Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld Bagian 6
mengatakan bahwa Banwell tidak melihat pentingnya melakukan itu karena jembatan
tersebut sebentar lagi akan selesai. Littlemore mengolah informasi yang didapat,
lalu pergi ke lift. Penjaga lift seorang lelaki berkulit keriput yang bersifat aneh, dan tanpa ?rambut di atas kepalanya duduk di atas bangku kayu di dalam lift. Detektif itu
?bertanya kepadanya siapakah yang telah mengunci pintu lift dua malam sebelumnya,
tepat pada malam kematian Malley.
"Aku," jawab lelaki itu dengan rona wajah yang menampakkan bahwa ialah yang
mempunyai kewenangan atas kunci itu.
"Apakah lift ini tengah berada di atas atau justru berada di bawah ketika kau
menguncinya malam itu?"
"Tentu saja di atas. Kau tidak terlalu pandai rupanya, anak muda" Bagaimana
liftku bisa berada di bawah jika aku tengah berada di atas?"
Pertanyaan itu bagus. Lift itu dioperasikan secara manual. Hanya seorang yang
berada di dalam lift yang dapat membawanya ke atas atau ke bawah. Karena itu
ketika petugas lift itu menyelesaikan tugasnya pada malam hari, lift itu
tentunya tengah berada di atas dermaga. Tetapi jika petugas lift itu telah
mempertanyakan pertanyaan yang bagus pada Littlemore, detektif itu pun menjawab dengan
pertanyaan yang bagus juga, "Lalu bagaimana lift itu bisa berada di atas sini?"
"Apa?" "Orang yang mati itu," kata Littlemore, "Malley. Ia menginap di bawah pada hari
Selasa malam ketika semua orang sudah ke atas?"
"Benar," lelaki tua itu menggelengkan kepalanya, "Si Bodoh Malley. Ini bukan
yang pertama kalinya. Aku sudah mengatakan padanya, ia tidak seharusnya bermalam
di bawah. Aku sudah katakan padanya."
"Dan mereka menemukannya di sini, di dalam liftmu, di dermaga, keesokan
harinya?" "Benar. Mati seperti ikan mati. Kau masih bisa melihat bekas darahnya. Aku sudah
mencoba membersihkannya selama dua hari, tetapi tidak bisa. Aku mencucinya
dengan sabun, aku mencucinya dengan soda. Coba kau lihat?"
"Jadi, bagaimana ia bisa ke atas sini?" Tanya detektif itu lagi.
Sembilanbelas CARL JUNG BERDIRI terlihat tinggi dan tegak di ambang pintu kamar Freud. Ia
berpakaian lengkap dan resmi dan bersikap seakan ia bukanlah seorang lelaki yang
baru saja asik bermain dengan ranting dan batu di lantai kamar hotelnya.
Freud yang mengenakan rompi dan kemeja berlengan meminta tamunya untuk ? ?bersikap santai. Nalurinya mengatakan padanya bahwa percakapan ini sangat
penting. Namun Jung memang tidak tampak sehat, begitulah Freud menilai. Semula
Freud tidak percaya akan tuduhan Brill, tetapi ia kemudian mulai setuju bahwa
Jung mungkin saja masih memperpanjang masa kejayaan Freud tanpa berniat
mengunggulinya. Freud tahu, Jung lebih cerdas dan kreatif dibandingkan dengan para pengikutnya
yang lain. Ia mungkin adalah orang pertama yang mendobrak tatanan baru. Tetapi
tidak diragukan lagi, Jung memiliki kompleksitas seorang ayah. Dalam surat
pertamanya, Jung telah memohon selembar foto milik Freud, sambil mengatakan ia
akan "memuja"nya. Ketika itu Freud memang merasa tersanjung. Tetapi kemudian
Jung secara jelas meminta Freud untuk tidak menganggapnya sebagai rekan setara
tetapi sebagai putranya. Freud pun menjadi prihatin dan mengatakan pada dirinya
sendiri bahwa ia harus menaruh perhatian khusus untuk hal itu.
Bagi Freud sejauh yang diketahuinya Jung tidak memiliki teman lelaki lainnya
? ?dan lebih senang berteman dengan wanita. Sejumlah wanita, bahkan terlalu banyak
jumlah. Itulah kesulitan Jung lainnya. Karena komunikasi Hall, Freud tidak lagi
dapat menghindari percakapan dengan Jung tentang pasien wanita Jung yang
ternyata juga kekasihnya. Freud telah membaca surat Jung yang tidak sopan kepada
ibu si gadis. Dan yang paling penting dari semuanya, ada laporan dari Ferenczi
tentang keadaan kamar hotel Jung.
Satu hal yang dicemaskan Freud adalah kepercayaan Jung terhadap pokok ajaran
psikoanalisa. Dalam beberapa surat dan percakapan pribadi mereka selama berjamjam, Freud telah menguji, mendorong, serta menggali tentang hal itu. Tidak
diragukan lagi, Jung benar-benar percaya
pada etiologi [penyelidikan relasi kausal dalam penyakit] seksual, dan
berkeyakinan penuh, mampu mengatasi keraguannya sendiri setelah melihat hipotesa
Freud yang telah dipastikan berkali-kali di dalam praktik klinis.
"Selama ini kita selalu saling bicara dengan bebas," kata Freud, "sekarang, kita
juga bisa begitu, bukan?"
"Aku senang sekali," kata Jung, "terutama sekarang ketika aku khawatir akan
kewibawaan paternalmu."
Freud berusaha untuk tidak memperlihatkan keterkejutannya. "Bagus, bagus. Mau
kopi?" "Tidak, terima kasih. Nah, Itu terjadi kemarin, ketika kau memilih untuk
menyembunyikan kebenaran mimpi Count Thun-mu demi menjaga kewibawaanmu. Kau
melihat paradoksnya. Kau takut kehilangan kewibawaanmu; akibatnya, justru kau
kehilangan kewibawaanmu. Kau lebih peduli pada kewibawaanmu dibandingkan dengan
kebenaran; denganku, tidak bisa tidak ada kewibawaan selain kebenaran. Tetapi
lebih baik begini. Alasanmu hanya akan menjadi baik daripada kebebasanku.
Memang, alasanmu telah membaik. Aku telah memecahkan masalah incest [hubungan
badan antara dua orang sedarah]!"
Dari rentetan katakata Jung, Freud menangkap kata, "alasanku?"
"Apa?" "Kau mengatakan 'alasanmu' " ulang Freud. "Tidak." "Kau mengatakannya. Dua
kali." "Yah, itu alasanmu, bukan" Alasanmu dan alasanku. Hal itu akan menjadi lebih
kuat tanpa batas sekarang. Tidakkah kau mendengarku" Aku telah memecahkan
masalah insest." "Apa maksudmu dengan 'memecahkannya'?" Tanya Freud, "masalah apa?"
"Kita tahu bahwa putra yang sedang tumbuh tidak benar-benar mendambakan ibunya
secara seksual, karena ibunya memiliki urat-urat varises dan payudara yang sudah
turun. Itu jelas dirasakan siapa pun. Begitu juga putra yang masih kecil, yang
tidak memiliki keinginan penetrasi. Lalu mengapa orang neurosis dewasa berputar
begitu seringnya di sekitar kompleks Oedipal, seperti kasus-kasusmu dan
penegasanku sendiri" Jawabannya aku temukan melalui sebuah mimpi tadi malam.
Konflik orang dewasa menghidupkan kem baii materia/ infantii [sudut pandang yang
bersifat kebocahan]. Libido yang tertekan pada penderita gangguan jiwa, tertekan
ke belakang hingga ke saluran infantii, tepat seperti yang telah selalu kau
katakan! Yaitu ke tempat ibunya berada seorang yang pernah memiliki arti khusus?baginya walau ia tidak benar-benar menginginkan ibunya."
?Kalimat itu menimbulkan reaksi jasmani yang menarik pada diri Sigmund Freud.
Darahnya mengalir dengan cepat ke dalam pembuluh di sekitar kortek selebralnya,
yang mengakibatkan perasaan berat pada tengkoraknya. Ia menelan liur dan
berkata, "Kau menyangkal kompleks Oedipal?"
"Sama sekali tidak. Bagaimana mungkin" Aku yang menciptakan istilahnya."
"Istilah kompleks memang milikimu," kata Freud, "kau mempertahankan adanya
kompleks namun menyangkal Oedipal."
"Tidak!" sergah Jung, "aku mempertahankan segala prinsip pendapatmu. Penderita
gangguan jiwa memang memiliki kompleks Oedipal. Gangguan jiwa mereka menyebabkan
mereka percaya bahwa mereka mendambakan ibu mereka secara seksual."
"Maksudmu sebenarnya tidak ada keinginan insest. Tidak ada pada orang-orang yang
sehat." "Bahkan pada orang-orang yang terganggu jiwanya juga tidak! Ini luar biasa.
Orangorang yang terganggu jiwanya kemudian mengidap kompleks keibuan karena
libidonya terdorong ke saluran infantii. O rang neurotis itu kemudian memberinya
alasan untuk menghukum dirinya sendiri. Ia merasa bersalah karena keinginan
seksual yang tidak pernah tercapai."
"Aku mengerti. Lalu apa yang membuat gangguan jiwanya?" Tanya Freud.
"Konflik masa kininya. Apa pun yang diinginkan, si pengidap nerotis tidak
mengakuinya. Apa pun kewajiban hidupnya, ia tidak bisa menghadapinya."
"Ah, konflik masa kini," kata Freud. Kepalanya tidak lagi terasa berat, malahan
ada perasaan ganjil, "jadi tidak ada alasan sama sekali untuk menyelidiki masa
lalu keadaan seksual pasien. Atau juga masa kanak-kanaknya."
"Tepat," kata Jung, "Aku belum pernah berpikir begitu. Dari pandangan klinis
murni,konflik masa kini adalah sesuatu yang harus diungkap dan diusahakan hingga
tuntas terungkap. Pengaktifan kembali sudut pandang seksual dari masa kanakkanak, dapat digali, tetapi itu sebuah godaan, sebuah jebakan. Sekarang yang
sedang kutulis adalah usaha pasien itu untuk melarikan diri dari gangguan
jiwanya. Kau akan melihat berapa banyak lagi pengikut psikoanalisa yang akan
bertambah karena adanya pengurangan perhatian pada peran seksualitas."
"Oh, kurangi saja semuanya..., lalu kita akan melakukan psikoanalisa itu dengan
lebih baik," kata Freud, "boleh aku bertanya" Jika insest tidak benar-benar
diinginkan penderita, mengapa hal itu menjadi tabu?" "Tabu?"
"Ya," kata Freud, "mengapa ada larangan insest dalam masyarakat yang pernah ada,
jika tidak seorang pun pernah menginginkannya?"
"Karena..., karena..., banyak hal yang ditabukan padahal sebenarnya memang tidak
diinginkan." "Sebutkan satu saja."
"Yah, banyak hal. Ada daftar panjang tentang hal itu," kata Jung.
"Sebutkan satu saja."
"Jadi..., contohnya, sekte hewan zaman prasejarah, patung-patung, mereka..., ah..."
Jung tidak mampu menyelesaikan kalimatnya.
"Boleh aku bertanya satu hal lagi?" Tanya Freud, "tadi kau mengatakan pandangan
ini kau temukan jawabannya melalui tafsir mimpi. Aku ingin tahu seperti apa
mimpimu itu. Mungkin ada tafsir lainnya yang bisa digali?"
"Aku tidak mengatakan melalui tafsir mimpi," kata Jung, "aku mengatakan dalam
sebuah mimpi. Memang, aku tidak benar-benar tidur."
"Aku tidak mengerti," kata Freud.
"Kau tahu suara-suara yang didengar seseorang pada malam hari, tidak lama
sebelum tertidur. Aku telah melatih diri untuk dapat mendengarnya. Salah satu
dari mereka berbicara padaku dengan petuah kuno. Aku telah melihatnya. Ia
seorang lelaki tua, seorang Gnostiki Mesir, ia disebut disebut Philemon..., benar,
ini sebuah gagasan yang tak masuk akal. Ialah yang mengungkap rahasia itu
i Gnostik di sini memiliki pemahaman pelaku praktik kesufianatauirfan
untukku." Freud tidak menjawab. "Aku tidak takut karena kau memperlihatkan keraguanmu," kata Jung, "ada lebih
banyak lagi hal di surga dan di bumi, Sang Professor, dibandingkan dengan mimpi
di dalam pengertian pskologimu."
"Aku percaya itu. Tetapi dipandu oleh suara" Aku kurang dapat menerimanya."
"Mungkin aku telah memberimu kesan yang salah," kata Jung, "aku tidak menerima
katakata Philemenon tanpa alasan. Ia menyelesaikan kasusnya melalui tafsir
sekte-sekte pemuja dewi yang primitif. Aku yakinkan kau, pada awalnya aku tidak
memercayainya. Aku mengajukan beberapa keberatan, namun semuanya bisa dijawab
olehnya." "Kau berkomunikasi dengannya?"
"Tampaknya jelas sekali kau tidak bergembira dengan inovasi teoriku."
"Aku prihatin pada sumber teorimu," kata Freud.
"Tidak. Kau memikirkan tentang teori-teorimu sendiri, teori-teori seksualmu,"
kata Jung dengan kemarahan yang tampak meningkat, " maka kau mengubah topik
pembicaraan dan mencoba memancingku ke percakapan tentang supranatural. Aku
tidak mau terpancing. Aku memiliki alasan obyektif."
"Yang diberikan oleh jiwa?"
"Hanya karena kau tidak pernah mengalami fenomena seperti itu, bukan berarti
mereka tidak ada." "Aku jamin mereka ada," kata Freud, "tetapi harus ada pembuktian akan hal itu,
Jung." "Aku telah melihatnya, aku sudah mengatakannya padamu!" seru Jung, "mengapa itu
tidak bisa dijadikan bukti" Ia menangis ketika menjelaskan padaku betapa
para pharaos mengukirkan nama ayah-ayah mereka dari pikiran monumental
mereka sebuah fakta yang tidak kuketahui sebelumnya, tetapi yang kemudian aku ?pastikan. Siapa dirimu sehingga kau bisa menentukan mana yang bisa dinilai
sebagai bukti mana yang bukan" Apakah asumsi kesimpulanmu bahwa ia tidak ada;
maka apa yang kulihat dan apa yang kudengar tidak bisa dianggap sebagai bukti?"
"Apa yang kau dengar. Itu bukanlah bukti, Cari, jika hanya satu orang yang bisa
mendengarnya." Tibatiba ada bunyi yang keluar dari belakang sofa yang diduduki
Freud, seperti suara retakan atau geraman, seolah ada sesuatu di dalam dinding
yang mencoba untuk keluar.
"Apa itu?" Tanya Freud.
"Aku tidak tahu," sahut Jung. Suara retakan itu terdengar semakin keras sehingga
memenuhi ruangan. Ketika bunyi itu seolah sudah mencapai puncaknya, maka berubah
menjadi bunyi ledakan, pecah seperti petir.
"Apa sih itu?" Tanya Freud.
"Aku tahu bunyi itu," kata Jung. Sebuah kilatan kemenangan menyambar dari
matanya, "aku sudah pernah mendengar bunyi itu. Itulah bukit untukmu! Itu adalah
catalytic exteriorization."
"Apa?" "Sebuah aliran di antara jiwa yang mewujudkan dirinya melalui sebuah obyek
eksternal," Jung menjelaskan, "aku yang menyebabkan bunyi itu terdengar."
"Oh, yang benar saja," kata Freud, "kukira itu mungkin bunyi tembakan senjata!"
Saat Jung mengucapkan kalimat yang luar biasa itu,
bunyi geraman itu mulai lagi. Dengan cara yang sama, bunyi itu meningkat hingga
titik puncaknya yang tidak tertahankan, lalu meledak menjadi bunyi yang
menggelegar. "Apa pendapatmu sekarang?"
Freud tidak mengatakan apa-apa. Ia pingsan dan melorot dari sofanya.
g DETEKTIF LITTLEMORE., bergegas berjalan dari dermaga Canal Street, sambil
menyusun semua informasi yang ada padanya. Ini adalah kasus pembunuhan pertama
yang diungkapnya. Hugel akan sangat bahagia bagai di surga.
Jadi, sama sekali bukan Harry Thaw; tetapi George Banwell, sejak awal hingga
akhir. Banwell-lah yang membunuh Nona Riverford dan mencuri jenazahnya dari
rumah mayat. Littlemore membayangkan Banwell mengemudikan mobilnya ke tepi
sungai, menyeret jenazah ke dermaga, dan menurunkan lift ke kaison. Banwell
tentunya memiliki kunci untuk membuka pintu lift. Kaison merupakan tempat
sempurna untuk melenyapkan mayat.
Tetapi Banwell tentu saja mengira dirinya akan sendirian di kaison itu. Betapa
terkejutnya ia ketika melihat Malley. Bagaimana Banwell akan menjelaskan
alasannya turun ke kaison di tengah malam dengan menyeret mayat" Betapa ia tidak
mampu menjelaskannya, maka ia membunuh Malley.
Penyumbatan di Jendela Lima, dan reaksi Banwell tentang hal itu, memastikan
adanya bukti itu. Bukankah ia tidak mau ada seorang pun yang mengetahui apa yang
menyumbat Jendela Lima"
Detektif Littlemore telah melihat itu semua ketika ia berjalan bergegas di
sepanjang Canal Street semuanya terlihat kecuali mobil Stanley Steamer besar ?berwarna hitam dan merah, yang berjalan lambat menguntit Littlemore setengah
blok di belakangnya. Di dalam benaknya, sewaktu menyeberangi jalan, Littlemore
membayangkan peristiwa promosinya menjadi seorang letnan nanti. Ia melihat pak
Walikota sendiri yang menyematkan tanda itu baginya, dan Betty mengagumi seragam
barunya.Namun ia tidak melihat Steamer yang tibatiba menyeruduk ke depan. Ia
tidak melihat kendaraan yang sedikit membelok untuk menabraknya hingga mati.
Tentu saja ia juga tidak melihat dirinya sendiri melambung ke udara karena
tungkainya disambar sayap roda mobil itu.
Tubuhnya tergeletak di Canal Street ketika mobil itu melaju cepat menuju ke
Second Avenue. Di antara orang-orang yang menyaksikan hal itu, sejumlah orang
meneriakkan sumpah serapah pada pengemudi tabrak lari itu. Salah seorang
menyebutnya sebagai pembunuh. Seorang polisi patroli kebetulan sedang berada di
sudut jalan melihatnya. Ia bergegas menuju arah di mana Littlemore tergeletak,
yang masih memilkik cukup kekuatan untuk membisikkan sesuatu pada telinga opsir
itu. Petugas patroli itu mengerutkan keningnya, namun kemudian mengangguk. M
emerlukan waktu sepuluh menit, sebuah ambulans yang ditarik kuda akhirnya
muncul. Mereka tidak peduli pada rumah sakit mana pun. Mereka segera membawa
Littlemore ke rumah mayat.
g JUNG MERAIH TUBUH FREUD dari bawah kedua bahunya, dan meletakkannya di atas
sofa. Bagi Jung, Freud tampak begitu tua dan tak berdaya. Pengajar teori-teori
yang menakutkan itu sekarang tampak lumpuh dengan lengan dan tungkainya yang
menggelantung. Freud sadarkan diri dalam beberapa detik. "Betapa
menyenangkannya," katanya, "jika aku mati."
"Kau sakit?" Tanya Jung.
"Bagaimana kau melakukannya, suara itu?"
Jung menggerakkan bahunya.
"Aku akan menganggapnya sebagai parapsikologi..., pegang ucapanku," kata Freud,
"Prilaku Brill, aku benar-benar menyesalinya. Ia tidak mewakili ucapanku."
"Aku tahu." "Selama satu tahun aku telah menuntutmu terlalu banyak untuk selalu
memberitahuku apa yang sedang kau kerjakan," kata Freud, "aku tahu itu. Aku akan
menarik masalah prilaku yang dipicu oleh libido yang kujanjikan padamu juga.
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi aku khawatir, Cari. Ferenczi melihat..., kau bermain dengan desa kecilmu."
"Ya, aku telah menemukan cara baru untuk menyalakan kembali kenangan masa kanakkanak. Melalui bermain. Sewaktu kanaka-kanak, dahulu aku membangun kota yang
lengkap." "O, begitu," kata Freud berusaha duduk, dan meletakkan sapu tangan pada
keningnya. Ia menerima segelas air dari Jung.
"Biarkan aku menganalisa dirimu," kata Jung, "aku bisa menolongmu."
"Menganalisaku" Ah maksudmu, pingsanku yang baru saja terjadi itu" Kau pikir aku
neurotis?" "Tentu saja." "Aku setuju," kata Freud, "tetapi aku sudah tahu
penyebabnya." "Ambisimu. Itu yang telah membutakan dirimu. Sangat buta. Aku juga pernah
seperti itu." Freud menarik nafas dalam. "Buta, maksudmu, karena aku takut
dijatuhkan dari tahta, kecemburuanku pada keberhasilanmu, usahaku yang tak
pernah berhenti untuk terus membuatmu ada di bawahku?"
Jung menatapnya. "Kau mengetahuinya?"
"Aku mengetahui apa yang akan kau katakan," kata Freud, "apa yang telah
kulakukan sehingga aku mendapatkan itu semua" Apakah aku belum mengutamakan
dirimu pada setiap kesempatan, dengan cara memberikan pasienku padamu, memujimu,
menghormatimu" Apakah aku belum melakukan segalanya dalam batas kekuasaanku
untukmu, bahkan dengan risiko melukai kawan lama, demi memberikan kedudukan
kepadamu yang tidak aku berikan untuk diriku sendiri?"
"Tetapi kau menganggap rendah hal yang paling penting bagiku yaitu berbagai
penemuanku. Aku telah memecahkan masalah insest. Itu merupakan sebuah revolusi.
Namun kau menyepelekan hal itu."
Freud meraba alisnya. "Aku yakinkan dirimu, aku tidak seperti itu. Aku
betulbetul sangat menghargai nilai pentingnya. Kau menceritakan pada kami sebuah
mimpi yang kau alami ketika di atas kapal George Washington. Kau ingat" Kau
berada di dalam sebuah gudang atau gua, jauh di bawah permukaan tanah. Kau
melihat kerangka manusia. Kau katakan tulang belulang milik Emma istrimu dan ? ?sudara perempuannya."
"Kukira begitu," kata Jung, "mengapa?"
"Kau kira?" "Ya, begitu. Mengapa?"
"Kepunyaan siapakah tulang-belulang itu sebenarnya?" "Apa maksudmu?" Tanya Jung.
"Kau bohong." Jung tidak menjawab.
"Ayo," kata Freud, "setelah duapuluh tahun aku berpraktik dan melihat pasienpasien berbohong, kau pikir aku tidak tahu saat kau berbohong?"
Jung masih tidak menjawab. Kerangka manusia itu milikku, bukan?" Kata Freud.
"Bagaimana jika memang begitu?" Kata Jung, "mimpi itu mengatakan aku akan
melampauimu. Aku hanya berharap bisa menjaga perasaanmu."
"Kau berharap aku mati, Cari. Kau telah menjadikan aku ayahmu, dan sekarang, kau
berharap aku mati." "Aku mengerti," kata Jung, "aku mengerti ke mana arah pembicaraanmu. Berbagai
penemuan teoritisku bisa menjatuhkan dirimu. Itulah yang selalu kau katakan,
bukan" Jika ada yang tidak setuju denganmu, pastilah kau anggap orang itu sakit
jiwa. Sebuah perlawanan, sebuah harapan Oedipal, sebuah pembunuhan terhadap
ayahnya sendiri..., apa pun, selain kebenaran obyektif. Maafkan aku, aku pastilah
telah terpengaruh oleh keinginan untuk dimengerti secara intelektual sekali
saja. Bukan didiagnosa, tetapi hanya dimengerti. Namun bisa jadi, itu tidak
mungkin dengan psikoanalisa. Boleh jadi fungsi yang sesungguhnya dari
psikoanalisa adalah untuk menghina dan melumpuhkan orang lain melalui bisikan
halus tentang panyakit mereka..., seolah hal itu merupakan penjelasan dari
sesuatu. Teori yang luar biasa!"
"Dengarkan apa yang sedang kau katakan, Jung. Dengarkan suaramu. Aku hanya
memintamu untuk mempertimbangkan kemungkinannya, hanya kemungkinannya,
bahwa 'kompleksitas kebapakanmu, sebagaimana kau sebutkan sebelumnya, sedang
terjadi di dalam dirimu sekarang. Sayang sekali jika kau membuat pernyataan
kepada khalayak tentang sedikit orang yang motivasi murni psikoanalisanya baru
akan terlihat di kemudian hari."
"Kau minta kita bicara jujur," kata Jung, "aku berniat untuk itu. Aku mengerti
dirimu. Aku tahu permainanmu. Kau mencari-cari penyakit orang-orang itu setiap
kali mereka salah bicara, membidik kelemahan mereka, menjadikan mereka semua
seperti anak-anak, sementara kau tetap berada di atas, bersuka-ria dalam
kewibawaan seorang ayah. Tidak ada yang berani menarik jenggot sang Guru. Yah,
aku sama sekali tidak sakit jiwa. Bukan aku yang pingsan. Bukan aku juga yang
tidak bisa menahan desakan buang air kecil. Kau katakan satu hal yang benar hari
ini: pingsanmu itu adalah penyakit jiwa. Nah, aku telah menderita karena
penyakit jiwa..., penyakit jiwamu atas dasar ketentuanmu, bukan penyakit jiwaku.
Kupikir kau membenci para penderita sakit jiwa. Kupikir analisa merupakan
pembebasan untuk penyakit itu. Kau jadikan kami semua sebagai putra-putramu,
lalu kau hanya menunggu ekspresi agresi dari kami seraya berbaring yang ?tentunya semua itu kau buat akan terjadi lalu kau akan meloncat sambil
?berteriak Oedipus atau harapan kematian. Vah, aku tidak peduli pada diagnosamu."
Ruangan itu menjadi sangat sunyi.
"Tentu saja kau akan menganggap ini semua sebagai kritikan," kata Jung dengan
nada malu-malu, "tetapi aku bicara atas dasar persahabatan."
Freud mengeluarkan cerutunya.
"Demi kebaikanmu sendiri," kata Jung lagi, "bukan kebaikanku."
Freud menghabiskan air putihnya. Tanpa menyalakan cerutunya, ia berdiri dan
berjalan ke pintu ruangan. "Kita memiliki pengertian, kita saling menganalisa di
antara kita sendiri," katanya, "tidak seorang pun harus merasa malu tentang
sedikit neurosis yang ada pada diri kita. Tetapi jika seseorang bersumpah bahwa
dirinya terlihat sehat sementara bersikap tidak wajar, menandakan kurangnya
wawasan orang itu akan penyakitnya sendiri. Bebas saja. Lepaskan aku dari
persahabatanmu itu. Selamat tinggal."
Freud membuka pintu bagi Jung supaya keluar, dan bersamaan dengan itu, Jung
mengucapkan kalimat terakhirnya. "Kau akan tahu apa artinya ini bagimu.
Selebihnya, aku tidak akan bicara lagi."
g GRAMERCY PARK SANGAT sejuk dan damai. Aku tetap duduk di bangku taman itu hingga
sekian lama setelah Nora berlari pulang. Aku menatap rumahnya. Begitu juga rumah
tua Paman Fish-ku di sekitar sudut jalan. Sewaktu kecil, kerap aku
mengunjunginya. Paman Fish tidak pernah mengizinkan kami menggunakan kunci
tamannya. Pada awalnya aku bingung juga, karena Nora pulang dengan membawa
kuncinya, artinya aku tidak bisa keluar dari taman ini. Namun aku kemudian
sadar, tentunya kunci itu hanya dibutuhkan untuk masuk ke taman ini saja, bukan
untuk keluar juga. Walau aku sangat tidak menyukai gagasan itu, paling tidak aku harus mengakui
kebenaran teori Oedipus penemuan Freud. Aku telah mempertahankan sangkalanku
begitu lama. Untuk meyakinkan hal itu beberapa orang pasienku telah mengeluarkan
pengakuan mereka sehingga
aku dapat menyangkal teori itu. Tetapi sayangnya, aku tidak punya pasien yang
dengan terus terang mengakui tanpa imbuhan keterangan bahwa ia memiliki gairah? ?incest.
Nora telah mengakui gairah insestnya. Kukira aku mengagumi kesadarannya. Tetapi
aku jelas sangat terkejut.
To a nunnery, go [pergilah ke biara]. Aku sedang memikirkan perintah Hamlet yang
diulang-ulang kepada Ophelia, tepat kalimat to be, or not to be, supaya Ophelia
masuk biara. Apakah Ophelia akan menjadi seorang induk bagi para pendosa" tanya
Hamlet padanya. Jadilah semurni es..., kau tidak akan terbebas dari fitnahz.
Apakah Ophelia akan melukisi wajahnya sendiri" Tuhan telah memberimu seraut
wajah, dan kau membuat bagi dirimu sendiri wajah yang laini.
Pertimbangan hatiku adalah aku tahu bahwa aku tidak akan mampu menyentuh Nora
sekarang. Aku bahkan nyaris tidak mampu memikirkan dirinya seperti itu. Tetapi
?terkutuklah aku jika mampu untuk memikirkan seorang lelaki lain bisa
menyentuhnya. Aku tahu betapa tidak masuk akalnya reaksiku. Nora tidak bertanggungjawab atas
apa yang dirasakannya. Ia tidak memilih untuk memiliki gairah insest, bukan" Aku
tahu ini, tetapi itu tidak mengubah apa pun.
Aku bangkit dari bangku, mengusapkan tanganku pada rambutku. Aku berusaha
memusatkan perhatian pada aspek medis kasus ini. Aku masih seorang dokter yang
menanganinya. Secara klinis, pengakuan Nora bahwa ia telah menyaksikan
penyerangan kemarin malam dari atas, itu jauh lebih penting dibandingkan dengan
pengakuannya 3 Kalimat aslinya berbunyi, be thou as chaste as ice ....thoushalt not escape
calumny. 3 God hath given you one face, and you make yourselves another.
akan gairah Oedipal gadis itu. Aku mengatakan padanya bahwa pengalaman semacam
itu biasa terjadi dalam mimpi, tetapi ketika dikombinasikan dengan kenyataan
luka bakar akibat rokok pada kulitnya, kisahnya terdengar lebih dekat ke
psikosis. Ia mungkin memerlukan lebih dari sekadar analisa. Lebih tepat lagi, ia
harus dimasukkan rumah sakit. Masukkan ia ke sanatorium.
Namun, aku tidak bisa memercayai bahwa ia sengaja melukai dengan cambukan yang
?ganas pada hari Senin pada dirinya sendiri. Aku juga tidak siap untuk
?mengakuinya sebagai suatu kepastian bahwa kejadian tadi malam hanyalah sebuah
halusinasi. Beberapa kenangan yang berhubungan dengan sekolah kedokteranku
berkelebatan masuk dan keluar dalam kepalaku.
New York University tidak terlalu jauh di kota. Ternyata pintu gerbang Gramercy
Park memang terkunci. Aku harus memanjat untuk keluar. Ketika melakukannya, aku
merasa tidak bertanggungjawab bagaikan seorang penjahat.
Berjalan melintasi Washington Square, aku menyeberang di bawah gerbang monumen
Stanford White's dan bertanya-tanya tentang kekejaman cinta. Apa lagi yang dapat
diperbuat seorang arsitek hebat jika ia tidak ditembak mati oleh orang tidak
waras, atau seorang suami yang cemburu, atau seorang lelaki seperti yang tengah
dicoba oleh Jelliffe untuk dibebaskan dari penjara" Di bawah sana
adaperpustakaan New York Univerisity.
Aku mulai dengan karya Profesor James tentang nitrus oksid, yang sudah sangat
kukenal sejak di Harvard. Tetapi aku tidak menemukan penjalasan apa pun. Naskah
anastesi umum sama sekali tidak ada gunanya bagiku. Maka aku beralih ke
literatur tentang kekuatan batin.
Kartu katalognya memiliki catatan tentang PRO YEKSI PERBIN TAN GAN, namun
ternyata isinya adalah ocehan teosofis. Lalu aku mendatangi selusin catatan di
bawah keterangan B1LO CATION. Dari sini, setelah dua jam pencarian, akhirnya aku
menemukan apa yang kucari.
Aku beruntung: Durville memberikan beberapa rujukan dalam bukunya yang baru saja
diterbitkan tentang hantu. Bozzano telah melaporkan sebuah kasus yang sangat
tidak senonoh. Bahkan Osty dalam Revue Metapsychique periode M ei-Juni,
menjelaskan lebih jauh lagi. Tetapi kasus yang kutemukan di Battersby-lah yang
mengurangi segala keraguanku.
Aku meronta-ronta dengan ganas sehingga dua orang perawat dan seorang ahli tidak
mampu menahanku... Yang kutahu berikutnya adalah terdengar lengkingan tajam,
sehingga aku terbangun mengambang di udara, dan melihat ke bawah di atas para
perawat dan dokter yang sedang membungkuk di atas tempat tidur. Aku sadar bahwa
mereka sedang berusaha, walau gagal, untuk menghentikan teriakanku: sebenarnya
aku mendengar mereka mengatakan: "Nona B, nona B, jangan berteriak seperti itu.
Kau membuat takut pasien lainnya." Pada waktu itu juga aku sangat tahu bahwa aku
benar-benar terpisah dari tubuhku yang sedang berteriak-teriak yang aku sendiri
tak dapat untuk menghentikannya.
Aku tidak punya nomor telepon Detektif Littlemore, tetapi aku tahu ia bekerja di
kantor polisi pusat yang baru itu di kota. Jika aku tidak dapat menemukannya di
sana secara langsung, setidaknya aku akan dapat meninggalkan pesan.
Duapuluh DI GEDUNG VAN DEN HEUVEL, seorang anak lelaki pembawa pesan berlari ke kantor
ahli otopsi Hugel untuk mengabari bahwa sebuah ambulans baru saja mengirimkan
jenazah ke rumah mayat. Tanpa bergerak sedikit pun Hugel mengusirnya, tetapi
anak itu tidak mau pergi. Itu bukan sekadar mayat, kata anak lelaki itu. Tetapi
itu jenazah Detektif Littlemore. Hugel, yang sedang dikelilingi beberapa buah
kardus dan tumpukan kertas yang berserakan di lantai, memaki dan berlari ke
lantai bawah tanah lebih cepat daripada anak itu sendiri.
Jasad Littlemore tidak ada di tempat penyimpanan jenazah. Namun diletakkan di
ruang tunggu laboratorium tempat Hugel melakukan otopsi. Jenazah itu telah
disorong di atas sebuah tandu beroda dan diletakkan di salah satu meja operasi.
Petugas ambulans sudah pergi.
Hugel dan anak lelaki tadi terpaku di sisi mayat Littlemore yang meringkuk.
Hugel mencengkeram bahu anak lelaki itu dengan sangat erat.
"Ya Tuhan," kata Hugel, "Ini salahku."
"Itu bukan salah Anda, Pak Hugel," kata mayat itu sambil membuka matanya.
Anak lelaki pembawa berita itu menjerit.
"Keparat kau!" Hugel mencaci.
Littlemore duduk dan membersihkan bahu pakaiannya. Ia melihat ada campuran
perasaan bingung, sebanyak itu juga duka yang berkepanjangan serta kemarahan
yang menumpuk pada wajah Hugel. "Maaf, Pak Hugel," kata Littlemore malu-malu,
"Aku hanya berpikir kita
mungkin mempunyai rahasia, karena orang yang berusaha membunuhku itu ingin
mengambilnya dariku."
Hugel berjalan menjauh. Littlemore meloncat turun dari meja operasi. Begitu
mulai menyentuh lantai, ia menjerit kesakitan. Tungkai kanannya ternyata jauh
lebih sakit daripada yang dirasakannya tadi. Ia mengikuti Hugel, sambil
menjelaskan teori kematian Seamus Malley.
"Tidak masuk akal," kata Hugel. Ia melanjutkan menaiki anak tangga, tanpa mau
menoleh kepada Littlemore yang terseok-seok di belakangnya, "untuk apa Banwell
membunuh Malley, lalu menyeret tubuhnya ke lift" Untuk menemaninya ke atas?"
"Mungkin Malley meninggal dalam perjalanan ke atas di dalam lift."
"O, begitu," kata Hugel, "Banwell membunuhnya di dalam lift, lalu
meninggalkannya di sana supaya memperbesar kemungkinan tuduhannya telah membunuh
dua orang. Banwell tidak bodoh, Detektif. Ia adalah orang yang penuh
perhitungan. Jika ia melakukan apa yang kau duga, ia lebih baik menurunkan lift
itu langsung ke bawah ke kaison dan membuang mayat Malley
sebagaimana ia membuang mayat gadis Riverford seperti katamu."
"Tetapi tanah liat itu, Pak Hugel, aku lupa mengatakan tentang tanah liat itu...,"
"Aku tidak mau mendengarnya lagi," kata ahli otopsi. Saat itu mereka telah tiba
di kantor Hugel. "Aku tidak mau mendengar lagi tentang itu. Mengapa kau tidak
pergi ke Walikota McClellan" Pasti kau sudah ditunggu olehnya berikut penonton
lainnya. Aku sudah katakan padamu, kasus itu sudah ditutup."
Littlemore mengedipkan matanya dan menggelengkan
kepalanya. Ia melihat setumpukan dokumen dan kotak-kotak pindahan yang tersebar
di lantai kantor Hugel. "Kau mau pergi ke suatu tempat, Pak Hugel?"
"Benar," kata Hugel, "aku mau berhenti kerja."
"Berhenti?" "Aku tidak bisa bekerja dalam keadaan seperti ini. Kesimpulanku tidak dihargai."
"Tetapi ke mana kau akan pergi, Pak Hugel?"
"Kau pikir hanya kota ini yang membutuhkan pemeriksaan medis untuk mayat?" Ahli
otopsi itu memeriksa kardus-kardus catatan yang betebaran di kantornya,
"sebenarnya, aku tahu ada lowongan di Cleve-land, Ohio. Pendapatku akan dihargai
di sana. Mereka akan membayarku tidak sebanyak di sini, tentu saja, tetapi itu
tidak menjadi masalah. Aku sudah punya tabungan. Tidak ada yang dapat
mengeluhkan catatan pekerjaanku, Detektif. Penggantiku akan menemukan segalanya
tercatat dengan sangat rapi yang sudah aku susun. Kau tahu bagaimana keadaan
rumah mayat ini sebelum aku datang?"
"Tetapi Pak Hugel," kata detektif itu.
Ketika itu, Louis Riviere dan Stratham Younger muncul di koridor. "Monsieur
Littlemore!" Jerit Riviere, "Ia masih hidup!"
"Sayangnya begitu," kata Hugel menyetujui. "Bapak-bapak, permisi ya. Aku harus
bekerja." g CLARA BAN WELL SEDANG mendinginkan tubuhnya dengan cara berendam di kamar mandi
ketika ia mendengar pintu depan tertutup. Kamar mandi itu bergaya Turki,
bertatahkan keramik biru Mudejar dari Andalusia,
yang dipasang di apartemen Banwell atas permintaan khusus Clara. Ketika
terdengar Banwell memanggilnya dari sebuah serambi di dalam rumah, ia bergegas
membungkus tubuhnya dengan dua helai handuk putih. Satu untuk tubuhnya, satu
lagi untuk rambutnya. Dengan tetesan air yang masih terisisa dari tubuhnya, Clara menemui Banwell di
ruang tamu yang berukuran empatbelas meter. Suaminya memegang sebuah gelas,
sambil menatap ke arah Sungai Hudson. Ia sedang menuangkan bourbon di atas es
batu. "Ke sini," kata Banwell dari seberang ruangan, tanpa menoleh, "kau
menemuinya?" "Ya," kata Clara masih tetap berada di tempatnya.
"Lalu?" "Polisi percaya Nora melukai dirinya sendiri. Mereka percaya ia gila atau
menuntut balas dendam padamu."
"Apa yang kau katakan pada mereka?" Tanya Banwell.
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bahwa kau ada di sini sepanjang malam." Banwell menggeram. "Apa kata Nora?"
"Nora sangat rapuh, George. Kupikir...,"
Bunyi botol wiski menghantam pelataran meja kaca mengganggu Clara. Mejanya tidak
retak, tetapi alkohol terpercik dari mulut botol. George Banwell berpaling
menghadap ke istrinya, "Ke sini," katanya lagi.
"Aku tidak mau."
"Ke sini." Clara mematuhinya. Ketika ia berada di dekatnya, suaminya mengerling ke bawah.
"Tidak," kata Clara. "Ya."
Clara melepaskan ikat pinggang dari lubang-lubang celana suaminya. Banwell
menuangkan minuman lagi. Clara menyerahkan ikat pinggang dari kulit berwarna hitam itu. Lalu ia
mengangkat kedua tangannya, dan mempertemukan kedua telapak tangannya. Banwell
mengikatkan ikat pinggang itu pada pergelangan tangan Clara, memasukkan kepala
ikat pinggangnya, dan menariknya erat. Clara menyeringai.
Banwell menarik tubuh istrinya padanya, dan mencoba mencium bibirnya. Clara
membiarkannya mencium ujung mulutnya, lalu mengalihkan pipinya, dan yang
lainnya. Banwell membenamkan kepalanya pada leher telanjang istrinya, Clara
menelan udara semulut penuh. "Jangan," katanya.
Banwell memaksanya untuk berlutut. Walau tangannya terikat dengan ikat pinggang,
Clara masih bisa menggerakkan tangannya dengan cukup baik untuk membuka celana
panjang suaminya. Banwell melepaskan handuk putih itu dari tubuh Clara.
Beberapa saat kemudian, George Banwell duduk di atas sebuah sofa besar yang bisa
digunakan untuk tidur, berpakaian lengkap, sambil menyesap bourbon. Sementara
Clara, bugil, berlutut di lantai, punggungnya menghadap ke arah suaminya.
"Katakan apa yang dikatakan Nora," perintahnya sambil mengendurkan dasinya.
"George," Clara berpaling dan menatapnya, "bisakah diakhiri sekarang" Ia hanya
seorang gadis kecil. Bagaimana ia bisa menyakitimu lagi?"
Clara segara merasakan justru perkataannya malah menyulut, bukannya memadamkan
amarah suaminya. Banwell berdiri, sambil mengancingkan pakaiannya. "Hanya
seorang gadis kecil," ulangnya.
9 LELAKI PERANCIS ITU PASTILAH memiliki perasaan simpati pada Detektif Littlemore.
Ia mencium kedua belah pipi Littlemore.
"Aku harus berpura-pura mati lebih sering," kata Littlemore, "sekarang inilah
kau menunjukkan penghargaan terbaikmu padaku, Louie."
Riviere memberikan sebuah map besar kepada detektif itu. "Hasilnya sangat
sempurna," katanya, "sebenarnya aku sendiri terkejut. Aku tidak menduga gambar
itu akan terlihat begitu rinci dalam alat pembesar. Sangat luar biasa." Lelaki
Perancis itu pun pulang seraya berseru au revoir [sampai jumpa lagi], bukan
adieu [selamat tinggal]. Aku sekarang sendirian bersama detektif Littlemore.
"Kau..., berpura-pura mati?" Tanyaku padanya.
"Itu hanya gurauan. Ketika aku sadar, aku sudah berada di dalam ambulan,
tibatiba aku mendapatkan gagasan yang mungkin menjadi lucu."
Aku ingat. "Begitukah?"
Littlemore melihat ke sekelilingnya. "Sangat lucu," katanya, "hey, apa yang kau
kerjakan di sini?" Aku mengatakan pada Littlemore bahwa aku telah menemukan sesuatu yang mungkin
penting bagi kasus Nona Acton. Tibatiba, aku merasa tidak yakin bagaimana
menceritakannya. Nora telah mengalami semacam biiocation yaitu sebuah kejadian
di mana seseorang berada di dua tempat pada saat yang sama. Ketika masih
berkuliah di Harvard, samar-samar aku ingat pernah membaca tentang biiocation
dalam hubungannya dengan beberapa percobaan awal penggunaan obat anastesi baru
yang telah menjadi sebuah alternatif. Penelitianku memastikan
bahwa aku sekarang yakin kalau Nora telah diberi chloroform (obat pembius), di
mana keesokan paginya, tidak akan ada sisa bau atau efek sampingan bagi Nora.
Masalahku, Nora telah mengaku padaku bahwa ia tidak mengatakan apa pun pada
detektif Littlemore tentang pengalaman aneh pada saat penyerangan itu terjadi.
Ia takut detektif itu tidak akan percaya, begitu katanya. Aku memutuskan untuk langsung mengatakannya: "Ada yang tidak dikatakan Nona Acton
padamu tentang penyerangan kemarin malam. Nona Acton telah melihat..., ia..., ia
mengalami dua hal dalam waktu yang sama. Ia sebagai korban sekaligus sebagai
penonton kejadian itu..., seolah ia adalah bagian luar kejadian itu." Mendengarkan
katakataku yang jelas, aku sadar, aku telah memilih penjelasan yang mungkin
paling kurang mudah dimengerti, paling kurang meyakinkan. Wajah detektif
Littlemore yang tidak berubah, telah mengesankan seperti itu. Aku menambahkan,
"seolah ia melayang di atas tempat tidurnya sendiri."
"Melayang di atas tempat tidurnya sendiri?" Ulang Littlemore.
"Benar." "Chloroform!" Katanya.
Aku terpaku. "Ya, ampun. Bagaimana kau tahu itu?"
"H.G. Wells. Ia adalah penulis kesukaanku. Ia menulis kisah ini tentang kejadian
yang sama persis pernah terjadi kepada seorang lelaki yang dioperasi, setelah
mereka menidurkannya dengan pengaruh chloroform."
"Aku sudah membuang waktu seharian di perpustakaan."
"Tidak, kau tidak membuang waktu," kata detektif Littlemore, "kau bisa
menguatkannya..., secara ilmiah,
maksudku. Kejadian melayang akibat pengaruh chloroform?"
"Ya. Mengapa?" "Dengarkan, catat ini sebentar, oke" Aku harus memeriksa sesuatu selagi kita di
sini. Apa kau bisa ikut denganku?" Littlemore berjalan di sepanjang koridor dan
menuruni tangga, benar-benar terlihat pincang. Sambil menoleh ke belakang, ia
menjelaskan padaku, "Hugel punya mikroskop yang sangat bagus di bawah ini."
Di ruang bawah tanah, kami tiba di sebuah laboratorium forensik kecil, dengan
meja batu pualam dan peralatan medis bermutu tinggi. Dari sakunya, detektif
Littlemore mengeluarkan tiga pucuk amp lop kecil, masingmasing berisi tanah liat
merah kering. Salah satu contoh, begitulah penjelasannya padaku, berasal dari
apartemen Elizabeth Riverford. Yang kedua berasal dari ruang bawah tanah Gedung
Balmoral, dan yang ketiga dari Manhattan Bridge di dermaga milik George ?Banwell. Ketiga contoh tanah itu ditekan pada lempengan kaca kecil terpisah,
yang kemudian diletakkannya di bawah mikroskop. Ia memindahkan satu lempengan
dan dengan cepat menggantinya dengan lempengan lain. "Mereka cocok," katanya,
"ketiganya. Aku sudah tahu."
Kemudian ia membuka rak milik Riviere. Sebuah foto yang memperlihatkan leher
seorang gadis yang bertanda hitam berkembang. Jika aku mengerti maksud detektif
Littlemore dengan benar tetapi tampaknya aku tidak-bercak itu adalah gambar
?terbalik dari gambar yang tercetak pada leher Nona Riverford yang mereka
temukan. Littlemore memeriksa foto itu dengan seksama, sambil membandingkan
dengan peniti kecil dasi lelaki yang terbuat dari emas, yang dikeluarkan dari
saku lainnya. Ia memp erlihatkan peniti itu p adaku memperlihatkan monogram GB. Lalu ia
?mengajakku untuk membandingkan peniti itu dengan foto tadi.
Aku melakukannya. Dengan peniti dasi di tangan, aku dapat melihat garis luar
yang melengkung dari sebuah lencana pada bulatan noda hitam di dalam foto.
"Mereka sama," kataku.
"Ya," kata Littlemore, "hampir serupa. Hanya masalahnya, menurut Riviere, mereka
seharusnya tidak sama. Seharusnya mereka berlawanan. Aku tidak mengerti itu. Kau
tahu di mana kami menemukan peniti dasi itu" Di halaman belakang rumah Acton.
Bagiku, peniti itu membuktikan lelaki itu memang ke rumah Acton, memanjat pohon,
mungkin untuk mencapai jendela kamar Nona Acton." Ia duduk di kursi, tampaknya
tungkai kanannya terlalu sakit untuk berdiri. "Bukankah kau masih mengira itu
perbuatan Banwell, Dok?"
"Ya." "Kalau begitu kau harus ikut aku ke kantor Walikota McClellan," kata detektif
Littlemore. g SMITH ELY JELLIFFE duduk dengan nyaman di deretan kursi depan di Hippodrome,
sebuah ruangan teater terbesar di dunia. Ia menangis diam-diam. Begitu juga
sebagian besar penonton drama itu. Pertunjukan itu begitu mengharukan bagi
mereka: enampuluh empat orang gadis berbaris dengan takzim, kembali ke dalam
danau yang dalamnya lima meter yang merupakan bagian dari panggung raksasa
Hippodrome. (Air di danau itu adalah air asli; wadah udara di bawah air dan
koridor bawah tanah memberikan jalan keluar di belakang panggung). Siapa yang mampu menahan
air mata ketika gadis-gadis cantik dengan pakaian renang yang sopan menghilang
ke dalam air bergelombang, dan tidak akan pernah melihat Bumi lagi. Mereka
terkutuk untuk tampil selamanya bagi raja Martian dalam sirkusnya, yang berada
jauh dari rumah mereka"
Keharuan Jelliffe berkurang, karena tidak lama lagi, ia akan bertemu dengan dua
orang di anatar para gadis cantik tadi. Setengah jam kemudian, Jelliffe
menggandeng pada sisi kanan dan kiri kedua gadis penyelam yang bersepatu tumit
tinggi. Mereka berjalan dengan sangat puas ke ruang makan berpilar di Murray's
Roman's Garden, Forty-second Street. Di belakang Jelliffe, terjulur dua
selendang bulu berwarna merah muda, masingmasing milik kedua gadis itu. Di
depannya berdiri pilar-pilar besar terbungkus daun, yang menjulang hingga ke
langitlangit atas setinggi tigapuluh setengah meter. Di sana ber-kerdipan
gemintang listrik dan bulan buatan yang melintasi cakarawala, maju dengan
kecepatan tidak wajar. Airmancur tiga tingkat gaya Pompeii bergemercik di tengah
restoran, sementara patung-patung wanita telanjang di dalam lukisan trompel'oeik, yang dipasang di setiap dinding di kejauhan.
Ukuran badan Jelliffe seberat kedua gadis itu jika dijadikan satu. Ia percaya
usia paruh bayanya itu akan membuat dirinya menjadi lelaki yang paling
mengesankan terutama bagi perempuan. Jelliffe merasakan kegembiraan tersendiri?dapat menggandeng para gadis cantik itu, karena sebelumnya, ia cemas bila
terlihat tidak mengesankan pada acara makan malam bersama Triumvirate malam itu.
Mereka belum pernah mengundangnya makan
malam. Ia merasa semakin mendekati lingkaran dalam ketika ia makan siang pada
saat-saat yang tidak pasti waktunya di klub Triumvirate. Tetapi nilai sahamnya
meningkat sedikit, karena hubungannya dengan psikotera-peutika baru.
Jelliffe tidak membutuhkan uang. Yang diperlukan adalah ketenaran, penghormatan,
kedudukan, harga diri segala yang dapat diberikan Triumvirate padanya.
?Misalnya, merekalah yang mengarahkan para pengacara Harry Thaw padanya, sehingga
memberi popularitas bagi Jelliffe. Hari teragung dalam hidupnya adalah ketika
fotonya muncul di surat kabar, dengan menyebutnya sebagai "salah satu manusia
yang berbeda di negara ini."
Yang mengejutkan adalah bahwa Triumvirate juga telah sangat berminat pada
perusahaan percetakannya. Mereka jelas merupakan orang-orang yang berpikiran
maju. Pertama-tama mereka melarangnya menerima artikel manapun yang menyebutnyebut psikoanalis, namun sikap mereka telah berubah. Kira-kira setahun lalu,
mereka memerintahkan Jelliffe untuk mengirimkan intisari dari semua aturan yang
berhubungan dengan Freud. Lalu mereka memberitahunya mana yang mereka setujui
dan mana yang tidak. Triumvirate juga yang memberinya usulan untuk menerbitkan
karya Jung. Mereka juga yang mendukungnya untuk menerima buku Freud yang
diterjemahkan oleh Brill justru ketika Morton Prince di Boston mungkin akan
menerbitkannya. Memang, mereka telah menyewa seorang editor untuk Jelliffe, guna
memperhalus terjemahan Brill.
Jelliffe telah memperhitungkan dengan cermat jumlah gadis yang dibawanya pada
makan malam kali ini. Gadis-gadis adalah kekhususannya. Ia telah mempererat
hubungan sosial maupun profesional dengan orang-orang penentu semacam itu. Ia
sangat tahu kemapanan orang-orang penting itu. Ketika ditanya, ia tanpa kecuali
menyebutkan Players Club di Gramercy Park. Dengan Triumvirate, Jelliffe tidak
pernah ditanya. Ketika mereka mengundangnya untuk bergabung bersama mereka di
Roman Garden, Jelliffe merasa bahwa saat itu merupakan saat yang dapat
mendatangkan keuntungan. Seperti yang diketahui oleh orang-orang kota, di lantai
atas Gardens merupakan duapuluh empat apartemen mewah bagi para lajang. Di dalam
tiap apartemen itu berisi pembaringan berukuran ganda, kamar mandi terpisah, dan
sebotol sampanye di dalam es. Pada awalnya, Jelliffe telah membayangkan empat
orang gadis dan empat kamar, namun jika direnungkan lagi, hal itu tidaklah
terlalu cerdas. Maka ia telah mengamankan masingmasing dua: urusan mengambil
kesempatan, ia rasakan, akan menambahkan saus kenikmatan pada daging bebek itu.
Jelliffe berhasil mengesankan, tetapi bukan bagi orang yang diharapkannya.
Ketika ia dibawa ke ceruk tempat meja Triumvirate berada, ia yang terlihat puas?diri bersama para gadis pengawalnya jelas-jelas disambut dengan sikap dingin
?ketiga orang Tuan yang duduk di sana. Tidak seorang pun yang berdiri untuk
menunjukkan penghormaannya. Jelliffe tidak berhasil meraba apakah penyebabnya.
Ia pun menyapa para pengundangnya dengan besar hati, lalu memanggil kepala
pelayan untuk mengatakan kalau di atas tersedia kamar lajang yang telah menunggu
mereka sehabis makan malam berikut dua buah kursi tambahan. Namun dengan
?lambaian tangannya yang anggun, Dr. Charles Dana membatalkan pesanan kursi
tambahan itu. Jelliffe akhirnya meraih kedua
temannya yang kecewa, dan membisikkan kalau mereka lebih baik menunggunya di
atas saja. Tidak lama setelah itu, Triumvirate mendapatkan informasi dari Jelliffe tentang
Abraham Brill, yang secara tibatiba menunda penerbitan buku terjemahannya.
Sayang sekali, kata Dana. Dan bagaimana tentang kuliah Dr. Jung di Fordham"
Jelliffe melaporkan kalau rencananya itu sedang diproses cepat, dan The New York
Times telah mengatur sebuah wawancara dengan Jung.
Dana beralih pada temannya yang gemuk dengan pipi berbercak merah sebesar stek
domba, "Starr, apa kau telah diwawancarai oleh Times juga?"
Sambil memasukkan isi kerang ke dalam mulutnya, Starr membenarkan, dan telah
menjawab wawancara itu dengan jujur. Lalu percakapan mereka beralih ke Harry
Thaw, dan Jelliffe dinasihati untuk tidak mengadakan percobaan lebih jauh lagi.
Ketika makan malam hampir selesai, Jelliffe takut ia tidak mendapatkan yang
diharapkannya. Dana dan Sachs tidak menjabat tangannya ketika pergi. Tetapi
semangatnya yang sudah merosot kembali naik ketika Starr, yang masih tertinggal,
bertanya apakah benar kalau Jelliffe telah memesan dua kamar di atas. Jelliffe
menegaskannya. Kedua lelaki gemuk itu saling menatap, lalu membayangkan
berbaringnya dua orang gadis berselendang boa di sisi botol sampanye dingin yang
belum terbuka. Starr menyatakan pendapat kalau apa yang sudah dibayarnya itu,
tidak beleh dibuang dengan percuma.
g "KAU SUDAH GILA, Detektif?" Tanya Walikota McCle Ilan di balik pintu kantornya yang tertutup pada Kamis malam.
Littlemore telah meminta sekelompok petugas untuk menyelidiki jendela yang rusak
di kaison Manhattan Bridge. Detektif itu dan aku berseberangan meja Walikota.
McClellan pun berdiri. "Pak Littlemore," kata McClellan yang mewarisi kewibawaan militer ayahnya, "Aku
menjanjikan sebuah kereta api bawah tanah bagi kota ini. Aku telah
mewujudkannya. Aku menjanjikan Times Square dan Manhattan Bridge, dan aku pun
telah mewujudkannya. Demi Tuhan, aku ingin mewujudkannya, jika itu adalah satu
hal penting yang bisa kulakukan pada akhir jabatanku. Tidak ada alasan pekerjaan
jembatan itu terhalang, tidak satu menit pun. Dan George Banwell tidak boleh
mengacaukannya. Kau dengar itu?"
"Ya, pak," kata Littlemore.
"Elizabeth Riverford terbunuh empat hari lalu dan, sejauh yang keketahui, kalian
semua telah kehilangan jenazah busuknya."
"Sebenarnya aku telah menemukan sebuah mayat, Yang Mulia," kata Littlemore
patuh. "Oh, ya, jenazah Nona Sigel," kata McClellan, "yang sekarang membuatkku semakin
repot daripada kasus Nona Riverford. Kau sudah melihat surat kabar siang ini"
Semua memuat beritanya. Bagaimana Walikota ini membiarkan seorang gadis dari
keluarga terhormat ditemukan di dalam koper seorang lelaki Cina" Seolah aku yang
bertanggungjawab! Lupakan George Banwell, Detektif. Temukan William Leon
untukku." "Yang Mulia, dengan segala hormat," kata Littlemore,
"kukira kasus Riverford dan Sigel ada hubungannya.
Dan kukira Tuan Banwell terlibat dalam keduanya." McClellan melipat kedua
lengannya. "Kau pikir Leon bukan pembunuh Nona Sigel?"
"Kupikir itu mungkin saja, Pak."
Walikota itu menghela nafas dalam, "Pak Littlemore, lelaki Cina yang kau tangkap
sendiri, si Chong itu, telah mengaku satu jam yang lalu. Saudara sepupunya,
Leon, telah membunuh Nona Sigel sebulan lalu karena kecem-burannya, setelah ia
melihat gadis itu bersama lelaki Cina lainnya. Polisi telah mendatangi lelaki
Cina lainnya itu. Di sana mereka menemukan berbagai surat Nona Sigel. Leon
mencekiknya hingga mati. Chong menyaksikannya. Ia bahkan membantunya menyimpan
jenzah itu di koper Leon. Mengerti" Kau puas sekarang?"
"Aku tidak yakin, Pak," kata Littlemore.
"Yah, sebaiknya kau yakinkan saja dirimu. Aku ingin jawaban. Di mana Leon"
Apakah Nona Acton diserang tadi malam" Apakah ia memang mendapatkan serangan itu
atau tidak sama sekali" Apakah aku harus mengerjakan pekerjaan orang lain" Dan
izinkan aku mengatakan padamu satu hal lagi, Detektif," kata McClellan, "Jika
kau atau siapa pun berlari masuk ke kantorku dan mengoceh bahwa Elizabeth
Riverford telah dibunuh oleh seseorang yang aku tahu tidak mungkin melakukannya,
kalian akan aku pecat. Jelas?"
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, Pak, Yang Mulia, Pak," kata detektif Littlemore.
Kami diperbolehkan pergi. Di sebuah lorong, aku berkata, "setidaknya kita tahu
bahwa Walikota itu sama sekali tidak mendukung kita."
"Aku tidak kehilangan jenazah Nona Riverford," sangkal Littlemore, sambil
memperlihatkan kegusarannya, "ada apa dengan orang-orang itu" Aku sudah
menemukan peniti dasi, tanah liat, seorang pekerja yang tidak jelas sebab kematiannya, dan
pelakunya tepat dengan apa yang digambarkan oleh Hugel, ia ketakutan ketika
melihat Nona Acton. Nona Acton mengatakan bahwa lelaki itu menyerangnya,
terlebih lagi kami tidak diperbolehkan melihat apa yang menyumbat lorong di
bawah air itu?" Jika Banwell berada di luar kota pada malam Nona Elizabeth terbunuh, Aku
menegaskan bahwa ia tidak mungkin telah membunuhnya.
"Ya, tetapi mungkin saja ia punya kaki tangan yang melakukannya," kata
Littlemore, "kau tahu tentang sakit kejang urat yang terjadi karena tekanan
udara yang tibatiba berubah itu, Doc?"
"Ya. Mengapa?" "Karena aku tahu apa yang harus kulakukan," kata Littlemore, yang tungkainya
tampak semakin memburuk, "tetapi aku tidak bisa melakukannya sendiri. Kau mau
membantuku?" Ketika aku mendengar rencananya, pada awalnya aku menilai itu sebuah rencana
yang paling bodoh yang pernah kudengar. Namun ketika kupikir lagi, aku mulai
mengerti. 9 NORA ACTON BERDIRI di atas atap rumahnya. Angin meniup untingan rambut lembut
pada keningnya. Ia dapat melihat seluruh Gramercy Park, termasuk bangkunya, yang
baru beberapa jam lalu ia duduk berdua dengan Dr. Younger. Apakah masih ada
kesempatan untuk mengulanginya lagi berdua lelaki itu, Nora meragukannya.
Ia tidak tahan berada di rumah. Ayahnya mengunci
diri di dalam ruang kerjanya. Nora tahu tidak ada yang dikerjakan di sana,
ayahnya sudah tidak mempunyai pekerjaan. Bertahun-tahun lalu, ia pernah
menemukan buku rahasia ayahnya. Buku-buku yang menjijikan. Di bagian depan dan
belakang luar rumah, dua orang penjaga sekali lagi diperintahkan untuk menjaga
rumahnya. Tadi pagi mereka meninggalkan rumahnya, tetapi kini kembali lagi.
Nora mengira-ngira apakah ia akan mati jika meloncat dari atap. Ia pikir tidak.
Gadis itu pun kembali ke dapur. Dari laci yang paling dalam, ia mengambil salah
satu dari beberapa pisau ukir yang biasa dipakai Ibu Biggs, dan membawanya ke
kamar untuk disembunyikan di bawah bantalnya.
Apa yang dapat dilakukannya" Ia tidak dapat mengatakan yang sebenarnya pada
siapa pun. Padahal ia tidak bisa berbohong lagi. Tidak seorang pun akan
memercayainya. Tidak seorang pun memercayainya.
Nora tidak berniat menggunakan pisau itu pada dirinya sendiri. Ia tidak mau
mati. Ia bisa saja mati, tetapi setidaknya setelah melindungi dirinya sendiri
jika lelaki itu datang lagi.
Duapuluh Satu LIT T LEM ORE BERUSAHA MEMBUKA KUNCI sementara aku berdiri di belakangnya.
Ketika itu kira-kira pukul dua pagi. Tugasku adalah mengawasi, tetapi aku tidak
bisa melihat apa pun di dalam kegelapan. Aku juga tidak dapat mendengar apa pun
karena semuanya ditelan bunyi derum mesin. Aku justru melihat ke kanopi
gemintang di atas kami. Littlemore berhasil membukanya dalam waktu singkat. Tidak aku kira kotak lift
itu berukuran sebesar ini. Littlemore mendorong pintunya, lalu kami berdua
berada di dalam kabin remangremang. Dua nyala api gas cukup meneb arkan cahaya
sehingga memungkinkan Littlemore mengoperasikan tuasnya. Dengan sekali hentakan,
kami berdua mulai turun perlahan menuju ke kaison itu.
"Kau yakin tidak apa-apai?" Tanya Littlemore padaku. Aku kira, salah satu dari
nyala api biru itu memantul pada matanya dan satunya lagi memantul pada mataku.
Tidak ada lainnya yang dapat dilihat. Dentaman bunyi mesin di atas kami terus
menabuhkan irama yang sama. Seakan kami sedang bergerak menuju aliran darah pada
urat nadi seorang raksasa. "Ini belum terlambat. Kita masih bisa
kembali ke atas." "Kau benar," kataku, "ayo ke atas lagi." Lift itu tersentak berhenti. "Kau
serius?" Tanya Littlemore.
"Tidak. Aku hanya bercanda. Ayo, kita ke bawah."
"Trims," katanya.
Littlemore mengingatkanku pada seseorang. N amun setelah lama berpikir, aku baru
teringat akan seseorang di masa kanak-kanaku. Waktu itu, orang tuaku membawa
kami ke pedesaan setiap musim panas. Bukan ke "gubuk" Bibi Mamie di Newport,
tetapi ke sebuah tempat tanpa air ledeng milik kami sendiri di dekat ? ?Springfield. Aku mencintai rumah kecil itu. Aku punya seorang sahabat di sana.
Tommy Nolan yang tinggal di peternakan di sekitar kami. Tommy dan aku sering
berjalan-jalan di sepanjang pagar kayu yang memisahkan setiap peternakan satu
dengan yang lainnya. Bermil-mil jauhnya. Sudah lama sekali aku tidak memikirkan
Tommy. "Kau pikir apa yang akan dilakukan Walikota padamu jika ia tahu?" Tanyaku.
"Memecatku." Kata Littlemore, "Kau merasakan sesuatu pada telingamu" Pencet
hidungmu dan hembuskan nafasmu keluar. Begitulah caranya untuk menghilangkan
rasa itu. Ayah yang mengajariku."
Ada cara khusus di antara sekian ketrampilan yang kumiliki. Yaitu kepandaian
untuk mengendalikan otot telinga bagian dalam yang membuka tube-tube pipa
pembuluh. Lift itu bergerakan teramat lambat hingga. Menyebalkannya, kami hampir
tidak merasa bergerak sama sekali.
"Butuh berapa lama untuk tiba di bawah?" Tanyaku.
"Lima menit, begitulah kata para pekerja," kata Littlemore, "Ayahku mampu
menyelam lebih dari dua menit."
"Kedengarannya kau sangat mengidolakannya." "Sampai saat ini. Ia lelaki terbaik
yang pernah kukenal." "Bagaimana dengan ibumu?"
"Perempuan terbaik," kata Littlemore, "Akan kulakukan apa saja untuknya. Wah,
aku pernah berpikir, jika saja aku dapat menemukan gadis sepertinya, aku akan
segera menikahinya."
"Lucu juga kau mengatakan itu."
"Hingga aku bertemu Betty. Ialah pelayan kamar Nona Riverford. Pertama kali aku
melihatnya, kapan ya..., tiga hari yang lalu, dan aku segera tergila-gila padanya.
Gila yang benar-benar gila. Padahal ia sama sekali tidak seperti Ibuku. Ia orang
Italia. Cepat marah, kukira. Ia memukulku kemarin malam. Aku masih bisa
merasakannya." "Ia memukulmu?"
"Ya. Ia pikir aku berbuat tidak baik. Baru tiga hari kukenal dia, dan aku sudah
tidak bisa lagi main-main. Bisa kau pahami?"
"Mungkin. Nona Acton memukulku dengan poci teh mendidih kemarin."
"Aduh," kata Littlemore, "aku memang menemukan piring kecilnya di atas lantai
kamar itu." Bunyi seperti bersiul mulai terdengar di dalam lift ketika alat pengangkut itu
mengeluarkan udara di terowongan. Bunyi berdentam mesin di permukaan, kini
terdengar lebih jauh. Namun denyut samar-samarnya, lebih terasa daripada yang
dapat terdengar. "Aku punya seorang pasien gadis, sudah lama sekali," kataku, "Ia mengatakan
padaku..., ia mengatakan padaku..., bahwa ia ingin bercinta dengan ayahnya."
"Apa?" "Kau mendengarku?"
"Itu menjijikkan." "O, ya?" "
"Itu hal yang paling menjijikkan yang pernah kudengar," kata Littlemore. "Yah,
aku...," "Jangan dilanjutkan."
"Baik." Suaraku keluar jauh lebih keras daripada yang kumaksudkan, sehingga
gemanya terdengar berkepanjangan di dalam kabin lift. "Maaf," kataku.
"Tidak apa-apa. Salahku," kata Littlemore, walau itu sama sekali bukan
kesalahannya. Bagi ayahku, membentak seperti itu tidak akan pernah terbayangkan. Ia tidak
pernah membentak seperti itu. Ia tidak pernah memperlihatkan perasaannya. Ayahku
hidup dengan prinsip sederhana: jangan pernah memperlihatkan rasa sakit. Aku
pikir, selama itu, sakit adalah satusatunya perasaan yang dirasakannya. Karena
jika ada yang lainnya, pastilah ia akan memperlihatkannya tanpa melanggar
prinsipnya. Hanya setelah itu aku mengerti. Segala perasaan adalah sakit.
Sedikit atau banyak kasus. Kegembiraan yang paling indah adalah sebuah tusukan
pada hati, dan cinta. Cinta adalah sebuah krisis dari jiwa. Lantaran hal itu
memberikannya banyak prinsip, ayahku tidak dapat memperlihatkan perasaannya.
Bukan saja tidak dapat memperlihatkan apa yang dirasakannya, ia juga tidak dapat
memperlihatkan bahwa ia merasakannya.
Ibuku membenci kesulitan komunikasi ayahku. Kata ibu, itulah yang membunuhnya
pada akhirnya. Tetapi memang cukup aneh, justru hal itulah yang paling kukagumi
darinya. Pada acara makan malam sebelum Ayah bunuh diri, sikapnya tidak berbeda
dari biasanya. Aku juga, sepanjang hidupku, diam-diam tengah menghidupkan
kembali prinsip ayahku. Walau aku tidak mampu memainkan separuh dari separuh
dirinya dengan begitu baik. Sudah lama berselang aku memutuskan bahwa aku akan
mengatakan apa yang kurasakan, dengan cara penggambaran emosi mana pun. Itu yang
kumaksudkan dengan separuh. Sebenarnya, aku tidak benar-benar percaya dalam
mengungkapkan perasaan seseorang selain melalui bahasa. Pengungkapan perasaan
dengan cara lain merupakan bentuk memainkan peranan. Mereka semua hanya
pertunjukan. Mereka semua perumpamaan.
Hamlet mengatakan hal yang sama. Sebenarnya itu adalah ucapan pertamanya dalam
drama itu. Ibunya bertanya pada Hamlet mengapa ia masih tampak bersedih karena
kematian ayahnya. Perumpamaanya, Bu" Katanya, "aku tidak mengenal perumpamaan.
Lalu ia mencela segala ungkapan kesedihan yang terlihat: jubah berwarna gelap,
dan pakaian biasa berwarna hitam, mata yang berkaca-kaca. Penggambaran itu,
katanya, umpam anya memang, karena mereka itu tindakan yang mungkin diperankan
orang. "Ya Tuhanku!" Kataku di dalam kegelapan, "ya Tuhanku, aku sudah mengerti."
"Aku juga!" Littlemore berseru dengan sama bersemangatnya, "Aku tahu bagaimana
ia membunuh Elizabeth Riverford, walau ia sedang berada di luar kota. Banwell,
maksudku. Nona Riverford bersamanya sebelum kematiannya. Tidak ada orang lainnya
yang tahu. McClellan tidak tahu. Banwell membunuhnya di manapun mereka saat
itu..., mengerti" Lalu ia membawa tubuhnya ke apartemennya, mengikatnya, dan
membuatnya tampak seolah pembunuhan itu terjadi di sana. Aku tidak dapat
memercayainya. Aku tidak mengerti sebelumnya. Apakah
seperti itu yang kau pikirkan?" "Tidak."
"Tidak" Lalu bagaimana menurutmu, Dok?" "Tidak apa-apa," kataku, "hanya sesuatu
yang sudah lama kupikirkan." "Apa itu?"
Aku tidak tahu mengapa, tetapi aku memutuskan untuk mengatakannya pada
Littlemore, "Kau pernah mendengar To be, or not to be?"
"Apakah ada sebuah pertanyaan seperti itu" "Ya."
"Shakespeare. Semua orang tahu itu," kata Littlemore, "Apa artinya" Aku selalu
ingin tahu itu." "Itu yang baru saja kubayangkan."
"Hidup atau mati, benar" Ia akan membunuh diri atau...?"
"Itulah yang selalu dipikirkan oleh semua orang," kataku, "tetapi sama sekali
bukan itu." Hal itu muncul dalam sekejap: keseluruhannya, semua menjadi jelas, seperti
matahari yang muncul setelah badai. Ketika itu, lift tiba di tujuannya,
teresentak berhenti. Ada sebuah benda yang harus kami atur. Littlemore berlutut
untuk memutar alat tekanan udara, yang berada di dekat lantai. Semburan udara
yang kuat keluar darinya. Aromanya ganjil: kering dan sekaligus pengap. Tekanan
udaranya menjadi tidak tertahankan. Kepalaku mulai berdenyut. Mataku terasa
seolah tertekan ke otakku. Tampaknya Littlemore juga merasakan hal yang sama. Ia
menghembuskan udara dari hidungnya dengan panik, yang sesekali dipencetnya. Aku
takut gendang telinganya akan meledak. Tetapi akhirnya ia berhasil beradaptasi
dengan tekanan itu, seperti juga aku. Kami membuka pintu kaison.
g NORA ACTON BANGKIT dari tempat tidurnya pada pukul dua tigapuluh pagi itu, resah
tetapi tidak bisa tidur. Dari jendelanya, ia dapat melihat polisi-polisi yang
berjaga di tepi jalan. Ada tiga orang malam ini, satu orang di depan, satu lagi
di belakang, dan yang lainnya di atap, yang datang ketika malam tiba.
Di bawah cahaya lilin, Nora menulis surat pendek. Tulisan tangannya rapi di atas
kertas putih. Lalu dimasukkan ke dalam amplop kecil yang diberinya alamat dan
perangko. Lalu ia diam-diam turun dan menyelipkan amplop tersebut melalui lubang
surat di pintu depan, sehingga surat itu jatuh ke kotak surat di luar pintu.
Surat datang dua kali sehari. Tukang pos akan datang mengambil suratnya sebelum
pukul tujuh pagi itu, dan akan dikirimkan sebelum sore hari.
g AKU TIDAK TAHU betapa besarnya kaison itu ternyata. Cahaya gas biru memberi
titik pada dinding kaison, menangkap kilatan cahaya dan bayangan ke kasau di
atas dan lantai yang berair di bawah. Dari lift, kami menuruni jalan miring yang
curam. Littlemore mengalami kesulitan, menyeringai setiap kali ia harus
memindahkan berat tubuhnya ke tungkai kanannya. Kami berada di pusat dari jalan
yang terbuat dari setengah lusin papan kayu, yang membawa ke segala arah. Yang
dapat terlihat dari kejauhanhanyalah ruangan dan ruangan lainnya.
"Berapa lama lagi yang kita punya, Dok?" Tanya Littlemore.
"Duapuluh menit," kataku, "setelah itu kita harus mengurangi tekanan saat ke
atas." "Baik. Jendela lima yang kita cari. Pasti ada angkanya. Ayo menyebar."
Detektif Littlemore beranjak pergi, terpincang-pincang parah, ke satu arah. Aku
berjalan ke arah yang lainnya. Pada awalnya segalanya sunyi, kesunyian yang
menakutkan dan dalam, yang terdengar hanya bunyi tetesan air dan langkah kaki
tak seimbang Littlemore. Kemudian aku sadar akan adanya bunyi berat, seperti
geraman hewan buas. Bunyi itu mendekat, kupikir berasal dari sungai itu: bunyi
dari air yang dalam. Kaison itu anehnya kosong. Aku berharap akan melihat mesin pembor sebagai sebuah
tanda adanya pekerjaan atau penggalian. Namun yang terlihat sesekali hanyalah
linggis dan sekop rusak, tergeletak ditinggalkan di antara batu besar dan
genangan air hitam. Aku melewati sebuah ruangan besar, tetapi itu pastilah
sebuah ruangan dalam, karena aku tidak melihat adanya lorong pembuangan
reruntuhan. Bunyi derak diikuti oleh bunyi seperti langkah berlari. Mungkinkah
ada tikus di bawah sini, tigapuluh setengah meter di bawah permukaan bumi"
Tibatiba bunyi berlarian itu berhenti sehingga aku tidak yakin apakah itu hanya
di dalam kepalaku atau benar-benar ada bunyi itu. Aku berjalan melewati ruangan
lainnya yang sama kosongnya. Aku pun tiba di ujung. Sekarang aku harus melangkah
melewati genangan air di atas lantai berlumpur, setiap percikan air memperkuat
gema langkahku. Di ruangan berikutnya, serangkaian yang terdiri dari tiga
lempengan baja beberapa meter dari lantai, berbaris di dinding yang paling jauh;
aku telah menemukan jendela-jendela itu. Sebarisan rantai, semacam tali untuk ditarik,
tergantung di samping dan di antaranya. Yang pertama digoresi nomor tujuh. Yang
berikutnya, nomor enam. Ketika aku membungkuk untuk melihat yang terakhir, ada
tangan menyentuh bahuku. "Kita telah menemukannya, Dok," kata Littlemore.
"Kristus, Littlemore," kataku.
Ia membuka lempengan yang bertuliskan nomor lima dan menariknya pada tuasnya.
Lempengan itu terangkat seperti tirai, dan masuk ke dinding kayu di atasnya. Di
dalamnya ada ruangan seukuran peti mati. Tingginya sekitar enampuluh sentimeter
dan lebarnya sekitar kurang dari dua meter. Pada setiap sisinya berlapis besi,
kotor oleh bebatuan, dan puing. Pastilah dinding yang jauh dari ruangan itu
merupakan pintu keluar menuju arah sungai: salah satu dari rantai kerekan pasti
akan membukanya. "Tidak ada apa-apa di sini," kataku.
"Memang seharusnya begitu," kata Littlemore. Dengan susah payah, ia duduk dan
mulai membuka sepatunya. "Baik, begitu aku ada di dalam, kau tutup jendela ini,
dan siramlah. Kau beri aku waktu satu menit, Dok, benar-benar satu menit,
lalu...," "Tunggu, kau tidak akan masuk ke air, kan?" "Aku memang akan ke sana," katanya
sambil menggulung celananya. "Jenazah Riverford tepat berada di luar pintu
keluar itu. Pasti. Aku akan menariknya masuk kembali. Kemudian kau menarikku
keluar, lalu kita akan pulang."
"Dengan tungkaimu yang sakit?"
"Aku tidak apa-apa."
"Untuk berjalan saja kau terlihat sulit," kataku. Pastilah akan sangat sakit
baginya untuk berenang, karena
keadaan tungkainya - yang kukhawatirkan adalah retakan rambut - tetapi bergulat
di antara reruntuhan dan harus menarik jenazah dari bawah air, tigapuluh koma
lima meter di bawah, sama sekali tidak mungkin baginya. Arus kuat akan
menghanyutkannya. "Hanya ada satu cara," kata Littlemore.
"Tidak, ada lagi," kataku. "Aku akan turun."
"Tidak jika kau masih hidup," kata Littlemore. Ia membungkukkan tubuhnya untuk
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyelinap sendiri ke dalam terowongan itu, tetapi tungkai kanannya tidak dapat
ditekuk. Ia memutar tubuhnya dan mencoba memasuki terowongan dengan cara mundur,
namun gagal. Ia pun menatapku tanpa daya.
"Oh, keluar dari situ," kataku. "Lagipula, kaulah yang mengetahui cara
mengoperasikan alat ini."
Jadi, mengagumkan, satu menit kemudian, orang yang menyelinap masuk ke jendela
itu adalah aku sendiri, telanjang hingga dada, sepatu dan kaus kaki juga kubuka.
Aku memeriksa lorong itu secermat mungkin, karena aku tahu sebentar lagi aku
akan dibenamkan ke air yang dingin. Sebatang tuas besi mencuat keluar dari
langitlangit. Aku berpegangan erat padanya. Tube-tube karet menonjol dari
dinding. Aku mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku akan memberanikan diri
memasuki air dalam waktu sesingkat mungkin. Setelah enampuluh detik, Littlemore
membuka kembali jendela itu dari dalam. Aku benar-benar menduga bahwa aku tidak
akan menemukan mayat itu untuk dibawa ke atas lagi. Teori Littlemore kini tampak
tidak mungkin sama sekali. Lempengan jendela terlalu kuat dan berat. Aku tidak
melihat kemungkinan adanya tubuh seorang gadis yang mampu menghalangi pekerjaan
pembuangan itu. Terdengar Littlemore meneriakkan untuk melakukan pemeriksaan terakhir. Dari
belakangku pintu bagian dalam tertutup dengan suara keras. Kegelapan itu begitu
pekat hingga aku tidak tahu arah. Bagaimana juga aku mengalihkan perhatian,
sehingga aku merasa tidak berada dalam kegelapan. Bunyi gemuruh dari sungai di
luar sekarang terdengar lebih keras, menggema di dalam selku. Aku mendengar
suara ketukan pada dinding. Itu adalah tanda dari Littlemore bahwa ia akan
membuka atau mencoba membuka pintu luar.? ?Ketika itu juga aku dilanda perasaan khawatir. Kami seharusnya mencoba jendela
itu sebelumnya. Kami sudah tahu ada yang salah pada jendela itu. Bagaimana jika
Littlemore tidak dapat membukanya setelah aku kembali dari air" Aku menggedorkan
tinjuku pada dinding untuk menghentikan Littlemore. Tetapi apakah ia tidak
mendegar atau justru menafsirkan gedoranku itu sebagai jawaban pasti dari
gedorannya tadi. Setelah itu terdengar gemerincing rantai dan tibatiba air
dingin menyiram deras. Seluruh lorong itu terbalik, dan aku dituang ke sungai,
tanpa dapat dihindari. g DI LUAR PAGAR BESI TEMPA yang mengelilingi Gramercy Park, seorang lelaki
jangkung, berambut hitam berdiri di dalam kegelapan. Ketika itu pukul tiga pagi.
Taman kosong, diterangi oleh lampu gas yang tersebar di dalam taman. Sebagian
besar rumah di sekitarnya gelap. Kecuali, rumah Players Club yang lampunya belum
padam, dan bunyi musik dimainkan pun terdengar. Gereja Calvary gelap dan sunyi,
menaranya seperti kegelapan tumbuh
seperti pepohonan. Lelaki berambut hitam itu mengamati opsir polisi yang sedang berjaga di depan
rumah Acton. Di dalam lingkaran kecil dari cahaya sebuah lampu jalanan, Carl
Jung melihat opsir itu sedang berbicara dengan polisi lainnya. Beberapa menit
kemudian, mereka pergi dari situ, membelok ke sudut di sebuah gang yang menuju
bagian belakang rumah itu. Jung mempertimbangkan pilihannya. Setelah beberapa
menit, ia memutar tubuhnya dan dengan kecewa ia kembali ke Hotel Manhattan.
g LITTLEMORE TIBATIBA memiliki gagasan yang mengerikan. Ia telah diberitahu bahwa
Jendela Lima tidak dapat bekerja dengan baik. Ia membayangkan Younger yang
berada di bawah air, menggedor-gedor dinding kaison dengan putus asa dan matanya
mendelik sementara Littlemore, berdiri di dalam, menarik-narik rantai tanpa ?daya. Mengapa bukan ia sendiri yang masuk ke sana"
Tepat satu menit kemudian, Littlemore menggerak-gerakkan tuas dan bergantian
secara cepat, meluruskan jendela dan lubang palka luar. Setelah itu mekanisme
bekerja dengan sempurna. Ia membuka palka bagian dalam. Bergalon-galon air
menyembur keluar. Ia telah menduga ini. Tetapi yang tidak diduganya, kompartemen
itu kosong. "Ya ampun," kata Littlemore. "Ya ampun."
Ia menutup jendela itu lagi dengan bantingan, lalu membuka lubang palka luar,
menghitung hingga sepuluh detik, kemudian mengulangi cara tadi. Jendela pun
dibuka. Lebih banyak air yang keluar, namun tidak ada Younger.
Dengan tergesa-gesa seperti orang yang tidak wa-ras, Littlemore melakukannya
lagi, tetapi kini dengan satu perbedaan. Ia berdoa dengan sepenuh hati dan
kekuatannya agar dapat menemukan dokter itu di dalam jendela tadi. "Kumohon,
Tuhan. Biarkan ia berada di sana. Lupakan yang lainnya. Hanya izinkan ia berada
di sana." Untuk ketiga kalinya, Littlemore membuka lempengan baja dari Jendela Lima hingga
sepatu dan celana belakangnya hingga basah kuyup. Sekarang kompartemen itu
benar-benar tercuci dengan bersih. Keempat dinding metalnya berkilauan. Tetapi
tetap saja kosong melompong. Detektif Littlemore memeriksa jam tangannya: dua
seperempat menit telah berlalu. Padahal rekor ayahnya hanya dua menit limabelas
detik, tetapi ayahnya mengambang tanpa harus menguras tenaga di dalam kolam
? ?hangat dan tenang. Dr. Younger tidak mungkin dapat bertahan demikian lama,
Littlemore tahu itu, tetapi ia tidak bisa menerima keadaan tersebut. Dengan
kaku, layaknya sebuah mesin, ia terus berusaha untuk kali keempat dan kelima.
Hasilnya tetap sama. Ia jatuh berlutut, sambil menatap kompartemen kosong. Ia
tidak merasakan sakit pada kakinya lagi. Lalu ia melihat kaison yang beratnya
sejuta ton itu mengalami getaran yang sangat kuat di bawahnya, namun Littlemore
tidak bisa bergerak. Geteran itu diikuti oleh bunyi garutan-garutan metalis yang
terus menerus setara dengan yang berada jauh di atas kepalanya. Seolah atap
?kaison itu telah dihantam oleh bagian bawah kapal selam.
Ketika bunyi itu berkurang, ia menjadi sadar akan sesuatu yang lain. Bunyi
lemah. Sebuah ketukan. Littlemore melihat ke sekelilingnya. Ia tidak dapat
menemukan sumber bunyi itu. Ia merangkak ke kiri, sambil menahan
nafasnya tanpa berani berharap. Ketukan itu berasal dari belakang lempengan baja
di Jendela Enam. Dari lututnya, Littlemore menarik tarikan itu, membuka
lempengan itu, dan mendorongnya hingga terbuka. Satu lagi jendela yang dipenuhi
air, tumpah keluar tepat mengenai wajahnya yang sedang berlutut. Dari jendela
itu jatuh berguling-guling sebuah koper hitam besar, yang menubruknya sehingga
jatuh terjengkang. Lalu diikuti oleh kepala Stratham Younger, dengan selang
karet pada mulutnya. Air yang mengalir masuk tidak berhenti sama sekali, persis seperti bak mandi
yang kelebihan air. Dengan koper di atas perutnya, Littlemore menatap Younger
tanpa bicara. Dokter itu pun meludahkan selangnya.
"T-tabung bernafas," kata Younger. Ia begitu kedinginan sehingga tidak dapat
mengendalikan gemetarnya. "Di dalam jendela."
"Tetapi mengapa kau tidak keluar dari Jendela Lima?"
"T-t-tidak bisa," kata Younger, giginya gemertak, "Palka luar tidak mau membuka
cukup besar. Jendela Ee-enam terbuka."
Littlemore membebaskan diri dari tindihan koper itu, lalu berkata, "Kau telah
menemukannya, Dok! Kau menemukannya! Kau mau melihatnya!" Detektif Littlemore
membersihkan lumpur dari koper itu. "Ini persis seperti yang kami temukan di
kamar Leon!" "Bukalah," kata Younger, kepalanya masih tetap terlihat muncul di Jendela Enam.
Littlemore baru saja akan menjawab kalau kaitan koper itu telah terkunci,
tibatiba geteran luar biasa kembali terasa di kaison itu yang diikuti satu kali
bunyi garukan metal. "Apa itu?" Tanya Younger.
"Aku tidak tahu," kata Littlemore, "tetapi itu yang kedua. Ayo kita pergi,"
"Ada masalah kecil," kata Younger. Ia masih belum keluar dari jendela, yang
terus mengeluarkan air. "Kakiku terjepit."
Palka luar dari Jendela Enam telah tertutup layaknya sebuah perangkap ?beruang pada mata kaki Younger. Karena itulah air terus mengalir masuk melalui
?dasar jendela: palka luar masih tetap terbuka, dan kaki Younger masih terjulur
ke sungai. Dengan kaki bebasnya, Younger mendorong palka luar sekuat mungkin,
tetapi palka itu tidak dapat digerakkan.
"Jangan khawatir," kata Littlemore sambil terpincang-pincang melewati rantai
tarik di dinding. "Aku akan membukakannya untukmu. Sebentar lagi."
"Awas!" Kata Younger, "Kita akan kedatangan air berton-ton lagi."
"Aku akan menutupnya lagi, begitu kakimu keluar. Siap" Mulai. O,oh." Littlemore
menarik-narik rantai namun tanpa hasil dan tidak mau bergerak. "Mungkin kau
tidak bisa membuka palka luar jika palka dalam tidak ditutup lebih dahulu.
Masukkan kembali kepalamu ke dalam."
Younger mematuhinya dengan tidak senang. Ia menarik kepalanya kembali ke dalam
Jendela Enam dan menje-pitkan rahangnya pada tube pernafasan, bersiap untuk
mendapatkan air bah lagi. Tetapi sekarang Littlemore tidak dapat menutup palka
dalam. Ia menarik tuas dengan sekuat tenaganya, tetapi lempengan itu tidak mau
turun. Mungkin, usul Younger, palka dalam tidak bisa dioperasikan jika palka
luar masih terbuka. "Tetapi sekarang keduanya terbuka," kata Littlemore.
"Jadi keduanya tidak dapat bergerak."
"Bagus," kata Littlemore. Ia berniat memelintir kaki Younger sampai keluar dan
coba menariknya dengan segera. Ia juga mencoba untuk melintirnya. Itu tanpa ada
hasilnya bahkan membuat dokter itu kesakitan.
"Littlemore." "Apa?" "Mengapa semua lampu mati?"
Seluruh kumpulan cahaya gas biru, di sisi lain ruangan, telah berkurang dari
kekuatan obornya untuk mengeluarkan cahaya yang sama. Lalu padam sama sekali.
"Seseorang telah mematikan gasnya," kata Littlemore setelah menyelinap keluar
dari jendela. Sekali lagi, terdengar bunyi jelek mengerikan dari metal yang menggaruk kayu di
bagian atas. Kali ini, garukan itu diakhiri dengan suara dentangan metal di
kejauhan, yang diikuti oleh suara baru. Littlemore dan Younger menatap ke atas,
ke kasau yang terlihat remangremang. Mereka mendengar seperti bunyi sebuah
kereta api yang mendekat. Lalu mereka melihat sejumlah air, berdiameter satu
kaki, jatuh dari langitlangit dengan anggunnya. Ketika menghantam lantai, air
itu membuat pukulan besar, meledak ke segala arah. Sungai East membanjiri
kaison. "Ya ampun," kata Littlemore.
"Maha Besar Tuhan," tambah Younger.
Sungai East sekarang tidak hanya tercurah ke dalam ruangan, tapi dari setengah
lusin lubang yang tersebar di seluruh kaison, tercurah juga air terjun yang
sama. Gemuruhnya memekakkan telinga
Apa yang terjadi sesungguhnya adalah pekerjaan pembangunan Jembatan Manhattan
telah selesai. Karena itulah Younger tidak melihat adanya mesin ataupun
peralatan pekerjaan. Rencananya tidak berubah, mereka tetap
akan membanjiri kaison setelah pekerjaan selesai. Tidak lama sebelum itu, Pak
George Banwell tibatiba memutuskan untuk mempercepat pelaksanaan rencana itu. Ia
membangunkan dua insinyurnya dengan perintahperintah larut malamnya. Mengikuti
perintah, para insinyur itu pergi ke area Jalan Kanal dan menyalakan mesin-mesin
yang sudah lama menganggur.
Pada dasarnya, para insinyur itu menjalankan system penyiraman air yang dipasang
ke dalam atap kaison setebal enam meter lantaran perancangnya khawatir akan ?adanya kebakaran. Pencegahan mereka terbukti benar. Di dalam kaison itu memang
pernah terjadi kebakaran. Satusatunya penyelamat adalah dengan membanjiri
ruanganruangan bagian dalamnya. Tiga lapis lempengan besi potong harus dibuka
untuk memberi jalan bagi air. Inilah yang berulang kali menimbulkan suara
garutan. Banjiran air itu sudah mencapai setinggi tulang kering dan terus naik dengan
cepat. Younger berusaha dengan lebih kuat untuk membebaskan kakinya tetapi tidak
bisa. "Ini menyebalkan," katanya. "Apakah kau membawa pisau?"
Dengan bersemangat Littlemore memberikannya pisau sakunya kepada Younger.
Younger menatapan pisau kecil tiga inci itu dengan tidak senang.
"Ini tidak akan ada gunanya."
"Untuk apa?" Teriak Littlemore. Mereka nyaris tidak dapat saling mendengar
karena suara banjir itu. "Kukira aku akan memotongnya," teriak Younger. "Memotong apa?"
Waktu itu Air sudah mencapai lututnya dan bertambah dengan lebih cepat.
"Kakiku," kata Younger. Ia masih menatap pisau Littlemore, lalu berkata, "Kukira
aku bisa saja bunuh diri. Itu lebih baik daripada mati tenggelam."
"Berikan pisau itu padaku," kata Littlemore sambil merampas pisaunya dari tangan
Younger. Kini air sudah mencapai satu inci dari dasar jendela. "Gunakan tube
untuk bernafas!" "Oh, ya benar. Ide bagus," kata Younger, sambil memasang kembali selang itu pada
mulutnya. Tetapi dengan segera ia melepaskannya lagi, "Kau tahu, Littlemore"
Mereka telah mematikan aliran udaranya."
Littlemore meraih selang lainnya dan merasakannya sendiri. Hasilnya memang tidak
ada perbedaan. "Nah, Detektif," kata Younger, sambil menegakkan dirinya, "kupikir sudah saatnya
bagimu untuk...," "Diamlah!" Kata Littlemore, "Jangan katakan itu. Aku tidak akan pergi ke mana
pun." "Jangan bodoh. Bawalah koper itu dan kembali ke lift."
"Aku tidak mau pergi ke mana pun," kata Littlemore. Younger mengulurkan
tangannya dan menjambret kemeja Littlemore, menariknya sehingga mendekat, dan
berbisik dengan penuh kecemasan pada telinganya. "Nora. Aku meninggalkannya.
Sebelum ini aku tidak memercayainya, tetapi aku telah meninggalkanya. Sekarang
mereka akan mengurungnya. Kau dengar aku" Mereka akan mengasingkannya, atau
Banwell akan membunuhnya." "Dok...,"
"Jangan panggil aku Dok! Kau harus menyelamatkannya. Dengarkan aku. Aku bisa
saja mati. Kau tidak memaksaku untuk ikut ke bawah sini. Aku hanya ingin melihat
bukti. Sekarang kaulah satusatunya yang memercayainya. Kau harus keluar. Kau
harus keluar. Selamatkan dia. Dan katakan padanya..., oh, lupakan saja.
Cepat keluar!" Younger mendorong Littlemore dengan begitu kuat sehingga detektif itu terhuyung
ke belakang dan terjatuh ke dalam air. Ia berdiri. Air yang naik telah melebihi
dasar jendela. Littlemore menatap lama dokter itu, lalu berpaling. Ia berjalan
pergi. Dengan bersusah payah, ia melewati air terjun dan melintasi air setinggi
pahanya. Lalu menghilang.
"Kau lupa kopernya!" Teriak Younger padanya. Tetapi detektif Littlemore
tampaknya tidak mendengar. Kini air itu sudah mencapai setengah dinding jendela.
Dengan usaha yang keras, Younger berhasil menahan kepalanya satu inci di atas
air. Kemudian Littlemore muncul kembali. Di tangannya ia memegangi pipa
sepanjang lima kaki dan sebuah batu besar.
"Littlemore!" Teriak Younger. "Kembali!"
"Pernah mendengar Archimedes?" Tanya Littlemore. "Pengungkit."
Ia memercikkan air pada Younger dan meletakkan batu besar itu pada jendela, yang
sekarang hampir dipenuhi air hingga ke tepian. Littlemore memasukkan kepalanya
ke air, lalu mendorong ujung pipa ke bawah palka bagian luar, tepat di sebelah
mata kaki Younger yang terjepit. Sisa pipa pun diletakkan di atas batu besar
agar bisa menghasilkan gaya-ungkit. Dengan kedua tangannya, ujung pipa itu
ditekan ke bawah lalu mencuat ke atas. Sayangnya, satusatunya hal yang terjadi,
batu besar itu meleset dari bawah pipa. "Sial," kata Littlemore, sambil muncul
dari dalam air. Mata Younger masih berada di atas air, tetapi mulutnya sudah tenggelam.
Begitupun hidungnya. Ia menaikkan alisnya pada Littlemore.
"O, ya ampun," kata detektif itu. Ia mengambil nafas dan masuk ke dalam air
lagi. Ia mengatur kembali letak batu dan pipa dengan cara semula, lalu menekan
sisa pipanya. Kali ini batu besar itu tidak goyah, namun palka luar masih tidak
bergerak. Littlemore meloncat keluar setinggi mungkin dari air dan menibani
pengungkit itu dengan seluruh berat badannya. Tetapi pipa itu patah menjadi dua.
Saat sebelum pipa itu patah, palka luar dari jendela itu terangakt ke atas,
namun hanya cukup untuk membebaskan kaki Younger.
Kedua lelaki itu keluar dari air secara bersamaan, tetapi Littlemore menelan air
dan berusaha susah payah, sementara Younger hampir tidak menggerakkan air sama
sekali. Ia hanya menghirup nafas sekali saja sepenuh paruparunya dan berkata,
"Itu tadi melodramatis, bukan?"
"Terima kasih kembali," kata Littlemore sambil meluruskan tubuhnya.
"Bagaimana tungkaimu?" Tanya Younger.
"Tidak apa-apa. Bagaimana dengan kakimu?"
"Tidak apa-apa," Balas Younger, "Bagaimana pendapatmu" Kita telah merusak lubang
neraka ini?" Sambil menarik koper di belakang mereka sementara berusaha melewati pilar-pilar
air yang mengucur deras, mereka akhirnya berhasil kembali ke ruang utama. Jalan
mendaki menuju ke lift sudah hampir tenggelam. Air masuk ke bawah dari atas
juga, menumpahi jalan miring itu dan membuat tirai air di sekeliling lift. Namun
di belakang tirai air, kabin lift itu tampak kering.
Di antara keduanya, Littlemore dan Younger berusaha keras mendorong dan menarik
koper itu menaiki jalan miring itu, mengangkatnya hingga ke lift, lalu keduanya
terjatuh. Dengan terengah-engah, Younger menutup
pintu besi. Tibatiba semuanya menjadi diam. Banjir di kaison hanya terdengar
sayup di luar. Di dalam lift, lampu gas biru masih menyala. Littlemore berkata,
"aku akan membawamu ke atas."
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia menekan tuas operasi ke posisi naik. Namun ternyata lift itu tidak bergerak.
Ia mencoba lagi dan tetap saja tidak berhasil.
"Heran sekali," kata Littlemore.
Younger menaiki koper itu agar bisa mengetuk langit-langitnya. "Lorong itu sudah
tertutupi banjir," katanya.
"Lihat!" kata detektif Littlemore sambil menunjuk ke atas, "Ada pintu di
langitlangit." Benar, di tengah langitlangit lift ada sepasang panel engsel.
"Dan itu yang bisa membukanya," kata Younger sambil menunjuk pada rantai tebal
di dinding dengan tuas kayu merah bergantung di ujungnya. Ia meloncat turun dan
mengambil tuas itu. "Kita akan naik, detektif..., agak lebih cepat daripada ketika
kita turun." "Jangan!" Teriak Littlemore, "Kau gila" Kau tahu berapa berat seluruh air di
atas kita" Seakan itulah satusatunya cara agar kita tidak tenggelam tapi kita
akan mati lebih dulu."
"Tidak. Ini adalah kabin bertekanan," kata Younger. "Bertekanan sangat tinggi.
Begitu aku membuka palka itu, kau dan aku akan naik melalui lorong air itu
seperti geyser." "Kau mempermainkan aku," kata Littlemore.
"Dengarkan aku. Kau harus menghembuskan nafasmu sepanjang kita meluncur ke atas.
Aku serius. Jika kau menahan nafasmu, bahkan hanya beberapa detik saja, paruparumu benar-benar akan meledak seperti balon."
"Bagaimana jika kita tersangkut pada kabel lift?"
"Nah, baru kita akan tenggelam," kata Younger.
"Rencana yang menyenangkan."
"Aku masih mau menerima pilihan lain."
Sebuah celah berkaca pada pintu lift, memungkinkan Littlemore melihat ke dalam
kaison. Hampir gelap sekarang di sana. Air tercurah dari mana-mana. Detektif
Littlemore mengangguk. "Bagaimana dengan koper ini?"
"Kita bawa." Koper itu memiliki dua pegangan dari kulit. Masingmasing memegang
satu. "Jangan lupa berteriak, Littlemore. Apakah kau siap?"
"Kukira begitu."
"Satu, dua..., tiga." Younger menarik tuas merah. Panel langitlangit langsung
terbuka, kedua lelaki itu berteriak demi hidup mereka. Dengan sebuah koper besar
di tangan, mereka melesat ke atas melalui sebuah lorong lift yang penuh dengan
air seperti ditembakkan dari sebuah kanon.
Duapuluh Dua RUANG DEPAN PENTHOUSE MILIK Banwell yang mewah di Balmoral, memiliki lantai
pualam seputih susu dengan urat-urat perak. Pada bagian tengahnya tertata dua
huruf GB yang saling berkaitan dengan warna hijau gelap. Singkatan GB ini
memberikan kepuasan setiap kali Banwell melihatnya. Ia senang memberi tanda
inisialnya pada segala yang dimilikinya.
Jumat, pukul sepuluh pagi, seorang pelayan di serambi itu menerima surat untuk
Banwell. Salah satu amplop
bertuliskan tulisan elok dari Nora Acton. Surat itu ditujukan bagi C\ara
Banwell. Celakanya bagi Nora, George Banwell masih berada di rumah saat itu.
Untungnya, sudah merupakan kebiasaan si pelayan itu untuk menyerahkannya lebih
dulu kepada Nyonya Banwell. Sayangnya, Clara masih memegangi surat Nora ketika
Banwell masuk ke kamar tidurnya.
Clara, dengan punggungnya menghadap ke pintu, merasakan kehadiran suaminya di
belakangnya. Ia menoleh untuk menyapanya, sambil memegangi surat Nora di
belakang punggungnya. "George," katanya, "kau masih di sini."
Banwell menatap istrinya dengan teliti. "Gunakan itu untuk orang lain," katanya.
"Apa itu?" "Ekspresi tak bersalahmu itu. Aku ingat itu ketika kau berada di atas panggung."
"Kukira kau menyukai gayaku di panggung," kata Clara.
"Aku memang menyukainya. Tetapi aku tahu apa itu artinya." George Banwell
mendekati istrinya, lalu melingkari tubuh istrinya dengan tangannya. Ia merebut
surat itu dari tangannya.
"Jangan," kata Clara. "George, surat itu hanya akan membuatmu marah."
Membaca surat orang lain memberikan kesan pelanggaran bagi dua orang
sekaligus si pengirim dan si penerima, Ketika Banwell melihat bahwa surat itu ?dari Nora Acton, perasaan itu menjadi lebih manis. Ketika ia mulai membacanya,
saat itu pula ia kehilangan kemanisannya.
"Ia tidak mengerti apa-apa," kata Clara.
Banwell terus membaca, wajahnya tampak mengeras.
"Lagi pula, tidak seorang pun akan memercayainya, George."
George Banwell mengulurkan surat itu pada istrinya. "Mengapa?" Tanya Clara
tenang, sambil mengambilnya. "Mengapa apa?"
"Mengapa Nora begitu membencimu?"
g FAJAR MEREKAH bertepatan Littlemore dan aku akhirnya berada kembali di mobil
polisi yang sudah menunggu beberapa blok ke selatan dari Jembatan Manhattan.
Kami melaju melalui terowongan lift dan melayang di udara setinggi tiga meter
sebelum jatuh lagi ke air. Kami tidak mampu untuk naik ke dermaga. Kami harus
berpegangan pada kabel-kabel lift, kedinginan dan letih, hingga air pasang cukup
tinggi dan kami bisa memanjat ke dermaga. Dari situ, kami memasukkan koper itu
ke perahu dayung. Sebuah perahu yang sama seperti yang kami gunakan untuk ke
dermaga pada malam sebelumnya. Untunglah, mobil Littlemore masih menunggu di
dermaga kira-kira dua blok ke selatan. Aku merasa kita berdua tidak ada yang
sanggup mendayung labih jauh lagi. Kurasa Littlemore telah melanggar peraturan
dengan membawa mobil polisi. Namun itu urusannya.
Aku mengatakan pada Littlemore bahwa kami harus menelpon keluarga Acton; tidak
boleh ada waktu yang terbuang. Aku mempunyai dugaan bahwa ada yang telah terjadi
di sana malam itu. Detektif Littlemore mengemudikan mobilnya dengan basah kuyup
ke kantor polisi. Aku menunggu di mobil ketika Littlemore dengan terpincangpincang masuk. Ia kembali setelah beberapa menit. Ia
mengatakan bahwa di rumah Acton sangat sunyi. Nora tidak apa-apa.
Dari kantor polisi pusat, kami menuju apartemen Littlemore di Jalan Mulberrry.
Di sana kami mengganti pakaian kering. Littlemore meminjamiku sebuah jas yang
tidak pas untuk ukuran tubuhku. Lalu kami masingmasing, meminum segalon kopi.
Setelah itu melaju menuju rumah penyimpanan mayat. Aku mengusulkan untuk
menghancurkan bagian atas koper dengan kapak, tetapi Littlemore bersikeras untuk
melakukannya sesuai aturan bukunya. Ia menyuruh seorang anak untuk memanggil
seorang ahli kunci, dan menunggu. Dengan rambut yang masih basah, kami menunggu
sambil berjalan hilir mudik tidak sabar. Atau akulah yang berjalan setelah
membalut pergelangan kakiku. Littlemore duduk di atas meja operasi,
mengistirahatkan tungkainya yang sakit. Koper itu tergeletak di bawah kakinya.
Kami berdua saja, Littlemore berharap dapat menemukan Hugel, orang yang kukenal
kemarin. Tetapi orang itu tidak ada di sana.
Aku harus meninggalkan Littlemore. Aku harus melapor kepada Dr. Freud dan para
tamuku lainnya di hotel. Hari ini, Jumat, adalah saat-saat berjadwal padat bagi
kami. Ini adalah hari terakhir kami di New York. Kami semua akan berangkat ke
Worcester besok malam. Tetapi aku ingin melihat koper itu dibuka. Jika gadis
Riverford ada di dalam, pasti itu akan membuktikan bahwa Banwell adalah
pembunuhnya. Dan akhirnya Littlemore dapat menangkapnya,
"Dok," seru Littlemore, "kau bisa memastikan dari melihat mayatnya, apakah ia
mati karena tercekik?"
Lalu Littlemore membawaku ke ruang mayat yang dingin. Ia menemukan dan membuka
jenazah Elsie Sigel yang separuh dibalsem. Ia sudah mengatakan padaku apa yang diketahuinya tentang
gadis itu. "Gadis ini tidak dicekik," kataku.
"Artinya, Chong Sing berbohong. Bagaimana kau bisa tahu?"
"Tidak ada edema pada leher," jawabku. "Dan lihat pada tulang kecil di sini.
Masih utuh. Normalnya, tulang itu akan patah jika ia dicekik hingga mati. Tidak
ada bukti trauma pada tracheal dan esophageal. Sungguh tidak biasa. Tetapi ini
sepertinya mati karena kesulitan bernafas."
"Apa bedanya?" "Ia mati karena kekurangan oksigen. Tetapi bukan karena pencekikan."
Littlemore menyeringai. "Maksudmu seseorang menguncinya di dalam koper selagi ia
masih hidup, dan ia kehabisan nafas?"
"Sepertinya begitu," kataku. "Aneh. Lihat kukunya?"
"Kelihatannya normal bagiku, Dok."
"Itu yang aneh. Ujungnya tetap halus, tidak rusak." Ketika itu juga Littlemore
mengerti. "Ia tidak pernah berjuang," katanya. "Ia tidak pernah berusaha untuk
keluar." Kami saling bertatapan. "Chloroform," seru Littlemore,
Ketika itu, ada ketukan pada pintu luar laboratorium. Ahli kunci, Samuel dan
Isaac Friedlander, telah tiba. Dengan peralatan yang menyerupai gunting taman
yang terlalu besar, mereka memotong dua kunci pada bagian pegangan koper itu.
Littlemore telah meminta mereka menandatangani surat tersumpah bukti tindakan
mereka, lalu menyuruh mereka menunggu sehingga mereka dapat
melihat apa isi koper itu. Sambil menarik nafas, Littlemore membuka tutup koper
itu. Tidak ada bau. Yang pertama kulihat adalah setumpukan berbagai macam pakaian
yang lembab karena air, bertabur perhiasan. Kemudian Littlemore menunjuk pada
segumpal rambut hitam kusut masai. "Nah itu dia," katanya. "Ini pasti akan
sangat mengerikan." Dengan mengenakan sepasang sarung tangan, Littlemore meraih rambut itu, dan
tangannya mengangkat segumpal rambut basah dan kusut.
"Ia memotong-motongnya," kata salah satu dari Friedlander bersaudara itu.
"Memotongnya kecil-kecil," kata yang satunya lagi.
"Ya ampun," kata Littlemore, sambil merapatkan giginya dan melemparkan rambut
itu ke atas meja. Lalu ia menarikknya kembali. "Tunggu. Ini adalah rambut
palsu." Detektif Littlemore mulai mengosongkan satu persatu jenis barang pada koper itu,
dan mencatatnya sebagai daftar inventaris, lalu menempatkannya pada tempat
penyimpanan lainnya. Selain rambut palsu itu, ada beberapa pasang sepatu
bertumit tinggi, koleksi pakaian dalam, setengah lusin gaun malam, sejumlah
perhiasan dan perlengkapan kamar mandi, jubah bulu mink, mantel ringan wanita.
Namun tidak ada wanitanya.
"Apa-apaan ini?" Tanya Littlemore, sambil menggaruk kepalanya. "Di mana gadis
itu" Pastilah ada koper yang lainnya. Dok, kau pasti salah mengambil koper."
Aku menawarkan pikiranku pada hipotesanya itu.
g LITTLEMORE MENEMANIKU ke jalan yang sangat terang. Aku bertanya apakah yang akan
dilakukannya setelah ini. Rencananya, katanya, adalah memeriksa koper dan segala
isinya untuk dihubungkan dengan Banwell atau siapa pun pembunuhnya. Mungkin
keluarga Riverford di Chicago dapat mengenali beberapa barang milik gadis itu.
"Jika aku dapat menandai salah satu saja barang itu dengan nama Elizabeth
Riverford, maka aku mendapatkan pembunuh itu." Kata Littlemore. "Maksudku, siapa
lagi kecuali Banwell yang dapat mengemasi barangnya di dalam koper di bawah
Jembatan Manhattan pada hari gadis itu dibunuh" Mengapa Banwell melakukan itu
jika bukan ia pembunuhnya?"
"Mengapa ia melakukannya jika ia pembunuhnya?" Tanyaku.
"Mengapa ia akan melakukan itu jika ia bukan pembunuhnya?"
"Ini percakapan yang sangat berguna," kataku.
"Baik, aku tidak tahu mengapa." Lalu Detektif Littlemore membakar rokoknya. "Kau
tahu, ada banyak hal dalam kasus ini yang tidak kumengerti. Semula kukira
pembunuhnya adalah Harry Thaw."
"Si bajingan itu?"
"Ya. Aku sudah bersiap mendapatkan penghargaan terbesar yang pernah diterima
oleh detektif mana pun. Lalu ternyata Thaw dipenjara di sebuah pertanian yang
aneh di desa." "Aku tidak akan menyebutnya dipenjara, sebenarnya," aku menjelaskan apa yang
kuketahui dari Jelliffe bahwa keadaan Thaw sebenaranya sangat menyenangkan.
Littelmore ingin tahu sumber informasiku. Aku mengatakan padanya bahwa Jelliffe
adalah salah satu dari penasihat psikiatris utamanya dan bahwa, menurutku,
keluarga Thaw tampaknya menyuap staf rumah sakit itu.
Detektif Littlemore menatapku. "Nama itu..., Jelliffe. Aku mengenalnya dari suatu
tempat. Ia tidak tinggal di Balmoral, mungkin?"
"Ia tinggal di sana. Aku makan malam bersamanya dua malam yang lalu."
"Keparat," kata Littlemore.
"Kukira itu pertama kalinya aku mendengar kau mencaci, Detektif."
"Kukira itu juga pertama kalinya aku mencaci. Selamat tinggal, Dok." Ia lalu
bergerak secepatnya, kembali ke gedung, berterimakasih padaku lagi sambil
menoleh sebelum menghilang.
Aku sadar bahwa aku tidak membawa uang. Dompetku ada di saku celanaku yang
tergantung pada jemuran di jendela dapur Littlemore. Aku menemukan lima sen di
dalam saku pakaian detektif Littlemore. Untunglah aku terbangun ketika kereta
apiku memasuki stasiun kereta bawah tanah Grand Central. Jika tidak, aku tidak
tahu akan dibawa sampai mana.
g PADA RUMAH BERTINGKAT DUA di Jalan Fortieth, di pinggir Broadway, dengan garang
Detektif Littlemore menggedor sebuah pengetuk pintu yang terlalu mencolok. Pintu
itu pun dibuka oleh seorang gadis yang belum pernah dikenalnya, "di mana Susie?"
Tanya Littlemore. Gadis itu, dengan rokok yang tidak pernah terlepas dari mulutnya, mengatakan
bahwa Ibu Merrill sedang keluar. Namun lataran mendengar suara-suara perempuan
di gang, Littlemore segera masuk ke ruang tamu. Di sana
ada setengah lusin gadis di dalam ruangan bercermin mewah, dengan pakaian yang
beraneka ragam. Warna hitam dan merah merupakan warna kesukaan bagi jenis
pakaian yang mereka kenakan. Di tengah-tengah adalah perempuan yang dicari
Littlemore. "Helo, Greta," katanya.
Perempuan itu berkedip padanya, namun tidak menjawab. Ia jelas tampak tidak
terlalu mengantuk dibandingkan dengan sebelumnya.
"Minggu lalu lelaki itu datang ke sini, bukan?" Tanya Littlemore.
Greta masih tidak menjawab.
"Kau tahu siapa yang sedang kubicarakan," kata Littlemore. "Harry."
"Kami mengenal banyak Harry," kata seseorang. "Harry Thaw," kata Littlemore.
Greta terisak. Baru kali itu Littlemore melihat Greta dapat menangis. Perempuan
itu berusaha menahannya, tetapi ia tidak sanggup dan menyembunyikan wajahnya di
balik sehelai saputangan. Gadis-gadis lainnya langsung mengerumininya, sambil
mengatakan katakata bersimpati.
"Kaulah perempuan itu, bukan?" Tanya Littlemore kepada Greta. "Kaulah perempuan
yang dicambukinya. Apakah ia melakukannya lagi hari Minggu yang lalu?" Ia
mempertanyakan pertanyaan itu pada semua perempuan di ruangan itu. "Apakah Thaw
melukainya" Itukah yang terjadi?"
Oh, jangan ganggu dirinya," kata seorang gadis dengan rokok menempel pada
mulutnya. Selain saputangan, Greta memegangi juga secarik kain merah muda dengan tali
kecil merah muda bergantungan pada satu sisinya. Itu adalah kain tutup dada
bayi. Detektif Littlemore kemudian sadar bahwa suara
tangis bayi, yang begitu menusuk pada kunjungan pertamanya, tidak terdengar lagi
hari ini. "Apa yang terjadi pada bayi itu?" Tanyanya. Greta terdiam.
Littlemore mengambil kesempatan itu. "Apa yang terjadi pada bayimu, Greta?"
"Mengapa aku tidak boleh memeliharanya?" Kata Greta dengan tangis yang meledak
mengarah pada orang tertentu. Ia mulai terisak. Yang lainnya berusaha sebisa
mereka untuk menenangkannya, tetapi Greta tidak bisa ditenangkan. "Ia tidak
pernah melukai siapa pun."
"Ada yang membawa bayi itu pergi?" Tanya Littlemore.
Greta membenamkan wajahnya. Salah satu dari gadis itu berbicara, "Susie
mengambilnya. Sangat kejam, menurutku. Ia punya keluarga di Hell's Kitchen yang
mau mengambil bayi itu. Ia bahkan tidak mau mengatakan pada Greta siapa mereka."
"Ia juga memotong uang Greta untuk itu," yang lainnya menambahkan. "Tiga dolar
seminggu. Itu tidak adil."
"Dan aku yakin, Susie hanya membayar mereka satu setengah dolar," kata si
perokok dengan cerdik. "Aku tidak peduli pada uangku," kata Greta. "Aku hanya ingin Fannie. Aku ingin
bayi itu kembali." "Mungkin aku bisa mendapatkannya kembali," kata Littlemore.
"Kau bisa?" Tanya Greta penuh harap.
"Aku bisa berusaha,"
Empat Besar 1 Pahlawan Harapan Karya Tang Fei Harpa Iblis Jari Sakti 17
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama