Ceritasilat Novel Online

Raden Banyak Sumba 3

Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Bagian 3


"Paman tidak tahu, Raden. Maklumlah, Paman datang ke
kota hanya mengirimkan barang dagangan, tidak tertarik
dengan urusan para bangsawan. Kalau usaha tidak terganggu,
Paman tidak banyak memikirkan yang lain."
'Jadi, tidakkah terganggu usaha Paman oleh huru-hura itu?"
"Sama sekali tidak, Raden. Paman mengetahui adanya
huru-hura dan kebakaran itu empat hari kemudian, setelah
Paman mengantar barang dagangan ke sana. Oh, Paman
diberi tahu sebelumnya oleh tetangga yang kembali dari sana.
Ketika Paman datang ke sana, segalanya sudah pulih kembali.
Para bangsawan dari Pakuan Pajajaran yang hadir di sana
sedang sibuk memimpin perbaikan-perbaikan.
"Yang agak menghebohkan adalah menghilangnya Aria
Banyak Citra. Para penduduk cemas, kalau-kalau beliau
bersama keluarganya diculik orang dalam huru-hara itu.
Sampai sekarang, beritanya tidak ada, walaupun pemerintah
kerajaan berusaha mencari jejak beliau. Rakyat, terutama
penduduk kota yang mencintai beliau, tentu saja kehilangan
bangsawan yang baik itu. Soalnya, sudah turun-temurun Kota
Medang berada di tangan keturunan Banyak Citra. Di tangan
wangsa inilah Kota Medang dan sekitarnya mendapat
kemajuan. Terutama keamanan sangat baik. Belakangan ini,
perampokan kecil-kecilan mulai terjadi. Rupanya, perampokperampok itu tahu bahwa Aria Banyak Citra tidak ada."
Banyak Sumba tidak menyela cerita orang tua itu. Ia duduk
sambil mencicipi penganan yang ada di hadapannya, la agak
kecewa karena satu hal yang ingin diketahuinya ternyata tidak pula diketahui orang tua itu. Ia ingin mengetahui apakah
Pembayun Jakasunu sudah berhasil menduduki jabatan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ayahanda. Pengetahuan ini sangat penting karena dengan
demikian, ia tidak akan ragu-ragu melaksanakan apa-apa yang dibebankan Ayahanda kepadanya.
Ia masih ingat bagaimana Pembayun Jakasunu minta
masuk kota setelah Banyak Sumba memergokinya di dalam
hutan, ketika dia bertemu dengan para utusan dari ibu kota.
Kemudian, ia masih ingat bagaimana keluarga Pembayun
Jakasunu sambil menangis-nangis memohon kepada
Ayahanda agar Pembayun Jakasunu diizinkan masuk dan
Ayahanda membatalkan keputusannya untuk membuang
bangsawan itu. Segala kejadian itu dan kejadian selanjutnya, membuat Banyak Sumba penasaran. Ia ingin tahu masalah
Pembayun Jakasunu ini. Makin keras pulalah keinginannya
untuk memasuki Kota Medang malam itu, kota yang
dicintainya, yang di dalamnya tinggal Teja Mayang dan
Pembayun Jakasunu, dua orang yang memiliki arti khusus bagi Banyak Sumba.
-ooodwooo- KETIKA hari mulai teduh, Jasik datang membawa kabar
bahwa ia telah melihat sebuah pedati kerbau menuju kota. Di samping itu, dikatakannya pula bahwa kuda telah dititipkan
dan diurus. Sambil menyampaikan kabar itu disodorkan
kepada Banyak Sumba kantong kulit yang berisi uang emas,
sedangkan Jasik memegang bungkusan besar yang berisi
senjata mereka. Banyak Sumba menggantungkan kantong
kulit itu di pundaknya dan dengan pakaian seorang petani
melangkah ke jalan besar, mencegat pedati kerbau itu.
"Paman, kami bermaksud pergi ke kota dan membutuhkan
pertolongan Paman," kata Banyak Sumba.
Tukang pedati itu mempersilakan mereka naik kalau
bersedia duduk di atas batang-batang kayu yang katanya
kotor. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Petani biasa bermain lumpur, Paman," ujar Banyak Sumba.
"Mengapa sore-sore menuju kota?" tanya kusir pedati itu.
"Ada saudara kami yang sakit di sana," kata Jasik menyela, cemas kalau-kalau Banyak Sumba tidak dapat berbohong. "Ini kayu untuk apa?"
"Saudara masih ingat kebakaran dulu itu" Nah, kayu ini untuk membuat bangunan-bangunan baru. Belum semua
sempat diperbaiki. Kayu ini diambil dari hutan dekat Gunung Manglayang
"Apakah sekian lamanya belum diperbaiki?" tanya Banyak Sumba.
"Semuanya sudah diperbaiki, tapi ada yang diperbagus,
misalnya rumah Raden Laya, Raden Setra, Raden Pembayun
Jakasunu, Ki Sulki, dan lain-lain."
"Tidakkah Raden Jakasunu pindah ke istana Kota Medang?"
tanya Banyak Sumba, sangat tertarik oleh berita itu.
"Saya tidak tahu, tapi Raden Pembayun Jakasunu jarang
berada di kota. Beliau lebih banyak berada di Kutabarang.
Kabarnya, beliau sibuk di sana."
"Sibuk apa, Paman?"
"Tidak tahu," ujar kusir itu.
"Tahukah Paman, siapa yang menjadi penguasa kota
sekarang?" "Paman tidak tahu, kabarnya seorang bangsawan dikirim
dari ibu kota untuk mengurus Kota Medang. Kabarnya, Raden
Pembayun Jakasunu membantunya."
Jawaban kusir itu menyebabkan Banyak Sumba makin
penasaran dan makin berteguh hati untuk menyelidiki keadaan Kota Medang Dan ketika menara-menara penjagaan mulai
tampak, berdebarlah jantung Banyak Sumba. Menara-menara
itu makin lama makin jelas kelihatan dan akhirnya benteng
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pun membayang di dalam remang senja. Kusir mempercepat
jalan kerbaunya, takut kalau-kalau gerbang telah dipalang.
Ternyata, beberapa pedati besar dan kecil terkumpul di depan gerbang. Kusir berpaling kepada Banyak Sumba, "Sudah
terlambat, Raden, pedati tidak dapat masuk, gerbang besar
telah ditutup." "Tidak apa-apa, Paman. Kami dapat jalan kaki ke dalam
kota," ujar Banyak Sumba sambil mengemasi barang
bawaannya yang sedikit jumlahnya. Jasik pun mulai
mengaitkan tali bungkusannya di pundak dan bersiap
melompat dari pedati itu. Akan tetapi, tiba-tiba beberapa
orang laki-laki menghentikan pedati. Dari dalam gelap,
seorang di antara laki-laki itu bertanya dengan suara rendah kepada kusir, "Paman dari arah barat?"
"Ya!" ujar kusir itu. Laki-laki itu mendekat, lalu bertanya,
"Paman, tidakkah Paman melihat dua orang penunggang
kuda, dua orang pemuda. Yang seorang bangsawan, kira-kira
berumur tujuh belas tahun, yang lain panakawannya, juga
berumur tujuh belas tahun. Mereka menunggangi kuda yang
gagah. Yang bangsawan berkulit hitam manis, tubuhnya
semampai." Pertanyaan-pertanyaan itu mengejutkan Banyak Sumba
dan Jasik. Ketika kusir itu termenung mengingat-ingat,
berkatalah Banyak Sumba, "Kami melihatnya, mereka memacu kudanya ke arah barat, cepat sekali, seperti ada yang
mengejar." Orang yang diajak bicara itu bukannya pergi seperti yang
diharapkan Banyak Sumba, tetapi malah mendekat, lalu
bertanya setengah berbisik, "Yang seorang semampai, berkulit hitam?"
"Ya," ujar Banyak Sumba seraya menenang-nenangkan dirinya. Untung langit sudah gelap, pikirnya. Ia sadar bahwa Jasik gemetar di sampingnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kuda mereka cokelat, yang satu cokelat tua yang satu
kemerah-merahan dan tinggi-tinggi, bukan?"
"Ya," ujar Banyak Sumba dari sela-sela kayu di dalam pedati itu.
"Terus ke barat?"
"Ya, memacu kuda cepat-cepat," ujar Banyak Sumba pula
"Ji, mungkin mereka tahu, kita menyusul mereka," kata
penanya itu kepada kawannya.
Kawannya menjawab di dalam gelap, "Mudah-mudahan,
kawan-kawan kita dapat mengejar mereka."
"Terima kasih," kata penanya kepada Banyak Sumba, lalu pergi. Banyak Sumba dan Jasik bernapas lega. Untuk
beberapa lama, mereka tidak dapat beringsut dari tempat
duduk. Kemudian Banyak Sumba bangkit, lalu mengucapkan
terima kasih kepada kusir yang dalam gelap mengawasinya,
seperti curiga. Banyak Sumba dan Jasik segera menjauh dari tempat itu,
bukan menuju Kota Medang, tapi menghindarinya dengan
jalan menyeberangi huma, kemudian masuk hutan.
Subuh-subuh mereka sampai di tempat menitipkan kuda.
Dengan letih, mereka menaiki kuda masing-masing.
Kemudian, selagi kabut masih rendah, mereka memacu kuda
ke selatan. MEREKA tidak berani mendekati jalan besar, kuda mereka
terpaksa berulang-ulang menerobos semak-semak dan
melompati pagar-pagar huma. Dalam perjalanan, tak hentihentinya Banyak Sumba merenungkan kejadian yang tidak
disangka-sangka itu. Ia menyesal telah melanggar perintah
Ayahanda dan tergoda untuk mengunjungi Kota Medang
terlebih dahulu. Ia meminta maaf dalam hati kepada orangtua
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang bijaksana itu dan berikrar diam-diam bahwa dia tidak
akan melakukan pelanggaran lagi.
Sementara itu, kedua orang pengembara menyuruk-nyuruk
di antara semak-semak dan embun pagi yang mulai
mengangkat tabir uapnya dari atas padang-padang dan bukitbukit. Ayam hutan dan ayam kampung bersahutan mengeluelukan fajar yang mulai memerahkan langit di timur. Di suatu tempat yang agak tinggi dan agak lapang, Banyak Sumba
mengacungkan tangannya, memberi isyarat kepada
panakawannya untuk berhenti. Mereka pun berhenti, lalu
turun dari kuda yang berdengus-dengus dengan napas
beruap. Banyak Sumba melihat ke sekeliling, lalu berkata, "Hampir di semua tempat terdapat perguruan. Sekarang, soalnya
bagaimana menemukan perguruan yang terbaik atau guru
yang paling tinggi ilmunya. Saya sudah memikirkan beberapa
cara bagaimana kita akan menemukan perguruan yang baik
atau guru yang mahir itu, Sik."
"Bagaimana, Raden?"
"Tentu saja kita akan bertanya kepada setiap orang yang pantas untuk ditanya. Di samping itu, kita pun akan melihat sendiri bukti-bukti kepandaian yang ada pada siswa-siswanya.
Saya bermaksud terus-menerus mengunjungi perayaanperayaan tempat diadakan pertunjukan."
"Tapi, Raden." kata Jasik, "menurut keterangan ayah saya, para pendekar sebenarnya tidak pernah muncul dalam
gelanggang pertunjukan. Mereka yang berilmu tinggi biasanya juga bijaksana. Mereka tidak perlu lagi perhatian dan pujian orang. Hal-hal yang lebih tinggi dari pujianlah yang menjadi tujuan mereka. Perhatian dan pujian hanya dicari oleh yang
rendah ilmunya." Mendengar keterangan itu, tertegunlah Banyak Sumba.
Keterangan Jasik mudah dimengerti dan masuk akal. Hal ini
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berarti bahwa mencari guru bukanlah soal yang mudah.
Akhirnya, berkatalah Banyak Sumba, "Perkataanmu itu kukira benar, Sik. Jadi, kita harus mencari cara lain. Rupanya tidak semudah yang kubayangkan semula. Tapi baiklah, kita akan
berusaha sebaik-baiknya dan berdoa semoga Sang Hiang
Tunggal berkenan menunjukkan jalan."
"Raden, lihat!"
Banyak Sumba melihat ke utara, ke jalan besar yang
samar-samar tampak dari tanah ketinggian itu. Dijalan itu,
timbul tenggelam antara hutan-hutan kecil atau kampungkampung, tampaklah serombongan penunggang kuda menuju
ke Kota Medang. "Mungkin, mereka rombongan yang mencari kita," sambungjasik.
"Ya," ujar Banyak Sumba. Terpikir olehnya bahwa hanya kebetulan mereka dapat meloloskan diri dari malapetaka itu
dan bagi orang yang mencari-carinya, ia akan mudah sekali
dikenal. Bagaimanapun, rupa Ayahanda banyak melekat pada
dirinya. Orang yang kurang tajam pengamatannya pun dalam
selintas akan menduga bahwa ia ada hubungan darah dengan
Ayahanda Banyak Citra. "Mari kita pergi," kata Banyak Sumba. Mereka pun mulai mengendarai kuda masing-masing, lalu melarikannya di padang-padang atau antara semak-semak. Kadang-kadang,
mereka menemukan dan mengikuti jalan-jalan kecil yang ke
selatan. Mereka tak berani mengambil jalan besar yang jauh
lebih mudah dilalui. SETELAH beberapa hari mereka mengadakan perjalanan
dan terpaksa bermalam di gubuk-gubuk di tengah perhumaan,
barulah mereka berani masuk kembali di jalan besar. Karena
belum punya tujuan yang pasti, mereka tidak pernah
melarikan kuda cepat-cepat. Bahkan, di tiap persimpangan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka berhenti, menunggu pejalan atau penunggang kuda
lain untuk menanyakan arah.
Di suatu pertigaan, kedua orang pengembara berhenti, lalu
beberapa saat menunggu rombongan petani yang berjalan ke
arah mereka. Begitu para petani itu berpapasan, Banyak
Sumba mengucapkan sampurasun, lalu bertanya, "Paman,
kami mohon pertolongan. Tahukah Paman arah jalan-jalan
ini?" Seorang yang tampak paling cerdas dari keempat orang
petani itu maju, lalu dengan mempergunakan ibu jari
tangannya menunjuk, mula-mula ke timur.
"Kalau Raden mengambil jalan ini dan lurus ke timur, dalam tiga hari Raden akan tiba di Kota Medang, sebuah kota yang
sedang besarnya tapi makmur dan aman, berkat Aria Banyak
Citra yang cerdik dan ditakuti oleh orang-orang jahat. Ke utara menuju Kutawaringin. Mula-mula Raden ke utara, kemudian di
suatu pertigaan menuju ke barat. Di pertigaan itu terdapat
sekelompok rumah, tempat orang menyediakan makanan dan
minuman untuk para pejalan dan ubi atau ketela untuk kuda.
Kutawaringin kota yang besar dan kaya raya. Selain hasil
bumi, hasil laut bergudang-gudang disimpan di kota ini. Dari sinilah para pedagang menyebar ke selatan, ke bagian
pedalaman kerajaan. Ke sebelah barat Kutabarang dan lebih
barat lagi, agak ke selatan, ibu kota kerajaan. Raden mau ke mana?"
"Kami pengembara, sedang mencari pengalaman, tidak ada tujuan yang pasti," sahut Banyak Sumba.
"Oh, Raden tentu putra bangsawan tinggi."
"Baiklah, Paman, saya tak hendak mengganggu kalian lebih lama. Terima kasih," kata Banyak Sumba sambil memasukkan kakinya ke sanggurdi, lalu melompat ke atas punggung
kudanya. Para petani itu mengundurkan diri, lalu berjalan
kembali, sementara Banyak Sumba termenung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Perguruan terbesar di seluruh wilayah Pajajaran yang
termasyhur adalah Padepokan Tajimalela yang letaknya tidak
diketahui orang Di perguruan milik kerajaan itu, hanya para calon puragabaya yang diperkenankan belajar. Perguruan lain adalah Bale Rante, tempat mendidik para jagabaya. Perguruan ini pun milik kerajaan dan hanya diperuntukkan bagi rakyat
biasa yang telah dipilih dan dinilai secara teliti kelakuan baiknya dan kepantasannya untuk menjadi prajurit kerajaan.
Masih banyak perguruan lain yang sama masyhurnya, seperti
Jalaksana, Pasir Eurih, Gamping, dan lain-lain. Akan tetapi, menurut Paman Wasis, perguruan-perguruan yang belakangan
ini tidak akan memberikan ilmu yang baru karena Paman
Wasis sendiri di masa mudanya pernah berturut-turut
memasukinya. Menurut nasihat Paman Wasis, tempat belajar yang paling
baik adalah Padepokan Tajimalela. Akan tetapi, karena itu
tidak mungkin dimasuki, yang perlu dicari adalah orang-orang tertentu yang sedikit-sedikit dapat mengumpulkan rahasia
ilmu para puragabaya. Orang-orang inilah yang harus dicari
Banyak Sumba. Dan untuk ini, perlu dipikirkan cara-cara,
bagaimana ia harus bertemu dengan orang-orang yang
biasanya tidak mudah membukakan pengetahuannya di muka
umum. Seraya termenung demikian, tidak disadari bahwa kudanya
telah jauh menuju Kutawaringin. Ketika Banyak Sumba
menyadari arah jalannya, ia tidak berhenti. Tidak ada salahnya ia menuju Kutawaringin karena di mana pun mungkin saja ia
bertemu dengan orang-orang yang dicarinya. Maka, dengan
teriakan, dipaculah kudanya di jalan lengang itu. Matahari
mulai meninggi. Setelah dua hari dua malam melakukan perjalanan dan
menginap di kampung-kampung terpencil, akhirnya jalan tidak lengang lagi. Kampung-kampung sepanjang jalan makin
banyak ditemukan, sedangkan huma di kiri kanan makin
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
banyak dan makin luas pula. Semua itu berarti sebuah kota


Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah de cat. Sangkaan Banyak Sumba tidaklah salah karena tak lama
kemudian, tampaklah menara penjagaan kota yang tinggi. Di
suai u belokan, ia berpapasan dengan kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda, kereta yang hanya dapat dipergunakan dijalan lebai sekitar kota. Kesadaran bahwa ia akan memasuki kota
melegakan hati Banyak Sumba.
Beberapa buah pedati kerbau yang mengangkut hasil bumi
telah mereka lewati, ketika di suatu kelompok rumah mereka
melihat pemandangan yang aneh. Orang-orang tua menyuruh
anak-anak gadisnya masuk rumah atau sembunyi.
"Apakah yang terjadi?" pikir Banyak Sumba sambil
menahan kendali kudanya. Belum lagi pertanyaan hatinya
terjawab, dari jauh terdengar suara trompet tiram mendayudayu. Tak lama kemudian, terdengar pula suara pecut besar yang
diledak-ledakkan di udara. Banyak Sumba melihat ke kanan ke kiri. Ke arah orang-orang yang berjajar di pinggir jalan,
kepada ibu-ibu yang sibuk menghalau gadis-gadis supaya
menjauh, dan kepada pemuda-peniuda yang dengan muka
muram berdiri di pinggir jalan. Banyak Sumba melihat pedati'
kerbau berhenti di pinggir jalan hingga rodanya masuk ke
selokan. Demikian dilihatnya para penunggang kuda lain turun dari kudanya masing-masing, seraya meminggir memegang
kendalinya. "Bangsawan tinggi lewat, Raden," ujar Jasik dari belakang Banyak Sumba.
"Tapi mengapa gadis-gadis itu disuruh bersembunyi, Sik?"
"Saya pun heran, Raden."
Percakapan mereka terhenti karena bunyi pecut, suara
trompet tiram, dan deru derap kuda terdengar mendekat. Tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lama kemudian, dari tikungan muncullah lima orang
penunggang kuda bersenjata lengkap memacu kudanya
seperti sedang dikejar maut. Kelima orang itu meledakledakkan pecut. Kadang-kadang mempergunakan pecut itu
untuk menghantam orang yang berdiri agak ke tengah.
Melihat itu, Banyak Sumba segera mundur, lebih minggir lagi.
Setelah kelima orang ponggawa itu lewat, muncullah dari
tikungan rombongan penunggang kuda lain. Semuanya
berpakaian indah dan masih muda belia. Kadang-kadang,
tampak di antara mereka ada yang bersolek berlebihan,
dengan badik yang disisipkan dangkal-dangkal, disangkuti
selendang sutra yang warnanya mencolok, berkibar-kibar
tertiup angin. Ada pula yang tutup kepalanya dihias dengan
bunga hingga Banyak Sumba menyangka bahwa rombongan
itu adalah rombongan pertama arak-arakan pesta.
Akan tetapi, dugaannya itu lenyap kembali karena tak lama
kemudian, muncullah sebuah kereta yang sangat bagus, yang
kayu-kayunya diukir sangat rumit dan dicat dengan warna
emas. Kereta ini ditarik oleh dua ekor kuda yang dihias
dengan genta-genta dan bulu-bulu ekor merak serta sutrasutra dewangga hingga seperti dalam dongeng.
Bersamaan dengan munculnya kereta itu, berdudukkan-lah
rakyat di tanah pinggir jalan itu. Banyak Sumba dan Jasik
kebingungan, ia tidak tahu apa yang terjadi dan apa yang
harus mereka lakukan. Kebingungan itu berubah menjadi rasa
terkejut ketika seseorang menarik pundak mereka dan berbisik menyuruh mereka duduk seperti yang lain supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Dengan kikuk, kedua orang pengembara itu pun bersila di
pinggir jalan, lalu meniru yang lain menghaturkan sembah ke arah jalan tempat kereta besar itu lewat. Sekejap kemudian, gemuruhlah suara kaki kuda dan bersamaan dengan itu, hiruk
pula bunyi berpuluh-puluh buah genta yang bergantungan
pada binatang-binatang itu. Sedangkan trompet tiram dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bunyi pecut, terus menggetarkan udara. Sungguh kacaubalaulah pendengaran Banyak Sumba. Bersamaan dengan itu,
naik pulalah debu jalan, menyesakkan napas dan mengotori
pakaian. Akan tetapi, Banyak Sumba tidak dapat berbuat apaapa. Ia cuma bersila dan meniru apa yang diperbuat rakyat di sana.
Tak lama kemudian, kereta itu berlalu dan semua orang
berdiri kembali. Mereka membersihkan pakaian dari debu
sambil memaki-maki dengan kata-kata yang tidak pernah
terdengar di Kota Medang. Banyak Sumba dengan Jasik pun
terpaksa mengibas debu dari pakaian serta rambut mereka.
Selagi mereka melakukan hal itu, tiba-tiba didengarnya orang berkata, "Saudara-saudara orang asing?"
Banyak Sumba berpaling dan tampaklah olehnya laki-laki
setengah baya yang tadi menyuruhnya duduk di pinggir jalan.
"Ya, Paman, kami sedang mengembara mencari
pengalaman," jawab Banyak Sumba.
"Tentu pengalaman yang baru termasuk ke dalam
pengalaman pahit," kata laki-laki itu sambil tersenyum pahit.
"Kami bingung, apakah akan kami masukkan pengalaman
pahit atau lelucon," ujar Banyak Sumba sambil tersenyum kepada orang itu.
"Memang tidak lucu, Anak Muda," kata orang itu.
"Siapakah yang lewat itu dan mengapa tadi saya melihat ada yang aneh, gadis-gadis remaja dihalau supaya
bersembunyi?" "Pertanyaanmu itu menunjukkan bahwa kalian benar-benar orang asing yang baru pertama kali datang ke Kutawaringin."
"Memang demikian, Paman."
"Yang lewat itu Raden Bungsu Wiratanu bersama
rombongannya, bangsawan-bangsawan muda Kutawaringin.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan gadis-gadis itu disembunyikan karena mereka dapat
diibaratkan sebagai anak ayam, sedangkan Raden Bungsu
Wiratanu, walaupun masih muda, adalah elang yang rakus."
Banyak Sumba samar-samar menangkap sesuatu yang
dimaksud orang itu. Tapi, ada suatu hal yang sangat
menggetarkan hatinya. Tidak disadari, ia telah berdekatan
dengan salah seorang yang menempati arti sangat penting
dalam hidupnya. Raden Bungsu Wiratanu adalah anggota
wangsa Tumenggung Wiratanu; tentu ia adik Raden Bagus
Wiratanu yang dipergunakan untuk memancing-mancing
perkelahian dengan Kakanda Jante Jaluwuyung. Pada saatnya,
ia akan berhadapan dengan Bungsu Wiratanu ini dan seperti
Jante Jaluwuyung, ia akan membunuh elang muda yang rakus
itu. Ia menarik napas panjang.
Tiba-tiba, terdengar suara ladam kuda yang dilarikan dengan cepat. Tujuh penunggang kuda dari rombongan Raden
Bungsu Wiratanu kembali. Rakyat meminggir. Banyak
Sumba pun meminggir sambil memerhatikan tampangtampang angkuh para penunggang kuda itu. Dengan tidak
disangka-sangka, para penunggang kuda itu berhenti di
hadapannya. "Yang ini?" kata yang seorang kepada temannya.
"Ya," kata yang lain sambil matanya mengawasi kedua ekor kuda mereka.
"Hai, kamu!" kata yang lain sambil menunjuk kepada Banyak Sumba dengan gagang pecutnya. "Raden Bungsu mau beli kuda kamu itu," lanjutnya sambil mendekat.
"Kami tidak akan menjual kuda. Kami sedang berada dalam perjalanan," sahut Banyak Sumba. Rakyat yang mendengar jawaban Banyak Sumba mundur ketakutan.
"Apa?" tanya penunggang kuda itu keheranan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami tidak akan menjual kuda!" sahut Banyak Sumba tegas.
Tiba-tiba, orang-orang itu mengarahkan ujung tombak
mereka ke leher Banyak Sumba. Banyak Sumba yang tidak
menduga sebelumnya, tidak dapat bergerak. Kalau bergerak,
empat ujung tombak akan melukainya.
Sementara Banyak Sumba tidak dapat bergerak, Jasik
mencoba maju, tetapi orang yang mengajaknya bercakapnya
tadi menahan tangan Jasik dan berbisik kepadanya. Maka,
Jasik pun tidak berbuat apa-apa ketika dua orang dari
rombongan Bungsu Wiratanu mengambil kuda mereka,
melepaskan kantong-kantong dan melemparkannya ke tanah.
Kedua ekor kuda itu dituntun, lalu kendalinya diikatkan ke
pelana kuda dua orang penunggang kuda itu. Sementara itu,
salah seorang ponggawa yang menekankan ujung tombaknya
ke leher Banyak Sumba mengambil sesuatu dari dalam
kantong kecil di pelana kuda, lalu melemparkan beberapa
keping uang emas ke tanah dekat kaki Banyak Sumba. Tak
lama kemudian, mereka mengundurkan diri, lalu memacu
kuda mereka sambil membawa kuda Banyak Sumba dan Jasik.
Banyak Sumba memandang orang-orang itu hingga lenyap
di tikungan, kemarahannya yang ditahan mengguncangkan
tubuhnya. Ia menggeram seperti Ayahanda menggeram.
Kemudian, dirasanya telapak tangan di pundaknya. Laki-laki
setengah baya tadi berkata, "Sudahlah, Anak Muda. Pada suatu kali, mungkin mereka terpaksa akan bayar utang, bukan kepadamu saja, tapi kepada kita semua."
Dengan sedih, Banyak Sumba melangkah, diiringi Jasik,
mengikuti laki-laki itu menuju rumah besar yang terletak tidak jauh dari jalan. Banyak Sumba dan Jasik dipersilakan masuk
serambi yang berwide, lalu duduk di atas tikar pandan. Tak
lama kemudian, datanglah wanita setengah baya, istri tuan
rumah, diiringi oleh seorang anak laki-laki yang membawa
minuman dan penganan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Silakan minum," kata laki-laki itu.
"Terima kasih, Paman," kata Banyak Sumba, "terima kasih atas bantuannya. Kalau tidak ada Paman, mungkin kami
celaka." "Sabarlah, Anak Muda. Tidakkah lebih baik kita mengetahui nama masing-masing?" tanya laki-laki itu. "Paman bernama Askiwin, orang sini asli. Anak Muda dari mana?"
"Nama saya Banyak Sumba. Ini kawan saya, Jasik."
"Banyak Sumba, Raden Banyak Sumba?"
"Ya, Paman:" "Oh, maaf. Raden. Paman sudah menduga Raden seorang
bangsawan." "Saya tak lebih dari siapa pun di mata Sang Hiang Tunggal, Paman," sahut Banyak Sumba.
"Ke manakah tujuan perjalanan, Raden?"
"Kami sendiri tidak tahu, Paman. Kami sedang mencari
orang yang dapat kami jadikan guru ilmu kepahlawanan."
"Sayang sekali, di dekat-dekat Kutawaringin, Raden tidak akan menemukan tempat berguru. Penguasa kota sangat
ketakutan. Oleh karena itu, ia melarang adanya perguruanperguruan di wilayahnya. Jadi, Raden harus berjalan jauh."
"Apakah Raden Bungsu Wiratanu itu putra Tumenggung
Wiratanu penguasa kota ini?"
"Benar, Raden. Kakaknya bernama Bagus Wiratanu. Kami
tidak pernah dibiarkan tidur nyenyak oleh orang itu. Untung tangan Sang Hiang Tunggal yang kasih kepada kami
mencabut nyawanya. Seorang puragabaya membunuhnya
dalam perkelahian. Akan tetapi, karena cerdiknya
Tumenggung Wiratanu, akhirnya puragabaya itu dibunuh oleh
utusan-utusan kerajaan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Saya pernah mendengar kisah yang menyedihkan itu,
Paman," kata Banyak Sumba. Kesedihannya bangkit kembali dan kenangannya kepada Jante Jaluwuyung bercampur
amarah. Ah, kalau saja Kakanda Jante masih ada, ia tidak
akan tanpa daya seperti tadi menghadapi pengawal-pengawal
Bungsu Wiratanu. "Paman, mengapa warga kota dan warga Kutawaringin
tidak mengadu kepada sang Prabu?"
"Raden, niat untuk mengadu kepada sang Prabu telah
dilaksanakan, tetapi para utusan rakyat dan para bangsawan
menemui nasib yang malang. Di jalan mereka disergap dan
hanya nama mereka yang kembali."
"Tidakkah pejabat-pejabat dari ibu kota Pakuan datang
kemari?" "Mereka sewaktu-waktu datang, tetapi kami tidak dapat
kesempatan untuk melapor apa yang sebenarnya diderita
rakyat di bawah kekuasaan penguasa kota yang sekarang.
Dan segala yang dilaporkan kepada para utusan dari ibu kota hanya yang baik-baiknya, yang diperlihatkan hanya yang
indah-indah. Nanti Raden akan melihat sebuah istana kecil
yang indah di lingkungan taman, yang kata orang seperti di
Kahiangan. Nah, taman ini untuk menyenangkan tamu dari ibu
kota, dibuat secara kerja paksa dan sumbang paksa dari
rakyat serta bangsawan-bangsawan. Padahal, rakyat dan
bangsawan-bang-sawan yang baik menginginkan usaha
perluasan perhumaan. Raden tahu, penduduk bertambah
padat, huma harus diperluas. Itu dibutuhkan waktu, tenaga,
dan biaya. Akan tetapi, biaya, tenaga, dan waktu ini diperas dari rakyat dengan percuma, hanya untuk membuat taman
itu." "Sang Hiang Tunggal tidak akan membiarkan segalanya
berlangsung lama, Paman," kata Banyak Sumba, hatinya
dipenuhi kemarahan dan kesedihan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Semoga, Raden," katanya. Tiba-tiba orang itu menutupkan telunjuknya ke mulut, lalu berbisik bahwa ada orang datang.
"Mata-mata Wiratanu ada di mana-mana, kita tidak tahu
apakah saudara kita sendiri berada di pihak sana."
"Marilah kita lupakan segala yang buruk itu, Paman. Kita akan berbicara tentang yang lain dan tidak tentang perampas kuda itu. Dapatkah Paman membantu kami, di manakah
Paman dengar ada perguruan ilmu kepahlawanan yang baik?"
"Raden, di sini tidak ada, semua dilarang," jawab Aski-win.
Setelah termenung, berkatalah pula dia, "Di perbatasan dengan wilayah Kutabarang, Paman dengar ada satu, tetapi
perguruan biasa saja."
"Baiklah, Paman. Kami akan bertanya sepanjang jalan
nanti. Di manakah kami bisa membeli kuda?"
"Nanti Paman antar Raden ke sana. Sekarang, marilah kita masuk, Bibi telah menyediakan makanan bagi kita."
Sore itu, dengan kuda baru, Banyak Sumba dan Jasik
memasuki Kota Kutawaringin. Mereka lewat di suatu
bangunan yang terbuat dari kayu jati. Mereka mendapat
keterangan bahwa bangunan itu bernama terungku, tempat
memenjarakan orang jahat. Mereka melewati lapangan besar
tempat upacara "Menerima Padi Sulung". Beberapa malam sebelumnya, penduduk kota baru saja mengadakan upacara
mengelu-elukan Nyi Pohaci Sang Hiang Sri karena seluruh
wilayah Kutawaringin baru selesai panen.
Selagi berjalan-jalan, mereka dikejutkan oleh ingar-bi-ngar dan teriakan-teriakan rakyat. Pedagang-pedagang berlarian ke pinggir jalan, ayam lepas dari kurungan pedagang ayam dan
beterbangan kian kemari sambil berkotek-kotek, seorang
pedagang minuman terjatuh dilanggar pedagang bunga
rampai yang berlari ke pinggir. Seorang buta kehilangan
tongkatnya dan ditarik oleh seorang perempuan tua ke pinggir jalan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa yang terjadi?" tanya Banyak Sumba kepada orang-orang yang berdiri di pinggir jalan bersamanya.
"Biasa," ujar orang itu. Banyak Sumba tidak mengerti, tetapi tak lama kemudian menderulah penunggang-penung-gangkuda, semuanya anak-anak bangsawan dengan beberapa
orang pengiring bersenjata. Mula-mula, Banyak Sumba heran,
kemudian ia sadar bahwa bangsawan-bangsawan muda itu
sedang berpacu kuda sambil berteriak-teriak riang gembira.
"Berpacu kuda di tengah kota!" pikir Banyak Sumba dengan muak. "Seandainya itu terjadi di Kota Medang, Ayahanda pasti menghukum anak-anak bangsawan itu dengan pukulan cemeti
di depan umum. Tapi, ini Kutawaringin," pikirnya.
"Sik, marilah kita tinggalkan kota ini," kata Banyak Sumba.
Beberapa hari kemudian, mereka sudah berada di
perbatasan Kutawaringin. -oooodwoooo- PERGURUAN ilmu kepahlawanan biasanya tidak saja
berhubungan erat dengan bidang-bidang keprajuritan dan
kepentingan kerajaan lainnya, tetapi juga dengan bidang
perdagangan. Kalau keprajuritan memerlukan kepandaian
dalam ilmu bertempur, hal itu sudah sewajarnya. Akan tetapi, kepandaian ini tidak asing bagi mereka yang bergerak dalam
perniagaan. Para pedagang kerajinan, perhiasan yang mahalmahal, misalnya dari emas dan batu-batu mulia, biasanya
terdorong menguasai ilmu berkelahi sekadarnya untuk
melindungi keselamatan dan harta mereka. Mudah dimengerti
kalau perguruan-perguruan banyak tersebar di tengah
masyarakat yang bergerak dalam bidang perdagangan dan
bukan di tengah-tengah masyarakat petani.
Itulah sebabnya, kunjungan Banyak Sumba dan Jasik ke
Kutabarang merupakan kunjungan yang terencana karena Kutabarang merupakan pusat perniagaan yang terbesar dan


Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terpenting di seluruh kerajaan. Di sanalah Banyak Sumba
berharap dapat menemukan perguruan yang terbaik.
Pada hari pertama tiba di kota, perhatian Banyak Sumba
tertarik oleh keramaian dan kesibukan kota itu. Belum pernah Banyak Sumba melihat rombongan orang yang demikian
besarnya berkumpul di satu tempat. Di dalam lingkungan
benteng yang luas itu, mungkin Kutabarang menampung dua
puluh atau tiga puluh ribu orang penduduk. Mereka terdiri dari pegawai-pegawai kerajaan, para perwira, tukang, dan
pedagang. Sementara itu, di kampung-kampung yang terletak
di luar benteng, yaitu di depan gerbang kota bagian selatan, para petani kaya telah mendirikan tempat tinggal mereka
berupa rumah-rumah kayu yang besar, kuat, dan indah.
Beberapa ratus tonggak ke utara terletaklah pelabuhan,
tempat kapal-kapal layar, perahu besar dan kecil berlabuh.
Begitu sibuknya pelabuhan itu dan begitu banyaknya kapal
berlabuh, hingga laut yang warnanya biru hanya sekali-kali
saja tampak antara celah layar-layar yang berwarna-warni.
Sedangkan kesibukan pelabuhan tidak terkatakan pula
ramainya. Berbagai bangsa datang ke Pelabuhan Kutabarang,
berbagai bahasa diucapkan, bahasa Cina, bahasa Keling,
bahasa Benggala, bahasa Melayu, bahasa Jawa, dan lain-lain.
Segala kemegahan, kesibukan, dan keramaian kota itu,
selama tiga hari, menarik perhatian Banyak Sumba dan Jasik.
Pada hari keempat, diputuskan oleh Banyak Sumba untuk
mengunjungi perguruan yang ditunjukkan oleh seorang
pelayan di tempat mereka menginap. Perguruan itu terletak di atas sebuah bukit yang tidak jauh letaknya dari benteng
Kutabarang. Dari bukit itu terlihat dengan jelas letak benteng dengan wilayah sekitarnya.
Ketika kedua orang pengembara dengan penunjuk jalan
pelayan penginapan tiba di tempat itu, seorang penjaga
membukakan lawang kori. Begitu besarnya perguruan itu
hingga bagi orang asing, sukar untuk membedakannya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan sebuah kampung biasa. Setelah berada di dalam
lingkungan pagarnya yang terdiri dari kayu dan tumbuhtumbuhan berduri, Banyak Sumba dapat melihat perbedaan
yang khas dari perguruan itu. Penghuninya semua laki-laki dan kebanyakan masih muda. Mereka anak-anak pedagang atau
para pegawai perusahaan perdagangan dari Kutabarang. Dan
ketika Banyak Sumba dan Jasik tiba, para penghuni perguruan itu tampak langsung menduga bahwa Banyak Sumba anak
seorang pedagang kaya. Beberapa orang pelayan segera mengelu-elukan Banyak
Sumba yang diiringkan oleh Jasik. Kedua orang pengembara
dibawa ke salah satu ruangan tempat mereka diterima oleh
wakil pemimpin perguruan.
"Juragan hendak belajar?" tanya wakil pemimpin perguruan itu.
"Kami baru hendak mencari keterangan, Paman. Saya ingin tahu segala hal yang perlu saya ketahui tentang perguruan
ini." "Setiap siswa membayar tiga keping emas setiap bulan.
Mereka mendapat pelajaran dari matahari terbit hingga para
petani melepas parang dari tangannya wakil pemimpin itu
menghentikan bicaranya ketika dilihatnya dua orang tamunya
keheranan. Memang, Banyak Sumba sangat keheranan mendengar
ongkos belajar yang begitu tinggi. Di Medang, kalau orang
hendak belajar kepada seorang guru, tidak pernah ditetapkan bahwa orang itu harus membayar. Ia cukup meminta diajari
kepada guru itu setelah mengangkat sumpah bahwa
kepandaian yang akan didapatnya tidak akan dipergunakan
untuk kepentingan dirinya sendiri atau melakukan kejahatan.
Lebihnya adalah seekor ayam yang disembelih dan darahnya
dipercikkan di tempat latihan, kain bagi guru, dan sirih pinang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Syarat yang tanpa malu-malu disampaikan kepada Banyak
Sumba oleh wakil pemimpin perguruan itu benar-benar
mengejutkannya. Timbul syak wasangka dalam diri Banyak
Sumba, barangkali perguruan itu kurang dapat dipercaya. Ia
menyesal tidak bertanya terlebih dulu kepada pelayan yang
mengantarnya, apakah perguruan itu didirikan dengan
sepengetahuan bangsawan Kutabarang atau tidak.
"Anak Muda jadi mau belajar di sini?" tanya wakil pemimpin itu seakan-akan mendesak. Banyak Sumba kebingungan, tidak
tahu apa yang harus dikatakannya. Dalam kantong kulitnya,
kira-kira terdapat dua puluh delapan keping emas lagi, dengan tujuh keping perak dan lima belas keping perunggu. Ia tidak mungkin dapat membayar keping-keping emas untuk
pelajaran yang belum tentu benar-benar dibutuhkannya. Siapa tahu apa yang akan didapatnya dari perguruan itu sebenarnya sudah didapat dari Paman Wasis.
'Anak Muda jadi mau belajar?" tanya wakil pemimpin itu sekali lagi, seraya memandang tajam ke wajah Banyak
Sumba. Dengan tidak banyak berpikir, keluarlah kata-kata
Banyak Sumba sebagai dalih untuk menolak, "Saya ingin
melihat dulu pelaksanaan pelajaran di sini, baru saya dapat memutuskan."
Wakil pemimpin perguruan itu tampak marah; ia mendelik,
lalu berdiri, "Kalau tidak berani membayar, jangan belajar di perguruan ini," katanya.
Mendengar perkataan itu, panaslah daun telinga Banyak
Sumba. Walaupun demikian, ia tetap tenang karena sadar
bahwa ia harus menghindarkan setiap perkelahian yang tidak
ada hubungannya dengan tugasnya, yaitu membalas dendam
terhadap Puragabaya Anggadipati, wangsa Wiratanu,
Pembayun Jakasunu, serta mengembalikan abu jenazah Kanda
Jalu-wuyung kepada keluarga Banyak Citra. Setiap penghinaan dari orang-orang kerdil seperti wakil pemimpin itu harus
diterimanya dengan tabah, dan setiap kesedihan harus
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dianggapnya sebagai persembahan kepada Sang Hiang
Tunggal"yang akhirnya akan menolong orang yang
diperlakukan dengan tidak adil, seperti seluruh keluarga
Banyak Citra. Akan tetapi, Jasik tidak menerima penghinaan wakil
pemimpin perguruan itu seperti tuannya. Jasik berdiri, lalu berkata, "Saudara tidak perlu menghina. Tuan saya ini"kalau mau"dapat membeli seluruh perguruan dan
membubarkannya. Yang kami inginkan contoh yang diajarkan
di perguruan ini. Kami ingin mengetahui kepandaian yang
bakal kami dapat di perguruan ini. Saya bersedia menjadi
percobaan agar tuan saya dapat melihat dengan mata kepala
sendiri kepandaian guru perguruan ini, terutama kepandaian
Saudara sendiri." Banyak Sumba tidak dapat menghindarkan lagi peristiwa
selanjutnya. Wakil pemimpin perguruan gemetar dan mendengus-dengus karena marahnya, sedangkan pelayan pengantar
menyelinap dan lari ke luar ruangan seperti anjing melihat
tongkat. Wakil pemimpin berdiri tegak, lalu melangkah ke
tengah-tengah ruangan sambil memberi isyarat kepada Jasik.
Jasik yang marah melangkah dengan pasti ke tengahtengah ruangan, lalu pasang kuda-kuda.
'Jasik, ingat ayahmu" kata Banyak Sumba. Ia ingin
mengingatkan Jasik bahwa perkelahian tidak boleh dilakukan
dalam keadaan kalap seperti itu. Jasik harus membaca mantra untuk menenangkan diri. Itulah sebabnya Banyak Sumba
mengingatkan Jasik. Akan tetapi, Jasik sudah kalap, matanya menyala-nyala seperti dua buah bara yang tiba-tiba panas
sekali. Banyak Sumba berseru kembali sambil melangkah ke
dinding di dekatnya, bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan. Ia kemudian berseru:
"Demi air terjun yang berasap di lunas cadas
Demikian titik embun..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Itulah awal mantra yang dipelajarinya dari Paman Wasis
untuk menenangkan diri sebelum menghadapi lawan.
Rupanya, Jasik pun sekarang teringat akan nasihat ayahnya.
Ia memperlambat napasnya dan cahaya matanya tidak liar
lagi. Maka, kedua orang lawan berhadapan dengan siap.
Tiba-tiba, wakil pemimpin perguruan itu menyerbu dengan
cepat dan dengan tenaga yang besar sekali. Jasik mengelak,
tetapi karena cepatnya serangan, walaupun tinju lawan tidak mengenainya, tak urung kedua orang lawan bertabrakan. Lalu
terjadilah perkelahian yang kacau-balau, sama-sama bertindak serampangan dalam mempergunakan tangan dan kaki
mereka. Melihat perkelahian yang buruk itu, Banyak Sumba marah
dan kesal. Ia menyesali Jasik seolah-olah melupakan segala
pelajaran yang diterima dari ayahnya. Segala siasat yang
pernah diperbincangkan dan dibahasnya bersama, seolah-olah
tidak berkesan di hati Jasik. Panakawan yang baik itu
berkelahi secara ngawur dan begitu sering kena pukulan.
Sedangkan setiap pukulannya yang masuk tubuh lawan, itu
hanya kebetulan. Kemudian, wakil pemimpin itu melepaskan
diri sambil terengah-engah mundur. Jasik yang kelelahan tidak bisa mempergunakan peluang yang diberikan lawan. Kedua
belah kakinya tidak dapat dilangkahkan, seolah-olah melekat di lantai tanah ruangan itu. Banyak Sumba melihat bahwa
wakil pemimpin itu telah menerima pukulan yang berarti, ia
lebih payah daripada Jasik.
Tiba-tiba, terdengar langkah orang datang. Banyak Sumba
bersiap. Dari pintu yang tidak ditutup, muncullah seorang laki-laki, kira-kira berumur tiga puluh lima tahun. Banyak Sumba bersiap menghadapi segala kemungkinan. Jasik pun
menggeser kakinya. Akan tetapi, laki-laki yang mula-mula
kebingungan melihat sekitar kamar itu berseru, "Sik!"
"Kang Arsim!" seru Jasik gembira sambil melangkah ke arah laki-laki itu. Kedua orang yang baru bertemu itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berpelukan di hadapan Banyak Sumba yang keheranan dan
wakil pemimpin perguruan yang tampak lega.
Ternyata, Arsim salah seorang bekas murid Paman Wasis.
Setelah ia mendapat keterangan apa yang terjadi dan setelah diperkenalkan kepada Banyak Sumba, ia tampak segera
berusaha agar suasana yang buruk menjadi cerah kembali. Hal ini tidak sukar dilakukannya karena dengan alasan yang tidak begitu jelas, wakil pemimpin perguruan segera menghilang
dari ruangan itu. Tinggallah Banyak Sumba, Jasik, dan Arsim dengan beberapa orang siswa perguruan yang menggelar tikar
dan membawa teh serta penganan.
Setelah berbicara tentang itu dan ini, setelah Arsim banyak bertanya tentang Kota Medang dan sekitarnya, akhirnya
gilirannyalah yang menjelaskan mengapa ia di Kutabarang.
Semula, ia datang ke Kutabarang ikut dengan pamannya
untuk berdagang. Akan tetapi, berdagang ternyata tidak
semudah yang dibayangkannya semula. Ia berulang-ulang
menderita rugi hingga tidak punya lagi ongkos untuk pulang, kecuali menjual harga dirinya dengan mengemis sepanjang
jalan. Maka, ia pun memutuskan untuk mencari pekerjaan
hingga terkumpul sedikit ongkos.
Ia bekerja di pelabuhan sebagai tukang angkat barang.
Pada suatu hari, ia bertengkar dan lawan yang kalap
menyerangnya. Pelajaran yang didapatnya dari Paman Wasis
tidak sia-sia. Lawan dikuncinya hingga tidak dapat berkutik.
Rupanya, ketika itu ada seorang anggota perguruan yang
melihat. Semenjak itu, ia punya kerja baru, yaitu mengajarkan ilmu berkelahi seperti yang diterimanya dari Paman Wasis.
Untuk itu, ia mendapat penghargaan berupa ongkos-ongkos
hidup dan tempat menginap. Ia pun mempelajari cara-cara
berkelahi yang tidak didapatnya dari Paman Wasis.
"Adakah hal-hal yang patut dipelajari di sini, Kang Ar-sim,"
tanya Banyak Sumba yang sangat tertarik oleh ilmu-ilmu baru dalam bidang itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak banyak, Raden. Orang-orang di Medang lebih maju dalam berkelahi," demikian keterangan Arsim. Banyak Sumba kecewa karena ia tahu bahwa ia harus mengembara lebih jauh
lagi. "Kang Arsim, barangkali Kang Arsim mendengar, di mana
kami dapat menambah ilmu seperti yang kita terima dari
Paman Wasis di Medang."
"Berita-berita banyak, Raden. Setiap siswa bercerita ten-tangjagoan zaman dahulu atau jagoan yang berada di tempattempat jauh yang tidak mungkin dicapai. Di seberang Hutan
Larangan atau di seberang lautan, penuh dengan jagoan ini.
Akan tetapi, tentu saja bukan itu yang Raden cari. Sepanjang pengetahuan saya, di daerah ini, di perguruan ini ada seorang ahli yang dapat kita hargai, yaitu Gan Tunjung, pemimpin
perguruan. Akan tetapi, menurut pendapat saya, ia tidak lebih ahli daripada Paman Wasis. Saya sering penasaran,
bagaimana kalau Gan Tunjung bertanding dengan Paman
Wasis. Menurut pendapat saya, keduanya-duanya punya
harapan yang sama untuk menang."
"Kang Arsim sendiri, tidak adakah hasrat untuk menambah keahlian yang sudah ada?" tanya Banyak Sumba.
Arsim tidak segera menjawab. Setelah tersenyum, baru ia
berkata, "Raden tahu, saya pergi ke Kutabarang hanya untuk berdagang. Ilmu yang saya pelajari dari Paman Wasis
hanyalah alat pembantu dalam perdagangan, untuk keamanan
dan keselamatan. Raden tahu, kalau saya berada di sini, itu karena saya tidak mau pulang sebelum sebelum
kaya,",katanya sambil mengerlingkan mata, kemudian ia
melanjutkan, "Saya sudah mengumpulkan sejumlah uang,
dalam dua-tiga tahun saya dapat pulang dan membuat rumah
kayu yang besar dan kuat di pinggir Kota Medang," sambil berkata demikian, tampak ia mengkhayalkan kesenangan
punya rumah besar itu. Ia melupakan kedua orang tamunya,
dan Jasik mengambil kesempatan untuk berbisik kepada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Banyak Sumba bahwa Arsim ini pernah mencintai seorang
gadis yang mata duitan. Gadis itu kawin dengan orang lain,
dan Arsim tampaknya bermaksud menjadi kaya untuk
memanas-manasi gadis yang pernah menolaknya itu.
Dari cerita Jasik itu, Banyak Sumba mengambil kesimpulan
bahwa ia tidak akan dapat belajar banyak dari perguruan itu.
Walaupun begitu, tawaran Arsim untuk menginap di
perguruan itu diterimanya dengan baik. Ia penasaran untuk
dapat menyaksikan latihan yang dilakukan di perguruan itu. Ia pun ingin tahu bagaimana tingkat kepandaian Gan Tunjung
yang menjadi pemimpinnya. Ia tinggal di sana dan
mempergunakan waktunya untuk melihat-lihat perguruan dan
sekitarnya. Ketika hari mulai teduh, banyak penunggang kuda
berdatangan ke perguruan itu. Dari tingkah laku dan tutur
kata para pendatang yang muda-muda itu, Banyak Sumba
mengambil kesimpulan bahwa mereka anak saudagarsaudagar kaya dari Kutabarang. Mereka berpakaian
gemerlapan, sehat, dan gembira. Mereka memasuki gerbang
perguruan dengan bebas, tidak seperti memasuki pedepokan
yang bersuasana khidmat, tetapi lebih seperti memasuki
tempat bermain. "Sebentar lagi, latihan akan dimulai," bisik Arsim seraya memberi hormat kepada siswa-siswa yang datang. Ini pun
mengherankan Banyak Sumba. Seharusnya, siswa-siswalah
yang menghormat kepada pelatihnya dan tidak sebaliknya.
Kemudian, segalanya menjadi jelas.
Gan Tunjung yang menjadi pemimpin dan guru utama dari
perguruan itu seorang bangsawan. Akan tetapi, bangsawan ini memiliki cacat besar. Ia suka sekali berjudi dan menyabung
ayam. Karena kegemarannya yang dianggap hina oleh kaum
keluarganya, ia disisihkan. Untuk membiayai hidupnya dan
membayar ongkos kegemarannya, ia terpaksa menjual ilmu
kebangsawanannya, yaitu ilmu berkelahi dan keperwi-raan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maka, didirikanlah perguruan itu dengan peraturan siswasiswa harus membayar mahal.
Para putra saudagar yang menjadi siswa pada perguruan
itu dengan sendirinya mengetahui kedudukan Gan Tunjung.
Walaupun di hadapannya mereka memberi penghormatan
sepantasnya, dalam hati masing-masing, mereka tidak
memiliki rasa hormat kepada guru mereka itu. Mereka
menganggap bahwa Gan Tunjung hanya dapat hidup dengan
bantuan mereka. Itulah sebabnya mereka bersikap bebas dan
bahkan menganggap badega kepada pelatih seperti Arsim.
Arsim sendiri, asal ia mendapat uang banyak untuk
memanaskan hati gadis yang menolaknya itu, tampaknya tidak
keberatan dengan sikap mereka itu.
Sore itu, pada saat latihan, disertai Jasik, Banyak Sumba
hadir di tempat latihan. Arsim menerangkan kepada Gan
Tunjung, seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar bahwa Banyak Sumba dan Jasik adalah saudaranya yang datang dari
Kota Medang untuk urusan dagang. Dengan keterangan itu,
Gan Tunjung mengizinkan kedua orang pengembara itu untuk
menyaksikan latihan. Ruangan latihan itu sebuah lapangan yang dikelilingi
dinding. Banyak Sumba bertanya kepada Arsim, mengapa
tempat latihan itu tidak pakai atap. Sambil tersenyum dan
berbisik, Arsim berkata, "Agar kalau hujan, Gan Tunjung tidak usah melatih dan dapat,bersenang-senang di Kutabarang, di


Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat judi." Mendengar penjelasan itu, Banyak Sumba berpaling kepada
Gan Tunjung yang berdiri di tengah siswanya yang mulai
melakukan jurus-jurus. Arsim pun mulai membantu siswa yang
jumlahnya kira-kira tiga puluh orang.
Dari gerakan-gerakan yang mereka lakukan, Banyak Sumba
mengambil kesimpulan bahwa ilmu yang diajarkan dalam
perguruan itu tidaklah lebih tinggi daripada yang diajarkan oleh Paman Wasis. Jurus-jurusnya memang banyak yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
rumit, tetapi jurus-jurus itu tidak akan banyak gunanya dalam perkelahian yang sebenarnya. Sementara itu, tampak bahwa
gerakan-gerakan seperti yang dilihat di sana, banyak sekali yang menggunakan tenaga, bukan kecerdikan. Ini mudah
dimengerti karena Gan Tunjung seorang yang berbadan tinggi
besar dan dengan sendirinya bertenaga kuat. Tenagalah yang
menjadi andalan siswa perguruan itu. Ini akibat sikap dan ilmu gurunya, yaitu Gan Tunjung. Oleh karena itu, jelas berbeda
dengan sikap dan ilmu Paman Wasis yang lebih mengandalkan
kecerdikan. Pada waktu istirahat, Banyak Sumba bertanya kepada
Arsim yang duduk di dekatnya, "Kang Arsim, mengapa tidak diberikan cara-cara tipuan yang kita terima dari Paman
Wasis?" Arsim mengerlingkan matanya, lalu berbisik, "Itu rahasia, Raden. Saya hanya akan menjualnya kalau ada orang yang
mau membayar mahal, mahal sekali. Biarlah mereka menjadi
kuat seperti kerbau dan tetap dengan otak kerbau. Kalau
banyak olah kita, modal kita dikeluarkan, mereka akan tetap hormat kepada kita, dan ... akan membayar tinggi."
"Kang Arsim, saya yakin, bagi Kang Arsim tidak sukar untuk mengalahkan Gan Tunjung," kata Banyak Sumba berbisik.
Arsim tampak terkejut, kemudian tersenyum pahit, seolaholah menganggap bahwa Banyak Sumba seorang yang tolol.
"Raden, kalau saya mengganggu Gan Tunjung, artinya saya menghilangkan sumber rezeki! Bayangkan, saya jatuhkan Gan
Tunjung dengan tipuan-tipuan dari Paman Wasis, itu berarti
perguruan ini hancur dan saya kehilangan pekerjaan."
"Bukankah Kang Arsim dapat mendirikan perguruan baru?"
"Raden, cita-cita saya bukan jadi guru."
"Tapi, bukankah Kang Arsim dapat mengajarkan ilmu yang didapat dari Paman Wasis di perguruan ini?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sudah saya katakan, saya menjual mahal ilmu itu, Raden.
Dan... memang ada beberapa orang putra saudagar yang
belajar secara sembunyi-sembunyi kepada saya. Merekalah
yang akan menyebabkan saya segera pulang ke Kota Medang
dan akan mendirikan rumah besar di sana."
Dari obrolan-obrolan Kang Arsim, jelaslah bagi Banyak
Sumba, dengan orang macam apa ia berhadapan. Rupanya,
yang terpenting bagi Kang Arsim di dunia ini adalah uang. Ia bersedia menghinakan diri di hadapan murid-murid perguruan
itu, demi uang. Ia pun bersedia bertindak sebagai pelayan Gan Tunjung yang angkuh itu demi uang, walaupun sebenarnya
Gan Tunjung pantas jadi pelayannya kalau ditinjau dari
kepandaiannya berkelahi. Banyak Sumba muak bergaul
dengan orang macam itu. Akan tetapi, ia sadar bahwa kemuakannya tidak akan siasia kalau saja Arsim dapat membantunya mencarikan atau
menunjukkan perguruan atau guru yang pantas
dikunjunginya. Setelah latihan selesai, ia pun menanyakan hal itu.
"Raden, sebenarnya banyak juga jagoan di daerah ini.
Kawan-kawan Gan Tunjung ada beberapa orang yang
sebenarnya lebih sigap daripada Gan Tunjung. Kadangkadang, mereka datang ke sini untuk mengobrol atau
mengurus utang piutang yang biasa terjadi dengan tukang
judi dan sabung ayam. Jagoan-jagoan ini biasa punya murid,
putra-putra saudagar, atau petani kaya. Tapi, secara
umumnya bukan bangsawan seperti Gan Tunjung. Mereka
tidak mendirikan perguruan secara resmi."
"Apakah benar, ada yang lebih pandai daripada Gan
Tunjung?" sela Banyak Sumba yang penasaran.
"Ada, bahkan sangat masyhur, yaitu si Colat. Disebut
begitu karena di keningnya terdapat luka berwarna merah,
bekas golok. Ia sangat pandai dan punya beberapa puluh
orang murid, tetapi budi pekertinya tidak baik sehingga selalu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dibayang-bayangi para jagabaya. Dikabarkan pula, ia tidak
segan-segan membunuh untuk sekeping uang perunggu. Dan
kalau sudah minum tuak, seolah-olah tuak itu menguap saja
dan tidak masuk perutnya."
Banyak Sumba masih penasaran, tetapi Arsim harus
kembali membantu siswa-siswa yang sedang berlatih. Sore itu, Banyak Sumba dan Jasik kembali ke penginapan di
Kutabarang tanpa berhasil menemukan keterangan yang akan
berguna bagi mereka dalam mencari guru atau perguruan
yang pantas. Berminggu-minggu telah berlalu dalam pengembaraan,
guru yang baik belum juga ditemukan. Banyak Sumba mulai
gelisah. Dan untuk menghilangkan keresahannya itu,
diajaknya Jasik untuk melihat-lihat Kota Kutabarang pada
malam hari. Setelah mandi dan berganti pakaian, mereka berangkat.
Mereka berjalan di jalan-jalan lebar yang di tepinya berjajar warung-warung yang diterangi lampu minyak kelapa.
Sementara itu, di tiap perempatan dinyalakan pula obor-obor besar, tempat anak-anak muda berkumpul, mengobrol,
menggoda gadis-gadis yang duduk di serambi rumah yang
remang-remang diterangi lampu. Di sana sini, sayup-sayup
terdengar orang bernyanyi diiringi kecapi dan suling. Dari jauh terdengar bunyi dogdog dan angklung buncis, mungkin ada
orang yang sedang kenduri. Di jalan-jalan, orang masih hilir mudik, ada yang berjualan, ada juga yang sedang ngobrol.
Malam hari, orang-orang Kutabarang tidak segera tidur.
Mereka bersenang-senang melepas lelah setelah sibuk bekerja sepanjang hari.
Di tengah kelompok-kelompok orang inilah, Banyak Sumba
dan panakawannya berjalan tak tentu arah. Kadangkadang,
Banyak Sumba berhenti melihat orang asing yang
menawarkan benda-benda aneh, seperti akik dan akar bahar.
Kadang-kadang, dikunjunginya pula warung yang memajang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
senjata kecil dan pendek. Akan tetapi, hatinya yang risau tidak mendorongnya untuk menikmati tamasya kota itu. Ia berjalan
terlunta-lunta dari lorong ke lorong, di antara orang banyak.
Ia menyesali dirinya karena tidak dapat segera melaksanakan tugasnya. Ia marah dan tidak dapat menghargai dirinya
sebagai salah seorang wangsa Banyak Citra.
Pertanyaan-pertanyaan Jasik dijawab dengan singkat. Ia
sendiri tidak pernah membuka percakapan. Jasik yang
menyadari suasana hati tuannya sedang tidak baik, tidak
berkata apa-apa lagi. Ia membisu sambil terus mengikuti
tuannya. Mereka pun berjalan, sementara malam makin larut
dan bulan makin tinggi. Tanpa disadari, mereka menuju suatu perempatan. Di sana,
banyak sekali orang berkumpul. Di tempat itu lebih banyak
obor dipasang hingga malam pun terang benderang. Tampak
pula pedagang luar biasa banyaknya.
Makin lama, orang makin banyak hingga akhirnya Banyak
Sumba dan panakawannya tidak dapat maju lagi. Mula-mula,
Banyak Sumba akan berbalik. Kemudian, terdengarlah suara
kecapi tukang pantun yang dengan lantang dan indah
menggetarkan udara malam yang sejuk. Banyak Sumba
tertegun. Jasik tampaknya senang karena dia tahu Banyak
Sumba senang sekali mendengarkan cerita dan nyanyian
tukang pantun. Ia berharap agar kesenangan itu dapat
mengubah suasana hati tuannya yang sedang kalang kabut.
Maka, berdirilah ia dengan hormat di belakang tuannya.
Banyak Sumba tengadah, mencoba melihat ke panggung
tempat tukang pantun buta itu duduk, dikelilingi para tamu
laki-laki dan para pemuda. Sementara tamu wanita dan
nyonya rumah, bersama para pemudi, berkumpul di seberang
ambang pintu di tengah rumah.
Ketika Banyak Sumba datang, tukang pantun itu sedang
melawak. Ia sedang menceritakan tokoh badut dalam cerita,
tetapi bukan Uwak Batara Lengser. Badut dalam cerita itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
namanya Mang Ogel. Dengan kata-kata yang kocak, tukang
pantun itu menceritakan tubuh Mang Ogel yang bulat,
kepalanya yang bulat, bahkan sampai kuda tunggangannya
pun bulat bentuknya. Mendengar nama Mang Ogel, mengernyitlah kening Banyak
Sumba. Rasa-rasanya, ia ingat pada nama itu. Mungkin, ada
seorang panakawan atau gulang-gulang atau ponggawa yang
bernama demikian. Juga rasa-rasanya ia ingat bahwa memang
orang itu lucu seperti namanya. Akan tetapi, ia tidak ingat benar, siapa dan di mana ia pernah bertemu dengan orang
itu. Mungkinkah orang itu pelawak yang biasa ngamen di
pasar Kota Medang" Atau mungkinkah petani, gembala, atau
kusir pedati kerbau kocak yang suka berkunjung ke Kota
Medang" Kemudian, renungannya terhenti karena ia
mendengar tukang pantun itu menyanyi dengan nyaring,
sementara para penonton tertawa dengan riuh.
Ternyata, tukang pantun menceritakan bagaimana Mang
Ogel itu dikeroyok di suatu tempat dekat mata air ketika ia mengantar tuannya. Juga bagaimana lawannya yang diserang
tidak menyangka dia orang, tetapi batu bulat yang
menggelundung ke hadapan mereka.
"Saya bukan batu, jangan pura-pura, siapa yang berani"!"
seru Mang Ogel sambil siap dengan tangan-tangannya yang
besar. "Hei, Kepiting! Pergi ke laut!" kata lawannya. Mendengar cerita itu, teringatlah Banyak Sumba akan Mang Ogel yang
diceritakan tukang pantun.
Tukang pantun itu sedang mengisahkan pengalaman
Puragabaya Anggadipati dengan panakawannya yang bernama
Ogel. Memang, Puragabaya Anggadipati dan panakawannya
bertahun-tahun belakangan ini telah menjadi tokoh cerita
yang termasyhur dan disenangi rakyat. Puragabaya
Anggadipati menjadi tokoh kesatria Pajajaran yang
menyerahkan hidupnya bagi kerajaan dan anak negeri,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sedangkan Mang Ogel contoh panakawan setia yang dalam
sukaduka tidak pernah mengeluh, bahkan selalu gembira dan
menghibur tuannya. Mengenai kisah-kisah puragabaya itu,
Banyak Sumba berpendapat bahwa rakyat memuja orang itu
secara membabi buta, sedangkan kisahnya kebanyakan
dilebih-lebihkan. Akan tetapi, karena Banyak Sumba sangat suka pada
pertunjukan pantun, ia tidak jadi meninggalkan tempat itu.
Kebetulan, suara penyanyi buta itu sangat baik dan
kepandaian bercerita serta bermain kecapinya lumayan.
"Kita tinggal di sini sebentar, Sik," katanya kepadajasik.
"Baik, Raden," jawab Jasik, senang karena tuannya mulai terhibur. Mereka pun berdiri di antara orang banyak.
Tukang pantun itu mengisahkan bagaimana seorang putra
bangsawan yang bernama Raden Jamu terpilih menjadi calon
puragabaya. Akan tetapi malang, anak yang cekatan dan
manis budi ini mendapat kecelakaan dalam latihan. Akhirnya, kerajaan memutuskan bahwa Pangeran Anggadipati yang
muda, walaupun baru berumur dua belas tahun, dipilih
menjadi penggantinya. Pangeran yang masih muda itu
menjadi calon paling muda dan berlatih di Padepokan
Tajimalela. Dikisahkan, setelah latihan-latihan yang berat, pangeran ingin menjadi puragabaya yang tangguh. Dikisahkan
pula bagaimana ia masuk air terjun maut dan keluar dengan
selamat, berkelahi dengan ular dan berhasil membunuh ular
itu. Setelah dilantik, ia menundukkan pemberontakan di Kota
Galuh yang tua. Kemudian, dikisahkan bagaimana seorang
putri yang cantik jelita bernama Yuta Inten menarik hatinya, betapa mesra mereka berkasih-kasihan, serta betapa
menyedihkan dan cemasnya gadis itu ketika puragabaya
bertugas ke Cipamali untuk mengadakan serangan pada kubukubu musuh. Akhirnya, diceritakan bagaimana kakak Yuta
Inten yang juga seorang puragabaya hebat menjadi gila
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
karena kerasukan siluman, dan bagaimana puragabaya yang
gila serta haus darah itu dibunuh oleh Pangeran Anggadipati, hingga ....
Sebelum tukang Pantun itu selesai berkisah, sesosok tubuh
melompat ke atas panggung, lalu berteriak, "Bohong!"
serunya. Sambil berkata demikian, disepaknya kecapi ke
samping. "Raden!" seru Jasik dengan terkejut. Beberapa orang bangkit dan menyerang Banyak Sumba yang berdiri di atas
panggung di tengah-tengah para tamu. Seseorang menarik
Banyak Sumba dari belakang sambil berseru, "Kurang ajar, orang gila macam apa berpakaian bagus begini"!"
Yang lain, tanpa berkata-kata, langsung menghantamkan
tangannya ke leher Banyak Sumba. Akan tetapi, tangan itu
ditangkap ketika berada di udara, sedangkan kaki Banyak
Sumba masuk ke perut orang itu. Orang yang menarik baju
Banyak Sumba tidak beruntung pula. Setelah menghantam
yang datang dari depan, Banyak Sumba mundur. Setelah
tubuhnya mendekat pada orang yang memegangnya, tangan
Banyak Sumba menangkap leher orang itu, lalu
melemparkannya ke depan. Orang itu melayang sekejap, lalu
terjerembap di atas gulai, acar-acar, dan berbagai masakan
yang ada di tengah serambi.
Wanita-wanita dan gadis-gadis menjerit-jerit, para tamu
berlompatan ke luar, bahkan ada yang berhambur dari atas
panggung ke tengah-tengah penonton. Tukang pantun
menghilang dituntun anak penuntunnya, sementara tuan
rumah yang punya kenduri pingsan di tengah rumah, di antara hidangan, karena terkejut.
Sementara itu, di panggung, Banyak Sumba tetap berdiri
menghadapi beberapa orang pemuda dan laki-laki yang
mengepungnya. Ia tidak menunggu serangan, tetapi
menghambur ke kanan ke kiri, ke muka dan ke belakang,
membagikan pukulan yang pernah dipelajarinya dari Paman
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wasis. Ia berkelahi dengan penuh semangat karena segala
dukacita dan kemarahan yang selama ini dipendamnya tibatiba meledak ke luar menemukan jalannya. Setiap orang yang
menerima pukulan atau tendangannya, kebanyakan roboh dan
tidak dapat tegak kembali.
Tiba-tiba, seorang berhasil menangkap pinggang Banyak
Sumba. Sikut Banyak Sumba tidak dapat dipergunakan
menghantam orang itu karena tangannya harus menghadapi
serangan yang datang dari muka. Ketika Banyak Sumba mulai
kewalahan harus menghadapi serangan sambil diberati oleh
orang yang erat-erat memegang pinggangnya, ia terpaksa
mengerahkan seluruh tenaganya untuk membanting tubuh
orang itu dengan gerakan badannya. Ia membanting orang itu
ke tiang panggung yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Dengan gerakan yang kuat, ia mengibas orang itu hingga
kakinya terangkat dari lantai panggung, sementara tangannya menangkis pukulan dari depan.
Pinggang orang itu menghantam tiang. Saking kerasnya, ia
mengaduh dan melepaskan pegangannya. Malang, sebuah
obor yang diikat pada tiang itu jatuh. Minyaknya meresap ke lantai panggung yang terbuat dari anyaman bambu. Api tiba-tiba berkobar. Karena tidak ada yang memikirkan untuk
memadamkannya, dalam sekejap kebakaran pun terjadi.
Banyak Sumba terus menghantam ke sana kemari, sementara
api berkobar-kobar di kanan kirinya.
Jeritan, sumpah serapah, teriakan minta tolong, perintahperintah, ingar-bingar kedengarannya, hingga akhirnya suara trompet tanduk mendayu dengan berat, tanda para jagabaya
datang untuk mengamankan. Ketika itulah, Banyak Sumba
sadar akan dirinya. Ia pun melompat dari atas panggung,
lenyap dalam gelap, di antara lorong-lorong yang penuh
dengan orang-orang berlarian ke sana kemari. Tak lama
kemudian, ia berlari di lorong yang lengang. Suara langkah


Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdengar di belakangnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sik!" serunya.
"Saya, Raden," seru Jasik dalam gelap.
Di penginapan itu, Banyak Sumba merunduk dalam gelap.
Kesedihan yang dalam dan perasaan berdosa memberati
hatinya. Keesokan malamnya, secara rahasia, ia mengirim lima belas keping uang emas untuk tuan rumah yang berkenduri,
yang tempatnya dijadikan gelanggang perkelahian itu.
Tinggallah sepuluh uang emas lagi yang dimilikinya.
-ooo0dw0ooo- Bab 5 Nyai Emas Purbamanik Karena perbuatan yang dianggap sia-sia, biaya yang
dibawanya untuk mencari ilmu tinggal setengahnya lagi.
Banyak Sumba menyesal dan bahkan membenci dirinya
sendiri. Hatinya tertekan karena ia tidak dapat mengendalikan hal-hal yang buruk yang ada pada dirinya. Ia jadi sering
meragukan dirinya, apakah ia dapat menjadi seorang anggota
wangsa Banyak Citra yang pantas. Kebencian dan kemarahan
serta keragu-raguan terhadap kemampuan dirinya itu mulamula tampak pada Jasik dalam bentuk kemurungan. Akan
tetapi, hal itu kemudian mengambil bentuk yang lebih keras.
Ia menjadi pemarah, bukan terhadap Jasik, tetapi kepada
dirinya sendiri. Dalam renungannya, sering sekali tiba-tiba Banyak Sumba memukulkan tinjunya ke atas bangku.
Sebagai seorang panakawan yang bijaksana, kalau Banyak
Sumba sedang murung, Jasik biasanya menjauh. Kalau
tuannya itu sudah agak tenang, ia mendekat lalu mengajukan
beberapa pertimbangan. Pada suatu sore, berkatalah ia,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Segalanya tak usah dirisaukan benar. Raden. Sang Hiang Tunggal akan menunjukkan jalan kepada kita pada waktunya."
"Biaya kita tinggal setengahnya, Sik, sedangkan guru yang kuingini belum juga kita temukan," ujar Banyak Sumba sambil meremas rambutnya yang hitam dan agak ikal itu.
Memang, beberapa kali dalam bulan terakhir ini, mereka
telah mengunjungi beberapa orang guru atas petunjuk rakyat
di Kutabarang. Akan tetapi, melihat beberapa gerakannya
saja, Banyak Sumba cepat mengambil kesimpulan bahwa
kepandaian mereka berada di bawah kepandaian Paman
Wasis. Itulah sebabnya ia hampir berputus asa.
"Waktunya akan tiba kita menemukan orang yang kita
perlukan itu, Raden," sambung jasik. Nada bicaranya begitu penuh keyakinan hingga Banyak Sumba bangkit memandang
wajahnya. "Engkau yakin, di Kutabarang ini ada orang yang tinggi ilmunya?" tanyanya kepada Jasik.
"Ayah saya mengatakan hal itu. Ia mengatakan bahwa di
Kutabaranglah tempat berkumpul orang-orang pandai,
termasuk yang pandai dalam perkelahian dan main senjata.
Hanya, seperti juga kata Kang Arsim, mereka ini bersembunyi.
Kesabaran kita akhirnya akan menemukan jejak ke ambang
pintu rumah mereka."
Banyak Sumba termenung untuk beberapa lama, lalu
berkata, "Seandainya biaya habis dan kita belum menemukan orang itu, saya tidak akan pulang, Sik."
"Saya tahu, Raden tidak akan berbuat begitu," ujar Jasik yang mengerti watak tuannya.
"Saya akan mencari pekerjaan, kalau perlu jadi kuli, Sik."
Jasik tersenyum. "Mengapa kau tertawa?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak akan ada orang yang berani menyuruh Raden.
Mereka akan melihat bahwa Raden bukan orang kebanyakan."
Wajah Banyak Sumba gelap kembali. Jadi apakah ia kalau
seandainya harus bekerja"
"Saya jadi kuli, Raden jadi juru tulis pada keluarga kaya atau bangsawan tinggi," sambung jasik.
"Betul, Sik. Tapi, saya tidak bermaksud menyuruhmu
menjadi kuli. Saya bekerja di sini, engkau boleh pulang ke
Panyingkiran." "Tidak Raden, saya sekeluarga sudah terikat sumpah untuk setia kepada seluruh anggota keluarga Raden."
Banyak Sumba mengangkat pundaknya. Sementara itu,
pintu diketuk orang dan ketika jasik membukanya tersenyumlah Arsim. "Silakan masuk, Kang," kata Jasik.
"Raden, kabar baik!" serunya. Arsim menutup mulutnya, lalu berpaling ke kanan ke kiri. Jasik yang mengerti segera menutupkan wide yang bergantung di atas pintu kanan dan
kiri ruangan. "Raden, si Colat ada di kota."
"Bagaimana Kang Arsim tahu" Di mana?"
"Gan Tunjung dengan tergesa-gesa mengumpulkan uang
karena ia punya utang kepada penjahat itu. Saya sempat
bertanya kepadanya dan Gan Tunjung menerangkan, si Colat
menagihnya dan kalau pembayarannya tidak segera dilakukan
akan menyusahkan." "Di mana ia berada?" tanya Banyak Sumba dengan tidak sabar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Di suatu tempat yang Kang Arsim tahu, tidak usah
dikatakan sekarang Pokoknya, nanti sore kita pergi ke sana.
Tapi....." "Tapi apa?" tanya Banyak Sumba.
"Si Colat hanya mau mengajar kalau Raden bersedia
membayar tinggi." Banyak Sumba termenung karena ia tahu bahwa ia sudah
bertambah miskin karena terjadi keributan dan kebakaran
pada orang yang sedang kenduri itu. Akan tetapi, ia kemudian teringat percakapannya dengan Jasik. Kalau perlu, ia bekerja jadi juru tulis pada orang kaya.
"Saya bersedia membayar tinggi seandainya memang ia
sangat tinggi ilmunya," kata Banyak Sumba.
Mereka pun berjanji bahwa sore itu mereka akan
mengunjungi sebuah gubuk di luar dinding benteng
Kutabarang. Setelah itu, mereka mengobrol tentang hal-hal
kecil; tentang kenangan-kenangan mereka kepada Kota
Medang yang jauh; tentang rencana Arsim membuat rumah
besar, memelihara pelayan, dan membeli kereta berkuda.
Ketika matahari condong, Arsim mohon diri dan kedua orang
pengembara itu pun mengantar hingga halaman.
KETIKA saat yang ditentukan tiba, kedua orang
pengembara memacu kuda masing-masing menuju gerbang
kota. Di sana, Arsim sudah menunggu dengan kuda di
sampingnya. Pada pelana kuda itu, agak tersembunyi,
bergantunglah sebuah kantong kulit. Dari bentuknya, tampak
bahwa kantong kulit itu berisi benda berat-logam! Melihat itu, tersenyumlah Banyak Sumba. Ia akan mengatakan sesuatu,
tapi Jasik mendahuluinya, "Kang Arsim ini memang cerdik.
Kami dibuatnya jadi pengawal."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Arsim mengerlingkan matanya, lalu berkata, "Kalau tidak cerdik, kita dimakan orang di rantau ini. Daripada minta
dikawal orang lain dan memberi upah, lebih baik dikawal dua orang murid Paman Wasis, yang tentu saja tidak memerlukan
uang karena minta diantar mencari guru."
"Mari," kata Banyak Sumba yang langsung memimpin
rombongan. Walaupun di rantau dan lebih muda daripada
Arsim, ia tuan bagi warga kotanya.
"Ha! Ha!" seru Arsim menghalau kudanya. Maka, naiklah debu jalan yang menuju kampung-kampung di luar gerbang
barat Kota Kutabarang Berulang-ulang mereka berpapasan
rakyat yang pulang dari huma dan kebun dengan iringan
pedati kerbau yang membawa hasil bumi ke arah kota;
pasukan-pasukan kecil jagabaya yang pulang bertugas; para
ponggawa; dan pengembara dengan buntalan di punggung,
disangkutkan pada sebatang cabang pohon.
Ketika itu, matahari hampir tenggelam, langit Jingga oleh
cahayanya. Bukit-bukit yang rendah, rawa-rawa di tepi laut, abu-abu tampaknya. Atap ijuk kampung hitam, sedangkan di
sana sini tampak rumah-rumah besar menjulang, dikelilingi
benteng tinggi. Beberapa rumah itu bermenara pula pada
bentengnya. Itu rumah bangsawan-bangsawan yang tidak
suka kesibukan kota pelabuhan Kutabarang. Karenanya,
mereka mendirikan istana di luar kota.
Makin jauh mereka dari kota, makin jarang kampung dan
makin menyempit pula jalan. Akan tetapi, rumah bangsawan
masih tampak satu-dua. Pada suatu tempat, begitu ketiga
orang penunggang kuda keluar dari kelompok pohon cemara,
menjulanglah sebuah benteng yang terletak tidak jauh dari
jalan. Banyak Sumba berpaling ke atas dinding benteng dan
melihat beberapa orang gulang-gulang bersenjata panah
memerhatikan mereka. Banyak Sumba segera berpaling untuk
menghindarkan kecurigaan para penjaga itu. Akan tetapi, tiba-tiba tampaklah oleh Banyak Sumba seorang putri diiringi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
beberapa orang emban sedang berjalan-jalan di atas dinding
benteng sambil menikmati pemandangan senja itu. Banyak
Sumba tidak dapat mengejapkan matanya. Ia lupa kepada
kedua orang pengiringnya. Ia pun lupa kepada gulang-gulang
yang tidak jauh dari putri itu.
Akan tetapi, kudanya berlari cepat. Dalam sekejap, ia harus menjauh dari tempat itu dan tidak dapat lagi melihat
kecantikan yang mengguncangkan hatinya. Secepat kilat,
ditemukannya akal. Ia mencabut belati kecil yang terselip di ikat pinggang besar di bawah baju luarnya. Senjata itu
dijatuhkannya. Lalu, ia berseru, "Ha! Ha!"
"Ha! Ha!" seru kedua orang kawannya memberi semangat kepada kuda masing-masing. Kuda-kuda pun melesat
bagaikan terbang di jalan yang lengang itu. Beberapa lama
kemudian, Banyak Sumba melambatkan kudanya hingga
kedua orang kawannya itu menyusul.
"Ada apa?" tanya Arsim.
"Pisau saya jatuh."
Arsim kelihatan muram. Banyak Sumba segera berkata,
"Tidak jauh. Baru saja saya betulkan letaknya, mungkin waktu saya memecut kuda itulah ia jatuh."
"Mari, kita kembali," kata Jasik.
"Tidak usah," ujar Banyak Sumba. "Sekarang, pergilah kalian dulu, nanti saya menyusul."
"Cepat, Raden, kami tunggu di persimpangan. Ingat, jalan-jalan di sini tidak seaman jalan-jalan di Kota Medang."
"Jangan khawatir," seru Banyak Sumba, lalu membalikkan kuda dan memacunya. Sementara dalam hatinya tergambar
kecantikan putri itu. Ia memacu kudanya dengan hati berdebar-debar. Tiba-tiba,
pikirannya ragu-ragu. Bukankah tidak pantas seorang yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sedang mencari ilmu tergoda oleh kecantikan seorang putri
hingga harus menyimpang" Ia ragu-ragu dan hampir
membelokkan kudanya kembali serta merelakan pisaunya
yang bergagang gading itu menjadi korban. Akan tetapi, dari jauh tampaklah pakaian merah muda putri itu berkibar ditiup angin senja. Banyak Sumba sambil menengadah ke arah
benteng memecut kudanya. Makin lama makin dekat. Tampak
putri itu memandangnya, demikian juga para emban yang
berdiri di belakangnya. Banyak Sumba melambatkan kudanya
sambil tetap memandang ke arah benteng.
"Seperti sekuntum bunga di antara daun-daunan,"
demikianlah hatinya berkata, memperbandingkan putri itu
dengan emban-embannya. Kemudian, hatinya melanjutkan
bisiknya. "Para Pohaci di Kahiangan menciptakan boneka cantik dari pualam dan gading, bibirnya dibuat dari dua helai mahkota mawar, matanya dipetik dari bintang-bintang.
Sedangkan kedua pipinya itu adalah keratan purnama. Lalu,
para Pohaci meniupkan hidup dan itulah napas sang Putri."
Tiba-tiba, para emban menjerit, sedangkan putri itu
meletakkan kedua belah tapak tangannya satu sama lain di
depan wajahnya yang cemas. Ternyata, kuda Banyak Sumba
yang penurut itu sudah keluar dari jalan dan masuk ke dalam semak-semak.
"Hati-hati, Tuan Muda!" seru seorang emban yang nakal.
Lalu, terdengar emban-emban yang lain tertawa. Tuan Putri
tersenyum dan mata mereka bertemu. Tuan Putri
memalingkan pandangannya. Banyak Sumba membelokkan
kudanya, kembali ke jalan.
"Hai, di sana! Apa yang kaucari?" seru suara kasar penjaga.
Banyak Sumba berseru, "Pisau saya jatuh!"
"Jangan dekat-dekat ke benteng!" seru penjaga itu.
Beberapa orang di antara mereka mengarahkan panahnya
kepada Banyak Sumba. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan tenang, Banyak Sumba menghentikan kudanya,
lalu turun. Ia berjalan menunduk, mencari-cari pisaunya,
walaupun hatinya tidak terpusat ke sana. Tak lama kemudian, ia menemukannya, lalu mengambilnya. Ia berpaling kepada
para penjaga yang ternyata memerhatikannya dengan curiga.
Ia mengacungkan pisau itu, lalu memasukkan ke sarungnya.
Dengan sudut matanya, ia mencuri pandang ke arah putri
yang memerhatikannya dengan malu-malu di sudut benteng,
tidak jauh dari para penjaga. Para penjaga tampak puas
setelah melihat Banyak Sumba betul-betul mengambil pisau
dari jalan. Mereka tidak memerhatikannya lagi.
Banyak Sumba melompat ke atas kudanya, tetapi tidak
terus memacunya. Ia melarikan kudanya perlahan-lahan dan
dengan berani memandang ke arah putri itu. Putri itu pun
memerhatikannya, walaupun malu-malu. Merasa putri itu
memerhatikannya, timbullah keberanian Banyak Sumba. Dan
setelah ia tahu bahwa di dekat rombongan putri itu tidak ada penjaga, dihentikanlah kudanya; ia berkata kepada putri yang ada di atas benteng itu, "Hamba telah menemukan kembali pisau hamba yang jatuh itu, Tuan Putri. Maaf, hamba telah
mengganggu." "Sudah jauhkah engkau, Anak Muda?" tanya seorang
emban tua. "Belum, Bibi. Kalaupun sudah jauh berjalan, tidaklah saya sia-sia. Pisau ini rupanya sengaja jatuh agar saya dapat
menyampaikan hormat saya kepada Tuan Putri."
"Engkau berjalan seorang diri, padahal senja sudah tiba?"
"Tidak, Bibi, kawan-kawan hamba menanti di
persimpangan. Mereka memarahi pisau saya yang jatuh, tapi
saya mengucapkan terima kasih kepadanya."
Lewat ujung pandangnya, Banyak Sumba melihat bahwa
putri itu arif akan apa-apa yang dikatakannya. Tampak
olehnya putri itu memalingkan muka, menyembunyikan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
senyumnya Lesung pipitnya yang manis melekuk pada pipinya
yang seperti pualam, yang ketika itu jadi keemasan kena sinar lembayung senja.
"Sekarang, selamat tinggal," kata Banyak Sumba sambil menundukkan mukanya, memberi hormat ke arah tuan Putri.
Ia membelokkan kudanya. Sebelum membelakangi, ia
memandang dulu ke arah putri yang mencoba memalingkan
mukanya, tetapi tampak bimbang Kemudian, Banyak Sumba
memacu kudanya. "Hati-hati, Anak Muda, kuda itu agak buta, tadi masuk
semak!" seru seorang emban yang nakal, kemudian terdengar para emban itu tertawa. Banyak Sumba memacu kudanya
seperti terbang di atas jalan yang berkelok-kelok lembut di bawah langit senja.
Segala kemurungannya, segala kemarahan terhadap dirinya
yang terpendam, tiba-tiba musnah oleh peristiwa yang baru
dialaminya itu. Ia tahu bahwa putri itu mengerti
perbuatannya. Bahkan, ia yakin, putri itu menyadari bahwa
pisau itu hanyalah dalih. Kesadaran akan hal itu menyebabkan Banyak Sumba gembira. Bukankah dengan demikian semacam
saling mengerti sudah terjalin di antara mereka"
Ketika ia tiba di salah satu persimpangan, tampaklah kedua
orang kawannya menunggu. Jasik yang sangat halus
perasaannya memandang kepadanya dengan heran, "Raden
mendapat kabar gembira dari Medang?"
Sekarang, Banyak Sumba-lah yang keheranan. Akan te
tapi, hanya sekejap, la sadar bahwa Jasik yang halus
perasaannya akan segera melihat kegembiraan pada air
mukanya. Ia segera menjawab, "Saya menemukan pisau saya lagi, Sik," katanya sambil tersenyum. Mereka pun, dengan Arsim paling depan, memacu kudanya pada tujuan semula.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
DI TENGAH-TENGAH perhumaan yang berbatasan dengan
hutan lebat, terletaklah sebuah kampung kecil. Kampung ini
hanya terdiri dari beberapa buah rumah yang lebih
menyerupai dangau daripada rumah. Atap rumah-rumah itu
pun tidak teibuat dari ijuk, tetapi dari ilalang. Itulah sebabnya, sifat kesementaraan kampung itu lebih menonjol. Karena
letaknya berbatasan dengan hutan lebat, pagar kampung itu
di samping kuat, amat tinggi pula. Pagar itu terbuat dari
bambu berduri yang sebagian telah tumbuh. Ke kampung


Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

inilah ketiga orang penunggang kuda menuju.
Ketika itu, hari telah senja dan lawang kari sudah ditutup.
Arsim berseru kepada seorang yang mengantuk di kandang
jaga yang terletak tepat di atas lawang kari.
"Siapa di sana?"
"Dari Gan Tunjung!" seru Arsim. Penjaga itu memanggil kawannya, lalu dua orang di antara mereka melepaskan
palang lawang kori yang terbuat dari sebatang pohon pinang.
Ketiga orang penunggang kuda itu pun masuk. Setelah
kuda dititipkan kepada penjaga, mereka dibawa seorang lakilaki ke rumah yang paling besar. Ketika mereka memasuki
rumah itu, Banyak Sumba yang paling tinggi di antara mereka terpaksa menundukkan kepala. Begitu ia menengadah
kembali, tampaklah di depannya seorang laki-laki kira-kira
berumur tiga puluh tahun: si Colat.
"Selamat sore,Juragan," kata Arsim kepada laki-laki itu.
Laki-laki itu tersenyum dan mempersilakan mereka dengan
isyarat. "Akhirnya, tuanmu mau juga memenuhi janjinya, Sim," kata laki-laki itu sambil mengusap-usap seekor anjing besar yang tidur di sampingnya, di atas bangku.
"Beliau sudah dapat bernapas lagi sekarang, Juragan.
Paman beliau yang tidak berputra belum lama ini wafat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Walaupun sebagian warisan itu sudah mengalir bagai air,
Juragan kena juga basahnya," ujar Arsim.
Sementara, Banyak Sumba memerhatikan laki-laki yang ada
di depannya. Sungguh-sungguh meleset dugaannya. Ia
menyangka akan bertemu dengan laki-laki yang tinggi besar
dan kasar, seorang petani yang menjadi gila karena
keserakahannya. Akan tetapi, yang ditemukannya adalah
seorang laki-laki yang halus, berkulit kuning langsat, rambut rapi, dengan sisir besar melintang di kepalanya. Sedangkan
pakaiannya terbuat dari sutra Katai yang hitam mengilat. Di pinggangnya diikatkan sehelai ikat pinggang yang lebar,
terbuat dari kulit macan tutul yang indah. Wajah orang itu
lonjong, bentuk hidungnya mancung, bibirnya halus hampir
seperti bibir wanita, dahinya rata seperti pualam. Selintas pandang, orang akan melihat bahwa laki-laki itu seorang
bangsawan, kalaupun bukan seorang bangsawan tinggi.
Kesan itu bukan saja disebabkan wajah dan sikapnya,
tetapi oleh air muka dan cahaya matanya yang berwibawa.
Hanya satu yang merusak kesan itu, yaitu bekas luka yang
mengerikan, melintang dari telinga hingga ke ujung bibirnya.
"Dan Raden, dari manakah Raden?" tiba-tiba si Colat bertanya kepada Banyak Sumba sambil tetap mengusap-usap
kepala anjing besar yang tidur di sampingnya.
"Oh, iya," kata Kang Arsim sebelum Banyak Sumba sempat menjawab. "Den Sumba sengaja datang dari Kota Medang,
berhasrat sekali belajar ilmu kepahlawanan kepada Juragan."
Si Colat mengangkat mukanya, memandang ke arah
Banyak Sumba sambil tetap tersenyum, "Bukankah Arsim
seorang guru yang baik, Raden," tanya si Colat.
'Juragan, Den Sumba ini seperguruan dengan saya. Den
Sumba sudah pasti dapat mengalahkan saya. Den Sumba
telah mengalahkan Jasik, yang ini putra guru kami."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kalau begitu, tidak perlu lagi belajar kepada saya, Raden,"
kata si Colat dengan lemah lembut. Karena semua diam, ia
melanjutkan berkata, "Tentu Arsim bercerita yang bukan-bukan tentang saya, tentang kepandaian saya, bukan?"
"Bukan dari Kang Arsim saya mendengar cerita tentang ...
tentang Kakanda," kata Banyak Sumba. Mereka berpandangan dan keduanya menghubungkan jembatan pengertian. Mereka
bangsawan yang berhadapan satu sama lain sebagai
bangsawan. Pengakuan Banyak Sumba akan kebangsawanan
si Colat rupanya menyentuh hati si Colat yang menunduk
untuk beberapa lama. "Tapi, saya bukan seorang guru yang baik," katanya.
Banyak Sumba merasa lega oleh perkataan itu. Itu berarti, si Colat sudah bersedia mengajarnya. Ia sangat gembira karena
menurut orang, si Colat tokoh yang mengerti rahasia ilmu para puragabaya. Karena tidak sabar, berkatalah Banyak Sumba,
"Kakanda dapat mengajar saya sesenggang waktu Kakanda, saya akan menyesuaikan diri."
"Tidak banyak yang harus saya ajarkan, tetapi ternyata tak sembarangan orang dapat mencerna pengetahuan itu. Akan
tetapi, baiklah. Kita akan berunding besok," katanya.
"Selesai satu persoalan, Juragan," ujar Arsim. "Sekarang, mohon diterima titipan Gan Tunjung ini."
"Letakkanlah, Sim," katanya, lalu si Colat memanggil seseorang, tidak berseru, biasa saja. Seseorang masuk, lalu mengambil kantong kulit dari atas bangku. Tak lama
kemudian, orang itu kembali, melaporkan bahwa isinya cocok.
"Tentu tuanmu ingin tidur nyenyak, Sim," kata si Colat pula sambil tersenyum. "Sekarang, marilah kita beristirahat."
Dengan lega, Banyak Sumba keluar ruangan itu. Karena
kesan yang menyorot dari pribadi itu, ia makin yakin bahwa
dari si Colat itulah ia akan mendapatkan ilmu yang
dibutuhkannya. Ia memasuki salah sebuah rumah kecil di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dalam kampung kecil itu, lalu membaringkan diri. Pikirannya mengenai si Colat tidak mudah dihilangkan dari kesadarannya.
Maka sambil berbaring-baring itu, berkatalah ia.
"Kang Arsim, ceritakanlah apa yang kau ketahui tentang si Colat. Menurut pendapat saya, ia bukan orang sembarangan."
"Memang, Raden. Sebenarnya, ia putra seorang bangsawan tinggi dari seorang gundik. Akan tetapi, bangsawan tinggi ini sangat takut kepada istrinya hingga si Colat, selain
dibengkalaikannya, tidak hendak diakui sebagai putra. Waktu kecil, si Colat sangat menderita karena selalu diejek sebagai anak tak tentu ayah. Itulah sebabnya di waktu muda ia sangat pemalu. Karena pemalu itu, ia menjadi sangat halus tingkah
lakunya, seperti Raden lihat tadi.
Kemudian, tingkah lakunya jadi berubah setelah pada suatu
hari ia dikeroyok dan dibacok. Menurut keterangan oleh
perampok, tetapi didesas-desuskan pula bahwa sebenarnya
perampok itu adalah pembunuh bayaran. Orang-orangjahat itu
disuruh membunuh si Colat agar bangsawan tinggi itu dingin
telinganya. Istrinya sangat ganas dan bawel. Di samping itu, didesas-desuskan pula bahwa perampok itu disuruh oleh
kakak seayah si Colat yang takut warisannya dibagi dua."
"Tahukah Kang Arsim siapa nama ayah si Colat itu?" "Wah, tentu saja saya tidak tahu, Raden. Begitu tebal kabut rahasia meliputi kehidupan si Colat ini. Di samping itu, Kang Arsim tidak berani banyak bertanya tentang dia, siapa tahu ia jadi curiga."
Banyak Sumba termenung sambil berbaring merenungkan
kembali cerita yang disampaikan Kang Arsim tentang calon
gurunya, si Colat. Dalam hati Banyak Sumba, mulai timbul
rasa kasihan dan bahkan rasa sayang. Bagaimanapun, si Colat menghadapi nasib yang sama seperti ia. Bukankah si Colat
pun telah diperlakukan secara tidak adil,.seperti dia dan
seluruh keluarga Banyak Citra"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kesadaran bahwa mereka senasib menumbuhkan tekad
dalam diri Banyak Sumba untuk mempersatukan hidupnya
dengan si Colat dan bersama-sama dengan orang yang
malang ini melawan nasib. Dengan tulus, ia bertekad
memperlakukan si Colat sebagai kakaknya sendiri karena
bagaimanapun si Colat lahir di pangkuan nasib yang sama dan mengecap derita lebih dahulu daripada dia. Renungannya itu
tiba-tiba menimbulkan pikiran aneh dalam hati Banyak Sumba.
Mungkinkah Sang Hiang Tunggal mempertemukan mereka
dengan maksud tersembunyi" Tidakkah si Colat yang terkenal
kepandaiannya dalam seni keperwiraan dapat dianggapnya
sebagai pengganti Kakanda Jante Jaluwuyung dalam rangka
menunaikan tugas suci wangsa Banyak Citra" Rencana Sang
Hiang Tunggal selalu terjadi, walaupun bagi manusia selalu
merupakan teka-teki dan penuh keajaiban.
Renungan-renungannya makin lama makin mengabur,
kemudian menjadi mimpi. Dalam bayangan impiannya itu, dia
melihat si Colat dalam pakaian puragabaya yang serba-putih
berhadapan dengan Puragabaya Anggadipati yang berpakaian
serbahitam, pakaian si Colat. Mereka saling mengintai,
kemudian melakukan gerakan-gerakan aneh yang belum
pernah disaksikannya. Banyak Sumba berteriak-teriak agar si Colat mengundurkan diri.
"Raden!" tiba-tiba Jasik berseru. "Oh, saya bermimpi, Sik."
"Malam sudah sangat larut, Raden, marilah kita tidur
kembali." Mereka pun membetulkan selimut masing-masing dan tak
lama kemudian, gubuk itu pun sunyi kembali.
KEESOKAN harinya, pagi-pagi benar, para pengiring si Colat
berseru-seru saling membangunkan satu sama lain. Ketika
Banyak Sumba keluar gubuk tempatnya menginap, tampak di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tengah lapangan kecil antara gubuk-gubuk itu telah berkumpul para pengiring si Colat dengan beberapa ekor kuda.
"Sik," kata Banyak Sumba, "saya akan bertanya kepada si Colat, jalan mana yang akan diambil, kemudian kita akan
menetapkan di mana kita akan bertemu."
Jasik terpaksa kembali ke Kutabarang untuk mengambil
sejumlah kecil barang milik mereka yang ditinggalkan di
tempat menginap. Jadi, sebelum ikut dengan Banyak Sumba
dan rombongan si Colat, Jasik akan turun ke Kutabarang
dengan Arsim, kemudian menyusul. Untuk mengatur hal itu,
Banyak Sumba segera menghubungi si Colat yang berada
dalam gubuknya dan sedang bersiap-siap. "Selamat pagi, Kakanda."
"Selamat pagi, Raden, kita harus segera meninggalkan
tempat ini. Anjingku telah membaui sesuatu yang busuk," ujar si Colat sambil tersenyum.
"Ada yang ingin saya katakan, Kakanda."
"Ya?" "Panakawan saya harus kembali dulu ke Kutabarang untuk mengambil periengkapan. Ia harus menyusul di belakang.
Dapatkah saya mengetahui, jalan mana yang akan dilalui dan
di mana kita akan beristirahat hingga ia dapat menyusul
rombongan." Si Colat termenung. Tampaknya apa yang diajukan Banyak
Sumba merupakan persoalan yang sungguh-sungguh baginya.
Ini benar-benar di luar dugaan Banyak Sumba. Banyak
Sumba segera menyadari bahwa ia telah menyusahkan si
Colat. Ia segera bertanya, "Apakah hal itu akan menyusahkan Kakanda?"
"Bukan begitu, Raden. Soalnya, rombongan kadang-kadang harus mengambil jalan yang tidak direncanakan terlebih
dahulu. Engkau harus menyadari, Raden, si Colat itu orang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jahat," katanya sambil tersenyum, "dan kepalanya sudah dihargakan tinggi sekali. Banyak sekali jagabaya dan para
petualang yang ingin cepat kaya."
"Kalau begitu, saya akan memikirkan jalan lain. Saya
menyesal telah menyusahkan Kakanda."
"Bukan begitu, Raden. Marilah kita pikirkan." Si Colat termenung. Tak lama kemudian, ia tersenyum kembali, lalu
berkata, "Panakawanmu itu pernah ke Perguruan Gan
Tunjung?" "Pernah Kakanda."
"Bagus. Nah, dari perguruan itu, melihatlah ke arah
selatan. Di sana akan tampak tiga buah puncak gunung.
Katakan kepadanya agar dia berusaha mencapai puncak
gunung yang tengah dalam waktu tiga hari. Apakah ia
penunggang kuda yang baik?"
"Kalau perlu, ia dapat menjadi penunggang kuda yang
baik." Bagus, jadi persoalan kita beres. Sekarang, bersiap-siaplah Banyak Sumba pun minta diri, lalu bergegas menuju
gubuknya kembali. Segala yang diminta si Colat dijelaskannya kepada Jasik. Dan setelah segalanya jelas, Jasik segera
berangkat dengan Arsim ke arah Kutabarang. Kalau tidak
segera pergi, Jasik khawatir, jangan-jangan ia tidak dapat
menyusul rombongan si Colat.
Setelah Jasik dan Arsim pergi, bertolak pulalah rombongan
si Colat yang terdiri dari enam orang, ketujuh Banyak Sumba.
Si Colat menunggang kuda belang, berjalan paling depan.
Banyak Sumba kedua dari belakang. Mereka melarikan kuda
masing-masing perlahan-lahan agar kuda menjadi hangat dulu
badannya. Ketika matahari mulai terbit, mulailah mereka
memecut kuda masing-masing.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sesuai dengan yang telah dikemukakan si Colat bahwa
kepalanya telah diberi harga, rombongan menghindari jalan
besar. Mereka banyak sekali mengarungi padang dan jalan
kecil. Kampung-kampung pun dihindari si Colat. Tampak sekali bahwa si Colat sudah hafal daerah yang dilaluinya. Dan dalam waktu singkat, mereka sudah ada di puncak sebuah bukit
yang tinggi. Dari puncak bukit itu, tampaklah laut, Kota
Kutabarang, benteng, dan kelompok-kelompok perkampungan
di sekitarnya. "Kita berhenti dulu di sini, Raden," ujar si Colat yang sudah berdiri di tanah dan melepaskan kendali kudanya.
Banyak Sumba turun, lalu berjalan mendekatinya. Banyak
Sumba melihat wajah si Colat muram. Banyak Sumba
berfirasat bahwa sesuatu yang tidak diingini terjadi terhadap si Colat. Apakah yang menyebabkan si Colat muram"
'Arnasik, tidakkah kau salah membuat janji?"
"Sama sekali tidak, Juragan. Hari ini, di saat burung-burung mulai bernyanyi. Di tempat ini," jawab orang yang bernama Arnasik itu.
"Seharusnya mereka sudah datang," ujar si Colat, wajahnya bertambah muram. Setelah berkata demikian, si Colat
menjauh dari rombongan. Ia berdiri di bawah sebuah pohon
tanjung seraya memandang ke arah Kutabarang.
Banyak Sumba berjalan ke arah kudanya dan sambil
melepaskan kendali, ia bertanya kepada salah seorang
pengiring si Colat. "Siapakah yang ditunggu?"
"Putra juragan, Raden Jimat."
"Berapa tahun umur Raden Jimat itu?"
"Oh, masih kecil, tujuh atau delapan tahun," jawab yang ditanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Delapan tahun?"
"Ya, Den Jimat diantar oleh dua orang pengiring dan
seorang emban untuk berkunjung ke nenekandanya di
Kutabarang. Hari ini, saat ini, mereka seharusnya sudah ada di sini kembali."
"Oh. Berapa orangkah putra tuanmu?"
"Hanya seorang dan mungkin tidak akan beradik lagi," kata pengiring itu.
"Bagaimana kautahu?" tanya Banyak Sumba.
"Sejak kejadian itu, juragan tidak pernah kembali kepada juragan istri."
"Kejadian apa?" tanya Banyak Sumba jadi penasaran. "Lima tahun yang lalu, juragan dicegat dan dikeroyok orang, lalu
dilukai dan bekasnya jelas bagi setiap orang. Dengan luka
yang mengerikan itu, tentu saja berat bagi juragan untuk
kembali kepada juragan istri. Padahal, juragan istri cantik jelita. Maka, juragan memutuskan tidak akan kembali. Juragan berpesan kepada saya dan Arnasik untuk kembali
mengabarkan kepada juragan istri bahwa juragan tewas oleh
perampok. Sebelum meninggal, begitu perintah juragan,
juragan berpesan agar Den Jimat dipelihara oleh ibunda
juragan. Juragan istri betul-betul patah hati dan menjadi
pertapa sekarang. Raden Jimat segera diserahkan kepada
nenekandanya. Akan tetapi, Raden Jimat segera diambil oleh
juragan. Sewaktu-waktu saja Raden Jimat dibawa untuk
dipertemukan dengan nenekandanya di Kutabarang."
Banyak Sumba mulai menyadari, nasib buruk macam apa
yang sebenarnya telah menimpa si Colat. Alangkah kejam
orang-orang yang menganiaya hingga ia luka dan karena itu
harus berpisah dengan istri yang dicintainya. Alangkah kejam orang-orang yang memisahkan anak dari ibunya setelah
membinasakan ayahnya. Kesadaran akan nasib si Colat
menimbulkan rasa sayang Banyak Sumba kepada orang itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bukankah ia dan si Colat sama-sama diperlakukan tidak adil
oleh dunia" Dan bukankah mereka berdua seharusnya bekerja
sama untuk menentang nasib"
Ketika Banyak Sumba termenung demikian, dari arah kaki
bukit itu muncullah empat orang penunggang kuda. Si Colat
segera menjemput keempat pendatang baru itu. Dengan
sudut matanya, tampaklah bahwa wajah si Colat makin penuh
dengan kecemasan. Dengan tidak sadar, Banyak Sumba pun
mendekat ke arah para pendatang yang mulai turun dari kuda
mereka. Demikian pula para pengiring si Colat.
'Apa yang terjadi?" tanya si Colat ketika para pendatang baru itu memberi hormat.
Yang tertua dari penunggang kuda itu maju, lalu berkata,
"Dalam perjalanan menuju tempat ini, rombongan disergap, emban ditangkap dengan Den Jimat, Obing terluka dan
dibawa oleh mereka."
"Siapa mereka?" tanya si Colat.
"Sebagian jagabaya, sebagian lagi somah."
"Ke mana Jimat dibawa?"
"Menurut keterangan yang kami kumpulkan ke arah
Kutabarang, tapi kami tidak yakin benar."
Si Colat tidak bertanya, tetapi dari cahaya matanya tampak
ia marah. Banyak Sumba yakin, hanya orang yang punya
keberanian dan keperkasaan seperti si Colat yang akan marah dalam keadaan seperti itu. Orang yang lebih lemah akan


Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersedih dan patah semangat.
Setelah beberapa saat termenung, berkatalah si Colat,
"Arnasik, kita menunggu malam di sini."
"Baik, Juragan," ujar Arnasik, lalu memberikan petunjuk kepada para pengiring yang lebih muda. Keempat orang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pendatang menggabungkan diri. Ternyata, mereka itu bukan
pengiring si Colat, tetapi panakawan orangtua si Colat.
Setelah berkata kepada Arnasik, si Colat melangkah dan
matanya mencari Banyak Sumba. Setelah Banyak Sumba
tampak olehnya, si Colat melangkah ke arahnya. Setiba di
hadapan Banyak Sumba, berkatalah ia, "Raden, perjalanan kita tertangguh. Engkau dapat menunggu di sini atau
barangkali akan mengurus hal-hal yang lain. Besok, atau
tengah malam ini, kita baru meninggalkan tempat ini."
"Lebih baik saya turut dengan Kakanda," ujar Banyak Sumba yang telah menduga bahwa si Colat akan pergi ke
Kutabarang untuk merebut kembali putranya yang diculik oleh orang-orang yang ingin menangkapnya.
"Saya senang mendapat bantuan, tetapi mungkin itu dapat menjerumuskanmu. Bagaimana nanti dengan orangtuamu?"
"Ayahanda akan memerintahkan supaya saya membantu,
setia, dan berkorban bagi guru saya."
"Engkau benar-benar seorang kesatria, Raden. Akan tetapi, saya belum menjadi gurumu. Engkau masih belum terikat
setia dan berkorban untukku."
"Saya telah memutuskan untuk ikut menyusul putra
Kakanda." Si Colat termenung, lalu berkata, "Baiklah, tetapi mungkin engkau belum membayangkan apa yang kita hadapi nanti."
'Apa pun yang kita hadapi, saya telah memutuskan untuk
turut, Kakanda." Mendengar perkataan Banyak Sumba itu, si Colat agak
keheranan, lalu memandang wajah Banyak Sumba. Ia pun
tidak berkata apa-apa lagi. Maka, rombongan pun membuka
perbekalan dan menggelarkan tikar di atas rumput di bukit itu.
Tampak si Colat tidak dapat makan. Tampak ia memaksakan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diri untuk menelan makanan yang disodorkan para
pengiringnya. Sebelum senja tiba, ketika si Colat sudah tidak sabar lagi
dan berulang-ulang melihat ke arah barat, datanglah pula
seorang penunggang kuda. Sambil melompat dari punggung kuda, pendatang itu
berkata, "Den Jimat dibawa ke sebuah puri di tepi kota.
Juragan kenal dengan Jagabaya Agung?"
"Perwira tua yang hidungnya besar itu?" tanya si Colat.
"Ya." "Baiklah. Kawan-kawan, mari kita berangkat sekarang!"
seru si Colat. Bangkitlah para pengiringnya, ada yang membereskan
barang-barang, ada pula yang langsung melompati punggung
kuda. Banyak Sumba mengikuti mereka dari belakang.
Pada suatu tempat, si Colat menghentikan rombongannya,
lalu berkata, "Sebentar lagi kita tiba ke tempat yang dituju.
Buatlah api unggun besar di luar puri, lalu lepaskan panah api ke atap bangunan yang ada di dalam."
Hanya itu perintahnya, kemudian diperintahnya rombongan
meneruskan perjalanan menembus malam yang semakin
gelap itu. Kira-kira, saat anak-anak kecil mulai tidur, tibalah mereka di sebuah jalan besar. Penunjuk jalan, yaitu orang yang
datang terakhir ke puncak bukit, berjalan di muka, kadangkadang di belakang. Pada suatu tempat, mereka terpaksa menghindar dan
masuk semak-semak di pinggir jalan karena dari arah yang
bertentangan, datang sepasukan jagabaya dengan obor
bernyala-nyala melarikan kuda mereka dijalan besar itu. Tak lama kemudian, berhentilah mereka di suatu tempat, antara
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebuah perkampungan dan sebuah puri bangsawan yang
cukup besar. Sesuai dengan perintah si Colat, para pengiring membuka
bungkusan-bungkusan anak panah dan memasang busur. Di
samping itu, mereka pun mengeluarkan pula bumbungbumbung yang berisi cairan cokelat yang berbau. Api
dinyalakan dan dengan semburan benda cair dari bumbung
itu, api segera menjadi besar.
"Kalau mereka mengejar, larilah dan tunggu aku sampai
tiba!" "Baik," ujar Arnasik, pemimpin pengiring itu.
Sementara itu, dari atas benteng puri terdengar orang
berseru-seru, 'Ahoi! Ahoi! Siapa itu?"
Para pengiring terus menyalakan api dan menyiapkan anak
panah yang ujungnya dibasahi dengan benda cair dari
bumbung itu. Semetara itu, si Colat mendekat kepada Banyak
Sumba, lalu berkata, "Kalau Arnasik memerintah, ikudah melarikan diri dengan semua pengiring. Saya akan menyusul
di belakang." "Tapi, saya lebih baik membantu Kakanda."
"Lebih baik tidak, berbahaya bagimu, Raden." Banyak Sumba akan berkata, tetapi Arnasik datang dan menyela.
"Kita dapat mulai, Juragan?"
"Mulailah!" Para pengiring menyulut beberapa buah anak panah setiap
orangnya, lalu melompat ke atas kuda masing-masing. Mereka
melarikannya mendekati puri secara terpencar-pencar. Tak
lama kemudian, di angkasa terlihat pemandangan yang indah,
yaitu nyala api beterbangan bagai bintang jatuh. Semuanya
menuju atap-atap ijuk yang ada di dalam puri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dari arah puri terdengar kegaduhan dan trompet tanduk
yang ditiup mendayu tanda ada bahaya. Nyala api yang
membesar mulai tampak dari bagian atas puri itu. Akan tetapi, tak ada tanda-tanda bahwa gerbang puri dibuka orang.
Mungkin orang-orang yang ada di dalam puri beranggapan
bahwa mereka diserang oleh pasukan yang besar. Mereka
kebingungan karena serangan yang tak disangka-sangka itu.
Di dalam puri terdengar kegaduhan yang luar biasa,
menandakan isi puri itu benar-benar ketakutan dan
kebingungan. Dalam gelap yang kadang-kadang dijilat cahaya api
kebakaran itu, terdengarlah tawa yang menyeramkan dari
arah si Colat. Mendengar suara tertawanya itu, meremanglah
bulu roma Banyak Sumba. Ia baru menyadari bahwa watak si
Colat memiliki segi yang lain. Ia pun heran oleh perbuatan si Colat itu. Bukankah perbuatannya itu membahayakan begitu
banyak orang yang tak berdosa, perempuan, dan anak-anak,
termasuk anaknya sendiri, yang menurut kabar ditawan di
tempat itu" Pertanyaan-pertanyaan itu belum terjawab ketika si Colat melarikan kudanya menuju puri. Banyak Sumba
mengikuti. Beberapa anak panah terdengar berdesing di
atasnya, tetapi ia tidak menghiraukan bahaya dan terus
mengikuti si Colat yang memacu kudanya. Tak berapa lama
kemudian, mereka sudah di bawah dinding benteng dan tetap
memacu kuda mereka di bawah lemparan tombak dari para
gulang-gulang yang dalam gelap itu masih sempat mendengar
langkah kuda mereka. Tiba-tiba, seperti seekor kucing, si Colat melompat dari
punggung kudanya ke arah benteng, lalu dengan cepat
memanjat dinding benteng yang terbuat dari tanah liat dan
batu itu, dengan memegang tumbuh-tumbuhan rambat yang
rapuh dan kecil-kecil. Banyak Sumba tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali terus melarikan kudanya mengelilingi benteng itu.
Apa yang dilakukan si Colat adalah suatu keajaiban baginya.
Setelah beberapa keliling, ia pun membelokkan kudanya ke
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dalam gelap, menjauhi dinding benteng, kemudian turun dari
kudanya. Dipandanginya puri yang mulai terbakar di sana sini. Ia
termenung memikirkan bagaimana caranya mengikuti si Colat
memasuki puri itu. Kemudian, terpikir olehnya bahwa pada
dinding benteng, biasanya tumbuh berbagai macam pohonpohonan. Pohon-pohonan ini biasa dibersihkan, apalagi dalam saat-saat tidak aman. Akan tetapi, dalam keadaan damai,
sering sekali pohon-pohonan kecil yang benihnya dibawa
burung-burung dibiarkan tumbuh, bahkan kadang-kadang
dianggap hiasan kalau kebetulan berbunga indah.
Pohon-pohonan itulah yang jadi harapan Banyak Sumba.
Akan tetapi, memanjati benteng merupakan perbuatan nekat.
Seandainya terlihat penjaga, ia akan jadi makanan tombak.
Namun demikian, ia pun menyadari, justru agar para penjar
ga itu kebingungan dan khawatir, si Colat melepaskan panah
api. Banyak Sumba mengerti bahwa kebakaran di dalam puri
akan membuat para penjaga terbagi perhatiannya, dan karena
itu diharapkan tidak terlalu tajam mengawasi bagian-bagian
benteng yang gelap. Dengan pikiran itu, ia turun dari kudanya, lalu menyelinap
antara semak-semak, kembali menuju puri. Di tengah
perjalanan, ia berulang-ulang berhenti, menghindari
pandangan para gulang-gulang yang saling berseru satu sama
lain di atas benteng. Baru setelah beberapa lama mengendapendap, Banyak Sumba sampai di kaki benteng. Ia merabaraba dinding yang dingin di dalam gelap, kemudian menyadari bahwa memang benteng itu sudah lama tidak dipelihara.
Setelah matanya terbiasa dalam gelap, ia dapat melihat
semak-semak kecil yang tumbuh di sela-sela batu benteng itu.
Semak kecil yang rapuh itu dapat diharapkannya untuk
dipergunakan memanjati benteng.
Ia pun mulai merangkak, meraba-raba, dan memilih
pegangan. Kukunya berulang-ulang ditekan di sela-sela batuTiraikasih Website http://kangzusi.com/
batu yang menonjol. Telapak tangannya berulang-ulang
menjambak semak kecil. Kalau terdengar langkah, ia berhenti dan mengambil napas karena usaha memanjati benteng itu
ternyata berat sekali. Makin kagumlah ia kepada si Colat, yang dengan cepat dan mudah dapat memanjat dinding benteng
Sepasang Pendekar Kembar 3 Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro Pedang Golok Yang Menggetarkan 16

Cari Blog Ini