Because You Are Mine Karya Beth Kery Bagian 4
Francesca merasa sangat canggung dan bahagia saat dia masuk ke
interior mewah di bagian belakang mobil. Ian masih duduk di kursi
penumpang, kepalanya menunduk. Francesca bertanya-tanya apakah
Ian sedang mengetik di ponselnya, dan merasa yakin bahwa dia
melakukannya. Perlahan, Francesca mulai membuka ikat pinggangnya dan
membuka kancingnya lepas.
Saat dia melepas jeans dan celana dalamnya, dia duduk merasa
seperti orang bodoh. Ian tidak bergerak. Vaginanya menggelenyar
tegang, pada kursi yang lembut. Francesca bergeser gelisah,
meringis pada gesekan yang menyenangkan di jaringan sensitifnya
pada kesejukan kulitnya. Apa yang Ian lakukan" Francesca
membuka mulut untuk mengatakan padanya kalau dia telah
membuka jeansnya, tapi Ian tiba-tiba melepaskan sabuk
pengamannya. Francesca tidak berpikir, dia menarik napas sampai Ian bergabung
dengannya beberapa saat kemudian dalam bayangan interior mobil.
Ian menutup pintu. Bersama Ian yang duduk dengannya, jarak terasa
begitu dekat dan lebih intim. Dari kejauhan, guntur bergemuruh dan
rintik hujan berderai di atap.
Ian menatapnya, menyeka tangannya di atas rambut gelapnya, yang
sedikit basah oleh air hujan.
"Kau tahu apa yang aku inginkan," kata Ian pelan. "Berbaring dan
jadikan vaginamu siap untukku."
Suara Ian yang dalam bergema di kepalanya, dalam kesunyian.
Organnya berdenyut dan meremang karena bahagia. Francesca tidak
dapat menahan ingatan tentang kemurnian, tawaran kenikmatan
yang Ian berikan padanya dengan mulutnya. Francesca melakukan
yang terbaik untuk menemukan posisi agar siap untuk Ian. Untuk
kali ini, Ian tidak memerintahnya. Ian hanya menatap saat dia
bersandar di pintu dan melebarkan pahanya selebar yang dia bisa,
memberikan batas pada kursi belakang. Jantung Francesca memukul
di tulang dadanya saat dia terduduk. Penantiannya begitu tajam,
menekan ke bawah tidak nyaman di dadanya. Ian duduk tidak
bergerak, tatapannya terpaku di antara pahanya.
Tiba-tiba Ian duduk maju dan mendorong pada lutut luarnya,
menurunkan sandal yang menutupi kaki ke lantai mobil,
membukanya lebih lebar. Pandangan tentang kepala gelap Ian yang
menunduk di antara kakinya begitu menggairahkan, Francesca
mengeluarkan rintihan sebelum Ian menyentuhnya.
Francesca merengek saat Ian menempatkan mulutnya yang terbuka
pada organ seks terluarnya. Terasa begitu panas, basah, dan
kegembiraan yang tidak tertahankan. Ian menggerakkan bibir
erotisnya pada klitnya, memberikan tekanan keras, dan kemudian
memisahkan labianya dengan lidahnya yang licin. Ian bergeser,
mengubur wajahnya lebih intim ke organ Francesca, membelai
klitnya lebih kuat dari yang dia lakukan kemarin malam,
menggosoknya, mengitarinya, menekannya tanpa ampun hingga
Francesca berteriak dan mengangkat pinggulnya.
Ian tetap memegang Francesca dengan tangannya, memaksanya
untuk mendapatkan kenikmatannya secara penuh. Francesca
memegang kepala Ian, merasa dirinya terbakar dan meleleh di
bawah Ian. Ian mengambilnya dengan fokus yang kuat, gerakannya
yang hampir marah tanpa belas kasihan. Seolah vaginanya
melakukan sesuatu yang telah menyakitinya....seolah dia perlu
menunjukkan siapa masternya.
Dialah masternya pikir Francesca melalui tekanan seksual yang
kabur. Kepalanya rubuh ke jendela dengan berdebam, tapi dia tidak
menghiraukannya. Bagaimana mungkin dia merasa tidak nyaman
saat dia berenang dalam kebahagiaan"
Orang bodoh macam apa yang menjadikannya kekasih" Saat Ian
menjauh darinya, dia tidak pernah merasa puas dengan hal lain.
Francesca akan hancur seumur hidup.
Ian menggunakan tangannya untuk memisahkan bibir vagina
Francesca. Ian mengangkat kepalanya dan mulai menggosok klit-nya
dengan keras, menekan dan berusaha terus hingga Francesca
memanggil namanya dalam hiruk pikuk nafsu. Pemandangan tentang
Ian yang membelai organnya dengan tidak senonoh...sangat
menggembirakan. Jari Francesca mencengkeram rambut pendek Ian,
dan dia berteriak tajam. Francesca meledak dalam klimaks, memegang kepala Ian seolah dia
pikir dia tenggelam dan Ian adalah satu-satunya penyelamat
hidupnya. Ian terus menggigitnya saat dia gemetar, menjaga dia tetap
berada di puncak dari klimaksnya. Seolah nampak seperti
selamanya, menuntut Francesca memberikan haknya. Ketika
Francesca jatuh lemas, memikirkan dia menekan setiap akhir
ledakan dari kenikmatannya, Ian menggerakkan kepala atau lidahnya
sehingga Francesca gemetar lagi.
Ian membujuk satu getaran terakhir keluar darinya beberapa saat
kemudian, sebelum dia mengangkat kepalanya. Vaginanya mengepal
keras ketika dia melihat wajah Ian paling bawah berkilauan oleh
cairannya. Francesca terengah saat Ian memandangnya dengan
bijaksana. "Aku juga ingin melakukannya padamu," Francesca berbisik,
mengartikan itu sebagai setiap ons dari semangatnya. Francesca
ingin membalasnya. "Pernakah kau" Menggunakan mulutmu untuk menyenangkan
seorang pria?" Francesca menggeleng. Ian mendengus, dan Francesca tidak bisa
bilang apakah dia senang atau marah. Mungkin keduanya.
"Aku pikir tidak. Kau akan belajar, tapi bukan jenis pelajaran yang
diberikan di kursi belakang mobil," kata Ian sebelum duduk.
Francesca melihat saat Ian menutup matanya rapat selama satu detik
dan menyapukan tangannya pada mulutnya. Ian menurunkan
tangannya dan memandang Francesca, tatapannya membingungkan
sekali lagi pada vaginanya dan menyipit. Sekali lagi, Ian menutup
kelopak matanya. "Berpakaianlah," kata Ian muram, meraih pintu mobil. "Aku akan
mengantarmu kembali ke hotel dan kau bisa memberikan janjimu."
Antisipasi mencolok yang dia alami saat Ian mengatakan padanya
untuk pergi ke kursi belakang mulai menempel lagi saat dia meraih
pakaiannya. *** Because I Said So Bab 10 Ian tidak mengatakan apapun saat perjalanan pulang dalam suasana
hujan, dan Francesca masih merasa terlalu tegang untuk memulai
percakapan. Seolah terjadi sesuatu yang tidak dimengerti olehnya.
Seakan ada beberapa macam ketegangan tak dikenal yang menebal
memenuhi udara disekitar mereka. Francesca berpikir ini mungkin
karena tekanan rendah dari badai tapi dia tahu ini bukan disebabkan
oleh awan mendung. Ian adalah sumbernya. Ketika mereka tiba di hotel dan menepi di bawah kanopi pintu
masuk, seorang petugas valet muda yang energik menyambut Ian
sesuai namanya. Ian memberi pengarahan padanya untuk
mengembalikan mobil ke agensi penyewaan dalam bahasa Inggris
dan kemudian memberikan dia kunci bersamaan dengan sejumlah
uang. "Terima kasih, Mr. Noble," petugas valet memancarkan rasa senang
dengan kasen Inggris yang kental. "Jangan kuatir mobilnya akan
dikembalikan dengan sangat cepat. Saya akan melakukannya
sendiri." "Kau tidak perlu kuatir. Mobilnya akan dikembalikan sesegera
mungkin," kata Ian bingung sambil meraih tangan Francesca.
"Ya, seperti yang anda katakan. Anda tidak perlu kuatir. Mobilnya
akan di kembalikan sesegera mungkin." kata pria itu mengulangi
dengan keras dan dengan lirih beberapa kali.
"Aku tidak akan kuatir, Gene," kata Ian dengan senyum kecil.
Percakapan pendek dengan petugas valet nampaknya meringankan
suasana hatinya. Ian menyadari Francesca mengangkat alisnya dan
ekspresi ingin tahu saat mereka masuk ke elevator. "Aku bilang pada
Gene aku akan mencobanya di ruang suratku jika dia belajar bahasa
Inggris. Dia punya paman dan bibi di Chicago dan punya mimpi
besar tentang Amerika."
Francesca tersenyum saat mereka melangkah keluar dari elevator.
"Hati-hati, Ian."
Ian menatap kesamping padanya saat dia mengunakan kunci untuk
membuka kamar suitenya. "Kau memperlihatkan sisi lembutmu."
"Kau pikir begitu?" Ian bertanya tanpa peduli, saat dia membukakan
pintu agar Francesca masuk. "Kupikir aku bisa menjadi sangat
praktis. Aku orang pertama yang mengetahui betapa pekerja
kerasnya Gene. Dia berusaha keras untuk melayani disaat yang lain
berbuat sebaliknya."
"Dan tentu saja kau selalu menginginkan siapapun untuk
melayanimu dengan rela."
"Ya," kata Ian, mengenali sindiran dalam suara Francesca. Ian
membawa Francesca ke kamar tidur di suitenya dan berbalik
menghadapnya. "Apa kau menghadapi kesulitan dengan hal itu,
Francesca?" "Dengan apa?" Francesca bertanya, kebingungan.
"Dengan memasuki perjanjian di mana tujuan utamanya adalah
menyenangkanku." "Aku melakukannya untuk menyenangkan diriku sendiri," kata
Francesca, mengangkat dagunya.
Ian menatap geli pada wajah Francesca. "Ya," gumam Ian,
menyentuh rahangnya dengan lembut. Francesca gemetar. "Dan
itulah yang membuatmu begitu spesial. Karena menyenangkan aku
juga akan menyenangkanmu."
Francesca mengerutkan dahi. Sesuatu yang Ian katakan merambah
topik yang membuatnya tidak nyaman tentang dominasi dan
kepatuhan. Ian tersenyum dan menurunkan tangannya. "Aku lebih suka kau
tidak terlalu banyak melawan dengan hal-hal dasarnya, manis. Tidak
ada hal memalukan tentang sifatmu. Faktanya, aku menganggapmu
sangat cantik. Kau sunguh tak tahu kenapa aku ingin memilikimu
bagaimanapun resikonya, benar, kan" Kualitas dalam dirimu hanya
bisa dilihat oleh pria seperti aku..."
Ian berhenti saat dia menyadari kebingungan di wajah Francesca. Ian
menghembuskan napas berat. "Mungkin yang dibutuhkan olehmu
hanya waktu. Itu saja, dan latihan."
Francesca mengerjap saat dia melihat kilatan di mata Ian.
"Tolong lepas pakaianmu dan pakailah jubah. Sisir rambutmu, tapi
biarkan rambutmu diikat di belakang. Duduk di ujung ranjang. Aku
akan bersamamu sebentar lagi. Kita butuh beberapa hal untuk
pelajaran yang sangat penting ini."
Kau sungguh tak tahu kenapa aku ingin memilikimu bagaimanapun
resikonya, benar, kan"
Kata-kata Ian bergema di kepalanya saat ia melakukan apa yang Ian
minta, ditambah menyikat giginya.
Duduk dan menunggu di sudut ranjang pasti meningkatkan
kegelisahannya. Francesca tidak perlu merasa senang, kalau dia
ingin sekali memuaskan hasrat seksual Ian, memberikannya
kenikmatan yang Ian berikan kepadanya, tapi ia cukup jujur untuk
mengakuinya pada dirinya sendiri. Rupanya Francesca tidak punya
hak untuk menjelek-jelekkan Ian tentang pilihannya saat ia sendiri
memiliki gairah gelap yang sama.
Pikirannya terpotong saat Ian berjalan masuk ke kamar memakai
celana panjang hitam, tubuh dan kakinya telanjang dan membawa
tas plastik kecil. Francesca menatapnya, tidak bisa bernapas karena
menatap tubuh Ian yang hampir telanjang. Pernahkah Ian
mengijinkannya menyentuh dan mengusap dan mencumbu seluruh
kulitnya yang halus, otot yang menonjol dan kulit yang lembut"
Puting Ian kecil sekali dan hampir selalu tegak, sejauh yang
Francesca amati. Ian meletakkan tas di salah satu kursi di ujung
ranjang. Ian mengambil benda dengan tali pengikat yang tidak bisa
Francesca kenali, bersama benda yang dia kenali: borgol kulit.
Ian melangkah kearahnya, benda itu ada di tangannya.
"Kenapa aku harus mamakai borgol untuk pelajaran ini?" Francesca
bertanya, kekecewaan terdengar dari suaranya. Francesca pikir
akhirnya ia mendapat kesempatan untuk menyentuh Ian.
"Karena aku bilang begitu," kata Ian lembut. "Sekarang berdiri dan
lepaskan jubahmu." Francesca turun dari ujung tempat tidur dan
melepas jubahnya. Udara terasa sedikit dingin di kulit telanjangnya.
Putingnya mengetat saat ia melemparkan jubahnya di ujung ranjang.
"Sekarang dingin, tapi kupikir aku akan segera membuatmu merasa
hangat. Berbalik," kata Ian.
Sekali lagi, Francesca harus menahan dorongan kuat untuk menatap
di balik bahunya dan melihat apa yang Ian lakukan di belakangnya.
"Letakkan pergelangan tangan di punggungmu." perintah Ian.
Kewanitaan Francesca seketika bergairah ketika ia merasakan
gespernya menekan disekeliling pergelangan tangannya, mengikat
lengan Francesca di belakang punggungnya. "Sekarang berbalik."
Francesca sedikit terkesiap saat ia melihat botol kecil yang Ian
pegang. Kehangatan menyerbu diantara pahanya. Francesca menjadi
terkondisi pada botol kecil yang berisi krim itu. Tubuhnya merespon
hanya dengan melihat botol itu. Ian berhenti, seolah mengerti reaksi
Francesca saat matanya melembut.
"Aku berkenalan dengan dokter pengobatan Cina di Chicago yang
merekomendasikan obat perangsang ini, tapi aku belum pernah
memakai ini sebelumnya. Aku punya kesan yang sangat jelas kalau
kau menyetujuinya," kata Ian, bibirnya membentuk senyum kecil.
Ian berjalan kearahnya dan ia menahan napas, mengerti apa yang
akan terjadi. Ian memasukkan jarinya diantara labia Francesca dan
menggosok klitnya, melapisinya dengan obat perangsang. Francesca
menggigit bibir bawahnya untuk mencegah dirinya menjerit penuh
gairah. Mungkin ini hanya khayalannya tentang apa yang akan
terjadi, tapi ia mulai terbakar.
Ian menurunkan tangannya. Francesca menatap gelisah saat Ian
mengambil sebuah benda bertali hitam yang ia lihat sebelumnya.
Ada kabel tipis yang melekat pada benda itu, dengan panel kendali
yang berukuran kecil. "Apa itu?" Tanya Francesca, sedikit waspada.
"Ini adalah sesuatu yang diciptakan murni untuk kenikmatanmu,
manis. Jangan takut." kata Ian sambil menuju kearahnya. "Ini adalah
vibrator tanpa kendali tangan," jelas Ian, memasang tali pengikat
yang dapat disesuaikan disekeliling pinggang Francesca dan
mengencangkannya. Francesca menatap terpesona juga bergairah
saat ia melihat Ian menekan pada labia dan klitnya, dengan jelas,
ujungnya runcing, seperti kolom. Ian mengatur panel kendali dengan
memutar pada tepi ranjang. "Aku tidak suka membuatmu tidak
nyaman, tapi karena kau kurang berpengalaman, pelajaran
pertamamu pada hal ini mungkin sekedar...mencobanya sampai kau
terbiasa. Aku ingin kau merasa kenikmatan sementara kau
mempelajari tentang diriku. Ini akan menjadi lebih mudah untukmu.
Mungkin." "Aku tidak mengerti," kata Francesca saat Ian mempererat tali pada
vibrator sampai pas dan melangkah mundur, memeriksa hasil
Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pekerjaannya. Seolah Francesca memakai pakaian dalam yang
sangat kecil dengan vibrator kecil yang terjepit diantara labianya.
Vaginanya telah meremang hanya oleh tekanan kecil dan krim
klitoris, dan Ian bahkan belum menyalakan alatnya.
Sesaat Ian memperhatikan ketenangan Francesca, putingnya
mengetat saat tatapan Ian tidak mau pergi dari payudaranya.
"Kebetulan aku sangat menuntut kalau berurusan dengan *fellatio."
"Oh," kata Francesca, tak mampu memikirkan hal lain untuk
dikatakan. Ian mengucapkan itu hampir seperti permintaan maaf.
"Aku tidak pernah mengajarkan wanita melakukan ini. Kukira aku
akan gagal menenangkanmu saat melakukan aktivitas ini, tapi aku
ingin kau tahu bahwa aku mempertimbangkan ini dengan matang."
"Apa maksudmu?" Francesca semakin lama semakin bingung.
Apakah mereka membicarakan sesuatu yang sama" Ian berkata
fellatio, begitu juga dirinya, tapi tetap saja...
"Ini sedikit membingungkan. Aku tak mampu mengubah sifatku
yang suka menuntut, dan aku ragu aku bisa melakukannya meskipun
aku berusaha sekeras mungkin, sama seperti ketertarikanku
padamu." Francesca merasa pipinya memanas. Terkadang, Ian bisa
mengatakan hal yang manis dan sepertinya tidak menyadari
bagaimana ucapan sederhananya mempengaruhi Francesca.
"Pada sisi lain, aku mengerti ketika wanita diperkenalkan untuk
memberikan oral seks itu akan memberi dampak besar, apakah dia
akan menikmati atau tidak dalam jangka panjang, jadi aku harus
benar-benar mempertimbangkan hal ini."
"Aku tahu," bisik Francesca. Dia tidak percaya mereka melakukan
percakapan ini. Ia belum pernah memikirkan bagaimana cara
melakukannya...tapi kejantanan Ian...luar biasa. Tatapan Francesca
bertemu dengan tatapan Ian dan melihat Ian mengamati wajahnya.
"Aku membuatmu bingung," kata Ian, mendesah. "Seperti yang
kukatakan, aku tidak ingin menghancurkanmu. Terutama sejak aku
membayangkan kau memasukkan kejantananku ke dalam mulutmu
saat pertama kali aku melihatmu. Aku menginginkan itu sesering
mungkin, Francesca, dan aku lebih suka jika kita berdua saling
memuaskan." Francesca merona tak terkendali. Krim itu mulai terasa geli dan
terbakar di klitnya. "Ok," kata Francesca.
"Berlutut," kata Ian singkat.
Ian menyangga pundaknya sementara ia berlutut, karena pergelangan
tangannya tertahan di belakang tubuhnya. Francesca menengadah
dan menelan dengan berat. Wajahnya langsung berada di depan
selangkangan Ian. Kenapa dia tidak menyadari kancing yang tidak
biasa di celana hitam yang Ian pakai" Ia terlalu asyik menatap dada
telanjang Ian, dan sesuatu yang diambil dari tas, untuk mengamati
penutup celana persegi di atas ereksinya. Francesca mengamati,
terpesona. Saat dia membuka beberapa kancing dan penutup itu
merosot. Ian meraih celana pada kaki kirinya dan mencabut batang ereksinya.
Ian menjatuhkan selembar kain ke ranjang, sesuatu yang baru saja
Francesca sadari, karena ia hanya beberapa inci dari ereksinya yang
bebas dan bolanya. Dia begitu keras, tidak sekeras seperti yang ia
lihat pada saat yang lalu tapi tetap terangsang. Dia begitu indah.
Francesca menjilat bibir bawahnya dengan gugup saat mengamati
kepala ereksinya yang besar, dan runcing. Bagian yang paling tebal
dari ereksinya pada pangkal yang melingkari kecil. Apakah
ereksinya benar-benar akan berada di dalam tubuhnya" Bagaimana
bisa ia memasukkan ereksi itu ke dalam mulutnya"
"Kau bahkan harus berpakaian saat melakukan ini?" Francesca
bertanya ragu, menatap Ian, matanya melebar. Getaran melanda
Francesca saat memandang tubuh Ian yang sedang berdiri di sana,
begitu tinggi dan berwibawa, ereksinya menyembul dari *celana
crocthless-nya. Itu adalah pemandangan yang mengintimidasi...
salah satu yang paling erotis.
"Ya. Kau siap?"
Ian menggenggam batang tebalnya dan menggerakkan tangannya
disepanjang ereksinya saat Francesca melihatnya.
"Ya." Ian melepaskan batang ereksinya, berat dari ereksi itu membuatnya
sedikit turun. Bibir Francesca menggeleyar dalam antisipasi.
"Oh!" Francesca terkejut.
Ian menyalakan vibrator. Vibrator itu berdengung penuh tenaga pada
labia dan klitnya. Francesca menatap Ian, terpaku oleh serbuan
kenikmatan yang begitu intens. Ian mengamati wajah Francesca
begitu dekat. Francesca merasa gelora kehangatan melintasi dada,
bibir dan pipinya. Ini benar-benar nikmat. Ian menggeram dalam
kepuasan dan berdiri di depannya lagi. Ian membawa ereksinya
dengan tangannya. "Pada kesempatan lain aku akan mengajarkanmu bagaimana
menggunakan tangan dan mulutmu. Hari ini kau akan membiasakan
diri memiliki kejantananku di dalam mulutmu," kata Ian. Francesca
membeku saat Ian melangkah mendekat dan menyapu bibirnya
dengan ujung ereksinya. Francesca membuka mulut. "Tetap diam,"
perintah Ian dengan tegang. Francesca tidak bergerak sementara Ian
menyapu bibirnya, ujung ereksinya terasa halus dan hangat pada
bibirnya yang gemetar. Aroma Ian memasuki lubang hidungnya...
beraroma sangat jantan. Vaginanya mengepal kuat dan dia
mengerang pelan. Batangnya menjadi semakin keras dan kepalanya
terasa tegang di bibirnya. Tak mampu menahan dirinya sendiri,
Francesca menyentuhkan ujung lidahnya pada daging yang lezat itu.
"Francesca." Ian memperingatkan, berhenti dari gerakan
melingkarnya. Francesca menengadah dengan gelisah. Ian mengerutkan dahi.
"Aku lupa penutup matanya lagi," Francesca pikir ia mendengar Ian
bergumamam pelan. "Buka mulutmu lebar-lebar."
Francesca membuka mulutnya selebar mungkin. Ian menyelipkan
ujung ereksinya kedalam mulut Francesca. "Gunakan bibirmu untuk
menutupi gigimu," Francesca mendengar perkataan Ian diantara
detak jantungnya yang bertalu pada gendang telinganya. "Buatlah
menjadi lebih ketat. Lebih keras kau bisa menekan, kenikmatan
terbesar akan kau berikan padaku." Francesca menjepitnya sekeras
yang ia bisa saat ia mendengar kata-kata itu. Ian mengeram. "Bagus.
Sekarang basahi kepalanya dengan lidahmu," kata Ian dari atas
tubuh Francesca. Francesca ingin sekali melakukan apa yang Ian katakan, menjadi
lebih bergairah saat ia melihat Ian menggerakkan batangnya dari atas
ke bawah. Adakah hal yang lebih erotis di dunia ini selain melihat
Ian membelai dirinya sendiri"
"Bagus. Pelajari bentuknya. Tekan dengan keras," Francesca
mengikuti arahan Ian dengan senang hati. "Ya. Di sana," kata Ian,
suaranya terdengar sedikit serak saat Francesca mempelajari
lingkaran tebal di bawah kepala dan menekan pada celah kecilnya.
Francesca dihadiahi dengan beberapa tetesan pra ejakulasi. Cairan
Ian menyebar di lidahnya, terasa unik...membius. Ia menekannya
lebih keras. Ian menggeram pelan dan mendorong ereksinya lebih
dalam ke mulut Francesca. Ian meletakkan tangannya di belakang
kepala Francesca, memegangnya dengan kuat. Ian mundur dan
melenturkan pinggangnya, mengayunkan ereksinya hanya satu atau
dua inci kedepan dan kebelakang, lagi dan lagi.
"Sekarang hisap," kata Ian dengan tegang.
Francesca menghisapnya dengan bibirnya yang kaku dan menghisap
kuat-kuat. "Ah, ya. Seperti itu murid yang baik," kata Ian serak dari atas
tubuhnya sambil terus mendorong kedalam bibirnya.
Vibrator itu menyiksanya. Francesca tidak bisa menghindar dari
dengungan terus menerus pada klitnya yang mendesis. Seperti
kemarin, dia merasa puting dan telapak kakinya terbakar. Bibirnya
juga terasa sangat sensitif, menyebar saat bibirnya mengelilingi
batang tebal dari ereksi Ian. Bibirnya mulai terasa sakit oleh usaha
menekan secara konstan seperti catok disekeliling ereksinya. Masih
saja, Francesca menginginkan lebih. Ia membutuhkannya.
Francesca menundukkan kepalanya ke depan, merasakan ereksi Ian
menyelip di sepanjang lidahnya, memenuhi mulutnya. Ian mengeram
dan mencengkram rambut di belakang kepalanya, menghentikannya.
"Jika kau bersikap impulsif sepert itu lagi, kita akan berhenti."
Francesca mengerjapkan kelopak matanya, suara Ian yang tajam
menembus gairah yang membingungkannya. Ereksinya berdenyut di
mulutnya. Vibrator itu hampir membuatnya orgasme. Ini sedikit
kejam. Francesca seakan tidak bisa mengerti reaksi tubuhnya.
Francesca menatap Ian dengan pasrah, tak mampu bicara saat ereksi
Ian terkunci di mulutnya. Wajah Ian berubah gelap saat ia melihat
ekspresi Francesca. "Francesca?" Francesca mulai bergetar oleh orgasme, napasnya keluar dengan
cepat dari paru-parunya dalam hembusan kecil yang tertahan oleh
ereksinya. Francesca melihat mata Ian melebar oleh rasa tidak
percaya sebelum ia menutup kelopak matanya, rasa malu
membanjirinya karena ketidakmampuan mengendalikan
kebutuhannya yang sangat besar.
*** Ian memandangnya, tidak mengerti ekspresi putus asa Francesca
sampai ia mulai menggigil oleh orgasme yang nyata. Ian tidak
pernah berada di mulut seorang wanita sementara wanita itu
orgasme. Ian tidak pernah memikirkan kepuasan wanita sebelum dia
puas lebih dulu. Bodoh sekali dia. Ian mengerang tak terkendali oleh sensansi dari mulut panas
Francesca yang gemetar disekeliling ereksinya. Tidak bisa
menghentikan dirinya sendiri, Ian mengeluskan jarinya ke rambut
dan menyelipkannya lebih jauh ke organnya. Francesca memekik di
dalam tenggorokannya, suaranya bergetar di sepanjang ereksinya
bersamaan gataran lembut dari orgasmenya. Ian menggeser keluar
beberapa inci memberinya sedikit kelonggaran. Francesca hampir
memicu klimaksnya saat ia terus mendorong Ian dengan mata
terbalik sambil terus menghisap dan memutar lidahnya berulang kali
pada ujung ereksinya. Ian membuka mulut untuk memarahi Francesca tapi menghentikan
dirinya sendiri disaat akhir, memasukkan ke dalam mulutnya lagi.
Orang bodoh macam apa yang menghentikan sesuatu yang begitu
nikmat" Ian membiarkan Francesca mengendalikan irama beberapa
saat, melihatnya dalam gairah yang begitu intens saat ia
membenamkan kepalanya, menyelipkan ereksinya ke depan dan
kebelakang diantara bibir merah mudanya dengan enerjik.
"Bagus," gumam Ian. "Ambil sebanyak yang kau bisa." Sensasi
melanda Ian. Antusiasme Francesca menutupi kekurang
pengalamannya. Dan Francesca begitu kuat. Francesca menjepitnya
seperti catok. Hisapannya sangat sempurna, tapi tetap saja Ian
menegurnya. "Hisap lebih keras," kata Ian, mulai mendorong pinggangnya
seirama anggukan kepala Francesca. Ian menggeram, rendah dan
liar, saat Francesca melampaui perkiraan Ian. Ian melihat pipi merah
mudanya yang mengempis, dan ia merasa bagian dalam pipi
Francesca menyentuh kedua sisi ereksinya.
Ini terlalu kuat. Ian menarik mundur rambut Francesca dengan
lembut. Kelopak mata Francesca pelan-pelan terbuka, dan ia
menengadah menatap Ian, pemandangan dari bibirnya yang terbuka
dan mata gelapnya yang bersinar oleh gairah mengalahkan
kesadarannya. "Kau harus memasukannya lebih dalam," kata Ian lembut. "Bernapas
melalui hidungmu. Jika itu terasa tidak nyaman, Beri tahu aku, aku
tidak akan membiarkanmu melanjutkan untuk waktu yang lama. Kau
mengerti?" Francesca mengangguk, kepercayaan dan gairah yang Ian lihat di
mata beludrunya membuat Ian mengatupkan rahangnya dengan erat.
Ian menangkap pandangan Francesca saat dia mendorong ke depan
dan merasa lingkaran sempit dari tenggorokannya melingkupi ujung
ereksinya. Getaran gairah melandanya. Francesca mengerjap dan
tersedak tapi menahan dirinya untuk tidak berhenti. Ian mengerang
dan menarik keluar dari tenggorokannya. "Bagus. Bernapas lewat
hidungmu," Ian menghiburnya saat dia mendorong masuk ke dalam
mulutnya lagi. Sekarang, Ian mengernyit saat ereksinya berdenyut
dalam gairah saat bersarang di tenggorokannya. "Aku minta maaf,"
Ian buru-buru berkata sementara dia menarik mundur. Ian meringis
dalam hati saat ia melihat air mata menuruni pipinya.
"Kau tidak apa-apa?" Tanya Ian.
Francesca melebarkan matanya memberi isyarat menenangkan Ian,
menyebabkab ereksinya berdenyut. Ian meringis saat kenikmatan
menembus tubuhnya karena melihat pertanda betapa
bersemangatnya Francesca...kemurahan hatinya. Terima kasih
Tuhan, karena ia orang yang begitu manis. Ian tahu ia tidak akan
bisa berhenti. Ia tidak akan bisa.
Ian memegang kepala Francesca dengan kedua tangannya, mengunci
tatapannya saat ia mendorong perlahan masuk dan keluar pada
bibirnya yang menjepit, menghapus air mata di pipinya dengan ibu
jarinya. Pancaran gairah semakin kuat di bola matanya dalam
beberapa menit terakhir, tapi Ian melihat sesuatu yang lain; sesuatu
yang seolah mengampuni dosanya.
"Kau luar biasa menyenangkan aku," kata Ian.
Ian memegang Francesca dengan kokoh dan mendorong kedalam
tenggorokannya lagi. Sesaat Ian terlena, segalanya berubah menjadi
gelap saat ia menikmati mulut manisnya dan Francesca
mengabulkan semua harapan gelap dan putus asanya. Mata Ian
melebar saat ia merasa Francesca gemetar sementara ia mendorong
lebih dalam. Ian akan menarik mundur untuk mengurangi rasa tidak
nyaman yang dirasakan Francesca tapi segera menyadari bahwa
Francesca tidaklah tersedak.
"Hebat Francesca," Ian berteriak, emosinya meninggi,
membingungkannya, ketika ia menyadari Francesca akan orgasme
lagi. Ian meledak ke tenggorokannya, meraung saat kenikmatan yang
hebat merobek tubuhnya. Meski begitu, Ian masih sadar untuk
menarik mundur, klimaks sambil terus mendorong di lidah
Francesca. Wajahnya terlihat tegang saat ia mengamati Francesca,
tak mampu berpaling dari gambaran memukau dari pipinya yang
berwarna merah muda, ekspresi tak berdaya di mata gelapnya yang
berkilau saat Francesca menyerah pada kenikmatan karena
memberikan kepuasan luar biasa kepada Ian.
Tenggorokannya yang ramping mengejang saat Francesca menelan.
Ian terus gemetar dan ejakulasi, tak mampu menghentikan
gelombang kenikmatan meskipun Francesca nampak kewalahan
menerima ejakulasi Ian. Kecurigaannya terbukti ketika Francesca
mengerang, jepitan pada kejantanannya melonggarkan sejenak, dan
beberapa dari spermanya tumpah dari sudut bibirnya.
Ian tersentak tak terkendali dan menutup rapat matanya, sentakan
tajam dari klimaks berikutnya mengguncang tubuhnya, memori
tentang Francesca terbakar ke dalam otaknya. Bagaimana mungkin
gadis sepolos ini membuatnya begitu tak berdaya, mengulitinya
hingga ke tulang, membalikkan dirinya dari dalam ke luar sampai ia
merasa begitu liar, begitu telanjang, begitu terekspos saat Ian
Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menuntut Francesca menjadi miliknya"
Pikiran liar itu membuat Ian membuka kelopak matanya. Tangan Ian
meraih melepaskan rambut merah keemasan dari jepit rambut di
belakang kepalanya. Menggerai sulur lembut jatuh ke sekitar
pundaknya yang putih dan menyapu pipinya. Matanya seperti suar
yang gelap. Ian menunduk menatap kecantikan erotisnya seolah
Francesca adalah hal pertama yang orang buta lihat ketika baru saja
sembuh dari penyakitnya. Ian perlahan menarik ereksinya dari mulut Francesca. Hisapan
Francesca yang terus menerus menyebabkannya suara letupan basah
terdengar saat Ian menarik kejantanan dari mulutnya. Ian menutup
matanya sebentar karena terpisah dari kehangatan bibirnya.
Tak satu pun dari mereka yang bicara saat Ian membantu Francesca
berdiri dan membuka borgolnya. Francesca merintih pelan saat Ian
mematikan vibrator. "Aku menyetelnya terlalu tinggi untukmu," kata Ian, suaranya datar
bahkan untuk pendengarannya sendiri, mungkin karena ia tahu kalau
ia berbohong. Vibrator itu diatur tidak terlalu lemah atau kuat.
Francesca orgasme berulang kali saat ia menggunakan mulut
Francesca untuk kenikmatannya, karena ia begitu manis dan begitu
responsif dan... ...lebih dari yang kau perkirakan atau rencanakan.
Ian berhenti saat melonggarkan tali pada vibrator tanpa kendali
tangan. "Ian?" Tanya Francesca. Ian mengerjap saat ia mendengar suara
serak Francesca. "Ya?" Tanya Ian, menghindari tatapan Francesca sambil terus
menaruh kembali alat-alat yang ia bawa ke kamar kedalam tas.
"Apakah...semuanya baik-baik saja?"
"Semuanya luar biasa. Sekali lagi kau melampaui harapanku."
"Oh...karena...kau terlihat seolah...tidak senang."
"Yang benar saja," kata Ian pelan, mengatur kembali pakaian dan
menutup resliting celananya. Ian menatapnya, memutuskan untuk
mengabaikan kecantikannya yang mencolok dan ekspresi
kebingungan di mata gelapnya. "Kenapa kau tidak mandi di sini, dan
aku akan menggunakan kamar mandi lain" Setelah itu, aku akan
memesan makan malam untuk kita."
"Oke," kata Fraancesca, ketidakpastian dalam suaranya memtong
kata-katanya. Meski begitu, tak peduli seberapa tajam ucapan itu menyengat, Ian
berjalan keluar ruangan. Ian tiba-tiba berhenti dan berbalik, kendali
dirinya terputus. Francesca tidak bergerak. Ian mengulurkan
lengannya. "Kemarilah," kata Ian.
Francesca bergegas melintasi ruangan. Ian memeluknya dengan erat,
menghirup wangi rambutnya. Payudaranya yang penuh dan erotis
menekan tulang rusuknya. Ian ingin mengatakan padanya betapa
indah kejadian yang baru saja terlewat-betapa hebatnya dia-tapi
karena suatu alasan, jantungnya berdetak keras dengan tidak
nyaman. Ian tidak senang bagaimana ia merasa terekspos di saat-saat
akhir...menjadi lemah oleh kebutuhan akan Francesca.
Meski begitu, bibir Francesca sangat menggodanya. Ian
menciumnya dengan hati-hati, tahu bahwa Francesca mungkin masih
merasa nyeri. Napas manisnya pada mulut Ian membuatnya ingin
membawa Francesca ke ranjang dan menghabiskan malam dengan
bibir dan hidungnya terkubur pada kulit lembut dan kulit wanginya.
Khayalan untuk melakukan hal itu mengganggunya.
Sebagai gantinya, Ian memberikan ciuman terakhir dan melepaskan
pelukannya, perlu membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia masih
punya kemampuan untuk pergi menjauh.
*** *fellatio: oral seks yang dilakukan wanita kepada pria.
*Crotchless pants:celana tanpa selangkangan.
Because You Torment Me Bab 11 Keesokan paginya, Francesca meletakkan pil di lidahnya dan
meneguk air diantara bibirnya, kemudian menelannya. Francesca
menatap dirinya sendiri di kaca kamar mandi, berpaling dengan
cepat saat ia melihat bayangannya sendiri. Melihat dirinya meminum
pil kontrasepsi yang dibawa kemarin malam datang kembali padanya
dalam gambaran yang jelas: Ian membawanya makan malam pribadi
untuk dua orang dengan pemandangan romantis yang memukau,
Francesca bingung oleh sikap acuh tak acuh Ian, respon tajam
Franscesca pada penarikan diri Ian bahkan ketika Ian nampaknya
begitu khawatir... ...Mereka bertengkar dan Ian pergi.
Kenapa dia mesti repot-repot untuk meminum pil kontrasepsi setelah
mengetahui bagaimana Ian berperilaku tadi malam" Francesca
benar-benar gila karena menyetujui petualangan beresiko ini
bersama Ian - keduanya sungguh gila dan marah. Kebodohan
Francesca nampak begitu jelas sejak pertama kali Ian pergi setelah
pengalaman erotis yang mengagumkan dan intim kemarin.
Bagaimanapun juga itu adalah pengalaman luar biasa erotis dan
intim bagi Francesca. Ian pasti mempertimbangkannya untuk
menjadi bagian dari pembelajaran.
Atau contoh lain dari pelayanan bagus yang ia terima.
Kemarahan berkobar karena memikirkannya.
Memang benar, Ian menghabiskan waktu dengannya setelah
mereka...melakukan apa yang mereka lakukan - Francesca tak tahu
istilah tepatnya. Francesca ingin mengatakan bercinta, tapi Ian jelas
tidak setuju. Setelah Ian mengajari Francesca bagaimana
memberinya kepuasan dengan mulutnya" Setelah membuat satu
sama lain orgasme" Setelah Ian membuat Francesca kehilangan
akalnya oleh gairahnya sendiri hingga sekarang sulit untuk menatap
bayangan sendiri di cermin"
Ian tidak hanya menghabiskan waktu bersamanya, menurut
pengamatan orang awam, Ian memperlakukannya dengan memberi
pengalaman-sekali-seumur-hidup. Setelah mereka berdua mandi di
kamar mandi terpisah, Ian muncul lagi, terlihat sangat tampan
dengan memakai celana abu-abu yang menonjolkan kakinya yang
panjang dan pinggangnya yang ramping, kemeja biru muda
berkancing dan jaket sport.
"Apa kau siap" Kita akan makan malam di Le Cinq," Kata Ian,
berdiri di pintu masuk kamar tidur suitenya.
Francesca terkesiap dan menatap dirinya sendiri dengan khawatir.
"Kupikir kita memesan makanan di suite ini. Aku tidak bisa pergi ke
Le Cinq berpakaian seperti ini!" Francesca berseru, mengingat
semua yang pernah ia baca dan dengar tentang restoran eksklusif di
hotel itu. Kenapa Ian merubah rencana mereka" Dia bilang mereka
hanya akan memesan makanan. Mungkin Ian pikir suasana di suite
pribadi ini terlalu intim"
"Tentu saja kau bisa," Kata Ian, gaya bicaranya seperti kaum ningrat
Inggris. Ian mengulurkan lengannya penuh harap sebelum ia
mengetahui ketidaksetujuan Francesca. "Aku sudah memesan tempat
pribadi di luar teras untuk kita."
"Ian, aku tidak bisa! Tidak seperti ini," protes Francesca,
menyapukan tangannya menunjuk pakaian yang ia kenakan.
"Tentu kau bisa," Kata Ian, memberinya pandangan geli. "Kita tidak
akan dilihat oleh pelanggan restoran yang lain. Dan jika ada
seseorang yang mengamati kaos baseball Chicago Cubs-mu, aku
akan berurusan dengannya secara pribadi."
Apa yang Ian katakan sangat melegakan bahkan manis, namun
dengan kepedulian Ian yang mulai tumbuh, Francesca merasa
bahkan Ian masih menjaga jarak setelah pengalaman erotis yang
mereka lakukan sebelumnya.
Francesca sangat ragu, namun ia buru-buru memakai sepatu atas
pemintaan Ian, dan meraih tangannya. Francesca mengikuti Ian
masuk lift dan menyusuri koridor, sepanjang waktu Francesca
mendesis protes karena khawatir kalau mereka akan mengusirnya
keluar dari restoran mewah itu karena memakai celana jeans dan
kaos. Ian tidak pernah menjawab, hanya membimbing Francesca
tanpa bicara. Pelayan restoran mewah itu tersenyum menyambut Ian layaknya
teman lama. Francesca berdiri canggung sementara dua pria itu
berbicara bahasa Prancis dengan cepat. Berharap lantai pualam yang
licin akan terbuka dan menelannya. Pelayan hanya tersenyum lebar
kepadanya, bagaimanapun juga, saat Ian memperkenalkannya,
membuatnya tersipu saat Ian meraih tangannya dan menyapukan
bibirnya pada buku jari Francesca seolah ia adalah Cinderella di
pesta dansa bukannya Francesca Arno si kikuk yang memakai t-shirt.
Beberapa saat kemudian Francesca menatap dengan mulut ternganga
penuh kekaguman saat pelayan membawa mereka ke atas teras
pribadi berpenerangan lilin dengan pemandangan mengagumkan
dari karya seni baja dari Menara Eiffel. Dua lampu pemanas
dinyalakan untuk menghangatkan malam musim gugur yang sejuk
dan nyaman. Mejanya gemerlap oleh perpaduan dari nyala api,
Kristal, peralatan makan dari emas dan karangan bunga hydrangea
putih yang rimbun. Francesca memandang Ian dengan terkejut dan melihat bahwa
pelayan telah pergi. Mereka berdua sendirian di teras dan Ian
menarik kursi untuknya. "Apakah kau yang memesan semua ini?" Francesca bertanya
padanya, menengok dari balik pundaknya untuk beradu pandang
dengan Ian. "Ya," Kata Ian, mempersilahkan ia duduk.
"Kau seharusnya membiarkan aku berpakaian untuk acara makan
malam ini." "Aku bilang padamu sebelumnya kalau wanita bisa berpakaian
apapun Francesca," Kata Ian ketika dia duduk dihadapan Francesca.
Warna matanya menjadi biru gelap dalam cahaya lilin. "Jika seorang
wanita mengenali kekuatannya, ia bisa memakai pakaian usang dan
orang orang masih akan mengenalinya sebagai ratu."
Francesca mencela. "Kedengarannya seperti sesuatu yang diajarkan
kepada cucu seorang bangsawan. Sayangnya aku hidup di dunia
yang berbeda, Ian." Mereka menyantap makanan mewah, mengubah pembicaraan,
menyesap anggur merah dan mencicipi beberapa menu mewah dari
para koki yang melayani dengan sepenuh hati bukan hanya satu
pelayan tapi dua pelayan, tidak ada satupun dari mereka
mengerjapkan mata pada pakaian Francesca. Rupanya, itu karena
status Ian yang istimewa. Saat Francesca menggigil karena tiupan
angin, Ian berdiri dan melepas jaketnya, meminta dengan tegas pada
Francesca untuk memakainya.
Orang lain mungkin berpikir ini adalah malam yang romantis seperti
cerita dalam buku, namun ketika makan malam berlanjut, keragu dan
keputusasaan Francesca oleh jarak yang Ian buat semakin kuat. Ian
begitu cemas dan sopan...pasangan yang sempurna. Pada awalnya,
Francesca menyalahkan suasana tegang karena adanya pelayan yang
menunggu selama mereka makan. Namun seiring waktu berlalu,
Francesca tahu bukan itulah penyebabnya.
Ian terlihat menutup diri dari Francesca setelah mengajarinya
bagaimana memuaskan Ian. Kenapa" Apakah semua yang dilakukan
Francesca salah, dan dia terlalu sopan untuk mengatakan padanya
masalah yang sebenarnya"
Mungkinkah Ian sudah punya pengganti Francesca"
Kecurigaan Francesca terbukti saat mereka kembali ke suite
beberapa saat kemudian dan Ian bertanya apakah Francesca tidak
keberatan jika Ian pergi untuk melakukan suatu pekerjaan. Francesca
menjawab dengan acuh, "Tentu saja tidak," namun keraguannya
berubah cepat menjadi kemarahan. Francesca pergi ke kamar mandi
dan memeriksa email di ponselnya.
Pada satu kesempatan, Ian masuk ke kamar tidur, menyebabkan
Francesca terkejut. namun, Ian hanya memberinya sebuah paket.
Francesca membukanya dan menemukan persediaan pil kontrasepsi
selama tiga bulan di dalamnya.
"Paket itu baru saja tiba. Aaron, apotekernya, mengatakan kau
mungkin bisa segera meminumnya. Aku menyuruhnya menyertakan
petunjuk dalam bahasa Inggris," Kata Ian.
"Betapa perhatiannya kau."
Ian mengerjap pada sindiran tenang Francesca.
"Apakah kau kesal tentang usulku untuk meminum pil" Aku punya
hasil dari pemeriksaan medis terbaruku yang dikirimkan padaku.
Aku akan menunjukkannya padamu. Aku ingin kau percaya kalau
aku juga bersih dan sangat sehat. Selama kita bersama, aku tidak
akan bersama orang lain."
"Bukan itu yang sedang kupikirkan," Kata Francesca, meskipun ia
merasa lega oleh kata-kata Ian. Francesca seharusnya pengangkat
topik pembicaraan itu sebelumnya.
Tatapan Ian menelusuri Francesca penuh selidik. "Kau menyadari
bahwa aku sedang memikirkan hal lain malam ini" Aku minta maaf,"
Kata Ian setelah jeda. "Aku perlu menyelesaikan suatu pekerjaan.
Aku punya akuisisi yang sangat penting yang sudah kurencanakan
selama tertahun-tahun akhirnya akan membuahkan hasil minggu
depan." Francesca melirik Ian dengan hambar. Bukan pekerjaan Ian yang
membuatnya jengkel dan khawatir, bukan keduanya dan Ian
seharusnya tahu. Ini sangat kontras dengan pengalaman intim
mereka yang luar biasa dan sikap acuhnya sekarang.
Ian menatapnya dalam diam selama beberapa saat, seolah
mengumpulkan pikirannya. Antisipasi mulai berkembang pada diri
Francesca tentang apa yang hendak Ian katakan, ekspresi sarkastis
Franscesca sedikit mereda. Francesca sangat ingin meraih tangan Ian
untuk menenangkannya. "Maukah kubawakan segelas air untukmu?"
Sejenak Francesca menutup matanya ketika kekecewaan
membanjirinya oleh pertanyaan Ian.
"Aku pernah bilang padamu kalau aku bersikap buruk dengan para
wanita," Kata Ian dengan nada kasar dan terkendali. Francesca
membuka matanya. "Kau juga pernah bilang padaku kalau kau bukanlah pria yang baik.
Aku hanya menyadari tidak satupun kejadian itu atau salah satu yang
kau ungkapkan menyiratkan sedikitpun penyesalan oleh
kelemahanmu....tak ada sedikitpun tanda-tanda pergulatan."
Kemarahan seketika muncul di mata Ian oleh perkataan Francesca.
"Kukira kau merasa mampu membuatku menjadi pria yang lebih
baik," Kata Ian, bibir penuhnya terangkat seolah dia merasakan
sesuatu yang pahit. "Dengar nasehatku, Francesca, dan jangan repotrepot
melakukannya. Aku adalah aku, dan aku tak pernah berbohong
padamu untuk menjadi apapun yang lebih."
Francesca menatap tubuh tinggi Ian saat ia meninggalkan kamar,
membisu oleh meningkatnya kebingungan, amarah dan sakit hati.
Inikah yang Ian pikirkan" Kalau Francesca ingin merubahnya hanya
karena ia bingung oleh sikap menarik dirinya setelah mereka
bercinta" Atau dia benar untuk memperingatkan Francesca" Sepanjang malam
Ian benar-benar penuh perhatian terhadap setiap keinginannya,
mentraktirnya makan malam eksklusif dengan pemandangan
cakrawala paling romantis di dunia.
Ian tidak menawarkan hatinya kepada Francesca; Ian menjanjikan
kepadanya pengalaman dan kenikmatan, dan Ian memberikan
Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keduanya secara berlimpah.
Pikiran Francesca semakin kacau, membuat perutnya bergolak
karena khawatir. Francesca mencoba membaca e-book di ponselnya
namun pikirannya campur aduk dalam kebingungan dan sakit hati
sampai ia tertidur. Pagi hari saat ia terbangun, Ian tidak ada di sana. Francesca samarsamar mengingat lengan hangatnya yang menempel tubuhnya tadi
malam - lengan Ian merangkulnya, bibirnya bergerak diantara leher
dan pundaknya dengan ciuman yang menggairahkan. Namun sulit
untuk menentukan apakah ingatannya tercampur aduk dengan mimpi
atau kenyataan. Ada pesan di samping meja tempat tidurnya.
Francesca, Aku ada pertemuan makan pagi dia ruang La Galerie. Kau bisa
menelpon layanan kamar kalau kau mau. Kita berdua akan
meninggalkan Paris menuju Chicago jam 11.30. Tolong berkemas
dan bersiap, aku akan kembali ke suite untuk menjemputmu jam
9:00. Ian. Francesca merengut ketika membaca pesan itu. Ian membuatnya
terdengar seolah dirinya adalah sebuah paket atau koper. Jam
sembilan lewat sepuluh, Francesca berdiri di ruang tamu suite,
dompet dan tas ransel di pundaknya, merasa menyesal untuk
meninggalkan suite di kota Paris yang indah tempat Ian
mengajarkannya begitu banyak tentang gairah, dan merindukan
keadaan yang normal - kegiatan dunia yang waras - dari kehidupan
sehari-harinya. Francesca memeriksa arlojinya dan merengut. Ian belum datang.
Persetan. Merasa gelisah, dia menulis dengan cepat pesan singkat untuk Ian
kalau Francesca akan menemuinya di lobi dan meninggalakan
suitenya. Ini akan mengalihkan pikirannya dengan duduk di lobi
mewah dan melihat semua pemandangan yang menakjubkan dari
orang kaya yang hilir mudik sementara ia menunggu.
Di lantai bawah, Francesca duduk pada salah satu kursi mewah di
lobi dan meraih dompetnya mengambil ponsel untuk memeriksa
pesan. Sesuatu menarik perhatiannya dari sudut matanya. Ketika dia
mengenali itu tubuh tinggi Ian, satu satu yang menghalangi
perhatiannya, Francesca bersandar di kursi, mengamati suasana
sekitar dari punggung kursi. Ian berjalan keluar dari La Galerie,
salah satu restoran di hotel itu, lengannya melingkar pada seorang
wanita berpakaian sempurna berambut gelap yang terlihat berusia
sekitar pertengahan tiga puluhan. Francesca tidak bisa mendengar
percakapan mereka dari jarak sejauh itu, tapi sikap mereka entah
bagaimana terlihat...intim.
Apakah itu alasannya kenapa Francesca secara naluri membenamkan
tubuhnya ke belakang deretan kursi"
Ian merogoh kedalam jaket sport yang dia pakai dan memberi wanita
itu sebuah amplop. Wanita itu menerimanya dengan tersenyum dan
berjinjit, mencium pipinya. Jantung Francesca berpacu dan
kemudian perlahan berdenyut lamban ketika ia melihat Ian
meletakkan tangannya pada pundak wanita menarik itu dan
mencium kedua pipinya bergantian.
Mereka saling tersenyum hingga menghantam Francesca dengan
tajam...sedih. Wanita itu mengangguk sekali seolah menyakinkan
Ian dengan tenang bahwa semuanya akan baik-baik saja, sebelum
wanita itu membenamkan kepalanya dan berbalik melintasi lantai
marmer yang berkilau di lobi, melipat amplop yang Ian berikan
padanya ke dalam tas yang ia bawa. Ian hanya berdiri di sana selama
beberapa saat melihat wanita itu pergi, sebuah ekspresi yang tidak
pernah dilihat sebelumnya oleh Francesca di wajah yang maskulin
dan tegasnya. Ian terlihat sedikit melamun.
Francesca bersandar di kursi, menatap dengan kabur pada bunga
segar yang tertata dengan mewah pada meja di depannya.
Jantungnya seolah menciut di dadanya. Terasa seolah Francesca baru
saja berjalan kearahnya disaat Ian melakukan kegiatan yang sangat
pribadi. Francesca benar-benar tidak mengerti apa yang baru saja ia
lihat, namun entah bagaimana ia tahu itu adalah sesuatu yang
penting bagi Ian...sesuatu yang membebaninya.
Sesuatu yang tidak ingin diketahui oleh Francesca.
Ketika ia melihat Ian masuk ke toko perhiasan yang terletak di lobi
hotel beberapa saat kemudian, Francesca langsung berdiri dari
kursinya dan menuju lift bank.
"Hai. Kupikir aku akan menunggumu di lobi," Kata Francesca pada
Ian beberapa menit kemudian dengan keceriaan palsu. Mereka
bertemu di depan lift, Francesca bersikap seolah ia baru saja tiba di
lobi. Ian mengerjap oleh kehadirannya yang tak terduga. "Kupikir aku
memintamu untuk menemuiku di suite," Kata Ian, terlihat sedikit
heran...dan luar biasa tampan. Akankah ketampanan gelap dari pria
intens ini pernah berhenti untuk menghantamnya seperti pukulan
fisik" "Ya, aku melihat pesanmu," Francesca memperhatikan alis hitamnya
sedikit terangkat dalam diam. "Aku juga meninggalkan pesan,
mengatakan padamu kalau aku akan menemuimu di lantai bawah."
Bibir Ian yang penuh mengejang, tapi Francesca tidak yakin itu
karena marah atau senang.
"Aku minta maaf padamu karena keterlambatanku. Aku punya janji
penting dengan teman dekat keluargaku yang kebetulan berada di
kota ini, di ruang konfrensi. Aku akan pergi ke atas dan mengambil
barang-barangku dan bergabung bersamamu di lobi."
"Oke," Kata Francesca, sejenak bertanya-tanya tentang identitas
wanita cantik, teman dekat keluarga yang punya kemampuan untuk
menembus pertahanan emosional milik Ian.
Apakah Ian membeli sesuatu di toko perhiasan untuk wanita
misterius tadi" Mengetahui bahwa ia tidak bisa mengajukan pertanya itu, ia mulai
berjalan melewati Ian. Ia berhenti ketika Ian meletakkan tangannya
di lengan atasnya. "Aku minta maaf kejadina tadi malam."
Francesca hanya menatapnya, tak mampu bicara karena terkejut oleh
pengakuan Ian dan nada menyesal yang tulus dalam suaranya.
"Tentang apa?" "Kupikir kau tahu tentang apa," Kata Ian pelan setelah beberapa saat.
"Pikiranku melayang jauh jutaan mil kemarin malam. Aku khawatir
kau merasa terabaikan."
"Benarkah?" "Tidak. Aku masih ada di sini, Francesca - apapun keadaannya,"
Tambah Ian muram. Ian menunduk dan mencium bibirnya dengan
ciuman yang lembut dan penuh gairah. Apakah ini hanya
khayalannya ataukah ciuman ini mengatakan sesuatu yang tidak bisa
Ian ucapkan" Francesca hanya menatap punggung Ian yang menjauh beberapa saat
kemudian, kebingungan yang biasa ia rasakan ketika berhadapan
dengan Ian, jantungnya masih berdebar dan kewanitaannya
mengepal disebabkan oleh ciuman Ian.
*** Meskipun Ian telah meminta maaf lebih dulu, Francesca masih
merasa Ian sedang memikirkan sesuatu saat Jacob mengantar mereka
ke bandara dan mereka terbang dengan jet pribadinya. Hatinya
terbelah antara rasa prihatin kepada Ian - kasihan pada pandangan
Ian yang tersesat yang dia lihat di lobi hotel - dan makin lama
terluka pada sikap Ian yang terlihat menutup kesadarannya akan
keberadaan Francesca. "Apakah karena akuisisi penting yang akan kau lakukan akhir pekan
ini?" Francesca bertanya saat ia duduk diseberang Ian di pesawat dan
Ian membungkuk untuk mengambil komputer dari tasnya.
"Aku mencoba membujuknya - Well, jujur saja itu sangat
mengganggu - pemilik perusahaan lebih dari setahun ini, dan
nampaknya kami akhirnya mendapatkan persetujuan," Kata Ian,
membuka komputernya. "Sebenarnya aku tidak tertarik pada
perusahaan itu, tapi transaksi itu termasuk paten untuk software yang
sangat kuperlukan untuk perusahaan game baru yang sedang aku
rintis." Ian menatapnya dan kemudian meminta maaf di depan
komputernya. "Apakah kau keberatan?"
"Tidak, tentu saja tidak," Kata Francesca bersunguh-sunguh. Ian
mungkin membingungkan dan membuatnya jengkel, tapi Francesca
bukan tipe orang yang terus menerus ingin diperhatian. Ian langsung
berkerja ketika mereka tiba di pesawat, membaca dokumen,
mengetik dengan cepat, dan sesekali menelpon.
Francesca membaca pesan yang dikirim Lin Soong ke ponselnya dan
mempelajari email darinya tentang buku petunjuk "Peraturan Jalan
di Illinois". Kapan Ian meminta asistennya untuk melakukan ini"
Kemarin malam, saat ia mengabaikan Francesca setelah makan
malam romantis mereka"
Bukankah itu berarti Ian memikirkan tentang Francesca...meskipun
sedikit" Dan bukankah itu pemikiran seseorang submisif, terus menerus
mengukur dunianya dengan melihat apakah masternya sedang
memikirkan dirinya atau tidak, apakah masternya puas terhadap apa
yang dilakukan submisifnya"
Muak oleh gagasan itu, Francesca memutuskan untuk mengalihkan
perhatiannya jauh dari pria pemaksa yang duduk disampingnya. Ia
mengirim email untuk mengucapkan terima kasih pada Lin,
kemudian dengan cepat bertanya kepada Ian apakah ia bisa
meminjam tabletnya. "Kenapa?" "Untuk membaca sesuatu."
"Membaca "Peraturan Jalan di Illinois" yang aku minta pada Lin
untuk dikirim padamu?"
"Tidak." Francesca berbohong tanpa berkedip, "Novel sampah."
Francesca tersenyum kecil pada tatapan bosan Ian. Ian
memberikannya tablet itu tanpa ragu atau berkomentar lebih jauh.
Untung saja, Francesca bisa sedikit fokus pada tugas saat ia ingin
menjadi seperti Ian. Ia dengan rajin menghafal masing-masing
peraturan jalan dalam perjalanan pulang, anehnya sekarang ia
memutuskan untuk mendapatkan surat ijin mengemudinya setelah
Ian membahas urusan itu. Pengalaman berada dalam di balik kemudi
membuatnya senang. Sesaat kemudian, ia lupa pada kejengkelannya
kepada Ian, merasa nyaman dengan kehadiran Ian saat mereka
berdua membagi perhatiannya pada urusan masing-masing.
Francesca tidur siang sebentar dan menggunakan kamar kecil. Saat
ia pergi, Ian membawakan mereka makanan dan minuman dari
dapur. Francesca menyesap air soda dinginnya dan melihat Ian
sebentar saat dia bekerja. Ian benar-benar memiliki kekuatan alami.
Jika Ian bisa mematenkan fokusnya yang intens dalam dirinya, dia
mungkin adalah pria paling kaya di planet ini.
Ian sudah menjadi salah satu dari mereka, Francesca mengingatkan
dirinya sendiri dengan masam sambil menggeleng sebelum ia
kembali mempelajari catatannya.
Ketika suara pilot keluar dari interkom dan mengatakan jika mereka
mulai turun di Indiana, Ian menengadah, mengerjap beberapa kali,
seolah melihat dunia sekitarnya untuk pertama kali. Ian mematikan
komputer dan menggaruk jemarinya pada rambut pendeknya, rambut
kusut, membuat Francesca tiba-tiba ingin membelai tangannya di
rambut Ian. "Bagaimana belajarmu?" Ian bertanya, suaranya terdengar sedikit
parau karena tidak berbicara dalam waktu yang lama.
"Mengagumkan." jawab Francesca, tidak terlalu terkejut oleh
kenyataan kalau Ian tahu bahwa Francesca berbohong tentang
membaca novel. Tidak banyak yang terlewat dari perhatiannya.
"Kau mengatakannya dengan sangat percaya diri," Kata Ian,
menyesap air esnya dan mengamati Francesca dari tepi gelasnya.
"Tidak ada alasan aku tidak percaya diri."
Ian mengulurkan tangannya. Francesca menangkap tatapannya dan
mengembalikan tabletnya. Ian mulai bertanya pada Francesca tetang hal-hal pokok. Francesca
mengatakan dengan cepat jawaban yang tepat tanpa ragu. Wajahnya
yang tampan tanpa ekspresi, tapi Francesca punya kesan jika Ian
merasa puas. "Aku ada pertemuan sore ini dan besok sepanjang hari di kantor, tapi
aku akan meminta Jacob untuk mengajarimu berlatih mengemudi.
Sekali atau dua kali berada di balik kemudi, dan kau akan siap untuk
memdapatkan SIM-mu," Kata Ian dengan percaya diri.
Francesca mengabaikan kekecewaan yang ia rasakan - ini seolah
mendapatkan SIM-nya telah ditambahkan kedalam daftar yang
sudah Ian rencanakan secara lengkap menurut metode Ian sendiri.
Daripada berkomentar tentang hal itu, Francesca fokus pada hal lain
yang Ian katakan dan yang membuatnya terkejut.
"Sore ini" Jam berapa sekarang di Chicago?"
Ian memeriksa Rolexnya. "Kira-kira sama saat kita meninggalkan
Paris: sebelas empat puluh."
"Wow, kita seperti berpindah tempat."
Ian memberikan senyum yang tak terduga. Pesawat menukik saat
mereka akan mendarat, memberikan sensasi menukik di perutnya.
Senyum itu selalu membuatnya lebih mudah didekati. Francesca
terlalu gembira untuk bertanya tentang wanita yang yang Ian temui
pagi ini, untuk menanyakan padanya kenapa ia terlihat begitu
terpengaruh oleh pertemuan itu...
...untuk meminta Ian mengatakan padanya sesuatu yang
membuatnya mengerti teka-teki dalam diri Ian.
Tetapi Ian punya rencana lain.
"Kemarin kau menyebutkan tentang bencana keuangan," Kata Ian.
Francesca menatap kearahnya dengan mulutnya terbuka. Ini seolah
ia kembali pada percakapan yang mereka lakukan kemarin tanpa
jeda. "Apa rencanamu dengan uang yang akan kau hasilkan dari
honor melukis?" Francesca mencengkeram lengan kursinya, sedikit terguncang ketika
pesawat mencapai landasan. Ian tidak terpengaruh sedikitpun.
"Apa maksudku tentang apa yang akan kulakukan dengan uang itu"
Aku berencana menggunakannya untuk pendidikanku...masa
depanku." "Tentu saja, namun bukan berarti kau harus menulis cek seratus ribu
dolar dalam waktu dekat, benar, kan?"
Francesca menggeleng. "Kenapa kau tidak membiarkan aku untuk menginvestasikan
uangmu?" "Tidak," sembur Francesca. Dia melihat ekspresi kosong Ian karena
tidak percaya pada kekukuhannya. Ada beribu orang yang akan
berusaha sekuat tenaga memperoleh keahlian finansial yang Ian
Noble tawarkan untuk menginvestasikan uang mereka.
"Kau tidak boleh meninggalkan begitu banyak uang di rekening
giromu," Kata Ian seolah mengatakan hal yang paling nyata di planet
ini. "Ini sama sekali tidak masuk akal."
"Masuk akal bagiku! Orang sepertiku tidak menginvestasikan uang,
Ian." "Orang sepertimu" Maksudmu orang bodoh lainnya" Itulah kenapa
kau meninggalkan uang sebanyak itu di rekening giromu," Kata Ian,
mata birunya menyala.
Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Francesca menatap kearah kursi panjang, bersiap untuk menjawab
dengan pedas, dan kemudian mempertimbangkannya kembali.
Francesca bersandar dan memandangnya. Ian terdiam ketika ia
menyadari tatapan spekulatif Francesca.
"Apa?" tanya Ian, sedikit curiga.
"Aku akan menginvestikannya sendiri jika kau mengajarkan aku
bagaimana caranya." Kilatan waspada di matanya berubah menjadi geli.
"Aku tidak punya waktu untuk mengajarimu," Francesca
mengangkat alisnya. "Tidak pada investasi pribadi, tentu saja," Ian
menambahkan, seringai seksi muncul dari bibirnya. Denyut nadinya
meningkat. Oh Tuhan tolonglah dia, Ian begitu tampan. Ian melepas
sabuk pengaman ketika pesawat berhenti.
"Apakah kau sungguh-sungguh ingin belajar tentang keuangan?"
"Tentu. Aku perlu semua bantuan yang bisa kudapatkan."
Ian tidak berkata apa-apa saat ia menutup tasnya dan berdiri. Ian
memakai jas sportnya dan mendekati Francesca, meraih tangannya.
Francesca melepas sabuk pengaman, dan Ian menariknya lembut ke
sampingnya. "Akan kita lihat apa yang bisa kita atur diantara pelajaranmu yang
lain," gumam Ian, mengangkat kepalanya dan mencium bibirnya.
Ada apa dengan kontras antara sikap acuh tak acuh Ian kali ini dan
panas luar biasa yang menciptakan suatu kerinduan yang luar biasa
tajam dalam dirinya"
Rasanya aneh baginya dalam setengah jam melihat cakrawala
Chicago diantara langit yang biru. Ini terlihat selalu sama, namun ia
merasa berbeda. Ketika Jacob membelokkan limosin Ke North
Avenue dari jalan raya antar negara bagian, Francesca
mempersiapkan mental untuk kembali ke kehidupannya. Sulit secara
mental mempersiapkan diri dengan dunianya yang dulu. Paris telah
merubahnya. Ian juga. Meskipun Ian menjauh darinya hari ini, bisakah ia benar-benar
menyesali kebangkitan seksualnya, semakin meluas dan mendalam
dunianya" "Apakah kau melukis besok setelah kuliah?" Ian bertanya dari
tempat duduknya di seberang Francesca di bangku kulit di bagian
belakang limo. "Ya," Kata Francesca, meraih dompetnya. Jacob berhenti di depan
perumahan Davie di Wicker Park townhome. Francesca menatap Ian,
merasa sedikit canggung atas realita jika sekarang mereka akan
kembali ke dunia mereka yang berbeda. Jacob mengetuk jendela,
dan Ian dengan santai membungkuk dan mengetuk sekali sebagai
balasannya. Pintunya tetap tertutup.
"Aku ingin mengajakmu makan malam denganku pada Kamis
malam," Kata Ian. "Baiklah," Kata Francesca, merasa senang dan tersipu oleh perkataan
Ian. "Dan hari Jumat dan Sabtu, aku akan memilikimu. Titik."
Rasa panas membanjiri pipinya. Perasaan yang amat dalam
menghantamnya. Memberi jeda perkataannya saat ini, Ian jelas
belum selesai dengannya. "Aku harus bekerja pada Sabtu malam."
"Minggu kalau begitu," Kata Ian, tak peduli.
Francesca mengangguk. "Aku akan meminta Jacob mengajarimu mengemudi sore ini, dan
besok sore juga. Kalian berdua bisa mengatur waktu untuk besok.
Hari ini, dia akan menjemputmu jam empat. Mungkin kau ingin
istirahat dulu sebelumnya."
"Tidak juga," Kata Francesca masam. "Aku akan jogging, dan
kemudian mengerjakan tugas kuliahku." Ian memandangnya dalam
keheningan, wajahnya tertutup oleh bayangan dari interior mobil.
Francesca menelan ludah dan menarik dompet lebih dekat dengan
tubuhnya. "Terima kasih. Untuk Paris," Kata Francesca buru-buru.
"Terima kasih," jawab Ian sederhana.
Francesca mendekat ke arah pintu, merasa canggung.
"Francesca." Ian memasukkan tangannya ke saku dalam jaket
sportnya dan memberinya sebuah kotak kulit. Napas Francesca
membeku saat dia mengenali nama dari toko perhiasan yang berada
di salah satu hotel di Paris.
Ian pergi ke toko perhiasan pagi ini untuk membelikan sesuatu
untukku, bukan untuk wanita misterius itu.
"Aku bilang padamu kalau aku akan membelikan sesuatu untuk
rambutmu saat kita tiba di Paris, tapi kau tidak membiarkan aku
mengajakmu berbelanja. Kuharap kau menyukainya. Aku tidak biasa
memilih sesuatu yang feminin tanpa bantuan Lin."
Menelan ludah dengan susah, Francesca membuka kotak itu. Ia
terkesiap. Di atas kain beludru hitam ada delapan jepit rambut yang
lebar, masing-masing terdapat batu permata berbentuk bulan sabit di
ujungnya. Setelah jepit itu diselipkan kedalam gulungan rambut,
akan terlihat bahwa gaya rambut yang disisir ke atas berkilauan
dengan berlian. Itu bukan saja hadiah yang mewah, namun sangat
berselera dan pribadi. Francesca menatap Ian, matanya terbelalak penuh kekaguman.
"Aku bilang pada penjualnya tentang betapa lebat rambutmu, dan ia
meyakinkanku jumlah pinnya tidak akan membatasi kecantikanmu."
Ian mengerjap ketika Francesca tidak bicara. "Francesca" Kau
menyukainya, bukan?"
Jika Francesca tidak mendengar isyarat ketidaksetujuan Ian pada
nada bicaranya yang tajam seperti biasanya, Francesca mungkin
akan menolak apa yang dia kira adalah sebuah pemberian yang
mahal. Karena ini - "Kau bercanda" Ian, ini mengagumkan." bibirnya gemetar saat ia
melihat kembali ke jepit rambutnya. "Ini bukan berlian asli, kan?"
"Jika itu berlian buatan, aku membayarnya terlalu mahal," Kata Ian
masam, semua jejak ketidakpastiannya telah hilang. "Maukah kau
memakainya" Kamis malam saat makan malam?"
Francesca melihat ke bayangan wajah Ian. Mengapa begitu sulit
untuk mengatakan tidak padanya" Bukan kebutuhan untuk
menyenangkan Ian yang ia alami dengan seksualitas Ian. Ini adalah
hal yang lain...hasrat untuk menunjukkan padanya kalau ia
mengetahui pemberian Ian adalah penuh perhatian...indah...
...dan Ian juga begitu indah untuk Francesca.
"Ya," jawab Francesca, bertanya-tanya bagaimana bagaimana jika
rambut yang bertabur berlian dipadu dengan jeans yang dipakainya.
Senyum kecil Ian adalah sebuah alasan yang cukup untuk menerima
pemberian yang mewah ini. Francesca memaksa dirinya untuk
memandang jauh dari tatapan yang membuatnya kecanduan dan
meraih gagang pintu. "Dan Francesca?"
Francesca menengok dan terengah.
"Asal kau tahu saja," Kata Ian, dia tersenyum seolah dia tertawa
pada dirinya sendiri, "jika bukan karena akuisisi terkutuk ini, aku
akan memilikimu di ranjangku sekarang juga, dan kita melanjutkan
pelajaranmu dengan penuh semangat."
*** Beberapa hari berikutnya berlalu Francesca kembali dari pekerjaan
rumah, kuliah, melukis di penthouse Ian, dan pelajaran menyetirnya
yang baru dengan Jacob. Dan belakangan berakhir lebih
menyenangkan dari yang dia harapkan. Supir Ian menyenangkan,
teman yang lucu. Ditambah lagi, Jacob memiliki dua kualitas
penting untuk duduk di kursi penumpang sementara Francesca
mengemudikan mobil otomatis mewah milik Ian: saraf baja dan rasa
humor. Pada rabu malam, Francesca mengemudi pertama kali di kota.
Ketika dia berhenti di depan High Jinks dan menaruh mobil pada
gigi netral, dia memberikan tatapan penuh harap pada Jacob, yang
mana supir berusia pertengahan itu memberinya seringai lebar.
"Kupikir kau siap untuk tes mengemudi kapan pun."
"Kau pikir begitu?" tanya Francesca.
"Ya tentu. Kita akan pergi ke daerah pinggiran untuk mencoba. Itu
akan lebih mudah melakukannya di sana daripada di kota."
"Aku menyesal karena membawamu terlalu jauh dari tugasmu
minggu ini." Kata Francesca, meraih dompetnya. Dia berkerja
malam ini di High Jinks, dan Jacob menyarankan dia menyetir
kesana sebagai bagian dari pelajaran.
"Tugasku adalah apa pun yang Ian katakan." kata Jacob, kilatan
hiburan ada di matanya. "Dan dia mengatakan tugasku adalah memastikan kau mendapatkan
SIM-mu...oh. Dan menjagamu sepenuhnya tetap aman selama
semua ini berlangsung."
Francesca menundukkan kepalanya untuk menyembuyikan rasa
senangnya oleh komentar Jacob yang spontan. "Dia tidak meminta
banyak bukan?" tanya Francesca, berpikir tentang segenggam waktu
yang baru dia lalui dengan cepat mereka berdua menghancurkan
jalanan Chicago sore ini.
Jacob tertawa kecil. "Ini akan menjadi istirahat yang menyenangkan
dari rutinitas normalku. Disamping itu, Ian mengasingkan diri di
kantornya sejak kami kembali dari Paris, menghasilkan usaha keras
untuk transaksi minggu ini. Dia tidak memerlukan aku."
Francesca senang karena berita menarik ini. Dia tentu saja tidak
melihat tiba-tiba atau mendengar berita tentang Ian sejak mereka
kembali ke Chicago. Kehadirannya hanya membuat penantiannya
untuk makan malam dengannya - melihatnya, titik - pada Kamis
segalanya menjadi lebih tajam.
Sayangnya, Ian tidak pernah menelponnya untuk mengatakan waktu
dia perkirakan untuk mengajaknya makan malam. Akibatnya, ia
memusatkan perhatian terbaiknya pada lukisannya di Kamis sore
dan memasuki malam. Mrs. Hanson akan mengatakan pada Ian jika
Francesca berada di studio jika Ian bertanya. Perlahan, saat ia
memulai pekerjaanya, semua bagian tubuhnya berdebar, gugup dan
gembira karena akan menghabiskan waktu dengan Ian, dan dia
masuk ke daerah indah dari fokus kreatif yang dia butuhkan sebagai
seniman. Ketika sebuah lengan kaku memecah konsentrasinya pukul tujuh
malam, dia memaksakan dirinya menaruh kuasnya dan mengingat
apa yang telah ia perbuat.
"Ini mengagumkan."
Rambut di lengan dan di belakang lehernya berdiri dalam
kewaspadaan oleh ketenangan yang akrab, suara yang parau.
Francesca berbalik. Ian hanya berdiri di depan pintu yang tertutup,
memakai setelan rapi abu-abu, kemeja putih dan dasi biru pucat.
Rambutnya acak-acakan seksi, seolah dia baru pulang dari kantor
melalui angin danau Michigan. Francesca berjalan ke meja untuk
mengeringkan kelebihan cat dari kuasnya, perlu bergerak untuk
bernapas karena tatapan mata Ian.
"Ini akan segera selesai. Aku punya masalah dengan cahaya hanya
kalau aku ingin pergi di gedung Noble Enterprises. Aku perlu pergi
kesana dan berdiri di lobi Noble Enterprises untuk memeriksa
cahaya di sana...juga melihat seperti apa lukisan itu akan di
gantung." Dari sudut pandangnya, Francesca melihat Ian berjalan kearahnya,
kedekatannya seperti binatang perkasa, begitu manis. Francesca
meletakkan kuasnya di cairan pelarut dan menghadap Ian. Mata
birunya mengunci tatapan Francesca dan memegang erat.
Seperti biasanya. "Lukisan ini mengagumkan. Aku menyukainya, kupikir. Ini
mengagumkan melihatmu melukis. Ini sedikit seperti menangkap
seorang dewi sementara dia menciptakan bagian kecil dari dunia,"
Kata Ian, menyentuh pipinya, senyum mencela-untuknya di bibir
pada keanehan perubahan pikirannya.
"Kau benar-benar menyukainya" Lukisan ini?" tanya Francesca,
tidak bisa mengalihkan tatapannya dari mulut Ian. Ian berdiri cukup
dekat hingga Francesca bisa mencium aromanya - bau sabun
gilingan Inggris, wangi lembut dari lotion sehabis bercukur
beraroma rempah, dan hanya petunjuk dari kesegaran napas yang dia
hembuskan. Tubuhnya merespon dengan cepat, gembira oleh gairah
seksual. "Ya. Tapi tidak mengejutkan bagiku. Aku tahu apa pun yang kau
lukis akan mengagumkan."
"Aku tak tahu bagaimana kau mengetahuinya," Kata Francesca,
menatap kesamping karena malu.
"Karena itulah dirimu," Kata Ian, mengangkat tangannya untuk
membelai rahangnya, memiringkan wajah Francesca menghadap
dirinya. Ian menunduk dan menciumnya dengan dalam. Tidak ada
sentuhan, mengecap bibir kali ini. Ian langsung menembus di mulut
Fransesca dengan lidahnya, seolah dia membutuhkan rasanya dan
tidak bisa menunggu lebih lama. Kehangatan dan kenikmatan
menyerbu ke organnya ketika dia menunjukkan kehangatan dan
rasanya...ketika dia mengakui Ian telah mendominasi perasaannya.
Ketika Ian mengangkat kepalanya beberapa saat kemudian,
Francesca mengerjapkan kelopak matanya terbuka pelan, masih
bingung oleh ciuman keras Ian. Sentuhan jarinya bergerak cepat,
membuka kancing blusnya, matanya melebar.
"Mrs. Hanson?" "Aku mengunci pintu saat aku masuk," Kata Ian.
Cairan hangat bergelora dari organnya oleh sensasi dari tangan Ian
yang bergerak di lembah sensitif di antara payudaranya. Ian
menjentikkan pergelangan tangannya, dan jepitan depan branya
terbuka. Ian menanggalkan bra ke belakang dan menatap. Cuping
hidungnya melebar. "Mengapa aku begitu berhasrat saat itu terjadi padamu?"
"Ian - " Francesca mulai berkata, bergerak oleh intensitasnya, tapi
Ian menghentikannya, menunduk untuk mengambil putingnya yang
mengeras kedalam mulutnya yang hangat, mulutnya yang basah.
Francesca terengah saat kenikmatan menyerbu ke organnya,
tangannya melayang ke rambut Ian. Ian terganggu dan membelai
puncaknya dengan kuat, lidahnya yang licin,dan kemudian
tenggelam padanya. Francesca mengerang, jarinya merayap ke
rambut Ian. Ian memijat payudaranya yang lain, menekan putingnya
pada telapak tangannya, dan kemudian menjepitnya lembut dengan
jarinya. Kepala Francesca terkulai kebelakang saat dia menyerah
pada kenikmatan yang kacau.
Ian mengangkat kepalanya beberapa saat kemudian dan mengamati
ketelanjangan Francesca. "Begitu cantik. Aku tidak tahu mengapa
aku tidak menghabiskan sepanjang hari memujanya." Ian bergumam
pada dirinya sendiri, merangsang kedua putting yang BEADING
dengan segera. "Aku ingin menghabiskan semua hari untuk memuja
setiap inci tubuhmu, namun sayang sekali tidak ada cukup waktu
selama sehari. Disamping itu," Kata Ian, mulutnya mengeras. "Aku
selalu hilang kontrol sebelum aku bisa."
"Tidak apa-apa hilang kendali, Ian. Sesekali." Kata Francesca
lembut. Ian menengadah, tatapannya menusuk Francesca saat di terus
membelai putingnya dengan satu tangan. Ian mulai membuka celana
jeansnya, mengunci tatapannya tanpa terputus.
"Aku hanya ingin sementara kau hilang kendali. Sekarang juga,"
Kata Ian. Ian tidak mendorong jeansnya ke bawah pahanya, hanya
membuka kancingnya dan menyelipkan jari panjangnya di bawah
celana dalam Francesca.
Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh!" Francesca terengah ketika Ian meraba di antara labianya dan
mulai merangsang klitnya. Ian mengerang dengan puas.
"Lembut. Apakah kau ingin aku menghisap payudaramu yang
indah?" gumam Ian, tatapannya menjelajahi wajah Francesca,
membaca reaksinya oleh sentuhan intimnya.
"Ya," Bisik Francesca.
"Letakkan tanganmu di payudaramu. Dekap payudaramu. Itu akan
menyenangkanku," tambah Ian ketika dia menyadari keraguan
Francesca. Semua yang dia inginkan telah dikatakan. Francesca mengumpulkan
payudaranya di tangannya, memijatnya, merasakan miliknya setiap
hari oleh tatapan panas Ian padanya. Ian terus menggosok klitnya
dengan begitu ahli. Dengan tangannya yang lain, Ian membelai
rahangnya dan mengusapnya lembut dengan ibu jarinya, berbeda
dengan tuntutannya, sentuhan intim pada organ Francesca dan
belaian lembut di pipinya membuat Francesca liar untuk beberapa
alasan. Tatapan Ian berkedip kearah dadanya. Ian menatap ketika
Francesca memainkan payudaranya untuk kesenangannya...dan
meningkatkan, dirinya. "Benar. Cubit puting itu," Kata Ian. suaranya parau, gerakannya
diantara pahanya lebih kuat. "Sekarang tahan - berikan puting merah
muda cantik itu padaku."
Francesca mengerjap karena tatapan dari gairah yang bertambah. Dia
mengangkat payudaranya dari bawah, tak percaya pada apa yang Ian
harapkan. Ian tiba-tiba menyapu ke bawah dan mengulum salah satu
puting, kemudian yang satunya, untuk hisapan yang panas, hisapan
yang manis. Ini terlalu banyak. Saat Francesca merasakan gesekan
giginya pada putingnya sakit dan mengeras, dia dalam klimaks yang
nikmat. Tajam, kenikmatan yang memabukkan melandanya.
Ketika dia kembali pada dirinya sendiri, tangan Ian tetap bergerak
diantara pahanya, namun dia berdiri kaku, menatapnya saat dia
datang. Perlahan, dia mengangkat tangannya dari organ seks
Francesca. "Maafkan aku. Kupikir aku tidak bisa menunggu hingga makan
malam usai, tapi melihatmu melukis adalah salah satu afrodisiak
paling kuat," Kata Ian, matanya berkilat dengan panas. Francesca
menatap ke bawah dan melihat Ian menurunkan celananya.
*** Because You Torment Me Bab 12 Ketika Ian menarik ereksinya, Francesca mengerti mengapa Ian
harus melonggarkan ikat pinggangnya begitu lebar untuk
membebaskan dirinya. Kejantanannya besar dan keras. Klitnya
berdenyut oleh gairah. Ketika Francesca melihat wajah kakunya,
wajahnya yang tampan, ia langsung berlutut. Tidak ada borgol kali
ini. Tidak ada vibrator. Hanya kebutuhan Ian semata...dan dirinya.
Jari Ian membelai rambutnya ketika ia memposisikan Kejantanannya
dengan satu tangan. Francesca terpesona oleh besar ereksinya,
berdenyut hangat...terasa penuh. Francesca menggunakan tangannya
yang lain untuk menyentuh pahanya, yang mana terasa keras dengan
ditumbuhi rambut yang gelap. Francesca tak pernah puas akan
sensasi tentang Ian - begitu jantan, begitu dahsyat. Ian mendengus
ketika Francesca menyapukan ujung ereksinya pada pipi dan
kemudian bibirnya, mencoba merasakan sensasinya. Testis Ian terasa
bulat dan menegang di bawah jemarinya.
Francesca mendesah dalam kenikmatan dan menyelipkan milik Ian
ke dalam mulutnya, ujung ereksi Ian meregangkan bibirnya.
Ian membiarkan Francesca menyentuhnya untuk pertama kali, dan ia
menikmati pengalaman ini. Francesca memutar lidahnya disekeliling
ujung ereksinya, menyukai bagaimana jemari Ian mengetat di
rambutnya, menghisap Ian kedalam mulut Francesca,
memasukkannya dengan lahap.
Francesca menutup matanya dan tersesat dalam gairah abadi.
Seluruh dunia Francesca hanya tertuju pada sensasi keras daging
yang berdenyut milik Ian - hal yang paling esensi dari dirinya mendorong diantara bibir sensitifnya, merasakan batang tebal itu
meluncur melalui kepalan tangan yang ketat, cita rasa Ian
menggedor kedalam kesadarannya hingga hasrat Francesca untuk
merasakan Ian membanjiri tubuhnya.
Francesca memasukkan ereksi Ian kedalam tenggorokannya. Bukan
karena Ian menginginkannya namun karena Francesca ingin
melakukannya. Kebutuhan mutlak Francesca.
Di kejauhan, Francesca menyadari bahwa Ian menyebut namanya,
terdengar putus asa...sedikit tersesat. Mulut dan rahangnya sakit
karena meremas kejantanan Ian dengan begitu kuat, dan
tenggorokannya tersiksa oleh dorongannya, namun ia menghisapnya
lebih keras, ingin meredakan rasa sakitnya...
...Meskipun hanya untuk satu kesempatan indah yang
menghancurkan. Mata Francesca melebar, mantra kental yang sedang menguasai
nafsunya hancur oleh sensasi ereksinya yang membengkak sangat
besar di mulutnya. Ian meledak saat ia berada di dalam mulutnya,
Francesca merasa benar-benar berada di bawah kekuasaan dan
kendali Ian, karena Francesca percaya Ian tidak akan menyakitinya.
Benar saja, Ian menarik dirinya dengan erangan parau dan terus
klimaks di mulutnya, jemari Ian mencengkeram rambutnya saat ia
mengendalikan gerakannya, menggerakkan mulut Francesca maju
mudur sepanjang kejantanannya, mengocoknya dengan dangkal.
Francesca menghisap hingga tetes terakhir dari spermanya yang
tumpah ke lidahnya, napasnya yang terengah-engah terdengar di
telinganya, cengkeraman di rambutnya mengendur dan berganti
menjadi belaian. "Kemarilah," Francesca mendengar Ian berkata dengan parau
beberapa saat kemudian. Francesca dengan enggan mengeluarkan ereksi Ian dari mulutnya,
lebih suka ereksi itu tetap berada di sana dan memerah kejantanan
yang mulai melunak namun masih terlihat perkasa,
memainkannya...mempelajarinya. Ian membantunya berdiri dan
segera menunduk untuk menangkap bibirnya dalam satu ciuman
kuat namun lembut. "Kau begitu manis," Kata Ian beberapa saat kemudian, napas Ian
masih tak beraturan di atas bibir Francesca yang bengak dan sakit.
"Terima kasih."
"Sama-sama," Kata Francesca, tersenyum lebar. Sesuatu tentang
kebutuhan murninya dan kemampuan Francesca untuk
memenuhinya membuat dirinya sangat senang. Ian menunduk, ibu
jarinya menyentuh bibir Francesca yang tersenyum.
"Kau membuatku hilang kendali, Francesca."
Senyum Francesca sedikit memudar ketika ia melihat bayangan
muncul di mata Ian. Francesca punya kesan kalau Ian tidak
sepenuhnya senang tentang rasa lapar dirinya akan Francesca.
"Tidak ada yang salah dengan hal itu. Benar, kan?"
Ian mengerjap, dan bayangan itu memudar.
"Kurasa tidak. Tapi kita punya rencana," Gumam Ian, menunduk
menghujani ciuman di pipi dan kemudian telinganya. Francesca
gemetar, kewanitaannya memanas lagi. "Ya Tuhan aromamu begitu
nikmat," Gumam Ian, bibir hangatnya sekarang menjelajahi
lehernya. "Ian" Apa rencananya?" Francesca berbicara dengan susah payah.
Ian mengangkat kepalanya, dan Francesca berharap ia tidak
bertanya. "Kita punya janji makan malam jam delapan tiga puluh."
"Kita bisa sedikit terlambat, bukan?" Bujuk Francesca, menelusuri
jemarinya di atas rambut pendek dan tebal milik Ian, menikmati
sensasinya. Ian jarang membiarkan Francesca menyentuhnya.
Francesca benci untuk berhenti karena suatu rencana.
"Sayang sekali, kita tidak bisa," Kata Ian menyesal, menjauh darinya
dan mengancingkan celananya. Francesca juga melakukan hal sama
pada dirinya. Ian meraih tangannya dan menuntunnya keluar dari
studio. "Kita akan makan malam dengan pemilik perusahaan yang
ingin aku beli. Tapi aku punya alasan yang bagus kalau malam ini
Xander LaGrange akan berhenti memainkan permainan kucing dan
tikus yang membosankan dan akan memberikan tanda tangan di
garis putus-putus itu. Kupikir aku akhirnya mempermanis
kesepakatan dengan hal yang bahkan tidak bisa ditolak oleh
pecundang itu," Gumam Ian berkata pelan saat membawa Francesca
menyusuri lorong-lorong mewah yang tenang di penthouse milik
Ian. "Oh," Kata Francesca, nyaris berlari agar bisa menyusul Ian dengan
langkah kaki panjangnya. Francesca terkejut Ian meminta untuk
menemaninya dalam pertemuan bisnis penting. Apakah menurut Ian
itu keputusan bijaksana, Francesca bertanya-tanya, ketika rasa
gugup mulai yang bergolak di perutnya. Orangtuanya tentu saja akan
mengatakan itu adalah keputusan yang buruk sekali bagi Ian. "Di
mana kita akan makan malam?"
"Di Sixteen." Kata Ian, membawa Francesca ke kamar mandi suite
dan menutup pintu di belakang mereka.
Francesca mengerjap. "Ian, itu adalah salah satu restoran paling
bagus di kota ini," Kata Francesca, rasa panik mulai
mengganggunya. "Aku tidak bisa menyiapkan pakaian untuk makan
malam seperti itu...dalam satu jam!" tambah Francesca, ngeri atas
realitas itu. "Apakah kau memesan ruangan pribadi lagi?"
"Tidak." Ian melambai padanya dengan isyarat ikuti aku. Ian
membuka pintu dan menyalakan lampu. Francesca masuk,
memandang sekeliling dengan heran pada deretan setelan sempurna
yang tergantung. Ia mengira ini adalah lemari pakaian, tapi ternyata
ini adalah ruang ganti. Ruangan ini lebih besar dari kamarnya,
panjang dan sempit. Aroma losion sehabis bercukur milik Ian
menyebar di udara bersama dengan aroma sesuatu yang
menyenangkan dan pedas. Ia melihat gantungan baju dari kayu cedar
yang tertata sempurna dan deretan sepatu yang mengkilap, dan
menyadari bahwa gantungan baju dari kayu cedar adalah sumber
dari aroma itu. Ian melambaikan tangan dari depan lemari, dan Francesca menatap
untuk beberapa saat, tidak mengerti apa yang ia lihat.
Kenapa ada gaun di lemari bajunya" Dan ada sepatu wanita serta
aksesorisnya" Tenggorokannya seolah tertutup tiba-tiba. Francesca menatap Ian,
terperanjat. "Aku tidak mau memakai pakaian dari wanita lain!" Kata Francesca,
sangat tersinggung karena Ian menganjurkan Francesca memakai
pakaian yang dulunya milik bekas pacarnya.
Ian terlihat sedikit tercengang oleh reaksi Francesca. "Ini bukanlah
pakaian wanita lain. Ini adalah milikmu."
"Apa maksudmu?"
"Margarite mengirimnya kemarin. Pakaian jadi," Kata Ian sedikit
meminta maaf, "tapi ia sudah menjahitnya untuk menyesuaikan
bentuk tubuhmu." "Margarite," Kata Francesca pelan, seolah mengucapkan kata asing
untuk pertama kali. "Kenapa Margarite melakukan itu?"
"Karena aku yang memintanya, tentu saja."
Sesaat, mereka hanya saling menatap di ruang ganti itu.
"Ian, sudah kukatakan secara spesifik padamu kalau aku tidak ingin
pakaian darimu," Kata Francesca, kemarahannya mulai timbul.
"Dan kukatakan padamu akan ada kesempatan aku ingin
mengajakmu menghadiri acara bersamaku yang mana kau tidak bisa
memakai celana jeans, Francesca. Malam ini adalah salah satunya.
Aku juga memintamu untuk memakai jepit rambut barumu malam
ini," katanya begitu cepat hingga membuat Francesca terkejut. "Di
mana jepit rambut itu?"
"Ap...di dalam dompetku, "Ia tergagap. "Di studio."
Ian mengangguk. "Aku akan pergi mengambilkannya untukmu.
Sementara itu, kau bisa mandi dan bersiap. Kau bisa menemukan
lingerie di sana," Kata Ian, mengangguk kearah lemari antik kecil di
laci berdekatan dengan di mana gaun gaun digantung. Ian berjalan
keluar kamar. "Ian - " Ian berbalik, tatapannya seperti kibasan cambuk. "Aku tidak ingin
berdebat denganmu tentang hal ini. Apakah kau ingin pergi
bersamaku malam ini?" Kata Ian pelan.
"Aku...ya, kau tahu apa yang kuinginkan."
"Jadi bersiaplah dan pilih salah satu gaun itu. Kau tidak bisa
menghadiri makan malam dengan memakai jeans."
Ian meninggalkan Francesca yang sedang berdiri di sana, mulutnya
ternganga, kegelisahannya berubah menjadi kemarahan. Ia mencoba
untuk memikirkan jalan keluarnya tapi tidak bisa. Benar apa yang
Ian katakan. Ia tidak bisa menemani Ian Noble pergi makan malam
ke salah satu restoran paling bagus, paling mewah di kota dengan
berpakaian seperti ini. Terlihat seperti dia. Kemarahan Francesca juga mendidih karena keputusan Ian yang
keras. Karena alasan tertentu, ingatan tentang ketidaksabaran
ayahnya dan rasa jijik yang tak terlihat oleh sikapnya ketika ia
sesekali berkumpul dengan teman sebayanya mulai timbul dan
mengganggunya, terganggu oleh sikap sombong Ian.
Demi Tuhan, Francesca, jika segala sesuatu yang keluar dari
mulutmu itu akan menjadi begitu bodoh, kenapa kau tidak
menutupnya saja! Dan bukan dengan menjejalkan wajahmu lebih
dalam dari yang kau sudah kau lakukan malam ini.
Saat itu ia berusia dua belas tahun ketika ayahnya membawanya ke
dapur dan mengucapkan kata kata itu ia mengalaminya lagi rasa
malu yang meluap dan ketidakpatuhan yang ia rasakan saat itu emosi yang familiar. Francesca tidak pernah makan sampai kenyang
di depan umum - itu hanya pandangan kritis ayahnya yang selalu
tertuju padanya setiap kali ia makan. Akan selalu seperti itu.
Jika ayahnya pikir ia adalah orang yang paling tidak sedap
dipandang di muka bumi, maka Francesca memastikan memang
begitu dirinya. Ian sengaja mengabaikan permintaannya tentang pakaian dan
menjalankan rencananya sendiri.
Dan dari semua itu, Francesca pikir Ian memahaminya...bahkan
bersimpati padanya. Francesca membuka salah satu laci pakaian dan menelusuri
jemarinya pada celana dalam sutra yang indah, bra dan stoking.
Ian bilang ia ingin Francesca memahami seksualitasnya...merasa
berdaulat atas dirinya sendiri. Apakah ini bagian dari manipulasinya
agar Francesca mau melakukannya"
Francesca meraih stoking hitam tipis sepaha. Well, jika ia ingin
Francesca untuk memamerkan seksualitasnya, Ian lebih baik bersiap
menerima akibatnya. *** Ian sedang mengikat dasinya saat Francesca keluar dari kamar mandi
lima belas menit kemudian. Mata mereka bertemu dalam bayangan
cermin yang Ian gunakan, di atas lemari kayu cherry. Tatapan Ian
perlahan menuruni tubuh Francesca, tubuh Ian mendadak berubah
kaku. Francesca terlihat seolah ia sesuatu yang terlarang, memakai balutan
gaun v neck hitam yang memeluk pinggang rampingnya dengan erat,
lekuk pinggulnya yang kencang dan menggairahkan serta paha
Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ramping seperti seorang kekasih. Ian menyadari, perpaduan kuat dari
penyesalan dan gairah posesifnya, bibir Franscesca yang
menggairahkan masih bengkak oleh aktivitas yang mereka lakukan
pada bibirnya tadi. Pria berpengalaman akan tahu tanda-tanda itu,
dan Ian tidak peduli tentang pemikiran untuk memposisikan
Francesca seperti itu di depan pria seperti Xander LaGrange.
Rambut pirang strawberrynya bersinar di pucuk kepalanya dengan
apa yang Ian pikir adalah jepit berlian yang ia belikan untuk
Francesca. Francesca memakai anting mutiara yang sederhana. Ian
tidak bisa mengalihkan matanya dari kulit semulus gadingnya di
gaun V neck yang lebar, menunjukkan belahan dadanya dan bagian
dari pundaknya yang putih. Ian tidak bisa percaya ini adalah gaun di
gantungan toko. Gaun itu seperti dijahit dan dibuat untuk Francesca.
Francesca adalah paket seksual elegan yang dikemas secara rapi.
"Tolong, pilih gaun yang lain." Kata Ian, berusaha menjauhkan
pandangannya dari gambaran indah mengejutkan dari Francesca
untuk menyelesaikan mengikat dasinya.
"Kita akan terlambat kalau aku melakukan itu," jawab Francesca. Ian
balik menatapnya, ragu jika Francesca akan menghindari tatapannya
dengan bulu mata panjangnya yang selalu melemahkannya.
Francesca memeriksa isi tas tangan kulit hitam di genggamanya.
Kilatan kecurigaan melanda Ian, meskipun ia sekali lagi terpesona
oleh penampilan Francesca.
Ia tidak memilih gaun seksi konyol itu untuk membuat Ian
membelikan baju untuknya, benar, kan" Sepatu hak setinggi empat
inci dan stoking tipis yang ia pakai membuat fantasi yang sangat
jelas meletup dalam pikirannya untuk memiliki kaki panjang yang
mengagumkan itu membungkus sekelilingnya sementara ia
menyetubuhi Francesca hingga tunduk...
...Hingga menjerit penuh kenikmatan.
Ian merengut dan pergi dari ruang gantinya. Xander LaGrange
adalah hidung belang. Ian tidak bisa tahan di dekat pria ini, jujur
saja, dan ini akan menjadi salah satu siksaan terburuk untuk
memenuhi kebodohannya, permintaan narsistis untuk membuat
akuisisi akhir sesuai dengan yang Ian harapkan. Ian secara khusus
meminta Francesca menemaninya makan malam untuk
mengesahkan transaksi karena ia khawatir akan mengatakan sesuatu
yang kasar atau tajam pada si licik La Grange, merusak
kesempatannya untuk mendapatkan perusahaan orang lain. Bersama
Francesca di sana, ia bisa mengurangi fokusnya pada kepongahan
LaGrange bahwa ia lebih unggul daripada Ian pada transaksi itu.
Akan jadi lebih mudah baginya untuk mengontrol emosinya jika
Francesca berada di sana. Keharuman Francesca melunakkannya.
Tapi ia tidak menyangka akan membawa sirine seks untuk makan
malam yang di hadiri oleh Xander LaGrange.
Ian kembali ke kamar mandi, sweater pendek ringan berwarna hitam
dengan gesper permata ada di tangannya. "Jika kau harus memakai
gaun itu, tolong pakai ini di atasnya. Ini akan menutupi semua - "
Ian berhenti, tatapannya tertuju pada dadanya yang terbuka dalam
gaun v neck yang lebar. Payudaranya tertutup dibalik gaun dengan
sopan, meskipun kulit di bagian dada dan pundaknya telanjang. Cara
gaun itu membentuk dan mencetak dadanya, bagaimanapun juga,
sama dengan menarik perhatian. Kain berwarna hitam itu membuat
kulitnya terlihat luar biasa putih dan mulus karena warnanya yang
kontras...sangat terekspos.
"Kulitmu," Ian menyelesaikan kalimatnya dengan pelan, sengaja
mengabaikan ereksinya yang menggeliat. "Aku akan bicara pada
Margarite. Aku meminta untuk pakaian yang seksi tapi tertutup,
bukan pakaian yang membuat orang lain melongo dan melotot."
"Aku tidak melihat rahangmu ternganga," Kata Francesca santai,
berbalik sehingga Ian bisa memasangkan penutup di atas pundaknya.
Ketika Ian tidak segera menyerahkan mantel itu kepadanya,
Francesca menengok, memergoki bahwa Ian sedang menatap pada
pantatnya yang terbungkus oleh kain yang melekat.
"Ini akan turun di bagan dalam," Ian menggumam sebelum
menyelipkan mantel itu ke tangan Francesca dan ia mengangkat
bahu agar semuanya tertutup. Ian merenggut bahunya dan
memutarnya agar menghadap Ian, mengamatinya.
"Kau tidak memakai gaun ini untuk suatu tujuan, bukan?"
"Apa tujuannya?" Tanya Francesca, dagunya terangkat.
"Untuk menantang."
"Kau memintaku untuk memakai salah satu gaun itu, dan aku
memakainya." "Hati-hati, Francesca." Kata Ian pelan, nadanya tidak
menyenangkan, menyapukan ujung jarinya di sepanjang kulit lembut
di rahangnya dan merasakan Francesca gemetar. Kehangatan
menyerbu ereksinya. Francesca akan membunuhnya sebelum ini
berakhir. "Hati-hati tentang apa?" Tanya Francesca.
"Kau tahu apa pendapatku tentang impulsif. Kau tahu konsekuensi
dari itu," Ian menambahkan pelan, sebelum ia mengambil tangannya
dan membawanya keluar dari kamar.
*** Sixteen berada di Trump International Hotel & Tower, ruang
makannya di dominasi oleh deretan dinding berpanel kayu cherry
yang modern dan tempat lilin besar serta lampu kristal buatan
Swarovski yang memukau. Mereka makan malam di didekat jendela
setinggi tiga puluh kaki, melihat ke bawah pada pemandangan kota
yang mengagumkan, beberapa gedung begitu dekat hingga
Francesca merasa bisa meraih dan menyentuhnya.
Francesca awalnya berpikir kalau cara terbaik untuk
menggambarkan teman makan malam mereka, Xander LaGrange,
adalah orang yang halus tutur katanya, tapi ia dengan segera
mengubahnya dan menganggapnya sebagai orang yang licik.
Francesca tahu jika Ian dan Xander saling mengenal di Universitas
Chicago dan mereka adalah musuh lama - atau setidaknya menurut
pandangan Xander. "Jadi kalian kuliah bersama?" Francesca mengklarifikasi ketika
Xander membuat petunjuk samar tentang berapa lama mereka saling
mengenal. "Aku sudah lulus saat Ian masih mahasiswa tingkat pertama di
universitas Chicago," jelas Xander. "Saat ia datang, aku dan seluruh
orang di departemen ilmu komputer terus mencoba mencari jalan
keluar dari bayang-bayang kecemerlangannya. Ian dan aku berbagi
mentor akademis. Profesor Shakarof memintaku untuk memeriksa
naskahnya dan Ian menulis buku bersamanya."
"Jangan melebih-lebihkan, Xander," Kata Ian pelan.
"Kupikir aku adalah orang yang suka mengecilkan sesuatu," Kata
Xander dengan sekilas senyum yang tidak menjangkau matanya.
LaGrange berusia pertengahan tiga puluhan, berambut pendek
pirang dengan sedikit uban di pelipisnya. Ia cukup tampan dan
menarik, menurut Francesca, untuk teman makan malamnya.
Bagaimanapun juga Francesca mengerti konflik tersembunyi antara
Ian dan Xander. Pada saat pelayan datang mengambil daftar
minuman pesanan mereka, Francesca menilai bahwa meskipun Ian
bersikap sopan terhadap pria lain, Ian membenci Xander. Francesca
merasakan ketidaksenangan Ian dari sampingnya, dengan postur
tubuh yang kaku dan ototnya yang menegang.
Xander LaGrange, disisi lain, sangat iri terhadap Ian...mungkin juga
begitu membencinya. Francesca mengamati senyum cemerlangnya,
yang mengingatkannya pada sesuatu yang menyerupai geraman, dan
bertanya-tanya jika kecemburuan LaGrange bukan berasal dari
keengganannya pada syarat yang Ian ajukan untuk akuisisi pada
perusahaanya. "Apa kau ingin minum soda?" Ian bertanya saat pelayan datang.
"Tidak. Sampanye saja," Kata Francesca, membalas senyum penuh
apresiasi dari Xander atas pilihannya. Ia merasa sedikit berani
malam ini...sangat gembira. Mungkin itu karena gaun seksinya, atau
pemandangan malam yang mengagumkan, atau tatapan apresiasi di
mata LaGrange saat ia mengamati Francesca dari seberang meja atau ancaman tersembunyi Ian sebelum mereka meninggalkan
kamarnya - tapi ia benar-benar merasa nakal dan...
...membuat orang lain bergairah.
Apakah kekuatan ini yang Ian inginkan untuk Franscesca miliki"
"Di mana kau menemukan mawar bertangkai panjang ini, Ian?"
gumam Xander, matanya yang panas tertuju pada Francesca setelah
Ian memesan sebotol sampanye. Ian menjelaskan tentang kompetisi
yang dimenangkan Francesca untuk membuat lukisan di lobinya.
"Selain berbakat ia juga cantik," puji LaGrange setelah Ian selesai
menjelaskan. Xander memandang Ian yang menatapnya seperti
srigala. "Aku mengerti kenapa kau ingin membawanya malam ini."
Tatapan Francesca langsung tertuju kearah Ian. Apakah LaGrange
menyindir Ian yang membawanya sebagai *arm candy untuk
membuat negoisasi akhir ini berjalan lancar" Francesca bertanyatanya pada
dirinya sendiri kenapa Ian memintanya untuk makan
malam. Bayangan berkilat melintasi wajah Ian kemudian
menghilang. "Aku membawa Francesca karena aku terlalu sibuk oleh transaksi ini
denganmu sampai aku tak punya cukup kesempatan untuk bertemu
dengannya." "Dan itu sangat dihargai," kata LaGrange meyakinkan, mata
gelapnya berkedip pada wajah dan dada Francesca. Pelayan
membuka tutup botol sampanye mereka, membuat suasana hati
Francesca semakin gamang. "Tidak ada transaksi yang tidak bisa
dipermanis oleh wanita cantik," tambah Xander, membuat Francesca
tersipu malu. Apakah Ian menegang di sampingnya" Francesca pikir tidak ketika
Ian mulai berbicara dengan Xander dengan cukup ramah tentang
detil akhir dari transaksi mereka. Francesca menyimak dari obrolan
mereka tentang negosiasi utama dalam transaksi demikan jauh
hingga LaGrange ingin sebagian pembayaran dalam saham dari
perusahaan Ian, sementara Ian bersikeras hanya dengan pembayaran
tunai. Francesca bisa membayangkan dengan baik Ian menolak
untuk memberi kesempatan - sekecil apa pun - bagi orang lain
memiliki perusahaannya. Rupanya, Ian akhirnya menawarkan
LaGrange sejumlah uang yang tidak bisa ditolak.
"Tidak ada orang waras yang akan menolak tawaran itu, Ian,"
LaGrange akhirnya menyerah, mengangkat gelas sampanyenya
untuk bersulang. "Jadi mari bersulang untuk perusahaan barumu."
Senyum Ian terlihat sedikit tegang saat Francesca bergabung untuk
bersulang bersama mereka. "Lin Soong sudah mengirim semua
berkas yang diperlukan ke penthouse-ku sore ini. Kita bisa pergi
kesana untuk *nightcap setelah makan malam dan menyelesaikan
semua berkas-berkasnya."
Pembicaraan beralih ke hal-hal biasa. LaGrange mendorong
Francesca untuk bicara tentang karya seninya dan kuliahnya, yang
mana Francesca melakukannya lebih bersemangat dari biasanya,
mungkin karena champagne. Ian melirik sekilas dengan pandangan
berkilat ketika pelayan menuangkan gelas ketiga, namun ia
memutuskan mengabaikan peringatan halus Ian demi kesopanan.
Malah, Francesca dengan sepenuh hati setuju dengan LaGrange
ketika ia menyarankan mereka untuk membuka botol berikutnya.
Pada pertengahan hidangan utamanya yang lezat dari wild black
bass (nama sejenis ikan), ia merasa ingin pergi ke kamar kecil. Ia
permisi dan hendak menarik kursinya kebelakang. Ian berdiri dan
menarik kursi itu kebelakang untuknya.
"Terima kasih," gumam Francesca, bertemu dengan mata Ian. Ian
mengerjap ketika Francesca mulai melepas penutup gaunnya. "Aku
sedikit kepanasan," Francesca menjelaskan dengan terengah.
Ian tidak punya pilihan selain membantunya melepas penutup itu,
tapi Francesca menyadarinya bahwa rahang Ian terkatup. Francesca
meraih tas genggamnya dan mencari kamar mandi, merasa malu
juga senang oleh banyaknya orang yang menengok untuk
menatapnya sedang melintasi ruang makan. Francesca berdoa mata
Ian juga tertuju padanya. Perhatian yang ia dapatkan lebih
memabukkan dibanding sampanye.
Apakah ini adalah pengalaman yang dialami wanita cantik seharihari" Mengagumkan,
pikirnya, saat ia tersenyum pada pria berusia
empat puluhan yang menatapnya, dan pria itu tersandung, membuat
teman wanitanya marah ketika ia meraih tangan wanita itu untuk
membantunya berdiri. LaGrange terlihat sangat tertarik ketika Francesca kembali ke meja
dan Ian berdiri untuk menarikkan kursi untuknya. "Kurasa kau
membuat lampu lalu lintas berhenti setiap saat, Francesca?" gumam
Xander, Francesca mengunci tatapan pada bibir gelas sampanye-nya.
"Tidak pernah," jawab Francesca dengan jujur dan gembira.
"Kecuali sekali - saat aku tersandung di tengah Michigan Avenue
setelah lari marathon mini dan mengalami kram yang serius."
LaGrange tertawa seolah Francesca gadis pemalu yang sedang
gembira. Xander tidak terlalu buruk, kan" Ian saja yang terlalu kasar.
Francesca balas menyeringai pada Xander, melirik sekilas pada Ian.
Senyum Francesca memudar saat ia menyadari kilatan lembut di
mata Ian yang selalu mengingatkannya tentang kilatan petir - isyarat
akan datangnya badai. Sisa dari makan malam itu berlalu dalam dari makanan yang lezat,
putaran sensual lampu kristal Swarowski, tatapan kekaguman dan
kegenitan LaGrange - seksualitas gelap milik Ian yang intens
membara disampingnya terus menerus...terbangun...berputar
dengan kuat. Francesca tertawa lebih nyaring dari yang seharusnya,
dan meminum lagi sampanye dan menikmati tatapan kekaguman
dari Xander LaGrange dan banyak pria lain di restoran itu. Francesca
bisa menyesuaikan diri dengan baik pada Ian saat mereka bertiga
bercakap-cakap, dan bagaimanapun juga tahu ia hanya
memperhatikan Francesca. Francesca menikmati karena tahu ia telah
memiliki pria seperti Ian Noble yang dengan cepat terhubung pada
kekuatan memabukkan sensualitasnya.
Ketika ia bersandar pada sandaran kursinya saat mereka menyesap
kopi, Francesca menyadari bahwa gaunnya terangkat tinggi sampai
ke pahanya, memperlihatkan renda atas dari salah satu pangkal
pahanya. Francesca melihat tangan Ian berhenti saat ia meraih
cangkirnya dan merasa tatapan Ian tertuju pada pangkuannya.
Terkejut oleh keberaniannya, Francesca menyelipkan jarinya di
bawah renda pada pangkal pahanya, membelai kulit lembutnya
perlahan, dengan sensual meniru gerakan bercinta masuk dan keluar.
Memberanikan diri untuk memandang wajah Ian, ia melihat kobaran
api yang hampir tak mampu terbendung bergolak di mata birunya.
Francesca menelan dengan susah dan menurunkan gaunnya, merasa
terbakar oleh tatapan Ian.
*** Ian diam saat ia duduk disamping Francesca di belakang limo dalam
perjalanan pulang ke penthousenya. Francesca tegang untuk
memulai percakapan, berharap LaGrange tidak menganggap sikap
diamnya sebagai kemuraman. Bukankah Ian memintanya untuk
menghadiri makan malam untuk membuat terposana LaGrange,
untuk sedikit melembutkannya dalam negoisasi akhir" Well, ia sudah
melakukannya, benar, kan" LaGrange tampak sangat menikmatinya
saat makan malam, dan ia nampak sangat siap dan rela
menandatangani kesepakatan sekarang.
LaGrange ternyata terlalu rela dan siap sedia, bagaimanapun juga,
saat ia mendahului Jacob dan membantu Francesca keluar dari limo
Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketika mereka tiba di tempat tinggal Ian. Tangan Xander jatuh di
lekuk pinggangnya saat ia turun, kemudian turun membelai
pantatnya. Francesca terkejut dan langsung menjauh, menolak
sentuhan pria itu. Francesca melompat mundur secara mental saat ia
menengok kebelakang dan melihat tatapan sedingin es dari Ian
ketika ia keluar dari limo.
Sial. Ian memperhatikannya.
Francesca terdiam ketika lift naik menuju kediaman Ian. Pengaruh
memabukkan dari sampanye telah menyusut, dan ia tiba-tiba merasa
sangat bodoh oleh sikapnya malam ini. Ian sopan tapi pendiam mungkin marah padanya, selalu sulit dikatakan karena ekspresi
tenangnya - sementara LaGrange meneruskan kelakar tak
berujungnya, rupanya tidak menyadari suasana hati Ian yang
berawan dan sikap Francesca yang datar, tiba-tiba menyesal.
"Aku akan meninggalkan kalian berdua untuk menyelesaikan urusan
kalian," Kata Francesca ketika mereka sampai di depan penthouse.
"Senang bertemu denganmu, Xander."
LaGrange mengambil tangan Francesca dan memegangnya diantara
kedua tangannya. "Tidak, kau harus ikut bersama kami untuk
nightcap. Aku bersikeras."
"Aku besikeras aku tidak bisa," Kata Francesca, bicaranya ramah
tapi tegas. "Besok aku punya acara penting di kampus. Selamat
malam," Kata Francesca, berjalan kearah kamar tidur Ian. Ia tiba-tiba
merasa sangat ingin keluar dari gaun ini.
"Tapi tidak, ini - "
"Tunggu aku," Kata Ian pada Francesca dalam aksen Inggris
singkatnya dan nada memerintah, memotong protes LaGrange
dengan cepat. Sengatan lain dari pemberontakan melandanya ketika ia melihat
kilatan di mata Ian. Beraninya ia bicara begitu angkuh padanya
dihadapan orang lain" Dagunya terangkat, tapi kemudian ia
mengingat betapa gamang sikapnya di restoran. Betapa bodohnya.
Francesca menatap pada tatapan terhina dari Xander. Apakah ia
tersinggung oleh sikap Francesca, atau karena ia terganggu oleh cara
Ian memotong pembicaraannya" Francesca mengangguk pada Ian
dan menuju ruang masuk, meninggalkan mereka. Aliran keraguan
melandanya. Ia ingin menjewer Ian untuk sikap kerasnya tadi, tapi mungkin juga
dirinya sudah terlalu melangkah terlalu jauh"
Ian mungkin marah oleh sikap bodoh dan genitnya sepanjang
malam. Tapi bukankah Ian pantas menerimanya" pikir Francesca
saat ia dengan gugup memeriksa pesan di ponselnya ketika berada di
kamar Ian. Ia tidak mungkin membiarkan Ian terus menerus
mengatur hidupnya. Francesca berdiri di kamar mandi Ian beberapa saat kemudian dan
mulai melepas jepit rambut berlian indahnya, mencoba untuk
meyakinkan dirinya kalau ia benar untuk menentang Ian dengan cara
halus. Cara Ian mengabaikan idenya tentang membelikan pakaian...
membawanya makan malam di mana ia secara jelas mengharapkan
Francesca sebagai daya tarik dan membohongi mangsanya dengan
seksualitas Francesca. Beraninya ia memperlakukan Francesca
dengan cara seperti itu"
Well, ia mungkin tahu lebih baik daripada menggunakannya dengan
cara seperti ini di masa depan, ia berpikir dengan gelisah saat
rambutnya jatuh ke punggungnya dan ia membuka restiling gaunnya.
Francesca membeku saat ia mendengar bunyi gedebuk keras dari
kejauhan. Apa yang terjadi" ia ragu, tidak yakin jika ia harus pergi
dan memeriksa Ian. Terdengar seperti seseorang yang baru saja jatuh
di lantai dengan keras. Jantungnya seakan melompat ke tenggorokannya beberapa saat
kemudian, ketika ia mendengar pintu kamar tidur Ian terbuka dan
tertutup dengan keras, kemudian suara pintu terkunci terdengar jelas.
Ia menatap ke samping dan melihat Ian melalui pintu kamar mandi
yang terbuka. "Tetap pakai gaun itu," Kata Ian, suaranya beku. Francesca sadar
tangannya tetap berada di punggungnya bersiap untuk membuka
gaun. "Kemarilah."
Jaket Ian sudah terbuka, ototnya mengeras, ekspresinya kaku.
Jantung Francesca mulai berdebar di balik dadanya.
"Apakah Xander sudah pergi?" tanya Francesca saat ia
meninggalkan kamar mandi, suaranya terdengar gemetar di
telinganya sendiri. "Ya. Untuk selamanya."
Francesca berhenti beberapa kaki dari Ian. "Apa maksudmu pergi
untuk selamanya" Maksudmu karena ia menjual perusahaannya
padamu, kau tidak ingin melihatnya lagi?"
"Tidak. Karena aku mengatakan padanya untuk membawa pergi
perusahaan dan juga pantatnya."
Francesca mengerjap, berpikir beberapa detik ia salah mengerti Ian
mengatakan sesuatu yang begitu kasar dari logat suara. Matanya
melebar ketika ia menyadari kilatan liar di mata Ian.
"Ian...kau tidak...tapi kau begitu menginginkan software itu untuk
perusahaanmu, kau bekerja keras untuk transaksi ini." Rasa takut
turun ke perutnya dengan berat. "Oh tidak. Kau tidak mengatakan
pada Xander LaGrange membawa pergi perusahaannya karena
sikapku malam ini, benar, kan?"
"Aku baru saja bilang pada Xander LaGrange untuk membawa pergi
perusahaannya dan membenturkan wajahnya ke lift karena aku tidak
bisa tahan dengan bajingan itu." Ian berteriak hingga rahang
mengeras sambil mendekati Francesca. Francesca menengadah dan
melihat kemarahan dan api di mata Ian. Ia hampir mundur, Ian
terlihat begitu sengit, tapi Ian menghentikannya dengan memegang
pergelangan tangannya. "Dan juga ia punya nyali untuk meminta
satu hal tambahan sebelum ia menanda tangani kesepakatan."
"Apa?" "Kau." Ian mengabaikan Francesca yang terkesiap. "Ia tidak
sepenuhnya egois. Ia bilang bahwa aku bisa melihatnya sementara ia
mengesahkan transaksi di vaginamu."
Francesca terkesiap. "Ia yang bilang, Francesca," Ian berteriak. "Bukan aku."
Francesca menatap tak percaya dan kegelisahannya bertambah. Ia
tidak bisa percaya bahwa Xander LaGrange benar-benar hidung
belang menjijikkan. Tetapi...jika ia tidak bersikap begitu menggoda
malam ini, mencoba untuk menentang Ian, Xander mungkin tidak
melakukan apa yang ia lakukan. Ian mungkin akan memperoleh
transaksinya. Air mata memenuhi matanya.
Oh, tidak. Ia benar-benar merusak segala hal milik Ian. Ian mungkin
pantas sedikit tersiksa untuk sikap sombongnya, tapi Francesca tidak
pernah berniat melakukan ini.
"Ian. Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud...pastinya kau tidak
berpikir aku bermaksud - "
Ian meletakkan tangan disamping kepala Francesca, memegangnya
agar tak bisa bergerak, tatapan panasnya membuat Francesca
terdiam. "Aku tahu kau tidak bermaksud merusak transaksi ini. Kau
tidak ingin membalas dendam. Disamping itu, kau terlalu bodoh
untuk mengetahui apa yang kau lakukan. Xander amat bodoh karena
mengusulkan aku membagimu dengannya seperti sepotong kue.
Kedua bahwa pecundang itu telah menyentuhmu, transaksi berakhir.
Aku membawanya kemari hanya untuk mengatakan hal itu padanya.
Sebelum aku punya kesempatan, ia mengajukan permintaan terakhir
untuk membeli semua saham dan akhirnya meninggalkan yang lebih
banyak...tiba-tiba dari yang direncanakan sebagai hasilnya."
"Aku tidak percaya," gumam Francesca, terkejut.
"Itu juga karena kau tidak tahu seperti apa pikiran pria seperti
Xander. Sikapmu seolah aku senang bermain api. Kau punya tubuh
dan wajah seperti dewi dan mentalmu seperti anak berusia enam
tahun dengan mainan baru yang menyenangkan."
Kemarahan merembes pada penderitaannya. "Aku bukanlah anakanak, dan aku hanya
mencoba untuk membuktikan padamu jika aku
tidak ingin diperlakukan seperti itu, Ian!"
"Kau benar," Kata Ian, mengencangkan pegangan di pinggangnya.
Ian mulai berjalan kesisi jauh dari kamar besarnya, Francesca
berjalan kikuk dengan sepatu hak tingginya di belakang Ian. "Kau
ingin memainkan permainan wanita, kau ingin menyalakan korek
padaku untuk melihat bila aku terbakar" Baiklah, kau lebih baik rela
menerima akibatnya, Francesca," Kata Ian, meraih ke ke dalam laci
dan menarik beberapa kunci dengan kasar.
Dadanya terasa begitu gelisah dan menyesal dan kegembiraan yang
mulai terasa, ia tidak bisa menghela napas. Apa yang Ian lakukan
dengan membuka itu" Francesca mengikuti Ian setelah ia menarik
pinggangnya dan masuk ke kamar kira- kira berukuran enam kali
empat setengah meter. Keseluruhan Ruangan ini terdiri dari laci
kayu ceri dan lemari. Ian menutup pintu di belakang Francesca, dan
Francesca melihat sekitarnya. Di ujung sudut jauh dikelilingi oleh
kaca dan semacam alat dengan pegas dan tali kekang dan tali nilon
hitam. Mata Francesca terbelalak pada alat itu, jantungnya mulai
berdentam di telinganya. "Berdiri di depan sofa dan lepaskan pakaianmu."
Ia mengalihkan tatapannya dari peralatan yang mengintimidasi itu
dan sadar ada sofa mewah di dinding yang berhadapan dengan rak
dan kaca. Tempat lilin elegan di langit-langit anehnya sesuai dengan
ruangan ini. Ian suka memasang benda kristal dengan kaku. Ada
beberapa benda lain di kamar tak berjendela itu, seperti dua pengait
dengan tali sepanjang dinding, tempat duduk tinggi melengkung
yang tidak biasa ada di depan sepotong kayu yang ditempelkan di
dinding seperti *ballet bar dan sebuah bangku berbantalan empuk.
"Ian, ruangan apa ini?"
"Ini adalah ruangan di mana kau menerima hukumanmu yang lebih
serius." Kata Ian sebelum ia berjalan ke laci dan membuka salah
satunya. Matanya melebar saat ia melihat beberapa cambuk dan alat
dengan tali yang terbuat dari kulit. Mulutnya kering ketika Ian
memegang gagang tongkat hitam panjang yang terlihat familiar dan
mengangkatnya. Oh tidak. "Aku benar-benar tidak bermaksud untuk mengacaukan transaksimu
malam ini." Kata Francesca buru-buru.
"Dan aku bilang padamu aku mengerti. Aku tidak menghukummu
karena Xander kebodohan LaGrange. Aku akan menghukummu
karena kau menyiksaku sepanjang malam. Sekarang bukankah aku
memintamu untuk melepas gaunmu?" Tanya Ian, isyarat kecil dari
kesenangan di mata malaikat gelapnya ketika ia memandang
Francesca, tongkat di tangannya. Kegembiraannya lenyap saat
Francesca tidak bergerak.
"Pintu tidak di kunci, Francesca. Kau bisa pergi jika kau mau. Tapi
jika kau tinggal, lakukan apa yang kukatakan."
Francesca berjalan melintasi ruangan, berhenti di depan ranjang,
kesulitan mengatur napasnya. Ia tahu dari bayangannya di cermin di
sepanjang ruangan begitu pucat saat ia mencoba untuk membuka
resliting gaunnya. Ian berhenti di seberang kamar membuka laci lain
selama Francesca menanggalkan gaun itu dari kulitnya.
Memang benar bahwa gaun itu membungkus erat tubuhnya.
Francesca ragu ketika ia melepas gaun itu. "Ini juga?" Tanyanya
gemetar, menunjuk ke branya, celana dalam, dan stoking sepaha
yang ia kenakan, bersama dengan sepatu hak tinggi dari kulit.
"Lepaskan saja bra dan celana dalamnya," Kata Ian, meraih sebuah
benda dari laci dan berjalan menuju Francesca. Tubuh Ian
menghalangi pandangannya, membuatnya kesulitan untuk melihat
apa yang Ian letakkan di meja yang akan ditambahkan pada tongkat
selama ia membuka pakaiannya. Francesca melihat sekali sebelum
Ian menutup pandangannya sambil ia berjalan kearah Francesca benda itu seperti keruncut panjang berbentuk pipa yang terbuat dari
karet hitam, sebuah lingkaran berada di ujungnya lebih tebal.
Francesca terfokus pada benda di tangan Ian, klitnya berdenyut
tajam dalam gairah ketika ia melihat botol obat perangsang. Ian pasti
sadar ke mana pandangan Francesca tertuju - atau mungkin Ian
memperhatikan puting Francesca yang mengeras - karena senyuman
kecil muncul di bibirnya yang kaku.
"Benar. Aku lemah saat berhadapan denganmu. Begitu
Raden Banyak Sumba 3 Pendekar Pedang Matahari 1 Kelabang Ireng Gadis Ketiga 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama