Ceritasilat Novel Online

Pertempuran Labirin 2

Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan Bagian 2


memohon yang lembut, mencoba membujuknya agar meminum nektar. Mungkin Clarisse pikir yang tadi
cuma bagian dari halusinasi Chris, tapi ... putra Poseidon" Chris tadi melihatku, tapi kenapa aku
mendapat firasat bahwa dia sama sekali bukan bicara tentang aku"
Dan kelembutan Clarisse"tidak pernah terpikir olehku bahwa dia mungkin menyukai seseorang; tapi
caranya menyebutkan nama Chris .... Dia sudah mengenal Chris sebelum dia membelot. Dia mengenal
Chris jauh lebih baik daripada yang kusadari. Dan sekarang Chris gemetaran di ruang bawah tanah yang
gelap, takut gelap, dan berceloteh tentang seseorang bernama Mary. Pantas saja Clarisse tidak mau
berurusan dengan Labirin. Apa yang terjadi pada Chris di dalam sana"
Aku mendengar keriut dari atas"seperti pintu loteng yang terbuka"dan aku berlari ke pintu depan.
Aku harus keluar dari rumah itu.
"Sayangku," kata Chiron. "Kau berhasil."
Annabeth berjalan masuk ke arena. Dia duduk di bangku batu dan menatap lantai.
"Jadi?" tanya Quintus.
Annabeth pertama-tama memandangku. Aku tidak tahu apakah dia mencoba memperingatkanku, atau
apakah tatapan di matanya cuma rasa takut semata. Lalu dia memusatkan perhatian pada Quintus. "Aku
mendapat ramalan. Aku akan memimpin misi untuk menemukan bengkel kerja Daedalus."
Tidak ada yang bersork. Maksudku, kami semua suka Annabeth, dan kami ingin dia mendapat misi, tapi
yang ini berbahaya sekali. Setelah aku melihat keadaan Chris Rodriguez, aku bahkan tak mau berpikir
soal Annabeth yang turun ke dalam labirin aneh itu lagi.
Chiron menggesekkan kaki kudanya ke lantai tanah. "Apa bunyi ramalan itu tepatnya, Sayangku" Katakatanya penting."
Annabeth menarik napas dalam-dalam. "Aku, ah ... yah, katanya, Kau akan masuk ke dalam kegelapan
labirin tanpa akhir ...."
Kami menunggu. "Yang mati, yang berkhianat, dan yang hilang pun kembali hadir."
Grover berseru girang. "Yang hilang! Maksudnya pasti Pan! Hebat!"
"Soal yang mati dan yang berkhianat," tambahku. "Tidak bagus, tuh."
"Dan?" tanya Chiron. "Selanjutnya apa?"
"Di tangan sang raja hantu kebangkitan atau kegagalanmu ditentukan." kata Annabeth, "Pertarungan
terakhir anak Athena menanti."
Semua orang melihat ke sekeliling, merasa tak nyaman. Annabeth adalah putri Athena, dan pertarungan
terakhir kedengarannya tidak bagus.
"Hei ... kita seharusnya tidak menyimpulkan begitu saja," kata Silena. "Annabeth bukan satu-satunya
anak Athena, kan?" "Tapi siapa sang raja hantu?" tanya Beckendorf.
Tidak ada yang menjawab. Aku berpikir tentang pesan-Iris yang di dalamnya kulihat Nico memanggil
arwah orang mati. Aku punya firasat buruk bahwa ramalan tersebut ada hubungannya dengan itu.
"Ada baris lain lagi?" tanya Chiron. "Ramalanya terdengar belum lengkap."
Annabeth ragu-ragu. "Aku tidak ingat tepatnya."
Chiron mengangkat alis. Annabeth dikenal akan ingatannya. Dia tidak pernah melupakan sesuatu yang
didengarnya. Annabeth bergeser di bangkunya. "Sesuatu soal ... Hancur beserta napas terakhir seorang pahlawan."
"Dan?" tanya Chiron.
Annabeth berdiri. "Dengar, intinya adalah, aku akan masuk. Akan kutemukan bengkel kerja itu dan
menghentikan Luke. Dan ... aku perlu bantuan." Dia menoleh kepadaku. "Maukah kau ikut?"
Aku bahkan tidak ragu-ragu. "Aku ikut."
Dia tersenyum untuk pertama kalinya setelah berhari-hari, dan itu membuat segalanya bernilai. "Grover,
kau juga" Dewa alam liar sedang menunggu."
Grover tampaknya lupa betapa dia membenci bawah tanah. Bait tentang "yang hilang" telah
sepenuhnya menyulut energinya. "Aku akan mengepak tampahan barang-barang yang bisa didaur ulang
untuk kudapan." "Dan Tyson," kata Annabeth. "Aku bakal memerlukanmu juga."
"Asyik! Waktunya meledakka barang-barang!" Tyson bertepuk tangan keras sekali sampai-sampai dia
membangunkan Nyonya O"Leary, yang sedang berleha-leha di pojok.
"Tunggu, Annabeth," kata Chiron, "Itu bertentangan dengan peraturan kuno. Seorang pahlawan hanya
boleh ditemani dua rekan."
"Aku perlu mereka semua." Dia berkeras. "Pak Chiron, ini penting."
Aku tidak tahu kenapa dia yakin sekali, tapi aku senang dia menyertakan Tyson. Aku tidak bisa
membayangkan meninggalkan Tyson. Dia besar dan kuat, dan jago mengutak-atik barang-barang
mekanis. Tidak seperti satir, Cyclops tidak keberatan berada di bawah tanah.
"Annabeth." Chiron mengedikkan ekornya dengan gelisah. "Pertimbangkan baik-baik. Kau akan
melanggar hukum kuno, dan untuk itu selalu ada konsekuensinya. Musim dingin lalu, lima orang pergi
dalam sebuah misi untuk menyelamatkan Artemis. Hanya tiga yang kembali. Pikirkan itu. Tiga adalah
angka keramat. Ada tiga Moirae, tiga Erinyes, tiga putra Olympia Kronos. Itu angka bagus yang kuat
kukuh melawan banyak bahaya. Empat ... ini berisiko."
Annabeth menarik napas dalam-dalam. "Aku tahu. Tapi kita harus mengambil risiko. Kumohon."
Aku tahu Chiron tidak menyukainya. Quintus memperhatikan kami, seakan dia sedang mencoba
memutuskan yang mana di antara kami yang bakal kembali hidup-hidup.
Chiron mendesah. "Baiklah. Mari kita tutup pertemuan ini. Para anggota misi harus mempersiapkan diri.
Besok saat fajar, kami kirimkan kalian ke dalam Labirin."
*** Quintus menarikku menepi saat sidang bubar.
"Aku punya firasat buruk soal itu," dia memberitahuku.
Nyonya O"Leary datang menghampiri, mengibaskan ekornya kegirangan. Dia menjatuhkan perisainya di
kakiku, dan aku melemparkan perisai itu untuknya. Quintus memperhatikannya melonjak-lonjak
mengejar perisai itu. Aku ingat apa yang Juniper katakan soal Quintus yang menelaah labirin. Aku tidak
memercayai Quintus, tapi saat dia memandangku, aku melihat kekhawatiran sungguhan di mataya.
"Aku tidak suka membayangkan kalian pergi ke bawah sana," katanya. "Yang mana pun dari kalian. Tapi
kalau kalian harus ke sana, aku ingin kau mengingat sesuatu. Labirin itu ada untuk mengakalimu. Labirin
itu akan mengalihkan perhatianmu. Itu berbahaya bagi blasteran. Perhatian kita mudah dialihkan."
"Anda pernah ke sana?"
"Dulu sekali." Suaranya parau. "Aku hampir saja kehilangan nyawaku. Sebagian besar yang masuk ke
sana tidak seberuntung itu."
Dia mencengkeram bahuku. "Percy, ingat-ingatlah apa yang paling penting. Kalau kau bisa melakukan itu,
kau mungkin bakal menemukan jalan. Dan nih, aku ingin memberimu sesuatu."
Dia menyerahkan tabung perak kecil kepadaku. Rasanya begitu dingin sehingga aku hampir
menjatuhkannya. "Peluit?" tanyaku.
"Peluit anjing," kata Quintus. "Untuk Nyonya O"Leary."
"Eh, makasih, tapi?"
"Bagaimana peluit ini akan bermanfaat di dalam labirin" Aku tidak seratus persen yakin akan ada
manfaatnya. Tapi Nyonya O"Leary anjing neraka. Dia bisa muncul saat dipanggil, tidak peduli seberapa
jauhnya dia berada. Aku akan merasa lebih baik, tahu bahwa kau menyimpan ini. seandainya kau benarbenar perlu bantuan, gunakan, tapi hati-hati, peluit ini terbuat dari es Stygian."
"Es apa?" "Dari Sungai Styx. Sangat sulit diukir. Sangat rapuh. Peluit ini tidak bisa meleleh, tapi ia akan hancur
waktu kau meniupnya, jadi kau hanya bisa menggunakannya sekali."
Aku memikirkan Luke, musuh lamaku. Tepat sebelum aku pergi menjalani misiku yang pertama, Luke
juga memberiku hadiah"sepatu ajaib yang dirancang untuk menyeretku ke kematianku. Quintus
tampaknya baik sekali. Peduli sekali. Dan Nyonya O"Leary menyukainya, yang pastinya berarti. Nyonya
O"Leary menjatuhkan perisai berlendir di kakiku dan menggonggong penuh semangat.
Aku merasa malu karena aku bahkan bisa-bisanya berpikir soal tak memercayai Quintus. Tapi tentu saja,
aku dulu pernah memercayai Luke.
"Makasih," kataku pada Quintus. Aku menyelipkan peluit beku itu ke dalam saku, berjanji kepada diriku
sendiri bahwa aku tidak akan menggunakanya, dan aku melesat untuk mencari Annabeth.
Selama aku berada di perkemahan, aku tidak pernah masuk ke dalam pondok Athena.
Pondok Athena berupa bangunan keperakan, tidak mewah, dengan tirai putih sederhana dan ukiran
burung hantu dari batu di atas ambang pintu. Mata oniks di burung hantu seakan mengikutiku saat aku
berjalan mendekat. "Halo?" Aku berseru ke dalam
Tidak ada yang menjawab. Aku melangkah masuk dan menahan napas. Tempat itu adalah bengkel kerja
bagi anak-anak pintar. Semua tempat tidur susun didorong merapat ke satu dinding seolah tidur tidak
terlalu penting. Sebagian besar ruangan dipenuhi bangku dan meja kerja serta seperangkat peralatan
dan senjata. Bagian belakang ruangan berupa perpustakaan besar yang disesaki gulungan tua dan buku
bersampul kulit dan bersampul kertas. Ada meja gambar arsitek dengan berbagai penggaris serta busur
derajat, serta beberapa model bangunan 3D. Peta-peta baju zirah digantung di bawah jendela, pelatpelat perunggunya berkilat diterpa matahari.
Annabeth berdiri di bagian belakang ruangan, membongkar gulungan-gulungan lama.
"Tok, tok, tok?" kataku.
Dia menoleh sambil terkesiap. "Oh ... hei. Aku nggak dengar."
"Kau nggak apa-apa?"
Dia mengerutkan kening ke arah gulungan ditangannya. "Cuma mencoba meneliti. Labirin Daedalus
besar sekali. Tidak ada hal yang sama dari setiap kisah. Peta-peta cuma mengarah dari antah berantah
ke antah berantah" Aku memikirkan apa yang dikatakan Quintus, bagaimana labirin mencoba mengalihkan perhatian. Aku
bertanya-tanya apakah Annabeth sudah tahu.
"Kita akan memecahkannya," janjiku.
Rambutnya telah terlepas dan terurai membentuk pirang kusut di sekeliling wajahnya. Mata kelabunya
kelihatan hampir hitam. "Aku ingin memimpin misi sejak umurku tujuh tahun." katanya.
"Haslnya bakalan hebat."
Dia menatapku penuh terima kasih, tapi kemudian menunduk, memandangi semua buku dan gulungan
yang telah dikeluarkannya dari rak. "Aku khawatir, Percy. Mungkin aku seharusnya tak memintamu
melakukan ini. Atau Tyson, atau Grover."
"Hei, kami teman-temanmu. Kami tidak mau ketinggalan."
"Tapi ...." Dia menghentikan dirinya.
"Apa?" tanyaku. "Ramalan itu?"
"Aku yakin ramalan itu tidak kenapa-napa," katanya dengan suara pelan.
"Apa bunyi baris terakhirnya?"
Lalu dia melakukan sesuatu yang betul-betul mengagetkaku. Dia berkedip untuk mengenyahkan air
mata dan mengulurkan tangannya.
Aku melangkah maju dan memeluknya. Perutku mulai mulas teraduk-aduk.
"Hei, nggak ... jangan khawatir." Aku menepuk-nepuk punggungnya.
Aku sadar sepenuhnya akan segalanya dalam ruangan itu. Aku merasa seperti bisa membaca cetakan
terkecil pada buku manapun di rak. Rambut Annabeth berbau bagaikan sabun lemon. Dia gemetaran.
"Chiron mungkin benar," gumamnya. "Aku melanggar peraturan. Tapi aku tidak tahu harus melakukan
apa lagi. Aku perlu kau di sana. Rasaya memang harus seperti itu."
"Makanya, jangan khawatir soal itu," aku berhasil berkata. "Kita pernah menghadapi banyak masalah
sebelumnya, dan kita memecahkannya."
"Ini beda. Aku tidak mau apa pun terjadi pada ... satu pun dari kalian."
Di belakangku, seseorang berdeham.
Rupanya salah satu saudara tiri Annabeth, Malcolm. Wajahnya merah menyala. "Eh, sori," katanya.
Latihan memanah sudah mulai, Annabeth. Chiron menyuruhku mencarimu."
Aku melangkah menjauh dari Annabeth. "Kami cuma melihat-lihat peta," kataku bodoh.
Malcolm menatapku. "Oke, deh."
"Beri tahu Chiron aku akan segera ke sana," kata Annabeth, dan Malcolm pun pergi terburu-buru.
Annabeth menggosok-gosok matanya. "Kau duluan saja, Percy. Lebih baik aku siap-siap untuk panahan."
Aku menggangguk, merasa lebih bingung daripada yang pernah kurasakan seumur hidupku. Aku ingin
lari dari pondok ... tapi tentu saja aku tidak melakukannya.
"Annabeth?" kataku. "Mengenai ramalanmu. Baris tentang napas terakhir seorang pahlawan?"
"Kau bertanya-tanya pahlawan yang mana" Aku tak tahu."
"Bukan. Sesuatu yang lain. Kupikir baris terakhir biasanya berima dengan baris sebelumnya"
pertarungan terakhir anak Athena menanti. Apa ada hubungannya"apa baris terakhir diakhiri kata
mati?" Annabeth menunduk memandang gulungannya. "Kau sebaiknya pergi, Percy. Bersiap-siaplah untuk misi.
aku"aku akan menemuimu besok pagi."
Aku meninggalkannya di sana, menatap peta-peta yang mengarah dari antah beranta ke antah beranta;
tapi aku tidak bisa mengenyahkan firasat bahwa salah seorang dari kami tak bakalan kembali hiduphidup dari misi ini.[]
BAB LIMA Nico Membeli Happy Meal untuk Orang Mati
Paling tidak aku tidur nyenyak semalam sebelum misi, benar, kan"
Salah. Malam itu dalam mimpiku, aku berada dalam kamar utama Putri Andromeda. Jendela-jendela terbuka,
menunjukkan laut yang diterangi cahaya bulan. Angin dingin berdesir di tirai beledunya.
Luke berlutut di permadani Persia, di hadapan sarkofagus emas Kronos. Diterangi cahaya bulan, rambut
pirang Luke terlihat amat putih. Dia mengenakan chiton Yunani dan bimation putih, semacam jubah
yang melambai ke bawah bahunya. Pakaian putih membuatnya terlihat kekal dan tidak nyata, seperti
salah satu dewa minor di Gunung Olympus. Kali terakhir aku melihaynya, dia patah tulang dan tak
sadarkan diri setelah terjatuh dengan parah dari Gunung Tam. Sekarang dia kelihatan sungguh sehatsehat saja. Hampir terlalu sehat.
"Mata-mata kita melaporkan kesuksesan, Tuanku," katanya. "Perkemahan Blasteran mengirimkan
sebuah misi, seperti yang Anda prakirakan. Bagian kita dari pertukaran itu hampir tuntas."
Sempurna. Suara Kronos bukannya bicara, tapi lebih seperti menusuk pikiranku dengan belati. Suaranya
dingin, dipenuhi kekejaman. Setelah kita memperoleh cara untuk menentukan arah, aku sendiri yang
akan memimpin baris depan.
Luke memekamkan matanya seolah tengah menyusun pemikirannya. "Tuanku, mungkin itu terlalu cepat.
Mungkin Krios atau Hyperion sebaiknya memimpin?"
Tidak. Suara itu tenang, tapi benar-benar tegas. Aku akan memimpin. Satu hati lagi akan bergabung
dalam tujuan kita, dan itu sudah cukup. Akhirnya aku akan bangkit sepenuhnya dari Tartarus.
"Tapi wujud Anda, Tuanku ...." Suara Luke mulai gemetar.
Tunjukkan pedangmu padaku, Luke Castellan.
Kekagetan membuatku terenyak. Aku sadar aku belum pernah mendengar nama belakang Luke
sebelumnya. Hal itu bahkan tak pernah terpikirkan olehku.
Luke mengeluarkan pedangnya. Mata pedang ganda Backbiter berkilau kejam"separuh baja, separuh
perunggu langit. Aku hampir terbunuh beberapa kali oleh pedang itu. Backbiter senjata yang jahat, bisa
membunuh baik makhluk fana maupun monster. Hanya itulah satu-satunya pedang yang kutakuti.
Kau bersumpah mengabdikan diri kepadaku, Kronos mengingatkannya. Kau mengambil pedang ini
sebagai bukti sumpahmu. "Ya, Tuanku. Hanya saja?"
Kau menginginkan kekuatan. Aku memberimu itu. Kau sekarang tak bisa disakiti. Sebentar lagi kau akan
menguasai dunia dewa-dewi dan makhluk fana. Apa kau tidak ingin membalaskan dendammu" Melihay
Olympus dihacurkan" Badan Luke gemetar. "Ya."
Peti mati itu terguncang, cahaya keemasan memenuhi ruangan. Kalau begitu persiapkanlah asukan
penyerang. Setelah pertaruhan selesai, kita akan bergerak maju. Pertama-tama, Perkemahan Blasteran
akan menjadi abu. Setelah para pahlawan yang merepotkan itu dilenyapkan, kita akan berbaris ke
Olympus. Ada ketukan di pintu ruang utama. Cahaya dari peti mati memudar. Luke bangkit. Dia menyarungkan
pedangnya, merapikan pakaian putihnya, dan menarik napas dalam-dalam.
"Masuk." Pintu terbuka. Dua dracaena merayap masuk"wanita ular dengan bagian bawah tubuh seperti hewan
melata alih-alih kaki. Di antara mereka berjalanlah Kelli, si pemandu sorak empousa dari orientasi murid
baruku. "Halo, Luke," Kelli tersenyum. Dia mengenakan rok merah dan dia terlihat luar biasa, tapi aku sudah
melihat wujud adlinya. Aku tahu apa yang dia sembunyikan: kaki yang tak sama, mata merah, taring, dan
rambut yag menyala. "Ada apa, Monster?" Suara Luke dingin. "Aku sudah memberitahumu suapa tak menggangguku."
Kelli merajuk. "Nggak sopan, deh. Kau kelihatan tegang. Bagaimana kalau kuberi pijatan bahu yang
enak?" Luke melangkah mundur. "Kalau kau punya sesuatu untuk dilaporkan, katakan. Kalau tidak pergilah!"
"Aku tidak tahu kenapa kau mudah sekali tersinggung akhir-akhir ini. kau dulu asyik buat diajak ngobrol."
"Itu sebelum aku melihat apa yang kau lakukan pada anak laki-laki di Seattle itu."
"Oh, dia tidak berarti apa pun bagiku," kata Kelli. "Cuma kudapan, sungguh. Kau tahu hatiku milikmu,
Luke." "Makasih, tapi nggak, deh. Sekarang lapor atau keluar."
Kelli mengangkat bahu. "Ya sudah. Tim perintis sudah siap, sesuai permintaanmu. Kita bisa pergi?" Dia
mengerutkan kening. "Ada apa?" tanya Like.
"Kehadiran seseorang," kata Kelli. "Indramu mulai tumpul, Luke. Kita sedang diawasi."
Dia menelaah ruangan. Matanya difokuskan tepat padaku. Wajahnya mengeriput menjadi wajah neneknenek. Dia memamerkan taringnya dan menerjang.
*** Aku tersentak bangun, jantungku berdebar-debar. Aku bisa bersumpah bahwa taring si empousa
berjarak sesenti dari tenggorokanku.
Tyson sedang mengorok di tempat tidur susun sebelah. Bunyinya menenangkanku sedikit.
Aku tak tahu bagaimana Kelli bisa merasakan kehadiranku dalam mimpi, tapi aku sudah mendengar
lebih daripada yang ingin kutahu. Pasukan sudah siap. Kronos akan memimpinnya secara pribadi. Yang
mereka perlu hanyalah cara menemukan arah di Labirin sehingga mereka bisa menyerbu dan
mengancurkan Perkemahan Blasteran, dan Luke rupanya berpikir hal itu akan segera terjadi.
Aku tergoda untuk membangunkan Annabeth dan memberitahunya, tengah malam atau bukan. Lalu
kusadari bahwa ruangan lebih terang daripada yang seharusnya. Kilau biru-hijau datang dari pancuran
air asin, lebih terang dan lebih urgen daripada malam sebelumnya. Pancuran hampir seakan
bersenandung. Aku keluar dari tempat tidur dan mendekat.
Tidak ada suara yang bicara dari air kali ini, meminta tagihan. Aku punya firasat bahwa air terjun sedang
menungguku melakukan tindakan pertama.
Aku mungkin semestinya kembali ketempat tidur. Tetapi aku justru memikirkan apa yang kulihat
kemarin malam"citra aneh yang menunjukkan Nico di tepi Sungai Styx.
"Kau mencoba memberitahuku tentang sesuatu," kataku.
Tidak ada respon dari air terjun.
"Baikah," kataku. "Tunjukkan Nico di Angelo padaku."
Aku bahkan tidak melemparkan uang logam ke dalam, tapi kali ini tidak jadi soal. Sepertinya ada
kekuatan lain yang mengendalikan air selain Iris sang dewi pembawa pesan. Air berdenyar. Nico tampak,
tapi dia tidak lagi berada di Dunia Bawah. Dia sedang berdiri di kuburan, di bawah langit berbintang.


Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pohin-pohon dedalu raksasa membayang di sekelilingnya.
Dia tengah mengamati penggali kubur yang sedang bekerja. Aku mendengar sekop dan melihat tanah
bertebangan keluar dari lubang. Nico mengenakan jubah hitam. Malam tengah berkabut. Hawanya
hangat dan lembap, dan kodok-kodok berkoak. Kantong Wal-Mart besar tergeletak di samping kaku
Nico. "Apa sudah cukup dalam?" tanya Nico. Dia kedengarannya kesal.
"Hampir, Tuanku." Itu hantu yang sama yang kulihat bersama Nico sebelumnya, bayangan pucat seorang
pria yang berdenyar. "Tapi, Tuanku, menurutku ini tidak perlu. Kau sudah punya aku untuk memberi
saran." "Aku ingin pendapat kedua!" Nico menjentikkan jarinya, dan penggalian berhenti. Dua sosok memanjat
keluar dari lubang. Mereka bukan orang. Mereka adalah kerangka berpakaian compang-camping.
"Kalian boleh pergi," kaya Nico. "Terima kasih."
Kerangka-kerangka itu terjatuh menjadi tumpukan tulang.
"Sekalian saja berterima kasih kepada sekop," protes si hantu. "Akal sehat yang dipunyai sekop sama
seperti yang dimiliki kerangka."
Nico mengabaikannya. Dia merogoh kantong Wal-Mart dan mengeluarkan Coke kemasan dua belas
kaleng. Dia membuka sala satu kaleng. Alih-alih meminumnya, dia menuangkannya ke kuburan.
"Biarkan yang mati mengecap lagi," gumamnya. "Biarkan mereka bangkit dan menerima sesaji ini.
Biarkan mereka mengingat."
Dia menjatuhkan sisa Coke-nya ke kuburan dan mengeluarkan kantong kertas putih yang dihiasi gambargambar kartun. Aku sudah bertahun-tahun tidak melihatnya, tapi aku mengenalinya"paket Happy Meal
dari McDonald. Nico membaliknya dan mengguncang-guncangkannya sehingga kentang goreng dan hamburger jatuh ke
kuburan. "Di masaku, kami menggunakan darah hewan," gerutu si hantu. "Cukup bagus. Mereka toh tak bisa
merasakan bedanya." "Aku akan memperlakukan mereka dengan hormat," kata Nico.
"Paling tidak biarkan aku menyimpan mainannya," kata si hantu.
"Diam!" perintah Nico. Dia mengosongkan sisa soda kemasan dua belas karena dan tiga Happy Meal lagi
ke kuburan, lalu mulai merapalkan bahasa Yunani Kuno. Aku hanya menangkap beberapa kata"banyak
hal soal orang mati dan kenangan dan bangkit dari kubur. Pokoknya hal-hal yang betul-betul
menyenangkan, deh. Kuburan mulai berbuih. Cairan cokelat berbusa naik ke atas seakan-akan kuburan itu dipenuhi soda.
Kabut menebal. Kodok-kodok berhenti berkoak. Lusinan sosok mulai muncul di antara batu-batu nisan:
kebiruan, bentuk manusia yang samar-samar. Nico telah membangkitkan orang mati dengan Coke dan
burger keju. "Terlalu banyak," kata si hantu gugup. "Kau tidak tahu kekuatamu sendiri."
"Semuanya dalam kendaliku," kata Nico, meskipun suaranya terdengar rapuh. Dia mengeluarkan
pedangnya"bilah pendek yang terbuat dari logam hitam padat. Aku tidak pernah melihat sesuatu yang
seperti itu. Logam itu bukan perunggu langit atau baja. Besi, mungkin" Kerumunan bayangan mundur
saat melihatnya. "Satu-satu," perintah Nico.
Satu sosok melayang maju dan berlutut di kolam. Ia membuat bunyi menyedot saat minum. Tangan
hantunya menyendok kentang goreng ke luar kolam. Saat ia berdiri lagi, aku bisa melihatnya lebih
jelas"cowok remaja berbaju zirah Yunani. Dia memiliki rambut keriting dan mata hijau, jepit yang
berbentuk seperti kerang ada di punggungnya.
"Siapa kau?" kata Nico. "Bicaralah."
Pemuda itu mengerutkan kening seakan mencoba mengingat sesuatu. Lalu dia bicara dengan suara yang
bagaikan kertas kering yang berkerisik: "Aku Theseus."
Tidak mungkin, pikirku. Ini tidak mungkin Theseus yang itu. Dia masih anak-anak. Aku tumbuh besar
dengan mendengar cerita-cerita tentangnya yang melawan Minotaur dan lain-lain, tapi aku selalu
membayangkannya sebagai laki-laki besar berotot. Hantu yang sedang kupandangi tidaklah kuat atau
tinggi. Dan dia tidak jauh lebih tua daripada aku.
"Bagaimana aku bisa membangkitkan kakakku?" tanya Nico.
Mata Theseus tak bernyawa, sama seperti kaca. "Jangan mencobanya. Itu gila."
"Beri tahu aku!"
"Ayah tiriku meninggal," kenang Thesus. "Dia melemparkan dirinya ke laut karena dia pikir aku mati di
dalam labirin. Aku ingin mengembalikannya, tapi aku tak bisa."
Hantu Nico mendesis, "Tuanku, pertukaran jiwa! Tanyai dia soal itu!"
Theseus cemberut. "Suara itu. Aku kenal suara itu."
"Tidak, kau tidak kenal, Bodoh!" kata si hantu. "Jawab pertanyaan tuan dan tidak lebih dari itu!"
"Aku kenal kau," Theseus berkeras, seolah tengah berjuang untuk mengingat-ingat.
"Aku ingin dengar soal kakakku," kata Nico. "Akankah misi ke dalam labirin membantuku
mendapatkannya kembali?"
Theseus mencari-cari si hantu, tapi rupanya tidak bisa melihatnya. Pelan-pelan dia memalingkan
matanya kembali ke Nico. "Labirin itu penghianat. Cuma ada satu hal yang membantuku melewatinya:
cinta seorang gadis fana. Benang Ariadne hanyalah sebagian dari jawaban. Tapi sang putrilah yang
menuntunku." "Kita tidak perlu satu pun dari itu," kata si hantu. "Aku akan menuntunmu, Tuanku. Tanya dia apakah
soal pertukaran jiwa itu benar. Dia akan memberitahumu."
"Satu jiwa untuk satu jiwa," tanya Nico. "Apa itu benar?"
"Aku"Harus kukatakan benar. Tapi hantu?"
"Jawab saja pertanyaannya, Bangsat!" kata si hantu. Tiba-tiba, di sekitar tepi kolam, hantu-hantu lain
menjadi gelisah. Mereka bergerak-gerak, berbisik-bisik dengan nada gugup.
"Aku ingin bertemu kakakku!" tuntut Nico. "Di mana dia?"
"Dia datang," kata Theseus ngeri. "Dia telah merasakan panggilanmu. Dia datang."
"Siapa" tuntut Nico.
"Dia datag untuk mencari sumber kekuatan ini," kata Theseus. "Kau harus melepaskan kami!"
Air di pancuranku mulai bergetar, berdengung dengan kekuatan. Kusadari bahwa seisi pondok
terguncang-guncang. Bunyi tersebut semakin keras. Citra Nico di kuburan mulai berkilau sampai-sampai
melihat terasa menyakitkan.
"Stop," kataku keras-keras. "Stop!"
Pancuran mulai retak. Tyson berkomat-kamit dalam tidurnya dan berbalik. Cahaya ungu melemparkan
bayang-bayang mengerikan bagai hantu ke dinding pondok, seakan-akan para hantu kabur tepat ke luar
pacuran. Dalam keputusasaan kubuka tutup Reptide dan menyabet pancuran, membelahnya menjadi dua. Air
asin tumpah ke mana-mana, dan mangkuk batu besar jatuh berkeping-keping ke lantai. Tyson
mendengus dan bergumam, tapi dia tidur terus.
Aku jatuh ke lantai, gemetar karena apa yang baru saja kulihat. Tyson mendapatiku di sana pada pagi
harinya, masih menatap sisa-sisa pancuran air asin yang pecah berantakan.
Tepat setelah fajar, kelompok misi bertemu di Kepalan Zeus. Aku sudah mengepak tas punggungku"
termos berisi nektar, sekantong ambrosia, matras gulung, tali, pakaian, senter, dan banyak baterai
cadangan. Aku menyimpan Reptide di sakuku. Perisai/jam tangan ajaib yang Tyson buatkan untukku ada
di pergelangan tanganku. Pagi itu cerah. Kabut telah menghilang dan langit berwarna biru. Para pekemah akan mendapatkan
pelajaran hari ini, menerbangkan pegasus dan berlatih memanah serta mendaki dinding lava. Sementara
itu, kami akan menuju ke bawah tanah.
Juniper dan Grover berdiri terpisah dari kelompok. Juniper menangis lagi, tapi dia mencoba
mengendalikan diri demi Grover. Juniper terus merepet soal pakaian Grover, meluruskan topi rastanya
dan menyikat bulu kambing dari bajunya. Karena kami tidak punya bayangan apa yang bakal kami
hadapi, dia berpakaian sebagai manusia, dengan topi untuk menyembunyikan tanduknya, dan jin, kaki
palsu, dan sepatu kets untuk menyembunyikan kaki kambingnya.
Chiron, Quintus, dan Nyonya O"Leary berdiri bersama para pekemah lain yang datang untuk mendoakan
kepergian kami, tapi ada terlalu banyak aktivitas sehingga pelepasan kami terasa tidak menyenangkan.
Dua tenda telah didirikan di dekat batu-batu untuk tugas berjaga. Beckendorf dan saudara-saudaranya
sedang membuat tombak-tombak dan parit-parit pertahanan. Chiron memutuskan kami perlu menjada
pintu keluar Labirin sepanjang waktu, kalau-kalau ada sesuatu.
Annabeth sedang mengecek bekalnya untuk terakhir kali. Saat Tyson dan aku menghampiri, dia
mengernyitkan dahi. "Percy, kau kelihatan parah."
"Dia membunuh air terjun semalam." Tyson membongkar rahasia.
"Apa?" tanya Annabeth.
Sebelum aku bisa menjelaskan, Chiron berderap menghampiri. "Yah, tampaknya kalian siap!"
Dia mencoba terdengar bersemangat, tapi aku tahu dia cemas. Aku tidak mau membuatnya tambah
takut, tapi aku memikirkan mimpiku semalam, dan sebelum aku bisa berubah pikiran, aku berkata, "Hei,
eh, Pak Chiron, bisa aku minta tolong selama aku pergi"
"Tentu saja, Nak."
"Aku segera kembali, Teman-teman." Aku mengangguk ke arah hutan. Chiron mengangkat alis, tapi dia
mengikutiku untuk menjauh dari jangkauan pendengaran orang lain.
"Tadi malam," kataku. "Aku bermimpi tentang Luke dan Kronos." Aku memberitahukan rinciannya
padanya. Berita tersebut tampak seakan membebani bahunya.
"Aku mengkhawatirkan ini," kata Chiron. "Melawan ayahku, Kronos, kita tidak punya peluang dalam
pertempuran." Chiron jarang menyebut Kronos ayahnya. Maksudku, kami semua tahu itu benar. Semua di dunia
Yunani"dewa, monster, atau Titan"masih berkerabat. Tapi hal itu bukanlah sesuatu yang suka Chiron
bangga-banggakan. Oh, papaku itu raja Titan jahat superkuat yang mau menghancurkan Peradapan
Barat. Aku pingin kayak dia ketika aku besar!
"Apa Bapak tahu apa maksudnya soal sebuah pertukaran?" tanyaku.
"Aku tidak yakin, tapi aku takut mereka berusaha membuat kesepakatan dengan Daedalus. Kalau sang
penemu tua benar-benar masih hidup, kalau dia belum jadi gila karena terkurung di Labirin
bermilenium-milenium ... yah, Kronos bisa menemukan cara untuk memutarbalikkan siapa saja sesuai
kehendaknya." "Tidak semua orang," janjiku.
Chiron berhasil tersenyum. "Tidak. Mungkin tidak semua orang. Tapi, Percy, kau harus waspada. Aku
sudah beberapa lama cemas kalau-kalau Kronos mungkin mencari Daedalus karena alasan yang berbeda,
bukan cuma demi jalan untuk melewati Labirin."
"Memangnya apa lagi yang dia inginkan?"
"Sesuatu yang Annabeth dan aku diskusikan. Apa kau ingat apa yang kau beri tahukan padaku tentang
perjalanan pertamamu ke Putri Andromeda, kali pertama kau melihat peti mati emas?"
Aku mengangguk. "Luke bicara soal membangkitkan Kronos, potongan-potongan kecil dirinya muncul di
peti mati setiap kali ada yang baru bergabung dalam tujuannya."
"Dan apa yang Luke bilang akan mereka lakuka saat Kronos sudah bangkit sepenuhnya?"
Bulu kudukku berdiri. "Dia bilang mereka akan membuatkan Kronos tubuh baru, setara dengan tugas
penempaan Hephaestus."
"Tepat," kata Chiron. "Daedalus adalah penemu terhebat di dunia. Dia menciptakan Labirin, tapi lebih
dari itu. Automaton, mesin yang bisa berpikir sendiri .... Bagaimana kalau Kronos mengharapkan agar
Daedalus membuatkan dia wujud baru?"
Itu betul-betul pemikiran yang menyenangkan.
"Kami harus menemui Daedalus lebih dulu," kataku, "dan meyakinkan supaya tidak melakukannya."
Chiron memandang kosong ke pepohonan. "Hal lain yang tidak kumengerti ... pembicaraan soal jiwa
terakhir yang bergabung dengan tujuan mereka. Itu buka pertanda bagus."
Aku mencoba tutup mulut, tapi aku merasa bersalah. Aku sudah membuat keputusan untuk tidak
memberi tahu Chiron soal Nico yang adalah anak laki-laki Hades. Tapi soal jiwa"Bagaimaa kalau Kronos
tahu tentang Nico" Bagaimana kalau dia berhasil menjadikan Nico jahat" Pemikiran itu sudah hampir
cukup membuatku ingin memberi tahu Chiron, tapi aku tak melakukannya. Lagi pula, aku tak yakin
Chiron bisa melakukan apa pun soal itu. Aku harus menemukan Nico sendiri. Aku harus menjelaskan
keadaan kepadanya, membuatnya mendengarkan.
"Aku tak tahu," kataku akhirnya. "Tapi, eh, sesuatu yang dibilang Juniper, mungkin Bapak sebaiknya
dengar." Aku memberitahunya bagaimana peri pohon melihat Quintus menelaah batu-batu.
Rahang Chiron mengencang. "Itu tidak mengagetkanku."
"Tidak mengagetkan"maksudnya, Bapak tahu?"
"Percy, ketika Quintus muncul di perkemahan untuk menawarkan jasanya ... yah, aku pasti bodoh kalau
tidak curiga." "Kalau begitu kenapa Bapak biarkan dia masuk?"
"Karena kadang-kadang lebih baik membiarkan seseorang yang mencurigakan berada di dekatmu
supaya kau bisa mengawasinya. Dia mungkin cuma seperti yang dia katakan: blasteran yang mencari
rumah. Yang jelas dia belum melakukan sesuatu terang-terangan yang bakal membuatku
mempertanyakan kesetiaannya. Tapi percayalah padaku, aku akan mengawasi?"
Annabeth berjalan tertatih-tatih mendekat, mungkin penasaran kenapa kami lama sekali.
"Percy, kau siap?"
Aku mengangguk. Tanganku meluncur ke saku, tempat aku menyimpan peluit es yang Quintus berikan
kepadaku. Kupasang mata dan kulihat Quintus sedang mengamatiku dengan saksama. Dia mengangkat
tangannya sebagai ucapan selamat tinggal.
Mata-mata ita melaporkan kesuksesan, kata Luke. Pada hari yang sama ketika kami memutuskan untuk
mengirim misi. Luke sudah tahu soal itu.
"Jaga dirimu," kata Chiron kepada kami. "Dan selamat berburu."
"Bapak juga jaga diri." kataku.
Kami berjalan ke batu-batu, tempat Tysin dan Grover tengah menunggu. Aku menatap retakan di antara
dua bongkahan besar batu"pintu masuk yang akan menelan kami.
"Yah," kata Grover gugup, "selamat tinggal sinar mentari."
"Halo batu," Tyson menyetujui.
Dan bersama-sama, kami berempat turun ke kegelapan.[]
BAB ENAM Kami Bertemu Dewa Bermuka Dua
Kami sampai sejauh tiga puluh meter sebelum kami betul-betul tersesat.
Terowongan itu sama sekali tidak mirip seperti tempat Annabeth dan aku terjatuh sebelumnya.
Sekarang bentuknya bundar seperti pipa, dibangun dari bata merah dengan lubang-lubang bundar
berjeruji setiap tiga meter. Aku menyorotkan cahaya ke salah satu lubang karena penasaran, tapi aku
tidak bisa melihat apa-apa. Lubang itu terbuka ke kegelapan tak berujung. Kupikir aku mendengar suarasuara di sisi lain, tapi mungkin saja itu cuma angin dingin.
Annabeth mencoba sebaik mungkin untuk memandu kami. Dia punya ide bahwa kami sebaiknya
menempel ke dinding kiri.
"Kalau kita meletakkan satu tangan di dinding kiri dan mengikutinya," katanya,"kita semestinya bisa
menemukan jalan keluar lagi dengan mengikuti jalur yang berlawanan."
Sayangnya, segera setelah dia mengatakan itu, dinding kiri menghilang. Kami mendapati diri kami di
tengah-tengah ruangan bundar dengan delapan terowongan yang mengarah ke luar, dan tidak punya
gambaran bagaimana kami bisa sampai di sana.
"Eh, dari mana kita datang tadi?" tanya Grover gugup.
"Berputar sajalah," kata Annabeth.
Kami masing-masing berputar ke arah terowongan yang berbeda. Konyol sekal. Tak satu pun dari kami
tahu mana yang mengarah kembali ke perkemahan.
"Dinding kiri jahat," kata Tyson. "Ke mana sekarang?"
Annabeth menyapukan berkas sinar senternya ke atap lengkung kedepalan terowongan. Sejauh yang
bisa kutahu, semua identik. "Ke situ," katanya.
"Bagaimana kau tahu?" tanyaku.
"Logika deduktif."
"Maksudmu ... menebak-nebak."
"Ayolah," katanya.
Terowongan yang dipilihnya dengan cepat menyempit. Dinding berubah menjadi semen abu-abu, dan
langit-langitnya jadi rendah sekali sehingga segera saja kami harus membungkuk. Tyson terpaksa
merangkak. Napas Grover yang tersengal-sengal adalah bunyi terlantang di situ. "Aku tak tahan lagi," katanya. "Apa
kita sudah sampai?" "Kita baru di bawah sini lima menit," Annabeth memberitahunya.
"Lebih lama dari itu ah," Grover berkeras. "Dan ngapain juga Pan di bawah sini" Ini berlawanan dengan
alam liar!" Kami terus maju terhuyung-huyung. Tepat ketika aku yakin terowongannya bakal sempit sekali sehingga
akan menjepit kami, terowongan itu membuka menjadi sebuah ruangan besar. Aku menyinarkan
cahayaku ke dinding dan berkata, "Wow."
Seluruh ruangan ditutupi ubin mozaik. Gambarnya kotor dan pudar, tapi aku masih bisa melihat warna"
merah, biru, hijau, emas. Gambar di dinding menunjukkan dewa-dewa Olympia pada jamuan makan,
ada ayahku, Poseidon, dengan trisulanya, mengulurkan anggur kepada Dionysus untuk diubah menjadi
minuman anggur. Zeus sedang berpesta bersama para satir, dan Hermes terbang di udara menggunakan
sandalnya yang bersayap. Gambar tersebut indah, tapi tak begitu akurat. Aku sudah pernah melihat para
dewa. Dionysus tak seganteng itu, dan hidung Hermes tak sebesar itu.
Di tengah-tengah ruangan ada pancuran bertingkat tiga. Kelihatannya pancuran itu sudah lama tidak
berisi air. "Tempat apaan ini?" gumamku. "Kelihatannya?"
"Romawi," kata Annabeth. "Mozaik itu berumur kira-kira dua ribu tahun."
"Tapi bagaimana bisa itu mozaik Romawi?" Aku tidak sejago itu dalam sejarah kuno, tapi aku cukup
yakin besarnya Kekaisaran Romawi tidak sampai sejauh Long Island.
"Labirin ini seperti tambalan," kata Annabeth. "Sudah kubilang padamu, labirin ini senantiasa meluas,
menambahkan potongan-potonga. Hanya ini karya arsitektur yang tumbuh sendiri."
"Kau membuatnya kedengaran seperti hidup."
Bunyi erangan bergema dari terowongan di hadapan kami.
"Coba jangan bicarakan soal labirin yang hidup," rengek Grover. "Kumohon?"
"Baiklah," kata Annabeth. "Maju."
"Terus ke lorong yang ada bunyi menyeramkannya?" kata Tyson. Bahkan dia pun terlihat gugup.
"Iya," kata Annabeth. "Arsitekturnya makin tua. Itu pertanda bagus. Bengkel kerja Daedalus seharusnya
ada di bagian tertua."
Itu masuk akal. Tapi labirin itu segera saja mempermainkan kami"kami berjalan sejauh lima belas
meter dan terowongan berubah menjadi semen lagi, dengan pipa-pipa perunggu menjulur di sisi-sisinya.
Ada grafiti dari cat semprot dinding. Tulisan neonnya berbunyi MOZ RULZ.
"Menurutku ini bukan buatan Romawi," kataku membantu.
Annabeth menghela napas dalam, lalu melaju duluan.
Setiap beberapa kaki terowongan berliku-liku dan berbelok dan bercabang. Lantai di bawah kami
berubah dari semen menjadi lumpur menjadi bata dan kembali lagi. Sama sekali tidak masuk akal. Kami
masuk ke sebuah gudang anggur"sekumpulan botol berdebu dalam rak-rak kayu"seakan kami
berjalan masuk ke ruangan bawah tanah seseorang, hanya saja tidak ada jalan keluar di atas kami, cuma
lebih banyak terowongan yang mengarah entah kemana.
Belakangan langit-langit berubah menjadi papan-papan berkayu, dan aku bisa mendengar suara-suara di
atas kami dan keriut langkah kaki, seakan-akan kami berjalan di bawah semacam bar. Mendengar suara


Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang terasa menenangkan, tapi tentu saja, kami tidak bisa mencapai mereka. Kami terjebak di bawah
sini tanpa jalan keluar. Lalu kami menemukan kerangka pertama kami.
Dia mengenakan pakaian putih, seperti semacam seragam. Peti kayu berisi botol kaca tergeletak di
sebelahnya. "Tukang susu," kata Annabeth.
"Apa?" tanyaku.
"Susu dulu di antarkan."
"Iya, aku tahu, tapi ... itu kan waktu ibuku masih kecil, kayak sejuta tahun lalu gitu. Apa yang
dilakukannya di sini?"
"Beberapa orang tidak sengaja berkeliaran di sini," kata Annabeth. "Beberapa sengaja menjelajah dan
tidak pernah kembali. Dahulu kala, penduduk Kreta bahkan mengirim orang ke sini sebagai
persembahan manusia."
Grover menelan ludah. "Dia sudah lama di sini." Dia menunjuk botol si kerangka, yang diselubungi debu
putih. Jari si kerangka mencakar dinding bata, seakan dia mati sementara mencoba untuk keluar.
"Cuma tulang," kata Tyson. "Jangan cemas, Bocah Kambing. Tukang susu sudah mati."
"Tukang susu nggak menggangguku," kata Grover. "Ada bau. Bau monster. Bisakah kalian menciumnya?"
Tyson mengangguk. "Banyak monster. Tapi bawah tanah berbau kayak gini. Monter dan tukang susu
mati." "Oh, bagus," rengek Grover. "Kupikir mungkin aku salah."
"Kita harus memasuki labirin lebih dalam," kata Annabeth. "Pasti ada cara mencapai pusat."
Dia memimpin kami ke kanan, lalu kiri, melewati koridor yang terbuat dari baja tahan karat seperti
semacam saluran udara, dan kami tiba kembali di ruangan ubin Romawi berpancuran.
Kali ini, kami tidak sendirian.
Yang pertama kali kusadari adalah wajahnya. Kedua wajahnya. Masing-masing wajah menjuntai keluar
dari dua sisi kepalanya, menatap ke balik bahunya sehingga kepalanya lebih lebar daripada seharusnya,
mirip seperti kepala hiu martil. Memandang tepat ke wajahnya, yang kulihat hanyalah dua telinga yang
menutupi satu sama lain dan cabang yang identik seperti bayangan cermin.
Dia berpakaian seperti penjaga pintu New York City: jas panjang hitam, sepatu mengilap, dan topi tinggi
hitam yang entah bagaimana bisa menetap di atas kepalanya yang dobel lebarnya.
"Yah, Annabeth?" kata wajah kirinya. "Cepatlah!"
"Jangan pedulikan dia," kata wajah kanan. "Dia sungguh tidak sopan. Ke sini, Nona."
Mulut Annabeth menganga. "Eh ... aku nggak..."
Tyson mengerutkan kening. "Laki-laki lucu itu punya dua muka."
"Si laki-laki lucu punya telinga, tahu!" omel wajah kiri. "Sekarang ayo, Nona."
"Tidak, tidak," kata wajah kanan. "Ke sini, Nona. Bicaralah padaku, kumohon."
Si pria bermuka dua mengamati Annabeth sebaik yang dia bisa dari sudut matanya. Mustahil melihatnya
terus tanpa memusatkan perhatian pada salah satu sisi. Dan tiba-tiba kusadari itulah yang dia minta"
dia ingin Annabeth memilih.
Di belakangnya ada dua pintu keluar, dihalangi oleh pintu kayu dengan gembok besi besar. Kedua pintu
tidak ada di sana saat kali pertama kami memasuki ruangan itu. Si penjaga pintu bermuka dua
memegang kunci perak, yang terus dia operkan dari tangan kiri ke tangan kanannya. Aku bertanya-tanya
apakah ini adalah ruangan yang berbeda dengan yang tadi, tapi lukisan dinding dewa terlihay persis
sama. Di belakang kami, ambang pintu yang tadi kami lewati telah lenyap, digantikan oleh lebih banyak mozaik.
Kami takkan kembali ke arah kami datang.
"Jalan keluar tertutup," kata Annabeth.
"Ya iya lah!" kata wajah kiri si pria.
"Ke mana arahnya?" tanya Annabeth.
"Yang satu mungkin mengarahkanmu ke jalan yang ingin kau tuju," wajah kanan berkata, menyemangati.
"Yang lain mengarah ke kematian tertentu."
"Aku"aku tahu siapa kau," kata Annabeth.
"Oh, kau si pintar!" Cemooh wajah kiri. "Tapi apa kau tahu arah mana yang harus dipilih" Aku tidak
punya seharian." "Kenapa kau mencoba membingungkanku?" tanya Annabeth.
Wajah kanan tersenyum. "Kau yang berkuasa sekarang, Sayang. Semua keputusan ada di tanganmu.
Itulah yang kau inginkan bukan?"
"Aku?" "Aku mengenalmu, Annabeth," wajah kiri berkata. "Kami tahu pergumulanmu setiap hari. kami tahu
kegalauanmu. Kau harus menetapkan pilihanmu cepat atau lambat. Dan pilihan itu mungkin saja
membunuhmu." Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi kedengarannya lebih daripada pilihan antara dua pintu.
Wajah Annabeth memucat. "Tidak .... Aku tidak?"
"Biarkan dia sendiri," kataku. "Lagi pula, siapa sih kalian ini?"
"Aku sahabat terbaikmu," kata wajah kanan.
"Aku musuh terburukmu," kata wajah kiri.
"Aku Janus," kata kedua wajah serempak. "Dewa Gerbang. Awal. Akhir. Pilihan."
"Aku akan segera menemuimu, Perseus Jackson," kata wajah kanan. "Tapi sekarang giliran Annabeth."
Dia tertawa girang. "Asyik banget!",
"Tutup mulut!" wajah kirinya berkata. "Ini serius. Satu pilihan buruk bisa menghancurkan seluruh
hidupmu. Bisa membunuhmu dan semua temanmu. Tapi nggak ada tekanan kok, Annabeth. Pilihlah!"
Merinding tiba-tiba, aku teringat kata-kata ramalan: pertarungan terakhir anak Athena menanti.
"Jangan lakukan," kataku.
"Aku khawatir dia harus melakukannya," kata wajah kanan ceria.
Annabeth melembapkan bibir. "Aku"kupilih?"
Sebelum dia bisa menunjuk ke satu pintu, cahaya menyilaukan membanjiri ruangan.
Janus mengangkat tangan ke kedua sisi kepalanya untuk melindungi matanya. Saat cahaya padam,
seorang wanita berdiri di dekat pancuran.
Dia tinggi dan anggun dengan rambut panjang berwarna cokelat, dikepang dengan pita emas. Dia
mengenakan gaun putih sederhana, tapi ketika dia bergerak, kainnya berdenyar dengan warna seperti
minyak di atas air. "Janus," katanya, "apa kau membuat masalah lagi?"
"T-tidak, Nyonya!" wajah kanan Janus terbata-bata.
"Ya!" kata wajah kiri.
"Tutup mulut!" kata wajah kanan.
"Apa?" tanya sang wanita.
"Bukan Anda, Nyonya! Saya bicara pada diri sendiri."
"Oh begitu," kata sang nyonya. "Kau tahu benar kunjunganmu terlalu cepat. Waktu gadis ini belumlah
tiba. Jadi, kuberi kau pilihan: serahkan para pahlawan ini padaku, atau kubuat kau jadi pintu dan
kurobohkan kau." "Pintu jenis apa?" tanya wajah kiri.
"Diam!" ujar wajah kanan.
"Soalnya pintu gaya Prancis bagus juga," wajah kiri membatin. "Banyak cahaya alami."
"Diam!" wajah kanan melolong. "Bukan Anda, Nyonya! Tentu saja saya akan pergi. Saya cuma
bersenang-senang sedikit. Melakukan pekerjaan saya. Menawarkan pilihan."
"Menimbulkan keragu-raguan," sang wanita mengereksi. "Sekarang enyahlah!"
Wajah kiri bergumam, "Perusak kesenangan," lalu dia mengangkat kunci peraknya, menyelipkannya ke
udara kosong, dan menghilang.
Sang wanita menoleh kepada kami, dan rasa takut menyelimuti hatiku. Matanya berkilat dengan
kekuatan. Serahkan para pahlawan itu padaku. Itu kedengarannya tak begitu bagus. Selama sesaat, aku
hampir berharap seandainya kami mengambil kesempatan dengan Janus. Tapi kemudian wanita itu
tersenyum. "Kalian pasti lapar," katanya. "Duduklah bersamaku dan mengobrol."
Dia melambaikan tangannya, dan air macur Romawi tua mulai mengalir. Semburan air jernih memercik
ke udara. Meja marmer muncul, dipenuhi nampan-nampan roti isi dan teko-teko berisi limun.
"Siapa ... siapa Anda?" tanyaku.
"Aku Hera." Wanita itu tersenyum. "Ratu Langit."
Aku pernah melihat Hera sekali sebelumnya pada Pertemuan Dewan Para Dewa, tapi aku tidak terlalu
memperhatikannya. Pada saat itu aku dikelilingi sekumpulan dewa lain yang sedang berdebat apakah
mereka akan membunuhku atau tidak.
Seingatku dia tidak terlihat senormal itu. Tentu saja, dewa-dewi biasanya setinggi enam meter saat
mereka ada di Olympus, jadi itu membuat mereka tidak normal. Tapi sekarang, Hera terlihat seperti ibuibu biasa.
Dia menyajikan roti isi dan menuangkan limun untuk kami.
"Grover, Sayang," katanya, "gunakan serbetmu. Jangan dimakan."
"Ya, Nyonya," kata Grover.
"Tyson, kau kurus sekali. Apa kau mau roti isi selai kacang lagi?"
Tyson menahan serdawa. "Ya, Ibu yang baik."
"Ratu Hera," kata Annabeth. "Saya tidak mempercayai ini. Apa yang Ratu lakukan di dalam Labirin?"
Hera tersenyum. Dia menjentikkan satu jari dan rambut Annabeth tersisir sendiri. Semua debu dan
kotoran lenyap dari wajahnya.
"Aku datang untuk menemui kalian tentunya," kata sang dewi.
Grover dan aku bertukar pandang gugup. Biasanya saat dewa datang mencarimu, itu bukan karena
kebaikan hati mereka. Itu karena mereka manginginkan sesuatu.
Tetap saja, itu tidak menghalangiku mengganyang roti isi kalkun dan keju Swiss serta keripik dan limun.
Aku tidak sadar betapa laparnya aku. Tyson melahap roti isi selai kacang satu demi satu, dan Grover
menikmati limun, menggunyah gelas styrofoam seperti contong es krim.
"Saya pikir?" Annabeth terbata-bata. "Yah, saya pikir Rati tidak suka pahlawan."
Hera tersenyum sabar. "Karena pertengkaran kecilku dengan Hercules" Sejujurnya, aku mendapat
begitu banyak pemberitahuan buruk karena satu perkelahian."
"Bukankah Ratu mencoba membunuhnya, ehm, berkali-kali?" tanya Annabeth.
Hera melambaikan tangannya tak acuh. "Cerita lama, Sayangku. Lagi pula, dia salah satu anak suamiku
dari perempuan lain.kesabaranku menipis, kuakui itu. Tapi Zeus dan aku sudah ikut sesi konseling
pernikahan yang luar biasa setelah itu. Kami mengungkapkan perasaan kami dan mencapai saling
pengertian"terutama setelah insiden kecil yang terakhir."
"Maksud Ratu waktu beliau menjadi ayah Thalia?" tebakku, tapi aku seketika berharap tidak
melakukannya. Segera setelah aku mengucapkan nama teman kami, putri blasteran Zeus, mata Hera
berpaling ke arahku dengan dingin.
"Percy Jackson, bukan" Salah satu ... anak Poseidon." Aku punya firasat dia memikirkan kata lain selain
anak."Seingatku, aku memilih untuk membiarkanmu hidup pada titik balik matahari musim dingin.
Kuharap pilihanku tepat."
Dia berpaling kembali ke Annabeth dengan senyum cerah. "Pokoknya, aku tidak mengharapkan hal
buruk bagimu, Nak. Aku menghargai sulitnya misimu. Terutama saat kau harus berurusan dengan
pembuat onar seperti Janus."
Annabeth menundukkan pandangannya. "Kenapa dia di sini" Dia membuat saya gila."
"Mencoba membuatmu gila," Hera setuju. "Kau harus paham, dewa-dewa minor seperti Janus selalu
dibuat frustasi oleh peran kecil yang mereka mainkan di alam semesta. Beberapa, aku takut, hanya
sedikit menyukai Olympus, dan bisa dengan mudah dipengaruhi untuk mendukung kebangkitan ayahku.
"Ayah Ratu?" kataku. "Oh. Betul."
Aku lupa Kronos adalah ayah Hera juga, selain merupakan ayah Zeus, Poseidon, dan dewa-dewa
Olympia yang tertua. Kurasa itu berarti Kronos adalah kakekku, tapi pemikiran itu anehnya bukan main
sehingga aku mengesampingkannya dari benakku.
"Kamu harus mengawasi dewa-dewi minor," kata Hera. "Janus. Hecate. Morpheus. Mereka mengumbar
janji kepada Olympus, namun demikianlah?"
"Ke situlah Dionysus pergi," aku teringat. "Dia mengecek dewa-dewa minor."
"Tepat sekali." Hera menatap mozaik bangsa Olympia yang memudar. "Begini, pada masa sulit, dewadewa sekali pun dapat kehilangan keyakinan. Mereka mulai mletakkan kepercayaan mereka kepada halhal yang salah, hal-hal yang kejam. Mereka berhenti melihat gambaran besarnya dan mulai menjadi
egois. Tapi aku dewi pernikahan, kau tahu. Aku terbiasa akan kegigihan. Kau harus bangkit melampaui
pertengkara dan kekacauan, dan terus percaya. Kau harus selalu mengingat tujuanmu dalam benakmu.
"Apa tujuan Ratu?" tanya Annabeth.
Dia tersenyum. "Menjaga agar keluargaku, bangsa Olympia, tetap utuh, tentu saja. Pada saat ini, cara
terbaik bagiku untuk melakukan itu adalah dengan membantumu. Zeus tidak mengizinkanku banyakbanyak campur tangan, sayangnya. Tapi kira-kira tiap satu abad, untuk misi yang sangat kupedulikan, dia
mengizinkanku mengabulka permohonan."
"Permohonan?" "Sebelum kau menanyakannya, biar kuberi kau saran, yang bisa kulakukan dengan bebas. Aku tahu kau
mencari Daedalus. Labirinnya merupakan misteri bagiku, sama seperti bagimu. Tapi kalau kau ingin tahu
nasibnya, aku akan mengunjungi putraku Hephaestus di penempaannya. Daedalus seorang penemu
hebat, manusia fana yang merebut hati Hephaestus. Tidak pernah ada manusia fana yang lebih dikagumi
Hephaestus. Apabila ada yang tahu tentang Daedalus dan bisa memberitahumu nasibnya,
Hephaestuslah orangnya."
"Tapi bagaimana kami ke sana?" tanya Annabeth. "Itulah permohonan saya. Saya menginginkan cara
untuk menjelajahi Labirin."
Hera terlihat kecewa. "Baiklah kalau begitu. Akan tetapi, kau memohon sesuatu yang sudah diberikan
kepadamu." "Saya tidak mengerti."
"Caranya sudah dalam genggamanmu." Dia memandangku. "Percy tahu jawabannya."
"Saya tahu?" "Tapi itu tidak adil," kata Annabeth. "Ratu tidak memberi tahu kami apa itu!"
Hera menggelangkan kepalaya. "Memperoleh sesuatu dan memiliki kecerdikan untuk
menggunakannya ... keduanya adalah hal yang berbeda. Aku yakin ibumu Athena akan setuju."
Ruangan bergemuruh bagaikan guntur di kejauhan. Hera berdiri. "Itu isyaratku. Zeus sudah tidak
sabaran. Pikirkan apa yang kukatakan, Annabeth. Cari Hephaestus. Kau nanti harus melewati
perternakan, kubayangkan begitu. Tapi teruslah maju. Dan gunakan seluruh cara yang tersedia bagimu,
meskipun tampaknya sangat biasa saja,"
Dia menunjuk ke arah kedua pintu dan keduanya meleleh, mengungkapkan koridor kembar, terbuka dan
gelap. "Hal terakhir, Annabeth. Aku telah menunda hari kau memilih. Aku tidak mencegahnya. Sebentar
lahi, seperti yang Janus katakan, kau akan harus membuat pilihan. Sampai jumpa!"
Dia melambaikan tangan dan berubah menjadi asap putih. Begitu juga makanannya, tepat ketika Tyson
sedang mengunyah roti isi yang berubah menjadi kabut dalam mulutnya. Air mancur berhenti menetes.
Dinding mozaik meredup dan berubah menjadi kotor dan memudar lagi. Ruang itu bukan lagi tempat
kau ingin mengadakan piknik.
Annabeth mengentak-entakkan kaki. "Bantuan macam apa itu" "Nih, makan roti isi ini. Buatlah
permohonan. Ups, aku nggak bisa membantumu!" Puf!"
"Puf," Tyson setuju dengan sedih, memandang piringnya yang kosong.
"Yah," Grover mendesah, "dia bilang Percy tahu jawabannya. Itu bagus."
Mereka semua memandangku.
"Tapi aku nggak tahu," kataku. "Aku nggak tahu apa yang dia bicarakan."
Annabeth mendesah. "Baiklah. Kalau begitu kita harus terus."
"Ke mana?" tanyaku. Aku sungguh ingin menayakan apa maksud Hera"soal pilihan yang harus dibuat
oleh Annabeth. Tapi kemudian baik Grover dan Tyson menegang. Mereka berdiri serentak, seolah
mereka sudah melatihnya. "Kiri," kata mereka berdua.
Annabeth mengerutkan kening. "Bagaimana kalian bisa yakin?"
"Soalnya ada sesuatu yang datang dari kanan," kata Grover.
"Sesuatu yang besar," Tyson setuju. "Lagi buru-buru."
"Kiri kedengarannya lumayan bagus," aku memutuskan. Bersama-sama kami meleburkan diri ke dalam
koridor yang gelap.[] BAB TUJUH Tyson Memimpin Pembobolan Penjara
Kabar bagusnya: terowongan kiri lurus tanpa jalan keluar samping, lika-liku, atau belokan. Kabar
buruknya: ujungnya buntu. Setelah lari-lari hampir sejauh seratus meter, kami berpapasan dengan batu
raksasa yang sepenuhnya menghalangi jalan kami. Di belakang kami, bunyi seretan langkah kaki dan
napas berat bergema menyusuri lorong. Sesuatu"jelas bukan manusia"sedang membuntuti kami.
"Tyson," kataku, "bisakah kau?"
"Ya!" Dia menghantamkan bahunya ke batu begitu keras sampai-sampai seluruh terowongan
berguncang. Debu berjatuhan dari langit-langit.
"Cepat!" kata Grover. "Jangan jatuhkan atapnya, tapi cepat!"
Batu itu akhirnya bergeser dengan bunyi geretak mengerikan. Tyson mendorongnya ke sebuah ruangan
kecil dan kami menyelinap ke baliknya.
"Tutup jalannya!" kata Annabeth.
Kami semua sampai di sisi lain batu dan mendorong. Apa pun yang sedang mengejar melolong frustasi
saat kami mendorong batu itu kembali ke tempatnya dan menyegel koridor.
"Kita memerangkapnya," kataku.
"Atau memerangkap diri kita sendiri," kata Grover.
Aku menoleh. Kami berada di ruangan semen seluas enam meter persegi, dan dinding di seberang
ditutupi oleh jeruji logam. Kami masuk tepat ke dalam sel.
"Demi Hades!" Annabeth menarik-narik jeruji. Jeruji itu tidak bergerak. Lewat jeruji kami bisa melihat
barisan sel di sebuah berbentuk yang mengelilingi pekarangan gelap"paling tidak tiga lantai pintu
logam dan podium logam. "Penjara," kataku. "Mungkin Tyson bisa membobol?"
"Sst," kata Grover. "Dengar."
Di suatu tempat di atas kami, suara isakan bergema di sepenjuru ruangan. Ada bunyi lain juga"suara
serak yang menggumamkan sesuatu yang tidak bisa kumengerti. Kata-katanya aneh, seperti batu yang
dikocok-kocok dalam gelas plastik.
"Bahasa apa itu?" bisikku.
Mata Tyson membelalak. "Nggak mungkin."
"Apa?" tanyaku.
Dia mencengkeram dua jeruji di pintu sel kami dan membengkokkannya cukup lebar sehingga bahkan
Cyclops pun bisa lewat. "Tunggu!" seru Grover.
Tapi Tyson tidak mau menunggu. Kami berlari mengejarnya. Penjara itu gelap, hanya ada beberapa
lampu floresens berkedip-kedip di atas.
"Aku tahu tempat ini," Annabeth memberitahuku. "Ini Alcatraz."
"Maksudmu di pulau dekat San Fransisco itu?"
Dia mengangguk. "Sekolahku berkaryawisata ke sini. Tempat ini jadi seperti museum."
Tampaknya tak mungkin kami bisa keluar begitu saja dari Labirin di penjuru lain negeri, tapi Annabeth
sudah tinggal di San Fransisco setahun penuh, mengawasi Gunung Tamalpais yang terletak tepat di
seberang teluk. Dia sepertinya tahu apa yang dia bicarakan.
"Berhenti," Grover memperingatkan.
Tapi Tyson terus maju. Grover mencengkeram lengannya dan menariknya ke belakang dengan seluruh
kekuatannya. "Stop, Tyson!" bisiknya. "Tak bisakah kau melihatnya?"
Aku melihat ke arah yang ditunjuknya, dan perutku pun melilit-lilit. Di balkon lantai dua, di seberang
pekarangan, ada monster yang lebih menyeramkan daripada apa pun yang pernah kulihat sebelumnya.
Monster itu mirip centaurus, dengan tubuh wanita dari pinggang ke atas. Tapi alih-alih tubuh bagian


Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bawah yang menyerupai kuda, ia memiliki badan seekor naga"paling tidak sepanjang enam meter,
hitam dan berisik dengan cakar raksasa dan ekor berduri. Kakinya kelihatannya terjerat sulur tumbuhan,
namun kemudian kusadari kakinya mencuatkan ular, ratusan ular berbisa melejit kesana "kemari, terusmenerus mencari sesuatu untuk digigit. Rambut wanita itu juga terbuat dari ular, seperti Medusa. Yang
paling aneh, di sekeliling pinggangnya, tempat bagian sang wanita bertemu bagian naga, kulitnya
meletup dan berubah wujud, kadang-kadang menghasilkan kepala aneka hewan"serigala, beruang, dan
singa ganas, seakan dia memakai sabuk binatang yang senang tiasa berubah. Aku punya firasat aku
sedang melihat sesuatu yang baru separuh terbentuk, monster yang begitu kuno dari awal masa,
sebelum bentuk-bentuk ditentukan seutuhnya.
"Itu dia," rintih Tyson.
"Merunduk!" kata Grover.
Kami meringkuk dalam bayang-bayang, tapi si monster tidak memperhatikan kami sama sekali. Dia
tampaknya sedang bicara kepada seseorang di dalam sel di lantai dua. Dari sanalah isak tangis berasal. Si
wanita naga mengatakan sesuatu dalam bahasa bergemuruhnya yang aneh.
"Apa yang dia bilang?" gumamku "Bahasa apa itu?"
"Bahasa masa lalu," Tyson gemetaran. "Yang digunakan Ibu Bumi untuk bicara pada para Titan dan ...
anak-anaknya yang lain. Sebelum para dewa."
"Kau memahaminya?" tanyaku. "Bisa kau terjemahkan?"
Tyson memejamkan matanya dan mulai berbicara dengan suara serak mengerikan wanita itu. "Kau akan
bekerja untuk raja penderitaan."
Annabeth gemetar. "Aku benci waktu dia melakukan itu."
Seperti semua cyclops, Tyson punya pendengaran manusia super dan kemampuan hebat untuk
menirukan suara. Hampir-hampir seakan dia sedang trans saat dia berbicara dengan suara-suara lain itu.
"Aku takkan melayani," kata Tyson dengan suara dalam yang terluka."
Dia beralih ke suara si monster: "Maka aku akan menikmati rasa sakitmu, Briares." Tyson tersentak saat
dia mendengar nama itu. Aku tidak pernah mendengarnya menyimpang dari karakter suara seseorang
yang ditirukannya, tapi dia mengeluarkan bunyi berdeguk, seolah tercekik. Lalu dia melanjutkan dalam
suara si monster. "Jika kau pikir pemenjaraanmu yang pertama tak tertahankan, kau belum merasakan
siksaan yang sebenarnya. Pikirkan ini sampai aku kembali."
Si wanita naga menyeret langkahnya ke arah tangga, ular-ular berbisa berdesis di sekitar kakunya seperti
rok dari rumput. Dia merentangkan sayap yang tidak kulihat sebelumnya"sayap kelelawar raksasa yang
dia lipat merapat ke punggung naganya. Dia melompat dari podium dan terbang melintasi pekarangan.
Kami meringkuk lebih rendah dalam bayang-bayang. Angin panas berbau belerang menerpa wajahku
saat si monster terbang melintas. Lalu dia pun menghilang di sudut.
"S-s-seram," kata Grover. "Aku tak pernah melihat monster sekuat itu."
"Mimpi terburuk cyclops," gumam Tyson. "Kamp?."
"Siapa?" tanyaku.
Tyson menelan ludah. "Semua cyclops tahu soal dia. Cerita-cerita tentang dia menakuti kami waktu kami
bayi. Dia sipir kami di tahun-tahun buruk."
Annabeth mengangguk. "Aku ingat sekarang. Waktu para Titan berkuasa, mereka memenjarakan anakanak Gaea dan Ouranos yang lebih tua"para cyclops dan Hekatonkheir."
"Heka-apa?" tanyaku.
"Para Tangan Seratus," kata Annabeth. "Mereka disebut begitu karena ... yah, mereka punya seratus
tangan. Mereka kakak cyclops."
"Sangat kuat," kata Tyson. "Hebat! Setinggi langit. Kuat sekali sampai-sampai mereka bisa
menghancurkan gunung."
"Keren," kataku. "Kecuali kalau kau gunung."
"Kamp? itu si sipir," kata Tyson. "Dia bekerja untuk Kronos. Dia menahan kakak-kakak kami di Tartarus,
selalu menyiksa mereka, sampai Zeus datang. Dia membunuh Kamp? dan membebaskan cyclops dan
Tangan Seratus untuk membantu melawan Titan pada perang besar."
"Dan sekarang Kamp? sudah kembali," kataku.
"Parah," Tyson menyimpulkan.
"Jadi, siapa yang di dalam sel?" tanyaku. "Kau menyebutkan nama?"
"Briares!" kata Tyson bersemangat. "Dia Tangan Seratus. Mereka setinggi langit dan?"
"Iya," kataku. "Mereka menghancurkan gunung."
Aku mendongak ke sel di atas kami, bertanya-tanya bagaimana mungkin sesuatu yang setinggi langit
bisa muat dalam sel kecil, dan kenapa dia menangis.
"Kurasa kita harus memeriksaya," kata Annabeth, "sebelum Kamp? kembali."
Ketika kami mendekati sel, isakan makin keras. Saat aku pertama kali melihat makhluk di dalam, aku
tidak yakin apa yang sedang kupandangi. Dia seukuran manusia dan kulitnya sangat pucat, sewarna susu.
Dia mengenakan cawat seperti popok besar. Kakinya tampaknya terlalu besar untuk badannya, dengan
kuku-kuku kaki kotor retak, delapan jari di masing-masing kaki. Tapi paruh atas tubuhnyalah yang aneh.
Dia membuat Janus kelihatan amat sangat normal. Dadanya mencuat lebih banyak lengan daripada yang
bisa kuhitung, berbaris-baris, di seluruh tubuhnya. Lengan-lengannya terlihat layaknya lengan normal,
tapi ada banyak sekali, semuanya saling terjalin sehingga dadanya mirip gulungan spageti yang dipilinpilin seseorang ke garpu. Beberapa tangannya menutupi wajahnya seiring dengan isakannya.
"Entah langit nggak setinggi zaman dulu," gumamku, "atau dia yang pendek."
Tyson tidak memperhatikan. Dia jatuh berlutut.
"Briares!" serunya.
Isak tangis berhenti. "Sang Tangan Seratus yang Hebat!" kata Tyson. "Tolonglah kami!"
Briares mendongak. Wajahnya panjang dan sedih, dengan hidung bengkok dan gigi jelek. Dia punya
mata cokelat pekat"maksudku betul-betul cokelat tanpa pupil putih atau hitam, seperti mata yang
terbuat dari tanah liat. "Larilah, sementara kau bisa, Cyclops," kata Briares sengsara. "Aku bahkan tak bisa menolong diriku
sendiri." "Kau si Tangan Seratus!" Tyson berkeras. "Kau bisa melakukan apa saja!"
Briares mengusap hidungnya dengan lima atau enam tangan. Beberapa tangan yang lain memainkan
logam dan kayu dari tempat tidur yang patah, seperti Tyson yang selalu memain-mainka suku cadang.
Luar biasa untuk disaksikan. Tangan-tangan itu seakan punya pikiran sendiri. Tangan-tangan tersebut
merakit perahu mainan dari kayu, lalu membongkarnya sama cepatnya seperti saat merakitnya. Tangantangan lain menggaruk lantai semen tanpa alasan jelas. Yang lain main batu, kertas, gunting. Beberapa
yang lain membuat bayagan bebek da anjing di dinding.
"Aku tak bisa," keluh Briares. "Kamp? sudah kembali! Para Titan akan bangkit dan melemparkan kami
kembali ke Tartarus."
"Pasang muka beranimu!" kata Tyson.
Seketika wajah Briares berubah wujud menjadi sesuatu yang lain. Mata cokelat yang sama, tapi selain itu
benar-benar berbeda. Dia punya hidung mancung, alis melengkung, dan senyum aneh, seakan dia
sedang mencoba bersikap berani. Tapi kemudian wajahnya kembali seperti sebelumnya.
"Tidak bagus," kataya. "Wajah takutku terus menerus kembali."
"Bagaimana kau melakukan itu?" tanyaku.
Annabeth menyikutku. "Jangan nggak sopan. Para Tangan Seratus punya lima puluh wajah yang
berbeda." "Pasti susah buat masuk buku tahunan," kataku.
Tyson masih terpesona. "Semua pasti oke, Briares! Kami akan menolongmu! Boleh aku minta tanda
tanganmu?" Briares menyedot ingus. "Apa kau punya seratus pena?"
"Teman-teman," Grover menginterupsi. "Kita harus keluar dari sini. Kamp? akan kembali. Dia akan
merasakan kehadiran kita cepat atau lambat."
"Bobol jerujinya," kata Annabeth.
"Yes!" kata Tyson, tersenyum bangga. "Briares bisa melakukannya. Dia kuat sekali. Lebih kuat dari
Cyclops bahkan! Lhiat!"
Briares merengek. Selusin tangan mulai main tepuk tangan, tapi tak satu pun berusaha membobol jeruji.
"Kalau dia kuat sekali," kataku, "kenapa dia terjebak dalam penjara?"
Annabeth menyikut igaku lagi. "Dia ketakutan," bisiknya. "Kamp? mengurungnya di Tartarus seribu
tahun. Menurutmu bagaimana perasaannya?"
Sang Tangan Seratus menutupi wajahnya lagi.
"Briares?" tanya Tyson. "Ada ... ada masalah apa" Tunjukkan kekuatan hebatmu pada kami!"
"Tyson," kata Annabeth, "kupikir sebaiknya kau bobol jerujinya."
Senyum Tyson meleleh pelan-pelan.
"Akan kubobol jerujinya," ulangnya. Dia mencengkeram pintu sel dan merenggutnya dari engselnya
seakan pintu itu terbuat dari tanah liat basah.
"Ayo, Briares," kata Annabeth. "Ayo keluar dari sini."
Annabeth mengulurkan tangan. Selama sedetik, wajah Briares berubah wujud membenuk ekspresi
penuh harap. Sejumlah lengannya terulur, tapi dua kali lipat dari jumlah itu menampar lenganlengannya menjauh.
"Aku tak bisa," katanya. "Dia akan menghukumku."
"Tidak apa-apa," Annabeth berjanji. "Kau bertarung melawan Titan sebelumnya, dan kau menang,
ingat?" "Aku ingat perang itu." Wajah Briares berubah lagi"alis bertaut dan mulut monyong. Wajah
merajuknya, menurut tebakanku. "Petir mengguncang dunia. Kami melemparkan banyak batu. Para
Titan dan monster hampir saja menang. Sekarang mereka jadi kuat lagi. Kamp? bilang begitu."
"Jangan dengarkan dia," kataku. "Ayo!"
Dia tidak bergerak. Aku tahu Grover benar. Kami tidak punya banyak waktu sebelum Kamp? kembali.
Tapi aku tidak bisa meninggalkannya di sini begitu saja. Tyson bakal menangis berminggu-minggu.
"Satu permainan batu, kertas, gunting," semburku. "Kalau aku menang, kau harus ikut dengan kami.
Kalau aku kalah, akan kami tinggalkan kau di penjara."
Annabeth memandangku seakan aku sudah gila.
Wajah Briares berubah menjadi ragu-ragu. "Aku selalu menang batu, kertas, gunting."
"Kalau begitu ayo kita lakukan!" Aku menghantamkan kepalanku ke telapak tanganku tiga kali.
Briares melakukan hal yang sama dengan keseratus tangannya, yang kedengarannya seperti tentara
yang berbaris tiga lagkah kedepan. Dia maju dengan selongsoran bantu, sekotak set gunting, dan cukup
kertas untuk membuat searmada pesawat.
"Sudah kukatakan padamu," katanya sedih. "Aku selalu?" Wajahnya berubah bingung. "Apa yang kau
buat itu?" "Pistol," aku memberitahunya, menunjukkannya pistol jariku. Ini tipuan yang Pak Blofis lakuka padaku
tapi aku tak bakal memberitahunya soal itu. "Pistol mengalahkan apa saja."
"Itu tidak adil."
"Aku tidak bilang apa-apa soal keadilan. Kamp? tidak akan bersikap adil kalau kita nongkrong terus di
sini. Dia bakal menyalahkanmu karena merengut jeruji. Sekarang ayo!"
Briares menyedot ingus. "Demigod tukang curang." Tapi dia pelan-pelan bangkit berdiri dan mengikuti
kami keluar sel. Aku mulai merasa penuh harap. Yang harus kami lakukan cuma turun ke lantai bawah dan menemukan
pintu masuk Labirin. Tapi kemudian Tyson membeku.
Di lantai dasar tepat di bawah, Kamp? menyeringai ke arah kami.
"Ke arah lain," kataku.
Kami melaju menyusuri podium. Kali ini Briares dengan senang hati mengikuti kami. Malahan dia berlari
cepat paling depan, seratus tangan melambai-lambai dengan panik.
Di belakang kami, kudengar bunyi sayap raksasa saat Kamp? terbang ke udara. Dia mendesis dan
mengeram dalam bahasa kunonya, tapi aku tidak perlu terjemahan untuk tahu bahwa dia berencana
menghabisi kami. Kami terburu-buru menuruni tangga, melewati koridor, dan melintasi pos penjaga"keluar ke blok sel
penjara lainnya. "Kiri," kata Annabeth. "Aku ingat ini dari tur kami."
Kami menyerbu ke luar dan mendapati diri kami berada di halaman penjara, dikelilingi oleh menara
keamanan dan kawat berduri. Setelah berada di dalam begitu lama, cahaya siang hampir
membutakanku. Para turis berkeliaran ke sana-sini, memotret. Angin dingin melecut dari teluk. Di
selatan, San Fransisco berkilau putih dan indah, tapi di utara, di atas Gunung Tamalpais, angin badai
besar berpusing. Seisi langit tampak bagaikan topi hitam yang berputar-putar dari gunung tempat Atlas
terpenjara, dan tempat istana Titan di Gunung Tamalpais bangkit kembali. Sulit dipercaya bahwa turis
tidak bisa melihat badai supranatural yang sedang mendidih, tapi mereka tidak memberikan isyarat apa
pun bahwa ada yang tidak beres.
"Keadaannya tambah parah," kata Annabeth, menatap ke utara. "Badai memang parah sepanjang
tahun ini, tapi itu?"
"Terus bergerak," ratap Briares. "Dia di belakang kita!"
Kami berlari ke ujung jauh halaman, sejauh mungkin dari blok sel penjara.
"Kamp? terlalu besar untuk melewati pintu itu," kataku penuh harap.
Lalu dinding pun meledak.
Para turis menjerit saat Kamp? muncul dari debu dan reruntuhan, sayapnya terentang selebar halaman
dia memegang dua pedang"pedang sabit pajang perunggu yang berkilau dengan aura aneh kehijauan,
kepulan uap mendidih yang berbau apak dan panas, bahka sampai ke seberang halaman.
"Racun!" pekik Grover. "Janga biarka benda-benda itu menyentuhmu atau ...."
"Atau kita bakal mati?" tebakku.
"Yah ... setelah kau mengerut pelan-pelan jadi debu, ya."
"Mari kita hindari pedang-pedang itu," aku memutuskan.
"Briares, berjuanglah!" desak Tyson. "Membesarlah keukuran sebenarnya!"
Tapi, Briares kelihatannya justru mencoba mengerut lebih kecil lagi. Dia tampaknya mengenakan wajah
ngeri banget-nya. Kamp? menggemuruh ke arah kami, berpacu dengan kaku naganya, ratusan ular melata di sekeliling
tubuhnya. Selama sedetik aku mempertimbangkan untuk mengunus Reptide dan menghadapinya, tapi aku
kehilangan nyali. Lalu Annabeth mengucapkan apa yang kupikirkan. "Lari."
Itulah akhir perdebatan. Makhluk ini tak bisa diajak bertarung. Kami berlari melewati halaman penjara
dan keluar dari gerbang penjara, si monster tepat di belakang kami. Para manusia fana menjerit-jerit dan
berlarian. Sirene darurat mulai melengking.
Kami mencapai dermaga tepat saat sebuah perahu tur sedang menurunkan penumpang. Sekelompok
pengunjung baru membeku saat mereka melihat kami menerjang ke arah mereka, diikuti oleh
gerombolan turis yang ketakutan, diikuti oleh .... Aku tidak tahu apa yang mereka lihat lewat Kabut, tapi
sepertinya tidak mungkin bagus.
"Perahu?" tanya Grover.
"Terlalu lambat," kata Tyson. "Kembali ke labirin. Satu-satunya kesempatan."
"Kita perlu pengalih perhatian," kata Annabeth.
Tyson merenggut sebuah tiang lampu logam dari tanah. "Aku akan alihkan perhatian Kamp?. Kalian lari
duluan." "Kubantu kau," kataku.
"Nggak," kata Tyson. "Kau pergi. Racun bakal menyakiti Cyclops. Sakit sekali. Tapi tak akan membunuh."
"Kau yakin?" "Pergi, Kak. Kutemui kau di dalam."
Aku membenci gagasan itu. Aku hampir kehilangan Tyson sekali sebelumnya, dan aku tidak mau
mengambil risiko itu lagi. Tapi tidak ada waktu untuk berdebat, dan aku tidak punya ide yang lebih bagus.
Annabeth, Grover, dan aku masing-masing meraih satu tangan Briares dan menyeretnya menuju kios
dagangan sementaraTyson meraung, menurunkan tiangnya, dan menyerbu Kamp? laksana kesatria
bertombak. Monster itu sebelumnya memelototi Briares, tapi Tyson mendapatkan perhatiannya segera setelah dia
menusuknya di dada dengan tiang, mendorongnya ke dinding. Dia menjerit dan menyabetkan
pedangnya, menyayat tiang hancur berkeping-keping. Racun menetes membentuk genangan di
sekelilingnya, mendesis melubangi semen.
Tyson melompat mudur saat rambut Kamp? melecut dan mendesis, ular-ular berbisa di sekelilingnya
menjulurkan lidah mereka ke segala arah. Seekor snga mencuat dari wajah-wajah aneh yang baru
setengah terbentuk di sekitar pinggang dan mengaum.
Saat kami berlari menuju blok sel, hal terakhir yang kulihat adalah Tyson yang mengangkat kios Dippin"
Dots dan melemparkan kepada Kamp?. Es krim dan racun meledak ke mana-mana, semua ular kecil di
rambut Kamp? diperciki es krim tutti-frutti.Kami melejit kembali ke halaman penjara.
"Tidak sanggup," Briares terengah-engah.
"Tyson mempertaruhkan nyawanya untuk menolongmu!" bentakku padaya. "Kau harus sanggup."
Saat kami mencapai pintu blok sel, aku mendengar auman marah. Aku melirik ke belakang dan melihat
Tyson berlari ke arah kami dengan kecepatan penuh, Kamp? tepat di belakangnya. Dia bersimbah es
krim dan T-shirt. Salah satu kepala beruang di pinggangnya sekarang mengenakan kacamata hitam
Alcatraz miring. "Cepat!" kata Annabeth, seakan aku perlu diberi tahu soal itu.
Kami akhirnya menemukan sel tempat kami masuk tadi, tapi dinding belakangnya sekarang mulus
sepenuhnya"tidak ada tanda batu besar atau apa pun.
"Cari tandanya!" kata Annabeth.
"Ini!" Grover menyentuh goresan kecil, dan goresan tersebut berubah menjadi D Yunani. Tanda
Daedalus berkilau biru, dan dinding batu menggeretak terbuka.
Terlalu pelan. Tyson muncul lewat sel blok, pedang Kamp? mengibas di belakangnya, tanpa pandang
bulu mengiris jeruji sel dan dinding batu.
Aku mendorong Briares ke dalam labirin, lalu Annabeth dan Grover.
"Kau bisa melakukannya!" kataku kepada Tyson. Tapi seketika aku tahu dia tak bisa. Kamp? menyusul.
Dia mengangkat pedangnya. Aku perlu pengalih perhatian"sesuatu yang besar. Aku menampar arlojiku
dan ia berpusing menjadi perisai peunggu. Dengan putus asa, kulemparkan perisai ke muka si monster.
PLAK! Perisai menabrak mukanya dan dia terhuyung-huyung cukup lama sehingga Tyson bisa meluncur
melewatiku ke dalam labirin. Aku tepat di belakangnya.
Kamp? menerjang, tapi dia terlambat. Pintu batu tertutup dan sihir menyegel kami di dalam. Aku bisa
merasakan seluruh terowongan berguncang saat Kamp? menggedor-gedornya, meraung marah. Tapi,
kami tak menunggu main "tok, tok ada siapa di sana" bersamanya. Kami berpacu ke kegelapan, dan
untuk pertama kalinya (dan terakhir kali) aku lega bisa kembali ke Labirin.[]
BAB DELAPAN Kami Mengunjungi Pemilik Peternakan Monster
Kami akhirnya berhenti di sebuah ruangan penuh air terjun. Lantainya berupa lubang besar, dikelilingi
oleh jalan setapak dari batu. Di sekeliling kami, pada keempat dinding, air tertuang dari pipa-pipa besar.
Air tertumpah ke lubang, dan bahkan saat aku menyinarinya, aku tidak bisa melihat dasarnya.
Briares berjongkok sambil merapat ke dinding. Dia menyendok air menggunakan selusin tangan dan
mencuci mukanya. "Lubang ini tersambung tepat ke Tartarus," gumamnya. "Aku sebaiknya melompat
masuk dan menyelamatkan kalian dari masalah."
"Jangan bilang begitu," Annabeth memberitahunya. "Kau boleh kembali ke perkemahan dengan kami.
Kau bisa membantu kami mempersiapkan diri. Kau tahu lebih banyak tentang pertarungan melawan
Titan daripada siapa pun."
"Aku tak punya apa-apa untuk ditawarkan," kata Briares. "Aku sudah kehilangan segalanya."
"Bagaimana dengan saudara-saudaramu?" tanya Tyson. "Yang dua lagi pasti masih berdiri setinggi
gunung! Kami bisa membawamu ke mereka."
Ekspresi Briares berubah menjadi sesuatu yang bahkan lebih menyedihkan: wajah dukanya. "Mereka
sudah tiada. Mereka memudar."
Air terjun bergemuruh. Tyson menatar lubang dan berkedip-kedip, mengusir air mata di matanya.
"Apa tepatnya maksudmu, mereka memudar?" tanyaku. "Kupikir monster kekal, seperti dewa."


Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Percy," kata Grover lemah, "bahkan kekekalan pun punya batas. Kadang ... kadang-kadang monster
terlupakan dan mereka kehilangan tekad untuk tetap kekal."
Memandang wajah Grover, aku bertanya-tanya apakah dia sedang memikirkan Pan. Aku ingat sesuatu
yang pernah Medusa katakan pada kami: bagaimana saudari-saudarinya, dua gorgon lain, telah tiada
dan meninggalkannya sendirian. Lalu tahun kemarin Apollo mengatakan sesuatu tentang dewa kuno
Helios yang lenyap dan meninggalinya tugas-tugas sebagai dewa matahari. Aku tidak pernah terlalu
memikirkannya, tapi sekarang, melihat Briares, aku menyadari betapa mengenaskannya berusia setua
itu"entah berapa ribu tahun"dan betul-betul sendirian.
"Aku harus pergi," kata Briares.
"Pasukan Kronos akan menyerbu perkemahan," kata Tyson. "Kami perlu bantuan."
Briares menundukkan kepalanya. "Aku tak bisa, Cyclops."
"Kau kuat." "Tidak lagi." Briares berdiri.
"Hei." Aku mencengkeram salah satu lengannya dan menariknya ke tepi, di mana ruangan air akan
menyembunyikan kata-kata kami. "Briares, kami memerlukanmu. Kalau-kalau kau belum sadar, Tyson
percaya padamu. Dia membahayakan hidupnya demi kau."
Aku menceritakan segalanya padanya"rencana penyerbuan Luke, pintu masuk Labirin di perkemahan,
bengkel kerja Daedalus, peti emas Kronos.
Briares cuma menggelengkan kepalanya. "Aku tak bisa, blasteran. Aku tidak punya sebuah jari pistol
untuk memenangi permainan ini." Untuk membuktikan maksudnya, dia membuat seratus jari pistol.
"Mungkin itu sebabnya kenapa monster memudar," kataku. "Mungkin buka soal apa yang dipercayai
manusia fana. Mungkin itu karena kalian sendiri yang menyerah."
Mata cokelat pekatnya memandangku. Wajahnya berubah membentuk ekspresi yang kukenali"malu.
Lalu dia berbalik dan terhuyung-huyung menyusuri koridor sampai dia hilang dalam kegelapan.
Tyson terisak. "Tidak apa-apa." Grover menepuk bahunya ragu-ragu, yang pasti menguras seluruh keberaniannya.
Tyson bersin. "Apa-apa, Bocah Kambing. Dia pahlawanku."
Aku ingin membuatnya merasa lebih baik, tapi aku tidak yakin harus berkata apa.
Akhirnya, Annabeth berdiri dan menyandang tas punggungnya. "Ayo, Teman-teman. Lubang ini
membuatku gugup. Ayo kita cari tempat lain yang lebih bagus untuk berkemah malam ini."
Kami beristirahat di koridor yang terbuat dari balok-balok marmer besar. Kelihatannya tempat itu bisa
saja merupakan bagian dari makam Yunani, dengan dudukan obor perunggu dikencangkan ke dinding.
Koridor itu pasti merupakan bagian labirin yang lebih tua, dan Annabeth memutuskan bahwa ini
pertanda bagus. "Kita pasti sudah dekat dengan bengkel kerja Daedalus," katanya. "Beristirahatlah, Teman-teman. Kita
akan melanjutkan besok pagi."
"Bagaimana kita tahu kalau sudah pagi?" tanya Grover.
"Istirahat sajalah," Annabeth berkeras.
Grover tidak perlu diberi tahu dua kali. Dia menarik setumpuk jerami dari tasnya, memakan sebagian,
menjadikan sisanya sebagai bantal, dia mendengkur seketika. Tyson perlu waktu lebih lama untuk
tertidur. Dia mengutak-atik potongan logam dari perangkat rakitannya sebentar, tapi apa pun yang
sedang dia tidak puas soal itu. Dia terus-menerus membongkar potongan-potongan tersebut.
"Maafkan aku karena menghilangkan perisai," kataku padanya. "Padahal kau bekerja keras untuk
memperbaikinya." Tyson mendongak. Matanya merah karena menangis. "Jangan cemas, Kak. Kau menyelamatkanku. Kau
tak perlu melakukanya kalau saja Briares mau membantu."
"Dia cuma takut," kataku. "Aku yakin dia bakal mengatasinya."
"Dia nggak kuat," kata Tyson. "Dia nggak penting lagi."
Dia mengeluarkan desahan besar sedih, lalu memejamkan matanya. Potongan-potongan logam
berjatuhan dari tangannya, masih belum terakit, dan Tyson mulai mendengkur.
Aku sendiri mencoba tidur, tapi aku tak bisa. Gara-gara dikejar-kejar wanita naga raksasa dengan pedang
berbisa aku sulit rileks. Aku mengambil matras gulungku dan menyeretnya ke tempat Annabeth sedang
duduk berjaga-jaga. Aku duduk di sebelahnya. "Kau seharusnya tidur," katanya.
"Nggak bisa tidur. Kau nggak apa-apa?"
"Tentu saja. Hari pertama memimpin misi. Rasanya luar biasa."
"Kita bakal sampai ke sana," kataku. "Akan kita temukan bengkel kerja itu sebelum Luke."
Dia menyibakkan rambut dari wajahnya. Ada tanah yang mencoreng dagunya, dan kubayangkan seperti
apa rupanya waktu dia kecil, berkeliaran ke sepenjuru negeri bersama Thalia dan Luke. Ketika dia
menyelamatkan mereka dari kediaman cyclops jahat waktu umurnya baru tujuh tahun. Bahkan saat dia
kelihatan takut, seperti sekarang, aku tahu dia punya nyali besar.
"Seandainya saja misi ini logis," keluhnya. "Maksudku, kita berpergian, tapi kita tidak punya gambaran
kita bakal sampai di mana. Bagaimana kita bisa berjalan dari New York ke California dalam sehari?"
"Ruang tidaklah sama di labirin."
"Aku tahu, aku tahu. Hanya saja ...." Dia memandangku ragu-ragu. "Percy, aku membodohi diriku. Susah
payah merencanakan dan membaca, aku tidak tahu sama sekali ke mana kita pergi."
"Kerjamu hebat. Lagi pula, kita, kan, memang nggak pernah tahu apa yang kita lakukan. Akhirnya toh
selalu berhasil. Ingat pulau Circe?"
Dia mendengus. "Kau jadi marmot yang imut."
"Dan Waterland, bagaimana kau membuat kita terlempar dari kendaraan itu?"
"Aku membuat kita terlempar" Itu, kan, sepenuhnya salahmu!"
"Tuh kan" Semuanya pasti baik-baik saja."
Dia tersenyum, aku senang melihatnya, tapi senyum itu memudar dengan cepat.
"Percy, apa maksud Hera waktu dia bilang kau tahu cara menjelajahi labirin?"
"Aku nggak tahu," akuku. "Sejujurnya."
"Kau akan memberitahuku kalau kau tahu?"
"Tentu. Mungkin ...."
"Mungkin apa?" "Mungkin kalau kau memberitahuku baris terakhir ramalan, itu akan membantu."
Annabeth bergidik. "Tidak di sini. Tidak dalam kegelapan."
"Bagaimana soal pilihan yang disebut-sebut Janus" Hera bilang?"
"Stop," bentak Annabeth. Lalu dia menghela napas sambil gemetar. "Maafkan aku, Percy. Aku cuma
stres. Tapi aku nggak ... aku harus memikirkannya."
Kami duduk dalam keheningan, mendengarkan keriut dan eragan aneh di labirin, gema batu-batu yang
bergemertak saling gesek saat terowongan berubah, tumbuh, dan meluas. Kegelapan membuatku
memikirkan visi yang kulihat akan Nico di Angelo, dan tiba-tiba aku menyadari sesuatu.
"Nico di bawah sini juga, di suatu tempat," kataku. "Begitulah cara dia menghilang dari perkemahan. Dia
menemukan Labirin. Lalu dia menemukan jalan yang mengarah lebih jauh ke bawah"ke Dunia Bawah.
Tapi sekarang dia kembali ke Labirin. Dia mengincarku."
Annabeth lama terdiam. "Percy, kuharap kau salah. Tapi kalau kau benar ...." Dia menatap berkas cahaya
senter yang memancarkan lingkaran redup di dinding batu. Aku punya firasat dia sedang memikirkan
ramalannya. Aku tidak pernah melihatnya lebih lelah daripada sekarang.
"Bagaimaa kalau aku yang ambil giliran jaga pertama?" kataku. "Akan kubangunkan kau seandainya ada
sesuatu yang terjadi."
Annabeth kelihatannya ingin protes, tapi dia mengangguk saja, mengenyakkan diri ke matras gulung,
dan memejamkan matanya. Saat giliranku tidur, aku bermimpi aku kembali berada di penjara Labirin sang pria tua.
Penjara itu lebih mirip bengkel kerja sekarang. Alat-alat ukur berserakan di atas meja-meja. Anak lakilaki yang kulihat dalam mimpi sebelumnya sedang mengipas api, hanya saja dia lebih tinggi sekarang,
hampir seumurku. Sebuah tanur aneh terhubung dengan cerobong asap alat tempa, mengurung asap
dan panas dan menyalurkannya lewat pipa ke dalam lantai, di sebelah tutup lubang besar dari perunggu.
Saat itu siang hari. langit di atas berwarna biru, tapi dinding-dinding labirin menebarkan bayanganbayangan melintang di bengkel kerja. Setelah berada di dalam terowongan demikian lama, menurutku
aneh ada bagian Labirin yang bisa terbuka ke langit. Entah bagaimana itu membuat labirin tampak
bagaikan tempat yang bahkan lebih kejam lagi.
Sang pria tua terlihat seperti orang sakit. Dia sangat kurus, tangannya bengkak dan merah karena
bekerja. Rambut putih menutupi matanya, dan tuniknya tercoreng kotoran berminyak. Dia
membungkuk di atas sebuah meja, mengerjakan semacam anyaman logam panjang"seperti sepotong
baju zirah rantai. Dia mengambil segulung rapuh perunggu dan memasangnya di tempatnya.
"Selesai," katanya mengumumkan. "Sudah selesai."
Dia mengangkat hasil karyanya. Indah sekali, hatiku rasanya mau meloncat"sayap logam terbuat dari
ribuan bulu perunggu uang saling kait. Jumlahnya ada dua set. Yang satu masih terhampar di meja.
Daedalus merentangkan rangkanya, dan sayap itu mulur menjadi enam meter. Sebaian dari diriku sayap
itu takkan pernah bisa terbang. Sayap itu tertalu berat dan tidak mungkin terangkat dari tanah. Tapi
sebagai sebuah hasil kreasi, sayap itu luar biasa. Bulu-bulu logam menangkap cahaya dan memantulkan
tiga puluh nuansa keemasan yang berbeda.
Si anak laki0laki meninggalkan kipas dan berlari menghampiri untuk melihat. Dia menyeringai, terlepas
dari kenyataan bahwa dia kotor dan berkeringat. "Ayah, kau genius!"
Sang pria tua tersenyum. "Beri tahu aku sesuatu yang tak kuketahui, Icarus. Sekarang cepatlah. Paling
tidak bakal perlu sejam untuk menempelkannya. Ayo."
"Ayah dulu," kata Icarus.
Sang pria tua memperotes, tapi Icarus memaksa. "Ayah yang membuatnya. Ayah seharusnya mendapat
kehormatan untuk mengenakannya lebih dulu."
Si anak laki-laki memasang kekang kulit yang tersambung dari bahu ke pergelangan tangannya. Lalu dia
mulai mengencangkan sayap, menggunakan alat tembak logam yang kelihatannya seperti pistol lem
panas raksasa. "Komponen lilin ini seharusnya tahan beberapa jam," kata Daedalus gugup saat putranya bekerja. "Tapi
kita harus membiarkannya mengeras terlebih dahulu. Dan kita harus bisa terbang tidak terlalu tinggi
atau terlalu rendah. Laut akan membasahi lilin?"
"Dan panas matahari akan melonggarkannya," si anak laki-laki menyelesaikannya. "Ya, Ayah. Kita sudah
mengulang-ulangnya jutaan kali!"
"Tidak pernah salah untuk selalu berhati-hati."
"Aku percaya sepenuhnya pada temuanmu, Ayah. Tidak ada orang yang sepintar Ayah."
Mata sang pria tua berbinar. Jelas bahwa dia menyayangi putranya melebih apa pun di dunia. "Sekarang
kupasang sayapmu, dan beri sayapku kesempatan untuk mengeras. Ayo!"
Proses itu berjalan lambat. Tangan sang pria tua susah payah memasang kekang. Dia kesulitan
mempertahankan sayap pada tempatnya sementara dia menyegelnya. Sayap logamnya sendiri
tampaknya membebaninya, merintanginya sementara dia mencoba untuk bekerja.
"Telalu lamban," gumam sang pria tua. "Aku terlalu lamban."
"Pelan-pelas saja, Ayah," kata si anak laki-laki. "Para pengawal tidak akan datang sampai?"
BUM! Pintu-pintu bengkel kerja bergetar. Daedalus telah memalangi pintu dari dalam dengan penyangga kayu,
tapi pintu tersebut masih saja berguncang pada engselnya.
"Cepat!" kata Icarus.
BUM! BUM! Sesuatu yang berat menghantam pintu. Penyangga bertahan, tapi retakan muncul di pintu kiri.
Daedalus bekerja gila-gilaan. Tetesan lilin panas tertumpah ke bahu Icarus. Anak laki-laki itu mengernyit
tapi tidak menjerit. Saat sayap kirinya tersegel ke kekang, Daedalus mulai mengerjakan yang kanan.
"Kita perlu lebih banyak waktu," Daedalus berkomat-kamit. "Mereka terlalu awal! Kita perlu waktu
supaya lilinnya bertahan."
"Tidak apa-apa," kata Icarus saat ayahnya menyelesaikan sayap kanan. "Bantu aku dengan lubang?"
KRAK! Pintu tercungkil dan kepala sebuah penggedor perunggu muncul menembus patahan. Kapakkapak membersihkan puing-puing, dan dua pengawal bersenjata memasuki ruangan, diikuti oleh sang
raja bermahkota emas dan berjenggot lancip.
"Wah, wah," kata sang raja dengan senyum kejam. "Mau pergi ke suatu tempat?"
Daedalus dan putranya membeku, sayap logam mereka berkilat di belakang mereka.
"Kami akan pergi, Minos," kata sang pria tua.
Raja Minos tergelak. "Aku penasaran ingin melihat seberapa jauh kalian mengerjakan proyek kecil ini
sebelum aku menghancurkan harapan kalian. Harus kukatakan aku terkesan."
Sang raja mengagumi sayap mereka. "Kalian terlihat seperti ayam logam," dia memutuskan. "Mungkin
kita sebaiknya mencabuti bulu-bulu kalian dan membuat sup."
Para pengawal tertawa bodoh.
"Ayam logam," salah satunya mengulangi. "Sup."
"Tutup mulut," kata sang raja. Lalu dia berpaling kembali kepada Daedalus. "Kau biarkan anak
perempuanku kabur, Pak Tua. Kau membuat istriku gila. Kau membunuh monsterku dan menjadikanku
bahan tertawaan di seluruh Mediterania. Kau takkan pernah bisa melarikan diri dariku!"
Icarus merenggut pistol lilin dan menyemprotkannya kepada sang raja, yang melangkah mudur karena
kaget. Para pengawal bergegas maju, tapi masing-masing mendapatkan semburan lilin panas
diwajahnya. "Lubang udara!" Icarus berteriak kepada ayahnya.
"Tangkap mereka!" Raja Minos meraung murka.
Bersama-sama, sang pria tua dan putranya mengumpil tutup lubang hingga terbuka, dan semburan
udara panas tersembur keluar dari tanah. Sang raja menyaksikan, terperangah, saat sang penemu dan
putranya terlempar ke langit denga sayap perunggu mereka, dibawa oleh aliran udara ke atas.
"Tembak mereka!" teriak sang raja, tapi para pengawalnya tidak membawa busur. Salah satu
melemparkan pedangnya putus asa, tapi Daedalus dan Icarus sudah berada di luar jangkauan. Mereka
terbang berputar di atas labirin dan istana sang raja, lalu melesat melintasi kota Knossos dan keluar
darinya, melewati pesisir Kreta yang berbatu-batu.
Icarus tertawa. "Bebas, Ayah! Ayah berhasil!"
Si anak laki-laki merentangkan sayapnya ke batas maksimum dan melayang mengikuti angin.
"Tunggu!" Daedalus berseru. "Hati-hati!"
Tapi Icarus sudah berada di atas lautan terbuka, menuju ke utara dan mensyukuri nasib baik mereka. Dia
membubung dan menakuti seekor elang sehingga menyamping dari jalur terbangnya, lalu meluncur
turun ke laut seakan dia dilahirkan untuk terbang, menghentikan gerakan terjun bebas pada saat
terakhir. Sandalnya menyentuh ombak.
"Hentikan itu!" Daedalus berseru. Tapi angin membawa pergi suaranya. Putranya mabuk akan
kebebasannya sendiri. Sang pria tua berusaha menyusul, melayang kikuk di belakang putranya.
Mereka berkilo-kilometer jauhnya dari Kreta, di atas laut yang dalam, saat Icarus menoleh ke belakang
dan melihat ekspresi khawatir ayahnya.
Icarus tersenyum. "Jangan khawatir, Ayah! Ayah seorang genius! Aku memercayai kerja?"
Bulu logam pertama berguncang, terlepas dari sayapnya dan melayang pergi. Lalu satu lagi. Icarus
bergoyang-goyang di udara. Tiba-tiba dia merontokkan bulu perunggu, yang berpusing lepas darinya
bagaikan sekawanan burung yang ketakutan.
"Icarus!" teriak ayahnya. "Melayang! Rentangkan sayapmu. Berusahalah sediam mungkin sebisamu."
Tapi Icarus mengepakkan lenganya, putus asa ingin berusaha memperoleh kendali kembali.
Sayap kiri lepas lebih dulu"robek dari kekang.
"Ayah!" jerit Icarus. Dan kemudian dia jatuh, sayap-sayap terlepas sampai dia hanyalah seorang anak
laki-laki yang mengenakan kekang pendaki dan tunik putih, lengannya terentang dalam upaya sia-sia
untuk melayang. Aku terkesiap bangun, merasa seolah aku sedang jatuh. Koridor gelap gulita. Di tengah erangan konstan
Labirin, kupikir aku bisa mendengar teriakan Daedalus yang penuh derita saat memanggil nama
putranya, sementara Icarus, satu-satunya kebahagiaannya, terjun bebas ke laut, hampir seratus meter di
bawah. Tidak ada pagi di dalam labirin, tapi setelah semua bangun dan menikmati sarapan luar biasa berupa
granola batangan dan jus kotak, kami melanjutkan perjalanan. Aku tidak menyinggung-nyinggung
mimpiku. Sesuatu soal mimpi itu betul-betul membuatku takut , dan kupikir yang lain tidak perlu
mengetahuinya. Terowongan batu tua berubah menjadi tanah dengan kasau dari kayu cedar, seperti tambang emas atau
apalah. Annabeth mulai gelisah.
"Ini tidak benar," katanya. "Seharusnya masih terowongan batu."
Kami sampai di sebuah gua di mana stalaktit-stalaktit tergantung rendah dari langit-langit. Di tengah
lantai tanah ada lubang segi empat, seperti kuburan.
Grover gemetar. "Bau di sini kayak Dunia Bawah."
Lalu kulihat sesuatu yang berkilat-kilat di tepi lubang"pembungkus dari kertas aluminium. Aku
menyinarkan senterku ke dalam lubang dan melihat burger keju yang baru dimakan separuh mengapung
di lumpur cokelat berkarbonasi.
"Nico," kataku. "Dia memanggil orang mati lagi."
Tyson merengek. "Tadi ada hantu di sini. Aku nggak suka hantu."
"Kita harus menemukannya." Aku tak tahu kenapa tapi berdiri di tepi kubangan memberiku perasaan
bahwa kami harus bergegas. Nico sudah dekat. Aku bisa merasakannya. Aku tidak bisa membiarkannya
berkeliaran di bawah sini, sendirian, hanya ditemani orang mati. Aku mulai berlari.
"Percy!" seru Annabeth.
Aku masuk sambil merunduk ke sebuah terowogan dan melihat cahaya di depan. Pada saat Annabeth,
Tyson, dan Grover menyusulku, aku sedang menatap cahaya siang yang memancar lewat jeruji di atas
kepalaku. Kami berada di bawah terali baja yang terbuat dari pipa logam. Aku bisa melihat pepohonan
dan langit biru. "Di mana kita?" aku bertanya-tanya.
Lalu bayangan jatuh melintang di atas jeruju dan seekor sapi menunduk menatapku. Ia terlihat layaknya
sapi normal, hanya saja warnanya aneh"merah cerah, layaknya seperti ceri. Aku tidak tahu ada sapi
yang berwarna seperti itu.
Si sapi melenguh, melekakkan satu kaki ragu-ragu ke atas terali, lalu mundur menjauh.
"Dia sapi penjaga," kata Grover.
"Apa?" tanyaku.
"Mereka menempatkan sapi penjaga di gerbang perternakan supaya sapi-sapi nggak bisa keluar. Mereka
tidak bisa kabur dari sapi penjaga."
"Bagaimana kau bisa tahu itu?"
Grover mendengus kesal. "Percaya padaku, kalau kau punya kaki binatang hewan memamah biak, kau
pasti tahu soal sapi penjaga. Mereka menyebalkan!"
Aku menoleh kepada Annabeth. "Bukankah Hera mengatakan sesuatu soal peternakan" Kita harus
memeriksanya. Nico mungkin ada di atas sana."
Dia ragu-ragu. "Baiklah. Tapi bagaimana kita keluar?"
Tyson memecahkan masalah itu dengan cara memukul si sapi dengan kedua tangan. Ia mental dan
terbang menghilang dari pandangan. Kami mendengar KLANG! Dan suara MOO! kaget. Tyson merona.
"Maaf, Sapi!" serunya.
Lalu dia mendorong kami keluar dari terowongan.
Kami memang ada di peternakan. Bukit yang naik-turun membentang sampai ke cakrawala, ditaburi
pohon-pohon ek dan kaktus dan batu-batu besar. Pagar kawat berduri terentang dari gerbang di kedua
sisi. Sapi-sapi berwarna merah ceri berkeliaran, memamah gumpalan rumput.
"Sapi merah," kata Annabeth. "Sapi matahari."
"Apa?" tanyaku.
"Mereka dikeramatkan untuk Apollo."


Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sapi suci?" "Tepat sekali. Tapi apa yang mereka lakukan?"
"Tunggu," kata Grover. "Dengar."
Pada mulanya segalanya seolah-olah tenang ... tapi kemudian aku mendengarnya: gonggongan anjing di
kejauhan. Bunyi itu semakin keras. Lalu semak-semak bergemerisik, dan dua anjing menyerbu lewat.
Hanya saja yang lewat bukan dua anjung melainkan satu anjing dengan dua kepala. Ia terlihat sepertu
jenis greyhound, panjang dan kelimis dan cokelat mulus, tapi lehernya bercabang menjadi dua kepala,
keduanya menyalak dan menggeram dan pada dasarnya tidak terlalu senang melihat kami.
"Anjing Janus jahat!" seru Tyson.
"Guk!" Grover berkata padanya, dan mengangkat tangan untuk memberi salam.
Si anjing berkepala dua memamerkan gigi-giginya. Kurasa dia tidak terkesan meskipun Grover berbicara
dalam bahasa hewan. Lalu majikannya menapak ke luar hutan, dan kusadari anjing itu adalah masalah
kami yang paling sepele. Dia seorang laki-laki besar dengan rambut yang sepenuhnya putih, topi koboi jerami, dan jenggot putih
yang dikepang"mirip tokoh komik Father Time"Bapak Waktu, seandainya Bapak Waktu jadi orang
desa dan betul-betul kekar laksana tukang pukul. Dia memakai jin, T-shirt JANGAN MACAM-MACAM
SAMA TEXAS, dan jaket denim yang lengannya robek sehingga otot-ototnya tampak jelas. Di bisep
kanannya ada tato pedang yang bersilanga. Dia memegang pentungan kayu yang kira-kira seukuran misil
nuklir, dengan paku-paku sepanjang lima belas sentimeter mencuat di ujungnya.
"Sini, Orthus," katanya kepada si anjing.
Si anjing menggeram kepada kami sekali lagi, hanya untuk menunjukkan perasaannya sejelas mungkin,
lalu berputar untuk kembali ke kaki majikannya. Pria itu memandangi kami dari atas ke bawah, tetap
menyiagakan pentungannya.
"Apa-apaan, nih?" tanyanya. "Maling ternak"
"Cuma pengembara," kata Annabeth. "Kami sedang dalam misi."
Mata pria itu berkedut. "Blasteran, ya?"
Aku mulai mengatakan, "Bagaimana kau tahu?"
Annabeth meletakkan tangannya di lenganku. "Aku Annabeth, putri Athena. Ini Percy, putra Poseidon.
Grover sang satir. Tyson sang?"
"Cyclops," tutup sang pria. "Ya, bisa kulihat itu." Dia memelototiku. "Dan aku tahu blasteran karena aku
juga blasteran, Nak. Aku Eurytion, gembala sapi di peternakan ini. Putra Ares. Kau datang lewat Labirin
seperti yang satu lagi, kutebak."
"Yang satu lagi?" tanyaku. "Maksudmu Nico di Angelo?"
"Kami kedatangan banyak pengunjung dari Labirin," kata Eurytion suram. "Tidak banyak yang pergi."
"Wow," kataku. "Aku merasa diterima."
Sang gembala sapi melirik ke belakangnya seakan seseorang sedang mengawasi. Lalu dia memelankan
suaranya. "Aku Cuma akan mengatakan ini sekali, Blasteran. Kembali ke labirin sekarang. Sebelum
terlambat." "Kami tidak akan pergi," Annabeth berkeras. "Tidak sampai kami menemui blasteran yang satu lagi itu.
Kumohon." Eurytion bersungut-sungut. "Kalau begitu kau tidak memberiku pilihan lain, Non. Aku harus membawa
kalian menemui bos."
Aku tidak merasa seakan kami ini tawanan atau apa. Eurytion berjalan di samping kami dengan
pentungan tersandar di bahunya. Orthus si anjing berkepala dua menggeram-geram dan mengendus
kaki Grover dan melejit ke semak-semak sesekali untuk mengejar hewan, tapi Eurytion bisa dibilang
cukup mengendalikannya. Kami menyusuri jalan setapak tanah yang tampaknya berlanjut selamanya. Suhunya pasti mendekati
empat puluh derajat Celcius yang bisa bikin syok sehabis mengunjungi San Fransisco. Panas berdenyar di
permukaan tanah. Serangga-serangga berdengung di pepohonan. Sebelum kami pergi terlalu jauh, aku
sudah mandi keringat. Lalat-lalat mengerubungi kami. Sesekali kami melihat kandang berisi sapi-sapi
merah atau hewan-hewan yang bahkan lebih aneh lagi. Satu kali kami melewati lapangan berpagar yang
pagarnya berlapis asbes. Di dalam, sekawanan kuda yang menyemburkan napas api berpitas ke sanakemari. Jerami di kotak makanan mereka terbakar. Tanah berasap di sekitar kaku mereka, tapi para kuda
tampaknya cukup jinak. Seekor kuda jantan besar menatapku dan meringkik, semburan api merah
berkobar dari lubang hidungnya. Aku jadi penasaran apakah itu membuat sinusnya sakit.
"Untuk apa sih mereka?" tanyaku.
Eurytion cemberut. "Kami menernakkan hewan untuk banyak pelanggan. Apollo, Diomedes, dan ... lainlain."
"Dan lain-lain siapa?"
"Tidak ada pertanyaan lagi."
Akhirnya kami sampai di luar hutan. Bertengger di atas bukit di atas kami, terdapat rumah peternakan
besar"terbuat dari batu putih serta kayu dan berjendela besar.
"Bentuknya mirip karka Frank Lloyd Wright!" kata Annabeth.
Kuduga dia sedang bicara soal arsitektur. Bagiku rumah itu kelihatannya seperti tempat beberapa
blasteran bisa dapat masalah besar. Kami mendaki bukit.
"Jangan langgar peraturan," Eurytion memperingatkan saat kami berjalan menaiki undakan ke beranda
depan. "Tidak boleh berkelahi. Tidak boleh menghunus senjata. Dan jangan berkomentar soal
penampilan bos." "Kenapa?" tanyaku. "Tampangnya seperti apa?"
Sebelum Eurytion bisa menjawab, suara baru berkata, "Selamat datang di Perkemahan Tripel G."
Pria di beranda punya kepala normal, yang tentunya melegakan. Wajahnya keriput dan cokelat karena
bertahun-tahun yang dihabiskannya diterpa sinar matahari. Dia punya rambut hitam licin dan kumis
hitam tipis seperti yang dipunyai penjahat di film-film lama. Dia tersenyum pada kami, tapi
senyumannya tidak ramah; lebih cocok dibilang girang, seolah-olah ingin berkata, Ya ampun, ada orang
lagi buat disiksa! Tapi, aku tidak merenungi hal itu lama-lama karena kemudian aku melihat badanya ... atau badanbadannya. Dia punya tiga badan. Nah, kau bakal berpikir aku sudah terbiasa dengan anatomi aneh
setelah Janus dan Briares, tapi laki-laki ini adalah tiga orang komplet. Lehernya terhubung ke dada
bagian tengah seperti lazimnya, tapi dia punya dua dada lagi, satu di masing-masing sisi, terhubung
dengan bahu, dengan jarak beberapa inci di antaranya. Lengan kirinya menjulur keluar dari dada
tengahnya, dan begitu pula di kanan, jadi dia punya dua lengan, tapi ketiaknya empat, kalau itu masuk
akal. Semua dadanya terhubung menjadi satu torso besar, dengan kaki yang biasa namun sangat tebal
berdaging, dan dia memakai celana Levis paling longgar yang pernah kulihat. Masing-masing dadanya
mengenakan baju ala koboi yang berbeda warna"hijau, kuning, merah, seperti lampu lalu lintas. Aku
bertanya-tanya bagaimaa dia memakaikan baju untuk dada tengah, soalnya di situ tak ada lengan.
Eurytion sang gembala sapi menyikutku. "Bilang halo sama Pak Geryon."
"Hai," kataku. "Dada"eh, peternakan yang bagus! Peternakan Anda bagus, deh."
Sebelum si pria berbadan tiga bisa merespons, Nico di Angelo keluar dari pintu kaca ke beranda.
"Geryon, aku tak akan menunggu?"
Dia membeku saat dia melihat kami. Lalu dia menghunus pedangnya. Bilahnya persis seperti yang
kulihat dalam mimpiku: pendek, tajam, dan segelap malam.
Geryon menggeram saat melihatnya. "Jauhkan itu, Mister di Angelo. Aku tak mau tamu-tamuku saling
bunuh." "Tapi itu?" "Percy Jackson," timpal Geryon. "Annabeth Chase. Dan sepasang teman monster mereka. Ya, aku tahu."
"Teman monster?" kata Grover sebal.
"Laki-laki itu pakai tiga baju," kata Tyson, seakan dia baru menyadari hal ini.
"Mereka membiarkan kakakku mati!" Suara Nico bergetar dengan amarah. "Mereka di sini untuk
membunuhku!" "Nico, kami bukan di sini untuk membunuhmu." Aku mengangkat tanganku. "Apa yang terjadi pada
Bianca?" "Jangan sebut namanya! Kalian bahkan tidak pantas membicarakannya!"
"Tunggu sebentar." Annabeth menunjuk Geryon. "Bagaimana Anda tahu nama kami?"
Si pria berbadan tiga mengedip. "Aku rajin mencari informasi, Say". Banyak orang muncul dari waktu ke
waktu di peternaka. Semua orang perlu sesuatu dari si tua Geryon. Sekarang, Mister di Angelo,
singkirkan pedang jelek itu sebelum aku minta Eurytion mengambilnya darimu."
Eurytion mendesah, tapi dia mengangkat pentungan pakunya. Di kakinya, Orthus menggeram.
Nico ragu-ragu. Dia kelihata lebih kurus dan lebih pucat daripada di pesan-Iris. Aku bertanya-tanya apa
dia pernah makan minggu lalu. Pakaian hitamnya berdebu karena bepergian dalam Labirin, dan matanya
yang gelap penuh kebencian. Dia terlalu muda untuk terlihat begitu marah. Aku masih mengingatnya
sebagai anak kecil ceria yang bermain dengan kartu Mythomagic.
Dengan enggan, disarungkannya pedangnya. "Kalau kau mendekatiku, Percy, akan kupanggil bantuan.
Kau nggak akan mau ketemu para pembantuku. Percayalah."
"Aku percaya padamu," kataku.
Geryon menepuk bahu Nico. "Nah, semuanya sudah berbaikan. Sekarang mari, Anak-anak. Aku ingin
memberi kalian tur keliling peternakan."
Geryon punya semacam troli"seperti kereta-keretaan yang membawa kita keliling kebun binatang. Troli
itu dicat hitam dan putih sesuai polah kulit sapi. Ada kepala sapi bertanduk yang terpasang di kap
gerbong sopir, dan klaksonnya berbunyi seperti kelintingan sapi. Kuduga mungkin inilah caranya
menyiksa orang. Dia mempermalukan mereka sampai mati dengan cara mengajak mereka berkendara
naik mobil sapi. Nico duduk paling belakang, mungkin supaya dia bisa mengawasi kami. Eurytion merayap ke sebelahnya
dengan pentungan berpakunya dan menarik topi koboinya menutupi mata seolah dia akan tidur siang.
Orthus melompat ke kursi depan di samping Geryon dan mulai menggonggong gembira dalam harmoni
dua bagian. Annabeth, Tyson, Grover, dan aku naik di dua gerbong tengah.
"Kami punya usaha besar!" Geryon menyombong saat mobil-moo perlahan-lahan maju. "Kuda dan sapi
terutama, tapi segala macam varietas eksotis juga ada."
Kami sampai di sebuah bukit, dan Annabeth terkesiap. "Hippalektryon" Kupikir mereka sudah punah!"
Di dasar bukit ada ladang rumput berpagar dengan selusin hewan teraneh yang pernah kulihat. Masingmasing punya badan depan layaknya kuda dan badan belakang seperti ayam jantan. Kaki belakang
mereka berupa cakar kuning besar. Mereka punya ekor berbulu ayam dan sayap merah. Saat aku
menonton, dua dari mereka terlibat perkelahian gara-gara setumpuk biji. Mereka mengambil ancangancang dengan kaki belakang mereka dan meringkik serta mengepakkan sayap, saling tantang, sampai
hewan yang lebih kecil berjalan menjauh, kaki belakangnya yang mirip burung melompat-lompat kecil di
setiap lengkahnya. "Kuda poni ayam jago," kata Tyson. Terpukau. "Apa mereka bertelur?"
"Sekali setahun!" Geryon nyengir di kaca spion. "Pemintaan yang sangat besar untuk omelet!"
"Itu mengerikan!" kata Annabeth. "Mereka pastinya spesies yang terancam punah!"
Geryon melambaikan tangannya. "Emas ya emas, Sayang. Dan kau bahkan belum pernah mencicipi
omeletnya, kan." "Itu tidak benar," gerutu Grover, tapi Geryon terus saja berceloteh membawakan tur.
"Nah, di sini," katanya, "kami punya kuda yang bernapas api, yang mungkin sudah kaulihat dalam
perjalanan masuk. Mereka dibiakkan untuk perang tentu saja."
"Perang apa?" tanyaku.
Geryon nyengir licik. "Oh, perang apa pun yang terjadi. Dan di sana, tentu saja, adalah sapi merah kami
yang berharga." Benar saja, ratusan sapi berwarna merah ceri sedang memamah di sisi bukit.
"Banyak sekali," kata Grover.
"Ya, memang. Apollo terlalu sibuk untuk merawat mereka," Geryon menjelaska, "jadi dia menyewaku.
Subkontrak. Kami membiakkan mereka dengan giat karena permintaan tinggi sekali."
"Untuk apa?" tanyaku.
Geryon mengangkat alis. "Daging, tentu saja! Tentara perlu makan."
"Kau membunuh sapi keramat sang dewa matahari untuk dibuat daging burger?" kata Grover. "Itu
bertentangan dengan hukum kuno!"
"Oh, jangan heboh begitu, Satir. Mereka cuma hewan."
"Cuma hewan!" "Ya, dan kalau Apollo peduli, aku yakin dia akan memberi tahu kami."
"Kalau dia tahu," gumamku.
Nico mencondongkan tubuh ke depan. "Aku tak peduli soal ini, Geryon. Kita punya bisnis untuk
didiskuskan, dan ini bukan bisnis!"
"Semua ada waktunya, Mister di Angelo. Lihatlah disana; beberapa hewan liarku yang eksotis."
Padang selanjutnya dikelilingi oleh kawat berduri. Seluruh area tersebut dipenuhi kalajengking raksasa
yang merayap-rayap. "Peternakan Tripel G," kataku, tiba-tiba teringat. "Tanda Anda ada di peti-peti di perkemahan. Quintus
mendapat kalajengkingnya dari Anda."
"Quintus ...." Geryon membatin. "Rambut abu-abu pendek, berotot, ahli pedang?"
"Iya." "Nggak pernah dengar," kata Geryon. "Nah, di sini ada istalku yang berharga! Kalian harus melihat
mereka!" Aku tidak perlu melihat mereka, soalnya segera kami berada dalam jarak tiga ratus meteran aku mulai
membaui mereka. Di dekat tepian sungai hijau ada lahan sebesar lapangan futbol untuk kuda yang
dipagari. Istal-istal berderet di salah satu sisinya. Kira-kira seratus kuda sedang berputar-putar kesanakemari di tengah-tengah kotoran berlumpur"dan waktu kubilang kotoran berlumpur, maksudku tahu
kuda. Itulah hal paling menjijikkan yang pernah kulihat, seakan topan tahi baru saja lewat dan
membuang semeter tumpuka tahi dalam semalam. Kuda-kuda itu benar-benar kotor dan menjijikkan
karena perjalanan mereka mengarungi kotoran itu, dan istal juga sama buruknya. Baunya parah luar
biasa sampai-sampai kau tak akan percaya"pokoknya lebih parah daripada perahu sampah di Sungai
East. Bahkan Nico pun ingin muntah. "Apa itu?"
"Istalku!" kata Geryon. "Yah, sebenarnya punya Aegeas, tapi kami mengurusnya dengan sedikit bayaran
bulanan. Indah bukan?"
"Menjijikkan sekali!" kata Annabeth.
"Banyak tahi," tinjau Tyson.
"Bagaimana kau bisa merawat hewan seperti itu?" pekik Grover.
"Kalian semua bikin aku sebal," kata Geryon. "Ini kuda pemakan daging, tahu! Mereka suka kondisi ini."
"Plus, kau terlalu pelit untuk membiayai pembershan istal," gumam Eurytion di balik topinya.
"Diam!" bentak Geryon. "Baiklah, mungkin membersihkan istal memang agak menantang. Mungkin istal
itu bikin aku ingin muntah waktu angin berembus ke arah yang salah. Tapi lalu kenapa" Pelanggaku
masih membayarku dengan baik."
"Pelanggan apa?" tuntutku.
"Oh, kau bakal kager berapa banyak orang yang mau membayar untuk kuda pemakan daging. Mereka
cocok sekali untuk mengenyahkan sampah. Cara luar biasa untuk menakut-nakuti musuhmu. Hebat di
pesta-pesta ulang tahun! Kami menyewakan mereka sepanjang waktu."
"Kau monster," Annabeth memutuskan.
Geryon menghentikan mobil sapi dan menoleh untuk memandang Annabeth. "Kok tahu" Apa karena
badanku ada tiga?" "Kau harus membiarkan hewan-hewan ini pergi," kata Grover. "Ini tidak benar!"
"Dan para pelanggan yang terus kau bicarakan," kata Annabeth, "Kau bekerja untuk Kronos, kan" Kau
menyuplai pasukannya dengan kuda, makanan, apa pun yang mereka perlukan."
Geryon mengangkat bahu, yang kelihatannya sangat aneh karena dia punya tiga pasang bahu.
Tampaknya seakan-akan dia melakukan sendiri semua gerakan gelombang ala penonton stadion. "Aku
bekerja untuk siapa pun yang punya emas, Nona Muda. Aku pebisnis. Dan aku menjual apa pun yang
bisa kutawarkan kepada mereka."
Dia memanjat ke luar mobil sapi dan berlenggang santai ke arah istal seakan untuk menikmati udara
segar. Pemandangannya seharusnya indah, dengan sungai dan pepohonan dan bukit dan sebagainya,
kalau bukan karena rawa kotoran kuda.
Nico keluar dari belakang mobil dan menyerbu ke arah Geryon. Eurytion sang gembala sapi tidak
semengantuk seperti kelihatannya. Dia mengangkat pentungan dan berjalan mengejar Nico.
"Aku datang ke sini untuk berbisnis, Geryon," kata Nico. "Dan kau belum menjawabku."
"Mmm." Geryon mengamati sebatang kaktus. Lengan kirinya dijulurkan dan menggaruk dada tengahnya.
"Ya, kau bakal dapat kesepakatan, kok."
"Hantuku memberitahuku kau bisa membantu. Dia bilang kau bisa membimbing kami ke jiwa yang kami
perlukan." "Tunggu sebentar," kataku. "Kupikir akulah jiwa yang kau inginkan."
Nico menatapku seolah aku gila. "Kau" Kenapa juga aku menginginkamu" Jiwa Bianca berharga beriburibu kali lipat jiwamu! Nah, kau bisa bantu aku atau tidak, Geryon?"
"Oh, kurasa aku bisa," kata di peternak. "Teman hantumu, ngomong-ngomong, kemana dia?"
Nico terlihat tidak nyaman. "Dia tidak bisa mewujud di tengah cahaya siang hari. sulit untuknya. Tapi dia
ada di sekitar sini."
Geryon tersenyum. "Aku yakin. Minos suka menghilang saat keadaan jadi ... sulit."
"Minos?" Aku teringat pria yang kulihat dalam mimpiku, dengan mahkota emas, jenggot lancip, dan
mata keji. "Maksudmu si raja jahat" Jadi itu hantu yang memberimu saran?"
"Bukan urusanmu, Percy!" Nico berpaling kembali ke Geryon. "Dan apa maksudmu soal keadaan yang
jadi sulit?" Si pria berbadan tiga mendesah. "Yah, begini, Nico"boleh kupanggil kau Nico?"
"Nggak." "Begini, Nico. Luke Castellan menawarkan uang yang banyak untuk blasteran. Terutama blasteran yang
punya kekuatan. Dan aku yakin kalau dia mengetahui rahasia kecilmu, siapa dirimu sebenarnya, pasti dia
bakal membayar sangat sangat banyak."
Nico menghunus pedangnya, tapi Eurytion menjatuhkannya dari tangannya. Sebelum aku bisa berdiri,
Orthus menimpa dadaku dan menggeram, wajahnya hanya sesenti jauhnya dari wajahku.
"Aku akan tetap di mobil kalau aku jadi kalian semua," Geryon memperingatkan. "Atau Orthus akan
merobek-robek tenggorokan Mister Jackson. Nah, Eurytion, kalau kau berkenan, amankan Nico."
Sang gembala sapi meludah ke rumput. "Apa aku harus melakukannya?"
"Ya, dasar bodoh!"
Eurytion terlihat bosan, tapi dia membungkuska satu lengannya yang besar ke sekeliling tubuh Nico dan
mengangkatnya seperti seorang pegulat.
"Ambil pedangnya juga," kata Geryon dengan jijik. "Tidak ada yang lebih kubenci daripada besi Stygian."
Eurytion memungut pedang Nico, berhati-hati agar tidak menyentuh bilahnya.
"Nah," kata Geryon ceria, "kita sudah selesai tur. Mari kita kembali ke pondok, menyantap makan siang,
dan mengirim pesan-Iris untuk teman-teman kita di pasukan Titan."
"Bedebah!" seru Annabeth.
Geryon tersenyum kepadanya. "Jangan khawatir, Sayangku. Setelah aku mengantarkan Mister di Angelo,
kau dan rombonganmu boleh pergi. Aku tidak ikut campur dalam misi. Lagi pula, aku sudah dibayar
cukup untuk membiarkan kalian lewat dengan selamat yang, aku khawatir, tidak termasuk Mister di
Angelo." "Di bayar siapa?" tanya Annabeth. "Apa maksudmu?"
"Tidak usah ambil pusing, Say". Kita pergi yuk?"
"Tunggu!" kataku, dan Orthus menggeram. Aku tetap diam sepenuhnya, jadi dia tak akan merobekrobek tenggorokanku. "Geryon, kau bilang kau seorang pebisnis. Mari kita buat kesepakatan."
Geryon menyipitkan matanya. "Kesepakatan macam apa" Apa kau punya emas?"
"Aku punya sesuatu yang lebih bagus. Barter."
"Tapi Mister Jackson, kau tak punya apa-apa."
"Kau bisa menyuruhnya membersikan kandang," saran Eurytion polos.
"Akan kulakukan!" kataku. "Kalau aku gagal, kau dapat kami semua. Tukar kami semua dengan emas
Luke." "Dengan asumsi kuda-kuda tak memakanmu," tinjau Geryon.


Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimanapun juga, kau dapat teman-temanku," kataku. "Tapi kalau aku berhasil, kau harus
membiarkan kami semua pergi, termasuk Nico."
"Tidak!" teriak Nico. "Jangan bantu aku, Percy. Aku tak butuh batuanmu!"
Geryon tergelak. "Percy Jackson, istal itu sudah seribu tahun tidak dibersihkan ... meskipun memang
benar aku bisa menjual lebih banyak ruang istal kalau semua tahi itu disingkirkan."
"Jadi, apa ruginya bagimu?"
Si peternak ragu-ragu. "Baiklah, aka kuterima tawaranmu, tapi kau harus menyelesaikannya saat
matahari terbenam. Kalau kau gagal, teman-temanmu dijual, dan aku jadi kaya."
"Sepakat." Dia mengangguk. "Akan kubawa teman-temanmu bersamaku, kembali ke pondok. Kami akan
Membunuh Itu Gampang 2 Setitik Embun Cinta Niyala Karya Habiburahman El-shirazi Forgotten Eve 1

Cari Blog Ini