Ceritasilat Novel Online

Hex Hall 3

Hex Hall Karya Rachel Hawkins Bagian 3


Mrs. Casnoff muncul di puncak tangga dengan mengenakan jubah, rambutnya
yang dikepang panjang menjulur di punggungnya. Begitu dia melihat di mana aku
berada, wajahnya memucat. Dan entah mengapa, melihat wanita itu tampak
ketakutanlah yang membuatku terguncang. Lututku mulai gemetar dan aku
merasakan tenggorokanku tercekat oleh air mata.
"Itu... itu Chaston," aku berhasil bicara. "Dia... Ada darah..."
Mrs. Casnoff menyambarku dan melongok ke dalam kamar mandi. Tangannya
mengejang di pundakku. Dia mencondongkan tubuhnya dan menatap wajahku.
"Sophia, aku membutuhkanmu untuk memanggil Cal secepat mungkin. Apakah
kau tahu di mana pondoknya?"
Otakku rasanya bagaikan telur orak-arik, seperti iklan obat yang sudah kuno.
"Tukang kebun?" tanyaku dengan tololnya.
Apa yang diinginkan Mrs. Casnoff dari orang itu" Apakah dia sebenarnya
paramedis UGD atau sebangsanya"
Mrs. Casnoff mengangguk, cengkeramannya masih kencang di pundakku.
"Ya. Cal," ulangnya. "Dia tinggal di dekat kolam. Panggil dia dan katakan apa
yang terjadi." Aku berputar dan berlari menuju tangga. Sambil berlari, aku melihat Jenna keluar
dari kamar kami. Kurasa aku mendengarnya memanggil namaku, tapi aku sudah
keluar dari pintu depan dan menembus malam.
Walaupun siangnya hangat, sekarang hawanya cukup dingin sampai bisa membuat
kedua lenganku merinding. Satu-satunya cahaya berasal dari sekolah di
belakangku, jendela-jendela besar itu membuat persegi-persegi yang bahkan lebih
besar lagi di rumput. Karena tahu bahwa danaunya ada di sebelah kiriku, aku
berbelok ke arah situ dan terus berlari, udara sejuk yang keluar masuk paruparuku terasa bagaikan pisau. Aku hanya bisa melihat sebentuk bongkahan gelap yang
kuharap dengan amat sangat itu adalah rumah Cal, dan bukannya, misalnya,
gudang penyimpanan atau apalah. Walaupun aku mencoba menyingkirkan
kepanikanku, yang bisa kulihat hanyalah Chaston yang berdarah sampai mati di
atas ubin hitam dan putih.
Semakin dekat, kulihat itu ternyata benar-benar rumah. Aku bisa mendengar musik
samar-samar dari dalam, dan ada sedikit cahaya di jendelanya.
Saat itu napasku sudah begitu tersengal-sengal sehingga aku tidak yakin apakah
aku masih bisa bicara. Aku hanya harus menggedor selama sekitar tiga detik sebelum pintunya terbuka
lebar, dan Cal berdiri di depanku.
Aku berasumsi dia sudah tua dan berbadan besar dengan menu tambahan pemarah,
jadi aku benar-benar terkejut mendapati diriku berhadapan dengan cowok atletis
yang pernah kulihat pada hari pertama, orang yang kusangka kakak seseorang. Dia
tidak mungkin lebih tua dari sembilan belas tahun, dan satu-satunya yang
mengisyaratkan kekekarannya hanyalah kemeja flanel dan ekspresi wajah yang
agak jengkel. "Murid tidak boleh - " Dia mulai bicara, tapi aku memotongnya.
"Mrs. Casnoff menyuruhku untuk memanggilmu. Chaston. Dia terluka."
Begitu aku mengatakan, "Mrs. Casnoff," dia menutup pintu di belakangnya. Lalu
dia bergerak melewatiku dan berlari melintasi lapangan ke arah rumah. Karena
tenagaku masih terkuras akibat berlari kencang tadi, aku tertinggal di belakang.
Sewaktu kami tiba di tempat Chaston, gadis itu sudah diangkat dari bak mandi dan
diselubungi handuk. Perban menutupi lubang di lehernya, dan kedua pergelangan
tangannya dibalut dengan kencang. Tetapi dia masih tampak sangat pucat, dan
matanya tertutup. Elodie dan Anna bergerombol di dekat wastafel dalam piyama mereka, saling
berpegangan dan terisak-isak. Mrs. Casnoff berlutut di samping kepala Chaston,
sambil menggumamkan sesuatu. Apakah itu untuk membesarkan hati atau sihir,
aku tidak tahu. Dia mendongak sewaktu Cal datang, dan wajahnya tampak mengendur karena
lega, membuatnya kelihatan lebih seperti nenek seseorang yang sedang khawatir
daripada kepala sekolah yang terhormat.
"Syukurlah," katanya pelan. Sambil dia berdiri, kulihat jubah sutranya yang
berat basah sampai ke lututnya dan mungkin rusak. Dia tidak kelihatan menyadarinya.
"Kantorku," katanya kepada Cal saat pemuda itu berlutut dan mengangkat Chaston
dengan kedua lengannya. Mrs. Casnoff keluar ke lorong, sambil merentangkan lengannya untuk memisahkan
kerumunan murid yang berkumpul di luar kamar mandi. "Mundurlah, Anak-anak,
beri jalan. Aku yakinkan, Miss Burnett akan baik-baik saja. Hanya kecelakaan
kecil." Semua orang mundur, dan tukang kebun itu pun keluar, dengan Chaston di
pelukannya. Pipi gadis itu menempel ke dada Cal, dan kulihat bibirnya keunguan.
Begitu ketiga orang itu menghilang menuruni tangga, kudengar seseorang di
belakangku mendesah, "Wow."
Aku berputar dan melihat Siobhan bersandar ke dinding pintu kamar mandi.
"Apa?" katanya. "Jangan bilang kau tidak bersedia kehilangan sedikit darah agar
bisa dibopong oleh orang itu."
Siobhan terkejut saat Elodie dan Anna keluar dari kamar mandi dengan kelihatan
terguncang dan pucat. Kemudian mata Elodie menatap sesuatu di belakangku dan
menyipit. "Itu kau," dia meludah.
Aku berputar dan melihat Jenna yang berdiri di luar pintu kamar tidurku.
"Kau yang melakukan ini," Elodie meneruskan, sambil dengan perlahan
menghampiri Jenna, yang, membuktikan dirinya entah itu berani atau benar-benar
kurang waras, tetap diam di tempat dan menatap Elodie tanpa berkedip.
Suasana di lorong berubah. Menurutku walaupun merasa khawatir tentang
Chaston, kami semua semacam bersiap menyaksikan pertarungan Elodie-Jenna,
mungkin untuk mengalihkan perhatian kami dari darah yang masih menggenang di
lantai kamar mandi, mungkin karena gadis remaja merupakan makhluk
mengerikan yang gemar menonton gadis lain berkelahi. Siapa tahu"
Ketenangan Jenna terusik sedetik saja, dan dia pun menunduk memandang
kakinya. Walau begitu, sewaktu dia mendongak, tatapan bosan dan gemulai yang
sama terpancar dari matanya. "Aku tak tahu apa yang kau omongkan."
"Pembohong!" jerit Elodie, dan air mata pun membanjiri pipinya. "Kau pembunuh,
semua vampir. Kau tidak pantas berada di sini."
"Dia benar," seseorang nimbrung, dan kulihat Nausicaa mendorong maju
menembus kerumunan. Sayapnya mengepak-ngepak dengan marah, mengipaskan
udara di sekitarnya. Taylor berdiri tepat di belakangnya, mata hitamnya lebar.
Jenna tertawa, tetapi kedengarannya seperti dipaksakan. Aku memandang
berkeliling dan menyadari bahwa kerumunan itu menipis mengelilinginya,
membuatnya kelihatan sangat kecil dan sendirian.
"Lalu kenapa?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar. "Tak seorang pun dari kaum
kalian yang pernah membunuh" Tak seorang pun dari kalian para penyihir atau
shapeshifter atau peri" Vampir satu-satunya yang pernah mencabut nyawa?"
Semua mata memandang Elodie, dan kurasa kami semua mengharapkan gadis itu
menerjang leher Jenna atau apalah.
Tetapi, dia punya kekuatan dan dia tahu itu. Mata hijaunya sungguh-sungguh
berkilauan saat dia mengejek, "Tahu apa kau tentang itu" Bahkan kau bukan
Prodigium betulan." Napas yang sedari tadi ditahan oleh semua orang tampak mengembus secara
bersamaan. Dia mengatakannya. Satu-satunya yang mereka pikirkan tapi tidak
pernah diakui dengan ucapan.
"Kekuatan keluarga kami itu sudah kuno," Elodie melanjutkan, wajahnya pucat,
kecuali ada dua rona merah di pipinya. "Kami keturunan malaikat. Sedangkan kau,
apa" Manusia kecil yang menyedihkan yang dimangsa oleh parasit, monster."
Jenna gemetar sekarang. "Jadi aku monsternya" Bagaimana denganmu, Elodie"
Holly mengatakan apa yang kau dan teman-teman kecilmu coba lakukan."
Aku menunggu Elodie membalasnya dengan sesuatu, tetapi gadis itu malah
menjadi pucat pasi. Anna sudah berhenti menangis dan mencengkeram pundak
Elodie. "Ayo kita pergi," dia memohon dengan suara melengking.
"Aku tidak tahu kau ngomong apa," kata Elodie, tetapi dia kelihatan ketakutan.
"Omong kosong kalau kau tidak tahu. Kelompok kecilmu sedang mencoba untuk
membangkitkan demon."
Kau pasti menyangka kerumunan itu terkesiap. Kurasa aku yang terkesiap. Tetapi,
orang lain yang berada di lorong itu tetap diam.
Elodie hanya menatap Jenna, tapi kupikir aku mendengar Anna merengek.
Ditatap seperti itu, Jenna mulai menumpahkannya. "Katanya kau menginginkan
kekuatan lebih, dan bahwa kalian ingin melakukan ritual pemanggilan, dan kau
membutuhkan pengorbanan untuk melakukannya. K-kalian harus membiarkan
demon itu memangsa... memangsa seseorang, jadi..."
Elodie sudah berhasil menguasai dirinya lagi. "Demon" Menurutmu kami bisa
membangkitkan demondi sini dan tidak mengakibatkan Mrs. Casnoff dan si Vandy
serta Dewan melompat menerjang kita semua" Yang benar saja."
Seseorang di kerumunan cekikikan, dan ketegangan pun meletus. Satu orang yang
tertawa memberikan izin kepada orang lain untuk tertawa, jadi itulah yang mereka
lakukan. Jenna berdiri di sana sambil mendengarkan tawa mencemooh itu jauh lebih lama
daripada yang sanggup kutanggung. Kemudian dia mendorong melewatiku dan
pergi menyusuri lorong dan masuk ke kamar kami. Dia membanting pintu di
belakangnya. Begitu sudah pergi, orang-orang mulai menggumam.
Nausicaa mengajak Siobhan bicara. "Siapa di antara kita berikutnya?"
Sayap biru Siobhan bergetar saat dia menjawab, "Aku hanya tinggal terbang dan
naik bus! Aku tidak pantas dikurung di sini dengan pembunuh."
"Jenna bukan pembunuh," kataku, tapi aku sadar bahwa aku tidak tahu pasti. Dia
vampir. Vampir makan dari manusia.
Dan mungkin penyihir. Tidak. Aku menyingkirkan pikiran itu bahkan saat aku ingat Jenna yang berusaha
keras untuk tidak menatap darahku pada hari pertama itu.
Yang membuat aku terkejut, Taylor-lah yang angkat suara kemudian, dengan
berkata, "Sophie benar. Tidak ada bukti Jenna membunuh seseorang."
Aku tidak tahu apakah dia mengatakan itu karena dia benar-benar memercayainya,
atau apakah dia hanya ingin membuat Nausicaa jengkel, tapi apa pun itu, aku
merasa bersyukur. "Trims," kataku, tapi Beth melangkah di antara aku dan Taylor.
"Aku tidak akan mendengarkan apa pun yang Sophie katakan, Taylor."
Aku menatap Beth. Apa yang terjadi dengan momentum bersahabat mengendus
rambut itu" "Aku baru saja bicara dengan salah satu werewolf lain, dan katanya ayah Sophie
adalah ketua Dewan."
Aku mendengar beberapa gumaman setelah itu, dan beberapa gadis yang lebih tua
membelalak menatapku. Yang muda-muda hanya tampak kebingungan.
Sialan. "Ayahnyalah yang membiarkan vampir memasuki Hex," kata Beth. Dia kembali
menatapku, dan aku melihat sekilas taring-taringnya saat keluar dari gusinya.
"Tentu saja dia akan berkata bahwa Jenna tidak bersalah. Kalau tidak pekerjaan
ayahnya akan terancam."
Aku tidak punya waktu untuk ini. "Aku bahkan belum pernah bertemu dengan
ayahku, dan aku sudah pasti tidak akan berada di sini untuk menjalankan agenda
politiknya atau apalah. Aku melanggar peraturan dan dihukum ke Hex. Sama
seperti semua orang."
Taylor menyipitkan matanya. "Ayahmu adalah ketua Dewan?"
Sebelum aku bisa menjawab, Mrs. Casnoff muncul di puncak tangga. Dia masih
mengenakan jubah basahnya, dan dia tampak sangat tertekan, tetapi sudah tidak
terlalu pucat, jadi aku menganggapnya sebagai pertanda baik.
"Perhatian, Ladies," katanya dengan suara yang mampu terdengar nyaring tanpa
benar-benar berteriak. "Berkat upaya Cal, Miss Burnett sudah kembali sadar dan
tampaknya sedang dalam proses penyembuhan."
Helaan napas secara bersamaan yang diikuti oleh gumaman menutupiku yang
mencondongkan tubuh ke arah Anna dan berbisik, "Apa maksudnya dengan orang
yang namanya Cal ini?"
Aku menyangka akan mendengar jawaban ketus tentang betapa bodohnya aku, tapi
Anna tampaknya terlalu lega tentang Chaston untuk bersikap judes. "Dia warlock
putih," jawabnya. "Yang super sakti. Dia bisa menyembuhkan luka-luka yang tidak
bisa disembuhkan oleh penyihir dan warlock lain."
"Kalau begitu, mengapa dia tidak menyembuhkan Holly?" tanyaku, dan
pertanyaan itu membuat aku mendapatkan tatapan judes. Senang rasanya Anna
sudah kembali normal. "Holly sudah meninggal saat mereka menemukannya,
berkat teman kecilmu itu. Cal hanya bisa menyembuhkan yang masih hidup; dia
tidak bisa membangkitkan orang mati. Tak seorang pun yang bisa."
"Oh," kataku dengan lembeknya, tetapi dia sudah bicara dengan Elodie.
"Orangtuanya akan datang untuk menjemputnya besok," Mrs. Casnoff
melanjutkan. "Dan kuharap dia akan bisa bergabung lagi dengan kita setelah libur
musim dingin." "Apakah dia sudah mengatakan sesuatu?" tanya Elodie. "Apakah dia mengatakan
siapa pelakunya?" Mrs. Casnoff sedikit mengerutkan keningnya. "Belum untuk saat ini. Dan aku
menganjurkan kalian semua untuk menggunakan akal sehat sebelum kalian
menyebarkan desas-desus tentang insiden ini. Sudah jelas kami menangani
peristiwa ini secara serius, dan hal yang terakhir yang kita perlukan adalah
kepanikan." Elodie membuka mulutnya, tetapi tatapan mata Mrs. Casnoff menghentikan entah
komentar keji apa yang hendak diucapkannya.
"Baiklah," kata Mrs. Casnoff sambil menepukkan tangannya. "Semuanya pergi
tidur sekarang. Kita bisa mendiskusikan ini lebih jauh lagi besok pagi."
Bab 17 SAAT AKU KEMBALI KE kamar, Jenna ada di dalam, duduk di atas lemari
berlaci di samping jendela. Dahinya bertumpu di atas lututnya.
"Jenna?" Dia tidak menengok kepadaku. "Terjadi lagi," katanya dengan suara berat. "Persis
seperti Holly." Dia menarik napas dalam-dalam sambil gemetar dan berkata, "Sewaktu aku
melihat mereka membopong Chaston keluar... sama persis. Lubang di lehernya,
sayatan di pergelangan tangannya. Bedanya Chaston putih. Holly hampir... hampir
kelabu saat mereka menariknya keluar..." Suaranya pecah.
Aku duduk di tempat tidurku dan meletakkan satu tangan di lututnya. "Hei,"
kataku dengan pelan, "Itu bukan salahmu."
Dia mendongak, matanya merah karena marah. "Ya, tapi bukan itu yang dipikirkan
semua orang, bukan" Mereka semua menganggap aku ini apa, 'orang aneh
pengisap darah'?" Jenna melompat dari lemari berlaci. "Memangnya aku minta jadi begini,"
gerutunya dengan suara dalam, sambil mengeluarkan baju-baju dari lemarinya dan
melemparkannya ke atas tempat tidurnya. "Memangnya aku ingin datang ke
sekolah celaka ini."
"Jen," kataku, tapi dia berputar mengitariku.
"Aku benci di sini!" teriaknya. "Aku... aku benci ikut kelas bodoh seperti Sejarah
Penyihir Abad Sembilan Belas. Ya, Tuhan, aku c-cuma ingin belajar aljabar atau
sesuatu yang bodoh seperti itu. Aku ingin makan siang - makan siang betulan - di
kantin, dan punya pekerjaan sepulang sekolah, dan pergi ke prom."
Dengan terisak-isak, dia duduk di atas tempat tidurnya, seolah-olah semua
amarahnya sudah menguap. "Aku tidak ingin jadi vampir," bisiknya, dan kemudian
tangisannya pun meledak, sambil membenamkan wajahnya ke dalam T-shirt hitam
yang sedang dipegangnya. Aku memandang berkeliling ruangan, dan untuk pertama kalinya, semua warna
pink itu tidak kelihatan ceria; melainkan sedih, seakan-akan Jenna sedang
berusaha mempertahankan entah kehidupan seperti apa yang dimilikinya sebelumnya. Ada
saatnya ketika tidak mengatakan apa-apa merupakan tindakan yang paling tepat,
dan aku merasa sekarang adalah saat seperti itu. Jadi, aku hanya melintasi
ruangan dan duduk di atas tempat tidurnya, membelai rambutnya seperti yang dilakukan
ibuku pada malam aku mendapati bahwa aku akan pergi ke Hecate.
Dan setelah beberapa saat, Jenna membaringkan dirinya ke tumpukan bantal dan
mulai bicara. "Dia sangat baik kepadaku," katanya dengan pelan. "Amanda."
Aku tidak perlu bertanya siapa Amanda itu. Aku tahu akhirnya dia menceritakan
kisah bagaimana dia menjadi vampir kepadaku.
"Itulah bagian terbesarnya. Bukan karena dia imut, atau pintar, atau lucu. Dia
memiliki semua itu, tapi kebaikan hatinyalah yang membuatku terpikat. Tak
seorang pun yang pernah memperhatikan aku sebelumnya. Ketika dia mengatakan
kepadaku siapa dia sebenarnya, bahwa dia menginginkan aku untuk bersamanya
selamanya, aku tidak benar-benar memercayainya. Aku tidak percaya sampai aku


Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasakan giginya di leherku."
Jenna diam sejenak, dan tidak ada suara di dalam kamar itu kecuali suara
gemerisik pelan angin yang bertiup di sela-sela pohon-pohon ek di luar.
"Saat Perubahan terjadi, rasanya... luar biasa. Aku merasa lebih kuat dan lebih
baik, mengertikah kau" Seakan-akan hidupku selama ini adalah mimpi. Dua
malam pertama bersamanya itu malam yang terbaik sepanjang hidupku. Dan
kemudian mereka membunuhnya."
"Mereka?" Matanya menatap mataku. Bayangan kecil diriku di matanya kelihatan sangat
pucat. "Mata," jawabnya, dan hawa dingin tak diundang menjalari tubuhku.
"Mereka berdua. Mereka membobol motel tempat kami bersembunyi, dan mereka
menusukkan pasak kepada Amanda saat dia tertidur. Tetapi dia bangun dan
mulai... dia mulai menjerit, dan mereka berdua harus memeganginya. Jadi, aku
bangun dan keluar dari pintu dan aku terus berlari. Selama tiga hari aku
bersembunyi di dalam pondok kebun seseorang. Aku hanya keluar dari sana karena
aku lapar. Jadi, aku mencari makanan dari toko kelontong.
"Begitu aku memasukkan Twinkie pertama ke mulutku, rasanya aku mau mati.
Aku mengunyahnya mungkin dua kali sebelum aku harus meludahkannya. Si - "
Dia memejamkan matanya dan menarik napas panjang. "Manajer toko itu keluar
dan menemukan aku yang sedang berlutut di parkiran. Dia melihat bungkus
cokelatnya dan mulai berteriak akan menelepon polisi, dan aku - "
Jenna berhenti dan tidak mau menatapku. Aku meletakkan tanganku di pundaknya,
mencoba untuk membesarkan hatinya atau membuatnya tahu bahwa aku tak peduli
apakah dia sudah minum darah seseorang, tapi aku tak sanggup menatap wajahnya.
"Setelah... setelah itu, aku merasa lebih baik. Aku naik bus dan kembali ke kota
dan mencari orangtua Amanda. Mereka juga vampir. Ayah Amanda digigit
bertahun-tahun yang lalu dan mengubah mereka semua. Jadi, mereka menghubungi
Dewan dan aku dikirim kemari."
Dia menatapku lagi. "Seharusnya tidak begini," katanya dengan sedih. "Aku tidak
mau jadi begini tanpa Amanda. Aku hanya mau jadi vampir kalau kami bisa
bersama-sama selamanya. Dia sudah janji." Air mata berkilauan di matanya.
"Wow," kataku. "Siapa sangka cewek juga sama menyebalkannya seperti cowok?"
Jenna menghela napas dan meletakkan kepalanya ke kepala tempat tidur di
belakangnya, matanya terpejam. "Mereka akan mengusirku."
"Mengapa?" Dia kelihatan tak percaya. "Eh... halo" Mereka pasti akan menimpakan kesalahan
atas kejadian Chaston kepadaku. Holly itu satu hal, tapi dua gadis dalam jangka
waktu enam bulan?" Jenna menggelengkan kepalanya. "Seseorang harus
dikorbankan untuk itu, dan kau boleh bertaruh orang itu adalah aku."
"Kenapa?" ulangku. Jenna satu-satunya orang di Hecate yang kuanggap teman.
Yah, mungkin Archer dan aku sekarang berteman, tapi masih ada urusan
mungkinjatuh-cinta-kepadanya-sedikit, dan itu menyingkirkan dia dari zona
pertemanan. Kalau Jenna pergi, aku akan berada di bawah belas kasihan Elodie dan Anna.
Tidak mungkin. "Kau tidak tahu apakah mereka akan mengeluarkanmu. Chaston mungkin ingat apa
yang menimpanya. Tunggulah dan bicara kepada Mrs. Casnoff, ya" Mungkin
besok semua orang sudah lebih tenang."
Dengusan gerakan meremehkan dia mengisyaratkan kepadaku bagaimana
menurutnya skenario tersebut. Setelah beberapa saat Jenna mulai memasukkan
kembali baju-bajunya ke lemari. Aku bangkit dan membantunya.
"Jadi, bagaimana tugas ruang bawah tanah malam ini?"
"Keren untuk sebuah ruang bawah tanah."
"Dan kasmaran bodohmu yang sia-sia kepada Archer Cross?"
"Masih bodoh. Masih sia-sia."
Dia mengangguk sambil menggantungkan salah satu dari beberapa blazer Hecatenya.
"Senang rasanya bisa tahu."
Kami bekerja dalam diam. "Apa maksudmu tentang Elodie dan kelompoknya yang mencoba membangkitkan
demon?" "Kata Holly itulah yang sedang mereka kerjakan," katanya sambil menutup lemari.
"Mrs. Casnoff benar-benar mencekoki kita dengan peragaan yang dia
banggabanggakan tentang L'Occhio di Dio yang akan membunuh kita, lalu kelompok
mereka pun jadi ketakutan. Kata Holly, menurut mereka, membangkitkan demon
itu akan memberikan kekuatan lebih kepada mereka sehingga mereka akan lebih
aman kalau kiamat tiba."
"Apakah mereka melakukannya?"
Jenna menggelengkan kepala. "Entahlah."
Lampunya padam, membuat kami tenggelam di dalam kegelapan. Aku mendengar
beberapa jeritan kaget dari lorong, tapi kemudian suara Mrs. Casnoff
berkumandang, "Lampu padam adalah suatu keharusan malam ini. Tidurlah,
Anakanak." Jenna menghela napas. "Kau pasti mencintai Hex Hall."
Sambil menabrak perabot dan membisikkan makian, kami berjalan menuju tempat
tidur masing-masing. Aku menghempaskan diriku ke tempat tidur sambil mengerang pelan. Aku tidak
menyadari betapa letihnya diriku sampai aku merasakan bantal empuk yang sejuk
di bawah kepalaku. Aku sudah hampir tertidur ketika aku mendengar Jenna
berbisik, "Terima kasih."
"Untuk apa?" gumamku.
"Untuk jadi temanku."
"Wow," jawabku. "Itu seperti, ucapan paling lembek yang pernah dikatakan
seseorang kepadaku."
Dia pura-pura menjerit marah, dan sedetik kemudian salah satu dari banyak
bantalnya mendarat di wajahku.
"Aku sedang mencoba bersikap baik," dia bersikeras, tapi aku bisa mendengar
tawa di dalam suaranya. "Yah, tidak usah," balasku. "Aku senang kalau teman-temanku jahat dan penuh
dengan kebencian." "Baiklah kalau begitu," jawabnya, dan beberapa menit kemudian kami berdua
terlelap. *** Aku terbangun karena jeritan Jenna dan bau asap.
Dengan kebingungan, aku duduk. Cahaya matahari menerobos ke dalam kamar
dan ke atas tempat tidur Jenna. Perlu satu menit untuk menyadari bahwa dari
situlah asap berasal. Tempat tidur Jenna. Jenna.
Dengan panik dia mencoba untuk berdiri, tapi dia terbelit selimutnya, dan
kepanikan membuatnya ceroboh.
Kakiku belum lagi menjejak lantai saat aku melompat dari tempat tidur dan
melemparkan selimut agar menyelubunginya. Sambil melakukan itu, aku melihat
tangannya. Kulit yang biasanya pucat sekarang merah menyala, dan mendidih di
beberapa tempat. Tanpa berpikir, aku mendorongnya ke lemarinya.
Begitu berada di dalam, aku menyambar salah satu sepreinya dan menjejalkannya
ke celah di bawahnya di lantai. Jenna menangis, tetapi sudah tidak mengeluarkan
pekikan kesakitan lagi. "Ada apa?" seruku ke balik kayu.
"Batu darahku," Jenna terisak. "Hilang!"
Aku berlari ke tempat tidurnya dan berjongkok untuk melihat kolongnya.
Mungkin terjatuh, kataku kepada diriku sendiri. Mungkin kaitnya patah atau
tersangkut di bantalnya. Aku menginginkan alasannya salah satu hal semacam itu.
Aku menariki semua benda dari tempat tidur, bahkan mengangkat matras dari
kotak pernya, tetapi batu darah Jenna tidak ada di mana-mana.
Kemurkaan mengalir di dalam dadaku.
"Tunggu di sini," teriakku kepada Jenna.
"Oh, seperti aku mau pergi ke mana saja!" jawabnya ketika aku sudah separuh
jalan untuk keluar dari pintu.
Ada beberapa gadis di lorong. Aku mengenali salah satunya, Laura Harris, dari
kelas Evolusi Sihir. Matanya terbelalak ketika melihatku.
Aku berlari ke kamar Elodie dan menggedor pintunya.
Dia membukanya, dan aku mendorong masuk ke dalam kamarnya.
"Di mana benda itu?"
"Di mana apa?" tanyanya. Ada lingkaran-lingkaran gelap di bawah matanya.
"Batu darah Jenna. Aku tahu kau yang mengambilnya, sekarang, mana benda itu?"
Mata Elodie berkilat. "Aku tidak mengambil batu darah tololnya itu. Walaupun
kalau memang iya, itu sudah sangat sepantasnya setelah apa yang dilakukannya
terhadap Chaston semalam."
"Dia tidak melakukan apa-apa kepada Chaston, dan kau bisa membunuhnya!"
teriakku. "Kalau bukan dia yang menyerang Chaston, lalu siapa?" tanya Elodie, sambil
menaikkan suaranya. Percikan-percikan cahaya kecil berkejaran di bawah kulitnya,
dan rambutnya mulai bergetar. Aku bisa merasakan sihirku sendiri berdenyut
seperti detak jantung kedua.
"Mungkin demon yang kalian coba untuk bangkitkan," aku balas membentak.
Elodie mengeluarkan suara menjijikkan. "Sudah kubilang semalam, kalau ada
demon, Mrs. Casnoff pasti akan mengetahuinya. Kita semua akan tahu."
"Ada apa ini?" Kami berdua berputar dan melihat Anna yang berdiri di depan pintu, rambutnya
lembap dan sedang memegang handuk.
"Sophie menyangka kita mengambil batu darah bodoh milik si vampir," kata
Elodie. "Apa" Menggelikan," kata Anna, tetapi suaranya tegang.
Aku memejamkan mata dan mencoba untuk mengendalikan emosi dan sihirku.
Kemudian, sambil membayangkan kalung Jenna di benakku, aku menggumam,
"Batu darah." Elodie memutarkan matanya, tetapi ada suara deritan nyaring dari salah satu laci
lemari Anna yang bergeser terbuka. Batu darah itu naik dari bawah tumpukan
pakaian, bagian tengahnya yang berwarna merah berkilauan.
Kalung itu melayang ke tanganku, dan aku menggenggamnya.
Keterkejutan melintasi wajah Elodie untuk beberapa saat. Lalu menghilang. "Kau
sudah mendapatkan apa yang kau cari, jadi keluar."
Anna menatap lantai. Aku ingin mengatakan sesuatu yang membuat nyalinya ciut,
sesuatu yang membuatnya merasa malu atas perbuatannya, tetapi akhirnya aku
memutuskan bahwa itu tidak sepadan.
Sewaktu aku kembali ke kamar, sedu-sedan Jenna sudah berkurang menjadi
isakan. Aku membuka pintu lemari sedikit dan menyodorkan batu darahnya.
Begitu benda itu kembali tergantung di lehernya, Jenna keluar dari lemari dan
duduk di tempat tidur, sambil menimang tangannya yang terbakar.
Aku duduk di sampingnya. "Kau harus memeriksakan itu." Dia mengangguk.
Matanya masih merah dan berair.
"Apakah itu Elodie dan Anna?" tanyanya.
"Ya. Yah, Anna. Kurasa Elodie tidak tahu, tapi bukannya dia tidak akan merasa
keberatan." Jenna mengembuskan napas dengan gemetar. Aku menjulurkan tangan dan
menyibakkan poni pink dari matanya. "Kau harus mengatakan kepada Mrs.
Casnoff apa yang mereka lakukan."
"Tidak," katanya. "Tidak mungkin."
"Jenna, mereka bisa membunuhmu," aku bersikeras.
Dia berdiri, sambil menyelubungkan selimutku ke sekeliling tubuhnya. "Itu hanya
akan memperburuk keadaan saja," katanya dengan letih. "Mengingatkan semua
orang bahwa vampir itu berbeda dari kalian semua. Bahwa aku tidak pantas berada
di sini." "Jenna," aku mulai bicara lagi.
"Kubilang sudahlah, Sophie!" bentaknya, dia masih memunggungiku.
"Tapi kau terluka - "
Kemudian dia berputar sampai berhadapan denganku, matanya merah darah,
wajahnya berkerut karena marah. Taringnya keluar, dan dia mencengkeram
pundakku sambil mendesis. Tidak ada temanku di wajahnya.
Hanya monster. Aku mengeluarkan bunyi terperanjat karena sakit atau ketakutan, dan dia langsung
melepaskan aku. Lututku lemas, dan aku ambruk di lantai.
Gadis itu langsung berada di sampingku, Jenna lagi, matanya biru pucat dan penuh
dengan penyesalan. "Ya Tuhan, Soph, maafkan aku! Apakah kau baik-baik saja"
Kadang-kadang kalau aku stres..." Air matanya berlinang di pipi. "Aku tidak akan
pernah menyakitimu," katanya, memohon.
Aku tidak memercayai diriku untuk bicara, jadi aku mengangguk.
"Anak-anak" Apakah semuanya baik-baik saja?"
Jenna menengok ke belakang. Mrs. Casnoff berdiri di pintu kami, wajahnya tak
terbaca. "Kami baik-baik saja," kataku, sambil berdiri. "Aku hanya terpeleset, dan Jenna,
eh, membantuku berdiri."
"Begitu," kata Mrs. Casnoff. Pandangannya berpindah-pindah antara aku dan
Jenna sebelum berkata, "Jenna, kalau kau tidak keberatan, aku perlu bicara
denganmu sebentar." "Tentu," jawab Jenna, dengan suara yang bisa berarti apa saja kecuali yakin.
Aku memperhatikan mereka keluar dari kamar, kemudian duduk di atas tempat
tidur Jenna. Pundakku terasa nyeri, dan jari-jari Jenna meninggalkan bekas.
Aku duduk tanpa memikirkan apa-apa sambil menggosok-gosok lenganku, bau
asap dari kulit Jenna yang terbakar masih menyengat di hidungku.
Dan aku bertanya-tanya. Bab 18 SEMINGGU KEMUDIAN, KEADAAN belum membaik juga. Tak ada yang
mendapatkan kabar dari Chaston, jadi Jenna masih merupakan tersangka nomor
satu. Setelah makan malam, aku berada di ruang bawah tanah lagi dengan Archer. Ini
yang keempat kalinya kami di bawah sini, dan kami mulai menemukan semacam
rutinitas. Selama sekitar dua puluh menit pertama, kami hanya bekerja di rakrak. Separuh barang yang sudah kami katalog sebelumnya biasanya sudah pindah, jadi
kami menghabiskan waktu untuk membereskannya. Begitu selesai, kami
beristirahat dan mengobrol. Percakapan kami tidak jauh-jauh dari omong-omong
sambil lalu tentang keluarga kami dan sesekali menghina, yang tidak terlalu
mengherankan. Selain anak tunggal, Archer dan aku nyaris tidak punya kesamaan.
Dia dibesarkan di lingkungan yang kaya raya di dalam rumah besar di pesisir
Maine. Aku hidup dengan ibuku di segala tempat dari pondok di Vermont sampai
kamar di Penginapan Ramada selama enam minggu. Tapi, aku masih mendapati
diriku menantikan obrolan kami. Bahkan aku mulai merasa tidak senang terhadap
hari-hari tanpa tugas ruang bawah tanah, yang hampir terlalu menyebalkan untuk
direnungkan. Archer duduk di tempatnya yang biasa di tangga, sementara aku mengangkat
diriku ke tempat yang lowong di atas Rak M.
Dia menunjuk ke atas tumpukan bejana berselimutkan debu di sudut. Dua di
antaranya terangkat ke udara dan melintir serta meliuk-liuk sampai menjadi
kaleng soda. Archer menjentikkan tangannya ke arahku, dan salah satu di antaranya
melayang langsung ke arahku. Aku menangkapnya, dan kaget karena kaleng itu
dingin sekali. "Mengesankan." Aku bersungguh-sungguh, dan Archer mengangguk berterima
kasih. "Ya, mengubah bejana menjadi soda. Pasti dunia gemetar di hadapan kekuatanku."
"Yah, setidaknya itu membuktikan bahwa kau masih punya kekuatan."
Pemuda itu mendongak menatapku dengan bingung. "Apa maksudnya?"
Sialan. "Aku - eh, aku cuma... beberapa orang bilang kau pergi tahun lalu karena
kau ingin membuat supaya kekuatanmu dihilangkan."
Aku mengasumsikan dia sudah pernah mendengar semua desas-desus itu, tetapi dia
kelihatan benar-benar terkejut. "Jadi, begitu rupanya sangkaan orang. Hah."
"Mereka tahu bahwa kau tidak melakukannya," jawabku cepat-cepat. "Banyak
orang yang melihatmu menjatuhkan Justin di hari pertama."
Sebentuk senyuman bermain-main di kedua sudut mulutnya. Dia menatapku.
"Anjing nakal."
Aku memutar mataku, tapi mau tak mau aku balas tersenyum. "Tutup mulut. Jadi,
ke mana saja kau?" Dia mengedikkan bahu dan meletakkan kedua siku di lututnya. "Aku cuma perlu
istirahat. Itu sudah biasa. Dewan bersikap seakan-akan mereka tidak akan pernah
membiarkan siapa saja keluar dari Hecate, tapi mereka akan memberikan cuti
kepadamu kalau kau mengajukan permohonan kepada mereka. Kurasa mereka
pikir aku membutuhkannya, apalagi setelah Holly."


Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Begitu," kataku, tapi karena menyebut-nyebut Holly aku jadi teringat Chaston
lagi. Kedua orangtuanya datang untuk menjemputnya sehari setelah penyerangan.
Mereka berada di kantor Mrs. Casnoff selama lebih dari dua jam sebelum Mrs.
Casnoff keluar untuk memanggil Jenna.
Ketika Jenna kembali ke kamar, dia tidak mengatakan apa-apa, hanya berbaring di
atas tempat tidurnya dan menatap langit-langit.
Perubahan suasana hatiku yang mendadak pastilah terpampang di wajahku, karena
Archer bertanya, "Apakah Jenna baik-baik saja" Kulihat dia tidak ada di ruang
makan malam ini." Aku menghela napas dan menyandarkan punggungku.
"Tidak bagus," kataku. "Dia tidak mau masuk kelas atau makan. Dia nyaris tidak
bangun dari tempat tidurnya. Aku tidak tahu apa yang mereka katakan kepadanya
di dalam pertemuan itu, tetapi kenyataan bahwa mereka memanggilnya tampak
membuktikan kesalahannya bagi semua orang."
Archer mengangguk. "Ya, Elodie sangat marah."
"Wow, sayang sekali. Kuharap itu memberikan kerutan kepadanya."
"Jangan begitu."
"Begini, aku menyesal pacarmu marah, tapi satu-satunya teman yang kupunya di
sini sedang dituduh melakukan sesuatu yang tidak dia lakukan, dan Elodie-lah
yang memimpin tuduhan itu. Aku cuma tidak bisa merasa bersimpati kepadanya,
mengerti?" Aku menunggu Archer untuk membalasku, tetapi sepertinya dia memutuskan
untuk mengurungkannya. Dia bangkit dari tangga dan kembali ke papannya.
"Apakah kau melihat sesuatu yang mirip 'Alat yang Dirasuki Demon: J.
Mompesson'?" "Mungkin." Aku melompat turun dari rak dan menghampiri tempat di mana aku
menemukan genderang tempo hari, tetapi tentu saja benda itu sudah menghilang.
Begitu kami menemukannya (menyembunyikan dirinya di balik tumpukan buku
yang hancur ketika kami memindahkannya. Archer hanya berkomentar, "Sangat,
sangat berharap kalau buku-buku itu tidak penting.") satu jam kami hampir habis.
Aku mendengar kunci di atas kami terbuka. Si Vandy sudah tidak turun ke ruang
bawah tanah lagi untuk menjemput kami; dia hanya membuka kuncinya.
Kami melemparkan papan ke bawah dan menuju tangga.
Ketika kami berjalan naik, aku berani sumpah melihat sekelebat hijau di sudut
mataku, tetapi ketika aku menoleh untuk melihatnya, tidak ada apa-apa. Bulu
kudukku berdiri, dan aku mengusapkan tangan ke tengkukku tanpa berpikir apaapa.
"Kau baik-baik saja?" tanya Archer sambil membuka pintu.
"Ya," jawabku, tapi aku ketakutan. "Hanya saja... Bolehkah aku menanyakan
sesuatu yang aneh?" "Pertanyaan aneh adalah pertanyaan favoritku."
"Apakah menurutmu ada orang di sekitar sini yang bisa membangkitkan demon?"
Kukira dia akan tertawa atau melontarkan komentar sinis, alih-alih dia berhenti
di luar pintu ruang bawah tanah dan menatapku dengan saksama yang pernah
dilakukannya. "Mengapa kau menanyakan itu?"
"Sesuatu yang dikatakan Jenna malam itu. Menurutnya Holly mungkin terbunuh
karena, eh, beberapa orang membangkitkan demon."
Archer meresapinya sebelum menggelengkan kepalanya dan berkata, "Ah, tidak
mungkin. Mrs. Casnoff akan mengetahui kalau ada demon di kampus. Makhluk itu
sangat menarik perhatian."
"Kenapa" Apakah mereka 'green and horny'?" Aku merah padam dan berkata,
"Maksudku, punya tanduk, bukan... yang lainnya."
"Tidak selalu. Mereka bisa kelihatan sama manusiawinya seperti kau dan aku.
Bahkan beberapa di antara mereka dulunya adalah manusia."
"Apakah kau pernah melihatnya?"
Archer menatapku dengan pandangan tak percaya. "Eh, belum. Syukurlah. Aku
menyukai wajahku tetap berada di tempatnya dan tidak dilahap."
"Yah," kataku saat kami mencapai tangga utama. "Tapi kau warlock. Tidak
bisakah kau mengalahkan demon?"
"Tidak, kecuali aku punya itu," katanya, sambil menunjuk ke malaikat di kaca
patri di atas tangga. "Kau lihat pedang itu" Kaca Demon. Satu-satunya yang bisa
membunuh demon." "Dan diberi nama dengan payah," celetukku, membuat dia tertawa.
"Kau mencemooh," katanya. "Tapi itu barang langka. Satu-satunya tempat kau
bisa menemukannya yaitu di neraka, jadi benda itu semacam sulit untuk
ditemukan." "Wow," kataku, sambil menatap jendela dengan sudut pandang baru.
"Archer!" Aku mendengar Elodie memekik dari suatu tempat di atas. Aku
melewati pemuda itu. "Yah, trims. Sampai nanti."
"Mercer." Aku berputar. Dia sedang berdiri di dasar tangga, dan diterpa cahaya lembut kandil dia begitu
tampan sehingga dadaku terasa nyeri. Mudah untuk melupakan betapa
menjengkelkannya dia saat dia kelihatan begitu menawan.
"Apa?" tanyaku dengan suara yang paling bosan yang bisa kuucapkan.
"Arch!" Elodie datang melambung-lambung melewatiku, dan mata Archer beralih dari aku
kepada gadis itu. Aku berbalik dan berlari menaiki tangga sebelum aku harus melihat Elodie di
pelukan Archer. Bab 19 PADA AWAL BULAN OKTOBER, Chaston mengirimkan surat pernyataan
kepada Dewan, yang mengatakan bahwa dia tidak ingat apa-apa tentang
penyerangan itu, jadi Jenna diizinkan untuk tetap tinggal. Kupikir berita itu
akan menyebabkan sesuatu yang bisa melenyapkan bayang-bayang dari bawah matanya,
tetapi ternyata tidak. Dia nyaris tidak bicara kepada siapa-siapa kecuali
kepadaku, bahkan itu pun dia hampir tidak tersenyum, dan dia tidak pernah tertawa.
Sedangkan aku, aku mulai merasa seolah-olah sudah mulai terbiasa dengan
kehidupan di Hecate. Pelajaran-pelajaranku berlangsung dengan baik. Elodie dan
Anna merasa terguncang selama sekitar dua minggu setelah Chaston untuk
sementara kehilangan dorongan sadis untuk menyiksaku. Sebagai gantinya, mereka
sama sekali tidak menggubrisku. Tetapi pada pertengahan Oktober mereka kembali
normal, yang bagi mereka artinya melontarkan kata-kata culas dan membicarakan
pakaian. Aku menghindari masalah dengan si Vandy walaupun dia membuat Archer sebagai
pasangan permanen Pertahanan-ku, mungkin dengan harapan dia akan
membunuhku tanpa sengaja. Bahkan itu pun berlangsung tidak terlalu buruk,
walaupun dipaksa untuk menghabiskan lebih banyak waktu berdekatan dengan
Archer itu sendiri merupakan sejenis siksaan. Bahkan, semakin lama kami
menghabiskan waktu membuat katalog di ruang bawah tanah, atau menangkis
masing-masing pukulan di dalam pelajaran Pertahanan, semakin aku mencurigai
bahwa kasmaranku mungkin jadi berubah menjadi sesuatu yang lain, sesuatu yang
benar-benar tidak ingin kuberi nama. Bukan saja karena dia ganteng - walaupun,
percayalah, itu sudah pasti merupakan bagian dari perasaan tersebut - melainkan
juga cara dia mengusapkan jari-jari ke rambutnya. Cara dia menatapku seakanakan
aku benar-benar menarik untuk diajak bicara. Cara matanya berbinar-binar
saat dia tertawa mendengar leluconku. Sialan, fakta bahwa dia tertawa mendengar
leluconku. Dan semakin aku mengenal dirinya, tampaknya semakin salah dia berpacaran
dengan Elodie. Dia bersumpah bahwa Elodie itu lebih baik daripada yang terlihat,
tetapi dalam dua bulan aku berada di Hecate, praktis satu-satunya yang kudengar
dari pembicaraannya hanyalah mantra-mantra yang membuat rambutmu lebih
berkilau atau menghilangkan bintik-bintik. Elodie menatapku saat menyebutkan
yang itu. Bahkan esainya untuk pelajaran Lord Byron pun tentang pengaruh
kecantikan fisik dalam meningkatkan kemampuan penyihir, seharusnya itu bisa
memberikan kemudahan kepadanya dalam mendekati manusia. Sungguh konyol.
Sekarang, sambil duduk di belakang Elodie di kelas Evolusi Sihir Ms. East, mau
tidak mau aku memutarkan mataku sementara dia mengoceh panjang lebar kepada
Anna tentang gaun yang rencananya akan dia dibuat untuk dipakai ke pesta All
Hallow's Eve Ball dua minggu lagi.
"Kebanyakan orang menganggap rambut merah tidak bisa memakai pink,"
katanya. "Tapi itu sebenarnya tergantung pink yang seperti apa. Kalau bukan pink
muda sekali, pink gelaplah yang paling baik. Dan pink terang, sudah pasti,
sangat murahan. Kalimat terakhir itu diucapkan dengan suara lebih kencang agar terdengar oleh
Jenna. Dia duduk disampingku, dan walaupun pura-pura tidak mengacuhkan
mereka, aku melihat jari-jari Jenna meraba poni pink-nya beberapa saat kemudian.
Aku menyenggol lengannya. "Jangan dengarkan mereka. Mereka cewek nyinyir."
"Apa, Miss Mercer?"
Aku mendongak dan melihat Ms. East sedang berdiri menjulang di dekat mejaku,
satu tangan berkacak pinggang. Ms. East kelihatannya salah satu guru yang paling
asyik di Hecate. Jenna dan aku diam-diam bercanda bahwa penampilannya mirip
cewek dominatrix-perempuan yang gemar menguasai. Dia ramping bagaikan pagar
dan selalu menata rambut marun gelapnya dengan ditarik ke belakang menjadi
gelungan ketat. Melihat pakaiannya yang selalu serba hitam dan hak sepatu yang
setinggi langit, maka sepertinya dia bisa dengan mudahnya berjalan di peragaan
busana di Paris. Tetapi sebagaimana guru-guru lain di Hecate, Ms. East tampaknya
terlahir tanpa kelenjar selera humor sama sekali.
Sekarang aku tersenyum lemah kepadanya dan berkata, "Eh... Ada penyihir" Di
kelas ini?" Seisi kelas meledak cekikikan kecuali Elodie dan Anna, yang mungkin sudah
menduga apa yang sebenarnya kukatakan, dan memelototi aku.
Sudut-sudut bibir Ms. East menurun seper sekian senti, yang kira-kira mendekati
ekspresi merengut yang bisa dia lakukan. Kurasa dia khawatir akan membuat
wajahnya yang mulus sempurna itu berkerut.
"Betapa menariknya pengamatan itu, Miss Mercer. Akan tetapi, kau tahu bahwa
aku tidak memberikan toleransi terhadap interupsi di dalam kelasku - "
"Aku tidak menginterupsi," aku menginterupsi, dan mulut Ms. East miring ke
bawah lebih jauh lagi, yang artinya aku baru saja melintas ke dalam wilayah
Kerajaan Pengacau. "Karena kau punya begitu banyak kata-kata untuk diucapkan, mungkin kau ingin
menuliskannya ke dalam sebuah esai tentang berbagai klasifikasi penyihir"
Katakanlah, dua ribu kata. Tenggatnya besok."
Seperti biasa mulutku sudah terbuka sebelum otakku punya kesempatan untuk
menghentikannya, dan aku memekik, "Apa" Itu benar-benar tidak adil."
"Dan sekarang kau boleh keluar dari kelasku. Kalau kau kembali, silakan
menyerahkan esaimu dan permintaan maaf."
Aku menelan bantahan dan mengumpulkan barang-barangku di bawah tatapan
simpati Jenna dan cengiran Elodie dan Anna. Dengan susah payah aku
mengendalikan diri, tetapi aku tidak membanting pintu saat keluar.
Aku memeriksa arlojiku dan melihat bahwa aku punya waktu luang empat puluh
menit sebelum kelas berikutnya, jadi aku berlari ke atas dan menjatuhkan
bukubukuku sebelum menuju ke luar untuk menghirup udara segar.
Saat itu adalah hari yang luar biasa indahnya yang sepertinya hanya bisa
dihasilkan oleh bulan Oktober. Langitnya biru cerah dan bersih. Pohon-pohonnya sebagian
besar masih hijau, dengan beberapa helai daun berwarna oranye dan keemasan
yang mengintip dari sana-sini. Ada angin yang membawa semacam bau asap yang
menyenangkan berembus, yang terasa cukup sejuk sehingga aku merasa bersyukur
aku memakai blazerku. Jadi, walaupun sebagian dari diriku masih meradang akibat
ketidakadilan karena dikeluarkan dari kelas, aku sangat senang karena diberikan
waktu bebas, kendatipun seharusnya aku menggunakannya untuk menulis esai
bodohku itu. Tepat sebelum aku bisa melakukan sesuatu yang super payah seperti merentangkan
kedua lenganku lebar-lebar dan melanturkan refrain lagu "Colors of the Wind",
aku mendengar suara yang berkata, "Kenapa kau tidak di kelas?"
Aku berputar dan melihat pengawas lahan sekolah, Cal, yang berdiri di
belakangku. Seperti biasa dia berpenampilan atletis ala penebang pohon - serba
flanel dan denim. Bahkan kali ini dia memegang alat: kapak raksasa, yang
dipegangnya dengan tangan kiri, mata pisaunya yang mematikan memantulkan
cahaya buram di sepatu botnya.
Aku tidak tahu ekspresi wajah apa yang terpampang di wajahku ketika menatap
kapak itu, tapi mestinya pasti aku kelihatan seperti Elmer Fudd sewaktu Bugs
Bunny berdandan seperti cewek - mata menonjol, rahang terjatuh ke tanah.
Rupanya kenyataannya tidak jauh dari itu, karena Cal tampak menahan tawa
sambil mengangkat kapak dan meletakkannya di atas pundaknya.
"Tenang. Aku bukan pembunuh berantai."
"Aku tahu itu," tukasku. "Kau petugas kebersihan yang bisa menyembuhkan itu,
kan." "Pengawas lahan sekolah."
"Bukankah itu seperti petugas kebersihan?"
"Bukan, itu seperti pengawas lahan sekolah."
Dari dua kali interaksiku dengannya, aku berasumsi bahwa Cal itu sejenis pemuda
atletis kuno. Di antaranya, dia super kekar, dan rambutnya pirang gelap,
membuatnya tampak mirip dengan rata-rata pemain belakang sepak bola SMA.
Plus aku nyaris belum pernah mendengar dia bicara lebih dari tiga kata dalam
satu waktu. Tapi, mungkin dia punya kelebihan lain selain yang bisa dilihat oleh mata
telanjang. "Jadi, kalau kau bisa menyembuhkan dengan cara menyentuhnya, mengapa kau
bekerja di sini seperti, Hagrid, atau entah apa?"
Dia tersenyum, dan kulihat giginya sangat putih dan sangat lurus. Ada apa sih
dengan tempat ini" Bahkan pegawainya pun tampak seperti foto model
Abercombie & Fitch. "Tidakkah kau seharusnya berada di luar sana dan menyembuhkan orang-orang
yang sangat penting dan bukannya berada di sini, mencabuti rumput dan
menyembuhkan remaja?"
Dia menggerakkan bahuku. "Waktu aku diluluskan dari Hecate tahun lalu, aku
menawarkan jasaku ke Dewan. Mereka memutuskan bahwa bakat-bakatku lebih
berguna di sini, melindungi harta mereka yang paling berharga. Kau."
Ada sesuatu yang sangat... entahlah, intim, pada cara dia mengatakannya sehingga
rasanya aku mungkin ingin cekikikan dan mulai merona. Kemudian aku
mengendalikan diri. Cukup satu kali saja aku naksir cowok dengan bodohnya.
Demi Tuhan, aku tidak ingin mulai kasmaran kepada pengawas lahan sekolah.
Mungkin dia juga menyadari cara mengatakannya itu aneh, karena dengan cepat
Cal mendeham. "Maksudku, kalian semua. Tahu kan, anak-anak mereka."
"Benar." "Omong-omong, sekarang kembalilah ke Potret Peri Prancis Pada Masa Abad
kedelapan Belas, atau entah dari kelas bodoh apa kau bolos."
Aku melipat lenganku, dua-duanya, karena aku mulai merasa jengkel dan juga
karena angin dari danau menjadi dingin.
"Sebenarnya, aku diusir dari kelasnya Ms. East. Evolusi Sihir."
Cal mendengus. "Ya ampun. Tugas ruang bawah tanah selama satu semester,
dikeluarkan dari kelas..."
"Begitulah," jawabku. "Rupanya ada sesuatu pada diriku yang membuat semua
guru kesal padaku di sekolah ini."
Anehnya, Cal menggelengkan kepalanya. "Kurasa bukan itu."
Samar-samar dari kejauhan, aku mendengar bel berdentang yang menandakan
pergantian kelas. Aku tahu seharusnya aku bergegas kembali untuk masuk ke kelas
Byron, tetapi aku ingin mendengarkan penjelasan Cal.
"Apa maksudmu?"
"Lihatlah dari sudut pandang mereka, Sophie. Ayahmu adalah ketua Dewan.
Semua orang di Hecate sedang menjauhkan diri agar tidak terlihat menjadikanmu
sebagai anak emas. Jadi, mungkin mereka sedikit melampaui batas dalam
mendorongmu ke arah yang berlawanan, mengerti?"
Aku hanya mengangguk. Mengapa aku tidak heran mendapati satu lagi yang
merupakan kesalahan ayahku"
"Kau baik-baik saja?" tanya Cal, kepalanya dimiringkan sedikit.
"Ya," jawabku dengan terlalu ceria. Aku terdengar seperti pemandu sorak di iklan
minuman segar Kool-Aid. "Ya," ulangku, dengan jauh lebih normal kali ini. "Aku harus pergi. Supaya tidak
terlambat!" Aku bergegas melewatinya, nyaris menabrak salah satu pundaknya.
Ya Tuhan, tubuh pemuda ini bagaikan batang pohon, pikirku sambil mempercepat
langkahku. Akhirnya, aku masih terlambat masuk ke kelas Byron. Yang artinya bukan saja aku


Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibentak - dalam pentameter iambus, tak kurang dari itu - melainkan juga aku
harus menulis esai sebanyak lima halaman tentang "Kelambanan kronis yang
parah." "Kurasa aku perlu mencari mantra untuk mengerjakan pekerjaan rumah," bisikku
kepada Jenna sambil merosot ke tempat dudukku.
Dia hanya mengedikkan pundaknya separuh hati dan kembali menggambar wajahwajah
di buku tulisnya. Mau tak mau aku memperhatikan bahwa wajah-wajah itu mirip Holly dan Chaston.
Bab 20 MALAM ITU AKU MENGERJAKAN tugas esai Ms. East sementara Archer
mengatalog; aku sudah menulis tugas Byron di kelas terakhirku tadi, Klasifikasi
Shapeshifter. Guru kami, Mr. Ferguson, mencintai suaranya sendiri, jadi dia
jarang memperhatikan apa yang kami lakukan di meja kami. Jenna dan aku sering
mengisinya dengan bertukar catatan, tetapi belakangan ini dia biasanya
menghabiskan waktunya dengan mencoret-coret di dalam buku catatannya dan
mencoba mengerutkan dirinya.
Archer dan aku sudah sampai pada titik di mana kami berdua nyaris tidak
mengatalog lebih dari sepuluh barang selama satu jam kami di dalam ruang bawah
tanah. Si Vandy tidak mengatakan apa-apa, yang hanya menegaskan kecurigaanku
bahwa inti dari tugas ruang bawah tanah ini hanyalah dibuat terperangkap di sana
selama satu jam tiga malam dalam seminggu. Lagi pula, melakukan pekerjaan itu
tidak ada gunanya karena apa pun yang kami katalog berada di tempat yang
berbeda saat berikutnya kami datang lagi. Kami menghabiskan sebagian besar
waktu dengan mengobrol. Karena Jenna sudah mulai berenang di bagian terdalam
dari kolam merana, Archer-lah satu-satunya teman yang kumiliki. Elodie dan Anna
sudah menyerah sama sekali dari usaha menjadikan aku bergabung dengan
kelompok mereka, dan dari yang kudengar sekarang mereka sedang mencari di
antara para penyihir putih, pertanda pasti bahwa aku telah terperosok jauh di
bawah penilaian rendah mereka. Aku mencoba membujuk diriku bahwa itu tidak
ada artinya, tetapi kenyataannya adalah, kehidupanku di Hecate menjadi semakin
kesepian. "Apakah menurutmu para guru bersikap keras kepadaku karena ayahku?" tanyaku
kepada Archer, sambil mendongak dari buku teks yang terbuka di pangkuanku.
"Mungkin." Dia mengangkat dirinya ke atas rak kosong. "Prodigium punya ego
yang sangat tinggi. Tidak semua dari mereka merupakan penggemar terbesar
ayahmu, dan Casnoff tidak mau para orangtua lain berpikir bahwa kau
mendapatkan perlakuan khusus hanya karena ayahmu pada dasarnya adalah raja
mereka." Archer menaikkan sebelah alisnya. "Yang artinya kau adalah Putri Kerajaan."
Aku memutarkan mataku. "Oh, ya. Beri aku waktu untuk mengelap tiaraku maka
aku sudah siap." "Oh, ayolah, Mercer. Kurasa kau akan menjadi ratu yang baik. Kau jelas-jelas
sudah memiliki sifat angkuhnya."
"Aku tidak angkuh!" Aku nyaris memekik.
Archer mencondongkan diri dengan bertumpu di kedua sikunya, senyuman jahil
terkembang di wajahnya. "Yang benar saja. Pada hari pertama aku melihatmu, kau
benar-benar memasang lapisan beku permanen yang menutupi wajahmu."
"Hanya karena kau berengsek," bahasku. "Kau bilang aku menyedihkan sebagai
penyihir." "Kau memang menyedihkan," katanya sambil tertawa.
Dan kemudian, karena sudah menjadi semacam kelakar, secara berbarengan kami
berkata, "Anjing nakal!" dan nyengir.
"Kau hanya tidak terbiasa dengan perempuan yang tidak jatuh hati kepada
bokongmu seakan-akan kau ini anggota semacam grup boy band atau apalah,"
kataku ketika gelak tawa kami sudah sedikit berkurang.
Aku kembali ke esaiku, jadi aku harus mendongak ketika menyadari bahwa dia
tidak menjawabku. Archer sedang memandangku sambil tersenyum simpul, ada kilatan ganjil di
matanya. "Jadi, mengapa kau tidak begitu?"
"Maaf?" "Yah, menurutmu, perempuan selalu jatuh hati kepadaku. Jadi, mengapa kau tidak
begitu" Bukan seleramu?"
Aku menarik napas panjang dan berharap dia tidak memperhatikan. Saat-saat
canggung seperti ini jadi terlalu sering muncul di antara Archer dan aku.
Mungkin karena kami sering menghabiskan waktu berdua saja di ruang bawah tanah, atau
betapa kami jadi semakin mengenal tubuh satu sama lain sementara melepaskan
ketegangan masing-masing dalam pelajaran Pertahanan, tapi aku mulai
memperhatikan pergerakan halus di dalam hubungan kami. Aku tidak cukup
berkhayal untuk memercayai bahwa dia benar-benar menyukaiku atau apalah, tapi
saling menggoda jelas-jelas terpampang di depan mata. Hal itu mengakibatkan aku
merasa aneh dan sungguh tidak percaya diri dalam saat-saat seperti ini.
"Bukan," kataku, berusaha keras untuk bicara dengan nada enteng. "Aku selalu
naksir jenis kutu buku. Cowok cantik yang sombong tidak terlalu menarik hatiku."
"Jadi, menurutmu aku cantik?"
"Tutup mulut." Aku harus mengubah topik pembicaraan.
"Bagaimana dengan keluargamu?" tanyaku.
Archer mendongak, terperanjat. "Apa?"
"Keluargamu. Apakah mereka seperti ayahku?"
Dia memalingkan wajah dan menggerakkan bahu, tapi aku bisa melihat bahwa ada
yang tidak beres. "Keluargaku cukup menjaga jarak dengan politik," katanya. Kemudian dia
mengacungkan daftarnya. "Apakah kau melihat Taring Vampire: D. Frocelli?"
Aku menggelengkan kepalaku.
Seraya kembali ke esaiku, aku bertanya-tanya apa sih yang kukatakan sampai
Archer ketakutan seperti itu. Baru kusadari bahwa selama enam minggu terakhir
kami bekerja sama, Archer tidak banyak berbicara tentang keluarganya.
Sebelumnya aku tidak ambil pusing tentang hal itu, tapi tentu saja sekarang
setelah aku tahu bahwa dia tidak ingin membicarakannya, aku diliputi rasa penasaran.
Aku ingin tahu apakah Jenna mengetahui tentang masa lalu Archer, tapi aku
langsung menyingkirkan ide itu. Jenna sudah nyaris tidak bicara dengan siapa pun
dan kentara sekali sedang melalui masa-masa sulit. Hal terakhir yang dia
butuhkan adalah aku yang menganggunya dengan kasmaranku.
Tetapi pada saat si Vandy datang menjemput kami, aku sudah menyelesaikan
sebagian besar esaiku, dan memutuskan mungkin aku akan mengerjakan sisanya
besok pagi sebelum jam pelajaran dimulai.
Aku berjalan kembali ke kamarku, tetapi saat aku melewati pintu Elodie, aku
mendengar suara Anna yang lembut dan beraksen berkata, "Yah, aku sih akan
curiga kalau itu pacarku."
Aku berhenti tepat di depan pintu dan mendengar Elodie menjawab, "Pasti begitu
kalau dia tidak seaneh itu. Percayalah, kalau Archer harus terperangkap di ruang
bawah tanah dengan cewek lain di sekolah ini, aku senang sekali karena cewek itu
Sophie Mercer. Archer tidak akan meliriknya dua kali."
Lucu. Aku tahu bahwa Archer tidak tertarik kepadaku, tapi benar-benar mendengar
orang mengatakannya itu sungguh, sungguh menyebalkan.
"Dadanya sih memang besar," Anna merenung.
Elodie hanya mendengus mendengarnya. "Ayolah, Anna. Dada besar tidak cukup
untuk menutupi pendek dan biasa-biasa saja. Dan rambutnya!" Walaupun aku tidak
bisa melihatnya, aku membayangkan Elodie bergidik sambil mengatakannya.
Sementara itu, aku mulai merasa agak mual. Aku tahu seharusnya aku menyingkir,
tapi aku tidak mampu berhenti menguping. Aku ingin tahu mengapa kita selalu
ingin mendengarkan orang lain yang membicarakan kita, bahkan kalau
pembicaraan itu menjelek-jelekkan kita. Dan - tahukah kau - bukannya Elodie
mengatakan hal-hal yang belum kuketahui. Aku memang pendek dan biasa-biasa
saja dan aku memang punya rambut yang menyebalkan. Aku sendiri sering
mengatakan itu tentang diriku. Jadi, mengapa ada air mata panas menyengat
mataku" "Ya, tapi Archer aneh," kata Anna. "Kau ingat betapa jahatnya dia kepadamu pada
tahun pertama" Seperti, tidakkah dia menyebutmu perempuan dungu murahan,
atau semacamnya" Atau bodoh - "
"Itu sudah berlalu sekarang, Anna," kata Elodie dengan ketus, dan aku harus
menahan diri agar tidak tertawa. Jadi, Archer ternyata dulu berakal sehat. Apa
yang membuatnya berubah" Apakah Elodie memang benar-benar punya sesuatu yang
mendalam, seperti yang dikatakan Archer" Karena aku yakin aku belum pernah
mendengar sesuatu yang lebih dalam daripada sebuah dipan.
"Omong-omong, bahkan kalau Archer cukup tidak waras untuk naksir Sophie,
setelah All Hallow's Eve Ball, bahkan dia tidak akan berpikir untuk melirik
cewek lain." "Mengapa?" "Aku sudah memutuskan untuk menyerahkan diriku kepadanya."
Ih, amit-amit. Siapa sih yang mengatakan kata-kata semacam itu" Kenapa dia tidak
sekalian saja mengatakan "mawar merekah" atau "harta yang paling berharga" atau
sesuatu yang sama noraknya"
Tapi Anna, tentu saja, memekik. "Ya ampun, itu romantis sekali!"
Elodie terkikik - yang kedengarannya aneh kalau dia yang melakukan. Cewek
seperti Elodie seharusnya berkotek. "Aku tahu, benar, kan?"
Aku benar-benar sudah cukup banyak mendengar, jadi aku berjingkat-jingkat pergi
dan dengan pelan membuka pintu kamarku.
Jenna sedang - seperti biasanya - meringkuk di tempat tidurnya, salah satu selimut
pink terangnya ditarik menutupi dirinya. Dia sering melakukan itu sekarang,
berpura-pura sudah tidur sehingga aku tidak akan mengajaknya bicara. Biasanya
aku membiarkan dia mendapatkan apa yang diinginkannya dan tidak berusaha
mengajaknya bicara. Tapi, malam ini aku duduk di pinggir tempat tidurnya dengan
cukup keras sehingga membuatnya sedikit memantul.
"Coba tebak apa yang baru saja kudengar tanpa sengaja?" Aku berdendang.
Jenna menarik satu sudut selimutnya, dan satu matanya berkedip mengantuk
kepadaku."Apa?"
Aku mengulangi percakapan antara Anna dan Elodie, menutupnya dengan,
"Percaya tidak" 'Menyerahkan diriku kepadanya'" Astaga. Apa salahnya sih
dengan mengatakan bercinta, iya, kan?"
Aku diberi anugerah senyuman simpul.
"Itu benar-benar tolol," kata Jenna.
"Tak ketulungan tololnya," aku setuju.
"Apakah mereka mengatakan sesuatu tentang Chaston?"
Karena terkejut, aku mengatakan, "Eh... tidak. Setidaknya, aku tidak
mendengarnya. Tapi kau dengar sendiri apa kata Mrs. Casnoff sewaktu makan
malam beberapa hari yang lalu. Chaston baik-baik saja dan sedang beristirahat di
Riviera atau tempat mewah lainnya dengan kedua orangtuanya. Dia akan kembali
tahun depan." "Aku tidak percaya mereka malah menggunjingkan cowok saat salah seorang dari
kelompok mereka sudah meninggal, dan satu lagi nyaris tewas baru tiga minggu
yang lalu." "Yah, nah, pikiran mereka memang dangkal. Bukan hal yang baru, lho."
"Ya." Aku melepaskan pakaianku dan memakai kaus tanpa lengan keluaran Hecate dan
celana piyama yang dikirimkan Mom minggu lalu. Celana itu katun putih
bergambar penyihir kecil-kecil berwarna biru yang sedang naik sapu. Kurasa itu
caranya untuk mengatakan bahwa Mom menyesal atas pertengkaran kami, aku
juga menyesalinya, dan sudah menelepon untuk mengatakannya. Rasanya
menyenangkan karena sudah berbaikan lagi dengan Mom.
"Wow, aku benar-benar membuat pundakmu lebam," kata Jenna sambil terduduk.
Aku melirik ke bawah. "Oh... benar. Bukan apa-apa. Ini sama sekali tidak sakit."
Padahal masih sedikit nyeri.
Mata Jenna cemerlang, dan kurasa dia sedang berusaha agar tidak menangis. "Aku
masih merasa bersalah soal itu, Soph. Aku hanya benar-benar ketakutan dan sakit
hati, dan... dan kadang-kadang aku kehilangan kendali."
Hawa dingin merambati tulang punggungku, tapi aku mencoba untuk tidak
menggubrisnya. Jenna temanku. Ya, dia memang membuatku ketakutan setengah
mati kepada vampir, tapi dia langsung menghentikannya.
Tapi kau temannya. Chaston sama sekali bukan. Dan siapa yang tahu tentang
Holly" Tidak. Jangan ke arah situ.
Aku malah pura-pura bingung, "Kehilangan kendali apa" Tidak bisa menahan
pipis" Karena kalau iya kau mungkin harus memeriksakan itu. Aku benar-benar
tidak mau meminjamimu seprei."
"Kau memang aneh." Dia cekikikan.
"Cuma orang aneh yang bisa mengenali orang aneh!"
Selama beberapa jam kemudian, kami mengobrol dan berusaha untuk belajar
Evolusi Sihir. Pada saat lampu dipadamkan, Jenna sepertinya sudah kembali
menjadi dirinya yang dulu.
"Malam, Jenna," kataku ketika lampu akhirnya benar-benar padam.
"Malam, Soph." Aku menatap langit-langit, kepalaku dipenuhi pikiran: Archer, Elodie dan Anna,
Jenna, pembicaraan dengan Cal di pinggir kolam. Aku tertidur sambil
bertanyatanya apakah Archer tahu bahwa dia hendak berbangga hati karena menjadi
penerima keperawanan Elodie.
*** Aku tidak tahu jam berapakah itu ketika aku terbangun dan mendapati gadis
bergaun hijau berdiri di kaki tempat tidurku. Jantungku pindah ke mulut, aku
yakin pasti aku sedang bermimpi, tidak mungkin ini nyata.
Kemudian dia menghela napas dengan putus asa, dan dengan logat Inggris, dia
berkata, "Sophie Mercer. Kau ini merepotkan saja."
Bab 21 AKU TERDUDUK DI TEMPAT TIDUR, berkedip.
Itu gadis yang pernah kulihat sejak aku mulai sekolah di Hecate, tapi dia sama
sekali tidak kelihatan seperti hantu, sepertinya dia terbuat dari darah dan
daging. "Nah?" tanyanya, sambil menaikkan sebelah alis sempurnanya. "Kau mau ikut
atau tidak?" Aku melirik Jenna. Yang bisa kulihat hanyalah gumpalan gelap. Dari suara
napasnya yang teratur dan tenang, aku tahu bahwa dia masih tidur.
Gadis itu mengikuti arah pandanganku. "Oh, jangan mengkhawatirkan dia,"
katanya sambil melambaikan tangannya. "Dia tidak akan terbangun dan
membunyikan tanda bahaya. Tidak akan ada orang yang melakukannya, aku sudah
mengurusnya." Sebelum aku bisa bertanya apa maksudnya, dia berputar dan keluar dari pintu.
Aku duduk membeku sampai dia muncul kembali di pintu dan berkata, "Oh, demi
Tuhan, Sophia, ayo!"
Nah, aku tahu bahwa mengikuti hantu adalah ide yang sangat buruk. Semua yang
ada di tubuhku mengatakan itu. Kulitku terasa lembap dan perutku rasanya
melilit. Tapi aku mendapati diriku membuka selimut, menyambar blazer Hecate dari
sandaran kursiku, dan menghampiri gadis itu di puncak tangga ketika aku berhasil
mengejarnya. "Bagus," katanya. "Kita punya banyak pekerjaan dan tidak punya banyak waktu."
"Siapa kau?" bisikku.
Dia melemparkan tatapan jengkel itu lagi. "Sudah kubilang, kau tidak perlu
berbisik. Tidak ada yang bisa mendengar kita."
Dia berhenti di tangga dan mendongakkan kepalanya ke belakang, berteriak,
"Casnoff! Vandy! Sophia Mercer turun dari tempat tidurnya untuk bersekongkol
dengan hantuuuuuuuuuuu!"
Secara naluriah aku merunduk. "Sssst!"
Tapi sesuai dengan ucapannya, tidak ada tanda-tanda ada orang yang
mendengarnya. Satu-satunya suara hanyalah detak jam besar di serambi utama dan
suara napasku sendiri yang memburu.
"Kau lihat?" katanya, sambil berputar menghadapku sambil tersenyum ceria.
"Sudah diurus. Sekarang, ikutlah."
Gadis itu berlari menuruni beberapa anak tangga terakhir, dan tahu-tahu kami
sudah berada di luar di halaman depan. Malam itu sejuk dan lembap, dan
rumputnya melesak tidak nyaman di bawah kakiku. Aku menunduk untuk
memastikan bahwa aku hanya berdiri di atas rumput lalu melihat bahwa kakiku
berwarna ganjil kehijauan. Kemudian aku menyadari bahwa aku bisa melihat
bayanganku walaupun tidak ada bulan.


Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku berputar untuk memandang ke arah Hecate dan terkesiap. Seluruh rumah
terselubung oleh gelembung tembus pandang yang mengeluarkan pendaran cahaya
hijau buram. Gelembung itu bergerak tanpa henti, melengkung dan menembakkan
percikan-percikan hijau. Aku belum pernah melihat yang seperti itu; bahkan belum
pernah membaca mantra seperti itu.
"Mengagumkan, bukan?" kata gadis itu dengan congkak. "Itu mantra penidur dasar
yang membuat para korbannya benar-benar tidak merasakan dunia selama paling
tidak empat jam. Aku hanya... memperbesarnya."
Aku tidak suka cara dia mengatakan "para korban".
"Apakah mereka... apakah mereka baik-baik saja?"
"Oh, mereka sangat aman," jawabnya. "Hanya tertidur. Seperti di negeri dongeng."
"Tapi... Mrs. Casnoff memasang mantra di mana-mana. Tak seorang pun yang
bisa masuk dengan begitu saja dan merapal mantra sebesar itu."
"Aku bisa!" kata gadis itu. Kemudian dia menyambar tanganku. Tangannya
sepadat dan senyata tanganku. Aku yakin Mrs. Casnoff pernah mengatakan bahwa
hantu tidak bisa menyentuh kami. Tapi sebelum aku bisa bertanya, gadis itu
menarikku menjauhi rumah.
"Tunggu. Aku tidak bisa ke mana-mana denganmu sampai aku tahu siapa kau dan
apa yang kau lakukan di sini. Mengapa kau mengikuti aku?"
Gadis itu menghela napas. "Oh, Sophia, tadinya aku berharap kau akan sedikit
lebih paham. Bukankah sudah jelas siapa aku?"
Aku mengamati gaun berbunga yang sepanjang lutut, dan kardigan hijau
terangnya. Rambutnya sepundak, ikal, dan ditahan dengan jepitan rambut agar
tidak menutupi wajah. Sambil memandang ke arah bawah, kulihat dia memakai
sepatu cokelat yang norak. Aku agak kasihan kepadanya: hantu atau bukan, tak
seorang pun yang seharusnya menjalani kehidupan abadi dengan memakai sepatu
jelek. Tapi, setelah itu aku menatap matanya. Mata itu lebar dan letaknya agak
berjauhan, dan walaupun cahaya hijau itu terpantul di sana, aku bisa melihat bahwa warnanya
biru. Mataku. Orang Inggris, dari tahun empat puluhan, dan matanya sama dengan mataku.
"Alice?" tanyaku, jantungku pindah ke tenggorokan.
Dia tersenyum lebar. "Bagus sekali! Nah, ayo ikut aku dan - "
"Tunggu, tunggu, tunggu," kataku, sambil meletakkan satu tangan di kepalaku.
"Kau ingin mengatakan bahwa kau adalah hantu nenek buyutku?"
Tatapan jengkel itu lagi. "Ya."
"Jadi, sedang apa kau di sini" Mengapa kau mengikuti aku?"
"Aku tidak mengikuti kau," jawabnya dengan panas. "Aku memunculkan dirku
kepadamu. Kau belum siap untukku sebelumnya, tapi sekarang sudah. Aku sudah
berusaha keras untuk mendekatimu, Sophia. Sekarang, bisakah kita menghentikan
semua omong kosong ini dan langsung ke inti persoalannya?"
Aku membiarkan dia menyeretku, sebagian besar karena aku takut dia akan
mematahkan aku kalau tidak, sebagian lagi karena aku benar-benar ingin tahu.
Berapa banyak orang yang pernah ditarik keluar dari tempat tidurnya oleh hantu
nenek buyutnya" Kami berjalan menjauhi Hecate dan menuruni bukit curam ke arah rumah kaca.
Aku bertanya-tanya apakah dia membawaku ke sana untuk dilatih, tetapi ketika
kami tiba, dia berbelok ke arah kiri dan menarikku ke dalam hutan.
Aku tidak pernah berada di dalam hutan yang mengelilingi Hecate, dan karena
alasan yang benar, tempat itu menakutkan bagai neraka. Dan tentu saja kalau
malam jadi dobel menakutkannya. Aku melangkah menginjak batu dengan kaki
telanjangku dan berjengit. Ketika sesuatu yang lembut menyapu pipiku, aku
sedikit terpekik. Aku mendengar Alice menggumamkan beberapa patah kata, dan tiba-tiba ada bola
cahaya besar muncul di depan kami, cukup terang sehingga aku harus memayungi
mataku. Alice menggumamkan sesuatu dengan pelan, dan lingkaran itu tersentak
ke atas seolah-olah seseorang menahannya dengan benang. Bola cahaya itu
melayang sampai kira-kira berada sekitar tiga meter di atas kepala kami,
mengeluarkan cahaya ke segala arah.
Kau pasti menyangka bahwa cahaya itu membuat hutan kelihatan tidak begitu
menakutkan tetapi sebenarnya malah memperburuk keadaan. Sekarang bayangbayang
bergerak di atas tanah, dan aku melihat mata binatang secara sekilas. Kami
menyeberangi kali kering, dan yang membuat kau terkejut, Alice melompat dengan
luwes ke dalamnya. Aku mengikutinya, secara jauh dari anggun, tergelincir di
atas tanah gembur dan memaki. Kalau tadi kupikir hutan itu menyeramkan, ternyata tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan kali kering. Batu-batunya tajam di bawah kaki telanjangku,
dan tampaknya ke mana pun aku memandang, ada lubang-lubang gelap dan akar
terpapar yang kelihatan mirip dengan usus semacam hewan raksasa. Pada
akhirnya, aku hanya mencengkeram tangan Alice dan memejamkan mata sampai
kami berhenti mendadak. Aku membuka mata dan langsung menyesalinya.
Di depanku ada pagar besi tempa yang ditutupi oleh karat. Di belakang pagar ada
enam batu nisan. Empat di antaranya sedikit miring dan tertutup lumut, tetapi
yang dua lagi berdiri tegak dan seputih tulang.
Batu nisan tersebut saja sudah cukup menggelisahkan, tetapi benda lainlah di
perkuburan kecil ini yang membuat jantungku pindah ke perut, dan ada rasa logam
ketakutan di mulutku. Patung itu sekitar dua setengah meter tingginya, mungkin sedikit lebih tinggi.
Patung malaikat yang dipahat dari batu berwarna kelabu muda, sayapnya
membentang lebar. Pahatannya juga dibuat dengan halus sehingga kau bisa melihat
setiap bulunya. Demikian juga dengan jubah si malaikat yang tampak berkibar dan
melayang tertiup angin yang tidak ada. Di satu tangannya patung itu memegang
pedang. Gagang pedangnya diukir dari batu yang sama dengan patung itu, tetapi
bilahnya terbuat dari semacam kaca berwarna gelap, yang bersinar cemerlang
ditimpa cahaya dari bola. Tangan malaikat yang satunya terjulur di depannya,
telapak tangan di depan, seakan-akan sedang memperingatkan orang lain agar
jangan mendekat. Raut wajahnya mengandung kewibawaan yang begitu tegasnya
sehingga bisa membuat Mrs. Casnoff malu.
Malaikat itu sudah tidak asing lagi bagiku, dan aku menyadari sambil terperanjat
bahwa makhluk itu sama dengan yang digambarkan di jendela berkaca patri di
Hecate. Malaikat yang membuang Prodigium.
"Apa..." Aku terdiam mendadak dan mendeham. "Tempat apa ini?"
Alice sedang mendongak memandang malaikat itu sambil tersenyum samar.
"Rahasia," jawabnya.
Aku bergidik dan menarik blazerku lebih erat lagi menyelubungi tubuhku. Aku
ingin bertanya kepadanya apa maksud perkataannya itu, tapi ada air muka sekeras
baja di wajahnya yang mengisyaratkan mungkin aku tidak akan mendapatkan
jawaban. Bukankah brosur mengatakan bahwa salah satu peraturan besar Hecate
adalah jangan pernah memasuki hutan" Aku berasumsi bahwa hutannya berbahaya
atau apalah. Tapi mungkin lebih dari itu.
Angin semakin kencang, menggoyangkan dedaunan dan membuat gigiku
bergemeletuk. Mengapa tidak terpikir olehku untuk menyambar sepatu, pikirku
sambil menggosok-gosokkan satu kaki yang kebas ke kaki lainnya.
"Ini," kata Alice, sambil menunjuk kakiku. Kakiku terasa geli sebentar, dan di
depan mataku, kakiku tiba-tiba dibalut pertama-tama oleh kaus kaki wol putih dan
kemudian dengan sepasang sepatu merah bulu kesukaanku. Sepatu yang, setahuku,
masih bertengger di dasar lemariku di Vermont.
"Bagaimana caramu melakukannya?"
Tapi, Alice hanya tersenyum secara misterius.
Dan tanpa aba-aba dia melecutkan tangannya di udara.
Aku merasakan tonjokan keras di dadaku yang membuat aku terjatuh. Aku
terjerembab ke tanah sambil berseru kaget, "Aduh!"
Seraya duduk, aku membeliakkan mata kepadanya. "Apa pula itu?"
"Itu," katanya dengan tajam, "adalah mantra penyerang yang luar biasa
sederhananya sehingga seharusnya bisa kau tangkis."
Aku menatapnya sambil terkejut. Itu salah satu serangan yang dilancarkan oleh
Archer di dalam pelajaran Pertahanan, tetapi diserang tanpa tedeng aling-aling
oleh nenek buyuku itu benar-benar memalukan.
"Bagaimana aku bisa menangkisnya kalau aku tidak tahu bahwa kau hendak
melakukan itu?" tukasku.
Alice berjalan menghampiriku dan mengulurkan tangannya untuk menarikku
berdiri. Aku tidak menerimanya, sebagian besar karena aku jengkel, selain itu
karena Alice kelihatan seperti beratnya sekitar empat puluh kilo, dan kupikir
aku mungkin berakhir dengan menariknya agar terjatuh bersamaku.
"Seharusnya kau bisa merasakan bahwa aku akan melakukan itu, Sophia.
Seseorang dengan kekuatan sebesar dirimu selalu bisa mengantisipasi sebuah
serangan." "Apa ini?" tanyaku, sambil mengibas-ngibaskan debu dan daun pinus dari
bokongku yang sekarang nyeri. "Seperti di Star Wars" Apakah aku seharusnya bisa
'merasakan gangguan di dalam pesawat'?"
Sekarang giliran Alice yang berkedip bingung.
"Lupakan saja," gumamku. "Lagi pula kau memperhatikan aku selama enam
minggu belakangan ini, kau mungkin menyadari satu fakta bahwa aku sama sekali
tidak memiliki 'kekuatan besar'. Aku ini, seperti, penyihir yang paling lemah di
sini. Jelas sekali, bahwa kekuatan super keluarga melewati cewek yang satu ini."
Alice menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku bisa merasakannya. Kekuatanmu
sama besarnya dengan kekuatanku. Kau hanya belum tahu bagaimana cara
menggunakannya. Itulah sebabnya aku ada di sini. Untuk membantumu mengasah
dan membentuk kekuatan itu. Mempersiapkan dirimu untuk peran yang harus kau
mainkan." Aku mendongak menatapnya. "Jadi kau seperti, Mr. Miyagi pribadiku?"
"Aku sama sekali tidak tahu apa artinya itu."
"Maaf, maaf. Aku akan mencoba untuk menghentikan rujukan terhadap budaya
pop. Apa maksudmu dengan peran yang harus aku mainkan?"
Alice menatapku seakan-akan aku ini bodoh. Dan dia benar, aku merasa sangat
bodoh. "Ketua Dewan." Bab 22 "BAIKLAH, MENGAPA AKU menginginkan itu?" tanyaku sambil tertawa kecil.
"Aku sama sekali tidak tahu menahu tentang Prodigium, dan aku penyihir payah."
Angin menerbangkan rambutku, meniupnya sampai masuk ke mulut dan mataku.
Dari balik helaian yang menutupi wajahku, aku melihat Alice menjentikkan
tangannya ke arahku. Rambutku tersibak dari wajahku dan menata dirinya menjadi
gelungan ketat di atas kepalaku. Begitu ketatnya sehingga mataku berair.
"Sophia," kata Alice dengan nada yang digunakan untuk menenangkan anak balita
yang ngambek. "Kau hanya menganggap dirimu payah."
Kata "payah" konyolnya terdengar berkelas diucapkan oleh logat Inggris Alice
yang medok, sehingga mau tak mau aku tersenyum simpul. Kurasa dia
menganggapnya sebagai pertanda baik, karena dia menggamit tanganku. Kulitnya
halus dan sedingin es saat kami bersentuhan.
"Sophia," katanya dengan suara yang lebih lembut. "Kau sangat kuat. Kau hanya
kurang beruntung karena dibesarkan oleh manusia. Dengan latihan dan bimbingan
yang tepat, kau bisa membuat gadis-gadis lain itu - apa istilah yang dipakai oleh
teman separuh manusiamu untuk menyebut mereka" 'Penyihir dari Noxema'?"
"Jenna bukan separuh manusia," kataku dengan cepat, tapi Alice tak
menggubrisku. "Kau bisa jauh, jauh lebih kuat daripada siapa saja. Dan aku bisa
menunjukkan caranya kepadamu."
"Tapi kenapa?" tanyaku.
Alice tersenyum dengan misterius lagi dan menepuk-nepuk lenganku. Walaupun
aku tahu bahwa Alice meninggal pada usia delapan belas tahun, yang artinya dia
hanya lebih tua dua tahun saja dariku, ada sesuatu yang sangat kenenek-nenekkan
dalam sentuhannya. Dan setelah seumur hidupku aku hanya punya Mom sebagai
keluarga, rasanya menyenangkan.
"Karena kau adalah darah dagingku," jawabnya. "Karena kau berhak mendapatkan
yang lebih baik. Menjadi seperti yang sudah ditakdirkan untukmu."
Aku tidak tahu harus berkata apa. Apakah aku ditakdirkan sebagai ketua Dewan"
Aku terkenang akan sebuah khayalan tentang memiliki sebuah toko buku New Age
itu, membaca telapak tangan dan memakai baju kaftan besar berwarna ungu.
Sekarang itu rasanya teramat jauh, dan - sejujurnya - agak bodoh.
Kemudian aku teringat Elodie, Chaston, dan Anna yang berpendar dan melayang
di perpustakaan. Mereka kelihatan seperti dewi-dewi, dan walaupun aku ketakutan,
aku iri pada mereka. Apakah benar-benar mungkin aku bisa menjadi lebih baik
daripada mereka" Alice tertawa. "Oh, kau akan jauh lebih baik daripada gadis-gadis itu."
Bagus, dia bisa membaca pikiranku.
"Ayolah, kita tidak punya waktu lagi."
Kami berjalan melewati pekuburan dan ke dalam lapangan di dalam lingkaran
pohon-pohon ek. "Di sinilah tempat kita akan bertemu," kata Alice. " Di sinilah tempat aku akan
melatihmu untuk menjadi penyihir yang sesungguhnya."
"Kau tahu, kan, bahwa aku harus belajar di kelas" Aku tidak bisa terjaga
sepanjang malam." Alice merogoh dan melepaskan kalung dari lehernya. Tangannya berpedar dengan
cahaya yang lebih terang daripada cahaya lingkaran yang masih melayang di atas
kami. Kemudian cahaya itu mendadak padam dan dia menyerahkan kalung itu
kepadaku. Kalungnya nyaris terlalu panas untuk disentuh. Hanya rantai perak
sederhana dengan liontin persegi yang kira-kira sebesar prangko. Di tengahnya
ada batu hitam berbentuk tetesan air.
"Nah. Warisan keluarga," katanya. " Selama kau memakai itu, kau tidak akan
pernah menjadi kelelahan."
Aku menatap kalungnya dengan kagum. "Apakah aku akan mempelajari mantra
itu?" Dan untuk pertama kalinya, Alice menyunggingkan senyuman sungguhan,
senyuman lebar yang mencerahkan seluruh wajahnya dan membuat parasnya yang
agak biasa-biasa saja menjadi cantik.
Dia mencondongkan tubuhnya dan menggenggam kedua tanganku, menarikku
semakin mendekat sampai wajah kami hanya beberapa senti saja jauhnya.
"Itu semua dan masih banyak lagi," bisiknya. Dan ketika dia cekikikan, aku
mendapati diriku juga tertawa.
*** Beberapa jam kemudian, aku tak lagi tertawa. Bahkan aku tidak bisa
menyunggingkan senyuman. "Lagi!" bentak Alice. Bagaimana bisa gadis sekecil dia punya suara senyaring
itu" Aku menghela napas dan memutarkan pundakku. Aku memfokuskan diri sekeras
mungkin ke tempat kosong di hadapanku, menyuruh sebatang pensil untuk muncul
dengan sekuat tenaga. Selama jam pertama, kami hanya berlatih mantra-mantra
penangkis. Aku berhasil dengan baik menangkis mantra serangan Alice, walaupun
aku tidak bisa merasakan kedatangannya. Tetapi, selama satu jam belakangan kami
berusaha membuat sesuatu muncul dari kehampaan. Kami memulainya dengan
benda-benda kecil, itulah gunanya pensil, dan Alice berkata itu hanya soal
berkonsentrasi belaka. Tapi, aku dari tadi sudah berkonsentrasi sekuat tenaga sehingga aku khawatir
jangan-jangan aku melihat pensil kuning Nomor 2 setiap kali aku memejamkan
mata. Aku bisa membuat rumput bergetar membentuk gumpalan, dan setelah satu
saat yang membuat frustrasi, aku berhasil membuat batu melayang ke arah Alice,
tapi tidak ada pensil. "Apakah sebaiknya kita memulai dengan benda yang lebih kecil lagi?" tanya
Alice. "Penjepit kertas, mungkin" Semut?"
Aku melirik tajam kepadanya dan menarik napas dalam-dalam lagi.
Pensil, pensil, pensil, pikirku. Pensil kuning terang, penghapus empuk pink,
SAT, kumohon, kumohon... Kemudian aku merasakannnya. Rasanya seperti air yang mengalir dari telapak kaki
dan ke ujung jemariku. Tapi, kali ini bukan cuma air. Ini sungai. Semuanya yang
berada di dalam diriku seakan-akan bergetar. Aku merasa terbakar di belakang
mataku, tetapi panasnya rasanya enak, seperti jok kursi mobil yang hangat
terkena sinar matahari terasa di punggungmu pada hari yang sejuk. Wajahku nyeri, dan aku


Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyadari itu karena aku tersenyum.
Pensilnya muncul dengan perlahan, tampak seperti hantu pada awalnya, sebelum
akhirnya menjadi padat. Aku mengulurkan tanganku, sihir itu masih berdenyut
mengaliri diriku, dan berputar kepada Alice untuk mengatakan sesuatu seperti,
"Neener neener!"
Tapi kemudian, kulihat dia tidak sedang menatapku. Melainkan melewati aku, ke
tempat pensilnya berada. Aku berpaling dan terkesiap.
Sekarang tidak hanya ada satu pensil di hadapanku. Ada gundukan yang mungkin
terdiri dari tiga puluh pensil yang saling tumpang-tindih, dan lebih banyak lagi
yang bermunculan. Aku menjatuhkan tanganku dan merasakan sihir itu langsung berhenti, seolah-olah
hubungan yang diputuskan.
"Ya ampun!" seruku dengan pelan.
"Wah, wah," hanya itulah komentar Alice.
"Aku..." Aku menatap tumpukan itu. "Aku melakukan itu," kataku akhirnya,
bahkan seraya menendang diriku sendiri di dalam hati karena kedengaran begitu
tolol. "Memang benar kau melakukannya," kata Alice sambil menggelengkan kepalanya
sedikit. Kemudian dia tersenyum. "Sudah kubilang."
Aku tertawa, tapi lalu sesuatu terpikir olehku.
"Tunggu. Kau bilang mantra penidurnya hanya berlaku selama empat jam." Aku
melirik arlojiku. "Sekarang sudah hampir empat jam, dan diperlukan setidaknya
setengah jam untuk datang ke sini. Bagaimana kita akan kembali tepat pada
waktunya?" Alice tersenyum, dan dengan jentikan jarinya, dua sapu tiba-tiba muncul di
sampingnya. "Kau bercanda," kataku.
Senyumannya melebar, dan dia melangkahkan satu kaki ke atas sapu dan meluncur
ke langit. Dia kembali turun dan melayang beberapa meter di atas kepalaku, dan
tawanya menggema menembus hutan.
"Ayolah, Sophia!" panggilnya. "Bersikaplah tradisional sesekali!"
Sambil mengangkat diriku dari tanah, aku mencengkeram leher sapu yang
ramping. "Apakah benda ini bisa menahanku?" seruku kepadanya. "Tidak semua berbelanja
di Baby GAP!" Bahkan kali ini Alice tidak mau repot-repot bertanya apa yang kubicarakan. Dia
hanya tertawa dan berkata, "Aku akan buru-buru kalau aku jadi kau! Tinggal lima
belas menit di antara kau dan tugas ruang bawah tanah sepanjang tahun!"
Jadi, aku pun menaiki sapu itu. Aku tidak seanggun Alice, tetapi ketika sapunya
mendadak naik ke udara, aku tak peduli betapa tidak bermartabatnya tampangku.
Aku mencengkeram pegangannya dengan lebih erat lagi dan memekik kaget saat
udara malam menerpaku. Setelah itu, aku berada di langit.
Aku berasumsi bahwa sapu itu akan melesat dan aku akan berpegangan demi
keselamatan jiwaku, tetapi rupanya sapunya semacam meluncur, dan aku terkesiap,
bukan karena takut melaikan merasakan gairah yang menggelora. Udaranya dingin
tapi lembut di sekelilingku, dan sementara aku mengikuti Alice ke sekolah, aku
mengumpulkan nyali untuk melongok ke pepohonan di bawahku. Alice sudah
mematikan bola api, jadi yang bisa benar-benar kulihat hanyalah gumpalangumpalan
gelap, tapi aku tak peduli. Aku sedang terbang - benar-benar, demi
Tuhan, terbang. Bintang-bintang di atas terasa cukup dekat untuk disentuh, dan jantungku rasanya
bagaikan melayang bebas di dalam dadaku. Di kejauhan aku bisa melihat pendaran
hijau gelembung yang mengelilingi Hecate, dan kuharap kami tidak akan pernah
sampai di sana, sehingga aku bisa terus merasakan perasaan yang seringan,
sebebas ini selamanya. Terlalu cepat, kami mendarat tepat di depan beranda depan. Pipiku terasa kering
dan nyeri, tanganku kebas, tapi aku tersenyum seperti orang sinting.
"Itu," kataku, "adalah hal yang paling keren sedunia. Mengapa tidak semua
penyihir melakukan itu?"
Alice tertawa sambil turun. "Kurasa itu dianggap klise."
"Nah, masa bodoh dengan itu," kataku. "Kalau aku jadi ketua Dewan, itu akan
menjadi satu-satunya cara untuk bepergian."
Alice tertawa lagi. "Senang mendengarnya."
Kami memandang gelembung yang menyelubungi Hecate mulai meredup.
"Kurasa itu artinya aku harus masuk," kataku. "Jadi, waktu yang sama, tempat
yang sama besok?" Alice mengangguk dan merogoh ke dalam saku gaunnya dan mengeluarkan pundi
kecil. "Bawalah ini."
Kantong itu terasa lembut di tanganku, dan aku bisa merasakan isinya bergerak.
"Apa ini?" "Tanah dari kuburanku. Kalau kau perlu kekuatan ekstra untuk sebuah mantra,
taburkan saja sedikit ke tanganmu maka akan cukup."
"Baiklah. Eh, trims." Sebenarnya asyik juga punya alat bantu sihir tambahan,
tetapi di dalam hati, yang bisa kupikirkan hanyalah, tanah kuburan" Jijik.
"Dan, Sophia," tambah Alice saat aku berputar untuk pergi.
"Ya?" Dia menghampiriku dan memegang pundakku, sambil menarik kepalaku ke
mulutnya. Untuk sedetik kupikir dia akan mengecup pipiku atau apa, tapi
kemudian dia berbisik, "Berhati-hatilah. Mata melihatmu, bahkan di sini."
Aku tersentak mundur, jantungku berdegup kencang dan mulutku kering, tetapi
sebelum aku bisa menjawab, Alice tersenyum dan menghilang.
Bab 23 "JADI," DENGAN TERENGAH-ENGAH aku bertanya kepada Archer seminggu
kemudian, "sudahkah kau memilih warna pink yang tepat untuk jasmu?"
Kami sedang berada di kelas Pertahanan, dan aku hanya terengah-engah karena
baru saja melancarkan pukulan yang mengakibatkan Archer terbanting ke matras
untuk yang kelima belas kalinya hari itu. Kekurangan oksigenku tidak ada
hubungannya dengan betapa tampannya dia kelihatan dalam balutan T-shirt
ketatnya. Aku tak percaya aku berhasil menumbangkannya sebanyak itu. Kalau dia
tidak semakin buruk maka aku yang menjadi semakin baik. Maksudku, aku tidak
akan pernah menjadi Gladiator Amerika, tapi aku tidak jelek-jelek amat. Dan aku
terjaga sepanjang malam. Kalungku menyentuh dadaku saat aku membungkuk untuk menawarkan tangan
kepada Archer. Jimat Alice bekerja bagaikan... yah, kau pasti mengerti. Aku
hanya sempat tidur dua jam selama tiga malam pertama, tapi aku bangun dengan
perasaan baik-baik saja. Pagi pertama aku merasa ketakutan jangan-jangan Mrs.
Casnoff akan menarikku ke kantornya dan bertanya apakah aku tahu tentang
mantra penidur yang diletakkan di sekolah, tetapi ketika itu tidak terjadi, aku
mulai sedikit santai. Bahkan sekarang aku tidak usah repot-repot tidur. Aku hanya
cukup berbaring di tengah kegelapan, merasa sama tidak sabarannya seperti anak-anak
pada Malam Natal sampai aku melihat pendaran hijau lembut memasuki jendelaku.
Kemudian, aku bergegas keluar, melompat ke atas sapuku, dan melesat ke langit
malam sampai aku sampai di pekuburan.
Aku tahu apa yang kulakukan ini berbahaya dan mungkin sedikit bodoh. Tapi,
ketika aku mengarungi langit atau melakukan mantra-mantra yang begitu kuatnya
yang tak pernah kubayangkan ada, sulit untuk mengingat itu.
Archer nyengir saat aku membantunya berdiri.
"Benar, serius," kataku. "Tempo hari Elodie berkata kalian berdua akan kelihatan
serasi. Jadi, warna apa" 'Pink menggelitik'" 'Mawar Merambat', mungkin" Ooh,
ooh, aku tahu! 'Semburat Perawan'!"
All Hallow's Eve Ball tinggal seminggu lagi, dan sepertinya hanya itulah yang
dibicarakan oleh semua orang. Bahkan di kelasnya Byron pun tugas kami adalah
mengubah soneta tentang pakaian yang akan kami kenakan. Aku masih tidak
punya bayangan mau pakai apa. Ms. East bertugas untuk mengajari kami merapal
mantra pengubah yang akan menciptakan gaun dan jas kami. Baru saja kemarin dia
memberikan masing-masing satu boneka yang memakai sesuatu yang mirip sarung
bantal dengan lubang lengan kepada kami. Aku tak tahu mengapa kami tidak
mengubah pakaian yang kami punya saja, tapi kurasa itu hanya salah satu
peraturan bodoh Hecate lainnya.
Para shapeshifter dan peri harus mendapatkan pakaian mereka sendiri, yang
artinya kotak-kotak datang tanpa hentinya selama beberapa hari belakangan ini.
Dan masih ada persoalan tentang Jenna. Aku sudah menawarkan untuk
membuatkannya gaun, tetapi dia menatapku seakan-akan aku ini benar-benar
bodoh dan berkata tidak mungkin dia akan pergi ke pesta "dansa idiot" itu.
Kami berlatih mantra itu setiap hari di dalam kelas Ms. East, tetapi sejauh ini
semua yang kucoba selalu menjadi sedikit norak. Kata Ms. East, itu hanya karena
aku terlalu bersemangat, tapi aku tak percaya. Bagiku sama sekali tidak ada yang
membuat semangat pada pesta dansa itu. Aku tidak hendak "menyerahkan diriku"
kepada siapa-siapa. "Diam kau," kata Archer dengan bercanda, sambil mengangkat lengan ke atas
kepalanya untung peregangan. "Asal kau tahu saja, hanya dasi kupu-kupuku saja
yang warnanya pink, dan aku punya rencana untuk membuatnya keren, terima
kasih banyak." Aku mencoba untuk balas tersenyum, tetapi aku mencoba untuk tidak menatap
seutas kulit yang mengintip di bawah T-shirt-nya saat dia membungkuk.
Seperti biasa, mulutku sedikit jadi kering dan napasku agak memburu, dan
perasaan aneh yang nyaris sedih itu mengendap di perutku.
Tak pernah terpikirkan olehku aku akan gembira saat mendengar suara ringkikan si
Vandy, tetapi ketika dia berteriak, "Baiklah! Sampai di sini untuk hari ini!"
Aku bisa mencium guru itu. Yah, setelah dipikir-pikir lagi, tidak. Mungkin berjabat tangan dengan erat
saja. *** "Kutu kupret makan karet," rutukku satu jam kemudian.
Aku sedang menatap upaya terakhirku untuk membuat gaun pesta. Setidaknya
yang ini berhasil terhindar dari kasus kenorakan yang serius, tetapi gaun ini
berwarna kuning kehijauan menjijikkan yang biasanya terdapat di popok bayi atau
di sekitar bencana nuklir.
"Nah, Miss Mercer. Itu... sebuah kemajuan, kurasa," kata Ms. East. Bibirnya
dikatupkan erat-erat, sungguh mengherankan ada kata-kata yang berhasil
melarikan diri. "Benar," kata Jenna. Dia sedang duduk di bangku di sebelahku. Dia menghabiskan
sebagian besar jam pelajaran itu dengan membaca komik manga yang sangat
disukainya. "Kau semakin membaik," katanya memberi semangat, tetapi dia merengut saat
melihat karya adi busanaku yang terakhir.
"Yah, setidaknya yang ini tidak menggulingkan tiga meja," Elodie mengejek dari
sampingku. Gaunnya, tentu saja, sungguh menawan.
Aku berasumsi pesta dansa itu seperti prom versi monster, dan bahwa gaungaunnya
mirip dengan yang biasa kau lihat di sekolah menengah biasa. Yah, tidak
begitu jauh berbeda. Gaun-gaun yang sedang dibuat oleh kebanyakan gadis-gadis
tampak seperti seolah-olah berasal dari negeri dongeng.
Tetapi, gaun Elodie dengan mudah menjadi yang paling cantik di kelas.
Berpinggang tinggi dengan lengan kecil yang halus dan rok menggembung, gaun
itu tampak seperti sesuatu yang kau pakai kalau kau berada di buku Jane Austen.
Aku menggoda Archer karena warnanya pink, tapi bahkan aku pun harus mengakui
bahwa jenis pink-nya sangat indah. Jauh dari "Electric Raspberry", warnanya
lebih mendekati pink pucat yang terkadang kau temukan di dalam kerang mutiara. Gaun
itu berpendar seperti mutiara, dan Elodie akan kelihatan cantik jelita
memakainya. Sialan. Dengan frustrasi, aku berpaling ke gaunku sendiri. Aku meletakkan kedua
tanganku di samping pinggang boneka itu dan berpikir, Gaun cantik, gaun cantik,
sesuatu yang biru, sesuatu yang biru, sekuat tenaga. Sungguh menjengkelkan
karena aku tahu aku sekarang bisa membuat sesuatu yang sebesar kursi muncul
dari udara kosong, tapi tampaknya aku tidak bisa membuat gaun yang tidak luar
biasa mengerikannya. Baiklah, jadi kursi yang kuwujudkan semalam memang
ukuran balita, tapi tetap saja.
Aku merasakan bahannya bergerak dan bergeser di bawah tanganku. Kumohon,
pikirku, mataku terpejam rapat-rapat.
Kemudian aku mendengar Elodie dan Anna tertawa terbahak-bahak.
Sialan. Aku membuka mataku dan menatap benda ganjil berkain tule biru dengan rok yang
hanya sampai di pertengahan pahaku kalau kupakai. Aku akan kelihatan seperti
pengantin nakal pasangan Cokie Monster.
Aku menggerutukan kata yang benar-benar kotor dengan pelan, yang membuat aku
dianugerahi tatapan keji dari Ms. East, tetapi anehnya, tanpa disertai hukuman.
Kurasa dia tidak bisa benar-benar menyalahkan aku setelah melihat gaun itu.
"Wow, Sophie, itu benar-benar luar biasa." Elodie berjalan menghampiriku, satu
tangan di pinggangnya. "Kurasa kau punya masa depan gemilang dalam dunia
desain mode." "Ha-ha," gumamku, yang, dalam hal berbalas cemoohan, hampir sama kerennya
dengannya. "Begitulah."
"Aku tak habis pikir aku benar-benar mengundangmu untuk bergabung dengan
kelompokku," katanya, sambil mengalihkan mata hijaunya itu kepadaku.
Aku mengerang dalam hati. Mata Elodie hanya cemerlang saat dia hendak
menyampaikan sesuatu yang benar-benar membanting harga diri. Terakhir kali aku
melihatnya seperti ini yaitu pada malam dia menyebut Jenna orang aneh pengisap
darah setelah mereka menemukan Chaston.
"Beginilah rupanya kau, putri ketua Dewan, bahkan kau tak bisa membuat gaun.
Menyedihkan." "Dengar, Elodie, aku tak mau bertengkar. Jadi... jangan ganggu aku dan biarkan
aku mengerjakan gaunku, mengerti?"
Tapi, dia sama sekali belum selesai denganku.
"Mengapa kau bahkan peduli tentang membuat gaun untuk ke pesta" Untuk siapa
kau mau berdandan cantik" Archer?"
Aku menahan diri mati-matian agar tetap tenang, bahkan saat kedua tanganku
mengencang memegang bahan di depanku.
Elodie membungkuk lebih dekat lagi, jadi aku ragu kalau ada orang lain yang bisa
mendengar saat dia berbisik, "Apakah menurutmu aku tidak melihat caramu
memandang Archer?" Sambil menjaga tatapanku agar tetap tertuju ke boneka, aku berkata dengan suara
yang paling pelan, paling tenang yang bisa kuucapkan, "Hentikan itu, Elodie."
"Maksudku, kau naksir dia itu sungguh manis. Dan dengan 'manis' tentu saja
maksudku tragis," lanjutnya.
Dari sudut mataku, aku bisa melihat hampir setiap orang sudah berhenti bekerja
dan memperhatikan kami. Ms. East berpura-pura tak mengacuhkan kami, jadi aku
tahu bahwa aku sedang dilemparkan ke kawanan serigala kali ini.
Aku menarik napas panjang dan berbalik menghadapi Elodie, yang sedang
menyeringai kepadaku dengan penuh kemenangan.
"Oh, Elodie," kataku dengan suara yang begitu manis sampai-sampai meneteskan
sirop. "Jangan mengkhawatirkan aku dan Archer. Lagi pula, bukan aku yang punya
rencana untuk tidur dengannya di pesta nanti."
Tawa seisi kelas pun pecah, dan Elodie melakukan sesuatu yang belum pernah
kulihat sebelumnya, dia berubah menjadi merah padam dan benar-benar tergagap
saat berusaha mencari kata-kata balasan.
Ms. East memilih saat itu untuk berteriak, "Miss Mercer! Miss Parris! Kembalilah
bekerja!" Sambil tersenyum, aku kembali ke gaunku. Tetapi, perasaan menang itu langsung
kempis oleh bencana biru terang di hadapanku.
"Apakah sihirmu terasa luntur atau apa?" tanya Jenna dengan pelan.
"Tidak, rasanya sama seperti biasanya. Air mengalir dari kaki dan semua itu."
"Apa?" Anna menyeringai, sambil meletakkan tangan di pinggulnya. "Bagaimana
sihirmu terasa?" "Eh... seperti sesuatu yang datang dari bawahku," kataku, cepat-cepat
mengucapkannya. "Bukan begitu rasanya sihir," kata Anna.
Aku memandang berkeliling dan melihat ada beberapa penyihir lain yang
menatapku dengan bingung.
"Sihir datang dari atas," lanjut Anna. "Rasanya seperti sesuatu yang jatuh dari
atasmu, seperti..." "Salju," Elodie menyelesaikan.


Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wajahku panas saat berputar ke bonekaku. "Kalau begitu kurasa sihirku berbeda."
"Kau akan merasakannya," kata Jenna, sambil melemparkan tatapan jahat kepada
Anna. "Oh, aku tahu aku akan menjadi lebih baik," jawabku, sambil mengusapkan tangan
ke rangka tule di bagian belakang gaun. (Rangka" Sialan kau, kekuatan sihir.)
"Inilah baju yang sedang kubuat untukmu."
"Oh, sungguh?" tanyanya, senyumannya melebar.
"Ya, tapi kita mungkin harus memendekkannya. Tidak ingin membuatnya
terseretseret di lantai."
Dengan bercanda dia menonjok lenganku dengan punggung tangannya, dan tahutahu
kami sudah tertawa. Aku menghabiskan sisa jam pelajaran itu dengan berusaha membuat gaun terburuk
yang bisa kubuat, yang hanya kelihatan lucu bagiku dan Jenna. Tak terhitung
sudah berapa kali Ms. East mengancam untuk mengeluarkan kami dari kelas, dan
Elodie memutarkan matanya berkali-kali sehingga akhirnya Jenna bertanya apakah
dia sedang kesurupan. Itu membuat kami tertawa terpingkal-pingkal sehingga
akhirnya Ms. East mengusir kami dari kelas, dan memberikan tugas membuat esai
sepanjang tujuh halaman kepada masing-masing tentang sejarah mantra pakaian.
Aku tak peduli. Untuk mendengar Jenna tertawa lagi, aku rela menulis seratus
halaman juga. *** "Aku tak tahu apa yang berubah," kataku kepada Alice malam itu saat kami
berjalan menembus hutan, sambil memetiki daun mint untuk mantra yang bisa
memperlambat waktu. "Semenit sebelumnya Jenna pemurung seperti sebulan
sebelumnya, tahu-tahu kami kembali bersahabat."
Alice tidak mengatakan apa-apa, jadi aku berkata, "Bukankah itu bagus?"
"Kurasa." "Kau rasa?" kataku, sambil menirukan logatnya.
Dia menegakkan diri dan memelototiku.
"Aku hanya tidak suka kau punya vampir sebagai sahabat kental. Itu merendahkan
derajatmu." Aku tertawa. "Oh, ya Tuhan, merendahkan derajatku" Yang benar saja."
Alice menghela napas saat dia menjejalkan segenggam daun ke dalam kantong
kulit yang dia ciptakan. "Teman-temanmu adalah urusanmu, Sophia. Aku mencoba
untuk menghormatinya. Sekarang ceritakanlah tentang pesta yang akan
diselenggarakan ini."
Aku membungkuk untuk memetik segerumbul mint. "Sebenarnya buruk. Untuk
Halloween. Seharusnya pesta itu menyenangkan. Apalagi karena aku tidak bisa
membuat gaun yang tidak benar-benar menyebalkan. Oh, dan - sebagai bonus aku harus mengalami penderitaan melihat seorang cewek yang kubenci kelihatan
benar-benar cantik dan menggoda cowok yang kutaksir. Pasti akan asyik sekali."
"Elodie?" Aku mengangguk. Alice mencibir. "Aku tak peduli pada gadis itu. Dia sudah bersikap cukup kejam
terhadapmu. Tak diragukan lagi karena kekuatanmu lebih tinggi daripada
kekuatannya sendiri. Ada beberapa hal yang lebih menjijikkan bagiku daripada
penyihir lemah." "Wow, coba katakan bagaimana pendapatmu yang sesungguhnya."
Alice mengerjapkan matanya. "Aku baru saja mengatakannya."
"Lupakan saja. Menurutku tidak adil karena dia begitu mengerikan, tapi mantra
gaunnya menjadi begitu indah. Dia akan kelihatan mengagumkan."
Dan tidur dengan Archer, tambahku tanpa suara.
Aku lupa bahwa Alice bisa membaca pikiranku. "Oh. Apakah Archer itu anak
lelaki yang kau sukai?"
Tidak ada gunanya menyangkal bahwa aku "menyukai"-nya. Aku mengangguk.
"Huh," jawab Alice. "Mengapa kau tidak memakai jampi-jampi cinta saja
kepadanya" Jampi-jampi itu sangat sederhana."
Aku menjejalkan mint lagi ke tasku. "Karena aku... Begini, ini kedengarannya
bodoh, tapi aku benar-benar menyukainya, dan aku tidak ingin dia balas
menyukaiku hanya karena, misalnya, gara-gara semacam mantra."
Kusangka Alice akan mendebatku, tapi dia hanya mengedikkan pundaknya dan
berkata, "Ketertarikan punya kekuatan sihir sendiri, kurasa."
"Ya,well, mungkin tidak akan ada kesempatan sama sekali untuk dia tertarik
kepadaku. Kupikir mungkin di pesta itu... tapi aku bahkan tidak bisa membuat
gaun yang pantas." Aku berputar ke Alice. "Mengapa ketika aku bersamamu di sini, aku bisa merapal
mantra-mantra yang benar-benar keren, tapi sewaktu aku berada di sekolah, semua
yang kulakukan meledak di wajahku?"
"Rasa percaya diri?" Alice menyarankan. "Kau merasa tidak percaya diri di
sekolah itu, dan itu tercerminkan di dalam sihirmu."
"Mungkin." Kami melanjutkan memetiki tumbuhan selama beberapa saat, "Katamu gaun gadis
ini cantik?" Aku menghela napas. "Gaunnya sempurna."
Alice tersenyum, dan diterangi bola cahaya, aku berani sumpah giginya benarbenar
berkilat-kilat. "Apakah kau mau mengubahnya?"
Bab 24 PELAJARAN DITIADAKAN PADA HARI diselenggarakannya pesta, dan karena
itu salah satu hari yang indah dan cerah di bulan Oktober, hampir semua orang
menghabiskannya di luar. Semua orang kecuali aku. Yah, aku dan Jenna. Bahkan
dengan batu darahnya pun, dia bukan penggemar sejati luar ruang. Dia meringkuk
di tempatnya yang biasa, di atas tempat tidur, diselubungi selimut, dengan manga
di tangan. Aku duduk di tempat tidurku sambil menatap boneka gaunku yang tolol, yang
masih memakai sarung bantal. Aku menghabiskan waktu dari pagi untuk mencoba
mengubahnya menjadi sesuatu yang setidaknya separuh wajar, dan sama sekali
tidak beruntung. Aku tidak habis pikir; aku tahu diriku bukanlah penyihir
jempolan, tapi mantra transformasi seharusnya tidak sesulit ini. Memang, aku
belum pernah berusaha untuk melakukan sesuatu yang serumit ini sebelumnya, tapi
setidaknya aku seharusnya bisa membuat sepotong gaun hitam kecil. Tetapi itu pun
ternyata jadinya hanya satu bentuk, bentuknya lurus sekali.
Aku menghela napas, dan Jenna pun berseru, "Astaga, Sophie, seharusnya aku
yang jadi tukang merajuk. Apa sih masalahmu?"
"Baju jelek ini." Aku menunjuk benda yang menyinggung perasaan itu. "Tak satu
pun yang kulakukan berhasil.
Jenna mengedikkan bahunya. "Kalau begitu jangan pergi saja.
Aku memelototinya. Jenna tidak akan pergi ke pesta dansa, jadi dia tidak
mengerti mengapa aku begitu ingin pergi. Aku sendiri tidak benar-benar memahami
mengapa aku ingin pergi, walaupun itu mungkin erat hubungannya dengan Archer
yang memakai jas. Tapi, aku tidak mau mengatakan yang sebenarnya kepada Jenna. "Bukan pestanya,
melainkan prinsipnya. Seharusnya aku bisa melakukan mantra ini. Sebenarnya kan
tidak sesulit itu." "Mungkin seseorang mengutuk bonekamu," canda Jenna, sambil kembali ke
manga-nya. Tanganku menyelinap ke dalam sakuku dan menggenggam sebuah benda kecil
yang rasanya bagaikan membakar sebuah lubang di sana.
Ketika Alice menyarankan agar aku merapal mantra ke gaunnya Elodie, tadinya
aku mengatakan tidak mau.
"Aku bisa dikeluarkan karena melakukan sihir terhadap murid lain," kataku
kepadanya. "Tapi, bukan kau yang akan melakukannya," bantah Alice. "Melainkan aku. Kau
hanya akan menjadi pembawa, seperti kenyataannya."
Itu masuk akal, dan harus kuakui bahwa aku merasa sedikit gamang saat Alice
merogoh sakunya dan mengeluarkan sepotong tulang kecil, mungkin tulang
burung. Alice yang mengantungi tulang mungkin seharusnya membuatku
ketakutan, tapi pada saat itu aku sudah terbiasa dengan keganjilan Alice.
Seperti kalung pada malam pertama itu, tulangnya berpendar lembut di tangannya. Dia
tersenyum saat memberikannya kepadaku. "Selipkan saja ini di keliman gaunnya."
"Apakah aku perlu mengucapkan kata-kata khusus atau sesuatu?"
"Tidak. Tulang itu akan tahu apa yang harus dilakukan."
Aku teringat kata-kata itu sekarang saat meraba tulang kecil yang halus itu. Aku
sudah membawa-bawa benda itu selama seminggu, dan masih belum
memanfaatkannya. Alice berjanji bahwa tulang itu hanya akan mengubah gaun
Elodie menjadi berwarna mengerikan saat Elodie memakainya, dan itu
kedengarannya tidak terlalu buruk. Walau begitu, aku masih merasa khawatir.
Setiap mantra yang kucoba rapalkan kepada orang lain selalu berakhir kacau, dan
walaupun aku tidak menyukai Elodie, aku tidak mau menyakitinya secara tidak
sengaja. Jadi, tulang itu mendekam saja di sakuku.
Tapi kalau aku tidak menggunakannya, mengapa aku belum membuangnya"
Sambil menghela napas lagi, aku turun dari tempat tidurku dan menghampiri si
boneka. Walaupun boneka itu tidak berkepala, tubuhnya tampak sedang
mengolokolokku. "Ada apa, pecundang?" Aku membayangkan dia berkata. "Aku lebih baik
memakai sarung bantal ini daripada baju rancanganmu yang jelek-jelek itu."
"Diamlah," gerutuku sambil meletakkan tangan di atasnya dan, sekali lagi,
berkonsentrasi sekuat tenaga.
"Biru, cantik, kumohon..." Gumamku.
Kainnya beriak dan langsung menjadi baju bercelana pendek mengilat yang mirip
dengan seragam mayoret. "Sial, sial, sial!" jeritku, sambil meninju di boneka dengan begitu kerasnya
sampai berputar di dudukannya. Jenna mendongak dari bukunya. "Nah, itu baru menarik perhatian."
"Tidak membantu," geramku. Ya, Tuhan, apa sih yang tidak beres denganku" Aku
sudah merapal berbagai mantra yang lebih sulit daripada ini, dan matra-mantra
itu tidak pernah jadi seburuk ini.
"Sudah kubilang," kata Jenna. "Bonekamu dijahili. Orang lain tidak ada yang
kesulitan seperti ini dengan boneka mereka."
"Aku tahu," kataku, sambil mencondongkan kepalaku ke boneka itu. "Bahkan
Sarah Williams, yang, kurang lebih, penyihir paling payah sedunia, membuat
sarung bantal ini menjadi gaun merah yang sangat cantik. Tidak sekeren gaun
Elodie tapi - " Aku berhenti, merasakan sesuatu melesak di perutku.
Tidak masuk akal rasanya kalau aku begitu kesulitan membuat gaun. Mungkin
Jenna benar, mungkin bonekaku dikutuk.
Aku meletakkan kedua tanganku di sarung bantal itu lagi, tetapi kali ini aku
tidak memikirkan gaun. Aku hanya berkata, "Mengakulah."
Sejenak tidak terjadi apa-apa. Aku tidak yakin apakah seharusnya aku merasa lega
atau kecewa. Kemudian, dengan sangat pelan, dua bekas telapak tangan berpendar berwarna
burgundi seperti anggur yang diencerkan muncul di bagian depan gaun.
Perasaan lega membanjiri diriku, tetapi dengan segera ditelan oleh gelombang
amarah yang panas membara.
"Bagaimana caramu melakukan itu?" tanya Jenna dari belakangku. Dia sedang
berlutut sambil menatap telapak tangan itu.
"Itu mantra pengungkapan," kataku dengan gigi rapat.
"Memberitahukan apakah sebuah benda telah dikacaukan secara sihir."
"Yah, setidaknya kau tahu bahwa kau bukan penyihir payah."
Aku mengangguk, tapi aku nyaris gemetar karena marahnya. Selama ini aku
menyangka diriku hanyalah tak berguna, ternyata ini ulah Elodie. Pasti dia.
Siapa lagi yang ingin memastikan agar aku tidak pergi ke pesta" Ya Tuhan, semua ini
hampir terlalu mirip dongeng untuk dihadapi.
Dan yang paling menusuk perasaanku yaitu aku belum menggunakan kutukanku
kepada gaunnya. Aku merasa tidak sampai hati melakukannya.
Nah, masa bodoh. "Di mana Elodie sekarang?" tanyaku kepada Jenna.
Matanya melebar, jadi aku tahu bahwa tampangku pasti menakutkan.
"Eh, kudengar Anna berkata mereka akan pergi ke pantai bersama beberapa
orang." "Sempurna." Aku melangkah menuju pintu, tak menggubris Jenna yang memanggil, "Mau apa
kau?" Aku bergegas ke kamar Elodie. Tidak ada orang di lorong yang bisa melihatku
menyelinap masuk. Jantungku berdegup kencang, baik karena ketakutan maupun marah, aku berjalan
menghampiri jendela, tempat boneka Anna dan Elodie berdiri. Gaun Anna
berwarna hitam dengan pinggiran ungu dan ekor pendek. Dia pasti akan kelihatan
mengagumkan memakai itu, tapi tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan gaun
Elodie. Sesaat aku bimbang Kemudaian terpikir olehku Elodie yang menertawakan aku di kelas saat aku
mencoba dengan begitu kerasnya hanya untuk membuat sepotong gaun celaka, dan
nyaliku pun timbul kembali.
Aku berlutut dan menggali-gali di sekeliling lapisan tipis rok sampai aku
menemukan celah di kelimannya. Aku menyelipkan tulang kecil itu ke dalamnya
dan menepuknya dengan pelan. Benda itu berpendar terang di dalam gaun,
memancarkan warna merah buram di balik semua lapisan berwarna pink itu. Aku
menahan napas sampai pendarannya menghilang, kemudian berlari ke pintu.
Lorongnya kosong, jadi aku bisa menyelinap kembali ke dalam kamarku tanpa
terlihat. Jenna masih tetap duduk di tempat tidurnya pada saat aku masuk.
"Apa yang kau lakukan?"
Aku berjalan ke tempat tidurku dan mengeluarkan pundi kecil berisi tanah yang
kusembunyikan di sana. "Katakanlah berbalas pantun itu permainan adil."
Jenna membuka mulutnya, tapi menutupnya lagi sambil memperhatikan aku
meuangkan sejumput tanah ke tanganku. Dia mungkin berpikir aku benar-benar
edan saat aku berderap menghampiri bonekaku dengan tangan berlumuran tanah,
memegang pinggangnya, dan memejamkan mataku.
Bahkan kali ini aku tidak perlu memikirkan sesuatu secara khusus. "Gaun," hanya
itulah yang kuucapkan. Seperti biasa, aku bisa merasakan gaunnya bergerak dan bergeser di bawah
tanganku, tetapi kali ini berbeda. Tanganku terasa panas, dan rasanya bagaikan
ada arus listrik yang mengaliri diriku.
Aku mendengar Jenna terkesiap, dan ketika aku melangkah mundur dan membuka
mataku, aku juga terkesiap.
Gaunnya bukan hanya indah, melainkan juga mencengangkan.
Gaunnya satin biru merak, dan cahaya hijau tampak menari-nari di dalam kainnya.
Bagian atasnya mirip korset, tanpa tali dan bertulang di bagian depannya, dan
saat aku memutar boneka itu untuk melihat bagian belakangnya, kulihat gaun itu
dihiasi renda pita hijau cerah. Roknya berbentuk lonceng dari pinggang yang ketat, dan, yang paling
mengagumkan di antara semua itu, ada hiasan yang terbuat dari bulu merak asli
membujur di bagian depan, mulai dari satu titik tepat di bawah puncak korset dan
melebar sampai ke dasar, persis segi tiga terbalik.
"Whoa," Jenna mendesah. "Nah itu baru gaun. Sophie, kau akan tampak
memesona." Jenna benar, pikirku, tercenung. Aku akan kelihatan memesona.
"Benda apa itu yang kau pakai di atasnya?"
Aku belum siap untuk menceritakan Alice kepada Jenna, dan kurasa dia juga tidak
akan menerima baik kalau kukatakan itu debu kuburan, jadi aku hanya
mengedikkan bahu. "Debu ajaib."
Jenna kelihatan meragukan, tapi sebelum dia bertaya lagi, aku tersenyum lebar
kepadanya dan mengatakan, "Aku mau coba membuatkan baju untukmu."
Jenna tertawa kaget, "Kau mau membuatkan aku gaun?"
Aku mengagguk. "Mengapa tidak" Pasti asyik, dan setelah itu kau bisa datang ke
pesta denganku." "Kurasa tidak, Soph," protesnya dengan lemah, tapi aku sudah menarik dasternya
dari lemari berlaci. Aku menekankan tanganku yang masih bertanah ke atasnya
dan hanya memikirkan, Jenna.
Semua protes Jenna lenyap di bibirnya ketika melihat gaun itu: pink menyala,


Hex Hall Karya Rachel Hawkins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tali kecil dan sabuk berkelip di pinggang yang kupikir terbuat dari
berlianberlian sungguhan. Gaun itu sempurna untuknya, dan tak lama kemudian dia
sudah mengacungkannya dan berputar-putar.
"Aku tidak tahu apa debu ajaibmu itu, dan aku tak peduli," katanya sambil
tertawa. "Ini gaun paling indah yang pernah kulihat!"
Kami menghabiskan sore itu dengan mengubah sepatu sampai masing-masing
punya sepasang sepatu yang sempurna. Pada saat malam turun, kami berdua sudah
berdandan dan tampak sangat menakjubkan, kalau boleh berkomentar untuk diriku
sendiri. Jenna menggelung rambut pirang pucatnya di puncak kepala, dengan
segaris poninya jatuh di atas sebelah matanya. Rambutku sendiri kali ini
bersikap manis, dan aku membiarkan Jenna menatanya menjadi gelungan rendah di bagian
bawah leherku, beberapa helai rambut menjuntai membingkai wajahku.
Kami berjalan menuruni tangga sambil bergadengan tangan, cekikikan. Ada
sekelompok orang di lorong sempit yang menuju ruang pesta. Aku menjulurkan
leher, mencari Archer dan Elodie, berharap untuk melihat sudah jadi warna apa
gaun Elodie, tapi aku tidak bisa melihat mereka.
Aku merasa sangat terkesan oleh gaun Jenna da aku di kamar, tetapi sekarang
kulihat ternyata kami nyaris bukan orang yang paling spektakuler di sana.
Seorang peri jangkung berambut pirang bertumburan denganku, dan gaunnya, yang terdiri
dari kerlap-kerlip hijau es, berdencing pelan, seperti lonceng. Aku juga melihat
seorangshapeshifter memakai sesuatu mirip gaun yang seluruhnya terbuat dari bulu
putih. Anak laki-lakinya lebih kalem. Sebagian besar dari mereka hanya memakai jas,
Perawan Lembah Wilis 8 Pengemis Binal 13 Dendam Ratu Air Bidadari Penakluk 2

Cari Blog Ini