Beautiful Soul Karya Stefiani E.i Bagian 1
PROLOG "Amore, aku mau ngomong sama kamu." Rama berjalan mendekatiku.
Seketika hawa di sekitarku berubah beku. Kulitku seperti tertusuk-tusuk angin
yang berembus memainkan rambut panjangku.
Dia memakai seragam SMA yang tidak dikancingkan hingga atas, sengaja ingin
menimbulkan kesan menggoda. Setelah itu, dia mengumbar senyum yang
menurut banyak orang seharusnya melelehkanku. Tapi di mataku senyuman
itu justru terlihat seperti seringai harimau yang siap memangsa buruannya.
Aku menelan ludah dan terkesiap ngeri ketika menyadari dia sudah sangat
dekat denganku. Sekitarku berubah sepi dan hanya langkahnya yang
terdengar. "Tapi aku nggak mau," jawabku singkat dan segera berbalik untuk pergi dari
situ. Kakiku bergerak sangat cepat menapaki lantai lorong sekolah yang agak
basah dan licin karena hujan. Biasanya Rama akan mengejar dan memaksakan
kehendaknya. Maka, solusi terbaik yang kupunya adalah pergi secepatnya dan
bersembunyi di balik tembok samping lapangan basket.
Lebih dari setahun dia mencoba mendekatiku. Aku sudah menggunakan segala
cara untuk menolaknya, tapi dia tak juga berhenti, malah semakin menjadijadi. Semua temanku mengganggapku tidak normal karena menolak Rama
yang notabene pujaan hati ratusan siswi di sekolah ini. Tapi, aku punya alasan
sendiri untuk menolaknya.
Aku memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.
"Bawa dulu anak ini ke pusat informasi, dia kehilangan orangtuanya. Setelah
itu, baru bawa aku ke rumah sakit." Suara anak kecil yang sebaya denganku itu
masih terngiang di benakku.
Saat hilang di mal dan hampir tertimpa reruntuhan kayu, aku baru berusia
sembilan tahun. Itu sekitar delapan tahun lalu. Tapi hingga detik ini, aku masih
belum bisa melupakan anak itu. Dia tidak memedulikan tangannya yang
berdarah terkena reruntuhan kayu dan dengan tenang malah menyuruh
sopirnya yang sangat panik ketika menemukannya untuk menolongku.
"Hei!" Seseorang berteriak di belakangku.
Aku berhenti melangkah. Sebenarnya, aku tidak terlalu yakin panggilan itu ditujukan untukku. Tapi
sepertinya tak ada salahnya berbalik dan melihat siapa di sana. Menurutku,
berhenti sebentar tidak akan membuat Rama mampu menemukanku.
Ketika berbalik, aku melihat titik hitam yang bergerak sangat cepat dan tampak
semakin besar ke arahku. Aku mengernyit dan menyipitkan mata, melihat apa
sebenarnya titik itu. Detik berikutnya aku menyadari bahwa itu bola basket
yang siap menghantam hidungku.
Aku tahu benakku menyarankan untuk menghindar, tapi kakiku seperti terpaku
di tanah. Aku pun hanya pasrah dan menutup mata, membiarkan bola itu
dengan sukses menghantam wajahku, dan membuat tubuhku terpelanting ke
lapangan yang becek. "Aw! Hidungku!"
Aku sempat merasakan semuanya tiba-tiba gelap.
Butuh beberapa saat bagiku untuk sepenuhnya tersadar. Setelah yakin bahwa
kepalaku baik-baik saja, aku bangkit berdiri, mengambil bola bakset tadi, dan
dengan langkah berdebum serta amarah membara di dada, aku menghampiri
cowok-cowok yang bermain basket.
"Sialan! Siapa yang sengaja ngelempar bola tadi"!" aku berteriak keras ke arah
mereka. Tak ada yang menjawab. Aku semakin cepat mendekati cowok yang lagaknya paling menantangku. Aku
tidak bisa melihat wajahku dengan jelas karena kacamataku tertinggal di tas.
"Gimana" Otakmu udah baikan kena lemparan tadi" Atau perlu aku lempar
sekali lagi untuk memastikan otakmu masih berfungsi?" Suaranya congkak dan
menyebalkan. Sama sekali tidak terdengar merasa bersalah.
Dia berdiri dengan satu tangan dimasukkan ke saku celana dan memamerkan
senyum penuh kelicikan. Siapa lagi kalau bukan Steven Williams, anak
pindahan baru yang entah kenapa selalu cari masalah denganku!
"Sebenarnya otak siapa yang nggak jalan"! Lagi pula, aku nggak merasa
ngelakuin sesuatu yang membuatmu harus membenahi otakku!" Tanganku
mengepal dan tangan yang lain siap melemparkan bola basket ini ke mukanya.
Cuaca dingin di sekitarku tak berhasil meredam amarahku.
Dia mengangkat bahu. "Yah, aku hanya khawatir otakmu membeku karena
terlalu lama dekat dengan pujaan hatimu itu. Siapa namanya" Rama
Christian?" Senyum penuh cela itu tersungging di wajahnya.
Sekarang aku hanya berjarak dua meter dari tempatnya berdiri hingga bisa
melihat wajah dan tubuhnya dengan jelas. Seragamnya basah kuyup. Dia pasti
sudah bermain di lapangan ini sejak hutan dimulai sekitar satu jam yang lalu.
Lekuk tubuhnya yang sempurna terlihat jelas karena seragam basah itu lepek
di tubuhnya. Aku menelan ludah melihat pemandangan di hadapanku.
Bagaimana bisa cowok ini terlihat sesempurna itu" Wajahnya yang bule jelas
kontras dengan cowok-cowok lain di sekolah. Tapi bahasa Indonesia-nya
sangat fasih karena katanya dia tinggal di Indonesia waktu kecil.
Aku berusaha menguasai diri. Susah payah mengumpulkan keberanian untuk
melawannya. "Bukan urusanmu! Aku bahkan nggak punya hubungan apa-apa
denganmu." Aku menatapnya tajam.
Dia menatapku lebih tajam setelah mendengar kalimat terakhirku. Aku bisa
merasakan dia tidak menyukai ucapanku. Lalu, dengan tenang dia berjalan
mendekatiku. "Itu urusanku, semua yang ada padamu adalah urusanku,
terutama kalau ada sangkut pautnya dengan Rama. Sini, biar kulihat apakah
hidungmu baik-baik saja." Dia menarik tanganku.
Tubuhku limbung tak bisa mempertahankan posisiku. Aku berayun begitu saja
mendekat ke tubuhnya. Bola basket yang sebelumnya ingin aku lempar untuk
membalasnya, malah jatuh ke tanah karena tanganku mendadak terlalu lemah
untuk memegangnya. Tubuhku seperti terbakar ketika dia menyentuhku. Di
sampingnya, aku seperti lepas kendali.
Sekarang tangannya beralih memeriksa hidungku yang memerah dan
berdenyut-denyut. Tatapannya tajam menelusuri sudut-sudut wajahku yang
terkena bola lemparannya.
Aku berusaha sebisa mungkin menghindari tatapannya.
"Aku nggak papa." Aku berbohong, mundur selangkah, lalu menunduk. "Jangan
ngelakuin itu lagi. Aku nggak suka disentuh sembarangan," ujarku terbata-bata.
Kedua tanganku saling meremas di belakang punggung. Entah mengapa, aku
selalu gugup di dekatnya. Otakku tidak bisa berfungsi dengan normal.
"Maaf, aku nggak sengaja melukaimu." Dia menarikku mendekat lagi. Aku juga
tidak mencoba melawan, dan membiarkan tanganny memeriksa wajahku. Aku
sadar dia musuhku, tapi hatiku tidak berpikiran sama.
Sejak kedatangan Steven di sekolah ini, hidupku jadi kacau.
BAB 1 TAHUN AJARAN BARU Beberapa bulan lalu... Aku memutuskan untuk membuka kenop pintu kelas dengan perlahan setelah
sekitar lima menit berdiri di luar kelas, mengetuk pintu berkali-kali, tapi tidak
juga ada jawaban. Aku melongok ke dalam kelas. Setelah melihat banyak orang
di dalam, aku melangkah masuk dengan senyum yang mirip seringai, rambut
berantakan, poni kusut, dan badan penuh keringat. Aku terlihat seperti habis
memandikan kambing. Yah, minimal aku masih wangi karena antisipasi
sepuluh semprot parfumku tadi pagi ternyata keputusan yang sangat tepat.
"Permisi, Bu. Maaf, saya terlambat. Tadi saya harus menemui Kepala Sekolah."
Aku mengucapkannya terlalu lantang di antara keheningan kelas itu.
"Kamu siapa, ya?" Pak Tarjo kaget dengan kehadiranku, mematung dengan
mulut ternganga dan memandangku dengan bertanya-tanya.
Aku memiringkan kepala mengamati ekspresi aneh Pak Tarjo. Bukan hanya dia
yang bertanya-tanya, aku juga tidak mengerti dengan reaksinya. Apakah itu
termasuk sambutan untukku di kelas"
Merasa konyol, Pak Tarjo menggeleng dengan sedikit menahan malu, lalu
merapikan bajunya yang berkerut, dan berdeham keras. Sepintas ia
mengedarkan pandangan ke seluruh kelas, memastikan tak ada murid yang
berani terang-terangan menertawakan ekspresinya tadi.
"Saya Amore. Maaf, kalau boleh tahu, ini kelas apa ya, Pak?" Tubuhku
membeku ketika menyadari ada yang ganjil di sini. Aku tidak mengenal satu
pun anak di kelas itu. Aku bahkan tidak ingat wali kelasku yang baru adalah
pria, seingatku wanita. "Kelas XII IPA-2. Kamu yakin siswi kelas ini?" Pak Tarjo menatapku dengan
tatapan menyelidik. Dia juga merasa aku telah melakukan kesalahan. Mungkin
sewaktu dia mengadakan presensi awal tadi, tak satu pun muridnya yang tidak
hadir. Kalau begitu, aku pasti sudah salah masuk ruangan.
"Maaf, Pak, saya salah masuk kelas. Maaf mengganggu. Permisi..." Aku
membungkuk-bungkuk sambil berjalan mundur keluar kelas tanpa menunggu
jawaban Pak Tarjo, lalu menutup pintu dengan sangat perlahan, dan segera
lari. Pagi itu benar-benar sial!
Bangun kesiangan, kehabisan sereal karena malam sebelumnya lupa beli, kunci
kos-kosan hilang, hampir ditabrak gerobak siomay waktu berangkat karena lari
terburu-buru, dipanggil kepala sekolah karena dituduh belum membayar uang
sekolah, dan terakhir... salah masuk kelas! Tanggal berapa sih sekarang"
Kenapa hariku sial begini" Apakah ini pertanda sesuatu yang buruk akan
terjadi" Aku berlari ke papan informasi di depan ruang Wakil Kepala Sekolah, mencaricari lagi pengumuman yang dipajang di sana, memastikan di mana kelasku
sekarang berada. Sekolahku sudah menjalankan sistem moving class. Jadi,
setiap ganti pelajaran, kami harus pindah kelas. Setelah memastikan ruangan
kelasku, aku segera berlari lagi. Aku tidak ingin terlambat mengikuti briefing
pertama pada tahun ajaran baru. Itu akan menyulitkanku menjalani hari-hari
berikutnya. Ketika akhirnya menemukan kelas yang kurasa benar, aku mengetuk beberapa
kali dan memutuskan untuk terus menunggu di depan pintu hingga ada
seseorang yang memperbolehkanku masuk. Aku tidak ingin kejadian
sebelumnya terulang. "Masuk aja, belum ada gurunya." Suara itu terdengar dari dalam kelas. Setelah
mendengar jawaban itu, spontan aku membuka pintu, dan ternyata benar wali
kelas kami belum datang. Semua anak masih ribut, ada yang duduk di atas
meja, main kartu, bergosip, dan banyak lagi. Hanya satu anak yang menyadari
kehadiranku, Diva. Dia melambaikan tangan padaku, menyuruhku duduk di
kursi dekatnya. "Kamu dari mana aja?" Diva memutar kursinya sembilan puluh derajat ke
kanan, memperhatikanku yang sedang mati-matian merapikan rambutku.
Akhirnya kuputuskan untuk mengikatnya menjadi kucir ekor kuda saja.
"Nanti aku ceritain. Badanku lengket banget, nggak nyaman nih rasanya." Aku
menjawab sepintas sambil mengipas-ngipas tengkukku yang berkeringat.
"Pagi, Anak-anak!" Bu Sita masuk ke kelas sambil membawa tumpukan kertas
setinggi leher di tangan. Ia berjalan dengan tergesa-gesa. Rambutnya yang
panjang dan di-smoothing bergoyang ketika dia berjalan, makeup-nya tipis dan
lembut. Dia tampak anggun dengan rok yang pendeknya lima senti di atas lutut
dan blazer yang tidak dikancingkan.
Semua murid kaget begitu melihat kedatangan Bu Sita. Mereka yang semula
duduk di meja, langsung lompat dan meluncur ke kursi masing-masing. Mereka
yang tadi bermain kartu, langsung mengambil tas dan menutupi kartukartunya. Mereka yang bergosip, langsung mengunci mulut rapat-rapat dan
duduk setegak mungkin. Karena kami semua tahu, guru muda dan cantik itu
masuk dalam daftar guru killer.
"PAGIII, BU...!!!" Suara anak kelas XII IPA-1 menggema di ruangan berisikan 21
murid itu. Bu Sita tersenyum, mengatur napasnya yang sempat tersengal, lalu berjalan ke
depan meja guru agar dapat menatap kami lebih dekat. "Saya yakin kalian
semua sudah kenal saya. Nama saya Bu Sita. Saya wali kelas sekaligus guru BP
kalian. Jadi, kalau ada apa-apa, kalian bisa minta tolong saya. Oke?"
"OKEEE, BU..." Semua anak mengangguk-angguk.
"Baik, hari ini saya punya kejutan untuk kalian. Kita kedatangan murid baru
pindahan dari Amerika. Nggak usah khawatir soal bahasa, teman baru kalian ini
pernah tinggal di Indonesia waktu kecil dan juga ibunya asli Indonesia. Ini
pertama kalinya sekolah kita menerima pindahan murid kelas dua belas. Jadi,
kalian wajib membantunya selama belajar di sini," ujar Bu Sita tegas. Kami
semua mengangguk-angguk lagi mendengar perintah itu. "Oke, silakan
masuk!" Bu Sita memberi kode dengan dua kali tepukan tangan.
Kami semua menanti-nanti seperti apa wajah anak baru itu. Kemudian,
seorang cowok bertubuh sangat jangkung, mungkin sekitar 188 sentimeter,
atletis, berkulit putih, berparas aduuuuhai, dan sepertinya berotak brilian
melangkah tenang ke dalam kelas. Semua siswi yang memang menunggununggu hadirnya kesatria berkuda putih di sekolah itu langsung terpana,
seakan melihat drakula di siang bolong. Rama benar-benar kalah saing deh!
Meski ibunya asli orang Indonesia, wajahnya khas Amerika. Kulitnya tidak putih
pucat, melainkan cenderung cokelat, hidungnya mancung, bibirnya merah dan
tipis tanpa ada tanda-tanda bekas nikotin, dan tulang rahangnya terlihat tegas.
Jujur saja, menurutku, wajah itu benar-benar sempurna.
"Nama saya Steven Williams. Bisa dipanggil Steven. Saya sekolah di Amerika
sejak SMP, tapi karena bisnis papaku berkembang di Indonesia, kami
memutuskan untuk kembali." Cowok itu memperkenalkan diri. Dia tidak repotrepot memunculkan kesan ramah. Justru sebaliknya, dia memasang wajah
congkak, pamer, dan menyebalkan yang, aku yakin, tidak sulit baginya
menimbulkan huru-hara di satu kampung dengan tampang seperti itu.
Kesan pertamaku mengenai wajahnya yang sempurna tiba-tiba saja luruh dan
berganti dengan "manusia congkak era reformasi".
"Oke. Kamu boleh duduk." Bu Sita kemudian membuka mapnya. "Kita absen
dulu." Satu per satu nama siswa-siswi di dalam kelas disebutkan secara lengkap oleh
Bu Sita. Jumlah murid kelas itu ganjil dan hanya aku yang sekarang duduk
sendiri karena datang terlambat tadi. Jadi, anak baru itu tak punya pilihan lain
selain duduk semeja denganku. Aku melihatnya selangkah ke arahku dengan
rambut rapi model spike. Satu tangannya menggenggam tali tas ransel di
pundaknya. Saat itu entah mengapa aku membeku, seperti merasakan hawa-hawa kelam
di sekitarku. Siswa-siswi yang ada di kelas menyipitkan mata dan melihatku
dengan mata berkilat-kilat.
"Amore Acresia Christine!" Bu Sita berteriak memanggil namaku. Aku
mengangkat tangan, tapi tatapanku tak beralih dari anak baru itu. Jarak yang
hanya sekitar lima meter dari depan kelas untuk sampai di mejaku terasa
begitu jauh ketika dia melangkah. Padahal aku yakin langkahnya dua kali lebih
lebar dibanding langkahku.
"Kosong?" Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya ketika akhirnya sampai
di mejaku. Matanya menatap tajam padaku.
Aku mengangguk kaku. Leherku seperti kram, walaupun tentu saja
kenyataannya tidak. Kemudian dia duduk dan meletakkan tas di meja dengan
tampang super-cool. Aku tidak tahu bagaimana membedakan tampang cool
dan tampang sombong saat melihat wajahnya.
"Me, beruntung kamu bisa duduk semeja dama dia. Cakep bangettt!" Diva
menusuk pinggangku dengan bolpoin. Dia berbisik-bisik sambil bermain mata
centil melihat bule di sampingku.
"Tampang sih boleh. Tapi kalo kelakuan amit-amit, percuma juga." Aku
menoleh ke arah Diva dan membalas bisikannya dengan bisikan pula.
Kemudian, karena merasa kelas ber-AC itu sudah cukup dingin untukku, aku
melepaskan ikatan rambutku dan membiarkannya tergurai.
"So... Amore, hah" Love?" Cowok itu tertawa kecil. Memanggil namaku seperti
menyebutkan nama teraneh yang pernah dia dengar.
"Just call me Ame, ok?" jawabku, ketus. Dia pikir cuma dia yang bisa bahasa
Inggris, hah" Dia bahkan tidak menatapku saat berbicara denganku, jadi untuk
apa aku sok ramah padanya"
"Nama yang bagus. Tapi buat cewek sepertimu..." Dia tertawa lagi, kali itu
benar-benar dengan nada menghina. Dia hanya melirikku dari sudut matanya,
seolah sama sekali tidak menghargaiku.
"Apa masalahmu" Kalo nggak ada, diam saja deh," jawabku ketus, berusaha
mempertahankan harga diri untuk tidak bertengkar dengannya. Kurasa itu
keputusan yang sangat tepat. Aku menyibakkan rambutku ke pundak kiriku.
Itu hari tersial sepanjang abad! Ditambah lagi aku harus duduk semeja dengan
murid baru berwajah congkak bernama Steven Wiliams!
"LIMITED EDITION DEVIL OF THE YEAR!!!" Aku menulis di buku catatan
kegiatan bagian paling depan dengan spidol merah! Aku garis bawahi berkalikali sampai puas!
*** Kriinngggg! Jam bekerku berbunyi. Mataku yang sebelumnya terpejam dengan damai tibatiba berkerut. Tanganku meraba-raba sembarangan di meja kecil samping
ranjangku, mencoba meraih jam beker itu. Saat telapak tanganku menyentuh
benda yang bergetar itu, secara otomatis jemariku menekan satu tombol di
Beautiful Soul Karya Stefiani E.i di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
situ untuk mematikan suara bising yang ditimbulkan. Aku menggeliat di
kasurku yang empuk dan dingin. Tubuhku masih menolak untuk bangkit dari
pulau kapukku. Aku memeluk guling kesayanganku dan tersenyum karena
kedamaian yang bersemayam di sekitarku.
Detik berikutnya aku membuka mata lebar-lebar, mengerjap beberapa kali,
kemudian melotot lebih lebar lagi. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di
benakku, sesuatu yang harus kukerjakan sekarang dan tidak boleh ditunda.
Tapi, otakku tidak juga mengingat ada pekerjaan itu. Aku memandang kosong
pada jam kecil yang sempat membuat bising tadi. Berharap setelah melihat
pukul 16.30 yang tertulis di sana, otakku mampu berjalan lebih baik untuk
mengingatnya. Aku menyerah, masih tidak berhasil mengingat. Akhirnya kuputuskan meraih
ponsel di atas meja, membuka-buka pesan dan notes untuk membantuku. Tapi
aku tidak menemukan apa pun. Aku beberapa kali memukul-mukul kepalaku
dengan telapak tangan pelan, menyesal kenapa aku tidak membuat catatan
sebelum tidur tentang apa yang harus kulakukan setelah bagun.
"Ame, ayo berangkat! Udah hampir jam lima, ntar telat ikut misa!" Suara Diva
terdengar dari balik pintu kamar kosku. Dia mengetuk beberapa kali karena
aku tidak juga menjawab. Misa" Oh Tuhan! Aku lupa! Aku harus ke gereja!
Aku melompat dari tempat tidurku saking paniknya, hampir saja tergelincir di
lantai. "Bentar, Div, aku baru bangun tidur nih. Kasih aku waktu sepuluh
menit!" teriakku pada Diva yang masih di luar kamarku. Saat itu aku sama
sekali tidak terpikir untuk membukakan pintu untuknya sebelum masuk ke
kamar mandi di kamarku. Dan ketika sadar, aku sudah mulai mandi. Aku harus
bergerak cepat jika tidak ingin terlambat menghandiri misa.
*** "Fiiuh... Untung kita belum terlambat." Aku mengembuskan napas panjang
setelah duduk di salah satu kursi panjang di dalam gereja, memutar bola mata,
lalu menata kembali posisi rambutku yang masih setengah basah. Aku baru
saja melakukan mission impossible beberapa menit sebelumnya. Jarak gereja
ini dengan tempat kosanku sekitar lima belas menit, tapi tadi aku berhasil
menempuhnya dengan hanya tujuh menit lebih beberapa detik.
Kuteriakkan "Wow!" untukku.
"Me, coba kamu lihat ke pojok paling kiri deretan kursi di depan kita." Aku
mendekatkan telingaku ke bibir Diva yang bersuara sangat pelan. "Cuma aku,
atau kamu juga ngerasa familier sama wajahnya?" Dia menyenggol siku tangan
kiriku, lalu sedikit teleng ke kiri untuk memberiku kode agar melihat ke kiri.
Aku mengambil kacamata dari dalam tas lalu menenggerkannya di hidungku.
Dengan susah payah, aku memfokuskan mata untuk menangkap dengan jelas
bayangan wajah cowok yang dimaksud Diva.
Mataku menyipit. "Itu bukannya... Steven si anak pindahan"!" Nada suaraku
meninggi, tapi masih tetap berbisik. Cowok yang kuperhatikan tiba-tiba
menoleh dan melihat tepat ke wajahku. Aku kaget, lalu dengan cepat berpurapura tidak ada apa-apa, membenarkan posisi dudukku, dan kembali
menghadap lurus ke depan.
"Tuh kan, bener itu Steven. Tapi, sama siapa ya, Me" Pacarnya?" Diva berbisik
lagi. Sudut matanya masih memperhatikan Steven di ujung sana.
Aku mengangkat bahu. "Seharusnya iya. Kalo bukan pacar, cewek itu nggak
mungkin bermanja-manja begitu. Lagi pula, apa cewek itu nggak merasa salah
kostum" Masa ke gereja pake tank top" Atau mungkin cewek itu sengaja
karena cowoknya seneng lihat dia pake itu?" Aku membolak-balik kertas misa
yang sudah mulai kucel di tanganku.
Jujur saja, tanganku berkeringat dan dingin. Perhatianku teralih dari misa. Aku
tidak menyangka akan bertemu Steven di gereja. Dia tampak luar biasa dalam
T-shirt berbalut kemeja tipis, lebih sempurna daripada ketika mengenakan
seragam sekolah. Tapi yang paling membuatku terpaku adalah cewek yang
duduk di sampingnya. Cewek itu cantik, rambutnya panjang, dan berkilau. Aku
tahu itu meski hanya sepintas melihatnya. Dia kurus, seksi, manja, centil, dan
anggun, persis seperti yang diidam-idamkan semua cowok di dunia. Dia duduk
menempel dengan tubuh Steven dan berkali-kali menyentuh wajah Steven.
Aku tidak tahan melihat tingkah cewek yang tidak tahu adat itu, kemudian
kuputuskan melepas kacamataku agar tidak bisa lagi melihat mereka.
"Mungkin juga." Diva mengangguk-angguk. "Eh, misanya sudah mau mulai.
Pastornya sudah datang." Diva berdiri sambil menarik tanganku ketika lonceng
berdenting. *** Aku berusaha tetap berkonsentrasi pada misa dan khotbah yang disampaikan
pastor. Tapi mataku tak bisa berhenti melirik dua makhluk yang sejak tadi
melakukan perbuatan yang tidak pada tempatnya. Cewek itu seperti hampir
mencium pipi Steven, untung Steven bergerak menjauhinya. Lalu cewek itu
bersandar pada pundak Steven, tertawa-tawa centil sendirian karena tidak
terlihat satu pun senyum di wajah Steven. Orang-orang di sekitar mereka
sudah mulai bergeser, sedikit demi sedikit menjauhi. Ada yang sengaja
terbatuk-batuk lalu bergeser beberapa kali, ada pula yang menggeser tas
mereka menjauh lebih dulu lalu bokong mereka bergerak menjauh. Gereja ini
disulap menjadi panggung drama karena prilaku mereka!
Keringat dingin terus-menerus keluar di dahiku karena aku memaksa pikiranku
fokus pada misa. Baru kali itu aku merasa sangat lelah mengikuti misa.
Akhirnya, aku menyerah. Aku bersandar pada kursi dan menunduk. Mungkin
lebih baik aku tidak melawan pikiranku lagi dan memohon ampun pada Tuhan
atas kelalaianku. "Mbak, Mbak..." Seseorang menyentuh pundak kananku berkali-kali.
"Ini apa lagi"!" Aku mengangkat wajahku lalu berbisik agak keras padanya,
lepas kendali. Orang-orang di dekatku langsung membeku. Mereka menoleh ke arahku,
mungkin bertanya-tanya dalam hati, "Apakah dia kerasukan setan?", "Apakah
jiwanya terguncang?" Diva juga takjub melihat reaksiku. Aku berkedip berkalikali, mencoba menenangkan diri.
Kemudian Diva berbisik, "Dia cuma mau kasih kotak kolekte ke kamu, Me.
Kasihan dia, nggak salah tapi malah kamu damprat." Diva menahan tawa. Dia
membekap mulut dengan telapak tangan.
Pipiku memerah dan tiba-tiba seperti terbakar. Betapa bodohnya aku karena
membentak orang itu. Akulah yang salah tidak menjawab panggilannya. Dan
orang tadi masih kaku memegang kotak kolekte di kedua tangannya yang
terulur padaku. Matanya berkedip-kedip mencoba mencari dosa apa yang
telah dia perbuat padaku.
"Maaf, terima kasih." Aku menerima kotak kolekte tadi, lebih tepatnya
menariknya dari tangan orang itu, kemudian mengoperkannya pada Diva.
"Lho, kamu nggak ngisi kolekte, Me?" Diva kebingungan melihatku lagi.
"Oh iya, ya ampun. Benar, benar." Aku kelabakan mengambil uang dari dalam
tas dan segera memasukkannya ke lubang kecil di kotak itu.
Saat itu aku ingat betul, aku baru mengenal Steven selama sehari"bahkan
baru selama beberapa jam yang singkat"karena pada hari sebelumnya adalah
hari pertama tahun ajaran baru yang diisi dengan briefing dan perkenalan
kelas. Lalu, bagaimana bisa orang seperti dia mengacaukan pikiranku" Orang
sombong yang tidak menghargaiku ketika berbicara denganku!
*** "Habis ini mau ke mana?" Aku menstarter mobil, menunggu mesinnya panas.
"Hmm... Makan dulu, setelah itu kita nonton. Ada film bagus di bioskop. Tapi,
kita ambil yang midnight show aja. Sepi, lebih gampang dapat tiketnya.
Gimana?" Diva menjawab.
"Oke." Aku melajukan mobil dari parkiran gereja yang penuh sesak.
Samar-samar saat akan keluar dari gerbang pintu keluar gereja, aku melihat
Steven berjalan sendirian ke sebuah mobil sambil membuka ponselnya. Dia
tampak serius membaca tulisan di layar ponsel. Aku bertanya-tanya di mana
cewek yang tadi bersamanya. Karena setelah itu, Steven langsung masuk mobil
dan pergi. Aku dan Diva pergi ke restoran steik yang terkenal. Aku merasa butuh asupan
gizi besar setelah kejadian di gereja tadi. Mungkin itu bukan karena Steven,
tapi karena aku kelaparan. Ya, itu masuk akal. Aku berulang kali mencoba
meyakinkan diri. Karena keyakinan itulah aku memesan chicken steak porsi dobel dan jus
alpukat dengan susu cokelat, ditambah zuppa soup dan lima lumpia solo.
Sedangkan Diva yang selalu mati-matian menjaga bentuk tubuh hanya
memesan caesar salad porsi kecil serta jus timun tanpa gula. Dia tercengang
ketika mendengarku memesan, dan aku pun tercengang ketika dia memesan.
Bagaimana bisa para cewek penjaga bentuk badan itu kenyang hanya dengan
makan salad"! Sungguh tidak bisa dimengerti apa yang ada dalam perut
mereka. "Me, bentar deh." Diva mengucek-ngucek mata.
"Kenapa" Ada yang salah?" Aku menyeruput jus alpukat yang berulang kali
membuatku menelan air liur ketika menunggu kehadirannya.
"Itu di belakangmu... Steven lagi"!" Diva benar-benar melotot kali ini. Dia
seperti orang yang tersedak tanpa sebab. Telunjuknya mengarah ke
belakangku. "Apa"!" Aku tidak kalah terkejutnya. Spontan aku berbalik dengan cepat
hingga mengibaskan rambutku yang sedikit basah terkena hujan ketika turun
dari mobil tadi. Aku menoleh ke arah yang ditunjukkan Diva.
Benar! Itu Steven! Dia duduk sekitar tiga meja dibelakangku bersama seorang
cewek. Itu bukan cewek yang kami lihat di gereja sebelumnya. Dia berganti
pasangan dalam tempo kurang dari setengah jam" Berarti waktu dia menatap
serius ponselnya di parkiran gereja, dia sedang mengatur jadwal bersama
cewek mana dan di mana" Dasar bule playboy!
Aku menatap tajam ke arahnya, berharap dia juga melihatku. Tapi, dia terlalu
asyik dengan cewek itu hingga tidak menyadari sekitarnya. Ya, tentu saja,
bagaimana bisa dia membuang pandangan dari cewek itu" Pasangannya kali ini
jauh lebih cantik daripada pasangannya di gereja. Rambut cewek itu panjang
dan tergerai indah. Dia tidak memakai pakaian yang terbuka, sebaliknya dia
memakai pakaian yang terlihat sangat mewah dan mahal. Dia terus tersenyum,
menyentuh wajah Steven agar tetap mengembalikan pandangan ke arahnya
setiap kali Steven tampak ingin menoleh ke tempat lain.
Lama-lama aku capek melotot. Steven tidak akan menyadari kehadiranku
meskipun aku memandangnya berjam-jam. Dia terlalu terpesona pada cewek
itu. Aku kembali berbalik menghadap mejaku, melepas kacamataku dan
menyimpannya kembali ke dalam tasku, lalu meminum jus alpukatku lagi.
"Iya, itu Steven lagi, dan bersama cewek yang berbeda. Hebat sekali. Pengin
sekali aku menancapkan pisau ini ke jidatnya." Aku menyentuh dan melihatlihat pisau steik yang disediakan di meja, membandingkan mana yang paling
tajam untuk kutancapkan ke jidat Steven.
Aku sengaja memasang ekspresi datar di depan Diva. Tapi dalam hatiku seperti
ada pukulan besar yang menyakitkan. Aku benci cowok-cowok yang suka
mempermainkan cewek. Kalau Steven salah satu cowok itu, berarti dia juga
masuk dalam daftar cowok yang harus kubenci.
"Wah, gila, dalam dua jam dia udah ganti dua cewek." Diva menggeleng-geleng
kepala. "Tapi, dia memang luar biasa cakep, Me. Lihat deh, matanya tajam dan
indah, hidungnya mancung sempurna, bibirnya merah, wajahnya tegas dan
berwibawa, suaranya berat dan serak-serak basah, dan senyumnya itu lho,
membuat dunia serasa berhenti berputar..." Diva memandang lurus ke arah
Steven dengan senyum yang terlihat seperti orang dimabuk cinta.
"Hei!" Aku mengetuk kepala Diva dengan sendok. Sepertinya dia termasuk
cewek yang harus diselamatkan dari "Kelompok Pecinta Steven (KPS)" yang
sepertinya langsung terbentuk di sekolahku begitu Steven datang. Aku tidak
mau sahabat baikku termakan omongan-omongan manis dari bibir yang
menurutku sama sekali tidak indah itu.
"Aduh, Ame! Sakit!" Diva mengusap-usap kepalanya. "Tapi kamu juga harus
mengakui kalo dia memang cakep luar biasa, Ame. Dan kalau misalnya suatu
hari ada keajaiban dan dia serius mau pacaran sama kamu, kamu bakal milih
dia atau Rama?" Diva menopangkan dagu ke telapak tangan kanannya,
memandangku dengan berbinar-binar. Senyumnya seperti meledekku.
Jantungku sempat berhenti berdetak beberapa detik ketika Diva menyebut
nama Rama dan membandingkannya dengan Steven. Apakah hal itu mungkin
terjadi" Dan kalau memang terjadi, siapa yang akan kupilih" Tapi, ah, untuk
apa mengira-ngira sesuatu yang tidak mungkin terjadi" Mereka berdua sudah
masuk black list-ku. Hhh... Selalu seperti ini setiap kali mendengar nama Rama disebut. Cowok itu
masih saja tidak lelah mengejarku. Berkali-kali aku menekankan padanya
bahwa aku tidak menyukainya dan tidak akan pernah menyukainya. Tapi, dia
tetap saja bersikeras bahwa suatu hari aku pasti akan menyukainya. Dia
mendekatiku dengan ribuan cara yang, seharusnya kalau aku tergabung dalam
"Klub Pecinta Rama (KPR)", aku sudah meleleh dan mencintainya dengan
segenap jiwa dan ragaku. Tapi aku bukan anggota klub itu.
Aku Ame, dan aku sangat mengutuk keberadaan Rama!
"Jangan omongin yang nggak mungkin terjadi. Itu sama aja mengandaikan steik
ayam di piringku kembali hidup dan menari-nari di atasnya." Aku mengibaskan
tangan di depan wajah Diva.
"Permisi, ini pesanannya..." Pelayan datang membawa pesanan kami.
Membuat cacing-cacing di perutku melonjak kegirangan. Mereka sudah
berkali-kali memainkan genderang perang, meminta makan.
"Udah, ayo makan." Aku mengambil garpu dan langsung menancap ayam itu.
*** Kesialanku belum berakhir...
"Ternyata midnight show banyak dipake pasangan buat pacaran, ya." Aku
mengeluarkan popcorn dan soft drink yang tadi kubeli. Aku melongok sedikit
ke depan untuk memastikan tak ada orang yang duduk di kursi depanku, lalu
meluruskan kaki ke punggung kursi itu. Sekali-kali deh, melanggar peraturan.
"Yap. Emang kamu belom pernah nonton yang jam segini?" Diva tampak
tenang-tenang saja. Dia sudah mencaplok roti gandum yang tadi dibelinya
sebelum masuk studio. Dia benar-benar tak pernah luput dari usaha
mempertahankan berat badan. Tidak sepertiku yang makan sebanyak apa pun,
tetap saja kerempeng dan tidak berisi.
"Iya. Aku pikir sepi. Eh, ternyata malah gawat begini." Aku meneguk minuman
kalengku, mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan menemukan banyak
pasangan yang dilanda asmara. Catatan bagi kalian yang belum umur tujuh
belas: Lebih baik jangan nonton pada jam ini!
"Sstt...." Seseorang di samping kiriku memperingatkanku untuk diam. Dia
tampak terganggu dengan obrolanku dan Diva. Padahal kami hanya berbisikbisik, bagaimana ini bisa menganggunya" Filmnya bahkan belum dimulai.
Tapi kuputuskan mengambil jalan damai. "Maaf." Aku nyengir padanya sambil
mengangkat sedikit tangan kiriku.
"Iya, memang gini, Me, risiko nonton jam segini. Udah, cuekin aja. Tuh filmnya
mulai." Diva meneguk air mineralnya lalu mengikuti posisi dudukku.
"Auw!" Seseorang menendang kepalaku dari belakang. Bukan hanya
menyenggol, dia benar-benar menendang.
Sialan! Cari masalah nih orang! Dia bahkan tidak mengucapkan maaf atas
perbuatannya! Aku berdiri dan langsung melotot ke belakang. Tanganku bertengger dengan
gaya menantang di pinggang. Aku duduk di baris kedua dari belakang, jadi
tidak perlu khawatir akan menimbukan peperangan dengan pasangan lainnya.
Aku hanya perlu menyelesaikan urusanku dengan manusia tidak punya aturan
ini! "HEH! Apa perlu ada sekolah khusus kepribadian buat kaki biar kamu nggak
sembarangan nendang kepala orang"! Udah gitu nggak minta maaf pula!" Aku
membentak orang itu sekeras-kerasnya agar seisi studio tahu orang ini tidak
punya etika. "Udah, Me, biarin aja." Diva menarik tanganku dan membujukku untuk duduk.
"Nggak bisa! Dia bahkan nggak nurutin kakinya dari kursiku sampe sekarang!
Mana mungkin aku diem aja?" Aku menampar kaki orang itu yang masih
bertengger di punggung kursiku, membuat orang itu goyah di tempat
duduknya dan hampir jatuh terjerembap.
Aku mengerjap-ngerjapkan mata karena tidak bisa melihat wajahnya dengan
jelas di tengah temaramnya studio. Kemudian, ketika menyadari bahwa aku
sudah melihat wajah itu berkali-kali hari ini, darahku naik hingga ubun-ubun
hingga wajahku terasa panas. Tanganku mengepal dan napasku memburu.
"Kamu lagi"!" Aku berteriak lebih keras dibanding sebelumnya. Aku sudah
sangat ingin melompat dari kursiku dan langsung meninju mukanya.
Bagaimana bisa aku bertemu dengannya tiga kali dalam sehari"! Dan sesuai
dugaan, dia duduk dengan cewek yang berbeda lagi! Aku benar-benar muak
melihat mukanya! "Kenapa kamu bisa ada di sini"!" Steven ikut berdiri karena tidak terima
dengan tamparanku pada kakinya, dan balas meneriakiku.
"Itu nggak penting! Yang paling penting adalah kamu nendang kepalaku dan
nggak minta maaf!" Aku menudingnya dengan kepala sedikit terangkat karena
posisi duduknya di deret atasku.
Beautiful Soul Karya Stefiani E.i di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mataku berkilat-kilat menatapnya, wajahku memerah karena menahan emosi.
"Heiii! Diam!!! Kalian berdua berisik! Mengganggu konsentrasi aja! Kalau..."
Pasangan yang tadi duduk di samping kiriku berteriak lagi padaku.
"Maaf, udah bikin ribut. Tapi gimana kalau ada orang yang menendang
kepalamu dan nggak minta maaf?" Aku memotong perkataannya lalu menatap
tajam orang itu. Dia pun diam.
Emosiku sudah memuncak. Mungkin kalau pelakunya bukan Steven, emosiku
tidak akan separah itu. Tapi dia Steven! Orang yang sesorean ini sudah sangat
mengganggu pikiranku! "Maaf, ada keributan apa di sini?" Seorang petugas wanita menghampiri
tempat dudukku. Dia tersenyum sopan padaku.
Aku menarik napas panjang, mencoba sedikit meredam amarah. "Orang ini
menendang kepala saya dan menolak meminta maaf." Aku menunjuk wajah
Steven. "Bukan seperti itu, saya nggak sengaja." Steven tergagap-gagap, mencoba
mencari alasan. Dia terlihat sekali berpura-pura menyesal, sama sekali tak ada
ketulusan meminta maaf. "Kalau begitu, Mas minta maaf saja agar masalahnya tidak berlarut-larut."
Petugas itu bertutur bijak. Dia masih memasang senyum ramah.
Aku tahu Steven masih ingin membantah dan membela diri. Bibirnya masih
bergerak-gerak, mencoba mencari alasan. Tapi cewek di sampingnya berdiri
lalu membisikkan sesuatu. Steven mengangguk lalu tersenyum sambil
menyentuh pinggang cewek itu, mendekapnya lebih dekat ke tubuhnya.
Napasku berhenti sejenak ketika melihatnya. Wajahku memanas lagi. Kali ini
berbeda, bukan karena emosi akibat tendangan di kepalaku tadi, tapi karena
adegan barusan. Aku tidak tahan melihatnya, ingin sekali aku mencakar wajah
Steven. Menerkamnya bak serigala melihat mangsa saat benar-benar
kelaparan. "Maaf," ujar Steven, masih bertahan pada sikap dinginnya. Dia kembali duduk
di kursinya. "Harap setelah ini menjaga ketenangan demi kenyamanan bersama. Terima
kasih." Petugas itu mengangguk singkat lalu pergi dari tempatku.
Aku masih berdiri, menatap tajam wajah yang dipuja-puja cewek-cewek di
sekolahku. Amarahku sudah tidak bisa dibendung lagi. Terlebih sekarang dia
dengan asyiknya bergandengan tangan dengan cewek itu, berlagak ingin
menunjukkan bahwa dia menyayanginya.
Aku kasihan pada cewek itu. Nasibnya tak lebih baik dari sekadar mainan yang
sebentar lagi dibuang setelah pemiliknya bosan. Bodoh sekali cewek itu bila
tidak mencari tahu latar belakang pacarnya, hanya terbujuk pada harta dan
tampang. "Udah, Me, duduk lagi. Filmnya bagus. Nggak perlu ngurusin mereka lagi." Diva
menarik tanganku duduk. Aku masih menggeram, tapi terpaksa menyetujui omongan Diva. Tidak ada
untungnya ikut campur urusan mereka. Yang paling penting bagiku: Steven
Williams, limited edition devil of the year, masuk dalam daftar hitam orang
yang harus kubenci! BAB 2 BUKAN URUSANMU "Kamu dari mana aja kemarin" Berkali-kali aku telepon ponselmu masuk
mailbox terus." Dengan panik dan tergesa-gesa, Rama mendatangiku yang
sedang duduk-duduk di pinggir lapangan basket.
Aku menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya cepat-cepat ketika
menyadari kedatangan Rama, masih mencoba tenang dan menahan langkahku
untuk tidak segera pergi dari sini untuk menghindarinya. Aku ingin bermain
basket sore ini dan tidak ingin mood-ku hancur hanya karena Rama.
"Bukan urusanmu," jawabku ketus, lalu berdiri sambil meneguk air mineral
yang sejak tadi kugenggam.
Rama menahan tanganku, lalu dengan sedikit kekuatan memaksaku kembali
duduk di bangku semen pinggir lapangan basket. Matanya seolah menyelidikku
dengan saksama. "Itu urusanku. Aku mau tahu ke mana kamu kemarin malam, Amore?" Dia
menatapku tajam. Ini pertama kalinya dia berbuat begitu padaku. Sebelumnya, dia bahkan tidak
berani menahan tanganku jika aku pergi meninggalkannya. Kini, dia
memaksaku menuruti keinginannya. Seperti ada yang berubah dalam tatapan
Rama. Dia seperti menahan amarah dan keingintahuan yang meluap-luap
dalam benaknya agar tidak bertindak kasar padaku. Tapi, kenapa dia sebegitu
ingin tahu" "Itu sama sekali bukan urusanmu!" ulangku, memutar bola mata dan sedikit
membentaknya. Kenapa dia harus mengingatkanku pada kejadian semalam
yang sangat tidak ingin kuingat"! Semalam adalah malam terburukku karena
melihat seorang cowok mempermainkan tiga cewek sekaligus!
"Dan sekarang lepaskan tanganku!" Aku membentaknya lagi lebih keras dan
menyentak tanganku dari cengkeramannya. Tak seorang pun di lapangan
basket itu berani menolongku. Yosa, Nico, Ardian, atau siapa pun. Mereka
tahu, berurusan dengan Rama ketika dia dekat denganku seperti ini berarti cari
mati. Itu sudah pernah terbukti. Waktu Rama memaksa berbicara denganku dan
tentu saja aku menolak, seorang cowok culun berkacamata tebal berusaha
menghentikan Rama. Kali itu berhasil, Rama melepaskanku. Tapi, keesokan
harinya, anak culun tadi tidak masuk sekolah dengan alasan demam. Lalu
ketika dia masuk keesokan harinya lagi, mata kanannya lebam. Aku panik,
menghampirinya, dan menanyakan kenapa matanya lebam, tapi aku tidak
mendapat jawaban apa pun. Dia malah lari ketakutan dan memohon padaku
untuk tidak dekat-dekat dengannya lagi.
Aku yakin itu pasti perbuatan Rama. Tapi ketika aku melabrak Rama, dia
menyangkalnya. Siswi lain malah menuduh anak itu yang sengaja cari gara-gara
sama Rama, jadi sudah sepantasnya dihajar. Kebencianku terhadap Rama
semakin bertambah. "Kamu tuli" Dia minta dilepaskan. Kamu nggak denger?" Seseorang berbicara
dengan santai sambil berjalan menghanpiriku. Langkahnya tenang dan mantap.
Aku menoleh, mencari tahu siapa yang berani melakukan itu. Dan ketika aku
melihat wajahnya, dia sudah berhenti melangkah dan kini berdiri tepat di
sampingku. Steven! Berani sekali dia! Itu pasti karena dia belum tahu dengan siapa dia
berhadapan sekarang. "Jangan ikut campur, ini nggak ada hubungannya sama kamu." Cengkeraman
tangan Rama melemah. Kemudian dia berdiri dan memandang rendah pada
Steven. Tatapan Rama sudah cukup menyampaikan ancamannya.
"Lalu, apa kamu punya hubungan dengan cewek ini" Kenapa dia ngotot minta
kamu lepaskan?" Dengan santai Steven memasukkan kedua tangannya ke saku
celana. Senyum itu. Entah mengapa senyum itu selalu berhasil menghipnotisku. Aku
selalu terpaku setiap kali melihatnya. Kemudian aku sadar apa yang sedang
kulakukan, mengagumi pada saat yang sangat tidak tepat.
"Siapa di antara kalian yang bernama Steven Wiliams"!" Seorang pria bertubuh
besar tiba-tiba muncul dari seberang lapangan basket. Dia berkemeja dan
mengenakan celana panjang hitam. Kulitnya pun hitam. Dia tampak seperti
bodyguard yang sering kulihat di TV.
Pasti Pak Satpam di gerbang sekolah molor lagi deh, makanya orang seram
seperti dia bisa masuk. "Banyak yang bernama Steven Wiliams di sekolah ini. Bapak cari siapa?" Aku
menyipitkan mata memperhatikan gerak-gerik orang ini. Mencurigakan sekali.
Aku yakin dia tidak pernah melihat wajah Steven Wiliams.
"Steven Wiliams, kelas XII IPA-1. Apa ada di antara kalian yang bernama Steven
Wiliams?" Dia melihat ke catatan kecil di telapak tangannya, kemudian
mengedarkan pandangan ke seluruh wajah di lapangan. Tapi, dia tidak juga
menyadari bahwa Steven ada di sana. Ternyata benar dugaanku, orang ini
hanya suruhan orang lain. Dia tidak kenal dengan Steven! Mau apa dia"
"Dia nggak ada di sini. Kenapa?" Aku menjawab sesantai mungkin. Jantungku
berdetak lebih cepat karena kebohongan yang kuucapkan.
Sedetik kemudian aku baru menyadari apa yang kulakukan. Kenapa aku
melindungi Steven" Dia kan musuh bebuyutanku.
"Me, Steven kan di situ. Kenapa kamu bilang nggak ada?" Yosa menyahut
dengan polos dan bingung. Dia bahkan menunjuk yang mana Steven di antara
kami. Aku menelan ludah, panik.
Aduh! Yosa ember banget sih"! Sekarang gimana nasibku"!
"Kenapa kamu bilang nggak ada" Kamu berani berbohong sama saya, hah"!"
Pria itu berjalan cepat ke arahku dengan marah. Napasku memburu dan aku
ketakutan. Aku berusaha tidak menunjukkan ketakutanku, tapi jujur saja,
kakiku gemetaran dan aku tak bisa menggerakkannya untuk pergi dari sana.
Pria itu semakin mendekat dan hampir meraihku. Aku membayangkan tangan
besar itu akan mencengkeram kerah bajuku dan melemparkanku ke sudut lain
lapangan. "Jangan-pernah-sentuh-dia!" Steven tiba-tiba berdiri di depanku. Dia menatap
tajam pria itu sambil mengacungkan jari telunjuknya. Kata-katanya tegas dan
jelas. Pria itu kaget dan terpaku. Dia menatap Steven lurus-lurus, seperti
memperhatikan wajahnya. "Maaf," kata pria tadi setelah sekian lama hanya berdiri terpaku melihat
Steven melindungiku. Melindungiku" Ngapain dia melindungi aku" Cih, sok jagoan!
"Pergi! Aku tahu untuk apa kalian ke sini. Kita bicarakan itu nanti, jangan di
sekolah. Dan ingat baik-baik, jangan pernah sentuh cewek ini! Sekarang
PERGI!" Suara Steven menggelegar. Mendadak, dia seperti pembunuh
berdarah dingin. Tangan kirinya bergerak cepat mengusir pria tadi.
"Baik, kami tunggu di luar sekolah." Pria itu lalu pergi meninggalkan lapangan.
Hatiku mencelos. Bagaimana bisa hanya dengan beberapa kata Steven
membuat pria sangar seperti macan itu tunduk" Siapa sebenarnya Steven"
Aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri ketika Steven berbalik dan
menghadapku. "Kamu nggak papa, kan?" Steven menunduk dan mengamati
wajahku yang masih mengernyit karena berkutat dengan hal-hal yang tak bisa
kudapatkan jawabannya. "Dia belum sempat nyentuh kamu, kan?" Steven mengangkat daguku dan
menolehkan kepalaku ke kana dan kiri. Mengamati setiap jengkal wajahku.
"Aku nggak papa. Trims." Aku melangkah mundur sambil menyingkirkan
tangannya dari wajahku. Aku bisa merasakan wajahku memanas karena
tindakannya tadi. "Amore, kamu nggak papa?" Rama tiba-tiba berdiri mendesak Steven untuk
menyingkir dan menyentuh wajahku seperti yang dilakukan Steven.
Aku menampar tangannya lalu mundur selangkah lagi. "Aku nggak suka
dipegang sembarangan!" Aku melotot padanya.
Rama menatapku protes karena aku tidak menampar tangan Steven tadi. Aku
sendiri tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Entah kenapa terasa
sangat berbeda ketika Steven yang melakukannya.
Aku merasakan seluruh lapangan memperhatikan kami bertiga. Sangat tidak
nyaman. Akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan lapangan basket dan
pulang. Aku perlu cokelat panas untuk menenangkan pikiranku. Samar-samar aku
mendengar Rama memanggilku beberapa kali, tapi aku tidak memedulikannya
dan semakin mempercepat langkahku.
*** Aku mengguyur kepalaku dengan sedikit air dingin, tak peduli seberapa dingin
sore ini akibat hujan satu jam yang lalu.
Benakku masih penuh pertanyaan dan semuanya terpusat pada Steven.
Otakku terus berputar hingga akhirnya berhenti pada satu memori.
Bagaimanapun dan siapa pun Steven, dia tetap saja playboy.
Aku keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut, tiba-tiba ponselku
berbunyi. Aku malas sekali menjawab telepon itu, terlebih ketika melihat nama
yang tertera di layar: Rama.
"Kamu di mana, Amore?" Dia berbicara lembut seperti biasanya, tapi kali ini
terdengar sangat tergesa-gesa.
"Di kos-kosan," jawabku singkat.
"Oke, kamu siap-siap sekarang, aku mau ajak kamu pergi malam ini. Nanti kita
sekalian pergi makan. Kamu pasti belum makan, kan" Oke" See you." Rama
terus nyerocos dan langsung menutup telepon tanpa membiarkanku
menjawab. Menyebalkan sekali! Setiap kali selalu seperti ini. Seenaknya saja memerintah.
Kalau aku menolak, dia pasti nekat masuk ke tempat kosku dan mengetuk
pintu kamarku tanpa henti hingga aku keluar. Terkahir kali dia melakukannya,
seluruh anak kos keluar dari kamar dan entah apa yang dia katakan pada
mereka, tapi mereka dengan senang hati membantunya mengetuk pintuku
hingga aku menyerah dan terpaksa pergi bersamanya!
Aku bangkit dari tempat tidur dan menghampiri lemari pakaianku. Ada
beberapa sackdress hadiah dari Rama, kalau tidak salah pada perayaan Natal
tahun lalu. Tapi, hingga sekarang aku tidak pernah menggunakannya. Lagi pula,
aku tidak pernah memintanya. Aku tidak peduli seberapa kaya seorang Rama,
yang jelas aku tidak menyukai orangnya, apalagi hartanya. Kuputuskan untuk
mengenakan celana jins pendek, kaus oblong warna biru tua, serta jaket warna
biru muda. *** "Aku nggak mood ke mana-mana hari ini. Pulang aja ya aku ngantuk." Aku
memasang sabuk pengaman lalu bersandar di kursi mobil Rama. Perutku
sangat penuh sekarang. Aku mengisinya dengan seporsi nasi goreng ikan asin
dan ayam hainam. Kini, mataku mulai meredup.
"Jangan pulang dulu. Aku mau ajak kamu ke suatu tempat. Oke?" Rama belum
juga melajukan mobilnya keluar dari parkiran rumah makan. Dia masih duduk
menghadapku dan mengamati wajahku seperti pelukis yang mengamati objek
yang akan digambarnya di kanvas.
"Aku nggak suka dipandangi begitu, seperti anak kecil minta balon." Aku
menguap, mataku berair. Aku mengancingkan jaket hingga leher. Entah kenapa
aku terus saja kedinginan.
"Kamu itu cantik, Amor..." Rama masih tersenyum memandangi wajahku.
"Dan satu catatan lagi buat kamu, aku bahkan nggak ingat udah berapa kali
ngomong ini ke kamu, aku nggak suka di panggil begitu. Jauh lebih baik kalo
kamu panggil aku Ame! Catat itu baik-baik!" bentakku. Aku tidak suka
mendengarnya memanggilku seperti itu, membuat bulu kudukku berdiri ketika
mendengarnya. Sama sekali tidak nyaman.
"Yaaa yaaa... Seribu kali pun kamu ngomong gitu ke aku, nggak akan pernah
mengubah caraku memanggil namamu. Coba saja."
Aku menghembuskan napas panjang dan membuang muka darinya.
"Terserah," ujarku sinis.
"Kamu cantik, Amore. Semakin kamu marah, semakin cantik," bisik Rama
kemudian tertawa kecil, dan mulai melajukan mobilnya.
Aku memilih tidak menanggapi apa pun yang dikatakannya barusan dan tetap
melihat ke luarjendela mobil.
Mengatakan aku cantik sama saja dengan mengatakan "wajah ayam itu
menggemaskan". Karena kenyataannya, aku memang nggak cantik. Mata, pipi,
bibir, dagu, dan hampir semua bagian wajah maupun tubuhku bercirikan orang
Indonesia. Hanya hidung dan rambutku yang mewarisi papaku yang asli Belgia.
Tapi, bukan berarti perpaduan semua bagian itu terlihat sempurna. Setiap
orang yang mengatakan aku cantik, dapat aku pastikan tidak lama lagi akan
menjalani operasi saraf mata.
Beda dengan cowok SMA lainnya, Rama memang sudah dibebaskan nyetir
mobil sendiri. Entah orangtuanya terlalu bebas atau terlalu sibuk. Rama
menjalankan mobilnya ke pusat kota, kemudian berhenti di depan butik yang
dari depan tidak tampak terlalu besar. Tapi tidak diragukan lagi, harga pakaian
di butik itu akan membuatku sesak napas dengan sukses.
"Kenapa berhenti di sini?" Aku meninggikan sebelah alis, merasakan hawahawa nggak beres.
"Turun aja, nanti kamu tahu sendiri." Rama tersenyum lagi. Dia melepaskan
sabuk pengamannya lalu menghadap ke arahku, mencoba melepaskan sabuk
pengamanku. "Nggak! Aku nggak mau!" bentakku.
"Bisa nggak sih suaramu pelan sedikit?" Rama menutup telinganya sambil
memejamkan sebelah mata. Senyum di wajahnya terlihat sangat licik. Dia
malah tampak excited ingin melaksanakan rencananya.
"Nggak." Aku diam dan menatap lurus ke depan, menolak melihat wajah yang
akan memancing emosiku itu.
"Jadi, kamu nggak mau turun nih" Kalau gitu terpaksa..." Rama tidak
Beautiful Soul Karya Stefiani E.i di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyelesaikan kalimatnya dan langsung turun dari mobil. Dia berjalan ke
belakang mobil dan berputar ke arah pintuku. Beberapa menit kemudian dia
membuka pintuku dan membungkuk untuk memasukkan separuh badannya ke
dalam mobil. "Mau apa kamu"!" Aku panik melihat tindakannya dan secara spontan
menekankan jari telunjukku ke jidatnya, mendorongnya menjauh.
"Kalo kamu nggak mau turun, aku paksa kamu turun." Dia sudah menyiapkan
tangannya untuk membopongku.
"Jangan gila! Oke, oke! Aku turun! Puas"!"
Begitu aku turun, dia langsung menarik tanganku. "Ikut aku masuk!"
Seperti biasa, dia menggenggam tanganku kuat-kuat, membuatku tidak bisa
melepaskan diri. Kami berdua melangkah masuk ke butik. Dan begitu masuk, aku sangat
tercengang. Bagaimana mungkin tak ada seorang pun di dalam sana" Apakah
butik ini hampir tutup dan karena Rama merasa kasihan maka ia mampir ke
sini" Dermawan sekali dia.
"PERMISI!" Rama berteriak ketika belum ada seorang pun yang menyadari
kehadiran kami. Dia meneriakkan kata itu sekitar lima atau enam kali.
Baru setelah teriakan keenam, seorang wanita berpenampilan "wah" keluar
dari dalam butih itu. Wanita itu berusia sekitar 30 tahun, mengenakan tank top
kuning cerah, celana jins ketat yang sangat minim, dan high heels setinggi kirikiri 12 cm. Tidak lupa dia menambah syal bulu berwarna pink muda yang
memang terlihat mahal, serta stoking hitam yang membuatnya terlihat lebih
muda beberapa tahun. Mulutku menganga lebar ketika melihatnya melenggak-lenggok centil
menghampiri tempat kami berdiri. Aku tidak menyangka spesies seperti ini
masih bertahan hidup pada zaman ini. Bawah matanya mulai menunjukkan
beberapa kerutan yang coba dia tutupi dengan makeup supertebal yang entah
butuh berapa lama memolesnya.
"Ada apa, Rama" Tumben ke sini malam-malam begini" Padahal Tante udah
siap-siap tidur." Wanita tadi menguap sedikit tapi tetap tersenyuman lebar.
Rama tersenyum sedikit. "Tolong carikan cewek ini beberapa gaun yang dia
sukai." Aku mendelik. Perhatianku yang sebelumnya pada wanita ini beralih penuh
pada perkataan Rama barusan. "Untuk apa?" Spontan aku berteriak lagi pada
Rama, mengagetkannya, juga tante itu.
"Nggak papa. Aku belum ngasih kamu hadiah kenaikan kelas kemarin." Dia
menjawabku santai, nyaris menyentuh poniku, tapi aku menampar tangannya.
"Aku nggak pernah minta hadiah apa pun darimu!" Aku menyipitkan mata,
mengatakan apa yang ada di dalam benakku dengan lugas dan sedikit kasar.
"Memang. Aku yang mau ngasih kamu hadiah, Amore. Kan aku udah bilang
tadi..." Rama semakin lancang. Dia tertawa kecil.
"Nggak, aku nggak mau! Aku pulang sekarang!" Aku berbalik dan mengambil
langkah seribu, keluar dari butik. Rambutku berkibar dan leherku merinding
ketika angin malam menyentuh kulitku. Sekali lagi aku merapatkan jaket dan
berjalan menjauhi butik, menuju keramaian, dan mencari taksi.
"Ame!" Itu pasti Rama yang mengejarku. Aku berusaha secepat mungkin
menghindarinya. "Ame, tunggu! Berhenti!" Dia menarik lenganku dan memutar tubuhku.
Napasnya tersengal-sengal setelah mengejarku tadi. Matanya memerah dan
sedikit berair. "Jangan pernah ngelakuin itu lagi ke aku! Aku nggak suka! Aku bisa beli sendiri!
Aku bukan anak jalanan yang harus kamu sumbang pakaian! Sejak kapan kamu
jadi seperti ini?" Aku membentaknya seperti orang gila dan meluapkan semua
amarahku. Untung tidak terlalu banyak orang di sana. Hanya beberapa pejalan
kaki yang melihat ke arah kami, tapi kemudian memalingkan wajah lagi karena
sadar tak seharusnya mereka ikut campur.
"Amor, kenapa semua yang aku lakuin selalu salah di matamu" Setahun lebih
aku ngejar kamu, tapi apa yang aku dapat" Semakin aku mendekat, kamu
semakin menjaga jarak. Kamu membuatku gila, Amor!" Rama balas
membentakku. Ini pertama kalinya dia bicara kasar padaku. Selama dua tahun
dia masih bisa menyembunyikan amarahnya meskipun aku sudah sangat
menyakitinya. "Kalo gitu, berhenti ngejar aku! Berhenti ngelakuin semua ini!" Aku tidak mau
kalah. Daguku kuangkat tinggi-tinggi. Mataku berkilat-kilat menatapnya.
"Aku nggak bisa! Aku sayang sama kamu, Amor! Kenapa" Kenapa kamu nggak
mau membuka hati buat aku" Kenapa"!" Matanya semakin memerah dan
berair. Sepertinya dia hampir menangis. Aku tak bisa melihatnya dengan jelas.
Jalanan ini cukup gelap dan hanya dua lampu jalan yang ada sebagai
penerangan. "Karena aku nggak suka sama kamu, Rama! Aku nggak pernah mencoba
menyukaimu dan nggak akan pernah mencoba! Aku nggak mau dipaksa!
Perasaanku adalah milikku!" Aku berteriak, kemudian berbalik dan berlari
menjauhi Rama. Dari jauh aku melihat taksi kosong mangkal di pinggir jalan.
Aku berlari lebih cepat menghampiri taksi itu. Aku mendengar langkah yang
mengikutiku, lebih cepat daripada langkahku. Tapi, aku tidak memedulikannya.
Pokoknya aku harus cepat-cepat masuk ke taksi itu.
"Hei, jangan naik taksi. Aku antar kamu pulang." Cowok bule bertubuh
jangkung menutupi pintu taksi tepat ketika tanganku terulur hampir membuka
pintu. Suaranya berat dan sangat kukenal.
Aku mendongak dan berkedip beberapa kali untuk memperjelas
penglihatanku. Steven Williams"! Apa aku tidak salah lihat" Aku mulai rabun, ya" Aku menunduk lalu mengucek
mata, kemudian berkedip beberapa kali lagi, mendongak lagi, dan mendapati
bahwa itu benar-benar Steven!
Dia menarik tanganku menyeberangi jalan dan menjauhi taksi.
Aku tidak melawan. Aneh sekali! Aku bukan tidak ingin melawan, tapi aku tidak
mampu. Tangannya hangat dan besar menggandeng tanganku menuju
mobilnya. Kenapa dia bisa ada di sini"!
*** "Trims." Aku meliriknya sedikit ketika mobil Steven berhenti di depan tempat
kosku. "Sama-sama." Dia menjawabku singkat dan dingin. Bahkan dia menatap lurus
ke depan, tanpa melirikku sedikit pun.
Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Aku terlalu lelah untuk membahas
banyak hal dengannya. Sebenarnya aku berkali-kali ingin menanyakan kenapa
dia bisa ada di sana. Tapi, aku tidak siap dengan jawaban yang biasa-biasa saja.
Entah mengapa hatiku berharap jawaban luar biasa seperti "aku memang
mengikutimu". Tapi, aku tahu itu tidak mungkin. Maka, aku memilih tidak
bertanya. Aku melepas sabuk pengaman, lalu membuka pintu.
"Aku..." Aku ingin berpamitan, tapi tiba-tiba tangan Steven menahanku keluar
dari mobil. Aku melihatnya, tapi, dia masih tetap menatap lurus ke depan, tidak menoleh
ke arahku. "Kenapa?" Aku sedikit tergagap. Tangannya menggenggam tanganku kencang
sekali, seolah tidak ingin aku pergi. Tapi, tentu saja itu hanya perasaanku.
"Nggak, nggak papa." Semenit kemudian cengkeramannya mengendur dan
melepaskan tanganku. Dia tetap menatap lurus ke depan, lalu membenarkan
letak sabuk pengamannya. Siku tangan kanannya bertopang pada panel pintu
kemudi sementara jemarinya menopang dagu. Dia terlihat memikirkan
sesuatu. "Ya udah, kalo gitu... thanks anyway." Aku melangkah keluar dari mobil,
menutup pintu dengan sangat perlahan, berharap mendengarkan ucapan
perpisahan darinya. Tapi tetap saja tidak terdengar apa pun sampai pintu
tertutup rapat dan derum knalpot mobil mengantar kepergian mobil hitam itu,
lalu menghilang dari pandanganku.
Steven Williams... Sejak kapan kamu begitu memengaruhi pikiranku"
BAB 3 PERLOMBAAN Hari Selasa, hari ketiga aku memulai tahun ajaran baru di kelas XII. Tapi, entah
dosa apa yang kuperbuat, aku kembali duduk di ruang kepala sekolah. Beliau
memanggilku pagi tadi tanpa menerangkan apa tujuannya.
Kini, di hadapanku duduk sang kepala sekolah, Pak Supeno, yang sibuk
membolak-balik mapnya, dan tidak menyadari keberadaan orang lain di
ruangannya. Aku sudah duduk menunggu hampir lima belas menit dalam
keheningan. Tanganku gatal ingin menutup map itu dan memintanya segera
memberiku penjelasan. Tapi, kurasa cara itu sedikit ekstrem.
"Ehem..." Akhirnya kuputuskan pura-pura batuk adalah cara paling bijak.
Dia tersentak. "Oh iya. Saya sampai kelupaan ada kamu, Ame..." Dia
menggaruk-garuk kepalanya yang sepi akan rambut lalu menutup map tadi
sampai tertawa-tawa tidak jelas. Aku hanya tersenyum canggung.
Tuh kan, dia lupa! "Jadi begini. Saya punya kabar menggembirakan untuk kamu..." Pak Supeno
melihatku dengan saksama. Ia mengatupkan kedua telapak tangan di meja lalu
sedikit mencondongkan tubuh untuk berbicara padaku. "Besok lupa, tepatnya
hari Kamis, kamu akan mewakili sekolah untuk ikut Olimpiade Sejarah tingkat
SMA se-Jawa-Bali di Balai Kota Semarang." Dia tersenyum lebar padaku.
Aku menganga. Lomba sejarah"! Mana mungkin" Pasti ada kesalahan!
"Pak, apa tidak ada kekeliruan di sini" Saya jurusan IPA. Bukankah lebih tepat
kalau lomba sejarah diikuti oleh anak jurusan IPS?" Aku duduk tegak di kursiku
dan berusaha meluruskan fakta aneh ini.
"Oh tidak, tidak. Ini sudah dipertimbangkan masak-masak. Olimpiade ini baru
pertama kali diadakan pada tingkat Jawa-Bali. Sebelumnya hanya setingkat
Jawa Tengah. Jadi, sekolah kita harus yakin bahwa siswa-siswa yang nanti maju
bertempur pada lomba itu benar-benar kompeten. Dan saya yakin dengan
semua prestasi gemilang yang pernah kamu raih, sekolah kita akan menjadi
juara lomba ini." Pak Supeno tampak lebih yakin daripada sebelumnya.
Senyumnya lebih lebar, menyerupai seringai.
Aku bersandar lagi di kursiku. Sepertinya tidak ada gunanya lagi membantah.
Tapi tadi aku mendengar beliau menyebutkan "siswa-siswa". Berarti bukan
hanya aku yang ikut lomba ini" Lalu, kenapa hanya aku yang sekarang duduk di
sini" Aku menegakkan tubuhku lagi, lalu menatap Pak Supeno dengan penuh
hormat. "Mmm... Kalau saya tidak salah dengar, Bapak mengatakan 'siswasiswa yang maju pada lomba ini'?" Aku merendahkan suaraku.
"Oh iya, saya hampir lupa kalau kamu tidak menanyakannya." Beliau tersentak
dan tertawa-tawa aneh lagi. Aku hanya menyipitkan mata dan berusaha
terlihat ikut gembira. Anggap saja setiap "kelupaannya" adalah karena beban
pekerjaan yang melebihi kapasitas memorinya.
"Lomba ini diadakan secara beregu. Setiap regu terdiri atas dua orang. Dan
kamu akan memilih pasangan kamu sendiri dari calon-calon yang diajukan
beberapa guru pada saya. Ini daftar nama dan foto mereka." Pak Supeno
membuka mapnya, memutarnya, lalu menyodorkannya padaku.
Aku melihat ke dalam map itu dan mengamati satu per satu wajah calon
"pendampingku". Ada enam orang, lima di antaranya pernah bersama
denganku dalam beberapa lomba perorangan sebelumnya. Tapi keanehan luar
biasa terjadi ketika aku melihat foto dan nama calon keenam yang tercantum
di sana. Steven"! Bagaimana mungkin" Dia baru hadir di sekolah ini kurang lebih dari
seminggu dan sudah terpilih untuk mengikuti lomba besar setingkat Jawa-Bali"
Tidak mungkin! Ini pasti salah ketik!
"Mmm... Pak, kalau saya boleh tau... Mmm..." Aku sedikit ragu melontarkan
pertanyaanku. "Ini... benar Steven Williams?" Aku memutar map itu lagi sambil
menunjuk foto Steven di sana.
Pak Supeno melongok, melihat foto yang kutunjuk, kemudian tersenyum lebar
lagi. "Iya, Steven Williams. Saya yang memilihnya." Dia bersandar pada kursi
besarnya yang terlihat empuk dan nyaman.
Alisku berkerut. Aku menelan ludah, memberanikan diri bertanya lagi. "Tapi
dia baru ada di sekolah ini kurang dari seminggu. Mmm... Maksud saya,
bagaimana Bapak tahu bahwa dia... cukup kompeten mengikuti lomba ini?"
Aku mencoba menyampaikan maksudku sehalus mungkin, menghindari
kemungkinan Pak Supeno tersinggung karena aku meragukan pilihannya.
Pak Supeno tersenyum lagi padaku. Dia seperti tidak sabar mengatakan
kalimat-kalimat yang sudah lama tersimpan dalam benaknya. "Satu-satunya
alasan Steven diterima di sekolah ini pada pertengahan semester akhir seperti
ini adalah karena prestasinya yang luar biasa. Saya pasti rela memberikan
beasiswa penuh bagi siswa secerdas dia." Wajahnya berbinar-binar. Dia
mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekatiku, hingga aku bisa mencium
bau parfumnya yang sangat tajam.
Aku tersentak sedikit, tapi kupendam. Apakah benar Steven sepandai itu" Aku
pikir cowok playboy seperti dia tidak mungkin memiliki otak encer seperti yang
dijelaskan Pak Supeno. Tapi kalau tersnyata itu benar, mungkin aku harus
memberi pengecualian untuknya.
Aku mengangguk-angguk. Pak Supeno tampak luar biasa puas melihatku
memercayai setiap ucapannya, kemudian menarik tubuhnya lagi, bersandar
pada kursinya. "Saya memberi kamu kesempatan untuk menyeleksi calon-calon itu sepulang
sekolah nanti, bersama Bu Anita. Jadi, silakan setelah ini kamu temui beliau
untuk membicarakan sistematika pelaksanaan seleksi nanti. Untuk
pendalaman materi lomba, akan diadakan setiap pulang sekolah, juga bersama
beliau. Apakah ini bisa dimengerti?" Pak Supeno menambahkan lagi dan
menarik map tadi lalu menutupnya. Aku hanya mengangguk-angguk, mencerna
setiap kata darinya. "Baik. Kalau begitu, kamu boleh pergi. Saya harap kali ini ada satu piala lagi
yang bisa kamu sumbangkan untuk sekolah ini, Ame. Selamat berjuang!" Pak
Supeno berdiri dan mengulurkan tangannya padaku. Aku pun mengikuti
gerakannya, berdiri dan menyambut tangan itu, kemudian permisi keluar dari
ruangannya. Aku menarik napas, memutar bola mata, dan mengacak-ngacak rambutku,
mencoba memikirkan bagaimana cara memenangkan lomba dengan hafalan
luar biasa banyak itu, hanya dengan persiapan kurang dari tiga hari" Ini tidak
akan mudah. *** Kringgg! Bel pulang sekolah berbunyi. Sudah saatnya aku harus bertemu seluruh "calon
pendampingku" dan memilih satu di antara mereka untuk bersanding
denganku pada lomba sejarah besok lusa. Ketika tadi pagi aku menemui Bu
Anita, dia sudah menyiapkan satu pertanyaan analisis untuk mereka berenam.
"Jelaskan bagaimana perkembangan politik mengubah tata hidup masyarakat
dan menjadi patokan perkembangan masyarakat negara tersebut!" Ya, persis
seperti itulah pertanyaannya. Aku menelan ludah ketika membacanya.
Bagaimana mungkin aku bisa memilih siapa yang paling kompeten dari mereka
berenam jika aku sendiri tidak bisa menjawab pertanyaan itu dengan tepat"
Tapi, tentu saja aku tidak mengungkapkannya. Menurutku, walaupun aku tidak
menguasai bahan itu, aku masih bisa menilai seberapa cerdas dan maju logika
berpikir mereka dari jawaban yang mereka berikan. Lagi pula, Bu Anita juga
akan membantuku mengambil keputusan. Jadi, aku tidak perlu terlalu
mengkhawatirkannya. "Baik, sekarang di hadapan kalian ada selembar kertas berisi pertanyaan yang
harus kalian jawab. Kalian punya waktu satu menit untuk memikirkan jawaban
yang paling tepat dan setelah itu tuliskan poin-poin penting dari jawaban
kalian pada bagian kertas yang kosong. Waktu kalian untuk menulis, tiga menit.
Siap?" Bu Anita berdiri di hadapan para calon pendampingku sambil menatap
arlojinya. Dia berkata tegas dan lantang pada mereka. Mereka mengangguk
kompak ketika mendengar instruksi dari Bu Anita. "Baik, dimulai dari
sekarang." Bu Anita melihat arlojinya dan terus memperhatikannya agar semua
berjalan dengan baik dan jujur.
Aku juga memperhatikan mereka satu per satu dari tempat dudukku. Wajah
Ardi, Kevin, Andre, Ian, dan Riga berkerut-kerut ketika membaca soal itu, sama
sepertiku ketika pertama kali membacanya. Mereka juga tampak ragu dan
beberapa kali berhenti ketika menulis jawaban. Tapi tampak berbeda sekali
ketika aku melihat Steven. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan
kebingungan, kepanikan, atau semacamnya. Dia tampak tenang dan gerakan
tangannya tidak terputus ketika menuliskan jawaban. Aku tidak bisa
melepaskan tatapanku darinya. Entah bagaimana, aku mulai bisa merasakan
aura kecerdasannya yang luar biasa dari jarak lebih dari tiga meter ini.
"Stop!" Bu Anita mengejutkanku dan keenam calon itu. Mereka berhenti
seketika dan meletakkan alat tulis di meja, lalu duduk bersandar di kursi dan
mengembuskan napas panjang yang terdengar sangat jelas dari tempat
Beautiful Soul Karya Stefiani E.i di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dudukku. Aku tersenyum kecil ketika mendengar suara-suara yang hampir
serempak itu. Mereka dipaksa berpikir secepat dan serumit itu, pasti
melelahkan. "Kumpulkan." Bu Anita mengulurkan tangan dan meminta kertas
jawaban dari mereka. Satu per satu, mereka bergerak memberikan kertas itu
dengan pasrah. Hanya Steven yang terlihat lebih yakin. Dia sangat tenang dan
terlihat dingin seperti biasanya.
"Kalian tunggu di sini selama sekitar sepuluh menit karena segera setelah
seleksi ini berakhir, pelatihan akan segera dimulai. Bagi siapa pun yang terpilih,
hasil tidak dapat diganggu gugat. Mengerti?" Bu Anita sekali lagi memandang
mereka dengan tegas dan mengambil beberapa langkah mundur, mendekati
kursiku. Setelah mendapat jawaban dari para calon itu, dia kemudian berbalik
dan memberiku kode untuk mengikutinya.
Kami berdua berjalan keluar ruangan dan setelah memastikan pintu ruangan
tadi tertutup rapat kembali, Bu Anita menyerahkan tiga kertas padaku: milik
Riga, Ardi, dan Andre. Dia memintaku membacanya dan memilih satu yang
paling baik. Aku membacanya dengan saksama. Secara garis besar, mereka menulis
tentang politik yang memengaruhi ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lainlain. Yah, jujur saja, jawaban mereka tidak ada yang memuaskanku. Tapi, dari
segi logika berpikir yang maju, aku memilih jawaban Andre. Dia menambahkan
mengenai politik dan ideologi yang tidak terpikir olehku.
"Ame, sepertinya saya sudah menemukan pemenangnya." Bu Anita berbisik
padaku ketika mataku masih terpaku pada kertas milik Andre. Aku mendongak
kemudian menatapnya dengan tatapan bertanya.
"Steven Williams." Bu Anita melihatku, tersenyum, kemudian menyodorkan
kertas milik Steven padaku. Aku mengerutkan alis dan menerima kertas itu,
lalu membacanya perlahan-lahan. Tulisan tangan Steven tidak buruk, tapi tidak
bagus juga. Yah, bisa dibilang standar untuk ukuran anak cowok.
Di kertas hanya tertulis dua kalimat: "Bukan politik yang mengubah hidup
masyarakat, melainkan masyarakat yang menyebabkan perubahan politik.
Bukan politik patokan perkembangan masyarakat, melainkan patokan yang
dibuat masyarakat sendiri untuk membatasi perkembangan politik itu."
Aku tercengang ketika membacanya. Itu bukan hanya benar, tapi tepat dan
brilian! Bagaimana bisa aku tidak terpikir jawaban seperti ini" Dan bagaimana
Steven bisa memikirkannya hanya dalam empat menit" Apakah yang ada di
dalam kepalanya itu benar-benar hanya susunan saraf normal tanpa pengaruh
mutasi atau semacamnya"
Ternyata benar, Steven memang harus menerima pengecualian. Terlepas dari
kebiasaannya mempermainkan cewek-cewek, dia memang dianugerahi otak
brilian. Bahkan mungkin kemampuanku sama sekali tidak ada apa-apanya
dibandingkan dia. Ya, aku membutuhkan dia dalam lomba ini.
"Saya sepakat. Jawaban Steven di luar dugaan." Aku mengangguk setuju dan
tersenyum lebar pada Bu Anita. Beliau juga mengangguk setuju, kemudian
memberiku kode untuk masuk ke ruangan itu lagi, mengumumkan siapa yang
memenangkan seleksi kali ini.
"Saya tidak sabar ingin segera memulai pelatihan ini bersama kamu dan
Steven." Bu Anita tersenyum simpul dan berbisik padaku, lalu membuka
handel pintu ruangan yang berisi enam siswa yang sekarang menunggu dalam
hening itu. Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Bu Anita.
Pikiranku melayang dan tidak lagi di sana.
Steven Wiliams. Satu kejutan lagi sejak kehadiranmu. Perlahan tapi pasti, kamu
mulai masuk dalam sela-sela pikiranku. Entah setelah ini, kejutan apa lagi yang
kamu tawarkan. *** "Oke! Sekali lagi selamat bagi kalian yang terpilih." Bu Anita mengulurkan
tangan pada kami dan tersenyum lebar. Dia tampak puas dengan hasil seleksi.
"Baik, sekali lagi saya ulangi, lomba sejarah ini diadakan secara beregu dan
kalian berdua tentu saja menjadi satu tim. Pendalaman materi akan diadakan
setiap sepulang sekolah. Memang waktu kita sangat singkat, tapi saya harap ini
akan memberikan manfaat besar bagi kalian. Saya akan memberikan informasi
dasar, sedangkan pengetahuan umum, silakan kalian mencari sebanyakbanyaknya dari sumber lain. Cukup jelas?" Bu Anita mondar-mandir
mengelilingi kami berdua dan berhenti ketika kalimatnya berakhir. Dia
tersenyum. "Maaf, tapi bisakah pelatihan ini diadakan di ruangan lain" Saya tidak bisa
berkonsentrasi dengan baik di sini." Steven yang sejak tadi memperhatikan
gerak-gerik Bu Anita, kini menatapnya lurus-lurus untuk menyampaikan
maksudnya. Steven benar. Kami duduk di ruang guru yang sempit dan dipenuhi buku-buku.
Ditambah lagi, banyak orang keluar masuk ruangan ini sambil kadang-kadang
bertanya, "Lomba ya?" Aku juga tidak bisa berkonsentrasi dengan baik di sini.
"Saya baru saja ingin mengatakannya, bagaimana jika pelatihan ini kita adakan
di rumah saya" Dengan pertimbangan, mungkin akan lebih memudahkan kita
karena semua buku ini milik saya, bukan milik sekolah. Tapi, itu pun kalau
kalian tidak keberatan." Bu Anita mengangkat pundaknya dan tersenyum pada
kami. "Rumah saya tidak jauh dari sini kok, hanya beberapa blok."
Aku dan Steven langsung mengangguk setuju. Kemudian Bu Anita mengulurkan
buku-buku tebal yang dibawanya tadi pada kami. Aku menelan ludah ketika
menerimanya. Benarkah harus kulahap semua ilmu ini dalam dua hari"
*** "Kenapa pindah ke Semarang?" Steven bertanya padaku di sela-sela istirahat.
Aku masih terfokus pada makanan di tanganku, jadi tidak terlalu memikirkan
pertanyaannya. "Memangnya kenapa?" aku balik bertanya.
Bu Anita memesankan pizza untuk menemani kami belajar, dan aku langsung
memilih pizza ber-topping keju. Entah kenapa perutku meronta-ronta dan
sangat mendambakan keju. "Aku bertanya, kenapa kamu pindah dari Padang ke Semarang?" Steven
meneguk Coca-Cola-nya. Dia akhirnya mengalihkan pandangannya dari buku di
tangannya, dan menatapku.
"Ooh... Yah, aku cuma pengin coba mandiri. Dan Semarang seperti pilihan yang
tepat. Aku nggak terlalu suka hiruk pikuk Jakarta-Bandung. Lagi pula,
kriminalitas di Semarang nggak terlalu tinggi. Lebih cocok bagi perantau
sepertiku." Aku selesai mengunyah potongan terakhir pizza-ku lalu meneguk
habis A&W-ku. "Awalnya Mama menyuruhku tinggal bersama Tante di
Semarang, tapi rumahnya terlalu sempit. Anak tanteku ada lima. Jadi aku lebih
suka kos. Paling-paling sebulan sekali Tante menengokku."
Perutku sudah penuh. Sekarang aku bisa memaksa otakku lagi untuk menerima
semua materi menjemukan itu.
"Kalo kamu, kenapa ikut keluargamu pindah ke Semarang" Bukannya lebih
enak di Amrik?" Aku melontarkan pertanyaant itu karena Steven tidak
menanggapi jawabanku tadi.
"Ada alasan tertentu," dia hanya menjawab singkat.
Gondok sekali aku. Padahal tadi ketika dia bertanya, aku menjawabnya
panjang lebar. Giliran aku yang bertanya, dia hanya menjawabnya dengan tiga
kata. Curang! "Oh iya, aku penasaran... cowok menyeramkan yang mencarimu di sekolah
tempo hari, siapa?" tanyaku.
"Oh. Mereka suruhan orang-orang yang mencari papaku. Soal bisnis. Kamu
pasti nggak ngerti," ujarnya, ketus. Dasar cowok aneh, huh!
Tapi, setelah aku pikir-pikir, kenapa Steven bisa tahu aku dari padang" Kenapa
dia juga bisa tahu papaku orang Belgia" Bagaimana dia bisa tahu semua itu
hanya dalam tiga hari bersekolah"! Lagi-lagi dia membuatku bergumul dengan
pikiranku sendiri. *** Asal kalian tahu, selama dua hari menjalani pelajaran tambahan, aku tidak
pernah kekurangan makanan. Bu Anita selalu menyediakan camilan enak untuk
menyuplai otak kami yang diperas. Dan selama dua hari itu pula, aku
menghabiskan hari bersama Steven. Dia bahkan mengantarku pulang ke
tempat kosku untuk mandi dan berganti pakaian.
Sepagian penuh di dalam kelas dan sedari siang sampai menjelang malam,
kami di rumah Bu Anita. Tanpa sadar aku mulai bisa mengenal kepribadian
Steven. Cowok itu cuek, dingin, cerdas, dan tidak banyak bicara. Baginya,
setiap kali menggetarkan pita suara, haruslah disertai alasan penting, gawat,
atau darurat. Di luar it u, jangan harap dia akan melirikmu sekali pun.
Tapi bagiku itu tidak masalah. Aku lebih cocok dengan orang yang spontan, to
the point, dan tidak suka berbasa-basi. Dan anehnya lagi, di dekat Steven, aku
selalu merasa nyaman. "Saya minta maaf karena kalian tidak bisa belajar di rumah saya hari ini. Saya
harus membawa ibu saya ke rumah sakit untuk general check up rutin. Tidak
mungkin saya membiarkan dia melakukannya sendiri karena usianya yang
sudah renta. Apakah kalian keberatan dengan ini?" Bu Anita memandang kami
berdua bergantian. Dia terlihat sangat merasa bersalah.
Kami berdua berada di salah satu kafe di pusat kota yang tidak terlalu ramai
pengunjung. Rumah Bu Anita tidak bisa digunakan karena ibunya butuh
istirahat, dan akan sangat mengganggu jika kami belajar di sana.
Aku tersenyum pada Bu Anita, mencoba menenangkannya. "Nggak, sama
sekali nggak, Bu. Semua bahan dasar sudah selesai dan sekarang giliran kami
belajar sendiri tentang informasi-informasi umum. Bu Anita nggak perlu
merasa bersalah. Oke?"
"It's oke." Steven hanya menjawab singkat, kemudian tersenyum kecil. Aku
melirik senyum tulus di wajahnya.
Bu Anita mulai mengendurkan saraf-sarafnya yang semula tegang, lalu
tersenyum. "Kalau begitu, saya permisi dulu. Saya harus buru-buru ke rumah
sakit. Good luck untuk kalian." Bu Anita menyalami kami sebelum melangkah
cepat keluar kafe dan menghilang.
Aku menarik napas panjang dan bersandar pada kursi, lalu melepas
kacamataku dan memijat-mijat tulang hidungku yang pegal. Kepalaku sakit,
rasanya seperti dijepit begitu kuat. Pelajaran tambahan selama dua hari ini
benar-benar melelahkan. Aku tidak yakin bisa memenangkan lomba ini. Tapi
Steven sempat meyakinkanku bahwa aku mampu. Yah, walaupun itu
diucapkannya dengan tak acuh, "Jangan membatasi diri sendiri hanya karena
pikiranmu tidak mampu!" Yah, seperti itulah kira-kira usahanya meyakinkanku.
"Kita lanjutkan di rumahku. Banyak buku yang perlu kamu baca." Steven
membereskan buku-buku di meja kafe, kemudian menarik tanganku,
melangkah keluar kafe. Aku belum sempat mengatakan apa pun, ketika sadar
aku sudah berada di dalam mobilnya.
Terpaksa aku menyetujui ajakannya kali ini. Lagi pula, di kamar kos-kosanku
tidak ada buku-buku penunjang yang bisa kubaca.
*** Kini aku berada di ruang belajar Steven yang luar biasa luas dan berisi bukubuku yang aku pun tidak pernah terpikir untuk membelinya. Rak-rak buku
ditata rapi di seluruh dinding ruangan. Satu sisi dinding dihiasi white board
yang cukup besar walaupun tidak sebesar yang ada di kelas. Di sisi lain ada
seperangkat komputer lengkap hingga scanner dan joystick, serta satu kulkas
pintu ganda yang berisi makanan-makanan menggiurkan. Kalau ruang
belajarnya saja semewah ini, bisa kalian bayangkan seberapa mewah rumah
Steven. Mulutku bahkan menganga lebar ketika masuk ke rumahnya.
"Ini buku yang perlu kamu baca." Steven menyodorkan buku setebal kira-kira
750 halaman padaku. Aku menelan ludah ketika melihat buku itu. Mataku
langsung pedih ketika pertama kali membuka buku dan melihat tulisan di sana
dicetak dalam huruf yang sangat kecil.
"Aku harus cuci muka." Aku kembali mengedip, memperjelas pandanganku,
tetapi kabut di mataku tidak juga memudar. Akhirnya aku putuskan untuk tidak
memaksakan diri. Aku sudah mulai mengantuk dan kehilangan keseimbangan.
Mungkin sedikit air dingin untuk membasuh wajah akan memulihkan sarafku
yang kelelahan. Tapi kemudian, ketika berdiri, keseimbanganku benar-benar goyah dan aku
limbung ke belakang. Pandanganku juga tiba-tiba saja gelap dan napaku
sempat sesak. Aku pasrah saja jika kepalaku harus membentur lantai.
Tanganku juga tidak cukup kuat untuk menopang tubuh dengan baik. Kurasa
ini yang disebut pingsan.
"Hei!" Seseorang menangkap tubuhku, tepat sebelum aku membentur lantai.
Tangannya hangat menyentuh dahiku kemudian menggoyangkan pundakku,
berusaha menyadarkanku. Aku berusaha sekuat tenaga membuka mata dan
mengembalikan seluruh kesadaranku.
"Sori, aku kepeleset." Hanya itu yang mampu kukatakan, berbohong. Aku
nyengir dan mengedip-ngedipkan mata, berusaha menghilangkan kabut di
mataku. Kemudian, setelah merasa cukup kuat, aku bangun dari pangkuan
Steven dan duduk di lantai. "Thanks anyway," ujarku, tersenyum canggung
pada Steven, lalu membatalkan rencanaku untuk cuci muka, dan kembali
menarik buku tadi mendekat.
Steven diam saja. Dia hanya menatapku penuh arti. Aku tidak mampu
membalas tatapannya dan lebih memilih melihat deretan tulisan yang
ukurannya menyakitkan mata itu.
"Oh God, I can't stand with this. Kamu tidur dulu. Kantong matamu udah
segede bulan. Aku takut jadi segede matahari. Tidurlah!" Dia merebut buku itu
dariku lalu menyembunyikannya di belakang punggungnya.
"Aku nggak papa. Lagi pula, aku nggak mau tidur di sini. Aku mau tidur di
kamarku sendiri." Aku berkeras merebut kembali buku tadi.
"Jangan paksa aku, Ame." Steven terus saja menyembunyikan buku tadi dari
gapaian tanganku. "Lho, kok jadi aku" Jelas-jelas kamu yang maksa aku tidur." Aku berhenti dan
menatapnya kebingungan. Kenapa jadi aku yang dibilang memaksanya"
Aku melihat sepintas tangannya melemah, buku itu terlihat dari samping
pinggangnya. Secepat kilat tanganku berusaha meraih buku itu. Tapi refleks
Steven lebih bagus. Tubuhku oleng karena tidak siap dengan gerakannya.
Akhirnya aku jatuh menimpa tubuhnya.
"Aduh...," rintihku. Posisi jatuhku yang tidak enak membuat pinggangku
sempat berbunyi "kletek" tadi.
"Kamu ngapain sih, Ame" Kalo mau deket-deket nggak gini caranya dong."
Steven juga memegang pinggangnya dengan tangan kanan.
"Enak aja! Aku kan udah bilang, kasih aku bukunya, aku masih mau belajar.
Kamu sendiri yang ngotot nggak mau ngasih ke aku!" Aku menekan dahinya
lalu berusaha berdiri, merangkak mundur menghindari tubuhnya, dan duduk di
tempatku semula. Sekuat tenaga aku berusaha menyembunyikan detak jantungku yang tiba-tiba
berubah sangat cepat. Napasku pun jadi tidak beraturan. Dia membuatku
gugup. Tepatnya, dia cowok pertama yang berhasil membuatku gugup. Ada
yang tidak beres, aku menyimpulkan.
"Kan aku udah bilang kamu tidur aja, Ame. Apa susahnya sih tidur" Mana ada
orang yang dikasih enak malah minta susah" Aneh!" Dia juga bangun lalu
duduk di sampingku. "Biarin! Siniin bukunya! Aku mau belajar!" Aku membentaknya sambil
mengulurkan tangan meminta buku itu lagi.
Steven tidak menjawab. Dia sekilas menatapku, lalu menatap tanganku yang
terulur. Kemudian tanpa kuduga, dia menarik tanganku, mengalungkannya ke
lehernya, lalu kedua tangannya mengangkat tubuhku tanpa kesusahan sedikit
pun. Dia berdiri sambil menggendongku.
"Eh, lepasin! Aku mau nyelesaiin buku itu dulu! Kamu nggak usah sok khawatir
gitu. Turunin aku!" Aku meronta-ronta. Kedua tanganku sudah siap
mencekiknya, ya tentu saja hanya berpura-pura agar dia melepaskanku.
Dia berhenti melangkah. "Sok khawatir?" Sebelah alisnya terangkat sambil
menatapku. Dia terdengar sedikit kaget dan sedikit kecewa. Entah benar atau
salah, atau mungkin itu hanya perasaanku.
"Iya. Aku tahu kamu pura-pura khawatir." Aku membalas tatapannya lebih
angkuh, tidak mau kalah. Sejujurnya, aku sudah tidak kuat. Detak jantungku
berubah sangat cepat karena dia menatapku seperti itu.
"Hhh... Nanti juga kamu akan tahu semuanya." Dia kembali melangkah menuju
ruangan di samping ruang belajar, yaitu kamarnya.
Tahu semuanya" Tahu apa"
"Ven, aku harus..." Aku masih mencoba melawan ketika dia membaringkanku
di kasurnya dan menarik selimut menutupi tubuhku.
"Diam. Buku itu bagianku. Sekarang bagianmu adalah tidur. Aku nggak mau
partner-ku sakit besok. Tidurlah!" Dia berdiri seraya memandangku, lalu
dengan telapak tangan, dia memaksa menutup kelopak mataku yang masih
terbuka. "Hhh... Terserahlah. Kamu juga jangan kecapekan. Night." Aku memutar badan
lalu memunggunginya. Dia tidak menjawab. Aku mendengar langkahnya menjauhi kasurku, lalu dia menutup pintu kamar.
Beautiful Soul Karya Stefiani E.i di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku memutar badanku lagi menghadap pintu itu dan menyadari aku benarbenar sendirian. Aku menarik napas panjang lalu menghembuskannya
perlahan-lahan. Beberapa kali aku melakukannya hingga rongga dadaku terasa
sedikit longgar. Apa yang terjadi padaku" Kenapa aku beberapa hari ini tidak pernah bisa lepas
dari Steven" Apa yang salah" Lepas dari itu semua, kenapa hatiku terasa
hangat dan mudah menerima keberadaannya" Bertolak belakang dengan
Rama yang sudah setahun lebih mendekatiku, tapi aku belum bisa
menerimanya. Padahal aku tahu bahwa Steven brengsek dan suka
mempermainkan cewek. Apa yang salah pada otakku"!
Pintu kamar dibuka lagi. Aku cepat-cepat memejamkan mata dan memutar
badanku ke posisi tadi. Steven melangkah tenang masuk ke kamar lalu duduk di samping ranjangku.
Dia duduk di karpet, tidak di atas ranjang. Punggungnya bersandar pada
ranjang dekat tempatku tidur. Aku masih bisa mendengar dengan jelas suara
kertas yang dibukanya. Dia membuka buku itu. Di sana, di dekatku!
Dia tidak meninggalkanku, tapi juga tidak bermaksud kurang ajar padaku.
Kemudian, aku mendengar bunyi "Tit!" dan mengalunlah sebuah lagu.
"See if you can relate to this one.
Hope I'm not disturbing you.
Because you look into thought right now.
I don't mean to be rude 'cause this is normally not my style.
Can I take you out" If feel that if I don't ask chance will pass.
And I'll never see your face again,
I'll never see your face again, no.
You maybe thinking I am strange.
Not every single day, no, beauty comes my way, so
Do you believe in love at first sight
Tell me does that book that your reading
Tell the story of your life
Do you believe in love at first sight
Should I walk on by, turn a blind eye
To love, love at first sight
I could be the man for you
I can make all your dreams come true
Maybe I'm a fool For saying I'm in love with you
You may be thinking I am strange
Not every single day, no, beauty comes my way, ohhh
You say farewell I'll say so long Say goodbye I'll say you're wrong 'Cause here in my arms you belong
Aku tahu lagu itu. Love at First Sight, dinyanyikan oleh Blue. Lagu itu yang
mengantarku tidur malam itu.
Apa lagu itu ada hubungannya denganku" Apa dia sering mendengarkannya"
Entahlah, tapi, aku berharap mendengar jawaban "ya" atas pertanyaanku.
*** "Semua regu diharap mempersiapkan diri karena lomba akan segera dimulai!"
Panitia lomba membuka pintu ruangan yang sebelumnya terkunci rapat dari
dalam. Itu ruangan tempat babak penyisihan sampai babak final diadakan.
"Kalian sudah siap?" Bu Anita menepuk bahu kami. Kami menjawab dengan
anggukan yang cukup meyakinkan.
"Bagus. Kita sudah mempersiapkan lomba ini semaksimal mungkin. Sisanya
kita percayakan pada Tuhan. Kalian sudah berdoa, kan?" Bu Anita tersenyum
dan bertanya lagi. Kami berdua mengangguk lagi.
"Bagus. Semoga hari ini Dewi Fortuna bersama kita. Sukses untuk kalian." Bu
Anita menjabat tangan kami. Matanya memancarkan harapan besar pada kami
untuk memenangkan lomba ini. Kami membalas jabatan tangan Bu Anita.
Membawa pulang piala adalah targetku hari ini.
"Semua peserta diharap masuk ke ruangan" panitia lomba memberikan
pengumuman lagi. Dengan langkah pasti aku dan Steven berjalan ke dalam ruangan yang sudah
dipenuhi peserta dari berbagai SMA se-Jawa-Bali.
"Eh, lihat deh. Cowok itu cakep banget!" Seorang cewek memekik pada teman
seregunya ketika Steven melewati tempat duduk mereka.
Aku melirik mereka sedikit. Regu mereka terdiri atas dua orang cewek. Cantik,
manis, dan terlihat pintar. Tapi, aku tidak menyangka mereka senorak itu
ketika melihat Steven. Tidak bisakah mereka sedikit menyembunyikan
perasaan mereka" Bola mataku berputar melihat tingkah mereka. Kasihan
sekali, tidak pernah melihat cowok ganteng sepanjang hidupnya.
"Ih, iya bener. Gila... Keren bangeeeeet!!" Temannya menanggapi, sama
histerisnya. Steven tiba-tiba menggandeng tanganku. Dia bahkan tidak melirikku ketika
melakukannya. Langkahnya tetap tenang dengan sedikit senyum terulas di
bibirnya. "Lepasin! Dilihatin orang!" Aku panik, semua mata kini tertuju pada kami.
Sebenarnya mungkin pada awalnya hanya pada Steven. Tapi karena sikapnya
barusan, aku ikut jadi tontonan.
"Mereka punya mata dan aku punya tangan. So, what's the big deal?" Steven
tetap santai. Dia benar-benar tidak peduli dengan lingkungan sekitar yang
terus memperhatikannya. Mungkin dia sudah terlalu sering jadi pusat tontonan
orang seperti ini. Kenapa dia selalu bisa mengambil alih keadaan dan membuatku tidak mampu
melawannya" Kalau itu tangan Rama, pasti aku sudah berencana
mematahkannya. Tapi apa yang salah dengan "tangan Steven?" Aku baru
mengenalnya, tapi kenapa aku merasa nyaman sekali di dekatnya" Aneh, ini
benar-benar aneh! Steven menggandengku menuju tempat duduk yang telah disediakan bagi regu
kami, barulah setelah itu dia melepaskan gandengannya. Kemudian, dia
membenarkan tali sepatunya yang menurutku tidak ada yang salah di sana.
Entahlah, mungkin dia hanya ingin menimbulkan kesan keren" Dasar tukang
pamer! Sekitar sepuluh orang panitia memasuki ruangan lalu seseorang di baris paling
akhir mengunci pintu. "Selamat pagi dan selamat datang di kompetisi sejarah
tingkat SMA se-Jawa-Bali! Baiklah, langsung saja, kami punya beberapa
pengumuman yang perlu kalian perhatikan baik-baik. Yang pertama, dilarang
menggunakan alat komunikasi apa pun; yang kedua, babak penyisihan akan
berlangsung selama..." Dia membacakan semua peraturan lomba yang
sebenarnya sudah tercantum secara lengkap pada proposal lomba yang kami
terima kemarin. "Kamu takut?" Steven berbisik padaku. Kali ini, pertama kalinya dia berbicara
sambil memandangku. "Sedikit." Aku berusaha setenang mungkin. Ketika dia menatapku, aku lebih
tidak bisa fokus. Jauh lebih baik jika dia tidak berbicara sambil menatapku. Yah,
meskipun aku akan merasa tidak dihargai, tapi lebih baik daripada gugup
seperti ini. "Tenang. Kita pasti bisa." Dia tersenyum sedikit, kemudian mengacak-ngacak
rambutku. Terdengar jelas embusan napas kecewa dari fans dadakan bule
bertampang memesona ini. Aku pun hanya bisa membalas dengan senyuman berat hati.
"Baik, soal akan segera dibagikan beserta cara pengerjaannya."
Segera, seorang panita menyerahkan satu jilid soal pada kami. Kemudian,
Steven melepas staples kertas soal itu dan membaginya untuk kami berdua.
Aku membaca soal-soal itu sepintas dan merasa beruntung, tidak terlalu sulit.
Aku sudah membaca sebagian besar materinya. Dari 75 soal, tujuh puluh
lancar, sementara lima soal, entahlah.
"Kalian punya waktu tiga jam untuk menyelesaikan 150 soal tersebut. Dan
dimulailah dari... Sekarang!" Panitia menekan stopwatch tanda lomba dimulai.
Semua peserta langsung membolak-balik kertas soal. Aku dan Steven
berkonsentrasi penuh. Memang tidak terlalu sulit, tapi aku juga tidak
mengatakan itu akan mudah. Alis kami berkali-kali berkerut ketika membaca
soal yang butuh pemahaman tinggi sebelum mengerjakannya.
Di luar dugaanku, soal-soal ini banyak membahas tentang keadaan politik
zaman sekarang dalam kaitannya dengan sejarah. Sedikit sekali teori yang bisa
dengan mudah dijawab. Semuanya butuh penalaran. Beruntung sekali aku
punya Steven di sini. Dua setengah jam berlalu...
"Butuh bantuan?" Steven berbisik di samping telingaku. Dia sepertinya sudah
hampir menyelesaikan semua soal bagiannya. Sekali lagi, dia membuatku
merasa benar-benar bodoh.
"Iya, aku nggak bisa lima soal. Kamu gimana?" Aku menyodorkan kertas soalku,
lalu melongok melihat kertas soalnya. Tidak ada tanda-tanda soal yang tidak
bisa dia kerjakan. "Punyaku udah selesai. Hmmm..." Dia membaca soal-soal di nomor yang aku
lingkari sambil sesekali mengangguk-angguk. "Aku bisa ini." Cepat sekali
kemudian tangannya bergerak menuliskan jawaban soal-soal itu. Dia tidak ragu
sama sekali. Matanya bergerak lincah memindai tulisan di kertas soal dan
kertas jawabannya. "Sayang sekali aku bakal tetap cakep walaupun seharian kamu pandangin aku
seperti itu." Dia tertawa kecil, tangannya masih tetap menulis.
"Hahaha..." Aku tertawa dibuat-buat, lalu menarik kertas soal miliknya tadi
untuk melihat seperti apa soal yang dia kerjakan.
*** Dua puluh lima menit kemudian kami selesai mengerjakan semua soal...
"Selesai. Kita keluar sekarang?" Steven membereskan kertas-kertas jawaban
kami lalu meringkasnya ke dalam map yang telah disediakan dan diberi nama
regu. Aku mengangguk. "Oke."
Kami berdiri serempak setelah membereskan semua peralatan lalu berjalan ke
depan untuk mengumpulkan kertas jawabannya. Kami regu pertama yang
mengumpulkan jawaban. Masih tersisa lima menit, tapi regu lain benar-benar masih berjuang. Bukan
berarti aku tidak berjuang maksimal. Aku sudah memeriksa jawaban Steven
dan tidak menemukan satu pun kesalahan di sana. Steven pun sudah
memeriksa jawabanku dan tidak membuat perubahan. Kurasa semua itu sudah
cukup untuk menunjukkan usaha terbaik kami.
"Kalian boleh keluar setelah menandatangani ini." Panitia penjaga pintu
memberi kami daftar nama seluruh peserta yang disusun dalam kolom-kolom.
Kemudian, setelah kami selesai menandatanganinya, dia membukakan pintu
dan mempersilahkan kami keluar ruangan.
Bu Anita berdiri di dekat pintu keluar. Dia mondar-mandir seperti setrikaan.
Tangannya terlipat di depan dada dengan jemari yang terus membuat irama
seperti ketukan di sikunya sendiri. Dia terlihat lebih khawatir daripada kami. Itu
wajar karena lomba ini tanggung jawabnnya.
Begitu melihat kami melangkah keluar ruangan, dia langsung menyerbu.
"Gimana" Kalian bisa tadi?"
Steven mengangguk dan tersenyum. Aku pun melakukan hal sama. Napas Bu
Anita kembali teratur. Dia tampak sangat lega, kemudian tersenyum.
"Sekarang kita tunggu hasilnya sambil berdoa." Bu Anita mengajak kami duduk
di bangku dekat pintu tadi. Dia mengeluarkan botol air mineral dari dalam tas
lalu meneguknya banyak-banyak. Tampak jelas sekali jantungnya belum
berdetak dengan benar. "Eat this." Steven mengulurkan sekotak Forrero Rotcher padaku, cokelat
kesayanganku! Aku terpaku dan berkedip-kedip melihat cokelat itu, masih belum bisa percaya
bahwa itu benar-benar nyata. Sudah lama sekali aku tidak memakan cokelat
itu. Sebagai anak kos-kosan dengan uang pas-pasan, tentu aku lebih memilih
makan nasi daripada menghabiskan uang untuk cokelat karena itu tidak
mengeyangkan. "Buat aku semuanya?" Aku masih terus melihat kotak itu dan berharap Steven
akan mengiyakan pertanyaanku barusan.
"Sure." Dia lalu menyerahkan kotak cokelat tadi dan duduk di sampingku. Dia
mengeluarkan buku yang semalam diserahkan Bu Anita pada kami untuk
dibaca, kemudian langsung tenggelam di dalamnya.
Seorang panitia keluar dari ruangan dan menempelkan kertas karton putih
berukuran besar di depan pintu ruangan itu.
Pengumuman peserta yang masuk ke babak semifinal akan dilaksanakan pada
pukul 11.00 Dan babak semifinal akan dilaksanakan pada pukul 11.15.
Sementara itu, peserta dilarang masuk ke ruang lomba! Terima kasih.
Ttd Panitia Aku membacanya dengan saksama. "Jam 11.00" Berarti 30 menit lagi?" Aku
sedikit terkejut membaca pengumuman itu. Tidak kusangka hanya butuh 30
menit bagi mereka memeriksa jawaban berupa esai tersebut. Padahal, peserta
yang ikut banyak sekali. Steven mengangguk setelah melirik jam tangannya. Kemudian dia
memasukkan buku tadi dan mengeluarkan buku lainnya. Judul buku itu
menarik perhatianku. Penalaran Masyarakat Berpendidikan Rendah. Aneh
sekali judulnya! "Buku apa itu?" Alisku bertaut.
"Isinya pendapat masyarakat miskin tentang permasalahan yang terjadi di
sekitar mereka." Steven membuka buku di halaman yang telah dia beri
pembatas. "Siapa penulisnya?" Alisku berkerut, masih tidak bisa mengerti kenapa si
penulis mengangkat tema itu. Jarang sekali ada orang yang peduli dengan cara
pikir orang yang "tidak terpandang," apalagi orang miskin.
"Jessica Williams."
Aku melirik isi buku itu dan melihat banyak catatan yang Steven buat di
dalamnya. Jessica Williams" Itu pertama kalinya aku mendengar nama itu. Sepertinya dia
bukan penulis terkenal atau penulis yang menerbitkan banyak buku. Entahlah,
tapi aku yakin dia penulis yang cerdas.
*** Tiga puluh menit berlalu... Sudah jam 11.00.
Seorang panitia keluar dari ruang lomba dengan membawa gulungan kertas
karton dan isolasi hitam di tangannya. Dia membuka kertas itu lalu
menempelkannya di papan tulis yang tidak jauh dari tempat kami duduk. Aku
sontak berdiri untuk segera melihat apakah nama regu atau sekolah kami
tercantum di sana. Hanya akan diambil 10 regu dari 150 regu. Itu artinya,
peluang kami hanya sekitar 7% untuk masuk ke babak selanjutnya.
"Aku aja. Kamu tunggu di sini." Steven menahan tanganku ketika aku sudah
hampir berlari untuk melihat pengumuman itu. Dia kemudian berdiri,
merapikan seragamnya, lalu berjalan tenang ke papan tulis itu.
Aku menunggu dengan jantung yang berdetak semakin cepat setiap detiknya.
Pikiranku melayang ke mana-mana dan membayangkan hal yang buruk-buruk
tentang kemungkinan kami tidak lolos. Aku berusaha melawan pikiranku
sendiri, tapi sulit sekali melakukannya.
Steven sudah berjalan kembali. Sepertinya tubuh jangkungnya memudahkan
dia membaca pengumuman. "Tenang. Kita nomor tiga." Dia tersenyum sambil
mengacak-acak rambutku lagi. Dia kemudian melihat Bu Anita lalu
mengangguk kecil. "YES!" Aku memekik. Rasanya senang sekali bisa lolos ke semifinal. Ternyata
usaha kami tidak sia-sia. Dan aku pun terkejut karena bisa ada di posisi ketiga.
Itu artinya kami sudah mengalahkan 147 pesaing kami yang lain di babak tadi.
Tapi yah, tentu saja babak selanjutnya tidak lebih mudah.
Tapi berkat kecerdasan Steven, babak final berjalan dengan lancar, dan demi
Fortuna mengizinkan kami pulang membawa piala. Cowok itu benar-benar
keajaiban terbesar hari ini.
BAB 4 PERTANDINGAN TERSEMBUNYI "Awas!" Seseorang berteriak di belakangku. Cowok itu berusia kira-kira
sembilan tahun, seumuran denganku saat itu.
Aku tidak menyadari teriakan itu ditujukan padaku. Aku terus saja berjalan
terburu-buru dengan mata basah mencari mama-papaku. Aku hilang di tengah
Beautiful Soul Karya Stefiani E.i di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keramaian mal. "Awwasss!!" Teriakan itu menjadi lebih kencang dan terdengar mendekat
seirama dengan langkahku. Tertahan rasa penasaran untuk mengetahui siapa
yang terus berteriak di belakangku, langkahku tertunda, aku pun berbalik. Saat
itu juga, mataku membelalak karena melihat seorang anak cowok, yang
mungkin sekitar sepuluh senti lebih tinggi daripada aku, menubrukku dari
depan dengan tampang beringas. Aku bahkan tidak sempat berteriak ketika dia
menubrukku. Kami berdua terlempar jatuh ke lantai, tidak terlalu jauh dari
tempatku berdiri tadi. BRAKK!! Sebuah balok kayu sepanjang dua meter jatuh dari atas dan memantul-mantul
di lantai tidak jauh dari tempatku. Aku menatap nanar pada kayu itu. Tidak
tahu apa yang bakal terjadi jika balok itu jatuh di atas kepalaku, apakah
kepalaku atau balok itu yang retak.
Setelah beberapa menit terpaku, aku baru menyadari bahwa anak cowok yang
menolongku tadi masih tergeletak di lantai. Kemudian, karena aku yakin
mampu berdiri sendiri, aku mengulurkan tangan pada anak itu, menawarkan
bantuan. "Makasih udah ditolongin. Ayo berdiri, aku bantu." Aku tersenyum
padanya. Wajah anak itu khas Eropa atau Amerika, entahlah, aku tidak yakin. Tapi
wajahnya manis sekali. Matanya besar, hidungnya mancung, dan kulitnya
putih. "Nggak usah. Pergi aja, aku bisa berdiri sendiri." Dia membuang pandangan,
menolak melihat wajahku. Nada bicaranya ketus dan tidak menyenangkan,
sombong sekali, seperti tidak pernah diajarkan sopan santun.
"Kalo gitu kenapa belum berdiri" Aneh! Dibantu nggak mau, berdiri sendiri
nggak bisa." Aku mulai ketus. Dia masih saja tidak mau melihat wajahku.
Penampilan anak itu memang terlihat sangat kaya dan berkelas. Bagi anak
seumuranku, memakai kemeja putih, jas hitam, dan celana panjang putih sama
sekali bukan penampilan biasa. Sepatunya pun bermerek, entahlah, aku tidak
pernah melihat merek dengan lambang itu sebelumnya.
"Pergi!" Dia mengusirku lagi, lebih ketus dan kasar.
Mataku membelalak marah. "Sombong!" Aku kemudian menarik tanganku dan
berbalik. Ingin sekali memukulnya dengan sandalku. Memang benar dia sudah
membantuku tadi. Tapi wajahnya itu lho, membuatku kesal!
Sedetik sesudah berbalik dan hampir berjalan menjauh, aku segera
membalikkan badan kembali. Wajahku berubah pucat. Aku menelan ludah
yang terasa sangat panas melewati kerongkonganku. Darah! Aku melihat
banyak sekali darah merembes di celana panjangnya.
"Kakimu berdarah!" Aku tergopoh-gopoh mendatanginya. Kakinya tampak
terkulai lemah di lantai. Lalu dengan berani, tanpa berpikir panjang lebih
tepatnya, aku menarik celana panjangnya.
"ARGH!" Dia mengerang, tapi tidak menangis. Bibirnya sudah mulai putih,
mungkin karena kehilangan banyak darah. Wajahnya sempat memerah ketika
berteriak tadi, tapi kemudian kembali pucat.
"Kakimu kejatuhan kayu tadi! Kamu luka!" Aku histeris, tidak tahu harus
melakukan apa untuk mengatasi luka-luka itu.
Belum juga menemukan jalan keluar, kepalaku tiba-tiba pusing, pandangan
berputar, dan tubuhku melemah. Ini gejala yang sering kurasakan, terutama
ketika melihat darah. Inilah pertama kalinya aku mengetahui soal fobia darahku yang parah. Aku
jatuh, kepalaku membentur lantai, tanganku tidak sempat menahannya.
"Hei! Aduh, dia malah pingsan! Bangun!" Anak cowok itu berteriak
memanggilku. Dia menggoyang-goyangkan pundakku.
Aku mendengar protesnya, merasakan guncangan di tubuhku. Aku pun ingin
bangun. Tapi apa daya otakku menolak, tubuhku pun mendukung untuk tetap
tergeletak di sini. Mataku membuka dan menutup lemah sekali, merasakan
pandanganku mulai kabur. "Steven! Ya ampun Pak Maman mencari kamu ke mana-mana. Daerah ini
terlarang untuk dimasuki. Ayo sekarang kita pergi." Seorang pria berusia
sekitar empat puluhan mendatangi kami. Suaranya juga tidak kalah paniknya
denganku ketika melihat luka Steven tadi. Tapi, aku yakin dia tidak akan
pingsan sepertiku. "Bentar, Pak. Tolong bawa anak ini ke pusat informasi mal dulu, setelah itu kita
ke rumah sakit, kakiku sakit," anak tadi menjawab. Aneh sekali suaranya bisa
setenang itu, padahal darah di kakinya tidak mengatakan hal yang sama.
Bapak itu patuh begitu saja, tanpa mencoba melihat dulu keadaan kaki Steven.
Aku ingin membuka mulut dan memberitahu bapak itu bahwa luka di kaki
Steven butuh pertolongan segera. Aku juga ingin meyakinkannya bahwa
ketidaksadaranku hanya berlangsung sementara, aku pasti pulih secepatnya.
Tapi sekali lagi, semua itu hanya sebatas keinginan.
Aku berusaha menguatkan diri untuk mengangkat tangan dan melambai. Tapi
bukannya menyampaikan pesan yang ingin kusampaikan, aku malah terlihat
seperti anak yang minta digendong oleh papanya.
*** Mataku terbuka. Aku berbaring di kasur, tapi tanganku membentuk lambaian
tidak jelas di udara. Segera setelah sadar, aku menarik tanganku masuk ke balik
selimut lagi. Ingatan itu lagi. Steven... Steven... Steven" Steven"! STEVEN"!
Mataku membelalak dan aku langsung duduk tegak di kasur. Kepalaku
berdenyut-denyut karena gerakan yang terlalu cepat tadi. Otakku berputas,
napasku memburu, dan tanganku mencengkeram selimut.
Steven, ya aku yakin nama anak itu Steven! Mungkinkah..."
Ponselku berbunyi. Ada pesan masuk.
To: Ame Amore, aku tunggu kamu di luar sekarang.
From : Rama Aku membaca pesan itu lalu mendengus kesal. Kenapa dia harus selalu sukses
merusak hariku" Ini hari Sabtu, sekolah libur, dan aku ingin menghabiskannya
dengan bermalas-malasan di kamar. Tubuhku tidak cukup kuat untuk
bepergian. Aku masih kecapekan sejak perlombaan dua hari lalu. Sejak pagi
hingga siang, aku hanya menonton DVD yang aku beli beberapa waktu lalu,
dan berencana ingin melakukan hal yang sama hingga tengah malam. Tapi dia
tiba-tiba muncul dan menghancurkannya dengan pesan yang membuat
darahku naik ke ubun-ubun.
Dia selalu begini, tidak memberiku kesempatan menolak atau menerima setiap
tindakannya. Tidak sopan. Aku kan punya kebebasan!
Aku turun dari tempat tidur, masih dengan langkah kesal, masuk ke kamar
mandi. Otakku hanya setuju dengan mencuci muka dan menggosok gigi
sebelum keluar kamar. Rama bukan tamu spesial, aku tidak harus
membersihkan diri hanya untuk bertemu dengannya.
*** "Kenapa lagi?" Aku bersedekap.
Rama tidak berkedip ketika melihat kaus oblong berwarna biru muda, celana
pendek kedodoran berwarna abu-abu, dan sandal jepit yang ujungnya sudah
rusak karena sering kupotong-potong setiap kali tanganku gatal ingin berkreasi,
yang selalu berakhir bencana.
"Kamu belum mandi, ya, Me?" Suara Rama tercekat dan sedikit terbata-bata.
"Belom... Huahh..." Aku menguap, mengacak-acak rambut, lalu berusaha
memperjelas pandanganku pada wajahnya. Dia berdiri membelakangi sinar
matahari yang masih belum berubah oranye, membuatku kesulitan membuka
mata. "Ya udah, nggak papa. Kamu ikut ke rumahku, ya..." Rama bergerak selangkah
ke depan, berusaha meraih tanganku.
"Nggak!" Refleksku cepat, untung saja, sehingga bisa menghindari tangannya.
Mataku melotot dan menantang.
"Ikut. Aku nggak ngasih kamu pilihan lain." Rama memaksa, meraih tanganku,
dan menarikku masuk ke mobilnya. Aku sudah meronta, tapi tidak berguna.
"Buat apa ke rumahmu"!" Tubuhku menegang, mataku membelalak untuk
kesekian kalinya, dan suaraku tersekat di tenggorokan.
Rama sudah benar-benar gila. Bisa-bisanya dia memaksaku pergi ke rumahnya.
"Aku belum ngasih kamu hadiah karena menang lomba kemarin." Dia hanya
menjawab singkat dan langsung melajukan mobilnya meninggalkan koskosanku tanpa memedulikan bantahanku lagi.
Begitu sampai di rumahnya, Rama semakin memaksa, "Turun aja, aku bukan
mau ngenalin kamu ke mama-papaku kok. Tenang." Dia tersenyum dan terlihat
geli. Aku menatapnya penuh tanda tanya. Kalau memang hanya untuk sebuah
hadiah, kenapa harus di rumahnya"
"Nggak. Aku nggak berharap hadiah apa pun, apalagi kalau itu di dalam
rumahmu," aku menjawab ketus, membuang pandangan darinya, lalu melihat
ke luar jendela. Rumahnya besar, halamannya luas, serta ada beberapa mobil
mewah terparkir di sana. Tapi itu sama sekali tidak mengundang minatku
untuk masuk dan duduk di ruang tamunya.
"Amore, aku mohon sekali aja, kamu menghargai pemberianku. Please..."
Rama menyentuh tanganku. Bulu kudukku langsung berdiri. Aku menoleh dan
mendapati wajahnya sangat memelas, memohon padaku.
Hatiku tergerak, sedikit.
Benarkah selama ini aku sebegitu jahat padanya" Oke, Ame, mungkin kali ini
kamu harus menjadi malaikat untuk beberapa jam.
Aku menarik tanganku pelahan-lahan. "Jawab dulu, hadiahnya apa?" Alisku
terangkat sebelah, menatapnya menyelidik.
Sejujurnya, aku yakin Rama tidak mungkin berani merencanakan hal-hal buruk
padaku. Tapi setiap orang bisa saja gelap mata dan melakukan hal gila. Aku
hanya tidak mau hal konyol terjadi padaku karena tidak bisa menjaga diri.
"Bukan hadiah namanya kalo kamu tahu sekarang. Turun aja, nanti kamu juga
tahu sendiri." Rama tersenyum lalu turun dari mobil. Seperti biasa, dia
berputar untuk membukakan pintuku. Tapi kali ini aku sudah turun sebelum
dia melakukannya. Aku mengikutinya berjalan memasuki rumah itu. Dibanding rumah Steven,
rumah Rama jauh lebih besar. Ketika melangkah masuk, aku melihat banyak
sekali pelayan menyambut Rama dan mengenakan seragam khusus.
Apa-apaan ini" Kenapa harus semanja ini mempekerjakan banyak sekali
pelayan" Hedonis sekali!
"Oke, aku udah masuk. Now what?" Aku duduk di kursi yang dia tunjuk,
memandang sekeliling, dan tidak menemukan sesuatu yang spesial. Aku
menarik napas panjang dan dalam, entah kenapa kepalaku agak sakit.
Rama duduk di sampingku. Dia menepukkan tangan dua kali. Senyum masih
terulas jelas di bibirnya. Senyum itu entah mengapa terlihat seperti campuran
antara bangga, sedikit kuasa, pamer, dan yakin sekali bahwa dia tidak mungkin
gagal kali ini. Entahlah, aku benci senyum itu.
Tidak lama kemudian, seorang pelayan datang dengan membawa sekotak
besar Forrero Rotcher di kedua tangannya. Dia berjalan mendekat, lalu
memberikannya padaku. Tanganku tak kuasa menolak. Dengan luwes aku
mengulurkan tangan dan menerimanya. Mataku pun tidak bisa berbohong.
Aku suka sekali cokelat ini! Air liurku tergenang dan siap tumpah untuk bisa
merasakan cokelat terenak itu. Tapi lagi-lagi, aku tidak ingin menunjukkan
kelamahanku di depan Rama.
Aku mendongak, menelan air liurku seanggun mungkin, lalu menatap Rama
sekilas. "Thanks," kataku akhirnya, setelah berhasil menguasai diri.
"Masih ada lagi kok." Dia tersenyum lagi. Wajahnya tampak lebih bersemangat
karena melihatku tidak berdaya menolak hadiahnya.
Dia menepuk tangannya lagi, lalu disusul dengan masuknya pelayan yang
membawa jaket berwarna merah menyala yang langsung diterkam mataku.
Bagaimana bisa jaket itu di tangannya" Jaket berwarna merah yang penuh
dengan lambang Manchester United dengan desain ritsleting unik yang
pertama kali kulihat di Jogja, di counter Nike tepatnya. Aku sudah hampir
membelinya jika tidak sadar jatah uang makanku bulan itu tidak akan tersisa
jika benar-benar mengambilnya. Lama sekali aku menginginkan benda indah
itu! "Dari mana kamu tahu aku pengin itu?" Aku berbicara pada Rama dengan
mata masih menatap lekat jaket itu. Lagi-lagi aku tidak kuasa menolak
pemberiannya. Ini benar-benar bukan sikapku.
"Aku tahu semua tentang kamu, Amore..." Rama tertawa kecil. Dia kembali
menepukkan tangannya, lalu seorang pelayan masuk lagi dengan membawa
sepatu basket berwarna biru dengan bergaris emas dan perak. Itu sepatu
idamanku! Aku selalu menyempatkan diri untuk menengoknya di internet
setiap kali browsing, berharap harganya segera turun drastis, tapi sayang sekali
tetap saja mahal. Kini sepatu itu di hadapanku, di samping kakiku. Bertengger
sangat anggun di sana. Menggoda dan mengedipkan mata pada kakiku agar
segera mencobanya. Kakiku pun gatal ingin cepat-cepat memakainya.
Tapi kemudian otakku sadar, saat itu juga tubuhku terasa dua kali lebih panas,
seperti dibakar. Mataku berkedip-kedip beberapa kali, mencoba menyadarkan
diri. Aku berusaha mengatur napas agar kembali tenang. Tapi aku gagal.
Termasuk gagal menemukan alasan Rama memberikan semua barang-barang
ini untukku. Apakah hadiah menang perlombaan harus semewah ini"
Bukankah cukup dengan makan enak" Apakah... dia mencoba menyuapku"!
Aku masih berkedip, tidak bergerak. Tubuhku kembali kaku. "Kenapa kamu
ngasih semua ini?" aku mengucapkan kata demi kata dengan jelas dan tegas.
"Aku kan udah bilang ini hadiah menang lomba, Amor..." Rama tertawa kecil.
Aku berdiri, meletakkan semua barang-barang darinya di kursi, lalu
menatapnya tajam. "Jangan panggil aku Amor! Aku udah bilang ratusan kali,
aku nggak suka! Dan ini semua bukan hadiah menang lomba, Rama. Ini
namanya suap. Kamu mau pamer kekayaan sama aku"!" aku berteriak histeris.
Semua pelayan Rama yang tadi berada di sekitar kami, langsung mengambil
langkah seribu meninggalkan ruangan.
Rama menegang, tidak menduga respons yang keluar dariku akan seperti itu.
"Kamu ngomong apa sih Amore" Bukankah semua cewek suka diberi hadiah"
Lalu kenapa kamu..." Rama juga berdiri, tapi gerakannya lambat dan berusaha
mencegah gerakan tiba-tiba dariku yang mungkin saja membuatnya jatuh ke
lantai. "Kamu yang paling tahu apa maksudku! Dan untuk terakhir kalinya, aku
tegaskan, aku bukan cewek matre yang bisa kamu beli pake barang mahal!
Inget itu baik-baik!" aku berteriak lagi, kemudian berjalan menuju pintu keluar.
Kakiku berdebum meninggalkan Rama yang masih terpaku di tempatnya tadi.
Matanya hanya menatap kosong, mengiringi langkahku menjauh.
Tanganku terulur, ingin membuka pintu putih tinggi di hadapanku. Tapi
sebelum aku berhasil meraih, pintu itu didorong dari luar, membuat cahaya
sore yang mulai berubah oranye kemerah-merahan menembus masuk. Aku
mengernyit, kemudian mencoba melihat siapa yang masuk.
Beberapa kali berkedip, aku belum yakin siapa itu. Berkedip lagi, hatiku
melonjat kaget. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Aku putuskan
berkedip lagi. Hingga akhirnya menyerah bahwa mataku memang tidak salah.
Sosok di hadapanku pun melakukan hal yang sama. Saraf-saraf di wajahnya
menunjukkan dia masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya.
"STEVEN"!"
"AME"!" Kami berteriak bersamaan. Mata kami membelalak, tidak satu pun siap dengan
kehadiran masing-masing. Aku berdiri cukup dekat dengannya hingga bisa
menghirup aroma parfumnya yang mahal. Dia memakai kemeja putih dengan
tiga kancing teratas yang sengaja dibuka, celana panjang jins, dan sepatu kets
putih bersih. "Kamu kenapa bisa di sini?" aku bertanya lebih dulu.
"Rama bilang dia... lalu kamu..." Steven menggerak-gerakkan tangannya, tidak
menyelesaikan kalimatnya. Dia tampak berpikir keras.
Beberapa detik kemudian matanya tidak lagi menatapku kebingungan. Dia
kembali dingin dan tenang seperti Steven biasanya. Kemudian dia melanjutkan
langkahnya memasuki ruangan, lalu menutup pintu. Tangan kirinya bergerak
menyentuh pinggangku, memutar tubuhku kembali menghadap ke ruang tamu
Rama. "Ikut aku. Ada yang harus diurus." Dia menggandeng tanganku berjalan
menemui Rama, dan aku sama sekali tidak menolaknya.
Aroma tubuhnya, kehadirannya, dan berada di sekitarnya selalu membuatku
tidak bisa menguasai diri. Steven selalu berhasil mengendalikan pikiran dan
kehendakku. Ramuan apa sebenarnya yang dia minum sehingga membuatku
bodoh begini" Ayo, Ame, sadar! Dia orang yang harus kamu benci! Tarik tanganmu! Pikiranku
berjuang keras menyadarkanu.
Untuk apa" Bukankah tangan itu membuatmu merasa aman" Jangan dilepas!
Kini hatiku berteriak melawan.
Dan akal sehatku akhirnya menyerah pada perasaanku.
Beautiful Soul Karya Stefiani E.i di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa maumu?" Steven menatap Rama tenang, dingin, dan tajam. Aku berdiri di
belakang Steven, tangannya menahanku, dan melarangku berdiri di
sampingnya. Rama menatap kaget pada gandengan tangan kami. Kemudian matanya beralih
menatap Steven. Dia sempat tertawa kecil tadi.
"Mauku... Lepaskan tangan itu." Rama tertawa lagi. Dia mengambil Coca-Cola
kaleng di meja kecil didepannya, membukanya, lalu meneguknya.
Steven terdiam. Tangan kirinya menggenggam tangan kananku sedikit
melemah. Aku menyadari apa yang seharusnya kulakukan kemudian menarik
tanganku. Tapi anehnya, ketika aku melakukan itu, Steven justru melawan
tindakanku dan memperkuat genggamannya. Dia melirikku kemudian
menggeleng kecil, mencegahku melakukan itu lagi.
"Aku tahu apa maumu, Rama. Tapi kalau dugaanku benar, kamu gagal... Benar
kan, putra tunggal Stefanus Christian?" Steven terkekeh. Tawanya jelas sekali
dibuat-buat. Aku mengerutkan dahi. Bagaimana Steven bisa tahu siapa ayah Rama" Aku
yang sudah dua tahun lebih mengenal Rama saja tidak tahu, yaaa... walaupun
aku juga sebenarnya tidak ingin tahu. Tapi bukankah itu aneh" Steven baru
seminggu sekolah di Semarang dan sudah tahu nama ayah teman yang bahkan
tidak sekelas dengannya. "Aku belum gagal, Steven. Aku memintamu ke sini untuk mengakui siapa kamu
sebenarnya, putra tunggal John Williams." Rama terkekeh, persis seperti
Steven. Steven terlihat kembali tenang dan dingin, menatap Rama tajam. Rama pun
bergeming dan wjaahnya menegang.
Apa ini" Memangnya siapa Steven sebenarnya" Tapi aku memilih untuk
menahan diri dan membiarkan mereka melupakan kehadiranku.
Mendengarkan adalah jalan terbaik kali ini.
"Kamu tahu persis bisnis orangtuaku, Rama. Kamu juga tahu apa akibatnya
kalau ada orang awam masuk ke sana. Jangan main-main!" Steven
menggertak. Tulang pipinya mengeras. Tangannya menggenggamku semakin
kuat. Aku merasakan telapak tangannya mulai basah dan berkeringat.
Rama tertawa lagi. Dia kini meletakkan minuman kaleng itu di meja. "Kamu
yang pertama mencuri, Steven. Aku benci kalo ada orang masuk tanpa permisi
dan merusak semuanya." Rama berjalan mendekat ke arah kami. Dia
merapikan rambut yang sempat menutupi matanya, lalu kembali menatap
Steven. Steven berpikir sejenak. Dia kemudian melepaskan tanganku. Ketegangan di
wajahnya belum juga meluntur. "Mencuri sesuatu yang bahkan bukan
milikmu" Lagi pula, mungkin perlu aku ingatkan bagaimana kondisi bisnis
keluargamu sekarang, Rama..."
"Bisnis keluargaku baik-baik saja." Rama tertawa lagi.
"Apa kamu ingin aku membuatnya tidak baik-baik saja?" Steven memutus
kalimat Rama. Matanya masih menatap tajam dan tangannya mengepal.
Napasnya terlihat lebih cepat daripada sebelumnya.
Rama pun kini terdiam, dia tidak lagi tertawa seperti sebelumnya. Matanya
menunjukkan keterkejutan kecil. "Itu bukan poin penting di sini, Steven. Yang
ingin kutekankan adalah jauhi Amore. Dia nggak pantas untuk kamu!" Rama
membentak. Aku muncul dari balik punggung Steven. Menatap mereka bergantian dan
berdiri di antara mereka.
Aku sudah cukup lama menahan perasaan, berkecambuk dengan pikiranku
sendiri. Tapi kini aku sampai pada tahap "tidak sanggup". Aku butuh
penjelasan, terlebih ketika Rama menyebut namaku secara blakblakan
barusan. "Apa sih yang kalian omongan dari tadi" Jelasin sekarang!" aku berteriak.
Sedikit emosi, tegas, dan serius. Aku tidak mau lagi ada yang disembunyikan.
"Ame, sebenar... Aku takut kamu terluka kalo berdiri di situ." Steven
menyentuh lenganku lembut, lalu menuntunku sedikit menjauh dari tempat
pertengkaranku tadi. "Jangan terlalu dekat dengan kami, ya?" Steven
menatapku, membenarkan letak poniku tadi.
Mata itu, ya mata itu selalu berhasil melumpuhkanku. Aku menunduk. Emosiku
tiba-tiba menguap entah ke mana. Dia tampak, entahlah, mengkhawatirkanku"
Mungkin benar hanya perasaanku, tapi aku suka dengan perasaan seperti ini.
"Jauhi dia, Steven!" Rama berseru.
Steven yang sebelumnya menatapku lembut, menarik napas dalam-dalam
sebelum akhirnya berbalik. Aku ingin menjerit "hati-hati" tapi tidak bisa
melakukannya. Aku tidak ingin memancing pertengkaran mereka lebih seru di
antara mereka. "Keep dreaming, Rama." Steven tidak membentak kali ini. Dia hanya berkata
tegas dan dingin. Dia maju beberapa langkah dari tempatnya semula berdiri.
Perasaanku tiba-tiba saja tertusuk, sepertinya sesuatu yang buruk akan terjadi.
Aku sering mendapat firasat seperti ini. Kepalaku berdenyut lagi, lebih parah,
seperti ditekan benda berat dan membuatku tidak bisa bernapas. Mataku
mulai menerawang, buram, dan tidak jelas. Suara di sekitarku berubah menjadi
lebih mirip dengungan di telingaku.
"Kamu harus sadar siapa kamu sebenarnya, Steven!" Rama berkata tegas.
Aku mengerjap, rasanya semakin pusing. Jadi, aku memutuskan menutup
mataku dan mendengarkan pertengkaran mereka sejeli mungkin.
"Aku sepenuhnya sadar siapa aku. Apa ada yang salah dengan anak miliuner?"
Steven menjawab tenang dan tetap dingin seperti biasa.
"Salah! Jelas salah! Bisnis papamu itu kotor. Dia suka mencuri dari rekannya.
Itu sama saja kamu menarik Ame masuk dalam api. Itu yang kamu mau?" Rama
berseru. Di telingaku, suara itu terdengar lebih lebih daripada sebelumnya.
Entahlah, sepertinya pendengaranku sudah semakin memburuk.
"Terus gimana dengan kamu, Rama" Apa anak pengusaha bangkrut sepertimu
tidak akan membawa Ame masuk ke dalam api?"
Apa" Siapa yang bangkrut"
Keseimbanganku memburuk. Aku jadi limbung, tidak bisa berdiri tegak. Aku
membuka mata, namun semakin samar. Aku memang masih bisa melihat
Steven dan Rama berdiri dengan jarak tidak terlalu jauh. Tapi apa yang mereka
lakukan, entahlah. "Aku nggak akan pernah ngelepas dia buat kamu, Rama. Siapa pun aku, itu
nggak penting. Aku yakin bisa melindungi dia. Jadi, jangan coba mengancamku
dengan statusku lagi!"
BRUK! Aku jatuh ke lantai, kepalaku lagi-lagi terbentur. Aku sempat berusaha bangun.
Tapi tanganku bahkan tidak berdaya menopang tubuhku.
Setelah itu, aku merasakan tubuhku menyentuh kemeja lembut dan
kesadaranku benar-benar pudar.
BAB 5 TERNYATA Tubuhku panas sekali, kepalaku seperti tertindih, napasku pendek dan
terputus-putus. Mataku pedih dan sulit dibuka. Aku menangis, tidak kuat
dengan panas yang seperti membakar tubuhku. Sudah lama aku tidak sakit
parah begini. Terakhir kali karena kecapekan setelah mengikuti kompetisi kimia
tingkat SMA se-Jawa Tengah. Ditambah lagi, aku kalah dalam kompetisi itu.
Sehari setelahnya, aku tergelepar di kos-kosan selama dua hari dua malam.
Sekarang aku begini lagi, tubuhku terasa lemah dan tidak bisa digerakkan.
Seseorang menghapus air mata yang mengaliri pipiku. Tangannya hangat. Dia
juga sudah berkali-kali menyentuh dahiku dan mengganti handuk dingin yang
sekarang masih menempel di sana. Mungkinkah itu Rama" Tapi aroma
tubuhnya seperti... Steven" Mungkinkah itu Steven"!
Aku memaksa mataku untuk terbuka. Tapi aku sadar tubuhku masih terlalu
lemah. Tanganku juga masih belum kuat menggenggam. Akhirnya kuputuskan
untuk tidur lagi. *** Tubuhku kembali merasakan kaus katun yang beraroma sama dengan
sebelumnya. Tanganku terkulai dan terjuntai ke tanah. Dia menggendongku
lagi seperti sebelumnya. Tangannya kuat dan hangat.
Steven... semua itu sangat dekat dengan ciri-ciri Steven. Mataku masih
terpejam. Aroma tubuhnya membuatku nyaman dan kembali terlelap dalam
dekapannya. *** Mataku terbuka perlahan, mencoba membiasakan diri dengan cahaya terang di
atasku. Aneh sekali, bau ruangan ini tidak kukenali. Aroma tubuh yang
biasanya ada setiap aku sadar pun sekarang menghilang. Hatiku mencelos,
seperti kehilangan sosok yang sangat kuharapkan ada di dekatku sekarang.
Kepalaku masih sakit, tubuhku juga masih panas, tenggorokanku kering, dan
aku memaksa membasahinya hanya dengan menelan ludah. Bibirku juga bisa
kupastikan pecah-pecah dan terluka. Mataku terbuka sempurna, aku bisa
melihat ruangan itu dari sudut ke sudut.
Tidak asing, aku mengenali ruangan ini. Sepertinya aku juga pernah tidur di
tempat yang sama. Setelah sekian detik, aku akhirnya menyadari, ini kamar
Steven. Ternyata benar dia yang merawatku.
Aku berusaha duduk, tapi gagal.
Akhirnya, karena merasakan punggungku sudah panas, aku berbalik ke kanan,
memeluk guling di dekatku.
Aku mendengus kesal. Steven... meninggalkanku"
"A... me..." Ame"!" Pintu kamar dibuka dan seseorang berteriak memanggil
namaku. Aku tidak tahu siapa dia karena posisiku memunggungi pintu. Susah
payah aku berusaha memutar badan lagi dan melihat sosok yang berdiri di
pintu. Tapi ternyata dia tidak mengizinkanku melakukannya. Langkahnya cepat dan
lebar menghampiri tempat tidurku. Kini dia sudah membungkuk menyentuh
pipiku yang memerah dan panas.
"Kamu udah bangun?"
Steven, itu Steven! Dia terlihat sangat mengkhawatirkanku. Dia juga terlihat
sedikit pucat. Jangan-jangan dia nggak tidur karena merawatku"
Dia... baik sekali... Air mataku tiba-tiba saja mengalir dari mataku dan jatuh ke tangannya.
Matanya membelalak karena tangisku dan segera menjadi dua kali lebih panik
daripada sebelumnya. "Kenapa" Masih pusing?" Steven membenarkan letak poniku yang berantakan
lalu menyelipkan rambutku ke belakang telinga. Dia merendahkan tubuhnya
lalu berlutut di atas karpet.
Aku mengangguk, kepalaku memang masih berdenyut-denyut. Tapi aku
menangis bukan karena itu, melainkan karena dia baik sekali padaku. Belum
pernah ada yang sebaik ini padaku, kecuali Diva. Tentu saja akan berbeda jika
yang merawatmu adalah sahabatmu dan teman yang baru seminggu kami
kenal. "Ya udah, habis ini makan, terus tidur lagi. Besok kan hari Minggu, kamu bisa
istirahat total." Steven tersenyum, dia menyentuh pipiku.
Ya Tuhan, perasaan apa ini" Wajah Steven berubah raturan kali lebih tampan
daripada sebelumnya, membuatku tidak bisa menolak apa pun yang
dilakukannya. Tapi... benarkah bisnis ayahnya bisnis kotor" Apakah tadi aku
bermimpi atau otakku sudah rusak" Kalau begitu, benarkah aku harus
menjauhinya" Ya Tuhan... sadarkan aku kalau semua ini mimpi. Aku takut terlalu lama
bermimpi dan menolak bangun lagi.
"Tadi kamu berantem sama Rama?" Suaraku serak, aku memaksanya keluar
dari tenggorokan, melewati pita suara yang sepertinya meradang. Sedikit perih
sehingga aku harus memejamkan mata untuk menahan sakit.
"Ssstt... Orang sakit nggak boleh banyak omong. Makan dulu, aku ambilin."
Steven berdiri lalu melangkah keluar pintu. Memandang punggungnya dari
belakang seperti ini membuatku merinding.
Aku menarik selimutku lebih rapat, kamar ini masih terasa dingin meskipun
sudah diberi penghangat ruangan. Mungkin suhu tubuhku belum kembali
normal. Kemudian, otakku seperti diberi aliran listrik yang langsung mengalir
ke seluruh tubuhku. Ada yang aneh dengan pakaianku saat ini. Aku merasa
tidak pernah mengenakan pakaian senyaman ini. Aku menelan ludah, keringat
panik muncul di dahiku. Dengan sangat perlahan aku memberanikan diri
mengangkat selimutku, melongok ke dalam, dan melihat pakaian macam apa
yang menempel di tubuhku. Dan... piama" Kenapa pakaianku berubah jadi
piama"! Steven! Iya, pasti dia! Dasar cowok! Sekali brengsek tetap saja brengsek! Beraniberaninya dia memanfaatkan ketidaksadaranku lalu seenaknya mengganti
bajuku! Benar-benar cari mati dia!
Pintu kamar dibuka dari luar.
Aku yakin itu pasti Steven, karena segera tercium aroma makanan yang tadi
dijanjikannya. Tanganku mencengkeram sekuat mungkin bantal di sampingku
dan siap melemparkannya pada Steven.
"HIYATTT!" aku berteriak lalu segera melemparkan bantal tadi kuat-kuat.
Meleset! Tentu saja, tanganku masih sangat lemah. Bisa mengangkat bantal tadi saja
sudah bagus. "Kamu ngapain sih, Ame"!" Steven melotot dan terkejut melihat perbuatanku.
Dia berjalan di depan pelayannya yang membawa makanan.
"Berani-beraninya kamu mengganti pakaianku!" aku berteriak, tapi gagal lagi.
Suaraku malah terdengar seperti kucing yang akan melahirkan.
Steven kaget lalu mengangkat kedua tangannya, seperti orang bingung. "Mana
mungkin aku berani" Aku minta pegawaiku ke tempat kosmu buat ngambil
pakaian, terus mengganti pakaianmu, dan dia pe-rem-pu-an. Jelas"!"
Aku kaget dan malu luar biasa. Tuduhanku bodoh sekali dan tanpa alasan. Aku
tidak bertanya dulu dan langsung menyemproti dengan suksesnya, lalu diakhiri
dengan rasa malu besar-besaran seperti ini.
Aku menelan ludah, kalah telak.
"Oh, maaf." Hanya itu yang mampu kuucapkan.
"Udah, makan dulu. Kamu pucat." Steven berjalan setelah mengambil alih baki
makanan dari pelayannya, membawanya ke arahku, meletakkannya di meja
kecil, lalu duduk di sampingku.
Dia bahkan tidak menawariku untuk makan sendiri dan langsung menyuapiku.
Aku berkedip-kedip lagi. "Apa kamu terbiasa berkedip dua kali lebih banyak daripada orang normal per
menit?" Steven tertawa kecil. Dia kembali menyuapkan bubur itu ke mulutku.
Aku hanya tersenyum kaku menyadari kebodohan yang kulakukan lagi.
Malam itu, untuk kedua kalinya aku menginap di rumah Steven.
Aku sudah meminta diantar pulang, tapi dia selalu mengalihkan pembicaraan
setiap kali aku meminta, hingga akhirnya aku menyerah.
Aku tidur di kasur dan seperti sebelumnya Steven duduk di karpet sambil
bersandar di ranjang. Aku memejamkan mata, berpura-pura tidur.
Steven lagi-lagi menyetel lagu itu. Aku mulai menyukainya, liriknya indah.
Terdengar samar-samar kertas yang dibolak-balik, sepertinya Steven membaca
buku. Entah berapa lama, aku lalu mendengar buku jatuh. Steven ketiduran. Aku
perlahan membuka mata, mengintip, dan memastikan apakah dugaanku
benar. Dan... Steven memang tertidur. Wajahnya bertengger tepat di ranjang, di
dekat tanganku. Aku perlahan bangun, membuat sesedikit mungkin guncangan
pada kasur yang mungkin membangunkannya.
Mataku mengamati wajahnya, kemudian senyum mulai muncul di bibirku.
Wajah itu... benar-benar luar biasa.
Dia memang tidak terlihat seperti orang Indonesia. Wajahnya bule tulen. Tapi
dia benar-benar sempurna sehingga sukses membuatku buruk rupa di
dekatnya. "Udah sepuluh menit, Ame. Masih belum bosen?" Tiba-tiba bibir itu bergerak
dan mengeluarkan suara, lalu tersenyum.
Aku terkejut setengah hidup, jantungku seperti berhenti, napasku terengahengah. Aku segera kembali berbaring ke bantal, lalu menarik selimutku lebih
rapat. Mataku masih membelalak dan berkedip-kedip cepat sekali.
Steven bangun, berbalik menghadapku, lalu tersenyum lagi. Kali ini aku
memejamkan mata serapat mungkin, berharap saat membuka mata dia akan
menghilang. Tapi sayang sekali, wajah cakep itu tetap saja di depanku saat aku
mengintip. Steven tertawa. "Kamu tahu nggak, kalo di Amerika, sesuatu pasti sudah
terjadi sekarang. Tapi sayang sekali ini Indonesia... Hahaha..." Dia tertawa jail.
"Sesuatu apa?" Alisku berkerut, mencoba berpikir. Aku pun memutar tubuhku
menghadapnya. "Astaga, otakmu harus dikuras, Steven!" kataku akhirnya
sambil mendorong jidatnya dengan jari telunjukku, setelah menyadari maksud
perkataannya.
Beautiful Soul Karya Stefiani E.i di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi tangan Steven cepat sekali menangkap jemariku, menggenggamnya, lalu
tangan kanannya bergerak menelusuri dahi dan leherku. Matanya berputar
ketika merasakan panas yang menjalari jemarinya.
"Kamu masih panas, Ame... Tidurlah." Wajahnya melembut, suaranya juga.
Matanya meredup dan terlihat sangat khawatir.
Aku hanya menggangguk kecil, mematuhi perintahnya. Dia kemudian
mematikan lampu kecil di samping tempat tidur.
"Good night, sweetheart," Steven mengucapkannya nyaris berbisik.
Namun, tanpa sepengetahuannya, telah terjadi perubahan besar-besaran
dalam hatiku ketika mendengarnya.
*** "Kita mau ke mana?" Aku menerima lemparan jaket dari Steven, memakainya,
dan menarik ritsletingnya hingga menutup leherku. Tubuhku masih belum kuat
benar dan bulu kudukku masih merinding jika terus bersentuhan langsung
dengan udara luar. "Pergi. Kamu butuh udara segar." Steven tidak melihatku. Dia sibuk
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 4 Semester Pertama Di Malory Towers Karya Enid Blyton Kaki Tiga Menjangan 22
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama