Trio Detektif 55 Bintang Bola Basket Bagian 3
"Maksudnya, kau sendiri yang membayar seluruh persediaan bir di pesta ini"" Jupe mencari kepastian.
"Tepat sekali, Bung. Kalau kau ingin punya teman ba
nyak, kau perlu mengeluarkan uang untuk mereka-betul atau betul"" Tim nyaris tak sanggup lagi berdiri tegak.
"Oh, betul sekali," balas Jupe. "Kalau kau punya uangnya." Ia tersenyum pada Sarah seakan-akan hanya berbasa-basi.
"Aku punya semua yang kuperlukan," Tim berkata sambil nyengir. "Jadi, Jupe, sobat, apa keahlianmu""
"Bidangku adalah..." Hampir saja Jupe menyambung dengan "mengadu untung", sebab ia tahu bahwa ia akan segera menguji keberuntungannya. Tapi dengan otak Tim dalam ke116 adaan mengambang, Jupe tidak dapat menampik kesempatan itu. "Bidangku adalah sejarah perkomunikasian," katanya. "Aku menekuni sejarah televisi, khususnya film-film kuno. Salah satu serial yang paling kusukai adalah The Millionaire."
"Belum pernah kudengar," ujar Tim.
"Dalam film seri itu ada tokoh bernama Michael Anthony." Jupe mengamati wajah Tim dengan teliti-dan ia tidak dikecewakan.
"Film seri dengan Michael Anthony" Sungguh"" Tim berseru sambil ketawa. "Hei, acara itu pasti penuh dengan iklan Gravy Train." Tawa Tim semakin keras, sampai ia hampir kehilangan keseimbangan.
"Sori, aku tidak mengerti di mana lucunya," kata Jupe. Ia sudah hampir berhasil. Jupe bisa merasakannya. Sedikit dorongan lagi, dan Tim Frisch akan membuka mulut.
Tepat pada saat itu Cory Brand kembali bergabung.
"Hei, Cory, ini ada lelucon baru. Kau pasti suka," ujar Tim. "Ada film TV dengan pemain bernama Michael Anthony. Dan aku bilang selingannya pasti berupa iklan Gravy Train. Kau mengerti, kan" Jupiter tidak mengerti. Dia tidak mengerti sama sekali."
Cory tidak ketawa. Air mukanya justru menjadi serius. "Ayo, Tim," ia berkata sambil menarik pemuda tegap itu menjauhi Jupe. "Kau terlalu banyak, minum. Kau perlu udara segar."
"Aku juga tidak mengerti," kata Sarah.
117 "Mungkin lelucon untuk kalangan terbatas," Jupe menanggapinya, sambil memperhatikan bukti yang sudah hampir di genggamannya terlepas lagi.
"Telepon untuk Pete Crenshaw!" seseorang berseru. "Yo! Pete! Mana orangnya""
Jupe melihat Pete menembus kerumunan, menghampiri pemuda yang memegang gagang telepon.
"Nah, Jupe, apakah kau akan mengajakku berdansa"" tanya Sarah.
"Hmm"" ujar Jupe. Tiba-tiba pikirannya terbelah dua. Setengahnya bersedia berbuat apa saja asal bisa berdansa dengan Sarah-bahkan menjalankan diet seperempat porsi. Tetapi setengahnya lagi sedang mengamati Pete yang menuju ke telepon. Siapa yang meneleponnya- di sini"
Sarah melihat mata Jupe menerawang jauh, dan berkata, "Hmm, sepertinya kau tidak berminat." Sebelum Jupe sempat mengatakan sesuatu, gadis itu sudah berlalu.
Sejenak kemudian Pete kembali ke ruang tamu. Ia memberi isyarat tangan untuk memanggil Jupe.
"Aku baru saja dapat telepon," Pete melaporkan. "Seseorang memberi peringatan padaku. Dia bilang, 'Sebaiknya kau jangan ikut campur dalam urusan orang lain. Tidak aman.'"
"Kau mengenali suaranya""
"Tidak. Dia juga bilang, jika ingin tahu apa
118 yang dimaksudnya, aku tinggal melihat ke luar jendela."
Jupe dan Pete bergegas ke balkon. Begitu mereka berdiri di pagar pembatas, terjadi ledakan yang keras sekali, disusul oleh bola api membubung tinggi.
"Aduh! Porsche-ku!' teriak Pete.
119 12. Perkembangan Negatif PETE menyaksikan bola api berubah menjadi gumpalan asap hitam. Potongan-potongan logam berwarna biru berjatuhan dari udara. Orang-orang di jalan berlari mencari perlindungan.
Untung saja tidak ada yang cedera. Tapi jantung Jupe berpacu seakan-akan ia sendiri nyaris terbunuh.
"Panggil polisi," Jupe mengucapkannya seperti perintah, baik untuk * menenangkan sarafnya sendiri maupun untuk membawa Pete kembali ke dunia nyata. "Panggil polisi, Pete!"
Tapi Pete tidak bergerak. Dan orang-orang di apartemen Cory malah keluar ke balkon untuk mencari sumber bunyi keras tadi.
Jupe berjuang melawan arus untuk menghubungi polisi. Apartemen Cory terletak di Rocky Beach, jadi Jupe hafal nomor kantor polisi di luar kepala. Sudah berapa kali menelepon polisi untuk minta bantuan dalam salah satu kasus" Ratusan, mungkin ribuan kali. Tapi ia belum pernah melaporkan ledakan
120 bom mobil-apalagi yang melibatkan mobil Pete. Begitu meletakkan gagang
telepon kembali, ia segera menemui sahabatnya itu.
Pete masih berdiri di tempat semula. Kedua tangannya menggenggam pagar balkon. Mobil-mobil pemadam kebakaran telah tiba. Para petugas bergegas mondar-mandir, menyambung slang air dan menyemprotkan busa. Perut Jupe serasa diaduk-aduk ketika ia melihat betapa hebatnya kebakaran itu-dan betapa sulitnya memadamkan api.
Bel berdering, dan Jupe melihat seorang petugas polisi Rocky Beach berdiri di ambang pintu.
"Hei... kami sama sekali tidak ribut," Cory Brand berkata ketika petugas itu melangkah masuk.
Si petugas mengamati para tamu. "Seseorang di sini melaporkan ledakan bom mobil."
"Saya yang menelepon," ujar Jupe sambil kembali dari balkon. Ia terpaksa berbicara dengan keras, untuk mengalahkan hiruk-piruk di sekitarnya.
"Saya perlu berbicara denganmu," kata si petugas. Ia menunjuk ke arah pintu masuk.
Jupe menepuk bahu Pete, yang masih terbengong-bengong, dan mengajaknya untuk ikut ke luar apartemen.
"Saya Jupiter Jones dan ini teman saya Pete Crenshaw. Mobil Pete yang diledakkan," Jupe menjelaskan. Suaranya agak bergetar ketika mengucapkan kalimat terakhir.
121 "Kau bisa memperlihatkan STNK"" si petugas bertanya pada Pete.
"Ehm, tidak..." Pete menatap Jupe seakan-akan hendak minta bantuan. Tapi sebelum Jupe sempat membuka mulut, si petugas polisi sudah mengambil dua pasang borgol dari sebuah kantong yang terpasang di ikat pinggangnya.
"Ulurkan tangan kalian," ia berkata dengan tegas.
"Kenapa" Hei, tunggu dulu. Jupe bisa menjelaskan semuanya!" ujar Pete.
Si petugas meraih pergelangan tangan Jupe dan memasang borgol.
"Tunggu se... Hei! Apa-apaan ini" Ini keterlaluan!" Jupe berseru. "Saudara tahu dengan siapa Saudara berurusan""
"Yeah-kau salah satu anggota Trio Detektif, kan"" si petugas membalas sambil tersenyum mengejek.
Jupe langsung berdiri setegak mungkin.
"Saya kenal baik sekali dengan Chief Reynolds," katanya, sambil berusaha untuk tetap tenang. "Beginikah perlakuan polisi terhadap warga yang melaporkan sebuah insiden""
"Beginilah perlakuan kami terhadap tersangka pelaku kejahatan," si petugas menjawab sambil menarik tangan Pete dengan kasar, lalu memborgolnya.
Tersangka" pikir Jupe. Tersangka" "Ini tidak masuk akal! Bukan kami yang meledakkan mobil itu! Mana buktinya"" tantang Jupe.
122 "Saya menahan kalian sebagai tersangka dalam kasus pencurian mobil," kata si petugas. "Selebihnya akan dibicarakan di kantor polisi."
Baru setelah mereka tiba di kantor polisi, borgol di tangan Jupe dan Pete akhirnya dilepaskan. Kedua sahabat itu duduk bersebelahan di bangku kayu yang keras di luar ruang kerja Chief Reynolds.
Pete menatap lantai dan bergeser ke kiri-kanan dengan gelisah. Ia merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk. "Kita bisa tewas tadi," gumamnya.
"Aku tahu," kata Jupe. Sekali lagi perutnya serasa diaduk-aduk. "Sepertinya ledakan itu tidak bertujuan untuk melenyapkan nyawa kita. Tapi kita bisa terbunuh secara tak sengaja. Sekarang sudah jelas kita kurang berhati-hati. Seseorang tahu kita menghadiri pesta itu."
"Tapi kalau mereka tidak bermaksud membunuh kita, untuk apa mobil itu diledakkan""
"Untuk menakut-nakuti kita," ujar Jupe. "Rupanya..."
Jupe terdiam karena melihat pintu ruang kerja Chief Reynolds membuka. Sersan Klimt, petugas yang menahan Jupe dan Pete, memberi isyarat agar mereka masuk.
"Halo, Chief," kata Jupe.
"Jupiter, Pete," balas pria tegap dan setengah botak yang duduk di balik meja. Ia setengah tersembunyi di balik tumpukan map, laporan, dan buku catatan.
"Chief," kata Jupe, seakan-akan berbicara
123 dengan kawan lama, yang memang demikian kenyataannya. Kepala polisi Rocky Beach itu sudah acap kali membantu Trio Detektif. Begitu juga sebaliknya. Bob suka berkata bahwa mereka "bahu-membahu dalam pemberantasan kejahatan". Karena itulah Jupe begitu terkejut karena mereka diperlakukan seperti pencuri biasa. "Kenapa petugas tadi merasa perlu memborgol tangan kami"" tanya Jupe.
"Jupe," Kepala Polisi berkata dengan nada tidak bersahabat. "Kali ini sayalah yang akan mengajukan pertanyaan." Tiba-tiba ia tersenyum dengan ramah. "Wah, Pete, mobilmu bagus sekal
i." Kelihatannya Chief Reynolds berusaha mengalihkan pembicaraan, tapi Jupe sudah terlalu lama mengenal kepala polisi itu. Ia sudah hafal dengan teknik-teknik interogasinya. Usahakan agar tersangka merasa nyaman. Bicarakan sesuatu yang ringan, coba untuk memperoleh kepercayaannya, setelah itu hantam dengan pertanyaan sesungguhnya. Tapi kenapa Chief Reynolds menerapkan teknik-teknik itu pada Pete dan Jupe"
"Yeah, memang. Sayang tak ada yang tersisa," kata Pete. "Dan sebaiknya Anda mulai mencari badut yang meledakkannya."
"Pete," Chief Reynolds membalas dengan ketus, "jangan kurang ajar. Aku tahu tugasku. Ada beberapa hal yang ingin kuketahui. Sudah berapa lama mobil itu kaumiliki""
"Sejak Jumat lalu," jawab Jupe, sebab Pete sedang menggigit kuku.
124 "Dan dari mana kalian memperolehnya""
"Seseorang memberikannya pada saya."
Chief Reynolds menyilangkan tangan dan mendengus. "Aku tidak suka jawaban itu," katanya. Kemudian ia mencondongkan badan ke depan, sambil meletakkan sikut di meja. "Coba jawab sekali lagi."
"Apa yang ingin Anda dengar"" tanya Pete. "Mobil itu mengikuti saya pulang" Saya mengatakan yang sebenarnya."
"Baiklah, Pete. Aku sudah cukup lama mengenal Trio Detektif, dan aku cenderung mempercayai kalian. Tapi dalam kasus ini, kebenaran mempunyai lebih dari satu sisi. Dan sisi yang satu lagi adalah bahwa mobil itu dilaporkan hilang dicuri tadi sore."
"Dicuri"" Pete mengulangi.
"Siapa yang melaporkannya"" tanya Jupe.
"Pemiliknya. Barry Norman," jawab Chief Reynolds.
"Barry Norman, itu kan si...," Pete mulai berkata. Tapi Jupe cepat-cepat memotong.
"Pete, kurasa sudah waktunya kita mem-beritahu Chief Reynolds bahwa kita sedang menangani sebuah kasus, mobil itu merupakan bagian dari kasus tersebut, dan kita tidak bisa membeberkan nama klien kita, betul""
"Apa" Oh, yeah, betul," ujar Pete.
"Kasus apa"" Chief Reynolds ingin tahu.
Jupe menggelengkan kepala. "Maaf, saya tidak bisa memberi. keterangan lebih jauh," katanya. "Kami sudah berjanji pada klien kami, bahwa kami akan melindungi kepentingannya
125 dengan tidak menyebarluaskan masalah yang dihadapinya."
Chief Reynolds melemparkan tangannya.
"Kalau kalian tidak mau bekerja sama, aku terpaksa bertindak sesuai peraturan," ujar Chief Reynolds.
"Kami juga," balas Jupe.
Selama semenit mereka bertatapan. Chief Reynolds kelihatan gusar.
"Panggil Norman ke sini," katanya akhirnya pada Sersan Klimt.
Ketika pintu membuka lagi, Barry Norman melangkah masuk. Begitu mereka melihatnya, Pete dan Jupe langsung megap-megap. Barry Norman ternyata Michael Anthony.
Ia mengenakan jas, kemeja dengan kancing teratas dibuka, serta dasi yang telah dikendurkan. Dan kacamata hitamnya tergantung melingkar di leher, ditahan oleh tali merah. Barry Norman-alias Michael Anthony-tampak tenang dan santai. Tapi tatapan yang dilemparkannya pada Jupe dan Pete begitu tajam, sehingga nyaris menembus mata keduanya. Kemudian ia mengedipkan mata, dan memandang mereka seakan-akan belum pernah melihat mereka sebelumnya.
"Mr. Norman," kata Chief Reynolds, "inilah kedua pemuda yang melaporkan bahwa mobil Anda diledakkan. Saya bisa menjamin bahwa mereka bukan anak berandal. Saya mengenal mereka sejak mereka masih kecil. Mereka mengaku mengendarai Porsche Anda sejak
126 Jumat lalu, ketika seseorang memberikannya pada mereka."
"Saya kira itu mungkin saja," Barry Norman menanggapinya dengan santai. "Barangkali mobil saya sudah hilang lebih lama dari yang saya duga. Saya baru kembali dari perjalanan bisnis ke luar kota. Bisa jadi si pencuri memutuskan untuk memberikan mobil saya pada orang lain-meskipun saya tidak bisa membayangkan kenapa."
"Apakah Anda sudah pernah melihat Pete dan Jupiter sebelum ini""
Barry Norman menggelengkan kepala.
"Dan Jupiter, kau tetap menolak untuk menyebutkan klienmu""
Jupe segera mempertimbangkan segala kemungkinan. Ia menyadari bahwa Barry Norman melakukan hal yang sama.
Akhirnya Jupe memutuskan bahwa Barry Norman hanya sebuah pion dalam permainan catur ini. Norman sendiri mengaku bahwa dia bekerja untuk seseorang yang ingin tetap anonim. Tapi siapa orangnya" Jika Jupe menceritakan k
asus mereka pada Chief Reynolds, kemungkinan besar orang di belakang layar itu akan menghilang diam-diam.
"Untuk sementara kami tidak bisa memberikan informasi lebih lanjut," jawab Jupe.
"Klien" Apakah pemuda-pemuda ini detektif atau semacamnya"" tanya Barry. Ia berusaha keras agar wajahnya tidak kelihatan cemas.
"Ya, dan mereka sangat berbakat," Chief Reynolds menjelaskan.
127 "Nah, ini baru kejutan!" Pete berkomentar.
Norman mengangkat bahu. "Hidup memang penuh kejutan," katanya. "Kadang-kadang kau meraih sukses, kadang-kadang mobilmu meledak."
"Apakah Anda ingin menuntut mereka, Mr. Norman"" tanya Kepala Polisi.
"Tidak," Barry Norman memutuskan. "Saya rasa Anda benar, Chief Reynolds. Bukan mereka yang meledakkan mobil saya. Tapi sekarang saya harus mencari jalan untuk menjelaskan kejadian ini pada pihak asuransi."
"Anda bisa menghubungi saya untuk mendapatkan salinan laporan petugas kami," ujar Chief Reynolds.
Norman meninggalkan ruangan. Setelah ia pergi, Kepala Polisi menyandarkan badan ke belakang. "Seharusnya aku memaksa kalian untuk menceritakan semuanya padaku," katanya.
"Kalau begitu, Anda hanya akan memperoleh setengah cerita," balas Jupe. "Kami masih sibuk merumuskan kesimpulannya."
"Jupiter," kata Chief Reynolds, "kalian harus berhati-hati. Sangat berhati-hati. Seseorang yang meledakkan mobil seharga 45.000 dolar pasti tidak peduli apakah ceritanya berakhir gembira atau tidak."
128 13. Foul Perorangan MICHAEL ANTHONY dan Barry Norman ternyata satu orang! Pete masih belum bisa mempercayainya. Sampai sekarang pun, malam Kamis, hampir 24 jam kemudian, kasus itu tetap merupakan tanda tanya besar baginya. Satu-satunya hal yang diketahuinya dengan pasti adalah ia dan Jupe sependapat mengenai satu hal: Barry Norman merupakan lawan yang berbahaya-seseorang yang perlu mereka hindari selama beberapa hari, agar ia menyangka mereka telah menghentikan pengusutan. Dengan demikian ia mungkin lengah dan tanpa sadar memberikan petunjuk.
Pete duduk seorang diri di bangku belakang bus Rocky Beach High School. Ia membiarkan pikirannya berkelana. Sesekali ia berusaha menggabung-gabungkan beberapa fakta dari kasus mereka. Kemudian ia memusatkan perhatian pada pertandingan basket yang sedang mereka hadapi. Kakinya diluruskan di atas bangku. Bagian belakang kepalanya memben-tur-bentur jendela akibat guncangan bus.
129 Sisa tim basket Rocky Beach duduk di depan. Mereka mengobrol dan tertawa serta berusaha menghilangkan ketegangan sebelum pertandingan malam itu dimulai. Tapi mereka tidak mengusik Pete, sebab Pete sendiri yang minta agar tidak diganggu.
Semua orang di dalam bus telah mendengar cerita mengenai Porsche Pete yang hancur berantakan karena meledak. Sebenarnya mereka punya sejuta pertanyaan, tapi tak ada yang mengatakan apa-apa.
Pete menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha menyiapkan mental untuk menghadapi pertandingan. Bertanding basket di tengah liburan musim dingin terasa agak aneh. Tapi jadwalnya memang begitu, dan Pete tidak terlalu ambil pusing. Ia malah senang karena mendapat kesempatan untuk beristirahat dari tugas detektif-jauh dari mahasiswa sadis, telepon aneh, dan mobil yang meledak.
Semua orang menyangka aku kesal karena kehilangan Porsche itu, pikir Pete.
Tapi sebenarnya bukan itu yang membuatnya resah. Ia jauh lebih gelisah karena ditegur oleh Chief Reynolds. Peringatan dari kepala polisi Rocky Beach itu membuat pikirannya tidak tenang. Soalnya Chief Reynolds memang benar. Kasus mereka tiba-tiba menjadi berbahaya. Betul-betul berbahaya.
Karena itulah Pete duduk seorang diri di bangku belakang, sambil melatih pernapasan. Ia berusaha mengusir rasa takut yang menghantui dirinya.
130 Bus yang ditumpanginya membelok ke pelataran parkir Wolfford High School. Ketika para anggota tim basket memasuki ruang ganti, Coach Tong memanggil Pete. "Kau baik-baik saja, Pete" Kau sanggup bertanding malam ini"" ia bertanya. "Dan jangan menjawab asal-asalan. Ada empat orang, rekan-rekanmu, yang perlu mendapatkan jawaban sejujurnya."
"Coach, saya benar-benar siap," balas Pete.
Coach Tong tersenyum sejenak. "Itulah yang ingin kud
engar," katanya. "Cepat, ganti pakaian."
Kondisi ruang ganti mereka khas ruang ganti yang selalu disediakan untuk tim tamu- kecil, gelap, dan terlalu panas atau terlalu dingin, tergantung mana yang lebih tidak menyenangkan untuk para pemain. Pete menduduki bangku kayu yang perlu diampelas, lalu membuka pintu locker.
Tiba-tiba jantungnya mulai berdebar-debar. Sesuatu tampak tergeletak di dasar locker-nya-lagi-lagi sebuah amplop!
Sejenak Pete hendak membanting pintu locker. Tapi ia menahan diri. Ia memungut amplop itu, membukanya, dan membaca pesan yang ada di dalam. Pesannya berbunyi demikian.
Lupakan kasus Shoremont. Itu bukan urusanmu. Kalau tidak, kau bakal CELAKA-seperti malam ini. Dan kau takkan pernah bermain basket lagi.
131 Jantung Pete berpacu seiring tarikan napasnya. Ia menendang pintu locker sampai menutup. "Siapa yang memasukkan amplop ini ke locker-ku"" serunya. Seketika semua rekannya menoleh. "Ayo, siapa yang memasukkan amplop ini""
"Hei, Pete, ada apa sih"" tanya Bill Konkey. "Aku yang memasukkannya."
Pete segera menghampiri Bill. "Untuk apa"" desaknya.
"Di luar tadi ada orang yang memberikannya padaku. Dia bilang dari Kelly. Aku tahu kau selalu memilih locker yang sesuai dengan nomor dadamu, karena itu aku langsung menyelipkan amplop itu. Kenapa sih kau uring-uringan begini""
Pete langsung bergidik. Sekali lagi ia menatap pesan di tangannya. Apakah huruf-hurufnya sama dengan huruf-huruf pada pesan-pesan sebelumnya" Apakah pesan itu dikirim oleh Michael Anthony" Apakah dia mengetahui hubungan antara Pete dan Kelly"
Coach Tong menyembulkan kepala ke ruang ganti. "Hei, cepat sedikit. Tunggu apa lagi" Ayo, para penonton sudah mulai tidak sabar!"
Pete melemparkan pesan itu ke dalam locker, lalu buru-buru berganti baju.
Beberapa menit kemudian tim Rocky Beach memasuki lapangan. Gedung olahraga dipenuhi aneka macam suara: tepuk tangan meriah untuk tim Wolfford, lagu perang Wolfford yang dimainkan dengan kecepatan tiga kali
132 lipat, sorak-sorai yang mengejek tim Rocky Beach, dan suara si komentator yang sedang melakukan pemanasan. Di samping semuanya itu, sekelompok anggota marching band Rocky Beach berusaha keras agar mereka pun terdengar.
Hiruk-piruk seperti itulah yang biasanya semakin memompa semangat Pete. Tapi malam ini ia malah bertambah ngeri. Ia berusaha melupakan kasus mereka, agar bisa bermain dengan konsentrasi penuh. Tapi mana mungkin" Seseorang sedang menunggu untuk membuatnya celaka. Siapa"
Pete menatap para penonton, sebuah lautan manusia yang tak dikenalnya. Kebisingan di gedung olahraga seakan-akan bertambah keras dari detik ke detik, tapi hanya ada satu hal yang terngiang-ngiang di telinga Pete. "Kau bakal CELAKA-seperti malam ini."
Oke, Pete menggeram dalam hati. Mereka boleh mengancam, tapi aku takkan menyerah tanpa perlawanan.
Detik berikutnya tim Wolfford muncul, dan pertandingan pun dimulai.
Para pemain Wolfford rata-rata bertubuh jangkung. Semuanya lebih tinggi dari Pete. Mereka segera menguasai bola dan menuju ke basket Rocky Beach. Tapi tangan mereka masih kaku. Lemparan pertama meleset. Begitu juga lemparan yang menyusul rebound
Bola jatuh ke tangan Rocky Beach. Sebuah operan jarak jauh dari Valdez kepada Bill Konkey merupakan awal serangan mereka.
133 Konkey berusaha mengoper bola kepada Pete, tetapi Pete dijaga ketat oleh pemain Wolfford bernama Traut. Pemain Wolfford itu terus menempelkan tangannya ke dada Pete, dan mendorongnya ke samping.
Pete melakukan gerak tipu, kemudian ber-balik ke arah berlawanan, sehingga berhasil melewati Traut. Konkey melihat Pete berdiri bebas, dan melemparkan bola. Tapi tiba-tiba Pete terjatuh. Sikutnya membentur lantai, dan tangannya yang satu lagi menopang badannya. Bola melayang ke luar lapangan permainan.
Pete marah sekali. Traut telah menjegalnya, tapi tak seorang pun sempat melihat perbuatan curang itu. "Awas, kau!" Pete membentak Traut
"Aku memang sedang mengawasimu," balas pemain lawan bertubuh kurus itu.
Ketika pertandingan berlanjut, insiden kecil itu disusul oleh kejadian-kejadian serupa. Pete akhirnya sadar, bahwa Traut-lah yang ingin mem
buatnya celaka. Ia berusaha menghindari Traut, tapi situasi permainan tidak selalu memungkinkannya, sedangkan Traut memang terus mengejar Pete.
Mula-mula mata Pete terkena sikut, dan ia terpaksa duduk di tepi lapangan selama beberapa menit sambil mengompres sisi wajahnya dengan es. Setelah turun lagi, ia ditabrak ketika melakukan lay-up sehingga terdorong ke luar lapangan. Pete mendarat di pangkuan salah seorang penonton. Kepalanya berdarah karena membentur sandaran kursi.
134 Sembilan pemain bertarung untuk memenangkan pertandingan. Tapi Traut mempunyai tujuan lain: mencelakakan Pete.
Pete begitu marah sehingga ia bermain lebih ngotot dari biasanya. Ia terus berlari, berputar, melakukan gerak tipu, dan melemparkan bola dari posisi sulit sambil melayang di udara. Rocky Beach sedang menuju kemenangan, tapi selisih angkanya tipis sekali.
Suatu ketika Traut sedang mendribel bola di tengah lapangan. Pete segera menghadang. Ia mengikuti setiap langkah Traut, dan mencegahnya mendekati basket.
"Nekat juga kau. Pakai otak dong!" ujar Traut. "Sebentar lagi kau bakal kapok!"
Oke, kalau begitu aku pakai otak, pikir Pete. "Hiiiyaaa!' serunya sekuat tenaga. Teriakan itu membuyarkan konsentrasi Traut, dan Pete berhasil merebut bola. Ia langsung mengoperkan bola ke Konkey, dan Konkey segera mencetak angka. Tetapi begitu wasit mengalihkan pandangan, sikut Traut menghajar punggung Pete, tepat di daerah ginjal.
Rasa nyeri bagaikan sengatan listrik menjalar ke seluruh tubuh Pete. Tapi Pete tidak mau memperlihatkannya-biarpun untuk sedetik saja. "Cium aku sekali lagi, Sayang," katanya pada Traut sambil memelototinya.
Beberapa saat kemudian sebuah bola yang memantul dari ring. jatuh ke tangan Traut. Tanpa berpikir panjang pemain Wolfford itu menerjang maju dan melompat tinggi.
135 Masuk! "Inilah ciuman untukmu, Sayang," Traut menggeram ketika berlari melewati Pete.
Pertandingan terus berlangsung dengan seru. Menjelang lima menit terakhir, kedudukan 48-48. Traut memberi operan yang ternyata membentur bagian belakang kepala Pete. Semua orang menyangka Traut salah melempar bola. Tapi Pete tahu persis bahwa memang kepalanya yang diincar; sebuah peringatan dari Michael Anthony-atau orang lain-untuk menghentikan penyelidikan.
Ketika sisa waktu tinggal kurang dari semenit, Coach Tong minta time out pada wasit, time out terakhir untuk timnya. "Jangan emosi, Pete," pesannya.
"Bagaimana saya tidak emosi"" balas Pete. "Dari awal Traut terus mengejar-ngejar saya. Dia berusaha mencelakakan saya. Masa saya harus diam saja"!"
"Yang kulihat hanya pemain basket yang agresif, bukan pembunuh bayaran," ujar si pelatih. "Jangan terbawa perasaan, atau aku terpaksa menarikmu dari lapangan."
Pete mengangguk dan duduk.
"Oke, kita masih menang dua angka," kata Coach Tong. "Nah, kuminta kalian bertahan dengan baik, jangan lakukan pelanggaran yang tidak perlu, dan jangan biarkan mereka menambah angka dengan mudah."
Para pemain saling menepukkan tangan, lalu kembali ke lapangan.
Tapi begitu pertandingan dilanjutkan, Pete segera menyadari bahwa tim Wolfford belum
136 mau menyerah. Wolfford melemparkan bola ke depan, dan berhasil mencetak angka lewat lay-up seorang pemainnya. Kemudian mereka berhasil merebut bola dari Rocky Beach, dan terus menahannya. Mereka hendak menghabiskan waktu, dan melakukan lemparan terakhir.
"Tenang! Tenang!" seru Coach Tong pada timnya.
Akhirnya, dengan sisa waktu beberapa detik saja, pemain Wolfford menembakkan bola, dan meleset. Konkey menangkap bola yang terpental, lalu mengoperkannya kepada Pete.
Para penonton bersorak-sorai, menghitung detik-detik yang masih tersisa. Waktu sudah hampir habis. "Tiga... dua..." Pete mendribel bola, tapi tidak ada kesempatan lagi untuk mengoper. Karena itu ia mengambil tindakan nekat. Ia melompat ke udara dan melempar bola dengan sekuat tenaga.
Kemudian, sambil terheran-heran, ia menyaksikan bola membentur papan pantul, membentur bagian depan ring, dan-entah bagaimana-jatuh melewati jaring! Bel tanda akhir pertandingan berbunyi sebelum para penonton sempat mengedipkan mata. Lemparan Pete dari tengah lapangan
berhasil memenangkan pertandingan.
Pete langsung dikerumuni rekan-rekannya. Beramai-ramai mereka mengangkatnya, lalu menggotongnya ke ruang ganti. Para pendukung Wolfford duduk membisu. Pete sebenarnya hendak mencari Traut, tapi ia telanjur dibawa pergi.
137 Pesta kemenangan akan berlangsung sepanjang malam, tapi Pete tidak berminat menjadi bagian darinya. Ia hanya ingin cepat-cepat mandi, kemudian mendatangi Traut. Ia menunggu pemain lawan itu di pelataran parkir di depan gedung olahraga.
"Hei!" seru Pete ketika Traut keluar dari pintu.
Sesaat Traut tampak terkejut.
"Apa sih maksudmu"" tanya Pete. "Siapa yang menyuruhmu untuk terus menggangguku""
Traut tidak mengatakan apa-apa, dan memelototi Pete.
"Ayo! Sekarang tidak ada wasit, tidak ada time out" kata Pete. "Ceritakan semuanya, aku akan mengajarimu arti foul perorangan yang sesungguhnya!"
"Jangan cari perkara," balas Traut. Ia mendorong Pete ke samping, dan mencoba melewatinya.
Pete segera maju lagi, dan mendorong Traut. Pemain Wolfford itu berusaha menjaga keseimbangan, lalu melayangkan pukulan yang mendarat telak di perut Pete.
Sesaat Pete nyaris tidak bisa bernapas. Tapi keadaan itu hanya bertahan tiga detik. Setelah itu ia mulai menunjukkan kehebatannya.
"Hi-yaaa!' Pete melabrak Traut dengan tendangan karate, yang membuat lawannya itu terpental dan jatuh ke kap mobil terdekat. Traut tetap terbaring. Kakinya menendang-nendang seperti anak kecil. Pete menangkap
138 pergelangan kaki pemuda itu, menariknya ke depan, lalu melemparkannya melewati bahu kiri dengan gerakan memutar.
Tak percuma aku berlatih karate, pikir Pete ketika ia menatap Traut yang tergeletak di aspal. Segala kelicikan Traut tak dapat menandingi jurus-jurus karate yang telah bertahun-tahun dipelajari Pete. Traut pun menyadarinya, sebab ia tidak berusaha bangun lagi, padahal ia hanya mengalami luka lecet. Sebenarnya ia masih sanggup berdiri, tapi ia memang tidak mau bangkit.
"Oke," kata Pete. "Sekarang ceritakan. Siapa yang menyuruhmu bermain kasar" Ayo, bangsat! Katakan yang sebenarnya!"
"Aku tidak tahu," Traut menjawab dengan lesu.
Pete membungkuk dan menggenggam kerah baju Traut. "Jangan pura-pura!"
"Aku tidak tahu, sumpah. Orang itu tidak mau menyebutkan namanya. Nama sesungguhnya, maksudku," ujar Traut. "Dia memberiku dua ratus dolar dan berpesan agar kau perlu diberi pelajaran. Dan dia juga memberiku sepucuk surat, yang katanya harus kuserahkan padamu."
"Apa maksudmu 'dia tidak mau menyebutkan nama sesungguhnya'"" Pete terus mendesak, sambil menarik Traut sampai berdiri.
"Dia menyebutkan nama samaran. Dia sendiri yang bilang begitu," kata Traut.
"Siapa namanya"" tanya Pete. "Michael Anthony."
139 14. Berkat Bantuan Pers BEBERAPA jam kemudian, menjelang subuh, Jupe, Bob, dan Pete duduk di bawah pancaran lampu neon di Hank's 24-Hour One-Stop, salah satu tempat nongkrong di Rocky Beach yang lain daripada yang lain.
Pete duduk menghadapi segelas soda dan sebuah hidangan khusus-Hank's sandwich of the night. Setelah tengah malam, sandwich diberikan gratis kepada para pengunjung yang memesan soda berukuran ekstrabesar, tapi isinya berupa sisa-sisa dari siang hari. Malam itu Pete kebagian kombinasi antara daging gulung dan salad ikan tuna.
Sambil makan, Pete bercerita mengenai jalannya pertandingan melawan Wolfford, serangan-serangan licik Traut, dan perkelahian di pelataran parkir. Kemudian ia menghabiskan sodanya dengan sekali teguk.
"Badanku terasa kering kerontang," Pete berkata pada Jupe.
"Kau mengalami dehidrasi," sahabatnya itu meralat. "Kau banyak kehilangan cairan tubuh
140 akibat perspirasi pada waktu bertanding. Aku tahu bagaimana rasanya."
"Oh, yeah, betul juga," ujar Pete sambil ketawa. "Kau jadi burung nuri dalam pertandingan Shoremont tadi malam. Ada perkembangan baru""
Dengan lesu Jupe menggelengkan kepala.
"Lupakan kasus kita untuk sementara, oke"" kata Bob. "Kita ke sini untuk merayakan kemenangan Pete!"
"Tempat ini benar-benar ajaib," ujar Pete sambil melihat berkeliling. "Kenapa hampir semua orang berpakaian serba hitam""
"Soalnya sekarang malam Kamis, Pete," Bob menjelaskan. "Ini
salah satu akal-akalan Hank, pemilik restoran ini. Kalau pakai baju serba hitam pada malam Kamis, kau mendapatkan potongan sepuluh persen."
"Dari mana kau tahu begitu banyak tentang tempat ini"" tanya Pete.
"Aku beberapa kali ke sini seusai rekaman larut malam," jawab Bob. "Pada waktu itulah aku mengetahui ini tempat terbaik untuk menunggu edisi pertama koran pagi. Korannya diantar sebelum pukul dua. Hank menjamin itu."
"Kau yakin bakal ada berita mengenai aku di koran"" Pete kembali bertanya.
"Jangan terlalu berharap," ujar Jupe sambil menguap. "Kemungkinannya kecil sekali."
"Jangan dengarkan dia," Bob berkomentar. "Percaya deh, Pete, kalaupun jarak lemparan141 mu hanya setengah dari yang kauceritakan, beritanya tetap akan masuk koran."
"Menurutku, hal yang paling patut dicatat adalah pesan yang ditemukan Pete di locker-nya," kata Jupe.
Bob dan Pete langsung mengerang.
Jupe tidak peduli. Dengan tenang ia melanjutkan, "Pesan itu menunjukkan Barry Norman masih berusaha menggertak kita, agar kita menghentikan penyelidikan. Dia tahu segala gerak-geriknya sudah tercium oleh kita."
"Sudah waktunya kita bertindak," kata Pete, yang kembali dari meja layan sambil membawa segelas soda lagi. "Bajingan itu harus ditarik dari peredaran."
"Itu tidak sulit dengan segala sesuatu yang kita ketahui tentang dia," ujar Jupe. "Tapi Mr. Harper minta agar kita mencari tahu untuk siapa Barry Norman bekerja. Dan sampai sekarang kita tidak berhasil melaksanakan tugas itu."
"Hei, apa yang terjadi dengan Jupiter Jones yang pantang menyerah sampai detik terakhir"" tanya Bob.
Jupe meletakkan kepalanya di meja. "Sepanjang pertandingan tadi aku terus melompat-lompat dengan kostum burung nuri. Aku betul-betul lelah! Aku tidak bisa berpikir jernih kalau kurang tidur," desahnya. "Seharusnya kita pulang saja, bukannya menunggu koran di sini."
"Kita tidak perlu menunggu lagi," kata Bob.
142 Ia menunjuk ke pintu. "Tukang korannya sudah datang."
Trio Detektif 55 Bintang Bola Basket di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bob berdiri dan bergabung dengan antrean orang yang ingin membeli koran. Bob pergi dengan sukarela karena tahu bahwa Hank kadang-kadang minta para pengunjung untuk mengantre berdasarkan abjad. Di antara ketiga anggota Trio Detektif, nama Andrews-lah yang paling menguntungkan.
"Eh, Jupe, kau masih mau menghabiskan belahan kedua dari sandwich-mu"" tanya Pete.
Jupe segera menggeser piringnya ke hadapan Pete. "Kadang-kadang aku mendapat kesan kau akan mati kelaparan seandainya aku tidak berdiet."
"Hei, Pete, ternyata mereka bukan cuma menulis berita singkat mengenaimu," kata Bob, sambil melemparkan koran ke meja. "Kau jadi berita utama. 'Lemparan Jarak Jauh Memenangkan Pertandingan.'"
"Wow! Lihat nih!" seru Pete. Ia segera menyambar koran. "Fotoku juga dimuat!"
Di bagian atas halaman memang ada foto Pete, yang dibuat oleh fotografer yang rupanya berdiri di puncak tribun penonton. Foto itu memperlihatkan seluruh lapangan pertandingan, dengan Pete berdiri di lingkaran tengah di daerah tim Rocky Beach. Semua orang terlihat menatap bola, yang seakan-akan membeku di udara.
"Untuk kedua kalinya secara berturut-turut" Pete membaca artikel di bawah foto, "pemain
bahwa pemain berbadan kecil pun dapat berperan besar di lapangan. Kali ini, Pete berhasil mencetak kemenangan dari jarak 12 meter, tanpa waktu tersisa." Pete membalik koran, dan memamerkan fotonya. "Boleh juga, ya" Hei, itu bukan fotoku, Jupe!"
Jupe merebut koran dari tangan Pete, dan menatap foto pada bagian bawah. "Perhatikan ini," katanya akhirnya. "Coba lihat apakah kau mengenali seseorang."
Pete melipat koran, lalu mengamati foto yang lebih kecil di kaki halaman. "Ini artikel mengenai tim Shoremont," katanya. "Dan fotonya memperlihatkan beberapa anggota tim duduk di bangku cadangan, pada waktu pertandingan sedang berlangsung."
"Di latar belakang," ujar Jupe tak sabar.
Bob bergeser agar bisa mengintip lewat bahu Pete. Tapi Pete cepat-cepat menarik koran. "Jangan bantu aku," katanya pada Bob. "Biar aku sendiri saja."
Pete membungkuk dan mengamati foto itu dari dekat. Akhirnya ia mengangkat alis karena mengenali seseorang. "Itu wanita muda yang makan siang di countr
y club bersama Barry Norman. Tapi di sini dia duduk di samping John Hemingway Powers."
"Betul," ujar Jupe, "jadi sekarang kita tahu bahwa dia mengenal baik Barry Norman maupun John Hemingway Powers. Nah, ini skenario menarik. Kalau wanita itu mengenal kedua-duanya, bukankah ada kemungkinan mereka pun saling mengenal" Itu berarti kita
144 telah menemukan tersangka baru, petunjuk baru, jejak baru."
Pete mengerutkan kening. "Powers""
"Oke, oke," kata Jupe. "Terus terang kemungkinannya memang tipis. Tapi mungkin inilah sebabnya kita tidak berhasil menemukan apa pun yang menghubungkan Barry Norman dengan Coach Duggan. Mungkin memang tidak ada apa-apa. Tapi sekarang kita sudah mendapatkan mata rantai antara Norman dan Powers."
Bob berdehem. "Hei, jangan asyik berdua saja! Coba kulihat dong." Pete menyerahkan koran pada Bob, yang kemudian mengamati foto itu dengan saksama. "Siapa nama pria yang kalian sebut-sebut tadi""
"John Hemingway Powers," jawab Jupe. "Dialah alumnus Shoremont yang kaya raya, yang kuceritakan padamu beberapa hari lalu."
"Dan dia juga yang mendesak kalian agar segera meringkus Duggan"" tanya Bob.
"Huh, mestinya kau lihat sendiri bagaimana sikapnya," kata Pete.
"Aku pernah melihat orang itu," ujar Bob sambil tersenyum.
"Betulkah" Kapan" Di mana"" Jupe segera ingin tahu.
"Kau ingat waktu aku menemuimu di gedung olahraga Shoremont minggu lalu" Aku sempat kesasar ke kantor Coach Duggan dan mengobrol dengan sekretarisnya. Aku sudah cerita, kan, bahwa banyak orang keluar-masuk. Nah, dia salah satu di antara mereka."
145 "Lalu apa yang terjadi"" tanya Jupe.
"Dia masuk, dan langsung menuju ruang kerja Coach Duggan. Aku menanyakannya pada sekretaris Duggan, dan dia bilang Powers datang setiap minggu-biasanya hari Kamis, waktu Duggan tidak ada. Menurut dia, Powers menggunakan komputer Duggan untuk membuat printout berisi statistik terakhir. Sepertinya pria itu tergila-gila pada tim Shoremont."
"Powers sering datang dan menggunakan komputer Coach Duggan"" Pete bertanya.
"Kalau Duggan sedang keluar. Tepat sekali," balas Bob. "Apa kau berpikiran sama deganku""
Jupe mengangguk. "Jika Powers masuk ke kantor Duggan untuk memperoleh statistik terakhir, apa yang mencegahnya untuk sekaligus membuat printout laporan pemain-pemain berbakat yang disusun Coach Duggan" Powers mempelajari laporan-laporan itu, untuk mengetahui pemain mana yang diincar Coach Duggan untuk tim Shoremont..."
"Dan kemudian," Pete meneruskan, "Powers mengutus Michael Anthony alias Barry Norman untuk mengantarkan uang suap."
"Sekarang sudah jelas bagaimana Powers bisa menghubungi Pete begitu cepat," Jupe menambahkan. "Dia tahu Pete berada di urutan teratas pada daftar Duggan. Karena itu dia menugaskan Anthony untuk mengantarkan amplop pertama. Tapi kita menyimpulkan amplop itu ditinggalkan oleh Coach Duggan,
146 yang kebetulan sempat mendatangi Pete pada malam yang sama."
"Ternyata kita keliru," kata Pete.
"Kita tidak keliru," Jupe membantah sambil menepuk-nepuk koran. "Kita terlalu terburu-buru. Apa mungkin Hank mau membuatkan milk shake setengah porsi untukku""
"Lho, kupikir kau betul-betul lelah," Pete berkomentar.
"Memang. Tapi aku membutuhkan milk shake itu agar segar kembali. Aku ingin menjelaskan rencanaku untuk menangkap John Hemingway Powers, dan itu akan menghabiskan banyak waktu!"
*** Rencana Jupe sederhana saja. Mereka akan memasang jebakan bagi John Hemingway Powers dengan menyelipkan umpan ke dalam laporan Coach Duggan yang terbaru-dan berharap agar umpan itu termakan oleh Powers. Untung saja hari berikutnya Kamis, hari yang biasa dimanfaatkan Powers untuk memperoleh data statistik tim Shoremont.
Pagi-pagi sekali Trio Detektif sudah berangkat ke Shoremont College. Setelah sampai, ketiga sahabat itu langsung menuju kantor Coach Duggan.
Jupe dan Pete bersembunyi di gudang di seberang lorong. Sementara mereka mengintip lewat celah pintu, Bob menyembulkan kepala
147 ke kantor. "Halo, masih ingat aku"" ia mulai merayu sekretaris Duggan.
"Astaga, kau masih kesasar juga""
"Bukan-aku kesasar lagi," balas Bob.
Gadis berambut pirang itu kembali menunju
kkan arah untuk Bob, tapi kali ini Bob berhasil membujuknya untuk menemaninya, sehingga kantor Duggan ditinggal dalam keadaan kosong. Begitu mereka pergi, Pete dan Jupe menyelinap ke ruang kerja si pelatih basket.
Dalam sekejap Jupe telah menyalakan komputer.
"Aku sudah membuka file berisi laporan Coach Duggan mengenai pemain-pemain berbakat," kata Jupe, sementara jari-jemarinya menari-nari di atas keyboard Ia memasukkan berbagai informasi sambil tersenyum lebar.
"Apa yang lucu"" tanya Pete. Sejenak ia mengalihkan pandangannya dari pintu.
"Nanti saja kuberitahu. Aku sudah hampir selesai." Jupe berhenti mengetik, lalu keluar dari program. "Beres. Tahap pertama sudah rampung. Ayo, kita menyingkir dulu."
Mereka bergegas kembali ke gudang, lalu menunggu sambil berharap agar Powers segera muncul.
Powers baru muncul dua jam kemudian. Seperti yang dikatakan Bob, dia segera masuk ke ruang kerja Duggan. Beberapa menit kemudian dia keluar lagi sambil membawa printout komputer.
"Umpan kita sudah termakan," kata Jupe.
148 "Powers telah menggunakan komputer. Dan Duggan sepanjang pagi belum masuk ke kantornya. Tahap kedua sudah selesai. Sekarang giliran tahap ketiga. Semoga berhasil, Pete. Sori, aku tidak bisa menemanimu. Risikonya terlalu besar. Aku mungkin dikenali sebagai si burung nuri. Jangan buang-buang waktu, dan pastikan kau masuk sendirian."
Pete keluar dari gedung sambil membawa papan pencatat. Sebatang pensil terselip di belakang telinganya. Ia melintasi lorong.
"Ada yang bisa saya bantu"" tanya sekretaris Duggan.
"Pemeliharaan komputer," balas Pete, sambil mengetuk-ngetuk papan pencatat dengan pensil. "Pemeriksaan rutin."
"Coach Duggan punya komputer di ruang kerjanya," ujar gadis pirang di balik meja. "Biar saya tunjukkan tempatnya."
"Jangan. Maksud saya, tidak perlu. Saya... ehm... bisa menemukannya sendiri."
"Oke." Pete masuk ke ruang kerja, dan duduk menghadapi komputer. Seketika butir-butir keringat muncul pada keningnya. Ia bisa membongkar mobil, lalu memasangnya kembali dengan mata tertutup. Tapi komputer merupakan soal lain. Kedua tangan Pete gemetar ketika ia mulai mengetik. Hapus... hapus... Berulang kali ia membaca petunjuk-petunjuk yang ditulis Jupe pada papan pencatat.
Setelah tugasnya selesai, Pete keluar dari ruang kerja, mengucapkan terima kasih pada
149 si sekretaris, dan menyusuri lorong. Sebuah ketukan pelan pada pintu gudang membuat Jupe keluar.
"Berhasil"" tanya Jupe.
Pete mengangguk. "Aku menghapus semua yang kaumasukkan tadi."
"Bagus. Tahap ketiga selesai. Sekarang kita tinggal menunggu sampai seseorang menghubungi Luke Braun-si jago basket yang sebenarnya tidak ada!"
150 15. Permainan Telah Berakhir
"OKE, sekarang tolong ceritakan semuanya tentang Luke Braun," kata Bob, ketika mereka dalam perjalanan pulang ke Rocky Beach.
"Maksudmu, segala sesuatu yang kukarang untuk laporan pemain berbakat"" tanya Jupe. Ia tersenyum puas. "Pertama-tama, Luke Braun murid yang selalu memperoleh nilai A."
"Yeah, ini memang pertimbangan utama bagi para pelatih basket," Bob berkomentar sambil geleng-geleng.
"Bagiku itu penting, dan aku yang mencip-takannya," balas Jupe ketus. "Tingginya 195 senti."
"Nah, ini baru pemain basket," kata Pete.
"Dia memiliki persentase tembakan yang menonjol, dia bisa menembak sama baiknya dengan tangan kanan maupun kiri-kurasa itu sentuhan yang menarik-dan kutulis bahwa dia gesit, langsing, dan tangkas. Aku juga menambahkan bahwa Coach Duggan menganggapnya sebagai calon pengganti Magic Johnson di masa mendatang."
"Wow!" Pete berseru. "Andai kata aku pelatih basket, aku pasti akan menempuh segala cara untuk menarik Luke agar bermain dalam timku."
"Memang itu tujuannya. Membuat Powers penasaran untuk membawa Luke ke Shoremont. Aku juga menambahkan bahwa Luke hari ini akan memutuskan perguruan tinggi mana yang diminatinya. Karena Luke sebenarnya tidak ada, aku mencantumkan alamat dan nomor teleponmu, Bob. Sekarang kita tinggal menunggu di rumahmu sampai telepon berdering."
Menjelang sore, saat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Bob menyahut dan langsung memberi isyarat pada Jupe dan Pete.
"Ya, ini Luke Braun," kata Bob. Ia memindahkan pesawat telepon dan duduk di kursi empuk di ruang tamu.
Melihat wajah Bob, Jupe langsung tahu bahwa percakapan itu berlangsung sesuai rencana. Mula-mula Bob berlagak tertarik berbicara dengan Michael Anthony, tetapi kemudian ia mulai mempersiapkan perangkap.
"Tentu, saya sangat berminat untuk berbicara dengan Anda. Tapi rasanya kurang enak kalau saya harus menemui Anda di tempat lain. Orangtua saya dan saya telah memutuskan bahwa saya hanya akan melakukan pembicaraan di rumah, dengan ditemani orangtua saya. Ayah saya baru saja kehilangan pekerjaan, dan kami tidak banyak uang. Mereka ingin agar saya menemukan
152 perguruan tinggi yang memahami kesulitan kami."
Bob kembali mendengarkan lawan bicaranya, dan akhirnya mengacungkan jempol ke arah Pete dan Jupe. "Sip!" ia berkata sambil meletakkan gagang. "Dia datang sekitar sejam lagi."
Ketika bel berdering satu jam kemudian, Bob segera membuka pintu.
"Halo, Anda pasti Michael Anthony," ujar Bob. "Saya Luke."
Barry Norman melangkah masuk dan duduk di salah satu kursi. Ia menatap Bob dengan bingung. "Di laporan pemain berbakat tertulis tinggimu 195 senti."
"Gerakan peregangan yang biasa saya lakukan sebelum pertandingan benar-benar membantu," balas Bob.
Jawaban itu rupanya terasa tidak mengenakkan bagi Barry Norman. Ia mulai gelisah. "Betulkah kau Luke Braun""
"Tentu. Beberapa orang menganggap saya sebagai calon pengganti Magic Johnson," jawab Bob. "Apakah kita bisa membicarakan bayaran saya sekarang, Mr. Anthony, sebab saya masih menunggu tiga utusan perguruan tinggi lain yang juga ingin menyogok saya."
Wajah Barry Norman tetap tenang ketika ia melihat berkeliling. "Saya rasa saya permisi dulu, Luke."
Bob berdiri sebelum Norman sempat bergerak. "Tunggu dulu!" katanya. "Saya belum memperkenalkan Anda kepada orangtua saya.
153 Mereka ingin sekali bertemu dengan Anda. Hei, kalian boleh masuk sekarang!"
Begitu mendengar aba-aba Bob, Pete dan Jupe muncul di ambang pintu. Mereka gembira melihat wajah Barry Norman-yang sejak tadi sudah bingung-menjadi pucat.
"Selamat sore, Mr. Norman," kata Jupe. "Waktu kita bertemu di kantor Chief Reynolds, saya lupa memberitahu Anda bahwa kami dikenal sebagai Trio Detektif. Ini Bob Andrews, anggota ketiga." Jupe tidak bisa menyembunyikan senyum kemenangannya. "Saya juga ingin mengucapkan terima kasih atas kunjungan Anda, Mr. Norman, sebab dengan demikian Anda telah membuktikan siapa yang berada di balik skandal penyuapan di Shoremont College."
"Saya tidak membuktikan apa-apa. Dan kalau kalian pikir saya akan menuding seseorang, kalian betul-betul kekanak-kanakan."
"Sebenarnya," ujar Bob, "pada waktu Anda menelepon saya, Anda sudah menuding seseorang."
"Begini, Mr. Norman," Jupe menjelaskan, "hanya ada satu cara bagaimana Anda bisa mengetahui nama dan nomor telepon Luke Braun, yaitu jika John Hemingway Powers yang memberitahu Anda. Soalnya pemuda bernama Luke Braun tak pernah ada."
Jupe menduduki sofa yang berada setengah meter dari kursi Barry Norman. Keduanya bertatapan untuk waktu yang lama.
"Asal tahu saja, saya tidak mengakui ke154 salahan apa pun," kata Norman akhirnya. "Tapi seandainya saya memang bekerja untuk John Hemingway Powers, lalu kenapa" Saya tidak melanggar hukum, sama halnya dengan John Hemingway Powers."
"Mungkin memang begitu," balas Jupe. "Tapi saya rasa reputasi Anda sebagai pengacara takkan bertambah baik jika urusan ini sampai diketahui pers. Di pihak lain, kalau Anda mau bekerja sama, Mr. Harper dari Shoremont College mungkin bersedia untuk tidak melibatkan nama Anda."
Wajah Norman tampak sekeras batu. "Saya tidak melihat alasan mengapa saya tidak bisa bertemu dengan Mr. Harper, kalau itu yang kalian inginkan."
*** Jupe tampak berseri-seri ketika naik ke VW kodok merah milik Bob. Sepanjang perjalanan ke Shoremont College air mukanya tidak berubah. Barry Norman mengikuti mereka dengan mobil sendiri. Sebelumnya, Jupe sudah menelepon Mr. Harper untuk memberitahunya bahwa mereka berhasil memecahkan kasus penyuapan itu. Ia juga minta agar Mr. Harper memanggil Coach Duggan ke kantor
nya, dan sekaligus mengundang John Hemingway Powers.
Ketika mereka tiba di kantor Mr. Harper, Duggan dan Powers sudah menunggu.
155 Mr. Harper menyalami ketiga anggota Trio Detektif, tapi Jupe nyaris tidak memperhatikannya. Ia terlalu sibuk mengamati reaksi John Hemingway Powers pada waktu Barry Norman melangkah masuk. Ekspresi terkejut, marah, cemas, bingung, dan siap bertempur melintas di wajah pria itu. Kemudian ia memelototi Jupe dan kedua sahabatnya.
"Jupiter," kata Mr. Harper, "kami semua sudah tak sabar menunggu penjelasanmu. Rupanya kalian bertiga memang detektif berbakat, sebab kalian berhasil memecahkan kasus ini dalam waktu kurang dari dua minggu. Saya sangat berterima kasih pada kalian. Sekarang tolong ceritakan apa yang kalian temukan."
"Detektif"" Coach Duggan bergumam dari kursinya di dekat jendela. "Saya tidak melihat detektif di sini. Saya hanya melihat maskot kita dan"-ia menunjuk Pete-"seorang pelajar high school"
Jupe melangkah ke tengah-tengah ruangan. "Sebenarnya, kami bertiga pelajar high school dan detektif, Coach Duggan," ia menjelaskan. "Saya hanya pura-pura sebagai mahasiswa Shoremont."
"Coach," kata Mr. Harper, "sebentar lagi Anda akan mengerti semuanya. Silakan, Jupiter. Teruskan ceritamu."
Jupe tidak terburu-buru. Ia mengibaratkan John Hemingway Powers sebagai buah kas-tanye-sejenis kacang-kacangan dengan kulit keras yang sukar dikupas-kecuali bila dipanggang
156 terlebih dahulu. Kalau Powers sudah matang, sudah cukup cemas, Jupe berharap kedoknya akan retak dengan sendirinya.
"Kasus ini memang pelik," ujar Jupe. "Tapi beberapa bukti terkumpul dengan mudah. Sebagai contoh, orang ini, Barry Norman, memberikan sejumlah uang dan sebuah Porsche pada Pete, agar Pete bermain basket untuk Shoremont College."
"Apa"" seru Coach Duggan.
"Tenang dulu, Duggan," tegur Mr. Harper dengan keras. "Anda akan mendapat kesempatan untuk menjelaskan semuanya."
Semua orang di ruangan itu segera menyadari bahwa Mr. Harper menganggap Coach Duggan sebagai biang keladi. Powers tersenyum secara sembunyi-sembunyi.
"Kelihatannya Anda telah menarik kesimpulan yang keliru," Jupe memberitahu Mr. Harper. "Kami telah memastikan bahwa Coach Duggan sama sekali tidak bersalah dalam urusan ini."
"Hmm, kalau begitu, siapa"" Kesabaran Mr. Harper mulai menipis.
"Saya akan segera menjawab pertanyaan Anda. Tapi sebelumnya, izinkan saya untuk menanyakan sesuatu pada Mr. Powers," ujar Jupe. "Mr. Powers, siapa Luke Braun""
Powers menatap Jupe dengan hati-hati.
"Siapa Luke Brown"" ulang Powers.
"Ya," kata Jupe. "Anda mengenalnya, bukan""
Powers terdiam sejenak. Ia berusaha men157 cari perangkap yang mungkin telah disiapkan oleh Jupe. Namun rupanya ia tidak berhasil menemukannya.
"Setahu saya, Luke Braun pemain basket high school" jawab Powers. "Saya melihat namanya tercantum dalam laporan pemain berbakat yang disusun Coach Duggan. Menurut Coach Duggan, dia berbakat sekali."
Semua orang menoleh ke arah Coach Duggan. "Luke Braun" Saya belum pernah mendengar nama itu," pelatih itu berkomentar.
Powers tampak kebingungan. "Tapi saya melihat namanya pada laporan Anda," ia ber-keras. "Anda mengatakan dia calon pengganti Magic Johnson!"
"Bukan," potong Jupe. "Saya yang mengatakannya. Begini, Mr. Powers, pemuda bernama Luke Braun tidak ada. Dia tokoh rekaan saya. Saya memasukkan nama Luke ke komputer Coach Duggan, karena saya tahu Anda akan membaca laporannya. Saya juga tahu Anda akan mengutus Michael Anthony-Mr. Barry Norman ini-untuk menemui Luke. Kami menghapus file itu beberapa menit setelah Anda meninggalkan kantor Coach Duggan, Mr. Powers, sehingga Anda satu-satunya orang yang sempat membacanya. Saya kira bukti yang kami ajukan cukup meyakinkan."
John Hemingway Powers tiba-tiba tampak lelah dan sepuluh tahun lebih tua.
"Apakah ini benar, Mr. Norman"" tanya Mr. Harper.
"Saya ingin membantu Anda," Barry
158 Norman berkata, "tapi sebelumnya saya ingin mendapatkan kepastian bahwa peran saya dalam masalah ini akan tetap dirahasiakan. Begini tawaran saya: Saya akan mengatakan segala sesuatu yang ingin Anda ketahui, dan sebagai gantinya Anda berj
anji untuk tidak menyebutkan nama saya kepada pihak pers."
"Baiklah," Mr. Harper menyetujui. "Kalau itu harga informasi Anda, saya bersedia membayarnya. Sekarang katakanlah, apakah keterangan Trio Detektif benar""
Norman menatap Powers, lalu mengangguk. "Ya. John Hemingway Powers adalah klien saya. Dialah yang berada di balik usaha penyuapan ini."
"Oke, semuanya benar! Terus kenapa"" Powers berkata dengan nada menjurus bangga. "Saya merasa tak ada salahnya memberikan sesuatu pada anak-anak muda agar mereka mendaftarkan diri ke Shoremont College dan bergabung dengan tim basket."
Mr. Harper mengerutkan kening ketika menghardik, "John, pendapatmu bertentangan dengan setiap peraturan yang menyangkut etika penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi."
"Yeah, memang mudah bagimu untuk duduk di sini dan membicarakan masalah etika," balas Powers. "Kau baru tiga tahun menduduki kursi pimpinan Shoremont. Kau bukan lulusan kampus ini. Kau tidak tahu tradisi dan sejarahnya. Kau tidak ikut mengalami masa kejayaannya. Kau tidak perlu menyaksikan prestasi para olahragawannya terus menurun. Kau
159 tidak tahu bagaimana perasaanku melihat para atlet berbakat tahun demi tahun memilih perguruan tinggi terkenal, tempat setiap pertandingan olahraga diliput TV secara besar-besaran. Nama besar Shoremont College harus dipulihkan-dan aku tahu bukan kau yang akan melakukannya."
"Sudah berapa lama ini berlangsung"" Mr. Harper bertanya.
"Baru sejak kau mengontrak Duggan sebagai pelatih," jawab Powers. "Aku mendapatkan ide ini ketika mendengar kabar burung bahwa Duggan membayar para pemainnya di Boston. Apakah aku percaya berita itu benar" Hah, aku tidak peduli! Hanya satu hal yang kuketahui: Uang berbicara dan orang-orang menurut. Aku yakin kalau masalah bayaran ini sampai terbongkar, Duggan yang akan terkena getahnya."
"Jadi itulah sebabnya kau menawarkan dana tambahan untuk Coach Duggan," kata Mr. Harper. "Sekadar agar semua kecurigaan akan terarah padanya""
"Aku tidak punya pilihan lain, Chuck. Ketika anak-anak ini mulai membuntuti Barry dan mengusik pemain-pemainku dengan pertanyaan-pertanyaan mereka, aku mulai mencium masalah." Ia mengalihkan pandangan dan memelototi Pete. "Siapa yang menyangka kami ternyata berurusan dengan detektif amatiran""
Pete tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
160 "Powers, Anda telah mencoreng olahraga basket dengan segala kesombongan Anda!"
"Bangun, Duggan!" balas Powers. Ia menjentikkan jari seperti ahli hipnotis. "Tim juara dibeli dengan uang, bukan dilatih! Tim kita berhasil mencapai final untuk pertama kali dalam sepuluh tahun terakhir. Dan kita berpeluang menang. Untuk itu kalian semua mestinya berterima kasih padaku."
Mr. Harper tampak begitu kecewa, sehingga untuk sesaat Jupe nyaris merasa bersalah karena mereka berhasil memecahkan kasus itu.
"Powers," Mr. Harper berkata dengan sedih, "permainanmu telah berakhir."
"Betul sekali," Coach Duggan angkat bicara. "Saya akan mengeluarkan semua pemain bayaran Anda dari tim saya, Powers."
"Jangan mengada-ada," kata Powers. "Pertandingan final akan berlangsung besok malam. Tak ada yang perlu mengetahui urusan ini."
"Tim Shoremont mungkin memang tim terbaik yang bisa dibeli dengan uangmu, John," ujar Mr. Harper, sambil meluruskan jepitan kertas, "tapi aku tidak ingin program olahraga kami dijalankan dengan cara itu. Dan kau tidak perlu repot-repot mengancam bahwa kau akan membatalkan sumbanganmu untuk membangun gedung olahraga baru, sebab aku tidak sudi lagi menerima sepeser pun darimu. Shoremont College sudah tidak membutuhkan bantuanmu."
Powers berdiri. Untuk terakhir kalinya ia
161 memelototi semua orang yang hadir, lalu meninggalkan ruangan.
"Terima kasih banyak," kata Mr. Harper. Ia memaksakan diri untuk tersenyum, tapi kemudian menjabat erat-erat tangan ketiga anggota Trio Detektif. "Shoremont College akan melewati masa yang berat dan memalukan. Tapi paling tidak kami masih bisa bangga karena kami membuka dan menangani masalah-masalah kami, bukan malah menutup-nutupi semuanya."
162 16. PPB "WELL, kelihatannya kalian cukup sibuk selama aku pergi main ski," kata Ke
lly. "Tapi sekarang terus teranglah. Sebenarnya Pete tidak pernah mendapat hadiah Porsche, kan""
Pete menggenggam kemudi si Perahu. Setelah ia meninggalkan mobilnya di lapangan parkir minggu lalu, Cadillac tua itu ditarik polisi ke tempat penahanan sementara. Tadi pagi Pete terpaksa membayar delapan puluh dolar untuk menebusnya-dari kantongnya sendiri, sebab uang sogok sejumlah empat ribu dolar telah ia kembalikan pada Powers. Sekarang si Perahu sedang membawa mereka ke pertandingan final Shoremont. "Jangan singgung Porsche itu lagi, oke"" kata Pete.
"Oke," jawab Kelly, lalu menunggu sejenak. "Tapi paling tidak, tolong jelaskan kenapa Michael Anthony meledakkannya."
Pete mengerang. "Kurasa John Powers menyuruh dia membayar seseorang untuk melakukannya," Jupe
163 meralat dari bangku belakang. "Sebenarnya Porsche itu memang milik Powers."
"Tapi kenapa harus diledakkan""
"Sebab Norman menyadari bahwa gerak-geriknya sudah mulai terbaca," Jupe menjelaskan. "Karena kami melakukan kesalahan yang sebenarnya bisa dihindari. Ketika kami membuntuti dia, kami menyangka sudah cukup menjaga jarak. Tapi jika kau mengendarai mobil sport seharga 45.000 dolar dan membuntuti pemiliknya, kau harus dua kali lebih berhati-hati. Kami terlalu sembrono. Setelah pertemuan kemarin, Norman mengakui melihat mobilnya diparkir di country club ketika kami mengikutinya ke sana. Karena itu dia lalu mengajak kami berkeliling-keliling."
"Masa"" tanya Pete. "Wah, pantas dia pergi ke Costa Verde College-agar kita menyangka dia bekerja untuk Bernie Mehl. Kurasa itu pula sebabnya dia tidak meneleponku pada hari Sabtu-ketika kau memaksaku menunggu di rumah sepanjang hari, Jupe!"
"Kalau begitu, dia pasti juga melihat Porsche itu ketika kalian menunggu di dekat kantornya," kata Bob.
"Ya," Jupe mendesah. "Kesalahan serupa, hasil serupa. Karena itulah Norman tidak muncul pada sore harinya. Malahan, ketika Pete dan aku sedang menunggunya, justru dia yang mengawasi kami! Kemungkinan sambil menelepon seorang ahli ledak. Norman takkan mengakui bahwa dialah dalang peledakan mobil itu. Tapi aku cukup yakin dia mengikuti
164 kita ke pesta Cory Brand. Kemudian ahli ledak yang disewanya memasang bom, menelepon Pete, lalu menekan tombol pada remote control"
"Aku suka sisi romantis kasus ini," kata Kelly.
"Sisi romantis yang mana"" Pete bertanya dengan heran.
"Maksudku, wanita muda dan cantik yang makan siang dengan Barry Norman. Ternyata dia putri John Hemingway Powers! Seperti... seperti dalam film saja!"
"Yeah, ehm, berdasarkan apa yang diceritakan Norman padaku kemarin," ujar Jupe, "pasti akan ada pertumpahan darah kalau Powers mengetahui Norman berkencan dengan putrinya. Terutama karena itulah yang menyebabkan keberuntungan akhirnya bergeser ke pihak kita."
Pete menemukan tempat kosong di gedung parkir di Shoremont College. Ia segera memutar ke pintu Kelly dan berhasil membukanya pada tarikan kedua.
"Barangkali engsel pintunya cuma perlu diketok sedikit," Bob menghibur sahabatnya
"Yeah, dengan palu godam," Pete menggerutu.
"Hei, sudahlah! Kasusnya sudah selesai. Dan pertandingan ini bakal seru," Kelly berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia menggiring ketiga anggota Trio Detektif ke pintu gedung olahraga.
Tetapi ketika mereka menerobos kerumunan
165 orang untuk mencari tempat duduk mereka di tribun penonton, Jupe dan Bob masih terus membahas detail-detail kasus mereka.
"Bagian yang paling memalukan," Jupe mengakui, "terjadi menjelang akhir pertemuan di kantor Mr. Harper kemarin, ketika aku memberitahu Coach Duggan bahwa Walt Klinglesmith termasuk pemain yang menerima bayaran. Ternyata dugaanku keliru. Walt memang gemar membagi-bagikan uang-juga bol-poin-bolpoin mahal-karena alasan yang kuat. Ayahnya pemilik serangkaian toko alat tulis."
Bob tertawa penuh pengertian.
"Pertandingan malam ini pasti berat sebelah," ujar Pete. "Tanpa Cory Brand, Tim Frisch, dan empat pemain andalan lainnya, Shoremont tidak punya harapan menang."
"Yeah, dan tanpa Jupe sebagai burung nuri, para pendukungnya pasti kurang bergairah," Bob menimpali.
"Jupiter Jones, kau mengundurkan diri karena tim Sh
oremont pasti kalah"" Kelly bertanya dengan nada menuduh. "Itu melanggar kode etik para cheerleader""
"Jupe bukannya mengundurkan diri. Ia diberhentikan dengan hormat waktu mereka tahu dia hanya pura-pura jadi mahasiswa," Bob menjelaskan.
Akhirnya keempat anak muda itu menemukan tempat duduk masing-masing-di tengah tribun, berhadapan dengan lingkaran tengah. Tempat duduk ideal, berkat jasa Coach Duggan.
166 "Nah," Pete berkata begitu Jupe duduk, "siapa yang akan membeli hot dog, minuman, dan popcorn""
"Siapa yang mau berbagi hot dog denganku"" tanya Jupe.
"Aduh, lebih baik kaucari diet baru saja," Bob menanggapinya sambil ketawa.
Tiba-tiba Jupe melihat regu cheerleader Shoremont melakukan pemanasan di tepi lapangan. "Biar aku saja yang membeli semuanya," ia menawarkan diri. Jupe segera bangkit, menuruni tribun, berlawanan dengan arus penonton yang lain. Ketika ia sampai di bawah, ia berdiri sambil menatap Sarah. Dalam hati ia mengulangi kata-kata yang telah dihafal-kannya di bawah bimbingan Bob. "Apakah kau mau pergi ke bioskop bersamaku"" Hanya tujuh kata. Pasti takkan ada kesulitan.
Ia melambaikan tangan ke arah Sarah, dan gadis itu menghampirinya.
"Halo, Jupe," Sarah menyapa. Ia tampak heran melihat Jupe.
"Ehm, halo. Bagaimana pendapatmu mengenai bioskop""
Sarah kelihatan bingung. Jupe berdehem. "Maksudku, kau pernah ke bioskop, kan" Ehm..." Ya Tuhan, hanya tujuh kata! Tapi kenapa kata-kata itu begitu sukar diucapkan"
"Jupiter, aku sangat berterima kasih karena kau telah membantu sekolah kami, dan juga telah bersedia menggantikan Steve sebagai burung nuri. Eh, waktu aku mendengar bahwa
167 kau anak high school sekaligus detektif, kupikir, wow, ini baru kejutan. Tapi kemudian aku memikirkannya lagi, dan dalam hati kukatakan bahwa bagimu tak ada istilah 'tak masuk akal'."
Jupe menarik napas panjang. "Kalau begitu, apakah kau... ehm..."
Sarah memecahkan keheningan. "Barangkali kita bakal ketemu lagi kalau kau sudah masuk perguruan tinggi." Ia tersenyum, menyentuh lengan Jupe, dan pergi.
Sekian dan terima kasih, pikir Jupe ketika memesan hot dog, minuman, dan popcorn. Kesempatannya untuk berkencan dengan gadis yang memesona itu telah lenyap. Tak ada imbalan bagi siapa pun dalam kasus itu. Shoremont akan kalah. Pete terpaksa naik Perahu lagi. Jupe harus kembali ke Rocky Beach High School...
Prooot! Jupe mendengar minumannya tumpah, tapi ia hanya melihat warna ungu. Perlahan-lahan ia menyadari kenapa-rupanya ia telah menabrak Coach Duggan, yang mengenakan jaket kebanggaan Shoremont. Jaket itu kini berlepotan Coca-Cola.
"Oh, maaf, Coach Duggan," Jupe minta maaf.
Pelatih itu tidak berkedip. "Tidak apa, Jupe," katanya. "Coca-Cola justru membantu menenangkan saraf. Mestinya kubeli beberapa gelas untuk anak-anak di ruang ganti. Maklum saja, beberapa di antara mereka baru bermain kurang dari enam puluh detik dalam musim
168 kompetisi ini. Tapi mereka pasti akan berusaha sekuat tenaga."
"Semoga sukses, Coach," ujar Jupe.
Pelatih itu mengangguk. "Aku ingin mengucapkan terima kasih secara pribadi, atas semua yang kaulakukan untukku. Kami harus bertanding di final tanpa pemain-pemain terbaik kami. Kami tidak punya peluang sama sekali untuk menang. Tapi kau tahu, tidak" Aku justru bersyukur. Dalam kasus di Boston aku tidak bersalah, dan aku berharap semua orang sudah tahu bahwa kali ini pun begitu. Sekali lagi terima kasih, Jupe. Berkat kau reputasiku berhasil diselamatkan."
"Sama-sama, Coach," balas Jupe.
Coach Duggan hendak kembali ke ruang ganti, namun tiba-tiba berbalik dan bertanya,
"Kau tahu apa yang lebih sulit daripada mengganti pemain-pemain itu, Jupiter""
Jupe menggelengkan kepala.
"Menemukan PPB seperti kau!"
Jupe tampak kebingungan. "Pemain Paling Berbakat""
"Pelawak paling berbakat. Penampilanmu sebagai burung nuri benar-benar tanpa tandingan!"
Sumber Djvu: syauqy_arr syauqy_arr@yahoo.co.id http://hanaoki.wordpress.com
Edit & Convert Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Bende Mataram 16 Masalah Di Teluk Pollensa Problem At Pollensa Bay Karya Agatha Christie Bidadari Dari Sungai Es 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama