Harry Potter Dan Piala Api Harry Potter And The Goblet Of Fire Karya J.k. Rowling Bagian 12
Dia melangkah masuk ke dalam kantor, meletakkan satu kaki di bawah tubuh pingsan Moody, dan menendang membaliknya, supaya wajahnya kelihatan. Snape mengikutinya, memandang ke dalam Cermin Musuh, di mana wajahnya sendiri masih tampak, memandang ke dalam ruangan. Profesor McGonagall langsung menghampiri Harry.
"Ayo, Potter," dia berbisik. Bibirnya yang tipis bergetar seakan dia mau menangis. "Ayo... ke rumah sakit..."
"Tidak," kata Dumbledore tajam.
"Dumbledore, dia harus ke rumah sakit... lihat dia... sudah cukup yang dialaminya malam ini..."
"Dia akan tinggal, Minerva, karena dia perlu memahami," kata Dumbledore pendek. "pemahaman adalah langkah pertama untuk penerimaan, dan hanya dengan penerimaan bisa ada penyembuhan. Dia perlu tahu siapa yang telah membuatnya menderita cobaan berat malam ini, dan kenapa."
"Moody," kata Harry. Dia masih tak bisa percaya. "Bagaimana mungkin bisa Moody""
"Ini bukan alastor Moody," kata Dumbledore tenang. "Kau belum pernah mengenal Alastor Moody, Moody yang asli tidak akan menyingkirkanmu dari pandanganku setelah apa yang terjadi malam ini. Begitu dia membawamu pergi, aku tahu - dan aku membuntutinya."
Dumbledore membungkuk di atas tubuh lemas Moody dan memasukkan tangan ke dalam jubahnya. Dia menarik keluar tempat minum yang biasa dibawa Moody di pahanya dan satu set kunci dalam lingkaran. Kemudian dia berpaling kepada Profesor McGonagall dan Snape.
"Severus, tolong ambilkan Ramuan Kebenaran yang paling kuat yang kau miliki, dan kemudian pergilah ke dapur dan jemput peri rumah bernama Winky, bawalah kemari. Minerva, tolong ke pondok Hagrid. Kau akan menemukan anjing besar hitam duduk di kebun labu
kuning. Bawalah anjing itu ke kantorku, katakana kepadanya aku akan bersamanya sebentar lagi, kemudian kembalilah ke sini."
Kalaupun Snape atau McGonagall menganggap perintah ini aneh, mereka menyembunyikan kebingungan mereka. Keduanya langsung berbalik dan meninggalkan kantor. Dumbledore berjalan ke peti yang punya tujuh kunci, memasukkan kunci pertama ke lubangnya dan membukanya. Peti itu berisi tumpukan buku-buku mantra. Dumbledore menutup peti, memasukkan kunci kedua ke dalam lubangnya dan membuka lagi peti itu. Buku-buku mantra telah lenyap, kali ini isinya berbagai Teropong Curiga yang sudah rusak, beberapa perkamen dan pena bulu, dan sesuatu yang tampak seperti Jubah Gaib keperakan. Harry mengawasi, sangat keheranan, ketika Dumbledore memasukkan kunci ketiga, keempat, kelima dan keenam dalam lubang masing-masing, setiap kali membuka kembali peti, yang setiap kali memperlihatkan isi yang berbeda. Kemudian dia memasukkan kunci ketujuh ke dalam lubangnya, membuka tutup peti, dan Harry memekik kaget.
Dia memandang ke semacam lubang, ruang bawah tanah, dan di lantai kira-kira tiga meter di bawah, tampaknya tidur nyenyak, kurus dan kelaparan, tergeletak Mad-eye Moody yang asli. Kaki kayunya tak ada, rongga mata yang seharusnya berisi mata gaib tampak kosong di bawah pelupuknya, dan di sana-sini rambutnya yang beruban tampak dipotong sembarangan. Harry terkesima, bergantian memandang Moody yang
tidur di dalam peti dan Moody yang pingsan di lantai kantornya.
Dumbledore memanjat masuk peti, dan menjatuhkan diri ke lantai di sebelah Moody yang tidur. Dia membungkuk di atasnya.
"Pingsan - dikontrol oleh Kutukan Imperius - sangat lemah," katanya. "Tentu saja, mereka perlu menjaganya agar dia tetap hidup. Harry, lemparkan mantel si penipu - dia kedinginan. Madam Promfey harus merawatnya, tetapi keadaannya tidak kritis."
Harry melakukan seperti yang diperintahkan. Dumbledore menyelimuti Moody dengan mantel itu, menyelipkan tepinya ke bawah tubuhnya, dan memanjat naik keluar dari peti lagi. Kemudian dia memungut botol air di atas meja, membuka tepinya, dan menuang isinya. Cairan kental lengket tercurah ke lantai kantor.
"Ramuan Polijus, Harry," kata Dumbledore. "Kau lihat betapa sederhananya, dan betapa briliannya. Karena Moody tak pernah minum kecuali dari botol minumnya sendiri, kebiasaannya ini sangat terkenal. Si penipu tentu saja memerlukan keberadaan Moody didekatnya, supaya dia bisa terus membuat ramuannya. Kaulihat rambutnya..." Dumbledore memandang Moody yang di dalam peti. "Si penipu telah memotongnya sepanjang tahu, lihat, kan, rambutnya tidak rata" Tetapi kurasa, dalam kehebohan malam ini, Moody palsu kita lupa meminumnya sesering yang seharusnya... setiap jam... Kita lihat saja."
Dumbledore menarik kursi di belakang meja dan duduk di atasnya. Matanya terpaku pada si Moody yang pingsan di lantai. Harry ikut memandangnya. Menit demi menit berlalu dalam keheningan...
Kemudian, di depan mata Harry, wajah laki-laki di lantai mulai berubah. Bekas-bekas lukanya mulai menghilang, kulitnya menjadi halus. Hidungnya yang semula gerowong menjadi utuh dan mengecil. Rambut panjangnya yang beruban menyusut ke kulit kepalanya dan berubah menjadi sewarna jerami. Mendadak, dengan bunyi kelotak keras, kaki kayunya terlepas jatuh sementara kaki normal tumbuh sebagai gantinya. Berikutnya, bola mata gaib terlontar dari wajah laki-laki itu digantikan oleh mata normal. Bola mata itu menggelinding di lantai dan terus berputar memandang ke segala arah.
Harry melihat seorang laki-laki terbaring di depannya, berkulit pucat, sedikit berbintik-bintik, dengan rambut pendek pirang. Harry tahu siapa dia. Dia pernah melihatnya dalam pensieve Dumbledore, pernah melihatnya dibawa pergi dari pengadilan oleh para dementor, berusaha meyakinkan Mr. Crouch bahwa dia tak bersalah... tetapi sekaranga sudah ada garis-garis di sekitar matanya dan dia tampak jauh lebih tua...
Terdengar langkah-langkah bergegas di koridor di luar kantor. Snape telah kembali bersama Winky. Professor McGonagall di belakang mereka.
"Crouch!" celetuk Snape, langsung berhenti di ambang pintu. "Barty Crouch!"
"Astaga," kata Profesor McGonagall, juga berhenti dan memandang laki-laki di lantai.
Kotor, berantakan, Winky mengintip dari balik kaki Snape. Mulutnya terbuka lebar dan dia mengeluarkan jeritan menusuk. "Tuan Barty, Tuan Barty, apa yang Tuan lakukan di sini""
Dia melempar dirinya ke dada si pria muda. "Anda membunuhnya! Anda membunuhnya! Anda membunuh anak Tuan!"
"Dia Cuma pingsan Winky," kata Dumbledore. "Tolong minggir dulu. Severus, kau bawa ramuannya""
Snape menyerahkan botol kecil berisi cairan sangat bening kepada Dumbledore: Veritaserum yang pernah dipakainya mengancam Harry di kelas. Dumbledore bangkit, membungkuk di atas pria itu di lantai, dan menariknya duduk bersandar ke dinding di bawah Cermin Musuh, di dalam mana bayangan Dumbledore, Snape dan McGonagall masih memandang mereka semua. Winky tetap berlutut, gemetaran, tangannya menutupi wajahnya. Dumbledore membuka paksa mulut si pria dan menuang tiga tetes Veritaserum ke dalamnya. Kemudian dia mengacungkan tongkat sihirnya ke dada si pria dan berkata, "Enervate."
Putra Barty Crouch membuka mata. Wajahnya kendur, pandangannya tidak terfokus. Dumbleodore berlutut di depannya, sehingga wajah mereka sejajar.
"Bisakah kau mendengarku"" Dumbledore bertanya tenang.
Mata si pria berkejap. "Ya," dia bergumam.
"Aku ingin kau menceritakan kepada kami," kata Dumbledore pelan, "bagaimana kau bisa berada di sini. Baga
imana kau kabur dari Azkaban""
Crouch bergidik, menarik napas dalam-dalam, kemudian mulai bicara dengan suara datar tanpa ekspresi. "Ibuku menyelamatkanku. Ibuku tahu dia sudah hampir mati. Dia membujuk ayahku untuk membebaskanku sebagai permohonan terakhirnya. Ayahku mencintainya. Tak pernah dia mencintaiku seperti dia mencintai ibuku. Dia mengabulkan permintaan itu. Mereka datang mengunjungiku. Mereka memberiku ramuan polijus yang berisi sehelai rambut ibuku. Sedang ibuku meminum ramuan polijus yang mengandung sehelai rambutku. Kami berganti penampilan."
Winky menggelengkan kepala, gemetar. "Jangan bicara apa-apa lagi, Tuan Barty, jangan bilang apa-apa lagi, kau membuat ayahmu dalam kesulitan!"
Tetapi Crouch menarik napas lebih dalam lagi dan meneruskan bicara dalam suara datar yang sama, "Para dementor buta. Mereka merasakan satu orang sehat dan satu orang yang hampir mati memasuki Azkaban. Mereka merasakan satu orang sehat dan satu orang yang hampir mati keluar lagi dari penjara itu. Ayahku menyelundupkanku keluar, menyamar sebagai ibuku, untuk berjaga-jaga kalau-kalau ada napi yang mengawasi dari balik pintu mereka.
"Ibuku meninggal tak lama kemudian di Azkaban. Dia berhati-hati selalu meminum ramuan polijus sampai akhir hayatnya. Semua orang mengira itu aku."
Pelupuk mata pria itu berkejap.
"Dan apa yang dilakukan ayahmu denganmu, setelah dia membawamu pulang"" Tanya Dumbledore pelan.
"Bersandiwara ibuku meninggal. Pemakaman pribadi, tanpa dihadiri siapapun. Makam itu kosong. Peri rumah merawatku sampai aku sehat kembali. Kemudian aku harus disembunyikan. Aku harus dikontrol. Ayahku harus menggunakan beberapa mantra untuk menaklukkanku. Saat kekuatanku pulih, aku hanya berpikir untuk mencari tuanku... kembali melayaninya."
"Bagaimana ayahmu menaklukkanmu"" Tanya Dumbledore.
"Kutukan Imperius," kata Crouch. "Aku dibawah control ayahku. Aku dipaksa memakai Jubah Gaib siang dan malam. Aku selalu bersama peri rumah. Dia penjaga dan perawatku. Dia kasihan kepadaku. Dia membujuk ayahku agar kadang-kadang memberiku kelonggaran. Sebagai imbalan untuk sikapku yang baik."
"Tuan Barty, Tuan Barty," isak Winky dari balik tangannya. "Kau tak boleh memberitahu mereka, kita nanti repot..."
"Apakah ada yang tahu kau masih hidup"" kata Dumbledore pelan. "Apakah ada yang tahu selain ayahmu dan peri rumah kalian""
"Ya," kata Crouch, pelupuknya mengejap lagi. "Pegawai wanita di kantor ayahku. Bertha Jorkins. Dia datang ke rumah membawa surat-surat untuk ditandatangani ayahku. Ayah tidak di rumah. Winky mempersilakannya masuk dan kembali ke dapur, kepadaku. Tetapi bertha Jorkins mendengar Winky bicara kepadaku. Dia datang untuk menyelidiki. Dia mendengar cukup banyak untuk bisa menebak siapa yang bersembunyi di balik jubah gaib. Ayahku pulang. Bertha bertanya padanya. Ayah menggunakan Jampi Memori yang sangat kuat untuk membuatnya melupakan apa yang telah dikatakannya. Terlalu kuat. Ayah mengatakan jampi itu merusak memorinya secara permanent."
"Kenapa dia ikut campur urusan pribadi tuanku"" isak Winky. "Kenapa dia tidak membiarkan saja kami""
"Ceritakan padaku tentang Piala Dunia Quidditch," kata Dumbledore.
"Winky yang membujuk ayahku," kata Crouch dengan suara monoton yang sama. "Dia menghabisakan berbulan-bulan membujuknya. Izinkan dia pergi, katanya. Dia akan memakai jubah gaibnya. Dia bisa menonton. Biarkan dia menghirup udara segar sekali ini. Dia bilang pasti itu yang diinginkan ibuku. Dia berkata kepada ayahku, bahwa ibuku meninggal untuk membebaskanku. Dia tidak membebaskanku untuk hidup terkurung. Akhirnya ayahku setuju."
"Rencananya matang sekali. Ayahku membawaku dan Winky ke Boks Utama lama sebelum pertandingan dimulai. Winky akan bilang dia menyediakan tempat untuk ayahku. Aku akan duduk di sana, tak kelihatan. Kalau semua sudah pergi, kami akan keluar. Winky akan tampak sendirian. Tak seorangpun akan tahu."
"Tetapi Winky tidak tahu aku sudah semakin kuat. Aku sudah mulai melawan Kutukan Imperius ayahku. Ada saat-saat ketika aku nyaris menjadi diriku lagi. Ada saat-saat singkat ketika aku di luar controlnya. Itu terjad
i di sana, di Boks Utama. Rasanya seperti terbangun dari tidur amat nyenyak. Kudapati diriku di depan umum, di tengah pertandingan, dan aku melihat, di depanku,
tongkat sihir mencuat dari kantung seorang anak laki-laki. Aku tidak diizinkan punya tongkat sejak sebelum masuk Azkaban. Kucuri tongkat itu. Winky tidak tahu. Winky takut ketinggian. Dia menutupi wajahnya."
"Tuan Barty, kau anak nakal!" bisik Winky, air mata menetes dari celah-celah jarinya.
"Jadi kau mengambil tongkat itu," kata Dumbledore, "dan apa yang kaulakukan dengannya""
"Kami kembali ke tenda," kata Crouch. "Kemudian kami mendengar mereka. Kami mendengar para pelahap maut. Mereka yang belum pernah masuk Azkaban. Mereka yang belum pernah menderita demi tuanku. Mereka berpaling darinya. Mereka tidak pernah terkurung seperti halnya aku. Mereka bebas untuk mencarinya, tetapi mereka tidak mencarinya. Mereka malah Cuma mempermainkan Muggle. Suara-suara mereka membangunkanku. Sudah bertahun-tahun pikiranku tidak sejernih ini. Aku marah. Aku punya tongkat sihir. Aku ingin menyerang mereka karena ketidaksetiaan mereka terhadap tuanku. Ayahku telah meninggalkan tenda. Dia pergi membebaskan para Muggle. Winky takut melihatku begitu marah. Menggunakan sihirnya sendiri untuk mengikatku kepadanya. Dia menariku dari tenda, menarikku ke dalam hutan, menjauhi para pelahap maut. Kucoba menahannya. Aku ingin kembali ke perkemahan. Aku ingin menunjukkan kepada para pelahap maut itu apa artinya kesetiaan kepada Pangeran Kegelapan, dan menghukum mereka karena tak punya kesetiaan itu. Kugunakan tongkat curian itu untuk mengirimkan Tanda Kegelapan ke angkasa."
"Penyihir-penyihir dari kementerian tiba. Mereka melancarkan mantra bius ke mana-mana. Salah satu mantra itu menembus pepohonan tempat aku dan Winky berdiri. Ikatan yang menyatukan kami putus. Kami berdua pingsan."
"Ketika Winky ditemukan, ayahku tahu aku pasti ada di dekatnya. Dia mencari diantara semak-semak tempat Winky ditemukan dan merasakan aku terbaring di sana. Dia menunggu sampai pegawai kementerian yang lain sudah meninggalkan hutan. Dia kembali menggunakan kutukan imperius kepadaku dan membawaku pulang. Dia memecat Winky. Winky telah mengecewakannya. Dia telah membiarkan aku mencuri tongkat sihir. Dia nyaris membuat aku lari."
Winky meratap putus asa. "Sekarang tinggal ayah dan aku, hanya berdua di rumah. Dan kemudian... kemudian..." kepala Crouch berputar di lehernya, dan seringai sinting menghiasi wajahnya. "Tuanku datang mencariku."
"Dia tiba di rumah kami suatu larut malam dalam gendongan abdinya, Wormtail. Tuanku berhasil tahu aku masih hidup. Dia telah menangkap Bertha Jorkins di Albania. Dia telah menyiksanya. Banyak yang dikatakan Bertha kepadanya. Dia memberitahunya bahwa si auror tua, Moody, akan mengajar di Hogwarts. Dia menyiksa Bertha sampai berhasil mematahkan Jampi Memori yang dikenakan ayahku kepadanya. Bertha menceritakan bahwa aku telah kabur dari Azkaban. Dia bercerita bahwa ayahku mengurungku untuk mencegahku mencari tuanku. Jadi tuanku tahu bahwa aku masih abdinya yang setia - mungkin yang paling setia. Tuanku menyusun rencana, berdasarkan informasi yang diberikan Bertha kepadanya. Dia membutuhkan aku. Dia tiba di rumah kami hampir tengah malam. Ayahku yang membukakan pintu."
Senyum di wajah Crouch semakin lebar, seakan mengenang kembali peristiwa paling indah dalam hidupnya. Mata coklat Winky yang ketakutan tampak dari celah-celah jarinya. Winky tampaknya terlalu ngeri untuk bicara.
"Kejadiannya cepat sekali. Ayahku diserang dengan kutukan imperius oleh tuanku. Sekarang ganti ayahkulah yang terpenjara, terkontrol. Tuanku memaksanya bekerja seperti biasa, beraksi seakan tak ada yang tak beres. Dan aku dibebaskan. Aku terbangun. Aku menjadi diriku sendiri lagi, hidup lagi, setelah bertahun-tahun tidak
hidup." "Dan apa yang Lord Voldemort minta kau lakukan"" Tanya Dumbledore.
"Dia menanyaiku apakah aku siap mengambil resiko apapun untuknya. Aku siap. Itu impianku, ambisiku yang terbesar, untuk melayaninya, untuk membuktikan kesetiaanku kepadanya. Dia bilang dia perlu menempatkan abdi yang s
etia di Hogwarts. Abdi yang akan membimbing Harry Potter melewati Turnamen Triwizard tanpa terdeteksi. Abdi yang akan mengawasi Harry Potter. Memastikan dia mencapai Piala Triwizard. Mengubah piala itu menjadi Portkey, yang akan membawa orang pertama yang menyentuhnya kepada tuanku. Tetapi pertama-tama."
"Kau memerlukan alastor Moody," kata Dumbledore. Mata birunya menyala-nyala, walaupun suaranya tetap tenang.
"Wormtail dan aku yang melakukannya. Kami telah menyediakan ramuan polijus sebelumnya. Kami pergi ke rumahnya. Moody melawan. Terjadi keributan. Kami berhasil menaklukkannya tepat waktu. Memaksanya masuk ke dalam kompartemen peti ajaibnya sendiri. Mengambil sedikit rambutnya dan menambahkannya ke ramuan. Aku meminumnya. Aku menjadi kembaran Moody. Kuambil kaki dan matanya. Aku siap menghadapi Arthur Weasley ketika dia tiba untuk menangani si Muggle yang mendengar keributan. Kubuat tempat-tempat sampah beterbangan di halaman. Kukatakan kepada Arthur Weasley kudengar pengacau itu di halaman, mengobrak-abrik tempat sampah. Kemudian kukemasi pakaian Moody dan detector ilmu hitamnya, kumasukkan dalam peti bersama Moody, dan aku berangkat ke Hogwarts. Kubiarkan dia tetap hidup, di bawah kutukan imperius. Aku ingin bisa menanyainya. Mengetahui masa lalunya, mempelajari kebiasaan-kebiasaannya, supaya aku bisa membodohi semua orang, bahkan termasuk Dumbledore. Aku juga membutuhkan rambutnya untuk membuat ramuan polijus. Bahan-bahan lainnya mudah. Aku mencuri kulit Boomslang dari ruang bawah tanah. Ketika guru ramuan menemukan aku dalam kantornya, kukatakan aku diperintahkan untuk menggeledahnya."
"Dan apa yang terjadi pada Wormtail setelah kau menyerang Moody"" kata Dumbledore.
"Wormtail pulang untuk mengurus tuanku, di rumah ayahku, dan untuk mengawasi ayahku."
"Tetapi ayahku kabur," kata Dumbledore.
"Ya, setelah beberapa waktu dia mulai melawan kutukan imperius, seperti halnya aku. Ada saat ketika dia tahu apa yang terjadi. Tuanku memutuskan tak lagi aman jika ayahku meninggalkan rumah. Dia memaksanya mengirim surat kepada kementerian. Dia menyuruhnya menulis bahwa dia sakit. Tetapi Wormtail melalaikan tugasnya. Pengawasannya tidak cukup ketat. Ayahku lari. Tuanku menduga dia pergi ke Hogwarts. Ayahku akan memberitahu Dumbledore segalanya. Dia akan mengakui bahwa dia telah menyelundupkan aku keluar dari Azkaban."
"Tuanku memberiku kabar tentang kaburnya ayahku. Dia menyuruhku menghentikannya, bagaimanapun caranya. Maka aku menunggu dan menjaga. Aku menggunakan peta yang kuambil dari Harry Potter. Peta yang nyaris mengacaukan segalanya."
"Peta"" kata Dumbledore cepat. "Peta apa ini""
"Peta Hogwarts milik Potter. Potter melihatku di peta itu. Potter melihatku mencuri bahan untuk ramuan polijus dari kantor Snape pada suatu malam. Dia mengira aku ayahku. Nama kami sama. Kuambil peta itu dari Potter malam itu. Kukatakan padanya ayahku membenci penyihir hitam. Potter mengira ayahku sedang mengincar Snape."
"Selama seminggu aku menunggu ayahku tiba di Hogwarts. Akhirnya, suatu malam, peta menunjukkan ayahku memasuki kompleks sekolah. Kupakai jubah 842
gaibku dan aku keluar untuk menemuinya. Dia sedang berjalan di tepi hutan. Kemudian Potter datang, bersama Krum. Aku menunggu. Aku tak bisa melukai Potter. Tuanku membutuhkannya. Potter berlari untuk memanggil Dumbledore. Kupingsankan Krum. Kubunuh ayahku."
"Tidaaak!" lolong Winky. "Tuan Barty, Tuan Barty, apa yang kaulakukan""
"Kau membunuh ayahmu," Dumbledore berkata, dengan suara pelan yang sama. "Apa yang kaulakukan dengan tubuhnya""
"Kubawa ke hutan. Kututupi dengan jubah gaib. Aku membawa peta. Kulihat Potter berlari ke dalam kastil. Dia bertemu Snape. Dumbledore mendatangi mereka. Kulihat Potter membawa Dumbledore keluar kastil. Aku keluar dari hutan, memutar di belakang mereka, menemui mereka. Kukatakan kepada Dumbledore, Snape yang memberitahuku harus ke tempat itu."
"Dumbledore menyuruhku mencari ayahku. Aku kembali ke tempat tubuh ayahku. Mengawasi peta. Ketika semua orang sudah pergi, aku mentransfigurasi tubuh ayahku. Dia menjadi sepotong tulang... kukubur di tanah
yang baru digali di depan pondok Hagrid. Aku memakai jubah gaib waktu melakukannya."
Sunyi senyap sekarang, yang terdengar hanyalah isak Winky. Kemudian Dumbledore berkata, "Dan malam ini..."
"Aku menawarkan diri membawa Piala Triwizard ke maze sebelum makan malam," bisik Barty Crouch. "Mengubahnya menjadi Portkey. Rencana tuanku 843
berhasil. Dia telah kembali berkuasa dan aku diberi kehormatan melampaui impian seorang penyihir."
Senyum sinting menghiasi wajahnya sekali lagi, dan kepalanya terkulai ke bahunya sementara Winky meratap dan terisak di sisinya.
36. Berpisah Jalan Dumbledore bangkit. Dia memandang Barty sejenak dengan jijik. Kemudian dia mengangkat tongkat sihirnya sekali lagi dan tali meluncur keluar dari tongkat itu. Tali itu membelit tubuh Barty Crouch, mengikatnya erat-erat. Dumbledore berpaling kepada Profesor McGonagall.
"Minerva, bisakah aku memintamu untuk berjaga di sini sementara aku membawa Harry ke atas""
"Tentu saja," kata Profesor McGonagall. Dia tampak agak mual, seakan baru saja menyaksikan orang muntah-muntah. Kendatipun demikian, ketika mencabut tongkat sihirnya dan mengacungkannya kepada Barty Crouch, tangannya cukup mantap.
"Severus," Dumbledore menoleh kepada Snape, "tolong minta Madam Promfey datang ke sini. Kita perlu membawa alastor Moody ke rumah sakit. Kemudian pergilah ke lapangan, carilah Cornelius Fudge dan bawalah dia ke kantor ini. Dia tak diragukan lagi ingin menanyai Crouch sendiri. Katakana padanya aku akan berada di rumah sakit setengah jam lagi kalau dia memerlukan aku."
Snape mengangguk tanpa kata dan bergegas keluar ruangan.
"Harry!" Dumbledore berkata lembut.
Harry bangkit dan terhuyung lagi. Rasa sakit di kakinya, yang tidak dirasakannya selama dia mendengarkan penuturan Crouch, sekarang kembali menyerangnya sepenuhnya. Dia juga menyadari bahwa dia gemetar. Dumbledore memegang lengannya dan membimbingnya ke koridor gelap.
"Aku ingin kau ke kantorku dulu, Harry," katanya pelan ketika mereka menyusuri koridor. "Sirius menunggu kita di sana."
Harry mengangguk. Dia seperti mati rasa dan berada dalam dunia khayal, tetapi dia tidak peduli, dia bahkan senang. Dia tak ingin memikirkan apapun yang telah terjadi sejak dia pertama kali menyentuh Piala Triwizard. Dia tak ingin memeriksa memorinya, segar dan tajam seperti foto, yang tak hentinya berkelebat dalam benaknya. Mad-Eye Moody, dalam peti. Wormtail, terpuruk di tanah, menyangga lengannya yang terpotong. Voldemort muncul dari kuali yang berasap.
Cedric... meninggal... Cedric, meminta dipulangkan kepada orang tuanya.
"Profesor," Harry bergumam, "di mana Mr. dan Mrs. Diggory""
"Mereka bersama Profesor Sprout," kata Dumbledore. Suaranya, yang sangat tenang selama menginterogasi Barty Crouch, bergetar sedikit untuk pertama kalinya. "Dia kepala asrama Cedric, dan mengenal Cedric dengan baik."
Mereka telah tiba di gargoyle batu. Dumbledore menyebutkan kata kuncinya. Si gargoyle melompat minggir dan dia dan Harry menaiki tangga spiral yang bergerak menuju ke pintu ek. Dumbledore mendorongnya terbuka. Sirius berdiri di sana. Wajahnya pucat, kurus kering, dan cekung seperti ketika dia baru kabur dari Azkaban. Dengan satu gerakan gesit, dia menyeberangi ruangan.
"Harry, kau tak apa-apa" Aku sudah tahu - aku tahu sesuatu seperti itu - apa yang terjadi""
Tangannya gemetar ketika membantu Harry duduk di kursi di depan meja.
"Apa yang terjadi"" Tanyanya lebih mendesak.
Dumbledore mulai menceritakan kepada Sirius semua yang telah dikatakan Barty Crouch. Harry hanya separo mendengarkan. Dia lelah sekali sampai semua tulang dalam tubuhnya terasa sakit. Tak ada yang lebih diinginkannya selain duduk saja di sana, tanpa diganggu, selama berjam-jam, sampai dia tertidur dan tak perlu berpikir atau merasa lagi.
Terdengar kepakan sayap pelan. Fawkes si phoenix turun dari tempat hinggapnya, terbang menyeberangi ruangan, dan hinggap di lutut Harry.
"Lo, Fawkes," kata Harry pelan. Dia membelai bulu merah dan emas si phoenix yang indah. Fawkes mengedip, dengan damai memandangnya. Nyaman rasanya merasakan kehangatan berat di tubuhnya.
Dumbledore berhenti bicara. Dia duduk di depan Harry, di belakang mejanya. Dia memandang Harry, yang menghindari tatapannya. Dumbledore akan menanyainya. Dia akan membuat Harry mengenang lagi segalanya.
"Aku perlu tahu apa yang terjadi setelah kau menyentuh Portkey di maze, Harry," kata Dumbledore.
"Kita bisa menunda ini sampai besok pagi, kan, Dumbledore"" kata Sirius tegas. Dia telah meletakkan tangan di bahu Harry. "Biarkan dia tidur. Biarkan dia istirahat."
Harry merasa sangat berterima kasih kepada Sirius, tetapi Dumbledore mengabaikan kata-kata Sirius. Dia membungkuk ke dekat Harry. Dengan mata enggan, Harry mengangkat kepala dan memandang mata biru itu.
"JIka kupikir aku bisa membantumu," kata Dumbledore lembut, "dengan membuatmu tidur nyenyak dan mengizinkanmu menunda saat kau harus memikirkan apa yang terjadi malam ini, aku akan melakukannya. Tetapi aku tahu lebih baik. Mengebaskan rasa sakit untuk sementara, akan membuatnya bertambah sakit saat tiba waktunya kau harus merasakannya. Kau telah memperlihatkan keberanian jauh melebihi yang
kuharapkan darimu. Kuminta kau memperlihatkan keberanianmu sekali lagi. Kuminta kau menceritakan kepada kami apa yang terjadi."
Si phoenix mengeluarkan nada lembut bergetar aneh. Nada itu bergetar di udara, dan Harry merasa seakan setetes cairan panas telah mengalir di tenggorokannya, turun ke perutnya, menghangatkannya, menguatkannya.
Dia menarik napas dalam-dalam dan mulai bercerita. Saat dia berbicara, gambaran segalanya yang telah terjadi malam itu serasa muncul di depan matanya. Dia melihat permukaan berkilauan ramuan yang telah menghidupkan kembali Voldemort. Dia melihat para pelahap maut ber-Apparate diantara makam-makam di sekeliling mereka. Dia melihat tubuh Cedric, tergeletak di tanah di sebelah piala.
Sekali dua kali, Sirius mengeluarkan suara seakan mau berbicara, tangannya masih memegang bahu Harry erat-erat, tetapi Dumbledore mengangkat tangan mencegahnya, dan Harry senang, sebab begitu dia mulai, lebih mudah terus bercerita daripada berhenti di tengah jalan. Bahkan melegakan. Dia merasa seakan sesuatu yang beracun sedang dikeluarkan dari tubuhnya. Dia mengerahkan seluruh tekad agar bisa terus berbicara, tetapi dia merasa bahwa begitu dia selesai, dia akan meras lebih baik.
Meskipun demikian, ketika Harry bercerita tentang Wormtail yang menusuk lengannya dengan belati, Sirius mengeluarkan seruan berapi-api dan Dumbledore berdiri begitu mendadak sampai Harry kaget. Dumbledore mengitari meja dan menyuruh Harry mengulurkan
lengannya. Harry menunjukkan kepada mereka robekan di lengan jubahnya dan luka di bawahnya.
"Dia berkata darah saya akan membuatnye lebih kuat dibanding kalau dia menggunakan darah orang lain," Harry memberitahu Dumbledore. "Dia bilang perlindungan yang - yang ditinggalkan ibu saya di tubuh saya - akan dimilikinya juga. Dan dia betul - dia bisa menyentuh saya tanpa kesakitan, dia menyentuh pipi saya."
Sekejap Harry merasa seperti melihat kilat kemenangan dalam mata Dumbledore. Tetapi detik berikutnya, Harry yakin dia hanya membayangkannya, karena ketika Dumbledore telah kembali ke kursinya di balik meja, dia tampak sama tua dan lelahnya seperti yang biasa dilihat Harry.
"Baiklah," katanya, duduk lagi. "Voldemort telah mengatasi hambatan itu. Harry, tolong lanjutkan."
Harry meneruskan. Dia menjelaskan bagaimana Voldemort muncul dari kuali dan menyampaikan kepada mereka semua yang bisa diingatnya dari pidato Voldemort kepada para pelahap maut. Kemudian dia bercerita bagaimana Voldemort melepaskan ikatannya, mengembalikan tongkat sihirnya, dan bersiap untuk duel.
Namun ketika sampai di bagian ketika benang emas cahaya menghubungkan tongkatnya dan tongkat Voldemort, dia merasa kerongkongannya tersumbat. Dia berusaha terus bicara, tetapi kenangan akan apa yang keluar dari tongkat Voldemort melanda benaknya. Dia bisa melihat Cedric muncul, si laki-laki tua, Bertha Jorkins... ibunya... ayahnya...
Dia senang ketika Sirius memecah keheningan.
"Tongkat kalian berhubungan"" katanya, memandang Harry, kemudian beralih ke Dumbledore. "Kenapa""
Harry memandang Dumbledore l
agi, yang wajahnya sekarang tampak tertarik.
"Priori Incantatem," dia bergumam.
Matanya menatap mata Harry, dan seakan ada sorot pengertian tak tampak yang menghubungkan mereka.
"Efek Mantra Balik"" kata Sirius tajam.
"Persis," kata Dumbledore. "Tongkat Harry dan Voldemort memiliki inti yang sama. Masing-masing berisi bulu dari ekor burung yang sama. Burung phoenix ini sesungguhnya," dia menambahkan, dan menunjuk ke burung berbulu merah dan emas, yang hinggap damai di lutut Harry.
"Bulu tongkat saya berasal dari Fawkes"" Harry bertanya, keheranan.
"Ya," kata Dumbledore. "Mr. Ollivander menulis surat, memberitahuku kau telah membeli tongkat yang kedua, begitu kau meninggalkan tokonya empat tahun lalu."
"Jadi apa yang terjadi jika tongkat bertemu pasangannya"" Tanya Sirius.
"Mereka tidak berfungsi normal jika saling lawan," kata Dumbledore. "Tetapi, jika pemilik kedua tongkat itu memaksa tongkat mereka untuk bertempur... efek yang sangat langka akan terjadi. Salah satu dari tongkat itu akan memaksa tongkat lainnya untuk memuntahkan mantra-mantra yang telah dilakukannya - secara terbalik. Yang paling akhir lebih dulu... dan kemudian yang sebelumnya..."
Dia memandang Harry penuh Tanya, dan Harry mengangguk.
"Itu berarti," kata Dumbledore perlahan, matanya memandang wajah Harry, "bahwa semacam sosok Cedric pasti muncul."
Harry mengangguk lagi. "Diggory hidup lagi"" Tanya Sirius tajam.
"Tak ada mantra yang bisa menghidupkan yang telah mati," kata Dumbledore berat. "Yang terjadi pastilah hanya semacam gaung terbalik. Bayangan Cedric yang hidup akan muncul dari tongkat... apakah aku betul, Harry""
"Dia berbicara kepada saya," kata Harry. Dia mendadak gemetar lagi. "Han... hantu Cedric atau entah apanya, berbicara."
"Gaung," kata Dumbledore, "yang memiliki sosok dan karakter Cedric. Aku menebak sosok semacam itu muncul juga... korban-korban tongkat Voldemort yang sebelumnya..."
"Seorang laki-laki tua," kata Harry, lehernya masih sakit. "Bertha Jorkins. Dan..."
"Orang tuamu"" kata Dumbledore pelan.
"Ya," kata Harry.
Pegangan Sirius di bahu Harry sekarang kencang sekali sampai terasa sakit.
"Pembunuhan-pembunuhan terakhir yang dilakukan tongkat itu," kata Dumbledore mengangguk. "Dengan urutan terbalik. Lebih banyak lagi akan muncul, tentu saja, kalau kau mempertahankan hubungan tongkat kalian. Baiklah, Harry, gaung-gaung ini, bayangan-bayangan ini. apa yang mereka lakukan""
Harry menjelaskan bagaimana sosok-sosok yang telah muncul dari tongkat mengitari tepi jarring emas, bagaimana Voldemort tampaknya takut kepada mereka, bagaimana bayangan ayah Harry memberitahunya apa yang harus dilakukannya, bagaimana bayangan Cedric mengajukan permohonan terakhirnya.
Sampai di situ, Harry tak bisa meneruskan. Dia berpaling memandang Sirius dan melihat dia menutupi wajahnya.
Harry mendadak sadar bahwa Fawkes telah meninggalkan lututnya. Burung phoenix itu terbang ke lantai. Dia meletakkan kepalanya yang cantik di kaki Harry yang luka, dan air mata yang besar-besar bergulir dari matanya, jatuh ke luka yang disebabkan oleh labah-labah. Rasa sakitnya lenyap. Kulitnya sembuh. Kakinya sehat lagi.
"Akan kukatakn lagi," kata Dumbledore sementara si phoenix terbang ke atas dan bertengger lagi di tempat hinggapnya di sebelah pintu. "Kau telah memperlihatkan keberanian jauh melampaui yang kuharapkan darimu malam ini, Harry. Kau telah memperlihatkan keberanian yang sama seperti yang diperlihatkan mereka yang mati melawan Voldemort ketika dia di puncak kekuasaannya. Kau telah menyangga beban penyihir dewasa dan ternyata berhasil melakukannya - dan kau sekarang telah memberi kami semua yang berhak kami harapkan. Kau akan ikut bersamaku ke rumah sakit. Aku tak ingin kau kembali ke kamarmu malam ini. Ramuan penidur, dan kedamaian... Sirius, kau ingin tinggal bersamanya""
Sirius mengangguk dan berdiri. Dia berubah wujud menjadi anjing hitam besar lagi dan berjalan bersama Harry dan Dumbledore meninggalkan ruangan, menemani mereka menuruni tangga menuju rumah sakit.
Ketika Dumbledore mendorong pintu terbuka, Harry melihat Mrs. Weasley, Bill, Ron dan Hermione men
gerumuni Madam Pomfrey yang tampak cemas. Mereka rupanya menuntut ingin tahu di mana Harry dan apa yang terjadi padanya. Semuanya langsung berbalik ketika Harry, Dumbledore, dan si anjing hitam masuk, dan Mrs. Weasley menjerit tertahan, "Harry! Oh Harry!"
Dia bergegas mendekatinya, tetapi Dumbledore maju diantara mereka.
"Molly," katanya, mengangkat tangan, "tolong dengarkan aku sebentar. Harry telah mengalami cobaan berat malam ini. Dia baru saja harus menceritakannya padaku. Yang diperlukannya sekarang adalah tidur, dan kedamaian, serta ketenangan. Jika dia menginginkan kalian semua tinggal bersamanya," dia menambahkan, memandang berkeliling kepada Ron, Hermione dan Bill juga, "kalian boleh tinggal. Tetapi aku tak ingin menanyai dia sampai dia siap menjawab, dan jelas bukan malam ini."
Mrs. Weasley mengangguk. Dia sangat pucat. Dia memandang Ron, Hermione dan Bill, seakan mereka bising, dan mendesis, "Kalian dengar" Dia memerlukan ketenangan!"
"Kepala sekolah," kata Madam Pomfrey, memandang si anjing besar yang adalah Sirius, "boleh saya Tanya apa...""
"Anjing ini akan tinggal bersama Harry untuk sementara waktu," kata Dumbledore sederhana. "Kujamin, dia sangat terlatih. Harry - aku akan menunggu sampai kau ke tempat tidur."
Rasa terima kasih Harry kepada Dumbledore tak terkatakan karena dia telah meminta yang lain agar jangan menanyainya. Bukannya dia tak ingin mereka di sana, tetapi jika harus menjelaskan segalanya sekali lagi, memikirkan dia harus mengalaminya sekali lagi, dia tak tahan.
"Aku akan kembali menengokmu segera setelah bertemu Fudge, Harry," kata Dumbledore. "Aku ingin kau tetap tinggal di sini besok pagi sampai aku sudah bicara kepada seluruh sekolah." Dia pergi.
Ketika Madam Pomfrey membawa Harry ke tempat tidur terdekat, terlihat olehnya Moody yang asli terbaring tak bergerak di tempat tidur di ujung kamar. Kaki kayu dan mata gaibnya tergeletak di atas meja di sebelah tempat tidur.
"Apakah dia baik-baik saja"" Tanya Harry.
"Dia akan sembuh," kata Madam Pomfrey, memberikan piyama kepada Harry dan menarik tirai di sekeliling tempat tidurnya. Harry melepas jubahnya, memakai piyamanya, dan naik ke tempat tidur. Ron,
Hermione, Bill, Mrs. Weasley dan si anjing hitam datang ke balik tirai dan duduk di kursi-kursi di kanan kirinya. Ron dan Hermione memandangnya dengan hati-hati, seakan takut kepadanya.
"Aku tak apa-apa," katanya kepada mereka. "Hanya lelah."
Air mata Mrs. Weasley merebak ketika dia merapikan penutup tempat tidur Harry, yang sebetulnya tak perlu dilakukannya.
Madam Pomfrey, yang tadi bergegas ke kantornya, kembali membawa botol kecil berisi ramuan ungu dan piala.
"Kau perlu meminum ini sampai habis, Harry," katanya. "Ini ramuan untuk tidur tanpa mimpi."
Harry mengambil pialanya dan meminum beberapa teguk. Dia langsung merasa mengantuk. Segala di sekitarnya menjadi kabur. Lampu-lampu di bangsal rumah sakit tampaknya mengedip ramah kepadanya, menembus tirai di sekeliling tempat tidurnya. Tubuhnya serasa tenggelam semakin dalam ke kasur bulu. Sebelum menghabiskan ramuannya, sebelum bisa berkata sepatah pun lagi, rasa lelahnya membawanya ke tidur pulas.
Harry terbangun, sangat hangat, sangat mengantuk, sehingga dia tidak membuka mata, ingin tidur lagi. Kamarnya masih berpenerangan remang-remang. Dia yakin hari masih malam dan dia punya perasaan dia belum begitu lama tidur.
Kemudian dia mendengar bisik-bisik di sekelilingnya.
"Mereka akan membuatnya bangun kalau tidak diam!"
"Ngapain sih mereka teriak-teriak" Tak mungkin ada kejadian lain, kan""
Harry membuka mata. Semuanya tampak buram. Ada yang telah mencopot kacamatanya. Dia bisa melihat sosok remang-remang Mrs. Weasley dan Bill di sebelahnya. Mrs. Weasley sedang berdiri.
"Itu suara Fudge," Mrs. Weasley berbisik. "Dan itu suara Minerva McGonagall, kan" Tetapi apa yang mereka pertengkarkan""
Sekarang Harry bisa mendengar mereka juga. Orang-orang yang berteriak-teriak dan berlari menuju rumah sakit.
"Sangat disayangkan, tetapi apa boleh buat, Minerva..." kata Cornelius Fudge keras.
"Anda seharusnya tidak membawanya ke dalam kastil," terial Profe
sor McGonagall. "Kalau Dumbledore sampai tahu."
Harry mendengar pintu rumah sakit menjeblak terbuka. Tanpa ada yang memperhatikan, karena orang-orang di sekeliling tempat tidurnya semua memandang ke pintu ketika Bill menyibakkan tirai, Harry duduk dan memakai kembali kacamatanya.
Fudge memasuki bangsal. Professor McGonagall dan Snape di belakangnya.
"Di mana Dumbledore"" Fudge bertanya galak kepada Mrs. Weasley.
"Dia tidak di sini," kata Mrs. Weasley berang. "Ini bangsal rumah sakit, pak menteri, tidakkah lebih baik kalau anda..."
Tetapi pintu terbuka, dan Dumbledore menghambur masuk.
"Ada apa"" Tanya Dumbledore tajam, memandang Fudge dan Profesor McGonagall bergantian. "Kenapa kalian mengganggu orang-orang ini" Minerva, aku heran padamu - kuminta kau menjaga Barty Crouch..."
"Tak perlu lagi menjaganya, Dumbledore," dia menggeram. "Gara-gara pak menteri ini!"
Harry belum pernah melihat Profesor McGonagall kehilangan kendali seperti ini. Pipinya merah padam, dan kedua tangannya terkepal. Tubuhnya gemetar saking marahnya.
"Ketika kami memberitahu Mr. Fudge bahwa kita telah menangkap pelahap maut yang bertanggung jawab untuk kejadian malam ini," kata Snape, dalam suara rendah, "dia rupanya menganggap keselamatan dirinya dalam bahaya. Dia memaksa memanggil dementor untuk menemaninya ke dalam kastil. Dia membawa demetor itu ke dalam kantor tempat Barty Crouch..."
"Sudah kukatakan kau tak akan setuju, Dumbledore!" Profesor McGonagall menggerutu. "Kukatakan padanya kau tak akan mengizinkan dementor menginjakkan kaki di dalam kastil, tetapi..."
"Profesorku yang baik!" raung Fudge, yang belum pernah tampak semarah ini, "sebagai menteri sihir, aku berhak memutuskan apakah aku mau membawa
pelindung ketika mewawancara criminal yang mungkin berbaha..."
Tetapi suara Profesor McGongall menenggelamkan suara Fudge.
"Begitu si... makhluk itu memasuki ruangan," dia menjerit, menunjuk Fudge, seluruh tubuhnya gemetar, "dia membungkuk di atas Crouch dan... dan ..."
Harry merasa perutnya dingin sementara Profesor McGonagall berusaha mencari kata-kata untuk mendeskripsikan apa yang terjadi. Harry tak perlu menunggunya menyelesaikan kalimatnya. Dia tahu pasti apa yang telah dilakukan si dementor. Dia telah memberikan kecupan fatalnya kepada Barty Crouch. Dia telah menyedot jiwa Crouch dengan mulutnya. Kini Crouch lebih parah daripada mati.
"Apa ruginya!" gertak Fudge. "Dia toh bertanggung jawab untuk beberapa kematian!"
"Tetapi dia tak dapat memberikan kesaksian, Cornelius," kata Dumbledore. Dia memandang tajam Fudge, seakan baru melihatnya dengan jelas untuk pertama kalinya. "Dia tak dapat memberikan kesaksian tentang kenapa dia membunuh orang-orang itu."
"Kenapa dia membunuh mereka" Sudah jelas, kan"" bentak Fudge. "Dia orang gila! Dari apa yang diceritakan Minerva dan Snape kepadaku, rupanya dia menganggap dia melakukan itu atas perintah Kau Tahu Siapa!"
"Lord Voldemort memang memberinya perintah, Cornelius," kata Dumbledore. "Kematian orang-orang itu semata-mata bagian dari rencananya untuk
mengembalikan kekuasaan Lord Voldemort. Rencana itu sukses. Voldemort sudah kembali ke tubuhnya."
Fudge tampak seakan baru saja kena pukulan petinju kelas berat di wajahnya. Bengong dan mengedip-ngedip, dia balas memandang Dumbledore seakan dia tak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Dia tergagap, masih terbelalak menatap Dumbledore.
"Kau Tahu Siapa... kembali" Tak masuk akal. Jangan macam-macam, Dumbledore..."
"Seperti yang pasti telah diceritakan Severus kepadamu," kata Dumbledore, "kami mendengar Barty Crouch mengaku. Di bawah pengaruh Veritaserum, dia menceritakan kepada kami bagaimana dia diselundupkan keluar dari Azkaban dan bagaimana Voldemort - setelah mendengar tentang dirinya dari Bertha Jorkins - datang untuk membebaskannya dari ayahnya dan memanfaatkan dirinya untuk menangkap Harry. Rencananya berhasil. Crouch telah membantu Voldemort kembali."
"Pikirkan lagi, Dumbledore," kata Fudge, dan Harry tercengang melihat senyum samara di wajahnya, "kau... masa kau serius bahwa, Kau Tahu Siapa... kembali" Coba pikirkan... Crouch mungkin
percaya dia bertindak atas perintah Kau Tahu Siapa... tetapi mempercayai kata-kata orang gila seperti itu, Dumbledore..."
"Ketika Harry menyentuh Piala Triwizard malam ini, dia langsung di bawa ke tempat Voldemort," kata Dumbledore mantap. "Dia menyaksikan kelahiran kembali Voldemort. Aku akan menjelaskan segalanya kepadamu kalau kau berkenan ke kantorku."
Dumbledore menoleh mengerling Harry dan melihat bahwa dia sudah bangun, tetapi menggelengkan kepala dan berkata, "Sayang aku tidak mengizinkanmu menanyai Harry malam ini."
Fudge masih tersenyum aneh. Dia juga mengerling Harry, kemudian kembali memandang Dumbledore, dan berkata, "Kau. er. mempercayai kata-kata Harry soal ini, Dumbledore""
Hening sejenak, kemudian keheningan ini dipecahkan oleh geraman Sirius. Bulu-bulunya berdiri dan dia menyeringai galak kepada Fudge.
"Tentu saja aku mempercayai Harry," kata Dumbledore. Matanya menyala-nyala sekarang. "Aku mendengar pengakuan Crouch, dan aku mendengar cerita Harry tentang apa yang terjadi setelah dia menyentuh Piala Triwizard. Kedua cerita itu masuk akal. Kedua cerita itu menjelaskan segalanya yang terjadi sejak Bertha Jorkins menghilang musim panas lalu."
Senyum ganjil masih menghias wajah Fudge. Sekali lagi dia mengerling Harry sebelum menjawab.
"Kau percaya bahwa Lord Voldemort telah kembali berdasarkan kata-kata seorang pembunuh gila dan anak yang. yah."
Fudge melempar pandang pada Harry lagi, dan Harry tiba-tiba paham.
"Anda rupanya membaca artikel-artikel Rita Skeeter, Mr. Fudge," katanya tenang.
Ron, Hermione, Mrs. Weasley dan Bill semua terlonjak. Tak seorang pun dari mereka menyadari bahwa Harry terbangun.
Wajah Fudge merona merah, tetapi kemudian tampak menantang dank eras kepala.
"Lalu kenapa kalau aku baca"" katanya, memandang Dumbledore. "Dengan begitu aku jadi tahu bahwa kau menyembunyikan beberapa fakta tentang anak ini. Parselmouth, eh" Dan bersikap aneh di segala tempat..."
"Kau tentunya mengacu pada rasa sakit yang dirasakan Harry pada bekas lukanya"" kata Dumbledore dingin.
"Kalau begitu, kau mengakui bahwa dia mengalami rasa sakit itu"" sambar Fudge cepat. "Sakit kepala" Mimpi buruk" Mungkin... halusinasi""
"Dengarkan aku, Cornelius," kata Dumbledore, maju selangkah ke arah Fudge, dan sekali lagi, dia tampak memancarkan kekuatan yang dirasakan Harry setelah Dumbledore membuat Crouch pingsan. "Harry sama warasnya seperti kau dan aku. Luka di dahinya itu tidak membuat otaknya kacau. Aku percaya bekas luka itu sakit jika Lord Voldemort berada di dekatnya atau sedang sangat bernafsu membunuh."
Fudge sudah mundur separo langkah dari Dumbledore, tetapi keras kepalanya tak berkurang.
"Maafkan aku, Dumbledore, tetapi aku belum pernah dengar bekas luka kutukan bisa jadi bel alarm..."
"Dengar, saya melihat Voldemort kembali!" Harry berteriak. Dia berusaha turun dari tempat tidur, tetapi Mrs. Weasley mencegahnya. "Saya melihat para pelahap maut! Saya bisa memberikan nama-nama mereka kepada anda! Lucius Malfoy..."
Snape mendadak bergerak, tetapi ketika Harry memandangnya, mata Snape kembali melayang ke arah Fudge.
"Malfoy sudah dinyatakan bersih!" Fudge, jelas-jelas merasa terhina. "Keluarga tua yang sangat terhormat -banyak memberikan sumbangan untuk maksud-maksud baik..."
"Macnair!" Harry melanjutkan.
"Juga dinyatakan bersih! Sekarang bekerja untuk kementerian!"
"Avery... Nott... Crabbe... Goyle..."
"Kau Cuma mengulang nama-nama yang dibebaskan dari tuduhan sebagai pelahap maut tiga belas tahun lalu!" kata Fudge berang. "Kau bisa menemukan nama-nama itu di arsip lama mana saja tentang pengadilan mereka! Astaga, Dumbledore... anak ini juga pernah cerita sinting pada akhir tahun ajaran lalu... bualannya makin menjadi-jadi, dank au masih mempercayainya... anak itu bisa bicara kepada ular, Dumbledore, dan kau masih beranggapan dia bisa dipercaya""
"Dasar bodoh!" sembur Profesor McGonagall. "Cedric Diggory! Mr. Crouch! Kematian mereka bukan pekerjaan sembarang orang gila!"
"Aku tidak melihat bukti yang sebaliknya!" teriak Fudge, sekarang mengimbangi kemarahan Profesor McGonagall, wajahnya berwarna ungu. "Tampak
nya kalian semua sudah bertekad akan mulai menimbulkan rasa panic yang akan merusak semua kestabilan yang telah kita bangun selama tiga belas tahun terakhir ini!"
Harry tak bisa mempercayai apa yang didengarnya. Selama ini dia menganggap Fudge orang yang baik, sedikit keras, sedikit sombong, tetapi pada dasarnya baik hati. Tetapi kini penyihir pendek murka yang berdiri di hadapannya, sama sekali menolak menerima gangguan dalam dunianya yang nyaman dan teratur - menolak mempercayai bahwa Voldemort telah bangkit.
"Voldemort sudah kembali," Dumbledore mengulangi. "Jika kau menerima fakta ini, Fudge, dan mengambil tindakan yang diperlukan, kita mungkin masih bisa menyelamatkan situasi. Langkah pertama dan paling utama adalah membebaskan Azkaban dari control para dementor."
"Gila!" teriak Fudge lagi. "Menyingkirkan para dementor" Aku akan ditendang dari kantor karena menyarankan itu! Separo dari kita hanya merasa aman di tempat tidur di malam hari karena kita tahu para dementor berjaga di Azkaban."
"Dan separo lainnya tidur kurang nyenyak di tempat tidur kami, Cornelius, karena tahu bahwa kau telah menempatkan para pendukung Voldemort yang paling berbahaya dalam tangan makhluk-makhluk yang akan langsung bergabung dengannya begitu dia memintanya!" kata Dumbledore. "Mereka tidak akan tetap setia kepadamu, Fudge! Voldemort bisa menawari mereka kesempatan yang lebih luas untuk mendapatkan kekuasaan dan kenikmatan, lebih daripada yang bisa kau tawarkan! Dengan para dementor di belakangnya, dan 863
para pendukungnya yang lama kembali kepadanya, kau akan sulit mencegahnya mendapatkan kembali kekuasaan seperti yang dimilikinya tiga belas tahun lalu!"
Fudge membuka dan menutup mulutnya seakan tak ada kata-kata yang bisa mengekspresikan kemurkaannya.
"Langkah kedua yang harus kau ambil - dan segera," Dumbledore menekankan, "adalah mengirim utusan kepada para raksasa!"
"Utusan kepada raksasa"" Fudge memekik, menemukan kembali lidahnya. "Kegilaan macam apa ini""
"Ulurkan tangan persahabatan, sekarang, sebelum terlambat," kata Dumbledore. "Kalau tidak, Voldemort akan membujuk mereka, seperti sebelumnya, untuk menunjukkan bahwa hanya dia sendiri diantara para penyihir yang akan memberi mereka hak dan kemerdekaan!"
"Kau... tak mungkin kau serius!" pekik Fudge, menggelengkan kepala dan mundur lebih jauh dari Dumbledore. "Kalau komunitas sihir mendengar bahwa aku mendekati para raksasa - orang membenci mereka, Dumbledore - habislah karierku."
"Kau dibutakan," kata Dumbledore, suaranya meninggi sekarang, aura kekuasaan lebih jelas mengitarinya, matanya sekali lagi menyala-nyala, "oleh kecintaan terhadap kedudukannya, Cornelius! Selama ini kau menilai terlalu tinggi apa yang disebut kemurnian darah! Kau gagal mengenali bahwa yang penting bukanlah sebagai apa orang dilahirkan, melainkan menjadi apa dia! Dementormu baru saja mengahncurkan satu-satunya
"Jika tekadmu untuk menutup mata akan membawamu sejauh ini, Cornelius," kata Dumbledore, "sudah tiba saatnya kita berpisah jalan. Silakan bertindak sesuai dengan yang kau anggap benar. Dan aku. aku akan bertindak sesuai dengan kuanggap benar."
Suara Dumbledore sama sekali tak bernada mengancam, hanya sekadar penyataan, tetapi Fudge meremang, seakan Dumbledore mendatanginya dengan tongkat sihir terangkat.
anggota yang tersisa dari keluarga berdarah murni yang sudah tak terhitung usianya. Dan lihatlah apa yang dipilih orang itu sebagai jalan hidupnya! Kuberitahu kau sekarang - ambillah langkah-langkah yang kusarankan, dan kau akan diingat, baik di dalam maupun di luar kantor, sebagai salah satu menteri sihir yang paling pemberani dan paling hebat yang pernah kami kenal. Kalau kau tak mau bertindak - sejarah akan mengenangmu sebagai orang yang menepi dan memberi Voldemort kesempatan kedua untuk menghancurkan dunia yang selama ini telah kita coba bangun kembali."
"Sinting," bisik Fudge, masih terus melangkah mundur. "Gila..."
Dan kemudian hening. Madam Pomfrey berdiri membeku di kaki tempat tidur Harry, tangannya menekap mulut. Mrs. Weasley masih berdiri di sebelah Harry, dengan tangan di bahu Harry,
untuk mencegahnya bangun. Bill, Ron, dan Hermione terbelalak memandang Fudge.
Harry Potter Dan Piala Api Harry Potter And The Goblet Of Fire Karya J.k. Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dengar, Dumbledore," katanya, menggoyangkan jari dengan mengancam. "Aku selama ini memberi kebebasan kepadamu. Aku sangat menghormatimu. Mungkin aku tidak sepakat dengan beberapa keputusanmu, tetapi aku diam saja. Tak banyak yang akan membiarkanmu mempekerjakan manusia serigala, atau mempertahankan Hagrid, atau mengajarkan pelajaran tertentu kepada murid-muridmu tanpa acuan kepada kementerian. Tetapi kalau kau hendak menentangku"
"Satu-satunya yang akan kutentang," kata Dumbledore, "adalah Lord Voldemort. Jika kau melawannya, Cornelius, kita tetap berada di pihak yang sama."
Rupanya Fudge tak bisa menemukan jawaban untuk ini. Dia bergoyang ke depan dan ke belakang di atas kaki kecilnya selama beberapa saat dan memutar-mutar topinya di tangannya. Akhirnya dia berkata, dengan nada memohon dalam suaranya, "Dia tak mungkin kembali, Dumbledore, tak mungkin..."
Snape maju, melewati Dumbledore, seraya menarik lengan kiri jubahnya ke atas. Dia menjulurkan bagian dalam lengannya dan memperlihatkannya kepada Fudge, yang langsung melompat mundur.
"Ini," kata Snape kasar. "Ini. Tanda Kegelapan. Sudah tidak sejelas satu jam yang lalu, ketika tanda ini terbakar kehitaman, tetapi kau masih bisa melihatnya. Semua pelahap maut memiliki tanda ini yang dibakarkan ke lengannya oleh Pangeran Kegelapan. Ini cara untuk saling mengenali, dan caranya untuk memanggil kami kepadanya. Jika dia menyentuh tanda pelahap maut
siapa saja, kami diharuskan ber-Disapparate, dan ber-Apparate saat itu juga di sebelahnya. Tanda ini sudah semakin jelas sepanjang tahun ini. Yang di lengan Karkaroff juga. Kenapa menurutmu Karkaroff kabur malam ini" Kami berdua merasa tanda ini terbakar. Kami berdua tahu dia sudah kembali. Karkaroff takut akan pembalasan Pangeran Kegelapan. Dia mengkianati terlalu banyak rekan sesame Pelahap Maut-nya, dia tak yakin bisa diterima kembali mereka."
Fudge mundur, menjauhi Snape. Dia menggeleng. Tampaknya dia tidak menggubris kata-kata Snape. Dia menatap jijik pada tanda buruk di lengan Snape, kemudian mendongak memandang Dumbledore dan berbisik, "Aku tak tahu apa yang sedang kau mainkan bersama stafmu, Dumbledore, tetapi aku sudah cukup mendengarnya. Tak ada lagi yang mau kutambahkan. Akan kuhubungi kau besok, Dumbledore, untuk merundingkan penyelenggarakan sekolah ini. Aku harus kembali ke kementerian."
Ketika sudah hampir tiba di pintu, dia berhenti. Dia berbalik, masuk ke kamar lagi, dan berhenti di sisi tempat tidur Harry.
"Hadiahmu," katanya singkat, mengeluarkan sekantung besar emas dari sakunya dan menjatuhkannya ke meja di samping tempat tidur Harry. "Seribu Galleon. Seharusnya ada upacara penyerahan, tetapi dalam situasi begini..."
Dia menjejalkan topinya ke kepala dan berjalan keluar kamar, membanting pintu di belakangnya. Begitu dia sudah pergi, Dumbledore berpaling kepada rombongan di sekeliling tempat tidur Harry.
"Banyak yang harus dikerjakan," katanya. "Molly... benarkah dugaanku bahwa aku bisa mengandalkan kau dan Arthur""
"Tentu saja," kata Mrs. Weasley. Wajahnya pucat pasi sampai ke bibirnya, tetapi dia tampak mantap. "Kami tahu orang macam apa Fudge ini. Kecintaan Arthur terhadap Muggle-lah yang membuatnya bertahan di kementerian selama bertahun-tahun ini. Fudge menganggapnya kurang punya kebanggaan sihir."
"Kalau begitu aku perlu mengirim pesan kepada Arthur," kata Dumbledore. "Semua yang bisa diandalkan untuk mempercayai kenyataan ini harus segera diberitahu, dan Arthur berada di tempat strategis untuk mengontak orang-orang kementerian yang tidak berpandangan sedangkal Cornelius."
"Saya akan menemui Dad," kata Bill seraya berdiri. "Saya berangkat sekarang."
"Bagus sekali," kata Dumbledore. "Beritahu dia apa yang telah terjadi. Beritahu dia aku akan segera menghubunginya. Meskipun demikian, dia perlu bertindak hati-hati. Kalau sampai Fudge beranggapan aku ikut campur di kementerian..."
"Serahkan kepada saya," kata Bill.
Bill menepuk bahu Harry, mengecup pipi ibunya, memakai mantelnya, dan bergegas meninggalkan kamar.
"Minerva," kat a Dumbledore, berpaling kepada Profesor McGonagall, "Aku mau bertemu Hagrid di kantorku sesegera mungki. Juga - kalau dia bersedia datang - Madame Maxime."
Professor McGonagall mengangguk dan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Poopy," Dumbledore berkata kepada Madam Pomfrey, "tolong pergi ke kantor Profesor Moody. Di sana kurasa kau akan menemukan peri rumah bernama Winky yang sedang terpukul sekali. Lakukan apa yang kau bisa untuknya, dan bawa dia kembali ke dapur. Kurasa Dobby akan merawat dia."
"Ba... baiklah," kata Madam Pomfrey, tampak terkejut, dan dia juga pergi.
Dumbledore memastikan pintu telah tertutup dan langkah-langkah Madam Pomfrey sudah tak terdengar, sebelum dia bicara lagi.
"Dan sekarang," katanya, "sudah tiba saatnya dua orang diantara kita saling mengenal apa adanya. Sirius... kalau kau berkenan kembali ke wujudmu semula."
Si anjing hitam besar mendongak memandang Dumbledore, kemudian, dalam sekejap, berubah menjadi manusia.
Mrs. Weasley menjerit dan melompat mundur dari tempat tidur.
"Sirius Black!" pekiknya, seraya menunjuk Sirius.
"Mum, diam!" teriak Ron. "Tidak apa-apa!"
Snape tidak berteriak ataupun melompat mundur, tetapi ekspresi wajahnya adalah campuran antara murka dan ngeri.
"Dia!" katanya geram, menatap Sirius, yang wajahnya memperlihatkan ketidaksenangan yang sama. "Sedang apa dia di sini""
"Dia ada di sini atas undanganku," kata Dumbledore, memandang mereka bergantian, "sama seperti kau, Severus. Aku mempercayai kalian berdua. Sudah waktunya kalian berdua menyingkirkan perbedaan-perbedaan lama kalian dan saling mempercayai."
Harry menganggap yang diminta Dumbledore nyaris keajaiban. Sirius dan Snape saling pandang dengan sangat jijik.
"Aku bersedia menerima, untuk sementara ini," kata Dumbledore, ada nada sedikit tak sabar dalam suaranya, "kebencian yang tidak terang-terangan diperlihatkan. Kalian berdua akan berjabat tangan. Kalian berada di pihak yang sama sekarang. Waktunya singkat dan kalau kita - yang tahu apa yang sebenarnya terjadi - tidak bersatu, tak ada harapan lagi untuk kita semua."
Sangat perlahan - tetapi masih saling mendelik seakan masing-masing mengharapkan yang terburuk untuk yang lain - Sirius dan Snape bergerak saling mendekat dan berjabat tangan. Lalu cepat-cepat melepasnya.
"Cukup untuk permulaan," kata Dumbledore, melangkah di antara mereka lagi. "Sekarang aku punya tugas untuk masing-masing kalian. Sikap Fudge, meskipun bukan tak terduga, mengubah segalanya. Sirius, aku perlu menyuruhmu segera berangkat. Kau harus memperingatkan Remus Lupin, Arabella Figg, Mundungus Flecther - kelompok yang dulu.
Bersembunyilah di tempat Lupin untuk sementara. Aku akan mengontakmu di sana."
"Tapi...," kata Harry.
Dia ingin Sirius tinggal. Dia tidak ingin mengucapka selamat tinggal lagi begitu cepat.
"Kau akan segera bertemu aku lagi, Harry," kata Sirius, menoleh kepadanya. "Aku berjanji. Tetapi aku harus melakukan yang aku bisa, kau mengerti, kan""
"Yeah," kata Harry. "Yeah... tentu aku mengerti."
Sirius menggenggam tangannya sekejap, mengangguk kepada Dumbledore, berubah lagi menjadi anjing hitam, dan berlari ke pintu, yang pegangannya diputarnya dengan kaki depannya. Kemudian dia pergi.
"Severus," kata Dumbledore, berpaling kepada Snape, "kau tahu apa yang harus kuminta kau lakukan. Kalau kau bersedia... kalau kau siap..."
"Aku siap," kata Snape.
Snape tampak sedikit lebih pucat daripada biasanya, dan matanya yang hitam dingin berkilat ganjil.
"Kalau begitu, semoga berhasil," kata Dumbledore, dan dia mengawasi, dengan keprihatinan di wajahnya, selagi Snape menyusul Sirius tanpa bicara.
Beberapa menit kemudian, baru Dumbledore bicara lagi.
"Aku harus turun," katanya akhirnya. "Aku harus menemui orang tua Cedric. Harry... habiskan sisa ramuanmu. Aku akan menemui kalian semua nanti."
Harry terenyak ke bantal lagi setelah Dumbledore lenyap. Hermione, Ron dan Mrs. Weasley semua memandangnya. Sampai lama tak ada yang bicara.
"Kau harus menghabiskan sisa ramuanmu, Harry," ujar Mrs. Weasley akhirnya. Tangannya mendorong kantong uang emas di meja ketika dia mencari botol dan pi
ala ramuan. "Tidurlah yang nyenyak. Cobalah memikirkan sesuatu yang lain sebentar... pikirkan apa yang akan kau beli dengan uang kemenanganmu!"
"Aku tidak mau uang itu," kata Harry dengan suara tanpa ekspresi. "Ambil saja. Siapa saja boleh ambil. Aku seharusnya tidak memenangkannya. Mestinya itu milik Cedric."
Dia sudah berkali-kali mencegah kejadian itu kembali dalam ingatannya, sejak dia keluar dari maze, tetapi hal itu kini mengancam menguasainya. Harry bisa merasakan perasaan terbakar dan menusuk-nusuk di bagian dalam ujung-ujung matanya. Dia mengejap dan memandang langit-langit.
"Bukan salahmu, Harry," bisik Mrs. Weasley.
"Saya yang memintanya mengambil piala bersama saya," kata Harry.
Sekarang rasa terbakar itu ada di tenggorokannya juga. Dia sangat berharap Ron jangan memandangnya terus.
Mrs. Weasley meletakkan ramuan di atas meja, membungkuk, dan merengkuk Harry ke dalam pelukannya. Harry tak ingat pernah dipeluk seperti ini, seakan oleh ibunya sendiri. Beban segala yang telah
dilihatnya malam ini rasanya jatuh menimpanya sepenuhnya selagi Mrs. Weasley memeluknya. Wajah ibunya, suara ayahnya, Cedric, tergeletak mati di tanah: semuanya mulai berpusar dalam kepalanya sampai dia tak tahan lagi, sampai dia mengernyitkan wajahnya menentang lolongan penderitaan yang berkutat hendak keluar dari dahinya.
Terdengar hantaman keras, dan Mrs. Weasley dan Harry memisahkan diri. Hermione sedang berdiri di dekat jendela. Tangannya menggenggam erat sesuatu.
"Sori," bisiknya.
"Ramuanmu, Harry," kata Mrs. Weasley cepat-cepat, menyeka mata dengan punggung tangannya.
Harry meminumnya dalam satu tegukan. Efeknya langsung terasa. Gelombang kantuk yang akan membawanya dalam tidur nyenyak tanpa mimpi menyapunya. Dia terjatuh ke bantalnya dan tak memikirkan apa-apa lagi.
37. Awal Mula Ketika mengenangnya lagi, bahkan setelah lewat sebulan, ternyata Harry Cuma ingat sedikit-sedikit apa yang terjadi di hari-hari berikutnya. seakan dia telah mengalami terlalu banyak sehingga tak bisa menerima lebih banyak lagi. Kenangan yang diingatnya sangat menyakitkan. Yang paling buruk, barangkali, adalah pertemuan dengan orang tua Cedric yang berlangsung keesokan paginya.
Mereka tidak mempersalahkannya atas apa yang terjadi. Sebaliknya malah, mereka berdua berterima kasih kepadanya karena telah mengembalikan jenazah Cedric kepada mereka. Mr. Diggory terisak hampir sepanjang pertemuan. Kesedihan Mrs. Diggory rupanya telah melampau batas air mata.
"Dia hanya menderita sedikit sekali, kalau begitu," kata Mrs. Diggory setelah Harry menceritakan bagaimana Cedric meninggal. "Dan lagi pula, Amos... dia meninggal setelah memenangkan turnamen. Pastilah dia sangat bahagia."
Saat mereka bangkit, Mrs. Diggory menunduk memandang Harry dan berkata, "Jagalah dirimu baik-baik sekarang."
Harry menyambar kantong emas di meja di sebelah tempat tidurnya.
"Ambillah ini," dia bergumam kepada ibu Cedric. "Seharusnya ini menjadi milik Cedric, dia sampai lebih dulu. Ambillah..."
Tetapi Mrs. Diggory menjauh darinya.
"Oh tidak, itu milikmu, Nak. Aku tak bisa... kau saja yang menyimpannya."
Harry kembali ke menara Gryffindor keesokan malamnya. Dari apa yang diceritakan Hermione dan Ron, Dumbledore telah berbicara kepada seluruh sekolah pagi itu sewaktu sarapan. Dia hanya meminta agar mereka tidak mengganggu Harry, agar jangan ada yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau mendesaknya menceritakan apa yang terjadi di maze. Sebagian besar anak-anak, Harry memperhatikan, menyingkir darinya di koridor, menghindari tatapannya. Beberapa berbisik-bisik di balik tangan ketika dia lewat. Harry menduga banyak diantara mereka telah mempercayai artikel Rita Skeeter tentang betapa terganggunya dia dan mungkin betapa sangat berbahayanya dia. Mungkin mereka membuat teori sendiri tentang bagaimana Cedric meninggal. Ternyata Harry tidak begitu peduli. Dia paling senang jika sedang bersama Ron dan Hermione dan mereka bicara tentang hal-hal lain, atau membiarkannya duduk diam sendiri sementara mereka berdua main catur. Dia merasa seakan mereka bertiga telah mencapai tingkat pemahaman yang tak p
erlu mereka utarakan dalam kata-kata, bahwa mereka masing-masing menunggu adanya petunjuk, adanya kabar, tentang apa yang terjadi di luar Hogwarts - dan bahwa tidak ada gunanya berspekulasi tentang apa yang akan terjadi sebelum ada kepastian. Sekali-kalinya mereka menyinggung topic ini adalah ketika Ron memberitahu Harry tentang pertemuan Mrs. Weasley dengan Dumbledore sebelum ibunya pulang.
"Mum bertanya apakah kau boleh langsung ke rumah kami musim panas ini," katanya. "Tetapi Dumbledore ingin kau pulang ke rumah keluarga Dusley dulu, sebentar, paling tidak."
"Kenapa"" Tanya Harry.
"Katanya Dumbledore punya alasan," kata Ron, menggelengkan kepala tak paham. "Kurasa kita harus mempercayainya, kan""
Satu-satunya orang lain, selain Ron dan Hermione dengan siapa Harry merasa bisa berbicara, adalah Hagrid. Karena sudah tak ada lagi guru Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam, mereka bebas dalam pelajaran tersebut. Mereka menggunakan jam bebas kamis sore untuk mengunjungi Hagrid di pondoknya. Hari itu matahari bersinar cerah. Fang melompat ke pintu yang terbuka ketika mereka datang, menggonggong dan menggoyang ekornya dengan seru.
"Siapa itu"" seru Hagrid, datang ke pintu. "Harry!"
Dia keluar menemui mereka, menarik Harry dalam pelukan satu tangan, mengacak rambutnya, dan berkata, "Senang ketemu kau, Nak. Senang ketemu kau."
Mereka melihat dua cangkir sebesar ember di depan perapian ketika mereka memasuki pondok Hagrid.
"Tadi minum the dengan Olympe," kata Hagrid. "Dia baru saja pergi."
"Siapa"" Tanya Ron penasaran.
"Madame Maxiem, tentu saja," kata Hagrid.
"Kalian berdua baikan, ya"" kata Ron.
"Tahu apa maksudmu," kata Hagrid ringan, mengambil lebih banyak cangkir dari lemari. Setelah membuat teh dan menawari mereka sepiring kue, dia bersandar di kursinya dan mengamati Harry dengan teliti dengan mata kumbang hitamnya.
"Kau baik-baik saja"" tanyanya parau.
"Yeah," kata Harry.
"Tidak, kau tidak baik-baik saja," kata Hagrid. "Tentu saja tidak. Tapi nantiny kau akan baik-baik saja."
Harry tidak berkata apa-apa.
"Sudah tahu dia kembali," kata Hagrid, dan Harry, Ron, dan Hermione memandangnya kaget. "Sudah tahu selama bertahun-tahun, Harry. Tahu dia di luar sana, tunggu waktu. Pasti terjadi. Nah, sekarang sudah terjadi, dan kita harus terima. Kita akan lawan dia. Mungkin bisa stop dia sebelum dia kuat. Itu rencana Dumbledore, paling tidak. Orang besar, Dumbledore. Asal kita masih punya dia, aku tak terlalu cemas."
Hagrid mengangkat alisnya yang lebat melihat ekspresi tak percaya di wajah mereka.
"Tak ada gunanya Cuma duduk cemas memikirkan hal itu," katanya. "Apa yang akan terjadi pasti terjadi, dan kita akan songsong kalau datang. Dumbledore cerita padaku apa yang kau lakukan, Harry."
Dada Hagrid membungsung bangga saat dia memandang Harry.
"Yang kau lakukan itu sama seperti yang dilakukan ayahmu, dan tak bisa beri kau pujian lebih tinggi dari
itu." 878 Harry balas tersenyum. Itu pertama kalinya dia tersenyum setelah berhari-hari ini. "Kau disuruh apa oleh Dumbledore, Hagrid"" dia bertanya. "Dia menyuruh Profesor McGonagall untuk memintamu dan Madame Maxime menemuinya... malam itu."
"Punya tugas kecil untukku musim panas nanti," kata Hagrid. "Rahasia, tapi. Aku tak boleh bicara tentang ini, bahkan kepada kalian sekalipun. Olympe - kalian harus panggil dia Madame Maxime - mungkin akan pergi bersamaku. Kurasa dia mau. Kurasa aku sudah berhasil bujuk dia."
"Apa ada hubungannya dengan Voldemort""
Hagrid berjengit mendengar nama itu.
"Mungkin," katanya mengelak. "Nah... siapa yang mau ikut aku kunjungi Skrewt terakhir" Aku Cuma bergurau... bergurau!" dia buru-buru menambahkan, melihat tampang mereka.
Harry mengepak kopernya denga berat hati pada malam sebelum kepulangannya ke Privet Drive. Dia ngeri membayangkan pesta perpisahan, yang biasanya merupakan ajang penghargaan, ketika pemenang juara antar asrama diumumkan. Sejak meninggalkan rumah sakit, dia menghindar berada di aula besar kalau aula itu penuh, dia lebih suka makan pada saat aula itu sudah hampir kosong untuk menghindari tatapan teman-temannya.
Ketika dia, Ron dan Hermione memas
uki aula, mereka langsung melihat dekorasinya tidak seperti biasa. Aula besar biasanya didekorasi dengan warna asrama pemenang pada acara pesta perpisahan. Tetapi malam ini, dinding di belakang meja guru ditutp tirai hitam. Harry langsung tahu bahwa tirai itu ada di sana sebagai penghormatan untuk Cedric.
Mad-Eye Moody yang asli ada di meja guru sekarang, kaki kayu dan mata gaibnya kembali berada di tempatnya. Dia luar biasa gugup, terlonjak setiap kali ada yang mengajaknya bicara. Harry tidak menyalahkannya. Ketakutan Moody akan serangan pastilah semakin besar denga penyekapannya selama sepuluh bulan dalam petinya sendiri. Kursi Profesor Karkaroff kosong. Harry bertanya-tanya dalam hati, saat dia duduk bersama anak-anak Gryffindor lainnya, di mana Karkaroff sekarang, dan apakah Voldemort sudah berhasil menangkapnya.
Madame Maxima masih ada. Dia duduk di sebelah Hagrid. Mereka berdua mengobrol pelan. Agak jauh dari mereka duduk Snape, di sebelah Profesor McGongall. Matanya sejenak memandang Harry ketika Harry memandangnya. Ekspresinya susah ditebak. Dia tampak sama masam dan tidak menyenangkannya seperti biasanya. Harry terus mengawasinya, lama setelah Snape berpaling.
Apa yang telah dilakukan Snape, atas perintah Dumbledore, pada malam Voldemort kembali" Dan kenapa... kenapa... Dumbledore begitu yakin bahwa Snape benar-benar berada di pihak mereka" Dulu dia mata-mata mereka. Dumbledore sendiri yang mengatakan dalam pensieve. Snape telah berbalik menjadi mata-mata yang menentang Voldemort, "dengan resiko pribadi yang amat besar." Itukah lagi pekerjaannya sekarang" Apakah dia sudah mengontak
para pelahap maut, mungkin" Berpura-pura bahwa dia tak pernah betul-betul menyeberang ke pihak Dumbledore, bahwa dia, sama seperti Voldemort sendiri, sekadar menunggu waktu"
Renungan Harry diakhiri oleh Profesor Dumbledore, yang berdiri di meja guru. Aula besar, yang memang lebih sepi disbanding suasana pesta Perpisahan biasanya, menjadi sunyi senyap.
"Akhir," kata Dumbledore, mengedarkan pandang kepada mereka semua, "tahun ajaran yang lain."
Dai berhenti sejenak, dan pandangannya jatuh ke meja Hufflepuff. Meja mereka adalah meja yang paling muram sebelum Dumbledore berdiri, dan wajah-wajah mereka masih yang paling sedih dan paling pucat di aula itu.
"Banyak sekali yang ingin kusampaikan kepada kalian semua malam ini," kata Dumbledore, "tetapi pertama-tama aku harus menyatakan kehilangan orang yang sangat baik, yang seharusnya duduk di sini," dia memberi isyarat ke meja Hufflepuff, "menikmati pesta ini bersama kita. Kuminta kalian semua berdiri, silakan, dan bersulang untuk Cedric Diggory."
Mereka mematuhinya, semuanya. Kursi-kursi berderit ketika mereka berdiri, dan mengangkat gelas, dan berseru bersama , dalam suara keras, rendah, menggemuruh, "Cedric Diggory."
Sekilas Harry melihat Cho diantara teman-temannya. Air matanya bercucuran. Harry menunduk memandang meja ketika mereka semua sudah duduk lagi.
"Cedric adalah anak yang menunjukkan banyak kualitas yang merupakan karakteristik Hufflepuff," Dumbledore melanjutkan. "Dia teman yang baik, dan setia, pekerja keras, dia menghargai permainan yang jujur. Kematiannya telah mempengaruhi kalian semua, apakah kalian kenal baik dengannya atau tidak. Karena itu, kurasa kalian berhak untuk mengetahui bagaimana persisnya kematiannya terjadi."
Harry mengangkat kepala dan menatap Dumbledore.
"Cedric Diggory dibunuh oleh Lord Voldemort."
Bisikan-bisikan panic menyapu aula besar. Anak-anak memandang Dumbledore tak percaya, dengan ngeri. Dumbledore tampak sangat tenang sementara menunggu mereka diam.
"Kementerian sihir," Dumbledore melanjutkan, "tidak setuju aku menyampaikan hal ini kepada kalian. Mungkin juga beberapa orang tua kalian terkejut sekali aku memberitahukan hal ini - entah karena mereka tidak percaya Lord Voldemort telah kembali atau karena mereka beranggapan aku seharusnya merahasiakan ini, mengingat kalian masih terlalu muda. Meskipun demikian aku percaya, bahwa kebenaran lebih baik daripada kebohongan, dan bahwa segala usaha untuk berpura-pura bahwa Cedric meninggal karena kecelak
aan, atau semacam kekeliruan yang dilakukan olehnya sendiri, merupakan penghinaan bagi kenangan akan dirinya."
Terpana dan ketakutan, semua wajah di Aula Besar menghadap Dumbledore sekarang... atau hampir semua wajah. Di meja Slytherin, Harry melihat Draco menggumankan sesuatu kepada Crabbed an Goyle. Harry merasakan gelombang kemarahan yang membara dan memualkan melanda perutnya. Dia memaksa diri memandang Dumbledore lagi.
"Ada satu orang lagi yang harus disebut dalam
kaitannya dengan kematian Cedric," Dumbledore
melanjutkan. "Yang kubicarakan ini tentu saja adalah Harry Potter."
Seakan ada riak menyapu aula ketika kepala-kepala menoleh pada harry, sebelum kembali memandang Dumbledore.
"Harry Potter berhasil lolos dari Lord Voldemort," kata Dumbledore. "dia mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk mengembalikan jenazah Cedric ke Hogwarts. Dia menunjukkan, dalam segala hal, keberanian yang hanya diperlihatkan sedikit penyihir dalam menghadapi Lord Voldemort, dan untuk ini, aku menghormatinya."
Dumbledore menoleh takzim kepada Harry dan mengangkat pialanya sekali lagi. Hampir semua hadirin mengikutinya. Mereka menggumamkan namanya, seperti waktu menggumamkan nama Cedric, dan minum untuknya. Tapi dari celah-celah diantara anak-anak yang berdiri, Harry melihat Malfoy, Crabbed an Goyle, dan banyak anak-anak Slytherin lain bertahan menantang di tempat duduk mereka, piala mereka tak tersentuh. Dumbledore, yang tidak memiliki mata gaib, tidak melihatnya.
Ketika semua sudah duduk di tempat masing-masing, Dumbledore melanjutkan, "Tujuan Turnamen adalah membina dan meningkatkan saling pengertian di dunia sihir. Mengingat apa yang telah terjadi - kembalinya Lord Voldemort - hubungan semacam ini lebih penting daripada sebelumnya."
Dumbledore memandang dari Madame Maxime dan Hagrid ke Fleur Delacour dan teman-teman Beauxbatonsnya, ke Viktor Krum dan murid-murid Durmstrang di meja Slytherin. Krum, Harry melihat, tampak waspada, nyaris takut, seakan dia mengharap Dumbledore akan mengatakan sesuatu yang kasar.
"Semua tamu dalam aula ini," kata Dumbledore, dan matanya bertahan memandang murid-murid Durmstrang, "akan disambut dengan senang hati setiap saat, jika mereka ingin kembali. Kukatakan kepada kalian semua, sekali lagi - sehubungan dengan kembalinya Lord Voldemort, kita hanya bisa kuat kalau bersatu. Seperti kata pepatah, bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh."
"Kemampuan Lord Voldemort untuk menyebarkan pepecahan dan permusuhan sangat besar. Kita hanya bisa melawannya dengan memperlihatkan ikatan persahabatan dan saling percaya yang sama kuatnya. Perbedaan kebiasaan dan bahasa tak ada artinya jika tujuan kita sama dan hati kita terbuka."
A"ku menduga - dan aku sungguh berharap dugaanku ini keliru - bahwa kita semua menghadapi masa yang gelap dan sulit. Beberapa diantara kalian di dalam aula ini sudah mengalami penderitaan langsung di tangan Lord Voldemort. Banyak keluarga kalian yang sudah dicerai berai dan dihancurkannya. Seminggu yang lalu, seorang rekan kita diambil dari tengah-tengah kita."
"Ingatlah Cedric. Ingatlah, jika tiba waktunya kalian harus memilih antara mana yang benar dan yang salah,
ingatlah apa yang terjadi pada seorang anak yang hebat, dan baik, dan pemberani, hanya karena dia berada di jalan yang dilalui Lord Voldemort. Ingatlah Cedric Diggory."
Koper harry sudah selesai dipak. Hedwig sudah kembali berada dalam sangkarnya di atas koper itu. Harry, Ron dan Hermione berada di aula depan bersama anak-anak kelas empat lainnya, menunggu kereta yang akan membawa mereka ke stasiun Hogsmede. Harry itu hari yang cerah di musim panas. Harry menduga Privet Drive pastilah panas dan tumbuhannya rimbun, petak-petak bunganya penuh bunga warna-warni, ketika dia tiba di sana malam itu.
"Arry!" Harry menoleh. Fleur Delacour sedang bergegas menaiki undakan batu. Di belakangnya, jauh di halaman, Harry bisa melihat Hagrid membantu Madame Maxime memadang kendali pada dua dari kuda-kuda raksasa. Kereta Beauxbatons siap berangkat.
"Kita akan bertemu lagi, kuharap," kata Fleur ketika tiba di dekat Harry, mengulurkan tangannya. "Aku be
rharap bisa bekerja di sini, untuk memperbaiki bahasa Inggrisku."
"Sudah bagus sekali," kata Ron dengan suara seperti tersekat. Fleur tersenyum kepadanya. Hermione merengut.
"Selamat tinggal, Arry," kata Fleur, berbalik untuk pergi. "Senang sekali bisa berkenalan denganmu!"
Mau tak mau semangat Harry terangkat sedikit melihat Fleur bergegas menyeberangi lapangan rumput menuju Madame Maxime, rambutnya yang pirang berkilauan tertimpa cahaya matahari.
"Bagaimana caranya anak-anak Durmstrang pulang, ya"" kata Ron. "Menurut kalian apakah mereka bisa mengemudi kapal itu tanpa Karkaroff""
"Karkaroff tidak mengemudi," kata suara keras. "Dia tinggal dalam kabinnya dan membiarkan kami yang bekerja," Krum telah datang untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Hermione. "Boleh aku bicara"" Tanya Krum kepadanya.
"Oh... ya... baiklah," kata Hermione, tampak agak bingung, dan mengikuti Krum menyeruak diantara anak-anak dan menghilang dari pandangan.
"Jangan lama-lama!" Ron berteriak keras kepada Hermione. "Keretanya sebentar lagi datang!"
Meskipun demikian, dia membiarkan Harry yang menunggu kereta, dan melewatkan beberapa menit berikutnya dengan menjulurkan leher di atas kerumunan anak-anak, berusaha melihat apa yang dilakukan Krum dan Hermione. Mereka kembali tak lama kemudian. Ron memandang Hermione tajam, tetapi wajah Hermione tenang-tenang saja.
"Aku suka Diggory," kata Krum tiba-tiba kepada Harry. "Dia selalu sopan kepadaku. Meskipun aku dari Durmstrang... dengan Karkaroff," dia menambahkan sambil merengut.
"Apakah kalian sudah mendapat kepala sekolah baru"" Tanya Harry.
Krum mengangkat bahu. Dia mengulurkan tangan seperti Fleur, menjabat tangan Harry, kemudian Ron. Ron tampak seakan dia sedang mengalami pergolakan batin yang menyakitkan. Krum sudah berjalan pergi ketika Ron tiba-tiba berseru, "Boleh aku minta tanda tanganmu""
Hermione berpaling, tersenyum kepada kereta-kereta tanpa kuda yang sekarang menggelinding menuju mereka di jalan kereta, sementara Krum, tampak terkejut tapi senang, menandatangani secarik perkamen untuk Ron.
Cuaca tak mungkin lebih berbeda antara perjalanan pulang mereka ke King's Cross dengan perjalanan ke Hogwarts bulan September lalu. Langit sama sekali tak berawan. Harry, Ron dan Hermione berhasil mendapatkan satu kompartemen untuk mereka sendiri. Pigwidgeon sekali lagi bersembunyi di bawah jubah pesta Ron untuk menghentikannya beruhu-uhu terus. Hedwig tertidur, kepalanya disembunyikan di sayapnya, dan Crookshanks bergulung di tempat duduk kosong seperti bantal besar berbulu jingga. Harry, Ron dan Hermione mengobrol lebih banyak dan lebih bebas daripada seminggu belakangan ini, sementara kereta meluncur membawa mereka ke selatan. Harry merasa seakan pidato Dumbledore di Pesta Perpisahan telah membebaskannya. Sudah berkurang sakitnya membicarakan apa yang terjadi sekarang. Mereka memutus pembicaraan tentang tindakan apa yang mungkin diambil Dumbledore saat ini, untuk menghentikan Voldemort, hanya ketika troli makan siang
tiba. Ketika Hermione kembali dari trolo dan memasukkan uangnya ke dalam tasnya kembali, dia mengeluarkan Daily Prophet yang dibawanya.
Harry memandang Koran itu, tak yakin apakah dia benar-benar ingin tahu apa yang dikatakan di dalamnya, tetapi Hermione, melihat wajah Harry, berkata tenang, "Tak ada apa-apa di situ. Kau bolah baca sendiri, tapi tak ada apa-apa. Aku sudah mengeceknya setiap hari. Hanya berita kecil sehari setelah pelaksanaan tugas ketiga, mengatakan kau memenangkan turnamen. Mereka bahkan tidak menyebutkan Cedric. Sama sekali tak ada berita tentang itu. Kalau kalian Tanya aku, menurutku Fudge memaksa mereka diam."
"Dia tak akan bisa menyuruh Rita diam," kata Harry. "Tidak untuk cerita seperti ini."
"Oh, Rita tidak menulis apa-apa sejak tugas ketiga," kata Hermione dengan nada terpaksa yang ganjil. "Malah," dia menambahkan, suaranya sekarang agak bergetar, "Rita Skeeter tidak akan menulis apa-apa untuk sementara ini. Tidak, kecuali dia mau aku membuka rahasianya."
"Apa yang kau bicarakan"" kata Ron.
"Aku berhasil tahu bagaimana dia mendengarkan percakapan-percakapan pri
badi saat dia seharusnya tidak boleh masuk ke kompleks sekolah," kata Hermione buru-buru.
Harry mendapat kesan bahwa Hermione sudah ingin sekali memceritakan hal ini kepada mereka selama berhari-hari, tetapi dia telah menahan diri mengingat adanya kejadian-kejadian lain.
"Bagaimana caranya"" Tanya Harry segera.
"Bagaimana kau bisa tahu"" Tanya Ron, memandangnya heran.
"Sebenarnya kau yang memberiku ide, Harry," katanya.
"Aku"" Tanya Harry bingung. "Bagaimana""
"Penyadapan," kata Hermione riang.
"Tetapi katamu alatnya tidak berfungsi..."
"Oh, bukan penyadapan secara elektronis," kata Hermione. "Bukan... Rita Skeeter" - suara Hermione bergetar dengan kemenangan - "adalah animagus tak terdaftar. Dia bisa berubah...."
Hermione mengeluarkan stoples kaca kecil tertutup dari dalam tasnya.
"... menjadi kumbang."
"Yang benar," kata Ron. "Kau tidak... dia tidak..."
"Oh ya, dia bisa berubah," kata Hermione riang, mengacung-acungkan stoples itu kepada mereka.
Di dalamnya ada beberapa ranting dan daun-daun, dan seekor kumbang besar gemuk.
"Mana mungkin... kau main-main..," Ron berbisik, mengangkat stoples itu ke matanya.
"Aku tidak main-main," kata Hermione berseri-seri, "kutangkap dia di ambang jendela rumah sakit. Lihatlah dengan teliti, dan kau akan melihat tanda di sekeliling sungutnya persis seperti kacamata jelek yang dipakainya."
Harry melihat dan ternyata Hermione benar. Dia juga ingat sesuatu.
"Ada kumbang di patung pada malam kita mendengar Hagrid memberitahu Madame Maxime tentang ibunya."
"Persis," kata Hermione. "Dan Viktor Krum menarik seekor kumbang dari rambutku setelah kami berbicara di tepi danau. Dan kecuali aku sangat keliru, Rita hinggap di ambang jendela kelas Ramalan pada hari bekas lukamu sakit. Dia beterbangan ke mana-mana, memburu berita selama setahun ini."
"Waktu kita melihat Malfoy di bawah pohon itu...," kata Ron perlahan.
"Dia sedang berbicara kepada Rita, di tangannya," kata Hermione. "Malfoy tahu, tentu saja. Dengan cara begitulah Rita bisa mendapatkan wawancara-wawancara yang menyenangkan dengan anak-anak Slytherin. Mereka tidak akan peduli bahwa Rita melakukan sesuatu yang melanggar hukum, asal mereka bisa memberinya bahan tidak menyenangkan tentang kita dan Hagrid."
Hermione mengambil kembali stoples kaca itu dari Ron dan tersenyum kepada si kumbang, yang berdengung marah menempel di kaca.
"Kukatakan padanya, aku akan melepasnya setelah kita tiba di London," kata Hermione. "Aku sudah menyihir stoples ini dengan Mantra Antipecah, jadi dia tak bisa bertransformasi. Dan sudah kukatakan kepadanya dia harus menyimpan pena bulunya untuk dirinya sendiri selama setahun penuh. Kita lihat apakah dia bisa menghentikan kebiasaannya menulis kebohongan mengerikan tentang orang-orang."
Tersenyum cerah, Hermione memasukkan kembali stoples kumbang itu ke dalam orang-orang."
Pintu kompartemen menggeser terbuka.
"Pintar sekali, Granger," kata Draco Malfoy.
Crabbe dan Goyle berdiri di belakangnya. Ketiganya tampak lebih berpuas diri, lebih sombong, dan lebih mengancam daripada yang pernah Harry lihat.
"Jadi," kata Malfoy lambat-lambat, maju sedikit ke dalam kompartemen dan perlahan memandang mereka bertiga, seringai menghiasi bibirnya. "Kau menangkap reporter yang malang, dan Potter jadi favorit Dumbledore
lagi. Hebat." Seringainya makin lebar. Crabbe dan Goyle mengerling jahat.
"Berusaha tidak memikirkannya, rupanya"" kata Malfoy, memandang mereka bertiga. "Berusaha berpura-pura itu tidak terjadi""
"Keluar," kata Harry.
Belum pernah dia berada sedekat ini dengan Malfoy sejak dia melihat Malfoy berbisik-bisik kepada Crabbed an Goyle ketika Dumbledore sedang berpidato tentang
Cedric. Telinganya serasa berdering. Tangannya mencengkeram tongkat sihirnya di balik jubah.
"Kau telah memilih pihak yang kalah, Potter! Sudah kuperingatkan kau! Kuberitahu kau bahwa kau harus lebih berhati-hati memilih teman, ingat" Waktu kita bertemu di kereta api, hari pertama di Hogwarts" Sudah kukatakan jangan bergaul dengan kaum hina dina macam ini!" Dia mengedikkan kepala kepada Ron dan Hermione. "Sudah terlambat sekarang, Potter! Mereka
yang akan pergi lebih dulu, sekarang setelah Pangeran Kegelapan kembali! Darah Lumpur dan pencinta Muggle yang paling dulu! Yah... nomor dua... karena Diggory yang per..."
Seakan ada yang meledakkan sekotak petasan di kompartemen. Dibutakan oleh silaunya kilatan mantra yang meluncur dari segala jurusan, tuli oleh rentetan ledakan, Harry mengejap dan memandang ke lantai.
Malfoy, Crabbed an Goyle bergeletakan pingsan di pintu. Dia, Ron da Hermione berdiri, ketiganya telah menggunakan mantra berbeda. Lagipula bukan hanya mereka bertiga yang menyerang.
"Kami ingin tahu mau apa mereka," kata Fred tanpa berbelit-belit, menginjak Goyle dan masuk ke kompartemen. Tongkat sihirnya di tangan. Begitu juga George, yang berhati-hati agar menginjak Malfoy saat masuk mengikuti Fred.
"Efek yang menarik," kata George, menunduk memandang Crabbe. "Siapa yang menggunakan mantra Furnunculus""
"Aku," kata Harry.
"Aneh," kata George ringan. "Aku memakai kaki jeli. Kelihatannya dua mantra itu tak boleh digabung. Seluruh wajahnya jadi ditumbuhi tentakel kecil-kecil begitu. Yuk, kita singkirkan dari sini, bikin dekor jadi jelek saja."
Ron, Harry dan George menendang, menggelinding, dan mendorong Malfoy, Crabbe dan Goyle yang pingsan - masing-masing tampak parah akibat campuran mantra sihir yang mengenai mereka - ke koridor, kemudian kembali ke kompartemen dan menutup pintunya.
"Ada yang mau main kartu"" Tanya Fred, mengeluarkan sekotak kartu.
Mereka sudah separo jalan memainkan ronde kelima ketika Harry memutuskan untuk menanyai mereka.
"Kalian mau memberitahu kami"" katanya kepada George. "Siapa yang kalian peras""
"Oh," kata George suram. "Itu."
"Tidak usah," kata Fred, menggeleng tak sabar. "Tidak penting kok. Sekarang, paling tidak."
"Kami sudah menyerah," kata George, mengangkat bahu.
Tetapi Harry, Ron dan Hermione terus saja bertanya, dan akhirnya Fred berkata, "Baiklah, baiklah, kalau kalian memang ingin tahu... Ludo Bagman."
"Bagman"" kata Harry tajam. "Apakah maksudmu dia terlibat dalam..."
"Tidak," kata George muram. "Bukan hal macam itu. Dia tolol. Otaknya tak cukup cerdas."
"Kalau begitu, apa"" Tanya Ron.
Fred ragu-ragu, kemudian berkata, "Kalian ingat kami taruhan dengannya waktu Piala Dunia Quidditch" Bahwa Irlandia akan menang, tetapi Krum akan menangkap Snitch""
"Yeah," kata Harry dan Ron lambat-lambat.
"Nah, si tolol itu membayar kami dengan emas Leprechaun yang dikumpulkannya dari mascot-maskot Irlandia."
"Jadi"" "Jadi," kata Fred tak sabar, "emas itu lenyap, kan" Paginya, sudah lenyap semua""
"Tapi... itu pasti tak disengaja, kan"" kata Hermione.
George tertawa sangat getir.
"Yeah, mulanya kami pikir begitu. Kami piker, kalau kami menulis kepadanya, dan memberitahukan kekeliruannya, dia akan membayar ulang. Tetapi ternyata tidak. Dia tidak mengacuhkan surat kami. Kami terus berusaha bicara kepadanya soal itu di Hogwarts, tetapi dia selalu mencari alasan untuk menghindari kami."
"Pada akhirnya dia jadi menyebalkan," kata Fred. "Dia bilang kami terlalu muda untuk berjudi, dan dia tak mau memberi apa-apa kepada kami."
"Maka kami meminta kembali uang kami," kata George berang.
"Dia menolak!" kata Hermione kaget.
"Tepat sekali," kata Fred.
"Tapi itu seluruh tabungan kalian," kata Ron.
"Itulah," kata George. "Tentu saja kami akhirnya tahu apa yang terjadi. Ayah Lee Jordan juga kesulitan mendapatkan uang dari Bagman. Rupanya dia dalam kesulitan besar dengan para goblin. Meminjam banyak uang emas dari mereka. Serombongan goblin menyudutkannya di hutan seusai Piala Dunia dan mengambil semua uang emas yang dibawanya, dan masih saja itu tidak cukup untuk menutup semua utangnya. Mereka mengikutinya sampai ke Hogwarts untuk mengawasinya. Dia telah kehilangan semua uangnya karena berjudi. Sepeser pun dia tak punya. Dan tahukah kalian bagaimana si idiot itu mencoba membayat utangnya pada para goblin""
"Bagaimana"" Tanya Harry.
"Dia bertaruh soal kau, sobat," kata Fred. "Taruhan besar bahwa kau akan memenangkan turnamen. Bertaruh dengan para goblin."
"Jadi, itulah sebabnya dia berusaha terus membantuku agar menang!" kata Harry. "Nah... aku m
emang menang kan" Jadi dia bisa membayar kembali uang emas kalian!"
"Tidak," kata George, menggeleng. "Para goblin bermain sama kotornya dengannya. Mereka mengatakan kau seri dengan Diggory, dan taruhan Bagman adalah kau menang total. Jadi Bagman terpaksa harus kabur. Dia memang langsung kabur seusai tugas ketiga."
George menghela napas dalam-dalam dan mulai mengocok katu lagi.
Sisa perjalanan berlangsung cukup menyenangkan. Malah Harry berharap perjalanan itu bisa berlangsung sepanjang musim panas, dan dia tak usah tida di King's
Cross... tetapi seperti telah dipelajarinya dengan cara tak enak tahun itu, waktu tidak akan melambat jika ada sesuatu yang tak menyenangkan di depan, dan segera saja Hogwarts Express telah memasuki peron sembilan tiga perempat. Kesemrawutan dan kebisingan yang biasa memenuhi koridor-koridor ketika anak-anak mulai turun. Ron dan Hermione susah payah melewati Malfoy, Crabbe dan Goyle, membawa koper mereka. Tetapi Harry tinggal di belakang.
"Fred... George... tunggu sebentar."
Si kembar berbalik. Harry membuka kopernya dan mengeluarkan hadiah Triwizard-nya.
"Ambillah," katanya, dan diulurkannya kantong itu ke tangan George.
"Apa"" kata Fred, tenganga keheranan.
"Ambillah," Harry mengulang dengan tegas. "Aku tak mau uang ini."
"Kau gila," kata George, berusaha mendorongnya kembali ke Harry.
"Tidak, aku tidak gila," kata Harry. "Kalian ambillah, dan mulailah berinvestasi. Ini untuk toko lelucon."
"Dia gila," kata Fred dengan suara takjub.
"Dengar," kata Harry tegas. "Kalau kalian tidak mau mengambilnya, akan kubuang. Aku tidak menginginkannya dan aku tidak membutuhkannya. Tetapi aku perlu tertawa. Kita semua perlu tertawa. Kurasa kita akan memerlukan tertawa lebih banyak daripada biasanya tak lama lagi."
"Harry," kata George lemah, menimbang-nimbang kantong uang di tangannya, "ada seribu Galleon di dalam kantong ini."
"Yeah," kata Harry, nyengir. "Bayangkan, berapa banyak Krim Kenari tuh."
Si kembar menatapnya. "Hanya saja jangan beritahu ibu kalian darimana kalian mendapatkannya... meskipun sekarang dia mungkin tak lagi ingin kalian bekerja di kementerian, kalau dipikir-pikir..."
"Harry," Fred baru mulai, Harry sudah mencabut tongkat sihirnya.
"Dengar," kata datar, "ambil, kalau tidak kusihir kau. Aku sudah menguasai beberapa sihir bagus sekarang. Aku Cuma minta tolong satu hal, oke" Belikan Ron beberapa jubah pesta, dan katakana itu dari kalian."
Harry meninggalkan kompartemen sebelum mereka bisa mengatakan sepatah kata pun lagi, melangkahi Malfoy, Crabbed an Goyle yang masih tergeletak di lantai, tubuh mereka penuh berbagai tanda kena sihir.
Paman Vernon sudah menunggu di balik palang rintangan. Mrs. Weasley berada di dekatnya. Dia memeluk Harry sangat erat ketika melihatnya, dan berbisik di telinganya, "Kurasa Dumbledore akan mengizinkan kau datang ke rumah kami menjelang akhir musim panas, Harry. Tulislah surat, Harry."
Harry Potter Dan Piala Api Harry Potter And The Goblet Of Fire Karya J.k. Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sampai ketemu, Harry," kata Ron, menepuk punggungnya.
"Bye, Harry!" kata Hermione, dan dia melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukannya - mengecup pipi Harry.
"Harry... terima kasih," George bergumam, sementara Fred mengangguk bersemangat di sebelahnya.
Harry mengedip kepada mereka, berbalik mengikuti Paman Vernon dan mengikutinya tanpa bicara keluar stasiun. Tak ada gunanya cemas sekarang, katanya pada diri sendiri, ketika dia masuk ke tempat duduk belakang mobil keluarga Dursley.
Seperti kata Hagrid, apa yang akan terjadi, pasti terjadi... dan dia harus menghadapinya.
TAMAT Sumber Pdf: DewiKZ www.kangzusi.com Convert Jar: inzomnia http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Tongkat Rantai Kumala 3 Roro Centil 22 Tujuh Mahluk Kerdil Penghisap Darah Pendekar Gelandangan 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama