The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley Bagian 5
dua tahun terakhir, jadi kalian harus percaya hanya karena cinta dan
kasih sayang murni yang membuatku berdiri di panggung ini. Ini
merupakan cinta yang aku rasakan untuk Dave, yang selama
bertahun-tahun sudah seperti saudara bagiku, dan ini merupakan
cinta antara dia dan tunangannya yang cantik yang membuatku mau
menyanyikan lagu ini untuk kalian." Matanya menatap Dave dan
Laurel yang saling berpelukan, menunggu lagu mereka dengan
penuh harap. "Lagu ini untuk kalian."
Suara gesekan biola bersamaan dengan petikan dua gitar menggema
di dalam gudang. Aidan menyaksikan kegugupan Emma memudar
saat dia mendengar akord yang familiar itu. Dengan penuh
keyakinan, dia membawa mikrofon ke bibirnya dan mulai bernyanyi.
Ruangan penuh dengan orang-orang seperti meleleh, dan bagi Aidan,
rasanya hanya ada mereka berdua. Menutup matanya, dia
membiarkan suara merdu Emma membasuh dirinya. Dia tidak peduli
kalau liriknya tentang seorang koboi membawa seorang wanita
menjauh dari kota besar menuju sebuah padang terbuka di pedesaan.
Dia hanya fokus pada rasa bangga akan penampilan Emma yang
memenuhi dirinya. Ketika Emma selesai, tepuk tangan dan sorak-sorai bergemuruh
begitu keras di dalam ruangan hingga menyengat telinga Aidan.
Muka Emma merah padam, tapi senyum berseri-seri memenenuhi
wajahnya. Dia membungkuk dengan anggun. "Terima kasih,"
gumamnya. "Sekarang nyanyikan Sweet Dreams, Emmie Lou!" Teriak Earl.
Emma menggeleng marah lalu menempatkan mikrofon kembali ke
stand-nya. "Tidak, Granddaddy, aku sudah cukup bernyanyi untuk
satu malam." Sang Earl menghentakkan kakinya pada lantai yang dipenuhi dengan
serbuk gergaji. "Emma Katherine Harrison, Granddaddy-mu ingin mendengar
beberapa lagu dari Patsy Cline, jadi nyanyikan Sweet Dreams!"
Aidan tidak bisa menahan tawa gelinya melihat perseteruan antara
Emma dan kakeknya. "Uh-oh, Em, dia memanggil nama lengkapmu.
Lebih baik lakukan apa yang dia katakan," Serunya.
Emma melemparkan tatapan membunuh pada Aidan sebelum
berbalik menatap kearah sepupu-sepupunya."Aku anggap kalian
masih ingatSweet Dreams?"
Dave, yang telah bergabung kembali di panggung, mengangkat
kedua tangannya. "Oh tidak, yang satu ini lagu *acappella, sepupu
kecil." Sambil menunjukkan jari ke arah mereka, Emma berkata, "Aku
hanya ingin kalian tahu aku akan menyakiti kalian semua karena
ini!" Para pemuda tertawa terbahak-bahak saat mereka turun dari
panggung. Emma berbalik ke arah kerumunan orang-orang lalu
menunjukkan jarinya ke arah Aidan. "Ini berlaku untukmu juga."
Dia menyeringai. "Dengan senang hati aku akan menerima apapun
yang ingin kau lakukan padaku. Sekarang buat granddaddy-mu
senang dan bernyanyilah."
Ketika Aidan melirik ke arah Earl, dia mengangguk dan tersenyum
padanya. Mungkin dia benar-benar lepas dari kesulitan...atau
setidaknya penisnya. Dia duduk kembali di kursinya dan
memusatkan perhatiannya pada Emma.
Saat Emma mulai bernyanyi lagu country lama, gudang menjadi
senyap. Jika Emma telah bernyanyi Cowboy Take Me Away dengan
bagus, dia membawakan satu lagu ini seperti memenangkan satu set
pertandingan besar di kejuaraan grand slam. Sambil memejamkan
mata, Emma menyanyikan lirik dengan penuh perasaan dan
emosional hingga Aidan bisa melihat air mata berkilau pada
beberapa orang. Kebahagiaan Aidan mulai memudar ketika Emma sampai pada bait
kedua. Rasa sakit menghantui seakan merasuki suaranya saat ia
menyanyikan lirik tentang Patsy yang tidak pernah mengenakan
cincin dari kekasihnya atau membuat kekasihnya membalas
cintanya. Dadanya terasa sesak karena lagu itu menggambarkan
hubungannya dengan Emma. Dia bertanya-tanya apakah Emma
sering bermimpi manis tentang hidup bersama dengan dirinya - yang
mungkin tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Gemuruh tepuk tangan menyentak Aidan keluar dari pikirannya.
Emma telah selesai bernyanyi dan sekarang setengah ruangan berdiri
bersorak untuknya. Wajah Emma memerah dan tersenyum. "Terima
kasih," gumamnya di mikrofon.
Dave dan sepupu yang lain bergabung kembali dengan Emma di atas
panggung. Satu persatu memeluk dan mencium Emma sebelum
mengambil alat instrumen mereka. Mereka mulai memainkan sebuah
lagu saat Emma bergabung kembali dengan Aidan. "Jadi bagaimana
menurutmu?" Tanyanya terengah-engah.
"Benar-benar menakjubkan."
Emma tersenyum mendengar pujiannya. "Benarkah?"
Aidan mengangguk. "Kau bernyanyi dengan spektakuler untuk
Mason, tapi sialan...di atas panggung itu kau seperti penyanyi
American Idol." Emma tertawa lalu mencium pipinya. "Terima kasih." Setelah
mengamati beberapa pasangan di lantai dansa, ia berbalik pada
Aidan dengan tatapan memohon. "Mau berdansa lagi?"
Dia mengerang. "Pasti."
*** Tamu terakhir pulang pukul sebelas lebih. Merasa bahagia dan
kelelahan, Aidan menyeret dirinya menaiki lereng bukit menuju
rumah. Setelah mengeluarkan koper mereka dari mobil, ia bergabung
dengan Emma, membuntuti Earl dan Virginia. "Aidan, kau akan
tidur di sini," kata Virginia, menunjuk sebuah kamar tidur.
Aidan menjatuhkan kopernya di ambang pintu. Tidak butuh waktu
lama baginya untuk menduga kamar tidurnya kebetulan
bersebelahan dengan kamar Earl dan Virginia. Ini adalah cara bagus
bagi mereka untuk mengawasinya. Dia tersenyum kembali pada
mereka. "Tampak nyaman. Terima kasih."
"Emma, kau menempati kamar tidur ibumu yang dulu." Kemudian
Earl menatap tajam pada Aidan. "Jalan menyusuri lorong akan
melewati kamar kami."
Aidan mengubah tawa menjadi batuk. Sangat tidak masuk akal
mendapati dirinya dan Emma yang sudah berusia tiga puluhan tapi
masih diperlakukan seperti remaja."Jadi kupikir aku harus
mengucapkan selamat malam sekarang," katanya. Memeluk
pinggang Emma lalu menariknya mendekat. "Mimpi indah, Emma."
"Mimpi indah untukmu juga, Aidan," gumamnya.
Meskipun dia tahuEarl tidak akan menyukai ini, dia memberi Emma
ciuman singkat di bibir. Emma tersenyum padanya sebelum
mengucapkan selamat malam kepada kakek-neneknya. Dengan
melambaikan tangan selamat tinggal, Emma berjalan menyusuri
lorong. Dengan enggan, Aidan masuk ke dalam kamar lalu menutup
pintunya. *** Diaken : anggota dari ordo urutannya di bawah seorang pastor
My Big Fat Greek Wedding: film komedi romantis yang bercerita tentang pernikahan
wanita Yunani dengan pria Amerika. McDreamy: lambang seorang pria yang mempesona tapi sering membuat keputusan yang
salah, dan sering dikenal sebagai bajingan, brengsek.
Acappella: menyanyikan lagu tanpa musik pengiring
Bab 27 Emma merasa seperti sedang melakukan suatu dosa ketika dia
berjinjit melewati kamar tidur kakeknya menuju kamar Aidan.
Tangannya yang gemetaran perlahan memutar knop pintu, lalu
bernapas lega menemukan kamar Aidan tidak terkunci. Perlahan, dia
mendorong pintunya terbuka, berusaha agar suara derit keras tidak
menggema di sepanjang lorong. Dia menyesal tidak mengambil
*WD40 di bawah bak cuci piring.
Emma menemukan Aidan sedang bersandar di tempat tidur dengan
berwarna-warni kertas kerja yang berserakan di atas selimut rajut.
Beau berbaring di sampingnya. Melihatnya, Aidan mengangkat
alisnya tinggi. "Apa yang sedang kau lakukan?" desisnya.
Mengangkat satu jari ke atas, Emma menutup pintu sebelum
menjawab. Ketika ia membalikkan tubuh, dia menyeringai. "Aku
ingin menemuimu." Aidan memutar bola mata. "Ya Tuhan, Em, ketika aku pikir
kejantananku selamat dari kemarahan kakekmu, kau malah
menyelinap kemari." Emma tertawa sambil berjalan menuju tempat tidur. "Oh ayolah. Kau
tahu dia tidak akan melakukan sesuatu seperti itu."
"Aku tidak menahan napasku." Mata Aidan menjelajahi gaun malam
tipisnya. "Apa yang sebenarnya kau inginkan?"
"Kau tidak tahu" Aku sangat...menginginkan kejantananmu!" goda
Emma. Dia mengomel. "Jangan menyiksaku dengan mengatakan sesuatu
seperti itu." "Sebenarnya, aku pikir kau mungkin mau pergi berenang tengah
malam." "Benarkah?" Emma mengangguk. "Kolamnya terletak di bawah rumah."
"Apakah aman?" "Tentu, itu tempat aku belajar berenang." Menyenggol lutut Aidan
dengan sikunya, dia berkata, "Tentu saja, aku bukan juara nasional
renang, jadi apa yang aku tahu?"
Aidan menggelengkan kepala sambil melempar selimut. "Pasti ada
sesuatu di balik seringaimu."
Emma tertawa. "Jadi aku rasa itu artinya kau mau ikut?"
"Yeah, yeah. Aku ikut," Jawab Aidan, memasang sepatu tenisnya.
Mereka berjingkat keluar menuju lorong. Aidan menginjak salah
satu lantai kayu yang berderit, mereka berdua membeku. Ketika
Sang Earl tidak datang melesat dengan senapannya, mereka
melanjutkan berjinjit menuju ruang tamu. Emma mengambil senter
dari meja di samping pintu sementara Aidan membuka grendel.
Begitu mereka keluar di beranda, mereka segera menuruni tangga
menuju jalan setapak berkerikil yang terdapat di bagian belakang
rumah. Mereka hampir tidak memerlukan senter karena cahaya
bulan purnama menerangi sepanjang jalan. Ketika mereka mencapai
dermaga kayu yang panjang, mereka berdua kehabisan napas.
Aidan membungkuk, meletakkan sikunya pada lututnya. Setelah
berhasil menarik napas, dia mengangkat kepala dan melihat
sekeliling. "Sial, luar biasa indah di luar sini."
"Seluruh wilayah ini seperti tempat paling ajaib di seluruh dunia,"
sahut Emma, terpesona. Mendekati Aidan, Emma memberinya
senyuman paling manis. "Kau tahu aku belum pernah menyelam
telanjang dengan seorang pria dalam waktu yang sangat, sangat
lama." Dia tertawa lebar. "Kau belum pernah?"
Emma menggelengkan kepala. Dia menarik gaun tidur melalui
kepalanya, bertelanjang bulat di bawah cahaya bulan.
Geraman menderita keluar dari tenggorokan Aidan. "Sial, sepanjang
waktu tadi kau tidak mengenakan dalaman apapun?"
"Tidak." "Aku seharusnya sudah menidurimu di kamar tadi!"
Emma tertawa sementara Aidan melepas kaus dan boxernya dengan
kecepatan kilat. Ketika Aidan meraih Emma, dia melepaskan diri.
"Aku berkata menyelam telanjang, bukannya mengotori kolam
kakekku dengan berhubungan seks."
Tangannya menyapu pinggang telanjangnya, mengarahkan perhatian
Emma ke ereksinya. "Apa kau benar-benar mengira aku membawa
diriku kemari hanya untuk berenang tengah malam?"
"Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan, tapi bukan itu yang akan
terjadi." "Yeah, kita lihat saja nanti."
"Kelihatannya kau harus menangkapku terlebih dulu," goda Emma
sebelum melompat dari dermaga.
Emma menceburkan diri ke dalam kolam, air es menusuk seluruh
tubuhnya seperti jarum-jarum kecil. Dia tidak menyangka airnya
akan sedingin ini di akhir musim panas. Biasanya suhunya akan
sama hangatnya dengan air mandi.
Ketika Emma muncul di permukaan, dia menahan giginya yang
bergemeletuk. Dia membalikkan tubuh ke sumber suara cipratan air
di belakangnya. Walaupun hanya ada sedikit cahaya, dia bisa melihat
kilatan di mata Aidan. "Aku sangat yakin aku akan menangkapmu."
Emma terkikik sementara Aidan menutup jarak di antara mereka
hanya dengan dua kayuhan tangan.
Daripada melawan, Emma dengan bahagia membiarkan Aidan
menarik dirinya ke dadanya. "Kena kau!" katanya.
Emma menggigit bibirnya. "Bukan pertarungan yang adil,
mempertimbangkan aku hamil dan kau adalah perenang andal."
"Benar, benar sekali. Pria macam apa aku ini, mengambil
keuntungan dari ibu bayiku" Aku akan menjaga sikapku dan kita
akan memiliki acara berenang yang menyenangkan."
Emma melengkungkan alis, terkejut. "Benarkah?"
Aidan melemparkan seringaian serigala. "Well, selain fakta bahwa
air yang dingin ini tidak berpengaruh apapun pada ereksiku!"
"Kalau begitu tebakku setelah kita berenang, kita harus melakukan
sesuatu yang lain." *** Bab 28 Tak lama setelah beberapa lama mereka tetap bergandengan tangan
di bibir pantai berpasir, berangkulan, alis Aidan mengerut. "Ada
apa?" Tanya Emma. "Aku hanya terkejut kau belum mengekang hasrat seksualku."
"Hah?" "Kau tahu, kegiatan seks yang teratur. Aku berpikir kau tidak akan
menyerah walaupun hamil."
Emma tergelak puas atas pernyataan dan ekspresi serius di wajah
Aidan. Dia menggosok ujung dagu Aidan. "Jadi aku rasa kau belum
membaca buku kehamilan yang aku berikan padamu."
Aidan mengeluh. "Yeah, ketika aku mengeluarkan buku itu di dalam
pesawat atau di tempat umum, seseorang akan menghindari bolaku."
Emma memutar bola matanya. "Membaca buku kehamilan tidak
akan membuatmu terlihat banci. Selain itu, kau bisa membelinya
melalui iPad-mu." Tatapan ragu Aidan membuat Emma mencubit
hidungnya dengan jari. "Jika kau membacanya, kau akan tahu bahwa
keinginan seks seorang wanita akan meningkat ketika dia hamil,
hingga suami atau kekasih mereka tidak akan mampu
memenuhinya." "Kau menghinaku?" tanya Aidan, mata biru gelapnya melebar.
"Tidak. Aku tidak menghinamu."
Aidan tersenyum lebar. "Itu sangat keren."
Emma tertawa. "Yeah dan siapa yang tahu hal-hal seru apa lagi yang
ada di balik sampul buku itu. Aku sarankan kau membacanya."
"Baiklah. Aku akan membacanya."
Diam-diam, Emma melakukan tari kemenangan walau dia sedikit
ragu apakah Aidan akan benar-benar membaca buku kehamilan
The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tersebut. Semakin Aidan mengetahui tentang bulan-bulan
kedepannya akan semakin baik. Suatu saat, kehamilan tidak akan
sepenuhnya menarik, dan dia ingin Aidan mempersiapkan diri.
Aidan melepaskan diri darinya lalu berdiri. Emma tetap berdiam diri,
mengagumi tubuh telanjang Aidan dibawah pantulan cahaya bulan.
Dia berbalik lalu menawarkan tangan padanya. Seluruh pikiran
kotornya sirna karena perilaku sopan Aidan. Ketika Aidan
membantunya untuk berdiri, Emma memberinya kecupan di bibir
sebagai ucapan terimakasih.
"Sial, Aku harap kita membawa handuk," Kata Aidan.
Emma tersenyum lebar. "Mintalah dan kau akan mendapatkannya."
Emma berjalan ke ujung dermaga dimana terletak sebuah kotak kayu
rusak seukuran pemanas truk. Itu adalah salah satu yang dibuat
Kakek beberapa tahun yang lalu untuk cucu-cucunya sebagai tempat
untuk menyimpan perlengkapan berenang mereka. Emma menarik
dua helai selimut piknik bermotif kotak-kotak. "Memang bukan
handuk dan sudah sedikit jelek, tapi mereka bisa berfungsi menjadi
handuk." Aidan mengambil salah satu selimut tersebut dengan senang.
"Terdengar bagus menurutku."
Sementara Aidan mengeringkan tubuhnya, Emma membungkus
dirinya dengan selimut. Ketika Emma gemetaran, Aidan meraihnya
lalu menggosok lengan Emma agar membuatnya hangat. "Siap untuk
kembali ke dalam?" "Tetaplah di luar sini untuk beberapa saat."
"Apa kau serius?"
Emma mengangguk lalu menunjuk tempat tidur gantung yang diikat
di antara dua pohon oak raksasa. "Ini malam yang cantik, dan kita
bisa melihat bintang."
Aidan mendengus. "Melihat bintang dari tempat tidur gantung"
Terdengar seperti kalimat di sebuah novel romantis yang payah."
"Oh, aku tidak tahu kalau kau menikmati bacaan dengan genre yang
bisa membuatmu anggota tubuhmu berdebar dan berdenyut."
"Ha, ha," sahutnya, lalu menampar pantat Emma main-main.
Setelah Emma mengenakan gaunnya dan Aidan memakai celana
boxer-nya, Emma meraih tangan Aidan lalu membawanya ke tempat
tidur gantung. Setelah Emma berbaring, ia menarik Aidan berbaring
di sampingnya. Emma langsung memeluk erat tubuh Aidan, dan
merebahkan kepala padanya. "Apa ini benar-benar buruk?"
Dia tersenyum lebar. "Tidak. Ini cukup menyenangkan, sebenarnya."
"Bagus. Aku senang kau juga berpikir demikian."
"Aku tidak percaya bintang-bintang terlihat lebih terang saat kau
keluar dari kota. Berada di pegunungan membuatmu merasa seperti
kau bisa meraih dan menyentuh mereka," Aidan terpesona.
"Segala sesuatunya memang lebih cantik di luar sini."
"Apakah aku mendengar nada kangen rumah di suaramu?"
Membisu, tatapan Emma mengikuti tetesan air yang meleleh turun di
dada telanjang Aidan. "Em?"desak Aidan.
Emma menghela napas. "Kadang kupikir aku benar-benar ingin
pulang kemari - khususnya untuk membesarkan si bayi."
Aidan menegang di bawah Emma. "Kau serius?"
"Ini tempat dimana aku tumbuh - tempat dimana aku mendapat
paling banyak kasih sayang di seluruh dunia. Seluruh keluargaku
disini. Jika sesuatu terjadi padaku atau pada si bayi dan aku
membutuhkannya, rumah Nenek hanya berjarak satu jam."
"Apa kau berusaha untuk mengatakan bahwa kau merasa sendirian
di Atlanta?" "Well, tidak, maksudku, Casey memang selalu di sana...dan kau
juga." Aidan mengeluh. "Wow, posisiku setelah Casey, huh?"
"Bukan seperti itu maksudku." Emma mengangkat kepalanya agar
bisa menatap tatapan lekat Aidan. "Kau tahu betapa pentingnya kau
bagiku, dan betapa......pedulinya aku padamu."
Rasa lega memenuhi Emma ketika ekspresi Aidan menjadi cerah.
"Tapi aku tidak tahu apapun tentang bayi dan aku juga tidak yakin
mengenai hal itu, bukan?"
"Tepat sekali." Emma lalu menahan napas, menunggu Aidan untuk
berkata bahwa Emma tidak perlu khawatir tentang keyakinan.
Bahwa Aidan benar-benar ingin bersamanya. Bahwa dia akan selalu
berada di sampingnya - di tengah malam ketika si bayi sakit dan
ketika Emma merasa sangat takut atau jika dia merasa sangat lelah
setelah bekerja seharian dan membutuhkan beberapa menit istirahat.
"Kalau kau merasa khawatir sendirian, ada ayah, saudara
perempuanku dan Megan. Aku janji kau akan mendapat dukungan
dari mereka." "Senang mengetahuinya," Emma menggumam, sambil berusaha
menahan air mata. Dadanya terasa sakit dengan jawaban Aidan.
Aidan tidak menyinggung tentang sebagai pasangan resmi atau tetap
berada di sampingnya. Jadi bagaimana bisa dia tetap
memperhitungkan Aidan" Kecuali, kalau Aidan menunjukkan rasa
tanggung jawab dan komitmennya sekali lagi. Kapan Emma akan
belajar" Atau lebih pentingnya, kapan Emma akan menyerah
terhadap Aidan" *** Guncangan keras pada tempat tidur gantung membangunkan Emma.
Dia membuka kelopak matanya lalu memandang langit. Sinar
matahari terbit yang melintas diatas, membuat warnanya menjadi
biru, merah muda dan oranye. Bagaimanapun juga dia dan Aidan
berencana tidur di bawah bintang-bintang. Suara seseorang
berdeham membuat Emma berusaha turun dari tempat tidur gantung,
namun Aidan mempererat pelukan lengannya. "Kau pikir kau mau
kemana?" Dia bertanya dengan suara mengantuk.
Emma mengalihkan pandangan dari Aidan ke arah di mana
Kakeknya berdiri, dengan melipat lengan di dadanya. "Kita tidak
sendiri," bisiknya. Mata biru Aidan terbuka, dan rasa ngeri terlintas di wajahnya ketika
mata mengantuknya menatap Sang Earl. Dia langsung menyingkir
dari Emma dan mengangkat tangannya pura-pura menyerah. "Aku
benar-benar minta maaf soal ini, Tuan. Aku tidak bermaksud
melanggar permintaanmu dengan tidur bersama Emma di bawah
atapmu," katanya, terdengar seperti remaja yang memohon daripada
seorang pria. Sang Earl menatap sekeliling hutan lalu mendongak menatap langit.
"Tidak terlihat seperti kau berada di bawah atapku, kan?" dia
bertanya, ujung bibirnya terangkat.
Emma bertukar pandangan dengan Aidan. Apakah kakeknya benarbenar akan melepaskan
mereka dengan begitu mudahnya" "Maafkan
aku, Kakek." Sang Earl mengangkat bahunya. "Tidak banyak yang bisa aku
katakan tentang ini. Kalian berdua sudah dewasa. Apa yang kau
lakukan adalah urusanmu sendiri, bahkan jika aku tidak
menyetujuinya." "Tapi aku tetap tidak ingin kau merasa kecewa terhadapku," Emma
menjawab. "Aku tidak akan pernah kecewa kepadamu, Emmie Lou." Dia
mengusap kaki Emma. "Aku sangat mencintaimu, bahkan ketika kau
menyeret seorang lelaki malang dari tempat tidurnya untuk pergi
menyelam telanjang."
Tangan Emma melayang ke mulutnya sementara Aidan
menyemburkan tawa. "Tapi bagaimana...?"
"Itu bukan masalah. Aku tidak datang kemari untuk membuat kalian
berdua kesulitan. Nenekmu hanya menginginkan aku untuk memberi
tahu kalian kalau sarapan sudah siap. Lalu kita akan pergi ke gereja."
Dia melemparkan tatapan tajam. "Kita semua."
Setelah Sang Earl menyingkir, Aidan menutup mata dengan
lengannya. "Aku tidak percaya dia memergoki kita."
Emma tertawa. "Aku tidak percaya kau mengeluh tentang itu,
daripada tentang pergi ke gereja."
"Percayalah, aku tidak tertarik membayangkannya, tapi aku akan
pergi, terutama jika itu membuat Kakek dan Nenekmu bahagia."
"Tentu saja." "Kalau begitu ayolah. Ayo bersiap-siap menjadi suci!"
*** Bab 29 Aidan berjuang untuk menghentikan rasa ketidakpercayaannya saat
ia duduk di kursi belakang mobil Earl dan Virginia menuju gereja.
Terakhir kali ia datang ke gereja adalah saat ke Misa pembaptisan
Mason, dan bahkan dia tidak bisa mengingat kapan ia mendatangi
gereja sebelum itu. Begitu banyak janji yang dia buat kepada ibunya
yang harus dia tepati tentang mendatangi gereja seminggu sekali.
Setidaknya ibunya akan bangga karena ia mendapatkan semacam
bimbingan moral. Duduk di samping Aidan, Emma tetap tenang. Aidan melirik
kearahnya. Dia tampak cantik dengan gaun biru esnya yang jauh
lebih sederhana daripada gaun terusan yang dia kenakan sehari
sebelumnya. Dengan tangan terlipat di pangkuan, ia terlihat pemalu
dan lugu kecuali tonjolan di perutnya. Sebelum dia bisa menahan
diri, dia mengulurkan tangannya dan meraih tangan Emma lalu
menggenggamnya. Sebuah senyum melengkung di bibir Emma sebelum ia menengok
untuk menatap Aidan. "Apa kau yakin kau baik-baik saja dengan
pergi ke gereja?" Bisiknya.
"Ya." Ketika mereka memasuki area tempat parkir yang penuh sesak,
Emma menggeleng. "Pesan terakhirku kita akan menjadi terkenal."
Aidan tidak mendapatkan kesempatan untuk menanyakan maksud
dari kata-kata Emma itu. Sebaliknya, mereka sudah dihadang saat
keluar dari mobil. Emma pulang ke rumah pegunungannya dan pergi
ke gereja tampaknya hampir seperti seorang selebriti. Hal ini
membuat Aidan benar-benar terkejut.
Para wanita bersuka cita saat Emma memberikan pelukan pada
orang yang tak terhitung jumlahnya. Tangan mereka disodorkan
pada Aidan untuk memperkenalkannya. Ia menyimak kalau Emma
tidak pernah mengajak seorang pria, pacar, atau siapapun laki-laki ke
gereja sejak Travis meninggal.
Akhirnya, kerumunan orang meninggalkannya, dan mereka bisa
berjalan masuk ke dalam bangunan gereja. "Jadi," kata Aidan, sambil
membuka pintu untuknya. Dia meringis. "Jadi?"
"Bisakah aku mendapatkan tanda tanganmu nanti?" Godanya.
Emma tertawa. "Kau benar-benar menyebalkan!"
"Aku tidak menyadarinya kalau aku berkencan dengan wanita
kesayangan di kota ini."
"Maaf. Aku lupa menyebutkan hal itu," gerutu Emma.
"Selanjutnya kau akan mengatakan kau seorang Homecoming Queen
(wanita paling populer yang diangkat sebagai ratu sehari/disukai di
sekolahnya) atau sesuatu."
Ketika ia mengatupkan bibirnya dengan ketat, Aidan membelalakkan
matanya. "Benarkah?"
Dia mengangguk. "Tapi hanya di sebuah sekolah menengah yang
sangat kecil." Aidan menempatkan tangannya di bahu Emma. "Apa lagi yang
belum kau ungkapkan padaku, Queenie?"
"Emma" Benarkah itu kau?"
Aidan merasakan tubuh Emma menegang di sampingnya. Dia
mengamati wanita menarik dan berpakaian rapi yang tampaknya
berusia lima puluhan. Senyumnya yang berseri-seri langsung
memudar saat matanya tertuju pada perut bengkak Emma. Sebuah
ekspresi kepedihan terlintas di wajahnya, dan Aidan berpikir ia
mungkin akan menangis. "Halo, Jane. senang bertemu denganmu lagi," kata Emma, dengan
ramah. Jane seketika itu pulih, mengalihkan tatapannya dari perut Emma
dan kembali ke wajahnya. Tanpa ragu-ragu, dia menarik Emma ke
dalam pelukannya. "Kau benar-benar terlihat bersinar, sayang. Aku
sangat bangga dan turut berbahagia untukmu. Aku sangat senang
impianmu menjadi seorang ibu akhirnya terkabul."
Tubuh Emma gemetar dalam pelukan Jane, dan isakan meluncur
keluar dari dirinya. Aidan menahan keinginannya untuk menarik
Emma menjauh dari wanita ini yang jelas menyebabkan dia menjadi
sedih. Dia berdeham. "Saya Aidan Fitzgerald. Senang bertemu
dengan anda," katanya, sambil mengulurkan tangannya.
Dengan waspada Jane mengamatinya melewati bahu Emma sebelum
perlahan-lahan dia menarik diri. "Dimanakah sopan santunku"
Senang bertemu denganmu, Aidan. Aku Jane Lewis." Dia menjabat
tangannya. "Selamat atas bayimu. Aku sangat, sangat menyayangi
Emma." Dagunya bergetar. "Dia seharusnya akan menjadi
menantuku." Dada Aidan mengerut. Jane adalah ibu Travis. Sekarang semuanya
menjadi masuk akal. Melihat Emma hamil hanya membuatnya
berpikir hal itu tidak akan pernah menjadi anak Travis. Dia meremas
tangan Jane. "Saya sudah mendengar banyak tentang anak anda,
Ma'am. Saya turut berduka."
Ia tersenyum. "Terima kasih. Aku menghargai itu." Dia menarik
tangannya dan melangkah mundur. "Sekarang kau yang akan
merawat Emma kami, oke?"
"Ya Ma'am," jawab Aidan. Meskipun saat kata-kata itu
meninggalkan bibirnya, ia menunggu untuk dipukul jatuh. Bukan
karena seakan-akan ia telah berbohong di rumah Tuhan. Hanya saja
ia tidak tahu apakah mungkin dirinya sesuai dengan harapan Jane
dan semua orang di gereja dan di kota ini yang peduli pada Emma.
Jane memberi Emma pelukan terakhir sebelum bergabung dengan
suaminya. Ketika Emma menyeka air matanya, Aidan
menghembuskan napas dengan keras.
Emma memberinya senyum dengan malu-malu. "Maaf tentang hal
ini. Aku seharusnya memperingatkanmu karena kita mungkin akan
bertemu dengan mereka."
"Tidak, tidak apa-apa. Hanya saja itu tadi terlalu intens. Pada
awalnya, kupikir dia akan marah karena kau belum menikah tapi
sudah hamil. Tapi kemudian ketika aku tahu siapa dia ..." Aidan
bergidik. "Tolong beritahu aku, Travis bukanlah anak tunggal,"
katanya saat mereka duduk di bangku mereka.
"Tidak, dia memiliki dua saudara perempuan."
"Tapi dia anak laki-laki satu-satunya."
Emma mengangguk. "Sialan." Mata Aidan melebar ketika ia menyadari ia baru saja
mengumpat di dalam gereja. "Maaf," gumamnya pelan. Dia melirik
Virginia untuk melihat apakah ia mendengarnya, tapi untungnya, dia
sedang mengobrol dengan salah satu temannya.
Kemudian kebaktianpun dimulai. Aidan mendengar dengan penuh
kekaguman saat Emma menyanyikan lagu puji-pujian. Pikirannya
mulai mengembara selama khotbah, dan ia merasa sangat bersyukur
ketika kebaktian berakhir.
Ketika dia melesat keluar dari kursinya, Emma tertawa. "Kurasa
khotbahnya sudah merasukimu, ya?"
"Bisa dibilang begitu."
Earl muncul di belakang mereka dan menepuk bahu Aidan. "Ayo,
Nak, aku ingin memperkenalkanmu pada beberapa orang."
Dengan berat hati Aidan mengangguk. Dia tidak terlalu yakin ingin
mendengar bagaimana Earl memperkenalkan dirinya sebagai apa.
The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah semua ini, dia hanya sebagai pacar Emma...atau pendonor
sperma...atau si brengsek yang sudah menghamili malaikat manis di
masyarakat ini. Ternyata sangat mengejutkan, semua orang sangat ramah dan
menerimanya. Tentu saja, satu orang terus menatap tajam ke
arahnya, dan Aidan tidak terlalu terkejut mengetahui Steve seperti
itu -kekasih lain dari masa lalu Emma. Meskipun ia memiliki istri
yang cantik di sampingnya, Aidan bisa mengetahui kalau Steve
sangat protektif terhadap Emma.
Aidan tidak pernah lebih bersyukur lagi ketika Earl
mengantarkannya keluar pintu dan menuju halaman. Setelah Earl
selesai memperkenalkan dia hampir pada semua orang di luar juga,
Aidan menjulurkan lehernya diantara kerumunan untuk mencari
Emma. Sebuah tangan menepuk lengannya. Ia menunduk dan
melihat Virginia. Ekspresi Aidan jelas menggambarkan apa yang
ditanyakan karena Virginia menunjuk kebalik bahu Aidan. Memutar
kepalanya, Aidan melihat Emma sedang berdiri di sisi yang jauh di
pemakaman gereja. Kemudian Aidan mengangguk pada Virginia,
dan dia memberinya sebuah senyum yang menyemangati.
Menarik napas dalam-dalam, Aidan mulai berjalan melewati labirin
batu nisan yang bentuk dan warnanya berbeda. Akhirnya, ia sampai
ke tempat Emma. Dia berdiri dengan tabah dan diam di depan
monumen granit merah muda yang bertuliskan "Harrison". Di
bawahnya tertulis nama "Noah dan Katherine" serta tanggal
kelahiran dan kematian mereka. Sebuah karangan bunga sutra besar
diletakkan di bawah monumen.
"Em," katanya dengan lembut, sambil memeluk pinggangnya.
Memiringkan kepalanya, Emma memberinya sebuah senyum penuh
kesedihan. "Aku baik-baik saja. Sungguh. Aku selalu datang kesini
ketika aku berkunjung."
Aidan menatap tanggal kematian ayah Emma. "Ibumu tidak pernah
menikah lagi?" "Hanya sebentar. Sekitar lima tahun setelah ayahku meninggal. Aku
masih di sekolah menengah. Hanya bertahan selama dua tahun.
Bukan berarti Paul orang yang jahat atau yang lain. Aku masih
berbicara padanya dari waktu ke waktu. Mama hanya mengatakan
tidak ada pria di dunia ini untuknya kecuali ayahku."
Aidan mengangguk. "Kedengarannya seperti Pop."
Mereka berdiri dalam diam selama beberapa saat, angin
menghembuskan rambut dan pakaian mereka. Detak jantung Aidan
semakin cepat ketika Emma mengulurkan tangan dan menggenggam
tangannya. "Aku tidak ingat banyak tentang ayahku, tapi aku tahu
ibuku akan mencintaimu," bisik Emma.
Aidan meremas tangan Emma. "Aku senang mendengarnya.
Mengingat bagaimana Pop sangat menyayangimu, seharusnya tidak
perlu ragu bagaimana ibuku juga merasakan hal itu."
Emma tersenyum. "Sangat baik untuk bayi kita karena akan
memiliki banyak malaikat penjaga untuk mengawasi dia."
Memikirkan ibunya membuat tenggorokan Aidan menutup.
Suaranya hampir parau, "Ya, benar."
"Ayolah. Lebih baik kita kembali. Grammy punya pesta yang
menunggu kita di rumah."
Aidan menganggukkan kepalanya dan membiarkan Emma
menuntunnya melintasi pemakaman untuk kembali pulang.
*** Bab 30 Setelah berpamitan, mereka semua masuk ke dalam mobil untuk
menuju ke rumah Earl dan Virginia. Disaat mereka memasuki
rumah, aroma enak dari panggangan menggoda Emma. Grammy
telah bangun pagi-pagi bukan hanya untuk menyiapkan sarapan,
namun juga makan siang. Bahkan setelah sarapan gila-gilaan yang ia
santap, perut Emma masih berontak. Menghirup dalam-dalam, Aidan
mengerang girang. "Tuhan, aromanya seperti Surga."
Grammy tersenyum padanya. "Terima kasih, nak." Kemudian dia
menggoyangkan jarinya ke arah Emma. "Kau harus mulai memasak
lebih untuk priamu."
Walau itu konyol, namun Emma merasa pipinya bersemu merah saat
disebut Aidan adalah prianya. Aidan mengangkat alisnya.
"Maksudmu kau tahu cara memasak seperti itu," ucap Aidan,
menunjuk ke arah dapur. Emma terkikik. "Tentu saja aku tahu." Dia mengangguk ke arah
Grammy. "Aku punya guru masak terbaik yang bisa di dapat semua
orang." "Hmm, aku siap untuk kau masakkan kalau begitu."
"Yeah, jangan terlalu mengandalkan hal itu. Di antara kerja dan
kelelahan kehamilan, aku tak punya waktu ataupun tenaga untuk
memasak." Grammy berdecak kala dia mengikat tali celemek merahnya di
sekitar pinggangnya. "Kau lebih baik segera menyisihkan waktu,
gadis manis. Pada akhirnya, cara terbaik mendapatkan pria adalah
melalui perutnya." Kemudian Grammy berkedip pada Aidan
sebelum menuju ke dapur. Ketika Aidan terkekeh akan teguran Grammy, Emma menyikutnya
di perut. "Jangan membuatku mengatakan padanya cara
mendapatkan hatimu adalah melalui penismu," bisiknya.
Mata Aidan melebar, dan dia membuat suara tercekik. Aidan melirik
ke kiri dan kanan sebelum mendesis, "Aku tak percaya kau baru saja
mengatakan penis di rumah Kakek-Nenekmu!"
Emma tertawa. "Dan aku suka kau sama sekali tidak mencoba
membantah bahwa itu bukanlah kenyataannya!"
Aidan merengut sebelum duduk di salah satu kursi meja makan. Saat
akan ke dapur untuk membantu Grammy, Emma mengacak-acak
rambut Aidan dengan bercanda. Aidan melirik melalui bahunya dan
menyeringai. Dua dari paman Emma bersama dengan istri mereka melenggang
masuk, mengisi ruang kosong di meja antik besar. Emma menarik
Mary keluar sebelum dia bisa duduk di samping Aidan. Meskipun
dia telah memenangkan pertaruhan, namun Mary bersikeras ingin
melanjutkan seberapa jauh dia bisa mendekati Aidan, dan Emma
dengan senang hati membuat batasan. Mary merengut padanya
sebelum mengikutinya ke meja 'anak-anak'.
Di tengah perang urat syaraf keduanya, Aidan tertawa. Emma
menanggapinya dengan memutar matanya. "Hapus seringai kecil
yang seksi itu dari wajahmu, atau kau akan terus menyemangatinya."
"Tidak ada salahnya dia mampir untuk menyapa."
"Oh ya" Semalam kau tidak tertarik dengan perhatiannya."
"Dan semalam, kaulah yang menyemangatinya, bukan aku."
Bersandar, Aidan mencium leher Emma sebelum Emma
mendorongnya menjauh. "Lagi pula, aku masih tak tertarik padanya.
Hanya saja lucu melihatmu terganggu oleh gadis berusia sembilan
belas tahun yang berusaha merayuku."
"Aku tidak terganggu," Emma melengos, menyentakkan serbet di
atas pangkuannya. Aidan menggenggam tangan Emma dan membawanya ke bibirnya.
Mencium punggung tangannya, Aidan menatapnya dengan ekspresi
polos terbaiknya. "Kau tahu hanya kaulah yang kuinginkan, bukan?"
Emma berjuang untuk bernapas. Walaupun Aidan sering bercanda
dengannya, ucapannya langsung tepat ke sasaran. "Ya, aku tahu."
Hati Emma meleleh saat Aidan berkedip padanya. Mereka terganggu
dengan Earl mengambil tempat duduknya di kepala meja. "Baiklah
semuanya. Mari berdoa."
Setelah Granddaddy meng-aminkan doa, mereka mulai berkeliling
membagikan mangkuk dan piring makanan. Mengisi piringnya
hingga penuh, Emma membiarkan sensasi rasa yang familiar
meleleh di lidahnya. Menatap Aidan, ia terlihat menikmati makanan
dan percakapan seperti halnya dirinya. Untuk beberapa saat, Emma
mulai membayangkan bagaimana jadinya bila hal ini terjadi tiap
Minggu. Walaupun dia tak ingin kembali ke pegunungan, sangat
menenangkan berpikir Aidan berada disampingnya untuk makan
malam di hari Minggu ataupun acara keluarga lainnya yang akan
datang. Emma hanya tidak tahu jika itu terlalu melambungkan
angannya terlalu tinggi. Ketika hidangan utama dan hidangan penutup selesai, Grammy dan
para bibinya mulai mengumpulkan piring kotor. Emma bangkit dari
kursinya. "Mari, aku akan membantumu membersihkannya,"
ujarnya. "Terima kasih, sayang," balas Virginia.
Sementara para pria mulai mengosongkan meja untuk tugas
membersihkan meja, Earl mengangguk ke arah Aidan. "Ayo ke teras
bersamaku dan para lelaki, nak," sarannya.
"Apa kau yakin?" tanya Aidan.
Earl mengangguk. Kita bisa meninggalkan para wanita dengan
piring kotor dan sisa makanan ini sementara kau akan menceritakan
sedikit tentang dirimu."
Emma tak bisa menahan senyum lebar di pipinya. Dia tahu jika
Granddaddy ingin mengetahui lebih jauh tentang Aidan, maka Aidan
telah benar-benar membuat kesan. Dalam keraguannya, Emma
mendorong Aidan dengan pelan. Aidan akhirnya melangkahkan
kakinya mengikuti Granddaddy keluar.
Ketika semua piring kotor telah dibereskan dan dapur sudah bersih,
Emma bergegas mengecek Aidan. Emma mendadak berhenti saat
melihat Aidan bersantai di ayunan teras dengan pisau saku di satu
tangan dan sebatang kayu di tangan yang lain. Emma ternganga.
Sebelum Emma bisa bertanya apa yang dilakukan pemuda kota
seperti Aidan sedang mengukir kayu, Aidan nyengir. "Granddaddymu mengajariku."
Emma tertawa. "Aku mengerti." Emma menunjuk ke pisau yang
berkilauan. "Berhati-hatilah, oke?"
"Aw..dia akan baik-baik saja. Dia tidak seperti pemuda kota banci
yang pada awalnya ku pikir," balas Earl.
"Pujian yang sangat berlebihan," desah Emma, duduk di samping
Aidan. Dalam suara berbisik, Emma bergumam, "Jangan pernah
berpikir untuk mengunyah tembakau untuk mengesankan
Granddaddy. Aku takkan membiarkanmu disekitar mulutku dengan
kunyahan jorok itu."
Aidan tertawa. "Kau tak perlu khawatir."
Saat sore berlalu, Aidan menaruh ukirannya dan membungkus
Emma dalam pelukannya. Desah bahagia lolos dari bibir Emma saat
dia bersandar di dada Aidan. Emma mencoba menghalau kilas balik
yang mengganggunya mengenai duduk dengan cara yang sama
bersama Travis setelah makan siang Minggu beberapa tahun
sebelumnya. Sementara Grammy memberitahunya tentang gosip lokal yang telah
Emma lewatkan selama dua minggu terakhir, Emma memperhatikan
saat mata Aidan berubah berat. Itu tidak lama sebelum alunan dan
suara mendesau dari ayunan teras menyebabkannya tertidur. Emma
menciumnya di pipi dan bangkit dari pelukannya. Ada sebuah
tempat yang ingin Emma kunjungi kembali sebelum mereka harus
pergi. *** Bab 31 Aidan terbangun karena lidah Beau menjilati seluruh wajahnya.
Mengucek matanya, ia mengintip di sekitar teras depan. Seluruh
keluarga Emma telah meninggalkan tempat ini. Hanya Virginia yang
sedang duduk di salah satu kursi goyang, sambil mengerjakan
sebuah selimut untuk bayi sementara Earl membaca koran. Aidan
menahan keinginannya untuk mengguncangkan dirinya karena ia
merasa seperti melihat sebuah pemandangan yang langsung dari
lukisan Norman Rockwell. "Well, halo yang ada disana, si tukang tidur. Akhirnya kau
memutuskan untuk bangun?" Tanya Virginia.
"Ya, ma'am. Saya minta maaf karena tertidur."
Dia melambaikan tangannya dengan acuh tak acuh pada Aidan.
"Itulah sebabnya tidur siang adalah bagian terbaik untuk bermalasmalasan pada
Minggu sore." Aidan melihat di sekeliling teras. "Di mana Emma?"
"Turun ke dermaga."
Aidan mengangguk dan memberi isyarat pada Beau. Setelah
menuruni tangga beranda, ia mengikuti jalan berkelok-kelok di
sekitar rumah menuju kolam. Ketika ia sampai ke pinggir kolam, ia
membeku. Emma duduk di ujung dermaga, sambil menggantungkan kakinya di
tepian. Gaunnya naik sampai pahanya, dan dia memutar-mutar
kakinya sampai betis di dalam air. Dia miring ke belakang bertumpu
dengan satu tangannya sementara yang satunya mengelus
membentuk lingkaran di perutnya. Senyum damai melengkung di
bibirnya. Hanya dengan melihatnya telah mengirimkan rasa nyeri yang
menusuk ke dalam dada Aidan. Kepedihan yang tiba-tiba datang
yang benar-benar murni dari emosinya. Dalam sekejap, rasanya
seperti bumi telah bergeser pada porosnya, dan setiap molekul di
dalam tubuhnya bergetar hingga berhenti.
Aidan jatuh cinta. Kepanikan yang menyesakkan dadanya telah melumpuhkannya,
menyebabkan paru-parunya terbakar. Dia belum pernah merasa
seperti ini sebelumnya. Bahkan dibandingkan dengan perasaan yang
dia miliki dengan Amy. Perasaan berbinar-binar dalam dirinya
beberapa bulan terakhir telah tumbuh dari bara kecil menjadi
kobaran api. Dan sekarang api perasaan itu mengancam akan
menyita pikirannya. Dia mencintai Emma. Brengsek. Dia memang sepenuhnya mencintainya dengan setiap
jengkal keberadaannya. Dan fakta yang sangat menakutkan itu
keluar dari dirinya. Aidan mengangkat tangannya yang gemetar ke rambutnya. Ya
Tuhan, bagaimana ia membiarkan hal ini terjadi" Mereka baru saja
bersenang-senang menghabiskan waktu bersama-sama, saling
menemani, belum lagi memiliki seks yang luar biasa. Dia telah
melakukan hal itu puluhan kali dengan berbagai macam wanita.
Tentu saja, ia tidak pernah sampai pada tingkat emosi seperti ini
pada mereka. Dia selalu mengakhirinya sebelum hal itu bisa terjadi.
Penawaran bodohnya untuk memberi Emma lebih akhirnya
membuat dia lebih daripada yang pernah dia tawarkan. Rasanya ia
seperti tenggelam dalam arus perasaannya dengan keras dan cepat.
Dengan putus asa ia butuh menjauh dari Emma. Kalau saja dia bisa
menjaga jarak diantara mereka, mungkin perasaannya bisa berubah.
Mungkin dia bisa kembali pada apa yang ia rasakan tentang Emma
beberapa minggu sebelumnya atau bahkan sehari sebelumnya.
Namun pada kenyataannya, ia tahu kedalaman kebohongannya itu.
Setiap kali ia pergi untuk urusan bisnis, ia merindukannya- bahkan
kadang-kadang merindukan Emma di dalam hatinya, bukan
penisnya. Pada akhirnya, mungkin tidak masalah jika dia mencintainya. Dia
tidak bisa membayangkan menyerahkan seluruh hidupnya untuk
menjadi semua yang Emma butuhkan. Ia menjadi sesak napas karena
bertanggung jawab untuk menjadi seorang suami dan ayah ... sial
tidak. Aidan mulai mundur, tapi sepotong ranting terinjak di bawah
kakinya, menyebabkan Emma memutar kepalanya.
"Hei," serunya.
Beau berlari melewatinya dan menuruni dermaga. Dia mencebur ke
The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam air, mengirimkan percikan kecil mengenai Emma. "Beau, kau
menyebalkan!" Teriaknya.
Aidan memaksa dirinya melangkah menuju Emma. Emma
tersenyum padanya saat ia mendekat. "Maaf, aku meninggalkanmu
di ayunan. Aku ingin datang kemari sebelum kita pulang, dan kau
tertidur begitu tenang, aku tidak ingin membangunkanmu. Apalagi
semalam aku menyeretmu keluar dari tempat tidur."
"Tidak apa-apa." Dia melirik arlojinya. "Mungkin kita harus segera
kembali." Emma mengangguk dan mengayunkan kakinya keluar dari air.
Setelah itu ia berdiri, dia terkesiap.
"Ada apa?" Emma berdiri membeku, tangannya menekan perutnya.
Aidan maju selangkah. "Em?"
Dia meraih tangan Aidan dan meletakkannya di atas tangannya yang
baru saja memegang perutnya. "Kau merasakannya?"
Aidan hampir tersentak merasakan getaran kecil di bawah ujung jari.
Jantungnya bergetar berhenti sebelum berdetak lagi. Bayi itu bayinya bergerak.
"Ya," katanya parau.
Emma tersenyum ke arahnya. "Sungguh menakjubkan, bukan?"
Dia sangat kewalahan untuk berbicara, jadi dia hanya
menganggukkan kepalanya saja. "Aku belum pernah merasakan
gerakan itu sebelumnya. Aku senang kau ada di sini denganku ketika
ini terjadi. " "Aku juga." Ketika gerakan itu berhenti, Emma melingkarkan lengannya di leher
Aidan. "Aku tidak pernah bisa mengucapkan bagaimana aku sangat
berterima kasih padamu karena telah memberiku sebuah hadiah
kehidupan yang menakjubkan ini. Kau membuatku menjadi wanita
paling bahagia di dunia, dan aku mencintaimu untuk itu." Aidan
membelalakkan matanya mendengar kata-kata itu, sementara Emma
mencondongkan tubuhnya dan mencium Aidan. "Aku mencintaimu,
Aidan," gumamnya di bibir Aidan.
Bagian dari diri Aidan ingin berkata jujur pada Emma dan dirinya
sendiri dan dengan terbuka mengakui bahwa ia mencintai Emma.
Tetapi bagian dari kekerasan hatinya menolak untuk mengeluarkan
dan mengatakan tiga kata sederhana itu padanya. Ia menarik diri dari
ciuman itu. "Em, aku..."
Meskipun rasa sakit yang terpancar di matanya, Emma memberinya
sebuah senyum malu-malu. "Tidak apa-apa. Kau tidak harus
mengatakan itu juga. Aku hanya ingin memberitahumu bagaimana
perasaanku." Emma menarik tangan Aidan. "Ayo, lebih baik kita
segera pergi." Aidan membiarkan Emma menariknya menuruni
dermaga dan kembali ke lereng bukit.
*** Bab 32 Bunyi melengking alarm membuat Emma terjaga. Mengetahui Aidan
yang masih tertidur pulas, dia berguling, membangunkannya dengan
lembut. "Sayang, alarm berbunyi."
Aidan mendengus di depan tangannya yang sedang memukuli jam
berulang kali sampai akhirnya berhenti.
Ketika Aidan ambruk lagi di tempat tidur, Emma menahan
keinginannya untuk menjalankan tangannya ke dada Aidan yang
telanjang. Dia selalu terlihat begitu tampan pada pagi hari-wajahnya
begitu kasar, rambut pirang kecoklatannya acak-acakan. Sebaliknya,
ia meringkuk di sisi Aidan. Ketika ia menempatkan kakinya di atas
paha Aidan, Aidan menegang. "Kau bisa mandi dulu," gumam
Aidan. "Kau biasanya selalu bergabung denganku," saran Emma.
"Tidak, duluan saja," katanya, menjauh dari Emma. "Aku ingin tidur
lagi sebentar." Tersengat oleh kata-kata dan tindakan Aidan, Emma tersentak
kebelakang. Air mata jatuh ke pipinya saat ia berjalan memasuki
kamar mandi. Aidan menjadi sangat berbeda, begitu jauh sejak
mereka kembali dari pegunungan. Dia berangkat kerja ke kantor
makin terlambat dalam seminggu terakhir ini. Waktu dia tiba di
rumah pada malam hari, Emma sudah di tempat tidur atau tertidur.
Aidan tidak menyentuhnya secara intim sejak mereka bercinta di tepi
kolam rumah Kakek-Neneknya itu.
Bersandar di dinding kamar mandi, ketakutan telah
melumpuhkannya. Apakah dirinya melakukan kesalahan secara fisik
karena mengatakan pada Aidan bahwa dia mencintainya, apa alasan
itu yang telah mendorong Aidan menjauhinya" Apa yang akan dia
lakukan sekarang" Apakah dia hanya berpura-pura bahwa dia tidak
pernah mengucapkan kata-kata itu dan berharap sesuatu akan
kembali normal, atau apakah dia mendorong sesuatu dengan
menuntut yang lebih jauh lagi untuk mengetahui apa keinginannya"
Setelah menghabiskan seluruh air mata di kamar mandi, Emma
berusaha menenangkan diri untuk bersiap-siap berangkat kerja.
Memakai jubah mandinya, dia melangkah keluar dari kamar mandi.
Aidan masih belum bergerak dari tempat tidur. Mungkin dia tidak
bisa membaca situasi ini, dan Aidan benar-benar hanya kelelahan.
Pelan-pelan dia duduk di atas kasur dan mengusap punggung Aidan
yang telanjang. "Bangun, tukang tidur, atau kau akan terlambat
berangkat kerja." Dia mengguman sambil berguling melihat wajah Emma. "Pekerjaan
sialan." "Kau tidak lupa hari ini, kan?"
"Tidak, USG untuk mengetahui jenis kelamin bayi."
Emma tersenyum karena Aidan masih mengingatnya. "Jam empat.
Kau bisa datang, kan?"
Aidan mengusap kotoran yang keluar dari matanya. "Tentu. Aku
telah meminta Marilyn membatalkan semua janjiku sore nanti."
Membungkuk, Emma memberinya kecupan. "Aku senang
mendengarnya." Senyum puas lolos dari bibirnya. "Aku tak sabar
untuk melihat apakah Ayahmu dan Grammy benar bahwa bayi ini
laki-laki." "Ya, mungkin saja," katanya, suaranya tanpa emosi. Dari nada suara
Aidan, Emma seakan sedang membahas apakah di luar akan hujan,
bukan tentang jenis kelamin dari anak pertamanya yang akan lahir.
Secara naluriah, Emma menempatkan tangannya di perutnya seolaholah untuk
melindungi bayinya dari sikap Aidan yang tidak
berperasaan. Ketika Aidan menatap matanya, Emma menundukkan
kepalanya sehingga Aidan tidak bisa membaca ada luka di matanya.
"Jadi aku akan bertemu denganmu sore ini," katanya, melemparkan
selimut kebelakang. Tak mampu berbicara karena takut menangis, Emma hanya
mengangguk. Tanpa banyak bicara dengannya atau ciuman selamat tinggal, Aidan
melompat dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi.
*** Ketika Aidan memandang dirinya di cermin kamar mandi, ia
menggelengkan kepalanya dengan jijik. "Ya, benar, seperti
menancapkan pasak ke dalam jantungnya lebih dalam, kau benarbenar brengsek,"
rutuknya pelan. Merasa kalah, ia pindah ke tempat pancuran. Berdiri di bawah
pancuran air panas, ia membiarkan airnya mengenai tubuhnya dan
menghanguskan kulitnya. Dia memutar bahunya dari beban berat
yang menggantung mengelilingi tubuhnya. Dia merasa seperti
diselimuti dan tidak bisa bernapas sejak hari itu di dermaga. Hari
sialan itu- satu-satunya alasan yang benar-benar mengacaukan
hidupnya. Pada saat itu, bibirnya terbakar karena pernyataan cinta
Emma di bibirnya setelah ciuman mereka. Bahkan jari-jarinya
merinding, dan ia hampir merasakan gerakan bayi di bawah tangan
mereka. Sepertinya dia tidak pernah tahu kalau cinta memasuki dirinya pada
saat itu, dan bukannya merangkul, tapi dia terus menutupi hatinya.
Memejamkan matanya, dia bisa melihat semua bentuk penolakan
terhadap Emma di kamar tidur, isak tangis Emma yang diam-diam
coba disembunyikan dari dirinya. Apakah hal itu benar-benar akan
membunuhnya dengan menunjukkan sedikit perhatian dan kebaikan
untuk Emma pada hari ini dari seluruh hari-harinya" Dia mengerang
dan membenturkan kepalanya ke dinding kamar mandi. Tidak,
sepenuhnya ia menjadi seorang bajingan dengan menolak kemajuan
Emma dan bertindak seperti seorang yang benar-benar brengsek
mengenai USG. Sial, ia hanya kelelahan. Bepergian terus menerus dan pulang larut
malam membuatnya capek secara fisik. Lalu semuanya ditambah
dengan Emma yang mengacaukan bagian dari emosionalnya. Dia
tidak bisa tidur tanpa mengambil sesuatu, dan biasanya ia mengusir
semua itu dengan alkohol bahkan dengan bekerja keras. Semakin
sering ia berhadapan dengan Emma, ia merasa seperti semakin
tenggelam. Seperti seorang pengecut sejati, ia mencoba menghindari
Emma sebisa mungkin. Beberapa malam ia berdebat pada dirinya
sendiri untuk tidur di sofa di kantornya.
Dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan. Tapi sesuatu harus
diputuskan. *** Bab 33 Selama sisa waktu hari ini, Emma berusaha mengatasi rasa
pusingnya. Ia tidak membiarkan sikap Aidan pagi ini merusak
kegembiraannya. Casey menumbuhkan semangatnya dengan
mengajaknya keluar untuk makan siang semacam pra-perayaan.
Kemudian pada jam empat lewat sedikit, dia mendorong pintu
kantor OB/GYN dan mencoba berjuang agar bisa mengendalikan
kegelisahannya. Ketika dia mulai mendaftar, petugas resepsionis memberinya sebuah
senyum meminta maaf. "Mungkin butuh beberapa waktu. Teknisi
kami tertahan di kantor Sandy Springs."
Seketika itu jantung Emma tenggelam. "Kau bercanda" Maksudmu
aku harus menunggu lebih lama lagi" Aku sudah hampir meledak!"
"Aku hanya bisa membayangkan itu! Dia berusaha segera datang
kemari secepatnya." Emma tersenyum. "Aku mengerti. Aku hanya senang akan
mengetahui jenis kelaminnya sekarang. Aku tidak tahu bagaimana
para wanita bisa menunggu sampai sembilan bulan di masa lampau."
Resepsionis tertawa. "Aku tahu, memang benar kan" Tapi aku
berjanji kami akan menghubungi anda kembali saat petugas kami
datang." "Terima kasih." Emma kemudian menjatuhkan diri di salah satu
kursi yang nyaman dan mengeluarkan iPad dari tasnya. Dia berpikir
sebaiknya dia membaca sampai Aidan atau teknisi itu muncul. Dia
begitu tenggelam membaca novel roman, dia hampir tidak
menyadari teleponnya berdering. Meraih teleponnya, dia melihat
panggilan itu dari Aidan. "Hei, kau dimana?"
Ketika Aidan berbicara, suaranya lirih, dan ia tahu Aidan pasti
sedang dalam ruang meeting atau tepat di luarnya. "Para CEO sialan
muncul entah dari mana dua jam yang lalu menginginkan kami
mengerjakan semua laporan. Aku tidak tahu apakah aku bisa datang
tepat waktu." "Tidak apa-apa. Teknisi bagian USG terlambat dari salah satu kantor
mereka yang lain. Cobalah datang kapanpun kau bisa, oke?"
"Oke. Aku akan mengusahakannya."
"Aku mencintaimu," kata Emma.
Satu-satunya respons yang dia dapatkan adalah suara klik, saluran
langsung mati. Pada awalnya, ia mencoba membuat pertimbangan
dengan dirinya sendiri bahwa Aidan tidak bisa datang karena
pekerjaannya. Tetapi berdebat dengan dirinya sendiri sama sekali
tidak membantu. Dia melawan dorongan yang sangat kuat karena air
matanya yang akan meledak keluar. Bukan hanya karena dia
sendirian akan menghadapi hasil USG, tapi Aidan bahkan tidak perlu
repot-repot mengucapkan selamat tinggal. Dan Aidan masih tidak
mau mengatakan bahwa dia juga mencintainya.
Mengambil tisu dari tasnya untuk menyeka matanya yang basah, dia
mendongak ke arah keributan yang datang melewati pintu kantor
dokter. "Setidaknya biarkan aku masuk duluan dan melihat apakah
itu tidak ada masalah," kata suara yang begitu familier.
Seorang pria mendengus sebagai jawaban. "Persetan! Big Papa bisa
mencium pantatku jika dia tidak menginginkan aku disini!"
Hati Emma melonjak saat mendengar suara Casey dan Connor
bertengkar. Saat melihat Emma, mereka langsung tutup mulut. "Hei,
apa yang kalian berdua lakukan di sini?"
Connor menatap sekeliling ruang tunggu yang hampir kosong.
"Kupikir pertanyaan yang lebih baik adalah dimana Big Papa?"
Emma memutar matanya. "Bisakah kau berhenti memanggil dia
seperti itu" Dan dia terjebak dalam sebuah meeting."
"Oh," gumam Casey.
Mereka disela oleh perawat yang menyembulkan kepalanya ke ruang
tunggu. "Ms Harrison" Kami siap untuk anda sekarang."
"Oh, oke, terima kasih," jawab Emma, berdiri dari kursinya. Dia
berharap waktu penundaannya lebih lama untuk memberikan Aidan
waktu yang lebih banyak, tetapi sepertinya dia terlihat tidak sedang
beruntung. Dari sudut matanya, Emma melihat Casey melemparkan pandangan
ragu-ragu pada Connor sebelum dia melangkah maju. "Apakah kau
ingin kami masuk denganmu?"
Emma mengangguk. "Aku suka ide itu."
Casey berseri-seri sementara Connor berdeham. "Kami hanya akan
tinggal sampai Big Papa, erm, maksudku, Aidan tiba disini. Kami
akan membiarkan kalian memiliki waktu sendiri."
Ketulusan dan perhatian Connor membuat Emma tersentuh, dan ia
mengulurkan tangan lalu mengacak-acak rambut Connor - sebuah
tanda kasih sayangnya sejak mereka masih remaja. Dia tersenyum.
"Terima kasih."
Perawat menahan pintu terbuka bagi mereka. Ketika mereka berhenti
di depan satu set timbangan, Emma mengerang. "Apakah kita benarbenar harus
melakukan bagian ini?"
Perawat itu tertawa. "Maaf sayang. Kita perlu tahu berapa berat
badan anda sekarang dan bagaimana ukuran anda."
"Luar biasa," jawab Emma, lalu naik ke timbangan.
Casey dan Connor mengintip dari balik bahu Emma untuk melihat
angkanya. "Apa kalian keberatan!" Seru Emma.
"Kau hanya naik 15 pound (6,8kg). Bagus sekali," kata perawat itu,
sambil menandai grafik Emma.
"Kurasa kau dan Big Papa benar-benar telah membakar kalori ketika
dia di kota, ya?" Canda Connor. Sementara ia dan Casey larut dalam
tawa, Emma menatap tajam ke arah mereka dengan pandangan
seorang pembunuh. Mereka mengikuti perawat memasuki ruang USG, dengan cahaya
meredam. Emma mengenal teknisi itu, bernama Janine, pada saat
USG sebelumnya. "Hari besar, ya?" Tanya Janine.
"Ya, yang benar-benar besar."
Tatapan Janine tertuju pada Connor. "Pasti hal ini membuat ayahnya
bangga, ya?" Connor membelalakkan matanya, dan ia mengangkat tangannya.
"Bukan, bukan, aku hanya seorang teman."
"Ayah anak ini terjebak dalam pertemuan bisnis. Saya berharap dia
bisa datang sebelum kami selesai," jelas Emma.
"Tidak ada masalah. Aku pasti akan membuatkan anda fotocopy dan
DVD dari USG jika dia tidak bisa datang."
The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terima kasih, Janine."
Dia menepuk meja periksa. "Kau tahu drill itu sekarang."
Emma mengangguk. Setelah naik, ia berbaring dan membuat dirinya
nyaman. Ketika ia mulai membuka kancing celananya, sebuah
teriakan melengking berasal dari tenggorokan Connor. "Tunggu, kau
tidak akan telanjang kan?"
Melihat kecemasannya, baik Emma maupun Casey mencibir. "Tidak,
bodoh. Kau hanya beruntung ini adalah perut saja dan bukan
transvaginal (USG melalui vagina)," jawab Emma.
Alis Connor berkerut. "Apa bedanya?"
Janine berputar di kursinya dan mengambil tongkat transvaginal. Dia
melambaikan itu pada Connor, dan ia memucat ketika ia menyadari
apa yang fungsi sebenarnya alat itu. "Oh, sial."
Casey menepuk punggungnya. "Lihat, tidak perlu khawatir. Kau
tidak akan terluka melihat vaginanya Em."
"Ha, sialan ha," gerutunya. Tapi ketika ia duduk di kursinya, ia
mendorongnya sejauh mungkin menempel ke dinding, sehingga
bahkan tidak akan ada kemungkinan dia bisa melihat apa-apa.
Janine menyemprotkan seperti bahan jelly ke perut Emma.
Kesejukan itu menyebabkan dia menggigil. "Maaf tentang itu. Saya
seharusnya menghangatkannya dulu untuk anda, tapi aku tidak
punya waktu, " Janine meminta maaf.
Emma tersenyum. "Tidak apa-apa."
Kemudian Janine mulai menjalankan tongkat itu di atas perut Emma.
Menjulurkan lehernya, Emma melihat gambar berbintik yang
terbentuk pada layar. Dengan gelisah ia menarik napas sampai bunyi
detak jantung bayinya memenuhi ruangan.
"Pertama kalinya untuk kalian, mendengar detak jantung," kata
Janine pada Connor dan Casey sebelum dia menunjuk kearah
jantung yang berbentuk seperti gelembung kecil bergerak kembang
kempis di layar. "Oh wow," kata Casey.
Janine tersenyum pada Emma. " Itu jantungnya dan suara detaknya
juga sangat kuat." "Kedengarannya sangat bagus."
Menekan tongkatnya dengan keras di perut Emma, Janine menatap
layar. "Well, Anda beruntung. Bayi anda menunjukkan dengan cukup
jelas apa yang ada di antara kedua kakinya pada kita."
"Sungguh?" Janine mengangguk. "Kadang-kadang mereka berbaring di sudut
hingga menutupi jenis kelaminnya, atau mereka hanya bersikap
keras kepala dan membalikkan tubuhnya hingga kita tidak bisa
melihat. Tapi bayi anda pasti ingin kita tahu tanpa ada keraguan."
Dada Emma menegang. Mulutnya menjadi kering, dan ia menjilati
bibirnya. Melirik diatas bahunya, dia menatap Casey dan Connor.
Mereka berdua mencondongkan tubuhnya ke depan begitu jauh di
kursi mereka sampai Emma takut mereka akan jatuh ke lantai.
"Jadi apa itu?" Tanya Emma dengan serak.
Janine tersenyum. "Anak laki-laki...yang sehat dan kuat."
Suara isakan keluar dari tenggorokan Emma saat air mata bahagia
menyengat di matanya. Patrick dan Grammy memang benar.
Seorang anak laki-laki. Dia akan memberikan Aidan seorang anak
laki-laki untuk meneruskan nama keluarganya. Dia menutup
matanya dan mengucapkan doa syukur dalam hati bahwa anaknya
sehat dan kuat. Ketika dia membuka matanya, Connor dan Casey berada di sisinya.
Keduanya membungkuk untuk memeluknya. "Selamat, Mama!"
Kata Casey, mencium pipi Em.
"Laki-laki, ya" Aku harap dia setampan dan secerdas Gunkle
Connor." "Gunkle?" Tanya Emma.
"Kau tahu, 'gay uncle/paman gay'."
Casey mencibir. "Aku tidak yakin bagaimana tanggapan Big Papa
Fitzgerald tentang hal yang satu itu."
Emma tertawa. "Kupikir dia tidak akan apa-apa dengan hal itu.
Maksudku, siapa sih yang tidak menghargai orang yang mencintai
anak mereka?" "Hell yeah, aku akan mencintainya! Dia bagian dari dirimu, jadi hal
itu membuatnya lebih dicintai," kata Conner, sambil mengedipkan
mata. Janine menyerahkan Emma sebuah DVD bersamaan dengan
beberapa print-out dari USG. "Selamat sekali lagi."
"Terima kasih," gumam Emma, tatapannya tertuju pada gambar
berbintik-bintik di tangannya.
"Jadi kapan kau akan memberitahu Big Papa?" Tanya Casey.
"Oh, um, kurasa saat dia pulang nanti malam. Aku tidak ingin
memberitahu padanya melalui telepon atau lewat teks atau sesuatu
yang lain." "Kau harus pergi untuk mengejutkan dia di tempat kerja," saran
Connor. Emma menjalankan jari-jarinya di atas gambar USG. Setiap saat, ia
menyangka itu tidak ada dan untuk semua ini hanyalah sebuah
mimpi. Setelah Casey berdeham, Emma menggerakkan kepalanya.
"Kedengarannya seperti ide yang baik. Dari cara dia berbicara,
sepertinya dia akan pulang sangat larut."
Casey menarik Emma ke pelukannya kemudian mencium pipinya.
"Aku sangat bangga dan ikut bahagia untukmu."
Emma tersenyum lebar. "Terima kasih." Dia meremas Casey dengan
ketat. "Yang paling penting, terima kasih karena sudah
mendukungku melewati semua ini, terutama hari ini." Dia tersenyum
pada Connor. "Dan kau juga."
"Kami akan selalu melakukan hal yang sama," jawab Casey saat
Connor mengangguk. Dia mencium pipi Emma. "Sekarang pergi dan
beritahu Big Papa kabar bahagia ini."
"Aku akan melakukannya!"
*** Bab 34 "Saya ingin mengucapkan terima kasih pada semuanya untuk
bersedia pulang terlambat. Saya senang bagaimana segala
sesuatunya menjadi lebih baik, dan saya berharap untuk keberhasilan
kerja sama ini." Segera setelah CEO keluar dari ruang rapat, Aidan mengeluarkan
ponsel dari saku jasnya. Melirik pada jamnya, ia menyeringai. Tidak
ada cara untuknya agar bisa melintasi jalanan untuk memenuhi janji
pada Emma. Rasa malu menggema melalui dirinya ketika dia merasa
lega atas hilangnya momen menemani Emma USG. Mengkonfirmasi
jenis kelamin bayi yang akan lahir nanti membuat semuanya lebih
nyata. Melonggarkan dasinya, ia melawan perasaan seperti
mencekiknya yang terus menghantui dirinya. Tangannya merinding
lagi, dan ingatannya kembali lagi ketika di dermaga ia merasakan
bayinya bergerak dengan Emma.
Dia menggosok jari-jarinya di bawah kerah bajunya ketika seseorang
berdeham. Dia mendongak dan menemukan ruang rapat kosong
kecuali si brunette (rambut cokelat) berpayudara besar karyawan
baru di departemennya. "Saya pikir kita belum berkenalan sebelumnya," kata si brunette
dengan sebuah senyum mengundang. "Saya Heather Donnovan."
Dia mengulurkan tangannya. "Aidan Fitzgerald."
"Oh, saya tahu siapa anda," jawab Heather, membiarkan dirinya
berlama-lama berjabatan tangan dengan Aidan sedikit lebih lama
daripada yang seharusnya. "Anda memiliki cukup reputasi disini."
Aidan melengkungkan alisnya. "Benarkah?"
Dia mengangguk. "Baik dari dalam maupun di luar ruang rapat."
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Aidan benar-benar tidak
kompeten bagaimana menangani rayuan seorang wanita. Biasanya,
dialah yang akan mengambil inisiatif pada saat ada wanita yang
tetap tinggal sendirian dengan dia. Tapi sekarang dia sepenuhnya
kehilangan kata-kata. Heather memiringkan kepalanya ke kanan dan tersenyum malumalu. "Anda tahu saya
baru datang di Atlanta ini, jadi saya belum
mengenal banyak orang. Apakah anda mau minum dengan saya?"
Detak jantung Aidan melaju kencang saat beban pertanyaan Heather
seakan jatuh menimpa dirinya. Hati dan pikirannya berjuang
melawan satu sama lain. Hal ini seperti mengirim darahnya untuk
dipompa lebih keras dan lebih keras lagi mengalir di pembuluh
darahnya sampai bunyinya berdebar seakan telinganya mendengar
kelompok musisi yang memainkan alat musik terbuat dari kuningan.
Aidan sudah pernah mengalami berkali-kali kejadian seperti ini
sebelumnya. Dia tahu persis apa maksud dari sindiran Heather, dan
itu bukan hanya sekedar pergi minum setelah lelah bekerja yang
tidak berbahaya. Aidan hampir bisa merasakan kebutuhan yang terpancar dari tubuh
Heather. Jika dia memulainya, Heather mungkin tidak akan
keberatan kalau dia menyetubuhinya tepat diatas meja rapat.
Gagasan untuk mendorong roknya keatas, merobek celana dalamnya
dan melahapnya seperti mengirimkan putaran di bawah
pinggangnya. Kemudian gambaran Emma sedang duduk di dermaga kakekneneknya, tangannya dengan
lembut membelai perut yang berisi
anaknya, terlintas di depan matanya. Emma mencintainya, dan jauh
di lubuk hati, ia mencintai Emma. Dia seharusnya tidak mengambil
tawaran Heather. Tidak, ia tidak boleh mengambil tawaran Heather.
Tapi kemudian pengaruh dari hubungan itu seakan mencekiknya dan
menjadi seorang ayah sekali lagi telah menekan dirinya. Dia tidak
pernah meminta untuk hal itu. Yang ia inginkan adalah pada
akhirnya ia bisa mengajak Emma ke tempat tidur kemudian
melanjutkan hidup seperti yang selalu ia lakukan. Ia mengertakkan
giginya. Damn, Emma, karena membuat Aidan menginginkan lebih
dengan dia...karena membuatnya jatuh cinta pada Emma.
Tidak, ia tidak akan menenggelamkan dirinya sendiri dalam
perasaannya untuk Emma. Ia akan keluar sekarang selagi masih bisa.
"Ada O'Malley di seberang jalan," katanya parau.
"Kedengarannya bagus," jawab Heather, suaranya serak seperti
mendengkur. Ketika ia mulai berjalan memutari sisi meja, Aidan menemukan
dirinya berdiri tidak bisa bergerak di atas lantai. Otaknya berteriak
pada telapak dan tungkai kakinya untuk bergerak melangkah, tapi
mereka menolak. Seolah-olah mereka berutang kesetiaan yang aneh
untuk hatinya dan Emma. Melihat ekspresi kebingungan Heather, ia
memaksa wajahnya tersenyum. "Maaf, duduk sehabis meeting selalu
membuatku sedikit kaku."
"Di satu tempat itu bukan menjadi suatu masalah," jawabnya, sambil
cekikikan. Aidan tertawa mendengar sindirannya sementara telapak dan
tungkai kakinya akhirnya mau melangkah. Dia meraih tas kerjanya
dan mulai keluar dari pintu ruang rapat dengan Heather.
Meskipun Heather berbicara tanpa berhenti di lift selama turun,
Aidan tidak mendengarnya. Dia hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya pada point tertentu atau tersenyum, dan tampaknya hal itu
cukup untuk menenangkan diri Heather. Yang bisa ia lakukan adalah
fokus pada apa yang ingin ia capai. Dia harus membersihkan Emma
dari sistem tubuhnya, dan jika dibutuhkan harus menyetubuhi
Heather, maka ia akan melakukannya.
Dia menahan pintu terbuka untuk Heather saat mereka memasuki
O'Malley. Dia meringis saat melihat Jenny di belakang meja
penerima tamu. Saat melihat Aidan matanya menyala. Wajahnya
mulai membentuk senyum lebar, tapi kemudian ia melihat Heather.
Ekspresinya segera menjadi gelap, dan kemarahan melintas di mata
birunya yang biasanya menyejukkan.
Aidan berdeham. "Kami membutuhkan sebuah bilik, Jenny."
Dia menggelengkan kepalanya dengan marah, menyebabkan ekor
kuda pirangnya bergerak kekanan kekiri. "Maaf, tampaknya tempat
kami penuh malam ini."
Memandang ke balik tubuh Jenny, Aidan melihat setengah bar
kosong dan mengalihkan pandangannya tertuju kembali pada diri
Jenny. "Aku melihat sepertinya kau memiliki banyak ruang."
"Tidak, maaf kami tidak bisa. Kurasa kau dan temanmu harus
mencari tempat lain."
Bunyi sepatu high heels Heather terdengar saat berjalan menuju
Jenny dan Aidan bertaruh mungkin harganya lebih dari gaji Jenny
dalam seminggu. Dia menahan napasnya saat Heather mencurigai
Jenny. Kemudian bibir merahnya yang penuh melengkung
membentuk senyuman licik seperti seekor kucing. "Tampaknya
seseorang agak cemburu kita disini bersama-sama, Aidan. Apa yang
terjadi, sayang" Apa kau salah satu penggemar yang ditolak Aidan
atau mantan *one night stands-nya?" Heather menempatkan kuku
akrilik-nya ke atas punggung Aidan, menyebabkannya bergidik.
"Aku senang bertemu denganmu yang memiliki reputasi sebagai bad
boy. Aku bisa menjamin akan menjadi malam yang menarik
sekarang." Jenny menyemburkan sesuatu di bawah napasnya yang tidak
dipahami oleh Aidan. Heather melemparkan satu lirikan angkuh
terakhir pada Jenny sebelum berkata, "Aku akan menunggumu di
luar. Aku yakin kau punya lemari minuman yang sudah terisi di
rumahmu. Kita tidak perlu membuang-buang waktu di sini."
Ketika Heather menjauh, alis Jenny terangkat begitu tinggi sampai
menghilang ke garis rambutnya. "Di mana Emma" Mungkin lebih
tepatnya, apa sih yang kamu lakukan dengannya"
Aidan menyipitkan matanya. "Sebetulnya, itu bukan urusan
sialanmu!" "Well, aku minta maaf, tapi ketika seorang temanku benar-benar
akan mengacaukan hidupnya, aku membuat hal itu menjadi
urasanku!" Balas Jenny.
Suara menggeram keluar dari dalam tenggorokan Aidan. "Aku tidak
butuh omong kosong ini darimu."
Kesedihan terlihat jelas pada ekspresi Jenny. "Aku mohon padamu,
Aidan. Jangan lakukan ini. Aku belum pernah melihatmu bahagia
sejak kau datang kemari dengan Emma. Pengaruhnya begitu baik
untukmu, Tidakkah kau merasakan hal itu?" Ketika Aidan mulai
melangkah menjauh, Jenny meraih lengannya. "Sebelum kau pulang
dengan pelacur itu untuk melampiaskan seks tanpa berpikir dan siasia ini dalam
satu malam, berpikirlah dua kali tentang apa yang kau
miliki dengan Emma, dan jangan menghancurkan hatinya...dan
hatimu." Aidan menatap kearah tatapan memohon Jenny sebelum melepaskan
tangannya dari tangan Jenny. Tanpa banyak bicara, ia bergegas
melewati pintu dan keluar ke samping Heather.
*** Setelah Heather mengikutinya pulang, Aidan keluar dari mobil. Dia
baru saja menutup pintu ketika Heather melemparkan diri padanya,
menjepit Aidan ke mobil. Pikirannya langsung mengingat kembali
kejadian saat ciuman pertama Emma di tempat parkir yang suram.
Rasa sakit meluncur masuk kedalam dadanya.
Aidan menarik Heather mendekat, ia mencoba untuk membuat
dirinya lupa. Lidah Heather menyapu ke dalam mulutnya saat jarijarinya menuju
rambut Aidan. Bibir Heather kasar, dan tidak
memiliki kelembutan seperti dia dengan Emma. Aidan
menggelengkan kepalanya, mencoba menyingkirkan setiap
pikirannya pada Emma. Merasakan reaksi Aidan, Heather melepas ciuman mereka, menariknarik bibir bawah
The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aidan di antara giginya. "Bawa aku ke dalam dan
setubuhi aku sampai aku menjerit!"
Dia tertawa mendengar keterusterangan Heather. "Kurasa aku bisa
melakukan itu." Sudah lama sekali ia tidak berhubungan dengan wanita yang banyak
menuntut. Aidan hampir tidak bisa berbuat sesuatu di jalan depan
rumahnya dengan Heather yang sedang menjalankan tangannya di
atas miliknya sekaligus menggosokkan pinggulnya terhadap diri
Aidan. "Aku memiliki tetangga usil, tahu," kata Aidan, saat tangan
Heather membelai pantatnya.
"Ooh, seorang penonton, huh" Itu kelainan."
Aidan menatap Heather. "Kau gadis yang nakal, bukan?"
Dia terkikik. "Oh ya."
Ketika mereka sudah di dalam, Aidan menendang pintu depan di
belakangnya supaya menutup. Heather memeluk lehernya,
menggosok-gosokkan pinggulnya ke pangkal paha Aidan. Biasanya,
ia sudah dalam keadaan setengah mengeras, tapi tidak ada tanda
yang mendebarkan di bawah pinggangnya. "Tunjukkan
payudaramu," katanya, dengan suara yang tidak dia percayai itu
adalah miliknya. Ia mencoba mengabaikan perutnya yang bergolak.
Dengan senyum menurut, Heather menarik bajunya ke atas
kepalanya. Tangan Aidan segera menuju payudaranya. Setelah
meremasnya melalui bra-nya, payudara implant ukuran Double D
Heather tidak meningkatkan gairahnya atau merasakan sensasi yang
sama saat tangannya merasakan payudara alami Emma. Dia
memejamkan matanya. Berhenti berpikir tentang Emma, sialan!
Meraih pinggang Heather, ia menyeretnya ke sofa. Dia
menghempaskan dirinya dan merenggut Heather mengangkang di
pangkuannya. Dia membawa mulutnya ke mulut Heather, begitu
putus asanya ingin merasakan sesuatu pada Heather dan bukan
Emma. Setelah Aidan membuka kancing kemejanya, Heather
menjalankan kukunya menuruni dadanya. Sambil bergoyang diatas
Aidan, dia mengerang di bibir Aidan. Heather mendekati orgasme
hanya dengan menggosok-gosokkan ke dirinya, dan dia belum
merasakan apa-apa. Tidak, hal ini sama sekali tidak benar. Segala sesuatu yang pernah ia
rasakan untuk Emma berdenyut melalui dirinya. Tawanya, senyum
malu-malunya, tawa cekikikannya- semua telah membanjiri
pikirannya. Emma mungkin juga telah berada di ruangan dengan
mereka. Dia bisa merasakan tubuh Emma disekelilingnya.
Hidungnya tersengat oleh wangi parfum Emma sementara tubuhnya
terasa sakit ingin merasakan bentuk tubuh dan kulit halus Emma di
bagian bawah tubuhnya. Ketika dia memberanikan dirinya untuk melihat Heather lagi,
akhirnya dia merasakan sesuatu. Rasa yang begitu jijik. Bagaimana
mungkin ia telah sampai pada titik ini" Apa yang mungkin
merasukinya sampai ia berpikir membawa Heather ke rumah adalah
ide yang bagus" Memerangi kemarahan yang meningkat di
tenggorokannya, ia mulai mendorong Heather dari pangkuannya.
Pada saat yang sama, tangan Heather ke selangkangannya. Ketika ia
menemukan kurangnya gairah pada diri Aidan, ia menyentakkan
bibirnya pada bibir Aidan. "Um, apa yang terjadi?"
Dengan gemetar ia menyapukan satu tangannya melalui rambutnya,
dia mendesah. "Aku tidak bisa melakukan ini."
Heather memiringkan kepalanya ke arah Aidan." Apa kau memiliki
beberapa masalah impotensi atau sesuatu?"
"Aku harap begitu."
"Apa sih artinya itu?"
Artinya kau harus pergi sekarang. Artinya aku membuat kesalahan
terbesar dalam hidupku. Aku mencintai Emma, dan aku tidak bisa
melakukan hal ini padanya. Dia menggelengkan kepalanya. "Aku
benar-benar minta maaf, Heather."
"Ah, jangan malu, sayang. Kita bisa membicarakan masalah ini."
Dia memberinya senyum menggoda. "Aku bisa menyelesaikan hal
ini." *** *one night-stand: berhubungan intim hanya untuk satu malam
Bab 35 Setengah jalan menuju kantor Aidan, Emma memikirkan Beau
terjebak di Doggy Daycare. "Sial!" Dia memotong dua jalur sampai
mendengar suara klakson berbunyi. Pikirannya sudah begitu
disibukkan dengan adanya bayi dalam kandungannya, dia telah
melupakan tentang bagaimana teman lamanya.
Ban mobilnya berdecit ketika masuk ke tempat parkir dan bergegas
keluar dari mobil. Saat Beau melihatnya melalui sela-sela pagar,
seluruh tubuh Beau mulai menggeliat di segala penjuru, membuat
wajah Emma tersenyum. "Hiya boy, kau pikir aku sudah
melupakanmu?" Dia menggonggong dengan apresiatif dan berlari ke pintu masuk
untuk menunggunya. Sandy, pemilik tempat ini, menyambut Emma
dengan tersenyum. "Aku baru saja mulai berpikir mungkin Beau
akan menghabiskan malamnya dengan kami."
"Tidak, aku sangat menyesal. Aku harus melakukan USG sore ini,
dan hal itu yang membuat aku jadi terlambat datang."
"Dan apa jenis kelaminnya?" tanya Sandy.
"Seorang anak laki-laki."
"Oh, sungguh luar biasa!" Dia membuka pintu dan menarik tali
kekang Beau. "Kau dengar itu" Kau akan menjadi seorang kakak."
Beau mengabaikannya dan langsung menuju Emma. Dia
menyenggol perut Emma dengan hidungnya yang basah seakan
menyapa pada bayinya. Mata Sandy melebar. "Betapa manisnya!"
Emma tertawa. "Dia baru mulai melakukan hal itu beberapa hari
terakhir ini. Ironisnya, setelah aku merasakan gerakan bayi ini untuk
pertama kalinya." Emma menggelengkan kepalanya. "Sepertinya dia
akhirnya merasakan sesuatu yang berbeda, dan itu bukan hanya
sekedar lemak di bagian dalam perut ini!"
Sandy tertawa. "Dia mungkin tidak menyadari sesuatu karena
perutmu hampir tidak terlihat!"
"Ah, aku menghargai itu. Aku merasa tubuhku seperti
menggelembung." Beau menyentak tali kekangnya. "Baiklah, boy, kita akan pulang dan
bertemu dengan Daddy." Telinganya berdiri begitu mendengar nama
Aidan. "Selamat malam, Sandy."
"Malam!" jawabnya, sambil melambaikan tangan.
Emma bergulat dengan Beau saat menuju mobil dan
menempatkannya ke dalam. "Tidak mungkin aku akan membawamu
ke kantor Daddy. Kurasa lebih baik aku menurunkanmu di rumah
sebelum aku pergi menemuinya."
Beau melolong pada kemungkinan itu saat mereka keluar dari
tempat parkir. Karena rumah Aidan lebih dekat, Beau pikir Emma
akan membawanya kesana. Saat melihat mobil Aidan di halaman, jantung Emma bergetar hingga
berhenti. Karena melihat Audi perak parkir di sebelahnya yang
menyebabkan paru-parunya mengerut. Dia berjuang untuk bernapas.
Sebuah pemikiran melintas di benaknya seperti badai petir. Dia
mengatakan meeting-nya membutuhkan waktu yang lama. Dia
seharusnya masih berada di tempat kerja. Tapi dia ada di rumah.
Dengan tangan gemetar, dia mematikan mesinnya dan membuka
pintu mobil. Beau menerjang keluar, tapi Emma tidak perlu repotrepot memegang
talinya. Sebaliknya dia fokus pada usahanya untuk
berjalan dengan hati-hati menyusuri trotoar.
Menggunakan kunci yang Aidan berikan kepadanya, dia membuka
pintu depan. Ruang tamu dalam keadaan gelap kecuali lampu
gantung yang diredupkan. Aidan duduk santai di sofa sementara si
Brunette yang berkaki panjang duduk mengangkang di
pangkuannya. Aidan masih berpakaian lengkap kecuali kemejanya
tidak dikancingkan dan tidak dimasukkan. Sebaliknya wanita itu,
sudah menanggalkan bajunya, dan rok pendeknya naik sampai
pahanya. Tangan Aidan berada di lengannya seolah-olah dia hendak
mendorongnya menjauh dari dia.
Beberapa saat terasa sangat menyakitkan, Emma hanya bisa menatap
dengan tidak percaya. Berkedip, dia mencoba bangun dari mimpi
buruk yang ada di hadapannya, meski tidak peduli seberapa keras dia
mencoba, tetap saja dia tidak bisa. Semua ini terlalu nyata. Pria yang
dicintainya dan ayah dari anaknya tidak datang pada hari yang
paling penting dalam hidupnya karena sedang menyetubuhi wanita
lain. Sebuah jeritan seperti mencekik meledak dari bibirnya.
Dari suara yang terdengar di belakang mereka, Aidan tersentak.
Ketika dia melihat Emma berdiri disana, matanya melebar dengan
ketakutan, dan dia menarik napas. "Apa yang kau lakukan disini?"
desaknya. Air mata menusuk dan menyengat matanya, tapi Emma tertawa
dengan histeris. "Apa yang aku lakukan di sini" Kupikir pertanyaan
yang lebih baik adalah apa yang kau lakukan?"
Mendengar ada suara lain membuat si Brunette memutar kepalanya.
Tatapannya menyusuri dari wajah Emma turun ke perutnya yang
membesar. Suara mendesis keluar dari bibirnya sebelum dia
menggelengkan kepalanya. "Sialan aku tidak mempercayai ini." Dia
membalikkan kepalanya lagi kemudian marah pada Aidan. "Tidak
heran kau tidak bisa ereksi! Rasa bersalah karena berselingkuh dari
istrimu yang sedang hamil pasti benar-benar telah mengacaukanmu!"
"Dia bukan istriku...belum," jawab Aidan, suaranya berbisik.
Si Brunette itu memberikan tamparan keras ke pipi Aidan, dan
Emma menggigit bibirnya bukannya berterima kasih padanya karena
melakukan itu. Pada saat inilah, dia merasa senang ingin menyakiti
secara fisik yang jauh lebih buruk kepadanya. "Aku tidak peduli
siapa dia! Kau seorang bajingan yang brengsekl!" Dia menjauhkan
dirinya dari pangkuan Aidan dan menyambar bajunya. Setelah
meluncur melewati atas kepalanya, dia meraih sepatu haknya dan
berjalan ke arah Emma. Kemarahan di wajahnya sedikit mencair.
"Aku benar-benar menyesal. Aku mendengar di tempat kerja dia
adalah seorang player, dan aku menginginkan permainan itu. Aku
tidak tahu ..." suaranya berhenti saat dia melirik perut Emma.
"Terima kasih," bisik Emma saat perempuan itu mulai berjalan
melewatinya. Dia melompat mendengar suara pintu depan dibanting.
Dengan kaki gemetar, dia melangkah sedikit maju, menutup
kesenjangan jarak antara dirinya dan Aidan. Aidan bangkit dari sofa,
sambil meraba-raba mengancingkan kemejanya.
Ketika Emma berdiri disana, hanya menatap, Aidan menghembuskan
napas panjang. "Katakan sesuatu."
Emma mengangkat alis ke arahnya. "Dan kamu ingin apa yang
kukatakan?" "Aku tidak tahu...hanya apapun untuk mencegah kamu
memandangiku seperti itu."
"Well, terus terang, Kurasa teman wanitamu sudah mengatakan yang
terbaik. Kau seorang bajingan yang brengsek!"
"Aku setuju dengan kata itu."
"Hanya itu yang kau katakan" Bukan kata penyesalan atas
penghargaanmu betapa pentingnya hari ini dengan tiba-tiba tidak
datang saat USG karena ingin berselingkuh?"
Aidan menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tidur dengannya."
Emma mengangkat tangannya dengan jengkel. "Kau akan
melakukannya sebelum aku mengganggu kalian!"
"Aku bersumpah, aku tidak ingin menidurinya. Aku baru saja bilang
padanya bahwa aku tidak bisa melakukan itu, dan dia harus segera
pergi. Ya Tuhan, kamu mendengar sendiri saat dia mengatakan aku
tidak bisa ereksi!" "Dan itu seharusnya membuat aku merasa lebih baik tentang fakta
bahwa kamu memiliki pelacur yang menaiki kamu ketika aku masuk
kesini?" "Dengar, aku mengaku bahwa aku mengacaukannya. Tapi aku benarbenar minta maaf."
"Oh, kurasa kau juga menyesal karena kau telah berbohong padaku
saat kau bilang kau akan berubah. Ya Tuhan, aku begitu bodoh
mempercayaimu akan memperlakukan aku secara berbeda dari Amy
atau wanita lain. Aku seharusnya menyadari hal ini, siapa kamu dan
apa yang kamu lakukan."
"Emma, please, aku sangat menyesal!"
"Benarkah" Apakah kau benar-benar merasakan hal itu atau hanya
beberapa kata yang kamu pikir bisa kau katakan untuk memperbaiki
keadaan di antara kita?" Suaranya tersedak dengan isak tangis yang
meningkat di tenggorokannya. "Apa kau sungguh-sungguh dan
betul-betul menyesal karena kau telah mematahkan hatiku?"
Aidan meringis. "Kau tak tahu apa yang sudah aku alami akhir-akhir
ini. Aku tidak akan pernah menjadi semua yang kau butuhkan,
Emma. Dan tekanan untuk mencoba ke arah sana hanya akan
menghancurkan aku." Emma tidak perlu repot-repot menyeka air mata yang membasahi
pipinya. "Jadi apa yang kamu katakan mencoba untuk memiliki
hubungan denganku telah mengantarkanmu ke pelukan wanita lain?"
Ekspresi Aidan menjadi sedih. "Bukan, bukan itu yang kumaksud."
Dia menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Aku mengacaukan
apa yang seharusnya aku katakan dan lakukan. Dan kau membuat
hal ini menjadi lebih menyulitkan aku. Aku merasa cukup bersalah
dengan apa yang sudah aku lakukan."
"Lebih menyulitkanmu?" Dia mempertanyakan, suaranya naik satu
oktaf. "Bagaimana mungkin hal ini bisa membuatmu menjadi lebih
sulit" Akulah orang yang membuka diri untuk semua rasa sakit ini
meskipun keputusanku yang lebih baik." Emma mengusap air
matanya yang keluar dengan kepalan tangannya.
Aidan melangkah ke arahnya, tapi Emma mundur menjauhinya.
"Jangan berani-berani menyentuhku setelah tanganmu berada di
seluruh tubuh pelacur itu!"
"Emma, tolong jangan lakukan ini. Aku sudah bilang kalau aku
sangat menyesal. Aku akan melakukan apapun untuk menebusnya."
Bahkan tanpa berpikir, Emma berseru, "Katakan padaku bahwa kau
mencintaiku." Aidan menatapnya, tidak berkedip dan tidak bergerak. "Apa?"
"Kau secara emosional sudah menutup diri dariku sejak aku
mengatakan bahwa aku mencintaimu. Jadi, kalau kau benar-benar
serius mengatakan bahwa kau begitu menyesal dan kau sungguhsungguh tidak ingin
aku pergi, maka ucapkan kata-kata itu. Katakan
kau mencintaiku." Melihat keraguan pada diri Aidan, tikaman rasa sakit yang
menjelajahi sampai ke dada Emma. Keheningan bergema menjalari
tubuhnya sekeras kereta barang. Dia menggelengkan kepalanya.
"Itulah apa yang kupikirkan," gumam Emma.
Tangannya meraih tas yang ada di sampingnya, dan dia meraba-raba
mencari DVD sonogram. Dengan semua rasa sakit hati dan
kemarahan yang mengalir dalam dirinya, dia melemparkan DVD itu
ke Aidan. Keras langsung mengenai dadanya, menyebabkan Aidan
meringis. "Bukan berarti membuat kamu tertarik, tapi itu adalah
video dari anakmu. Aku hanya bisa berharap dan berdoa dia tumbuh
tidak seperti ayahnya!"
Sambil menangis, Emma berbalik dan lari dari ruangan. Beau
mengikutinya keluar pintu, melolong bersamaan dengan tangisan
Emma. Saat dia merogoh kuncinya, Aidan memanggil Emma
beberapa kali untuk kembali, tapi dia menolak. Lalu Aidan mulai
memanggil Beau. "Kembalilah, boy," Emma menginstruksikan, jarinya yang gemetar
menunjuk ke arah Aidan. Dia langsung membuka pintu mobil, tetapi
The Propotition The Propotition 1 Karya Katie Ashley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beau tetap tidak mau pergi dari sisinya.
"Sialan, Beau, aku bilang datang!" teriak Aidan, melangkah dari
teras. Dia berjalan menghampiri mereka dan mencoba menarik ke
belakang ikatan tali leher Beau.
Tapi Beau menyentak menjauh. Hidungnya menciumi perut Emma,
dan dia melolong. Emma bertemu dengan pandangan Aidan yang
terkejut. "Ya, benar. Anjingmu bahkan lebih setia kepadaku dan
anakmu daripada kamu!"
Dengan tatapan mengalah, Aidan menunduk dan membebaskan
ikatan tali leher Beau. "Baik, bawa dia."
"Ayo, boy. Masuk ke mobil," instruksi Emma. Beau mengibasngibaskan ekor dan
bersemangat melompat ke dalam. Tanpa melihat
Aidan lagi, dia membanting pintu. Suara decitan ban terdengar saat
dia keluar menuju jalan raya, dia mencoba untuk menjaga emosinya
terkendali. Tapi itu tidak ada gunanya. Dia butuh setengah blok
berkendara di jalan sebelum dia menepi. Air mata membutakan
matanya dimana dia tidak bisa melihat jalan di depannya, dan dia
tidak bisa bernapas dari isak tangis yang berkecamuk di dadanya.
Sebuah ketukan di jendela mobilnya menyebabkan dia melompat.
Sebuah harapan terpantul di dalam diri Emma bahwa Aidan datang
mengejarnya. Mendongak, jantungnya langsung jatuh.
Becky berdiri di luar mobil, mengintip penasaran padanya. "Emma?"
Sial. Dia bahkan tidak berpikir tentang kemungkinan akan berakhir
dengan bertemu Becky di jalan. Orang terakhir yang ingin dia temui
adalah salah seorang saudari Aidan. Merasa malu, dia menyeka air
matanya dengan punggung tangannya dan mencoba untuk
menenangkan diri. Akhirnya, dia menekan tombol untuk
menurunkan kaca jendelanya.
"Hai," katanya, dengan pasrah.
Becky menarik napas. "Oh Tuhan, dia tidak akan melakukannya?"
Air mata sekali lagi memenuhi mata Emma. Tidak bisa berbicara,
dia hanya menjulurkan kepalanya.
"Aku sangat, sangat menyesal. Dia mencintaimu, sayang. Aku tahu
itu. Seluruh keluarga tahu itu. Dia hanya menjadi seorang bajingan
yang sangat bodoh." Emma terisak diantara tangisan. "Katakan itu padanya dan wanita
yang akan dia ajak tidur sebelum aku masuk."
Mata Becky melebar. "Aku akan membunuhnya," gumamnya
dengan gigi terkatup. Dia menggelengkan kepalanya. "Dan jika aku
tidak bisa, salah satu dari gadis-gadis lain yang akan melakukannya.
Tuhan melarang ini untuk kembali pada Pop." Becky membuka pintu
mobil. "Keluar. Kau ikut denganku."
"Tidak, aku tidak bisa. Aku berantakan. Apa yang akan aku katakan
pada anak-anak?" "Tate mengajak mereka ke bioskop malam ini. Disana hanya aku."
Ketika Emma tetap merasa ragu-ragu, Becky menyilangkan
lengannya di dadanya. "Dengar, kau akan pulang denganku
meskipun aku harus menyeretmu sendiri."
"Aku parkir di sisi jalan."
"Tidak apa-apa." Becky melihat Beau di kursi belakang. "Apa yang
kau lakukan dengannya?"
"Dia tidak akan membiarkan aku pergi."
Becky mendengus. "Siapapun mengatakan laki-laki adalah anjing
yang merindukan perhatian. Beau punya loyalitas yang benar.
Emma tersenyum setengah hati. "Ceritakan tentang hal itu."
Becky menarik Emma keluar dari kursinya dan satu lengannya
memeluk pinggang Emma. "Dengar, kita akan memesan beberapa
masakan Cina atau pizza atau apapun yang kau dan bayimu
inginkan. Lalu aku akan memanggil para gadis. Kita akan
melakukan pertemuan untuk mengatur strategi tentang Aidan."
Emma mengangkat kedua tangannya. "Dan apa yang ingin kau
capai" Mengikatnya dan memaksa dia untuk bersamaku" Jika kau
melewatkan catatan itu, dia tidak menginginkan aku! Dia membuat
itu sangat jelas tidak hanya hampir meniduri wanita lain, tetapi tidak
bisa mengatakan padaku bahwa dia mencintaiku."
"Hal seperti ini bukan pertama kali dia melakukannya, Em. Pasti dia
sudah bercerita tentang Amy?"
"Ya, bagaimana Aidan tidak akan mengatakan itu, kemudian Amy
memergokinya dengan wanita lain dan memutuskan hubungannya
dengan Aidan." "Apakah dia juga memberitahumu bagaimana dia menghabiskan
waktu setahun terbaiknya dengan minum sampai mabuk dan keluar
masuk terapi karena dia mengalami kegilaan atas apa yang dia
lakukan terhadap Amy?"
Emma tersentak. "Tidak, dia tidak mengatakannya."
"Hmm, kurasa dia juga berhasil menghilangkan bagian dimana dia
mencoba berulang kali untuk meminta Amy kembali padanya, tapi
Amy menolak" Dia akhirnya harus menyerah ketika Amy menikah
dengan orang lain." Emma hampir tidak bisa mempercayai pendengarannya. Aidan telah
berbohong kepadanya tentang apa yang telah terjadi dengan Amy.
Dia tidak pernah membiarkan kebenaran tentang perasaannya yang
begitu mendalam terhadap Amy untuk diketahui. "Dia tidak pernah
mengatakan padaku semua tentang itu."
"Aku mengenal kakakku. Dia melakukan apa yang dia lakukan
padamu malam ini mendorongmu pergi, bukan karena dia ingin
meniduri wanita lain. Dia telah merusak dirinya sendiri setiap
kalinya!" Dia mengguman dengan frustrasi. "Berdasarkan cara dia
bertindak tentang suatu hubungan, kau akan berpikir dia dibesarkan
di rumah yang disfungsional oleh kekacauan atau sesuatu."
Emma bersandar ke mobil dan meletakkan kepalanya di tangannya.
"Aku tidak berpikir aku bisa menangani semua ini!"
Becky menarik tangan Emma menjauh, kemudian menatap matanya.
"Kau harus memutuskan di sini sekarang juga apakah kau akan
berjuang untuk dia."
"Aku" Kenapa aku harus berjuang" Dia orang yang sangat
brengsek!" "Aku tidak mengatakan dia bukan orang yang brengsek. Tapi
berjuang untuk dia tidak berarti kau bisa diinjak-injak dan berlari
kembali ke tangannya yang terbuka, Em. Ini artinya kau mau
bertahan dengan omong kosong apapun itu yang diperlukan untuk
membuat dia berjuang mendapatkanmu kembali.
"Kau benar-benar berpikir dia akan berusaha untuk itu?"
Becky menyeringai. "Oh ya. Besok pagi, bahkan mungkin malam
ini, Aidan Fitzgerald akan menyesali saat dimana dia membiarkanmu
keluar dari hidupnya, dan kau akan bisa menikmati setiap
menitnya!" *** player: seseorang yang suka bermain seks
Brunette: seorang gadis atau wanita dengan rambut coklat gelap
Bab 36 - Tamat Aidan duduk di ruang keluarga yang sangat gelap selama berjamjam setelah Emma
meninggalkannya. Dia ingin meraih telepon
untuk berbicara dengan Emma tapi kemudian menghentikan
keinginannya sendiri. Dia akan berdiri untuk mendatangi Emma
kemudian berpikir bahwa dirinya orang yang bodoh.
Tidak, dia bukan pria yang dibutuhkan Emma. Dia tidak pernah bisa
memenuhi harapan Emma sebagai seorang suami yang seharusnya
menjadi seorang ayah juga. Mereka berdua telah terjebak. Aidan
menginginkan jalan keluar selama seminggu terakhir, dan dia telah
menemukannya. Tapi bukannya merasa lega, tapi dia merasa sengsara.
Kebebasannya tertekan dan emosi yang menyesakkan belum juga
datang bersama kepergian Emma. Sebaliknya, perasaan itu lebih
kencang mengelilingi dirinya daripada sebelumnya. Dia kalah, dia
bangkit dari sofa untuk mengambil bir. Kakinya sengaja menendang
kotak DVD sampai menyeberangi ruangan. Dia membiarkannya
tergeletak di sana saat dia menuju ke dapur.
Setelah menyambar satu pak bir isi enam dari kulkas, dia kembali
lagi ke ruang keluarga. Matanya melihat kotak plastik DVD, dan dia
berhenti lalu mengambilnya. Melemparkannya di atas meja, lalu dia
menyalakan TV dan mulai mencari-cari saluran.
Setelah bir ketiga, rasa ingin tahunya akhirnya muncul pada dirinya.
Dia mengeluarkan kepingan DVD itu dan memasukkannya ke dalam
DVD player. Suara dari permainan basket yang tadi ditonton
menghilang, dan digantikan oleh bunyi detakan keras bergema
diseluruh ruangan. Detak jantung anaknya. Aidan membeku, menatap gambar berbintik di layar televisi. Sampai
terakhir dia melihat bayi itu hampir tidak mirip apa-apa. Terlihat
sesuatu seperti kecebong yang aneh. Sekarang detail-detailnya
tampak jelas - tangan dan kakinya seperti melambai sementara
mulutnya yang kecil bergetar terbuka dan menutup.
Jika dia menjadi lumpuh karena emosi sewaktu dia merasakan
bayinya bergerak, kejadian saat itu tidak bisa dibandingkan ketika
dia benar-benar melihat gambar anaknya. Satu bagian dari dirinya
telah tumbuh menjadi kuat dan sehat di dalam diri Emma. Seorang
anak yang telah dia janjikan akan dimiliki ibunya.
Tapi anaknya sudah pergi. Begitu juga dengan Emma. Aidan telah
membuang jauh kebahagiaan itu dengan kedua tangan.
Menenggelamkan dirinya di sofa, dia membiarkan isakan tangis
berputar pada dirinya. Terakhir kali dia menangis ketika dia
kehilangan ibunya. Sekarang dia mengalami kehilangan lagi yang
membuat jiwanya remuk. Dengan jari-jari gemetar, dia meraih telepon. Setelah menekan
nomor yang familiar itu, dia membawa telepon ke telinganya.
"Tolong jawab, tolong jawab," pintanya.
"Halo?" "Pop, ini aku. Aku mengacaukannya, dan aku butuh bantuanmu."
TAMAT Tujuh Pedang Tiga Ruyung 10 Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Giring Giring Perak 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama