Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld Bagian 7
"Aku akan melakukan apa saja yang kau mau," kata Greta memohon. "Apa saja."
Littlemore mempertimbangkan keuntungan menggali informasi dari seorang perempuan
yang bayinya baru saja diambil orang. "Tidak perlu," katanya sambil mengenakan topinya lagi. "Katakan
pada Susie aku akan kembali."
Littlemore baru mencapai pintu depan ketika ia mendengar suara Greta di
belakangnya. "Lelaki itu ke sini," katanya. "Ia datang ke sini sekitar pukul
satu pagi." "Thaw?" Tanya Littlemore. "Hari Minggu yang lalu?" Greta mengangguk. "Kau bisa
bertanya pada semua gadis di sini. Ia tampak gila. Ia memintaku. Aku selalu
menjadi kesayangannya. Aku mengatakan pada Susie aku tidak mau, tetapi ia tidak
peduli. Susie meminta uang pada lelaki itu supaya kami tidak bicara, tetapi
lelaki itu hanya ter tawa keras dan...,"
"Apakah itu uang untuk tutup mulut?"
"Uang supaya kami tidak bersaksi di pengadilan atas apa yang dilakukan lelaki
itu pada kami. Susie mendapat seratus dolar. Susie mengatakan uang itu untuk
kami. Tetapi ia menyimpannya sendiri. Kami tidak pernah mendapatkan sesen pun.
Tetapi ibunya berhenti membayarnya setelah ia dikirim pergi. Karena itulah Susie
sangat marah. Ia mengatakan pada lelaki itu untuk membayar di muka dua kali
lipat sebelum ia boleh mendapatkan aku. Susie memaksanya untuk bersikap manis.
Tetapi lelaki itu tidak baik." Greta tampak melamun, seolah ia sedang
menceritakan kejadian yang terjadi pada orang lain. "Setelah ia menyuruhku
melepas bajuku, ia menarik sprei dan berkata ia akan mengikatku, seperti
biasanya. Aku mengatakan padanya untuk pergi atau aku akan..., lelaki itu berkata,
'Atau kau mau apa"1 dan ia tertawa seperti gila. Kemudian berkata 'Kau tidak
tahu aku gila" Aku bisa melakukan apa pun yang kumau. Apa yang akan mereka
lakukan" Memenjarakan aku"' Ketika itulah Susie masuk. Kurasa ia memang telah
mendengarkan kami selama ini."
"Tidak begitu," kata seorang gadis lain dengan suara kecil. Kelompok itu
berkumpul di ruang. "Akulah yang mendengarkan. Aku mengatakan pada Susie apa
yang dilakukan lelaki itu. Maka Susie bergegas masuk. Lelaki itu sangat takut
pada Susie. Tentu saja Susie tidak akan melakukan apa pun jika lelaki itu telah
membayar di muka seperti yang diinginkan Susie. Tetapi kau harus melihat betapa
ia lari keluar kamar, seperti tikus kecil."
"Ia masuk ke kamarku," kata gadis lainnya, "menangis dan melambai-lambaikan
tangannya seperti anak kecil. Kemudian Susie masuk dan mengejarnya hingga keluar
lagi." Gadis dengan rokoknya yang mengakhiri cerita itu: "Susie mengejarnya di rumah
ini. Kau tahu di mana ia bersembunyi" Di belakang kotak es. Ia menggigiti
kukunya. Susie menarik telinganya keluar, menariknya di sepanjang gang, dan
mengusirnya ke jalan, seperti sekantung plastik sampah. Karena itulah Susie
dipenjara sekarang, kau tahu. Becker datang beberapa hari kemudian."
"Becker?" Tanya Littlemore.
"Ya, Becker," katanya, "Tidak ada yang terjadi jika Becker tidak campur tangan
di dalamnya." "Maukah kalian bersaksi bahwa Thaw datang ke sini hari Minggu yang lalu?" Tanya
Littlemore. Tidak ada yang menjawab hingga Greta berkata, "aku mau, jika kau bisa menemukan
Fannie-ku." Lagi, Littlemore sudah beranjak pergi, ketika si perokok bertanya. "Kau mau tahu
ke mana ia pergi setelah ia keluar?"
"Bagaiamana kau tahu?" Littlemore balik bertanya. "Aku mendengar temannya
mengatakan pada si pengemudi. Dari jendela di lantai dua."
"Teman apa?" "Teman yang datang bersamanya."
"Kukira ia sendirian," kata Littlemore.
"Ngga," katanya. "Lelaki gendut. Aku kira ia adalah utusan Tuhan. Ia siap dengan
uangnya. Aku akan beri tahu namanya. Dr. Smith, ia menyebut dirinya sendiri."
"Dr. Smith," ulang detektif Littlemore, dan merasa pernah mendengar nama itu
akhir-akhir ini. "Ke mana mereka pergi?"
"Gramercy Park. Aku mendengar ia mengatakan itu pada si pengemudi dengan keras
dan jelas." "Keparat," kata Littlemore.
9 AKU TIBA DI HOTEL SUDAH LEBIH dari pukul sepuluh. Petugas itu memberikan kunciku
sambil menatap sinis padaku. Itu semua karena jas Littlemore yang usang, dan
berlubang mencolok di antara kedua ujung lengannya dan pada ujung tanganku. Ada
sepucuk surat untukku, aku diberitahu, tetapi Dr. Brill menerimanya atas namaku.
Lalu petugas itu memberi isyarat ke arah sudut lobi. Di sana aku melihat Brill
duduk bersama Rose dan Ferenczi.
"Ya, ampun, Younger," kata Brill. "Kau tampak kacau sekali. Apa saja yang telah
kau kerjakan sepanjang malam?"
"Hanya berusaha supaya kepalaku tetap berada di atas air," kataku.
"Abraham," Rose mengomeli suaminya, "Ia hanya mengenakan pakian orang lain."
"Rose ada di sini," kata Brill padaku, "untuk mengatakan pada semua orang betapa
pengecutnya aku." "Tidak," kata Rose tegas. "Aku di sini untuk mengatakan pada Dr. Freud bahwa ia
dan Abraham harus terus melanjutkan penerbitan buku Dr. Freud. Si pengecutlah
yang meninggalkan pesan-pesan yang mengerikan itu. Abraham telah mengatakan
semuanya padaku, Dr.Younger. Kami tidak mau diancam. Bayangkan, membakar buku di
negeri ini. Apakah mereka tidak tahu kita memiliki kebebasan pers?"
"Mereka telah memasuki apartemen kita, Rosie," kata Brill. "Mereka menguburnya
di dalam abu." "Dan kau mau bersembunyi di lubang tikus?" Kata Rose.
"Aku sudah bilang padamu," kata Brill padaku, sambil menaikkan alisnya tak
berdaya. "Yah, aku tidak mau. Dan aku juga tidak mau kau bersembunyi di balik rokku,
seolah akulah yang kau lindungi. Dr. Younger, kau harus membantuku. Tolong
katakan pada Dr. Freud kalau itu akan menghinaku jika lantaran demi
keselamatanku penerbitan buku itu harus ditunda. Ini Amerika. Untuk apa orangorang muda itu mati di Gettysburg?"
"Untuk menyakinkan bahwa segala perbudakan akan menjadikan upah seperti budak?"
Kata Brill. "Diamlah," kata Rose. "Abraham telah bekerja keras untuk buku itu. Buku itu
memberikan arti bagi hidupnya. Kami tidak kaya, tetapi kami memiliki dua hal di
negeri ini yang membuat kami bernilai lebih dari yang lainnya: martabat dan
kebebasan. Apa yang tersisa jika kita menyerah pada orang-orang seperti itu?"
"Sekarang ia berpidato untuk menjadi presiden," komentar Brill sehingga membuat
Rose menyerang bahunya dengan tas tangannya. "Tetapi kalian lihat mengapa aku
menikahinya." "Aku serius," lanjut Rose sambil memperbaiki letak topinya. "Buku Freud harus
diterbitkan. Aku tidak akan meninggalkan hotel ini hingga aku mengatakan padanya
tentang hal itu sendiri."
Aku menghargai keberanian Rose, namun Brill justru memarahi aku sambil
menjelaskan kalau risiko terbesar yang pernah aku ambil adalah berdansa
sepanjang malam dengan para pendatang baru yang sudah tua. Aku mengatakan,
mungkin ia benar dan meminta Freud. Tampaknya ia tidak turun sama sekali pagi
ini. Menurut Ferenczi yang sebelumnya mencoba mengetuk pintu kamarnya ia ? ?"belum dicernakan". Lebihlebih, Ferenczi menambahkan, dalam suara samar-samar
tadi malam terjadi pertengkaran hebat antara Freud dan Jung.
"Itu akan menjadi yang terburuk jika Freud melihat apa yang dikirimkan oleh Hall
kepada Younger pagi ini," kata Brill, sambil memberikan surat yang diambilnya
dari petugas hotel. "Kau tidak benar-benar membuka suratku, Brill?" Tanyaku.
"Ia benar-benar payah, kan?" Kata Rose, merujuk kepada suaminya. "Ia
melakukannya tanpa memberitahu kami. Aku pasti akan melarangnya."
"Itu dari Hall, demi Tuhan," kata Brill protes. "Younger telah menghilang. Jika
Hall berniat membatalkan kuliah Freud, apakah kita tidak perlu tahu?"
"Tidak mungkin," kataku.
"Sangat jelas," kata Brill. "Lihatlah sendiri."
Amplopnya terlalu besar. Di dalamnya ada lembaran kulit hewan yang terlipat.
Ketika aku meluruskannya, aku melihat satu halaman penuh, tujuh kolom artikel
dalam jenis koran dengan judul besar, "AMERIKA MENGHADAPI SAAT PALING TRAGISNYA" Dr.
?Carl Jung. Di bawahnya adalah sebuah foto sosok utuh Jung yang bermartabat dan
berkacamata, yang disebut sebagai "psikiatris Swiss yang terkenal." Yang aneh,
kertas yang digunakan terlalu tebal dan bermutu terlalu tinggi untuk kertas
koran. Lebih membingungkan lagi, tanggal yang tertera di atas adalah Minggu, 5
September, dua hari dari sekarang.
"Itu merupakan bukti tertulis dari sebuah artikel yang akan muncul di Times,
hari Minggu," kata Brill. "Bacalah catatan Hall."
Dengan menekan rasa tidak senangku, aku mengikuti katakata Brill. Surat Hall
berbunyi seperti ini: Yang terhormat Younger, Aku menerima tampiran itu hari ini dari keluarga yang telah menawarkan sejumlah
besar donasi pada Universitas. Aku diberitahu tentang hal itu dari New York
Times, yang akan terbit pada hari Minggu. Kau akan membaca apa yang tertulis.
Keluarga itu cukup baik dengan memberitahuku sebelumnya bahwa aku mungkin akan
bertindak sekarang, lebih baik dari pada setelah noda skandal itu menjadi tak
terhindarkan. Mohon pastikan Dr. Freud bahwa aku tidak bermaksud membatalkan
kuliahnya, yang sudah sangat aku tunggu. Namun jelas itu tidak akan memenuhi
kebutuhannya atau kita, jika penampilannya di sini menarik perhatian secara
khusus. Tentu saja aku sendiri tidak percaya pada ucapan yang tidak
bertanggungjawab itu. Tetapi aku wajib mempertimbangkan apa yang mungkin
dipikirkan orang lain. Aku sangat berharap bahwa artikel koran ini tidak asli dan bahwa niat kita
akan berlanjut tanpa keraguan dan tanpa gangguan. Hormatku, dll, dll.
Aku tidak setuju, namun surat itu menegaskan pandangan Brill kalau Hall akan
membatalkan kuliah Freud. Siapa yang mengatur kampanye melawan Freud" Dan apa
hubungannya Jung dengan ini semua"
'Terus terang," kata Brill, sambil merampas artikel koran itu dari tanganku,
"aku tidak tahu siapa yang dirugikan dalam kisah bodoh ini, Freud atau Jung.
Dengarkan ini. 'Gadis-gadis Amerika menyukai gaya bercinta lelaki Eropa.' Itu
perkataan teman kita si Jung. Kau percaya itu" 'Mereka lebih menyukai kita
karena mereka pikir kita tidak terlalu berbahaya.' Yang bisa ia katakan hanyalah
betapa para gadis Amerika menginginkannya. 'Wajar bagi perempuan untuk ingin
merasa takut ketika mereka mencintai. Wanita Amerika ingin dikuasai dan dimiliki
dengan cara Eropa kuno. Lelaki Amerika kalian hanya ingin menjadi putra yang
patuh dari istrinya. 'Tragedi Amerikan ini' Ia benar-benar lepas kendali."
"Tetapi itu bukan serang terhadap Freud," kataku.
"Mereka menyuruh orang lain untuk menyuarakan Freud."
"Siapa?" Tanyaku.
"Sumber yang tidak dikenal," kata Brill, "dikenali hanya sebagai dokter yang
berbicara bagi komunitas dokter yang 'ternama'. Dengarkan apa yang dikatakannya:
"Aku sangat mengenal Dr. Sigmun Freud dari Wina sejak beberapa tahun yang lalu.
Wina bukan kota yang wajar. Justru sebaliknya. Homoseksualitas, misalnya, di
sana dianggap sebagai tanda tempteramen asli. Pengalaman bekerja sama dengan
Freud dalam laboratorium di sepanjang musim dingin, aku mengetahui bahwa ia
menikmati kehidupan Wina menikmatinya secara keseluruhan. Ia tidak merasa ?menyesal terhadap praktik kumpul kebo, atau bahkan menjadi ayah dari hubungan
luar nikah. Ia bukanlah seorang lelaki yang hidup dengan rencana besar istimewa.
Teori ilmiahnya, jika memang begitulah seharusnya disebut, adalah hasil dari
lingkungan Romawi kunonya dan kehidupan ganjil yang berlangsung di sana." "Ya
Tuhan," kataku. "Ini benar-benar serangan pribadi," kata Ferenczi. "Apakah koran Amerika akan
menerbitkan hal seperti itu?"
"Itu adalah kebebasan pres kalian," kata Brill, yang menerima tatapan sayu dari
istrinya. "Mereka telah menang. Hall akan membatalkannya. Apa yang dapat kita
lakukan?" "Freud tahu?" Tanyaku.
"Ya. Ferenczi mengatakan hal itu padanya," kata Brill. "Aku memberikan garis
besar artikel koran itu," jelas Ferenczi, "lewat pintu. Ia tidak terlalu marah.
Ia sudah pernah mendengar yang lebih buruk lagi."
"Tetapi Hall belum," kataku mengamati. Freud telah difitnah sejak lama. Ia sudah
menduganya. Ia sudah terbiasa. Hall sendiri memiliki skandal yang sangat
mengerikan seperti juga orang New Englander lainnya dari kelompok Puritan.
Setelah menyatakan Freud sebagai seorang yang bebas di New York Times sehari
sebelum inagurasi, perayaan Clark akan menjadi terlalu berat baginya. Dengan
keras aku berkata, "Apakah Freud tahu siapakah orang di New York ini yang tahu
bagaimana keadaannya di Wina?"
"Tidak ada," seru Brill. "Kata Freud ia belum pernah bekerja sama dengan orang
Amerika." "Apa?" Tanyaku. "Wah, itu kesempatan kita. Mungkin seluruh artikel itu hanya
buatan. Brill, coba kau hubungi temanmu di Times. Jika mereka memang
merencanakan untuk memuat ini, katakan pada mereka, itu palsu. Mereka tidak
boleh menerbitkan kebohongan besar itu."
"Dan apakah mereka akan memercayai katakataku?" Katanya.
Sebelum aku dapat menjawab, aku melihat Ferenczi dan Rose telah menatap ke
sesuatu di belakangku. Aku berpaling dan melihat sepasang mata biru menatapku.
Nora Acton. Duapuluh Tiga KUKIRA JANTUNGKU benar-benar berhenti berdetak selama beberapa detik. Setiap
kali gambaran Nora Acton muncul helaian rambutnya yang terlepas menari-nari di ?atas pipinya, mata birunya yang memohon, lengannya yang ramping, tangan-tangan
bersarung putih, bentuk meramping dari dada ke pinggangnya semuanya bersatu
?melawanku. Melihat Nora di lobi hotel, aku mengira aku lebih membutuhkan perawatan darinya.
Pada satu sisi aku meragukan bahwa aku akan merasakan hal ini pada seseorang
yaitu pada sisi lainnya, aku merasa jijik. Di kaison, ketika kematian menjadi
begitu dekat denganku, aku hanya memikirkan Nora. Ketika sekarang melihatnya
sendiri, sekali lagi, aku tidak dapat melupakan rahasia
kerinduanku padanya. Aku pastilah telah berdiri untuk menatapnya lebih lama dari selayaknya batasan
kesopanan. Rose Brill menyelamatkan aku, dan berkata, "Kau pastilah Nona Acton.
Kami teman-teman dari Dr. Freud dan Dr. Younger. Ada yang bisa kami bantu,
Nona?" Dengan keanggunan yang mengagumkan, Nora menjabat tangan, sambil mengucapkan
katakata ramah, dan memberi tahu tanpa mengatakannya bahwa ia ingin berbicara denganku. Aku tahu pasti bahwa gadis ini
sedang terguncang batinnya. Sikapnya memukau,bukan lantaran ia baru tujuhbelas
tahun. Setelah berada jauh dari yang lainnya, ia berkata, "Aku sudah melarikan diri.
Aku tidak tahu harus ke mana. Maafkan aku. Aku tahu aku tidak suka padamu."
Kalimat terakhirnya seperti pisau pada jantungku. "Bagaimana kau bisa memiliki
pengaruh itu pada seseorang, Nona Acton?"
"Aku melihat itu pada wajahmu. Aku benci Dr. Freud-mu. Bagaimana ia bisa tahu?"
"Mengapa kau melarikan diri?"
Mata gadis itu membelalak. "Mereka berencana untuk mengurungku. Mereka menelpon
sanatorium, mereka menyebutnya perawatan istirahat. Ibuku telah menelpon mereka
sejak fajar. Ia mengatakan pada mereka bahwa aku memiliki khayalan yang datang
menyerang pada malam hari. Ia mengatakan itu dengan meninggikan suaranya supaya
ia yakin kalau aku, Bapak dan Ibu Biggs dapat mendengarnya. Mengapa aku tidak
bisa mengingatnya lagi..., dengan lebih wajar?"
"Karena lelaki itu memberimu chloroform."
"Chlorofrom?" "Obat bius untuk melakukan operasi," aku melanjutkan. "Itu membuatmu mengalami
apa yang kau alami."
"Kalau begitu ia memang ada di sana malam itu. Aku tahu itu. Mengapa ia lakukan
itu?" "Sehingga tampaknya kau melakukan hal itu sendiri. Lalu tidak ada yang
memercayaimu tentang serangan itu," kataku.
Ia menatapku lalu berpaling.
"Aku telah mengatakan pada Detektif Littlemore," kataku.
"Apakah Tuan Banwell akan datang padaku lagi?" "Aku tidak tahu."
"Setidaknya orang tuaku tidak bisa mengirimku ke sana sekarang."
"Mereka bisa," kataku. "Kau anak mereka." "Apa?"
"Keputusan berada pada tangan mereka, selama kau masih di bawah umur," aku
menjelaskan. "Orang tuamu mungkin tidak memercayaiku. Kita tidak dapat
membuktikannya. Chloroform tidak meninggalkan jejak."
"Seseorang harus berumur berapa hingga bisa dianggap bukan anak-anak lagi?"
Tanyanya dengat tibatiba mendesak.
"Delapanbelas."
"Aku akan berumur delapanbelas hari Minggu ini."
"Begitukah?" Aku baru akan berkata bahwa karena itu ia tidak perlu takut akan
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kurungan paksa, tetapi ada dugaan yang menghalangiku.
"Ada apa?" Tanyanya.
"Kita harus mencegah mereka hingga hari Minggu, Jika mereka berhasil
memasukkanmu ke rumah sakit hari ini, atau besok, kau tidak bisa dikeluarkan
hingga orang tuamu mengizinkanmu."
"Walau aku sudah berusia delapanbelas tahun?" "Walau setelah itu."
"Aku akan melarikan diri," katanya, "aku tahu..., sebuah pondok musim panas kami.
Sekarang mereka sudah kembali. Di sana kosong. Mereka tidak akan mencariku ke
sana sebelum mencari ke tempat lainnya. Itu adalah tempat yang paling tidak
mereka curigai. Kau bisa membawaku ke sana" Hanya satu jam perjalanan dengan
ferry. The Day Line berhenti tepat di Tarry town jika kau bertanya pada mereka.
Kumohon, Dokter. Aku tidak punya siapa-siapa lagi."
Aku mempertimbangkannya. Membawa Nora ke luar kota sangat masuk akal. George
Banwell benar-benar telah memasuki kamarnya tanpa diketahui. Mungkin saja ia
akan melakukannya lagi. Nora hampir tidak mungkin pergi naik ferry sendirian:
tidak aman bagi seorang perempuan muda, terutama lantaran daya pikatnya.
Semuanya dapat menunggu hingga malam ini. Freud terperangkap di tempat tidurnya.
Jika usaha Brill untuk menghubungi kawannya di New York Times tidak berhasil,
langkah berikutnya bagiku adalah pergi ke Worcester sendiri untuk berbicara
dengan Hall, tetapi aku bisa melakukannya besok.
"Aku akan mengantarmu," kataku.
"Kau akan mengenakan jas ini?" Tanyanya.
g SETENGAH JAM SETELAH harian pagi dikirimkan, pelayan Tuan Banwell memberitahu
Clara kalau seorang tamu menunggunya di ruang depan. Clara mengikuti pelayannya
ke ruang itu yang berlantai pualam. Di sana pelayannya sedang memegangi topi
milik seorang tamu lelaki berbadan kecil, pucat dalam jas cokelat, dengan mata
seperti manik-manik yang hampir putus asa, kumis seperti semak-semak, dan alis
yang juga seperti semak-semak.
Clara terkejut ketika melihatnya, "Dan Anda ini siapa?" Tanyanya dengan kaku.
"Ahli otopsi Charles Hugel," katanya dengan tidak kurang kakunya, "Aku kepala
penyidikan pembunuhan Elizabeth Riverford. Aku ingin berbiara denganmu, kalau
boleh." "Aku mengerti," kata Clara. Ia berpaling kepada Parker, pelayannya. "Jelas ini
adalah urusan Tuan Banwell, Parker, bukan aku."
"Maaf, Bu," kata Parker, "Bapak ini ingin bicara dengan Ibu."
Clara berpaling kembal pada Hugel. "Anda ingin bicara denganku, Pak..., Pak...?"
"Hugel," kata Hugel. "Aku..., tidak, aku hanya berpikir, suamimu sudah pergi, Bu
Banwell, maka...," "Suamiku belum pergi," kata Clara. "Parker, beritahu Tuan Banwell bahwa ada
tamu, Pak Hugel. Aku yakin Anda bisa membiarkan saya masuk." Beberapa menit
kemudian, dari ruang riasnya, Clara mendengar aliran sumpah serapah dalam suara
berat George Banwell, diikuti dengan sebuah bantingan pintu depan. Lalu Clara
mendengar langkah kaki berat suaminya mendekat. Sesaat kemudian, tangan Clara ?yang sedang membedaki wajah cantiknya mulai bergetar, hingga ia menekannya
?sampai diam. 9 SATU SEPEREMPAT JAM KEMUDIAN, Nora Acton dan aku berlayar di Sungai Hudson
dengan menumpangi sebuah kapal uap menuju ke utara melewati Orange clift (tebing
Jingga) yang spektakuler di New Jersey. Kami telah meninggalkan Hotel Manhattan
melalui sebuah pintu ruang bawah tanah setelah aku mengganti pakaian. Di
pinggiran sungai di New York, sebuah armada kapal-kapal kayu dengan tiang
sebanyak tiga buah, berlabuh di bawah Grant's Tomb. Layar putihnya lambat
berkibaran di bawahnya. Mereka adalah bagian dari perayaan Hudson Fulton musim
gugur ini. Beberapa gumpal awan mengambang di langit bersih. Nona Acton duduk
pada sebuah bangku dekat haluan kapal. Rambutnya seperti mengalir dan kusut
karena tiupan angin. "Indah, bukan?" Katanya.
"Jika kau menyukai kapal," kataku.
"Kau tidak suka?"
"Aku benci kapal," kataku. "Pertama-tama anginnya. Jika orang ingin menikmati
angin menerpa wajahnya, mereka seharusnya berdiri di depan sebuah kipas angin
listrik saja. Lalu asap pembuangannya, dan peluit nerakanya..., pemandangan
menjadi sangat jelas, tidak ada orang di sekitarnya sejauh bermil-mil, namun
mereka tetap saja meniupkan peluit itu begitu keras sehingga bisa membunuh
sekumpulan ikan." "Ayahku menarikku dari Barnard pagi ini. Ia membatalkan pendaftaran. Ibu yang
menyuruhnya." "Itu bisa dikembalikan," kataku dengan rasa malu karena telah meracau begitu
menggelikan. "Apakah ayahmu mengajarimu menembak, Dr. Younger?" Tanyanya.
Pertanyaan itu mengejutkanku. Aku tidak dapat mengatakan apakah yang dimaksud
dengan hal itu, atau apakah ia sendiri tahu apa maksud dari pertanyaannya"
"Apa yang membuatmu menduga aku dapat menembak?" Tanyaku.
"Bukankah semua lelaki di kelas sosial kita dapat menembak?" Ia mengucapkan kata
kelas sosial terdengar nyaris menghina.
"Tidak," kataku, "kecuali kau memasukkan menembak mulut orang (shooting one's
mouth off)." "Nah, kau bisa," katanya. "Aku melihatmu."
"Di mana?" "Aku sudah katakan: di pameran kuda tahun lalu. Kau bersenang-senang di galeri
menembak." "Begitukah?"
"Ya," katanya. "Kau tampak sangat menikmatinya."
Aku lama menatapnya, untuk melihat seberapa banyak hal yang diketahuinya.
Peristiwa bunuh diri yang menimpa ayahku melibatkan senjata. Tidak bermaksud
menyatakan hal yang terlalu peka, tetapi otaknya berhamburan. "Pamanku
mengajariku," kataku. "Bukan ayahku."
"Pamanmu yang mana, Schermerhorn atau Fish?"
"Kau tahu tentang diriku lebih banyak dari yang kukira, Nona Acton."
"Lelaki yang mendaftarkan dirinya di Daftar Sosial, seharusnya tidak boleh
mengeluh jika hubungannya menjadi diketahui umum."
"Aku tidak mendaftarkan diriku. Aku terdaftar seperti juga dirimu."
"Apakah kau bersedih ketika ia meninggal?"
"Siapa?" "Ayahmu." "Apa yang ingin kau ketahui, Nona Acton?" "Kau bersedih?"
"Tidak seorang pun akan berduka untuk orang yang bunuh diri."
"Begitukah" Ya, kukira kematian seorang ayah adalah hal lumrah. Ayahmu
kehilangan ayahnya, dan ayah yang itu juga kehilangan ayahnya."
"Kukira kau membenci Shakespeare."
"Bagaimana rasanya, Dokter, dibesarkan oleh orang yang kau benci?"
"Bukankah kau lebih tahu dari aku, Nona Acton?" "Aku?" Tanyanya. "Aku dibesarkan
oleh seseorang yang kucintai."
"Kau tidak memperlihatkan perasaan itu ketika kau berbicara tentang orang
tuamu." "Aku tidak berbicara tentang orang tuaku," kata Nora. "Aku bicara tentang Ibu
Biggs." "Aku tidak membenci ayahku," kataku.
"Aku membenci ayahku. Setidaknya aku tidak takut mengatakannya."
Angin bertiup semakin keras. Mungkin cuaca berubah. Nora terus menatap pantai.
Apa yang sebenarnya dikehendaki Nora dariku" Aku tidak tahu.
"Kita punya persamaan, Nona Acton," kataku. "Kita berdua tumbuh besar dengan
harapan tidak mau menjadi seperti orang tua kita. Keduanya. Tetapi Dr. Freud
mengatakan, pertentangan memperlihatkan banyak kasih sayang seperti juga
kepatuhan." "Aku mengerti kau telah mencapai pemisahan diri itu."
Beberapa menit kemudian, ia memintaku menceritakan lebih banyak padanya tentang
teori-teori Freud. Aku menjelaskannya, namun menghindari setiap makna kata
Oedipus dan apa pun yang berhubungan dengannya. Dengan menerobos etika
profesional, aku menggambarkan baginya beberapa pasienku yang terdahulu tentu ?saja tanpa menyebutkan namanya berharap untuk dapat memberikan gambaran tentang
?proses pemindahan (transference) dan efek ekstrimnya pada pasien analitis.
Hingga di sini aku menceritakan padanya tentang Rachel, gadis yang mencoba
membuka pakaiannya untukku pada setiap sesi perawatannya.
"Apakah ia menarik?" Tanya Nora.
"Tidak," kataku berbohong.
"Kau bohong," katanya. "Lelaki selalu suka gadis semacam itu. Kukira kau
bercinta dengannya."
"Tentu saja tidak," kataku yang terkejut lantaran keterusterangannya.
"Aku tidak jatuh cinta padamu, Dokter," katanya seolah-olah itu adalah jawaban
yang sempurna dan logis. "Aku tahu apa yang kau pikirkan. Aku sudah salah
mengira bahwa aku memiliki perasaan padamu kemarin, tetapi ternyata itu adalah
hasil dari keadaan yang diciptakan dan pernyataan kasih sayangmu sendiri
padaku." "Nona Acton...,"
"Jangan takut. Aku tidak menyalahkan dirimu. Aku mengerti bahwa apa yang kau
katakan kemarin, tidak lagi merupakan cerminan perasaanmu yang sesungguhnya,
seperti yang kukatakan kemarin juga bukan lagi perasaanku yang sesungguhnya. Aku
tidak mempunyai perasaan terhadapmu. Ini, pemindahanmu, yang membuat para
pasienmu bisa mencintaimu atau membencimu, tidak ada hubungannya denganku. Aku
pasienmu, seperti yang kau katakan. Itu saja."
Aku membiarkan kata-katanya berlalu tanpa jawaban
ketika ferry meluncur di atas sungai
g MENJELANG SORE pada hari Jumat, Detektif Littlemore berdiri di luar sebuah sel
kecil yang kotor di dalam sebuah bangunan besar berwarna kelabu yang dikenal
sebagai Tombs. Tidak ada cahaya matahari, tidak jendela di manapun. Di samping
Littlemore adalah seorang penjaga penjara. Mereka berdua sedang menatap, melalui
sebuah pintu berjeruji besi, tubuh terlentang Chong Sing. Dia tergeletak tidak
sadar di atas tempat tidur lipat yang kusam. Pakaian dalam putihnya kotor
sekali. Kakinya telanjang dan kotor.
"Ia sedang tidur?" Tanya Littlemore.
Dengan tertawa si penjaga menjelaskan bahwa Sersan Becker telah membuat Chong
tidak tidur tadi malam. Littlemore pada awalnya terkejut mendengar nama Becker
di sebut. Lalu ia sadar kalau Nona Sigel ditemukan di Tenderloin, maka
interogasi tentu saja dilakukan oleh Becker. Namun, detektif Littlemore bingung,
Chong telah bicara kemarin; ia telah mengakui melihat Leon sepupunya membunuh ? ?gadis itu. Begitulah kata McClellan. Apa lagi yang diinginkan Becker darinya
tadi malam" Si penjaga penjara dapat menjawab pertanyaan itu. Becker-lah yang membuat Chong
berbicara. Tetapi Chong tidak mau mengakui ia telah membantu pembunuhan itu. Ia
bersikeras telah masuk ke kamar Leon setelah gadis itu tewas.
"Dan Becker tidak percaya?" Tanya Littlemore. Si penjaga bergumam sedikit dan
menggelengkan kepalanya. "Ia benar-benar membuatnya tidak tidur semalaman.
Seperti yang kukatakan. Kau harus melihatnya tadi malam."
Chong Sing yang tertidur, berbalik badan di atas ranjang sambil membuka mata
kanannya yang ungu dan bengkak seperti buah plum. Darah kering tampak di bawah
hidung dan di bawah telinganya. Hidungnya mungkin telah patah, tetapi Littlemore
tidak yakin hal itu. "Ya, ampun," kata detektif Littlemore, "Ia terluka?"
"Hmm." Littlemore meminta penjaga itu membuka sel. Ia mernbangungkan Chong. Detektif
Littlemore menarik sebuah kursi dan menyalakan rokok, lalu menawarkannya juga
pada lelaki Cina itu. Chong melihat interrogator barunya dengan tidak senang. Ia
mengambil rokoknya. "Aku tahu, kau mengerti bahasa Inggris, Pak Chong," kata Littlemore, "aku
mungkin bisa membantumu. Kau hanya menjawab beberapa pertanyaanku saja. Kapan
kau mulai bekerja pada Banwell, akhir bulan Juli?"
Chong Sing mengangguk. "Bagaimana tentang di bawah jembatan?" Tanya detektif Littlemore.
"Mungkin sama harinya," katanya serak. "Mungkin beberapa hari kemudian."
"Jika kau tidak di sana, Chong, bagaimana kau melihatnya?" Tanya Littlemore.
"Hah?" "Jika kau masuk ke dalam kamar Leon setelah ia membunuh gadis itu, bagaimana kau
tahu ia telah membunuhnya?"
"Aku sudah mengatakannya," kata Chong, "aku mendengar perkelahian, Aku
melihatnya dari lubang kunci."
Littlemore mengerling pada si penjaga, yang
menegaskan bahwa Chong telah menceritakan kisah yang sama sebelum ini. Detektif
Littlemore kembali berpaling pada Chong Sing. "Benar begitu?" "Benar," kata
Chong Sing "Tidak, tidak begitu. Aku di sudah pernah ke kamar Leon, Pak Chong, ingat?" Kata
Littlemore. "Aku mengambil kuncinya. Aku mengintai melalui lubang kunci yang
sama. Aku tidak bisa melihat apa-apa dari sana."
Chong Sing terdiam. "Bagaimana kau mendapatkan pekerjaan itu, Chong" Bagaimana kau mendapatkan dua
pekerjaan dari Tuan Banwell?"
Lelaki Cina itu menggerakkan bahunya. "Aku sedang mencoba menolongmu," kata
Littlemore. "Leon," kata orang Cina itu lirih, "Ia yang mencarikan pekerjaan
untukku." "Bagaimana Leon mengenal Banwell?" "Aku tidak tahu." "Kau tidak tahu?"
"Aku tidak tahu," kata Chong pasti. "Aku tidak membunuh siapa pun."
Littlemore berdiri dan memberi tanda pada si penjaga untuk membuka pintu sel
lagi. "Aku tahu kau tidak membunuh," katanya.
g PONDOK MUSIM PANAS MILIK KELUARGA ACTON adalah sebuah tempat yang khas di New
Port. Artinya, sebuah rumah yang memang mengesankan melebihi kelas para raja
Eropa yang lebih rendah. Aku ingin kembali ke kota setelah mengantar Nora hingga
ke depan pintu, tetapi ternyata aku tidak bisa. Aku tidak mau meninggalkannya sendirian, walau
di sini. Para pelayan menyambut Nora dengan hangat. Mereka membuka pintu-pintu dan
jendela dengan heboh. Mereka tampaknya tidak tahu apa-apa tentang hal yang
tengah menimpa Nora. Walau hampir tidak terucap, tampaknya Nora ingin
memperlihatkan kepadaku segalanya. Ia membawaku mengelilingi lantai satu rumah
utama. Tangga pualam sayap ganda membawa naik dari ruang depan berlantai dua. Ke
sebelah kanan ada kubah dari kaca patri; ke sebelah kiri sebuah ada perpustakaan
segi delapan yang bertiang kayu. Pilar-pilar pualam dan gips kemilau ada di
mana-mana. Di bagian belakang ada beranda berlangit-langit keramik. Sebuah halaman berumput
hijau dan pepohon ek yang tinggi tampak berjajar menuju ke jauh sungai di bawah.
Gadis itu beranjak memasuki kehijauan. Aku mengikutinya, dan tidak lama kami
tiba di kandang kuda, yang udaranya tercium aroma kuda dan jerami segar.
Tampaknya tukang masak telah mengambil inisiatif menyediakan keranjang piknik di
kandang kuda, kalaukalau Nona Nora menghendaki berkuda.
Gadis itu ternyata penunggang kuda sebaik diriku. Setelah berkuda dengan cepat,
kami berhenti dan menebar alas di bawah teduhan pepohonan dengan pemandang indah
sungai Hudson. Di dalam keranjang piknik, kami menemukan selusin kepiting besar
yang dibungkus dalam es, ayam dingin, kroket kentang, satu kaleng penuh biscuit
soda, selada ceri dan semangka. Disertakan juga satu teko ice tea, dan setengah
botol minuman beralkohol, yang ternyata untuk "Tuan-tuan." Aku belum makan apa
pun sejak kemarin malam. Ketika kami selesai makan, Nora bertanya padaku, "Kau seorang yang jujur?"
"Kalau aku salah," kataku, "tetapi itu juga karena aku aktor yang buruk. Apakah
para pelayanmu akan mengatakan pada orang tuamu kau ada di sini?"
"Tidak ada telepon di sini." Ia membuka topi pana-manya, membiarkan sinar
matahari terperangkap di dalam rambutnya. "Aku minta maaf karena sikapku di
ferry tadi, Dokter. Aku tidak tahu mengapa aku mengungkit soal ayahmu. Maafkan
aku, kumohon. Aku merasa aku berada di dalam sebuah rumah yang sedang terbakar
musnah dan tidak ada jalan keluar. Clara adalah satusatunya orang yang dapat
kumintai pertolongan. Sekarang ia tidak bisa lagi."
"Ada satu jalan keluar," kataku. "Kau tinggal di sini hingga hari Minggu. Kau
akan berusia delapanbelas tahun sehingga aku sudah bisa terlepas dari
pengendalian orang tuamu. Ketika itu juga aku, kalau aku beruntung, bersama
Detektif Littlemore akan melacak buktibukti yang kami temukan untuk menangkap
Banwell." "Bukti apa?" Aku pun mengatakan pada Nora tentang perjalananku ke kaison. Bahkan sekarang,
aku menjelaskan, Detektif Littlemore mungkin sudah dapat menegaskan bahwa
barang-barang di dalam koper itu adalah milik Nona Riverford, yang akan kami
gunakan untuk menangkap Banwell. Mungkin Banwell sudah ditangkap sekarang.
"Aku sangat meragukannya," kata Nora sambil memejamkan matanya. "Katakan yang
lainnya."
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa?" "Ceritakan apa saja selama itu bukan menyangkut George Banwell."
9 DI DALAM RUMAH KELUARGA ACTON, di Gramercy Park, ibu Nora sedang menggeledah
kamar putrinya. Nora telah menghilang. Mildred Acton menyuruh Ibu Biggs mencari
Nora di taman, tetapi gadis itu tidak ada di sana. Perasaan tertipu oleh
putrinya membuatnya marah. Tampaknya putrinya gila, jahat dan gila. Segala yang
dikatakannya tidak dapat dipercaya. Ibu Acton telah melihat rokok dan alat rias
yang ditemukan di kamar putrinya. Apa lagi yang mungkin disembunyikannya di
sana" Ibu Acton tidak menemukan apa-apa lagi yang dapat disita hingga ia meraba di
bawah batal putrinya. Ia heran karena menemukan sebilah pisau dapur.
Penemuan itu mengakibatkan keanehan pada diri Mildred Acton. Dalam beberapa
detik, serangkaian gambar mengerikan berkelebatan di dalam benaknya. Di
antaranya adalah tentang kelahiran anak satusatunya. Setelah itu ia menjadi
ingat betapa setelah kejadian tersebut, ia dan suaminya tidur berpisah kamar.
Sesaat kemudian, bayangan yang dipenuhi darah dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan hal itu telah menghilang. Ibu Acton telah benar-benar
melupakannya, tetapi kenangan itu membuatnya mengambil satu sikap. Ia merasa
sangat perlu melindungi putrinya dari dirinya sendiri, lalu mengembalikan pisau
tersebut ke tempatnya di dapur.
Ibu Acton berharap suaminya akan melakukan sesuatu dan tidak menjadi selemah
itu. Tuan Harcourt Acton selalu bersembunyi di ruang kerjanya atau bermain polo
di desa. Ia sangat memanjakan Nora. Tetapi kemudian
Harcourt merupakan orang yang gagal dalam segala hal. Jika ia tidak mewarisi
harta sedikit dari orang tuanya, lelaki itu akan berakhir di rumah miskin.
Mildred sering kali mengatakan hal itu.
Ibu Acton memutuskan kalau ia harus menelpon Dr. Sachs untuk mendapatkan pijat
elektro lagi. Benar, ia baru saja menerima perawatan itu kemarin dan harus
membayarnya dengan biaya yang sangat mahal. Tetapi ia merasa tidak dapat hidup
tanpa itu. Dr. Sachs sangat ahli dengan peralatannya. Seandainya saja ia dapat
menemukan dokter Kristen yang sama ahlinya, maka akan lebih baik lagi, begitulah
yang terbetik dalam benaknya. Tetapi bukankah semua orang mengatakan bahwa
dokter terbaik adalah orang Yahudi"
g TENTU SAJA OTAKKU MENJADI KOSONG ketika Nora memintaku mengatakan sesuatu untuk
mengalihkan perhatiannya. Kemudian aku ingat sesuatu. "Tadi malam," kataku, "aku
memecahkan To be, or not to be."
"Aku tidak tahu bahwa itu harus ada pemecahannya," katanya.
"Oh, orang-orang sudah berusaha untuk memecahkannya selama berabad-abad. Tetapi
tidak seorang pun bisa, karena semua orang selalu menganggap bahwa not to be
artinya mati." "Bukankah memang begitu?"
"Well, terdapat masalah jika kau membacanya seperti itu. Dilihat dari seluruh
isi pidatonya yang menyetarakan not to be dengan tindakan seperti mengangkat
senjata,membalas dendam, dan seterusnya. Jadi jika not to be
berarti mati, maka kematian akan memiliki sebutan dari tindakan pada sisi dari
mati, padahal jelas nama itu milik hidup. Bagaimana tindakan berada di sisi
kematian" Jika kita bisa menjawab pertanyaan itu, kita akan tahu mengapa, bagi
Hamlet, to be artinya tidak bertindak, dan kemudian kita harus memecahkan tekateki yang sesungguhnya yaitu mengapa ia tidak bertindak, mengapa ia lumpuh
begitu lama. Aku telah membuatmu bosan, maafkan aku."
"Tidak sama sekali. Tetapi not to be hanya bisa berarti kematian," kata Nora.
"Not to be artinya," ia menggerakkan bahunya, "not to be."
Sebelumnya aku sedang berbaring miring, tapi sekarang aku duduk. "Tidak.
Maksudku ya. Maksudku, not to be memiliki arti kedua. Lawan dari hidup tidak
hanya kematian. Tidak bagi Hamlet. Mati juga artinya tampaknya (seem)."
"Tampaknya apa?"
"Tampaknya, saja." Aku berdiri, berjalan dan, aku malu mengatakan, sambil
mengertakkan jemariku dengan kuat, "Kuncinya sudah ada di sana sejak lama, pada
awal drama tersebut, ketika Hamlet berkata, 'Tampaknya, Bu" Tidak, aku tidak
mengenal tampaknya'i. Coba pikirkanlah. Denmark berduka. Semua orang harus
berduka cita atas kematian ayah Hamlet. Ibunya terutama harus berduka. Ia,
Hamlet, harus menjadi Raja. Namun, Denmark merayakan pernikahan ibunya
dengan yang bagi semua orang paman yang paling mereka benci, yang juga telah ? ?mendapatkan tahta.
"Dan apa yang paling menyakitkan baginya adalah
i Dalam bahasa inggris kalimat itu berbunyi, 'Seems, madam" Nay it is. I know
not seems' keberpura-puraan untuk berduka, tampaknya, pakaian hitam itu, telah dikenakan
oleh orang-orang yang sebenarnya tidak sabar menunggu untuk berpesta di depan
meja-meja pernikahan dan bergembira seperti hewan di atas tempat tidur mereka.
Hamlet tidak mau menjadi bagian dari dunia seperti itu. Ia tidak mau berpurapura. Ia menolak menjadi orang yang tampaknya sedang berduka. Karena dia memang
berduka. "Lalu ia mengetahui siapa pembunuh ayahnya. Ia bersumpah untuk membalas dendam.
Tetapi dari situ dan selanjutnya, ia memasuki dunia yang tampaknya adalah dunia.
Langkah pertamanya adalah untuk berpura-pura bersikap tertawa-tawa menjadi gila.
Kemudian ia mendengarkan dengan kagum pada seorang aktor yang menangisi Hecuba.
Kemudian ia benar-benar menyuruh para pemain untuk berpura-pura dengan lebih
meyakinkan. Ia bahkan menulis sebuah naskah untuk dirinya sendiri, tetapi itu
sebenarnya akan menghidupkan kembali peristiwa pembunuhan ayahnya, sehingga
membuat pamannya terkejut dan mengakui kesalahannya.
"Ia gagal memasuki area permainan, dalam keberpura-puraan. Bagi Hamlet, To be,
or not to be bukanlah to be, atau tidak ada. Baginya 'to be, atau to seem' [ada
atau berpura-pura]: itulah keputusan yang harus dibuatnya. Berpura-pura adalah
bertindak atau berperan memainkan sebuah peranan. Itu adalah pemecahan dari ?seluruh drama Hamlet. Di sana itulah, di depan hidung semua orang. Not to be
itulah yang dimaksud dengan to seem. Karena itu To be, bukanlah 'tidak
berperan.1 Karena itulah ia menjadi lumpuh! Ham-let bersikeras untuk tidak
berpura-pura, dan itu artinya tidak pernah bertindak. Jika ia terus berpegang
pada niatnya itu, jika ia mau ada,
maka ia tidak bisa bertindak. Tetapi jika ia ingin mengangkat sejata dan
membalas kematian ayahnya, ia harus bertindak. Berarti ia harus memilih untuk
berpura-pura, bukan memilih ada."
Aku menatap wajah pendengarku satusatunya.
"Aku mengerti," katanya. Karena ia harus menipu untuk mengalahkan pamannya."
"Ya, ya, tetapi itu juga universal. Semua tindakan itu adalah berperan. Segala
penampilan itu pertunjukan. Ada alasan mengapa kata itu mempunyai arti ganda.
Merancang artinya merencanakan, tetapi juga menipu. Membuat adalah menciptakan
dengan keahlian, tetapi juga menipu. Kesenian artinya tipu daya. Keahlian juga
tipu daya. Tidak terhindarkan. Jika kita ingin berperan di dunia, kita harus
bertindak. Misalnya, seorang lelaki melakukan terapi psikoanalisa kepada seorang
wanita. Ia menjadi dokternya, lelaki itu memangku sebuah peran. Itu tidak
berbohong, tetapi berperan. Jika ia melepaskan peran bersama gadis itu, lelaki
itu memerankan peran yang lainnya sebagai teman, kekasih, suami, atau apa pun
namanya. Kita bisa memilih peran apa yang akan kita mainkan, tetapi hanya itu."
Alis Nora bertaut. "Aku telah berperan," katanya. "Denganmu."
Hal itu memang terkadang terjadi: saat kebenaran meledak tepat di tengah
skenario yang lain, di saat pemeranan ada di tempat lain dan perhatian
teralihkan. Aku tahu apa yang seharusnya ia bicarakan yaitu khayalan rahasianya
tentang ayahnya, yang telah diakuinya kemarin. Tetapi ia juga berusaha untuk
menutupinya, tentu saja. "Itu kesalahanku," jawabku. "Aku tidak ingin
mendengarkan kebenaran itu. Aku merasakan hal yang
sama tentang Hamlet sejak lama sekali. Aku tidak mau memercayai bahwa pandangan
Freud tentang drama itu benar."
"Dr. Freud mempunyai pandangan tentang Hamlet?" Tanyanya.
"Ya, itu..., itu yang tadi kukatakan padamu. Bahwa Hamlet memiliki keinginan
terpendam untuk..., untuk bercinta dengan ibunya."
"Dr. Freud mengatakan begitu?" Serunya. "Dan kau memercayainya" Menjijikkan
sekali." "Yah, begitulah, tetapi aku agak terkejut mendengarmu berkata begitu."
"Mengapa?" Tanyanya.
"Karena yang telah kau ucapkan kemarin."
"Apa yang kukatakan?"
"Kau mengaku," kataku, "kau memiliki keinginan semacam incest." "Kau gila."
Aku merendahkan suaraku tetapi berbicara dengan tegas. "Nona Acton, kau
mengakuinya padaku di taman kemarin, dengan sangat jelas, bahwa kau cemburu
ketika melihat Clara Banwell bersama ayahmu. Kau berkata kau berharap bahwa
kaulah yang...," Wajahnya memerah. "Hentikan! Ya, aku mengatakan aku cemburu, tetapi bukan pada
Clara! Menjijikkan sekali! Aku cemburu pada ayahku!"
Kami saling berhadapan, sama-sama berdiri sekarang, dibatasi oleh selimut wol.
Sepasang bajing, yang sejak tadi bermain-main di dekat dahan pohon, terpaku dari
kegiatannya dan menatap kami dengan curiga. "Karena itu kau berpikir kau
menjijikkan?" Tanyaku.
"Ya," bisiknya.
"Itu tidak menjijikkan," kataku, "setidaknya tidak untuk dibandingkan."
Kalimatku tidak menghiburnya. Aku menyentuh pipinya. Ia tertunduk. Aku memegangi
dagunya. Aku mengangkat wajahnya ke dekat wajahku, kemudian aku membungkuk ke
dekatnya. Nora mendorongku.
"Jangan," katanya.
Ia tidak mau menatapku. Ia menjauh dariku dan membereskan perlengkapan piknik,
mengumpulkan sisa-sisanya, memasukkannya ke dalam keranjang, dan membersihkan
remah-remah dari selimut. Tanp a bicara, kami menunggang ke kandang kuda dan
masuk ke rumah. Maka semua keberatan lantaran etika kesopanan terhadap mengambil keuntungan dari
perpindahan ketertarikan Nora kepadaku seandainya memang begitu telah melebur ? ?ketika ia mengakui bahwa ia memiliki gairah Sapphic [lesbianisme], bukan incest.
Aku malu karena telah mengetahuinya, tetapi masuk akal juga. Ketika aku
mengetahui yang sebenarnya, aku tidak lagi merasa Nora akan mencium ayahnya
seperti ia menciumku. Mungkin aku harus menyimpulkan ia akan mencium Clara,
tetapi rasanya tidak seperti itu.
Rumah utama sekarang sunyi. Udara sore musim panas benar-benar senyap. Ruangruang berperabotan besar, berbayang-bayang dan kosong. Semua jendela ditutup
lagi untuk menjaga sinar matahari agar tidak merusak tirai dan perabotan Aku
?kira. Nora, sambil termenung tanpa bicara, membawaku ke perpustakaan segi
delapan yang berisi barang-barang ukiran kayu indah. Ia mengunci pintu di
belakang kami, lalu menunjuk pada sebuah kursi bertangan. Aku disuruh duduk di
atasnya, dan aku mematuhinya. Nora berlutut di lantai, di depanku.
Untuk pertama kalinya sejak ia menolakku ia berkata, "Kau ingat ketika pertama
kali kau melihatku" Ketika aku tidak bisa bicara?"
Aku tidak bisa membaca ekspresi wajahnya. Ia tampak sangat menyesal dan
sekaligus polos. "Tentu saja," kataku.
"Aku tidak kehilangan suaraku." "Maaf?"
"Aku hanya berpura-pura," katanya.
Aku tidak ingin memperlihatkan betapa tibatiba mulutku terasa kering sekali.
"Karena itulah kau dapat berbicara keesokan harinya," kataku.
Ia mengangguk. "Mengapa?" Tanyaku.
"Dan amnesiaku."
"Ada apa dengan itu?"
"Itu juga bukan amnesia yang sesungguhnya," katanya.
"Kau tidak mengalami amnesia?" "Aku hanya berpura-pura."
Gadis itu menatapku. Aku merasakan hal yang aneh, kurasa ia adalah seseorang
yang belum pernah kukenal.
Aku berusaha untuk kembali menjajaki kembali apa yang kutahu, atau apa yang
kukira bahwa aku tahu, tentang fakta ini. Aku berusaha untuk menyusun kembali
semua berbagai kejadian minggu lalu, supaya aku mengerti tetapi tidak bisa.?"Mengapa?"
Ia menggelengkan kepalanya, sambil menggigit bibir bawahnya.
"Kau mencoba untuk menghancurkan Banwell?" Tanyaku. "Kau akan mengatakan ia yang
melakukannya?" "Ya." "Tetapi artinya kau berbohong."
"Ya. Tetapi yang lainnya hampir semuanya benar."
? ?Ia tampak memohon simpatiku. Aku tidak merasakan apa-apa. Tidak heran ia
mengatakan pemindahan itu tidak berpengaruh padanya. Aku tidak melakukan terapi
psikoanalisa padanya sama sekali. "Kau mempermainkan aku," kataku.
"Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku tidak bisa..., itu terlalu...,"
"Segala yang kau katakan padaku itu bohong?"
"Tidak. Banwell memang merayuku ketika aku berusia empatbelas tahun. Ia mencoba
lagi ketika aku berusia enambelas tahun. Dan aku memang melihat ayahku bersama
Clara. Di sini, di ruangan ini."
"Kau mengatakan kau melihat ayahmu dan Clara di rumah Banwell."
"Ya." "Mengapa kau berbohong tentang itu?" "Aku tidak berbohong."
Pikiranku berputar dan meraba-raba. Aku ingat sekarang yaitu rumah musim panas
orangtuannya di Berkshires, di Massachusetts. Kami tidak berada di rumah musim
panas orang tuanya sama sekali. Kami ada di rumah Banwell. Para pelayan
mengenalnya bukan karena mereka adalah pelayannya, tetapi karena Nora sering
datang ke rumah ini. Kenyataan dari keadaan ini, tibatiba menjadi rapuh, seolah
akan retak. Aku berdiri. Ia menggoyangkan tangannya dan menatapku.
"Kau melakukan itu semua pada tubuhmu sendiri," kataku. "Kau mencambuki dirimu
sendiri. Kau takut pada dirimu sendiri. Kau membakar dirimu sendiri."
Ia meggelengkan kepalanya.
Serangkaian kenangan muncul dalam benakku. Pertama, membantu Nora menaiki kereta
kuda di luar hotel. Tanganku hampir membungkus pinggangnya, termasuk bagian
bawah tulang punggungnya, namun ia tidak meringis kesakitan. Ketika aku
menyentuh lehernya, untuk memancing kenangannya yang ternyata adalah ?kebohongan aku memegangi punggung kecilnya sekali lagi. Lagi, ia tidak
?meringis. "Kau tidak terluka sama sekali," kataku. "Kau memalsukan semuanya. Kau
menggambari tubuhmu, dan tidak memperbolehkan siapa pun menyentuhmu. Kau tidak
pernah diserang." "Tidak," katanya.
"Tidak pernah, atau kau memang pernah?" "Tidak," ulangnya.
Aku menarik pergelangan tangannya. Ia terhenyak. "Pertanyaanku sederhana. Kau
dicambuki" Aku tidak peduli siapa yang melakukannya. Adakah seseorang lelaki...,
jika bukan Banwell, berarti orang lain..., yang mencambukimu" Iya atau tidak.
Katakan padaku!" Ia menggelengkan kepalanya. "Tidak," ia berbisik. "Ya. Tidak. Ya. Begitu keras
sehingga kukira aku akan mati."
Jika itu tidak terlalu aneh, pengubahan ceritanya sebanyak empat kali dalam lima
detik akan menjadi lucu. "Perlihatkan punggungmu," kataku.
Ia menggelengkan kepalanya. "Kau tahu itu benar. Dr. Higginson mengatakan
padamu." "Kau membodohinya juga." Aku menjambret bagian atas gaunnya, merobeknya, dan
membiarkan jatuh ke bahunya. Ia terhenyak tetapi tidak bergerak atau mencoba
untuk menghentikanku. Bahunya tidak terluka. Aku melihat bagian atas
payudaranya; telanjang, tidak terluka. Aku memutarnya. Tampaknya tidak ada luka
pada punggungnya, tetapi aku tidak bisa melihat bagian bawah tulang selangkanya.
Korset putih ketat berwarna putih berenda menutupinya dari tulang belikat hingga
ke bawah. "Kau mau merobek korsetku juga?" Tanyanya.
"Tidak. Aku sudah cukup melihat. Aku akan kembali ke kota, dan kau ikut
bersamaku." Mungkin seharusnya ia memang dirawat di sebuah sanatorium. Jika
tidak, aku tidak tahu di mana seharusnya ia dirawat. Tetapi ia harus berada di
bawah pengawasan seseorang, dan itu bukan aku. Aku juga tidak akan
bertanggungjawab karena telah membawanya naik kapal ke rumah pedesaan Banwell.
"Aku akan membawamu pulang."
"Baiklah," katanya.
"Oh, kau tidak takut lagi akan dimasukkan di asilum" Itu juga kebohongan yang
lain lagi?" "Tidak. Itu benar. Tetapi aku harus pergi dari sini."
"Kau pikir aku bodoh?" Aku bertanya, karena tahu jawabannya adalah "iya". "Jika
kau dalam bahaya karena akan dikurung, kau akan menolak untuk pergi dari sini."
"Aku tidak bisa bermalam di sini. Tuan Banwell akan menemukan aku akhirnya. Para
pelayan itu akan menga-barinya dengan kawat malam ini."
"Lalu apa?" Tanyaku.
"Ia akan datang dan membunuhku," katanya.
Aku tertawa dengan jijik, tetapi ia hanya menatapku. Aku memeriksa mata biru
bohongnya sedalam mungkin. Apakah ia memercayai apa yang dikatakannya atau ia
memang pembohong paling ulung yang pernah kutemui yang pernah kutahu menjadi ?sebuah kasus. "Kau membo-hongiku lagi," kataku. "Tetapi aku akan percaya kalau
kau bersungguh-sungguh dengan apa yang kau katakan. Banwell tahu kau menyebutkan
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
namanya sebagai penyerangmu; mungkin kau punya alasan untuk takut padanya, walau
kau sebenarnya mengarang penyerangan itu. Bagaimana pun juga, aku harus
membawamu pulang." "Aku tidak bisa pulang dengan begini," katanya sambil melihat pada pakaiannya
yang robek. "Aku akan mencari sesuatu di lemari Clara."
Ketika ia mendekati pintu, aku berseru memanggilnya. "Mengapa kau membawaku ke
sini?" "Untuk mengatakan yang sebenarnya." Ia membuka pintu dan berlari menaiki tanggap
pualam, sambil memegangi gaunnya dengan kedua tangannya. Untunglah, tidak
seorang pelayan pun yang melihatnya. Mereka mungkin bisa memanggil polisi dan
melaporkan pemerkosaan. Duapuluh Empat AKU TIDAK MENGATAKAN KALAU IA TELAH MEMBUNUHNYA, Yang Mulia. Aku hanya
mengatakan ia menyembunyikan sesuatu," kata Detektif Littlemore kepada Walikota
McClellan di kantor barunya pada hari Jumat sore menjelang malam. Ia sedang
membicarakan George Banwell.
"Apa buktimu?" Tanya McClellan yang jengkel. "Cepatlah, bung, aku tidak bisa
memberimu lebih dari lima menit."
Littlemore mempertimbangkan ingin memberitahukan McClellan tentang koper yang
telah diketemukannya bersama Younger di kaison. Tetapi ia urung karena, sa-mapai saat ini koper itu
tidak bisa dijadikan bukti. Lagipula, seharusnya ia tidak memasuki kaison itu.
"Aku baru mendengar dari Gitlow, Pak, di Chicago. Bersama polisi ia telah
memeriksanya. Ia pergi ke segala tempat di kota itu. Ia juga melihat "buku
biru". Gadis itu tidak berasal dari Chicago, Pak. Tak seorang pun yang pernah
mendengar nama Elizabeth Riverford di Chicago."
McClellan menatap Littlemore dengan tajam sekian lama. "Aku bersama George
Banwell pada Minggu malam," katanya. "Aku telah mengatakannya padamu tiga kali."
"Aku tahu, Pak. Dan aku yakin Nona Riverford tidak mungkin ada di sana, di
tempatmu, tanpa kau ketahui, benar Pak?"
"Apa?" "Aku yakin Tuan Banwell tidak membawa Nona Riverford secara diam-diam, dan
membunuhnya pada tengah malam itu, dan kemudian membawanya kembali ke kota dan
menempatkannya di apartemennya, sehingga kukira ia dibunuh di sana. Jika kau
mengerti maksudku, Yang Mulia."
"Ya Tuhan, Detektif."
"Hanya saja, aku tidak tahu di mana kau berada, atau bagaimana Tuan Banwell
masuk ke sini, atau kau selalu bersamanya."
McClellan menarik nafas panjang. "Baiklah, Pak Littlemore. Pada hari Minggu
malam, aku makan malam bersama Charles Murphy di Grand View Hotel di dekat
Saranac Inn. Makan malam itu diadakan..., oleh George Banwell. Pak Haffen adalah
salah satu tamu yang juga hadir."
Littlemore sangat terkejut. Boss Murphy adalah kepala Tammany Hall. Louise
Haffen, seorang anggota Tammany, adalah presiden daerah Bronx hingga hari ?Minggu lalu. "Tetapi bukankah Anda baru saja memecat Haffen?" Tanyanya kapada
McClellan. "Hughes sedang berada di rumah Pak Colgate, bersama Gubernur Fort."
"Aku tidak mengerti, Pak."
"Aku di sana, Detektif, untuk mendengarkan persyaratan apa yang akan diminta
Murphy agar aku bisa jadi calon Walikota utama dari Tammany."
Littlemore tak mengatakan apa-apa. Kabar itu mengherankannya. Semua orang tahu,
Walikota McClellan telah mengumumkan dirinya sebagai musuh Tammany Hall. Ia
telah bersumpah tidak akan bekerja sama lagi dengan Murphy.
McClellan melanjutkan. "George meyakinkan aku untuk melakukan hal itu. Ia
memastikan bahwa dengan dipecatnya Haffen, Murphy mungkin mau bekerja sama. Ia
mau. Murphy ingin aku menempatkan Haffen di bagian pengawas keuangan. Tidak
langsung saat itu juga, tetapi satu atau dua bulan kemudian. Jika aku setuju,
Hakim Gaynor akan mengundurkan diri. Setelah itu aku menjadi calon, dan akan
menang dalam pemilihan itu. Mereka mengaku bahwa Hughes ingin aku menjadi calon.
Itu agak mengherankan bagiku, dan dengan suka rela mereka mendukungku menjadi
gubernur jika aku mau berjanji malam itu juga."
"Lalu bagaimana pendapatmu, Pak?"
"Aku mengatakan padanya bahwa Pak Haffen memang tidak memerlukan jab atan baru
itu, karena telah menggelapkan seperempat juta dolar dari kota ini pada masa
jabatannya. George sangat kecewa. Ia ingin aku menerima tawaran itu. Tidak
diragukan, George telah mendapatkan keuntungan dari rekanan kami, Littlemore. Tetapi ia memang berhak
atas setiap dolar yang dibayarkan kota ini padanya. Sebenarnya, aku memberikan
pembayaran terakhirku minggu ini, tidak lebih satu sen pun dari awal penawaran.
Dan, aku tidak melihat adanya kemungkinan kalau ia telah membunuh Nona Riverford
di Saranac Inn. Kami meninggalkan Grand View pada pukul sembilan tigapuluh atau
sepuluh, singgah di rumah Colgate, dan kembali ke kota bersama-sama. Kami
bermobil bersama, tiba di Manhattan pada pukul tujuh pagi. Aku tidak percaya
Banwell menyelinap dari pandanganku lebih dari lima atau sepuluh menit sepanjang
malam itu. Aku tidak tahu mengapa ia bisa salah memberikan alamat keluarga Nona
Riverford, itu misteri bagiku..., jika ia memang sengaja melakukannya. Mungkin
saja maksudnya agar Riverford tinggal di salah satu kota di sekitarnya."
"Kami sedang memeriksa mereka, Pak."
"Bagaimanapun juga, ia tidak mungkin membunuh gadis itu."
"Aku tidak percaya ia melakukan itu, Yang Mulia. Aku tidak ingin melibatkannya.
Tetapi aku sudah dekat pada pemecahan kasus ini, Pak. Sangat dekat. Aku punya
petunjuk bagus tentang pembunuhan itu,"
"Ya ampun, Littlemore. Mengapa tidak kau katakan" Siapa dia?"
"Jika tidak berkeberatan, Pak, aku akan tahu apakah petunjukku itu benar malam
ini. Aku sudah tidak sabar menunggu hingga saat itu tiba."
McClellan setuju. Tetapi sebelum ia menyuruh Littlemore pergi. Ia memberinya
sehelai kartu, "Itu adalah nomor telepon rumahku," katanya. "Telepon aku segera,
kapan saja, jika kau menemukan apa pun."
g PADA PUKUL DELAPAN TIGA PULUH, hari Jumat sore, Sigmund Freud membuka pintu
kamar hotelnya. Ia masih mengenakan jubah mandinya, walau sudah siap dengan
celananya, kemeja putih, dan jas resmi untuk makan malam. Di luar, berdiri
seorang pemuda berpostur tinggi, jiwa dan raganya tampak letih.
"Younger, ini dia," kata Freud. "Ya ampun, kau tampak kacau sekali."
Stratham Younger tidak menjawab. Freud segera melihat ada sesuatu yang terjadi
pada pemuda itu. Tetapi rasa simpati Freud sudah habis. Kekusutan pemuda itu
baginya menandakan kesemerawutan yang biasa terjadi sejak kedatangannya ke New
York. Haruskah setiap orang Amerika terlibat dalam semacam bencana" Tidak
bisakah salah satu dari mereka tetap menjaga kemejanya agar berada di balik
celananya" "Aku datang untuk melihat keadaanmu, Pak," kata Younger.
"Selain gangguan pencernaan, aku baru saja kehilangan pengikut terpentingku,
well, keadaanku sangat baik, terima kasih," kata Freud. "Pembatalan ceramahku di
universitasmu, tentu saja akan menjadi sumber kepuasan. Semuanya merupakan
perjalanan yang paling berhasil ke negerimu."
"Apakah Brill pergi ke Times, Pak?" Tanya Younger. "Apakah ia bisa tahu kalau
artikel itu asli atau tidak?"
"Ya. Artikel itu asli," kata Freud. "Jung memang diwawancarai."
"Aku akan pergi ke Presiden Hall besok, Dr. Freud. Aku sudah membaca artikel
itu. Itu hanya gosip, gosip yang
anonimous. Aku yakin, aku dapat meyakinkan Hall untuk tidak membatalkan
ceramahmu. Jung tidak mengatakan apa pun untuk menentangmu."
"Tidak mengatakan apa pun untuk menentangku?" Kata Freud sambil tertawa
mengejek. Itu karena ia teringat perdebatan terakhirnya dengan Jung. "Ia telah
menyangkal Oedipus dan menolak etiologi seksual. Ia menyangkal bahwa pengalaman
masa kanak-kanak seorang lelaki merupakan sumber dari penyakit jiwanya. Sebagai
akibat, penegasan medismu telah mempengaruhinya lebih daripada aku memp
engaruhinya. Dan Presiden Hall-mu tampaknya bersikeras untuk mengikuti Jung."
Kedua lelaki itu tetap berada di depan kamar Freud, saling berhadapan. Freud
tidak mengundang Younger masuk. Ataupun berbicara.
Younger memecah kesunyian. "Aku berusia duapuluh dua tahun ketika pertama kali
membaca bukumu, Dr. Freud. Waktu itu, aku tahu akan ada perubahan di dunia ini.
Gagasanmu adalah hal yang terpenting pada abad ini. Amerika sangat
membutuhkannya. Aku yakin itu."
Freud membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi jawabannya terhenti pada bibirnya.
Ia melembut, "Kau anak baik, Younger," katanya sambil mendesah, "Maafkan aku.
Tentang kebutuhan Amerika, aku tidak terlalu memercayainya. Karena bagiku
seorang yang lapar, akan memakan segalanya. Bicara soal makan, kita akan pergi
ke rumah Brill lagi untuk makan malam. Ferenczi sedang dalam perjalanan. Apakah
kau akan ikut bersama kami?"
"Aku tidak bisa," kata Younger, "Aku tidak akan mampu menjaga mataku supaya
terus terbuka." "Ya, ampun, apa yang kau lakukan semalaman?" Tanya Freud.
"Sulit untuk menggambarkan peristiwa yang kualami selama duapuluh empat jam yang
lalu. Aku bersama Nona Acton."
"O, begitu," kata Freud yang mengerti kalau Younger ingin diundang masuk ke
kamarnya. Tetapi ia tidak mau mengundangnya. Sebenarnya Freud merasa seletih
Younger. "Well, kau akan menceritakan semuanya padaku besok."
"Besok..., baik," kata Younger sambil beranjak pergi.
Karena merasakan kekecewaan Younger, Freud menambahkan, "ah, aku berniat
mengatakan padamu. Clara Banwell, kita harus memikirkannya."
"Maaf, Pak?" "Semua kehidupan keluarga diatur di sekitar orang yang paling terluka di
dalamnya. Kita tahu Nora telah menganggap pasangan Banwell sebagai pengganti
orang tuanya sendiri. Pertanyaannya kini, orang manakah dalam kelompok itu yang
telah mengalami luka kejiwaan yang paling dalam."
"Kau pikir itu mungkin adalah Nyonya Banwell?"
"Kita tidak seharusnya menduga kalau orang itu adalah Nora. Nyonya Banwell
merupakan sosok pemaksa, seperti juga para penderita narsis lainnya. Orangorang
di dalam kehidupannya pasti telah memperlakukannya dengan buruk. Jelas ia
diperlakukan buruk oleh suaminya. Kau dengar apa yang dikatakan Nyonya Banwell."
"Ya," kata Younger, "Ia mengatakan hal itu padaku."
"Ketika di rumah Jelliffe?"
"Tidak. Aku berbicara lagi dengannya di rumah Nona Acton."
"Aku mengerti," kata Freud sambil menaikkan alisnya. "Aku menduga, darinyalah
Nora mengetahui kalau ia telah
melakukan felatio terhadap ayahnya." "Maaf?"
"Kau ingat," kata Freud. Ia memejamkan matanya dan, tanpa membukanya, ia
mengulangi percakapan dirinya dan Younger tentang masalah itu dua hari
sebelumnya. Dimulai dengan katakata: "'Apakah kau tidak menganggap ada sesuatu
yang aneh pada pernyataan tegas Nora, ketika ia melihat apa yang dilakukan Clara
bersama ayahnya" Sebenarnya ia tidak mengerti apa yang sedang dilihatnya.'
'Kebanyakan gadis Amerika yang berusia empatbelas tahun tidak memiliki informasi
yang baik tentang hal itu, Dr. Freud.' 'Aku menghargai hal itu, tetapi bukan itu
maksudku. Nora mengisyaratkan, kini ia telah mengerti apa yang pernah
dilihatnya, bukan begitu?"
Younger menatap. "Kau memiliki daya ingat berdasarkan suara, Pak?"
"Ya. Ketrampilan yang berguna bagi seorang analis. Kau harus melatihnya. Aku
pernah mampu mengingat percakapan yang terjadi beberapa bulan lalu, tapi kini
hanya yang terjadi beberapa hari lalu saja. Namun, kau akan tahu kalau Nyonya
Banwell-lah yang mengajarkan kepada Nora tentang hal itu. Aku menduga Nyonya
Banwell telah adalah orang kepercayaan gadis itu, karena ia memberinya simpati.
Jika tidak demikian, maka perasaan Nora pada Nyonya Banwell menjadi tak dapat
dijelaskan." "Perasaan Nora pada Nyonya Banwell," ulang Younger.
"Ayolah, nak, berpikirlah. Nora tidak membenci Nyonya Banwell seperti yang
seharusnya ia lakukan, sebaliknya Nora menganggap Nyonya Banwell sebagai
pengganti ibunya. Itu artinya, Nyonya Banwell bisa dengan mudah membentuk ikatan
khusus dengan gadis itu. Sebuah hasil
yang luar biasa dalam keadaan itu. Hampir dapat dipastikan, ia telah
menceritakan rahasia erotis yang terlarang pada Nora sebuah kegiatan kegemaran ?mereka untuk mencapai keintiman."
"Aku mengerti," kata Younger, walau agak bingung.
"Kau mengerti" Itu jelas telah membuat berbagai hal menjadi lebih sulit bagi
Nora. Dan itu menunjukkan sebuah kerendahan moral dari Nyonya Banwell. Seorang
wanita tidak akan menceritakan hal-hal seperti itu kepada seorang gadis yang
ingin tetap dijaga keluguannya. Well, aku tahu, kau ingin mengatakan sesuatu
padaku, tetapi kau terlalu letih. Katakataku juga tidak akan berguna bagimu jika
kini aku berbicara. Kita akan bicara besok. Berisitrahatlah."
g JUMAT MALAM ITU, SMITH ELY JELLIFFE menyanyikan sebuah lagu ketika berjalan
memasuki Balmoral pada pukul sebelas. Ia memberi uang rokok yang banyak pada
penjaga pintu. Tanpa ditanya ia mengatakan pada mereka, ia telah melewatkan
malamnya di Metropolitan, ditemani oleh wanita dari jenis yang terbaik jenis
?yang tahu bagaimana menyibukkan diri mereka selama pertunjukkan opera. Wajahnya
berseri-seri, Jelliffe tampak seperti seorang lelaki yang yakin akan kebesaran
jiwanya sendiri. Rona wajahnya meredup karena kedatangan seorang pemuda berjas lusuh. Ia
menghadang jalannya menuju lift. Ketika pemuda itu memperkenalkan dirinya
sebagai seorang detektif, hatinya merasa semakin.
"Kau adalah dokter pribadi Harry Thaw, bukan, Dr.
Jelliffe?" Tanya Littlemore.
"Kau sadar jam berapa sekarang ini, kawanku yang baik?" Kata Jelliffe.
"Jawab saja pertanyaanku."
"Pak Thaw di bawah perawatanku," Jelliffe mengaku. "Semua orang tahu itu. Sudah
dilaporkan secara meluas."
"Apakah ia dalam perawatanmu," kejar Littlemore, "di sini, di kota ini minggu
lalu?" "Aku tidak mengerti maksudmu," kata Jelliffe. "Tentu saja kau tidak mengerti,"
kata Littlemore sambil memberi isyarat pada seorang gadis, yang berpakaian
mencolok, yang menunggu di sisi lain lobi berlantai pualam itu. Greta sekarang
mendekat. Littlemore bertanya padanya apakah ia mengenali Jelliffe.
"Ia memang lelaki itu, Dr. Smith. Datang bersama Harry dan pergi juga
bersamanya." Kata Greta. Sore itu, sebelum mengunjungi Walikota, Littlemore
telah kembali ke kantornya, membaca kembali catatan pengadilan, dan menemukan
kesaksian Jelliffe yang bernama depan Smith. Ia menggabungkan informasi
tersebut. "Nah, Dr. Smith," kata Littlemore, "Mau menjelaskannya di sini atau
?di kota?" Detektif Littlemore tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan sebuah
pengakuan. "Itu bukan keputusanku sama sekali," kata Jelliffe meledak. "Tetapi
Dana. Dana yang bertanggungjawab."
Littlemore mengatakan pada Jelliffe untuk membawa mereka masuk ke apartemennya
yang mewah. "Wah, kau bisa banyak kehilangan, Dr. Smith," kata Littlemore. "Jadi
kau membawa Thaw ke kota minggu lalu" Bagaimana caranya" Kau menyogok
penjaganya?" "Ya, tetapi itu keputusan Dana, bukan aku," tegas
Jelliffe. Ia menjatuhkan diri ke sebuah kursi di belakang meja makannya. "Aku
hanya melakukan apa yang dikatakan Dana padaku."
Littlemore menatapnya. "Apakah membawa Thaw ke rumah Susie adalah gagasanmu ?"
"Thaw yang memilih rumah itu, bukan aku. Kumohon, Detektif. Hal itu hanya untuk
kepentingan medis. Seorang yang sehat bisa menjadi gila bila dikurung di tempat
seperti Matteawan. Keadaan itu menghilangkan hak pemenuhan kebutuhan
jasmaninya." "Tetapi Thaw tidak waras," kata Littlemore. "Karena itulah ia dikurung di rumah
sakit jiwa." "Ia tidak gila. Ia hanya sangat mudah gugup," jawab Jelliffe. "Ia memiliki sifat
gugup. Tidak ada kebaikannya jika dikurung seperti itu."
"Namun sayangnya, kau mengatakan yang sebaliknya ketika di persidangan," kata
Littlemore, "Ini bukan yang pertama kali kau membawa Thaw ke kota, bukan" Kau
membawanya ke sini kira-kira sebulan yang lalu?"
"Tidak, aku bersumpah," kata Jelliffe. "Itu yang pertama kalinya."
"Pasti," kata Littlemore. "Dan bagaimana Thaw mengenal Nona Sigel?"
Jelliffe menyangkal pernah mendengar nama Elsie Sigel sebelum ia membaca tentang
gadis itu di koran kemarin sore.
"Ketika kau membawa Thaw ke rumah Susie," lanjut Littlemore, "tahukah kau apa
yang senang ia lakukan pada para gadis itu" Apakah itu juga untuk kepentingan
pengobatan?" Jelliffe tertunduk. "Aku pernah mendengar tentang kecenderungan prilaku seperti
itu," ia menggumam, "tetapi
kupikir kami telah mengatasinya."
"Hmm," Detektif Littlemore menatap kuku Jelliffe dengan jijik. Saat itu tangan
Jelliffe sedang men cengkeram pinggang besarnya. "Sebelum kau pergi ke rumah
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Susie, ketika kau membawa Thaw ke apartemenmu, berapa lama ia tidak terlihat
olehmu" Apakah kau membiarkannya sendirian" Apakah ia keluar" Apa yang terjadi?"
"Di sini?" Tanya Jelliffe dengan cemas dan bingung. "Aku tidak pernah membawanya
ke sini." "Jangan main-main denganku, Smith. Aku punya cukup bukti untuk membuatmu
dituntut sebagai kaki tangan pembunuhan."
"Pembunuhan?" Tanya Jelliffe. "Ya Tuhan. Tidak mungkin. Tidak ada pembunuhan."
"Seorang gadis telah terbunuh di sini, di gedung ini, pada Minggu malam tepat
kau sedang membawa Thaw ke apartemenmu."
Wajah Jelliffe menjadi pucat. "Tidak," katanya. "Thaw datang ke kota pada Sabtu
malam. Aku bersamanya menumpang kereta ke Matteawan pada Minggu pagi. Ia juga
berada di sana pada Minggu dan Senin. Kau tanya saja pada Dana. Kau bisa
memeriksa catatan di Matteawan. Mereka akan membuktikannya."
Keputusasaan Jelliffe terdengar tidak dibuat-buat. Tetapi Littlemore memiliki
bukti yang berlawanan dengan ucapannya. "Usaha yang baik, Smith," katanya,
"tetapi aku mempunyai enam orang gadis yang akan bersaksi kalau kau dan Thaw
berada di rumah Susie hari Minggu yang lalu. Bukan begitu, Greta?"
"Ya," kata Greta. "Sekitar pukul satu atau dua Minggu pagi. Seperti yang sudah
kukatakan padamu." Littlemore terpaku. "Tunggu sebentar. Maksudmu
Sabtu malam atau Minggu pagi?"
"Sabtu malam..., Minggu pagi... sama, berbeda," kata Greta.
"Greta," kata Littlemore. "Aku harus yakin tentang hal itu. Kapan Thaw datang,
Sabtu malam atau Minggu malam?"
"Sabtu malam," kata Greta. "Aku tidak bekerja pada hari Minggu malam."
Littlemore sekali lagi merasa tersesat. Fakta-fakta yang menghubungankan kasus
Thaw telah tenggelam lagi. Tetapi faktanya, Thaw berada di rumah Susie pada
malam yang salah..., malam sebelumnya. "Aku akan memeriksa catatan rumah sakit,"
kata Littlemore kepada Jelliffe, "dan sebaiknya berharaplah yang kau katakan itu
benar. Ayo, Greta. Kita pergi."
Jelliffe, mendegut, cegukan di kursinya. "Kukira kau harus minta maaf padaku,
Detektif," katanya. "Mungkin," kata Littlemore. "Tetapi jika kau menagihnya lagi, aku akan
melakukannya di dalam penjara Sing Sing selama satu atau lima tahun karena kau
telah meloloskan tahanan negara. Belum lagi izin praktik doktermu akan dicabut."
g PADA MALAM KEDUA berikutnya, Carl Jung berjalan di bawah Gereja Calvary di
seberang Gramercy Park. Kali ini, ia membawa pistolnya di dalam saku. Mungkin
senjata itu telah membuatnya berani. Tanpa gentar, ia berjalan di sepanjang
pagar besi tempa ke Gramercy Park South. Ia menyeberangi jalan, dan berjalan
lurus ke arah petugas yang berjaga di depan rumah keluarga Acton. Polisi itu
bertanya apa tujuannya. Jung menjawab kalau ia mencari perkumpulan teater:
Mungkin polisi itu bisa memberi tahunya"
"The Players Club, itu yang kau mau," kata polisi itu. "Nomor enambelas, empat
pintu dari sini." Jung mengetuk pintu bernomor enambelas dan, ketika menyebutkan nama Smith
Jelliffe, ia diperbolehkan masuk. Udara dipenuhi bunyi musik dan tawa wanita.
Sekarang ia ada di dalam, Jung tak percaya betapa bodohnya ia. Ia telah datang
ke pintu itu sebanyak dua kali, namun menjadi ketakutan. Bayangkan: seorang
lelaki yang berkedudukan, takut memasuki sebuah rumah tempat para wanita dapat
diperoleh jika kau punya uang.
Ada gadis penerima tamu di club itu yang menyambut Jung di bagian depan, lalu
tertegun sesaat ketika Jung mencabut revolvernya. Untuk menunjukkan adat
Eropanya, Jung menyerahkannya pada gadis itu. Jung menjelaskan, karena ia
melihat ada polisi berjaga beberapa rumah dari sini, ia khawatir kalau mungkin
sudah terjadi pembunuhan. "Tidak apa-apa," kata gadis itu sambil tersenyum manis
padanya. "Sesaat tadi, kukira, kaulah pembunuhnya."
Ketika keduanya tertawa dan pintu depan tertutup, seorang lelaki lainnya turun
dari sebuah kereta, terselu-bung bayangan Gereja Calvary. Kereta itu menjauh,
meninggalkan lelaki itu sendirian tepat hampir di tempat Jung berdiri pada malam
sebelumnya. Ia mengenakan jas putih. Walau saat itu musim panas, ia masih
mengenakan selembar jas luar berikut sarung tangan putih dari kulit rusa.
Topinya ditarik ke bawah serendah mungkin hingga menutupi wajahnya. Lelaki itu
tidak bergerak. Ia menatap dari kegelapan, sehingga para polisi di rumah Acton
tidak dapat melihatnya g BEG ITU IA MENDENGAR pintunya tertutup, Jelliffe menuju ke pesawat teleponnya.
Ia meminta operator untuk menyambungkannya ke Rumah Sakit Negara Matteawan.
Membutuhkan waktu limabelas menit untuk tersambung. Jelliffe mulai berbicara
dengan sangat ketakutan tetapi si penjaga itu menyelanya dengan cepat.
"Kau terlambat," kata penjaga itu. "Ia sudah pergi."
"Sudah pergi?" "Ia berangkat tiga jam yang lalu."
Jelliffe meletakkan teleponnya. Lalu dengan jari gugupnya, ia memutar nomor
telepon rumah Charles Dana di Fifth Avenue. Tidak ada jawaban, ketika sudah
menjelang tengah malam, setelah enam kali berdering, Jelliffe meletakkan
teleponnya. "Ya Tuhan," katanya.
g DI SEBERANG JALAN DEKAT Balmoral, Littlemore mengucapkan selamat tinggal pada
Greta di bawah lampu jalanan. Malam itu ketika mereka tiba di sana, udara terasa
panas dan lembab. "Aku seharusnya bisa saja mengatakan kalau ia datang pada
Minggu malam," kata Greta, "jika kau mau aku begitu."
Littlemore tertawa. Ia menggelengkan kepalanya, sambil memanggil kereta.
"Kau tidak akan mencari Fannie-ku sekarang, kan?" Tanya Greta dengan muram.
"Tidak. Aku tidak akan mencarinya," kata Littlemore. "Aku akan menemukannya."
Ia mengatakan alamatnya pada sais dan membayar orang itu sebesar satu dolar
sebagai ongkos. Greta menatapnya. "Kau seorang yang hebat, kau tahu itu?"
Katanya. "Tetapi kau tidak akan menikahiku, bagaimanapun juga" Padahal kita
berdua berambut merah."
Littlemore tertawa lagi. "Maaf, sayang. Aku sudah terikat."
Greta mencium pipi Littlemore. Ketika kereta sewaan itu menjauh, Littlemore
berpaling dan melihat Betty Lombardi sedang berdiri tepat di belakangnya.
Sebelum Littlemore pergi ke kota, ia telah singgah ke rumah Betty Lombardi dan
meninggalkan pesan untuk menemuinya di Balmoral begitu Betty tiba di rumah.
"Mulailah menjelaskan," kata Betty, "dengan baik."
Littlemore berkata kalau Betty harus memercayainya, kemudian ia mengajak Betty
ke mobilnya yang diparkir. Dari bagasi mobilnya, Littlemore mengeluarkan sebuah
kantung kasar. "Aku harus memperlihatkan beberapa barang yang mungkin adalah
milik Nona Riverford. Kaulah satusatunya yang dapat mengenali mereka."
Littlemore menuangkan semua isi kantong itu di dalam bagasi mobilnya. Pakaianpakaian itu terlalu basah untuk dapat dikenali. Betty tampaknya mengenali
perhiasan dan sepatu-sepatu itu, tetapi ia tidak yakin. Kemudian ia melihat
sebuah perhiasan untuk lengan yang menempel pada kain kusut. Betty membawanya ke
bawah lampu. "Ini punya Nona Riverford. Aku pernah melihat ia mengenakan gaun
ini." "Tunggu sebentar," kata Littlemore. "Tunggu sebentar." Ia mengaduk-aduk pakaian
itu. "Apakah di sini ada
pakaian yang bisa dikenakan pada siang hari?"
"Yang ini semua tidak bisa," kata Betty, sambil menaikkan alisnya ketika
memilih-milih di antara pakaian dalam. "Tidak ini juga. Tidak ada, Jimmy. Ini
semua gaun malam." "Gaun malam," ulang Jimmy Littlemore perlahan. "Ada apa?" Tanya Betty.
Littlemore tidak mengatakan apa-apa, ia sedang keras berpikir.
"Apa, Jimmy?" "Tetapi, kalau begitu Pak Hugel lalu ia bergegas menepuk sakunya lalu merogoh
hingga menemukan sebuah amplop yang berisi foto-foto. Salah satunya ia
perlihatkan kepada Betty. "Kau mengenali wajah ini?" Tanyanya.
"Tentu saja," katanya, "tetapi mengapa..?"
"Kita akan kembali ke atas," sela Littlemore. Dari bagasinya ia meraih sebuah
lampu senter bertenaga listrik. Lalu ia mengajak Betty kembali ke Balmoral.
Mereka menaiki lift di Alabaster Wing menuju lantai teratas.
"Berapa tinggi Nona Riverford?" Tanya Littlemore ketika mereka bergerak ke atas.
"Sedikit lebih tinggi dariku," kata Betty yang tinggi tubuhnya seratus limapuluh
sentimeter lebih. "Setidaknya ia tampak lebih tinggi."
"Apa maksudmu?" "Ia selalu memakai sepatu bertumit tinggi," jelas Betty. "Sangat
tinggi. Aku tidak terbiasa dengan sepatu seperti itu."
"Beratnya?" "Aku tidak tahu, Jimmy. Mengapa?" Lorong di lantai delapanbelas kosong. Walau
Betty keberatan, Littlemore tetap mengambil kunci apartemen Elizabeth Riverford dan
membuka pintu depannya. Di dalam, semuanya gelap dan sunyi. Tidak ada lampu
besar. Lampu-lampunya telah diambil.
"Apa yang kita lakukan di sini?" Tanya Betty.
"Mencoba membayangkan sesuatu." Littlemore menuju koridor ke arah kamar tidur
Nona Riverford, sambil mengarahkan nyala lampu senternya ke kegelapan.
"Aku tidak mau masuk ke situ," kata Betty, sambil mengikutinya dengan enggan.
Mereka tiba di pintu. Ketika Littlemore akan meraih pegangan pintu, tangannya
berhenti di udara. Tibatiba terdengar bunyi nada tinggi di udara. Bunyi itu
berasal dari bagian dalam kamar tidur itu. Bunyi itu terdengar lebih keras, dan
sayup-sayup berubah menjadi suara erangan.
Betty meraih lengan Littlemore. "Itu adalah bunyi yang kuceritakan padamu,
Jimmy. Bunyi yang kami dengar pagi hari itu ketika Nona Riverford ditemukan
tewas." Detektif Littlemore membuka pintu, dan bunyi itu terdengar lebih keras.
"Jangan masuk," bisik Betty.
Tibatiba keributan itu berhenti. Sunyi senyap. Littlemore memasuki ruangan.
Karena takut tinggal sendirian, Betty juga masuk dengan cara berpegangan pada
lengan Littemore. Perabotan: tempat tidur, cermin, meja, laci-laci, masih tetap
pada tempatnya. Semuanya menciptakan bayang-bayang yang menakutkan di bawah
sinar lampu senter itu. Littlemore menempelkan telinganya pada dinding,
mengetuk-ngetukkan tulang jemarinya, dan mendengarkan dengan seksama. Ia
merendahkan tubuhnya, lalu melakukan hal yang sama.
"Apa yang kau lakukan?" Bisik Betty.
Littlemore menjentikkan jemarinya. "Perapian," katanya. "Aku melihat tanah liat
di dekat perapian." Lalu Littlemore bergerak ke perapian dan menyingkirkan tirai
besi berlubang-lubang, lalu merengangkan diri di atas lantai. Dengan senternya,
ia menerangi perapian itu. Pada dinding perapian itu, Littlemore melihat batu
bata, adukan semen dan kumpulan dari tiga lubang yang tersusun menjadi sebuah ?segitiga, yang teratas berbentuk lingkaran.
"Itu dia," kata Littlemore. "Pasti itu. Sekarang, bagaimana ia...?"
Littlemore menerangi besi penyangga kayu bakar yang tergantung di sebelah
perapian. Salah satunya adalah alat berbentuk garpu trisula. Dua dari tiga
ujungnya meruncing tajam, yang lainnya membulat. Ketiga ujung itu disatukan,
membentuk segitiga. Littlemore berdiri, mengambil penusuk bara itu, lalu
digunakan untuk menusuk-nusuk cerobong asap. Ketika ia menyentuh lubang di
dalam, ujung penusuk itu cocok masuk ke dalamnya, seolah sengaja dibuat untuk
itu sebagai kunci tentunya. Sesaat kemudian, seluruh perapian itu terbuka pada
?engsel bagian dalamnya, lalu angin kuat berhembus menerpa wajah Littlemore.
"Coba lihat ini!" Kata Littlemore. Di dalamnya, terlihat beberapa nyala api
kecil berwarna biru membuat titik-titik pada dinding. "Di mana aku pernah
melihat yang seperti ini, ya" Ayo, Betty."
Mereka memasuki gang, Betty memegangi tangan Littlemore. Ketika mereka melewati
sebuah garangan besi yang besar pada salah satu dinding, Littlemore menempelkan
telinganya di sana dan menyuruh Betty melakukan
hal sama. Di kejauhan, mereka dapat mendengar suara erangan yang sama, yang
telah membuat Betty ketakutan.
"Lorong udara," kata Littlemore. "Semacam sistim tekanan udara. Pasti ada pompa.
Ketika pompa berfungsi, maka terdengarlah bunyi itu. Ketika pompa berhenti, maka
bunyi itu pun tak terdengar." Mereka mengikuti lorong sepanjang beberapa meter,
melewati belasan garangan yang sama dan membelok tajam pada tiga atau empat
sudut. Akhirnya mereka tiba di ujung. Ada dinding menghalangi jalan mereka,
tetapi pada dinding itu, terdapat sebuah panel logam yang berkilauan di bawah
lampu gas biru yang terakhir. Littlemore menekan pelat itu. Dinding pun terbuka.
Dalam cahaya lampu listrik, mereka dapat melihat sebuah ruang kerja lelaki yang
berperabotan mewah. Rak buku menutupi dinding, walau isinya bukan buku-buku. Rak
itu penuh berisi model-model jembatan dan gedung. Di tengah-tengah ruang kerja
itu, ada sebuah meja besar dengan sebuah lampu kuningan di atasnya. Littlemore
menyalakan lampu itu. Tanpa suara, Littlemore dan Betty meninggalkan ruangan itu
lalu berjalan menelusuri lorong.
Mereka menyeberangi ruang depan yang berlantai pualam putih. Lalu mereka
mendengar suara tertahan. Jauh di ujung gang, melewati ruang duduk yang luas dan
belum pernah dilihat oleh keduanya, terdapat sebuah pintu bergetar. Gagangnya
berputar-putar. Jelas seseorang ada di balik pintu itu dan mencoba untuk
membukanya walau gagal. Littlemore berseru, menyatakan dirinya sebagai seorang
detektif. Suara seorang wanita menjawabnya. "Bukakan pintunya. Keluarkan aku."
Littlemore dengan cepat membuka pintu itu. Ketika terbuka, ternyata ruang itu
adalah sebuah lemari penyimpan kain linen. Tampak punggung seorang wanita, yang
tertekan pada ruangan itu dengan tangan yang terikat di belakangnya. Clara
Banwell berputar, dan berterimakasih kepada Littlemore. Ia memohon untuk membuka
ikatannya. g PELUH BERKILAP PADA kening Henry Kendall Thaw ketika ia melihat polisi di
seberang Gramercy Park. Mereka sedang berpatroli, berjalan hilir mudik di bawah
lampu gas jalanan. Keringatnya membasahi kemeja di bawah jas makan malamnya.
Peluhnya menetes ke lengannya dan celana panjangnya.
Dari posisinya yang menguntungkan di East Twenty-first Street, di antara Fourth
dan Lexinton avenue, Thaw dapat melihat seluruh deretan rumah yang mengagumkan
di Selatan Gramercy Park. Ia dapat melihat Players Club, yang terang benderang
pada Jumat malam itu. Mata Thaw lebih baik dibandingkan dengan mata Jung. Ia mengetahui, tiga lantai
di atas polisi-polisi patroli itu, tertangkap sebuah gerakan di atap rumah
Acton. Di sana, di depan langit malam, ia melihat bayangan polisi lainnya dan
garis luar sepucuk senapan yang dibawanya. Thaw adalah seorang yang kurus tetapi
kuat. Kurus mendekati rapuh, dengan lengan yang agak lebih panjang dari yang
seharusnya. Anehnya, wajah Thaw tampak kekanakan bagi seorang lelaki berusia
akhir tigapuluhan. Ia mungkin pernah terlihat tampan, kecuali mata kecilnya agak
terletak terlalu dalam dan bibirnya agak terlalu tebal. Ketika bergerak atau
diam, ia nyaris terengah-engah.
Kini Thaw bergerak ke selatan di dalam kegelapan. Ia menarik tepian topinya
lebih ke bawah ketika menyeberangi Lexintong Avenue, karena ia mengenali rumah
di sudut itu dengan sangat baik. Dahulu, ia pernah mengamati selama berjam-jam
sambil menunggu seorang gadis tertentu yang akan keluar dari rumah itu. Gadis
itu cantik namun Thaw sangat ingin menyakitinya hingga membuat gadis itu
menggeliat. Ia menelusuri pagar besi taman itu hingga tiba di sudut selatannya.
Istana Irving memisahkannya dari para polisi yang sedang berjaga. Para polisi
itu tidak melihatnya ketika ia menyelinap ke lorong belakang di balik rumahrumah di Gramercy Park South.
DUA MIL DARI TEMPAT ITU, di lantai dua apartemennya, Charles Hugel telah
mengepak tasnya. Ia berdiri di tengah-tengah ruang duduknya, sambil menggigiti
tulang-tulang genggaman tangannya. Ia telah mengirim surat pengunduran dirinya
kepada Walikota. Ia telah pergi ke bank dan menutup bukunya, Semua uang yang
dimilikinya ada di depannya, tertumpuk rapi di atas lantai. Ia harus memutuskan
bagaimana cara membawanya. Ia membungkuk dan untuk ketiga kalinya mulai ? ?menghitung uangnya sambil mengira apakah itu akan cukup untuk menghidupinya di
kota lain yang lebih kecil. Tangannya terhentak terbuka, dan lembaran limapuluh
dolar itu terbang melayang di udara ketika ia mendengar ketukan pintunya.
g SEANDAINYA SAJA PENJAGA di depan rumah keluarga Acton mendongak ke atas, mungkin
ia akan melihat pada jendela kamar Nora ada bagian yang tampak lebih gelap.
Mungkin ia sadar kalau lelaki itu telah melewati tirai di balik jendela itu.
Tetapi ia tidak mendongak.
Si penyusup melepaskan dasi sutra yang membungkus lehernya. Tanpa bersuara, ia
menarik dasi itu dari kerah baju dan membungkuskan ujungnya pada tangannya. Ia
mendekati tempat tidur Nora. Walau gelap, ia dapat melihat bentuk tubuh seorang
gadis yang tertidur di atas ranjangnya. Ia dapat melihat garis yang terbuka di
bawah dagu indah, di atas tenggorokan yang tak terlindungi. Ia menyelipkan
dasinya di antara kepaka tempat tidur dan bantal, lalu menurunkannya secara
perlahan-lahan ke lehernya hingga kedua ujungnya keluar dari bawah bantal.
Sesaat ia mendengarkan nafas gadis itu yang lembut tanpa terganggu,
Pertanyaan bagus, seandainya pisau dapur yang telah dikembalikan Mildred
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
?Acton tidak dipindahkan dari bawah bantal, apakah benda itu bisa menghalangi
?jalannya dasi tadi" Mungkinkah Nora Acton tersentak bangun karena seorang lelaki
telah meraih pisau itu" Jika Nora meraihnya, apakah ia bisa menggunakannya" Nora
selalu tidur terlentang. Walau tangannya ada di bawah bantal memegangi pisau
itu, dapatkah ia dalam keadaan tercekik menyelamatkan hidupnya"
? ?Segala pertanyaan bagus, semuanya sangat masuk akal, karena pisau dapur itu
tidak lagi berada di sana, dan ternyata Nora juga tidak.
"Letakkan, Tuan Banwell," kata suara di belakang. Sebuah senter listrik,
dipegangi oleh seorang polisi berseragam yang berdiri di ambang pintu, tibatiba
menerangi kamar. George Banwell menutupi wajahnya dengan tangannya.
"Menjauh dari tempat tidur, Tuan Banwell," kata Littlemore, sambil mengacungkan
moncong pistolnya ke arah punggung Banwell. "Oke, Betty, kau bisa bangun
sekarang." Betty Longobardi bangkit dari tempat tidur itu, dengan ketakutan tetapi
menantang. Ketika Littlemore menggeledah saku Banwell, ia mengerling pada
perapian di kamar Nora. Di sana, ia menduga, sebuah panel dinding telah
tergeser, membuka jalan masuk di belakangnya.
"Oke. Turunkan tanganmu sekarang. Di belakang punggungmu. Perlahan-lahan."
Banwell tidak bergerak. "Berapa hargamu?" Tanyanya.
"Lebih dari yang mampu kau bayarkan," kata Littlemore.
"Duapuluh ribu," kata Banwell tangannya masih ada di atas kepalanya. "Aku akan
memberi kalian masingmasing duapuluh ribu dolar."
"Letakkan tangan di belakang punggungmu," ulang Littlemore.
"Limapuluh ribu," kata Banwell. Matanya menyipit akibat sinar senter. Ia dapat
melihat ada dua orang lelaki di ambang pintu. Satu sedang memegangi senter, dan
satu lagi berdiri di belakangnya. Lalu ada seorang lainnya yang menempelkan
moncong pistol pada punggungnya. Ketika Banwell menyebutkan angka "limapuluh
ribu," dua or-ang di ambang pintu itu, bergerak tidak tenang. Banwell berbicara
lagi kepada mereka. "Pikirkanlah, nak. Kalian pandai. Aku bisa mengatakan itu
dari penampilan kalian. Dari mana kau pikir Pak Byrnes mendapatkan uangnya"
Kau tahu berapa banyak uangnya di bank" Tigaratus limapuluh ribu. Benar. Akulah
yang membuatnya kaya, dan aku juga bisa membuat kalian kaya."
"Walikota McClellan tidak akan senang mendengar kau mencoba menyuap kami," kata
Littlemore, sambil menurunkan tangan Banwell dan memasangkan borgol pada
pergelangan tangannya. "Kau mau mendengarkan orang tolol di belakangku ini?" Teriak Banwell masih
berbicara kepada kedua polisi di ambang pintu dengan suara kuat meyakinkan walau
kesakitan. "Aku akan mengalahkannya di pengadilan. Aku akan mengalahkannya, kau
dengar aku" Jangan bodoh. Kau mau miskin seumur hidupmu. Pikirkan istrimu, anakanakmu. Kau mau mereka miskin selama hidup mereka" Jangan khawatir tentang
Walikota. Dia milikku."
"Benarkah, George?" Kata seorang lelaki di belakang polisi yang memegangi lampu
senter. Lelaki itu adalah McClellan. "Kau benar memiliki aku?"
Littlemore menghentak borgol itu pada pergelangan tangan Banwell yang lainnya,
lalu menguncinya. Dengan kecepatan yang mengejutkan bagi seorang dengan badan
sebesar itu, Banwell menggeliat melepaskan diri dari cengkeraman Littlemore dan
kuncian lengan di belakang punggungnya. Tetapi ia harus berhenti dan tunduk
menyerah, karena Littlemore memegang pistol di tangannya. Ia dapat saja dengan
mudah menembaknya, tetapi ia tidak melakukannya. Namun ia melangkah lebar ke
depan dan memukulkan bagian belakang pistolnya pada kepala Banwell. Banwell
berteriak keras dan terjatuh ke lantai.
Beberap a menit kemudian, Littlemore mendudukkan Banwell yang setengah pingsan
pada tangga rumah Acton, dan memborgolnya pada jeruji tangga dengan
borgol kedua yang dipinjamnya dari polisi berseragam. Darah menetes pada wajah
Banwell. Polisi yang lainnya membiarkan Harcourt dan Mildred Acton yang
kebingungan, keluar dari kamar mereka.
9 DI DALAM PLAYERS CLUB, gadis penyimpan topi menyambut seorang tamu baru, yang
juga membuatnya heran. Tidak saja karena masuk dari pintu belakang, tetapi juga
karena lelaki ini mengenakan mantel pertengahan musim panas. Harry Thaw
merasakan kegembiraan tersendiri ketika dengan bebas bisa memasuki ruangan yang
dirancang oleh Stanford White: lelaki yang dibunuhnya beberapa tahun lalu. Ia
memberikan nama palsunya kepada gadis itu: Monroe Reid dari Philapdelphia.
Dengan nama itu, ia juga memperkenalkan dirinya pada tamu di ruang dansa kecil
itu yang berasal dari luar negeri. Di sana para penari mempertunjukkan tariannya
di sebuah panggung yang ditinggikan. Ketika Jung menyebutkan nama seorang
anggota klub yang dikenalnya dengan baik, Smith Jelliffe, Thaw berseru kalau ia
juga mengenal baik orang itu tanpa menyebutkan apakah hubungan sebenarnya.
g "HEBAT, DETEKTIF," kata McClellan di ruang duduk keluarga Acton. "Aku tidak akan
pernah memercayainya jika aku tidak melihatnya dengan mataku sendiri."
Ibu Biggs sedang merawat luka kepala Banwell. Tuan Acton menuangkan minuman pada
gelas besar untuk dirinya sendiri. "Kau mungkin akan menceritakan pada kami apa yang terjadi,
McClellan?" Tanyanya.
"Aku khawatir, aku sendiri tidak mengetahuinya," kata McClellan, "Aku masih
tidak bisa membayangkan bagaimana George dapat membunuh Nona Riverford."
Bel pintu berdering. Ibu Biggs menatap majikannya, yang balik menatap McClellan.
Littlemore berkata kalau ia akan membukakan pintu. Sesaat kemudian, semua or-ang
di dalam ruangan itu melihat Charles Hugel memasuki ruangan, dengan dicengkeram
erat oleh Opsir John Reardon.
"Aku sudah menangkapnya, Detektif," kata Reardon. "Ia sudah berkemas seperti
yang kau duga." Duapuluh Lima DERINGAN TELEPON DI KAMAR HOTEL, membangunkan aku yang tidak sadar telah jatuh
tertidur. Bahkan aku hampir tidak ingat ketika berjalan kembali ke kamar.
Penelpon adalah petugas di meja depan.
"Pukul berapa ini?" Tanyaku.
"Sebentar lagi tengah malam." "Hari apa?" Kabut di otakku tidak mau membuyar.
"Masih hari Jumat. Maaf Dr. Younger, tetapi Anda meminta untuk diberitahu jika
Nona Acton menerima tamu."
"Ya?" "Kini Nyonya Banwell sedang dalam perjalanan menuju kamar Nona Acton."
"Nyonya Banwell?" Tanyaku. "Baiklah. Jangan
bangunkan orang lain tanpa memberitahu aku dulu."
Nora dan aku telah menumpang kereta api dari Tarry Town. Kami hampir tidak
berbicara. Ketika kami tiba di Grand Central, Nora memohonku untuk mengantarnya
kembali ke Hotel Manhattan untuk mengetahui apakah kamarnya masih disewa atas ?namanya. Jika begitu, pintanya, bisakah ia tetap menginap di sana hingga hari
Minggu, hingga ia tidak perlu mengkhawatirkan lagi rencana orang tuanya untuk
mengirim gadis itu ke rumah sakit dengan paksa"
Walau aku seharusnya tidak setuju, namun akhirnya aku mengantarnya ke hotel. Aku
memperingatkannya, besok pagi, apa pun yang terjadi, aku akan memberitahu
ayahnya kalau ia berada di hotel ini. Kataku padanya, aku merasa yakin kalau ia
akan dapat mengarang kisah khayalan untuk melawan mereka, hingga mereka menunda
selama duapuluh empat jam. Seperti yang terjadi, ia benar tentang kamarnya:
masih disewa atas namanya. Petugas memberikan kuncinya, dan Nora menghilang
memasuki lift. Aku tidak menganggap kunjungan tengah malam Nyonya Banwell ini merupakan
kunjungan yang arif. Karena mungkin saja suaminya akan mengikutinya. Nora
pastilah telah menelponnya. Tetapi jika Nora dapat mengelabui aku dengan begitu
baik, tentunya Clara juga mampu mengelabui suaminya tentang kepergiannya malam
ini. Aku ingat kembali pernyataan Freud tentang perasaan Nora terhadap Clara. Tentu
saja Freud masih percaya kalau Nora memendam keinginan incest. Aku tidak lagi
berpendapat begitu. Sebenarnya, sejak aku menafsirkan To be, or not to be, aku
berani menganggap kalau akhirnya aku membalik seluruh teori kompleks Oedipus.
Freud selama ini memang benar: ya, ia telah memegangi cermin itu menghadap ke alam,
tetapi ia telah melihat pantulan dari kenyataannya.
Yang menjadi pokok utamanya adalah sang ayah, bukan putranya. Ya, ketika si
putra kecil itu memasuki arena kehidupan bersama ibu dan ayahnya, salah satu
tokoh dalam trio itu, merasakan betapa pedihannya kecemburuan itu yaitu sang
?ayah. Wajar saja jika ia merasa kalau putranya menyelinap ke dalam hubungannya
yang unik dan khusus dengan istrinya. Ia mungkin saja setengah menginginkan
untuk menyingkirkan putra penyusup yang menyusu, dan merengek-rengek, dan yang
disebut si sempurna oleh ibunya. Sang ayah mungkin saja mengharapkan kematiannya.
Kompleks Oedipus adalah nyata, tetapi subjek dari segala dugaan adalah orang
tua, bukan si anak. Keadaan itu bertambah buruk ketika si anak tumbuh besar.
Seorang gadis segera akan melawan ibunya menggunakan kacantikan dan masa belia
yang sangat dicemburui ibunya tanpa dapat ditahan. Seorang anak lelaki akhirnya
akan melebihi ayahnya yang merasa digerogoti dari bawah ketika putranya tumbuh.
Namun orang tua mana yang mau mengakui harapannya untuk membunuh anaknya
sendiri" Ayah seperti apa yang mau mengakui kecemburuan terhadap anak lelakinya
sendiri" Maka kompleks Oedipus harus diproyeksikan pada anak-anak. Tentu, ada
suara yang berbisik di telinga ayah Oedipus bahwa bukan dirinya sang ayah ? ?yang mempunyai sebuah rahasia harapan kematian terhadap putranya, tetapi
Oedipus-lah yang mendambakan ibunya sehingga menginginkan kematian ayahnya.
Semakin kerap kecemburuan itu menyerang orang tua, semakin
merusak sikap mereka terhadap anak-anak. Jika hal ini terjadi, maka bisa saja
anak-anak akan melawan mereka: mengantarkan kepada sebuah keadaan yang mereka
takutkan. Walau ia mengajarkan tentang Oedipus, Freud telah salah menafsirkan
Oedipus: harapan rahasia Oedipal terletak pada hati sang orang tua, bukan pada
anak-anak mereka. Sayangnya jika demikian, penemuan ini, tampaknya kini sudah basi tanpa ada
gunanya lagi bagiku. Apa gunanya" Apa yang dapat dilakukan dengan pemikiranku
itu" 9 "INI KETERLALUAN/' kata Hugel penuh marah. "Aku minta penjelasan."
George Banwell menggeram kesakitan ketika Ibu Biggs menempelkan plester pada
kepalanya. Darah masih menggumpal pada rambutnya, namun tidak mengalir ke
pipinya lagi. "Apa artinya ini semua, Littlemore?" Tanya McClellan.
"Kau mau mengatakannya pada Walikota, Pak Hugel?" Kata Littlemore. "Atau harus
aku yang mengatakannya?"
"Katakan apa?" Tanya McClellan.
"Lepaskan aku," kata Hugel pada Reardon.
"Lepaskan ia, Opsir," perintah McClellan. Reardon segera mematuhinya.
"Apakah ini leluconmu yang lain lagi, Littlemore?" Tanya Hugel, sambil merapikan
jasnya. "Jangan dengarkan segala yang dikatakannya, McClellan. Ini adalah lelaki
yang berpura-pura mati di atas meja operasiku kemarin." "Begitukah?" Tanya
Walikota pada Littlemore. "Ya, Pak."
"Kau lihat?" Kata Hugel kepada McClellan dengan suara yang meninggi. "Aku bukan
lagi pegawaimu. Surat pengunduran diriku akan berlaku pada pukul lima hari ini;
sudah ada di atas mejamu, McClellan. Aku yakin kau belum membacanya. Aku mau
pulang. Selamat malam."
"Jangan biarkan ia pergi!" Kata Littlemore.
Hugel tidak peduli. Ia memasang topinya, lalu mulai berjalan ke arah pintu.
"Jangan biarkan ia pergi!" Ulang Littlemore kepada McClellan.
"Hugel, tetaplah di tempatmu, kumohon," perintah McClellan. "Detektif Littlemore
telah memperlihatkan padaku satu hal malam ini, yang tidak akan kupercaya bisa
terjadi. Aku ingin mendengarkannya hingga tuntas."
"Terimakasih, Yang Mulia," kata Littlemore. "Aku lebih baik mulai dari foto.
Ahli otopsi Hugel membuat foto, Pak. Foto dari Nona Riverford dengan inisial
Banwell terlihat pada lehernya."
Banwell bergerak dari duduknya di anak tangga. "Apa itu?" Tanyanya.
"Inisialnya" Apa maksudmu?" Tanya McClellan.
"Aku mempunyai sebuah hasil cetak fotonya di sini, Pak," kata Littlemore. Ia
menyerahkan foto itu pada McClellan. "Agak rumit, Pak. Kau tahu, Hugel
mengatakan kalau jenazah Nona Riverford dicuri dari rumah penyimpanan mayat
karena ada petunjuk padanya."
"Ya, kau mengatakannya padaku tentang hal itu, Hugel," kata Walikota.
Hugel tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap Littlemore dengan waspada.
"Lalu Riviere mencetak lagi pelat-pelat foto Pak Hugel," lanjut Littlemore, "dan
cukup pasti, kami dapat melihat foto leher Nona Riverford dengan semacam cetakan pada lehernya. Riviere
dan aku tidak mengerti, tetapi Hugel menjelaskanya pada kami. Si pembunuh
mencekik Nona Riverford dengan dasinya, sementara penitinya masih tersemat pada
dasinya. Peniti tersebut ada inisialnya. Maka, kau tahu, Yang Mulia, foto itu
memperlihatkan inisial si pembunuh pada leher Nona Riverford. Begitukah yang kau
ceritakan padaku, Hugel?"
"Aku heran," kata Walikota yang menatap foto dari dekat. "Demi Tuhan, aku dapat
melihatnya, GB." "Ya, aku juga mempunyai salah satu peniti Tuan Banwell. Anda bisa
membandingkannya. Mereka sama." Lalu Littlemore mengeluarkan peniti dasi dari
saku celananya, dan memberikannya pada McClellan.
"Coba lihatlah," kata McClellan. "Serupa."
"Omong kosong," kata Banwell. "Aku dijebak."
"Ya Tuhan, Hugel," kata McClellan sambil mengabaikan Banwell, "mengapa kau tidak
mengatakannya padaku" Kau mempunyai bukti positif untuk menangkapnya."
"Tetapi aku tidak..., aku tidak bisa begitu saja..., coba kulihat foto itu," kata
Hugel. McClellan memberikan foto itu. Hugel menggelengkan kepalanya ketika menelitinya.
"Tetapi fotoku...,"
"Hugel tidak pernah melihat foto itu, Yang Mulia," kata Littlemore.
"Aku tidak mengerti," kata McClellan.
"Pada foto Hugel..., pada foto pertamanya..., inisial pada leher gadis itu terlihat
bukan GB. Tetapi kebalikan dari GB, seperti pantulan dalam cermin."
"Well, sebenarnya, inisial memang seharusnya tampak terbalik, bukan?" Jelas
McClellan. "Monogram itu memang meninggalkan bekas secara terbalik, seperti pada
perekat di amplop." "Itu akal-akalannya," kata Littlemore. "Anda benar, Yang Mulia. Peniti itu akan
meninggalkan bekas terbalik, maka cetakan terbalik dari GB pada foto Hugel,
membuatku berpikir kalau Tuan Banwell-lah pembunuhnya. Itulah tepatnya apa yang
dikatakan Hugel. Namun satusatunya masalah adalah di dalam foto Hugel, inisial
itu sudah tampak terbalik. Riviere mengatakan pada kami. Itulah yang tidak
disadari oleh Hugel. Fotonya memperlihatkan gambar GB terbalik... ,oke" Tetapi
foto leher korbannya sudah menunjukkan keterbalikan inisial itu. Artinya, bekas
yang tertinggal di leher korban adalah cetakan GB yang sesungguhnya. Artinya
monogram si pembunuh bukan GB tetapi seharusnya adalah kebalikan dari GB."
"Coba ulangi," kata McClellan.
Littlemore mengulanginya. Bahkan, ia mengulangi bagian pentingnya beberapa kali
hingga McClellan mengerti. Ia juga menjelaskan, ia telah meminta Riviere
mencetak selembar foto kebalikan dari foto Hugel. Memutar GB lagi, membuatnya
menghadap ke depan, sehingga ia dapat membandingkan inisial itu dengan monogram
Banwell yang sesungguhnya. Foto terbalik itu adalah yang baru saja
diperlihatkannya kepada pak Walikota.
"Tetapi itu masih tidak masuk akal," kata McClellan kesal. "Itu sama sekali
tidak masuk akal. Bagaimana monogram yang terlihat pada foto pertama Hugel,
betulbetul merupakan kebalikan dari inisial George Banwell?"
"Hanya ada satu cara, Yang Mulia," kata Littlemore. "Seseorang telah
menggambarnya." "Apa?" "Seseorang telah menggambarnya. Seseorang menggoreskannya pada lempengan kering
sebelum Riviere mencetaknya. Seseorang yang pastinya telah memiliki peniti dasi Banwell dan juga
lempengan foto Hugel. Seseorang yang membuat kita mengira kalau Tuan Banwell
membunuh Elizabeth Riverford. Siapa pun yang melakukan itu, telah melakukannya
dengan susah payah. Mereka mengerjakan semuanya dengan nyaris sempurna, tetapi
mereka membuat satu kesalahan: mereka membuat foto itu memperlihatkan gambar
pantulan cermin, padahal seharusnya tidak perlu begitu. Mereka tahu kalau tanda
bekas pada leher Nona Riverford merupakan gambar pantulan cermin dari monogram
yang sesungguhnya. Maka mereka membayangkan kalau seharusnya foto itu
menampilkan gambar pantulan cermin. Tetapi apa yang mereka lupakan adalah
negatif foto sudah memperlihatkan gambar pantulan cermin. Itulah kesalahan besar
mereka. Ketika GB mereka terbalik di dalam foto, mereka kalah dalam permainan
itu." Hugel menyela, "Wah, aku bahkan tidak dapat mengerti apa yang dikatakan si
jenius itu. Kita memiliki foto leher gadis itu yang jelas di sini. Dan foto itu
memperlihatkan GB pada lehernya bukan sebuah negatif atau negatif ganda, atau ?negatif tiga kali lipat, atau apa pun yang diocehkan Littlemore. Tapi hanyalah
gambar GB yang sederhana. Itu menunjukkan bahwa Banwell-lah pembunuhnya."
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ada hening sejenak. Lalu Walikota memecah kesunyian, "detektif," katanya, "aku
yakin aku mengerti jalan pikiranmu. Tetapi aku harus mengaku ada beberapa hal
yang berputar-putar sehingga aku bingung. Aku tidak tahu siapa yang benar.
Apakah ini satusatunya alasan yang kau miliki untuk meyakinkan kalau Hugel ini
telah merusak bukti" Apakah mungkin Hugel yang benar" Bahwa
fotomu membuktikan kalau George Banwell telah melakukan pembunuhan?"
Littlemore mengerutkan keningnya. "Coba kita lihat," katanya, "kukira ada banyak
bukti yang memberatkan Tuan Banwell, bukan" Yang Mulia, boleh aku mengajukan
beberapa pertanyaan kepada Tuan Banwell?"
"Silakan," kata McClellan.
"Tuan Banwell, Anda bisa mendengarku, Pak?"
"Apa maumu?" Geram Banwell.
"Anda tahu, Tuan Banwell, kini aku sangat yakin kalau kami bisa mendakwamu
sebagai pembunuh Nona Riverford. Aku menemukan jalan rahasia antara beberapa
apartemenmu." "Bagus," kata Banwell.
"Ada tanah liat di apartemen Nona Riverford yang cocok dengan tanah liat yang
ada di area pembangunanmu."
"Itu bukti untukmu."
"Dan kami menemukan koper yang berisi barang-barang Nona Riverford..., yang Anda
kuburkan di Sungai East di bawah Jembatan Manhattan."
"Tidak mungkin!" Seru Banwell.
"Kami menemukannya tadi malam, Tuan Banwell. Tepat sebelum Anda menenggelamkan
kaison itu." Rahasia Bayi Tergantung 2 Suro Bodong 09 Dendam Perempuan Sepi Ilmu Silat Pengejar Angin 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama