Ceritasilat Novel Online

Senja Di Himalaya 3

Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai Bagian 3


TUJUH BELAS Saeed Saeed menangkap seekor tikus di Queen of Tarts, menendang hewan itu
dengan sepatunya, menggiringnya, mencoba mengopernya pada Biju, yang lari
terbirit-birit, melemparkannya, dan saat tikus itu jatuh, menendangnya lagi
sampai mencicit, dan tertawa, "Jadi kamu yang selama ini memakani makan roti,
ya, kamu yang memakan gula?" Tikus itu melambung ke atas dengan histeris sampai
ter-jatuh mati. Waktu bersenang-senang telah usai. Kembali bekerja.
* Di Kaiimpong, si juru masak menulis surat kilat khusus. Dia menulis dalam
bahasa Hindi, kemudian menyalin alamat tujuan dalam huruf-huruf Inggris yang
kikuk. Dia diserbu permintaan tolong. Semakin banyak mereka meminta semakin
banyak mereka datang semakin banyak mereka meminta Lamsang, Mr. Lobsang ?Phuntsok, Oni, Mr. Shezoon dari majalah Lepcha Quarterly, Kesang, tukang bersihbersih rumah sakit, teknisi lab yang bertanggung jawab atas cacing pita dalam
larutan formalin, pria yang menambal lubang panci yang berkarat, semua orang
dengan anak lelaki yang mengantre siap dikirim. Mereka membawakan ayam
untuknya sebagai hadiah, bungkus-bungkus kecil kacang atau kismis, menawarinya
minum di Kantin Ex-Militer Thapa's, dan dia mulai merasa seperti politisi,
pemberi ban-tuan, penerima rasa terima kasih.
Semakin engkau dimanjakan semakin engkau akan dimanjakan semakin banyak
hadiah yang engkau terima semakin banyak hadiah yang akan engkau terima semakin
engkau dikagumi semakin engkau akan dikagumi semakin banyak hadiah yang akan
engkau dapat semakin engkau akan dimanjakan
?"Bhai, dekhi, aesa hai ..." dia akan mulai menceramahi mereka. "Begini,
keberuntungan harus menyertai kita, mendapatkan visa itu nyaris mus-tahil Luar
biasa sulit, tetapi dia menulis kepada anaknya. "Tunggu saja, tunggu saja,
barangkali kau akan beruntung ....?"Biju Beta," tulisnya, "kau sudah cukup
beruntung bisa tiba di sana, tolong lakukan sesuatu untuk orang lain
Kemudian, dia mengoleskan lem bikinan sendiri yang terbuat dari tepung
terigu dan air untuk merekatkan tepian-tepian lembaran surat kilat khusus,
mengirim surat-surat tersebut mengarungi samudra Atlantik, segerombol penuh ....
* Mereka tak akan pernah tahu berapa banyak di antara surat tersebut yang
tercecer dalam seluruh sambungan reyot yang harus dilaluinya, di antara tukang pos temperamental
yang diguyur hujan lebat, van temperamental yang menyeberangi longsoran tanah
menuju Siliguri, kilat dan guntur, bandara yang berkabut, perjalanan dari
Calcutta ke kantor pos di 125th Street di Harlem yang diblokade seperti pos
terdepan pasukan Israel di Gaza. Tukang pos meninggalkan surat itu di atas kotak
surat-kotak surat penghuni legal, dan kadang-kadang surat-surat itu jatuh,
terinjak, dan terbawa kembali ke luar.
Namun, cukup banyak di antara surat tersebut yang sampai, sampai-sampai
Biju merasa dia bisa tenggelam di dalamnya.
"Anak yang sangat pandai, sangat miskin, to-long urus dia, dia sudah punya
visa, akan segera tiba ... Tolong carikan pekerjaan untuk Poresh. Sebenarnya,
saudaranya juga sudah siap pergi. Bantu mereka. Sanjeeb Thorn, Karma Ponchu, dan
ingatlah Budhoo, penjaga malam di Mon Ami, anak lelakinya
* "Aku tahu, Bung, aku tahu perasaanmu," kata Saeed.
Ibu Saeed Saeed memberikan nomor telepon dan alamat Saeed secara sukarela
kepada separuh penduduk Kota Batu. Mereka tiba di bandara dengan uang satu dolar
dalam saku mereka dan nomor telepon Saeed, meminta tumpangan di apartemen
yang sudah penuh orang, setiap sudutnya telah disewakan: Rasheed Ahmed
Jaffer Abdullah Hassan Musa Lutfi Ali dan banyak lagi lainnya yang berbagi
tempat tidur secara bergiliran.
"Saudara sesuku, saudara sesuku. Aku bangun, menuju jendela, dan di
sanalah SAUDARA SESUKU. Setiap kali aku melihat SAUDARA SESUKU LAGI. Semua ? ?orang mengatakan, "Oh, tak ada visa lagi, mereka ketat sekarang, sulit sekali,"
dan pada saat yang sama, semua orang yang mengajukan permo-honan, SEMUA ORANG
mendapatkan visa. Mengapa mereka melakukan ini kepadaku" Kedutaan Amerika di Dar
itu MENGAPA?"!! Tak akan ada yang mau memberi si Dooli visa. Tak ada. Sekali
?lihat saja, orang akan mengatakan, OK, ada yang salah di sini tetapi mereka
?memberikan visa kepada-nya"
Saeed memasak cow pea dan kingfish dari Price Chopper untuk menyenangkan
hatinya, serta pisang raja dalam larutan gula dan santan. Kuah lengket ini
begitu tajam beraroma harapan sehingga Saeed mengoleskannya di atas roti Prancis
dan menawarkannya pada yang lain.
* Buah paling manis di seluruh penjuru Kota Batu tumbuh di pemakaman, dan
pisang paling bagus tumbuh di atas makam kakek si Dooli bandel yang oleh
Kedutaan Amerika di Dar es Salaam telah sedemikian salah dinilai sampai diberi
visa Saeed sedang bercerita demikian ketika dia melihat ke luar
?jendela ?Sedetik kemudian, dia sudah berada di bawah meja layan.
"Ya, Tuhaaaan1." Berbisik. "Saudara sesuku, Bung, itu saudara sesukuku.
Tolonglah, Tuhan. Ka-takan pada mereka aku tidak bekerja di sini. Bagaimana
mereka mendapatkan alamat ini\ Ibuku! Sudah kukatakan padanya, "Jangan lagi!"
Toiong\ Omar, ke sanalah! Ke sana! Suruh mereka pergi."
Di luar toko roti berdirilah sekumpulan pria, terlihat lelah seolah-olah
mereka telah melakukan perjalanan selama beberapa kali kehidupan, meng-garukgaruk kepala dan memandangi Queen of Tarts.
"Kenapa kau bantu mereka?" tanya Omar. "Aku berhenti membantu dan sekarang
mereka semua tahu bahwa aku tidak akan membantu dan tak ada lagi yang datang
kepadaku.?"Sekarang bukan waktunya untuk memberi ceramah."
Omar keluar. "Siapa" Saeed" Tidak ada, tidak ada. Siapa namanya" Soyad"
Tidak, tidak ada yang bernama itu. Hanya aku, Kavafya, dan Biju.?"Tetapi dia
bekerja di sini. Ibunya memberi tahu kami.?"Tidak, tidak. Pergilah kalian semua.
Di sini tak ada orang yang ingin kalian temui dan jika kalian membuat masalah,
KAMI akan tertimpa masalah, jadi sekarang aku meminta pada kalian secara baikbaik, PERGILAH. * "Bagus sekali," kata Saeed, "terima kasih. Mereka sudah pergi?" "Belum."
"Apa yang mereka lakukan?"
"Mereka masih berdiri dan memandangi," timpal Biju merasa berani dan
bergairah oleh kemalangan orang lain. Dia nyaris melompat-lompat.
Orang-orang itu menggeleng-gelengkan kepala, tak mau memercayai apa yang
telah mereka dengar. Biju keluar dan kembali masuk. "Mereka bilang bahwa sekarang mereka akan
mencoba alamat ru-mahmu." Dia merasakan sekilas kebanggaan me-nyampaikan berita
penting ini. Menyadari bahwa dia kangen memainkan peran semacam ini yang lazim
di India. Keterlibatan seseorang dalam kehidupan orang lain memberi kesempatan
kecil untuk mendapatkan perasaan bahwa dirinya penting.
"Mereka akan kembali. Aku tahu mereka. Mereka akan mencoba berkali-kali,
atau salah seorang akan tinggal dan yang lain pergi. Tutup pintu, tutup jendela
"Kita tak bisa menutup toko. Terlalu panas, tak mungkin menutup jendela."
"Tutup!" "Tidak. Bagaimana jika Mr. Bocher mengunjungi kita?" Mr. Bocher adalah
pemilik toko yang mampir pada saat-saat tak terduga dengan harapan me-nangkap
basah mereka tengah melakukan sesuatu yang melanggar peraturan.
"Tak perlu khawatir, Bossi," Saeed akan berkata kepadanya. "Kami melakukan
segala yang Anda perintahkan persis seperti yang Anda perintahkan ii
Tetapi sekarang ...."Hidupku yang sedang kita pertaruhkan, Bung, bukan agak
panas di sini dan agak panas di sana, bos atau bukan bos..."
Mereka menutup jendela serta pintu, dan sam-bil tiarap, Saeed menelepon
apartemennya, "Hey, Ahmed, jangan angkat telepon, Bung, si Dooli dan temantemannya sudah datang dari bandara! Kunci pintu, tiarap, jangan berdiri, dan
jangan mendekati jendela.?"Hah! Kenapa mereka memberikan visa pada orang-orang
itu" Bagaimana mereka bisa membeli tiketnya!" Mereka bisa mendengar suara dari
seberang sambungan telepon. Kemudian, suara itu lenyap ke dalam bahasa Swahili
dalam bentuk tahi yang keras, berak kotoran hewan yang banyak dan mengepulngepul. * Telepon berdering di toko roti.
"Jangan dijawab," kata Saeed kepada Biju yang hendak meraih gagang
telepon. Ketika mesin penjawab menyala, sambungan putus.
"Orang-orang sesuku! Mereka selalu takut pada mesin penjawab!"
Telepon itu berdering lagi dan kemudian lagi. Kring kring kring kring.
Mesin penjawab. Sambungan putus.
Kembali: Kring kring. "Saeed, kau harus bicara pada mereka." Jantung Biju tiba-tiba berdebar
seiring siksaan deringan. Bisa jadi itu bos, bisa jadi India yang tengah
menelepon, ayahnya ayahnya?
Meninggal" Sekarat" Sakit"
Kavafya mengangkatnya dan sebuah suara berkumandang ke dalam ruangan
dengan kuat dan bertubi-tubi oleh kepanikan. "Darurat! Darurat! Kami datang dari
bandara. Darurat Darurat, Saaeed S-aa-eed?"
Dia meletakkan gagang telepon dan mencabut kabelnya.
Saeed: "Orang-orang itu, izinkan mereka masuk, maka mereka tak akan pernah
pergi. Nekat. Sekali kaubiarkan masuk, sekali kau mendengar cerita mereka, kau
tak bisa menolak, kau kenal bibi mereka, kenal sepupu mereka, kau harus membantu
seluruh keluarga, dan begitu mereka mulai, mereka akan mengambil segalanya. Kau
tak bisa mengatakan ini makananku, seperti orang-orang Amerika, dan hanya aku
yang boleh memakannya. Tanya saja Thea" Thea adalah sasaran pooky pooky terbaru?di toko roti itu-"di tempat dia tinggal dengan tiga orang teman, semua orang
belanja sendiri-sendiri, mereka memasak makan malam sendiri-sendiri, bersamasama mereka menyantap makanannya masing-masing. Lemari es sudah mereka bagibagi, dan ke dalam tempat mereka sendm-tempat mereka sendiri! mereka meletakkan
?apa yang tersisa ke dalam kotak masing-masing. Salah seorang rekan sekamar, dia
menuliskan nama di kotak itu agar terpampang siapa pemiliknya!" J ah Saeed mengacung
dengan keseriusan luar biasa. "Di Zanzibar apa yang dimiliki satu orang harus
dibagi dengan semua orang, demikianlah yang baik, demikianlah yang benar
?"Tetapi toh, semua orang tak puny a apa-apa, Bung! Itulah sebabnya aku
meninggalkan Zanzibar."
Hening. Simpati Biju terhadap Saeed mengalir menjadi simpati untuk dirinya
sendiri, kemudian rasa malu Saeed menjadi rasa malunya sendiri karena dia tak
akan pernah menolong semua orang yang memohon pertolongannya itu, yang menunggu
tanggapannya setiap hah, setiap jam. Dia juga dulu tiba di bandara dengan
beberapa lembar dolar yang dibeli di pasar gelap Kathmandu dalam sakunya dan
sebuah alamat teman ayahnya, Nandu, yang tinggal dengan dua puluh dua sopir
taksi di Queens. Nandu juga tidak menjawab teleponnya serta mencoba bersembunyi
ketika Biju tiba di depan pintunya, kemudian ketika dia mengira Biju telah
pergi, membuka pintu dan dengan kesal menemukan Biju masih berdiri di sana dua
jam kemudian. "Di sini sudah tidak ada lagi pekerjaan," kata Nandu. "Kalau aku masih
muda, aku akan pulang ke India, di sana ada lebih banyak peluang sekarang, sudah
terlambat bagiku untuk mengubah keadaan, tetapi kau harus mendengarkan
nasihatku. Semua orang mengatakan kau harus tetap tinggal, di tempat inilah kau
akan hidup enak, tetapi jauh lebih baik kalau kau pulang."
Nandu bertemu seorang teman kerjanya yang memberi tahu mengenai kamar
bawah tanah di Harlem dan sejak dia menempatkan Biju di sana, Biju tak pernah
melihatnya lagi. Biju ditinggalkan di tengah orang-orang asing: Jacinto si penjaga, si
gelandangan, seorang pesu-ruh juru masak berkaki bengkok dan kaku, yang berjalan
seolah-olah buah zakarnya terlalu besar untuk berjalan normal, dengan anjing
kuningnya yang berkaki bengkok dan kaku, yang juga berjalan seolah-olah buah
zakarnya terlalu besar untuk berjalan secara normal. Pada musim panas, keluargakeluarga keluar dari tempat tinggal mereka yang sesak dan duduk di trotoar
dengan membawa radio kaset; perempuan-perempuan gemuk dan besar terlihat
mengenakan celana pendek dengan kaki tercukur, terhiasi bintik-bintik hitam
kecil, dan kelompok-kelompok pria tak percaya diri duduk di atas karton pada
papan-papan yang dipasang di atas tong sampah, meneguk bir dari botol-botol yang
dibungkus kantung kertas cokelat. Mereka mengangguk ramah kepadanya, kadangkadang bahkan menawarinya bir, tetapi Biju tidak tahu harus berkata apa kepada
mereka, bahkan sapaan singkat "Halo" terucap dengan keliru: terlalu pelan
sehingga mereka tidak mendengar, atau terucap persis saat mereka telah
memalingkan muka. * Green card green card. Green
Tanpa itu, dia tak bisa pergi. Untuk, pergi, dia menginginkan green card.
Inilah kekonyolannya. Betapa dia menginginkan kemenangan Pulang ke Kampung
Halaman Setelah Mendapatkan Green Card, sangat mengharapkannya berharap mampu ?membeli selembar tiket dengan air muka seseorang yang bisa kembali jika dia mau,
atau tidak kembali, jika tidak mau ... Dia memandangi orang-orang asing yang legal
dengan iri saat mereka berbelanja di toko tas rabat untuk membeli koper dunia
ketiga yang bisa diperbesar, terlipat seperti harmonika, penuh kantung dan
kancing tarik untuk membuka celah-celah lain, seluruh struktur benda itu membuka
menjadi ruang raksasa yang bisa menampung cukup muatan untuk membangun sebuah
kehidupan utuh di negara lain.
Selain mereka, tentu saja ada orang-orang yang hidup dan mati dengan
status ilegal di Amerika dan tak pernah bertemu dengan keluarga mereka, selama
sepuluh tahun, dua puluh tahun, tiga puluh tahun, selamanya.
Bagaimana orang bisa melakukannya" Di Queen of Tarts, mereka menonton
acara TV pada Minggu pagi di saluran India yang menampilkan seorang pengacara
imigrasi yang dengan tangkas menjawab berbagai pertanyaan.
Seorang pengemudi taksi muncul di layar: setelah menonton salinan bajakan
film Amerika, dia terinspirasi untuk datang ke Amerika, tetapi bagaimana caranya
beralih menjadi masyarakat biasa" Dia ilegal, taksinya ilegal, seluruh
keluarganya ada di sini, dan semua orang di desanya juga di sini, benar-benar telah
menjadi bagian masyarakat dan bekerja dalam sistem pertaksian kota ini. Akan
tetapi, bagaimana caranya mendapatkan surat izin" Akankah ada pemirsa di luar
sana yang ingin menikahinya" Pemegang green card yang cacat atau terbelakang
mental sekalipun boleh ? * Sudah tentu, Saeed Saeedlah yang mengetahui mengenai van tersebut dan
mengajak Omar, Kavafya, serta Biju ke Washington Heights, dan di sana mereka
menunggu di sebuah sudut jalan. Semua toko di sana memiliki terali, bahkan kios
permen karet dan rokok. Apotik dan toko minuman keras memiliki bel listrik; Biju
melihat orang-orang menderingkannya, diperbolehkan masuk ke dalam sebuah ruangan
berkisi-kisi di bagian dalam toko tempat mereka bisa melihat-lihat rak dan
menunjuk apa yang diperlukan, dan setelah uang diletakkan di semacam baki putar
ke dalam sebuah lubang kecil yang dibuat pada terali dan kaca antipeluru, benda
yang dibeli akan dikeluarkan dengan enggan. Bahkan, di toko kue pastel Jamaika,
si wanita pemilik toko, kue-kue pastel, callaloo dan roti, minuman Drinks Nice
Every 7/me-berada di balik barikade keamanan tingkat tinggi.
Tetap saja, pengalaman itu menyenangkan. Banyak orang berduyun-duyun
melintas. Di luar Ge-reja Zion, seorang pengkhutbah membaptis sebaris
orang dengan semprotan pipa air pemadam keba-karan. Seorang pria muncul
dengan paduan pakaian celana pendek dan kemeja bercorak bunga sepatu ala
Florida, lutut kurus menonjol, rambut berminyak yang menggumpal-gumpal, kumis
segi empat tipis ala Charlie Chaplin-Hitler, menjinjing sebuah pemu-tar kaset,
"Guantanamera ... guajira Guantanamera Sepasang perempuan nakal memanggil-manggilnya dari jendela, "Uuuu SAYANG! Lihat deh kaki mereka! Uuuuu wiiii! Kau tak ada
acara malam ini?" Perempuan lain tengah memberi nasihat kepada seorang perempuan lebih muda
yang menemaninya, "Hidup itu singkat, manis Buang saja dia ke tong sampah! Kau ?masih muda, kau berhak bahagia! Buwang! sahaja! diia! kee! tong! sampwah!
ii* * * Saeed merasa betah di sini. Dia tinggal dua blok dari situ dan banyak
orang menyapanya di jalan. Saeed!
Seorang pemuda dengan kalung emas segemuk rantai bak mandi rendam,
kemakmurannya berkilau-kilau, menepuk punggung Saeed ...."Apa pekerjaan-nya?" Biju
bertanya tentang pemuda itu.
Saeed tertawa. "pengutil."
Untuk semakin memanaskan kesempatan itu, Saeed menghibur mereka dengan
kisah tentang bagaimana dia menolong salah seorang saudara sesukunya pindah;
sebuah mobil berhenti ketika mereka tengah bergulat dengan kotak-kotak kardus
berisi pakaian tambal sulam, sebuah jam weker, sepatu, sebuah panci yang
sudah menghitam dari Zanzibar yang dimasukkan ke dalam koper oleh ibu yang


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bercucuran air mata lalu sebuah pistol keluar dari jendela mobil dan sebuah
?suara berkata, "Letakkan semua itu di belakang, Nak." Bagasi membuka, dan "Curna
itu?" suara di balik pistol itu berkata dengan sebal. Kemudian mobil itu pun
melaju pergi. * Mereka menunggu di sudut jalan, berkeringat deras, Tuhanku, Tuhanku ...
Akhirnya sebuah van bobrok datang dan mereka membayar ke dalam pintu yang
membuka sedikit, menyerahkan foto mereka yang diambil menurut ketentuan INS,
yakni menunjukkan sebelah telinga terbuka dan profil tiga perempat, dan diambil
cap jempolnya melalui celah sempit itu. Dua minggu kemudian, mereka menunggu
lagi ?mereka menunggu ?dan menunggu ?dan .... Van itu tidak datang kembali. Ongkos usaha ini sekali lagi menguras
amplop tabungan Biju. Omar mengusulkan agar mereka menghibur diri senyampang mereka ada di area
itu. Kavafya berkata dia ikut.
Hanya tiga puluh lima dolar.
Harga belum naik. Biju merona saat mengingat apa yang pernah dia katakan dalam masa-masa hot
dognya. "Bau tidak enak ... perempuan kulit hitam ... Hubshi hubshi.?"Terlalu panas," kata
Biju, "untuk pergi dari sini.
Mereka tertawa. "Saeed?"
Tetapi Saeed tidak perlu mendatangi pelacur.
Dia akan menemui pooky pooky yang baru.
"Ada apa dengan Thea?" tanya Biju.
"Dia pergi hiking ke luar kota. Kubilang pada-nya, 'PRIA AFRIKA tidak
biasa pergi melihat de-daunan!!' Pokoknya, Bung, aku masih punya satu atau dua
pooky pooky lain yang tidak diketahui Thea.?"Sebaiknya kau berhati-hati," kata
Omar. "Perempuan kulit putih, mereka terlihat cantik ketika masih muda, tetapi
tunggu saja, mereka merosot dengan cepat, pada usia empat puluh mereka terlihat
sangat jelek, rambut rontok, kerut di mana-mana, dan bercak-bercak serta uraturat darah itu, kau tentu tahu apa yang kumaksud
Saeed menyahut, "Ah ah ah ha ha, aku tahu, aku tahu." Dia memahami rasa
iri mereka. * Di toko roti seorang pelanggan menemukan seekor tikus utuh terpanggang di
dalam bongkahan roti biji bunga matahari. Hewan itu tentulah memburu biji-biji
itu .... Satu tim penilik kesehatan tiba. Mereka masuk dengan gaya Angkatan Laut
Amerika, FBI, CIA, NYPD; menyerbu masuk: ANGKAT TANGAN!
Mereka menemukan pipa pembuangan yang pecah, talang air hitam yang
tersendat-sendat, pisau disimpan di belakang toilet, kotoran tikus di dalam
tepung, dan dalam wadah telur yang terlupakan, organisme-organisme bersel satu
yang begitu nyaman sampai mereka bereproduksi sendiri tanpa inpirasi dari yang
lain. Sang bos, Mr. Bocher, dipanggil.
"Listrik sialan itu putus," kata Mr. Bocher, "di luar panas, apa lagi yang
harus kami perbuat?"
Namun, peristiwa yang sama telah terjadi dua kali, pada hari-hari sebelum
Biju, Saeed, Omar, dan Kavafya ketika di sana ada Karim, Nedim, dan Jesus. Queen
of Tarts akan ditutup dan diganti dengan sebuah bangunan unit usaha Rusia.
"Orang-orang Rusia sialan! Sup borscht dan ta-hi sinting!" teriak Mr.
Bocher marah, tetapi tak ada gunanya, dan tiba-tiba, semuanya tamat lagi.
"Biadab kalian, dasar biadab," dia meneriaki orang-orang yang pernah bekerja
untuknya. * "Mampirlah ke kota sekali-sekali, Bung Biju." Saeed dengan cepat
mendapatkan pekerjaan di sebuah gerai Banana Republic, tempat dia akan menjual
kepada orang-orang bergengsi di kota itu sweter hitam berkerah tinggi yang
sesuai dengan musim, dalam sebuah toko yang namanya sinonim dengan eksploitasi
kolonial dan penghancuran tamak Dunia Ketiga.
Biju tahu dia mungkin tak akan bertemu Saeed lagi. Inilah yang biasanya
terjadi, sekarang dia telah memahami hai itu. Kau hidup bersama, orang lain
dengan sangat intens, hanya untuk kehilangan mereka dalam waktu semalam karena
kelas bayang-bayang dikutuk untuk selalu bergerak. Orang-orang itu pergi untuk
bekerja di tempat lain, kota lain, dideportase, kembali ke kampung halaman
mereka, berganti nama. Kadang-kadang seseorang muncul kembali dengan begitu saja
di sebuah sudut, atau di stasiun bawah tanah, kemudian mereka menghilang lagi.
Alamat, nomor telepon tidak bertahan lama. Kehampaan yang dirasakan Biju kembali
menghampirinya lagi dan lagi, sampai pada akhirnya dia memastikan untuk tidak
membiarkan pertemanan menjadi terlalu dalam lagi.
* Berbaring di atas papan tidurnya lagi di ruang bawah tanah malam itu, Biju
mengenang desanya tempat dia tinggal bersama neneknya dengan uang yang dikirim
ayahnya tiap bulan. Desa itu terkubur dalam rerumputan keperakan yang lebih
tinggi ketimbang manusia dan mengeluarkan suara, shuu shuuuu, shu shuuu, saat
angin meniupnya ke sana kemari. Menuruni sebuah selokan kering menembus
rerumputan itu, orang akan mencapai anak Sungai Yamuna dan di sana bisa dilihat
orang-orang mengarungi sungai menuju hilir di atas kulit kerbau yang
digembungkan, keempat kaki hewan yang
sudah mati itu merentang lurus saat mereka ber-layar, dan di bagian-bagian
tempat sungai melekuk dangkal di atas bebatuan, mereka keluar dan menyeret
perahu kulit kerbau mereka ke tepian. Di sini, di tempat dangkal ini, Biju dan
neneknya biasa menyeberang dalam perjalanan menuju dan dari pasar di kota,
neneknya, dengan sari diselipkan di pinggang, terkadang dengan sekarung beras di
atas kepalanya. Elang-elang yang mencari ikan mela-yang-layang di atas air,
mengubah lucuran menda-tar mereka dalam sekejap, menukik, mengangkasa kembali
kadang-kadang dengan segumpal otot keperakan yang menggelepar-gelepar. Seorang
pertapa juga tinggal di tepian sungai ini, dengan sikap tubuh seperti burung
bangau, menanti, oh menanti, kilatan ikan mistis lain yang sulit ditangkap;
ketika ikan itu muncul di permukaan, sang pertapa harus menyambarnya kalau
tidak, ikan itu akan hilang lagi dan tak pernah kembali .... Pada perayaan Diwali
si orang suci menyalakan lentera dan meletakkannya di cabang-cabang pohon peepul
dan melayarkannya di sungai di atas rakit dengan bunga marigold betapa indahnya?pemandangan lentera-lentera itu terayun-ayun dalam gelap yang masih muda. Ketika
dia mengunjungi ayahnya di Kalimpong, mereka duduk di luar pada malam hah dan
ayahnya mengenang, "Betapa damai desa kita. Betapa enak rasa roti di sana! Itu
karena atta-nya digiling dengan tangan, bukan dengan mesin ... dan karena roti
dibuat dengan choulah, lebih enak ketimbang apa pun yang dimasak di atas kompor
gas atau minyak tanah ... Roti segar, mentega segar, susu segar yang masih
hangat langsung dari kerbau Mereka tidak tidur sampai malam.
Mereka tidak memerhatikan Sai, yang saat itu berusia tiga belas tahun,
menatap dari jendela kamar tidurnya, iri akan cinta si juru masak untuk anak
lelakinya. Kelelawar-kelelawar kecil bermulut merah yang minum dari jhora
melayang lagi dan lagi dengan kepakan sayap-sayap hitam penyihir.[]
DELAPAN BELAS "Oh, kelelawar, kelelawar," seru Lola, panik, saat seekor kelelawar
menukik di dekat telinganya dengan teriakan nyaring cuu cuu.
"Apa masalahnya, cuma sekelumit kulit sepatu beterbangan," komentar Noni,
yang dalam balutan sari musim panasnya yang pucat, terlihat seolah-olah dia
adalah segumpal es krim vanila yang meleleh ...."Oh, tutup mulutmu," kata Lola.
"Hawanya terlalu panas dan lembap," kata Lola kemudian, sebagai cara
meminta maaf kepada sau-daranya. Musim hujan sudah akan tiba.
Saat itu baru dua bulan setelah Gyan datang mengajar Sai, dan Sai awalnya
menyalahartikan ketegangan di udara dengan kehadiran Gyan.
Akan tetapi, sekarang semua orang mengeluh. Paman Potty duduk dengan
lemas. "Sudah mulai. Lebih awal tahun ini. Lebih baik beli rum, dolly, sebelum
bocah tua ini terjebak tak bisa ke mana-mana."
Lola menyesap Disprin yang mendesis dan melonjak-lonjak di dalam air.
Ketika surat kabar juga melaporkan datangnya awan badai, dia menjadi
sangat gembira, "Sudah ku-bitang. Aku selalu bisa menduganya. Dari dulu aku
memang sangat sensitif. Kautahulah bagaimana
aku ini seperti putri dalam dongeng putri dan sebutir kacang ?polong sayangku, mau bilang apa lagi putri dan sebutir kacang polong."
? ? * Di Cho Oyu, sang hakim dan Sai duduk di halaman rumput. Mutt, melihat
bayangan ekornya sendiri, melompat dan menangkapnya, mulai melesat berpu-tarputar, bingung mengenai siapa pemilik ekor tersebut. Mutt tak mau melepaskannya,
tetapi matanya menunjukkan kebingungan dan permohonan bagaimana caranya
?berhenti" Apa yang harus dia lakukan" dia telah menangkap makhluk aneh dan
?tidak tahu bahwa itu adalah dirinya sendiri. Dia terus berlari-lari tanpa
terkontrol mengitari taman. "Anjing bodoh," kata Sai.
"Mutiara mungil," kata sang hakim ketika Sai telah pergi, kalau-kalau
perasaan Mutt terluka. * Kemudian, dalam sekejap, hai itu melanda mereka. Sebuah suara resah datang
dari pohon-pohon pisang saat pohon-pohon itu mengepakkan telinga raksasanya
karena mereka selalu yang kali pertama mengumandangkan tanda bahaya. Batangbatang bambu terhempas bersama-sama dan mengeluarkan suara seni bela diri kuno.
Di dapur, kalender dewa-dewa si juru masak mulai menampar-nampar dinding
seolah-olah benda itu hidup, segerombolan tangan, kaki, kepala me-ngerikan, mata yang
menyala-nyala. Si juru masak mengunci segala sesuatu, semua pintu dan jendela, tetapi
kemudian Sai membuka pintu persis ketika juru masak tengah mengayak tepung untuk
menyingkirkan kumbang penggerek, dan tepung pun tersapu angin lalu jatuh
menyeli-muti mereka berdua.
"Ooof ho. Lihat apa yang telah kaulakukan." Serangga-serangga kecil yang
sedang menggali liang lari dengan bebas dan terlalu bersemangat di lantai dan
dinding. Saat menatap satu sama lain yang terselubungi warna putih, mereka mulai
tertawa. "Angrez ke tarah. Seperti orang Inggris."
"Angrez ke tarah. Angrez jaise."
Sai menjulurkan kepalanya. "Lihat," katanya, merasa gembira, "persis
seperti orang Inggris." Sang hakim mulai terbatuk-batuk karena campuran asap dan
cabai yang menyengat menyebar ke dalam ruang tamu. "Dasar bodoh," dia menghardik
sang cucu. "Tutup pintunya!"
Namun, pintu tersebut menutup sendiri bersama seluruh pintu lain di rumah
itu. Blam blam blam. Langit menganga, diterangi oleh kilat; lidah api biru
menjerat pohon pinus yang mendesis mati dalam sekejap meninggalkan seonggok
puntung arang, bau hangus, silang sengkarut cabang-cabang pohon di halaman.
Hujan tanpa henti mengguyur mereka dan Mutt berubah menjadi sebentuk kehidupan
primitif, sebangsa makhluk amuba, merayap di lantai.
Sebuah alat penangkal petir terpasang di atas Cho Oyu dengan kabel yang
terulur masuk ke dalam lubang garam bawah tanah, yang akan menyela-matkan
mereka, tetapi Mutt tidak mengerti hai itu. Setiap ada guntur baru dan bunyi
ledakan di atas atap seng, dia mencari perlindungan di balik tirai, di bawah
tempat tidur. Namun, entah itu pantatnya yang masih dalam keadaan tak
terlindung, atau moncongnya, dan dia ketakutan oleh angin yang menimbulkan
suara-suara hantu di dalam botol-botol soda kosong: wuuuu huuuu huuuu.
"Jangan takut, anjing kecil, kodok kecil, bebek kecil, anjing bebek. Itu
cuma hujan." Mutt mencoba tersenyum, tetapi ekornya tetap terlipat di bawah tubuhnya
dan matanya seperti mata para prajurit yang tengah berperang, sudah tak mau tahu
mengenai mitos-mitos konyol kebe-ranian. Kedua telinganya menegang ke arah
cakra-wala, menanti apa yang pasti akan tiba, gelombang pengeboman lagi, suara
hancurnya peradaban Mutt tak menyangka hai itu sedemikian besar kota-kota ? ?dan monumen tumbang dan anjing itu pun kabur kembali.
? * Musim hujan ini akan berlangsung tiga, empat, mungkin lima bulan. Di Cho
Oyu, bocor yang menetes ke dalam toilet memainkan melodi honky-tonk, sampai
dipecahkan oleh Sai, yang memayungi dirinya ketika masuk ke dalam kamar
mandi. Embun menutupi kaca jam dinding, dan baju-baju yang dijemur di
loteng tetap basah selama seminggu. Serpihan putih meluncur jatuh dari tiangtiang rumah, jamur memintal usia yang kusut pada segala sesuatu. Namun, kilasankilasan warna menegaskan pemandangan yang penuh selubung ini: serangga-serangga
beterbangan dalam kostum karnaval; roti, dalam waktu sehari, berubah menjadi
sehijau rumput; Sai, saat membuka laci pakaian dalamnya, menemukan jeli merah
muda terang menghiasi pinggiran permukaan-permukaan katun yang berwarna muram;
dan volume National Geographic yang telah dijilid jatuh membuka pada halamanhalaman yang dirusak penyakit flamboyan, jamur kuning keunguan menyaingi burungburung bower di Papua Nugini, para penduduk New Orleans, dan iklan-"Segalanya
lebih baik di Bahama!" yang ditampilkannya.
? * Sai selalu tenang dan ceria selama bulan-bulan ini, satu-satunya waktu
tatkala kehidupannya di Kaiimpong benar-benar bernilai dan dia bisa mengalami
kedamaian mengetahui bahwa nyaris mustahil berkomunikasi dengan siapa pun. Dia
duduk di beranda, menikmati suasana hati musim itu, berpikir betapa cerdasnya
untuk menyerah saja karena di seluruh penjuru Kaiimpong, modernitas mulai
mengalami kerusakan. Telepon mengeluarkan bunyi ular mati, televisi menampilkan
pemandangan hujan lebat yang lain. Dan dalam musim diare yang basah ini mengapunglah
perasaan bahwa kehidupan adalah sesuatu yang bergerak dan melenyap, dingin dan
sunyi bukan sesuatu yang bisa dipahami orang. Dunia menghilang, gerbang tak ?membuka ke mana-mana tak ada Gyan di sekitar lekukan gunung dan rasa penantian
? ?yang sama sekali tidak menyenang-kan itu melepaskan genggamannya yang mencekik.
Bahkan, Paman Potty tak mungkin dikunjungi karena jhora telah meluapi tepiannya
dan menyeret jembatan ke hilir.
Di Mon Ami, Lola, yang memainkan tombol radio, harus menyerah mencari
bukti bahwa anak perempuannya, Pixie, masih berada di tempat yang kering di
tengah berita sungai yang meluap, kolera, serangan buaya, dan orang-orang
Bangladesh yang mulai memanjati pohon lagi. "Yah, sudahlah," Lola mendesah,
"barangkali hujan ini akan menyapu bersih para berandal di pasar."
* Baru-baru ini serangkaian pemogokan dan pawai menunjukkan adanya
ketidakpuasan politik yang semakin berkembang. Dan sekarang pemogokan tiga hah
serta upaya pemblokiran jalan raasta roko ditunda karena cuaca. Apa gunanya
menghalangi ransum lewat jika ransum itu toh memang tak akan bisa lewat"
Bagaimana memaksa kantor-kantor tutup kalau tempat-tempat itu memang akan tutup
terus" Bagaimana menutup jalan jika jalan-jalan itu
menghilang" Bahkan, jalan utama ke Kalimpong dari Pasar Teesta telah
tergelincir dari lerengnya dan terhambur berantakan pada ngarai di bawahnya.
* Di sela-sela badai, matahari seputih tempayak mun-cul dan segala sesuatu
mulai berfermentasi dan beruap karena orang-orang bergegas menuju pasar.
Namun, Gyan berjalan ke arah yang berlawanan menuju Cho Oyu.
Dia mengkhawatirkan soal les dan kemungkinan tidak dibayar, khawatir dia
dan Sai telah jauh tertinggal dari rencana pelajaran. Demikianlah yang dikatakan
Gyan kepada dirinya sendiri, saat tergelincir di sekitar lereng yang curam,
mencengkeram tetumbuhan. Akan tetapi, sebenarnya dia berjalan ke arah ini karena jeda hujan telah
memunculkan, sekali lagi, rasa penantian yang tak tertanggungkan itu, dan dalam
pengaruh perasaan itu, dia tak bisa duduk diam. Dia menemukan Sai berada di
antara koran-koran yang tiba dengan bus Siliguri, dua minggu edisi terikat jadi
satu. Setiap lembarnya telah disetrika hingga kering secara terpisah oleh si
juru masak. Beberapa spesies tanaman paku-pakuan tumbuh lebat di sekitar
beranda, pinggi-rannya dihiasi tetesan air; tanaman kuping gajah terus
menggenggam telur-telur hujan dengan gemetaran; dan seluruh ratusan jaring labalaba yang tak tampak di dalam semak sekitar rumah itu
telah menjadi terlihat, bergaris-garis keperakan, berkelindan dengan
lapisan-lapisan awan yang menggantung. Sai tengah mengenakan kimononya, hadiah
dari Paman Potty, yang menemukan kimono itu di dalam peti pakaian ibunya,
suvenir perjalanan sang ibu ke Jepang untuk melihat bunga ceri. Kimono itu
terbuat dari sutra merah tua, dilapisi gambar-gambar naga keemasan, dan
demikianlah Sai duduk, misterius dan dihiasi dengan warna emas, ratu sebuah
kerajaan hutan belantara, ber-sinar-sinar pada latar pemandangan yang rimbun.
* Sai memerhatikan bahwa tepian-tepian negara ini mulai terlepas: polisi
menemukan kaum militan di Assam, Nagaland, dan Mizoram; Punjab tengah bergejolak
gara-gara Indira Gandhi meninggal dunia Oktober tahun lalu; dan orang-orang Sikh
itu dengan Kanga mereka, Kacha, dan Iain-Iain masih ingin menambah keenam,


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Khalistan, negara mereka sendiri sebagai tempat mereka hidup dengan kelima K
yang lain. Di Delhi pemerintah mengungkapkan rencana finansialnya setelah begitu
sengit dirahasiakan dan diperdebatkan. Pemerintah merasa patut mengu-rangi pajak
pada susu kental manis serta pakaian dalam wanita, dan menaikkan pajak pada
gandum, beras, dan minyak tanah.
"Piu kami tercinta," sebuah obituari dalam bing-kai hitam menampilkan foto
seorang anak yang tengah tersenyum-"tujuh tahun telah berlalu se-menjak engkau pergi ke
kediamanmu di surga, dan rasa sakit itu belum juga hilang. Mengapa engkau
direnggut dengan begitu kejam sebelum waktumu" Mami terus menangis mengenang
senyummu yang manis. Kami tidak bisa memberi arti pada hidup kami. Dengan resah
menunggu reinkarnasimu."
* "Selamat sore," ucap Gyan.
Sai mendongak dan Gyan merasakan rasa pedih yang dalam.
Kembali di meja makan, buku-buku matematika di antara mereka, tersiksa
oleh grafik, oleh koma desimal pengukuran yang sempurna, Gyan sadar akan fakta
bahwa sesosok makhluk yang sebegitu sempurna tak seharusnya duduk di hadapan
buku teks kumal; dia salah telah memaksakan hai yang sedemikian biasa ini kepada
Sai pembagian dua dan pembagian dua ulang dari pembagian dua sebuah sudut. ?Kemudian, seakan-akan untuk mene-gaskan fakta bahwa dia seharusnya di rumah
saja, hujan mulai turun lagi dan Gyan terpaksa berteriak meningkahi suara hujan
di atas atap seng, yang memberikan efek dahsyat pada geometri yang jelas-jelas
menggelikan. Sejam kemudian, hujan masih memukul-mukul. "Sebaiknya aku pergi," kata
Gyan putus asa. "Jangan," Sai memekik kecil, "Anda bisa mati tersambar petir."
Hujan es mulai turun. "Aku benar-benar harus pergi," kata Gyan.
"Jangan," si juru masak memperingatkan, "di desaku seorang pria
menjulurkan kepala ke luar pintu saat badai es, sebuah goli besar menimpanya dan
dia mati seketika." Cengkeraman badai bertambah kuat, lalu me-lemah ketika malam tiba, tetapi
pada saat itu sudah terlalu malam bagi Gyan untuk mengenali jalan pulang melalui
segundukan telur es. * Sang hakim menatap dengan jengkel ke seberang potongan daging pada Gyan.
Kehadiran pemuda ini dirasakan sang hakim sebagai suatu kekurang-ajaran,
kelancangan yang disebabkan jika bukan oleh kesengajaan, sudah pasti oleh
ketololan. "Apa yang membuatmu keluar rumah dalam cuaca semacam ini, Charlie?"
tanyanya. "Kau mungkin saja pintar dalam matematika, tetapi tampaknya kau tak
punya pertimbangan yang baik."
Tak ada sahutan. Gyan tampaknya terjerat pikirannya sendiri.
Sang hakim menelitinya. Dia mendeteksi ketidakterbiasaan yang sangat jelas, keraguan menghadapi
peralatan makan dan makanannya, tetapi demikian sang hakim merasa, Gyan adalah
seseorang yang memiliki rencana. Pemuda ini, tak salah lagi, membawa aroma
perjalanan, ambisi dan sebuah emosi lama kembali me-?landa sang hakim, suatu pengenalan akan kele-mahan yang bukan sekadar
sebuah perasaan dalam hati, melainkan juga rasa dalam mulut, seperti demam. Dia
bisa memastikan bahwa Gyan belum pernah memakan hidangan semacam ini dengan cara
semacam ini. Kepahitan membanjiri mulut sang hakim.
"Jadi," kata sang hakim, mengiris daging hingga terlepas dari tulangnya
dengan terampil, "jadi, siapa penyair yang kau baca akhir-akhir ini, anak muda?"
Dia merasakan dorongan sinis untuk menangkap basah si pemuda.
"Dia mahasiswa sains," kata Sai.
"Lalu memangnya kenapa" Para ilmuwan alam tidak dilarang membaca puisi,
'kan?""Apa yang terjadi pada pendidikan yang utuh?" tanya sang hakim pada
kesunyian yang berlanjut.
Gyan berpikir keras. Dia tidak pernah membaca seorang penyair pun.
"Tagore?" kata Gyan ragu-ragu, merasa yakin bahwa itu adalah jawaban yang aman
dan terhormat. "Tagore!" Sang hakim menusuk sepotong daging dengan garpunya,
mencelupkannya ke dalam saus, menumpuk sepotong kentang dan menggen-cet beberapa
butir kacang polong, memasukkan semua itu ke dalam mulutnya dengan garpu yang
dipegang dengan tangan kiri.
"Dia dinilai terlalu tinggi," komentar sang hakim setelah mengunyah lembut
dan menelan, tetapi meskipun melecehkan, dia mengisyaratkan perintah dengan
pisaunya, "Bacakan sebagian karyanya untuk kami." "Di tempat kepala terangkat tinggi, di tempat pengetahuan bebas didapat,
di tempat dunia belum terpecah menjadi banyak bagian oleh tembok-tembok
kebangsaan yang sempit ... di dalam surga kemerdekaan itu, Ayah, biarkan aku dan
negaraku terjaga." Setiap anak sekolah di India tahu seti-daknya puisi ini.
Sang hakim mulai tertawa dengan cara yang mengerikan dan tanpa
kegembiraan. Betapa dia membenci musim yang muram ini. Musim ini membuatnya marah
karena alasan-alasan lain di luar ketidaknyamanan Mutt; musim ini meng-olokoloknya, mengolok-olok ideal-idealnya. Tatkala dia melihat sekeliling, dia tahu
dirinya tidak punya kuasa: jamur di sikat giginya, ular merayap tanpa takut
persis di atas teras, perabotan bertambah berat, dan Cho Oyu juga menyerap air,
menjadi hancur seperti bongkahan roti tepung. Pada setiap tamparan badai,
semakin sedikit bagian dari Cho Oyu yang bisa ditempati.
Sang hakim merasa tua, sangat tua, dan saat rumah itu runtuh di
sekitarnya, pikirannya juga seakan mulai roboh, pintu-pintu yang dia tutup
rapat-rapat di antara satu pikiran dan pikiran yang lain, mulai buyar. Saat ini
sudah empat puluh tahun berlalu sejak dia menjadi mahasiswa jurusan puisi.
* Perpustakaan tak pernah buka cukup lama
Dia datang saat perpustakaan buka, meninggalkan tempat itu saat tutup
karena perpustakaan adalah penyelamat para pelajar asing, memberikan privasi dan
ketiadaan para berandalan.
Dia membaca buku berjudul Expedition to Goozerat, Ekspedisi ke Gujarat,
"Pantai Malabar mengombak dalam bentuk gelombang menuju sisi barat India,
kemudian, dengan gerakan yang ang-gun, bergerak menuju Laut Arab. Inilah
Gujarat. Pada delta-delta sungai dan sepanjang pantai-pantai malaria
terhamparlah kota-kota yang diben-tuk untuk perdagangan
Apa gerangan semua ini" Tak ada kaitannya dengan yang dia ingat mengenai
kampung halaman-nya, mengenai keluarga Patel dan kehidupan mereka di kandang
Patel, tetapi, ketika dia membuka peta, dia menemukan Piphit. Di sanalah dia ?setitik bintik sekecil nyamuk di sisi sebuah sungai yang merajuk.
Dengan terheran-heran, dia terus membaca, mengenai tibanya para pelaut
yang sakit kudis, pelaut Inggris, Prancis, Belanda, dan Portugis. Dalam
pengawasan mereka, tomat sampai di India, juga kacang mete. Dia membaca bahwa
East India Company menyewa Bombay dengan harga sepuluh pound sterling per tahun
dari Charles II yang berhasil memperolehnya, sebagai bagian kecil dari kantung
mas kawinnya saat menikah dengan Catherine dari Braganza, dan pada pertengahan
abad ke-19, dia mengetahui bahwa sup kura-kura tiruan diangkut dalam kapal-kapal
melewati Terusan Suez untuk dihidangkan pada orang-orang yang mungkin sangat
menginginkannya di dalam negara nasi dan dai. Seorang Inggris bisa duduk dengan
latar belakang tropis, matahari kuning telur, cahayanya berputar di muka dan
telapak tangan, serta mengonsumsi ikan hering Yarmouth, tiram Breton. Semua ini
kabar baru baginya dan dia merasa haus akan sebuah negara yang sudah menjadi
miliknya. * Menjelang siang, dia bangkit dari buku-bukunya, pergi ke WC untuk uji
pencernaan rutin. Di sana dia duduk menegang di atas jamban dengan upaya yang
menyakitkan dan berkepanjangan. Saat mendengar ada orang-orang lain menggerakgerakkan kaki di luar, menunggu giliran, dia memasukkan satu jari ke dalam
duburnya dan menggali di dalam, menyebabkan segerombol buliran tahi kambing
bertonjolan yang mampat berjatuhan dengan nyaring. Apakah mereka dapat
mendengarnya dari luar" Dia mencoba menangkap fesesnya sebelum mencebur ke dalam
air. Jarinya keluar terbungkus feses serta darah, dan dia membasuh tangannya
berkali-kali, tetapi baunya tetap tinggal, mengi-kutinya secara samar sepanjang
saat belajarnya. Seiring berjalannya waktu, Jemubhai bekerja semakin keras. Dia
membuat kalender baca, men-daftar setiap buku, setiap bab, dalam grafik yang
rumit. Law of Property karya Topham, Aristoteles,
Indian Criminal Procedure, Penai Code, dan Evidence Act.
Dia belajar sampai larut malam di kamar kos-nya, masih dibuntuti oleh bau
tahi yang tak kunjung hilang, terjatuh dari kursinya langsung ke tempat tidur,
bangun ketakutan beberapa jam setelahnya, dan berguling menuju kursi lagi. Dia
belajar delapan belas jam per hah, lebih dari seratus jam per minggu, kadangkadang berhenti untuk memberi makan anjing si induk semang ketika hewan itu
memohon bagian dari makan malam yang berupa pai daging babi, meneteskan air liur
hingga membentuk bidang-bidang basah di pangkuan Jemu, mengga-rukkan kaki terusmenerus ke lutut Jemu dan mengacaukan lipitan celana korduroinya. Ini adalah
persahabatan pertamanya dengan binatang karena di Piphit pernyataan-pernyataan
yang melecehkan anjing tidak akan diusut, bahkan malah mungkin didukung. Tiga
malam sebelum Ujian Akhir, dia tidak tidur sama sekali, tetapi membaca sendiri
keras-keras, mengayunkan-ayunkan tubuh mengikuti irama, mengulangi pelajaran,
mengulangi pelajaran. Begitu sebuah perjalanan dimulai, tak akan ada akhirnya. Kenangan akan
perjalanannya di laut bersinar di sela-sela kata. Di bawah dan di atasnya,
monster-monster alam bawah sadarnya berkeliling mencari mangsa, menanti saat
ketika mereka akan bangkit serta terbukti nyata dan Jemubhai ber-tanya-tanya
apakah dia sudah pernah memimpikan kekuatan laut yang menenggelamkan sebelum dia
melihat laut untuk kali pertamanya.
Induk semangnya membawakan baki makan malam persis di depan pintunya.
Sebuah suguhan isti-mewa: empat buah sosis berminyak yang tampak lezat, penuh
percaya diri, berseri-seri, mendesiskan kehidupan. Telah siap untuk masa ketika
makanan bernyanyi di televisi guna mengiklankan diri.
"Jangan belajar terlalu keras."
"Orang harus melakukannya, Mrs. Rice."
Jemu telah belajar untuk berlindung dalam ben-tuk orang ketiga dan menjaga
jarak dengan semua orang, bahkan menjaga jarak dengan dirinya sendiri seperti
Sang Ratu. Ujian Kompetitif Terbuka, Juni 1942 Jemu duduk di hadapan dua belas
penguji dan pertanyaan pertama diajukan padanya oleh seorang dosen Universitas
London Bisakah dia menjelaskan bagaimana cara kerja kereta uap"?Otak Jemubhai tiba-tiba menjadi kosong.
"Tidak tertarik dengan kereta?" Si penguji tampak merasa dikecewakan
secara pribadi. "Bidang yang menarik, Pak, tetapi orang terlalu sibuk mempelajari mata
kuliah-mata kuliah yang dianjurkan."
"Sama sekali tidak punya gambaran mengenai cara kerja kereta?"
Jemu mengerahkan otaknya sebisa mungkin apa yang memberi daya pada apa"
? ?tetapi dia belum pernah melihat bagian dalam mesin kereta api.
"Tidak, Pak." Kalau begitu, bisakah dia menggambarkan adat
pemakaman orang Cina kuno"
Dia berasal dari wilayah negara yang sama dengan Gandhi. Bagaimana dengan
gerakan nonkooperasi" Apa pendapatnya mengenai Kongres"
Ruangan menjadi hening. PERCAYAI ORANG INGGRIS Jemubhai melihat poster-?poster tersebut pada hah kedatangannya di Inggris, dan saat itu terpikir olehnya
bahwa jika dia meneriakkan PERCAYAI ORANG INDIA di jalanan India, dia akan
dijebloskan ke penjara. Dan dulu pada 1930, ketika Jemubhai masih anak-anak,
Gandhi berdefile dari ashram Sabarmati ke Dandi lalu di sana, di mulut samudra,
Gandhi melakukan tindakan subversif memanen garam.
"-Apa gunanya tindakan itu baginya" Phtu! Ha tiny a mungkin masih berada
di tempatnya, tetapi otaknya teiah tergeiincir dari kepaianya" demikian ayah
?Jemu berkata meskipun penjara penuh dengan para pendukung Gandhi. Di atas SS
Strathnaver, percikan air laut melayang mengenai Jemubhai dan mengering dalam
bentuk titik-titik garam yang mengejek di wajah dan tangannya ... Memang terasa
konyol mengenakan pajak atas garam ...."Jika orang tidak setia pada pemerintahan
yang ada sekarang ini, Pak, tak mungkin muncul di sini hah ini."
Pertanyaan terakhir, siapa penulis favoritnya"
Dengan sedikit gugup karena tak punya penulis favorit, dia menjawab bahwa
orang menyukai Sir Walter Scott.
"Apa yang sudah Anda baca?"
"Semua karya yang telah dipublikasikan, Pak."
"Bisakah Anda membawakan salah satu puisi favorit Anda untuk kami?" tanya
seoran dosen antropologi sosial.
Ohl Young Lochinvar is come out of the west
Through all the wide Border his steed was the best
Oh! Lovinchar Muda datang dari barat, Melalui Perbatasan yang luas kuda
tunggangan-nya adalah yang terhebat.
Pada saat maju untuk ujian ICS, sebagian besar kandidat telah menyetrika
halus kemampuan lisan mereka, tetapi Jemubhai nyaris tak membuka mulut selama
bertahun-tahun dan bahasa Inggrisnya masih memiliki ritme dan bentuk bahasa
Gujarat. But ere he alighted at Netherby gate
The bride had consented, the gallant came
late: For a laggard in love and a dastard in war Was to wed the fair Ellen of
brave Lochinvar Akan tetapi, sebelum dia turun di gerbang Netherby
Sang mempelai wanita telah mengizinkan, sang kekasih datang terlambat:
Karena si tukang telat dalam cinta dan tokoh
menyebalkan dalam perang Akan menikahi Ellen yang cantik dari Lochinvar
yang gagah .... Ketika Jemubhai mendongak, dia melihat mereka semua terkekeh.
While her mother did fret, and her father did fume,
And the bridegroom stood dangling his bonnet and plume____
Sementara ibunya mengoceh, dan ayahnya menggerutu
Dan sang mempelai pria berdiri berjuntaian topi dan bulu ....
* Sang hakim menyadarkan dirinya sendiri. "Bodoh terkutuk," serunya kencang,
mendorong kursinya ke belakang, berdiri, meletakkan garpu dan sendoknya dalam
penghukuman diri yang sangat, lalu mening-galkan meja. Kekuatannya, baja mental
itu, tengah memudar. Ingatannya tampaknya terpicu oleh hai yang teramat
remeh kegelisahan Gyan, pembaca-an puisi yang menggelikan itu .... Tak lama ?segala yang susah payah dipisah-pisahkan oleh sang hakim akan melunak dan
menyelubunginya dalam mimpi buruk, dan pembatas antara kehidupan ini dan keabadian pada akhirnya, tak ragu lagi, hanya akan berupa suatu konsepsi
yang gagal seperti ini. Mutt mengikuti sang hakim memasuki kamarnya. Saat sang hakim duduk
merenung, Mutt bersandar kepadanya dengan kenyamanan yang dimiliki anak-anak
ketika bersandar pada orangtua mereka.
* "Maaf," kata Sai, yang memerah karena malu. "Ka-kekku memang tidak bisa
diramalkan tindak-tanduk-nya."
Gyan tidak tampak mendengar Sai.
"Maaf," kata Sai lagi, sangat malu, tetapi lagi lagi Gyan sepertinya
?tidak mendengar. Untuk kali pertamanya mata lelaki itu terpancang langsung ke
arah Sai seolah-olah dia tengah melahap Sai dalam pesta pora imajinasi aha!
?Akhirnya, ada juga bukti itu.
* Si juru masak membersihkan piring-piring kotor dan menyimpan mangkuk
seperempat kilo kacang polong sisa ke dalam lemari tertutup. Lemari itu terlihat
seperti kandang ayam, dengan jaring-jaring kawat di sekitar kerangka kayu serta
keempat kakinya berada dalam mangkuk air untuk mencegah semut dan hewan-hewan
kecil pengganggu lainnya. Si juru masak mengisikan air ke dalam mangkuk-mangkuk
ini dari salah satu ember yang diletakkan di bawah
titik-titik kebocoran, mengosongkan ember-ember lain ke luar jendela, dan
mengembalikan masing-masing ke tempat-tempat yang telah ditentukan.
Dia menyiapkan tempat tidur di kamar tamba-han, yang sebenarnya penuh
barang rongsokan tetapi memiliki sebuah tempat tidur yang diletakkan di bagian
tengah, dan dia memasang lilin-lilin perawan yang pucat di atas lepek untuk
dibawa Sai dan Gyan ke kamar mereka masing-masing. "Tempat tidur Anda sudah
siap, masterji," ujar si juru masak dan dia mencium sesuatu:
Apakah ada suasana aneh di ruangan ini"
Akan tetapi, Sai dan Gyan tampak tenggelam dalam surat kabar lagi, dan si
juru masak salah mengartikan rasa penantian mereka yang semakin masak dengan
rasa penantiannya sendiri, karena pagi itu, dua pucuk surat dari Biju telah tiba


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di kotak pos. Kedua surat tersebut tersimpan di bawah kaleng ikan tuna kosong di
samping tempat tidurnya, disimpan untuk penghujung hah, dan sesorean ini
dinikmatinya betul pikiran tentang kedua surat tersebut. Si juru masak
menggulung celananya dan pergi dengan sebuah payung karena hujan telah mulai
turun lagi. * Di ruang tamu, duduk dengan memegang surat kabar, Sai dan Gyan
ditinggalkan berdua, berdua saja, untuk kali pertamanya.
Kolom resep Kiki de Costa: Keajaiban dengan
Kentang. Hidangan Lezat dengan daging. Mi orak-arik dan orak-arik saus
serta sepasukan keju. Tips kecantikan Fleur Hussein. Kompetisi botak ganteng di Klub Calcutta
Gymkhana menganugerahkan juara pada Mr. Sunshine, Mr. Moonshine, dan Mr. Will
Shine. Mata mereka terus membaca dengan tekun, tetapi pikiran mereka tidak taat
pada disiplin semacam itu, dan akhirnya Gyan, tak mampu menahan hai ini lebih
lama, ketegangan liat di antara mereka ini, meletakkan korannya dengan suara
keras, berbalik mendadak ke arah Sai, dan berkata tanpa pikir panjang,"Kau
memakai minyak di rambutmu?"
"Tidak," jawab Sai, terkejut. "Tidak pernah".
Setelah hening sesaat, "Kenapa?" tanya Sai. Apa ada yang salah dengan
rambutnya" "Aku tidak bisa mendengarmu hujannya sangat deras," kata Gyan, bergerak ?mendekat. "Apa?"
"Kenapa?" "Rambutmu terlihat begitu berkilauan sehingga kupikir mungkin kau olesi
minyak." "Tidak."
"Rambutmu terlihat sangat lembut," Gyan me-ngamati. "Kau mencucinya dengan
shampo?""Ya." "Shampo apa?" "Sunsilk."
Oh, keintiman nama merek yang tak tertang-gungkan, kenekatan pertanyaan.
"Sabun apa?""Lux.?"Sabun kecantikan para bin-tang film?"
Namun, mereka terlalu takut untuk tertawa.
Hening lagi. "Kalau kau?""Apa pun yang ada di rumah. Tak masalah bagi lelaki."
Gyan tak mampu mengakui bahwa ibunya membeli sabun cokelat buatan tangan
yang dijual dalam bentuk bujur sangkar besar di pasar, kemudian diiris dalam
bentuk batangan dan dijual murah.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan menjadi semakin buruk, "Biar kulihat
tanganmu. Tanganmu kecil sekali."
"Benarkah?" "Ya." Gyan mengulurkan tangannya sendiri di samping tangan
Sai. "Kaulihat?"
Jari-jari. Kuku. "Hrn. Jarinya begitu panjang. Kukunya kecil. Tetapi lihat, kau menggigiti
kukumu." Gyan menimbang-nimbang tangan Sai.
"Seiringan burung gereja. Tulang-tulangnya pastilah kopong."
Kata-kata yang ditujukan pada sesuatu yang tak jelas ini mengandung
kesengajaan proses pere-nungan sebelumnya, demikian Sai menyadari dengan debaran
bahagia. * Kumbang musim hujan beterbangan dalam beragam warna. Dari setiap lubang di
lantai muncul seekor tikus seolah-olah disesuaikan dengan ukuran, tikus kecil
dari lubang yang kecil, tikus besar dari lubang yang besar, dan rayap muncul
berduyun-duyun dari perabotan, jumlahnya begitu banyak sehingga jika dilihat, perabotan,
lantai, langit-langit, semuanya tampak bergoyang-goyang.
Namun, Gyan tampaknya tidak melihat hewan-hewan itu. Tatapannya sendiri
adalah seekor tikus; menghilang ke dalam lengan kimono Sai yang ber-gambar
tumbuhan merambat belladonna dan me-nangkap siku gadis itu.
"Ujung yang tajam," Gyan berkomentar. "Kau bisa melukai orang dengan
sikumu." Tangan pun mereka ukur, serta kaki. Saat menatap telapak kaki Sai?"Biar kulihat."
Gyan melepas sepatunya sendiri, kemudian kaus kaki usang yang tiba-tiba
membuatnya merasa malu dan dibundelnya ke dalam saku. Mereka me-ngamati
ketelanjangan akar-akar umbi mungil itu dengan berdampingan di dalam keremangan.
Gyan memerhatikan bahwa mata Sai luar biasa memesona: besar, basah, penuh
drama, menyerap semua cahaya di ruangan tersebut.
Namun, Gyan tak mampu menyinggung hai itu; lebih mudah untuk memusatkan
diri pada apa yang tak terlalu menggugahnya, pada pendekatan yang lebih ilmiah.
Dengan telapak tangannya, dia menangkup kepala Sai ...."Rata atau
melengkung?" Dengan sebuah jari yang bergetar, Gyan mulai menelusuri lekuk alis ....
Oh, dia tak bisa memercayai kenekatannya; kenekatan itu mendorongnya untuk
terus dan tak mau menghiraukan rasa takut yang memanggil-manggilnya; dia berani tanpa
berniat untuk berani. Jemarinya bergerak menuruni hidung Sai.
Suara air datang dari segala arah: terdengar gemuk di jendela, seperti
bunyi senapan mainan pada pisang dan atap seng, lebih ringan dan morat-marit di
bebatuan teras, deguk rendah di selokan yang mengelilingi rumah itu seperti
parit benteng. Ada suara jhora mengalir cepat dan air menengge-lamkan diri dalam
perairan ini, suara talang air mencurahkan isinya ke dalam tong penampung air
hujan, tong penampung air hujan meluap, suara sesapan kecil dari lumut.
Kemustahilan berkata-kata yang semakin meningkat membuat keintiman lain
menjadi lebih mudah. Saat jemari Gyan hendak melompat dari ujung hidung Sai ke bibir gadis itu
yang melekuk sempurna?Sai melompat.
"Uwwaaa," teriak Sai.
Gyan mengira itu gara-gara tikus.
Bukan. Sai terbiasa dengan tikus.
"Uuuuf ucap Sai. Dia tak mampu menahannya lebih lama lagi, perasaan panas
karena disusuri oleh jari orang lain dan segala kuncup asmara yang mulai mekar
itu. Setelah menyeka wajahnya terang-tera-ngan dengan tangan, Sai mengibasngibaskan kimo-nonya, seolah untuk membersihkan malam itu dari kegentingan yang
menggetarkan ini. "Yah, selamat malam," ucap Sai secara formal, membuat Gyan terkejut.
Dengan meletakkan satu kaki di depan kaki lainnya dengan kecermatan seorang pemabuk, Sai berjalan
menuju pintu, men-capai pintu berbentuk persegi panjang itu, dan mencebur ke
dalam kegelapan yang murah hati dengan mata Gyan yang kehilangan mengikutinya.
Sai tidak kembali lagi. Namun tikus kembali. Sungguh luar biasa bagaimana gigihnya mereka orang
?akan menyang-ka jantung mereka yang rapuh tentulah mudah hancur, tetapi sikap
takut-takut mereka menyesat-kan; rasa takut mereka tak memiliki ingatan.
* Di dalam tempat tidurnya yang menggantung seperti buaian pada per yang
rusak, dikelilingi bocor di mana-mana, sang hakim berbaring terimpit oleh
selimut-selimut beraroma lembap. Pakaian dalamnya dijemur di atas lampu dan jam
tangannya berada di bawah lampu agar kabut di bawah permukaan jam
terangkat keadaan yang menyedihkan untuk pria yang beradab seperti dia. Udara
?tertusuk-tusuk oleh ujung tajam udara lembap sehingga rasanya seakan-akan hujan
juga turun di dalam rumah, tetapi tidak menyegarkan. Bau campuran antara spora
dan jamur yang seperti ragi, asap kayu dan kotoran tikus, minyak tanah dan
dingin, yang cukup tebal sehingga terasa mencekik. Dia bangkit dari tempat tidur
untuk mencari sepasang kaus kaki dan sebuah tutup kepala dari wol. Saat tengah
mema-sang kaus kaki dan tutup kepala, dia melihat siluet
yang tak salah lagi adalah seekor kalajengking, jelas terlihat pada tembok
yang suram, dan dia bergerak terhuyung-huyung mendekati hewan itu dengan pemukul
lalat, tetapi kalajengking itu merasakan kehadirannya, siaga, ekor menegak,
lantas melari-kan diri. Kalajengking itu menghilang ke dalam celah di antara
dasar dinding dan papan lantai. "Sialan!" ujar sang hakim. Gigi palsunya
mengerling padanya dengan seringaian kerangka dari segelas air. Dia menggeledah
mencari Calmpose dan menelannya dengan seteguk air dari bagian atas botol,
begitu dingin, selalu dingin air di Kalimpong berasal lang-sung dari salju ?Himalaya dan mengubah gusinya menjadi rasa sakit murni. "Selamat malam,
?sayangku mutton chop," katanya kepada Mutt ketika dia sudah bisa menggerakkan
lidahnya lagi. Anjing itu sudah bermimpi, tetapi oh, kelemahan seorang pria tua,
bahkan pil tak bisa menggiring kenangan-kenangan tak menyenangkan yang terlepas
saat makan malam tadi kembali ke lubang mereka.
* Ketika hasil ujian lisan telah dikirim, Jemubhai mendapati bahwa
penampilannya memberinya nilai seratus dari tiga ratus, nilai lulus terendah.
Porsi tertulis dari tes tersebut mengangkat nilainya dan dia berada di urutan
empat puluh delapan, tetapi hanya empat puluh dua peringkat teratas yang
diterima di ICS. Gemetaran, nyaris pingsan, Jemubhai sudah hendak jatuh ketika
seorang pria keluar dengan membawa pengumuman tambahan: sebuah daftar baru telah disusun
sesuai dengan upaya mengindianisasi jawatan tersebut. Kerumunan pe-lajar
bergegas maju, dan di sela-sela gerakan maju itu, dia melihat namanya, Jemubhai
Popatlal Patel, di bagian paling bawah halaman tersebut.
Tanpa melihat kanan-kiri, sang anggota terba-ru, yang nyaris tak
dikehendaki, dalam kelompok orang yang beruntung sedari lahir, lari pulang
dengan lengan terlipat dan langsung terjun ke tempat tidur, masih mengenakan
pakaian lengkap, bahkan termasuk sepatunya, serta membasahi bantal dengan
tangisannya. Air mata melapisi kedua pipinya, berputar di sekitar hidungnya,
mengalir menuju le-hernya, dan dia mendapati diri tak mampu mengen-dalikan
sarafnya yang compang-camping dan tersiksa. Dia berbaring di sana sambil
menangis selama tiga hah tiga malam.
"James," sang induk semang mengetuk-ngetuk.
"Apakah kau baik-baik saja?"
"Cuma lelah. Tak perlu khawatir."
"James?" "Mrs. Rice," ujarnya. "Sudah lulus. Akhirnya, selesai sudah.?"Baguslah,
James," kata perempuan itu dengan ramah, dan membatin bahwa dirinya se-nang.
Betapa progresifnya, betapa nekat dan bera-ninya dunia ini. Dunia akan selalu
mengejutkan Mrs. Rice. Bukan peringkat pertama, ataupun peringkat kedua. Tetapi dia diterima. Dia
mengirimkan sebuah telegram ke rumah.
"Results unequivocal Hasil sudah jelas.?"Apa," tanya semua orang,
?"artinya itu?" Kata-kata tersebut mengesankan seolah-olah ada masalah, karena
"un" adalah kata negatif, semua orang yang secara mendasar menguasai bahasa
Inggris menye-tujui hai ini. Namun kemudian, ayah Jemubhai me-nanyakan pada
asisten hakim dan kegembiraan mereka pun meledak, ayahnya berubah menjadi raja
yang menyelenggarakan pertemuan, karena para tetangga, kenalan, bahkan orang tak
dikenal mengalir masuk untuk menikmati manisan yang direndam sirup dan
menyampaikan selamat dengan suara yang terendam rasa iri.
* Tak lama setelah hasil diumumkan, Jemubhai dengan kopernya yang
bertuliskan "Mr. J.P. Patel, SS Strathnaver," berkendara dalam taksi sewaan
meninggalkan rumah di Thornton Road dan memba-likkan badan untuk melambai demi
anjing dengan pai daging babi di matanya. Anjing itu memerhatikannya dari sebuah
jendela dan dia merasakan gaung kesedihan lama saat dulu dia meninggalkan
Piphit. Jemubhai, yang selama ini hidup dengan sepuluh pounds per bulan, sekarang
bisa berharap digaji tiga ratus pounds per tahun oleh sekretaris negara untuk
India selama dua tahun masa percobaan. Dia telah mendapatkan pondokan yang lebih
mahal yang sekarang mampu dia bayar, lebih dekat dengan universitas.
Rumah pondokan yang baru tersebut membang-gakan diri memiliki beberapa
kamar untuk disewa-kan, dan di sini, di antara para penghuni pondokan lain, dia
bertemu dengan satu-satunya kawannya di Inggris: Bose.
Mereka sama-sama memiliki pakaian yang tak memadai, kamar mereka sama-sama
kosong secara menyedihkan, sama-sama memiliki koper pribumi yang miskin. Raut
pengenalan telah melintas di antara mereka pada pandangan pertama, tetapi juga
kepastian bahwa mereka tak akan mengung-kapkan rahasia satu sama lain, bahkan
tidak kepada satu sama lain.
Walaupun demikian, Bose berbeda dari sang hakim dalam satu aspek penting.
Dia adalah orang yang optimistis. Hanya ada satu jalan yang tersedia sekarang,
yaitu bergerak maju. Bose sudah me-langkah jauh dalam proses tersebut, "Cheerio, right-o, tickety boo, simply smashing, chin-chin, no siree, how's that,
bottom's up, I say! Dia senang menggunakan istilah-istilah semacam itu. Bersamasama, mereka dengan kikuk mengarungi sungai es ke Grantchester dengan perahu
galah dan minum teh di antara tawon-tawon mabuk selai sebagaima-na seharusnya,
bersenang-senang (tetapi tidak benar-benar senang) ketika tawon-tawon yang berat
itu jatuh ke pangkuan mereka saat sedang terbang dengan dengungan ala baterai
hampir habis. Mereka lebih beruntung di London. Di sana mereka menyaksikan pergantian
penjaga di Istana Buckingham, menghindari para mahasiswa India lain di Veeraswamy's,
menyantap shepherd's pie sebagai gantinya, dan sepakat di atas kereta dalam
perjalanan pulang bahwa Trafalgar Square tidak memenuhi standar kebersihan
Inggris dengan semua burung dara yang membuang kotoran di situ, salah satunya ?menjatuhkan kotoran amburadul berwarna masaia pada Bose. Boselah yang menunjukkan pada Jemubhai piringan hitam apa yang harus dibeli untuk gramofon
barunya: Caruso dan Gigli. Bose juga membetulkan pelafalan Jemubhai: Jiili,
bukan Giggli. Yorksyer. Eddmburrah. Jane Aae, satu kata lepas dan lenyap seperti
angin pada padang Bronte, tak akan pernah ditemukan dan berakhir; bukan Jane
Aiyer seperti pelafalan orang India Selatan. Bersama-sama mereka membaca A Brief
History of Western Art, A Brief History of Philosophy, A Brief History of
France, dan seterus-nya, seluruh seri. Sebuah esai tentang bagaimana soneta
dibuat, pelbagai variasi bentuknya. Buku tentang porselen dan gelas: Waterford,
Salviati, Spode, Meissen, dan Limoges. Kue crumpet mereka selidiki, serta scone,
selai, dan manisan. Maka demikianlah sang hakim pada akhirnya membalas dendam atas kebingungan
awalnya, rasa malunya dibungkus dalam sesuatu yang disebut "menjaga standar",
aksennya disembunyikan di balik topeng sikap pendiam. Dia mendapati dirinya
mulai disalahmengerti sebagai sesuatu yang bukan dirinya seorang pria ?bermartabat. Elegansi baru yang tak disengaja ini menjadi lebih penting
ketimbang segala hai lain. Dia merasa iri terhadap orang Inggris. Dia membenci orang India.
Dia berusaha menjadi orang Inggris dengan nafsu kebencian dan demi apa yang
kemudian adalah dirinya nanti, dia akan dibenci oleh semua orang, Inggris dan
India, keduanya. Pada akhir masa percobaan mereka, sang hakim dan Bose menandatangani akad
dinas, berikrar mematuhi Sri Baginda dan Gubernur Jenderalnya, mengumpulkan
pamflet-pamflet yang memberi informasi terkini mengenai gigitan ular serta
tenda, dan menerima daftar perbekalan yang harus mereka beli: gagang senapan,
bot berkuda, raket tenis, senjata kaliber dua belas. Daftar itu membuat mereka
merasa hendak melakukan ekspedisi Pramuka mahabesar.
Di atas kapal Strathnaver pada perjalanan pulang, sang hakim menyesap beef
tea, minuman yang terbuat dari ekstrak sapi, dan membaca How to Speak
Hindustani, karena dia ditempatkan di bagian India yang bahasanya tidak dia
kuasai. Dia duduk sendirian karena masih merasa tidak nyaman berada bersama
dengan orang Inggris. * Sang cucu berjalan melewati pintu kamar sang hakim, masuk ke dalam kamar
mandinya, dan sang hakim mendengar suara mengerikan siulan separuh air separuh
udara di keran. Sai membasuh kakinya dengan apa pun yang mengucur ke dalam ember, tetapi
dia melupakan wajahnya, mengeluyur keluar, mengingat wajahnya, kembali masuk, dan
bertanya-tanya kenapa, mengingat giginya, menaruh sikat gigi ke dalam sakunya,
keluar lagi, mengingat wajah dan giginya, masuk kembali, membasuh ulang kakinya,
keluar lagi ?Melangkah naik-turun, menggigit kuku jarinya
?Dia membanggakan diri mampu menghadapi segala hai
?Segala hai selain kelembutan.
Sudahkah dia membasuh wajahnya" Sai masuk lagi ke dalam kamar mandi dan
kembali membasuh kakinya.
* Si juru masak duduk dengan selembar surat di hadapannya, gelombang tinta
biru menyelubungi kertas itu dan seluruh kata telah lenyap, sebagai-mana yang
sangat sering terjadi pada musim hujan.
Dia membuka surat kedua untuk menemukan fakta dasar yang sama terulang
kembali: dia dan anak lelakinya benar-benar terpisahkan oleh lautan secara
harfiah. Lalu, sekali lagi, dia memindahkan beban harapan dari hah ini ke hah


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berikutnya dan berbaring ke atas tempat tidurnya, menempel pada bantalnya dia
? baru saja mengganti kapuknya dan dia menyalahartikan kelembutan bantal dengan ?kedamaian.
Di kamar cadangan, Gyan tengah bertanya-tanya apa yang telah dia
lakukan apakah dia melakukan hai yang benar atau salah, keberanian apa
?yang telah memasuki hatinya yang bodoh dan membujuknya melampui batasbatas kepantasan" Ini gara-gara sedikit rum yang telah dia minum, gara-gara
makanan aneh itu. Ini tak mungkin nyata, tetapi luar biasanya, ini memang nyata.
Dia merasa ketakutan tetapi sekaligus agak bangga. "Ai yai yai Ai yai yai,"
ucapnya kepada diri sendiri.
Keempat penghuni rumah itu berbaring terjaga sementara di luar hujan dan
angin menderu dan memukul, pepohonan berputar serta menghela napas, dan petir
tanpa malu merobek selubung langit di atas Cho Oyu.[]
SEMBILAN BELAS "Biju! Hei, Bung." Itu adalah Saeed Saeed yang dengan janggal mengenakan
piyama kurta putih dengan kacamata hitam, kalung emas, dan sepatu bersol tebal,
rambut rastanya dikucir. Dia telah meninggalkan Banana Republic. "Bosku, sumpah,
dia terus memegangi pantatku. Omong-omong," lanjut-nya, "aku sudah menikah."
"Kau sudah menikah?"
"Benar, Bung." "Siapa yang kaunikahi?"
"Mainan." "Mainanl" "Mainan."
"Tiba-tiba saja mereka menanyakan surat izin tinggalku, mengatakan bahwa
mereka lupa meme-riksa ketika aku melamar kerja, jadi aku meminta dia, "Maukah
kau menikahiku demi surat izin?"
"Sinting," kata mereka, di restoran tempat mereka bekerja, Saeed di dapur,
gadis itu sebagai pramusaji. "Dia itu sinting."
Si sinting yang manis. Hati selembut kue. Dia pergi ke balai kota dengan
Saeed menyewa tuksedo, gaun berbunga-bunga mengatakan "saya bersedia," di
? ?bawah bendera merah putih dan biru.
Sekarang mereka sedang berlatih untuk wawancara INS: "Pakaian dalam macam apa yang dikenakan sua-mi Anda, pasta gigi apa yang disukai istri
Anda?" Jika mereka curiga, mereka akan memisahkan kalian, suami di satu ruang,
istri di ruang yang lain, menanyakan pertanyaan yang sama, mencoba memergoki
kalian melakukan kekeliruan. Sebagian orang bilang bahwa mereka mengirim matamata untuk melakukan pengecekan ganda; yang lain bilang tidak INS tidak punya ?waktu untuk itu atau dana.
"Siapa yang membeli kertas toilet?"
"Aku, Bung, aku. Softy, dan kau harus lihat betapa banyak dia
menggunakannya. Setiap dua hah aku belanja ke Rite Aid."
* "Tetapi orangtuanya mengizinkan dia melakukan itu?" tanya Biju, tak mau
percaya. "Lho, mereka CINTA padaku! Ibunya, dia CINTA aku, dia CINTA aku."
Saeed sudah pernah mengunjungi mereka dan mendapati satu keluarga hippie
yang biasa makan roti pita dioles bawang dan baba ghanoush. Mereka mengasihani
semua orang yang tidak menyantap makanannya dalam keadaan masih berwarna cokelat, langsung dari pertanian organik, kasar, dan tidak diproses. Saeed, yang
menyukai makanan da-sarnya berwarna putih nasi putih, roti putih, gula
?putih harus makan bersama anjingnya, yang sama?sama membenci burger vegetarian, sup jelatang, susu kedelai, dan
Tofutti Dia itu pencinta makanan siap saji!" di jok belakang mobil Nenek yang
? ?dicat warna-warni perlahan-lahan mengarah dengan pasti ke Burger'n Bun. Dan di
sanalah mereka, Saeed dan Buckeroo Bonzai, dua BigBoyBurger menyembul dari dua
cengiran lebar, dalam foto yang diambil untuk album foto INS. Saeed menunjukkan
foto itu kepada Biju, mengambilnya dari koper barunya yang dibawa khusus untuk
memuat dokumen-dokumen penting ini.
"Aku sangat menyukai foto ini," Biju meyakinkan Saeed.
Juga ada foto Saeed bersama keluarga itu di festival teater Bread & Puppet
berpose dengan bo-neka tokoh penjual asuransi yang jahat; Saeed bertamasya
mengelilingi pabrik keju Grafton; Saeed di samping gundukan kompos dengan tangan
meme-luk Nenek, yang tak memakai bra di balik daster cerah musim panasnya, bulu
ketiak berbercak gelap dan terang mencuat ke berbagai arah.
Oh, Amerika Serikat, negeri yang indah. Negeri yang indah. Dan penduduknya
adalah orang-orang paling menyenangkan di dunia. Semakin banyak Saeed
menceritakan kepada mereka tentang ke-luarganya di Zanzibar, surat-surat
palsunya, tentang bagaimana dia memiliki satu paspor dengan nama Saeed Saeed dan
satu lagi Zulfikar semakin senang mereka. Begadang sampai larut dalam malam
?Vermont yang jenaka, bintang-bintang muncul dan muncul lagi, menggembirakan hati
Saeed. Subversi apa pun terhadap pemerinta AS mereka
?dengan senang hati akan membantu.
Nenek menulis sepucuk surat kepada INS untuk meyakinkan mereka bahwa
Zulfikar dari Zanzibar adalah anggota yang disambut baik tidak, lebih dari
?itu dihargai dalam klan kuno Williams yang datang ke Amerika dengan kapal
?Mayflower. * Saeed menampar punggung Biju. "Sampai jumpa lagi," katanya dan dia pergi
guna berlatih berciuman untuk wawancara. "Harus terlihat benar atau mereka akan
curiga." Biju meneruskan perjalanannya, mencoba ter-senyum pada beberapa perempuan
Warga Negara Amerika, "Hai. Hai." Namun, mereka nyaris tak melihat padanya.
* Si juru masak pergi lagi ke kantor pos. "Kalian membuat surat-suratku
basah. Tidak berhati-hati."
"Babaji, lihat saja di luar bagaimana kami bisa menjaga agar surat-surat ?itu tetap kering" Secara manusiawi, itu mustahil, surat-surat tersebut menjadi
basah saat kami memindahkannya dari van ke kantor."
Hah berikutnya, "Ada surat datang?""Tidak, tidak, jalan ditutup. Tak ada
surat hah ini. Mungkin jalan akan dibuka sore ini. Datanglah lagi nanti."
Dengan histeris Lola mencoba menelepon dari
kotak telepon STD karena hah ini adalah hah ulang tahun Pixie, "Apa
maksudmu telepon tidak berfung-si, sudah seminggu ini telepon tidak berfungsi!"
"Sudah sebulan tidak berfungsi," seorang pemuda yang tadi juga mengantre
mengoreksi Lola, tetapi pemuda itu tampak puas. "Gelombang mikronya tengah
bermasalah," jelas si pemuda.
"Apa?""Gelombang mikro." Dia menoleh mencari penguatan dari orang-orang
lain di kantor itu. "Ya," kata mereka, mengangguk; mereka semua pria dan wanita
masa depan. Si pemuda berpaling ke arah Lola lagi, "Ya, satelit di angkasa,"
katanya, menun-juk ke atas, "sedang rusak." Dan dia menunjuk pada lantai
kampungan, beton abu-abu yang diratakan dengan lumpur lokal.
Tak bisa menelepon, surat tak bisa masuk. Lola dan si juru masak, yang
berpapasan, saling meng-ungkapkan rasa simpati sejenak, kemudian si juru masak
meneruskan langkah dengan sedih menuju tukang daging sementara Lola pergi
membeli sem-protan Baygon dan pemukul, untuk membasmi serangga. Setiap hah pada
musim produktif ini kodian jiwa mungil kehilangan kehidupan mereka yang singkat
karena racun-racun Lola. Nyamuk, semut, rayap, lipan, kelabang, laba-laba, ulat
kayu, kumbang. Namun, apa ada bedanya" Setiap hah ribuan makhluk baru terlahir ...
serumpun bangsa muncul dengan gagah berani dalam waktu sema-lam.[]
DUA PULUH Gyan dan Sai. Pada jeda-jeda hujan berikutnya mereka mengukur telinga,
bahu, dan rentang rangka tulang iga mereka.
Tulang leher, bulu mata, dan dagu.
Lutut, tumit, lekuk tapak kaki.
Kelenturan jari tangan dan kaki.
Tulang pipi, leher, otot lengan atas, komplek-sitas mungil tulang sendi.
Warna hijau dan ungu urat nadi mereka.
Pertunjukan lidah paling menakjubkan sedunia: Sai, yang diajari oleh
temannya Arlene di biara, bisa menyentuh hidungnya dengan lidahnya sendiri dan
memperlihatkan itu kepada Gyan.
Gyan bisa menggeliat-geliutkan alisnya, me-nyorongkan kepala menjauh dari
leher ke kanan dan ke kiri seperti seorang penari Bharat Natyam, dan dia juga
bisa berdiri dengan bertopang pada ke-palanya.
Sekali waktu, Sai mengingat pengamatan-pengamatan kecil tertentu yang dia
lakukan ketika mengeksplorasi diri sendiri di depan cermin, hal-hal yang telah
dilewatkan oleh Gyan, karena kebaruan lanskap di antara mereka. Sai sendiri tahu
bahwa perlu pendidikan untuk mempelajari bagaimana me-mandang pada seorang
perempuan, dan khawatir Gyan tidak sepenuhnya sadar betapa beruntung dirinya.
Daun telinga selembut daun tembakau, bahan rambut Sai yang halus, kulit
pergelangan tangan bagian dalam yang transparan ....
Sai mengutarakan hal-hal yang terlewat itu pada kunjungan berikutnya,
mengajukan rambutnya dengan semangat seorang pedagang selendang,
"Lihat rasakan. Sehalus sutra?"?"Sehalus sutra," Gyan membenarkan. Kedua telinganya dipertunjukkan Sai
seperti benda yang diambil dari bawah meja pajang dan diletakkan di hadapan
seorang pelanggan yang pilih-pilih di salah satu toko suvenir di kota, tetapi
ketika Gyan mencoba menguji kedalaman mata Sai dengan ma-tanya, tatapan mata Sai
ternyata terlalu licin untuk ditahan; Gyan mengambil dan menjatuhkannya,
memungutnya lagi, menjatuhkannya lagi sampai tatapan itu bergeser pergi dan
bersembunyi. Demikianlah mereka melangsungkan permainan cumbu rayu, meraih,
mengundurkan diri, menggo-da, melarikan diri betapa nikmatnya berpura-pura
?melakukan penelitian objektif, sungguh ajaib betapa cepat hai itu bisa
menghabiskan waktu. Akan tetapi, seiring mereka menyelesaikan bagian-bagian yang
bisa diperlihatkan dengan mudah dan menghabiskan bagian-bagian yang sopan, porsi
anatomi mereka yang belum diperiksa mendesakkan potensi yang lebih murni, dan
sekali lagi situasi terdorong ke bubungan yang menyiksa seperti pada hari-hari
ketika mereka duduk memaksakan pelajaran geometri.
Menyusuri tulang punggung. Perut dan pusar
? * "Cium aku!" Gyan memohon. "Tidak," jawab Sai, merasa senang sekaligus
takut. Sai akan menyandera dirinya sendiri. Oh, tetapi dia tak pernah mampu
menghadapi ketegangan. Gerimis halus menerakan titik-titik di atas atap
Waktu berjalan dengan saksama, dan akhirnya Sai tak tahan lagi dia
?menutup matanya dan merasakan bibir Gyan mengukur bibirnya dengan takut-takut,
mencoba mengepaskan bentuk bibir satu sama lain.
* Hanya dalam waktu seminggu atau dua minggu kemudian, mereka sudah tak tahu
malu seperti penge-mis, memohon ciuman lagi dan lagi.
"Hidung?" Gyan menciumnya.
"Mata?" Mata. "Telinga?" Telinga.
"Pipi?" Pipi. "Jari." Satu, dua, tiga, empat, lima "Tangan yang satunya, tolong."
Sepuluh ciuman. "Jari kaki?"
Mereka menautkan kata, benda, dan rasa sa-yang dalam suatu pemunculan
kembali masa kanak-kanak, penegasan keutuhan, seperti pada permu-laan?Lengan kaki hati
?Seluruh bagian diri mereka, demikian mereka meyakinkan satu sama lain,
adalah tempat mereka seharusnya berada.
* Gyan dua puluh tahun sementara Sai enam belas tahun, dan pada awalnya
mereka tak terlalu me-merhatikan pelbagai kejadian di lereng gunung, posterposter baru di pasar mengenai ketidak-puasan lama, slogan-slogan digoreskan dan
dicat pada bagian samping kantor pemerintah dan toko-toko. "Kami tak punya
negara," demikian tertulis di sana. "Lebih baik mati daripada hidup sebagai
budak," "Kami tersiksa secara konstitusional. Kem-balikan tanah kami dari
Bengali." Di sepanjang jalan yang lain, slogan-slogan itu juga ada dan bertambah banyak di sekujur penguatan tanah longsor, berdesak-desakan di antara
slogan-slogan "Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali", "Jika sudah
menikah jangan coba-coba mengebut", "Minum wiski itu berisiko", yang terlihat
berkilasan saat kita berkendara menuju Teesta.
Seruan itu diulang sepanjang jalan menuju wilayah kamp militer; mulai
tampak di sana sini pada tempat-tempat yang lebih tidak jelas; batu-batu
besar di sepanjang jalan setapak kecil yang me-ngular menghiasi
pegunungan, batang-batang pohon di tengah gubuk-gubuk terbuat dari bambu dan
tanah, batang jagung yang dijemur dalam tumpukan di bawah atap beranda, panjipanji doa yang berkibaran di atas, babi-babi yang mendengus dalam kandang di
belakang. Menjulang tegak lurus ke angkasa, tiba dengan terengah-engah di puncak
bukit Ringkingpong, orang bisa melihat "MERDEKA!" tergores pada menara air.
Namun, selama beberapa saat tak ada yang tahu ke mana semua itu akan mengarah,
dan dianggap tak lebih serius ketimbang sekelompok pelajar dan penghasut biasa.
Akan tetapi. pada suatu hah lima puluh orang pemuda, anggota sayap muda GNLF,
berkumpul guna mengi-krarkan sumpah di Mahakaldara untuk berjuang sampai mati
demi terbentuknya suatu tanah tumpah darah, Gorkhaland. Kemudian, mereka
berdefile di sepanjang jalanan Darjeeling, mengitari pasar dan mal. "Gorkhaland
untuk orang Gorkha. Kami adalah pasukan pembebasan." Mereka diamati oleh orangorang berkuda poni serta kuda poni mereka, oleh para pemilik toko suvenir, oleh
para pramusaji di Glenary's, Planter's Club, Gymkhana, dan Windame-re saat
mereka melambaikan kukri-nya yang terhunus, mengiriskan mata pisau yang tajam
itu membelah kabut di bawah matahari yang berair. Tiba-tiba saja, semua orang
menggunakan kata pemberontakan. []
DUA PULUH SATU "Mereka ada benarnya juga," kata Noni, "mungkin tidak benar secara
keseluruhan, tetapi menurutku, bisa dibilang tiga perempat benar.?"Omong
kosong." Lola mengenyahkan pendapat saudaranya. "Orang-orang Nepal itu
bagaimanapun akan menjadi orang luar sekarang, tetapi terutama kita orang Bong.
Mereka sudah sejak lama merencanakan ini. Mimpi menjadi kenyataan. Segala jenis
kekejian akan terjadi kemudian mereka dengan sukaria bisa melompat ke ?perbatasan dan bersembunyi di Nepal. Enak sekali."
Dalam benaknya, Lola membayangkan penjaga malam mereka, Budhoo, dengan
radio BBC dan pisau kue perak milik Lola, hidup bersenang-senang di Kathmandu
bersama beraneka ragam Kancha dan Kanchi lain dengan harta jarahan mereka
masing-masing. * Mereka duduk di ruang tamu Mon Ami sembari minum teh usai waktu les Sai.
Sebuah pemandangan buram di jendela terlihat mirip dengan suatu produk
seni rakyat: Gunung yang seluruhnya abu-abu dan angkasa, deretan
sapi Bapa Booty yang berwarna putih semua di puncak bukit, langit terlihat
di sela kaki sapi-sapi itu dalam bentuk bidang persegi. Di dalam rumah, lampu
menyala, dan sepiring kue tanduk krim ter-hidang dalam cahaya kuning kecokelatan
dan ada bunga-bunga tuberose di dalam vas. Mustafa memanjat ke pangkuan Sai dan
Sai berpikir bagaimana, setelah percintaannya dengan Gyan, dirinya memiliki
pemahaman baru mengenai kucing. Tak peduli pada persoalan di pasar, Mustafa
memencet-mencet mencari kenikmatan, menekan iga Sai mencari tulang untuk
mengusap-usapkan dagunya.
"Pendirian negara bagian ini," lanjut Lola, "ke-salahan terbesar yang
dibuat si bodoh Nehru itu. Di bawah pemerintahannya, setiap kelompok orang tolol
bisa menuntut sebuah negara bagian baru dan mendapatkannya pula. Berapa banyak
negara bagian baru terus bermunculan" Dari lima belas menjadi enam belas, enam
belas menjadi tujuh belas, tujuh belas menjadi dua puluh dua Lola membuat garis
dengan sebuah jari dari atas te-linganya dan menggambar mi-mi di udara untuk
mendemonstrasikan pendapatnya mengenai kegilaan itu.
"Dan di sini, jika kau meminta pendapatku," katanya, "segalanya berawal
dengan Sikkim. Orang Nepal memainkan muslihat kotor semacam itu dan mulai
mendapatkan gagasan-gagasan besar sekarang mereka mengira bisa melakukan hai
?yang sama di sini kautahu, Sai?"
?Tulang-tulang Mustafa seakan meleleh dalam
elusan Sai, dan hewan itu bergelung di atas lutut Sai dalam keadaan tak
sadarkan diri, mata terpejam, dengan suatu pengetahuan mistik bukan mengenai
suatu agama, ataupun suatu negara, hanya mengenai perasaan ini.
"Ya," sahut Sai dengan linglung, dia telah sangat sering mendengar cerita
ini sebelumnya: Indira Gandhi berhasil menyelenggarakan plebisit dan seluruh
orang Nepal yang membanjiri Sikkim memilih tidak berada di bawah kekuasaan sang
raja. India telah mencaplok kerajaan berwarna permata itu, yang bebukitan
birunya bisa mereka lihat dari kejauhan, tempat asal jeruk-jeruk yang lezat dan
rum Black Cat yang diselundupkan kepada mereka oleh Mayor Aloo. Tempat biarabiara berjuntaian seperti laba-laba di depan Kanchenjunga, begitu dekat sampaisampai orang mengira para biarawan itu tentulah bisa menjulurkan tangan dan
mencicipi salju. Negeri itu terkesan tidak nyata begitu penuh dengan kisah-?kisah dongeng, dengan para penge-lana yang mencari Shangri-la dan dengan


Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

?demikian, terbukti lebih mudah untuk dihancurkan.
"Tetapi kau harus memahaminya dari sudut pandang mereka," kata Noni.
"Pertama-tama orang-orang Nepal diusir keluar dari Assam, kemudian Meghalaya,
kemudian ada raja Bhutan yang marah-marah pada-"
"Imigrasi ilegal," potong Lola. Dia meraih sepotong kue tanduk krim. "Anak
nakat," katanya pada diri sendiri, suaranya penuh kerakusan.
"Sudah jelas orang-orang Nepal khawatir," kata
Noni. "Mereka sudah berada di sini, sebagian besar dari mereka, selama
beberapa generasi. Kenapa bahasa Nepal tidak diajarkan di sekolah-sekolah?"
"Karena atas dasar itu, mereka bisa mulai menuntut negara bagian. Gerakan
separatis di sini, gerakan separatis di sana, teroris, gerilyawan, pe-ngacau,
pemberontak, penghasut, dan mereka semua saling belajar dari satu sama lain,
tentu saja orang-orang Nepal didorong oleh orang-orang Sikh serta Khalistan
?mereka, oleh ULFA, NEFA, PLA; Jharkhand, Bodoland, Gorkhaland; Tripura, Mizoram,
Manipur, Kashmir, Punjab, Assam
Sai berpikir tentang bagaimana dia berubah menjadi air di tangan Gyan,
kulitnya merasakan per-gerakan jemari Gyan yang menyusurinya naik-turun, sampai
akhirnya Sai tak bisa membedakan antara kulitnya dan sentuhan Gyan.
Terdengar rengekan sengau pintu gerbang:
"Halo, halo," kata Mrs. Sen, memunculkan hi-dungnya yang bagai paruh itu
di tepian pintu yang terbuka. "Semoga aku tidak mengganggu sedang lewat,
?mendengar suara kalian oh, coba lihat, ada kue-kue-" Dalam kegembiraannya, dia
?mengeluarkan suara tikus dan burung kecil.
Lola: "Kalian lihat surat yang mereka kirim kepada Ratu Inggris" Gorbachev
dan Reagan" Apartheid, genosida, mengurusi Pakistan, melupakan kita, penaklukan
kolonial, Nepal yang terbelah-belah .... Sejak kapan Darjeeling dan Kaiimpong
menjadi bagian Nepal" Faktanya, Darjeeling dianeksasi dari Sikkim dan Kaiimpong
dari Bhutan." Noni: "Sangat tidak cakap membuat garis batas, orang-orang Inggris sialan
itu." Mrs. Sen, langung terjun ke dalam percakapan tersebut, "Tidak pernah
berlatih, ya, di sekeliling mereka air melulu, ha ha."
* Ketika mereka pada akhirnya berusaha bangkit dari sore-sore lembam yang
mereka habiskan bersama, Gyan dan Sai pasti akan meleleh ke dalam satu sama lain
seperti ulasan mentega betapa sulitnya mendinginkan dan menenangkan diri
?kembali ke kedirian mereka masing-masing.
"Pakistan! Di sanalah letak masalahnya," Mrs. Sen berkomentar, melompat ke
salah satu topik fa-voritnya, pikiran dan pendapatnya telah jadi, ter-poles
selama bertahun-tahun, dikeluarkan kapan pun pikiran dan pendapat itu entah
bagaimana bisa dijejalkan ke dalam sebuah percakapan. "Serangan jantung pertama
pada negara kita, tidak, luka itu tidak pernah sembuh-"
Lola: "Isu perbatasan yang keroposlah masalahnya. Orang tak bisa
membedakan yang satu dari yang lain, Nepal India dari Nepal Nepal. Dan selain
itu, baba, betapa cepatnya orang-orang Nepal itu berkembang biak."
Mrs. Sen: "Seperti orang-orang Muslim."
Lola: "Orang-orang Muslim di sini tidak begitu."
Mrs. Sen: "Tak punya kendali diri, orang-orang itu. Menjijikkan."
Noni: "Semua orang berkembang biak. Di mana-mana. Kita tak bisa
menyalahkan satu kelompok lebih dari kelompok yang lain."
Lola: "Orang-orang Lepcha tidak berkembang biak, mereka menghilang.
Faktanya, mereka yang paling berhak atas tanah ini, tetapi bahkan tak ada yang
menyebut-nyebut mereka." Kemudian, mempertimbangkan ulang dukungannya untuk
orang Lepcha, dia menambahkan, "Tentu saja, bukan berarti mereka itu sangat baik
juga. Lihat saja pinjaman yang diberikan pemerintah pada orang-orang Lepcha
untuk memulai peternakan babi-"Rencana Penghidupan Kembali Pekerjaan
Tradisional" dan tak satu peternakan babi pun terlihat, meskipun tentu saja, ?mereka semua menyerahkan surat permohonan yang disusun dengan baik, yang
menunjukkan perhitungan dan harga pakan babi serta antibiotika mereka tetap
?mendapatkan uangnya, cerdik dan sigap
Mrs. Sen: "Lebih banyak Muslim di India ketimbang di Pakistan. Mereka
memilih berkembang biak di sini. Kalian tahulah, si Jinnah itu, dia makan daging
babi dan telur untuk sarapan setiap pagi dan minum wiski setiap sore. Negara
Islam macam apa yang mereka miliki" Dan lima kali sehari pantat menghadap Tuhan.
Ingat itu," dia memasukkan jarinya yang lengket ke dalam mulut dan menariknya
keluar disertai bunyi plop. "Dengan Al-Quran itu, siapa yang kaget" Mereka tak
punya pilihan selain bermuka dua."
Penalaran tersebut, mereka semua tahu karena sudah pernah mendengar hai ini sebelumnya, menjadi pilar utama
kepercayaan Hindu dan isinya adalah seperti ini: begitu ketatnya Al-Quran
sehingga ajaran-ajarannya di luar kemampuan manusia. Oleh karena itu, orangorang Islam terpaksa ber-pura-pura satu hai, lalu melakukan hai yang lain;
mereka minum minuman keras, merokok, makan babi, mendatangi pelacur, kemudian
menyangkal semua itu. Tidak seperti orang Hindu, yang tak perlu menyangkal.
Lola merasa tidak nyaman dan meminum teh-nya dalam keadaan terlalu panas.
Keluhan tentang tingkat kelahiran Muslim ini vulgar dan tak patut di kalangan
kelas yang membaca Jane Austen, dan dia merasa bahwa omongan Mrs. Sen
mengungkapkan bahwa pendapat Mrs. Sen mengenai orang Nepal, yang tak bisa
distereotipekan dengan mudah, juga sama-sama penuh prasangka.
"Sangat berbeda persoalannya dengan orang Muslim," kata Lola dengan kaku.
"Mereka sudah ada di sini. Orang-orang Nepal datang serta mengambil alih dan itu
bukan masalah agama."
Mrs. Sen: "Sama saja halnya dengan isu buda-ya kaum Muslim ... Mereka juga
datang dari tempat lain, Babar dan semacamnya ... dan tinggal di sini untuk
beranak pinak. Bukan berarti ini salah kaum perempuannya makhluk-makhluk malang
?itu ini salah para prianya menikahi tiga, empat istri tidak tahu malu." Dia
? ? ?mulai terkikik. "Mereka tak punya kegiatan lain, kalian tahu. Tanpa TV dan
listrik, akan selalu ada masalah ini-11
Lola: "Oh, Mrs. Sen, lagi-lagi kau membelokkan percakapan. Kami tidak
sedang membicarakan hai itu."
Mrs. Sen: "Ah-hah-ha," dia berdendang gembira, menaruh sepotong lagi kue
tanduk krim di atas piringnya dengan gaya berlebih-lebihan.
Noni: "Bagaimana kabar Mun Mun?" Tetapi begitu mengucapkan ini, Noni
berharap dia tidak mengu-capkannya karena ini akan membuat gusar Lola dan Noni
harus menghabiskan sepanjang malam untuk berusaha menebus kesalahan.
Mrs. Sen: "Oh, mereka terus saja memohon dan memohon kepadanya agar mau
menerima green card. Dia bilang: 'Tidak, tidak.' Aku menasihatinya, 'Jangan
bodoh, terima saja, apa ruginya" Jika mereka menawarkan-nya, mendesakkan surat
izin itu kepadamu ....' Berapa banyak orang yang berse-dia membunuh untuk
mendapatkan green card ... Si bodoh yang tolol, bukan" Sungguh negeri yang
iiindaaah dan terorganisasi dengan sangat baik."
Kakak-beradik itu selalu meremehkan Mrs. Sen sebagai orang berkaliber
rendah. Inferioritas Mrs. Sen sangat jelas di mata mereka jauh sebelum anak
perempuannya tinggal di sebuah negara yang selainnya bertuliskan Smuckers alihalih "Dipilih oleh Sri Baginda Ratu," dan sebelum anak perempuan itu mendapatkan
pekerjaan di CNN yang menempat-kannya pada posisi berseberangan dengan Pixie di
BBC. Ini karena Mrs. Sen melafalkan potato "PUtatto," dan tomato "TUmatto," dan
karena ru- mor bahwa dia dulu pernah mencari nafkah dengan pergi dari rumah ke rumah
mengendarai skuter untuk berjualan barang-barang sitaan dari bea cukai di
Bandara Dum Dum, menjajakan barang-barang itu kepada ibu-ibu yang mengumpulkan
mas kawin berupa barang-barang pasar gelap, untuk semakin meningkatkan peluang
anak-anak perempuan mereka.
Lola: "Tetapi tidakkah menurutmu, mereka itu orang-orang yang sangat
biasa?" Mrs. Sen: "Tidak ada masalah emosional, ti-dak, sangat ramah."
"Tetapi keramahan yang palsu kudengar, hai-dadah dan tak bersungguhsungguh mengatakan-nya."
"Lebih baik daripada Inggris, ji, di negeri itu orang menertawakanmu di
belakang punggungmu."
Barangkali Inggris dan Amerika tidak tahu mereka sedang berada dalam
pertempuran sampai titik darah penghabisan, tetapi pertempuran tersebut,
bagaimanapun, dilangsungkan demi mereka oleh dua janda Kaiimpong yang penuh
semangat ini. "Mun Mun tak ada masalah di Amerika, tak ada yang peduli dari mana
seseorang berasal-?"Yah, jika memang ketidakpedulian kausebut sebagai kebebasan! Dan jangan katakan kepadaku bahwa tak ada yang peduli. Semua orang tahu,"
kata Lola dengan getir seolah-olah hai itu penting baginya, "bagaimana mereka
memperlakukan orang-orang Negro."
"Setidaknya mereka percaya orang bisa berbahagia, baba." "Dan jenis patriotisme yang mereka anut bisa mengubah monyet menjadi
keledai phata-phat cukup beri mereka sate hot dog, mereka akan melambaikannya ?pada bendera dan-"
"Memangnya kenapa, apa salahnya bersenang-senang-"
* "Ceritakan kabarmu pada kami, Sai," pinta Noni, yang sangat ingin mengubah
topik pembicaraan lagi. "Ayolah, hibur kami, paling tidak, seharusnya kalian
anak muda bisa melakukan itu."
"Tak ada kabar baru," Sai berdusta dan wajahnya memerah teringat dirinya
dan Gyan. Keintiman telah meningkatkan sensasi cair yang dirasakan Sai di depan
cermin, perubahan menjadi bentuk yang lunak itu, kemungkinan tanpa batas untuk
pene-muan kembali. Ketiga wanita itu melemparkan tatapan tajam kepada Sai. Gadis itu tampak
tidak fokus, mereka tak bisa membaca raut wajahnya dengan jelas, dan dia
bergerak-gerak gelisah di kursinya.
"Jadi," kata Lola, mengubah arah frustrasinya atas Mrs. Sen, "belum ada
pacar" Kenapa belum, kenapa belum" Kami sangat berjiwa petualang pada zaman
dulu. Selalu kabur dari ayah-ibu."
"Biarkan saja. Dia anak baik," ujar Noni.
"Lebih baik lakukan sekarang," timpal Mrs. Sen, menampilkan ekspresi
misterius. "Kalau menunggu
terlalu lama, kegairahannya akan hilang. Itulah yang kukatakan pada Mun
Mun.?"Barangkali kau caci-ngan," celetuk Lola.
Noni menggeledah sebuah mangkuk campur aduk dan mengeluarkan satu strip
obat. "Ini minumlah sebutir pil anticacing. Kami membeli beberapa untuk ?Mustafa. Kami memergokinya menggosok-gosokkan pantat di atas lantai. Pertanda
yang jelas." Mrs. Sen menatap bunga tuberose di atas meja. "Kalian tahu," katanya,
"beri beberapa tetes pewar-na makanan dan kalian bisa mewarnai bunga-bunga
kalian sesuka hati, merah, biru, oranye. Bertahun-tahun lalu kami biasa
bersenang-senang di pesta dengan cara seperti itu."
Sai berhenti mengelus Mustafa dan kucing jahat itu menggigitnya.
"Mustafa!" Lola memperingatkan, "jika kau tidak menjaga sikapmu, kami akan
mengubahmu jadi sate kucing!"[]
DUA PULUH DUA Brigitte's, di distrik finansiai New York, adalah sebuah restoran yang
semua dindingnya terdiri dari kaca cemin agar para pengunjung bisa melihat
betapa mereka menimbulkan rasa iri saat tengah makan. Restoran itu dinamai
seperti nama anjing si empunya, makhluk paling tinggi dan paling rata yang
pernah dilihat orang; seperti kertas, orang hanya bisa melihatnya dengan baik
dari samping. Pada pagi hah, sementara Biju dan seluruh staf lainnya mulai sibuk, kedua
pemilik restoran, Odessa dan Baz, minum teh darjeeling Tailors of Harrowgate di
sebuah meja sudut. India masa kolonial, India merdeka tehnya sama saja, tetapi
?pesonanya telah hilang, dan teh itu paling baik dijual dengan kata-kata masa
lalu. Mereka minum teh dan dengan tekun membaca New York Times bersama-sama,
termasuk berita internasional. Beritanya sangat melimpah.
Mantan budak dan penduduk asli. Orang-orang Eskimo dan Hiroshima, orangorang India Amazon dan India Chiapa dan India Cile dan India Amerika dan India
India. Orang-orang aborigin Australia, orang-orang Guatemala dan (Colombia dan
Brazil dan Argentina, orang-orang Nigeria, Myanmar, Angola, Peruvia, Ekuador,
Bolivia, Afghanistan, Kamboja,
Rwanda, Filipina, Indonesia, Liberia, Brunei, Papua Nugini, Afrika
Selatan, Irak, Iran, Turki, Armenia, Palestina, orang-orang Guyana Prancis,
Guyana Belanda, orang-orang Suriname, Sierra Leon, Malagasy, Senegal, Maladewa,
Sri Lanka, Malaysia, Kenya, Panama, Meksiko, Haiti, Dominika, Kostarika, Kongo,
Mauritania, Marshall Island, Tahiti, Gabon, Benin, Mali, Jamaika, Bostwana,
Burundi, Sudan, Eritrea, Uruguay, Nikaragua, Uganda, Pantai Gading, Zambia,
Guinea-Bissau, Kamerun, Laos, Zaire me-nyerbu sambil meneriakkan kolonialisme,
meneriak-kan perbudakan, meneriakkan perusahaan-perusa-haan pertambangan
meneriakkan perusahaan pisang perusahaan minyak meneriakkan mata-mata CIA di
antara misionaris meneriakkan Kissingerlah yang membunuh ayah mereka dan kenapa
kalian tidak menghapuskan utang dunia ketiga; Lumumba, pekik mereka, serta
Allende; di pihak lain, Pinochet, seru mereka, Mobutu; susu tercemar dari
Nestle, kata mereka; Agent Orange; transaksi curang oleh Xerox. Bank Dunia, PBB,
IMF, segala yang dija-lankan oleh orang kulit putih. Setiap hah di koran ada hai
baru! Nestle dan Xerox adalah perusahaan terkemuka yang baik, tulang punggung
perekonomian, dan se-tidaknya Kissinger adalah seorang patriot. Amerika Serikat
adalah negara muda yang dibangun atas prinsip-prinsip yang sangat baik, dan
bagaimana mungkin negara semuda itu memiliki utang demikian banyak"
Cukup sudah. Bisnis adalah bisnis. Rotimu lebih baik tidak diolesi mentega daripada
olesannya sangat tipis. Vang paling unggullah yang menang dan mendapatkan
seluruh mentega. * "Hukum alam," kata Odessa kepada Baz. "Bayang-kan jika kita duduk-duduk
dan mengatakan, 'Puluhan ribu tahun yang lalu, Neanderthal keluar dari hutan
belantara, menyerang keluargaku dengan sebatang tulang dinosaurus besar, dan
sekarang kau harus membayarnya.1 Dua dari belanga besi pertama, kawan, serta
seorang anak perempuan bergigi besar yang menawan dari masa-masa awal pertanian,
ketika manusia memiliki geraham yang lebih besar, dan empat sampel versi awal
kentang secara kebetulan diklaim baik oleh Cile maupun Peru.
Perempuan itu sangat pintar, Odessa. Baz sangat bangga akan gaya
kosmopolitan istrinya itu, sangat suka melihat Odessa mengenakan kacamata
berbingkai logamnya. Pernah sekali Baz terguncang mendengar seorang teman mereka
mengatakan bahwa Odessa berhati jahat, tetapi Baz telah menyingkirkan hai itu
dari benaknya. * "Orang-orang kulit putih ini!" kata Achootan, rekan sesama pencuci piring,
kepada Biju di dapur. "Bajingan! Tetapi setidaknya negeri ini lebih baik
daripada Inggris," katanya. "Setidaknya di sini mereka masih agak munafik.
Mereka yakin bahwa mereka orang baik dan kita bisa agak lega. Di Inggris sana
mereka meneriakimu terang-terangan di jalan, 'Kembalilah ke tempat asalmu.1"
Achootan pernah tinggal di Canterbury selama delapan tahun, dan dia menanggapi
dengan meneriakkan kata-kata yang akan sangat sering didengar Biju karena dia
meng-ulang-ulangnya beberapa kali dalam seminggu, "Ayahmu datang ke neqava-ku
dan mengambil roti-ku dan sekarang aku datang ke negara-mu untuk mengambil
kembali vot-ku." Achootan tidak menginginkan green card seba-gaimana Saeed menginginkannya.
Achootan menginginkan green card sebagai sebuah balas dendam.
"Kenapa kau menginginkannya jika kau tidak suka berada di sini?" Odessa
berkata dengan marah pada Achootan ketika dia meminta Odessa menjadi sponsor.
Yah, pokoknya dia menginginkannya. Semua orang menginginkannya, suka atau
tidak. Kadang-kadang semakin orang membencinya, semakin dia menginginkannya.
Ini tidak dapat dipahami oleh mereka.
* Restoran ini hanya menyajikan satu menu: steak, salad, kentang goreng.
Restoran ini membanggakan diri dalam hai kesederhanaan di kalangan kelas orang
kaya. Sapi yang suci. Sapi yang tidak suci. Biju tahu penalaran yang harus terus
dia pertahankan. Pada saat makan siang dan makan malam tempat itu penuh dengan
para pebisnis muda berusia dua puluhan dan tiga puluhan yang seragam.
"Anda ingin dagingnya dimasak seperti apa, Nyonya?"
"Setengah matang."
"Dan Anda, Tuan?"
"Mentah, masih melenguh."
Hanya orang bodoh yang mengatakan, "Matang, ya." Odessa nyaris tak bisa
menyembunyikan cemoohannya. "Anda yakin" Yah, baiklah, tetapi dagingnya akan
keras."

Senja Di Himalaya The Inheritance Of Lose Karya Kiran Desai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Odessa duduk di meja sudut tempat dia minum teh paginya dan membangkitkan
selera orang-orang dengan menyerbu steaknya.
"Kautahu, Biju," kata Odessa, sambil tertawa, "tidakkah ironis, tak ada
orang yang makan daging sapi di India tetapi lihat saja bentuk peta India ?seperti sepotong T-Bone besar."
Namun, di sini orang India makan daging sapi. Para bankir India. Nyam
nyam. Biju menatap mereka dengan pandangan tajam yang penuh arti saat dia
mengambil piring-piring kotor. Mereka melihatnya. Mereka tahu. Dia tahu. Mereka
tahu dia tahu. Mereka berpura-pura tidak tahu bahwa dia tahu. Mereka melengos.
Dia menampakkan raut mengejek. Namun, mereka mampu tak memerhatikannya.
"Saya minta steak," mereka berkata dengan sikap santai yang terlatih,
dengan sikap tenang seperti tanda tangan coretan asal-asalan yang kau tahu telah dilatih
halaman demi halaman. Sapi suci sapi tidak suci.
Bekerja tidak bekerja. Orang tidak boleh meninggalkan agamanya, prinsip- prinsip orangtuanya dan
nenek moyangnya. Tidak boleh, apa pun alasannya.
Kita harus hidup mengikuti sesuatu. Kita harus menemukan harga diri kita
sendiri. Daging terbakar di atas panggangan, darah membentuk titik-titik di atas
permukaannya, kemudian darah itu juga mulai menggelembung dan mendidih.
Mereka yang bisa memahami perbedaan antara sapi yang suci dan sapi yang
tidak suci pasti akan menang.
Mereka yang tak bisa memahaminya akan kalah.
* Maka Biju belajar membakar steak.
Darah, daging, garam, dan meriam diarahkan ke piring, "Anda ingin merica
yang baru ditumbuk untuk taburannya, Tuan?""Anda tahu kami mungkin miskin di
India, tetapi hanya anjing yang makan daging yang dimasak seperti ini," kata
Achootan. "Kita harus agresif mengenai Asia," para pebisnis berkata kepada satu sama
lain. "Asia tengah membuka diri, wilayah-wilayah baru, jutaan calon konsumen
potensial, daya beli yang besar di kalangan kelas menengah, Cina, India,
potensial untuk rokok, popok, ayam goreng Kentucky,
asuransi jiwa, pengelolaan air, telepon seluler orang-orang dengan ?keluarga besar, selalu mene-lepon, semua orang itu menelepon ibu mereka, semua
ibu itu menelepon semua anak-anak mereka yang banyak; negara ini sudah habis,
Eropa habis, Amerika Latin habis, Afrika tak ada gunanya kecuali untuk minyak;
Asia adalah wilayah baru. Apa di sana ada minyak" Tidak ada minyak di sana,
bukan" Mereka tentulah
Percakapan mereka mendasar saja. Jika ada yang berani menyebut mereka
Tohl\ Mereka tinggal menunjuk rekening bank mereka dan membiarkan angka-angka
yang tertera menyangkal tuduhan tersebut.
Biju teringat Saeed Saeed yang masih tidak mau makan babi, "babi itu
kotor, Bung, hewan-hewan itu jorok. Pertama-tama, aku adalah Muslim, kemudian
orang Zanzibar, setelah itu, baru aku akan MENJADI orang Amerika." Suatu kali
dia menunjukkan kepada Biju barang yang baru dibelinya berupa sebuah miniatur
masjid dengan jam quartz terpasang di bagian bawah yang telah terprogram, setiap
lima waktu yang ditetapkan, untuk mulai berbunyi nyaring, "Al/ahu Akbar, Lailaha
illallah, allahu akbar Di sela-sela dedasan kaset, dari puncak menara masjid terdengarlah katakata yang terkikis pasir itu, teriakan meyayat hati dari gurun yang memberi
bahan bakar untuk memunculkan kekuatan seseorang, memunculkan imannya dalam
suatu pagi dengan perut kosong dan sepanjang hah agar dia tidak jatuh gara-gara
perbedaan-perbedaan kotor
antarbangsa. Lampu menyala menyemangati, berpendar-pendar dalam masjid itu
dengan kilauan hijau putih lampu disko.
* "Kenapa kau ingin keluar?" Odessa terperangah. Dengan kesempatan seperti
yang telah mereka berikan kepada Biju! Sudah pasti Biju tidak tahu betapa
beruntung dirinya. "Dia tidak akan pernah berhasil di Amerika dengan sikap seperti itu," kata
Baz penuh harap. * Biju pergi dengan sebuah pribadi baru, sesosok pri-badi yang penuh hingga
meluap-luap dengan kei-nginan untuk hidup di dalam kesucian yang sempit.
* "Apakah Anda memasak menggunakan daging sapi?" Biju bertanya pada seorang
calon majikan. "Kami punya hidangan Philly steak sandwich."
"Maaf, saya tidak bisa bekerja di sini."
"Mereka menyembah sapi," dia mendengar si pemilik usaha itu memberi tahu
seseorang di dapur, dan Biju merasa sangat pribumi serta menakjubkan.
* Smoky Joe's. "Daging sapi?""Sayang," kata sang nyonya, "aku tidak bermaksud menyinggung
perasaanmu, tetapi aku ini penyantap steak, dan aku ADALAH sapi."
* Marilyn. Foto-foto Marilyn Monroe yang super besar terpajang di dinding,
si orang India pemiliknya duduk di meja!
Si pemilik sedang berbicara di telepon yang ber-pengeras suara.
"Rajnibhai, Kem chho?"
"Apa?" "Rajnibhai?"
"Hu eiz diis s'\apa ini?" Sangat khas aksen orang India-yang-berusaha-?menjadi-Amerika.
"Kem chho" Saaru chho" Teme samjo chho?" "APAA?"
"Tidak bisa berbahasa Gujarat, Pak?" "Tidak."
"Anda orang Gujarat, bukan?" "Bukan."
"Tetapi nama Anda Gujarat?"" "Siapa ini?"!!"
"Anda bukan orang Gujarat?" "Siapa ini?"!!"
"AT&T, Pak, menawarkan tarif spesial ke India." "Aku tidak kenal siapa pun
di India." "Tidak kenal siapa pun?"?" Anda tentulah memiliki kerabat?"
"Yeah," aksen Amerika menjadi semakin jelas,"
tetapi aku tidak bicara lagi dengan kerabatku ..." Kesunyian kaget.
"Tidak bicara lagi dengan kerabat Anda?" Lalu, "Kami menawarkan empat
puluh tujuh sen per menit."
"Laalu aapa beedanya" Suudah kuukataakan padaamu," dia berbicara p e r I a
h a n seolah-olah kepada orang idiot, "aaku tiidak meeneeleepon Iindiya."
"Tetapi Anda dari Gujarat?" suara gugup.
"Via Kampala, Uganda, Teepton, Inggris, dan Roanoke negara bagian
Virginia! Aku pernah sekali pergi ke India dan, biar kuberi tahu, kauu tak biisa
membayarku untuk pergi ke negaara itu laagi!"
* Menyelinap keluar dan kembali menyusuri jalanan. Sungguh mengerikan apa
yang terjadi pada orang-orang India di luar negeri dan tak ada yang tahu selain
orang-orang India lain di luar negeri. Itu adalah rahasia busuk kecil yang
mengerat. tetapi tidak, Biju belum tamat. Negaranya memanggilnya lagi. Dia
mencium takdirnya. Tanpa sadar, ditarik oleh hidungnya, di sebuah persimpangan,
dia melihat huruf pertama dari papan nama itu, G, lalu AN. Jiwanya menanti-nanti
sisanya: DHL Saat dia men-dekati Kafe Gandhi, udara semakin memadat. Hal itu
senantiasa tak terelakkan di sini, dengan aroma seribu satu hidangan dijadikan
satu, bagaimanapun badai salju yang menderu di sekitarnya, hujan,
panas yang melelehkan. Meskipun restoran itu gelap, ketika Biju mencoba
membuka pintunya, pintu itu pun berayun membuka.
* Di sana dalam ruang yang remang-remang, di bagian belakang, di tengah
percikan miju-miju yang menghamburkan lapisan transparan berminyak pada taplak
dari meja-meja yang sudah ditinggalkan tetapi belum dibersihkan, duduklah
Harish-Harry, yang, dengan saudaranya Gaurish-Gary dan Dhansukh-Danny,
menjalankan kembar tiga Kafe Gandhi di New York, New Jersey, dan Connecticut.
Dia tidak mendongak saat Biju masuk. Pulpennya tengah dia pegang tergantung di
udara di atas selembar permintaan sumbangan yang dikirimkan oleh sebuah cagar
sapi di luar Edison, New Jersey.
Jika Anda menyumbang seratus dolar, selain bonus yang akan ditambahkan
pada lembar neraca kehidupan-kehidupan yang akan datang, "Kami akan mengirimkan
sebuah hadiah gratis untuk Anda; silakan beri tanda di kotak untuk menunjukkan
pilihan Anda." 1. Sebuah lukisan hias Krishna-Lila yang sudah di-bingkai: "Dia merindukan
tuannya dan meratap."
2. Satu eksemplar Bhagavad Gita disertai ulasan oleh Pandit anu (B.A.,
M.Ph., Ph.D., Presiden Pusat Pusaka Hindu), yang baru saja menye-lesaikan
ceramah keliling di enam puluh enam
negara. 3. Sekeping CD musik religius yang disukai oleh Mahatma Gandhi.
Sebuah kupon hadiah untuk digunakan di
4. Indiagiftmart: "Beri kejutan pada wanita isti-mewa dalam hidup Anda
dengan choli istimewa kami yang berwarna bawang merah dan merah muda pucat,
dipadukan dengan lehnga men-tega. Untuk wanita yang membuat rumah Anda menjadi
nyaman ditinggali, satu set berisi dua puluh lima buah tempat bumbu dengan tutup
hampa udara. Belilah persediaan kacang Nag-pur Chana kualitas unggul Haldiram
yang pasti sudah Anda kangeni
Bolpoinnya melayang. Lalu menyambar.
Kepada Biju dia berkata, "Daging sapi" Apa kau gila" Usaha kami ini
sepenuhnya Hindu. Tidak ada orang Pakistan, tidak ada orang Bangladesh, orangorang itu tak tahu cara memasak, apakah kau pernah ke restoran-restoran di Sixth
Street itu" Biikui bekaar
Seminggu kemudian, Biju berada di dapur dan musik favorit Gandhi
dilantunkan melalui sistem pe-ngeras suara.[]
DUA PULUH TIGA Asmara Gyan dan Sai tumbuh dengan subur dan persoalan politik tetap masih
berada pada latar be-lakang bagi mereka.
Menyantap momo dengan dicelup chutney, Gyan berkata, "Kau adalah momo-ku."
Sai berkata, "Bukan, kaulah momo-ku."
Ah, tahap kue bola dalam percintaan tahap ini mengirim mereka dalam ?luapan ungkapan kasih dan panggilan sayang. Mereka memikirkan kata-kata itu pada
saat-saat yang tenang dan mempersembah-kannya kepada satu sama lain seperti
kado. Momo, daging domba dalam adonan, sesuatu yang gendut dan nyaman di dalam
sesuatu yang lain kata itu berkonotasi dengan perlindungan, kasih sayang.
?Namun, saat mereka makan bersama di Gom-pu's, Gyan menggunakan tangannya
tanpa pikir panjang dan Sai makan dengan satu-satunya alat yang ada di atas
meja sebuah sendok, menggu-lung bagian tepi rotinya dan mendorong makanan ke
?atas sendok dengan itu. Melihat perbedaan ini, mereka menjadi malu dan
mengesampingkan penga-matan tersebut.
"Kishmish," demikian Gyan memanggil Sai untuk menutupi hai itu, dan "Kaju"
Sai memanggil Gyan, kismis, dan kacang mede, manis, gurih, dan mahal.
Karena asmara yang baru tumbuh membuat para pasangan menjadi pelancong
bahkan di kota mereka sendiri, mereka pergi berpesiar ke Cagar Alam Mong Pong,
ke Danau Delo; mereka berpiknik di dekat Teesta dan Relli. Mereka mengunjungi
lembaga pe-ngembangbiakan ulat sutra yang menguarkan aroma ulat hangus. Manajer
tempat itu memberi mereka tur melihat tumpukan kepompong kekuningan ber-gerakgerak tak kentara di sebuah sudut, mesin-mesin yang menguji ketahanan terhadap
air, kelenturan; dan Gyan menceritakan impian masa depannya, tentang sari
antiair dan antikusut, antinoda, sudah terlipit, bisa diberi kancing tarik, bisa
dipakai bolak-balik, sari milenium baru yang luar biasa, dinamai menurut hit
Bollywood seperti Penan Disko. Mereka naik kereta mainan dan pergi ke kebun
binatang Darjeeling, lalu menyaksikan dalam cinta modern mereka yang bebas dan
angkuh, jeruji purba yang tidak bebas, yang di baliknya hidup seekor panda
merah, yang secara menggelikan bersikap sangat serius untuk makhluk secantik
itu, mengunyah daun bambu secermat pegawai bank mengerjakan angka-angka. Mereka
mengunjungi Biara Zang Dog Palri Brang di Durpin Dara, tempat biarawan-biarawan
kecil dihibur oleh biarawan-biarawan yang sudah beruban, dengan cara berlari
naik-turun menarik anak-anak itu di atas karung beras, melayarkan mereka di atas
lantai biara yang licin, di depan mural setan dan Guru Padmasam-bhava dengan
senyum murkanya tersembunyi di balik kumis keriting, jubah merah padam, tongkat
kebesaran bertatahkan berlian, topi lotus dengan sehelai bulu burung
hering; di hadapan hantu yang mengendarai seekor singa salju dan Tara hijau di
atas seekor yak; melayarkan anak-anak itu di de-pan pintu-pintu yang membuka
seperti sayap burung, menampilkan pemandangan pegunungan di sekitarnya.
Dari Durpin Dara, tempat orang bisa melihat begitu jauh dan tinggi, dunia
mirip sebuah peta dari perspektif Ilahiah. Orang bisa melihat lanskap yang
terhampar di bawah dan di seberangnya, sungai-sungai dan dataran tinggi. Gyan
bertanya kepada Sai mengenai keluarganya, tetapi Sai merasa tak yakin apa yang
harus dikatakannya karena dia ber-pikir jika dia memberi tahu Gyan mengenai
program angkasa luar itu, Gyan mungkin akan merasa rendah diri dan malu.
"Orangtuaku kawin lari dan tak ada yang menyinggung-nyinggung tentang mereka
Kisah Para Pendekar Pulau Es 10 Pengemis Binal 06 Malaikat Bangau Sakti Pendekar Guntur 13

Cari Blog Ini