Ceritasilat Novel Online

Senja Jatuh Di Pajajaran 1

Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka Bagian 1


TTrrTriiilllooogggiii PPPaaajjjaaajjjaaarrraaannn
SSeeSennnjjjaaa JJJaaatttuuuhhh dddiii PPPaaajjjaaajjjaaarrraaannn
11..1. KKKeeemmmeeellluuuttt dddiii IIIssstttaaannnaaa SSSrrriii BBBiiimmmaaa
Karya : Aan Merdeka Ebook oleh : Ani KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info/
Jilid 01 Suara tepukan itu iramanya terdengar beraturan. Dan
yang lebih khas dari itu, keras menyakitkan karena
tepukannya dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam
yang kuat. Suara itu terus menggema ke segala arah. Dan untuk
yang kesekian kalinya, terlihat burung-burung beterbangan
dari dahan-dahan pohon pinus karena kaget.
Namun manakala ribuan kelelawar melintas di goresangoresan merah lembayung di ufuk barat, suara tepukan
segera berhenti. "Lanjutkan, Ginggi!" teriak satu suara yang berat.
"Tapi, kelelawar sudah mulai meninggalkan sarang,
Aki," jawab suara lainnya agak tinggi melengking.
"Aku katakan, lanjutkan tugasmu, Ginggi!" yang
bersuara berat terdengar membentak dan suaranya seperti
memukul gendang telinga yang mendengar.
Namun suara tepukan belum terdengar juga.
"Aki, lihatlah! Kedua belah tanganku sudah pecah
kulitnya dan ada darah keluar dari lubang pori-porinya.
Pedih dan menyakitkan. Tidakkah ini menyiksa diriku?"
keluh si suara kecil melengking dengan nada jengkel.
Namun dijawab juga oleh suara nada berat tak lebih
jengkelnya, "Penderitaanmu dalam melaksanakan tugas
latihan ini tidak separah rakyat Pajajaran, Ginggi. Hancur
kulit telapak tangan tak seberapa sebab dalam sehari dua
hari akan sembuh dengan sendirinya. Tapi hancur hati dan
perasaan tak mungkin terobati sampai akhir hayat," kata si
suara berat. Hening sejenak. Terkecuali ada bunyi serangga yang
terdengar dari kejauhan. Mungkin datang dari gundukan
hutan pinus yang kini mulai dipeluk kabut tipis.
Udara semakin dingin manakala kabut senja jatuh
semakin menebal. Namun dua orang aneh yang asyik
berdebat itu masih jua tak beranjak. Keduanya bahkan
sedang melakukan gerakan-gerakan aneh di bawah lembah
memanjang, sebuah tempat yang paling dingin di puncak
gunung, karena tempat itu jadi pusat perjalanan angin.
Kedua orang itu mengambil tempat di sela-sela beberapa
pohon loa yang besar dan berjanggut. Yang satu duduk
bersila dengan punggung tegak serta dada membusung.
Usianya mungkin sekitar 60 tahunan. Ada kumis tebal dan
jenggot menggapuy hingga sebatas dada dan semuanya
berwarna putih keperak-perakan. Kepalanya diikat kain
pengikat berwarna nila namun tak sanggup
menyembunyikan rambutnya yang lebat riap-riapan. Kalau
lembayung tak begitu tipis, mungkin akan merupakan
paduan indah serasi bila warna emas lembayung itu
sanggup menerpa warna perak rambut orang tua itu.
Ini sebuah pemandangan aneh. Di senja bercuaca dingin
seperti itu, di mana kabut mulai menggayut, tapi dada
bidang lelaki itu penuh bersimbah keringat.
Dan yang tak kalah anehnya adalah pelaku satunya lagi.
Lelaki ini usianya jauh lebih muda lagi, barangkali
sekitar 15 atau 16 tahunan. Kendati rambutnya sama
panjang dan sama tergerai, namun rambut pemuda ini
nampak hitam legam dan tebal. Ada sedikit keriting di
ujung-ujungnya. Dia pun sama tak berbaju, kecuali celanapangsi, yaitu
celana panjang sebatas betis berwarna nila.
Karena tak berbaju pula, maka nampak dadanya yang
bidang pula. Ada tonjolan otot di sepasang lengannya.
Pemuda itu nampak lugu. Wajahnya hampir bulat telur,
hidungnya sedikit mancung, mulutnya selalu menyungging
senyum. Dan yang paling menonjol dari semuanya,
sepasang matanya berbinar bulat.
Rambutnya yang subur hitam nampak tergerai menyapu
tanah. Begitu panjangkah hingga sanggup menyapu tanah"
Ouw, ternyata bukan rambut itu yang terlalu panjang.
Bisa tergerai menyapu tanah lantaran tubuh pemuda itu
posisinya dalam keadaan tak normal.
Anak muda ini ternyata tengah melakukan atraksi.
Seraya sepasang telapak tangannya masih bertepuk-tepuk
lambat dengan pengerahan tenaga dalam, kaki-kakinya
nampak tengah bergayut di dahan pohon loa.
Kalau bertapa dengan kedudukan tubuh terbalik, maka
orang Pajajaran bilang itu adalahtapa sungsang, Tapi anak
muda itu sebetulnya bukan tapa sungsang, melainkan
tengah berlatih ilmu kedigjayaan.
"Aku tidak bilang bahwa kesengsaraanku lebih tinggi
dari rakyat Pajajaran. Yang aku perbincangkan adalah soal
janji Ki Darma sendiri," gumam anak muda itu masih
bergayut. "Aku memang senang berjanji tapi rasa-rasanya tak ada
janji yang tak aku tepati," jawab si lelaki tua.
"Coba, janji apa yang aku langgar, Ginggi?"
"Tadi dinihari Aki bilang bahwa latihanku hanya akan
berlangsung dari mulai kelelawar pulang sarang hingga
mereka kembali ke luar sarang. Nah, sekarang lihatlah di
atas awan lembayung, bukankah kelelawar mulai keluar
sarang?" tanya anak muda yang ternyata bernama Ginggi
itu. Lelaki tua yang disebutnya Ki Darma itu tertawa
terkekeh-kekeh. "Memang itu yang aku katakan sejak tiga hari yang lalu,"
jawabnya. "Jadi, apanya yang salah?"
"Sekarang, kelelawar mulai keluar sarang!"
Ginggi menatap gurunya dengan wajah terbalik.
"Memang mulai keluar sarang."
"Ya, tapi mengapa aku disuruh latihan terus!"
"Ya harus, sebab kelelawar mulai keluar sarang!"
"Aki licik!" "Kugampar mulutmu bila sekali lagi kau bilang aku
licik!" Ki Darma nampak mengangkat tangan seolah mau
menampar mulut muridnya. "Coba kau sebutkan, omonganku yang mana yang kau
anggap licik!" tanya Ki Darma lagi. Tangannya tetap mau
menggampar mulut Ginggi. "Baru mulai, tolol! Kan aku
bilang, latihan berhenti kalau kelelawar baru keluar dari
sarang." "Sekarang memang baru mulai!"
Ki Darma membentak marah. "Maksudmu, semua
kelelawar mesti keluar dulu?"
"Begitulah!" "Waduh, mati aku! Jadi sampai kapan latihan ini bisa
selesai" Lihatlah Aki, bukan lagi ribuan, bahkan puluhan
ribu kelelawar sudah keluar dari sarang. Bila harus
menunggu kelelawar paling akhir, kapan selesainya?"
Ginggi garuk-garuk kepala.
"Tidak musti menunggu semua habis keluar. Satu
kelelawar yang datang di rombongan paling belakang,
itulah sasaranmu." "Apa yang harus aku lakukan ?"
"Timpuklah dengan buah loa."
"Dan musti kena?"
"Dan musti kena!"
"Celaka!" "Dasar anak malas! Tolol kamu!" lagi-lagi Ki Darma
membentak. Untuk kesekian kalinya, Ginggi menepuk-nepuk
sepasang telapak tangannya, seolah tak mau mentaati apa
perintah gurunya. Namun manakala datang lagi
serombongan kelelawar di angkasa, sepasang kakinya yang
menggayut di dahan pohon loa segera dilepas. Serentak
dengan itu dia jumpalitan. Ketika sepasang kakinya
menjejak tanah, ujungnya dia hentakan pada tonjolan batu.
Maka tubuhnya mumbul lagi ke udara. Dia jumpalitan lagi.
Pas tangannya berada di dahan pohon, dia petik satu buah
loa. Dan serentak dengan itu dia timpukkan ke udara.
Siuuuut! Plass! Terdengar suara elahan napas kecewa dari Ki Darma.
Ginggi pun menoleh pada gurunya dengan nada kecewa.
"Tapi sedikit lagi hampir kena, Ki ?" gumam Ginggi
seperti ingin menghibur, entah menghibur siapa. Yang jelas,
Ki Darma sudah melengos pergi dan berlari-lari kecil
meninggalkan Ginggi dengan cara berloncatan pada
tonjolan-tonjolan batu. Ki Darma menaiki lembah dengan
cara seperti itu. Ginggi pun segera mengikutinya namun dengan cara
merayap biasa saja. Dan dengan susah-payah, baru bisa
menaiki tebing untuk meninggalkan lembah.
"Kalau senja tak semakin meremang, aku yakin,
kelelawar itu bisa aku timpuk ?" gumam Ginggi seorang
diri ketika sudah berada di belakang tubuh Ki Darma.
"Tapi mataku tak pernah terpengaruh siang dan malam.
Yang menentukan ke mana harus menyerang adalah
kepastian di mana sasaran berada," kata Ki Darma.
"Tapi, Aki?" "Ya, karena kau tolol tak sanggup menangkap gerakan
kelelawar itu!" potong Ki Darma tak mau memberi peluang
Ginggi untuk mengemukakan alasan.
"Aku akan sungguh-sungguh berlatih, Ki ?"
"Bukan berlatih tapi bertugas. Latihan itu hanya bagian
penting dari tugas besarmu!"
"Baik, Ki." "Nanti lewat tengah malam, aku akan bunyikn
kentongan selama sepemakan sirih. Sesudah itu aku akan
ciptakan suasana sunyi sepemakan sirih pula. Kau musti
bisa menulikan telinga di saat ada suara namun juga musti
bisa menemukan suara sekecil dan sehalus apa pun di saat
sunyi." "Baik, Ki?" "Latihan itu akan berlangsung empat-puluh malam
lamanya." "Ba"baik, Aki ?" kata Ginggi kembali melangkah.
"Diam dulu." "Ya. Aki?" "Setamat latihan ini kau akan merangkak ke tahap
selanjutnya." "Apakah itu, Aki?"
"Kau musti bersila di sebuah ruangan tertutup tak ada
cahaya, kecuali cahaya lantera."
"Baik, Aki." "Dan latihan empat puluh malam empat puluh hari!"
"Ba"baik, Aki?" Ginggi menghela napas pelan namun
tertangkap oleh telinga gurunya.
"Kau mengeluh?"
"Tidak, Aki?" "Bohong bukan sikapmu. Kalau kau mengeluh,
mengeluh kalau kau tidak, tidak."
"Aku mengeluh, Aki."
"Lantas, bagaimana tentang latihan ini?" Ki Darma
menoleh ke belakang. "Mengeluh bukan berarti tak akan melaksanakan tugas,
Ki?" sahut Ginggi. "Tapi akan lebih baik melakukan tugas tanpa keluhan,"
potong gurunya.Ginggi mengangguk.
(O-ani-kz-O) Hari semakin kelam. Dan ketika kedua guru dan murid
memasuki hutan pinus, suasana sudah benar-benar gelap.
Tapi tubuh Ki Darma dengan lincahnya berjalan menyusuri
jalan setapak sepertinya di tempat itu diterangi cahaya.
Padahal jangankan bisa melihat sekeliling, hanya untuk
melihat jari sendiri saja di depan mata, tak mungkin bisa
terlihat. Walau gelap begini, Ginggi pun bisa mengimbangi
langkah gurunya. Hanya saja, dia pun bisa melangkah
bukan karena punya kemampuan melihat dalam gelap
seperti gurunya, melainkan karena naluri saja. Setiap
malam dia diajak menyusuri jalan setapak ini di gelap
malam dan Ginggi akhirnya jadi hafal betul. Bahwa kendati
gelap, dia bisa menduga, sebentar lagi jalan setapak ini akan
berkelok dan menaik menuju puncak gunung.
Tiba di punggung puncak, di mana ada sebuh bayangan
bangunan gubuk, Ginggi mendahului gurunya dan
meloncat ke bale-bale. Tiba di sana langsung menjatuhkan
tubuhnya. "Ambil air!" dengus gurunya.
Ginggi masuk ke dalam gubuk. Keluar lagi sudah
menenteng tempat air dari buah kukuk kering. Tanpa lirik
kiri-kanan pemuda itu sudah menotor lubang kukuk. Glek,
glek, glek bunyinya. "Sialan!" gerutu gurunya.
Mendengar gerutu gurunya ini, Ginggi menyadari
kekeliruannya. "Minumlah, Ki, airnya masih bersisa?" Ginggi
menyodorkan kukuk. Tapi gurunya melengos marah.
Namun ketika Ginggi hendak menegak lagi, Ki Darma
segera merebutnya. "Sini!" Dan Ki Darma mencoba
menenteng kukuk ke atas mulutnya. Namun baru beberapa
saat, air di dalam kukuk sudah kering. Digoyang-goyang
beberapa kali, air tak mau keluar.
"Biar aku ambilkan di tempayan?" Ginggi mencoba
bergegas. "Tak perlu." "Kalau begitu, apa yang mesti aku kerjakan untuk Aki?"
Ginggi berusaha menghibur.
"Bertugas kembali!"
"Walah aku musti latihan lagi"
Dan Ki Darma mengangguk. Dia segera duduk di bale

Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bale. Tegak, mematung. Ginggi berdiri juga tegak mematung. Hanya sepasang
tangannya bersilang di dada. Diterpa angin malam,
rambutnya riap-riapan. "Aku capek sekali, Ki?" katanya
dingin. "Tidak akan secapek rakyat Pajajaran menyimak
tindakan rajanya ?" gumam Ki Darma.
Ginggi akhirnya menghela napas. Dia pun ikut duduk
bersila, berhadap-hadapan dengan gurunya. "Setiap Aki
menugasiku latihan, selalu saja bicara perihal Raja
Pajajaran. Apa yang sebetulnya tengah terjadi dengannya,
Ki?" Ginggi menyeka keringat di wajahnya dengan
punggung tangannya. Berbarengan dengan hembusan angin
malam, Ki Darma pun menghela napas panjang.
"Coba kau nyalakan pelita di tengah ruangan," gumam
Ki Darma dengan nada datar.
Ginggi berjingkat untuk menyalakan pelita yang
minyaknya diambil dari gajih kelelawar serta sumbunya
dari serat nenas hutan. Terlihat percikan api manakala
sepasang batu sekepalan tangan saling dibenturkan.
Percikan api itu ditampung oleh rambut-ramput pohon
enau. Remang-remang saja api pelita itu namun cukup
untuk menerangi ruangan tengah gubuk. Kedua orang itu
kembali duduk bersila saling berhadapan. "Usiamu sudah
dewasa. Sejak kau kupungut di jalanan Wilayah Caringin
belasan tahun silam, waktu sudah terpaut 10 tahun
lamanya. Itu cukup pantas untuk mengukir sejarah
hidupmu," tutur Ki Darma.
Ginggi mengerutkan dahi. Bagian dari latihankah
penuturan ini" "Kerapkali Aki selalu mengatakan hal ini.
Apakah benar-benar terjadi" Yang aku ingin percayai,
bahwa Aki ini adalah orangtuaku sendiri," tutur Ginggi.
"Dasar anak gendeng. Tapi itu juga bagus. Hanya
percaya kepada sesuatu yang sudah terbukti kebenarannya
memang wajar," tutur Ki Darma tersenyum.
Ginggi masih tetap bersila. "Nanti kau akan tahu, siapa
dirimu sebenarnya bila kelak kau datangi jalan berlumpur
diwilayah Caringin. Carilah sebuah tempat di mana dulu
pernah terjadi pertempuran kecil tapisempat memakan
korban jiwa," kata Ki Darma kemudian.
Ada kerutan di dahi, menandakan Ginggi tertegun
mendengar berita ini. Melihat roman wajah Ginggi, Ki
Darma terkekeh-kekeh. Ginggi menatap gurunya. "Tapi
kalau aku hanya seorang anak kecil yang ditemukan di
kubangan lumpur dan Aki tak tahu siapa kedua orang
tuaku, lantas bagaimana mungkin Aki tahu namaku. Siapa
sih yang memberiku nama Ginggi?" tanya anak muda itu
kemudian. "Aku yang memberimu nama."
"Aku pernah berbincang dengan penduduk di kaki
gunung. Katanya Ginggi artinya jin atauiblis, yah sebangsa
duruwiksa pembuat kejahatan. mengapa sih, Aki tega
memberiku nama jelek seperti itu?"
"Hahaha! Betul sekali, Ginggi adalah siluman yang akrab
dengan berbagai kejahatan!"
"Senangkah aku berbuat jahat?"
"Kau tanyakan sendiri pada dirimu. Sebab pada
dasarnya, manusia itu hidup dibekali berbagai pilihan.
Apakah kau memilih yang baik atau sebaliknya, bergantung
pada pilihanmu itu. Aku pilih Ginggi sebab dunia ini tengah
dipenuhi duruwiksa jahat. Manusia jadi pemakan manusia
yang lainnya. Ginggi lahir di saat iri dan dengki, aniaya
serta fitnah merajalela di bumi Pajajaran. Nama Ginggi
akan selalu mengingatkanmu kelak, apakah akan sekalian
kau ikut pula terperosok ke dalamnya ataukah akan
menjadi pemberantasnya," kata Ki Darma panjang-lebar.
"Duruwiksa" Begitu kelamkah bumi Pajajaran sehingga
disenangi kaum duruwiksa?" gumam Ginggi.
Ki Darma hanya tersenyum kecut.
"Hidup memang bagaikan berputarnya roda pedati. Ada
kalanya di atas, ada kalanya di bawah. Pajajaran sekarang
sedang berada pada bagian paling bawah. Sejak Kangjeng
Prabu Sri Baduga Maharaja tidak lagi memerintah
Pajajaran, hampir tak ada kebanggaan yang kita miliki lagi.
Ginggi, hanya Kangjeng Prabu Sri Baduga Maharaja yang
kebesarannya bisa disejajarkan dengan eyang-buyutnya,
Prabu Wangi yang gugur di Bubat. Hanya Sri Baduga yang
bisa memimpin negara dengan penuh kebijaksanaan.
Selama 39 tahun memimpin negri, beliau telah sanggup
mensejahterakan rakyat, juga mensejahterakan negri-negri
lain. Beliau sanggup memantapkan kehidupan keagamaan
padahal di tanah negara ini tengah berlangsung pergeseran
kepercayaan. Hanya beliau yang telah sanggup membangun
angkatan perang padahal tak pernah berlangsung
peperangan. Kendati hubungan dengan Cirebon telah retak,
namun dengan mereka tak pernah berlangsung
pertempuran. Prabu Sri Baduga Maharaja adalah raja dari
semua raja, harum namanya sehingga beliau pun dijuluki
Prabu Siliwangi," kata Ki Darma, matanya menerawang ke
kejauhan. "Menurunkah keelokan Kerajaan Pajajaran sesudah Sri
Baduga tak berkuasa lagi?" tanya Ginggi penasaran.
"Tidak benar-benar tergelincir. Tapi penggantinya tak
mampu mensejajarkan diri dengan pendahulunya."
"Siapakah penggantinya, Aki?"
"Dialah Surawisesa, putra Sri Baduga Maharaja."
"Bagaimana cara dia memerintah?"
"Sebenarnya dia baik, hanya sayang ambisinya tak
tertahan. Dia penuh ambisi, selalu mempertahankan
kehormatan dengan jalan kekerasan. Kau bayangkan
Ginggi, selama 14 tahun memerintah, dia memimpin
peperangan sebanyak 15 kali. Pertikaian dengan Demak,
Banten dan Cirebon tak terelakan. Peperangan pun
berlangsung." "Unggulkah Pajajaran?"
Ditanya seperti ini, Ki Darma nampak mengeluh. Tapi
keluhnya tertahan di kerongkongan.
(O-anikz-O) Menyakitkan. "Permusuhan dengan Banten, Demak dan Cirebon,
membuat kesedihan buat semua orang Pajajaran.
Pelabuhan penting tempat perniagaan orang Pajajaran lepas
sesudah Banten memisahkan diri. Pajajaran kehilangan
Pelabuhan Pontang dan Cibanten. Setahun kemudian,a
Pelabuhan Sunda Kalapa pun jatuh direbutnya. Semua
wilayah pesisir utara bahkan dikuasai Cirebon, sehingga
mulai saat itu, Pajajaran tak lagi menguasai lautan. Sunda
bukan negara lautan lagi. Rakyat mencari penghidupan
jauh di pedalaman dan hanya menjadi pehuma dan
peladang," tutur Ki Darma.
"Apakah kemudian Pajajaran menjadi hancur?"
"Tidak benar-benar hancur. Sebab meski sudah ada
kelompok pengkhianat di tubuh Pajajaran, namun masih
lebih banyak lagi para ksatria Pajajaran yang berani
bertahan demi keutuhan negri. Sang Surawisesa yang putus
asa digantikan oleh putranya, yaitu Prabu Ratu Dewata."
"Bagaimana dengan yang lain?"
Ki Darma terkekeh masam. "Entahlah. Aku sendiri bingung menyimak kehidupan
ini. Usiaku 15 tahun ketika Sang Prabu Sri Baduga
Maharajadiwastu (dilantik) di atas batu keramatSriman
Sriwacana Palangka Raja, Aku pun menyaksikan sendiri
berbagai perubahan di bumi Pajajaran, sejalan dengan
berbagai macam perubahan kebijaksanaan dari para
pemimpinnya. Surawisesa pandai berperang, digjaya dan
penuh semangat. Namun di bawah kepemimpinannya
rakyat menderita karena perang amat berkepanjangan.
Limabelas kali peperangan, mengakibatkan banyak anak
kehilangan ayah, istri kehilangan suami dan pehuma
melepaskan pekerjaannya. Dan penggantinya, Sang Ratu
Dewata, malah kebalikannya. Dia tak menyukai bentukbentuk kewiraan. Hanya agama dan filsapat saja yang
diurusnya. Dia senang tapabrata dan membesarkan
kehidupan keagamaan. Sarana agama berdiri di mana-mana
tapi kesejahteraan lahiriah rakyatnya sendiri tak
diperhatikan. Dia membutakan diri terhadap kehidupan
lahiriah termasuk membutakan diri terhadap kehidupan
bernegara. Karena kehidupan negara tak tersentuh, maka
rakyat jadi terlantar. Pergeseran kehidupan karena hadirnya
agama baru bernama Islam, jadi sumber malapetaka di
Pajajaran. Dalam upaya menahan kehadiran agama baru,
Sang Prabu malah memperkuat agamaKaruhun (nenekmoyang). Dan kebijakan ini malah menimbulkan berbagai
pertikaian. Negara-negara kecil yang semula ada di bawah
payung Pajajaran semakin banyak yang melepaskan diri
dan bergabung dengan Banten atau Cirebon sebab mereka
tertarik kepada agama baru. Malah lebih parah dari itu,
negara-negara kecil itu berani menyerbu Pajajaran pula.
Maka pada zaman Sang Prabu Dewatalah pusat-pusat
keagaman seperti di Sumedanglarang, Jayagiri atau
Ciranjang diserbu mereka. Sang Prabu yang katanya punya
cita-cita mempertahankan agama lama yang dianutnya,
dalam kenyataanya sama sekali bahkan tidak sanggup
mengobarkan perlawanan. Hanya para perwira tua yang
sanggup bertahan." "Tak ada pemimpin baru yang sempurna?"
Ditanya seperti ini, wajah Ki Darma makin muram.
"Dari semua keadaan dan peristiwa, maka pada hari-hari
belakangan inilah Pajajaran semakin muram ?" kata Ki
Darma masih menunduk. "Apakah semakin menyedihkan?"
"Benar-benar amat menyedihkan, Ginggi ?"
"Apakah bumi Pajajaran semakin porak-poranda oleh
musuh" Apakah semakin banyak anak kehilangan ayah dan
kemudian banyak istri kehilangan suami?" Ginggi semakin
penasaran mencecar dengan banyak pertanyaan. Berlatih
Melawan Harimau. Dua orang guru dan murid ini masih
tetap mengobrol saling berhadapan.
"Tidak ada serbuan musuh. Tidak juga ada orang
kehilangan pekerjaan. Bahkan hari ini, disaat rakyat
dipimpin oleh Sang Prabu Ratu Sakti, rakyat begitu giat
bekerja," kata Ki Darma.
"Giat bekerja?"
"Betul. Kaum peladang seperti tak punya waktu pulang
ke rumah sebab waktu telah dihabiskan di ladang. Begitu
pun pehuma hampir-hampir lupa kalau dirinya punya
rumah sebab seluruh waktunya telah dihabiskan di huma.
Kemudian nelayan lebih memilih mati di tepi sungai
ketimbang pulang tak membawa hasil," kata Ki Darma lagi
dengan nada berat dan sumbang.
"Kalau begitu, itulah masa-masa kemakmuran bagi
Pajajaran," potong Ginggi memperlihatkan wajah ceria.
Brak! Ki Darma malah menggebrak permukaan bale-bale
sehingga kulit buah kukuk terlontar keudara. Sebelum kulit
kukuk itu jatuh ke atas bale-bale, Ginggi segera
menangkapnya selagi benda itu berada di udara.
Sambil memeluk kulit kukuk di haribaan, Ginggi
menatap gurunya dengan heran.
"Tidak makmurkah negri Pajajaran di bawah
kepemimpinan Sang Prabu Ratu Sakti?" tanya Ginggi
kemudian. "Pajajaran memang makmur."
"Nah" Jadi mengapa Aki musti marah?"
"Sebab, kemakmuran nyatanya tidak menghasilkan
keadilan bagi rakyat. Rakyat tak sejahtera sebab seluruh
kekayaan negara diboyong ke istana!" kata Ki Darma.
"Lho?" "Semua buah-buahan yang enak-enak ada di kebun
istana Tajur Agung. Buah durian dibiarkan jatuh sendiri
dan buah semangka dibiarkan membusuk di mana-mana.
Petugas dapur istana setiap hari dimarahi karena hampir
setiap hari pula bulir-bulir padi dibiarkan membusuk. Itulah
saking melimpahnya kekayaan di istana," tutur Ki Darma
lagi. "Hanya melimpah-ruah di seputar istana saja?"
"Ya. Dan semua hanya untuk kepentingan orang-orang
istana saja. Untuk kemakmuran para bangsawan, kerabat
raja dan kaum santana saja."
"Kaum santana?"
"Ya, kaum santana adalah kelompok pedagang kaya atau
petugas negara termasuk kalangan perwira kerajaan?"
sahut Ki Darma. "Jadi, rakyat sendiri dapat bagian apa?"
"Rakyat hanya dapat kewajiban saja dan sangat sedikit
bagiannya yang bernama hak."
"Kok bisa-bisanya begitu, ya ?" Ginggi berdecak. Bukan
decak kagum tapi karena tak habis mengerti.
Ki Darma nampak menghela napas panjang.
"Prabu Ratu Sakti yang memimpin negri hari-hari
belakangan ini sebenarnya punya tujuan baik. Dia ingin
mengembalikan Pajajaran ke zaman keemasan seperti
dialami oleh Sri Baduga Maharaja, kakek-buyutnya. Tapi
untuk mengembalikan kejayaan negri butuh daya dan
tenaga. Harta kekayaan yang melimpah pun amat
dibutuhkan. Hanya bedanya, bila dulu kekayaan negri
melimpah dihasilkan melalui perdagangan antar negri, kini
kekayaan kas negara harus dihasilkan dari keringat rakyat
sendiri. Kemampuan rakyat dipompa habis, seba ditarik
setinggi-tingginya."
"Seba?" "Seba adalah semacam pajak. Setiap penghasilan rakyat
musti dipotong, diberikan kepada pemerintah. Pajak dasa
dan calagara dilipat gandakan."
"Apakah itu?" "Dasa adalah pajak tenaga perorangan dan calagara
merupakan pajak tenaga secara gotong-royong. Seluru
hamba rahayat Pajajaran sejak dahulu memang dikenakan
pajak-pajak seperti ini. Mereka diwajibkan mengerjakan
huma dan ladang milik negara atau tanah-tanah milik para
bangsawan. Bisa juga mereka dikenakan pajak negara untuk


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertugas mencari ikan di muara dan di laut. Bedanya, dasa
dan calagara yang dikerjakan di masa-masa silam, selalu
dilakukan dengan hati senang. Rakyat bekerja penuh
pengabdian. Mengolah ladang dan huma sambil
bersenandung, kendati keringat basah mengucur. Anakanak pun riang-gembira ikut marak atau munday bersama
orangtuanya ?" "Apakah marak dan muday itu, Ki"
"Keduanya sama-sama bekerja di muara sungai mencari
ikan. Bila hasil ikan memenuhi buleng, yaitu tempat ikan
dari anyaman bambu, maka mereka saling berebutan
memanggulnya sambil riang-gembira. Ikan yang banyak itu,
semua diserahkan kepada wadha, yaitu petugas negara
dalam urusan itu. Ya, rakyat senang mengabdi kepada
negara. Itu terjadi di zaman Pajajaran diperintah oleh Sang
Prabu Sri Baduga Maharaja, Prabu Siliwangi ?" kata Ki
Darma matanya menatap nanar ke taburan bintang di
langit. Ginggi ikut merenung ketika Ki Darma seperti
mengumbar lamunan. "Itulah sebabnya, aku selalu rewel
kalau kau malas melakukan latihan ?" gumam Ki Darma
kemudian. Ginggi menatap tajam ke arah gurunya. "Tugasku apa,
Ki?" tanyanya kemudian.
Ki Darma kembali mengeluh pendek. Wajahnya muram
semuram cahaya pelita. "Terlalu besar dan amat mustahil
bila kau seorang diri bisa mengubah keadaan. Namun
dengan punya niat suci ikut meringankan beban rakyat,
hidupmu telah lebih baik ketimbang duduk berpangku
tangan ?" "Ya, apa tugasku?"
"Banyak cutak (camat) atau pemimpin kandagalante
(wedana) di wilayah ini yang kerjanya memeras rakyat
hanya karena mereka ingin dipuji atasannya. Mereka
menyiksa dan memaksa, menghentak mencari jasa. Mereka
tertawa bila wilayahnya dipuji sebagai penghasil seba paling
baik tapi sama-sekali tak menggubris rakyat yang menjerit
karena tercekik. Itulah tugasmu, Ginggi. Tidak akan
seluruhnya bisa kau selesaikan. Tapi cobalah sebab
mencoba jauh lebih baik ketimbang diam sama-sekali," kata
Ki Darma lagi. Ginggi terpekur mendengar uraian gurunya ini.
"Aku tak tahu apa yang musti dikerjakan. Aku pun
bahkan tak tahu dari mana musti mulai ?"kata Ginggi
berdesah. "Kau akan mengalami perjalanan amat panjang. Dan
sebelum tiba pada perjalanan sesungguhnya, kau akan
bersusah-susah di tempat ini dulu. Masih banyak yang
harus kau sempurnakan di sini ?"
"Urusan kewiraan?"
"Benar, sebab di zaman seperti ini, hanya ilmu kewiraan
yang bisa digunakan dalam mempertahankan hidup," tutur
Ki Darma. (O-ani-kz-O) Seperti apa yang diisyaratkan oleh Ki Darma, Ginggi
harus menjalani sesuatu yang jadi persyaratan.Tidak siang
tidak malam, setiap hari Ginggi harus memperdalam ilmu
kewiraan. Tapi selama hidupnya, sebenarnya Ginggi belum
pernah bertemu musuh. Namun, kian mendalami ilmu yang
diberikan oleh Ki Darma, kian jelas pada dirinya, betapa
sebenarnya ilmu-ilmu itu hanya diperuntukkan dalam
menghadapi musuh. Itu adalah ilmu perkelahian.
Di beberapa bagian, jurus-jurus dan gerakan yang
diberikan Ki Darma membuat hati Ginggi bergidik, sebab
jurus-jurus itu disiapkan untuk membunuh lawan.
Pada suatu hari Ginggi diawasi Ki Darma untuk
memainkan satu dua jurus perkelahian.
Di puncak Gunung Cakrabuana ini, suasana masih
dipenuhi embun karena matahari belum memancarkan
sinarnya. Namun di tengah tanah lapang berumput hijau,
Ginggi dan Ki Darma sudah berdiri tegak.
Puncak Gunung Cakrabuana ini bila dilihat dari kakinya
seperti kecil tak berarti. Namun bila berdiri di puncak,
tempat tertinggi dari gunung itu sebetulnya merupakan
sebuah lapangan yang cukup luas. Kalaulah di sini
diselenggarakan latihan perang-perangan, maka dua
pasukan besar dengan masing-masing kekuatan seratus
prajurit dan saling berhadapan masih mampu ditampung di
lapangan puncak gunung ini.
Sekarang, di pagi hari yang sunyi ini, lapangan begitu
luas hanya dipakai oleh dua orang saja. Malah yang
melakukan gerakan berlatih hanya Ginggi seorang saja,
sementara itu Ki Darma sendiri hanya bertindak sebagai
pengamat belaka. Kalau pun ada "orang" ketiga, itu pun hanyalah bebegig
saja, yaitu bentuk orang-orangan terbuat dari susunan
jerami padi huma dan kepalanya terbuat dari buah kukuk.
Ginggi berdiri di atas tanah berumput dengan kuda-kuda
yang amat aneh, yaitu berdiri hanya menggunakan satu
kaki kanan saja. Agak doyong ke depan sementara lutut
agak sedikit melipat dan ujung telapak kakinya berjingkat.
Kedua tangannya bersilang di depan dada. Tangan kanan
terkepal keras dan tangan kiri nampak meluruskan dua jarijari. Sepasang jari-jari ini tepat membelah muka di bagian
hidung. Ginggi menahan napas, memusatkan pikiran dan segera
mencoba mengalirkan tenaga dalamnya ke kaki kanan.
Manakala terdengar bentakan keras dari mulut Ki Darma,
Ginggi pun segera meniru membentak keras. Suaranya
melengking tapi akan menyakitkan telinga bila di sana
kebetulan ada yang mendengarnya. Namun belum juga usai
suara bentakannya, Ginggi menjejak panggung dengan
kerasnya. Kaki kanan yang tadi agak doyong serentak
bergerak bagaikan per dan badannya melontar ke depan.
Secara kilat tubuh pemuda itu meluncur bagaikan anakpanah hendak menancap di tubuh orang-orangan.
Dan manakala tubuh Ginggi tepat berada di atas orangorangan, kedudukannya nampak terbalik, kepala di bawah
kaki di atas. Ginggi melakukan gerakan salto. Namun itulah
gerakan serangan paling utuh. Tangan kanan yang tadi
terkepal serentak dibuka lebar-lebar dan didorong ke depan
mengarah wajah orang-orangan.
Itu adalah gerakan serangan tamparan. Tapi tangan
mengembang itu tidak dilanjutkan untuk melakukan
tamparan namun untuk menghalangi batas pandangan mata
musuh. Serangan sebenarnya yang akan dilakukan adalah
melalui tangan kiri. Dua jari tangan yang tajam dan lurus,
secara ganas "menerobos" ubun-ubun orang-orangan itu.
Crap! Buah kukuk tertembus jari.
Secara cepat, jari tangan kiri segera ditarik dan kini
giliran tangan kanan ganti menyerang. Telapak tangan itu
terbuka lebar dan "menepuk" jidat buah kukuk. Prak,
"kepala musuh" pecah berantakan. Tubuh Ginggi
jumpalitan beberapa kali untuk kemudian berdiri tegak tiga
depa jauhnya. Namun begitu kaki menjejak tanah, tubuh
Ginggi menggigil seperti terserang demam.
"Ada apa?" Ki Darma kaget.
"Ganas! Ganas!" pekik Ginggi.
"Apanya yang ganas?"
"Serangan itu. Gerakan itu amat mematikan. Ganas dan
tak manusiawi!" kutuk Ginggi lagi.
Ki Darma menghela napas dibuatnya.
"Memang begitulah ?"
"Tapi mengapa, Aki bilang orang Pajajaran terkenal
berbudi halus. Kok sanggup menciptakan ilmu ganas untuk
membunuh orang?" Lagi-lagi Ki Darma menghela napas panjang.
"Yang penting bagaimana kita memperlakukannya. Ilmu
bela diri di mana pun memang ganas sebab dibuat untuk
membunuh lawan. Ilmu bela diri Pajajaran selalu mencari
urat kematian dari mulai ubun-ubun hingga ujung kaki.
Namun apakah mentang-mentang punya ilmu, maka setiap
saat kita akan membunuhi orang" Kita pun punya pisau
pangot tidak selalu digunakan untuk menorehi kayu. Ilmu
kedigjayaan musti engkau miliki bukan untuk mencari-cari
lawan namun untuk menjauhi lawan. Kalau engkau
diserang lawan, cepatlah berkelit. Kalau tak bisa berkelit,
menghindarlah. Kalau tak bisa menghindar, larilah dengan
cepat. Tapi kalau masih dikejar dan terpepet, lawanlah dia.
Maka di sanalah ilmumu kau gunakan ?" tutur Ki Darma
panjang-lebar. Namun Ginggi masih tetap terpengaruhi oleh hasil
serangannya tadi. "Itulah kelemahanmu, Ginggi. Satu saat kelemahan ini
akan membahayakan dirimu," kata Ki Darma.
Ginggi tercenung. Ucapan gurunya ini telah beberapa
kali dikemukakan. Dan kebenaran kata-kata itu pernah
terjadi. Suatu saat Ginggi ditugaskan berburu menjangan untuk
persediaan makanan. Di lereng Gunung Cakrabuana yang berhutan lebat
banyak didapat bermacam-macam binatang seperti kelinci,
menjangan namun juga ada meong congkok, macan tutul
dan harimau. Ketika anak muda itu hendak menangkap seekor
menjangan, banyak hambatan menahan dirinya, yaitu
perasaannya selalu tak enak. Menjangan itu tak berdosa,
mengapa harus dibunuh. Menjangan adalah binatang yang
lugu. Dia tak merugikan makhluk lainnya. Tidak pula
sanggup membunuh binatang sekecil apa pun. Jadi,
mengapa sekarang harus dibunuh"
"Tak selamanya membunuh disebut jahat," ujar gurunya
suatu ketika. "Harimau membunuh bukanlah sebuah
kejahatan sebab dia perlu makan. Dia pun tidak serakah
sebab bilamana rasa laparnya sudah hilang dia tak
membunuh lagi," tutur gurunya lagi. "Lagi pula, harimau
bukanlah binatang usil. Kalau dia tak diganggu maka dia
tak akan mengganggu. Setiap akan bertemu manusia,
harimau selalu menghindar, kecuali kalau kepentingannya
akan diganggu dan dirinya merasa ada dalam bahaya.
Berburu menjangan bukan kejahatan sebab kita butuh
makan. Karena di dalam hutan ada menjangan dan
dagingnya menyehatkan untuk jadi makanan, maka
menjangan diburu," lanjut Ki Darma lagi.
Ginggi mengintip seekor menjangan. Menjangan itu
masih muda. Kalaulah dia manusa, mungkin seusia dirinya.
Atau barangkali belum pantas untuk dilepas sendiri oleh
induknya. Tapi Ginggi tak tahu mengapa menjangan itu malah
berkeliaran sendiri, sebab dengan begitu bakal ada ancaman
terhadap nyawanya. Semula Ginggi akan menimpuk kepala menjangan muda
itu dengan batu. Namun karena rasa kasihan, niat itu
diurungkannya. "Dia akan kutangkap hidup-hidup saja dengan
menggunakan ilmu Salimpet Haseup," pikir Ginggi. Ini
adalah sebuah ilmu untuk menyeruak di tengah-tengah
belukar namun tanpa menimbulkan bunyi keresekan.
Namun belum lagi dia bertindak, dari arah sana ada
bunyi keresekan amat halus. Hanya karena pemuda itu
pandai menggunakan ilmu Hiliwir Sumping, sejenis ilmu
untuk mendengar suara dari jarak jauh, maka suara
keresekan itu terdengar nyata. Hati Ginggi berdebar.
"Harimau ?" bisiknya perlahan.
Dan benar saja, ada tubuh besar berbulu kuning dengan
polet garis-garis hitam menerjang ke arah tubuh menjangan
bagaikan kilat. Ginggi harus berani adu cepat, sebab bila terlambat
sedikit saja, maka tubuh menjangan muda itu akan jadi
santapan koyakan kuku dan taring-taring tajam.
Ginggi menotolkan ujung jari kakinya kemudian
tubuhnya melesat mengarah tubuh Si Raja Hutan itu.
Harimau itu perhatiannya tengah tercurah kepada
buruannya, sehingga manakala terjangan kaki Ginggi
menyerang, dia tak bisa menghindar.
Dukk! Terdengar suara gerengan keras membelah dada.
Harimau itu pasti kesakitan. Namun Ginggi sadar,
sebenarnya kalaulah serangan kakinya tak dikurangi sampai
dua pertiganya, maka binatang besar itu pasti akan terluka
amat hebat dan barangkali akan tewas. Tapi Ginggi tak
mau membunuh binatang itu. Hanya saja akibat dari rasa
kasihan inilah maka sebagai imbalannya ada serbuan amat
ganas dari Si Raja Hutan. Sang Harimau kini meninggalkan
buruannya dan segera mengalihkan serangannya kepada
pemuda itu. Dengan serta-merta tubuh sebesar kerbau itu melesat
terbang mengarah tubuh Ginggi. Pemuda itu menghindar
ke bawah perut harimau. Maka seandainya akan
menamatkan riwayat binatang itu, Ginggi hanya perlu
menusuknya dengan ujung jarinya ke arah perut harimau
dan binatang itu niscaya akan tersobek perutnya. Namun
Ginggi tak melakukan hal itu. Yang dia lakukan hanyalah
merapatkan tubuhnya di atas tanah dan perut binatang buas
itu bergelisir ke punggung pemuda itu.
Untuk kedua kalinya harimau menerjang keras dengan
cakarnya yang tajam. Kembali Ginggi melengos mundur.
Namun tak dinyana, binatang itu menotolkan sebelah
kakinya ke atas tanah sehingga tubuhnya bisa "terbang"
kembali menghampiri pemuda itu. Ginggi tak menyangka
akan hal ini. Hanya saja secara tiba-tiba jari beruncing dari
kaki depan harimau sudah bergerak cepat hendak mencarut
wajahnya. (O-anikz-O) Jilid 02 "Auuuppp!!!" tubuh Ginggi jumpalitan ke belakang.
Cakar itu hanya seujung kuku saja jaraknya dari pipi
pemuda itu. Ketika Ginggi masih jumpalitan, harimau kembali
menerjang dengan cakarnya. Kali ini Ginggi tak tinggal


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diam. Ketika kaki depan hendak menampar kepalanya,
secepat kilat tangan Ginggi mendahului menampar.
Plak! Tubuh sang harimau terlontar beberapa depa ke
belakang dan jatuh bergulingan.
Untuk sejenak harimau itu duduk terpana melihat Ginggi
dengan corong matanya yang tajam. Kemudian terdengar
suara gerengan tajam memekakkan telinga.
Ginggi telah mempersiapkan kuda-kudanya untuk
menunggu serangan susulan dari binatang itu. Namun
setelah ditunggu agak lama, ternyata harimau berbalik arah
dan melarikan diri dengan kaki agak pincang.
Tinggallah Ginggi berdiri mematung. Menjangan telah
pergi, demikian pun sang harimau. Apakah ini sebuah
kesuksesan atau keteledoran, Ginggi tak bisa
memastikannya. Hanya saja ketika kembali pulang dan
melaporkan kejadian ini kepada gurunya, Ki Darma hanya
tersenyum-simpul saja. "Saya ternyata tak berhasil menangkap menjangan. Ki
Guru," tutur Ginggi.
"Yang engkau tak pernah berhasil adalah melawan
kelemahan batinmu, anak muda ?" jawab gurunya.
Dan Ginggi diam tak menjawab.
Terkadang ada kebiasaan orang yang susah untuk
dihilangkan. Tapi Ginggi tak pernah tahu, apakah yang ada
pada dirinya ini kebiasaan buruk atau bukan"
Menerima Tugas Masa terus berjalan, tak terasa satu
tahun telah lewat dari peristiwa itu. Namun selama itu,
Ginggi tetap dilatih ilmu kewiraan oleh gurunya.
Semakin hari semakin keras dan semakinhari semakin
berlatih taktik-taktik ganas. Hingga tiba pada suatu saat Ki
Darma memanggil dirinya. "Sudah tiba saatnya engkau
melaksanakan tugas," kata Ki Darma sambil bersila di
hamparan lumut tebal di bawah pohon carik angin.
Berdegup jantung anak muda itu. Tugas apakah"
Gurunya pernah bilang kalau latihankewiraan bagian dari
tugas. Apakah tugas sebenar-benarnya adalah kali ini"
"Tugas apakah, Aki?" tanyanya.
"Kau harus turun gunung!"
"Turun gunung?"
"Sudah saatnya kau bergaul dengan orang banyak. Kau
lihat, kau alami dan kau rasakan. Maka sesudah semuanya
kau pelajari, kau pasti akan tergerak untuk menjalankan
tugas yang aku maksud," kata Ki Darma, suaranya datar
tanpa menatap wajah muridnya.
Namun Ginggi masih duduk di hadapan gurunya dengan
tatapan tajam. "Satu atau dua tahun silam sudah aku
utarakan perihal ini. Bahwa hari-hari kelabu tengah
menggayuti langit Pajajaran rakyat tengah digoncang
penderitaan karena kebijakan rajanya yang keliru. Rakyat
mengeluh karena kewajiban seba yang tinggi?"
"Apakah seba itu?"
"Seba adalah semacam pajak tahunan. Setiap tahun
pemerintah mengutip pajak dari rakyatnya. Namun setiap
tahun pula, pajak selalu naik tinggi, sementara kehidupan
rakyat tak beranjak naik," jawab Ki Darma menghela napas
panjang. Ginggi masih tetap menatap tajam. "Kendati Negri
Pajajaran masih tetap subur, namun kesejahteraan ternyata
bukan untuk rakyat, melainkan untuk pemuas nafsu pejabat
semata," tutur Ki Darma lagi. Ginggi mengerutkan
dahinya. "Berkelanalah carilah saudara-saudaramu," kata
Ki Darma lagi sehingga mencengangkan Ginggi.
"Apakah saya punya saudara?"
"Bukan pertalian darah. Mereka adalah saudara
seperguruan," kata Ki Darma pula sambil melanjutkan
penjelasannya, bahwa dulu lebih sepuluh tahun silam,
sebelum dirinya menemukan seorang anak telantar di
kubangan lumpur Kampung Caringin, Ki Darma pernah
punya empat orang murid. "Pertama aku punya murid dua orang, Ki Banaspati dan
Ki Bagus Seta. Mulanya aku latih mereka ilmu kewiraan
dengan harapan mereka kelak bisa mengabdi kepada
negara. Namun belakangan manakala kulihat negara dalam
keadaan bobrok, maka kucegah mereka. Mereka hanya
kusuruh mempertahankan negri tanpa mereka harus ikutcampur urusan kenegaraan. Dengan dua orang muridku,
aku berpisah ketika perang melawan Kerajaan Cirebon
berkecamuk," tutur Ki Darma panjang-lebar.
Ginggi mengangguk-angguk.
"Dari Pakuan aku mengembara ke mana-mana. Sampai
akhirnya tiba di Wilayah Karatuan Talaga. Di sini aku
punya murid dua saudara kembar, Ki Rangga Guna dan Ki
Rangga Wisesa. Seperti yang kini aku perintahkan
kepadamu, maka kepada keempat muridku pun aku
perintahkan hal yang sama, yaitu berdirilah di pihak rakyat
yang lagi menderita. Kini belasan tahun berlalu, aku tak
tahu khabar berita dari mereka. Kalau hidup mesti
terdengar beritanya dan kalau mati mesti terlihat kuburnya.
Kau carilah mereka dan kau gabunglah dengan mereka
kalau selama itu mereka tetap mentaati perintahku. Tapi
kalau yang terjadi adalah sebaliknya, kau harus tentang
mereka." Ginggi mengangguk-angguk kembali, bahkan kini
anggukannya nampak bersemangat sekali.
Mengapa tak begitu, sebab sebenarnya Ginggi sudah
merasa bosan belasan tahun berada di Puncak Cakrabuana
dan jarang bertemu manusia lainnya. Saat-saat tertentu Ki
Darma suka menyuruhnya untuk turun ke kampung di kaki
gunung namun Ki Darma melarang Ginggi banyak
berhubungan dengan penduduk.
Sekarang Ki Darma malah menyuruhnya untuk turun
gunung dan bergabung dengan khalayak ramai. Sudah
barang tentu ini amat menggembirakan hatinya.
"Kau tentu akan banyak menerima tantangan hidup
bahkan derita. Tapi tak apa. Untuk membantu sesama
maka penderitaan adalah mulia," kata Ki Darma.
"Kapan saya harus mulai turun gunung, Aki?" tanya
Ginggi tak sabar. "Esok subuh sebelum pagi benar-benar lewat!"
"Esok subuh?" Ginggi terkejut. "Mengapa begitu
mendadak?" "Tidak mendadak sebab telah aku perhitungkan jauh
hari?" "Tapi saya harus diberitahu jauh sebelumnya juga, Aki!"
Ki Darma hanya terkekeh saja.
"Ayo masuk kamarmu. Kau siapkan apa yang mesti kau
bawa." Ki Darma berdiri duluan dan berjalan menuju rumah
gubuknya. Namun karena Ginggi masih terdiam, Ki Darma
pun berbalik lagi. "Apakah engkau tak mau melihat kediamanmu untuk
penghabisan kalinya?" tanya Ki Darma.
"Sepertinya saya tak boleh kembali ke sini, Aki?"
"Hidup penuh misteri. Apa yang akan terjadi besok tak
akan ada yang tahu persis."
"Jangan samakan dengan saudara seperguruan saya
lainnya yang hingga kini tak pernah pulang, Aki," kata
Ginggi. Hanya dijawab dengan senyuman tipis gurunya. Karena
Ki Darma tetap memaksa, akhirnya Ginggi berjingkat
menuju kamar rumah panggungnya. Namun kegairahan
melihat dunia luar serasa tersendat oleh hal-hal mendadak
seperti ini. Ya, perintah gurunya terasa mendadak dan
seperti terkesan ada sesuatu yang dipaksakan.
Keganjilan ini semakin jelas ketika di kamarnya sudah
tergolek pula sebuah buntalan kain. Ternyata benar,
gurunya sudah mempersiapkan segalanya sejak dini.
"Aki, benar-benarkah saya harus pergi secepat ini?"
"Ya ?" "Subuh hari?" "Ya, supaya engkau tidak kemalaman di Hutan Bukit
Banyukerta ?" "Aki ?" "Apa?" "Tak sebaiknyakah kita berkelana berdua?"
"Hahaha!" Ki Darma tertawa keras.
"Kau beritahu, kapan saya harus kembali?"
"Nanti bila benar harapanku sudah terkabul. Tapi aku
pun sebenarnya tak peduli kapan kauakan kembali. Kau
harus tahu, perjuanganmu amatlah berat. Membela rakyat
bukanlah pekerjaan enteng."
"Ki Guru, saya akan berusaha melaksanakan tugasmu
dengan baik sebab saya ingin segera kembali ke sini ?" kata
Ginggi yang hanya disambut oleh gelak tawa gurunya.
Namun Ginggi tak tersinggung gurunya hanya tertawa
saja. Yang dia sedihkan adalah mengapa perpisahan dengan
gurunya harus secepat ini.
Ginggi memang rasakan, selama bersama gurunya tak
ada perhatian berlebih. Tak ada kesejahteraan baik
makanan atau pun pakaian. Kalau Ki Darma berburu
mencari makanan di hutan, hasilnya terkadang dimakan
sendiri. Kalau ada sisa, Ginggi makan sisanya, kalau tak
ada, Ginggi cari sendiri, sekalian bawa hasil lebih untuk
persediaan gurunya. Namun demikian, Ginggi tidak pernah
tersiksa dengan ini. Perbuatan gurunya yang seenaknya
bahkan dipakai alasan agar dirinya pun bisa merdeka pula
seperti gurunya. Di antaranya bisa menolak perintah
gurunya. Inilah pertautan batin yang erat antara dirinya
dengan gurunya, yaitu sama-sama memberikan kebebasan.
Tapi kini ada perasaan tak enak mendera dirinya. Kini
pemuda ini merasa khawatir, khawatir tak bisa bertemu lagi
dengan gurunya. Ginggi juga merasa khawatir, khawatir
akan kesendirian Ki Darma. Puncak Gunung Cakrabuana
ini begitu sunyi dan begitu sepi. Tidakkah Ki Darma kelak
akan merasa kesunyian sebab telah kehilangan dirinya"
Kalau Ginggi sudah pergi turun gunung, tentu Ki Darma
sudah tak bisa marah-marah lagi seperti biasa. Bila dirinya
sudah pergi, Ki Darma pasti sudah tak punya lagi teman
untuk bersilang pendapat. Dan kalau dirinya sudah
mengembara, pasti Ki Darma sudah tak bisa memaksakan
pendapatnya lagi. Ya, kepada siapa Ki Darma akan
berhubungan untuk melepaskan segala macam unek-unek di
hatinya" "Aki, izinkan saya untuk berkumpul denganmu, dalam
satu dua hari ini saja?" pinta Ginggi mengiba.
"Kau harus berangkat sekarang juga, Ginggi!"
"Tidakkah Aki menginginkan saya berburu kelinci dulu,
berburu menjangan dulu atau sekadarberburu burung walik
saja dulu" Kita kan perlu makan bersama untuk sekadar
mengucapkanselamat berpisah?"
"Tidak" "Aki ?" "Tidak. Besok subuh kau harus pergi. Sekarang cepatlah
tidur!" bentak Ki Darma. Wajah Ginggi meredup. Maka
dengan serta-merta dia pun segera beranjak ke biliknya.
Begitu hingga subuh tiba.
Ketika kokok ayam pertama berbunyi dari hutan
kejauhan, Ki Darma sudah mengetuk-ngetuk daun pintu.
"Bangun! Bangun!" teriak Ki Darma. Ginggi yang
semalaman tak bisa tidur sebenarnya hanya tinggal buka
pintu saja. Dia pun sudah siap dengan buntalan di
punggungnya. "Ya, bagus. Sekarang cepatlah pergi!"
Ginggi masih terpaku. "Ini sebuah perintah, anak muda. Sesuatu yang jarang
aku lakukan. Namun kali ini, perintah harus kau taati," kata
Ki Darma tegas. "Baik, Ki Guru ?"
"Dan jangan sekali-kali kau berani tengok lagi ke
belakang ?" "Baik, Ki Guru ?"
"Kendati ada sesuatu yang aneh sekali pun ?"
"Ba "baik, Ki Guru!"
(O-ani-kz-O) Ginggi turun gunung dengan perasaan terganggu.
Kepergiannya yang tergesa ini dianggapnya sebagai sesuatu
misteri. Ada rahasia apakah sehingga Ki Darma harus
melakukan hal seperti ini"
Memang benar, kadang-kadang gurunya ini suka
memaksakan kehendak tapi yang ini terasa ganjil.
Dan ini misterius bagi pikiran Ginggi. Apalagi Ki Darma
mengucapkan satu kalimat yang aneh, yaitu Ginggi musti
berjanji untuk tidak mau menengok ke belakang walau ada
sesuatu yang aneh. Akan ada kejadian apakah sebenarnya"
"Kau ikuti Sungai Citajur atau Sungai Cilanjung agar
kau tak kehilangan arah. Tapi hati-hati, jangan masuk ke
kiri arah Lemahsugih atau Bantarujeg. Kau harus menyusur
arah kanan menuju Kampung Cae atau Sukanyiru saja. Bila
kau sudah lepas kaki Gunung Cakrabuana untuk memulai
perjalanan panjang, jangan sekali-kali lewat
Sumedanglarang tapi kau lewatlah ke Kandangwesi," kata
Ki Darma tadi malam. "Tapi hati-hati, di Kampung Cae kau jangan berani
mengobral riwayat. Siapa dirimu, dengan siapa dan di
mana kau tinggal, itu sesuatu yang harus kau tutupi," kata
Ki Darma lagi. Ki Darma bahkan tadi malam memberinya petuah agar
Ginggi mau merahasiakan kepandaiannya.
"Jauhi perkelahian. Kalau ada yang menantangmu, kau
hindari. Bila dia mengejarmu, kau lari. Hanya saja bila
sudah menghindar kau kepepet, maka lawanlah asal jangan
mencederai lawan ?" kata Ki Darma.
(O-ani-kz-O) Memasuki hutan Bukit Banyukerti, sinar matahari hanya
nampak dari sela-sela dedaunan saja, padahal sinar
matahari itu tepat di atas ubun-ubun.
Maka ucapan Ki Darma benar belaka sebab bila Ginggi
tidak meninggalkan puncak pada subuh hari, maka dia akan
memasuki hutan ini pada senja hari. Padahal sesudah
melewati perbukitan ini, dia pun masih harus melewati satu
wilayah perbukitan lagi, Pasir Jami Datar namanya.


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kata Ki Darma waktu kemarin, kedua perbukitan ini
jarang dijamah manusia. Penduduk di kaki bukit jarang
yang berani naik ke sini apalagi di saat senja hari. Ginggi
mempercayainya sebab dia pun tahu kalau di daerah ini
masih didapat berbagai binatang buas seperti ular dan
macan tutul. Namun banyaknya binatang buas pun
sebenarnya merupakan tanda bahwa di daerah ini banyak
binatang buruan, termasuk yang biasa dimakan manusia.
Di Bukit Banyukerti banyak didapat pohon kuray, puspa,
rasamala dan juga kareumbi. Bila tiba saatnya kareumbi
berbuah, maka akan banyak burung walik di sana. Bulu
burung ini indah kehijau-hijauan namun dagingnya pun
cukup gurih untuk dibakar.
Hari-hari ini kareumbi tengah berbuah ranum. Dan
Ginggi amat menyesal, mengapa Ki Darma memaksa
dirinya untuk pergi. Padahal bila tak begitu, hari-hari ini dia
bersama gurunya bisa pesta besar memakan burung walik
bakar. "Burung walik kesenangan Ki Guru. Dia pasti tahu harihari ini kareumbi tengah berbuah. Tapi kenapa Ki Guru
malah mengusirku?" keluh Ginggi dalam hatinya.
Dan di saat hatinya tengah berkeluh-kesah inilah dia
mendadak menghentikan langkahnya.
Telinga Ginggi melalui ilmu Hiliwir Sumping, yaitu
semacam ilmu untuk mendengarkan suara halus telah
mendeteksi desiran-desiran mencurigakan.
"Ada belasan orang berlari cepat dan menggunakan ilmu
Napak Sancang ?" desis mulutnya perlahan.
Napas Sancang adalah semacam ilmu meringankan
tubuh. Orang yang pandai menggunakan ilmu ini bisa
berlari di atas hamparan rumput tanpa telapak kaki
menginjak tanah, bahkan bisa berlari dengan cepat di atas
permukaan air. Kata Ki Darma, orang-orang pandai di Pajajaran suka
menggunakan ilmu ini di saat penting. Namun orang-orang
dari manakah di tengah hari seperti ini berduyun-duyun
menuju puncak" Untuk tidak berpapasan dengan mereka, Ginggi segera
meloncat ke atas dahan sebuah pohon.
Maka tak berapa lama kemudian, belasan orang terlihat
berlari kencang menuju ke atas bukit. Tampang mereka
gagah-gagah. Pakaian yang mereka kenakan pun bagusbagus dan seperti berseragam pula. Mereka mengenakan
baju warna biru tua tangan panjang yang dilapis pula
dengan baju rompi terbuat dari beludru hitam. Tiap sisi baju
rompi ini dikelim benang perak. Celana yang mereka
kenakan pun sama yaitu celana sontog dari jenis beludru
dan sama diberi benang warna perak pada sisi-sisinya.
Mereka pun sama menggunakan ikat kepala dari kain batik
jenishihinggulan, corak batik khas Pajajaran.
"Nampaknya mereka orang-orang kota. Mungkin datang
dari kalangan istana. Tapi siapakah mereka?"
Ginggi hanya sanggup bertanya dalam hatinya saja.
Memang ada keinginan untuk membuntuti mereka. Namun
pemuda itu teringat akan ucapan gurunya agar tak
menggubris apa pun yang sekiranya dianggap aneh menurut
pandangannya. "Mereka nampaknya akan menuju Puncak Gunung
Cakrabuana. Apakah mereka bermaksud mengunjungi Ki
Guru?" pikirnya lagi.
Kembali rasa penasaran menggoda dirinya. Namun
kembali dia pun menahan godaan ini karena teringat akan
pesan gurunya. Dusun Cae Menjelang senja hari, pemuda itu sudah
sampai di ujung batas desa. Kata Ki Darma, bila akan
masuk ke sebuah desa, tidak boleh kemalaman sebablawang
kori akan segera ditutup. Lawang kori adalah semacam
pintu gerbang. Zaman dulu, biasanya sebuah kampung
akan dikungkungi pagar tinggi dan memiliki sebuah
gerbang terbuat dari kayu jati gelondongan. Gerbang akan
ditutup menjelang senja, menghindarkan masuknya
binatang buas atau para perampok. Bila ada yang memaksa
masuk, akan ditanya petugas tugur yaitu peronda malam.
Kalau tak salah perkiraan, inilah Desa Cae seperti apa
yang dikatakan Ki Darma. Ginggi menduga demikian sebab
dusun ini terletak di kaki Gunung Cakrabuana. Lebih
meyakinkan lagi, desa ini terletak di persimpangan jalan
roda pedati. Desa Cae yang terletak di sebelah barat gunung, jadi
persimpangan jalan. Ke arah barat akan mengarah Kerajaan
Sumedanglarang, bila sedikit mengarah ke timur laut akan
mengarah ke Kandagalante Limbangan (Kandagalante
adalah pejabat setingkat wedana untuk ukuran masa kini).
Sebelum memasuki wilayah desa, jalan ke arah itu hanya
kecil saja. Bahkan kian jauh dari desa, jalan kecil hanya
berupa lorong saja, apalagi bila berada di daerah lereng
bukit. Namun sepemakan sirih lamanya, bila berjalan cepat,
Ginggi akan sudah menemukan jalan selebar satu depa
(kurang lebih 1,698 meter) yang kian menuju lawang kori
akan semakin lebar. Ginggi meneliti dari kejauhan, lawang kori sudah tutup
sebab senja telah jatuh. Ketika dia menghampiri halaman depan gerbang, terlihat
dua orang penjaga berpakaian serba hitam segera
mencegatnya. Dua penjaga itu masing-masing membelitkan
kainsarung poleng di pinggang dan di kepala masing-masing
menggunakan cotom (sebangsa topi anyaman bambu
bercaping lengkung). "Kalau Ki Silah (Saudara) seorang pedagang, musti
berbaju kampret celana gombor dan memaki ikat kepala
batik jenis pupunjungan. Kalau engkau seorang petani,
musti mengenakan dudukuy toroktok (topi anyaman bambu
bercaping lebar) dan memakai sontog (celana sebatas
dengkul). Namun Ki Silah pun bukan seorang peladang dan
bukan pula pengambil kayu. Kau pun nampaknya bukan
orang sini," kata seorang dari mereka bertubuh tinggi
berkumis tipis, bertanya bertele-tele.
"Aku bukan petani, bukan pula peladang," jawab Ginggi
tanpa basa-basi, sehingga membuat penjaga satunya
bertubuh gempal, mengerutkan dahinya.
Nada suara Ginggi berlogat asing dan terdengar ketus
bagi pendengaran mereka. "Engkau dari mana?" tanya lagi Si Gempal dengan nada
ketus pula. Ginggi tak berkata sebab pertanyaan yang satu ini kata
gurunya tak boleh dijawab.
"Kau tak mau jawab?"
"Tidak mau!" "Kau orang jahat?"
"Kenapa lantaran tak mau jawab disebut penjahat?"
tanya Ginggi menyipitkan matanya.
"Orang yang tak mau mengatakan siapa dia sebenarnya,
pasti menyembunyikan sesuatu. Apalagi yang tengah
disembunyikan kalau bukan kejahatan?"
Si Tubuh Gempal berkacak pinggang dengan tangan
kanannya seolah menunjuk pada sebatang golok yang
terselip di pinggang. "Aku bukan orang jahat. Tapi kalau tak percaya terserah.
Tak ada orang yang senang memaksakan kehendak,
termasuk aku," jawab Ginggi tetap ketus namun bergerak
seperti akan memasuki gerbang lawang kori.
"Hai, jangan masuk sembarangan! Ki Ogel, cepat kunci
gerbang!" kata si jangkung kurus.
Si Gempal yang disebut Ki Ogel cepat mendorong rapat
pintu gerbang namun Ginggi menahan ujung gerbang.
"Kau orang jahat!" hardik Ki Ogel.
"Membiarkan orang tinggal di luar gerbang untuk
diganggu binatang buas, itulah yang jahat!" jawab Ginggi
tetap ketus. Ki Ogel marah. Dia dengan cepat mencabut golok dari
sarungnya. Dan kendati hari sudah senja, namun kilatan
mata golok nampak jelas berkilat-kilat, sebagai tanda golok
itu amat tajam. Ginggi tak takut oleh kilatan golok. Namun kata
gurunya, jangan mencoba berkelahi sembarangan. Dari
pada berkelahi tanpa sebab-sebab jelas, lebih baik lari. Maka
ingat pesan gurunya, Ginggi bersiap-siap memasuki
gerbang. Namun kedua penjaga gerbang rupanya sudah dapat
menduganya. Maka Ginggi dikepung kiri dan kanan. Dua
orang itu membelakangi jalan dan tubuh mereka seolah
menutupi gerbang kampung.
Ki Ogel siap dengan goloknya, kecuali temannya hanya
memasang kuda-kuda saja. Namun sebelum keributan
terjadi, dari arah belakang gerbang terdengar suara,
menyuruh agar keributan dihentikan.
"Di saat matahari sudah tenggelam, di saat parawiku
tengah memuja Hyang, mengapa kalian malah membuat
onar?" kata seorang lelaki tua berumur kira-kira 70 tahunan.
Pakaiannya kain katun kasar warna putih, begitu pun tutup
kepalanya, tutup kepala, warna putih.
"Rama, ada orang asing mau memasuki kampung!" kata
Si Jangkung dengan suara halus dan hormat.
"Orang asing singgah di kampung kita sudah biasa,
mengapa musti diributkan, Ki Banen?"
"Dia mungkin orang jahat!" maka Ki Ogellah yang
menjawabnya. "Yang namanya mungkin artinya belum tentu. Maka
sebelum kejahatannya terbukti, kita jangan coba
menindaknya. Jangan menilai orang dengan rasa curiga
sebab hanya akan menjatuhkan martabat kita saja," tutur
lelaki tua penyabar itu. "Namun Rama, anak muda ini tak dapat menjaga lidah
dengan baik, tutur bahasanya ketus, jauh dari kesopanan,"
tutur Ki Ogel penasaran. Kini giliran orang tua itu menatap
wajah Ginggi. Dan Ginggi memalingkan muka tak sanggup
balik menatap lama. "Nah coba Rama, betapa tak sopannya anak muda ini?"
kata Ki Ogel. "Orang muda, engkau nampak aneh, tak
seperti orang Pajajaran pada umumnya. Tapi sepanjang tak
menggangu ketentraman kampung, tak apalah. Begitu pun
bila kau tak mau mengatakan siapa dirimu. Namun satu hal
saja tentu aku boleh tahu, untuk apa kau kunjungi dusun
kami?" tanya lelaki tua penyabar ini. Suaranya
menyejukkan sehingga secara spontan hati pemuda itu pun
segan juga. "Cuaca semakin kelam. Mari, singgah ke
gubukku saja?" ajak lelaki tua berbaju putih-putih itu.
"Rama ?" Ki Ogel masih bercuriga.
"Tak apalah ?" kata lelaki yang dipanggil Rama.
"Kalau ingin diterima dengan baik, kau jangan macammacam, anak muda!" kata Ki Ogel masih tetap mengumbar
ancaman. Maka sesudah lawang kori ditutup rapat-rapat,
txt oleh : http//www.mardias.mywapblog.com
mereka beriringan masuk kampung. Rama di depan dan
Ginggi di belakangnya. Sementara Ki Ogel dan Ki Banen
seolah mengawal Ginggi paling belakang. Ginggi meneliti,
kampung ini tak begitu besar. Barangkali penghuninya tak
lebih dari 50 rumah saja. Bangunan rumah rata-rata dibuat
dari dinding bambu, beratap daun nipah. Ada rumah besar
menggunakan jenis panggung, sementara yang lainnya
berlantai tanah saja. Lelaki penyabar itu membawanya ke
sebuah rumah paling besar di kampung itu. Sebelum masuk
rumah, Ginggi sempat menoleh ke belakang.
"Siapakah orang tua yang baik ini?" tanyanya.
"Beliau adalah Rama Dongdo," ujar Ki Banen yang
pendiam. "Rama itu sebutan apa?"
"Orang yang dituakan di sini, kami juluki Rama."
"Oh ?" "Ki Kuwu Suntara juga harus mentaati apa ucapan
Rama Dongdo." "Makanya kau musti hormat kepada Rama Dongdo
sebab semua orang pun begitu," kata Ki Ogel.
Rumah besar terpisah ini menghadap ke sebuah
pekarangan luas. Tapi yang membuat Ginggi heran, di
pekarangan banyak barang diletakkan di beberapa wadah
seperti carangka dan dongdang, entah apa isinya.
"Itulah hasil bumi dari sini untuk dikirimkan ke Pakuan,"
tutur Ki Banen seperti menduga pertanyaan Ginggi.
"Seba?" "Seba adalah pajak tahunan tahunan yang dikumpulkan
semua semua rakyat Pajajaran. Barang-barang hasil bumi
ini akan dikirim bertepatan dengan upacara Kuwerabakti di
dayo (ibukota) nanti," kata Ki Banen lagi.
"Makanya kami curiga sama orang asing karena
keamanan barang-barang ini," potong Ki Ogel.
Ginggi tak sempat meneliti lebih jauh sebab dia
dipersilakan duduk di bale-bale.
"Nyai, cepat bawakan air putih satu kendi lengkap
dengan lumur nya (tempat minum dari buluh bambu).
Lebih baik lagi bila masih ada rebus kacang atau jagung,"
kata Rama Dongdo entah berbicara kepada siapa.
Sementara menunggu penganan datang, Rama Dongdo
menarik sebuah baki kecil di mana di atasnya tersimpan
tempat sirih. Dia menawari makan sirih namun Ginggi
menolaknya. Kemudian Rama Dongdo sendirian menyusun daun
sirih. Dipilihnya yang hijau tua namun masih nampak segar
dan bersih. Di atas lembaran daun sirih diletakkannya
beberapa jenis rempah-rempah. Ada pinang sekerat,
kapolaga dua butir, daun saga sejumput dan gambir seujung
kuku yang dicampurnya dengan sedikit kapur. Sirih yang
sudah berisi rempah dilipatnya dan kemudian dikunyahnya.
Pelan dan tenang sepertinya menikmatinya.
"Aku seorang pengembara dan memasuki kampung ini
hanya karena kemalaman saja ?" tutur Ginggi tanpa
diminta. Rama Dongdo mengangguk-angguk. Menatap sejenak
dan kemudian mengangguk-angguk lagi. Tapi Ginggi bisa
menilai, sebenarnya orang tua ini masih menginginkan


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keterangan lebih rinci lagi. Misalnya, dari mana dia datang
dan hendak ke mana dia pergi. Namun Rama Dongdo
mengulum penasaran dengan kesabaran tak seperti kedua
penjaga tadi misalnya. Namun sebelum Ginggi berkata lagi, dari ruangan dalam
muncul seorang gadis dengan baki di kedua tangannya. Ki
Ogel segera berdiri dan membantu gadis itu mengambil-alih
bawaannya. Ginggi selama ini hanya tinggal di gunung berdua
bersama gurunya. Namun demikian, paling sedikit setahun
sekali suka turun gunung untuk menukarkan hasil hutan
dengan berbagai keperluan sehari-hari.
Di Sukanyiru, sebuah dusun kecil lereng gunung, Ginggi
pernah melihat makhluk bernama perempuan namun bila
dibandingkan dengan perempuan di Sukanyiru, gadis yang
ada di hadapannya kini nampak lain. Dia lebih muda, lebih
elok dan lebih bersih kulitnya. Perempuan ini begitu indah.
Perempuan muda ini duduk bersimpuh di samping Rama
Dongdo untuk menurunkan berbagai penganan. Dengan
jari-jarinya yang lentik dan putih, secara lemah-gemulai
mengangkat piring terbuat dari tanah liat dan menaruhnya
di atas tikar pandan. Ginggi seperti tak bosannya melihat gerakan tangan
perempuan itu. Dan begitu semua penganan selesai ditaruh,
selesai pula gerakan gemulai itu, membuat Ginggi kecewa
hatinya. Lebih kecewa lagi manakala gadis itu berjingkat
meninggalkan beranda. Dan Ginggi tak sempat berlamalama menatap paras gadis itu sehingga hanya selintas saja
melihat wajah putih bulat telur dengan sepasang pipi agak
kemerahan karena jengah ditatap pemuda asing.
Namun sebelum tubuh langsing padat itu benar-benar
berlalu, ada sekilat kerling yang tajam menyapu mata
Ginggi, membuat pemuda itu terkesiap. Ginggi terpana
dibuatnya. Kalau saja tidak terdengar suara batuk Rama Dongdo
memperingatkan, barangkali Ginggi hanya terbengongbengong menatap ke arah di mana gadis itu berlalu.
"Ayo anak muda, nikmatilah semua yang ada di sini,"
tutur Rama Dongdo membuat Ginggi serasa disindir.
Dan kendati wajahnya masih terasa panas karena malu,
Ginggi akhirnya mengambil tempat minum dan mengisinya
dengan air kendi. Ketika diminum terasa kesegaran
melingkupi tubuhnya. Dia sadar, sejak pagi mulutnya tak
kemasukan makanan atau minuman. Maka ketika di
hadapannya tergelar berbagai penganan, Ginggi pun tak
membiarkannya berlama-lama. Makanan yang tergelar itu
dia sikat tanpa basa-basi. Melihat ini, Ki Ogel dan Ki Banen
terkekeh dibuatnya tapi sambil ikut pula mencicipi
penganan. "Asalkan engkau tak membuat onar, engkau boleh
melepas lelah di sini, anak muda," tutur Ki Ogel mulai
memberi tempat di hati Ginggi.
"Atau kau tinggal di sini saja untuk beberapa lama,
mengingat desa ini belakangan tengah butuh tenaga muda,"
tutur Ki Banen. Ginggi menatap keduanya. "Betul kami butuh tenaga tugur ," kata Ki Banen.
"Apa itu?" "Aneh, anak muda ini sepertinya tidak memiliki
pengetahuan apa-apa. sepertinya apa yang ada di dunia
selalu dia tanyakan," kata Ki Ogel masih mengunyah
penganan. "Kau pasti orang gunung atau dusun terpencil yang jauh
dari keramaian, anak muda ?" kata Ki Banen.
"Coba katakan, dari manasih kamu sebenarnya?" Ki
Ogel kembali penasaran. "Aku akan jadi tugur kalau kalian anggap aku mampu
melakukannya ?" kata Ginggi mengalihkan pertanyaan
dengan jawaban lain. "Biarlah Ogel kalau anak ini bertahan dengan
keinginannya ..." tutur pula Rama Dongdo memaklumi
sikap Ginggi. "Ya, sungguh aku mau jadi tugur!" kata Ginggi lagi.
"Katamu kau tidak tahu tugur itu apa?" potong Ki Ogel
mulai merasa sebal kembali.
"Ya " tugur itu, apa sih?" Ginggi menggaruk-garuk
kepalanya kebingungan. "Tugur itu peronda malam, penjaga keamanan
kampung." "Apakah kampung ini tidak aman?"
"Dikatakan aman, sih aman. Tapi dikatakan tidak, juga
tidak. Ya, begitulah ?" jawab KiOgel.
"Apakah ke kampung ini kadang-kadang ada perampok
atau pembunuh?" Ginggi menatap ke arah Rama Dongdo.
Yang ditatap menghela napas panjang. "Orang jahat
bertebaran di mana-mana, tidak pula musti menempel di
tubuh pembunuh atau perampok. Tapi yang namanya
orang jahat pasti meresahkan ?" malah Ki Banen yang
jawab. "Ya " bisa juga begitu," sambung Ki Ogel.
"Sudahlah, tak baik menyuguhi tetamu dengan hal-hal
seperti itu," potong Rama Dongdo dan menepiskan
tangannya ke samping. "Banen, sebaiknya siapkan saja
tempat bermalam untuk pemuda ini. Dan kau jangan risau,
setiap malam tugur selalu menjaga kampung."
"Mari anak muda, kau kuantar kebale gede ," kata Ki
Banen sesudah Ginggi selesai makan-makan.
"Bale gede?" "Bale gede itu tempat musyawarah seisi kampung.
Namun bila ada orang yang singgah karena kemalaman,
mereka tidur di sana," kata Ki Ogel berjingkat.
(O-anikz-O) Obrolan di Garduh Ginggi sebenarnya masih ingin bersila ditepas (beranda)
ini. Tapi karena Rama Dongdo pun sudah memberi tanda,
maka pemuda ini akhirnya turun dari bale-bale untuk
mengikuti Ki Ogel dan Ki Banen yang sudah berangkat
duluan. Untuk terakhir kalinya mata Ginggi menyapu pintu
ruangan tengah, kalau-kalau gadis mungil itu masih sempat
bisa dilihatnya lagi. Namun tak ada sesuatu pun di ruangan
tengah itu, sebab pelita di tempat itu sudah lama
dipadamkan. "Apakah aku harus tidur di bale-gede, Ki?" tanya Ginggi
sambil meneliti perkampungan.
"Ya, bale gede atau paseban adalah tempat kami
berkumpul merundingkan sesuatu. Tapi kalau malam bisa
juga digunakan oleh pengembara untuk menumpang tidur,"
kata Ki Ogel sambil terus melangkah di depan bersama Ki
Banen. "Aku tak bisa tidur sore-sore. Kalau kalian tak keberatan,
aku memilih tinggal di gardu saja. Biar ikut tugur atau
meronda dengan yang lain. Bagaimana?"
Ki Ogel dan Ki Banen saling pandang.
"Bagaimana kami percaya padamu" Bisa-bisa kau malah
melakukan pencurian!" kata Ki Ogel.
"Mana bisa aku mencuri, kan aku sendiri diawasi tugur,"
kata Ginggi menatap mereka.
Ki Ogel tersenyum geli memikirkan jalan pikirannya
tadi. "Kalau kamu mau menemani tugur, baiklah. Begitukah,
Ki Banen?" "Terserah bagaimana baiknya, Ki Ogel," kata Ki Banen
yang nampak kurang gemar berbicara ini.
"Nah, kalau begitu, perkenalkan aku kepada yang
menjadi tugur malam ini," kata Ginggi.
"Yang akan menjadi tugur malam ini, ya kami sendiri.
Mungkin dibantu oleh dua orang lagi," kata Ki Ogel.
(O-anikz-O) Jilid 03 Ketiga orang itu kemudian menuju gardu. Yang disebut
garduh ini sebuah bangunan mirip rumah tapi dengan
ukuran amat kecil mungkin lebar dua depa dan panjang tiga
depa saja. Tidak memiliki dinding tertutup. Dan yang
menandakan bahwa ini tempat menjaga keamanan, karena
di sampingnya terdapat kentongan, juga ada beberapa alat
lainnya. Mereka bertiga langsung duduk di bale-bale yang
terdapat di gardu tersebut. Sambil duduk, Ginggi meneliti
beberapa alat yang disimpan di sudut bangunan kecil ini.
Ada tumbak (tombak), yaitu semacam tongkat kayu tapi
ujungnya diberi logam yang amat runcing. Benda ini jelas
fungsinya untuk menusuk. Ada cikrak, yaitu sebangsa
brankar untuk mengangkut orang pingsan atau celaka. Ada
cangkalak, seikat tambang terbuat dari bahan bambu.
Mungkin fungsinya untuk mengikat tahanan.
"Dan yang ini apa namanya, Ki?" tanya Ginggi meneliti
sebuah alat lain. Sama seperti tombak hanya ujungnya yang
terbuat dari logam itu melengkung seperti bulan sabit atau
tanduk kerbau. "Itu namanya cagak, Fungsinya untuk menangkap orang
yang dicurigai. Supaya dia tak melarikan diri dalam
pengejaran, orang itu kita pepet ke dinding dengan cagak.
Pasti tidak akan lepas lagi sebab badannya terkurung
lengkungan cagak ini," kata Ki Ogel, "Kita hanya tinggal
mengikat kaki dan tangannya saja dengan cangkalak ini,"
lanjutnya seraya memperlihatkan tambang bambu itu.
Ginggi mengangguk-angguk.
"Seringkah para tugur menangkap penjahat, Ki?"
"Tidak dikatakan sering. Sebab pada umumnya penjahat
selalu menghindari bentrokan dengan tugur. Kalau kita
lengah mereka masuk. Tapi bila kita siaga, mereka tak ada,"
kata Ki Ogel. Ki Banen hanya batuk-batuk kecil saja sambil mengorekngorek kuping dengan jari kelingkingnya.
"Tapi, ya begitulah, seperti apa yang dikatakan Rama
tadi, yang namanya penjahat bukan terbatas pada pencuri
dan penyamun saja. Yang datang ke kampung ini dengan
niat mengacaukan, memang tidak sedikit," kata Ki Ogel
setengah mengeluh. "Heran. Kalau bukan pencuri atau penyamun, untuk apa
mereka berbuat kejahatan mengacau desa?" gumam Ginggi
seperti bicara pada dirinya sendiri.
Ki Ogel ikut menghela napas.
"Sekarang ini jaman kacau, anak muda. Musimnya
orang berambisi untuk memperoleh kesenangan, musimnya
orang menganggap dirinya benar dan menuding orang lain
salah serta musimnya keserakahan dan kemunafikan
merajai kehidupan. Ada orang yang merasa punya
kebenaran dan hal itu dipaksakan kepada orang lain agar
menjadi kebenaran umum. Ada orang yang merasa punya
wibawa dan kewibawaan itu dipaksakan kepada orang lain
agar kebesaran tercipta pada dirinya. Dan yang menjadi
korban kesemua ini adalah ambarahayat. Banyak perintah,
banyak pendapat dan mereka tak tahu, apa yang harus
dilakukan sebenarnya. Yang berani melakukan pilihan,
akan punya risiko sebab menciptakan pertentangan satu
sama lainnya," kata Ki Banen dengan wajah kusam.
Ginggi menatap wajah Ki Banen. Orang tua ini tak
gemar bicara. Tapi satu kali bersuara menimbulkan
renungan yang dalam baginya.
"Apa yang sedang kalian hadapi sebenarnya, sepertinya
hidup ini benar-benar sesak dan sempit buat kalian, Ki?"
tanya Ginggi sambil membereskan rambutnya yang tergerai
ke pundak karena tanpa ikat kepala.
"Aneh sekali. Kau memang orang aneh, anak muda.
Mengaku pengembara tapi tak tahu keadaan dunia," Ki
Ogel yang menjawab. "Sekarang ini zaman pertentangan
pendapat. Sesudah kehadiran agama baru, banyak orang
bersilang pendapat mempertentangkan kebenaran hakiki.
Ada orang bertahan dengan kebenaran lama, ada orang
berjuang melebarkan sayap kebenaran baru. Akibatnya,
orang yang tak tahu apa-apa menjadi terpecah-pecah dan
ada juga yang sampai berkelahi. Anak melakukan
permusuhan dengan ayah dan saudara kandung menjadi
renggang. Itu semua konsekuensi dari kehadiran agama
baru, anak muda," tutur Ki Ogel.
"Aku tidak tahu apa itu agama. Tapi kalau ada orang
yang mempertentangkan kebenaran, kedengarannya lucu.
Mengapa pula tadi Aki katakan ada kebenaran baru yang
dipertentangkan dengan kebenaran lama, seolah-olah
kebenaran itu bisa berubah-ubah mengikuti pergantian
masa. Kalau ada orang bertindak tak adil kepada yang lain
apakah akan dinilai berbeda pada masa yang beda. Apakah
orang-orang masa lalu, hari ini dan masa yang akan datang
akan menilai berlainan terhadap orang yang suka bohong,
berkhianat dan kepada orang yang gemar menganiaya?"
kata Ginggi menatap saling bergantian kepada kedua orang
tua itu. Giliran Ki Ogel dan Ki Banen yang menatap pemuda itu
dengan penuh rasa heran. "Omonganmu barusan hanya akan keluar dari mulut
orang yang mengenal agama. Akan tetapi, mengapa kau
tadi bilang tak kenal agama, anak muda?" tanya Ki Banen
mengerutkan dahi. Dibalas oleh pemuda itu dengan samasama mengerutkan dahi. "Walau tidak rajin benar, tapi Ki Dar" maksudku,
orangtuaku kerap mengatakan hal ini kepadaku. Tapi tak
satu kali pun dia mengatakan bahwa itu agama," gumam
Ginggi merenung. "Orang mengenal tata-nilai dan aturan hidup dan apalagi
melaksanakannya, itulah orang beragama, anak muda"!"
kata Ki Ogel. "Adakah orangtuamu mengatakan tentang
agama yang dianutnya?" lanjut Ki Ogel lagi.
Pemuda itu termenung sejenak, lalu, "Setahuku dia tak
bilang apa-apa. Kalaupun dia sering memberikan petuah,
apakah itu bagian dari agama, aku tak diberi tahu,"
katanya. "Entah siapa orangtuamu. Tapi sikapnya aneh. Dan
kesemuanya melahirkan perangai aneh padamu, anak


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muda. Kau datang ke kampung ini tanpa basa-basi sopansantun. Dan lantas kami percaya serta memaklumimu
setelah kau bilang tak kenal agama. Tapi sekarang, kau
bicara panjang lebar penuh filsafat. Aneh, benar-benar
aneh!" kata Ki Banen.
"Sudah berapa kali kalian bilang soal sopan-santun. Aku
tak tahu, sopan-santun itu apa, Ki ?" tanya Ginggi,
disambut gelak tawa kedua orang tua yang duduk bersila di
hadapannya. "Nah, sekarang kalian tertawa. Padahal tadi sore kalian
berang padaku karena urusan sopan-santun itu!" omel
Ginggi menampilkan mimik jengkel. Melihat kejengkelan
pemuda ini, Ki Ogel tertawa, juga Ki Banen dengan tawa
tipisnya. "Benar-benar kau orang aneh anak muda," kata Ki Ogel
"Walaupun baru sedikit-sedikit, engkau tahu akan sikap
hidup yang benar, anak muda," kata Ki Banen dengan suara
rendah. "Tapi, memang kau benar-benar tak mengenal
agama. Sebab orang yang tahu akan agama akan tahu juga
tradisi dalam menjaga nilai hidup. Orang yang mengenal
danmenjunjung agama, di antaranya sanggup
memperlihatkan perilaku baik. Berkata benar, mendengar
benar, melihat benar, rengkuh (sopan dengan badan
membungkuk) terhadap orang yang lebih tua dengan tutur
kata halus dan suara enak didengar," kata Ki Banen.
"Lantas?""
"Harus sanggup menjaga wibawa dan kehormatan baik
diri sendiri maupun keluarga, juga wibawa serta
kehormatan raja dan kerajaan," Ki Ogel yang melanjutkan
omongan. "Nah, kalau sudah begitu, bereslah keadaan. Tetapi,
mengapa kalian tadi membingungkan hidup yang tengah
berlangsung hari ini?" Ginggi menyerang dengan
pertanyaan baru. Ki Ogel dan Ki Banen menundukkan kepala dan
menghela nafas. "Itulah masalahnya, anak muda?" keluh
Ki Banen. Kedua orang ini saling tatap dengan sorot lesu.
Menundukkan kepala dan menghela nafas lagi.
Diam membisu. Suara binatang malam mulai terdengar. Ada suara
cengkerik menggerit-gerit pilu, ada suara burung malam
menghardik-hardik lesu dan di kejauhan sayup-sayup
burung loklok dan bungaok kian menambah sepinya
malam. Padahal bulan di langit benderang. Ginggi
menghitung, ini hari ke duabelas di perjalanan bulan ke
enam tahun Saka. Dan melihat bulan benderang, pemuda
ini jadi ingat Ki Darma. Barangkali di puncak Cakrabuana
Ki Darma masih sendirian. Kalau tak "diusir" pergi,
seharusnya dia mengajak Ki Darma menikmati burung
walik bakar yang diburu tadi pagi.
"Sudah kukatakan sejak tadi, ini zamannya orang
berebut pengaruh. Sekarang di bumi Jawa Kulon, Pajajaran
tidak sendirian. Di sebelah barat ada Kerajaan Banten dan
di timur Kerajaan Cirebon. Kedua negara baru itu mengatur
sendi negara dengan dasar agama baru. Mereka tengah
berjuang untuk memperkenalkan dan melebarkan
pengaruhnya kemana-mana. Jadi, termasuk pula ke wilayah
Pajajaran," kata Ki Banen.
Ki Ogel menambahkan, "Kini pengaruh agama baru
semakin meluas. Kerajaan Talaga dan Kerajaan
Sumedanglarang yang dulu benar-benar taat kepada
Pajajaran karena disana merupakan pusat-pusat agama
lama, sudah lama terpengaruhi keyakinan agama baru
walau sebagian masih setia dengan agama lama. Namun
akibatnya, timbul perpecahan. Ada Kandagalante (setingkat
wedana di zaman kini-pen) yang diam-diam
mempertahankan keyakinan lama, ada juga yang terangterangan masuk kepada keyakinan baru. Di dalam
lingkungan kandalante sendiri sebetulnya sudah terpecahpecah. Beberapa desa masih mau mempertahankan
keyakinan lama, tapi beberapa diantaranya melepaskan
begitu saja," kata Ki Ogel panjang lebar.
Ruwet sekali keadaan, pikir Ginggi di saat mendengar
penjelasan ini. "Kampung ini sendiri, masuk ke dalam keyakinan mana,
Ki?" tanyanya. "Disini pun sebenarnya sudah ada macam-macam
gagasan. Tapi Rama Dongdo tidak bersifat memaksakan
sesuatu. Beliau tetap patuh kepada amanat Kangjeng Prabu
Sri Baduga Maharaja, penguasa Pajajaran puluhan tahun
silam. Dulu Sang Prabu bersabda, tidak akan melarang
ambarahayat mengambil satu keyakinan agama. Yang
beliau larang bila sembarangan memilih sambil tak jelas apa
yang dipilih. Tak apalah ambarahayat memilih agama yang
bermanfaat bagi kesentausaan negara, asalkan jangan untuk
berkhianat dan membodohi, bukan untuk memupuk
kekayaan dan kesenangan pribadi. Tak apalah mengganti
keyakinan dengan yang baru asalkan untuk menolong
sesama yang membutuhkan dan membantu orang lain
tanpa pamrih apa pun," kata Ki Banen.
"Namun kebijaksanaan Kangjeng Prabu Suargi (yang
sudah meninggal) tidak dimengerti benar oleh semua
lapisan ambarahayat. Banyak orang bertahan karena agama
lama atau berjuang karena agama baru hanya dipertalikan
dengan kepentingan politik," kata Ki Ogel.
"Aku tak mengerti, Ki !" kata Ginggi mulai menguap
karena malam semakin menjelang.
"Kalau kau pandai mengamati perjalanan waktu beserta
isi kehidupan ini, kau akan tahu," kata Ki Banen turun dari
bale-bale. Dia mendekati kentongan. Diambilnya alat
pemukulnya yang diselipkan di sela-sela lubang kentongan
dan segera dipukulkannya ke tubuh benda yang terbuat dari
kayu nangka ini. Trong-trong-trong-trong-trong! Beraturan
dan enak didengar. "Matamu kuyu dan tengkukmu kian melengkung.
Lehermu pun tampak seperti leher kura-kura. Itu tanda kau
ngantuk dan kecapaian. Ayo, tidurlah kau tak perlu cari-cari
jasa ikut jaga !" kata Ki Ogel.
Ginggi tersipu. Padahal tadinya janji mau ikut tugur atau
meronda. Tapi, memang baru sekarang dia rasakan, betapa
lelahnya sebetulnya dia. Sejak pagi hari menuruni bukit dan
lembah serta keluar masuk hutan, tidak sebentar pun dia
istirahat. Makan dendeng menjangan pun, bekal dari Ki
Darma, dilakukannya sambil berjalan menyusuri hutan.
Ginggi berbenah diri. Buntalan kainnya yang berisi satu
dua stel pakaian sederhana dia gunakan sebagai bantal.
Ginggi berbaring, telentang sebentar. Kelopak matanya
dikatupkan. Tapi di kelopak matanya itu malah terbayang
gadis mungil yang membawa baki dan menyodorkan
penganan. Siapakah dia, pikir pemuda itu. Namun hatinya tak
sempat berbincang-bincang lagi sebab matanya sudah pedih
terkatup rapat. Pemuda itu terlena.
Hanya saja, entah berapa lama ia tertidur. Sebab secara
mendadak dia dikejutkan oleh sebuah pertanyaan yang
diajukan cukup keras. "Siapa dia ?" kata si suara keras.
"Dia pengembara kemalaman, Ki Kuwu. Numpang
tidur!" Ki Ogel menjawab hormat.
"Di saat suasana genting seperti ini kau jangan
sembarangan menerima pendatang. Kenapa pula tidak
dilaporkan padaku ?" kata orang yang dipanggil Ki Kuwu.
Diam sejenak. "Bangunkan dia !" kata Ki Kuwu lagi dengan nada
jengkel. "Jang, bangun, Jang !" Ki Ogel menggerak-gerakkan
tubuh Ginggi yang sebenarnya sudah sejak tadi
mendengarkan pembicaraan mereka.
Pemuda itu pura-pura menggeliat, menguap dan
menggisik-gisik kedua matanya. Lalu dia memutar wajah ke
segala arah. "Hei, bangun orang asing !" kata Ki Kuwu.
Ginggi menggisik kembali kedua belah matanya sebelum
benar-benar menatap orang yang berdiri bertolak pinggang
di sisi bale-bale. Ketika pemuda itu meneliti, ternyata yang disebut Ki
Kuwu adalah seorang lelaki setengah baya berpakaian
kampret hitam, bercelana komprang putih dan ada kain
sarung tersandang di bahunya. Dia memakai terompah kulit
dan banyak hiasan cincin batu di hampir semua jari
tangannya, kanan dan kiri. Ikat kepalanya juga hitam,
sedikit totol-totol coklat muda. Tapi yang lebih menarik
perhatian pemuda itu, Ki Kuwu ini matanya mencorong
tajam karena bola matanya nampak besar menonjol.
Hidungnya juga besar agak pesek, dengan hiasan kumis
tebal hitam melengkung seperti tanduk kerbau.
"Beri hormat kepada Ki Kuwu Suntara, anak muda,"
kata Ki Banen setengah memperingatkan.
Ginggi sudah punya pengalaman. Bila berlaku seenaknya
maka orang yang dibawa bicara akan tersinggung. Maka
untuk tidak membuat kemarahan orang, Ginggi mengikuti
tata cara seperti apa yang mereka inginkan. Melihat Ki Ogel
dan Ki Banen berdiri setengah membungkuk sambil
sepasang tangan bersilang di bawah pusar, pemuda itu pun
ikut berdiri dan berlaku seperti mereka. Membungkuk
setengah menunduk dan kedua tangan bersilang di bawah
pusar. "Siapa namamu, dari mana asalmu dan apa keperluanmu
datang ke sini !" Ki Kuwu Suntara mengajukan pertanyaan
beruntun. "Aku kemalaman dan numpang tidur disini. Aku
pengembara, hendak mencari kerja. Tadinya minta kerja
jadi tugur di sini, Ki Kuwu," kata Ginggi menjawab
berpanjang-panjang padahal untuk menyembunyikan
beberapa jawaban yang tak mungkin diucapkannya.
"Hahaha !" Ki Kuwu tertawa ngakak sambil melinting
ujung kumis kiri dan kanan. "Tugur bukan pekerjaan yang
mesti diberi imbalan, sebab merupakan kewajiban dasa
(pemenuhan pajak tenaga). Dasar anak dungu !" ejek Ki
Kuwu Suntara. "Oh, aku baru tahu bahwa tugur itu suatu kewajiban,"
gumam Ginggi. "Nah, memang begitu. Tapi kalau kau hanya
pengembara dan berniat mencari sesuap nasi, kau boleh
memilih pekerjaan di kampung ini. Aku banyak
membutuhkan tenaga muda sepertimu ini," kata Ki Kuwu
sambil matanya meneliti bentuk tubuh Ginggi yang
sembada (kekar) dan sedikit berotot keras.
"Ogel, teliti latar belakang anak muda ini. Kalau
memenuhi syarat kau boleh ajak dia bekerja," kata Ki Kuwu
Suntara sambil hendak berlalu. "Eh, mana tugur yang dua
orang lagi ?" katanya lagi meneliti isi garduh.
"Sedang berkeliling, Ki Kuwu," kata Ki Ogel
"Bagus!" Dan Ki Kuwu berlalu dengan tangan berlenggang gagah.
Di keremangan cahaya obor, sesekali tangan kanannya
mengapit ujung kain sarung, sesekali tangannya digunakan
memuril ujung kumisnya. "Itulah Ki Kuwu Suntara, anak muda?" Ki Banen
berkata sedikit mengeluh.
"Diakah pemimpin di desa ini ?" tanya Ginggi.
"Benar. Tapi terkadang sering berbeda pendapat dengan
orang yang dituakan, yaitu Rama Dongdo," kata Ki Banen
lagi. Ginggi menoleh, minta penjelasan lebih jauh.
"Ya, sudah aku katakan tadi, kemelut urusan kenegaraan
juga jatuh mengalir mempengaruhi orang-orang di bawah,"
Ki Ogel yang menjawab. "Kemelut karena kehadiran agama
baru, juga terasa disini. Rama Dongdo tetap setia dengan
agama lama. Tapi beliau tidak melarang rakyat di desa
untuk memilih agama apa saja, termasuk yang baru.
Sebaliknya Ki Kuwu Suntara minta ketegasan kita, apakah
mau ikut ke mana, sebab kalau ragu-ragu seperti Rama,
diperkirakan rakyat pun jadi ragu-ragu dan akhirnya terjadi
perpecahan." " Ki Kuwu sendiri memilih yang mana?" tanya Ginggi.
"Kami juga tak jelas, dia memilih apa. Sekali waktu dia
mengatakan, karena kita hidup di bawah Kerajaan Talaga
yang sudah ikut ke Cirebon, sebaiknya desa ini pun ikut ke
Ratu Talaga saja. Ki Kuwu mencerca Kangjeng Prabu Ratu
Sakti yang dianggapnya sudah tak menjadi pemimpin
negara yang baik karena menarik pajak tinggi dan suka
bertindak keras terhadap rakyat. Anehnya kendati dia
seperti memihak Cirebon, tapi tetap memerintahkan rakyat
di desa ini untuk mengumpulkan barang-barang seba (pajak
hasil bumi tahunan) yang akan dikirimkan ke Pakuan. Ini
aneh. Dan kami hanya menduga, Ki Kuwu Suntara
sebenarnya masih menyegani Pakuan dan tak berani
menahan seba yang diminta Pakuan," kata Ki Banen.
"Benar. Aku kira juga demikian kemungkinannya,"
gumam Ki Ogel. "Kalau begitu aku baru mengerti. Banyak carangka dan
dongdang (alat pengangkut barang hasil bumi) bertebaran di
pekarangan Rama untuk kepentingan seba. Ya, kan?" kata
Ginggi. Ki Ogel dan Ki Banen mengangguk.
"Sekarang masa panen di ladang dan huma. Seba ke
Pakuan juga dilakukan setahun sekali saat panen tiba.
Barang-barang itu memang tengah dihimpun untuk
kemudian menjadi iring-iringan seba ke ibukota," kata Ki
Ogel. "Tentu jauh dan amat jauh sekali. Kalau kami harus
langsung mengirimkannya kesana barangkali akan mati
kelelahan. Kami hanya mengirim seba sampai ke sebuah
tempat selepas Sumedanglarang saja. Dari sana ada yang
melanjutkan lagi, sesudah semua desa yang masih setia
kepada Pakuan sama-sama mengumpulkan seba," kata Ki
Banen. Menurut kedua orang ini, jauh sebelum Kerajaan
Talaga berpihak ke Cirebon, seba tahunan untuk Pakuan
dihimpun di Talaga. Artinya, yang mengirim seba ke
Pakuan dibebankan kepada kerajaan kecil yang ada di


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bawah Pajajaran. Sekarang sesudah ada perpecahan, bisa
saja kerajaan menghentikan seba ke Pakuan, akan tetapi
satu dua desa di bawah kerajaan tersebut masih setia
mengirimkannya secara pribadi, atau bergabung dengan
daerah lain yang masih sama-sama punya rasa setia," kata
Ki Ogel lagi. "Salah-satu diantaranya, adalah desa kami inilah," kata
Ki Banen menyela. Sayup-sayup dari kejauhan terdengar kentongan dipukul
berirama. Kata Ki Ogel, mereka adalah dua tugur atau
ronda yang tengah tugas berkeliling. Ginggi belum bertemu
dengan dua tugur ini, sebab mereka baru hadir di saat
Ginggi sudah tidur. Sewaktu pemuda ini terhenyak
dibangunkan Ki Kuwu Suntara, dua tugur itu tengah
keliling kampung. Sekarang suara irama kentongan lebih jelas kedengaran,
tanda kedua orang tugur datang mendekat. Dan ketika
irama tabuhan itu kian keras, remang-remang di arah sana
nampak dua orang mendekat. Tiba di pekarangan gardu
wajah-wajah mereka nampak jelas kelihatan. Itu sesudah
keduanya membuka kain sarung yang sejak tadi
dikerudungkan ke wajah dan kepala mereka untuk
menahan serangan angin malam.
Cahaya bulan yang sudah mulai bergeser ke barat
disertai goyangan cahaya api obor di tangan seorang tugur
menyebabkan Ginggi bisa mengenali wajah keduanya satu
persatu. Dua-duanya ternyata masih amat muda. Mungkin
usianya hanya berbeda satu atau dua tahun di atas usia
Ginggi. Yang membawa kentongan kulitnya agak
kehitaman, giginya tonghor, menjorok ke depan. Ada kumis
tipis berbulu jarang dan di dagunya berjuntai rambut jarang
menyerupai jenggot. Si pembawa cahaya obor nampak
sedikit lebih tampan, kendati ada kesan angkuh lantaran
bibirnya selalu nampak mencibir bagaikan orang
mencemooh. Ketika melihat Ginggi duduk mendekap lutut,
si pembawa kentongan berkata, "Bagaimana, apa sudah
diperiksa dengan baik anak pendatang itu, Ki Ogel ?"
tanyanya. Mereka kini hanya berjarak satu sikut saja
dengan Ginggi yang masih memeluk lutut karena dinginnya
malam. "Aku yang melapor kepada Ki Kuwu akan kehadiran
orang asing ini," kata pemuda tampan pembawa obor tanpa
memandang kepada Ginggi. "Bagaimana menurut perkiraan Ki Kuwu, orang
jahatkah dia itu?" Si Tampan menunjuk wajah Ginggi
dengan obor, sehingga Ginggi mendongakkan kepalanya ke
belakang karena ujung obor beserta cahaya apinya hanya
tinggal sejengkal ke wajahnya.
"Tidak mencurigai anak ini sejauh itu sebab Ki Ogel
mengabarkan sewajarnya berdasarkan penglihatan dan
penilaiannya," kata Ki Banen.
"Apa yang Ki Ogel katakan kepada Ki Kuwu. Ki ?"
tanya Si Angkuh lagi. "Aku katakan bahwa anak muda ini kecuali lugu dan
sedikit bodoh, tidak membahayakan kita semua. Dia datang
entah dari mana. Kemalaman di sini dan punya tujuan
mengembara, atau bekerja apa saja kalau bisa," kata Ki
Ogel. Melirik ke arah Ginggi yang masih kalem-kalem saja
memeluk lututnya. "Tidak jahat tapi bodoh, ya! Huh!" dengus Si Tampan
angkuh. "Ya. Tapi Ki Kuwu sudah mengizinkan anak muda ini
ikut kerja di sini," kata Ki Ogel.
"Pekerjaan apa yang bisa diberikan kepada orang macam
dia ?" giliran pemuda hitam bergigi tonghor yang bicara.
"Tentu bukan jenis pekerjaan yang memeras jalan
pikiran," kata Ki Ogel.
Ki Banen hanya tertawa masam mendengar obrolan ini.
Sebaliknya Ginggi acuh tak acuh saja. Secuil pun dia tak
menyimak obrolan mereka. Mengapa harus menyimaknya,
pikirnya. Tokh mereka pun, terutama kedua pemuda tugur
itu, dalam memperbincangkan dirinya tidak sedikit pun
memandang padanya, apalagi langsung mengajaknya
bicara. Ginggi terpaksa mepet ke sudut ketika kedua pemuda itu
akan ikut duduk di bale-bale. Ginggi memang mesti
mengalah pergi, sebab dia hanya ikut numpang saja dan
jangan sampai kehadirannya mengganggu kenyamanan
para petugas jaga saat beristirahat melepas lelah.
Keempat orang tugur duduk bersila saling berhadapan di
tengah bale-bale, saling bertutur sapa dan mengobrol.
Kedengarannya mereka tengah memperbincangkan suatu
persiapan. "Jadi, tiga hari sesudah pesta panen, kita baru beranjak
pergi mengirim seba, Madi ?" tanya Ki Ogel.
"Betul, Ki. Sayang, pesta panen hanya dilakukan satu
malam saja?" gumam pemuda tonghor yang ternyata
namanya Madi. "Dulu, dulu sekali, pesta panen dilakukan seminggu
berturut-turut. Semua jenis kesenian ditampilkan mulai
rengkong hingga dogdog lojor, mulai seni dalang hingga
tembang-carita Aki Pantun. Bahkan sanggup mengundang
rombongan renggong gunung dari tatar Galuh. Para anak
gadis yang molek-molek, bukan saja keluar dari rumahrumah seputar kampung kita, tapi juga datang dari luar
kampung. Mereka datang berombongan, bersama kakak
laki-laki mereka, atau pun bersama kedua orangtuanya.
Mereka menghadiri pasar malam dan saling menukarkan
barang berdasarkan keperluannya masing-masing. Yang
sudah memiliki uang logam dari Negri Campa, Cina,
Keling, Parasi, atau dari Pasai dan Siem, mereka
pergunakan untuk ditukar dengan barang keperluan lebih
berharga lagi," tutur Ki Ogel mengenang masa lampau yang
penuh kebesaran. "Sekarang bagaimana ?" tanya Si Tonghor.
"Sekarang, tidak semarak seperti dulu. Pesta panen tahun
lalu hanya dilakukan dua hari saja. Tahun ini malah satu
hari. Tak ada pasar malam, kecuali menggelar pantun,
mencoba mengenang masa lalu. Tahun lalu banyak
saudagar dari wilayah kandagalante menawarkan kain tipis
buatan Campa. Tapi benda berharga seperti itu hanya bisa
ditukar dengan uang logam asing, sebab tak mampu bila
harus diseimbangkan dengan sepuluh kati kapas atau
sepuluh dongdang padi. Penduduk sudah tak punya
kekayaan lebih," kata Ki Ogel lagi.
"Aneh, padahal ladang tak berkurang dan huma pun
selebar lautan. Mengapa penduduk tak sanggup memiliki
kekayaan berlebih, Ki?" pemuda tampan yang nampak
angkuh di mata Ginggi mulai membuka suara.
"Itulah karena berubahnya zaman, anak muda?" kata
Ki Banen yang mulai bersuara pula.
"Perubahan apa yang menyebabkan orang tak punya
kekayaan berlebih, Ki?" tanya lagi si tampan angkuh.
"Kalau aku yang berbicara nanti terpeleset lidah.
Mendingan tak menjadi salah pengertian yang mendengar.
Bila tidak, hanya akan membahayakan diri sendiri.
Sebaiknya kau pelajari sendiri Seta, simak sendiri dan
saksikan sendiri. Apa yang kau nilai sendiri, itulah
kebenaran, paling tidak bagi keyakinanmu secara pribadi,
Seta," kata Ki Banen.
Ginggi baru tahu kalau Si Tampan angkuh ini Seta
namanya. (O-ani-kz-O) Suasana terasa hening ketika kokok ayam mulai
berbunyi. Hampir semua orang secara bersahutan menguap
panjang. Ki Ogel merebahkan dirinya di bale-bale
berbantalkan kedua belah tangannya, begitu pula Ki Banen,
kendati hanya tidur ayam dengan jidat menempel di atas
lutut. Madi masih membunyikan kentongan tapi makin
lama makin pelan dan lambat, sampai akhirnya berhenti
sama sekali. Ginggi bahkan sejak dari tadi tidur meringkuk
di sudut. (O-anikz-O) Pertikaian di Pancuran Pagi-pagi sekali Ginggi sudah dibangunkan oleh Ki Ogel.
Orang tua ini mengatakan padanya agar bila ingin mandi
bisa pergi menuju pancuran.
"Pancuran umum terletak di luarlawang kori (pintu
gerbang desa). Tapi bertepatan dengan cahaya merah jingga
di ufuk timur, pintu lawang kori sudah dibuka petugas,"
kata Ki Ogel. Antara sadar dan tidak karena kantuk masih juga
menyerangnya, Ginggi mencoba mengucak-ngucak kedua
belah matanya. Dia pun segera menggoyang-goyangkan
kepalanya mencoba mengusir rasa kantuknya itu. Ginggi
memang harus bangun pagi untuk membuat langkah
perjalanan selanjutnya. Mana yang lebih penting,
melanjutkan perjalanan atau mencoba mencari pekerjaan di
desa ini. Nampaknya memang ada tawaran kerja di sini.
Tapi tawaran kerja apa, dia tak tahu.
"Biar nanti kuputuskan seusai mandi saja," gumamnya
sendirian. Di gardu tinggal dia sendirian sebab Ki Ogel entah sudah
pergi kemana, begitu pun Ki Banen. Perkara kedua pemuda
bernama Madi dan Seta yang tak dia senangi, Ginggi tak
perlu mengingatnya. Tak kutemui lagi pun tak mengapa,
pikirnya. Ginggi menjinjing buntalan kainnya menuju lawang kori
untuk keluar kampung, sebab menurut Ki Ogel, pancuran
tempat mandi ada di luar benteng kampung.
Pintu lawang kori sudah terbuka lebar namun tak ada
penjaga disana. Sebagai tanda, pada siang hari penduduk
tak merisaukan akan adanya gangguan yang tak
diharapkan. Ginggi melangkah ke luar kampung. Beberapa ratus
langkah mengikuti jalan utama, dia sudah menemukan
jalan setapakke kiri, menurun dan membelok. Ginggi
mengikuti arah ini, sebab sayup-sayup dia mendengar suara
air pancuran. Benar saja, di sana ada pancuran. Airnya bening keluar
dari sebuah mata air di bukit terjal. Mengucur turun melalui
sela-sela batu cadas dan kemudian ditampung saluran
bambu. Air pancuran itu jatuh terus-menerus membentuk
sungai kecil berbatu. Banyak hamparan batu kecil rata
mengkilap, mungkin selalu digunakan orang mencuci kain.
Karena di situ masih sunyi, maka dengan leluasa Ginggi
menanggalkan seluruh pakaiannya. Baju kampret warna
nilanya dibuka, begitu pun celana sontognya. Dan brus,
begitu saja dia membiarkan seluruh badannya diguyur air
pancuran yang dingin menusuk tulang sumsum.
Sampai pada suatu saat terdengar jeritan tertahan dari
arah jalan setapak. Ginggi menoleh dan amat terkejut,
sebab jeritan itu keluar dari mulut seorang gadis. Gadis itu
menutup mulutnya, membalikkan badan dan berlindung di
balik rimbunan pohon. "Nanti dulu, aku masih telanjang bulat!" seru Ginggi
mempercepat mandinya. "Saya sembunyi di sini, tidak lihat engkau!" terdengar
jawaban dari balik pohon. "Tapi kau salah. Seharusnya
tidak mandi di pancuran ini. Ini tempat mandi dan cuci
kaum wanita!" seru suara di balik rimbunan pohon itu.
"Kau gadis yang tadi malam menyodorkan penganan di
rumah Rama Dongdo, bukan?"
"Betul! Beliau kakekku!" jawab dari balik rimbun pohon
lagi. "Mengapa tak mengobrol denganku?"
"Ih, tak sopan benar, seorang gadis mengajak berbincang
kepada orang yang baru dikenalnya!"
"Sekarang kan bisa?"
"Ih, cepatlah, ketahuan orang lain, kau nanti dimarahi!"
kata suara di balik rimbunan pohon itu. "Laki-laki tak boleh
sembarangan dekat-dekat pancuran ini!" katanya pula
masih sembunyi. "Ini, aku sudah jauh dari pancuran!" kata Ginggi yang
sudah berdiri di dekat gadis itu. Gadis berkain dan
berkebaya hitam dengan rambut terurai sebatas pinggul ini
terkejut manakala membalikkan badan sudah melihat
seorang pemuda berikat kepala dan berpakaian kampret
dengan rapih. "Kapan kau selesai mandi" Tak kudengar gerakanmu,"
katanya menatap wajah pemuda itu selintas, namun bisa
meneliti hidung pemuda itu yang sedikit mancung, bola
mata bundar dan dagu sedikit terbelah dua ini. Sebaliknya
Ginggi pun terpesona melihat lesung pipit di pipi kiri gadis
itu. Hidungnya kecil mancung serta bibir tipis sedikit
merah, dengan sudut-sudut mata yang tajam dengan mata
yang hitam legam. Ginggi pun terpesona melihat ke celah di
bagian dada, ada kulit kulit kuning langsat agak montok
menonjol dan menantang selera kaum lelaki.
Gadis itu rupanya tahu apa yang diperhatikan pemuda
itu, dan serta merta melindungi bagian yang jadi incaran
mata penatapnya. Kini giliran Ginggi yang tersipu-sipu. Pipi dan telinganya
terasa panas manakala dia menduga bahwa apa yang dia
lakukan dengan matanya diketahui dan dirasakan gadis itu.
Plakk! Pemuda itu menempeleng pipinya sendiri dan
membuat bengong gadis itu.
"Apa yang kau lakukan, Kang?" tanya gadis itu heran.
"Ada " ada nyamuk di pipiku!" kata pemuda itu gagap.
Sang gadis yang kini diketahui menjinjing cucian di sebuah
ember kayu terkekeh lucu mendengarnya.
"Kok, urusan nyamuk saja ditertawakan?" kata Ginggi
heran. "Lucu, baru kali ini di kampungku banyak nyamuk pada
pagi hari ?" kata gadis itu terkekeh lagi. Tangannya yang
putih lentik itu digunakannya menutup renyah tawanya.
Ginggi tersenyum. "Memang tak ada nyamuk, sih?"
katanya menggaruk belakang kepala.
"Mari, aku bawakan jinjinganmu, nampaknya berat,"


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata pemuda itu menawarkan jasa.
"Sudah biasa aku bawa jinjingan macam begini saban
pagi," kata gadis itu sebagai tanda menolak tawaran
pemuda itu. "Ini karena sekalian saja. Aku juga mau mencuci pakaian
kotor !" kata Ginggi sedikit memaksa.
"Ih, sudah aku katakan, lelaki tidak di sini! Ayo, sini saja
cucianmu, aku yang bersihkan!" kata gadis itu, langsung
mengambil pakaian kotor yang tengah digapit Ginggi.
Pemuda itu mandah saja pakaian kotornya diambil gadis
itu. Bahkan di hatinya ada perasaan senang gadis itu mau
melakukan untuknya. "Aku tunggu di sana, ya?" kata Ginggi.
"Ah, sudahlah. Di rumah ada ubi rebus, sengaja aku
buatkan. Lagi pula, kakek ingin bertemu kau," kata gadis
dengan rambut halus menghiasi jidatnya ini sambil berlalu
menuruni anak tangga batu. Ginggi menyimak langkah kaki
gadis itu, sampai hilang di kelokan.
Ginggi menghela nafas, entah karena apa. Tapi dia lupa
akan ucapan gadis itu bahwa dia ditunggu Rama Dongdo.
Dia malah memilih batu sebagai tempat duduk di pinggir
jalan itu. Duduk termenung namun dengan hati ringan dan
senang. Apalagi ketika didengarnya sang gadis
mempermainkan air pancuran karena sedang
membersihkan badan. Pemuda itu membayangkan, betapa
Si Gadis tengah menyibakkan dan menguraikan rambutnya
Misteri Tuak Dewata 2 Dewa Arak 41 Macan-macan Betina Matahari Esok Pagi 12

Cari Blog Ini