Ceritasilat Novel Online

Pelangi Dilangit Singosari 31

01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 31


"O" Empu Sada menelan ludahnya "Tuan Puteri adalah sesotya Tumapel yang tidak ada duanya. Alangkah bahagianya Empu Purwa mempunyai seorang Puteri seperti tuanku. O, sungguh gila Kuda-Sempana yang berkeinginan memperisteri Tuan Puteri. Sepantasnyalah bahwa Kuda-Sem pana menjadi alas kaki tuanku.
Ken Dedes menjadi semakin bingung. Ia tidak tahu ujung pangkal kata-kata laki-laki tua yang mengaku pamannya dan bernama Makerti itu.
Apalagi ketika laki-laki itu berkata seterusnya dengan nafas yang terengah-engah "Tetapi tuanku, adalah hamba yang paling bersalah, sehingga Kuda-Sempana itu menjadi semakin gila. Namun syukurlah bahwa Tuan Puteri masih selalu mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung.
Sejenak Ken Dedes terpukau oleh keadaan yang tidak dimengertinya. Dipandanginya laki-laki tua itu dengan penuh pertanyaan pada sinar matanya yang bening.
Dalam pada itu Empu Sada masih berkata terus "Sean dainya hamba tidak terseret dalam kegilaan yang serupa, maka Kuda-Sempana pasti dapat hamba kendalikan. Sekarang se muanya telah hancur. Hidupku dan masa depan Kuda-Sem pana itu sendiri. Tetapi adalah wajar dan setimpal dengan kesalahan-lahan yang telah kami lakukan.
Ken Dedes masih diam mematung. Sedang emban pe momongnyapun se-akan-akan terbungkam pula. Tetapi emban tua itu dapat merasakan betapa hati orang yang mengaku bernama Makerti itu terpecah belah.
Empu Sada adalah seorang yang hidup dalam arusnya angin ribut, sehingga karena itu, maka hatinya se-akan-akan telah menjadi sekeras baja dan perasaannyapun telah menjadi tuMpul. Namun tiba-tibaseperti cahaya matahari dipagi hari, wajah Ken Dedes yang cerah telah menerangi segenap relung hati orang tua itu. Relung hati yang karena keadaan telah sedikit terbuka, dan kini cerahnya sinar matahari itu langsung mencairkan kepekatan yang kelam yang selama ini mewarnainya.
Sesaat Ken Dedes masih diam termangu-mangu. Namun ketika kembali ia melihat laki-laki tua itu menundukkan kepalanya, maka berkatalah gadis itu "Kaki, aku tidak mengerti apa yang kau katakan. Aku tidak mengerti apa yang ingin kau nyatakan kepadaku. Tetapi bahwa kau telah menyebut nama Kuda-Sempana benar-benar telah mengejutkan hatiku. Nama itu bagiku adalah nama yang dapat mendirikan segenap bulu ro maku. Karena itu, katakanlah mansud kedatanganmu sendiri.
Empu Sada masih menundukkan kepalanya. Ia menjad ragu-ragu untuk mengucapkan kata-kata. Tetapi kembali Ken Dedes mendesaknya "Katakanlah keperluanmu Kaki. Atau cobalah meyakinkan aku, bahwa kau adalah pamanku.
"Ampun Tuan Puteri" desis Empu Sada kemudian. Tetapi kini kepalanya menjadi semakin menunduk "Ampunkanlah hamba. Bahwa sebenarnya hamba memang bukan paman Tuan Puteri."
Dada Ken Dedes berdesir mendengar pengakuan itu. Se jenak ia berpaling kepada pemomongnya. Tetapi pemomongnya itu tidak sedang memandanginya. Bahkan pemo mongnya itu dengan tajamnya sedang memandang kepada laki-laki tua yang masih saja menundukkan kepalanya.
"Jadi, siapakah kau sebenarnya?" bertanya Ken Dedes "dan apakah hubunganmu dengan Kuda-Sempana" Kau telah menyebut namanya, babkan mengrubungkannya dengan dirimu sendiri.
Empu Sada itu memperbaiki letak duduknya. Dengan susah payah ia kini herhasil mengatur perasaannya yang tiba-tibasaja telah menjadi cair setelah bertahun-tahun membeku. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian per-lahan-lahan ia berkata "Tuan Puteri yang baik. Mungkin pengakuan hamba akan me ngejutkan Tuan Puteri. Tetapi perkenankanlah hamba lebih dahulu berjanji, bahwa sebenarnyalah maksud kedatangan hamba kali ini adalah terdorong oleh penyesalan dan keta kutan yang selama ini telah me-ngejar-ngejar hamba. Hamba tidak dapat ingkar lagi. Hamba tidak dapat melarikan diri, karena ketakutan itu tumbuh didalam bati hamba. Hamba tidak dapat bersembunyi kemanapun, selain pasrah diri dihadapan Tuan Puteri. Hamba akan bersedia menerima apa saja hukuman yang akan Tuanku jatuhkan. Tetapi sebelumnya hamba ingin menyampaikan sesuatu yang mungkin berguna bagi Tuan Puteri dan kakanda Tuan Puteri Mahisa Agni.
Wajah Ken Dedes tampak berkerut. Diawasinya laki-laki tua itu dengan sorot mata yang menjadi tegang. Dengan ragu-ragu Ken Dedes itu bertanya "Jadi apabila kau sebenar nya bukan pamanku apakah kau juga tidak bernama Makerti dan tidak datang dari pedukuhan yang kau sebut Ngarang"
Apabila demikian, siapakah kau sebenarnya, dan apakah yang kau ceriterakan semuanya itu akan berarti bagiku"
"Tuan Puteri. Demikianlah hamba. Hamba memang tidak bernama Makerti. Tetapi hamba benar-benar berasal dari pedukuhan Ngarang. Namun beberapa puluh tahun yang lampau hamba telah meninggalkan pedukuhan itu, merantau da ri satu tempat kelam tempat, sehingga akhirnya hamba me netap tidak terlampau jauh diluar kota Tumapel.
Wajah Ken Dedes menjadi semakin tegang. Kini ia segera ingin tahu, siapakah tebenarnya laki-laki tua itu. Maka katanya, "Kaki, aku tidak mengerti apakah gunanya kau berbohong. Aku tidak mengerti maksud kedatanganmu yang sebenarnya. Tetapi sebutkan dahulu, liapakah kau.
"Percayalah Tuan Puteri, bahwa hamba tidak akan membuat bencana lagi. Hamba telah menyesali perbuatan hamba.
"Ya siapakah kau dan apa hubunganmu dengan Kuda-Sempana"
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian dibulatkannya tekadnya. Apa saja yang akan terjadi tidak akan diingkarinya. Maka katanya sambil menahan nafas "Tuanku, janganlah tuanku terkejut. Hamba akan berkata dengan jujur, siapakah hamba ini sebenarnya. Tuanku. Hamba bersedia seandainya Tuan Pu teri ingin membelah dadaku.
"Ya, ya, tetapi siapa kau Kaki"
"Tuan Puteri, yang sudi menyebut nama hamba, ham ba inilah yang dikenal bernama Empu Sada.
Seperti tersengat seribu lebah, Ken Dcdes terkejut bukan buatan. Wajahnya yang cerah tiba-tibamenjadi seputih kapas. Darahnya se-akan-akan berhenti mengalir. Sesaat ia terpaku di tempatnya namun tiba-tibaia terloncat berdiri. Hampir saja ia berteriak memanggil prajurit atau pelayan dalam atau si apapun untuk mengurangi ketakutannya. Tetapi emban pe momongnya tiba-tibamemeluk kakinya sambil berkata lirih"
"Tenanglah Tuan Puteri, tenanglah. Laki-laki yg bernama Empu Sada itu kini bukan lagi seperti seekor serigala yang lapar. Tetapi ia tidak lebih dari seekor kucing yang telah dijinak kan.
Meskipun Ken Dedes tidak berteriak karena emban pemomongnya itu, namun debar dijantungnya masih belum ber kurang. Wajahnya masih putih dan tegang, sedang nafasnya menjadi ter-engah2. Dipandanginya Empu Sada dengan sorot mata ketakutan dan kecemasan. Ken Dedes itu pernah mendengar, bahwa orang yang mencegatnya dihutan dalam perja lanannya ke Panawijeh adalah Kuda-Sempana bersama guru nya yang bernama Empu Sada. Dan orang yang selama ini menghantuinya itu tiba-tiba duduk dihadapannya.
Tetapi Empu Sada tidak bergerak. Kepalanya masih tumungkul hampir menyentuh lantai. Kedua tangannya rapat berpegangan satu dengan yang lain. Namun meskipun demikian, debar didadanyapun menjadi kian cepat. Iapun menjadi cemas apabila gadis itu tidak segera dapat menguaiainya dirinya, maka akibatnya akan menjadi sangat sulit baginya. Namun ia sudah pasrah diri. Dan akibat yang bagaimanapun juga telah bulat untuk diterimanya.
Ken Dedes yang melihat laki-laki tua itu masih juga tepekur, serta kata-kata pemomongnya yang lembut dan sareh, telah mem buatnya menjadi agak tenang. Meskipun demikian ia masih dicengkam oleh kecemasan dan ke-ragu-raguan tentang laki-laki tua yang duduk dihadapannya itu.
Empu Sada kemudian dapat merasakan, bahwa hati Ken Dedes menjadi bertambah tenang. Agaknya kata-kata pemomongnya telah dapat meredakan luapan ketakutan yang menerkam dirinya. Karena itu untuk meyakinkan maka orang tua itu berkata sareh "Tuan Puteri. Benarlah kata emban pemomong tuanku. Hamba kini bukan lagi serigala kelaparan di-hutan-hutan rimba, tetapi hamba kini tidak lebih dari seekor kucing yang telah dijinakkan. Hamba tinggal menerima apa saja yang sepantasnya dipikulkan atas pundak hamba, sebab hamba telah banyak sekali berbuat kesalahan dihadapan Tuan Puteri dan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Bahkan menurut penilaian hamba kini, hamba telah banyak sekali berbuat dosa dihadapan Yang Maha Agung. Itulah sebabnya hamba kini menghadap Tuan Puteri.
"Tetapi" sahut Ken Dedes ter "bata-bata "kalau kau bermaksud baik, kenapa kau menipu aku, emban pemomong ku dan para prajurit penjaga dengan memakai nama lain dan mengaku pamanku"
"Itupun salah satu bentuk pengakuan atas segala kesalahan hamba Tuan Puteri. Hamba menjadi ketakutan menyebut nama hamba sendiri. Bayangan dosa dan noda itu selalu melekat pada nama Empu Sada, sehingga hamba merasa bahwa Empu Sada tidak sepantasnya diperkenankan menghadap Tuan Puteri. Karena itulah maka hamba mencari akal, bagai mana hamba dapat berhadapan dengan Tuan Puteri untuk menyampaikan sebuah ceritera yang menarik bagi Tuan Puteri, demi keselamatan kakanda Tuan Puteri sendiri, Mahisa Agni.
Wajah Ken Dedes yang seputih kapas itu kini telah menjadi agak ke-merah-merahan. Meskipun demikian tubuhnya masih terasa gemetar.
"Duduklah Tuan Puteri " pemomongnya mempersilahkan.
Per-lahan-lahan Ken Dedes kembali meletakkan tubuhnya diatas batu hitam yang beralaskan klikaning kayu yang dihiasi dengan benang-benang yang berwarna keemasan. Namun untuk sesaat gadis itu masih saja berdiam diri. Debar jantungnya masih terasa terlampau cepat, sedang kedua belah tangan dan kakinya masih saja gemetar. Tetapi perasaannya kini telah mulai dapat dikuasainya. Apalagi ketika ia masih me lihat Empu Sada itu duduk tepekur diam hampir tidak bergerak sama sekali.
"Tuan Puteri" berkata Empu Sada kemudian "ke datangan hamba menghadap tuanku dengan segala macam akal, adalah karena hamba ingin dapat langsung menyampaikan permohonan maaf kehadapan tuanku serta ingin menyampaikan sebuah kisah yang barangkali tidak menarik, tetapi barangkali akan dapat memberikan jalan bagi Mahisa Agni melawan keadaan yang kurang menguntungkannya. " Empu Sada berhenti sejenak. Dicobanya untuk merasakan tanggap an Ken Dedes akan kata-katanya itu. Dan didengarnya Ken Dedes bertanya "Apakah yang terjadi dengan kakang Mahisa Agni" Bukankah ia selama ini berada di Padang karautan untuk menyelesaikan bendungannya"
"Hamba Tuan Puteri" sahut Empu Sada "justru Mahisa Agni berada dipadang itulah maka bahaya selalu mengitarinya.
"Empu Sada" berkata Ken Dedes yang sudah menjadi semakin tenang "sepengetahuanku, bahaya yang paling dahsyat yang selama ini mengejarnya adalah bahaya yang ditimbulkan oleh ketamakan Kuda-Sempana dan gurunya yang bernama Empu Sada. Apabila kau sekarang benar-benar sudah menghentikan usahamu untuk mencelakakanrya. maka aku sangka kakang Mabisa Agni akan dapat menjaga dirinya sendiri terhadap Kuda-Sempanay meskipun seandainya Kuda-Sempana berbuat curang.
"Tidak Tuan Puteri jawab Empu Sada "karena itulah maka hamba dengan segala akal yang licik berusaha menemui Tuan Puteri. Bahaya yang sekarang mengancam Mahisa Agni bukan saja datang dari Kuda-Sempana. Bahkan Kuda-Sempanapun pada saatnya pasti akan mengalami bencana yang tidak kalah dahsyatnya dari Mahisa Agni sendiri.
Ken Dedei mengerutkan keningnya, katanya "Aku tidak mengerti Empu Sada.
"Tuan Puteri" berkata Empu Sada "perkenankanlah hamba berceritera tentang diri hamba dan tentang diri kakanda tuanku Mahisa Agni.
"Katakanlah Empu " sahut Ken Dedes.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Sesaat ditengadahkan nya wajahnya, namun kembali wajah itu menunduk. Digeser nya dirinya senyari maju, dan sejenak kemudian mulailah ia berceritera tentang dirinya. Empu Sada yang telah benar-benar merasa bersalah itu berceritera dengan se-jujur-jujurnya, apa yang pernah dilakukan atas Mahisa Agni. Usahanya menemui
Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, dan diceriterakannya pula saat ia hampir mati terbunuh oleh kedua iblis yang mengeri kan itu.
Ken Dedes mendengarkan ceritera Empu Sada itu dengan dada yang berdebar-debar. Hatinya semakin lama menjadi semakin cemas, sedang wajahnya menjadi semakin tegang. Per-lahan-lahan ia dapat merasakan bahaya yang sedang mengancam Mahisa Agni. Bahaya yang justru ditimbulkan oleh orang yang kini dengan menyesal menceriterakannya kepadanya.
Akhirnya Empu Sada itu berkata "Tuan Puteri, hamba dapat membayangkan, bahwa dipadang Karautan kini merayap-rayap Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, mengintai kakanda Tuan Puteri, angger Mahisa Agni yang setiap saat siap untuk meloncat dan menerkamnya.
Wajah Ken Dedes yang sudah mulai memerah itu kini lelah menjadi pucat kembali. Terasa debar dadanya menjadi semakin deras, dan kecemasan yang sangat telah meng hinggapinya.
Bahkan bukan saja Ken Dedes. Emban pemomongnya yang semasa mudanya bernama Jun Rumanti itupun menjadi cemas. Terlalu cemas. Mahisa Agni adalah satu-satunya anaknya.
"Kenapa semuanya itu kau lakukan Empu?" bertanya Ken Dedes tanpa sesadarnya.
"Hamba sedang dilibat oleh kekelaman hati Tuan Puteri.
"Kalau kau tidak mengalami kegagalan dan bahkan hampir mati pula karenanya, maka aku kira kau tidak akan berbuat seperti sekarang."berkata Ken Dedes dengan penuh penyesalan.
"Hamba Tuan Puteri. Sebenarnyalah demikian. Karena itu, maka kedatangan hamba kemari bukan karena sisa-sisa kebersihan hati hamba yang mekar didalam dada hamba, tetapi hamba datang kemari karena hamba telah ditelan oleh ketakutan dan keputus-asaan. Hamba tidak tahu lagi apa yang akan hamba lakukan, sedang hamba tidak dapat menyembunyikan diri kemanapun. Ketakutan, ketcemasan dan keputus asaan itu selalu memeluk hati hamba. Maka dalam keadaan yang demikian itulah hamba datang menghadap.
Ketegangan hati Ken Dedespun menjadi semakin meningkat. Ia tidak segera tahu, apa yang harus dilakukannya. Namun tiba-tiba ia mengangkat dagunya. Sejenak ia merenung, namun tiba-tiba wajahnya menjadi agak cerah. Per-lahan-lahan ia berkata tidak kepada Empu Sada tetapi kepada pemomongnya "Bibi, bukankah beberapa hari yang lalu Tuanku Akuwu Tunggul Ametung telah mengirim sepasukan prajurit ke Padang Karautan untuk membantu kakang Mahisa Agni"
Emban -itupun menengadahkan wajahnya yang mulai dijalari oleh aliran darahnya kembali. Dengan serta-merta ia menjawab "Ya, ya Tuan Puteri. Pasukan itu telah berangkat minggu yang lalu. Pasukan itu kini pasti sudah ber ada di Padang Karautan dan telah sempat membantu pekerjaan angger Mahisa Agni.
Empu Sada yang mendengar pembicaraan itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera berani memotong untuk bertanya.
Yang berbicara kemudian adalah Ken Dedes "Bukan kah dengan demikian, maka bahaya yang mengancam kakang Mahisa Agni dapat dikurangi"
"Hamba Tuan Puteri, mudah-mudahan demikianlah hendak nya. Namun bagaimanapun juga, adanya prajurit-prajurit itu di sekitar angger Mahisa Agni, pasti berpengaruh juga pada dirinya.
Empu Sada tidak segera mengerti pembicaraan itu. Karena itu ketika keduanya berhenti sejenak, maka diberanikannya dirinya bertanya "Jadi, apakah maksud Tuan Puteri mengatakan bahwa Tuanku Akuwu Tunggul Ametung telah mengetahui bahaya yang mengancam kakanda Tuan Putri itu.
"Bahaya itu sudah diketahuinya sejak lama" sahut Ken Dedes "sejak kakanda Mahisa Agni bertemu dengan Akuwu Tunggul Ametung yang saat itu berada di Panawijen-Ken Dedes berhenti sejenak. Tanpa disengaja ia telah mengungkat kembali peristiwa pahit yang pernah dialaminya. Sejenak ia terdiam, namun kemudian ia berhasil menguasai dirinya kembali dan berkata "Bahwa bahaya itu menjadi semakin besar, ternyata pula setelah kau mencegatku dihutan pada saat aku pergi ke Panawijen bersama kakang Witantra. Tetapi bahwa kemudian bahaya itu menjadi semakin besar dan besar. Tuanku Akuwu Tunggul Ametung masih belum mengetahuinya. Terlibatnya dua orang kakak beradik yang bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat atas permintaanmu itupun masih belum diketahui pula.
Tetapi adalah kebetulan sekali bahwa dari Tumapel telah dikirim sepasukan prajurit dibawah pimpinan seorang Pelayan-Dalam yang masih muda, bernama Ken Arok. Seorang Pelayan-Dalam yang meskipun masa jabatan belum terlalu lama, te tapi ia adalah seorang anak muda yang menurut pendengaran ku, mumpuni dalam olah krida.
Empu Sada itu meng-angguk-anggukkan kepalanya. Tanpa disadari nya mulutnya berdesir "Sokurlah kalau demikian. Mudah-mudahan segalanya menjadi baik. Semoga Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Tetapi kedua setan itu terlampau licik. Ia akan dapat menemukan akal untuk memisahkan angger Mahisa Agni dari lingkungannya. Tetapi mudah-mudahan kali ini tidak. Karena itu adalah sebaiknya bahwa angger Mahisa Agni segera diberi tahu akan bahaya yang mengancamnya.
Ken Dedes meng-angguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Empu Sada, bahwa Mahisa Agni harus segera menge tahui bahaya yang mengintainya itu.
"Tetapi aku harus menyampaikannya kepada Akuwu Empu. Akuwu akan mengutus seseorang untuk menyampaikannya kepada kakang Mahisa Agni.
"Semakin cepat semakin baik Tuanku.
"Tuan Puteri" tiba-tiba emban pemomongnya itu menolong hamba dengar bahwa hari ini ada seseorang yang datang dari padang Karautan. Mungkin orang itu membawa laporan kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung tentang keadaan prajurit" Tumapel yang berada disana Mungkin orang itu dapat mengatakan apa yang telah terjadi dipadang itu, dan orang iiu pua akan dapat menerima pesan apabila ia segera akan kembali.
"Seseorang datang dari Padang Karautan" " bertanya Ken Dedes dengan bati yang ber-debar-debar karena berbagai macam tanggapan akan kedatangan orang itu.
Tenrata bukan saja Ken Dedes yang menjadi berdebar-debar mendengar berita tentang kedatangan seseorang dari padang Karautan, namun Empu Sadapun mcnjadi cemas pula.
"Apakah yang dikatakan oleh prajurit itu" bertanya Ken Dedes kepada pemomongnya.
"Belum aku ketahui Tuan Puteri" sahut pemomong nya "prajurit itu sedang berusaha untuk menghadap Akuwu sore ini. Mungkin prajurit itu sudah menyanipaikan laporannya kepada Tuanku Tunggul Ametung.
Ken Dedes meng-angguk-anggukkan kepalanya. Namun dadanya masih saja ber-debar-debar. Meskipun demikian ia mencoba untuk menghibur dirinya sendiri. Katanya didalam hal nii "Kalau terjadi sesuatu Akuwu pasti sudah memberitahuku.
Namun agaknya Empu Sada masih ingin bertanya, katanya "Apakah prajurit itu dapat ditemui dan bertanya kepada nya tentang padang Karautan setelah ia menghadap Akuwu dan menyampaikan laporannya.
Emban itu berpikir sejenak. Jawabnya kemudian "Mungkin juga dapat bertanya kepadanya setelah ia menghadap Akuwu.
"Apakah mungkin kau dapat memanggilnya nini"
"Aku tidak tahu siapakah yang datang.
Para prajurit yang bertugas barangkali dapat menga takan, siapakah yang baru saja menghadap Akuwu.
Emban tua itu meng-angguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Mungkin juga aku dapat mencobanya. "Tetapi tiba-tiba dipandanginya Empu Sada itu dengan hati yang ragu. Apakah ia akan meninggalkan momongannya berdua dengan Empu Sada yang selama ini telah menghantui gadis itu" Apakah ia dapat mempercayai orang tua itu sepenuhnya" Emban itu menjadi bimbang. Karena itu ia tidak segera bangkit dari tempatnya.
Emban tua itu masih juga termangu-mangu ketika Empu Sada memandanginya dengan gelisah dan cemas. Bayangannya tentang padang Karautan terlampau suram bagi Mahisa Agni. Apakah seseorang yang datang dari padang Karautan itu tidak menyampaikan laporan tentang sesuatu bahaya yang telah menimpa anak muda itu" Apakah seseorang itu tidak melapor kan bahwa Mahisa Agni telah hilang dari lingkungan mereka"
Tetapi Empu Sada tidak mengucapkannya. Ia takut kalau Ken Dedes menjadi semakin cemas pula. Karena itu, maka Empu Sada itupun bahkan terdiam sambil menundukkan kepalanya.
Sejenak ketiga orang itu saling berdiam diri. Ken Dedes pun masih juga dibayangi oleh kecemasan tentang kakaknya, Mahisa Agni. Sedang emban pemomong Ken Dedes itu, yang sebenarnya adalah ibu Mahisa Agni kemudian tidak pula kalah cemasnya. Didalam hatinyapun merayap pula gambaran-gambaran yang mengerikan yang dapat menimpa anaknya. Karena itu, maka iapun sebenarnya ingin segera mendengar, ceritera apa kah yang telah dibawa oleh seseorang itu dari padang rumput Karautan yang garang.
Tetapi emban tua itu tidak dapat meninggalkan Ken Dedes seorang diri. Empu Sada telah meninggalkan bekas yang hitam disepanjang langkahnya. Karena itu, maka apa yang dilakukannya masih juga menimbulkan ke-ragu-raguan didalam hati.
Karena emban tua itu tidak segera beranjak dari tempat nya, maka Empu Sadapun kemudian mengangkat wajahnya la ingin bertanya, kenapa emban itu tidak segera mencari prajurit yang datang dari padang Karautan untuk segera mendapat jawaban atas teka-teki yang berkecamuk didalam hati mereka. Tetapi ketika Empu Sada melihat sorot mata emban itu, kembali ia menundukkan kepalanya sambil ber desah didalam hati "Hem, agaknya Rumanti belum dapat melepaskan momongannya sendiri bersama aku. Tetapi itu bukan salahnya. Itu adalah salahku.
Kesepian itu akhirnya telah menyesakkan dada Empu Sada yang gelisah, sehingga duduknyapun menjadi gelisah pula. Tetapi ia tidak berani berkata sepatah katapun, apalagi men desak supaya emban itu segera memanggil prajurit yang da tang dari Karautan. Dengan demikian kecurigaannya dapat menjadi semakin bertambah, se-akan-akan ia memaksanya untuk meninggalkan Ken Dedes seorang diri.
Tetapi agaknya yang bertanya kemudian adalah Ken De des, katanya "Bagaimana bibi."
Emban itu menjadi agak kebingungan. Ia tidak dapat pergi, tetapi bagaimana ia akan mengatakannya"
Namun tiba-tibaia mendapat akal. Mungkin ia tidak perlu pergi mencarinya sendiri atau ber-tanyatanya kehalaman. Bukan kah dibelakang, ditangga serambi ada seorang prajurit dan para pelayan dalam yang bertugas" Karena itu, maka katanya "Tuan Puteri. Biarlah hamba memanggil seorang prajurit diserambi belakang. Ia akan dapat lebih cepat menemukan kawannya yang datang dari padang Karautan.
"Panggillah" sahut Ken Dedes tanpa mengerti mak sud embannya.
Namun ketika emban itu sempat memandang wajah Empu Sada, maka dilihatnya orang tua itu meng-angguk-anggukkan kepalanya se-akan-akan ia memuji ketrampilan emban pemomong Ken Dedes itu.
Sejenak kemudian emban itu berdiri dan melangkah kepintu, tetapi tidak sampai diluar pintu. Dari celah-celah daun pintu yang dibukanya sedikit terdengar suaranya memanggil se orang prajv.rii yang sedang bertugas.
Akhirnya ketika prajurit itu telah menghadap, maka berkatalah emban itu "Silahkanlah Tuan Puteri, mungkin prajurit ini dapat menemukannya lebih cepat.
Prajurit itu menjadi ber-debar-debar. Apakah yang harus dicarinya" Namun ia menarik napas dalam-dalam ketika ia men dengai Ken Dedes kemudian menjelaskan maksudnya.
"Hamba Tuan Puteri" sahut prajurit itu kemudian "memang siang tadi hamba melihat tidak hanya seorang, tetapi dua orang yang datang dari Padang Karautan. Mungkin mereka telah menghadap Akuwu Tunggul Ametung.
"Kalau mereka telah menyampaikan laporannya, panggillah mereka kemari" perintah Ken Dedes kepadanya.
Prajurit itu terdiam sejenak. Ia tidak mengerti, kenapa Ken Dedes ingin segera mendengar secara langsung laporan prajurit-prajurit yang baru saja datang dari padang Karautan siang tadi. Adalah tidak lajim bahwa seseorang selain Akuwu Tunggul Ametung memanggil seorang prajurit untuk men dengarkan laporannya secara langsung. Apabila reseorang tersangkut dalam satu persoalan, maka biasanya Akuwu Tunggul Ametung sendirilah yang akan meroanggilnya dan mem persoalkan dengan orang yang berkepentingan itu.
Tetapi kali ini yang memberinya perintah adalah bakal Permaisuri Tunggul Ametung itu sendiri, yang selama ini belum pernah ada. Karena itu maka prajurit itu sejenak menjadi ragu-ragu.
Ken Dedes melihat ke-ragu-raguan prajurit itu. Maka kata nya kemudian "Sudah tentu apabila laparan itu bukan laporan rahasia yang hanya boleh didengar oleh Akuwu. Mes kipun demikian, aku akan dapat bertanya kepadanya tentang keadaan padang itu, tentang kakakku Mahisa Agni dan ten tang bendungan yang baru dibuatnya.
Prajurit itu meng-angguk-anggukkan kepalanya, kemudian kepala itu membungkuk dalam-dalam. Terdengar ia berkata "Hamba Tuan Puteri. Biarlah hamba cari prajurit yang baru saja datang dari padang Karautan itu.
"Carilah. Hal-hal yang penting. Akuwu sendiri pasti akan memberitahukan kepadaku. Aku tidak memerluksn hal-hal yang penting itu. Aku banya ingin mendengar kabar tentang ben dungan dan kakakku Mahisa Agni.
Prajurit itupun segera mohon diri, beringsut mundur, dan kemudian meninggalkan ruangan itu untuk mencari ke dua kawannya yang siang tadi baru saja datang dari padang Karautan.
"Orang-orang itu pasti pulang kerumah masing-masing" katanya didalam hati "kesempatan untuk menengok keluarga.
Tetapi prajurit itu tidak segera keluar halaman. Ditanya kannya kepada Pelayan "dalam ditangga halaman depan, apakah ada prajurit dari padang Karautan yang sedang menghadap langsung Akuwu f unggul Ametung.
"Siang tadi" sahut Pelayan " dalam itu "meng hadap bersama pemimpin Pengawal Istana kakang Witantra.
"O" prajurit itu meng-angguk-anggukkan kepalanya "-mereka pasti sudah pulang. Mungkin sudah tidur mendekur disisi anak-anaknya.
Pelayan dalam itu tidak menjawab, tetapi ia tersenyum.
Prajurit itupun kemudian pergi keregol tempat ia ber tugas. Kepada kawan-kawan"ya dijelaskannya apa yang harus di lakukan. Sejenak kemudian maka berderaplah kaki-kaki kudanya menyusur jalan kota.
Akhirnya kedua prajurit itu benar-benar diketemukannya di rumah masing-masing. Alangkah terkejutnya kedua prajurit itu ketika datang seorang kawannya kerumah. Mereka menyangka bahwa ada sesuatu yang penting. Tetapi mereka memberengut ketika mereka mendengar keperluan prajurit itu.
"Apakah Tuan Puteri belum mendengar laporanku lewat Tuanku Akuwu"
"Belum" sahut kawannya itu.
Ketika mereka menemui prajurit yang seorang lagi yang baru saja datang dari padang Karautan, maka katanya "bukankah ini telah malam. Apakah tidak dapat ditunda sampai besok"
"Tuan Puteri ingin segera mendengar laporanmu.
"Kami sudah melaporkannya kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung.
"Tetapi belum kepada Tuan Puteri.
"Ah" prajurit itu berdesah. Tetapi iapun membenahi pakaiannya.
Kemudian merekapun dengan ter-gesa-gesa pergi keistana untuk menghadap Ken Dedes.
"Kenapa tidak siang tadi?" prajurit yang seorang masih saja menggerutu.
"Aku melihat kalian datang, tetapi aku tidak melihat kalian pergi bersama Ki Witantra. Apakah kalian lewat regol yang lain"
"Ketika aku datang Ki Witantra ternyata sudah berada diistana. Aku keluar lewat regol yang itu juga, tetapi agak nya kau baru mengambil rangsum, atau baru memakannya dibelakang gardu.
Prajurit itu meng-angguk-anggukkan kepalanya. Merekapun kemudian terdiam. Hanya derap kuda mereka sajalah yang terdengar memecah sepi malam, menghantam dinding-dinding halaman di-sisi jalan. Angin malam yang dingin mengalir mengusap tubuh mereka yang lembab oleh keringat dan embun.
Kedua prajurit itupun kemudian dihadapkan kepada Ken Dedes yang hampir tidak sabar menunggunya. Empu Sada yang sudah mulai ter-kantuk-kanatukpun menjadi terbangun kembali.
"Kemarilah" berkata Ken Dedes mempersilahkan kedua prajurit itu.
Kedua prajurit itupun beringsut maju Mereka menjadi agak canggung. Mereka belum pernah menghadap gadis bakal permaisuri Akuwu Tunggul Ametung.
"Apakah kalian baru datang dari padang Karautan?" bertanya Ken Dedes.
"Hamba Tuan Puteri" jawab salah seorang dari mereka dengan suara parau, karena mereka masih juga di hinggapi oleh rasa kantuk.
"Apakah ada sesuatu yang penting terjadi dipadang Karautan sehingga kau berdua harus melaporkannya kepada Akuwu"
"O tidak Tuan Puteri" sahut salah seorang prajurit itu "tidak ada yang penting. Hamba hanya menyampaikan laporan bahwa prajurit-prajurit Tumapel telah sampai dengan selamat dan telah mulai bekerja dengan baik membantu orang-orang Panawijen membuat bendungan.
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Bersukurlah ia didalam hati bahwa tidak ada sesuatu yang penting terjadi.
"Bagaimana dengan bendungan itu dan kakang Mahisa Agni"
"Kakanda Tuan Puteri, Mahisa Agni kini baru pergi ke Panawijen tuanku. Ada sedikit bencana yang menimpa padukuhan itu. Tetapi sama sekali tidak berarti dan tidak mengganggu pekerjaan yang besar itu.
Ken Dedes mengerutkan keningnya mendengar berita tentang Panawijen. Karena itu maka dengan serta merta ia bertanya " Bencana apa lagi yang telah menimpa pedukuhan itu" Pedukuhan itu telah menjadi kering, dan sekarang apa yang telah terjadi"
"Tetapi bencana itu tidak mencemaskan Tuan Puteri. Bahkan bencana yang kecil itu dapat saja dilupakan.
"Ya, tetapi apa yang terjadi.
"Justru karena Panawijen telah menjadi kering, maka Udara dipadukuhan itupun menjadi sangat panasnya, sehingga karena itu maka dipadukuhan itu telah terjadi ke bakaran kecil. Beberapa buah lumbung dan rumah terbakar habis. Tetapi karena beberapa orang tua masih tinggal di pedukuhan itu, dan perempuan", maka dengan pasir dan sisa-sisa pohon pisang yang masih ada maka api dapat dibatasi. Ternyata mereka berhasil memisahkan api yang berkobar itu dengan daerah disekitarnya, sehingga api tidak menjalar lebih besar lagi.
"O, kasian Panawijen.
"Tetapi Tuan Puteri tidak usah cemas. Hamba telah menyampaikan semuanya itu kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung atas perintah pimpinan yang ditugaskan di padang Karautan, Ken Arok.
"Bagaimanakah tanggapan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung"
"Tuanku Akuwu hanya tertawa saja mendengar laporan hamba. Tetapi akhirnya Tuanku Akuwu memerintahkan kepada kakang Witantra untuk menyampaikan perintah kepada yang berkepentingan, menyediakan padi dan jagung untuk membantu orang-orang Panawijen yang telah kehilangan sebagian dari bahan makanan mereka. Sedang sawah-sawah mereka sendiri dalam keadaan kering dan tidak mungkin menghasilkan di musim kering seperti ini.
Ken Dedes meng-angguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia menarik nafas dalam-dalam sambil berdesah "Beruntunglah Pana wijen mempunyai seorang Akuwu yang baik.
Sejenak ruangan itu menjadi sunyi. Tetapi Ken Dedes sudah tidak lagi dicengkam oleh kecemasan dan kegelisahan. Bencana itu memang bukan bencana yang besar yang dapat menggelisahkannya Mungkin karena persoalan yang kecil itu lah maka Akuwu tidak segera memanggilnya dan memberitahukan kepadanya tentang apa yang telah terjadi di Panawi jen, bahkan mungkin lusa Akuwu Tunggul Ametung baru akan memberitahukannya.
Tetapi tanggapan Empu Sada agak berbeda dengan tang gapan Ken Dedes. Sesaat dipandangnya wajah emban tua yang duduk disisi Ken Dedes itu. Tetapi agaknya emban tua itupun merasa bahwa tidak terjadi sesuatu di padang Ka rautan. Emban tua itu beberapa kali meng-angguk-anggukkan kepa lanya tanpa suatu kesan yang mendebarkan hatinya.
Namun Empu Sada masih menahan diri untuk tidak berkata sesuatu. Ia masih menunggu, barangkali prajurit itu masih ingin menyampaikan beberapa persoalan kepada Ken Dedes. Tetapi prajurit itu masih juga terdiam. Ken Dedes dan pemomongnyapun masih juga belum berkata sesuatu.
Ruangan itu masih juga diliputi oleh kesenyapan. Yang terdengar hanyalah desah angin yang menyentuh dedaunan dipetamanan diluar ruangan itu. Para prajurit yang sedang bertugas duduk ter-kantuk-kantuk sambil memeluk senjata mereka.
Prajurit yang duduk ditangga dibelakang ruangan belakang itupun sudah mengantuk pula. Seharusnya ia sudah se lesai dengan tugasnya dan pulang kerumah, minum air hangat dan makan se-kenyang2nya. Tetapi ia masih saja duduk di tangga istana bersama beberapa Pelayan-dalam diujung tang ga yang lain.
"Perutku lapar" gumamnya seorang diri. Tiba-tibadi kejauhan dilihatnya cahaya yang melontar dari celah-celah pintu.
"Disana itu masih ada orang. Mungkin seorang pelayan yang dapat pergi kedapur sejenak mengambil rangsum tam bahan buatku. Tetapi prajurit itu tidak berani meninggalkan tempatnya "Emban tadi mengatakan, bahwa aku akan da pat pergi kedapur. Tetapi bagaimana dengan laki-laki tua itu"
Akhirnya kembali prajurit itu duduk mengantuk sambil menahan lapar yang mengganggu perutnya.
Didalam ruangan yang sepi itu Empu Sada menjadi gelisah. Keterangan prajurit yang baru saja datang dari pa dang Karautan itu baginya membawa kesan yang lain. Bukan sekedar beberapa buah lumbung yang terbakar. Bukan sekedar beberapa orang Panawijen telah kehilangan tempat tinggal nya. Tetapi jauh lebih mendebarkan dari pada itu.
Isi lumbung yang terbakar, rumah-rumah yang hangus menja di abu, akan segera dapat diganti. Lumbung-lumbung akan segera dapat dibangun kembali, bahkan Akuwu Tunggul Ametung telah memerintahkan untuk mengirimkan jagung dan padi ke Panawijen. Tetapi yang mencemaskannya adalah, kenapa hal itu terjadi" Apakah benar, hanya sekedar karena udara yang panas maka lumbung-lumbung itu terbakar" Tetapi seandainya seseorang telah membakarnya, apakah mereka hanya sekedar ingin melihat orang-orang Panawijen kelaparan, ataukah ada tu juan lain"
Akhirnya Empu Sada tidak dapat menahan pertanyaannya lagi. Dengan hati-hati ia berkata "Angger, prajurit-prajurit yang baru datang dari padang Karautan, apakah kebakaran yang timbul di Panawijen itu disebabkan oleh udara yang panas, atau karena seseorang kurang bern-hati-hati sebingga menimbulkan bencana itu, atau oleh sebab yang lain lagi"
Kedua prajurit itu mengangkat wajahnya, kemudian mereka berpaling kepada laki-laki tua itu. Sejenak mereka men jadi ragu-ragu. Namun kemudian terdengar Ken Dedes berkata.
"Jawablah pertanyaan itu.
"Hamba Tuanku" sahut salah seorang dari mereka "tetapi hamba tidak tahu pasti apa yang telah menyebab kannya. Dua orang tua yang tinggal dipadukuhan Panawijen telah datang kepadang Karautan dan memberitahukannya ke pada kakanda Tuan Puteri, yang segera ingin melihatnya sendiri ke Panawijen.
Ken Dedes meng-angguk-anggukkan kepalanya. Ia sudah me nyangka bahwa Mahisa Agni pasti akan datang sendiri ke Panawijen untuk menyaksikan bencana itu betapa kecilnya. Karena itu ia sama sekali tidak terkejut mendengar keterang an prajurit itu.
Berbeda dengan Ken Dedes, Empu Sada merasa sesuatu berdesir didadanya meskipun tidak segera tampak pada wajahnya.
Tetapi laki-laki tua itu kemudian bertanya pula "Dengan siapakah angger Mahisa Agni pergi ke Panawijen"
"Dengan pamannya" sahut prajurit itu.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Yang dimaksud paman nya pastilah Empu Gandring.
"Hanya berdua" "Tidak" sahut prajurit itu "meskipun adi Mahisa Agni ingin pergi seorang diri, tetapi pamannya menasehatkan nya untuk membawa beberapa orang kawan.
"Ya, siapakah kawan-kawannya itu"
"Ken Arok sendiri. Empu Sada mengerutkan keningnya. Meskipun tidak segera terucapkan, tetapi didalam kepalanya berkecamuk berbagai macam persoalan. Ia menjadi curiga, bahwa dipadukuhan Panawijen telah timbul kebakaran betapapun kecilnya.
Kemudian dua orang laki-laki tua yang tinggal di Panawijen da tang kepadang Karautan untuk memberitahukan kebakaran itu kepada Mahisa Agni.
Bahwa ada dua orang laki-laki tua berani melintasi padang Karautan itu telah menarik perhatiannya pula.
Tiba-tiba Empu Sada itu mengerutkan keningnya. Debar didalam dadanya menjadi semakin cepat. Ia sampai pada suatu kesiMpulan yang sangat menggelisahkan. Katanya didalam hati "Ini pasti pokal Kebo Sindet dan Wong Sarimpat untuk memikat Mahisa Agni datang ke Panawijen. Mudah-mudahan Empu Gadring cukup waspada. Tetapi agaknya Empu Gandring belum mengenalnya. Kelicikan dan kecurangan bukan soal bagi mereka berdua.
Empu Sada itupun menjadi gelisah. Tetapi kegelisahannya itu masih saja dicoba untuk disembunyikan.
"Angger" berkata Empu Sada ke-mudian kepada kedua prajurit itu "kapankah angger kepadang Karautan.
"Lusa aku akan kembali. Aku masih semalam lagi berada di Tumapel.
Empu Sada meng-angguktan kepalanya. Kemudian kepada Ken Dedes ia berkata "Tuan Puteri, apakah masih ada yang ingin tuanku ketahui"
"Aku kira untuk sementara tidak Kaki.
"Apakah tuanku ingin berpesan kepada mereka.
Ken Dedes terdiam sejenak. Kepada emban pemomong nya ia bertanya "Apakah yang penting aku pesankan kepada mereka bibi"
Emban tua itu mengangkat kepalanya. Ditatapnya kedua prajurit itu sejenak. Kemudian kepada Ken Dedes ia ber kata "Tuanku, tak ada yang lebih penting tuanku pesankan, daripada mengharap agar angger Mahisa Agni menjadi lebih berhati-hati. Bahaya akan dapat selalu menerkamnya setiap saat. Beritahukan kepada kedua prajurit itu, bahwa mereka harus berhati-hati pula.
Ken Dedes meng-angguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Kau dengar kata-kata bibi emban itu" Mungkin dapat kau beritahukan kepada kakang Mahisa Agni bahwa ia harus ber-hati-hati terhadap dua orang yang bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Bukankah begitu Kaki"
"Ya, ya tuanku" sahut Empu Sada.
Tiba-tibaprajurit-prajurit itu mengerutkan keningnya. Salah seorang dari mereka berkata "Ya, aku pernah mendengar nama itu. Menurut ceritera yang pernah aku dengar, dipadang Karautan sekarang berkeliaran kedua orang bersaudara itu. Yang pernah bertemu dengan adi Mahisa Agni dan pamannya adalah salah seorang dari mereka yang bernama Wong Sarimpat.
"He?" Empu Sada terkejut mendengar keterangan itu " jadi Wong Sarimpai lelah mencoba menjumpai angger Mahisa Agni.
Kedua prajurit itu terkejut mendengar pertanyaan Empu Sada. Tetapi sejenak kemudian mereka menjawab "Ya. Aku tidak tahu kebenaran dari ceritera itu. Mahisa Agni sendiri tidak pernah mengatakannya.
"Kalau demikian, dari siapa mereka mendengar ceritera itu"
"Ki Buyut Panawijen.
Empu Sada meng-angguk-anggukkan kepalanya. Kalau demikian maka hanya Ki Buyutlah yang diberi tahu bahwa bahaya itu pernah ditemui oleh Mahisa Agni. Untunglah bahwa pamannya Empu Gandring ada bersamanya. Tetapi agaknya Ki Buyut telah mengatakannya pula kepada orang lain, sehingga akhir nya ceritera itupun tersebar diantara orang-orang Panawijen dan para prajurit dari Tumapel.
Dada Empu Sada berguncang ketika prajurit itu berkata seterusnya "Tetapi Wong Sarimpat bukanlah bahaya yang sebenarnya bagi adi Mahisa Agni. Sumber dari bahaya yang selalu membayangi anak muda itu adalah Kuda-Sempana dan gurunya.
Perlahan-lahan Empu Sada melepaskan tarikan nafas yang tiba-tiba terasa se-olah-olah berhenti. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun.
Kesunyian sekali lagi menghinggapi ruangan itu. Malam yang bertambah malAmpun terasa semakin sepi Dikejauhan terdengar bunyi kentongan dalam nada dara-muluk. Hampir tengah malam.
Sejenak kemudian terdengar Ken Dedes berkata "Aku kira keperluanku dengan kalian telah selesai. Kalian dapat kembali kerumah kalian. Besok kalau kalian akan kembali ke padang Karautan aku ingin bertemu dengan kalian sekali lagi.
"Hamba tuan puteri" sahut kedua prajurit itu hampir bersamaan.
Sesaat kemudian maka keduanya telah mohon diri dan meninggalkan ruangan itu. Prajurit yang menjemtiutnya masih saja duduk mengantuk ditangga belakang. Ketika ia melihat kedua prajurit itu pergi, maka iapun mengumpat didalam hatinya.
Empu Sada yang masih duduk didalam ruangan belakang bersama dengan Ken Dedes dan emban tua itupun menuyadi semakin tidak tenteram. Setiap orang menganggap bahwa Kuda-Sempana dan dirinya adalah sumber bencana bagi Mahisa Agni. Dan iapun tidak akan dapat mengingkari. Dengan demikian, apabila Mahisa Agni kali ini benar-benar masuk keda lam jebakan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, maka dirinyalah yang harus bertanggung jawab
Karena itu, karena ketegangan yang mencengkam jantung nya Empu Sada tidak lagi dapat duduk lebih lama. Sejenak kemudian maka iapun mohon diri pula untuk meninggalkan ruangan itu.
"Tuanku" berkata Empu Sada "sebenarnya hamba ingin menyampaikan pesan ini juga kepada Tuanku Tunggul Ametung. Tetapi hamba tidak berani. Hamba merasa diri hamba yang kotor. Karena itu tuanku, hamba mengharap bahwa Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. akan dapat mendengarnya dari Tuan Puteri. Mungkin Tuanku Tunggul Ametung akan mempunyai suatu sikap yang dapat menyelamatkan angger Mahisa Agni, atau bahkan menangkap kedua setan dari Kemundungan itu. Kalau ada orang lain yang mau mencoba menangkapnya, maka hamba menyediakan diri hamba untuk ikut serrta. Mungkin Panji Bojong Santi dengan sepasukan prajurit, atau mungkin orang lain menurut pertimbangan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung.
Ken Deries mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya "Baik Empu, aku akan menyampaikaunya kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Apabila kedua orang itu telah tertangkap, maka akan tenteramlah hatiku.
"Demikianlah Tuanku. Dan kini perkenankanlah hamba mohon diri. Setiap kali hamba bersedia untuk memenuhi panggilan Tuanku. Bukan saja untuk suatu pekerjaan yang berat, bahkan untuk digantungpun hamba akan datang.
Ken Dedes mengerutkan keningnya, namun kemudian ia berkata. "Baiklah Empu. Aku akan memberitahukan kepadamu apabila ada sesuatu yang penting untuk kau ketahui.
Empu Sada itupun kemudian meninggalkan ruangan itu pula diantar oleh emban peinomong Ken Dedes Diluar pintu bilik emban itu terkejut melihat seorang prajurit hampir tertidur pada kedua tangannya yang memeluk lututnya.
Ketika prajurit itu mendengar langkah keluar, iapun terkejut pula dan segera memperbaiki letak duduknya. Tetapi segera ia menarik nafas dalam-dalam ketika dilihatnya emban tua itu bersama laki-laki yang telah dibawanya masuk.
"Hem" desis prajurit itu "kapan aku harus pergi kedapur.
"O" emban tua itu tersenyum "aku lupa membawamu kedapur. Pembicaraan kami terlampau asyik, sehingga aku tidak ingat lagi bahwa kau ada disini.
"Terlalu. "Apakah sekarang kau masih lapar"
"Tidak, aku sudah tidak lapar lagi. Aku telah makan kenyang disini.
"Makan apa" "Angin" sahut prajurit itu sambil bersungut.
"O" emban itu tertawa "marilah, aku ambilkan rangsum tambahan buatmu.
"Tidak, aku sudah tidak lapar.
"Jangan mutung. "Tidak." kemudian katanya kepada laki-laki tua yang menyebut dirinya Makerti "marilah kaki, apakah kau sudah cukup"
" Sudah ngger."
"Marilah aku antar kau keluar halaman istana ini."
"Tetapi apakah angger tidak makan dahulu?"
"Tidak." "Aku juga tidak dijamu makan meskipun aku bertamu hampir separo malam.
"Separo malam lebih" prajurit itu membetulkan.
"O, ya, separo malam lebih.
Jilid 25 KEDUANYAPUN kemudian meninggalkan halaman belakang. Ter-kantuk-kantuk prajurit itu membawa Empu Sada keluar. Dilewatinya regol dalam. Yang bertugas diregol itu ternyata sudah berganti orang. Demikian pula diregol halaman. Kawan-kawannya bertugas telah pulang kerumah masing-masing.
"Darimana?" bertanya penjaga yang baru.
"Aku bertugas dikamar bakal permaisuri "sahut prajurit yang kantuk itu.
"He?" "Ya, hanya aku sajalah satu-satunya prajurit yang bertugas disana dari seluruh Tumapel. Menyenangkan sekali. Makan minum dan apa saja yang kuminta. Tuan Puteri sendirilah yang memberinyaPrajurit-prajurit yang sedang bertugas itu tertawa. Mereka tahu bahwa prajurit itu sedang lapar dan menunggu seseorang yang diantarnya itu sampai tengah malam.
Ketika mereka telah sampai diluar regol, maka segera prajurit itu berkata "Kaki Makerti, tugasku sudah selesai. Kaki telah keluar dari halaman istana. Karena itu terserahlah kepada kaki. Apakah kau akan bermalam dirumahku?"
"Terima kasih ngger, terima kasih. Aku akan pergi ketempat saudaraku.
"Kaki mempunyai saudara dikota ini?"
"Ya, aku akan mencarinya. Rumahnya didekat pasar
"Silahkan "berkata prajurit itu. Ia sudah merasa sangat lelah dan kantuk. Karena itu maka segera ditinggal kannya laki-laki tua itu seorang diri. Dengan langkah panyang prajurit itu berjalan pulang. Untunglah bahwa rumahnyatidak terlampau jauh dari istana. Tetapi ia harus bersedia jawaban kalau isterinya bertanya kenapa ia pulang lambat
Isterinya kadang-kadang menjadi Cemburu, karena seorang kawannya yang dekat, baru ini telah mengambil seorang isteri muda.
Sepeninggal prajurit itu, hati Empu Sada menjadi semakin gelisah. Terbayang di-angan-angannya, Mabisa Agni kini sedang merangkak masuk kedalam jebakan yang dipasang oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Sejenak Empu Sada masih saja berdiri termangu-mangu. Ia sama sekali tidak dapat menCuCi tangan terhadap apa yang akan terjadi dengan Mahisa Agni.
Orang tua itu terkejut ketika tiba-tibaseorang prajurit mendekatinya sambil bertanya "Bagaimana kaki, apakah kaki tidak tahu kemana akan pergi?"
"O "sahut Empu Sada terbata-bata "tidak, tidak ngger. Aku sedang melamun. Alangkah senangnya hidup kemenakan ku itu. Aku ikut bergembira pula bersamanya.
"Prajurit itu ter-heran2. Kemudian iapum bertanya "Siapakah kemanakanmu itu?"
Empu Sada memandangi prajurit itu dengan saksama. Barulah ia menyadari, bahwa prajurit-prajurit itu bukanlah prajurit-prajurit yang menerimanya siang kemarin. Tetapi meskipun demi kian, prajurit-prajurit yang bertugas mendahuluinya pasti telah mem beritahukan kepada mereka, tentang dirinya. Karena itu maka katanya "Apakah angger tidak mendapat pemberitahuan bahwa aku baru saja menghadap kemanakanku. Ken Dedes?"
"O "prajurit itu mengerutkan keningnya "ya, ya. Jadi kaukah orang yang bernama Makeiti?" O, ya, ya. Pra jurit yang mengantarmu itu adalah prajurit yang telah di katakan oleh pimpinan yang bertugas sebelum kami. Lalu, bagaimana sekarang?"
"Aku akan pergi kerumah saudaraku disamping pasar. "sahut Empu Sada.
"Apakah kaki memerlukan pengantar?"
"Tidak, tidak ngger. Terima kasih.
Empu Sada itupun segera melangkah pergi meninggalkan regol istana itu. Ter-tatihtatih ia berjalan-jalan menyusup kedalam gelapnya malam. Sinar obor dari regol yang memancar ke-merah-merahan, akhirnya tidak lagi dapat mencapainya.
Angin malam yang silir berhembus per-lahan-lahan mengusap tubuh orang tua itu Meskipun embun setitik2 turun dari langit, tetapi tubuh Empu Sada telah menjadi basah karena keringatnya. Ketegangan perasaannya tidak lagi dapat disem bunyikannya.
"Kasian "desisnya seorang diri. "Apakah aku hanya akan berpangku tangan?" Mudah-mudahan Empu Gandring dapat menyelamatkannya. Tetapi apakah Empu Gandring mampu menghadapi kedua iblis itu bersama?". Kalau Ken Arok, pemimpin pasukan yang berada dipadang Karautan itu pergi pula bersama Mahisa Agni, maka aku mengharap orang itu akan dapat membantunya bersama-sama Mabisa Agni sendiri. Tetapi bagaimanakah dengan kekuatan Ken Arok itu?"
Hati Empu Sadapun menjadi semakin tidak tenang. Ketika ia kemudian berpaling, dan regol istana itu sudah tidak dilihatnya, maka langkahnyapun segera menjadi semakin ce pat. Dengan sigapnya ia melontarkan kakinya, me-loncat2 se perti seekor kijang dipadang perburuan.
Ia sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tibaia menjadi bernafsu untuk segera sampai kerumahnya. Demikian kuat desakan ke inginannya, sehingga tanpa dikehendakinya sendiri, orang tua itupun kemudian berlari semakin cepat menuju kepadepok annya.
Empu Sada tidak lagi menghiraukan, apakah ada seseorang yang melihatnya berlari-lari. Bahkan kemudian dikerahkannya segenap kemampuannya. Dan Empu Sada itupun berlari secepat tatit.
Ketika Empu Sada sampai keoadepokannya, maka dengan serta-merta diketuknya pintu rumahnya sambil memanggil-manggil nama muridnya "Sumekar, Sumekar.
Alangkah terkejutnya muridnya itu. Segera ia bangkit dan berlari membukakan pintu. Ia menyangka bahwa gurunya sedang dikejar oleh bahaya.
Ketika pintu telah terbuka, dan dilihatnya Sumekar berdiri dimukanya, Empu Sada tertegun sejenak. Ditatapnya wajah muridnya yang masih belum menyadari sepenuhnya apa yang dilakukan. Sekali-sekali Sumekar masih meng-gosok-gosok matanya yang merah.
"Tutuplah pintu "perintah Empu Sada kemudian ketika ia telah meloncat masuk.
Sumekarpun melakukan saja perintah itu. Tetapi Sumekar itupun semakin terkejut ketika gurunya itu berkata "Su mekar, pergilah kesumur. Adus-kramas. Siapkan dirimu dalam kemampuan tertinggi.
Sejenak Sumekar berdiri kaku. Dengan sorot mata ber tanya-tanya dipandanginya gurunya. Ia tidak segera menangkap maksud kata-katanya itu.
Ketika Empu Sada melihat Sumekar masih saja berdiri termangu-mangu maka diulanginya perintahnya "Sumekar, pergi lah adus-kramas. Bersihkan dirimu lahir dan batin. Cepatlah.
Sumekar tidak membantah lagi. Segera ia pergi .keperigi. Disiapkannya beberapa jambangan air dan diambilnya seberkas merang. Sambil membakar merang itu, hatinya selalu bertanya-tanya "Apakah sebenarnya maksud guru. Hari masih malam. Kenapa aku harus mandi?"
Tetapi Sumekar yang patuh itu melakukan perintah itu dengan baik. Dibersihkannya tubuhnya meskipun dingin malam sampai menggigit tulang.
Ternyata gurunyapun mandi pula. Gurunyapun agaknya telah membersihkan dirinya seperti yang dilakukannya.
Ketika Sumekar telah selesai dan kembali ia menghadap gurunya, maka berkatalah Empu Sada "Sumekar. Kau sudah cukup dewasa. Umurmu, persiapan jiwamu dan ilmumu. Karena itu, Sumekar, hari ini adalah hari yang kau nanti-nanti selama ini. Kau berada dipadepokanku meskipun bukan se-mata2 untuk itu, tetapi ilmu tertinggi pasti menjadi keinginan setiap murid.


01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tibadada anak muda itu berdesir. Ia tidak menyangka, bahwa tiba-tibasaja ia dihadapkan pada kesempatan yang memang diharapkannya. Begitu tiba-tiba. Tetapi ia tidak sempat bertanya. Gurunyalah yang kemudian berkata "Masuklah ke dalam bilik belakang, tempat kau berlatih. Jangan ganggu adik-adik seperguruanmu yang sedang tidur. Biarlah mereka tidak tahu apa yang terjadi dengan dirimu.
Sumekar hanya dapat mengikuti perintah itu. Meskipun beberapa pertanyaan terselip didalam hatinya, kenapa peristiwa itu terjadi tanpa di-sangka-sangkanya lebih dahulu.
Tetapi Sumekar tidak sempat menanyakannya. Hatinya yang ber-debar-debar menjadikannya semakin tegang.
Ketika Sumekar da.n Empu Sada telah berada didalam bilik yang gelap dibagian belakang halaman rumahnya, maka gurunya itupun segera menutup pintu. Sebab slarak kayu nangka telah mengancing pintu itu rapat-rapat.
"Sumekar "berkata gurunya. Meskipun gelapnya bu kan main, namun lambat laun, Sumekar dapat melihat ba yangan gurunya "kau benar-benar telah cukup mempunyai bekal untuk menerima ilmu tertinggi dari perguruanku. Bahkan kau telah memiliki beberapa kelebihan dari kakak-kakak seperguruan mu. Ada beberapa unsur yang aku berikan kepadamu, tetapi tidak aku berikan kepada kakak-kakakmu. Apalagi ketika aku telah meyakini kesalahanku pada masa-masa yang lampau, dan melihat bahwa kau memiliki beberapa kelebihan sifat dari kakak-kakak sebelummu. Maka apa yang kau terima adalah melampaui dari apa yang telah dimiliki oleh Cundaka, Kuda-Sempana dan apalagi yang lain2. Sehingga menurut perhitunganku, nanti apabila kau dapat memahami Aji Kala Bama dengan baik, maka kau tidak akan lagi berada dibawah kakak seperguruanmu. Bahkan seandainya kakak-kakak seperguruanmu, mungkin Ku da-Sempana, mempunyai beberapa kelebihan waktu daripada mu, dan seandainya ia menerima beberapa petunjuk dan un sur-unsur gerak dari orang lain, maka kau tidak perlu men cemaskan dirimu. Ketekunanmu selama ini memang dapat di banggakan. Apalagi kau selama ini tidak mempunyai kesihuk an lain daripada memperdalam ilmu diperguruanku ini. Berbeda dengan Cundaka, pedagang keliling yang tamak dan Kuda-Sempana Pelayan-dalam yang gila itu.
Sumekar tidak menjawab. Ia hanya menundukkan kepa lanya saja memandang jari-jari kakinya yang se-olah-olah dipulas oleh warna yang hitam.
"Sumekar "terdengar suara Empu Sada lunak.
"Ya guru "sahut muridnya.
"Apakah kau sudah siap.
"Sudah guru. Aku telah menyiapkan diri menurut ke mampuan yang ada padaku.
"Bagus. Kau cukup rendah hati dan tidak sombong. Kelebihanmu dari kakak-kakaknu bukan saja pada ilmu dan un sur-unsur gerak, tetapi juga pada sifat dan budimu. Aku tidak pernah menyinggung masalah watak sebelumnya dengan kakak-kakak sebelummu Apabila mereka memenuhi syarat yang aku berikan, maka mereka dapat segera menerima puncak ilmu itu. Tetapi ketahuilah, sebagai seorang pedagang, meskipun aku memperdagangkan ilmu, maka milikku pasti harus lebih baik dari milik orang lain. Ilmukupun harus lebih baik dari ilmu orang lain. Karena itu, maka tidak pernah aku mencoba memberikan se-baik-baiknya kepada mereka. Aku memberi seperti orang berjual beli. Sedikit mungkin untuk harga yang semahal mungkin. Aku tidak pernah mempedulikan untuk apa saja ilmu itu kelak. Tetapi kini tidak, Sumekar. Untuk pertama kalinya aku berpesan kepada seorang muridku, bahwa ilmu hanya berguna bagi pengabdian. Ilmu yang dipergunakan untuk hal-hal yang sebaliknya, pasti akan berarti bencana. Ben cana bagi manusia dan kemanusiaan.
Sumekar menjadi semakin tumungkul. Terasa kata-kata gu runya itu se-olah-olah menyusup kedalam janlungnya. Dan tanpa dikehendakinya sendiri, maka kepalanyapun meng-angguk-angguk kecil.
"Nah, Sumekar. "berkata gurunya "kini berdoalah didalam hati. Mulailah dengan keisapan tertinggi untuk me nerima Aji Kala Bama Kau sendirilah yang sebenarnya harus menghisap Aji itu sesuai dengan pemusatan nalar dan rasa. Aku hanya akan menuntunmu.
Sumekar membungkukkan kepalanya dalam-dalam. Kemudian terdengar ia berdesis "Aku telah siap guru.
Demikianlah maka keduanya kemudian tenggelam dalam pengerahan segenap kemampuan lahir dan batin. Empu Sada telah bertekad untuk menjadikan muridnya yang seorang ini sebagai pewaris yang paling sempurna dari ilmunya. Penyesalan atas masa lampau telah rnendorongnya untuk berbuat sendiri yang seakan-akan ingin dipergunakannya untuk mengurangi kesalahan-lahan itu, Ia mengharap bahwa muridnya yang seorang ini dapat menyerabkan ilmunya untuk kebajikan, seperti apa yang dilihatnya atas murid-murid Panji Bojong Santi dan apalagi murid Empu Purwa. Meskipun seandainya muridnya tidak akan dapat berbuat seperti mereka, namun se-tidak-tidaknya muridnya tidak menyalah gunakan ilmu yang dimilikinya dan betapa kecilnya akan dapat menyerahkan ilmu itu untuk suatu pengabdian.
Malam berjalan terus Bintang-bintang dilangit bergeser sema kin jauh ke-barat, sel erti permata yang bertaburan pada se buah permadani yang berputar pada bola langit yang bulat. Angin yang basah mengalir lembut mengisap dedaunan yang nyenyak tertidur berselimutkan embun.
Akhirnya, langit yang kelam itu menjadi semburat me rah oleh warna fajar. Per lahan-lahan cahaya yang memancar dari balik cakrawala merayap semakin tinggi. Dan berhambur anlah kokok ayam jantan diantara kicau burung-burung liar difajar pagi.
Kedua murid Empu Sadapan kemudian terbangun dari tidurnya. Seperti biasa mereka segera melakukan pekerjaan mereka. Menimba air bersama para pelayan. Membersihkan hslaman dan isi rumah. Semula mereka tidak memperhatikan bahwa mereka tidak segera menjumpai Sumekar didalam rumah itu. Tetapi lambat laun terasa sesuatu yang kurang.
"Dimanakah kakang Sumekar?" "desis yang seorang.
Kawannya menggelengkan kepalanya "Aku belum melihatnya. "jawabnya.
Ketika kemudian mereka bertanya kepada para pelayan, maka tak seorangpun yang melihatnya. Tak seorangpun yang mengerti kemana anak muda itu pergi.
Tetapi kedua murid Empu Sada itu melihat pintu bilik dihalaman belakang tertutup rapat. Karena itu maka berkata salah seorang dari mereka" Mungkin kakang Sumekar ada didalamnya.
Tetapi keduanya tidak yakin akan hal itu. Mereka sama sekali tidak mendengar langkah apapun didalam bilik itu. Bahkan bilik itu se-olah-olah sedang tertidur nyenyak meskipun matahari telah mulai melepaskan sinarnya yang kekuning-kuningan.
"Mungkin kakang Sumekar tidur didalamnya "berkata salah seorang dari mereka.
"Apakah guru juga pergi?"
Kawannya mengangkat bahu Katanya "Tak seorangpun yang dapat mengatakan tentang guru. Apakah guru ada di rumah ataukah sedang pergi Keduanyapun kemudian terdiam. Mereka meneruskan kerja mereka, membersihkan rumah dan halaman. Para pe layanpun melakukan pekerjaan mereka seperti biasa. Tetapi kali ini Sumekar tidak ada diantara mereka. Biasanya Sume karlah yang memimpin mereka dan memberi beberapa petun juk tentang pekerjaan yang harus mereka lakukan hari itu. Namun mereka tidak dapat berpangku tangan, membiarkan padepokan itu terbengkalai karena Sumekar tidak mereka temui.
Kedua murid Empu Sada itu semakin siang menjadi se makin gelisab. Kalau Sumekar tidur didalam bilik itu, ia pasti sudah terbangun. Meskipun demikian, mereka sama se kali tidak berani mengetuk pintu yang masih saja tertutup itu.
Sehari itu padepokan Empu Sada yang sunyi terasa men jadi semakin sunyi. Kedua muridnya dan para pelayan ham pir-hampir tidak berbicara satu sama lain. Mereka lebih banyak merenung dan menebak didalam hati. Tetapi pintu bi lik dihalaman belakang itu masih juga tertutup, dan mereka masih juga belum menemukan Sumekar, apalagi guru me reka, Empu Sada.
Baru ketika matahari lingsir ke-Barat menjelang senja, maka hati kedua murid Empu Sada itu menjadi ber-debar-debar. Mereka melihat pintu bilik itu bergerak-gerak. Sejenak kemudi an mereka mendengar pintu itu bergerit.
Kedua murid Empu Sada itu tidak tahu kenapa mereka menjadi ber-debar-debar. Meskipun mereka tahu bahwa bilik itu memang bilik yang khusus, tetapi kali ini mereka merasa kati beberapa perbedaan dari hari-hari yang lampau. Mereka se-akan-akan melihat, bahwa dibelakang pintu yang sedang ber gerit itu tersembunyi sebuah ral asia yang besar.
Ketika pintu itu terbuka dada kedua murid itupun ber desir. Hampir tidak sabar mereka menunggu, siapakah yang berada didalam bilik itu.
Mereka menahan nafas ketika kemudian mereka melihat guru mereka, Empu Sada melangkah keluar pintu dengan wajah yang pucat. Tetapi ketika Empu Sada itu melihat kedua muridnya, maka orang tua itu tersenyum. Perlahan-lahan ia ber kata "Kakakmu ada didalam bilik itu.
Kedua muridnya ter mangu-mangu. Ia tidak tahu maksud gu ninya. Apakah mereka harus masuk kedalam bilik itu?"
Tetapi keduanya tidak berani bertanya. Mereka hanya memandang saja ketika gurunya berjalan perlahan-lahan masuk kedalam rumah.
"Apakah yang sudah terjadi?" bisik salah seorang dari mereka.
"Entahlah "sahut yang lain.
"Marilah kita lihat." ajak yang pertama.
"Kawannya menjadi agak ragu-ragu. Tetapi kemudian mereka melangkah memasuki bilik yang khusus mereka per gunakan untuk berlatih.
Mereka tertegun ketika mereka melihat Sumekar sedang mengemasi beberapa macam senjata. Beberapa macam benda yang tidak mereka mengerti. Mereka melihat beberapa batang besi yang melengkung dan beberapa senjata terpatahkan. Disudut ruangan mereka melihat sebuah batu yang pecah berserakan.
"Apa yang telah terjadi "tiba-tiba terloncat sebuah pertanyaan dari salah seorang dari mereka.
"Tidak apa-apa "jawab Sumekar tersenyum. Ketika ia tegak berdiri, maka kedua tangannya mengusap peluh yang membasahi wajahnya.
Tiba-tiba salah seorang murid Empu Sada itu mengerutkan keningnya. Batu-batu yang pecah ber-serakan, senjata-senjata yang patah dan keringat Sumekar yang se-akan terperas dari dalam tubuhnya ternyata telah memberinya petunjuk. Dengan suara geme tar ia berdesis "Kala Bama.
Sumekar berpaling kearah adik seperguruannya itu. Tam paklah wajahnya berkerut. Tetapi kemudian ia berdesis "Ya. Tetapi jangan membual.
"Tidak "jawabnya "berbahagialah kakang Sumekar yang telah mendapat kesempatan memiliki Aji Kala Bama.
"Pada saatnya kalianpun akan memilikinya pula.
Kuda murid Empu Sada itu menggelengkan kepalanya. Dengan wajah yang suram salah seorang berkata "Tidak mungkin.
"Kenapa?" "Aku tidak akan dapat menyediakan syarat yang diminta oleh guru untuk itu.
Sumekar mengerutkan keningnya, tetapi kemudian ia tersenyum "Tidak. Syarat itu tidak akan memberatimu lagi.
Kedua murid Empu Sada yang muda itu saling berpandangan. Tetapi mereka tidak tahu maksud kata-kata Sumekar.
"Marilah "berkata Sumekar "bantulah aku membersihkan tempat ini.
Kedua adik seperguruannya itu segera membantu mem bersihkan tempat itu. Namun hampir-hampir tidak dapat mereka mengerti, bahwa apa yang terjadi itu sama sekali tidak menimbulkan suara sedikitpun. Demikian tajamnya pertanyaan itu membelit hatinya, sehingga salah seorang dari mereka tanpa lesadarnya bertanya "Kakang, bagaimana mungkin hal ini terjadi tanpa suara?"
"Ah, tentu saja apa yang terjadi ini menimbulkan suara yang amat ribut.
"Tetapi kami tidak mendengarnya.
"Kau masih tidur "sahut Sumekar. "semuanya terjadi sebelum fajar. Sesudah itu akupun menjadi pingsan hampir sehari penuh.
Kembali kedua adik seperguruan Sumekar itu saling berpandangan. "Pingsan hampir sepanjang hari "desis mereka didalam hati. Dengan demikian mereka dapat memba yangkan betapa beratnya saat-saat yang harus dilewati selama se seorang menerima puncak tertinggi ilmu dari perguruan Empu Sada.
Sejenak kemudian Sumekar itupun berkata "Belajar lah dengan tekun. Menerima ilmu tertinggi itu benar-benar memerlukan kesiapan yang cukup. Lahir dan batin.
Kedua adik seperguruan Sumekar itupun meng-angguk-angguk Wan kepalanya. Dan Sumekar berkata seterusnya "Perguruan Empu Sada kini telah berubah warnanya. Bukan perguruan yang dahulu. Dari perguruan ini untuk seterusnya harus me mancar kebajikan. Ilmu yang kalian terima harus menjadi lirlita bagi mereka yang kegelapan, bukan sebaliknya. Dan pelita itu harus bersinar terang. Bukan pelita yang ditutup dibawag belanga. Betapapun terangnya pelita itu, namun sinarnya yang tertutup sama sekali tidak berarti. Tetapi pe lita, itu harus menyala, bersinar dan menerangi keadaan di sekitarnya.
Kedua adik seperguruan Sumekar itu ter-nganga2 men dengar keterangan kakaknya. Mereka belum pernah mende ngar hal-hal yang demikian sebelumnya. Mereka hanya sekedar menerima petunjuk mengenai beberapa- macam ilmu gerak menirukan dan memahami. Kemudian setiap kali, pada saatnya, mereka harus menyerahkan uang atau benda-benda berharga Kalau tidak, maka merekapun harus berhenti. Tak ada lagi tambahan ilmu yang akan mereka terima. Itu saja.
Sementara itu Empu Sada telah berada didalam biliknya. Terasa betapa sepi dunianya. Namun setelah ia memberikan ilmu tertinggi kepada muridnya, terasa bahwa dadanya menjadi agak lapang. Ia sendiri tidak tabu, kenapa ia se-akan-akan didorong dalam suatu keharusan untuk dengan segera mewa riskan ilmunya. Bahkan tidak saja seperti yang pernah diberi kannya kepada murid-muridnya yang lain, maka Sumekar telah me nerima lebih banyak dari mereka. Betapa lelahnya lahir dan batin, maka anak muda itu jatuh pingsan hampir sehari penuh.
Kini dada Empu Sada menjadi lapang. Lapang tetapi sepi, seperti sepinya padang rumput Karautan yang luas.
Orang tua itu ber-kali-kali menarik nafas dalam-dalam. Tanpa di kehendakinya, maka direbahkannya dirinya dipembaringannya. Iapun merasa lelah sekali, setelah dengan penuh kesungguh an diturunkannya ilmu terakhirnya kepada Sumekar.
Tetapi dalam kesepian itu tumbuhlah segenap kenangan masa lampaunya. Seorang demi seorang datang dan pergi da ri angan-angannya. Empu Sada menjadi ber-debar-debar ketika terba yang kembali betapa ia dikecewakan oleh- seorang gadis yang bernama Jun Rumanti.
"Aku menjadi kehilangan keseimbangan "desisnya "dan lahirlah seorang Empu Sada yang telah mengotori jagad.
Empu Sada menggigit bibirnya. Alangkah cupet budinya. Perbuatannya benar-benar telah tersesat.
"Kita ber-sama-sama telah hancur "desahnya kemudian "aku, Jun Rumanti dan suaminya yang meninggal itu.
"Tetapi "tiba-tibaEmpu Sada bangkit "Jun Rumanti telah melahirkan seorang anak laki-laki. Anak laki-laki yang baik,
yang telah berbuat kebajikan. Lalu apa yang dapat aku lahirkan?" Anak tidak, tingkah lakupun tidak. Apalagi pengalaman terhadap manusia dan kemanusiaan.
Empu Sada itu termenung sejenak. "Aku baru mencoba "katanya didalam bati "mudah-mudahan Sumekar itu dapat berbuat baik seperti Mahisa Agni.
Angan-angan orang tua itupun kini seakan-akan terhisap diseputar Mahisa Agni. Kembali terbayang anak muda itu merayap ma suk kedalam perangkap Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
"Anak itu anak Jun Rumanti "desisnya "kalau aku tahu sebelumnya.
"Tetapi mudab-mudahan aku belum terlambat. "tiba-tiba orang tua itupun meloncat dari pembaringannya "alangkah bodohnya aku. Kenapa aku berbaring saja dipembaringan, sedang bahaya yang sebenarnya telah siap menerkam anak itu?"
Sejenak Empu Sada menjadi ragu-ragu "Jangan-angan keha diranku akan disambut oleh para prajurit Tumapel dipadang Karautan.
"Tidak, aku akan pergi ke Panawijen. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu dengan Mahisa Agni.
Empu Sada itupun kemudian membulatkan hatinya. Disa darinya bahwa sebenarnya kegelisahan telah mencengkamnya sejak ia bermaksud menemui Ken Dedes diistana, apalagi setelah diketahuinya bahwa Mahisa Agni adalah anak Jun Ru manti.
Empu Sada itupun kemudian membenahi dirinya. Dihirupnya semangkuk air hangat yang disediakan untuknya dan di makannya beberapa suap nasi. Terasa betapa nikmatnya setelah ia bekerja keras lebih dari sehari penuh. Dikenyamnya ma kanan itu dengan sepenuh minat. "Alangkah enaknya ma kanan ini dan alangkah segarnya air padepokanku.
Sejenak kemudian Empu Sada meraih tongkat panjangnya. Dibelainya tongkat itu seperti membelai kekasih. Perlahan-lahan ia melangkah keluar biliknya.
Aneh "desisnya "berpuluh tahun aku tinggal di padepokan ini, tetapi se-akan-akan aku menjadi orang asing di sini." Diamatinya setiap bagian rumahnya. Rumah yang di diaminya sejak lama. Tetapi se-akan-akan ia belum pernah me lihatnya. Ukiran pada pangkal tiang. tlundak dan ajuk2 yang disungging dengan warna-warna yang cerah. Lampu dinding dan lampu gantung.
"O, rumah ini rumah yang cukup baik "pikirnya. Tiba-tiba Empu Sada ingat pada kekayaannya yang tersimpan di bilik sebelah, didalam lubang yang hanya diketahuinya sendiri. Peti yang disandingnya sama sekali bukanlah kekayaan yang sebenarnya.
"Aku sudah tidak memerlukannya lagi "desisnya. -"Aku sudah tidak memerlukan kekayaan duniawi. Ternyata benda-benda itu tidak dapat memberi aku apa-apa.
Karena itu maka dipanggilnya Sumekar. Diajaknya anak muda itu berbicara seorang diri.
"Sumekar "berkata Empu Sada "hari ini aku akan pergi.
Sumekar mengerutkan keningnya. Dengan bimbang ia bertanya "Kemana guru?"
"Ah, apakah kau pernah mengetahui kemana aku pergi?"
"Kadang-kadang guru.
"Ya, kadang-kadang aku memberitahu kepadamu kemana aku pergi, tetapi sebagian besar dari pengembaraanku, tak seorang muridkupun yang mengetahuinya.
Sumekar tidak mcnjawab. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam.
"Sumekar "berkala gurunya kemudian "kau adalah penerus dari padepokan Empu Sada. Kalau aku lambat kembali, atau bahkan tidak kembali sama sekali, maka kaulah yang wajib meneruskan tata kehidupan dipadepokan ini. Kau harus mangerti apa yang sebaiknya dilakukan. Kau harus mulai mengenali musim untuk menanami sawah. Kau harus mengenal mangsa dan watak-wataknya. Bukan saja ilmu beladiri dan olah kanuragan. Para pembantumu harus selalu bekerja dengan baik dan rajin.
Sumekar menjadi heran mendengar pesan gurunya. Tanpa disadarinya sekali lagi ia bertanya "Kemanakah guru akan pergi?"
Empu Sada memandangi wajah anak muda itu. Ia melihat sorot mata yang tulus. Tetapi ia tidak dapat memberitahukannya. Karena itu maka jawabnya "Aku akan pergi seperii aku pergi di-waktu-waktu yang lalu. Tetapi kali ini aku mempunyai kepentingan yang lain. Aku tidak lagi ingin mendapatkan benda berharga. Ternyata benda-benda berharga, kekayaan dan mas picis itu sama sekali tidak memberi apa-apa kepadaku Aku masih tetap seorang pengembara, yang hampir setiap hari menanggung lapar dan haus diperjalanan. Aku masih juga tetap seorang yang berpakaian kumal seperti ini. Aku tidak mengenakan timang tretes berlian, tidak menyelipkan keris berwrangka emas dan ditaburi oleh permata. Tidak memakai kampuh yang diwarnai dengan gemerlapnya prada. Tidak. Sehingga karena itu maka apa yang aku cari selama ini ternyatatidak berarti apa-apa bagiku.
Sumekar menjadi semakin tunduk. Dirasakannya bahwa diantara kata-kata gurunya itu terselip suatu penyesalan yang tiada taranya.
"Sumekar "berkata gurunya lebih lanjut "ternyata aku telah keliru mencari bekal dalam hidupku. Aku sangka emas picis raja brana itu akan memberiku ketentraman dan kebahagiaan. Tetapi ternyata bukan. Bukan itu Sumekar. Mungkin kekayaan akan dapat menjadi salah satu syarat untuk menemukan ketentraman dan kebahagiaan, namun apa bila syarat itu berubah menjadi tujuan, maka hidup kita pun akan jatuh kedalam genggamannya. Maka akan celakalah kita karenanya. Aku adalah contoh yang paling dekat Su mekar. Aku hidup dalam perbudakan yang aku jeratkan sendiri keleherku. Aku menjadi liar dan buas untuk mendapatkan harta kekayaan, sedang harta kekayaan itu sama se kali tidakberguna bagiku. "Empu Sada berhenti sejenak. Ditatapnya wajah muridnya yang tunduk. Sejenak kemudian Empu Sada itu meneruskan "Bukankah kau lihat Sumekar bahwa kekayaanku tidak memberi aku apa-apa. Jasmaniah apa lagi rokhaniah. Nah, kenanglah apa yang terjadi atasku. Mudah-mudahan akan dapat menjadi petunjuk bagi hidupmu kelak.
Sekali lagi Empu Sada berhenti. Tatapan matanya kini menjadi kian pudar. Lalu katanya "Meskipun telah ter lambat Sumekar, aku kini ingin mendapat bekal yang lain. Aku sudah terlambat. Aku sudah tua. Aku harus menemukan sesuatu yang berarti dalam hidupku betapapun kccilnya. Ternyatakekayaan yang terbaik didalam hidup ini adalah hubungan yang erat antara kita dengan Yang Maha Agung. Hubungan yang paling mesra itidah ketentraman dan kebahagiaan se jati.
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Kata-kata gurunya itu mere sap langsung kedalam kalbunya. Sentuhan-sentuhan yang menggeser hatinya telah menumbuhkan pahatan yang dalam. Yang tidak mudah terhapus oleh sentuhan-sentuhan yang lain.
"Karena itu Sumekar "berkata gurunya lebih lanjut aku menganggap bahwa apa yang aku miliki selama ini sama sekali tidak berarti lagi bagiku. Semuanya akan aku se rahkan kepadamu. Terserahlah, apa yang akan kau perbuat dengan semuanya itu. Mungkin kau akan dapat membangun sesuatu yang berarti bagi padepokan ini, atau mungkin kau merasa perlu untuk menolong orang-orang miskin disekitar kita, atau apapun yang kau anggap perlu. Apabila kau mengenalpemiliknya, alangkah senang hatiku kalau kau sempat me ngembalikan kepadanya. Sumekar mengangkat wajahnya. la tidak begitu menger ti maksud kata-kata gurunya itu, sehingga gurunya menjelaskan Sumekar, semua kekayaan yang pernah aku dapatkan dengan jalan apapun, kini aku serahkan saja kepadamu untuk keperluan yang kau anggap penting sesuai dengan pen dirianmu.
Dada Sumekar menjadi ber-debar-debar. Ia tahu benar, bahwa gurunya menyimpan kekayaan tiada taranya. Sekarang ke kayaan itu diserahkannya kepadanya, tetapi dengan pesan yang mengikatnya. Tetapi pesan itu telah membesarkan hatinya. Karena itu maka Sumekar itu berkata dengan tajimnya "Terima kasih atas kepercayaan itu guru. Mudah-mudahan aku akan dapat melakukan pesan yang guru berikan. Mudah-mudahan akupun tidak akan jatuh kedalam cengkeramannya. Memperhambakan diri kepada harta benda itu.
"Aku percaya kepadamu Sumekar, apalagi setelah kau melihat sendiri contoh yang paling baik yang dapat kau saksikan.
Sumekar mengangguk dalam-dalam sambil menjawab "Mudah-mudahan guru. Mudah-mudahan Yang Maha Agung selalu memberi sinar terang didalam hatiku.
Empu Sadapun kemudian mengajak Sumekar masuk ke dalam biliknya. Ditunjukkan segala rahasia yang selama ini seakan-akan hanya diketahuinya sendiri. Ditunjukkannya celah-celah dan lubang-lubang tempat harta bendanya tersimpan.
Meskipun Sumekar telah menyangkanya, tetapi ketika ia sempat melihat sendiri apa yang disimpan gurunya, darahnya se-akan-akan membeku karenanya.
Sesaat ia berdiri seperti patung. Sekali-sekali dipejamkannya matanya se-akan-akan ia tidak yakin atas apa yang dilihatnya.
"Jangan heran" berkata gurunya" ini adalah ujud dari bencana yang selama ini membelengguku. Kini aku menjadi gembira dan berterima kasih kepada Yang Maha Agung yang telah membebaskan aku dari padanya.
"Sumekar tidak menjawab. Matanya masih melekat pada benda-benda yang ber-kilauaan itu.
"Sisihkan milik Kuda-Sempana. Aku masih mengharap ia kembali kepadaku. Aku akan mencoba membebaskannya dari belenggu yang dijeratkannya sendiri pula. Meskipun bentuknya agak berbeda, tetapi ke-duanya dikendalikan oleh nafsu duniawi. Kuda-Sempanapun telah dicekik oleh nafsunya. Nafsu memiliki seorang gadis cantik yang bernama Ken Dedes. Meikipun ujudnya tidak sama dengan benda-benda yang telah menjeratkan, namun wataknya tidak jauh berbeda Kedua-duanya digerakkan oleh nafsu duniawi.
Sumekar masih berdiam diri, tetapi ia meng-angguk-anggukkan lupalanya.
"Kalau Kuda-Sempana kelak menyadari keadaannya, maka barang-barangnya itu akan dapat sedikit menghiburnya.
Empu Sada berhenti sejenak, lalu katanya "Apakah kau mengerti maksudku Sumekar.
"Ya guru "jawab Sumekar "aku mengerti.
"Baik. Manfaatkan harta benda ini untuk kepentingan sesama. Dengan demikian, aku akan dapat pergi dengan dada yang lapang. Aku kini merasa bahwa tanganku telah lepas d.iri belenggu yang selama ini menjeratku. Aku kini menjadi manusia yang bebas. Dalam sisa2 umurku aku akan berusaha untuk menjadikan hidupku berarti, berarti bagi sesama beta papun kecil arti itu.
"Sumekar meng-anggukkan kepalanya. Sekali lagi tanpa sesadarnya ia bertanya "Kemanakah guru akan pergi?"
"Pertanyaanmu telah kau ucapkan untuk ketiga kalinya Sumekar. Maaf, aku tidak dapat menjawab, karena aku sendiri belum menentukan sikap. Kemana dan untuk apa aku pergi.
Sumekar menggigit bibirnya. Ia merasa bahwa pertanya aunya itu agak mengganggu gurunya. Sebelumnya ia sama se kali tidak bernafsu untuk mengetahui kemanakah gurunya akan pergi. Sekali dua kali ia mengucapkan pertanyaan se rupa itu. Tetapi pertanyaan itu meluncur saja dari bibirnya tanpa suatu maksud. Pertanyaan itu diucapkannya hanya se kedar untuk memperpantas sikap. Tetapi kini anak muda itu benar-benar ingin tahu, kemanakah gurunya akan pergi. Namun sayang yang, gurunya tidak memberitahukannya.
"Sumekar "berkata Empu Sada "kau kini menjadi wakilku. Wakil dalam segala persoalan. Kau jugalah yang harus menuntun adik-adik seperguruanmu. Tetapi ingat, tuntun lah ia lahir dan batinnya. Bahkan seandainya ada kakak-kakak seper gurumu yang berkepentingan dengan padepokan ini, maka segala persoalannya harus kau terima sebagai wakilku. Kalau aku lambat kembali atau tidak kembali sama sekali, kembang kanlah nama padepokan ini se-baik-baiknya. Kau mengerti?"
Sumekar mengangguk, jawabnya "Ya guru.
"Terima kasih "sahut gurunya "aku percaya kepa damu.
"Tetapi "berkata Sumekar kemudian "apakah yang dapat aku lakukan terhadap kakak-kakak seperguruanku?" Mereka tahu siapa aku dan mereka merasa bahwa mereka lebih ber hak untuk berbuat seperti itu.
"Tetapi akupun berhak menentukan siapakah yang aku percaya untuk mewakili aku" sahut gurunya" Sumekar, mes kipun kau masih muda, tetapi kau aku anggap mencukupi syarat untuk berbuat demikian. Seandainya ada yang menco ba memaksakan kehendaknya, m?".ka kaupun dapat bertahan atas sikap itu, bahkan seandainya dengan kekerasan sekalipun. Tak seorangpun yang dapat aku percaya menerima harta ben da sebanyak ini tetapi tidak untuk dirinya sendiri, selain kau.
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Tugas itu bukan tugas yang ringan. Namun gurunya berkata selanjutnya "Baiklah. Kalau kau memerlukan bukti kepercayaanku. Tongkatku akan aku tinggalkan untukmu, sebagai pertanda bahwa aku telah menyerahkan segala sesuatunya kepadamu.
Sekali lagi darah Sumekar terasa berhenti mengalir. Agaknya gurunya benar-benar telah melepaskan padepokan ini. Terasa oleh anak muda itu, se-akan-akan pertemnannya dengan gurunya kali ini adalah kali yang terakhir.
Ketika gurunya menyerahkan tongkatnya, maka Sumekar menerimanya dengan tangan gemetar. Tetapi sentuhan tangannya pada tongkat itu merasakan, bahwa tangan gurunyapun gemetar pula.
Ternyata Empu Sada merasakan sebuah goncongan pada perasaannya pada saat tongkat itu lepas dari tangannya. Tong kat itu adalah ciri dirinya dan juga senjatanya. Seorang yang bertongkat panjang adalah seorang yang bernama Empu Sada, seperti Panji Bojong Santi dengan kasa kulit hari maunya, seperti Empu Gandring dengan keris raksasanya. Dan kini tongkat itu lepas dari tangannya. Namun untuk suatu, kepentingan yang tidak kalah besarnya dari setiap kepentingan yang akan dihadapinya.
Guru "desis Sumekar setelah ia menerima tongkat aku hanya dapat mengucapkan beribu terima kasih. Teta pi bagaimana dengan guru sendiri?" Bukankah tongkat ini ciri kebesaran guru dan merupakan senjata guru pula.
Empu Sada tersenyum. Tetapi senyumnya membayang seperti bulan disaput awan. Suram.
"Aku tidak memerlukannya lagi Sumekar. Aku tidak ingin lagi mempergunakan akan senjata untuk menimbun harta benda yang tidak berarti apa-apa dalam hidupku. Aku tidak lagi ingin memamerkan namaku yang kotor itu lewat tongkatku. Bahkan aku ingin kalau aku dapat meninggalkan kan bahkan melupakan masa-masa lampauku, apabila mungkin.
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. la merasakan keanehan sikap gurunya. Sikap itu bukan sekedar sikap penyesalan, teta pi sikap itu telah sangat merisaukannya.
Sejenak keduanya saling berdiam diri. Yang terdengar kemudian adalah nafas Sumekar yang ter-engah2.
Diluar bilik Empu Sada terdengar kedua murid Empu Sada yang lain ter-batuk-batuk. Mereka sedang menyalakan lampu-lampu di dalam rumah. Tetapi mereka tidak berani masuk kedalam bilik gurunya, seperti setiap hari. Yang berani masuk kedalam bilik itu hanya Sumekar selain gurunya sendiri. Hanya apabila perlu sekali seorang dua orang berani dengan ter-gesa-gesa.
"Sumekar "berkata Empu Sada kemudian ?" ternyata hari telah terlampau gelap. Ambillah pelita dan terangilah bilik ini. Untuk seterusnya bilik ini adalah bilikmu sambil menjaga semua harta benda itu, sampai suatu ketika harta benda itu habis terbagi dan jatuh ketangan yang benar memerlukannya.
Kali ini Sumekar tidak dapat lagi menahan pertanyaannya meskipun ia ragu-ragu mengucapkannya "Guru, kenapa guru merasa bahwa guru akan lambat kembali dan bahkan mungkin tidak kembali sama sekali.
Sekali lagi Empu Sada tersenyum. Senyum yang suram. Katanya "Aku tidak tahu. Jangan tanyakan itu lagi. Sekarang, pasanglah pelita, dan seterusnya aku akan pergi me ninggalkan padepokan ini.
"Guru "potong Sumekar.
"Jangan bertanya lagi. Lakukan perintahku. Ambillah pelita. Bilik ini telah terlampau gelap.
Sumekar tidak berani bertanya lagi. Betapa hatinya dili puti oleh seribu satu macam pertanyaan, namun ia tidak berani mengucapkannya. Per-lahan-lahan ia bangkit dan berjalan keluar. Diluar bilik diruang dalam telah terpasang lampu dinding.nyala apinya bergetar karena angin yang menyusup lubang-lubang dinding.
Sumekar pergi kebelakang untuk mengambil pelita yang setiap hari dipasangnya dibilik Empu Sada. Ternyata pelita itu telah menyala. Ketika ia mengambil pelita itu, terdengar adik seperguruannya bertanya "Kakang, apakah yang kau bicarakan dengan guru?" Apakah penting sekali?"
Sumekar menggeleng "tidak. Tidak ada apa-apa.
Tetapi wajah adik seperguruannya masih saja dibayangi oleh keinginannya untuk mengetahui serba sedikit apakah yang sedang mereka bicarakan.
"Aku merasa, bahwa ada sesuatu yang tidak wajar "desah salah seorang adik seperguruannya itu.
"Tidak apa-apa "sahut Sumekar "adalah soal biasa saja yang dipesankan guru kepadaku. Rajin bekerja, tekun berlatih dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela.
Kedua adik seperguruannya itu mengerutkan keningnya. Pesan itu tidak pernah didengarnya. Tetapi ketika mereka akan bertanya lagi, Sumekar berkata "Nanti sajalah kita berbicara. Guru menunggu didalam bilik yang terlampau gelap.
"Pelita itu telah lama terpasang "sahut salah seorang adik seperguruannya "tetapi aku tidak berani membawanya masuk kedalam bilik guru.
Sumekar tersenyum, meskipun senyumnya tidak terlampau
Dengan pelita ditangan Sumekar berjalan masuk kem lbali kedalam rumah, kemudian kedalam bilik gurunya. Tetapi ketika ia sampai kcdalam bilik itu, gurunya tidak dijumpainya didalam. Yang ada didalam bilik itu hanyalah tongkatnya saja yang telah diserahkannya kepadanya.
"Kemanakah Empu Sada "desis Sumekar didalam ha tinya. Tetapi Sumekar tidak segera mencarinya. Disangkanya gurunya sedang pergi keluar sebentar.
Tetapi ternyata gurunya tidak segera ditemuinya kembali kcdalam biliknya. Sejenak ia menunggu, tetapi gurunya belum juga datang.
Betapa terkejut anak muda itu ketika tiba-tibaia mendengar kaki kuda berderap. Dengan sigapnya ia meloncat langsung liwat pintu depan. Dan apa yang dilihatnya benar-benar telah menghentikan arus darahnya. la melihat gurunya berpacu di atas kudanya.
"Guru " teriak Sumekar.
Gurunya berpaling. Ditariknya kekang kudanya untuk mem perlambat derap kakinya. Masih diatas punggung kuda orang tua itu berkata "Selamat tinggal Sumekar. Kaulah kini tetua padepokan ini. Kerjakanlah pesanku selama aku pergi, atau bahkan apabila aku tidak kembali lagi.
"Guru "banyak yang akan diteriakkannya, tetapi yang terloncat dari mulutnya hanyalah satu kata.
Sumekar masih melihat gurunya tersenyum. Namun seje nak kemudian kuda yang diturnpanginya meloncat keluar re gol halaman. Dan hilanglah gurunya dari pandangan matanya.
Sejenak Sumekar berdiri mematung. Berbagai perasaan berkecamuk didalam hatinya Ia melihat gurunya pada saat-saat terakhir seperti orang asing yang baru dikenalnya. Perubahan sikap dan perbuatannya benar-benar telah membingungkannya. Hampir-hampir ia tidak percaya, bahwa orang yang sedang melari kan kudanya itu adalah Empu Sada yang sebelumnya pernah menuntunnya dalam ilmu tata bela diri. Seandainya kemudian orang itu memberinya ilmu tertinggi, Kala Bama, maka mung kin ia tidak lagi percaya bahwa orang itu adalah Empu Sada.
Tetapi Empu Sada itu telah pergi.
Apapun yang pernah dilakukan, namun orang itu adalah gurunya. Telah bertahun-tahun ia berada didalam padepokan itu sebagai seorang murid. Bahkan seandainya Empu Sada itu ti dak berubah pada saat-saat terakhir, namun ia tidak dapat meng ingkarinya bahwa ia pernah berguru kepadanya. Dan ia tidak tahu, kenapa ia terdampar kedalam perguruan itu meskipun ia tahu sebelumnya, bahwa hidup gurunya diliputi oleh suatu rahasia yang kelam.
Sumekar itu tersedar ketika ia mendengar salah seorang adik seperguruannya bertanya "Kakang, apakah guru pergi?"
Sumekar berpaling. Dilihatnya dua anak-anak yang masih sa ngat muda. Ditariknya nafas panjang-panjang. Jawabnya "Ya. Guru telah pergi.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Pandangan mata mereka masih saja melekat pada regol halaman. Tetapi mereka sudah tidak melihat sesuatu. Hanya pelita yang redup sajalah yang masih tergantung dan bergoyang ditiup angin.
Malam menjadi semakin sepi.
Yang terdengar adalah pertanyaan adik seperguruan Sumekar "Kemanakah guru pergi?""
Sumekar menggelengkan kepalanya. Jawabnya "Aku tidak tahu.
Ketika Sumekar berpaling memandang kedua adik seper guruannya itu dilihatnya bahwa kedua wajah itu menjadi ke-heran2an mendengar jawaban Sumekar, sehingga Sumekar merasa perlu untuk menjelaskan "Sebenarnyalah aku tidak tahu kemana guru pergi. Bukankah aku baru saja meng ambil pelita dari belakang?" Ketika anu kembali kedalam bilik, ternyata guru telah tidak ada didalam. Aku sangka bahwa guru hanya keluar sebentar. Tetapi yang aku dengar adalah derap seekor kuda.
Kedua adik seperguruannya meng-angguk-anggukkan kepalanya. Meskipun mereka masih juga diliputi oleh keheranan.
Bahkan Sumekar itu tanpa dikehendakinya sendiri bergumam lirih "Mungkin guru akan sangat lambat kembali atau bahkan tidak sama sekali
"He "kedua adik seperguruannya itu terkerlyut. "Apakah guru tidak akan kembali?""
Kini Sumekarlah yang terkejut. Sejenak ia terdiam, linumu kemudian ter-patah2 ia menjawab "Maksudku, guru belum pasti kapan akan kembali
"Dari mana kakang tahu?""
Sekali lagi Sumekar tergagap. Namun kemudian jawabnya "Guru mengatakannya dari atas punggung kuda.
Kedua adik seperguruannya itupun meng-angguk-anggukkan ke padanya. Salah seorang dari mereka berkata "Ya aku men dengar lamat-lamat. Mungkin guru tidak kembali.
Wajah kedua anak-anak muda itupun menjadi suram, seperti Sumekar merekapun tahu bahwa gurunya adalah seorang yang dilipiti oleh seribu macam rahasia. Bahkan kedua anak-anak itu merasa bahwa mereka tidak akan dapat sampai tangga ter tinggi dari perguruan Empu Sada karena syarat2 yang harus disediakan tidak akan pernah mencukupi. Tetapi meskipun demikian kepergian gurunya itu mempengaruhi perasaannya juga. Merekapun merasakan kesedihan pada saat perpisahan yang aneh.
Dalam pada itu, Empu Sada sendiri berpacu didalam gelap Dilepaskan segelap himpitan perasaannya dengan berpacu seperti dikejar hantu. Disentuhnya setiap kali perut kudanya yang meloncat semakin lama semakin cepat.
Orang tua itu ingin segera menjauhi padepokannya. Ia takut kalau padepokan yang telah didiaminya berpuluh tahun itu akan menariknya kembali. Dengan sepenuh hati ia btr mulia memutuskan hubungan antara dirinya dengan padepokannya. Ia sendiri tidak tahu, kenapa ia berusaha berbuat seperti Itu
Angin malam y"ng dingin terasa semakin kencang meng usap tubuh Empu tua yang sedang melarikan kudanya itu. Sekali-sekali terdengar orang tua itu berdesah.
Ketika ia berpaling, maka yang dilihatnya hanyalah sebuah dinding hitam kelam yang se-akan-akan berlari secepat lari kudanya, mengikutinya dibelakang. Tetapi di-sawah-sawah disisi jalan orang tua itu melihat ber-juta2 kunang2 yang berkeredipan, seakan-akan bersaing dengan bintang yang bertaburan diwajah langit yang biru pekat.
Empu Sada bahkan semakin mempercepat kudanya.
Kini Empu Sada mencoba melupakan padepokannya. Yang dihadapinya adalah sebuah perjalanan ke Panawijen. Ia merasa langkah kaki kudanya itu terlampau lambat.
"Mudah-mudahan aku tidak terlambat. "katanya didalam hati.
Ketika kudanya telah meninggalkan lingkungan tanah per sawahan padepokannya, maka Empu Sada berhasil melepaskan kenangannya atas padepokannya itu.
Dicobanya untuk membayangkan apa yang akan terjadi, dan apa saja yang dapat dikerjakan. Tetapi apabila ia ter lambat dan Mahisa Agni mengalami sesuatu, maka ia telah ikut serta menjerumuskan anak Jun Rumanti itu kedalam bencana.
Karena itu maka Empu Sada itu memacu kudanya lebih cepat. Seakan-akan didengarnya kembali kedua orang prajurit Tumapel yang bertugas dipadang Karautan itu berceritera tentang beberapa lumbung yang terbakar di Panawijen. Peris tiwa itu seakan tergambar jelas didalam angan-angannya. Semakin direnungkannya, maka iapun menjadi semakin yakin bahwa itu hanyalah sekedar akal Kebo Sindet untuk memancing Mahisa Agni.
Sebenarnyalah bahwa apa yang terjadi adalah demikian.
Sebelum kedua prajurit Tumapel kembali menghadap Akuwu untuk memberikan beberapa laporan, maka datanglah dua orang tua kepadang Karautan memberitahukan bahwa Panawijen tumbuh kebakaran.
Tetapi kebakaran itu bukanlah kebetulan saja terjadi. kebakaran yang terjadi dengan tiba-tibaitu ternyata telah di garap oleh tangan yang licik.
Setelah melihat setiap kemungkinan, dan setelah mengenal berapa persoalan lebih banyak lagi atas Mahisa Agni, Pana wijen dan Kuda-Semparia sendiri, maka Kebo Sintlet telah menemukan sebuah cara untuk menjebak Mahisa Agni.
Demikian mahalnya Mahisa Agni bagi kedua iblis itu, maka segala cara telah dilakukan untuk menjeratnya. Bagi mereka, Mahisa Agni akan merupakan sebuah barang yang sangat berharga. Ia adalah kakak seorang gadis yang sebentar lagi akan naik jenjang perkawinan. Tidak dengan sembarang orang, tetapi dengan Akuwu Tumapel. Bukankah Mahisa Agni "kau dapat menjadi barang taruhan untuk mendapatkan harta benda yang tidak ternilai banyaknya?""
Pada saat kedua bersaudara itu menemukan caranya, maka keduanya menjadi sangat bergembira, se-akan-akan Mahisa Agni telah berada ditangannya.
Keduanya menganggap bahwa Mahisa Agni mempunyai kedudukan yang penting pada saat-saat perkawinan, sebagai kakak gadis bakal permaisuri itu. Meskipun Akuwu dapat mempergunakan kekuasaanya untuk berbuat seperti yang dikehendaki, namun manurut peristiwa yang pernah terjadi, Ken Dedes merasa sangat terikat kepada kakaknya, sehingga apabi la mungkin, maka segala usaha pasti akan dilakukan untuk menyelamatkannya.
"Kalau usaha itu gagal" berkata Wong Sarimpat" kita masih dapat memaksa Kuda-Sempana untuk memberi seluruh Kekayaannya kepada kita.
"Huh, apakah kekayaan kelinci itu cukup banyak" sahut Kebo Sindet" pekerjaan kita ini tidak boleh gagal.
Dengan rencana itu, maka pergilah kedua hantu dari Kemundungan itu ke Panawijen. Mereka telah membawa
Kuda-Sampana serta. Dangan segala macam akal, mereka telah membujuk Kuda-Sempana untuk membatunya.
"Jangan kau bawa-bawa ayahku pula" katanya.
Mendengar permintaan itu Wong Sarimpat tertawa terbahakbahak sehingga tubuhnya ber-guncang-guncang. Katanya" Apakah salahnya seorang ayah membantu anaknya untuk mencapai ci ta2nya. Bukankah wanita sama nilainya dengan pusaka cita-cita.
"Tetapi aku sudah cukup dewasa. Dan bukankah pa man berdua adalah dua orang yang tidak ada tandingnya Ka rena itu, jangan ayahku di-bawa-bawa. Ia sudah cukup menderi ta melihat tingkah lakuku selama ini.
"He" Kebo Sindet memandangi wajah Kuda-Sempa na dengan tacamnya. Meskipun wajahnya yang mati itu ii dak bergerak, tetapi sorot matanya se-akan-akan langsung menem bus dada.
"Kuda-Sempana" berkarat- Kebo Sindet dengan nada yang berat memang aku bermaksud minta kepada ayahmu un tuk menolong kita. Tetapi pcrcayalah bahwa ia tidak akan banyak tersangkut. Ia hanya akan berbuat sedikit.
"Apakah yang harus dilakukan?""
"Memberitahu Mahisa Agni, bahwa di Panawijen tim bui kebakaran.
"He" Kuda-Sempana terkejut" apakah paman akan membakar Panawijen.
"Ya. Terasa dada Kuda-Sempana berdesir. Betapa gelap hatinya, namun ia anak Panawijen sejak lahir. Panawijen yang kini telah menjadi kering itu akan dibakar. Alangkah mengerikan.
"Bagaimana pertimbanganmu?""
"Mengerikan" desisnya.
Kembali terdengar Wong Sarimpat tertawa ter-bahak2. Katanya di-sela-sela derai tertawanya" Kau benar-benar anak cengeng.
Kau sudah basah ditengah-tengah banjir. Kau tidak akan dapat kembali, sebab bagimu akibatnya tidak ada bedanya.
"Tetapi tidak menyeret orang lain untuk hanyut bersa mu" sahut Kuda-Sempana.
Suara tertawa Wong Sarimpat menjadi semakin keras, begitu kerasnya sehingga dada Kuda-Sempana serasa akan ter pecahkan olehnya.
"Kuda-Sempana "berkata Kebo Sindet. Wajahnya yang membeku itu sama sekali tidak menunjukkan perubahan nama sekali "sudah aku katakan, bahwa ayabmu hanya akan membantu, memberitahukan kepada Mahisa Agni, bahwa di Panawijen telah terjadi kebakaran.
"Tidak ada gunanya. "Kenapa?" "Mahisa Agni telah mengenal ayahku. Ia tidak akan percaya.
"Wong Sarimpat tiba-tiba mengerutkan keningnya, sedang Kebo Sindetpun terdiam sejenak. Tetapi sesaat kemudian ia berkata "Bagus. Ada jalan lain yang lebih baik. Lebih baik bagi kita dan lebih baik bagi ayah Kuda-Sempana.
"Apakah itu "bertanya adiknya.
"Ayah Kuda Sempana hanya mendorong seseorang atau dua orang untuk menyusul Mahisa Agni kepadang Karautan.
"Tak seorangpun yang berani.
"Ayahmu harus memberi jaminan, bahwa tidak akan ada gangguan apapun di .Padang Karautan. Ayahmu harus memilih orang-orang yang dapat dibujuknya. Dalam keadaan seperti sekarang, maka setiap orang Panawijen pasti ingin men jadi pahlawan. Apalagi kalau ayabmu dapat membujuk dan memberi mereka sekedar upah.
Kuda"Sempana tidak menjawab. Tetapi terasa dadanya menjadi pepa2t. Ia tidak mengerti, apakah sebenarnya yang kini dikehendaki?" Mahisa Agni atau apa?" Ia sendiri tidak tahu apakah ia akan tetap berada didalam sarang dua serigala bersaudara itu.
Seperti seorang yang kehilangan akal Kuda-Sempana me nundukkan kepalanya diatas punggung kudanya. Panawijen semakin lama menjadi semakin dekat. Ketika mereka me masuki daerah persawahan maka terasa dada Kuda-Sempana berdebar terlampau cepat. Daun-daun yang kuning berguguran, tanah yang kering dan ter-pecah2, memberikan kesan yang mengerikan, seperti terpecahnya hati dan perasaannya.
Sekarang ia datang untuk membuat bencana baru. Da lam udara yang kering dan panas itu maka sepercik api akan dapat menjadikan Panawijen itu karang-abang.
"Apakah aku harus menyaksikan kAmpung halamanku ini menjadi neraka?"
Kuda-Sempana itu menjadi semakin tidak mengerti ten tang dirinya sendiri. Sehingga akhirnya ia tidak mampu lagi untuk berpikir. Ia berbuat tanpa dapat diyakininya sendiri, apakah yang dilakukan itu berarti baginya.
Kuda-Sempana itu terkejut ketika tiba-tibaKebo Sindet berkata "Kita berhenti disini. Kita sembunyikan kuda-kuda kita. Kita akan masuk ke Panawijen timpa diketahui oleh siapa pun. Kita akan menyalakan api. Beberapa buah lumbung dan rumah harus terbakar.
Kuda-Sempana sudah mendengar sebelumnya, bahwa me reka akan membakar Panawijen, tetapi ketika Kebo Sindet itu mengatakannya sekali lagi, maka dadanya menjadi ber"debat.
"Apakah aku akan membiarkan kAmpung halamanku musna dimakan api?" desisnya didalam hati.
Tetapi ia menjadi termangu-mangu ketika Kebo Sindet yang se-akan-akan mengerti perasaannya berkata "Jangan cemas Kuda-Sempana. Aku tidak akan membakar seluruh padukuh an Panawijen. Aku hanya akan membakar beberapa buah lumbung dan rumah disekitarnya.
"Panawijen kini sedang menderita kekeringan. Kalau lumbung-lumbung terbakar, maka mereka pasti segera akan mati ke laparan.
"Sudah aku katakan, tidak semua lumbung akan aku bakar.
"Yang satu atau dua lumbung itu pengaruhnya akan besar sekali bagi Panawijen.
"Jadikanlah mereka korban dari cita-citamu. Jadikanlah mereka umpan hai kailmu. Kalau ikan yang akan kita pancing itu ikan yang besar, maka umpannyapun harus cukup besar pula yang akan aku jadikan umpan?"
Dada Kuda-Sempana berdesir. Sendirian itu merupakan ancaman baginya. Karena itu maka iapun berdiam diri. Betapa hatinya menukik, tetapi ia berhadapan dengan Kebo-Sindet dan Wong Sarimpat. Dua iblis kakak beradik yang benar-benar berhati iblis.
Dengan demikian maka Kuda Sempana tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Ia harus menurut saja ketika mereka menarik kuda-kuda mereka kcdalam gerumbul yang telah kekuning-kuningan. Kemudian sejenak mereka menunggu hari menjadi gelap.
Ketika llamat2 dikejauhan terdengar bunyi burung kedasih, maka berkatalah Kebo Sindet "Hari telah malam. Marilah kita lakukan pekerjaan kita.
Kuda -Sempana tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Ia harus melakukan sesuatu yang bertentangan dengan perasaannya. Tetapi ia tidak dapat menolak.
Peristiwa demi peristiwa telah menghantam perasaan Kuda-Sempana yang semakin lama menjadi semakin kosong. Semakin tidak dapat dimengertiuya sendiri.
Malam itu Kuda-Sempana mciiyaksikan api yang melonjak kendara. Dengan hati yang pedih ia melihat orang-orang Panawijen saling berlari dan ber-teriak-teriak ngeri Namun orang-orang itu kemu dian menemukan keseimbangan Mereka tidak lagi ber-lari, tetapi beberapa orang laki-laki yang tinggal dipadukuhan karena beberapa hal, yang pada umumnya adalah orang tua-tua telah berusaha untuk memadamkan api itu. Mereka mencoba me robohkan rumah-rumah dan pepohonan disekitar api yang sedang me-nyala2, sehingga mereka dapat membatasi, supaya api itu tidak menjalar semakin luas.
Meskipun demikian, Panawijen telah menjadi geger. Perempuan2 yang berani membantu mencoba memadamkan se-tidak2 membatasi supaya api tidak menjalar.
Dari kejauhan Kebo Sindet, Wong Sarimpat dan Ku da-Sempana menyaksikan hiruk pikuk itu dengan tanggapan mereka sendiri2. Kebo Sindet melihat api itu dgn. wajahnya yang membeku, sedang Wong Sarimpat tampak tcr-tawa-tawa ke cil. Sekali-sekali tangannya mengusap wajahnya yang gembung. Wajah yang basah dilapisi oleh keringat. Disamping mereka, Kuda-Sempana menyaksikan api itu dengan hati yang ter-sayat2.
"Nah, lihatlah "berkata Kebo Sindet "kAmpung halamanmu sama sekali tidak musna. Bukankah hanya sebagi an kecil dari padukuhan itu yang terbakar. Lihatlah, mereka telah berhasil menguasai api.
Kuda-Sempana tidak menjawab.
"Kita akan segera melakukan lugas berikutnya. Nah, Kuda-Sempana, antarkan aku k r rumah ayahmu.
"Apakah yang akan paman lakukan?"
"Antarkan aku kerumah pamanmu.
"Ayah pasti tidak ada dirumah. Ayali pasti sedang ber gulat dengan api itu pula.
"Tidak apa, kita tidak ter-gesa-gesa. Kita dapat menunggunya sampai nanti lingsir wegi atau bahkan sampai besok pagi sekalipun.
Kuda-Sempana tidak dapat menjawab lagi. Maka mau tidak mau kedua iblis kakak beradik itu harus dibawanya pu lang kerumah orang tuanya.
Betapa liiyiknya Kebo Sindet dan Wong Sarimpat membujuk ayah Kuda-Sempana. Kebo Sindet yang berwajah beku itu sekali-sekali dapat juga tersenyum sambil berkata "Untuk kepentingan anakmu kaki.
Kuda-Sempana sama sekali tidak sempat menolak. Ia diam saja seperti patung mendengarkan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat berkata berkepanjangan. Hanya sekali-sekali ia terpaksa mengiakan apabila Kebo Sindet dan Wong Sarimpat bertanya kepadanya.
"Kaki "berkata Kebo Sindet "anakmu memang menghendaki aku menangkap Mahisa Agni hidup2.
Orang tua ku memandangi anaknya dengan sorot mata yang aneh. Tetapi Kebo Sindet segera berkata "Tetapi persoalannya tidak saja menyangkul anak kaki. Ada banyak persoalan. Kalau bapak bersedia membantu kami, maka nasib bapak tidak akan sejelek- sekarang ini. Kaki tidak akan da pat menggantungkan nasib kaki kepada Kuda-Sempana yang kini sudah bukan seorang Pelayan "dalam yang terhormat lagi. Apakah bapak pernah melihat emas sebesar ini?"
Mata ayah Kuda-Sempana itupun terbelalak melihat sekeping emas murni. "Apakah itu benar-benar emas "ia bertanya.
"Bertanyalah kepada Kuda-Sempana.
Orang tua itu menelan Iudahnya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Hatinya masih dipenuhi oleh keragu-raguan.
"Pekerjaan kaki tidak berat. Carilah dua atau tiga orang yang bersedia pergi ke padang Karautan untuk menyampaikan kabar ini kepada Mahisa Agni. Hanya itu.


01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ayah Kuda-Sempana itu masih saja berdiam diri. Tetapi sorot matanya tidak juga lepas dari sekeping emas murni yang masih ditangan .Kebo Sindet.
"Nah bagaimana?" "bertanya Kebo Sindet. Sekali lagi ayah Kuda-Sempana ilu menelan ludahnya.
"Kau akan menerima emas ini untuk pekerjaan yang tidak berarti. Membujuk dua atau tiga orang untuk mem beritahukan kebakaran ini kepada Mahisa Agni.
Ayah Kuda-Sempana itu meng-angguk-anggukkan kepalanya. Sekali-sekali dipandanginya wajah anaknya yang buram, dan kemudian kembali matanya tersangkut pada emas yang ber-cahaya2 itu
"Tak seorangpun yang berani pergi ke padang Karautan "gumam ayah Kuda-Sempana itu se-akan-akan kepada diri sen diri.
"Kau dapat memberi tahukan, bahwa sekarang padang Karautan telah tidak berbahaya lagi: Hantu Karautan telah dibinasakan oleh Mahisa Agni.
Ayah Kuda-Sempana meng-angguk-anggukkan kepalanya lagi. Katanya "Kalau ada yang berani menyeberangi padang ini, maka hal itu pasti sudah dilakukan tanpa seorangpun yang membujuknya.
Tetapi mereka belum tahu, bahwa padang Karautan kini sudah tidak menakutkan lagi seperti pada masa-masa yang lampau. Kau dapat membujuk mereka supaya mereka men jadi berani, itu saja. Atau kau sendiri yang akan pergi.
"Seandainya aku tidak bertemu dengan hantu padang Karautan, maka bagiku Mahisa Agni adalah seorang yang aku takuti lebih dari hantu yang manapun juga. Perbuatan Kuda-Sempana selama ini telah cukup menjadi alasan baginya untuk membunuhku.
Kuda-Sempana mengantkat wajahnya, tetapi kemudian wajah itu kembali menunduk. Dengan wajah yang suram anak muda itu menarik nafas dalam-dalam.
Terserahlah kepadamu kaki "berkata Kebo Sindet "emas ini sangat tergantung kepada perbuatanmu.
Sekali lagi ayah Kuda-Sempana itu menelan ludahnya.
"Pikirkanlah "gumam Wong Sarimpat pula.
Kuda-Sempana tidak dapat berbuat apapun. Ia tahu betapa kasarnya kedua kakak beradik itu. Kalau ia berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendaknya, maka kedua orang itu dapat berbuat sekehendaknya atas dirinya dan bahkan ayahnya itu pula.
"Pekerjaan itu bagiku bukanlah perkerjaan yang mudah. "berkata ayah Kuda-Sempana.
"Kakih hanya tinggal membujuk mereka untuk tidak takut berjalan dihadang Karautan. Bukankah Mahisa Agni dapat berbuat banyak untuk kepentingan kampung halamannya?"
"Tetapi Mahisa Agni tidak akan dapat berbuat demikian, sebab bukankah tuan hendak menangkapnya bersama anak ku ini.
Sekali lagi Kuda-Sempana mengangkat wajahnya, tetapi yang menjawab adalah Kebo Sindet "Benar, demikianlah. Mudah-mudahan anakmu mendapat kepuasan karenanya. Dengan demikian maka hidupuya tidak akan selalu diracuni oleh rasa dendam yang tidak dapat dilepaskannya. Kalau Mahisa Agni itu sudah ada ditangannya, maka anak pasti akan menemukan kembali keseimbangan jiwanya.
Orang tua itu sekali lagi memandangi wajah anaknya yang suram. Tetapi dalam kesuraman itu tidak tampak olehnyanyala matanya yang memancarkan dendam dihatinya.
Kuda-Sempana sendiri tiba-tiba menjadi acuh tak acuh saja pada pembicaraan itu. Ia benar-benar telah kehilangan pe ngertian tentang dirinya sendiri. Ia tidak tahu apakah ia masih juga mendendamnya sampai sekarang.
Dalam pada itu, ayah Kuda-Sempana berpikir dengan tegangnya. Sekali-sekali matauya menjadi silau oleh kilatan emas ditangan Kebo Sindet.
Maut Di Lembah Sampit 2 Misteri Penginapan Tua The Pale Horse Karya Agatha Christie Jaka Lola 2

Cari Blog Ini