Hex Hall Karya Rachel Hawkins Bagian 1
Hex Hall Rachel Hawkins situs baca secara online ini dibuat oleh Saiful .... admin http://ceritasilat.mywapblog.com Pedang Sakti Cersil Istana Pendekar Dewa Naga Raja Iblis
Racun Ceritasilat.... thank.
Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia
Edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Prolog FELICIA MILLER menangis di kamar kecil. Lagi.
Aku tahu itu Felicia karena selama tiga bulan aku bersekolah di Green Mountain
High, sudah dua kali aku melihat gadis itu menangis di toilet. Isak tangisnya
benarbenar khas, melengking dan penuh desahan seperti tangisan anak kecil,
walaupun Felicia sudah delapan belas tahun, dua tahun lebih tua daripada aku.
Sebelumnya aku membiarkan saja, menganggap setiap gadis berhak untuk
menangis di toilet umum dari waktu ke waktu.
Tapi malam ini adalah malam prom (pesta dansa), dan menangis sambil
mengenakan pakaian resmi itu sungguh menyedihkan. Lagi pula, lama-kelamaan
aku iba juga kepada Felicia. Ada saja gadis mirip dia di setiap sekolah tempat
aku pernah terdaftar jadi murid (sembilan belas dan masih akan bertambah lagi).
Walaupun aku mungkin orang aneh, orang tidak bersikap jahat kepadaku sebagian besar tidak menggubrisku. Sebaliknya, Felicia, adalah karung tinju di
kelas. Untuk gadis itu, sekolah tak lebih dari serentetan kejadian uang jajan
yang dicuri dan cemoohan keji.
Aku melihat ke bagian bawah pintu bilik dan melihat sepasang kaki yang memakai
sandal kuning bertali. "Felicia?" panggilku, sambil mengetuk pintu dengan pelan. "Ada apa?"
Dia membuka pintu dan menatapku marah dengan matanya yang merah. "Ada
apa" Yah, begini, Sophie, ini malam prom tahun terakhirku dan apakah kau
melihat ada pasangan kencan bersamaku?"
"Eh... tidak. Tapi kau kan ada di toilet perempuan, jadi kupikir - "
"Apa?" tanyanya sambil berdiri dan menyeka hidungnya dengan segumpal besar
tisu. "Cowokku sedang menungguku di luar sana?" Dia mendengus. "Yang benar
saja. Aku berbohong kepada orangtuaku dan mengatakan bahwa aku punya
kencan. Jadi mereka membelikan aku gaun ini" - dia menepiskan tangannya ke
gaun taffetakuningnya seakan-akan itu serangga yang ingin dia bunuh - "Dan
kubilang pada mereka bahwa aku akan bertemu dengannya di sini, jadi mereka
mengantarkan aku. Aku cuma... aku tak sanggup mengatakan kepada mereka
bahwa aku tidak diundang ke prom kelulusanku sendiri. Itu pasti membuat mereka
sedih." Felicia memutar matanya. "Kurang menyedihkan bagaimana, coba?"
"Ah, itu tidak terlalu menyedihkan,"kataku. "Banyak cewek yang datang ke prom
sendirian." Dia membeliakkan mata kepadaku."Apakah kau punya pasangan?"
Aku memang punya pasangan. Sungguh, namanya Ryan Hellerman, yang mungkin
satu-satunya anak di Green Mountain High yang kurang populer dibandingkan
dengan aku, tapi tetap saja pasangan. Dan ibuku senang sekali karena ada yang
mengajakku. Dia menganggap itu sebagai pertanda akhirnya aku berusaha
membaur. Itu benar-benar penting bagi ibuku.
Aku mengamati Felicia yang berdiri dengan gaun kuningnya, sambil mengelap
hidungnya, dan sebelum aku bisa menghentikan diriku, aku mengatakan sesuatu
yang bernar-benar tolol, "Aku bisa membantu."
Felicia mendongak untuk menatapku dengan mata sembap. "Bagaimana?"
Aku menarik tangannya agar berdiri."Kita harus pergi ke luar."
Kami keluar dari toilet dan menembus aula olahraga yang penuh sesak. Felicia
tampak waspada saat aku membimbingnya melewati pintu ganda besar dan keluar
ke parkiran. "Kalau ini semacam lelucon, aku bawa semprotan merica di tasku," katanya,
sambil memegang tas tangan kuningnya yang kecil ke dadanya.
"Tenang saja." Aku memandang berkeliling untuk memastikan bahwa di parkiran
tidak ada orang. Walaupun saat itu akhir bulan April, udara masih terasa dingin, dan kami
menggigil dalam balutan gaun kami.
"Baiklah," kataku, sambil berputar menghadap Felicia. "Kalau kau bisa
mendapatkan pasangan prom, siapa orangnya yang kau mau?"
"Apakah kau sedang mencoba menyiksaku?" tanyanya.
"Jawab saja pertanyaanku."
Sambil menatap sepatu kuningnya, dia menggumam, "Kevin Bridges?"
Aku tidak heran. Ketua OSIS, kapten sepak bola, cowok paling keren... Kevin
Bridges adalah pemuda yang akan dipilih oleh hampir semua gadis sebagai
pasangan prom. "Baiklah kalau begitu. Kevin pun jadi," gumamku, sambil membunyikan bukubuku
jariku. Dengan mengangkat kedua tangan ke langit, aku memejamkan mata
dan membayangkan Felicia digandeng oleh Kevin, Felicia memakai gaun kuning
cerah, Kevin dengan tuksedo. Setelah beberapa detik memusatkan perhatian
kepada bayangan tersebut, aku mulai merasakan sedikit getaran di bawah kakiku
dan merasakan seolah-olah ada air yang mengalir naik sampai ke tanganku yang
terentang. Rambutku mulai melayang dari pundakku, kemudian aku mendengar
Felicia terkesiap. Sewaktu membuka mata, aku melihat tepat seperti yang kuharapkan. Di atas, awan
hitam besar sedang berputar, kilatan cahaya keunguan berdenyar-denyar di
dalamnya. Aku terus-menerus memusatkan pikiran, dan selama aku berkonsentrasi,
awan itu berputar lebih cepat sampai membentuk lingkaran sempurna dengan
lubang di tengahnya. Donat Sihir, begitulah aku menyebutnya saat pertama kali menciptakannya pada
ulang tahunku yang kedua belas.
Felicia merunduk di antara dua mobil, lengannya terangkat di atas kepalanya.
Tetapi sudah terlambat untuk berhenti.
Lubang di tengah-tengah awan diisi oleh cahaya hijau cerah. Dengan memusatkan
perhatian kepada cahaya tersebut serta bayangan Kevin dan Felicia, aku
menegakkan jari-jari tanganku dan memperhatikan sementara sambaran kilat hijau
melesat keluar dari awan dan melintasi langit. Kilat itu lenyap di balik
pepohonan. Awannya menghilang, dan Felicia pun berdiri dengan kaki gemetaran. "A-apa itu
tadi?" Dia berpaling ke arahku, matanya terbelalak. "Apakah kau penyihir atau
semacamnya?" Aku mengedikkan bahu, masih merasakan dengungan menyenangkan akibat
kekuatan yang baru saja kulepaskan. Mabuk sihir, begitu selalu Mom
menyebutnya. "Bukan apa-apa," kataku. "Nah, sekarang mari kita masuk."
Ryan sedang berdiri di dekat meja limun saat aku kembali masuk.
"Kenapa dia?" tanyanya, sambil mengangguk ke arah Felicia. Gadis itu tampak
terbengong-bengong sambil berdiri berjingkat-jingkat, mencari-cari di lantai
dansa. "Oh, dia cuma perlu udara segar," jawabku, sambil mengambil segelas limun.
Jantungku masih berdebar-debar, dan kedua tanganku gemetar.
"Keren," kata Ryan, sambil mengangguk-anggukkan kepalanya seiring irama
musik. "Dansa, yuk?"
Sebelum aku bisa menjawab, Felicia berlari menghampiri dan menyambar
lenganku. "Bahkan dia tidak ada di sini," katanya "Bukankah... sesuatu yang kau
lakukan tadi membuat dia jadi pasangan promku?"
"Ssst! Ya, benar, tapi kau harus sabar. Begitu Kevin datang, dia akan mencarimu,
percayalah padaku." Kami tidak perlu lama-lama menunggu.
Ryan dan aku baru saja berdansa separuh lagu ketika hantaman kencang bergema
di seluruh penjuru aula olahraga.
Ada rentetan bunyi meletup yang berturut-turut, nyaris mirip dengan letusan
bedil, yang membuat anak-anak menjerit-jerit dan lari berlindung ke bawah meja
makanan. Aku melihat mangkuk limun terjun ke lantai, menumpahkan cairan
merah ke mana-mana. Tapi bukan senjata api yang mengakibatkan bunyi meletup-letup itu, melainkan
balon. Ratusan balon. Entah apa yang terjadi yang mengakibatkan gapura besar
dari balon itu terhempas ke lantai. Aku melihat saat sebuah balon putih selamat
dari pembantaian dan melayang naik ke puncak atap aula.
Aku menengok ke belakang dan melihat beberapa orang guru berlarian menuju
pintu. Yang sudah tidak ada di sana lagi.
Itu karena sebuah Land Rover perak menabrak pintu masuk.
Kevin Bridges sempoyongan keluar dari kursi pengemudi. Kening dan tangannya
terluka, dan meneteskan darah ke permukaan kayu keras yang mengilap saat dia
berteriak, "Felicia! FELICIA!"
"Astaga," gumam Ryan.
Teman kencan Kevin, Caroline Reed, cepat-cepat keluar dari kursi penumpang.
Dia tersedu-sedu. "Dia gila!" pekiknya. "Dia baik-baik saja, dan ada petir
dan... dan..." Gadis itu melengking, menjadikan suasana semakin histeris. Aku langsung
merasa mual. "FELICIA!" Kevin terus berteriak-teriak, dengan liar mencari-cari di aula itu.
Aku memandang berkeliling dan melihat Felicia sedang bersembunyi di bawah salah
satu meja, matanya melotot.
Aku sudah berhati-hati kali ini, kupikir. Aku sudah lebih mahir sekarang!
Kevin menemukan Felicia dan merenggutnya keluar dari bawah meja.
"Felicia!" Kevin nyengir lebar, wajahnya menjadi cerah - yang tampak
mengerikan dengan wajah yang berlepotan darah. Aku tidak menyalahkan Felicia
karena menjerit sekuat tenaga.
Salah satu pengawas, Pelatih Henry, berlari menghampiri untuk membantu,
menyambar tangan Kevin. Tetapi Kevin hanya berbalik, satu tangannya masih menggenggam Felicia, dan
memukul wajah Pelatih Henry dengan punggung tangan satunya. Pelatih yang
tingginya sekitar satu meter delapan puluh senti dan lebih dari sembilan puluh
kilogram itu melayang ke belakang.
Setelah itu, neraka pun terbuka lebar.
Orang-orang berhamburan menuju pintu, lebih banyak lagi guru-guru yang
mengepung Kevin, dan jeritan Felicia kini mengandung keputusasaan yang
semakin kuat. Hanya Ryan yang tampak tidak terpukul.
"Luar biasa!" katanya dengan penuh semangat pada saat yang bersamaan dengan
dua gadis yang memanjat Land Rover dan keluar dari aula. "Carrie prom!"
Kevin masih tetap menggenggam satu tangan Felicia, dan sekarang pemuda itu
sudah berlutut dengan satu kaki. Aku tidak yakin, berkat suara jeritan itu,
tetapi sepertinya Kevin sedang bernyanyi untuk Felicia.
Gadis itu sudah tidak menjerit-jerit lagi, tetapi dia merogoh-rogoh tasnya untuk
mencari sesuatu. "Oh tidak," erangku. Aku mulai berlari menghampiri mereka, tetapi terpeleset dan
jatuh di kubangan limun. Felicia mengocok tabung merah kecil dan menyemprotkan isinya ke wajah Kevin.
Lagunya berubah menjadi raungan nyeri yang membingungkan. Kevin melepaskan
tangan Felicia dan mencengkeram matanya. Felicia pun segera berlari pergi.
"Tidak apa-apa, Sayang!" seru pemuda itu kepada Felicia. "Aku tidak perlu mata
untuk melihatmu! Aku melihatmu dengan mata hatiku, Felicia! HATI-ku!"
Bagus. Mantraku bukan hanya terlalu kuat, melainkan juga payah.
Aku duduk di kubangan limun sementara huru-hara yang kuciptakan bergejolak di
sekelilingku. Sebuah balon putih melambung-lambung di sikuku, dan Mrs.
Davison, guru Aljabarku, lewat dengan terseok-seok, sambil berteriak ke telepon
genggamnya, "Kubilang Green Mountain High! Eh... Entahlah, ambulans" Tim
SWAT" Kirimkan siapa saja ke sini!"
Kemudian aku mendengar sebuah lengkingan. "Itu dia! Sophie Mercer!"
Felicia sedang menunjuk-nunjuk ke arahku, seluruh tubuhnya gemetaran.
Bahkan di tengah-tengah kebisingan itu, kata-kata Felicia menggema di aula
olahraga yang besar itu. "Dia... dia penyihir!"
Aku menghela napas. "Jangan lagi."
Bab 1 "NAH?" Aku melangkah keluar dari mobil dan masuk ke dalam panasnya bulan Agustus
yang membara di Georgia. "Luar biasa," gumamku, sambil menggeserkan kacamata hitam ke kepalaku.
Berkat kelembapan, rambutku rasanya jadi tiga kali lipat besarnya. Aku bisa
merasakan rambutku yang mencoba melahap kacamata hitam mirip semacam
tumbuhan hutan karnivora. "Aku selalu penasaran seperti apa rasanya hidup di
dalam mulut seseorang."
Di hadapanku menjulang Hecate Hall - menurut brosur yang kupegang dengan
tanganku yang berkeringat - adalah "Lembaga pemasyarakatan untuk remaja
Prodigium". Prodigium. Cuma istilah Latin untuk menyebut monster. Dan itulah semua orang
yang berada di Hecate. Itulah aku. Aku sudah membaca brosur itu empat kali di pesawat dari Vermont ke Georgia,
dua kali sambil menumpang feri ke Pulau Graymalkin, tak jauh dari lepas pantai
Georgia (yang kemudian kuketahui bahwa tempat itu dibangun pada tahun 1854)
dan sekali saat mobil sewaan kami menggilas batu karang dan kerikil jalan dari
pantai menuju ke parkiran sekolah. Jadi seharusnya aku hafal betul, tetapi aku
masih tetap mencengkeramnya dan di luar kesadaran membacanya lagi, seolaholah
benda itu semacam selimut kesayanganku atau apalah:
Tujuan dari Hecate Hall adalah untuk melindungi dan mengajar shapeshifter makhluk yang dapat berubah wujud, penyihir, dan anak-anak peri yang telah
menimbulkan risiko memaparkan kemampuan mereka, dan membahayakan
masyarakat Prodigium secara keseluruhan.
"Aku masih tak habis pikir bagaimana menolong seorang gadis untuk mencari
pacar bisa membahayakan penyihir lain," kataku, sambil memicingkan mata
kepada ibuku saat kami mengulurkan tangan ke dalam bagasi untuk mengambil
barang-barangku. Pikiran itu sudah menggangguku sejak pertama kali aku
membaca brosur tersebut, tetapi aku belum sempat mengutarakannya.
Mom menghabiskan sebagian besar perjalanan dengan berpura-pura tidur,
mungkin untuk terhindar dari melihat ekspresi wajah masamku.
"Bukan hanya satu gadis itu saja, Soph, dan kau tahu itu. Tapi juga anak lakilaki yang tangannya patah di Delaware, dan guru yang kau coba buat lupa tentang
ulangan di Arizona...."
"Pak guru itu toh akhirnya mendapatkan ingatannya kembali," kataku. "Yah,
sebagian besarnya." Mom hanya menghela napas dan mengeluarkan koper usang yang kami beli dari
gerakan amal The Salvation Army. "Ayahmu dan aku sudah memperingatkanmu
bahwa ada konsekuensi dari menggunakan kekuatanmu. Aku juga sama tidak
senangnya denganmu, tapi setidaknya di sini kau akan berada di antara... di
antara anak-anak lain seperti dirimu."
"Maksud Mom pecundang." Aku menarik tasku dan menyampirkannya di pundak.
Mom mendorong kacamata hitamnya ke atas dan menatapku. Dia tampak lelah dan
ada garis-garis dalam di sekitar mulutnya, garis-garis yang belum pernah kulihat
sebelumnya. Ibuku hampir empat puluh tahun, tapi biasanya dia dikira sepuluh
tahun lebih muda. "Kau bukan pecundang, Sophie." Kami mengangkat koper itu bersama-sama. "Kau
hanya membuat beberapa kesalahan."
Begitu, ya. Sebagai penyihir ternyata sama sekali tidak semenyenangkan seperti
yang kubayangkan. Salah satunya, aku tidak pergi ke mana-mana dengan sapu lidi.
(Aku pernah menanyakannya kepada ibuku tentang hal itu sewaktu aku
mendapatkan kekuatan untuk pertama kalinya, dan katanya tidak, aku harus tetap
naik bus seperti orang lain.) Aku tidak punya buku mantra atau bicara dengan
kucing (aku alergi), dan bahkan aku tidak akan tahu di mana bisa kudapat
bendabenda seperti mata kadal air.
Tapi, aku bisa menyihir. Aku sudah bisa sejak berumur dua belas tahun - menurut
brosur lembap karena keringat itu - merupakan usia semua Prodigium
mendapatkan kekuatannya. Ada hubungannya dengan pubertas, kurasa.
"Lagi pula, ini sekolah bagus," kata Mom saat kami mendekati bangunan tersebut.
Tetapi, bangunan itu tidak kelihatan seperti sekolah. Tempat itu kelihatan
Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti persilangan antara sesuatu dari film horor kuno dan Rumah Hantu di Disney
World. Pertama-tama, jelas-jelas umurnya hampir dua ratus tahun. Tingginya tiga
lantai, dan lantai ketiganya bertengger seperti puncak kue pengantin. Rumahnya
mungkin dulunya putih, tetapi sekarang warnanya semacam kelabu pudar, hampir
sama dengan warna kulit kerang dan kerikil jalan, yang membuatnya tidak terlalu
mirip rumah dan lebih mendekati semacam gundukan batu alami dari pulau
tersebut. "Huh," kata Mom. Kami menjatuhkan kopernya, dan dia berjalan ke arah samping
bangunan. "Coba lihat itu!"
Aku mengikutinya dan langsung melihat apa yang dimaksud. Brosurnya
mengatakan Hecate sudah membuat "tambahan besar terhadap bangunan aslinya"
selama bertahun-tahun. Ternyata, itu artinya mereka memotong bagian belakang
rumah dan menempelkan bangunan lain ke rumah tersebut. Kayu berwarna kelabu
berhenti setelah sekitar dua puluh meter dan berubah menjadi plester merah jambu
yang memanjang sampai ke hutan.
Untuk sesuatu yang jelas-jelas dibangun oleh sihir - tidak ada sambungan di
tempat kedua bangunan itu bertemu, tidak ada garis semen - kau pasti menyangka
seharusnya bangunannya jadi sedikit lebih anggun. Sebagai gantinya, rumah itu
kelihatan seperti dua rumah yang dilem oleh orang gila.
Orang gila yang punya selera sangat buruk.
Pohon-pohon ek besar di halaman depan digelayuti oleh tumbuhan jenggot musa,
melindungi rumahnya. Bahkan, tampaknya ada tumbuhan di mana-mana. Dua
pakis di dalam pot berdebu membingkai pintu depan, tampak seperti laba-laba
hijau raksasa, dan semacam sulur-suluran dengan bunga ungu menguasai seluruh
permukaan dindingnya. Rumah itu seolah-olah diserap secara perlahan-lahan oleh
hutan di belakangnya. Aku menyentakkan ujung rok biru berlipit keluaran Hecate Hall baruku dan
bertanya-tanya mengapa sebuah sekolah di tengah-tengah Selatan Amerika punya
seragam dari bahan wol. Meskipun demikian, sambil menatap sekolah itu, aku
menahan diri agar tidak bergidik. Aku ingin tahu bagaimana orang bisa
memandang tempat ini tanpa mencurigai bahwa murid-muridnya adalah
segerombolan orang aneh. "Cantik," kata Mom dengan suara terbaiknya yang menyiratkan 'bergembiralah
dan lihatlah sisi baiknya'.
Walau begitu, aku tidak merasa terlalu bergembira."Ya, indah. Untuk sebuah
penjara." Ibuku menggelengkan kepalanya. "Hentikan sikap kasarmu itu, Soph. Ini bukan
penjara." Tapi, begitulah rasanya. "Ini benar-benar tempat terbaik untukmu," katanya sambil mengangkat koper.
"Kurasa," gerutuku.
'Demi kebaikanmu' sepertinya menjadi mantra kalau menyangkut antara aku dan
Hecate. Dua hari setelah prom, kami mendapatkan surat elektronik dari ayahku
yang pada dasarnya mengatakan bahwa aku sudah merusak semua kesempatan
yang diberikan kepadaku, dan bahwa Dewan menghukumku ke Hecate sampai
ulang tahunku kedelapan belas.
Dewan merupakan sekelompok orang tua yang membuat semua peraturan untuk
Prodigium. Aku tahu, dewan yang menyebut diri mereka "Dewan". Payah.
Pokoknya, Dad bekerja untuk mereka, jadi mereka membiarkan Dad yang
menyampaikan kabar buruk itu. "Semoga," katanya di dalam suratnya, "Ini akan
membuatmu belajar bagaimana cara menggunakan kekuatanmu secara lebih
berhati-hati lagi." Surat elektronik dan sesekali telepon merupakan satu-satunya kontak antara aku
dan ayahku. Dia dan Mom berpisah sebelum aku lahir. Ternyata Dad tidak
memberi tahu Mom bahwa dirinya adalah warlock (itu adalah istilah yang lebih
disukai untuk menyebut penyihir laki-laki) sampai mereka sudah hidup bersama
selama hampir setahun. Mom tidak menganggap itu berita baik. Dia mencoret Dad
dari daftar dan pulang kembali ke orangtuanya. Tapi kemudian, Mom mendapati
dirinya mengandung aku, lalu dia memiliki sebuah Ensiklopedia Sihir di antara
buku-buku bayinya, untuk berjaga-jaga saja. Sewaktu aku lahir, Mom sudah jadi
pakar dalam bidang hal-hal yang membuat bulu kuduk berdiri. Saat aku
mendapatkan kekuatanku pada ulang tahunku yang kedua belas, barulah Mom
dengan enggan membuka jalur komunikasi dengan Dad. Tetapi, Mom bersikap
sangat dingin terhadap Dad.
Dalam kurun waktu sebulan sejak ayahku mengatakan bahwa aku akan pergi ke
Hecate, aku mencoba berdamai dengan keadaan. Sungguh. Aku menghibur diri
bahwa akhirnya aku berada di antara orang-orang yang sama seperti aku, aku tidak
perlu menyembunyikan identitasku yang sebenarnya dari mereka. Dan mungkin
aku bisa mempelajari mantra-mantra keren. Itu semua adalah dorongan terbesarku.
Tetapi, begitu Mom dan aku naik ke feri yang membawa kami ke pulau terpencil
ini, aku mulai merasa mual. Dan percayalah, itu bukan karena mabuk laut.
Menurut brosur, Pulau Graymalkin dipilih sebagai tempat Hecate karena lokasinya
yang terpencil, tempat yang baik untuk merahasiakannya. Penduduk setempat
menganggap tempat itu hanyalah sekolah asrama yang super eksklusif.
Pada saat ferinya merapat ke teluk berhutan lebat yang akan menjadi rumahku
selama dua tahun ke depan, aku mulai berpikir-pikir lagi.
Rasanya bagaikan sebagian besar muridnya sedang berkeliaran di halaman, tetapi
hanya sebagian kecil saja yang kelihatan baru - seperti aku. Mereka sedang
menurunkan koper-koper, menenteng tas. Beberapa di antara mereka menenteng
koper usang seperti punyaku, tetapi aku juga melihat dua tas Louis Vuitton.
Seorang gadis, berambut gelap dengan hidung yang sedikit bengkok, kelihatannya
sebaya denganku, sementara murid-murid baru lainnya sepertinya lebih muda.
Aku benar-benar tidak bisa membedakan apa mereka, apakah itu penyihir dan
warlock atau shapeshifter. Karena kami semua kelihatan seperti orang-orang
biasa, tidak mungkin untuk membedakan.
Sebaliknya, para peri, sangat mudah dilihat. Mereka semua lebih jangkung
daripada orang kebanyakan dan kelihatan anggun, dan masing-masing berambut
lurus mengilap, dengan warna bermacam-macam, dari keemasan pucat sampai
ungu cerah. Dan mereka punya sayap. Menurut Mom, peri biasanya menggunakan glamour untuk berbaur dengan
manusia. Glamour adalah mantra yang rumit karena melibatkan mengubah otak
orang yang mereka temui, tetapi itu artinya manusia hanya bisa melihat peri
sebagai orang-orang normal dan bukannya... makhluk... yang cerah, berwarnawarni
dan bersayap. Aku ingin tahu apakah peri yang mendapatkan hukuman ke
Hecate merasa lega. Pastinya sulit, melakukan mantra sebesar itu setiap waktu.
Aku jeda sejenak untuk meluruskan tas jinjing di pundakku.
"Setidaknya tempat ini aman," kata Mom. "Itu bagus, bukan" Aku tidak harus
terus-menerus mengkhawatirkan dirimu kali ini."
Aku tahu Mom gelisah karena aku begitu jauh dari rumah, tetapi dia juga senang
karena menempatkan aku di tempat yang tidak membuatku berisiko untuk
diketahui. Kalau kau menghabiskan semua waktumu dengan membaca tentang
berbagai cara yang digunakan orang-orang untuk membunuh kaum penyihir
selama bertahun-tahun, kau akan cenderung jadi sedikit paranoid.
Sementara kami berjalan ke arah sekolah, aku bisa merasakan keringat terbit di
tempat-tempat ganjil yang aku yakin belum pernah berkeringat sebelumnya.
Bagaimana cara telingamu berkeringat" Mom, seperti biasa, tampak tidak
terpengaruh oleh kelembapan. Rasanya seperti hukum alam yang tidak alami
betapa ibuku tidak pernah kelihatan kurang dari sangat cantik. Walaupun dia
hanya memakai jins dan kaus pun, semua orang melihat ke arahnya.
Atau, mungkin karena mereka menatap saat aku mencoba dengan diam-diam
mengusap keringat dari antara dadaku tanpa kelihatan berbuat senonoh dengan
diriku sendiri. Sulit untuk diketahui.
Di sekelilingku ada hal-hal yang hanya kubaca di buku. Di sebelah kiriku,
seorang peri berambut biru dengan sayap indigo sedang terisak-isak sambil berpegangan ke
kedua orangtuanya yang bersayap, yang kakinya melayang sekitar dua senti dari
tanah. Sementara aku memperhatikan, air mata kristal terjatuh bukan dari mata si
gadis, melainkan dari sayapnya, menyebabkan kakinya menggantung di atas
kubangan biru cerah. Kami berjalan ke bawah bayang-bayang pohon-pohon besar yang sudah tua - yang
artinya hawa panas berkurang mungkin setengah derajat saja. Tepat pada saat kami
mendekati tangga depan, sebuah lolongan tidak wajar menggema di udara yang
pengap. Mom dan aku berputar dan melihat... makhluk yang sedang menggeram kepada
dua orang dewasa yang kelihatan agak frustrasi. Mereka tidak tampak ketakutan,
hanya agak jengkel. Werewolf. Tak peduli seberapa seringnya kau membaca tentang werewolf, melihatnya tepat di
depan matamu merupakan pengalaman yang sama sekali baru.
Di antaranya, makhluk itu tidak mirip serigala. Atau manusia. Melainkan lebih
mirip anjing liar besar yang berdiri dengan kaki belakangnya. Bulunya pendek dan
cokelat muda, bahkan dari kejauhan pun aku bisa melihat matanya yang kuning.
Dia juga jauh lebih kecil daripada yang kubayangkan. Bahkan, sama sekali tidak
setinggi lelaki yang digeraminya.
"Hentikan itu, Justin," lelaki itu meludah. Yang wanita, yang kulihat rambutnya
berwarna cokelat muda sama dengan bulu werewolf, memegang lengannya.
"Sayang," katanya dengan suara lembut beraksen Selatan, "Dengarkah ayahmu. Ini
konyol." Selama sedetik werewolf itu, eh, Justin, berhenti, kepalanya dimiringkan,
membuatnya kelihatan lebih tidak mirip dengan makhluk buas yang gemar
menggorok leher melainkan seperti anjing Spaniel kecil.
Bayangan itu membuatku cekikikan.
Dan mendadak sepasang mata kuning itu menatapku.
Dia menggeram lagi, bahkan sebelum aku sempat berpikir, dia menyerang.
Bab 2 AKU MENDENGAR PRIA dan wanita itu meneriakkan peringatan sementara aku
dengan panik mengaduk-aduk isi otak untuk mencari mantra reparasi leher, yang
sudah jelas akan kubutuhkan. Tentu saja satu-satunya kata-kata yang mampu
kuteriakkan kepada si werewolf yang berlari ke arahku hanyalah, "ANJING
NAKAL!" Kemudian, dari sudut mataku, aku melihat denyaran cahaya biru di sebelah kiriku.
Mendadak, si werewolf itu seakan-akan menghantam tembok tak kasat mata hanya
beberapa senti saja di hadapanku. Sambil mengaing pilu, dia roboh ke tanah. Bulu
dan kulitnya mulai beriak dan mengalir sampai dia jadi anak laki-laki normal
yang memakai celana dril dan blazer biru, sedang merengek menyedihkan. Kedua
orangtuanya menghampirinya bersamaan dengan Mom yang berlari kepadaku,
sambil menyeret koper di belakangnya.
"Oh, ya Tuhan!" katanya dengan terengah-engah. "Sayang, apakah kau baik-baik
saja?" "Baik," kataku, sambil mengibas-ngibaskan rumput dari rokku.
"Tahukah kau," kata seseorang dari arah kiriku, "Biasanya, menurutku, mantra
penangkis lebih efektif daripada meneriakkan 'anjing nakal,' tapi mungkin itu
cuma pendapatku saja."
Aku berputar. Ada anak muda yang nyengir sambil bersandar di pohon, kerahnya
tidak dikancingkan dan dasinya longgar. Blazer Hecate-nya tergantung lemas di
lekukan sikunya. "Kau penyihir, ya?" Pemuda itu melanjutkan. Dia mendorong dirinya dari pohon
dan mengusapkan jari ke rambut hitamnya yang tebal. Sementara dia berjalan
mendekati, kulihat tubuhnya ramping nyaris kerempeng, dan beberapa senti lebih
jangkung daripada aku. "Mungkin lain kali," katanya, "kau bisa berusaha agar
tidak terlalu menyedihkan sebagai penyihir."
Setelah berkata begitu, dia berjalan menjauh.
Setelah nyaris diserang oleh Justin si Anak Bermuka Anjing, dan mendengar
pemuda asing yang tidak keren-keren amat itu mengatakan bahwa aku
menyedihkan dalam hal sihir menyihir, sekarang aku benar-benar jengkel.
Aku memeriksa untuk melihat apakah Mom mengawasi, tetapi dia sedang bertanya
kepada orangtua Justin yang kedengarannya seperti, "Apakah dia akan menggigit
anakku"!" "Jadi, aku penyihir yang buruk, ya?" kataku dengan pelan sambil memperhatikan
punggung pemuda yang sedang menjauh itu.
Aku mengangkat kedua tanganku dan memikirkan mantra yang paling kejam yang
bisa kupikirkan - yang melibatkan bisul dan napas serta gangguan fungsi genital
yang parah. Dan tidak terjadi apa-apa.
Tidak ada sensasi air mengalir ke ujung jariku, tidak ada detak jantung yang
menjadi cepat, tidak ada merinding.
Aku hanya berdiri di sana seperti orang idiot, sambil menjulurkan jari-jariku
kepada anak laki-laki itu.
Apa-apaan ini" Aku tidak pernah kesulitan merapal mantra sebelumnya.
Lalu aku mendengar suara yang mirip magnolia diseret di atas karamel yang
berkata, "Sudah cukup, Nak."
Aku berbalik ke arah beranda depan, tempat perempuan yang sudah agak tua
berbalut jas biru cerah berdiri di antara kedua pakis yang mengerikan itu. Dia
tersenyum, tetapi itu salah satu senyuman boneka yang mengerikan. Dia sedang
menunjukkan satu jari panjangnya kepadaku.
"Kita tidak menggunakan kekuatan untuk melawan Prodigium lain di sini, tak
peduli walaupun kita diprovokasi," katanya, suaranya lembut, mengandung asap,
merdu. Bahkan, kalau rumah itu bisa bicara, kurasa akan kedengaran persis
seperti wanita ini. "Bolehkah aku menambahkan, Archer," wanita itu melanjutkan, sambil berputar ke
arah lelaki berambut gelap itu. "Gadis ini masih baru di Hecate, tapi kau sudah
tahu bahwa dilarang menyerang siswa lain."
Archer mendengus. "Jadi, aku seharusnya membiarkan werewolf itu
memakannya?" "Sihir bukanlah jalan keluar untuk semuanya," jawab wanita itu.
"Archer?" tanyaku, sambil menaikkan kedua alisku. Hei, kau boleh jadi bisa
mengambil kekuatan sihirku, tetapi kekuatan sarkasme masih bisa kulakukan.
"Apakah nama belakangmu Newport atau Vanderbilt" Mungkin diikuti oleh
angka" Ooh!" kataku - dengan membelalakan mata - "Atau bahkan mungkin
Esquire!" Aku berharap bisa menyakiti perasaannya, atau, setidaknya, membuatnya marah,
tetapi dia masih saja tersenyum kepadaku. "Sebenarnya Archer Cross, dan aku
yang pertama. Nah, bagaimana denganmu?" Dia memicingkan mata. "Sebentar...
rambut cokelat, bintik-bintik, ada getaran jenis gadis tetangga sebelah...
Allie" Lacie" Pasti nama imut yang berakhiran ie."
Kau tahu kan, bagaimana rasanya kalau mulutmu bergerak tetapi sebenarnya tidak
ada suara yang keluar" Ya, begitulah yang terjadi. Kemudian, tentu saja ibuku
memilih saat itu untuk mengakhiri percakapannya dengan orangtua Justin dan
memanggilku, "Sophie! Tunggu."
"Sudah kuduga." Archer tertawa. "Sampai nanti, Sophie," katanya dengan
menengok ke belakang sambil menghilang ke dalam rumah.
Aku mengalihkan perhatianku kembali kepada wanita itu. Dia berusia sekitar
limapuluh tahun, dengan rambut pirang gelap yang dipelintir, ditarik, dan
mungkin diancam sehingga menghasilkan tatanan rambut rumit. Dari sikap anggunnya dan
jas berwarna biru cerah yang merupakan ciri khas Hecate Hall, aku
mengasumsikan bahwa dia adalah kepala sekolah, Mrs. Anastasia Casnoff. Aku
tidak perlu melihat brosur untuk mengingat itu. Nama seperti Anastasia Casnoff
cenderung melekat pada dirimu.
Bahkan, wanita pirang itu dengan perkasanya dinamakan pemimpin Hecate Hall.
Ibuku menggelengkan kepalanya. "Grace Mercer. Dan ini Sophia."
"Soh-fee-yuh," kata Mrs. Casnoff dengan logat Selatannya yang mengalun,
mengubah namaku yang relatif sederhana menjadi sesuatu yang terdengar seperti
makanan pembuka di restoran Cina.
"Nama panggilanku Sophie," kataku dengan cepat, berharap agar terhindar dari
dikenal sebagai Sohfeeyuh selama-lamanya.
"Nah, kalian bukan berasal dari daerah sini, betul?" lanjut Mrs. Casnoff sambil
kami berjalan ke arah sekolah.
"Bukan," jawab Mom, memindahkan tas ranselku ke bahu satunya, kopernya
masih kami gotong bersama. "Ibuku berasal dari Tennessee, tetapi Georgia adalah
salah satu negara bagian yang belum pernah kami tinggali. Kami agak sering
berpindah-pindah."
Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Agak sering" itu terlalu meremehkan.
Sembilan belas begara bagian selama enam belas tahun usiaku. Yang paling lama
yang pernah kami tinggali adalah Indiana, sewaktu aku berumur delapan tahun.
Selama empat tahun. Yang paling sebentar yang pernah kami tinggali adalah
Montana tiga tahun yang lalu. Dua minggu saja.
"Begitu," kata Mrs. Casnoff. "Dan apa pekerjaan Anda, Mrs. Mercer?"
"Ms.," kata Mom secara otomatis, dan agak sedikit terlalu kencang. Dia menggigit
bibir bawahnya dan menyelipkan rambut khayalan di belakang telinganya. "Aku
guru. Pelajaran religius. Sebagian besar mitologi dan cerita rakyat."
Aku mengekor di belakang mereka sambil meniti anak tangga depan dan
memasuki Hecate Hall. Syukurkah hawanya sejuk, artinya mereka sudah jelas punya semacam mantra
penyejuk ruangan yang sedang dinyalakan. Ruangan itu juga baunya seperti rumah
tua pada umumnya, aroma aneh kombinasi antara pelitur perabot, kayu tua, dan
bau apak kertas yang sudah lama, seperti di dalam perpustakaan.
Aku bertanya-tanya apakah rumah yang direkatkan bersama-sama seperti ini akan
terasa bedanya di bagian dalam seperti di bagian luarnya, tetapi semua
dindingnya ditutupi oleh kertas pelapis dinding jelek berwarna burgundi2, jadi sulit untuk
melihat di mana kayu berhenti dan plesternya dimulai.
(Burgundi: anggur asal Burgundy, Prancis)
Tepat di balik pintu depan, serambi luasnya didominasi oleh tangga kayu mahoni
melingkar yang melintir sampai ke lantai tiga, kelihatannya tidak disangga
apaapa. Di belakang anak tangga itu ada jendela berkaca patri yang mulai dari
bordes lantai dua dan membentang sampai ke langit-langit. Cahaya matahari senja
bersinar menembus kaca itu, mengisi serambi dengan pola geometris cahaya yang
berwarna cerah. "Mengagumkan, bukan?" kata Mrs. Casnoff sambil tersenyum. "Itu
menggambarkan asal muasal Prodigium."
Jendelanya menampakkan malaikat berwajah murka yang berdiri di sebelah dalam
gerbang keemasan. Di satu tangannya, malaikat itu memegang pedang hitam.
Tangan satunya menunjuk, sedang mengusir ketiga sosok yang berada di bagian
depan gerbang. Hanya saja - kau tahulah - secara malaikat.
Ketiga sosok itu juga malaikat. Mereka semua kelihatannya kecewa berat.
Malaikat yang di sebelah kanan, perempuan berambut merah panjang, bahkan
membenamkan wajah di kedua tangannya. Di lehernya ada rantai besar keemasan
yang baru kusadari ternyata terdiri dari rangkaian sosok-sosok manusia yang
bergandengan tangan. Malaikat yang di sebelah kiri memakai mahkota daun dan
sedang menengok ke belakang. Dan yang di tengah, malaikat laki-laki paling
jangkung menatap lurus ke depan, kepalanya terangkat tinggi-tinggi dan
pundaknya tertarik ke arah belakang.
"Itu... sesuatu," kataku akhirnya.
"Apakah kau tahu kisahnya, Sophie?" tanya Mrs. Casnoff.
Sewaktu aku menggelengkan kepala, wanita itu tersenyum dan menunjuk ke
malaikat menakutkan yang ada di balik gerbang. "Setelah Perang Akbar antara
Tuhan dan Lucifer, malaikat-malaikat yang menolak untuk memilih berada di
pihak siapa dibuang dari surga. Satu kelompok" - dia menunjuk malaikat jangkung
yang tengah - "Memilih untuk menyembunyikan diri di bawah perbukitan dan di
hutan belantara. Mereka menjadi peri. Sekelompok lainnya memilih untuk hidup di
antara binatang dan menjadi shapeshifter. Dan kelompok terakhir memilih untuk
berbaur dengan umat manusia dan menjadi penyihir."
Kudengar Mom mengucapkan "Wow," dan aku menoleh kepadanya sambil
tersenyum. "Semoga beruntung menjelaskan kepada Tuhan kalau Mom sering memukuli
bokong salah satu makhluk surganya."
Mom tertawa kaget. "Sophie!"
"Apa" Mom kan memang suka begitu. Kuharap Mom menyukai hawa panas,
hanya itulah yang bisa kukatakan."
Mom tertawa lagi, walaupun aku bisa merasakan bahwa dia mencoba untuk tidak
melakukannya. Mrs. Casnoff mengerutkan keningnya sebelum mendeham dan melanjutkan
memandu wisata. "Siswa-siswi di Hecate berusia antara dua belas sampai tujuh
belas. Begitu ada pelajar yang dihukum ke Hecate, dia tidak akan diluluskan
sampai ulang tahunnya yang ke delapan belas."
"Beberapa anak bisa berada di sini, misalnya, enam bulan, dan yang lainnya bisa
di sini enam tahun?" tanyaku.
"Tepat sekali. Sebagian besar pelajar kami dikirim ke sini begitu mereka
mendapatkan kekuatan mereka. Tetapi selalu ada pengecualian, seperti dirimu."
"Aku memang hebat," gumamku.
"Seperti apakah kelas-kelas di sini?" tanya Mom, sambil memelototi aku.
"Kelas-kelas di Hecate mengikuti model yang didirikan di Prentiss, Mayfair, dan
Gervaudan." Mom dan aku mengangguk mendengarnya, seakan-akan kami memahami makna
kata-kata tersebut. Kurasa kami tidak berhasil mengelabui Mrs. Casnoff, karena
wanita itu berkata, "Sekolah berasrama primer untuk penyihir, peri, dan
shapeshifter, sesuai dengan urutannya. Kelas-kelasnya dibuat baik berdasarkan
usia pelajar maupun kesulitan tertentu yang dimiliki oleh pelajar yang
bersangkutan dalam berbaur dalam dunia manusia."
Dia tersenyum rapuh. "Kurikulumnya bisa menantang, tetapi aku tidak meragukan
bahwa Sophie akan belajar dengan baik."
Tidak pernah rasanya aku mendengar sebuah dorongan yang terdengar seperti
ancaman. "Asrama perempuan terletak di lantai tiga," kata Mrs. Casnoff, sambil
melambaikan tangan ke arah tangga. "Laki-laki di lantai dua. Kelas-kelas
diselenggarakan di sini di lantai satu dan di bangunan-bangunan luar di
sekeliling bangunan ini." Dia menunjuk ke arah kiri dan kanan tangga tempat lorong sempit
dan panjang bercabang dari serambi. Dengan menunjuk-nunjuk dan jas birunya itu,
dia mengingatkanku kepada seorang pramugari. Aku menyangka dia akan
mengatakan dalam keadaan darurat, blazer Hecate baruku bisa digunakan sebagai
alat pelampung. "Nah, apakah para pelajarnya dipisahkan oleh... eh...." Mom melambaikan
tangannya. Mrs. Casnoff tersenyum, tetapi mau tidak mau aku melihat bahwa senyuman itu
setegang gelungannya. "Dengan kemampuan mereka" Tidak, tentu saja tidak. Salah satu alasan utama
didirikannya Hecate adalah mengajarkan kepada murid-muridnya bagaimana cara
hidup berdampingan dengan setiap ras Prodigium."
Mrs. Casnoff berputar untuk mendahului kami berjalan ke ujung serambi. Di sini,
tiga jendela besar menjulang sampai ke bordes lantai ketiga. Di belakangnya ada
halaman, tempat anak-anak mulai berkumpul di bangku-bangku batu di bawah
pohon-pohon ek. Kubilang anak-anak. Kurasa mereka semua makhluk-makhluk,
seperti aku, tapi kau tidak bisa membedakannya. Mereka sama saja seperti
segerombolan pelajar normal. Yah, kecuali para peri.
Aku mengamati seorang gadis yang tertawa sambil menawarkan sebuah pengilat
bibir ke gadis lainnya, dan ada sesuatu di dadaku yang agak mengencang.
Aku merasakan sesuatu yang dingin mengusap lenganku, dan aku terlonjak
mundur, kaget, sementara seorang perempuan berpakaian biru melayang
melewatiku. "Ah, ya," kata Mrs. Casnoff sambil tersenyum kecil. "Isabelle Fortenay, salah
satu makhluk halus penghuni di sini. Seperti yang aku yakin kalian pernah baca,
Hecate merupakan rumah bagi sejumlah makhluk halus, semuanya hantu Prodigium.
Mereka tidak berbahaya - benar-benar tidak bisa disentuh. Artinya, mereka tidak
bisa menyentuhmu atau melakukan apa-apa lagi. Mereka mungkin bisa
membuatmu ketakutan sesekali, tetapi hanya itulah yang bisa mereka lakukan."
"Bagus," kataku sambil memperhatikan Isabella memudar ke dalam dinding
berlapis. Sementara dia melakukan itu, aku menangkap sebuah gerakan di sudut mataku lalu
menoleh dan melihat makhluk halus lain yang sedang berdiri di kaki tangga. Dia
gadis seusiaku, memakai kardigan hijau cerah di atas gaun pendek berbungabunga.
Tidak seperti Isabelle, yang tampaknya tidak melihatku, gadis ini
menatapku lekat-lekat. Aku membuka mulut untuk bertanya kepada Mrs. Castnoff
siapa dia, tetapi kepala sekolah itu sudah mengalihkan perhatiannya kepada
seseorang di seberang serambi,
"Miss Talbot!" panggilnya. Aku terpesona akan cara suaranya menyeberangi
ruangan luas itu bahkan tanpa terdengar seperti berteriak sedikit pun.
Seorang gadis kecil, nyaris tak sampai satu setengah meter tingginya, muncul di
siku Mrs. Casnoff. Kulitnya nyaris seputih salju, begitu juga dengan rambutnya,
dengan pengecualian segaris warna pink menyala di poninya. Dia memakai
kacamata tebal berbingkai hitam, dan walaupun dia tersenyum, aku bisa tahu
bahwa senyuman itu hanya demi Mrs. Casnoff. Matanya tampak benar-benar
bosan. "Ini Jennifer Talbot. Kurasa kau akan menjadi teman sekamar dengannya semester
ini, Miss Mercer. Jennifer, ini Soh-fee-yuh."
"Sophie aja," aku mengoreksi, berbarengan dengan Jennifer yang mengucapkan,
"Jenna." Senyuman Mrs. Casnoff menegang, seperti ada dua sekrup di kedua ujung
mulutnya. "Ya ampun. Aku tidak mengerti ada apa dengan anak-anak masa kini,
Ms. Mercer. Setelah diberi nama yang sangat indah, mereka bertekad untuk
merusak dan mengubahnya pada kesempatan pertama. Walaupun demikian, Miss
Mercer, Miss Talbot adalah, seperti kau, pendatang yang relatif baru. Dia baru
bergabung dengan kami tahun lalu."
Mom berbinar-binar dan menjabat tangan Jenna. "Senang bertemu denganmu.
Apakah kau, eh, apakah kau penyihir seperti Sophie?"
"Mom," bisikku, tetapi Jenna menggelengkan kepalanya dan berkata, "Bukan,
Ma'am. Vampir." Aku bisa merasakan Mom menegang di sebelahku, dan aku tahu Jenna juga begitu.
Walaupun aku merasa malu kepadanya, aku juga merasakan ketakutan Mom.
Penyihir, shapeshifter, dan peri itu satu hal. Vampir itu monster, habis
perkara. Segala urusan sensitif tentang Anak sang Malam itu benar-benar omong kosong.
"Oh, baiklah," kata Mom, sambir berusaha memulihkan diri. "Aku... eh, tidak
menyangka vampir juga bersekolah di Hecate."
"Itu program baru kami di sini," kata Mrs. Casnoff, sambil mengulurkan tangan
untuk membelai rambut Jenna. Air muka Jenna sopan, walaupun agak
menerawang, tetapi aku melihatnya agak menegang.
"Setiap tahun," Mrs. Casnoff melanjutkan, "Hecate menerima vampir muda dan
menawarkan kepadanya kesempatan untuk belajar berdampingan bersama para
Prodigium dengan harapan kami akhirnya bisa memperbaiki makhluk-makhluk
malang ini." Aku melirik Jenna. Makhluk-makhluk malang" Aduh.
"Sayangnya, Miss Talbot merupakan satu-satunya vampir yang kami miliki saat
ini, walaupun salah satu instruktur kami juga vampir," kata Mrs. Casnoff.
Jenna hanya menyunggingkan senyuman aneh, dan kami semua berdiri tanpa
bicara dengan canggung sampai Mom berkata, "Sayang, bagaimana kalau kau ikut
dengan...." Dia menatap teman sekamar baruku dengan putus asa.
"Jenna." "Benar, benar. Bagaimana kalau kau ikut dengan Jenna untuk menunjukkan
kamarmu" Ada beberapa hal yang ingin kubicarakan dengan Mrs. Casnoff, setelah
itu aku akan naik untuk berpamitan, ya?"
Aku memandang Jenna, yang masih tersenyum, tetapi matanya sudah memandang
melewati kami. Aku memindahkan tas jinjingku lagi dan hendak menyambar koperku dari Mom,
tetapi Jenna mengalahkan aku.
"Kau sebenarnya tidak usah membantu - " kataku, tapi dia melambaikan
tangannya yang kosong. "Tidak masalah. Bonus dari menjadi makhluk pengisap darah adalah tubuh bagian
atas jadi kuat." Aku tidak tahu harus bilang apa, jadi dengan payahnya aku menjawab, "Oh."
Dia menenteng satu sisi dan aku menyambar sisi yang satunya.
"Tidak kebetulan ada tangga berjalan, kurasa?" Aku hanya separuh bercanda.
Jenna mendengus. "Mana mungkin, itu terlalu bagus."
"Mengapa mereka tidak punya mantra penggerak koper atau semacamnya?"
"Mrs. Casnoff sangat ketat dalam hal tidak menggunakan sihir sebagai alasan
untuk bermalas-malasan. Rupanya, membawa koper berat lewat tangga merupakan
cara untuk membangun karakter."
"Begitu," kataku sambil kami berusaha melewati bordes lantai dua.
"Jadi, bagaimana pendapatmu tentang dia?" tanya Jenna.
"Mrs. Casnoff?"
"Ya." "Gelungannya sangat mengagumkan."
Cengiran Jenna menyiratkan bahwa aku mengatakan hal yang tepat.
"Aku tahu, benar, kan" Aku bersumpah demi Tuhan, tatanan rambut itu seperti...
epik." Hanya ada logat Selatan samar di dalam suaranya. Kedengarannya
menyenangkan. "Omong-omong soal tatanan rambut," aku melangkah lebih jauh lagi, "bagaimana
kau bisa lolos dengan rambut seperti itu?"
Jenna membelai semburat pink itu dengan tangannya yang bebas. "Oh, mereka
tidak terlalu peduli pada pelajar beasiswa vampir yang malang. Kurasa selama aku
tidak mengunyah kawan-kawanku, aku bebas untuk punya warna rambut apa saja
yang kumau." Sewaktu kami tiba di bordes lantai tiga, dia mengamatiku. "Aku bisa mewarnai
rambutmu, kalau kau mau. Tapi bukan pink. Itu ciri khasku. Mungkin ungu?"
"Eh... mungkin."
Kami sudah berhenti di depan kamar 312. Jenna meletakkan sisi koper yang dia
tenteng dan mengeluarkan kunci-kuncinya. Gantungan kuncinya kuning terang dan
namanya ditulis dengan huruf-huruf berwarna pink yang berkelap-kelip.
"Ini dia!" Dia membuka kunci pintu dan mendorongnya hingga terbuka. "Selamat datang di
Twilight Zone!" Bab 3 ZONA 'BUKAN-MAIN-banyak-sekali-warna-pink-nya' mungkin gambaran yang
lebih tepat. Entah apa yang kubayangkan bagaimana kamar vampir itu. Mungkin banyak
warna hitam dan gelap, beberapa buku karya Camus... oh, dan foto yang paling
berharga yaitu manusia yang pernah dicintai oleh si vampir - yang tidak diragukan
lagi tewas karena suatu peristiwa indah dan tragis, yang mengutuk vampir
tersebut untuk terus-menerus bersedih dan menyesali kisah cintanya dalam keabadian.
Aku bisa bilang apa" Aku banyak membaca.
Tapi, kamar ini kelihatan seakan-akan ditata oleh anak haram buah cinta Barbie
dan Strawberry Shortcake. Kamar itu lebih besar daripada sangkaanku, tetapi
tetap saja kecil. Cukup banyak ruang untuk dua tempat tidur dobel, dua meja, dua laci
pakaian dan sebuah bangku futon usang. Gordennya berwarna kanvas gading,
tetapi Jenna mengikatkan syal pink menyala sebagai pengikat gordennya. Di antara
dua meja ada sebuah tabir Cina, bahkan benda itu pun menyandang tanda tangan
Jenna, karena kayunya dicat ulang dengan - coba kau tebak, pink. Puncak tabirnya
dihiasi dengan lampu Natal pink. Tempat tidur Jenna diselubungi oleh sesuatu
yang tampak seperti bulu-bulu Muppet pink tua.
Jenna memandang aku yang terbeliak melihatnya. "Keren, kan?"
"Aku... tak menyangka bahwa pink tersedia dalam warna seperti itu."
Setelah menendang sepatunya, Jenna melemparkan diri ke tempat tidurnya,
membuat dua bantal berpayet dan boneka singa butut berhamburan. "Itu namanya
'ElectricRaspberry'."
"Nama yang tepat untuk warna itu." Aku tersenyum sambil menarik koper ke
tempat tidurku, yang kelihatan sepolos... yah, sepolos aku kalau dibandingkan
dengan Jenna. "Jadi,apakah teman sekamarmu yang lama juga suka pink?"
Wajah Jenna membeku untuk sedetik. Kemudian air muka aneh itu lenyap, dan dia
menjulurkan tubuhnya dari tempat tidur untuk memunguti bantal-bantal dan
singanya. "Tidak, Holly tetap memakai seprai biru yang mereka berikan kepadamu
kalau kau tidak membawa sepraimu sendiri. Kau bawa seprai sendiri, kan?"
Aku membuka koperku dan mengeluarkan ujung sepraiku yang berwarna hijau
mentol. Jenna tampak sedikit kecewa, tetapi menghela napas, "Yah, itu lebih baik
Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
daripada seragam biru. Jadi" - dia kembali melemparkan dirinya ke atas tempat
tidur dan mulai mengorek-ngorek laci - "Apa yang membawamu ke Hex Hall,
Sophie Mercer?" "Hex Hall?" aku mengulanginya.
"Hecate terlalu panjang," Jenna menjelaskan. "Sebagian besar orang cuma
menyebutnya Hex. Lagi pula, rasanya cocok."
"Oh." "Jadi apa?" tanyanya lagi. "Apakah kau membuat hujan kodok, atau mengubah
anak cowok jadi kadal air?"
Aku berbaring di atas tempat tidurku, mencoba meniru sikap acuh tak acuh Jenna,
tetapi ternyata sangat sulit untuk dilakukan di atas matras tak berseprai. Jadi,
aku duduk dan mulai mengeluarkan barang-barang dari koperku. "Aku merapalkan
mantra untuk seorang gadis yang sekelas denganku. Mantranya kacau-balau."
"Tak berhasil?"
"Bekerja terlalu baik." Aku menceritakan versi pendek tentang episode
KevinFelicia. "Ck ck ck," katanya sambil menggelengkan kepala. "Kelas berat."
"Pastinya," kataku. "Jadi kau... eh, kau vampir. Bagaimana sebenarnya
kejadiannya?" Matanya tidak menatapku, tetapi nada suaranya biasa saja. "Caranya sama dengan
yang menimpa orang lain, bertemu dengan vampir, digigit. Tidak begitu menarik."
Aku tidak menyalahkan dia karena tidak ingin berbagi cerita secara keseluruhan
dengan seseorang yang baru saja dikenalnya selama lima belas menit.
"Jadi ibumu normal, ya?" tanyanya.
Hmm. Sebenarnya bukan sesuatu yang ingin kubahas pada hari pertama, tapi hei,
inilah yang namanya membaur, iya kan" Berbagi alat rias muka, pakaian, dan
rahasia paling dalam dengan teman sekamarmu.
Aku mendeham. "Ya, ayahku warlock, tapi mereka sudah tidak bersama lagi atau
semacam itulah." "Oh," kata Jenna memaklumi. "Tidak usah bicara lagi. Banyak anak-anak yang ada
disini berasal dari keluarga yang bercerai. Bahkan sihir pun tidak menjamin
pernikahan yang bahagia, kelihatannya."
"Apakah orangtuamu bercerai?"
Akhirnya dia menemukan cat kuku yang dicarinya. "Tidak, sayang sekali mereka
masih hidup bahagia. Atau, maksudku... Kurasa mereka begitu. Aku sudah tidak
melihat mereka lagi sejak aku, eh, berubah, atau apalah."
"Oh, wow," jawabku. "Itu menyebalkan."
"Tanpa bermaksud menyinggung?" tanyanya.
"Benar." Aku selesai memasang seprai di atas tempat tidurku. "Jadi kalau kau
vampir, apakah aku harus sangat berhati-hati dengan membuka gorden di pagi
hari?" "Tidak. Lihat ini?" Jenna menarik kalung perak di lehernya dan mengacungkan
liontin kecil. Ukurannya sama dengan kacang jelly dan berwarna merah tua. Orang
lain mungkin menyangka itu batu mirah delima, tapi aku pernah melihat gambar
benda seperti itu di salah satu buku Mom.
"Batu darah?" Batu darah adalah batu jernih dan berongga yang bisa diisi dengan
darah dari penyihir atau warlock yang sakti. Batu itu berperan sebagai pelindung
terhadap banyak hal. Kurasa batu milik Jenna mengatasi semua masalah vampir yang membuat aku lega. Setidaknya sekarang aku tahu bahwa aku boleh makan
bawang putih di depannya.
Jenna mulai mengecat kuku tangan kanannya.
"Jadi, bagaimana dengan darah?" tanyaku.
Jenna mengembuskan napas panjang. "Sebenarnya sangat memalukan. Aku harus
pergi ke klinik. Mereka menyimpan kulkas kecil di sana dengan beberapa kantong
darah, seperti Palang Merah atau semacamnya."
Aku menahan diri agar tidak bergidik membayangkannya. Bagiku darah sangat
menjijikkan. Kalau aku sampai tergores kertas, aku nyaris sesak napas. Aku
sangat senang mendengar Jenna tidak akan makan di kamar kami. Aku tidak akan pernah
bisa berpacaran dengan vampir. Baru saja membayangkan napas bau darah... amitamit.
Kemudian aku baru sadar bahwa Jenna sedang menatapku. Sialan. Apakah
kejijikanku terpampang di wajahku tadi" Untuk berjaga-jaga, aku pura-pura
tersenyum dan berkata, "Keren. Seperti Capri-sone darah."
Jenna tertawa. "Lucu."
Kami duduk terdiam tapi tidak jengah selama beberapa saat sebelum Jenna
bertanya, "Jadi, perpisahan orangtuamu parah?"
"Sepertinya," jawabku. "Kejadiannya sebelum aku lahir."
Jenna mendongak dari kuku-kukunya. "Wow."
Aku berjalan menghampiri mejaku. Seseorang, Mrs. Casnoff, kurasa,
meninggalkan jadwal yang cukup normal, tetapi tertera hal-hal seperti "M-F,
9:1510:00, Evolusi Sihir, Ruang Duduk Kuning".
"Ya. Mom tidak banyak bicara tentang itu, tapi apa pun yang terjadi, pasti cukup
buruk sehingga Mom tidak membiarkan Dad menemuiku."
"Jadi, kau belum pernah bertemu dengan ayahmu sendiri?"
"Aku punya gambarnya. Dan aku bicara dengannya di telepon, dan surat
elektronik." "Sialan. Aku ingin tahu apa pekerjaannya. Apakah dia, misalnya, memukul ibumu
atau apalah?" "Aku tak tahu!" Kata-kata itu keluar lebih tajam daripada yang kukehendaki.
"Maaf," gumamnya.
Aku berpaling ke tempat tidurku dan mulai melicinkan penutup tempat tidurku.
Setelah merapikan sekitar lima kerutan khayalan, (dan Jenna mengecat satu kuku
tiga kali), aku kembali berputar dan berkata, "Aku tidak bermaksud membentak - "
"Tidak, tidak apa-apa. Itu memang bukan urusanku."
Perasaan bersahabat yang hangat itu sudah lenyap sama sekali sekarang.
"Hanya saja... selama sekitar seumur hidupku, aku hidup bersama ibuku saja, dan
aku belum terbiasa dengan menceritakan-kisah-hidupmu seperti ini. Kurasa kami
selalu sangat tertutup."
Jenna mengangguk, tapi dia masih belum menatapku juga.
"Kurasa kau dan teman sekamar lamamu saling bercerita, ya?"
Air muka muram itu kembali menghampiri wajahnya. Mendadak dia menutup
botol cat kukunya. "Tidak," katanya dengan pelan. "Tidak semuanya."
Dia melemparkan botol itu ke rak lacinya dan melompat turun dari tempat
tidurnya. "Sampai ketemu waktu makan malam."
Sementara dia berjalan keluar, dia nyaris bertubrukan dengan Mom menggumamkan permintaan maaf sambil berlari menjauh.
"Soph," kata Mom, sambil menghempaskan diri ke atas tempat tidurku. "Jangan
bilang kau sudah bertengkar dengan teman sekamarmu."
Mom punya kemampuan yang menjengkelkan karena selalu bisa membaca suasana
hatiku. "Entahlah. Kurasa aku cuma tidak pandai dalam urusan antar gadis, Mom
mengerti, kan" Maksudku, teman terakhir yang kumiliki yaitu sewaktu aku kelas
enam. Itu kan tidak seperti kau bisa menemukan sahabat kalau kau pernah tinggal
di suatu tempat yang paling lama adalah enam bulan, jadi kurasa - Oh, Mom, aku
tidak bermaksud membuatmu jadi sedih."
Mom menggelengkan kepalanya dan menyeka air matanya yang mengalir. "Tidak,
tidak, Sayang, tidak apa-apa. Aku cuma... Seandainya saja aku bisa memberikan
masa kecil yang lebih normal kepadamu."
Aku duduk dan merangkulkan tanganku kepadanya. "Jangan bilang begitu. Aku
punya masa kecil yang hebat. Maksudku, berapa banyak orang yang pernah tinggal
di sembilan belas negara bagian" Bayangkan apa saja yang pernah kulihat!"
Itu kata-kata yang keliru untuk diucapkan. Kalau pun ada, Mom hanya kelihatan
lebih sedih. "Dan tempat ini hebat! Maksudku, aku punya kamar keren yang sangat pink ini,
Jenna dan aku kelihatannya cukup akrab untuk bertengkar, yang merupakan bagian
penting dari pertemanan antar gadis, bukan?"
Tugas selesai. Mom tersenyum. "Apakah kau yakin, Sayang" Kalau kau tidak
menyukainya, kau tidak harus tinggal. Aku yakin ada sesuatu yang bisa kita
lakukan untuk mengeluarkanmu dari sini."
Untuk sedetik aku ingin berkata, Ya, kumohon,mari kita naik feri berikut dan
keluar dari pertunjukan orang-orang aneh ini.
Sebagai gantinya, yang kukatakan hanyalah, "Ini tidak untuk selamanya, bukan"
Hanya dua tahun, dan aku akan punya liburan Natal dan musim panas. Seperti
sekolah biasa. Aku akan baik-baik saja. Sekarang pergilah sebelum Mom membuat
aku menangis dan aku kelihatan seperti orang bodoh."
Mata Mom kembali berkaca-kaca, tetapi dia menarikku untuk dipeluknya erat-erat.
"Aku menyayangimu, Soph."
"Aku juga," kataku, leherku tercekat.
Kemudian, setelah membuat aku bersumpah untuk menelepon setidaknya tiga kali
seminggu, Mom pun pergi. Dan aku berbaring di atas tempat tidurku yang tidak pink sambil menangis seperti
orang bodoh. Bab 4 SETELAH MELEPASKAN SEMUA itu dari sistem tubuhku, aku masih punya
waktu satu jam sampai makan malam. Aku memutuskan untuk melihat-lihat. Aku
sudah membuka dua pintu kecil di kamar kami, dengan sia-sia berharap
menemukan kamar mandi pribadi, tapi ternyata tidak. Hanya lemari.
Satu-satunya kamar mandi di seluruh lantai itu ada di ujung lorong satunya, dan
kamar mandi itu menyeramkan, sama seperti juga bagian lain dari rumah ini.
Satusatunya cahaya di dalamnya berasal dari beberapa lampu pijar dengan watt
rendah yang mengelilingi cermin besar di atas deretan wastafel. Itu artinya, bilikbilik pancuran di bagian belakang ruangan diselubungi kegelapan. Setelah melihat
pancurannya secara lebih dekat, tampak olehku bahwa aku belum pernah punya
alasan yang sebenarnya dari menggunakan kata "jorok" sebelum sekarang.
Aku tahu seharusnya aku membawa sandal jepit.
Sebagai tambahan untuk pancuran berjamur itu, juga ada beberapa bak mandi
berkaki cakar di salah satu dindingnya, yang dipisahkan oleh penghalang setinggi
pinggang. Aku ingin tahu siapa yang mau mandi di depan orang-orang lain"
Dengan menanggung risiko terkena segala bentuk penyakit yang telah
dikomunikasikan, aku menghampiri salah satu wastafel dan memercikkan air ke
wajahku. Sambil menatap wajahku di cermin, kulihat air itu sama sekali tidak
membantu. Wajahku tetap saja merah padam akibat menangis, yang
mengakibatkan bintik-bintik di wajahku semakin kentara.
Aku menggelengkan kepala, seakan-akan itu akan memperbaiki apa yang kulihat.
Tapi tidak. Jadi, sambil menghela napas aku keluar untuk menyelidiki bagian lain
dari Hecate Hall. Tidak banyak kejadian di lantaiku, hanya keributan biasa yang timbul saat kau
menyatukan sekitar lima puluh gadis bersama-sama. Ada empat lorong di lantai
tiga, dua ke arah kiri tangga, dua ke kanan. Bordesnya besar, jadi tempat itu
disulap menjadi ruang duduk. Ada dua sofa dan beberapa kursi, tetapi tak satu
pun perabot itu yang serasi, dan semuanya tampak sedikit lebih buruk untuk dipakai.
Karena semua tempat duduk sudah ditempati, aku berdiri di dekat tangga.
Peri yang kulihat sebelumnya - yang berlinangan air mata biru - tampaknya sudah
pulih. Dia membungkuk di atas sofa hijau pucat, sedang tertawa dengan peri
lainnya. Peri itu bersayap hijau muda yang mengepak pelan ke sandaran sofanya.
Aku selalu menyangka sayap peri itu seperti sayap kupu-kupu, tetapi ternyata
lebih tipis dan lebih tembus pandang. Kau bisa melihat urat-urat yang menjalari sayap
tersebut. Hanya merekalah peri di dalam ruangan itu. Sofa lainnya diduduki oleh
sekelompok gadis yang kelihatannya berumur sekitar dua belas tahun. Mereka
berbisik-bisik dengan gugup, dan aku bertanya-tanya apakah mereka penyihir atau
shapeshifter. Gadis berambut gelap yang kulihat di halaman duduk di atas kursi bersayap
berwarna gading, sambil lalu mengubah-ubah saluran televisi mungil yang
bertengger di atas rak buku kecil.
"Bisakah kau mengecilkan suaranya?" kata peri bersayap hijau, berputar untuk
membelalakkan matanya kepada gadis yang duduk di kursi itu. "Beberapa di antara
kita sedang mencoba berkomunikasi, Gadis Anjing."
Tak satu pun dari anak-anak yang berumur dua belas tahun yang bereaksi
dipanggil begitu, jadi kurasa mereka semua penyihir. Tentunya seorang
shapeshifter akan kelihatan lebih tersinggung.
Peri biru tertawa sementara gadis berambut gelap itu berdiri dan mematikan TV.
"Namaku Taylor," katanya, sambil melemparkan remote ke si peri hijau. "Taylor.
Dan aku berubah menjadi singa gunung, bukan anjing. Kalau kita akan hidup
bersama selama beberapa tahun, kau mungkin ingin mengingat itu, Nausicaa."
Nausicaa memutarkan kepalanya, sayap hijaunya berkepak pelan. "Oh, kita tidak
akan hidup bersama selama itu, yakinlah. Pamanku adalah raja di Kerajaan Seelie,
dan begitu aku mengatakan kepadanya bahwa aku berbagi kamar dengan pesulihwujud...
yah, pendek kata aku rasa pengaturan tempat tinggalku akan berubah."
"Yah, nah, kelihatannya pamanmu tidak mampu membuatmu keluar dari tempat
ini," balas Taylor. Wajah Nausicaa masih tetap kosong, tetapi sayapnya berkepak lebih cepat.
"Aku tidak akan sekamar dengan shapeshifter," katanya kepada Taylor. "Aku
sudah pasti tidak ingin berurusan dengan kotak pasirmu."
Peri biru itu tertawa lagi, dan Taylor berubah menjadi merah padam. Bahkan dari
beberapa meter jauhnya aku melihat mata cokelatnya berubah menjadi keemasan.
Dia bernapas dengan cepat sewaktu mengatakan, "Diam! Sana pergi dan memeluk
pohon, atau apalah, dasar kalian peri aneh!"
Suaranya terdengar bergemuruh, seakan-akan menggumam dengan mulut yang
penuh oleh kelereng. Kemudian aku menyadari bahwa dia bicara dengan mulut
yang penuh dengan gigi taring.
Nausicaa cukup punya akal sehat untuk tampak ketakutan. Dia berpaling ke peri
biru dan berkata, "Ayo Siobhan. Mari kita biarkan hewan ini mengendalikan
dirinya." Keduanya pun bangkit. Mereka melayang melewati aku dan menuruni anak
tangga. Aku kembali memandang Taylor, yang masih terengah-engah, matanya terpejam
rapat-rapat. Setelah beberapa saat, dia bergidik, dan ketika membuka matanya,
warnanya sudah kembali cokelat. Kemudian dia mendongak dan melihat aku yang
berdiri di sana. "Dasar peri," katanya sambil tertawa gugup.
"Benar," kataku. Seolah-olah aku sudah pernah melihat peri saja sebelum hari
ini. "Ini juga hari pertamamu?" tanyanya.
Saat aku mengangguk, dia berkata, "Aku Taylor. Shapeshifter, sudah jelas."
"Sophie. Penyihir."
"Keren." Dia berlutut di atas sofa yang ditinggalkan oleh kedua peri tadi,
sambil melipat tangan di punggungnya dan menatapku dengan sepasang mata cokelatnya.
"Jadi, apa yang membuatmu dijebloskan kemari?"
Aku memandang berkeliling. Tak seorang pun yang memperhatikan kami.
Walau begitu, aku menjaga agar suaraku tetap pelan. "Mantra cinta yang kacau
balau." Taylor mengangguk. "Ada beberapa penyihir yang masuk ke sini karena hal-hal
semacam itu." "Kau?" Aku balas tanya.
Dia mendorong rambutnya agar tidak menutupi mata dan berkata, "Mirip dengan
apa yang baru saja kau saksikan. Kehilangan kendali emosi terhadap beberapa
gadis sewaktu latihan marching band, menjadi singa. Tapi itu tidak ada apaapanya dibandingkan dengan kekacauan yang dibuat anak-anak di sini." Dia
mencondongkan tubuhnya ke depan dan suaranya berubah menjadi nyaris berbisik.
"Ada werewolf, Beth. Kudengar dia benar-benar memangsa anak perempuan.
Tetap saja," dia menghela napas, memandang ke belakangku ke arah tangga, "aku
lebih suka mendapatkan seseorang seperti itu sebagai teman sekamar daripada peri
congkak itu." Dia kembali menatapku. "Kau sekamar dengan apa?"
Aku tidak suka caranya mengatakan apa, jadi nada suaraku sedikit tajam ketika
mengucapkan, "Jenna Talbot."
Mata Taylor melebar. "Sobat. Si vampir?" Dia terkekeh."Lupakan. Aku lebih
memilih peri menyebalkan itu daripada dia kapan saja."
"Dia lumayan," kataku secara otomatis.
Taylor mengedikkan bahu dan memungut remote yang tadi dilemparkannya ke
Nausicaa. "Terserah kau saja," gumamnya, sambil menyalakan TV lagi.
Kelihatannya percakapan kami sudah selesai, jadi aku melangkah menuju lantai
dua. Itu Dunia Jaka, jadi aku tidak bisa benar-benar menjelajahinya. Tata
Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
letaknya sama persis dengan lantai dua, tetapi area ruang duduk mereka kelihatan lebih
usang daripada ruang duduk kami. Isi bantal kursinya menyembul dari salah satu
sofa, dan ada meja main kartu yang berdiri miring di sudut. Tidak ada orang di
sana, tapi aku melongok ke salah satu lorongnya. Aku melihat Justin yang sedang
mencoba memasukkan koper besar ke dalam ruangan yang kurasa adalah
kamarnya. Dia berhenti sejenak, dan pundaknya merosot dengan putus asa. Aku
merasa kasihan kepadanya. Melihatnya mencoba mendorong koper yang hampir
setinggi dirinya mengingatkan aku bahwa, walaupun dia werewolf galak, dia
hanyalah anak kecil. Kemudian dia berputar, melihat aku dan, percaya atau tidak,
dia menyeringai. Aku bergegas menuruni tangga dan mendarat di lantai satu. Di bawah sini sepi.
Aku hanya melihat dua orang yang duduk-duduk, termasuk seorang pemuda
jangkung mirip atlet yang memakai denim dan flanel. Aku bertanya-tanya apakah
dia kakaknya seseorang, karena dia kelihatan terlalu tua untuk berada di Hecate,
dan memakai jins sebagai pengganti dril.
Suara langkah kakiku diredam oleh permadani oriental tebal berwarna merah dan
emas yang terpilin saat aku berbelok ke salah satu lorong di seberang serambi
utama. Aku melongok ke dalam ruangan pertama yang kutemukan. Sepertinya dulu itu
ruang makan, atau ruang tamu besar. Tepat di seberang pintu, satu dindingnya
sendiri terdiri dari jendela semua, akhirnya aku bisa melihat halaman dengan
baik. Ruangan ini menghadap ke kolam kecil dengan dermaga dan pondok cantik yang
sudah bobrok. Tetapi, yang benar-benar membuatku terpana adalah semuanya
berwarna hijau. Rumputnya, pepohonannya, lapisan tipis alga di kolam - tempat
ini membuatku benar-benar berharap kami tidak akan main kano atau apa saja...
semuanya berwarna hijau cerah yang membuat-matamu-sakit yang belum pernah
kulihat sebelumnya. Bahkan, awan tebal yang mulai bergulung dengan ancaman
datangnya sore berhujan badai pun tampaknya tercemar oleh warna lemon.
Karpet di ruangan ini juga hijau, dan rasanya lembut, hampir terasa lembek di
bawah kaki, membuatku teringat akan lumut atau jamur. Gambar-gambar menutupi
ketiga dindingnya. Setiap gambar menunjukkan hal yang sama: sekelompok
Prodigium yang berkumpul di teras depan. Aku tidak tahu apakah mereka penyihir
atau shapeshifter, tetapi tidak ada peri. Sebuah plakat emas di dasar setiap
bingkai bertatahkan tahun, dimulai dengan 1903 dan berakhir dengan gambar tahun lalu,
tepat di sebelah kanan pintu.
Hanya ada enam orang dewasa di dalam gambar yang paling tua ini, dan semuanya
tampak benar-benar serius, seakan-akan mereka mungkin menendang anak kucing
untuk bersenang-senang. Prodigium tidak muncul sebelum tahun 1967. Aku ingin
tahu apakah itu tahun pertama Hecate Hall menjadi sekolah. Dan kalau iya,
sebelum itu apa" Tahun lalu, ada sekitar hampir seratus anak, dan semua orang tampak lebih
santai. Aku melihat Jenna di depan, berdiri di sebelah gadis yang lebih jangkung. Mereka
saling berangkulan ke pundak masing-masing, dan aku bertanya-tanya apakah
inilah si Holly yang misterius itu.
Sejujurnya, aku merasa agak cemburu. Aku tidak bisa membayangkan cukup akrab
dengan seseorang sampai bisa merangkulkan lenganku ke mereka saat dipotret. Di
dalam semua gambar sekolahku aku selalu jadi yang berdiri sendirian di belakang
dengan rambut menutupi wajahku.
Apakah itu alasannya mengapa Jenna kelihatannya aneh ketika aku menyebutkan
mantan teman sekamarnya" Apakah mereka sobat kental, dan sekarang aku orang
ketiga yang mencoba untuk merebut tempat Holly" Bagus.
"Sophia?" Dengan terperanjat, aku berputar.
Tiga gadis yang paling cantik yang pernah kulihat sepanjang hidupku sedang
berdiri di belakangku. Lalu aku berkedip. Bukan, tidak semuanya cantik jelita. Hanya yang di tengah saja. Dia berambut
cokelat kemerahan yang jatuh menjadi ikal-ikal lembut yang melambung-lambung
hampir mencapai pinggangnya. Bahkan, ia mungkin tidak perlu memakai diffuser
pada pengering rambutnya. Aku berani bertaruh dia terbangun dengan rambut yang
kelihatan mirip iklan Pantene sementara burung-burung kecil terbang
berputarputar di atas kepalanya dan rakun membawakan sarapan atau apalah
untuknya. Mau tak mau aku juga melihat dia tidak berbintik-bintik, yang sudah cukup untuk
membuatku langsung membencinya.
Gadis yang di sebelah kanannya pirang, dan walaupun tampangnya memancarkan
ciri khas gadis California - rambut lurus bagaikan lidi, kulit kecokelatan, mata
biru tua - letak matanya agak terlalu berdekatan, dan saat tersenyum kepadaku, kulihat
rahang atasnya terlalu maju.
Melengkapi trio tersebut adalah gadis Amerika-Afrika yang lebih pendek dariku.
Dia lebih cantik daripada si pirang, tetapi tidak secantik si dewi berambut
merah yang di tengah. Walau begitu, melihat yang paling tidak cantik di antara mereka
bertiga pun, rasanya otakku menginginkan mereka jadi cantik. Mataku ingin
melewati ketidaksempurnaan mereka.
Mantra glamour. Itulah satu-satunya penjelasan, tetapi aku belum pernah
mendengar ada penyihir yang menggunakannya. Itu sihir serius.
Aku pastilah memandang mereka seolah-olah aku menderita cacat mental atau
entah apa, karena yang pirang meringis dan berkata, "Sophia Mercer, kan?"
Saat itulah baru kusadari bahwa mulutku sedang terbuka secara harfiah. Aku
cepatcepat menutupnya, mengakibatkan suara berdetak yang terdengar benar-benar
nyaring di ruangan hening ini.
"Ya, aku Sophie."
"Bagus!" kata gadis yang pendek. "Kami mencari-cari kau dari tadi. Aku Anna
Gilroy. Ini Chaston Burnett" - dia mengisyaratkan ke arah si pirang. "Dan ini
Elodie Parris." "Oh," kataku sambil tersenyum kepada si rambut merah. "Cantik sekali. Seperti
'Melody' tanpa 'M'."
Dia menyeringai. "Tidak, seperti Elodie."
"Yang ramah, dong," kata Anna dengan tegas sebelum kembali menatapku.
"Chaston, Elodie, dan aku semacam panitia penyambutan untuk penyihir baru.
Jadi... selamat datang!"
Dia mengulurkan tangannya, dan sejenak aku bertanya-tanya apakah seharusnya
aku menciumnya, sebelum tersadar dan menjabatnya.
"Kalian bertiga penyihir?"
"Itulah yang baru saja kami katakan," bentak Elodie, yang membuatnya dipelototi
lagi oleh Anna. "Maaf," kataku. "Hanya saja aku belum pernah bertemu dengan penyihir lain
sebelumnya." "Benarkah?" tanya Chaston. "Seperti, belum pernah bertemu dengan penyihir
hitam lain sebelumnya?"
"Maaf?" "Penyihir hitam," ulang Elodie, membuat Nausicaa punya saingan berat dalam
pertandingan Suara Paling Judes Sedunia.
"Aku... eh...aku tak tahu kalau ada jenis-jenis penyihir."
Sekarang mereka bertiga memandangku, seakan-akan aku baru saja bicara dalam
bahasa asing. "Ya, tapi penyihir hitam?" tanya Anna, sambil mengeluarkan selembar kertas dari
blazernya. Itu semacam daftar, dan dia memindainya dengan saksama. "Mari kita
lihat, Lassiter, Mendelson... ini, Mercer, Sophia. Penyihir hitam. Itu kau."
Dia menyodorkan daftar itu kepadaku, yang berjudul "Murid Baru". Ada sekitar
tiga puluh nama, semuanya dengan pengelompokkan di dalam tanda kurung.
"Shapeshifter", "Peri", dan "Penyihir Putih". Namaku satu-satunya yang
bertuliskan "Penyihir Hitam".
"Hitam dan Putih" Apakah kita seperti daging ayam?"
Elodie membeliakkan mata kepadaku.
"Kau benar-benar tidak tahu?" tanya Anna dengan lembut.
"Benar-benar tidak tahu," kataku dengan enteng, tetapi di dalam hati aku agak
jengkel. Maksudku, yang benar saja, apa gunanya punya ibu yang seharusnya
semacam pakar penyihir kalau dia tidak tahu hal-hal yang benar-benar penting"
Aku mengerti itu bukan sepenuhnya kesalahan Mom, dan bahwa informasi tentang
dunia sihir modern itu sangat rahasia karena mereka begitu ketakutan kalau
ketahuan... tapi, sialan, ini benar-benar memalukan.
"Penyihir putih - " Anna mulai, tetapi Elodie memotongnya.
"Penyihir putih melakukan mantra remeh. Mantra cinta, meramal nasib, mantra
pencari jejak, dan... entahlah, membuat kelinci dan anak kucing serta pelangi
muncul dari udara kosong atau semacam itulah," katanya, sambil melambaikan
tangannya dengan sikap menghina.
"Oh," kataku, sambil terkenang akan Felicia dan Kevin. "Ya. Mantra remeh."
"Penyihir hitam melakukan hal-hal yang lebih besar," Chaston menambahkan.
"Dan kekuatan kita jauh lebih besar. Kita bisa membuat mantra pelindung, dan
kalau kita benar-benar bagus, mengendalikan cuaca. Kita juga ahli nekromansi
kalau - " "Stop!" aku mengacungkan tangan. "Nekromansi" Seperti, kekuatan terhadap yang
sudah mati?" Ketiga gadis itu mengangguk dengan penuh semangat, seolah-olah aku baru saja
mengusulkan pergi ke mall dan bukannya membangkitkan zombi.
"Ih!" seruku tanpa pikir panjang.
Salah. Secara bergiliran, senyuman mereka lenyap, dan hawa dingin menghinggapi
ruangan itu. "Ih?" Elodie menyeringai. "Astaga, berapa sih umurmu" Kekuatan terhadap alam
gaib itu kekuatan yang paling diinginkan, dan kau merasa jijik oleh itu"
Sumpah," katanya, sambil menoleh kepada kedua kawannya, "apakah kalian serius
menginginkan dia untuk kelompok kita?"
Aku pernah mendengar tentang kelompok-kelompok, tetapi Mom selalu
mengatakan pengelompokkan itu sudah tidak diminati lagi sekitar lima puluh tahun
belakangan ini. Belakangan ini, lebih berupa setiap penyihir bertindak untuk
dirinya sendiri. "Sebentar," aku mulai angkat suara, tetapi Anna memotong seakan-akan aku tidak
pernah bicara sama sekali.
"Dia satu-satunya penyihir hitam di sini, dan kau tahu kita butuh empat."
"Dan kelihatannya aku punya kemampuan tak kasat mata," gerutuku, tapi mereka
semua tak menggubrisku. "Dia lebih buruk daripada Holly," kata Elodie. "Dan Holly adalah alasan terburuk
yang pernah ada untuk seorang penyihir hitam."
"Elodie!" Chaston mendesis.
"Holly?" tanyaku. "Seperti, Holly yang dulunya teman sekamar Jenna Talbot?"
Anna, Chaston, dan Elodie berhasil melakukan pandangan dari tiga sisi, yang
sulit untuk digambarkan. "Ya," kata Anna dengan waspada. "Bagaimana kau tahu tentang Holly?"
"Aku sekamar dengan Jenna, dan dia menyebutkan nama Holly. Jadi, dia juga
penyihir hitam, ya" Apakah dia sudah lulus atau bagaimana, atau pindah dengan
begitu saja?" Sekarang mereka bertiga tampak benar-benar ketakutan. Bahkan, seringaian
permanen Elodie pun digantikan oleh tampang terpukul.
"Kau sekamar dengan Jenna Talbot?" tanyanya.
"Itulah yang kukatakan," tukasku, tetapi Elodie kelihatannya sama sekali tidak
terpengaruh oleh upayaku menjadi orang menyebalkan.
"Dengar," katanya, sambil meraih tanganku. "Holly bukan lulus atau pindah. Dia
meninggal." Anna pindah ke sisi tubuhku yang satunya, matanya terbelalak dan ketakutan.
"Dan Jenna Talbot-lah yang membunuhnya."
Bab 5 KETIKA SESEORANG MEMBERITAHUKAN kepadamu bahwa seseorang
terbunuh, tawa mungkin bukanlah reaksi yang terbaik. Kau tahu, ingat-ingat itu
sebagai acuan untuk masa yang akan datang.
Tapi, tertawalah yang kulakukan.
"Jenna" Jenna Talbot yang membunuhnya" Apa yang dia lakukan, membekapnya
dengan pemulas wajah pink atau sesuatu?"
"Menurutmu ini lucu, ya?" tanya Anna dengan sedikit mencibir.
Chaston dan Elodie memelototi aku, dan kurasa keanggotaan sementaraku di
dalam kelompok mereka sedang dibatalkan.
"Nah, ya, semacam itulah. Maksudku," aku memperbaikinya dengan cepat,
khawatir asap akan benar-benar mulai mengepul dari telinga Elodie. "Bukan
terhadap seseorang yang meninggal. Itu patut disesalkan, karena... kalian tahu,
kan, kematian - " "Ya, kami tahu. 'Ih'," kata Elodie, sambil memutarkan matanya.
"Tapi, gagasan Jenna bisa membunuh seseorang... lucu saja," aku menyelesaikan
kalimatku dengan payah. Lagi-lagi tatapan dari tiga arah. Serius, apakah mereka berlatih di depan
cermin" "Dia vampir," Chaston bersikeras. "Bisakah kau memikirkan alasan lain
bagaimana Holly bisa berakhir dengan dua lubang di lehernya?"
Mereka bertiga mengepungku sekarang, seakan-akan kami sedang berkerumun. Di
luar, matahari senja akhirnya menghilang di balik awan tebal, membuat ruangan
itu terasa semakin suram. Petir mulai bergemuruh, dan aku pun bisa mencium bau
logam samar yang selalu datang sebelum badai.
"Ketika Holly masuk dua tahun yang lalu, kami membentuk kelompok," Anna
mulai bercerita. "Hanya kami berempatlah penyihir hitam di sini, dan kau perlu
empat orang untuk sebuah kelompok yang benar-benar kuat, jadi wajar saja kalau
kami menjadi berteman. Tetapi Jenna Talbot muncul pada awal tahun lalu, dan dia
serta Holly menjadi teman sekamar."
"Tahu-tahu," Chaston menyela, "Holly tidak mau bergabung dengan kami lagi. Dia
mulai menghabiskan seluruh waktunya dengan Jenna, benar-benar menyingkirkan
kami. Ketika kami bertanya alasannya, yang dia katakan hanyalah Jenna
menyenangkan. Seolah-olah, lebih menyenangkan daripada kami."
Dia menatapku yang jelas-jelas mengatakan bahwa tidak mungkin ada orang yang
lebih menyenangkan daripada mereka bertiga.
"Wow," kataku dengan lemah.
"Lalu pada suatu hari di bulan Maret, aku menemukan Holly menangis di
perpustakaan," kata Elodie. "Dia hanya mengatakan bahwa itu tentang Jenna,
tetapi dia tidak mau mengatakan apa."
"Dua hari kemudian, Holly meninggal," kata Chaston, suaranya pekat dan muram.
Aku menantikan sambaran petir lagi, sambil berpendapat bahwa seharusnya ada
petir yang mengikuti kalimat semacam itu. Tetapi, satu-satunya suara yang
terdengar hanyalah suara air hujan deras.
"Mereka menemukannya di kamar mandi atas." Suara Elodie nyaris berupa
bisikan. "Dia berada di bak mandi, dengan dua lubang di lehernya, dan hampir
tidak ada darah yang tersisa di tubuhnya."
Sampai di sini perutku berada di suatu tempat di sebelah selatan dengkulku, dan
aku bisa benar-benar merasakan jantungku yang berdegup bertalu-talu di
telingaku. Pantas saja Jenna gelisah ketika aku menyebutkan teman sekamarnya. "Itu
sungguh mengerikan."
"Ya. Benar." Chaston mengangguk.
"Tapi - " "Tapi apa?" Mata Elodie menyipit.
"Kalau semua orang begitu yakin bahwa itu perbuatan Jenna, mengapa dia masih
ada di sini" Tidakkah Dewan menancapkan pasak padanya atau berbuat sesuatu?"
"Mereka memang mengirimkan seseorang," kata Chaston, sambil menyelipkan
rambut di belakang telinganya. "Tapi, kata lelaki itu luka Holly tidak mungkin
disebabkan oleh taring. Lubang itu terlalu... rapi."
Aku menelan ludah. "Rapi?"
"Vampir itu kalau makan berantakan," kata Anna.
Aku berusaha keras untuk menjaga agar wajahku tetap hampa saat berkata, "Yah,
kalau kata Dewan itu bukan Jenna, maka itu bukan dia. Pasti orang-orang itu
tidak akan membiarkan vampir liar bersekolah dengan anak-anak Prodigium."
Elodie satu-satunya dari mereka bertiga yang mau bertatap mata denganku.
"Dewan salah," katanya dengan datar. "Holly tinggal bersama vampir dan dia
terbunuh oleh seseorang yang mengeringkan darahnya lewat lehernya. Apa lagi
yang bisa terjadi?"
Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Chaston dan Anna masih tidak menatapku. Ada sesuatu yang benar-benar tidak
beres di sini. Aku tidak yakin mengapa gadis-gadis ini begitu bertekad untuk
membuatku percaya bahwa Jenna itu pembunuh, tetapi aku tidak mau terima. Lagi
pula, hal terakhir yang ingin kulakukan pada hari pertamaku yaitu terlibat di
dalam semacam perang antar geng penyihir atau vampir.
"Begini, aku masih harus membongkar bawaanku..." Aku mulai berkata, tetapi
Anna memutuskan untuk mengubah taktiknya.
"Lupakan saja tentang vampir itu sebentar, Sophie. Dengarkan kami." Suaranya
berubah menjadi rengekan. "Kami betul-betul memerlukan anggota keempat untuk
kelompok kami." "Ya," tambah Chaston. "Dan kami bisa mengajarkan kepadamu banyak hal tentang
bagaimana menjadi penyihir hitam. Jangan tersinggung, tapi tampaknya kau butuh
bantuan itu." "Aku akan, eh, mempertimbangkannya, setuju?"
Aku berputar untuk pergi, tetapi pintunya terbanting tertutup beberapa senti
dari wajahku. Tiba-tiba angin rasanya bertiup ke dalam ruangan dan gambar-gambar di
dinding pun bergetar. Ketika aku kembali berputar menghadap gadis-gadis itu,
ketiganya sedang tersenyum sambil menatapku, rambut mereka melayang-layang
di wajah seakan-akan sedang berada di bawah permukaan air.
Satu-satunya lampu di dalam ruangan berkelip-kelip lalu padam. Aku hanya bisa
melihat riak-riak cahaya keperakan yang lewat di bawah kulit gadis-gadis itu,
seperti merkuri. Bahkan mata mereka pun berpendar. Mereka mulai terangkat,
ujung sepatu seragam Hecate mereka nyaris tak menyentuh karpet yang mirip
lumut itu. Sekarang mereka sudah bukan ratu supermodel penyambutan lagi mereka penyihir, dan penyihir yang sangat berbahaya pula.
Bahkan sementara aku melawan desakan untuk jatuh berlutut dan melindungi
kepala dengan kedua tanganku, aku bertanya-tanya, beginikah yang bisa
kulakukan" Kalau aku tidak sibuk membuat "mantra remeh" seperti yang
kulakukan untuk Felicia, apakah aku akan kelihatan seperti ini" Kulitku
berpendar dengan cahaya keperakan dan mataku menyala-nyala" Kekuatan yang kurasakan
mengalir lewat mereka membuatku merasa bagaikan berada di dalam ruangan
dengan sebuah tornado, seakan-akan aku akan diledakkan keluar dari dinding
jendela dan terjun ke dalam kolam menjijikkan itu. Begitu saja energinya cukup
untuk membuat tiga kaca dari foto-foto berbingkai pecah. Seserpih kaca tipis
menoreh lengan depanku, tetapi aku nyaris tidak merasakannya.
Kemudian, secepat dimulai, angin mereda dan gambar-gambar pun diam. Ketiga
gadis di depanku tidak lagi kelihatan seperti dewi-dewi zaman purba. Mereka
kembali menjadi remaja normal, walaupun masih tetap memukau.
"Kau lihat?" kata Anna dengan penuh semangat. "Itulah yang bisa kami lakukan
hanya dengan tiga orang. Bayangkan apa yang bisa kita capai dengan empat
orang." Aku menatap mereka. Apakah itu merupakan nilai jual mereka" Lihatlah! Kami
benar-benar menakutkan! Ayo ikut kami jadi menakutkan juga!
Akhirnya aku bisa mengatakan, "Wow. Itu... ya. Benar-benar menakjubkan."
"Jadi, apakah kau mau ikut?" tanya Chaston.
Dia dan Anna masih tersenyum kepadaku, tetapi Elodie melengos ke samping,
bosan. "Bisakah aku menjawabnya nanti saja?" tanyaku.
Senyuman Chaston dan Anna lenyap.
"Sudah kubilang," kata Elodie.
Setelah itu, seolah-olah aku tak lagi ada, mereka berjalan keluar.
Aku terhempas ke atas salah satu kursi bersayap, lututku ditarik ke bawah
daguku, sambil memandang hujan yang mereda.
Begitulah aku saat Jenna menemukanku hampir satu jam kemudian, tepat sebelum
lonceng makan malam berbunyi.
"Sophie?" tanyanya, sambil melongokkan kepalanya ke dalam.
"Hei." Aku berusaha tersenyum, yang mestinya kelihatan menyedihkan karena
Jenna langsung mengerutkan alisnya.
"Ada apa?" Tetapi, sebelum aku bisa menjelaskan tentang Klinik Penyihir, Jenna bergegas
menghampiri, kata-katanya keluar dengan begitu cepat sehingga aku bisa
benarbenar melihatnya berhamburan dari mulutnya. "Begini, aku minta maaf tentang
yang tadi. Itu benar-benar bukan urusanku."
"Tidak, tidak," kataku, sambil bangkit berdiri. "Jenna, bukan karena kau.
Sungguh. Kita baik-baik saja."
Perasaan lega membanjiri wajahnya. Lalu dia memandang ke bawah. Terjadinya
begitu cepat sampai-sampai aku tidak yakin, tetapi kurasa aku melihat matanya
berubah menjadi gelap selama sedetik. Aku melihat ke lenganku dan tampaklah
torehan tempat serpihan kaca mengenai aku.
Begitu rupanya. Aku sudah melupakannya. Ternyata lukanya lebih dalam daripada
sangkaanku. Sekarang, setelah menunduk, aku bisa melihat tetesan darahku yang
menodai karpet. Aku mengangkat kepalaku untuk memandang Jenna, yang jelas-jelas kelihatan
berusaha untuk tidak memandang lenganku.
Sensasi geli yang tidak nyaman merayapi tengkukku.
"Oh, itu," kataku, sambil menutupi lukaku. "Yah, aku sedang melihat gambargambar
itu dan dua di antaranya terjatuh. Kacanya pecah dan aku terluka. Aku
benar-benar ceroboh."
Tapi Jenna sudah pergi ke dinding dan melihat tak satu pun dari gambar-gambar
itu yang jatuh; hanya tiga di antaranya yang pecah. "Coba kutebak," katanya
dengan pelan. "Kau berpapasan dengan Trinity."
"Siapa?" kataku, dengan payahnya memaksakan diri untuk tertawa. "Bahkan aku
tidak tahu - " "Elodie, Anna, dan Chaston. Dan karena kau tidak mau mengatakan tentang hal itu
artinya pasti mereka mengatakan kepadamu tentang Holly."
Bagus. Apakah satu-satunya peluang mendapatkan teman di sini ditakdirkan untuk
hancur berantakan di setiap persimpangan jalan"
"Jenna," aku mulai bicara, tetapi gilirannya yang memotong.
"Apakah mereka mengatakan kepadamu bahwa aku membunuh Holly?"
Ketika aku tidak menjawab, dia mengeluarkan suara yang kurasa seharusnya
adalah tertawa sinis, tetapi dia jelas-jelas sedang menahan diri agar tidak
menangis. "Begitu, karena aku monster yang tidak bisa mengendalikan dirinya dan
memakan...sahabatnya." Kedua sudut mulutnya mulai sedikit bergetar.
"Merekalah yang melakukan hal-hal hitam, tapi akulah yang jadi monsternya," dia
melanjutkan. "Apa maksudmu?"
Dia balas menatapku selama sedetik sebelum memalingkan wajahnya lagi.
"Entahlah," gumamnya. "Hanya dari cerita-cerita Holly saja. Semacam mantra
yang sedang mereka coba lakukan untuk mendapatkan lebih banyak lagi kekuatan
atau sesuatu." Aku membayangkan mereka melayang di atas karpet, kulitnya menyala-nyala. Apa
pun "sesuatu" yang mereka coba, sudah jelas berhasil.
Jenna mulai terisak-isak. Aku merasa iba kepadanya, tapi aku tidak bisa berhenti
memikirkan tatapan yang kulihat di wajahnya sebelumnya.
Itu tatapan lapar. Aku menepis bayangan itu dan menghampirinya. "Masa bodoh dengan mereka."
Tentu saja aku tidak mengatakan, "Masa bodoh". Ada saat-saat tertentu ketika
hanya kata-kata yang benar-benar kasarlah yang pantas diucapkan, dan ini salah
satu di antaranya. Mata Jenna membesar, dan rasa lega kentara sekali
mengalirinya. "Benar sekali." Dia menyetujui dengan anggukan yang begitu
kuatnya sehingga kami berdua cekikikan.
Saat kami berjalan ke ruang makan, aku memandang Jenna, yang sedang
mengocehkan betapa lezatnya pai pecan di sini. Aku memikirkan ketiga gadis itu,
betapa kelirunya mereka, tidak mungkin Jenna bisa menyakiti siapa saja.
Tapi bahkan saat aku tertawa mendengar penjelasannya yang berbunga-bunga
tentang pai tersebut, aku merasakan ada hawa dingin di dasar tulang punggungku,
saat memikirkan kedua matanya ketika dia menatap darahku yang menetes-netes
ke atas karpet. Bab 6 AULA TEMPAT RUANG makan benar-benar aneh bin ajaib. Setelah mendengar
bahwa tempat itu dulunya ruang pesta, aku berharap melihat sesuatu yang mewah:
kandil kristal, lantai kayu gelap yang mengilap, dinding yang ditutupi cermin...
ruang pesta bak di negeri dongeng.
Ternyata, aula itu memiliki kesan terbengkalai yang sama dengan ruangan lain di
rumah tersebut. Oh, tentu saja ada kandilnya di sana, tapi ditutupi oleh sesuatu
yang kelihatannya seperti kantong plastik tempat sampah besar. Dan ada dinding
yang seluruhnya cermin, tetapi dari lantai hingga langit-langit ditutupi oleh
lembaran-lembaran kanvas.
Ruang makannya terdiri dari meja-meja berbagai ukuran dan bentuk yang
dijejalkan ke dalam ruangan luas itu. Ada meja kayu jati besar berbentuk oval
tepat di sebelah meja formika dan baja yang seolah-olah dicuri dari sebuah rumah
makan. Aku menduga melihat bangku piknik. Bukankah sekolah ini dijalankan
oleh para penyihir" Tidakkah mereka punya, misalnya, mantra pembuat perabot
atau semacamnya" Tapi kemudian, aku melihat meja panjang rendah yang berisi semua makanan:
tumpukan besar mangkuk perak berisi udang, wajan-wajan berasap yang penuh
dengan ayam panggang, panci-panci makanan dan keju kental.
Aku melongo melihat menara kue cokelat, tingginya hampir satu meter,
berlumuran lapisan krim yang gelap dan dihiasi stroberi merah besar-besar di
sanasini. "Ini hanya sajian malam pertama saja," Jenna memperingatkan.
Begitu tumpukan di piringku sudah tinggi, Jenna dan aku memandang berkeliling
untuk mencari tempat duduk. Aku melihat Elodie, Chaston, dan Anna duduk di
meja dengan permukaan kaca di dekat ujung ruangan, jadi aku langsung mulai
mencari meja yang jauh dari mereka. Ada dua tempat kosong yang tersedia hampir
di setiap meja, dan aku bisa mendengar ibuku berkata, "Nah, Sophie, usahakan
untuk bertemu dengan orang-orang baru, ya."
Tapi Mom kan tidak ada di sini, dan aku bisa melihat Jenna juga tidak terlalu
ingin bersosialisasi. Kemudian aku melihat meja putih kecil di dekat pintu, dan aku
menunjukkannya kepada Jenna.
Sepertinya meja itu pernah dipakai untuk pesta minum teh anak-anak perempuan,
tetapi hanya itulah satu-satunya meja untuk dua orang. Jadi, kau tahu kan,
pepatah tentang pengemis, pilih-pilih, dan semacamnya.
Aku duduk di salah satu kursi putih kecilnya. Lututku menyundul tepi meja,
mengakibatkan Jenna mendengus terbahak-bahak.
Sementara aku melahap makanan lezat di piringku, aku bertanya kepada Jenna
tentang orang-orang yang ada di ruang makan. Aku mulai dari meja eboni yang
bertengger di atas panggung di satu sisi ruangan. Sudah jelas itu meja guru,
karena selain paling bagus, mejanya juga paling besar. Selain Mrs. Casnoff yang sedang
menyantap saladnya di kepala meja, ada lima orang dewasa lain - dua pria dan tiga
wanita. Guru perinya mudah dikenali, karena sayapnya, dan kata Jenna pria
bertubuh besar yang duduk di samping peri itu adalah Mr. Ferguson, shapeshifter.
Di sebelah kanan pria itu ada wanita muda berambut ungu cerah dan kacamata
berbingkai tebal seperti kacamata Jenna. Dia juga berkulit pucat, jadi aku
mengira dia vampir yang diceritakan oleh Mrs. Casnoff tadi, tetapi kata Jenna wanita itu
adalah Mrs. Ease, penyihir putih.
"Laki-laki yang di sampingnya itu, dialah vampirnya," kata Jenna sambil
mengunyah pai semulut penuh. Dia menunjuk ke arah laki-laki tampan yang
berusia sekitar tiga puluhan dan berambut hitam keriting. "Lord Byron."
Aku mendengus. "Oh, ya Tuhan, betapa rendah dirinya dia, menamakan diri
dengan nama almarhum si pujangga?"
Tapi, Jenna hanya melongo memandangku. "Tidak, dialah Lord Byron yang
sesungguhnya." Sekarang giliranku yang melongo. "Tidak mungkin! Maksudmu, 'Dia Berjalan di
dalam Keindahan' dan semua itu" Dia vampir?"
"Yup," Jenna mengiyakan. "Salah satu dari mereka mengubahnya saat dia sedang
meregang nyawa di Yunani. Dewan memenjarakannya untuk waktu yang lama
sekali karena dia mudah menarik perhatian. Selalu ingin kembali ke Inggris dan
mengubah semua orang menjadi vampir. Ketika mereka membuka tempat ini,
mereka menghukumnya menjadi guru di sini."
"Wow," aku mendesah pelan, sambil memperhatikan orang yang menjadi topik
dari karya tulisanku tahun lalu itu merengut dengan tanpa tedeng aling-aling
kepada kami. "Menurutmu seberapa menyebalkannya, hidup selamanya dan harus
menghabiskan keabadian di sini?"
Kemudian aku ingat dengan siapa aku bicara.
"Maaf," kataku, sambil menatap makananku.
"Tidak perlu," kata Jenna, sambil menyuapkan segarpu penuh pai ke dalam
mulutnya. "Aku tidak berencana untuk menghabiskan sisa hidupku yang panjang
ini di Hecate, percayalah."
Aku ingin bertanya kepada Jenna lebih banyak lagi tentang bagaimana rasanya
mengetahui bahwa kau akan hidup selamanya. Maksudku, vampir adalah satusatunya
Prodigium yang bisa melakukan itu. Bahkan peri sekali pun meredup pada
akhirnya, dan penyihir serta shapeshifter tidak hidup lebih panjang daripada
manusia pada umumnya. Tapi, aku membuat isyarat ke arah wanita jangkung berambut cokelat keriting
yang duduk di seberang tempat duduk Mrs. Casnoff.
"Siapa itu?" Jenna memutarkan matanya dan mengerang. "Uh, Ms. Vanderlyden. Atau kami
menjulukinya si Vandy. Tidak di depannya," dengan cepat dia menambahkan.
"Kalau kau melakukannya maka kau tidak akan pernah keluar dari hukuman. Dia
penyihir hitam, atau setidaknya tadinya begitu. Dewan melucuti kekuatannya
beberapa tahun yang lalu. Sekarang dia semacam ibu asrama atau entah apa kita
dan, dia mengajar olahraga atau yang mirip itu di Hex. Dia bertanggung jawab
untuk memastikan kami mengikuti peraturan dan sebangsanya. Dia juga benarbenar
jahat." "Dia memakai karet rambut," kataku. Aku gemar memakai karet rambut juga,
tetapi itu ketika aku masih, kira-kira, tujuh tahun. Membayangkan memakainya
sebagai wanita dewasa benar-benar tragis.
"Aku tahu." Jenna menggelengkan kepalanya. "Kami punya teori bahwa itu adalah
Portal Menuju Neraka Portabel miliknya. Kau tahu kan, dia tinggal
merentangkannya dan melangkah masuk kapan saja dia perlu mengisi ulang
kekejamannya." Aku tergelak, bahkan sambil bertanya-tanya apakah Jenna benar-benar serius.
"Ada juga pengurus kebun," tambah Jenna. "Callahan, tapi kami memanggilnya
Cal. Aku tidak melihatnya malam ini."
Kami berpindah membicarakan murid-murid. Kulihat Archer duduk di meja
bersama anak-anak lelaki lainnya. Mereka sedang menertawakan sesuatu yang
dikatakan Archer. Aku benar-benar berharap itu bukan kisah 'Anjing Nakal'.
"Bagaimana dengan cowok itu?" tanyaku dengan sikap biasa saja yang dipaksakan.
"Archer Cross, anak badung dan benar-benar pencuri hari. Warlock. Setiap gadis
di sini, setidaknya, separuh jatuh hati kepadanya. Naksir Archer Cross mungkin
setara dengan satu pelajaran."
"Bagaimana denganmu?" tanyaku. "Apakah kau naksir dia?"
Jenna mengamatiku sesaat sebelum berkata, "Dia benar-benar bukan tipeku."
"Apa, kau tidak suka jangkung, berkulit gelap, dan tampan?"
"Tidak," katanya dengan enteng. "Aku tidak suka cowok."
Hanya, "Oh," yang bisa kuucapkan mendengar itu. Aku belum pernah punya
teman penyuka sesama jenis. Kalau dipikir-pikir, aku tidak pernah benar-benar
punya teman banyak. Sambil masih memandang Archer, aku mengatakan, "Yah, nah, aku berusaha
membunuhnya tadi." Setelah Jenna pulih dari teh manis yang nyaris menyembur dari lubang hidungnya,
aku menceritakan kisah yang sebenarnya.
"Mrs. Casnoff kelihatannya tidak terlalu terkesan padanya," kataku.
"Memang tidak. Archer selalu bermasalah tahun lalu. Kemudian dia pergi pada
pertengahan tahun selama hampir sebulan, dan ada desas-desus tentang dia. Orang
mengira dia pergi ke London."
"Kenapa" Agar dia bisa naik bus tingkat?"
Jenna memberikan tatapan ganjil kepadaku. "Bukan, London adalah tempat markas
Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
besar Dewan. Semua orang menyangka dia melakukan Pemunahan."
Aku pernah membaca sesuatu tentang hal itu di salah satu buku Mom. Pemunahan
merupakan ritual besar yang melenyapkan kekuatan sihir. Tetapi, hanya sekitar
satu banding seratus Prodigium yang selamat dari ritual tersebut. Aku belum
pernah mendengar ada orang yang melakukannya secara sukarela.
"Mengapa dia mau melakukan itu?" tanyaku.
Jenna memutar-mutarkan makanan di piringnya. "Dia dan Holly adalah... benarbenar
dekat, dan dia benar-benar patah hati ketika Holly meninggal. Beberapa
orang mengaku mendengar Archer mengatakan kepada Casnoff bahwa dia
membenci apa dirinya, ingin jadi normal, hal-hal seperti itulah."
"Hah," kataku. "Jadi, dia dan Holly pacaran?"
"Bisa dibilang begitu."
Sudah jelas aku tidak akan mendapatkan apa-apa lagi dari Jenna tentang hal itu,
jadi aku berkata, "Yah, sepertinya dia tidak menjalani Pemunahan. Dia masih
punya kekuatan." "Yah, kekuatan atas celana dalammu," kata Jenna sambil cekikikan.
Aku melemparkan roti kepadanya, tetapi sebelum dia bisa membalas, Mrs. Casnoff
bangkit dari tempat duduknya. Dia mengangkat kedua tangan ke atas kepalanya
dan ruangan pun sunyi senyap secara sedemikian mendadaknya, sampai-sampai
kau pasti menyangka dia baru saja merapal mantra hening.
"Anak-anak," katanya dengan logatnya yang lambat. "Makan malam sudah selesai.
Kalau ini bukan malam pertama kalian di Hecate, silakan keluar dari ruang makan.
Sisanya tetap duduk di tempat masing-masing."
Jenna melemparkan pandangan bersimpati kepadaku dan membereskan piringpiring
kosong kami. "Sebelumnya aku turut menyesal atas apa yang akan kau
lihat." "Apa?" tanyaku saat ruang makan mulai kosong. "Memangnya apa yang akan
terjadi?" Jenna menggelengkan kepalanya. "Begini saja, kau mungkin menyesali potongan
kedua kue itu." Oh, ya Tuhan. Menyesali kue" Apa pun yang akan terjadi pastilah benar-benar
kejam. Semua orang sedang keluar ketika suara Mrs. Casnoff membahana. "Mr. Cross"
Kau mau ke mana?" Archer hanya beberapa meter saja jauhnya dariku dan hendak keluar melewati
pintu. Aku juga melihat dia bergandengan tangan dengan Elodie. Menarik. Tentu
saja masuk akal kalau dua orang yang belum apa-apa tampaknya sudah tidak
menyukai aku ternyata berkencan.
Archer memandang ke seberang ruang makan ke arah Mrs. Casnoff. "Ini bukan
tahun pertamaku," katanya.
Antrean yang mengalir keluar dari pintu mendadak berhenti, wajah penasaran
semua orang menoleh ke Archer. Elodie meletakkan tangan satunya - tangan yang
tidak mencengkeram tangan Archer seolah-olah lelaki itu adalah piala yang
dimenangkannya di karnaval - di bahu Archer.
"Aku sudah pernah melihat omong kosong ini sebelumnya." Dia bersikeras.
Si guru shapeshifter, Mr. Ferguson, bangkit berdiri. "Bahasa!" dia membentak.
Tetapi mata Archer tertuju pada Mrs. Casnoff, yang tampak kalem dan tenang.
"Tapi aku tidak yakin bahwa itu sudah meresap," katanya kepada Archer. Wanita
itu memberikan isyarat ke arah kursi Jenna yang sekarang kosong. "Silakan
duduk!" Aku sangat yakin Archer menggerutukan serentetan kata-kata yang lebih buruk
lagi sembari menyambar kursi di seberangku. "Hei, Sophie."
Aku menggertakkan gerahamku. "Hai. Jadi, apa sih ini?"
Archer duduk di kursinya, air muka masam terpampang di wajahnya. "Oh, lihat
saja sendiri." Dan, semuanya jadi hitam.
Bab 7 BEGITU LAMPU PADAM, aku mengira akan ada hal-hal yang biasa terjadi saat
guru memadamkan lampu: tertawa, suara oooooh, dan gemerisik pakaian serta
kursi berderit yang mengisyaratkan bahwa orang-orang saling mendekat, mungkin
untuk bermesraan. Sebaliknya, ruangan ini sunyi senyap. Tentu saja, hanya ada
sekitar dua puluh orang di dalamnya.
Di sampingku, aku mendengar Archer mendesah. Rasanya selalu aneh duduk di
dekat laki-laki di kegelapan, bahkan kalau itu lelaki yang tidak aku sukai.
Karena aku tidak bisa melihatnya, aku sangat menyadari dia bernapas, bergerak-gerak di
kursinya, bahkan bau tubuhnya (yang, harus kuakui, bersih dan harum sabun).
Aku sudah hendak bertanya lagi kepadanya sebenarnya aku ini sedang apa ketika
ada seberkas persegi cahaya kecil muncul di depan ruangan di sebelah Mrs.
Casnoff. Cahaya persegi itu jadi semakin besar dan membesar sampai kira-kira
seukuran layar bioskop. Layar itu melayang di sana, kosong dan berpendar,
sampai, dengan sangat perlahan, sebuah gambar mulai muncul, seperti foto yang
sedang dicuci. Gambar itu menampakkan lukisan hitam-putih sekelompok pria
berwajah angker yang memakai jas hitam dan topi puritan besar.
"Pada tahun 1692, dua penyihir di Salem, Massachusetts, mendapatkan kekuatan
mereka dan menimbulkan kepanikan yang mengakibatkan delapan belas manusia
tak berdosa meninggal," Mrs. Casnoff memulai. "Sekelompok warlock dari Boston
yang tak jauh dari situ menulis surat kepada para warlock dan penyihir di London
dan membentuk Dewan. Diharapkan dengan struktur dan sumber daya, Dewan bisa
dengan lebih baik dalam mengendalikan kegiatan sihir dan mencegah tragedi lain
seperti ini terulang kembali."
Gambarnya memudar dan berubah menjadi potret seorang perempuan berambut
merah yang memakai gaun satin dengan rok menggembung besar.
"Ini adalah Jessica Prentiss," Mrs. Casnoff melanjutkan, suaranya mengisi
ruangan besar itu. "Dia penyihir putih yang luar biasa saktinya dari New Orleans. Pada
tahun 1876, setelah adik perempuannya, Margaret, meninggal pada saat
kekuatannya dilucuti oleh Dewan, Miss Prentiss mengajukan gagasan semacam
rumah aman, sebuah tempat di mana para penyihir yang kekuatannya berpotensi
membahayakan bisa hidup dengan damai."
Potret itu memudar dan muncullah foto kuno yang kulihat tadi, foto sekolah pada
tahun 1903. "Diperlukan hampir tiga puluh tahun, tetapi impiannya terwujud pada tahun 1903,"
lanjut Mrs. Casnoff. "Pada tahun 1923, Dewan memberikan hak kepada para
penyulih-wujud dan peri untuk datang ke Hecate."
Vampir tidak disebut-sebut, tentu saja.
"Ini tidak begitu buruk," bisikku kepada Archer. "Cuma pelajaran sejarah."
Pemuda itu menggelengkan kepalanya sedikit. "Tunggu saja."
"Pada tahun 1967, Dewan menyadari bahwa mereka membutuhkan tempat untuk
melatih dan membentuk Prodigium muda yang menggunakan kekuatan mereka
tanpa tingkat kerahasiaan yang layak. Sebuah sekolah tempat mereka akan
mempelajari lebih banyak lagi tentang sejarah Prodigium, dan tentang konsekuensi
mengerikan dari memaparkan kemampuan mereka kepada manusia. Dengan begitu
lahirlah Hecate Hall."
"Monster ABG," gumamku pelan, yang mendapatkan sambutan kekehan pelan dari
Archer. "Miss Mercer," kata Mrs. Casnoff, yang membuat aku terlonjak. Aku sudah
khawatir saja dia akan memarahiku karena menceletuk, tapi alih-alih dia
bertanya, "Bisakah kau mengatakan kepada kami siapakah Hecate itu?"
"Eh, ya. Dia Dewi sihir Yunani."
Mrs. Casnoff mengangguk. "Benar. Tapi, dia juga dewi persimpangan jalan. Dan,
di sanalah tempat kalian semua anak-anak sekarang berada. Dan sekarang" - suara
Mrs. Casnoff menggema - "Demonstrasi."
"Ini dia," gumam Archer.
Sekali lagi, secercah cahaya kecil berpijar di depan ruangan, tetapi kali ini,
tidak ada layar yang terkembang. Sebagai gantinya, cahaya membentuk sosok seorang
pria tua, mungkin sekitar tujuh puluh tahun. Dia akan tampak sangat nyata kalau
tidak ada pendaran samar yang menyelubunginya, membuatnya menyala di
ruangan yang gelap itu. Orang itu berpakaian celana overall dan kemeja
kotakkotak, dan topi cokelat yang terbenam hingga ke atas matanya. Sebuah
beliung tergantung di tangan kanannya. Sejenak dia bergeming, tetapi kemudian berputar
dan mulai mengayun-ayunkan beliungnya ke dekat tanah, seakan-akan dia sedang
memotongi rumput yang tidak ada di sana. Rasanya... mengerikan. Seolah-olah
kami sedang menonton bioskop, tetapi tindakannya terjadi secara nyata.
"Ini Charles Walton," Mrs. Casnoff mengumumkan. "Dia warlock putih dari
sebuah desa yang bernama Lower Quinton di Inggris. Dia menyendiri dan
mendapat imbalan yang menyedihkan sebesar satu shilling per jam sebagai
pemotong rumput untuk seorang petani setempat. Sebagai tambahan, dia
melakukan mantra sederhana untuk penduduk Lower Quinton, ramuan untuk
rematik, terkadang mantra cinta... hal-hal sederhana yang tidak berbahaya. Akan
tetapi, pada tahun 1945, desa itu gagal panen." Sementara Mrs. Casnoff
menjelaskan, semakin banyak sosok muncul di belakang lelaki itu. Semuanya ada
empat orang, orang-orang bertampang normal yang mengenakan kardigan dan
sepatu yang masuk akal. Dua di antara mereka membelakangiku, tetapi aku bisa
melihat seorang wanita pendek berwajah merah dan berambut kelabu sewarna baja,
dan seorang lelaki kurus yang memakai topi berpenutup telinga berwarna burgundi
tua. Mereka kelihatan seperti seharusnya berada di kotak biskuit shortbread.
Ekspresi wajah kedua orang itu pucat dan ketakutan, dan pria kurus itu sedang
memegang garpu tanah. "Penduduk Lower Quinton memutuskan bahwa biang kerok atas kegagalan panen
mereka pasti Charles dan... yah, kalian bisa melihat sisanya."
Pria yang memegang garpu tanah melesat maju dan mencengkeram siku lelaki tua
itu, memutarkannya. Lelaki tua itu tampak ketakutan, dan walaupun aku tahu apa
yang akan terjadi, aku tidak sanggup memalingkan wajah. Alih-alih aku menonton
sementara ketiga orang itu, orang-orang yang lebih pantas memanggang pai atau
menyesap teh, mendorong lelaki tua itu ke tanah, dan pria yang kurus
menghunjamkan garpu tanah ke leher Charles.
Kurasa pastilah ada orang yang menjerit, seseorang di dalam ruangan itu menangis
atau bahkan pingsan. Tetapi, sepertinya semua orang sama mati rasanya dengan
aku. Bahkan, Archer pun sudah tidak duduk dengan lemas lagi di kursinya.
Sekarang dia mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua siku di pahanya,
tangannya bertautan. Wanita manis bak nenek idaman itu berlutut di samping tubuh tersebut dan
mengambil beliungnya, dan tepat pada saat kupikir bahwa aku benar-benar
menyesali kue tadi, pemandangan di hadapan kami bergetar dan lenyap.
Mrs. Casnoff menceritakan tentang apa yang tidak kami saksikan. "Setelah
menusuknya, penduduk desa mulai mengukirkan lambang-lambang di tubuh Mr.
Walton, yang mereka harap akan menolak sihir 'jahat'-nya. Setelah lima dekade
mencoba untuk membantu penduduk sekampungnya, beginilah cara jerih payah
Walton dibayar oleh manusia."
Dan mendadak ruangan itu pun penuh dengan gambar-gambar dan suara. Tepat di
belakang Mrs. Casnoff, sekeluarga vampir ditusuk oleh sekelompok pria bersetelan
jas hitam. Aku benar-benar bisa mendengar suara basah mengerikan, nyaris seperti
ciuman nyaring, sementara pasak kayunya menembus dada mereka.
Dari arah kiri aku mendengar suara rentetan senapan, dan secara naluriah aku
merunduk sementara sesosok werewolf roboh - ditancapi peluru yang ditembakkan
oleh seorang wanita tua, seperti tidak ada yang lain saja, baju hangat rumahan
berwarna pink. Rasanya seperti dijebloskan ke dalam film horor, dan film itu ada di mana-mana.
Di tengah-tengah ruangan, aku melihat dua peri, keduanya bersayap kelabu tembus
pandang, dipaksa berlutut oleh tiga laki-laki berjubah cokelat. Sementara para
peri itu menjerit, pergelangan tangan mereka dibelenggu dengan besi yang langsung
membakar daging mereka, memenuhi ruangan dengan bau mengganggu yang
mirip daging panggang. Mulutku begitu kering sehingga aku bisa merasakan bibirku menempel ke gigiku.
Itulah sebabnya aku tidak bisa terkesiap saat sebuah tiang gantungan yang penuh
dengan penyihir-penyihir digantung muncul tepat di sebelahku.
Bukannya muncul secara samar-samar kemudian menjadi terwujud yang dilakukan
oleh gambar-gambar lain, yang ini langsung melesat dari tanah bagaikan boneka
dengan pegas yang meloncat dari kotak. Tubuh-tubuh mereka benar-benar
tersentak-sentak dan mulai berputar di tali gantungan mereka, wajahnya ungu,
lidah menjulur dari bibir yang bengkak. Aku bisa mendengar jeritan samar, tetapi
aku tidak yakin apakah itu berasal dari teman-temanku ataukah dari gambar itu
sendiri. Aku ingin menutupi wajahku, tetapi kedua tanganku terasa berat dan
lembap, jantungku lengket di leherku.
Sesuatu yang hangat menempel di punggung tanganku. Aku mengalihkan
pandangan dari tubuh-tubuh yang bergelantungan itu dan melihat Archer telah
menggenggam tanganku dengan tangannya. Dia sedang terbelalak menatap para
penyihir itu, dan aku pun menyadari bahwa mereka bukan hanya perempuan. Ada
beberapa warlock juga yang digantung. Tanpa pikir panjang, aku meremaskan
jariku ke jari-jarinya. Kemudian, tepat pada saat aku merasa akan muntah, gambar-gambar itu
menghilang dan lampu-lampu ruangan makan kembali menyala.
Mrs. Casnoff berdiri di depan ruangan, sambil tersenyum dengan tenang, tetapi
saat dia bicara, suaranya dingin dan keras. "Itulah sebabnya mengapa kalian
semua berada di sini. Inilah risiko yang kalian semua hadapi ketika kalian dengan
cerobohnya menggunakan kekuatan kalian di hadapan manusia. Dan untuk apa?"
Wanita itu memandang berkeliling ruangan. "Agar diterima" Untuk pamer?"
Tatapan matanya mendarat di mataku satu detik sebelum melanjutkan. "Kita telah
dijatuhi hukuman mati oleh manusia yang dengan gembiranya menggunakan
kekuatan kita selama itu menguntungkan mereka. Dan yang baru saja kalian
saksikan" - dia melambaikan tangannya ke sekeliling ruangan, dan aku hampir
bisa melihat para penyihir yang digantung itu lagi, mata mereka berawan, bibir
mereka biru - "Hanyalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia normal. Ini
belum apa-apa jika dibandingkan dengan tindakan apa yang diperbuat oleh mereka
yang menjadikan pemusnahan kaum kita sebagai pekerjaan seumur hidup mereka."
Jantungku masih berdebar kencang, tetapi perutku sudah tidak lagi mengancam
untuk memberontak. Di sampingku, Archer sudah kembali melorot, jadi kurasa dia
juga sudah merasa lebih baik.
Mrs. Casnoff melambaikan tangannya lagi, dan seperti sebelumnya, gambargambar
muncul di belakangnya, hanya kali ini gambar itu diam dan bukannya film
dari neraka jahanam. "Ada sekelompok yang menamakan diri mereka Aliansi," katanya, terdengar
nyaris sama bosannya dengan gerakannya ke arah sekelompok pria dan wanita
berwajah datar yang mengenakan jas. Menurutku nada suaranya sangat
meremehkan bagi seorang wanita yang bekerja untuk dewan yang menyebut diri
mereka "Dewan", tetapi harus kuakui bahwa "Aliansi" itu lebih payah lagi.
"Aliansi terdiri dari agen-agen yang berasal dari beberapa badan pemerintahan
yang berbeda-beda dari beberapa pemerintah yang berbeda pula. Untungnya,
mereka begitu tenggelam di dalam administrasi sehingga mereka jarang menjadi
ancaman yang nyata."
Gambar itu memudar sementara muncul gambar tiga orang wanita yang berambut
merah paling cerah yang pernah kulihat. "Dan, tentu saja, ada keluarga Brannick,
sebuah keluarga kuno dari Irlandia yang sejak dahulu kala memerangi 'monster',
begitulah mereka menyebut kita, sejak masa Santo Patrick. Mereka adalah penjaga
pelita yang sekarang. Aislinn Brannick, dan kedua putrinya, Finley dan Isolde.
Mereka cenderung sedikit berbahaya, karena nenek moyang mereka adalah Maeve
Brannick, penyihir putih sangat sakti yang keluar dari rasnya untuk bergabung
dengan gereja. Oleh karena itu, mereka dianugerahi lebih banyak kekuatan
daripada manusia biasa."
Kepala sekolah itu melambaikan tangannya lagi, dan ketiga wanita itu pun
menghilang. "Dan ada musuh kita yang paling berbahaya," Mrs. Casnoff melanjutkan.
Sementara dia bicara, sebuah gambar hitam terbentuk di atas kepalanya.
Diperlukan satu menit agar aku bisa melihat bahwa itu adalah mata. Tetapi, bukan
mata yang sebenarnya - lebih mirip tato hias yang disketsa dengan tinta hitam,
kecuali irisnya, yang berwarna keemasan tua.
"L'Occhio di Dio. Mata Tuhan," katanya.
Aku mendengar seisi ruangan terkesiap secara bersamaan.
"Apa itu?" bisikku kepada Archer.
Dia berputar. Senyuman sinis terkembang di bibirnya lagi, jadi menurutku
persekutuan yang tadi terjalin sudah benar-benar musnah. Dia memperkuat hal
tersebut dengan mengatakan, "Kau tak bisa melakukan mantra penangkis, dan kau
belum pernah mendengar tentang L'Occhio" Astaga, penyihir macam apa kau ini?"
Aku punya balasan kasar yang siap terlontar yang melibatkan ibunya dengan
Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tentara, tetapi sebelum aku mengucapkannya, Mrs. Casnoff berkata, "L'Occhio di
Dio adalah ancaman terbesar untuk Prodigium mana saja. Mereka kelompok yang
berpusat di Roma, dan tujuan kilat mereka adalah menghapuskan kaum kita dari
Kemelut Di Majapahit 4 Walet Emas 01 Kilatan Pedang Merapi Dahana Memburu Putri Datuk 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama