Ceritasilat Novel Online

Pengabdian Dokter Perempuan 2

Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai Bagian 2


tetapi kami harus belajar dari teman-teman di kamp ini tekad mereka untuk tetap
bertahan hidup dan mengubah mimpi buruk berupa kamp yang hancur lebur menjadi
tempat hunian yang layak.
Tiba-tiba saja berkobarlah naluriku untuk menghiasi flat kecil kami di pusat
Kota London yang padat penduduk dengan ratusan rangkaian bunga. Di sini, di
Sabra dan Shatila, di tengah-tengah kemiskinan dan penderitaan, kehidupan telah
kembali, dan tidak seorang pun atau suatu apa pun yang dapat mengambilnya dari
teman-teman di kamp tidak bom, granat, tidak pula penderitaan akan evakuasi.
Sejak saat itu, setiap pagi, aku akan berlari menuju lantai enam Rumah Sakit
Gaza untuk sarapan bersama dengan para dokter dan perawat PRCS. Aku ingin
berbincang-bincang dengan mereka tentang kamp, keadaan mereka sendiri, sementara
aku menatap ke luar jendela dengan keinginan
meluap-luap untuk mengamati perubahan-perubahan di kamp tersebut, pintu-pintu
baru, jendela-jendela baru, dinding-dinding yang baru dicat, lubang-lubang yang
ditambal semalaman. Aku kagum pada ketekunan orang-orang itu.
Pembukaan kembali Rumah Sakit Gaza secara resmi direncanakan pada 29 Agustus
1982, tetapi banyak orang yang mendatanginya beberapa hari sebelumnya untuk
mendapatkan segala jenis perawatan. Mereka datang karena terkena batuk dan
pilek, maupun untuk mendapatkan perawatan luka-luka perang yang telah berumur
dua atau tiga bulan. Orang-orang di kamp menganggap Gaza sebagai rumah sakit
mereka, mereka senang bercerita padaku tentang bagaimana pemimpin PLO, Yasser
Arafat, yang mereka juluki Abu Amar, telah menolak perawatan dari Rumah Sakit
American University yang terkenal itu, dan malahan memilih Rumah Sakit Gaza.
Para staf Rumah Sakit Gaza, para pegawai PRCS, adalah orang-orang pemberani.
Tidak pernah kudengar sedikit pun keluhan dari mereka, dan ketabahan mereka yang
luar biasa itu membuat kami, para sukarelawan asing, sering lupa bahwa seperti
setiap orang di kamp mereka juga telah kehilangan rumah atau orang-orang yang
mereka cintai. Aku terkenang khususnya seorang dokter bedah ortopedis muda
berkebangsaan Palestina yang berasal dari Lebanon Selatan, ia seorang Muslim
taat dan bangun pagi setiap hari untuk shalat. Selama pendudukan Israel di
Lebanon, ia menolak meninggalkan
rumah sakit tempat kerjanya di bagian selatan sebelum semua pasien dan para staf
pergi dari tempat itu dan ia diperintahkan keluar. Perang telah menyebabkan
berat badannya berkurang sembilan belas kilogram. Perang juga menghancurkan
rumah dan rumah sakitnya di daerah selatan. Meskipun begitu, ia tidak terlihat
mendendam ataupun bersedih, bahkan ikut terjun dalam pembangunan kembali Rumah
Sakit Gaza. Direktur medis Rumah Sakit Gaza adalah Amir Hamawi, seorang dokter bedah muda
berkebangsaan Lebanon. Penampilannya yang selalu ceria dan bersemangat,
ketekunan dan kehangatannya, membuat orang lain merasa hidup ini agak lebih
menyenangkan. Para dokter dan perawat asal Lebanon maupun Palestina bekerja
bahu-membahu dengan harmonis. Profesor bedah umum yang bekerja di situ adalah
salah satu dokter spesialis terbaik di Beirut, tetapi ia adalah seorang pria
yang sangat pendiam, sederhana, dan tidak banyak tingkah.
Aku belajar banyak darinya. Aku juga mencoba belajar dari seorang dokter yang
memiliki karakter berseberangan dengan profesor bedah umum itu. Ia koordinator
staf dokter yang sangat disiplin dalam melakukan ronda di bangsal-bangsal dengan
gaya bak seorang komandan yang menginspeksi pasukannya. Awalnya, kukira taktik
itu sangat berguna, tetapi ketika berusaha mencontoh gayanya, aku tak pernah
berhasil mendapatkan rasa segan dari orang-orang di sekitarku.
Kami, para dokter sukarelawan asing, memiliki
latar belakang yang beragam, dan hal itu terkadang menimbulkan masalah. Para
staf dokter PRCS selalu bersikap sopan dan bersahabat kepada kami. Namun,
beberapa kolegaku dari Barat bersikap kasar dan keras, dan beberapa di antaranya
berusaha menyembunyikan kekurangan pengalaman dan ketidakcakapan mereka di balik
gertakan yang tidak santun. Masalah ini tidaklah asing bagi para sukarelawan
lokal dan pekerja kemanusiaan di Lebanon, umumnya hal seperti itu terjadi karena
para sukarelawan dari negara-negara "maju" merasa lebih hebat daripada "penduduk
asli". Bahkan, beberapa kolegaku yang lebih dungu dan bersikap bossy tidak mau
mengakui fakta bahwa sang profesor bedah asal Gaza itu adalah seorang spesialis
yang telah lama diakui secara internasional, jauh sebelum mereka masuk kuliah
kedokteran. Lagi pula, para dokter dari negara-negara Barat tidak dengan mudah mengakui
bahwa dokter-dokter Lebanon dan Palestina itu telah mempunyai pengalaman
bertahun-tahun bergelut dengan luka-luka perang. Para dokter Barat itu tidak
punya pengalaman seperti itu, kecuali mereka yang pernah berada di zona perang
seperti Korea atau Vietnam.
Walaupun Gaza berfungsi kembali, air dan listrik masih belum mengalir dari
sumber-sumber utama. Listrik hanya didapat dari generator rumah sakit yang
menggunakan bahan bakar diesel yang dijatah. Biasanya, bahan bakar tersebut
cukup untuk tiga jam sehari.
Setiap kali mesin generator mulai berjalan,
terjadilah kesibukan yang luar biasa. Air dipompa ke dalam tangki-tangki yang
berada di lantai-lantai atas. Toilet-toilet disiram dan dibersihkan. Peralatan
laboratorium mulai difungsikan, termasuk alat-alat periksa dan mesin sinar-X.
Lift-lift juga mulai berjalan, para pasien dan berbagai peralatan kedokteran
dipindahkan dari lantai ke lantai. Bangsal-bangsal operasi dinyalakan, operasi
dilakukan. Semuanya terjadi begitu cepat, tiga jam akan berlalu, dan setelah itu
semua ruangan menjadi gelap sehingga lilin-lilin pun dinyalakan. Para pasien
yang harus dipindahkan dari satu lantai ke lantai lainnya harus dilakukan secara
manual karena lift-lift kembali tak berfungsi.
Suatu hari, seorang pasien dibawa masuk ke rumah sakit yang sedang dalam keadaan
gelap. Seperti orang-orang lainnya, ia telah kembali untuk tinggal di dalam
kamp, tetapi ia menemukan bahwa rumah dan keluarganya telah tersapu habis oleh
serangan udara. Dalam keputusasaannya, ia mencoba mengakhiri hidupnya dengan
meminum sebotol organofosforus. Zat ini adalah semacam insektisida, racun
berdaya ampuh yang menyerang enzim vital tubuh bernama kolinesterase. Akibat
yang dihasilkannya adalah pendarahan dalam, mulas yang parah, serta terhentinya
pernapasan dan denyut jantung. Penangkalnya adalah atropin dalam dosis tinggi,
tetapi bahkan dalam kondisi terbaik pun korban keracunan organofosforus biasanya
akan memburuk dan tewas. Ia membutuhkan pertolongan untuk bernapas dan
mendapatkan pernapasan bantuan selama seminggu. Oleh karena tidak ada listrik,
pemberian pernapasan bantuan itu harus dilakukan secara manual. Bergantian kami
meremas kantong pernapasan itu, dan pada akhirnya racun tersebut melemah
sehingga ia mulai sadar. Ia mulai berpikiran positif dan merasa bahagia karena
tetap hidup. Berkat bagian anestetiklah, pria muda ini meskipun nyaris mustahil
berhasil bertahan hidup. Selama pendudukan Israel, serangan terhadap Beirut, dan akibat-akibat
susulannya, pengelolaan Rumah Sakit Gaza diserahkan kepada Azzizah Khalidi,
seorang wanita muda campuran Lebanon-Palestina yang cantik. Ia juga luar biasa
pintar, memiliki gelar Ph.D. dari American University of Beirut yang diraihnya
pada usia 26 tahun. Di balik raut wajahnya yang jelita dan senyumnya yang selalu mengembang, ia
adalah seorang pengelola yang sangat cakap. Tugasnya selama masa-masa kekacauan
sungguh berat. Semuanya terasa sulit. Ada kekurangan alat-alat dan barang-barang
kebutuhan. Ada pula tekanan politik. Yang paling gawat dari semua itu, ada para
sukarelawan asing yang tidak sabaran serta bertemperamen buruk yang sepertinya
tidak sanggup memahami keadaan di Beirut setelah serangan udara dan pengeboman
selama tiga bulan. Keadaan tidak seperti di London atau New York, di sana
pengelola rumah sakit tinggal mengangkat telepon untuk memesan alat-alat.
Beberapa dari mereka juga sulit menerima aturan bahwa bangsal-bangsal operasi
dengan lubang-lubang bekas bom yang menganga
dan kekurangan pasokan air serta listrik hanya boleh digunakan untuk operasioperasi penyelamatan yang bersifat darurat.
Meskipun tidak semua dari kami menyadarinya, Azzizah juga harus berurusan dengan
kehidupan pribadi dan sosial para stafnya, yang mungkin baru saja kehilangan
tempat tinggal atau orang-orang yang mereka cintai akibat evakuasi atau
kematian. Sebagai tambahan, Rumah Sakit Gaza bukan hanya sebuah rumah sakit,
melainkan juga pusat penyantunan para penghuni kamp yang membawa masalah
keuangan dan urusan rumah tangga mereka. Apa yang bisa Anda katakan kepada ibu
dari enam anak yang masih kecil yang beberapa di antara mereka kehilangan lima
anggota badan, padahal ia sendiri tidak punya suami ataupun anak laki-laki
sulung yang menjadi pencari nafkah" Banyak dari masalah-masalah seperti itu yang
tidak terpecahkan. Aku nyaris mengambil spesialisasi dalam ilmu kesehatan masyarakat. Oleh karena
menyadari bahwa aku hanya sedikit mengenal komunitasku di Singapura, aku
meninggalkan suasana rumah sakit yang nyaman dan menghabiskan waktu dua tahun di
Fakultas Kesehatan Masyarakat di Singapore University. Selama belajar di sana,
aku mengunjungi pabrik-pabrik dan mempelajari berbagai tipe keracunan, ketulian
karena suara yang gaduh, dan kecelakaan-kecelakaan kerja. Aku juga belajar
tentang kesehatan ibu hamil dan anak. Dalam pandanganku, ada kaitan nyata antara
penyakit, kemiskinan, dan kebodohan. Seorang dokter dapat
bertindak sebagai seorang teknisi yang menanggulangi efek-efek dari suatu
rangkaian sebab, tetapi seorang dokter juga dapat berusaha mengurangi sebabsebab dasar dari suatu penyakit.
Tidaklah mudah mencabut akar penyebab suatu penyakit, selain memanfaatkan
teknologi kedokteran, hal itu juga melibatkan upaya mendidik masyarakat serta
usaha memengaruhi penguasa. Aku tidak tahan dengan semua itu, aku memang meraih
medali emas atas studiku di bidang kesehatan masyarakat, tetapi aku harus
meninggalkan departemen tersebut karena terlalu sering membuat gusar para
birokrat dan akademisi. Aku kembali ke rumah sakit tempatku ber-praktik. Karena berkutat di dalam
bangsal-bangsal operasi dan melakukan pekerjaan selama ratusan jam seminggu, aku
tidak punya waktu untuk "menimbulkan masalah" dengan mengampanyekan bahwa
distribusi kekayaan yang tidak merata menyebabkan distribusi kesehatan yang
tidak merata pula, bahwa lebih baik menanggulangi infeksi streptococcal saat
usia muda daripada menanggulangi komplikasi lebih lanjut dari infeksi ini dengan
transplantasi jantung dan ginjal. Sekarang, pernyataan jujur seperti itu sudah
tidak bisa kulakukan. Sekali lagi aku menjadi seorang teknisi yang terampil dan
aku memilih mengasah keterampilan sebagai seorang dokter bedah, karena ilmu
bedah mengkom-binasikan tiga kegiatan yang kusukai, kedokteran, memasak, dan
menjahit. (Coba pikirkan sendiri.) Aku berkonsentrasi padaurusanku sendiri dan
sekali lagi melakukan pekerjaan yang merupakan kompetensiku.
Walaupun kini aku adalah seorang dokter bedah, aku menyadari sepenuhnya bahwa
Azzizah dan timnya berupaya memperluas peran rumah sakit itu sehingga dapat pula
memenuhi kebutuhan sosial komunitasnya. Orang-orang mendatangi Azzizah untuk
meminta bantuan makanan biasanya roti atau bahan-bahan bangunan untuk rumah
mereka, atau untuk mencari pekerjaan. Menghadapi sekian banyak permintaan,
pengelola rumah sakit kami yang muda belia itu tidak pernah kehilangan
ketenangannya. Tentu saja ia juga punya beberapa orang staf yang sangat baik dan setia
kebanyakan adalah wanita. Mereka menolak meninggalkan rumah sakit selama perang,
bahkan pada saat-saat terjadinya serangan bom, padahal mereka akan lebih aman
jika berada di tempat lain. Mereka menolak meninggalkan tugas! Para wanita Arab
itu, dengan cara-cara mereka yang lembut dan anggun, benar-benar mengembalikan
keyakinanku akan ketegaran wanita.[]
Lima Seminggu setelah pembukaan kembali rumah sakit secara resmi, kami kedatangan
sebanyak enam puluh pasien rawat inap, pasien dalam daftar tunggu dua kali lipat
lebih banyak. Tiga per empat pasien rawat inap itu adalah pasien-pasien
ortopedis, tetapi dokter bedah ortopedis senior di rumah sakit itu telah
diungsikan, sehingga akulah yang ditugasi sebagai penanggung jawab Bagian
Ortopedis. Meskipun aku tahu aku sangat tidak berpengalaman untuk tugas ini,
tapi di sini tidak ada orang lain untuk menjalankannya. Jadi, mau tidak mau aku
harus mengemban tanggung jawab tersebut. Walaupun kekurangan pengalaman, aku
berusaha keras untuk bekerja sebaik mungkin, karena dalam waktu singkat aku
mencintai dan menghargai sepenuh hati orang-orang itu. Andai saja aku mempunyai
lebih banyak tenaga sehingga dapat lebih keras lagi bekerja dan mengurangi
tidurku. Kebutuhan terasa mendesak, aku sanggup bekerja terus-menerus, hanya
beristirahat ketika tidak ada listrik atau air. Bahkan, belakangan operasioperasi berskala kecil dapat dilakukan dengan pembiusan lokal dan seorang
perawat menggenggam sebatang lilin.
Pada sore harinya, biasanya aku berjalan-jalan
berkeliling Sabra dan Shatila. Kesempatan-kesempatan seperti itu kini menjadi
kenangan paling berkesan dari masa-masa awalku menjadi sukarelawan. Keramahan
para keluarga yang tinggal di kamp membuatku merasa sepenuhnya diterima.
Walaupun kemalangan menimpa mereka, aku selalu disambut dengan ramah di rumah
mereka. Terkadang, sebuah rumah hanya tinggal berupa reruntuhan tembok-tembok,
tapi itu tidak masalah. Lantainya akan selalu dipel sebersih mungkin dan aku
selalu disuguhi kopi Arab. Sudah lama sekali aku tidak menemukan keramahan
seperti itu tepatnya setelah meninggalkan Asia Tenggara, di sana penduduk Melayu
dan Cina di desa nelayan selalu menerima kedatangan orang asing di rumah mereka
dengan tangan terbuka. Orang-orang di kamp itu dengan senang hati memperlihatkan
foto-foto keluarga mereka kepada orang asing sepertiku, foto-foto orang-orang
yang mereka cintai, foto-foto pernikahan, ulang tahun, dan negeri Palestina.
Mereka sering kali berusaha memberiku barang berharga milik mereka.
Gadis-gadis biasanya melepas anting, gelang, atau perhiasan lainnya dan
memaksaku menerimanya. Para keluarga yang sangat miskin berusaha memaksaku
menerima foto-foto keluarga mereka, atau barang jahitan seperti taplak meja.
Dengan segera aku paham untuk tidak pernah memuji barang-barang di dalam sebuah
rumah keluarga Palestina, karena pasti barang tersebut akan mereka berikan
kepadaku sebagai hadiah. Kemurahan hati
mereka sering membuatku malu akan keegoisanku. Aku seorang Kristiani yang
mengemban misi "belas kasih", aku dijuluki oleh pers Singapura sebagai "Wanita
Belas Kasih" (Lady of Mercy), tetapi hanya sedikit yang bisa kuberikan kepada
orang-orang ini, dan sebaliknya, aku menerima seribu kali lipat "kasih" dari
mereka. Di kamp, di Rumah Sakit Gaza, bersama orang-orang yang telah menerangi
jiwaku melalui tingkah laku dan tindakan mereka, aku merasa jauh lebih dekat
dengan Tuhan daripada sebelumnya.
Rumah Sakit Gaza menjadi semakin kokoh. Dari hari ke hari kami semakin sibuk,
bangsal-bangsal perawatan terisi penuh, dan lebih banyak operasi dapat dilakukan
seiring pasokan air dan listrik meningkat. Banyak perawat yang muncul dari
tempat persembunyian mereka dan kembali ke rumah sakit. Di antara mereka
terdapat orang-orang yang sangat terampil dan berpengalaman. Mereka menjadi
teman-teman terbaikku selama aku berada di kamp. Sterilisator, mesin sinar-X,
dan fasilitas laboratorium sedikit demi sedikit dapat digunakan kembali. Dua
minggu setelah pembukaan resmi, Rumah Sakit Gaza menjadi ramai kembali.
Rutinitas kegiatan di rumah sakit terdiri dari ronda ke bangsal-bangsal
perawatan dan konferensi-konferensi tentang kasus klinis, diikuti dengan
pemeriksaan pasien rawat jalan dan klinik-klinik spesialis, sesi-sesi operasi,
lalu, bagi para staf medis yang bertugas pada hari itu, bekerja di ruang-ruang
UGD. Tugasku sendiri mulai meluas ke bidang
nontrauma atau disebut ortopedik "dingin". Tugas ini mencakup perawatan pasien
dengan masalah-masalah ortopedik bawaan seperti kaki yang bengkok atau
terlepasnya persendian tulang pinggul, dan pasien-pasien yang mengalami
penurunan kondisi fisik seperti osteoarthritis dan sakit punggung. Orang-orang
mulai berdatangan dengan luka-luka yang menurutku berhubungan dengan kejadian
sehari-hari, seperti fraktura atau patah tulang, luka terpotong, atau luka bakar
yang bersifat domestik. Rumah sakit menerima kunjungan orang-orang di luar pengunjung biasa, terutama
para wartawan dan kru televisi. Meskipun menurutku kunjungan mereka cukup
mengganggu konsentrasi, aku tetap menghargai pentingnya keberadaan media. Mereka
membantu mengingatkan dunia luar tentang kamp-kamp pengungsi dan orang-orang di
dalamnya. Sejauh ini, media memfokuskan diri pada perang dan kerusakan, kini
kami berharap mereka juga merekam optimisme yang tengah terbangun di kamp-kamp
seiring orang-orang di sini dengan segenap hati berupaya membangun kembali
segala sesuatu. Mungkin untuk kali ini, kuharap, tekad orang-orang ini untuk
bertahan hidup dan bersama-sama membina kembali kehidupan mereka yang telah
hancur dapat mengetuk sanubari masyarakat yang tinggal di dunia Barat.
Pasien-pasien kami sangat antusias berbicara kepada para wartawan tentang
perang. Pada mulanya mereka malu menghadapi kamera, tetapi sesaat kemudian
mereka akan menumpahkan isi hati
mereka dan mengenang kembali saat-saat perang yang mengerikan. Mereka akan
menunjukkan kemarahan terhadap ketidakadilan, tetapi banyak yang merasa menang
dan bangga karena tak ada yang bisa mematahkan semangat mereka.
Anak-anak di bangsal perawatan ortopedisku sungguh hebat. Si kecil Essau,
seorang bocah laki-laki Kristen asal Palestina yang berambut hitam pendek serta
keriting, mengalami luka akibat cluster bomb yang menewaskan ibunya. Kedua


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakinya patah di berbagai tempat karena ledakan. Banyak luka Essau yang membusuk
sehingga ia memerlukan operasi bedah ortopedis untuk mengangkat tulang-tulang
yang telah mati dan membusuk. Setelah operasi, fraktura-frakturanya perlu
diluruskan agar kakinya tidak bengkok. Setiap kali para reporter itu menghampiri
bangsalnya, Essau biasanya akan memulai bercerita kepada mereka bahwa kelak
ketika dewasa, ia akan menjadi "pejuang" agar dapat melindungi rakyat dan
kampnya. Sebelum ia dicap "teroris" oleh para reporter, seorang perawat segera
menyingkap bajunya untuk memperlihatkan sepasang kaki yang bengkok penuh goresan
serta dikelilingi lubang-lubang luka yang besar dan bernanah. Essau yang berusia
tujuh tahun itu akan menatap ke bawah dan terdiam. Tak satu pun dari kami yang
merasa yakin jika ia akan dapat kembali berjalan, apa lagi untuk menjadi seorang
"pejuang" ketika dewasa nanti.
Milad Faroukh adalah seorang anak laki-laki berusia delapan tahun asal Lebanon.
Ayahnya pernah punya lahan pertanian di Lebanon Selatan. Lahan tersebut dihancurkan oleh
bom Israel, dan salah satu dari bom-bom itu menghantam lapangan yang tengah
digunakan Milad bermain frisbee bersama adik laki-lakinya. Adiknya tewas
seketika, dan tumit Milad hancur lebur. Kolegaku asal Inggris, dr. Paul Morris,
menghabiskan waktu berjam-jam, dengan sabar berusaha mengobrol dengannya untuk
memecah kebisuannya, seraya membujuknya makan. Tubuhnya hanya tinggal tulang
terbalut kulit, tetapi kini kepulihannya terus bertambah secara konstan. Saat
untuk pertama kalinya Milad tersenyum, kami semua merasa bahwa sesosok malaikat
tersenyum di tengah-tengah Lebanon yang terkoyak, wajahnya terlihat sangat
tampan. Kendatipun masih malu-malu dan tertutup, Milad menjadi sangat pemberani, dan
dengan cepat belajar cara mengganti perbannya sendiri. Setelah perban yang
melekat di tumitnya dilepas, tampaklah sebuah lubang bekas luka yang masih
basah. Pasti terasa nyeri sekali, tetapi ia menggertakkan giginya dan dengan
gagah berani membersihkan lukanya dengan boor water (hydrogen peroxide) sebelum
membalutnya dengan perban baru.
Ada juga Leila. Setiap kali kami mengganti perban yang membungkus luka bakarnya
yang lebar dan masih basah, ibunya serta para perawat tahu ia merasa luar biasa
kesakitan. Proses pembalutan luka sedemikian besar pada seorang bocah tiga tahun
semestinya menggunakan pembiusan umum, tetapi terjadi kelangkaan obat-obatan.
Kami terpaksa melakukan apa yang kami sebut "pembiusan vokal", ibu Leila dan
para perawat mengajak bicara si gadis kecil itu atau meneriakinya agar ia
menurut. Dari segala penjuru, semakin banyak anak kecil berdatangan anak-anak
dengan luka-luka perang, anak-anak yang terkena serpihan bom. Anak-anak ini
sungguh-sungguh pemberani, di tubuh mereka terdapat bekas-bekas luka yang takkan
bisa hilang. Luka-luka akibat kekejaman perang yang hanya memamerkan kecanggihan
teknologi belaka. Banyak dari anak-anak itu yang kini yatim piatu dan tak punya
rumah, dan mendapat tempat tinggal sementara bersama tetangga atau saudarasaudara jauh mereka. Berkali-kali aku berdoa dalam diam meminta kekuatan, memohon pertolongan kepada
Tuhan agar aku sanggup bertahan. Operasi yang paling mulus pun dapat berubah
menjadi malapetaka gara-gara mati listrik secara tiba-tiba. Terkadang para
perawat turun untuk membalut luka-luka hanya dengan menggunakan sabun dan air.
Ini semua gara-gara perang, tapi paling tidak, ada gencatan senjata. Orang-orang
di kamp merasa lega karena bom-bom dan granat-granat tidak lagi berjatuhan.
Sesekali bom yang belum meletus atau ranjau darat yang tersisa meledak dan
meminta korban yang tidak waspada, tetapi seiring hari berganti, kejadiankejadian semacam ini semakin berkurang. Di luar kamp, peristiwa-peristiwa
politik yang penting sedang berlangsung.
Berbagai "rencana perdamaian" sedang di bahas. Berita-berita di siaran BBC yang menarik perhatian kami, seperti
pembentukan kembali Parlemen Lebanon, menjadi pembicaraan di pasar-pasar,
jalanan, dan di antara para sopir taksi. Pasukan penjaga perdamaian
multinasional ditempatkan di berbagai lokasi dan diterima dengan baik oleh
penduduk setempat. Kami diberi tahu bahwa pasukan penjaga perdamaian tersebut
akan berada di sana hingga Presiden terpilih Lebanon, Bashir Gemayel, melakukan
sumpah jabatan dan Angkatan Bersenjata Lebanon mampu menangani situasi di dalam
negeri. Setelah hampir satu dekade perang sipil, Lebanon kini dipenuhi pasukan
bersenjata. Banyak individu yang memiliki senapan mesin atau setidaknya sepucuk
pistol. Organisasi-organisasi swasta mempunyai alat peluncur roket, bahkan tank.
Kini dilakukan upaya pelucutan senjata secara besar-besaran, negara yang sudah
lelah dengan perang ini benar-benar serius dalam mewujudkan perdamaian. Di
seluruh Beirut, orang-orang menyerahkan senjata mereka, unit-unit Angkatan
Bersenjata Lebanon berkeliling kota serta kamp-kamp, memanggil para penduduk
untuk menyerahkan senjata mereka. Gudang-gudang senjata juga dikosongkan oleh
para tentara. Saat itu, setiap orang berpikir bahwa perang benar-benar akan berakhir. Harga
sepucuk Kalashnikov jatuh hingga tujuh lira Lebanon (sekitar 2,5 poundsterling).
Aku melihat para wanita bermunculan untuk menyerahkan senjata anak-anak
mereka. Orang-orang percaya pada usulan-usulan perdamaian, dan mereka siap
menunjukkan bahwa mereka menginginkannya. Kantong pasir, penghalang jalan, dan
ranjau darat secara bertahap dibersihkan. Jalanan yang diblokir dengan timbunan
besar pasir juga dibersihkan sehingga dapat digunakan oleh kendaraan-kendaraan
besar. Buldoser-buldoser dibiarkan lalu-lalang membersihkan jalan-jalan dan
puing-puing. Toko-toko kembali dibuka. Pipa-pipa air dipulihkan dan "listrik
dari pemerintah" kembali mengalir.
Hamra kembali hidup, dan berbagai barang mewah kembali muncul. Aku sempat
mencicipi croissant, kelezatan khas Prancis yang terasa asing bagi lidah orang
Singapura. Di mana-mana terjadi euforia pascaperang, penduduk lokal tampak bersatu dan
antusias. Ketika ditanyakan apakah mereka orang Lebanon atau Palestina, mereka
sering menjawab, "Dua-duanya," sekaligus mengatakan tidak ada perbedaan antara
keduanya. Bukannya memisahkan kedua bangsa itu, perang justru mempersatukan
mereka dalam kebencian yang sama terhadap Israel. Mereka sering mengajakku
melihat bangunan-bangunan yang dibom.
"Lihatlah, Doctora," begitu kata mereka. "Toko-toko, hotel-hotel roket-roket dan
bom-bom Israel membuat bunyi 'wuush' dan sekarang tidak ada lagi toko-toko,
rumah-rumah, maupun hotel-hotel." Kehancuran yang terlihat di depan mata seolaholah berbicara mewakilinya.
Selasa, 14 September 1982, adalah hari yang
indah. Jalan-jalan dibersihkan dari blokade. Air di rumah sakit kembali
mengalir, begitu pula dengan listrik. Alangkah senang mengetahui bahwa lampu
kembali menyala dan bahwa aku dapat mencuci tanganku di bawah air mengalir. Dr.
Phil McKenna, kolegaku ahli anestesi asal Irlandia, seorang teman yang
menyenangkan memutuskan mengatur kembali seluruh ruangan UGD. "Karena perang
telah usai," ujarnya, "kita bisa menyusun semacam sistem di sini"
Ia turun ke lantai bawah, meminta kain lap, lalu membersihkan meja dan kereta
dorong di dalam ruang UGD. Kemudian, ia duduk untuk memilah-milah peralatan
resusitasi, semua tabung endotrakheal disusunnya berdasarkan ukuran, laringoskop
dicek ulang, begitu pula gas anestetik, hubungan antar-mesin, bahkan perban dan
kain kasa. Setelah melakukan operasi, aku turun untuk membantu para perawat menyiapkan
perban untuk operasi bedah. Kami memotong kain-kain kasa berukuran besar menjadi
ukuran yang lebih kecil, lalu melipatnya menjadi kotak-kotak kecil. Kami
mempersiapkan perban abdominal dengan cara menjahit bagian tepi kain kasa
berukuran besar yang dilipat. Bola-bola kapas dibentuk dan disiapkan untuk mesin
sterilisator yang baru saja berfungsi kembali. Setelah itu, semua peralatan
diletakkan pada tempatnya agar siap digunakan keesokan harinya. Dalam rutinitas
seharian, membantu membuat perban-perban seperti ini adalah pekerjaan yang
paling kusukai. Aku menjadi kenal dengan para perawat dan mendapatkan beberapa
kata baru dalam bahasa Arab. Abu Ali, pengawas bangsal operasi, memasuki awal usia paruh bayanya. Ia dapat
berbicara dalam bahasa Inggris dengan baik. Hari itu, ia merasa sangat bangga
dan senang karena mesin sterili-satornya kembali berfungsi. Sejak saat itu,
sangat mungkin untuk mensterilisasi semua alat bedah. Abu Ali mulai menjelaskan
kepada perawat magang tentang perbedaan antara mensterilisasi alat-alat bedah
dengan mesin sterilisator, yang disebutnya sebagai "uap panas", dan
mensterilisasinya dengan air mendidih, yang ia sebut sebagai "air panas". Mesin
tersebut lebih efektif untuk berbagai alasan yang kemudian dijelaskannya, dan
aku mengangguk setuju. Abu Ali membuatku bertambah tegar, karena entah bagaimana, ia berhasil
menyediakan semua alat bedah yang dibutuhkan untuk operasiku. Ini berarti, ia
lebih cakap daripada banyak perawat operasi di rumah sakit-rumah sakit di
Inggris. Sering aku menahan diri untuk tidak meminta peralatan bedah ortopedis
yang canggih, karena aku tidak ingin membuat para staf ruang operasi di Rumah
Sakit Gaza merasa tidak punya alat yang memadai. Namun, sering aku dibuat
terkejut bercampur senang karena salah satu dari alat-alat yang kubutuhkan
tetapi aku tidak berani memintanya itu diberikan kepadaku oleh salah seorang
perawat cadangan. Berkali-kali aku diberi tahu pengawas operasi yang jempolan
ini bahwa tidak ada kompromi dalam standar kelayakan alat-alat bedah.
Para staf operasi PRCS tampak sangat bangga dengan pekerjaan mereka, dan
berusaha menjaga standar. Terkadang Abu Ali akan menggeleng dengan sedih sambil
berkata padaku, "Sebelum terjadi serangan, kami memiliki sistem kerja yang baik,
tapi sayangnya sistem kami itu hancur gara-gara perang. Meskipun begitu,
sekarang kami mulai memulihkan standar-standar kami."
Malam itu aku tidur lebih cepat, merasa sangat puas dan berharap kembali bekerja
keesokan harinya. Kami telah merencanakan untuk besok menangani beberapa kasus
bedah mayor rekonstruksi ortopedis tiga kasus dengan luka infeksi fraktura pada
tungkai bawah yang belum disatukan, satu kasus luka bakar dengan sepuluh persen
area kulit yang akan diangkat, serta beberapa operasi minor lainnya.
Aku terbangun pada pukul sebelas malam oleh suara dentuman yang keras sekali.
Terdengar seperti suara ledakan dari kejauhan, tetapi seisi gedung terasa
bergetar karenanya. Tidak seorang pun dari kami yang tahu persis apa yang
terjadi. Berita tengah malam memberitahukan bahwa sebuah bom yang amat kuat
telah meledak di Beirut Timur, dan bahwa Presiden terpilih Lebanon, Bashir
Gemayel, termasuk salah seorang yang tewas. Kami semua terhenyak mendengar
berita itu. Apakah itu berarti akan terjadi perang lagi"[]
BAGIAN KEDUA Pembantaian Sabra-Shatila
Musim Gugur 1982 Enam Esok harinya, ketakutan terburuk kami mulai menjadi kenyataan. Pagi itu tanggal
15 September Aku tengah terlelap di apartemen para dokter sukarelawan asing di
Hamra. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh raungan suara pesawat-pesawat yang melintas
di atasku. Mereka tiba dari Laut Tengah dan menuju selatan, ke daerah Beirut
Barat yang menjadi lokasi kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila. Bandar Udara
Internasional Beirut telah ditutup sejak aku tiba di negeri itu. Pesawat-pesawat
itu kini terbang rendah dengan suara mesin yang mengalahkan ambang batas. Mereka
bukan pesawat pengangkut penumpang biasa. Waktu menunjukkan pukul setengah enam
pagi. Menurut perkiraanku, pesawat-pesawat itu pastilah pesawat tempur Israel
yang segera membuatku teringat akan Rumah Sakit Gaza dan kamp-kamp sekitarnya.
Aku melompat turun dari tempat tidurku, menyambar sikat gigi dan handuk, mencuci
muka, memakai baju dengan tergesa-gesa, lalu meninggalkan teman-temanku sesama
sukarelawan yang masih terlelap, bergegas menuruni tangga dan mencegat taksi
untuk membawaku ke kamp. Aku tidak boleh buang-buang waktu. Begitu serangan
udara itu terjadi, hilanglah kesempatanku untuk pergi dari Hamra menuju kamp,
dan aku tidak akan dapat merawat para korban.
"Tolong, cepatlah," aku memohon kepada sopir taksi, nyaris putus asa dapat
sampai ke kamp. Jalanan yang bergelombang tampak lengang tidak ada mobil maupun
pejalan kaki. Bahkan tidak ada orang di pos-pos pemeriksaan. Ke mana perginya
orang-orang itu" Kami menuju Rumah Sakit Gaza tanpa berhenti sekali pun, dan
tiba di sana pada pukul setengah tujuh pagi. Aku tidak ingat berapa uang yang
harus kubayar banyak, karena taksi-taksi yang lain menolak untuk pergi ke
sekitar kamp-kamp. Begitu aku keluar dari taksi, sopir taksi itu langsung
berputar balik dan melajukan mobilnya dalam kecepatan tinggi. Saat itu, langit
sudah terang. Aku bergegas menuju bagian UGD-tapi tak ada pasien di sana. Semua anggota PRCS
sedang berada di lantai atas untuk berdiskusi. Suasananya begitu tegang.
Anehnya, pesawat-pesawat itu berhenti mengudara dan belum ada bom yang jatuh.
Siaran berita mengumumkan bahwa Israel tengah menduduki Beirut Barat untuk
membersihkan "dua ribu orang 'teroris' PLO yang masih tersisa". Hal itu berarti
ancaman bagi kamp-kamp di sini, kami tahu itu, tapi kami heran mengapa tidak ada
bom yang jatuh. Para petugas medis memulai pagi itu dengan memulangkan para pasien rawat inap
yang keadaannya telah jauh membaik, sehingga tersedia tempat bagi para korban
baru yang diperkirakan akan dibawa ke rumah sakit. Semua operasi yang
tidak mendesak dibatalkan, dan setiap orang diminta bersiaga menunggu para
korban dibawa ke rumah sakit. Aku naik ke bangsal pemeriksaan ortopedis dan
menjelaskan kepada seluruh pasienku bahwa aku tidak dapat melakukan operasi
untuk mereka saat ini, karena kami memerlukan fasilitas operasi yang ada untuk
merawat para korban baru.
Salah seorang pasienku berkata, "Tidak apa-apa, Doctora, kami tahu, bukan Anda
yang membatalkan operasi kami. Sharonlah yang membatalkannya." Ariel Sharon
adalah menteri yang membawahi Angkatan Bersenjata Israel.
Baru pada pukul delapan pagi kami mendengar ledakan pertama. Ledakan itu
terdengar seperti bom-bom yang dimuntahkan dari tank, bukan dijatuhkan dari
udara. Aku menuju bagian paling atas rumah sakit lantai sepuluh dan menyaksikan
bom-bom meledak di rumah-rumah di kawasan Beirut Barat. Aku tahu bahwa lantai
teratas sebuah bangunan bukanlah tempat teraman ketika terjadi hujan bom. Namun,
ternyata tak satu bom pun mendarat di tempatku berdiri. Tak lama kemudian,
beberapa orang sukarelawan asing lainnya bergabung denganku untuk mengetahui
tempat ledakan-ledakan itu terjadi. Awalnya, kami melihat bom-bom itu mendarat
hanya di satu daerah. Lalu, pada tengah hari, bom-bom mendarat di sekeliling
Rumah Sakit Gaza, membentuk suatu lingkaran bergaris tengah sepuluh kilometer.
Aku lantas teringat dengan timbunan pasir dan barikade yang baru saja
dibersihkan beberapa hari lalu. Tak pernah
terpikirkan olehku bahwa hal itu akan memudahkan tank-tank yang hendak menuju
jalanan di Beirut Barat. Dalam waktu singkat, Rumah Sakit Gaza terkepung oleh
lingkaran asap dari gedung-gedung yang terbakar.
Para pasien yang terluka hanya bisa berjalan kaki menuju rumah sakit pada pagi
itu karena jalan yang mengarah ke sana tidak dapat dilintasi ambulans. Pasienpasien ini mengalami luka terkena pecahan bom. Kemudian, para pasien yang
mengalami luka lebih parah diangkut ke ruang UGD oleh kerabat mereka. Para
pasien tersebut memberi tahu kami bahwa tank-tank Israel sedang menuju Beirut
Barat dari arah yang berbeda-beda sambil melancarkan tembakan ke segala penjuru.
Sebelumnya, dua buah mobil ambulans PRCS telah dikirim untuk misi penyelamatan.
Mobil-mobil itu tak pernah kembali.
Pengeboman semakin mendekat. Sekitar pukul empat kurang lima belas menit di sore
itu, kami menyadari bahwa zona pengeboman telah mendekati jarak tiga per empat
kilometer dari rumah sakit, orang-orang yang berusaha meninggalkan kamp telah
kembali dan mengatakan bahwa semua jalan yang mengarah ke kamp telah diblokir
oleh tank-tank Israel. Pada pukul setengah lima sore, berita yang sampai ke Rumah Sakit Gaza
memberitahukan bahwa tentara Israel telah menyerbu Rumah Sakit Akka dan menembak
mati para perawat, dokter, serta pasien. Orang-orang berlarian ke kamp
dengan membawa kabar bahwa tank-tank itu tengah mengejar mereka. Pada pukul lima
sore, kami diberi tahu bahwa para prajurit Israel tersebut telah berada di
jalan-jalan utama kamp-kamp. Aku belum pernah melihat mereka sejak kedatanganku
menyeberang Garis Hijau dari Beirut Timur. Mereka telah menyerang Beirut Barat
dari udara maupun dari laut, atau dari seberang pegunungan. Mengapa kali ini
mereka ingin menyerang dari darat" Mungkin mereka kini berani muncul karena para
pejuang PLO telah pergi. Mungkin mereka ingin mengecek kamp-kamp itu, apakah
masih menyembunyikan para teroris atau tidak. Kalau memang itu tujuannya,
kupikir dengan mudah aku dapat mengatakan pada mereka bahwa para pejuang PLO
benar-benar sudah pergi. Ketika malam tiba, jelaslah bahwa kami telah terkepung. Pengeboman telah
berhenti, tetapi rentetan suara tembakan senapan mesin masih berlanjut sepanjang
malam. Langit di atas Sabra dan Shatila diterangi peluru suar militer. Aku pasti
tertidur sejenak setelah pukul empat pagi, karena itulah angka terakhir yang
kuingat kubaca di arlojiku.
Sejam kemudian, aku lagi-lagi terbangun oleh raungan suara pesawat yang terbang
rendah di atasku. Saat itu pagi hari Kamis, tanggal 16 September 1982. Kami
kembali mendengar dengan jelas suara pengeboman dan ledakan, juga suara tembakan


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senapan mesin. Penembakan yang masih berlangsung itu membuatku bertanyatanya,
masihkah ada beberapa orang PLO di sekitar sini"
Orang-orang yang ketakutan mulai berdatangan ke rumah sakit. Menjelang tengah
hari, korban-korban mengalir. Yang pertama adalah seorang wanita yang tertembak
di siku lengannya. Semua sendi yang menopang sikunya hilang sehingga tampak di
antara robekan daging yang berlumuran darah, pangkal tulang humerus, radius, dan
tulang hasta yang menonjol ke luar. Ia tinggal di dalam kamp dan ditembak
beberapa saat setelah ia melangkah keluar dari pintu rumahnya. Di belakangnya,
muncul segerombolan wanita yang tertembak pada rahang, kepala, dada, dan perut.
Kebanyakan dari mereka ditembak di jalanan dekat kamp ketika hendak membeli
makanan, atau ketika hendak menuju titik-titik persediaan air untuk mengambil
air dan membawanya untuk keluarga mereka. Luka-luka mereka itu merupakan luka
tembak akibat peluru berkecepatan tinggi dari senapan penembak jitu. Mereka
tetap dibawa masuk ke rumah sakit meskipun hanya dua bangsal operasi yang
berfungsi. Oleh karena itu, Rumah Sakit Gaza tak mampu menampung semuanya.
Beberapa dari mereka kemudian dipindahkan ke sebuah rumah sakit terdekat dengan
menggunakan ambulans milik PRCS. Kami hanya memindahkan korban-korban yang kami
perkirakan masih bisa bertahan hidup, pasien-pasien yang nyaris mati diinapkan
di sana dan diberi sekadar obat pereda rasa sakit. Sisanya kami operasi sendiri
di dalam bangsal-bangsal yang terletak di lantai bawah tanah Rumah Sakit Gaza.
Dalam waktu singkat, pola itu berubah. Luka-luka para korban masih disebabkan
oleh tembakan peluru, tetapi pada sekitar tengah hari, tampak jelas bahwa para
penembak itu telah merangsek ke dalam rumah-rumah di Sabra dan Shatila dan mulai
menembaki orang-orang di sana. Kami diberi tahu bahwa orang-orang itu bukan
orang Israel, melainkan para penembak dengan aksen Ba'albek. Aku mengingat-ingat
perkataan itu, tapi tak sempat bertanya macam-macam aku terus memeriksa para
pasien dan melakukan operasi. Untungnya ada air dan listrik kedua kebutuhan
vital itu telah kembali berjalan dua hari sebelumnya.
Tim medis yaitu kami yang terdiri dari dua orang dokter bedah, dua orang ahli
anestesi, dan lima orang dokter yang tinggal di rumah sakit, bekerja tanpa
henti. Dalam waktu kurang dari 24 jam, telah masuk sekitar tiga puluh pasien
dengan luka sangat serius dan kemudian meninggal saat masih menerima pertolongan
pertama. Sekitar tiga puluh orang lainnya cukup aman untuk dioperasi. Sekitar
sembilan puluh orang yang terluka lainnya dirawat di Bagian Perawatan Korban
Perang. Tiga puluh orang atau lebih lainnya dipindahkan ke Rumah Sakit Makassad.
Hanya dalam waktu 24 jam, persediaan makanan rumah sakit telah habis. Kami tidak
mempunyai cukup persediaan untuk memberi makan ratusan orang yang berlindung di
rumah sakit. Tidak seorang pun mau meninggalkan rumah sakit untuk membeli
makanan karena penembakan dan pengeboman di luar masih terus berlangsung. Aku
terlalu sibuk untuk makan, tetapi pada suatu waktu, Azzizah Khalidi, pengelola
rumah sakit, memaksaku untuk berhenti mengoperasi dan memakan seiris roti pitta
dan beberapa buah zaitun yang dibawanya turun ke bangsal untukku. Beberapa saat
setelah itu, barulah kutahu bahwa ia baru saja memberiku makanan terakhir yang
tersisa di Rumah Sakit Gaza. Betapa sering aku menerima begitu saja perlakuan
dan perhatian luar biasa yang diberikan orang-orang Palestina dengan tulus!
Ketika malam tiba, kami memperkirakan sekitar lebih dari dua ribu orang dari
kamp telah memadati rumah sakit untuk berlindung. Mereka tidur di lantai dan
tangga di segala penjuru rumah sakit. Ketika keluar dari bangsal operasi di
lantai bawah tanah rumah sakit untuk melayani para korban yang menunggu di ruang
UGD, aku terpaksa melangkahi para keluarga yang tengah berbaring atau duduk di
lantai. Jumlah pasien rawat inap telah bertambah dari 45 menjadi lebih dari 80
orang hanya dalam beberapa jam. Delapan orang di antaranya dalam kondisi sangat
parah. Sepanjang malam, kamp-kamp yang mengelilingi Rumah Sakit Gaza diterangi oleh
peluru suar yang ditembakkan ke udara, dan penembakan pun berlanjut. Aku tidak
tidur malam itu, begitu pula anggota tim lainnya. Di antara berbagai operasi
yang kulakukan adalah mengamputasi tungkai lengan atau kaki, dan membedah dada
serta perut untuk mengangkat organ-organ yang rusak maupun mengalami pendarahan.
Menangani sebuah luka tembak akibat peluru berkecepatan tinggi merupakan tugas berat, tetapi menjadi
tugas yang mustahil ketika pasien-pasien dengan luka demikian terus-menerus
datang membanjir. Sebuah peluru yang menembus perut dapat dengan mudah memotong
usus di berbagai tempat, meledakkan hati atau ginjal, dan mematahkan baik tulang
belakang ataupun tulang pinggul.
Luka tembak akibat peluru berkecepatan tinggi di bagian abdomen seharusnya
ditangani oleh seorang dokter bedah yang berpengalaman dengan peralatan yang
lengkap, dalam waktu empat hingga enam jam. Tetapi, setelah beberapa jam
berikutnya, aku sadar bahwa aku hanya dapat mencurahkan waktu tidak lebih dari
dua jam untuk setiap pasien, kalau tidak, pekerjaanku tidak akan pernah beres.
Dr. Per Miehlumshagen, seorang dokter bedah ortopedis sukarelawan asal Norwegia,
juga melakukan hal yang sama. Ia melakukan semua operasi di bangsal yang lain.
Para dokter dan perawat PRCS bekerja dengan sangat baik dan menunjukkan hasil
kerja yang hebat sepanjang hari itu, sampai-sampai aku menyesal karena tidak
sempat mengatakan pada mereka bahwa pekerjaan mereka sungguh luar biasa.
Aku dan Per melakukan operasi sepanjang malam hingga Jumat pagi tanggal 17
September. Rentetan suara tembakan senapan mesin masih terus berlangsung. Orangorang yang terkena luka tembak juga masih terus mengalir ke rumah sakit. Pada
sekitar pukul tujuh pagi itu, Per menemuiku
dan mengatakan bahwa kami sudah cukup banyak menangani para korban, dan bahwa
aku harus beristirahat sebentar sebelum kembali memulai pekerjaan ini lagi.
"Bagaimana denganmu, Per?" tanyaku.
"Aku sudah cukup istirahat," jawab Per. Aku tidak memercayainya, tapi aku
terlalu lelah untuk membantahnya.
Walaupun telah merebahkan kepalaku di atas bantal, aku merasa gelisah hingga
tidak mungkin bisa terlelap. Jadi, aku bangun untuk mencari Azzizah, sambil
berpikir mungkin ia bisa mengatakan padaku apa yang sebenarnya terjadi.
"Sesuatu yang gawat," ujarnya, dan hanya itu yang bisa ia katakan. Dari wajahnya
yang pucat dan risau, kukira ia mungkin tidak punya cukup waktu untuk menangani
semuanya. Namun, Azzizah memberitahuku bahwa ia harus mencoba menghubungi Palang
Merah Internasional. Tidak ada makanan yang tersisa, semua tempat terisi penuh
dengan korban-korban yang terluka, persediaan obat-obatan habis, dan para pria
bersenjata di kamp-kamp yang meneror dan mengancam nyawa kami. Ia hendak meminta
lebih banyak petugas medis dan dokter dan makanan bagi orang-orang yang
berlindung di dalam rumah sakit, sekaligus memberi tahu Palang Merah
Internasional akan kehadiran 22 petugas medis dari Eropa dan Amerika Serikat. Ia
juga ingin mengontak tentara Israel yang mengepung kamp dan memohon kepada
mereka agar memberi perlindungan bagi para petugas medis
asing serta meminta mereka untuk mengendalikan para teroris yang merajalela di
kamp-kamp pengungsi. Ia pergi pada pukul sepuluh pagi.
Setelah kepergiannya, aku naik ke bagian unit perawatan intensif (ICU) untuk
memeriksa pasien-pasien yang telah dioperasi dua hari yang lalu. Unit tersebut
dipadati para pasien yang keadaannya benar-benar parah, semuanya memakai selang
infus atau alat bantu pernapasan. Aku menyeret dr. Paul Morris dan memintanya
untuk memberi laporan singkat. Ia memberitahuku bahwa kamar jenazah penuh dengan
tubuh-tubuh tak bernyawa. Kami turun ke kamar tersebut, yang disesaki orangorang yang telah mati sebelum kami sempat mengoperasi mereka. Ada mayat-mayat
pria renta, anak-anak, dan wanita. Oleh karena tidak cukup ruang, mereka
terpaksa harus ditumpuk-tumpuk. Ini sungguh tak bisa dipercaya.
Lantai dasar rumah sakit disesaki orang-orang beberapa korban yang terluka
menunggu perawatan, yang lainnya gemetar ketakutan. Kebanyakan merasa sedemikian
takut sampai-sampai tidak dapat berbicara, dan satu-satunya yang bisa mereka
lakukan adalah menggaet lengan setiap dokter atau perawat yang lewat, seolaholah kami memiliki kekuatan supernatural untuk melindungi mereka. Aku masih
belum sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi, dan mengapa setiap orang
terlihat ketakutan. Anak-anak merasa aku tidak ketakutan sehingga mereka mulai
lengket denganku sambil memanggil-manggilku sebagai dokter pemberani. Aku
sama sekali bukan pemberani, hanya tidak tahu situasi. Lagi pula, aku bekerja
keras sepanjang waktu sehingga tak sempat merasa ketakutan.
Tatkala Azzizah kembali pada sekitar tengah hari, ia memberitahuku bahwa ia
telah melakukan semua yang direncanakannya, tetapi sesuatu yang sangat buruk
akan terjadi. Ia lantas memberi tahu para penghuni kamp yang bersembunyi di
rumah sakit bahwa Rumah Sakit Gaza bukan tempat berlindung yang aman, dan bahwa
kapan pun suku Kata1 eb, atau bahkan lebih buruk lagi suku Haddad, bisa saja
menyerbu masuk. (Baik suku Kata'eb maupun suku Haddad adalah milisi Kristen
Lebanon. Suku Kata'eb atau Falangi adalah sekutu Israel, tetapi suku Haddad
diupah oleh mereka.) Mendengar hal itu, sekitar dua ribu orang lebih pengungsi
segera pergi. Banyak dari para korban juga digotong oleh keluarga mereka,
beberapa masih dengan selang infusnya. Lalu, Azzizah memerintahkan personel PRCS
yang masih tersisa dua orang dokter yang tinggal di rumah sakit, serta beberapa
perawat dan teknisi untuk meninggalkan rumah sakit selagi masih ada waktu.
Beberapa petugas medis PRCS pada awalnya menolak untuk pergi sehingga Azzizah
harus mendesak mereka. Pada pukul setengah lima sore, ia menemui tim dokter asing seraya memberi tahu
kami bahwa ia sendiri juga harus pergi. Meskipun memiliki surat-surat keterangan
sipil dari pemerintah Lebanon, ia mengatakan bahwa ia sendiri dalam bahaya
karena rumah sakit sudah disusupi. Aku bahkan tidak ingin
bertanya disusupi oleh siapa.
Palang Merah Internasional kemudian tiba dan membawa makanan serta peralatan
pertolongan pertama. Dua dokter dan dua perawat dari Dewan Gereja Timur Tengah
juga telah datang untuk membantu. Delegasi yang datang berkunjung ini juga
mencakup kuasa usaha dari pemerintah Norwegia. Mereka berusaha membujuk para
sukarelawan medis asal Norwegia untuk meninggalkan tempat itu, tetapi mereka
semua memilih tinggal dengan para korban dan menolak pergi bersama kuasa usaha
itu. Tim Palang Merah Internasional akhirnya pergi membawa enam orang anak yang
keadaannya cukup parah dan Azzizah Khalidi, yang berjanji untuk kembali keesokan
harinya. Ia meninggali kami segepok kunci-kunci dapur, ruang obat-obatan, ruang
pasien rawat jalan, tempat parkir ambulans, dan ruang jenazah.
Rumah sakit berangsur-angsur sepi pada malam itu, walaupun pengeboman dan
penembakan dengan senapan mesin masih terus berlangsung di luar kamp. Ledakanledakan itu kini terdengar sangat dekat, kaca-kaca jendela di ruangan ICU mulai
retak dan bergetar akibat ledakan bom. Semakin banyak pasien yang secara
sukarela meninggalkan rumah sakit, dan beberapa pasien lainnya dibawa pergi oleh
keluarga mereka. Korban terakhir malam itu adalah seorang bocah laki-laki
sebelas tahun, ditembak tiga kali dengan senapan mesin dan ditinggalkan begitu
saja di bawah tumpukan dua puluh tujuh mayat. Setelah para pembunuh itu pergi,
teman-temannya menyelamatkannya dan membawanya ke rumah sakit. Yang dapat
dikatakannya kepada kami hanyalah bahwa di antara para penyerang itu ada orangorang Israel, Kata'eb, dan Haddad. Kemudian, tiba-tiba ia shock. Lengan, kaki,
dan jempol tangannya terkena peluru, tapi ia berhasil bertahan dengan luka-luka
itu. Di dalam bangsal, aku mengoperasi seorang wanita dan seorang anak. Wanita itu
dibedah karena terkena luka tembak di bagian perut. Operasinya berlangsung
sangat sulit karena aku harus mengangkat sepertiga hatinya, dan melakukan
anastomose atau menyambung perut besar dan kecil. Ia siuman ketika seorang anak
dibawa dari bangsal penyembuhan. Aku memeriksa keadaan keduanya sekaligus
mengingatkan para perawat di ICU untuk memberikan transfusi darah kepada mereka.
Lantas, aku diberi tahu bahwa kantong darah yang sedang ditransfusikan kepada si
wanita adalah persediaan terakhir. Tidak ada kantong darah yang tersisa untuk si
anak. Kami kehabisan persediaan. Anak itu terluka akibat sebuah granat yang
dilemparkan ke tengah-tengah sekelompok anak kecil. Ia telah kehilangan cukup
banyak darah dari pembuluh nadinya yang pecah, tetapi kondisinya sudah stabil
setelah operasi. Keduanya sama-sama membutuhkan darah dan golongan darah mereka
sama. Si wanita Palestina itu mendengar apa yang dikatakan para perawat
kepadaku, dan memohon agar darah tersebut diberikan kepada si anak, daripada
untuk dirinya. Kemudian, ia minta diberi obat pereda rasa sakit
dan ia meninggal tak lama setelah itu.
Malam itu, para sukarelawan asing berembuk untuk membicarakan apa yang akan
dilakukan apabila orang-orang Israel, Haddad, dan Kata'eb benar-benar menyerbu
rumah sakit. Kami memutuskan bahwa prioritas kami adalah menyelamatkan nyawa
para pasien kami. Aku tak punya ide yang cukup bagus untuk dilontarkan dalam
diskusi itu karena beberapa dari pasien-pasien cilik kami terus mengganggu
konsentrasiku dengan menanyakan kapan Mayor Saad Haddad akan datang ke rumah
sakit untuk membunuh mereka. Pada waktu itu, aku sama sekali tidak tahu siapa
itu Saad Haddad, tetapi aku mengatakan pada anak-anak itu bahwa jika ia adalah
si pembuat onar, maka aku akan melarangnya masuk Rumah Sakit Gaza. Anak-anak itu
membuatku bertanyatanya, apakah Saad Haddad ini adalah orang yang bertanggung
jawab atas jatuhnya semua korban ini. Akan tetapi, aku tidak memikirkan hal itu
sama sekali. Selama tujuh puluh dua jam, dari 15 hingga 18 September 1982, aku terus-menerus
bekerja di bangsal operasi di basement Rumah Sakit Gaza yang dibanjiri pasien.
Aku hanya bisa meninggalkan bangsal tersebut selama beberapa menit untuk
mengecek pasien-pasien yang baru datang sehingga kami dapat memutuskan siapa
yang akan dioperasi dan siapa yang tidak.
Malam itu, Paul Morris menulis surat untuk istrinya, Mary, kemudian memintaku
memberikan surat itu kepadanya apabila sesuatu hal yang buruk
menimpanya. "Hei, Paul," kataku, "kamu berkata seolah-olah akan mati. Kamu bercanda, 'kan?"
Namun, ia tampak sangat serius, jadi aku mengambil surat itu dan berjanji untuk
melakukan permintaannya. Pada Sabtu, 18 September, seorang perawat Amerika melihat beberapa orang tentara
di luar Rumah Sakit Gaza pada pukul 6.45 pagi, dan salah seorang dokter diutus
ke bawah untuk bernegosiasi dengan mereka. Setelah beberapa saat, aku turut
bergabung dengannya sekaligus menanyakan siapa pemimpin tentara-tentara itu.
Lalu, seorang pemuda berkumis maju dan berkata dalam bahasa Inggris, "Jangan
takut, kami orang Lebanon." Seragamnya bersih dan masih kaku sehingga kupikir ia
tidak mungkin termasuk salah seorang dari mereka yang telah menembaki penduduk
kamp selama tiga hari belakangan ini.
Aku menjawab, "Tentu saja saya tidak takut. Anda mau apa?"
Ia meminta kami mengumpulkan semua petugas medis asing untuk diinterogasi.
Setelah berdiskusi selama beberapa saat, ia mengizinkan seorang perawat Swedia
dan seorang mahasiswa kedokteran asal Jerman untuk tetap tinggal di rumah sakit
merawat para pasien di ruang ICU.
Kami dikawal keluar Rumah Sakit Gaza menuju jalan utama kamp, melewati
sekumpulan pasukan bersenjata yang tampak awut-awutan, jorok, dan sangar. Mereka
tetap mengawasi kami dengan
senapan teracung, dan sekali atau dua kali hampir saja aku tidak bisa menahan
diri untuk menyuruh mereka menyingkir. Kami digiring menyusuri Jalan Sabra. Di
jalan itu terlihat mayat-mayat bergelimpangan. Suatu saat, mereka mendorongku
sehingga aku tersandung mayat seorang pria tua. Ia mengenakan baju panjang
berwarna biru dan kopiah putih. Ia ditembak di kepalanya dan kedua matanya telah
dicungkil. Di kedua sisi ruas jalan, kerumunan wanita dan anak-anak dikelilingi
tentara-tentara yang mengenakan seragam hijau militer, topi baseball berwarna
hijau, tetapi tanpa tanda pangkat.
Menurut perkiraan kami, sebanyak delapan ratus hingga seribu orang wanita dan
anak-anak dikumpulkan dalam kerumunan itu. Beberapa di antaranya bersembunyi di
Rumah Sakit Gaza pada hari sebelumnya.
Buldoser-buldoser raksasa merobohkan gedung-gedung yang terkena bom dan mengubur
mayat-mayat di dalamnya. Aku hampir tak dapat mengenali kamp-kamp itu. Rumahrumah tersebut kini tinggal timbunan puing-puing. Di dalam puing-puing itu dapat
kulihat gorden dan lukisan-lukisan yang baru digantung. Rumah-rumah yang baru
setengah dihancurkan buldoser masih tampak segar catnya.
Para pria bersenjata berbaris di tepi Jalan Sabra, sementara kami berjalan
melintasi mereka dengan todongan laras senapan. Kami dapat melihat segala yang
terjadi mayat-mayat, rumah-rumah yang hancur, puing-puing, wajah-wajah yang
ketakutan, ibu yang putus asa yang ingin menyerahkan
bayinya kepada kami bayi laki-laki yang sempat kugendong sebentar sebelum
akhirnya dirampas para tentara itu. Kami tahu apa yang akan terjadi. Ketika, tak
lama setelah itu aku dapat kembali ke sana, kususuri kamp-kamp tersebut untuk
mencari ibu dan anak itu. Namun, aku tak menemukan siapa pun. Seorang pekerja
PRCS Palestina ikut bersama kami dari Rumah Sakit Gaza, tetapi segera ketahuan
sehingga ia diseret dan dibunuh. Sepertinya mereka diperintahkan untuk membunuh
orang-orang Palestina, tetapi tidak orang-orang asing, dan mereka mematuhi
perintah itu. Aku memikirkan mereka yang telah mati, juga orang-orang yang dikelilingi para
tentara bersenjata di tepi jalan. Dari wajah-wajah mereka yang ketakutan, jelas
mereka tahu akan dibunuh setelah kami lewat. Tiba-tiba saja aku berharap para
pejuang PLO itu belum dipindahkan. Pasti mereka akan melindungi orang-orang ini!
Aku merasa semakin lama semakin marah seiring kami terus berjalan menyusuri
jalan raya. Seorang dokter memang dokter, tetapi dokter juga manusia.
Kami digiring melalui kamp Shatila menuju halaman gedung PBB di ujung kamp yang


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jaraknya dapat ditempuh dalam sepuluh menit berjalan kaki. Gedung tersebut telah
diduduki para tentara yang mengklaim sebagai orang-orang Kristen Lebanon. Di
halaman gedung, surat-surat kami diperiksa, dan kami ditanya tentang afiliasi
politik kami. Walaupun mereka berusaha membuat kami percaya bahwa mereka orang
Lebanon, aku tetap meragukannya.
Tempat itu dipenuhi surat kabar dan majalah dengan huruf Ibrani serta kalengkaleng makanan dan minuman dengan label-label Israel. Para tentara itu juga
menerima perintah langsung dari pejabat Angkatan Bersenjata Israel. Mereka bukan
semacam tentara liar karena tidak melakukan apa pun sebelum berkonsultasi
terlebih dulu dengan tentara-tentara Israel, baik secara langsung ataupun
melalui radio panggil. Tidak diragukan lagi bahwa mereka sangat memusuhi kami, mereka meneriaki dan
memaki-maki kami karena menjadi teman dan pendukung bangsa Palestina. Salah
seorang dari tentara itu adalah seorang wanita cantik dengan rambut panjang
hitam dan keriting serta mata biru yang dingin. Tingkah lakunya sangat
mengerikan, ia betul-betul murka ketika aku mengatakan kepadanya bahwa aku
seorang Kristiani. Ia membentak, "Kamu orang Kristen tapi berani-beraninya
membantu orang-orang Palestina! Dasar jalang!"
Mereka menjatuhi kami sebuah hukuman pura-pura. Aku terlibat dalam pertengkaran
hebat dengan orang-orang itu sampai aku tidak menyadari bahwa hal itu terjadi.
Yang ada di benakku adalah sekelompok orang brengsek ini telah menggiring kami
keluar dari rumah sakit agar mereka dapat membunuhi pasien-pasien kami. Rekanrekanku kemudian memberitahuku bahwa kami diminta menyerahkan semua barang kami,
melepas seragam putih kami, dan berdiri menghadap tembok. Dua buah buldoser
telah bersiap untuk merobohkan
tembok tersebut dan mengubur kami. Sekelompok tentara dengan senapan mesin
berdiri seolah-olah bersiap untuk menembaki kami.
Jika dipikir-pikir kembali, aku ingat bahwa apa yang mereka katakan itu memang
benar. Aku ingat melepas jubah dokterku, kemudian berjalan menuju ke depan
sebuah tembok. Aku bahkan ingat saat itu aku mengamati kalau-kalau buldoserbuldoser itu hendak mengubur mayat-mayat di balik tembok yang rendah tersebut.
Namun, aku dibutakan oleh amarah, bahkan terlalu marah untuk menjadi paranoid.
Hukuman pura-pura berhasil jika dapat menciptakan rasa takut. Tapi, pagi itu aku
terlalu marah untuk merasa takut. Kami ditahan di halaman tersebut selama lebih
dari satu jam. Pada sekitar pukul sembilan seperempat atau setengah sepuluh
pagi, seorang petugas Israel tiba dan memberi tahu mereka untuk membawa kami ke
markas Israel. Kami pergi ke sana dengan berjalan kaki melalui sebuah jalan raya
yang sejajar dengan jalan utama kamp. Markas tersebut adalah sebuah gedung
berlantai lima atau enam di atas sebuah bukit. Dapat kulihat tentara-tentara
Israel berdiri di lantai atas, mengamati kamp-kamp dengan menggunakan teropong.
Di hadapan kru film Israel, mereka menjamin akan menempuh segala kemungkinan
untuk menjaga keselamatan pasien-pasien kami. Mereka juga menjamin bahwa kami
akan dibantu untuk meninggalkan Beirut Barat. Kami juga diberi makan dan minum.
Dua orang dokter pria dan satu orang perawat wanita dibolehkan kembali ke Rumah
Sakit Gaza untuk menolong para pasien, tetapi sisanya diangkut dengan dua buah truk tentara
Israel ke Kedutaan Besar Amerika Serikat di luar wilayah kamp, dan diminta untuk
tetap berada di sana. Meskipun kebanyakan dari kami mengatakan ingin kembali ke
Rumah Sakit Gaza, para petinggi Israel itu memperingatkan kami bahwa keadaan di
sana sangat rawan. Hanya tiga orang itulah yang dikawal untuk pergi ke rumah
sakit. Sementara itu, di dalam kamp, para pembunuh itu sedang sibuk. Perawat asal
Swedia yang ditinggalkan di Rumah Sakit Gaza kemudian memberikan kesaksian bahwa
setengah jam setelah kami pergi, ia mendengar suara rentetan tembakan senapan
mesin yang berlangsung selama dua puluh sampai tiga puluh menit, berbarengan
dengan jeritan wanita dan anak-anak. Setelah itu, suasana menjadi sunyi senyap.
Peristiwa itu terjadi antara pukul 7.30 hingga 8.30 pagi.
Seorang wartawan koresponden BBC yang tiba pada pukul 9.30 pagi di Rumah Sakit
Gaza mengatakan bahwa mayat-mayat ditumpuk dalam satu tumpukan terdapat sepuluh
mayat atau lebih berjajar di jalan utama kamp, jalan yang baru saja kami lewati
dengan berjalan kaki. Kebanyakan dari mayat itu adalah wanita dan anak-anak.
Setengah jam kemudian, seorang kru film asal Kanada merekam Jalan Sabra yang
dipenuhi mayat-mayat yang ditumpuk di setiap ruas jalan.
Para wartawan yang tiba setelah itu menyaksikan buldoser-buldoser sedang
merobohkan bangunan-bangunan sekaligus mengubur mayat-mayat di dalam puingpuing. Para pasien, mahasiswa kedokteran asal Jerman, dan perawat Swedia yang
ditinggalkan di Rumah Sakit Gaza dievakuasi oleh Palang Merah Internasional.
Tentara-tentara Israel itu kemudian menurunkan kami di halaman gedung Kedubes
Amerika Serikat di Beirut Barat. Aku tidak mau masuk, aku ingin kembali ke kamp.
Tapi aku tahu aku tak bisa. Sementara teman-teman yang lain masuk ke gedung
kedutaan, aku memutuskan pergi ke Commodore Hotel untuk berbicara dengan para
wartawan di sana, dan mencari tahu apa yang sedang terjadi. Paul Morris ikut
bersamaku. Hari baru berganti siang ketika kami tiba di Commodore Hotel. Kami memasuki
ruang pers, tempat para kru televisi baru saja kembali dari kamp dan memutar
ulang apa yang baru saja mereka rekam di Sabra dan Shatila.
Pertama-tama, ada adegan penembakan di jalan utama kamp, jalan yang baru kami
lalui pagi tadi. Tumpukan mayat terlihat di kedua sisi jalan. Setelah kami
melewati jalan itu, orang-orang yang dikumpulkan itu ditembaki para tentara.
Kemudian, tampilan chse-up mayat-mayat yang terletak di gang-gang kecil di kamp.
Mayat-mayat yang ditumpuk di atas mayat-mayat lainnya tubuh-tubuh yang
terpotong, dengan tangan-tangan yang terlepas tubuh-tubuh yang membusuk dan
membengkak yang pastinya telah mati sehari atau dua hari yang lalu. Mayat-mayat
yang tungkai lengan dan kakinya masih terikat pada potongan-potongan besi, dan mayat-mayat yang dipenuhi
tanda bekas habis dipukuli sebelum akhirnya dibunuh. Mayat anak-anak bocah
perempuan dan laki-laki serta wanita dan pria yang sudah renta. Beberapa mayat
masih digenangi merahnya darah, lainnya tergenang dalam cairan darah yang sudah
kecokelatan, bahkan menghitam. Mayat-mayat wanita dengan baju yang terlepas dari
tubuhnya, tetapi kondisinya terlalu rusak sehingga sulit mengatakan apakah
mereka habis diperkosa atau disiksa hingga tewas.
Kamp-kamp itu dijaga ketat oleh tank-tank Israel, sehingga bahkan seorang anak
kecil pun tak bisa menyelinap keluar. Kami meminta dua ribu orang yang
bersembunyi di Rumah Sakit Gaza untuk melarikan diri, padahal mereka tak punya
tempat untuk bersembunyi. Jadi, mereka semua ditangkap setelah keluar dari rumah
sakit, dan banyak dari mereka yang kemudian dibunuh. Orang-orang yang penuh
harapan untuk kembali hidup dalam kedamaian kini tinggal tubuh-tubuh yang rusak.
Mereka ini adalah orang-orang yang beberapa bulan setelah pengeboman telah
kembali dari tempat-tempat perlindungan untuk hidup dan tinggal di dalam kamp.
Beberapa hari yang lalu mereka tampak sangat optimis. Mereka percaya terhadap
janji-janji Amerika dan negara-negara adikuasa lainnya bahwa mereka akan hidup
dalam kedamaian jika orang-orang PLO itu pergi. Mereka semua mengira dijanjikan
kesempatan untuk hidup tenang dan tenteram.
Beberapa hari yang lalu, aku menyaksikan saat-saat mereka menata kembali
kehidupan dan rumah mereka. Aku pernah berbincang-bincang dengan wanita-wanita
yang menyaksikan putra-putra, saudara-saudara, dan suami-suami mereka dievakuasi
bersama-sama dengan PLO demi kesepakatan damai. Wanita-wanita ini pun kemudian
mengambil senjata-senjata yang mereka tinggalkan untuk diserahkan kepada
tentara-tentara Lebanon atau dilemparkan ke tong sampah. Aku pernah makan di
rumah mereka dan minum kopi Arab bersama mereka. Keahlian bedahku memungkinkanku
untuk merawat beberapa orang, menyelamatkan mereka, hanya untuk kemudian
dikembalikan ke jalan, tanpa senjata, ditembaki lagi, dan kali ini berhasil. Aku
benci ketidaktahuanku yang membuatku tertipu sehingga percaya bahwa kami semua
punya harapan nyata akan terwujudnya perdamaian di Sabra dan Shatila sebuah
kesempatan nyata untuk sebuah kehidupan baru. Sebagaimana setiap orang dari
Barat, kupikir segalanya akan baik-baik saja setelah PLO pergi. Kupikir,
keberadaan mereka itulah yang telah menyebabkan semua penyerangan terhadap kampkamp itu. Aku mengira para orang lanjut usia dapat segera beristirahat setelah PLO pergi,
dan anak-anak dapat tumbuh dewasa bukannya menerima peluru-peluru bersarang di
kepala mereka, dan menyerahkan leher mereka untuk digorok. Aku merasa bodoh,
benar-benar bodoh. Tak pernah terlintas di pikiranku bahwa hal ini akan terjadi.
Saat itu benar-benar suram. Aku merasa ditinggalkan oleh Tuhan, manusia, dan
dunia yang tidak kenal belas kasihan. Bagaimana mungkin seorang anak kecil
mengalami penderitaan dan teror dengan menyaksikan adegan-adegan penyiksaan,
orang-orang yang mereka cintai dibunuh, rumah-rumah mereka dibom dan dilindas
buldoser. Luka mental dan psikologis yang mereka alami mungkin takkan bisa
hilang. Ada perbedaan yang sangat besar antara mati seketika dan menyaksikan
orang-orang yang dicintai disiksa dan dibunuh, sambil menunggu giliran untuk
mati juga. Aku meninggalkan ruang press di Commodore Hotel dalam keadaan betul-betul lelah,
baik fisik maupun mental. Aku tak ingin bertemu atau berbicara dengan orangorang, jadi Paul membawaku ke sebuah flat kosong milik temannya. Aku bisa
sendirian di sana. Mengapa hal ini terjadi" Segala perasaanku lenyap seolah-olah
hatiku telah mati rasa. Hati yang telah diinjak-injak dan dibunuh di gang-gang
di Sabra dan Shatila, dan dikuburkan di sana. Bagiku, tak ada lagi yang berharga
di dunia ini. Segalanya telah usai.
Per datang ke flat untuk menemuiku pada malam harinya, dan menanyakan apakah aku
sudah merasa lebih baikan untuk mengunjungi kamp keesokan harinya. Aku tidak
ingat apakah aku berkata ya atau tidak. Akan tetapi, esok paginya, tanggal 19
September, kami dapat kembali ke Sabra dan Shatila. Kami melihat mayat-mayat
bergelimpangan di mana-mana, pastilah banyak keluarga mati bersama, dan
kuperhatikan ada mayat seorang pria
(kemungkinan seorang ayah) yang kelihatannya berusaha menggunakan tubuhnya untuk
melindungi istri dan anak-anaknya dari para pembunuh. Mereka semua dibantai
tanpa ampun. Jumlah mayat yang telah dihitung sebanyak seribu lima ratus. Kami mencoba
kembali ke kamp lagi pada siang harinya, tapi ternyata kamp tersebut dijaga oleh
tank-tank dan tentara Lebanon, kami juga melihat lima belas buah tank Israel
meninggalkan tempat itu. Siapa yang bertanggung jawab atas semua ini" Tidak penting bagiku siapa yang
menjadi pemicunya, yang penting adalah siapa yang mengendalikan keseluruhan
operasi ini dan yang memerintahkannya. Tentunya orang-orang Israel yang
bertanggung jawab. Mereka telah menginvasi Lebanon. Mereka telah menduduki
Beirut Barat. Sama sekali tak masuk akal jika dikatakan bahwa mereka tak
berkaitan dengan semua pembantaian ini, karena peristiwa itu terjadi ketika
orang-orang Israel menyerbu para "teroris" Palestina. Kamp-kamp pengungsi
Palestina itu pastilah sasaran utama mereka. Namun, belum jelas apakah orangorang yang memasuki kamp untuk membantai orang-orang tak bersenjata itu adalah
orang-orang Israel. Mereka makan makanan Israel dan membaca koran-koran Israel.
Mereka adalah prajurit upahan Israel. Kamp-kamp tersebut pada malam hari
diterangi oleh peluru-peluru suar yang ditembakkan Israel ke angkasa sehingga
para pembunuh itu dapat melakukan perbuatan keji tersebut.
Kami diminta untuk percaya bahwa orang-orang Israel yang dilengkapi kekuatan
besar itu menginvasi Beirut Barat hanya untuk menangkap orang-orang Palestina.
Entah bagaimana, mereka bisa melupakan tujuan awal mereka. Mereka membiarkan
pasukan militer independen menyelinap di depan batang hidung mereka dan
membantai wanita, anak-anak, dan pria-pria renta. Ini benar-benar mustahil.
Beberapa dari kami ingin mengetahui secara pasti apa yang telah kami saksikan
itu. Dalam keadaan penuh amarah seperti itu, memang mudah menyalahkan Israel
sebagai penyebab kematian orang-orang itu. Namun, para pembunuh tersebut tidak
mengenakan seragam tentara Israel. Pada Senin 20 September, beberapa orang dari
tim medis asing kami mendiskusikan pembantaian itu, dan kami berusaha mencermati
beberapa fakta. Pertama, bahwa pada Jumat malam itu, setelah keberangkatan para staf rumah sakit
berkebangsaan Palestina serta Azzizah Khalidi, sekelompok pemuda yang tidak
dikenal para pegawai rumah sakit memasuki Rumah Sakit Gaza. Mereka berpakaian
rapi, dan tidak seperti para penghuni kamp, mereka tidak tampak bersedih. Pada
awalnya, mereka mencoba mengajak bicara orang-orang asing dalam bahasa Arab,
namun mereka beralih ke bahasa Jerman karena gagal menjelaskan dalam bahasa
Arab. Mereka menanyakan keberadaan anak "yang tadi pagi lehernya akan digorok
oleh suku Kata'eb". Mereka bicara dalam bahasa Jerman yang sempur naktar
deutsch, begitu kata para pekerja medis asal
Jerman. Jadi, siapa sebenarnya mereka"
Kedua, seorang bocah laki-laki yang dikenal cukup baik di kalangan tim dokter,
terakhir kali terlihat masih hidup pada hari Jumat antara pukul sepuluh hingga
sebelas pagi di Rumah Sakit Gaza. Ia ditemukan tewas di dalam stadion pada hari
Sabtu bersama anak-anak lainnya. Selama masa penawanan kami di markas besar
Israel pada 18 September, seorang jenderal Israel memberi tahu kami bahwa
stadion tersebut di bawah pengawasan para tentara Israel dan di sana mereka
membangun semacam klinik. Bocah ini dibunuh setelah pukul sebelas pagi pada 17
September, di tempat yang seharusnya dijaga orang-orang Israel.
Ketiga, sebagian besar area pembantaian di kamp Sabra dan Shatila dapat dilihat
oleh orang-orang Israel dari markas mereka. Jadi, tidak ada alasan bagi mereka
untuk tidak tahu. Keempat, semua jalan menuju kamp diawasi para tentara Israel. Merekalah yang
menghalangi penduduk kamp yang hendak melarikan diri. Mereka itulah yang
menggiring penduduk tersebut kembali ke kamp untuk dibantai oleh para pembunuh.
Mereka itulah yang mengizinkan para wartawan memasuki area kamp setelah
pembantaian berdarah itu dilakukan.
Kelima, orang-orang Israel itu banyak melakukan upaya untuk menimbulkan kesan
pada kami bahwa mereka sebenarnya mencoba menyelamatkan kami dari "suku Haddad".
Setidaknya, sebanyak tiga kali mereka (orang-orang Israel) jelas-jelas
berbicara dengan "orang-orang Haddad" dalam bahasa Inggris, sehingga kami dapat
mendengar bahwa mereka sedang merundingkan keselamatan kami. Permainan yang
bodoh. Apakah mereka mencoba menanamkan kesan pada kami bahwa mereka telah
menyelamatkan kami dari orang-orang Haddad" Lalu, mengapa mereka tidak mampu
menyelamatkan orang-orang Palestina yang tak berdaya"
Keenam, mereka mencoba meyakinkan kami bahwa para tentara yang berada di sekitar
Jalan Sabra, jalan utama kamp, sesaat sebelum pembantaian adalah orang-orang
Haddad bersama beberapa orang Kata'eb. Anehnya, kedua suku tersebut membiarkan
diri mereka terlihat oleh kami dan para wartawan serta orang-orang di sekitar
kawasan itu, tetapi kemudian membantah campur tangan mereka dalam pembantaian
tersebut. Hal ini membuat kami bertanyatanya, siapa pembunuh sebenarnya.
Berbagai pernyataan dari para petinggi atau pejabat pemerintah Israel memberi
kesan bahwa yang bertanggung jawab terhadap pembantaian tersebut adalah orangorang Kata'eb maupun Haddad. Tentunya orang-orang Israel itu tahu siapa yang
melakukannya secara rasional, sebuah markas tentara pada saat terjadi konflik
bisa dipastikan akan mewaspadai identitas orang-orang bersenjata yang terlihat
dalam jarak satu kilometer.
Pada Rabu 22 September, dua orang dari kami kembali ke kamp Sabra dan Shatila
dan berbicara kepada beberapa orang yang selamat dari pembantaian tersebut. Kami
lantas mengetahui bahwa banyak dari tentara yang melakukan pembunuhan itu tidak berbicara bahasa Arab
dan bahwa di antara mereka terdapat beberapa orang Afrika berkulit hitam.
Siapakah orang-orang bertampang Afrika ini" Apakah mereka tentara bayaran yang
diimpor Israel untuk melakukan tugas ini" Dari manakah mereka datang"
Ada petunjuk lainnya bahwa beberapa pembunuh ini bukan orang-orang Arab, bukan
juga orang-orang Lebanon. Kami menemukan fakta bahwa ketika dua orang dokter dan
seorang perawat meninggalkan markas Israel pada 18 September untuk kembali ke
Rumah Sakit Gaza, seorang kolonel berkebangsaan Israel mengeluarkan surat izin
jalan dalam tulisan tangan berbahasa Ibrani seraya mengatakan kepada tiga orang
petugas medis bahwa surat ini akan memudahkan mereka memasuki kamp. Mereka
dibawa ke dalam sebuah jip Israel sampai setengah perjalanan menuju Rumah Sakit
Gaza, lalu diturunkan di suatu tempat di dekat situ untuk melanjutkan dengan
berjalan kaki. Salah seorang dokter mendesak agar surat izin tersebut
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab karena ia menganggap bahwa orang-orang
Haddad, sebagai orang Lebanon, tidak bisa membaca tulisan Ibrani. Lalu, kolonel
itu mengatkan bahwa surat izin jalan dalam bahasa Ibrani itu bisa dijadikan
jaminan keselamatan bila diperlihatkan kepada "orang-orang Haddad". Namun, atas
desakan dokter itu, akhirnya surat tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Kiranya, siapa pun yang menguasai kamp-kamp
tersebut hanya bisa membaca tulisan Ibrani dan bukan Arab.
Selain itu, selama masa penawanan kami di halaman markas untuk diinterogasi,
salah seorang pekerja medis wanita telah membuat sebuah dokumen tertulis untuk
membuktikan bahwa ia bukan simpatisan PLO. Dokumen tersebut, ditulis dalam
bahasa Inggris dan Arab, menyatakan bahwa keberadaannya di sini adalah sematamata untuk menolong rakyat Lebanon yang menderita. Salah seorang tentara yang
menerima dokumen tersebut berusaha keras membaca bagian dokumen yang berbahasa
Inggris, tetapi tidak membaca terjemahannya dalam bahasa Arab.


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hingga hari ini, aku masih berpikir siapa sebenarnya orang-orang bersenjata yang
menyerbu kamp-kamp itu serta membunuh orang-orang di dalamnya. Beberapa orang
dari kami menarik kesimpulan bahwa pembantaian tersebut adalah atas perintah
Israel. Tidak terlalu penting apakah mereka menggunakan tentara bayaran maupun
tentara mereka sendiri. Upaya mengaitkan pembantaian itu dengan para milisi
Falangis mungkin memiliki dua tujuan pertama untuk melanggengkan permusuhan umat
Islam dengan Kristen, dan kedua untuk mengguncang Lebanon. Mereka yang
merencanakan pembantaian ini tahu bahwa suatu hari mereka harus pergi. Akan
tetapi, suku Haddad dan Kata'eb adalah orang-orang Lebanon, dan mereka akan
selalu berada di sana. Mereka yang selamat dari pembantaian itu akan hidup
terus-menerus dalam ketakutan, bahkan setelah orang-orang Israel mundur dari Beirut Barat, mereka
tidak akan pernah merasa tenteram.
Aku berharap hal sebaliknya yang akan terjadi. Kuperkirakan bahwa orang-orang
Kristen Lebanon akan marah karena dijadikan kambing hitam oleh orang-orang
Israel. Kuharap pengorbanan 2.4DD orang Palestina dan Lebanon yang gugur di kamp
Sabra dan Shatila (ini adalah pengumuman resmi yang dikeluarkan Palang Merah
Internasional pada 22 September, berdasarkan perhitungan jumlah mayat yang ada)
tidak akan sia-sia. Sebaliknya, mereka menyumbangkan sesuatu bagi persatuan
rakyat Palestina dan Lebanon pada tahun-tahun mendatang. []
Tujuh Setelah tinggal untuk sementara waktu di Kedutaan Amerika, banyak dari para
kolegaku yang memutuskan pergi dari Lebanon. Aku tidak mau pergi aku tidak bisa
begitu saja meninggalkan teman-teman baikku tanpa mengetahui apakah mereka
selamat atau mati terbunuh, dan jika mati, apakah tubuh mereka telah ditemukan
dan dikuburkan. Bagaimana pula dengan para staf Rumah Sakit Gaza" Mereka semua
menghilang. Apakah mereka masih hidup, sudah mati, atau sedang ditawan" Aku tak
bisa pergi sebelum menemukan informasi lebih banyak tentang mereka.
Aku tahu pasti bahwa jika aku orang Palestina, aku pasti sudah dibantai seperti
korban-korban lainnya. Mereka tidak merasa perlu memeriksa surat-suratku. Jelasjelas orang Cina berbeda dengan orang Arab. Mereka hanya menyodokku dengan
senapan sambil memaki-makiku. Oleh karena masih hidup dan selamat, aku
berkewajiban untuk berbicara atas nama mereka yang gugur, yang tubuhnya terkubur
di dalam puing-puing, dan yang tidak dapat lagi bersuara, untuk berbicara atas
nama mereka yang masih hidup dan setiap detik berada dalam penderitaan menunggu
maut, dalam kebisuan, tanpa suara. Tidak bersuara mewakili orang-orang yang
dalam beberapa minggu terakhir ini
mulai mengisi tempat di hatiku adalah sebuah kejahatan. Aku bukan hanya orang
yang berhasil selamat dari kebiadaban itu, melainkan juga saksi dari peristiwa
itu. Kami yang memutuskan tidak pergi berkumpul untuk menyusun sebuah dokumen berisi
detail kejadian-kejadian di seputar pembantaian itu. Kebanyakan datanya diambil
dari buku harianku, dengan sumbangan-sumbangan dari teman-teman lainnya dalam
tim. Sebagai jaminan keasliannya, kutulis namaku di situ. Memang tidak
menguntungkan mencantumkan namaku dalam sebuah pernyataan yang menyerang para
pembunuh itu. Hal itu akan membuatku berada dalam bahaya, tetapi aku harus
bertanggung jawab terhadap apa yang kukatakan dalam dokumen itu, jadi aku
menandatanganinya. Dr. Paul Morris dan dr. Per Miehlumshagen bersedia
menandatangani sebagian. Ini sangat berarti bagiku. Mereka pun memutuskan bahwa
sudah waktunya aku tidur sejenak dan kemudian mengantarku ke tempat tidur. Aku
ingin dokumen itu dikirim secepat mungkin, sehingga apabila aku mati, setidaknya
dunia memiliki catatanku mengenai apa yang telah terjadi, termasuk siapa yang
kuanggap bertanggung jawab terhadap pembantaian itu. Itu merupakan pernyataan
kami, suatu catatan fakta. Ketika ada telepon dari London yang meminta dokumen
itu, aku segera bangun dan pergi ke salah satu kantor badan amal untuk
mengirimkan dokumen itu melalui mesin teleks kepada suamiku, Francis, di London.
Seorang wanita Kristen Lebanon yang baik hati
mengirimkan dokumen itu lewat mesin teleks untukku. Pengiriman itu membutuhkan
waktu empat puluh menit. Dia terlihat sedih mengetahui apa yang telah terjadi
pada orang-orang di kamp. Seiring melihat lembar tanda terima pengiriman yang
keluar dari mesin teleks tersebut, aku merasakan kelegaan yang luar biasa karena
pernyataan kesaksian kami telah berhasil terkirim. Di dalam dokumen itu, aku
meminta Francis untuk menyebarluaskan pernyataan tersebut seluas-luasnya, dan
memperingatkannya bahwa jika ada kabar aku tewas karena menginjak ranjau, pasti
itu bukanlah kecelakaan. Aku menatap ke luar jendela, dan melihat semua jalan
dipenuhi pasukan, mobil, dan tank Israel. Apa pun yang terjadi, kataku dalam
hati, tidak akan ada yang dapat menghentikan penyebarluasan dokumen tersebut ke
seluruh pelosok dunia. Ketika meninggalkan kantor badan amal tersebut, aku tidak
lagi merasa cemas dan gelisah. Sejak saat itu, tidak masalah jika tiba-tiba aku
mati terkena bom, karena aku telah melakukan apa yang harus kulakukan.
Keesokan harinya, aku kembali ke Sabra dan Shatila. Lebih banyak lagi mayat yang
ditemukan di bawah reruntuhan puing-puing, dan bau busuk dari mayat-mayat
tersebut memenuhi udara, membuatku merasa mual. Meskipun begitu, orang-orang
telah kembali tinggal di dalam kamp. Sebagai orang Palestina, ke mana lagi
mereka bisa pergi" Setelah diusir dari negeri mereka sendiri, Palestina, mereka
dioper-oper dari satu negara Arab ke negara Arab lainnya, dan dari Lebanon
Selatan ke Beirut. Sebagian besar dari mereka sudah lelah ber-kelana terus-menerus. Mereka semua
merasa sedih dan marah terhadap pembantaian itu, tetapi mereka tahu kakek mereka
sendiri telah kehilangan rumah ketika melarikan diri dari pembantaian yang
terjadi di Palestina. Kali ini, mereka ingin bertahan di Sabra dan Shatila.
Perjalanan kami kembali ke kamp merupakan saat-saat yang penuh kesedihan seiring
kami mengetahui hal-hal yang buruk telah menimpa teman-teman dan kerabat-kerabat
kami. Akan tetapi, saat itu juga merupakan saat yang sungguh melegakan bagi kami
karena mengetahui bahwa orang-orang yang kami sangka telah mati ternyata masih
hidup. Seorang tenaga kebersihan di Rumah Sakit Gaza melihatku, lalu berlari ke arahku
dan melingkarkan lengannya ke bahuku dengan bahagia karena mengetahui aku masih
hidup. Namun, ketika ia melihat kalung salib di leherku, ia terpaku, lalu
menjauh dariku. Dua orang anaknya telah mati dipenggal oleh orang-orang Kristen,
dan simbol Kristiani menjadi sebuah simbol kematian baginya. Tetapi, ia berhasil
menguatkan dirinya dan menerima kenyataan bahwa pembantaian itu tak ada
hubungannya dengan agama Kristen. Tuhan tidak mengkhianati makhluk-Nya, tidak
pernah, dulu maupun sekarang. Sebaliknya, manusialah yang sekali lagi
mengkhianati Tuhan. Aku mendekapnya erat-erat di dadaku, dan wanita itu menangis
cukup lama. Rumah Sakit Gaza luluh lantak, dan semua peralatan medis di dalamnya telah
dijarah oleh para tentara bersenjata yang menduduki kamp-kamp tesebut. Nasib rumah sakit kini
menjadi tidak menentu, orang-orang Israel ingin menutup semua institusi milik
Palestina. Pusat Penelitian Palestina di Beirut pun ditutup. Semua arsip di
dalamnya juga dirampas oleh para tentara Israel. Mereka pun ingin mengumumkan
Bulan Sabit Merah sebagai organisasi ilegal.
Di seluruh penjuru Beirut, para tentara Israel mebangun pembatas-pembatas jalan
dan menghentikan semua kendaraan agar para penumpangnya dapat digeledah, dan
jika ditemukan orang Palestina, mereka akan menawannya. Ruas-ruas jalan ditutup
untuk umum dan dilakukan pencarian orang-orang Palestina dari rumah ke rumah.
Para pemilik bangunan diperintahkan untuk menyerahkan para penyewa Palestina.
Orang-orang Lebanon yang ketahuan berusaha menyembunyikan orang Palestina
dipukuli. Semua hak milik orang-orang Palestina dianggap sebagai harta rampasan
perang. Pada hari-hari itu, apabila seseorang ketahuan memiliki kartu identitas
berkewarganegaraan Palestina, ia bisa saja diciduk begitu saja tanpa alasan.
Banyak dari mereka menghilang. Jadi, dapat dibayangkan betapa leganya aku ketika
bertemu dengan sejumlah pegawai PRCS yang masih hidup di lantai enam kantor
Palang Merah Internasional. Aku merasa senang, terutama melihat ketiga wajah
temanku Ummu Walid, wanita yang menjadi Direktur PRCS di Lebanon, Hadla Ayubi,
Direktur humas PRCS, dan sahabatku Azzizah Khalidi, administrator
Rumah Sakit Gaza. Palang Merah Internasional telah memberikan suaka kepada
mereka di dalam sebuah bangunan, demi menghindarkan mereka dari usaha penculikan
maupun pembunuhan. Kehidupan mereka bagaikan di ujung tanduk. Walaupun begitu, mereka tetap menjaga
kehormatan diri serta bersikap tegar. Aku menangis ketika melihat ketiga orang
itu, tetapi Hadla menenangkanku dan memintaku untuk tetap tegar. Setelah dua
hari dalam perlindungan, mereka secara suka rela meninggalkan bangunan itu untuk
kembali bekerja. Hal itu tidak mudah, mereka harus berunding tentang status
resmi PRCS, tentang pembukaan kembali Rumah Sakit Gaza, dan tentang keselamatan
para pasien serta stafnya.
Hadla Ayubi adalah orang yang memegang tanggung jawab mengoordinasi ratusan
sukarelawan medis asing selama masa pendudukan Israel. Tugas ini sungguh sulit
karena membutuhkan kesabaran yang luar biasa, kebijaksanaan, dan pengertian.
Para anggota PRCS telah mengalami berbagai penderitaan selama penyerangan, dan
banyak tenaga asing yang tidak dapat memahami hal itu. Jika Rumah Sakit Akka
dibom, dan tidak dapat digunakan sampai diperbarui lagi, ada dua reaksi yang
mungkin muncul dari para tenaga asing ini. Sebagian dari mereka akan memahami
situasi itu dan bahkan mungkin membantu para staf PRCS membersihkan puing-puing.
Namun, sebagian lainnya akan menemui para wartawan Barat dan mengatakan kepada
mereka bahwa kedatangan mereka ke Beirut hanya tentara bersenjata yang menduduki
kamp-kamp tesebut. Nasib rumah sakit kini menjadi tidak menentu, orang-orang
Israel ingin menutup semua institusi milik Palestina. Pusat Penelitian Palestina
di Beirut pun ditutup. Semua arsip di dalamnya juga dirampas oleh para tentara
Israel. Mereka pun ingin mengumumkan Bulan Sabit Merah sebagai organisasi
ilegal. Di seluruh penjuru Beirut, para tentara Israel mebangun pembatas-pembatas jalan
dan menghentikan semua kendaraan agar para penumpangnya dapat digeledah, dan
jika ditemukan orang Palestina, mereka akan menawannya. Ruas-ruas jalan ditutup
untuk umum dan dilakukan pencarian orang-orang Palestina dari rumah ke rumah.
Para pemilik bangunan diperintahkan untuk menyerahkan para penyewa Palestina.
Orang-orang Lebanon yang ketahuan berusaha menyembunyikan orang Palestina
dipukuli. Semua hak milik orang-orang Palestina dianggap sebagai harta rampasan
perang. Pada hari-hari itu, apabila seseorang ketahuan memiliki kartu identitas
berkewarganegaraan Palestina, ia bisa saja diciduk begitu saja tanpa alasan.
Banyak dari mereka menghilang. Jadi, dapat dibayangkan betapa leganya aku ketika
bertemu dengan sejumlah pegawai PRCS yang masih hidup di lantai enam kantor
Palang Merah Internasional. Aku merasa senang, terutama melihat ketiga wajah
temanku Ummu Walid, wanita yang menjadi Direktur PRCS di Lebanon, Hadla Ayubi,
Direktur humas PRCS, dan sahabatku Azzizah Khalidi, administrator
Rumah Sakit Gaza. Palang Merah Internasional telah memberikan suaka kepada
mereka di dalam sebuah bangunan, demi menghindarkan mereka dari usaha penculikan
maupun pembunuhan. Kehidupan mereka bagaikan di ujung tanduk. Walaupun begitu, mereka tetap menjaga
kehormatan diri serta bersikap tegar. Aku menangis ketika melihat ketiga orang
itu, tetapi Hadla menenangkanku dan memintaku untuk tetap tegar. Setelah dua
hari dalam perlindungan, mereka secara suka rela meninggalkan bangunan itu untuk
kembali bekerja. Hal itu tidak mudah, mereka harus berunding tentang status
resmi PRCS, tentang pembukaan kembali Rumah Sakit Gaza, dan tentang keselamatan
para pasien serta stafnya.
Hadla Ayubi adalah orang yang memegang tanggung jawab mengoordinasi ratusan
sukarelawan medis asing selama masa pendudukan Israel. Tugas ini sungguh sulit
karena membutuhkan kesabaran yang luar biasa, kebijaksanaan, dan pengertian.
Para anggota PRCS telah mengalami berbagai penderitaan selama penyerangan, dan
banyak tenaga asing yang tidak dapat memahami hal itu. Jika Rumah Sakit Akka
dibom, dan tidak dapat digunakan sampai diperbarui lagi, ada dua reaksi yang
mungkin muncul dari para tenaga asing ini. Sebagian dari mereka akan memahami
situasi itu dan bahkan mungkin membantu para staf PRCS membersihkan puing-puing.
Namun, sebagian lainnya akan menemui para wartawan Barat dan mengatakan kepada
mereka bahwa kedatangan mereka ke Beirut hanya
buang-buang waktu. Menurut mereka, orang-orang PRCS tidak seharusnya meminta
bantuan sukarelawan medis asing karena memang "tidak ada pekerjaan yang dapat
dilakukan". Mereka tidak menjelaskan kepada pers bahwa dibutuhkan banyak bantuan
medis, tetapi banyak rumah sakit hancur. Sering kali aku merasa ingin sekali
mengajak mereka membersihkan puing-puing dan mengepel bangsal-bangsal operasi,
sehingga pekerjaan-pekerjaan medis pun dapat kembali berjalan.
Orang-orang semacam ini memang menyusahkan, selalu minta perhatian untuk hal-hal
yang remeh, membuat Hadla menjadi lelah karenanya. Kendatipun begitu, ia selalu
bersikap baik dan pengertian. Ia sering menertawakanku karena merasa kesal
dengan rekan-rekanku sesama sukarelawan, dan mengingatkanku bahwa siapa pun yang
telah mau bersusah payah datang untuk membantu orang Palestina harus
diperlakukan dengan baik.
Hadla pulalah yang mendatangi semua klinik dan rumah sakit PRCS untuk
memperingatkan para stafnya agar memerhatikan dengan saksama larangan membawa
senjata ke dalam lembaga-lembaga tersebut. Tidak seorang pun baik orang Lebanon
maupun Palestina yang diperbolehkan masuk ke klinik atau rumah sakit jika mereka
bersikeras membawa senjata mereka. Mereka harus meninggalkan senjata mereka di
luar rumah sakit, bahkan di tengah-tengah terjadinya serangan pasukan Israel. Ia
menjelaskan kepadaku bahwa hal ini penting karena lembaga-lembaga medis milik
PRCS sepenuhnya bersifat kemanusiaan, dan bukan tempat berkumpul para pejuang.
Kebijakan tidak membolehkan mem bawa senjata ini tidak membuat rumah sakit dan
klinik milik PRCS terhindar dari serangan bom.
Hadla bertindak penuh martabat. Sebagai seorang buangan dari Jericho, ia mengaku
berasal dari kalangan borjuis Palestina. Ia adalah seorang wanita yang
mengabdikan seluruh hidupnya untuk rakyatnya melalui pekerjaannya di PRCS.
Sangat disiplin, sopan, dan baik hati. Ia adalah orang yang sesuai untuk
menangani segala hal yang berhubungan dengan urusan diplomatik PRCS, sehingga
membuat kami menjadi sayang dan kagum kepadanya. Aku sering membicarakan Hadla
dengan suamiku. Ketika akhirnya bertemu Hadla, Francis berkomentar, "Hadla
benar-benar seorang lady."
Rumah Sakit Gaza masih ditutup sehingga semua pasiennya sekali lagi bertebaran
di berbagai rumah sakit darurat. Aku bekerja di salah satu rumah sakit darurat
tersebut, di daerah pinggiran di bagian selatan Beirut. Rumah sakit darurat
tersebut tadinya adalah sebuah toko yang ramai dan sesak. Para pasien dari Rumah
Sakit Akka dan Rumah Sakit Gaza yang selamat dari pembantaian terbaring di
ranjang-ranjang yang dapat dilipat. Masa depan para pasien itu tidak menentu,
dan para tentara sering menyerbu masuk serta mengancam mereka. Tak jarang, hanya
berkat campur tangan para petugas Palang Merah Internasional lah para pasien
akhirnya tidak jadi ditangkap. Beberapa hari setelah aku mulai bekerja di sini,
Ummu Walid dan Hadla datang mengunjungi para pasien. Pastilah sangat sulit bagi mereka untuk
berbicara dengan para pasien itu. Meskipun demikian, kedua wanita itu memasang
wajah tegar. Mereka membagi-bagikan sejumlah kecil uang kepada setiap pasien,
mereka juga menyelipkan uang tersebut di bawah bantal orang-orang yang tengah
tertidur selama kunjungan mereka. Semuanya berlangsung dengan tenang, dan hanya
pada saat mereka berbalik untuk meninggalkan rumah sakit itulah kulihat Ummu
Walid menangis dalam perjalanan pulang, sementara Hadla melingkarkan kedua
lengannya ke bahu wanita itu untuk menenangkannya.
Orang-orang Palestina yang telah kehilangan rumah mereka tinggal di jalanan,
banyak dari mereka yang hanya berjongkok di pinggir jalan, di luar kafe-kafe,
pusat-pusat perbelanjaan, terkadang berbaring beralaskan kasur dan selimut
seadanya di trotoar. Setiap hari, semakin banyak dari mereka yang menghilang,
mereka telah diciduk pada malam sebelumnya oleh tentara-tentara Israel. Harihari itu sungguh buruk. Aku merasakan dorongan untuk berjalan-jalan, berjalan
dari satu ujung Sabra ke ujung lainnya, dari satu ujung Shatila ke ujung
lainnya. Tetapi pada saat bersamaan, aku merasa berat melakukannya. Wanita
dengan bayinya yang hampir menjadi milikku, dan orang-orang yang bersembunyi di
Rumah Sakit Gaza aku sama sekali tak dapat menemukan satu pun dari mereka.
Sebaliknya, aku menemukan lebih banyak lagi kehancuran dan mayat membusuk yang
dibaringkan untuk diidentifikasi oleh sanak saudara mereka yang tengah berduka. Aku dapat
merasakan kehidupan telah lenyap dari kamp-kamp itu, kini daerah itu hanya
berisi tanah yang permukaannya tidak rata, rumah-rumah yang hancur, dan para
penghuni yang luntang-lantung dengan wajah lesu seraya mencari-cari orang yang
telah mati. Kami semua berasumsi bahwa setiap gundukan tanah di sini adalah
sebuah kuburan massal, dan cukup dengan mengikuti arah bau anyir dari mayatmayat yang membusuk saja, kami akan bisa menemukan tubuh-tubuh yang sudah tak
bernyawa. Sanak saudara tak diizinkan membongkar kuburan massal untuk
mengidentifikasi mayat-mayat, sebaliknya, para tentara itu memercikkan air jeruk
limau ke mayat-mayat tersebut untuk mengaburkan jejak-jejak. Terkadang hanya
gelang, kalung, atau potongan bajulah yang menjadi satu-satunya petunjuk untuk
mengidentifikasi sesosok mayat.


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bahkan, setelah diumumkan pada 22 September bahwa jumlah mayat yang ditemukan
sebanyak 2.400 mayat, masih ditemukan lebih banyak mayat lagi. Mayat-mayat itu
ditemukan bercampur dengan reruntuhan puing-puing, di dalam garasi atau gudanggudang yang terbengkalai. Di luar kamp, di Rumah Sakit Akka, para perawat
diperkosa dan dibunuh, para dokter dan pasien ditembak mati. Seiring berjalan di
lorong-lorong kamp sambil melihat rumah-rumah yang hancur berantakan, aku ingin
menangis keras-keras, tetapi aku terlalu lelah secara mental, bahkan untuk
sekadar menangis. Bagaimana mungkin anak-anak kecil itu dapat kembali tinggal di tempat ini,
tempat sanak saudara mereka disiksa lalu dibunuh" Jika PRCS tak dapat berfungsi
secara legal, lantas siapa yang akan merawat para janda dan yatim piatu
tersebut" Tiba-tiba, sesosok kecil merangkulkan tangannya ke tubuhku. Ia adalah Mahmud,
bocah cilik yang mengalami patah tulang pada pergelangan tangannya ketika sedang
membantu ayahnya membangun kembali rumah mereka yang hancur. Ia selamat dan
pergelangan tangannya telah pulih, tetapi kini ayahnya sudah meninggal. Mahmud
menangis, tetapi ia senang mengetahui aku masih hidup, karena dari tempat
persembunyiannya selama terjadi pembantaian, ia melihat para tentara sedang
membawa kami pergi. Ia mengira mereka telah membunuhku.
Dengan segera aku dikelilingi sekumpulan anak. Anak-anak tanpa rumah, tanpa
orangtua, tanpa masa depan. Namun, mereka adalah anak-anak Sa-bra dan Shatila.
Salah seorang dari mereka melihat kamera saku yang kubawa-bawa dan minta
dipotret. Lalu, mereka semua berdiri untuk minta dipotret. Mereka ingin agar aku
menunjukkan foto mereka kepada orang-orang di seluruh dunia. Bahkan jika mereka
dibunuh dan kamp-kamp dirobohkan, dunia akan mengetahui bahwa mereka adalah
anak-anak Sabra dan Shatila, dan mereka tidak takut. Ketika aku sedang
memfokuskan kameraku, mereka semua mengangkat tangan mereka dan membuat huruf
"V" dengan jari telunjuk dan jari tengah, tepat
di depan rumah-rumah mereka yang telah hancur, tempat banyak keluarga mereka
mati terbunuh karenanya. Wahai sahabat-sahabat kecilku, kalian telah mengajariku
apa itu keberanian dan perjuangan yang sesungguhnya.
Ketika sore itu aku tengah dalam perjalanan pulang menuju Mayfair Residence di
Hamra aku diberi apartemen di sana aku melewati tank-tank besar Israel dengan
para tentaranya. Dalam benakku, yang kulihat hanyalah anak-anak kamp Palestina
yang sedang mengangkat tangannya dengan gaya menantang, membentuk huruf "V"
sebagai simbol victory (kemenangan). Selama masih ada anak-anak Palestina,
bangsa Palestina akan terus ada. Malamnya, aku duduk dengan kelelahan, lalu
menulis sepucuk surat untuk suamiku di London:
Sayang, Aku merasakan kelelahan fisik datang dan pergi, tetapi aku tidak takut, sejarah
telah mengajarkan kita sebaliknya. Pernahkah terpikirkan oleh budak-budak di
masa lalu bahwa suatu hari mereka akan bebas dan dianggap sebagai manusia" Namun
inilah kesaksian kami bahwa sejarah akan terus berulang dan kami akan menang.
Mungkin bukan hari ini, mungkin bukan besok, mungkin bukan generasi sekarang,
bahkan mungkin bukan generasi berikutnya namun karena kami manusia, suatu hari
kami pasti menang. Ya, hal itu memang membutuhkan kegigihan, disiplin,
pengorbanan, dan harga yang sangat mahal namun sesuatu yang merupakan hak kita,
pastilah suatu hari akan kita peroleh kembali.
Sayangku, kita hanyalah dua individu kecil dalam gelombang sejarah pembebasan
ini. Mungkin di suatu tempat kita akan terhanyut, menjadi error margin
terpinggirkan tetapi kita tahu ke mana gelombang itu akan mengalir, dan tiada
yang dapat menghentikannya. Mungkin kedengarannya retoris namun di segenap
sejarah orang-orang yang memperjuangkan keadilan, tidak ada yang terdengar
terlalu retoris. Aku menangis bagai seorang prajurit muda yang bersiap bertempur di medan perang,
tetapi tumbang bahkan sebelum pertempuran dimulai. Meskipun demikian, aku
tertawa, tertawa penuh kemenangan, karena aku tahu masih ada jutaan orang
lainnya yang akan melanjutkan perjuangan itu sesudahku.
Aku sudah menatap wajah sang maut dan telah kulihat kekuatan serta keburukannya,
tetapi aku juga telah menatap ke dalam matanya, dan melihat ketakutannya. Anakanak kami akan datang karenanya, dan mereka tidak takut. []
Delapan Hal yang tak terelakkan pun terjadi. Rumah Sakit Gaza dibuka kembali pada 1
Oktober 1982. Para staf berkebangsaan Palestina kembali dengan menghadapi risiko
yang luar biasa besar. Keadaan sangat sulit. Orang-orang diciduk oleh para
tentara dan banyak dari mereka tak pernah kembali. PRCS masih belum diizinkan
berfungsi sebagai suatu lembaga yang legal. Orang-orang Palestina bekerja di
bawah perlindungan Palang Merah Internasional, yang melakukan tindakan mulia
dengan menyerahkan segala pengelolaan rumah sakit kepada mereka. Yang membuat
keadaan menjadi sulit antara lain adalah kehadiran orang-orang asing yang diutus
untuk membantu pekerjaan-pekerjaan di rumah sakit. Banyak dari mereka adalah
orang baru, dan beberapa dari mereka tidak bisa memahami apa yang telah dialami
orang-orang Palestina itu. Hal ini menimbulkan sejumlah masalah. Orang-orang
PRCS sudah cukup mendapat kesulitan karena harus bekerja secara diam-diam
sebagai sebuah organisasi. Lebih buruk lagi, para dokter dan perawat Palestina
itu yang sudah melalui cukup banyak kesulitan masih diperintah-perintah oleh
tenaga-tenaga asing yang kebanyakan tidak terlalu berkualitas, di dalam Rumah
Sakit Gaza yang notabene adalah milik mereka.
Selama beberapa hari setelah pembantaian, Rumah Sakit Gaza didatangi taksi-taksi
dari Damaskus. Mereka diutus oleh para pejuang yang telah dievakuasi ke Suriah.
Biasanya, sopir taksi datang ke rumah sakit dengan membawa sederetan nama dan
salah seorang staf PRCS akan pergi bersamanya untuk mencari orang-orang di dalam
daftar itu. Orang-orang tersebut biasanya adalah sanak saudara para pejuang yang
dievakuasi. Para pejuang itu ingin mengambil keluarga mereka dari kamp-kamp agar
terhindar dari pembantaian berikutnya yang mungkin akan terjadi. Sering taksitaksi itu meninggalkan kamp tanpa membawa seorang penumpang pun dan kembali
membawa berita buruk kepada para pejuang yang berharap-harap cemas bahwa orangorang yang mereka cintai tidak dapat ditemukan.
Aku hanya dapat menerka-nerka bagaimana perasaan para pejuang Palestina yang
telah dievakuasi tersebut. Ketika meninggalkan keluarga mereka, mereka
memercayakannya pada bangsa-bangsa Barat yang menjamin keamanan keluarga mereka.
Mereka meninggalkan Lebanon setelah sepuluh minggu pengeboman, agar seranganserangan Israel atas Lebanon berakhir dan pertikaian penduduk sipil Lebanon
maupun Palestina terhindarkan. Mereka melakukan sebagaimana yang diminta banyak
pemimpin Lebanon dan Arab. Kini, mereka yang bersembunyi di Suriah, Tunisia,
Aljazair, Yunani, dan negara-negara lainnya itu tentulah merasa dikhianati dan
berharap mereka tetap tinggal
tak peduli apa pun yang diinginkan pemimpin-pemimpin itu. Jika mereka tetap
tinggal, Israel akan terdesak keluar dari Lebanon, namun karena mereka pergi,
keluarga mereka dibantai habis.
Kondisi moral penduduk kamp telah merosot hingga tingkat paling rendah. Seperti
yang dikatakan dr. Morris kepada beberapa wartawan, "Pembantaian tersebut
merupakan pukulan terakhir terhadap mereka. Pada sore dan malam hari, setelah
bekerja, saya mengunjungi kamp-kamp itu semata-mata untuk berbicara dengan
mereka dan mendengarkan keluh kesah mereka."
Aku baru mengenal Laila Syahid setelah peristiwa pembantaian tersebut. Ia adalah
Terjebak Di Perut Bumi 2 Wiro Sableng 151 Sang Pembunuh Tapak Asmara 3

Cari Blog Ini