Ceritasilat Novel Online

Pangeran Berdarah Campuran 1

Harry Potter Dan Pangeran Berdarah Campuran Karya J.k. Rowling Bagian 1


J.K. Rowling Harry Potter seri ke 6 Pangeran Berdarah Campuran
Daftar Isi 01. MENTERI YANG LAIN 02. SPINNERS END 03. MAU DAN TAK MAU 04. HORACE SLUGHORN 05. DAHAK YANG BERLEBIHAN
06. DILEMA DRACO 07. KLUB SLUG 08. KEMENANGAN SNAPE 09. PANGERAN BERDARAH CAMPURAN
10. RUMAH GAUNT 12. PERAK DAN OPAL 13. RIDDLE YANG SERBA RAHASIA
14. FELIX FELICIS 15. SUMPAH TAK TERLANGGAR
16. NATAL YANG SANGAT DINGIN
17. KENANGAN YANG DIMODIFIKASI
18. KEJUTAN ULANG TAHUN 19. TUGAS RAHASIA PERI-RUMAH
20. PERMOHONAN LORD VOLDEMORT
21. KAMAR YANG TAK-BISA-DIKETAHUI
22. SETELAH PEMAKAMAN 23. HORCRUX 24. SECTUMSEMPRA 25. SANG PELIHAT DICURI-DENGAR
26. GUA 27. MENARA TERSAMBAR PETIR
28. KABURNYA PANGERAN 29. RATAPAN PHOENIX 30. PUSARA PUTIH (TAMAT) 01. MENTERI YANG LAIN Saat itu menjelang tengah malam dan perdana Menteri sedang duduk sendirian di kantornya, membaca laporan panjang yang lewat begitu saja melalui otaknya tanpa meninggalkan makna sedikit pun. Dia sedang menunggu telepon dari presiden Negara yang jauh, dan diantara bertanya-tanya kapan orang sialan itu akan menelepon dan berusaha menekan ingatan tak menyenangkan akan minggu yang sangat panjang, melelahkan, serta sulit, nyaris tak ada ruang tersisa di otaknya untuk hal-hal lain. Semakin dia berusaha memfokuskan pikiran pada halaman tercetak di depannya, semakin jelas Perdana Menteri bisa melihat wajah kegirangan salah satu lawan politiknya. Lawan politik yang satu ini telah muncul dalam berita hari itu, tak hanya menyebutkan satu per satu semua kejadian mengerikan yang terjadi sepanjang minggu lalu (lagi pula siapa yang perlu diingatkan), namun juga menjelaskan kenapa masing-masing musibah itu adalah kesalahan pemerintahan.
Denyut nadi Perdana Menteri bertambah cepat mengingat tuduhan-tuduhan ini, karena semuanya tidak adil dan tidak benar. Bagaimana mungkin pemerintahnya diharapkan bisa mencegah jembatan itu ambruk" Sungguh kelewatan kalau ada yang menuduh mereka tidak menyediakan cukup dana untuk jembatan. Jembatan itu belum lagi sepuluh tahun, dan para ahli yang paling top pun bingung, tak bisa menjelaskan kenapa jembatan itu mendadak putus jadi dua, menjerumuskan selusin mobil ke dalam sungai dalam di bawahnya. Dan beraninya orang menuduh bahwa kurang polisilah penyebab kedua pembunuhan sangat mengerikan yang dipublikasikan secara meluas" Atau bahwa pemerintah mestinya sudah bisa meramalkan terjadinya badai ajaib di West Country yang telah menelan begitu banyak korban baik jiwa maupun harta benda. Dan salahnyakah jika salah satu
menteri mudanya, Herbert Chorley, telah memilih minggu itu untuk bersikap begitu ganjil sehingga sekarang dia akan melewatkan lebih banyak waktu bersama keluarganya"
"Suasana muram menyelimuti Negara ini," si lawan politik menyimpulkan, nyaris tanpa menyembunyikan seringai lebarnya.
Dan celakanya, ini betul sekali. Perdana Menteri merasakannya sendiri; orang-orang betul-betul tampak lebih merana daripada biasanya. Bahkan cuaca pun suram; banyak kabut dingin di tengah bulan juli ... ini tidak benar, ini tidak normal ...
Dia membalik laporan ke halaman dua, melihat laporan itu masih panjang, lalu menyerah. Seraya meregangkan lengan di atas kepala, dia melihat ke sekeliling kantornya dengan pilu. Kantornya bagus, dengan perapian pualam indah menghadap ke jendela-jendela panjang berbingkai, yang sekarang tertutup rapat gara-gara hawa dingin yang aneh. Dengan sedikit bergidik Perdana Menteri bangkit dan berjalan ke jendela, memandang kabut yang berkumpul dan menekan jendela. Saat itulah, ketika berdiri membelakangi ruangan, dia mendengar batuk pelan di belakangnya.
Dia membeku, hidungnya menempel pada bayangan wajahnya yang ketakutan di kaca jendela yang gelap. Dia mengenali batuk itu. Dia pernah mendengarnya sebelumnya. Dia berbalik, sangat perlahan, menghadap ruangan yang kosong.
"Halo"" katanya berusaha terdengar lebih berani daripada yang dirasakannya.
Sesaat dia membiarkan dirinya dikuasai harapan mustahil bahwa tak akan ada yang menjawabnya. Meskipun demikian, jawaban langsung terdengar, suara yang garing dan tegas yang kedengarannya seperti membaca pe
rnyataan yang tertulis. Suara itu datangnya -- seperti yang telah diketahui
Perdana Menteri waktu mendengar batuk yang pertama kali dari pria kecil bertampang kodok memakai wig perak panjang yang tergambar dalam lukisan cat minyak kecil kotor di sudut ruangan yang jauh.
"Kepala Perdana Menteri Muggle. Perlu sekali kita bertemu. Mohon segera ditanggapi. Salam, Fudge. Pria dalam lukisan memandang Perdana Menteri dengan ingin tahu.
"Er," kata Perdana Menteri, "ini bukan saat yang cocok untuk saya ... saya sedang menunggu telepon, soalnya ... dari presiden ne"
"Itu bisa diatur-ulang," kata lukisan segera. Hati Perdana Menteri mencelos. Itu yang dia takutkan.
"Tetapi saya sungguh berharap bisa bicara-"
"Kita atur agar Presiden lupa menelepon anda. Alih-alih sekarang, dia akan menelepon besok malam," kata pria kecil itu. "Tolong segera menjawab Mr Fudge."
"Saya ... oh ... baiklah," kata Perdana Menteri lemah. "Ya, saya akan menemui Fudge."
Dia bergegas kembali ke mejanya, seraya meluruskan dasinya. Baru saja dia duduk dan mengatur agar ekspresi wajahnya tampak rileks dan tak terganggu, api hijau terang mendadak berkobar di perapiannya, di bawah rak pualamnya. Dia mengawasi, berusaha tidak menunjukkan keterkejutan ataupun ketakutan, ketika seorang pria gemuk muncul dalam kobaran api itu, berpusing secepat gasing. Beberapa detik kemudian, dia melompat keluar dari perapian ke permadani antik yang agak bagus, mengibaskan abu dan mantelnya yang panjang bergaris, topi bowler berwarna hijau-limau di tangannya.
"Ah ... Perdana Menteri," kata Cornelius Fudge, melangkah maju dengan tangan terjulur. "Senang bertemu anda lagi."
Perdana Menteri sejujurnya tak bisa membalas dengan ucapan yang sama, maka diam saja. Dia sama sekali tak senang bertemu Fudge, yang muncul dari waktu ke waktu. Kemunculannya sendiri sudah menakutkan, dan biasanya kalau Fudge muncul Perdana Menteri akan mendengar kabar yang sangat buruk. Lagipula, Fudge tampak jelas kelelahan. Dia lebih kurus, kepalanya lebih botak, rambutnya lebih banyak ubannya, dan wajahnya tampak kusut. Perdana Menteri sudah pernah melihat penampilan semacam ini pada banyak politikus sebelumnya, dan ini tak pernah menjadi pertanda baik.
"Bagaimana saya bisa membantu Anda"" tanyanya, sambil sekilas menjabat tangan Fudge dan memberi isyarat ke arah kursi yang paling keras di depan mejanya.
"Sulit mau mulai dari mana", gumam Fudge, seraya menarik kursi, duduk dan meletakkan topi bowler-nya di atas lututnya. "Minggu yang sungguh gila, sungguh gila..."
"Anda mengalami minggu yang buruk juga"" tanya Perdana Menteri kaku, berharap dengan berkata demikian dia sudah menyiratkan bahwa masalahnya sendiri sudah banyak, tanpa perlu ditambahi masalah Fudge.
"Ya, tentu saja," kata Fudge, mengusap matanya dengan letih dan memandang murung Perdana Menteri. "Saya mengalami minggu yang sama dengan Anda, Perdana Menteri. Jembatan Brockdale...pembunuhan keluarga Bones dan Vance...belum lagi kehebohan di West Country..."
"Andaermaksud saya, beberapa rakyat Anda terlibat dalamdalam peristiwa-peristiwa itu, kan""
Fudge memandang Perdana Menteri dengan tatapan yang agak tegang.
"Tentu saja mereka terlibat," katanya. "Mestinya Anda sudah menyadari apa yang terjadi""
"Saya..."gagap Perdana Menteri.
Persis sikap seperti inilah yang membuatnya sangat membenci kunjungan Fudge. Bagaimanapun juga dia Perdana Menteri dan tak suka disudutkan sampai merasa seperti murid yang tak tahu apa-apa. Tetapi tentu saja, situasinya selalu begini sejak pertemuannya dengan Fudge pada malam pertamanya sebagai Perdana Menteri. Dia ingat jelas peristiwa itu, seakan baru terjadi kemarin, dan tahu itu akan menghantuinya sampai hari kematiannya.
Dia sedang berdiri sendirian di kantor ini, menikmati kemenangan yang berhasil diraihnya setelah bertahun-tahun diimpikan dan direncanakan, ketika didengarnya bunyi orang batuk di belakangnya, persis malam ini. Ketika dia berbalik ternyata lukisan kecil jelek itu berbicara kepadanya, memberitahunya bahwa Menteri Sihir akan datang dan memperkenalkan diri.
Wajar saja, saat itu dia mengira kampanye yang la
ma dan ketegangan pemilihan telah membuatnya sinting. Dia ngeri sekali ada lukisan berbicara kepadanya, ketika ada orang yang menyatakan diri sebagai penyihir melompat keluar dari perapian dan menjabat tangannya. Dia bungkam seribu bahasa selama Fudge menjelaskan bahwa ada penyihir yang masih tinggal secara rahasia di seluruh dunia, dan meyakinkan bahwa dia tak perlu memusingkan hal ini karena Kementerian Sihir bertanggung jawab untuk seluruh komunitas sihir dan mencegah populasi non-sihir tahu soal adanya penyihir ini. Ini, kata Fudge, pekerjaan sulit yang mencakup segala sesuatu dari pengaturan soal pertanggung jawaban penggunaan sapu terbang sampai mengendalikan populasi naga (Perdana Menteri ingat dia mencengkeram meja mencari pegangan agar tak jatuh mendengar ini). Fudge kemudian menepuk bahu Perdana Menteri yang masih kaget dengan gaya kebapakan.
"Tak perlu kuatir," katanya, "kemungkinan Anda tak akan bertemu saya lagi. Saya hanya akan mengganggu Anda jika
ada sesuatu yang benar-benar serius terjadi di tempat kami, sesuatu yang akan berpengaruh terhadap Mugglepopulasi non-sihir, menurut hemat saya. Kalau tidak, kita hidup sendiri-sendiri dalam damai. Dan harus saya katakan, Anda menerima ini jauh lebih baik daripada orang yang Anda gantikan. Dia berusaha melempar saya keluar dari jendela, mengira saya ini olok-olok yang dikirim oleh partai lawan."
Mendengar ini, akhirnya Perdana Menteri bisa bicara lagi.
"Jadi, Anda bukan olok-olok""
Itu harapannya yang terakhir, harapan dalam keputusasaan.
"Bukan," kata Fudge lembut. "Bukan, sayang bukan. Lihat."
Dan dia mengubah cangkir teh Perdana Menteri menjadi tikus kecil.
"Tapi", kata Perdana Menteri menahan napas, mengawasi cangkirnya mengunyah-ngunyah, "tetapi kenapakenapa tak ada yang memberitahu saya--""
"Menteri Sihir hanya memperlihatkan diri kepada Perdana Menteri Muggle yang sedang menjabat," kata Fudge, menyelipkan kembali tongkat sihirnya ke dalam jaketnya. "Kami menganggap itu cara terbaik untuk menjaga kerahasiaan."
"Tapi kalau begitu," Perdana Menteri mengembik, "kenapa tak ada mantan perdana menteri yang memperingatkan saya--""
Mendengar ini, Fudge betul-betul tertawa.
"Perdana Menteri yang baik, apakah Anda akan memberitahu orang lain""
Masih terkekeh, Fudge melemparkan sejumput bubuk ke dalam perapian, melangkah ke dalam lidah api hijau-zamrud, dan menghilang dengan bunyi deru. Perdana Menteri berdiri
tertegun, tak bergerak, dan sadar bahwa dia tak akan pernah, seumur hidupnya, berani menyebut-nyebut pertemuan ini kepada orang lain, karena siapa sih di dunia ini yang akan mempercayainya"
Keterkejutannya perlu beberapa waktu untuk memudar. Selama beberapa waktu dia berusaha meyakinkan diri bahwa Fudge betul-betul halusinasi yang disebabkan oleh kekurangan tidur selama kampanye pemilihan yang sangat meletihkan. Dalam usaha sia-sia untuk menyingkirkan semua yang mengingatkannya akan pertemuan yang membuat tidak nyaman ini, dia memberikan tikus kecilnya kepada keponakannya yang senang sekali dan menginstruksikan kepada sekretaris pribadinya untuk menurunkan lukisan laki-laki kecil jelek yang telah mengumumkan kedatangan Fudge. Meskipun demikian, betapa kecewanya Perdana Menteri, lukisan itu ternyata tak mungkin dipindahkan. Ketika beberapa tukang kayu, satu atau dua ahli bangunan, seorang sejarawan seni, dan ketua bendahara semuanya telah mencoba tanpa hasil mencopot lukisan itu dari dinding, Perdana Menteri menyerah dan hanya berharap lukisan itu tetap bergeming dan tak bersuara selama sisa masa jabatannya. Kadang-kadang dia yakin sekali melihat dari sudut matanya penghuni lukisan itu menguap atau menggaruk hidungnya; bahkan, sekali atau dua kali, dia berjalan keluar begitu saja dari lukisannya dan hanya meninggalkan sehelai kanvas berwarna cokelat-lumpur. Meskipun demikian Perdana Menteri telah melatih diri agar tidak terlalu sering melihat lukisan itu, dan selalu memberitahu dirinya dengan tegas bahwa matanya mempermainkannya jika sesuatu seperti ini terjadi.
Kemudian, tiga tahun yang lalu, pada malam yang mirip sekali dengan malam ini, Perdana Menteri sedan
g sendirian di dalam kantornya ketika lukisan itu sekali lagi mengumumkan Fudge sebentar lagi akan datang. Fudge muncul begitu saja dari perapian, basah kuyup dan dalam keadaan cukup panik. Sebelum Perdana Menteri sempat bertanya kenapa air
menetes-netes dari pakaiannya membasahi karpetnya, Fudge sudah mulai berteriak-teriak tentang penjara yang belum pernah didengar Perdana menteri, seorang laki-laki bernama "Serius" Black, sesuatu yang kedengarannya seperti Hogwarts dan seorang anak laki-laki bernama Hary Potter, tak satu pun masuk akal bagi Perdana Menteri.
"...Saya baru datang dari Azkaban," kata Fudge terengah, menuangkan cukup banyak air dari pinggiran topi bowlernya ke dalam sakunya. "Di tengah Laut Utara, Anda tahu, pelarian yang sangat gawat...para Dementor gempar---"dia bergidik "--belum pernah ada yang berhasil kabur dari sana. Bagaimanapun juga, saya harus datang kepada Anda, Perdana menteri. Black diketahui sebagai pembunuh Muggle dan mungkin merencanakan bergabung dengan Anda-Tahu-Siapa!" Dia menatap Perdana Menteri tanpa harapan selama beberapa saat, kemudian berkata, "Nah, duduklah, duduklah, sebaiknya saya beritahu Anda...silahkan minum wiski... "
Perdana Menteri agak sebal disuruh duduk di kantornya sendiri, apalagi ditawari wiskinya sendiri, namun dia toh duduk juga. Fudge telah mencabut tongkat sihirnya, menyihir dua gelas penuh cairan kekuningan dari udara kosong, mendorong salah satunya ke tangan Perdana Menteri, dan menarik kursi.
Fudge berbicara selama lebih dari satu jam. Dia menolak menyebutkan satu nama tertentu, dan alih-alih menyebutnya dia menuliskannya pada secarik perkamen, yang kemudian disorongkannya ke tangan Perdana Menteri yang bebas-wiski. Ketika akhirnya Fudge berdiri untuk pergi, Perdana Menteri juga berdiri.
"Jadi menurut Anda... " dia menyipitkan mata membaca nama di tangan kirinya, "Lord Vol"
"Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut!" gertak Fudge.
"Maaf...menurut Anda, Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut nasih hidup, kalau begitu""
"Yah, kata Dumbledore begitu," kata Fudge, seraya mengancingkan mantel bergarisnya di bawah dagunya, 'tapi kami belum pernah berhasil menemukannya. Jika Anda tanya pendapat saya, dia tidak berbahaya kecuali dia punya pendukung. Jadi, Black-lah yang harus kita cemaskan. Nah, saya harap kita tidak bertemu lagi, Perdana Menteri! Selamat malam!"
Nyatanya mereka bertemu lagi. Kurang dari setahun yang lalu, Fudge yang tampak kacau muncul begitu saja entah dari mana Ruang Kabinet untuk memberitahu Perdana Menteri bahwa ada gangguan dalam Piala dunia Kwidditch (kedengarannya begitu) dan bahwa beberapa Muggle "terlibat", namun Perdana Menteri diminta agar tidak khawatir, fakta bahwa Tanda Kau-Tahu-Siapa terlihat lagi tidka berarti apa-apa. Fudge yaakin itu insiden yang tak ada hubungannya dan Kantor Hubungan Muggle sedang menangani semua modifikasi memori sementara mereka berbicara itu.
"Oh, dan saya hampir lupa," Fudge menambahkan. "Kami mengimpor tiga naga asing dan satu sphinx untuk Turnamen Triwizard, cukup rutin, tapi Departemen Pengaturan dan Pengawasan Makhluk-Makhluk Gaib memberitahu saya, dalam buku peraturan tercantum bahwa kami harus memberitahu Anda kalau kami memasukkan makhluk-makhluk sangat berbahaya ke dalam negara ini."
"Sayaapanaga"" gagap Perdana Menteri.
"Ya, tiga," kata Fudge. "Dan satu sphinx. Nah, selamat siang."
Perdana Menteri sungguh berharap bahwa naga dan sphinx adalah yang terburuk, namun ternyata tidak. Kurang dari dua tahun kemudian, Fudge muncul dari perapian lagi, kali dengan berita bahwa ada pelarian besar-besaran dari Azkaban.
"Pelarian besar-besaran"" Perdana Menteri mengulang parau.
"Tak perlu kuatir, tak perlu kuatir!" teriak Fudge. Satu kakinya sudah di dalam lidah api. "Kami akan menangkap mereka dalam waktu singkathanya saja saya pikir anda perlu tahu!"
Dan sebelum Perdana Menteri bisa berteriak, "Tunggu dulu!" Fudge telah menghilang dalam siraman bunga api hijau.
Apa pun yang dikatakan pers dan partai lawan, Perdana Menteri bukanlah orang bodoh. Tidak luput dari perhatiannya bahwa, kendati Fudge meyakinkannya agar tenang
dalam pertemuan pertama mereka, mereka kini agak sering bertemu, dan juga dalam setiap kunjungan Fudge semakin bingung. Walaupun dia tak suka memikirkan Menteri Sihir (atau, seperti dia selalu menyebut Fudge dalam kepalanya, Menteri yang Lain), Perdana Menteri mau tak mau cemas bahwa kali berikutnya Fudge muncul, dia akan membawa berita yang lebih menakutkan. karena itu, kedatangan Fudge, yang melangkah keluar dari perapian sekali lagi, tampak berantakan dan ketakutan dan sangat heran bahwa Perdana Menteri tidak tahu kenapa persisnya dia berada di sana, adalah hal terburuk yang terjadi selama seminggu yang luar biasa suram ini.
"Bagaimana mungkin saya tahu apa yang sedang terjadi dierkomunitas sihir"" bentak Perdana Menteri sekarang. "Saya punya negara untuk diurus dan cukup banyak masalah saat ini tanpa"
"Masalah kita sama," potong Fudge. "Jembatan Brockdale tidak rusak. Dan itu bukan angin ribut. Pembunuhan itu bukan perbuatan Muggle. Dan keluarga Herbert Chorley akan lebih aman tanpa dia. Kami saat ini sedang mengatur untuk memindahkannya ke Rumah Sakit St Mungo untuk Penyakit dan Luka-Luka Sihir. Perpindahan akan dilaksanakan malam
ini." "Apa maksud Anda...saya rasa saya tidak...apa"" gertak Perdana Menteri.
Fudge menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Perdana Menteri, saya sungguh menyesal terpaksa harus memberitahu Anda bahwa Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut telah
kembli." "Kembali" Sewaktu Anda mengatakan 'kembali'...dia hidup" Maksud saya"
Perdana Menteri mencari-cari dalam ingatannya rincian percakapan mengerikan tiga tahun sebelumnya, ketika Fudge memberitahunya tentang penyihir yang paling ditakuti, penyihir yang telah melakukan seribu tindak kriminal sebelum menghilang secara misterius lima belas tahun yang lalu.
"Ya, hidup," kata Fudge. "Maksud sayasaya tak tahu apakah orang bisa dikatakan hidup kalau dia tak bisa dibunuh" Sebenarnya saya tidak mengerti, dan Dumbledore tidak mau menjelaskan dengan gamblangtapi bagaimanapun juga, dia jelas punya tubuh dan bisa berjalan dan bicara dan membunuh, maka saya kira untuk keperluan pembicaraan kita, ya, dia hidup."
Perdana Menteri tidak tahu harus menanggapi bagaimana, namun kebiasaan yang telah melekat pada dirinya untuk selalu tampil serba tahu tentang topik apa saja yang muncul, membuatnya mencari-cari detail yang bisa diingatnya dalam pembicaraan mereka sebelumnya.
"Apakah Serius Black bersamaerDia yang Namanya Tak Boleh Disebut""
"Black"Black"" kata Fudge bingung, memutar-mutar topi bowlernya dengan cepat dengan jari-jarinya. "Sirius Black, maksud Anda" Jenggot Merlin, tidak, Black sudah meninggal. Ternyata kamierkeliru tentang Black. Dia tidak bersalah. Dan dia juga tidak bersekutu dengan Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut. Maksud saya," dia menambahkan membela diri, memutar topinya lebih cepat, "semua bukti menunjukkami punya lebih dari lima puluh saksi matatapi bagaimanapun
juga, seperti yang saya katakan, dia sudah meninggal. Dibunuh, sebenarnya. Di kantor Kementrian Sihir. Akan ada penyelidikan, sebetulnya... "
Perdana Menteri heran sendiri ketika dia merasa kasihan kepada Fudge saat itu. Namun rasa kasihannya segera dipudarkan oleh rada puas diri, saat terpikir olehnya bahwa, sekalipun dia tak bisa muncul dari dalam perapian, tidak pernah terjdi pembunuhan departemen pemerintahan mana pun di bawah tanggung jawabnya...belum, paling tidak...
Sementara Perdana Menteri sembunyi-sembunyi mengetuk papan mejanya, Fudge melanjutkan, "Tapi Black sudah lewat. Persoalannya sekarang, kita sedang perang, Perdana Menteri, dan harus ada langkah-langkah yang diambil."
"Perang"" ulang Perdana Menteri gugup. "tentunya pernyataan itu agak berlebihan""
"Para pengikut Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut yang kabur dari Azkaban Januari lalu sekarang sudah bergabung dengannya," kata Fudge, berbicara makin lama makin cepat, dan memutar topinya begitu cepatnya sehingga seperti pusaran hijau-limau. "Sejak bergerak terang-terangan, mereka menyebabkan malapetaka di mana-mana. Jembatan Brockdaledia yang melakukannya, Perdana Menteri, dia mengancam akan mengadakan pembunuhan massa
l Muggle kalaus aya tidak mau menyisih untuknya dan"
"Astaga, jadi kesalahan Anda-lah orang-orang ini terbunuh dan saya harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang tiang-penyangga berkarat dan perpanjangan-sendi keropos dan entah apa lagi!" kata Perdana Menteri berang.
"Salah saya!" kata Fudge, wajahnya memerah. "apakah Anda mau mengatakan Anda mau memfitnah saya""
"Barangkali tidak," kata Perdana Menteri, bangkit berdiri dan berjalan mengelilingi ruangan, tapi saya akan
mengerahkan segala upaya untuk menangkap si penjahat sebelum dia melakukan kekejian seperti itu!"
"Apakah Anda benar-benar mengira saya belum mengerahkan segala upaya" tuntut Fudge panas. "Semua Auror di Kementrian sudahdan sedangberusaha mencarinya dan menangkapi para pengikutnya, tapi yang kita bicarakan ini salah satu penyihir paling hebat sepanjang masa, penyihir yang berhasil menghindari penangkapan selama hampir tiga dekade!"
"Jadi, saya rasa Anda akan memberitahu saya dia menyebabkan angin ribut di West Country juga"" kata Perdana Menteri, kemarahannya meningkat seiring setiap langkahnya. Sungguh mengesalkan berhasil mengetahui alasan terjadinya malapetaka mengerikan ini dan tidak bisa memberitahu publik, hampir sama buruknya dengan kalau itu kesalahan pemerintahan.
"Itu bukan angin ribut," kata Fudge merana.
"Maaf!" bentak Perdana Menteri, sekarang benar-benar mengentakkan kaki. "Pohon-pohon tercabut, atap-atap
beterbangan, tiang-tiang lampu bengkok, luka-luka mengerikan"
"Itu ulah Pelahap Maut," kata Fudge. "Para pengikut Dia
yang Namanya Tak Boleh disebut...dan kami mencurigai keterlibatan raksasa."
Perdana Menteri langsung berhenti berjalan seolah dia menabrak dinding yang tak kelihatan.
"Keterlibatan apa""
Fudge meringis. "Dia menggunakan raksasa kali lalu, ketika ingin memberi efek luar biasa. Kantor Informasi yang Keliru telah bekerja dua puluh empat jam sehari, kami mengirim timtim Obliviator untuk memodifikasi memori semua Muggle yang melihat apa yang sesungguhnya terjadi, sebagian besar
personel Pengaturan dan Pengawasan Makhluk-Makhluk Gaib berkeliaran di Somerset, tapi kami belum berhasil menemukan raksasanyasungguh malapetaka!"
"Malapetaka besar!" kata Perdana Menteri gusar.
"Saya tidak membantah bahwa kami semua terpukul di Kementrian," kata Fudge. "dengan semua kejadian itu dan kemudian kehilangan Amelia Bones."
"Kehilangan siapa""
"Amelia Bones, kepala Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir. Kami menduga Dia yang Namanya Tak bOleh disebut sendiri yang membunuhnya, karena Amelia penyihir yang sangat berbakatdan semua bukti menunjukkan dia melawan dengan gigih."
Fudge berdehem dan, dengan susah payah, kelihatannya, berhenti memutar topi bowler-nya.
"Tapi pembunuhan itu ada di koran-koran," kata Perdana Menteri, sejenak marahnya terlupakan. "Koran kami. Amelia Bones...hanya dikatakan dia wanita setengah-baya yang hidup sendirian. Pembunuhan yangyang mengerikan, kan" Agak banyak dipublikasikan. Polisi bingung, soalnya."
Fudge menghela napas. "Yah, tentu saja mereka bingung. Terbunuh dalam kamar yang dikunci dari dalam, kan" Kami sebaliknya, tahu persis siapa yang melakukannya, walaupun itu tidak membuat kami jadi selangkah lebih maju dalam usaha menangkapnya. Dan kemudian Emmeline Vance, barangkali Anda tidak dengar tentang yang ini"
"Oh ya, saya dengar!" kata Perdana Menteri. "Terjadinya malah hanya dibalik tikungan dekat sini. Koran-koran mendapat berita seru. Pelanggaran Hukum di halaman belakang kantor Perdana Menteri"
"Dan seakan itu semua belum cukup," kata Fudge, hampir-hampir tidak mendengarkan Perdana Menteri, "masih ada para
Dementor yang berkeliaran, menyerang orang di mana-mana... "
Suatu hari di saat yang lebih menyenangkan, kalimat ini pastilah tak dimengerti Perdana Menteri, namun sekarang dia lebih bijaksana.
"Bukankah para Dementor menjaga para napi di Azkaban"" dia bertanya hati-hati.
"Memang, dulu," kata Fudge letih. "Tapis ekarang tidak lagi. Mereka meninggalkan penjara dan bersekutu dengan Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut. Saya tak akan berpura-pura bahwa ini bukan pukulan berat."
"Tapi," kata Perdana Menteri, mu
lai merasa ngeri, bukankah Anda memberitahu saya mereka makhluk-makhluk yang menyedot harapan dan kebahagiaan dari orang-orang""
"Betul. Dan mereka berkembang biak. Itulah yang menyebabkan adanya semua kabut ini."
Perdana Menteri, yang lututnya mendadak lemas, ternyata duduk di kursi terdekat. Membayangkan makhlu-makhluk tak kelihatan melayang-layang di seluruh kota dan pedesaan, menyebarkan keputusasaan dan hilang harapan di antara para pemilihnya, membuatnya pusing.
"Dengar, FudgeAnda harus melakukan sesuatu! Ini tanggung jawab Anda sebagai Menteri Sihir!"
"Perdana Menteri yang baik, masa Anda mengira saya masih tetap menjabat Menteri Sihir setelahs emua kejadian ini" Saya dipecat tiga hari yang lalu. Seluroh komunitas sihir sudah berteriak menuntut pengunduran diri saya selama dua minggu ini. Belum pernah saya melihat mereka bersatu seperti itu selama masa jabatan saya! kata Fudge, berusaha memberanikan diri tersenyum.
Perdana Menteri selama beberapa saat kehilangan kata-kata. Kendati dia jengkel ditempatkan dalam posisi terpojok,
dia masih merasa agak kasihan terhadap laki-laki bertampang kuyu yang duduk di depannya.
"Saya ikut prihatin," katanya akhirnya. "kalau ada yang bisa saya lakukan""
"Anda baik sekali, Perdana Menteri, tapi tak ada yang bisa Anda lakukan. Saya dikirim ke sini malam ini untuk memberitahu Anda perkembangan situasi terakhir dan memperkenalkan Anda kepada pengganti saya. Saya pikir mestinya dia sudah di sini sekarang, tapi tentu saja dia sangat sibuk, dengan begitu banyak kejadian."
Fudge berpaling memandang lukisan laki-laki kecil jelek memakai wig panjang ikal perak, yang sedang mengorek telinganya dengan ujung pena-bulu.
Menangkap mata Fudge, lukisan itu berkata, "Dia akan ke sini sebentar lagi, dia sedang menyelesaikan surat kepada Dumbledore."
"Semoga dia beruntung," kata Fudge, terdengar getir untuk pertama kalinya. "Aku menulis kepada Dumbledore dua kali sehari selama dua minggu terakhir ini, tetapi dia bergeming. Kalau saja dia bersedia membujuk anak itu, aku mungkin masih...yah, barangkali Scrimgeour akan lebih berhasil."
Baru saja Fudge terdiam dan tampak sedih, keheningan dipecahkan oleh lukisan, yang tiba-tiba saja berbicara dengan suara garing dan resmi.
"kepala Perdana Menteri Muggle. Memohon pertemuan. Urgen. Tolong segera ditanggapi. Rufus Scrimgeour, Menteri
Sihir." "Ya,ya, baik," kata Perdana Menteri dengan pikiran kacau, dan belum sempat dia bergerak, api dalam perapiannya sudah berubah hijau-zamrud lagi, berkobar dan memperlihatkan penyihir berpusar yang kedua di tengahnya, mengeluarkannya beberapa saat kemudian di atas permadani antik. Fudge
bangkit dan setelah ragu-ragu sejenak, Perdana Menteri ikut bangkit, mengawasi penyihir yang baru datang menegakkan diri, mengebaskan debu dari jubah hitamnya yang panjang, dan memandang berkeliling.
Pikiran bodoh pertama Perdana Menteri adalah bahwa Rufus Scrimgeour tampak seperti singa tua. Rambutnya yang berwarna kuning-kecoklatan dihiasi uban di sana-sini, demikian juga alisnya yang lebat. Matanya tajam kekuningan di belakang kacamata berbingkai kawat, dan dia memiliki keanggunan yang menyiratkan dia sanggup berjalan jauh dan melompat, walaupun jalannya sedikit timpang. Kesan langsung yang timbul adalah dia cerdas dan tegar. Perdana Menteri membatin dia memahami kenapa komunitas sihir lebih memilih Scrimgeour daripada Fudge sebagai pemimpin dalam situasi berbahaya begini.
"Apa kabar"" sambut Perdana Menteri sopan, mengulurkan tanagnnya.
Scrimgeour menjabatnya singkat, matanya meneliti seluruh ruangan, kemudian dia menarik keluar tongkat sihir dari balik jubahnya.
"Fudge sudah memberitahu Anda semuanya"" dia bertanya, berjalan ke pintu dan mengetuk lubang kuncinya dengan tongkat sihirnya. Perdana Menteri mendengar bunyi "ceklek" pintunya yang mengunci.
"Erya," kata Perdana Menteri. "Dan jika Anda tidak keberatan, saya lebih suka pintu tidak terkunci"
"Saya lebih suka tidka terganggu," kata Scrimgeour pendek, "atau diintip," dia menambahkan, mengacungkan tongkat sihirnya ke deretan jendela sehingga gordennya menutup semua. "Baik, nah,
saya sibuk sekali, jadi kita langsung ke pokok masalahnya. Yang pertama, kita perlu merundingkan keamanan Anda."
Perdana Menteri berdiri tegak dan menjawab, "Saya sudah puas dengan sistem keamanan yang saya miliki, terima ka"
"Kami tidak," potong Scrimgeour. "Rawan sekali bagi para Muggle kalau Perdana Menteri mereka sampai berada di bawah Kutukan Imperius. Sekretaris baru Anda di kantor
luar" "Saya tidak bersedia memberhentikan Kingsley Shacklebolt, kalau itu yang Anda usulkan!" kata Perdana Menteri panas. "Dia sangat efisien, menyelesaikan pekerjaan dua kali lebih cepat daripada yang lain"
"Itu karena dia penyihir," kata Scrimgeour, tanpa senyum sedikit pun. "Auror sangat terlatih, yang ditugaskan untuk melindungi Anda."
"Tunggu sebentar!," tukas Perdana Menteri. "Anda tak bisa begitu saja memasukkan orang-orang Anda di kantor saya, saya yang menentukan siapa-siapa yang bekerja untuk saya
" "Bukankah tadi Anda katakan Anda puas dengan Shcklebolt"" kata Scrimgeour dingin.
"Memangmaksud saya, tadinya"
"Kalau begitu tak ada masalah,kan"" kata Scrimgeour.
"Saya...yah, asal kerja Shacklebolt tetap..er..hebat," kata Perdana Menteri tertegun-tegun.
"Sekarang tentang Herbert Chorleymenteri muda Anda," dia melanjutkan. "Yang menghibur publik dengan menirukan
bebek." "Bagaimana dengan dia"" tanya Perdana Menteri.
"Jelas sekali itu disebabkan oleh Kutukan Imperius yang tidka sempurna,' kata Scrimgeour. "Kutukan itu mengacaukan otaknya, tapi dia masih bisa berbahaya."
"Dia cuma meleter!" kata Perdana Menteri lemah. " Tentunya istirahat sedikit...barangkali mengurangi minum... "
"Tim Penyembuh dari Rumah Sakit St Mungo untuk Penyakit dan Luka-Luka Sihir sedang memeriksanya sementara kita bicara ini. Sejauh ini dia sudah berusaha mencekik tiga di antara mereka," kata Scrimgeour. "Saya rasa paling baik kita pindahkan dia dari masyarakat Muggle untuk sementara waktu."
"Saya...yah...dia akan sembuh, kan" kata Perdana Menteri cemas. Scrimgeour hanya mengangkat bahu, sudah bergerak ke arah perapian.
"Nah, hanya itu yang ingin saya sampaikan. Saya akan mengabarkan perkembangan yang terjadi kepada Anda, Perdana Menteriatau paling tidak, saya barangkali akan terlalu sibuk untuk bisa datang sendiri, dalam hal ini saya akan mengirim Fudge ke sini. Dia sudah sepakat tetap di Kementrian dalamkapasitas sebagai penasihat."
Fudge berusaha tersenyum, namun gagal, jadinya dia cuma seperti orangs akit gigi; Scrimgeour sudah mencari-cari dalam sakunya bubuk misterius yang mengubah warna api jadi hijau. Perdana Menteri memandang tak berdaya mereka berdua sejenak, kemudian kata-kata yang dicoba ditahannya sepanjang malam ini akhirnya meledak keluar.
"Tapi astagaAnda berdua kan penyihir! Anda bisa melakukan sihir! Tentunya Anda bisa membereskanyahapa
saja!" Scrimgeour berputar perlahan di tempatnya berdiri dan betukar pandang tak percaya dengan Fudge, yang kali ini benar-benar tersenyum ketika dia berkata dengan baik hati, "Persoalannya, pihak satunya itu juga bisa sihir, Perdana Menteri!"
Dan dengan kata-kata itu, kedua penyihir melangkah bergantian ke dalam api berwarna hijau cemerlang dan lenyap.
02. SPINNERS END Di tempat yang berjarak berkilo-kilo meter, kabut dingin yang menekan jendela Perdana Menteri melayang di atas sungai kotor yang berkelok-kelok sepanjang tepian yang ditumbuhi semak dengan sampah berserakan. Sebuah cerobong besar, peninggalan penggilingan yang sudah tak terpakai, menjulang, seperti bayangan mengerikan. Tak ada suara selain desah air hitam dan tak ada tanda-tanda kehidupan kecuali seekor rubah kurus yang menyelinap menuruni tepian sungai, mengendus-endus penuh harap bungkus kentang dan ikan goreng di antara rerumputan tinggi.
Namun kemudian, dengan bunyi pop pelan, sosok ramping berkerudung tiba-tiba muncul di tepi sungai. Si rubah membeku, matanya yang waspada tertuju pada wujud baru yang aneh ini. Sosok itu tampak memperhatikan keadaan sekelilingnya sesaat, kemudian berjalan dengan langkah-langkah ringan dan cepat, mantel panjangnya berkeresek di atas rumput.
Terdengar bunyi pop kedua yang lebih keras, dan satu lagi so
sok berkerudung muncul. "Tunggu!" Seruan parau ini mengejutkan si rubah, yang sedang mengendap nyaris rata di bawah semak. Rubah itu melompat dari tempat persembunyiannya dan berlari menaiki tebing.
Seleret cahaya hijau menyambar, terdengar dengkingan, dan si rubah terjatuh kembali di tanah, mati.
Sosok kedua membalik binatang itu dengan jari-jari kakinya.
"Cuma rubah," kata suara Wanita -- lega dari bawah kerudung. "Kukira tadi mungkin Auror-Cissy, tunggu!"
Namun buruannya, yang tadi berhenti dan menoleh ketika cahaya menyambar, sudah merayap memanjat tebing tempat si rubah tadi tergelincir.
"Cissy Narcissa dengarkan aku-- "
Wanita kedua berhasil mengejar yang pertama dan menyambar lengannya, namun si wanita pertama menariknya lepas.
"Pulanglah, Belia!"
"Kau harus mendengarkan aku!"
"Aku sudah mendengarkan. Aku sudah mengambil keputusan. Tinggalkan aku sendiri."
Wanita bernama Narcissa mencapai tepian sungai. Di tempat itu pagar tua memisahkan sungai itu dari jalan batu sempit. Wanita yang lain, Bella, langsung menyusulnya. Mereka berdiri berdampingan memandang ke seberang jalan, ke deretan-deretan rumah bata kumuh, jendela-jendelanya suram dan tertutup dalam kegelapan.
"Dia tinggal di sini"" tanya Bella dengan suara menghina. "Di sini" Di kawasan kumuh Muggle ini" Kita pasti orang pertama bangsa kita yang menginjakkan kaki-- "
Namun Narcissa tidak mendengarkan; dia telah menyelinap melewati celah di pagar berkarat dan bergegas menyeberang jalan.
"Cissy, tunggu!"
Bella menyusul, mantelnya melambai di belakangnya, dan melihat Narcissa berlari sepanjang jalan sempit di antara rumah-rumah, masuk ke jalan sempit yang nyaris identik. Beberapa lampu jalanan tidak menyala; kedua wanita ini berlari bergantian melewati jalanan yang diterangi seberkas cahaya dan tempat-tempat yang gelap gulita. Si pengejar berhasil mengejar buruannya tepat ketika dia akan berbelok lagi, kali ini dia berhasil menangkap lengannya dan membalikkan tubuhnya, sehingga mereka berhadapan.
"Cissy, kau tak boleh melakukan ini, kau tak bisa memercayainya-- "
"Pangeran Kegelapan memercayainya, kan""
"Pangeran Kegelapan ... kurasa ... keliru," Bella tersengal, dan sekejap matanya berkilat di bawah kerudungnya ketika dia memandang berkeliling untuk memastikan mereka benar-benar berdua saja. "Bagaimanapun juga, kita sudah dipesan tidak boleh memberitahukan rencana ini kepada siapa pun. Ini pengkhianatan terhadap perintah Pangeran Kegel-- "
"Lepaskan, Bella!" gertak Narcissa dan dia mencabut tongkat sihir dari bawah mantelnya, mengacungkannya dengan mengancam ke wajah pengejarnya. Bella hanya tertawa.
"Cissy, kakakmu sendiri" Kau tak akan-- "
"Tak ada lagi yang tak akan kulakukan!" Narcissa mendesah, ada nada histeris dalam suaranya, dan begitu dia menebaskan tongkatnya seperti pisau, ada sambaran cahaya lagi. Bella melepas lengan adiknya seakan tangannya terbakar.
"Narcissa!" Tetapi Narcissa telah berlari meninggalkannya. Seraya menggosok-gosok tangannya, Bella mengejarnya lagi, kali ini menjaga, jarak, ketika mereka masuk lebih jauh dalam labirin rumah-rumah bata tanpa penghuni. Akhirnya Narcissa
bergegas menyusuri jalan bernama Spinner's End -- Ujung Pemintal. Di atas jalan itu cerobong penggilingan tampak menjulang, seperti jari raksasa yang sedang memberi teguran. Langkah-langkahnya bergaung di atas jalan batu ketika dia melewati jendela-jendela yang kacanya pecah dan ditutup papan, sampai dia tiba di rumah paling akhir. Di rumah itu ada cahaya temaram dari balik jendela bergorden di, sebuah ruangan di lantai bawah.
Dia telah mengetuk pintu sebelum Bella, mengutuk pelan, berhasil menyusulnya. Bersama-sama mereka berdiri menunggu, sedikit terengah, menghirup bau sungai kotor yang terbawa angin malam ke hidung mereka. Selewat beberapa saat mereka mendengar gerakan di balik pintu dan pintu membuka secelah. Dari celah sempit itu tampak seorang pria memandang mereka, pria dengan rambut panjang terbelah di tengah, seperti gorden yang membingkai wajahnya yang pucat dan matanya yang hitam.
Narcissa melempar kerudung kepalanya ke belakang. Wajahnya pucat sekali s
ehingga tampaknya bersinar dalam kegelapan; rambut pirangnya yang panjang dan terjurai di punggungnya membuatnya tampak seperti orang tenggelam.
"Narcissa!" kata pria itu, membuka pintu sedikit lebih lebar, sehingga cahaya mengenai dia dan juga kakaknya. "Sungguh kejutan menyenangkan!"
"Severus," katanya dalam bisikan tegang. "Boleh aku bicara denganmu" Penting sekali."
"Tentu saja." Pria itu mundur agar Narcissa bisa melewatinya masuk ke dalam rumah. Kakaknya yang masih berkerudung ikut masuk tanpa dipersilakan.
"Snape " katanya pendek ketika melewatinya
"Bellatrix," balasnya, mulutnya yang tipis melengkung menjadi senyum agak mengejek ketika dia menutup pintu rapat-rapat di belakang mereka.
Mereka masuk ke ruang duduk mungil, yang memberi kesan sel gelap berperedam. Seluruh dindingnya dipenuhi buku, sebagian besar buku-buku tua dengan sampul kulit hitam atau cokelat; sebuah sofa usang, kursi berlengan tua, dan meja reyot berkumpul dalam cahaya temaram yang disorotkan oleh lampu lilin yang tergantung di langit-langit. Tempat ini kesannya telantar, seakan biasanya tidak dihuni.
Snape memberi isyarat agar Narcissa duduk di sofa. Narcissa membuka mantelnya, melemparnya, dan duduk, memandang tangannya yang putih gemetar terkatup di pangkuannya. Bellatrix menurunkan kerudungnya lebih pelan. Jika adiknya berkulit putih, kulitnya gelap, dengan mata berpelupuk tebal dan rahang kuat. Dia tak melepaskan pandangan dari Snape ketika bergerak untuk berdiri di belakang Narcissa.
"Nah, apa yang bisa kulakukan untukmu"" tanya Snape, seraya duduk di kursi berlengan di hadapan kedua kakak-beradik itu.
"Kita ... kita sendiri, kan"" Narcissa bertanya pelan.
"Ya, tentu saja. Wormtail ada di sini, tapi tikus tidak masuk hitungan, kan""
Snape mengacungkan tongkat sihirnya ke dinding buku di belakangnya dan, dengan bunyi letupan, sebuah pintu rahasia menjeblak terbuka, memperlihatkan sebuah tangga sempit, di atasnya seorang pria kecil berdiri membeku.
"Seperti yang jelas telah kau ketahui, Wormtail, ada tamu," kata Snape santai.
Pria itu merayap dengan membungkuk menuruni beberapa anak tangga terakhir dan masuk ke dalam ruangan. Matanya
kecil, berair, hidungnya runcing, dan senyumnya tidak menyenangkan. Tangan kirinya mengelus tangan kanannya, yang kelihatannya seakan terbungkus sarung tangan perak terang.
"Narcissa!" katanya, dengan suara melengking, "dan Bellatrix! Sungguh menyenangkan -- "
"Wormtail akan mengambilkan minuman, jika kalian mau minum," kata Snape. "Dan kemudian dia akan kembali ke kamarnya."
Wormtail berjengit seakan Snape melemparnya dengan sesuatu.
"Aku bukan pembantumu!" lengkingnya, menghindari mata Snape.
"Masa" Setahuku Pangeran Kegelapan menempatkanmu di sini untuk membantuku."


Harry Potter Dan Pangeran Berdarah Campuran Karya J.k. Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Untuk membantu, ya tetapi bukan untuk membuatkan minuman dan -- dan membersihkan rumahmu!"
"Aku tak tahu, Wormtail, bahwa kau menginginkan tugas yang lebih berbahaya," kata Snape licik. "Ini bisa diatur dengan mudah. Aku akan bicara kepada Pangeran Kegelapan " "Aku bisa bicara sendiri dengannya kalau aku mau!"
"Tentu saja," kata Snape, menyeringai. "Tetapi sementara itu, ambilkan kami minuman. Anggur buatan peri bolehlah."
Wormtail bimbang sejenak, tampaknya dia akan membantah, namun kemudian berbalik dan masuk ke pintu tersembunyi kedua. Mereka mendengar bunyi berkelontangan, dan denting gelas beradu. Dalam waktu beberapa detik dia sudah kembali, membawa sebuah botol berdebu dan, tiga gelas di atas nampan. Semua diletakkannya di atas meja
reyot, lalu dia bergegas meninggalkan mereka, membanting pintu berlapis buku menutup di belakangnya.
Snape menuang tiga gelas anggur merah-darah dan mengulurkan dua di antaranya kepada dua bersaudara itu. Narcissa menggumamkan ucapan terima kasih, sementara Bellatrix tidak berkata apa-apa, kecuali terus memandang galak Snape. Ini tampaknya tidak mempengaruhi ketenangan Snape; sebaliknya, dia malah tampak agak geli.
"Pangeran Kegelapan," katanya, mengangkat gelasnya dan menenggaknya habis.
Kedua kakak-beradik melakukan hal yang sama. Snape mengisi kembali gelas mereka.
Seraya meminum gelasnya yang kedua, N
arcissa berkata buru-buru, "Severus, aku minta maaf datang ke sini seperti ini, tetapi aku harus bertemu denganmu. Kurasa kau satu-satunya yang bisa menolongku -- "
Snape mengangkat tangan menghentikannya, kemudian mengacungkan lagi tongkat sihirnya ke arah pintu tangga yang tersembunyi. Terdengar letusan keras dan jeritan, diikuti suara Wormtail yang bergegas menaiki tangga.
"Maaf," kata Snape. "Belakangan ini dia suka menguping di belakang pintu. Aku tak tahu apa maunya ... kau tadi mau bilang apa, Narcissa""
Narcissa bergidik, menarik napas dalam-dalam, dan mulai lagi.
"Severus, aku tahu seharusnya aku tak boleh berada di sini, aku sudah dilarang berkata apa pun kepada siapa pun."
"Kalau begitu kau harus tutup mulut!" gertak Bellatrix. "Khususnya kepada orang ini!"
"Orang ini"" ulang Snape sinis. "Dan apa maksudmu berkata begitu, Bellatrix"" .
"Bahwa aku tidak memercayaimu, Snape, seperti yang kau ketahui dengan baik!"
Narcissa mengeluarkan suara yang mungkin saja isak kering dan menutupi wajah dengan tangannya. Snape meletakkan gelas di atas meja dan duduk lagi, tangannya di atas lengan kursi, tersenyum kepada wajah gusar Bellatrix.
"Narcissa, kurasa kita harus mendengar apa yang sudah ingin sekali disampaikan Bellatrix; ini akan mencegah interupsi-interupsi membosankan. Nah, teruskan, Bellatrix," kata Snape. "Kenapa kau tidak memercayaiku""
"Ratusan alasan!" katanya keras, berjalan dari balik sofa untuk membanting gelasnya di atas meja. "Mulai dari mana! Di mana kau ketika Pangeran Kegelapan jatuh" Kenapa kau tidak pernah berusaha mencarinya ketika dia menghilang" Apa yang kau lakukan selama bertahun-tahun hidup dalam cengkeraman Dumbledore" Kenapa kau mencegah Pangeran Kegelapan mendapatkan Batu Bertuah" Kenapa kau tidak segera datang ketika Pangeran Kegelapan lahir kembali" Di mana kau beberapa minggu yang lalu, ketika kami bertempur untuk memperoleh kembali ramalan bagi Pangeran Kegelapan" Dan kenapa, Snape, Harry Potter masih hidup, padahal dia ada dalam kekuasaanmu selama lima tahun""
Bellatrix berhenti, dadanya naik-turun dengan cepat, pipinya memerah. Di belakangnya Narcissa duduk bergeming, wajahnya masih tersembunyi di balik tangannya.
Snape tersenyum. "Sebelum aku menjawabmu -- oh, ya, Bellatrix, aku akan menjawab! Kau boleh menyampaikan kata-kataku kepada yang lain yang berbisik-bisik di balik punggungku, dan menyiarkan kabar bohong tentang pengkhianatanku terhadap Pangeran Kegelapan! Sebelum aku menjawabmu, kataku, izinkan aku balas menanyaimu. Apakah kau benar-benar mengira bahwa Pangeran Kegelapan tidak mengajukan semua
pertanyaan itu" Dan apakah kau benar-benar mengira bahwa, kalau aku tidak sanggup memberikan jawaban yang memuaskan, aku akan duduk di sini bicara denganmu""
Bellatrix bimbang. "Aku tahu dia memercayaimu, tapi -- "
"Kau pikir dia keliru" Atau bahwa aku berhasil memperdayainya" Membodohi Pangeran Kegelapan, penyihir paling hebat, Legilimens paling piawai yang pernah ada di
dunia"" Bellatrix tidak berkata apa-apa, tetapi untuk pertama kalinya dia tampak sedikit bingung. Snape tidak mendesak lebih jauh. Dia mengambil kembali minumannya, menghirupnya, dan melanjutkan, "Kau bertanya di mana aku ketika Pangeran Kegelapan jatuh. Aku berada di tempat di mana aku harus berada, sesuai perintah Pangeran Kegelapan, di Sekolah Sihir Hogwarts, karena dia menginginkan aku memata-matai Albus Dumbledore. Kau tahu, kukira, bahwa aku menerima jabatanku di sana atas perintah Pangeran Kegelapan""
Bellatrix mengangguk nyaris tak tampak, dan membuka mulutnya, tetapi Snape mencegahnya.
"Kau bertanya kenapa aku tidak berusaha mencarinya ketika dia menghilang. Karena alasan yang sama yang membuat Avery, Yaxley, pasangan Carrow, Greyback, Lucius," dia mengedikkan kepalanya sedikit ke arah Narcissa, "dan banyak lagi tidak berusaha mencarinya. Aku mengira dia sudah tamat. Aku tidak bangga karenanya, aku keliru, tetapi ya begitulah ... jika dia tidak memaafkan kami yang kehilangan kepercayaan terhadapnya waktu itu, dia hanya akan punya sedikit pengikut."
"Dia akan memilikiku!" kata Bellatrix emosional. "Aku, yang
melewatkan bertahun-tahun di Azkaban demi dia!"
"Ya, betul, pantas dikagumi," kata Snape dengan suara bosan. "Tentu saja, kau tak banyak gunanya baginya di penjara, tetapi langkahmu tak diragukan lagi baik-- "
"Langkah!" jerit Bellatrix; dalam kemarahannya dia tampak agak seperti orang gila. "Sementara aku menahan kekejaman para Dementor, kau tinggal di Hogwarts, menikmati jadi anak emas Dumbledore!"
"Tidak sepenuhnya," kata Snape kalem. "Dia menolak memberiku jabatan guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, kau tahu. Rupanya dia mengira itu bisa, ah, menimbulkan kembali penyakit lama ... memicuku kembali ke kebiasaan lamaku."
"Itu pengorbananmu untuk Pangeran Kegelapan, tidak mengajar mata pelajaran favoritmu"" Bellatrix mencemooh. "Kenapa kau tinggal terus di sana, Snape" Masih memata-matai Dumbledore untuk tuan yang sudah kau anggap mati""
"Hampir tidak," kata Snape, "meskipun Pangeran Kegelapan senang aku tak pernah meninggalkan posku. Aku punya informasi tentang Dumbledore selama enam belas tahun untuk kuberikan kepadanya ketika dia kembali, hadiah selamat datang yang agak lebih berguna daripada kenangan yang tak ada habisnya tentang betapa tak menyenangkannya Azkaban ... "
"Tapi kau tetap di sana -- "
"Ya, Bellatrix, aku tetap di sana," kata Snape, untuk pertama kalinya memperlihatkan tanda-tanda ketidaksabaran. "Aku punya pekerjaan menyenangkan yang lebih kusukai daripada mendekam di Azkaban. Mereka menangkapi Pelahap Maut, kau tahu kan. Perlindungan Dumbledore membuatku tidak masuk penjara, itu sangat menguntungkan dan aku menggunakannya. Kuulangi: Pangeran Kegelapan tidak mengeluh aku tetap di sana, jadi aku tak mengerti kenapa kau mengeluh."
"Kupikir, berikutnya kau ingin tahu," dia melanjutkan, sedikit lebih keras, karena Bellatrix menunjukkan segala tanda mau menginterupsi, "kenapa aku jadi penghalang di antara Pangeran Kegelapan dan Batu Bertuah. Ini bisa dijawab dengan mudah. Dia tak tahu apakah dia bisa memercayaiku. Dia mengira, seperti kau, bahwa aku telah berbalikz dari Pelahap Maut setia menjadi kaki tangan Dumbledore. Kondisinya mengenaskan, sangat lemah, berbagi tubuh dengan penyihir yang cuma cukupan saja. Dia tak berani memperlihatkan diri kepada sekutu lamanya, khawatir sekutu itu akan menyerahkannya kepada Dumbledore atau Kementerian. Aku menyesal sekali dia tidak memercayaiku. Kalau dia memercayaiku, dia sudah kembali berkuasa tiga tahun lebih awal. Seperti yang terjadi, aku hanya melihat Quirrel yang tamak dan tak berharga berusaha mencuri Batu dan, kuakui, kulakukan segala yang aku bisa untuk menghalanginya."
Mulut Bellatrix mengernyit seolah dia baru saja meminum obat yang pahit.
"Tapi kau tidak datang waktu dia muncul kembali, kau tidak langsung terbang menemuinya ketika kau merasakan Tanda Kegelapan terbakar -- "
"Betul. Aku datang dua jam kemudian. Aku datang atas perintah Dumbledore."
"Atas perintah Dumble-"" katanya, dengan nada murka.
"Pikirkan!" tukas Snape, tak sabar lagi. "Pikirkan! Dengan menunggu dua jam, hanya dua jam, aku memastikan bahwa aku bisa tetap tinggal di Hogdwarts sebagai mata-mata! Dengan membiarkan Dumbledore mengira aku hanya kembali ke sisi Pangeran Kegelapan karena aku diperintahkannya, aku bisa menyampaikan informasi tentang Dumbledore dan Orde Phoenix sejak saat itu! Pertimbangkan, Bellatrix: Tanda Kegelapan sudah semakin menguat selama berbulan-bulan, aku tahu dia pasti akan kembali, semua Pelahap Maut tahu!
Bukankah aku punya banyak waktu untuk memikirkan apa yang akan kulakukan, merencanakan langkahku. berikutnya, untuk kabur seperti Karkaroff""
"Kegusaran awal Pangeran Kegelapan soal kedatanganku yang terlambat sirna sepenuhnya, yakinlah, ketika aku menjelaskan bahwa aku tetap setia, kendatipun Dumbledore mengira aku orang kepercayaannya. Ya, Pangeran Kegelapan tadinya mengira aku telah meninggalkannya selamanya, namun dia keliru."
"Tapi apa kegunaanmu"" cemooh Bellatrix. "Informasi bermanfaat apa yang kami dapat darimu""
"Informasiku disampaikan langsung kepada Pangeran Kegelapan," kata Snape. "Kalau dia memilih tidak memberitahumu -- "
"Dia memberitahuku seg
alanya!" kata Bellatrix, langsung meledak. "Dia menyebutku pengikutnya yang paling loyal, paling setia, paling -- "
"Betulkah"" kata Snape, suaranya sengaja menyiratkan ketidakpercayaannya. "Masihkah dia menganggapmu begitu setelah kegagalan di Kementerian""
"Itu bukan salahku!" kata Bellatrix, wajahnya memerah. "Pangeran Kegelapan, tadinya, memercayaiku dan memberitahuku rahasianya yang paling kalau Lucius tidak -- "
"Jangan berani-berani-jangan berani-berani kau menyalahkan suamiku!" kata Narcissa, dengan suara rendah dan mengancam, menatap kakaknya.
"Tak ada gunanya membagi-bagi kesalahan," kata Snape lancar. "Semuanya sudah terjadi."
"Tapi kau tak ambil bagian!" kata Bellatrix gusar. "Tidak, kau sekali lagi absen sementara kami yang lain menghadapi bahaya, kan, Snape""
"Perintah untukku adalah agar tinggal di tempat," kata Snape. "Mungkin kau tidak setuju dengan Pangeran Kegelapan, mungkin kau berpendapat Dumbledore tidak akan memperhatikan bahwa aku telah bergabung dengan para Pelahap Maut untuk melawan Orde Phoenix" Dan maafkan aku kau bicara soal bahaya ... bukankah kalian menghadapi enam remaja""
"Mereka didukung, seperti yang kau ketahui, oleh separo Orde dalam waktu singkat!" bentak Bellatrix. "Dan, selagi kita bicara tentang Orde, kau tetap menyatakan tak bisa memberitahukan tempat Markas Besarnya, kan""
"Aku bukan Penjaga Rahasia mereka, aku tak bisa menyebutkan nama tempat itu. Kau kan tahu bagaimana cara kerja sihir ini, kukira" Pangeran Kegelapan puas dengan informasi yang kusampaikan kepadanya soal Orde. Informasiku menghasilkan, seperti yang mungkin telah kautebak, penangkapan dan pembunuhan terhadap Emmeline Vance belum lama ini, dan jelas membantu membereskan Sirius Black, walaupun aku mengakui kau yang menghabisinya."
Snape mengedikkan kepala dan bersulang untuk Bellatrix. Ekspresi Bellatrix tidak melunak.
"Kau menghindari pertanyaanku yang terakhir, Snape. Harry Potter. Kau bisa membunuhnya kapan saja dalam lima tahun belakangan ini. Kau tidak melakukannya. Kenapa""
"Sudahkah kau membicarakan masalah ini dengan Pangeran Kegelapan"" tanya Snape.
"Dia ... belakangan ini, kami ... aku menanyaimu, Snape!"
"Jika aku membunuh Harry Potter, Pangeran Kegelapan tidak akan bisa menggunakan darahnya untuk lahir kembali, membuatnya tak terkalahkan -- "
"Kau menyatakan kau sudah tahu sebelumnya kegunaan anak ini bagi Pangeran Kegelapan!" cemooh Bellatrix.
"Aku tidak bermaksud berkata begitu; aku sama sekali tak tahu rencananya. Aku sudah mengakui, kusangka Pangeran Kegelapan sudah mati. Aku hanya mencoba menjelaskan kenapa Pangeran Kegelapan tidak menyesal bahwa Potter bertahan hidup, paling tidak sampai setahun yang lalu ..."
"Tetapi kenapa kau membiarkannya hidup""
"Kau belum memahamiku" Perlindungan Dumbledore-lah yang membuatku tidak dikirim ke Azkaban! Apakah kau tidak sepakat bahwa membunuh murid favoritnya mungkin akan membuatnya memusuhiku" Tetapi ada alasan lain. Kuingatkan bahwa ketika Potter baru tiba di Hogwarts masih banyak beredar cerita tentang dia, rumor bahwa dia adalah penyihir hitam yang hebat, itulah sebabnya dia berhasil selamat dari serangan Pangeran Kegelapan. Malah, banyak pengikut lama Pangeran Kegelapan mengira Potter bisa dijadikan panutan, bersamanya kita sekali lagi bisa bersatu. Aku penasaran, kuakui, dan sama sekali tak berniat langsung membunuhnya begitu dia tiba di kastil."
"Tentu saja, segera menjadi jelas bagiku bahwa dia sama sekali tak punya bakat istimewa. Dia, berhasil lolos dari berbagai situasi sulit semata-mata berkat kombinasi keberuntungan dan kawan-kawan yang lebih berbakat daripadanya. Dia cuma biasa-biasa saja, meskipun sama menjengkelkan dari berpuas diri seperti ayahnya. Aku sudah berusaha sebisaku untuk membuatnya dikeluarkan dari Hogwarts, menurutku dia tak layak berada di Hogwarts, tetapi membunuhnya atau membiarkan dia terbunuh di depanku" Aku tolol kalau berani mengambil risiko ini, dengan Dumbledore berada dekat begitu."
"Dan selama ini kami diharapkan percaya Dumbledore tidak pernah mencurigaimu"" tanya Bellatrix.
"Dia sama sekali tak menyadari kepada sia
pa sebetulnya kesetiaanmu kauberikan, dia masih memercayaimu sepenuhnya""
"Aku memainkan peranku dengan baik," kata Snape.
"Dan kau melupakan kelemahan terbesar Dumbledore: dia memercayai yang terbaik dari setiap orang. Aku mengarang cerita penyesalan teramat dalam ketika aku bergabung menjadi stafnya, langsung setelah meninggalkan hari-hariku sebagai Pelahap Maut, dan dia menerimaku dengan tangan terbuka meskipun, seperti kukatakan, sebisanya tak pernah mengizinkan aku dekat dengan Ilmu Hitam. Dumbledore penyihir hebat oh ya, dia penyihir hebat" (karena Bellatrix mengeluarkan suara tajam) "Pangeran Kegelapan mengakuinya. Meskipun demikian, aku senang mengatakan, bahwa Dumbledore sekarang sudah tua. Duel dengan Pangeran Kegelapan bulan lalu mengguncangnya. Sejak duel itu dia menderita luka serius, karena reaksinya lebih lambat daripada sebelumnya. Tetapi selama bertahun-tahun ini dia tidak pernah berhenti memercayai Severus Snape, dan itulah sebabnya aku sangat berharga bagi Pangeran Kegelapan."
Bellatrix masih tidak puas, meskipun dia tampak sangsi bagaimana cara paling baik menyerang Snape berikutnya. Menggunakan kesempatan diamnya Bellatrix, Snape menoleh memandang adiknya.
"Nah ... kau datang untuk meminta bantuanku, Narcissa""
Narcissa mengangkat muka menatapnya, wajahnya dipenuhi keputusasaan.
"Ya, Severus. Ku -- kurasa kau satu-satunya yang bisa menolongku. Tak ada orang lain yang bisa kumintai tolong. Lucius di penjara dan ... "
Dia memejamkan mata dan dua butir air mata besar bergulir dari bawah pelupuknya.
"Pangeran Kegelapan telah melarangku membicarakan ini;" Narcissa melanjutkan, matanya masih terpejam. "Dia tak mau orang lain tahu tentang rencana ini. Ini ... sangat rahasia. Tapi
" "Kalau dia melarang, kau tak boleh membicarakannya," kata Snape segera. "Kata-kata Pangeran Kegelapan adalah hukum."
Narcissa kaget seakan Snape telah menyiramnya dengan air dingin. Bellatrix tampak puas untuk pertama kalinya sejak dia memasuki rumah itu.
"Nah!" katanya penuh kemenangan kepada adiknya. "Bahkan Snape melarangmu bicara, jadi jangan bicara!"
Namun Snape telah bangkit dan berjalan ke jendela kecil, mengintip melalui gorden ke arah jalan yang sepi, kemudian menutup kembali gorden dengan sentakan. Dia berbalik menghadapi Narcissa, mengernyit.
"Kebetulan aku tahu rencana ini;" katanya pelan. "Aku salah satu dari sedikit orang yang diberitahu Pangeran Kegelapan. Meskipun demikian, seandainya aku tak mengetahui rahasia ini, Narcissa, kau akan bersalah melakukan pengkhianatan besar terhadap Pangeran Kegelapan."
"Kupikir kau pasti tahu tentang ini!" kata Narcissa, bernapas lebih lega. "Dia amat memercayaimu, Severus ..."
"Kau tahu rencana itu"" kata Bellatrix, ekspresi kepuasan yang cuma sekilas kini digantikan kemurkaan.
"Kau tahu""
"Tentu," kata Snape. "Tetapi, bantuan seperti apa yang kau kehendaki, Narcissa" Kalau kau membayangkan aku bisa membujuk Pangeran Kegelapan untuk mengubah pikirannya, aku khawatir tak ada harapan, sama sekali tak ada harapan."
"Severus," bisiknya, air mata mengalir di pipinya yang pucat. "Anakku ... anak tunggalku ..."
"Draco mestinya bangga," kata Bellatrix tak peduli. "Pangeran Kegelapan memberinya kehormatan besar. Dan aku akan mengatakan ini untuk Draco: dia tidak menyingkir dari tugasnya, dia tampaknya senang punya kesempatan untuk membuktikan diri, bersemangat mau melakukannya -- "
Narcissa mulai menangis tersedu, tak hentinya menatap Snape dengan pandangan memohon.
"Itu karena dia baru enam belas tahun dan sama sekali tak tahu apa yang akan dihadapinya! Kenapa, Severus" Kenapa anakku" Ini terlalu berbahaya! Ini pembalasan bagi kesalahan Lucius. Aku tahu!"
Snape diam saja. Dia memalingkan pandangan dari air mata Narcissa, seakan itu tak pantas, namun dia tak bisa berpura-pura tidak mendengarnya
"Itulah sebabnya dia memilih Draco, kan"" Narcissa mendesak. "Untuk menghukum Lucius"
"Jika Draco berhasil," kata Snape, masih tidak memandangnya, "dia akan menerima kehormatan lebih daripada yang lain."
"Tetapi dia tak akan berhasil!" isak Narcissa. "Bagaimana mungkin, kalau Pangeran Kegelapan s
endiri"" Bellatrix kaget, menahan napas. Narcissa tampaknya kehilangan keberanian.
"Aku cuma bermaksud mengatakan ... bahwa belum pernah ada yang berhasil ... Severus ... tolonglah ... kau, dari dulu, adalah guru favorit Draco ... kau teman lama Lucius ... kumohon ... kau favorit Pangeran Kegelapan, penasihatnya yang paling dipercaya ... maukah kau bicara kepadanya, membujuknya""
"Pangeran Kegelapan tak bisa dibujuk, dan aku tak begitu bodoh sehingga mau membujuknya," kata Snape datar. "Aku tak bisa berpura-pura bahwa Pangeran Kegelapan tidak marah kepada Lucius. Luciuslah penanggung jawab waktu itu. Dia malah tertangkap, bersama entah berapa banyak yang lain, dan gagal mendapatkan kembali ramalannya. Ya, Pangeran Kegelapan marah, Narcissa, amat sangat marah."
"Kalau begitu aku benar, dia memilih Draco untuk balas dendam!" isak Narcissa. "Dia tak bermaksud Draco sukses, dia ingin Draco terbunuh dalam usahanya!"
Ketika Snape diam saja, Narcissa tampak kehilangan pertahanan dirinya yang hanya tersisa sedikit. Bangkit berdiri, dia terhuyung mendekati Snape dan menjambret bagian depan jubahnya. Wajahnya dekat ke wajah Snape, air matanya menetes ke dada Snape, dia tersedu, "Kau bisa melakukannya. Kau bisa melakukannya, alih-alih Draco, Severus. Kau akan berhasil, pasti kau berhasil, dan dia akan memberimu penghargaan melebihi yang pernah kami semua terima"
Snape memegang pergelangan tangan Narcissa dan menyingkirkan tangannya yang mencengkeram jubahnya. Menunduk memandang wajah Narcissa yang basah oleh air mata, dia berkata perlahan, "Dia bermaksud pada akhirnya aku yang melakukannya, kurasa. Tetapi dia berkeras Draco mencobanya lebih dulu. Soalnya, walaupun kelihatannya tak mungkin, seandainya Draco berhasil, aku akan bisa tinggal di Hogwarts sedikit lebih lama, menjalankan fungsiku yang berguna sebagai mata-mata."
"Dengan kata lain, tak jadi persoalan baginya kalau Draco terbunuh!"
"Pangeran Kegelapan sangat marah," . Snape mengulang pelan. "Dia gagal mendengar ramalan itu. Kita sama-sama tahu, Narcissa, dia tidak mudah memaafkan."
Narcissa merosot, terpuruk di kaki Snape, tersedu dan meratap di lantai.
"Anakku ... anak tunggalku ... "
"Kau mestinya bangga!" kata Bellatrix tanpa belas kasihan. "Kalau aku punya anak laki-laki, dengan senang hati akan kuserahkan untuk melayani Pangeran Kegelapan!"
Narcissa menjerit putus asa dan mencengkeram rambut pirangnya yang panjang. Snape membungkuk, memegang lengannya, mengangkatnya dan mendudukkannya kembali di sofa. Dia kemudian menuangkan anggur lagi untuk Narcissa dan menyorongkan gelasnya ke tangannya.
"Narcissa, sudah cukup. Minumlah ini. Dengarkan aku."
Tangis Narcissa mereda sedikit. Tangannya berguncang, sehingga anggur tumpah ke tubuhnya. Dengan gemetar dia meneguknya sedikit.
"Ada kemungkinan ... aku bisa membantu Draco."
Narcissa duduk tegak, wajahnya pucat pasi, matanya membesar.
"Severus oh, Severus -- kau mau membantunya" Maukah kau menjaganya, supaya dia tidak celaka""
"Aku bisa mencoba."
Narcissa melempar gelasnya; gelas itu meluncur di atas meja ketika Narcissa merosot turun dari sofa dalam posisi berlutut di depan kaki Snape, menyambar tangan Snape dengan kedua tangannya dan menekankan bibirnya ke tangan
itu. "Kalau kau ada di sana untuk melindunginya ... Severus, maukah kau bersumpah" Maukah kau melakukan Sumpah Tak-Terlanggar""
"Sumpah Tak-Terlanggar"" ekspresi Snape kosong, tak bisa ditebak: Bellatrix, sebaliknya, tertawa terbahak.
"Apa kau tidak mendengarkan, Narcissa" Oh, dia akan berusaha, aku yakin ... kata-kata kosong yang biasa, penghindaran yang biasa ... oh, atas perintah Pangeran Kegelapan, tentunya!"
Snape tidak memandang Bellatrix. Matanya yang hitam menatap mata biru Narcissa yang digenangi air mata, sementara Narcissa terus menggenggam tangannya.
"Tentu, Narcissa, aku mau melakukan Sumpah Tak-Terlanggar," katanya pelan. "Barangkali kakakmu bersedia menjadi Pengikat kita."
Mulut Bellatrix ternganga. Snape berlutut di depan Narcissa. Di bawah tatapan tercengang Bellatrix, tangan kanan mereka berpegangan.
"Kau perlu tongkat sihirmu, Bellatrix," kata S
nape dingin. Bellatrix mencabut tongkat sihirnya, masih tampak keheranan.
"Dan kau perlu mendekat sedikit," kata Snape. Bellatrix melangkah maju sehingga dia berdiri di depan mereka dan meletakkan ujung tongkat sihirnya ke tangan mereka yang bersatu. Narcissa bicara.
"Maukah kau, Snape, menjaga anakku Draco ketika dia berusaha memenuhi keinginan Pangeran Kegelapan""
"Aku mau," kata Snape.
Lidah api tipis cemerlang meluncur dari tongkat sihir dan meliliti tangan mereka seperti kawat panas merah.
"Dan maukah kau, semampumu, melindunginya dari bahaya""
"Aku mau," kata Snape.
Lidah api kedua meluncur dari tongkat sihir dan berjalin dengan yang pertama, menjadi rantai indah membara.
"Dan, jika diperlukan .... jika tampaknya Draco akan gagal ..." bisik Narcissa (tangan Snape mengejang dalam tangan Narcissa, namun Snape tidak menariknya),
"maukah kau menyelesaikan pekerjaan yang telah ditugaskan Pangeran Kegelapan kepada Draco""
Sejenak hening. Bellatrix mengawasi, tongkat sihirnya di atas tangan mereka yang saling genggam, matanya terbelalak.
"Aku mau," kata Snape.
Wajah keheranan Bellatrix berpendar merah dalam cahaya lidah api ketiga, yang meluncur dari tongkat sihirnya, berjalin dengan yang lain dan mengikat kuat tangan mereka seperti tali, seperti ular api.
03. MAU DAN TAK MAU Harry potter mendengkur keras. Dia sudah duduk di kursi dekat jendela kamarnya selama hampir empat jam, menatap ke luar jalan yang gelap, dan akhirnya tertidur dengan sebelah pipinya menempel di kaca jendela, kacamatanya miring, dan mulutnya terbuka lebar. Uap hangat yang ditinggalkan napasnya di jendela berkilau kena cahaya jingga lampu jalan di luar, dan lampu artifisial itu membuat wajahnya kehilangan warna sehingga dia tampak pucat di bawah rambut hitamnya yang awut-awutan.
Bermacam barang dan sampah bertebaran di dalam kamar itu. Bulu burung hantu, bagian tengah apel; dan bungkus permen berserakan di lantai, beberapa buku mantra tergeletak sembarangan di antara jubah-jubah yang teronggok begitu saja di atas tempat tidurnya, dan berbagai surat kabar tertebar kacau dalam sorotan cahaya di mejanya. Salah satu kepala beritanya berbunyi:
HARRY POTTER: SANG TERPILIH"
Desas-desus masih terus beredar tentang gangguan misterius di Kementerian Sihir baru-baru ini. Dalam peristiwa itu Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut sekali lagi terlihat.
"Kami dilarang bicara soal itu, jangan tanya apa-apa kepada saya," kata salah seorang Obliviator yang gelisah, yang menolak menyebutkan namanya ketika dia meninggalkan Kementerian semalam.
Kendatipun demikian, sumber-sumber yang ditempatkan di posisi strategis dalam Kementerian menegaskan bahwa kekacauan itu berpusat di Ruang Ramalan yang banyak diceritakan.
Walaupun juru bicara Kementerian sampai sekarang bahkan masih menolak mengonfirmasi keberadaan tempat itu, makin banyak anggota komunitas sihir yang percaya bahwa para Pelahap Maut yang sekarang menjalani hukuman di Azkaban dengan tuduhan pelanggaran dan upaya pencurian sebetulnya berusaha mencuri ramalan. Ramalan apa itu sebetulnya tetap tidak diketahui, meskipun spekulasi yang beredar luas mengatakan bahwa itu ada hubungannya dengan Harry Potter, satu-satunya orang yang diketahui berhasil selamat dari Kutukan Kematian. Harry Potter juga diketahui berada di Kementerian malam itu. Beberapa orang bahkan sudah menyebut Potter "Sang Terpilih". Mereka percaya bahwa ramalan itu menyebutnya sebagai satu-satunya yang akan sanggup membebaskan kita dari Dia yang Namanya Tak Boleh Disebut.
Keberadaan ramalan itu saat ini, jika ramalan itu memang benar ada, tidak diketahui, meskipun (bersambung ke hal 2, kol 5)
Surat kabar kedua tergeletak di sebelah yang pertama. Yang ini dengan kepala berita:
SCRIMGEOUR MENGGANTIKAN FUDGE
Sebagian besar halaman depan surat kabar ini terisi oleh foto besar hitam-putih seorang pria dengan rambut tebal seperti - surai singa dan wajah dengan beberapa bekas luka. Foto ini bergerak-gerak-pria ini melambai ke langit-langit.
Rufus Scrimgeour, yang tadinya menjabat Kepala Kantor Auror di Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir, menggantikan Cornelius
Fudwge sebagai Menteri Sihir. Penunjukan ini disambut sangat antusias oleh komunitas sihir, meskipun gunjingan adanya keretakan antara menteri baru dan Albus Dumbledore, yang belum lama ini diangkat lagi menjadi Hakim Ketua Wizengamot, muncul hanya beberapa jam setelah Scrimgeour menjabat.
Wakil-wakil Scrimgeour mengakui bahwa dia langsung bertemu dengan Dumbledore begitu menduduki jabatan tinggi ini, namun menolak mengomentari topik yang didiskusikan. Albus Dumbledore diketahui (bersambung ke hal 3, kol 2)
Di sebelah kiri surat kabar ini ada surat kabar lain, yang dilipat sedemikian rupa, sehingga artikel dengan judul KEMENTERIAN MENJAMIN KESELAMATAN PELAJAR tampak jelas:
Menteri Sihir yang baru diangkat, Rufus Scrimgeour, hari ini bicara tentang langkah-langkah baru dan sulit yang diambil Kementeriannya untuk memastikan keamanan para pelajar yang akan kembali ke Sekolah Sihir Hogwarts musim gugur ini.
"Karena alasan yang jelas, Kementerian tidak akan membeberkan dengan terperinci rencana keamanan barunya
yang ketat," kata Menteri, meskipun orang dalam mengonfirmasi bahwa langkah yang diambil termasuk mantra dan jampi defensif, sederet kontra-kutukan yang rumit, dan satgas kecil Auror yang khusus didedikasikan untuk perlindungan Sekolah Hogwarts.
Sebagian besar komunitas sihir merasa tenteram dengan usaha menteri baru untuk menjaga keselamatan para pelajar. Kata Mrs Augusta Longbottom, "Cucu saya Neville -- kebetulan sahabat Harry Potter, yang melawan para Pelahap Maut berdampingan dengannya di Kementerian Juni lalu dan Lanjutan cerita ini terhalang oleh sangkar burung besar yang berdiri di atasnya. Di dalam sangkar itu ada burung hantu gagah seputih salju. Matanya yang kuning meneliti ruangan dengan angkuh, kepalanya dari waktu ke waktu menoleh memandang tuannya yang mendengkur. Sekali-sekali dia mengatupkan paruhnya dengan tak sabar, namun Harry tidur sangat lelap sehingga tak mendengarnya.
Sebuah koper besar tergeletak persis di tengah kamar. Tutupnya terbuka, seperti penuh harap, namun koper itu nyaris kosong. Hanya ada beberapa pakaian dalam tua, permen, botol-botol tinta kosong, dan pena bulu patah di dasar koper itu. Di dekatnya, di lantai, tergeletak selebaran ungu dihiasi huruf-huruf:
DITERBITKAN ATAS NAMA KEMENTERIAN SIHIR
MELINDUNGI RUMAH DAN KELUARGA ANDA DARI SIHIR HITAM
Komunitas sihir saat ini sedang di bawah ancaman sebuah organisasi yang menyebut dirinya Pelahap Maut. Mengikuti pedoman keamanan sederhana berikut ini akan menolong melindungi Anda, keluarga Anda, dan rumah Anda dari serangan.
1. Anda disarankan tidak meninggalkan rumah sendirian.
2. Kehati-hatian harus lebih ditingkatkan setelah hari gelap. Jika melakukan perjalanan, atur agar sebisa mungkin sudah tiba di tempat tujuan sebelum malam.
3. Tinjau kembali pengaturan keamanan di sekitar rumah Anda. Pastikan semua anggota keluarga tahu tindakan darurat apa yang harus dilakukan, seperti Mantra Pelindung, Mantra Penyamar, dan, dalam hal ada anggota keluarga di bawah umur, ber Apparate bersama.
4. Buat kesepakatan tindakan keamanan dengan teman-teman dekat dan keluarga, agar Anda bisa mendeteksi Pelahap Maut yang menyamar menjadi orang lain menggunakan Ramuan Polijus (lihat hal 2).
5. Jika Anda merasa ada anggota keluarga, teman, atau tetangga yang bersikap aneh, segera kontak Pasukan Pelaksanaan Hukum Sihir. Mungkin mereka kena Kutukan Imperius (lihat hal 4)
6. Jika ada Tanda Kegelapan muncul di atas tempat tinggal atau bangunan mana saja, JANGAN MASUK, melainkan segera kontak Kantor Auror.
7. Beberapa peristiwa yang belum bisa dikonfirmasikan mengarah ke tanda-tanda bahwa para Pelahap Maut mungkin menggunakan Inferi (lihat hal 10). Jika Anda melihat atau bertemu Inferi, harap SEGERA melaporkannya ke Kementerian.
Harry mengigau dalam tidurnya dan wajahnya merosot dari jendela sekitar dua-tiga senti, membuat kacamatanya semakin miring, tetapi dia tidak terbangun. Sebuah jam beker, yang direparasi Harry beberapa tahun lalu, berdetak keras di ambang jendela, menunjukkan waktu pukul sebelas kurang satu menit. Di sebelahnya, tertahan tangan Harry
yang tergeletak santai, ada sehelai perkamen dipenuhi tulisan dengan huruf-huruf ramping miring. Harry telah membaca
surat ini begitu seringnya sejak kedatangannya tiga hari lalu, sehingga meskipun tiba dalam bentuk gulungan ketat, sekarang surat ini terbeber rata.
Dear Harry, Jika kau sepakat, aku akan datang di Privet Drive nomor empat hari Jumat mendatang ini pukul sebelas malam untuk mengantarmu ke The Burrow, tempat kau telah diundang untuk melewatkan sisa liburan sekolahmu.
Jika kau bersedia, aku juga akan senang mendapat bantuanmu dalam satu masalah yang kuharap bisa kutangani dalam perjalanan ke The Burrow. Hal ini akan kujelaskan lebih lengkap saat aku bertemu denganmu.
Harap kirim balasanmu dengan burung hantu ini. Sampai ketemu hari Jumat ini, mudah-mudahan.
Salamku, Albus Dumbledore Kendatipun sudah hafal isinya, Harry mencuri pandang ke surat ini beberapa menit sekali sejak pukul tujuh malam ini, ketika dia baru mulai duduk di depan jendela kamarnya, dari mana dia bisa cukup jelas melihat kedua ujung Privet Drive. Dia tahu tak ada gunanya mengulang-ulang membaca kata-kata Dumbledore. Harry telah mengirim "ya"-nya dengan burung hantu yang membawa surat itu, seperti yang diminta Dumbledore, dan yang bisa dilakukannya sekarang hanyalah menunggu; Dumbledore akan datang, atau tidak datang.
Namun Harry belum berkemas. Rasanya terlalu indah bahwa dia akan dibebaskan dari keluarga Dursley hanya dua minggu setelah dia bersama mereka. Dia tak berhasil menyingkirkan perasaan bahwa akan ada sesuatu yang tidak benar jawabannya kepada Dumbledore mungkin tidak sampai; Dumbledore mungkin berhalangan menjemputnya; surat yang diterimanya ternyata bukan dari Dumbledore, melainkan olokolok atau jebakan. Harry tak tahan kalau sudah mengepak kopernya dan kemudian kecewa dan harus membongkarnya lagi. Satu-satunya tindakan yang dilakukannya sehubungan dengan kemungkinan bepergian adalah mengurung burung hantunya yang seputih salju, Hedwig, dengan aman di dalam sangkarnya.
Jarum menit di jam beker mencapai angka dua belas, dan tepat saat itu, lampu jalanan di luar jendela padam.
Harry terbangun seakan kegelapan yang tiba-tiba itu tanda bahaya. Buru-buru meluruskan kacamatanya dan melepas pipinya dari jendela, dia ganti menempelkan hidung ke kaca jendela dan menyipitkan mata memandang trotoar di bawah. Ada sosok jangkung memakai mantel panjang melambai sedang berjalan di jalan setapak di halaman.
Harry terlonjak seakan kena setrum listrik, menabrak kursinya sampai terguling, dan mulai menyambar apa saja yang ada dalam jangkauannya dari lantai dan melemparkannya ke dalam kopernya. Ketika dia sedang melempar satu setel jubah, dua buku mantra, dan sebungkus keripik ke seberang ruangan, bel pintu berbunyi.
Di bawah di ruang keluarga, pamannya, Paman Vernon, berteriak, "Siapa orang gila yang datang malam-malam begini""
Harry membeku dengan teleskop kuningan di satu tangan dan sepasang sepatu kets di tangan yang lain. Dia sama sekali lupa memberitahu keluarga Dursley bahwa Dumbledore mungkin akan datang. Merasa panik dan sekaligus ingin tertawa, dia melompati kopernya dan menarik terbuka pintu kamarnya, tepat pada saat didengarnya suara dalam berkata, "Selamat malam. Anda pastilah Mr Dursley. Saya kira Harry sudah memberitahu Anda, saya akan datang menjemputnya""
Harry berlari menuruni tangga, dua anak tangga sekali lompat, berhenti mendadak beberapa anak tangga dari
bawah, karena pengalaman mengajarkan agar dia berada di luar jangkuan lengan pamannya kalau mungkin. Di ambang pintu berdiri seorang pria jangkung kurus dengan rambut keperakan sepanjang pinggang dan kumis serta jenggot keperakan. Kacamata bulan-separo bertengger di atas hidungnya yang bengkok dan dia memakai mantel perjalanan panjang hitam dan topi berujung kerucut. Vernon Dursley, yang kumisnya hampir sama lebatnya dengan kumis Dumbledore, meskipun warnanya hitam, dan memakai kimono rumah berwarna ungu-kecokelatan, terbelalak menatap tamunya seakan dia tak memercayai matanya yang kecil.
"Melihat kekagetan dan ketidakpercayaan Anda, Harry tidak memberitahu Anda bahwa say
a akan datang," kata Dumbledore ramah. "Meskipun demikian, marilah kita andaikan bahwa Anda dengan hangat memersilakan saya masuk ke dalam rumah Anda. Tidak bijaksana berlama-lama di depan pintu dalam masa sulit begini."
Dengan gesit dia melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya.
"Sudah lama sekali sejak kunjungan saya yang pertama," kata Dumbledore, memandang lewat hidung bengkoknya kepada Paman Vernon. "Harus saya katakan, bunga lili Afrika Anda tumbuh subur."
Vernon Dursley tidak berkata apa-apa. Harry tak meragukan bahwa pamannya akan segera bisa bicara lagi nadi yang berdenyut di pelipisnya sudah mencapai titik bahaya namun sesuatu tentang Dumbledore tampaknya telah membuatnya kehabisan napas untuk sementara. Mungkin penampilannya sebagai penyihir yang mencolok sekali, namun, mungkin saja bahkan Paman Vernon bisa merasakan bahwa ini orang yang akan sulit sekali digertak.
"Ah, selamat malam, Harry," kata Dumbledwore, mendongak menatapnya melalui kacamata bulan separonya dengan ekspresi sangat puas. "Bagus sekali, bagus sekali."
Kata-kata ini tampaknya membangunkan Paman Vernon. Jelas bahwa dia tak bisa sepakat dengan siapa pun yang bisa melihat Harry dan berkata "bagus sekali".
"Saya tak bermaksud tidak sopan" dia memulai, dengan nada yang menyiratkan ketidaksopanan dalam setiap suku kata.
"sayangnya, ketidaksopanan yang tak disengaja terjadi cukup sering," Dumbledore menyelesaikan kalimat Mr Dursley dengan muram. "Paling baik jangan berkata apa-apa, Saudara. Ah, ini pastilah Petunia."
Pintu dapur membuka dan tampaklah bibi Harry berdiri di sana, memakai sarung tangan karet dan gaun rumah di atas baju tidurnya, jelas sedang setengah jalan melakukan rutinitas sebelum tidurnya, mengelap semua permukaan di dapurnya. Wajahnya yang agak mirip kuda tampak shock.
"Albus Dumbledore," kata Dumbledore, ketika Paman Vernon tidak memperkenalkannya. "Kita sudah berkorespondensi, tentu saja." Harry berpendapat ini cara yang aneh untuk mengingatkan Bibi Petunia bahwa dia pernah mengirimnya surat meledak, namun Bibi Petunia tidak menyangkal istilah ini. "Dan ini pastilah anak kalian Dudley""
Dudley saat itu mengintip dari balik pintu ruang keluarga. Kepalanya yang besar berambut pirang yang muncul dari kerah piama bergarisnya tidak tampak seperti bagian dari tubuhnya, mulutnya menganga lebar, saking takut dan kagetnya. Dumbledore menanti beberapa saat, kalau-kalau salah satu dari suami-istri Dursley akan mengatakan sesuatu, namun ketika kesunyian berlanjut dia tersenyum.
"Bagaimana kalau kita andaikan kalian telah mempersilakan saya masuk ke ruang keluarga kalian""
Dudley buru-buru menyingkir ketika Dumbledore melewatinya. Harry, masih memegangi teleskop dan sepatu, melompati beberapa anak, tangga terakhir dan menyusul
Dumbledore, yang telah duduk di kursi berlengan paling dekat perapian dan sedang mengamati sekelilingnya dengan penuh perhatian. Dia tampak janggal sekali berada di situ.
"Kita tidak-tidak berangkat sekarang, Sir"" tanya Harry cemas.
"Ya, sebentar lagi, ada beberapa masalah yang harus kita bicarakan dulu," kata Dumbledore. "Dan aku lebih suka tidak membicarakannya di tempat terbuka. Kita hanya akan menyalahgunakan keramahan bibi dan pamanmu sebentar
lagi." "Begitu, ya""
Vernon Dursley telah memasuki ruangan. Petunia di balik bahunya dan Dudley mengendap-endap di belakang keduanya.
"Ya," kata Dumbledore singkat.
Dia mencabut tongkat sihirnya cepat sekali sehingga Harry nyaris tak melihatnya. Dengan jentikan santai, sofa meluncur maju dan menabrak lutut ketiga Dursley sehingga mereka berjatuhan di atasnya. Satu jentikan yang lain membuat sofa meluncur kembali ke tempatnya semula.
"Sebaiknya kita duduk nyaman," kata Dumbledore ramah.
Ketika dia memasukkan kembali tongkat sihirnya ke dalam saku, Harry melihat tangannya hitam dan kisut, seakan dagingnya terbakar.
"Sir apa yang terjadi dengan ta""
"Nanti, Harry," kata Dumbledore. "Silakan duduk."
Harry duduk di kursi berlengan yang tersisa, memilih tidak memandang keluarga Dursley, yang tampaknya jadi bisu saking terpesonanya.
"Saya tadinya menyangka kalian akan m
enyuguhkan minuman untuk saya," kata Dumbledore kepada Paman Vernon, "namun bukti-bukti sejauh ini menunjukkan bahwa asumsi saya terlalu optimistik bahkan bisa dibilang bodoh."
Jentikan ketiga tongkat sihir membuat sebuah botol berdebu dan lima gelas muncul di udara. Botolnya merebah dan dengan murah hati menuangkan cairan berwarna-madu ke dalam masing-masing gelas, yang kemudian melayang ke masing-masing orang dalam ruangan itu.
"Mead aroma ek terbaik Madam Rosmerta," kata Dumbledore, mengangkat gelasnya kepada Harry, yang menangkap gelasnya sendiri dan menghirupnya. Harry belum pernah minum mead-minuman dari air dan madu yang difermentasikan dalam tong kayu ek namun dia sangat menyukainya. Keluarga Dursley, setelah saling pandang dengan cepat dan ketakutan, berusaha mengabaikan sama sekali gelas mereka, hal yang sulit, karena gelas-gelas itu menyenggol-nyenggol pelan sisi kepala mereka. Harry tak bisa menahan kecurigaan bahwa Dumbledore agak menikmati hal ini.
"Nah, Harry," kata Dumbledore, menoleh kepada Harry, "telah muncul masalah yang kuharap bisa kau pecahkan untuk kami. Yang kumaksud dengan kami adalah Orde Phoenix. Tetapi sebelumnya harus kuberitahukan kepadamu bahwa surat wasiat Sirius ditemukan seminggu lalu dan bahwa dia mewariskan segala miliknya kepadamu."
Di sofa kepala Paman Vernon menoleh, namun Harry tidak memandangnya. Dia pun tak tahu harus berkata apa, kecuali,
"Oh. Baiklah." "Intinya jelas," Dumbledore melanjutkan. "Tabungan emasmu di Gringotts bertambah cukup banyak dan kau mewarisi semua barang pribadi Sirius. Bagian surat warisan yang agak bermasalah -- "
"Walinya mati"" kata Paman Vernon keras dari sofa. Dumbledore dan Harry dua-duanya menoleh memandangnya. Gelas mead sekarang membentur-bentur bandel sisi kepala Paman Vernon, dia berusaha memukul-mukul menyingkirkannya. "Dia mati" Walinya""
"Ya," kata Dumbledore. Dia tidak bertanya kepada Harry kenapa dia tidak memberitahu keluarga Dursley. "Masalah kami," dia melanjutkan kepada Harry, seakan tak ada interupsi, "adalah bahwa Sirius juga mewariskan kepadamu Grimmauld Place nomor dua belas."
"Dia diwarisi rumah"" kata Paman Vernon tamak, matanya yang kecil menyipit, namun tak ada yang menanggapinya.
"Kalian bisa tetap menggunakannya sebagai Markas Besar," kata Harry. "Saya tak peduli. Rumah itu boleh untuk kalian, saya tidak menginginkannya." Harry tak ingin menginjakkan kaki lagi di Grimmauld Place nomor dua belas, kalau bisa. Pikirnya dia akan dihantui seumur hidup oleh kenangan akan Sirius yang seorang diri berkeliling dari kamar-ke-kamar, terpenjara dalam rumah yang ingin sekali ditinggalkannya.
"Kau baik sekali," kata Dumbledore. "Meskipun demikian kami untuk sementara ini mengosongkan rumah itu."
"Kenapa"" "Yah," kata Dumbledore, mengabaikan gumam Paman Vernon, yang sekarang diketuk-ketuk dengan tangkas di atas kepalanya oleh gelas mead yang pantang menyerah. "Tradisi keluarga Black memutuskan bahwa rumah itu diwariskan kepada turunan langsung, kepada keturunan pria berikut yang menyandang nama Black. Sirius adalah Black terakhir dalam garis keturunan ini, karena adiknya, Regulus, meninggal lebih dulu darinya, dan keduanya tidak mempunyai anak. Kendatipun surat wasiatnya menyebutkan dengan jelas bahwa dia menginginkanmu memiliki rumah itu, mungkin saja ada mantra atau jampi yang khusus dipasang di tempat itu untuk
memastikan bahwa rumah itu tidak bisa dimiliki orang lain selain yang berdarah murni Black."
Bayangan lukisan ibu Sirius yang tergantung di aula Grimmauld Place nomor dua belas yang menjerit-jerit dan meludah terlintas jelas di benak Harry. "Pasti ada mantranya," katanya.
"Betul," kata Dumbledore. "Dan kalau memang ada, maka kepemilikan rumah ini kemungkinan besar jatuh ke tangan kerabat Sirius yang paling tua, dalam hal ini berarti sepupunya, Bellatrix Lestrange."
Tanpa menyadari apa yang dilakukannya, Harry melompat bangun; teleskop dan sepatu di pangkuannya menggelinding di lantai. Bellatrix Lestrange, pembunuh Sirius, mewarisi rumahnya"
"Tidak," katanya.
"Yah, kami juga jelas lebih suka jika dia tidak mendapatkan rumah itu,"
kata Dumbledore tenang. "Situasinya penuh komplikasi. Kami tidak tahu apakah mantra yang kami sendiri tempatkan di rumah itu, misalnya, yang membuatnya tidak terdeteksi, masih berlaku sekarang setelah kepemilikannya sudah bukan di tangan Sirius. Bisa saja Bellatrix muncul di depan pintu kapan saja. Wajar kalau kami harus pindah sampai sudah ada kejelasan soal rumah ini."
"Tetapi bagaimana Anda akan bisa tahu apakah saya boleh memiliki rumah ini""
"Untungnya," kata Dumbledore, "ada tes sederhana."
Dia meletakkzan gelas kosongnya di meja kecil di sebelah kursinya, namun sebelum dia bisa melakukan hal lain, Paman Vernon berteriak, "Singkirkan gelas-gelas kurang ajar ini dari kami."
Harry menoleh. Ketiga Dursley gemetar ketakutan dengan lengan di atas kepala, sementara gelas-gelas itu melompatlompat di atas kepala mereka, isinya beterbangan ke mana-mana.
"Oh, maaf," kata Dumbledore sopan, dan dia mengangkat tongkat sihirnya lagi. Ketiga gelas itu lenyap. "Tapi sebetulnya lebih sopan jika kalian meminumnya."
Tampaknya Paman Vernon siap meluncurkan jawaban-jawaban tak menyenangkan, namun dia hanya terenyak kembali ke sofa bersama Bibi Petunia dan Dursley dan tidak berkata apa-apa, mata kecilnya terus menatap tongkat sihir Dumbledore.
"Begini," kata Dumbledore, berpaling ke Harry dan meneruskan bicara, seakan Paman Vernon tidak menyela, "jika kau benar telah mewarisi rumah itu, kau juga mewarisi-"


Harry Potter Dan Pangeran Berdarah Campuran Karya J.k. Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dumbledore menjentikkan tongkat sihirnya untuk kelima kalinya. Terdengar bunyi tar keras dan sesosok peri-rumah muncul, hidungnya berupa moncong, dengan telinga kelelawar raksasa, dan mata merah besar, memakai kain lap butut kotor, meringkuk di atas permadani tebal keluarga Dursley. Bibi Petunia mengeluarkan jeritan yang mendirikan bulu roma. Belum pernah ada apa pun yang sekotor ini memasuki rumahnya. Dudley mengangkat kaki telanjangnya yang besar dan berwarna merah muda dari lantai dan duduk dengan kaki terangkat hampir di atas kepalanya, seakan dia mengira makhluk ini bisa saja berlarian di atas tubuhnya lewat pipa piamanya, dan Paman Vernon menggerung, "Makhluk brengsek apa itu""
"Kreacher," Dumbledore mengakhiri.
"Kreacher tak mau, Kreacher tak mau, Kreacher tak mau!" kata si peri-rumah parau, hampir sama kerasnya dengan gerungan Paman Vernon, mengentak-entakkan kakinya yang panjang dan berbonggol dan menarik-narik telinganya. "Kreacher milik Miss Bellatrix, oh, ya, Kreacher milik keluarga Black, Kreacher menginginkan nyonya majikan baru Kreacher,
Kreacher tak mau jadi milik si Potter bandel, Kreacher tak mau, tak mau, tak mau -- "
"Seperti kau lihat, Harry," kata Dumbledore keras, mengatasi jerit parau Kreacher, "tak mau, tak mau, tak mau," yang tak putus-putusnya, "Kreacher menunjukkan keengganan untuk menjadi milikmu."
"Saya tak peduli," kata Harry lagi, memandang jijik peri-rumah yang menggeliat dan mengentak-entakkan kaki. "Saya tidak menginginkannya."
"Tak mau, tak mau, tak mau -- "
"Kau lebih suka dia menjadi milik Bellatrix Lestrange" Padahal dia sudah tinggal di Markas Besar Orde Phoenix selama setahun terakhir ini""
"Tak mau, tak mau, tak mau, tak mau -- "
Harry menatap Dumbledore. Dia tahu Kreacher tak boleh dibiarkan pergi dan tinggal bersama Bellatrix Lestrange, namun membayangkan menjadi pemilikznya, bertanggung jawab atas makhluk yang telah mengkhianati Sirius, sungguh menjijikkan.
"Beri dia perintah," kata Dumbledore. "Jika telah menjadi milikmu, dia harus mematuhimu. Jika tidak, kita terpaksa memikirkan cara-cara untuk menjauhkannya dari nyonya majikannya yang sah."
"Tak mau, tak mau, tak mau, TAK MAU!"
Suara Kreacher telah meninggi menjadi jeritan. Harry tak bisa berpikir harus berkata apa kecuali, "Kreacher, diam!"
Sesaat tampaknya Kreacher akan tersedak. Dia mencengkeram tenggorokannya, mulutnya masih bergerak-gerak liar, matanya membelalak. Setelah menelan ludah dengan panik selama beberapa detik, dia melempar diri tengkurap di atas permadani (Bibi Petunia merintih) dan
memukul-mukul lantai dengan tangan dan kakinya, menumpahkan segala kemarahan dan kejengkelannya, namun dalam diam.
"Nah, ini menyederhan
akan persoalan," kata Dumbledore riang. "Rupanya Sirius tahu apa yang dilakukannya. Kau pemilik sah Grimmauld Place nomor dua belas, dan Kreacher."
"Apakah-apakah saya harus memeliharanya sendiri"" Harry bertanya, ngeri, sementara Kreacher menggelepar di kakinya.
"Tidak, kalau kau tak mau," kata Dumbledore. "Kalau aku boleh memberi saran, kau bisa mengirimnya ke Hogwarts, untuk bekerja di dapur di sana. Dengan begitu, para peri-rumah yang lain bisa mengawasinya."
"Yeah," kata Harry lega. "Saya akan mengirimnya ke sana. Er-Kreacher -- aku ingin kau ke Hogwarts dan bekerja di dapur di sana bersama peri-peri-rumah yang lain."
Kreacher, yang sekarang berbaring telentang dengan tangan dan kaki di udara, melempar pandang jijik terbalik kepada Harry, dan dengan bunyi tar keras, lenyap.
"Bagus," kata Dumbledore. "Masih ada masalah Hippogriff, Buckbeak. Hagrid-lah yang memeliharanya sejak Sirius meninggal, tapi Buckbeak milikmu sekarang, jadi kalau kau mau mengaturnya secara lain -- "
"Tidak," kata Harry segera, "dia boleh tinggal bersama Hagrid. Saya rasa Buckbeak lebih suka begitu."
"Hagrid akan senang," kata Dumbledore, tersenyum. "Dia bahagia sekali melihat Buckbeak lagi. Kami sudah memutuskan, demi keamanan Buckbeak, memberinya nama baru Witherwings untuk sementara ini, meskipun aku ragu Kementerian akan bisa menduga dia adalah Hippogriff yang pernah mereka jatuhi hukuman mati. Nah, Harry, kopermu sudah dipak""
"Erm ... " "Kau tidak yakin aku akan datang"" Dumbledore menerka dengan tepat.
"Saya akan - er -- menyelesaikannya;" kata Harry buru-buru, bergegas mengambil teleskop dan sepatunya yang tadi terjatuh.
Perlu sepuluh menit lebih sedikit untuk mencari segala sesuatu yang dibutuhkannya. Akhirnya dia berhasil menarik keluar Jubah Gaib-nya dari bawah tempat tidur, menutup rapat botol tinta Ubah-Warna-nya, memasukkan kuali, dan menutup kopernya dengan paksa. Kemudian, menyeret koper dengan satu tangan dan menenteng sangkar Hedwig dengan tangan yang lain, dia kembali menuruni tangga.
Dia kecewa ternyata Dumbledore tidak menunggu di ruang depan, yang berarti dia harus kembali ke ruang keluarga.
Tak seorang pun bicara. Dumbledore sedang bersenandung pelan, tampak benar dia santai, namun suasana dingin dan tegang, dan Harry tidak berani memandang keluarga Dursley ketika dia berkata, "Profesor saya sudah siap."
"Bagus," kata Dumbledore. "Tinggal satu hal lagi, kalau begitu." Dan dia menoleh untuk berbicara kepada keluarga Dursley sekali lagi. "Seperti yang pasti kalian ketahui, setahun lagi Harry akil balig -- "
"Tidak" kata Bibi Petunia, berbicara untuk pertama kalinya sejak kedatangan Dumbledore.
"Maaf"" kata Dumbledore sopan.
"Tidak, dia belum akil balig. Dia sebulan lebih muda daripada Dudley, dan Duddlers baru akan delapan belas dua tahun lagi."
"Ah," kata Dumbledore ramah, "tetapi di dunia sihir, kami akil balig pada usia tujuh belas tahun."
Paman Vernon menggumamkan "tidak masuk akal", namun Dumbledore mengabaikannya.
"Seperti yang telah kalian ketahui, penyihir yang bernama Lord Voldemort telah kembali ke negara ini. Komunitas sihir saat ini dalam keadaan perang terbuka. Dalam beberapa kesempatan Lord Voldemort telah berusaha membunuh Harry, sehingga sekarang dia berada dalam bahaya yang jauh lebih besar daripada ketika saya tinggalkan di depan pintu rumah kalian lima belas tahun lalu, bersama surat yang menjelaskan tentang pembunuhan terhadap orangtuanya dan mengutarakan harapan agar kalian bersedia merawatnya seperti anak sendiri."
Dumbledore berhenti, dan meskipun suaranya tetap ringan dan tenang, dan tak ada tanda-tanda kemarahan, Harry merasakan semacam rasa dingin memancar darinya dan memperhatikan bahwa ketiga Dursley duduk lebih merapat.
"Kalian tidak melakukan seperti yang saya minta. Kalian tidak pernah memperlakukan Harry sebagai anak. Dia ditelantarkan dan kadang malah menderita kekejaman dari tangan kalian. Yang paling baik yang bisa dikatakan adalah bahwa dia setidaknya terhindar dari kerusakan mengerikan yang telah kalian timpakan kepada anak malang yang duduk di antara kalian."
Bibi Petunia dan Paman Ver
non langsung menoleh, seakan berharap melihat orang lain, bukan Dudley yang duduk terimpit di antara mereka.
"Kami salah memperlakukan Dudders" Apa maksud"" kata Paman Vernon berang, namun Dumbledore mengangkat jari menyuruhnya diam. Paman Vernon langsung terdiam.
"Sihir yang saya berikan lima belas tahun lalu berarti bahwa Harry memiliki perlindungan kuat selama dia masih bisa menyebut rumah ini rumahnya. Betapapun menderitanya dia di sini, betapapun dia tidak diterima, betapapun dia
diperlakukan dengan sangat buruk, kalian paling tidak, kendati dengan menggerutu, memberinya tumpangan. Sihir ini akan berhenti berfungsi saat Harry berumur tujuh belas tahun; dengan kata lain, saat dia menjadi laki-laki dewasa. Saya hanya meminta ini bahwa kalian mengizinkan Harry kembali, sekali lagi, ke rumah ini, sebelum hari ulang tahunnya yang ketujuh belas, dengan demikian ini akan memastikan perlindungan terhadapnya akan berlangsung sampai saat itu."
Tak seorang pun keluarga Dursley berkata apa-apa. Dudley mengernyit sedikit, seakan dia masih berusaha memahami kapan dia diperlakukan salah. Paman Vernon tampak seolah ada sesuatu yang mengganjal kerongkongannya. Bibi Petunia, anehnya, wajahnya memerah seperti malu.
"Nah, Harry ... saatnya kita berangkat," kata Dumbledore akhirnya, seraya berdiri dan meluruskan mantel hitamnya yang panjang. "Sampai ketemu lagi," katanya kepada keluarga Dursley, yang tampak mengharap itu tak usah terjadi, dan setelah memakai topinya, Dumbledore meninggalkan ruangan.
"Bye," kata Harry buru-buru kepada keluarga Dursley, dan menyusul Dumbledore, yang berhenti di sebelah koper Harry, dengan sangkar Hedwig bertengger di atasnya.
"Kita tak ingin terbebani dengan ini sekarang," katanya, seraya mencabut tongkat sihirnya. "Akan kukirim ke The Burrow, supaya menanti kita di sana. Meskipun demikian, aku ingin kau membawa Jubah Gaib-mu ... siapa tahu."
Harry mengeluarkan Jubah Gaib dari kopernya dengan sedikit kesulitan, dia berusaha agar Dumbledore tidak melihat betapa berantakannya isi kopernya. Setelah Harry menjejalkan Jubah Gaib-nya ke kantong dalam jaketnya, Dumbledore melambaikan tongkat sihirnya dan koper, sangkar, serta Hedwig lenyap. Dumbledore kemudian melambaikan tongkatnya lagi dan pintu depan terbuka, menampakkan kegelapan yang dingin berkabut.
"Dan sekarang, Harry, marilah melangkah ke dalam kegelapan malam dan mengejar petualangan yang menggoda."
04. HORACE SLUGHORN Kendati beberapa hari belakangan ini kalau tidak sedang tidur dia melewatkan sepanjang waktu dengan berharap sepenuh hati Dumbledore betul-betul datang menjemputnya, Harry merasa canggung sekali ketika mereka berjalan berdua sepanjang Privet Drive. Dia belum pernah benar-benar mengobrol dengan kepala sekolahnya di luar Hogwarts; biasanya selalu ada meja di antara mereka. Ingatan akan pertemuan terakhir mereka berulang-ulang terlintas di benaknya juga, dan ini membuat Harry agak malu. Dia banyak berteriak dalam pertemuan itu, belum lagi berusaha keras menghancurkan beberapa milik Dumbledore yang paling berharga.
Dumbledore, meskipun demikian, tampak sepenuhnya rileks.
"Tongkat siap, Harry," katanya ceria.
"Tetapi bukankah saya dilarang menggunakan sihir di luar sekolah, Sir""
"Jika ada serangan," kata Dumbledore, "aku memberimu izin untuk menggunakan mantra kontra-kutukan atau penangkal-sihir yang terlintas di benakmu. Meskipun demikian, kurasa kau tak perlu khawatir diserang malam ini."
"Kenapa tidak, Sir""
"Kau bersamaku," kata Dumbledore sederhana. "Di sini sudah cukup, Harry."
Dumbledore berhenti mendadak di ujung Privet Drive.
"Kau, tentunya, belum lulus ujian Apparition-mu, kan""
"Belum," kata Harry. "Kan harus sudah berusia tujuh belas tahun""
"Memang," kata Dumbledore. "Kalau begitu kau perlu berpegang pada lenganku erat-erat. Yang kiri, tolong-seperti yang telah kaulihat, lengan pemegang tongkatku agak rapuh sekarang ini.
Harry memegang erat lengan yang disodorkan Dumbledore.
"Bagus sekali," kata Dumbledore. "Nah, kita berangkat sekarang."
Harry merasa lengan Dumbledore tertarik menjauh darinya dan mengencangkan pegangannya
: berikutnya, tahu-tahu segalanya menjadi gelap, dia merasa ditekan keras dari segala jurusan; dia tak bisa bernapas, ada tali-tali besi membelit erat dadanya; bola matanya didorong masuk lebih dalam ke dalam rongganya, dan kemudian Harry menghirup dalam-dalam udara dingin malam hari beberapa kali dan membuka matanya yang berair. Rasanya seperti dia baru saja didorong melewati pipa karet yang sangat sempit. Baru beberapa detik kemudian dia menyadari bahwa Privet Drive telah lenyap. Dia dan Dumbledore sekarang berdiri di tempat yang tampaknya lapangan desa yang kosong, di tengahnya berdiri tugu peringatan perang yang sudah tua dan ada beberapa bangku. Pemahamannya menyusul perasaannya, Harry sadar dia baru saja ber-Apparate untuk pertama kalinya dalam hidupnya.
"Kau tak apa-apa"" tanya Dumbledore, menunduk memandangnya cemas. "Perlu beberapa waktu sampai kau terbiasa dengan sensasinya."
"Saya baik-baik saja," kata Harry, menggosok telinganya, yang rasanya meninggalkan Privet Dwrive dengan enggan. "Tetapi saya rasa saya lebih suka naik sapu."
Dumbledore tersenyum, menarik mantel bepergiannya sedikit lebih rapat di bagian leher, dan berkata, "Ke sini."
Dia berjalan dengan gesit, melewati losmen kosong dan beberapa rumah. Menurut jam di gereja di dekat situ, saat itu hampir tengah malam.
"Katakan padaku, Harry," kata Dumbledore. "Bekas lukamu ... apakah belakangan ini sakit""
Tanpa sadar Harry mengangat tangan ke dahinya dan menggosok bekas luka berbentuk sambaran petir.
"Tidak" katanya, "dan saya bertanya-tanya soal itu. Saya pikir bekas luka itu akan sakit terus sekarang setelah Voldemort menjadi sangat kuat lagi."
Dia mendongak mengerling Dumbledore dan melihat wajahnya diliputi ekspresi puas.
"Aku justru menduga sebaliknya," kata Dumbledore. "Lord Voldemort akhirnya menyadari adanya akses ke pikiran dan perasaannya yang selama ini kaunikmati. Rupanya sekarang dia menggunakan Occlumency terhadapmu."
"Saya tidak mengeluh," kata Harry, yang sama sekali tidak merasa kehilangan mimpi-mimpi buruk ataupun kilasan-kilasan mengejutkan ke dalam pikiran Voldemort.
Mereka membelok, melewati boks telepon dan halte bus. Harry mengerling Dumbledore lagi. "Profesor""
"Harry"" "Er-di mana kita ini""
"Ini, Harry, adalah desa Budleigh Babberton yang indah." "Dan apa yang kita lakukan di sini""
"Ah, ya, tentu saja, aku belum memberitahumu;" kata Dumbledore. "Nah, aku tak tahu sudah berapa kali aku mengatakan ini dalam beberapa tahun terakhir, tetapi kita, sekali lagi, kekurangan satu guru. Kita berada di sini untuk membujuk rekan kerja lamaku untuk meninggalkan masa pensiunnya dan kembali ke Hogwarts."
"Bagaimana saya bisa membantu soal itu, Sir""
"Oh, kurasa kita akan menemukan kegunaanmu," kata Dumbledore tak jelas. "Belok kiri, Harry."
Mereka berjalan sepanjang jalan kecil curam yang diapit deretan rumah. Semua jendelanya gelap. Rasa dingin aneh yang telah menyelimuti Privet Drive selama dua minggu, juga terasa di sini. Teringat Dementor, Harry menoleh ke belakang dan menggenggam tongkat sihir dalam sakunya untuk menenteramkan hati.
"Profesor, kenapa kita tidak langsung saja ber-Apparate di dalam rumah rekan kerja lama Anda""
"Karena itu sama tidak sopannya seperti kita menendang pintu depannya," kata Dumbledore. "Kesopanan menuntut kita memberi kesempatan kepada sesama penyihir untuk menolak kedatangan kita. Lagi pula, sebagian besar tempat tinggal para penyihir dilindungi dengan sihir untuk menghalangi Apparition yang tak diinginkan. Di Hogwarts, misalnya saja"
Memanah Burung Rajawali 14 Gadis Hari Ke Tujuh Karya Sherls Astrella Pedang Angin Berbisik 6

Cari Blog Ini