Ceritasilat Novel Online

Rencana Paling Sempurna 3

Rencana Paling Sempurna The Best Laid Plans Karya Shidney Sheldon Bagian 3


akan memiliki delapan belas badan pembentuk undang-undang nasional, dan
seratus sembilan pemerintahan berbeda untuk tingkat lokal. Ini sesuatu yang
mustahil. Oleh orang Amerika, kesepakatan seperti ini disebut 'kawin paksa'.
Semua pihak tidak rela melepaskan otonominya. Mereka berkeras untuk
memiliki bendera sendiri, pelat nomor kendaraan sendiri, mata uang sendiri."
la menggeleng. "Ini perdamaian pagi hari. Berhati-hatilah kalau malam tiba."
Dana Evans bukan lagi sekadar wartawan. Ia sedang menjadi legenda
internasional. Setiap penampilannya di TV memperlihatkan seseorang yang
cerdas dan memiliki rasa peduli. Dan karena Dana peduli, para pemirsa pun
peduli dan menyelami perasaannya.
Matt Baker mulai menerima telepon dari jaringan-jaringan berita lain yang
hendak membeli hak siar untuk liputan Dana Evans. Matt ikut gembira untuk
Dana. Dia berangkat ke sana untuk berbuat baik. ia berkata dalam hati, dan
sekarang dia sendiri juga menikmati hasilnya.
Dana semakin sibuk setelah mendapatkan truk satelit sendiri. Ia tidak lagi
tergantung pada perusahaan satelit Yugoslavia. Ia dan Benn membahas
peristiwa apa saja yang akan mereka liput, kemudian Dana menyiapkan
naskah dan tampil di depan kamera. Ada liputan yang disiarkan secara
langsung, ada' pula yang direkam. Dana bersama Benn dan Andy turun ke
jalan untuk mengambil gambar latar belakang yang dibutuhkan, kemudian
Dana merekam komentarnya di ruang penyuntingan dan mengirimnya ke
Washington melalui saluran satelit.
Waktu makan siang, di ruang makan hotel, para pelayan meletakkan
nampan-nampan besar berisi roti di tengah meja. Para wartawan makan
dengan lahap. Roderick Munn, dari BBC, memasuki ruangan sambil
membawa guntingan artikel Associated Press.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Coba dengarkan ini, semuanya." Ia mulai membacakan artikel tersebut.
'"Dana Evans, koresponden luar negeri untuk WTE, kini di sindikasi oleh
selusin stasiun berita. Miss Evans masuk nominasi untuk meraih Peabody
Award yang bergengsi....'" Artikel itu masih berlanjut.
"Wah, ternyata ada orang terkenal di antara kita." salah satu wartawan
berkomentar dengan sinis.
Saat itulah Dana muncul di ruang makan. "Hai, semuanya. Aku tak sempat
ikut makan siang hari ini. Aku mau bawa roti saja." Ia meraih beberapa
potong sandwich dan membungkus semuanya dengan serbet kertas. "Sampai
nanti." Para wartawan yang lain memperhatikannya sambil membisu.
Ketika Dana keluar dari hotel, Kemal sudah menunggu. "Selamat sore,
Kemal." Tak ada jawaban. "Ayo, naik ke mobil."
Bocah itu duduk di bangku belakang. Dana memberinya sepotong roti, dan
Kemal melahapnya bagaikan serigala kelaparan. Dana memberinya sepotong
lagi, dan anak itu langsung hendak menggigitnya.
"Pelan-pelan saja," ujar Dana.
"Ke mana?" tanya Jovan.
Dana berpaling kepada Kemal. "Ke mana?" Bocah itu menatapnya dengan
bingung. "Kami akan mengantarmu pulang, Kemal. Di mana tempat
tinggalmu?" Kemal menggeleng. "Aku perlu tahu. Di mana tempat tinggalmu?"
Dua puluh menit kemudian, mobil mereka berhenti di depan tanah kosong
di dekat tepi Sungai Miljacka. Lusinan kardus besar berserakan, dan segala
macam barang rongsokan tergeletak di mana-mana.
Dana turun dari mobil dan berpaling kepada Kemal. "Kau tinggal di sini?"
Bocah itu mengangguk pelan-pelan.
"Dan selain kau masih ada anak-anak lain?"
Ia kembali mengangguk. "Aku ingin membuat cerita tentang ini, Kemal."
Kemal menggeleng. "Jangan."
"Kenapa?" "Nanti polisi datang dan kami ditangkap. Jangan."
Dana menatapnya sejenak. "Baiklah. Aku janji."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Keesokan paginya, Dana pindah dari kamarnya di Holiday Inn. Ketika ia
tidak muncul untuk sarapan, Gabriel a Orsi dari. Altre Station di Itali bertanya,
"Mana Dana?" Roderick Munn menyahut, "Dia pindah. Ke rumah petani yang disewanya.
Dia bilang ingin tinggal sendiri."
Nikolai Petrovich, wartawan Rusia dari Gorizont 22, berkata, "Kita semua
juga ingin tinggal sendiri. Rupanya dia merasa sudah tak pantas bergaul
dengan kita." Rekan-rekannya melontarkan komentar serupa.
*** Keesokan sorenya kembali ada paket besar untuk Dana.
Nikolai Petrovich berkata, "Berhubung dia sudah pindah, kenapa tidak kita
buka saja?" Petugas hotel mencegahnya. "Maaf, Miss Evans mengirim orang untuk
mengambilnya." Kemal tiba beberapa menit kemudian. Para wartawan memperhatikannya
pergi sambil membawa paket itu.
"Dia bahkan sudah tak mau berbagi dengan kita," Juan Santos
menggerutu. "Sepertinya dia mulai besar kepala."
Selama minggu berikutnya, Dana terus mengirim hasil liputan, tapi tidak
pernah muncul di hotel lagi. Para wartawan lainnya semakin gusar.
Dana dan egonya menjadi topik yang mendominasi pembicaraan. Beberapa
hari setelah itu. ketika kembali ada paket besar yang diantarkan ke hotel,
Nikolai Petrovich menghampiri petugas hotel. "Miss Evans menyuruh orang
untuk mengambil paket ini?"
"Ya, Sir." Wartawan Rusia itu segera kembali ke ruang makan. "Ada kiriman paket
lagi," katanya. "Orang hotel bilang ada yang akan mengambilnya. Bagaimana
kalau kita mengikuti orang itu dan memberi-lahu Miss Evans bagaimana
pendapat kita tentang orang yang terlalu congkak untuk bergaul dengan
sesama wartawan?" Usulnya diterima dengan suara bulat.
Ketika Kemal datang untuk mengambil paket itu, Nikolai langsung bertanya
padanya, "Kau disuruh Miss "Evans?"
Kemal mengangguk. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami akan mengantarmu naik mobil," ujar Nikolai Petrovich. "Nanti
kauberitahukan lewat mana jalannya."
Sepuluh menit kemudian, sebuah iring-iringan mobil menyusuri jalan-jalan
yang lengang. Setelah sampai di pinggir kota, Kemal menunjuk rumah
pertanian tua yang hancur akibat serangan bom. Semua mobil berhenti.
"Ayo, serahkan paket ini." kata Nikolai. "Kami akan mengejutkan Miss
Evans." Para wartawan memperhatikan Kemal masuk ke rumah itu. Mereka
menunggu sejenak. lalu bergerak maju dan mendobrak pintu depan. Seketika
mereka berhenti. Ruangan itu dipenuhi anak-anak dari berbagai usia.
Sebagian besar menderita cacat. Selusin tempat tidur lipat tentara dipasang
di sepanjang dinding. Dana sedang membagi-bagikan isi paketnya kepada
anak-anak itu ketika pintu membuka. Ia tampak terkejut waktu rekanrekannya menyerbu masuk. "K-kenapa kalian ada di sini?"
Roderick Munn memandang berkeliling. Ia tampak salah tingkah. "Aku
minta maaf, Dana. Kami-kami keliru. Kami pikir..."
Dana bangkit. "Hmm, begitu. Mereka anak-anak yatim-piatu. Mereka tak
punya rumah, dan tak ada yang mengurus mereka. Sebagian besar dari
mereka sedang dirawat di rumah sakit ketika rumah sakit itu terkena bom.
Kalau ditemukan polisi, mereka akan dimasukkan ke rumah yatim-piatu, dan
akan mati di situ. Kalau mereka tetap di sini, mereka juga akan mati. Aku
sudah berusaha mencari jalan untuk membawa mereka ke luar negeri, tapi
sejauh ini belum ada yang berhasil." Ia menatap rekan-rekannya dengan
pandangan memohon. "Kalian punya ide?"
Roderick menjawab pelan-pelan, "Mungkin bisa. Nanti malam ada pesawat
Palang Merah yang berangkat ke Paris. Pilotnya temanku."
Dana bertanya penuh harap, "Maukah kau bicara dengannya?"
Munn mengangguk. "Ya."
Nikolai Petrovich angkat bicara. "Tunggu! Kita tak boleh terlibat dalam
urusan seperti ini. Kita bisa diusir."
"Kau tak perlu ikut," balas Munn. "Biar kami saja yang menanganinya."
"Aku tetap tak setuju," Nikolai berkeras. "Kita semua akan terancam
bahaya." "Bagaimana dengan anak-anak ini?" tanya Dana. "Nyawa mereka di tangan
kita." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sore itu Roderick Munn menemui Dana. "Aku sudah bicara dengan
temanku. Dia sendiri juga punya anak. Dia mau membantu. Anak-anak itu
akan dibawanya ke Paris. Mereka akan aman di sana."
Dana gembira sekali. "Bagus. Terima kasih banyak."
Munn menatapnya. "Seharusnya justru kami yang berterima kasih."
Pukul delapan malam, sebuah van dengan tanda Palang Merah di sisinya
berhenti di depan rumah pertanian itu. Pengemudinya mengedipkan lampu,
lalu di bawah selubung kegelapan. Dana dan semua anak bergegas ke dalam
van. Lima belas menit kemudian kendaraan tersebut sudah menuju ke Butmir
Airport. Lapangan terbang itu ditutup sementara, kecuali untuk pesawatpesawat Palang Merah yang membawa perbekalan dan mengevakuasi orangorang yang cedera berat. Perjalanan ke bandara terasa lama sekali. Ketika
lampu-lampu bandara akhirnya kelihatan di depan, Dana berkata kepada
anak-anak, "Kita sudah hampir sampai." Kemal meremas tangannya.
"Jangan takut," Dana menenangkan bocah itu. "Kalian semua akan diurus
baik-baik." Dan dalam hati ia menambahkan, Aku akan merasa kehilangan.
Tentara yang berjaga di gerbang bandara mengizinkan mereka lewat, dan
mereka langsung menuju pesawat bertanda Palang Merah yang sudah
menunggu. Pilot pesawat itu berdiri di samping pesawatnya.
Ia menghampiri Dana. "Anda terlambat. Cepat, suruh mereka naik.
Seharusnya kita berangkat dua puluh menit lalu."
Dana menggiring anak-anak itu ke dalami pesawat. Kemal yang terakhir
masuk. Ia berpaling kepada Dana, bibirnya gemetaran. 'Kita ketemu lagi?"
"Tentu saja," sahut Dana. Ia mendekap bocah itu sambil berdoa dalam
hati. "Ayo, naiklah."
Sesaat kemudian, pintu pesawat ditutup. Mesin-mesin jet mulai
bergemuruh, dan pesawat itu mulai bergerak menuju landasan pacu.
Dana dan Munn memperhatikannya mengudara dan membelok ke arah
timur, menuju Paris. "Perbuatan Anda sungguh mulia," ujar si pengemudi. "Saya ingin..."
Sebuah mobil berhenti mendadak di belakang mereka. Bannya sampai
berdecit-decit. Kolonel Glordan Divjak melompat turun dan memandang ke
arah pesawat yang mulai menghilang di kejauhan. Di sampingnya berdiri
Nikolai Petrovich, si wartawan Rusia.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kolonel Divjak berpaling kepada Dana. "Anda ditahan. Anda sudah saya
peringatkan bahwa mata-mata dihukum mati."
Dana menarik napas dalam-dalam. "Kolonel, kalau saya diajukan ke
pengadilan sebagai mata-mata..."
Divjak menatap mata Dana dan berkata pelan, Siapa yang bicara tentang
pengadilan?" 3 RANGKAIAN acara perayaan kemenangan telah usai, dan upacara
pengambilan sumpah pun sudah berlangsung. Oliver sudah tak sabar
memulai tugasnya sebagai presiden. Washington, D.C., mungkin satusatunya kota yang menjadikan politik sebagai fokus utama dan obsesi. Kota
tersebut adalah pusat kekuasaan dunia, dan Oliver Russel merupakan tokoh
utamanya. Hampir setiap orang, secara langsung atau tidak, terkait dengan
pemerintahan federal. Di kawasan metropolitan Washington terdapat 15.000
juru lobi dan lebih dari lima ribu wartawan, dan pemerintah merupakan
sumber nafkah bagi mereka semua. Oliver Russel teringat ejekan yang
pernah dilontarkan John Kennedy, "Washington, D.C., adalah kota dengan
efisiensi khas selatan dan pesona, khas utara." Dengan kata lain, efisiensi
dan daya tarik kota tersebut tidak bisa dibanggakan.
Pada hari pertama masa jabatannya sebagai presiden, Oliver berkeliling
Gedung Putih bersama Jan. Mereka cukup akrab dengan statistik bangunan
itu: 132 ruangan, 32 kamar mandi, 29 tempat perapian, 3 lift, sebuah kolam
renang, lapangan golf, lapangan tenis, lintasan joging, ruang fitness, tempat
adu lempar ladam, lintasan boling, dan ruang bioskop, serta pekarangan asri
seluas lebih dari tujuh hektare. Tapi tinggal di dalamnya, menjadi bagian dari
gedung tersebut, tetap membuat mereka berdebar-debar.
"Ini seperti mimpi, ya?" ujar Jan sambil menghela napas.
Oliver meraih tangan istrinya. "Aku bersyukur kita mengalaminya bersamasama, Sayang." Dan ia bersungguh-sungguh. Jan telah menjadi pendamping
yang luar biasa. Ia selalu hadir dengan dukungan dan perhatiannya. Oliver
semakin menikmati kebersamaan mereka.
Peter Tager sudah menunggu ketika Oliver kembali ke Ruang Oval.
Keputusan resmi pertama yang diambil Oliver adalah mengangkat Tager
sebagai kepala stafnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Oliver berkata, "Rasanya sulit dipercaya aku benar-benar ada di Gedung
Putih." Peter Tager tersenyum. "Rakyat percaya. Mereka menempatkan Anda di
sini, Mr. President."
Oliver menatapnya. "Oliver saja."
"Baiklah. Kalau kita sedang berdua saja. Tapi jangan lupa, mulai saat ini
setiap tindakanmu bisa mempengaruhi seluruh dunia. Setiap ucapanmu bisa
membuat perekonomian terguncang, atau berdampak terhadap seratus
negara lain. Kau menggenggam kekuasaan yang lebih besar dari siapa pun."
Pesawat interkom berdengung. "Mr. President, Senator Davis ingin
bertemu Anda." "Persilakan dia masuk, Heather." Tager menghela napas.
"Sebaiknya aku mulai bekerja. Mejaku mirip gunung kertas."
Pintu membuka dan Todd Davis melangkah masuk. "Peter..."
"Senator..." Keduanya bersalaman. Tager berkata, "Sampai nanti, Mr.
President." Senator Davis menghampiri meja kerja Oliver dan mengangguk.
"Meja ini cocok sekali untukmu, Oliver. Aku betul-betul gembira melihatmu
duduk di belakangnya."
"Terima kasih, Todd. Aku sendiri masih harus membiasakan diri.
Maksudku"Adams pernah duduk di sini... dan Lincoln... dan Roosevelt."
Senator Davis tertawa. "Kau tak perlu gugup. Sebelum menjadi legenda,
mereka sama saja denganmu. Mula-mula mereka semua juga gamang di
kursi itu. Aku baru ketemu Jan. Dia merasa seperti di surga. Dia bakal
menjadi ibu negara yang hebat."
"Aku tahu." "O ya, ada sesuatu yang perlu kita bicarakan, Mr. President." Penekanan
pada "Mr. President" bersifat kelakar.
"Silakan, Todd."
Senator Davis menggeser sebuah daftar ke hadapan Oliver.
"Apa ini?" "Hanya beberapa saran mengenai susunan kabinetmu."
"Oh. Hmm, aku sudah memutuskan..."
"Mungkin ada baiknya kalau kaubaca dulu."
"Tapi apa gunanya kalau..."
"Bacalah." Nada suara sang senator mendadak tegas.
Oliver memicingkan mata. "Todd..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Senator Davis mengangkat sebelah tangan. "Oliver, jangan salah paham.
Aku sama sekali tak bermaksud memaksakan kehendak atau keinginanku.
Bukan begitu. Daftar ini kususun karena aku menganggap inilah orang-orang
terbaik untuk membantumu mengabdi kepada negara. Aku patriot, Oliver,
dan aku tak malu mengakuinya. Negeri ini merupakan segala-galanya
bagiku." Ia terdiam sejenak. "Segala-galanya. Kalau kausangka aku mem

Rencana Paling Sempurna The Best Laid Plans Karya Shidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bantumu meraih jabatan presiden semata-mata karena kau menantuku,
berarti kau keliru sekali. Aku berjuang agar kau bisa duduk di sini karena aku
yakin kaulah orang yang paling tepat untuk tugas ini. Itulah yang paling
penting bagiku." Ia menunjuk-nunjuk lembaran kertas di atas meja. "Dan
orang-orang ini bisa membantumu menjalankan tugas."
Oliver duduk sambil membisu.
"Aku sudah lama di kota ini, Oliver. Dan kau tahu apa yang telah
kupelajari" Tak ada yang lebih mengenaskan daripada presiden yang harus
turun setelah menjabat satu periode. Dan kau tahu kenapa" Karena dalam
empat tahun pertama, dia baru mulai mendapat gambaran tentang apa yang
bisa dilakukannya untuk membuat negeri ini lebih baik. Begitu banyak anganangan yang hendak dicapainya. Dan pada saat dia siap bertindak" pada saat
dia siap membuat perubahan," ia memandang berkeliling ruangan, "dia
digantikan orang lain, dan semua mimpinya menguap begitu saja.
Menyedihkan, bukan" Begitu banyak orang bercita-cita setinggi langit yang
menjabat hanya satu periode. Kau tahu, setelah McKinley diangkat menjadi
presiden tahun 1897, lebih dari setengah presiden yang menyusulnya
bernasib seperti itu" Tapi kau, Oliver... akan kuatur agar kau menjadi
presiden dua periode. Aku ingin agar kau mampu mewujudkan semua
impianmu. Akan kupastikan kau akan terpilih kembali."
Senator Davis melirik jam tangannya, lalu bangkit. "Aku harus pergi
sekarang. Ada sidang di Senat. Sampai ketemu nanti malam." Ia meninggalkan ruangan. Lama setelah Senator Davis pergi, Oliver masih memandang ke arah pintu.
Kemudian ia menghela napas dan meraih daftar yang ditinggalkan sang
senator. Dalam mimpinya, Miriam Friedman siuman dan duduk tegak di tempat
tidur. Di sampingnya ada polisi. Polisi itu menatapnya dan bertanya, "Anda
bisa menyebutkan siapa pelakunya?"
"Ya." Ia terbangun, bermandikan keringat.
Keesokan paginya, Oliver menelepon rumah sakit untuk menanyakan
kondisi Miriam. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kelihatannya belum ada perubahan, Mr. President," kepala staf rumah
sakit memberitahunya. "Terus terang, kami tidak berani berharap banyak."
Oliver berkata pelan, "Dia tak punya keluarga. Kalau Anda sangsi apakah
dia bisa pulih, bukankah lebih manusiawi jika semua alat penopang hidupnya
dicabut saja?" "Rasanya lebih baik kalau kita tunggu sedikit lebih lama dan melihat
bagaimana perkembangannya," jawab si dokter. "Keajaiban bisa saja terjadi."
Jay Perkins, kepala protokol Gedung Putih, sedang memberikan
pengarahan kepada Presiden. "Di Washington terdapat 147 perwakilan
diplomatik, Mr. President. Buku biru"yaitu Daftar Diplomatik"
mencantumkan nama setiap wakil pemerintah asing beserta nama istri atau
suami. Buku hijau"Daftar Sosial"berisi nama tokoh-tokoh paling penting
dari kalangan diplomat, masyarakat Washington, dan anggota Kongres."
Ia menyerahkan beberapa helai kertas kepada Oliver. "Ini daftar nama
para duta besar baru dari negara-negara asing yang akan menghadap Anda."
Oliver mengamati daftar itu dan menemukan nama duta besar Itali beserta
istrinya: Atilio Picone dan Sylva. Sylva.
Oliver bertanya, "Apakah mereka akan disertai istri masing-masing?"
"Tidak. Para istri akan diperkenalkan kemudian. Saya sarankan Anda
sesegera mungkin menerima para kandidat."
"Baiklah." Perkins berkata, "Saya akan berusaha agar Sabtu depan semua duta besar
asing sudah memperoleh akreditasi. Mungkin sebaiknya Anda mempertimbangkan jamuan makan malam kenegaraan untuk menghormati mereka."
"Ide bagus." Oliver kembali melirik daftar nama di mejanya. Atilio dan
Sylva Picone. Sabtu malam, Ruang Makan Kenegaraan dihiasi bendera semua negara
yang diwakili para duta besar asing. Dua hari sebelumnya, Oliver sempat
berbincang-bincang dengan Atilio Picone saat Picone menyerahkan suratsurat kepercayaannya. "Bagaimana kabar Mrs. Picone?" Oliver bertanya.
Duta Besar Itali terdiam sejenak. "Istri saya baik-baik saja. Terima kasih,
Mr. President." Jamuan makan malam berlangsung semarak. Oliver berpindah dari meja ke
meja, menyapa para tamu, dan memikat semuanya. Di antara orang-orang
yang diundang itu terdapat beberapa orang paling penting di dunia.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Oliver Russel menghampiri tiga wanita terpandang yang menikah dengan
tokoh-tokoh berpengaruh. Tapi mereka sendiri pun turut bermain di belakang
layar. "Leonore... Delores... Carol..."
Ketika Oliver melintasi ruangan, Sylva Picone menghampirinya dan
mengulurkan tangan. "Sudah lama saya menanti saat ini." Matanya bersinarsinar. "Saya juga," Oliver bergumam.
"Dari pertama saya sudah tahu Anda akan terpilih." Suaranya pelan sekali.
"Kita bisa bertemu setelah ini?"
Tak ada keraguan sedikit pun. "Tentu."
Jamuan makan malam dilanjutkan dengan acara dansa yang di ringi band
Korps Marinir. Oliver memperhatikan Jan berdansa, dan dalam hati berkata,
Betapa cantiknya dia. Malam itu merupakan sukses besar.
Minggu berikutnya, judul utama pada halaman muka harian Washington
Tribune mencolok sekali: PRESIDEN DITUDUH MELAKUKAN KECURANGAN
SAAT KAMPANYE. Oliver menatap judul itu seakan-akan tidak pernya. Ini betul-betul gawat.
Bagaimana ini bisa terjadi" Dan tiba-tiba ia sadar. Jawabannya tertimpang di
hadapannya, dalam daftar nama pengelola surat kabar tersebut: Pemimpin
Umum, Leslie Stewart. Seminggu kemudian, salah satu artikel pada halaman pertama Washington
Tribune berbunyi: PRESIDEN AKAN DIMINTAI KETERANGAN SEHUBUNGAN
DENGAN KASUS PAJAK PENGHASILAN DI KENTUCKY.
Dua minggu setelah itu, satu artikel lagi muncul di halaman depan Tribune:
MANTAN ASISTEN PRESIDEN RUSSELL BERENCANA MAJU KE PENGADILAN
BERKAITAN DENGAN PELECEHAN SEKSUAL.
Pintu Ruang Oval mendadak terbuka dan Jan melangkah masuk. "Kau
sudah lihat koran pagi ini?"
"Ya, aku..." "Tega-teganya kau berbuat begini, Oliver! Kau..."
"Tunggu dulu! Kau tak sadar apa yang sedang terjadi, Jan" Ini semua
didalangi Leslie Stewart. Aku yakin dia membayar wanita itu untuk membuat
skandal. Dia mau balas dendam karena aku meninggalkannya demi kau. Oke.
Dia sudah berhasil. Urusan ini sudah selesai."
Senator Davis menelepon. "Oliver. Aku ingin menemuimu sejam lagi."
"Baik. Kutunggu di sini, Todd."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Oliver berada di perpustakaan kecil ketika Todd Davis tiba. Oliver bangkit
menyambutnya. "Selamat pagi."
"Selamat pagi persetan." Suara Senator Davis penuh kemarahan.
"Perempuan itu mau menghancurkan kita."
"Kurasa tidak. Dia cuma..."
"Semua orang membaca koran gosipnya, dan orang-orang percaya yang
mereka baca." "Todd, urusan ini akan berlalu dan..."
"Siapa bilang akan berlalu" Kau mendengar ulasan di WTE tadi pagi"
Mereka membahas siapa presiden berikutnya. Namamu tercantum paling bawah dalam daftar mereka. Leslie Stewart mau menjatuhkanmu. Kau harus
menghentikannya. Ini tak bisa dibiarkan."
"Todd, kita tidak bisa menentang kebebasan pers. Tak ada yang bisa kita
lakukan." Senator Davis menatap Oliver sambil memicingkan mata. "Sebenarnya
ada." "Apa maksudmu?"
"Duduklah." Mereka menarik kursi. "Perempuan itu masih mencintaimu,
Oliver. Dia berulah seperti ini untuk membalas perbuatanmu terhadapnya. Jangan sekali-kali cari perkara dengan yang membeli tinta dalam takaran ton.
Saranku adalah berdamai dengannya."
"Bagaimana caranya?"
Pandangan Senator Davis beralih ke selangkangan Oliver. "Gunakan
kepalamu." "Tunggu dulu, Todd! Maksudmu...?"
"Maksudku, kau harus mendinginkan suasana. Beritahu dia bahwa kau
menyesal. Percayalah, dia masih mencintaimu. Kalau tidak, dia takkan
berbuat begini." "Apa tepatnya yang harus kulakukan?"
"Gunakan pesonamu, Nak. Kau pernah sukses, berarti kau bisa
melakukannya lagi. Kau harus merayunya. Jumat malam besok ada jamuan
Kementerian Luar Negeri di sini. Dia harus diundang. Kau harus
membujuknya untuk menghentikan serangan.
"Aku tak tahu bagaimana..."
"Aku tak peduli bagaimana caranya. Barangkali kau bisa mengajaknya ke
suatu tempat untuk bicara dari hati ke hati. Aku punya rumah peristirahatan
di Virginia. Tempatnya tenang sekali. Aku akan ke Florida selama akhir
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pekan, dan sudah kuatur agar Jan ikut." Sang senator mengeluarkan
selembar kertas dan beberapa anak kunci, lalu menyerahkan semuanya
kepada Oliver. "Ini alamat dan kunci rumah."
Oliver menatapnya. "Ya Tuhan! Kau sudah merencanakan semuanya ini"
Bagaimana kalau Leslie tidak... Bagaimana kalau dia tak tertarik, kalau dia
tak mau ikut?" Senator Davis bangkit. "Dia tertarik. Dia pasti ikut. Sampai ketemu hari
Senin, Oliver. Semoga berhasil."
Oliver termangu-mangu. Dalam hati ia berkata, Jangan. Aku tak boleh
berbuat begini lagi padanya. Aku tak tega.
Malam itu, ketika mereka bersiap-siap makan malam, Jan berkata, "Oliver,
Ayah mengajakku ke Florida selama akhir pekan. Dia akan menerima
penghargaan, dan kurasa dia ingin memamerkan istri Presiden. Kau
keberatan kalau aku ikut" Aku tahu hari Jumat ada jamuan makan malam di
sini, jadi kalau kaupikir lebih baik aku tidak pergi..."
"Oh, itu tak jadi masalah. Berangkatlah. Aku akan merindukanmu." Aku
benar-benar akan merindukannya, Oliver berkata dalam hati. Begitu masalah
dengan Leslie selesai, aku akan meluangkan waktu lebih banyak untuk Jan.
Leslie sedang menelepon ketika sekretarisnya bergegas masuk. "Miss
Stewart..." "Kau tak lihat aku sedang..."
"Ada telepon dari Presiden Russel di saluran tiga."
Leslie menatapnya sejenak, lalu tersenyum. "Oke." Ia berkata melalui
telepon, "Nanti saya hubungi lagi."
Ia menekan tombol untuk saluran tiga. "Halo?"
"Leslie?" "Halo, Oliver" Atau Mr. President sekarang?"
"Kau boleh memanggilku apa saja." Kemudian Oliver menambahkan,
"Seperti dulu." Hening sejenak. "Leslie, aku ingin bertemu denganmu."
"Kau yakin ini memang perlu?"
"Perlu sekali."
"Kau presiden. Permintaanmu tak mungkin kutolak, kan?"
"Kecuali kalau kau bukan warga negara yang baik. Jumat malam ada
jamuan Kementerian Luar Negeri di Gedung Putih. Datanglah."
"Jam berapa?" "Jam delapan." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baiklah. Aku akan datang."
Leslie tampak luar biasa dengan gaun hitam berkerah tegak dari St. John.
Bagian depan gaunnya vang panjang dan ketat dihiasi kancing-kancing
berlapis emas 22 karat. Di sisi kiri terdapat belahan sepanjang 35 sentimeter.
Berbagai kenangan muncul dalam benak Oliver ketika melihat wanita itu.
"Leslie..." "Mr. President."
Oliver meraih tangan Leslie. dan telapak tangan wanita itu ternyata basah.
Ini pertanda, pikir Oliver. Tapi pertanda apa" Gugup" Marah" Kenangan
lama" "Aku senang kau bisa datang, Leslie."
"Ya. Aku juga."
"Nanti saja kita bicara."
Leslie tersenyum hangat. "Ya."
Dua meja dari tempat duduk Oliver ada sekelompok diplomat Arab. Salah
satu dari mereka, seorang pria berkulit gelap dengan raut wajah
serbaruncing dan mata hitam, terus menatap Oliver.
Oliver mengangguk kepada orang Arab itu dan bertanya kepada Peter
Tager, "Siapa itu?"
Tager melirik sejenak. "Ali al-Fulani. Dia menteri dari Persatuan Emirat
Arab. Kenapa?" "Tidak ada apa-apa." Oliver kembali menoleh. Pandangan orang itu masih
melekat pada dirinya. Sepanjang malam Oliver beramah-tamah dengan para tamu. Sylva dan
Leslie duduk di meja yang berlainan. Baru menjelang akhir acara Oliver mendapat kesempatan untuk menghampiri Leslie.
"Kita perlu bicara. Banyak yang ingin kuceritakan padamu. Kau punya
waktu?" Leslie agak ragu-ragu. "Oliver. barangkali lebih baik kalau kita tidak..."
"Aku punya rumah di Manassas, Virginia, kira-kira satu jam dari
Washington. Maukah kau menemuiku di sana?"
Leslie menatap mata Oliver. Kali ini tidak ada keraguan sedikit pun. "Kalau
memang itu yang kauinginkan."
Oliver menjelaskan letak rumah itu. "Besok malam, pukul delapan?"
Suara Leslie parau. "Aku pasti datang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam suatu rapat Dewan Keamanan Nasional. Direktur CIA James Frisch
mengungkapkan kabar vang mengejutkan.
"Mr. President, tadi pagi kami menerima laporan hahwa Libya membeli
berbagai senjata nuklir dari Iran dan Cina. Ada desas-desus bahwa
persenjataan tersebut akan digunakan untuk menyerang Israel. Konfirmasi
atas laporan ini akan kita peroleh dalam waktu satu atau dua hari."
Lou Werner, menteri luar negeri, berkata, "Sebaiknya kita jangan
menunggu. Sekarang juga kita harus mengajukan protes sekeras mungkin."
Oliver menanggapi Werner, "Usahakan informasi tambahan sebanyak
mungkin." Rapat itu berlangsung sepanjang pagi. Dari waktu ke waktu ia memikirkan
rendezvous-nya dengan Leslie. "Gunakan pesonamu, Nak... Kau harus bisa
membujuknya." Sabtu sore, Oliver duduk di salah satu mobil staf Gedung Putih yang
dikemudikan oleh agen Secret Service terpercaya. Mereka menuju ke
Manassas, Virginia. Oliver sebenarnya ingin membatalkan rendezvous-nya,
namun sudah terlambat. Aku tak punya alasan untuk kuatir. Kemungkinan
besar dia takkan muncul. Pukul delapan malam, Oliver memandang ke luar jendela dan melihat
mobil Leslie membelok ke pekarangan rumah Senator Davis. Ia
memperhatikan wanita itu turun dari mobil dan berjalan ke pintu depan.
Oliver membuka pintu. Mereka berpandangan sambil membisu, dan waktu
seakan berhenti. Rasanya mereka tidak pernah berpisah.
Oliver yang lebih dulu angkat bicara. "Ya Tuhan! Waktu aku melihatmu
semalam... aku nyaris lupa betapa cantiknya kau." Ia meraih tangan Leslie,
dan mereka masuk ke ruang duduk. "Kau ingin minum sesuatu?"
"Tidak. Terima kasih."
Oliver mengambil tempat di samping Leslie di sofa. "Aku ingin menanyakan
sesuatu, Leslie. Apakah kau membenciku?"
Leslie menggeleng pelan. "Tidak. Tadinya kupikir aku membencimu." Ia


Rencana Paling Sempurna The Best Laid Plans Karya Shidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memaksakan senyum. "Secara tak langsung, itulah yang membuatku berhasil." "Aku tak mengerti."
"Aku ingin balas dendam, Oliver. Aku membeli surat kabar dan stasiun
televisi supaya bisa menyerangmu. Kau satu-satunya pria yang pernah
kucintai. Dan waktu kau... waktu kau meninggalkanku... kupikir dunia sudah
kiamat." Ia berjuang menahan air matanya.
Oliver memeluknya. "Leslie..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan kemudian bibir mereka bersentuhan, dan mereka berciuman penuh
gairah. "Oh, ya Tuhan," ujar Leslie. "Aku tak menyangka bakal begini."
Mereka bercumbu, Oliver meraih tangan Leslie dan mengajaknya ke kamar
tidur. Mereka mulai saling membuka pakaian. "Cepatlah, Sayang," Leslie
mendesak. "Cepat..."
Mereka rebah di ranjang, saling mendekap, saling menyentuh, sama-sama
mengenang. Gerak-gerik mereka serbalembut, lalu garang, seperti dulu. Ini
adalah awal yang baru. Keduanya terbaring dengan bahagia, letih.
"Sebenarnya lucu juga," ujar Leslie.
"Apa?" "Segala hal buruk yang kutulis tentang kau. Aku melakukannya untuk
mendapatkan perhatianmu." Ia merapatkan tubuhnya. "Dan nyatanya berhasil, kan?" Oliver tersenyum lebar. "Memang."
Leslie duduk tegak dan menatapnya. "Aku bangga sekali padamu, Oliver.
Presiden Amerika Serikat."
"Aku berusaha menjadi presiden yang baik. Itu yang paling penting
untukku. Aku ingin mengubah keadaan ke arah yang lebih baik." Oliver
menatap jam tangannya. "Kelihatannya aku harus kembali."
"Aku mengerti. Kau saja yang pulang lebih dulu."
"Kapan kita bisa bertemu lagi, Leslie?"
"Kapan saja kau mau."
"Kita harus hati-hati."
"Aku tahu. Jangan kuatir." Leslie berbaring sambil memperhatikan Oliver
berpakaian. Setelah siap berangkat, Oliver membungkuk dan berkata, "Kaulah
keajaibanku." "Dan kau juga. Sudah dari dulu."
Oliver mencium Leslie. "Besok kutelepon."
Ia bergegas ke mobil dan diantar pulang ke Washington. Begitu banyak
yang telah berubah, tapi semuanya masih seperti dulu, pikir Oliver. Jangan,
sampai dia sakit hati lagi. Ia mengangkat telepon mobil dan menghubungi
nomor di Florida yang diberikan Senator Davis padanya.
Sang senator sendiri yang menyahut, "Halo?"
"Ini Oliver." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Di mana kau?" "Dalam perjalanan pulang ke Washington. Aku punya kabar baik. Masalah
itu tak perlu kita risaukan lagi. Semuanya sudah terkendali."
"Syukurlah kalau begitu." Suara Senator Davis bernada lega sekali. "Aku
sangat senang mendengarnya."
"Aku tahu, Todd. Aku tahu."
*** Keesokan paginya, sambil berpakaian Oliver meraih edisi terbaru
Washington Tribune. Pada halaman depan terpampang foto rumah
peristirahatan Senator Davis di Manassas. Keterangan di bawahnya berbunyi:
TEMPAT PELESIR RAHASIA PRESIDEN RUSSELL.
14 OLIVER menatap surat kabar itu seakan-akan tidak percaya. Bagaimana
mungkin" Ia teringat betapa menggebu-gebu Leslie semalam. Dan rupanya ia
keliru menafsirkannya. Gairah Leslie berkobar karena kebencian, bukan
karena cinta. Oliver kalut. Aku takkan bisa menghentikannya, katanya dalam
hati. Senator Todd Davis kaget sekali ketika melihat artikel di halaman pertama.
Ia memahami kekuatan pers, dan menyadari betul betapa berbahaya serangan itu. Kelihatannya aku harus turun tangan langsung, Senator Davis
memutuskan. Begitu tiba di ruang kerjanya di gedung Senat, ia segera menelepon Leslie.
"Sudah lama kita tidak berjumpa," Senator Davis berkata dengan hangat.
"Terlalu lama, bahkan. Saya sering memikirkan Anda, Miss Stewart."
"Begitu juga saya, Senator Davis. Secara tak langsung, segala sesuatu
yang saya miliki adalah berkat Anda."
Sang senator tertawa kecil. "Bukan. Saya hanya membantu sedikit ketika
Anda menghadapi masalah."
"Ada sesuatu yang bisa saya lakukan untuk Anda, Senator?"
"Tidak ada, Miss Stewart. Saya justru ingin melakukan sesuatu untuk Anda.
Saya termasuk pembaca setia surat kabar Anda, yang menurut saya memang
surat kabar yang sangat baik. Saya baru sadar bahwa kami belum memasang
iklan di Tribune, dan saya ingin memperbaiki kelalaian itu. Saya pemegang
saham di sejumlah perusahaan terkemuka, dan anggaran kami untuk iklan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sangat besar. Sangat besar. Saya kira sudah sepantasnya kalau surat kabar
seperti Tribune mendapat porsi yang lebih dari lumayan."
"Ini kabar gembira, Senator. Kami selalu senang menerima tambahan
iklan. Siapa yang bisa dihubungi oleh manajer iklan saya?"
"Hmm, sebelum dia bicara dengan siapa pun, saya rasa Anda dan saya
perlu membereskan sebuah masalah kecil."
"Apa itu?" tanya Leslie.
"Ini menyangkut Presiden Russel ."
"Ya?" "Masalah ini agak peka, Miss Stewart. Tadi Anda mengatakan saya
mempunyai andil dalam sukses Anda. Nah, sekarang saya ingin minta tolong
pada Anda." "Kalau memang ada yang bisa saya lakukan, dengan senang hati."
"Begini, walaupun peran saya tidak seberapa, saya turut membantu
Presiden Russel agar terpilih."
"Saya tahu." "Dan dia menjalankan tugasnya dengan baik. Namun tentu saja tugasnya
menjadi lebih berat jika setiap tindakannya diserang surat kabar berpengaruh
seperti Tribune." "Apa yang Anda kehendaki dari saya, Senator?"
"Nah, saya akan sangat berterima kasih seandainya masalah ini bisa kita
luruskan." "Dan sebagai imbalannya, beberapa perusahaan Anda akan memasang
iklan di surat kabar saya."
"Dengan nilai yang sangat besar, Miss Stewart."
"Terima kasih, Senator. Silakan hubungi saya kembali kalau ada tawaran
yang lebih menarik."
Hubungan terputus. Matt Baker berada di ruang kerjanya, la sedang membaca artikel mengenai
tempat pelesir rahasia Presiden Russel .
"Siapa yang mengotorisasi ini?" ia menghardik asistennya.
"Perintah langsung dari Menara Putih."
"Persetan. Bukan dia yang mengelola koran ini, tapi aku." Kenapa aku mau
diperlakukan seperti ini" ia bertanya-tanya, dan bukan untuk pertama
karinya. Karena 350.000 dolar setahun ditambah bonus dan kepemilikan
saham, pikirnya dengan getir. Setiap kali hendak mengundurkan diri, Matt
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Baker kembali dibujuk dengan iming-iming kekuasaan dan uang. Selain itu, ia
harus mengakui bahwa bekerja untuk salah satu wanita paling berpengaruh
di dunia merupakan daya tarik tersendiri. Ada hal-hal pada diri wanita
tersebut yang takkan pernah dipahaminya.
Setelah membeli Tribune. Leslie sempat berkata kepada Matt. "Ada ahli
astrologi yang ingin kutarik ke sini. Namanya Zoltaire."
"Dia dikontrak saingan kita."
"Aku tak peduli. Dia harus bekerja untuk kita."
Beberapa jam kemudian, Matt Baker memberi-tahu Leslie. "Aku sudah
memeriksa latar belakang Zoltaire. Kurasa nilai kontraknya terlalu tinggi."
"Bayar berapa saja yang mereka minta."
Minggu berikutnya, Zoltaire, yang sebenarnya bernama David Hayworth,
mulai bekerja di Tribune. Ia berusia lima puluhan, berperawakan kecil, dan
pendiam. Matt terheran-heran. Leslie tidak mempunyai kesan sebagai orang yang
tertarik pada astrologi. Sepanjang pengetahuan Matt, tidak ada hubungan
apa pun antara Leslie dan David Hayworth.
Ia tidak tahu bahwa Hayworth mengunjungi Leslie di rumahnya setiap kali
ada keputusan penting yang harus diambil.
Pada hari pertama. Matt memasang nama Leslie sebagai berikut pada
daftar nama pengelola: Leslie Chambers, Pemimpin Umum. Leslie meliriknya
sejenak dan berkata, "Ganti. Nama saya Leslie Siewart."
Rupanya dia mencari popularitas, Matt berkesimpulan. Namun ia keliru.
Leslie memilih nama gadisnya karena ingin Oliver Russel tahu persis siapa
yang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang bakal menimpanya.
Sehari setelah mengambil alih Washington Tribune, Leslie berkata, "Kita
akan membeli majalah kesehatan."
Matt menatapnya sambil mengerutkan kening. "Kenapa?"
"Karena bidang kesehatan sedang meledak."
Dan Leslie ternyata benar. Sejak awal majalah itu berhasil meraih sukses.
"Kita akan mulai melakukan ekspansi," Leslie memberitahu Baker. "Suruh
beberapa orang mencari penerbitan di luar negeri."
"Oke." "Dan di sini terlalu banyak orang yang hanya menjadi beban. Pecat semua
wartawan yang tidak memberikan kontribusi maksimal."
"Tapi..." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku menginginkan wartawan-wartawan muda yang haus berita."
Setiap kali ada lowongan untuk posisi eksekutif, Leslie berkeras untuk hadir
saat wawancara. Ia mendengarkan si pelamar, lalu mengajukan satu
pertanyaan, "Berapa skor golf Anda?" Jawaban yang diberikan sering kali
menentukan apakah orang tersebut diterima atau tidak.
"Pertanyaan macam apa ini?" Matt Baker bertanya ketika pertama kali
mendengarnya. "Apa pengaruhnya skor golf?"
"Aku tak menghendaki orang yang giat bermain golf. Setiap orang yang
bekerja di sini harus berdedikasi penuh pada Washington Tribune."
Kehidupan pribadi Leslie Stewart tak henti-hentinya dipergunjingkan di
kantor Tribune. la cantik dan mandiri, dan sepanjang pengetahuan para
pegawainya, ia tidak menjalin hubungan dengan pria mana pun dan tidak
memiliki kehidupan asmara. Ia sering mengadakan pesta, dan orang-orang
berpengaruh di Washington berlomba-lomba mendapatkan undangannya.
Namun tak seorang pun tahu apa yang dilakukannya setelah para tamu
pulang dan ia sendirian di rumahnya. Ada kabar burung bahwa ia penderita
insomnia yang menghabiskan malam hari dengan menyusun rencanarencana baru bagi kerajaan bisnis Stewart.
Selain itu juga ada desas-desus yang lebih menggelitik, tapi tidak ada yang
bisa membuktikan kebenarannya.
Leslie melibatkan diri dalam segala aspek bisnis surat kabar: ulasan
redaksi, liputan berita, periklanan.
Suatu hari, ia menegur kepala bagian periklanan, "Kenapa kita tak pernah
mendapat iklan dari Gleason's?""toko kelas atas di Georgetown.
"Saya sudah berusaha, tapi..."
"Aku kenal pemilik Gleason's. Biar aku saja yang meneleponnya."
Ia menghubungi orang tersebut dan bertanya, "Allan, kau tak pernah
memasang iklan di Tribune. Kenapa?"
Orang itu tertawa, lalu menjawab, "Leslie, pembaca koranmu adalah orang
yang mencuri di tokoku."
Sebelum mengikuti rapat, Leslie mempelajari latar belakang semua orang
yang akan hadir. Ia mengetahui kelemahan dan kekuatan setiap orang, ia
dikenal sebagai negosiator tangguh.
"Kadang-kadang kau terlalu keras," Matt Baker memperingatkannya.
"Lawanmu juga ingin memperoleh sesuatu."
"Maaf. Aku penganut kebijaksanaan bumi hangus."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sepanjang tahun berikutnya, Washington Tribune Enterprises membeli
surat kabar dan stasiun radio di Australia, stasiun televisi di Denver, serta
surat kabar di Hammond, Indiana. Setiap kali ada akuisisi, para pegawai
perusahaan bersangkutan langsung cemas. Reputasi Leslie sebagai
pengusaha berdarah dingin semakin menyebar.
Leslie Stewart sangat iri pada Katharine Graham.
"Dia hanya beruntung," ujar Leslie. "Dan dia dikenal sebagai wanita
bengis." Hampir saja Matt Baker bertanya bagaimana pendapat Leslie mengenai
reputasinya sendiri, tapi akhirnya ia membatalkan niatnya.
Suatu pagi, ketika tiba di kantor, Leslie menemukan balok kayu kecil
dengan dua bola kuningan di atas mejanya.
Matt Baker marah sekali. "Aku minta maaf," katanya. "Biar kubawa..."
"Jangan. Biarkan saja."
"Tapi..." "Biarkan saja."
Matt Baker tengah mengadakan rapat di ruang kerjanya ketika suara Leslie
terdengar melalui interkom. "Matt, coba kemari."
Tidak ada ucapan "Selamat pagi." Hari ini bakal gawat, pikir Matt Baker
dengan geram. Si Putri Es sedang tidak enak hati.
"Sekian dulu," kata Matt mengakhiri rapatnya.
Ia meninggalkan kantornya dan menyusuri koridor, tempat ratusan
pegawai sedang sibuk bekerja, la naik lift ke Menara Putih dan masuk ke
ruang kerja pemimpin umum yang mewah. Setengah lusin redaktur telah
berkumpul di ruangan itu.
Leslie Stewart duduk di balik mejanya yang besar. Ia menoleh ketika Matt
muncul di pintu. "Mari kita mulai."
Leslie mengadakan rapat redaksi. Matt Baker masih ingat janji Leslie dulu,
"Anda yang akan menjalankan surat kabar ini. Saya akan lepas tangan."
Ucapan tersebut ternyata tidak lebih dari janji kosong. Leslie tidak berwenang
mengadakan rapat seperti ini. Itu tugas Matt. Di pihak lain, Leslie pemimpin
umum dan pemilik Washington Tribune, sehingga dapat bertindak sesuka
hatinya. Matt Baker berkata, "Aku ingin membahas artikel tentang rumah pelesir
Presiden Russel di Virginia."
"Tak ada yang perlu dibicarakan."' sahut Leslie. Ia mengangkat edisi
terbaru The Washington Post, saingan mereka. "Kau sudah melihat ini?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Matt sudah melihatnya. "Ya, itu cuma..."
"Zaman dulu ini disebut scoop, Matt. Ke mana saja kau dan para
wartawanmu ketika Post mendapatkan berita ini?"
Judul utama The Washington Post berbunyi: JURU LOBI DIDAKWA
MEMBERIKAN HADIAH ILEGAL KEPADA MENTERI PERTAHANAN.
"Kenapa peristiwa ini tidak kita liput?"
"Karena belum ada konfirmasi resmi. Aku sudah menyelidikinya. Ini
cuma..." "Aku tak suka didului."
Matt Baker menghela napas dan duduk bersandar. Dugaannya ternyata
benar. Rapat itu takkan menyenangkan.
"Kita nomor satu, atau kita bukan apa-apa," Leslie Stewart berkata kepada
para redaktur. "Dan kalau kita bukan apa-apa, tentunya takkan ada
pekerjaan di sini untuk kalian semua, bukan?"
Leslie berpaling kepada Arnie Cohn, redaktur seksi majalah Minggu. "Kalau
para pembaca bangun Minggu pagi, kita ingin mereka membaca seksi
majalah. Kita tak mau membuat mereka tertidur lagi. Cerita-cerita yang
dimuat Minggu kemarin betul-betul membosankan."
Coba kalau kau laki-laki, aku... Cohn berkata dalam hati. "Sori," ia
bergumam. "Lain kali pasti lebih baik."


Rencana Paling Sempurna The Best Laid Plans Karya Shidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Leslie menoleh kepada Jeff Connors, redaktur olahraga. Connors pria
tampan berusia tiga puluhan, la tinggi, atletis, dan pirang. Matanya berwarna
kelabu dan berkesan cerdas. Sikapnya santai, seperti lazimnya orang yang
sadar bahwa ia ahli di bidangnya. Matt sempat mendengar selentingan
bahwa Leslie pernah berusaha mendekati Connors, namun ditolak mentahmentah. "Kau menulis bahwa Fielding akan dijual ke Pirates."
"Aku mendapat kabar..."
"Kau mendapat kabar yang keliru! Tribune memuat sesuatu yang tak
pernah terjadi." "Informasi itu berasal dari manajernya," Jeff Connors membela diri. "Dia
bilang..." "Lain kali cek dulu apa yang kautulis, dan setelah itu cek sekali lagi."
Leslie membalik dan menunjuk artikel koran yang diberi bingkai dan
dipasang di dinding. Artikel yang sudah menguning itu berasal dari halaman
depan Chicago Tribune tanggal 3 November, 1948. Judul utama yang dicetak
dengan huruf besar berbunyi: DEWEY MENGALAHKAN TRUMAN.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kesalahan paling parah yang bisa dilakukan surat kabar," ujar Leslie,
"adalah memuat fakta yang keliru. Dalam bisnis kita. tak ada tempat untuk
kesalahan." Ia menatap jam tangannya. "Sekian dulu untuk hari ini. Untuk selanjutnya
saya mengharapkan prestasi yang lebih bagus dari kalian semua." Ketika
para redaktur bangkit untuk kembali ke ruang kerja masing-masing, Leslie
berkata kepada Matt Baker, "Jangan pergi dulu."
"Oke." Matt kembali duduk dan memperhatikan rekan-rekannya
meninggalkan ruangan. "Apakah aku terlalu keras pada mereka?" tanya Leslie.
"Kelihatannya tujuanmu tercapai. Semuanya siap bunuh diri."
"Kita di sini bukan untuk mencari teman, tapi untuk membuat koran."
Sekali lagi ia menatap artikel berbingkai di dinding. "Kau bisa membayangkan
bagaimana perasaan pemimpin surat kabar itu setelah korannya beredar di
jalan dan Truman terpilih sebagai presiden" Aku tak mau bernasib seperti itu,
Matt." "Omong-omong soal kesalahan." ujar Matt, "artikel di halaman satu
tentang Presiden Russel hanya pantas untuk tabloid murahan. Kenapa kau
selalu mengusiknya" Beri dia kesempatan."
Jawaban Leslie merupakan teka-teki bagi Matt. "Dia sudah kuberi
kesempatan." Leslie berdiri dan berjalan mondar-mandir. "Aku mendapat
kabar bahwa Russel akan memveto undang-undang komunikasi yang baru.
Berarti kita harus membatalkan pembelian stasiun di San Diego dan Omaha."
"Apa boleh buat" Tak ada yang bisa kita lakukan."
"Oh, ada. Aku akan memaksa dia turun, Matt. Kita akan membantu
menempatkan orang lain di Gedung Putih, seseorang yang mengerti
tugasnya." Matt tidak berminat untuk kembali membahas topik itu. Ia sudah tahu
pendirian Leslie Stewart.
"Dia tak pantas memangku jabatan itu, dan aku akan berusaha sekuat
tenaga agar dia kalah dalam pemilu berikut."
Philip Cole, kepala koresponden WTE, bergegas memasuki ruang kerja
Matt Baker ketika Matt sedang bersiap-siap pulang. Ia tampak cemas. "Kita
ada masalah. Matt." "Apakah tak bisa menunggu sampai besok" Aku sudah terlambat untuk..."
"Ini menyangkut Dana Evans."
Matt langsung menoleh. "Ada apa dengannya?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dia ditangkap."
"Ditangkap?" Matt bertanya sambil terheran-heran. "Kenapa?"
"Dia dituduh jadi mata-mata. Apakah aku perlu...?"
"Jangan. Biar aku saja yang menangani urusan ini."
Matt Baker segera mengangkat telepon dan menghubungi Kementerian
Luar Negeri. 15 IA diseret keluar dari selnya dalam keadaan telanjang. Ia meronta-ronta,
tapi tak berdaya melawan kedua pria yang mencengkeramnya. Enam prajurit
bersenapan tampak berbaris ketika ia digotong menuju tiang kayu yang
dipancangkan ke tanah. Ia di kat ke tiang kayu. Kolonel Gordan Divjak
menyaksikan semuanya sambil membisu.
"Anda tak bisa berbuat begini! Saya bukan mata-mata!" jeritnya. Namun
suaranya tenggelam dalam gemuruh ledakan mortir.
Kolonel Divjak menjauhinya dan mengangguk kepada regu tembak. "Siap,
bidik..." "Diam!"
Ia diguncang-guncangkan dengan kasar. Dana membuka mata, jantungnya
berdegup kencang. Ia terbaring di tempat tidur lipat di selnya yang kecil dan
gelap. Kolonel Divjak berdiri di hadapannya
Dana duduk tegak. Ia berkedip-kedip untu mengusir mimpi buruk itu.
"Saya... saya mau diapakan?"
Kolonel Divjak menyahut dengan dingin, "Sandainya keadilan ditegakkan,
Anda sudah ditembak mati. Sayangnya, saya mendapat perintah untuk
membebaskan Anda." Dana tersentak.
"Anda akan naik pesawat pertama yang berangkat dari sini." Kolonel Divjak
menatap mata Dana dan berkata, "Jangan kembali lagi."
Kementerian Luar Negeri dan Presiden Russel lelah memanfaatkan semua
jalur dan mengerahkan segenap pengaruh mereka untuk mengupayakan
pembebasan Dana Evans. Ketika mendapat laporan mengenai penangkapan
wartawati itu, Peter Tager segera menghadap Presiden Russel .
"Aku baru ditelepon Kementerian Luar Negeri. Dana Evans ditangkap
dengan tuduhan mata-mata. Dia diancam hukuman mati."
"Ya Tuhan! Ini tak bisa dibiarkan. Kita harus mencegahnya."
"Aku perlu izin untuk bertindak atas nama Presiden."
"Tentu. Lakukan apa saja untuk membebaskannya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku akan bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri. Kalau kita
berhasil, barangkali Tribune akan berhenti mengusikmu."
Oliver menggeleng. "Jangan berharap terlalu banyak. Pokoknya,
selamatkan dia dari sana."
Sudah lusinan percakapan melalui telepon, serta atas desakan dari Gedung
Putih, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, dan Sekretaris Jenderal PBB,
orang-orang yang menawan Dana akhirnya bersedia melepaskannya.
Begitu berita itu sampai di Washington, Peter Tager segera melaporkannya
kepada Oliver. "Dia bebas. Dia sudah dalam perjalanan pulang."
Oliver menarik napas lega.
Ia memikirkan Dana Evans saat menuju ruang rapat pagi itu. Syukurlah
kami berhasil membebaskannya.
Tidak terbayang olehnya bahwa keberhasilan tersebut harus ditebusnya
dengan harga yang amat mahal.
Ketika pesawat Dana mendarat di Dul es International Airport, Matt Baker
serta dua lusin wartawan media cetak dan elektronik telah menunggu untuk
menyambutnya. Dana menatap kerumunan orang itu sambil mengerutkan kening. "Ada
apa...?" "Coba lihat sini, Dana. Senyum!"
"Bagaimana Anda diperlakukan selama ditawan" Apakah mereka bertindak
brutal?" "Bagaimana rasanya selamat sampai di tanah air?"
"Difoto dulu." "Anda berencana kembali ke sana?"
Dana dihujani pertanyaan. Matt Baker menggiringnya ke limusin yang
sudah menunggu, dan mereka langsung melesat pergi.
"A.... ada apa ini?" tanya Dana.
"Kau orang terkenal."
Ia menggeleng. "Aku tak butuh ini, Matt." Sejenak ia memejamkan mata.
"Terima kasih kau menyelamatkan aku dari sana."
"Kau harus berterima kasih pada Presiden Russel dan Peter Tager.
Merekalah yang mengupayakan pembebasanmu. Leslie Stewart juga
membantu." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika mendapat laporan dari Matt, Leslie memang langsung naik pitam.
"Kurang ajar! Tribune tak bisa diperlakukan seperti itu. Pastikan dia selamat.
Gunakan semua cara untuk membebaskannya."
Dana memandang ke luar jendela limusin. Ia melihat orang-orang berjalan
kaki sambil mengobrol dan tertawa. Tak ada bunyi tembakan senapan atau
ledakan mortir. Ia bergidik.
"Redaktur real estate kita sudah mencarikan apartemen untukmu. Kita ke
sana sekarang. Kuminta kau cuti dulu"sampai kau pulih sepenuhnya." Matt
mengamati Dana. "Kau tidak apa-apa" Kalau perlu dokter, aku akan..."
"Aku baik-baik saja. Perwakilan kita di Paris sudah membawaku ke dokter."
Apartemen itu terletak di Calver Street, dan sudah dilengkapi dengan
perabot. Ada satu kamar tidur, kamar duduk, dapur, kamar mandi, dan
kamar kerja kecil. "Bagaimana, cukup?" tanya Matt.
"Ini bagus sekali. Terima kasih, Matt."
"Lemari esnya sudah di si. Besok kau pasti ingin belanja pakaian, setelah
istirahat, tentunya. Semuanya akan dibayar kantor."
"Thanks, Matt. Terima kasih untuk semuanya."
"Kau akan dimintai keterangan dalam beberapa hari. Tapi jangan kuatir.
Aku akan mengurus semuanya."
Ia berdiri di atas jembatan. Ia mendengar bunyi tembakan dan melihat
mayat-mayat mengapung di air, kemudian ia terbangun, terisak-isak. Adegan
itu begitu nyata. Ia bermimpi, tapi mimpinya sungguh-sungguh sedang
terjadi. Sementara ia tidur, korban-korban tak berdosa"pria, wanita, dan
anak-anak" sedang dibantai secara brutal. Ia teringat ucapan Profesor
Staka, "Perang di Bosnia-Herzegovina ini memang tidak mungkin dipahami."
Tapi yang paling mengherankan adalah bagian dunia yang lain seakan-akan
tidak peduli. Ia tidak berani tidur kembali, karena takut pada mimpi buruk
yang memenuhi benaknya. Ia turun dari tempat tidur, berjalan ke jendela,
dan memandang ke luar. Suasananya begitu tenang"tanpa tembakan
senapan, tanpa orang-orang yang berlari di jalanan sambil menjerit-jerit. Ia
memikirkan Kemal. dan bertanya-tanya apakah ia akan bertemu lagi dengan
bocah itu. Mungkin dia malah sudah melupakanku.
Pagi hari berikutnya, Dana berbelanja pakaian. Ke mana pun ia pergi,
orang-orang berhenti dan menatapnya. Ia mendengar mereka berbisik-bisik,
"Itu Dana Evans!" Ia dikenali oleh semua penjaga toko. Ia telah menjadi
terkenal. Dan ia membencinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dana tidak sarapan dan tidak makan siang. Ia lapar, namun tidak bisa
makan. Perasaannya terlalu tegang. Ia seakan-akan menunggu bencana
yang terus membayang-bayanginya. Ketika menyusuri trotoar, ia tidak berani
menatap orang-orang yang berpapasan dengannya. Ia curiga pada semua
orang. Ia terus pasang telinga kalau-kalau ada bunyi tembakan. Aku tak bisa
hidup seperti ini, kata Dana dalam hati.
Sehabis jam makan siang, ia menemui Matt Baker di ruang kerjanya.
"Kenapa kau di sini" Seharusnya kau istirahat di rumah."
"Aku harus kembali bekerja, Matt."
Matt Baker menatapnya dan membayangkan gadis muda yang
mendatanginya beberapa tahun lalu. "Saya kemari untuk mencari pekerjaan.
Tapi sebenarnya saya sudah bekerja untuk Anda. Jadi ini lebih tepat disebut
transfer, bukan" ...Saya bisa mulai sekarang juga..." Gadis itu telah
melampaui segala sesuatu yang dijanjikannya. Kalau aku sampai punya anak
perempuan... "Bos mau ketemu," Matt memberitahu Dana. Mereka menuju ke ruang
kerja Leslie Stewart. Kedua wanita itu saling menilai. "Selamat datang kembali. Dana."
"Terima kasih."
"Duduklah." Dana dan Matt mengambil tempat di seberang meja Leslie.
"Saya ingin mengucapkan terima kasih karena Anda telah menyelamatkan
saya," ujar Dana. "Rasanya pasti seperti neraka di sana. Syukurlah kami bisa berbuat
sesuatu." Ia menatap Matt. "Bagaimana selanjutnya, Matt?"
Matt berpaling kepada Dana. "Koresponden Gedung Putih kita akan
mendapat tugas baru. Kau mau menggantikannya?"
Tugas di Gedung Putih adalah salah satu tugas paling bergengsi untuk
kalangan wartawan TV. Dana langsung berseri-seri. "Ya. Dengan senang hati."
Leslie mengangguk. "Oke."
Dana bangkit. "Ehm... sekali lagi. terima kasih."
"Selamat bekerja."
Dana dan Matt meninggalkan ruang kerja Leslie. "Mari kuantar ke tempat
kerjamu yang baru." Ia mengajak Dana ke gedung televisi, tempat seluruh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
staf sudah menunggu untuk menyambutnya. Dana membutuhkan waktu lima
belas menit untuk melayani semua orang yang ingin bersalaman dengannya.
"Perkenalkan, koresponden Gedung Putih kita yang baru," Matt berkata
kepada Philip Cole. "Wah, selamat. Ayo, kutunjukkan ruang kerjamu."
"Kau sudah makan siang?" Matt bertanya kepada Dana.
"Belum, aku..."
"Bagaimana kalau kita makan dulu?"
Ruang makan eksekutif berada di lantai lima, ruangan luas dan terang
dengan dua lusin meja. Matt mengajak Dana ke meja di pojok, dan mereka
segera duduk. "Miss Stewart kelihatannya ramah sekali." ujar Dana.
Matt hendak mengatakan sesuatu. "Ya. Ayo, pesan saja."
"Aku tidak lapar."
"Kau belum makan siang?"
"Belum." "Sarapan?" "Belum." "Dana... kapan kau terakhir makan?"
Dana menggeleng. "Aku tak ingat. Itu tidak penting."
"Salah. Koresponden Gedung Putih kita yang baru tak boleh mati
kelaparan." Seorang pelayan menghampiri meja mereka. "Anda sudah siap memesan,
Mr. Baker?" "Ya." Matt mempelajari daftar makanan. "Kita mulai dengan makanan
ringan. Sandwich bacon. selada, dan tomat untuk Miss Evans." Ia menatap
Dana. "Kue atau es krim?"
"Aku ti..." "Pie ala mode. Dan saya minta sandwich daging panggang."
"Baik, Sir." Dana memandang berkeliling. "Semuanya begitu tenteram. Begitu berbeda
dari keadaan di sana, Matt. Dan di sini tak ada yang peduli."
"Jangan bilang begitu. Tentu saja kita peduli. Tapi kita tidak bisa
mengendalikan dunia. Kita sudah berusaha sebaik mungkin."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Itu belum cukup," Dana menyahut dengan sengit.
"Dana..." Matt terdiam.
Pandangan Dana menerawang. Ia mendengarkan suara-suara yang tak
terdengar oleh Matt, dan melihat pemandangan mengerikan yang tak terlihat
olehnya. Mereka duduk membisu sampai pelayan mengantarkan pesanan
mereka. "Oke, selamat makan."
"Matt, aku tidak la..."
"Kau harus makan," Matt memerintahkan.
Jeff Connors menuju ke meja mereka. "Hai, Matt."
"Jeff." Jeff Connors menatap Dana.
"Halo." Matt berkata, "Dana, ini Jeff Connors. Dia redaktur olahraga di Tribune."


Rencana Paling Sempurna The Best Laid Plans Karya Shidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dana mengangguk. "Aku penggemar acaramu, Miss Evans. Aku senang sekali kau bisa pulang
dengan selamat." Dana kembali mengangguk. Matt menawarkan, "Mau bergabung, Jeff?"
"Dengan senang hati." Jeff menarik kursi dan berkata kepada Dana,
"Setiap liputanmu punya ciri khas. Aku selalu berusaha meluangkan waktu
untuk menontonnya." "Terima kasih," Dana bergumam.
"Jeff ini olahragawan terkemuka. Dia masuk Basebal Hal of Fame."
Sekali lagi Dana mengangguk sedikit.
"Kalau kau punya waktu," ujar Jeff, "Jumat depan ada pertandingan
Orioles lawan Yankees di Baltimore. Ini..."
Baru sekarang Dana menoleh kepadanya. "Kedengarannya menarik sekali.
Tujuan permainan itu adalah memukul bola lalu berlari keliling lapangan
sementara pihak lawan berusaha menghentikan kita?"
Jeff menatap Dana sambil mengerutkan kening. "Ehm..."
Dana bangkit, suaranya gemetaran. "Aku sempat melihat orang berlari
keliling lapangan"tapi mereka berlari untuk menyelamatkan nyawa, karena
ada yang menembaki mereka!" Ia nyaris histeris. "Itu bukan permainan,
dan... dan juga bukan pertandingan bisbol yang konyol."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang-orang di sekeliling mereka langsung menoleh.
"Persetan," Dana terisak-isak. Dan serta-merta ia bergegas meninggalkan
ruangan. Jeff berpaling kepada Matt. "Maaf. Aku tak bermaksud..."
"Ini bukan salahmu. Pikirannya masih di sana. Dan memang sudah
sewajarnya kalau dia mudah gugup."
Dana bergegas ke ruang kerjanya dan membanting pintu. Ia duduk di balik
meja dan berusaha menenangkan pikirannya yang kalut. Oh. ya Tuhan. Aku
keterlaluan. Aku pasti dipecat. Kenapa kubentak orang itu" Tempatku bukan
di sini. Tak ada tempat untukku di dunia ini.
Beberapa menit kemudian, pintu terbuka dan seseorang melangkah
masuk. Dana menoleh. Ternyata Jeff Connors. Ia membawa nampan berisi
sandwich bacon, selada, dan tomat, serta sepotong pie a la mode.
"Makan siangmu ketinggalan," Jeff berkata dengan lembut.
Dana menghapus air matanya. Ia malu sekali. "A... aku ingin minta maaf.
Aku menyesal sekali. Aku tak berhak..."
"Kau tak salah apa-apa," Jeff menyela. "Lagi pula, apa gunanya menonton
pertandingan bisbol?" Jeff meletakkan nampan di meja. "Boleh kutemani
makan siang?" Ia menarik kursi.
"Aku tidak lapar. Terima kasih."
Jeff menghela napas. "Kautempatkan aku di posisi yang sangat sulit, Miss
Evans. Matt berpesan kau harus makan. Kau tak ingin membuatku dipecat,
kan?" Dana memaksakan senyum. "Tidak." Ia meraih rotinya dan menggigit
pinggirannya. "Lebih besar." Dana kembali menggigit sandwich-nya.
"Lebih besar." Dana menoleh. "Kau mau mengawasiku sampai roti ini habis?"
"Tentu saja." Jeff memperhatikan Dana makan. "Nah, begitu. O ya, kalau
kau belum punya acara untuk malam Sabtu, aku ingin mengajakmu nonton
pertandingan antara Orioles dan Yankees. Kau berminat?"
Dana menatapnya dan mengangguk. "Ya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pukul tiga sore itu Dana tiba di Gedung Putih. Penjaga gerbang berkata
padanya, "Mr. Tager ingin bertemu Anda, Miss Evans. Saya akan memanggil
orang untuk mengantar Anda ke ruang kerjanya."
Beberapa menit kemudian, seorang petugas membawa Dana menyusuri
koridor panjang yang menuju ke kantor Peter Tager. Laki-laki itu sedang
menunggunya. "Mr. Tager..." "Saya tak menyangka kita akan bertemu secepat ini, Miss Evans. Anda
tidak diberi libur dari kantor?"
"Saya yang menolak," jawab Dana. "Saya... saya ingin bekerja."
"Silakan duduk." Dana mengambil tempat di seberang Tager. "Anda mau
minum?" "Tidak, terima kasih. Saya baru makan siang." Ia tersenyum karena
teringat Jeff Connors. "Mr. Tager, saya ingin mengucapkan terima kasih
kepada Anda dan Presiden Russel , karena Anda telah menyelamatkan saya."
Ia terdiam sejenak. "Saya tahu sikap Tribune terhadap..."
Peter Tager mengangkat sebelah tangannya. "Urusan ini berada di atas
politik. Presiden Russel tidak mungkin membiarkan mereka bertindak seperti
itu. Anda tahu kisah Helen of Troy?"
"Ya." Tager tersenyum. "Nah, seandainya perlu, kami siap berperang untuk
Anda. Anda orang yang sangat penting."
"Saya tidak merasa penting."
"Presiden Russel dan saya gembira sekali Anda ditugaskan di Gedung
Putih." "Terima kasih."
Tager berhenti sejenak. "Sayang sekali pihak Tribune tidak menyukai
Presiden Russel , dan Anda tak bisa berbuat apa-apa. Meski demikian, kalau
ada yang bisa dilakukan oleh Presiden Russel atau saya untuk membantu...
kami berdua sangat menghormati Anda."
"Terima kasih banyak."
Pintu membuka dan Oliver melangkah masuk. Dana dan Peter Tager
segera berdiri. "Silakan duduk," ujar Oliver. Ia menghampiri Dana. "Selamat datang."
"Terima kasih, Mr. President," jawab Dana. "Saya bersungguh-sungguh."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Oliver tersenyum. "Untuk apa jadi presiden kalau kita tidak bisa
menyelamatkan nyawa seseorang" Saya akan berterus terang, Miss Evans.
Kami bukan penggemar surat kabar Anda. Kami penggemar Anda."
"Terima kasih."
"Peter akan mengantar Anda berkeliling Gedung Putih. Kalau ada apa-apa,
kami siap membantu."
"Anda baik sekali."
"Kalau Anda tidak keberatan, saya minta Anda menemui Mr. Werner,
menteri luar negeri kita. Saya ingin dia mendapatkan laporan dari tangan
pertama tentang situasi di Bosnia-Herzegovina."
"Dengan senang hati."
Selusin pria duduk di ruang rapat pribadi Menteri Luar Negeri sambil
mendengarkan penjelasan Dana mengenai pengalamannya.
"Sebagian besar bangunan di Sarajevo rusak atau hancur sama sekali...
Tak ada listrik, dan orang-orang yang masih memiliki mobil melepaskan aki
malam hari untuk menghidupkan pesawat TV...
"Jalan-jalan di kota terhalang bangkai mobil, gerobak, dan sepeda. Sarana
transportasi utama adalah berjalan kaki....
"Kalau ada badai, para penduduk mengambil air dari selokan untuk
ditampung dalam ember....
"Palang Merah dan wartawan tidak dihargai di sana. Lebih dari empat
puluh koresponden gugur saat bertugas meliput perang Bosnia, dan puluhan
mengalami luka-luka.... Saya tidak tahu apakah pemberontakan terhadap
Slobodan Milosevic akan berhasil, tapi yang jelas pemerintahannya ditentang
oleh hampir semua kelompok masyarakat...."
Tanya-jawab itu berlangsung dua jam. Bagi Dana, ini pengalaman yang
traumatis namun sekaligus melegakan. Saat menjelaskan apa yang terjadi,
semua adegan mengerikan tersebut kembali terbayang di depan matanya,
namun secara bersamaan ia juga merasa lega karena bisa mengeluarkan isi
hati. Ia letih sekali ketika pertemuan itu berakhir.
Menteri Luar Negeri berkata, "Saya ingin mengucapkan terima kasih, Miss
Evans. Pembicaraan ini sangat informatif." Ia tersenyum. "Saya bersyukur
Anda bisa pulang dengan selamat."
"Saya juga, Mr. Secretary."
Jumat malam, Dana duduk di samping Jeff Connors di ruang pers di
Camden Yards. Mereka menonton pertandingan bisbol. Dan untuk pertama
kali sejak pulang, Dana mampu mengalihkan pikiran dari segala kengerian
akibat perang yang telah dilihat dan dialaminya. Sambil memperhatikan para
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pemain di lapangan. Dana mendengarkan penjelasan komentator yang
mengulas pertandingan itu.
"...kita di akhir inning keenam dan Nelson mendapat giliran melempar.
Alomar memukul bola menyusuri garis sisi kiri lapangan untuk mendapat
double. Palmeiro bersiap-siap memukul. Kedudukannya dua-dua. Nelson
melempar fast bal lurus, Palmeiro mengayunkan tongkat; Wow. luar biasa!
Bola melayang tinggi, tampaknya akan melewati dinding pembatas sebelah
kanan. Ya! Palmeiro mengelilingi lapangan, menyusul Alomar. Tambahan dua
angka ini membuat Orioles unggul untuk sementara...."
Saat pergantian posisi tim di babak ketujuh, Jeff bangkit dan menatap
Dana. "Bagaimana" Kau bisa menikmati pertandingan ini?"
Dana membalas tatapannya dan mengangguk. "Ya."
Setelah kembali ke D.C. seusai pertandingan, mereka makan malam di
Bistro Twenty Fifteen. "Aku ingin minta maaf atas sikapku waktu itu," ujar Dana. "Aku baru
kembali dari suatu dunia tempat..." Ia berhenti sejenak untuk mencari katakata yang tepat. "Tempat segalanya merupakan masalah hidup dan mati.
Semuanya. Ini betul-betul mengerikan. Sebab kalau perang ini dibiarkan berlanjut, orang-orang di sana tak punya harapan."
Jeff berkata dengan lembut, "Dana. kau jangan mogok hidup karena apa
yang terjadi di sana. Hidupmu berjalan terus. Di sini."
"Aku tahu. Tapi... ini tidak mudah."
"Tentu saja tidak mudah. Aku ingin membantu. Bolehkah aku
membantumu?" Pandangan Dana melekat pada wajah Jeff. "Ya."
Keesokan harinya, Dana mempunyai janji makan siang dengan Jeff
Connors. "Kau bisa menjemputku?"
Jeff bertanya. Ia menyebutkan alamat tempat ia berada.
"Oke." Dana bertanya-tanya mengapa Jeff berada di tempat itu. Alamat yang
diberikan Jeff terletak di suatu daerah di pusat kota yang dikenal berbahaya.
Dana menemukan jawabannya ketika ia tiba di sana.
Jeff dikelilingi dua tim bisbol. Para pemainnya berusia antara sembilan dan
tiga belas tahun, semuanya mengenakan berbagai macam seragam bisbol
yang kreatif. Dana memarkir mobil di tepi jalan untuk menonton.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dan ingat," Jeff sedang berkata, "jangan terburu-buru. Waktu bolanya
dilempar, anggaplah bola itu melayang pelan-pelan, dan kalian punya banyak
waktu untuk memukulnya. Rasakan tongkat kalian menghajar bola. Biarkan
tangan kalian diarahkan pikiran kalian, supaya..."
Jeff menoleh dan melihat Dana. Ia melambaikan tangan. "Oke, semuanya.
Sekian dulu untuk hari ini."
Salah satu pemain itu bertanya, "Itu pacarmu, Jeff?"
"Kalau aku beruntung." Jeff tersenyum. "Sampai ketemu."
Ia berjalan ke mobil Dana.
"Timmu boleh juga," ujar Dana.
"Mereka anak-anak baik. Aku melatih mereka seminggu sekali."
Dana tersenyum. "Aku suka itu."
Dan dalam hati ia bertanya di mana Kemal sekarang dan bagaimana
kabarnya. Hari demi hari berlalu, dan Dana semakin akrab dengan Jeff Connors. Jeff
penuh pengertian, cerdas, dan lucu. Dana senang menghabiskan waktu bersamanya. Perlahan-lahan semua kenangan mengerikan tentang Sarajevo
mulai memudar. Dan suatu pagi, Dana terbangun tanpa dihantui mimpi buruk
malam sebelumnya. Ia menceritakannya kepada Jeff, dan Jeff berkata, "Rupanya usaha kita
sudah mulai menunjukkan hasil."
Dan Dana bertanya-tanya apakah ada maksud lain dalam ucapan itu.
Sepucuk surat bertulisan tangan menunggu Dana di kantor. Surat itu
berbunyi: "Miss evans, jangan kuatirkan aku. Aku senang, aku tidak sedih,
aku tidak kesepian, dan aku akan kirim kembali pakaian yang anda belikan
untukku sebab aku tidak perlu lagi. aku punya pakaian sendiri sekarang,
goodbye." Surat itu ditandatangani "kemal".
Surat tersebut dikirim dari Paris, dan ditulis pada kertas berlogo Xavier's
Home for Boys. Dana membacanya dua kali, lalu mengangkat telepon. Ia
memerlukan waktu empat jam untuk menghubungi Kemal.
Ia mendengar suara anak itu yang bernada waswas. "Halo..."
"Kemal, ini Dana Evans." Tak ada jawaban. "Aku sudah terima suratmu."
Hening. "Aku gembira sekali kau senang di sana." Ia menunggu sejenak, lalu
melanjutkan, "Coba kalau aku juga bisa senang seperti kau. Kau tahu kenapa
aku tidak senang" Karena aku rindu padamu. Aku sering memikirkanmu."
"Aku tidak percaya," balas Kemal. "Tidak ada vang peduli padaku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau keliru. Bagaimana kalau kau datang ke Washington dan tinggal
bersamaku?" Kemal terdiam lama sekali. "A.... aku tinggal di sana?"
"Ya. Bagaimana" Kau mau?"
"Aku..." Ia mulai menangis.
"Kau mau, Kemal?"
"Ya... ya, Ma'am."
"Aku akan mengatur semuanya."
"Miss Evans?" "Ya?" "I love you" Dana dan Jeff Connors berjalan-jalan di West Potomac Park. "Kelihatannya
ada seseorang yang akan tinggal bersamaku," ujar Dana. "Dia akan datang
beberapa minggu lagi. Namanya Kemal."
Jeff menatapnya sambil mengerutkan kening. "Laki-laki?"
Dana senang melihat reaksi Jeff. "Ya. Umurnya dua belas tahun." Ia
menceritakan semuanya. "Dia pasti hebat sekali."
"Ya. Dia sudah terlalu lama menderita, Jeff. Aku ingin membantunya
melupakan masa lalu."
Jeff menatap Dana dan berkata, "Aku juga ingin membantu."
Malam itu, mereka bercinta untuk pertama kalinya.
16 WASHINGTON, D.C., sesungguhnya kota dengan dua wajah. Wajah yang
satu menampilkan keindahan yang menakjubkan: arsitektur megah, museum
kelas dunia, patung, monumen untuk mengenang para tokoh sejarah:
Lincoln, Jefferson, Washington... kota dengan taman asri, bunga ceri, dan
udara yang nyaman. Wajah yang satu lagi mencerminkan dunia yang serbakeras, dengan
gerombolan tuna wisma dan angka kejahatan yang termasuk paling tinggi di
Amerika Serikat... kota tempat perampokan dan pembunuhan merupakan
peristiwa sehari-hari. Monroe Arms adalah hotel butik elegan yang terletak agak tersembunyi,
tidak jauh dari perempatan 27th Street dan K Street. Hotel tersebut tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pernah memasang iklan, dan terutama melayani tamu-tamu pelanggannya.
Gedungnya dibangun beberapa tahun lalu oleh pengusaha real estate bernama Lara Cameron. Jeremy Robinson, manajer umum hotel itu, baru Dua tiba untuk dinas
malam dan sedang mempelajari daftar tamu. Ia tampak bingung. Sekali lagi
ia memeriksa nama para tamu yang menempati Terrace Suites yang elite,
untuk memastikan tidak ada yang membuat kesalahan.
Di Suite 325, seorang aktris yang telah melewati puncak kejayaannya
sedang berlatih untuk pertunjukan perdana sandiwara di National Theater.


Rencana Paling Sempurna The Best Laid Plans Karya Shidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menurut artikel di The Washington Post, aktris tersebut berharap dapat
meraih kembali popularitasnya yang sudah surut.
Suite 425, tepat di atasnya, ditempati pedagang senjata tersohor yang
secara berkala mengunjungi Washington. Nama yang tercantum dalam daftar
tamu adalah J.L. Smith, namun raut wajahnya mengisyaratkan bahwa ia
berasal dari kawasan Timur Tengah. Mr. Smith dikenal royal memberi tip
kepada para pegawai hotel.
Tamu di Suite 525 adalah Wil iam Quint, anggota Kongres yang mengetuai
komite pengawasan obat terlarang yang sangat berpengaruh.
Di atasnya, Suite 625, didiami salesman perangkat lunak komputer yang
sekali sebulan berkunjung ke Washington.
Suite 725 ditempati oleh Pat Murphy, juru lobi internasional.
Oke, pikir Jeremy Robinson. Semua tamu itu dikenalnya dengan baik. Tapi
penghuni Suite 825, yaitu Imperial Suite di lantai teratas, merupakan tekateki baginya. Imperial Suite merupakan suite termewah di hotel itu, yang
diberikan hanya kepada tamu-tamu VIP yang terpenting. Suite tersebut
menempati seluruh lantai puncak, serta diperindah dengan lukisan dan
barang antik yang mahal. Supaya para tamu leluasa, suite itu dilengkapi
dengan lift pribadi yang langsung menuju ke tempat parkir di basement,
sehingga para tamu dapat keluar-masuk tanpa diketahui orang lain.
Yang membuat Jeremy Robinson bingung adalah nama yang tercantum
dalam daftar tamu: Eugene Gant. Apakah memang ada orang dengan nama
itu, ataukah ada penggemar pengarang Thomas Wolfe yang memilihnya
sebagai nama samaran"
Cari Gorman, petugas hotel yang mencatatkan Mr. Gant yang misterius itu,
telah berangkat berlibur beberapa jam sebelumnya, dan tidak dapat
dihubungi. Robinson tidak menyukai misteri. Siapa Eugene Gant dan kenapa
dia diberi Imperial Suite"
Di Suite 325, di lantai tiga, Dame Gisel a Barrett sedang berlatih untuk
pertunjukan teater. Ia tetap berpenampilan elegan di usianya yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menjelang tujuh puluh. Dulu, kemampuan aktingnya memikat para penonton
dan kritikus seni mulai dari West Lud di London sampai Broadway di
Manhattan. Sampai sekarang pun sisa-sisa kecantikan masih terbayang di
wajahnya, namun kegetiran hidup lelah meninggalkan guratan yang dalam.
la sempat membaca artikel di The Washington Post yang mengatakan ia
datang ke Washington untuk muncul kembali. Muncul kembali! pikir Dame
Harrett dengan geram. Beraninya mereka! Aku tak pernah menghilang.
Memang, sudah lebih dari dua puluh tahun berlalu sejak ia terakhir naik
panggung, tapi itu semata-mata karena aktris besar membutuhkan peran
besar, sutradara cemerlang, serta produser yang penuh pengertian. Para
sutradara zaman sekarang terlalu muda untuk memahami kemegahan teater
sejati, dan para produser terkemuka dari Inggris" H.M. Tenant, Binkie
Beaumont, C.B. Cochran" semuanya telah tiada. Para produser Amerika
yang lumayan kompeten, Helburn, Belasco, dan Golden, juga sudah tinggal
nama. Tak pelak lagi: Dewasa ini teater dikuasai oleh anak-anak kemarin
sore yang tidak tahu apa-apa dan tidak memiliki latar belakang. Keadaannya
berbeda sekali dari zaman dulu. Kala itu ada penulis naskah yang sanggup
mengalirkan petir melalui penanya. Dame Barrett tampil cemerlang sebagai
El ie Dunn dalam Heartbreak House karya Shaw.
Aku disanjung-sanjung oleh para kritikus. George yang malang. Dia benci
nama George. Dia lebih suka dipanggil Bernard. Orang menganggapnya
kecut dan getir, tapi di balik sikapnya yang keras, dia sebenarnya pria
Irlandia yang romantis. Dia selalu mengirimkan mawar merah untukku.
Menurutku dia terlalu pemalu untuk melangkah lebih jauh dari itu. Mungkin
dia takut aku akan menolaknya.
Ia hendak bangkit kembali melalui salah satu peran paling dahsyat yang
pernah ditulis"Lady Macbeth. Peran yang sempurna untuknya.
Dame Barrett memindahkan kursi menghadap dinding yang polos, agar
perhatiannya tidak bercabang pada pemandangan di luar. Ia duduk, menarik
napas dalam-dalam, kemudian mulai menyelami tokoh rekaan Shakespeare
itu. "Come you spirits That tend on mortal thoughts! Unsex me here,
And fi l me from the crown to the toe top-ful
Of direst cruelty; make thick my blood,
Stop up the access and passage to remorse.
That no compunctious visitings of nature
Shake my fel purpose, nor keep the peace between The effect and it!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"...Demi Tuhan, bagaimana mungkin kalian begitu bodoh" Sudah
bertahun-tahun aku menginap di hotel ini, dan seharusnya..."
Suara menggelegar itu masuk melalui jendela lerbuka, dari suite di atas.
Di Suite 425, J.L. Smith, si pedagang senjata, sedang membentak-bentak
seorang pelayan room tervice. "...kalian kan sudah tahu aku selalu memesan
kaviar Beluga. Beluga!" Ia menunjuk piring berisi kaviar yang baru saja
diantarkan. "Makanan itu cuma cocok untuk petani!"
"Saya minta maaf, Mr. Smith. Saya akan mengembalikannya ke dapur
dan..." "Sudahlah." J.L. Smith menatap jam tangan Rolex-nya yang bertatahkan
berlian. "Aku tak punya waktu lagi. Aku ada janji penting."
Ia bangkit dan menuju ke pintu. Ia harus ke kantor penasihat hukumnya.
Sehari sebelumnya, sebuah grand jury federal mendakwanya untuk lima
belas kasus pemberian hadiah ilegal kepada Menteri Pertahanan. Seandainya
dinyatakan bersalah, ia menghadapi hukuman penjara selama tiga tahun
serta denda sebesar jutaan dolar.
Di Suite 525, Congressman Wil iam Quint, yang berasal dari keluarga
terpandang di Washington, sedang mengadakan rapat dengan tiga anggota
staf penyelidiknya. "Masalah obat terlarang di kota ini semakin tak terkendali." ujar Quint.
"Pemberantasannya harus kita galakkan." Ia berpaling kepada Dalton Isaak.
"Bagaimana pendapatmu?"
"Ini semua karena geng-geng jalanan. Kelompok Brentwood pasang harga
yang lebih rendah dari Kelompok Fourteenth Street dan Kelompok Simple
City. Gara-gara itu telah terjadi empat pembunuhan dalam bulan terakhir."
"Ini tak bisa dibiarkan," kata Quint. "Tidak baik untuk bisnis. Berulang kali
aku ditelepon DEA dan Kepala Polisi. Mereka ingin tahu apa rencana kita."
"Apa yang Anda katakan pada mereka?"
"Seperti biasa. Kita sedang mengadakan penyelidikan." Ia berpaling kepada
asistennya. "Atur pertemuan dengan Kelompok Brentwood. Katakan pada
mereka bahwa mereka harus menyesuaikan harga dengan yang lain, kalau
mereka masih menginginkan perlindungan kita."
Ia berpaling kepada asistennya yang lain. "Berapa pemasukan kita bulan
lalu?" "Sepuluh juta di sini, sepuluh juta di luar."
"Berarti harus ditingkatkan lagi. Kota brengsek ini semakin mahal saja."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di Suite 625, satu lantai di atas, Norman Haff terbaring telanjang di tempat
tidur di kamarnya yang gelap, sambil menonton film porno di saluran closedcircuit yang disediakan pihak hotel. Ia berkulit pucat, dengan perut gendut
dan tubuh bergelambir. Tangannya terulur dan mengelus-elus payudara
teman kencannya. "Coba lihat apa yang mereka lakukan, Irma." Suaranya parau. "Kau mau
melakukannya untukku?"
Tangannya memegang pinggang teman kencannya, sementara matanya
terus tertuju ke layar TV. "Kau sudah mulai terangsang, Sayang" Aku sudah
tak tahan." la menyelipkan dua jarinya di antara paha Irma. "Aku siap," erangnya. Ia
meraih boneka tiup itu, berguling ke samping, lalu memasukinya. Vagina
boneka bertenaga baterai itu mengembang dan mengempis, semakin lama
semakin kencang. "Oh, ya Tuhan!" serunya. Ia mengerang-erang karena puas. "Yes! Yes!"
Kemudian ia mematikan bonekanya dan tergeletak sambil terengah-engah.
Ia lega sekali. Besok pagi, Irma akan dipakainya sekali lagi sebelum
dikempiskan dan dimasukkan ke koper.
Norman bekerja sebagai salesman, dan sebagian besar waktunya habis
untuk berkeliling dari kota ke kota. Beberapa tahun lalu ia menemukan Irma,
dan ia tidak pernah mencari teman kencan lain. Rekan-rekannya yang bodoh
selalu sibuk mencari perempuan murahan atau pelacur profesional, tapi
Norman yakin akan pilihannya.
Ia takkan pernah tertulari penyakit dari Irma.
Satu lantai di atasnya, di Suite 725, Pat Murphy sekeluarga baru pulang
dari makan malam. Tim Murphy, dua belas, berdiri di balkon yang menghadap ke taman. "Besok kita naik ke puncak monumen, ya, Daddy?" ia
memohon. "Besok, ya?" Adiknya berkata, "Jangan. Aku mau ke Smithsonian Institute."
"Institution," ayahnya meralat.
"Sama saja. Pokoknya, aku mau ke situ."
Ini untuk pertama kalinya anak-anak itu berkunjung ke ibu kota, meskipun
ayah mereka setiap tahun menghabiskan lebih dari enam bulan di sana. Pat
Murphy pelobi yang sukses dan memiliki askes ke beberapa orang paling
berpengaruh di Washington.
Ayahnya dulu wali kota di kota kecil di Ohio, dan Pat menjadi terpesona
pada dunia politik. Sahabat karibnya semasa kanak-kanak bernama Joey.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mereka bersekolah bersama-sama, mengikuti perkemahan musim panas
bersama-sama, dan saling berbagi segala sesuatu. Mereka bersahabat dalam
arti sesungguhnya. Semuanya berubah pada suatu hari libur, ketika orangtua
Joey ke luar kota dan Joey menginap di rumah keluarga Murphy. Di tengah
malam buta, Joey menyelinap ke kamar Pat dan naik ke tempat tidurnya.
"Pat," ia berbisik. "Bangun."
Pat langsung terjaga. "Apa" Ada apa?"
"Aku kesepian," bisik Joey. "Aku membutuhkanmu."
Pat Murphy betul-betul bingung. "Untuk apa?"
"Masa kau tak mengerti" Aku mencintaimu. Aku membutuhkanmu." Dan
kemudian ia mencium bibir Pat.
Pat mendadak sadar bahwa sahabatnya ternyata homoseksual. Ia langsung
muak. Sejak saat itu ia tidak mau lagi berbicara dengan Joey.
Pat Murphy membenci kaum homoseksual. Mereka menyimpang dari
kodrat alam, dikutuk Tuhan, berusaha merayu anak-anak yang lugu.
Terdorong oleh kebenciannya, ia mulai berkampanye menentang kaum
homoseksual. Ia selalu memberikan suara kepada calon yang sepandangan
dengannya, dan berkeliling negeri untuk berceramah mengenai kebejatan
dan bahaya homoseksualitas.
Sebelumnya, ia selalu seorang diri datang ke Washington, tapi kali ini
istrinya berkeras ikut bersama kedua anak mereka.
"Kami ingin tahu bagaimana kehidupanmu di sini," istrinya berkilah. Dan
akhirnya Pat menyerah. Ia menatap anak-istrinya, dan dalam hati berkata, Ini terakhir kalinya aku
melihat mereka. Bagaimana mungkin aku melakukan kesalahan yang begitu
bodoh" Untunglah sebentar lagi semuanya akan berakhir. Keluarganya telah
menyusun rencana besar untuk besok. Tapi takkan ada hari esok. Pagi-pagi
sekali, sebelum mereka bangun, ia sudah akan berada di dalam pesawat
yang menuju ke Brasil. Alan telah menantinya. Keheningan meliputi Suite 825, yaitu Imperial Suite. Bernapaslah, ia
berkata dalam hati. Kau harus bernapas... pelan-pelan, pelan-pelan.... Ia
nyaris panik. Ia menatap tubuh telanjang gadis muda yang tergeletak di
lantai. Ini bukan salahku. Dia terpeleset.
Kepala gadis itu luka karena terbentur tepi meja besi. Darah membasahi
keningnya. Pergelangan tangannya sempat diraba-raba oleh teman kencanTiraikasih Website http://kangzusi.com/
nya, namun tidak terasa denyut nadinya. Ini betul-betul tidak masuk akal.
Semenit yang lalu gadis itu masih begitu hidup, dan menit berikutnya...
Aku harus pergi dari sini. Sekarang juga! Pria itu berbalik dan mulai
tergesa-gesa berpakaian. Ia kalang kabut. Ia sadar betul bahwa kejadian ini
dapat menjadi skandal yang menggemparkan dunia. Tak seorang pun boleh
tahu aku pernah berada di suite ini. Begitu selesai berpakaian, ia langsung
masuk kamar mandi, membasahi handuk, dan mulai menyeka permukaan
semua benda yang mungkin telah disentuhnya.
Setelah yakin semua sidik jarinya telah terhapus, ia sekali lagi memandang
berkeliling. Astaga, tasnya! Ia mengambil tas gadis itu dari sofa, lalu berjalan
ke ujung apartemen, tempat lift pribadi sudah menunggu.
Ia masuk lift. Napasnya terengah-engah. Ia menekan tombol G, dan
beberapa detik kemudian pintu lift membuka dan ia sudah berada di
basement. Tidak ada orang. Ia menuju ke mobilnya. Sekonyong-konyong ia
teringat sesuatu, dan serta-merta berbalik. Ia mengeluarkan saputangan dan
menghapus sidik jarinya dari tombol lift. Dengan waswas ia memandang
berkeliling untuk memastikan tidak ada yang melihatnya. Akhirnya ia menghampiri mobil, membuka pintu, dan duduk di belakang kemudi. Setelah
mengatur napas, ia menyalakan mesin dan meninggalkan tempat itu.
Mayat gadis yang tergeletak di lantai ditemukan oleh pramuwisma asal
Filipina. "O Dios ko, kawawa naman iyong babae!" Ia membuat tanda salib dan
berlari keluar sambil berteriak-teriak minta tolong.
Tiga menit kemudian, Jeremy Robinson dan Thom Peters, kepala
keamanan hotel, sudah berada di Imperial Suite.
"Ya Tuhan," ujar Thom. "Umurnya paling banyak enam belas atau tujuh
belas." Ia berpaling kepada Robinson. "Sebaiknya kita hubungi polisi."
"Tunggu!" Polisi. Pers. Publisitas. Sejenak Robinson berharap dapat
menyulap mayat gadis itu agar menghilang. "Kurasa kau benar," katanya
akhirnya dengan berat hati.
Thom Peters mengeluarkan saputangan dari saku dan menggunakannya
untuk mengangkat gagang telepon.
"Kenapa harus pakai saputangan?" tanya Robinson. "Ini kasus kecelakaan,
bukan kejahatan." "Kita belum tahu pasti," sahut Peters.
Ia menghubungi sebuah nomor dan menunggu sejenak. "Bagian
Pembunuhan." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Detektif Nick Reese cocok dengan gambaran polisi jalanan yang biasa
ditampilkan dalam novel picisan. Ia jangkung dan kekar, hidungnya yang
patah merupakan kenang-kenangan dari karier tinju yang sempat dijalaninya
di masa muda. Ia mulai dari bawah sebagai petugas patroli Washington
Metropolitan Police Department, dan pelan-pelan merangkak ke posisi yang
lebih tinggi: Kepala Patroli, Sersan. Letnan. Ia telah dipromosikan dari
Detektif D2 ke Detektif DI, dan dalam sepuluh tahun terakhir ia memecahkan
lebih banyak kasus daripada siapa pun di dinas kepolisian itu.
Detektif Reese mengamati keadaan. Setengah lusin orang berkumpul di
Imperial Suite. "Ada yang menyentuh mayat korban?"
Robinson bergidik. "Tidak."
"Siapa dia?" "Saya tidak tahu."
Reese berpaling kepada manajer hotel itu. "Ada gadis muda ditemukan
tewas di Imperial Suite hotel Anda, dan Anda tak tahu siapa dia" Apakah
hotel ini tidak punya daftar tamu?"
"Tentu saja punya. Detektif, tapi dalam kasus ini..." Ia terdiam.
"Dalam kasus ini...?"
"Suite ini disewa oleh seseorang bernama Eugene Gant."
"Siapa Eugene Gant?"
"Saya tidak tahu."
Kesabaran Detektif Reese mulai menipis. "Begini, orang yang memesan
suite ini pasti sudah membayar... entah dengan uang tunai, kartu kredit, atau
kambing sekalipun. Dan siapa pun yang mencatat kedatangan Gant dalam
daftar tamu, pasti sempat melihatnya. Siapa yang mencantumkan namanya?"
"Petugas yang berdinas siang, Gorman."
"Saya ingin bicara dengan dia."
"Saya... saya rasa itu tak mungkin."
"Oh" Kenapa?"


Rencana Paling Sempurna The Best Laid Plans Karya Shidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia berangkat berlibur hari ini."
"Telepon dia." Robinson menghela napas. "Dia tak bilang berlibur di mana."
"Kapan dia kembali?"
"Dua minggu lagi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Anda akan saya beritahu sebuah rahasia. Saya tak berminat menunggu
dua minggu. Saya menginginkan informasi, sekarang juga. Pasti ada yang
melihat Gant masuk atau keluar suite ini."
"Belum tentu," Robinson berusaha menjelaskan. "Selain pintu masuk biasa,
suite ini juga mempunyai lift pribadi yang langsung menuju ke tempat parkir
di basement.... Saya tidak mengerti kenapa Anda membesar-besarkan urusan
ini. Bukankah sudah jelas ini hanya kecelakaan" Kemungkinan besar gadis itu
minum obat terlarang melebihi dosis, lalu dia tersandung dan jatuh."
Detektif Reese dihampiri salah satu rekannya. "Semua lemari sudah
kuperiksa. Bajunya merek Gap, sepatunya Wild Pair. Tak ada petunjuk yang
bisa kita pakai." "Tak ada apa pun supaya dia bisa di dentifikasi?"
"Tampaknya begitu. Kalaupun dia bawa tas, tasnya sudah tak ada di sini."
Detektif Reese kembali menatap mayat di lantai. Ia berpaling kepada
seorang polisi. "Coba ambilkan sabun. Basahi dulu."
Polisi itu menatapnya sambil terheran-heran.
"Maaf?" "Sabun basah." "Baik, Sir." Ia bergegas ke kamar mandi.
Detektif Reese berlutut di samping korban dan mengamati cincin di jari
gadis itu. "Kelihatannya seperti cincin sekolah."
Semenit kemudian, petugas polisi tadi kembali dan menyerahkan sepotong
sabun basah kepada Reese.
Si detektif mengusapkan sabun itu ke jari korban, lalu mencabut cincinnya
dengan hati-hati. Ia memeriksanya dari segala arah. "Cincin kelas dari
Denver High. Ada inisialnya, P.Y." Ia berpaling kepada mitranya. "Tolong
selidiki. Telepon sekolah itu dan cari tahu siapa gadis ini. Makin cepat dia
di dentifikasi, makin baik."
Detektif Ed Nelson, salah satu anggota tim sidik jari, menghampiri Detektif
Reese. "Ada yang aneh di sini. Nick. Kami menemukan sidik jari di manamana, tapi sepertinya ada seseorang yang menghapus sidik jari dari semua
gagang pintu." "Berarti ada orang lain ketika korban meninggal. Kenapa orang itu tidak
memanggil dokter" Kenapa dia menghapus sidik jarinya" Dan kenapa ada
gadis muda di suite mahal seperti ini?"
Ia berpaling kepada Robinson. "Bagaimana pembayaran sewa suite ini?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Menurut catatan kami, secara tunai. Uangnya diantar dalam amplop oleh
kurir. Dan pemesanannya melalui telepon."
Petugas pemeriksa mayat angkat bicara, "Sudah bisa dibawa, Nick?"
"Tunggu sebentar. Ada tanda-tanda kekerasan?"
"Hanya luka di kening. Tapi nanti kita akan melakukan autopsi."
"Tanda lain?" "Tak ada. Kaki dan lengannya bersih."
"Ada kemungkinan dia diperkosa?"
"Nanti harus diperiksa dulu."
Detektif Reese menghela napas. "Jadi, yang kita hadapi di sini anak
sekolah dari Denver yang datang ke Washington dan tewas di salah satu
hotel paling mahal di sini. Lalu ada orang yang menghapus sidik larinya dan
menghilang. Ini lebih dari mencurigakan. Aku harus tahu siapa penyewa suite
ini." Ia berpaling kepada petugas pemeriksa mayat. "Oke, dia sudah bisa
dibawa sekarang." Ia menoleh kepada Detektif Nelson. "Sidik jari di lift
pribadi sudah diperiksa?"
"Sudah. Liftnya menghubungkan suite ini dengan basement. Hanya ada
dua tombol. Dan dua-duanya diseka sampai bersih."
"Tempat parkir?"
"Juga sudah. Tak ada yang aneh di bawah sana."
"Siapa pun yang berada bersama korban benar-benar bersusah payah
menghapus jejaknya. Mungkin dia punya catatan kriminal, atau orang VIP
yang suka main-main dengan anak sekolah." la berpaling kepada Robinson.
"Siapa saja yang biasa menempati suite ini?"
Dengan berat hati Robinson menjawab, "Suite ini disiapkan khusus untuk
tamu-tamu yang paling penting. Para raja, perdana menteri...?"ia terdiam
sejenak?"...presiden."
"Apakah ada telepon keluar dari suite ini selama 24 jam terakhir?"
"Saya tak tahu."
Detektif Reese mulai gusar. "Tapi seandainya ada, apakah Anda punya
catatannya?" "Tentu saja." Detektif Reese mengangkat gagang telepon. "Operator, ini Detektif Nick
Reese. Saya ingin tahu apakah ada telepon keluar dari Imperial Suite selama
24 jam terakhir" ...Saya tunggu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia memperhatikan para petugas pemeriksa mayat menutup tubuh gadis itu
dengan kain dan memindahkannya ke tandu. Ya Tuhan, pikir Reese. Dia
belum sempat menikmati hidup.
Ia mendengar suara si operator. "Detektif Reese?"
"Ya." "Ada satu telepon keluar dari suite itu kemarin. Telepon dalam kota."
Reese mengeluarkan notes dan pensil. "Nomornya"... Empat-lima-enamtujuh-kosong-empat-satu"..." Reese mulai mencatat angka-angka itu, lalu
mendadak berhenti. Ia menatap notesnya. "Oh, brengsek!"
"Ada apa?" tanya Detektif Nelson.
Reese menoleh. "Itu nomor telepon Gedung Putih."
17 SAAT sarapan keesokan paginya, Jan bertanya, "Ke mana kau semalam,
Oliver?" Oliver tersentak kaget. Tapi Jan tidak mungkin tahu apa yang telah terjadi.
Tak ada yang tahu. "Aku rapat dengan..."
Jan memotong jawabannya. "Rapat itu dibatalkan. Tapi kau baru pulang
jam tiga pagi. Aku sempat berusaha menghubungimu. Ke mana kau?"
"Ehm, ada urusan mendadak. Kenapa" Apakah kau..." Apa ada yang tak
beres?" "Sudahlah," kata Jan dengan letih. "Oliver, kau bukan hanya menyakiti
aku, tapi juga merugikan dirimu sendiri. Kau sudah melangkah begitu jauh.
Aku tak ingin kau kehilangan semuanya karena... karena kau tak bisa..."
Matanya berkaca-kaca. Oliver bangkit dan menghampiri Jan. Ia merangkul istrinya. "Tak ada apaapa, Jan. Semuanya baik-baik saja. Aku sangat mencintaimu."
Memang benar, pikir Oliver, dengan caraku sendiri. Kejadian semalam
bukan salahku. Dia yang menelepon. Seharusnya aku tak menemuinya.
Ia telah mengambil semua langkah agar tidak ada yang melihatnya. Tak
ada yang perlu dikuatirkan, Oliver berkata dalam hati.
Peter Tager mengkhawatirkan Oliver. Ia telah menyadari bahwa libido
Oliver Russel tidak bisa dikendalikan, dan akhirnya ia menemukan jalan
untuk mengatasi masalah tersebut. Pada malam-malam tertentu, Peter Tager
mengadakan rapat fiktif di luar Gedung Putih yang harus dihadiri Presiden. Ia
juga mengatur agar para pengawal dari Secret Service menghilang selama
beberapa jam. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika Peter Tager menemui Senator Davis untuk menyampaikan keluhan
tentang apa yang sedang terjadi, sang senator menyahut dengan tenang,
"Hmm, Oliver memang laki-laki berdarah panas, Peter. Gairah seperti itu
kadang-kadang sulit dikekang. Aku sangat mengagumi sikapmu, Peter. Aku
tahu keluargamu adalah segala-galanya bagimu. Kau tentu muak melihat
perilaku presiden kita. Tapi sebaiknya kita jangan menghakimi orang lain.
Pastikan kerahasiaan tindak-tanduknya tetap terjamin."
Detektif Nick Reese selalu enggan memasuki ruang autopsi yang
berdinding putih. Ruangan itu berbau lormaldehida dan kematian. Ketika ia
tiba, petugas pemeriksa mayat, Helen Chuan, wanita mungil yang cantik,
sudah menunggunya. "Pagi," ujar Reese. "Autopsinya sudah selesai?"
"Aku baru punya laporan sementara untukmu, Nick. Jane Doe tidak
meninggal akibat luka di kepalanya. Jantungnya sudah berhenti sebelum
kepalanya terbentur meja. Dia meninggal karena overdosis methylenedioxymethamphetamine."
Reese menghela napas. "Jangan begitu, Helen."
"Sori. Di jalanan, namanya Ecstasy." Helen menyerahkan laporan autopsi.
"Ini yang kita dapatkan sampai sekarang."
AUTOPSY PROTOCOL NAME OF DECEDENT: JANE DOE ARSIP: C-L961
ANATOMIC SUMMARY I. DILATED AND HYPERTROPHIC CARDIOMYOPATHY
A. CARDIOMEGALY (750 GM) B. LEFT VENTRICULAR HYPERTROHY, HEART (2.3 CM)
C. CONGESTIVE HEPATOMEGALY (2750 GM)
D. CONGESTIVE SPLENOMEGALY (350 GM)
II. ACUTE OPIATE INTOXICATION
A. ACUTE PASSIVE CONGESTION, ALL VISCERA IU TOXICOLOGY (SEE
SEPARATE REPORT) IV. BRAIN HEMORRHAGE (SEE SEPARATE REPORT)
CONCLUSION: (CAUSE OF DEATH)
DILATED AND HYPERTROPHIC CARDIOMYOPATHY
ACUTE OPIATE INTOXICATION
Nick Reese menoleh. "Jadi kalau ini diterjemahkan ke bahasa orang awam,
dia tewas akibat overdosis Ecstasy?"
"Ya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah dia mengalami serangan seksual?"
Helen Chuan tampak ragu-ragu. "Selaput daranya robek, dan pada
pahanya terdapat bekas sperma dan darah."
"Berarti dia diperkosa."
"Kurasa tidak."
"Apa maksudmu"kaurasa tidak?" Reese mengerutkan kening.
"Tak ada tanda-tanda kekerasan."
Detektif Reese menatapnya dengan bingung. "Jadi?"
"Kurasa Jane Doe masih perawan. Ini pengalaman seksualnya yang
pertama." Detektif Reese mencerna informasi baru tersebut. Seseorang telah
membujuk perawan untuk naik ke Imperial Suite dan berhubungan badan
dengannya. Kemungkinan besar pelakunya orang yang dikenal gadis itu. Atau
orang yang terkenal atau berpengaruh.
Pesawat telepon berdering. Helen Chuan mengangkatnya. "Kantor
Pemeriksa Mayat." Sejenak ia mendengarkan lawan bicaranya, kemudian ia
menyerahkan gagang telepon itu kepada Reese. "Untukmu."
Detektif itu menempelkan gagang telepon ke telinganya. "Reese."
Wajahnya mendadak cerah. "Oh, ya, Mrs. Holbrook. Terima kasih Anda menelepon saya. Ini cincin kelas dari sekolah Anda dengan inisial P.Y. Apakah
Anda punya murid wanita dengan inisial tersebut" ...Terima kasih. Ya, saya
tunggu." Ia menatap Helen Chuan. "Kau yakin dia tidak diperkosa?"
"Sama sekali tak ada tanda-tanda kekerasan." "Mungkinkah penetrasinya
terjadi setelah dia tewas?"
"Kukira tidak."
Suara Mrs. Holbrook kembali terdengar melalui telepon. "Detektif Reese?"
"Ya." "Menurut catatan di komputer kami, memang ada siswi dengan inisial P. Y.
Namanya Pauline Young."
"Apakah Anda bisa menyebutkan ciri-cirinya, Mrs. Holbrook?"
"Tentu. Pauline berusia delapan belas. Dia pendek dan gemuk, dengan
rambut berwarna gelap...."
"Hmm, begitu." Bukan dia. "Dan dia satu-satunya murid dengan inisial itu?"
"Satu-satunya murid wanita, ya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Detektif Reese segera bertanya, "Berarti ada murid pria dengan inisial yang
sama?" "Ya. Paul Yerby. Murid tahun terakhir. Kebetulan Paul sekarang sedang
berada di Washington, D.C."
Jantung Reese mulai berdetak lebih kencang. "Dia di sini?"
"Ya. Serombongan murid Denver High sedang berwidyawisata ke
Washington untuk mengunjungi Gedung Putih dan Kongres dan..."
"Dan semuanya berada di kota ini sekarang?"
"Betul." "Apakah Anda tahu di mana mereka menginap?"
"Di Hotel Lombardy. Mereka memberikan diskon khusus untuk kami. Saya
sempat berbicara dengan beberapa hotel lain, tapi semuanya tidak..."
"Terima kasih banyak, Mrs. Holbrook. Keterangan Anda sangat
membantu." Nick Reese meletakkan gagang telepon dan berpaling kepada Helen
Chuan. "Tolong kabari aku kalau autopsinya sudah selesai, oke?"
"Tentu. Semoga berhasil, Nick."
Reese mengangguk. "Rasanya aku sudah mendapat petunjuk yang
kuperlukan." Hotel Lombardy terletak di Pennsylvania Avenue, dua blok dari Washington
Circle dan berdekatan dengan Gedung Putih, sejumlah monumen, serta
stasiun kereta bawah tanah. Detektif Reese masuk ke lobi yang bergaya
zaman dulu, dan menghampiri resepsionis. "Apakah di sini ada tamu yang
bernama Paul Yerby?"
"Maaf, kami tidak bisa..."
Reese memperlihatkan lencananya. "Aku sedang terburu-buru, Bung."
"Baik, Sir." Resepsionis itu memeriksa daftar tamu. "Kami ada tamu
bernama Yerby di Kamar 315. Apakah saya perlu...?"
"Jangan, aku ingin memberi kejutan padanya. Dan jangan sentuh gagang
telepon." Reese naik lift ke lantai tiga, lalu menyusuri koridor. Ia berhenti di depan
Kamar 315. Dari dalam terdengar suara. Ia membuka kancing jasnya, dan
mengetuk pintu. Seorang pemuda membuka pintu. "Halo."
"Paul Yerby?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukan." Pemuda itu berpaling kepada seseorang yang berada di dalam
kamar. "Paul, ada yang mencarimu."
Nick Reese segera masuk. Seorang pemuda kurus dan berambut acakacakan baru keluar dari kamar mandi. Ia mengenakan celana jeans dan
sweater. "Paul Yerby?" "Ya. Anda siapa?"
Reese memperlihatkan lencananya. "Detektif Nick Reese. Bagian
Pembunuhan." Wajah pemuda itu langsung pucat. "Saya... apa yang bisa saya bantu?"
Nick Reese dapat mencium ketakutannya. Ia mengeluarkan cincin gadis
yang tewas dari sakunya dan menyodorkannya ke hadapan Paul. "Kau pernah melihat cincin ini?"
"Tidak," jawab Yerby cepat-cepat.
"Inisialmu terukir di sini."
"Masa" Oh. Ya." Pemuda itu terdiam sejenak. "Bisa jadi memang cincin
saya. Mungkin jatuh."
"Atau mungkin kau memberikannya pada seseorang?"


Rencana Paling Sempurna The Best Laid Plans Karya Shidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paul menjilat bibirnya. "Ehm, ya. Mungkin juga"
"Mari ikut ke kantor, Paul."
Pemuda itu tampak gugup. "Jadi, saya ditahan?"
"Kenapa kau bertanya begitu?" tanya Reese. "Apakah kau melakukan
kejahatan?" "Tentu saja tidak. Saya..." Ia kembali terdiam.
"Kalau begitu, kenapa kau harus ditahan?"
"S.... saya tidak tahu. Saya tak tahu kenapa Anda minta saya ikut ke
kantor." Detektif Reese melirik ke pintu yang masih terbuka. Ia menjangkau dan
memegang lengan Paul. "Sebaiknya jangan mempersulit keadaan."
Teman Paul berkata, "Aku perlu menelepon ibumu atau orang lain, Paul?"
Paul Yerby menggeleng. "Jangan. Jangan telepon siapa-siapa." Suaranya
nyaris tak terdengar. Henry I. Daly Building di Indiana Avenue 300, NW, di pusat kota
Washington tidak bisa disebut istimewa. Gedung kelabu berlantai enam
tersebut digunakan sebagai markas polisi tingkat distrik. Kantor Bagian
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pembunuhan berada di lantai tiga. Sementara foto dan sidik jari Paul Yerby
diambil, Detektif Reese menemui Kapten Otto Mil er.
"Rasanya sudah ada titik terang dalam kasus Monroe Arms."
Mil er menyandarkan punggung di kursinya. "Teruskan."
"Pacar gadis itu sudah kubawa kemari. Dia ketakutan setengah mati. Habis
ini dia akan di nterogasi. Kau mau ikut?"
Kapten Mil er mengangguk ke tumpukan kertas di mejanya. "Selama
beberapa bulan yang akan datang aku tak bisa ke mana-mana. Kutunggu
laporanmu saja." "Oke." Detektif Reese menuju ke pintu.
"Nick... jangan lupa bacakan hak-haknya."
Pau Yerby dibawa ke ruang interogasi. Ruangannya kecil, berukuran tiga
kali empat meter, dengan meja tua, empat kursi, serta kamera video. Pada
salah satu dinding ada cermin satu arah, agar para petugas bisa mengikuti
interogasi dari ruang sebelah.
Paul Yerby berhadapan dengan Nick Reese dan dua detektif lain, Doug
Hoogan dan Edgar Bernstein.
"Kau sadar bahwa pembicaraan ini direkam dengan kamera video?""
Detektif Reese. "Ya, Sir." "Kau berhak didampingi pengacara. Jika kau tidak mampu membayar
pengacara, kau akan diwakili pengacara yang ditunjuk.?"Detektif Bernstein.
"Saya tidak perlu pengacara."
"Baiklah. Kau berhak diam. Jika kau melepaskan hak tersebut, segala
sesuatu yang kaukatakan dapat dan akan digunakan dalam sidang
pengadilan. Jelas?" "Ya, Sir." "Nama lengkapmu yang sah?"
"Paul Yerby." "Alamatmu?" "Marion Street 23, Denver, Colorado. Tapi saya tidak melakukan kejahatan.
Saya..." "Tidak ada yang bilang begitu. Kami sekadar mencari informasi. Kau
bersedia membantu kami, bukan?"
"Tentu, tapi saya... saya tidak mengerti ada apa sebenarnya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau sama sekali tidak tahu?"
"Tidak, Sir." "Kau punya pacar?"
"Ehm, sebenarnya..."
"Tolong jawab pertanyaanku."
"Saya punya beberapa teman wanita..."
"Teman kencan?"
"Ya." "Barangkali ada satu yang istimewa?"
Yerby membisu. "Kau punya pacar, Paul?"
"Ya." "Siapa namanya?""Detektif Bernstein.
"Chloe." "Chloe siapa?""Detektif Reese.
"Chloe Houston."
Reese mencatat nama itu. "Alamatnya, Paul?"
"Oak Street -602, Denver."
"Siapa nama orangtuanya?"
"Dia tinggal dengan ibunya."
"Dan namanya?" "Jackie Houston. Gubernur Colorado."
Para detektif saling melirik. Sial! Ini benar-benar gawat.
Reese memperlihatkan cincin itu. "Apakah ini cincinmu, Paul?"
Yerby menatapnya sejenak, lalu menjawab pelan, "Ya."
"Cincin ini kauberikan pada Chloe?"
Pemuda itu menelan ludah. "B... Bisa jadi."
"Kau tak ingat?"
"Saya ingat sekarang. Ya, saya memberikannya pada Chloe."
"Kau ke Washington dengan beberapa temanmu, bukan" Semacam
rombongan sekolah?" "Betul." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah Chloe termasuk dalam rombongan itu?"
"Ya, Sir." "Di mana Chloe sekarang, Paul?""Detektif Bernstein.
"S.... saya tidak tahu."
"Kapan terakhir kau melihatnya?""Detektif Hogan.
"Beberapa hari lalu."
"Dua hari lalu?""Detektif Reese.
"Ya." "Dan di mana itu?""Detektif Bernstein.
"Di Gedung Putih."
Para detektif bertukar pandang dengan heran. "Dia berkunjung ke Gedung
Putih?" tanya Reese.
"Ya, Sir. Kami ikut tur khusus. Ibu Chloe yang mengaturnya."
"Dan Chloe bersamamu waktu itu?""Detektif Hogan.
"Ya." "Apakah ada kejadian yang tidak biasa selama tur?""Detektif Bernstein.
"Apa maksud Anda?"
"Apakah kalian bertemu atau berbicara dengan seseorang selama tur?""
Detektif Bernstein. "Ya, tentu, dengan pemandu kami."
"Hanya dia?""Detektif Reese.
"Ya." "Dan Chloe selalu ikut dengan rombongan kalian?""Detektif Hogan.
"Ya..." Yerby terdiam sejenak. "Tapi dia sempat ke kamar kecil. Dia pergi
kira-kira lima belas menit. Waktu kembali, dia..." Ia berhenti.
"Dia kenapa?" Reese mendesak.
"Tidak ada apa-apa. Dia langsung bergabung dengan yang lain."
Kelihatan jelas bahwa pemuda itu berbohong. "Paul," ujar Detektif Reese,
"tahukah kau bahwa Chloe Houston sudah tewas?"
Para detektif mengamati Paul dengan saksama.
"Ya Tuhan! Kenapa?" Mungkin saja ia hanya berpura-pura kaget.
"Kau belum tahu?""Detektif Bernstein.
"Belum! ini tak mungkin!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau tak ada sangkut paut dengan kematian-nya?""Detektif Hogan.
"Tentu saja tidak. Saya... saya mencintai Chloe."
"Kau pernah berhubungan intim dengannya?"" Detektif Bernstein.
"Tidak. Kami... kami sengaja menunggu. Kami punya rencana untuk
menikah." "Tapi kadang-kadang kalian memakai obat-obatan bersama-sama?""
Detektif Reese. "Tidak! Kami tidak pernah menyentuh obat terlarang."
Pintu terbuka dan seorang detektif bertubuh gempal. Harry Carter,
melangkah masuk. Ia menghampiri Reese dan membisikkan sesuatu ke
telinganya. Reese mengangguk. Kemudian ia menatap Paul Yerby.
"Kapan terakhir kali kau melihat Chloe Houston?"
"Saya sudah bilang tadi, di Gedung Putih." Ia tampak gelisah dan bergesergeser di kursinya. Detektif Reese mencondongkan badan ke depan. "Kau berada dalam
kesulitan besar, Paul. Sidik jarimu ditemukan di Imperial Suite di Monroe
Arms Hotel. Bagaimana sidik jarimu bisa berada di situ?"
Paul Yerby pucat pasi. "Jangan bohong. Kau tak bisa mungkir."
"Saya... saya tak melakukan apa-apa."
"Kau yang memesan suite di Monroe Arms?""Detektif Bernstein.
"Bukan, bukan saya." Penekanannya pada kata "saya".
Detektif Reese langsung mendesak. "Tapi kau tahu siapa orangnya?"
"Tidak." Terlalu cepat.
"Kau mengaku sempat berada di suite itu?""
Detektif Hogan. "Ya, tapi... tapi Chloe masih hidup waktu saya pergi."
"Kenapa kau pergi?""Detektif Hogan.
"Dia minta saya pergi. Dia... dia menunggu seseorang."
"Sudahlah, Paul. Kami tahu kau yang membunuhnya.?"Detektif Bernstein.
"Bukan!" Pemuda itu gemetaran. "Saya bersumpah saya tidak tahu apaapa. Saya... saya hanya mengantarnya ke suite itu. Dan saya cuma sebentar
di sana." "Karena Chloe menunggu seseorang?""Detektif Reese.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya. Dia... dia agak gugup."
"Apakah dia memberitahumu siapa yang ditunggunya?""Detektif Hogan.
Paul menjilat bibir. "Tidak."
"Kau bohong. Dia memberitahumu."
"Kau bilang dia agak gugup. Kenapa?""Detektif Reese.
Paul kembali menjilat bibir. "Karena... karena pria yang akan menemuinya
di sana mengajaknya makan malam."
"Siapa pria itu, Paul?""Detektif Bernstein.
"Saya tidak bisa memberitahu Anda."
"Kenapa?""Detektif Hogan.
"Saya berjanji pada Chloe bahwa saya takkan memberitahu siapa pun."
"Chloe sudah meninggal."
Air mata mulai mengambang di pelupuk mata Paul. "Saya belum bisa
percaya." "Sebutkan nama pria itu.?"Detektif Reese.
"Saya tidak bisa. Saya sudah berjanji."
"Kalau begitu kau terpaksa bermalam di rumah tahanan. Besok pagi, kalau
menyebutkan nama pria yang hendak ditemui Chloe, kau akan dibebaskan.
Kalau tidak, kau akan ditahan dengan tuduhan pembunuhan berencana.?"
Detektif Reese. Mereka menunggu tanggapan pemuda itu.
Paul diam saja. Nick Reese mengangguk kepada Bernstein. "Oke, bawa dia."
Detektif Reese kembali ke ruang kerja Kapten Mil er.
"Aku punya berita buruk dan berita yang lebih buruk lagi."
"Aku sedang banyak kerjaan, Nick."
"Berita buruknya adalah aku tak yakin pemuda itu yang memberikan obat
bius pada korban. Dan berita yang lebih buruk lagi, ibu korban adalah
gubernur Colorado." "Ya Tuhan. Pers pasti senang mendengar berita ini." Kapten Mil er menarik
napas dalam-dalam. "Kenapa kau tak yakin pemuda itu pelakunya?"
"Dia mengaku pernah berada di suite tempat korban ditemukan, tapi dia
bilang dia diminta pulang lebih dulu karena pacarnya sedang menunggu
seseorang. Rasanya dia terlalu cerdas untuk mengarang cerita sekonyol ini.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tapi aku yakin dia tahu siapa yang sedang ditunggu Chloe Houston. Hanya
saja dia tak mau menyebutkan nama orang itu."
"Ada dugaan tertentu?"
"Ini pertama kalinya korban pergi ke Washington, dan mereka ikut tur
Gedung Putih. Dia tak kenal siapa pun di sini. Dia sempat memberitahu
teman-temannya bahwa dia mau ke kamar kecil. Di Gedung Putih tak ada
kamar kecil untuk pengunjung. Berarti dia ke Visitor's Pavilion di El ipse di
persimpangan 15th Street dan E Street, atau ke White House Visitor Center.
Dia pergi sekitar lima belas menit. Kurasa dia bertemu seseorang di Gedung
Putih waktu sedang mencari kamar kecil, seseorang yang dikenalinya.
Mungkin dia pernah melihatnya di TV. Yang jelas, orang itu pasti orang
penting. Orang itu mengantarnya ke kamar kecil, lalu membujuknya untuk
bertemu di Monroe Arms."
Kapten Mil er termangu-mangu. "Sebaiknya kutelepon Gedung Putih.
Mereka minta diberitahu kalau ada perkembangan. Dan pacar korban harus
ditanyai lagi. Kita butuh nama itu."
"Oke." Ketika Detektif Reese meninggalkan ruangan, Kapten Mil er mengangkat
telepon dan menghubungi sebuah nomor. Beberapa menit kemudian, ia
berkata, "Ya, Sir. Seorang saksi penting sedang dimintai keterangan. Dia
ditahan di kantor polisi Indiana Avenue.... Belum, Sir. Tapi saya kira besok
pagi kami sudah mendapat jawaban dari pemuda itu.... Ya, Sir. Saya
mengerti." Lawan bicaranya menghentikan pembicaraan itu.
Kapten Mil er menghela napas, dan berpaling kembali pada tumpukan
kertas di mejanya. Pukul delapan pagi hari berikutnya, ketika Detektif Nick Reese mendatangi
sel Paul Yerby, mayat pemuda itu sudah tergantung pada batang terali atas.
18 GADIS ENAM BELAS TAHUN YANG DITEMUKAN TEWAS DIIDENTIFIKASI
SEBAGAI PUTRI GUBERNUR COLORADO PACAR KORBAN GANTUNG DIRI
DALAM TAHANAN POLISI POLISI MENCARI SAKSI MISTERIUS
Ia menatap semua judul berita itu, dan tiba-tiba kepalanya pening. Enam
belas tahun. Gadis itu kelihatan lebih tua daripada usianya. Apa dakwaan
yang akan ditujukan kepadanya" Pembunuhan" Pembunuhan tanpa
direncanakan, mungkin. Ditambah pemerkosaan gadis di bawah umur.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia memperhatikan gadis itu keluar dari kamar mandi sewaktu mereka di
suite itu. Si gadis tersenyum malu-malu, tanpa sehelai benang pun melekat di
tubuhnya. "Aku belum pernah melakukan ini."
Lalu ia memeluk dan membelai-belai gadis itu. "Aku senang karena untuk
pertama kalinya kau justru denganku, Sayang." Sebelum itu, ia sempat
berbagi segelas Ecstasy cair dengan gadis itu. "Minumlah. Kau akan merasa
enak sekali." Mereka bercinta, dan kemudian gadis itu mengeluh tidak enak badan. Ia
turun dari tempat tidur, tersandung, dan kepalanya membentur tepi meja.
Kecelakaan. Namun pihak polisi tentu tidak sependapat. Tapi tak ada yang
bisa menghubungkan aku dengan gadis itu. Sama sekali tak ada.
Kejadian itu berkesan tidak nyata, bagaikan mimpi buruk yang menimpa
orang lain. Tapi kesan itu langsung buyar ketika ia membaca beritanya di
koran. Bunyi lalu lintas di Pennsylvania Avenue di depan Gedung Putih menembus
dinding ruang kerjanya, dan mendadak ia sadar kembali di mana ia berada.
Beberapa menit lagi akan ada sidang kabinet. Ia menarik napas dalamdalam. Jangan panik. Wakil Presiden Melvin Wicks, Sime Lombardo, dan Peter Tager sudah
berkumpul di Ruang Oval. Oliver masuk dan mengambil tempat di belakang mejanya. "Selamat pagi,
Saudara-saudara."

Rencana Paling Sempurna The Best Laid Plans Karya Shidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka membalas salamnya.
Peter Tager berkata, "Anda sudah melihat Tribune edisi hari ini, Mr.
President?" "Belum." "Ada berita buruk. Gadis yang tewas di Monroe Arms sudah di dentifikasi
polisi." Tanpa sadar Oliver menegakkan badan di kursinya. "Ya?"
"Namanya Chloe Houston. Dia putri Jackie Houston."
"Oh, ya Tuhan!" bisik sang presiden. Suaranya seperti tersangkut di
tenggorokan. Ketiga pembantunya mengerutkan kening karena heran. Oliver segera
menguasai diri. "Aku... aku kenal Jackie Houston... kami teman lama. Ini... ini
memang berita buruk, betul-betul buruk."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sime Lombardo berkata, "Harian Tribune pasti akan memanfaatkan
kesempatan ini melancarkan serangan baru, biarpun kejahatan di
Washington bukan tanggung jawab kita."
Melvin Wicks angkat bicara, "Barangkali ada cara untuk membungkam
Leslie Stewart?" Oliver teringat malam penuh gairah yang dihabiskannya bersama Leslie.
"Jangan," cegahnya. "Ini menyangkut kebebasan pers, Saudara-saudara."
Peter Tager berpaling kepada atasannya. "Soal Gubernur...?"
"Biar aku saja yang menanganinya." Ia menekan salah satu tombol pada
pesawat interkom. "Hubungkan aku dengan Gubernur Houston di Denver."
"Kita harus mulai meredam dampak dari kejadian ini," ujar Peter Tager.
"Saya akan menyusun statistik mengenai penurunan angka kejahatan di
negeri kita, Anda sudah minta pada Kongres untuk meningkatkan anggaran
kepolisian, dan sebagainya." Kata-kata itu terdengar hampa, bahkan di
telinganya sendiri sekalipun.
"Waktunya betul-betul tak tepat," Melvin Wicks bergumam.
Pesawat interkom berdengung. Oliver mengangkatnya. "Ya?" Ia
mendengarkan lawan bicaranya, kemudian meletakkan kembali pesawat itu.
"Gubernur Houston sedang dalam perjalanan ke Washington."
Ia menatap Peter Tager. "Cari tahu pesawat apa yang dinaikinya, Peter.
Jemput dia di bandara dan antarkan dia kemari."
"Oke. Lalu masih ada ulasan redaksi di Tribune. Nadanya cukup keras."
Peter Tager memperlihatkan tajuk rencana yang dimaksudnya.
PRESIDEN TIDAK MAMPU MENGENDALIKAN KEJAHATAN DI IBU KOTA.
"Leslie Stewart memang brengsek," gumam Sime Lombardo. "Mungkin
sebaiknya sekali-sekali dia dikunjungi."
Matt Baker duduk di kantornya di gedung Washington Tribune. Ia sedang
membaca ulang tajuk rencana mengenai Presiden Russel yang dinilai terlalu
lunak terhadap kejahatan. Tiba-tiba pintu membuka dan Frank Lonergan
masuk. Lonergan wartawan cerdas berusia awal empat puluhan yang biasa
turun ke jalan untuk memburu berita, dan sebelumnya sempat berdinas di
kepolisian. Ia diakui sebagai salah satu wartawan penyelidik terbaik.
"Kau yang menulis tajuk rencana ini, Frank?"
"Ya," jawabnya.
"Alinea mengenai angka kejahatan yang turun 5 persen di Minnesota ini
rasanya janggal. Kenapa hanya Minnesota yang kausinggung?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lonergan menyahut, "Saran dari si Putri Es."
"Ini tidak masuk akal," Matt Baker berkata dengan geram. "Aku harus
bicara dengannya." Leslie Stewart sedang menelepon ketika Matt Baker muncul di ruang
kerjanya. "Kau saja yang mengatur semua detailnya, tapi yang jelas kita harus
mengumpulkan dana sebanyak mungkin untuk dia. Kebetulan Senator Embry
dari Minnesota akan kemari untuk makan siang, dan dia akan membawakan
daftar nama. Terima kasih." Ia menutup telepon. "Matt."
Matt Baker menghampiri meja Leslie. "Kita perlu bicara tentang tajuk
rencana hari ini." "Cukup bagus, kan?"
"Justru sebaliknya, Leslie. Ini propaganda. Penumpasan kejahatan di
Washington. D.C., bukan tanggung jawab Presiden. Kita punya wali kota
yang seharusnya menangani masalah itu, dan juga dinas kepolisian. Dan
kenapa kita menyinggung angka kejahatan yang turun 25 persen di Minnesota" Dari mana kauperoleh data itu?"
Leslie duduk bersandar dan menjawab dengan tenang, "Matt, aku pemilik
surat kabar ini, dan aku bebas mengemukakan pendapatku. Oliver Russel tak
mampu menjalankan tugasnya sebagai presiden. Gregory Embry pasti jauh
lebih baik. Kita akan membantunya masuk ke Gedung Putih."
Ia melihat roman muka Matt, dan sikapnya langsung melunak. "Sudahlah,
Matt. Tribune akan berada di pihak yang menang. Embry menguntungkan
bagi kita. Dia sedang menuju kemari. Kau mau menemani kami makan
siang?" "Tidak usah," Matt Baker menolak. Ia berbalik dan meninggalkan ruangan.
Di koridor ia berpapasan dengan Senator Embry, politikus berusia lima
puluhan yang merasa dirinya penting.
"Oh, Senator! Selamat."
Senator Embry menatapnya dengan heran. "Terima kasih. Ehm... selamat
untuk apa?" "Untuk keberhasilan Anda menurunkan angka kejahatan sebanyak 25
persen di Minnesota."
Dan dengan itu Matt Baker pun berlalu. Ia membiarkan sang senator
menatapnya sambil terbengong-bengong.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Acara makan siang diadakan di ruang makan Leslie yang berperabot antik.
Seorang juru masak sedang sibuk di dapur ketika Leslie dan Senator Embry
tiba. Mereka segera dihampiri kepala pelayan.
"Makan siang siap dihidangkan, Miss Stewart. Barangkali Anda ingin
minum?" "Untukku tak usah," sahut Leslie. "Senator?"
"Hmm, biasanya saya tidak minum pada siang hari, tapi saya rasa segelas
martini tak ada salahnya."
Leslie Stewart tahu betul bahwa kenyataannya tidak demikian. Senator
Embry suka minum, baik siang maupun malam. Leslie memiliki catatan lengkap tentang sang senator. Embry mempunyai istri dan lima anak, serta
gundik wanita Jepang. Ia diam-diam membiayai kelompok paramiliter di
negara bagian yang dipimpinnya. Tapi semuanya itu tidak dihiraukan oleh
Iblis Sungai Telaga 14 Rahasia Dewi Purbosari Karya Aryani W Sang Penggeli Hati 2

Cari Blog Ini