Ceritasilat Novel Online

Pertempuran Labirin 5

Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan Bagian 5


Nico berjalan sejauh sekitar lima pulih meter lagi sebelum menjawab. "Rasanya tidak gampang. Hanya
ditemani orang mati. Tahu bahwa aku tidak akan diterima oleh orang-orang hidup. Cuma orang mati
yang menghormatiku, dan mereka melakukan itu cuma karena takut."
"Kau bisa diterima," kataku. "Kau bisa punya teman di perkemahan."
Dia menatapku. "Apa kau betul-betul memercayainya, Percy?"
Aku tidak menjawab. Sebenarnya, aku tak tahu. Nico dari dulu memang sedikit berbeda, tapi sejak
kematian Bianca, dia jadi hampir ... menyeramkan. Dia punya mata yang mirip mata ayahnya"menyalanyala dengan intens dan liar yang membuatmu curiha kalau-kalau dia genius ataukah orang gila. Dan
caranya menyingkirkan Minos, danmenyebut dirinya sendiri sang raja hantu"lumayan mengesankan,
tapi juga membuatku tak nyaman.
Sebelum aku bisa memikirkan apa yang akan kukatakan kepadanya, aku menabrak Rachel, yang berhenti
di depanku. Kami sampai di persimpanga. Terowongan terus berlanjut ke depan, tapi terowongan
samping bercabang ke kanan membentuk hurug T"lubang bundar yang diukir dari batu vulkanik hitam.
"Apa itu?" tanyaku.
Rachel memandangi terwongan gelap itu. Di tengah pendar samar lampu senter, wajahnya terlihat mirip
salah satu hantu Nico. "Apa ke situ arahnya?" tanya Annabeth.
"Bukan," kata Rachel gugup. "Bukan sama sekali."
"Kalau begitu kenapa kita berhenti?" tanyaku.
"Dengarkan," kata Nico.
Aku mendengar angin berembus dari terowongan, seolah pintu keluar sudah dekat. Dan aku mencium
sesuatu yang samar-samar terasa familier"sesuatu yang mengembalikan kenangan buruk.
"Pohon eucalypstus," kataku. "Seperti di California."
Musim dingin lalu, waktu kami menghadapi Luke dan Atlas sang Titan di puncak Gunung Tamalpais,
udaranya berbau seperti itu.
"Ada sesuatu yang jahat di terowongan itu," kata Rachel. "Sesuatu yang sangata kuat."
"Dan bau kematian," Nico menambahkan, yang membuatku lebih baik.
Annabeth dan aku bertukar pandang.
"Pintu masuk Luke," tebak Annabeth. "Jalan masuk ke Gunung Othrys"istana para Titan."
"Aku harus memeriksanya," kataku.
"Percy, jangan."
"Luke bisa saja ada di sana," kataku. "Atau ... atau Kronos. Aku harus mencari tahu apa yang terjadi."
Annabeth ragu-ragu. "Kalau begitu kita semua akan pergi."
"Jangan," kataku. "Terlalu berbahaya. Kalau mereka sampai menangkap Nico, atau Rachel, Kronos bisa
manfaatkan mereka. Kau tinggal di sini dan jaga mereka."
Yang tidak kukatakan: aku juga mencemaskan Annabeth. Aku tidak memercayai apa yang bakal
dilakukannya seandainya dia melihat Luke lagi. Luke sudah terlalu sering menipu dan memanipulasi
Annabeth sebelumnya. "Percy, jangan," kata Rachel. "Jangan pergi ke sana sendirian."
"Aku akan cepat," janjiku. "Aku tidak akan melakukan sesuatu yang bodoh."
Annabeth mengambil topi Yankees-nya dari sakunya. "Paling tidak bawa ini. dan hati-hatilah."
"Makasih." Aku ingat kali terakhir Annabeth dan aku berpisah jalan, waktu dia memberiku ciuman untuk
mendoakan keberuntunganku di Gunung St. Helens. Kali ini, yang kudapat cuma topi.
Aku memasangnya. "Aku menghilang." Dan aku menyelinap dalam keadaan tak kasat mata ke
terowongan batu gelap itu.
Bahkan sebelum aku sampai ke pintu keluar, aku mendengar suara-suara: bunyi geraman dan
gonggongan pandai besi monster laut, para telekhine.
"Paling tidak kita menyelamatkan mata pedang." Salah satu berkata. "Tuan masih akan menghadiahi
kita." "Ya! Ya!" Yang kedua memekik. "Hadiah yang tak terkira!"
Suara lain, yang ini lebih manusiawi, berkata: "Eh, iya, bagus tuh. Nah, kalau kalian sudah selesai
denganku?" "Tidak, Blasteran!" seekor telekhine berkata. "Kau harus membantu kami melakukan penyerahan. Ini
kehormata besar!" "Wah, makasih." Si blasteran berkata, dan kusadari itu adalah Ethan Nakamura, cowok yang kabur
setelah aku menyelamatkan nyawa menyedihkannya di arena.
Aku merayap menuju ujung terowongan. Aku harus mengingatkan diriku bahwa aku tak kasat mata.
Mereka seharusnya tak bisa melihatku.
Semburan udara dinding menabrakkan saat aku keluar. Aku sedang berdiri di puncak Gunung Tam.
Samudra Pasifik terhampar di bawah, kelabu di bawah langit mendung. Kira-kira enam meter ke arah
dasar bukit, dua telekhine sedang meletakkan sesuatu di atas batu besar"sesuatu yang panjang dan
tipis dan terbungkus kain hitam. Ethan membantu mereka membukanya.
"Hati-hati, Bodoh," cela si telekhine. "Satu sentuhan, dan mata pedang akan melepaskan jiwamu dari
tubuhmu." Ethan menelan ludah dengan gugup. "Mungkin lebih baik kubiarkan kaluan yang membukanya, kalau
begitu." Aku melirik ke puncak gunung, tempat benteng marmer hitam menjulang, persis seperti yang kulihat
dalam mimpiku. Benteng itu mengingatkanku pada mausoleum yang terlalu besar, dengan dindingdinding setinggi lima belas meter. Aku tak punya gambaran bagaimana bisa para manusia fana
melewatkan fakta bahwa bangunan itu ada di sini. Tapi tentu saja, segalanya yang terletak di bawah
puncak tampak kabur bagiku, seolah ada selubung tebal di antara diriku dan paruh bawah gunung. Ada
shir yang berlangsung di sini"Kabut yang sangat kuat. Di atasku, langit berpilin-pilin menjadi bubungan
asap besar. Aku tak bisa melihat Atlas, tapi aku bisa mendengarnya mengerang di kejauhan, masih
tersiksa di bawah bobot langit, tepat di balik benteng.
"Di sana!" kata si teleknine. Dengan khidmat, diangkatnya sebuah senjata, dan darahku pun membeku
menjadi es. Senjata itu berupa sabit"bilah sepanjang kira-kira 1,2 meter yang melengkung seperti bulan sabit,
dengan gagang kayu yang terbungkus kulit. Bilah tersebut mengilapkan dua cahaya yang berbeda"baja
dan perunggu. Itu adalah senjata Kronos, senjata yang digunakannua untuk memotong ayahnya,
Ouranos, sebelum para dewa mengambil senjata itu darinya dan mencincang Kronos, mengasingkannya
ke Tartarus. Sekarang senjata itu telah ditempa kembali.
"Kita harus menyucikannya dalam darah," kata si telekhine. "Kemudian kau, Blasteran, akan membantu
menterahkannya ketika sang raja terbangun."
Aku berlari ke arah benteng, denyut jantungku berdentum-dentum di telingaku. Aku tidak mau dekatdekat mouseleum hitam mengerikan itu, tapi aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku harus
menghentikan kebangkitan Kronos. Ini mungkin satu-satunya kesempatanku.
Aku melesat melewati sebuah ruang tunggu gelap dan masuk ke aula utama. Lantai berkilat bagaikan
piano mahoni"hitam kelam, namun juga bercahaya. Patung-patung marmer hitam berbaris di
sepanjang dinding. Aku tidak mengenali wajah-wajahnya, namun aku tahu aku sedang mamandang
citra-citra para Titan yang berkuasa sebelum para dewa. Di pengunjung ruangan, di antara dua tungku
perunggu, ada podium. Dan di atas podium, sarkofagus emas.
Ruangan itu hening, hanya ada bunyi api yang merentih. Luke tidak ada di sini. Tidak ada penjaga. Tidak
ada apa-apa. Ini terlalu gampang, tapi kudekati podium itu.
Sarkofagus tersebut persis seperti yang kuingat"pajang kira-kira tiga meter, terlalu besar untuk seorang
manusia. Peti itu diukiri adega-adegan rumit tentang kematian dan kehancuran, gambar-gambar para
dewa yang tergilas di bawah kereta perang, kuil-kuil dan bangunan-bangunan terkemuka di dunia di
hancurkan dan dibakar. Secara keseluruhan peti itu memacarkan aura dingin tak terkira, seakan aku
sedang berjalan masuk ke dalam freezer. Napasku mulai beruap.
Aku mengeluarkan Reptide dan merasa sedikit nyaman berkat beban pedang yang akrab di tanganku.
Kapan pun aku mendekati Kronos sebelumnya, suara jahatnya bicara dalam benakku. Kenapa dia diam
sekarang" Dia sudah dicacah-cacah menjadi ribuan potong, dipotong dengan sabitnya sendiri. Apa yang
bakal kutemukan kalau aku membuka tutup peti mati itu" Bagaimana bisa mereka membuat tubuh baru
untuknya" Aku tidak punya jawaban. Aku cuma tahu bahwa seandainya dia akan bangkit, aku harus
menjatuhkannya sebelum dia mendapatkan sabitnya. Aku harus memikirkan cara untuk
menghentikannya. Aku berdiri dekat peti mati itu, badanku menjulang di atasnya. Hiasan di tutup peti mati bahkan lebih
rumit daripada di sisi-sisinya"dengan adegan-adegan pembantaian dan kekuasaan. Di tengah ada
tulisan yang tertoreh dalam bahasa yang bahkan lebih tua daripada bahasa Yunani, yang merupakan
bahasa sihir. Aku sebenarnya tidak bisa membacanya, tapi aku tahu apa bunyinya: KRONOS, SANG
PENGUASA WAKTU. Tanganku menyentuh tutup peti mati. Ujung jariku membiru. Bunga es terkumpul di pedangku.
Lalu kudengar bunyi-bunyi di belakangku"suara-suara mendekat. Sekarang atau tidak sama sekali. Aku
mendorong tutup peti mati emas itu ke belakang dan benda itu pun jatuh ke lantai dengan bunyi
BRUUUUK! keras. Aku mengangkat pedangku, siap menyerang. Tapi waktu aku melihat ke dalam peti, aku tidak
memahami apa yang kulihat. Kaki fana, mengenakan celana abu-abu. T-shirt putih, tangan terlipat di
atas perut. Secuil dadanya hilang"lubang hitam bersih kira-kira seukuran luka tembak, tepat di tempat
jantungnya seharusnya berada. Matanya terpejam. Kulitnya pucat. Rambut pirang ... dan parut di
sepanjang sisi kiri wajahnya.
Tubuh di dalam peti mati adalah tubuh Luke.
Aku seharusnya menikamnya tepat saat itu. Aku seharusnya menusukkan ujung runcing Reptide ke
bawah dengan seluruh kekuatanku.
Tapi aku terlalu tercengang. Aku tidak mengerti. Meskipun aku benci Luke, meskipun dia sudah
mengkhianatiku, aku semata tak mengerti kenapa dia ada di dalam peti mati, dan kenapa dia keliahatan
betul-betul amat sangat mati.
Lalu suara para telekhine terdengar tepat di belakangku.
"Apa yang terjadi!" Salah satu monster menjerit ketika dia melihat tutup peti. Aku buru-buru menjauh
dari podium, lupa bahwa aku tak kasat mata, dan bersembunyi di belakang pilar saat mereka mendekat.
"Hati-hati!" Monster lain memperingatkan. "Mungkin beliau bergerak. Kita harusmenyerahkan hadiah
itu sekarang. Secepatnya!"
Kedua telekhine menyeret diri ke depan dan berlutut, mengangkat sabit yang diletakkan di atas kain
pembungkusnya. "Tuanku," kata salah satu. "Simbol kekuatan Tuan telah dibuat kembali."
Sunyi. Tidak ada yang terjadi di dalam peti mati.
"Dasar bodoh," gumam telekhine yang lain. "Beliau memerlukan si blasteran terlebih dahulu."
Ethan melangkah mundur. "Tunggu, apa maksudmu, dia memerlukan aku?"
"Jangan jadi pengecut!" desis telekhine pertama. "Beliau tidak memerlukan kematianmu. Cuma sumpah
setiamu. Berjanji kau akan melayaninya. Memutuskan hubungan dengan para dewa. Itu saja."
"Tidak!" teriakku. Itu tindakan bodoh, tapi aku menyerbu masuk ke ruangan dan melepaskan topi.
"Ethan, jangan!"
"Penyusup!" Para telekhine memamerkan taring anjing laut mereka. "Tuan akan segera mengurusmu.
Cepat, Bocah!" "Ethan." Aku memohon. "Jangan dengarkan mereka. Bantu aku menghancurkannya."
Ethan menoleh ke arahku, penutup matanya berbaur dengan bayang-bayang di wajahnya. Ekspresinya
menunjukkan sesuatu yang mirip seperti rasa kasihan. "Aku memberitahumu supaya tidak
membiarkanku hidup, Percy. "Mata dibalas mata." Kau pernah dengar pepatah itu" Aku mempelajarinya
dengan cara yang sulit"waktu kutemukan orangtua dewaku. Aku anak Nemesis, Dewi Pembalasa. Dan
untuk inilah aku diciptakan."
Dia menoleh ke arah podium. "Aku melepaskan hubungan dengan para dewa! Apa yang pernah mereka
lakukan untukku" Akan kulihat mereka dihancurkan. Aku akan melayani Kronos."
Bangunan bergemuruh. Secercah cahaya biru naik dari lantai di kaki Ethan Nakamura. Cahaya itu
melayang ke arah peti mati dan mulai berdenyar, seperti awan energi murni. Lalu cahaya itu naik ke
dalam sarkofagus. Luke terduduk tegak. Matanya terbuka, dan warna matanya tidak lagi biru. Warna matanya keemasan,
sewarna dengan peti mati. Lubang di dadanya lenyap. Dia sudah sempurna. Dia melompat keluar dari
peti mati dengan mudah, dan di tempat kakinya menyentuh lantai, marmer membeku layak peti es.
Dia memandang Ethan dan para telekhine dengan mata mengerikan itu, seolah dia adalah seorang bayi
yang baru dilahirkan, tidak yakin pada apa yang dilihatnya. Lalu da memandangku, dan sebuah senyum
pertanda bahwa dia mengenaliku melintasi mulutnya.
"Tubuh ini telah sisiapkan dengan baik." Suaranya seperti silet yang ditelusurkan ke kulitku. Itu suara
Luke, tapi bukan suara Luke. Di balik suaranya ada suara lain, bunyi yang lebih mengerikan"bunyi kuno
dan dingin yang terdengar bagaikan logam yang menggores batu. "Tidakkah kau pikir begitu, Percy
Jackson?" Aku tidak bisa bergerak. Aku tidak bisa menjawab.
Kronos menelengkan kepalanya ke belakang dan tertawa. Parut mukanya bergelombang.
"Luke takut padamu," kata suara sang Titan. "Kecemburuan dan kebencian merupakan alat yang kuat.
Itu membuatnya tetap utuh. Untuk itu aku berterima kasih padamu."
Ethan terjatuh karena ngeri. Dia menutupi wajahnya dengan tangannya. Para telekhine gemetar,
mengulurkan sabit. Akhirnya aku menemukan nyaliku. Aku menyerbu makhluk yang asalnya adalah Luke itu, menghujamkan
mata pedangku tepat ke dadanya, tapi kulitnya memantulkan serangan itu seolah dia terbuat dari baja
murni. Dia memandangku dengan geli. Kemudian dia mengibaskan tangannya dan aku terlempar ke
seberang ruangan. Aku menghantam sebuah pilar. Aku berusaha berdiri, berkedip-kedip untuk mengusir bintang-bintang di
mataku, tapi Kronos sudah menggenggam gagang sabitnya.
"Ah ... jauh lebih baik," katanya. "Backbiter, begitu Luke menyebutnya. Nama yang cocok. Sekarang
setelah pedang ini ditempa ulang sepenuhnya, ia akan benar-benar balas menggigit."
"Apa yang kau lakukan pada Luke?" erangku.
Kronos mengangkat sabitnya. "Dia melayaniku dengan seluruh eksistensinya, seperti yang kuminta.
Bedanya, dia takut padamu, Percy Jackson. Aku tidak."
Saat itulah aku lari. Aku bahkan tidak memikirkannya. Tidak ada perdebatan dalam pikiranku soal itu"
ya ampun, haruskah aku menantang dan mencoba bertarung lagi" Tidak. Aku lari saja.
Tapi kakiku terasa berat seperti timah. Waktu melambat di sekitarku, seakan dunia berubah menjadi
agar-agar. Aku pernah mendapatkan perasaan ini sebelumnya, dan aku tahu itu adalah kekuatan Kronos.
Keberadaan begitu kuat sehingga ia bisa membengkokkan waktu.
"Lari, Pahlawan Kecil," tawanya. "Lari!"
Aku melirik ke belakang dan melihatnya mendekat dengan santai, mengayunkan sabitnya seakan dia
menikmati rasanya, memang sabit itu di tangannya lagi. Tidak ada senjata di dunia yang bisa
menghentikannya. Berapa pun jumlah perunggu langit tidak akan bisa menghentikannya.
Jaraknya tinggal tiga meter dariku waktu kudengar, "PERCY!"
Suara Rachel. Sesuatu terbang melewatiku, dan sebuah sikat rambut plastik biru menabrak mata Kronos.
"Aw!" teriaknya. Selama sesaat yang terdengar cuma suara Luke, penuh rasa kaget dan nyeri. Kakiku
terbebaskan dan aku lari tepat ke arah Rache, Nico dan Annabeth, yang sedang berdiri di aula masuk,
mata mereka membelalak karena risau.
"Luke?" panggil Annabeth. "Apa?"
Aku mencengkeram bajunya dan menyeretnya mengikutiku. Aku lari secepat lariku yang paling cepat,
langsung ke luar banteng. Kami hampir kembali ke pintu masuk Labirin ketika kudengar raungan paling
lantang di seluruh dunia"suara Kronos, kembali terkendali, "KEJAR MEREKA!"
"Tidak!" teriak Nico. Dia merapatkan kedua tangannya, dan batu bergerigi bagaikan pilar yang
berukuran sebesar truk beroda delapan beas menyembur dari tanah tepat di depan banteng. Getara
yang disebabkannya begitu kuat sampai-sampai pilar-pilar di depan bangunan berjatuhan. Aku
mendengar teriakan teredan dari para telekhine di dalam. Debu membumbung di mana-mana.
Kami melemparkan diri ke dalam Labirin dan terus berlari, lolongan sang raja Titan mengguncangkan
seluruh dunia di belakang kami.[]
BAB TUJUH BELAS Dewa Yang Hilang Berbicara
Kami lari sampai kecapekan. Rachel mengarahkan kami menjauhi jebakan-jebakan, tapi kami tidak
punya tujuan tertentu dalam benak kami"semata menjauhi gunung gelap dan raungan Kronos.
Kami berhenti di terowongan yang terbuat dari batu putih basah, seperti bagian dari gua alam. Aku tidak
bisa mendengar apa-apa di belakang kami, tapi aku tak merasa lebih aman. Aku masih bisa mengingat
mata keemasan tak wajar yang menatap dari wajah Luke, dan perasaan bahwa kakiku pelan-pelan
berubah jadi batu. "Aku nggak bisa pergi lebih jauh lagi." Rachel tersengal-sengal, memeluk dadanya.
Annabeth mengangis sepanjang waktu saat kami berlari. Sekarang dia terjatuh dan meletakkan
kepalanya di antara lututnya. Isakannya bergema di terowongan. Nico dan aku duduk bersebelahan.
Nico menjatuhka pedangnya di samping pedanku dan menarik napas dengan gemetar.
"Sial," katanya, yang menurutku merangkum segalanya dengan cukup baik.
"Kau menyelamatkan hidup kita," kataku.
Nico mengelap debu dari wajahnya. "Salahkan cewek-cewek karena menyeretku ikut mereka. Itulah
satu-satunya hal yang bisa mereka sepakati. Kami harus membantu atau kau bakal mengacau."
"Senang sekali kalian sepercaya itu padaku." Aku menyorotkan senterku ke seberang gua. Air menetes
dari stalaktit-stalaktit seperti hujan yang bergerak lambat. "Nico ... sepertinya, eh, kau membongkar
identitasmu." "Apa maksudmu?"
"Dinding batu hitam itu" Lumayan keren. Kalau Kronos tidak tahu siapa kau sebelumnya, dia pasti tahu
sekarang"anak dari Dunia Bawah."
Nico mengerutkan kening. "Bukan masalah besar."
Aku tidak meneruskan pembicaraan. Kurasa dia mencoba menyembunyikan betapa takutnya dia, dan
aku tidak bisa menyalahkannya.
Annabeth mengangkat kepalanya. Mataya merah karena menangis. "Apa ... apa yang salah dengan
Luke" Apa yang mereka lakukan padanya?"
Kuberi tahu dia apa yang kulihat dalam peti mati, bagaimana potongan terakhir jiwa Kronos memasuki
badan Luke saat Ethan Nakamura bersumpah melayaninya.
"Nggak," kata Annabeth. "Itu nggak mungkin benar. Dia nggak mungkin?"
"Dia menyerahkan dirinya pada Kronos," kataku, "Aku ikut sedih, Annabeth. Tapi Luke sudah tiada."
"Nggak!" Doa berkeras. "Kau lihat waktu Rachel melemparinya."
Aku mengangguk, memandang Rachel dengan hormat. "Kau melempari mata Raja Titan dengan sikat
rambut plastik biru."
Rachel terlihat malu. "Cuma itu barang yang kupunya."
"Tapi kau lihat," Annabeth berkeras. "Waktu sikat itu menabraknya, sedetik saja, dia terbengongbengong. Dia kembali sadar."
"Jadi mungkin Kronos nggak sepenuhnya mendiami badannya, atau apalah," kataku. "Bukan berarti
Luke-lah yang mengendalikan."
"Kau ingin dia jadi jahat, begitu ya?" teriak Annabeth. "Kau nggak kenal dia sebelumnya, Percy. Aku
kenal!" "Ada apa dengamu?" bentakku. "Kenapa kau terus-terusan membelanya?"
"Tenanglah kalian berdua," kata Rachel. "Jangan bertengkar."
Annabeth menoleh padanya. "Jangan ikut campur, Cewek Fana! Kalau bukan karenamu ...."
Apa pun yang akan dikatakannya, suaranya terputus. Dia menundukkan kepalanya lagi dan terisak
dengan sengsara. Aku ingin menenangkannya, tapi aku tidak tahu caranya. Aku masih merasa linglung,
seolah efek pelambat-waktu Kronos sudah memengaruhi otakku. Pokoknya aku tak bisa memahami apa


Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang kulihat. Kronos sekarang hidup. Dia bersenjata. Dan kiamat mungkin sudah dekat.
"Kita harus terus bergerak," kata Nico. "Dia bakal mengirim monster-monster untuk mengejar kita."
Tidak ada yang merasa siap untuk lari, tapi Nico benar. Aku memaksa bangkit dan membantu Rachel
berdiri. "Kerjamu bagus di sana tadi." Aku memberitahunya.
Dia berhasil tersenyum lemah. "Yah, begitulah. Aku nggak mau kau mati." Dia merona. "Maksudku ...
cuma karena, tahulah. Kau berutang banyak padaku. Bagaimana aku akan menagihnya kalau kau mati?"
Aku berlutut di samping Annabeth. "Hei, maafkan aku. Kita harus bergerak."
"Aku tahu," katanya. "Aku ... aku baik-baik saja."
Dia jelas tidak baik-baik saja. Tapi dia berdiri dan kami mulai meniti jalan menembus Labirin lagi.
"Kembali ke New York," kataku. "Rachel, bisakah kau?"
Aku membeku. Beberapa kaki di depan kami, berkas sinar senterku melekat pada gumpalan kain merah
terinjak-injak yang tergeletak di tanah. Itu adalah topi Rasta: topi yang selalu dipakai Grover.
Tanganku gemetar saat aku memungut topi itu. Kelihatannya topi itu telah diinjak-injak oleh sepatu bot
besar berlumpur. Setelah semua yang kualami hari ini, aku tak tahan memikirkan bahwa sesuatu
mungkin telah terjadi pada Grover juga.
Kemudian aku melihat sesuatu yang lain. Lantai gua becek dan basah karena air yang menetes-netes
dari stalaktit. Ada jejak kaki besar seperti jejal Tyson, dan jejak yang lebih kecil"kaki kambing"
mengarah ke kiri. "Kita harus ikuti jejak kaki ini," kataku. "Jejak ini mengarah ke sana. Pasti masih baru."
"Bagaimana dengan Perkemahan Blasteran?" kata Nico. "Tidak ada waktu."
"Kita harus menemukan mereka." Annabeth berkeras. "Mereka teman kita."
Dia mengambil topi Grover yang gepeng dan melaju ke depan.
Aku mengikuti, mempersiapkan diriku untuk yang terburuk. Terowongan itu menyulitkan. Terowongan
itu miring dengan sudut yang aneh dan licin karena lembap. Setengah perjalanan kami habiskan dengan
terpeleset dan meluncur alih-alih berjalan.
Akhirnya kami sampai ke bawah sebuah turunan dan mendapati diri kami di sebuah gua besar dengan
pilar-pilar stalagmit besar. Di tengah-tengah ruangan ada sungai bawah tanah yang mengalir dan Tyson
duduk di tepi membuai Grover di pangkuannya. Mata Grover terpejam. Dia tidak bergerak.
"Tyson!" teriakku.
"Percy! Sini cepat!"
Kami berlari menghampirinya. Grover tidak mati, terpujilah para dewa, tapi seluruh tubuhnya gemetar
seolah dia membeku sampai mati.
"Apa yang terjadi?" tanyaku.
"Banyak sekali," gumam Tyson. "Ular besar. Anjing-anjing besar. Laki-laki berpedang. Tapi kemudian ...
kami mendekati tempat ini. Grover bersemangat. Dia lari. Kemudian kami sampai di ruangan ini, dan dia
jatuh. Kayak gini." "Apa dia mengatakan apa pun?" tanyaku.
"Dia bilang, "Kita sudah dekat." Lalu kepalanya terbentur batu."
Aku berlutut di sampingnya. Satu-satunya saat lain aku melihat Grover pingsan adalah di New Mexico,
waktu dia merasakan kehadiran Pan.
Aku menyinarkan senterku ke sepenjuru gua. Batu-batu berkilat. Di ujung jauh ada pintu masuk ke gua
lain, diapit oleh pilar-pilar kristal raksasa yang terlihat seperti berlian. Dan di bali pintu masuk itu ....
"Grover," kataku. "Bangun."
"Uhhhhhhhh." Annabeth berlutut di sampingnya dan memercikkan air sungai sedingin es ke wajahnya.
"Brrr!" Kelopak matanya bergerak. "Percy" Annabeth" Di mana..."
"Tidak apa-apa," kataku. "Kau pingsan. Kehadirannya terlalu berat bagimu."
"Aku"aku ingat. Pan."
"Iya," kataku. "Sesuatu yang kuat tepat di balik ambang pintu itu."
Aku melakukan perkenalan cepat, soalnya Tyson dan Grover belum pernah bertemu Rachel. Tyson
memberi tahu Rachel bahwa dia cantik, yang membuat lubang hidung Annabeth kembang kempis
seakan dia bakal menyemburkan api.
"Ngomong-ngomong," kataku. "Ayo, Grover. Bersandarlah padaku."
Annabeth dan aku membantunya bangkit, dan bersama-sama kami menyebrang mengarungi sungai
bawah tanah. Arusnya deras. Air sampai ke pinggang kami. Aku berkehendak untuk tetap kering, yang
merupakan kemampuan kecil yang bermfaat, tapi itu tak membantu yang lain, dan aku masih bisa
merasakan hawa dingin seperti mengarungi longsoran es.
"Kupikir kita ada di Carlsbad Caverns," kata Annabeth, giginya bergemelutuk. "Mungkin bagian yang
belum di eksplorasi."
"Bagaimana kau tahu?"
"Carlsbad di New Mexico," katanya. "Itu bakal menjelaskan kejadian musim dingin kemarin."
Aku mengangguk. Episode pingsannya Grover terjadi ketika kami melintasi New Mexico. Saat itulah dia
merasa paling dekat dengan kekuatan Pan.
Kami keluar dari air dan terus berjalan. Saat pilar-pilar kristal membayangi kian besar, aku mulai
merasakan kekuatan memancar dari ruangan berikutnya. Aku sudah pernah berada di dekat dewa-dewa
sebelumnya, tapi ini lain. Kulitku digelitik daya hidup. Kelelahanku menghilang, seakan aku baru saja
tidur nyenyak semalaman. Aku bisa merasa diriku bertambah kuat, seperti salah satu tanaman dalam
video putar-cepat. Dan aroma yang berasal dari gua sama sekali tidak seperti bau bawah tanah yang
apak dan basah. Baunya seperti pepohonan dan bunga-bunga dan gari hangat di musim panas.
Grover merengek-rengek penuh semangat. Aku terlalu tercengan untuk bicara. Bahkan Nico pun tampak
tidak bisa berkata-kata. Kami melangkah masuk ke gua dan Rachel berkata, "Oh, wow."
Dinding dikilaukan oleh kristal"merah, hijau, dan biru. Di tengah cahaya aneh itu, tanaman-tanaman
indah tumbuh"anggrek raksasa, bunga-bunga berbentuk bintang, sulur-sulur menyembulkan beri
jingga dan ungu yang merayap di antara kristal-kristal. Lantai gua ditutupi lumut hijau lembut. Di atas
langit-langit lebih tinggi daripada sebuah katedral, kelap-kelip laksana galaksi penuh bintang. Di tengahtengah gua berdirilah ranjang gaya Romawi, kayu bersepuh berbentuk seperti U keriting, dengan
bantalan beledu. Hewan-hewan bersantai di sekitarnya"tapi mereka adalah hewan-hewan yang
semestinya sudah tidak hidup lagi. Ada burung dodo, sesuatu yang terlihay bagaikan persilangan antara
serigala dan harimau, hewan pengerat besar yang tampak seperti ibu semua marmot, dan keluyuran di
belakang ranjang, memetik beri dengan belalainya, ada mamut berbulu.
Di atas ranjang berbaringlah satir tua. Dia mengamati kami saat kami mendekat, mata sebiru langit.
Rambut keritingnya putih dan begitu pula jenggot lancipnya. Bahkan bulu kambing di kakinya diselingi
warna kelabu. Tanduknya besar sekali"cokelat mengilap dan melengkung. Tidak mungkin dia bisa
menyembunyikan tanduknya seperti Grover. Di sekeliling lehernya bergantunglah satu set seruling
alang-alang. Grover jatuh berlutut di depan ranjang. "Tuan Pan!"
Sang dewa tersenyum ramah, tapi ada kesediha di matanya. "Grover, Sayangku, Satir pemberani. Aku
sudah menantimu lama sekali."
"Saya ... tersesat," Grover minta maaf.
Pan tertawa. Bunyinya luar biasa, seperti semilir angin pertama musim semi, memenuhi seisi gua
dengan harapan. Si harimau-serigala mendesah dan menyandarkan kepalanya ke lutut sang dewa.
Burung dodo mematuk-matuk kaki kambing sang dewa dengan penuh kasih sayang, menghasilkan bunyi
aneh di belakang paruhnya. Aku bisa bersumpah ia menyenandungkan lagu "It"s a Small World" dari film
The Lion King. Walau begitu, Pan kelihatan letih. Keseluruhan sosoknya berdenyar seakan dia terbuat dari Kabut.
Aku menyadari bahwa teman-temanku yang lain berlutut. Ekspresi terspesona ada di wajah mereka. Aku
ikut berlutut. "Tuan punya burung dodo yang bersenandung," kataku tolol.
Mata sang dewa berbinar. "Ya, itu Dede. Aktris kecilku."
Dede si dodo kelihata tersinggung. Dia mematuk-matuk lutut Pan dan menyenandungkan sesuatu yang
tersengar seperti lagu pemakaman.
"Ini tempat yang paling indah!" kata Annabeth. "Ini lebih bagus daripada bangunan mana pun yang
pernah dirancang." "Aku senang kau menyukainya, Sayang," kata Pan. "Ini salah satu tempat liar yang terakhir. Duniaku di
atas sudah lenyap, aku takut begitu. Cuma sedikit yang tersisa. Potongan-potongan kecil kehidupan.
Yang ini akan tetap tak terganggu ... sebentar lagi saja."
"Tuan," kata Grover. "saya mohon, Tuan harus kembali bersama saya! Para Tetua takkan pernah
memercayai ini! mereka pasti akan senang sekali! Tuan bisa menyelamatkan alam liar!"
Pan meletakkan tangannya di kepala Grover dan mengacak-acak rambut keritingnya. "Kau begitu muda,
Grover. Begitu baik dan jujur. Kupikir aku memilih dengan baik."
"Memilih?" kata Grover. "Saya"saya tidak mengerti."
Sosok Pan berdenyar, sementara berubah menjadi asap. Si marmot raksasa berlari ke bawah ranjang
sambil menguik ketakutan. Si marmut berbulu menggeram gugup. Dede menyembunyikan kepalanya di
balik sayapnya kemudian Pan mewujud kembali.
"Aku sudah tidur lama sekali," kata sang dewa merana. "Mimpi-mimpiku gelap. Aku bangun tak teratur,
dan tiap kali waktuku bangun kian pendek. Sekarang kita mendekati akhir."
"Apa?" seru Grover. "Tapi tidak! Tuan ada tepat di sini!"
"Satirku sayang," kata Pan. "Aku mencoba memberi tahu dunia, dua ribu tahun lalu. Aku mengumumkan
kepada Lysas, satir yang sangat mirip dirimu. Dia tinggal di Ephesos, dan dia mencoba menyebarkan
kabar ini." Mata Annabeth membelalak. "Cerita lama. Pelaut yang melintasi garis pantai Ephesos mendengar suara
yang berseru dari pantai, "Beri tahu mereka dewa agung Pan sudah mati.?"
"Tapi itu tidak benar!" kata Grover.
"Kaummu tidak pernah memercayainya," kata Pan. "Kalian, satir manis yang keras kepala menolak
menerima kepergianku. Dan aku menyayangi kalian untuk itu, tapi kalian hanya menunda-nunda yang
tak terelakkan. Kalian hanya memperlama kepergianku yang panjang dan menyakitkan, tidur gelapku
yang remang-remang. Ini harus berakhir."
"Tidak!" suara Grover gemetar.
"Grover sayang," kata Pan. "Kau harus menerima kenyataan. Rekanmu, Nico, dia mengerti."
Nico mengangguk pelan. "Dia sekarat. Dia seharusnya sudah lama meninggal. Ini ... ini lebih seperti
kenangan." "Tapi para dewa tidak bisa mati," kata Grover.
"Mereka bisa memudar," kata Pan, "ketika segala yang mereka perlambangkan lenyap. Saat mereka
tidak lagi memiliki kekuatan, dan tempat-tempat keramat mereka menghilang. Alam liar, Groverku
sayang, teramat kecil sekarang, begitu berserakan, sehingga tidak ada dewa yang bisa
menyelamatkannya. Duniaku sudah lenyap. Itulah sebabnya aku membutuhkanmu untuk membawa
pesan. Kau harus kembali ke dewan. Kau harus memberi tahu para satir, dan dryad, dan roh-roh alam
yang lain, bahwa dewa agung Pan sudah mati. Beri tahu mereka tentang kepergianku. Sebab mereka
harus berhenti menungguku menyelamatkan mereka. Aku tidak bisa. Satu-satunya penyelamatan harus
kalian lakukan sendiri. Masing-masing dari kalian harus?"
Dia berhenti dan mengernyitkan dahi ke arah si burung dodo, yang sudah mulai bersenadung lagi.
"Dede, apa yang kau lakukan?" tuntut Pan. "Apa kau menyanyikan Kumbaya lagi?"
Dede mendongak dengan tampang polos dan mengedipkan mata kuningnya.
Pan mendesah. "Semuanya sinis. Tapi seperti yang kukatakan, Groverku sayang, masing-masing dari
kalian harus melaksanakan seruanku."
"Tapi ... tidak!" Grover merengek.
"Kuatlah," kata Pan. "Kau sudah menemukanku. Dan sekarang kau harus membebaskanku. Kau harus
melanjutkan semangatku. Hal ini tidak bisa lagi ditanggung oleh satu dewa. Hal ini harus dilaksanakan
oleh kalian semua." Pan memandangku lurus-lurus dengan mata birunya yang jernih, dan kusadari dia buka cuma bicara soal
para satir. Maksudnya blasteran juga, dan manusia. Semuanya.
"Percy Jackson," kata sang dewa. "Aku tahu apa yang kau lihat hari ini. Aku mengetahui keraguanmu.
Tapi kuberi kau kabar ini: saat waktunya tiba, kau yakkan dikendalikan oleh rasa takut."
Dia menoleh kepada Annabeth. "Putri Athena, waktumu akan datang. Kau akan memainkan peranan
besar, meskipun mungkin bukan peran yang kaubayangkan."
Lalu dia memandag Tyson. "Tuan Cyclops, jangan putus asa. Para pahlawan jarang memenuhi
pengharapan kita. Tapi kau, Tyson"namamu akan senantiasa hidup di antara para cyclops selama
bergenerasi-generasi. Dan Nona Rachel Dare ...."
Rachel mengernyit ketika Pan menyebut namanya. Dia mundur seakan dia bersalah atas sesuatu, tapi
Pan cuma tersenyum. Dia mengangkat tangannya untuk memberkati.
"Aku tahu kau percaya kau tidak bisa menebus kesalahan." Katanya. "Tapi kau sama pentingnya seperti
ayahmu." "Aku?" Rachel terbata-bata. Air mata mengalir di pipinya.
"Aku tahu kau tak memercayai ini sekarang," kata Pan. "Tapi carilah kesempatan. Kesempatan akan
datang." Akhirnya dia menoleh kembali ke arah Grover. "Satirku sayang," kata Pan ramah, "maukah kau
membawa pesanku?" "Saya"saya tidak bisa."
"Kau bisa," kata Pan. "Kaulah yang terkuat dan paling berani. Hatimu bersih. Kau telah memercayaiku
lebih daripada orang lain, itulah sebabnya kau harus membawa pesan ini, dan itulah sebabnya kanapa
kau harus jadi yang pertama yang membebaskanku."
"Saya tidak mau."
"Aku tahu." Kata sang dewa. "Tapi namaku, Pan ... aslinya berarti sederhana. Apa kau tahu itu" Tapi
setelah bertahun-tahun artinya berubah menjadi semua. Semangat alam liar harus dioperkan kepada
kalian semua sekarang. Kalian harus memberi tahu setiap orang yang kalian temui: kalau kau ingin
menemukan Pan, ambil semangat Pan. Perbaiki alam liar, sedikit-sedikit sekali waktu, masing-masing di
sudut dunia kalian. Kalian tidak bisa menunggu yang lain, bahkan dewa, untuk melakukan itu bagi kalian."
Grover mengusap matanya. Lalu perlahan-lahan dia berdiri. "Saya menghabiskan seluruh hidup saya
demi Tuan. Sekarang ... saya bebaskan Tuan."
Pan tersenyum. "Terima kasih, Satir sayang. Pemberkatan terakhirku."
Dia memejamkan matanya, dan sang dewa terbuyarkan. Kabut putih terpecah menjadi gumpalan energi,
tapi energi semacam ini tak menyeramkan seperti kekuatan biru yang kulihat dari Kronos. Energi itu
memenuhi ruangan. Asap yang bergulung-gulung langsung masuk ke mulutku, dan mulut Grover, dan
mulut yang lain. Tapi kupikir sedikit lebih banyak masuk ke dalam mulut Grover. Kristal-kristal meredup.
Hewan-hewan memberi kami tatapan sedih. Dede si dodo mendesah. Lalu mereka semua berubah
menjadi kelabu dan remuk menjadi debu. Sulur-sulur melayu. Dan kami sendirian di dalam gua gelap,
dengan ranjang kosong. Aku menyalakan senterku. Grover menghela napas dalam-dalam.
"Apa ... apa kau baik-baik saja" tanyaku padanya.
Dia terlihat lebih tua dan lebih sedih. Dia mengambil topinya dari Annabeth, membersihkan lumpur di
topi itu, dan memasangnya erat-erat di atas kepalaya yang berambut keriting.
"Kita sebaiknya pergi sekarang," katanya, "dan beri tahu mereka. Dewa agung Pan sudah mati."*+
BAB DELAPAN BELAS Grover Bikin Heboh Jarak lebih pendek di Labirin. Tetap saja, pada saat Rachel berhasil memandu kami ke Times Square, aku
merasa kami kurang lebih sudah lari sepanjang jalan dari New Mexico. Kami memanjat keluar dari ruang
bawah tanah Marriott dan berdiri di trotoar diterangi sinar matahari cerah musim panas, memincingkan
mata ke arah lalu lintas dan kerumunan orang.
Aku tidak bisa memutuskan yang mana yang kelihatan kurang nyata"New York atau gua kristal tempat
aku menyaksikan satu dewa mati.
Aku memimpin jalan ke sebuah gang, tempat aku bisa mendapatkan gema yang bagus. Lalu aku bersiul
selantang yang kubisa, lima kali.
Semenit kemudian, Rachel terkesiap. "Mereka indah sekali!"
Sekawanan pegasus turun dari langit, menukik di antara gedung-gedung pencakar langit. Blackjack
paling depan, diikuti oleh empat teman putihnya.
Yo, Bos! Dia bicara dalam pikiranku. Kau hidup.
"Iya," kataku padaya. "Aku beruntung karena itu. Dengar, kami perlu tumpangan cepat ke perkemahan."
Itu keahlianku! Ya ampun, cyclops itu ikut denganmu" Yo, Guido! Punggungmu kuat nggak"
Guido si pegasus mengerang dan mengeluh, tapi akhirnya dia setuju mengangkut Tyson. Semua mulai
naik"kecuali Rachel.
"Yah," katanya padaku, "kurasa sampai di sini."
Aku mengangguk tidak nyaman. Kami berdua tahu dia tak bisa pergi ke perkemahan. Aku melirik
Annabeth, yang sedang pura-pura sangat sibuk dengan pegasusnya.
"Makasih, Rachel," kataku. "Kami tak mungkin bisa melakukannya tanpa dirimu."
"Aku nggak bakalan melewatkannya. Maksudku, kecuali saat kita hampir mati, dan Pan ...." Suaranya
menghilang/ "Dia bilang sesuatu soal ayahmu." Aku teringat. "Apa maksudnya?"
Rachel memilin-milin tali tas punggungnya. "Ayahku ... Pekerjaan ayahku. Dia semacam pengusaha
terkenal." "Maksudmu ... kalian kaya?"
"Iya." "Jadi, begitu caramu membuat si sopir membantu kita" Kau cuma menyebut nama ayahmu dan?"
"Ya," Rachel memotongku. "Percy ... ayahku seorang pengembang. Dia terbang ke seluruh penjuru dunia,
mencari lahan yang belum dikembangkan." Dia menghela napas dengan gemetar. "Alam liar. Dia"dia
membelinya. Aku benci itu, tapi dia menggalinya dan membangun subdivisi-subdivisi butut dan pusatpusat perbelanjaan. Dan sekarang setelah aku melihat Pan ... kematian Pan?"
"Hei, kau nggak bisa menyalahkan dirimu karena itu."
"Kau nggak tahu yang terburuk. Aku"aku nggak suka membicarakan keluargaku. Aku nggak mau kau
tahu. Maafkan aku. Aku seharusnya nggak bilang apa-apa."
"Hei," kataku. "Nggak apa-apa. Dengar, Rachel, kau melakukan sesuatu yang hebat. Kau memandu kami
melalui labirin. Kau berani sekali. Aku cuma akan menilaimu dari situ. Aku nggak peduli apa yang
dikerjakan ayahmu." Rachel memandangku penuh terima kasih. "Yah ... kalau kapan-kapan kau pingin nongkrong bareng
manusia fana lagi ... kau bolehh meneleponku atau apalah."
"Eh, iya. Pasti."
Dia merapatkan kedua alisnya. Kurasa aku terdengar tidak antusias atau apa, tapi bukan begitu
maksudku. Aku cuma tidak yakin bagaimana mengatakannya dengan teman-temanku di sekitarku. Dan
kurasa perasaanku jadi lumayan campur aduk beberapa hari terakhir.
"Maksudku ... aku mau."
"Nomorku nggak ada di buku," katanya.
"Aku sudah punya."
"Masih di tanganmu" Nggak mungkin."
"Bukan. Aku ... menghafalnya."
Senyumnya kembali pelan-pelan, tapi jauh lebih gembira. "Sampai ketemu nanti, Percy Jackson. Pergi
selamatkan dunia untukku, oke?"
Dia berjalan menyusuri Seventh Avenur dan menghilang ke dalam kerumunan orang.
Saat aku kembali ke kuda-kuda, Nico sedang mengalami masalah. Pegasusnya terus menjauh darinya,
enggan membiarkannya naik.
Baunya kayak orang mati! Keluh si pegasus.
Jangan gitu, kata Blackjack. Ayolah, Porkpie. Banyak blasteran berbau aneh. Itu bukan salah mereka.


Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oh"eh, maksudku bukan kau, Bos.
"Pergilah tanpa aku!" kata Nico. "Lagi pula aku nggak mau kembali ke perkemahan itu."
"Nico," kataku. "Kami perlu bantuanmu."
Dia bersedekap dan cemberut. Lalu Annabeth meletakkan tangannya di bahu Nico.
"Nico," katanya. "Kumohon."
Pelan-pelan, ekspresi Nico melembut. "Baiklah," katanya enggan. "Demi kau. Tapi aku tidak akan tinggal."
Aku mengangkat alis kepada Annabeth, kayak, Kok bisa-bisanya tiba-tiba Nico mendengarkanmu"
Annabeth menjulurkan lidahnya kepadaku.
Pada akhirnya semua naik ke pegasus. Kami melesat ke udara, dan segera saja kami sudah berada di atas
Sungai East denga Long Island terbentang di hadapan kami.
Kami mendarat di tengah-tengah area pondok dan seketika ditemui oleh Chiron, Silenus si satir berperut
gentong, dan sepasang pemanah dari kabin Apollo. Chiron mengangkat alis saat dia melihat Nico, tapi
kalau kuduga dia bakal dikejutkan oleh berita teranyar soal Quintus, yang adalah Daedalus, atau
kebangkitan Kronos, aku salah.
"Itu juga yang kutakutkan," kata Chiron. "Kita harus bergegas. Mudah-mudahan kalian sudah
memperlambat sang raja Titan, tapi baris depannya masih akan lewat. Mereka akan sangat
menginginkan darah. Sebagian besar anggota pasukan pertahanan kita sudah di tempat. Ayo!"
"Tunggu sebentar," tuntut Silenus. "Bagaimana dengan pencarian Pan" Kau hampir terlambat tiga
minggu, Grover Underwood! Izin pencarimu dicabut!"
Grover menarik napas dalam-dalam. Dia berdiri tegak dan memandang Silenus tepat di mata. "Izin
pencari tak jadi soal lagi. Dewa agung Pan sudah mati. Dia berpulang dan meninggalkan semangat bagi
kita." "Apa?" Wajah Silenus berubah menjadi merah cerah. "Penodaan dan kebohongan, Grover Underwood,
akan kuasingkan kau karena bicara seperti itu!"
"Itu benar," kataku. "Kami ada di sana waktu dia meninggal. Kami semua."
"Mustahil! Kalian semua pembohong! Penghancur alam!"
Chiron mengamati wajah Grover. "Akan kita bicarakan ini nanti."
"Kita akan membicarakanya sekarang!" kata Silenus. "Kita harus mengurus ini?"
"Silenus," potong Chiron. "Perkemahanku sedang diserang. Perkara Pan sudah menunggu dua ribu
tahun. Aku takut kita harus menunggu sedikit lebih lama lagi. Dengan asumsi kita masih di sini malam
ini." Dan dengan perkataan riang itu, dia menyiapkan busurnya da mencongklang ke arah hutan,
meninggalkan kami untuk mengikuti sebaik yang kami bisa.
Inilah operasi militer terbesar yang pernah kulihat di perkemahan. Semua berada pada bukaan di tepi
hutan, mengenakan pakaian tempur lengkap, tapi kali ini bukan untuk menangkap bendera. Pondok
Hephaestus sudah memasang jebakan di sekitar pintu masuk ke Labirin"kawat berduri tajam, lubanglubang yang dipenuhi kendi-kendi berisi api Yunani, deretan tongkat tajam untuk menangkis serangan.
Beckendorf menjaga dua ketapel seukuran truk pikap, sudah siap dan diarahkan ke Kepalan Zeus.
Pondok Ares ada di baris depan, melatih formasi rapat denga Clarisse yang meneriakkan perintah.
Pondok Apollo dan Hermes bersebar di hutan dengan busur dalam posisi siaga. Banyak yang mengambil
posisi di atas pohon. Bahka para dryad bersenjatakan busur, da para satir berderap ke sana-kemari
dengan gada kayu dan perisai yang terbuat dari kulit kayu kasar.
Annabeth pergi untuk bergabung dengan saudara-saudaranya dari pondok Athena, yang terlah
mendirikan tenda komado dan tengah mengarahkan operasi. Panji-panji kelabu bergambar burung
hantu berkibar di luar tenda. Kepala keamanan kami, Argus, berdiri berjaga-jaga di pintunya. Anak-aak
Aphrodite berlarian untuk meluruskan baju zirah semua orang dan menawarkan untuk menyisir jambul
rambut kuda di helm kami supaya tidak kusut. Bahkan anak-anak Dionysus pun menemukan sesuatu
untuk dikerjakan. Sang dewa sendiri masih tidak terlihat di mana pun, tapi kedua putra kembarnya
berlarian ke sana-sini dan menyediakan air botolan dan jus kotak untuk para prajurit yang berkeringat.
Persiapan tampaknya cukup bagus, tapi Chiron bergumam di sebelahku, "Ini tidak cukup."
Aku memikirkan apa yang kulihat di Labirin, semua monster di stadion Antaeus, dan kekuatan Kronos
yang kurasakan di Gunung Tam. Hatiku melecus. Chiron benar, tapi Cuma ini yang bisa kami kumpulkan.
Sekali ini aku berharap Dionysus ada di sini, tapi bahkan seandainya dia ada, aku tidak tahu apakah dia
bisa melakukan sesuatu. Terkait dengan perang, dewa-dewi dilarang terlibat secara langsung. Rupanya,
para Titan tidak memercayai larangan seperti itu.
Di tepi bukaan, Grover sedang bicara pada Juniper. Juniper memegang tangan Grover sementara dia
menceritakan kisah kami kepada sang peri pohon. Air mata hijau terbentuk di mata Juniper saat Grover
menyampaikan kabar tentang Pan.
Tyson membantu anak-anak Hephaestus mempersiapkan pertahanan. Dia mengangkat bongkahanbongkahan batu dan menumpukkan di sebelah ketapel untuk ditembakkan.
"Tetap bersamaku, Percy," kata Chiron. "Saat pertarungan dimulai, aku ingin kau menunggu sampai kita
tahu apa yang kita hadapi. Kau harus pergi ketampat kita paling memerlukan bala bantuan."
"Saya melihat Kronos," kataku, masih tercengang oleh fakta itu. "Saya menatap tepat ke matanya. Dia
Luke ... tapi juga bukan."
Chiron menelusurkan jarinya di sepanjang tali busurnya. "Dia punya mata keemasan, kutebak begitu.
Dan saat dia hadir, waktu seakan berubah menjadi cairan."
Aku mengangguk. "Bagaimana bisa dia mengambil alih tubuh seseorang yang fana?"
"Aku tidak tahu, Percy. Dewa-dewa sudah lama mewujud seperti manusia, tapi sungguh-sungguh
menjadi manusia ... membaurkan wujud sejati dewa dengan wujud fana. Aku tak tahu bagaimana ini
bisa dilakukan tanpa mengubah wujud Luke menjadi abu."
"Kronos bilang tubuhnya telah disiapkan."
"Aku gemetar memikirkan apa maksudnya. Tapi mungkin itu akan membatasi kekuatan Kronos. Selama
beberapa waktu, paling tidak, dia terkekang ke wujud manusia. Wujud manusia menyatukannya.
Mudah-mudahan wujud itu jua membatasinya."
"Pak Chiron"seandainya dia memimpin serangan ini?"
"Kupikir tidak, Nak. Aku akan merasakannya apabila dia semakin dekat. Tidak diragukan lagi dia
berencana untuk itu, tapi aku yakin kau membuatnya tidak nyaman saat kau meruntuhkan ruang
singgasananya di atas dirinya." Dia menatapku, menyalahkan. "Kau dan temanmu Nico, putra Hades."
Tenggorokanku tersumbat. "Maafkan saya, Pak Chiron. Saya tahu saya seharusnya memberi tahu Bapak.
Hanya saja?" Chiron mengangkat tangannya. "Aku mengerti kenapa kau melakukannya, Percy. Kau merasa
bertanggung jawab. Kau ingin melindunginya. Tapi, Nak, kalau kita ingin bertahan hidup dari semua ini,
kita harus saling melindungi. Kita harus ...."
Suaranya menghilang. Tanah di bawah berguncang.
Semua orang di bukaan menghentikan apa yang mereka lakukan. Clarisse meneriakkan satu perintah:
"Kunci perisai!"
Kemudian pasukan sang raja Titan menghambur keluar dari Labirin.
Tentu saja aku sudah pernah bertempur sebelumnya, tapi yang ini adalah pertempuran besar-besaran.
Hal pertama yang kulihat adalah selusin raksasa Laistrygonian menyembur dari tanah, berteriak begitu
keras sampai-sampai kupingku rasanya mau pecah. Mareka membawa perisai yang terbuat dari mobil
gepeng, dan pentungan berupa batang pohon dengan duri karatan mencuat di ujungnya. Salah satu
raksasa menyerbu formasi pertahanan Ares, menghantamnya ke samping dengan pentungannya, dan
seluruh anggota pondok terlempar ke samping, selusin prajurit terenyak ditiup angin seperti boneka
kain perca. "Tembak!" teriak Beckendorf. Ketapel berayun melaksanakan aksinya. Dua bongkahan batu meluncur ke
arah para raksasa. Salah satu dipentalkan oleh perisai mobil nyaris tanpa menimbulkan penyok, tapi
yang lain mengenai dada satu Laistrygonian, dan si raksasa terjatuh. Para pemanah Apollo
menembakkan misil berupa lusinan aak panah yang menancap di perisai tepal para raksasa seperti duri
landak. Beberapa menemukan celah baju zirah, dan beberapa raksasa buyar terkena sentuhan perunggu
langit. Tapi tepat ketika kelihatannya para Laistrygonian bakal kewalahan, gelombang berikutnya menyembur
ke luar labirin: tiga puluh, mungkin empat puluh dracaena berpakaian tempur lengkap, menyandang
perisai dan jaring. Mereka menyebar ke segala arah. Beberapa menabrak jembatan yang telah
dihaparkan pondok Hephaestus. Salah satu tersangkut tombak dan menjadi target mudah bagi para
pemanah. Yang lain memicu kawat jebakan, dan kendi-kendi api Yunani meledak menghasilkan nyala
hijau, menelan beberapa wanita naga. Tapi lebih banyak lagi yang terus berdatangan. Argus dan para
prajurit Athena bergegas maju untuk menghadapi mereka. Kulihat Annabeth mengunus pedang dan
menyerang salah satu dari mereka. Di dekat sana, Tyson sedang menunggang raksasa. Entah bagaimana
dia berhasil memanjat ke punggung si raksasa dan memukuli kepalanya dengan perisai perunggu"
BONG! BONG! BONG! BONG! Chiron dengan tenang membidikkan anak panah demi anak panah, menjatuhkan satu monster seiring
tiap tembakan. Tapi lebih banyak musuh terus memanjat ke luar labirin. Akhirnya seekor anjing
neraka"bukan Nyonya O"Leary"melompat keluar dari terowongan dan meluncur tepat ke arah para
satir. "PERGI!" teriak Chiron kepadaku.
Aku menghunus Reptide dan menyerang.
Saat aku berpacu menyebrangi medan tempur, kulihat hal-hal mengerikan. Blasteran musuh sedang
bertarung dengan seorang putra Dionysus, tapi pertarungan itu tidak seimbang. Musuh menikam
lengannya kemudia memukul kepalanya dengan gagang pedangnya, dan putra Dionysus pun terjatuh.
Prajurit musuh yang lain menembakkan anak panah yang terbakar ke pepohonan, membuat para
pemanah kami serta para dryad panik.
Selusin dracaena tiba-tiba memisahkan diri dari pertempura utama dan melata memisahkan diri dari
pertempuran utama dan melata menyusuri jalan setapak yang menuju ke arah pekemahan, seakan
mereka tahu ke mana mereka pergi. Kalau mereka keluar, mereka bisa membakar seluruh tempat ini,
tanpa lawan sama sekali. Satu-satunya orang yang berada dekat sana adalah Nico di Angelo. Dia menikam seekor telekhine, dan
mata pedang hitam Stygian-nya menyerap intisari si monster, mereguk energinya sampai tidak ada yang
tersisa selain debu. "Nico!" teriakku.
Dia memandang ke arah yang kutujuk, melihat para wanita ular, dan paham seketika.
Dia menghela napas dalam-dalam dan mengulurkan pedang hitamnya. "Layani aku," serunya memanggil
bala bantuan. Bumi berguncang. Retakan terbuka di depan para dracaena, dan lusinan prajurit zombi merayap dari
tanah"mayat-mayat mengerikan yang mengenakan seragam militer dari berbagai periode waktu yang
berbeda"pejuang Revolusi AS, centurion Romawi, kavaleri Napoleon yang menunggangi kerangka kuda.
Sebagai satu kesatuan, mereka menghunus pedang mereka dan menyerbu para dracaena. Nico jatuh
berlutut, tapi aku tak punya waktu untuk memastikan apa dia baik-baik saja.
Aku menghalangi si anjing neraka, yang sekarang menggiring para satir kembali ke hutan. Makhluk itu
berusaha menggigit salah satu satir, yang menari kabur dari lintasannya, tapi kemudian ia menerjang
satur lain yang terlalu lambat. Perisai kulit kayu si satuir retak saat dia jatuh.
"Hei!" teriakku.
Si anjing neraka menoleh. Ia menyerigai kepadaku dan melompat. Ia pasti bakal mencakarku sampai
tercabik-cabik, tapi saat aku jatuh ke belakang, jemariku menggenggam sebuah kendi tanah liat"salah
satu wadah Beckendorf yang berisi api Yunani. Aku melemparkannya ke kerongkongan si anjing neraka,
dan makhluk itu pun terbakar. Aku terhuyung-huyung menjauh, tersengal-sengal.
Satir yang terinjak tidak bergerak. Aku bergegas menghampiri untuk memeriksanya, tapi kemudian
kudengar suara Grover: "Percy!"
Kebakaran hutan telah terpicu. Nyala api menggelora pada jarak tiga meter dari pohon Juniper, dan
Juniper serta Grover heboh berusaha menyelamatkannya. Grover memainkan lagu hujan dengan
seluringnya. Juniper susah payah mencoba memadamkan api dengan cara memukul-mukulkan
selendang hijaunya, tapi semua itu cuma membuat keadaan tambah buruk.
Aku lari ke arah mereka, melompat melewati duel-duel, berbelok-belok di antara kaki para raksasa. Air
terdekat terletak di sungai, lebih dari setengah kilometer jauhnya ... tapi aku harus melakukan sesuatu.
Aku berkonsentrasi. Ada tarikan di perutku, gemuruh di telingaku. Kemudian dinding air memacar
melewati pepohonan. Air menyiram api, Juniper, Grover, dan bisa dibilang semuanya.
Grover menyemburkan air. "Makasih, Percy!"
"Nggak masalah!" Aku lari kembali ke arah pertempuran, dan Grover serta Juniper mengikuti. Grober
memegang gada di tangannya dan Juniper memegang tongkat"seperti cemeti gaya lama. Dia terlihat
sangat marah, seakan dia bakal mencambuki bokong seseorang.
Tepat ketika pertempuran tampaknya seimbang lagi"seakan kami mungkin punya peluang"pekikan
tak wajar bergema keluar dari Labirin, bunyi yang pernah kudengar sebelumnya.
Kamp? terlontar ke angkasa, sayap kelelawarnya terentang sempurna. Dia mendarat di atas Kepalan
Zeus dan mengamati pembantaian di sekitarnya. Wajahnya dipenuhi kegembiraan keji. Kepala-kepala
hewan mutan menggeram di pinggirnya. Ular-ular berdesis dan meliak-liuk di sekitar kakinya. Di tangan
kaannya dia memegang bola benang gemerlapan"benang Ariadne"tapi dia melemparkan bola benang
itu ke mulut seekor singa di pinggangnya dan mengeluarkan pedang lengjyngnya. Bilahnya berkilau hijau
karena racun. Kamp? memekikan kemenangan, dan beberapa pekemah menjerit. Yang lain mencoba
berlari dan terinjak oleh anjing neraka atau raksasa.
"Di Immortales!" teriak Chiron. Dia cepat-cepat membidikkan anak paah, tapi Kamp? tampaknya
merasakan kehadirannya. Dia pun terbang dengan kecepatan luar biasa, dan anak panah Chiron
berdesing melewati kepalanya tanpa melukainya.
Tyspn melepaskan dirinya dari si raksasa yang dia hajar sampai tidak sadarkan diri. Dia lari ke barisan
kami, meneriakkan, "Berdiri! Jangan lari darinya! Bertarung!"
Tapi kemudian seekor anjing neraka melompat ke arahnya, dan Tyson serta si anjing berguling menjauh.
Kamp? mendarat di atas tenda komando Athena, menghantamnya sampai rata. Aku lari mengjarnya dan
mendapati Annabeth di sisiku, berusaha menyesuaikan diri dengan kecepatanku, pedangnya di
tangannya. "Mungkin ini akhirnya," katanya.
"Bisa saja." "Senang bertarung bersamamu, Otak Ganggang."
"Sama." Bersama-sama kami melompat ke dalam jangkauan si monster. Kamp? mendesis dan menyabet ke arah
kami. Aku menghindar, mencoba mengalihkan perhatiannya, sementara Annabeth melakukan serangan.
Tapi si monster tampaknya bisa bertarung dengan kedua tangannya secara bebas. Dia memblok pedang
Annabeth, dan Annabeth harus melompat mundur untuk menghindari kepulan racun: Berada dekat
makhluk itu saja rasanya seperti berdiri di tengah-tengah kabut asam. Mataku perih. Paru-paruku tak
bisa mendapatkan cukup udara. Aku tahu kami tidak bisa bertahan selama lebih dari beberapa detik.
"Ayo!" teriakku. "Kita perlu bantuan!"
Tapi tidak ada bantuan yang datang. Semua orang entah sudah gugur, atau berjuang demi nyawa
mereka, atau terlalu takut untuk bergerak maju. Tiga anak panah Chiron mencuat dari dada Kamp?, tapi
dia cuma meraung lebih kencang.
"Sekarang!" kata Annabeth.
Bersama-sama kami menerjang, menangkis sabetan si monster, masuk ke daerah pertahanannya, dan
hampir ...hampir berhasil menusuk dada Kamp?, tapi kepala beruang besar melecut dari pinggang si
monster, dan kami harus bersusah payah mundur untuk menghindar supaya tidak tergigit.
Plak! Penglihatanku jadi gelap. Hal berikutnya yang kutahu, Annabeth dan aku sudah di tanah. Si monster
menekankan kaki depannya ke dada kami, menahan kami. Ratusan ular melata tepat di atasku,
mendesis-desis seakan tertawa. Kamp? mengangkat pedangnya yang bernuansa hijau, dan aku tahu
Annabeth dan aku kehabisan pilihan.
Lalu, di belakangku, sesuatu melolong. Dinding kegelapan menabrak Kamp?, mengirimkan si monster
melayang ke samping. Dan Nyonya O"Leary berdiri melampaui kami, menggeram dan menggonggongi
Kamp?. "Gadis baik!" kata sebuah suara yang familier. Daedalus berjuang untuk keluar dari Labirin, menyabet
musuh di sana-sini saat dia berjalan ke arah kami. Di sebelahnya ada seseorang yang lain"raksasa yang
familier, jauh tinggi daripada raksasa Laistrygonian, dengan ratusan tangan berotot, masing-masing
memegang potongan besar batu.
"Briares!" teriak Tyson terkejut.
"Salam, Adik kecil!" raung Briares. "Tetap waspada!"
Dan saat Nyonya O"Leary melompat dari lintasan tembak, sang Tangan Seratus melacarkan voli batu
besar kepada Kamp?. Batu-batu itu tampaknya membesar saat meninggalkan tangan Briares. Ada
banyak sekali batu sampai-sampai kelihatannya separuh bumi sedang belajar terbang.
BUUUUUM! Di tempat Kamp? berdiri sesaat sebelumnya cuma ada segunung batu, hampir setinggi Kepalan Zeus.
Satu-satunya tanda bahwa monster itu pernah ada hanyalah dua unung pedang hijau yang mencuat
keluar lewat retakan. Sorak-sorai diserukan oleh para pekemah, tapi musuh kami belum habis. Salah satu dracaena berteriak,
"Bantai mereka! Bunuh mereka sssssemua atau Kronossss akan menguliti kalian hidup-hidup!"
Rupanya, ancaman itu lebih menakutkan daripada kami. Para raksasa mendesak maju dalam serangan
putus asa yang terakhir. Salah satu mengangetkan Chiron dengan pukulan singkat ke kaki belakangnya,
dan dia pun terhuyung-huyung dan terjatuh. Enam raksasa berseru kegirangan dan bergegas maju.
"Tidak!" teriakku, tapi aku terlalu jauh untuk membantu.
Kemudian itu terjadi. Grover membuka mulutnya, dan bunyi paling mengerikan yang pernah kudengar
mengemuka. Kedengarannya seperti bunyi trompet kuningan yang diperbesar seribu kali"bunyi rasa
takut murni yang amat sangat.
Sebagai satu kesatuan, kekuatan Kronos menjatuhkan senjata mereka dan lari menyelamatkan diri. Para
raksasa menginjak para dracaena yang mencoba masuk ke Labirin lebih dulu. Para telekhine dan anjing
neraka dan blasteran musuh tergopoh-gopoh menyusul mereka. Terowongan bergemuruh tertutup, dan
pertempuran pun usai. Bukaan sepi, hanya ada api membakar hutan, dan erangan orang-orang yang
terluka. Aku membantu Annabeth berdiri. Kami lari menghampiri Chiron.
"Apa Bapak baik-baik saja?" tanyaku.
Dia berbaring miring, sia-sia mencoba bangun. "Memalukan sekali," gumamnya. "Kupikir aku akan baikbaik saja. Untunglah kita tidak menembak centaurus yang patah ... Aw! ... patah kaki?"
"Bapak perlu bantuan," kata Annabeth. "Akan saya panggil tenaga medis dari pondok Apollo."
"Tidak," Chiron berkeras. "Ada cedera yang lebih serius yang mesti ditangani. Pergilah! Aku baik-baik
saja. Tapi, Grover ... nanti kita harus mengobrol soal bagaimana kau melakukan yang tadi."
"Tapi itu luar biasa," aku setuju.
Grover merona. "Aku nggak tahu dari mana asalnya."
Juniper memeluknya erat-erat. "Aku tahu!"
Sebelum Juniper bisa mengakatakan lebih banyak lagi, Tyson berseru, "Percy, cepat ke sini! Nico!"
Ada asap mengepul-ngepul dari pakaian hitamnya. Jemarinya mengepal, dan rumout di sekeliling
tubuhnya menguning dan mati.
Aku menggulingkannya selembut yang kubisa dan meletakkan tanganku di dadanya. Jantungnya
berdenyut lemah. "Ambil nektar!" teriakku.
" Salah satu pekemah Ares terpincang-pincang mendekat dan menyerahkan wadah minuman kepadaku.
Aku meneteskan sejumlah minuman ajaib itu ke mulut Nico. Dia batuk-batuk dan tersedak, tapi kelopak
matanya bergerak terbuka.
"Nico, apa yang terjadi?" tanyaku. "Apa kau bisa bicara?"
Dia mengangguk lemah. "Tidak pernah mencoba memanggil sebanyak itu sebelumnya. Aku"aku akan
baik-baik saja." Kami membantunya duduk tegak dan memberinya nektar lagi. Dia berkedip-kedip memandang kami,


Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seakan dia sedang mencoba mengingat-ingat siapa kami, dan kemudian dia memusatkan perhatian pada
seseorang di belakangku. "Daedalus," kuaknya.
"Ya, Nak," kata sang penemu. "Aku melakukan kesalahan yang sangat buruk. Aku datang untuk
memperbaikinya." Di tubuh Daedalus ada beberapa luka gores yang mengucurkan minyak keemasan, tapi dia terlihat lebih
baik daripada sebagian besar dari kami. Rupanya tubuh automatonnya menyembuhkan diri dengan
cepat. Nyonya O"Leary membayangi di belakangnya, menjilati luka-luka di kepala majikannya sehingga
rambut Daedalus tampak lucu karena berdiri semua. Briares berdiri di sampingnya, dikelilingi oleh
sekelompok pekemah dan satir yang terkagum-kagum. Dia kelihatannya malu, tapi dia menorehkan
tanda tangan di baju zirah, perisai, dan T-shirt.
"Aku menemukan sang Tangan Seratus saat aku melewati labirin," Daedalus menjelaskan. "Tampaknya
dia punya ide yang sama, untuk datang membatu, tapi dia tersesat. Dan oleh sebab itu kami pun datang
bersama-sama. Kami berdua datang untuk menebus kesalahan."
"Hore!" Tyson melompat naik-turun. "Briares! Aku tahu kau bakal datang!"
"Aku tidak tahu," kata sang Tangan Seratus. "Tapi kau mengingatkanku akan siapa diriku, Cyclops.
Kaulah pahlawannya."
Tyson merona, tapi aku menepuk punggungnya. "Aku sudah lama tahu soal itu," kataku. "Tapi,
Daedalus ... pasukan Titan masih di bawah sana. Bahkan tanpa benang, mereka bakal kembali. Mereka
bakal menemukan cara cepat atau lambat, dengan Kronos yang memimpin mereka."
Daedalus menyarungkan pedangnya. "Kau benar. Selama Labirin masih ada di sini, musuh kalian bisa
menggunakannya. Itulah sebabnya Labirin tak bisa berlanjut."
Annabeth menatapnya. "Tapi Anda bilang Labirin terikat dengan daya hidup Anda! Selama Anda masuh
hidup?" "Ya, Arsitek Mudaku," Daedalus setuju. "Saat aku mati, Labirin juga akan mati. Dan oleh sebab itu aku
punya hadiah untukmu."
Dia melepaska tas kulit dari punggungnya, membuka resletingnya, dan mengeluarkan komputer laptop
perak mulus"salah satu yang kulihat di bengkel kerja. Di tutup ada simbol D biru.
"Pekerjaanku ada di sini," kataku. "Cuma ini yang berhasil kuselamatkan dari kebakaran. Catatan
tentang proyek-proyek yang tidak pernah kumulai. Beberapa rancangan favoritku. Aku tidak bisa
mengembangkan ini selama beberapa milenium terakhir. Aku tidak berani mengungkapkan karyaku ke
dunia fana. Tapi mungkin kau akan menganggapnya menarik."
Dia menyerahkan komputer itu kepada Annabeth, yang menatapnya seperti emas murni. "Anda akan
menyerahkan ini padaku" Tapi ini tak ternilai! Harganya ... aku bahkan tidak tahu berapa!"
"Kompensasi kecil atas tindakanku," kata Daedalus. "Kau benar, Annabeth, mengenai anak-aak Athena.
Kita semestinya bijaksana, dan aku tidak. Suatu hari kau akan menjadi arsitek yang lebih hebat daripada
aku. Ambil gagasan-gagasanku dan kembangkanlah. Inilah paling tidak yang bisa kulakukan sebelum aku
berpulang." "Tunggu," kataku. "Berpulang" Tapi Anda tidak bisa membunuh diri Anda begitu saja. Itu salah!"
Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak sesalah bersembunyi dari kejahatan selama dua ribu tahun.
Kegeniusan bukan alasan untuk kejahatan, Percy. Waktuku sudah tiba. Aku harus menghadapi
hukumanku." "Anda tidak akan memperoleh persdangan yang adil," kata Annabeth. "Arwah Minos duduk di kursi
penghakiman?" "Akan kuterima apa yang datang," katanya. "Dan memercayai keadilah Dunia Bawah, apa adanya. Cuma
itu yang bisa kulakukan, kan?"
Dia memandang tepat ke mata Nico, dan wajah Nico menggelap.
"Ya," katanya. "Akankah kau ambil jiwaku untuk tebusan, kalau begitu?" tanya Daedalus. "Kau bisa menggunakannya
untuk mengembalikan kakakmu."
"Tidak," kata Nico. "Aku akan membantumu membebaskan jiwamu. Tapi Bianca sudah pergi. Dia harus
tinggal di tempatnya berada sekarang."
Daedalus menganggu. "Kerja bagus, putra Hades. Kau jadi bijaksana." Kemudian dia menoleh kepadaku.
"Aku minta tolong untuk terakhir kalinya, Percy Jackson. Aku tidak bisa meninggalkan Nyonya O"Leary
sendirian. Dan dia tidak mau kembali ke Dunia Bawah. Maukah kau merawatnya?"
Kupandang anjing hitam besar itu, yang merengek-rengek menyedihkan, masih menjilati rambut
Daedalus. Aku berpikir bahwa apartemen ibuku tak akan mengizinkan anjing dipelihara, terutama anjing
yang lebih besar daripada bangunan apartemen, tapi kubilang, "Iya. Tentu saja aku mau."
"Kalau begitu aku siap bertemu putraku ... dan Perdix," katanya. "Aku harus memberi tahu mereka
betapa menyesalnya aku."
Ada air mata di mata Annabeth.
Daedalus menoleh ke arah Nico, yang menghunus pedangnya. Awalnya aku takut Nico bakal membunuh
sang penemu tuda, tapi dia cuma berkata, "Waktumu sudah lama tiba. Bebaslah dan beristirahatlah."
Senyum lega melintasi wajah Daedalus. Dia membeku seperti patung. Kulitnya berubah jadi transparan,
mengungkapkan gigi roda da mesin perunggu yang berubah menjadi abi kelabu dan hancur.
Nyonya O"Leary melolong. Aku menepuk-nepuk kepalanya, mencoba menghiburnya sebisaku. Bumi
bergemuruh"gempa bumi yang mungkin bisa dirasakan di semua kota besar di seluruh negeri"saat
Labirin kuno runtuh. Di suatu tempat, kuharap, sisa-sisa pasukan penyerbu Titan terkubur.
Aku melihat ke sekeliling, ke bekas-bekas pembantaian di bukaan, dan wajah letih teman-temanku.
"Ayo," kataku pada mereka. "Kita punya pekerjaan untuk dilakukan."*+
BAB SEMBILAN BELAS Dewan Terpecah Belah Ada terlalu banyak perpisahan.
Malam itu pertama kalinya aku betul-betul menyaksikan kafan perkemahan digunakan pada jenazah,
dan itu bukan sesuatu yang ingin kulihat lagu.
Di antara orang-orang yang meniunggal, Lee Fletcher dari pondok Apollo telah dijatuhkan oleh
pentungan raksasa. Dia diselubungi kafan keemasan tanpa hiasan apa pun. Putra Dionysus yang gugur
melawan seorang blasteran musuh diselubungi kafan ungu tua yang bersulamkan sulur-sulur anggur.
Namanya Castor. Aku malu karena aku sudah melihatnya di perkemahan selama tiga tahun namun tak
pernah repot-repot mencari tahu namanya. Umurnya tujuh belas tahun. Saudara kembarnya, Pollux,
mencoba mengucapkan beberapa patah kata, tapi dia tercekat dan cuma bisa mengambil obor. Dia
menyalakan api pemakaman di tengah-tengah amfiteater, dan dalam hitungan detik barisan kafan pun
dimakan api, mengirimkan asap dan percik api ke bintang-bintang.
Kami menghabiskan keesokan harinya merawat korban luka, yang terdiri dari hampir semua orang. Para
satir dan dryad bekerja untuk memperbaiki kerusakan pada hutan.
Pada tengah hari, Dewan Tetua Berkaki Belah mengadakan rapat darurat di kebun keramat mereka. Tiga
satir senior ada di sana, beserta Chiron, dalam wujud kursi rodanya. Kaki kudanya yang patah masih
dalam penyembuhan, jadi dia akan terikat ke kursi selama beberapa bulan, sampai kakinya cukup kuat
untuk menopang beratnya. Kebun dipenuhi para satir dan dryad dan naiad dari air"ratusan jumlahnya,
tak sabar mendengar apa yang bakal terjadi. Juniper, Annabeth, dan aku berdiri di sisi Grover.
Silenus ingin mengasingkan Grover secepatnya, tapi Chiron membujuknya untuk paling tidak
mendengarkan bukti-bukti terlebih dahulu, jadi kami meberi tahu semuanya tentang apa yang terjadi di
gua kristal, dan apa yang dikatakan Pan. Kemudian beberapa saksi mata dari pertempuran memaparkan
bunyi aneh yang dibuat Grover, yang menyebabkan pasukan Titan kembali ke bawah tanah.
"Itu kepanikan." Juniper berkeras. "Grover memanggil kekuatan sang dewa alam liar."
"Kepanikan?" tanyaku.
"Percy," jelas Chiron, "pada perang pertama antara dewa-dewi dan para Titan, Tuan Pan mengeluarkan
seruan mengerikan yang menakuti para tentara musuh itu adalah"itu dulu adalah kekuatannya yang
terhebat"gelombang hebat rasa takut yang membantu para dewa menang hari itu. Kata panik dinamai
dari Pan, kau tahu. Dan Grover menggunakan kekuatan itu, memanggil dari dalam dirinya sendiri."
"Kurang ajar!" raung Silenus. "Penodaan! Mungkin sang dewa alam liar memberkahi kita dengan
karunianya. Atau mungkin musik Grover begitu buruk sampai-sampai menakuti musuh!"
"Bukan itu, Tuan," kata Grover. Dia kedengarannya jauh lebih tenang daripada seandainya aku yang
dihina seperti itu. "Dia mewariskan semangatnya kepada kita semua. Kita harus bertindak, kita harus
bekerja untuk memperbarui alam liar, untuk melindungi yang tersisa darinya. Kita harus menyebarkan
kabar ini. Pan sudah mati. Tidak ada siapa-siapa selain kita."
"Setelah mencari selama dua ribu tahun, kau ingin kami memercayai ini?" seru Silenus. "Takkan pernah!
Kita harus meneruskan pencarian. Asingkan si penghianat!"
Beberapa satir tua menggumamkan persetujuan.
"Pemungutan suara!" tuntut Silenus. "Lagi pula, siapa yang mau memercayai satir muda konyol ini?"
"Aku mau," kata sebuah suara yang tak asing.
Semua orang menoleh. Berderaplah Dionysus ke dalam kebun. Dan mengenakan setelan hitam resmi,
jadi aku hampir tidak mengenalinya, dasi ungu tua dan kemeja violet, rambut gelap keritingnya tersisir
rapi. Matanya merah seperti biasa, dan wajah tembamnya merah padam, tapi dia kelihatannya
menderita karena duka alih-alih karena kecanduan anggur.
Semua satir berdiri hormat dan membungkuk saat dia mendekat. Dionysus melambaikan tangannya,
dan kursi baru tumbuh dari tanah di samping Silenus"singgasana yang terbuat dari tumbuhan anggur.
Dionysus duduk dan menyilangkan kakinya. Dia menjentikkan jarinya dan seorang satir buru-buru maju
sambil membawa sepiring keju dan cracker dan Diet Coke.
Sang dewa anggur memandang ke sekeliling ke hadirin yang berkumpul. "Kangen padaku?"
Semua satir mengangguk-angguk dan membungkuk-bungkuk. "Oh, ya, sangat, Tuan!"
"Yah, aku sama sekali tidak kangen tempat ini!" bentak Dionysus. "Aku membawa kabar buruk, TemanTeman. Kabar jahat. Para dewa minor berpindah haluan. Morpheus sudah beralih ke pihak musuh.
Hecate, Janus dan Nemesis juga. Hanya Zeus yang tahu berapa banyak lagi."
Guntur menggelegar di kejauhan.
"Ralat," kata Dionysus. "Bahkan Zeus tak tahu. Nah sekarang aku mau dengar cerita Grover. Lagi, dari
awal." "Tapi, Tuanku," protes Silenus. "Itu cuma omong kosong!"
Mata Dionysus menyala-nyala dengan api ungu. "Aku baru tahu anak laki-lakiku meninggal, Silenus.
Suasana hatiku sedang tak baik. Lebih baik kau turuti aku."
Silenus menelan ludah, dan melambaikan keada Grover agar memulai lagi.
Saat Grover selesai, Pak D mengangguk. "Kedengaranya seperti sesuatu yang bakal Pan lakukan. Grover
benar. Pencarian melelahkan. Kalian harus mulai berpikir sendiri." Dia menoleh kepada seorang satir.
"Bawakan aku anggur kupas, sekarang juga!"
"Ya, Tuan!" Si satir bergegas pergi.
"Kita harus mengasingkan si penghianat!" Silenus berkeras.
"Kataku tidak," timpal Dionysus. "Itu pilihanku."
"Aku juga memilih tidak," tambah Chiron.
Silenus mengatupkan rahangnya dengan keras kepala. "Yang memilih pengasingan?"
Dia dan dua satir tua mengangkat tangan mereka.
"Tiga lawan dua," kata Silenus.
"Ah, ya," kata Dionysus. "Tapi sayangnya bagimu, suara satu dewa dihitung dua. Dan karena aku
memilih menentang pengasingan, kita seri."
Silenus berdiri, berang. "Ini memalukan! Dewan tidak bisa menerima kebuntuan."
"Kalau begitu biar dibubarkan saja!" kata Pak D. "Aku tak peduli."
Silenus membungkuk kaku, beserta kedua temannya, dan mereka pun meninggalkan kebun. Kira-kira
dua puluh satir pergi bersama mereka. Sisanya berdiri di sekeliling sambil komat-kamit tidak nyaman.
"Jangan cemas," Grover memberi tahu mereka. "Kita nggak perlu dewan untuk memberi tahu kita harus
melakukan apa. Kita bisa memikirkannya sendiri."
Dia memberi tahu mereka lagi soal kata-kata Pan"bagaimana mereka harus menyelamatkan alam liar
sedikit demi sedikit sekali waktu. Dia mulai membagi para satir ke dalam kelompok-kelompok"yang
mana yang bakal pergi ke taman nasional, yang mana yang bakal mencari tempat-tempat liat terakhir,
yang mana yang bakal mempertahankan taman-taman di kota-kota besar.
"Well," kata Annabeth padaku. "Grover sepertinya sudah tumbuh dewasa."
Belakangan siang itu aku mendapati Tyson di pantai, mengobrol dengan Briares. Briares sedang
membangun istana pasir dengan kira-kira lima puluh tangannya. Dia tidak betul-betul
memperhatikannya. Tapi tangannya membangun gedung tiga lantai dengan dinding pertahanan, parit
dan jembatan tarik. Tyson menggambar peta di pasir.
"Belok kiri di karang." Dia memberi tahu Briares. "Lurus terus waktu kaulihat kapal tenggelam. Lalu kirakira satu kilometer ke timur, lewati kuburan putri duyung, kau akan melihat api yang membakar."
"Kau memberinya petunjuk arah ke penempaan?" tanyaku.
Tyson mengangguk. "Briares mau membanty. Dia akan mengajari para cyclops cara-cara yang sudah
kami lupakan, bagaimana membuat senjata dan baju zirah yang lebih bagus."
"Aku ingin bertemu semua cyclops," Briares setuju. "Aku tidak ingin kesepian lagi."
"Aku ragu kau bakal kesepian di sana," kataku sambil agak berharap, soalnya aku tak pernah ke kerajaan
Poseidon. "Mereka akan membuatmu benar-benar sibuk."
Wajah Briares berubah menjadi ekspresi gembira. "Sibuk kedengarannya bagus! Aku Cuma berharap
semoga Tyson bisa ikut juga!"
Tyson merona. "Aku harus tinggal di sini dengan kakakku. Kau bakal baik-baik saja, Briares. Terima kasih."
Sang Tangan Seratus menjabat tanganku kira-kira seratus kali. "Aku akan berjumpa lagi, Percy. Aku tahu
itu." Lalu dia memberi Tyson pelukan oktopus erat dan pergi mengarungi laut. kami menonton sampai kepala
superbesarnya lenyap di bawah ombak.
Aku merangkul Tyson. "Kau banyak membantunya."
"Aku cuma bicara padanya."
"Kau percaya padanya. Tanpa Briares, kita tidak bakal mungkin bisa mengalahkan Kamp?."
Tyson nyengir. "Lemparan batunya bagus!"
Aku tertawa. "Iya. Lemparan batunya betul-betul bagus. Yuk, Jagoan. Ayo kita makan malam."
Rasanya menyenangkan makan malam seperti biasa di perkemahan. Tyson duduk denganku di meja
Poseidon. Matahari terbenam di Selat Long Island tampak indah. Keadaan sama sekali tidak kembali
normal, tapi waktu aku menghampiri tungku dan menyisihkan sebagian makananku ke nyala api sebagai
persembahan untuk Poseidon, aku merasa aku betul-betul punya banyak hal untuk disyukuri. Temantemanku dan aku masih hidup. Perkemahan selamat. Kronos menderita kemunduran, paling tidak
sebentar. Satu-satunya yang mengusikku adalah Nico, yang berdiam di bayang-bayang di tepi paviliun. Dia ditawari
tempat di meja Hermes, dan bahkan di meja utama bersama Chiron, tapi dia menolak.
Setelah makan malam, para pekemah menuju ke amfiteater, tempat pondok Apollo menjajikan acara
menyanyi bersama untuk meningkatkan semangat kami, tapi Nico berbalik dan menghilang ke dalam
hutan. Kuputuskan lebih baik aku mengikutinya.
Saat aku melintas di bawah bayang-bayang pepohonan, kusadari betapa gelap suasananya. Aku tak
pernah takut di hutan sebelumnya meskipun aku tahu ada banyak monster. Tetap saja, aku memikirkan
pertempuran kemarin, dan aku bertanya-tanya apakah aku bisa berjalan di hutan ini lagi tanpa teringat
kengerian pertarungan sebanyak itu.
Aku tak bisa melihat Nico, tapi setelah beberapa menit berjalan kulihay sesuatu berpendar di depan.
Mulanya kukira Nico menyalakan obor. Saat aku semakin dekat, kusadari ternyata pendar itu adalah
hantu. Sosok Bianca di Angelo yang berdenyar berdiri di bukaan, tersenyum pada adiknya. Bianca
mengatakan sesuatu pada Nico dan menyentuh wajahnya"atau mencoba menyentuh wajahnya.
Kemudian citranya mengabur.
Nico berbalik dan melihatku, tapi dia tidak terlihat marah.
"Mengucapkan selamat tinggal," katanya serak.
"Kami kehilanganmu waktu makan malam," kataku. "Kau bisa saja duduk denganku."
"Nggak." "Nico, kau nggak bisa melewatkan setiap waktu makan. Kalau kau nggak mau tinggal dengan Hermes,
mungkin mereka bisa membuat pengecualian dan menempatkanmu di Rumah Besar. Mereka punya
banyak kamar." "Aku nggak akan tinggal, Percy."
"Tapi ... kau nggak bisa pergi begitu saja. Di luar sana terlalu berbahaya untuk blasteran yang sendirian.
Kau perlu berlatih."
"Aku berlatih dengan orang mati," katanya datar. "Perkemahan ini bukan untukku. Ada alasan kenapa
mereka nggak membuat pondok untuk Hades di sini, Percy. Dia nggak diterima, sama seperti di Olympus.
Aku nggak pantas di sini. Aku harus pergi."
Aku ingin berdebat, tapi sebagian dariku tahu dia benar. Aku tidak menyukai ini, tapi Nico memang
harus menemukan jalan gelapnya sendiri. Aku ingat di gua Pan, bagaimana sang dewa alam liar
mengajak kami bicara satu-persatu ... kecuali Nico."
"Kapan kau pergi?" tanyaku.
"Secepatnya. Aku punya banyak pertanyaan. Seperti siapa ibuku" Siapa yang membayari sekolahku dan
Bianca" Siapa pengacara yang mengeluarkan kami dari Hotel Lotus" Aku nggak tahu apa-apa soal masa
laluku. Aku harus mencari tahu."
"Masuk akal," akuku. "Tapi kuharap kita nggak perlu jadi musuh."
Dia menundukkan pandangannya. "Maaf aku menyebalkan. Aku harusnya mendengarkanmu soal
Bianca." "Ngomong-ngomong ...." Aku mengeluarkan sesuatu dari sakuku. "Tyson menemukan ini waktu kami
membersihkan pondok. Kupikir kau mungkin mau." Aku mengulurkan figurin timah Hades"patung
Mythomagic kecil yang Nico tinggalkan waktu dia kabur dari perkemahan musim dingin lalu.
Nico ragu-ragu. "Aku nggak memainkan itu lagi. Permainan itu buat anak-anak."
"Ia punya kekuatan serangan empat ribu," bujukku.
"Lima ribu," koreksi Nico. "Tapi cuma kalau lawanmu menyerang duluan."
Aku tersenyum. "Mungkin nggak apa-apa tetap jadi anak-anak sesekali." Aku melemparkan patung itu
padanya. Nico mengamat-amati patung itu di telapak tangannya selama beberapa detik, lalu menyelipkannya ke
dalam sakunya. "Makasih."
Aku mengulurkan tanganku. Dia menyalami tanganku dengan enggan. Tangannya sedingin es.
"Banyak hal yang harus kuselidiki," katanya. "Beberapa di antaranya ... Yah, kalau aku dapat sesuatu
yang berguna, akan kuberi tahu kau."
Aku tak yakin apa maksudnya, tapi aku mengangguk. "Jangan putus kontak ya, Nico."
Dia berbalik dan terhuyung-huyung memasuki hutan. Bayang-bayang seolah membungkuk ke arahnya
saat dia berjalan, seakan mereka sedang berusaha menarik perhatiannya.
Suara tepat di belakangku berkata, "Dia itu pemuda yang sangat bermasalah."
Aku berbalik dan mendapati Dionysus berdiri di sana, masih mengenakan setelan hitamnya.
"Jalan-jalan denganku," katanya.
"Ke mana?" tanyaku curiga.
"Cuma ke api unggun," katanya. "Aku mulai merasa lebih baik, jadi kupikir aku ingin bicara denganmu
sedikit. Kau selalu bisa bikin aku sebal."
"Eh, makasih." Kami berjalan menembus hutan dalam keheningan. Kusadari bahwa Dionysus berjalan di udara, sepatu
hitamnya yang mengilat melayang seinci dari tanah. Kurasa dia tak mau sepatunya kotor.
"Kita dikhianati banyak orang," katanya. "Keadaan tampaknya tidak bagus bagi Olympus. Tapi kau dan
Annabeth menyelamatkan perkemahan ini. Aku tak yakin apa aku mestinya berterima kasih padamu
untuk itu." "Itu usaha kelompok."
Dia mengangkat bahu. "Walau begitu, kurasa itu agak kompeten, yang kalian berdua lakukan. Kupikir
kau sebaiknya tahu"kita tidak kalah total."


Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami sampai di amfiteater, dan Dionysus menunjuk ke arah api unggun. Clarisse duduk merapatkan
bahu dengan seorang anak Hispanik yang menceritakan lelucon kepadanya. Dia adalah Chris Rodriguez,
blasteran yang jadi gila di Labirin.
Aku menoleh kepada Dionysus. "Bapak menyembuhkannya?"
"Kegilaan adalah keahlianku. Lumayan enteng kok."
"Tapi ... Bapak melakukan sesuatu yang baik. Kenapa?"
Dia mengangkat alis. "Aku ini memang baik! Aku cuma memancarkan kebaikan, Perry Johansson. Apa
kau belum sadar?" "Eh?" "Mungkin aku merasa berduka atas kematian anak laki-lakiku. Mngkin kupikir si Chirs ini berhak
memperoleh kesempatan kedua. Pokoknya, tampaknya menyembuhkan dia mencerahkan hari Clarisse."
"Kenapa Bapak memberitahukan ini kepada saya?"
Sang dewa anggur mendesah. "Oh, cuma Hades yang tahu. Tapi ingat, Bocah, tindakan baik semacam itu
kadang-kadang bisa sekuat pedang. Sebagai manusia fana, aku tak pernah jadi petarung atau atlet atau
penyair yang hebat. Aku cuma membuat anggur. Orang-orang di desaku menertawakaku. Mereka bilang
aku tidak akan berhasil meraih apa-apa. Lihat aku sekarang. Terkadang hal-hal kecil bisa menjadi sangat
besar." Dia meninggalkanku sendirian untuk memikirkan itu. Dan saat aku menyaksikan Clarisse dan Chirs
menyanyikan lagu api unggun konyol bersama-sama, berpegangan tangan di kegelapan, tempat mereka
pikir tidak ada yang bisa melihat mereka, mau tak mau aku tersenyum.[]
BAB DUA PULUH Pesta Ulang Tahunku Jadi Suram
Sisa musim panas terasa aneh karena berlangsung sangat normal. Kegiatan harian berlanjut: panahan,
panjat batu,mengunggangi pegasus. Kami main tangkap bendera (meskipun kami semua menghindari
Kepalan Zeus). Kami menyani di api unggun dan membalap kereta perang dan mengusili pondok-pondok
lain. Aku menghabiskan banyak waktu bersama Tyson, bermain dengan Nyonya O"Leary, tapi ia masih
melolong pada malam hari waktu kesepian karena merindukan majikan lamanya. Annabeth dan aku
kurang lebih saling menghindar. Aku senang bersamanya, tapi rasanya juga menyakitkan, dan
menyakitkan juga saat aku tidak bersamanya.
Aku ingin bicara kepadanya mengenai Kronos, tapi tak bisa lagi melakukan itu tanpa menyinggungnyunggung soal Luke. Dan itulah satu topik yang tidak bisa kukemukakan. Dia akan menutup diri setiap
kali aku mencoba. Jadi berlalu, dengan pesta kembang api di pantai pada tanggal empat, saat hari kemerdekaan. Agustus
jadi sangat panas sampai-sampai stobrti mulai terpanggang di ladang. Akhirnya, hari terakhir
perkemahan tiba. Surat resmi standar muncul di atas tempat tidurku setelah sarapan,
memperingatkanku bahwa para harpy permbersih bakal melahapku kalau aku tinggal lebih dari tengah
hari. Pada jam sepuluh aku berdiri di puncak Bukit Blasteran, menunggu van perkemahan yang bakal
membawaku ke kota. Aku sudah mengurus supaya Nyonya O"Leary boleh ditinggalkan di perkemahan,
tempat Chiron berjaji dia akan dirawat. Tyson dan aku bakal bergantian mengunjunginya sepanjang
tahun. Aku berharap semoga Annabeth naik van bersamaku ke Manhattan, tapi dia cuma datang untuk
mengantarkanku. Dia bilang dia sudah mengatur supaya bisa tinggal di perkemahan sedikit lebih lama
lagi. Dia akan merawat Chiron sampai kakinya pulih sepenuhnya, dan terus mempelajari laptop Daedalus,
yang menguras perhatiannya selama dua bulan terakhir. Kemudian dia akan kembali kerumah ayahnya
di San Fransisco. "Ada sekolah swasta di luar sana yang akan kumasuki," katanya. "Aku mungkin bakal membencinya,
tapi ...." Dia mengangkat bahu.
"Well, telepon aku, oke?"
"Tentu," katanya setengah hati. "Aku akan terus membuka mataku untuk ...."
Itu lagi. Luke. Annabeth bakalan tidak bisa mengucapkan namanya tanpa membuka sekotak besar luka
dan keemasan dan amarah. "Annabeth," kataku. "Ramalan selanjutnya apa?"
"Kau akan masuk ke dalam kegelapan labirin tanpa akhir ...." ingatku. "Yang mati, yang berkhianat, dan
yang hilang pun kembali hadir. Kita menghadirkan Ethan Nakamura yang rupanya seorang penghianat.
Kita menghadirkan kembali jiwa Pan, yang hilang."
Annabeth menggelengkan kepalanya seakan dia ingin aku berhenti.
"Di tangan sang raja hantu kebangkitan atau kegagalanmu ditentukan," tekanku. "Itu bukan Minos,
seperti yang kuduga. Itu Nico. Dengan cara memilih untuk berada di pihak kita, dia menyelamatkan kita.
Dan pertarungan terakhir anak Athena menanti"itu Daedalus."
"Percy?" "Hancur beserta napas terhakhir seorang pahlawan. Itu masuk akal sekarang. Daedalus mencoba
menghancurkan labirin. Tapi apa baris yang?"
"Dan kehilangan cinta karena musibah yang lebih buruk daripada mati." Ada air mata di mata Annabeth.
"Itu baris terakhirnya, Percy. Apa kau senang sekarang?"
Matahari tampaknya lebih dingin daripada sesaat lalu. "Oh," kataku. "Jadi Luke?"
"Percy, aku tidak tahu siapa yang dibicarakan ramalan. Aku"aku tak tahu kalau ...." Dia terbata-bata
tanpa daya. "Luke dan aku"selama bertahun-tahun, dialah satu-satunya yang betul-betul peduli padaku.
Kupikir..." Sebelum dia bisa melanjutkan, gemerlap cahaya muncul di samping kami, seolah seseorang baru saja
membuka tirai emas di udara.
"Kau tidak perlu minta maaf apa pun, Sayangku." Di bukit berdirilah seorang wanita tinggi yang
mengenakan gaun putih, rambut gelapnya yang terkepang tersampir ke bahu.
"Ratu Hera," kata Annabeth.
Sang dewi tersenyum. "Kau menemukan jawabannya, seperti yang kuduga. Misimu sukses."
"Sukses?" kata Annabeth. "Luke sudah tiada. Daedalus meninggal. Pan meninggal. Bagaimana mungkin
itu?" "Keluarga kita selamat," Hera berkeras. "Yang lain lebih baik lenyap, Sayangku. Aku bangga padamu."
Aku mengepalkan tinjuku. Aku tak percaya dia mengatakan ini. "Kau yang membayar Geryon untuk
membiarkan kami melewati peternakan, ya?"
Hera mengangkat bahu. Gaunnya berdenyar dalam warna-warni pelangi. "Aku ingin mempercepat
perjalanan kalian." "Tapi kau tak peduli soal Nico. Kau dengan senang hati melihatnya diserahkan ke para Titan."
"Oh, yang benar saja." Hera melambaikan tangannya tak acuh. "Putra Hades itu yang mengatakannya
sendiri. Tidak ada yang menginginkannya. Dia tidak layak di sini."
"Hephaestus benar," geramku. "Kau cuma peduli pada keluargamu yang sempurna, bukan keluarhamu
yang sesungguhnya." Matanya jadi cerah mengancam. "Hati-hati, Putra Poseidon. Aku membimbingmu lebih daripada yang
kau tahu dalam labirin. Aku ada di sisimu saat kau menghadapi Geryon. Aku membiarkan anak panahmu
lurus. Aku mengirimmu ke pulau Calypso. Aku membuka jalan ke gunung Titan. Annabeth, Sayangku,
pastinya kau melihat bagaimana aku telah membantumu. Aku akan menyambut sesaji atas usahaku."
Annabeth berdiri sediam patung. Dia bisa saja bilang terima kasih. Dia bisa saja berjanji melemparkan
daging panggang ke tungku untuk Hera dan melupakan semuanya. Tapi dia mengatupkan rahangnya
dengan keras kepala. Dia terlihat persis seperti waktu dia menghadapi Sfinks"seolah dia tak akan mau
menerima jawaban gampang, bahkan seadainya itu membuatnya terlibat masalah besar. Aku menyadari
itulah salah satu yang paling kusukai dari Annabeth.
"Percy benar." Dia berbalik memunggungi sang dewi. "Anda-lah yang tidak layak di sini, Ratu Hera. Jadi,
kali berikutnya, makasih ... tapi tidak usah, makasih."
Seringai Hera lebih parah daripada seringai empousa. Sosoknya mulai berkilauan. "Kau akan menyesali
penghinaan ini, Annabeth. Kau akan sangat menyesali ini."
Aku mengalihkan pandangan mataku saat sang dewi berubah ke sosok sejatinya dan lenyap dalam
kilatan cahaya. Puncak bukit tenang kembali. Di atas pohon pinus, Peleus si naga terkantuk-kantuk di bawah Bulu
Domba Emas seakan tidak ada yang terjadi.
"Maafkan aku," kata Annabeth padaku. "Aku"aku harus kembali. Aku akan terus menghubungimu."
"Dengar, Annabeth?" Aku memikirkan Gunung St. Helens, pulau Calypso, Luke, dan Rachel Elizabeth
Dare, dan betapa tiba-tiba segalanya jadi begitu rumit. Aku ingin memberi tahu Annabeth bahwa aku
betul-betul tak ingin jadi jauh dengannya.
Kemudian Argus menekan klakson di jalan, dan aku kehilangan kesempatanku.
"Kau sebaiknya cepat," kata Annabeth. "Jaga dirimu, Otak Ganggang."
Dia berlari menuruni bukit. Aku memperhatikannya sampai dia mencapai pondok. Dia tidak melihat ke
belakang satu kali pun. Dua hari kemudian adalah ulang tahunku. Aku tak pernah mengiklankan tanggal itu, soalnya jatuhnya
selalu tepat setelah perkemahan selesai, jadi tak satu pun teman seperkemahanku yang biasanya bisa
datang, dan aku tak punya teman fana sebanyak itu. Lagi pula, bertambah tua, sepertinya bukan sesuatu
yang harus dirayakan karena aku mendapat ramalan besar soal diriku yang menghancurkan atau
menyelamatkan dunia waktu aku menginjak enam belas tahun. Sekarang aku menginjak umur lima belas.
Aku kehabisan waktu. Ibuku mengadakan pesta kecil untukku di apartemen kami. Paul Blofis datang, tapi itu tak apa-apa
karena Chiron sudah memanipulasi Kabut untuk meyakinkan semua orang di Goode High School bahwa
aku tak ada hubungannya dengan ledakan di ruang band. Sekarang Paul dan para saksi mata lain yakin
bahwa Kelli adalah pemandu sorak gila yang melemparkan bom, sedangkan aku cuma penonton tak
bersalah yang panik dan lari dari tempat kejadian. Aku masih diperbolehkan untuk mulai sebagai murid
baru di Goode bulan depan. Kalau aku mau mempertahankan rekor di keluarkan dari sekolah setiap
tahun, aku harus mencoba lebih keras lagi.
Tyson juga datang ke pestaku dan ibuku memanggang dua kue biru ekstra hanya untuknya. Sementara
Tyson membantu ibuku meniup balon-balon pesta, Paul Blofis memintaku membantunya di dapur.
Saat kami sedang menuangkan punch, dia berkata, "Kudengar ibumu mendaftarkanmu kursus
mengemudi musim gugur ini."
"Yeah. Keren deh. Aku nggak sabar menunggu."
Serius nih, aku sudah lama sekali ingin mendapat SIM, tapi kurasa sekarang aku sudah tak berminat lagi,
dan Paul tahu. Dia, dengan cara yang aneh, mengingatkanku pada Chiron kadang-kadang, bagaimaa dia
bisa memandangmu dan sungguh-sungguh melihat pikiranmu. Kurasa itulah aura guru.
"Kau mengalami musim panas yang berat," katanya. "Kutebak kau kehilangan seseorang yang penting.
Dan ... masalah cewek?"
Aku menatapnya. "Bagaimana kautahu itu" Apa ibuku?"
Dia mengangkat tangannya. "Ibumu tidak bilang apa-apa. Dan aku tidak akan sok ikut campur. Aku cuma
tahu ada sesuatu yang tidak biasa tentangmu, Percy. Kau punya banyak masalah sampai-sampai aku
tidak bisa membayangkannya. Tapi aku juga pernah lima belas tahun, dan aku cuma menebak dari
ekspresimu ... Yah, kau mengalami masa-masa yang berat."
Aku mengangguk. Aku berjanji kepada ibuku aku akan memberi tahu Paul yang sebenarnya tentangku,
tapi sekarang sepertinya bukan saatnya. Belum. "Aku kehilangan beberapa teman di perkemahan yang
kudatangi," kataku. "Maksudku, bukan teman dekat, tapi tetap saja?"
"Aku ikut berduka."
"Iya. Dan, eh, kurasa masalah cewek ...."
"Ini." Paul menyerahkan punch kepadaku. "Untuk ulang tahunmu yang kelima belas. Dan tahun yang
lebih baik yang akan datang."
Kami menyentuhkan gelas kertas kami dan minum.
"Percy, aku tidak enak memberimu satu hal lagi untuk dipikirkan," kata Paul. "Tapi aku ingin
menanyakan sesuatu padamu."
"Ya?" "Masalah cewek."
Aku mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
"Ibumu," kata Paul. "Aku mempertimbangkan untuk melamarnya."
Aku hampir menjatuhkan gelasku. "Maksudmu ... menikahinya" Kau dan dia?"
"Yah, gambaran umumnya sih begitu. Apa kau tak keberatan?"
"Kau minta izinku?"
Paul menggaruk jenggotnya. "Aku tidak tahu apa itu namanya permohonan izin, tapi dia ibumu. Dan aku
tahu kau sudah mengalami banyak hal. Rasanya tidak tepat kalau aku tidak bicara denganmu dulu,
antarlelaki." "Antarlelaki," ulangku. Kedengarannya aneh, mengatakan itu. Aku memikirkan Paul dan ibuku,
bagaimana ibuku tersenyum dan tertawa lebih sering kapan pun ada dia, dan bagaimana Paul bersusah
payah memasukkanku ke SMA. Kudapati diriku berkata, "Kupikir itu ide bagus, Paul. Silakan saja."
Dia tersenyum lebar sekali saat itu. "Bersulang, Percy. Ayo kita bergabung ke pesta."
Aku sedang bersiap-siap meniup lilin ketika bel pintu berdering.
Ibuku mengernyitkan dahi. "Siapa itu ya?"
Itu aneh, soalnya bangunan baru kami punya penjaga pintu, tapi dia tak menelepon atau apa. Ibuku
membuka pintu dan terkesiap.
Rupanya ayahku. Dia mengenakan celana pendek Bermuda dan baju Hawaii dan sandal Birkenstock,
seperti biasanya. Jenggot hitamnya dipangkas rapi dan mata hijau lautnya berbinar-binar. Dia memakai
topi usang yang dihiasi umpan pancing. Bunyinya TOPI PANCING KEBERUNTUNGAN NEPTUNUS.
"Pos?" Ibuku menghentikan dirinya. Dia merona sampai ke akar rambut. "Eh, halo."
"Halo, Sally." Kata Poseidon. "Kau terlihat cantik seperti biasa. Boleh aku masuk?"
Ibuku membuat suara mencicityang artinya mungkin saja. "Ya" atau "Silakan". Poseidon
menganggapnya sebagai ya dan masuk.
Paul melihat bolak-balik kepada kami, mencoba membaca raut wajah kami. Akhirnya dia melangkah
maju. "Hai, aku Paul Blofis."
Poseidon mengangkat alisnya saat mereka bersalaman. "Blowfish"ikan buntal"katamu?"
"Ah, bukan. Blofis, sebenarnya."
"Oh, begitu," kata Poseidon. "Sayang. Aku lumayan suka ikan buntal. Aku Poseidon."
"Poseidon" Itu nama yang menarik."
"Ya, aku menyukainya. Aku pernah memakai nama-nama lain, tapi aku lebih memilih Poseidon."
"Seperti dewa laut."
"Mirip sekali seperti itu, ya."
"Baiklah!" Ibuku menginterupsi. "Eh, kami senang kau bisa mampir. Paul, ini ayah Percy."
"Ah." Paul mengangguk, walaupun dia kelihatannya tidak terlalu senang. "Begitu."
Poseidon tersenyum padaku. "Rupanya kau di situ, Putraku. Dan Tyson, halo, Nak!"
"Papa!" Tyson melompat menyeberangi ruangan dan memberi Poseidon pelukan erat, yang hampir
menjatuhkan topi pancingnya.
Rahang Paul menganga. Dia menatap ibuku. "Tyson ...."
"Bukan anakku," janji ibuku. "Ceritanya panjang."
"Aku tidak mungkin melewatkan ulang tahun Percy," kata Poseidon. "Wah, kalau ini Sparta, Percy akan
jadi pria dewasa hari ini!"
"Itu betul," kata Paul. "Aku dulu mengajar sejarah kuno."
Mata Poseidon berbinar. "Itu aku. Sejarah kuno. Sally, Paul, Tyson ... apa kalian keberatan kalau
kupinjam Percy sebentar?"
Dia merangkulku dan menuntunku ke dapur.
Setelah kami sendirian, senyumnya memudar.
"Apa kau baik-baik saja, Nak?"
"Iya. Aku baik-baik saja. Kurasa."
"Aku mendengar cerita-cerita," kata Poseidon. "Tapi aku ingin mendengarnya langsung darimu. Ceitakan
segaanya padaku." Jadi, kuceritakan. Rasanya membingungkan, soalnya Poseidon mendengarkan dengan begitu saksama.
Matanya tidak pernah meninggalkan wajahku. Ekspresinya tidak berubah sepanjang waktu saat aku
bercerita. Ketika aku selesai, dia mengangguk pelan.
"Jadi, Kronos memang benar-benar kembali. Tidak lama sampai perang besar-besaran menimpa kita."
"Bagaimana dengan Luke?" tanyaku. "Apa dia betul-betul tewas?"
"Aku tidak tahu, Percy. Memang menggelisahkan."
"Tapi tubuh fananya. Tidak bisakah kalian menghancurkannya saja?"
Poseidon terlihat risau. "Fana, mungkin. Tapi ada sesuatu yang berbeda mengenai Luke, Nak. Aku tidak
tahu bagaimana dia dipersiapkan untuk mewadahi jiwa Titan, tapi dia tidak akan mudah dibunuh. Dan
walau demikian, aku takut dia harus dibunuh kalau kita ingin mengirim Kronos kembali ke lubang. Aku
harus memikirkan ini. Sayangnya, aku punya masalahku sendiri."
Aku teringat apa yang Tyson beritahukan kepadaku pada permulaan musim panas. "Dewa-dewa laut
purba?" "Tepat sekali. Pertarungan mula-mula datang kepadaku, Percy. Malah, aku tidak bisa tinggal lama-lama.
Bahkan sekarang pun laut sedan berperang dengan dirinya sendiri. Cuma itu yang bisa kulakukan untuk
mencegah badai dan topan menghancurkan dunia permukaan kalian, sebab pertempurannya begitu
intens." "Izinkan aku turun ke sana," kataku. "Izinkan aku membantu."
Mata Poseidon berkerut saat dia tersenyum. "Belum saatnya, Nak. Aku merasa kau akan diperlukan di
sini. Yang mengingatkanku ...." Dia mengeluarkan dolar pasir"hewan laut lunak berbentuk seperti koin
loham yang sering terhanyut ke tepi pantai"dan menekannya ke tanganku. "Hadiah ulang tahunmu.
Belanjakan dengan bijak."
"Mm, membelanjakan dolar pasir?"
"Oh, ya. Di masaku, kau bisa membeli cukup banyak benda dengan dolar pasir. Kupikir kau akan
mendapati bahwa uang ini masih dapat membeli banyak hal, apabila digunakan pada situasi yang tepat."
"Situasi apa?" "Saat waktunya tiba," kata Poseidon, "kupikir kau akan tahu."
Aku menangkupkan tanganku ke dolar pasir, tapi sesuatu betul-betul menggangguku.
"Ayah," kataku, "waktu aku di labirin, aku ketemu Antaeus. Dia bilang ... yah, dia bilang dia putra
kesayanganmu. Dia menghiasi arenanya dengan tengkorak dan?"
"Dia mempersembahkannya untukku," Poseidon melengkapi. "Dan kau bertanya-tanya bagaimana
mungkin seseorang melakukan sesuatu yang begitu mengerikan dengan namaku."
Aku mengangguk tak nyaman.
Poseidon meletakkan tangannya yang dimakan usia di bahuku. "Percy, para makhluk melakukan banyak
hal mengerikan atas nama para dewa. Itu bukan berarti kami, para dewa, setuju. Cara para putra dan
putri kami bertindak atas nama kami ... yah, biasanya itu mengungkapkan lebih banyak hal tentang diri
mereka daripada tentang kami. Dan kau, Percy, adalah putra kesayanganku."
Dia tersenyum, dan saat itu, berada di dapur bersamanya saja sudah merupakan hadiah ulang tahun
terbaik yang pernah kudapatkan. Kemudian ibuku memanggil dari ruang keluarga, "Percy" Lilinnya
meleleh!" "Kau sebaiknya pergi," kata Poseidon. "Tapi, Percy, hal terakhir yang harus kau tahu. Kejadian di Gunung
St. Helens itu ...."
Selama sedetik kupikir dia bicara soal Annabeth yang menciumku, dan aku merona, tapi kemudian
kusadari dia membicarakan sesuatu yang lebih besar.
"Letusan terus berlanjut," katanya. "Typhon bergerak. Sangat mungkin bahwa dalam waktu dekat,
mungkin dalam beberapa bulan, mungkin sebaik-baiknya setahun, dia akan meloloskan diri dari
belenggunya." "Maafkan aku," kataku. "Aku nggak bermaksud?"
Poseidon mengangkat tangannya. "Itu bukan salahmu, Percy. Hal itu pasti bakal terjadi cepat atau


Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lambat, dengan adanya Kronos yang membangunkan monster-monster kuno. Tapi waspadalah, kalau
Typhon bergerak ... keadaannya takkan seperti yang pernah kauhadapi sebelumnya. Kali pertama dia
muncul, seluruh kekuatan Olympus nyaris tidak akan datang ke sini, ke New York. Dia akan langsung
menuju Olympus." Tepat seperti itulah kabar baik yang ingin kudapatkan pada ulang tahunku, tapi Poseidon menepuk
punggungku seakan segalanya baik-baik saja. "Aku harus pergi. Nikmati kuemu."
Dan dia berubah begitu saja menjadi kabut dan dihanyutkan ke luar jendela oleh embusan angin laut
hangat. Perlu sedikit usaha meyakinkan Pau bahwa Poseidon pergi lewat tangga darurat, tapi karena orangorang tak bisa melenyapkan diri ke udara kosong, dia tak punya pilihan selain memercayainya.
Kami makan kue dan es krim biru sampai kami tak bisa makan lagi. Lalu kami memainkan sejumlah
permainan persta norak seperti tebak geraka dan Monopoli. Tyson tak memahami tebak-tebakan. Dia
terus meneriakkan jawaban yang sedang dia coba peragakan, tapi rupanya dia sangat mahir Monopoli.
Dia menghajarku dalam lima ronde pertama dan mulai membuat ibuku dan Paul bangkrut. Aku
meninggalkan mereka bermain dan pergi ke kamar tidurku.
Aku meletakkan seiris kue biru yang belum dimakan di atas mejaku. Lalu kuambil kalung Perkemahan
Blasteranku dan menghamparkannya di ambang jendela. Ada tiga manik-manik sekarang, mewakili tiga
musim panasku di perkemahan"trisula, Bulu Domba Emas, dan yang paling baru: labirin rumit,
melambangkan Pertempuran Labirin, begitulah para pekemah mulai menyebutnya. Aku bertanya-tanya
bakal seperti apakah manik-manik tahun depan, kalau aku masih ada untuk mendapatkannya. Kalau
perkemahan bertahan sampai musim panas depan.
Aku memandang telepon di samping tempat tidurku. Aku berpikir soal menelepon Rachel Elizabeth Dare.
Ibuku menanyaiku apakah ada orang lain yang ingin kuundang malam ini dan aku mempertimbangkan
Rache. Tapi aku tak menelepon. Aku tidak tahu kenapa. Gagasan itu membuatku hampir segugup saat
aku membayangkan sebuah pintu masuk ke Labirin.
Aku menepuk sakuku dan mengosongkan isinya"Reptide, tisu Kleenex, kunci apartemenku. Lalu
kutepuk saku bajuku dan kurasakan gumpalan kecil. Aku bahkan tak menyadarinya, tapi aku
mengenakan baju katun putih yang Calypso berikan padaku di Ogygia. Aku mengeluarkan secarik kecil
kain, membukanya, dan menemukan potongan moonlace. Potongan itu masih berupa dahan kecil, kisut
setelah dua bulan, tapi aku masih bisa mencium aroma lemah taman yang memesona itu. Hal itu
membuatku sedih. Aku teringat permintaa terakhir Calypso kepadaku: Buatlah taman di Mahattan untukku, kau mau kan"
Aku membuka jendela dan melangkah ke tangga darurat.
Ibuku meletakkan kotak tanaman di luar sana. Pada musim semi dia biasanya memenuhinya dengan
bunga-bunga, tapi sekarang cuma ada tanah, menantikan sesuatu yang baru. Malam itu cerah. Sedang
bulan purnama di atas Eighty-second Street. Aku menanam dahan moonlace yang kering itu dan
memercikkan sedikit nektar ke atasnya dari wadah minuman perkemahanku.
Tidak ada yang terjadi pada awalnya.
Lalu, saat aku memperhatikan, tumbuhan perak kecil mencuat keluar dari tanah"bayu moonlace,
berkilau di malam musim panas yang hangat.
"Tanaman yang bagus," kata sebuah suara.
Aku terlompat. Nico di Angelo sedang berdiri di tangga darurat tepat di sebelahku. Dia muncul begitu
saja di sana. "Sori," katanya. "Nggak bermaksud mengagetkanmu."
"Ng"nggak apa-apa. Maksudku ... apa yang kau lakukan di sini?"
Dia tumbuh kira-kira dua puluh sentimeter lebih tinggi selama dua bulan ini. Rambut hitamnya acakacakan. Dia mengenakan T-shirt hitam, jins hitam, dan cincin perak yang berbentuk seperti tengkorak.
Pedang besi Stygian-nya tergantung di sampingnya.
"Aku sudah menjelajah," katanya. "Kupikir kau ingin tahu, Daedalus mendapatkan hukumannya."
"Kau melihat dia?"
Nico mengangguk. "Minos ingin merebusnya dalam keju cair selamanya, tapi ayahku punya gagasan lain.
Daedalus akan membangun jembatan layang dan pintu tol di Asphodel sepanjang waktu. Itu bakal
mengurangi kepadatan lalu lintas. Sejujurnya, kupikir pak tua itu cukup senang dengan hukumannya. Dia
masih membangun. Masih mencipta. Dan dia bisa ketemu anak laki-lakinya dan Perdix saat akhir pekan."
"Bagus tuh." Nico mengetuk cincin peraknya. "Tapi itu bukan alasan sebenarnya kenapa aku datang. Aku menemukan
beberapa hal. Aku ingin memberimu penawaran."
"Apa?" "Cara mengalahkan Luke," katanya. "Kalau aku benar, itulah satu-satunya cara supaya kau bisa punya
peluang." Aku menarik napas dalam-dalam. "Oke, aku mendengarkan."
Nico melirik ke dalam kamarku. Alisnya dikerutkan. "Apa itu ... apa itu kue ulah tahun biru?"
Dia kedengarannya lapar, mungkin sedikit berharap. Aku bertanya-tanya apakah anak malang itu pernah
berpesta ulang tahun, atau apakah dia bahkan pernah diundang ke pesta ulang tahun.
"Masuklah ke dalam, makan kue dan es krim," kataku. "Kedengarannya kita punya banyak hal untuk di
bicarakan."*+ =====SELESAI====== Baca kelajutannya di: Percy Jackson & the Olympians; The Last Olympian"Dewi Olympia Terakhir.
================= Pengetik ulang dan Pembuat ebook: Desy Rachmaindah (Echi)"https://desyrindah.blospot.com
================= Mohon maaf bila banyak kesalahan dalam pengetikan ini (Typo"s) ^_^
================= Sembilan Bintang Biru 2 Dewi Ular 67 Rahasia Anak Neraka Pendekar Muka Buruk 22

Cari Blog Ini