The Hunger Games Karya Suzanne Collins Bagian 4
ini pasti selangit. Mungkin tidak hanya satu tapi banyak sponsor ikut menyumbang
untuk membeli satu pot mungil ini. Bagiku, ini tak ternilai harganya.
Kucelupkan dua jariku ke dalam stoples kecil itu dan dengan lembut kueloskan
salep ke betisku. Efeknya serasa magis, menghilangkan rasa sakit seketika, dan
meninggalkan sensasi sejuk yang menyenangkan. Ini bukan ramuan herbal yang
dicampur aduk ibuku dari tumbuh-tumbuhan hutan, ini obat canggih yang digodok
di lab Capitol. Setelah betisku diobati, kuoleskan salep tipis-tipis ke
tanganku. Setelah membungkus pot dengan parasut, aku menyimpannya baik-baik dalam
ranselku. Kini setelah rasa sakitnya berkurang, yang bisa kulakukan adalah
beristirahat di dalam kantong tidur sebelum terlelap.
Seekor burung yang bertengger tidak jauh dariku membuatku terbangun dan sadar
bahwa hari baru telah di mulai. Dalam cahaya dini hari yang kelabu, aku
memperhatikan tanganku dengan saksama. Obat yang kuperoleh telah mengubah
warna merah menyala menjadi merah muda halus seperti warna kulit bayi. Kakiku
masih terasa nyeri, tapi luka dikakiku memang jauh lebih parah. Kuoleskan obat
sekali lagi dan perlahan-lahan membereskan perlengkapanku. Apa pun yang
terjadi, aku harus bergegas dan bergerak cepat. Aku juga menyempatkan diri agar
makan biskuit, dendeng dan minum beberapa gelas air. Nyaris tidak ada makanan
yang masuk perutku kemarin, dan aku mulai merasakan efek kelaparan.
Di bawahku, aku bisa melihat kawanan Karier dan Peeta tidur di tanah. Melihat
posisinya, yang bersandar di batang pohon, kuperkirakan Glimmer yang
seharusnya berjaga, tapi dia tidak bisa melawan keletihannya.
Mataku menyipit berusaha menembus pohon di sampingku, tapi aku tidak bisa
melihat Rue. Karena dia yang sudah memberitahuku tentang sarang tawon itu,
rasanya adil jika aku memperingatkannya. Selain itu, jika aku harus mati hari
ini, aku ingin Rue menang. Walaupun kemenangan Peeta bisa berarti tambah makanan
untuk keluargaku, tapi membayangkan dia dinobatkan jadi pemenang terlalu
menyakitkan bagiku. Kupanggil nama Rue dengan bisikan pelan; seketika muncul sepasang mata, lebar
dan waspada. Dia menunjuk ke sarang tawon lagi. Kuhunus pisauku dan
kugerakkan tanganku menunjukkan gerakan menggergaji. Rue mengangguk dan
menghilang. Ada suara gemerisik di pohon di dekatku. Lalu terdengar suara yang
sama lagi di pohon yang lebih jauh. Aku baru sadar bahwa Rue melompat dari satu
pohon ke pohon lain. Aku harus menahan diri agar tidak tertawa keras-keras.
Apakah ini keahlian yang ditunjukkannya pada para Juri" Kubayangkan dia
terbang di sekitar peralatan latihan tanpa menyentuh tanah. Seharusnya paling
sedikit dia dapat nilai sepuluh.
Cahaya kemerahan mulai memecah di timur. Aku tidak bisa menunggu.
Dibandingkan penderitaan yang harus kualami dalam memanjat pohon tadi malam,
yang ini tidak ada apa-apanya. Di dahan pohon tempat menahan sarang itu,
kutempatkan pisauku dilekuk bekas gergaji dan aku baru saja hendak
memotongnya ketika aku melihat ada sesuatu yang bergerak. Di sana, di dalam
sarang. Tawon penjejak dengan kilau emas terang di punggungnya dengan malas
terbang di dekat permukaan sarang yang kasar berwarna abu-abu. Tidak diragukan
lagi, tawon-tawon ini seperti kena bius, tapi tawon ini bergerak dan tidak
tidur. Itu artinya tidak lama lagi tawon-tawon yang lain juga akan keluar dari sarang.
Telapak tanganku berkeringat, butiran-butirannya mengalir menembus salep obat,
dan aku berusaha menyekanya di kausku agar kering. Kalau aku tidak selesai
memotong dahan pohon ini dalam hitungan detik, seluruh penghuni sarang bisa
menyerbu keluar dan menyerangku.
Tidak ada alasan menundanya lagi. Kuambil napas dalam-dalam, kupegang gagang
pisau erat-erat dan kukerahkan seluruh tenaga sekuat mungkin. Maju, mundur,
maju, mundur! Tawon-tawon penjejak mulai mendengung dan kudengar mereka
terbang keluar sarang. Maju, mundur, maju, mundur! Kurasakan sakit menembus
lututku dan aku tahu seekor tawon telah menyengatku dan tawon-tawon lain segera
menyusul. Maju, mundur, maju, mundur! Dan tepat ketika pisauku berhasil
memotong dahan itu, langsung kudorong cabang pohon itu sejauh mungkin.
Sarang itu jatuh menimpa cabang pohon di bawahnya, tersangkut sebentar di
beberapa cabang pohon tapi berhasil lepas hingga akhirnya jatuh ke tanah. Sarang
itu pecah terbuka seperti telur, dan tawon-tawon penjejak yang marah melesat ke
udara terbuka. Kurasakan sengatan kedua pada pipiku, sengatan ketiga pada leherku, dan bisa
mereka nyaris membuatku pusing seketika. Aku berpegangan pada pohon dengan
satu tangan sementara tangan satunya lagi melepaskan sengatan dari kulitku.
Untungnya hanya tiga tawon penjejak yang mengejarku sebelum sarang jatuh ke
tanah. Serangga-serangga lain menargetkan musuh-musuh lain di tanah.
Pembantaian habis-habisan. Para peserta Karier terbangun karena serangan massal
tawon penjejak. Peeta dan beberapa peserta lain secara naluriah meninggalkan
segalanya dan bergegas kabur. Aku bisa mendengar teriakan, "Ke danau! Ke
danau!" dan aku tahu mereka berharap bisa menghindari serangan tawon dengan
mencemplungkan diri ke air. Danau itu pasti tidak jauh letaknya jika mereka
pikir bisa kabur lebih cepat dari serangan serangga-serangga marah. Glimmer dan anak
perempuan lain dari Distrik 4 tidak terlalu beruntung. Mereka menerima sengatan
bertubi-tubi sebelum mereka tidak kelihatan lagi dalam jarak pandangku. Dia
memanggil yang lain memohon bantuan, tapi tentu saja tak ada seorang pun yang
mau kembali menolongnya. Anak perempuan dari Distrik 4 terhuyung-huyung
keluar dari jarak pandangku, dan aku berani taruhan dia tak bakal berhasil
sampai ke danau. Aku melihat Glimmer jatuh, meronta-ronta histeris di tanah selama
beberapa menit, kemudian diam tak bergerak.
Sarang itu kini hanya bungkusan kosong. Tawon-tawon telah menghilang
mengejar yang lainnya. Menurutku mereka tidak bakalan kembali lagi, tapi aku
tidak mau mengambil risiko. Aku meluncur turun dari pohon dan jatuh ke tanah,
lalu berlari ke arah yang berlawanan dari danau. Racun sengatan tawon membuat
langkahku sedikit goyah, tapi aku berhasil menemukan jalan kembali ke kolam
kecilku dan merendam tubuhku di air, berjaga-jaga seandainya ada tawon yang
masih mengejarku. Setelah sekitar lima menit, aku naik dan duduk di bebatuan.
Ternyata cerita tentang efek sengatan tawon penjejak bukanlah sesuatu yang
sengaja dilebih-lebihkan. Sesungguhnya, bekas sengatan di lututku besarnya mirip
buah jeruk dibandingkan plum. Nanah kehijauan yang menguarkan bau tidak sedap
tercium ketika aku menarik lepas sengatnya.
Bengkaknya. Rasa sakitnya. Nanahnya. Aku melihat Glimmer sekarat menuju
kematiannya di tanah. Pasti banyak mayat yang harus ditarik bahkan sebelum
matahari terbit sempurna. Aku tidak mau membayangkan seperti apa Glimmer
sekarang. Tubuhnya pasti sudah tidak keruan. Jemarinya yang bengkak kaku
memegang busur panah... Busur! Jauh di dalam benakku yang bingung satu pikiran terhubung dengan pikiran
lain dan aku langsung berdiri, berjalan hati-hati di antara pepohonan, kembali
ke tempat Glimmer berada. Busur dan anak-anak panahnya. Aku harus
mendapatkannya. Aku belum mendengar suara meriam di tembakkan, jadi
Glimmer mungkin masih dalam keadaan koma, jantungnya masih berdenyut susah
payah melawan bisa tawon. Tapi saat jantungnya berhenti dan meriam
menandakan kematiannya, pesawat ringan akan datang mengangkat jasadnya.
Membawa serta satu-satunya busur dan anak-anak panah yang kulihat dalam
Hunger Games ini selama-lamanya. Aku tidak mau busur dan anak panahku lepas
lagi dari genggaman! Aku sampai ke tempat Glimmer terbaring tepat ketika meriam ditembakkan.
Tawon-tawon penjejak sudah tidak ada di sana. Gadis ini, yang pada malam
wawancara tampil memesona dengan gaun keemasannya, kini tidak bisa dikenali
lagi. Wajahnya rusak berat, tangan dan kakinya membengkak tiga kali lipat dari
ukuran normal. Bengkak-bengkak bekas sengatan mulai meledak, memuncratkan
nanah hijau berbau busuk. Aku harus mematahkan beberapa jari Glimmer dengan
batu agar pegangannya terlepas dari busur. Anak-anak panah beserta sarungnya
tertindih di punggungnya. Aku berusaha menggulingkan tubuhnya dengan menarik
satu lengannya, tapi daging tubuhnya terlepas di tanganku dan aku terjatuh ke
tanah. Apakah ini sungguh terjadi" Atau aku mulai berhalusinasi" Kupejamkan mataku
rapat-rapat dan berusaha bernapas melalui mulut, kupaksa diriku agar tidak
muntah. Sarapanku harus tetap berada di perut, karena bisa butuh waktu
berharihari sebelum aku sanggup berburu lagi. Meriam kedua ditembakkan dan
kutebak anak perempuan dari Distrik 4 baru saja tewas. Kudengar burung-burung berhenti
bernyanyi lalu seekor burung menyeruakan peringatan, yang artinya pesawat
ringan itu sebentar lagi muncul. Dalam keadaan bingung, kupikir pesawat ringan
itu datang untuk menarik Glimmer, meskipun jadinya tidak masuk akal karena aku
masih berada di sini, masih berjuang mengambil anak-anak panah. Aku segera
berlutut dan pepohonan di sekitarku mulai berputar-putar. Di langit, aku bisa
melihat pesawat ringan itu mendekat. Aku melompat memeluk tubuh Glimmer
seakan ingin melindunginya, tapi kemudian aku melihat anak perempuan dari
Distrik 4 terangkat ke udara dan lenyap.
"Lakukanlah!" aku memerintahkan diriku sendiri. Kukatupkan rahangku rapatrapat
lalu kususupkan kedua tanganku ke bawah tubuh Glimmer, kupegang benda
yang pastinya tulang rusuk lalu kupastikan di berbalik tengkurap. Aku tidak bisa
menahannya, sekarang aku mulai sesak napas, semua ini seperti mimpi buruk dan
aku tidak tahu lagi mana yang nyata mana yang tidak. Kutarik panah-panah
berujung perak itu, tapi ternyata tersangkut sesuatu, mungkin kena tulang
belikatnya atau apa, tapi akhirnya panah-panah itu terlepas dari tindihan
Glimmer. Aku baru saja mendekap selongsong panah ini ketika mendengar langkah-langkah
kaki, tidak hanya satu tapi beberapa orang, yang berasal dari semak-semak. Aku
sadar para peserta Karier telah kembali. Mereka kembali untuk membunuhku atau
mengambil senjata mereka atau melakukan dua-duanya.
Tapi sudah terlambat untuk kabur. Aku mengeluarkan anak panah berlendir dari
selongsongnya lalu berusaha memasang di tali busur, tapi pandanganku kabur dan
aku seakan melihat ada tiga tali busur di tanganku. Ditambah lagi bau nanah
bekas sengatan tawon itu membuatku mual sehingga aku tidak bisa melakukannya. Aku
tidak bisa melakukannya. Aku tidak bisa melakukannya.
Aku tidak berdaya seperti pemburu yang baru pertama kali masuk hutan, tombak
terangkat, siap untuk dilemparkan. Keterkejutan di wajah Peeta tidak masuk akal
bagiku. Aku menunggu datangnya hantaman. Tapi Peeta malah menurunkan
tangannya. "Kenapa kau masih di sini?" desisnya padaku. Aku memandang Peeta tak mengerti
sementara tetesan air jatuh dari sengatan tawon di bawah telinganya. Sekujur
tubuh Peeta mulai berkilau seakan dia baru dicelupkan ke dalam embun.
"Kau sudah gila, ya?" Peeta mendorongku dengan bagian tombak yang tumpul.
"Bangun! Ayo bangun!"
Aku berdiri, tapi dia masih mendorongku. Apa" Apa yang terjadi" Dia
mendorongku menjauh darinya keras-keras.
"Lari!" pekiknya. "Lari!"
Di belakangnya, Cato berlari melintasi semak-semak. Tubuhnya juga basah, dan di
salah satu matanya tampak bekas sengatan yang parah. Aku sempat melihat
pantulan sinar matahari di pedang Cato sebelum melakukan apa yang
diperintahkan Peeta, sambil memegangi busur dan panahku erat-erat, menabrak
pohon-pohon yang tidak kelihatan sebelumnya, terpeleset dan jatuh saat aku
berusaha menjaga keseimbanganku. Kolam airku sudah jauh tertinggal di belakang
dan aku memasuki hutan yang asing. Dunia di depan mataku kini mulai tampak
menguatirkan. Seekor kupu-kupu membesar hingga seukuran rumah lalu lebur
menjadi jutaan bintang. Pepohonan berubah menjadi darah dan menciprati sepatu
botku. Semut-semut mulai keluar dari bisul-bisul di tanganku dan aku tidak bisa
mengibaskannya pergi. Semut-semut itu naik ke lenganku, leherku. Ada orang
yang menjerit, jeritan panjang bernada tinggi yang tidak putus. Samar-samar
kupikir itu jeritanku. Aku terpeleset dan jatuh ke lubang kecil yang didalamnya
berbaris rapi gelembung-gelembung oranye mungil yang berdengung seperti
sarang tawon penjejak. Sambil menekuk kedua lututku sampai ke dagu, aku
menunggu maut datang menjemputku.
Dalam keadaan mual dan kehilangan orientasi, di dalam benakku berhasil
terbentuk satu pikiran. Peeta Mellark baru saja menyelamatkanku.
Lalu semut-semut itu masuk ke mataku dan aku pingsan.
Bab 15 AKU memasuki mimpi buruk lalu terbangun berkali-kali hanya untuk mendapati
kengerian yang lebih besar menungguku. Segala hal yang paling kutakutkan,
segala hal yang kutakutkan terjadi pada orang lain terwujud dalam gambaran yang
amat jelas sehingga aku percaya bahwa apa yang terjadi adalah nyata.
Setiap kali aku terbangun, kupikir, Akhirnya, ini berakhir, tapi kenyataannya
tidak. Ini hanya awal bab baru dari siksaan berikutnya. Dalam berapa cara aku bisa
melihat Prim mati" Menghidupkan kembali saat-saat terakhir dalam hidup ayahku"
Merasakan tubuhku tercabik-cabik"
Inilah sifat alami racun tawon penjejak, dengan saksama racun itu menyebar di
tempat berdiamnya ketakutan dalam otakmu.
Ketika kesadaranku akhirnya kembali, aku berbaring tak bergerak, menunggu
serangan kilasan bayangan mengerikan. Tapi pada akhirnya aku menerima bahwa
racun itu berhasil keluar dari sistem tubuhku, membuatku lemah dan payah. Aku
masih berbaring meringkuk kesamping, membentuk posisi seperti janin. Kuangkat
tanganku menyentuh mataku yang masih ada, tidak pernah tersentuh semut-semut
dalam khayalanku. Menggerakan sendi-sendiku saja membutuhkan usaha yang
amat besar. Begitu banyak bagian tubuhku yang kesakitan, bahkan tak ada gunanya
mencari tahu bagian mana saja yang sakit. Dengan amat sangat perlahan aku
berhasil duduk. Aku berada di lubang dangkal, yang tidak dipenuhi
gelembunggelembung oranye yang berdengung seperti dalam halusinasiku tapi dalam
lubang penuh dengan daun-daun yang rontok. Pakaianku lembap, tapi aku tidak tahu
apakah penyebabnya adalah air kolam, embun, hujan, atau keringat. Sekian
lamanya, aku hanya bisa meneguk air sedikit-sedikit dari botol airku dan
mengamati kumbang merangkak di bagian samping sesemakan bunga
honeysuckle. Sudah berapa lama aku pingsan" Hari masih pagi saat aku hilang kesadaran.
Sekarang sudah menjelang sore. Tapi rasa kaku di persendianku menyatakan
bahwa lebih dari sehari telah berlalu, bahkan mungkin sudah lewat dua hari. Jika
betul begitu, aku tidak tahu peserta mana saja yang berhasil selamat dari
serangan tawon penjejak. Yang pasti bukan Glimmer atau gadis dari Distrik 4. Tapi ada
anak lelaki dari Distrik 1, dua peserta dari Distrik 2, dan Peeta. Apakah mereka
selamat dari sengatan tawon" Tapi pastinya, jika mereka bertahan hidup, beberapa hari
terakhir mereka pasti sama mengerikannya dengan hari-hariku. Bagaimana pula
dengan Rue" Tubuhnya begitu mungil, tidak butuh banyak bisa tawon untuk
menewaskannya. Tapi... kurasa tawon penjejak tak sempat menyerangnya, dia
sudah pergi jauh sebelum serangan tawon itu.
Rasa yang busuk dan tengik menguasai mulutku, dan air tidak membantu
mengurangi rasanya. Kuseret tubuhku ke semak honeysuckle dan kupetik
bunganya. Perlahan-lahan kucabut serbuk sari di antara kelopaknya dan kuteteskan
air madu dari dalamnya ke lidahku. Rasa manis langsung menyebar di dalam
mulutku, hingga ke kerongkongan, menyebar di dalam mulutku, hingga ke
kerongkongan, menghangatkan aliran darahku dengan kenangan-kenangan musim
panas, hutan-hutan di rumahku dan kehadiran Gale di sampingku. Entah karena
alasan apa, aku teringat percakapan kami pagi itu.
"Kau tahu, kita bisa melakukannya."
"Apa?" "Meninggalkan distrik. Kabur. Tinggal di hutan. Kau dan aku, kita bisa
berhasil." Dan mendadak, aku tidak memikirkan Gale tapi Peeta dan... Peeta! Dia
menyelamatkanku! Kupikir begitu. Karena pada saat kami bertemu, aku tidak tahu lagi mana yang
nyata dan mana imajinasi yang disebabkan oleh serangan tawon penjejak. Tapi jika
dia memang menyelamatkanku, dan instingku mengatakan dia melakukannya,
untuk apa dia melakukannya" Apakah dia hanya menunjukkan sikap sebagai
kekasih yang jatuh cinta seperti yang ditampilkan saat wawancara" Atau dia
sesungguhnya berusaha melindungiku" Dan jika memang dia ingin melindungiku,
buat apa dia bergabung dengan kelompok Karier itu" Semua ini tak ada yang
masuk akal.
The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sejenak aku bertanya-tanya apa tanggapan Gale atas insiden ini, tapi buru-buru
mengenyahkan pikiran itu dari benakku. Entah karena alasan apa, Gale dan Peeta
tidak bisa hidup rukun bersama dalam benakku.
Jadi aku memusatkan perhatian pada satu hal yang sungguh-sungguh
menyenangkan sejak aku tiba di arena. Aku punya busur dan anak panah! Lengkap
selusin anak panah jika aku menghitung satu yang kucabut dari batang pohon. Di
busur dan anak panah ini tidak tersisa lendir hijau bau yang berasal dari tubuh
Glimmer-segingga membuatku berpikir bahwa mungkin saja yang kulihat itu tidak
nyata-tapi ada sisa darah kering di sana. Aku bisa membersihkannya nanti, tapi
aku meluangkan waktu sebentar untuk menembakkan beberapa anak panah ke pohon
yang ada di dekatku. Busur dan anak panah ini lebih mirip yang ada di Pusat
Latihan dibanding yang kupunya di rumah, tapi itu sama sekali tidak penting.
Yang penting aku bisa memakainya.
Senjata ini memberiku perspektif baru dalam memandang Hunger Games. Aku
tahu aku masih harus menghadapi lawan-lawan tangguh dalam pertarungan, tapi
aku tidak lagi sekedar mangsa lemah yang cuma bisa lari dan bersembunyi atau
mengambil tindakan-tindakan drastis. Jika Cato melesat keluar dari pepohon
sekarang, aku takkan kabur, aku akan menembakkan panah. Bahkan sesungguhnya
aku mengharapkan kejadian semacam itu dengan senang hati.
Tapi pertama-tama, aku harus mengembalikkan kekuatan pada tubuhku. Aku
dehidrasi parah dan persediaan airku amat minim. Makanan yang kulahap
banyakbanyak untuk mengganjal perut pada massa persiapan di Capitol kini habis
sudah membawa serta beberapa kilogram berat badanku. Tulang-tulang di pinggangku
dan rusukku jauh lebih menonjol di banding yang kuingat sejak bulan-bulan
mengerikan setelah kematian ayahku. Dan ada luka-luka yang harus kurawat-luka
bakar, luka tusuk, dan memar-memar akibat terbentuk pepohonan, dan tiga
sengatan tawon penjajak yang masih terasa nyeri dan bengkak. Aku mengeluarkan
salep ke luka bakarku dan mengoleskan sedikit ke luka-luka bekas sengatan, tapi
ternyata tak ada hasilnya. Ibuku tahu pengobatan untuk luka-luka ini, ada
beberapa jenis daun yang bisa menarik keluar racun, tapi ibuku jarang punya alasan
menggunakannya, dan aku tidak ingat nama daunnya, apalagi bentuknya.
Air lebih dulu, pikirku. Sekarang kau bisa berburu di sepanjang perjalanan.
Mudah melihat arah jalan yang sudah kulewati dengan mengamati kerusakan yang
dihasilkan tabrakan tubuhku menembus dedaunan. Jadi aku berjalan ke arah lain,
berharap musuh-musuhku masih berbaring tak mampu bergerak, terjebak dalam
dunia sureal akibat racun dari sengatan tawon penjejak.
Aku tidak bisa bergerak terlalu cepat, sendi-sendiku menolak melakukan
gerakangerakan yang terlalu mendadak. Tapi aku yang menciptakan langkah perlahan
pemburu yang pakai untuk mencari jejak. Dalam hitungan menit, aku melihat
kelinci lalu aku melakukan pembunuhan pertamaku dengan panah dan busur. Ini
bukan hasil panahan yang menembus mata, tapi bisa kuterima. Setelah berjalan
sekitar satu jam, aku menemukan aliran sungai yang dangkal tapi lebar, dan lebih
dari cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhanku. Matahari bersinar panas dan
terik, jadi sambil menunggu airku disucihamakan aku melepaskan pakaianku
hingga cuma pakaian dalam yang tersisa dan mencemplungkan diri ke arus air
yang mengalir pelan. Ujung rambut sampai kakiku kotor tak keruan. Aku berusaha
mencebur-ceburkan diriku tapi akhirnya aku hanya berbaring di air selama
beberapa menit, membiarkan air membasuh jelaga, darah, dan kulit yang mulai
terlepas dari luka bakarku. Setelah mencuci pakaianku dan menggantungnya agar
kering di semak-semak, aku duduk di tepi sungai sejenak, berjemur di bawah
matahari, jariku mengurai rambutku yang kusut. Nafsu makanku sudah kembali,
aku menyantap biskuit dan sepotong dendeng. Dengan segenggam lumut, aku
menggosok darah dari senjata-senjata perakku.
Setelah merasa segar, aku mengobati luka-luka bakarku, mengepang rambutku,
dan memakai pakaianku yang masih basah. Aku tahu matahari akan mengeringkan
pakaianku dalam waktu singkat. Berjalan melawan arus tampaknya tindakan yang
paling cerdas. Aku lebih suka bisa berjalan menanjak sekarang, dengan sumber air
bersih yang tidak hanya untuk diriku tapi juga untuk calon buruanku. Dengan
mudah aku membunuh seekor burung aneh yang bentuknya seperti kalkun liar.
Terserah seperti apa bentuknya, yang penting binatang itu bisa dimakan. Pada
siang menjelang sore, aku memutuskan untuk membuat api kecil agar bisa
memasak daging, berharap cahaya senja akan membantu menyembunyikan asap
dan aku bisa memadamkan api saat malam tiba. Kubersihkan binatang buruanku,
sengaja memeriksa burung itu lebih teliti, tapi tak ada tanda-tanda yang
mencurigakan. Setelah bulu-bulunya dicabuti, ukurannya ternyata tidak lebih
besar daripada ayam, tapi dagingnya gemuk dan padat. Aku baru saja menaruh potongan
daging pertama di atas bara saat aku mendengar bunyi ranting patah.
Dalam satu gerakan cepat, aku menoleh ke arah bunyi itu, menyiagakan panah dan
busur di bahuku. Tifak ada seorang pun di sana. Kalau ada pun tak bisa kulihat
dari sini. Lalu aku melihat ujung sepatu bot anak-anak yang menyembul dari belakang
batang pohon. Bahuku tidak lagi bersiaga dan aku tersenyum. Harus kuakui dia
bisa bergerak di dalam hutan seperti banyak. Bagimana lagi caranya bisa
mengikutiku" Tanpa bisa kuhentikan, kata-kata meluncur keluar dari mulutku.
"Kau tahu, bukan hanya mereka yang bisa membentuk sekutu," kataku.
Selama sesaat, tidak ada tanggapan. Kemudian sebelah mata Rue muncul di
samping batang pohon. "Kau mau aku jadi sekutumu?"
"Kenapa tidak" Kau menolongku dengan tawon-tawon penjejak itu. Kau cukup
pintar karena bisa bertahan hidup hingga sekarang. Dan lagi pula, aku juga tak
bisa menggoyahkanmu," kataku.
Mata Rue berkedip-kedip memandangku, berusaha mengambil keputusan. "Kau
lapar?" Aku bisa melihatnya menelan ludah dengan susah payah, matanya berbinar
memandangi daging. "Ayo kemari, aku berhasil membunuh dua buruan hari ini."
Dengan ragu-ragu Rue melangkah keluar dari tempat persembunyiannya. "Aku
bisa mengobati luka sengatanmu."
"Kau bisa?" tanyaku. "Bagaimana?"
Rue merogoh kantong yang dibawanya dan mengeluarkan segenggam dedaunan.
Aku hampir yakin itu daun-daunan yang sama seperti yang digunakan ibuku. "Di
mana kau menemukan daun-daun ini?"
"Di dekat-dekat sini. Kami semua membawanya ketika bekerja di kebun buahbuahan.
Mereka meninggalkan banyak sarang tawon penjejak di sana," kata Rue.
"Di sini juga banyak."
"Oh, ya. Ka dari Distrik Sebelas. Pertanian." kataku. "Kebun buah-buahan, ya"
Pasti itu yang membuatmu bisa terbang di antara pepohonan seakan-akan kau
punya sayap." Rue tersenyum. Aku berhasil menyebutkan salah satu dari beberapa hal yang
dibanggakannya. "Ayo, kemarilah. Obati aku."
Aku mengempaskan tubuhku di dekat api dan menggulung celana panjangku untuk
memperlihatkan bekas sengatan di lututku. Yang membuatku terkejut adalah Rue
memasukkan daun-daunan itu ke mulut lalu mengunyahnya. Ibuku biasanya
menggunakan cara lain, tapi saat ini kami kan tidak punya banyak pilihan.
Setelah sekitar satu menit, Rue menekankan gumpalan hijau daun bekas kunyahannya lalu
meludahi lututku. "Ohh." Suara itu terucap tanpa bisa kutahan. Seakan daun itu benar-benar
mengisap rasa sakit tepat dari luka bekas sengatan.
Rue mengikik geli. "Untung kau punya kesadaran untuk mencabut sengatnya atau
keadaanmu bisa lebih buruk dari sekarang."
"Ke leherku! Leherku!" Aku nyaris memohon padanya.
Rue memasukkan segenggam daun lagi ke mulutnya, dan tak lama kemudian aku
tertawa karena rasa lega yang begitu manis kurasakan. Aku memperhatikan luka
bakar panjang di lengan atasnya. "Aku punya obat untuk itu."
Kutaruh senjataku lalu kuolesi lengannya dengan salep luka bakarku.
"Kau punya sponsor-sponsor yang bagus," katanya dengan penuh damba.
"Kau belum punya sponsor?" tanyaku. Rue menggeleng.
"Kau pasti dapat. Lihat saja. Semakin dekat kita menuju akhir, semakin banyak
orang yang akan menyadari betapa cerdasnya dirimu." Aku membalik daging
panggang yang sedang kumasak.
"Kau tidak bercanda kan, waktu kaubilang ingin aku jadi sekutumu?" tanyanya.
"Tidak, aku serius," jawabku. Aku nyaris bisa mendengar Haymitch mengerang
mengetahui aku bergabung dengan anak ringkih ini. Tapi aku menginginkannya.
Karena dia orang yang bisa selamat, dan aku percaya padanya, dan kenapa aku
tidak sekalian mengakuinya" Dia mengingatkanku pada Prim.
"Oke," katanya, dan mengulurkan tangan. Kami berjabatan. "Setuju."
Tentu saja persetujuan semacam ini sifatnya hanya sementara, tapi tak ada satu
pun dari kami berdua yang menyinggungnya.
Rue menyumbangkan akar-akaran bertepung untuk dimasak dengan daging.
Dipanggang di atas api, perpaduannya menciptakan aroma manis umbi-umbian.
Rue juga mengenali burung yang kupanah, semacam binatang liar yang disebut
groosling di distriknya. Dia bilang kadang-kadang ada binatang yang lepas dari
kawanannya nyasar ke kebun buah dan mereka bisa makan siang lebih baik hari
itu. Sesaat, percakapan kami terhenti ketika kami mengisi perut. Groosling ini
punya daging lezat yang berlemak, minyaknya mengalir turun di dagu ketika
dagingnya digigit. "Oh," kata Rue sambil mendesah. "Aku tak pernah makan satu paha sendirian
sebelumnya." Aku yakin dia tidak pernah. Aku juga yakin daging adalah makanan langka
baginya. "Makan lagi," kataku.
"Kau serius?" tanyanya.
"Makan sebanyak yang kau mau. Sekarang aku punya busur dan panah, aku bisa
berburu lebih banyak lagi. Selain itu, aku punya jerat. Aku bisa mengajarimu
bagaimana memasangnya," kataku.
Rue masih memandangi bagian paha daging groosling itu dengan tampang ragu.
"Oh, ambil saja," kataku, dan menaruh daging paha itu ke tangannya. "Daging ini
hanya tahan beberapa hari. Lagi pula selain burung ini kita juga punya kelinci."
Setelah daging di tangan, nafsu makan Rue menguasainya dan dia langsung
mengunyah daging itu banyak-banyak.
"Kupikir di Distrik Sebelas, kalian punya lebih banyak makanan dibanding kami.
Karena kalian yang menanam makanan," kataku.
Mata Rue membelalak. "Oh, tidak, kami tidak boleh makan hasil panenan."
"Mereka menangkapmu begitu?" tanyaku.
"Mereka mencambukmu dan memastikan semua orang melihatnya," kata Rue.
"Wali Kota amat tegas soal ini."
Dari ekspresinya, aku bisa melihat bahwa peristiwa itu bukannya tidak sering
terjadi. Cambukan di depan umum adalah peristiwa langka di Distrik 12, meskipun
kadang-kadang ada saja yang terjadi. Secara teknis, aku dan Gale bisa dicambuk
setiap hari karena berburu tanpa izin di hutan-yah, secara teknis, kami bisa
dihukum lebih buruk lagi-namun semua petugas membeli daging dari kami. Selain
itu, Wali Kota kami, ayah Madge, tampaknya tidak terlalu suka menghukum
seperti itu. Mungkin dengan menjadi wali kota distrik yang paling miskin, tidak
bergengsi, dan paling konyol di negara ini memiliki keuntungan-keuntungannya
tersendiri. Contohnya, kami hanya dilirik sebelah mata oleh Capitol selama kami
bisa menghasilkan batu bara dalam kuota yang ditentukan.
"Apakah kau mendapatkan semua batu bara yang kauinginkan?" tanya Rue.
"Tidak," jawabku. "Hanya mendapat apa yang kami beli dan apa yang tersisa dari
sepatu bot kami." "Mereka memberi kami makan lebih pada saat panen, supaya orang-orang bisa
bekerja lebih lama," kata Rue.
"Kau tidak perlu sekolah?" tanyaku.
"Pada saat panen, tidak. Saat itu semua orang harus bekerja," kata Rue.
Mendengar cerita hidupnya terasa menarik. Kami nyaris tidak berkomunikasi
dengan orang di luar distrik kami. Bahkan sekarang, aku bertanya-tanya apakah
para juri Hunger Games memblok percakapan kami, karena meskipun isi
percakapannya tak berbahaya, mereka tidak mau orang-orang dari distrik berbeda
saling tahu tentang satu sama lain.
Atas saran Rue, kami mengeluarkan semua makanan kami untuk perencanaan ke
depan. Dia sudah melihat sebagian besar makananku,tapi aku menambahkan
beberapa potong biskuit di tumpukan makanan kami.
Rue ternyata berhasil memgumpulkan banyak umbi-umbian, kacang-kacangan,
sayuran, dan sejumlah buah berry.
Aku menggelindingkan buah-buah berry yang tak kukenal di telapak tanganku.
"Kau yakin ini aman?"
"Oh, ya, buah-buah berry ini ada di distrikku. Aku sudah makan buah ini
berharihari," katanya, lalu memasukkan segenggam penuh ke mulutnya. Dengan ragu
aku menggigit sebutir, dan rasanya sama lezatnya dengan blackberry di distrikku.
Mengambil Rue sebagai sekutu rasanya keputusan paling bijak. Kami membagi
persediaan makanan, jadi seandainya kami terpisah, kami punya persediaan
makanan selama berhari-hari. Selain makanan, Rue hanya punya tempat air yang
kecil, ketapel buatan sendiri, dan sepasang kaus kaki. Dia juga punya pecahan
batu tajam yang digunakannya sebagai pisau.
"Aku tahu aku tidak punya banyak," kata Rue seakan dia merasa malu dengan apa
yang dimilikinya, "tapi aku harus kabur dari Cornucopia sesegera mungkin."
"Kau benar kok," sahutku. Ketika aku mengeluarkan perlengkapanku,
Rue menahan napas saat melihat kacamata hitamku.
"Bagaimana kau bisa punya ini?" katanya.
"Ada di ranselku. Kacamata ini tak ada gunanya. Tidak bisa dipakai untuk
menghalau sinar matahari, malah membuatku jadi sulit melihat," kataku seraya
mengangkat bahu. "Kacamata ini bukan untuk matahari, tapi untuk gelap," kata Rue. "Kadang-kadang
saat kami harus memanen pada malam hari, mereka memberikan kacamata ini
untuk mereka yang berada di puncak-puncak pepohonan. Satu kali, ada anak
bernama Martin, dia berusaha menyimpan kacamatanya. Dia sembunyikan di
celananya. Dan mereka langsung membunuhnya di tempat."
"Mereka membunuh seorang anak lelaki karena mengambil benda ini?" tanyaku.
"Ya, padahal semua orang tahu Martin tidak berbahaya. Otaknya agak kurang
beres. Maksudku, tingkahnya seperti anak tiga tahun. Dia hanya ingin kacamata
itu untuk mainan." kata Rue.
Mendengar ceritanya membuatku merasa Distrik 12 seperti rumah perlindungan
yang aman. Tentu, sering kali orang-orang pingsan karena kelaparan, tapi aku
tidak bisa membayangkan Penjaga Perdamaian membunuh seorang anak yang otaknya
kurang beres. Ada seorang gadis kecil, salah satu cucu Greasy Sae, yang sering
berkeliaran di sekitar Hob. Otaknya juga kurang beres, tapi dia diperlakukan
seperti semacam peliharaan. Orang-orang sering melemparkan barang-barang atau
sisa makanan kepadanya. "Jadi apa gunanya kacamata ini?" Aku bertanya pada Rue, memegangi kacamata
ini. "Kacamata ini akan membuatmu bisa melihat dalam kegelapan," sahut Rue.
"Cobalah nanti malam saat matahari terbenam."
Kuberikan sebagian korek apiku pada Rue dan dia menyiapkan banyak dedaunan
seandainya luka bekas sengatanku bernanah lagi. Kami memadamkan api dan
berjalan menuju hulu sungai hingga malam tiba.
"Kau tidur dimana?" aku bertanya padanya. "Di pepohonan?"
Rue mengangguk. "Hanya pakai jaket itu?"
Rue mengangkat sepasang kaus kaki ekstranya. "Aku punya ini untuk melindungi
tanganku." Kupikir betapa dinginnya malam-malam yang berlalu. "Kita bisa berbagi kantong
tidur bersama kalau kau mau. Kita berdua bisa muat kok di dalamnya."
Wajah Rue berbinar. Aku bisa melihat bahwa tawaranku ini jauh di luar
harapannya. Kami memilih dahan pohon yang tinggi dan beristirahat untuk malam ini tepat
ketika lagu kebangsaan dimulai. Tak ada yang tewas hari ini.
"Rue, aku baru bangun hari ini. Berapa malam sudah kulewati?"
Lagu kebangsaan seharusnya bisa meredam suara kami, tapi aku tetap saja
berbisik. Aku bahkan bersikap hati-hati dengan menutupi bibirku dengan tangan.
Aku tidak mau penonton tahu apa yang rencananya bakal kuberitahukan pada Rue
tentang Peeta. Melihat gelagatku, Rue melakukan tindakan yang sama.
The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dua," jawabnya. "Anak perempuan dari Distrik Satu dan Empat tewas. Tinggal
sepuluh orang yang terisa."
"Ada kejadian aneh. Paling tidak, kupikir begitu. Mungkin juga sengatan bisa
tawon penjejak membuatku membayangkan yang aneh-aneh," kataku. "Kau tahu
anak lelaki dari distrikku" Peeta" Kurasa dia menyelamatkanku. Tapi dia bersama
peserta Karier." "Dia tidak bersama mereka lagi," ujar Rue. "Aku mengawasi perkemahan mereka
di dekat danau. Mereka berhasil kembali ke sana sebelum pingsan karena serangan
tawon. Tapi dia tak ada di sana. Mungkin dia memang menyelamatkanmu dan
harus melarikan diri."
Aku tidak menjawab. Jika memang Peeta menyelamatkanku, artinya aku berutang
lagi padanya. Dan utang yang ini takkan pernah bisa kubayar. "Kalau memang
betul, mungkin itu cuma bagian dari aktingnya. Kau tahu kan, dia harus membuat
semua orang berpikir bahwa dia jatuh cinta padaku."
"Oh," kata Rue sambil berpikir keras. "Menurutku itu bukan akting."
"Tentu saja akting," tukasku. "Dia melatihnya bersama mentor kami."
Lagu kebangsaan berakhir dan langit pin menggelap.
"Ayo kita coba kacamata ini."
Kukeluarkan kacamataku dan langsung kupakai. Rue tidak bercanda. Aku bisa
melihat segalanya dengan jelas, mulai dari daun-daun di pepohonan sampai sigung
yang berjalan di antara sesemakan seratur lima puluh meter dari tempatku berada.
Aku bisa membunuh binatang itu dari sini jika aku mau berkonsentrasi. Aku bisa
membunuh siapa pun. "Siapa lagi ya yang punya kacamata ini?" tanyaku.
"Kawanan Karier punya dua pasang. Tapi mereka punya segalanya di dekat
danau," kata Rue. "Dan mereka sangat kuat."
"Kita juga kuat," kataku. "Hanya dengan cara yang berbeda."
"Kau juga. Kau bisa memanah," katanya. "Apa yang bisa kulakukan?"
"Kau bisa mencari makan untuk dirimu sendiri. Apa mereka bisa?" tanyaku.
"Mereka tidak perlu mencari makanan. Mereka punya banyak persediaan," kata
Rue. "Misalkan mereka tidak punya lagi. Misalkan persediaan makanan mereka habis.
Berapa lama mereka bisa bertahan?" tanyaku. "Maksudku, ini kan Hunger
Games?" "Tapi, Katniss, mereka tidak kelaparan," sergah Rue.
"Memang, mereka tidak kelaparan. Dan itulah masalahnya," aku menyetujui
pendapatnya. Dan untuk pertama kalinya, aku punya rencana. Rencana yang tidak
berdasarkan kebutuhan untuk kabur atau menghindar. Rencana menyerang.
"Kupikir kita harus memperbaiki situasinya, Rue."
Bab 16 Rue telah memutuskan untuk mempercayaiku sepenuh hati. Aku tahu karena ketika
lagu kebangsaan selesai diputar, Rue bergelung di dekatku lalu langsung
tertidur. Aku juga tidak punya perasaan waswas terhadapnya, hingga aku tidak merasa
perlu berjaga-jaga. Kalau dia mau aku mati, dia hanya perlu menghilang dari
pohon itu tanpa menunjukkan sarang tawon penjejak itu padaku. Ada hal yang
mengusik benakku terus-menerus, suatu hal yang sudah jelas. Kami berdua tidak
bisa sama-sama jadi pemenang Hunger Games. Tapi karena kemungkinan untuk
kami bisa bertahan hidup tidak berpihak pada kami, aku berhasil mengabaikan
pikiran tersebut. Selain itu pikiranku teralih dengan gagasan terbaruku tentang kawanan Karier dan
persediaan makanan mereka. Aku yakin mereka pasti akan sulit mencari makanan
untuk diri mereka sendiri. Biasanya, peserta-peserta Karier membuat strategi
untuk menguasai makanan sejak awal, lalu baru membuat perencanaan dari sana.
Tahuntahun ketika mereka tidak menjaga makanan mereka dengan baik-sekali ketika
kawanan reptil mengerikan menghabiskannya, sekali lagi ketika banjir buatan Juri
Pertarungan menghancurkannya-dan biasanya pada tahun-tahun itulah peserta dari
distrik lain jadi pemenangnya. Para peserta Karier yang biasanya mendapat
makanan dengan baik justru tidak menguntungkan buat mereka, karena mereka
tidak tahu bagaimana rasanya lapar. Mereka tidak kenal lapar seperti yang
dikenal aku dan Rue. Tapi aku terlalu lelah untuk menjelaskan rencana kami malam ini. Luka-lukaku
mulai sembuh, pikiranku masih agak berkabut karena bisa tawon, dan kehangatan
tubuh Rue disampingku, dengan kepalanya disandarkan ke bahuku membuatku
merasa aman. Untuk pertama kalinya, aku sadar betapa kesepiannya aku di arena
pertarungan ini. Betapa nyamannya arti kehadiran manusia lain di dekatku. Aku
menyerah pada rasa kantukku, bertekad akan mengubah keadaan besok. Besok,
para Karier-lah yang harus waspada.
Tembakan meriam membuatku terlompat bangun. Di langit ada kilatan cahaya,
burung-burung sudah bernyanyi. Rue berjongkok di dahan pohon seberangku,
kedua tangannya menutupi sesuatu. Kami menunggu, mendengarkan adanya
tembakan lain, tapi ternyata tak ada lagi.
"Menurutmu siapa yang tewas?" Mau tidak mau aku teringat pada Peeta.
"Aku tidak tahu. Bisa saja selain mereka," jawab Rue. "Kurasa kita tidak bakal
tahu jawabannya malam ini."
"Siapa saja yang tersisa?" tanyaku lagi.
"Anak lelaki dari Distrik Satu. Dua peserta dari Distrik Dua. Anak lelaki dari
Distrik Tiga. Aku dan Thresh. Kau dan Peeta." jawab Rue. "Sudah delapan.
Tunggu, ada anak lelaki dari Distrik Sepuluh, yang kakinya luka. Sudah
sembilan." Masih ada seorang lagi, tapi kami berdua tidak bisa mengingatnya.
"Aku penasaran bagaimana yang tadi itu tewas ya?" tanya Rue.
"Entahlah. Tapi bagus buat kita. Ada yang tewas membuat penonton jadi menaruh
perhatian. Mungkin kita bisa punya waktu melakukan sesuatu sebelum Juri
Pertarungan memutuskan bahwa pertarungan berjalan terlalu lambat," kataku.
"Apa yang ada di tanganmu?"
"Sarapan," jawab Rue. Dia mengulurkan tangannya dan memperlihatkan dua buah
telur besar. "Telur apa itu?" tanyaku.
"Tidak tahu. Ada daerah rawa di dekat sana. Mungkin semacam burung air,"
jawabnya. Pasti enak bisa memasak telur-telur ini, tapi kami berdua tak ada yang berani
mengambil risiko untuk menyalakan api. Perkiraanku adalah peserta yang tewas
hari ini adalah korban dari peserta Karier, dan itu berarti mereka sudah pulih
sepenuhnya untuk kembali bertarung. Kami masing-masing menyedot isi telur,
menyantap daging paha kelinci, dan buah-buah berry. Sarapan yang
menyenangkan. "Sudah siap?" tanyaku, sambil memakai ranselku.
"Siap untuk apa?" tanya Rue, tapi melihat caranya melompat aku tahu dia siap
melakukan apa pun usulanku.
"Hari ini kita akan menghabisi makanan peserta Karier," kataku.
"Sungguh" Bagaimana caranya?" Aku bisa melihat binar semangat di matanya.
Dalam hal ini, dia berbeda jauh dari Prim yang menganggap petualangan adalah
siksaan. "Belum tahu. Ayo, kita akan pikirkan rencananya sambil berburu," kataku.
Namun, kami tidak bisa berburu banyak karena aku terlalu sibuk mengumpulkan
semua informasi yang bisa kuperoleh dari Rue tentang markas peserta-peserta
Karier. Rue hanya sebentar memata-matai mereka, tapi pengamatannya jeli.
Mereka membuat kemah di samping danau. Persediaan makanan mereka jaraknya
hanya sekitar tiga puluh meter. Pada siang hari, mereka meninggalkan anak lelaki
dari Distrik 3 untuk mengawasi persediaan.
"Anak lelaki dari Distrik Tiga?" tanyaku. "Dia bekerja bersama mereka?"
"Ya, dia berjaga di kemah terus-menerus. Dia juga kena sengatan tawon saat
mereka dikejar tawon penjejak sampai ke danau," kata Rue. "Kurasa mereka
membiarkannya hidup jika dia kau jadi penjaga kemah. Tapi tubuhnya tidak terlalu
besar." "Senjata apa yang dimilikinya?" tanyaku.
"Tidak banyak yang bisa kulihat. Ada tombak. Dia mungkin bisa menahan
beberapa orang dari kita dengan tombak itu, tapi Thresh bisa membunuhnya
dengan mudah," ujar Rue.
"Dan makanan itu ada di tempat terbuka?" tanyaku. Rue mengangguk. "Ada yang
tidak beres dengan seluruh pengaturan ini."
"Aku tahu. Tapi aku juga tidak tahu apa tepatnya," kata Rue. "Katniss,
seandainya kau bisa menguasai makanan mereka, bagaimana kau menghabiskannya?"
"Bakar. Buang ke danau. Siram dengan minyak." Kucolek perut Rue, seperti yang
sering kulakukan pada Prim. "Dimakan!"
Rue terkikik. "Jangan kuatir, akan kupikirkan caraya. Menghancurkan lebih mudah
daripada membuatnya."
Selama beberapa saat, kami menggali umbi-umbian, mengumpulkan buah-buah
berry dan sayuran hijau, dan menyusun rencana dengan suara berbisik-bisik. Dan
aku jadi mengenal Rue, anak pertama dari enam bersaudara, mati-matian
melindungi adik-adiknya, memberikan jatah makanannya pada anak-anak yang
lebih kecil, berkelana mencari makanan di padang rumput di distrik dengan
tentara Penjaga Perdamaian yang tidak sepatuh di distrik kami. Saat aku menanyakan pada
Rue apa yang paling disukainya di dunia ini, dia menjawab, "Musik."
"Musik?" tanyaku. Dalam dunia kami, aku menempatkan kegunaan musik antara
pita rambut dan pelangi. Paling tidak, pelangi bisa memberikan petunjuk tentang
cuaca. "Kau punya banyak waktu untuk melakukannya?"
"Kami bernyanyi di rumah. Saat bekerja juga. Itu sebabnya aku suka pinmu," kata
Rue, menunjuk pin mockingjay yang nyaris tidak kuingat lagi.
"Kau punya mockingjay?" tanyaku.
"Oh, ya, bahkan ada yang jadi teman-teman istimewaku. Kami bisa bernyanyi
bersama selama berjam-jam. Mereka menyampaikan pesan-pesan untukku,"
katanya. "Apa maksudmu?" aku bertanya.
"Aku biasanya berada di puncak tertinggi, jadi aku yang pertama kali melihat
bendera yang menandakan waktu bekerja usai. Ada lagu spesial yang
kunyanyikan," kata Rue. Dia membuka mulut dan terdengar suara bening dan
manis melantunkan empat not singkat.
"Lalu burung-burung mockingjay menyebarkan lagunya di taman buah. Itulah cara
semua orang tahu kapan saatnya berhenti bekerja," lanjutnya. "Tapi burung-burung
itu bisa juga berbahaya, kalau kita berada terlalu dekat dengan sarang mereka.
Tapi kau tidak bisa menyalahkan mereka karena itu."
Aku melepaskan pin dan mengulurkannya pada Rue. "Ini, ambil saja. Pin ini punya
arti lebih untukmu daripada untukku."
"Oh, jangan," tukas Rue, mengatupkan lagi jemariku agar mengambil pin itu
kembali. "Aku senang melihat pin itu kau pakai. Itulah caraku memutuskan bahwa
aku bisa memercayaimu. Lagi pula, aku punya ini." Rue mengeluarkan kalung
berbahan semacam anyaman rumput dari balik bajunya. Dikalung itu tergantung
bandul berbentuk bintang kayu yang diukir kasar. Atau mungkin juga bentuknya
bunga. "Ini jimat keberuntungan."
"Yah, sejauh ini jimatnya bekerja," kataku, sambil menjepitkan pin mockingjay ke
bajuku. "Mungkin baiknya kau tetap memakai jimatmu."
Pada saat makan siang, kami sudah punya rencana. Selewat tengah hari, kami
bersiap melaksanakannya. Aku membantu Rue mengumpulkan dan menaruh kayu
bakar untuk salah satu dari dua api unggun yang harus kubuat, dan api unggun
yang ketiga dibuat oleh Rue sendiri. Kami memutuskan untuk bertemu sesudahnya
di tempat kami makan bersama pertama kali. Aliran air akan menuntunku ke sana.
Sebelum pergi, kupastikan Rue memiliki cukup makanan dan korek api. Aku
bahkan memaksanya mengambil kantong tidurku, berjaga-jaga seandainya kami
tidak bisa bertemu saat malam tiba.
"Bagaimana denganmu" Kau bakal kedinginan," katanya.
"Tidak bakal, kalau aku bisa mengambil kantong tidur lain di dekat danau,"
jawabku. "Kau tahu kan, di sini mencuri bukan perbuatan ilegal," kataku sambil nyengir.
Di saat terakhir, Rue memutuskan untuk mengajariku sinyal mockingjay-nya.
Sinyal yang menandakan hari kerja berakhir. "Mungkin tidak berguna. Tapi kalau
kau mendengar mockingjay menyanyikannya, itu artinya aku baik-baik saja, tapi
aku tidak bisa langsung menemuimu.
"Memangnya banyak burung mockingjay di hutan ini?" tanyaku.
"Kau tidak pernah melihatnya" Sarang mereka ada di mana-mana," jawabku. Aku
terpaksa mengakui bahwa aku tidak memperhatikannya.
"Oke, kalau begitu. Jika semua berjalan sesuai rencana, kita akan bertemu pada
saat makan malam," kataku.
Tanpa kuduga, Rue merangkulkan kedua lengannya memelukku. Aku hanya ragu
sejenak sebelum balas memeluknya.
"Hati-hati ya," kata Rue padaku.
"Kau juga," balasku. Aku berbalik dan berjalan menuju sungai, entah kenapa
merasa agak cemas. Aku mencemaskan Rue bakal tewas, mencemaskan Rue tidak
terbunuh dan hanya kami berdua yang tersisa. Aku memikirkan meninggalkan Rue
seorang diri, memikirkan meninggalkan Prim seorang diri di rumah. Tidak juga,
Prim punya ibuku dan Gale serta tukanh roti yang sudah berjanji takkan
membiarkannya kelaparan. Rue hanya punya aku.
Saat tiba di sungai, aku hanya perlu menyusurinya hingga sampai ketempat aku
pertama kali menemukan sungai setelah diserang tawon penjejak. Aku harus
berhati-hati sepanjang perjalananku, karena otakku penuh dengan banyak
pertanyaan tak terjawab, yang kebanyakan tentang Peeta. Meriam yang
ditembakkan pagi-pagi tadi, apakah itu menandakan kematiannya" Jika benar
begitu, bagaimana dia bisa tewas" Apakah dia dibunuh oleh para peserta Karier"
Dan apakah dia tewas karena mereka ingin membalas dendam karena Peeta
membiarkanku hidup" Aku berusaha lagi mengingat saat aku berada di dekat
mayat Glimmer, ketika Peeta melesat keluar dari pepohonan. Tapi melihat
kenyataan bahwa dia berkilauan air membuatku meragukan segala yang telah
terjadi. Aku pasti berjalan amat pelan kemarin karena aku tiba di bagian sungai yang
dangkal tempatku mandi hanya dalam waktu beberapa jam. Aku berhenti untuk
mengisi airku dan menambahkan selapis lumpur di ranselku. Rasanya berapa
kalipun aku menutupi tetap saja ransel itu menunjukkan warna oranyenya.
Kedekatanku dengan kamp para peserta Karier mempertajam indra-indraku, dan
semakin dekat aku dengan tempat mereka, semakin tinggi kewaspadaanku. Aku
sering berhenti untuk mendengarkan suara-suara yang tak lazim, sebatang anak
panah sudah dipaskan ke busurku. Aku tidak melihat peserta lain, tapi aku
memperhatikan beberapa hal yang disebutkan Rue. Gerumbulan buah berry manis.
Semak dengan dedaunan yang menyembuhkan luka sengatanku. Kerumunan
sarang tawon penjejak di dekat pohon tempat aku terjebak. Dan di sana-sini, ada
kilasan hitam-putih sayap mockingjay di dahan-dahan tinggi di atas kepalaku.
Saat aku tiba di pohon dengan sarang yang terbengkalai di bawahnya, aku berhenti
sejenak untuk mengumpulkan keberanianku. Rue sudah memberikan instruksiinstruksi
khusus agar bisa sampai ke tempat terbaik untuk memata-matai di dekat
danau dari tempat ini. Jangan lupa, aku mengingatkan diriku. Kaulah pemburunya
sekarang, bukan mereka. Kugenggam busurku makin erat lalu terus berjalan. Aku
akhirnya sampai ke sesemakan dengan pohon-pohon kecil yang diberitahukan Rue
padaku dan sekali lagi aku harus mengagumi kecerdasannya. Sesemakan itu ada di
tepi hutan, tapi semak sangat tebal hingga dengan mudah aku bisa mengamati
kamp peserta Karier tanpa ketahuan. Di antara kami terbentang tanah lapang luas
tempat Hunger Games dimulai.
Ada empat peserta. Anak lelaki dari Distrik 1, Cato dan anak perempuan dari
Distrik 2, dan bocah lekaki kurus kering berkulit pucat yang pasti dari Distrik
3. Anak lelaki itu nyaris tidak meninggalkan kesan padaku selama kami di Capitol.
Aku nyaris tidak ingat apa pun tentang dia, kostumnya, atau nilai latihannya,
bahkan wawancaranya. Bahkan saat ini, ketika dia berada di sana memegang
semacam kotak plastik, keberadaannya di sana dengan mudah diabaikan oleh
teman-temannya yang lebih besar dan dominan. Tapi anak lelaki itu pasti memiliki
kemampuan, kalau tidak buat apa mereka repot-repot membiarkannya tetap hidup.
Namun, melihatnya aku malah jadi tambah gelisah kenapa peserta Karier bisa
menjadikannya sebagai penjaga, dan belum membunuhnya hingga sejauh ini.
Keempat peserta tampaknya sudah pulih dari serangan tawon penjejak. Bahkan
dari jarak sejauh ini, aku bisa melihat bengkak-bengkak di tubuh mereka. Mereka
pasti tidak terpikir untuk melepaskan sengat-sengat itu, atau jika mereka
melepaskannya, mereka tidak tahu jenis daun apa yang bisa menyembuhkan
mereka. Tampaknya, obat-obatan apa pun yang mereka temukan di Cornucopia
tidak efektif. Cornucopia berada di posisi asalnya, tapi segala isinya sudah disapu bersih.
Sebagian besar persediaan, yang ditaruh di kotak-kotak, karung goni, dan wadah
The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
plastik, ditumpuk rapi dalam bentuk piramida dalam jarak yang tak wajar dari
kamp. Barang-barang lain disebarkan begitu saja di sekitar piramida, hampir
mirip dengan susunan sebaran persediaan di sekitar Cornucopia sewaktu dimulainya
pertarungan ini. Kanopi berjaring, segala untuk menjauhkannya dari burung,
tampak tidak ada gunanya untuk melindungi piramida.
Semua pengaturan ini membingungkan. Jaraknya, jaring, dan keberadaan anak
lelaki dari Distrik 3. Satu hal yang pasti, menghancurkan persediaan mereka
tidak semudah kelihatannya. Ada faktor lain yang bermain di sini, dan lebih baik aku
berjaga-jaga sampai aku tahu apa jebakannya. Tebakanku adalah piramida itu
dipasangi perangkap entah bagaimana caranya. Aku membayangkan lubang
perangkap, jaring yang bisa jatuh dan mengurung korbannya, benang yang bila
putus akan menembakkan panah beracun ke jantungnya. Ragam kemungkinannya
tak terbatas. Ketika aku sedang mempertimbangkan pilihan-pilihanku, aku mendengar Cato
berteriak. Dia menunjuk ke hutan, jauh di belakangku, dan tanpa menoleh aku tahu
Rue pasti sudah menyalakan api unggun. Kami memastikan agar daun-daun yang
dibakar cukup banyak agar asapnya bisa kelihatan jelas. Para peserta Karier
bergegas mempesenjatai diri.
Mendadak terdengar pertengkaran. Suara mereka cukup keras hingga bisa
kudengar, mereka berdebat apakah anak lelaki dari Distrik 3 sebaiknya ikut atau
tinggal. "Dia ikut kita. Kita butuh dia di hutan, lagi pula pekerjaannya di sini sudah
selesai. Tak ada seorang pun yang bisa menyentuh persediaan kita." kata Cato.
"Bagaimana dengan Lover Boy?" tanya anak lelaki dari Distrik 1.
"Sudah kubilang berkali-kali, lupakan dia. Aku tahu di bagian mana kutusuk dia.
Ajaib juga, dia belum mati kehabisan darah sampai sekarang. Dan dalam
kondisinya sekarang dia tak bakal sanggup menjarah persediaan kita," sahut Cato.
Jadi Peeta ada di hutan, terluka parah. Tapi aku masih tidak memahami
motivasinya mengkhianati para peserta Karier.
"Ayo," kata Cato. Dia menyodorkan tombak ke tangan anak lelaki dari Distrik 3,
dan mereka berjalan menuju arah api. Kata-kata terakhir yang kudengar ketika
mereka memasuki hutan adalah ucapan Cato, "Saat kita menemukannya, aku akan
membunuhnya dengan caraku sendiri, dan tak ada seorang pun yang boleh ikut
campur." Entah bagaimana, aku merasa dia tidak bicara tentang Rue. Lagi pula, bukan dia
yang menjatuhkan sarang tawon penjejak ke kepalanya.
Aku masih berdiam di posisiku selama sekitar setengah jam, berusaha mencari
tahu apa yang harus kulakukan dengan persediaan mereka. Jarak adalah satu
keuntungan yang kumiliki dengan busur dan panah. Dengan mudah aku bisa
mengirimkan panah berapi ke piramida persediaan mereka-aku cukup hebat untuk
bisa menembakkan panah masuk ke celah antara jaring-tapi tak ada jaminan
tembakanku akan berhasil membakar persediaan mereka. Kemungkinan besar api
di panah akan padam sendiri, lalu apa" Aku gagal dan memberi mereka terlalu
banyak informasi tentang diriku. Bahwa aku ada di sini, punya kaki-tangan, dan
aku pandai menggunakan busur panah.
Tidak ada jalan lain. Aku harus mendekat dan melihat apakah aku tidak dapat
menemukan apa yang sebenarnya melindungi persediaan itu. Aku baru saja hendak
keluar dari sesemakan ketika mataku menangkap gerakan. Beberapa ratus meter di
sebelah kananku, aku melihat ada orang muncul dari dalam hutan. Sedetik kukira
gadis itu Rue, tapi kemudian aku mengenali si Muka Rubah-dialah yang tidak bisa
kami ingat tadi pagi-mengendap-endap ke tanah lapang. Ketika dia menganggap
situasi sudah aman, dia berlari menuju piramida dengan langkah-langkah pendek
dan cepat. Sebelum sampai ke lingkaran dengan persediaan yang berserakan di
sekitar piramida, dia berhenti, melihat-lihat tanah, dan dengan hati-hati
melangkah di suatu titik. Kemudian gadis itu mulai mendekati piramida sambil
melompatlompat aneh, kadang-kadang bahkan hanya berdiri dengan satu kaki,
sesekali menyeimbangkan dirinya, terkadang dia melayang ke udara, melompati tong kecil
dan mendarat dengan anggun dalam posisi berjinjit. Tapi lompatannya agak terlalu
jauh. Aku mendengarnya memekik nyaring saat kedua tangannya menyentuh
tanah, tapi tak terjadi apa-apa. Seketika, dia berdiri dan meluruskan langkahnya
hingga dia tiba di timbunan persediaan.
Jadi, aku benar tentang adanya perangkap, tapi perangkap itu jauh lebih rumit
daripada yang kubayangkan. Aku juga benar tentang gadis itu. Betapa cerdas
dirinya bisa menemukan jalan menuju persediaan makanan dan mampu melewati
perangkap dengan rapi. Dia mengisi ranselnya, mengambil beberapa barang dari
berbagai tempat penyimpanan, biskuit dari kotak kayu, segenggam apel dari
karung goni yang tergantung dengan tali di sebelah tempat makanan. Tapi dia
hanya mengambil sedikit dari masing-masing barang yang dicurinya, jadi tidak
menimbulkan kecurigaan bahwa makanan mereka dicuri. Selanjutnya dia membuat
gerakan-gerakan aneh untuk bisa keluar dari lingkaran dan mengambil langkah
seribu lari ke hutan dalam keadaan selamat tak kurang suatu apa pun.
Aku sadar aku menggertakan gigiku karena frustasi. Si Muka Rubah sudah
memastikan apa yang sudah kuduga. Tapi perangkap seperti apa yang
membutuhkan ketangkasan semacam itu, dan memiliki banyak titik pemicu"
Kenapa anak perempuan itu memekik ketika dua tangannya menyentuh tanah" Kau
pasti berpikir... dan perlahan-lahan aku tahu jawabannya... kaupikir tanah itu
akan meledak. "Dipasangi ranjau," bisikku. Itu menjelaskan segalanya. Kerelaan kawanan Karier
untuk meninggalkan persediaan mereka, reaksi si Muka Rubah, keterlibatan anak
lelaki dari Distrik 3, di sana ada banyak pabrik, tempat mereka membuat
televisi, mobil, dan bahan peledak. Tapi di mana mereka memperoleh ranjau" Di antara
persediaan" Itu bukan jenis senjata yang biasanya disediakan para juri,
mengingat mereka senang melihat para peserta saling menumpahkan darah. Aku menyelinap
keluar dari sesemakan dan melintasi piringan logam bundar yang mengangkut para
peserta ke arena. Tanah di sekitarnya telah digali dan ditutup lagi. Ranjau
darat dimatikan setelah kami berdiri di atas piringan itu selama enam puluh detik,
tapi anak lelaki dari Distrik 3 pasti berhasil mengaktifkannya lagi. Aku tidak pernah
melihat siapa pun dalam Hunger Games yang pernah melakukannya. Aku yakin
pasti keahliannya ini juga membuat para juri terkejut.
Well, aku bersorak untuk anak lelaki dari Distrik 3 itu karena berhasil membuat
juri terperangah, tapi apa yang harus kulakukan sekarang" Tentu saja, aku tidak
bisa berjalan-jalan diantara barang-barang yang berserakan itu tanpa meledakkan
diriku. Ide untuk menembakkan panah berapi jadi makin konyol sekarang. Ranjau
itu dipicu dengan tekanan. Tidak perlu tekanan berat. Pernah, seorang anak
perempuan menjatuhkan tanda matanya-sebuah bola kayu kecil-saat dia masih
berdiri di piringan logam, dan secara harfiah mereka bisa dibilang harus
mengeruk sisa-sisa tubuhnya di tanah.
Kedua lenganku lumayan kuat, aku bisa melemparkan batu-batu kesana dan
memicu apa" Mungkin meledakkan satu ranjau" Bisa saja ledakan itu memulai
reaksi berantai. Bisa tidak ya" Apakah anak lelaki dari Distrik 3 itu
menempatkan ranjau-ranjau dengan posisi yang diatur agar ledakan satu ranjau tidak
mengganggu ranjau-ranjau lain" Jadi dia bisa tetap melindungi persediaan tapi
memastikan penyusupnya tewas. Bahkan seandainya aku hanya meledakkan satu
ranjau, aku pasti akan menarik kawanan Karier untuk kembali kemari. Uh, apa sih
yang kupikirkan" Ada jaring, yang jelas dibuat untuk menghalau serangan
semacam itu. Selain itu, aku perlu melempar tiga puluh batu ke sana secara
bersamaan, dan memicu reaksi berantai yang besar, meluluhlantakan semua tempat
itu. Aku menoleh ke hutan di belakangku. Asap dari api kedua Rue membubung di
angkasa. Pada saat ini, kawanan Karier mungkin sudah menduga adanya semacam
jebakan. Waktuku hampir habis.
Ada jalan keluar untuk semua ini. Aku tahu pasti ada, jika saja aku bisa
memusatkan perhatian cukup keras. Aku melotot memandangi piramida, kotakkotak
penyimpanan, kotak-kotak kayu, yang terlalu berat untuk dijatuhkan dengan
panah. Mungkin salah satunya berisi minyak goreng, dan ide untuk menembakkan
panah berapi muncul lagi ketika aku sadar aku bisa menghabiskan dua belas anak
panah yang kumiliki dan tetap tidak mengenai sasaran ke tempat penyimpanan
minyak, karena aku cuma menebak-nebak. Aku mulai berpikir untuk berjalan
mengikuti langkah si Muka Rubah menuju piramida, berharap bisa menemukan
cara baru untuk menghancurkan tempat ini ketika mataku tertuju pada karung goni
berisi apel. Aku bisa memutuskan tali yang mengikatnya hanya dengan satu
tembakan, bukankah itu yang kulakukan di Pusat Latihan" Karung itu akan jatuh
bergedebuk, tapi paling hanya akan menimbulkan satu ledakan. Seandainya aku
bisa melepaskan semua apel dari dalam karung....
Aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku bergerak di dalam jarak lingkaran dan
menggunakan tiga anak panah untuk membereskan masalahku. Aku memasang
kuda-kuda, memusatkan perhatian sepenuhnya ketika aku membidik dengan teliti.
Panah pertama merobek bagian samping atas karung, membuat robekan di karung
itu. Panah kedua memperlebar robekan itu. Aku bisa melihat apel pertama
mengintip hendak keluar ketika aku melepaskan anak panah ketiga, menembus
celah robek di karung, dan mengoyak karung tersebut hingga lepas.
Selama beberapa saat, waktu seakan berhenti berputar. Apel-apel itu berjatuhan
ke tanah dan aku terlempar ke belakang, melayang di udara.
Bab 17 BENTURAN dengan tanah yang keras membuatku nyaris semaput. Ranselku tidak
membantu mengurangi hantamannya. Untungnya tempat anak panahku tersangkut
di lekuk sikuku, sehingga membuat siku dan bahuku terlindung dari benturan, dan
busurku kugenggam erat-erat.
Tanah masih terguncang karena ledakan. Aku tidak bisa mendengar mereka. Aku
tidak bisa mendengar apa pun saat ini. Apel-apel itu pasti meledakkan cukup
banyak ranjau, yang menimbulkan pecahan-pecahan yang akhirnya memicu
ledakan lain. Aku berhasil melindungi wajahku dengan kedua lengan ketika
pecahan-pecahan akibat ledakan menghujaniku, sebagian diantaranya panas dan
membara. Asap yang baunya menyengat memenuhi udara, yang jelas bukan obat
terbaik untuk seseorang yang berusaha memperoleh kemampuannya untuk
bernapas. Setelah sekitar semenit berlalu, tanah berhenti bergetar. Aku berguling
menyamping dan sejenak membiarkan diriku merasa puas memandangi sisa-sisa
piramida yang hancur dan masih mengepulkan asap. Kawanan Karier pasti tidak
bisa menyelamatkan apa pun dari puing-puing itu.
Sebaiknya aku segera pergi dari sini, aku berpikir. Mereka pasti akan mengambil
jalan pintas untuk sampai ke tempat ini.
Tapi ketika aku berdiri, aku sadar bahwa melarikan diri tidak semudah itu.
Kepalaku pening. Bukan jenis pening yang membuatmu berjalan terhuyunghuyung,
tapi jenis pening yang membuatmu merasa pohon berputar-putar cepat
mengelilingimu dan menyebabkan tanah yang kupijak bergerak bergelombang.
Aku mencoba berjalan beberapa langkah dan entah bagaimana aku sudah
merangkak di atas tanah. Selama beberapa menit aku menunggu rasa pening itu
berlalu, tapi ternyata rasa itu tak mau hilang.
Rasa panik mulai menjalariku. Aku tidak bisa tinggal di sini. Kabur merupakan
hal yang teramat penting. Tapi aku tidak bisa berjalan atau mendengar. Kutangkupkan
tanganku ke telinga kiri, telinga yang menghadap ledakan tadi, dan ternyata
berdarah. Apakah aku jadi tuli karena ledakan itu" Membayangkannya membuatku
ngeri. Sebagai pemburu aku menggantungkan kemampuanku pada pendengaran,
selain pada pandanganku, bahkan kadang-kadang pendengaran lebih membantuku.
Tapi aku tidak boleh menunjukkan ketakutanku. Aku yakin seyakin-yakinnya, saat
ini aku sedang ditayangkan langsung di setiap layar televisi di Panem.
Tidak ada jejak darah, kataku menenangkan diri, dan berhasil melindungi
kepalaku dengan tutup kepala jaketku, kuikat talinya di bawah daguku dengan
jarijari gemetar. Semoga tutup kepala itu bisa membantu menyerap darah yang
keluar dari telingaku. Aku tidak bisa berjalan, tapi apakah aku bisa merangkak"
Raguragu aku bergerak maju. Ya, jika aku bergerak sangat lambat, aku bisa
merangkak. Sebagian besar wilayah hutan tidak memberi cukup perlindungan memadai.
Satusatunya harapan adalah kembali ke semak-semak Rue dan bersembunyi di balik
rimbun dedaunan. Aku tidak boleh tertangkap di sini, merangkak di tempat
terbuka. Tidak hanya aku akan menghadapi kematianku, pasti kematianku bakal
lama dan menyakitkan di tangan Cato. Membayangkan Prim harus menyaksikan
kematianku membuatku merayap sedikit demi sedikit menuju tempat
persembunyiannya. Ledakan lain membuatku jatuh terkapar. Ranjau lain, yang terpicu meledak karena
tertimpa kotak kayu. Ledakan ini terjadi dua kali. Aku jadi teringat pada bijibiji jagung terakhir yang meledak ketika aku dan Prim membuat pop corn di atas api.
Tidak persis tepat jika dibilang aku berhasil ke tempat persembunyianku tepat
pada waktunya. Bisa dibilang aku harus menyeret tubuhku ke dalam semak belukar di
bawah pohon ketika Cato lari menyeruduk ke tanah lapang, dan tak lama kemudian
diikuti anggota kawanannya. Dia murka habis-habisan sampai kelihatan lucu-jadi
memang ada orang yang menjambak-jambak rambutnya dan meninju tanah dengan
dengan dua tangannya saat sedang marah-kalau saja aku tidak tahu kemarahannya
ditujukan kepadaku, dan apa yang telah kulakukan terhadapnya. Selain itu
dekatnya jarak antara kami, ditambah dengan kenyataan bahwa aku tidak mampu
lari atau membela diri membuatku ketakutan setengah mati. Aku lega tempat
persembunyianku tidak bisa disorot dengan jelas oleh kamera karena saat ini aku
sedang menggigiti kukuku habis-habisan. Aku mengunyah kuku terakhirku yang
tersapu kuteks, berusaha menjaga gigiku agar tidak bergemelutuk.
Anak lelaki dari Distrik 3 melemparkan beberapa batu ke dalam puing-puing
persediaan yang sudah hancur dan dia pasti sudah menyatakan keadaan aman
karena kawanan Karier berjalan mendekati kerusakan yang kutimbulkan.
Cato sudah melewati tahap pertama amukannya dan melampiaskan kemarahannya
pada sisa-sisa persediaan yang masih berasap dengan menendangi beberapa kotak
hingga terbuka. Peserta-peserta lain melihat-lihat di dalam kekacauan, mencari
sesuatu yang bisa diselamatkan, tapi sia-sia saja.
Anak lelaki dari Distrik 3 melaksanakan pekerjaannya dengan amat baik. Pikiran
itu pasti terlintas juga dalam benak Cato, karena dia berpaling menghadap anak
itu dan terlihat berteriak padanya. Anak lelaki dari Distrik 3 hanya sempat berbalik
dan berlari sebelum Cato menangkap dan memegangi lehernya dari belakang. Aku
bisa melihat otot-otot lengan Cato mengeras ketika dalam satu gerakan kilat dia
memuntir kepala anak itu ke samping.
Secepat itu. Dan berakhirlah riwayat anak lelaki dari Distrik 3.
Dua anggota kawanan Karier tampaknya berusaha menenangkan Cato. Aku bisa
melihat gelagat Cato untuk kembali ke hutan, tapi mereka terus-menerus menunjuk
langit. Awalnya aku bingung, tapi kemudian aku tersadar, Tentu saja. Mereka
pikir siapa pun yang memicu ledakan ini pasti sudah tewas. Mereka tidak tahu tentang
panah dan apel. Mereka mengira perangkap itu cacat, dan peserta yang meledakan
persediaan ikut tewas. Jika ada tembakan meriam, bisa saja tembakkan itu teredam
di antara rentetan ledakan. Sisa-sisa jasad pencurinya pasti sudah dibawa
pesawat ringan. Mereka beristirahat di ujung danau agar para juri pertarungan bisa
mengambil jenazah anak lelaki dari Distrik 3. Lalu mereka pun menunggu.
Kurasa meriam berbunyi. Pesawat ringan muncul dan mengambil jenazah anak itu.
Matahari tenggelam di ujung cakrawala. Malam pun tiba. Nun jauh di langit, aku
melihat lambang negara dan lagu kebangsaan dinyanyikan. Momen kegelapan.
Mereka menunjukkan anak lelaki dari Distrik 3. Mereka menunjukkan anak lelaki
dari Distrik 10, yang pasti tewas tadi pagi. Kemudian lambang negara muncul
lagi. Jadi sekarang mereka tahu. Pengebomnya selamat. Dalam cahaya yang terpantul
dari lambang negara, aku bisa melihat Cato dan anak perempuan dari Distrik 2
mengenakan kacamata malam. Anak lelaki dari Distrik 1 menyalakan dahan pohon
untuk dijadikan obor, menyinarkan tekad kelam di wajah-wajah mereka. Kawanan
Karier berjalan masuk hutan lagi untuk berburu.
Peningku sudah mulai hilang dan sementara telinga kiriku masih tuli, aku bisa
The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar deringan di telinga kananku, yang semestinya jadi pertanda bagus. Tapi
tak ada gunanya meninggalkan tempat persembunyianku sekarang. Aku berada di
tempat paling aman, di tempat kejadian. Mereka mungkin berpikir bahwa
pengebomnya sudah berjarak dua atau tiga jam dari mereka. Namun aku tetap
menunggu lama sebelum berani mengambil risiko untuk bergerak.
Hal pertama yang kulakukan adalah mengeluarkan kacamata malamku dan
memakainya, dan aku jadi sedikit lebih tenang, karena paling tidak salah satu
dari indra pemburuku bisa berfungsi baik. Aku minum sedikit air dan membasuh darah
dari telingaku. Karena takut bau daging akan menarik binatang pemangsa-darah
segar sudah cukup buruk-aku meracik makanan dari daun-daunan, umbi-umbian,
dan buah-buah berry yang kukumpulkan bersama Rue hari ini.
Di mana sekutu kecilku" Apakah dia berhasil kembali ke titik pertemuan" Apakah
dia menguatirkanku" Paling tidak, langit menunjukkan kami berdua selamat.
Jemariku menghitung sisa peserta yang masih hidup. Anak lelaki dari Distrik 1,
sepasang dari Distrik 2, si Muka Rubah, sepasang dari Distrik 11 dan 12. Tinggal
delapan orang. Pasar taruhan pasti sangat panas di Capitol. Mereka pasti
menampilkan berita khusus tentang kami satu per satu. Mungkin mewawancarai
sahabat-sahabat dan keluarga kami. Sudah lama sejak terakhir kalinya peserta
dari Distrik 12 masuk delapan besar. Dan sekarang kami berdua masuk. Meskipun dari
kata-kata Cato, dia bilang Peeta sedang dalam perjalanan "keluar". Bukan berarti
Cato jadi penentu segalanya dalam petarungan ini. Bukankah dia baru kehilangan
persediaan makanannya"
Maka dimulailah Hunger Games Ketujuh Puluh Empat, Cato, pikirku. Kali ini kita
mulai dengan sungguhan. Embusan angin dingin mulai terasa. Aku mengulurkan tangan ingin mengambil
kantong tidurku sebelum aku ingat bahwa aku meninggalkannya untuk Rue.
Seharusnya aku mengambil satu dari tempat persediaan, tapi dengan adanya ranjau
dan segalanya, aku kelupaan. Aku mulai menggigil. Karena meringkuk di atas
pohon bukan tindakan bijaksana, aku menggali lubang di bawah semak-semak lalu
menutupi tubuhku dengan dedaunan dan rerumputan. Aku masih kedinginan.
Kututup bagian atasku dengan lembaran plastik dan menempatkan ranselku untuk
menghalangi angin. Sedikit lebih baik. Aku mulai merasa sedikit bersimpati pada
anak perempuan dari Distrik 8 yang menyalakan api pada malam pertama. Tapi
sekarang akulah yang perlu menggertakan gigiku dan bertahan hingga pagi tiba.
Lebih banyak daun-daunan, lebih banyak rumput. Kumasukkan kedua lenganku ke
dalam jaket dan kutekuk lututku hingga ke dada. Entah bagaimana, aku pun jatuh
tertidur. Ketika aku membuka mata, dunia tampak agak retak-retak, dan butuh waktu
semenit untuk menyadari bahwa matahari pasti sudah tinggi dan kacamata
membuat pandanganku terpecah. Saat aku duduk dan melepaskan kacamataku, aku
mendengar suara tawa di dekat danau dan aku terkesiap. Tawa itu terdengar aneh,
tapi kenyataan bahwa aku bisa mendengarnya berarti telingaku sudah berfungsi
kembali. Ya, telinga kananku bisa mendengar lagi, meskipun masih berdenging.
Sementara untuk telinga kiriku, paling tidak pendarahannya sudah berhenti.
Aku mengintip di antara semak-semak, kuatir kawanan Karier kembali,
memerangkapku di sini hingga entah kapan aku bisa kabur. Ternyata si Muka
Rubah, berdiri di antara puing-puing piramida dan tertawa. Dia lebih cerdik
daripada kawanan Karier, dan bisa menemukan benda-benda yang berguna di
antara debu. Pot logam. Sebilah pisau. Aku bingung dengan kegembiraannya
sampai aku sadar bahwa dengan lenyapnya persediaan kawanan Karier, dia
mungkin memiliki kemungkinan menang. Sama seperti kami semua. Terlintas
dalam pikiran untuk menunjukkan diriku dan mengajaknya menjadi sekutu kedua
melawan kawanan itu. Tapi aku mengenyahkan gagasan itu. Ada sesuatu pada
seringai licik itu yang membuatku yakin bahwa bersahabat dengan si Muka Rubah
hanya akan membuatku ditikam pisau dari belakang. Memikirkan hal ini, sekarang
mungkin saat yang tepat untuk memanahnya. Tapi dia mendengar sesuatu, bukan
suara yang kutimbulkan, karena kepalanya menoleh ke arah lain, lalu dia berlari
melesat menuju hutan. Aku menunggu. Tak ada seorang pun, tak ada yang muncul. Namun, jika si Muka
Rubah menganggapnya berbahaya, mungkin sudah waktunya bagiku untuk kabur
dari sini juga. Selain itu, aku tidak sabar untuk memberitahu Rue tentang
piramida yang kuledakkan. Karena aku tidak tahu di mana kawanan Karier berada, jalur kembali menyusuri
arus sungai sama saja risikonya dengan cara lain. Aku bergegas, memegang busur
dengan satu tangan, sebongkah daging groosling dingin di tangan satu lagi,
karena aku lapar sekali sekarang, dan tubuhku butuh tidak hanya daun-daunan atau buah
berry tapi juga lemak dan protein dari daging. Perjalanan menuju sungai tidak
banyak kesulitan. Sesampainya di sana, aku mengisi air dan membasuh lukaku,
berhati-hati membersihkan telingaku yang luja. Lalu aku berjalan menanjak
memanfaatkan arus sungai sebagai penunjuk jalan. Pada satu titik, aku menemukan
jejek-jejak sepatu bot di lumpur pada pinggir sungai. Kawanan Karier pernah
berada di sini, tapi sudah lewat lama. Jejak-jejak kaki itu dalam karena
dijejekkan di lumpur lembut, tapi sekarang nyaris kering karena terjemur sinar matahari
yang terik. Aku tidak terlalu berhati-hati dengan jejak kakiku sendiri, berharap
langkahku yang ringan dan dedaunan bisa menutupi jejak kakiku. Saat ini aku
melepaskan sepatu bot dan kaus kakiku lalu bertelanjang kaki menelusuri dasar
sungai. Air yang sejuk langsung menyegarkan tubuhku, semangatku. Aku memanah dua
ekor ikan, sasaran mudah di arus sungai yang pelan ini, lalu aku melanjutkan
berjalan dan makan seekor ikan mentah meskipun aku baru saja makan daging
groosling. Ikan kedua kusisakan untuk Rue.
Lambat laun, tanpa terasa, deringan di telinga kananku berkurang hingga tak
terdengar lagi. Beberapa kali aku mengorek telinga kiriku, berusaha membersihkan
apa pun yang memusnahkan kemampuannya untuk menangkap bunyi. Jika
telingaku lebih baik, aku tidak bisa menyadarinya. Aku tidak bisa menyesuaikan
diri dengan ketulian telingaku. Kehilangan pendengaran ini membuatku kehilangan
keseimbangan dan tak berdaya di sebelah kiri. Bahkan bisa dibilang aku buta.
Kepalaku terus menoleh ke sisi telingaku yang terluka, sementara telinga kananku
berusaha mengimbangi dinding kekosongan yang mengisinya kemarin dengan arus
informasi tanpa henti hari ini. Seiring waktu berlalu, semakin tipis harapanku
bahwa luka ini akan sembuh.
Ketika aku tiba di lokasi pertemuan pertama kami, aku yakin tempat ini tidak
disinggahi. Tidak ada kehadiran Rue, baik di tanah maupun di pepohonan. Ini
aneh. Pada saat ini dia seharusnya sudah kembali, kareba sudah tengah hari.
Pasti dia bermalam entah di pohon mana. Apa lagi yang bisa dia lakukan tanpa cahaya
sementara kawanan Karier dengan kacamata malamnya menjelajahi hutan. Dan api
ketiga seharusnya dinyalakan di tempat terjauh dari lokasi kami-walaupun aku
lupa memeriksa apakah api dinyalakan tadi malam. Rue mungkin hanya bersikap hatihati
untuk kembali. Kuharap dia cepat datang, karena aku tidak mau berada di sini
terlalu lama. Aku ingin melalui siang ini dengan berjalan menuju tempat yang
lebih tinggi, berburu di sepanjang jalan yang kami lewati. Tapi tidak ada yang
bisa aku lakukan sekarang kecuali menunggu.
Aku membasuh darah dari jaket dan rambut serta membersihkan daftar luka-luka
yang tampaknya terus bertambah. Luka-luka bakarku jauh lebih baik, tapi aku
tetap mengoleskan obat pada lukaku. Hal utama yang harus kupikirkan sekarang adalah
menghindarkannya dari infeksi. Aku berjalan dan makan ikan kedua. Ikan ini tak
akan bertahan lama di bawah sinar matahari yang panas, tapi seharusnya tidak
sulit menombak beberapa ekor lagi untuk Rue. Kalau dia muncul nanti.
Aku merasa kondisiku terlalu rentan berada di tanah seperti ini dengan
pendengaran yang hanya sebelah ini, jadi aku memanjat pohon untuk menunggu.
Kalau kawanan Karier muncul, ini akan jadi tempat baik untuk memanah mereka.
Matahari bergerak perlahan. Aku melakukan banyak hal untuk menghabiskan
waktu. Mengunyah dedaunan dan mengoleskan hasil kunyahanku ke bekas
sengatan yang bengkaknya sudah kempis tapi masih perih. Menyisir rambutku
yang lembap dengan jemariku dan mengepangnya. Mengikat tali sepatu botku.
Memeriksa busur dan sisa sembilan anak panah. Aku mengetes telinga kiriku
berkali-kali untuk mencari tanda-tanda kehidupan, tapi tak ada tanda-tanda
kembalinya pendengaranku.
Meskipun sudah menyantap daging groosling dan ikan, perutku masih
keroncongan, dan aku tahu aku akan melewatkan apa yang kami sebut sebagai hari
lambung bocor di Distrik 12. Itu adalah hari ketika tidak peduli seberapa pun
banyaknya makanan yang masuk ke perutmu, kau tak pernah merasa cukup. Hanya
duduk menganggur di pohon ini memperburuk keadaan, jadi kuputuskan untuk
menyerah. Lagi pula, aku kehilangan banyak berat badan di arena pertarungan ini,
jadi aku butuh kalori lebih. Ditambah lagi punya busur dan panah membuatku jauh
lebih percaya diri memandang masa depanku.
Perlahan-lahan aku mengupas dan makan segenggam kacang. Menikmati biskuitku
yang terakhir. Bagian leher groosling. Kegiatan makan bagian leher ini bagus
karena butuh waktu banyak untuk mengunyahnya hingga bersih. Akhirnya bagian
sayap groosling dan burung ini tinggal sejarah. Tapi ini hari lambung bocor dan
dengan semua itu aku mulai memimpikan makanan. Terutama makanan superlezat
yang mereka sajikan di Capitol. Ayam dalam saus krim jeruk. Kue-kue dan puding.
Roti dan mentega. Mi dengan saus hijau. Daging kambing dan setup buah plum
kering. Aku mengisap beberapa lembar daun mint dan memerintahkan diriku untuk
melupakan semua makanan itu. Mint ini bagus karena kami sering minum teh mint
sehabis makan malam, jadi aku mengelabui otakku agar menganggap waktunya
makan sudah berlalu. Ya pokoknya semacam itulah.
Bergelantungan di pohon, dengan sinar matahari menghangatiku, mulut penuh
mint, dengan busur dan panah di tangan... ini adalah saat paling santai bagiku
sejak berada di arena pertarungan. Kalau Rue datang, kami bisa segera menyingkir dari
sini. Semakin tinggi matahari, semakin tinggi pula kegelisahanku. Menjelang
sore, aku bertekad mencari Rue. Paling tidak aku bisa mendatangi tempat dia
menyalakan api ketiga dan mencari petunjuk dimana keberadaannya.
Sebelum pergi, aku menyebarkan beberapa lembar daun mint di sekitar bekas api
unggun. Karena kami mengumpulkan daun mint ini dari tempat yang agak jauh,
Rue akan paham aku pernah berada di sini, sementara daun-daun ini tak punya arti
khusus bagi kawanan Karier.
Kurang dari satu jam, aku sudah berada di tempat yang kami sepakati akan jadi
tempat dinyalakannya api ketiga dan kutahu ada sesuatu yang salah. Kayu-kayu
sudah disusun rapi, lengkap dengan rabuk yang ditata dengan cermat, tapi kayu
ini tak pernah dinyalakan. Rue menyiapkan api unggun tapi tak pernah sempat
kembali untuk menyalakannya. Antara asap dari api kedua yang sempat kulihat
sebelum aku meledakkan persediaan dan titik ini, Rue mengalami masalah.
Aku harus menguatkan diriku bahwa dia masih hidup. Mungkinkah tembakan
meriam yang mengumumkan kematiannya berbunyi pada dini hari ketika telingaku
yang masih baik pendengarannya belum sembuh total" Akankah wajah Rue
muncul dilangit malam ini" Tidak, aku tidak mau percaya. Bisa jadi ada ratusan
penjelasan lain. Rue mungkin tersesat. Berpapasan dengan binatang pemangsa atau
peserta lain, seperti Thresh misalnya, hingga dia harus bersembunyi. Apa pun
yang terjadi, aku hampir yakin dia terjebak di antara api kedua dan api yang belum
sempat dinyalakan yang ada di dekat kakiku sekarang. Ada sesuatu yang
membuatnya berada di atas pohon.
Aku berniat untuk memburu pemburunya.
Lega rasanya bisa melakukan sesuatu setelah duduk-duduk seharian. Aku
menyelinap diam-diam di antara bayangan, membiarkan kegelapan menutupiku.
Tapi tak ada yang tampaknya mencurigakan. Tidak ada tanda-tanda perkelahian,
tidak ada gangguan pada dedaunan di tanah. Aku berhenti sebentar saat aku
mendengarnya. Aku harus menelengkan kepalaku ke samping untuk memastikan,
tapi aku mendengarnya lagi. Nada empat not milik Rue keluar dari mulut burung
mockingjay. Itu artinya dia baik-baik saja.
Aku nyengir dan bergerak ke arah burung itu. Tidak jauh di depan sana, aku
mendengar nada-nada yang sama. Rue menyanyikannya pada mereka belum lama
ini. Kalau tidak burung-burung ini pasti sudah menyanyikan lagu lain. Mataku
tertuju ke pepohonan, mencari tanda keberadaannya. Aku menelan ludah dan balas
bernyanyi, berharap dia tahu bahwa sudah aman baginya untuk bergabung
denganku. Mockingjay mengulang melodinya kepadaku. Dan saat itulah aku
mendengar jeritan. Jeritan anak-anak, jeritan anak perempuan, tidak ada seorang pun di arena yang
sanggup membuat suara seperti itu kecuali Rue. Dan sekarang aku berlari,
walaupun sadar bahwa ini mungkin perangkap, tahu bahwa tiga kawanan Karier
mungkin sedang menanti dengan tenang untuk menyerangku, tapi aku tak bisa
menahan diri. Terdengar jeritan melengking, kali ini memanggil namaku. "Katniss!
Kantniss!" "Rue!" aku balas berteriak, jadi dia tahu aku tidak jauh darinya. Jadi, mereka
tahu aku dekat, dan berharap semoga mereka melepaskan perhatian dari anak
perempuan yang menyerang mereka dengan tawon penjejak dan mendapat nilai
sebelas tanpa bisa mereka pahami. "Rue! Aku datang!"
Ketika aku melesat ke tanah lapang, Rue berada di tanah, terperangkap tak
berdaya di jaring. Rue baru sempat meloloskan tangannya di antara lubang jaring dan
menyebut namaku sebelum tubuhnya ditembus tombak.
Bab 18 ANAK lelaki dari Distrik 1 tewas sebelum dia sempat menarik tombaknya. Anak
panahku langsung menghujam tepat di bagian tengah lehernya. Anak lelaki itu
jatuh berlutut dan menghabiskan setengah dari hidupnya yang singkat dengan
berusaha mencabut anak panah yang berkubang dalam genangan darahnya sendiri.
Aku menarik anak panah, bersiap-siap menembak, mencari sasaran dari satu sisi ke
sisi lain, sambil berteriak pada Rue, "Apa masih ada lagi" Masih ada lagi?"
Dia harus berkata beberapa kali sebelum aku bisa mendengarnya.
Rue berguling menyamping, tubuhnya bergelung membungkus tombak. Kudorong
tubuh anak lelaki itu menjauh dari Rue dan kukeluarkan belatiku untuk
membebaskannya dari jaring.
Sekali melihat lukanya, aku tahu luka itu jauh dari kemampuanku untuk bisa
kuobati. Bahkan mungkin takkan bisa diobati oleh siapa pun juga. Mata tombaknya
tertanam di ulu hati Rue. Aku berjongkok di hadapannya, memandang senjata yang
menancap di tubuhnya tanpa sanggup berbuat apa-apa. Tidak ada gunanya
mengucapkan kata-kata yang menenangkan, dengan mengatakan padanya bahwa
dia akan baik-baik saja. Rue tidak bodoh. Tangannya terulur dan aku menggenggamnya seperti
berpegangan pada tali penyelamat. Seakan akulah yang sekarat, bukannya Rue.
"Kau meledakkan makanan mereka?" bisiknya.
"Semuanya sampai habis," kataku.
"Kau harus menang," kata Rue.
"Aku akan menang. Sekarang aku akan menang demi kita berdua," aku berjanji.
Aku mendengar dentuman meriam dan mendongak. Pasti meriam untuk anak lelaki
dari Distrik 1. "Jangan pergi." Rue memperat genggamannya pada tanganku.
"Tidak akan. Aku tetap di sini," kataku. Aku bergerak mendekatinya, menaruh
kepalanya di pangkuanku. Dengan lembut aku membelai rambutnya yang tebal dan
berwarna gelap. "Bernyanyilah," kata Rue, tapi aku nyaris tidak bisa menangkap ucapannya.
Bernyanyi" pikirku. Lagu apa yang harus kunyanyikan"
Aku tahu beberapa lagu. Percaya atau tidak, di rumahku dulu juga pernah ada
musik. Musik yang ada karena keberadaanku. Ayahku menarikku ikut bernyanyi
dengan suaranya yang indah-tapi aku sudah lama tidak bernyanyi sejak ayahku
meninggal. Kecuali ketika Prim sedang sakit berat. Biasanya aku menyanyikan
lagu yang sama, yang suka didengarnya semasa dia masih bayi.
Bernyanyi. Tenggorokanku tercekat air mata, serak karena asap dan kelelahan.
Tapi jika ini permintaan terakhir Prim, maksudku Rue, paling tidak aku harus
berusaha bernyanyi. Lagu yang terlintas dalam benakku adalah lagu ninabobo
sederhana, lagu yang kami nyanyikan untuk menidurkan bayi yang lapar dan
gelisah. Kalau tidak salah, ini lagu yang sudah sangat lama. Diciptakan pada
zaman dulu kala di perbukitan kami. Guru musikku menyebutnya udara
pegunungan. Tapi lirik lagunya sederhana dan menenangkan, menjanjikan hari
The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
esok yang lebih penuh harapan daripada sepotong waktu tidak menyenangkan yang
kami jalani hari ini. Aku terbatuk kecil, menelan ludah dengan susah payah, lalu mulai bernyanyi:
Jauh di padang rumput, di bawah pohon willow
Tempat tidur dari rumput, yang hijau, lembut, dan kemilau
Letakkan kepalamu, dan tutup mataku yang mengantuk
Dan saat matamu kembali terbuka, fajar akan mengetuk
Di sini aman, di sini hangat
Di sini bunga-bunga aster menjagamu dari yang jahat
Di sini mimpi-mimpimu indah dan esok akan menjadikannya nyata
Di sini tempat aku membuatmu merasakan cinta.
Mata Rue lamat-lamat menutup. Dadanya bergerak amat perlahan. Tenggorokanku
melepaskan air mata yang ditahan dan mengalir di kedua pipiku. Tapi aku harus
menyelesaikan laguku untuknya.
Jauh di padang rumput, jauh tersembunyi
Satu jubah dari dedaunan, satu sinar bulan sunyi
Lupakan sedihmu dan biarkan masalahmu terlelap sepi
Dan bila pagi menjelang lagi, mereka akan hilang pergi
Di sini aman, di sini hangat
Di sini bunga-bunga aster menjagamu dari yang jahat
Baris-baris terakhir nyaris tak terdengar.
Di sini mimpi-mimpimu indah dan esok akan menjadikannya nyata
Di sini tempat aku membuatmu merasakan cinta
Segalanya tenang dan sunyi. Kemudian, nyaris membuat bulu kuduk bergidik,
burung-burung mockingjay mengulang laguku.
Selama sesaat, aku duduk di sana, melihat air mataku menetes jauh ke wajahnya.
Tembakan meriam untuk Rue berbunyi. Aku menunduk dan bibirku mengecup
pelipisnya. Perlahan-lahan, seakan takut membangunkannya, aku menaruh kepala
Rue ke tanah dan melepaskan tangannya.
Mereka pasti ingin aku menyingkir. Agar mereka bisa mengambil jenazahnya. Dan
tak ada alasan bagiku untuk tetap tinggal. Kutelungkupkan mayat anak lelaki dari
Distrik 1 lalu kuambil ranselnya, juga anak panah yang mengakhiri hidupnya.
Kuambil juga ransel dari punggung Rue, karena aku tahu dia pasti mau aku
mengambilnya, tapi kubiarkan tombak itu di perutnya. Senjata-senjata yang ada di
jenazah akan ikut dibawa dengan pesawat ringan. Tombak tak ada gunanya buatku,
jadi makin cepat tombak itu hilang dari arena, makin baik.
Aku tidak bisa berhenti memandang Rue, yang tampak lebih mungil, seperti bayi
binatang meringkuk di sarang jalanya. Aku tidak bisa meninggalkannya dalam
keadaan seperti ini. Sudah melewati bahaya, tapi tampak amat tak berdaya.
Membenci anak lelaki dari Distrik 1, yang juga tampak rapuh dalam kematiannya,
seakan tidak cukup. Capitol-lah yang kubenci karena telah melakukan ini pada
kami semua. Suara Gale bergaung dalam kepalaku. Ocehan kemarahannya pada Capitol tidak
lagi tak berguna, tak lagi bisa di abaikan. Kematian Rue telah memaksaku
menghadapi kemarahanku sendiri terhadap kekejaman dan ketidakadilan yang
mereka timpakan pada kami. Tapi di sini, jauh lebih kuat daripada yang kurasakan
di kampung halaman, aku merasa tak berdaya. Tidak mungkin aku bisa membalas
dendam pada Capitol. Atau mungkinkah aku melakukannya"
Lalu aku teringat pada kata-kata Peeta di atap. "Hanya saja aku terus berharap
bisa menemukan cara untuk... menunjukkan pada Capitol mereka tidak memilikiku.
Aku lebih dari sekedar pion dalam permainan mereka." Dan untuk pertama
kalinya, aku memahami maksudnya.
Aku ingin melakukan sesuatu, di sini, sekarang, membuat mereka bertanggung
jawab, menunjukkan pada Capitol bahwa apa pun yang mereka lakukan atau
mereka paksakan pada kami, ada bagian dari setiap peserta yang tak dapat mereka
miliki. Bahwa Rue lebih dari sekedar pion dalam permainan mereka. Dan aku juga
bukan. Beberapa langkah menuju hutan tumbuh bunga-bunga liar. Mungkin itu cuma
rumput-rumput liar, tapi tumbuh menjadi bunga-bunga indah berwarna ungu,
kuning, dan putih. Aku memungut segenggam bunga dan kembali ke sisi Rue.
Perlahan-lahan setangkai demi setangkai aku menghias jenazahnya dengan
bungabunga. Menutupi lukanya yang buruk. Merangkaikan bunga di wajahnya.
Menyelipkan warna-warni cerah di rambutnya.
Mereka harus menunjukkan gambar ini di layar televisi. Atau, bahkan jika mereka
memilih untuk mengalihkan kamera ke arah lain saat ini, mereka harus menyoroti
lagi saat mereka mengambil jenazahnya dan semua orang akan melihatnya saat itu
dan tahu akulah pelakunya. Aku melangkah mundur dan melihat Rue untuk
terakhir kalinya. Bisa jadi dia sebenarnya hanya tidur di padang rumput itu.
"Selamat tinggal, Rue," bisikku. Aku menempelkan tiga jari tengah tangan kiriku
dibibir, lalu melemparkan ciuman jauh ke arah Rue. Kemudian aku berjalan pergi
tanpa menoleh ke belakang.
Burung-burung pun terdiam. Di suatu tempat, seekor mockingjay bersiul
melantunkan tanda peringatan yang menandai datangnya pesawat ringan. Aku
tidak tahu bagaimana dia tahu. Dia pasti bisa mendengar apa yang tak bisa
didengar melalui telinga manusia. Aku berhenti berjalan, mataku tertuju pada apa
yang ada di depanku, bukan apa yang terjadi di belakangku. Tidak lama kemudian,
burung-burung mulai bernyanyi lagi dan aku tahu Rue sudah lenyap.
Mockingjay lain, yang tampaknya masih anak burung, hinggap di dahan di
depanku dan menyanyikan melodi Rue. Laguku dan bunyi pesaway ringan terlalu
asing untuk ditiru anak burung ini, tapi dia sudah menguasai sederet nada.
Melodi yang berarti dia dalam keadaan aman.
"Sehat dan aman," kataku ketika berjalan melewati dahan pohon. "Sekarang kita
tak perlu menguatirkannya lagi."
Sehat dan aman. Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Perasaan pulang yang kurasakan sejak
bersama Rue satu malam itu kini lenyap sudah. Kakiku berjalan ke sana kemari
hingga matahari terbenam. Aku tidak takut, bahkan tidak waspada. Ini
menjadikanku sasaran mudah. Kecuali kali ini aku akan membunuh siapa pun yang
kutemui. Tanpa emosi atau gemetar sedikit pun. Kebencianku pada Capitol tidak
mengurangi kebencianku sedikit pun terhadap para pesaingku. Terutama pada
kawanan Karier. Paling tidak, mereka harus membayar kematian Rue.
Tapi tak ada seorang pun yang tampak. Tidak banyak lagi peserta yang tersisa dan
arena pertarungan ini sangat luas. Tidak lama lagi mereka akan mengeluarkan alat
entah apa yang memaksa kami untuk mendekat. Tapi sudah cukup banyak
kengerian hari ini. Mungkin kami bisa punya waktu untuk tidur.
Aku baru saja hendak menaruh ransel-ranselku ke pohon untuk membuat tempat
istirahat ketika parasut perak melayang turun dan mendarat di depanku. Hadiah
dari sponsor. Tapi kenapa sekarang" Barang-barang persediaanku banyak.
Mungkin Haymitch menyadari bahwa aku patah semangat dan berusaha sedikit
menghiburku. Atau mungkin ini sesuatu yang dapat membantu telingaku"
Aku membuka parasut dan menemukan sebongkah kecil roti. Bukan roti putih
buatan Capitol. Roti ini terbuat dari gandum hitam jatah distrik dan bentuknya
seperti bulan sabit. Bagian atasnya ditaburi biji-bijian.
Aku mengingat pelajaran yang diberikan Peeta di Pusat Latihan tentang berbagai
jenis roti dari setiap distrik. Roti ini berasal dari Distrik 11. Dengan hatihati aku mengangkat roti yang masih hangat itu. Berapa harga yang harus dibayar oleh
orang-orang dari Distrik 11 yang bahkan tidak bisa membeli makanan untuk diri
mereka sendiri" Berapa banyak orang yang harus mengais-ngais uang yang mereka
miliki untuk menyumbang demi roti ini" Pasti roti ini ditujukan buat Rue. Tapi
bukannya menarik hadiah ini ketika dia tewas, mereka memerintahkan Haymitch
untuk memberikannya padaku. Sebagai pernyataan terima kasih" Apa pun
alasannya, kejadian ini adalah pertama kalinya. Hadiah dari distrik yang bukan
distrikmu. Aku mendongak dan melangkah ke sinar matahari terakhir yang tersisa.
"Terima kasihku untuk penduduk Distrik Sebelas," kataku.
Aku ingin mereka tahu bahwa aku tahu dari mana roti ini berasal. Itulah
penghargaan penuh bahwa aku mengenali hadiah mereka.
Aku memanjat pohon setinggi-tingginya, bukan demi keamanan tapi untuk pergi
sejauh-jauhnya dari hari ini. Kantong tidurku tergulung rapi dalam ransel Rue.
Besok aku akan melihat-lihat persediaan yang kumiliki. Besok aku akan membuat
rencana baru. Tapi malam ini, yang bisa kulakukan adalah mengikat diriku di
pohon dan mencuil roti sedikit demi sedikit untuk kumakan. Rasanya enak.
Rasanya seperti berada di rumah.
Tidak lama kemudian lambang Capitol muncul di langit, lagu kebangsaan
terdengar di telinga kananku. Aku melihat anak lelaki dari Distrik 11, Rue. Itu
saja untuk malam ini. Tinggal enam yang tersisa, pikirku. Hanya enam. Sambil
memeluk roti dengan kedua tanganku, aku langsung jatuh tertidur.
Kadang-kadang saat keadaan sedang buruk, otakku akan memberiku mimpi indah.
Berjalan ke hutan bersama ayahku. Satu jam di bawah sinar matahari sambil
makan kue dengan Prim. Malam ini membawaku bertemu Rue, masih berhiaskan
bunga-bunganya, hinggap di pepohonan tinggi, berusaha mengajariku bicara pada
mockingjay. Aku tidak melihat bekas-bekas lukanya, tidak ada darah, hanya ada
gadis kecil yang cerdas dan ceria. Dia menyanyikan lagu-lagu yang tak pernah
kudengar dengan suara jernih dan merdu. Terus dan terus. Sepanjang malam. Ada
masa di antara kantuk ketika aku bisa mendengar sisa-sisa nada musiknya
meskipun dia hilang di antara dedaunan. Ketika aku terbangun sepenuhnya, selama
sesaat aku merasa nyaman. Aku berusaha berpegangan pada perasaan mimpi yang
damai itu, tapi semua itu lenyap dengan cepat, meninggalkan aku dalam keadaan
makin sepi dan lebih sehat daripada sebelumnya.
Seluruh tubuhku terasa lembam, seakan ada cairan timah mengalir dalam aliran
darahku. Aku kehilangan semangat untuk melakukan tugas-tugas sederhana, hanya
bisa berbaring di sini, memandangi kanopi daun-daun tanpa berkedip. Selama
beberapa jam, aku diam tak bergerak. Seperti biasa, pikiranku membayangkan
wajah Prim yang gelisah ketika menontonku di layar kaca di rumah yang
membuatku lepas dari rasa malas.
Kuberikan perintah-perintah sederhana pada diriku, seperti, "Sekarang kau harus
duduk, Katniss. Sekarang kau harus minum, Katniss." Aku melaksanakan
perintahperintah itu dengan gerakan lamban ala robot. "Sekarang kau harus
memeriksa isi ransel-ranselmu, Katniss."
Ransel Rue menyimpan kantong tidurku, kantong airnya yang nyaris kosong,
segenggam kacang-kacangan dan umbi-umbian, sedikit daging kelinci, kaus kaki
cadangan dan ketapelnya. Anak lelaki dari Distrik 1 punya beberapa pisau, dua
mata tombak cadangan, senter, kantong-kantong kulit berukuran kecil, peralatan
P3K, sebotol penuh air, dan sekantong buah-buahan kering. Sekantong buahbuahan
kering! Dari semua barang yang bisa dipilihnya, dia memilih ini. Bagiku,
ini merupakan lambang kesombongan. Kenapa harus repot-repot membawa
makanan sementara kau punya makanan berlimpah di kamp" Saat kau bisa
membunuh musuhmu dengan cepat lalu kau bisa pulang sebelum lapar" Aku hanya
bisa berharap kawanan Karier lainnya hanya membawa sedikit bekal makanan dan
saat ini mereka tidak punya apa-apa.
Bicara tentang makanan, persediaan makananku juga sudah menipis. Aku sudah
menghabiskan roti dari Distrik 11 dan kelinci terakhir. Betapa cepatnya makanan
habis. Yang tersisa di tanganku hanya umbi-umbian dan kacang-kacangan milik
Rue, buah-buahan kering milik anak lelaki Distrik 1, dan selembar dendeng.
Sekarang kau harus berburu, Katniss, aku memberi perintah pada diriku sendiri.
Dengan patuh aku menyusun persediaan-persediaan yang kuinginkan ke dalam
ranselku. Setelah turun dari pohon, aku menyembunyikan pisau-pisau dan dua
mata tombak di bawah tumpukan batu agar tak ada yang bisa memakainya. Aku
tersesat karena berjalan tak tentu arah kemarin sore, tapi aku berusaha untuk
berjalan ke arah aliran air. Aku tahu aku berjalan ke arah yang benar ketika
melihat api unggun ketiga Rue, yang tak pernah dinyalakan. Tidak lama kemudian, aku
menemukan sekawanan groosling hinggap di pepohonan dan langsung memanah
tiga ekor sebelum mereka sadar apa yang menghantam mereka. Aku kembali ke
api sinyal Rue dan menyalakannya, tidak peduli pada asapnya yang berlebihan. Di
mana kau, Cato" Pikirku saat memanggang burung dan umbi-umbian Rue. Aku
menunggu di sini. Siapa yang tahu di mana kawanan Karier sekarang" Entah mereka terlalu jauh
untuk mendatangiku atau terlalu yakin ini cuma tipuan atau... mungkinkah mereka
terlalu takut padaku" Tentu saja, mereka tahu aku punya busur dan panah, Cato
melihat aku mengambilnya dari Glimmer. Tapi apakah mereka sekarang sudah
tahu jawabannya" Apakah mereka tahu bahwa aku yang meledakkan persediaan
mereka dan membunuh teman sesama Karier mereka" Mungkin mereka pikir
Thresh pelakunya. Bukankah dia yang lebih mungkin membalas dendam atas
kematian Rue daripada aku" Mengingat mereka berasal dari distrik yang sama"
Walaupun Thresh tidak pernah tampak menaruh perhatian pada Rue.
Dan bagaimana dengan si Muka Rubah" Apakah dia masih berada di sana
melihatku meledakkan persediaan" Rasanya tidak. Ketika aku melihatnya tertawa
di dekat puing-puing keesokan paginya, dari wajahnya seakan ada orang yang
memberinya kejutan yang menyenangkan.
Aku ragu mereka menganggap Peeta yang menyalakan api sinyal ini. Cato yakin
Peeta sudah mampus. Saat ini aku berharap bisa memberitahu Peeta tentang
bungabunga yang kuhiaskan pada Rue. Bahwa aku kini memahami apa yang berusaha
dikatakannya di atap. Mungkin jika dia memenangkan Hunger Games ini, dia akan
melihatku pada malam pemenang, ketika mereka memutar ulang momen-momen
penting dalam Hunger Games di layar di atas panggung tempat kami melakukan
wawancara. Sang pemenang duduk di tempat terhormat di panggung, dikelilingi
para kru pendukung mereka.
Tapi aku sudah bilang pada Rue, aku akan di sana. Demi kami berdua. Entah
bagaimana kata-kata itu tampak lebih penting daripada janji yang kuberikan pada
Prim. Aku sungguh-sungguh berpikir aku punya kesempatan menang sekarang. Bukan
karena aku punya panah atau berhasil mengelabui kawanan Karier beberapa kali,
meskipun dua hal itu membantu. Ada yang terjadi ketika aku menggenggam
tangan Rue, memperhatikan kehidupan mengalir keluar dari dirinya. Sekarang aku
bertekad untuk membalas dendamnya, dan aku hanya bisa melakukannya dengan
memenangkan Hunger Games ini dan membuat diriku tak terlupakan.
Burung-burung ini kupanggang sampai kelewat matang sambil berharap ada orang
yang datang agar bisa kupanah, tapi tak ada seorang pun muncul. Mungkin
pesertapeserta lain sedang saling menghantam sampai mati. Tidak masalah juga
sebenarnya. Sejak adegan pertumpahan darah itu, aku pasti muncul di layar
televisi lebih dari yang bisa kuhitung.
Akhirnya, kubungkus makananku dan kembali ke sungai untuk mengisi air. Tapi
rasa lelah yang kurasakan tadi pagi kembali muncul, sehingga meskipun sekarang
masih sore, aku memanjat pohon dan beristirahat di sana. Otakku mulai memutar
ulang kejadian-kejadian yang terjadi sejak kemarin. Aku terus-menerus melihat
Rue yang tertombak, anak panahku menembus leher anak lelaki itu. Aku tidak tahu
kenapa aku bahkan peduli pada anak itu.
Lalu aku tersadar... dia korban pertama yang kubunuh.
Bersama dengan statistik lain yang mereka laporkan untuk membantu penonton
memasang taruhan mereka, semua peserta memiliki daftar korban. Kurasa secara
teknis aku diakui sebagai pembunuh Glimmer dan anak perempuan dari Distrik 4,
karena menjatuhkan sarang tawon pada mereka. Tapi anak lelaki dari Distrik 1
adalah korban pertama yang kutahu akan tewas akibat perbuatanku. Banyak
binatang yang sudah tewas di tanganku, tapi hanya satu manusia. Aku mendengar
Gale berkata, "Memangnya bisa berbeda sampai sejauh apa?"
Yang luar biasa rasanya seperti melakukan eksekusi. Busur ditarik, anak panah
ditembakkan. Semua terasa berbeda sesudahnya. Aku sudah membunuh anak lelaki
yang namanya pun tak kuketahui. Entah di mana keluarganya menangisi
kematiannya. Teman-temannya ingin menghabisiku. Mungkin dia punya kekasih
yang sungguh-sungguh berharap dia akan kembali...
Tapi kemudian aku teringat pada jenazah Rue dan aku langsung mengenyahkan
gambaran tentang anak lelaki itu dari benakku. Paling tidak, untuk saat ini.
Tampilan di langit menunjukkan hari ini tidak banyak peristiwa yang terjadi.
Tidak ada yang tewas. Aku bertanya-tanya berapa lama lagi waktu kami sampai
malapetaka baru diciptakan untuk mendesak kami mendekat. Kalau waktunya
adalah malam ini, aku ingin menyempatkan diri untuk tidur dulu. Kututup
telingaku yang masih bisa mendengar untuk mengenyahkan lagu kebangsaan yang
terngiang, tapi kemudian aku mendengar tiupan terompet, lalu segera duduk
menunggu. Kebanyakan, satu-satunya komunikasi antara para peserta dengan dunia luar
adalah laporan kematian tiap malam. Tapi kadang-kadang, ada bunyi terompet
yang diikuti pengumuman. Biasanya ini panggilan untuk berpesta. Saat makanan
langka, para Juri Pertarungan akan mengundang semua peserta ke pesta, ke tempat
The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang dikenal semua petarung seperti Cornucopia, sebagai ajakan untuk berkumpul
dan bertarung. Kadang-kadang ada banyak makanan dan kadang-kadang hanya ada
sebongkah roti basi yang diperebutkan oleh para peserta. Aku tidak ingin
mengambil makanan, tapi ini bisa jadi waktu yang tepat untuk menghabisi
beberapa pesaing. Suara Cladius Templesmith bergaung di atas, memberi selamat kepada kami
berenam yang masih bertahan. Tapi dia tidak mengundang kami berpesta. Dia
mengatakan sesuatu yang sangat membingungkan. Ada perubahan peraturan dalam
Hunger Games. Perubahan peraturan! Ini saja sudah mengacau pikiran karena kami tidak punya
peraturan yang dinyatakan dengan jelas, kecuali jangan keluar dari lingkarang
selama enam puluh detik, dan peraturan yang tak disebutkan adalah jangan saling
memakan satu sama lain. Di bawah peraturan baru, dua peserta dari distrik yang
sama bisa dinyatakan sebagai pemenang jika mereka jadi dua peserta terakhir yang
masih hidup. Claudius berhenti sejenak, seakan dia tahu kami tidak benar-benar
paham artinya, lalu mengulang perubahan peraturan itu sekali lagi.
Kabar itu segera masuk ke otakku. Dua pemenang bisa menang tahun ini. Kalau
mereka berasal dari distrik yang sama. Dua-duanya bisa hidup. Kami berdua bisa
hidup. Tanpa pikir panjang, aku berseru memanggil nama Peeta.
Bab 19 BAGIAN III SANG PEMENANG Aku menutup mulut dengan kedua tanganku, tapi suaraku sudah keburu keluar.
Langit menggelap dan aku mendengar kodok-kodok mulai bernyanyi.
Bodoh! Aku memarahi diriku. Tindakan yang benar-benar bodoh!
Aku menunggu, terkesiap, menantikan hutan yang penuh dengan serangam. Lalu
aku ingat bahwa peserta yang tersisa tinggal sedikit.
Peeta, yang kini terluka, sekarang jadi sekutuku. Apapun keraguan yang kumiliki
tentang dirinya sekarang musnah karena jika salah satu dari kami membunuh yang
lain, kami akan jadi orang terbuang saat kembali ke Distrik 12 nanti. Bahkan
sesungguhnya, jika aku sedang menonton acara ini sekarang aku akan merasa jijik
pada peserta yang tidak langsung bergabung dengan partner distriknya. Lagi pula,
rasanya masuk akal bagi peserta dari distrik yang sama untuk saling melindungi.
Dan dalam kasusku-menjadi sepasang kekasih yang bernasib malang dari Distrik
12-tindakan ini menjadi keharusan kalau aku ingin mendapat simpati sponsor.
Pasangan kekasih yang bernasib malang...
Peeta pasti sudah memainkan kartu sejak awal. Kenapa para Juri Pertarungan tanpa
terduga mengubah peraturan" Dua peserta berkesempatan menang, "kisah asmara"
kami pasti sangat populer di mata penonton sehingga menghukumnya bakal
membahayakan kesuksesan Hunger Games. Bukan berkat aku tentunya. Sejauh ini
yang berhasil kulakukan adalah tidak membunuh Peeta. Tapi apa pun yang
dilakukannya di arena, dia pasti berhasil meyakinkan penonton bahwa apa yang
dilakukannya adalah menjagaku tetap hidup. Menggeleng kepadaku agar tidak
berlari ke arah Cornucopia. Bertarung melawan Cato agar aku bisa lolos. Bahkan
bergabung dengan kawanan Karier pasti menjadi langkah untuk melindungiku.
Ternyata Peeta tidak pernah menjadi bahaya bagiku.
Pemikiran itu membuatku tersenyum. Kuturunkan kedua tanganku dan
kudongakkan wajahku di bawah sinar bulan agar kamera bisa menangkap wajahku
dengan jelas. Jadi siapa yang tersisa yang harus ditakuti" Si Muka Rubah" Peserta lelaki dari
distriknya sudah tewas. Dia bekerja sendiri pada malam hari. Dan strateginya
adalah menghindar, bukan menyerang. Bahkan jika dia mendengar teriakanku,
menurutku dia tak bakal melakukan apa-apa kecuali berharap ada orang lain yang
membunuhku. Lalu ada Thresh. Dia termasuk ancaman yang berbeda. Tapi aku tak pernah
melihatnya sekali pun sejak Hunger Games dimulai. Aku teringat pada si Muka
Rubah yang langsung waspada ketika dia mendengar bunyi di lokasi ledakan itu.
Tapi dia tidak menoleh ke arah hutan, dia menoleh ke tempat yang ada di seberang
hutan. Wilayah di arena pertarungan yang tak kuketahui apa bentuknya. Aku nyaris
yakin seratus persen bahwa dia lari menjauh dari Thresh dan wilayah
kekuasaannya. Dia tidak pernah mendengarku di sana, bahkan jika dia pernah
mendengarku, aku berada terlalu jauh tinggi di pohon untuk bisa digapai oleh
seseorang yang tubuhnya sebesar Thresh.
Jadi tinggal Cato dan anak perempuan dari Distrik 2, yang sekarang pasti sedang
merayakan peraturan baru ini. Selain aku dan Peeta, mereka juga pasangan yang
mendapat keuntungan dari perubahan peraturan ini. Apakah aku harus berlari
menjauhi mereka sekarang, kalau-kalau mereka mendengarku memanggil nama
Peeta" Tidak, pikirku. Biar saja mereka datang. Biar saja mereka datang dengan
kacamata malam mereka dan tubuh mereka yang berat dan berotot. Tepat ke jarak
tembak panah-panahku. Tapi aku tahu mereka tidak mendatangi apiku, mereka
tidak bakal mengambil risiko di malam hari yang bisa jadi adalah perangkap. Saat
mereka datang, pasti itu atas kehendak mereka sendiri, bukan karena aku
memberitahukan keberadaanku pada mereka.
Tetaplah di tempat dan cobalah tidur, Katniss, aku memberi perintah pada diriku
sendiri, meskipun aku berharap bisa mencari jejak Peeta sekarang. Besok, kau
akan menemukannya. Aku tidur, tapi di pagi hari aku bersikap ekstra hati-hati, karena kawanan
Karier mungkin ragu menyerangku saat aku berada di pohon, tapi mereka bisa saja sudah
menyiapkan jebakan untukku. Aku memastikan diriku sudah siap siaga untuk
menghadapi hari ini-makan sarapan sampai kenyang, mengamankan ranselku,
menyiapkan senjata-senjataku-sebelum aku turun dari pohon. Tapi semua di tanah
tampak tenang dan tidak terganggu.
Hari ini aku harus amat sangat berhati-hati. Kawanan Karier tahu aku akan
berusaha menemukan Peeta. Mereka mungkin akan menunggu sampai aku
menemukannya sebelum mereka menyerang. Jika dia memang terluka parah,
seperti kata Cato, bisa jadi aku harus membela diri kami berdua tanpa bantuan
dari Peeta. Tapi jika Peeta dalam keadaan tidak berdaya, bagaimana caranya dia bisa
bertahan hidup" Dan bagaimana caranya aku bisa menemukan dia"
Aku berusaha memikirkan apa pun yang pernah dikatakan Peeta yang mungkin
saja bisa menjadi petunjuk tempat persembunyiannya, tapi aku tak bisa mengingat
apa pun. Jadi aku kembali ke saat terakhir aku melihatnya berkilau di bawah
cahaya matahari, berteriak padaku agar aku lari. Kemudian Cato muncul dengan
pedang terhunus. Dan setelah aku pergi, dia melukai Peeta. Tapi bagaimana cara
Peeta meloloskan diri" Mungkin dia bertahan lebih baik dari sengatan tawon
penjejak daripada Cato. Mungkin itulah faktor yang membuat dia bisa meloloskan
diri. Tapi Peeta juga disengat. Jadi berapa jauh dia bisa pergi setelah ditusuk
dan keracunan bisa" Dan bagaimana caranya dia bertahan hidup selama berhari-hari.
Jika luka tusukan dan sengatan tawon belum membunuhnya, pasti rasa haus sudah
membuatnya tewas sekarang.
Pada saat itulah aku punya petunjuk tentang keberadaannya. Dia tidak mungkin
bertahan tanpa air. Aku tahu itu sejak hari-hari pertamaku di sini. Dia pasti
bersembunyi tidak jauh dari sumber air. Ada danau, tapi menurutku itu bukan
pilihan karena letaknya terlalu dekat kamp kawanan Karier. Ada beberapa kolam
mata air. Tapi kau bakal jadi sasaran empuk jika bersembunyi di sana. Dan ada
sungai. Sungai yang dimulai dari kamp yang kubuat bersama Rue yang mengalir
hingga ke danau. Jika Peeta berada di sungai, dia bisa berpindah-pindah tempat
dan selalu berada di dekat air. Dia bisa berjalan ke aliran sungai dan menghapus
jejaknya. Mungkin dia bisa menangkap satu-dua ekor ikan.
Ya, ini bisa jadi tempat aku mulai mencarinya.
Untuk membuat bingung musuh-musuhku, aku mulai membuat api dengan banyak
kayu yang baru dipotong. Bahkan jika mereka menganggap ini sebagai muslihat,
kuharap mereka bakal memutuskan bahwa aku bersembunyi tidak jauh dari tempat
api. Sementara kenyataannya, aku mencari Peeta.
Matahari nyaris seketika membakar kabut pagi dan aku tahu hari ini akan lebih
panas daripada biasanya. Air sungai terasa sejuk dan menyenangkan di kakiku
yang telanjang saat aku berjalan menuju hilir. Aku tergoda untuk memanggil nama
Peeta sambil berjalan, tapi aku memutuskan untuk tidak melakukannya. Aku harus
menemukannya dengan mataku dan satu telingaku yang masih bagus atau dia yang
harus menemukanku. Tapi Peeta tahu aku akan mencarinya, kan" Dia pasti tak
menganggapku sehina itu hingga berpikir aku mengabaikan peraturan baru itu dan
hanya memikirkan diriku sendiri. Mungkinkah Peeta berpikir seperti itu" Dia
sangat sulit ditebak, yang dalam beberapa keadaan berbeda bisa jadi menarik,
tapi pada saat ini hanya menimbulkan penghalang tambahan.
Makam Bunga Mawar 18 Wiro Sableng 072 Purnama Berdarah Pesanggrahan Telaga Warna 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama