Sherlock Holmes - Empat Pemburu Harta Bagian 3
membentang di sepanjang Thames. Saat melewati London City, berkas terakhir matahari tengah
86 meluncur di puncak St. Paul's. Senja telah turun sebelum kami tiba di Tower.
"Itu Jacobson's Yard," kata Holmes, sambil menunjuk sekelompok balok penopang dan
galangan di sisi Surrey. "Kita tunggu saja di sini." Ia mengeluarkan teropong dari sakunya dan
mengamati tepi sungai. "Kulihat anak buahku di tempatnya," katanya, "tapi tidak ada lambaian
saputangan." "Seandainya kita menuju hilir sedikit dan menunggu mereka," kata Jones dengan penuh
semangat. Kami semua bersemangat pada saat ini, termasuk para polisi dan tukang perahu yang hanya
samar-samar memahami apa yang tengah terjadi.
"Kita tidak boleh menganggap remeh apa pun," kata Holmes. "Jelas sepuluh banding satu
mereka akan menuju hilir. Tapi kita tidak bisa memastikan. Dari tempat ini kita bisa melihat pintu
masuk galangan, dan mereka hampir tak bisa melihat kita. Malam ini cuaca cerah dan cukup terang.
Kita harus tetap berada di sini. Lihat orang-orang yang berkeliaran di bawah cahaya lampu gas di
sana"" "Mereka baru pulang dari bekerja di galangan."
"Berandalan-berandalan yang tampak kotor, tapi kurasa setiap orang menyimpan rahasia dalam
diri mereka. Kita tidak akan menyadarinya, kalau sekadar melihat penampilan luar mereka. Tidak ada
kemungkinan yang apriori dari penampilan mereka. Manusia memang teka-teki yang aneh!"
"Ada yang mengatakan mereka jiwa yang terkurung dalam tubuh hewan," kataku.
"Winwood Reade memang pandai dalam hal itu," kata Holmes. "Dia mengatakan bahwa,
sekalipun seorang individu merupakan teka-teki yang tidak terpecahkan, secara agregat dia menjadi
sebuah kepastian matematis. Misalnya, kau mungkin tak mampu menebak apa yang akan dilakukan
seseorang, tapi kau bisa me
ngatakan dengan tepat apa yang akan dilakukan sejumlah orang. Individu
bervariasi, tapi persentase tetap konstan. Begitu kata ahli statistik. Tapi apa aku melihat saputangan"
Jelas ada sesuatu berwarna putih yang berkibar-kibar."
"Ya, itu anak buahmu," seruku. "Aku bisa melihatnya dengan jelas."
"Dan itu Aurora" seru Holmes, "meluncur seperti setan! Kecepatan penuh, masinis. Kejar kapal
87 berlampu kuning itu. Demi surga, aku tidak akan pernah memaafkan diriku kalau terbukti dia lebih
cepat dari kita!" Kapal tersebut telah menyelinap tak terlihat melewati pintu masuk galangan, melintas di antara
dua atau tiga buah kapal kecil, dan berhasil melaju cukup cepat sebelum kami melihatnya. Sekarang
kapal tersebut tengah melayang di sungai, dekat dengan tepi, dengan kecepatan tinggi. Jones
menatapnya muram dan menggeleng.
"Mereka cepat sekali," katanya. "Aku ragu kita bisa mengejarnya."
"Kita harus mengejarnya!" seru Holmes dengan penuh tekad. "Lebih cepat lagi, masinis! Kapal
ini harus berlayar secepat mungkin! Mereka harus dikejar, kalaupun kapal ini sampai terbakar!"
Kami sekarang mulai berhasil mengejar. Tungku kapal meraung-raung, mesin-mesin yang kuat
mendesis dan berdentang-dentang, bagai sebuah jantung metalik raksasa. Baling-balingnya yang tajam
dan curam memotong air sungai yang tenang dan menimbulkan dua gelombang yang bergulung-gulung
ke kiri dan ke kanan kami. Dengan setiap entakan mesin, kapal melonjak dan bergetar bagai makhluk
hidup. Sebuah lampu kuning besar di buritan menerangi bagian depan kami. Tepat di depan ada
bayang-bayang samar di air yang menunjukkan keberadaan
Aurora, dan kumpulan buih putih di belakang kapal tersebut
menyatakan kecepatan lajunya. Kami bagai terbang melewati
bargas-bargas, kapal uap, kapal dagang, masuk dan keluar, di
belakang kapal yang satu dan mengitari kapal yang lain.
Terdengar teriakan-teriakan ke arah kami dari kegelapan, tapi
Aurora masih terus menggemuruh maju, dan kami masih
mengikuti jejaknya dengan ketat.
"Lebih cepat lagi, Bung, lebih cepat lagi!" seru Holmes,
sambil menunduk memandang ke ruang mesin, sementara
kobaran hebat dari sana menerangi wajahnya yang tajam dan
bersemangat. "Kerahkan segenap tenaga."
"Kurasa kita sudah berhasil mempersempit jarak," kata
Jones dengan mata terpaku ke Aurora.
88 "Aku yakin begitu," kataku. "Kita pasti bisa menyusulnya dalam beberapa menit lagi."
Tapi pada saat itu nasib sial menghadang kami. Tiga buah bargas berjajar menghalangi kami.
Hanya dengan membalik putaran baling-baling sekuat tenaga kami dapat menghindari kecelakaan. Dan
sebelum kami dapat mengembalikan posisi, Aurora telah menjauh dua ratus meter lagi. Tapi kami
masih bisa melihatnya, dan senja yang remang-remang berubah menjadi malam cerah yang diterangi
bintang-bintang. Tungku-tungku kami bekerja sekuat-kuatnya, pelat-pelatnya yang rapuh bergetar dan
berderak-derak. Kami melesat melewati kolam, melewati Dermaga India Barat, menyusuri Deptford Reach yang
panjung, dan muncul kembali setelah memutari Isle of Dogs. Sosok samar di depan kami kembali
terlihat jelas menjadi Aurora. Jones mengarahkan lampu sorot kami ke kapal tersebut, sehingga kami
bisa melihat orang-orang di geladak dengan jelas.
Salah satunya tengah duduk di buritan, tengah meraih sesuatu berwarna hitam dari lututnya. Di
sampingnya tergeletak seonggok benda kehitaman yang mirip anjing Newfoundland. Bocah tersebut
memegang kemudi, sementara di depan tungku yang membara kulihat Smith tua bertelanjang dada,
mati-matian menyekop batu bara ke dalam tungku.
Kalau tadi mereka sempat ragu-ragu apakah kami memburu mereka, sekarang tidak lagi, saat
kami mengikuti setiap gerak dan langkah mereka. Di Greenwich kami berhasil memperkecil jarak
hingga sekitar 90 meter. Di Blackwall kami tak mungkin lebih dari 75 meter. Aku telah bertemu dengan
banyak makhluk, di banyak negara, selama karierku sebagai dokter angkatan, tapi belum pernah
kualami kejadian semenegangkan kejar-mengejar di Thames ini. Dengan mantap kami terus mendekati
mereka. Dalam kesunyian malam, kami bisa mendengar kenbutan mesin kapa
l mereka. Pria di haluan masih membungkuk di geladak, dan lengannya bergerak seakan-akan ia tengah
sibuk, sementara sesekali ia menengadah dan memperkirakan jarak di antara kami. Semakin lama kami
semakin dekat. Jones berteriak memerintahkan mereka berhenti. Kami tak lebih dari empat kali panjang kapal
jauhnya, melesat dengan kecepatan tinggi, sebagaimana buruan kami. Bagian sungai ini sepi, dengan
Barking Level di satu sisi dan Plumstead Marshes di sisi lain. Mendengar teriakan kami, pria di haluan
melompat turun dari geladak dan mengacungkan kedua tinjunya ke arah kami, memaki-maki dengan
89 suara serak melengking. Tubuhnya cukup kekar dan kuat. Saat ia berdiri dengan kaki terpentang, aku
bisa melihat bahwa dari paha ke bawah hanya ada tunggul kayu di sebelah kanannya.
Begitu mendengar jeritan kemarahannya, buntalan di geladak pun bergerak. Buntalan tersebut
menegakkan tubuh menjadi seorang manusia berkulit hitam kecil yang terkecil yang pernah kulihat
dengan kepala besar yang bentuknya kacau, dan rambut lebat yang kusut masai.
Holmes telah mencabut revolvernya, dan aku segera mencabut pistolku sendiri begitu melihat
makhluk buas ini. Ia terbungkus semacam mantel atau selimut berwarna gelap, sehingga hanya
wajahnya yang terlihat, tapi wajah tersebut sudah cukup untuk menyebabkan orang tak bisa tidur
semalaman. Belum pernah aku melihat wajah sebuas dan sekejam itu. Matanya yang kecil bagai
memancarkan cahaya muram, dan bibirnya yang tebal tertarik memamerkan gigi-giginya yang
melontarkan raungan kemarahan seekor hewan.
"Tembak kalau dia mengangkat tangan," kata Holmes pelan.
Kami hanya sejauh satu kapal sekarang, dan
hampir-hampir bisa menyentuh buruan kami. Aku
bisa melihat mereka berdua sekarang, pria kulit putih
yang berdiri dengan kaki terpentang, memaki-maki,
dan orang kate berwajah seram tersebut, gigi-giginya
yang kekuningan mengancam kami dalam cahaya
lentera. Untung kami bisa melihatnya dengan begitu jelas.
Bahkan saat kami menatapnya, ia mengeluarkan
sepotong kayu pendek dan bulat dari balik mantelnya.
Kayu tersebut mirip penggaris di sekolah, dan ia
menempelkannya ke bibirnya. Pistol kami menyalak
bersama-sama. Ia berputar balik, melontarkan
lengannya, dan, diiringi suara bagai orang batuk
karena tercekik, jatuh menyamping ke sungai. Aku
sempat melihat pandangannya yang mengancam di
90 tengah-tengah gelora air yang putih. Pada saat yang sama, pria berkaki kayu melontarkan diri ke
kemudi dan menariknya sekuat tenaga, sehingga kapalnya terarah lurus ke tepi selatan, sementara kami
melesat melewati buritannya, hanya dalam jarak beberapa kaki.
Kami segera berputar balik mengejarnya, tapi Aurora telah mendekati tepi sungai. Tempat
tersebut liar dan terpencil, cahaya bulan memantul pada bentangan rawa-rawa yang luas, dengan
kolam-kolam air yang tidak bergerak dan tumbuh-tumbuhan yang membusuk. Kapal itu, diiringi
debuman pelan, merapat di tepinya yang berlumpur, dengan haluan di udara dan buritan terendam air.
Pelarian kami melompat keluar, tapi kaki
kayunya seketika melesak sepenuhnya ke dalam tanah
yang basah. Dengan sia-sia ia memberontak dan
menggeliat-geliat. Ia tak bisa bergerak selangkah pun,
baik maju maupun mundur. Ia berteriak murka dan
menendang-nendang lumpur mati-matian dengan
kakinya yang lain, tapi perjuangannya membuat kaki
kayunya tertancap semakin dalam di tepi sungai. Saat
kami menghentikan kapal di sampingnya, ia telah
tertancap begitu kokoh, sehingga kami hanya bisa
menariknya dengan melilitkan tali ke bahunya, bagai
seekor ikan yang jahat, ke atas kapal.
Kedua Smith, ayah dan anak, duduk dengan
muram di kapal mereka, tapi dengan patuh berpindah ke
kapal kami saat diperintah. Aurora diikatkan ke kapal kami dan ditarik. Sebuah kotak besi buatan India
ada di geladak. Ini, tak perlu diragukan lagi, jelas merupakan kotak berisi harta karun Sholto. Tidak ada
kuncinya, tapi kotak tersebut cukup berat, sehingga kami dengan hati-hati memindahkannya ke kabin
kami sendiri yang kecil. Saat melaju perlahan-lahan ke hulu, ka
mi mengarahkan lampu sorot ke segala
arah, tapi tidak terlihat tanda-tanda orang kate tadi. Di suatu tempat di dasar Thames tergeletak tulang-belulang tamu aneh tersebut.
"Lihat ini," kata Holmes, sambil menunjuk ke pintu kayu. "Kita kurang cepat menggunakan
pistol." Di sana, tepat di belakang tempat kami berdiri tadi, tertancap salah satu paser mematikan yang
91 begitu kami kenali. Paser tersebut pasti mendesing melewati kami pada saat kami menembak. Holmes
tersenyum memandangnya dan mengangkat bahu dengan gaya menyepelekan. Tapi kuakui, aku merasa
mual saat memikirkan kematian mengerikan yang begitu nyaris menimpa kami malam itu.
92 Bab 11 Harta Karun Agra yang Agung
TAWANAN kami duduk di kabin, di seberang kotak besi yang diperolehnya dengan susah
payah setelah sekian lama. Kulitnya tampak terbakar matahari, pandangan matanya selalu gelisah, dan
garis-garis serta kerut-kerut di seluruh wajahnya yang kecokelatan menunjukkan kehidupan keras di
alam terbuka. Dagunya yang menonjol di balik janggutnya menandakan ia orang yang tidak mudah
berpaling dari tujuannya. Usianya mungkin lima puluh atau sekitar itu, karena rambut keritingnya yang
hitam telah dihiasi uban. Wajahnya tidaklah menakutkan, sekalipun alisnya yang lebat dan dagunya
yang menonjol menyebabkan ekspresinya tampak menakutkan bila marah, seperti telah kulihat
belakangan. Ia sekarang duduk dengan tangan terborgol di pangkuannya, kepalanya menunduk ke dada,
sementara ia memandang tajam ke kotak yang menjadi penyebab kejahatannya. Menurutku wajahnya
lebih memancarkan kesengsaraan daripada kemarahan. Sekali ia menengadah padaku, dan kulihat
matanya memancarkan sorot tawa.
"Well, Jonathan Small," kata Holmes sambil
menyulut cerutu, "sayang sekali akhirnya harus begini."
"Aku juga menyesal, Sir," jawab pria tersebut.
"Bukan aku yang melakukan itu. Aku bersumpah tidak
pernah berniat membunuh Mr. Sholto. Setan kecil itu,
Tonga, yang menembakkan salah satu paser terkutuknya
pada Mr. Sholto. Aku tidak terlibat dalam hal ini, Sir. Aku
sama berdukanya seperti kalau dia masih ada hubungan
darah denganku. Kucambuk setan kecil itu sebagai
ganjaran atas ulahnya, tapi semuanya sudah terjadi, dan
aku tak bisa mengubahnya."
"Ambillah cerutu ini," kata Holmes, "dan sebaiknya
kauteguk minumanku, karena kau basah kuyup.
Bagaimana kau bisa mengharapkan orang sekecil dan
93 selemah orang hitam itu untuk mengatasi Mr. Sholto dan menahannya sementara kau memanjat
talinya"" "Kau tampaknya tahu banyak mengenai kejadian ini, Sir. Sebenarnya aku berharap
mendapatkan kamar itu dalam keadaan kosong. Aku cukup mengenal kebiasaan penghuni rumah, dan
pada waktu itu biasanya Mr. Sholto turun untuk makan malam. Aku tidak perlu merahasiakan apa pun.
Pembelaan terbaik yang bisa kulakukan adalah dengan menceritakan kebenarannya.
Nah, kalau si mayor tua yang ada di sana, aku pasti akan menghabisinya tanpa ragu-ragu.
Bagiku menusuknya dengan pisau sama saja seperti mengisap cerutu ini. Tapi sungguh terkutuk aku
harus berhadapan dengan Sholto muda itu, yang tidak punya urusan apa pun denganku."
"Kau ditahan oleh Mr. Athelney Jones dari Scotland Yard. Dia akan membawamu ke rumahku,
dan aku akan menanyakan seluruh kejadian yang sebenarnya. Kau harus menceritakan dengan
sejujurnya, dan mungkin aku bisa membantumu. Kurasa aku bisa membuktikan bahwa racun itu
bereaksi begitu cepat, sehingga Sholto sudah tewas sebelum kau tiba di kamar."
"Memang benar begitu, Sir. Aku belum pernah seterkejut itu seumur hidup, sewaktu melihatnya
menyeringai ke arahku dengan kepala di bahu, saat aku memanjat melewati jendela. Aku sangat
terguncang karenanya. Aku pasti akan menghajar Tonga habis-habisan kalau dia tidak bergegas pergi.
Itu sebabnya gadanya tertinggal, juga paser-pasernya, sebagaimana diceritakannya padaku, yang
menurutku sudah menyebabkan kau mampu melacak kami; sekalipun bagaimana kau bisa terus
mengikuti kami tidak bisa kuketahui. Aku tidak berniat jahat terhadapmu untuk itu. Tapi rasanya
memang aneh," tambahnya sambil tersenyum pahit, "bahwa aku, yang berha
k memiliki uang setengah juta, harus menghabiskan separuh pertama hidupku dengan membangun pemecah ombak di Andaman,
dan kemungkinan akan menghabiskan separuh sisanya dengan menggali saluran di Dartmoor. Hari
yang sial bagiku saat pertama kali melihat Achmet si pedagang, dan terlibat dalam harta karun Agra
yang tidak pemah menghasilkan apa pun kecuali kutukan terhadap orang yang memilikinya. Baginya
menghasilkan pembunuhan, bagi Mayor Sholto menghasilkan ketakutan dan perasaan bersalah, bagiku
itu berarti perbudakan seumur hidup."
Pada saat ini Athelney Jones menjulurkan wajahnya yang lebar dan bahunya yang kekar ke
dalam kabin mungil tersebut.
94 "Pesta keluarga yang cukup meriah," katanya. "Kurasa aku butuh seteguk minumanmu, Holmes.
Well, kurasa kita sudah bisa saling memberi selamat. Sayangnya kita tidak bisa menangkap hidup-hidup
yang satu lagi, tapi tidak ada pilihan lain. Kalau menurutku, Holmes, kau sudah membereskan masalah
ini dengan baik. Kita susah payah mengejarnya tadi."
"Semua yang baik akan berakhir dengan baik," kata Holmes. "Tapi jelas aku tidak tahu kalau
Aurora bisa secepat itu."
"Kata Smith kapalnya salah satu yang tercepat di sungai, dan katanya kalau ada orang yang
membantunya menangani mesin, kita seharusnya tidak bisa mengejarnya. Dia bersumpah tidak tahu
apa-apa mengenai urusan Norwood ini."
"Memang tidak," seru tahanan kami. "Tidak sepatah pun. Aku memilih kapalnya karena
kudengar kapalnya yang paling cepat. Kami tidak mengatakan apa apa kepadanya, tapi kami
membayarnya dengan baik. Dan dia akan mendapatkan bonus lebih besar saat kami tiba di kapal kami,
Esmeralda, di Gravesend, dengan tujuan Brasilia."
"Well, kalau dia tidak melakukan kesalahan, kami akan memastikan tidak terjadi apa-apa
dengan dirinya. Walau kami cukup cepat menangkap buruan kami, kami tidak secepat itu dalam
memvonis mereka." Menggelikan betapa Jones telah mulai menunjukkan sikap seolah-olah dirinyalah yang telah
menyebabkan pengejaran ini berhasil. Dari senyum tipis yang bermain-main di wajah Sherlock
Holmes, aku bisa melihat bahwa ia mendengar komentar Jones.
"Kita akan tiba di Jembatan Vauxhall sebentar lagi," kata Jones, "dan kau akan mendarat di
sana, Dr. Watson, bersama kotak hartanya. Tak perlu kukatakan bahwa tanggung jawab kotak itu ada di
tanganku. Ini sangat tidak biasa, tapi tentu saja perjanjian tetaplah perjanjian. Tapi, sebagai kewajiban,
aku harus mengirimkan seorang inspektur untuk mendampingimu, karena kau membawa barang yang
begitu berharga. Kau yang mengemudi""
"Ya, aku yang akan mengemudi."
"Sayang sekali tidak ada kuncinya, kalau ada kita bisa menginventaris isinya lebih dulu. Kau
harus membongkarnya. Di mana kuncinya, my man""
95 "Di dasar sungai," jawab Small singkat.
"Hmm! Seharusnya kau tidak perlu menambah kesulitan kami. Kami sudah cukup bersusah
payah menangkapmu. Tapi, Dokter, aku tak perlu memperingatkanmu untuk berhati-hati. Bawa
kembali kotaknya ke Baker Street. Kami akan ada di sana, dalam perjalanan ke kantor."
Mereka menurunkanku di Vauxhall, bersama kotak besi yang berat itu, dan diikuti seorang
inspektur periang untuk mendampingiku. Perjalanan dengan kereta selama seperempat jam mengantar
kami ke rumah Mrs. Cecil Forrester. Pelayan tampaknya terkejut melihat kunjunganku yang selarut itu.
Mrs. Cecil Forrester sedang pergi, katanya menjelaskan, dan kemungkinan pulang terlambat. Tapi Miss
Morstan ada di ruang duduk, jadi aku menuju ruang duduk, dengan membawa kotaknya, meninggalkan
si inspektur di kereta.
Sherlock Holmes - Empat Pemburu Harta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Miss Morstan sedang duduk di dekat jendela yang terbuka, mengenakan pakaian berwarna
putih, dengan sedikit sentuhan merah di leher dan pinggangnya. Cahaya lembut sebuah lampu
bertudung meneranginya saat ia menyandar ke kursi anyaman, bermain-main di wajahnya yang anggun
dan cantik, dan memantul pada rambut keritingnya yang lebat. Satu legannya menjuntai di sisi kursi,
dan seluruh sosoknya menyatakan kemelankolisan yang dalam. Tapi saat mendengar suara langkahku
ia melompat bangkit, wajahnya memerah karena terkejut dan gembira.
"Kudengar ada kereta berhenti," katanya. "Kukira Mrs. Forres
ter pulang lebih awal, tapi aku tak
pernah bermimpi bahwa Anda yang datang. Ada berita apa""
"Aku membawa sesuatu yang lebih baik dari berita," kataku, sambil meletakkan kotak itu di
meja dan berbicara dengan nada riang dan bersemangat, sekalipun perasaanku terasa berat. "Aku
membawakan sesuatu yang nilainya sama dengan semua berita di dunia. Aku membawakan harta untuk
Anda." Ia memandang kotak besi itu sekilas.
"Kalau begitu, itu harta karunnya"" tanyanya, dengan nada cukup dingin
"Ya, ini harta karun Agra. Separuhnya milik Anda dan separuh lagi milik Thaddeus Sholto.
Kalian masing-masing akan mendapat dua ratus ribu. Coba pikirkan! Penghasilan tahunan sebesar
sepuluh ribu pound. Hanya sedikit gadis muda yang lebih kaya dari itu di lnggris. Hebat, bukan""
96 Kurasa aku agak berlebihan dalam mengungkapkan kegembiraanku, dan rupanya Miss Morstan
menangkap kehampaan dalam ucapan selamatku, karena kulihat alis matanya terangkat sedikit, dan ia
menatapku penasaran. "Kalau aku berhasil mendapatkannya," katanya, "itu karena Anda."
"Tidak, tidak," jawabku, "bukan karena aku, tapi karena temanku Sherlock Holmes. Walau aku
bersusah payah, aku tidak akan bisa mengikuti petunjuk yang sudah menguras bahkan kejeniusan
analisanya. Sebagaimana yang terjadi, kami hampir saja kehilangan harta ini pada saat-saat terakhir."
"Silakan duduk dan ceritakan semuanya, Dr. Watson," katanya.
Aku menceritakan dengan singkat, apa yang terjadi sejak kedatanganku yang terakhir. Metode
pencarian Holmes yang baru, penemuan Aurora, kemunculan Athelney Jones, ekspedisi kami malam
ini, dan kejar-mengejar di Thames. Miss Morstan mendengarkan dengan mulut ternganga dan mata
berkilau-kilau. Sewaktu aku menceritakan tentang paser yang hampir-hampir mengenai kami, ia
berubah pucat pasi begitu hebat, sehingga aku khawatir ia akan jatuh pingsan.
"Tidak apa-apa," katanya saat aku bergegas menuangkan segelas air untuknya. "Aku sudah
tidak apa-apa lagi. Aku hanya terkejut mendengar bahwa aku sudah menghadapkan teman-temanku
pada bahaya sebesar itu."
"Sekarang sudah berakhir," kataku. "Bukan apa-apa. Aku tidak akan menceritakan rincian yang
menakutkan lagi. Sekarang kita bicarakan saja masalah yang lebih ceria. Ini harta karunnya. Apa yang
bisa lebih ceria lagi" Aku mendapat izin untuk membawanya, karena kupikir Anda mungkin tertarik
untuk menjadi orang pertama yang melihatnya."
"Aku sangat berminat," kata Miss Morstan. Tapi tak ada semangat dalam suaranya. Tidak ragu
lagi, ia mungkin merasa telah bersikap tidak tahu berterima kasih dengan tidak mengacuhkan hadiah
yang begitu sulit didapat.
"Kotaknya cantik sekali!" katanya, sambil membungkuk di atasnya. "Ini karya orang India,
bukan"" "Ya, ini karya logam dari Benares."
"Dan berat sekali!" serunya, saat mencoba mengangkatnya. "Kotaknya sendiri pasti bernilai. Di
97 mana kuncinya""
"Small sudah membuangnya ke Thames," jawabku. "Aku terpaksa meminjam penyodok
perapian Mrs. Forrester."
Di bagian depan kotak terdapat kunci tebal dan lebar, dengan ukiran berbentuk Buddha sedang
duduk. Kuselipkan ujung penyodok ke baliknya dan memuntirnya ke luar sebagai tuas. Kuncinya pecah
berantakan dengan suara keras. Dengan jemari gemetar kubuka tutup kotak. Kami berdua berdiri
ternganga. Kotak tersebut kosong!
Tidak heran kotak tersebut berat. Dinding besinya setebal satu setengah sentimeter di seluruh
bagian. Kotak tersebut padat, baik buatannya, dan kokoh, seperti sebuah peti yang dirancang untuk
tempat benda-benda berharga, tapi di dalamnya tidak ada sepotong perhiasan pun. Kotak itu kosong
melompong. "Hartanya hilang," kata Miss Morstan dengan tenang.
Saat aku mendengar kata-katanya dan menyadari
apa artinya, rasanya seperti ada bayang-bayang besar yang
beralih dari jiwaku. Sebelumnya aku tidak menyadari
bahwa harta karun Agra ini sudah membebaniku. Jelas
perasaan ini egois, tidak setia, keliru, tapi aku menyadari
bahwa sekarang tidak ada lagi penghalang di antara kami:
"Terima kasih, Tuhan" semburku dengan setulus
hati. Miss Morstan memandangku sambil tersenyum
mempertanyakan. "Kenapa Anda berkata begitu""
"Karena kau sekarang terjangkau lagi olehku,"
kataku sambil meraih tangannya. Ia tidak menariknya.
"Karena aku mencintaimu, Mary, setulus seorang pria
mencintai seorang wanita. Karena harta ini, kekayaan ini,
98 sudah mengunci bibirku. Sekarang, sesudah harta ini tidak ada, aku bisa mengatakan betapa aku
mencintaimu. Itu sebabnya aku mengatakan, 'Terima kasih, Tuhan'."
"Kalau begitu, aku juga mengatakan 'Terima kasih', Tuhan" bisiknya saat aku menariknya ke
sampingku. Siapa pun yang telah kehilangan harta, aku tahu bahwa pada malam itu aku telah mendapatkan
hartaku sendiri. 99 Bab 12 Kisah Aneh Jonathan Small
INSPEKTUR POLISI di kereta ternyata sangat sabar, karena baru agak lama kemudian aku kembali
menemuinya. Wajahnya berubah muram saat kutunjukkan kotak kosong tersebut.
"Hilang sudah hadiahnya!" katanya dengan muram. "Kalau tidak ada uang, tidak ada
pembayaran. Pekerjaan malam ini seharusnya memberi Sam Brown dan aku bonus yang cukup besar
kalau harta karunnya ada."
"Mr. Thaddeus Sholto orang kaya," kataku, "dia akan memastikan kalian mendapat hadiah, ada
harta atau tidak." Tapi inspektur tersebut menggeleng.
"Ini pekerjaan yang buruk," katanya, "paling tidak, begitulah anggapan Mr. Athelney Jones
nanti." Perkiraannya terbukti benar, karena ekspresi detektif tersebut berubah kosong sewaktu aku tiba
di Baker Street dan menunjukkan kotak kosong itu kepadanya. Mereka baru saja tiba, Holmes,
tahanannya, dan Jones, karena mereka telah mengubah rencana dengan mampir terlebih dulu di kantor
polisi untuk melaporkan kejadian ini. Temanku merosot di kursinya dengan ekspresi seperti biasa,
sementara Small duduk tegak di depannya, dengan kaki kayu dilintangkan di atas kaki aslinya. Saat
kutunjukkan kotak kosong itu, ia menyandar ke kursinya dan tertawa sekeras-kerasnya.
"Ini perbuatanmu, Small," kata Athelney Jones dengan marah.
"Ya, aku sudah menyingkirkannya, sehingga kalian tidak akan bisa mendapatkannya," seru
Small dengan penuh kemenangan. "Itu hartaku, dan kalau aku tidak bisa memilikmya, akan kupastikan
tidak ada orang lain yang bisa memilikinya. Kuberitahu, tidak ada orang yang berhak mendapatkannya,
kecuali tiga orang yang ada di barak narapidana Andaman dan aku sendiri. Sekarang aku tahu bahwa
aku tidak bisa menggunakan harta itu, dan aku tahu bahwa mereka juga tidak bisa. Aku sudah bertindak
mewakili mereka, sekaligus demi diriku. Sejak dulu kami sudah menyatu, kami berempat. Well, aku
tahu mereka akan memaksaku melakukan apa yang sudah kulakukan, dan membuang harta itu ke
100 Thames daripada membiarkannya jatuh ke tangan kerabat Sholto atau Morstan. Kami menghabisi
Achmet bukan untuk menjadikan mereka kaya raya. Kau akan menemukan hartanya di mana kunci
kotak itu dan si Tonga kecil berada. Sewaktu kulihat kapalmu pasti bisa mengejar kapalku,
kupindahkan harta itu ke tempat aman. Perjalanan ini tidak menghasilkan sepeser pun untuk kalian."
"Kau menipu kami, Small," kata Athelney Jones dengan tegas, "kalau kau ingin membuang
harta itu ke Thames, akan lebih mudah kalau membuang semuanya bersama kotaknya sekaligus."
"Lebih mudah bagiku untuk membuangnya, dan lebih mudah bagi kalian untuk
mendapatkannya kembali," jawab Small sambil melirik tajam. "Orang yang cukup pandai untuk mem-buruku pasti cukup pandai untuk mengambil sebuah kotak besi dari dasar sungai. Sekarang, karena
harta itu tersebar sekitar delapan kilometer, mungkin lebih, sulit untuk mengumpulkannya kembali.
Tapi sangat berat bagiku untuk melakukannya. Aku sudah setengah sinting saat kalian berhasil
mengejarku. Tapi tak ada gunanya menangisinya. Aku pernah mengalami kejayaan dalam hidupku, dan
aku pernah menjalani kegagalan, tapi aku sudah belajar untuk tidak menyesali apa yang sudah terjadi."
"Ini masalah yang sangat serius, Small," kata detektif tersebut. "Kalau kau membantu keadilan,
bukan mengecohnya seperti ini, kau pasti memiliki kesempatan yang lebih baik di pengadilan."
"Keadilan!" sergah mantan narapidana tersebut. "Keadilan! Harta siapa itu, kalau bukan milik
kami" Di mana keadilannya sehingga aku harus menyerahkannya kepada mereka yang
tidak berusaha mendapatkannya" Lihat bagaimana aku berusaha mendapatkannya! Dua puluh tahun lamanya di rawa-rawa yang dipenuhi demam, sepanjang hari bekerja di bawah pepohonan bakau, sepanjang malam
terantai di gubuk narapidana yang kotor, digigiti nyamuk, diguncang demam, diganggu setiap polisi
terkutuk berwajah hitam yang senang menghajar pria kulit putih. Begitulah usahaku untuk
mendapatkan harta karun Agra. Dan kau berbicara mengenai keadilan padaku karena aku tidak tahan
membayangkan ada orang lain yang menikmatinya, padahal aku yang menderita! Aku lebih baik
dipukuli berkali-kali, atau terkena salah satu paser Tonga di pantatku, daripada hidup di sel narapidana
dan merasa ada orang lain bersantai di istananya dengan uang yang seharusnya milikku."
Small tidak lagi apatis seperti semula, dan semua ocehannya ini dilontarkan dengan berapi-api,
borgolnya beradu terus-menerus, seiring dengan gerakan liar tangannya. Saat melihat kemurkaan dan
semangat pria ini, aku bisa memahami kengerian yang mencekam Mayor Sholto saat mengetahui
101 narapidana ini berhasil melacaknya.
"Kau lupa bahwa kami tidak tahu apa-apa tentang hal ini," kata Holmes pelan. "Kami belum
pernah mendengar kisahmu, dan kami tidak tahu seberapa jauh keadilan sebenarnya ada di pihakmu."
"Well, Sir, kau sudah berbicara jujur padaku, walaupun kau jugalah yang membuatku terborgol
begini. Aku tidak mendendam. Semuanya adil dan terbuka. Kalau kau ingin mendengar kisahku aku tak
ingin merahasiakannya lebih lama lagi. Apa yang akan kukatakan padamu adalah yang sejujurnya,
setiap kata. Terima kasih, kau bisa meletakkan gelasnya di sampingku di sini, dan akan kuminum kalau
mulutku terasa kering. "Aku sendiri kelahiran Worcestershire, di dekat Pershore. Berani kukatakan kalian akan
menemukan segerombolan Small di sana, kalau kalian mencarinya. Aku sering kali memikirkan untuk
berkunjung ke sana, tapi sebenarnya aku tidak bisa dibanggakan di dalam keluargaku, dan aku tidak
yakin mereka akan gembira bertemu denganku. Mereka semua punya kehidupan mantap, rajin ke
gereja, petani kecil, terkenal dan dihormati di pedesaan, sementara aku lebih mirip pemberontak. Tapi,
akhirnya, sewaktu berusia sekitar delapan belas tahun, aku tidak lagi menyulitkan mereka, karena aku
mendapat masalah dengan seorang gadis, dan hanya bisa meloloskan diri dengan menggabungkan diri
pada resimen Third Burrs yang hendak berangkat ke India
"Tapi aku tidak ditakdirkan menjadi tentara. Baru saja aku lulus pendidikan dan belajar
menangani senapan sundutku, aku terkena musibah ketika berenang di Sungai Gangga. Untung bagiku,
sersan kompiku, John Holder, sedang berenang juga, dan dia salah seorang perenang terbaik di
kesatuan kami. Seekor buaya menyerangku sewaktu aku berada di tengah-tengah, dan menggigit putus
kaki kananku, tepat di atas lutut. Karena shock dan kehilangan banyak darah, aku jatuh pingsan, dan
pasti tenggelam kalau saja Holder tidak berhasil menangkapku dan menyeretku ke tepi. Aku dirawat di
rumah sakit selama lima bulan, dan sewaktu akhirnya aku keluar dengan kaki kayu ini, kudapati diriku
dipecat dari ketentaraan dan tidak sesuai untuk pekerjaan apa pun.
"Sebagaimana bisa kalian bayangkan, aku sedang sangat sial waktu itu, karena aku sudah
menjadi orang cacat yang tidak berguna, walau usiaku belum lagi dua puluh. Tapi, tak lama kemudian,
kesialanku terbukti merupakan berkat tersamar. Seorang pria bernama Abel White, yang datang ke sana
untuk membuka perkebunan indigo, menginginkan orang kulit putih untuk mengawasi kuli-kuli.
102 Kebetulan dia teman kolonel kami, yang tertarik padaku sejak kecelakaan itu. Singkat cerita, sang
kolonel sangat merekomendasikan diriku untuk jabatan itu, dan karena sebagian besar pekerjaan
dilakukan dengan berkuda, kakiku tidak menjadi hambatan besar, karena paha kiriku masih tersisa
cukup banyak untuk menjepit pelana. Yang perlu kulakukan hanyalah berkuda mengelilingi
perkebunan, mengawasi orang-orang yang tengah bekerja, dan melaporkan para pemalas. Bayarannya
lumayan aku mendapat tempat tinggal nyaman, dan
secara keseluruhan aku merasa cukup puas untuk
menghabiskan sisa hidupku di sana. Mr. Abel White pria yang ramah; dia sering mampir di gubukku,
dan kami akan merokok bersama-sama, karena orang-orang kulit putih di sana merasa dekat satu sama
lain, tidak seperti di rumah.
"Well, aku memang tidak pernah beruntung terlalu lama. Tiba-tiba, tanpa terduga,
pemberontakan hebat meletus terhadap kita -pemberontakan Sepoy. Satu saat India bagaikan tertidur
dengan damai, sebagaimana Surrey atau Kent; tahu-tahu ada dua ratus ribu setan hitam berkeliaran
dengan bebas, dan negara itu berubah menjadi neraka. Tentu saja kalian tahu semuanya itu, Tuan-tuan
jauh lebih banyak dari yang kuketahui, kemungkinannya, karena aku tidak bisa membaca. Aku hanya
mengetahui apa yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Perkebunan kami berada di tempat
bernama Muttra, di dekat perbatasan Provinsi Barat Laut. Malam demi malam langit terang benderang
oleh bungalo-bungalo yang dibakar, dan hari demi hari kelompok-kelompok kecil orang Eropa
melintasi lahan kami bersama istri dan anak anak mereka, dalam perjalanan ke Agra, di mana terdapat
markas tentara terdekat. Mr. Abel White orang yang keras kepala. Dia menganggap masalah ini
dibesar-besarkan, dan akan berakhir dengan tiba-tiba, sebagaimana kemunculannya. Dia tetap duduk di
berandanya, minum wiski dan mengisap cerutu, sementara di sekitarnya seluruh negeri bagai sedang
dilahap api. Tentu saja kami bertahan mendampinginya, aku dan Dawson yang, bersama istrinya, dulu
menangani pembukuan dan pengelolaan. Well, bencana tiba pada suatu hari. Aku sedang pergi ke
bagian perkebunan yang jauh, dan tengah dalam perjalanan pulang yang santai malam itu, sewaktu
kulihat sesuatu meringkuk di dasar lereng yang curam. Aku turun untuk melihat benda apa itu, dan
hatiku bagai membeku sewaktu kulihat bahwa benda itu istri Dawson, tercincang habis, sudah setengah
dimakan serigala dan anjing-anjing kampung. Tidak jauh di jalan, Dawson sendiri tergeletak
menelungkup, sudah tewas, dengan menggenggam sepucuk revolver kosong; empat orang India
tergeletak di depannya. Kuhentikan kudaku, penasaran harus menuju ke mana; tapi pada saat itu kulihat
asap tebal mengepul dari bungalo Abel White, dan api mulai menembus atap. Tahulah aku bahwa aku
103 tidak bisa membantu majikanku, aku akan mati sia-sia kalau terlibat dalam masalah ini. Dari tempatku
bisa kulihat ratusan pemberontak kulit hitam, masih dengan mantel merah mereka tersampir di
punggung, menari-nari dan melolong-lolong di sekitar rumah yang terbakar. Beberapa di antara mereka
menunjuk diriku, dan dua butir peluru mendesing hampir mengenai kepalaku. Jadi, aku bergegas
menyeberangi sawah-sawah, dan tiba dengan selamat di Agra larut malam itu.
"Tapi, sebagaimana terbukti kemudian, di sana juga
tidak terlalu aman. Seluruh negeri sedang bergejolak bagai
segerombolan lebah. Di mana pun orang Inggris bisa
berkumpul, mereka hanya menguasai sejauh jangkauan
pistol mereka. Di seluruh tempat-tempat lainnya, orang
Inggris hanyalah pengungsi yang tidak berdaya.
Pertempurannya antara jutaan melawan ratusan, dan yang
paling kejam adalah orang-orang yang kami lawan ini,
baik yang berjalan kaki, berkuda, maupun para
penembaknya, adalah pasukan pilihan kita sendiri.
Pasukan yang kita ajari dan kita latih menangani senjata-senjata dan meriam-meriam kita. Di Agra terdapat Bengal
Fusiliers Ketiga, beberapa orang Sikh, dua pasukan
berkuda, dan setumpuk artileri. Kami membentuk pasukan
sukarelawan dari para karyawan dan pedagang, dan aku
bergabung dengan mereka, sekalipun hanya berkaki kayu. Kami berhadapan dengan para pemberontak
di Shahgunge di awal bulan Juli, dan kami berhasil mengalahkan mereka untuk beberapa waktu. Tapi
kami mulai kehabisan bubuk mesiu, dan harus mundur kembali ke kota.
"Hanya berita-berita buruk yang kami dengar dari segala sisi tidak heran, karena kalau kau
membuka peta, kau akan melihat kami berada tepat di jantung negeri. Lucknow terletak sekitar 160
kilometer ke timur, dan Cawnpore kurang-lebih sama jauhn
ya ke arah selatan. Dari arah mana pun
yang ada hanyalah penyiksaan, pembunuhan, dan kemarahan.
"Kota Agra tempat yang luar biasa, dipenuhi segala macam fanatik dan pemuja setan. Orang-orang kami yang sedikit itu bisa tersesat di jalan-jalannya yang sempit dan berliku-liku. Pemimpin
104 kami pun membawa kami pindah ke seberang sungai, dan mengambil posisi di benteng tua Agra. Aku
tidak tahu apakah kalian pernah membaca atau mendengar tentang benteng tua itu. Tempat yang sangat
aneh yang paling aneh yang pernah kukunjungi, sekalipun aku pernah mengunjungi tempat-tempat
yang tidak biasa. Pertama-tama luasnya yang luar biasa. Kupikir tempat itu pasti berekar-ekar luasnya.
Ada bagian yang modern, di mana kami menempatkan pasukan, wanita, anak-anak, persediaan, dan
segala sesuatu lainnya, dengan masih banyak ruang tersisa. Tapi bagian yang modern tidak bisa
dibandingkan dengan bagian lama; tidak ada orang yang berani masuk ke sana, dan tempat itu dikuasai
kalajengking dan kelabang. Bagian lama dipenuhi dengan aula-aula kosong, lorong-lorong yang
berliku-liku, dan koridor-koridor panjang yang saling silang, sehingga mudah bagi siapa pun untuk
tersesat di sana. Karena itulah orang-orang jarang datang ke sana, sekalipun sesekali ada sekelompok
orang yang menjelajahinya dengan membawa obor.
"Sungai mengalir di bagian depan benteng tua, dan melindunginya, tapi di samping dan
belakang ada banyak pintu, dan tentu saja pintu-pintu ini harus dijaga, di bagian lama dan di tempat
pasukan kami berada. Kami kekurangan senjata, dan terutama orang-orang untuk mengawasi seluruh
bagian bangunan dan untuk menyandang senjata. Oleh karena itu, mustahil bagi kami untuk
menempatkan penjagaan kuat di setiap gerbang yang tidak terhitung jumlahnya itu. Kami pun
mengorganisir pos penjagaan pusat di tengah-tengah benteng, dan menyerahkan penjagaan setiap
gerbang di tangan dua atau tiga orang prajurit pribumi yang dipimpin seorang kulit putih. Aku dipilih
untuk memimpin penjagaan pada jam-jam tertentu di malam hari, pada sebuah pintu terisolir di bagian
barat laut bangunan. Aku dibantu dua orang Sikh, dan diperintahkan untuk menembakkan senapan
kalau ada yang tidak beres, lalu pasukan penjagaan pusat akan mengirimkan bantuan. Tapi, karena
pusat penjagaan berada sekitar dua ratus langkah jauhnya, aku sangat meragukan apakah mereka bisa
Sherlock Holmes - Empat Pemburu Harta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tiba tepat pada waktunya kalau benar-benar ada penyerangan.
"Well, aku cukup bangga dengan pasukan kecil yang kupimpin, karena aku anggota baru, dan
dengan hanya satu kaki. Selama dua malam aku menjaga pintu bersama orang-orang Sikh itu. Mereka
jangkung dan tampak buas, Mahomet Singh dan Abdullah Khan, keduanya para pejuang yang pernah
melawan kita di Chilian Wallah. Mereka bisa berbicara bahasa lnggris cukup baik, tapi aku hanya
sedikit memahami percakapan mereka. Mereka lebih suka berkumpul sendiri, dan berceloteh sepanjang
malam dalam bahasa mereka yang aneh. Aku sendiri, aku biasanya berdiri di luar gerbang, mengawasi
105 sungai yang lebar dan berliku-liku, dan lampu-lampu kota yang berkelap-kelip. Bunyi drum, keributan
genderang, dan teriakan-teriakan serta lolongan para pemberontak yang mabuk opium sudah cukup
untuk mengingatkan kami semua sepanjang malam akan tetangga kami yang berbahaya di seberang
sungai. Setiap dua jam sekali, perwira jaga malam itu akan mengunjungi setiap pos untuk memastikan
semuanya baik-baik saja. "Pada malam ketiga aku bertugas, suasana gelap dan
kotor, dengan hujan gerimis. Benar-benar melelahkan berdiri
di gerbang selama berjam-jam dalam cuaca seperti itu.
Kucoba berulang-ulang untuk mengajak anak buahku
bercakap-cakap, tapi tidak berhasil. Pada pukul dua pagi,
pemeriksaan pun datang dan sejenak mematahkan kebosanan
malam. Menyadari teman-temanku tak bisa diajak bicara,
kukeluarkan pipaku dan kuletakkan senapanku untuk
menyalakan korek. Seketika kedua orang Sikh itu
menerkamku. Salah satunya mengambil senjataku dan
mengarahkannya ke kepalaku, sementara yang lain
menempelkan sebilah pisau besar ke tenggorokanku dan
berkata akan menusukku bila aku bergerak. "Yang pertama terlintas dalam pikiranku adalah mereka bersekongkol dengan para
pemberontak, dan penyerangan akan dimulai. Kalau gerbang yang kami jaga jatuh ke tangan para
pemberontak, mereka akan menguasai tempat ini, dan para wanita serta anak-anak akan diperlakukan
sebagaimana wanita dan anak-anak di Cawnpore. Mungkin kalian mengira aku hanya mengada-ada,
tapi percayalah bahwa sekalipun merasakan ujung pisau di tenggorokanku, kubuka mulutku dengan
niat untuk menjerit, kalaupun itu jeritan terakhirku, dengan harapan aku bisa memperingatkan pos
penjagaan utama. Pria yang memegangi diriku tampaknya mengetahui niatku, sebab saat aku
mengumpulkan keberanian, dia berbisik, 'Jangan bersuara. Benteng cukup aman. Tidak ada anjing-anjing pemberontak di sisi sungai sebelah sini.' Ada kebenaran dalam kata-katanya, dan aku tahu
bahwa kalau aku bersuara, aku akan tewas. Aku bisa melihatnya dalam mata cokelat pria itu. Oleh
karena itu, aku menunggu sambil membisu, untuk mengetahui apa yang mereka inginkan dariku.
106 "'Dengarkan aku, sahib; kata yang lebih jangkung dan lebih buas, yang mereka panggil
Abdullah Khan. 'Entah kau bergabung dengan kami sekarang, atau kau harus dibungkam selama-lamanya. Masalahnya terlalu besar dan kami tak boleh ragu-ragu. Entah kau bergabung sepenuhnya
dengan kami, dengan sumpah kepada salib orang Kristenmu, atau mayatmu akan dibuang ke selokan
malam ini juga, dan kami akan bergabung dengan saudara-saudara kami yang memberontak. Tidak ada
jalan tengah. Yang mana pilihanmu mati atau hidup" Kami hanya bisa memberimu waktu tiga menit
untuk mengambil keputusan, karena waktu terus berlalu, dan semuanya harus selesai sebelum
pemeriksaan berikutnya.' "'Bagaimana caraku memutuskan"' kataku. 'Kalian belum memberitahukan apa yang kalian
inginkan dariku. Tapi kalau niat kalian membahayakan keselamatan benteng, aku tidak bersedia ikut,
jadi kalian boleh membunuhku sekarang juga.'
"'Niat kami tidak akan merugikan benteng ini," katanya. 'Kami hanya memintamu melakukan
apa yang menjadi tujuan orang-otang senegaramu datang kemari. Kami memintamu menjadi kaya.
Kalau kau bergabung dengan kami malam ini, kami bersumpah kepadamu demi pisau telanjang ini, dan
dengan sumpah tiga lapis yang belum pernah dilanggar orang Sikh, bahwa kau akan mendapat bagian
yang adil dari harta rampasan itu. Seperempat bagian dari harta karun itu akan menjadi milikmu. Kami
tidak bisa bersikap lebih adil lagi.'
"'Tapi harta karun apa"' tanyaku. 'Aku sangat siap menjadi kaya kalau kalian tunjukkan
caranya.' "'Kalau begitu bersumpahlah,' katanya, 'demi kerangka ayahmu, demi kehormatan ibumu, demi
kepercayaanmu, untuk tidak mengkhianati kami dengan perkataan atau perbuatan, baik sekarang
maupun kelak"' "'Aku bersumpah,' jawabku, 'asalkan benteng tidak dalam bahaya.'
"'Kalau begitu, rekanku dan aku bersumpah kau akan mendapat seperempat bagian dari harta
karun yang akan dibagi rata di antara kita berempat.'
"Kita hanya bertiga,' kataku.
"'Tidak. Dost Akbar harus mendapatkan bagiannya. Kami bisa menceritakan kisahnya padamu
sementara kita menunggu kedatangan mereka. Berjagalah di gerbang, Mahomet Singh, dan beri tanda
107 kalau mereka tiba. Beginilah kejadiannya, sahib, dan kuceritakan ini padamu karena aku tahu bahwa
kau telah terikat sumpahmu, dan bahwa kami bisa mempercayai dirimu. Seandainya kau seorang India
pembohong, sekalipun kau sudah bersumpah demi semua dewa di kuil palsu mereka, pisau ini pasti
sudah menghirup darahmu dan mayatmu akan ada di sungai. Tapi Sikh mengenal orang lnggris, dan
orang Inggris mengenai Sikh. Dengarkan apa yang akan kukatakan '
"'Ada seorang raja di provinsi utara yang sangat kaya, sekalipun wilayahnya kecil. Sebagian
besar harta kekayaannya berasal dari ayahnya, dan dia sendiri berhasil mengumpulkan banyak harta,
karena dia seorang yang rendah hati dan lebih suka mengumpulkan emasnya daripada menghambur-hamburkannya. Sewaktu ada masalah, dia memilih untuk bersahabat dengan kedua belah pihak
dengan para pemberontak dan dengan pihak Inggris. Tapi, menurutnya, tidak lama lagi
orang kulit putih akan kalah, karena di seluruh negeri dia tidak mendengar apa pun kecuali kematian dan
kehancuran mereka. Dan, sebagai orang yang hati-hati, dia menyusun rencana sebegitu rupa sehingga
apa pun yang terjadi, paling tidak separuh hartanya masih akan tetap menjadi miliknya. Dia
menyimpan emas dan perak di istananya, tapi bebatuan paling berharga dan mutiara-mutiara terbaik
diletakkannya di dalam kotak besi dan dikirim dengan perantaraan seorang pelayan terpercaya yang
menyamar sebagai pedagang ke benteng Agra. Harta itu harus disimpan di benteng hingga negeri ini
damai kembali. Oleh karena itu, kalau para pemberontak menang, dia masih memiliki uangnya, tapi
kalau Inggris yang menang, perhiasannya akan aman baginya. Setelah membagi harta kekayaannya, dia
mengikuti tujuan para pemberontak, karena mereka sangat kuat di perbatasan negaranya. Dengan
begitu, ingat ini baik-baik, sahib, hartanya menjadi milik orang yang setia pada keyakinannya.
"'Pedagang palsu ini, yang menggunakan nama Achmet selama perjalanan, sekarang ada di kota
Agra dan ingin masuk ke dalam benteng. Dia ditemani saudara angkatku Dost Akbar, yang mengetahui
rahasianya. Dost Akbar sudah berjanji untuk mengajaknya malam ini ke samping benteng, dan telah
memilih gerbang ini untuk tujuannya. Dia akan segera datang, dan dia akan menemukan Mahomet
Singh dan aku menunggunya. Tempat ini terpencil, dan tak seorang pun mengetahui kedatangannya.
Dunia tidak akan lagi mengenal pedagang bernama Achmet, tapi harta karun sang raja akan dibagi di
antara kita. Apa pendapatmu, sahib"'
"Di Worcestershire kehidupan seseorang dianggap suci, tapi keadaan sangat berbeda kalau
dalam pertempuran, dan kalau kau terbiasa menyaksikan kematian di mana-mana. Entah Achmet si
108 pedagang hidup atau mati bukan masalah besar bagiku, tapi harta karun itu menarik hatiku. Dan aku
memikirkan apa yang bisa kulakukan di negara asalku dengan harta itu, dan bagaimana orang-orang
sekampungku menatap diriku kalau melihat berandalan ini kembali dengan membawa sejumlah besar
harta. Oleh karena itu, aku mengambil keputusan. Tapi, Abdullah Khan, karena menganggap aku ragu-ragu, terus mendesak diriku.
"'Pertimbangkan, sahib,' katanya, 'kalau orang ini ditangkap Komandan, dia akan digantung atau
ditembak, dan perhiasannya diambil pemerintah, sehingga tidak ada orang yang diuntungkan
karenanya. Nah, karena kita yang menemuinya lebih dulu, kenapa tidak kita lakukan saja sisanya"
Perhiasannya lebih baik jatuh ke tangan kita daripada ke tangan pemerintah. Jumlahnya cukup banyak
untuk menjadikan kita semua kaya raya. Tak seorang pun tahu tentang masalah ini, karena di sini kita
terisolir dari siapa pun. Kurang apa lagi" Kalau begitu katakan lagi, sahib, apakah kau bergabung
dengan kami, atau kami harus menganggapmu sebagai musuh"'
"'Aku bergabung dengan kalian sepenuh jiwa raga,' kataku.
"'Baiklah,' jawabnya, sambil mengembalikan senapanku. 'Kaulihat kami percaya padamu,
bahwa janjimu, seperti janji kami, tidak akan dilanggar. Sekarang kita hanya perlu menunggu
kedatangan saudaraku dan pedagang itu.'
"'Kalau begitu, apa saudaramu tahu tindakan yang akan kaulakukan"' tanyaku.
"'Ini rencananya. Dia yang menyusunnya. Kita akan ke gerbang dan bergantian menjaga dengan
Mahomet Singh.' "Hujan masih terus turun, karena saat itu musim hujan baru mulai. Awan gelap melintas di
udara, dan sulit untuk melihat lebih dari selemparan batu jauhnya. Sebuah parit yang dalam
membentang di depan pintu kami, tapi airnya hampir kering di beberapa tempat, dan paritnya bisa
diseberangi dengan mudah. Aku merasa aneh berdiri di sana bersama dua orang Sikh yang liar,
menunggu seseorang yang sedang menuju kematiannya.
"Tiba-tiba aku melihat kilauan cahaya lentera di sisi seberang parit. Cahaya itu menghilang di
balik tumpukan tanah, lalu muncul kembali, bergerak perlahan-lahan ke arah kami.
"'Itu mereka!' seruku.
109 "'Kau harus menggertaknya, sahib, seperti biasa,' bisik Abdullah. 'Jangan sampai dia merasa
takut. Suruh kami mengantarnya, dan kami akan melakukan sisanya sementara kau berjaga-jaga di sini.
Pastikan cahaya lentera menerangi wajahnya, agar kita bisa memastikan bahwa memang dia orangnya.'
"Cahaya lentera itu sudah menurun, sesekali berhenti, hingga aku bisa melihat dua sosok gelap
di sisi seberang parit. Kubiarkan mereka menuruni lerengnya yang landai, menerobos genangan air, dan
memanjat ke gerbang hingga separuh perjalanan sebelum aku berbicara pada mereka.
"'Siapa itu"' kataku dengan suara pelan.
"'Teman,' jawabnya. Kubuka penutup lenteraku dan kubiarkan cahayanya menerangi mereka.
Yang pertama seorang Sikh raksasa dengan janggut hitam sangat panjang. Belum pernah aku melihat
pria setinggi itu, kecuali dalam pertunjukan. Yang satu lagi seorang pria kecil gembrot mengenakan
sorban kuning besar serta membawa buntalan. Dia tampaknya gemetar ketakutan, karena kedua
tangannya tersentak-sentak seperti terserang penyakit, dan kepalanya terus berpaling ke sana kemari
dengan sepasang matanya yang berkilau kilau cemerlang, seperti seekor tikus saat meninggalkan
sarangnya. Aku agak takut memikirkan untuk membunuhnya, tapi aku memikirkan harta itu, dan hatiku
pun mengeras. Sewaktu melihat wajah kulit putihku, dia bersorak pelan dan berlari-lari mendekatiku.
"'Perlindunganmu, sahib,' katanya terengah-engah, 'perlindunganmu terhadap pedagang Achmet
yang tidak bahagia ini. Aku sudah melintasi Rajpootana untuk bisa berlindung di benteng Agra. Aku
sudah dirampok, dipukuli, dan dilecehkan karena berteman dengan Inggris. Malam ini aku sungguh
beruntung, karena sekali lagi aku boleh merasa aman aku dan hartaku yang tidak seberapa.'
"'Apa yang ada di dalam buntalanmu"' tanyaku.
"'Sebuah kotak besi,' jawabnya, 'yang berisi satu atau dua benda keluarga yang tidak berarti bagi
orang lain, tapi sangat berharga bagiku. Tapi aku bukan pengemis. Aku akan memberimu hadiah, sahib
muda, dan juga gubernurmu, kalau dia bersedia melindungi diriku.'
"Aku rasanya tak mampu berbicara lebih lama lagi dengan orang ini. Semakin kupandang
wajahnya yang gemuk ketakutan, semakin sulit bagiku untuk membayangkan membunuhnya dengan
darah dingin. Lebih baik diselesaikan secepatnya.
"'Antar dia ke pos penjagaan utama,' kataku. Kedua orang Sikh segera mengapitnya, dan si
raksasa berjalan di belakangnya, saat mereka berjalan melewati gerbang yang gelap. Belum pernah ada
110 orang yang dikepung kematian begitu rapat. Aku tetap di gerbang, dengan membawa lenteranya.
"Aku bisa mendengar suara langkah-langkah kaki mereka dari koridor yang sunyi.
Tiba-tiba suara tersebut berhenti, dan kudengar
keributan, diiringi suara pukulan. Sesaat kemudian
terdengar suara langkah tergesa-gesa menuju ke
arahku, diiringi napas terengah-engah orang yang
berlari. Kuarahkan lenteraku ke lorong yang lurus
panjang tersebut, dan pria gendut itu ada di sana,
berlari secepat angin, dengan wajah berlumuran
darah. Dan orang Sikh raksasa itu mengejarnya
dengan ketat, bagai seekor harimau, sambil
mengayun-ayunkan sebilah pisau. Aku belum
pernah melihat orang yang mampu berlari secepat
pedagang kecil itu. Dia berhasil meninggalkan
orang Sikh yang mengejarnya, dan aku bisa
melihat bahwa kalau dia melewati diriku dan tiba
di tempat terbuka, dia akan selamat. Aku merasa bersimpati padanya, tapi sekali lagi ingatan akan harta
itu mengubah perasaanku menjadi keras dan pahit. Kupalangkan senapanku ke sela kakinya sewaktu
dia melintas lewat, dan dia berguling-guling bagai seekor kelinci yang tertembak. Sebelum dia sempat
bangkit berdiri, orang Sikh tersebut telah menerkamnya dan menghunjamkan pisaunya dua kali di sisi
tubuhnya. Pria itu tidak mengerang atau bergerak sedikit pun, hanya tergeletak tak bergerak di tempat
dia tadi jatuh. Kupikir mungkin lehernya sudah patah sewaktu dia jatuh. Kalian lihat, Tuan-tuan, bahwa
aku menepati janjiku. Kuceritakan semua kejadian ini apa adanya, tak peduli menguntungkan diriku
atau tidak." Ia berhenti dan mengulurkan tangannya yang terborgol untuk mengambil wiski dan air yang
disediakan Holmes baginya. Sedangkan aku, kuakui bahwa sekarang aku merasa sangat ngeri terhadap
orang ini, bukan hanya karena sikap darah dinginnya, tapi juga k
arena caranya yang dingin dan tak
acuh dalam menceritakan kisahnya. Hukuman apa pun yang menantinya, dia tidak bakal bisa
111 mengharapkan simpati dariku. Sherlock Holmes dan Jones duduk dengan tangan di lutut masing-masing, sangat tertarik dengan kisah ini, tapi juga memancarkan kejijikan yang sama di wajah mereka.
Pria tersebut mungkin menyadarinya, karena kemudian suaranya terdengar agak menantang saat
melanjutkan. "Semuanya memang buruk, tak ragu lagi," katanya. "Aku ingin tahu berapa banyak orang yang,
kalau berada pada posisiku, akan menolak mendapatkan bagian dari harta rampasan ini, sementara
mereka tahu akan digorok kalau menolak terlibat. Lagi pula, masalahnya adalah nyawaku atau
nyawanya begitu dia berada di dalam benteng. Kalau dia berhasil lolos, seluruh masalah ini akan
terungkap, dan aku pasti diadili mahkamah militer dan ditembak, karena orang-orang tidaklah pemurah
pada waktu itu." "Lanjutkan ceritamu," kata Holmes singkat.
"Well, kami menggotongnya masuk, Abdullah, Akbar, dan aku. Pria itu cukup berat, walau dia
begitu pendek. Mahomet Singh ditugaskan menjaga pintu. Kami membawa pria itu ke tempat yang
telah disiapkan orang-orang Sikh. Tempatnya cukup jauh, dengan lorong berliku-liku yang menuju ke
sebuah aula luas yang kosong, yang dinding-dinding batanya telah runtuh di mana-mana. Lantai
tanahnya melesak di satu tempat, menjadi sebuah makam alamiah, jadi kami tinggalkan Achmet si
pedagang di sana, setelah menutupi mayatnya dengan bata-bata. Setelah selesai, kami kembali ke peti
hartanya. "Harta itu masih berada di tempat kami pertama kali menyerangnya. Kotak yang sama dengan
yang sekarang terbuka di mejamu. Ada kunci bertali sutra di tangkai berukir di bagian atasnya. Kami
membuka kotak itu, dan cahaya lentera memantul pada sekumpulan batu permata sebagaimana yang
pernah kubaca dan kupikirkan sewaktu aku masih kanak-kanak di Pershore. Pantulan sinarnya sangat
menyilaukan. Sesudah puas memandanginya, kami keluarkan semuanya serta mendaftarnya. Ada
seratus empat puluh tiga butir intan kelas satu, termasuk yang aku yakin disebut 'Mogul yang Agung'
yang katanya adalah intan terbesar kedua yang ada. Lalu ada sembilan puluh tujuh butir zamrud, dan
seratus tujuh puluh batu rubi, tapi beberapa di antaranya kecil. Ada empat puluh carbuncle, dua ratus
sepuluh batu safir, enam puluh satu batu agate, dan beril, onix, mata kucing, kulit penyu, dan ratusan
batu lainnya, nama-nama yang pada waktu itu tidak kuketahui, sekalipun sekarang aku sudah lebih
mengenalnya. Selain ini, ada sekitar tiga ratus mutiara yang sangat indah, dua belas di antaranya
112 ditempelkan pada sebuah mahkota emas. Omong-omong, yang terakhir ini sudah dikeluarkan dari
dalam peti, dan tidak ada di sana sewaktu aku berhasil merampasnya kembali.
"Sesudah menghitung harta kami, kami mengembalikannya ke dalam peti dan membawanya ke
gerbang, untuk ditunjukkan kepada Mahomet Singh. Lalu dengan khidmat kami memperbarui sumpah
untuk saling membantu dan menyimpan rahasia kami. Kami setuju untuk menyembunyikan harta
rampasan ini di tempat aman, hingga negara ini damai kembali, lalu membagikannya sama rata di
antara kami berempat. Tak ada gunanya membaginya langsung pada saat itu, sebab akan menimbulkan
kecurigaan apabila batu-batu permata senilai itu ditemukan pada kami. Di benteng kami tidak bisa
sendirian, serta tidak ada tempat untuk menyimpannya. Karena itu, kami membawa kotak itu ke aula
tempat kami tadi menguburkan mayat Achmet. Di sana, di bawah bata-bata tertentu di dinding yang
paling utuh, kami membuat lubang dan memasukkan harta kami ke sana. Kami mencatat lokasinya
dengan hati-hati, dan keesokan harinya aku menggambar empat buah peta, untuk kami masing-masing
satu, dan menuliskan tanda kami berempat di bagian bawah, karena kami telah bersumpah harus selalu
bertindak untuk yang lain, jadi tidak ada yang mengambil keuntungan sendiri. Aku sungguh-sungguh
bersumpah dan tidak berniat melanggarnya.
"Well, tak ada gunanya kuceritakan apa yang terjadi dengan pemberontakan India. Sesudah
Wilson menguasai Delhi dan Sir Colin membebaskan
Lucknow, kekuatan pemberontak pun
dipatahkan. Pasukan baru berdatangan, dan Nana Sahib pun menghilang dari perbatasan. Sepasukan
tentara di bawah pimpinan Kolonel Greathed datang ke Agra dan menyapu bersih para pemberontak.
Kedamaian tampaknya kembali melingkupi negeri itu, dan kami berempat mulai berharap bahwa tiba
waktunya kami bisa pergi membawa bagian harta masing-masing. Tapi, hanya sesaat, harapan kami
hancur berantakan dengan ditangkapnya kami atas pembunuhan Achmet.
"Kurang-lebih begini kejadiannya. Sewaktu sang raja menyerahkan perhiasannya ke tangan
Achmet, dia tahu pasti bahwa Achmet bisa dipercaya. Tapi orang-orang Timur ini sangat pencuriga,
jadi sang raja pun mengirim pelayan kedua yang lebih terpercaya lagi untuk memata-matai pelayan
yang pertama. Orang kedua ini diperintahkan untuk tidak pernah kehilangan jejak Achmet, dan dia
mengikuti Achmet seperti bayangannya sendiri. Dia mengikuti Achmet malam itu, dan melihatnya
masuk ke balik gerbang. Tentu saja dia mengira Achmet mencari perlindungan di dalam benteng, dan
keesokan harinya dia mengajukan permohonan untuk bisa memasuki benteng, tapi dia tak bisa
113 menemukan jejak Achmet. Hal ini tampak aneh baginya, sehingga dia membicarakannya dengan sersan
jaga, yang menyampaikannya kepada sang komandan. Dengan segera diadakan pencarian teliti, dan
mayat Achmet pun ditemukan. Tepat saat kami mengira semuanya aman, kami berempat ditangkap dan
diadili dengan tuduhan pembunuhan kami bertiga sebagai penjaga gerbang pada malam itu, dan yang
keempat karena diketahui dia selalu mendampingi korban sebelumnya. Tidak sekali pun disinggung
mengenai perhiasannya selama sidang, karena sang raja telah diusir dari India, jadi tak seorang pun
tertarik pada perhiasannya. Tapi pembunuhan itu jelas-jelas telah terjadi, dan jelas kami semua terlibat
Sherlock Holmes - Empat Pemburu Harta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di dalamnya. Ketiga orang Sikh itu dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, dan aku dijatuhi hukuman
mati namun beberapa waktu kemudian diubah menjadi sama seperti yang lainnya.
"Pada saat itu, kami menyadari bahwa posisi kami sangat aneh. Kami berempat terikat, dengan
kemungkinan sangat kecil untuk bisa bebas lagi, sementara kami masing-masing menyimpan rahasia
yang bisa memberikan kehidupan mewah bagi kami kalau tahu bagaimana menggunakannya. Benar-benar berat rasanya, bekerja kasar setiap hari, menyantap nasi dan minum air, sementara harta
melimpah menunggunya di luar, siap diambil. Aku mungkin bisa gila karenanya, tapi sejak dulu aku
memang cukup keras kepala, jadi aku terus bertahan dan menunggu kesempatan.
"Akhirnya kesempatanku pun datang. Aku dipindah dari Agra ke Madras, dan dari sana ke
Pulau Blair di Andaman. Di sana sedikit sekali narapidana kulit putih, dan karena sejak awal aku
menunjukkan sikap baik, tak lama kemudian aku mendapat semacam keistimewaan. Aku mendapat
sebuah gubuk di Hope Town, sebuah tempat kecil di lereng Gunung Harriet, dan aku boleh dikatakan
tidak diusik. Tempat itu kering dan penuh ancaman demam, dan seluruh kawasan di luar tempat terbuka
kami yang kecil dipenuhi penduduk asli yang kanibal dan liar, yang siap menembakkan paser beracun
pada kami kalau ada kesempatan. Setiap hari kami menggali dan menanam, dan selusin pekerjaan
lainnya, jadi kami cukup sibuk sepanjang hari, sekalipun di malam hari kami dibiarkan sendiri. Di
antara semua kesibukan itu, aku sempat mempelajari pengobatan dari seorang dokter bedah, dan
menguasai sedikit pengetahuannya. Sepanjang waktu aku terus mencari kesempatan untuk melarikan
diri, tapi tempat itu ratusan mil jauhnya dari daratan lain, dan laut di sana hanya sedikit atau bahkan
tidak berangin, jadi sangat sulit untuk melarikan diri.
"Ahli bedah itu, Dr. Somerton, seorang pemuda yang sigap dan senang berolahraga. Dan para
perwira muda lainnya sering menemuinya di kamarnya di malam hari, untuk bermain kartu. Klinik
114 tempat aku sering meramu obat berada di samping ruang duduknya, dengan sebuah jendela kecil yang
menghubungkan kedua tempat. Terkadang, kalau merasa kesepian, aku biasanya memadamkan lampu
di klinik, dan sambil berdiri di sana, aku bisa mendengar mere
ka bercakap-cakap dan mengawasi
permainan mereka. Aku sendiri sangat senang main kartu, dan rasanya hampir sama menyenangkannya
mengawasi orang lain bermain, seperti kalau aku sendiri yang bermain. Ada Mayor Sholto, Kapten
Morstan, dan Letnan Bromley Brown, yang memimpin pasukan penduduk asli, dan ahli bedah itu, serta
dua atau tiga sipir penjara, orang-orang berpengalaman yang memainkan permainan licin. Mereka
terbiasa berpesta pora sedikit.
"Well, ada satu hal yang tak lama kemudian kusadari, yaitu bahwa para prajurit selalu kalah,
sementara orang sipil selalu menang. Maaf, bukannya aku mengatakan permainan itu curang, tapi
memang begitulah kenyataannya. Para petugas penjara ini lebih sering main kartu daripada melakukan
kegiatan lain selama di Andaman, dan mereka saling mengenal kebiasaan bermain rekan-rekannya,
sementara para prajurit hanya bermain untuk menghabiskan waktu, dan terus saja membuangi kartu
mereka. Malam demi malam para prajurit itu semakin miskin karena kalah main kartu, dan semakin
miskin mereka, semakin bersemangat pula mereka bermain. Mayor Sholto yang paling menderita.
Mula-mula dia membayar dengan uang tunai dan emas, tapi tak lama kemudian dia mulai berutang, dan
dalam jumlah yang tidak sedikit pula. Terkadang dia menang sedikit, sekadar untuk mengobarkan
semangatnya, lalu keberuntungannya merosot lebih parah daripada sebelumnya. Sepanjang hari
wajahnya semuram mendung dan dia minum minuman keras melebihi batas.
"Suatu malam dia kalah lebih besar daripada biasanya. Aku sedang duduk di gubukku sewaktu
dia dan Kapten Morstan terhuyung-huyung lewat menuju tempat tinggal mereka. Mereka teman baik,
dua orang itu, dan tidak pernah berpisah. Mayor itu tengah berceloteh tentang kekalahannya.
"'Semuanya habis, Morstan,' katanya saat mereka melewati gubukku. 'Aku harus mengundurkan
diri. Aku sudah bangkrut.'
"'Omong kosong, sobat!' kata Kapten Morstan sambil menepuk bahu temannya. 'Aku sendiri
menderita kekalahan cukup berat, tapi...' Hanya itu yang kudengar, tapi sudah cukup untuk membuatku
berpikir. "Dua hari kemudian Mayor Sholto sedang berjalan-jalan di pantai, jadi kugunakan kesempatan
115 itu untuk bercakap-cakap dengannya.
"'Aku membutuhkan nasihatmu, Mayor,' kataku.
"'Well, Small, ada apa"" tanyanya, sambil mencabut cerutu dari mulutnya.
"'Ada yang ingin kutanyakan padamu, Sir,' kataku, 'Kalau ada yang menemukan harta karun,
harus diserahkan pada siapa" Aku tahu di mana ada harta senilai setengah juta, dan karena aku tidak
bisa menggunakannya sendiri, kupikir mungkin yang paling baik adalah menyerahkannya kepada pihak
berwenang, lalu mungkin mereka bersedia mengurangi hukumanku."
"'Setengah juta, Small"' dia terkesiap, lalu menatapku tajam, seakan untuk memastikan aku
bicara jujur. "'Kurang-lebih, Sir dalam bentuk perhiasan dan mutiara. Siap untuk diambil siapa saja. Dan
yang paling aneh adalah pemiliknya sudah dianggap melanggar hukum dan tidak bisa mengklaim harta
itu, jadi harta itu milik siapa pun yang mengambilnya.'
"'Kepada Pemerintah, Small,' katanya tergagap, 'kepada Pemerintah.' Tapi dia mengatakannya
dengan terpatah-patah, dan aku tahu dalam hati bahwa aku sudah berhasil menguasainya.
"'Kalau begitu, menurutmu, Sir, sebaiknya kuserahkan harta itu kepada Gubernur-Jenderal"'
kataku pelan. "'Well, well, jangan tergesa-gesa, atau kau mungkin akan menyesalinya. Coba ceritakan
semuanya, Small. Beritahukan fakta-faktanya.'
"Kuceritakan seluruh kejadiannya, dengan sedikit perubahan, sehingga dia tidak bisa
mengidentifikasi tempatnya. Sesudah aku selesai, dia berdiri diam dan berpikir keras. Aku bisa melihat
dari sentakan bibirnya yang berulang-ulang bahwa dia sedang menghadapi dilema.
"'Ini masalah yang sangat penting, Small' katanya kemudian. 'Kau tidak boleh memberitahukan
hal ini pada siapa pun, dan aku akan menemuimu lagi dalam waktu dekat.'
"Dua malam kemudian dia datang bersama temannya, Kapten Morstan, ke gubukku, di tengah
malam, dengan bantuan lentera.
"'Kuminta kau menceritakan sendiri kejadiannya kepada Kapten Morstan, Small,' katanya.
116 "Kuulangi apa yang sudah
kuceritakan sebelumnya. "'Kedengarannya benar, eh"' katanya. 'Apa cukup
layak untuk dilanjutkan"'
"Kapten Morstan mengangguk.
"'Dengar, Small,' kata Mayor. 'Kami sudah
membicarakannya, temanku ini dan aku, dan kami
menyimpulkan bahwa rahasiamu ini tidak bisa dikatakan
tanggung jawab Pemerintah, tapi masalah pribadimu
sendiri, dan tentu saja tergantung padamu untuk mengambil
tindakan yang kauanggap paling baik. Sekarang
pertanyaannya adalah, Berapa harga yang kauminta" Kami
mungkin bersedia menerimanya, dan paling tidak
mempertimbangkannya, kalau kami setuju dengan
persyaratannya.' Ia berusaha berbicara dengan nada tenang,
tak peduli, tapi matanya berkilau-kilau penuh semangat dan
penuh keserakahan. "'Mengenai hal itu, Tuan-tuan,' jawabku, berusaha untuk tenang, tapi merasa sama
bersemangatnya seperti Mayor Sholto, 'hanya ada satu penawaran yang bisa diajukan orang dalam
posisiku. Kuminta kalian membebaskan diriku, dan juga ketiga rekanku. Kami akan menerima kalian
sebagai bagian dari kami, dan memberikan seperlimanya untuk dibagi di antara kalian berdua.'
"'Hmm!' kata Sholto. 'Seperlima! Tidak menarik.'
"'Jumlahnya sekitar lima puluh ribu seorang,' kataku.
"'Tapi bagaimana kami bisa membebaskan dirimu" Kau tahu bahwa permintaanmu mustahil.'
"'Tidak juga,' jawabku. 'Aku sudah memikirkannya secara terinci. Satu-satunya hambatan
pelarian kami hanyalah kami tidak bisa menemukan kapal yang sesuai untuk perjalanan ini, dan tidak
ada persediaan makanan untuk bertahan hidup selama itu. Ada banyak yacht-yacht kecil dan perahu di
Calcutta atau Madras yang bisa kami gunakan. Bawakan satu kemari. Kami akan berusaha naik ke sana
di malam hari, dan kalian bisa mendaratkan kami di pantai India bagian mana pun.'
117 "'Kalau saja hanya satu orang,' katanya.
"'Semua atau tidak sama sekali,' kataku. 'Kami telah bersumpah. Kami berempat harus selalu
bertindak bersama-sama.' "'Kaulihat, Morstan,' katanya, 'Small orang yang selalu menepati janji. Dia tidak meninggalkan
teman-temannya. Kurasa kita bisa mempercayainya.'
"'Ini urusan kotor,' kata Morstan. 'Tapi, seperti katamu, uangnya lebih dari cukup untuk pensiun
kita.' "'Well, Small,' kata Mayor, 'kurasa kami harus memenuhi persyaratanmu. Tentu saja, terlebih
dulu kami harus menguji ceritamu. Katakan di mana kotak harta itu disembunyikan, dan aku akan
meminta cuti untuk kembali ke India dengan menggunakan perahu persediaan bulanan untuk
memeriksa masalah ini.' "'Tidak secepat itu,' kataku dengan sikap semakin dingin, sementara ia semakin panas. 'Aku
harus mendapatkan persetujuan dari ketiga rekanku. Sudah kukatakan kami berempat atau tidak sama
sekali.' "'Omong kosong!' sergahnya. 'Apa hubungannya tiga orang kulit hitam dengan perjanjian kita"'
"'Hitam atau biru,' kataku, 'mereka bersamaku, dan kami semua terlibat dalam perjanjian ini.'
"Well, masalah itu berakhir pada pertemuan kedua, di mana Mahomet Singh, Abdullah Khan,
dan Dost Akbar hadir. Kami membicarakan masalah itu sekali lagi, dan akhirnya kami mencapai
kesepakatan. Kami akan memberikan peta benteng Agra pada kedua perwira itu, dan menandai tempat
di dinding di mana kami menyembunyikan harta karunnya. Mayor Sholto akan ke India untuk menguji
cerita kami. Kalau dia menemukan kotak itu, dia harus meninggalkannya di sana, mengirimkan kapal
kecil yang telah diperlengkapi untuk perjalanan jauh dan harus ditambatkan di Pulau Rutland tempat
tujuan kami sekeluarnya dari penjara dan akhirnya dia mesti kembali bertugas. Kapten Morstan lalu
mengajukan cuti, menemui kami di Agra, dan di sana kami akan membagi hartanya; dia yang akan
membawa bagian Mayor bersama bagiannya. Semua ini kami segel dengan sumpah paling khidmat
yang bisa diucapkan atau dipikirkan. Aku terjaga sepanjang malam, ditemani kertas dan tinta, dan pagi
harinya kedua peta itu siap, ditandatangani oleh kami berempat Abdullah, Akbar, Mahomet, dan aku
sendiri. 118 "Nah, Tuan-tuan, aku sudah membuat kalian bosan dengan ceritaku yang panjang, dan aku tahu
temanku Mr. Jones ini sudah tak sabar untuk
mengamankan diriku. Akan kupersingkat cerita ini sebisa
mungkin. Bajingan Sholto itu pergi ke India, tapi dia tidak pernah kembali. Kapten Morstan
menunjukkan namanya di antara daftar penumpang salah satu perahu pengirim surat tak lama
sesudahnya. Pamannya meninggal, mewariskan kekayaan kepadanya, dan dia sudah mengundurkan diri
dari Angkatan Darat, namun dia masih sempat memperlakukan kami berlima seperti itu. Morstan pergi
ke Agra tak lama kemudian dan, sesuai dugaan kami, mendapati harta itu sudah benar-benar lenyap.
Keparat Sholto itu mencurinya tanpa memenuhi satu pun persyaratan saat mendapatkan rahasia itu.
Sejak saat itu aku hidup hanya untuk membalas dendam. Aku memikirkannya siang dan malam.
Keinginan itu berubah menjadi obsesi yang menguasai diriku. Aku tidak memedulikan hukum tidak
takut pada hukuman mati. Melarikan diri, melacak Sholto, mencekiknya dengan tanganku sendiri itu
satu-satunya pemikiranku. Bahkan harta karun Agra jadi tak berarti bagiku dibandingkan membantai
Sholto. "Well, aku sudah membulatkan tekad untuk banyak hal dalam hidupku, dan tidak ada satu pun
yang tidak kulaksanakan. Tapi baru bertahun-tahun kemudian kesempatanku tiba. Sudah kuceritakan
tadi bahwa aku sempat belajar sedikit pengobatan. Suatu hari, sewaktu Dr. Somerton sedang terserang
demam, seorang penduduk asli Andaman ditemukan oleh sekelompok narapidana di hutan. Dia sakit
parah dan sengaja mencari tempat terpencil untuk mati. Kurawat dia, sekalipun dia sama beracunnya
seperti seekor ular muda, dan sesudah dua bulan aku berhasil menyembuhkan dirinya. Sejak itu dia
seperti memujaku, dan hampir-hampir tak pernah kembali ke dalam hutan, selalu berkeliaran di dekat
gubukku. Aku mempelajari sedikit bahasanya, dan ini membuat dia semakin menyukaiku.
"Tonga, itu namanya seorang tukang perahu yang andal dan memiliki sebuah kano besar.
Sewaktu kusadari bahwa dia mengabdikan diri padaku dan bersedia melakukan apa pun untuk
melayaniku, aku melihat kesempatan untuk melarikan diri. Kubicarakan hal ini dengannya. Kuminta
dia membawa perahunya pada malam tertentu ke sebuah dermaga tua yang tidak pernah dijaga, dan
menjemputku, di sana. Kusuruh dia membawa persediaan air, kelapa, dan kentang manis sebanyak-banyaknya.
"Dia menepati janjinya, si Tonga kecil itu. Tidak ada orang yang lebih setia lagi. Pada malam
yang telah ditentukan, dia menunggu di dermaga bersama perahunya. Tapi, sudah menjadi suratan
119 nasib, malam itu justru ada seorang penjaga di dermaga itu seorang Pathan yang tidak pernah
berhenti menghina atau melukai diriku. Sejak dulu aku bersumpah untuk membalas dendam
kepadanya, dan sekarang aku mendapat kesempatan. Seakan-akan sudah suratan takdir, dia
menghalangi jalanku, sehingga aku bisa membayar utang sebelum meninggalkan pulau. Dia berdiri di
tepi laut, memunggungiku, senapannya tersandang di bahu. Aku mencari-cari batu untuk menghantam
kepalanya, tapi tidak menemukan satu pun.
"Lalu sebuah pikiran aneh melintas dalam benakku,
menunjukkan di mana aku bisa mendapatkan senjata.
Aku duduk dalam kegelapan dan membuka kaki
kayuku. Dengan tiga kali lompatan panjang aku tiba di
dekatnya. Dia sempat menumpukan senapan ke
bahunya, tapi kuhantam dia sekuat tenaga, dan
menghancurkan bagian depan wajahnya. Kau bisa
melihat bagian kayu yang retak karena menghantam
wajahnya. Kami berdua jatuh bersama-sama, karena aku
tak bisa menjaga keseimbangan. Tapi sewaktu bangkit
berdiri kutemukan dia masih tergeletak tak bergerak.
Aku menuju perahu, dan satu jam kemudian kami telah
berada jauh di tengah laut. Tonga sudah membawa
seluruh harta miliknya, senjata dan dewanya. Salah satu
di antaranya sebatang tombak bambu panjang, dan
beberapa anyaman sabut kelapa Andaman yang kugunakan sebagai layar. Selama sepuluh hari kami
berlayar tanpa arah, hanya mengandalkan keberuntungan, dan pada hari kesebelas kami bertemu
dengan kapal dagang yang berlayar dari Singapura ke Jeddah dengan muatan peziarah Melayu. Mereka
benar-benar luar biasa, dan Tonga serta diriku berhasil menempatkan diri di antara
mereka. Mereka memiliki satu sifat bagus: mereka tidak mengusik kami dan tidak mengajukan pertanyaan apa-apa.
"Well, kalau aku harus menceritakan semua petualanganku bersama sobat kecilku, kalian tidak
akan senang, karena kalian akan tertahan di sini hingga matahari terbit. Kami pun menjelajahi dunia,
selalu ada sesuatu yang menghalangi kepergian kami ke London. Tapi aku tak pernah melupakan
120 tujuanku. Aku selalu memimpikan Sholto setiap malam. Ratusan kali aku membunuhnya dalam
tidurku. Tapi akhirnya, sekitar tiga atau empat tahun yang lalu, kami tiba di lnggris. Aku tidak
mendapat kesulitan besar untuk menemukan tempat tinggal Sholto, dan aku segera berusaha mencari
tahu apakah dia menjual harta itu, ataukah dia masih menyimpannya. Aku berteman dengan seseorang
yang bisa membantuku aku tidak akan menyebutkan nama, karena aku tidak ingin menyusahkan
orang lain dan tak lama kemudian aku mengetahui bahwa Sholto masih memiliki perhiasannya. Lalu
kucoba mendekatinya dengan berbagai cara, tapi dia cukup licin dan selalu ditemani dua petinju
bayaran, selain putra-putra dan khitmutgar-nya, yang selalu menjaga dirinya.
"Tapi, suatu hari, aku mendapat kabar bahwa dia sekarat. Aku bergegas ke kebun rumahnya,
dengan perasaan marah karena dia berhasil meloloskan diri dari tanganku dengan cara seperti itu, dan
saat memandang ke balik jendela, aku melihatnya berbaring di ranjang, diapit kedua putranya. Aku
pasti akan menerobos masuk dan menghadapi mereka bertiga, kalau saja aku tidak melihat rahangnya
ternganga, dan aku tahu dia telah tewas. Aku masuk ke kamarnya malam itu juga, menggeledah surat-suratnya untuk menemukan catatan tempat persembunyian perhiasan kami. Tapi tidak ada apa pun, jadi
aku pergi dengan perasaan pahit dan marah. Sebelum pergi, terlintas dalam benakku bahwa seandainya
aku bisa bertemu dengan teman-teman Sikh-ku lagi, mereka
akan puas kalau mengetahui bahwa aku sudah
meninggalkan tanda kebencian kami. Jadi, kutuliskan tanda
kami berempat, sebagaimana di dalam peta, dan kujepitkan
di dadanya. Sayang sekali kalau dia dimakamkan tanpa
membawa kenang-kenangan dari orang-orang yang telah
ditipu dan dirampoknya. 121 "Kali ini kami mencari nafkah dengan memamerkan Tonga yang malang di taman-taman
hiburan sebagai kanibal kulit hitam. Dia akan menyantap daging mentah dan menarikan tarian
perangnya, sehingga kami selalu punya uang satu topi penuh setelah bekerja seharian. Aku masih terus
mendapat kabar dari Pondicherry Lodge, dan selama beberapa tahun tidak ada berita baru, kecuali
bahwa mereka masih memburu harta itu. Tapi akhirnya kami mendengar apa yang telah lama kami
tunggu. Harta itu telah ditemukan. Disembunyikan di bagian atas kamar laboratorium kimia Mr.
Bartholomew Sholto. Aku langsung datang dan mengamati tempat itu. Tapi aku tak bisa mencari cara
untuk naik ke atas sana dengan kaki kayuku ini. Tapi aku berhasil mengetahui tentang pintu ke atap,
juga tentang jam makan malam Mr. Sholto. Menurutku aku bisa mengatasi masalah ini dengan cukup
mudah, dengan menggunakan bantuan Tonga. Kuajak dia dengan melilitkan seutas tali yang cukup
panjang di pinggangnya. Dia bisa memanjat selincah kucing, dan tak lama kemudian dia berhasil
memasuki atap. Tapi, dasar sial, Bartholomew Sholto masih ada di dalam kamar. Tonga mengira sudah
bertindak pandai dengan membunuhnya, karena sewaktu aku tiba di sana dia tengah mondar-mandir
dengan bangga, bagai seekor merak. Dia sangat terkejut sewaktu kuhajar dengan tali dan kumaki-maki
karena naluri kebuasannya. Aku mengambil kotak harta
itu dan menurunkannya, lalu merosot turun, setelah
meninggalkan tanda empat di meja untuk menunjukkan
bahwa perhiasan itu telah kembali ke orang yang paling
berhak. Tonga lalu menarik talinya, menutup jendela,
dan turun melalui jalan masuknya.
"Aku tidak tahu apa lagi yang harus kuceritakan.
Aku pernah mendengar orang-orang di pelabuhan
membicarakan kecepatan kapal Smith, Aurora, jadi
kukira aku bisa menggunakan kapal itu untuk melarikan
diri. Kutemui Smith tua, dan kujanjikan sejumlah besar
uang kalau dia bisa membawa kami de
ngan selamat ke kapal kami. Tidak ragu lagi, dia mengerti ada yang tidak
beres, tapi dia tidak tahu rahasia kami. Semua ini benar,
Sherlock Holmes - Empat Pemburu Harta di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan kalau kuceritakan pada kalian, Tuan-tuan, bukanlah
untuk menggembirakan kalian karena kalian sama
122 sekali tidak menguntungkan diriku tapi karena aku percaya bahwa pembelaan terbaikku hanyalah
dengan tidak menyembunyikan apa pun, tapi dengan membiarkan seluruh dunia mengetahui seberapa
buruk perlakuan Mayor Sholto padaku, dan seberapa tidak bersalah diriku dalam kematian putranya."
"Pernyataan yang sangat luar biasa," kata Sherlock Holmes. "Akhir yang sesuai untuk kasus
yang sangat menarik. Tidak ada yang baru bagiku mengenai bagian akhir ceritamu, kecuali bahwa kau
membawa talimu sendiri. Itu tidak kuketahui. Omong-omong, kukira Tonga sudah kehilangan semua
pasernya, tapi dia berhasil menembakkan satu pada kami di kapal."
"Dia sudah kehilangan semuanya, Sir, kecuali satu yang ada di dalam sumpitannya pada waktu
itu." "Ah, tentu saja," kata Holmes. "Aku tidak memikirkannya."
"Apa ada hal lain lagi yang ingin kautanyakan"" tanya narapidana tersebut.
"Kurasa tidak ada, terima kasih," kata temanku.
"Nah, Holmes," kata Athelney Jones, "kau orang yang keinginannya layak dipenuhi, dan kami
semua tahu kau ini seorang pakar kejahatan, tapi tugas tetaplah tugas, dan aku sudah menyimpang
cukup jauh dengan memenuhi permintaanmu dan permintaan temanmu. Aku akan merasa lebih baik
kalau sudah mengurung juru cerita kita ini. Keretanya
masih menunggu, dan ada dua orang inspektur di bawah.
Aku sangat berutang budi atas bantuan kalian. Tentu saja
kalian diharapkan hadir dalam persidangan. Selamat
malam, kalian berdua."
"Selamat malam, Tuan-tuan," kata Jonathan Small.
"Kau lebih dulu, Small," kata Jones yang kelelahan
saat mereka meninggalkan ruangan. "Akan kupastikan kau
tidak akan memukulku dengan kaki kayumu, atau apa pun
yang sudah kaulakukan terhadap orang di Kepulauan
Andaman itu." "Well, itulah akhir drama kecil kita," kataku, setelah
123 kami duduk berdiam diri selama beberapa waktu. "Aku khawatir ini penyelidikan terakhir di mana aku
mendapat kesempatan untuk mempelajari metodemu. Miss Morstan sudah menerimaku sebagai calon
suaminya." Holmes mengerang.
"Sudah kutakutkan," katanya. "Aku benar-benar tidak bisa memberimu selamat."
Aku agak tersinggung. "Apa kau punya alasan untuk tidak menyetujui pilihanku"" tanyaku.
"Sama sekali tidak. Kurasa dia salah satu wanita muda paling menarik yang pernah kutemui,
dan mungkin yang paling berguna dalam pekerjaan seperti yang kita lakukan. Dia memiliki kejeniusan
dalam hal ini, melihat caranya menyimpan peta Agra dari surat-surat ayahnya yang lain. Tapi cinta
merupakan sesuatu yang emosional, dan apa pun yang emosional bertentangan dengan penjelasan sejati
yang kuletakkan paling tinggi di atas semuanya. Aku sendiri tidak akan pernah menikah, kalau tidak
ingin mengacaukan penilaianku."
"Aku yakin," kataku sambil tertawa, "kalau penilaianku bisa mengatasi hambatan ini. Tapi kau
tampaknya sudah kelelahan."
"Ya, reaksinya sudah dimulai. Aku akan terkapar selama seminggu."
"Aneh," karaku, "dalam dirimu kemalasan bisa bergantian dengan semangat dan energi,
menguasaimu." "Ya," jawabnya, "dalam diriku ada orang yang sangat bersemangat untuk bekerja dan seorang
pemalas luar biasa. Aku sering teringat kata-kata Goethe:
Schade dass die Natur nur einen Mensch aus dir schuf,
Denn zum wurdigen Mann war und zum Schelmen der Stoff.
Omong-omong urusan Norwood ini, seperti dugaanku, mereka memiliki sekutu di dalam
rumah, yang tak mungkin tidak pastilah Lal Rao, si kepala rumah tangga. Jadi, Jones sebenarnya patut
dipuji karena menangkap satu ikan yang benar."
"Pujian itu rasanya agak tidak adil," kataku. "Kau yang menangani seluruh urusan ini. Aku
mendapat istri, Jones mendapat pujian, lalu apa yang menjadi bagianmu""
124 "Bagianku," kata Sherlock Holmes, "selalu ada botol kokain itu." Dan ia mengulurkan
tangannya yang putih panjang ke botol tersebut.
tamat Harpa Iblis Jari Sakti 29 Nggak Usah Jaim Deh Karya Valleria Verawati Warisan Laknat 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama