The Heroes Of Olympus 5 Darah Olympus Blood Of Olympus Bagian 7
lain. "Sekarang sedang perang!" teriak Octavian. "Aku membawa kalian ke ambang kemenangan telak dan kalian ingin menyerah" Kohort Satu: tangkap Centurion Dakota dan siapa saja yang memihaknya. Kohort Lima: ingat sumpah kalian kepada Roma dan legiun. Kalian harus mematuhi aku!" Will Solace geleng-geleng kepala. "Jangan lakukan ini, Octavian. Jangan paksa kaummu memilih. Ini kesempatan terakhirmu."
"Kesempatan terakhirku"" Octavian menyeringai, kegilaan berkilat-kilat di matanya. "Aku akan MENYELAMATKAN ROMA! Nah, bangsa Romawi, sekarang patuhilah perintahku! Tangkap Dakota. Binasakan para Graecus terkutuk ini. Dan isi ulang onager-onager itu!" Apa yang kiranya bakal bangsa Romawi lakukan bilamana dibiarkan begitu saja" Nico tidak tahu. Yang jelas, Nico tidak menduga-duga kedatangan bangsa Yunani. Pada saat itu, seluruh pasukan dari Perkemahan Blasteran muncul di punggung Bukit Blasteran. Clarisse La Rue memimpin, mengendarai kereta perang merah yang ditarik oleh kuda logam. Seratus demigod menyebar di sekitarnya, disertai satir dan roh alam berjumlah dua kali lipat yang dikomandoi oleh Grover Underwood. Tyson tersaruk-saruk ke depan bersama enam Cyclops lain. Chiron berdiri tegak, badan kuda putihnya putih cemerlang, busurnya dibidikkan. Pemandangan tersebut mengesankan, tapi yang terpikirkan di benak Nico hanya: Tidak. Jangan sekarang. Clarisse berteriak, "Bangsa Romawi, kalian telah menembak perkemahan kami! Mundurlah jika tidak ingin dihabisi!" Octavian berpaling kepada pasukannya. "Kalian lihat" Yang tadi itu tipuan! Mereka memecah belah kita supaya mereka bisa meluncurkan serangan kejutan. Legiun, cuneum formate! SERANG!"
BAB EMPAT PULUH DELAPAN NICO NICO INGIN BERTERIAK: TUNGGU. TAHAN lulu. Semuanya diam! Tapi, dia tahu percuma saja. Setelah berbulan-bulan menunggu, dilanda ketegangan, dan menggelegak semangat tempurnya, bangsa Yunani dan Romawi menginginkan darah. Berusaha menghentikan pertempuran saat ini sama seperti berusaha mendorong banjir ke belakang sesudah bendungan bobol. Will Solace menyelamatkan keadaan. Dia menempelkan jari ke bibirnya dan mengeluarkan siulan memanggil taksi yang malah lebih memekakkan daripada yang lalu. Kehebohan melanda tentara Romawi sementara seluruh Kohort I bergidik. "JANGAN BODOH!" teriak Will. "LIHAT!" Dia menunjuk ke utara dan Nico pun menyeringai lebar. Diputuskannya bahwa ada sesuatu yang lebih indah daripada lintasan proyektil yang meleset: Athena Parthenos yang berkilauan diterpa sinar matahari terbit, diterbangkan dari pesisir, disangga dengan cancang oleh enam kuda bersayap. Elang-elang
Romawi berputar-putar, tapi tidak menyerang. Segelintir malah menukik mendekat, memegangi kabel penghela, dan membantu membawakan patung. Nico tidak melihat Blackjack, alhasil membuatnya khawatir, tapi Reyna Ramirez-Arellano menunggangi punggung Guido. Pedangnya diangka
t tinggi-tinggi. Jubah ungunya berkilat-kilat aneh, memantulkan cahaya matahari. Kedua pasukan menatap sambil melongo sementara patung setinggi dua belas meter dari emas dan gading mendekat untuk mendarat. "DEMIGOD YUNANI!" Suara Reyna menggelegar seperti ditransmisikan dari patung itu sendiri, seolah-olah Athena Parthenos telah menjadi tumpukan pengeras suara untuk konser. "Lihatlah patung kalian yang paling keramat, Athena Parthenos, yang telah diambil secara semena-mena oleh bangsa Romawi. Kini aku mengembalikannya kepada kalian sebagai tanda itikad damai!" Patung mendarat di punggung bukit, kira-kira enam meter dari pohon pinus Thalia. Cahaya keemasan serta-merta beriak di tanah, merambat ke lembah Perkemahan Blasteran dan ke arah berlawanan, yaitu ke barisan prajurit Romawi. Kehangatan meresap ke tulang-tulang Nico sensasi damai nan menenangkan yang belum pernah dia rasakan sejak dia bahkan tidak ingat sejak kapan. Suara di dalam dirinya seolah berbisik: Kau tidak sendirian. Kau adalah bagian dari keluarga Olympia. Dewa-dewi tidak meninggalkanmu. "Bangsa Romawi!" teriak Reyna. "Aku melakukan ini demi kebaikan legiun, demi kebaikan Roma. Kita harus bersatu dengan saudara-saudara Yunani kite "Dengarkan dia!" Nico berderap ke depan. Nico bahkan tidak yakin apa sebabnya dia melakukan itu. Akankah kedua pihak, atau bahkan salah satunya saja, sudi
mendengarkannya" Biar bagaimanapun, Nico payah sebagai juru bicara, payah sebagai duta. Walau begitu, dia melenggang ke antara garis depan kedua pasukan, pedang hitamnya tergenggam di tangan. "Reyna mempertaruhkan jiwa demi kalian semua! Kami membawakan patung ini dari belahan dunia lain, orang Romawi dan Yunani bekerja sama, karena kita harus menggabungkan kekuatan. Gaea tengah bangkit. Kalau kita tidak bekerja sama " KAHAN AKAN MATT. Suara tersebut mengguncangkan bumi. Perasaan damai dan aman dalam diri Nico sirna seketika. Tanah menjadi cair dan lengket, rumput menyedot sepatu bot Nico. TINDAKAN SIA-SIA. Nico merasa seperti sedang berdiri di leher sang dewi seakan-akan seluruh Longs Island beresonansi dengan pita suaranya. TAPI, KALIAN BOLEH MATI BERSAMA, JIKA YANG DEMIKIAN MEMANG MEMBUAT KALIAN SENANG. "Tidak ..." Octavian buru-buru mundur. "Tidak, tidak ..." Dia membalikkan badan dan lari, menerobos serdadu-serdadunya sendiri supaya bisa kabur. "RAPATKAN BARISAN!" teriak Reyna. Bangsa Yunani dan Romawi bergerak bersama-sama, berdiri bersisian sementara bumi berguncang di sekeliling mereka. Pasukan auxilia Octavian merangsek ke depan, mengepung para demigod. Kedua perkemahan tak ubahnya sebuah titik kecil belaka di tengah lautan monster. Mereka akan berjuang hingga titik darah penghabisan di Bukit Blasteran, dipersatukan oleh Athena Parthenos. Tapi di sini sekalipun, mereka berdiri di tanah kekuasaan musuh. Karena Gaea adalah bumi, sedangkan bumi telah terbangun.[]
BAB EMPAT PULUH SEMBILAN JASON JASON PERNAH MENDENGAR BAHWA KONON, orang bisa menyaksikan kilas perjalanan hidupnya di depan mata. Tapi, dia tidak menyangka yang dia saksikan akan seperti ini. Selagi berdiri membentuk lingkaran defensif bersama teman-temannya, dikelilingi oleh para raksasa, kemudian menyaksikan pemandangan nan mustahil di angkasa, alih-alih melihat kilas balik hidupnya, Jason membayangkan dirinya sendiri lima puluh tahun di masa mendatang. Dia menduduki kursi goyang di beranda depan sebuah rumah di pesisir California. Piper menyajikan limun, rambutnya sudah beruban. Keriput-keriput dalam menghiasi ekor mata Piper, tapi dia masih cantik. Cucu-cucu Jason duduk mengelilirigi kakinya dan dia sedang mencoba menjelaskan kejadian hari ini di Athena kepada mereka. Tidak, Kakek serius, kata Jason. Cuma enam demigod di darat dan seorang lagi di kapal yang terbakar di atas Akropolis. Kami dikepung raksasa-raksasa setinggi sembilan meter yang hendak
membunuh kami. Kemudian langit terbuka dan turunlah dewa-dewi dari sang! Kek, kata anak-anak itu, Kakek tukang bohong ah. Kakek tidak bercanda! sanggah Jason. Dewa-dewi Olympia turun dari kahyangan, mengendarai kereta perang diiringi tiupan trompet yang memb
ahana, pedang mereka menyala-nyala. Dan kakek buyut kalian, sang raja dewa, memimpin penyerbuan tersebut, lembing yang seluruhnya terbuat dari listrik meretih di tangannya! Cucu-cucu Jason menertawakannya. Sementara itu, Piper meliriknya sambil tersenyum, seolah hendak mengatakan, Akankah kau percaya, kalau kau tak berada di sana" Tapi, Jason memangberada di sana. Dia mendongak sementara awan-awan tersibak di atas Akropolis dan dia hampir meragukan keampuhan kacamata baru yang diresepkan Asclepius untuknya. Alih-alih langit biru, Jason melihat ruang hitam bertabur bintang, istana-istana Gunung Olympus berkilau keperakan dan keemasan di latar belakang. Sepasukan dewa datang menyerbu dari langit. Yang dia saksikan terlalu rumit sehingga mustahil diproses. Barangkali justru lebih baik, demi kesehatannya, bahwa dia tidak melihat segalanya. Belakangan baru Jason bisa mengingat sepotong-sepotong. Ada Jupiter bertubuh superbesar ralat, yang muncul adalah Zeus, wujud aslinya yang maju ke medan tempur sambil mengendarai kereta perang keemasan, satu tangannya menggenggam tongkat petir seukuran tiang telepon yang meretih-retih. Keretanya dihela oleh empat kuda yang terbuat dari angin, masing-masing terus-menerus berubah wujud dari sosok kuda ke sosok manusia, berusaha membebaskan diri. Selama sepersekian detik, salah satunya menampakkan wajah es Boreas. Yang satu lagi mengenakan mahkota Notus yang terbuat dari kobaran api dan uap. Yang ketiga menyunggingkan senyum malas nan pongah
seperti Zephyrus. Zeus telah mengikat dan mencancang sendiri keempat Dewa Angin tersebut. Di dasar lambung Argo II, terbukalah pintu kaca. Dewi Nike terjungkal ke luar, telah terbebas dari jaring keemasan. Dia merentangkan sayap dan membubung ke sisi Zeus, menempati kedudukan sahnya sebagai sais kereta perang sang Raja Dewa. "KEJERNIHAN BENAKKU TELAH PULIH!" raung Nike. "KEJAYAAN BAGI DEWA-DEWI!" Di kiri Zeus, berdirilah Hera, yang kereta perangnya ditarik oleh merak-merak mahabesar, bulu mereka yang sewarna pelangi demikian terang sampai-sampai kepala Jason serasa berputar-putar. Ares menunggangi kuda bernapas api sambil menggerung kegirangan. Tombaknya merah gemerlap. Pada detik terakhir, sebelum dewa-dewi mencapai Parthenon, mereka seolah melompati ruang dan waktu. Kereta perang menghilang. Mendadak Jason dan teman-temannya dikelilingi oleh dewa-dewi Olympia, kini seukuran manusia, mungil jika dibandingkan dengan para raksasa, tapi memancarkan keperkasaan. Jason berteriak dan menyerang Porphyrion. Teman-temannya ikut menyerbu. Pertarungan berlangsung di sepenjuru Parthenon dan tumpah ruah ke Akropolis. Dari sudut matanya, Jason melihat Annabeth bertarung dengan Enceladus. Di sisi Annabeth, berdirilah wanita berambut panjang gelap dan mengenakan baju tempur keemasan di atas gaun putihnya. Sang dewi menghunjamkan tombak kepada Enceladus, lalu menyodorkan tameng perunggunya yang bertatahkan wajah seram Medusa. Bersama-sama, Athena dan Annabeth menyudutkan Enceladus ke kuda-kuda logam terdekat, yang serta-merta runtuh menimpa raksasa itu. Di sisi yang berlawanan dalam kuil itu, Frank Zhang dan Dewa Ares menghajar se-phalanx raksasa Ares menggunakan tombak
dan tamengnya, Frank (dalam wujud gajah Afrika) menggunakan belalai dan kakinya. Sang dewa perang tertawa-tawa dan main tikam serta memburai usus lawan-lawannya seperti anak kecil yang menghancurkan pi"ata. Hazel, yang menunggangi Anion, melajukan kudanya di tengah pertempuran, menghilang ke dalam Kabut kapan pun seorang raksasa mendekat, kemudian muncul kembali di belakangnya dan menikam punggungnya. Dewi Hecate menari-nari di belakang Hazel, membakar musuh dengan dua obor membara. Jason tidak melihat Hades, tapi kapan pun seorang raksasa terhuyung-huyung dan jatuh, tanah sontak terbelah dan raksasa itu pun disambar serta ditelan. Percy bertarung melawan raksasa kembar, Otis dan Ephialtes, sedangkan di sampingnya bertarunglah seorang pria berjanggut yang membawa trisula dan mengenakan baju Hawaii bermotif meriah. Raksasa kembar terhuyung-huyung. Trisula Poseidon berubah menjadi selang pemadam kebakara
n dan sang dewa menyemburkan tekanan tinggi berbentuk kuda liar ke kedua raksasa itu, alhasil melemparkan mereka ke luar Parthenon. Mungkin yang paling mengesankan adalah Piper. Dia beradu pedang melawan Periboia sang raksasa perempuan. Walaupun ukuran tubuh lawannya lima kali lebih besar, Piper tampaknya tidak kalah. Dewi Aphrodite menapaki awan putih kecil yang melayang-layang di sekeliling mereka sambil menaburkan kelopak mawar ke depan mata raksasa itu serta meneriakkan dukungan kepada Piper. "Hebat, Sayang. Ya, bagus. Hajar dia lagi!" Kapan pun Periboia mencoba menyerang, burung merpati muncul entah dari mana dan terbang ke depan wajah sang raksasa. Sementara itu, Leo sibuk lari bolak-balik di geladak Argo II, menembakkan pelontar misil, menjatuhkan palu ke kepala para raksasa, dan membakar cawat mereka. Di belakang Leo, di balik
kemudi, seorang lelaki gempal berjanggut dan berseragam mekanik sedang mengutak-atik papan kontrol, setengah mati berusaha mempertahankan kapal itu agar tetap terapung dengan tegak. Pemandangan paling janggal adalah Thoon si raksasa uzur, yang digetok bertubi-tubi dengan pentungan kuningan oleh tiga wanita tua para Moirae, dipersenjatai untuk perang. Jason memutuskan bahwa di dunia ini tiada yang lebih menakutkan daripada nenek-nenek bersenjatakan pentungan. Dia menyadari kesemua hal ini, juga lusinan pertarungan lain yang tengah berlangsung, tapi sebagian besar perhatiannya tertuju pada musuh di hadapannya Porphyrion, sang raja raksasa dan pada dewa yang bertarung di sisi Jason: Zeus. Ayahku, pikir Jason tak percaya. Porphyrion tidak memberi Jason banyak waktu untuk menikmati momen itu. Sang raksasa menggunakan tombaknya dengan gesit untuk menebas, menikam, menyabet. Jason mesti banting tulang supaya bisa bertahan hidup. Namun demikian kehadiran Zeus terasa menenangkan dan familier. Sekalipun Jason talc pernah bertemu ayahnya, dia teringat akan semua saat terindah yang pernah dia lalui piknik bersama Piper saat ulang tahunnya di Roma; main petak umpet bersama Thalia di apartemen mereka semasa Jason kecil; hari ketika Lupa menunjukinya Perkemahan Jupiter untuk kali pertama; slang hari di pantai ketika ibunya menjemputnya, menciumnya, dan menunjukinya badai yang hendak datang. Jangan pernah takut pada badai guntur, Jason. Itu ayahmu, yang hendak memberitahukan bahwa dia sayang padamu. Zeus beraroma seperti hujan dan angin segar. Dia menjadikan udara tersulut energi. Dari dekat, petir yang Zeus bawa menyerupai tongkat perunggu sepanjang semeter, kedua ujungnya lancip memanjang, membentuk lembing listrik putih sarat energi.
Dia menebaskan tongkat petir ke hadapan sang raksasa dan terjungkallah Porphyrion ke singgasananya, yang roboh di bawah berat badan raksasa itu. "Tidak ada singgasana untukmu," geram Zeus. "Tidak di sini. Tidak juga selama-lamanya." "Kalian tidak bisa menghentikan kami!" teriak sang raksasa. "Prosesnya sudah rampungl. Ibu Pertiwi telah terbangun!" Sebagai jawaban, Zeus meledakkan singgasana itu hingga berkeping-keping. Raja raksasa terlempar ke belakang, keluar dari kuil, dan Jason pun berlari mengejar Porphyrion, diikuti oleh ayahnya. Mereka menyudutkan Porphyrion ke tepi tebing, seluruh kota Athena modern terbentang di bawah. Petir telah melelehkan semua senjata di rambut sang raksasa. Perunggu langit cair menetes-netes di rambut gimbalnya seperti karamel. Kulitnya mengepulkan asap dan melepuh. Porphyrion menggeram dan mengangkat tombaknya. "Kau dan antek-antekmu sudah kalah, Zeus. Sekalipun kalian mengalahkanku, Ibu Bumi semata-mata akan membangkitkanku kembali!" "Kalau begitu," kata Zeus, "barangkali kau sebaiknya tidak mati dalam pelukan Gaea. Jason, Putraku ..." Jason tidak pernah merasa begitu bahagia, begitu diakui, seperti ketika ayahnya mengucapkan namanya. Rasanya seperti musim dingin lalu di Perkemahan Blasteran, ketika memorinya yang terhapus akhirnya kembali. Jason tiba-tiba memahami satu lagi bagian dari eksistensinya komponen identitasnya yang semula kabur. Sekarang dia tak lagi menyimpan keraguan: dia adalah putra Jupiter, Dewa Langit. Dia adalah anak ay
ahnya. Jason pun maju. Porphyrion menyabe than tombak membabi buta, tapi Jason memotong senjata tersebut jadi dua dengan gladius-nya. Dia menyerang, menghunjamkan pedang ke tameng dada si raksasa, lalu memanggil angin dan meniup Porphyrion sehingga terjungkal dari bibir tebing. Selagi raksasa itu terjatuh sambil menjerit, Zeus mengacungkan tongkat petirnya. Panas putih murni menyambar-nyambar dari tongkat itu dan menguapkan Porphyrion di tengah udara. Abunya melayang turun pelan-pelan, bertaburan ke puncak pohon-pohon zaitun di lereng Akropolis. Zeus menoleh kepada Jason. Tongkat petirnya padam dan Zeus pun menyandangkan tongkat perunggu langit itu ke sabuknya. Mata sang dewa kelabu seperti awan badai. Rambut dan janggutnya yang keperakan mirip awan stratus. Menurut Jason, aneh bahwa penguasa semesta, raja Olympus, hanya lebih tinggi beberapa inci ketimbang dirinya. "Putraku." Zeus mencengkeram bahu Jason. "Banyak sekali yang ingin kuberitahukan kepadamu ..." Sang dewa menghela napas dengan berat, menjadikan udara meretih dan kacamata baru Jason berkabut. "Sayang nian, sebagai raja dewa, aku tidak boleh menunjukkan favoritisme kepada anak-anakku. Ketika kita kembali ke hadapan bangsa Olympia yang lain, aku takkan bisa menyanjung-nyanjungmu sebagaimana yang kuinginkan, atau memberimu penghargaan sebagaimana yang layak kau terima." "Aku tidak ingin sanjungan." Suara Jason bergetar. "Sedikit waktu kebersamaan dengan Ayah sudah cukup. Maksudku, aku bahkan tidak mengenal Ayah." Tatapan Zeus menerawang jauh, sejauh lapisan ozon. "Aku selalu bersamamu, Jason. Aku memperhatikan perkembanganmu dengan bangga, tapi mustahil bagi kita untuk menjadi ..."
Zeus melengkungkan jemarinya, seolah mencoba mencomot kata yang tepat dari udara. Akrab. Normal. Ayah dan anak yang sejati. "Sejak lahir, kau ditakdirkan untuk menjadi milik Hera untuk meredakan murkanya. Bahkan namamu, Jason, dipilihkan oleh Hera. Kau tidak meminta nasib seperti ini. Aku tidak menginginkannya. Tapi, ketika aku menyerahkanmu kepada Hera tak terbayangkan olehku betapa kau akan menjadi pria yang baik. Perjalananmu telah menempa dirimu, menjadikanmu hebat sekaligus baik hati. Apa pun yang terjadi ketika kita kembali ke Parthenon, ketahuilah bahwa aku tidak menyalahkanmu. Kau telah membuktikan diri sebagai pahlawan sejati." Emosi Jason campur aduk dalam dadanya. "Apa maksud Ayah apa pun yang terjadi"" "Yang terburuk belum usai," Zeus mewanti-wanti. "Dan seseorang mesti bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi. Mari."[]
BAB LIMA PULUH JASON PARA RAKSASA HABIS TAK BERSISA, hanya meninggalkan gundukan abu, segelintir tombak, dan rambut gimbal yang terbakar. Argo II masih tegak, tampaknya dengan susah payah, ditambatkan ke puncak Parthenon. Setengah dari seluruh dayung kapal sudah patah atau tersangkut. Asap mengepul dari beberapa bagian lambung yang terbelah. Layar bolong-bolong bekas terbakar. Penampilan Leo hampir sebabak belur kapal. Dia berdiri di tengah kuil bersama awak yang lain, wajahnya berlumur jelaga, pakaiannya berasap. Dewa-dewi menyebar, membentuk setengah linglcaran selagi Zeus mendekat. Talc satu pun tampak senang akan kemenangan mereka. Apollo dan Artemis berdiri bersama dalam bayangan sebuah pilar, seakan mencoba bersembunyi. Hera dan Poseidon sedang berdiskusi sengit dengan dewi lain yang berjubah hijau-emas barangkali Demeter. Nike berusaha memasangkan mahkota daun
dafnah keemasan ke kepala Hecate, tapi Dewi Sihir menepis mahkota itu. Hermes mengendap-endap ke dekat Athena, berusaha merangkul dewi itu. Athena menyodorkan tameng aegis-nya ke arah Hermes dan dewa itu pun buru-buru menyingkir. Satu-satunya dewa Olympia yang suasana hatinya sedang bagus tampaknya adalah Ares. Dia tertawa-tawa dan memeragakan gerakan memburai usus musuh sementara Frank mendengarkan, ekspresinya sopan tapi mual. "Wahai kaumku," kata Zeus, "kita telah sembuh, berkat jasa demigod-demigod ini. Athena Parthenos, yang dahulu berdiri di kuil ini, sekarang berdiri di Perkemahan Blasteran. Athena Parthenos telah mempersatukan anak cucu kita dan alhasil mempersatukan esensi
diri kita." "Dewa Zeus," Piper angkat bicara, "apa Reyna baik-baik saja" Nico dan Pak Pelatih Hedge bagaimana"" Jason tidak percaya bahwa Piper menanyakan kabar Reyna, tapi dia bersyukur karena itu. Zeus mengerutkan alisnya yang sewarna awan. "Mereka berhasil menunaikan misi. Pada saat ini, mereka masih hidup. Mengenai apakah mereka baik-baik saja " "Masih ada pekerjaan yang mesti dibereskan," potong Ratu Hera. Dia merentangkan tangan seperti ingin mengajak pelukan massal. "Tapi, Pahlawan-pahlawanku kalian telah mengungguli para raksasa, persis seperti yang kuyakini sedari awal. Rencanaku terbukti sukses besar." Zeus menoleh ke arah istrinya. Guntur mengguncangkan Akropolis. "Hera, jangan berani-berani mengklaim penghargaan atas kejadian ini! Masalah yang kau timbulkan paling tidak sama banyaknya dengan yang kau perbaiki!" Wajah ratu kahyangan sontak memucat. "Suamiku, tentunya kau kini mafhum bahwa inilah satu-satunya jalan."
"Jalan yang bisa diambil tidak pernah hanya satu!" Zeus menggerung. "Itulah sebabnya Moirae ada tiga, bukan satu. Benar demikian, bukan"" Di camping puing-puing singgasana raja raksasa, ketiga wanita tua membungkukkan kepala tanpa suara untuk mengiyakan. Jason memperhatikan bahwa dewa-dewi lain menjaga jarak dari para Moirae dan pentungan kuningan mereka yang mengilap. "Kumohon, Suamiku." Hera mencoba tersenyum, tapi dia kentara sekali ketakutan sehingga Jason hampir kasihan padanya. "Aku hanya melakukan yang ku " "Diam!" bentak Zeus. "Kau sudah membangkang perintahku. Namun demikian kuakui bahwa kau bertindak dengan niat tulus. Keberanian ketujuh pahlawan ini membuktikan bahwa kau ternyata memiliki secercah kearifan." Hera kelihatannya ingin membantah, tapi dia tetap menutup mulut rapat-rapat. "Akan tetapi, Apollo ..." Zeus memelototi bayangan tempat pasangan dewa kembar berdiri. "Putraku, kemarilah." Apollo beringsut ke depan seperti sedang berjalan ke tiang gantungan. Salting miripnya Apollo dengan demigod remaja, kesannya jadi menggelisahkan penampilan serupa pemuda tujuh belas tahun, mengenakan celana jins dan kaus Perkemahan Blasteran, menyandang busur di pundak dan pedang di pinggang. Berkat rambut pirang acak-acakan dan mata birunya, Apollo bisa saja dikira sebagai kakak Jason dari pihak manusia ataupun pihak dewata. Jason bertanya-tanya apakah Apollo mewujud seperti ini supaya tidak mencolok, atau demi menuai rasa kasihan ayahnya. Rasa takut di wajah Apollo jelas-jelas tampak nyata dan juga sangat manusiawi.
Ketiga Moirae berkumpul di sekeliling sang Dewa, mengitari-nya, tangan keriput mereka terangkat. "Sudah dua kali kau menentangku," ujar Zeus. Apollo menjilat bibirnya. "Pa ... Paduka." "Kau mengabaikan kewajibanmu. Kau takluk di bawah puja-puji dan keangkuhan. Kau mendorong keturunanmu, Octavian, untuk menempuh jalan nan berbahaya dan kau secara prematur mengutarakan ramalan yang mungkin akan membinasakan kita
semua. "Tapi " "Cukup!" kata Zeus menggelegar. "Akan kita bicarakan hukumanmu nanti. Untuk saat ini, kau harus menunggu di Olympus." Zeus melambaikan tangan dan berubahlah Apollo menjadi taburan serbuk gemerlap. Para Moirae berputar-putar di sekelilingnya, melebur ke udara, dan angin topan mengilap itu pun tertiup kencang ke angkasa. "Apo yang akan menimpa Apollo"" tanya Jason. Dewa-dewi menatapnya, tapi Jason tidak peduli. Setelah bertemu muka dengan Zeus, Jason malah merasa bersimpati pada Apollo. "Bukan urusanmu," kata Zeus. "Ada persoalan lain yang harus kita atasi." Keheningan tak nyaman menghinggapi Parthenon. Membiarkan persoalan tersebut berlalu begitu saja rasanya tidak benar. Jason tidak paham apa sebabnya Apollo dijadikan kambing hitam. Seseorang mesti bertanggung jawab, kata Zeus tadi. Tapi, kenapa" "Ayahanda," kata Jason, "saya bersumpah akan memuliakan semua dewa. Saya berjanji kepada Kymopoleia bahwa seusai perang
ini, takkan ada lagi dewa yang tak memiliki altar pemujaan di kedua perkemahan." Zeus merengut. "Bagus sekali. Tapi Kym siapa"" Poseidon berdeham ke kepalannya. "Anakku." "Maksud saya," kata Jason, "saling menyalahkan takkan menyelesaikan masalah.
Pada mulanya, bangsa Romawi dan Yunani menjadi terpecah belah justru karena mereka saling menyalahkan." Udara mendadak berbau tajam karena terionisasi. Kulit kepala Jason tergelitik. Jason menyadari bahwa ayahnya bisa-bisa marah. Jason mungkin saja bakal diubah menjadi serbuk gemerlap atau disambar petir hingga terlempar dari Akropolis. Dia baru kenal ayahnya lima menit dan sudah memberikan kesan baik. Sekarang Jason malah menafikan segalanya. Orang Romawi yang baik takkan menyerocos terus. Jason menyerocos terus. "Masalahnya bukan Apollo. Meng-hukum Apollo atas bangkitnya Gaea adalah langkah yang ', Dia ingin mengatakan bodoh, tapi dia menahan diri. " tidak bijaksana." "Tidak bijaksana." Suara Zeus hampir sepelan bisikan. "Di hadapan dewa-dewi yang berkumpul di sini, kau mengataiku tidak bijaksana." Teman-teman Jason memperhatikan dengan waspada. Percy kelihatannya siap turun tangan dan bertarung di sisi Jason. Kemudian Artemis melangkahkan kaki dari bayang-bayang. "Ayahanda, pahlawan ini telah menjalani perjuangan berat nan panjang demi kita. Sarafnya sedang tegang. Kita mesti mempertimbangkan hal itu." Jason hendak protes, tapi Artemis menghentikannya dengan sekerling lirikan. Ekspresi Artemis mengirimkan pesan yang teramat jelas, sama seperti bilamana dewi itu bicara langsung ke
dalam benak Jason: Terima kasih, Demigod. Tapi, jangan bersikeras. Akan kuyakinkan Zeus ketika beliau sudah lebih tenting. "Tentunya, Ayahanda," lanjut sang dewi, "kita harus terleb ih dahulu menyikapi masalah lebih mendesak, sebagaimana yang Ayahanda kemukakan tadi." "Gaea," timpal Annabeth, jelas-jelas tidak sabar menggant topik pembicaraan. "Dia sudah terbangun, bukan"" Zeus menoleh ke arah Annabeth. Di sekeliling Jason, molekul-molekul udara berhenti berdengung. Tengkoraknya serasa baru keluar dari oven microwave. "Benar," kata Zeus. "Darah Olympus telah tertumpah. Gaea sudah sadar sepenuhnya." "Serius"!" keluh Percy. "Saya cuma mimisan sedikit dan se si bumi terbangkitkan karenanya" Tidak adil!" Athena menyandangkan aegis-nya ke bahu. "Mengeluhkan ketidakadilan sama saja seperti menyalahkan orang lain, Percy Jackson. Tidak ada gunanya." Dia melemparkan lirikan setuju ke arah Jason. "Sekarang kalian mesti bergerak cepat. Gaea telah bangkit untuk menghancurkan perkemahanmu." Poseidon bertumpu pada trisulanya. "Sekali ini, Athena benai "Sekali ini"" protes Athena. "Kenapa Gaea bisa berada di perkemahan"" tanya Leo. "Percy mimisan di sini." "Bung," kata Percy, "pertama-tama, kaudengar perkataan Dewi Athena barusan jangan salahkan hidungku. Kedua, Gaea itu bumi. Dia bisa mengemuka di mana saja sesukanya. Lagi pula, dia memberi tahu kita bahwa itulah yang bakal dia lakukan. Dia bilang hal pertama dalam daftar tugasnya adalah menghancurkan perkemahan kita. Pertanyaannya, bagaimana caranya menghentikan Gaea""
Frank memandang Zeus. "Anu, Pak Baginda Raja, tidak bisakah dewa-dewi mampir saja ke sana bersama kami" Dewa-dewi punya kereta perang dan sihir sakti dan sebagainya." "Ya!" kata Hazel. "Kita sudah mengalahkan para raksasa bersama-sama dalam dua detik. Mari kita semua " "Tidak," kata Zeus datar. "Tidak"" tanya Jason. "Tapi, Ayah " Mata Zeus berkilat-kilat penuh kekuatan dan Jason tersadar dia sudah maksimal mendesak ayahnya hari ini dan mungkin sampai beberapa abad ke depan. "Itulah jeleknya ramalan," geram Zeus. "Ketika Apollo memperkenankan terucapnya Ramalan Tujuh dan ketika Hera memutuskan untuk menginterpretasikan kata-kata itu sendiri, para Moirae merajut masa depan sedemikian rupa sehingga alur masa depan menjadi terbatas. Kalian bertujuh, para demigod, ditakdirkan mengalahkan Gaea. Kami, dewa-dewi, tidak bisa." "Saya tidak mengerti," ujar Piper. "Apa gunanya menjadi dewa-dewi jika Anda sekalian mesti mengandalkan manusia fana lemah untuk menjalankan perintah Anda"" Semua dew-a bertukar pandang muram. Namun demikian, Aphrodite malah tertawa lembut dan mengecup putrinya. "Piper sayangku, apa menurutmu kami belum pernah mengajukan pertanyaan itu kepada diri kami sendiri selama beribu-ribu tahun ini" Tapi, justru itulah yang mempersat
ukan kami semua, menjadikan kami kekal. Kami membutuhkan kalian manusia fana sebagaimana kalian membutuhkan kami. Meskipun menjengkelkan, itulah yang sebenarnya." Frank memindahkan tumpuan dengan mimik tidak nyaman, seolah-olah dia kangen menjadi gajah. "Jadi, bagaimana kami bisa mencapai Perkemahan Blasteran secepatnya untuk menghemat
waktu" Kami memerlukan waktu berbulan-bulan untuk mencapai Yunani." "Angin," kata Jason. "Ayahanda, bisakah Ayahanda menitahkan angin untuk mengirim pulang kapal kami"" Zeus melotot. "Aku bisa menamparmu sampai ke Long Island." "Eh, itu lelucon, ancaman, atau " "Bukan," kata Zeus, "pernyataanku berarti harfiah. Aku bisa menampar kapal kalian sampai ke Perkemahan Blasteran, tapi tenaga untuk itu ...." Di samping reruntuhan singgasana raksasa, dewa kekar berseragam mekanik menggelengkan kepala. "Anakku, Leo, merakit kapal yang bagus, tapi kapal tersebut takkan kuat menanggung tenaga sebesar itu. Kapal akan hancur berantakan begitu tiba di sana, mungkin malah sebelumnya." Leo meluruskan sabuk perkakasnya. "Argo II bisa tahan. Rusak sana-sini tidak apa-apa, asalkan masih lumayan utuh sepanjang waktu yang dibutuhkan untuk mengantar kami pulang. Setibanya di sana, kami bisa meninggalkan kapal." "Berbahaya," Hephaestus mewanti-wanti. "Barangkali fatal." Dewi Nike memutar-mutar mahkota daun dafnah dengan satu jari. "Kemenangan hanya dapat diraih setelah kita menantang bahaya. Malahan, kita acap kali mesti berkorban demi kemenangan. Leo Valdez dan aku sudah mendiskusikan perkara ini." Sang dewi menatap Leo dengan tajam. Jason tidak suka mendengarnya. Dia teringat ekspresi muram Asclepius ketika sang dokter memeriksa Leo. Waduh. Oh, begitu ... Jason tahu mereka harus melakukan apa untuk mengalahkan Gaea. Tapi, Jason ingin mengambil sendiri risiko itu, bukan membebankannya kepada Leo.
Piper membawa obat dari tabib, kata Jason kepada diri sendiri. Dia akan melindungi kami berdua. "Leo," ujar Annabeth, "apa yang dimaksud Dewi Nike"" Leo mengesampingkan pertanyaan itu dengan lambaian tangan. "Yang biasa. Kemenangan. Pengorbanan. Bla bla bla. Tidak jadi soal. Kita pasti bisa, Teman-teman. Kita harus bisa." Rasa ngeri merasuki Jason. Zeus betul mengenai satu hal: yang terburuk belum lagi terjadi. Ketika kau harus memilih, Notus, sang Angin Selatan, sempat memberitahunya, antara badai atau api, janganlah berputus asa. Jason pun membuat keputusan. "Leo benar. Ayo semuanya, naik. Mari kita tempuh perjalanan kita yang terakhir[]
BAB LIMA PULUH SATU JASON PERPISAHAN PENUH KASIH SAYANG APAAN. Kali terakhir Jason melihat ayahnya, Zeus berbadan setinggi tiga puluh meter, memegangi haluan Argo II. Sang dewa berkata dengan suara menggelegar, PEGA1VGAN! Kemudian Zeus melemparkan kapal ke atas dan mensmesnya seperti bola voli. Jika Jason tidak diikat ke tiang kapal menggunakan cancang dengan dua puluh gesper pengaman, dia pasti sudah luruh menjadi debu. Yang jelas, meskipun tubuhnya utuh, perut Jason ingin diam di Yunani dan udara seolah tersedot habis dari paru-parunya. Langit menjadi gelap. Kapal berderit dan berderak. Geladak retak-retak seperti es tipis di bawah kaki Jason dan disertai dentum supersonik, Argo II melesat dari balik awan. "Jason!" teriak Leo. "Cepat!" Jemarinya serasa bagai plastik leleh, tapi Jason berhasil melepaskan gesper pengikat. Leo terikat ke konsol kendali, setengah mati berusaha menegakkan kapal sementara mereka jatuh bebas. Layar terbakar.
Festus berderak waswas. Katapel tempur copot dan melambung ke udara. Gaya sentrifugal menyentakkan tameng-tameng sehingga terlepas dari langkan seperti Frisbee logam. Retakan yang lebih lebar merekah di geladak sementara Jason tertatih-tatih menuju palka, menggunakan angin untuk menstabilkan tumpuannya. Jika dia terlambat menghampiri yang lain ... Kemudian tingkap menjeblak terbuka. Frank dan Hazel tergopoh-gopoh ke luar, menarik tali pandu yang terikat ke tiang layar. Piper, Annabeth, dan Percy mengikuti, semuanya kelihatan terdisorientasi. "Turun!" teriak Leo. "Turun, turun, turun!" Sekali ini, nada bicara Leo serius sekali. Mereka sudah membah
as rencana evakuasi, tapi tamparan barusan ke seberang dunia membuat benak Jason loyo. Dinilai dari ekspresi yang lain, kondisi mereka juga tidak lebih baik. Buford sang meja menyelamatkan mereka. Dia berkelotakan di dek sambil memancarkan hologram Hedge yang menerialckan, "AYO JALAN! CEPAT! JANGAN MALAS!" Lalu, daun mejanya terbelah menjadi baling-baling helikopter dan terbanglah Buford dari sana. Frank mengubah wujud. Alih-alih seorang demigod linglung, dia kini menjadi naga kelabu linglung. Frank mencengkeram Percy dan Annabeth dengan cakar depannya, lalu mengembangkan sayap dan membubung pergi. Jason memegangi pinggang Piper, siap untuk terbang, tapi dia membuat kekeliruan, yaitu melirik ke bawah. Tampaklah langit dan bumi yang berpusing silih berganti bagaikan kaleidoskop. Tanah sudah terlampau dekat. "Leo, kau takkan berhasil!" kata Jason. "Ikutlah dengan kami!" "Tidak! Menyingkirlah dari sini!"
"Leo!" Piper mencoba. "Kumohon " "Simpan charmspeak-mu, Pipes! Sudah kubilang, aku punya rencana. Sana, husss!" Jason memandang kapal yang menyerpih-nyerpih untuk kali terakhir. Argo II telah demikian lama menjadi rumah mereka. Sekarang mereka akan meninggalkan kapal tersebut selamanya dan juga meninggalkan Leo di belakang. Jason membenci strategi itu, tapi dia melihat tekad di mata Leo. Persis seperti ayahnya, Zeus, barusan, tiada waktu untuk mengucap perpisahan secara semestinya. Jason mencancang angin, lalu dia dan Piper melesat ke angkasa.
Keadaan di darat ternyata sama kacau-balaunya. Selagi mereka menukik ke bawah, Jason melihat sepasukan besar monster yang tersebar di perbukitan cynocephalus, manusia berkepala dua, centaurus liar, raksasa Laistrygonian, dan makhluk-makhluk lain yang bahkan tidak dia ketahui namanya mengepung dua kumpulan kecil demigod. Di punggung Bukit Blasteran, di bawah kaki Athena Parthenos, berdirilah pasukan utama Perkemahan Blasteran beserta Kohort I dan V, yang mengelilingi elang emas legiun. Ketiga kohort Romawi lainnya membentuk formasi defensif beberapa ratus meter dari sana dan tampaknya tengah menanggung serangan yang paling gencar. Elang-elang raksasa mengelilingi Jason, mengeluarkan pekikan mendesak, seolah-olah meminta perintah. Frank si naga kelabu terbang beserta para penumpangnya. "Hazel!" Jason berteriak. "Ketiga kohort itu sedang kesulitan! Kalau mereka tidak bergabung dengan kelompok demigod yang lain "
"Siap!" kata Hazel. "Ayo, Frank!" Naga Frank menikung ke kiH, sedangkan Annabeth yang berada dalam cengkeraman salah satu cakarnya meneriakkan, "Ayo hajar mereka!" dan Percy di cakar satunya lagi menjeritkan, "Aku benci terbang!" Piper dan Jason menikung ke kanan, menuju puncak Bukit Blasteran. Semangat Jason terbangkitkan ketika melihat Nico di Angelo di bans depan bersama bangsa Yunani, menerobos sambil menebas kawanan manusia berkepala dua. Beberapa kaki dari sana, Reyna menunggangi pegasus baru, pedangnya terhunus. Reyna meneriakkan perintah kepada legiun dan bangsa Romawi pun menurut tanpa bertanya, seakan-akan Reyna tidak pernah pergi. Jason tidak melihat Octavian di mana pun. Bagus. Dia juga tidak melihat Dewi Bumi mahabesar yang menghancurleburkan dunia. Bagus sekali. Barangkali Gaea telah bangun, meninjau dunia modern sekilas, dan memutuskan untuk kembali tidur. Jason berharap mereka semujur itu, tapi dia meragukannya. Dia dan Piper mendarat di bukit sambil menghunus pedang dan kontan terdengarlah sorak-sorai dari bangsa Yunani serta Romawi. "Sudah waktunya!" seru Reyna. "Aku senang kalian bisa bergabung dengan karni!" Jason terkesiap saat menyadari bahwa Reyna berbicara kepada Piper, bukan dirinya. Piper menyeringai. "Kami mesti membunuh raksasa dulu!" "Hebat!" Reyna balas tersenyum. "Selamat menikmati, di sini banyak makhluk barbar." "Wah, terima kasih!" Kedua gadis itu berdampingan menerjang ke medan tempur.
Nico mengangguk kepada Jason seolah-olah baru lima menit lalu mereka bertemu, lalu kembali mengubah para manusia berkepala dua menjadi mayat-mayat tanpa kepala. "Pemilihan waktu yang bagus. Kapalnya mana"" Jason menunjuk. Argo 2yang dilalap api melesat di an
gkasa, menanggalkan gumpalan tiang, lambung, dan persenjataan yang terbakar. Menurut Jason, Leo yang tahan api sekalipun tidak mungkin selamat dari bencana api dahsyat semacam itu, tapi dia harus berharap. "Demi dewa-dewi," kata Nico. "Apa semuanya baik-baik saja"" "Leo ..." Suara Jason pecah. "Dia bilang dia punya rencana." Komet api menghilang ke balik perbukitan barat. Dengan ngeri, Jason menanti bunyi ledakan, tapi dia tidak mendengar apa-apa selain pekik perang. Nico bertemu pandang dengannya. "Leo pasti baik-baik saja." "Tentu saja." "Tapi, siapa tahu ada apa-apa Untuk Leo." "Untuk Leo," Jason sepakat. Mereka pun merangsek ke tengah-tengah pertempuran. Amarah Jason menambah kekuatannya. Bangsa Yunani dan Romawi lambat laun mendorong para musuh. Centaurus liar bertumbangan. Manusia berkepala serigala meraung-raung saat ditebas hingga menjadi abu. Semakin banyak monster yang muncul roh biji-bijian karpoi yang berputar-putar di rerumputan hingga merekah ke permukaan, gryphon yang menukik dari langit, humanoid mirip lempung yang menurut Jason mirip orang-orangan dari malam. "Mereka itu hantu bercangkang tanah!" Nico memperingatkan. "Jangan biarkan mereka memukul kalian!" Gaea jelas-jelas sudah mempersiapkan kejutan cadangan.
. Pada satu saat, Will Solace, pekemah kepala di Pondok Apollo, berlari menghampiri Nico dan mengucapkan sesuatu ke telinganya. Karena riuh rendah teriakan dan denting pedang yang beradu, Jason tidak bisa mendengar perkataan Will. "Jason, aku harus pergi!" kata Nico. Jason tidak paham sebabnya, tapi dia mengangguk. Will dan Nico serta-merta melejit ke tengah-tengah pertempuran. Sesaat berselang, seregu pekemah Hermes berkumpul di sekeliling Jason entah karena alasan apa. Connor Stoll menyeringai. "Apa kabar, Grace"" "Baik," kata Jason. "Kau"" Connor menghindari pentungan raksasa Laistrygonian dan menikam roh biji-bijian, yang meledak menjadi butir-butir gandum. "Tidak ada yang bisa kukeluhkan. Hari ini asyik." Reyna meneriakkan, "Eiaculare flammas!" dan serbuan pariah berapi kontan melampaui deretan tameng legiun, kemudian membinasakan sepeleton raksasa Laistrygonian. Pasukan Romawi bergerak ke depan, menyula centaurus dan menginjak-injak raksasa Laistrygonian yang terluka di bawah sepatu bot mereka yang berujung perunggu lancip. Di suatu tempat di bawah lereng, Jason mendengar Frank Zhang berteriak dalam bahasa Latin: "Repellere equites!" Sekawanan besar centaurus kocar-kacir karena panik sementara ketiga kohort legiun bersatu padu, membentuk formasi tempur sempurna yang menggilas ke depan, tombak mereka dicerahkan oleh darah monster. Frank berderap di kepala pasukan. Di kiri Frank, Hazel menunggangi Anion, wajahnya berbinar-binar bangga. "Ave, Praetor Zhang!" seru Reyna. "Ave, Praetor Ramirez-Arellanor kata Frank. "Mari kita lakukan. Legiun, RAPATKAN BARISAN!"
. Sorak-sorai pecah di antara bangsa Romawi saat kelima kohort melebur menjadi satu mesin pembunuh mahabesar. Frank mengacungkan pedang ke depan dan, dari panji-panji elang keemasan, berhamburanlah julai-julai cahaya yang terjulur ke arah musuh, menggosongkan beberapa ratus monster. "Legiun, cuneum formate!" teriak Reyna. "Maj u!" Sorak-sorai kini merekah di sebelah kanan Jason sementara Percy dan Annabeth bergabung kembali dengan pasukan dari Perkemahan Blasteran. "Bangsa Yunani!" teriak Percy. "Ayo kita, anu, bertarung!" Mereka meraung-raung memekakkan dan menyerbu. Jason menyeringai. Dia cinta bangsa Yunani. Mereka sama sekali tidak terorganisasi, tapi antusiasme mereka tidak ada duanya. Jason merasa positif akan pertempuran itu, tapi dia menyimpan dua pertanyaan besar: Di mana Leo" Dan, di mana Gaea" Sayangnya, Jason mendapat jawaban dari pertanyaan kedua terlebih dahulu. Di bawah kakinya, bumi berombak seolah-olah Perbukitan Blasteran telah berubah menjadi kasur air raksasa. Demigod berjatuhan. Raksasa Laistrygonian terpeleset. Centaurus tersungkur ke rumput. BANGUN, sebuah suara menggelegar di sekeliling mereka. Pada jarak seratus meter kurang dari Jason, di punggung bukit sebelah, rumput dan tanah teraduk-aduk ke atas seperti mata
bor mahabesar. Tiang tanah menebal menjadi sosok seorang wanita setinggi enam meter gaunnya terbuat dari anyaman rumput, kulitnya seputih batu kuarsa, rambutnya cokelat kusut seperti jejalin akar pohon. "Makhluk-makhluk kecil bodoh." Gaea sang Ibu Pertiwi membuka mata hijau jernihnya. "Sihir lemah patung kalian tidak sanggup mengekangku."
Selagi sang dewi berkata begitu, Jason menyadari apa sebabnya baru sekarang Gaea muncul. Athena Parthenos telah melindungi para demigod, menghalau kemurkaan bumi, tapi Athena sekalipun tidak kuasa menepis dewi primordial lama-lama. Rasa ngeri menggigilkan seluruh pasukan demigod bagaikan hawa dingin. "Teguhkan diri kalian!" teriak Piper, charmspeak-nya jelas dan keras. "Bangsa Yunani dan Romawi, kita bisa melawannya bersama-sama!" Gaea tertawa. Dia merentangkan tangan dan bumi pun condong ke arahnya pohon-pohon menjadi miring, batu cadas berderak, tanah beriak bagaikan ombak. Jason melayang di atas angin, tapi di sekelilingnya, monster dan demigod sama-sama terperosok ke dalam tanah. Salah satu onager Octavian terguling dan menghilang ke sisi bukit. "Seluruh bumi adalah tubuhku," kata Gaea dengan suara menggelegar. "Mana mungkin kalian melawan dewi " KREEEK' Kilatan perunggu menukik ke bumi. Dalam sekejap, Gaea terangkat dari sisi bukit, terjepit dalam cakar naga logam seberat lima puluh ton. Festus, yang terlahir kembali, mengepakkan sayap berkilauan untuk terbang ke langit sembari memuntahkan api dari rahangnya dengan penuh kemenangan. Semakin naga itu naik, orang yang menunggangi punggungnya menjadi semakin kecil dan semakin sulit dilihat, tapi cengiran Leo mustahil salah dikenali. "Pipes! Jason!" Leo berteriak ke bawah. "Mau ikut" Per-tarungannya di atas sini!"[]
BAB LIMA PULUH DUA JASON BEGITU GAEA LEPAS LANDAS, TANAH seketika memadat.
Demigod tidak lagi terperosok, meskipun banyak yang masih terbenam sampai ke pinggang. Sayangnya, monster-monster sepertinya bisa mengeluarkan diri dari tanah dengan lebih mudah. Mereka menyerang barisan tentara Yunani dan Romawi, mengambil keuntungan dari kondisi para demigod yang tak terorganisasi. Jason memeluk pinggang Piper. Dia hendak tinggal landas ketika Percy berteriak, "Tunggu! Frank bisa menerbangkan kami ke atas juga! Kita semua bisa " "Jangan, Bung," kata Jason. "Mereka membutuhkanmu di sini. Kita masih harus mengalahkan pasukan monster. Lagi pula, ramalan " "Dia benar." Frank mencengkeram lengan Percy. "Kau harus membiarkan mereka melakukan ini, Percy. Ini sama seperti misi Annabeth di Roma. Atau yang Hazel lakukan di depan Pintu Ajal. Bagian ini hanya dapat dikerjakan oleh mereka."
Percy kentara sekali tidak menyukai hal tersebut, tapi tepat pada saat itu, monster membanjiri pasukan Romawi. Annabeth berseru kepada Percy, "Hei! Masalah di sebelah sini!" Larilah Percy untuk bergabung dengan Annabeth. Frank dan Hazel menoleh ke arah Jason. Mereka mengangkat tangan untuk memberi salam ala Romawi, kemudian lari menjauh untuk mengonsolidasikan legiun. Jason dan Piper berpusing ke atas, menumpangi angin. "Aku bawa obat," gumam Piper seperti merapal mantra. "Semuanya akan baik-baik saja. Aku bawa obat." Jason tersadar bahwa Piper entah bagaimana telah kehilangan pedangnya dalam pertempuran, tapi Jason ragu senjata tajam bisa bermanfaat. Sebilah pedang tidaklah berguna dalam melawan Gaea. Yang penting adalah badai dan api sedangkan kesaktian ketiga, charmspeak Piper, akan mempersatukan mereka. Musim dingin lalu, Piper telah memperlambat kekuatan Gaea di Rumah Serigala, membantu membebaskan Hera dari kungkungan bumi. Kini Piper akan mengemban tugas yang malah lebih besar. Selagi mereka naik, Jason menghimpun angin dan awan di sekelilingnya. Langit merespons dengan amat cepat. Segera saja, mereka sudah berada di mata badai. Petir memedihkan mata Jason. Guntur menggetarkan giginya.. Tepat di atas mereka, Festus berjuang mencengkeram sang Dewi Bumi. Gaea terbuyarkan tak henti-henti, berusaha mengucur kembali ke tanah, tapi angin menahannya di atas. Festus menyembur Gaea dengan api, yang tampaknya ampuh dalam memaksanya terus berwujud padat. S
ementara itu, dari punggung Festus, Leo juga menyemprot sang Dewi dengan apinya sendiri dan melemparkan hinaan. "Limbah Toilet! Muka Tanah! INI UNTUK IBUKU, ESPERANZA VALDEZ!''
Sekujur tubuh Gaea terbalut api. Badai menggila dan hujan turun dengan deras, tapi di sekeliling Leo, tetes hujan semata-mata mendesis dan menguap. Jason melesat ke arah mereka. Gaea berubah menjadi pasir putih halus, tapi Jason memanggil seskuadron venti yang bergulung-gulung di sekeliling sang dewi, mengungkungnya dalam kepompong dari angin. Gaea balas melawan. Ketika tidak sedang terbuyarkan, dia melecutkan mortir batu dan tanah yang harus Jason hindari dengan susah payah. Menghimpun badai, mengekang Gaea, mempertahankan dirinya dan Piper agar tetap melayang ... Jason tidak pernah mengerjakan apa pun yang sesukar ini. Dia merasa seperti diselimuti pemberat timah, berusaha berenang hanya dengan kaki sembari menggotong mobil di atas kepalanya. Tapi, dia harus terus menjauhkan Gaea dari tanah. Itulah rahasia yang Kym siratkan ketika mereka berbincang di dasar laut. Dahulu kala, Ouranos sang Dewa Langit dikelabui agar turun ke bumi oleh Gaea dan para Titan. Mereka menahannya di tanah supaya tidak bisa kabur dan, sementara kekuatan Ouranos melemah karena berada jauh sekali dari wilayah kekuasaannya, mereka pun mampu mencacah-cacah sang Dewa Langit. Sekarang Jason, Leo, dan Piper harus membalikkan skenario itu. Mereka mesti menjauhkan Gaea dari sumber kekuatannya, yaitu bumi, dan melemahkan sang Dewi sampai dia dapat dikalahkan. Mereka naik bersama-sama. Festus berderak dan berderit kepayahan, tapi dia terus meninggi. Jason tidak paham bagaimana Leo bisa merakit ulang naga itu. Kemudian dia teringat betapa Leo bekerja berjam-jam dalam lambung kapal selama beberapa
. minggu terakhir ini. Leo pasti sudah merencanakan ini sedanawal dan membuat tubuh baru untuk Festus di dalam kerangka kapal. Leo pasti punya firasat bahwa Argo II akhirnya akan hancur lebur. Kapal yang berubah menjadi naga ... Jason berpendapat bahwa hal tersebut sama hebatnya dengan naga yang berubah menjadi koper di Quebec. Pokoknya, Jason gembira melihat kawan lamanya kembali beraksi. "KALIAN TIDAK BISA MENGALAHKANKUrGaea remuk ke pasir, hanya untuk dihajar lagi dengan semburan api. Tubuhnya meleleh menjadi segunduk kaca, remuk, lalu mewujud kembali sebagai manusia. MKU INI KEKAL!" "Kekal dan menyebalkan!" Leo berteriak, lalu mendesak Festus agar terbang semakin tinggi. Jason dan Piper naik bersama mereka. "Dekatkan aku ke sana," desak Piper. "Aku harus mendekat ke sebelah Gaea." "Piper, api dan pecahan kapal " "Aku tahu." Jason bergerak sampai mereka tepat di samping Gaea. Angin menyelubungi sang dewi, memadatkannya, tapi Jason mesti bersusah payah untuk menghalau tanah dan pasir yang disemburkan Gaea. Matanya hijau padat, seolah-olah seluruh dunia flora telah terkondensasi menjadi sejumput bahan organik. ANAK-ANAK BODOH!" Wajah Gaea merengut, dilanda gempa bumi dan longsor versi miniatur. "Kau lelah sekali," Piper memberi tahu sang dewi, suaranya memancarkan keramahan dan simpati. "Rasa sakit dan kekecewaan berabad-abad membebanimu." "DIAM !!!
Amarah Gaea begitu dahsyat sampai-sampai Jason kehilangan kontrol atas angin untuk sementara. Dia tentu sudah jatuh jika Festus tidak menangkap Jason dan Piper dengan cakar besarnya yang satu lagi. Hebatnya, Piper tetap fokus. "Duka selama bermilenium-milenium," kata Gaea. "Suamimu Ouranous suka menganiaya. Dewa-dewi yang adalah cucu-cucumu menjatuhkan bangsa Titan, anak-anakmu yang tercinta. Anak-anakmu yang lain, para Cyclops dan Kaum Bertangan Seratus, dibuang ke Tartarus. Kau sudah capek sakit hati." "BOHONG!" Gaea remuk menjadi tanah dan rumput yang berpusing sekencang tornado, tapi esensi sang Dewi sepertinya teraduk-aduk lebih lambat. Jika mereka naik lebih dari sekarang, mereka takkan bisa bernapas karena udara terlalu tipis. Jason takkan bisa lagi mengontrol udara karena dirinya terlalu lemah. Ucapan Piper tentang rasa letih juga memengaruhinya, mengisap tenaganya, menjadikan tubuhnya terasa berat. "Yang kau inginkan," lanjut Piper
, "lebih daripada kemenangan, lebih daripada pembalasan dendam adalah istirahat. Kau penat sekali, lelah sekali akan kaum fana dan kekal yang tidak tahu terima kasih." MKU JANGAN BERLAGAK TAHU PERASAANKU KAU TIDAK BOLEH " "Kau menginginkan satu hal," kata Piper menenangkan, suaranya merambati tulang-tulang Jason. "Satu kata. Kau menginginkan izin untuk memejamkan mata dan melupakan masalahmu. Kau ingin TIDUR." Gaea memadat, mewujud sebagai manusia. Kepalanya terkulai, matanya terpejam, dan dia melemas di cengkeraman cakar Festus. Sayangnya, Jason mulai semaput juga.
Angin melemah. Badai mereda. Bintik-bintik hitam menari-nari di mata Jason. "Leo!" Piper megap-megap kehabisan napas. "Kita cuma punya waktu beberapa detik. Charmspeak-ku takkan " "Aku tahu!" Leo terlihat seolah terbuat dari api. Lidah api menjilat-jilat di bawah kulitnya, menerangi tengkoraknya. Festus berasap dan berpendar, cakarnya terasa membara di balik baju Jason. "Aku tidak bisa menahan api lebih lama lagi. Akan kuuapkan dia. Jangan khawatir. Tapi, kalian berdua harus pergi." "Tidak!" kata Jason. "Kami harus tetap di sini bersamamu. Piper membawa obat. Leo, kau tidak boleh " "Hei." Leo menyeringai, ekspresinya tampak seram di tengah kobaran api, gigi-giginya mirip biji perak leleh. "Sudah kubilang aku punya rencana. Kapan kalian mau memercayaiku" Eh iya, omong-omong aku sayang kalian." Cakar Festus terbuka, dan jatuhlah Jason serta Piper. Jason tidak punya tenaga untuk menghentikan kejatuhannya. Dia memegangi Piper sementara gadis itu menjeritkan nama Leo dan mereka terjun bebas menyongsong bumi. Festus semakin kabur, hanya tampak sebagai bola api di langit matahari kedua kian lama kian kecil dan kian panas. Kemudian, dari ekor mata Jason, dia melihat komet nan membara melesat ke atas dari tanah disertai desing melengking, hampir-hampir menyerupai jeritan manusia. Tepat sebelum Jason kehilangan kesadaran, komet itu memotong lintasan bola api di atas mereka. Ledakan yang menyusul menjadikan seisi langit berwarna keemasan.[]
BAB LIMA PULUH TIGA NICO NICO SUDAH MENYAKSIKAN BERMACAM-MACAM BENTUK kematian. Dia tidak mengira masih ada yang bisa mengagetkannya. Dia keliru. Di tengah-tengah pertempuran, Will Solace lari menghampiri Nico dan mengucapkan satu kata ke telinganya: "Octavian." Kata itu menarik perhatian Nico sepenuhnya. Dia sempat ragu-ragu ketika berkesempatan membunuh Octavian, tapi Nico tidak sudi membiarkan si augur terkutuk lari dari keadilan. "Di mana"" "Ayo," kata Will. "Bergegaslah." Nico menoleh kepada Jason, yang bertarung di sebelahnya. "Jason, aku harus pergi." Kemudian Nico menceburkan diri ke kekisruhan, mengikuti Will. Mereka melewati Tyson dan kerabatnya para Cyclops, yang meraungkan, "Anjing nakal! Anjing nakal!" sambil menghajar kepala para cynocephalus. Grover Underwood dan seregu satir menari-nari sambil meniup suling deret, memainkan harmoni yang demikian sumbang sehingga hantu-hantu bercangkang tanah
retak-retak. Travis Stoll berlari melintas sambil berdebat dengan saudaranya. "Apa maksudmu kita memasang ranjau darat di bukit yang keliru"" Nico dan Will sudah menuruni bukit setengah jalan ketika tanah bergetar di bawah kaki mereka. Sama seperti yang lain baik monster maupun demigod mereka mematung ketakutan dan menyaksikan saat tiang tanah yang berputar-putar merekah dari puncak bukit sebelah, memunculkan Gaea yang bersimbah kejayaan. Kemudian sesuatu yang besar dan sewarna perunggu menukik dari langit KREEEK' Festus sang naga perunggu menyambar membubung pergi bersama sang Dewi. "Apa bagaimana "" Nico terbata-bata. "Entahlah," kata Will. "Tapi, aku ragu kita bisa berbuat apa-apa soal itu. Kita punya masalah lain." Will berlari cepat ke onager terdekat. Semakin mereka mendekat, Nico melihat Octavian sedang menarik tuas pembidik mesin itu dengan kalut. Lengan pelempar sudah memuat misil berupa emas Imperial dan bahan peledak. Sang augur melesat bolak-balik, tersandung gigi roda dan paku jangkar, membetulkan ikatan tambang. Sesekali, dia menengok Festus sang naga di atas. "Octavian!" teriak Nico. Sang augur berputar, kemudia
n mundur hingga merapat ke timbunan besar amunisi. Jubah ungunya yang indah tersangkut tali sundut, tapi Octavian tidak memperhatikan. Asap dari bahan peledak meliuk-liuk di sekelilingnya, seolah tertarik ke perhiasan emas Imperial di lengan dan lehernya, juga ke mahkota daun dafnah keemasan di rambutnya.
"Oh, begitu!" Tawa Octavian terdengar getir dan agak sinting. "Mencoba merebut kejayaanku, ya" Tidak, tidak, Putra Pluto. Akulah penyelamat Roma. Akulah yang ditakdirkan!" Will mengangkat tangan untuk menenangkan sang augur. "Octavian, menjauhlah dari onager. Senjata itu tidak aman!" "Tentu saja tidak! Akan kutembaki Gaea dengan mesin ini!" Dari sudut matanya, Nico melihat Jason Grace meroket ke langit sambil mendekap Piper, terbang lurus ke arah Festus. Di sekeliling putra Jupiter, berkumpullah awan badai yang berputar-putar hingga membentuk angin ribut. Guntur menggelegar. "Kalian lihat"" seru Octavian. Emas di tubuhnya kini jelas-jelas berasap, tertarik ke bahan peledak katapel tempur bagaikan besi yang tertarik ke magnet. "Dewa-dewi setuju akan tindakanku!" "Jason yang membuat badai itu," ujar Nico. "Kalau kau tembakkan onager itu, kau akan membunuh Jason, Piper, dan "Bagusr bentak Octavian. "Mereka pengkhianat! Semuanya pengkhianat!" "Dengarkan aku," Will mencoba lagi. "Bukan ini yang Apollo inginkan. Lagi pula, jubahmu " "Kau tidak tahu apa-apa, Graecus!" Octavian mencengkeram tuas pelontar. "Aku harus bertindak sebelum mereka naik lebih tinggi lagi. Hanya onager seperti ini yang dapat menembak sejauh itu. Seorang diri, aku akan " "Centurion," kata sebuah suara di belakangnya. Dari balik mesin pengepungan, muncullah Michael Kahale. Dahinya benjol merah besar di tempat Tyson tadi menggetoknya hingga tak sadarkan diri. Michael berjalan sambil sempoyongan. Tapi entah bagaimana, dia mampu berjalan dari pesisir sampai ke sini. Selain itu, sepanjang perjalanan dia berhasil mendapatkan pedang dan perisai.
"Michael!" pekik Octavian kegirangan. "Luar biasa! Jaga aku sementara aku menembakkan onager ini. Kemudian, akan kita bunuh para Graecus ini bersama-samar Michael Kahale mengamati adegan tersebut jubah bosnya yang tersangkut tali sundut, perhiasan Octavian yang berasap karena terlampau dekat dengan amunisi emas Imperial. Dia melirik sang naga, yang kini tinggi di udara, dikelilingi oleh lingkaran awan badai seperti target panahan. Lalu Michael memberengut kepada Nico. Nico menyiagakan pedangnya. Tentunya Michael Kahale akan mewanti-wangi sang atasan agar menjauh dari onager. Tentunya dia bakal menyerang. "Apa kau yakin, Octavian"" tanya putra Venus itu. "Ya!'' "Apa kau yakin seratus persen"" "Ya, dasar bodoh! Aku akan dikenang sebagai penyelamat Roma. Sekarang, halau mereka sementara aku menghabisi Gaea!" "Octavian, jangan," Will memohon. "Kami tidak boleh membiarkanmu " "Will," kata Nico, "kita tidak bisa menghentikannya." Solace menatapnya tak percaya, tapi Nico teringat akan kata-kata ayahnya di Kapel Tulang: Kematian terkadang tidak boleh dicegah. Mata Octavian berkilat-kilat. "Betul, Putra Pluto. Kalian tidak kuasa menghentikanku! Inilah takdirku! Kahale, berjagalah!" "Jika demikian kehendakmu." Michael bergerak ke depan mesin, memosisikan diri di antara Octavian dan kedua demigod Yunani. "Centurion, lakukanlah yang harus kau lakukan." Octavian menoleh untuk melepaskan pengaman. "Teman yang baik sampai akhir."
Nico hampir kehilangan nyali. Andai onager itu benar-benar tepat sasaran apabila senjata itu mengenai Festus sang naga, sedangkan Nico membiarkan teman-temannya terlukai atau tewas Tapi, dia diam di tempat. Sekali ini, dia memutuskan untuk memercayai kebijaksanaan ayahnya. Kematian terkadang tidak boleh dicegah. "Selamat tinggal, Gaea!" Octavian berteriak. "Selamat tinggal, Jason Grace si pengkhianat!" Octavian memotong tali pelontar dengan pisau augur. Dan menghilanglah dia. Lengan katapel tempur melenting ke depan lebih cepat daripada yang dapat diikuti mata Nico, melemparkan Octavian beserta amunisi. Jeritan sang augur melirih sampai dia hanya tampak sebagai komet berapi yang membubung ke angkasa. "Se
lamat tinggal, Octavian," Michael Kahale berkata. Michael memelototi Will dan Nico untuk terakhir kalinya, seolah menantang mereka untuk bicara. Kemudian dia mem-balikkan badan dan pergi terseok-seok. Nico sangat bisa mengikhlaskan tamatnya riwayat Octavian. Dia malah mungkin saja mengatakan rasakan. Tapi, hatinya mencelus sementara komet itu melejit semakin tinggi. Komet berapi itu menghilang ke dalam awan badai dan meledaklah kubah api di angkasa.[]
BAB LIMA PULUH EMPAT NICO KEESOKAN HARINYA, TIDAK BANYAK JAWABAN. Selepas ledakan, Piper dan Jason yang jatuh bebas dan tak sadarkan diri diselamatkan dari langit oleh elang raksasa dan dibawa ke tempat aman, tapi Leo tidak muncul-muncul. Seluruh pekemah Pondok Hephaestus menelaah lembah, menemukan keping-keping lambung Argo //yang rusak, tapi tidak mendapati tanda-tanda keberadaan Festus sang naga maupun majikannya. Semua monster telah dibinasakan atau membubarkan diri. Banyak korban di pihak Yunani dan Romawi, tapi tidak sebanyak perkiraan. Malam itu, para satir dan peri alam menghilang ke dalam hutan untuk rapat Dewan Tetua Berkaki Belah. Pagi harinya, Grover Underwood muncul kembali untuk mengumumkan bahwa mereka tidak dapat merasakan kehadiran Ibu Pertiwi. Alam kurang-lebih telah kembali normal. Rupanya rencana Jason, Piper, dan Leo berhasil. Gaea telah terpisahkan dari sumber kekuatannya, dirayu hingga tertidur, dan kemudian dihancurkan menjadi atom-atom berkat gabungan ledakan api Leo dan komet buatan Octavian.
Yang kekal tidak pernah bisa mati, tapi sekarang Gaea akan menjadi seperti suaminya, Ouranos. Bumi akan terus berfungsi dengan normal, sama seperti langit, tapi esensi Gaea telah demikian terpencar-pencar dan tak berdaya sehingga kesadarannya takkan pernah mewujud kembali. Paling tidak, harapan mereka begitu Octavian akan dikenang sebagai penyelamat Roma karena melontarkan dirinya sendiri ke langit, menjemput maut bersama bola api. Tapi, Leo Valdez-lah yang membuat pengorbanan sejati. Perayaan kemenangan di perkemahan terasa sendu karena dukacita bukan cuma karena kepergian Leo, melainkan juga karena kematian banyak orang lain dalam pertempuran. Demigod berselubung kafan, baik Yunani maupun Romawi, dikremasi di api unggun, sedangkan Nico memimpin upacara pemakaman atas permintaan Chiron. Nico seketika menyetujui permintaan itu. Dia bersyukur atas kesempatan untuk menghormati mereka yang meninggal. Kehadiran ratusan pelayat yang menyaksikan bahkan tidak mengusiknya. Bagian tersulit adalah sesudahnya, ketika Nico dan keenam demigod awak Argo II bertemu di beranda Rumah Besar. Jason menundukkan kepala, kacamatanya bahkan tidak kelihatan karena tersembunyi gelapnya bayang-bayang. "Kami seharusnya bertahan sampai akhir. Kami bisa membantu Leo." "Tidak seharusnya begini," Piper menyetujui sambil mengusap air matanya. "Susah payah demi mendapatkan obat dari tabib, sia-sia belaka." Tangis Hazel pecah. "Piper, di mana obat itu" Tolong keluarkan." Kebingungan, Piper pun merogoh kantong serut di sabuknya. Dia mengeluarkan bungkusan chamois, tapi ketika kain itu dibuka, isinya kosong.
Semua mata berpaling ke arah Hazel. "Kok bisa"" tanya Ann abeth. Frank merangkul Hazel. "Di Delos, Leo mengajak kami berdua menepi. Dia memohon agar kami membantunya." Sambil menitikkan air mata, Hazel menjelaskan bahwa dia telah menukar obat dari tabib dengan sebentuk ilusi tipuan Kabut supaya Leo bisa menyimpan vial sebenarnya. Frank memberi tahu mereka bahwa Leo berencana menghancurkan Gaea yang sudah dilemahkan dengan ledakan api besar-besaran. Setelah berbicara dengan Nike dan Apollo, Leo meyakini bahwa ledakan semacam itu niscaya akan menewaskan manusia fana mana pun dalam radius setengah kilometer, maka tahulah dia bahwa dia harus menjauhkan diri semaksimal mungkin dari semua orang. "Dia ingin melakukan itu sendirian," kata Frank. "Menurutnya, terdapat kemungkinan kecil bahwa dirinya, putra Hephaestus, bisa selamat dari api, tapi kalau ada orang lain yang bersamanya Kata Leo, karena Hazel dan aku orang Romawi, kami tentu paham bahwa pengorbanan itu perlu. Dia tahu bahwa kalian ta
kkan mengizinkannya mengorbankan diri." Mula-mula yang lain terlihat marah, seperti ingin menjerit-jerit dan melemparkan barang. Tapi, sementara Frank dan Hazel berbicara, kegeraman kelompok tersebut tampaknya mereda. Sulit untuk marah pada Frank dan Hazel ketika kedua-duanya menangis. Selain itu rencana tersebut memang persis ide licik, sinting, konyol, menyebalkan, dan mulia khas Leo Valdez. Akhirnya Piper mengeluarkan suara setengah terisak-setengah tertawa. "Kalau Leo di sini sekarang, akan aku bunuh dia. Memangnya dia mau meminum obat itu dengan cara apa" Dia Ian sendirian!"
"Mungkin dia menemukan cara," kata Percy. "Namanya juga Leo. Dia bisa saja muncul tiba-tiba sebentar lagi. Kemudian kita bisa bergiliran mencekiknya." Nico dan Hazel bertukar pandang. Mereka berdua tahu kenyataannya bukan seperti itu, tapi mereka tak berkata apa-apa.
Esoknya, hari kedua sesudah pertempuran, bangsa Romawi dan Yunani bekerja berdampingan untuk membersihkan zona perang dan merawat korban luka. Blackjack sang pegasus pulih dengan baik dari luka panah yang dideritanya. Guido memutuskan untuk menerima Reyna sebagai rekan manusianya. Dengan enggan, Lou Ellen setuju untuk mengubah anak babi piaraannya yang baru kembali ke wujud orang Romawi. Will Solace belum bicara dengan Nico sejak kejadian di onager. Putra Apollo menghabiskan sebagian besar waktunya di ruang kesehatan, tapi kapan pun Nico melihatnya berlari menyeberangi perkemahan untuk mengambil tambahan perlengkapan medis atau menjenguk demigod yang terluka, Nico merasakan kepedihan di hatinya. Tak diragukan lagi bahwa sekarang Will Solace mengganggap Nico sebagai monster, karena sudah membiarkan Octavian menewaskan dirinya sendiri. Orang-orang Romawi bersikeras membangun kamp lapangan standar di samping padang stroberi. Bangsa Yunani turun tangan untuk membantu mereka mendirikan tembok tanah dan menggali parit. Nico tidak pernah melihat apa pun yang lebih aneh atau lebih keren. Dakota berbagi Kool-Aid dengan anak-anak Pondok Dionysus. Anak-anak Hermes dan Merkurius tertawa-tawa dan berbagi cerita serta dengan nekat mencuri barang dari hampir semua orang. Reyna, Annabeth, dan Piper tidak terpisahkan, keluyuran di perkemahan bertiga untuk mengecek perkembangan renovasi. Chiron, dikawal oleh Frank dan Hazel, menginspeksi
pasukan Romawi dan menyampaikan pujian atas keberanian mereka. Malam harinya, suasana hati mereka secara umum sudah membaik. Paviliun makan tidak pernah sepenuh malam itu. Orang-orang Romawi disambut bagaikan kawan lama. Pak Pelatih Hedge mengeluyur dengan wajah berbinar-binar di antara para demigod sambil menggendong bayi laki-lakinya dan berkata, "Hei, kalian mau ketemu Chuck" Ini putraku, Chuck!" Anak-anak perempuan Aphrodite dan Athena dengan penuh semangat menggodai si bayi satir, yang melambai-lambaikan kepalan montoknya, menendangkan kaki belahnya yang mungil, dan mengembik, "Mbeeeek! Mbeeeek!" Clarisse, yang telah ditunjuk sebagai ibu permandian sang bayi, membuntuti sang Pelatih seperti pengawal dan terkadang menggumamkan, "Kasih jalan. Jangan berebut. Beni anak itu ruang." Pada waktu pengumuman, Chiron melangkah maju dan mengangkat gelas pialanya. "Tiap tragedi," katanya, "melahirkan kekuatan baru. Hari ini, kita panjatkan syukur kepada dewa-dewi atas kemenangan ini. Puji syukur kepada dewa-dewi!" Semua demigod ikut bersulang, tapi antusiasme mereka tampaknya tidak sepenuh hati. Nico memahami perasaan itu: Kita lagi-lagi menyelamatkan dewa-dewi dan sekarang kita yang mesti berterima kasih kepada mereka" Kemudian Chiron berkata, "Bersulang untuk teman-teman baru!" "BERSULANG UNTUK TEMAN-TEMAN BARU!" Suara ratusan demigod bergema ke sepenjuru perbukitan. Saat api unggun, semua orang berkali-kali menengok ke bintang-bintang, seolah mengharapkan kejutan dadakan berupa
kembalinya Leo secara dramatis. Mungkin dia bakal menukik ke dalam perkemahan, melompat dari punggung Festus, dan meluncurkan lelucon-lelucon norak. Yang demikian tidak terjadi. Setelah beberapa lagu, Reyna dan Frank dipanggil ke depan. Mereka mendapat tepuk tangan meriah dari bangsa Yunani
maupun Romawi. Di atas Bukit Blasteran, Athena Parthenos bersinar semakin terang di bawah cahaya rembulan, seakan-akan menyiratkan: Anak-anak ini baik-baik saja. "Besok," kata Reyna, "kami bangsa Romawi harus pulang. Kami menghargai keramahtamahan kalian, terutama karena kami hampir membunuh kalian " "Kalian hampir terbunuh," Annabeth mengoreksi. "Terserah, Chase." ooooohhhhh! Kata khalayak secara serempak. Lalu semua orang mulai tertawa dan saling dorong. Bahkan Nico mau tak mau tersenyum. "Singkat kata," Frank mengambil alih, "Reyna dan aku setuju peristiwa ini menandai era baru persabahatan antara kedua kubu." Reyna menepuk punggung Frank. "Benar sekali. Selama ratusan tahun, dewa-dewi mencoba memisahkan kita supaya kita tidak berkelahi. Tapi, ada bentuk perdamaian yang malah lebih baik, yaitu kerja sama." Piper berdiri di tengah-tengah hadirin. "Apa kau yakin ibumu memang Dewi Perang"" "Ya, McLean," kata Reyna. "Aku masih berniat untuk menjalani banyak pertarungan. Tapi mulai saat ini, kita bertarung bersama-samat' Pernyataan ini menuai sambutan meriah. Zhang angkat tangan supaya penonton diam. "Kalian semua dipersilakan datang ke Perkemahan Jupiter. Kami telah mencapai kata sepakat dengan Chiron: pertukaran bebas antara kedua
perkemahan kunjungan akhir pekan, program latihan, dan tentu saja, bantuan darurat di kala perlu " "Pesta bagaimana"" tanya Dakota. "Setuju!" tukas Connor Stoll. Reyna merentangkan tangan. "Tentu saja. Kami bangsa Romawi adalah penemu pesta." Lagi-lagi oooooohhhhhhhh! nyaring. "Jadi, terima kasih," pungkas Reyna. "Kepada kalian semua. Kita bisa saja memilih kebencian dan peperangan. Akan tetapi, kita justru menemukan penerimaan dan persahabatan." Kemudian Reyna melakukan sesuatu yang tak terduga-duga sekali sehingga Nico belakangan berpikir dia hanya bermimpi. Reyna berjalan menghampiri Nico, yang berdiri menepi di bayang-bayang, seperti biasa. Reyna menggandeng tangan Nico dan menariknya dengan lembut ke dalam sorot cahaya api unggun. "Rumah kita dulu hanya satu," kata Reyna. "Sekarang kita punya dua." Reyna memeluk Nico erat-erat dan khalayak pun bersorak-sorai setuju. Sekali ini, Nico tidak ingin menarik diri. Nico menempelkan wajah ke bahu Reyna dan berkedip-kedip untuk mengusir air matanya.[]
BAB LIMA PULUH LIMA NICO MALAM ITU, NICO TIDUR DI Pondok Hades. Dia tidak pernah berhasrat menggunakan tempat itu sebelumnya, tapi kini Nico berbagi pondok dengan Hazel, alhasil mengubah perasaannya. Dia senang bisa tinggal bersama saudara perempuannya lagi kalaupun hanya beberapa hari, dan meskipun Hazel bersikeras membatasi tempatnya tidur dengan seprai sebagai tirai untuk menjaga privasi sehingga pondok tersebut mirip zona karantina. Tepat sebelum jam malam, Frank berkunjung dan menghabiskan beberapa menit untuk berbicara kepada Hazel dengan nada teredam. Nico berusaha mengabaikan mereka. Dia meregangkan badan di tempat tidurnya, yang menyerupai peti mati kosen mahoni mengilap, pagar kuningan, bantal dan selimut beledu semerah darah. Nico tidak hadir ketika pondok ini dibangun. Dia jelas-jelas tidak menyarankan tempat tidur seperti ini. Rupanya seseorang mengira anak-anak Hades adalah vampir, bukan demigod. Akhirnya Frank mengetuk dinding di samping ranjang Nico.
. Nico menengok. Zhang kini tinggi sekali. Dia tampak sangat Romawi. "Hei," kata Frank. "Aku mau pamit. Kami akan berangkat pagi-pagi. Cuma ingin bilang terima kasih." Nico duduk tegak di tempat tidurnya. "Kerjamu hebat, Frank. Aku merasa terhormat bisa bekerja sama denganmu." Frank tersenyum. "Sejujurnya, aku agak terkejut aku bisa bertahan hidup sampai akhir. Soalnya kayu bakar ajaib itu ..." Nico mengangguk. Hazel telah memberitahunya tentang kayu bakar yang mengontrol hidup Frank. Bahwa Frank dapat membicarakan hal itu secara terbuka Nico anggap sebagai pertanda baik. "Aku tidak bisa melihat masa depan," Nico memberitahunya, "tapi aku sering kali bisa mengetahui ketika ada orang yang mendekati ajal. Kau tidak. Aku tidak tahu kapan kayu bakar itu akan habis. Pada akhirnya, kita semua niscaya kehabisan kayu bakar. Tapi, Praetor Zhang
, tidak dalam waktu dekat. Kau dan Hazel ... masih banyak pengalaman yang menanti kalian. Ini Baru awalnya. Baik-baiklah pada saudariku, ya"" Hazel berjalan menghampiri Frank dan menggamit jemarinya. "Nico, kau tidak sedang mengancam pacarku, Ian"" Mereka berdua tampak nyaman sekali bersama-sama sehingga Nico merasa lega. Tapi, hati Nico juga menjadi pedih karenanya samar-samar, seperti bekas luka lama yang berdenyut-denyut ketika cuaca dingin. "Aku tidak perlu mengancam," kata Nico. "Frank cowok baik. Atau beruang baik. Atau bulldog. Atau " "Oh, sudahlah." Hazel tertawa. Lalu, dia mengecup Frank. "Sampai ketemu besok pagi." "Iya," kata Frank. "Nico kauyakin tidak mau ikut dengan kami" Kau akan selalu mendapat tempat di Roma Baru."
. "Makasih, Praetor. Reyna mengatakan hal yang sama. Tapi tidak." "Aku Bakal bertemu kau lagi, Ian" Kuharap begitu." "Oh, pasti," Nico berjanji. "Aku akan jadi pembawa bunga dalam upacara pernikahan kalian, betul Ian"" "Eh ..." Frank merona, berdeham, dan beranjak sambil tertatih-tatih, menabrak kosen pintu dalam perjalanan ke luar. Hazel bersedekap. "Haruskah kau menggodanya"!" Dia duduk di tempat tidur Nico. Selama beberapa waktu, mereka diam di sana dalam suasana hening nan nyaman kakak-beradik, anak-anak dari masa lalu, anak-anak Dunia Bawah. "Aku akan merindukanmu," kata Nico. Hazel mencondongkan badan dan menyandarkan kepala ke pundak Nico. "Aku juga, Saudaraku. Kau pasti akan berkunjung." Nico mengetuk pin perwira Baru nan gemerlap di baju Hazel. "Sekarang Centurion Kohort V. Selamat. Adakah aturan yang melarang centurion jadian dengan praetor"" "Sssst," kata Hazel. "Akan butuh banyak usaha untuk memulihkan kondisi legiun, memperbaiki kerusakan yang Octavian perbuat. Aturan soal pacaran bukan prioritas. Ada hal-hal lain yang mesti kukhawatirkan." "Perkembanganmu sudah jauh sekali. Kau bukan anak perempuan yang sama yang kuantar ke Perkemahan Jupiter. Kemampuan memanipulasi Kabut, kepercayaan dirimu " "Semuanya berkat kau." "Tidak," ujar Nico. "Mendapatkan kesempatan hidup kedua, itu anugerah. Menjadikan kehidupan tersebut lebih baik, itu yang lebih penting." Begitu berucap demikian, Nico menyadari bahwa itu bisa juga berlaku bagi dirinya sendiri. Nico memutuskan untuk tidak mengungkit persoalan tersebut lebih lanjut.
Hazel mendesah. "Kesempatan hidup yang kedua. Aku semata-mata berharap ..." Hazel tidak perlu mengucapkan isi pikirannya. Dua hari terakhir ini, hilangnya Leo seolah menimbulkan awan mendung di atas perkemahan. Hazel dan Nico enggan ikut berspekulasi mengenai apa kiranya yang menimpa Leo. "Kau merasakan kematiannya, ya"" Mata Hazel berair. Suaranya pelan. "Iya," Nico mengakui. "Tapi, aku tidak tahu, Hazel. Rasanya ... lain. Entah apa tepatnya." "Tidak mungkin dia meminum obat dari tabib. Mustahil ada yang selamat dari ledakan sedahsyat itu. Kupikir kupikir aku membantu Leo. Aku malah mengacau." "Tidak. Itu bukan salahmu." Tapi, Nico tidak semudah itu memaafkan dirinya sendiri. Sepanjang 48 jam terakhir, Nico berkali-kali membayangkan peristiwa ketika Octavian dilontarkan oleh katapel tempur. Nico bertanya-tanya apakah tindakannya salah. Mungkin kekuatan ledak proyektil tersebut telah membantu membinasakan Gaea. Atau barangkali daya gempur onager justru menyebabkan Leo Valdez kehilangan nyawa, meski sebenarnya tidak perlu. "Aku semata-mata berharap kalau saja dia tidak meninggal sendirian," gumam Hazel. "Tiada yang menyertainya, tiada yang memberinya obat itu. Bahkan tidak ada jenazah yang dapat dikuburkan ..." Suara Hazel pecah. Nico merangkul saudarinya. Nico memeluk Hazel sementara gadis itu menangis. Akhirnya Hazel tetidur karena kelelahan. Nico menggendong Hazel ke tempat tidurnya sendiri, menyelimutinya, dan mengecup keningnya. Lalu Nico menghampiri altar pemujaan Hades di pojok meja kecil yang dihiasi tulang dan permata.
. "Kurasa," kata Nico, "ada yang kali pertama untuk segalanya." Nico berlutut dan berdoa dalam hati untuk meminta bimbingan ayahnya.[]
BAB LIMA PULUH ENAM NICO SAAT FAJAR, NICO MASIH TERJAGA ketika seseorang mengetuk pintu. Dia membalikkan bada
n, melihat wajah berambut pirang, dan sekejap mengira bahwa itu adalah Will Solace. Ketika Nico menyadari bahwa yang datang adalah Jason, dia kecewa. Lalu dia marah pada diri sendiri karena merasa seperti itu. Dia belum bicara sama sekali kepada Will seusai pertempuran. Anak-anak Apollo kelewat sibuk merawat korban luka. Lagi pula, Will mungkin menyalahkan Nico alas kejadian yang menimpa Octavian. Kenapa tidak" Nico pada dasarnya telah membiarkan apa pun itu. Pembunuhan berdasarkan konsensus. Bunuh diri naas. Pada saat ini, Will Solace sudah menyadari betapa seram dan menjijikkannya Nico di Angelo. Tentu saja, Nico tidak peduli apa pendapat Will. Namun begitu "Kau tidak apa-apa"" tanya Jason. "Kau kelihatan " "Aku baik-baik saja," bentak Nico. Kemudian dia melembutkan nada suaranya. "Kalau kau mencari Hazel, dia masih tidur."
Jason mengucapkan Oh tanpa suara dan mengisyaratkan agar Nico keluar. Nico melangkahkan kaki ke tengah-tengah sorot cahaya matahari, mengerjapkan mata, dan merasa terdisorientasi. Aduh Barangkali prasangka desainer pondok bahwa anak-anak Hades adalah vampir memang benar. Nico tidak bisa bangun pagi. Jason kelihatannya tidak tidur nyenyak juga. Rambutnya mencuat sebelah, sedangkan kacamata barunya bertengger miring di hidung. Nico menahan dorongan hati untuk mengulurkan tangan dan meluruskan kacamata itu. Jason menunjuk ladang stroberi, tempat bangsa Romawi sedang membongkar perkemahan. "Tadinya aneh melihat mereka di sini. Sekarang tidak melihat mereka di sini malah aneh." "Apo kau menyesal tidak ikut dengan mereka"" tanya Nico. Jason menyunggingkan senyum miring. "Sedikit. Tapi, aku akan sering bolak-balik di antara dua perkemahan. Aku harus membangun altar pemujaan." "Sudah kudengar. Senat berencana menunjukmu sebagai pontifex maximus." Jason mengangkat bahu. "Aku tidak terlalu peduli pada gelar. Yang penting adalah memastikan agar devva-dewi diingat. Aku tidak mau mereka bertengkar lagi gara-gara cemburu, atau menumpahkan frustrasi kepada demigod." "Namanya juga dewa-dewi," timpal Nico. mereka." "Mungkin, tapi aku bisa mencoba memperbaikinya. Mungkin kalau menurut istilah Leo, aku ini berlaku sebagai mekanik, mengerjakan perbaikan preventif." Nico merasakan kesedihan Jason laksana badai yang hendak melanda. "Kau tahu, kau tidak bisa menghentikan Leo. Tidak ada yang bisa kaulakukan. Leo tahu apa yang harus terjadi."
"Aku kurasa begitu. Kuperkirakan kau tentu tahu kalau dia masih " "Dia sudah tiada," kata Nico. "Maafkan aku. Kuharap aku bisa mengatakan sebaliknya, tapi aku merasakan kematian Leo." Jason menatap ke kejauhan. Nico merasa bersalah karena meremukkan harapan Jason. Dia hampir tergoda untuk menyampaikan keraguannya sendiri bahwa kematian Leo menimbulkan sensasi yang lain, seolah jiwa Leo telah menemukan jalan sendiri ke Dunia Bawah, menumpang kendaraan yang terbuat dari gigi roda, tuas, dan piston bertenaga uap. Walau begitu, Nico yakin Leo Valdez sudah meninggal. Dan kematian tidak bisa diganggu gugat. Tidak adil memberi Jason harapan palsu. Di kejauhan, orang-orang Romawi mengambili perlengkapan mereka dan menyandangnya ke atas bukit. Di nisi lain, menurut yang Nico dengar, searmada SUV hitam sudah menunggu untuk mengantar legiun melintas negeri, untuk pulang ke California. Nico menduga perjalanan itu bakal menarik. Dia membayangkan seluruh anggota Legiun XII di restoran drive-through Burger King. Dia membayangkan monster sial yang kebetulan meneror seorang demigod di Kansas, tapi ujung-ujungnya mendapati bahwa dirinya dikepung oleh beberapa lusin mobil yang dipenuhi orang Romawi bersenjata lengkap. "Ella si harpy akan ikut dengan mereka, kau tahu," kata Jason. "Dia dan Tyson. Bahkan Rachel Elizabeth Dare juga. Mereka akan bekerja sama untuk mencoba merekonstruksi Kitab-kitab Sibylline." "Pasti menarik." "Bisa makan waktu bertahun-tahun," ujar Jason. "Tapi, karena suara Delphi sudah sirna ..."
"Rachel masih tidak bisa melihat masa depan"" Jason menggelengkan kepala. "Kuharap aku tahu apa yang menimpa Apollo di Athena. Mungkin Artemis akan membantunya minta ampun kepada Zeus dan ke
kuatan ramalan akan berfungsi kembali. Tapi untuk saat ini, mungkin hanya dari Kitab-kitab Sibylline kita bisa memperoleh bimbingan untuk misi." "Secara pribadi," kata Nico, "aku tidak keberatan sekalipun tidak ada ramalan atau misi untuk sementara." "Kau ada benarnya." Jason meluruskan kacamatanya. "Dengar, Nico, alasanku sehingga ingin bicara padamu aku tahu yang kaukatakan di istana Auster. Aku tahu kau sudah menolak tempat di Perkemahan Blasteran. Aku aku barangkali tidak bisa mengubah pikiranmu kalau kau sudah berencana meninggalkan Perkemahan Blasteran, tapi aku harus " "Aku mau tinggal di sini." Jason mengerjapkan mata. "Apa"" "Di Perkemahan Blasteran. Pondok Hades butuh konselor kepala. Sudahkah kau lihat dekorasinya" Memuakkan. Aku harus merenovasinya. Selain itu, harus ada yang memimpin upacara pemakaman sebagaimana mestinya, sebab kaum demigod tidak bosan-bosannya mati secara heroik." "Wah! Fantastis sekali! Hebat, Sobat!" Jason merentangkan tangan untuk mengajak pelukan, lalu mematung. "Betul. Tidak suka disentuh. Maaf." Nico menggeram. "Kurasa kita bisa membuat perkecualian." Jason mendekap Nico erat-erat sekali sehingga dia merasa tulang iganya bakalan retak. "Wah, Bung," kata Jason. "Tunggu sampai aku memberi tahu Piper. Hei, karena aku juga sendirian di pondokku, kau dan aku bisa duduk semeja di ruang makan. Kita bisa seregu dalam permainan tangkap bendera dan lomba menyanyi dan "
"Apa kau bermaksud menakut-nakutiku supaya pergi dari sini"" "Sori. Sori. Terserah katamu, Nico. Intinya, aku lega." Yang lucu adalah, Nico percaya pada Jason. Nico kebetulan melirik ke pondok-pondok dan melihat seseorang melambai kepadanya. Will Solace berdiri di ambang pintu Pondok Apollo, ekspresi galak di wajahnya. Dia menunjuk ke tanah di kakinya, seolah mengatakan Hei, Kau. Ke sini. Sekarang. "Jason," kata Nico, "aku permisi dulu."
"Jadi, ke mana saja kau"" Will menuntut penjelasan. Dia mengenakan baju hijau dokter bedah dengan celana jins dan selop, yang barangkali bukan seragam standar rumah sakit. "Apa maksudmu"" tanya Nico. "Aku sudah terjebak di ruang kesehatan selama kira-kira dua hard. Kau tidak mampir. Kau tidak mengajukan diri untuk membantu." "Aku apa" Untuk apa kau menginginkan putra Hades seruangan dengan orang-orang yang kau coba sembuhkan" Siapa pula yang menginginkan itu"" "Kau tidak bisa menolong seorang teman" Mungkin memotongkan perban" Membawakanku soda atau camilan" Atau sekadar menyampaikan, Apa kabar, Will" Menurutmu aku tidak sudi melihat wajah ramah seorang kawan"" "Apa ... waj ahku"" Rangkaian kata itu semata-mata tidak masuk akal. Wajab ramah seorang kawan. Nico di Angelo. "Kau ini bebal sekali," komentar Will. "Kuharap kau tidak lagi mempertimbangkan rencana omong kosong untuk meninggalkan Perkemahan Blasteran." "Aku iya. Sudah. Maksudku, aku akan tinggal di sini."
"Bagus. Kau barangkali bebal, tapi kau tidak bodoh." "Bisa-bisanya kau bicara seperti itu padaku" Tidakkah kau tahu aku bisa memanggil zombie dan tulang belulang dan " "Saat ini, kalau kau berani-berani memanggil tulang ayam saja, bisa-bisa kau meleleh ke dalam kegelapan, di Angelo," kata Will. "Sudah kubilang, jangan gunakan sihir Dunia Bawah lagi, perintah dokter. Kau berutang istirahat di ruang kesehatan setidaknya tiga hari. Mulai sekarang." Nico merasa perutnya melilit-lilit, seolah seratus kerangka kupu-kupu baru saja bangkit dari kubur di dalam sana. "Tiga hari" Aku kurasa boleh juga." "Bagus. Sekarang " Sorak riuh membelah udara. Di dekat tungku, di tengah-tengah halaman sentral, Percy sedang cengar-cengir menanggapi perkataan yang baru Annabeth beritahukan kepadanya. Annabeth tertawa dan main-main me-nampar lengan pacarnya itu. "Aku akan segera kembali," Nico memberi tahu Will. "Sumpah demi Sungai Styx dan sebagainya." Nico menghampiri Percy dan Annabeth, yang sama-sama masih menyeringai lebar. "Hei, Bung," kata Percy. "Annabeth baru saja memberitahu-kanku kabar baik. Maaf kalau aku agak berisik." "Kami akan melewatkan tahun terakhir SMA bersama-sama," Annabeth menjelaskan, "di New York sini. Dan sesudah lulus " "Kuliah di
Roma Baru!" Percy menaik-turunkan tinjunya ke udara seperti membunyikan peluit kapal. "Empat tahun tanpa pertarungan melawan monster, tanpa pertempuran, tanpa ramalan tolol. Cuma aku dan Annabeth, meraih gelar akademik, bercengkerama di kafe, menikmati California "
"Dan sesudah itu ..." Annabeth mengecup pipi Percy. "Reyna dan Frank mengatakan kami boleh tinggal di Roma Baru selama yang kami suka." "Hebat," kata Nico. Dia agak kaget saat menyadari bahwa dirinya sungguh-sungguh. "Aku akan tinggal di sini juga, di Perkemahan Blasteran." "Keren!" ujar Percy. Nico mengamat-amati wajah pemuda itu matanya yang sehijau laut, cengirannya, rambut hitamnya yang berantakan. Entah bagaimana, saat ini Percy Jackson tampak seperti cowok biasa saja, bukan sosok idola. Bukan seseorang yang perlu dipuja-puji atau ditaksir. "Jadi," kata Nico, "karena kita akan sering bertemu setidak-tidaknya setahun lagi di perkemahan, menurutku aku mesti menjernihkan situasi." Senyum Percy pupus. "Apa maksudmu"" "Lama sekali," kata Nico, "aku sempat naksir padamu. Aku cuma ingin kau tahu." Percy memandang Nico. Kemudian menoleh kepada Annabeth, seakan-akan untuk mengecek apakah dia tidak salah dengar. Kemudian kembali memandang Nico. "Kau " "Iya," kata Nico. "Kau orang yang hebat. Tapi, perasaanku padamu sekarang biasa-biasa saja. Aku ikut senang akan hubungan kalian berdua." "Kau jadi maksudmu " "Benar." Mata kelabu Annabeth mulai berbinar-binar. Dia mengulum senyum kepada Nico. "Tunggu," kata Percy. "Jadi, maksudmu "
"Benar," kata Nico lagi. "Tapi, tidak apa-apa. Kita tidak apa-apa. Maksudku sekarang bisa kulihat kau memang cakep, tapi kau bukan tipeku." "Aku bukan tipemu Tunggu dulu. Jadi " "Sampai nanti, Percy," Nico berujar. "Annabeth." Gadis itu angkat tangan untuk mengajaknya tos. Nico menanggapi ajakan Annabeth. Kemudian dia berjalan menyeberangi halaman sentral berumput, tempat Will Solace sedang menunggu.[]
BAB LIMA PULUH TUJUH PIPER PIPER BERHARAP DIA BISA MEMBUJUK diri sendiri dengan charmspeak supaya tidur. Cara itu barangkali mempan untuk rnenidurkan Gaea, tapi dua malam terakhir ini, Piper tidak bisa memejamkan mata sekejap pun. Siangnya baik-baik saja. Piper senang sekali bisa kembali bersama teman-temannya, Lacy dan Mitchell, serta anak-anak Aphrodite lain. Bahkan wakil Piper yang rewel, Drew Tanaka, tampak lega, mungkin karena Piper bisa mengemban tanggung jawab dan memberi Drew lebih banyak waktu untuk bergosip serta menikmati perawatan kecantikan di dalam pondok. Piper terus menyibukkan diri dengan membantu Reyna dan Annabeth mengoordinasikan bangsa Yunani dan Romawi. Yang mengejutkan bagi Piper, kedua gadis itu menghargai keterampilannya sebagai perantara yang mampu meredam konflik apa pun. Memang tidak banyak terjadi konflik, tapi Piper berhasil mengembalikan sejumlah helm Romawi yang secara misterius masuk ke gudang perkemahan. Dia juga mencegah pecahnya
perkelahian antara anak-anak Mars dan anak-anak Ares yang berakar dari silang pendapat mengenai metode terbaik untuk membunuh hydra. Pada pagi hari ketika bangsa Romawi dijadwalkan akan pergi, Piper duduk di dermaga danau kano sambil berusaha menenangkan peri-peri air. Sebagian roh clam penghuni danau berpendapat bahwa cowok-cowok Romawi teramat cakep sehingga mereka juga ingin ikut pergi ke Perkemahan Jupiter. Mereka menuntut akuarium raksasa untuk perjalanan ke barat. Piper baru membereskan negosiasi ketika Reyna menemukannya. Sang praetor duduk di dermaga di sebelah Piper. "Kerja keras"" Piper meniup sehelai rambut yang menjuntai ke matanya. "Peri air bisa menyusahkan. Kurasa kami sudah sepakat. Kalau mereka masih ingin pergi pada pengujung musim panas, akan kami pikirkan detailnya nanti saja. Tapi peri-peri air punya, anu, kecenderungan untuk melupakan ini-itu dalam waktu lima menit." Reyna menelusurkan jarinya ke permukaan air. "Terkadang aku berharap bisa melupakan apa pun secepat itu." Piper mengamati wajah sang praetor. Satu-satunya demigod yang tampaknya tidak berubah sepanjang jalannya pertempuran dengan para raksasa adalah Reyna ... setidaknya, dari luar kelihata
nnya tidak ada perubahan. Reyna masih memiliki tatapan teguh dan tegar, wajah yang anggun dan cantik. Dia mengenakan baju tempur dan jubah ungu dengan nyaman, semudah kebanyakan orang mengenakan celana pendek serta kaus. Piper tidak bisa memahami, bagaimana mungkin ada yang sanggup menanggung begitu banyak kepedihan, menopang begitu banyak tanggung jawab, tapi tidak remuk redam. Dia bertanya-tanya apakah Reyna punya teman bicara, untuk diajak berbagi rasa dan rahasia.
"Jasamu besar sekali," kata Piper. "Untuk kedua perkemahan. Tanpamu, semua ini takkan mungkin tercapai." "Kita semua menyumbang peran." "Tentu Baja. Tapi kau aku semata-mata berharap kau mendapat apresiasi lebih." Reyna tertawa lembut. "Terima kasih, Piper. Tapi, aku tidak menginginkan perhatian. Kau paham rasanya, Ian"" Piper mengerti. Mereka berdua lain sekali, tapi dia memahami perasaan tidak ingin menarik perhatian. Itulah yang Piper harapkan seumur hidupnya, sebagai anak dari ayah yang tenar, yang kerap dikejar-kejar paparazzi, yang foto-foto pribadi dan kisah skandalnya sering bermunculan di media massa. Piper bertemu banyak sekali orang yang mengatakan, Oh, aku ingin terkenal! Rasanya pasti menakjubkan sekali! Tapi, mereka tidak tahu bagaimana ketenaran itu sesungguhnya. Piper melihat betapa keterkenalan telah membebani ayahnya. Piper sama sekali tidak menginginkan itu. Piper juga bisa memahami betapa memikatnya gaya hidup Romawi yang senantiasa berbaur, menjadi bagian dari tim, bekerja sebagai bagian dari satu kesatuan nan kompak. Kendati demikian, Reyna telah mencapai puncak. Dia tidak bisa tetap tersembunyi. "Kekuatan dari ibumu ..." kata Piper. "Kau bisa meminjamkan kekuatan kepada orang lain." Reyna merapatkan bibir. "Nico memberitahumu"" "Tidak. Aku merasakannya saja, saat menyaksikanmu memimpin legiun. Energimu pasti terkuras karenanya. Bagaimana kau bisa kau tahu, mendapatkan kembali kekuatan itu"" "Ketika aku sudah mendapatkan kembali kekuatan itu, akan kuberi tahu kau."
Reyna mengatakannya seperti bercanda, tapi Piper merasakan kesedihan di balik kata-kata gadis itu. "Kau dipersilakan datang ke sini kapan pun," kata Piper. "Kalau kau perlu istirahat, menjauhkan diri sejenak kau sekarang didampingi Frank dia bisa mengemban lebih banyak kewajiban untuk sementara, selagi kau pergi. Mungkin ada baiknya meluangkan waktu untuk dirimu sendiri sesekali, menarik diri dari status sebagai praetor." Reyna bertemu pandang dengan Piper, seolah-olah berusaha memperkirakan seberapa serius tawaran itu. "Akankah aku diminta menyanyikan lagu aneh itu, tentang Nenek yang mengenakan baj u temp ur"" "Tidak kecuali kau betul-betul mau. Tapi, kami mungkin harus melarangmu ikut serta dalam permainan tangkap bendera. Aku punya firasat kau bisa saja melawan seisi perkemahan seorang diri dan tetap mampu mengalahkan kami." Reyna meringis. 'Akan kupertimbangkan tawaranmu. Terima kasih." Dia membetulkan belati dan sekejap, Piper teringat akan belatinya sendiri, Katoptris, yang kini terkunci dalam peti di Pondok Aphrodite. Sejak kejadian di Athena, ketika Piper menggunakan belati itu untuk menikam Enceladus sang raksasa, bilah belati itu tidak menunjukkan visi apa-apa lagi. "Aku penasaran ..." kata Reyna. "Kau anak Venus. Maksudku Aphrodite. Barangkali barangkali kau bisa menjelaskan sesuatu yang dikatakan ibumu." "Dengan senang hati. Akan kucoba, tapi aku harus memperingatkanmu: perkataan ibuku sering kali bahkan tidak masuk di akalku." "Suatu kali di Charleston, Venus memberitahuku sesuatu. Katanya: Kau takkan menemukan cinta di tempat yang kau harapkan atau kau inginkan. Takkan ada demigod yang mampu
menyembuhkan hatimu. Aku aku sudah lama berjuang memahami ..." Ucapannya melirih. Piper merasakan hasrat kuat untuk mencari dan meninju ibunya. Dia benci kebiasaan Aphrodite, mengacaubalaukan hidup seseorang selepas bincang-bincang singkat belaka. "Reyna," kata Piper, "aku tidak tahu apa maksud Aphrodite, tapi aku mengetahui ini: kau orang yang luar biasa. Di luar sana, ada seseorang untukmu. Mungkin bukan demigod. Mungkin manusia biasa atau entahlah. Tapi ketika sudah
waktunya, yang niscaya terjadi pasti akan terjadi. Dan sampai saat itu, ketahuilah bahwa kau memiliki teman. Banyak teman, baik orang-orang Yunani maupun Romawi. Karena kau sanggup menjadi sumber kekuatan bagi semua orang, mungkin kadang-kadang kau lupa bahwa kau juga perlu meminjam kekuatan dari orang lain. Kau bisa mengandalkanku. Aku di sini untukmu." Reyna menerawang ke danau. "Piper McLean, kau pintar berkata-kata." "Aku tidak bicara menggunakan charmspeak, aku sumpah." "Tidak perlu charmspeak." Reyna mengulurkan tangan. "Aku punya firasat kita akan bertemu lagi." Mereka berjabatan dan, sesudah Reyna pergi, Piper tahu bahwa Reyna benar. Mereka akan bertemu lagi, sebab Reyna bukan lagi seorang rival, bukan lagi orang asing ataupun musuh potensial. Dia seorang teman. Dia sudah menjadi keluarga.
Malam itu, perkemahan terasa sepi tanpa orang-orang Romawi. Piper sudah merindukan Hazel. Dia merindukan derit papan Argo II dan rasi bintang yang diterangi pelita di langit-langit kabinnya dalam kapal. Selagi berbaring di tempat tidurnya di Pondok Sepuluh, Piper merasa sangat gelisah sehingga dia tahu dia takkan bisa jatuh
tertidur. Piper terus memikirkan Leo. Berkali-kali Piper mereka ulang pertarungan melawan Gaea dalam benaknya, mencoba mencari tahu bagaimana bisa dia gagal melindungi Leo sedemikian. Sekitar jam dua pagi, Piper menyerah. Percuma saja mencoba tidur. Dia duduk tegak di ranjangnya dan menatap ke luar jendela. Cahaya rembulan menjadikan hutan keperakan. Aroma laut dan ladang stroberi terbawa angin. Dia tidak bisa memercayai bahwa beberapa hari lalu Ibu Pertiwi telah terbangun dan hampir menghancurkan semua yang Piper sayangi. Malam ini suasana terkesan begitu damai begitu normal. Tok, tok, tok. Kepala Piper nyaris terbentur langit-langit tempat tidur susun. Jason berdiri di luar jendela pondok, mengetuk kosen. "Ayo sini." "Sedang apa kau di sini"" bisik Piper. "Sudah lewat jam malam. Para harpy petugas patroli akan mencabik-cabikmu!" "Ke sini saja deh." Dengan jantung berdebar-debar kencang, Piper menggapai tangan Jason dan memanjat ke luar jendela. Jason menuntun Piper ke Pondok Satu dan mengajaknya masuk. Patung Zeus Hippie berukuran mahabesar melotot di keremangan pondok tersebut. "Eh, Jason ... apa persisnya "" "Lihat." Dia menunjuki Piper salah satu pilar marmer yang mengelilingi ruang bundar itu. Di sebelah belakang, hampir-hampir tersembunyi di depan dinding, terdapat jenjang-jenjang besi yang mengarah ke atas sebuah tangga. "Aku tak percaya tidak menyadarinya lebih awal. Tunggu sampai kau melihatnya!" Jason mulai memanjat. Piper tidak yakin apa sebabnya dia merasa gugup sekali, tapi tangannya gemetaran. Dia mengikuti Jason ke atas. Di puncak, Jason mendorong pintu tingkap kecil. Mereka keluar ke sisi atap berbentuk kubah, ke tubir datar yang menghadap ke utara. Selat Long Island terbentang ke
cakrawala. Mereka jauh sekali di atas dan berada pada sudut yang tidak memungkinkan seorang pun melihat mereka dari bawah. Para harpy petugas patroli takkan pernah terbang setinggi ini. Lihat." Jason menunjuk ke bintang-bintang, yang bertaburan bagai berlian di angkasa batu-batu berharga yang malah lebih indah daripada yang bisa didatangkan Hazel Levesque. "Cantiknya." Piper merapat ke tubuh Jason dan Jason pun merangkulnya. "Tapi, bukankah kau akan mendapat kesulitan nantinya"" "Peduli amat," timpal Jason. Piper tertawa pelan. "Kau siapa sih"" Jason menoleh, kacamatanya tampak perunggu pucat di bawah bintang-bintang. "Jason Grace. Senang bertemu denganmu." Jason mengecup Piper dan rasanya lain. Piper merasa seperti panggangan roti. Seluruh sarafnya membara. Kalau lebih hangat lagi daripada sekarang, bisa-bisa dia hangus. Jason menjauhkan diri sedikit, sekadar supaya bisa menatap mata Piper. "Malam itu di Sekolah Alam Liar, ciuman pertama kita di bawah bintang-bintang ..." "Memori palsu," ujar Piper. "Yang tidak pernah terjadi." "Nah sekarang sungguhan, lan"!" Jason membuat tanda menolak bala, seperti ketika mengusir hantu ibunya, dan menghunjamkan tangan ke langit. "Mulai saat ini, kita akan menulis riwayat k
ita sendiri, dimulai dari awal yang baru. Yang barusan itu ciuman pertama kita." "Aku takut mengatakan ini sesudah satu ciuman saja," kata Piper. "Tapi, demi dewa-dewi Olympus, aku cinta padamu." "Aku cinta padamu juga, Pipes." Piper tidak ingin merusak momen itu, tapi dia tidak bisa berhenti memikirkan Leo dan betapa kawan mereka itu takkan pernah meraih awal baru.
Jason pasti menangkap perasaan Piper. "Hei," kata Jason. "Leo baik-baik saja." "Mana mungkin kau seyakin itu" Leo tidak meminum obat. Nico bilang dia sudah meninggal." "Kau pernah membangunkan seekor naga dengan suaramu saja," Jason mengingatkan Piper. "Kau percaya naga itu semestinya hidup, iya Ian"" "Iya, tapi " "Kita harus percaya pada Leo. Tidak mungkin dia mati segampang itu. Dia cowok yang tangguh." "Benar." Piper berusaha menenangkan hatinya. "Jadi, kita percaya saja. Leo pasti masih hidup." "Kauingat kejadian di Detroit, sewaktu dia menggepengkan Ma Gasket dengan mesin mobil"" "Jangan lupa kurcaci-kurcaci di Bologna. Leo menaklukkan mereka dengan granat asap buatan sendiri dari pasta gigi." "Komandan Sabuk Perkakas," ujar Jason. "Cowok Bandel Paling Keren," kata Piper. "Chef Leo sang Pakar Taco Tahu." Mereka tertawa dan melempar cerita-cerita tentang Leo Valdez, sahabat mereka. Mereka berdiam di atas atap hingga fajar dan saat itu, mulailah Piper meyakini bahwa mereka bisa merintis awal baru. Bahkan membuat cerita baru, yang di dalamnya Leo masih hidup, juga mungkin. Di suatu tempat, di luar sana[]
BAB LIMA PULUH DELAPAN LEO LEO SUDAH MATI. Dia yakin seratus perseu. Dia semata-mata tidak mengerti, kenapa rasanya sakit sekali. Dia merasa seolah-olah tiap sel di tubuhnya telah meledak. Kini kesadarannya terperangkap dalam cangkang demigod gepeng yang renyah dan gosong. Sensasi mual lebih parah daripada mabuk perjalanan mana pun yang pernah dia rasakan. Dia tidak bisa bergerak. Dia tidak bisa melihat atau mendengar. Dia hanya bisa merasakan sakit. Dia mulai panik, berpikir bahwa mungkin inilah hukuman kekal baginya. Kemudian seseorang menyetrum kabel otaknya dan menyalakan ulang hidupnya. Leo terkesiap dan terduduk tegak. Hal pertama yang dia rasakan adalah angin di wajahnya, lalu rasa sakit nan menusuk di lengan kanan. Dia masih berada di atas punggung Festus, masih di udara. Matanya mulai berfungsi kembali dan dia melihat jarum hipodermis besar yang ditarik dari
lengan bawahnya. Injektor kosong itu mendesing, berdengung, dan mundur ke dalam panel di leher Festus. "Makasih, Sobat." Leo mengerang. "Ya ampun, mati itu tidak enak. Tapi, obat dari tabib" Ramuan itu malah lebih parch." Festus mendetakkan kode Morse. "Tidak, Bung, aku tidak serius," kata Leo. "Aku bersyukur sekali masih hidup. Oh iya, aku sayang padamu juga. Kerjamu hebat." Dengung metalik menjalari sekujur tubuh sang naga. Prioritas pertarria: Leo mengamati sang naga untuk mendeteksi tanda-tanda kerusakan. Sayap Festus bekerja dengan baik, tapi membran medius kirinya berlubang-lubang. Lapisan luar lehernya leleh sebagian gara_gara ledakan, tapi naga itu sepertinya tidak terancam jatuh bebas dalam waktu dekat ini. Leo berusaha nlengingat-ingat apa yang terjadi. Dia lumayan yakin sudah mengalahkan Gaea, tapi dia tidak tahu keadaan teman-temannya di Perkernahan Blasteran. Moga-moga Jason dan Piper berhasil menyingkir dari ledakan. Leo samar-samar mengingat kenangan ganjil akan misil yang meluncur ke arahnya sembari menjerit seperti gadis cilik apa-apaan itu" Begitu dia mendarat, dia harus mengecek perut Festus. Kerusakan paling serius barangkali berada di area itu, tempat sang naga dengan berani mencengkeram Gaea sekaligus menyembur sang Dewi Limbah Toilet dengan api. Entah sudah berapa lama Festus terbang. Dia harus segera turun. Satu pertanyaail: di manakah mereka" Di bawah, terhampar selimut awan nan padat. Matahari bersinar tepat di atas, di langit biru cemerlang. Jadi, waktu sudah sekitar tengah hari
tapi hari apa" Sudah berapa lama Leo mati"
Leo membuka panel aloes di leher Festus. Astrolab berdengung, kristalnya berdenyut-denyut seperti jantung neon. Leo mengecek kompas dan GPS-n
ya. Senyum serta-merta merekah di wajahnya. "Festus, kabar bagus!" teriaknya. "Pembacaan navigasi benar-benar kacau balau!" Festus berkata, Krieet" "Iya! Turun! Ayo kita ke bawah awan dan mungkin setelah
itu Sang naga menukik cepat sekali sampai-sampai udara tersedot habis dari paru-paru Leo. Mereka menembus selimut putih dan di sana, di bawah mereka, tampaklah sebuah pulau hijau di laut biru luas. Leo bersorak nyaring sekali sehingga mungkin kedengaran sampai ke China. "HORE! SIAPA YANG MATI" SIAPA YANG KEMBALI LAGI" SIAPA JAGOAN YANG PALING KEREN" Uhuuuuuuy!" Mereka berpuntir menyongsong Ogygia, angin hangat menerpa rambut Leo. Dia menyadari bahwa pakaiannya compang-camping sekalipun telah dirajut dengan daya magic. Lengannya dilapisi jelaga, seolah-olah dirinya baru saja meninggal dalam kebakaran hebat ... yang memang terjadi. Tapi, Leo tidak boleh mengkhawatirkan itu. Calypso berdiri di pantai, mengenakan celana jins dan blus putih, rambutnya yang cokelat keemasan sewarna batu ambar dikuncir ke belakang. Festus merentangkan sayap dan mendarat sambil tertatih-tatih. Rupanya salah satu kaki Festus patah. Sang naga anjlok ke samping dan melontarkan Leo hingga tersungkur ke pasir. Kandas sudah impiannya untuk datang ke sini secara heroik.
Leo meludahkan rumput laut dari mulutnya. Festus menyeret diri di pantai sambil mengeluarkan bunyi berderak yang berarti Aw, aw, aw. Leo mendongak. Calypso berdiri menjulang di depan Leo sambil bersedekap, alisnya terangkat. "Kau terlambat," dia mengumumkan. Matanya berbinar-binar. "Sori, Manis," kata Leo. "Lalu lintas macet sekali." "Tubuhmu berlumuran jelaga," Calypso berkomentar. "Dan kau merusak pakaian yang kubuatkan untukmu, yang semestinya mustahil rusak." "Mau bagaimana lagi"!" Leo mengangkat bahu. Seratus bola pachinko serasa baru saja dituangkan ke dalam dadanya. "Aku ini ahli dalam hal-hal yang mustahil." Calypso mengulurkan tangan dan membantu Leo berdiri. Mereka berdiri berhadapan, dekat sekali, sementara Calypso mengamati kondisi Leo. Calypso harum seperti kayu manis. Apakah sejak dulu terdapat bintik kecil di bawah mata kirinya" Leo betul-betul ingin menyentuh bintik itu. Calypso mengernyitkan hidung. "Baumu " "Aku tahu. Seperti orang mati. Soalnya, aku barusan memang mati. Sumpah yang ditepati hingga tarikan napas penghabisan dan sebagainya, tapi sekarang aku sudah baikan " Calypso mengecup Leo. Bola-bola pachinkoberbenturan di dalam diri Leo. Dia merasa bahagia sekali sampai-sampai mesti berjuang dengan sadar supaya dirinya tidak terbakar spontan. Ketika Calypso akhirnya melepaskan Leo, wajah sang dewi menjadi coreng-moreng berbekas jelaga. Dia sepertinya tidak peduli. Ditelusurkannya jempol ke tulang pipi Leo. "Leo Valdez," katanya.
Tiada yang lain cuma nama Leo, seolah-olah nama itu bersifat magis. "Itu aku," kata Leo, suaranya bergetar. "Jadi, anu kau mau pergi dari pulau ini"" Calypso melangkah mundur. Dia mengangkat satu tangan dan angin pun berputar-putar. Para pelayannya yang tak kasatmata membawakan dua tas dan meletakkan keduanya di kaki Calypso. "Kenapa kaukira begitu"" Leo menyeringai. "Sudah berkemas-kemas untuk perjalanan panjang, ya"" "Aku tidak berencana kembali ke sini." Calypso melirik ke balik bahunya, ke jalan setapak yang menuju taman serta rumahnya di gua. "Kau hendak membawaku ke mana, Leo"" "Pertama-tama ke tempat aku bisa memperbaiki nagaku," Leo memutuskan. "Kemudian ke mana pun kau ingin pergi. Memangnya, sudah berapa lama aku pergi"" "Waktu sukar diukur di Ogygia," kata Calypso. "Satu saat serasa bagai selamanya." Leo ragu-ragu. Dia berharap teman-temannya baik-baik saja. Dia berharap sementara dia terbang dalam keadaan mati dan Festus mencari-cari Ogygia, waktu belum berlalu seratus tahun. Dia harus mencari tahu. Dia harus menyampaikan kepada Jason dan Piper serta yang lainnya bahwa dia baik-baik saja. Tapi, saat ini ada yang lebih penting. Calypso-lah yang paling penting. "Jadi, begitu kau meninggalkan Ogygia," tukas Leo, "akankah kau tetap kekal"" "Aku sama sekali tidak tahu." "Kau tidak keberatan"" "Lebih dari sekadar tidak keberatan."
"Baiklah, kalau begitu!" Leo menoleh ke arah naganya. "Sobat, kau mau terbang tanpa tujuan lagi""
Festus menyemburkan api dan terpincang-pincang. "Jadi, kita hendak lepas landas tanpa rencana," kata Calypso. "Tidak tahu hendak ke mana, tidak tahu masalah apa yang sudah menanti di luar pulau ini. Banyak pertanyaan, tiada jawaban pasti"" Leo menghadapkan telapak tangannya ke atas. "Begitulah caraku terbang, Manis. Boleh kubawakan tasmu"" "Tentu saja." Lima menit berselang, disertai Calypso yang memeluk pinggangnya, Leo menghela Festus agar terbang. Sang naga perunggu membentangkan sayap dan mereka pun membubung entah ke mana.[]
=======SELESAI======= Thanks to. Kumpulan novel online bahasa Indonesia on facebook.
Edited by. Echi. Ebook maker by. Echi. Follow and Visit: https://desyrindah.blogspot.com
http://desyrindah.wordpress.com
echi.potterhead@facebook.com
http://twitter.com/driechi
============== Ebook ini tidak untuk diperjual belikan. Saya hanya berniat untuk berbagi. Beli koleksi aslinya yaa ;)))
============= Pangeran Caspian 2 The Devil's Dna Karya Peter Blauner My Name Red 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama