masih menempel lekatlekat di wajah Ki Kusumo yang beralis putih jarang. "Tentang aku" Ada apa dengan aku?" tanya Dongdongka sambil berjongkok
dengan tangan masih menapak tanah berpasir. Persis seperti kodok kurus mau kawin.
"Entah kenapa, sekarang justru aku
mengkhawatirkan keadaanmu, Panembahan," jelas Ki Kusumo.
"Hei, Kusumo! Aku bukan istrimu yang harus dikhawatirkan. Kenapa kau begitu mengkhawatirkan aku" Kenapa?" terjang Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Harga dirinya
merasa terusik. Bukan apa-apa, masa' sebagai tokoh persilatan yang
nyaris sulit mati masih perlu dikhawatirkan" Bukankah Ki Kusumo terasa mengada-ada"
"Lho" Apa salahnya kalau aku mengkhawatirkan Panembahan?" tukas KI Kusumo.
"Itu artinya kau meremehkan aku, tahu?"
Dongdongka melempar pantat keroposnya ke tanah berpasir. "Aku tak bilang begitu, Panembahan. Hanya
saja kok hatiku terasa tak enak. Ada firasat apa
ya, Panembahan?"
"Lho" Mana kutahu" Itu kan firasatmu sendiri" Tapi sudahlah! Jangan terlalu dirisaukan aku yang kurus kering ini. Nanti
juga mati sendiri. Eh, ngomong-ngomong, ke mana Cah Gendeng kita, ya
Kusumo" Katanya mau cepat-cepat pulang setelah
menyelesaikan urusannya dengan Setan Madat"
Kok belum pulang-pulang juga?"
Mau tertawa rasanya Ki Kusumo. Tadi


Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dongdongka menuduhnya tengah mengkhawatirkan Satria. Tapi sekarang justru Dongdongka sendiri yang menanyakan dengan nada sedikit mencemaskan. "Panembahan mencemaskannya?" sindir Ki
Kusumo. "Siapa bilang?" tangkis si tua bangka gundul, setelah merasa disindir. "Aku kan
cuma menanyakan, kira-kira dia berada di mana?"
Sebagai orang yang lebih muda, Ki Kusumo
mengalah. Kendati begitu alis putih jarangnya tetap saja berkernyit. Memang, tabiat sesepuh gendeng yang tetap dihormatinya itu terkadang membuatnya puyeng sendiri. Lantas, apa maksudnya
dia bertanya begitu" Sekadar basa-basi" Ah, sudahlah. Aku harus mengalah, tepis Ki Kusumo.
"Mungkin dia dalam perjalanan menuju ke
Tanjung Karangbolong ini," sahut Ki Kusumo asal-asalan.
Tanpa bertanya lagi, Dongdongka bangkit.
Terbungkuk-bungkuk, dihampirinya balai bambu
di depannya. Dihempaskannya pantat keroposnya
di balai. "Jangan-jangan, Cah Gendeng kita ada persoalan lagi, Kusumo?" buka Dongdongka. Tangannya lantas menggaruk-garuk kepala
gundulnya. "Rasanya Panembahan pernah menasihatiku agar aku tak perlu mengkhawatirkan Satria"
Panembahan pernah bilang, kalau kita tak perlu
menyuapinya terus menerus. Bukankah begitu?"
Ki Kusumo menyudutkan.
"Aku sudah tahu, tahu"!" tangkis Dongdongka. "Kekhawatiranku bukan berarti harus
menjaganya. Kau harus tahu itu, tahu"!"
Makin puyeng saja Ki Kusumo meladeni si
tua buluk Dongdongka. Tapi memang begitu tabiatnya. Ki Kusumo sudah memakluminya. Yang
bisa dilakukan cuma menghembuskan napas. Berusaha melonggarkan dadanya yang mendadak sesak. "Sekarang bagaimana" Apakah aku harus
mencari Satria?" tawar Ki Kusumo.
"Ah, Cah Gendeng itu kalau lapar juga pulang sendiri!" sergah si tua gundul. Berkata begitu maksudnya dia ingin
menunjukkan kalau hatinya
tidak khawatir terhadap Satria. "Tapi kalau kau pingin lihat-lihat dunia luar,
bolehlah sekalian
mencari Satria," lanjutnya.
Ki Kusumo tersenyum. Tapi mendadak senyumnya menguap entah ke mana ketika teringat
sesuatu. "Apa semalam Panembahan tidak bermimpi
apa-apa?" usik Ki Kusumo.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul tercenung. Otak tuanya berusaha mengingat. Lantas
kepalanya menggeleng. Perlahan, tampak raguragu. "Tapi kenapa semalam Panembahan mengi-gau tak karuan" Malah menyebutnyebut nama Nini Berek. Rasanya, aku juga pernah mengenalnya?" "Keterlaluan kau, Kusumo! Kenapa kau tak bilang dari tadi?" cekat
Dongdongka. "Maksud Panembahan?"
"Keterlaluan kalau kau tak tahu, siapa Nini
Berek!" "Aku tahu, dia wanita siluman istri Ki Ageng Wirakrama, salah seorang
datuk sesat."
"Ya, aku juga mau bilang begitu, tahu"! Tapi cilaka kalau perempuan kuntilanak
itu sampai terjun lagi ke dunia penuh gonjang-ganjing ini! Pasti ada apa-apanya! Pasti ada
sebabnya!"
"Jadi, apa penyebabnya, Panembahan?"
* * * Desa Jatianom di puncak kegarangan siang.
Para penduduk masih sibuk membenahi
rumahnya yang semalam diterjang angin puting
beliung. Di hati mereka masih tersimpan sebuah
pertanyaan, gadis siapa yang hamil di luar nikah
sehingga membuat kemurkaan alam"
Pergunjingan pun merebak. Adalah suatu
kenikmatan tersendiri jika membicarakan aib
orang. Bukankah, begitu kebanyakan kaum manusia" Mereka saling kasak-kusuk, mendugaduga. Tapi ketika mendengar bahwa anak gadis Ki
Pawit menghilang, tudingan pun diarahkan ke sana. Hilangnya Lestari, putri Ki Pawit, lantas saja
dihubung-hubungkan dengan jurang Lembah Setan. Dugaan itu diyakini seyakin-yakinnya karena
selama ini Lembah Setan dikenal sebagai tempat
orang-orang putus asa mengakhiri hidupnya. Dan
siapa tahu saat ini Lestari telah berhubungan terlalu jauh dengan Pandu, putra
juragan kambing
yang dikenal sebagai Ki Tambakyasa
Ki Pawit sendiri sebenarnya punya dugaan
seperti itu. Tapi dia berusaha menghibur diri sendiri dengan mengenyahkan
dugaan-dugaan buruk
dalam benaknya. Sementara istrinya hanya bisa
mengurung diri di kamar sambil meratapi nasib
anak perawan satu-satunya. Itu pun kalau masih
perawan. Tentu saja, kini Ki Pawit tinggal menunggu
kabar dari Jumeneng dan Parjan. Tapi sudah begini siang, kedua bawahannya itu tak kunjung
muncul juga. Hatinya makin panas juga. Sementara kecemasan terhadap anaknya kian menyentaknyentak perasaannya.
Di serambi, lelaki setengah baya itu berjalan
mondar-mandir. Sikapnya serba salah. Sebentar
langkahnya berhenti dengan kepala menjulur memandang ke jalan di depan rumahnya. Belum ada
tanda-tanda kalau kedua orang bawahannya muncul. "Sial! Lama sekali mereka"!" rutuk Ki Pawit seraya melanjutkan
kegelisahannya. Kembali jalan
mondar-mandir di serambi.
Lelah, Ki Pawit lantas menghenyakkan pantatnya di kursi. Dihembuskannya napas sesak
yang membalut dadanya. Maksudnya untuk mengurangi kegelisahannya, Tetapi itu belum cukup.
Diambilnya bungkus tembakau yang tergeletak di
meja. Setelah mengambil selembar kertas papir,
dibuatnya selinting rokok klembak menyan. Dilinting-linting, lalu diselipkan ke bibir hitamnya. Tangannya lantas merogoh
pemantik api di saku surjannya. Dinyalakannya rokok klembak menyan, lalu dihisapnya dalam-dalam.
Merasa belum cukup juga, Ki Pawit bangkit
dari duduknya. Kakinya lantas melangkah menuju
halaman. Namun baru beberapa langkah, seorang
lelaki kurus muncul dari jalan depan rumahnya.
"Parjan! Bagaimana" Apakah kau sudah
dapat berita tentang Lestari?" berondong Ki Pawit.
Matanya membesar.
Dua langkah di depan Ki Pawit, Parjan berhenti. Kepalanya tertunduk takut-takut.
"Be..., belum, Ki. Tap..., tapi...."
"Tapi apa"!" penggal Ki Pawit. Dadanya kian berdebar keras. Dugaan buruk yang
tersimpan dalam benaknya mulai merambat, merasuki hatinya.
"Ada beberapa penduduk desa kita yang
melihat Jumeneng dikeroyok orang-orang tak dikenal di halaman rumah Ki Tambakyasa. Bisa jadi
mereka adalah tukang pukulnya Pandu," jelas Parjan. "Setan! Berarti pemuda
sialan itu sengaja mau cari perkara dengan kita. Tapi kenapa penduduk yang
melihat kejadian itu tak melaporkannya
kepada kita?"
"Mungkin mereka takut, Ki. Kau tahu sendiri, belakangan ini pengaruh Ki Tambakyasa terhadap para penduduk makin kuat saja. Bahkan diam-diam dia mengincar kedudukanmu menjadi
kepala desa ini," Parjan memberi alasan.
"Ya, aku tahu itu. Kupikir dengan ada hubungannya antara Lestari dan Pandu, aku tak perlu khawatir lagi pada kedudukanku sebagai kepala
desa. Tak tahunya...."
Ki Pawit menggeram lirih. Rahangnya mengeras. Teringat kembali dalam benaknya, bagaimana dia menerima Ki Tambakyasa sebagai penduduk desa ini sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu sikap Ki Tambakyasa tampak
sangat bersahabat
dengannya. Penuh perhatian dan suka menolong.
Ki Tambakyasa adalah pedagang kambing
dari desa yang cukup jauh dengan ibu kota kadipaten. Karena Desa Jatianom terletak tak jauh dari kota kadipaten, maka dia
memutuskan untuk pindah ke desa ini. Benar saja. Begitu pindah ke desa ini,
perdagangannya melesat jauh. Kekayaan pun
melimpah. Kambing-kambingnya selalu habis terjual di kota kadipaten.
Rupanya, Ki Tambakyasa tergolong manusia
rakus. Lewat para kaki tangannya, diam-diam dia
mulai menekan para penduduk untuk menjual
kambing-kambing semurah mungkin kepadanya.
Dengan cara halus, seolah sebagai dermawan,
penduduk yang membutuhkan pertolongan uang
dipinjami dengan imbalan seekor anak kambing.
Ternyata, bunga pinjaman begitu mencekik leher.
Akibatnya, bila salah seorang tak bisa mengembalikan, maka seluruh kambing miliknya akan dirampas. Peluang itu sebenarnya tak perlu terjadi
seandainya Ki Pawit mau bertindak. Tapi dasar
kepala desa itu juga manusia biasa, mulutnya pun
telah disumpal oleh kantung-kantung uang kepeng
pemberian Ki Tambakyasa. Apalagi kemudian,
anak gadisnya juga punya hubungan dengan Pandu, Putra Ki Tambakyasa.
Ki Tambakyasa kian merajalela. Kali ini dia
mulai berani menggunakan ancaman bila para
penduduk tak mau menjual kambingnya kepadanya. Tukang-tukang pukul dari desa lain pun
disewa untuk menakut-nakuti para penduduk.
Kini, Ki Pawit nyaris tak bisa berbuat apaapa. Tapi begitu Lestari hilang, kesadarannya kalau selama ini telah dikadali Ki Tambakyasa pun
terkuak. Apalagi menurut kabar pun, Ki Tambakyasa bercita-cita akan merebut kedudukannya
sebagai kepala desa.
"Kalau begitu, kumpulkan orang-orang kita.
Pandu harus kita seret ke balai desa. Dan kalau Ki Tambakyasa ikut campur, kita
bisa menuntutnya
dengan tindakannya selama ini terhadap penduduk," ujar Ki Pawit.
Dalam hati Parjan tersenyum kecut. Dia sudah tahu, siapa Ki Pawit. Kenapa tidak bertindak
sejak dulu terhadap Ki Tambakyasa" Sesal lelaki
kurus ini. Setelah tertimpa musibah, baru mengajak bertindak. "Ayo, tunggu apa lagi?" letus Ki Pawit ketika melihat Parjan ragu-ragu.
"Baik, Ki," sahut Parjan. Bergegas, ditinggalkannya Ki Pawit.
Berbalik, Ki Pawit segera melangkah memasuki rumahnya. Dibuangnya puntung rokok klembak menyan yang telah mati apinya ketika hendak
dihisap. "Tak akan kubiarkan sepak terjang Ki Tambakyasa!" geramnya.
* * * "Dendamlah penyebabnya," jawab Dongdongka mantap. Sok tahu si tua bangka itu. Dari
mana dia tahu kalau munculnya kembali Nini Berek ke dunia persilatan lantaran dendam"
"Panembahan tahu dari mana?" sodor Ki
Kusumo, penasaran.
"Kau ini bagaimana, Kusumo" Ya, dari
mimpiku itu!"
"Panembahan sendiri belum bercerita tentang mimpi itu."
"Belum, ya" He he he.... Aku terlalu bersemangat, Kusumo."
Kembali Ki Kusumo hanya bisa menarik
napas sesak. Semaklum-maklumnya Ki Kusumo,
sekuat-kuatnya hatinya, tetap saja merasa mabok
menghadapi tua bangka satu ini. Cuma karena rasa hormatnya saja dia tak ingin meninggalkan
Dongdongka begitu saja.
"Aku bermimpi seram sekali, Kusumo. Seram sekali! Bayangkan!" ledak Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Kedua tangan
kurus keringnya
menggeliat-geliat di samping pinggang. Mirip cacing kepanasan. Ki Kusumo tak ingin menyahuti. Dibiarkannya si tua gundul mencak-mencak sendirian. Yah,
daripada dia ikut-ikutan sawan, lebih baik diam
saja. "Kau tak ingin tahu mimpiku, Kusumo?" aju Dongdongka, menyebalkan. Lebih
menyebalkan la-gi, tangan kanan kurusnya tiba-tiba menepak
punggung Ki Kusumo. Saking semangatnya, membuat Tabib Sakti Pulau Dedemit nyaris terlonjak.
Ki Kusumo cengar-cengir serba salah. Mana
mungkin dia berani marah pada si tua sinting ini.
Bukan karena takut, tapi rasa hormatnya saja
yang dia mampu menghadapi 'musibah' ini.
"Dalam mimpi, aku seperti diseret-seret ke
negeri Siluman. Aku disuruh mempertanggungjawabkan perbuatanku. Perbuatan apa, Kusumo"
Perbuatan apa" Apa salahnya" Apa?" Dongdongka uring-uringan sendiri.
"Panembahan pernah punya urusan dengan
bangsa siluman?" cetus Ki Kusumo, tak tega melihat Dongdongka uring-uringan


Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri. Dedengkot Sinting Kepala Gundul terdiam.
Dari duduknya dia bangkit. Wajah berkeriputnya
tertarik tegang. Kelopak matanya mendelik-delik
seolah tercekik.
"Ini bencana, Kusumo. Bencana!" Sumpah
serapahnya menyusul kemudian. Dia berjalan
mondar-mandir sambil mengetuk-ngetuk kepala
gundulnya dengan bambu tipis yang tak pernah
lepas dari tangannya.
Kini, Ki Kusumo yang kebingungan. Matanya bergerak-gerak, mengikuti arah mondarmandirnya si tua bangka di depannya. Tapi setidaknya, nalurinya bisa mengendus sesuatu yang
genting di hati Dongdongka.
"Bencana apa yang Panembahan maksudkan?" tanya Ki Kusumo.
"Itulah sialnya, Kusumo. Aku tak tahu, bencana apa yang akan menimpaku. Dan lagi, rasanya
aku tak pernah berurusan dengan bangsa siluman, kecuali...."
"Kecuali apa, Panembahan?"
"Kecuali Cah Gendeng kita. Bukankah waktu itu dia pernah mengalahkan Nini Jonggrang?"
Lengkap sudah kebingungan Ki Kusumo.
Apa hubungannya urusan mimpi Dongdongka
dengan Satria" Tanyanya, membatin.
Penasaran, Ki Kusumo mencoba menebak.
"Maksudmu, Nini Jonggrang belum mati betul?"
"Meleset jauh tebakanmu, Kusumo!"
Ki Kusumo tersenyum kecut. Tak ada gairah lagi untuk mengorek keterangan dari Dongdongka. Yang penting sekarang, dibiarkannya saja
Dedengkot Sinting mengoceh sendirian.
"Kau tahu kan kalau Nini Jonggrang punya
guru yang berasal dari siluman?" letus Dongdongka.
Tidak. Ki Kusumo tak bergairah lagi menjawab. Mulutnya sengaja dikunci rapat-rapat. Takut
salah lagi dia.
"Ketika Nini Jonggrang dikalahkan Cah
Gendeng kita, bukankah terdengar suara mengikik" Nah, aku yakin itulah suara tawa siluman.
Kalau kita hubungkan bahwa Cah Gendeng kita
adalah murid kita, bisa jadi bangsa siluman dendam terhadap kita. Terutama kepadaku. Nah, lewat mimpi itulah bangsa siluman menyatakan
dendamnya. Tapi entah kenapa, justru siluman jelek Nini Berek ikut-ikutan muncul. Kenapa bukan
siluman yang cantik-cantik...."
Dari mondar-mandirnya, Dongdongka berhenti di depan Ki Kusumo. Ditatapnya mata kelabu Tabib Sakti Pulau Dedemit.
"Kira-kira kau tahu, bencana apa yang akan
terjadi?" aju Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Tanpa bersuara, Ki Kusumo menggeleng.
Perlahan. "Aku yakin, para siluman akan bersekutu
menggempur kita. Terutama aku," jawab Dongdongka, yakin. Seyakin-yakinnya.
"Lalu bagaimana dengan Satria," tak kuat juga Ki Kusumo memendam
keingintahuannya.
"Cerdik! Kau benar-benar cerdik, Kusumo!"
sambar Dongdongka. Tapi justru sebenarnya
membuat Ki Kusumo tak mengerti.
Cerdik" Dia bilang aku cerdik" Rasanya aku
cuma bertanya. Rasanya aku tak memberi petunjuk apa-apa" Sulit memang memahami jalan pikiran Dongdongka. Saking tak tahu harus bilang
apa, Ki Kusumo hanya cengar-cengir saja.
"Naluriku mengatakan, bersekutunya para
siluman untuk menggempur kita atau tepatnya
aku, salah satunya disebabkan oleh Cah Gendeng
kita. Sekarang kau mengerti, Kusumo?" papar
Dongdongka. Entah kenapa otak tuanya jadi begitu bening. Sehingga kata-katanya meluncur begitu
saja. Tidak butek seperti tadi.
"Kalau sudah begitu, apa tindakan kita, Panembahan" Bukankah tadi aku hendak berpamitan untuk mencari Satria" Sebaiknya, sekarang
aku berangkat, Panembahan," cetus Ki Kusumo.
"Ya, berangkatlah, Kusumo. Aku juga mau
meneruskan tidurku lagi. Mudah-mudahan saja
aku dapat petunjuk dari guruku lewat mimpi...."
EMPAT DI DEPAN rumah Ki Tambakyasa, Ki Pawit
berdiri garang. Di belakangnya, sepuluh orang
anak buahnya berdiri bersiaga. Ada hawa kemarahan tercium di sana. Tarikan wajah mereka terlihat tegang. Cuping hidung kembang-kempis. Terutama terlihat pada wajah Ki Pawit.
"Ki Tambakyasa! Keluar kau! Serahkan
Pandu kepada kami!" teriak Ki Pawit. Ledakan suaranya memangkas udara.
Belum ada sahutan. Hening.
"Ki Tambakyasa! Jangan paksa aku untuk
mengobrak-abrik rumahmu!"
Keheningan kembali terkoyak.
Belum ada tanda-tanda kalau Ki Tambakyasa atau Pandu akan muncul. Dan ini membuat
kegeraman Ki Pawit makin menyentak-nyentak
dadanya. Lewat kepalanya, kepala desa itu memberi isyarat. Tapi sebelum orang-orang Ki Pawit
bergerak, dari pintu rumah Ki Tambakyasa bermunculan beberapa orang bertampang tak kalah
garang. Dua, empat, enam, delapan..., sepuluh lela-ki kini telah muncul di depan
pintu. Mereka semua telah menghunus golok, seolah ingin menyambut
kedatangan Ki Pawit dan bawahannya dengan kematian mengerikan. Kesepuluh orang itu terus melangkah ke halaman, membentuk barisan menjajar. Kejap berikutnya, dari pintu tadi menyusul
dua lelaki yang dicari-cari Ki Pawit. Yang seorang adalah pemuda tampan
berpakaian putih dari sutera. Ketat, seolah ingin memamerkan kekekaran
tubuhnya. Dialah Pandu, putra Ki Tambakyasa.
Di samping Pandu, berdiri seorang lelaki berusia sekitar enam puluh lima tahun. Bajunya dari sutera putih berhiaskan rendarenda keemasan pada pinggirannya. Celananya komprang, juga dari
sutera putih. Kepalanya yang berambut putih ditutupi ikat kepala warna putih pula. Wajah keriputnya dihiasi kumis dan jenggot yang telah berwarna putih. Alis matanya juga
berwarna putih. Sinar
matanya terlihat mengandung keramahan. Tapi di
balik itu justru tersimpan kekejian mendalam.
Dialah Ki Tambakyasa.
"He he he.... Selamat datang, Sobatku Pawit.
Ada apa kau berteriak-teriak begitu" Macam orang
kesurupan saja. Telingaku masih waras. Bahkan
kasak-kusukmu sekalipun masih dapat kudengar...," kekeh Ki Tambakyasa, menyebalkan. Di beranda, dia berdiri bersama
Pandu. "Lagakmu makin tengik saja, Tambakyasa!
Dulu kau meratap-ratap padaku untuk menjadi
penduduk di sini. Sekarang kau mulai berani
mengutak-atik jabatanku sebagai kepala desa.
Manusia macam apa kau ini, Tambakyasa"!" geram Ki Pawit, meledak-ledak.
"Jangan menuduhku begitu, Sobatku Pawit.
Toh, kau juga menikmati hasil jerih payahku, bukan" Sudah berapa peti uang kepeng yang kau terima sejak aku menetap di desa ini?" balas Ki Tambakyasa.
Merah padam wajah Ki Pawit. Rahasianya
yang selama ini dipendam bertahun-tahun dibongkar begitu saja. Dia merasa ditelanjangi di depan orang banyak. Biji matanya
melirik ke kiri dan kanan, berharap agar para anak buahnya tak
mendengar kata-kata Ki Tambakyasa tadi.
Tapi justru dari mulut para anak buahnya
terdengar gumaman-gumaman tak jelas. Bahkan,
satu persatu mereka mulai meninggalkan Ki Pawit.
Hanya Parjan yang masih tersisa. Bisa jadi, karena Parjan dikenal sebagai kaki
tangan Ki Pawit yang
sangat setia. Ki Pawit makin salah tingkah. Sedikit berbalik, dipandanginya sembilan orang bawahannya
yang pergi begitu saja dengan langkah kecewa.
"He!! Apa kalian lebih percaya manusia busuk itu daripada aku"!" teriak Ki Pawit.
Kesembilan orang bawahan Ki Pawit berhenti. Mereka berbalik.
"Entahlah, Ki. Sebenarnya, sejak lama kami
mendengar desas-desus kalau kau sering menerima suap dari Ki Tambakyasa. Waktu itu kami masih belum percaya. Lalu ketika beberapa saudara
kami terbelit ijon dengan bunga mencekik leher
dari Ki Tambakyasa, kau tak bertindak apa-apa
terhadapnya. Nah, sekarang setelah Ki Tambakyasa membeberkan bahwa kau sering menerima
suap, kami tak ragu-ragu lagi. Mengenai urusanmu dengan Ki Tambakyasa, selesaikan saja sendiri," sahut salah seorang bawahan Ki Pawit
Makin murka saja Ki Pawit. Kali ini dia ditelanjangi dua kali.
"Biarkan saja mereka pergi, Sobatku Pawit.
Mereka adalah orang-orang yang kecewa terhadapmu. Itu hak mereka untuk pergi dari sini. He
he he...," usik Ki Tambakyasa.
"Diam kau, Anjing Busuk! Tanpa mereka,
aku pun bisa meremukkan kepalamu! Sekarang,
cepat serahkan anakmu kepadaku! Dia harus bertanggung jawab atas hilangnya Lestari anakku!"
Sumpah serapah Ki Pawit meluncur bak air bah.
Matanya mendelik liar, memancarkan hawa kemarahan membludak.
"Lho" Yang hilang anakmu, kok yang disuruh tanggung jawab anakku" Apa-apaan kau ini,
Pawit" Mau lepas tanggung jawab ya" Mau cuci
tangan ya?" ejek Ki Tambakyasa.
"Ular beludak kau, Tambakyasa! Pandu
anakmu telah berhubungan lama dengan anakku.
Kepergian anakku pasti lantaran dia! Karena dengan semena-mena Pandu telah memutus hubungan dengan anakku!"
Ki Tambakyasa tersenyum dingin. Tarikan
wajahnya menyiratkan sifat meremehkan persoalan. "Mereka mungkin sudah tidak cocok. Jadi, jangan dipaksa. Sesuatu yang
terpaksa hasilnya
tidak baik, Pawit. Nah, sekarang pulanglah. Aku
tak ada waktu meladenimu."
"Setan! Kau benar-benar seperti ular, Tambakyasa. Aku akan membunuhmu!" semprot Ki
Pawit. "Kau mau membunuhku" Seberapa kekuatanmu, Pawit" Hadapi dulu anak buahku. Baru
kau boleh membunuhku. Maaf, aku masih banyak
urusan di dalam dengan anakku. Bermainmainlah dulu dengan para anak buahku!" sahut Ki Tambakyasa. Bersama Pandu, dia
kembali masuk ke dalam. Kata-kata terakhir Ki Tambakyasa ibarat
isyarat bagi para anak buahnya. Mereka segera
bergerak, mengelilingi Ki Pawit dan Parjan. Agaknya, pertarungan tak seimbang, dua lawan sepuluh akan segera digelar.
Apa yang terjadi selanjutnya"
* * * Bukit Menjangan pada waktu yang sama.
Hening. Sehening dua manusia keropos berjenis kelamin perempuan yang duduk berhadapan. Yang
seorang sudah jelas. Nini Berek. Tapi siapa yang
seorang lagi"
Wajahnya hampir mirip dengan Nini Berek.
Penuh borok berlendir menyebarkan bau busuk.
Hanya pakaiannya dari kebaya lusuh dengan kain
batik kusam sebagai tapih. Rambutnya digelung ke
atas berwarna putih. Kedua matanya celong ke dalam. Bibir kendornya juga mengunyah sirih,
menciptakan liur berwarna merah darah.
"Terima kasih kau mau memenuhi undanganku, Mbakyu Rewang," buka Nini Berek, merampas keheningan.
"Hi hi hi.... Aku mengerti kesulitanmu,
Adikku Berek. Nah, sekarang ceritakanlah. Apa
yang menjadi kesulitanmu," kata perempuan tua yang sebenarnya kakak kandung Nini
Berek. Dialah Nini Rewang.
Perempuan tua keturunan siluman yang
menjadi guru Nini Jonggrang. Setelah Nini
Jonggrang terjerumus dalam dunia sesat, dia berguru pada Nini Rewang. Sewaktu Nini Jonggrang
dikalahkan pendekar muda yang baru turun dalam gonjang-ganjing dunia persilatan bernama Satria, terdengar suara mengikik menggidikkan. Itulah suara tawa Nini Rewang.
Dendam siluman memang tak ada habisnya. Melihat muridnya kalah, Nini Rewang pun
mendendam pada bocah bernama Satria Gendeng
dan dua gurunya Ki Kusumo dan Dongdongka.
(Tentang kekalahan Nini Jonggrang di tangan Satria Gendeng, baca episode : "Kiamat di Gunung Sewu"). "Suamiku tewas entah oleh
siapa, Mbakyu Rewang. Tapi melihat jenis pukulannya, aku menduga kalau yang
membunuh suamiku adalah De

Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengkot Sinting Kepala Gundul," buka Nini Berek.
"Dedengkot Sinting Kepala Gundul" Hi hi
hi.... Aku juga punya urusan dengannya. Muridnya
yang bernama Satria Gendeng telah memusnahkan muridku yang bernama Jonggrang," sahut Ni-ni Rewang.
"O, jadi Dongdongka telah punya murid,
Mbakyu" Siapa?"
"Satria Gendeng. Wah, kau rupanya ketinggalan berita, Adikku."
"Sejak menikah dengan Kakang Ageng Wirakrama sebenarnya aku tak tertarik lagi meramaikan dunia persilatan. Tapi sejak kematian suamiku, pikiranku berubah. Aku harus menuntut
balas!" desis Nini Berek. Kepalanya lalu menoleh ke samping.
Prott! Sebentuk cairan merah meluncur, menerabas udara kosong. Menghantam batu bekas reruntuhan candi. Menciptakan lubang disertai asap tipis berwarna putih. Dahsyat sekali. Itulah sebentuk kemarahan Nini Berek yang dituangkan dalam
semburan cairan sirih di mulut.
"Itulah sebabnya, aku tak tahu kalau Dongdongka mempunyai murid," lanjutnya.
"Tapi jangan-jangan, justru murid Dongdongka itu sendiri yang membunuh suamimu" Karena aku yakin, Dongdongka saat ini risih untuk
terjun langsung dalam dunia persilatan," tukas Ni-ni Rewang.
"Maksudmu, Satria Gendeng yang kau katakan tadi?" Nini Berek seolah tak percaya. "Kalau muridnya saja bisa membunuh
suamiku, bagaimana dengan Dongdongka sendiri?"
"Itu sebabnya, kita harus menggalang persekutuan. Dengan bersatu, aku yakin kita bisa
melenyapkan mereka!" sambar Nini Rewang, mendesis. "Tapi untuk membuat dunia ini
tambah gonjang-ganjing, aku ingin membangkitkan suamiku dari kematian."
"Itu artinya, kau membutuhkan sari pati
sepuluh pemuda untuk membangkitkan suamimu?" "Tepat!"
* * * Dunia tak pernah sepi dari prahara.
Ada pepatah bilang, manusia adalah serigala di antara sesamanya.
Begitulah yang terjadi antara Ki Pawit dengan Ki Tambakyasa.
Persekutuan telah tercipta. Ki Pawit berusaha mati-matian menghadapi sepuluh anak buah
Ki Tambakyasa. Kendati dibantu Parjan, apalah artinya" Wukh! Wukh!
Dua sambaran golok memapas udara. Menciptakan angin keras, hendak meruntuhkan nyali.
Ki Pawit pontang panting menghindarinya, berlompatan ke kiri, lalu menggulingkan tubuhnya ke
samping. Begitu bangkit, dicabutnya keris pusaka
peninggalan leluhurnya.
Sraakkk! Kejap yang sama, satu sambaran golok lawan yang lain menyambar hendak menebas lehernya dari kiri ke kanan. Hendak dibelahnya dada
kurus Ki Pawit.
"Hih!"
Tak! Keris telanjang berlekuk tujuh milik Ki Pawit terangkat ke depan dada. Benturan pun terjadi. Tiga tombak si penyerang terjajar mundur. Sedang Ki Pawit hanya bergetar saja tubuhnya. Dan
waktu yang sekejapan itu digunakan Ki Pawit untuk menerjang dengan sebuah tendangan lurus.
"Khaaa...!"
Udara terpangkas oleh teriakan Ki Pawit
bersama luncuran tendangannya. Tapi sebelum
mengenai sasaran, dari arah samping lawan lain
menerjang dengan sambaran goloknya. Arahnya,
ke kaki terjulur Ki Pawit.
Tak mau kakinya jadi korban, terpaksa kepala desa yang ternyata memiliki kemampuan lumayan itu menghentikan luncuran tubuhnya setelah menarik kakinya. Lalu dibuangnya tubuh ke
tanah. Sayang, arah jatuh dan bergulingan Ki Pawit tanpa disadari justru menuju salah seorang
lawan. Tanpa membuang kesempatan, ditendangnya Ki Pawit. Bed! "Hih!"
Ki Pawit berusaha melindungi dadanya yang
jadi sasaran dengan kedua tangan yang menekuk
di depan dada. Tapi tak urung, tubuhnya tergeser
beberapa langkah.
"Hup!"
Lewat sentakan perut, Ki Pawit berusaha
bangkit. Sigap, kakinya berusaha mencengkeram
tanah seraya memasang kuda-kuda kokoh. Liar,
mata merahnya merayapi lawan-lawannya. Lima
orang yang mengeroyoknya. Lima sisanya sibuk
mengatasi Parjan yang ternyata tak gampang untuk ditundukkan. Walaupun, lelaki itu juga harus
pontang-panting seperti Ki Pawit.
"Hiaaa...!"
Tiga orang lawan menerjang Ki Pawit bersamaan. Golok terhunus terangkat di atas kepala.
Hendak dibelahnya kepala Ki Pawit menjadi beberapa bagian. Udara pun terobek oleh teriakan menggila
mereka. Angin terbelah oleh golok-golok yang berputaran di udara.
"Kau harus mampus, Keparat!" bentak salah seorang lawan yang berada di tengah.
Wukh! Satu sambaran golok dibuat penyerang
yang berada di tengah. Ganas berhawa maut. Ki
Pawit segera mengangkat kerisnya. Dipapaknya golok lawan. Wukh! Wukh! Saat yang bersamaan, dua sambaran golok
lain mengancam dari samping kiri dan kanan. Seketika tangan kirinya menyampok dari bawah untuk mematahkan serangan dari samping kiri. Sedangkan kaki kanan menyongsong ke arah perut
lawan di kanan.
Trang! Tap! Dess! Ki Pawit mampu menahan serangan golok
dari depan. Juga, mampu menahan serangan dari
samping kiri, bahkan mampu mengirim tendangan
ke perut lawan di kanan. Tapi saat itu juga, lawan yang berada di depan
mengirimkan satu tendangan telak ke dada setelah goloknya tadi tertahan.
Bukk! Sepuluh tombak, tubuh Ki Pawit terlempar.
Kendati terbebas dari serangan golok, tak urung
tendangan tadi membuat dadanya terasa sesak.
Tapi ibarat keluar dari mulut macan masuk ke
mulut buaya, justru tubuh Ki Pawit melayang ke
arah dua lawan yang sudah sejak tadi menunggu
dengan golok terhunus.
Dan.... Crass! Crasss! Di udara, tubuh Ki Pawit terbelah. Di tanah,
dia telah bersimbah darah. Kepalanya terpisah. Perutnya terancah. Dia kalah
melawan manusiamanusia serakah.
Crasss! Di tempat lain, Parjan mengalami nasib sama. Tubuhnya yang telah bersimbah darah oleh
sabetan-sabetan golok lawan, ambruk oleh tebasan
terakhir pada lehernya.
Siang pun memerah.
Darah pun bersimbah.
Dua manusia tergolek mati tanpa ingin menyerah. * * * Tak ada. Tak ada penduduk Desa Jatianom
yang berani menolong kepala desanya saat terjadi
pertarungan di depan halaman rumah Ki Tambakyasa. Mereka memang serba salah. Sudah sejak
lama mereka tahu kalau Ki Pawit, sama bejadnya
dengan Ki Tambakyasa. Di saat sepak terjang Ki
Tambakyasa makin mencekik leher dengan bunga
ijonnya, justru Ki Pawit tak berbuat apa-apa. Bahkan kalau boleh dibilang diamdiam malah mendukung. Para penduduk hanya menonton pertarungan dari kejauhan, takut jadi sasaran. Di sisi lain, mereka pun diliputi
kecemasan. Artinya, bila Ki
Pawit tewas, maka sepak terjang Ki Tambakyasa
akan makin merajalela. Kesewenang-wenangan
pun bakal mengancam.
Pasrah. Itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan sikap para penduduk. Menunggu harapharap cemas, apa yang bakal terjadi selanjutnya.
Ketika melihat Ki Pawit dan Parjan tewas, mereka
berusaha untuk menutup mata dan telinga. Purapura tak tahu apa yang terjadi ketimbang jadi korban keganasan anak buah Ki
Tambakyasa. Para penduduk tahu, orang-orangnya Ki
Tambakyasa adalah orang-orang persilatan yang
disewa Ki Tambakyasa sejak tiga tahun lalu. Mereka ditugasi untuk memungut sekaligus mengancam para penduduk dalam membayar hutang terhadap Ki Tambakyasa. Jika ada salah seorang
penduduk yang tak mampu membayar, bukan saja
kambing yang dirampas, tapi tanah pun ikut disita. Jika melawan, maka para tukang pukul Ki
Tambakyasa akan turun tangan.
Serba salah. Itu kata yang tepat bagi para penduduk Desa Jatianom. Kematian Ki Pawit bagi mereka tak
merubah apa-apa. Makin parah, bisa jadi. Sebab,
mereka tahu, siapa Ki Tambakyasa.
LIMA WAKTU terus terdenyut.
Telah dua hari Satria Gendeng telah tiba di
Tanjung Karangbolong. Tiba di sana, si anak muda
tak lagi menemukan Ki Kusumo. Yang ada hanya
Dedengkot Sinting Kepala Gundul yang selalu sibuk dengan tidurnya.
"Ke mana Kakek Kusumo, Kek?" tanya Satria yang waktu belum lama tiba.
"Si Kusumo itu keras kepala. Sudah kubilang kau pasti datang, tapi dia malah pergi menca-rimu. Apa kau tak bertemu di
tengah jalan?"
Satria menggeleng.
"Aku membutuhkan jawaban, bukan gelengan!" semprot Dongdongka. Lalu bambu tipisnya yang selalu tergenggam di tangan
meski sedang buang hajat sekalipun melayang ke arah kepala si
pendekar muda. Tak! Satria cuma bisa meringis serba salah. Di
atas balai bambu, si pemuda membanting pantatnya. Sementara, Dongdongka masih tetap berdiri
di hadapannya. "Kalau Kakek Kusumo begitu keras kepala
mencariku, pasti ada sesuatu yang terjadi. Kirakira, apa ya, Kek?" tanya Satria lagi.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul tak segera menjawab. Juga tak tampak ada tanda-tanda
kesintingan yang akan diperlihatkannya pada Cah
Gendengnya. Terbungkuk-bungkuk, dia malah melangkah mondar-mandir di dalam gubuk. Tak lupa, bambu tipisnya diketuk-ketukkan ke kepala
gundulnya. "Kakek tak menjawab pertanyaanku" Apa
ada yang merisaukanmu?" lanjut Satria, Mata
sembilunya terus bergerak, mengikuti gerakan
mondar-mandir si tua bangka buluk ini. Sementara alisnya nyaris bertaut. Raut wajahnya menyiratkan ketidak-mengertian.
"Kau marah kalau aku mengatakan sesuatu?" Dongdongka malah mengajukan pertanyaan.
Si pemuda makin penasaran.
"Apa itu, Kek?" tanya Satria.
"Aku haus. Ambilkan dua butir kelapa. Aku
mau minum airnya," sabda Dongdongka seenaknya. Satria melengak. Rasa penasarannya terberangus oleh permintaan mengada-ada guru gendengnya. Mau marah, tak enak. Mau menolak, tak
sopan. Mau jengkel, tak pantas. Mau tak mau, si
bocah gendeng harus mau memenuhi permintaan
si tua buluk itu.
* * * "Keadaan akan makin runyam kalau para
siluman bersekutu, ya Kek?" buka Satria setelah mendengar penjelasan Dongdongka
tentang mimpi serta firasatnya.
"Kau takut?" cibir Dongdongka. Perlahan, kelopak matanya membuka. Sayu. Si tua
bangka lapuk ini masih dalam keadaan tidur kelelawarnya. Kakinya di atas, mengait pada sebuah palang
bambu penyangga atap. Kedua tangannya bersedekap di depan dada.


Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memang para siluman bentuknya seram,
Kek?" Satria melengak. Susah payah dia menelan ludahnya sendiri.
Dongdongka tersenyum geli. Dia tahu yang
ditakutkan Satria bukan soal kesaktian para siluman. Tapi lebih condong pada soal bentuk rupa siluman. Waktu menghadapi Nini Jonggrang saja si
anak muda sempat tercekat. Terutama ketika Nini
Jonggrang mengerahkan ilmunya, sehingga wajahnya lebih mirip iblis (Baca episode: "Kiamat di Goa Sewu").
Tidak. Satria bukannya takut mati menghadapi para siluman. Dongdongka tahu watak si pemuda. Bahkan Dedengkot Sinting Kepala Gundul
pun kalau perlu tak akan peduli bila Satria dimakan naga sekalipun.
"Kau pernah melihat wajah Nini Jonggrang
jelek itu ketika mengerahkan ilmunya?" Dongdongka malah bertanya. Entah, kenapa justru pertanyaan itu yang meluncur dari bibir kendornya.
Padahal dia sudah tahu kalau Satria pernah
menghadapi Nini Jonggrang.
"Pernah," jawab Satria, pendek.
"Ya, seperti itu kira-kira wajah Nini Berek
dan Nini Rewang. Cantik, ya?" goda si tua bangka lapuk. "Kau tertarik"
Goyangannya masih mantap, lho." Satria malah bergidik.
"Nah, sekarang carilah si Kusumo. Cepat
sana! Aku ngantuk. Oaahhhmmm...." Dongdongka menguap lebar. Semburan hawa dari
mulutnya membuat Satria meringis. Menyemprot langsung
ke wajah si anak muda.
"Nanti Kakek Kusumo juga pulang sendiri,"
maksudnya Satria mau menolak halus. Sebab, baru dua hari datang ke Tanjung Karangbolong, sudah harus pergi lagi.
"Slompret kau, Cah. Disuruh orang tua tak
mau menurut. Apa kau tak kasihan dengan si Kusumo"!" semprot Dongdongka.
"Memang kenapa dengan Kakek Kusumo?"
"Kalau dia diperkosa para siluman itu, bagaimana?" "Diperkosa?" Kening Satria berkerut. Polos sekali sikapnya.
"Memang kau pikir manusia saja yang bisa
memperkosa?" terabas si tua lapuk ini.
"Sudah sana!" usir Dongdongka. Lalu iseng-iseng ujung bambu kuningnya
disambarkan ke kepala si anak muda murid sintingnya.
Tak! "Aduh...!"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul memejamkan matanya. Rapat sekali. Satria sendiri telah beranjak. Mulutnya meringis,
tanpa mampu berbuat apa-apa.
* * * Waktu terus bergulir.
Sebulan setelah kematian Ki Pawit, Ki Tambakyasa makin menancapkan kuku kekuasaannya
di Desa Jatianom. Bahkan dengan seenak udelnya
dia menyatakan diri sebagai kepala desa. Suka tidak suka, rela tidak rela, mau tidak mau, para
penduduk harus mengakui bahwa Ki Tambakyasalah yang menjadi kepala desa ini. Bagi yang menentang, siap-siap saja melawat ke akhirat. Begitu ancamannya.
Kini kehidupan di Desa Jatianom tak lebih
berada dalam neraka. Para penduduk terbelenggu
kesengsaraan. Kehampaan, dan nyaris tak mampu
berbuat apa-apa. Kaum papa hanya bisa meratap.
Terlindas oleh keadaan yang makin tak karuan.
Wong cilik hanya bisa menangis. Meringisringis, menahan lapar yang makin mengiris.
Dan malam pun berjalan amat lambat. Angin bergerak amat lambat. Desa Jatianom terkepung keheningan. Sebagian penduduk telah terlelap sambil berusaha menahan lapar. Sebagian lagi
masih sulit untuk memicingkan mata karena serangan lapar yang maha hebat.
Memang, sejak Ki Tambakyasa menjadi kepala desa, kehidupan jadi semakin sulit. Keserakahan dan kerakusan Ki Tambakyasa seolah mematikan penghidupan mereka. Harta telah terampas. Mereka hanya mengandalkan jagung atau
umbi-umbian yang ditanam di halaman rumah.
Bagi mereka yang rumah atau tanahnya telah terampas, hanya belas kasihan dari penduduk lain
yang diharap. Tapi, justru di rumah Ki Tambakyasa keadaan jadi sebaliknya. Makanan melimpah ruah.
Terhidang di setiap meja yang dirubungi para anak buahnya. Berguci-guci tuak
telah habis ditenggak.
Seperti malam-malam kemarin, malam di
rumah Ki Tambakyasa memang tak pernah sepi.
Sebuah pesta pora hampir tiap malam terbangun
di sana. Yang menikmati hanyalah kerabat Ki
Tambakyasa serta para anak buahnya.
Tawa terbahak-bahak mereka seolah mengejek kesengsaraan para penduduk yang justru
tengah bergulat menahan lapar. Sebuah kenyataan
mengharukan yang kian berlarut-larut. Tapi apa
daya para penduduk"
Di sudut halaman rumah Ki Tambakyasa,
beberapa orang tengah bergerombolan. Membentuk lingkaran yang di tengahnya tersaji beberapa guci tuak. Alam pikiran mereka
telah terseret ke
dalam dunia semu. Dunia yang tercipta akibat
pengaruh tuak. Menenggelamkan akal pikiran mereka. Sambil bicara tak karuan, sesekali mereka
menenggak tuak. Setiap salah seorang menenggak,
maka yang lain akan memberi semangat.
"Taruhan, sebentar lagi pasti Tembayan
bakal mengejoprak. Prak!" oceh salah seorang lelaki yang wajahnya kasar penuh
jerawat. Lelaki botak yang dipanggil Tembayan tak
terima diremehkan.
"Slompret kau, Ragil! Jangan hanya mengoceh melulu. Ayo. kau juga tambah lagi!" semprot Tembayan.
"Baik, baik. Lihat!" Ragil mengangkat guci.
Dituangnya tuak dalam guci ke mulut. Pengaruh
tuak membuat pegangan pada leher guci tak kokoh. Sehingga, kucuran tuak jadi bececeran tak
karuan. Tapi banyak juga yang telah telanjur meluncur ke tenggorokan Ragil. Lalu sesudah itu....
Brukkk! "Ha ha ha...!"
Dasar Ragil memang sudah mabuk berat,
ditambah beberapa tegukan tuak saja, tubuhnya
kontan ambruk. Tak kuat. Tawa teman-temannya
pun meledak, mengiringi tubuhnya yang telah tak
sadarkan diri. "Ayo, siapa lagi yang mau bertanding denganku"!" lantang Tembayan. Pongah lagaknya.
Empat lelaki yang masih bisa menguasai diri walaupun telah berada dalam pengaruh tuak
saling menatap. Lalu salah seorang meraih guci
tuak. "Aku akan melawanmu. Tapi tak seru kalau tak ada taruhannya," sahut satu
dari empat lelaki itu. "Kau mau lawanku, Togap" Ha ha ha.... Apa taruhannya?"
tantang Tembayan.
"Bayarin aku perempuan di Penginapan
Bunga Nirwana. Bagaimana"!" aju lelaki bernama Togap. "Apabila di antara kalian
ada yang paling kuat menenggak arak, tak perlu jauh-jauh untuk
membuang uang ke Penginapan Bunga Nirwana."
Sebuah suara halus tahu-tahu menyita perhatian
mereka. "Aku bersedia menjadi hadiahnya," lanjutnya. Entah kapan datangnya,
tahu-tahu tak jauh
dari situ berdiri seorang gadis berpakaian kuning ketat. Saking ketatnya,
membuat lekuk-lekuk tubuhnya jadi tampak menggiurkan.
Mata memerah lima orang yang tengah duduk melingkar dalam pengaruh tuak langsung
mendelik ke arah gadis berwajah cantik. Merayapi
setiap lekuk-lekuk si gadis. Padahal kalau akal pikiran mereka waras, harusnya
mereka waspada.
Kedatangan si gadis yang tak disadari, menunjukkan kalau kepandaiannya tak bisa dianggap enteng. "Edan..., edan! Cantik sekali kau, Cah Ayu"!
Siapa namamu?" Tembayan langsung bangkit berdiri. Juga, bangkit nafsunya.
Napasnya kontan
mendengus-dengus dengan mata melotot nyaris
keluar. "Apalah artinya sebuah nama.... Kalau na-ma bagus tapi tak bisa
memuaskan kalian, apa artinya?" desah si gadis, makin menantang.
"Kau benar.... Tapi, paling tidak aku akan
selalu mengingat namamu," Rayuan gombal Tembayan meluncur begitu saja dari bibir leceknya
yang dibasahi cairan tuak.
"Baik.... Namaku, Lestari. Nah, kalian boleh meneruskan permainan. Siapa yang
sanggup bertahan dengan sebanyak-banyaknya minum tuak,
boleh tidur denganku," kata Lestari, mendayu-dayu. Kelima orang lelaki yang
telah dirasuki pengaruh tuak makin semangat saja. Sebuah tawaran
yang amat menantang. Begitu kata hati mereka.
Tembayan berbalik. Mata merahnya memandangi keempat kawan-kawannya. "Kalian dengar apa yang dikatakan si cantik
ini" "
"Aku khawatir, justru kau yang ambruk lebih dulu, Tembayan," leceh Togap.
"Sialan kau, Togap! Jangan hanya bacot kau
tonjolkan. Tai kucing dengan segala ocehanmu. Kita buktikan sekarang!" maki Tembayan, mendidih darahnya merasa dilecehkan.
"Kalau kalian bicara terus, kapan mulainya"
Terus terang saja, aku sudah tak sabar menunggu
kehangatan kalian," sela Lestari, makin membuat kelima lelaki itu blingsatan.
"Baik, baik. Kami akan segera memulai, Cah
Ayu," sambut Tembayan makin menggebu-gebu.
Segera dihampirinya keempat kawannya, dan
kembali duduk di antara mereka.
Pertandingan adu minum pun dimulai. Lima buah guci yang masih berisi tuak penuh segera
digeser ke tengah. Semua mata memerah tertuju
ke satu arah. "Kebetulan, sisa tuak tinggal lima guci. Masing-masing dapat satu guci. Nah,
kalian bisa memulai," kata si gadis.
Tanpa banyak bicara, masing-masing meraih leher guci tuak. Begitu terangkat di atas wajah, mereka mulai mengucurkan
tuak ke mulut. Penuh semangat, mereka menenggak. Yang ada di
benak mereka hanyalah bayangan kemolekan tubuh si gadis. Kejap lain.....
Bruk! Bruk! Dua orang mulai ngejoprak. Tiga masih menenggak. Lalu.... Bruk!
Satu orang menyusul. Tinggal Tembayan
dan Togap yang masih bertahan. Sejenak kedua lelaki ini menghentikan tenggakkannya. Napas mereka mendengus-dengus. Kedua mata merah mereka saling berpandangan. Saling menatap, dan
saling membanggakan kekuatan masing-masing.
Dikawal satu tarikan napas, mereka kembali menenggak. "Gluk! Gluk! Gluk!"
Makin panas. Makin membara dada mereka. Terbakar nafsu serta pengaruh tuak.
Waktu terus merangkak. Makin gila saja
kedua orang tua itu menenggak.
Tiba-tiba.... Bruk! Tembayan kali ini tak berkutik. Kesombongannya terberangus sudah. Pengaruh tuak yang
sangat berlebihan, membuat tubuhnya tak dapat
lagi terkendali. Ambruk bersama nafsunya yang
berkobar. "Ha ha ha.... Ternyata bacotmu tak sesuai
dengan kenyataan, Tembayan. Kau tak lebih dari
tong kosong yang nyaring bunyinya!" gelak Togap, melihat Tembayan ambruk.
"Ternyata kau pemenangnya, Kakang,"
sambut Lestari, mendayu-dayu. Suaranya mendesah, membangkitkan kelaki-lakian Togap. "Ayolah.
Pedang Sinar Emas 4 Pendekar Hina Kelana 5 Neraka Karang Hantu Pedang Ular Mas 5

Cari Blog Ini