Harry Potter Dan Piala Api Harry Potter And The Goblet Of Fire Karya J.k. Rowling Bagian 11
"Oh!" kata Mrs. Weasley. "Tidak... tentu saja aku tidak percaya!"
Tetapi dia menjadi jauh lebih hangat terhadap Hermione setelah itu.
Harry, Bill dan Mrs. Weasley melewatkan sore itu dengan berjalan-jalan mengelilingi kastil, dan kemudian kembali ke aula besar untuk pesta makan malam. Ludo Bagman dan Cornelius Fudge telah bergabung di meja guru sekarang. Bagman tampak ceria, tetapi Cornelius Fudge, yang duduk di sebelah Madame Maxime, tampak galak dan tidak bicara. Madame Maxime berkonsentrasi ke piringnya, dan matanya tampak merah. Hagrid berulang-ulang mengerling kepadanya dari seberang meja.
Ada lebih banyak jenis makanan daripada biasanya, tetapi Harry, yang mulai merasa gelisah sekarang tidak makan banyak. Sementara langit-langit sihir di atas mulai berubah warna dari biru ke ungu gelap, Dumbledore bangkit di meja guru dan aula besar menjadi sunyi.
"Para ibu bapak, anak-anak, lima menit lagi saya akan meminta kalian menuju ke lapangan Quidditch untuk menyaksikan tugas ketiga dan terakhir Turnamen Triwizard. Para juara dipersilakan mengikuti Mr. Bagman untuk ke stadion sekarang."
Harry berdiri. Anak-anak Gryffindor bertepuk untuknya. Keluarga Weasley dan Hermione semua mengucapkan semoga sukses. Harry meninggalkan aula besar bersama Cedric, Fleur dan Viktor.
"Kau baik-baik saja, Harry"" Bagman menanyainya ketika mereka menuruni undakan menuju ke halamannya. "Mantap""
"Saya baik-baik saja," kata Harry. Ada benarnya juga sih. Dia memang gelisah, tetapi ketika, sambil berjalan, mengingat-ingat semua sihir dan mantra uang telah dilatihnya, dan ternyata ingat semuanya, dia merasa lebih baik.
Mereka berjalan ke lapangan Quidditch, yang sekarang sama sekali tak bisa dikenali. Pagar tanaman setinggi enam meter mengelilinginya. Ada lubang di depan mereka, pintu masuk ke maze. Lorong-lorong di dalamnya tampak gelap dan membuat bulu roma berdiri.
Lima menit kemudian, te mpat duduk penonton mulai terisi. Udara dipenuhi suara-suara bergairah dan gemuruh langkah kaki ketika ratusan pelajar menuju ke tempat duduk mereka. Langit berwarna biru tua cerah sekarang, dan bintang-bintang mulai bermunculan. Hagrid, Profesor Moody, Profesor McGonagall, dan Profesor Flitwick memasuki stadion dan mendekati Bagman dan para juara. Mereka memakai bintang besar merah yang menyala pada topi mereka, semuanya, kecuali Hagrid, yang memakai bintangnya di bagian belakang rompi bulu tikus mondoknya.
"Kami akan berpatroli di luar maze," kata Profesor McGonagall kepada para juara. "Jika kalian mendapat kesulitan dan ingin diselamatkan, kirim bunga api merah ke udara, dan salah astu dari kami akan dating menolong. Kalian mengerti""
Para juara mengangguk. "Jalankan tugas kalian, kalau begitu!" kata Bagman cerah kepada keempat petugas patroli.
"Semoga sukses, Harry," bisik hagrid, dan keempatnya berjalan ke empat jurusan yang berbeda, untuk berjaga di sekeliling maze. Bagman sekarang mengarahkan tongkat ke lehernya, bergumam, "Sonorus," dan suaranya yang diperkeras secara sihir bergaung di seluruh stadion.
"Para ibu bapak, dan hadirin sekalian, tugas ketiga dan terakhir Turnamen Triwizard akan segera dimulai! Saya akan mengingatkan bagaimana posisi nilai saat ini! Seri di tempat pertama, masing-masing dengan jumlah angka delapan puluh lima - Mr. Cedric Diggory dan Mr. Harry Potter, keduanya dari sekolah sihir Hogwarts!" sorak dan tepuk tangan yang membahana membuat burung-burung dari Hutan Terlarang beterbangan ke langit yang mulai gelap. "Di tempat kedua, dengan angka delapan puluh - Mr. Viktor Krum, dari Institut Durmstrang!" tepuk tangan lagi. "Dan di tempat ketiga -Miss Fleur Delacour, dari Akedemi Beauxbatons!"
Harry bisa melihat Mrs. Weasley, Bill, Ron dan Hermione bertepuk tangan untuk Fleur dengan sopan, di tempat duduk tengah. Dia melambai kepada mereka, dan mereka membalas melambai, tersenyum kepadanya.
"Jadi... setelah tiupan peluitku, Harry dan Cedric!" kata Bagman. "Tiga... dua... satu..."
Dia meniup pendek peluitnya sekali, dan Harry serta Cedric bergegas memasuki maze.
Pagar tanaman yang tinggi membuat baying-bayang gelap di jalan setapak, dan, entah apakah karena pagarnya sangat tebal dan tinggi atau karena pagar itu telah disihir, suara-suara dari para penonton di sekeliling mereka langsung tak terdengar begitu mereka memasuki maze. Harry merasa hamper seperti di dalam air lagi. Dia mencabut tongkat sihirnya, bergumam, "Lumos," dan mendengar Cedric melakukan yang sama di belakangnya.
Setelah kira-kira lima puluh meter, mereka tiba di jalan bercabang. Mereka saling pandang.
"Sampai ketemu," kata Harry, dan dia berjalan ke kiri sementara Cedric mengambil jalan ke kanan.
Mereka mendengar peluit Bagman untuk kedua kalinya. Krum telah memasuki maze. Harry mempercepat langkahnya. Jalan yang dipilihnya tampaknya kosong. Dia berbelok ke kanan, dan bergegas maju, memegangi tongkat tinggi di atas kepalanya, berusaha melihat sejauh mungkin. Tetap saja tak ada yang terlihat.
Peluit Bagman berbunyi di kejauhan untuk ketiga kalinya. Semua juara sekarang sudah berada di dalam.
Harry berkali-kali menengok ke belakangnya. Perasaan bahwa ada yang mengawasi melandanya. Maze bertambah gelap menit demi menit, sementara langit di atas menggelap menjadi biru tua. Dia tiba di jalan bercabang yang kedua.
"Arahkan aku," dia berbisik kepada tongkat sihirnya, memeganginya mendatar, menempel di telapak tangannya.
Tongkat itu segera berputar sekali dan menunjuk kea rah kanannya, ke pagar yang rapat. Itu utara dan Harry tahu dia perlu ke barat laut untuk mencapai pusat maze.
Yang terbaik yang bisa dilakukannya adalah mengambil jalan ke kiri dan ke kanan lagi secepat mungkin.
Jalan di depannya juga kosong, dan ketika Harry tiba di tikungan ke kanan dan mengambilnya, sekali lagi dia lihat jalannya tanpa hambatan. Harry tak tahu kenapa, tetapi ketiadaan rintangan ini membuatnya cemas. Bukannya mestinya dia sudah ketemu seseatu" Rasanya seakan maze memancingnya ke dalam rasa aman yang menipu. Kemudian didengarnya gerakan di belaka
ngnya. Dia mengangkat tongkatnya, siap menyerang, tetapi cahayanya ternyata jatuh ke Cedric, yang baru saja bergegas muncul dari jalan setapak di sebelah kanan. Cedric tampak terguncang sekali. Lengan jubahnya berasap.
"Skrewt Ujung Meletup Hagrid!" dia mendesis. "Besar-besar sekali... aku baru saja berhasil lolos!"
Cedric menggelengkan kepala dan menghilang lagi ke jalan setapak lainnya. Ingin mengambil jarak sejauh mungkin dengan Skrewt, Harry bergegas lagi. Kemudian, ketika berbelok di sudut, dia melihat... Dementor menyerang ke arahnya. Dengan tinggi lebih dari tiga setengah meter, wajahnya tersembunyi di balik kerudungnya, tangannya yang bersisik dan membusuk terjulur ke depan, dementor itu maju, memilih jalan dalam kebutaannya, menuju Harry. Harry bisa mendengar napasnya yang berderak. Rasa dingin basah menerpanya, tetapi dia tahu apa yang harus dilakukannya...
Dia mencari peristiwa yang paling membahagiakan, berkonsentrasi sepenuhnya membayangkan dia berhasil keluar dari maze dan merayakannya bersama Ron dan 760
Hermione, mengangkat tongkatnya, dan berseru "Expecto Patronum!"
Seekor rusa jantan perak muncul dari ujung tongkat Harry dan berlari kea rah si dementor, yang jatuh terjengkang, terserimpet tepi jubahnya sendiri. Harry belum pernah melihat dementor jatuh.
"Tunggu!" teriaknya, maju mengikuti Patronus peraknya. Kau Boggart! Riddikulus!"
Terdengar lecutan keras, dan si pengubah bentuk meletup menjadi kepulan asap. Si rusa perak perlahan menghilang dari pandangan. Harry ingin sekali rusa itu tinggal, dia perlu teman. tetapi dia maju terus, secepat mungkin dan sebisa mungkin tanpa membuat suara, mendengarkan dengan tajam, tongkatnya sekali lagi terangkat tinggi.
Kiri. kanan. kiri lagi.. Dua kali dia menemui jalan buntu. Dia menggunakan mantra empat penjuru lagi dan ternyata dia terlalu ke timur. Dia berbalik, berbelok ke kanan, dan melihat kabut ganjil keemasan melayang di depannya.
Harry pelan-pelan mendekatinya, mengarahkan cahaya tongkat ke kabut itu. Kelihatannya semacam hasil sihiran. Dia bertanya-tanya dalam hati, bisakah dia menyingkirkannya.
"Reducto!" katanya.
Mantranya meluncur menembus kabut, namun kabut itu tetap utuh. Harry sadar dia seharusnya tahu, mantra reduktor hanyalah untuk benda padat. Apa yang akan
terjadi kalau dia berjalan menembus kabut" Layakkah dicoba, atau haruskah dia mundur"
Dia masih ragu-ragu ketika terdengar jeritan memecah keheningan.
"Fleur"" Harry berteriak.
Sunyi. Dia memandang ke sekitarnya. Apa yang terjadi kepadanya" Teriakannya terdengar dating dari depan. Harry menarik napas dalam dan berlari menembus kabut sihir itu.
Dunia jadi terbalik. Harry tergantung dari tanah, rambutnya berdiri, kacamatanya merosot ke hidungnya, nyaris terjatuh ke langit tanpa dasar. Harry mencengkeram kacamatanya dan menempelkannya ke ujung hidungnya dan menggantung di sana, ketakutan. Rasanya kakinya menempel ke rerumputan, yang sekarang menjadi langit-langit. Di bawahnya, langit gelap bertabur bintang terbentang tanpa batas. Dia merasa seakan kalau dia menggerakan salah satu kakinya, dia akan terjatuh dari lantai.
Pikirkan, katanya kepada diri sendiri, sementara semua darahnya mengalir ke kepala, pikirkan...
Tapi tak satupun mantra yang telah dilatihnya didesain untuk menghadapi langit dan bumi yang tiba-tiba terbalik. Beranikah dia memindahkan kakinya" Dia bisa mendengar darah bertalu-talu di telinganya. Dia punya dua pilihan - mencoba bergerak, atau mengirim bunga api merah, dan diselamatkan serta didiskualifikasi dari pertandingan.
Harry memenjamkan mata, agar dia tak melihat angkasa kosong di bawahnya, dan menarik kaki kanannya sekuat tenaga dari langit-langit berumput.
Mendadak saja dunia lurus lagi. Harry jatuh terduduk di tanah padat yang menyenangkan. Sesaat dia lemas saking shock-nya. Dia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, kemudian bangkit lagi dan berlari maju, menoleh memandang kabut emas yang berkelip naif kepadanya dalam cahaya bulan.
Dia berhenti di ujung jalan bercabang dan memandang berkeliling mencari-cari Fleur. Dia yakin Fleur-lah yang tadi berteriak. Apa
yang dia jumpai" Apakah dia baik-baik saja" Tak ada tanda-tanda bunga api merah - apakah itu berarti dia bisa melepaskan diri dari kesulitan, atau apakah kesulitannya begitu besar sehingga dia tak bisa mencabut tongkat sihirnya" Harry mengambil jalan ke kanan dengan perasaan yang semakin tak enak... pada saat bersamaan mau tak mau dia berpikir, satu juara telah jatuh...
Piala itu berada di dekat-dekat situ, dan kedengarannya Fleur sudah tak ikut bertanding. Harry sudah sejauh ini, kan" Bagaimana jika dia berhasil menang" Sekilas, dan untuk pertama kalinya sejak dia menjadi juara, Harry melihat lagi bayangan dirinya, mengangkat Piala Triwizard di depan seluruh sekolah...
Dia tak bertemu apapun selama sepuluh menit, tetapi berkali-kali menemui jalan buntu. Dua kali dia berbelok ke jalan keliru yang sama. Akhirnya dia menemukan rute baru dan mulai berlari kecil sepanjang jalan itu, cahaya tongkatnya hilang timbul dan berdistorsi di dinding pagar. Kemudian dia membelok di tikungan lain dan berhadapan dengan Skrewt Ujung Meletup.
Cedric benar - Skrewt itu besar sekali. Dengan panjang tiga meter, skrewt itu mirip sekali kalajengking raksasa. Sengatnya yang panjang melingkar di punggungnya. Kulit cangkangnya yang tebal berkilap tertimpa cahaya tongkat Harry yang diacungkan ke arahnya.
"Stupefy!" Mantra ini mengenai kulitnya dan memantul. Harry menunduk tepat pada waktunya, tetapi bisa membaui rambut yang hangus. Mantra yang membalik tadi telah mengenai ujung rambutnya. Si Skrewt mengeluarkan semburan api dari ujungnya dan berlari ke arahnya.
"Impedimenta!" teriak Harry. Mantra ini mengenai skrewt lagi dan kembali memantul. Harry terhuyung ke belakang beberapa langkah dan terjatuh. "IMPEDIMENTA!"
Skrewt itu tinggal beberapa senti darinya ketika membeku - Harry berhasil mengenai bagian bawah tubuhnya yang tak tertutup cangkang. Terengah, Harry memaksa diri menjauh darinya dan berlari, kencang, kea rah berlawanan - sihir perintang ini tak permanent. Si skrewt akan bisa menggunakan kakinya lagi setiap saat.
Dia mengambil jalan ke kiri dan tiba di jalan buntu, kanan, jalan buntu juga, memaksanya berhenti, dia melakukan mantra empat penjuru lagi, mundur, dan memilih jalan setapak yang akan membawanya ke barat laut.
Harry sudah berlarian di jalan baru ini selama beberapa menit ketika dia mendengar sesuatu di jalan yang sejajar dengan jalan pilihannya, yang membuatnya berhenti.
"Apa yang kau lakukan"" terdengar teriakan Cedric. "Menurutmu sedang apa kau""
Dan kemudian Harry mendengar suara Krum.
"Crucio!" Keheningan mendadak dipenuhi jeritan-jeritan Cedric. Ngeri, Harry mulai berlari, berusaha mencari jalan ke tempat Cedric. Ketika tak ada yang muncul, dia mencoba mantra Reduktor lagi. Tak begitu efektif, tetapi berhasil membuat lubang kecil dip agar, ke dalam mana Harry menjejalkan kakinya, menendang-nendang semak berduri lebat dan ranting-ranting sampai akhirnya terbentuk lubang cukup besar. Harry menyeruak masuk melewatinya, membuat jubahnya robek dan memandang ke kiri, dia menlihat Cedric menggelepar dan menggeliat-geliat di tanah, Krum berdiri di sebelahnya.
Harry berhenti dan mengacungkan tongkatnya kea rah Krum, tepat ketika Krum mendongak. Krum berbalik dan lari.
"Stupefy!" teriak Harry.
Kutukan itu mengenai punggung Krum. Dia berhenti mendadak, jatuh terjerembap, dan berbaring menelungkup di rerumputan. Harry berlari mendekati Cedric, yang sudah berhenti berkelojotan dan terbaring tersengal, tangannya menutupi wajahnya.
"Kau tak apa-apa"" tanya Harry keras, menarik lengan Cedric.
"Yeah," sengal Cedric. "Yeah... aku tak percaya... dia mengendap-endap di belakangku... aku mendengarnya. Aku menoleh, dan ternyata tongkat sihirnya sudah teracung kepadaku..."
Cedric berdiri. Dia masih gemetar. Dia dan Harry menunduk melihat Krum.
"Aku tak percaya... kupikir dia baik," Harry berkata, menatap Krum.
"Aku juga," kata Cedric.
"Apakah kau tadi melihat Fleur berteriak"" tanya Harry.
"Yeah," kata Cedric. "Menurutmu Krum menyerangnya juga""
"Aku tak tahu," kata Harry pelan.
"Kita tinggalkan dia di sini"" gumam Cedric.
"Tidak," kata Harry.
"Kurasa kita harus mengirim bunga api merah. Akan ada yang datang mengambilnya... kalau tidak, jangan-jangan nanti dia dimakan Skrewt."
"Pantas baginya," gumam Cedric, tetapi dia toh mengangkat tangannya dan mengirim semburan bunga api merah ke angkasa, yang melayang tinggi di atas Krum, menandai tempatnya tergeletak.
Harry dan Cedric berdiri dalam kegelapan, memandang ke sekeliling mereka. Kemudian Cedric berkata, "Kurasa... sebaiknya kita jalan lagi..." 766
"Apa"" kata Harry. "Oh... yeah... betul..."
Saat yang canggung. Dia dan Cedric sekejap tadi dipersatukan oleh Krum - sekarang fakta bahwa mereka bersaing teringat oleh Harry. Keduanya berjalan sepanjang jalan gelap tanpa bicara, kemudian Harry menikung ke kiri dan Cedric ke kanan. Langkah-langkah kaki Cedric segera tak terdengar lagi.
Harry maju, terus memakai mantra empat penjurnya, memastikan dia bergerak ke arah yang benar. Sekarang tinggal dia dan Cedric. Keinginannya untuk mencapai piala lebih dulu berkobar lebih kuat daripada sebelumnya, tetapi dia nyaris tak percaya melihat apa yang baru saja dilakukan Krum. Menggunakan Kutukan Tak Termaafkan pada sesama rekan berarti hukuman seumur hidup di Azkaban, itu yang dikatakan Moody kepada mereka. Krum tentunya tidak menginginkan piala Triwizard sampai separah itu... Harry bergegas.
Berkali-kali dia bertemu jalan buntu lagi, tetapi kegelapan yang semakin pekat membuatnya merasa yakin dia semakin dekat dengan pusat maze. Kemudian, ketika menyusuri jalan panjang lurus, dia melihat gerakan lagi, dan cahaya tongkatnya mengenai makhluk luar biasa, makhluk yang hanya pernah dia lihat gambarnya, di dalam buku Monster tentang Monster.
Makhluk itu sphinx. Tubuhnya adalah tubuh singa yang eksta besar ; dengan cakar berkuku tajam dan ekor besar kekuningan yang ujungnya berupa sejumput rambut coklat. Tetapi kepalanya adalah kepala perempuan. Dia mengarahkan matanya yang panjang berbentuk buah badam pada Harry sementara Harry mendekat. Harry mengangkat tangannya, ragu-ragu. 767
Sphinx itu tidak mendekam siap menerkam, melainkan berjalan dari sisi ke sisi, menghalangi jalan Harry. Kemudian dia berbicara, dengan suara dalam dan parau.
"Kau sudah dekat sekali dengan sasaranmu. Jalan yang paling cepat adalah melewatiku."
"Jadi... jadi, maukah kau menepi"" kata Harry, sudah tahu apa jawabannya.
"Tidak," jawabnya, masih terus mondar-mandir. "Tidak, kecuali kau bisa menjawab teka-tekiku. Jawabannya kata dalam bahasa Inggris. Jika terjawab pada tebakan pertama - kuizinkan kau lewat. Kalau jawabanmu salah- kuserang kau. Tetap diam - kuizinkan kau pergi dariku tanpa cedera."
Hari Harry mencelos. Hermione-lah yang jago teka-teki, bukan dia. Dia menimbang kesempatannya. Kalau teka-tekinya terlalu sulit, dia bisa diam saja, meninggalkan sphinx tanpa cedera, dan berusaha mencari jalan alternative ke pusat maze.
"Oke," katanya. "Bolehkah aku mendengar teka-tekinya""
Si Sphinx duduk di atas kaki belakangnya, dan mulai berdeklamasi:
"Awannya pk kirkan orang yang hidup dalam penyamaran,
Yang melakukan segalanya secara rahasia
Dan mengucapkan hanya kebohongan.
Berikutnya, katakana padaku apa yang di dapat di ujung tekad.
Ada di awal dendam dan di akhir abad"
Dan akhirnya berikan padaku bunyi yang sering terdengar
Selama mencari kata yang sulit ditemukan.
Sekarang rangkai ketiganya, dan jawablah segera,
Makhluk apa yang kau paling segan menciumnya""
Harry ternganga menatapnya.
"Boleh kudengar sekali lagi... lebih lambat"" tanyanya ragu.
Dia mengedip, tersenyum, dan mengulang puisi itu.
"Semua petunjuk mengarah pada makhluk yang aku segan menciumnya"" Tanya Harry.
Dia hanya tersenyum misterius. Harry menganggap itu sebagai "ya". Harry memutar otak. Banyak binatang yang tak ingin diciumnya. Yang langsung muncul dalam benaknya adalah Skrewt Ujung Meletup, tetapi sesuatu memberitahunya itu bukan jawabannya. Dia berusaha merangkai petunjuknya.
"Orang dalam penyamaran," Harry bergumam, memandang si Sphinx, "yang berbohong... er... itu -penipu. Bukan, bukan itu tebakanku. Er... mata-mata -spy" Nanti aku balik lagi... bisakah kauberikan lagi petunjuk ber
ikutnya"" Dia mengulang baris-baris berikutnya.
"Yang didapat di ujung tekad"" Harry mengulang. "Er... tak tahu... ada di awal dendam... bolehkah bolehkah aku dengar yang paling akhir lagi""
Dia mengucapkan empat baris terakhir.
"Bunyi yang sering terdengar selama mencari kata yang sulit ditemukan," kata Harry. "Er. itu. er. tunggu - 'er'! er kan bunyi!"
Si Sphinx tersenyum kepadanya.
"Spy. er. spy. er.," kata Harry, berjalan mondar-mandir. "Makhluk yang aku tak ingin menciumnya. spider! Labah-labah!"
Si Sphinx tersenyum lebih lebar. Dia bangkit, meregangkan kaki depannya, dan kemudian menyisih agar Harry bisa lewat.
"Trims!" kata Harry, dan kagum akan kecemerlangannya, dia buru-buru lewat.
Dia pasti sudah dekat sekarang, pasti. tongkatnya menunjukkan dia berada di jalur yang benar, asal dia tidak bertemu sesuatu yang mengerikan, dia punya kesempatan.
Harry berlari sekarang. Dia harus memilih jalan di depan. "Arahkan aku!" dia berbisik lagi kepada tongkatnya, dan tongkat itu berputar dan menunjuk ke jalan yang ke kanan. Dia berlari ke kanan dan melihat cahaya di depan.
Piala Triwizard berkilau di atas podium kira-kira seratus meter di depannya. Mendadak ada sosok gelap meluncur cepat sekali ke jalan di depannya.
Cedric akan sampai di sana lebih dulu. Cedric berlari secepat kilat kea rah piala dan Harry tahu dia tak akan
bisa mengejarnya. Cedric jauh lebih jangkung, kakinya jauh lebih panjang...
Kemudian Harry melihat sesuatu yang besar di atas pagar di sebelah kirinya, bergerak cepat sepanjang jalan bersilang dengan jalannya. Makhluk itu bergerak cepat sekali sehingga Cedric pasti akan bertabrakan dengannya, dan Cedric, yang matanya tertuju ke piala, tidak melihatnya...
"Cedric!" Harry berteriak. "Sebelah kirimu!"
Cedric menoleh tepat pada waktunya untuk melompat melewati makhluk itu dan menghindari bertabrakan dengannya, tetapi dalam ketergesaannya, dia terjatuh. Harry melihat tongkat Cedric terbang dari tangannya sementara si labah-labah raksasa melangkah ke jalan setapak dan mulai mendekati Cedric.
"Stupefy!" Harry berteriak, dan mantranya mengenai tubuh si labah-labah yang besar, hitam dan berbulu, tetapi efeknya seperti dia melemparnya dengan batu saja. Si labah-labah tersentak, menggerumut membalik, dan malah berlari menuju Harry.
"Stupefy! Impedimenta! Stupefy!"
Tetapi tak ada gunanya - entah karena si labah-labah terlalu besar atau terlampau sakti, tapi mantra-mantra itu malah membuatnya semakin galak. Sekejap Harry melihat delapan mata hitam yang berkilap dan capit setajam silet sebelum si labah-labah menerkamnya.
Harry diangkat ke udara dengan kaki depannya, memberontak sekuat tenaga. Dicobanya menendangnya, kakinya mengenai capitnya dan sesaat kemudian kakinya
sakit bukan buatan. Dia bisa mendengar Cedric menjeritkan, "Stupefy!" juga, tetapi mantranya sama saja tak bergunanya dengan mantra Harry. Harry mengangkat tongkatnya ketika si labah-labah membuka capitnya sekali lagi dan berteriak, "Expelliarmus!"
Berhasil - mantra pelepas senjata ini membuat si labah-labah menjatuhkannya, tetapi itu berarti Harry terjatuh dari ketinggian lebih dari tiga setengah meter pada kakinya yang sudah luka. Dia roboh. Tanpa berhenti untuk berpikir, dia mengarah ke atas, ke bagian bawah perut si labah-labah, seperti yang telah dilakukannya kepada Skrewt, dan berteriak, "Stupefy!" Bersamaan dengannya, Cedric juga meneriakkan mantra yang sama.
Dua mantra yang diluncurkan bersamaan berhasil melakukan apa yang tak bisa dilakukan satu mantra: labah-labah itu terguling miring, merobohkan pagar yang ditabraknya, dan memenuhi jalan dengan kaki-kaki berbulu.
"Harry!" didengarnya Cedric berseru. "Kau tak apa-apa" Kau kejatuhan labah-labah""
"Tidak," Harry balas berteriak, tersengal. Dia menunduk memandang kakinya. Darah mengucur deras. Dia bisa melihat semacam lender kental seperti lem dari capit si labah-labah di jubahnya yang robek. Dia berusaha bangkit, tetapi kakinya gemetar hebat dan menolak menopang berat tubuhnya. Dia bersandar ke pagar, terengah kehabisan napas, dan memandang ke sekitarnya.
Cedric berdiri kira-kira semester dar
i Piala Triwizard yang berkilauan di belakangnya.
"Ambillah," kata Harry terengah kepada Cedric. "Ayo, ambillah. Kau sudah di sana."
Tetapi Cedric tidak bergerak. Dia hanya berdiri saja, memandang Harry. Kemudian dia berbalik untuk memandang piala. Harry melihat ekspresi kerinduan di wajahnya yang tertimpa cahaya keemasannya. Cedric menoleh memandang Harry lagi, yang sekarang berpegangan pada pagar untuk menyangga tubuhnya. Cedric menarik napas dalam-dalam.
"Kau saja yang ambil. Kau layak menang. Dua kali kau menyelamatkan hidupku di sini."
"Bukan begitu aturan mainnya." Kata Harry. Dia merasa marah. Kakinya sakit sekali. Seluruh tubuhnya sakit akibat usahanya melemparkan si labah-labah, dan setelah semua susah payah ini, Cedric telah mengalahkannya, sama seperti dia mengalahkan Harry sewaktu mengajak Cho ke pesta dansa. "Yang lebih dulu tiba di piala-lah yang mendapatkan angka. Dan itu kau. Kuberitahu kau, aku tak akan memenangkan lomba lari dengan kaki ini."
Cedric mendekat beberapa langkah ke labah-labah yang pingsan, menjauhi piala, menggeleng.
"Tidak," katanya.
"Berhentilah bersikap mulia," kata Harry jengkel. "Ambil saja, kemudian kita bisa keluar dari sini."
Cedric mengawasi Harry yang memantapkan diri, berpegang erat-erat ke pagar.
"Kau memberitahu aku soal naga," kata Cedric. "Aku pasti sudah gagal dalam tugas pertama kalau kau tidak memberitahuku apa yang harus kita hadapi."
"Aku juga diberitahu soal itu," tukas Harry, berusaha menyeka kakinya yang berdarah dengan jubahnya. "Kau membantuku dengan telur... kit impas."
"Aku dibantu soal telur itu," kata Cedric.
"Kita masih tetap impas," kata Harry, mengetes kakinya dengan hati-hati sekali. Kakinya gemetar hebat ketika dipakai menapak. Pergelangan kakinya terkilir ketika labah-labah itu menjatuhkannya.
"Kau seharusnya mendapat angka lebih banyak dalam tugas kedua," Cedric berkeras. "Kau bertahan di bawah untuk menyelamatkan semua sandera. Mestinya kulakukan itu."
"Aku sendiri yang tolol, menganggap serius nyanyian itu!" kata Harry getir. "Sudah, ambil saja piala itu!"
"Tidak," kata Cedric.
Dia melangkahi kaki-kaki labah-labah yang semrawut untuk bergabung dengan Harry, yang keheranan menatapnya. Cedric serius. Dia menjauh dari kemuliaan yang tak pernah dimiliki Asrama Hufflepuff selama berabad-abad.
"Ayo!" kata Cedric. Tampaknya dia mengerahkan seluruh ketetapan hatinya, tetapi wajahnya mantap, lengannya terlipat, dia tampaknya sudah bertekad bulat.
Harry memandang Cedric dan piala bergantian. Sejenak dia melihat dirinya keluar dari maze, memegang piala. Dia melihat dirinya mengangkat piala Triwizard, mendengar teriakan penonton, melihat wajah Cho bersinar penuh kekaguman, lebih jelas daripada yang pernah dilihatnya sebelumnya... dan kemudian bayangan ini memudar, dan dia kembali mendapati dirinya memandang wajah Cedric yang keras kepala dalam keremangan.
"Berdua kalau begitu," kata Harry.
"Apa"" "Kita akan mengambilnya pada saat bersamaan. Toh masih kemenangan Hogwarts. Kita menang seri."
Cedric menatap Harry. Dia membuka lipatan lengannya.
"Kau... kau yakin""
"Yeah," kata Harry. "Yeah... kita telah saling Bantu, kan" Kita berdua sampai di sini. Ayo kita ambil sama-sama."
Sejenak Cedric tampaknya tak bisa mempercayai telinganya, kemudian dia nyengir lebar.
"Baiklah," katanya. "Sini."
Dia memegang lengan Harry di bawah bahunya dan membantu Harry yang berjalan tertimpang-timpang menuju podium tempat piala itu berdiri. Setibanya di sana, keduanya mengulurkan tangan ke masing-masing pegangan piala yang berkilauan.
"Pada hitungan ketiga, ya"" kata Harry. "Satu... dua... tiga..."
Saat itu Harry merasakan entakan di belakang pusarnya, kakinya terangkat dari tanah. Dia tak bisa melepas tangannya yang memegangi Piala Triwizard. Piala itu menariknya menembus lolongan angina dan pusaran warna, dengan Cedric di sampingnya.
32. Daging, darah dan Tulang
Harry merasa kakinya menghantam tanah. Kakinya yang luka tak kuat, dan dia jatuh terjerembap. Tangannya akhirnya melepas piala Triwizard. Dia mengangkat kepala.
"Di mana kita"" tanyanya.
Cedric menggelengkan kepala. Dia bang
kit, menarik Harry berdiri, dan mereka memandang berkeliling.
Mereka telah jauh meninggalkan kompleks Hogwarts. Mereka jelas telah pergi berkilo-kilometer - mungkin bahkan beratus-ratus kilo - karena bahkan pegunungan
yang mengitari kastil sudah tak ada. Mereka berdiri di kuburan gelap terlantar berumput tinggi. Siluet gereja kecil tampak di belakang pohon cemara besar di sebelah kanan mereka. Di sebelah kiri tampak bukit menjulang. Harry samar-samar melihat siluet rumah tua yang indah di sisi bukit.
Cedric menunduk memandang Piala Triwizard dan kemudian ganti menatap Harry.
"Apakah ada yang memberitahumu bahwa piala ini Portkey"" dia bertanya.
"Tidak," kata Harry. Dia memandang ke sekeliling pemakaman. Suasana begitu senyap dan agak mengerikan. "Apakah ini bagian dari tugas""
"Aku tak tahu," kata Cedric. Kedengarannya dia sedikit gugup. "Kita siapkan tongkat""
"Yeah," kata Harry, senang Cedric yang memberikan usul itu dan bukan dia.
Mereka menarik keluar tongkat sihir mereka. Harry masih memandang ke sekelilingnya. Sekali lagi dia punya perasaan aneh bahwa mereka diawasi.
"Ada yang datang," katanya tiba-tiba.
Menyipitkan mata dengan tegang menembus kegelapan, mereka memandang sosok itu mendekat, berjalan mantap kea rah mereka diantara makam-makam. Harry tak bisa melihat wajahnya, tetapi dari caranya berjalan dan posisi tangannya, dia bisa menerka orang itu membawa sesuatu. Siapapun dia, orang itu pendek, dan memakai mantel bertudung kepala yang dipakai untuk menyamarkan wajahnya. Dan - beberapa
langkah lebih dekat, jarak diantara mereka semakin kecil - Harry melihat bahwa benda yang digendongnya seperti bayi... atau apakah itu Cuma buntalan jubah"
Harry menurunkan tongkatnya sedikit dan mengerling Cedric. Cedric melempar pandangan bertanya. Mereka berdua berpaling lagi untuk mengawasi sosok yang semakin mendekat.
Sosok itu berhenti di sebelah nisan tinggi dari pualam, hanya kira-kira dua meter dari tempat mereka. Selama sedetik, Harry dan Cedric, dan sosok pendek itu hanya saling pandang.
Dan kemudian, tanpa peringatan apapun, bekas luka Harry mendadak luar biasa sakitnya. Penderitaan seperti itu seumur hidup belum pernah dirasakannya. Tongkat terlepas dari jari-jarinya ketika dia menutupkan tangannya ke wajahnya, lututnya tertekuk. Dia roboh ke tanah dan sama sekali tak bisa melihat apa-apa. Kepalanya serasa mau pecah.
Dari kejauhan, di atas kepalanya, dia mendengar suara dingin melengking tinggi berkata, "Bunuh temannya!"
Bunyi deru disusul suara kedua, yang berciut menyuarakan kata-kata ke dalam kegelapan malam, "Avada Kedavra!"
Sambaran cahaya hijau menyilaukan menembus pelupuk mata Harry dan dia mendengar sesuatu yang berat jatuh ke tanah di sebelahnya. Rasa sakit di bekas lukanya sedemikian hebatnya sampai dia muntah-muntah, dan kemudian rasa sakitnya mereda. Ngeri pada
apa yang dilihatnya, dia membuka matanya yang terasa tersengat.
Cedric tergeletak terlentang di sebelahnya. Dia sudah meninggal.
Selama sedetik yang serasa seabad, Harry menatap wajah Cedric, menatap mata abu-abunya yang terbuka, kosong dan tanpa ekspresi seperti jendela rumah kosong, menatap mulutnya yang separo terbuka, yang tampak agak keheranan. Dan kemudian. Sebelum otak Harry bisa menerima apa yang dilihatnya, sebelum dia bisa merasakan apapun selain kebas dan tidak percaya, dia merasa dirinya ditarik bangun.
Laki-laki pendek bermantel telah meletakkan bawaannya, menyalakan tongkat sihirnya, dan menarik Harry ke nisan pualam. Harry melihat nama pada nisan itu bergoyang tertimpa cahaya tongkat sebelum dia dipaksa berbalik dan diempaskan ke nisan itu.
TOM RIDDLE Si laki-laki bermantel menyihir tali dan mengikat Harry erat-erat, dari leher sampai ke mata kaki, dan diikatkan ke nisan itu. Harry bisa mendengar napas pendek-pendek dan cepat dari kedalaman kerudungnya. Dia memberontak dan laki-laki itu menamparnya -menamparnya dengan tangan yang jarinya hilang satu. Dan Harry menyadari siapa yang ada di bawah kerudung itu. Dia Wormtail.
"Kau!" sengalnya.
Tetapi Wormtail, yang telah selesai menyihir talinya, tidak menjawab. Dia sibuk memeriksa kek
encangan talinya, jari-jarinya gemetar tak terkendali, meraba-raba ikatannya. Setelah yakin Harry sudah terikat erat ke nisan sehingga tak bisa bergerak sesentipun, Wormtail menarik keluar kain hitam dari dalam mantelnya dan menjejalkannya dengan kasar ke dalam mulut Harry. Kemudian, tanpa bicara sepatah katapun dia berbalik dan bergegas pergi. Harry tak bisa bersuara maupun melihat ke mana perginya Wormtail. Dia tak bisa menolehkan kepala untuk melihat lebih jauh dari nisan, dia hanya bisa melihat apa yang ada di depannya.
Tubuh Cedric terbaring kira-kira enam meter dari tempatnya. Tak jauh dari Cedric, berkilauan tertimpa cahaya bintang, tergeletak Piala Triwizard. Tongkat Harry di tanah di dekat kaki Cedric. Buntelan jubah yang dikira Harry sesosok bayi ada di dekatnya, di kaki makam. Buntelan itu tampaknya bergerak-gerak gelisah. Harry memandangnya, dan bekas lukanya tersengat sakit lagi... dan dia mendadak tahu bahwa dia tak ingin melihat apa yang ada dalam jubah itu. dia tak ingin buntelan itu dibuka.
Dia mendengar bunyi di kakinya. Dia menunduk dan melihat seekor ular besar melata di rerumputan, mengelilingi nisan tempatnya terikat. Napas Wormtail yang cepat dan berderik terdengar semakin keras. Kedengarannya dia menyeret sesuatu yang berat. Kemudian dia berada dalam jaran pandang Harry lagi, dan Harry melihatnya mendorong kuali batu ke kaki makam. Kuali itu penuh sesuatu yang tampaknya seperti air - Harry bisa melihatnya bergolak - dan kuali itu lebih besar daripada semua kuali yang pernah digunakan
Harry. Kuali batu besar yang cukup untuk memuat orang dewasa duduk di dalamnya.
Makhluk dalam buntelan jubah bergerak-gerak terus-menerus, seakan berusaha membebaskan diri. Sekarang Wormtail sedang sibuk di dasar kuali dengan tongkatnya. Mendadak api berderak-derak menyala di bawahnya. Si ular besar merayap pergi ke dalam kegelapan.
Cairan di dalam kuali tampaknya cepat sekali panas. Permukaannya tak hanya mulai menggelegak, tetapi juga menyemburkan bunga api, seakan sedang terbakar. Asap menebal, menyamarkan sosok Wormtail yang sedang mengurus api. Gerakan-gerakan di bawah menjadi semakin gelisah. Dan Harry mendengar suara dingin melengking itu lagi.
"Cepat!" Seluruh permukaan air sudah menyala dengan percikan bunga api sekarang. Seakan bertaburan berlian.
"Sudah siap, Tuan."
"Sekarang...," kata suara dingin itu.
Wormtail membuka buntelan di tanah, memperlihatkan apa yang ada di dalamnya, dan Harry mengeluarkan jeritan yang tertahan gumpalan kain yang menyumpal mulutnya.
Seakan Wormtail telah membalik batu dan menunjukkan sesuatu yang jelek, berlendir, dan buta -tetapi lebih buruk daripada itu, seratus kali lebih buruk. Benda yang tadi digendong Wormtail berbentuk anak yang bungku, tetapi bagi Harry sosok itu tidak kelihatan seperti anak manusia. Dia tak berambut, tapi bersisik,
berkulit hitam kemerahan seperti daging mentah. Tangan dan kakinya kurus dan lemah, dan wajahnya - tak ada anak yang berwajah seperti itu - datar dan seperti ular, dengan mata merah berkilauan.
Makhluk itu tampaknya nyaris tak berdaya. Dia mengulurkan lengannya yang kurus, melingkarkannya ke sekeliling leher Wormtail, dan Wormtail mengangkatnya. Saat itu tudungnya merosot ke belakang, dan Harry melihat rasa jijik di wajah Wormtail yang lemah dan pucat dalam cahaya api ketika dia menggendong makhluk itu ke bibir kuali. Sekejap, Harry melihat wajah datar jahat itu diterangi bunga api yang menari-nari di permukaan ramuan. Dan kemudian Wormtail menurunkan makhluk itu ke dalam kuali. Terdengar desisan, dan makhluk itu menghilang di bawah permukaannya. Harry mendengar tubuhnya yang lemah jatuh ke dasar kuali dengan bunyi duk lemah.
Biarkan dia tenggelam. Harry membatin, bekas lukanya membara nyaris tak tertahankan, tolong... biarkan dia tenggelam...
Wormtail bicara. Suaranya bergetar, dia tampaknya sangat ketakutan. Dia mengangkat tongkatnya, memenjamkan mata, dan berbicara kepada kegelapan malam. "Tulang sang ayah, diberikan tanpa sadar, kau akan menghidupkan putramu!"
Permukaan makan di kaki Harry membuka. Ngeri Harry mengawasi titik-titik debu
halu terbang ke atas mematuhi perintah Wormtail dan terjatuh pelan ke dalam kuali. Permukaan berlian cairannya merekah dan mendesis, mengirim percikan bunga api ke segala
jurusan, dan berubah menjadi cairan biru yang tampak beracun.
Dan sekarang Wormtail meratap. Dia menarik belati perak panjang, tipis berkilauan dari dalam mantelnya. Dia terisak ketakutan. "Daging. si abdi. di-diberikan dengan sukarela. kau akan. menghidupkan kembali. tuanmu."
Dia menjatuhkan tangan kanannya di depannya -tangan yang jarinya putus. Dia mencengkeram belatinya erat-erat di tangan kiri dan menyabetkannya ke atas.
Harry menyadari apa yang akan dilakukan Wormtail sedetik sebelum terjadi - dia memenjamkan mata serapat mungkin, tetapi dia tidak dapat memblokir jeritan yang merobek keheningan malam, yang membuat Harry merasa dia juga ditusuk belati. Dia mendengar sesuatu terjatuh ke tanah, mendengar desah napas kesakitan Wormtail, kemudian bunyi ceburan yang memualkan, ketika sesuatu dijatuhkan ke dalam kuali. Harry tak tahan melihatnya. tetapi ramuan telah berubah menjadi merah menyala, cahayanya menembus pelupuk mata Harry yang tertutup.
Wormtail mendesah dan mendesis kesakitan. Setelah merasakan napas Wormtail yang kesakitan di wajahnya, barulah Harry menyadari Wormtail tepat di depannya.
"D-darah musuh. diambil dengan paksa. kau akan. kau akan membangkitkan kembali lawanmu."
Harry tak bisa melakukan apa-apa untuk mencegahnya, dia diikat terlalu erat. Menyipitkan mata, memberontak tak berdaya hendak melepaskan tali yang mengikatnya, dia melihat belati perak yang berkilap
gemetar di tangan Wormtail yang tinggal satu. Harry merasakan ujung belati menusuk lipatan lengan yang robek. Wormtail, masih terengah kesakitan, meraba-raba dalam sakunya mencari tabung kaca dan memeganginya di bawah luka Harry, sehingga setetes darah masuk ke dalamnya.
Wormtail terhuyung kembali ke kuali, membawa darah Harry. Dituangkannya ke dalamnya. Cairan di dalamnya langsung berubah warna menjadi putih menyilaukan. Wormtail, selesai melaksanakan tugasnya, berlutut di sisi kuali, kemudian roboh miring dan terbaring di tanah, menyangga sisa lengannya yang berdarah, terengah dan terisak.
Isi kuali mendidih, mengirim percikan bunga apinya yang bagai berlian ke segala jurusan, begitu terang menyilaukan sehingga membuat segala yang lain menjadi hitam pekat. Tak ada yang terjadi...
Biarkan dia mati tenggelam, bati Harry, biarkan gagal...
Dan kemudian mendadak saja, percikan bunga api padam. Sebagai gantinya asap putih tebal mengepul dari dalam kuali, menutupi segala sesuatu di depan Harry, sehingga dia tak bisa melihat Wormtail ataupun Cedric atau apapun, kecuali asap yang menggantung di udara... Sudah gagal, pikirnya... dia sudah tenggelam... tolong... tolong biarkan dia mati...
Tetapi kemudian, dari dalam kabut di depannya, dia melihat, dengan kengerian yang luar biasa, siluet seorang laki-laki, jangkung dan sekurus kerangka, muncul perlahan dari dalam kuali.
"Pakaikan jubahku," kata suara dingin melengking dari balik uap, dan Wormtail, terisak dan merintih, masih menggendong tangannya yang putus, merayap untuk memungut jubah hitam dari tanah, bangkit, dan menarik jubah itu dengan satu tangan satu melewati kepala tuannya.
Laki-laki kurus itu melangkah keluar dari kuali, menatap Harry. dan Harry balas menatap wajah yang telah menghantui mimpinya selama tiga tahun. Lebih putih daripada tengkorak, dengan mata lebar, pucat, dan merah, dan hidung yang sama ratanya dengan hidung ular, dengan dua celah sebagai lubang hidungnya.
Lord Voldemort telah bangkit kembali.
33. Pelahap Maut Voldemort berpaling dari Harry dan mulai mengamati tubuhnya sendiri. Tangannya seperti labah-labah besar kurus. Jari-jarinya yang putih panjang membelai dadanya sendiri, lengannya, wajahnya. Matanya yang merah, yang pupilnya seperti celah sempit, seperti pupil mata
kucing, berkilau lebih terang menembus kegelapan. Dia mengangkat tangannya dan melenturkan jari-jarinya,ekspresinya penuh kegembiraan. Dia sama sekali tidak mengacuhkan Wormtail, yang tergeletak menggeliat kesakitan dan berdarah di tan
ah, ataupun si ular besar, yang telah muncul lagi dan kembali mengitari Harry, mendesis-desis. Voldemort menyelipkan salah satu tangan yang berjari panjang tak wajar ke dalam saku yang dalam dan menarik keluar tongkat sihir. Dia membelai tongkatnya dengan lembut juga, kemudian mengangkatnya dan mengacungkannya ke arah Wormtail, yang langsung terangkat dari tanah dan terlempar menabrak nisan tempat Harry terikat. Dia terjatuh ke kaki nisan dan terbaring di sana, terpuruk dan menangis. Voldemort mengarahkan matanya yang merah kepada Harry dan tertawa. Tawanya melengking, dingin dan tanpa kegembiraan.
Jubah Wormtail berkilat basah kena darah sekarang. Dia membungkus lengannya yang terpotong dengan jubahnya.
"Yang Mulia...," katanya tersedak, "Yang Mulia... Anda berjanji... Anda sudah berjanji..."
"Ulurkan lenganmu," kata Voldemort malas-malasan.
"Oh, Tuan... terima kasih, Tuan..."
Dia menjulurkan potongan lengannya yang berdarah, tetapi Voldemort tertawa lagi.
"Lengan satunya, Wormtail."
"Tuan, tolong jangan. tolong."
Voldemort membungkuk dan menarik lengan kiri Wormtail. Dia mendorong lengan jubah Wormtail sampai melewati sikunya, dan Harry melihat sesuatu pada kulitnya di sana. Sesuatu seperti tato merah yang jelas -tengkorak dengan ular terjulur dari mulutnya - gambar yang muncul di angkasa pada Piala Dunia Quidditch: Tanda Kegelapan. Voldemort menelitinya dengan cermat, mengabaikan tangis Wormtail yang tak terkontrol.
"Sudah muncul lagi," katanya perlahan, "mereka semua akan melihatnya. dan sekarang, kita akan melihat. sekarang kita akan tahu."
Dia menekankan jari telunjuknya yang panjang ke tanda di lengan Wormtail.
Bekas luka di dahi Harry menyengat tajam sakit sekali, dan Wormtail melolong keras. Voldemort menyingkirkan jarinya dari tanda di lengan Wormtail, dan Harry melihat bahwa tanda itu kini telah berubah hitam pekat.
Dengan wajah dihiasi kepuasan yang sadis, Voldemort menegakkan diri, mendongak dan memandang berkeliling makam yang gelap.
"Berapa yang akan cukup berani untuk kembali ketika mereka merasakannya"" dia berbisik, mata merahnya yang berkilat-kilat menatap bintang-bintang. "Dan berapa yang akan cukup tolol untuk tetap menyingkir""
Dia mulai mondar-mandir di depan Harry dan Wormtail, matanya terus menyapu makam. Setelah kira-kira semenit, dia menunduk memandang Harry lagi, senyum sadis terpampang di wajahnya yang seperti ular.
"Kau berdiri, Harry Potter, di atas sisa jenezah ayahku," dia mendesis pelan. "Muggle yang tolol... sangat mirip ibumu. Tetapi mereka berdua berguna, kan" Ibumu meninggal karena membelamu... dan aku membunuh ayahku, dan lihat betapa bergunanya dia ternyata, dalam kematiannya."
Voldemort tertawa lagi. Dia berjalan hilir-mudik, memandang ke sekelilingnya, dan ularnya terus melingkar-lingkar di rerumputan.
Harry Potter Dan Piala Api Harry Potter And The Goblet Of Fire Karya J.k. Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau lihat rumah di sisi bukit itu, Potter" Ayahku dulu tinggal di sana. Ibuku, penyihir yang tinggal di dusun ini, jatuh cinta kepadanya. Tetapi ayahku meninggalkannya ketika ibuku memberitahunya siapa dia sebetulnya. Ayahku tak suka sihir."
"Dia meninggalkan ibuku dan kembali ke orang tuanya yang Muggle bahkan sebelum aku lahir, Potter, dan ibuku meninggal sewaktu melahirkan aku, meninggalkanku untuk dibesarkan di rumah yatim piatu milik Muggle. tetapi aku bersumpah untuk menemukan ayahku. aku membalas dendam kepadanya, si tolol yang memberikan namanya kepadaku... Tom Riddle..."
Masih saja dia mondar-mandir, mata merahnya berpindah dari satu makam ke makam yang lain.
"Dengarkan aku, menceritakan kisah keluargaku.," katanya pelan, "aku jadi sentimental... Tapi, lihat, Harry! Keluargaku yang sebenarnya kembali."
Keheningan mendadak dipecahkan oleh kibasan jubah. Diantara makam-makam, di belakang pohon cemara, di semua tempat remang-remang, penyihir-penyihir ber-Apparate. Semuanya berkerudung dan bertopeng. Dan
satu demi satu, mereka maju... perlahan, hati-hati, seakan mereka hamper tak mempercayai mata mereka. Voldemort berdiri diam, menunggu mereka. Kemudian salah satu pelahap maut jatuh berlutu, merangkak mendekati Voldemort, dan mencium ujung jubahnya.
"Tuan... Tuan...," dia
bergumam. Para pelahap maut di belakangnya melakukan hal yang sama. Masing-masing mendekati Voldemort dengan berjalan sambil berlutut dan mencium ujung jubahnya, sebelum mundur lagi dan berdiri, membentuk lingkaran dalam diam, mengelilingi makam Tom Riddle, Harry, Voldemort, dan gundukan terisak dan mengejang yang tak lain adalah Wormtail. Mereka meninggalkan celah-celah di lingkaran itu, seakan masih menunggu kedatangan lebih banyak orang. Namun Voldemort rupanya tidak mengharapkannya. Dia memandang berkeliling wajah-wajah berkerudung itu, dan meskipun tak ada angina, bunyi berkeresak terdengar di sekeliling lingkaran, seakan lingkaran itu bergidik.
"Selamat dating, para Pelahap Maut," kata Voldemort tenang. "Tiga belas tahun... tiga belas tahun sejak kita bertemu terakhir kalinya. Tetapi kalian memenuhi panggilanku seakan kejadiannya baru kemarin... Kita masih bersatu di bawah Tanda Kegelapan, kalau begitu! Atau, masihkah""
Dia memasang wajah mengerikan dan mengendus lagi, lubang hidungnya yang hanya berupa celah sempir melebar.
"Aku mencium rasa bersalah," katanya. "Ada bau kesalahan di udara."
Sekali lagi lingkaran itu bergidik, seakan semua anggota ingin mundur, tetapi tidak berani.
"Aku melihat kalian semua, selamat dan sehat, dengan kekuatan penuh - kalian muncul dengan segera! - dan aku bertanya kepada diri sendiri. kenapa rombongan penyihir ini tidak pernah datang menolong tuan mereka, kepada siapa mereka telah bersumpah setia seumur
hidup"" Tak seorangpun bicara. Tak seorangpun bergerak, kecuali Wormtail, yang tergeletak di tanah, masih menangisi lengannya yang berdarah.
"Dan kujawab sendiri," bisik Voldemort, "mereka pasti mengira aku sudah hancur, aku sudah kalah. Mereka menyelinap kembali ke antara musuh-musuhku, dan menyatakan diri tak bersalah, tak tahu apa-apa, atau karena kena sihir."
"Dan kemudian aku bertanya kepada diri sendiri, tetapi bagaimana mereka bisa percaya bahwa aku tidak akan bangkit lagi" Mereka, yang tahu langkah-langkah yang dulu telah kuambil, untuk melindungi diriku dari kematian" Mereka, yang sudah melihat bukti-bukti kehebatan kekuasaanku pada masa aku lebih berkuasa daripada penyihir manapun""
"Dan kujawab sendiri, mungkin mereka percaya masih ada kekuasaan yang lebih besar, yang bisa menundukkan bahkan Lord Voldemort... mungkin mereka kini bersumpah setia kepada penyihir lain. mungkin pembela kaum lemah, Darah Lumpur dan Muggle, Albus Dumbledore""
Saat nama Dumbledore disebut, para penyihir di lingkaran bergerak, dan beberapa bergumam dan menggeleng. Voldemort mengabaikan mereka.
"Sungguh mengecewakan bagiku... aku menyatakan diriku kecewa..."
Salah satu dari orang-orang itu mendadak melempar diri ke depan. Gemetar dari kepala sampai kaki, dia terkapar di kaki Voldemort.
"Tuan!" jeritnya. "Tuan, maafkan aku! Maafkan kami semua!"
Voldemort mulai tertawa. Dia mengangkat tongkat sihirnya. "Crucio!"
Si pelahap maut di tanah menggelepar dan menjerit. Harry yakin jeritannya terdengar ke rumah-rumah di sekitar situ... Biarlah polisi datang, dia membatin putus asa. siapa saja. apa saja. datanglah.
Voldemort mengangkat tongkat sihirnya. Si pelahap maut yang tersiksa terkapar di tanah, terengah sesak napas.
"Bangun, Avery," kata Voldemort pelan. "Bangun. Kau minta dimaasfkan" Aku tidak memaafkan. Aku tidak melupakan. Tiga belas tahun. aku ingin pembayaran selama tiga belas tahun sebelum memaafkanmu. Si Wormtail ini telah membayar sebagian utangnya, ya kan, Wormtail""
Dia memandang Wormtail, yang masih terus terisak.
"Kau kembali kepadaku, bukan karena setia, tetapi karena ketakutan terhadap teman-teman lamamu. Kau layak menderita kesakitan ini. Kau tahu itu, kan""
"Ya, Tuan," ratap Wormtail, "tolong, Tuan... tolong..."
"Tetapi kau telah membantuku kembali ke tubuhku," kata Voldemort dingin, memandang Wormtail yang terisak di tanah. "Kendatipun kau tak berharga dan pengkhianat, kau membantuku... dan Lord Voldemort membalas mereka yang membantunya..."
Voldemort mengangkat tongkat sihirnya lagi dan memutar-mutarnya di udara. Sesuatu seperti perak meleleh muncul dari tongkat dan menggantung be
rkilauan di angkasa. Sesuatu tak berbentuk, tetapi kemudian menggeliat dan membentuk tiruan tangan manusia yang berkilauan, secemerlang cahaya bulan. Replika tangan itu meluncur turun dan menempelkan diri di pergelangan tangan Wormtail yang berdarah.
Sedu-sedan Wormtail mendadak berhenti. Bernapas keras dan putus-putus, dia mengangkat tangannya dan menatapnya tak percaya. Tangan perak itu sekarang menempel mulus di pergelangannya, seakan dia memakai sarung tangan berkilauan. Dia melenturkan jari-jari peraknya, kemudian dengan gemetar memungut ranting kecil dari tanah dan meremasnya sampai menjadi bubuk.
"Yang Mulia," bisiknya. "Tuan... ini bagus sekali... terima kasih... terima kasih..."
Dia beringsut maju pada lututnya dan mencium ujung jubah Voldemort.
"Semoga kesetiaanmu tak akan pernah goyah lagi, Wormtail," kata Voldemort.
"Tidak, Yang Mulia... tak akan pernah, Yang Mulia..."
Wormtail berdiri dan mengambil tempat di lingkaran, menatap tangan barunya yang kuat, wajahnya berkilauan bersimbah air mata. Voldemort sekarang mendekati orang di sebelah kanan Wormtail.
"Lucius, temanku yang licin," dia berbisik, berhenti di depannya. "Aku diberitahu bahwa kau belum meninggalkan cara-cara lama, meskipun ke hadapan dunia kau menampilkan wajah terhormat. Kau masih siap memimpin dalam acara penyiksaan Muggle, kan" Tetapi kau tak pernah berusaha mencariku, Lucius... Perbuatanmu dalam Piala Dunia Quidditch menyenangkan memang... tetapi apakah tak sebaiknya energimu digunakan untuk menemukan dan membantu tuanmu""
"Yang Mulia, saya selalu waspada," terdengar jawaban sigap Lucius Malfoy dari bawah kerudung. "Jika ada isyarat dari anda, ada bisikan tentang di mana keberadaan anda, saya akan langsung berada di sisi anda, tak ada yang bisa mencegah saya..."
"Tetapi kau melarikan diri dari Tanda-ku, ketika ada pelahap maut yang setia melepasnya ke angkasa musim panas lalu," kata Voldemort malas-malasan, dan Mr. Malfoy mendadak berhenti bicara. "Ya, aku tahu tentang semua itu, Lucius... Kau telah mengecewakan aku... aku mengharap pelayanan yang lebih setia di masa depan."
"Tentu saja, Yang Mulia, tentu saja... Anda penuh belas kasihan, terima kasih..."
Voldemort bergerak lagi, dan berhenti, memandang celah - cukup besar untuk dua orang - yang memisahkan Malfoy dari orang berikutnya.
"Suami istri Lestrange seharusnya berdiri di sini," kata Voldemort pelan. "Tetapi mereka dikubur di Azkaban. Mereka setia. Mereka memilih ke Azkaban daripada menyangkalku... Kalau Azkaban berhasil dijebol, suami istri Lestrange akan diberi kehormatan di luar impian mereka. Para dementor akan bergabung dengan kita... mereka sekutu alami kita... kita akan memanggil kembali para raksasa yang dikucilkan... semua pelayanku yang setia akan dikembalikan kepadaku, juga sepasukan makhluk yang ditakuti oleh semua...'
Dia berjalan terus. Beberapa pelahap maut dilewatinya tanpa bicara, tetapi dia berhenti di depan beberapa yang lain, dan bicara kepada mereka.
"Macnair... membinasakan binatang-binatang berbahaya untuk kementerian sihir sekarang, begitu yang diceritakan Wormtail" Kau akan mendapatkan korban yang lebih baik dari itu tak lama lagi, Macnair. Lord Voldemort akan menyediakannya untukmua..."
"Terima kasih, Tuan... terima kasih," gumam Macnair.
"Dan inilah," Voldemort bergerak ke dua sosok berkerudung yang paling besar. "Crabbe... kau akan berbuat lebih baik kali ini, kan, Crabbe" Dan kau, Goyle""
Mereka membungkuk dengan canggung, bergumam patuh.
"Ya, Tuan..." "Lebih baik, Tuan...'
"Kau juga, Nott," kata Voldemort pelan saat melewati sosok bungkuk di dalam bayangan Mr. Goyle.
"Yang Mulia, saya serahkan diri saya kepada anda, saya abdi anda yang paling setia."
"Cukup," kata Voldemort.
Dia telah tiba di celah yang paling lebar, dan dia berdiri mengawasi dengan matanya yang merah. Pandangannya kosong, seakan dia bisa melihat orang-orang berdiri di sana.
"Dan di sini ada enam pelahap maut yang berkurang. tiga meninggal dalam melayaniku. Satu terlalu pengecut untuk kembali. dia akan membayar. Satu, kurasa telah meninggalkanku untuk selamanya. dia akan dibunuh, tentu
saja. dan satu, yang tetap menjadi abdiku yang paling setia dan yang telah kembali melayaniku."
Para pelahap maut bergerak, dan Harry melihat mata meraka saling kerling di balik topeng mereka.
"Dia di Hogwarts, abdiku yang setia, dan berkat usahanyalah teman kecil kita tiba di sini malam ini."
"Ya," kata Voldemort, seringai menghiasi mulutnya yang tak berbibir ketika mata-mata di sekeliling lingkaran tertuju kea rah Harry. "Harry Potter telah berbaik hati bergabung dengan kita untuk pesta kelahiranku kembali. Kita bisa mengatakan dia tamu kehormatanku."
Sunyi. Kemudian pelahap maut di sebelah kanan Wormtail maju, dan suara Lucius Malfoy berbicara dari balik topeng.
"Tuan, kami ingin sekali tahu... kami memohon anda menceritakan kepada kami... bagaimana anda berhasil melakukan... keajaiban ini... bagaimana anda berhasil kembali kepada kami..."
"Ah, ceritanya sungguh luar biasa, Lucius," ujar Voldemort. "Dan cerita ini diawali - dan diakhiri - oleh teman kecilku ini."
Dia berjalan santai untuk berdiri di samping Harry, sehingga mata seluruh lingkaran memandang mereka berdua. Si ular terus melingkar-lingkar.
"Kalian tahu, tentu saja, bahwa mereka menyebut anak ini penyebab kejatuhanku"" Voldemort berkata pelan, matanya yang merah memandang Harry. Bekas luka Harry mulai membara sakit sekali sehingga dia nyaris menjerit kesakitan. "Kalian semua tahu bahwa pada malam aku kehilangan kekuasaan dan tubuhku, aku mencoba membunuhnya. Ibunya mati dalam usahanya menyelamatkannya - dan tanpa sengaja memberi dia perlindungan yang kuakui tak kuperhitungkan sebelumnya... aku tak bisa menyentuh anak ini."
Voldemort mengangkat salah satu jari putihnya yang panjang dan menjulurkannya sangat dekat ke pipi Harry.
"Ibunya meninggalkan bekas-bekas pengorbannya... Ini sihir kuno, aku seharusnya ingat itu. Aku bodoh mengabaikannya... tapi sudahlah. Aku bisa menyentuhnya sekarang."
Harry merasa ujung dingin jari panjang putih itu menyentuhnya, dan merasa kepalanya akan pecah saking sakitnya.
Voldemort tertawa pelan di telinganya, kemudian menyingkirkan jarinya dan meneruskan ceritanya kepada para pelahap maut. "Aku salah perhitungan, kawan-kawan, kuakui itu. Kutukanku ditangkis oleh pengorbanan bodoh wanita itu, dan berbalik menghantamku. Aah. kesakitan yang luar biasa, kawan-kawan; tak ada yang bisa menyiapkanku untuk itu. Aku tercabik dari tubuhku, aku lebih rendah dari arwah, lebih rendah dari hantu yang paling hina. tetapi aku masih hidup. Sebagai apa, bahkan aku sendiri pun tak tahu. aku, yang telah menapaki jalan menuju keabadian lebih jauh daripada siapapun. Kalian tahu cita-citaku. mengalahkan kematian. Dan kini, aku telah diuji, dan tampaknya satu atau lebih percobaanku berhasil. karena aku tidak terbunuh, meskipun seharusnya kutukan itu sudah membunuhku. Meskipun demikian, aku sama tak berdayanya dengan makhluk hidup yang paling lemah, dan tanpa sarana untuk bisa menolong diriku sendiri. karena aku tak punya tubuh, dan semua mantra yang mungkin bisa membantuku memerlukan penggunaan tongkat sihir."
"Aku ingat hanya memaksa diriku, tanpa tidur, tanpa kenal lelah, detik demi detik, untuk tetap hidup. aku bermukim di tempat yang jauh, di hutan, dan menunggu... Tentunya salah satu Pelahap Maut-ku yang setia akan berusaha mencariku. salah satu dari mereka akan datang dan melakukan sihir yang tak bisa kulakukan, mengembalikanku ke tubuhku. tetapi sia-sia saja aku menunggu."
Gigilan kembali melanda para pelahap maut yang mendengarkan. Voldemort membiarkan keheningan membelit mengerikan sebelum meneruskan.
"Hanya tinggal satu kemampuan yang kumiliki. Aku bisa menguasai tubuh makhluk lain. Tetapi aku tak berani pergi ke tempat yang banyak orangnya, karena aku tahu para auror masih berkeliaran di luar negeri mencariku. Aku kadang-kadang menempati tubuh binatang - ular tentu saja, karena ular binatanga favoritku - tetapi berada di dalam tubuh ular tak lebih baik daripada sebagai roh, karena tubuh mereka tak bisa digunakan untuk melakukan sihir... dan penguasaanku atas tubuh mereka membuat hidup mereka lebih singkat. Tak satupun diantara mereka b
ertahan lama..." "Kemudian... empat tahun lalu... sarana untuk kembalinya ku tampaknya sudah terjamin. Seorang penyihir pria - muda, bodoh dan mudah ditipu - bertemu denganku saat dia mengeluyur di hutan yang telah kujadikan rumahku. Oh, dia tampaknya kesempatan yang telah lama kuimpikan... karena dia guru di sekolah Dumbledore... dia mudah dibelokkan menuruti kehendakku... dia membawaku kembali ke Negara ini, dan setelah lewat beberapa waktu, aku menguasi tubuhnya, untuk mengawasinya dari dekat saat dia melaksanakan perintah-perintahku. Tetapi rencanaku gagal. Aku tak berhasil mencuri Batu Bertuah. Hidup abadiku tak jadi terjamin. Aku digagalkan. digagalkan, sekali lagi, oleh Harry Potter..."
Hening lagi. Tak ada yang bergerak, bahkan daun-daun di pohon cemara pun tidak. Para pelahap maut bergeming, mata-mata yang berkilat di dalam topeng mereka tertuju ke Voldemort, dan pada Harry.
"Abdiku mati pada waktu aku meninggalkan tubuhnya, dan aku kembali selemah sebelumnya," Voldemort melanjutkan. "Aku kembali ke tempat persembunyianku yang jauh, dan aku tak akan berpura-pura kepada kalian, kuakui waktu itu aku takut tak akan pernah lagi memperoleh kembali kekuasaanku... Ya, saat itu mungkin saatku yang tergelap... aku tak bisa berharap akan bertemu penyihir lain untuk kukuasai... dan aku saat itu juga sudah melepas harapan bahwa salah satu dari pelahap mautku peduli apa yang terjadi padaku..."
Satu dua penyihir bertopeng di lingkaran bergerak salah tingkah, tetapi Voldemort tidak memedulikan mereka.
"Dan kemudian, bahkan belum genap setahun lalu, ketika aku nyaris melepas harapan, terjadilah akhirnya... seorang abdi kembali kepadaku. Wormtail yang telah memalsukan kematiannya sendiri untuk menghindari pengadilan, dipaksa keluar dari persembunyiannya oleh mereka yang pernah dianggapnya sebagai sahabat, dan dia memutuskan untuk kembali kepada tuannya. Dia mencariku di Negara yang sudah lama didesas-desuskan sebagai tempatku berada... dibantu, tentu saja, oleh tikus-tikus besar yang ditemuinya sepanjang jalan. Wormtail ini punya pertalian ganjil dengan tikus-tikus. Betul, kan, Wormtail" Teman-teman kecilnya yang kotor memberitahunya, ada tempat, jauh di dalam hutan Albania, yang mereka hindari. Di tempat itu binatang-binatang kecil seperti mereke menemui ajal oleh bayangan gelap yang menguasai mereka...
"Tetapi perjalanan kembalinya kepadaku tidaklah mulus. Betul, kan, Wormtail" Karena, suatu malam ketika kelaparan, di tepi hutan tempat dia berharap bisa menemukanku, dengan bodoh dia berhenti di sebuah losmen untuk makan. dan siapa yang ditemuinya di sana, kalau bukan Bertha Jorkins, pegawai kementerian
sihir"" "Sekarang lihat bagaimana takdir berpihak kepada Lord Voldemort. Pertemuan itu bisa berarti tamatnya riwayat Wormtail, juga tamatnya harapan terakhirku untuk regenerasi. Tetapi Wormtail - memperlihatkan kecerdikan yang tak pernah kuharapkan darinya -meyakinkan Bertha untuk menemaninya jalan-jalan malam. Dia menyergap Bertha. membawanya kepadaku. Dan Bertha Jorkins, yang sebetulnya bisa menghancurkan segalanya, ternyata malah menjadi hadiah di luar impianku yang paling liar sekalipun. karena - dengan sedikit bujukan - dia menjadi sumber informasi yang luar biasa."
"Dia memberitahuku bahwa Turnamen Triwizard akan diselenggarakan di Hogwarts tahun ini. Dia memberitahuku bahwa dia kenal pelahap maut yang dengan sukarela akan membantuku, kalau saja aku bisa mengontaknya. Dia memberitahuku banyak hal. tetapi sarana yang kugunakan untuk mematahkan Jampi Memori yang dikenakan kepadanya juga kuat sekali, dan ketika aku sudah memeras semua informasi yang berguna darinya, pikiran dan tubuhnya telah rusak berat, tak mungkin diperbaiki lagi. Dia telah digunakan sesuai tujuan. Tubuhnya tak bisa kupakai. Kusingkirkan dia."
Voldemort menyunggingkan senyumnya yang mengerikan, mata merahnya hampa dan tanpa belas kasihan.
"Tubuh Wormtail, tentunya, tidak bisa kugunakan, karena semua sudah menganggapnya meninggal, dan akan menarik terlalu banyak perhatian kalau sampai ada yang melihat. Tetapi, dia abdi yang kubutuhkan dan meskipun dia pen
yihir tolol, Wormtail bisa mengikuti instruksi yang kuberikan kepadanya, yang akan mengembalikanku ke tubuh elementerku yang masih lemah dan belum sempurna, tubuh yang bisa kutempati selama menunggu bahan-bahan pokok untuk kelahiranku kembali yang sesungguhnya... satu dua mantra temuanku sendiri... sedikit bantuan dari Nagini-ku yang tersayang," mata Voldemort menatap ular yang tak hentinya melingkar-lingkar, "ramuan yang dibuat dari darah Unicorn dan bisa ular yang disediakan Nagini... aku segera kembali ke bentuk hampir manusia, dan cukup kuat untuk bepergian."
"Tak ada lagi harapan untuk mencuri Batu Bertuah, karena aku tahu Dumbledore pasti sudah mengatur agar batu itu dihancurkan. Tetapi aku bersedia menjalani hidup fana lagi, sebelum mengejar keabadian. Kupasang targetku lebih rendah... aku bersedia memiliki tubuhku yang lama lagi, dan kekuatanku yang lama."
"Aku tahu bahwa untuk mencapai ini - ramuan yang menghidupkanku malam ini adalah sedikit Sihir Hitam kuno - aku akan memerlukan tiga bahan utama. Nah, salah satunya sudah di tangan, ya kan, Wormtail" Daging yang diberikan oleh seorang abdi..."
"Tulang ayahku, tentunya berarti bahwa kami harus datang ke sini, ke tempatnya di makamkan. Tetapi darah musuh... Kalau menurut Wormtail, dia akan memintaku menggunakan penyihir siapa saja, betul, kan, Wormtail" Penyihir siapa saja yang pernah membenciku... karena masih banyak penyihir yang membenciku. Tetapi aku tahu siapa yang harus kugunakan, jika aku mau bangkit lagi, lebih berkuasa daripada ketika aku jatuh. Aku menginginkan darah Harry Potter. Aku menginginkan darah orang yang telah meruntuhkan kekuasaanku tiga belas tahun yang lalu... karena perlindungan dari ibunya masih ada, akan memasuki nadi-nadiku juga..."
"Tetapi bagaimana bisa mendatangi Harry Potter" Karena dia dilindungi bahkan lebih ketat daripada yang kurasa disadarinya, dilindungi dengan cara-cara yang sudah lama diciptakan Dumbledore, ketika tugas mengatur masa depan anak ini jatuh ke pundaknya. Dumbledore menggunakan sihir kuno, yang memastikan anak ini terlindungi selama dia tinggal bersama saudaranya. Bahkan aku pun tak bisa menyentuhnya di sana... Kemudian, tentu saja, ada Piala Dunia Quidditch... kupikir perlindungannya lebih lemah di sana, jauh dari saudaranya dan Dumbledore, tetapi aku belum cukup kuat untuk melakukan usaha penculikan di tengah begitu banyak penyihir petugas Kementerian. Dan seandainya anak ini sudah kembali ke Hogwarts. Di sana dia akan berada dalam perlindungan si tolol pencinta Muggle berhidung bengkok dari pagi sampai malam. Jadi, bagaimana aku bisa mengambilnya""
"Nah... dengan memanfaatkan informasi Bertha Jorkins tentu saja. Gunakan salah satu pelahap mautku yang setia, pasang di di Hogwarts, untuk memastikan nama anak ini dimasukkan dalam Piala Api. Gunakan Pelahap maut-ku untuk memastikan bahwa anak ini memenangkan turnamen - bahwa dia menyentuh Piala Triwizard lebih dulu - piala yang sudah diubah oleh pelahap mautku menjadi Portkey, yang akan membawanya ke sini, jauh dari jangkauan bantuan dan perlindungan Dumbledore, dan jatuh ke dalam pelukanku yang sudah menanti. Dan inilah dia. anak yang kalian semua percaya telah menjadi penyebab kejatuhanku."
Voldemort bergerak maju perlahan dan berbalik menghadapi Harry. Dia mengangkat tongkat sihirnya. "Crucio!"
Belum pernah Harry merasakan kesakitan seperti itu. Tulang-tulangnya serasa terbakar. Kepalanya jelas terbelah di sepanjang bekas lukanya, matanya berputar-putar liar di kepalanya ; dia ingin ini berakhir... ingin pingsan. ingin mati.
Dan kemudian rasa sakit itu lenyap. Dia terkulai lemas di tali yang mengikatnya ke nisan ayah Voldemort, menatap mata merah terang itu melalui semacam kabut. Keheningan malam pecah oleh derail tawa para pelahap maut.
"Kalian sudah menyaksikan, kurasa, betapa bodohnya mengira anak ini bisa lebih kuat dariku," kata Voldemort. "Tetapi aku tak mau ada kekeliruan dalam benak siapapun. Harry Potter lolos dariku semata-mata karena keberuntungan dan kebetulan saja. Dan aku sekarang akan membuktikan kekuasaanku dengan membunuhnya, di sini dan seka
rang juga, di depan kalian semua, ketika tak ada Dumbledore yang membantunya, dan tak ada ibu 803
yang akan meninggal demi dirinya. Aku akan memberinya kesempatan. Dia akan diizinkan melawan, supaya kalian nanti tak ragu lagi, siapa diantara kami yang lebih kuat. Sebentar lagi, Nagini," dia berbisik, dan si ular melata pergi melewati rerumputan tempat para pelahap maut berdiri menunggu.
"Sekarang lepaskan ikatannya, Wormtail, dan berikan kembali tongkat sihirnya."
34. Priori Incantatem Wormtail mendekati Harry, yang berusaha menemukan kakinya, untuk menopang berat tubuhnya sebelum ikatannya dilepas. Wormtail mengangkat tangan peraknya yang baru, menarik gumpalan kain yang menyumpal mulut Harry, dan kemudian, dengan satu sabetan, memutuskan tali yang mengikat Harry ke nisan.
Sepersekian detik, mungkin, terbersit di benak Harry untuk lari, tetapi kakinya yang luka gemetar di bawah tubuhnya saat dia berdiri di atas makan yang ditumbuhi
rumput liar tinggi, sementara para pelahap maut mendekat, membentuk lingaran yang lebih kecil mengitari dirinya dan Voldemort, sehingga celah-celah kosong tempat para pelahap maut yang tak hadir sekarang terisi. Wormtail meninggalkan lingkaran menuju ke tempat tubuh Cedric terbaring dan kembali dengan tongkat sihir Harry, yang diulurkannya ke tangan Harry tanpa memandangnya. Kemudian Wormtail kembali ke tempatnya di lingkaran para pelahap maut yang menonton.
"Kau sudah diajari bagaimana berduel, Harry Potter"" Tanya Voldemort tenang, mata merahnya berkilat dalam kegelapan.
Mendengar kata-kata ini Harry teringat, seakan dari hidupnya yang lalu, Klub Duel di Hogwarts yang pernah diikutinya sebentar dua tahun lalu... Yang dipelajarinya hanyalah Mantra Pelucutan Senjata, "Expelliarmus"... dan apa gunanya melucuti Voldemort dari tongkat sihirnya, itupun kalau dia bisa, sementara dia dikelilingi paling tidak tiga puluh pelahap maut" Harry belum pernah mempelajari sesuatu yang menyiapkannya untuk menghadapi duel ini. Dia tahu dia menghadapi hal yang selalu diperingatkan Moody... Kutukan Avada Kedavra yang tak bisa diblokir - dan Voldemort benar - tak ada ibunya yang bersedia mati untuknya kali ini... Dia tak terlindungi...
"Kita membungkuk saling menghormati, Harry," kata Voldemort, membungkuk sedikit, tetapi wajhnya yang seperti ular masih menghadap Harry. "Ayo, sopan santun harus dijalankan... Dumbledore pasti ingin kau bersikap sopan... Membungkuklah untuk kematianmu, Harry..."
Para pelahap maut tertawa lagi. Mulut tanpa bibir Voldemort tersenyum. Harry tidak membungkuk. Dia tak akan membiarkan Voldemort mempermainkannya sebelum membunuhnya... dia tak akan memberinya kepuasan itu...
"Membungkuk, kataku," ujar Voldemort, mengangkat tongkat sihirnya - dan Harry merasakan tulang punggungnya melengkung seakan ada tangan besar tak kelihatan yang tanpa belas kasihan memaksanya membungkuk, dan para pelahap maut tertawa lebih keras lagi...
"Bagus sekali," kata Voldemort pelan, dan ketika dia mengangkat tongkatnya, tekanan di punggung Harry ikut terangkat. "Dan sekarang hadapi aku, seperti laki-laki... dengan punggung lurus dan kebanggaan, seperti cara ayahmu mati..."
"Dan sekarang... kita duel...'
Voldemort mengangkat tongkat lagi, dan sebelum Harry bisa melakukan apa-apa untuk melindungi diri, sebelum dia bahkan bisa bergerak, dia telah terhantam lagi oleh kutukan Cruciatus. Sakitnya luar biasa, begitu menyeluruh, sehingga dia tak tahu lagi di mana dia berada... Pisau-pisau putih tajam menusuk setiap senti kulitnya, kepalanya akan meledak saking sakitnya, dia menjerit. Seumur hidup belum pernah dia menjerit sekeras ini...
Dan kemudian rasa sakitnya berhenti. Harry berguling dan berusaha berdiri. Dia menggigil tak terkendali, seperti Wormtail ketika tangannya baru ditebas. Dia terhuyung ke pinggir, menabrak dinding pelahap maut
yang menonton, dan mereka mendorongnya kea rah Voldemort lagi.
"Berhenti sebentar," kata Voldemort, cuping hidungnya yang hanya berupa celah melebar bergairah. "Istirahat sebentar... Sakit, kan, Harry" Kau tak ingin aku melakukannya lagi kepadamu, kan""
Harry tidak menjawab. Dia akan mati seperti Cedric, mata tanpa belas kasihan itu telah memberitahunya... dia akan mati dan tak ada yang bisa diperbuatnya... tetapi dia tak mau dipermainkan. Dia tak akan mau mematuhi Voldemort... dia tak akan memohon...
"Kutanya kau, apakah kau mau aku melakukan itu lagi"" kata Voldemort pelan. "Jawab aku! Imperio!"
Dan Harry merasa, untuk ketiga kalinya dalam hidupnya, sensasi semua pikirannya telah disapu dari otaknya... Ah, betapa membahagiakan, tak perlu berpikir, rasanya dia melayang, bermimpi... jawab saja "tidak" ... katakana "tidak"... jawab saja "tidak"...
Aku tak mau, kata suara yang lebih kuat, dari belakang kepalanya, aku tak mau menjawab...
Jawab saja "tidak"...
Tidak mau, aku tak mau mengatakannya... Jawab saja "tidak"... "TIDAK MAU!"
Dan kata-kata ini terlontar dari mulut Harry, bergaung di makam, dan suasana seperti mimpi mendadak terangkat, seakan dia diguyur angina dingin - rasa sakit yang ditinggalkan kutukan Cruciatus kembali melanda
tubuhnya - kembali pula dia menyadari di mana dia berada, dan apa yang sedang dihadapinya.
"Kau tidak mau menjawab"" kata Voldemort pelan, dan para pelahap maut kini tak lagi tertawa. "Kau tak mau mengatakan tidak" Harry, kepatuhan adalah nilai yang harus kuajarkan kepadamu sebelum kau mati... Mungkin sedikit dosis kesakitan lagi""
Voldemort mengangkat tongkat sihirnya, tetapi kali ini Harry sudah siap. Dengan refleks yang terbentuk berkat latihan Quidditch-nya, dia melempar tubuhnya miring ke tanah. Harry berguling ke balik nisan pualam ayah Voldemort dan mendengar nisan itu retak ketika kutukan itu menghantamnya.
"Kita tidak sedang main petak umpet, Harry," kata suara dingin Voldemort pelan, makin dekat, sementara para pelahap maut tertawa. "Kau tak bisa sembunyi dariku. Apa ini berarti kau sudah capek berduel denganku" Apakah ini berarti kau lebih suka aku mengakhirinya sekarang, Harry" Keluarlah, harry. keluarlah dan bermainlah, kemudian... kematianmu akan berlangsung cepat... mungkin malah tidak sakit... aku tal tahu... aku belum pernah mati..."
Harry meringkuk di belakang nisan dan tahu ajalnya telah tiba. Tak ada harapan... tak ada bantuan. Dan ketika dia mendengar Voldemort datang semakin dekat, dia hanya tahu satu hal, dan hal itu melampaui ketakutan ataupun akal sehat: Dia tak mau mati meringkuk di sini seperti anak yang bermain petak umpet. Dia tak mau mati berlutut di kaki Voldemort... dia akan mati berdiri gagah seperti ayahnya, dan dia tak mau mati tanpa
membela diri, walaupun tak ada cara mempertahankan diri.
Sebelum Voldemort memunculkan wajahnya yang seperti ular dari balik nisan, Harry berdiri. dia memegang tongkat sihirnya erat-erat, mengacungkannya ke depan, dan melempar dirinya ke depan nisan, menghadapi Voldemort.
Voldemort sudah siap. Ketika Harry meneriakkan, "Expelliarmus!" Voldemort berseru, "Avada Kedavra!"
Sinar hijau memancar dari tongkat Voldemort, bersamaan dengan pancaran sinar merah dari tongkat Harry - kedua cahaya itu bertemu di tengah udara - dan mendadak tongkat Harry bergetar, seakan dialiri arus listrik. Tangannya mencengkeram erat-erat. Dia tak akan bisa melepasnya, kalaupun ingin - dan cahaya kecil menghubungkan kedua tongkat itu, tidak merah dan tidak hijau, melainkan cemerlang keemasan. Harry, yang menelusuri cahaya itu dengan pandangannya yang keheranan, melihat bahwa jari-jari putih Voldemort juga mencengkeram tongkatnya yang berguncang dan bergetar.
Dan kemudian - tak ada yang bisa menyiapkan Harry untuk ini - kakinya terangkat dari tanah. Dia dan Voldemort diangkat ke udara, tongkat mereka masih dihubungkan oleh benang emas yang berpendar-pendar. Mereka melayang menjauh dari nisan ayah Voldemort dan mendarat di petak tanah kosong yang tak bermakam... Para pelahap maut berteriak-teriak, mereka meminta petunjuk dari Voldemort. Mereka semakin dekat, kembali membentuk lingkaran mengelilingi Harry dan Voldemort, si ular melata diantara kaki-kaki mereka, 809
beberapa diantara mereka sudah mencabut tongkat sihir mereka...
Benang emas yang menghubungkan Harry dan Voldemort memecah: meskipun masih ada benang emas yang me
nghubungkan kedua tongkat, seribu berkas cahaya lain melengkung tinggi di atas Harry dan Voldemort, bersilangan di sekitar mereka, sampai mereka berdua tertutup jarring emas berbentuk kubah, sangkar cahaya. Para pelahap maut mengitari kubah itu seperti serigala-serigala liar, seruan-seruan mereka kini terendam aneh...
"Jangan lakukan apa-apa!" Voldemort berteriak kepada para pelahap maut, dan Harry melihat matanya yang merah melebar keheranan melihat apa yang terjadi, melihatnya berkutat hendak memutuskan benang cahaya yang masih menghubungkan tongkatnya dengan tongkat Harry. Harry memegangi tongkatnya semakin erat dengan kedua tangannya, dan benang emas itu bertahan tidak putus. "Jangan lakukan apa-apa kalu tidak kuperintahkan!" Voldemort berteriak kepada para pelahap maut.
Dan kemudian suara gain yang amat merdu memenuhi udara... datangnya dari semua benang yang terajut menjadi jarring yang bergetar di sekeliling Harry dan Voldemort. Suara itu dikenali Harry, meskipun dia hanya pernah mendengarnya sekali sepanjang hidupnya: nyanyian phoenix.
Itu suara harapan bagi Harry... suara paling indah dan paling disambutnya dalam hidupnya... Dia merasa seakan nyanyian itu ada di dalam dirinya, bukan hanya di sekelilingnya... Itu lagu yang mengingatkannya kepada
Dumbledore, dan seakan seorang teman sedang berbisik di telinganya...
Jangan putuskan hubungan.
Aku tahu, Harry memberitahu musik itu, aku tahu aku tak boleh memutuskannya... tetapi baru saja dia membatin demikian, hal itu menjadi jauh lebih sulit dilaksanakan. Tongkatnya mulai bergetar jauh lebih hebat daripada sebelumnya... dan sekarang benang antara dia dan Voldemort ikut berubah... manik-manik besar cahaya meluncur naik turun pada benang yang menghubungkan kedua tongkat - Harry merasakan tongkatnya bergetar dalam pegangannya dan manik-manik cahaya itu mulai meluncur pelan dan mantap ke arahnya... Arah gerakan cahaya sekarang menuju dirinya, menjauhi Voldemort, dan dia merasakan tongkatnya bergetar marah...
Semakin dekat manik-manik cahaya itu bergerak ke ujung tongkat Harry, kayu dalam genggamannya menjadi panas sekali, sampai Harry takut tongkat itu akan menyala. Semakin dekat manik-manik cahayanya, semakin kuat getaran tongkat Harry. Dia yakin tongkatnya tak akan bertahan jika bersentuhan dengan manik-manik cahaya itu. Rasanya tongkatnya sudah siap hancur dalam genggaman jari-jarinya...
Harry berkonsentrasi menggunakan semua partikel otaknya untuk memaksa manik-manik kembali ke arah Voldemort, telinganya dipenuhi nyanyian phoenix, matanya berang, terpaku... dan pelan, sangat pelan, manik-manik itu bergetar dan berhenti, lalu dengan sama pelannya, mulai bergerak ke arah berlawanan... dan sekarang giliran tongkat Voldemort yang bergetar ekstra kuat... Voldemort tampak tercengang dan hampir ketakutan...
Sebutir manik-manik cahaya bergetar hanya beberapa senti dari ujung tongkat Voldemort. Harry tak mengerti kenapa dia melakukan itu, tak tahu apa hasilnya... tetapi dia sekarang berkonsentrasi sepenuh-penuhnya untuk memaksa manik-manik itu meluncur ke tongkat Voldemort... dan pelan... sangat pelan... manik-manik itu bergerak sepanjang benang emas... sejenak bergetar... dan kemudian menyentuh ujung tongkat Voldemort...
Mendadak saja tongkat Voldemort mengeluarkan gaung jeritan kesakitan... kemudian - mata merah Voldemort melebar karena syok - asap tebal berbentuk tangan terbang dari ujung tongkatnya dan lenyap... hantu tangan Wormtail... lebih banyak lagi teriakan kesakitan... dan kemudian sesuatu yang jauh lebih besar mulai berkembang di ujung tongkat Voldemort. Sesuatu yang besar abu-abu, seakan terbuat dari asap yang paling padat dan paling tebal... Mula-mula kepala... sekarang dada dan lengan... bagian atas tubuh Cedric Diggory...
Seandainya Harry melepas tongkat saking kagetnya, itulah saatnya, tetapi naluri membuatnya tetap memegang tongkatnya erat-erat, agar benang emas cahayanya tidak putus, meskipun sosok hantu abu-abu tebal Cedric Diggory (apakah itu hantu" Kelihatannya padat sekali) muncul seluruhnya dari ujung tongkat Voldemort, seakan dia meloloskan diri dar
i terowongan amat sempit... dan bayangan Cedric ini berdiri, menatap benang cahaya, dan berbicara.
"Bertahanlah, Harry," katanya.
Suaranya terdengar dari jauh dan bergaung. Harry memandang Voldemort. mata merahnya yang lebar masih shock. seperti halnya Harry, dia tak mengira ini akan terjadi. dan, sangat sayup-sayup, Harry mendengar jerit ketakutan para pelahap maut yang berkeliaran di luar kubah emas.
Lebih banyak jeritan kesakitan dari dalam tongkat... dan kemudian ada lagi yang keluar dari ujungnya. bayangan padat kepala kedua, yang dengan cepat diikuti lengan dan dada. seorang laki-laki tua yang hanya pernah dilihat Harry dalam mimpi sekarang mendorong dirinya keluar dari ujung tongkat, persis seperti Cedric.dan hantunya, atau bayangannya, atau entah apanya, terjatuh di sebelah Cedric, lalu mengawasi Harry dan Voldemort, dan jarring emas, dan kedua tongkat yang menyatu, dengan agak keheranan, bertumpu pada tongkatnya.
"Jadi dia memang benar penyihir"" kata si laki-laki tua, matanya menatap Voldemort. "Dia membunuhku. Lawan dia, Nak..."
Tetapi sudah ada kepala lain yang muncul... dan kepala ini, abu-abu seperti patung berasap, adalah kepala perempuan. Harry, yang kedua lengannya gemetar sekarang sementara dia berusaha memegangi tongkat sihirnya supaya mantap, melihat perempuan itu terjatuh ke tanah dan berdiri seperti yang lain, memandang keheranan.
Bayangan Bertha Jorkins memandang pertempuran di hadapannya dengan mata terbelalak.
"Jangan lepaskan!" teriaknya, dan suaranya bergaung seperti Cedric, seakan dari tempat yang sangat jauh. "Jangan biarkan dia menangkapmu, Harry... jangan lepaskan!"
Dia dan kedua sosok bayangan lainnya mulai berjalan berkeliling dinding bagian dalam kubah emas, sementara para pelahap maut berkeliling di luarnya... dan korban-korban Voldemort yang telah mati berbisik sementara mereka mengitari kedua orang yang sedang berduel, membisikkan kata-kata yang menyemangati Harry, dan mendesiskan kata-kata - yang tak bisa didengar Harry -kepada Voldemort.
Dan sekarang kepala lain sedang muncul dari ujung tongkat sihir Voldemort... dan Harry tahu ketika melihatnya siapa yang akan muncul... dia tahu, seakan dia telah mengharapkannya sejak saat Cedric muncul dari tongkat... tahu, karena wanita yang muncul adalah orang yang malam ini jauh lebih banyak dia pikirkan disbanding malam-malam lainnya...
Bayangan asap seorang wanita muda berambut panjang terjatuh di tanah seperti halnya Bertha, bangkit berdiri dan memandangnya... dan Harry, lengannya bergetar hebat sekarang, balas memandang wajah samara ibunya.
"Ayahmu segera datang..." katanya pelan. "Dia ingin melihatmu... semuanya akan baik... bertahanlah..."
Dan dia muncul... mula-mula kepalanya, kemudian tubuhnya... jangkung dengan rambut berantakan seperti Harry, sosok remang-remang berbentuk asap James Potter muncul dari ujung tongkat Voldemort, terjatuh ke tanah, dan bangkit berdiri seperti istrinya. Dia berjalan mendekati Harry, memandangnya, dan dia berbicara dengan suara bergaung yang seakan datang dari kejauhan seperti yang lain, tetapi pelan, sehingga Voldemort, yang wajahnya sangat ketakutan sekarang sementara korban-korbannya berjalan mengelilinginya, tak bisa mendengar.
"Saat hubungannya terputus, kami hanya akan tinggal sebentar. tetapi kami akan memberimu waktu. kau harus ke Portkey, Portkey itu akan membawamu kembali ke Hogwarts... kau mengerti, Harry""
"Ya," Harry tersengal, berusaha sekuat tenaga sekarang untuk tetap memegang tongkatnya, yang menggelincir licin di bawah jari-jarinya.
"Harry.," bisik sosok Cedric, "maukah kau membawa pulang tubuhku" Bawalah pulang tubuhku kepada orangtuaku."
"Baik," kata Harry, wajahnya mengernyit dalam usahanya tetap memegangi tongkatnya.
"Lakukan sekarang," bisik suara ayahnya, "bersiaplah untuk berlari. lakukan sekarang."
"SEKARANG!" Harry berteriak. Dia toh tak bisa bertahan lebih lama lagi - dia menyentakkan tongkatnya ke atas dengan sekuat tenaga, dan benang emas itu putus, sangkar cahaya lenyap, nyanyian phoenix reda -tetapi sosok-sosok bayangan korban Voldemort tidak menghilang - mereka mengepung V
oldemort, melindungi Harry dari tatapannya.
Dan Harry berlari secepat kilat, menabrak dua pelahap maut sampai jatuh ketika melewati merea. Dia berzig-zag di belakang nisan-nisan, merasakan kutukan mereka mengejarnya, mendengar kutukan-kutukan itu menghantam nisan - dia menghindari kutukan dan makam, meluncur menuju tubuh Cedric, tak lagi menyadari rasa sakit di kakinya, seluruh tubuh dan jiwanya berkonsentrasi pada apa yang harus dilakukannya.
"Pingsankan dia!" dia mendengar Voldemort berteriak.
Tiga meter dari tubuh Cedric, Harry melesat ke belakang patung pualam malaikat untuk menghindari luncuran sinar merah dan melihat ujung sayap malaikat itu hancur ketika kutukan itu mengenainya. Mencengkeram tongkatnya lebih erat, dia berlari keluar dari balik si malaikat.
"Impedimenta!" dia meraung, mengacungkan tongkatnya asal saja ke balik bahunya, ke arah para pelahap maut yang mengejarnya.
Mendengar jeritan terendam, Harry berpikir dia telah menghentikan paling tidak satu diantaranya, tetapi tak ada waktu untuk berhenti dan melihat. Harry melompati piala dan menunduk ketika mendengar sambaran tongkat di belakangnya. Lebih banyak lagi luncuran cahaya menyambar di atas kepalanya saat dia jatuh, menjulurkan tangan untuk meraih lengan Cedric.
"Minggir! Aku akan membunuhnya! Dia milikku!" jerit Voldemort.
Tangan Harry sudah memegang pergelangan Cedric. Sebuah nisan memisahkannya dari Voldemort, tetapi
Cedric terlalu berat untuk dibawa dam pialanya berada di luar jangkauan...
Mata merah Voldemort menyala dalam kegelapan. Harry melihat mulutnya melengkung tersenyum, melihatnya mengangkat tongkat sihirnya.
"Accio!" Harry berteriak, mengacungkan tongkat sihirnya ke Piala Triwizard.
Piala itu terangkat ke udara dan melayang ke arahnya. Harry menangkap pegangannya.
Dia mendengar raung murka Voldemort, pada saat bersamaan dia merasakan entakan di belakang pusarnya yang berarti Portkey telah bekerja - membawanya pergi dalam pusaran angin dan warna, dengan Cedric bersamanya. Mereka pulang.
35. Veritaserum Harry merasa dirinya terempas ke tanah. Wajahnya melekat di rerumputan, bau rumput memenuhi
hidungnya. Dia memejamkan mata ketika Portkey membawanya pergi, dan dia tetap memejamkannya sekarang. Dia tidak bergerak. Semua napas rasanya telah disentakkan keluar darinya; kepalanya berputar-putar begitu hebatnya sehingga dia merasa seakan tanah di bawahnya berayun-ayun seperti geladak kapal. Untuk memantapkan diri, dia mengeratkan pegangannya pada dua benda yang masih dicengkeramnya: pegangan piala Triwizard yang dingin dan halus, dan tubuh Cedric. Dia merasa akan meluncur ke dalam kegelapan yang sudah berkumpul di tepi-tepi otaknya jika dia melepas salah satu dari mereka. Shock dan kelelahan membuatnya tetap terbaring di rerumputan, menghirup bau rumput, menunggu... menunggu ada yang melakukan sesuatu... menunggu sesuatu terjadi... dan sementara itu, bekas luka di dahinya serasa membara...
Gemuruh suara menulikan dan membingungkannya. Dari mana-mana terdengar suara, langkah-langkah kaki, jeritan... Dia tetap tinggal di tempatnya, wajahnya mengernyit mendengar suara- suara itu, seakan itu mimpi buruk yang akan berlalu...
Kemudian sepasang tangan menyambarnya kasar dan membalikkannya.
"Harry! Harry!"
Dia membuka mata. Dia membuka langit berbintang, dan Albus Dumbledore membungkuk di atasnya. Baying-bayang kerumunan orang-orang mengitari mereka, semakin merapat. Harry merasa tanah di bawah kepalanya bergetar karena langkah-langkah mereka.
Dia telah kembali ke tepi maze. Dia bisa melihat tempat-tempat duduk yang menjulang di tribune, sosok-sosok yang bergerak di dalamnya, bintang-bintang di atas.
Harry melepas piala, tetapi dia memeluk Cedric lebih erat lagi. Dia mengangkat tangannya yang bebas dan menyambar pergelangan Dumbledore, sementara wajah Dumbledore kadang jelas kadang samara.
"Dia kembali," Harry berbisik. "Dia kembali. Voldemort."
"Ada apa ini" Apa yang terjadi""
Wajah Cornelius Fudge muncul terbalik di atas Harry, pucat, ngeri.
"Ya Tuhan... Diggory!" dia berbisik. "Dumbledore... dia
mati!" Ucapannya diulang, baying sosok-sosok y
ang mengerumuni mereka membisikkannya kepada sosok di sekitar mereka. dan kemudian yang lain meneriakkannya - menjeritkannya - ke dalam kegelapan malam... "Dia mati!" "Dia mati!" "Cedric Diggory! Mati!"
"Harry, lepaskan dia," dia mendengar suara Fudge berkata, dan dia merasakan jari-jari berusaha melepasnya dari tubuh Cedric yang lemas, tetapi Harry tidak melepasnya. Kemudian wajah Dumbledore, yang masih samara-samar dan berkabut, datang lebih dekat.
"Harry, kau tak bisa menolongnya sekarang. Sudah berakhir. Lepaskan."
"Dia ingin aku membawanya pulang," Harry bergumam - rasanya penting menjelaskan ini. "Dia ingin aku membawanya pulang kepada orang tuanya..."
"Betul, Harry... lepaskan dia, sekarang..."
Dumbledore menunduk, dan dengan kekuatan luar biasa untuk seorang laki-laki yang begitu tua dan kurus, mengangkat Hary dari tanah dan menegakkannya. Harry terhuyung. Kepalanya berdenyut-denyut. Kakinya yang luka tak bisa lagi menopang tubuhnya. Kerumunan di sekitar mereka saling desak, berebut mau lebih dekat, mendesaknya... "Apa yang terjadi"" "Kenapa dia"" "Diggory mati!"
"Dia perlu ke rumah sakit!" Fudge berkata keras. "Dia sakit, dia luka. Dumbledore, orang tua Diggory, mereka di sini, di tempat duduk penonton..."
"Biar kuantar Harry, Dumbledore, biar kuantar dia..."
"Jangan, aku lebih suka..."
"Dumbleodre, Amos Diggory berlari... dia ke sini... Menurutmu apakah tidak sebaiknya kauberitahu dia -sebelum dia melihat...""
"Harry, tunggu di sini..."
Anak-anak perempuan menjerit, terisak histeris. Pemandangan itu berkelip aneh di depan mata Harry...
"Tak apa-apa, Nak, ada aku... ayo... ke rumah sakit..."
"Dumbledore bilang tunggu," kata Harry tak jelas, denyut di bekas lukanya membuat dia merasa akan muntah. Pemandangannya lebih buram daripada tadi.
"Kau harus berbaring... Ayo..."
Seseorang yang lebih besar dan lebih kuat daripadanya setengah menariknya, setengah memondongnya melewati kerumunan yang ketakutan. Harry mendengar orang-orang terpekik kaget, menjerit, dan berteriak, ketika laki-laki yang menopangnya menyeruak diantara mereka, membawanya kembali ke kastil. Menyeberangi lapangan rumput, melewati danau dan kapal Durmstrang. Harry tak mendengar apa-apa kecuali napas berat laki-laki yang membantunya berjalan.
"Apa yang terjadi, Harry"" laki-laki itu bertanya akhirnya, ketika mengangkat Harry menaiki undakan batu. Tok. Tok. Tok. Ternyata Mad-Eye Moody.
"Piala ternyata Portkey," kata Harry ketika mereka menyeberangi aula depan. "Membawa saya dan Cedric ke pemakaman... dan Voldemort di sana... Lord Voldemort..."
Tok. Tok. Tok. Menaiki tangga pualam...
"Pangeran kegelapan di sana" Apa yang terjadi kemudian""
"Membunuh Cedric... mereka membunuh Cedric..." "Dan kemudian""
Tok. Tok. Tok. Menyusuri koridor...
"Membuat ramuan... mendapatkan lagi tubuhnya..."
"Pangeran kegelapan mendapatkan lagi tubuhnya" Dia sudah kembali""
"Dan para pelahap maut datang... dan kemudian kami berduel..."
"Kau berduel dengan pangeran kegelapan""
"Berhasil lolos... tongkat saya... aneh... saya melihat ibu dan ayah saya... mereka muncul dari tongkatnya..."
"Masuk sini, Harry... masuk sini, dan duduklah... Kau akan baik-baik saja sekarang... minumlah ini..."
Harry mendengar kunci diputar pada lubangnya dan merasa cangkir diulurkan ke tangannya.
"Minumlah... kau akan merasa lebih baik... ayo, Harry, aku perlu tahu apa persisnya yang terjadi..."
Moody menolong menuangkan cairan dalam cangkir ke tenggorokan Harry. Harry terbatuk. Rasa panas merica membakar tenggorokannya. Kantor Moody tampak lebih jelas, begitu juga Moody sendiri... Dia tampak sepucat Fudge, dan kedua matanya terpancang tak berkedip pada wajah Harry.
"Voldemort sudah kembali, Harry" Kau yakin dia sudah kembali" Bagaimana dia melakukannya""
"Dia mengambil sesuatu dari makam ayahnya, dan dari Wormtail, dan dari saya," kata Harry. Kepalanya terasa lebih jernih, bekas lukanya tidak sesakit tadi. Dia sekarang bisa melihat wajah Moody dengan jelas, meskipun kantor itu gelap. Dia masih bisa mendengar jeritan dan teriakan dari lapangan Quidditch yang jauh.
"Apa yang diambil pangeran kegelapa
n darimu"" Tanya Moody.
"Darah," kata Harry, mengangkat lengannya. Lengan jubahnya koyak di tempat belati Wormtail merobeknya.
Moody melepas napasnya dalam desisan rendah, panjang. "Dan para pelahap maut" Mereka kembali""
"Ya," kata Harry. "Banyak-"
"Bagaimana dia memperlakukan mereka"" Tanya Moody pelan. "Apakah dia memaafkan mereka""
Tetapi Harry tiba-tiba ingat. Dia seharusnya memberitahu Dumbledore, dia seharusnya langsung mengatakannya.
"Ada pelahap maut di Hogwarts! Ada pelahap maut di sini - dia memasukkan nama saya ke dalam piala api, dia memastikan saya lolos sampai akhir."
Harry berusaha berdiri, tetapi Moody mendorongnya agar duduk lagi.
"Aku tahu siapa pelahap maut-nya," katanya tenang.
"Karkaroff"" Tanya Harry liar. "Di mana dia" Apakah anda sudah menangkapnya" Apakah dia sudah dikurung""
"Karkaroff"" ujar Moody tertawa ganjil. "Karkaroff kabur malam ini, ketika dia merasa Tanda Kegelapan membakar lengannya. Dia telah mengkhianati terlalu banyak pendukung setia Pangeran Kegelapan, mana berani dia bertemu mereka. tetapi aku ragu dia bisa lari jauh. Pangeran kegelapan punya cara-cara untuk melacak musuh-musuhnya."
"Karkaroff lolos" Dia kabur" Tetapi kalau begitu. dia tidak memasukkan nama saya ke dalam piala""
"Tidak," kata Moody perlahan. "Tidak, bukan dia. Aku yang melakukannya."
Harry mendengar, tetapi tidak percaya.
"Tidak," katanya. "Anda tidak melakukannya... tak mungkin..."
"Percayalah, aku melakukannya," kata Moody, dan mata gaibnya berputar dan terpancang ke pintu, dan Harry tahu dia memastikan tak ada orang di luar. Pada saat bersamaan, Moody mencabut tongkat sihirnya dan mengacungkannya kea rah Harry.
"Dia memaafkan mereka, kalau begitu"" katanya. "Para pelahap maut yang sudah bebas" Yang berhasil lolos dari Azkaban""
"Apa"" kata Harry.
Dia memandang tongkat yang diacungkan Moody ke arahnya. Ini lelucon buruk, pasti.
"Kutanya kau," kata Moody pelan, "apakah dia memaafkan sampah-sampah yang tak pernah mencarinya" Para pengkhianat pengecut yang bahkan tak berani masuk Azkaban demi dia" Sampah tak setia, tak berguna, yang cukup berani melompat-lompat di balik topeng di Piala Dunia Quidditch, tetapi kabur melihat Tanda Kegelapan yang kutembakkan ke langit""
"Anda yang menembaknya... Apa yang anda bicarakan...""
"Sudah kukatakan kepadamu, Harry... sudah kukatakan kepadamu. Kalau ada satu hal yang sangat kubenci, itu adalah pelahap maut yang bebas. Mereka berpaling dari tuanku saat dia paling membutuhkan mereka. Aku mengharapkan dia membunuh mereka. Aku mengharapkan dia menyiksa mereka. Katakan kepadaku dia menyiksa mereka, Harry..." Wajah Moody mendadak
menyala dengan senyum gila. "Katakan dia memberitahu mereka bahwa aku, aku sendiri yang tetap setia... siap mengambil resiko apapun untuk menyerahkan kepadanya satu-satunya yang diinginkannya lebih dari segalanya... yaitu dirimu."
Harry Potter Dan Piala Api Harry Potter And The Goblet Of Fire Karya J.k. Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak... tak mungkin... tak mungkin anda..."
"Siapa yang memasukkan namamu dalam Piala Api, dengan menggunakan nama sekolah lain" Aku. Siapa yang menakut-nakuti semua orang yang kupikir mungkin akan mencoba mencelakaimu atau mencegahmu memenangkan turnamen" Aku. Siapa yang mengisiki Hagrid agar menunjukkan naga-naga itu kepadamu" Aku. Siapa yang membantumu menyadari satu-satunya cara kau bisa mengalahkan naga" Aku."
Mata gaib Moody sekarang telah meninggalkan pintu. Ganti menatap Harry. Mulutnya mencong menyeringai lebih lebar daripada biasanya.
"Tidak mudah, Harry, membimbingmu melewati tugas-tugas ini tanpa menimbulkan kecurigaan. Aku harus menggunakan segala kelicikan yang kupunyai, agar tanganku tak terlacak dalam kesuksesanmu. Dumbledore akan sangat curiga jika kau melakukan segalanya dengan terlalu mudah. Asal kau bisa masuk maze itu, syukur-syukur lebih dulu dari yang lain - aku tahu, aku akan punya kesempatan menyingkirkan juara-juara lain dan membuat jalanmu mulus. Tetapi aku juga harus menghadapi kebodohanmu. Tugas kedua... itulah saat aku paling takut kita akan gagal. Aku memantaumu terus, Potter. Aku tahu kau tak berhasil memecahkan teka-teki telurmu, jadi aku harus memberimu petunjuk lain..."
"Bukan anda," tuka
s Harry parau. "Cedric yang memberi saya petunjuk."
"Siapa yang memberitahu Cedric untuk membukanya di dalam air" Aku. Aku yakin dia akan meneruskan informasi ini kepadamu. Orang yang tahu sopan santun gampang sekali dimanipulasi, Potter. Aku yakin Cedric pasti ingin membalas budimu karena kau memberitahunya soal naga, dan ternyata memang demikian. Tetapi meskipun begitu, Potter, meskipun begitu, kau tampaknya akan gagal. Aku mengawasi sepanjang waktu. berjam-jam di perpustakaan. Tidakkah kau sadari bahwa buku yang kaubutuhkan selama ini ada di kamarmu" Kutanam di sana jauh-jauh sebelumnya. Kuberikan kepada si Longbottom itu, kau tidak ingat" Tanaman Air Gaib Mediterania dan Khasiatnya. Buku itu akan memberitahu segala yang perlu kau ketahui tentang Gillyweed. Aku mengharapkan kau akan minta bantuan siapa saja. Longbottom akan langsung memberitahumu dalam sekejap. Tetapi kau tidak Tanya. kau tidak Tanya. Kau punya kesombongan dan ketidaktergantungan yang bisa menghancurkan segalanya."
"Jadi apa yang bisa kulakukan" Menyuapimu informasi dari sumber naif lain. Kau memberitahuku di pesta dansa bahwa peri rumah bernama Dobby memberimu hadiah Natal. Kupanggil peri itu ke ruang guru untuk mengambil jubah-jubah yang perlu dicuci. Kubuat percakapan keras dengan Profesor McGonagall tentang para sandera yang telah dibawa, dan apakah Potter akan berpikir untuk menggunakan Gillyweed. Dan teman kecilmu langsung
lari ke kantor Snape dan kemudian bergegas mencarimu..."
Tongkat sihir Moody masih terarah tepat ke jantung Harry. Di atas bahunya, sosok-sosok berkabut bergerak di Cermin Musuh di dinding. "Kau lama sekali di dalam danau, Potter, kupikir kau sudah tenggelam. Tetapi untunglah Dumbledore menganggap ketololanmu itu sebagai perbuatan mulia dan memberimu nilai tinggi untuk itu. Aku bernapas lagi."
"Kau melewati maze lebih gampang dari yang seharusnya malam ini, tentu saja," kata Moody. "Aku berpatroli mengitarnya, bisa melihat menembus pagarnya, bisa menyingkirkan banyak rintangan yang menghadangmu. Aku membuat pingsan Fleur Delacour waktu dia lewat. Kuserang Krum dengan kutukan Imperius, supaya dia menghabisi Diggory dan membuat jalanmu menuju piala tak terhalang."
Harry memandang Moody tak percaya. Dia tak mengerti bagaimana bisa begini. teman Dumbledore, auror terkenal... orang yang telah menangkap banyak sekali pelahap maut... tak masuk akal... sama sekali tak masuk akal...
Sosok-sosok kabut dalam Cermin Musuh semakin tajam, semakin jelas. Harry bisa melihat sosok tiga orang di atas bahu Moody, bergerak makin lama makin dekat. Tetapi Moody tidak melihat mereka. Mata gaibnya menatap Harry.
"Pangeran Kegelapan tidak berhasil membunuhmu, Potter, padahal dia ingin sekali membunuhmu," bisik Moody. "Bayangkan bagaimana dia akan memberiku
penghargaan kalau dia tahu aku telah melakukannya untuknya. Kuberikan kau kepadanya - hal yang paling dibutuhkannya untuk bangkit kembali - dan kemudian kubunuh kau untuknya. Aku akan diberi kehormatan jauh melebihi semua pelahap maut lainnya. Aku akan menjadi pendukungnya yang paling disayanginya, paling dekat dengannya. lebih dekat daripada seorang anak."
Mata normal Moody melotot, mata gaibnya terpaku pada Harry. Pintu terkunci, dan Harry tahu dia tak akan sempat mencabut tongkat sihirnya.
"Pangeran Kegelapan dan aku," kata Moody, dan dia tampak gila sepenuhnya sekarang, menjulang di depan Harry, meliriknya, "banyak persamaannya. Kami berdua, misalnya, sama-sama punya ayah yang sangat mengecewakan. benar-benar sangat mengecewakan. Kami berdua menderita penghinaan, Harry, karena diberi nama sama dengan ayah kami. Dan kami berdua mendapat kesenangan. kesenangan besar. membunuh ayah kami untuk menjamin kebangkitan kembali Pemerintahan Sihir Hitam!"
"Anda gila," kata Harry - dia tak bisa menahan diri.
"Anda gila!" "Gila, ya"" kata Moody, suaranya meninggi tak terkendali. "Kita lihat saja nanti! Kita lihat siapa yang gila, setelah Pangeran Kegelapan kembali, denganku di sisinya! Dia kembali, Harry Potter, kau tidak mengalahkannya - dan sekarang - aku mengalahkanmu!"
Moody mengangkat tongkat sihirny
a, dia membuka mulut. Harry memasukkan tangannya sendiri ke dalam jubahnya...
"Stupefy!" ada kilatan cahaya merah menyilaukan dan dengan bunyi debam keras. Pintu kantor Moody meledak menjadi serpihan...
Moody terbanting ke lantai. Harry, masih memandang tempat di mana tadi wajah Moody berada, melihat Albus Dumbledore. Profesor Snape, dan Profesor McGonagall membalas memandangnya dari Cermin Musuh. Dia berbalik dan melihat ketiganya berdiri di ambang pintu, Dumbledore paling depan, tongkat sihirnya teracung.
Pada saat itu, untuk pertama kalinya Harry memahami sepenuhnya kenapa orang mengatakan Dumbledore adalah satu-satunya penyihir yang ditakuti Voldemort. Tampangnya saat memandang Mad-Eye Moody yang tergeletak pingsan lebih mengerikan daripada yang bisa dibayangkan Harry. Tak ada senyum ramah di wajahnya, tak ada kedip pada mata di balik kacamatanya. Yang ada hanyalah kemarahan dingin di semua gurat di wajah tua itu, kekuatan besar terpancar dari Dumbledore, seakan dia memancarkan panas yang membara.
Bangau Sakti 12 Kelelawar Hijau Lanjutan Payung Sengkala Karya S D Liong Still 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama