Ceritasilat Novel Online

Pengabdian Dokter Perempuan 4

Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai Bagian 4


sendiri selamat dari kamp Auschwitz di Perang Dunia Kedua yang mengerikan itu
telah mengambil cuti untuk mengajak kami berkeliling. Ia adalah seorang wanita
yang ramah dan sangat prihatin dengan pembantaian Sabra dan Shatila. Ia berbalik
dan meraih lenganku seraya berkata, "Dokter, sekarang Anda telah melihat
penderitaan yang dialami bangsa Yahudi. Tolong percayalah pada saya, kami sangat
tertekan dengan apa yang terjadi di Lebanon, dengan pembantaian orang-orang di
kamp-kamp pengungsi itu. Berita itu tersiar tak lama sebelum Rosh Hoshanah dan
seluruh penduduk di desa kami membatalkan semua perayaan. Kami merasa terlalu
sedih untuk merayakannya, banyak dari kami yang malah ikut berduka-cita."
Ketulusannya yang nyata dan kesedihan di wajahnya yang mengiringi kata-katanya
itu menunjukkan kepadaku bahwa tidak semua orang Israel ingin melihat orangorang Palestina dianiaya dan dibantai. Pasti terasa sangat pedih bagi orangorang Yahudi yang pernah menderita di bawah kekuasaan Nazi, melihat bangsa
mereka sendiri menyengsarakan orang lain.
Di sini terdapat dua bangsa Yahudi dan Palestina yang punya banyak kesamaan. Di
Yad Vashem, aku menonton sebuah film tentang bagaimana Nazi mengindoktrinasi
anggotanya dengan semangat anti Yahudi. Nazi menganggap bangsa Yahudi sebagai
ras yang lebih rendah dari manusia. Sebagian tentara Israel kini menganggap
orang-orang Arab sebagai makhluk yang lebih rendah dari manusia. Mengapa mereka
tidak belajar dari masa lalu" Apakah upaya menciptakan sebuah rumah bagi para
korban penganiayaan Nazi dan rasialisme Eropa harus menimbulkan penderitaan
orang-orang lain, yaitu rakyat Palestina"
Mungkin di sini ada sesosok iblis yang sedang menggelar permainan berebut-kursi
atau putar-kado, membuat bangsa Yahudi dan Palestina menderita secara
bergantian. Bagaimana jika bangsa Yahudi dan Palestina sama-sama memutuskan
tidak mengikuti permainan ini dan mencampakkan kado itu" Tentulah demi membangun
sebuah rumah bagi sekelompok manusia, kita tidak perlu mengusir kelompok manusia
lain. Pasti sangat mungkin bagi keduanya untuk hidup bersama. Banyak yang
mengatakan bahwa Israel terlalu kecil untuk menjadi rumah bagi kedua bangsa
tersebut. Kurasa, ide tentang ruang sangatlah relatif. Dibesarkan di Singapura,
salah satu negara paling padat di dunia, untukku Israel atau Palestina terasa
sangat luas. Pasti sangat mungkin bagi beberapa juta orang Yahudi dan Arab untuk
tinggal di sana sebagai warga negara yang rukun.
Jumlah penduduk Singapura hampir sama banyaknya dengan Israel, dan kami bisa
menciptakan sebuah rumah bagi semua orang di sebuah area yang luasnya hanya 226
mil persegi. Israel jauh lebih luas daripada Singapura, jadi tak seorang pun dapat melontarkan argumen
"terlalu padat" kepada seorang warga Singapura. Lalu, ada kamp Shatila dengan
luas sekitar 2DD meter persegi, yang menjadi rumah bagi puluhan ribu penduduk
Palestina. Ada sebuah pepatah mengatakan, jika menginginkan sebuah rumah, kamu
akan membuatnya. Jadi ini bukan masalah ruang, melainkan masalah ideologi
intoleransi. Seiring mengucapkan salam perpisahan kepada profesor Israel itu, aku menatap ke
arah boulevard pepohonan yang ditanam untuk mengenang para sahabat bangsa
Yahudi, mereka yang telah melindungi orang-orang Yahudi dari tentara Nazi,
mereka yang telah mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan manusia lainnya, dan
aku menangis. Mungkin, jika aku dilahirkan satu generasi sebelumnya di Eropa dan
bukan di Asia Tenggara, aku juga akan menjadi salah satu dari banyak orang yang
merasa sangat gusar terhadap ketidakadilan yang menimpa para korban holocaust
yang dilakukan tentara Nazi, sampai-sampai aku akan menutup mata terhadap
penderitaan dan perampasan hak milik yang menimpa warga Palestina.
Tidak ada "jika" dan "tetapi"! Aku datang dari neraka dunia bernama Kamp
Pengungsi Palestina. Sementara orang-orang di sini berbicara tentang "moral" dan
"kesadaran", "keadilan" dan "ketuhanan", di sana mayat-mayat yang tak utuh
terkubur di bawah puing-puing dan kuburan-kuburan massal, mayat-mayat yang telah
membayar dengan nyawa mereka demi "moral" ini. Mereka yang masih hidup, yang kehilangan tempat
tinggal dan hidup sengsara, telah kehilangan hak asasi mereka demi membayar
pendirian negara "berketuhanan" ini. Rakyat Palestina yang dikurung dan disiksa
di penjara dan kamp-kamp tahanan telah kehilangan kebebasan atas nama
"demokrasi" yang digaungkan oleh negara Israel. Masa kanak-kanak dan kewanitaan
bangsa Palestina terenggut demi membayar "feminisme progresif negara Israel yang
sangat memikat dunia Barat.
Kembali ke Hotel Moriah, kami bersiap untuk pergi. Ellen dan aku akan
meninggalkan Timur Tengah, tetapi Paul Morris akan kembali ke Lebanon. Paul
betul-betul tidak peduli akan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin akan
dihadapinya karena perjalanan kami ke Jerusalem itu. Ia berkeliling di kawasan
Arab di Kota Jerusalem dan membeli banyak sekali mainan untuk anak-anak di kamp,
termasuk sebuah tambur untuk Essau, anak laki-laki yang terkena cluster bomb. Ia
berencana mengatakan kepada Essau bahwa tambur itu adalah hadiah istimewa dari
Swee karena Essau begitu menyayangiku. Hal ini membuat kesedihanku sedikit
berkurang karena mungkin aku tidak akan dapat bertemu lagi dengan si kecil
Essau. Kemudian, kami menerima sebuah pesan bahwa seorang pengacara Palestina bernama
Felicia Langer akan datang menemui kami. Avi, personel IDF yang masih muda yang
kami duga juga anggota Mossad jelas tidak menyukainya. Ia mengatakan
kepadaku betapa buruknya kelakuan Felicia, seorang wanita tua yang jelek dan
tidak ramah. Jadi aku duduk di lobi hotel dan menghampiri setiap wanita tua
buruk rupa yang ada di sana untuk menanyakan apakah ia adalah Felicia Langer.
Banyak dari mereka yang sangat gusar dengan pertanyaanku. Ketika salah seorang
wanita itu bertanya mengapa aku mengiranya sebagai Felicia Langer, aku hampir
saja keceplosan menjawab karena ia tua dan berwajah buruk.
Akhirnya, datanglah seorang wanita dengan ciri-ciri yang bertolak belakang
dengan penggambaran Avi. Felicia adalah seorang wanita muda yang menarik dan
feminin. Aku menoleh kepada Avi dan melemparkan tatapan yang lama dan tajam
kepadanya. Ia merasa sangat malu telinganya sampai memerah dan cepat-cepat
meminta maaf. Aku sangat menyukai Felicia dan menyimak dengan saksama
percakapannya dengan Ellen. Barulah belakangan aku mengetahui bahwa Felicia
Langer adalah seorang pahlawan sejati, sangat gigih memperjuangkan keadilan bagi
rakyat Palestina. Aku sangat bersyukur berkesempatan bertemu dengannya dan
mendengarkannya, dan aku memberikan salinan pernyataanku tentang peristiwa
pembantaian tersebut. Walaupun kunjungannya sangat singkat, dampaknya sangat kuat pada diriku dan
memberiku kebahagiaan yang aneh dan tak dapat dijelaskan.
Avi mengantarku dan Ellen ke bandara. Saat itu, pemuda yang malang itu terserang
sakit kepala yang parah, mungkin karena harus menjaga kami bertiga. Ia meninggalkan kami
berdua di bandara dan melanjutkan perjalanannya dengan mobil ke Lebanon bersama
Paul Morris. Aku tahu bahwa apa yang dikatakan orang-orang kepadaku di Beirut adalah benar,
hari-hariku di Lebanon telah usai. Namun, aku senang karena telah melakukan
perjalanan ke Jerusalem. Aneh. Jerusalem adalah Kota Suci, titik pertemuan tiga
agama monoteisme. Sebagai seorang Kristiani, aku telah lama ingin melakukan
ziarah rohani ke Jerusalem, dan kini orang-orang Palestinalah yang membawaku ke
sana. Selain berbicara atas nama penduduk di kamp-kamp Sabra dan Shatila, aku
juga punya kesempatan untuk bertemu dengan para warga Yahudi di Israel yang
gigih memperjuangkan perdamaian dan keadilan, dan berani bersikap. Banyak dari
mereka yang juga harus membayarnya dengan amat mahal. Para anggota IDF yang
menolak bertugas di Lebanon dijebloskan ke penjara. Felicia sendiri tahu bahwa
ada kemungkinan suatu hari nanti ia akan dibunuh. Walaupun demikian, banyak
orang seperti Felicia yang terus melawan ketidakadilan di Israel. Aku melihat
keberanian baik dari orang-orang Yahudi maupun Palestina.
Kami memasuki pesawat, dan seiring pintu pesawat ditutup, aku merasa seakan-akan
mengalami deja vu. Bandara Tel Aviv mengingatkanku pada bandara di Singapura.
Ketika pesawat lepas landas, aku kembali merasa terbuang bukan dari Singapura,
melainkan dari Timur Tengah. Melalui jendela pesawat dapat kulihat matahari
terbenam. Indah dan kemerahan, matahari yang terbenam itu memancarkan kehangatan
dan sinarnya ke penjuru Lebanon, ke penjuru Palestina yang diduduki Israel, ke
penjuru Beirut dan Jerusalem, ke penjuru kemenangan dan kekalahan, tulus tanpa
prasangka, sebagaimana yang senantiasa dilakukannya sejak awal waktu. Kini,
setelah terusir dari Jerusalem, aku dapat membayangkan bagaimana perasaan orangorang Palestina. Ellen tampaknya bisa membaca pikiranku, karena ia mulai membicarakan pengusiran
bangsa Palestina dan izin dari Israel bagi bangsa Yahudi dari seluruh dunia
untuk kembali ke Palestina. Sepuluh tahun yang lalu, ia dan seorang wanita
Palestina, dr. Ghada Karmi, berdiri di luar Kedubes Israel, masing-masing
membawa sebuah plakat. Di atas plakat milik si wanita Palestina, tertulis
kalimat berikut, "Aku seorang Arab Palestina. Aku dilahirkan di Jerusalem.
Jerusalem adalah rumahku. Tapi aku tak bisa kembali ke sana." Kata-kata di
plakat Ellen bertuliskan kalimat berikut, "Aku seorang Yahudi Amerika. Aku lahir
di Amerika. Israel bukan rumahku. Tapi aku bisa kembali ke sana."
"Pikirkan ketidakadilan itu, Swee," kata Ellen. "Mengapa aku bisa memiliki dua
rumah, satu di Amerika dan satu lagi di Israel, sedangkan orang-orang Palestina
tidak memiliki satu rumah pun" Bagaimana bisa aku menggunakan hak kembaliku ke
Israel sebelum orang-orang Palestina juga diberi hak yang sama?"
Aku menatap ke luar jendela, matahari telah terbenam. Beirut dan Jerusalem sudah
bermil-mil jauhnya. Kegelapan membentang di luar, dan aku merasa kesepian dan
tersesat.[] Empat Belas Aku tiba di Bandara Heathrow London dan disambut oleh suami tercintaku yang
telah kehilangan berat badan sebanyak lima belas kilogram selama aku pergi. Baru
saat itulah aku tahu bahwa ia sebenarnya menyangka aku telah tewas terbunuh pada
peristiwa pembantaian itu. Kekeliruan timbul karena setelah pembantaian itu,
sebuah daftar berisi nama-nama orang yang selamat diberitakan dalam koran-koran
besar di Inggris, dan namaku tidak ada dalam daftar itu. Kurasa, aku dapat
dengan mudah menjelaskannya, aku adalah seorang wanita kulit berwarna dan
seorang pengungsi. Para wartawan koresponden Inggris mungkin tidak memasukkan
namaku ke dalam daftar orang-orang Inggris yang selamat, sedangkan organisasi
amal yang mengirimku mungkin merasa bukan tanggung jawab mereka untuk mengecek
apakah aku masih hidup. Francis menelepon Departemen Luar Negeri Amerika Serikat
di Washington, yang lalu menghubungi Kedubes Amerika Serikat di Beirut. Kedubes
kemudian berusaha mencariku dan bahkan bertanya kepada lembaga di Beirut yang
mensponsoriku, meskipun pesan itu jelas-jelas tidak disampaikan. Aku tak dapat
menyalahkan siapa-siapa karena tidak ada satu pihak pun yang merasa wajib
bertanggung jawab atas pengungsi seperti diriku.
Kekeliruan seperti itu bisa terjadi. Tapi Francis tidak bisa menerimanya.
Setelah 15 September, ia tidak mendengar kabar apa pun tentangku, kecuali bahwa
aku berada di Sabra dan Shatila, dan di sana ribuan orang mati terbantai.
Pertama kali ia mendengarku masih hidup dan dalam keadaan baik-baik saja adalah
pada 22 September 1982 ketika menerima pesan teleks dariku yang memintanya untuk
mengedarkan pernyataanku seluas-luasnya.
Teman-teman lamaku senang sekali melihatku kembali ke London meskipun berat
badanku merosot menjadi hanya tiga puluh kilogram lebih sedikit dan aku merasa
sangat lemas. Tidak boleh ada waktu yang terbuang percuma. Seperti diriku, banyak orang yang
baru mengetahui kondisi rakyat Palestina setelah aksi penyerangan Israel ke
Lebanon itu. Kesengsaraan rakyat Palestina di Lebanon benar-benar
memprihatinkan, dan mungkin mereka hanya tinggal punya sedikit waktu.
Pembantaian atau serangan terhadap kamp-kamp tersebut dapat terjadi lagi kapan
saja, begitu pasukan penjaga perdamaian multinasional pergi meninggalkan tempat
itu. Setiap usaha harus dilakukan untuk memublikasikan kesengsaraan para yatim
piatu dan janda yang masih tinggal di tengah-tengah puing-puing. Suara mereka
mesti didengar. Pembantaian itu telah memberikan sebuah pelajaran yang menyakitkan buatku bahwa
keterampilan bedahku ternyata tidak berguna. Aku bisa saja merasa puas telah
menyelamatkan nyawa segelintir orang, tetapi ribuan nyawa lainnya dapat
diselamatkan apabila dunia mengetahui apa yang tengah terjadi, jika saja pada
waktu itu aku menyadari apa yang tengah terjadi, berhenti mengoperasi, dan
mempublikasikan fakta bahwa ada pembantaian sedang berlangsung di sana. Kini aku
tahu sudah, dan aku tidak punya alasan untuk berpaling. Aku berutang kepada
mereka yang gagal ku-selamatkan. Dalam saat-saat keputusasaan, aku tergoda untuk
menduga bahwa orang-orang akan tetap berpaling, meskipun mereka tahu tentang
pembantaian itu dan dapat membantu menghentikannya. Andaikan mereka tidak tahu,
itu salahku karena tidak memberitahukan fakta itu. Tapi, jika aku telah
berbicara sejujur-jujurnya, dan mereka mengetahuinya, dan masih membiarkan
peristiwa itu berlanjut, merekalah yang harus hidup dengan rasa bersalah.
Aku tidak akan menyerah pada sikap sinis. Jika akan terjadi pembantaian lagi,
aku akan meyakinkan bahwa tak seorang pun akan dapat berkata bahwa mereka tidak
tahu mereka harus mengakui bahwa mereka tidak peduli. Aku sangat lelah dan
kehabisan tenaga, tapi kuputuskan untuk berbicara kepada siapa pun yang mau
mendengarkan, selama dan sesering yang diperlukan. Aku harus melampaui batasanbatasan profesiku sebagai dokter, ahli bedah, dengan menjadi seorang manusia
terlebih dahulu. Itulah satu-satunya saat dalam hidupku aku berharap punya mata biru dan rambut
pirang, dan namaku adalah Mary, bukannya Swee Chai. Sayangnya, perawakanku yang
khas Asia Tenggara, nama dan logatku yang terdengar asing, yang menghalangiku
mendapatkan pekerjaan sebagai dokter bedah Inggris di hari-hari pertamaku
sebagai pengungsi, sekarang menghalangiku memublikasikan tulisanku demi orangorang Palestina. Kecuali segelintir koran, tak seorang pun mau mewawancaraiku.
Bahkan, banyak wartawan yang bertanya kepadaku apakah ada anggota tim dokter
berkebangsaan Inggris yang mau berbicara tentang kondisi kamp, karena kapan pun
mereka siap mencetak hasil wawancara dengan anggota tim dokter Inggris. Aku
mengerti posisi pers. Siapa sih di Inggris yang mau mendengarkan penuturan
seorang dokter wanita beretnis Cina tentang nasib para pengungsi yang berada
tiga ribu mil jauhnya" Hanya satu dokter Inggris yang mau berbicara kepada pers,
ia adalah Paul Morris, tapi sayangnya ia kembali ke Lebanon sehingga tak dapat
dihubungi. Kadang-kadang aku merasa sangat benci kepada para dokter dan perawat Inggris
yang menjadi sukarelawan di Lebanon, karena mereka sebenarnya dengan mudah dapat
membantu orang-orang Palestina itu, yaitu dengan berbicara atas nama Palestina.
Namun, mereka menolak melakukannya.
Jadi, aku sendiri yang harus melakukan kampanye dari mulut ke mulut, bersusah
payah menyebarluaskannya ke kelompok-kelompok kecil di Inggris sekolah, kampus,
gereja, dan masjid dan pertemuan-pertemuan informal seperti pesta minum teh,
atau kelompok teman-temanku sendiri. Hal itu tidak
hanya melelahkan, tetapi juga membutuhkan banyak biaya. Francis harus membiayai
sebagian besar kegiatanku ini karena aku telah keluar dari pekerjaanku.
Dalam beberapa bulan, aku telah melakukan lebih dari dua ratus pertemuan.
Terkadang dalam satu hari, pada paginya aku berbicara dengan anak-anak sekolah
di London, pada jam makan siang dengan mahasiswa-mahasiswa universitas di daerah
Midlands, dan pada petangnya melakukan pertemuan di beberapa gereja di
Skotlandia. Kutunjukkan kepada orang-orang slide potret kamp yang kuambil dengan
kamera sakuku dan kuceritakan kepada mereka kondisi para penduduk kamp. Cara
berkampanye yang tidak efisien ini membantuku bertemu dengan banyak sekali orang
yang gigih, yang sangat ingin membantu orang-orang Palestina, dan segala usahaku
terbayar pada akhirnya. Francis telah membelikanku sebuah proyektor mini, dan
aku menyusun gambar-gambar slide itu untuk ditunjukkan melalui alat itu. Kami
berdua menertawakan apa yang kami kerjakan itu, dan ia menyebut usahaku ini
sebagai "tur keliling".
Terungkaplah sebuah hal yang penting. Masyarakat di Inggris ternyata peduli.
Meskipun negara itu sedang mengalami resesi ekonomi, orang-orang merespons
penderitaan rakyat Palestina. Di mana pun aku mengadakan tur kelilingku, para
hadirin akan bertanya kepadaku bagaimana mereka bisa membantu. Banyak dari
mereka yang tak pernah bertemu seorang Palestina pun sepanjang hidupnya,
tetapi mereka bereaksi terhadap ketidakadilan yang menimpa orang-orang Palestina
dan ingin membantu. Orang-orang yang menawarkan bantuan datang dari berbagai
strata sosial dan latar belakang politik. Banyak dari mereka merupakan pekerja
biasa sepertiku dan ingin membantu menanggulangi peristiwa yang mereka anggap
sebagai tragedi kemanusiaan. Rakyat Inggris memiliki tradisi panjang
kedermawanan kepada orang-orang yang membutuhkan, dan tanggapan mereka terhadap
penderitaan orang-orang Palestina bukanlah yang pertama. Mereka telah memberikan
bantuan ke Kamboja, Bangladesh, berbagai tempat di Afrika, dan kini mereka pun
ingin membantu rakyat Palestina. Banyak dari mereka tidak tahu politik di balik
peristiwa itu dan tidak peduli siapa yang benar maupun salah, mereka hanya ingin
membantu seperti orang Samaria yang baik. Para pengangguran, pensiunan,
mahasiswa, pekerja berupah rendah, dan kaum etnis minoritas semuanya ingin
melakukan sesuatu untuk membantu.
Akhirnya, kelompok kami Francis dan aku, dan para sukarelawan yang kembali dari
Lebanon dan orang-orang Palestina di Inggris bersama-sama mendiskusikan cara


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agar kami dapat membantu orang-orang di kamp. Tak seorang pun dari kami yang
merupakan politisi, tapi banyak dari kami yang merupakan pekerja medis dan
sosial. Kami setuju untuk membentuk organisasi amal medis demi membantu orangorang di Libanon. Kami memutuskan bahwa organisasi amal ini tidak boleh memihak
aliran mana pun dan membantu siapa saja yang membutuhkan, dan harus tidak
bersifat politis dan sepenuhnya bersifat kemanusiaan. Organisasi ini akan
menyalurkan kedermawanan orang-orang di Inggris kepada mereka yang mengalami
penderitaan. Nama "Bantuan Medis untuk Rakyat Palestina" (Medical Aid for
Palestinians, MAP) dipilih, sehingga kami dapat menghindari isu-isu politis yang
berkaitan dengan Palestina dan dapat berguna bagi orang-orang Palestina di mana
pun mereka berada, baik yang hidup di tengah-tengah pendudukan maupun dalam
pembuangan.[] Lima Belas Ellen Siegel kembali ke Washington DC. Setahun telah berlalu, tetapi ia juga tak
dapat melupakan para penduduk di kamp pengungsi Lebanon. Dengan dukungan
organisasi-organisasi di Amerika Serikat, ia menyelenggarakan acara peringatan
setahun tragedi pembantaian Sabra dan Shatila, dan mengundang Ben Alofs, Louise
Norman, dan aku untuk pergi ke Washington pada September 1983. Acara ini memberi
kami kesempatan untuk memperingati para korban tragedi Sabra dan Shatila. Ini
adalah kunjungan pertamaku ke Amerika Serikat, negara adikuasa di seberang
Lautan Atlantik jika dilihat dari Inggris, atau Lautan Pasifik jika dilihat dari
Singapura. Kami bertiga diundang ke sinagoge Ellen untuk menghadiri upacara Yom Kippur.
Upacara itu berlangsung lama dan dilakukan dalam bahasa Ibrani. Upacara itu
benar-benar tak dapat kupahami. Tuan rumahku para Yahudi Amerika memberitahuku
bahwa upacara itu merupakan penebusan dosa. Menurutku, ada baiknya juga aku
tidak memahami isi upacara itu karena aku mendeteksi suasana sedih dan muram di
sepanjang acava, dan mungkin upacara itu akan membuatku muram seandainya aku
mengerti apa yang dikatakan sang rabi.
Ketika aku menghadiri sebuah upacara beberapa hari kemudian di Shiloh, sebuah
gereja Baptis khusus kulit hitam, aku begitu tersentuh. Setelah berterima kasih
kepada sang pendeta dan jemaatnya karena telah mengenang arwah para korban di
kamp, aku tidak tahan lagi dan menangis di tengah-tengah lagu "Amazing Grace".
Ini adalah pertama kalinya sejak di Lebanon aku menangis di depan umum. Seorang
wanita kulit hitam yang baik hati di sebelahku menyodorkan beberapa helai tisu
selama upacara berlangsung. Aku telah melakukan banyak upaya untuk membantu
orang-orang di kamp, tetapi ini adalah pertama kalinya aku mengingat mereka di
hadapan Tuhan dan berdoa untuk mereka.
Kami melakukan beberapa wawancara di radio dan televisi. Salah satu peristiwa
yang berkesan adalah konferensi pers dengan perwakilan Organisasi Pembebasan
Palestina (PLO) untuk PBB di New York.Jill Drew dan aku menjadi pembicara dalam
konferensi pers tersebut. Ruangan pers dipenuhi para wartawan yang semuanya
datang karena mereka telah salah mengartikan press release yang disampaikan oleh
perwakilan PLO. Mereka mengira akan mendengar komentar PLO tentang berbagai
peristiwa di Lebanon. Pada waktu itu, pertempuran di Tripoli, Lebanon Utara,
menjadi berita utama di koran-koran Amerika. Menurut pers, PLO di Lebanon telah
terpecah menjadi beberapa kelompok yang mendukung dan yang menentang pemimpin
PLO, Yasser Arafat, dan kelompok-kelompok itu saling berseteru satu sama lain.
Peristiwa ini telah menyebabkan banyak orang menjadi bingung, dan pers ingin
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Sebaliknya, perwakilan PLO mengutus Jill Drew dan aku seorang perawat dan
seorang dokter berbicara tentang penderitaan yang dihadapi rakyat Palestina.
Segelintir wartawan yang tidak simpatik merasa sangat jengkel dan menyerang Jill
serta aku karena telah membuang-buang waktu mereka dengan cerita-cerita yang
"tidak punya nilai jual"! Akan tetapi, secara keseluruhan, konferensi pers itu
berlangsung dengan baik, dan kebanyakan koran Afrika dan Asia menulis cerita
mengenai peringatan peristiwa pembantaian, mengingatkan para pembaca mengenai
kesulitan yang tengah dihadapi rakyat Palestina.
Kami makan siang bersama Deputi Perwakilan PLO untuk PBB di ruang jamuan PBB.
Ruangan itu menghadap ke laut dan sungguh menyenangkan. Aku sama sekali tidak
ingat apa hidangan yang kami santap, tetapi aku akan selalu mengingat lembar
kuitansi yang diterima tuan rumah kami. Ia menandatangani kuitansi itu dengan
namanya, diikuti dengan tulisan "PLO" dalam huruf besar. Aku berpikir,
setidaknya di ruang jamuan ini, di tengah-tengah Kota New York, seorang anggota
PLO diterima dan diperlakukan sebagaimana layaknya utusan-utusan lainnya dan
tidak diperlakukan dengan sewenang-wenang serta menerima berbagai julukan buruk
seperti di tempat-tempat lainnya yang pernah kusinggahi. Membahagiakan sekali
melihat seorang anggota PLO diperlakukan dengan hormat seperti itu.
Di seluruh penjuru Amerika Serikat, orang-orang membicarakan Martin Luther King
dan impiannya. Rakyat Palestina, sebagaimana orang-orang kulit hitam Amerika,
punya impian juga. Impian itu adalah perdamaian dalam keadilan, kebebasan dalam
keamanan impian setiap insan di muka bumi. "Bersama kita akan bekerja dan
berjuang untuk mewujudkan impian itu," kataku kepada teman-teman Amerika. []
Enam Belas Organisasi amal kami, Bantuan Medis untuk Rakyat Palestina (Medical Aid for
Palestinians, M-AP), terbentuk pada 1984 membutuhkan waktu hampir dua tahun bagi
kami untuk mewujudkan misi kami. Namun, begitu diluncurkan, MAP menghasilkan
kemajuan yang mantap, berkat dukungan rakyat Inggris yang menyumbangkan waktu,
uang, dan bahan-bahan kebutuhan pokok. Kami terus berhubungan erat dengan orangorang Palestina di kamp-kamp pengungsi. Sebagai sebuah organisasi kecil yang
tidak memiliki dana berlimpah sebagaimana layaknya organisasi-organisasi besar
lainnya, kami selalu merasa diri kami sebagai kawan rakyat Palestina, bukan
sekadar sebuah "badan amal". Beberapa orang dari kami yang dekat dengan temanteman di kamp tahu bahwa sikap "mengasihani" seperti itu akan menyinggung
perasaan mereka, tapi kami hanya penghubung bagi orang-orang di Inggris yang
ingin menyumbang sehingga dapat tersampaikan langsung kepada mereka. Para
pendukung kami tidak melakukannya berdasarkan belas kasihan, sebagaimana halnya
para pendukung tujuan mulia lainnya. Mereka melakukannya karena rasa
solidaritas, berlandaskan rasa saling menghormati. Kami tidak ingin sikap
paternalistik timbul dalam diri kami. Satu hal yang membuatku terutama sangat
bersyukur, pengalamanku bersama rakyat Palestina telah memberiku kesempatan
untuk mengenal orang-orang Inggris. Berkat kegiatanku itu, aku tidak lagi merasa
waswas sebagai seorang wanita kulit berwarna dan bertubuh pendek. Memberikan
ceramah dan mengumpulkan dana bagi rakyat Palestina telah membuatku
bersinggungan dengan orang-orang Inggris yang sejati, dan aku akan selalu
mengingat kemurahan hati mereka, kehangatan dan kebaikan mereka terhadap orangorang yang menderita, sebuah sisi lain dari Inggris yang untunglah kujumpai.
Beramal bukanlah karena rasa belas kasihan. Kata bahasa Inggris charity asalnya
bermakna 'cinta1, dan aku menemukan bahwa banyak orang di Inggris sanggup
mencintai, bahkan mencintai orang-orang yang belum pernah mereka temui.
MAP terus mengumpulkan sejumlah kecil dana dan sumber daya kami yang terbatas
itu digunakan untuk mendukung proyek peningkatan kesehatan rakyat Palestina.
Kami sering mengirimkan sejumlah kecil obat-obatan dan peralatan atau
memanfaatkan sumbangan uang itu untuk membantu pendidikan para pekerja kesehatan
yang tinggal di wilayah pendudukan Israel. Bahkan, kami pernah membawa beberapa
orang yang terluka untuk dirawat di Inggris.
Milad Farukh adalah seorang bocah laki-laki Lebanon yang terluka akibat bom
Israel pada 1982. Ia adalah bocah yang diselamatkan Paul Morris dengan
menyuapkan makanan ke mulutnya karena si kecil itu menolak makan dan minum
setelah melihat di depan matanya adik laki-lakinya terbakar hangus terkena bom. Setelah Ellen
Siegel dan aku meninggalkan Lebanon pada 1982, Paul melanjutkan tugasnya di
Lebanon. Ia mengelola sebuah klinik bagi kaum Muslim yang miskin di Beirut,
berusaha melanjutkan pelayanan medisnya. Sayangnya, ia mendapat ancaman dan
kliniknya diledakkan oleh sekelompok milisi bersenjata. Paul meninggalkan tempat
itu, namun kembali mengunjungi Beirut pada 1984. Ia menemukan Milad di kamp
pengungsi. Milad saat itu telah berusia sebelas tahun dan beratnya hanya dua
puluh lima kilogram sepuluh hingga dua puluh kilogram lebih rendah dari berat
rata-rata anak-anak seusianya. Luka di tumitnya mengalami infeksi yang parah dan
ia tetap saja belum bisa berjalan.
Paul telah meminta MAP untuk mensponsori perawatan Milad di Inggris, dan kami
setuju. Kami tak punya uang untuk membiayai perawatannya dan harus mengumpulkan
dana. Profesor Jack Stevens, Ketua Departemen Ortopedis di Newcastle-upon Tyne,
tempatku bekerja saat itu, setuju untuk merawat Milad secara gratis sehingga
kami hanya perlu mengumpulkan dana untuk biaya pesawat dan akomodasinya.
Sementara itu, Milad menunggu di Siprus untuk mendapatkan visa ke Inggris dan
persetujuan dari London. Sambil menunggu, stabilitas di Siprus telah membantunya
menambah berat badannya sebanyak lima belas kilogram dalam waktu tiga bulan. Ia
tidak hanya tumbuh dengan cepat, tetapi kakinya juga berangsur-angsur membaik!
Tatkala ia tiba di Inggris, perawatan intensif
ti-dak diperlukan. Berada jauh dari Lebanon yang tercabik-cabik dan mendapatkan
cukup makanan selama bulan-bulan penantian telah membuat keadaan Milad jauh
lebih baik. Pemeriksaan dengan mesin pemindai radioisotop menunjukkan bahwa
tulang dan pembuluh darah di kaki Milad membaik dalam waktu cepat. Saat itu ia
tampak bugar dan sehat. Saat itu adalah saat menggembirakan bagi kami yang sempat melihat kondisi Milad
pada 1982, dan itu adalah salah satu dari sedikit cerita yang berakhir dengan
bahagia. Andai saja Lebanon memiliki makanan alih-alih peluru, kami takkan perlu
mengirim anak-anak seperti Milad yang jumlahnya ribuan untuk dirawat di Inggris.
[] BAGIAN KEEMPAT Kembali Ke Beirut Musim Panas 1985 Tujuh Belas Musim semi tiba terlambat di Inggris pada 1985. Aku bekerja sebagai Petugas
Pencatat Senior Bidang Ortopedis di sebuah rumah sakit bernama Dryburn, di Kota
Durham yang antik dan indah, di timur laut Inggris. Aku sudah mulai bisa
melupakan kengerian Sabra dan Shatila, membuang semua kekejian yang tersimpan
dalam museum pikiranku, mengingatnya hanya pada saat-saat tertentu, seperti pada
saat peringatan pembantaian di kamp, saat kami mengenang dan menangisinya. Dan,
sebagaimana setiap orang yang selamat pada 1982, aku harus memintal kembali
benang-benang kehidupanku sendiri dan melanjutkannya.
Milad, yang baru saja meninggalkan Inggris, telah bersekolah di Siprus. Ia harus
banyak mengejar ketertinggalannya selama ia di Lebanon, dan ia harus meraih
kembali masa kecilnya yang masih tersisa sebelum masa itu berlalu. Muna, Nabil,
Huda, dan Ali telah dapat melakukan perjalanan dari Beirut untuk mengunjunginya
di Siprus. Aku dapat merasakan luka-luka mentalku akibat perang itu sama seperti
kaki Milad, lambat laun sembuh. Untuk pertama kalinya sejak 1982, aku bisa
meluangkan pikiranku untuk memulai sebuah proyek penelitian perawatan luka-luka
fraktura aku mungkin tak bisa melakukannya jika belum benar-benar sembuh secara
mental. Aku belum kembali mengunjungi orang-orang di Sabra dan Shatila, tapi aku tahu
anak-anak pasti telah tumbuh besar dalam tiga tahun terakhir ini, muda-mudi
pasti telah menikah dan punya anak. Rumah-rumah yang hancur berantakan telah
dibangun kembali dan rumah-rumah baru dibangun di atas reruntuhan yang diratakan
dengan buldoser. Terpisah dari putra, ayah, dan suami mereka akibat evakuasi dan
penahanan, para wanita memungut kembali serpihan-serpihan hidup mereka. PRCS
telah memperbaiki sepenuhnya Rumah Sakit Gaza dan Akka. MAP baru saja menawarkan
sejumlah uang untuk membantu membangun kembali sistem pembuangan kotoran di kamp
Sabra. Senantiasa ada ancaman terjadinya kembali pembantaian, tetapi para
penduduk kamp melanjutkan pembangunan kembali rumah-rumah mereka, sebongkah demi
sebongkah batu bata, dari satu sudut ke sudut lainnya, jalan demi jalan, sekali
lagi, dengan semangat juang yang selalu mereka tunjukkan.
Pada Mei tahun itu, pepohonan mulai berbunga dengan semarak. Oleh karena musim
dingin berlangsung sangat lama dan sangat dingin, kejayaan musim semi terasa
seolah-olah mustahil terjadi. Aku sedang berjalan ke Rumah Sakit Dryburn di
Durham, di sepanjang jalan setapak favoritku. Awan gema-wan berwarna merah muda
dan putih nan indah mengiringi langkahku, sedangkan rerumputan hijau yang lembut
terasa bagai beludru. Kegembiraanku ini diusik oleh suara "bip-bip" panjang,
lalu mati di-susul dengan suara "pip-pip" yang susul-menyusul. Ini berarti
keadaan darurat. Aku berlari menuju rumah sakit, dan menggunakan telepon
terdekat untuk menghubunginya.
"Ibu Ang," sahut seorang operator, "ada panggilan telepon dari Beirut." Betapa
leganya aku mengetahui bahwa itu bukan panggilan darurat untuk melakukan operasi
pembedahan. Sebuah suara lain terdengar dari kejauhan, "Swee, mereka menyerang kamp-kamp
kami lagi. Mereka telah menduduki Rumah Sakit Gaza, menembaki para perawat dan
pasien kami, serta membakar peralatan medis kami. Kami sangat putus asa."
Aku terhenyak. Aku sudah merasa hal ini akan terjadi. Empat bulan lagi genaplah
tiga tahun sejak pembantaian Sabra dan Shatila pada 1982, tetapi kini terjadi
lagi pembantaian. Aku belum tahu siapa yang menyerang, tetapi hak orang-orang
Palestina untuk berada di pengasingan dan hak mereka untuk hidup sekali lagi
diganggu. Hampir selama empat dekade lamanya para penduduk kamp ini, yang
dirampas haknya untuk tinggal di tanah air mereka, hidup di pengasingan.
Berulang kali mereka diancam dengan pembantaian, pengeboman, lemparan granat,
deportasi. Banyak dari mereka diciduk dan lenyap dari muka bumi. Namun, mereka
masih terus berjuang untuk mempertahankan identitas mereka dan untuk meraih
kembali hak hidup mereka yang hilang, hak untuk memiliki tanah air mereka.
Setiap kali luka-luka lama tampak akan sembuh, luka-luka baru tertorehkan.
Berapa banyak siksaan dan penderitaan yang sanggup mereka tanggung" Berapa lama mereka sanggup
untuk terus bertahan"
Keesokan harinya, temanku menelepon lagi dari Beirut. "Swee," ujarnya, "para
wanita telah kembali ke rumah sakit dan bertempur melawan para penyerang itu,
dan kini kami telah merebut kembali Rumah Sakit Gaza."
Akan tetapi, kemenangan ini hanya bertahan sebentar. Temanku itu tidak pernah
menelepon kembali, tetapi aku membaca di surat kabar bahwa kamp-kamp di sekitar
Rumah Sakit Gaza kembali diserang. Banyak dari para wanita yang berjuang merebut
kembali Rumah Sakit Gaza dibunuh. Kamp-kamp Sabra dan Shatila serta rumah Milad,
kamp Bourj el Brajneh, dikepung oleh tank-tank musuh dan dibom tanpa henti
sepanjang Mei itu, bulan Ramadhan bagi umat Islam. Seperti pembantaian 1982,
kamp dikepung dari segala penjuru dan tak seorang pun, bahkan Palang Merah
Internasional, dibolehkan memasuki kamp-kamp tersebut untuk mengevakuasi para
korban. Jadi, setelah hampir tiga tahun tidak ada kabar beritanya, kamp-kamp tersebut
kembali menjadi berita utama di koran-koran internasional! Banyak komentator
media dan pakar Timur Tengah memperdebatkan peristiwa tersebut. Apakah ini
pengulangan peristiwa Tripoli, ketika orang-orang Palestina terpecah belah dan
saling berperang sendiri" Atau apakah ada penjelasan lain" Kolom-kolom tajuk
rencana terus-menerus membahasnya.
Akan tetapi, muncul dua fakta dari kesimpangsiuran kabar ini. Kamp-kamp tersebut
melawan, dan perlawanan itu dilakukan secara bersatu padu. Tidak seperti
pembantaian pada 1982, kali ini ada tembakan perlawanan. Tidak seperti pada
"Pertempuran Tripoli" pada 1983, rakyat Palestina tidak saling memerangi.
Bersamaan dengan berita-berita mengerikan tentang orang-orang yang mati dan
terluka, anak-anak yang sekarat akibat penyakit infeksi yang mematikan dan
kurang makan, kami mendengar bahwa orang-orang Palestina yang tengah
mempertaruhkan hidup mereka berkata, "Ketika mati, aku tidak ingin dikenang
sebagai anggota faksi Palestina ini atau faksi itu, tetapi hanya sebagai seorang
Palestina yang berasal dari Sabra dan Shatila."
Terdapat berbagai laporan mengenai gadis-gadis remaja yang mempersenjatai diri
mereka dengan bahan peledak dan menghambur ke tank-tank musuh. Koran-koran
menjuluki mereka sebagai "pelaku bom bunuh diri", penduduk kamp menjuluki mereka
para syuhada. Kamp-kamp tersebut telah menggali parit untuk melindungi para
pria, wanita, dan anak-anak hingga orang terakhir yang tersisa. Para pejuang
Palestina kalah jumlah 1:20 dan hanya punya senjata seadanya. Mereka hanya
memiliki senapan ringan dan granat tangan untuk mempertahankan kamp mereka dari
serangan tank, bom, dan mortir. Babak baru sejarah Palestina tengah ditulis oleh
kamp-kamp itu babak kebangkitan kembali perlawanan rakyat Palestina. Untuk
mencatat babak baru itu dengan semestinya, aku juga menulis sebuah "tajuk rencana", memberikan
penjelasan versiku sendiri mengenai peristiwa tersebut:
SABRA-SHATILA, SIMBOL PERJUANGAN RAKYAT PALESTINA
Pergerakan rakyat Palestina, yang lahir akibat penderitaan selama bertahuntahun, memiliki dua pilar penting:
1) Semangat perlawanan, 2) Kemampuan untuk bersatu padu.
Di Beirut tahun 1982, rakyat Palestina bersatu, tetapi banyak prasarana mereka
yang hancur. Pertama, keluarga mereka tercerai-berai karena evakuasi para pria,
lalu para wanita dan anak-anak dibantai, rumah-rumah di kamp dihancurkan dan


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diratakan oleh buldoser. Operasi itu bertujuan menghilangkan semua jejak
keberadaan rakyat Palestina di Sabra Shatila, Beirut.
Oleh karena itu, pada saat itu semangat perlawanan pun surut. Salah satu dari
kedua pilar ini goyah dan ini merapuhkan kekuatan perjuangan rakyat Palestina.
Oleh karena itu, semangat untuk bersatu pun melemah, sebagai mana yang terlihat
pada peristiwa di Tripoli, Lebanon, 1983.
Sejak 1982 dan seterusnya, perjuangan rakyat Palestina menyadari apa yang akan
terjadi jika mereka tidak memiliki: 1) semangat perlawanan, maupun 2) kemampuan
untuk bersatu padu. Peristiwa di Sabra Shatila pada 1985 telah memperlihatkan kepada dunia semangat
juang rakyat Palestina. Mereka telah mendapatkan kembali semangat berjuang.
Oleh karena itu, ketika musuh-musuh rakyat Palestina hendak mengulangi lagi
peristiwa pembantaian Sabra Shatila 1982, mereka harus berhadapan dengan
perlawanan tangguh rakyat Palestina. Apalagi, perlawanan yang berani dari para
penduduk kamp ini menginspirasi segenap rakyat Palestina dan menghidupkan
kembali persatuan pergerakan rakyat Palestina.
Pada 1982, pembantaian Sabra Shatila berlangsung tanpa mendapat perlawanan. Pada
1985, Sabra Shatila menghadirkan rakyat Palestina yang bersatu, bersatu padu dan
setia dalam perjuangan mereka.
Sabra Shatila mungkin saja secara fisik telah hancur dalam pertempuran ini. Akan
tetapi, orang-orang di sana akan membangunnya kembali. Mereka telah memberikan
kepada seluruh dunia sebuah standar heroik mengenai persatuan, perjuangan,
kegigihan, dan keberanian. Dan semangat Sabra Shatila itu akan hidup di dalam
dada setiap rakyat Palestina dan rakyat di seluruh dunia yang berjuang demi
tegaknya keadilan dan kemenangan! 2 Juni 1985, Inggris Raya
Namun, setelah menulis kata-kata optimistis ini, aku menjadi sangat, sangat
putus asa. Aku khawatir bahwa meskipun mereka telah berjuang, Sabra dan Shatila
bisa saja jatuh dan para penduduk kamp dibantai dan diusir. Sejarah Palestina
penuh dengan babak-babak perjuangan, pertempuran Karamah pada 1968 di Yordania,
pengepungan Tel al-Zaatar pada 1976, perjuangan heroik yang kini menjadi warisan
bagi bukan hanya rakyat Palestina, melainkan juga bagi semua orang yang
tertindas di seluruh dunia. Apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang dokter
sepertiku dalam keadaan seperti ini" Aku sadar betapa berharganya Sabra dan
Shatila bagiku. Orang-orang Palestina terbuang dan berjuang sejak tahun
kelahiranku, 1948. Meskipun demikian, mereka tetap manusia, walaupun berada
dalam keadaan yang sangat tidak manusiawi.
Mungkin saja esok Sabra dan Shatila sudah tidak ada, tetapi kami orang-orang
non-Palestina yang mendapat kehormatan menjadi teman mereka masih memiliki tugas
untuk membantu dengan rasa solidaritas, sebelum semuanya terlambat.
Pada puncak masa pengepungan Beirut 1982, terdapat hampir seratus orang
sukarelawan medis dari seluruh dunia yang bekerja sama dengan PRCS (Bulan Sabit
Merah Palestina), untuk merawat mereka yang terluka di Lebanon. Selama masa
pembantaian Sabra dan Shatila, terdapat dua puluh dua orang dokter dan perawat
asing sukarela di Rumah Sakit Gaza. Kami merawat para korban dan beberapa dari
kami berbicara atas nama mereka kepada seluruh dunia, mengimbau agar dunia tidak
melupakan orang-orang di kamp.
Kini, sekali lagi Palestina diserang. Dari jarak tiga ribu mil jauhnya, kami
dapat merasakan penderitaan dan kepedihan mereka. Kami ingin kembali
ke kamp tersebut. Namun, keadaan kini berbeda. Semua mata sedang tertuju pada wabah kelaparan di
Etiopia. Tidak ada lagi Rumah Sakit Gaza yang bisa kami tuju, rumah sakit kamp
Sabra itu telah dibakar, dijarah, dan diduduki para penyerang baru itu. Rumah
Sakit Akka juga dikepung oleh para milisi, dan meskipun tidak dibakar, tidak
dapat berfungsi sebagaimana layaknya sebuah rumah sakit. Dengan ketiadaan dua
rumah sakit ini, perawatan para korban yang terluka menjadi sangat sulit, jika
tidak mau dikatakan mustahil.
Beirut Barat dan Lebanon pada umumnya menjadi tempat yang berbahaya bagi orang
asing. Orang-orang Barat terutama menjadi sasaran empuk penculikan. Bandara
Internasional Beirut terlibat dalam insiden pembajakan pesawat yang melibatkan
pesawat TWA dan secara umum tidak menerima kedatangan dari luar negeri. Banyak
penerbangan dari Kota Beirut dipenuhi orang-orang asing yang pergi meninggalkan
Lebanon. Kamp-kamp dikelilingi tank-tank dan para tentara bersenjata sehingga sulit
bahkan bagi Palang Merah Internasional sekalipun untuk mengevakuasi anak-anak
yang terluka. Mungkinkah seorang dokter atau perawat dapat memasuki kamp-kamp
tersebut" Organisasi amal kami mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan upaya terbaik yang
dapat dilakukan untuk menolong mereka. Seseorang menyarankan untuk membuat
pengumuman agar para dokter dan perawat sukarelawan kembali ke kamp-kamp itu. Para anggota MAP
lainnya terkejut dengan saran ini, karena kami semua benar-benar menyadari
bahaya yang menunggu di sana. Seseorang lainnya menanyai wanita yang mengusulkan
ide itu, apakah ia sendiri mau pergi ke sana. Pertanyaan itu tentu membuatnya
agak malu, tapi bagaimanapun, akhirnya kami memutuskan bahwa memang sebaiknya
kami mencari para sukarelawan di antara kami terlebih dahulu. Aku mengajukan
diri untuk kembali ke kamp tersebut karena pernah berada di sana sebelumnya, dan
merasa punya tanggung jawab untuk merespons situasi itu. Aku juga sepenuhnya
sadar akan keadaan kamp yang porak-poranda, dan aku merasa sanggup mengatasinya.
Sebagai seorang dokter bedah, aku telah melakukan banyak operasi di dalam
bangunan-bangunan yang setengah hancur tanpa air dan listrik, dan aku merasa
akan sanggup melakukannya lagi. Bahkan, jikalau Sabra dan Shatila sudah luluh
lantak saat aku tiba di sana, aku masih merasa harus mengunjungi orang-orang di
kamp, untuk meyakinkan mereka bahwa kami masih mengingat mereka dan datang
kembali untuk menjumpai mereka. Setidaknya inilah yang dapat kulakukan sebagai
seorang teman. Kami tahu bahwa keputusan mengutus sebuah tim ke kamp-kamp tersebut berisiko
tinggi, dan hanya sedikit organisasi amal di Inggris yang siap melakukannya.
Organisasi amal kami berusia kurang dari setahun dan kebanyakan dari kami sangat
khawatir kami akan dianggap sembrono dan tidak bertanggung jawab. Kami
menghabiskan waktu berjam-jam untuk berdebat, dan akhirnya kami memutuskan untuk
melakukan pemungutan suara. Sembilan orang anggota menentang kepergianku kembali
ke kamp, dan dua orang menyetujuinya. Kedua orang itu adalah aku dan Francis,
yang kupaksa untuk memberikan suara yang bertentangan dengan pendapatnya
sendiri. Rekan-rekanku sangat mengkhawatirkan keselamatanku, dan itulah
sebabnya, mereka memutuskan untuk menentang kepergianku.
Akan tetapi, akhirnya mereka berubah pikiran dan berusaha semampu mereka untuk
mendukungku kembali ke kamp. Kami membuat pengumuman bagi para calon
sukarelawan, dan sangat tersentuh ketika melihat lusinan dokter, perawat, serta
teknisi berkumpul untuk menawarkan bantuan mereka. Mereka siap datang ke Lebanon
meskipun telah diperingatkan akan bahaya-bahaya yang mungkin mengancam.
Dalam empat minggu, MAP telah memobilisasi sebuah tim yang terdiri dari enam
orang sukarelawan medis dan setengah ton peralatan kedokteran, dan kami bersiap
untuk pergi ke Beirut pada awal Juli. Peralatan kedokteran tersebut untuk Rumah
Sakit Haifa, yang terletak di dalam sebuah kamp tepat di sebelah selatan
Shatila, Bourj el Brajneh. Sebelum penyerangan ke kamp, Rumah Sakit Haifa
berfungsi sebagai pusat rehabilitasi untuk penderita kelumpuhan tubuh bagian
bawah. Selama terjadi penyerangan, banyak penduduk kamp Bourj el Brajneh yang
meninggal karena tidak adanya fasilitas
kedokteran di kamp itu sendiri dan mereka yang sakit maupun terluka tak dapat
meninggalkan kamp. Oleh karenanya, PRCS berencana mengubah Rumah Sakit Haifa
menjadi sebuah rumah sakit umum dengan bangsal-bangsal operasi dan sebuah unit
gawat darurat. Selain peralatan kedokteran, masyarakat Inggris juga
menyumbangkan dana kepada kami untuk membeli sebuah mobil ambulans yang akan
digunakan sebagai klinik berjalan. Aku memberi tahu para pegawai di Rumah Sakit
Dryburn bahwa aku akan pergi untuk menikmati liburan musim panas dan mengambil
jatah enam minggu cuti tahunan.
Sementara menyiapkan berbagai hal, kami menerima sebuah pesan bahwa gencatan
senjata dibatalkan. Setelah empat puluh hari penyerangan dan penyerbuan, kampkamp itu tetap menolak untuk menyerah ke tangan musuh. Para penduduk kamp yang
jumlahnya lebih sedikit dan bersenjatakan seadanya itu menyerang balik dengan
gagah berani sehingga seribu orang milisi yang mengepung kamp tersebut terluka.
Korban dari pihak Palestina jum-lah-nya lebih banyak, yaitu enam ratus delapan
pu-luh orang gugur, dua ribu orang terluka, dan seribu lima ratus orang hilang.
Kamp-kamp itu telah di-bom dan dihajar roket selama empat puluh hari sehingga
kini tinggal tersisa puing-puing. Sebanyak tiga puluh ribu orang Palestina
kehilangan tempat tinggal. Namun, semangat juang mereka tetap tinggi.
Dalam tim medis kami terdapat seorang staf perawat berkebangsaan Inggris yang
juga seorang bidan, Alison Haworth, seorang perawat terlatih dengan banyak pengalaman
penanganan pertolongan pertama, John Thorndike, seorang ahli anestesi, John
Croft, seorang temanku berkebangsaan Lebanon sejak 1982, Immad, dan kawan lama
yang baik hati, "Big Ben" si perawat asal Belanda, Ben Alofs. Ben mahir
berbahasa Arab dan kami semua sangat menyukainya. Ia terbang dari Amsterdam
untuk bergabung dengan kami ketika mendengar kabak buruk penyerangan ke kamp
itu.[J Delapan Belas Pada 1982, pesawat dipenuhi para turis yang hendak berlibur. Kali ini, pesawat
yang kutumpangi benar-benar lengang, tetapi terbang langsung menuju Beirut.
Sehingga, kami pun dapat mendarat di sana. Perusahaan penerbangan yang kami
gunakan telah menyetujui untuk menerbangkan peralatan medis dan bedah kami
secara gratis. Seiring pesawat tersebut mendarat, kami dapat melihat pesawat TWA yang baru-baru
ini dibajak terparkir di tepi landasan. Petugas keamanan bandara bersikap
longgar, barang-barang bawaanku bahkan tidak diperiksa. Kami dipertemukan dengan
para perwakilan Komite Bantuan Norwegia (Norwegian Aid Committee NORWAC), sebuah
organisasi yang akan bekerja sama dengan kami. NORWAC sangat disegani di
Lebanon. Mereka telah bekerja di sini sejak perang sipil yang pertama dan sejak
awal bersikap netral, memberikan bantuan kepada semua pihak yang sedang terlibat
konflik. Hal ini sulit dilakukan di Lebanon karena negara ini terpecah belah,
tetapi orang-orang Norwegia itu berhasil mempertahankan sikap tidak memihak
kepentingan politik mana pun.
Sang koordinator, Synne, menjadi sopir ambulans yang menjadi sarana transportasi
kami. Ia seorang wanita yang cekatan dan efisien, serta punya wajah yang lumayan dalam usia
sekitar awal tiga puluhan. Kami dibawa dari bandara menuju kamp-kamp yang
terletak di pinggiran selatan Kota Beirut. Bourj el Brajneh adalah kamp pertama
dalam rute tersebut. Meskipun belum pernah bertugas di sana, aku mengingatnya
sebagai sebuah kamp yang selain dihuni warga Palestina, juga banyak dihuni warga
Lebanon. Bahkan, kamp tersebut sekarang adalah kamp terbesar di Beirut, setelah
kehancuran Sabra dan Shatila.
Namun, seiring kami melewati gerbang kamp Bourj el Brajneh, dalam pandangan
sekilas, tampak suasana yang nyaris tak terbayangkan, apartemen-apartemen di
sana tampak seperti sekumpulan sarang lebah yang terbongkar dan tak beraturan.
Kami dapat melihat bahwa kamp tersebut rusak parah, bangunan-bangunannya tanpa
tembok dan terlihat akan roboh. Pintu gerbang kamp dijaga oleh sejumlah tentara
yang bersenjatakan senapan mesin dan peluncur roket. Synne memberi tahu kami
bahwa jika kami ingin memasuki kamp sekarang, akan membutuhkan waktu lama hanya
untuk memeriksa barang-barang kami, dan karena hari sudah menjelang gelap, kami
harus memprioritaskan menemui Ummu Walid, Direktur PRCS di Lebanon.
Ummu Walid dikenal akan ketangguhan dan kemampuannya untuk tetap tegar dalam
keadaan sesulit apa pun. Bahkan, aku tak pernah melihatnya kehilangan kendali
atau bersikap emosional kecuali sekali yaitu ketika ia menangis dalam perjalanan
keluar dari rumah sakit setelah pembantaian pada 1982. Namun, kali ini Ummu
Walid yang menyambut kami sangat berbeda dengan Ummu Walid yang kuingat.
Peperangan di kamp itu pastilah telah meruntuhkan dinding pertahanan wanita
Palestina ini. Walaupun ucapan pertamanya setelah kami saling berpelukan adalah,
"Swee, kamu masih kuat?" aku dapat melihat bahwa ia telah mengalami banyak
sekali penderitaan. Ia berada di Lebanon selama tahun-tahun terakhir ini. Ia
telah kehilangan berat badan cukup banyak dan terdapat lingkaran gelap di
sekitar kedua matanya, dan raut wajahnya menampakkan duka. Meskipun begitu, ia
memiliki aura yang menunjukkan bahwa ia menolak untuk kalah. Ia tampak bagaikan
mercusuar yang telah dihantam ombak, tetapi masih tegak berdiri, dan aku merasa
bertambah tegar setelah bertemu dengannya.
"Ya, Ummu Walid, masih kuat," jawabku tanpa berpikir, walaupun aku dapat merasa
diriku tengah berjuang untuk menahan tangis.
"Kami telah kehilangan Rumah Sakit Gaza," ujar Ummu Walid. "Mereka telah
membakarnya, dan tidak seorang pun dari kami yang diizinkan pergi ke sana lagi.
Tapi kamu tidak boleh terlalu sedih karenanya. Kini, kita harus memusatkan
seluruh daya kita pada pembangunan Rumah Sakit Haifa. Ingat, bukankah kita
membangun kembali Rumah Sakit Gaza dari puing-puing" Seperti itu juga kita akan
membuka Rumah Sakit Haifa."
Seiring kata-katanya terngiang-ngiang di telinga, kami mengucapkan selamat malam
kepadanya dan melanjutkan perjalanan ke Hotel Mayflower, tempat kami akan bermalam. Dulu,
pada 1982, Hotel Mayflower adalah sebuah tempat yang ramai. Saat itu, hotel
tersebut dibanjiri para wartawan setelah Hotel Commodore penuh. Terdapat pula
banyak sukarelawan dan pejabat dari lembaga swadaya masyarakat dan bantuan
kemanusiaan. Dulu, aku biasa pergi ke Hotel May flower untuk menemui berbagai
orang, termasuk orang-orang dari komisi-komisi Eropa untuk penyelidikan invasi
Israel. Para utusan dari Komite Internasional Palang Merah dan para koordinator
dari berbagai lembaga kesehatan dan bantuan kemanusiaan biasa menghabiskan waktu
di bar hotel tersebut. Dulu, tempat itu selalu ramai sekali sehingga hampir
tidak mungkin kami mendapat tempat duduk di sana.
Namun, kini Hotel Mayflower tampak benar-benar lengang. Enam orang anggota tim
kami, dua orang Norwegia, dan empat orang asing lainnya menggenapi keseluruhan
penghuni hotel tersebut. Meskipun begitu, para staf hotel masih sama seperti
dulu Abu George di bagian bar, tetapi kali ini hanya ia sendiri yang melayani
para pengunjung, Musthafa di bagian resepsionis. Kami seperti teman lama yang
bertemu kembali, tetapi keadaan saat itu terasa ganjil.
Anggota tim kami lainnya telah pergi untuk makan malam, tetapi aku ingin sendiri
dan tinggal di dalam hotel. Ruang makan itu luas dan kosong. Aku duduk sendiri
di pojok. Aku memesan telur dadar dan diberi tahu bahwa hotel tidak memiliki
persediaan telur. Ini bukan seperti Hotel Mayflower yang kuingat.
Abu George dan Musthafa tidak siap untuk berdiskusi tentang politik denganku
walaupun aku sangat ingin mengetahui alasan mengapa kamp-kamp diserang, terutama
mengapa yang melakukannya adalah Amal sebuah kelompok Muslim Lebanon yang pernah
menjadi sekutu orang-orang Palestina. Baru-baru ini, salah seorang pegawai hotel
diculik, dan karenanya suasana di tempat ini terasa tidak nyaman. Di luar,
terdengar suara tembakan senapan mesin yang sepertinya hanya berjarak beberapa
jalan. "Jangan khawatir, Dokter Swee," kata mereka kepadaku, "kelompok Druze dan Amal
saling bertempur sendiri. Mereka akan segera berhenti."
Memang benar, setelah kira-kira lewat tiga per empat jam, suara tembak-menembak
berhenti. Amal adalah sebuah partai Lebanon, begitu pula Partai Sosialis
Progresif (partai Druze milik Walid Jumblatt). Partai-partai politik di Lebanon
memiliki senapan dan tank serta mesin peluncur roket, dan bukannya berdebat,
mereka malah memilih jalan baku tembak. Pada waktu itu, di Beirut, jika
seseorang memutuskan bergabung dengan sebuah partai politik, ia juga diberikan
kesempatan untuk menjadi anggota kelompok milisi dari partai tersebut. Itu
artinya, ia akan diberi sebuah senapan mesin dan sepucuk revolver, dan mungkin
juga beberapa buah granat tangan sebagai tambahan!
Kata amal bermakna 'harapan' dan Amal pada
awalnya didirikan oleh Imam Musa Sadr, yang kemudian menghilang secara
misterius. Musa Sadr mendirikan pergerakan Amal untuk memberikan kesempatan
kepada kaum Syi'ah Lebanon yang merupakan mayoritas warga Muslim di Lebanon
untuk lebih mengembangkan potensi mereka. Tujuan si pendiri betul-betul mulia.
Selama tahun-tahun pembentukan partai Amal, warga Palestina telah banyak
membantu dan melatih mereka. Sulit bagi kami untuk memahami, bagaimana bisa kini
sebagian pihak dari Amal malah menyerang warga Palestina.
Kaum Syi'ah sendiri adalah orang-orang yang sangat sengsara, sebagian besar
telah mengalami berbagai penderitaan. Untungnya, tidak semua kaum Syi'ah
memusuhi warga Palestina. Terdapat satu juta orang Syi'ah di Lebanon, dan jika
mereka semua menyerang kamp-kamp, keadaan akan menjadi sangat sulit. Orang-orang
Palestina sangat membenci milisi Amal yang menyerang mereka dan memilih bulan
Ramadhan, yang merupakan bulan suci umat Islam, sebagai waktu untuk melakukan
penyerangan. Akan tetapi, warga Palestina tidak memiliki rasa permusuhan
terhadap mayoritas kaum Syi'ah yang tak punya kaitan dengan penyerangan di kampkamp. Esok hari adalah tanggal S Juli. Kami mulai bertugas pagi-pagi sekali karena


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami semua sangat ingin mengunjungi kamp-kamp tersebut. Kamp Sabra sepenuhnya
hancur dan telah diubah menjadi benteng pertahanan Amal. Oleh karena itu, pintu
masuk Sabra bukan merupakan jalan yang aman
untuk memasuki kamp Shatila. Pintu masuk lainnya menuju Shatila, yang letaknya
di seberang Rumah Sakit Akka di jalan sepanjang bandara, lebih aman, karena
selain milisi Amal, di sana terdapat pula pasukan resmi Angkatan Bersenjata
Lebanon. Kehadiran pasukan ini adalah bagian dari perjanjian gencatan senjata.
Namun, tetap saja ada beberapa pos pemeriksaan Amal yang harus kami lalui.
Karena adanya perlawanan dari warga Palestina, pasukan Amal telah gagal
menaklukkan kamp tersebut, sehingga mereka sebatas mengontrol pintu masuk saja.
Akan tetapi, pengepungan berlanjut meskipun ada gencatan senjata.
Kehancuran di kamp Shatila sangat mengerikan. Setiap bangunan rusak akibat
serangan. Pada sejumlah bangunan, terdapat satu atau lebih lubang bekas terkena
bom. Beberapa lubang lainnya berukuran lebih kecil. Ada pula beberapa bangunan
yang temboknya berlubang akibat peluru. Di beberapa bangunan lainnya terdapat
lubang bekas bom maupun peluru. Terdapat pula tumpukan puing-puing. Masjid
Shatila, yang tak tersentuh selama penyerangan 1982, luluh lantak sehingga tak
dapat dikenali lagi bahkan kubahnya hancur lebur. Di udara tercium bau busuk
campuran bau mayat serta sampah. Mereka yang terluka maupun meninggal tidak
diperbolehkan dibawa ke luar kamp, dan beberapa mayat terpaksa dikuburkan di
dalam Masjid Shatila. Lalat-lalat berkerumun di sekitar tumpukan sampah. Di
mana-mana terlihat orang-orang yang terluka.
Mobil ambulans NORWAC berhenti di sebelah sebuah bangunan yang hancur yang akan
digunakan sebagai Klinik Norwegia. Sementara Synne dan seorang perawat Norwegia
lainnya membicarakan beberapa hal berkenaan dengan perencanaan pembangunan
klinik tersebut termasuk letak pintunya, karena terdapat tiga lubang besar bekas
terkena bom kula-yangkan pandanganku ke tepi lain jalan raya di dekat kamp.
Sesosok kecil muncul di antara tumpukan puing-puing dan sampah tersebut. Ia
bertubuh kurus dan pendek, mungkin usianya tidak lebih dari sepuluh tahun,
mengenakan kaus warna putih dan celana panjang hitam. Ia melambai kepada kami
sambil tersenyum lebar. Aku tidak ingat apakah pada 1982 pernah bertemu
dengannya tetapi ia pasti baru berumur tujuh tahun saat ini. Pada hari itu, anak
itu memanggul senjata. Ia tampak sangat bangga dengan dirinya dan berjalan
dengan mantap. Kemudian, seorang anak laki-laki yang lebih besar muncul di
belakangnya, juga memanggul senjata, dan keduanya lantas menghilang ke arah
Masjid Shatila. Jadi, mereka itulah para pejuang yang mengalahkan pasukan Amal.
Anak-anak ini adalah para pejuang perlawanan Palestina yang hendak dihancurkan
oleh pasukan Amal dan tank-tank raksasa mereka.
Tak lama setelah itu, kami tiba di Bourj el Brajneh, kamp terbesar di Beirut.
Jalan raya yang menuju kamp itu setengah beraspal. Pintu gerbangnya diawasi oleh
Brigade Keenam Lebanon, sebuah brigade Syi'ah yang lagi-lagi adalah bagian dari
perjanjian gencatan senjata tersebut. Baru saja kami melintasi pintu gerbang
tersebut, terdapat sebuah pos pemeriksaan pasukan milisi Amal. Jalan itu
kemudian terbagi menjadi dua, satu cabang menuju bagian kamp Lebanon, satu
cabang lagi menuju kamp Palestina Bourj el Brajneh.
Saat kami menyusuri jalan yang menuju kamp Palestina, tampak sebuah pos
pemeriksaan yang dijaga oleh beberapa orang Palestina. Mulai saat ini, aku mulai
terbiasa dengan orang-orang Palestina yang memanggul senjata. Lagi pula, mengapa
tidak" Setiap orang di Lebanon memiliki senjata, mengapa orang-orang Palestina
tidak bisa memilikinya" Tanpa adanya senjata di dalam kamp itu, pembantaian yang
mengerikan seperti yang terjadi pada 1982 pastilah akan terulang kembali.
Seiring kami berjalan lebih jauh lagi ke dalam kamp, tampak jalanan di sana
berlumpur dan penuh genangan air dari saluran pembuangan.
Bourj el Brajneh merupakan kamp yang padat penduduk. Bagian dari kamp yang
dihuni warga Palestina berukuran sekitar empat kilometer persegi dan berisi
sekitar dua puluh lima ribu orang penduduk. Bangunan-bangunan di sana saling
berdempetan dan banyak dari bangunan itu yang terdiri dari dua atau tiga lantai.
Blok-blok rumah dipisahkan oleh gang-gang sempit yang kebanyakan hanya dapat
dilalui satu orang, dapat juga dilewati dua orang, asalkan mereka berjalan
menyamping memunggungi tembok. Saluran pembuangan yang terbuka, puing-puing, dan
jaringan pipa air yang ruwet
tampak di sepanjang gang-gang sempit tersebut. Bangunan-bangunan yang terletak
di pinggir kamp mengalami kerusakan yang sama parahnya dengan bangunan di kamp
Shatila. Namun, ketika kami masuk ke bagian yang lebih dalam dari kamp tersebut,
terlihat banyak bangunan yang relatif masih utuh.
Ketika berjalan menuju bagian dalam kamp, kami melihat di samping sebuah
bangunan yang hancur terkena bom di seberang Rumah Sakit Haifa sekelompok orang
yang berkerumun di sekitar sebuah meja besar. Melihat kedatangan wajah-wajah
baru, yaitu kami, mereka berkata dalam bahasa Inggris, "Selamat datang, siapa
nama Anda" Kemarilah, lihat bingkisan kecil dari saudara-saudara kami orangorang Amal." Di atas meja itu terlihat potongan mortir, longsongan granat, dan
pecahan bom, semuanya dalam tumpukan besar. Itu semua adalah contoh dari amunisi
yang dimuntahkan pasukan Amal ke kamp selama empat puluh hari terakhir ini.
Penduduk kamp telah bertahan selama empat puluh hari pengeboman dan blokade
pasukan musuh sehingga semangat juang mereka kini sangat tinggi. Merasa bangga
dan menang, mereka tampak sangat bersemangat dan tak henti-hentinya mengobrol
dengan kami. Rumah Sakit Haifa dalam kondisi setengah hancur. Namun, kini reaksiku adalah
memperkirakan perbaikan apa saja yang perlu dilakukan untuk mengubah pusat
rehabilitasi tersebut menjadi sebuah rumah sakit yang berfungsi baik. Aku dapat
mengira-ngira bahwa, meskipun banyak pekerjaan
harus dilakukan untuk membetulkan bangunan tersebut, Rumah Sakit Haifa masih
sangat mungkin untuk diperbaiki. Rumah sakit itu memiliki tiga lantai di atas
permukaan tanah dan dua lantai di bawah tanah. Dua lantai teratas penuh dengan
lubang-lubang bekas bom dan membutuhkan banyak perbaikan. Lantai bawah tanah
pertama akan diubah menjadi sebuah bangsal operasi, dengan sebuah ruangan bagi
para korban di sepanjang koridor. Lantai di bawahnya akan digunakan sebagai
tempat berlindung dari serangan bom. Para staf rumah sakit tengah membersihkan
bangunan tersebut. Pembangunan serta perbaikan telah dimulai. Peralatan bedah
dan mesin anestesi yang kami kirimkan telah tiba, dan sepanjang sisa hari itu,
Alison, kedua John, dan aku sibuk melakukan inventarisasi. Masih belum ada
tempat bagi kami untuk tidur sehingga kami kembali ke Hotel Mayflower dengan
perasaan lelah namun puas karena telah melewatkan hari itu dengan melakukan
sesuatu yang bermanfaat.[]
Sembilan Belas Keesokan harinya, kami kembali mengunjungi Rumah Sakit Haifa. Tempat itu kini
tampak berbeda. Rumah sakit itu sekarang dipenuhi dengan para pengunjung dari
kamp. Kasur-kasur telah diletakkan di kamar-kamar di lantai pertama, dan kamarkamar tersebut mulai terlihat seperti layaknya ruangan-ruangan di rumah sakit.
Salah satu kamar bahkan telah dibersihkan dan kasur-kasur dimasukkan ke dalamnya
sehingga tim dokter Inggris dapat tinggal di situ. Para wanita Palestina telah
membawakan beberapa seprai putih yang bersih untuk kami dan telah mengepel
bersih lantai rumah sakit, dan mereka juga membawakan kami teh dan air minum.
Rumah sakit ini jadi terasa terlalu mewah jika dibandingkan dengan kamp yang
berantakan di luar. Di lantai bawah tanah pertama, ruangan UGD dipenuhi pasien
dan dua orang dokter Palestina tampak sudah sibuk melakukan pekerjaan.
Di tengah-tengah kesibukan ini, Ummu Walid tiba. Ia datang untuk memantau
pembangunan bangsal operasi yang baru dan untuk membayar para staf dan kuli
bangunan. Ia berkeliling lantai demi lantai, memberi sejumlah perintah dalam
bahasa Arab, yang sayangnya masih belum dapat kupahami. Kemudian, ia pergi ke
Rumah Sakit Akka. Pekerjaan membangun bangsal operasi langsung dimulai. Di lantai bawah tanah,
para kuli bangunan semuanya berasal dari kamp mulai merobohkan dinding untuk
membuat sebuah ruang yang lapang untuk bangsal operasi. Keriuhan yang terjadi
sungguh luar biasa dan hal itu diperparah dengan kunjungan mendadak para
wartawan Associated Press yang tampaknya ingin sekali meliput berita pembukaan
Rumah Sakit Haifa. Salah seorang wartawan pada mulanya tampak agak terkejut
melihat seorang wanita berparas Cina memimpin tim dokter Inggris, tetapi
kemudian kami menjadi cukup akrab dan tak lama setelah itu ia berbicara dengan
semua anggota tim, juga dengan warga Palestina.
Para staf di Rumah Sakit Haifa sama mengesankannya dengan para staf di Rumah
Sakit Gaza pada 1982, meskipun jumlahnya lebih sedikit. Nidal, perempuan
administrator rumah sakit, banyak mengingatkanku pada Azzizah, hanya saja ia
berusia sepuluh tahun lebih tua sekitar awal tiga puluh atau empat puluh tahun.
Ia bekerja tanpa henti dan tanpa pamrih sehingga setiap orang menghormatinya.
(Ia gugur terkena lemparan bom besar yang menghantam rumahnya di Bourj el
Brajneh pada Mei 1986. Pemakamannya dihadiri lebih dari lima ribu orang di
Beirut. Namun, bagi kebanyakan dari kami, Nidal takkan pernah mati. Dedikasinya
yang tanpa pamrih dan keberaniannya akan selalu hidup dalam ingatan kami.) Ia
sangat dicintai oleh semua orang. Pekerjaannya tidaklah mudah karena harus
berhadapan tidak hanya dengan pengelolaan harian rumah sakit, tetapi juga dengan
masalah-masalah baru yang muncul dari pembukaan bagian UGD.
Ia juga harus mengurusi para stafnya dan menyemangati mereka untuk bekerja
dengan kompak. Penyerangan dan pembantaian tahun 1982 telah diikuti dengan
pertikaian di Tripoli tahun 1983. Para staf medis itu punya loyalitas masingmasing kepada berbagai kelompok di PLO. Sangat menyenangkan melihat para dokter
yang berasal dari berbagai kelompok bekerja sama dengan harmonis di dalam rumah
sakit milik PRCS. Para staf rumah sakit sering membicarakan pentingnya persatuan
dan tiga orang dokter Palestina dari kelompok yang berbeda memintaku untuk
memotret mereka dalam pose berdiri bersama-sama dan saling berangkulan. Mereka
hanya sedikit mengerti bahasa Inggris dan pengetahuanku tentang bahasa Arab
bahkan lebih sedikit lagi, tapi mereka ingin dipotret untuk menunjukkan kepadaku
bahwa mereka bersatu padu sebagai rakyat Palestina.
Dr. Ridha adalah direktur medis rumah sakit itu muda, antusias, gesit, tekun,
dan sepenuhnya mencurahkan perhatiannya demi para stafnya. Ia seolah-olah bisa
berada di lima tempat sekaligus. Ia seaktif dan sedinamis dr. Rio Spirugi,
tetapi tidak bertemperamen panas seperti dr. Rio. Mencakup Ridha, Rumah Sakit
Haifa mempunyai lima orang dokter Palestina muda dan mereka bergantian menangani
departemen perawatan korban perang, klinik pasien rawat jalan, dan bangsalbangsal rumah sakit. Aku dapat memperkirakan bahwa mereka akan kebanjiran sangat
banyak pekerjaan begitu Rumah Sakit Haifa berfungsi kembali. Populasi penduduk kamp membengkak menjadi
hampir tiga puluh ribu orang dengan kedatangan para pengungsi yang kembali ke
rumah mereka. Pada tengah hari, ketika kebanyakan pasien telah dirawat dan pulang ke rumah,
para staf rumah sakit duduk bersama untuk menikmati makan siang. Hampir tiga
tahun sejak terakhir kalinya aku menyantap makanan di kamp dan aku benar-benar
menikmatinya. Ketika berada di London, aku menghabiskan banyak waktu untuk
mencoba dengan sia-sia membuat masakan seperti yang dibuat para koki di Rumah
Sakit Gaza. Masakan dari kamp terasa sangat istimewa bagiku. Orang-orang kamp
mampu membuat makanan apa pun terasa nikmat, bahkan hanya dengan memanfaatkan
sayur-sayuran dan kacang-kacangan biasa.
Hal yang lebih berharga lagi buatku daripada makanan kamp itu adalah suasana
saat makan. Orang-orang di rumah sakit PRCS berkumpul bersama dan berbagi makanan, direktur dan petugas
kebersihan mendapat jatah yang sama. Berbeda sekali dengan di rumah sakit umum
di Inggris, di sana orang-orang mendapat jatah tempat makan berdasarkan status
sosial dan pekerjaan mereka. Disalah satu rumah sakit di London tempatku pernah
bekerja, terdapat sedikitnya enam ruang makan yang berbeda satu untuk para
konsultan dan para pengelola senior rumah sakit, satu untuk para dokter junior,
satu untuk para teknisi, satu untuk para perawat, satu untuk para kuli bangunan,
dan satu lagi untuk warga masyarakat!
Di Rumah Sakit Haifa, selama waktu makan siang, kami tukar-menukar informasi dan
ucapan selamat dari teman-teman. Aku baru mengetahui bahwa sang profesor bedah
dari Rumah Sakit Gaza, para perawat favoritku, dan rekan-rekanku yang lain yang
bekerja di sana masih hidup. Beberapa di antara mereka berada dalam kondisi yang
buruk, tetapi masih hidup. Di Timur Tengah, orang-orang saling memberikan ucapan
selamat "Alhamdulillah!" yang berarti 'Puji Tuhan!' Terkadang, seseorang yang
benar-benar sekarat di atas tempat tidurnya juga masih mengucapkan
"Alhamdulillah!" Kehidupan itu sendiri adalah anugerah dan berkah dari Tuhan.
Kami memang sedang duduk di atas tumpukan rongsokan, tapi kenyataan bahwa kami
masih hidup dan berkumpul bersama adalah sebuah alasan untuk memanjatkan puji
dan syukur kepada Tuhan. Abu Ali, pengawas bangsal di Rumah Sakit Gaza, masih
tetap bekerja dan akan mengunjungi Rumah Sakit Haifa keesokan harinya untuk
membantu pembangunan bangsal operasi di sini. Aku senang mendengarnya masih
hidup dan tak sabar ingin segera melihatnya besok.
Sore harinya, kami melakukan lebih banyak inventarisasi dan pengaturan barangbarang. Ada sedikit kekacauan karena beberapa peralatan yang diselamatkan dari
Rumah Sakit Gaza sebelum dibakar, tercampur baur. Beberapa set peralatan
ortopedis dipasangi sekrup-sekrup dari stainless steel sekaligus dari vitalium.
Beberapa bagian mesin anestesi dari Rumah Sakit Gaza hilang dan sulit menemukan onderdil pengganti
dalam keadaan pasca penyerbuan seperti ini.
Pagi berikutnya, aku pergi ke Hotel Mayflower untuk wawancara dengan sebuah
stasiun televisi bernama Visnews. Pengalaman ini sangat mengesankan karena si
pewawancara tidak mengerti bahasa Inggris, sedangkan aku tidak mengerti bahasa
Prancis dan tidak ada penerjemah. Si pewawancara mengucapkan beberapa kalimat
yang kuduga merupakan suatu pertanyaan dan kujawab dengan mengira-ngira apa yang
ditanyakannya itu, sepanjang yang kumau. Wawancara itu berlangsung dengan baik
karena aku mengatakan apa yang ingin kuutarakan, yang secara garis besar
terangkum dalam dua pokok pikiran berikut ini.
Pertama, masyarakat Inggris telah menyumbangkan tabungan dan tenaga mereka untuk
membantu pembangunan kembali Rumah Sakit Haifa, karena mereka ingin mendukung
sebuah lembaga kesehatan yang akan merawat semua orang yang membutuhkan
perawatan. Setelah bertahun-tahun bekerja sama dengan PRCS, aku tahu mereka
bekerja berdasarkan filosofi itu, merawat kawan maupun musuh dengan perlakuan
yang sama, tanpa meminta bayaran, sehingga aku tidak memiliki keraguan untuk
mendukung mereka. Kedua, aku berada di Beirut sepanjang masa-masa yang sulit
pada 1982, tetapi aku telah melihat perlakuan manusiawi yang ditunjukkan orangorang Lebanon maupun Palestina yang bekerja sama untuk melawan serangan
tentara Israel dan memberikan bantuan kepada para korban perang. Saat itu,
terlihat rasa persatuan yang hebat di antara orang-orang Lebanon dan Palestina,
baik di Beirut maupun di Lebanon Selatan. Namun, mengapa kini pada 1985 mereka
tercerai-berai" Semalam, di Beirut terjadi secara bersamaan setidaknya empat pertempuran pasukan
Amal menyerang warga Palestina di Bourj elBrajneh gara-gara beberapa masalah
yang terjadi di pos pemeriksaan, suku Druze dan suku Amal berbaku hantam di
jalanan di Hamra, sementara pasukan Kristiani dan Muslim tembak-menembak di
sepanjang Garis Hijau, bekas-bekas lintasan misil tampak memanjang di udara dari
berbagai tempat di pegunungan. Sementara warga Lebanon bertempur dengan sesama
warga Lebanon, juga dengan warga Palestina, daerah perbatasan di selatan Lebanon
yang masih diduduki Israel tampak sangat tenang.
Aku berkata bahwa mungkin karena orang-orang di sini tidak sanggup menyerang
Israel, mereka terpaksa menyerang sesamasituasi yang disebut para penduduk lokal
sebagai "perang saudara". Aku yakin si wartawan Prancis itu tidak mengerti apa
yang kukatakan, tetapi ia tampak puas dengan wawancaraku dan menawarkan untuk
mengantarku kembali ke kamp Bourj elBrajneh. Ia menyetir seperti layaknya orang
Lebanon. Pasti ia telah lama tinggal di Lebanon karena cara menyetirnya ngebut,
sembrono, dan tidak sabaran, padahal tindak-tanduknya sangat sopan dan menawan.
Ketika kembali ke Rumah Sakit Gaza, aku melihat dr. Ridha sedang mengatur
sekonvoi pasien ortopedis yang hendak menemuiku. Kebanyakan dari mereka masih
muda, tidak seperti pada 1982. Mereka mendapatkan luka-luka itu karena
mempertahankan kamp. Kebanyakan dari mereka adalah pemuda dan anak lelaki,
beberapa lagi adalah wanita. Luka-luka ortopedis yang paling sering kutangani
disebabkan peluru berkecepatan tinggi, dengan kata lain, luka-luka karena
terkena peluru senapan M16. Luka fraktura gabungan yang diiringi kerusakan di
bagian saraf dan pembuluh darah merupakan hal yang lazim terjadi jika anggota
tungkai tubuh seperti tangan atau kaki terkena peluru M16. Kebanyakan yang
terluka di bagian tungkai terpaksa diamputasi pada waktu mereka menemuiku. Oleh
karena pusat pembuatan tungkai palsu di Rumah Sakit Akka telah diledakkan,
sebanyak 167 pasien yang telah diamputasi dari seluruh kamp di Beirut harus
menunggu tanpa kepastian, sampai segala sesuatu tertangani. Hal yang paling
sulit adalah mengeluarkan para korban semacam mereka ini dari kamp. Kebanyakan
dari mereka telah berjuang untuk mempertahankan kamp dan karena itu mereka
diincar oleh para milisi Amal yang masih mengontrol pos-pos pemeriksaan dan
sebagian besar wilayah di Beirut Barat.
Pada masa awal peperangan, Palang Merah Internasional telah berhasil melakukan
negosiasi supaya sekelompok orang dapat meninggalkan kamp untuk mendapatkan
perawatan medis lebih lanjut. Mereka ditangkap begitu meninggalkan kamp.


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa dari mereka ditembak ketika sedang dirawat di beberapa rumah sakit
Lebanon di Beirut. Kebanyakan korban lebih punya peluang selamat jika dibangun
rumah sakit di dalam kamp, sehingga mereka dapat dirawat tanpa berisiko diculik
begitu keluar dari kamp. Bagi para korban di Bourj elBrajneh, pembangunan Rumah
Sakit Haifa adalah harapan mereka untuk mendapatkan perawatan operasi bedah.
Pembangunan rumah sakit tersebut dilakukan dengan penuh semangat. Aku tertawa
sambil berkata kepada dr. Ridha, "Dengan semangat seperti ini, pembangunan
bangsal operasi mungkin akan selesai dalam waktu seminggu atau kurang dari itu.
Di London, dalam kurun waktu yang sama, kami mungkin baru bisa menyusun
rencana." "Ah, tapi ini kan pembangunan yang dilakukan PRCS," kata dr. Ridha dengan mimik
serius. "Kami telah punya banyak pengalaman membangun dan membangun-kembali
bangunan selama bertahun-tahun." "
Aku tidak lupa akan kehancuran dan pembangunan kembali Rumah Sakit Gaza dan Akka
yang berkali-kali berlangsung dalam kurun waktu beberapa bulan saja pada 1982.
Orang-orang Palestina telah belajar membangun rumah dan gedung secepat bom-bom
dan granat dapat meluluhlantakkannya. Ini adalah buah dari pengalaman selama
bertahun-tahun. Sekitar waktu makan siang, Abu Ali muncul. Aku tak bisa menggambarkan bagaimana
perasaanku karena bertemu dengan kawan lama ini, ia tidak berubah sedikit pun
selama tiga tahun terakhir. Ia baru saja tiba dari Rumah Sakit Akka dan
membawakan kami beberapa "oleh-oleh". Dari kedua tas jinjing polythene nya, ia
menuangkan satu set alat bedah untuk operasi abdominal mayor, kemudian satu set
peralatan bedah mikro. "Dari mana kamu dapatkan semua itu?" tanyaku, benar-benar takjub.
"Dari Gaza," jawabnya. "Awalnya mereka mencuri barang-barang itu, tapi kini
tidak dicuri lagi." Hanya Tuhan yang tahu bagaimana ia mendapatkan semua barang
"bukan curian" itu! Ia meletakkan semua itu di atas meja dan mulai mengecek,
menghitung dan mengamati setiap gunting bedah, wadah jarum jahit, dan retraktor
sebelumnya, kebanyakan retraktor tidak lengkap seolah-olah barang-barang itu
adalah sahabatnya yang sudah lama menghilang.
Ketika ia telah selesai menyimpan semua peralatan tersebut, aku berkata,
"Ikutlah denganku pada sesuatu yang perlu kamu lihat, sesuatu yang sangat
istimewa." Aku membawanya ke ruang penyimpanan alat bedah yang kini penuh dengan
peralatan dan perlengkapan yang kubawa dari London. Ekspresi kegembiraan yang
tampak di wajah si pengawas bangsal rumah sakit ini membuat semua jerih payah
kami untuk mendapatkan alat-alat itu terasa tidak sia-sia.
Sore itu, Abu Ali tampak sibuk memasang kabel ke gagang gergaji gips, melabeli
alat-alat, dan menyusun perlengkapan bedah. Tak lama setelah itu, ia membawa masuk Nuha,
seorang perawat bangsal bedah yang sangat cakap. Wanita yang bertutur kata halus
ini adalah lulusan Sekolah Perawat PRCS di Lebanon. Dengan segera Nuha mulai
mengkoordinasikan para staf rumah sakit untuk mempersiapkan perban, pembalut
pembedahan, dan perlengkapan operasi laparotomi (pembedahan dinding abdomen).
Oleh karena aku sedang tidak ada pekerjaan, Nuha memberiku sebatang jarum dan
beberapa helai benang putih, lalu memperlihatkan cara menjahit kain perlengkapan
operasi laparotomi. Selama bertahun-tahun menjadi dokter bedah, baru pertama
kalinya aku melihat kain perlengkapan operasi laparotomi dijahit dengan tangan.
Mesin-mesin jahit di rumah sakit telah dijarah oleh orang-orang yang menyerbu
kamp. (Ketika kembali ke Inggris, aku memberi tahu para perawat Rumah Sakit
Dryburn tentang "kain perlengkapan laparotomi yang dijahit dengan tangan", lalu
mereka membelikan sebuah mesin jahit untuk disumbangkan kepada Rumah Sakit
Haifa.)[] Dua Puluh Keesokan paginya, sebuah mobil dari kantor Konsulat Inggris di Beirut Barat tiba
untuk menjemput kami. Rencananya, kami akan menunggu di konsulat kedatangan Sir
David Miers, Duta Besar Inggris untuk Beirut, yang sedang menyeberang dari
Beirut Barat ke Timur untuk menemui kami. Kantor konsulat tersebut terletak di
dekat pantai, jauh dari lokasi kamp-kamp.
Pagi itu terasa hangat dan cerah, bersuasana khas Laut Tengah. Kami melewati
lalu lintas yang padat di sepanjang jalan raya yang dipenuhi berbagai toko dan
kios di tepi jalan. Pada 1982, setengah bagian dari kota ini berisi bangunanbangunan yang hancur terkena bom dan pantai serta jalan pesisirnya dipasangi
ranjau. Aku merasa senang melihat keadaannya kini kembali "normal". Meskipun
demikian, keadaan normal tersebut hanya terlihat di luarnya. Memang tidak ada
lagi serangan bom udara, tetapi situasi kota ini masih jauh dari aman.
Pertempuran antar kelompok masih terus terjadi, begitu pula penculikan dan
pembalasan dendam. Kantor konsulat tersebut adalah sebuah gedung yang dijaga ketat oleh para
tentara Angkatan Bersenjata Lebanon. Setelah surat-surat kami diperiksa, kami
disambut dengan ramah. Kemudian,
Sir David menelepon, ia telah berusaha melintasi Garis Hijau pagi itu, tetapi
jalur penyeberangan ditutup. Menurut para staf di konsulat, itu adalah usaha Sir
David yang keenam kalinya untuk menyeberang dari Beirut Timur ke Beirut Barat
sejak beberapa hari terakhir ini. Merasa kecewa, kami meninggalkan kantor
Konsulat Inggris tersebut untuk kembali ke Bourj elBrajneh.
Kami tiba di Rumah Sakit Haifa sekitar pukul 11 siang. Alison langsung bekerja
di klinik pembalutan. John, sang teknisi anestesi, melakukan tugas berat
memindahkan mesin anestesi yang diselamatkan dari Rumah Sakit Gaza, sementara
John yang lain dan aku singgah ke bagian UGD. Di sana kami dikerumuni
segerombolan anak-anak yang meminta kepingan-kepingan bom dikeluarkan dari tubuh
mereka. Jika kepingan itu berukuran kecil, biasanya lebih baik didiamkan saja,
kecuali mengganggu sistem saraf atau menyebabkan infeksi. Kepingan bom yang
lebih besar yang diakibatkan ledakan bom atau granat sering kali menyebabkan
anggota tubuh yang kemasukan kepingan tersebut harus diamputasi atau menyebabkan
luka dalam yang parah. Dengan situasi yang kembali relatif tenang, anak-anak
suka sekali mendapatkan kepingan bom itu agar dapat membanding-bandingkan
"kenang-kenangan" logam yang dikeluarkan dari tubuh mereka. Kulihat, John
Thorndike senang melakukan pembedahan semacam ini.
"Sudah waktunya membangun sebuah klinik khusus untuk pembedahan jenis ini," ia
terus-terusan mengingatkanku. Aku tahu kami tak dapat melakukannya karena
bagaimanapun, bangsal operasi yang tengah dibangun sebentar lagi akan siap
digunakan. Begitu bangsal tersebut dapat digunakan, kami akan melakukan
pekerjaan lainnya. Sementara itu, Ben Alofs telah pergi untuk mengawasi pembangunan klinik lainnya
yang tengah berlangsung di ujung lain kamp. Dulunya, bangunan itu adalah sekolah
bagi anak-anak Palestina, tetapi serangan di bulan Ramadhan telah menyebabkan
bangunan itu dipenuhi lubang-lubang besar di dinding dan atap, dan lantainya pun
remuk. Staf PRCS berharap dapat mengubahnya menjadi sebuah klinik untuk melayani
kebutuhan orang-orang yang tinggal di tepi lain kamp, sehingga para pasien rawat
jalan yang membanjiri Rumah Sakit Haifa dapat ditampung di sana. Selain tugastugas klinis biasa yang dilakukannya di Rumah Sakit Haifa, Ben juga telah
diberikan tugas mengerjakan dekorasi sekaligus mengecat bangunan, bahu-membahu
dengan tim konstruksi kamp.
Sore itu, Alison dan aku akan memanfaatkan giliran tidur kami di rumah sakit.
Sedangkan kedua John (John Croft dan John Thorndike) itu kembali ke hotel untuk
mengganti baju sekaligus mandi. Sebelum hari berganti malam, kami berjalan-jalan
ke sekitar kamp. Beberapa saat kemudian barulah aku menyadari betapa parahnya
keadaan kamp Bourj elBrajneh pasca-pertempuran. Meskipun lantai-lantai teratas
Rumah Sakit Haifa telah diledakkan, kondisinya masih jauh lebih baik daripada
rumah-rumah penduduk. Potongan-potongan genting, dinding, dan jendela yang
diledakkan kini tergeletak di lantai rumah-rumah yang sudah runtuh. Pagar dan
perabot rumah tangga dari kayu terbakar hingga menghitam. Terdapat sebuah
kuburan massal berisi delapan puluh mayat dengan kondisi yang sudah tidak utuh
dan tidak teridentifikasikan. Bangunan-bangunan perlahan-lahan runtuh akibat
kawah-kawah bekas bom di tanah. Dilihat dari besarnya skala kehancuran,
pertempuran yang terjadi pasti sangat dahsyat.
Tiba-tiba, kami dikelilingi oleh sekelompok pemuda dan anak laki-laki. "Halo,
siapa nama Anda?" tanya mereka. "Apa yang Anda lakukan di sini?"
Kami menjelaskan bahwa kami tenaga sukarelawan medis dari Inggris yang bertugas
di Rumah Sakit Haifa. Mereka tampak begitu gembira mengetahui bahwa orang-orang
dari belahan dunia lain mendengar apa yang tengah menimpa rakyat Palestina, dan
dengan senang hati mengajak kami berkeliling kamp untuk memperlihatkan keadaan
di sana. Salah seorang pemuda yang lebih tua, yang mengenakan belat di
pergelangan tangannya yang terluka, menjelaskan bahwa ia adalah seorang
mahasiswa kedokteran di American University of Beirut, tetapi sudah lama tidak
kembali ke bangku kuliah sejak penyerangan pasukan Israel. Ia sangat ingin
melanjutkan pendidikan kedokterannya, tetapi karena merasa masih muda dan mampu
secara fisik, ia percaya bahwa lebih utama baginya tetap tinggal di dalam kamp
untuk melindungi warganya dari
serangan dan pembantaian. Itu adalah pengorbanan yang telah dipilihnya. Ia tidak
akan meninggalkan kamp Bourj elBrajneh bahkan meskipun seandainya ditawari
kembali berkuliah sampai ia merasa yakin bahwa para penduduk di kamp hidup
dengan damai. Ia memperlihatkan kepada kami semua kehancuran yang terjadi, kemudian berbalik
seraya bertanya, "Kenapa orang-orang membenci kami, rakyat Palestina" Kenapa
mereka ingin menghancurkan kami seperti ini?" Aku tak dapat menjawabnya.
Aku mencoba menghiburnya dengan membandingkan gerakan perlawanan penduduk kamp
itu dengan pertempuran di Karamah yang melegenda. Kata "karamah" berarti
'martabat' dalam bahasa Arab. Karamah adalah sebuah kamp pengungsi Palestina
yang terletak dekat Jericho. Pada 1968, sebanyak 450 warga Palestina berjuang
melawan pasukan Israel yang berjumlah sepuluh ribu personel dan berhasil
mengusir tank-tank mereka. Pasukan Israel membalas di kemudian hari dengan
mengirim pasukan udara dan mengebom Karamah hingga kamp itu lenyap ditelan bumi.
Akan tetapi, gerakan perlawanan rakyat Palestina lahir dan tumbuh dari sana.
Kerumunan anak-anak muda ini tampak sangat gembira mendengar seorang asing
sepertiku berbicara tentang Karamah. Mereka gembira melihat masih ada orangorang seperti kami dari belahan lain dunia yang mengetahui dan terinspirasi oleh
perjuangan rakyat Palestina.
Kami berpisah dengan menyisakan sebuah ungkapan kemenangan, para pemuda ini
memberitahuku bahwa mereka akan menjadikan kamp Bourj elBrajneh sebagai sebuah
benteng dan akan mempertahankannya hingga titik darah penghabisan terhadap
serangan musuh mana pun. Malamnya, ketika kami kembali ke ruang para sukarelawan di rumah sakit, untuk
pertama kalinya dalam beberapa bulan ini mungkin beberapa tahun aku merasa yakin
dan bahagia. Aku merapikan diri, lalu mulai menulis sepucuk surat yang panjang
untuk suamiku di London. Tak lama setelah mulai menulis, aku mendengar seseorang
mendorong pintu dengan sangat perlahan dan memasuki kamar kami. Ia adalah
seorang pemuda berpakaian seragam militer. Pada awalnya, ia tampak sangat malu
menemukan Alison dan aku di dalam kamar itu, alih-alih John dan Ben.
Kelihatannya, ia adalah anggota "klub penggemar Ben Alofs", yang berkembang
pesat setiap hari. Semua penduduk kamp mengagumi Ben, tetapi budaya lokal yang
masih kuat menyebabkan hanya para pemuda yang dapat menemuinya, dan mereka
sering kali mencari-carinya. Kusangka pemuda ini ingin mendengarkan radio milik
Ben. Setelah sebelumnya tampak agak gelisah, teman kami itu lantas mulai merasa
nyaman dan menerima tawaran kami untuk duduk bersama kami. Ia masih sangat muda
dan bertubuh pendek, mungkin sekitar 160 cm atau kurang dari itu. Wajahnya
kekanak-kanakan, rambutnya keriting kecil-kecil berwarna cokelat terang.
Kemudian, Ben masuk kamar dan terlihat terkejut sekaligus senang. "Hei!"
serunya, "kamu tidak
bilang kamu seorang Fedayeen! Wow!" wajah Ben berseri-seri dan dihiasi senyuman
lebar. Kawan Ben ini berseragam militer lengkap berwarna hijau berbelang-belang
cokelat dan sepatu bot yang berlumur lumpur dari kamp. Di bahunya tersandang
sepucuk senapan Kalashnikov tua dan berkarat. Begitu melihat Ben, ia tampak
lega. Ia kemudian meludahkan kuaci biji bunga matahari yang dikulumnya, agar
dapat berbicara. Ia menunjuk dirinya sendiri seraya berkata, "Aku Mahmud." Lalu katanya lagi,
"Amal sangat, sangat jahat. Palestina sangat, sangat baik." Setelah itu,
perbendaharaan kata bahasa Inggrisnya pasti telah habis, karena ia kemudian
berbalik ke arah Ben dan mulai berbicara dalam bahasa Arab. Kami lantas
mengetahui bahwa Mahmud baru berusia enam belas tahun, bahwa ia berdarah Lebanon
dan berasal dari golongan Syi'ah, namun telah menjadi pejuang Palestina sejak
usia belia. Keluarganya berasal dari Lebanon Selatan dan rumahnya telah
dihancurkan oleh pasukan Israel. Mereka melarikan diri ke kamp Bourj elBrajneh.
Ia menganggap dirinya seorang Palestina dan selalu ingin bersama dengan rakyat
Palestina. Ibunya juga merasakan hal yang sama, dan ketika kedua kakak lakilakinya bergabung dengan pasukan Amal, si kecil Mahmud dan ibunya memilih tetap
tinggal bersama warga Palestina di Bourj elBrajneh.
Ia memberi tahu Ben bahwa lima hari yang lalu, ibunya ditembak oleh seorang
penembak jitu dan terluka ketika ia tengah pergi ke luar untuk
mendapatkan makanan bagi penduduk kamp. Mahmud melihat Palang Merah
Internasional membawa ibunya pergi dalam sebuah mobil ambulans, tetapi tak dapat
mengikutinya karena ia pasti akan dibunuh begitu terlihat oleh pasukan Amal.
Sudah lama ia tak mendapatkan berita mengenai ibunya dan ia merasa sangat
khawatir. Dapatkah Alison dan aku membantunya menemukan ibunya yang mungkin
telah dibawa ke Rumah Sakit Makassad milik Lebanon"
Ada satu masalah kecil. Demi alasan keamanan, ia tidak mau memberikan nama
keluarganya kepada kami. Satu-satunya informasi yang kami dapatkan adalah kakak
laki-laki tertuanya bernama Ahmad, jadi mungkin ibunya bernama Ummu Ahmad (Ummu
berarti 'ibu'). Ia akan membawakan fotonya untuk kami besok pagi dan akan sangat
berterima kasih apabila kami dapat menemukannya dalam keadaan masih hidup. Kami
setuju melakukan hal ini untuknya. Ia pun tampak lega dan mulai mengobrol dan
bercanda dengan Ben. Tiba-tiba, ia memutuskan untuk membuat kami terkesan dengan
kegaga-hannya sebagai tentara. Ia melepas kausnya dan memperlihatkan kepada kami
semua bekas luka di dada dan lengannya, menunjuknya satu per satu sambil
berkata, "Lihat, ini bekas peluru M16. Di sini, di sini, dan di sini juga.
Semuanya peluru M16 yang ditembakkan oleh pasukan Amal. Tapi tak masalah, aku
tidak takut." Aku menatap wajah pemuda Lebanon yang masih belia ini, dan tiba-tiba wajah itu
berubah menjadi sesosok pejuang kemerdekaan yang gagah perkasa.
Hari berikutnya, Alison dan aku melakukan pengecekan lantai demi lantai di Rumah
Sakit Makassad, melambai-lambaikan selembar foto Ummu Ahmad sambil menanyakan
jika seseorang pernah melihat wanita ini. Ahmad adalah nama yang sangat lazim
dipakai di Lebanon, seperti halnya nama John di Inggris. Tidak seorang pun di
London yang sudi menjelajahi bangsal demi bangsal, departemen demi departemen di
Rumah Sakit St. Thomas atau rumah sakit yang lebih besar lainnya untuk melakukan
hal semacam itu, menanyakan siapa yang pernah melihat ibu dari John. Fakta bahwa
ia ditembak lima hari yang lalu tidak membantu, karena setiap hari banyak sekali
orang yang tertembak di Beirut. Menyebutkan bahwa ia berasal dari kamp Bourj
elBrajneh menyebabkan orang-orang di rumah sakit itu kehilangan minat. Memangnya
siapa di Rumah Sakit Makassad yang mau mengingat-ingat seorang wanita Palestina
yang terluka" Akhirnya, karena mereka sedemikian tampak tidak peduli, kuputuskan
untuk menggertak mereka. "Tolong perhatikan, ya," kataku, "wanita ini mungkin memang berasal dari kamp
pengungsi Palestina, tapi ia orang Lebanon dan punya dua anak laki-laki yang
merupakan pejuang Amal, dan keluarganya sedang mencari-carinya." Menyebut-nyebut
kata Amal, seorang perawat yang sedang bertugas di departemen korban perang
menengadah ke arah kami, memandang wajah di foto itu dengan saksama, lalu
memeriksa buku catatan pasien-pasiennya. Rumah Sakit Makassad telah menampung
dan merawat wanita ini sejak enam hari yang lalu, jelasnya padaku, tetapi lukalukanya tidak membutuhkan perawatan inap sehingga Palang Merah Internasional
mentransfernya ke sebuah rumah sakit milik suku Druze untuk menjalani pemulihan.
Partai Sosialis Progresif Druze bersikap simpatik kepada warga Palestina,
membolehkan mereka menggunakan fasilitas rumah sakitnya dan mengizinkan para
pengungsi kamp berlindung di wilayah mereka.
Beirut dan semua daerah di Lebanon memang terbagi-bagi menjadi wilayah-wilayah
yang diawasi oleh berbagai partai politik dan milisi. Jadi, jika suku Druze
menerima para pengungsi Palestina di wilayah mereka, itu berarti selama berada
dalam wilayah itu, orang Palestina aman dari kelompok-kelompok milisi tertentu.
Namun, jika para pengungsi tersebut tak sengaja berkeliaran di luar wilayah
kekuasaan Druze, mereka berisiko ditangkap oleh kelompok milisi lain. Ummu Ahmad
untuk sementara masih selamat. Kami kembali ke Rumah Sakit Haifa untuk
memberitahukan kabar gembira ini kepada Mahmud, sekaligus mengembalikan foto
ibunya. Dalam perjalanan pulang, aku memikirkan sekali lagi pernyataan orang-orang
Palestina bahwa kelompok Amal adalah saudara mereka, dan memikirkan betapa
peperangan di kamp itu sangat menyakitkan bagi orang-orang Palestina. Ketika
kelompok Amal menyerang mereka, rasanya bagaikan diserang oleh keluarga sendiri.
Ketika memandang keluarga


Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahmud, aku melihat fakta itu. Anak-anak dari keluarga Syi'ah ini tercerai-berai
menjadi kawan serta lawan warga Palestina, dan sang ibu terluka ketika berusaha
membantu kawan-kawan Palestinanya. Adakah kawan yang lebih baik daripada wanita
itu" Beberapa hari berikutnya dipenuhi kesibukan berkeliling ke sekitar kamp Shatila,
Rumah Sakit Ak-ka, dan Rumah Sakit Haifa. Para staf PRCS juga berusaha
meningkatkan pelayanan medis di dalam kamp Shatila sehingga jika terjadi
penyerangan lagi, kamp tersebut mempunyai peralatan medis yang memadai. Dulu,
rumah sakit milik PRCS biasanya ditempatkan di ujung kamp sehingga PRCS dapat
membuka pelayanan medis bagi kedua belah pihak, yaitu warga Lebanon maupun
Palestina. Namun, peperangan yang terjadi selama bulan Ramadhan itu memaksa PRCS
menelaah kembali kebijakannya, karena rumah sakit yang terletak di luar kamp
tidak dapat merawat para korban yang terkepung di dalam kamp. Terlebih lagi,
rumah sakit di luar kamp sangat rentan terhadap serangan dari berbagai kelompok
milisi, para pekerja Palestina juga sangat mudah ditangkap. Penyerangan barubaru ini terhadap kamp membuktikan kepada penduduk Palestina bahwa mereka dapat
mempertahankan diri mereka sendiri. Jika selama masa penyerangan di sana juga
terdapat fasilitas medis yang layak, maka tidak akan banyak orang yang
meninggal. Dalam waktu singkat, klinik NORWAC di kamp Shatila mulai berfungsi. Para rekan
Norwegia memintaku untuk menjalankan dua klinik ortopedis dalam seminggu di kamp
Shatila. Klinik NORWAC melengkapi klinik milik PRCS di kamp Shatila. Para dokter
dan perawat PRCS di klinik ini berjuang keras untuk menyelamatkan banyak nyawa
selama masa penyerangan, walaupun tidak ada fasilitas untuk merawat para korban
pertempuran. Diharapkan klinik NORWAC ini dapat mengambil alih sebagian
pekerjaan klinik PRCS, sementara PRCS mengadakan beberapa perubahan struktural
agar bisa berfungsi sebagai sebuah rumah sakit.
Sebagian besar waktuku kini didominasi oleh pekerjaan administrasi, termasuk
berkeliling ke bangsal-bangsal bersama rekanku anggota NORWAC Synne, yang
berusaha mengorganisasikan peralatan dan perlengkapan operasi bedah, serta
menyusun jadwal rapat. Tim dokter Inggris bekerja dengan sungguh-sungguh dan
penuh pengabdian, dan berusaha mengatasi masalah yang awalnya timbul dalam hal
penyesuaian diri. Bagi Alison dan kedua John, ini adalah kunjungan pertama
mereka ke Lebanon dan aku kagum melihat cara mereka menyesuaikan diri. Tanggung
jawab administrasi, melebihi tugas-tugas klinik yang biasa kulakukan, membuatku
lebih sulit mencuri-curi waktu senggang untuk berjalan-jalan di sekitar kamp,
sebagaimana yang kulakukan pada 1982. Namun, aku dapat merasakan dan melihat
kehadiran para warga kamp Shatila, meskipun melalui tembok-tembok ruang
klinikku, melalui lembaran-lembaran nota pengeluaranku yang bercampur aduk. Aku
tidak perlu berbicara dengan mereka untuk mendengar suara-suara mereka, tidak
perlu memandang mereka untuk memahami semangat mereka yang tak pernah pupus. Aku
terus bergumul dengan rutinitasku, melayani para korban perang dan menuliskan
rencana-rencana terperinci untuk pengelolaan rumah sakit yang mereka usulkan.
Memang belum ada fasilitas untuk merawat luka komplikasi, jadi sebagai gantinya,
seseorang akan menuliskan laporan dan berbagai rekomendasi, dan secara
psikologis ini sangat membantu kebanyakan pasien, mereka tidak lagi berputus
asa, tetapi malah menjadi tidak sabaran untuk menunggu. Mungkin para staf medis
pun sama-sama merasa berat menghadapi hal ini.
Di suatu siang yang terik, aku tiba di Shatila untuk menemui para pasien
ortopedis di klinik NORWAC, setelah aku selesai melakukan tugas jaga di Rumah
Sakit Haifa. Aneh klinik tersebut dikunci dan tak seorang pun berada di lorong
utama kamp, semua rumah juga kosong tak bepenghuni. Kemudian, seorang gadis
kecil muncul dan memberitahuku bahwa setiap orang di kamp telah pergi ke Masjid
Shatila. Hari itu adalah peringatan empat puluh hari gugurnya para syuhada
Palestina selama masa peperangan di kamp. Setelah berjalan melewati puing-puing
bangunan dan sesekali terantuk sisa-sisa puing, aku tiba di reruntuhan Masjid
Shatila. Aku berdiri dalam keadaan tercengang, di hadapanku ada sebuah kerumunan besar
orang-orang Palestina pria, wanita, anak-anak, tua dan muda. Bendera-bendera
Palestina yang tak terhitung jumlahnya berkibar-kibar. Foto-foto para syuhada
berukuran besar diarak di atas galah dan dilambai-lambaikan. Genderang ditabuh.
Musik berirama khas Palestina dikumandangkan. Orang-orang menari dan menyanyikan
slogan-slogan militan. Aku merasakan air mata mengalir deras ke pipiku. Aku
menangis karena hanya ada reruntuhan dan puing-puing di sekitar sini, dan banyak
yang telah gugur. Namun, peringatan pada hari ini tidaklah bernuansa duka,
melainkan harapan dan kemenangan. Bagaimana bisa orang-orang Palestina ini
merayakannya dengan gegap gempita, aku bertanya pada diriku sendiri. Lalu, aku
menyadari bahwa hanya dengan memiliki cita-cita kemenanganlah kita dapat
menghapus penderitaan akibat kematian, kehancuran, dan perpisahan. Hari ini,
bangkitlah semangat kemenangan di tengah-tengah dinding yang roboh dan di antara
puing-puing kamp Shatila, di dalam masjid tua yang sebagian telah hancur.
Suasana kemenangan ini kejayaan, kegembiraan, keteguhan di tengah kesulitan yang
tak terperikan akan selalu kukenang dan ingin kubagi dengan orang-orang yang
sedang menderita di seluruh penjuru dunia.
Kamp Shatila telah menerima gempuran habis-habisan. Selama empat puluh hari dan
empat puluh malam, bom, granat, dan proyektil diluncurkan ke arah kamp yang
padat penduduk dan hanya berukuran tiga puluh enam ribu meter persegi ini.
Namun, kamp Shatila tetap teguh berdiri dan melahirkan para syuhada. Hari ini,
penduduk kamp merasa bangga dan berjaya. Mereka mengenang bagaimana dalam satu
hari saja, enam ratus bom, granat, dan
roket menghujani rumah-rumah mereka, tetapi mereka pantang menyerah. Mereka
mengenang bagaimana, di lain hari, mereka kehabisan amunisi, mereka maju ke
garis depan dan berpura-pura menembak, menirukan gemuruh suara ledakan untuk
menciptakan kesan seolah-olah mereka membalas serangan.
Alih-alih menyerah, empat gadis Palestina melintasi pos pemeriksaan dengan
menyamar dan membawa kembali tiga puluh lima ribu butir amunisi dan para
penduduk kamp melanjutkan pertempuran. Hari ini, Shatila bukan menangisi kuburan
massal pembantaian yang terjadi pada 1982, melainkan memberikan penghormatan
sekaligus memperingati mereka yang telah mengorbankan nyawa demi mempertahankan
rumah-rumah penduduk. Setelah acara peringatan tersebut, aku kembali ke klinik dan bertemu Hannah,
seorang perawat dari Rumah Sakit Gaza tempatku bekerja pada 1982. Ia tampak
lebih kurus dan matanya memancarkan kesan melankolis. Hampir tiga tahun telah
berlalu, tetapi aku masih mengingat saat berada di ruang perawatan pasien
kecelakaan di Rumah Sakit Gaza, ekspresi wajahnya yang panik ketika ia menyadari
bahwa tabung nitro oksida keliru dilabeli dengan oksigen. Ia berusaha bertahan
selama mungkin di Beirut, bahkan setelah pembantaian 1982, sampai akhirnya ia
ditahan. Sesudah dibebaskan, ia pergi ke luar negeri.
Ketika mendengar berita penyerangan terhadap kamp, ia meninggalkan kuliahnya di
Belgia dan walaupun harus menanggung risiko, ia kembali ke sini. Seraya memeluk gadis yang
sedang tersedu-sedu itu, aku dapat merasakan betapa kurusnya ia. "Hannah,
tolonglah, kuatkanlah dirimu," ujarku padanya. Biasanya, kata-kata seperti itu
akan membuat orang-orang tergugah.
Namun, ia mengusap air matanya, menatapku, dan berkata, "Aku mencobanya, tapi
sampai berapa lama?" Aku tahu jawabannya, tapi memutuskan lebih baik tidak
terlalu banyak bicara. Untunglah, segerombolan pasien telah berkumpul di sekitar
Si Kumbang Merah 17 Jodoh Rajawali 15 Setan Dari Biara Golok Naga Kembar 6

Cari Blog Ini