Ceritasilat Novel Online

Bulir Bulir Pasir Waktu 3

Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon Bagian 3


Barangkali ada jalan. . Monique telah mengaturnya sedemikian rupa, sehingga
dirinya menjadi orang pertama yang
menyambut kedatangan Jazques Raimu.
Ya, Tuhan. Pikir Jacques Raimu, ketika disambut oleh
gadis muda yang cantik itu. Kecantikan itu dan suaranya itu! Ia sungguh sempurna. Ia akan menjadi seorang bintang yang termashur.
"Aku tidak dapat mengucapkan dalam kata-kata betapa senangnya aku dapat berjumpa dengan Anda." Raimu berkata.
Monique tersenyum manis. "Aku senang sekali bertemu dengan Anda. Aku seorang pengagum Anda, tuan Raimu."
"Bagus. Kalau begitu kita akan dapat bekerja sama dengan baik sekali. Telah kubawa skript lakon itu. Sebuah kisah percintaan vang indah sekali, dan kupikir. ."
Pada saat itu Teresa memasuki ruangan depan itu. Ia
terhenti dalam langkahnya ketika melihat Jacques Raimu.
"Oh, hello. Aku tidak mengetahui bahwa Anda sudah tiba. Maksudku. . maksudku, Anda dini sekali."
Pria itu memandang pada Monique dengan wajah
bertanya. "Ini kakakku." Monique berkata, "Teresa."
Kedua gadis itu melihat perubahan airmuka pria itu. Dari terkejut menjadi kekecewaan dan kemudian kemuakan.
"Betul! " Pria itu berpaling pada Monique, "Dan Anda adalah. ."
Monique tersenyum manis. "Aku adik Teresa."
Raimu berpaling kembali pada Teresa, kemudian
menggelengkan kepala. "Maafkan aku." Ia berkata pada Teresa, "Tetapi Anda. . Anda terlalu. . muda. Maafkan aku, aku harus segera kembali ke Paris."
Dan kedua gcadis itu menyaksikan pria itu berjalan
kembali dan keluar lewat pintu depan rumah itu.
Berhasil, Monique berkata dalam hati. Berhasil.
Teresa tidak mengadakan siaran lagi. Louis Bonnet telah meminta dan memohon kepadanya agar ia datang untuk
siaran, tetapi luka itu terlalu dalam.
Setelah melihat adikku, Teresa berkata dalam hati. Siapa yang akan menghendaki diriku" Aku begini jelek.
Dan selama hidupnya, ia tidak akan pernah melupakan
airmuka Raimu itu. Salahku sendiri bermimpi yang tidak-tidak itu, Teresa berkata pada dirinya sendiri. Itulah caranya Tuhan
menghukum diriku. Setelah itu, Teresa hanya menyanyi di gereja, dan ia
bertambah menyendiri dan menutup diri.
Selama sepuluh tahun berikut, entah berapa banyak
pinangan yang telah ditolak mentah-mentah oleh Monique.
"Apakah yang sebenarnya kaucari'!" Ayahnya bertanya, bingung.
"Papa, semua orang itu menjemukan. Eze ini tempat yang sudah terbelakang, kuno. Pangeran impianku ada di Paris."
Maka dikirimlah Monique ke Paris oleh ayahnya. Pada
saat terakhir, ia menyuruh Teresa menemani adiknya ke Paris. Kedua gadis itu tinggal di sebuah hotel kecil di Bois de Boulogne.
Teresa menikmati perjalanan ke Paris itu, tetapi bagi Monique, perjalanan itu suatu kegagalan.
Setibanya kembali dari Paris, Monique berkata, "Aku tidak dapat menemukan pria yang ingin kujadikan
suamiku." "Kau tidak bertemu dengan siapa pun yang menarik bagimu?" Ayahnya bertanya.
"Bukannya begitu. Ada seorang pria yang mengajak diriku makan malam di Maxim. Ayahnya memiliki tambang-tambang batu bara."
"Seperti apakah pria itu?" Ibunya bertanya, ingin mengetahui.
"Oh, ia kaya, tampan dan sopan, dan ia mencintai diriku."
Ibunya memandang bingung pada Monique. "Lalu,
mengapa?" "Karena yang dibicarakannya hanya tentang batu bara itu: batu bara bitumin, batu bara gumpalan, batu bara hitam. . Menjemukan, menjemukan, menjemukan!"
Tahun berikutnya, Monique memutuskan untuk kembali
ke Paris. "Akan kukemasi barang-barangku." Teresa berkata.
Monique menggelengkan kepala. "Tidak. Kali ini kupikir akan pergi seorang diri."
Maka, selagi Monique berada di Paris, Teresa tinggal di rumah dan setiap pagi pergi ke gereja dan berdoa agar adiknya mendapatkan pangeran tampan di Paris. Dan pada suatu hari keajaiban itu terjadi. Suatu mukjijat, karena pada Teresalah terjadinya. Namanya Raoul Giradot. .
Pada suatu Senin pagi, Teresa berhenti dl toko desa itu, maksudnya
membeli kain untuk gaun yang direncanakannya. Raoul Giradot bekerja sebagai pelayan toko itu.
Pria itu memandang pada Teresa, dan wajahnya menjadi
ceria seketika, "Sang Suara!"
Teresa memandang pada pria itu, heran. "Aku. .
maafkan?" "Telah kudengar Anda menyanyi di gereja, kemarin.
Anda hebat sekali." Raoul itu tampan dan jangkung, dengan mata kelam
yang cerdas dan bibir yang indah dan sensal. Ia berusia tiga puluhan, setahun atau dua lebih tua daripada Teresa.
Teresa memandang pada pria itu, jantungnya berdebar.
"Te. . terima kasih." Teresa berkata. "Aku. . aku memerlukan kain muslin tiga yard."
Raoul tersenyum. "Baik, silakan."
Ketika Teresa selesai berbelanja dan Raoul membungkus kain itu, Teresa memberanikan diri bertanya, "Anda. . Anda orang baru di sini, bukan?"
"Ya. Aku baru tiba di Eze beberapa hari yang lalu. Bibiku yang memiliki toko ini dan ia memerlukan bantuan, maka aku datang."
Akan lama, berapa lama" Teresa bertanya-tanya sendiri.
"Anda semestinya bernyanyi profesional."
Raoul berkata. Dan Teresa seketika teringat pada wajah Raimu ketika pria itu bertemu dengan dirinya. Tidak, ia tidak akan mengekspose dirinya seperti itu lagi. "Terima kasih." Teresa menggumam.
Pria itu terharu oleh kekikukan yang diperlihatkan
Teresa. "Aku belum pernah datang di Eze. Sungguh sebuah kota yang bagus."
"Ya." Teresa berkata pelan.
"Anda dilahirkan di sini?"
"Ya." "Anda senang tinggal di sini?"
"Ya." Teresa memungut bungkusan kain itu dan lari dari
tempat itu. Keesokan harinya ia mencari dan mendapatkan alasan
untuk kembali ke toko itu.
Aku senang Anda menyukai Eze. .
Monasteri itu dibangun pada abad keempat belas,
tahukah Anda. . Pernahkah Anda berkunjung ke Sain"t Paul-de-Vence"
Ada sebuah kapel indah di sana. .
Aku menyukai Monte Carlo. Anda juga" Kadang-kadang
adikku dan aku pergi ke Grande Corniche, dan ke Teater Fort Antoine. Anda pernah ke sana" Sebuah teater terbuka yang besar sekali"
Tahukah Anda, bahwa kota Nice dulu bernama Nikaia"
Oh, Anda tidak mengetahui itu orang-orang Yunani pernah lama di sana. Ada sebuah museum di Nice dengan
peninggalan orang goa yang hidup seribu tahun yang lalu di situ. Menarik sekali, bukan"
Teresa telah mempersiapkan percakapan seperti itu
semalam suntuk. Malangnya, ketika ia memasuki toko itu dan melihat Raoul, semua persiapan itu menguap hilang. Ia cuma dapat memandang pada pria itu dengan bengong,
tidak bisa membuka mulutnya.
"Oh, selamat pagi." Raoul menyambut riang. "Menyenangkan sekali bertemu lagi dengan Anda, nona De Fosse."
"Te. . terima kasih." Teresa merasa dirinya sendiri bagaikan seorang sinting. Aku ini sudah berusia tiga puluh tahun, ia berkata pada diri sendiri, dan aku berkelakuan seperti seorang gadis remaja.
"Dapatkah aku membantu Anda?"
"A. . aku memerlukan kain muslin lagi."
"Berapa yard yang Anda perlukan?"
Teresa sudah mau mengatakan 'dua', tetapi yang
terlontar dari mulutnya adalah, "Anda sudah berkeluarga?"
Pria itu memandang heran kepada Teresa, kemudian
sebuah senyum penuh kehangatan menghias wajahnya.
"Belum." Pria itu berkata. "Aku belum semujur itu."
Kalau begitu kau akan berkeluarga, tidak lama lagi,
Teresa berkata dalam hati. Segera, sepulang Monique dari Paris. Teresa yakin bahwa adiknya akan menyukai Racoul Giradot. Dan, tidakkah akan menyenangkan sekali
mendapatkan Raoul Giradot sebagai saudara ipar"
Hari berikut, ketika Teresa berjalan lewat depan toko itu, Raoul melihatnya dan cepat-cepat keluar dari toko itu.
"Selamat siang, nona. Aku sedang mau beristirahat.
Kalau Anda bebas, sudikah Anda minum teh bersamaku ?"
"Aku. . aku.. ya, baiklah. Terima kasih."
Teresa sulit berbicara jika berada bersama pria itu,
walaupun Raoul itu seorang yang menyenangkan. Tetapi, tidak lama kemudian, Teresa mendapatkan dirinya
bercerita banyak. Mereka bahkan berbicara tentang
kesepian. "Kerumunan orang banyak membuat diriku merasa
kesepian." Teresa berkata. "Aku selalu merasa diriku bagaikan sebuah pulau di tengah lautan manusia."
Pria itu tersenyum. "Aku memahami perasaan Anda."
"Oh, tetapi Anda tentunya mempunyai banyak teman."
"Kenalan. Kalau dipikir benar-benar, siapakah yang benar-benar mempunyai banyak teman?"
Monique akan kembali dari Paris, esok hari. Raoul akan merupakan persembahan Teresa kepada adiknya. Pada hari itu, Raoul dan Teresa makan siang di Le Chanteder di Hotel Negresco di Nice.
"Sudikah Anda datang makan malam di tempatku, esok malam" Adikku akan kembali dari Paris. Aku ingin sekali memperkenalkan Anda kepada adikku."
"Aku senang sekali, Teresa."
Ketika Monique, keesokan harinya, tiba, Teresa segera menyambutnya. Apa pun yang telah direncanakannya, ia
tidak bisa menghindari pertanyaan yang diajukannya
kepada Monique. "Apakah kau bertemu dengan seseorang yang menarik di Paris?"
"Pria-pria yang sama menjemukan." Monique menjawab.
Ah, Tuhanlah yang membuat keputusan terakhir.
"Telah kuundang seseorang untuk makan malam di sini, malam
ini." Teresa berkata. "Kurasa kau akan manyukainya." Jangan sampat ada orang yang mengetahui, betapa aku
menyayangi Raour. Teresa berkata dalam hati.
Malam itu, pada tepat pukul setengah delapan malam,
Raoul Giradot dipersilakan masuk ruangan keluarga, di situ
Teresa, Monique dan kedua orang tua mereka sedang
menunggu. "Ini ibu dan ayahku. lni tuan Raoul Giradot."
Teresa menarik nafas dalam-dalam. "Dan ini adikku, Monique."
Teresa memperhatikan Raoul, menduga pria itu akan
terpesona oleh kecantikan Monique.
"Aku senang sekali berkenalan dengan Anda." Raoul berkata. Cuma penuh kesopanan.
Teresa berdiri di situ menahan nafasnya, menantikan
percikan-percikan yang ia yakin akan bersilang-sambar di antara kedua orang itu. Tetapi Raoul ternyata memandang pada dirinya.
"Kau cantik sekali malam ini, Teresa."
Teresa merasa wajahnya memerah dan dengan gagap ia
berkata, "Te. . terima kasih."
Semua, malam itu, terbalik-balik. Teresa bagaikan
bermimpi. Seluruh perhatian Raoul tertuju pada Teresa.
Sehingga Teresa bagaikan Cinderella, kelainannya: dirinya adalah kakak yang jelek dan sang pangeran telah memilih dirinya.
"Aku telah mendengar putri Anda menyanyi."
Raoul berkata kepada kedua orang tua Teresa. "Ia merupakan suatu keajaiban."
"Semua orang menyukai suara Teresa. Monique berkata dengan manis.
Selesai makan malam, Raoul berkata kepada orang tua
Teresa, "Tempat Anda ini indah sekali.: Dan berpaling pada
Teresa, dilanjutkannya, "Sudikah kau mengantar aku
melihat-lihat taman kalian?"
Teresa memandang pada Monique, berusaha membaca
perasaan-perasaan adiknya, tetapi Monique tampak tidak acuh. Monique pastilah tuIi, bisu dan buta. Teresa berkata dalam hati. Dan diingatnya betapa Monique telah berkali-kali pergi ke Paris dan Cannes dan St. Tropes mencari pangeran sempurna, namun tidak pernah menemukannya.
Agaknya kesalahan bukan terletak pada para pria itu.
Kesalahannya adalah pada adikku sendiri. Monique sendiri tidak mengetahui apa yang diinginkannya.
Teresa berkata pada Raoul, "Aku akan senang sekali mengantarmu."
Di luar Teresa tidak juga dapat melepaskan yang ada di dalam pikirannya. "Bagaimana pendapatmu tentang
Monique?" "Tampaknya ia manis sekali." Raoul menjawab.
"Bertanyalah padaku bagaimana pendapatku tentang kakak Monique."
Dan pada saat itulah Raoul meraih Teresa ke dalam
pelukannya dan menciumnya.
Itu adalah sesuatu yang belum pernah dialami Teresa.
Teresa bergemetar dalam pelukan pria itu, dan terkilas dalam benaknya: Oh, terima kasih, Tuhan. Terimakasih.
"Maukah kau esok malam makan malam bersamaku?"
Raoul bertanya. "Ya." Teresa berdesah, "Oh, ya."
Ketika mereka berduaan saja, Monique berkata,
"Kelihatannya ia menyukai dirimu."
"Kupikir juga begitu." Teresa berkata malu-malu.
"Kau menyukainya?"
"Ya. " "Nah, berhati-hatilah kak." Monique berkata dengan tertawa. "Jangan sampai naik ke kepalamu."
Sudah terlambat, Teresa berpikir tidak berdaya. Sudah terlambat.
Sejak itu, Raoul dan Teresa setiap hari selalu bersama-sama. Lazim juga bahwa Monique menemani mereka.
Mereka bertiga berjalan-jalan di sepanjang pantai Nice dan makan bersama di bistro di Cap d' Antibes, mengunjungi kapel Matisse di Venice. Makan malam di Chatreau de la Chevre d'Or.
Pada hari-hari Minggu, ketika Teresa bernyanyi di
gereja, Raoul dan Monique hadir di situ mendengarkan, dan setelah itu, Raoul akan memeluk Teresa dan berkata, "Kau benar-benar suatu keajaiban. Aku dapat mendengar
suaramu selama hidupku."
Empat minggu setelah pertemuan pertama mereka,
Raoul meminang Teresa. "Aku mengetahui bahwa kau dapat mendapatkan pria mana pun yang kauinginkan, Teresa." Raoul berkata,
"Tetapi aku akan bahagia sekali jika kau memilih diriku."
Selama beberapa saat Teresa terbengong, Teresa
mengira bahwa pria itu sedang memperolok-olok dirinya, tetapi sebelum Teresa sempat menjawab, Raoul telah
melanjutkan, "Sayangku, harus kukatakan padamu, bahwa
telah banyak wanita yang kukenal, namun kau adalah yang paling halus, paling berbakat, paling hangat. ."
Tiap kata itu bagaikan musik di telinga Teresa. Ia ingin ketawa, ia ingin menangis. Betapa diberkati diriku ini, pikirnya, mencintai dan dicintai.
Setelah Raoul pulang, Teresa bagaikan terbang
memasuki ruangan keluarga, tempat adiknya, ibunya dan ayahnya sedang minum kopi.
"Raoul telah meminang diriku," Wajah Teresa itu berkilau-kilau, dan nyaris kecantikan semata yang ada pada wajahnya.
Orang tuanya terbengong mendengar berita itu.
Monique yang membuka suara.
"Teresa, kau yakin bahwa ia tidak hanya mengejar kekayaan keluarga?"
Itu bagaikan tamparan di wajah Teresa.
"Maksudku bukan menjelek-jelekkannya." Monique melanjutkan, "Tetapi semua ini rasanya terjadi begitu cepat."
Teresa berketetapan hati tidak akan memperkenankan
siapa pun merusak kebahagiaannya. "Aku mengetahui bahwa kau bermaksud melindungi diriku." Ia berkata pada adiknya, "Tetapi Raoul sendiri seorang yang berharta.
Ayahnya telah meninggalkan warisan padanya, dan ia tidak takut untuk bekerja mencari nafkah." Teresa memegang tangan
adiknya dan memohon, "Yah, Monique, bergembiralah demi aku. Aku tidak pernah bermimpi akan
mengalami kebahagiaan ini. Aku begitu bahagianya.
sehingga aku rasanya dapat mati dengan tenang hati. "
Pagi sekali pada keesokan harinya, Teresa berangkat ke gereja dan berdoa.
Terima kasih, Tuhan. Terima kasih atas kebahagiaan
yang Dikau limpahkan atas diriku. Apa pun akan bersedia melakukan untuk-Mu, agar aku layak menerima kasih-Mu
dan kasih Raoul. Amin. Teresa melangkah masuk ke toko serba ada itu dan
berkata, "Tolong, tuan. Aku ingin membeli bahan untuk gaun pengantin."
Raoul tertawa dan mendekapnya. "Kau akan menjadi pengantin yang cantik sekali."
Dan Teresa merasa bahwa pria itu bersungguh-sungguh.
Itulah mukjijat itu. Pernikahan itu akan dilangsungkan sebulan kemudian di gereja desa. Monique, dengan sendirinya, akan menjadi pengapit mempelai wanita.
Pada pukul lima, hari Jumat sore, Teresa berbicara
dengan Raoul untuk terakhir kalinya. Pada pukul setengah satu, hari Sabtu, berdiri di dalam gereja menantikan
tibanya mempelai pria - yang ternyata tiga puluh menit terlambat - Teresa didekati oleh padri yang akan
memberkati pernikahan itu.
Padri itu memegang lengan Teresa dan mengajaknya ke


Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sisi ruangan itu, dan Teresa merasa heran melihat
kegelisahan padri itu. Jantungnya mulai berdebar nyeri.
"Ada apa, romo" Ada yang tidak beres" Apakah ada sesuatu yang terjadi atas diri Raoul?"
"Oh, anakku." Romo itu berkata. "Teresa, anakku yang malang."
Teresa mulai panik. "Ada apa, romo" Katakan!"
"Aku. . aku baru menerima kabar, beberapa waktu lalu.
Raoul. ." "Terjadi suatu kecelakaan" Ia terluka?"
"Giradot telah meninggalkan kota ini pagi tadi. "
"Ia apa" Pasti ada suatu keadaan darurat yang" "
"Ia meninggalkan kota bersama adikmu. Mereka naik kereta api ke Paris."
Ruangan itu mulai berpusing, berputar-putar. Tidak,
teriak Teresa dalam hati. Aku tidak boleh pingsan. Aku tidak boleh mempermalukan diriku sendiri di hadapan
Tuhan. Teresa hanya secara samar-samar ingat akan semua
peristiwa yang menyusul kemudian. Seperti dari sangat jauh, ia mendengar romo itu mengumumkan sesuatu
kepada yang hadir dalam gereja itu untuk menyaksikan
pernikahan itu, dan kemudian hiruk pikuk suara orang
banyak. Ibunya kemudian melingkarkan lengannya pada bahu
Teresa dan berkata, "Teresaku yang malang. Bahwa adikmu sendiri bisa berbuat sekejam ini. Aku sungguh bersedih."
Tetapi Teresa secara mendadak merasakan suatu
ketenangan melanda dirinya. Ia menyadari bagaimana cara untuk meluruskan semua itu.
"Jangan khawatir, mama. Aku tidak mempersalahkan Raoul jatuh cinta pada Monique.
Setiap pria akan jatuh cinta pada Monique. Sebetulnya aku sendiri semestinya sudah mengetahui bahwa tidak ada pria yang akan dapat mencintai diriku."
"Kau keliru." Ayahnya berseru. "Kau lebih berbudi daripada sepuluh Monique."
Tetapi welas asih itu sudah terlambat.
"Aku ingin pulang, sekarang."
Mereka meninggalkan gereja itu. Para tamu di dalam
gereja itu minggir memberi jalan kepada mereka, hanya dapat memandang sedih pada Teresa dan orang tuanya.
Setelah tiba di rumah, Teresa dengan tenang berkata,
"Jangan Ibu dan ayah khawatir atas diriku. Aku berjanji bahwa segala sesuatunya akan beres jadinya."
Kemudian ia naik ke lantai dua, masuk ke kamar
ayahnya, mengeluarkan perlengkapan cukur ayahnya, dan memotong pergelangan tangannya.
-odwo- BAB DUA BELAS Ketika Teresa membuka matanya, dokter keluarga dan
padri desa itu berdiri di samping tempat tidurnya.
"Tidak!" Teresa menjerit. "Aku tidak mau kembali.
Biarkan aku mati. Biarkan aku mati!"
Padri itu berkata, "Bunuh diri itu suatu dosa berat.
Tuhan telah memberimu nyawa, Teresa. Hanya Dialah yang dapat memutuskan bila nyawa itu akan diambilnya
kembali. Kau masih muda. Kehidupan masih terbentang
lebar bagi dirimu." "Untuk melakukan apa?" Teresa terisak. "Menderita lebih banyak lagi" Aku tidak tahan kesakitan yang kualami ini. Aku tidak tahan lagi!"
"Jesus menerima kesakitan itu dan mati untuk kita semua. Jangan kau berbalik terhadap-Nya!'
Dokter telah selesai memeriksa Teresa. "Kau perlu beristirahat. Telah kuberitahukan pada ibumu agar
sementara ini kau diberi makanan ringan. Dan itu tidak termasuk pisau cukur!"
Keesokan harinya, Teresa memaksa diri turun dari
tempat tidur. Ketika masuk ke ruangan keluarga, ibunya terkejut, "Mengapa kau bangun" Dokter mengatakan. ."
Teresa berkata dengan suara serak, "Aku harus ke gere]a. Aku harus berbicara dengan Tuhan."
Ibunya ragu, "Biar aku mengantarkanmu."
"Jangan. Biarkan aku pergi sendiri."
"Tetapi. ." Ayahnya mengangguk. "Biarkan Teresa sendiri."
Teresa memasuki gereja, berjalan ke altar dan berlutut.
"Aku datang ke rumah-Mu untuk mengatakan sesuatu pada-Mu, Tuhan. Aku membenci-Mu. Aku membenci-Mu
karena kau membiarkan diriku dilahirkan jelek. Aku
membenci-Mu karena adikku Kaulahirkan cantik. Aku
membenci-Mu karena Kau membiarkan adikku merampas
pria satu-satunya yang kucintai dariku. Aku meludahi-Mu."
Kata-kata terakhir itu diucapkan keras-keras sehingga orang menoleh ke arahnya ketika ia bangkit dan dengan gontai keluar dari gereja itu.
Di malam hari, ketika ia berhasil tidur, ia selalu
bermimpi. Selalu mimpi yang berlain-lainan, tetapi selalu impian yang sama pula.
Raoul dan Monique di dalam kereta api, telanjang,
bercinta, dan kereta api itu menyeberangi sebuah ngarai, dan rel kereta itu putus dan semua orang dengan kereta api itu jatuh ke dalam jurang, mati.
Raoul dan Monique berada di sebuah kamar hotel,
telanjang di tempat tidur. Raoul meletakkan sebatang
sigaret dan ruangan itu meledak dan terbakar, kedua orang itu terbakar hingga mati, dan jeritan-jeritan mereka
membangunkan Teresa. Raoul dan Monique jatuh dari gunung, tenggelam dalam
sungai, mati dalam suatu kecelakaan pesawat terbang.
Selalu impian yang lain. Selalu impian yang sama. Tidak ada pria yang akan mau memperhatikan dirinya,
memandangnya. Tidak akan ada. Dari wajah luarnya,
Teresa seperti baik-baik saja. Di dalamnya, ia telah
tenggelam dalam suatu jurang kesepian dan keputusasaan yang dalam. Bahkan jika ia berada di tengah orang banyak, ia duduk seorang diri di sebuah kursi. Di rumah sendirian.
Di dunia sendirian. Setahun lebih setelah Raoul dan Teresa meninggalkan
desa itu, ayah Teresa berkemas untuk pergi ke Avila.
"Ada urusan bisnis di sana." Ia berkata pada Teresa.
"Tetapi setelah itu aku akan bebas. Bagaimana kalau kau ikut aku" Avila itu kota yang memukau. Akan baik sekali bagimu untuk mendapatkan selingan hidup."
"Tidak, ayah. Terima kasih."
Pembantu rumah masuk. "Maafkan aku nona De Fosse.
Surat ini baru saja diantar pengantar pos. Untuk nona."
Bahkan sebelum Teresa membuka surat itu ia merasa
dirinya sedang ditunggu oleh sesuatu yang mengerikan.
Isi surat itu: Teresa, Teresa sayangku, Tuhan mengetahui bahwa aku tidak ada hak menyebutmu
sayangku, setelah perbuatan keji yang telah kulakukan. Tetapi aku berjanji, bahwa kalaupun diperlukan sepanjang hidupku, aku bersedia meluruskan kembali hal itu. Aku tidak
mengetahui dari mana aku harus mulai untuk menebus
perbuatanku itu. Monique telah meninggalkan aku dan meninggalkan anak
perempuan kami yang baru berusia dua bulan. Terus terang, aku merasa lega dengan perbuatan Monique ini, karena aku hidup dalam neraka sejak aku meninggalkanmu. Aku sendiri tidak akan pernah mengerti mengapa perbuatan itu
kulakukan. Agaknya diriku telah terseret ke dalam sihir Monique, namun sejak awal aku menyadari bahwa
pernikahanku dengannya adalah suatu kesalahan besar. Hanya
dirimu yang kucintai. Aku menyadari bahwa tempat satu-satunya aku dapat menemukan kebahagiaanku adalah di sisi dirimu. Pada saat kamu menerima surat ini, aku sudah akan dalam perjalanan kembali kepadamu.
Aku mencintaimu, dan aku selamanya tetap mencintaimu, Teresa. Demi sisa hidup kita bersama, aku memohon
pengampunanmu. Aku ingin... "
Teresa tidak sanggup melanjutkan membaca surat itu.
Bayangan bertemu kembali dengan Raoul dan bayi
Monique adalah sesuatu yang mustahil, sesuatu yang gila.
Ia melempar surat itu ke atas meja, dan menjerit histeris.
"Aku harus pergi dari sini." Teresa menjerit. "Malam ini.
Sekarang. . Tolong. . Tolonglah aku. "
Orang tuanya tidak sanggup menenangkannya.
"Jika Raoul akan datang." Ayahnya berkata.
"Setidak-tidaknya, kau harus berbicara dengannya. "
"Tidak! Jika aku melihatnya akan kubunuh dia!" Teresa menyambar lengan ayahnya, air matanya jatuh berderai.
"Bawalah aku denganmu." Ia memohon.
Ia mau pergi ke mana saja, asal dapat pergi dari tempat itu.
Maka, petang hari itu, Teresa dan ayahnya berangkat ke Avila.
Ayah Teresa merasa kasihan dengan anaknya. Selama
tahun terakhir ini, bagaimanapun, sikap dan tingkah laku
Teresa telah merebut hati ayahnya. Bagaimanapun, Teresa telah memperlihatkan ketabahan.
Ayah Teresa ingat betul betapa Teresa selalu
menemukan semacam ketenteraman jika berada di dalam
gereja, maka ketika mereka tiba di Avila ia berkata pada Teresa, "Romo Berrendo padri di kota ini, adalah seorang teman baikku. Barangkali ia dapat menolongmu. Maukah
kau berbicara dengannya?"
"Tidak." Teresa tidak mau mempunyai sangkut paut apa pun dengan Tuhan.
Teresa tinggal di kamar hotel selama ayahnya mengurus bisnis.
Ketika pulang, ayah Teresa melihat anaknya duduk
termenung, memandang kosong pada dinding kamar.
"Teresa, kau pergilah menemui romo Berrendo."
"Tidak. " Ayah Teresa tidak mengetahui lagi apa yg harus
dilakukannya. Teresa tidak mau keluar dan kamar hotel itu dan menolak pula untuk pulang ke Eze.
Jalan satu-satunya adalah, romo Berrendo yang datang
ke hotel itu, menemui Teresa.
"Ayahmu memberitahuan padaku, bahwa kau anggota
jemaah yang setia datang ke gereja."
Teresa menatap padri tua yang tampak rapuh
kesehatannya itu. "Aku tidak berminat lagi. Gereja tidak dapat memberikan apa-apa lagi padaku."
Romo Berrendo tersenyum. "Gereja senantiasa ada
sesuatu yang ditawarkannya pada setiap orang, anakku.
Gereja memberikan harapan dan impian-Impian?"
"Aku sudah berkelebih-lebihan kalau soal impian. Tidak, aku tidak menginginkan itu."
Romo tua itu memegang kedua tangan Teresa dan
diIihatnya bekas-bekas luka sayatan pada pergelangan
tangan itu. "Tuhan itu sabar. Berbicaralah pada-Nya dan Ia akan berbicara padamu."
Teresa cuma duduk saja di situ, memandang pada
dinding. Dan ketika romo Berrendo itu meninggalkannya.
Teresa bahkan tidak sadar akan kepergian padri tua itu.
Keesokan harinya, di pagi yang cerah, Teresa masuk ke dalam gereja tua itu, dan nyaris seketika, perasaan damai yang pernah dikenalnya itu, turun atas dirinya. Kali
terakhir ia berada di dalam gereja adalah ketika ia
menghujat Tuhan. Suatu perasaan malu melanda dirinya.
Semuanya sebenarnya adalah kelemahannya sendiri, bukan kesalahan Tuhan.
"Maafkan aku, Tuhan." Teresa berkata Iirih. "Aku telah berbuat dosa. Aku telah hidup dalam kebencian. Tolonglah aku, Tuhan. Tolonglah aku."
Teresa mengangkat wajahnya, dan dilihatnya romo
Berrendo berdiri di situ. Selesai berdoa, romo Berrendo membimbing Teresa ke kantornya di belakang vestri
gereja. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, romo. Aku sudah tidak mempunyai kepercayaan pada siapa pun. Aku telah kehilangan imanku." Suara Teresa itu penuh keputusasaan.
"Adakah kau memiIiki iman itu ketika masih muda. "
"Ya. Aku sepenuhnya percaya."
"Kalau begitu, kau masih memilikinya, anakku. Iman itu nyata dan langgeng. Yang lain-lainnya itulah yang suka berubah."
Mereka bercakap-cakap selama berjam-jam.
Ketika Teresa kembali ke hotel, malam itu, ayahnya
berkata. "Aku harus kembali ke Eze. Kau sudah siap untuk pulang?"
"Tidak, papa. Biarlah aku tinggal di sini dulu."
Ayahnya tampak sangsi. "Kau tidak akan apa-apa?"
"Ya, papa. Aku berjanji."
Setelah itu, romo Berrendo dan Teresa setiap hari
bertemu. "Anakku, kalau kau tidak mempunyai kepercayaan lagi pada dunia ini, berikanlah kepercayaanmu itu pada dunia yang akan datang. Percayalah pada dunia tempat Jesus
menunggu untuk menerima dirimu."
Teresa telah menemukan kembali kedamaian dalam
hatinya. Gereja kini menjadi pelabuhan hidupnya, seperti dulu.
Tetapi ada juga masa depannya yang harus dipikirkannya
" Aku tidak mempunyai tempat yang kutuju."
"Kau dapat pulang."
"Tidak. Aku tidak akan bisa kembali ke sana. Aku tidak sanggup bertemu dengan Raoul. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku in gin bersembunyi, tapi tidak ada temp at untuk aku bersembunyi. "
Romo Berrendo diam sejenak lamanya. Akhirnya ia
berkata, "Kau dapat tinggal di sini."
Terheran-heran, Teresa berkata, "Di sini?"
"Di biara Cistercian, yang tidak jauh dan sini. Biar aku memberitahukan padamu tentang biara itu. Biara itu
merupakan suatu dunia di dalam suatu dunia. Satu dunia, tempat setiap penghuninya mengabdi kepada Tuhan. Suatu tempat keheningan dan kedamaian."
Dan hati Teresa terasa menjadi ringan. "Kedengarannya indah sekali."
"Tetapi aku harus memperingatkan padamu bahwa ordo itu adalah yang paIing ketat peraturan-peraturannya. Yang diterima
harus mengucapkan sumpah kesucian, keheningan dan kepatuhan. Tidak seorang pun yang telah masuk di situ dapat meninggalkannya lagi."
Jiwa Teresa bergetar. "Aku tidak ingin kembali ke dunia ini. Itulah yang kucari-cari selama ini romo. Aku membenci dunia ini. "
Tetapi romo Berrendo masih merasa cemas.
"Tidak ada kemungkinan untuk balik ke dunia ini. "
"Aku memang tidak mau balik ke dunia ini."
Romo Berrendo mempertemukan Teresa dengan Ibu
Kepala Biara, Betina. Setelah pertemuan itu, Teresa dengan penuh gairah
menelepon ibu dan bapaknya.
"Aku telah bercemas-cemas terus mengenai dirimu."
Ibunya berkata. "Kapan kau akan pulang ke rumah?"
"Aku sudah berada di rumah."
Uskup Avila yang melaksanakan ritus.
Tuhan, Maha Pencipta, berkatilah pelayan-Mu ini, agar dirinya dikuatkan dengan kesucian surgawi, agar ia
terpeIihara dalam iman dan kesetiaan abadi.
Dan Teresa menjawab. Keadaan dunia ini dan segala
keduniawian telah kulepaskan demi kasih Tuhan kami,
Jesus Kristus. Amin. Amin. Kini, tiga puluh tahun kemudian, terbaring di hutan kayu menyaksikan
matahari menyingsing, suster Teresa
berpikir: Aku telah masuk biara dengan semua alasan yang salah. Aku bukannya lari pada Tuhan. Aku melarikan diri dari dunia. Tetapi Tuhan telah membaca hatiku.
Ia kini berusia enam puluh tahun, dan tiga puluh tahun terakhir dari hidupnya merupakan yang paling bahagia
bagi dirinya. Kini dengan tiba-tiba dirinya dilemparkan kembali
ke dalam dunia itu. Dan pikirannya mempermainkan dirinya. Teresa tidak yakin sepenuhnya mengenai yang mana
yang nyata dan yang mana yang tidak nyata. Masa lalu dan masa kini seakan-akan membaur menjadi satu dalam suatu kesuraman aneh dan memusingkan. Mengapa ini terjadi
atas diriku" Apakah yang direncanakan Tuhan bagi diriku"
-odwo- BAB TIGA BELAS Bagi suster Megan, perjalanan itu suatu petualangan.
Orang-orang di dalam rombongan itu sungguh memukau.
Amparo Jiron adalah seorang wanita yang perkasa, dengan mudah dapat mengikuti kedua pria dalam rombongan itu.
Namun begitu Amparo tetap feminin. Felix Carpio, seorang pria bertubuh kekar dengan jenggot merah, selalu
bersahabat dan menyenangkan.
Tetapi, bagi Megan, yang paling mengesankan dalam
rombongan itu adalah Jaime Miro. Pria itu emiliki kekuatan yang tenang, memiliki keyakinan yang teguh.
Ketika mereka memulai perjalanan mereka, Jaime,
Amparo dan Felix memanggul kantong-kantong tidur dan
senjata api di atas bahu masing-masing.
"Biar aku yang membawa sebuah dari kantong-kantong tidur itu." Megan berkata.
Jaime Miro memandang pada Megan dengan heran,
kemudian mengangkat bahunya. "Baiklah, suster. "
Kantong itu ternyata lebih berat daripada yang
diperkirakan Megan. Bagi Megan seakan-akan mereka itu berjalan dan
berjalan tanpa henti-hentinya, tersandung-sandung di
dalam kegelapan itu, tergores-gores oleh semak-semak, diserang serangga, dan dengan berpandu pada sinar
rembulan. Siapa gerangan orang-orang itu" Megan bertanya dalam
hati. Dan mengapa mereka dikejar-kejar" Karena dirinya
sendiri dan suster-suster lainnya itu juga dikejar-kejar, maka timbul rasa sepenanggungan pada Megan itu dengan angota rombongan itu.
Mereka tidak banyak berbicara selama

Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam perjalanan. Hanya sekali-sekali mereka berunding dengan kalimat-kalimat pendek.
"Segala sesuatunya sudah disiapkan di Valladolid?"
"Sudah, Jaime. Rubio dan Tomas akan menemui kita di bank itu, selagi aduan banteng berlangsung. "
"Bagus. Kirim berita kepada Largo Cortez mengenai kedatangan kita. Tetapi jangan berikan tanggal padanya."
"Baiklah." Siapakah gerangan Largo Cortez dan Rubio dan Tomas
itu" Megan bertanya-tanya sendiri. Dan apakah yang akan terjadi padaadu banteng dan di bank itu"
Menjelang fajar, mereka mencium bau asap dari lembah
di bawah sana. "Tungguhlah di sini." Jaime berbisik. "Jangan menimbulkan suara." Dan sesaat kemudian Jaime Miro
menghilang. Megan bertanya, "Ada apa?"
"Jangan berbicara!" Amparo berdesis.
"Serdadu. Kita akan berjalan menghindari mereka."
Mereka berjalanbalik hingga sejauh setengah mil,
kemudian maju lagi melalui hutan hingga mereka mencapai suatu jalan samping.
Keingin-tahuan Megan akhirnya tidak terbendung.
"Mengapa serdadu-serdadu itu mencari kalian?" Ia bertanya.
Jaime berkata, "Kita katakan saja bahwa antara serdadu-serdadu itu dengan kami tidak ada kesepakatan."
Dan Megan harus puas dengan jawaban itu. Untuk
sementara ini, Megan berkata dalam hati.
Setengah jam kemudian, mereka mencapai suatu medan
terbuka yang terlindung. Jaime berkata,
"Matahari sudah tinggi. Kita tinggal di sini hingga malam tiba." Dipandangnya Megan. "Malam ini kita harus melakukan perjalanan dengan cepat."
Megan mengangguk, "Baiklah."
Jaime menggelarkan kantong-kantong tidur itu.
Felix berkata kepada Megan, "Kau pakailah kupunya, suster. Aku terbiasa tidur di atas tanah."
"Tetapi itu kaupunya." Megan berkata. "Aku tidak dapat. ."
"Yah, Tuhan." Amparo menyeletuk. "Masuklah dalam kantong
itu. Kami tidak mau sebentar-sebentar dibangunkan oleh jeritan-jeritanmu karena dirimu digerayangi laba-laba." Ada nada permusuhan dalam suara Amparo itu. Suatu haJ yang mengherankan Megan.
Tanpa berkata-kata lagi, Megan masuk ke dalam kantong tidur itu. Ada apa dengan Amparo itu" Megan bertanya
dalam hati. Megan memperhatikan Jaime menggelar kantong
tidurnya, beberapa kaki jauhnya dari tempat Megan
berbaring. Jaime masuk ke dalam kantong tidur itu. Amparo
ikut masuk ke dalam kantong tidur Jaime Miro. Oh, begitu, Megan berpikir.
Jaime menoleh ke arah Megan. "Sebaiknya Anda
berusaha tidur," kata pria itu. "Esok masih ada perjalanan jauh."
Megan dibangunkan oleh suara erangan. Terdengar
seperti seseorang dalam kesakitan sangat. Megan terduduk, khawatir. Suara itu dat.ang dari kantong tidur Jaime.
Tentunya pria itu dalam kesakitan sangat, demikian pikiran yang pertama terkilas dalam benak Megan.
Suara erangan itu semakin keras, dan kemudian
terdengarlah suara Amparo Jiron berkata, "Oh, ya, ya.
Berikan padaku querido, kekasih. Lebih keras! Ya!
Sekarang, sekarang!"
Dan wajah Megan memerah. Ia berusaha menutup
telinganya terhadap suara-suara yang didengarnya itu.
Tidak dapat. Dan Megan bert.anya-tanya sendiri bagaimanakah kiranya jika Jaime Miro itu bercinta dengan dirinya.
Seketika Megan membuat tanda salib dan mulai berdoa.
Ampuni aku, Bapa. Biarlah pikiranku hanya dipenuhi
dengan Dikau. Biarlah jiwaku mencari Dikau, agar dapat menemukan sumbernya dan kebajikan dalam Dikau.
Dan suara-suara itu berlanjut. Akhirnya, pada saat
Megan sudah mulai berpikir bahwa ia tidak akan dapat
menanggungnya lebih lama lagi, suara-suara itu berhenti.
Namun ada suara-suara lain yang membuat Megan tidak
bisa tidur. Suara-suara hutan itu seperti berdentangan di telinganya. Suara hiruk pikuk burung-burung yang
berpasang-pasangan, jangkrik-jangkrik yang berpasangpasangan. . Megan telah lupa betapa dunia luar penuh hiruk pikuk.
Ia merasa kehilangan ketenangan dan keheningan di dalam biara. Dan demi keheranannya sendiri, ia bahkan merasa kehilangan panti yatim piatu itu.
Panti yatim piatu yang indah dan menggelisahkan itu . .
-odwo- BAB EMPAT BELAS Avila-1957 Mereka memanggil dirinya "Megan Penteror".
Mereka memanggil dirinya "Megan, Iblis bermata biru".
Dan mereka memanggil dirinya "Megan Si Pembangkang.
" Ia berusia sepuluh tahun.
Ia diserahkan pada panti yatim piatu itu ketika masih bayi, ditinggalkan di ambang pintu rumah seorang petani dan istrinya, yang tidak mampu melihara dirinya.
Panti yatim piatu itu adalah sebuah gedung bertingkat dua, di pinggiran kota Avila, di bagian miskin kota itu. di sebelah Plaza de Santo Vicente.
Panti yatim piatu itu dikelola oleh Mercedes Angeles, seorang wanita tinggi besar, seorang Amazon yang keras tingkah lakunya. namun penuh kehangatan pada semua
anak asuhannya. Penampilan Megan lain daripada anak-anak lainnya di
situ, seorang asing dengan rambut pirang dan matanya
yang biru. Megan juga berbeda dalam hal-hal lainnya Ia seorang anak yang sangat bebas, tidak mau bergantung
pada orang lain, seorang pemimpin, seorang pembuat onar.
Setiap kali ada "kerusuhan' di panti yatim piatu itu, Mercedes Angeles dapat memastikan bahwa Megan yang
menjadi biang keladinya. Selama bertahun-tahun di panti yatim piatu itu, Megan telah memimpin huru-hara yang memrotes makanan yang
diberikan, ia telah berusaha membentuk semacam
perkumpulan anak-anak yatim piatu itu, dan ia selalu ada saja cara untuk menyiksa pada pengasuh, serta telah pula melakukan enam kali percobaan melarikan diri dari panti itu.
Sudah jelas, Megan sangat populer di antara anak-anak di panti itu. Sekali pun lebih muda dari banyak anak-anak di situ, semuanya datang padanya jika memerlukan
bimbingan. Megan memang seorang yang dilahirkan
menjadi pemimpin. Dan anak-anak itu senang sekali
mendengar Megan bercerita. Daya imaginasi Megan luar
biasa. "Siapakah orang tuaku, Megan?"
"Ah. Ayahmu seorang maling permata yang pintar. Ia naik ke atas atap sebuah hotel di tengah malam buta untuk mencuri berlian milik seorang aktris terkenal. Nah, pada saat ia mau memasukkan berlian itu ke dalam sakunya,
aktris itu terbangun. Dinyalakannya lampu dan dilihatnya ayahmu."
"Apakah aktris itu menyuruh polisi menangkap ayahku?"
"Tidak. Ayahmu tampan sekali."
"Lalu, apa yang terjadi?"
"Mereka saling jatuh cinta dan menikah. Kemudian kau dilahirkan."
"Tetapi mengapa mereka mengirim diriku ke sebuah panti yatim piatu" Mereka tidak mencintai diriku?"
Itu memang selalu merupakan bagian yang sulit. "Tentu saja mereka mencintai dirimu. Tetapi. . yang. . mereka sedang berrnain ski di Swiss dan mereka terbunuh oleh longsornya bukit salju
"Dan ibuku serta ayahku, keduanya mati?"
"Ya. Dan kata-kata terakhir mereka adalah bahwa
mereka mencintai dirimu. Namun tidak ada orang lain yang dapat mengurus dirimu, sehingga kau dikirim ke tempat ini."
Megan sendiri, seperti anak-anak lainnya, sangat ingin mengetahui siapa gerangan orang tuanya, dan di malam
hari ia menidurkan diri dengan mengarang kisah-kisah bagi dirinya sendiri: Ayahku seorang prajurit dalam Perang Saudara. Ia seorang kapten dan gagah berani. Ia terluka dalam suatu pertempuran, dan ibuku seorang jururawat
yang merawat ayahku. Mereka menikah, dan ayahku
dikirim kembali ke front dan di sana gugur. Ibuku terlalu miskin untuk memelihara diriku, maka ditinggalkannya
diriku di rumah pertanian itu, padahal itu menghancurkan hatinya. Dan Megan lalu menangis meratapi ayahnya yang gagah berani dan ibunya yang malang itu.
Atau: Ayahku seorang juara dalam menaklukkan
banteng. Seorang matador yang hebat. Ia menjadi pujaan seluruh Spanyol. Ibuku seorang penari flamenco. yng
cantik. Mereka menikah, tetapi pada suatu han ayahku
terbunuh di medan laga adu banteng itu. Ibuku terpaksa melepaskan diriku kepada panti yatim piatu.
Atau: Ayahku seorang mata-mata yang hebat dari suatu
negeri asing. Fantasi Megan itu tiada kunjung kering.
Panti itu menampung tiga puluh orang anak dari orok
yang baru dilahirkan hingga yang berusia empat belas
tahun. Sebagian besar anak-anak itu adalah Spanyol, namun ada pula dari setengah luosin negeri lainnya. Megan
menjadi lancar dalam berbagai bahasa.
Megan tidur di dormutori dengan selusin gadis lainnya.
Dan dengan makin bertambahnya usia malam-malam hari
menjadi penuh percakapan dengan berbisik-bisik mengenai berbagai hal, dari pakaian hingga seks. Dan seks lambat laun menjadi pokok pembicaraan utama.
"Ku dengar bahwa itu mengerikan sekali."
"Aku tak peduli. Aku tidak mau menunggu lebih lama lagi."
"Aku akan kawin, tetapi tidak akan kubiarkan suamiku melakukannya atas diriku. Kuanggap itu menjijikkan sekali.
" Pada suatu malam, ketika semuanya sudah tidur, Primo
Conde, seorang anak laki-laki dari panti itu, menyeIinap masuk ke ruangan tidur anak-anak perempuan itu. Primo mendatangi tempat tidur Megan.
"Megan. ." Primo berbisik.
Megan terbangun seketika. "Primo" Ada apa?"
Primo menangig terisak-isak, ketakutan. "Bolehkah aku tidur denganmu?"
"Tetapi jangan berisik. "
Primo berusia tiga belas tahun, sama dengan Megan.
Tetapi anak laki-Iaki itu tubuhnya kecil untuk usianya itu.
Primo menderita kebiasaan bermimpi buruk dan sering
terbangun di tengah malam dengan berteriak-teriak. Anak-anak lainnya suka menggoda dan mengganggunya, tetapi
Megan selalu melindunginya.
Primo naik ke tempat tidur Megan, yang mendekapnya. '
"Sudahlah." Megan berbisik. "Tidak ada apa-apa."
Megan erat-erat memeluk Primo itu, menenangkannya.
Tubuh Primo itu rapat sekali dengan tubuh Megan, dan
sesaat kemudian Megan dapat merasakan bangkitnya
kegairahan pada Primo itu.
"Primo. ." "Maafkan aku. A. . Aku tidak bisa berbuat apa-apa. "
Ereksi anak laki-laki itu menekan pada tubuh Megan.
"Aku cinta padamu, Megan. Kau satu-satunya yang
memperhatikan diriku di dunia ini."
"Kau belum lagi keluar ke dunia ramai."
"Janganlah kau menertawakan diriku."
"Aku tidak menertawakanmu."
"Aku tidak mempunyai siapa pun kecuali kau."
"Aku tahu." "Aku cinta padamu."
"Aku juga mencintaimu, Primo."
"Megan. . mau. . maukah kau. . maukah kau jika aku bercinta denganmu?"
"Tidak. " Hening sejenak. Kemudian, "Maafkan aku telah
mengganggumu. Biar aku kembali ke tempat tidurku
sendiri." Suara anak laki-Iaki itu penuh kegetiran. Primo mulai bergerak pergi.
"Tunggu." Megan masih mendekapnya, ingin meringankan penderitaan Primo, merasa gairah mulai
bangkit dalam dirinya sendiri. "Primo, aku. . aku tidak dapat membiarkanmu melakukannya pada diriku tetapi aku
dapat melakukan sesuatu yang akan membuatmu merasa
enakan. Maukah?" "Ya." Suara anak itu lirih sekali.
Megan melepas tali piyama Primo dan tangannya
diulurkannya ke dalam. Ah, ia seorang laki-laki sejati.
Megan berkata dalam hati. Dipegangnya kejantanan Primo itu dengan tangannya dan mulai mengelus-elusnya.
Primo mengerang dan berkata, "Ah, itu rasanya indah
sekali." Dan sesaat kemudian, "Yah, Tuhan, aku
mencintaimu, Megan."
Tubuh Megan sendiri seperti terbakar, dan jika pada saat itu Primo berkata, "Biarkan aku melakukannya padamu."
Megan pasti akan berkata 'ya'.
Tetapi Primo cuma terbaring di situ, diam, dan beberapa menit kemudian Primo kembali ke tempat tidurnya sendiri.
Malam itu Megan tidak dapat tidur. Dan ia tidak pernah membolehkan lagi Primo naik ke tempat tidurnya.
Godaan itu terlampau kuat.
-odwo- Pada waktu-waktu tertentu seorang anakakan dipanggil
menghadap di kantor panti itu untuk bertemu dengan
seorang calon orang tua angkat. Saat-saat seperti itu selalu merupakan saat tegang bagi anak-anak itu, karena itu
berarti suatu kemungkinan untuk keluar dari panti yatim piatu itu, suatukesempatan mendapatkan rumah tinggal
yang sesungguhnya, menjadi bagian dari suatu keluarga.
Selama waktu berada di panti yatim piatu itu Megan
telah menyaksikan anak-anak itu dipilih dan menjadi anak angkat suatu keluarga. Anak-anak itu pergi ikut orang tua angkatnya, pedagang, petani, pengusaha bank, pemilik toko.
Namun selalu anak-anak lain itu, dan belum pernah dirinya sendiri. Reputasi Megan agaknya selalu mendahuluinya.
Kadang-kadang ia dapat mendengar calon orang tua
berbicara di antara mereka sendiri. "Ia anak yang manis sekali, tetapi aku mendengar ia agak suIit."
"Bukankah ia itu yang telah menyelundupkan dua belas ekor anjing ke panti yatim piatu ini?"
"Kata mereka, ia itu pemimpin gerombolan anak-anak di sini. Kurasa ia tidak akan cocok dengan anak-anak kita sendiri."
Mereka tidak mengetahui betapa Megan dicintai oleh
anak-anak lainnya di panti itu.
Romo Berrendo sekali seminggu datang ke panti yatim
piatu itu. Dan Megan selalu menantikan kedatangan romo Berrendo itu. Megan seorang anak yang amat suka
membaca, dan romo itu dan juga Mercedes Angeles
berusaha keras agar selalu ada bacaan untuk Megan. Megan pandai berdiskusi mengenai berbagai persoalan dengan
romo Berrendo. Adalah romo Berrendo juga yang didatangi keluarga petani yang mendapatkan Megan ketika masih
orok itu. "Mengapa mereka tidak mau memelihara diriku?" Megan bertanya.
"Mereka ingin sekali, tetapi mereka itu sudah tua dan sakit-sakitan."
"Menurut romo, apakah sebabnya orang tuaku yang
sesungguhnya meninggalkan aku di ambang pintu rumah
pertanian itu?" "Aku yakin itu dikarenakan mereka amat miskin dan tidak dapat menanggung pemeliharaan dan perawatan
dirimu." Dengan bertambahnya usia, Megan menjadi semakin
alim. Ia juga secara teratur pergi ke gereja.
"Aku ingin menjadi orang KatoIik." Pada suatu hari, Megan berkata pada romo Berrendo.
"Barangkali kau sudah Katolik, Megan. Tetapi baiklah kita kokohkan itu."
"Kau percaya akan Allah, Bapa, pencipta langit dan bumi"
"Ya, aku percaya. . "Kau percaya akan Jesus Kristus, Putra-nya yang tunggal, yang telah dilahirkan dan menderita"
"Ya, aku percaya."
"Kau percaya akan Roh Kudus, akan Gereja Katolik yang kudus, persekutuan para kudus, pengampunan dosa,
kebangkitan badan dan kehidupan kekal"
"Ya, aku percaya."
Romo Berrendo meniup ke muka Megan. Exi ab ea,
spiritus immunde. Enyahlah darinya, kau roh jahat, dan berilah tempat pada Roh Kudus, Paraclete. Romo Berrendo meniup sekali lagi. "Megan, terimalah Roh Kudus dengan hembusan ini dan terimalah berkat Tuhan. Damai
menyertai dirimu. " Pada usia lima belas tahun, Megan telah menjadi seorang wanita muda yang cantik, dengan rambut pirang dan kulit yang mulus putih susu.


Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada suatu hari ia dipanggil ke kantor oleh Mercedes
Angeles. Romo Berrendo juga berada di kantor itu.
"Hallo, romo." "Hallo, Megan sayang."
Mercedes Angeles berkata, "Kita ada sedikit persoalan, Megan."
"Oh?" Mercedes Angeles melanjutkan, "Harus kauketahui
bahwa di sini berlaku suatu batas usia lima belas tahun.
Dan kau sudah sampai pada usiamu yang kelima belas."
Megan tentu saja sudah mengetahui hal itu.
"Jadi. . jadi aku harus meninggalkan tempat ini?"
Mercedes itu merasa cemas sekali, tetapi tidak ada
pilihan lain baginya. "Yah, kami terpaksa harus mematuhi peraturan itu. Kita dapat mencarikan tempat bagi dirimu sebagai pembantu rumah tangga."
Megan tidak dapat mengucapkan sepaah kata pun.
Romo Berrendo yang berbicara. "Ke manakah kau ingin pergi?"
Sambil memikirkan jawaban pada pertanyaan itu tibatiba timbul pikiran itu pada Megan. Ada tempat yang mau ditujunya.
"Kupikir aku ingin masuk biara."
Enam minggu kemudian ia diambil sumpahnya.
Dan akhirnya, Megan menemukan yang telah dicaricarinya sekian lama. Ia menemukan tempat bagi dirinya, menemukan dirinya. Ada itu biarawati-biarawati, yaitu keluarga yang tidak pernah dimilikinya. Dan mereka semua satu di dalam Tuhan Bapa.
Megan mendapat pekerjaan di biara itu sebagai
pemegang buku. Dan pada suatu pagi di bulan November, Megan
diperkenalkan pada upacara kematian. Seorang suster
sedang dalam keadaan sekarat, dan genta dari kayu
dipukul, tanda permulaan suatu upacara yang tidak pernah berubah sejak diberlakukan pada tahun 1030.
Dan akhirnya, adalah tanda tanda kematian itu sendiri, seorang suster meletakkan ujung ibu jari kanannya di
bawah dagu yang terbaring itu dan mengangkatnya sedikit.
Ketika doa-doa terakhir diucapkan, tubuh itu dibiarkan sendiri selama sejam agar rohnya dapat pergi dalam
kedamaian. Pada kaki ranjang itu dinyalakan lilin Paskah, simbol Kristen akan sinar abadi.
Setelah dimandikan dan dikenakan jubahnya, enam
orang biarawati mengusung jenazah suster itu ke gereja dan meletakkannya di atas tempatnya yang sudah
disediakan untuk itu, menghadap pada altar.
Sore hari berikutnya, setelah misa Requiem, jenazah itu diusung ke tempat pekuburan yang ada di pekarangan
biara itu. Jenazah itu diletakkan di dalam liang kubur itu tanpa dimasukkan dalam peti mati. Itu adalah kebiasaan Cistercian. Setelah upacara terakhir dilaksanakan, dua orang biarawati mulai melemparkan tanah ke atas jenazah dalam liang kubur itu sebelum mereka semua kembali ke gereja untuk mengucapkan salam dalam penebusan.
TIga kali berturut-turut mereka memohon kepada
Tuhan agar mengampuni semua dosa.
Domine miserere super peccatrice.
Domine miserere super peccatrice.
Domine miserere super peccatrice.
Ada saat-saatnya Megan yang masih muda itu dilanda
rasa melankoli. Biara itu memberikan ketenangan pada
dirinya, namun begitu ia tidak sepenuhnya merasa dalam kedamaian. Seakan-akan ada sebagian dirinya itu tiada. Ia merasakan kerinduan yang semestinya telah lama
dilupakannya. Ia kadang-kadang mendapatkan dirinya
mengenang teman-teman yang telah ditinggalkannya di
panti yatim piatu itu. dan kini bertanya-tanya sendiri apa
gerangan yang terjadi dengan teman-temannya itu. Dan ia juga bertanya-tanya sendiri tentang keadaan di dunia luar.
Dunia yang telah dibelakanginya. suatu dunia tempat musik dan tarian dan tawa.
Megan pergi ke suster Betina, Ibu Kepala biara itu.
"Itu terjadi pada diri kita semua, kadang-kala." Ibu Betina itu menenangkan Megan. "Gereja menyebutnya acedia. Suatu malaise rohaniah suatu alat Iblis. Jangan kau terlalu cemas atas hal itu anakku. Itu akan berlalu."
Dan memang demikianlah kenyataannya. Itu berlalu.
Namun, yang tidak kunjung berlalu adaah kerinduan
yang seperti sudah merasuk hingga ke dalam tulangtulangnya: kerinduan untuk mengetahui siapa gerangan
orang tuanya yang sesungguhnya. Aku tidak akan pernah mengetahui itu, Megan ber- pikir dengan putusasa. Aku tidak akan mengetahui hal itu selama hidupku.
-odwo- BAB LIMA BELAS New York City -1976 Para wartawan berkumpul di luar gedung Hotel
Waldorf-Astoria di New York, menyaksikan parade para
tokoh terkenal dalam busana malam turun dari limousin-limousin, memasuki gedung itu, menuju ke Grand Ballroom di lantai tiga. Para tamu itu datang dari semua penjuru dunia. Ada wakil presiden Amerika Serikat, ada gubernur Adams. Ada senator dan wakil-wakil berbagai negeri, rajaraja bisnis, dan orang-orang termashur. Dan mereka Itu semuanya datang untuk merayakan hari ulang tahun
keenam puluh dari Ellen Scott. Sebenarnya, bukan Ellen Scott sendiri yang pribadi yang mereka hormati, melainkan terutama adalah filantropi, kedermawanan Scott Industries, salah-satu dari konglomerat yang paling berkuasa di dunia.
Kerajaan bisnis raksasa yang meliputi seluruh dunia itu, terdiri atas perusahaan-perusahaan minyak dan pabrik-pabrik baja, sistem-sistem komunikasi dan perbankan. Dan semua uang yang dikumpulkan malam itu akan diberikan
pada badan-badan amal internasional.
Scott Industries mempunyai kepentingan di semua
bagian dunia. Dua puluh tujuh tahun yang lalu,
presidennya, Miro Scott, telah mati secara mendadak
karena suatu serangan jantung, dan istrinya, Ellen, telah mengambil alih pengelolaan perusahaan raksasa itu. Dalam tahun-tahun setelah pengambil alihan itu, Ellen Scott telah terbukti seorang pengelola perusahaan yang pandai, telah memperbesar kekayaan perusahaan itu dengan tiga kali
lipat. Dalam pesta itu sekurang-kurangnya ada enam ratus
tamu, pria dan wanita, makan malam di meja-meja yang
berkilauan dengan perangkat makan dari perak. Tamu
kehormatan duduk di tengah balkon yang terdiri atas tiga puluh tiga box yang membentuk sebuah lingkaran di
ruangan Grand Ballroom yang sangat besar itu.
Seusai makan malam, gubernur New York, Adams
bangkit berdiri dan naik ke atas pentas yang berkarpet merah.
"Tuan Wakil Presiden, tuan-tuan dan nyonya-nyonya, para tamu terhormat, kita semua berada di sini malam ini dengan satu tujuan: menghormati seorang wanita luar
biasa dan kedermawanannya selama sekian banyak tahun.
Ellen Scott adalah seseorang yang akan meraih sukses di bidang apa pun. Ia dapat menjadi seorang politikus yang besar. Ia dapat menjadi seorang ilmuwan atau sarjana yang pandai. Dan harus kukatakan pada Anda sekalian, bahwa seandainya Ellen Scott mengambil keputusan mencalonkan diri untuk menjadi presiden Amerika Serikat, maka akulah orang pertama yang akan memberikan suaraku padanya.
Bukannya pada pemilihan umum yang akan datang, sudah
tentu, melainkan pada pemilihan umum sesudah yang akan datang itu."
Tawa dan tepuk tangan. "Namun, Ellen Scott jauh lebih daripada sekadar seorang wanita yang pandai. Ia seorang dermawan, seorang yang penuh welas-asih, yang tidak pernah ragu-ragu untuk
melibatkan dirinya dalam persoalan-persoalan yang
dihadapi dunia dewasa ini?"
Pidato gubernur New York itu berlanjut selama sepuluh menit
lebih, namun Ellen Scott sudah tidak mendengarkannya lagi. Betapa kelirunya gubernur Adams itu, Ellen Scott merenung. Betapa kelirunya mereka semua.
Scott Industries itu bahkan bukan perusahaanku. Miro dan aku telah mencurinya. Dan aku bersalah atas suatu
kejahatan yang lebih berat daripada itu. Sekarang semua itu tidak menjadi soal lagi. Tidak sekarang. Karena tidak lama lagi aku sudah akan mati.
Ellen Scott teringat akan kata-kata yang diucapkan
dokter itu, ketika membaca laporan laboratorium, yang sesungguhnya adalah juga hukuman mati atas dirinya. .
"Aku sungguh menyesal, nyonya Scott, tetapi aku tidak mempunyai cara lain yang lebih baik untuk menyampaikan hal ini kepada Anda. Kanker yang Anda punya itu telah
menyebar ke seluruh sistem limfatik Anda. Tidak dapat dibedah,"
Ketika itu Ellen tiba-tiba merasakan suatu beban berat menindih di perutnya.
"Be. . berapa lama. . waktu yang masih kupunyai?"
Dokter itu ragu. "Setahun. . barangkali."
Tidak cukup lama. Tidak cukup untuk begitu banyak
yang masih harus kulakukan. "Anda tentunya tidak akan menyiarkan hal ini." Suaranya mantap.
"Tentu saja tidak."
"Terima kasih, dokter. "
Ellen Scott tidak ingat lagi bagaimana cara dirinya
meninggalkan Pusat Medikal Columbia-Presbyterian itu.
Pikiran yang memenuhi benaknya hanyalah satu: Aku
harus menemukannya sebelum aku mati.
Gubernur Adams telah selesai berpidato.
"Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, aku mendapat kehormatan besar memperkenalkan nyonya Ellen Scott
kepada kaIian." Ellen Scott bangkit berdiri dan menerima sambutan
tepuk tangan para tamu yang semuanya telah bangkit
berdiri pula. Ellen Scott kemudian berjalan ke atas pentas itu: seorang wanita yang kurus, berambut yang sepenuhnya beruban, namun dengan punggung yang tegak. Berbusana
rapi dan memancarkan suatu vitalitas yang Ellen Scott sendiri tidak merasakannya. Melihat diriku adalah bagaikan melihat sinar jauh dari sebuah bintang yang telah lama punah, Ellen berkata dalam hati. Sebenarnyalah, aku sudah tidak berada di sini.
Di atas pentas itu ia menunggu hingga tepuk tangan itu mereda. Mereka bertepuk tangan dan mengelu-elukan
seorang wanita iblis. Apakah gerangan yang akan mereka lakukan, seandainya mereka mengetahui" Ketika ia
berbicara, suaranya mantap.
"Tuan Wakil Presiden, para senator terhormat, Gubernur Adams. ."
Setahun, Ellen berpikir. Di mana gerangan ia berada, dan apakah ia masih hidup. Bagaimana pun aku harus mencari tahu.
Ellen Scott berbicara terus, secara otomatikal mengatakan segala yang diharapkan oleh para tamu itu.
"Dengan senang hati aku menerima sambutan dan
penghargaan Anda sekalian ini bukan untuk diriku sendiri, melainkan bagi semua yang telah bekerja begitu keras
untuk meringankan beban semua orang yang tidak semujur kita yang berada di sini?"
Pikiran Ellen Scott melayang balik empat puluh dua
tahun. . melayang ke Gary, Indiana. .
Pada usia delapan belas tahun, Ellen Dudash bekerja
pada pabrik suku-cadang otomotif dari Scott Industries di Gary, Indiana. Ia seorang gadis yang ramah, menarik,
populer di antara sesama pekerja di pabrik itu. Pada suatu hari Miro Scott datang memeriksa pabrik itu, dan Ellen terpilih untuk menemaninya berkeliling di pabrik itu.
Miro Scott sepenuhnya tidak sebagaimana diperkirakan
Ellen. Miro berusia tiga puluhan tahun lebih, jangkung dan ramping. Tidak jelek, pikir Ellen. Miro Scott ternyata seorang pemalu.
"Aku sangat berterima kasih Anda sudi memberikan waktu Anda untuk menemani aku berkeliling meninjau
pabrik ini, nona Dudash. Aku berharap aku tidak
merenggut diri Anda dari pekerjaan Anda. "
Ellen tertawa menyeringai, "Itu justru yang kuharapkan." Miro Scott seorang pria yang menyenangkan untuk
diajak bercakap-cakap. Miro tampaknya benar-benar
memperhatikan semua aspek pekerjaan di pabrik itu,
bersungguh-sungguh dalam perhatiannya terhadap para
buruh dan persoalan-persoalan mereka.
"Ini benar-benar pabrik yang beroperasi secara besar-besaran, tidakkah begitu, nona Dudash?"
Pabrik ini miliknya, dan ia bersikap seperti seorang anak yang terpesona.
Di bagian perakitan peristiwa itu terjadi. Sebuah kereta kawat yang bergerak di dekat langit-langit ruangan kerja itu, dan yang sedang mengangkut seikat tangkai metal ke bengkel mesin, putus dan seikat tangkai metal itu seketika tumpah ke bawah. Miro Scott yang berada tepat di bawah tumpahan itu. Ellen melihat jatuhnya seikat tangkai metal itu dan tanpa berpikir panjang ia bergerak dan mendorong Miro Scott dari tempatnya berdiri itu. Miro lolos, tetapi dua tangkai metal mengenai diri Ellen sebelum ia sempat
menyingkir, dan Ellen seketika jatuh pingsan.
Ia bangun di sebuah kamar khusus di sebuah rumah
sakit. Kamarnya itu penuh dengan karangan bunga. Ketika Ellen membuka matanya, terkilas dalam benaknya: Aku
telah mati dan masuk ke dalam surga.
Seorang jururawat masuk. "Ah, Anda sudah sadar
kembali nona Dudash. Akan kuberitahukan pada dokter."
"Di. . di manakah aku berada?"
"Blake Center. . ini sebuah rumah sakit khusus. "
Ellen memandang ke sekelilingnya. Aku tidak akan
pernah mampu membayar biaya perawatan di kamar ini.
"Ada banyak telepon untuk Anda."
"Telepon?" "Pihak pers telah berusaha memperoleh kesempatan mewawancarai
Anda. Teman-teman Anda juga menanyakan tentang keadaan Anda. Tuan Scott telah
menelepon beberapa kali. ."
Miro Scott" "Ia tidak apa-apa?"
"Maafkan ?" "Ia tidak cidera?"
"Tidak. Pagi tadi ia telah datang berkunjung ke sini, tetapi Anda masih tidur."
"Ia datang menjenguk aku?"
"Betul." Jururawat itu menunjuk kepada karangan-karangan bunga yang memenuhi kamar itu. "Sebagian besar karangan bunga ini adalah kiriman dari tuan Scott."
Sungguh sulit dipercaya. Ayah dan ibu Ellen juga datang. Ayahnya bertanya
apakah Elln sudah membaca surat kabar. Selembar koran telah dibawanya untuk diperlihatkan pada Ellen.
SEORANG PEKERJA PABRIK MEMPERTARUHKAN NYAWA SENDIRI DEMI MENYELAMATKAN MAJIKANNYA.
Ellen membaca berita itu hingga dua kali.
"Sungguh suatu keberanian luar biasa yang telah
kaulakukan untuk menyelamatkan tuan Scott itu. "
Keberanian" Bahkan itu suatu ketololan. Seandainya aku masih berpikiran waras, diriku sendiri yang kuselamatkan.
Sungguh itu suatu perbuatan paling bodoh yang pernah
kulakukan. Ya, Tuhan! Aku nyaris mati sendiri. Miro Scott datang lagi pagi itu. Dengan membawa seikat karangan bunga.
"Dokter telah mengatakan bahwa Anda akan segera
pulih kembali. Aku. . aku sungguh tidak tabu bagaimana harus menyatakan terima kasihku pada Anda."
"Oh, itu tidak apa."
"Tetapi yang Anda lakukan itu tindakan paling berani yang pernah kusaksikan. Anda telah menyelamatkan
jiwaku." Ellen mencoba bergerak, tetapi sisi tubuhnya mulai
berdenyut nyeri. "Anda tidak apa-apa?"
"Oh, tidak apa-apa. Cidera apakah yang kualami menurut dokter?"
"Lengan Anda patah dan ada tiga tulang iga Anda yang patah pula."
Tidak ada berita yang lebih buruk dari itu.
"Ada apa?" Bagaimana Ellen dapat mengatakannya kepada pria itu"
Ia telah menyimpan sebagian gajinya untuk dapat berlibur ke New York. Impiannya. Kini aku boleh mengatakan
selamat tinggal pada pekerjaanku untuk waktu sekurang-kurangnya sebulan atau lebih. Maka selamat tinggal pula pada Manhattan.
Ellen mulai merasa mengantuk. Tentu disebabkan oleh
obat-obat yang diberikan padanya itu.
"Terima kasih untuk semua bunga yang Anda kirim, tuan Scott. Aku senang bertemu dengan Anda." Mengenai biaya rumah sakit ini, biar kuurus itu lain hari.
Ellen Dudash tertidur. Keesokan harinya, seorang pria keren datang.
"Aku Sam Norton, kepala hubungan masyarakat Scott Industries."
"Oh." Ellen belum pernah bertemu dengan pria itu.
"Anda tinggal di kota ini?"
"Tidak. Aku baru tiba dengan pesawat terbang dari Washington."
"Untuk menjenguk aku?"
"Untuk membantu Anda."
"Membantu aku" Dalam hal apa?"
"Pers sedang menunggu di luar, nona Dudash. Karena aku yakin Anda belum pernah mengadakan suatu
konferensi pers, maka kuduga aku akan dapat membantu
Anda." "Apakah yang Anda inginkan?"
"Soalnya begini, mereka terutama akan bertanya pada Anda, tentang mengapa dan bagaimana Anda telah
menyelamatkan jiwa tuan Scott."
"Oh, itu. Mudah saja. Seandainya aku berpikir dulu sebelum bertindak, tentu aku telah lari dari tempat itu."
Norton memandang terbengong pada Ellen.
"Nona Dudash. . kurasa tidak begitulah yang akan kukatakan, seandainya aku berada di tempat Anda."
"Mengapa tidak" Itu adalah yang sebenarnya."
Dan bukan itu yang diduga atau diharapkan oleh Norton.
Gadis itu agaknya tidak mengetahui akan situasi dirinya.
Ada sesuatu yang meresahkan Ellen, dan ia memutuskan
untuk mengemukakannya secara terus terang. "Anda akan bertemu dengan tuan Scott?"
"Ya. " "Sudikah Anda menolong aku?"
"Kalau aku dapat, dengan senang hati akan kulakukan. "
"Aku mengetahui bahwa kecelakaan itu bukan karena kesalahan tuan Scott, dan ia juga tidak meminta agar aku mendorongnya hingga ia luput dari kejatuhan barang-barang besi itu, tetapi?" Keraguan kembali melanda diri Ellen. "Ah, sudahlah."


Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nah, sekarang monyetnya keluar, pikir Norton. Berapa
banyak yang akan dituntutnya" Apakah akan diminta uang tunai" Pekerjaan yang lebih baik" "Silakan Anda teruskan, nona Dudash."
Dan ditumpahkannya isi hatinya. "Soalnya, aku ini tidak mempunyai banyak uang, dan aku akan kehilangan gajiku karena kecelakaan ini. Aku juga tidak akan dapat
membayar biaya rumah sakit ini. Aku tidak ingin
merepotkan tuan Scott, tetapi kalau ia dapat mengusahakan suatu pinjaman bagiku, aku akan membayarnya kembali
kelak." Ellen melihat air muka Norton itu berubah, dan ia salah menafsirkannya. "Maafkan aku, tentu kedengarannya amat materialistik. Soalnya, tuan Norton, aku sebetulnya telah menabung uang untuk liburan ke New York, dan
sekarang . . yah, semuanya menjadi bubar." Ellen menarik nafas dalam-dalam. "Tetapi, yah, ini bukanlah persoalan tuan Scott. Aku akan mengatasinya sendiri."
Sam Norton nyaris mencium Ellen Dudash. Sudah berapa
lama berselang sejak aku bertemu dengan kepolosan yang semurni ini" Ini saja
sudah cukup memulihkan kepercayaanku pada kaum wanita.
"Ellen, kurasa kita berdua akan menjadi kawan baik satu sama lainnya. Aku berjanji bahwa kau tidak perlu khawatir mengenai masalah-rnasalah keuangan. Tetapi yang paling dulu barus kita lakukan adalah melewati konferensi pers ini dengan sebaik-baiknya. Kami menginginkan kau
menampilkan dirimu dengan sebaik-baiknya, sehingga. ."
Norton terdiam sejenak. "Biar aku berterus terang padamu.
Tugasku adalah menjaga citra baik Scott Industries. Juga dalam urusan ini. Kau dapat mengerti yang kumaksudkan?"
"Kurasa aku dapat. Maksud Anda, seakan kedengaran kurang baik jika aku mengatakan bahwa aku sebenarnya
tidak acuh dalam hal menyelamatkan jiwa tuan Scott" Akan lebih baik jika aku mengatakan, misalnya. . Aku suka sekali bekerja di Scott Industries, sehingga ketika melihat Miro Scott dalam keadaan terancam bahaya, aku menyadari
harus berusaha menyelamatkannya, biarpun itu berarti
resiko besar bagi jiwaku sendiri?"
'Tepat sekali." Ellen tertawa. "Oke. Jika itu bermanfaat bagi Anda.
Tetapi aku tidak ingin mengelabui Anda, tuan Norton. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku telah bertindak seperti itu,"
Norton tersenyum. "Itu akan menjadi rahasia kita saja.
Nah, sekarang akan kupersilakan singa-singa pers itu
masuk. Oke?" Miro Scott datang lagi mengujungi Ellen Dudash di
rumah sakit. Ellen terkejut melihat pria itu. Sejauhyang diketahuinya, Miro Scott tinggal di New York.
"Aku mendengar bahwa wawancara pers itu berjalan dengan baik. Anda menjadi seorang pahlawan sejati."
"Tuan Scott .. ada yang harus kukatakan kepada Anda.
Aku bukan pahlawan. Aku sama sekali tidak berpikiran
untuk menyelamatkan jiwa Anda. Aku" yah, tahu-tahu aku sudah berbuat yang kulakukan itu."
"Aku tahu akan hal itu. Sam Norton telah mengatakannya padaku."
"Nah, maka itu?"
"Ellen, ada macam-macam pahlawan. Kau tidak
berpikiran untuk menyelamatkan diriku, tetapi kau telah melakukannya secara naluriah."
"Aku" aku cuma ingin Anda mengetahui yang
sebenarnya terjadi."
"Sam juga mengatakan padaku, bahwa kau agak cemas mengenai biaya rumah sakit ini."
"Oh, itu?" "Semua itu sudah dibereskan. Dan mengenai dirimu akan kehilangan sebagian gajimu." Scott tersenyum, "Nona Dudash, kurasa kau tidak memahami betapa besar
hutangku padamu." "Anda tidak berhutang apa pun padaku."
"Dokter telah memberitabukan padaku bahwa esok kau akan meninggalkan rumah sakit ini. Maukah kau makan
malam denganku?" Ah pria itu tidak mengerti, Ellen berpikir. Aku tidak menginginkan amalnya. Atau dikasihani olehnya. "Aku bersungguh-sungguh ketika aku mengatakan pada Anda,
bahwa Anda tidak berhutang apa pun padaku. Terima kasih banyak atas bantuan Anda membereskan hal biaya rumah
sakit ini. Kita sekarang tidak saling berhutang."
"Bagus. Nah, kalau begitu, kau bersedia kuajak makan malam, bukan?"
Itulah awal segalanya. Miro Scott tinggal di Gary selama seminggu lagi, dan setiap malam berkunjung pada Ellen.
Orang tua Ellen telah mengingatkan Ellen, "Berhati-hatilah. Tidak ada majikan-majikan kaya raya mau bergaul dengan perempuan pekerja pabrik kecuali ada sesuatu
yang mereka inginkan. "
Ellen sendiri memang berpendirian seperti itu, tetapi Miro telah mengubah pendapatnya itu. Pria sepanjang
waktu membuktikan dirinya seorang gentlemen sejati, dan Ellen akhirnya menyari bahwa pria itu memang senang
berada bersama dirinya. Pada akhir minggu itu, mereka sudah saling jatuh cinta satu sama lainnya.
"Aku mau menikah denganmu." Miro berkata.
"Aku tidak bisa berpikir dan memikirkan apa pun
kecuali hasratku ini. Maukah kau menjadi istriku?"
Ellen sendiri juga tidak bisa memikirkan hal lain. Yang sebenar-benarnya adalah, bahwa ia, Ellen Dudash, merasa ngeri. Keluarga Scott adalah keluarga yang amat terkenal di Amerika. Mereka itu termashur, kaya dan sangat berkuasa.
Aku tidak masuk hitungan di kalangan mereka. Aku cuma
akan dijadikan bahan tertawaan. Juga Miro akan ditolol-tololkan. Namun, Ellen menyadari dari hati kecilnya, bahwa perlawanannya akan sia-sia belaka.
Mereka dinikahkan secara sederhana di Greenwich,
Connecticut. Kemudian sebagai suami istri mereka
berangkat ke Manhattan, untuk memperkenalkan Ellen
pada keluarga Miro. Byron Scott menyambut kakaknya dengan, "Sialan!
Apakah yang telah kaulakukan ini. . kawin dengan seorang wanita penggaet berbangsa Polandia" Kau sudah gila?"
Susan Scott lebih-lebih lagi, "Tentu saja ia kawin dengan Miro karena kekayaan Miro. Kalau ia mengetahui bahwa
Miro tidak memiliki sepeser uang pun, kita akan mengatur perceraian mereka. Perkawinan ini tidak akan dapat
bertahan lama." Mereka jauh meleset dalam menilai Ellen Dudash.
"Kakakmu dan istrinya membenci diriku, tetapi aku tidak kawin dengan mereka. Aku kawin denganmu. Aku
tidak mau menjadi penghalang di antara dirimu dan Byron.
Jika keadaan ini membuatmu terlalu bersedih, Miro,
katakanlah terus terang, dan aku akan meninggalkanmu."
Miro Scott meraih istrinya ke dalam pelukannya dan
berbisik, "Aku memujamu, dan jika Byron dan Susan sudah benar-benar mengenal dirimu, mereka pasti akan
mencintai dirimu juga."
Ellen merangkul suaminya erat-erat dan berpikir, Betapa naif suamiku ini. Dan betapa aku mencintainya.
Byron dan Susan Scott sebenarnya tidaklah terlalu buruk terhadap Ellen. Mereka itu bersikap menggurui. Bagi
mereka, Ellen tetap hanya seorang gadis Polandia yang bekerja di salah satu perusahaan Scott.
Ellen sendiri belajar, membaca dan belajar. Ia
memperhatikan cara dan gaya istri-istri teman-teman Miro berbusana. Ia berketetapan hati untuk menjadi seorang istri yang pantas bagi Miro Scott, dan pada waktunya, Ellen berhasil juga. Namun tidak demikianlah halnya di mata Byron dan Susan. Karenanya, kenaifan Ellen lambat laun berubah menjadi sinisme. Yang kaya dan berkuasa ternyata tidaklah sehebat yang digembor-gemborkan. Yang mereka kejar hanyalah menjadi semakin kaya dan semakin
berkuasa. Ellen bersikap dan bertindak sangat membela dan
melindungi Miro, namun tidak banyak yang dapat
dilakukannya untuk membantu suaminya. Scott Industries adalah salah satu dari sedikit sekali perusahaan raksasa yang dimiliki secara partikelir, dan semua saham ternyata milik Byron Scott. Adik Byron, Miro, cuma seorang pegawai yang dibayar dan Byron tidak memperkenankan Miro
melupakan hal itu. Byron memperlakukan adiknya sendiri dengan buruk. Kepada Miro dibebankan segala macam
pekerjaan, namun tidak pernah dihargai atas hasil-hasil pekerjaannya itu.
"Mengapa kau diam saja dan menerima semua itu, Miro"
Kau sebenarnya tidak memerlukan Byron. Kita dapat
pindah dari tempat ini. Kau dapat membuka bisnismu
sendiri." "Aku tidak dapat meninggalkan Scott Industries. Byron memerlukan diriku."
Namun pada waktunya, Ellen memahami sebab yang
sesungguhnya dari sikap Miro itu. Miro itu lemah. Miro memerlukan seseorang yang kuat sebagai sandarannya.
Ellen menyadari bahwa Miro tidak akan pernah memiliki keberanian untuk meninggalkan perusahaan itu.
Baiklah, Ellen berpildr dengan gemas. Pada suatu ketika kelak, perusahaan ini akan menjadi milik Miro. Byron tidak akan selamanya hidup. Miro adalah pewaris satu-satunya.
Ketika Susan Scott memberitahukan bahwa dirinya
mengandung, hal itu merupakan suatu pukulan berat bagi Ellen. Bayi itulah yang akan mewarisi semuanya.
Ketika bayi Susan itu dilahirkan, Byron berkata,
"Ia seorang perempuan, tetapi akan kudidik anakku mengenai cara mengelola perusahaan kita."
Haram jadah! Pikir Ellen. Ia sakit hati demi Miro.
Yang dikatakan Miro sendiri hanyalah, "Tidakkah ia seorang bayi yang cantik sekali?"
BAB ENAM BELAS Pilot Lockheed Lodestar itu cemas.
"Yang di depan kita itu semakin padat. Aku tidak menyukai keadaan ini." Ia mengangguk kepada co-pilotnya.
"Kau ambil alih sebentar." Pilot itu meninggalkan cockpit dan masuk ke ruangan kabin.
Ada lima orang penumpang di dalam pesawat itu, kecuali pilot dan co-pilot. Byron Scott, pendiri dan eksekutif utama yang lihai dan dinamikal dari Scott Industries; istrinya yang menarik, Susan; anak perempuan mereka yang baru
berusia setahun, Patricia; Miro Scott dan istrinya, Ellen.
Mereka sedang terbang menumpang salah sebuah pesawat
perusahaan dari Paris ke Madrid.
Dengan berakhirnya perang dunia kedua, Scott
Industries dengan cepat membengkak dalam pasaran
Eropa. Di Madrid, Byron Scott akan meneliti kemungkinan membuka sebuah pabrik baja baru.
Pilot pesawat itu mendatangi Byron, "Maafkan aku, tuan.
Di depan kita ada awan badai. Tampak agak buruk. Apakah tuan lebih suka kita tidak melanjutkan penerbangan ini dan balik saja?"
Byron memandang ke luar jendela pesawat. Pesawat itu
memang sedang terbang menembus gumpalan-gumpalan
awan dan di kejauhan kilatan-kilatan petir juga tampak.
"Aku ada rapat penting di Madrid. Apa kau tidak dapat terbang menghindari yang di depan kita itu?"
"Akan kami coba. Kalau tidak berhasil, kami harus putar haluan dan terbang kembali, tuan."
Byron mengangguk. "Baiklah."
"Harap Anda sekalian mengenakan sabuk pengaman
masing-masing." Pilot itu bergegas kembali ke cockpit.
Susan mendengar percakapan antara suaminya dan pilot
itu. Aku harus memberitahu Byron agar menyuruh pilot
terbang balik saja, pikir Susan.
"Byron. ." Dengan tiba-tiba mereka berada di pusat badai itu, dan pesawat itu mulai seperti dibanting-banting. Semakin lama semakin hebat. Hujan mulai pula memukul jendela-jendela
pesawat. Badai itu telah menutup semua pemandangan.
Para penumpang merasa seperti sedang berada di sebuah lautan yang bergulung-gulung.
Byron menekan tombol interkom. "Kita berada di mana, Blake?"
"Kira-kira lima puluh mil barat laut Madrid di atas kota Avila." '
Byron memandang ke luar jendela, "Kita lupakan saja Madrid untuk malam ini. Putarlah haluan dan cepat
bawalah kita ke luar dari sini."
"Baik, tuan." Keputusan itu hanya sepecahan detik terlambat. Pada
saat pilot mulai bertindak mengatur haluan, suatu puncak gunung muncul secara tiba-tiba di hadapan mereka. Tidak ada waktu lagi untuk menghindarkan pesawat itu dari
menubruk puncak gunung itu. Langit seakan-akan meledak ketika pesawat itu menghujam sisi gunung itu, pecah
berantakan, menebarkan potongan-potongan logam, pecahan badan dan sayap pesawat itu di atas dataran
tinggi. Setelah suara dahsyat itu, suatu keheningan aneh
berlangsung serasa mengabadi. Keheningan itu cuma
dipecahkan oleh bunyi nyala api yang mulai merambat
pada perut pesawat itu. "Ellen. ." Ellen Scott membuka mata. Ia terbaring di bawah sebuah pohon. Suaminya membungkuk di atasnya, pelan-pelan
menepuk-nepuk pipinya. Ketikp melihat Ellen membuka
mat. Miro berkata "Puji Tuhan." Ellen duduk, pusing, kepalanya berdenyut-denyut nyeri, seluruh tubuhnya terasa sakit. Ia melihat ke arah potongan-potongan pesawat yang bertebaran itu dan bergidik.
"Yang lain-lainnya?" Ia bertanya dengan suara serak.
"Mereka semuanya mati."
Ellen memandang ngeri pada suaminya, "Oh, Tuhan!
Tidak!" Miro Scott mengangguk, wajahnya penuh kesedihan.
"Byron, Susan, bayi Patricia, kedua pilot. Semuanya. "
Ellen Scott memejamkan mata dan berdoa dalam hati.
Mengapa Miro dan diriku yang diselamatkan" Kita harus turun dari dataran tinggi ini dan mencari pertolongan.
Tetapi itu pun sudah terlambat. Mereka semuanya sudah mati. Sungguh sulit dipercaya. Beberapa saat sebelumnya, mereka semua begitu segar bugar, hidup.
"Kau dapat berdiri?"
"Ku" kurasa dapat."
Miro membantu istrlnya berdiri. Miro berpaling melihat ke arah pesawat itu. Nyala api itu mulai meninggi. "Marl kita cepat per dari sini." Miro berkata. "Badan pesawat itu sebentar lagi akan meledak. "
Mereka bergerak menjauh dari situ. Dan benar, sesaat
kemudian terdengarlah suatu ledakan ketika api telah
merembet ke tangki bahan bakarnya.
"Sungguh suatu mukjijat bahwa kita berdua masih
hidup." Miro berkata.
Ellen memandang pada pesawat yang tenggelam dalam
nyala api itu. Ada sesuatu yang mengusik tepi-tepian
pikirannya. Sesuatu mengenai Scott Industries. Dan tiba-tiba ia melihatnya dengan mata batinnya.
"Miro?" "Ya?" Miro cuma setengah mendengarkan.
"Ini memang sudah nasib."
Nada suara Ellen itu membuat Miro memandang pada
istrinya, "Apa?"
"Scott Industries. . sekarang menjadi milikmu."
"Aku tidak. ." "Miro, Tuhan menyerahkannya kepadamu. Selama
hidupmu hingga kini, kau telah hidup di bawah bayangbayangan kakakmu. Kau telah bekerja dua puluh tahun
lamanya untuk Byron, membangun perusahaan itu,
membesarkannya. Keberhasilan perusahaan itu adalah juga hasil kerja kerasmu tetapi ia, kakakmu, pernahkah ia
melihatnya secara begitu" Selalu saja adalah perusahaannya, keberhasilannya, labanya. Nah, kini. . kini kau mendapatkan kesempatan untuk menyatakan dirimu
sendiri membuktikan dirimu sendiri."
Miro menatap pada istrinya, bingung, ngeri.
"Ellen" tubuh-tubuh mereka saja masih belum. .
bagaimana kau dapat berpikir seperti itu. ."
"Aku tahu. Tetapi bukan kita yang membunuh mereka.
Kini adalah giIiran kita, Miro. Akhirnya kita mendapatkan kesempatan untuk menjadi sesuatu. Tidak ada yang hidup yang dapat mengklaim perusahaan itu kecuali kita. Milik kita. Milikmu!"
Dan pada saat itulah mereka mendengar tangis bayi itu.
Ellen dan Miro saling pandang dengan wajah tidak
mempercayai pendengaran mereka sendiri.
"Itu Patricia! Ia masih hidup! Oh, Tuhan!"
Mereka mendapatkan anak bayi itu di dekat rumpunan
semak-semak. Entah bagaimana, tetapi suatu keajaiban
telah terjadi, bayi itu tidak cidera seujung rambut pun.
Miro memungutnya dan mendekapnya.
"Shhhh! Sudah. . sudahlah. Segala sesuatunya sudah beres, manisku." Miro berbisik. "Segala sesuatunya akan beres."
Ellen berdiri di samping suaminya, wajahnya menunjukkan kegoncangan pikiran dan hatinya.
"Kata. . katamu, ia juga mati. "
"Puji Tuhan, nyatanya ia selamat."
Ellen memandang lama sekali pada anak itu.
"Semestinya ia mati bersama yang lain-lainnya." Ellen kemudian berkata dengan nada aneh.
Miro memandang terkejut pada istrinya. "Apa yang kau katakan itu, Ellen?"
"Surat wasiat Byron mewariskan segala-galanya pada Patricia. Kau kini boleh mengharapkan dua puluh tahun berikutnya sebagai walinya dan jika ia sudah dewasa, ia akan dapat memperlakukan dirimu sebagaimana ayahnya
selama ini memperlakukan dirimu. Itulah yang kau
inginkan" Yang kaukehendaki?"
Miro terdiam. "Kita tidak akan mendapatkan kesempatan seerti ini lagi." Ellen masih memandang pada bayi itu, dan dari
matanya tampak sorotan liar itu. Sorot mata yang belum pernah dilihat oleh Miro. Sorot mata itu seakan-akan. .
nyaris sepertinya Ellen mau. . Ah, Ellen lagi tidak menyadari diri. Ia baru saja mengalami goncangan hebat. Mungkin menderita gegar otak. "Ya, Tuhan, Ellen. . apakah yang sedang kaupikirkan?"
Kini Ellen memandang pada suaminya, dan pelan-pelan
sorotan liar itu lenyap dari matanya. "Entahlah." Ia berkata tenang. Dan sejenak kemudian ia berkata, "Ada sesuatu yang dapat kita lakukan. Kita dapat meninggalkannya di sesuatu tempat, Miro. Pilot tadi mengatakan kita berada di dekat Avila. Pastilah banyak wisatawan di sana. Tidak ada alasan orang menghubung-hubungkan bayi ini dengan
kecelakaan pesawat terbang."
Miro menggelengkan kepala. "Para teman mengetahui bahwa Byron dan Susan telah membawa bayi mereka
dalam penerbangan ini."
Ellen memandang ke arah puing-puing pesawat terbang
itu. "Itu tidak menjadi soal. Mreka semua terbakar habis dalam kecelakaan itu. Kita akan meyelenggarakan


Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebaktian khusus di tempat ini."
"Ellen." Miro memrotes. Kita tidak dapat berbuat beaitu.
Kita tidak akan dapat menyembunyikan kenyataannya
untuk selama-lamanya. ."
"Tuhan yang melakukan ini untuk klta. Kita telah keluar dari musibah ini karena tangan Tuhan pula."
Miro memandang pada bayi dalam dekapannya. "Tetapi ia masih begini. ."
"Ia tidak akan apa-apa." Ellen berkata menghibur "Kita akan meninggalkannya di suatu rumah pertanian yang baik, di pinggiran kota itu. Seseorang pasti akan memungutnya
menjadi anaknya dan ia akan menjadi besar dan dewasa
dengan hidup yang baik di daerah sini."
Miro menggelengkan kepala. "Aku tidak dapat melakukannya. Tidak."
"Jika kau mencintai aku, maka akan kaulakukan ini untuk kita berdua. Kau harus memilih, Miro. Kau tetap mendapatkan diriku, atau kau boleh menghabiskan
hidupmu dengan bekerja untuk anak kakakmu. "
"Oh, Ellen, Jangan. . Aku?"
"Kau mencintai aku?"
"Lebih dari nyawaku sendiri." Miro berkata polos.
"Kalau betul begitu, buktikanlah."
Dalam kegelapan malam, mereka menuruni gunung itu.
Ternyata kecelakaan pesawat terbang itu tidak tampak
ataupun terdengar di kota Avila. Tiga jam kemudian, di pinggiran kota Avila, Ellen dan Miro tiba di sebuah rumah pertanian. Kecil. Masih belum fajar.
"Kita akan meninggalkannya di sini." Ellen berbisik.
Miro melakukan usaha terakhir. "Ellen, tidak dapatkah kita. .?"
"Lakukanlah!" Ellen berkata tegar.
Tanpa berkata-kata lagi, Miro berbalik dan menggendong bayi itu ke pintu rumah pertanian itu.
Miro menoleh kepada Ellen, kemudian memandang lama
sekali pada Patricia, bayi dalam gedongannya itu. Mata Miro basah dengan air mata. Kemudian dengan pelan-pelan
diletakkannya bayi itu di ambang pintu rumah pertanian itu.
Miro berbisik, "Tuhan melindungimu, manisku."
Tangis bayi itu membangunkan Asuncion Moras. Sejenak
lamanya Asuncion menyangka itu bunyi anak domba.
Sambil menggerutu ia kemudian turun dari tempat
tidurnya, dan berjalan ke pintu. Melihat bayi itu tergeletak di atas tanah, di ambang pintu itu, Asuncion menjerit,
"Madre de Dios" dan memanggil-manggil suaminya.
Mereka membawa masuk bayi itu. Tidak mau berhenti
menangis dan agaknya mulai menjadi kebiru-biruan.
"Kita harus segera membawanya ke rumah sakit. "
Di rumah sakit, seorang dokter membawa bayi itu untuk diperiksa, dan ketika muncul kembali, dokter itu berkata,
"Bayi itu kena pneumonia."
"Akan hidupkah ia?"
Dokter itu mengangkat bahu.
Miro dan Ellen Scott masuk ke markas kepolisian di
Avila. "Buenos dias. Dapatkah aku membantu Anda?" Sersan polisi itu bertanya.
"Telah terjadi suatu kecelakaan." Miro berkata. "Pesawat kami jatuh di daerah pegunungan dan?"
Sejam kemudian suatu regu penyelamat menuju ke
tempat musibah itu. Ketika tiba di sana, tidak ada yang
mereka temukan kecuali sisa-sisa pesawat dan penumpangnya yang terbakar habis itu.
Pemeriksaan kecelakaan pesawat terbang itu dilakukan
oleh pihak berwajib Spanyol.
"Pilot pesawat semestinya tidak mencoba terbang dalam badai buruk itu. Kecelakaan itu disebabkan oleh kesalahan perhitungan pilotnya."
Tidak ada alasan bagi siapa pun di Avila untuk
menghubungkan kecelakaan pesawat terbang itu dengan
seorang anak bayi yang telah ditinggalkan dan ditemukan di ambang pintu sebuah rumah pertanian.
Urusan sudah ditutup, berlalu.
Urusan baru saja dimulai.
Miro dan Ellen menyelenggarakan suatu kebaktian
peringatan untuk Byron, istrinya, Susan dan anak
perempuan mereka yang masih bayi, Patricia. Ketika Miro dan Ellen kembali ke New York, mereka menyelenggarakan kebaktian peringatan juga di sana, yang dihadiri oleh teman-teman dan kenalan-kenalan keluarga Scott.
"Sungguh suatu tragedi yang mengerikan. Dan Patricia kecil yang malang itu!"
"Ya." Ellen berkata sedih. "Satu-satunya hiburan adalah, bahwa semua itu telah terjadi demikian cepatnya, tidak ada seorang yang merasakan penderitaan. "
-odwo- Masyarakat keuangan terguncang oleh peristiwa itu.
Hampir semua orang berpendapat bahwa dengan kematian
Byron Scott, Scott Industries telah mengalami suatu
kehilangan yang tidak dapat tergantikan.
"Jangan mendengarkan apa pun yang mereka katakan."
Ellen Scott berkata pada suaminya. "Kau jauh lebih baik daripada Byron. Perusahaan ini akan menjadi lebih besar lagi daripada selama ini."
Miro memeluk istrinya. "Aku sungguh tidak tahu apa yang harus kulakukan tanpa dirimu mendampingi diriku."
Ellen tersenyum. "Semua kini menjadi kenyataan. Mulai sekarang kita akan memiliki segala-galanya yang selama ini cuma menjadi impian kita."
Ellen mendekap suaminya dan berpikir: Siapakah yang
pernah membayangkan bahwa Ellen Dudash dari suatu
keluarga Polandia yang miskin di Gary, Indiana, pada suatu saat akan mengatakan, "Mulai sekarang kita akan memiliki segala-galanya yang selama ini cuma menjadi impian kita."
Dan menjadikan itu benar-benar suatu kenyataan.
Selama sepuluh hari bayi itu berada di rumah sakit,
berjuang untuk hidupnya, dan ketika krisis telah berlalu, Romo Berrendo menemui petani Moras dan istrinya.
"Aku ada berita gembira untuk kalian." Romo Berrendo berkata. "Bayi itu akan pulih dan sehat."
Keluarga Moras itu cuma dapat saling pandang dalam
kerikuhan. "Aku senang mendengar itu." Moras berkata.
Romo Berrendo berkata, "Ia bagaikan suatu karunia dari Tuhan."
"Benar sekali, Romo. Tetapi istriku dan aku telah membicarakan hal itu dan menyimpulkan bahwa Tuhan
terlalu bermurah hati kepada kami. Karunianya itu
memerlukan perawatan dan pemeliharaan. Sedangkan
kami sendiri, tidak akan mampu melakukan itu."
"Tetapi. . ia bayi yang begitu cantik." Romo Berrendo berkata, "Dan. ."
Maka, karena tidak ada tempat lain yang dapat
menampung anak itu, bayi itu dibawa dan diserahkan pada rumah yatim piatu di Avila.
Miro dan Ellen berada di dalam kantor pengacara Byron Scott untuk mendengarkan pembukaan surat wasiat itu.
'Dalam hal istriku dan aku, kedua-dua kami, meninggal, maka seluruh sahamku dalam Scott Industries kuwariskan kepada anak kami satu-satunya, Patricia, dan aku menunjuk adikku, Miro, menjadi pelaksana atas penyelenggaraan
perusahaanku hingga saat anakku mencapai usia dewasa
secara hukum dan mampu mengambil alih..."
Ya, semua itu kini telah diubah, Ellen berpikir.
Pengacara itu, Lawrence Gray berkata dengan khidmat,
"Semua ini sangat mengguncangkan kita semua. Aku mengetahui betapa kau mencintai kakakmu, Miro. dan
mengenai bayi itu. ." Gray menggelengkan kepalanya.
"Tetapi, yah. . kehidupan berputar terus. Mungkin kau tidak mengetahui bahwa kakakmu telah mengubah surat
wasiatnya. Tetapi aku tidak akan membingungkanmu
dengan rincian hukum itu. Akan kubacakan saja inti
sarinya." Pengacara itu membuka-buka halaman surat wasiat itu.
"Dengan ini kuubah surat wasiat ini, sehingga anak perempuanku, Patricia, akan menerima jumlah uang sebanyak lima juta dollar ditambah suatu pembagian sebesar satu juta dollar tiap tahun untuk selama hidupnya. Semua saham Scott Industries yang atas namaku, dialihkan kepada saudaraku, Miro, sebagai tanda penghargaan atas jasanya yang penuh kesetiaan pada perusahaan selama ini."
Miro merasa seakan-akan ruangan dan dinding-ruangan
itu bergoyang dan bergelombang.
Miro merasa dirinya sulit bernafas. Ya, Tuhan, apakah yang telah kami lakukan"
Kami telah merampas hak-haknya padahal itu sama
sekali tidak usah dilakukan. Kini kami dapat mengernbalikannya kepadanya.
Miro berpaling pada istrinya, tetapi sorot mata Ellen menghentikannya.
"Pasti ada sesuatu yang dapat kita lakukan, Ellen. Kita tidak dapat membiarkan saja Patricia di sana. Kini, itu tidak dapat kita lakukan."
Mereka berada di dalam apartemen mereka di Fifth
Avenue, bersiap-siap ke suatu makan malam untuk amal.
"Justru itulah yang akan kita lakukan." Ellen berkata,
"Kecuali jika kau mau membawanya kembali ke sini
danmencoba menjelaskan mengapa telah kita katakan
bahwa ia mati terbakar dalam kecelakaan pesawat itu."
Miro tidak menemukan jawaban atas itu. Setelah
berpikir sejenak, ia berkata. "Baiklah, kalau begitu. Kita akan mengirim uangnya kepadanya, setiap bulannya?"
"Jangan tolol, Mulo." Nada suara Ellen itu pendek.
"Mengirimkan uang kepadanya" Dan membuat pihak Polisi menjadi bertanya-tanya mengapa ada orang yang mengirim uang padanya, dan kemudia melacak hal itu hingga sampai pada kita" Tidak. Jika hati nuranimu merasa resah, akan kita atur akan agar perusahaan mengamalkan uang.
Lupakan saja hal anak itu, Muli. Ia sudah mati. Fahamkah kau?"
Faham. . faham" Ingat. . ingat.
Kata-kata itu mengiang-ngiang di dalam benak Ellen
Scott selagi ia memandang pada wajah-wajah di ruang
ballroom Waldorf-Astoria itu, sambil mengakhiri kata
sambutannya. Para hadirin itu bertepuk tangan panjang.
Kalian berdiri dan bertepuk tangan bagi seorang wanita, yang sudah mati, Ellen Scott berkata di dalam hati.
Malam itu, bayangan-bayangan
datang lagi. Ia menyangka telah lama sudah diusirnya bayanganbayanganitu. Pada awalnya, setelah kebaktian peringatan bagi kakak-kakak iparnya dan Patricia itu, bayangan-bayangan itu setiap malam datang berkunjung padanya. Kabut-kabut
pucat seperti melayang-layang di atas tempat tidurnya, dan
suara-suara. Berbisik-bisik di telinganya. Menakutkan.
Tetapi semua itu tidak diceritakannya kepada Miro.
Maka dideritanya bayangan-bayangan itu sendiri hingga akhirnya mereka itu pergi sendirinya dan membiarkan
dirinya, dalam kedamaian.
Kini, pada malam pesta perayaan ulang tahunnya ini,
bayangan-bayangan itu kembali lagi. Ruangan itu kosong, sepi, tetapi ia mengetahui bahwa bayangan-bayangan itu telah datang. Apakah yang coba dikatakan bayangan-bayangan itu kepadanya. "Tidak tahukah bayanganbayangan itu, bahwa ia, Ellen Scott, sebentar lagi akan bergabung bersama mereka"
Ellen bangkit dan masuk ke ruangan duduk rumah kota
yang telah dibelinya setelah meninggalnya Miro. Ah, Miro yang malang.
Miro tidak mendapatkan waktu cukup banyak untuk
menikmati hasil-hasil setelah kematian kakaknya, Byron.
Miro telah meninggal karena suatu serangan jantung,
setahun setelah kecelakaan pesawat terbang itu. Dan Ellen yang mengambil alih perusahaan raksasa itu, mengelolanya dengan suatu efisiensi dan keahlian yang meluncurkan
Scott Industries menjadi suatu perusahaan Scott yang
besar. Perusahaan ini milik keluarga Scott, Ellen berkata
sendiri, Aku tidak rela menyerahkan ini kepada orangorang asing yang tidak berwajah dan tidak bernama, yang asing dari keluarga Scott.
Dan itu, pikiran-pikiran itulah, yang membawa pikiran Ellen Scott pada anak perempuan Byron dan Susan.
Pewaris sah dari mahkota yang telah dirampas darinya itu.
Adakah juga ketakutan dalam pikiran Ellen itu" Adakah itu
semacam penebusan atas dosanya, sebelum ia menghadapi kematian"
Dua puluh delapan tahun! Aku harus menemukannya, Ellen bertekad. Dan
secepatnya. Jika Patricia masih hidup, haruslah aku
menemuinya, berbicara dengannya. Harus kuluruskan
segala sesuatu Yang telah dibengkokkan itu. Uang dapat mengubah
kebohongan menjadi kebenaran. Akan kudapatkan suatu jalan untuk menyelesaikan situasi ini, tanpa
memberitahukan kepadanya mengenai yang sesungguhnya telah terjadi.
Keesokan harinya, Ellen memanggil Alan Tucker, kepada keamanan Scott Industries. Tucker seorang bekas detektif, berusia empat puluhan. Seorang pekerja keras dan pintar.
"Aku menghendaki kau melakukan suatu tugas
untukku." "Baik, nyonya Scott."
Sejenak lamanya Ellen memandang pada pria itu. Aku
tidak dapat menjelaskan apa pun kepadanya. Selama aku masih hidup, aku tidak dapat membiarkan diriku atau
perusahaan ini tersangkut dalam bahaya. Biar orang ini lebih dulu menemukan Patricia, dan setelah itu barulah aku memutuskan cara menangani urusan ini.
Ellen mencondongkan badan ke depan. "Dua puluh
tahun, seorang anak yatim piatu telah ditinggalkan di ambang pintu sebuah rumah pertanian di pinggiran kota Avila, Spanyol. Aku menginginkan agar kau mencari di
mana anak perempuan itu kini berada dan agar kau
membawanya kepadaku secepat mungkin."
Wajah Alan Tucker tidak berubah sedikitpun.
Nyonya Scott memang tidak suka para pegawainya
memperlihatkan dirinya dikuasai oleh emosi.
"Baik, nyonya. Esok aku akan berangkat."
-odwo- BAB TUJUH BELAS KOLONEL RAMON ACOCA sedang dalam suasana hati
berjaya. Segala sesuatu kini mulai terungkap.
Seorang prajurit masuk ke dalam kantor kolonel itu,
"Kolonel Sostelo telah tiba."
"Persilakan masuk."
Aku tidak akan memerlukannya lagi, Acoca berpikir,
"Biar ia kembali pada serdadu mainannya."
Kolonel Fal Sostelo masuk. "Kolonel."
Sungguh ganjil, Sostelo berpikir, "Kita sama-sama
berpangkat kolonel, tetapi yang seorang ini memiliki
kekuasaan untuk mematahkan diriku. Karena ia ada
sangkut paut dengan opus Mundo.
"Anda telah memanggil diriku?"
"Ya." Acoca menunjuk ke sebuah kursi. "Silakan duduk.
Ada kabar untuk Anda. Para biarawati itu ada bersama
Jaime Miro." "Apa?" "Ya. Mereka melakukan perjalanan bersama Miro dan orang-orangnya. Miro telah memecah rombongannya
menjadi tiga kelompok."
"Ba. . bagaimana Anda dapat mengetahui hal itu?"
Ramon Acoca bersandar ke belakang di kursinya. "Anda bermain catur?"
"Tidak. " "Sayang. Itu suatu permainan yang sangat bermanfaat.
Agar menjadi seorang pemain yang baik, haruslah
seseorang dapat menyusup ke dalam pikiran lawannya.
Jaime Miro dan aku bermain catur satu sama lainnya."
"Aku. . aku tidak mengerti bagaimana. ."
"Yang kulukiskan itu bukanlah dalam arti harfiah, kolonel. Kami tidak menggunakan papan catur. Kami
menggunakan otak kami. Barangkali aku lebih memahami
Jaime Miro lebih daripada siapa pun juga. Aku mengetahui bagaimana pikirannya bekerja. Aku mengetahui bahwa ia akan mencoba meledakkan bendungan di Puenta la Reina.
Kami telah menangkap tiga orang pembantunya di sana,
dan hanya karena kemujuran saja Miro dapat meloloskan diri.
Aku mengetahui bahwa ia akan mencoba membebaskan anak buahnya itu, dan Miro mengetahui
bahwa aku mengetahui hal itu." Acoca mengangkat
bahunya. "Aku memang tidak menyangka bahwa ia akan menggunakan banteng-banteng itu mendukung pelolosan
anak buahnya itu." Ada nada kekaguman dalam suara Acoca itu.
"Kedengarannya seperti And?"
"Mengaguminya" Aku mengagumi pikitannya. Aku
membenci orangnya." "Apakah Anda mengetahui ke mana Miro menuju.
"Ia menuju ke arah utara. Akan kususul orang itu dalam waktu tiga hari ini."
Kolonel Sostelo terbengong-bengong.
"Akhirnya ia akan mati-langkah."
Memang benar bahwa kolonel Acoca mengerti diri Jaime


Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Miro dan cara pikiran pemberontak itu bekerja. Tetapi itu tidaklah cukup. Kolonel itu menginginkan suatu kartu yang kuat untuk menjamin kemenangan bagi dirinya, dan kini telah didapatkannya kartu itu.
"Bagaimana . . ?"
"Seorang dari gerombolan teroris Miro itu." Kolonel Acoca berkata, "Adalah seorang informan."
Rubio, Tomas, suster Teresa dan Lucia menghindari
kota-kota besar. Mereka mengambil jalan-jalan dusun.
Lucia selalu dekat dengan suster Teresa, menantikan
kesempatan pertama untuk mengambil salib emas itu.
Kedua pria itu selalu bersama mereka. Rubio Arzano yang lebih
bijak daripada Tomas. Jangkung, berwajah menyenangkan, riang. Seorang petani yang berpikiran dan berkelakuan sederhana, demikian Lucia menyimpulkan.
Tomas Sanjuro botak. Lebih mirip seorang jurutulis
daripada seorang teroris. Maka. . akan mudahlah mengibuli kedua orang pria itu.
Mereka berjalan menyeberangi dataran-dataran di
sebelah utara Avila di malam hari. Mereka melewati
daerah-daerah gandum, pohon-pohon olive, kebun-kebun
anggur dan jagung. Ladang-ladang kentang dan sayursayuran, buah-buahan segar, telur dan ayam. .
"Seluruh pedesaan Spanyol merupakan sebuah pasar raksasa." Rubio Arzano berkata.
Tomas tertawa menyeringai, "Dan semuanya itu tersedia tanpa harus membayar."
Suster Teresa sama sekali tidak mengacuhkan sekelilingnya. Pikirannya satu-satunya adalah sampai di biara di Mendavia itu. Salib itu kian lama terasa kian berat, namun ia berketetapan hati tidak akan melepaskannya dari tangannya. Tidak lama lagi, pikir suster Teresa. Kita akan segera sampai di sana. Kita melarikan diri dari Gethsamane dan musuh-musuh kita untuk mencari tempat tinggal kita yang baru. Sebagaimana yang disediakan oleh-Nya untuk kita.
Lucia berkata, "Apa?"
Suster Teresa tidak menyadari bahwi, ia telah berbicara sendirl.
"Aku" ah, tidak apa-apa," gumamnya. Lucia memperhatikan wanita yang sudah tua itu, yang tampak
seperti tidak sadar akan segala yang telah terijdi di sekeliling dirinya, Lucia memberi isyarat dengan kepala ke arah salib terbungkus kanvas yang dibawa suster Teresa itu. "Itu tentunya berat sekali." Lucia berkata. "Bagaimana kalau aku membantu membawanya
untukmu?" Suster Teresa menjawab, "Jesus telah menanggung
beban yang jauh lebih berat. Aku dapat menanggung beban ini untuk-Nya."
Terdengar nada ganjil dalam suara suster Teresa itu.
"Kau tidak apa-apa, suster?"
"Tentu saia aku tidak apa-apa."
Suster Teresa jauh daripada tidak apa-apa. Ia telah
berhari-hari lamanya tanpa bisa tidur. Ia merasa kepalanya pusing dan badannya demam. Pikirannya mengacau lagi.
Aku tidak boleh jatuh sakit, katanya di dalam hati. Suster Betina akan memarahi aku. Tetapi suster Betina tidak
bersama mereka. Semua ini sungguh membingungkan. Dan
siapakah gerangan orang-orang pria itu" Aku tidak dapat mempercayai mereka. Apakah gerangan yang mereka
kehendaki dari diriku"
Rubio Arzano telah mencoba bercakap-cakap dengan
suster Teresa, berusaha membuat wanita tua itu setenang mungkin.
"Tentunya ganjil sekali bagimu suster, berada di dunia luar ini kembali. Telah berapa lama Anda tinggal di biara itu?"
Mengapa ia ingin mengetahui hal itu" "Tiga puluh
tahun." "Wah, itu lama sekali. Dari manakah Anda berasal?"
Mengucapkan satu kata itu saja sudah berat bagi suster Teresa, "Eze."
Wajah Rubio menjadi cerah. "Eze" Aku pernah
melewatkan semusim panas di sana, berlibur. Sungguh
sebuah kota yang indah. Aku masih ingat. ."
Aku mengenalnya lebih baik. Sebaik apa" Apakah pria ini mengenal Raoul" Apakah Raoul yang mengirimnya ke sini"
Dan kebenaran itu sampai pada kesadarannya bagaikan
suatu terjangan halilintar. Orang-orang asing itu telah dikirim untuk membawa dirinya kembali ke Eze. Ke Raoul Giradot. Mereka ini sedang menculik dirinya. Ah, Tuhan
sedang menghukum dirinya karena telah meninggalkan
bayi Monique. Kini ia yakin bahwa bayi yang telah
dilihatnya di lapangan desa Villacastin itu adalah bayi Monique.
"Tetapi. . itu suatu hal yang mustahil! Peristiwa itu adalah tiga puluh tahun berselang!" Suster Teresa menggumam pada diri sendiri. "Mereka membohongi
dirinya." Rubio Arzano memandang pada suster Teresa,
mendengarkan gumaman itu.
"Kenapa kau, suster?"
Suster Teresa mengkeret mundur dari pria itu. "Tidak. "
Ah. . ia tidak akan membiarkan orang-orang itu
membawa dirinya kembali pada Raoul dan bayi itu. Ia
harus segera mencapai biara di Mendavia dan menyerahkan salib emas itu, dan dengan begitu Tuhan
akan mengampuni dirinya atas dosa berat yang telah
dilakukannya. Aku harus pandai. Aku tidak boleh
mengungkapkan kepada mereka bahwa aku mengetahui
rahasia mereka. Suster Teresa mengangkat mukanya, memandang pada
Rubio. "Oh, aku tidak apa-apa." Ia berkata.
Tahta Janda Berdarah 1 Pendekar Naga Putih 30 Dendam Pendekar Cacat Rahasia Peti Wasiat 6

Cari Blog Ini