Pendekar Mabuk 073 Misteri Tuak Dewata Bagian 2
datar-datar saja, dingin dan memancarkan kekejian yang amat dalam.
"Dekatlah padaku dan jangan lakukan tindakan yang bodoh demi keselamatan nyawa
bocahmu ini, Dewi Kasmaran!"
Dengan langkah tenang, Ratu Dewi Kasmaran
melangkah mendekati Durmala Sanca.
"Tinggalkan saya, Gusti Ratu! Jangan hiraukan nyawa saya, Gusti!" seru Congor
seakan tak rela jika gusti ratunya jatuh ke tangan Siluman Tujuh Nyawa.
Tetapi Suto Sinting sengaja membuat seolah-olah Ratu Dewi Kasmaran membodohkan
ucapan Congor tadi. Sang Ratu terdengar berkata kepada Congor sambil tetap
melangkah pelan dekati Siluman Tujuh Nyawa.
"Gunakan otakmu yang cerdas itu, Congor!
Pandanglah siapa orang yang kita hadapi. Aku baru sadar kalau orang yang kita
hadapi adalah tokoh sakti yang sukar dicari tandingannya. Menyerah kepadanya
bukan sesuatu yang merugikan, Congor. Sebab aku tahu, bahwa kita yang lemah ini
memang sudah selayaknya mengabdi kepadanya, Congor!"
"Bagus. Pikiranmu sekarang telah terbuka, rupanya!" sambil Siluman Tujuh Nyawa
melepaskan ancaman tongkat El Maut-nya dari leher Congor. Kini ia justru
melangkah menyambut kedatangan Ratu Dewi Kasmaran yang menyunggingkan senyum
manis dan manja, dengan sorot pandangan mata berkesan nakal.
"Sudah begitu lama aku tidak menikmati keindahan cinta seorang wanita, karena
dikejar-kejar oleh murid sintingnya Gila Tuak itu. Sekarang gairahku datang dan
membakar hasrat kejantananku begitu aku melihatmu mendarat dari kapalmu di
Pantai Utara kemarin."
"Mengapa kau tidak segera menemuiku pada saat itu, selagi dekat dengan kapalku,
selagi ada kamar untuk kencan kita berdua."
"Aku masih belum mengetahui siapa dirimu, Dewi Kasmaran. Setelah kusadap
percakapanmu dengan beberapa anak buahmu, aku baru tahu bahwa kau adalah Ratu
yang kesepian dan mengharapkan
belaian kasih sayang serta cumbuan hangat seorang lelaki. Seketika itu pula aku
merasa mampu memenuhi harapanmu, Dewi Kasmaran!"
Mereka semakin dekat. Siluman Tujuh Nyawa
hanya sunggingkan senyum sangat tipis dan
pandangan matanya masih datar berkesan dingin.
Tetapi Ratu Dewi Kasmaran menyambut pandangan mata itu dengan nyala api
berpijar-pijar di permukaan kedua bola matanya yang indah itu. Bahkan ketika
mereka sama-sama hentikan langkah dan saling berdekatan, Ratu Dewi Kasmaran
membiarkan rambutnya dibelai oleh Siluman Tujuh Nyawa, pipinya diusap dengan jemari tangan
yang berkuku runcing, dan usapan itu merayap hingga belahan dada sang Ratu.
"Benarkah kau mampu memberikan kepuasan bagi diriku yang kesepian ini, Siluman
Tujuh Nyawa?"
"Akan kubuktikan sekarang juga."
"O, jangan! Maksudku, jangan di sini. Aku tak ingin kemesraan kita dilihat bocah
kecil itu. Bawalah aku pergi ke tempat yang aman dan hangat, Siluman Tujuh
Nyawa," ucap sang Ratu Dewi Kasmaran dengan suara bernada manja dan penuh
tantangan bercumbu.
"Di balik bukit kecil itu ada gua! Kita ke sana saja!"
"Ooh... bawalah aku pergi dengan cepat, aku sudah tak tahan memendam hasratku
yang membara ini!" Ratu Dewi Kasmaran menjatuhkan kepala di dada Siluman Tujuh
Nyawa. "Gusti Ratu...! Gusti Ratu, sadarlah...!" seru Congor dalam keadaan masih
terbenam separo
bagian. Tetapi Ratu Dewi Kasmaran tetap melangkah
dalam pelukan Siluman Tujuh Nyawa. Mereka
meninggalkan Congor dan tak hiraukan sedikit pun seruan bocah itu.
"Gusti...," tiba-tiba seruan Congor terhenti, karena ia melihat kehadiran
Pendekar Mabuk yang
mendekatinya. "Suto..."!"
"Ssstt...!" Pendekar Mabuk beri isyarat dengan telunjuknya agar Congor diam
saja. Pendekar muda dan tampan itu tersenyum geli memandangi langkah Siluman
Tujuh Nyawa yang tampak mesra
berdampingan dengan Ratu Dewi Kasmaran.
"Tolong bebaskan aku dari penjara bumi ini!" bisik Congor.
"Tenang saja. Tak perlu kau meminta tolong aku memang datang untuk selamatkan
nyawamu." "Aku dan kakakku mendampingi Ratu Dewi Kasmaran. Dia memaksa kami untuk
mencarimu."
"Ada apa dia mencariku?"
"Gusti Ratu sangat rindu padamu dan ingin jumpai denganmu walau hanya sebatas
pandangan mata saja."
"Sial! Itu penyakit yang berbahaya, Congor!"
"Berbahaya memang berbahaya, tapi bagaimana dengan nasibku ini" Mengapa kau
hanya pandangi kepergian mereka?"
"O, ya... hampir saja aku lupa kalau kau tertanam kuat-kuat."
"Si manusia terkutuk itulah yang menanamku dengan jurus aneh, membuatku bagai
terpenjara oleh sang bumi!"
"Bersiaplah...! Jangan banyak buka mulut biar tanah tak masuk ke tenggorokanmu!"
ujar Suto Sinting, kemudian kakinya menghentak ke tanah satu kali. Duhkk...!
Bless...! "Lho, bagaimana ini"! Kok aku semakin tertanam ke dalam"!" ujar Congor dengan
tegang, karena sekarang tubuhnya lebih tenggelam ke bumi hampir mendekati
lehernya. "Ooh, maaf... aku salah pakai jurus. Yang kupakai baru saja tadi adalah jurus
'Telan Bumi". Sekarang akan kugunakan jurus imbangannya, jurus 'Jebol Bumi',
Hiaaah. .!"
Duuhkkk...! Bruss...! Tubuh bocah cilik itu terlempar naik bagaikan terbang. Tanah yang menjepitnya
ikut tersembur ke atas dan berhamburan ke mana-mana.
Congor segera berjungkir balik ke udara beberapa kali. Jika tidak begitu,
tubuhnya yang kecil akan terlempar dan terbanting tanpa keseimbangan badan.
Wuk, wuk, wuk...!
Jlegg...! Congor mendaratkan kakinya ke tanah dengan
sigap dalam jarak empat langkah di samping kiri Suto Sinting.
Pada waktu itu, langkah Siluman Tujuh Nyawa dengan Ratu Dewi Kasmaran melewati
tempat berdirinya gugusan batu yang dicipta dalam batin Suto sebagai Ratu Dewi
Kasmaran. Tetapi sebelum segalanya berubah, semburan tanah saat tubuh Congor
terlempar ke atas tadi menimbulkan suara yang mencurigakan bagi Siluman Tujuh
Nyawa. Maka sang tokoh sesat itu segera berpaling ke belakang.
"Biadab...!" geramnya tiba-tiba sambil berbalik tubuh secara total. Matanya
memandang dingin ke arah Pendekar Mabuk dan Congor yang tampak telah bebas dari
'penjara bumi'-nya itu.
"Kau sudah bosan hidup, rupanya!" ucapnya agak lirih kepada Suto. Suara itu
hampir saja tak terdengar karena jaraknya cukup jauh untuk suara bernada
serendah itu. "Dewi Kasmaran, sebaiknya kau...," kata Siluman Tujuh Nyawa itu terhenti karena
mendadak hatinya tersentak kaget melihat Ratu Dewi Kasmaran yang ada di
sampingnya telah berubah menjadi gugusan batu hitam menjulang setinggi manusia
dewasa. Siluman Tujuh Nyawa tersentak kaget, namun
raut wajahnya tetap dingin dan tanpa perubahan air muka sama sekali. Sebagai
tanda kemarahannya, batu itu segera disodok dengan sikunya.
Dess...! Brrooll...! Sodokan siku pelan telah membuat gugusan batu hitam itu hancur menjadi
bongkahan-bongkahan sebesar genggaman bayi. Rupanya Siluman Tujuh Nyawa tahu
bahwa Ratu Dewi Kasmaran yang tadi mendekatinya adalah jelmaan dari batu
tersebut. Dan ia pun tahu ulah siapa lagi yang seperti itu jika bukan ulah
Pendekar Mabuk yang dibencinya itu.
"Kau mau adu sihir denganku, Suto" Boleh saja!"
ucapnya dengan suara datar bagai tanpa irama.
Pendekar Mabuk berbisik kepada Congor.
"Pergilah, cepat! Bawa Ratu Dewi Kasmaran pulang. Nanti kalau urusanku sudah
selesai aku sendiri yang akan bertandang ke Pulau Selintang!"
"Baik! Tapi... bagaimana urusanmu dengan tokoh sesat yang berilmu tinggi itu"
Aku harus membantumu, Suto!"
"Pergilah dan jangan banyak bicara lagi!" Suto Sinting setengah menggertak
dengan suara ditekan dan bibir berusaha tak tampak bicara.
Congor segera pergi. Tak berani membantah
perintah sang pendekar yang dikagumi itu. Tetapi setibanya di balik pohon agak
jauh dari tempat itu, Congor berbalik arah. Kini ia bersembunyi di balik pohon
itu, karena hatinya penasaran ingin melihat pertarungan Pendekar Mabuk dengan
Siluman Tujuh Nyawa.
Tokoh yang sebenarnya berambut panjang tapi tak pernah kelihatan karena ditutup
kain kerudung hitam itu, kini menghentakkan tongkatnya ke tanah dengan pelan.
Duhkk...! Tiba-tiba dari tanah yang terkena sentakan tongkat itu keluar nyala
api yang bergerak memanjang bagaikan lari ke arah Pendekar Mabuk.
Wuurrsss...! Gerakan api itu sangat cepat, dan tahu-tahu telah mengurung Suto Sinting dalam
sebuah lingkaran berkobar-kobar. Lingkaran api yang keluar dari tanah itu makin
lama semakin bergerak menyempit, seakan ingin menjerat tubuh Suto Sinting.
Dengan cepat bumbung tuak diraihnya, lalu
ditenggak sebagian. Tuak itu segera disemburkan lewat mulut dengan gerakan tubuh
memutar cepat bagaikan gangsing.
Bruusss...! Blaabbb...! Lingkaran api padam seketika. Sisa asapnya
mengepul dan hilang di udara. Tanah yang bekas dipakai untuk menyemburkan api
tadi tampak menghitam hangus. Tanah itu makin lama semakin bergerak turun bagai potongan
papan bundar. Wuuttt...! Suto Sinting segera lakukan lompatan ke atas sebelum tanah yang
berbentuk lingkaran itu meleak lebih ke dalam lagi. Dalam sekejap saja Pendekar
Mabuk sudah berada di atas pohon. Dari sana ia bergerak menggunakan jurus 'Gerak
Siluman' ke arah lain. Zlaappp...!
Tahu-tahu sudah berada di samping kanan
Siluman Tujuh Nyawa dalam jarak sekitar tujuh langkah.
Tokoh berkerudung kain hitam itu cepat-cepat ikuti dengan pandangan matanya yang
tetap dingin dan datar.
"Sudah waktunya kau mati, Bocah ingusan!"
Claappp...! Tiba-tiba Siluman Tujuh Nyawa
melompat ke arah Suto. Baru saja kakinya terangkat dari tanah, tubuhnya telah
lenyap dan berubah menjadi seberkas sinar biru berekor panjang. Clapp...!
Zrrraabbb...! Sinar biru itu pecah menjadi delapan larik yang semuanya menyerang Suto Sinting
secara serempak dari delapan penjuru.
Pendekar Mabuk nyaris terjebak dan tak bisa hindarkan diri. Tetapi ia segera
memutar bumbung tuaknya di atas kepala dalam keadaan tubuhnya oleng sana-sini
bagaikan orang sedang mabuk.
Dengan menggenggam tali bumbung dan
memutarkannya, maka angin besar pun hadir di sekeliling Suto Sinting. Angin itu
mengandung busa-busa salju, dan akhirnya membuat delapan sinar dari delapan
penuruA itu pecah dengan timbulkan suara ledakan yang cukup keras.
Blegaarrr...! Jurus itu sebenarnya sudah dimiliki Suto sejak dulu, tapi jarang digunakan
karena baru sekarang ia merasa membutuhkan jurus yang dinamakan 'Kipas Malaikat'
itu. Pecahnya delapan sinar itu menimbulkan kepulan asap putih kehitam-hitaman dalam
satu gugusan. Asap itu segera sirna dan sosok Siluman Tujuh Nyawa tampak kembali.
Begitu tokoh sesat itu muncul, sebuah lompatan segera dilakukan ke arah Suto
Sinting dengan tongkat berujung pedang lengkung itu menyambar kepala Suto
Sinting. Wuuttt...!
Suto Sinting berlutut dan segera berguling ke tanah hindari tebasan tongkat El
Maut. la berguling maju ke depan, sehingga begitu tubuhnya tegak dalam posisi
berlutut satu kaki, bumbung tuaknya segera menyambar kaki Siluman Tujuh Nyawa
yang berkelebat ke atas kepalanya.
Wees...! Prraaakk...!
"Oouhk...!" pekik Siluman Tujuh Nyawa, lalu tubuhnya limbung dan jatuh
tersungkur. Brruukkk...!
"Sekarang saat kematianmu tiba, Manusia terkutuk!" geram Suto Sinting sambil
mengangkat bumbung tuaknya yang ingin dihantam ke punggung lawan.
Tetapi tiba-tiba tangan kiri Siluman Tujuh Nyawa menepuk tanah satu kali.
Pluukkk...! Lapp...! Tiba-tiba tubuh berkerudung kain hitam itu lenyap bagai ditelan bumi.
Tak ada bekas sedikit pun yang tertinggal di tempat jatuhnya Siluman Tujuh Nyawa
itu. "Jahanam! Kau pasti lari ke alam gaib, Keparat!
Keluarlah kau, dan hadapi aku secara jantan!" seru Suto Sinting dengan hati
dongkol. Tetapi seruan itu bagai tidak mendapat tanggapan apa pun dari lawannya.
Hati Suto menjadi semakin marah.
"Kukejar kau ke sana. Pengecut!" Tangan kanan Suto segera mengusap keningnya. Di
kening itu ada tanda merah kecil sebesar biji jagung, pemberian dari Ratu
Kartika Wangi, calon mertuanya. Dengan mengusap tanda merah kecil di kening,
maka Suto Sinting dapat menerabas masuk ke alam gaib dan segera memburu musuh
bebuyutannya. Blaass...!
Congor terperanjat bengong dengan mata
mendelik. "Edan! Lenyap begitu saja"! Benar-benar sakti si tampan itu! Aku harus
segera menemui Gusti Ratu di tempat persembunyiannya dan menceritakan hal ini
kepada kakakku; Manis Madu, yang menjaga Gusti Ratul"
Congor pun segera berkelebat pergi dengan
gerakan cepat. Sementara itu, Pendekar Mabuk berkeliaran di alam gaib memburu
lawannya yang selalu melarikan diri jika dalam keadaan terdesak.
* * * 4 CUKUP lama Pendekar Mabuk berkeliaran di alam gaib. Tekadnya sudah bulat, bahwa
saat itu ia harus berhasil temukan Siluman Tujuh Nyawa dan
menyelesaikan urusan lamanya yang tertunda-tunda.
Tetapi ternyata hingga beberapa waktu lamanya Suto menjelajahi alam gaib,
Siluman Tujuh Nyawa tak kelihatan batang hidungnya. Yang ditemukannya hanya
sosok makhluk-makhluk aneh penghuni alam gaib.
"Pada umumnya wajah mereka buruk-buruk!
Kasihan, mana ada gadis cantik di tempat seperti ini?" ujar Suto membatin dalam
hatinya. "Oh, mengapa aku jadi bernafsu sekali untuk dapatkan Siluman Tujuh Nyawa"!
Bukankah hal yang lebih penting kukerjakan adalah mencari 'Tuak Dewata' dan
membawanya pulang untuk segera
sembuhkan sakitnya Kakek Guru"! Oh, hampir saja aku melantur lagi. Aku harus
mencari 'Tuak Dewata'
itu dulu. Tak akan kulakukan pekerjaan lain sebelum
'Tuak Dewata' kudapatkan!"
Pendekar Mabuk segera tarik napas, kemudian menenggak tuaknya tiga teguk. Tuak
itu mempengaruhi keberanian Suto, sehingga tidak merasa takut dan jijik melihat
makhluk-makhluk alam gaib yang punya bentuk dan ukuran berbeda-beda.
la justru menertawakan sesosok makhluk yang menghampirinya. "Heh, heh, heh...
wajah makhluk ini kok mirip dengan bakul nasi" Eh, tapi siapa tahu dia bisa
diajak bicara dan bisa menunjukkan di mana adanya 'Tuak Dewata' itu" Hmmm...
sebaiknya kucoba untuk bertanya kepadanya."
Makhluk yang mirip bakul nasi itu semakin
mendekat. Mulutnya yang lebar mirip dompet penjual jamu gendong segera terbuka.
Pendekar Mabuk 073 Misteri Tuak Dewata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lidahnya terjulur memanjang dengan wajah didekatkan pada Suto.
Plokk...! Suto Sinting menabok wajah makhluk itu. Mata bundar makhluk itu berkedip-kedip
seperti kelilipan.
"Kurang ajar! Ditakut-takuti malah nabok!"
gerutunya dengan suara seperti kaset kendor.
"Hei, kau tahu di mana bisa kudapatkan 'Tuak Dewata'?" sapa Suto Sinting dengan
bertolak pinggang, menampakkan keberaniannya yang
membuat makhluk itu sendiri menjadi ciut nyali.
"Kau tanya apa tadi?"
"Tuak Dewata!"'
"Tuak Dewata' itu jenis makanan apa minuman?"
"Uuh...! Belum-belum sudah tanya begitu, berarti kau tidak tahu di mana adanya
'Tuak Dewata'. Dasar makhluk tolol!"
"Apakah kau mencari Tuak Dewata'?"
"Budek, tuli, congekan!" gerutu Suto Sinting bersungut-sungut.
"Sebaiknya kau carilah Tuak Dewata', siapa tahu itu nama pusaka yang ampuh. Kau
manusia apa jenis hantu"!"
"Mau apa tanya-tanya begitu"!"
"Kalau kau hantu, atau sejenis jin seperti aku, kau akan kubantu. Tapi kalau kau
manusia, aku tak mau membantu."
"Mengapa kau tak mau membantu manusia"!"
"Manusia sering menipuku. Berlagak siapkan makanan untukku, darah segar. Begitu
kuminum, tidak tahunya air sepuhan merah! Rasa manis tak kudapat, rasa pahit
telanjur ketelan. Ngepet juga manusia itu!" mulut lebar itu berkecamuk-kecamuk
dalam bicaranya seperti mengunyah permen karet.
Suara yang meliuk-liuk bernada besar membuat Suto Sinting ingin tertawa, namun
ditahannya kuat-kuat.
"Carikan aku 'Tuak Dewata' untuk obati guruku!"
"Ooo... jadi 'Tuak Dewata' sejenis obat" Obat cacing apa obat nyamuk"!"
Plakk...! Suto Sinting menampar wajah lebar mirip bakpao raksasa itu.
"Kau pikir guruku sejenis cacing atau nyamuk"!"
Makhluk aneh berwarna putih lendir itu
bersungut-sungut sambil pegangi pipinya yang kena tampar.
"Manusia kok galak! Seharusnya jin lebih galak dari manusia!"
"Omong kosong! Jin mana yang mau
menggangguku, akan kulawan dia!"
"Tanyakan saja pada mereka satu persatu, siapa yang mau mengganggumu. Kurasa tak
ada yang berani, karena kau galak sekali. Mirip ibuku kalau sedang hamil, selalu galak
sekali!" "Sudah, jangan banyak omong! Buang-buang waktu saja. Kau tahu tentang 'Tuak
Dewata' atau tidak sebenarnya?"
"Tidak tahu!" sentak makhluk itu. "Tanyakan pada yang lain saja. Aku tak mau
bicara lagi denganmu.
Belum genap sehari wajahku sudah bonyok,
ketampanan ku bisa hilang!"
"Begitu saja tampan, yang jelek seperti apa"!"
gerutu Suto Sinting sambil melangkah tinggalkan tempat itu.
"Hei, Manusia... jangan pergi ke sana. Itu perbatasan alam gaib yang tak boleh
dimasuki manusia. Nanti kau dihajar oleh penjaga perbatasan alam gaib!"
Seruan itu tak dihiraukan Suto Sinting, karena di dalam benak Suto tiba-tiba
terbetik gagasan untuk menemui calon mertuanya yang menjadi penguasa negeri Puri
Gerbang Surgawi yang ada di alam gaib.
Jalanan di depan sana tampak menyala hijau.
Suto Sinting jadi ingat tentang lumpur menyala hijau seperti fosfor yang ada di
lorong gua menuju istana Ratu Kartika Wangi. Oleh sebab itu, gagasan untuk
menghadap Ratu Kartika Wangi terbit di benak Suto dan hatinya berharap agar sang
calon mertua nantinya dapat menjelaskan apa dan bagaimana sebenarnya 'Tuak
Dewata' itu. Alam di sekeliling tempat itu tampak redup. Tidak terang dan tidak gelap.
Seperti mendung di siang hari.
Tetapi langit yang tampak dari tempat itu dalam keadaan putih bersih tanpa mega
mendung sedikit pun. Hanya saja, matahari tak kelihatan muncul di langit sebelah
mana pun. Rembulan juga tak ada.
Entah cahaya terang yang redup itu datang dari mana, yang jelas hawa udara di
tempat itu juga tidak panas dan tidak dingin.
Pendekar Mabuk bulatkan tekad mendekati jalur yang menyala hijau pijar-pijar
itu. Untuk mencapai jalur hijau di seberang sana, ia harus melewati padang pasir
tanpa tanaman sedikit pun. Pasir yang menghampar bukan berwarna putih, melainkan
berwarna merah kecoklatan. Bentuknya halus seperti tepung, namun mempunyai
kepadatan tersendiri bagai tanah lapangan berdebu merah kecoklatan.
"Inikah yang dimaksud perbatasan alam gaib itu"!" pikir Suto Sinting sambil
melangkah dengan menenteng bumbung tuaknya di pundak kanan.
Tiba-tiba langkahnya terhenti karena seberkas cahaya merah mirip bintang berekor
terbang mendekatinya. Wuuttt...! Suto Sinting segera meraih tali bumbung tuaknya. Cahaya
merah yang mendekatinya segera dihantam dengan bumbung tuak tersebut. Wuuutt...!
Blangng...! Hantaman itu timbulkan ledakan yang
menggema. Seakan langit putih itu mulai menjadi merah saga akibat percikan
cahaya merah dari ledakan tadi. Gema ledakan masih terdengar sampai tiga helaan
napas, sepertinya gema itu sukar hilang dari gendang telinga Pendekar Mabuk.
Terjadinya ledakan itu membuat sinar merah seperti bintang jatuh lenyap.
Lenyapnya sinar merah mengepulkan asap tipis warna putih. Asap itu pun lenyap
sedikit demi sedikit, dan sesosok tubuh tinggi besar keluar dari gumpalan asap
yang memudar itu.
"Gila! Makhluk apa lagi ini"!" pikir Suto Sinting dengan mundur selangkah dan
wajahnya mendongak pandangi wajah makhluk menyeramkan itu.
Kedua kaki makhluk itu besarnya seukuran pilar istana, panjang dan berbulu mirip
tanaman rambat.
Perutnya membusung besar dan hanya mengenakan cawat dari kain tebal, entah bahan
apa yang digunakan. Makhluk itu tingginya tiga kali tinggi Suto Sinting dan
mempunyai dada berkulit retak-retak.
Sekujur tubuhnya yang berwarna abu-abu itu
berdebu putih sampai di bagian kepala. Makhluk itu seperti mengenakan bedak yang
menyebarkan bau apek, tak sedap dihirup hidung. la berkepala gundul polos, daun
telinganya lebar melambai-lambai, mempunyai mata dan mulut besar, hidungnya pun
mirip guci tuak yang sering dijual di kedai-kedai.
"Grrrmmm...!" la menggeram dengan mata besarnya melotot lebar sekali. "Mau apa
kau datang kemari, Manusia"!"
"Siapa kau dan mengapa berani menghadang langkahku"!" Suto Sinting justru balik
bertanya. la tak tampak takut sedikit pun.
"Aku Jin Koplo, penjaga perbatasan alam gaib ini, Tolol!"
"Lalu, mengapa kau menghadang langkahku?"
"Tidak setiap makhluk boleh memasuki
perbatasan ini, sebelum mendapat izin dariku! Jadi aku harus menghentikan
langkahmu, dan kalau kau nekat terpaksa kuinjak kepalamu di sini sampai pecah.
Pyaaah..! Huah, hah, hah, hah, hah...l"
Suara besar itu serukan tawa yang menggema ke mana-mana. Tawanya itu hadirkan
gelombang getaran yang membuat tubuh Suto Sinting seperti sedang diguncang gempa.
"Aku ingin ke Jalur Hijau itu!" kata Suto Sinting setelah guncangan itu berhenti
dengan sendirinya.
"Kau tak boleh mencapai Jalur Hijau itu!"
"Kenapa tak boleh"!"
"Itu jalur terhormat dan tidak sembarang makhluk boleh mencapai Jalur Hijau
itu." "Kau belum tahu siapa aku, Jin Koplo!"
"Tentu saja, sebab kalau aku sudah tahu siapa kau, akan kutanyakan mana oleholeh bawaanmu"!
Huah, hah, hah, hah, hah...!"
Wuurss...! Suto melemparkan segenggam pasir ke mulut Jin Koplo. Jin itu tersentak kaget dan
menyembur-nyemburkan pasir yang masuk ke mulutnya.
"Brusstt...! Bruusst...! Kurang ajar! Bruusst...!"
Semburan itu hadirkan angin kencang yang
membuat Suto Sinting jadi terlempar ke sana-sini dan berguling-guling bagai
dihempaskan oleh badai berkekuatan tinggi.
"Sial! Aku kena getahnya juga!" gerutu Suto sambit bangkit dan buru-buru
menenggak tuak untuk memulihkan tenaganya yang habis terbanting-banting tadi.
"Hoi, Manusia rongsok...! Berani-beraninya kau berbuat lancang di hadapanku,
hah..,"!"
Bentakan suara 'hah' itu membuat dada Suto bagai terasa dihantam dengan kayu
balok besar. Suto Sinting terpaksa mundur dua langkah dan menahan napasnya.
"Di sini aku jin terhormat, ditakuti oleh makhluk alam gaib lainnya! Tapi
mengapa kau seenaknya mendulangku pakai pasir"! Kau pikir makananku pasir"! Aku
bukan undur-undur, tahu"!"
"Apakah kau cukup sakti sehingga merasa patut dihormati"!"
"Jin Koplo adalah jin paling sakti di jajaran para makhluk alam gaib ini! Kalau
tidak percaya, silakan adu kesaktian denganku!"
"Tunjukkan kesaktianmu dengan mengubah dirimu menjadi seukuran denganku! Kalau
kau bisa, aku baru mau mengakuimu sebagai jin sakti dan menaruh hormat padamu!"
"Berubah menjadi seukuran denganmu"! Huah, hah, hah, ha, huaaah...!" tawanya
membuat Suto Sinting terpaksa menutup kedua telinganya kuat-kuat.
Jika tidak, ia khawatir gendang telinganya akan pecah.
"Berubah seperti dirimu adalah hal yang paling mudah bagiku!"
"Coba tunjukkan, jangan hanya besar mulut di depanku, Jin Koplo!"
"Baik! Akan kutunjukkan kalau aku punya kesaktian bisa mengubah diri menjadi
sebesar dirimu!"
Kemudian Jin Koplo pejamkan mata sambil
menggeram dengan kedua tangan bersidekap di dada.
"Grrrhmmm...!"
Suuuttt...! Tanpa sinar tanpa asap, Jin Koplo tiba-tiba telah berubah menjadi
kecil, menyusut dengan cepat menjadi seukuran dengan Pendekar Mabuk.
"Lihat, aku sudah menjadi seukuran denganmu, bukan"!" suaranya pun menjadi
cempreng, seperti suara anak-anak.
Pendekar Mabuk tak banyak bicara, langsung
melepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya. Dengan jari menyentil beberapa kali, tubuh
Jin Koplo terlempar ke sana-sini tanpa bisa memberi balasan apa-apa.
Sentilan jari itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang kekuatannya seperti
tendangan kuda jantan.
Tes, tes, tes, tes, tes, tes...!
"Aaaauww...!" Jin Koplo menjerit panjang sambil berjungkir balik ke sana-sini,
mirip seekor kecoa yang disentil kian kemari. Jika kedua kakinya di atas dalam
keadaan jatuh telentang, ia seperti sukar
membalikkan tubuhnya. Kesempatan itu digunakan Suto untuk menghajarnya terus
dengan jurus 'Jari Guntur'-nya.
"Kalau kau merasa sakti dan patut kuhormati, lawanlah jurusku ini!" seru Suto
Sinting sambil tetap melancarkan sentilan bertubi-tubi. Jin Koplo tak diberi
kesempatan untuk membalas atau menyerang.
Bahkan kesempatan untuk beristirahat dari jungkir baliknya juga tak ada.
"Waaooww...! Hentikan!
Hentikaaan...! Ampuuun...!" teriaknya dengan suara cempreng.
Dalam posisi jatuh tengkurap, tiba-tiba Jin Koplo langsung bersikap sujud kepada
Suto Sinting, wajahnya mencium tanah dan kedua tangannya
terangkat-angkat dengan gerakan membungkukbungkuk. "Ampuuun...! Ampun...! Aku pusing sekali, Manusia! Kepalaku seperti hilang,
dadaku seperti bolong, oooh... ampuuun... tulang-tulangku sudah kau buat patah
empat bagian. Mohon jangan kau
patahkan lagi. Aku tak mau menjadi jin presto, alias jin bertulang lunak seperti
ikan bandeng yang dimakan manusia sejenismu itu. Wuodoow...
ampunilah aku, Manusia...!"
Jin Koplo tak tahu kalau Suto Sinting sudah pindah ke belakangnya agak jauh
sambil jaga-jaga diri. la masih bersujud-sujud memohon ampun di tempat bekas
Suto berdiri tadi.
"Aku di sini, Jin Koplo!"
Jin itu mendongakkan wajah, dan terbengong
melihat tempat di depannya kosong. la menoleh ke belakang, melihat Suto berdiri
dengan jari mau disentilkan. Jin itu segera merangkak terburu-buru dengan
ketakutan. "Ampun, ampuuun...! Jangan sentil lagi aku!
Tubuhku sudah sakit semua! Mohon kita berdamai saja. Damai saja, Manusia...!"
pintanya sambil memegangi 'jimat kejantanannya' yang tadi sengaja disentil Suto
dari jarak jauh sebanyak tiga kali. Rasa sakit pada tempat itulah yang membuat
Jin Koplo akhirnya tobat dan tak berani bersikap kasar kepada Pendekar Mabuk.
"Bangunlah jika kau mau bersahabat denganku!
Tapi ingat, jika kau berubah besar di depanku, aku akan menyentil 'jimatmu'
dengan tenaga dalamku yang lebih besar juga!"
"Tii... tidak, tidak...!" tangannya digoyang-goyangkan. "Aku tidak akan berubah
besar lagi di depanmu. Aku akan berubah besar di belakangmu saja."
"Juga tidak boleh! Nanti kau membokongku dari belakang!"
"O, ya, tidak, tidak...! Aku tidak akan berubah besar sebelum kau pergi dari
hadapanku! Kita... kita damai saja, ya?"
Pendekar Mabuk menarik napas sambil
tersenyum bangga. Jin Koplo melangkah dengan kaki merenggang dan mendekap 'jimat
kejantanannya' yang terasa bengkak bagai bisul mau pecah.
"Dapatkah kau mengobati penyakit turun berokku ini?" ujarnya sambil menyeringai
menyedihkan. "Minumlah tuakku ini. Buka mulutmu!"
Jin Koplo menurut saja membuka mulutnya.
Pendekar Mabuk mengucurkan tuaknya ke mulut itu.
Beberapa saat setelah Jin Koplo menelan tuak, rasa sakit di sekujur tubuhnya pun
lenyap. "Hebat sekali minumanmu itu. Oh, ya... siapa namamu, Kawan"!"
'"Suto Sinting alias Pendekar Mabuk!"'jawab Suto dengan senyum ramah karena Jin
Koplo lebih dulu memanggil 'kawan', sehingga Suto merasa perlu mengimbangi sikap
persahabatan itu.
"Sebenarnya apa yang kau cari di sini, Kawanku Suto?"
"Aku mencari obat untuk sembuhkan sakitnya guruku. Obat itu bernama 'Tuak
Dewata'. Apakah kau tahu di mana ada 'Tuak Dewata' itu, Jin Koplo"!"
Jin Koplo tertegun bengong. Apa maksudnya, Suto sempat bingung mengartikannya.
Tahu atau tidak tahu, tak jelas tergambar di wajah Jin Koplo.
Jin Koplo hanya berkata, "Orang-orang di Jalur Hijau mungkin tahu tentang 'Tuak
Dewata' yang kau cari. Rasa-rasanya sangat tepat jika kau pergi ke wilayah Jalur
Hijau itu. Kawan."
"Jadi kau sendiri tidak tahu tentang 'Tuak Dewata'
itu?" Suto penasaran dan ingin ketegasan dari Jin Koplo.
"Aku hanya pernah mendengar nama 'Tuak Dewata' disebutkan oleh salah seorang
penghuni Jalur Hijau itu. Hanya satu kali kudengar dan itu pun sudah sekitar
seribu tahun yang lalu."
"Seribu tahun yang lalu?" Suto membelalak heran.
"Dan aku tidak tahu apa artinya 'Tuak Dewata' itu.
Mungkin nama seseorang, mungkin nama pusaka, mungkin nama makanan, mungkin juga
nama penyakit. Aku sungguh-sungguh tak tahu-menahu tentang arti 'Tuak Dewata' itu,
Kawan. Tetapi aku yakin, satu dari sekian banyak penghuni wilayah Jalur Hijau
pasti ada yang mengetahui tentang arti 'Tuak Dewata' tersebut."
Pendekar Mabuk menggumam pendek dengan
hati agak lega. Setidaknya ia punya harapan akan mendapat keterangan tentang
'Tuak Dewata' itu dari salah satu penghuni wilayah Jalur Hijau tersebut. la
berharap keterangan yang akan diperolehnya nanti tidak akan membuatnya menjadi
lebih pusing dan lebih menjengkelkan.
"Tetapi hati-hatilah memasuki Jalur Hijau itu, Kawan Suto," ujar Jin Koplo lagi.
"Sebab, jalur itu adalah wilayah yang tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang.
Tidak setiap makhluk dapat selamat memasuki Jalur Hijau."
Pendekar Mabuk 073 Misteri Tuak Dewata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengapa begitu?"
"Karena wilayah itu adalah wilayahnya seorang ratu maha sakti yang kabarnya
sekarang sudah mempunyai seorang panglima perang bergelar
Manggala Yudha Kinasih."
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum.
"Kudengar sang Manggala Yudha Kinasih itu mempunyai ilmu sangat tinggi dan sukar
ditumbangkan," tambah Jin Koplo. "Siapa pun yang memasuki wilayah Jalur Hijau
harus berhati bersih dan jiwa yang suci. Jika tidak kau akan terperosok dalam
jebakan maut yang mereka pasang di
sepanjang jalur menuju istana Puri Gerbang Surgawi."
"Terima kasih atas nasihatmu, Kawan," ujar Suto ikut-ikutan memanggil 'kawan'
kepada Jin Koplo.
"Aku tak berani mengantarmu sampai di sana, sebab aku takut berhadapan dengan
panglima perangnya Puri Gerbang Surgawi itu. Kubayangkan, aku tak akan sanggup melawan si
panglima yang bergelar Manggala Yudha Kinasih itu."
Suto Sinting semakin tertawa geli. "Kau telah berhadapan dengannya, Jin Koplo."
"Maksudmu berhadapan dengan Manggala Yudha Kinasih itu"!"
"Benar. Karena akulah orang yang mendapat gelar kehormatan dari sang Ratu negeri
Puri Gerbang Surgawi itu. Akulah yang bergelar Manggala Yudha Kinasih, panglima
terdepan dalam jajaran prajurit Puri Gerbang Surgawi itu!"
Jin Koplo diam terbengong pandangi Suto Sinting, ia menjadi seperti jin linglung
yang tidak tahu harus berbuat apa setelah mendengar pengakuan tersebut.
la memang tidak tahu, bahwa Suto memang telah diangkat menjadi panglimanya Ratu
Kartika Wangi dan mendapat gelar kehormatan sebagai Manggala Yudha Kinasih,
terutama sejak ia diakui sebagai calon suami Dyah Sariningrum, putri kedua dari
Ratu Kartika Wangi yang berkuasa di negeri Puri Gerbang Surgawi di alam nyata,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu Wajah").
Tetapi raut wajah buruk Jin Koplo yang tampak dalam keraguan membingungkan itu
membuat Suto Sinting menjadi penasaran, lalu ikut-ikutan bingung juga. Pendekar
Mabuk ajukan tanya dengan dahi berkerut,
"Mengapa kau tampak menjadi bingung begitu, Jin Koplo?"
"Karena... karena setahuku yang bergelar Manggala Yudha Kinasih dan menjadi
panglima perang sang Ratu bukan orang yang bernama Suto Sinting, seperti
pengakuanmu tadi."
"Lalu, bernama siapa orang yang menjadi panglima sahg Ratu itu?"
"Kabar yang kudengar, orang itu bernama Durmala Sanca."
"Apa..."!" Pendekar Mabuk terpekik kaget. Seperti ada petir menyambar alisnya
ketika mendengar nama Durmala Sanca sebagai nama asli orang yang
mendapat gelar Manggala Yudha Kinasih dari Ratu Kartika Wangi.
Jantung Suto mulai berdetak-detak bagai ada yang menendang dari dalam dada.
Durmala Sanca alias Siluman Tujuh Nyawa dikabarkan sebagai panglima perang
negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib. Apakah itu berarti Suto sudah tidak
dipakai lagi oleh sang Ratu Kartika Wangi" Apakah kedudukan Suto sekarang sudah
digantikan oleh Durmala Sanca" Apakah Suto Sinting juga tidak diakui pula
sebagai calon menantu Gusti Ratu Kartika Wangi"
"Jika benar begitu, apakah berarti Dyah Sariningrum akhirnya akan menjadi istri
Siluman Tujuh Nyawa"!" tanya Suto kepada hatinya sendiri yang berdebar-debar
dibakar oleh kecemburuan dan kekecewaan.
* * * 5 JALANAN yang memancarkan cahaya hijau pijar itu ternyata mengandung lumut halus,
dan lumut itu mengeluarkan cahaya hijau semacam cahaya fosfor.
Jalanan yang mengandung lumut itu menuju ke arah suatu tempat menyerupai lorong
di antara dua tebing.
Dengan mengikuti jalanan bercahaya hijau, Pendekar Mabuk akhirnya tiba di sebuah
lorong gua yang dindingnya menyala hijau karena ditumbuhi oleh lumut-lumut aneh
itu. Lumat-lumut pada dinding lorong itu tampak
belum pernah ada yang menjamah dan tumbuh
secara alami. Suto tak mau menyentuhnya sebab ia tahu lumut itu mengandung
racun. Dulu ketika ia memasuki lorong gua tersebut bersama Dewa Racun, ia hampir
saja menyentuhnya namun segera dicegah oleh Dewa Racun, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu Wajah").
Lorong tersebut bukan saja mempunyai
keindahan pada lumut bercahayanya, melainkan juga langit-langit lorong mempunyai
keindahan tersendiri.
Lekuk-lekuk bebatuan di langit lorong mirip lukisan alam. Ada yang bergelembung
bagaikan bisul besar mau pecah, ada yang lonjong mirip hidung raksasa, ada yang
pipih dari berbuku-buku, ada pula yang menonjol bagaikan bunga sedang menguncup.
Di sela-sela tanaman lumut yang menyala itu terdapat bebatuan warna-warni. Ada
yang menggerombol berbentuk bulat-bulat warna kuning terang, ada yang dalam bentuk
satu bongkahan berwarna merah bening, bahkan ada yang berbintik-bintik kecil
mirip butiran biji salak berwarna coklat tua bening, dapat memantulkan sinar
hijau dari tanaman lumut di sekitarnya.
Pemandangan di dalam lorong itu memang
sangat indah dan menakjubkan. Namun semua
keindahan itu ternyata mengandung falsafah hidup yang sangat dalam. Karena
keindahan yang ada di lorong itu adalah keindahan yang mengandung racun
berbahaya dan tak boleh disentuh sedikit pun. Hal itu mengajarkan kepada manusia
tentang banyaknya keindahan yang menyenangkan hati namun cukup berbahaya bagi
keselamatan jiwa manusia itu sendiri.
Di balik keindahan dan kemegahan terdapat maut yang selalu mengancam kelengahan
kita. Perjalanan sang Pendekar Mabuk tiba di sebuah ruangan yang lebarnya sepuluh
tombak, mempunyai pilar-pilar alam yang berwarna-warni dan
memancarkan kebeningan yang indah. Pilar-pilar itu seperti sesuatu yang kental
menetes dari langit-langit lorong dan mengeras. Letak serta bentuknya tidak
beraturan. Ada yahg berongga, ada yang seperti dua tangan terjuntai, ada yang
mirip buah labu, ada yang seperti mata tombak raksasa, dan semua itu
sepertinya mengandung seni keindahan yang mahal dan sukar didapatkan di
permukaan bumi, atau di alam nyata.
Pilar-pilar indah dilewati. Tapi lumut-lumut yang memancarkan cahaya hijau masih
ada, hanya saja letaknya tidak lagi di dinding kanan-kiri lorong, melainkan di
langit-langit lorong tersebut. Lumut-lumut berdaun panjang itu menggantung
bagaikan lampu-lampu hias yang memancarkan cahaya hijau indah, menerangi lorong
tersebut. Kini keindahan yang ada ditambah lagi dengan keindahan pada lantai lorong.
Lantai itu bukan lagi terdiri dari tanah atau batuan biasa, melainkan dari kaca
jernih dan bening sekali. Karena beningnya, lumut-lumut di atas pun terpantul
jelas, hingga lantai gua itu bagaikan memancarkan cahaya hijau bening yang
sangat terang. Sedangkan pada dinding lorong masih terdapat bebatuan yang punya
warna cerah dan berkilap.
"Kuingat...," kata Suto dalam hatinya,"... lantai bening ini mempunyai arti
kehidupan yang cukup dalam. Lantai jernih ini merupakan peringatan bagiku untuk
memperhitungkan setiap langkah yang akan kulalui. Jika langkahku disertai niat
dan hati yang bersih, bening dan berpikiran jernih, maka setiap langkahku akan
membawa kemenangan tersendiri dalam hidup."
Pendekar Mabuk sengaja berhenti sejenak untuk merenungi keindahan di
sekelilingnya. la memandang lumut-lumut bercahaya hijau yang ada di langitlangit lorong. Lalu, hatinya pun berkata sambil mengenang masa-masa berada di
tempat itu bersama Dewa Racun.
"Lumut-lumut itu adalah penerang bagi
langkahku. Dalam falsafah, aku tak boleh selalu merasa rendah dan minder
menghadapi kehidupan ini. Sekalipun diriku nilainya hanya seperti lumut, tapi
jika bisa menjadi penerang bagi sesama, hendaknya terangku tetap menjadi
penuntun kaki mereka agar tidak terperosok ke dalam jurang lubang yang
menyesatkan. Sekecil apa pun pengetahuan dan ilmu manusia, hendaknya dapat
berguna bagi kehidupan mereka yang membutuhkannya."
Langkah Suto pun dilanjutkan kembali menapak di lantai bening. Anehnya, tak satu
pun tampak ada bekas telapak kaki di lantai jernih tersebut. Lantai itu tetap
tampak jernih, bening dan bersih.
Tetapi anehnya lagi, bayangan Suto yang
memantul pada lantai jernih itu bukan seperti bayangan dalam sebuah cermin.
Bayangan itu berwarna hitam, seperti bayangan sebuah benda jika terkena sinar matahari.
Bayangan itu juga tidak berada dalam satu garis lurus dengan telapak kaki Suto,
melainkan sedikit tertinggal di belakang Suto, sepertinya Suto mendapat sorotan
sinar dari arah depannya.
"Sesuatu yang hitam biasanya simbol dari keburukan. Kuingat, bayangan di lantai
ini pun merupakan ajaran dari sisi kehidupan, bahwa ke mana pun aku pergi selalu
diikuti oleh sifat-sifat buruk yang selalu berusaha menyatu dengan diriku.
Tergantung sikap diriku, apakah mau memakai keburukan itu atau meninggalkannya.
Tetapi pada awalnya, kebaikan pasti datang paling depan, setelah itu baru
diikuti oleh keburukan, seperti rencana-rencana licik, nafsu serakah, dan
sebagainya. Lantai yang menyerupai cermin itu merupakan peringatan bagi manusia,
agar selalu ingat dan waspada bahwa setiap langkah manusia selalu dibayangbayangi oleh keburukan. Jangan sampai aku menjadi lengah dan dikuasai oleh
bayangan hitam diriku sendiri...."
Pendekar Mabuk juga teringat kata-kata gadis penyambut kedatangannya pada waktu
ia berada di tempat itu bersama Dewa Racun. Gadis yang
menyambutnya adalah Sang Wengi, dan gadis itu berkata kepada Suto serta Dewa
Racun. "Bagi orang yang tidak memiliki hati bersih, gua ini tidak mempunyai keindahan
sama sekali. Mereka tidak akan menemukan istana Puri Gerbang Surgawi."
Karenanya, Pendekar Mabuk sejak tadi sudah
membersihkan hati dan pikirannya terlebih dulu. la hanya mempunyai satu niat,
yaitu mencari obat untuk sembuhkan sakit sang Guru. Adapun kabar tentang Durmala
Sanca sebagai panglima dan bergelar Manggala Yudha Kinasih, dibuang dulu dari
alam pikiran Suto Sinting. Tak ada iri, tak ada benci, tak ada kecemburuan.
Akibatnya, mata Suto masih bisa menikmati keindahan yang ada di sepanjang lorong
yang menuju ke sebuah ruangan besar dan ruangan itu disebutnya: balairung
istana. Ruangan itu sangat indah dan megah. Pilarpilarnya terbuat dari susunan batu mirah delima, safir, zamrut, dan sebagainya.
Lantainya bagaikan bentangan kaca lebar, sangat luas dan bening.
Dindingnya terbuat dari lempengan-lempengan batu putih kemilau bagai lempengan
batu intan. Seperti dulu juga, kedatangan Pendekar Mabuk disambut oleh wajah-wajah cantik
yang menawan hati. Dua dari beberapa wajah cantik sudah dikenali oleh Suto. Dua
wajah cantik yang dikenali Suto itu adalah Sang Wengi dan Sang Ramu.
Senyum mereka ramah sekali, menciptakan
debaran indah dalam hati yang tak bisa dilukiskan dengan kata. Sambutan itu
agaknya sudah dipersiapkan sejak sebelum Suto Sinting memasuki Jalur Hijau. Sepertinya mereka
sudah tahu lebih dulu bahwa akan ada tamu penting yang patut dihormati dan
disambut dengan keramahan tersendiri.
Para wanita cantik yang masih berusia muda itu menundukkan kepala dengan satu
kaki berlutut. Mereka memberi hormat dengan ucapan Sang Wengi mewakili sambutan mereka.
"Selamat datang, Gusti Manggala Yudha
Kinasih...."
"Damai hidupmu, panjanglah umurmu semua!"
Itulah ucapan Suto Sinting sebagai salam balasan kepada mereka. Sebelum Suto
mengucapkan kata-kata itu, mereka tetap akan tundukkan kepala dan berlutut
dengan satu kaki.
"Gusti Ratu Kartika Wangi sedang bersiap untuk menemui Gusti Manggala. Sudilah
kiranya Gusti Manggala menunggu sejenak."
"Aku akan bersabar menunggu sampai kapan pun," ucap Pendekar Mabuk dengan tegas
dan berwibawa. Sang Wengi dan Sang Ramu membawa Suto
Sinting naik ke lantai bundar di depan singgasana.
Tinggi lantai bundar itu kurang dari setengah jengkal, tetapi merupakan tempat
khusus untuk menghadap Ratu. Lantai yang menyerupai piringan tebal itu tanpa
tempat duduk, lebarnya seukuran perisai lima jengkal. Ketika Suto Sinting naik
ke atas lantai itu, muncullah perempuan-perempuan cantik yang punya tinggi-badan
sejajar semua. Perempuan-perempuan yang tinggi badannya
sejajar itu mengenakan pakaian serba kuning gading.
Mereka muncul dari satu pintu yang ada di lantai atas, yang mengelilingi bentuk
istana bundar itu.
Istana itu mempunyai tiga lantai. Lantai bawah, tempat Suto dan perempuanperempuan penyambut yang mengenakan pakaian serba putih, lantai dua diisi oleh
perempuan-perempuan berpakaian kuning gading yang berjajar berkeliling dengan
rapi. Sedangkan lantai atasnya lagi, muncul serombongan perempuan berambut cepak
berikat kepala seperti mahkota emas kecil dan menyandang pedang merah di
punggung. Jumlahnya lebih dari dua puluh lima orang. Mereka mengenakan celana
ketat sebatas betis warna merah, mengenakan penutup dada
warna merah juga yang dilapisi rompi panjang sebatas perut warna merah pula.
Mereka adalah prajurit-prajurit istana pilihan. Mereka juga berjajar rapi
mengelilingi lantai istana bagian atas yang berbentuk bundar itu.
Tiba-tiba terdengar suara gaung menggema
seperti genta bertalu.
Wuungngng...! Gema itu panjang, tetapi tidak membuat berisik di telinga. Bersamaan dengan
suara itu, muncul seorang berpakaian serba ungu, termasuk jubahnya yang berwarna
ungu muda. Rambut perempuan itu
disanggul, mengenakan mahkota besar, kalung susun tiga berhias batuan putih
semacam mutiara dan intan. Giwang perempuan itu tak seberapa besar tapi tampak
jelas terbuat dari berlian. Perempuan itu cantik dan masih tampak muda, wajahnya
oval, bibirnya ranum, hidungnya mancung, sepertinya masih berusia sekitar dua
puluh delapan tahun.
Tetapi sebenarnya ia sudah berusia lebih dari delapan puluh tahun.
Semua orang dari lantai bawah sampai lantas atas menundukkan kepala dengan satu
kaki berlutut. Pendekar Mabuk pun ikut bersikap begitu sebagai tanda hormatnya kepada perempuan
berjubah ungu yang tak lain adalah Gusti Ratu Kartika Wangi, yang segera duduk
di singgasana berhias batuan intan berlian setelah membalas hormat mereka dengan
ucapan khas. "Damai dan sejahtera buat kalian semua!"
Pendekar Mabuk duduk bersila dengan bumbung tuak diletakkan di samping kanannya,
la tampak bersikap sangat hormat dan menampakkan
kegagahannya sebagai seorang pendekar berilmu tinggi dan punya kharisma
tersendiri. Ratu Kartika Wangi pandangi Suto Sinting dengan dahi berkerut. Sepertinya ada
sesuatu yang diperhatikan oleh sang Ratu dengan rasa janggal.
Pendekar Mabuk diam saja, tak berani ucapkan kata sebelum mendapat teguran dari
sang Ratu. Tiba-tiba ibu dari Dyah Sariningrum itu berkata kepada Sang Ramu.
"Aku ingin bicara empat mata dengan calon menantuku ini! Siapkan tempat!"
Dengan memberi hormat lebih dulu, Sang Ramu pun perdengarkan suaranya yang
renyah penuh keramahan itu.
"Taman paseban sudah kami siapkan, Gusti Ratu!"
"Kalau begitu aku akan ke sana bersama Suto Sinting. Tak perlu pengawalan jarak
dekat." "Baik, Gusti Ratu."
"Suto...," sapa sang Ratu.
"Daulat, Gusti Ratu."
"Panggil saja aku 'ibu' tak perlu bersikap seperti mereka."
"Baik, Ibu," jawab Suto dengan sopan sekali.
"Kita bicara di taman saja!"
"Saya akan menyertainya, Ibu."
Tiba-tiba pandangan Suto Sinting menjadi gelap!
seketika. Blabb...! Suto sempat terkejut dan menggeragap. Tetapi sebelum ia
ajukan tanya kepada sang Ratu, pandangan matanya sudah menjadi
terang kembali. Namun ia tetap terkejut, karena tahu-tahu ia berada di sebuah
Pendekar Mabuk 073 Misteri Tuak Dewata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
taman yang sangat indah tanpa ada siapa pun kecuali dirinya dan sang calon
mertua. "Ajaib sekali!" gumam Suto dalam hati. "Dalam sekejap saja balairung istana
sudah berubah menjadi taman seindah ini. Seharusnya aku tak perlu menggeragap
karena kusadari orang yang
berhadapan denganku adalah orang yang berilmu sangat tinggi, mampu membuat
sesuatu yang mustahil menjadi nyata."
Bunga-bunga indah bermekaran di taman itu.
Tanaman dan bunga yang ada tampak asing bagi Suto Sinting. Semuanya serba aneh
tapi berkesan sekali di hati sang pendekar tampan itu.
Mereka ternyata berada di dekat kolam berair bening warna biru muda. Air kolam
itu tampak menyegarkan sekali. Bahkan ketika mata Suto memandang permukaan air
kolam, tiba-tiba
pikirannya menjadi segar, hatinya pun segar, dan tubuhnya terasa segar pula.
Kolam itu mempunyai air mancur kecil yang
memancar ke sana-sini dengan kemekaran seperti bunga. Rupanya air mancur itu
menyebarkan aroma harum yang lembut dan menyejukkan kalbu. Anehnya, setiap air
yang memancar tak pernah turun lagi ke bawah dan lenyap bagai diserap angin.
Pendekar Mabuk duduk bersila di lantai taman yang bening seperti kaca itu. Tibatiba saja ia sudah duduk di situ seperti saat ia duduk di depan singgasana tadi.
Sedangkan Ratu Kartika Wangi berdiri tak jauh darinya, bahkan berjalan mengitari
sebuah tanaman hias yang mempunyai daun seperti beludru, dan bunganya mirip
mawar merah berbintik-bintik kuning emas. Indah sekali. Sang Ratu memetiknya
setangkai. Tess...! Tiba-tiba tangkai yang telah terpetik itu bergerak-gerak dan
segera tumbuh bunga yang baru. Bunga itu menguncup, kemudian segera mekar dan
menyebarkan aroma wangi seperti wanginya mawar bercampur melati.
"Manggala...," ujar sang Ratu menyebut Suto dengan kata 'Manggala', membuat hati
Suto sempat merasa masih diakui sebagai Manggala Yudha
Kinasih di negeri alam gaib itu.
"Kurasakan keresahan begitu kuat di dalam hatimu saat sebelum kau tiba di tempat
ini. Katakan kepadaku, apa yang membuatmu sangat resah dan berperasaan campur
aduk tak karuan itu, Anakku."
"Ibu, pertama saya resah karena rindu kepada Dyah Sariningrum dan sudah lama tak
mendengar kabarnya."
"Dyah Sariningrum baik-baik saja. la juga rindu padamu."
"Oh...." Suto tersenyum bangga. Hatinya berdebar indah. Lalu ia berkata lagi,
"Selain itu, Ibu, Kakek Guru si Gila Tuak sedang sakit."
"Ya, aku tahu!" potong sang Ratu sambil masih pandangi bunga-bunga di
sekelilingnya. Sambungnya lagi, "Tapi yang ingin kuketahui lebih dulu adalah kegundahan hatimu
paling dekat. Kegundahan itu baru saja kau buang sebelum kau memasuki jalan bercahaya hijau
itu." Pendekar Mabuk menarik napas pelan,
senyumnya mekar dengan tipis, namun tak berani memandang ke arah sang Ratu.
Setelah senyum itu hilang, barulah ia mendonggakkan wajah dan
menatap sang Ratu dengan lembut.
"Ibu, saya dengar dari Jin Koplo bahwa Manggala Yudha Kinasih atau panglima
terdepan negeri ini sudah diganti. Bukan Suto Sinting lagi, melainkan Durmala
Sanca yang menjadi Manggala Yudha
Kinasih di sini. Benarkah begitu, Ibu?"
"Jika benar, bagaimana?" ujar Ratu Kartika Wangi sambil dekati Suto Sinting.
"Jika benar, berarti saya bukan lagi menjadi calon menantu Ibu. Saya akan
kehilangan Dyah
Sariningrum, dan itu berarti saya akan kehilangan hidup saya selama-lamanya."
Ratu Kartika Wangi tersenyum tipis lagi.
"Berdirilah...!"
Karena perintah itulah maka Suto Sinting baru berani berdiri di hadapan calon
mertuanya. Sang Ratu memperhatikan Suto Sinting dengan dahi sedikit berkerut.
Dagu Suto diangkat sedikit dan wajahnya dipandangi, terutama pada bagian
matanya. Setelah itu, sang Ratu perdengarkan suaranya yang masih bernada wibawa.
"Kau memang telah kehilangan hidupmu."
Suto Sinting diam dengan batin bertanya-tanya,
"Apa maksud ucapannya itu?" Sedangkan Ratu Kartika Wangi segera melepaskan dagu
Suto dan melangkah mendekati tanaman bunga yang lain sambil lanjutkan ucapannya
tadi. "Kau sudah tak bisa menikah dengan putriku; Dyah Sariningrum, karena kau sudah
berdarah siluman."
Hati sang pendekar tampan tersentak kaget dan mulai berdebar-debar. la segera
teringat kata-kata bibi gurunya tentang darah siluman yang mengalir dalam
dirinya gara-gara menerima ilmu 'Dewatakara'
dari Ratih Kumala alias si Payung Serambi itu.
Pendekar Mabuk menjadi cemas, wajah tampannya tampak pucat sekilas.
"Kau telah menjadi bagian dari rakyat Laut Kidul.
Kau hanya bisa mengawini perempuan dari sana, dan tidak bisa mengawini perempuan
dari tempat lain.
Apabila kau nekat mengawini perempuan dari pihak lain, maka dalam waktu tujuh
hari istrimu pasti akan tewas. Jika kau menikah lagi dengan perempuan dari
tempat lain, istrimu akan tewas juga dalam waktu tujuh hari dan begitu
seterusnya."
Ratu Kartika Wangi menempelkan setangkai
bunga yang tadi dipetiknya. Tangkai bunga itu ditempelkan pada dahan kecil
tanaman lainnya.
Ternyata tangkai bunga itu dapat menempel dan menjadi satu bagaikan tumbuh dari
tanaman lain itu.
Sang Ratu berkata lagi, "Aku tak ingin kehilangan anakku, karenanya aku tak
ingin mengawinkan Dyah Sariningrum denganmu."
"Ibu... saya sangat mencintai Dyah Sariningrum, Bu." Ratu Kartika Wangi
memandang tegas. "Kau bisa menikah dengan anakku jika tidak berdarah siluman
lagi." "Ba... bagaimana caranya membersihkan darah siluman ini, Ibu?" Suto Sinting
mulai tampak menggeragap.
"Ilmu dari Laut Selatan harus kau singkirkan dari hidupmu. Kau tak boleh
memiliki ilmu Dewatakara'
itu, Suto!"
"Ssa... saya bersedia. Saya tidak keberatan kehilangan ilmu 'Dewatakara', Ibu.
Tetapi bagaimana cara menghilangkannya" Saya benar-benar tidak tahu."
"Gurumu pasti tahu, dan tanyakan kepada gurumu; si Gila Tuak."
"liyy... iya, tapi... tapi Kakek Guru sekarang sedang sakit dan membutuhkan
'Tuak Dewata' sebagai obatnya. Sedangkan...."
"Aku tak tahu apa itu 'Tuak Dewata'," sahut sang Ratu sambil mendekati Suto
Sinting. Kini ia berdiri dalam jarak dua langkah di depan Pendekar Mabuk.
"Jangan tanyakan padaku tentang 'Tuak Dewata'
yang kau cari itu, Suto. Aku benar-benar tidak mengetahui tentang 'Tuak Dewata'
itu." Pendekar Mabuk diam beberapa saat. Napasnya terhempas lepas, tubuhnya menjadi
lemas dan wajahnya pun tampak sayu. la merasa harapan untuk mengetahui tentang
'Tuak Dewata' menjadi semakin gelap. Jika Ratu Kartika Wangi saja tidak
mengetahuinya, apa lagi orang lain?"
Sang Ratu perdengarkan suaranya lagi.
"Kusesalkan tindakanmu yang mau menerima ilmu dari Istana Laut Kidul itu.
Padahal kau bisa mendapatkan ilmu yang sama dahsyat dan saktinya dengan ilmu
'Dewatakara' dariku. Mengapa kau justru memilih ilmu yang datang dari istana
Laut Kidul itu?"
"Saa... saya benar-benar tidak tahu, Ibu. Mohon ampun dan mohon dibersihkan dari
ilmu itu, Ibu."
"Aku tidak berhak membersihkan ilmu dalam dirimu. Yang berwenang adalah kedua
gurumu itu; Gila Tuak atau Bidadari Jalang."
"Tapi... tapi Bibi Guru Bidadari Jalang tidak bisa membuang ilmu itu, Ibu."
"Jika begitu, hanya Gila Tuak yang mampu lakukan."
"Kakek Guru Gila Tuak sedang sakit."
"Sembuhkan dulu dia!"
"Itulah sebabnya saya kemari mohon bantuan Ibu untuk dapatkan 'Tuak Dewata'
sebagai obat bagi Kakek Guru Gila Tuak, Ibu."
"Sudah kukatakan, aku tidak tahu tentang 'Tuak Dewata' itu. Mungkin juga tak
akan kau dapatkan
'Tuak Dewata' walau kau mencari di alam nyata dan alam gaib. Sebab... mungkin
'Tuak Dewata' itu memang tidak pernah ada dari dulu hingga
sekarang."
"Lalu... kepada siapa lagi saya minta bantuan untuk sembuhkan Kakek Guru, Ibu"!"
Ratu Kartika Wangi diam sesaat. Ia pandangi tanaman bunga lainnya yang ada di
belakang Suto, membuat Suto Sinting terpaksa berbalik arah.
Dua helai daun dari tanaman bunga itu tampak kering. Ratu Kartika Wangi segera
menyentuhkan telunjuknya ke permukaan daun yang kering. Telunjuk itu menyala
hijau bening, dan tiba-tiba daun kering itu berubah menjadi segar kembali,
bahkan seperti baru saja tumbuh dari pupusnya.
"Apakah kau masih berkeras kepala untuk dapatkan 'Tuak Dewata' jika kukatakan
'Tuak Dewata' itu tidak pernah ada"!" tanya Ratu Kartika Wangi tanpa memandang Suto Sinting.
"Saya harus mencarinya walau sampai ke ujung dunia, Ibu. Sebab... sebab saya
harus bisa selamatkan jiwa Kakek Guru yang terancam maut dari suatu penyakit."
"Kalau begitu, cobalah pergi ke Gerbang Siluman dan temui Eyang Putri Batari."
"Mmak... maksud Ibu, Betari Ayu" Kakaknya Dyah Sariningrum itu?"
"Bukan. Eyang Putri Batari adalah ibuku; neneknya Dyah Sariningrum dan Betari
Ayu." "Ooo...," Pendekar Mabuk manggut-manggut.
"Temui beliau dan tanyakan kepada beliau apakah 'Tuak Dewata' itu ada atau
tidak. Jika ada letaknya di mana, jika tidak lantas apa artinya 'Tuak Dewata'
yang harus kau dapatkan itu."
"Baik, saya akan ikuti nasihat Ibu. Hanya saja, tolong jangan pisahkan saya
dengan Dyah Sariningrum, Ibu. Saya sangat mencintainya!"
Permohonan yang diucapkan dengan
kesungguhan hati itu membuat Ratu Kartika Wangi sunggingkan senyum kecil. Senyum
itu hanya sekilas, kemudian lenyap tanpa bekas.
"Akan kupertahankan putriku agar tidak jatuh ke tangan pemuda lain...."
"Juga jangan sampai jatuh ke tangan Siluman Tujuh Nyawa, Ibu!"
"Kau takut"!"
"Saya takut kehilangan Dyah, Ibu."
"Hmmm...," senyum sang Ratu sedikit lebar.
"Sebenarnya apa yang kau dengar dan membuat hatimu gundah itu hanya sebuah
siasat licik si Durmala Sanca."
"Maksudnya bagaimana, Ibu?" sergah Suto Sinting dengan semangat.
"Belakangan ini, Durmala Sanca sering mengaku sebagai Manggala Yudha Kinasih dan
mengaku sebagai panglimaku. Pengakuan itu sengaja
disebarkan ke mana-mana sambil ia melakukan tindakan kejam kepada beberapa pihak
agar pihak yang merasa dirugikan oleh Manggala Yudha Kinasih palsu itu menuntut
pihak kita."
Pendekar Mabuk mulai tampak terbakar oleh
keterangan tersebut. Matanya kelihatan nanar, napasnya mulai tak teratur.
Sambil melangkah dekati tepian kolam, sang Ratu menyambung kata-katanya.
"Durmala Sanca memang manusia terkutuk tiga ratus tahun lamanya. Aku tahu ia
sangat mengincar Dyah Sariningrum, tetapi keberadaanmu membuat niatnya selalu
gagal dan ia tak berani dekati calon istrimu itu. la pernah datang menemuiku dan
melamar Dyah Sariningrum, tetapi ditolak mentah-mentah."
Napas ditarik dan disimpan di dada. Dada kekar itu tampak mengeras, wajah tampan
pun kelihatan menjadi kaku dan matanya memancarkan
kemarahan. Tetapi diam-diam kobaran api amarah itu dipertahankan Suto Sinting
agar jangan berkobar berlebihan di depan Ratu yang penuh kharisma itu.
"Durmala Sanca semakin membenci kita. Terlebih setelah ia gagal mendapatkan
kebahagiaan batin dari Ratu Dewi Kasmaran yang diakibatkan oleh
tindakanmu...."
Pendekar Mabuk sempat berkata dalam hati,
"Kurasa Ibu Kartika Wangi juga mengetahui pertarunganku dengan Siluman Tujuh
Nyawa yang kulakukan di depan Congor itu. Rupanya seluruh gerak-gerikku selalu
dia pantau oleh mata batin Ibu Kartika Wangi, sehingga ia tahu segala-galanya,
termasuk tahu tentang ilmu 'Dewatakara' yang telah meresap dalam ragaku ini!"
Sang Ratu segera berkata, "Jangan bicara sendiri jika aku sedang menerangkan
perkara besar ini!"
"Maaf, Ibu...," ucap Suto dengan rasa malu karena kecamuk batinnya dapat
didengar oleh sang Ratu, sebagai tanda betapa tingginya ilmu yang dimiliki sang
Ratu dan betapa tajamnya indera keenam maupun indera ketujuh Ratu Kartika Wangi
itu. Perempuan cantik itu berkata lagi, "Sekarang kurasakan si Durmala Sanca ingin
menyusun kekuatan untuk menyerang kita; menyerangku, menyerang Dyah Sariningrum, juga
menyerangmu! Sekarang kurasakan usaha Durmala Sanca
membujuk Raja Barong telah berhasil."
"Siapa Raja Barong itu, Ibu?"
"Raja Para Jin," jawab Ratu Kartika Wangi.
"Kurasakan gerakan Raja Barong sedang menuju ke Gerbang Siluman."
"Mau apa dia ke sana, Ibu?"
"Membebaskan para siluman yang dipenjara oleh ibuku: Eyang Putri Batari itu.
Jika ia berhasil bebaskan para siluman, maka mereka akan menyerang pihak kita di
bawah pimpinan Siluman Tujuh Nyawa."
Lagi-lagi Suto Sinting tarik napas menahan luapan amarahnya.
"Kuperintahkan padamu, lumpuhkan si Raja Barong sebelum menghancurkan Gerbang
Siluman! Jangan beri kesempatan kepada si Durmala Sanca untuk mendapatkan kekuatan baru
dari mereka!"
"Baik, Ibu! Saya akan kerjakan perintah Ibu sekarang juga!"
"Tunggu...!" Ratu Kartika Wangi segera pejamkan mata, wajahnya sedikit menunduk.
Tak berapa lama, muncul seorang gadis berpakaian ketat warna merah dengan pedang
di punggung. Gadis itu berambut cepak dan tadi saat pertemuan di balairung
istana ia berada di antara para prajurit berseragam merah di lantai tiga.
Gadis cantik berhidung kecil dan mancung itu segera memberi hormat kepada Ratu
Kartika Wangi dan Pendekar Mabuk.
"Hamba dipanggil, Gusti?" ujarnya.
Suto Sinting sempat bingung sebentar. "Tak ada orang memanggilnya, mengapa ia
tahu-tahu menghadap" Oh, mungkin dengan cara memejamkan mata seperti tadi itulah gadis itu
dipanggil oleh Ibu Kartika Wangi. Para prajurit di sini sudah terbiasa menerima
panggilan atau bicara melalui batin, sehingga mereka tampaknya tenang dan diam
tapi sebenarnya saling berbicara satu dengan yang lain."
"Suto, kau kuberi seorang pemandu untuk menuju Gerbang Siluman," kata sang Ratu
sambil menepuk pundak gadis yang telah berdiri itu. Suto Sinting memandangi
gadis bertubuh sekal dan berdada kencang dengan pikiran bersih, tanpa khayalan
kotor sedikit. "Sang Tiara," kata Ratu Kartika Wangi kepada gadis itu. "Tugasmu memandu
perjalanan Manggala Yudha Kinasih ke Gerbang Siluman untuk
menggagalkan serangan Raja Barong."
"Saya siap, Gusti!"
"Berangkatlah kalian sekarang juga sebelum Raja Barong melewati perbatasan
Gerbang Siluman!"
"Mohon doa restu, Ibu!" sambil Pendekar Mabuk membungkuk memberi hormat kepada
sang Ratu. Kemudian ia melangkah dengan didampingi Sang Tiara yang tampak lincah dan penuh
keberanian itu.
* * * 6 SAMPAI di luar batas wilayah Jalur Hijau, gadis cantik berbulu mata lentik itu
menghentikan langkahnya. Hal itu membuat Pendekar Mabuk ikut-ikutan hentikan
langkah dengan mata memandang penuh keheranan.
"Ada apa berhenti, Sang Tiara?"
"Gerbang Siluman terlalu jauh jika ditempuh dengan jalan kaki, Gusti Manggala."
Pendekar Mabuk 073 Misteri Tuak Dewata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Panggil namaku saja jika kita berada di luar istana. Kau tahu namaku, bukan?"
"Suto Sinting..."!"
"Benar. Rupanya daya ingatmu cukup tinggi, Tiara."
"Saya selalu mengingat nama panglima saya!"
"Dalam keadaan berdua begini, kita adalah sahabat. Jangan terlalu kaku dalam
bersikap. Paham"!"
Sang Tiara anggukkan kepala.
"Jelaskan maksud kata-katamu tadi, Tiara."
"Kita akan terlambat jika berjalan kaki ke Gerbang Siluman."
"Lantas maumu bagaimana?"
"Buka tanganmu, Suto," perintah Sang Tiara yang cepat menjadi akrab dan lugas
dalam bergaul. Sang Tiara menengadahkan kedua tangannya
didepan perut. la memberi contoh kepada Suto dan Suto pun segera mengikutinya.
Kedua tangan Suto dibuka dalam keadaan
telapak tangan ke atas. Kemudian kedua tangan Sang Tiara menelungkup pelan-pelan
hingga menyatu rapat dengan telapak tangan Suto Sinting.
"Pejamkan mata," perintah Sang Tiara pelan. Suto pun memejamkan mata.
"Buka mata," perintahnya lagi, belum ada satu helaan napas mereka memejamkan
mata. Tetapi alangkah terkejutnya Pendekar Mabuk
begitu membuka mata, ternyata sudah berada di tempat yang jauh dari batas Jalur
Hijau. Mereka ada di sebuah lembah tak berpohon. Sebuah bukit menjulang rendah
dalam keadaan tanpa tanaman kecuali lumut. Bukit itu dipenuhi oleh bebatuan yang
tinggi-tinggi sehingga mirip pohon tanpa daun.
Tempat yang aneh itu membuat Suto Sinting
tercengang dan terbengong-bengong. Bentuk batu-batu yang menghiasi bukit dan
lembah itu beraneka ragam, sehingga merupakan suatu pemandangan indah yang
berbeda dari bukit-bukit di alam nyata.
"Kita berada di mana ini, Tiara?"
"Di balik bukit itulah letak Gerbang Siluman! Kita harus segera menghadang Raja
Barong yang sebentar lagi akan melintasi bukit itu."
"Ajaib sekali!" gumam Suto Sinting. "Dengan kekuatan apa kau membawaku kemari?"
"Ilmu 'Pusar Badai' mempercepat langkah kita sampai di tujuan."
"Luar biasa! Hanya dengan pejamkan mata dan tumpangkan tangan sudah bisa sampai
ke tempat tujuan. Apakah semua prajurit pilihan yang
berseragam merah sepertimu ini mempunyai ilmu
'Pusar Badai'?"
"Semua prajurit memilikinya, baik yang pilihan maupun penyambut tamu seperti
Sang Ramu atau Sang Wengi," jawab Sang Tiara dengan suara jelas.
"Kurasa kita tak punya banyak waktu untuk bicarakan ilmu itu. Kurasakan getaran
langkah si Raja Barong sudah kian mendekati tempat kita. Kita harus segera ke
puncak bukit!"'
Pendekar Mabuk mengikuti saran Sang Tiara
sambil membatin, "Tinggi juga ilmunya. Aku tak bisa rasakan getaran langkah
siapa pun, tapi ia mampu rasakan getaran itu. Tapi, apakah benar Raja Barong
sudah mendekati bukit ini" Jangan-jangan dia hanya ngawur saja karena dia tahu
aku tak mengerti apa-apa tentang alam dan kehidupan di sini"!"
Ketika mereka berada di puncak bukit, tiba-tiba Suto Sinting merasakan ada angin
berhembus dari sisi kanannya. Wweee...! Mata pun berkedip karena takut terkena
debu yang beterbangan.
Namun ketika Suto membuka mata kembali,
ternyata ia sudah dalam keadaan terkapar
memandang langit dengan sekujur tubuh merasa sakit semua. Tulang-tulangnya
terasa remuk dan sukar digerakkan. Sementara itu, Sang Tiara juga terbujur di
sampingnya dan menggeliat bangkit dengan suara mengerang.
"Ooh... kenapa aku ini" Mengapa tiba-tiba aku berbaring di tanah?"
Sang Tiara menyahut dengan menyeringai
menahan sakit. "Raja Barong telah menerjang kita."
"Telah menerjang kita"!" Suto Sinting terbelalak heran. "Aneh sekali. Padahal
aku hanya merasa dihembus angin dari samping."
"itulah gerakan Raja Barong. Kecepatannya melebihi kecepatan apa pun, sehingga
saat menerjang kita yang terasa hanya hembusan
anginnya."
"Luar biasa!" gumam Suto Sinting sambil bangkit.
la buru-buru menenggak tuaknya untuk hilangkan rasa sakit dan pulihkan
kekuatannya kembali. Sang Tiara disuruh meminum tuak, tapi gadis itu menolak.
la punya cara sendiri untuk hilangkan rasa sakit, yaitu dengan menempelkan satu
telapak tangannya ke dada. Dalam sekejap rasa sakitnya pun lenyap.
"Lalu apa yang harus kita lakukan jika begini"
Kemana arah kepergian si Raja Barong"!"
"Tumpangkan tangan kita kembali. Kita kejar ke kaki bukit seberang tebing sana!"
ujar Sang Tiara.
Suto Sinting membuka kedua tangannya, lalu
tangan Sang Tiara ditumpangkan. Mata mereka terpejam. Tak sampai satu helaan
napas sudah dibuka kembali. Dan ternyata mereka sudah berada di seberang tebing,
jauh dari bukit berbatu-batu tadi.
Tebing itu adalah tebing tandus, juga tanpa tanaman apa pun. Tetapi banyak batu
yang bertonjolan bagai pilar-pilar alami. Tebing yang mempunyai jurang dalam tak
terukur kedalamannya itu mempunyai dinding seperti serat-serat karang yang cukup
menakjubkan. "Jangan lengah!" tegur Sang Tiara saat Suto memandangi dinding tebing. Pendekar
Mabuk segera bersiap diri mempertinggi kewaspadaan dan
mempertajam rasa.
Semilir angin mulai datang menghembus mereka.
Sang Tiara cepat berlindung di balik bebatuan besar.
"Dia datang! Rasakan hembusan angin yang makin besar ini." seru Sang Tiara.
Pendekar Mabuk sengaja tidak bersembunyi
seperti Sang Tiara. la sengaja merasakan semilir angin yang menghembus ke
arahnya dan makin lama terasa semakin jelas hembusannya.
Pada saat itu juga Suto Sinting menghantamkan bumbung tuaknya ke arah depan
dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman'. Wuuusss...!
Tubuh Suto berputar sangat cepat. Dan gerakan bumbung tuak itu terasa menyentuh
sesuatu yang keras. Bahkan suara benturan bambu dengan
sesuatu yang keras itu terdengar jelas di telinga Suto maupun Sang Tiara.
Prraakkk...! "
Aaaaooorrgg...!"
Pendekar Mabuk kaget mendengar suara
mengerang yang mirip binatang menyeramkan itu. la masih mencari-cari sesosok
wujud yang mengeluarkan suara mengerang di depannya.
Sang Tiara muncul dari balik bebatuan, lalu jari telunjuknya menuding ke depan.
Claap...! Seberkas sinar merah melesat dari ujung jari telunjuk itu.
Besss...! Sinar merah itu bagaikan mengenai sesuatu dan mengepulkan asap. Asap
segera lenyap terbawa angin alami. Suto Sinting terperanjat melihat sesosok
tubuh gemuk meringkuk di depannya dalam jarak tujuh langkah. Sosok yang terlihat
itu mirip gugusan batu, hanya saja warnanya abu-abu dan berlumut hijau samarsamar. "Dia terkena pukulan bumbung tuakmu!" ujar Sang Tiara. "Hati-hati, Suto! Dia
pasti akan bangkit membalasmu! Sekarang ia masih meringkuk
merasakan sakitnya."
"Pergilah berlindung, akan kubereskan sendiri dia!" bisik Suto Sinting sambil
matanya memandang ke arah benda abu-abu yang meringkuk itu.
"Awas, dia bangkit!" bisik Sang Tiara.
Pendekar Mabuk melompat ke atas dan hinggap di atas batu yang tingginya melebihi
tinggi tubuhnya.
Wuuutt...! Jleeg...! Bumbung tuaknya segera diangkat ke samping. Pada waktu itu,
makhluk berkepala besar dengan leher pendek dan mempunyai enam mata mengelilingi
kepalanya itu bangkit berdiri.
Mulutnya yang lebar keluarkan suara mengerang dengan menampakkan gigi besar dan
taringnya yang tajam-tajam.
Raja Barong merupakan makhluk yang cukup
menyeramkan. Tingginya sejajar dengan Suto pada saat Suto naik di atas batu itu.
Badannya bersisik warna abu-abu, keras seperti dari lempengan baja.
Sepasang tanduk ada di bagian depan dan belakang kepala. Raja para jin itu tidak
mengenakan pakaian kecuali cawat dari lempengan seperti perunggu warna coklat
kemerahan. "Grrraaaoow...!" ia mengerang sambil mengangkati kedua tangannya yang mempunyai
kuku runcing bagaikan mata pedang.
Tangan kiri Raja Barong menyambar tubuh
Pendekar Mabuk dengan gerakan sangat cepat.
Wuuutt...! Creeb...!
"Aaakh...!" Suto Sinting memekik keras karena tiga kuku tajam lawannya menancap
di pinggangnya, la diraih dalam genggaman tangan lebar si Raja Barong. Mata sang
Pendekar Mabuk mendelik
dengan mulut ternganga karena tak bisa bernapas.
"Kau ingin menggagalkan rencanaku, hah..."!"
geram Raja Barong dengan suara besar dan
menggema. Tubuh Suto yang ada dalam genggamannya itu didekatkan ke mulut lebar Raja
Barong. Darah mengalir terus ke pinggang Pendekar Mabuk. Semakin
meronta semakin dalam kuku itu menembus tubuh Suto, seakan merusak anggota tubuh
bagian dalam. Tetapi pada saat itu bumbung tuak masih
tergenggam di tangan Suto. Ketika Raja Barong melebarkan mulut untuk menelan
tubuh Pendekar Mabuk, dengan kekuatan penghabisan Suto Sinting mengangkat
bumbungnya dan menghantam ke salah satu mata makhluk besar itu.
Wuuut, croook...!
"Huaaahhrrr...!"
Teriakan Raja Barong mengguncangkan dinding tebing. Sebagian batuan runtuh,
bahkan ada yang pecah karena teriakan itu. Telinga Pendekar Mabuk sendiri jadi
berdarah dan rasa sakit kian membuat Suto mengejangkan tubuhnya. Karena pada
saat itu genggaman tangan Raja Barong semakin kuat,
seakan ingin meremukkan seluruh tulang tubuh Pendekar Mabuk.
Tanpa diketahui keduanya, Sang Tiara mencabut pedangnya, dan menghujamkan ke
atas telapak kaki Raja Barong yang bersisik keras itu. Suuutt...!
Jrruuub...! "Huuuaaahhhrrg...!!"
Teriakan itu mengguncangkan bebatuan dan
dinding tebing lagi. Telinga Suto semakin rusak, darah menyembur dari kedua
lubang telinga. Tetapi pada saat Sang Tiara menancapkan pedangnya dengan kedua
tangan ke kaki Raja Barong, genggaman tangan Raja Barong sedikit mengendur.
Kesempatan itu digunakan oleh Suto untuk
kerahkan tenaga yang tersisa dan menyodokkan bumbung tuaknya ke wajah lebar itu.
Wuuut...! Proookkk...! "Huaaah...!" teriak Raja Barong sambil melemparkan Suto ke depan. Tubuh berlumur
darah itu melayang dan jatuh terhimpit celah dua batu besar. Sreeeb...!
"Aaaouh...!" Suto Sinting sendiri memekik keras, tapi suaranya tertutup oleh
raungan suara Raja Barong yang menggema ke mana-mana.
Jurus 'Mabuk Lebur Gunung' telah digunakan Suto Sinting untuk menyodok wajah
raja para jin itu.
Akibatnya, wajah itu pun memar membiru, sisiknya mulai rontok satu persatu.
Sementara itu, ulah Raja Barong yang sekarat membuat batu-batu
beterbangan, sebagian jatuh ke jurang, sebagian pecah dan terlempar ke manamana. "Huaaaa...!"
Akhirnya Raja Barong tergelincir jatuh ke jurang tanpa dasar dengan meninggalkan
suara jeritan yang memanjang dan menggetarkan alam sekitarnya.
Siapa pun yang terkena jurus 'Mabuk Lebur Gunung'
akan mati membusuk tak akan tertolong lagi.
Demikian pula halnya nasib Raja Barong yang lenyap ditelan jurang tanpa dasar
itu. Sang Tiara segera menolong Pendekar Mabuk
yang terjepit dua batu. Dengan satu sodokan pangkal telapak tangan, salah satu
batu itu hancur, lalu tubuh Suto dibawa turun dan dibaringkan di tanah berdebu
merah. "Tuangkan tuak ke... ke mulutku...," pinta Suto dengan suara berat dan napas
tercengap-cengap.
Sang Tiara menuangkan tuak ke mulut, tuak pun terminum oleh Pendekar Mabuk.
Dengan begitu, maka seluruh luka yang diderita Pendekar Mabuk terobati oleh
kesaktian tuak tersebut.
"Terima kasih. Kalau kau tidak menolongku, aku hampir mati ditelan raja jin
itu!" ujar Suto Sinting setelah merasa kekuatannya pulih kembali.
"Kita harus segera menghadap Eyang Putri Batari."
"Mengapa tampaknya kau terburu-buru?"
"Tidakkah kau mendengar suara gemuruh itu?"
"Ya. Kudengar suara gemuruh dari gema
reruntuhan tebing, bukan?"
"Bukan. Itu suara gemuruh para siluman dan para jin yang mendengar suara
kematian Raja Barong. Kita harus beri kepastian kepada mereka, bahwa Raja Barong
telah mati di tanganmu, biar mereka tunduk kepadamu!"
"Baiklah. Aku menurut saja dengan saranmu, karena aku di sini cuma sebagai
tamu." Sang Tiara tersenyum. Mereka segera bergegas ke Gerbang Siluman yang terdengar
riuh serta gaduh itu. "Benarkah mereka akan tunduk padaku jika mereka tahu
akulah yang membunuh Raja Barong"!
Oh, persetan dengan mereka. Mau tunduk atau tidak, yang jelas aku harus dapatkan
keterangan dari Eyang Putri Batari tentang 'Tuak Dewata' itu. Mudah-mudahan
Eyang Putri Batari jangan memberi jawaban
'tidak tahu' terhadap Tuak Dewata' yang kucari itu!"
pikir Suto Sinting sebelum menengadahkan kedua tangannya. Telapak tangan itu
segera ditumpangi telapak tangan Sang Tiara. Mereka memejam mata dan laaabb...!
Mereka lenyap seketika dan akan muncul di
Gerbang Siluman
SELESAI Segera terbit!!!
GERBANG SILUMAN
Kisah Tiga Kerajaan 24 Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Jago Kelana 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama