Ceritasilat Novel Online

Senja Jatuh Di Pajajaran 11

Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka Bagian 11


Bangsawan Soka menyerang Ginggi dengan sangat
bernafsu, hanya akan mencelakakan dirinya saja.
Untuk menolong agar Bangsawan Soka tidak terluka
sebetulnya amat mudah, caranya, Ginggi jangan bersifat
menolak kepada serangan tenaga dalam lawan. Tapi kalau
begitu, dirinyalah kelak yang akan celaka. Mana mungkin
pemuda itu mandah saja dibuat celaka. Jadi apa pun yang
terjadi, Ginggi harus melayani serangan ini.
Bangsawan Soka membentak keras sambil mendorong
sepasang telapak tangannya ke depan. Serentak Ginggi pun
mengumpulkan tenaga batin membuat pertahanan.
Blaarr! Terdengar suara keras. Dan tubuh Ginggi hanya
bergoyang sebentar sambil kedudukan tak pernah berubah,
yaitu masih tetap duduk bersila. Namun lain lagi dengan
keadaan Bangsawan Soka. Begitu angin pukulannya ditolak
oleh dorongan balasan pemuda itu, serentak tubuhnya
terpental ke belakang, jatuh berguling-guling hampir
menubruk pilar kayu. Untuk sejenak Bangsawan Soka tak bisa bangkit, kecuali
menggerak-gerakkan tubuhnya dengan susah-payah. Ki
Bagus Seta berdiri menolong bangsawan jumawa itu.
Nampak ada lelehan darah di sudut bibirnya.
Bangsawan Soka digandeng karena tak sanggup
melangkah sendiri. Sesudah itu duduk susah-payah,
bersandar pada tiang kayu.
"Mengapa kau sembunyikan kepandaian anak muda
itu?" tanya Bangsawan Soka terengah-engah dan sedikit
menekan dadanya. Bangsawan Bagus Seta tersenyum tipis mendengar
pertanyaan ini. "Hanya menandakan bahwa puri ini memiliki banyak
kekuatan tersembunyi," gumamnya sedikit sombong.
Namun Bangsawan Soka tak melihat ini sebagai
kesombongan. Dia malah mengangguk-angguk seperti puas
dengan kenyataan ini. "Bagus. Dengan demikian lebih meyakinkan diriku akan
kesuksesan perjuangan kita," kata Bangsawan Soka masih
mengusap-ngusap dadanya karena rasa sakit.
"Itu artinya kau sudah tak menyangsikan kemampuan
pembantu utamaku," kata lagi Ki Bagus Seta sambil melirik
pada Ginggi. "Kemukakanlah apa yang menjadi rencanamu
pada pembantuku," lanjutnya.
Ginggi menatap tajam, ingin sekali mendengarkan apa
yang akan dikemukakan bangsawan berwajah bundar ini.
"Kegagalan kita membujuk Raja agar mengangkatku
sebagai penasihatnya adalah karena kelicikan Pangeran
Yogascitra. Dia penjilat. Ucapannya hanya yang manismanis yang disampaikan pada Raja. Tapi yang lebih parah
dari itu, Yogascitra gemar memburuk-burukkan sesama
pejabat. Ya, itu hanya karena ambisinya, agar dirinyalah
yang dipercaya dan dianggap baik oleh Raja. Dia bahkan
menjilat tak kepalang tanggung, anak gadisnya, Nyimas
Banyak Inten dia serahkan pada Sang Prabu, padahal dia
tahu, Nyimas Banyak Inten dicintai oleh Raden Suji
Angkara, putra Ki Bagus Seta," kata Bangsawan Soka
menatap tajam pada Ginggi dan menoleh sebentar pada Ki
Bagus Seta. Ginggi masih sama memandang kepadanya sebab
bangsawan bermata kecil ini belum mengemukakan apa
yang disebutnya sebagai rencana seperti apa kata Ki Bagus
Seta tadi. "Yang menjadi gara-gara kegagalan semua ini karena
kehadiran Pangeran Yogascitra. Jadi bunuhlah orang itu!"
kata Bangsawan Soka seperti atasan yang memerintah
bawahannya. Ginggi hanya termenung mendengar ucapan Bangsawan
Soka ini, sehingga semua orang menatap dirinya seperti
memaksa meminta jawaban pasti.
"Banyak sekali pesanan membunuh padaku?" gumam
Ginggi memangku tangan dan menghela napas.
"Itu memang sudah menjadi tugasmu. Ikut dalam
perjungan punya risiko tinggi dalam melakukan
pembunuhan," kata Ki Banaspati yang sejak tadi hanya
diam saja. "Ini perintah dan bukan sekadar pesanan! Kau harus
tahu itu!" kata Ki Bagus Seta pasti dan seperti tak mau
ditawar-tawar. Namun belum juga Ginggi menjawabnya, dari luar ada
suara jagabaya mohon izin untuk menghadap.
"Masuk!" kata Ki Bagus Seta.
Jagabaya masuk dengan kaki beringsut, duduk bersila
dan menyembah takzim. "Ada apa?" "Raden Suji Angkara mohon menghadap, Juragan ?"
"Suji Angkara?" gumam Ki Bagus Seta.
"Biarkan dia masuk?" kata Ki Banaspati.
"Ya " suruh dia masuk!" Jagabaya undur dari ruangan
itu dengan penuh hormat. "Ginggi, kau mundur ke sudut
sana. Perlihatkan seolah-olah kau tetap seorang badega!"
kata Ki Banaspati. Tidak banyak bicara, pemuda itu segera ke
belakang, duduk agak jauh di sudut. Tidak begitu lama Suji
Angkara memasuki ruangan. Walau pun datang dengan
sikap hormat, tapi nampak sekali wajahnya muram dan
pakaiannya kusut, sehingga hilang sudah sikap pesoleknya
itu. "Ayahanda ?" kata Suji Angkara menyembah takzim,
juga menyembah pada yang lainnya.Ketika giliran memberi
hormat kepada Ki Banaspati terlihat kesan keterpaksaan. Ki
Banaspati hanya tersenyum pahit memandang pemuda itu.
"Sepertinya kau punya sesuatu yang amat dirisaukan,
Suji?" tanya Ki Bagus Seta memandangtajam pemuda itu.
"Barangkali Ayahanda sudah tahu masalahnya," kata
pemuda itu balik menatap.
"Soal Nyimas Banyak Intenkah ?"" tanya Ki Bagus
Seta. "Ya " siapa lagi?" Suji Angkara tetap memandang Ki
Bagus Seta seperti memendam satu kepenasaran.
"Yogascitra memang tidak sopan padaku ?" gumam
ayahandanya, dengan nada pahit dan sepasang matanya
menerawang entah ke mana.
"Ayahanda sepertinya tidak begitu memperhatikanku ?"
gumam Suji Angkara memalingkan wajah dan menunduk.
Dadanya turun naik dengan cepat. Barangkali dia menahan
kepedihan hati, barangkali juga karena menekan
kemarahan. "Justru karena aku memperhatikanmu aku punya rasa
sakit hati oleh tindakan Pangeran Yogascitra itu. Dia tak
memandangmu. Juga tak memandangku," kata lagi Ki
Bagus Seta. "Ya " mereka amat merendahkan aku ?" Suji Angkara
bergumam pahit. "Betul " harus dilakukan satu tindakan tegas agar
mereka tahu siapa kita!" kata Ki Bagus Seta seperti
memanas-manasi hati Suji Angkara.
"Ya " harus ada tindakan tegas " Harus ada tindakan
tegas," Suji Angkara mengulang-ulang perkataan ini sambil
mata menerawang ke tempat jauh. Nada suaranya dingin
dan wajahnya pucat sekali, sehingga Ginggi bergidik
melihatnya. "Kau bunuhlah Yogascitra, karena orang itulah yang
menghalangi cita-citamu!" Bangsawan Soka ikut menyela
pembicaraan sehingga mengagetkan semua orang. Ki Bagus
Seta dan Ki Banaspati serta Ginggi menoleh pada pejabat
berperut buncit ini. "Membunuh Yogascitra" hehehe ?" masih dengan
wajah pucat dan nada suara dingin, pemuda itu terkekehkekeh. "Ya, bunuh keparat itu! Bunuhlah Suji. Sebab dengan
membunuh Yogascitra di samping cita-citamu akan
terlaksana, juga kau membantu sebuah perjuangan!" kata
Bangsawan Soka dengan nada berapi-api.
"Bunuh Yogascitra, ya " Hehehe, bunuh Yogascitra ?"
gumam lagi Suji Angkara ketawa seperti setan. "Ayahanda
" restui aku. Karena kau tak sanggup memperjuangkan
hidupku, maka aku yang akan memperjuangkannya ?"
kata Suji Angkara berjingkat dan tanpa memberi hormat
berlalu dari tempat itu. "Soka, kau sembrono mempengaruhi anakku membunuh
Yogascitra!" kata Ki Bagus Seta dengan nada penuh
teguran. Yang ditegur hanya tertawa terkekeh-kekeh.
"Kita harus berusaha memanfaatkan berbagai peluang.
Anakmu berpeluang baik dalam membantu perjuangan kita.
Dia tengah digoda kebencian. Orang akan mudah
membunuh karena benci," jawab Bangsawan Soka masih
dengan senyum menghiasi bibirnya yang tebal.
"Tapi orang yang tengah dipenuhi rasa benci akan
melakukan tindakan sembrono. Dia tidak akan hati-hati.
Dan kalau dia menyerbu puri Yogascitra dengan terangterangan, hanya akan merugikan aku saja!" kata Ki Bagus
Seta masih tak setuju dengan pendapat Bangsawan Soka.
"Dengan adanya urusan ini, semua orang sudah tahu
bahwa terjadi pertentangan antara kau dan Pangeran
Yogascitra. Tapi harus kau ingat, urusanmu dengan
Yogascitra paling parah adalah persaingan kalian dalam
mempersembahkan anak gadis pada Raja. Sedangkan rasa
sakit Suji Angkara karena kekasihnya direnggut dari citacitanya adalah urusan tersendiri. Sekali pun Suji Angkara
benar-benar membuat huru-hara di puri Yogascitra orang
tak akan menuduh bahwa anakmu dikendalikan olehmu!"
kata bangsawan berkumis jarang ini.
Ki Bagus Seta termenung. Rupanya dia telah
menimbang-nimbang perkataan Bangsawan Soka. Dan
akhirnya dia pun menoleh pada Ginggi yang masih duduk
di sudut. "Ginggi, kawal Suji Angkara dan awasi dia!" katanya
pada Ginggi. "Dan jangan lupa, kalau dalam huru-hara itu Suji
Angkara mengalami kesulitan membunuh Yogascitra,
kaulah yang harus menyelesaikannya. Bunuh Yogascitra
olehmu secara diam-diam!" kata Bangsawan Soka.
Mendengar ucapan pejabat ini, Ki Banaspati yang sejak
tadi terlibat pembicaraan tertawa terbahak-bahak sehingga
yang lainnya melirik heran padanya.
"Bangsawan Soka benar-benar calon penasihat yang
cerdik. Dia sanggup mengukir taktik dengan jitu," kata Ki
Banaspati memuji, sehingga yang dipuji tertawa renyah.
"Dan jangan lupa, sesudah Ginggi secara diam-diam
berhasil membunuh Yogascitra, dia harus ikut mengejar
Suji Angkara, bahkan dia pulalah yang harus membunuh
Suji Angkara. Usahakan agar pembunuhan dilakukan
secara terang-terangan di hadapan orang-orang Yogascitra!"
kata Ki Banaspati. Yang lain menatap penuh rasa heran. Taktik Ki
Banaspati belum dimengerti benar oleh siapa pun.
"Mengapa harus dilakukan di depan orang-orang
Yogascitra?" tanya Bangsawan Soka.
"Agar Ginggi dianggap berjasa oleh mereka sehingga
mendapatkan penghargaan dari orang-orang Yogascitra.
Akan lebih baik kalau akhirnya Ginggi dipercaya untuk
mengabdi di lingkungan puri Yogascitra!"
Mulanya ucapan Ki Banaspati ini ditanggapi dengan
kerutan dahi oleh kedua orang pejabat yang duduk di
hadapannya. Tapi sesudah berpikir sebentar, Bangsawan
Soka nampak berwajah cerah bahkan tertawa terkekehkekeh. "Kau pandai! Kau pandai Banaspati. Aku tahu akalmu.
Kau akan menyusupkan orangmu ke dalam puri Yogascitra
sehingga kelak akan lebih mudah menyelesaikan tugastugas penting, begitu kan?" tanya Bangsawan Soka. Ki
Banaspati mengangguk dengan senyum dikulum.
"Betul. Karena orang-orang Yogascitra nampaknya
mendapatkan kepercayaan yang baik dari kalangan istana,
maka diharapkan Ginggi bisa keluar-masuk istana dengan
mudah," kata Ki Banaspati lagi.
Bangsawan Soka menepuk pahanya tanda setuju dengan
taktik ini, begitu pun Ki Bagus Seta nampak tersenyum
tipis. "Ini tugas maha penting bagimu, Ginggi. Bila kau
sanggup menjalankan tugas ini dengan baik, maka
kedudukanmu kelak akan mulia," kata Ki Banasapati
menoleh pada Ginggi. "Kau berangkatlah sekarang, awasi Suji Angkara. Kalau
anakku mulai menyerbu puri Yogascitra, kau harus pandaipandai menyelinap ke sana," kata Ki Bagus Seta
memerintah Ginggi. Ginggi mengangguk bahkan menyembah takzim.
Sesudah itu dia undur dari ruangan paseban.
Tiba di halaman puri, Ginggi bertemu jagabaya dan
bertanya ke mana kira-kira Suji Angkara pergi.
"Saya lihat dia menuju puri Nyimas Layang Kingkin,
Raden ?" jawab jagabaya hormat sekali. Ginggi tersenyum
pahit mendengar dirinya dipanggil Raden. Begitu
mudahnya Ki Bagus Seta mengubah keadaan, termasuk
yang menyangkut nasib seseorang.
Ginggi tak banyak cakap, serta-merta dia menuju puri
tempat tinggal Nyimas Layang Kingkin. Menoleh kirikanan dulu. Sesudah yakin tak ada orang di sekitar tempat
itu, dia segera meloncat naik ke atas benteng. Loncat lagi
kiri-kanan, kemudian masuk ke ruangan dalam. Ginggi
dapatkan Suji Angkara tengah duduk berhadapan dengan
adik tirinya. Melalui celah dinding kayu, Ginggi
mendapatkan pemuda itu duduk termenung dan ada lelehan
airmata di sepasang pipinya.
"Aku mencintai Nyimas Banyak Inten, sungguh mati,
aku cinta," kata Suji Angkara dengan suara memelas.
"Ya, kau harus berjuang sendiri kalau memang itu yang
kau inginkan. Kita sebenarnya punya keinginan sama, yaitu
tak mengizinkan Nyimas Banyak Inten bersanding dengan


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sang Prabu, kendati kepentingan kita berbeda. Aku tak mau
ada saingan. Sang Prabu memang banyak memelihara selir,
tapi yang namanya selir baru, pasti mendapatkan perhatian
lebih. Jadi aku tak mau perhatian Sang Prabu pada selir
baru terbagi dua. Engkau harus jauhkan Nyimas Banyak
Inten dari puri istana, sebab kalau kau tak berhasil
memboyongnya, maka akulah yang akan menyingkirkan
pesaingku, Kakanda Suji ?" kata Nyimas Layang Kingkin
dengan suara mantap dan tegas.
"Jangan " Jangan engkau yang menggagalkan
keinginan Sang Raja. Tanganmu terlalu bersih dan hatimu
terlalu halus. Jangan kau kotori nama baikmu dengan
tindakan-tindakan seperti itu. Biarlah Kanda yang berjuang
menjauhkan Nyimas Banyak Inten dari kesempatannya
memasuki puri istana. Hanya engkau, hanya engkau yang
akan menjadi selir terkasih Sang Raja, yang menghiasi puri
Sri Bima Untarayana Madura Suradipati dan yang sanggup
membahagiakan penghuni kedaton (istana) Pakuan itu ?"
"Terima kasih bila Kakanda merasa aku lebih berharga
duduk menjadi penghuni Taman Mila Kancana atau jadi
penumpang perahu hias di Telaga Rena Maha Wijaya. Aku
pun akan berdoa agar ciat-citamu bersanding dengan
Nyimas Banyak Inten bisa terlaksana ?" kata Nyimas
Layang Kingkin. Keduanya saling berpegangan tangan dan
Suji Angkara nampak berurai air mata kembali.
Wajahnya masih tetap pucat dan bibirnya bergetar, tapi
oleh Ginggi terlihat senyum di bibir pucat itu.
(O-ani-kz-O) Malam harinya terpaksa Ginggi harus keluar puri Ki
Bagus Seta. Dia akan berusaha mengawasi gerakan Suji
Angkara. Sudah sejak senja hari sebetulnya Ginggi mengamati puri
pemuda itu. Jagabaya yang sempat dia tanya selalu
mengatakan bahwa pemuda itu sejak siang hari tak pernah
keluar dari puri itu. "Beliau pergi keluar ketika akan menghadap
ayahandanya saja. Sepulang dari puri Bagus Seta, Raden
tak pernah keluar lagi. Ada apakah engkau tanya-tanya
tentang majikanku, hey badega?" tanya jagabaya. Ginggi
tersenyum lagi. Di puri Bagus Seta dia sudah terangkat julukannya
menjadi Raden. Etika basa-basi di Pakuan begitu kuat
memisahkan tahapan-tahapan hidup manusia. Antara puri
Bagus Seta dan puri Suji Angkara letaknya tak begitu jauh,
tapi penilaian orang pada Ginggi sudah berbeda jauh. Di
hormati dan dipanggil raden di puri Bagus Seta serta
dianggap enteng dipanggil badega di puri Suji Angkara,
padahal baik wajah mau pun penampilan Ginggi tak
berubah. Hanya karena tahu dan tidak tahu saja maka
orang menghormat dan tak menghormati dirinya. Orangorang puri Bagus Seta menghormati dirinya karena mereka
tahu dirinya diangkat menjadi pembantu utama. Para
pembantu utama kaum bangsawan dan juga pejabat istana
akan juga dihormati seperti itu. Sebaliknya orang-orang Suji
Angkara hanya tahu Ginggi keluyuran di puri itu beberapa
waktu lalu sebagai badega saja. Menyebalkan basa-basi dan
aturan ini, pikir Ginggi dalam hatinya.
Sampai malam tiba, Suji Angkara tidak terlihat keluar
puri. Ini sebetulnya meresahkan Ginggi. Kalau benar
pemuda itu mengurung diri di dalam puri, tak mengapa. Ini
hanya menandakan bahwa pemuda itu tidak melakukan
apa-apa. Tapi benarkah Suji Angkara diam mengurung diri
di purinya" Ginggi teringat perbuatan Bangsawan Soka yang
mengipas-ngipasi Suji agar hatinya panas dan marah
terhadap Pangeran Yogascitra.
Suji Angkara memang terpengaruh dan kemarahannya
tersulut sehingga sepertinya dia hendak melakukan
pembunuhan terhadap diri Pangeran Yogascitra. Namun
ketika percakapan dengan Nyimas Layang Kingkin secuil
pun tidak membicarakan kemarahannya terhadap Pangeran
Yogascitra. Yang mereka bicarakan adalah bagaimana
caranya agar Nyimas Banyak Inten tak jadi "masuk" ke puri
istana. Dari pendengarannya ini Ginggi baru mengetahui
perasaan Nyimas Layang Kingkin. Ternyata gadis anggun
yang berpenampilan dewasa ini punya ambisi besar dalam
memenangkan persaingan menjadi selir Raja. Tidak sekadar
ingin menjadi selir saja, melainkan juga menginginkan
hanya dia seorang yang menjadi selir baru bagi Raja. Gadis
itu tak mau disaingi oleh Nyimas Banyak Inten. Berbahaya
juga gadis itu, pikir Ginggi. Tapi jalan pikirannya ini segera
dikoreksi kembali. Berbahayakah seseorang mempunyai
ambisi" Jahatkah bila seseorang mendambakan satu ambisi
setinggi-tingginya" Gadis itu berambisi tinggi masuk ke puri
istana raja dan ingin menempatkan dirinya sebagai selir
terkasih Raja. Untuk itulah sejak dulu dia membujuk
kakandanya, Suji Angkara agar tak segan-segan
mempersunting Nyimas Banyak Inten. Baru belakangan ini
Ginggi maklum akan maksud gadis itu. Dia selalu berdoa
dan mendukung cita-cita Suji Angkara dalam upaya
mendapatkan Nyimas Banyak Inten bukan karena rasa
sayang seorang adik terhadap kakaknya, melainkan
berdasarkan pada kepentingan dirinya semata. Ginggi amat
maklum kini, kalau Suji Angkara berhasil mempersunting
Nyimas Banyak Inten, maka cita-cita dirinya untuk menjadi
selir Raja tidak akan mengalami hambatan. Sekarang
sebenarnya Nyimas Layang Kingkin sudah mencapai citacitanya sebab Raja berkenan mengambilnya sebagai selir.
Namun tetap saja gadis itu belum merasa puas sebab masih
dibayang-bayangi persaingan. Dia tak menginginkan rasa
kasih Raja terhadap selir baru terbagi dua. Itulah sebabnya,
gadis itu selalu memanas-manasi kakandanya dengan doa
dan dukungan agar Suji Angkara tetap setia dengan citacitanya. Sebegitu jauhkah ambisi seseorang, sampai-sampai
Nyimas Layang Kingkin tidak mempedulikan lagi Banyak
Angga yang padahal menurut khabar, mereka telah
bertunangan" Kini Ginggi mencoba berpikir perihal hubungan Suji
Angkara dengan Nyimas Banyak Inten. Sejauh mana
hubungan cinta mereka berjalan" Kalau Suji Angkara sudah
jelas. Pemuda cabul yang gemar berlaku tak senonoh ini
sebenarnya punya rasa cinta juga di hatinya. Terbukti,
kendati dia beberapa kali memcoba memasuki puri gadis itu
dengan cara tidak sah, namun sepertinya ada perasaan cinta
sungguh-sungguh yang bersemi di hatinya. Tapi Nyimas
Banyak Inten sendiri bagaimana"
Ginggi sulit menyimak perasaan gadis itu. Ketika dia
diributkan dicinta oleh dua orang lelaki sekaligus, tak ada
sikap tertentu yang ditampilkan. Malah di Taman Mila
Kancana beberapa bulan lalu, ketika Ginggi diutus Suji
Angkara menyerahkan surat pada gadis itu, Nyimas Banyak
Inten hanya mengatakan bahwa sejauh ini dia tak
memikirkan urusan cinta sebab dia belum dewasa benar.
Tapi ketika purinya diganggu "penjahat" dan Suji Angkara
menampilkan diri sebagai "pahlawan", gadis itu dengan
penuh perhatian merawat luka Suji Angkara, hampirhampir membuat Ginggi sedih dan cemburu.
"Cinta pulakah Nyimas Banyak Inten terhadap Suji
Angkara?" gumamnya sendirian di gelap malam sudut
benteng puri. Ginggi menghela napas dalam-dalam. Bila
teringat Nyimas Banyak Inten membuat hatinya sedih.
Kemelut cinta di antara mereka sebenarnya kemelut besar,
dan Ginggi terlalu kecil untuk ikut-ikutan terjun dalam
kemelut tersebut. Tapi entah mengapa, perasaan hatinya tak
bisa dibendung. Setiap malam tiba dia selalu susah tidur
karena wajah anggun putri bangsawan itu selalu menghiasi
kelopak matanya. Beberapa kali dia bertemu wanita,
bahkan merasakan hangatnya tubuh seorang wanita seperti
Nyi Santimi, tapi perasaan yang ada di jiwanya kali ini
terasa lain. Ginggi boleh bertemu dengan macam-macam
pengalaman, yang menyedihkan, menjengkelkan bahkan
membuat dirinya marah, tapi tak ada yang membuat
dirinya serasa nestapa selain bila harus berpikir perihal
keberadaan Nyimas Banyak Inten.
(O-anikz-O) Ratapan Nyimas Banyak Inten
Nyimas Banyak Inten itu gadis bangsawan terhormat.
Ayahnya berkedudukan tinggi di Pakuan, bahkan sekarang
di percaya Raja untuk diangkat menjadi penasihat. Nyimas
Banyak Inten demikian molek, anggun dan cantik laksana
bidadari. Dia diperebutkan banyak ksatria dan dicinta Raja.
Maka bila diukur dengan kedudukannya, dirinya seperti
burung gagak merindukan bulan. Seperti setetes air ingin
menyamai lautan, atau seperti asap tungku ingin
disejajarkan dengan awan berarak di angkasa. Dirinya
hanya seujung kuku bila dibandingkan dengan posisi gadis
itu. Seharusnya Ginggi tahu diri. Seharusnya dia
menghukum dirinya dengan cara membuang jalan
pikirannya dan pergi jauh dari Pakuan. Tapi mengapa ia tak
mampu bertindak begitu" Ginggi bertahan dengan banyak
kesengsaraan di Pakuan. Bukan karena terlalu setia dengan
penyelidikannya, melainkan juga karena selalu ingin
membayangkan Nyimas Banyak Inten.
"Ah, sialan aku ini!" keluhnya seorang diri.
Sekarang bulan sudah mulai timbul lagi, hanya berupa
sabit tipis, setipis kesempatannya dalam menjangkau
impian muluk. Bulan sabit banyak ditemani bintanggemintang, ribuan banyaknya. Tapi apakah bulan sabit bisa
percaya diri bakal menerangi jagat raya ini" Tidak,
seharusnya bulan sabit tahu diri, dia tak sanggup menggapai
bumi, dia tak sanggup menerangi alam raya dalam keadaan
begitu. Ribuan bintang yang menemaninya hanyalah
mengolok-olok dirinya, sebab para gemintang pun tidak
akan sanggup membantu dirinya untuk menerangi alam
raya ini. Ginggi terus berceloteh dalam hatinya, sampai-sampai
dia hampir melupakan tujuannya mengamati Suji Angkara.
Hanya setelah kesadarannya pulih, maka dia ingat lagi
Suji Angkara. Maka dengan heran dia amati, mengapa pemuda itu
terus mengurung diri selama ini" Pemuda itu amat pesolek.
Tukang pesta dan gemar foya-foya. Kalau malam baik
seperti ini, dia sering mengundang prepantun atau para
penembang cantik untuk menghibur dirinya. Di cuaca
malam yang baik ini biasanya pemuda itu mengundang
teman-teman sesama putra bangsawan untuk menikmati
hiburan sambil minum tuak.
Suasana pesta mungkin dia lupakan mengingat hatinya
tengah gundah-gulana. Tapi setidaknya pemuda itu harus
terlihat biar barang sebentar.
Ginggi curiga. Itulah sebabnya, sesudah suasana
dianggap aman dari tugur, Ginggi segera meloncat ke atas
benteng puri dan menyelinap masuk ke sebuah bangunan
utama di mana biasanya Suji Angkara berada.
Puri itu sunyi saja. Lentera di beberapa sudut kamar
pemuda itu tidak dipasang sehingga kegelapan ruangan
amat mencekam. Ginggi mencoba meloncat dan naik ke
atas atap sirap hitam. Lapisan sirap dia buka sedikit
sehingga bisa mengawasi ruangan tempat tidur Suji
Angkara. Tapi di tempat tidur tak ada siapa-siapa. Suji
Angkara tidak ada di sana dan berarti sedang berada di luar,
tapi di mana" Ginggi meloncat turun lagi. Kini dia tuju ruangan
belakang di mana biasanya terdapat beberapa pekerja puri.
Kebetulan Ginggi masuk ke ruangan dapur dan
mendapatkan seorang wanita setengah baya. Wanita itu
sejenak kaget melihat ada orang masuk secara tiba-tiba.
Namun sesudah diketahuinya bahwa yang masuk adalah
Ginggi, dia hanya senyum kecil.
"Dasar anak kurang sopan, masuk ke tempat orang tidak
uluk salam (mengucap salam). Mau apa bocah gendeng
masuk ke sini?" tanyanya.
"Aku cari tuan muda Suji Angkara, di mana dia?"
Yang ditanya termenung sejenak seolah-olah mengingatingat sesuatu. "Oh, ya " di mana yaSi Kasep (Si Tampan) itu" Tadi
senja bibi lihat di taman belakang tapi sudah lama tak lihat
masuk puri. Coba engkau cari di taman belakang ?" jawab
wanita setengah baya itu.
(O-anikz-O) Jilid 20 Tidak membuang waktu Ginggi segera meninggalkan
tempat itu dan memburu taman belakang. Namun di sana
pun suasana sepi. Pemuda itu terus berkeliling taman kalaukalau Suji Angkara memang berada di taman. Tapi hingga
ke tepi benteng ujung paling belakang, tak ditemukan
pemuda itu, kecuali sebuah pintu kayu di sudut benteng.
Pintu kayu itu seperti jalan darurat untuk menuju luar
benteng. Ginggi memeriksanya dan ternyata pintu itu tidak
terkunci, sepertinya baru saja ditinggalkan orang.
Ginggi termenung dan segera saja timbul perkiraanperkiraan buruk. Tidakkah Suji Angkara meninggalkan puri
secara diam-diam lewat pintu darurat ini" Pergi ke mana"
Darah Ginggi serasa berdesir. Ya, barangkali Suji
Angkara sudah keluar puri lewat pintu belakang dan "
menuju puri Yogascitra! Ini hanya perkiraan saja. Tapi kendati begitu, Ginggi
harus cepat-cepat berjaga-jaga kalau-kalau perkiraannya
benar. Itulah sebabnya dia segera meninggalkan puri Suji
Angkara, sengaja lewat pintu darurat itu.
Ginggi berjalan menyusuri tepian benteng. Benteng itu
amat panjang dan berakhir di ujung persimpangan lorong.
Lorong itu kelak akan berakhir di sebuah jalan simpangan
lagi. Ke kiri akan menuju jalan utama berbalay batu, dan ke
kanan akan menuju " puri Yogascitra!
Kecurigaan semakin menebal. Kalau benar Suji Angkara
keluar lewat pintu darurat, dia pun pasti akan tiba di sini.
Lantas kalau sudah tiba di sini mau ke mana" Jalan besar


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbalay kelak akan menuju jalan durian, terus ke Tajur
Agung atau bisa juga ke tepi Sungai Cihaliwung, baik
menuju leuwi Kamala Wijaya atau pun ke Pulo Parakan
Baranangsiang, yaitu sebuah delta kecil di tengah Sungai
Cihaliwung di mana di sana terdapat pesanggrahan tempat
kaum bangsawan dan kerabat Raja bercengkrama.
Ginggi mengerutkan dahi tanda berpikir, dia tengah
menebak-nebak, ke arah mana kira-kira Suji Angkara
menuju. Bila menuju kiri, amat mustahil pemuda itu pergi
ke Tajur Agung malam-malam. Kalau pergi ke kanan pasti
ke puri Yogascitra. Dan inilah yang dikhawatirkan Ginggi.
Maka untuk membuktikan bahwa kekhawatirannya tak
beralasan, pemuda itu segera meloncat pergi ke arah kanan
menuju puri Yogascitra. Ginggi berlari cepat, secepat anak panah dilepas dari
busurnya. Dia berlari cepat dari samping karena terbiasa
latihan lari cepat mendaki Puncak Cakrabuana, juga karena
terdorong rasa khawatirnya.
Apa yang dia khawatirkan" Khawatir karena Suji
Angkara berencana membunuh Pangeran Yogascitra,
ataukah khawatir pemuda jahat itu akan menculik Nyimas
Banyak Inten" Dua-duanya, aku hatinya.
Ginggi berlari cepat dan tidak terlalu lama dia sudah tiba
di tepi benteng puri Yogascitra. Untuk mempersingkat
waktu, Ginggi tidak masuk lewat gerbang, tapi meloncat
naik ke atas benteng dan sebentar kemudian sudah
meloncat turun masuk di dalam kompleks puri.
Ginggi tidak menuju ke mana-mana, sebab tujuan
utamanya adalah puri di mana Nyimas Banyak Inten
berada. Dan hati pemuda itu berdebar keras ketika didengarnya
banyak orang berteriak-teriak di sekitar puri.
Ginggi datang ke tempat itu dengan cepat dan
didapatnya di sana banyak prajurit serta jagabaya. Ketika
mereka melihat ada orang datang sambil berlari, beberapa
jagabaya sambil berteriak-teriak menyuruh Ginggi berhenti.
"Siapa kau?" "Pasti dia penjahatnya!"
"Serbuuuu! Tangkap!!!"
Dalam suasana kacau dan sedikit gelap karena hanya
beberapa obor yang dibawa jagabaya, kemarahan prajurit
mudah tersulut sehingga semuanya menghambur karena
terpengaruh suara dan teriakan orang yang memberi abaaba. Semua prajurit dan jagabaya mengepung dan menyerang
Ginggi dengan berbagai senjata di tangan. Ada juga yang
melepas anak-anak panah, namun semuanya bisa ditepis
bahkan beberapa buah bisa ditangkapnya. Serangan dari
belasan bahkan puluhan prajurit bersenjata pedang dan
tombak hanya dihindarkan dan dikelitkan saja. Dan bila
ada tombak yang terlanjur menyodok tubuhnya, terpaksa
dia tangkap dan tarik ke depan sehingga pemegangnya
terjerembab. Sementara para pengepung semakin banyak juga. Dan di
antara yang datang, terdapat juga Banyak Angga dan
Purbajaya. Dari belakang mereka seorang tua setengah baya
juga nampak berlari mendatangi tempat itu, dialah
Pangeran Yogascitra. "Ada apa ini?" teriak Banyak Angga dan pertempuran
segera berhenti. Namun ketika pemuda itu melihat siapa
yang dikeroyok, wajahnya nampak terkejut, demikian pun
Purbajaya. "Hei " bukankah engkau badega puri Bagus seta"
Mengapa mengacau tempat ini?" tanya Banyak Angga.
"Dia penjahat, pasti menculik Nyimas Banyak Inten!"
teriak seorang jagabaya menudingkan ujung pedangnya ke
arah hidung Ginggi. "Apa" Nyimas Banyak Inten ada yang menculik?"
teriakan kaget ini berbareng diucapkan oleh ketiga orang
pemuda yaitu Banyak Angga, Purbajaya dan Ginggi sendiri.
"Celaka!" teriak lagi Ginggi sambil menatap Purbajaya.
"Ginggi, kau pasti tahu siapa yang melakukan
penculikan ini!" kata Purbajaya menatap Ginggi dengan
wajah khawatir sekali. "Aku sudah bisa menduganya. Mari ikut aku!" teriak
Ginggi. Namun ketika pemuda itu hendak meninggalkan
tempat itu, beberapa senjata pedang menyabet tubuhnya
dari segala arah. Pemuda itu menggerak-gerakkan sepasang
tangannya dan seluruh senjata beterbangan ke segala arah.
Beberapa di antaranya menancap hampir setengahnya di
batang-batang pohon dan para pemiliknya menjerit
kesakitan sambil memegangi pergelangan tangannya
masing-masing. "Purbajaya, mari kejar dia!" teriak Ginggi meloncat dari
lingkaran kepungan. Purbajaya mengejar Ginggi, begitu
pun Banyak Angga. Bahkan belasan prajurit ikut pula
berlari mengejar ke mana arah Ginggi pergi.
Ginggi berlari amat cepat dan sangat menyulitkan yang
mengikutinya. Beberapa kali dia mencoba menunggu
mereka. Sesudah jaraknya tak begitu jauh lagi, baru Ginggi
berlari kembali. Ginggi sebetulnya tidak tahu ke mana harus mencari
penculik gadis itu. Tapi karena dia sudah menduga yang
menculik adalah Suji Angkara, dia berspekulasi mengejar ke
suatu tempat. Ginggi ingat kejadian marak setahun lalu. Dengan amat
mesranya Suji Angkara selalu mencoba berdekatan dengan
Nyimas Banyak Inten ketika mereka memasak ikan. Dan
tempat indah yang membawa kenangan itu tak lain adalah
Pulo Parakan Baranangsiang, yaitu delta kecil atau gugusan
tanah di tengah aliran Sungai Cihaliwung.
Gugusan tanah itu bila siang hari amat permai dan indah
dipandang mata karena keindahannya tak terkira. Tapi
kalau malam hari, pulo (pulau) itu merupakan tempat
terasing yang akan sunyi-sepi jauh dari perhatian orang.
Kalau Suji Angkara membawa Nyimas Banyak Inten ke
sana, dan melakukan hal tak senonoh, tak akan ada orang
yang mengetahuinya. Karena perkiraan-perkiraan inilah maka Ginggi mencoba
menuju ke tempat itu. Untuk kesekian kalinya Ginggi menunggu orang-orang
yang mengikutinya. Karena mereka terasa lamban
sedangkan Ginggi merasa perlu mengejar waktu, maka dia
berteriak agar mereka menyusul saja.
"Aku akan menuju Pulo Parakan Baranangsiang, sebab
penculik pasti lari ke sana! Susul aku ke tempat itu!" teriak
Ginggi sambil kembali berlari cepat.
Ginggi berlari menuju ke arah timur. Dia menyebrangi
dulu saluran Cipakancilan, terus bergerak ke arah timur
menuju tepi Sungai Cihaliwung. Menyusuri tepian
Cihaliwung ke arah utara dan tiba di Leuwi Kamala Wijaya
atau dikenal pula sebagai Leuwi Sipatahunan.
Di sana suasana terasa sepi tanda tak ada orang di sekitar
tepi leuwi (lubuk). Ginggi segera melanjutkan perjalanannya menyusuri tepi
sungai ke arah utara. Hanya sepemakan sirih saja dia tiba di
tepi sungai. Dia lihat ke arah sebrang ke arah timur.
Gugusan delta demikian kelam dan hanya berupa bayangan
hitam. Tapi di tepi gugusan ada perahu tertambat. Ginggi
berdebar hatinya. Perahu tertambat di sebrang hanya
menandakan bahwa ada orang menyebrang ke gugusan
pulau kecil di tengah sungai itu. Dugaannya cepat
mengarah ke arah kecurigaannya semula. Suji Angkara
sudah berada di sana! Ginggi berkeliling tepi mencari perahu. Di situ hanya
ada satu perahu. Kalau dia gunakan, maka tak ada perahu
lain untuk mengangkut rombongan yang datang
belakangan. Alhasil pemuda itu harus menyebrangi sungai
dengan cara lain. Ginggi beruntung diberi ilmu napak
sancang, Itulah ilmu untuk berjalan di atas permukaan air.
Kata Ki Rangga Guna yang memberikan ilmu aneh itu,
napak sancang adalah ilmu meringankan tubuh. Tapi
berjalan di atas air tidak melulu mengandalkan ilmu
meringankan tubuh saja, melainkan juga harus bisa berlari
cepat sambil telapak kaki sejajar dengan permukaan air.
Kalau tak bisa begitu, seringan apa pun tubuh, tetap saja
akan tercebur ke dalam air.
"Ibaratkanlah sepotong papan yang permukaannya rata.
Bila bagian rata kita lemparkan sejajar dengan permukaan
air, maka papan akan meloncat-loncat di atas permukaan
air seperti hampir-hampir tak menyentuh air. Bisa terjadi
begitu, karena saking cepatnya papan kayu itu bergerak.
Tapi kalau papan itu diam, benda itu akan sedikit
tenggelam. Kalau bebannya lebih berat, maka akan
tenggelam sama sekali," kata Ki Rangga Guna di tepi
Sungai Citarum hampir setahun lalu.
txt oleh : http//www.mardias.mywapblog.com
Sekarang Ginggi akan melakukan napak sancang, bukan
sekadar latihan, tapi benar-benar dilakukan untuk satu
keperluan dan tak boleh gagal.
Ginggi menahan napas dalam-dalam, mencoba
menghilangkan berat kakinya. Dia meloncat cepat tapi
loncatannya hampir sejajar dengan permukaan air. Dia
gerakkan sepasang kakinya secepat mungkin. Dia "injak"
permukaan air tapi hanya sejenak untuk kemudian telapak
kaki dia angkat untuk melangkah cepat. Begitu seterusnya
berulang-ulang. Terdengar plakplok-plakplok suara telapak
kaki yang menginjak permukaan air, halus seperti kecipat
gerakan ikan. Ginggi tiba di tepi gugusan pulau dengan selamat!
Ginggi perlu sembunyi dulu di rimbunan semak untuk
meneliti keadaan. Suasana pesanggrahan begitu sunyi dan
gelap. Namun suasana sunyi ini amat mencurigakan
dirinya. Maka dengan berindap-indap Ginggi mencoba
mendekati bangunan pesanggrahan yang beratap ijuk dan
terbuat dari kayu-kayu jati hitam. Semakin dekat Ginggi ke
arah bangunan itu, semakin berdebar hatinya. Bagaimana
tak begitu, sebab sayup-sayup dia mendengar keluhankeluhan kecil. Dan jelas keluhan itu keluar dari mulut
seorang wanita. Berdesir darah di urat-urat tubuh Ginggi. Apalagi ketika
dia meloncat ke dalam pesanggrahan, tubuh Ginggi
menggigil karena menahan rasa marah. Betapa tak begitu,
tubuh Nyimas Banyak Inten tergolek di lantai dengan
pakaian hampir terbuka seluruhnya. Sedangkan di atas
tubuh gadis itu Suji Angkara berusaha menghimpitnya.
Panas hati Ginggi melihat adegan ini. Dadanya pun
serasa akan meledak. Didorong oleh kemarahan memuncak, Ginggi menerjang
dari arah depan. Terjangannya secepat harimau yang
hendak menerkam mangsa. Gerakan terkaman Ginggi rupanya diketahui dengan
persis oleh Suji Angkara. Nampak rasa terkejut pemuda itu,
sehingga secara serentak dia berdiri.
Tapi gerakan Ginggi demikian cepatnya. Sebelum Suji
Angkara meloncat untuk berkelit, tubuh Ginggi sudah
melayang dan tiba di hadapannya.
Dukk !!! Suji Angkara berteriak ngeri ketika tubuhnya terlontar ke
belakang dan punggungnya menabrak tiang kayu. Saking
kerasnya tubuh itu menubruk kayu, sampai terpental
kembali ke depan, dan jatuh tersuruk mencium lantai.
Tertatih-tatih pemuda itu mencoba bangkit sambil tangan
kanannya memegangi jidatnya yang berusaha dipukul
Ginggi. "Kau, siapa kau ?""
"Aku Ginggi!" "Kau " Si Duruwiksa?"
"Ya, bagimu aku Duruwiksa, aku jin, aku setan dan aku
iblis pembunuh bagi tubuh dan otak manusia yang selalu
dipenuhi kebejatan!" desis Ginggi sambil giginya berkerot
saking marahnya. Suji Angkara berdiri tapi terhuyung. Dia mencoba
mundur beberapa tindak. Ketika Ginggi mendekat,
tangannya digoyang-goyang seperti melarang Ginggi
mendekat. "Kau " kau memukul jidatku?" tanyanya gugup dan
kembali memegangi jidatnya.
"Ya " sudah keempat kali ini aku menjotos jidatmu.
Kau pasti ingat betul, di mana dan ketika kau sedang apa
aku jotos jidatmu!" kata Ginggi mengingatkan.
Suji Angkara nampak terkejut sekali. Dia melangkah
mundur, terhuyung dan tubuhnya menggigil seperti
kedinginan. "Jangan bunuh aku " jangan bunuh aku. Masa-masa
lalu aku berdosa. Tapi beri aku kesempatan. Hidupku
sengsara. Aku inginkan kedamaian. Dan semuanya ada
pada kekasihku"Nyimas Banyak Inten "Oh!" Suji
Angkara terjatuh karena kakinya tersandung.
Suji Angkara mengeluh ketika Ginggi melangkah
beberapa tindak lagi. "Jangan bunuh dia!" ada teriakan kecil setengah
mengeluh dari belakangnya. Ginggi terkesiap. Nyimas
Banyak Inten yang barusan melarangnya. Betul-betulkah
gadis itu melarangnya"
"Nyimas ?"" gumam Ginggi sambil menoleh ke
belakang. Dia tak percaya gadis itu bilang begitu. Tapi gadis
itu memang memohon kepadanya. Nyimas Banyak Inten
segera membenahi pakaiannya yang awut-awutan dan
duduk bersimpuh di bawah kakinya. Kaki Ginggi.
Gadis itu menangis sesenggukan sambil mencoba
memeluk kaki Ginggi. "Jangan bunuh dia "Jangan bunuh dia"!" keluh gadis
itu di antara sela-sela tangisnya. Serasa sesak dada Ginggi
melihat kenyataan ini. Serasa sesak dadanya ketika
sepasang tangan gadis itu memeluk kakinya untuk
memohon ampun. Nyimas Banyak Inten mohon
pengampunan bagi Suji Angkara pemuda laknat itu" Ginggi
menggigil tubuhnya melihat kenyataan ini.
"Mari Nyimas kita pergi. Kita pergi jauh entah ke mana.


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kita tinggalkan tempat ini!" kata Suji Angkara masih
terhuyung lemah. Ketika hendak berdiri tegak, dia jatuh lagi
dan segere dipapah Nyimas Banyak Inten.
Sungguh meremukkan hati Ginggi yang
menyaksikannya. Tapi sementara itu dari tepi sungai berlarian banyak
orang dengan obor di tangan. Suasana gugusan pulau
mendadak menjadi terang benderang. Semuanya
mendatangi pesanggrahan. "Itu dia penjahat Suji Angkara!" teriak Purbajaya.
Serentak belasan prajurit mengepung tempat itu.
Dan Suji Angkara menjadi sasaran penyerbuan pasukan
bersenjata lengkap. Suji meloncat keluar tapi sambil jatuh terhuyung.
Sementara itu pihak penyerbu dengan beringas
mencecarnya dengan berbagai senjata tajam. Pemuda itu
berkelit dan bergulingan kesana-kemari. Beberapa serangan
senjata tajam bisa dia hindari, tapi beberapa lainnya
mengenai tubuhnya secara bertubi-tubi. Pemuda itu
mengeluh setiap kali ada tusukan pedang yang melukai
tubuhnya. Yang membikin hati Ginggi kian memelas,
ketika setiap Suji Angkara mengeluh setiap itu pula
terdengar jerit dan tangis Nyimas Banyak Inten. Suara
tangisan baru berhenti ketika gadis itu pingsan sambil
sepasang tangannya kembali masih memeluki kaki Ginggi
yang berdiri kaku di sana.
(O-anikz-O) Rundingan di Puri Yogascitra
Ginggi pulang dari Pulo Parakan Baranangsiang bersama
rombongan yang dipimpin Purbajaya dan Banyak Angga.
Rombongan itu mengusung dua tubuh. Satu tubuh Nyimas
Banyak Inten yang pingsan karena sedih dan kedua adalah
tubuh Suji Angkara yang sudah tak bernyawa karena
cecaran pedang para prajurit.
Di tengah jalan Purbajaya baru membeberkan siapa Suji
Angkara dan apa saja tindakan-tindakannya selama ini.
Secara rinci pemuda itu membeberkan keburukankeburukan Suji Angkara dari sejak peristiwa di Tanjungpura
hingga peristiwa hari ini.
"Perusuh yang mengacau puri kita beberapa waktu lalu
adalah Suji Angkara. Tapi celakanya kita semua tak
menduga bahkan menganggap pemuda itu sebagai
pahlawan," kata Purbajaya.
"Sayang kita baru tahu kejahatannya sesudah terlambat,"
gumam Banyak Angga. "Sebetulnya Ginggi tahu sejak awal ?" jawab Purbajaya.
Banyak Angga menoleh pada Ginggi, tapi Ginggi diam
saja. Setibanya di puri Yogascitra, Ginggi disambut secara
terhormat. "Sebetulnya sudah jauh hari aku ragu, seorang badega
sepertimu tindak-tanduknya lain," ujar Pangeran
Yogascitra. "Saya tidak biasa memperlihatkan diri, Juragan ?" kata
Ginggi menyembah hormat. Pangeran Yogascitra mengangkat bahu Ginggi agar tak
memberi hormat berlebihan.
"Tinggallah di sini. Engkau kuangkat sebagai ksatria di
puri Yogascitra ?" kata Pangeran Yogascitra. Ginggi
hanya menunduk lesu, tidak tergambar kegembiraan barang
sedikit pun. Tapi wajah muram Ginggi tidak terperhatikan semua
orang, sebab semuanya tengah dipenuhi rasa syukur bahwa
nasib Nyimas Banyak Inten lolos dari aib yang
menghinakan. Keesokan harinya Pakuan geger sebab Pangeran
Yogascitra melaporkan kejadian semalam pada Raja. Ki
Bagus Seta dipanggil ke istana untuk diminta penjelasan
mengenai tindak-tanduk putranya yang dianggapnya
merendahkan derajat kaum bangsawan.
"Tapi Ki Bagus Seta berkelit dari tanggungjawabnya. Dia
mengatakan tindakan anak tirinya tak ada kaitannya
dengan dirinya dan dia tak tahu menahu tentang semua
ini," kata Banyak Angga yang ikut menghadiri pemanggilan
Ki Bagus Seta di paseban istana.
Ginggi menilai, kemungkinan pandangan Raja terhadap
Ki Bagus Seta akan mulai berubah sesudah kejadian yang
menyangkut putranya ini. Dan bila benar begitu,
kedudukannya akan semakin terdesak, paling tidak
pengaruh-pengaruhnya yang selama ini demikian besar di
kalangan istana. Dan tidak berlebihan kalau akhir-akhir ini Raja mulai
menaruh kepercayaan terhadap Pangeran Yogascitra.
Menurut beberapa kalangan yang berada di puri Yogascitra,
bangsawan ini punya kekerabatan yang erat dengan Raja
terdahulu yaitu Sang Prabu Dewatabuwana atau lebih
dikenal lagi dengan julukan Prabu Ratu Dewata, yaitu
ayahanda Prabu Ratu sakti Sang Mangabatan yang
berkuasa sekarang. Pangeran Yogascitra adalah pengabdi
setia dan pejabat puhawang (akhli kelautan) yang baik,
seperti ayahandanya yang menjadi pejabat yang sama sejak
kepemimpinan Sang Ratu Jaya Dewata, atau Sri Baduga
Maharaja dan lebih populer lagi dengan julukan Prabu
Siliwangi (1482-1521 Masehi).
Puhawang adalah petugas yang akhli dalam ilmu teluk
dan kelautan. Dan semasa kepemimpinan Sri Baduga
Maharaja, pejabat puhawang amat berperan sehingga
Pajajaran jaya di lautan dan menguasai banyak pelabuhan
laut dan muara. Sekarang sesudah Pajajaran didesak mundur ke
pedalaman oleh kekuatan negara agama baru, peranan
puhawang sepertinya kurang berarti sebab negri pedalaman
ini sudah tak memiliki kekuatan di pesisir. Kendati begitu
Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan tetap mempertahankan
lembaga puhawang, sebab Raja yang penuh ambisi ini tetap
bercita-cita mengembalikan kejayaan Pajajaran seperti
zaman kakek-buyutnya, yaitu Sri Baduga Maharaja.
Tapi belakangan terbetik keputusan bahwa Sang Prabu
akan menghapus lembaga puhawang dan berniat
mengangkat Pangeran Yogascitra sebagai penasihat, hanya
membuktikan bahwa Raja sudah mulai putus asa dalam
mempertahankan cita-citanya menguasai wilayah pesisir
dan lautan. Diangkatnya seorang penasihat juga
memperlihatkan bahwa Raja sudah mulai bimbang dalam
menentukan berbagai keputusan. Hari-hari sebelumnya,
tidak terpikirkan bagi Raja untuk memilih seorang
penasihat khusus, sebab selama ini para pembantu dekatnya
saja yang selama ini dia gunakan sebagai masukan dalam
mencari gagasan mengendalikan kerajaan.
Namun sesudah ada beberapa kegagalan dalam cara
memimpin, sepertinya Raja mulai berpikir bahwa tak
semua masukan yang diberikan para pembantu dekatnya
benar-benar bermanfaat bagi dirinya. Itulah sebabnya, Raja
memikirkan satu orang penasihat dan merencanakan
memilih Pangeran Yogascitra sebagai pejabat paling senior
dan yang kesetiaannya tak diragukan lagi.
(O-ani-kz-O) Pada suatu hari di paseban puri Yogascitra diadakan
pertemuan. Hari itu ke puri datang Purohita Ragasuci.
Seperti yang sudah Ginggi ketahui, hubungan Purohita
dengan Pangeran Yogascitra demikian eratnya bagaikan
kakak dengan adik. Ini seperti sebuah pertemuan amat penting, sebab para
pejabat lain pun, kecuali Bangsawan Soka, Bangsawan
Bagus Seta dan Ki Banaspati, sama-sama hadir dalam
pertemuan itu. Ginggi diberitahu oleh Banyak Angga
bahwa dirinya pun diundang hadir.
Sudah barang tentu pemuda itu heran dibuatnya,
mengapa ada sebuah pertemuan penting mesti dihadiri
olehnya pula" "Kau jangan selalu merendahkan diri, Ginggi," kata
Banyak Angga, "Kedudukanmu di puri ini bukan badega,
melainkan seorang calon ksatria. Kepandaianmu sudah tak
diragukan dan kau pantas menjadi ksatria puri Yogascitra,"
kata pemuda tampan itu sungguh-sungguh.
"Pantaskah saya diangkat ksatria padahal saya seorang
badega puri Bangsawan Bagus Seta?" tanya Ginggi
mengerutkan dahi. "Engkau bukan badega sesungguhnya, sebab menurut
keterangan Purbajaya, engkau tinggal di sana karena
melakukan penyelidikan semata. Dan karena ini pula kami
sepakat untuk mengangkatmu sebagai ksatria, karena kami
tahu persis, engkau bukanlah benar-benar orang puri Bagus
Seta," kata lagi Banyak Angga. "Tapi selama dua hari kau
berada di sini, wajahmu nampak murung, ada apakah
sebenarnya, Ginggi?" tanya pemuda itu menatap wajahnya.
Mendengar pertanyaan seperti itu, Ginggi hanya
tersenyum tipis. "Malah saya yang merasa heran, sebab wajahmulah yang
nampak murung, Raden ?" Ginggi balik menatap dan
menghindari pertanyaan pemuda itu dengan balik bertanya.
Giliran Banyak Angga yang tersenyum tipis, bahkan
terlihat pahit. "Aku tak bisa berbohong padamu sebab kaulah paling
tahu apa penyebabnya ?" gumam pemuda itu datar.
"Nyimas Layang Kingkinkah?" tanya Ginggi.
Banyak Angga tidak mengiyakan, namun pandangannya
menerawang jauh, hampa dan lesu. Ginggi menghela napas
karenanya. "Aku sebenarnya pasrah dengan keadaan. Melawan
keinginan Raja berarti mencari kesulitan hidup. Hanya yang
aku ingin tahu, bagaimana perasaan Dinda Kingkin
menghadapi masalah ini ?" gumam pemuda itu.
Hanya bergumam saja. Tapi Ginggi merasa bahwa
Banyak Angga memerlukan sebuah penjelasan darinya.
"Surat yang aku kirimkan padanya tak pernah dia jawab.
Barangkali engkau tahu penyebabnya?" tanya pemuda itu
menoleh. Ginggi kembali menghela napas. Banyak yang dia
ketahui sebenarnya, tapi bagaimana cara menjelaskannya"
"Ketika surat datang darimu, Nyimas Layang Kingkin
sudah berniat membalasnya?" kata Ginggi menghibur.
Tapi berita yang disampaikannya sebenarnya memang
begitu. Ketika menerima surat yang diserahkan Ginggi,
gadis itu sudah akan memberikan jawaban, hanya entah
mengapa dibatalkan. "Ya " pasti Dinda Kingkin akan menulis balasan. Tapi
dia tak memiliki kesempatan sebab kalau ayahandanya
tahu, dia pasti ditegur. Memang amat berbahaya bagi calon
istri Raja diketahui masih suka berkirim surat dengan lelaki
lain," kata Banyak Angga. Ginggi tak mengiyakan tapi juga
tak membantahnya. "Kasihan dia. Nyimas tak bisa melawan keinginan
Raja?" keluh pemuda itu.
Ginggi menunduk, sebab sebetulnya Banyak Anggalah
yang mesti dikasihani. Tapi Ginggi tak berniat
membeberkan perasaan hati gadis itu yang sebenarbenarnya. Kalau disampaikan, khawatir pemuda itu sakit
hati dan mengurangi penghargaan akan cintanya.
Biarkanlah orang memiliki kenangan tentang cinta dan
bukan kebencian. Ginggi tak mau mengatakan bahwa Nyimas Layang
Kingkin sepertinya lebih menghargai ambisi ketimbang rasa
cinta. Kalau hal ini disampaikan pada Banyak Angga hanya
akan membuat hati pemuda itu hancur luluh.
Begitu pun yang Ginggi usahakan pada Purbajaya.
Ginggi memberi pesan agar sifat-sifat jahat Suji Angkara
jangan disampaikan secara utuh terhadap Nyimas Banyak
Inten. Ginggi menilai, gadis itu sebenarnya terperangkap
cintanya Suji Angkara. Pemuda itu tampan, licin dan
pandai merayu. Gadis polos dan jujur seperti Nyimas
Banyak Inten akan mudah percaya. Barangkali cintanya
pada Suji Angkara adalah yang pertama. Ginggi tak tega
menghinakan perasaan gadis itu bila harus membeberkan
rahasia pemuda yang dianggapnya "pahlawan" itu.
"Nyimas Banyak Inten mungkin merasa hancur melihat
Suji Angkara tewas di hadapannya. Mungkin dia
menganggap, kesalahan pemuda itu hanya melakukan
kenekadan menculik dirinya. Tapi kalau kita katakan hal
sebenarnya tentang pemuda itu, maka akan lebih hancur
lagi hatinya," kata Ginggi pada Purbajaya waktu itu.
"Sebetulnya aku tak setuju pendapatmu," kata Purbajaya,
"Seharusnya semua keburukan Suji Angkara disampaikan
saja. Tapi aku ingin hargai usaha-usahamu dalam
menyelamatkan gadis itu, maka aku turuti keinginanmu,"
tutur Purbajaya tersenyum tipis.
Ginggi juga tersenyum karena dia tahu, Purbajaya tak
puas dengan keinginan dirinya.
"Saya tak rela Nyimas Banyak Inten memendam
kebencian. Masih mendingan kecewa karena cinta
ketimbang kebencian karena hal yang sama," kata Ginggi
menyebutkan alasannya. Purbajaya merenung sejenak, kemudian bergumam
pendek, "Kalau hal itu dianggap lebih baik, ya, terserah
kau?" (O-ani-kz-O) Dalam pertemuan di paseban puri Yogascitra, Ginggi
duduk sejajar dengan para ksatria lainnya. Sebetulnya
pemuda itu merasa tak enak hati, duduk sama tinggi dengan
sesama ksatria Pakuan. Tapi Pangeran Yogascitra
memaksanya agar dia duduk di deretan para pemuda gagah
itu. Banyak orang memang di paseban itu. Semuanya para
bangsawan dan pejabat penting semata, Sepertinya seluruh
bangsawan Pakuan berkumpul di sini.
Ginggi pernah mendapatkan penjelasan dari Purbajaya,
para bangsawan dan pejabat sebanyak ini biasanya hanya
berkumpul di paseban istana kerajaan bila menghadapi
urusan-urusan maha-penting.
Jadi bila kini mereka berkumpul, hanya menandakan


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa pertemuan ini benar-benar akan membahas sesuatu
yang amat penting. Tapi mengapa pertemuan tidak
dilakukan di balai penghadapan Raja saja" Adakah
pertemuan para pejabat ini tak ingin diketahui Raja"
Sebagai tuan rumah, Pangeran Yogascitra duduk di
depan di sebuah kursi jati berukir indah. Di sampingnya ada
Purohita Ragasuci, sama-sama duduk di sebuah kursi
berukir. Ada belasan pejabat dan bangsawan duduk di
deretan sebelah kanan, sedangkan di sebelah kiri kaum
muda terdiri dari para ksatria, termasuk Ginggi.
Pangeran Yogascitra membuka acara dengan
membeberkan beberapa maksud. Salah satu hal yang
dikemukakan Pangeran itu adalah sesuatu yang amat
mengejutkan Ginggi. "Puri Yogascitra akan mengangkat seorang pemuda
bernama Ginggi untuk kami jadikan ksatria," kata Pangeran
Yogascitra. Semua hadirin menoleh pada Ginggi sehingga
membuat pemuda itu malu karena jadi pusat perhatian
semua orang. Pangeran Yogascitra menerangkan bahwa merasa perlu
memberikan penghargaan dengan mengangkat Ginggi
sebagai ksatria karena jasa, tindak-tanduk dan
kepandaiannya sesuai untuk tingkat derajat sebagai ksatria.
Pangeran itu membeberkan kepahlawanan Ginggi yang
berhasil membongkar kejahatan Suji Angkara.
"Dengan usaha-usaha yang dilakukan Ginggi, martabat
dan nama baik para bangsawan Pakuan dapat
terselamatkan. Bayangkanlah selama ini kita menaruh
hormat kepada Suji Angkara. Padahal kelakuan sebenarnya
dari pemuda itu, jauh dari tindak-tanduk seorang
bangsawan. Kalau Ginggi tidak membongkarnya,
barangkali selama itu pula kita terlena dibuatnya," kata
Pangeran Yogascitra. "Kami akan mencari hari baik untuk menyelenggarakan
upacara ngawastu (pelantikan) pemuda Ginggi. Kami ingin
melantiknya di kuil utama, dihadiri para wiku istana dan
pelantikan dilakukan oleh Purohita Ragasuci. Ginggi, kau
berikan hormat pada Purohita agar secepatnya mencari
hari baik untuk upacara pelantikanmu," kata Pangeran
Yogascitra menoleh pada Ginggi.
Dengan tersipu dan serba-salah, Ginggi menyembah
takzim ke arah Purohita Ragasuci yang dengan sorot penuh
wibawa menatap dirinya. Selanjutnya Pangeran Yogascitra melanjutkan
pembicaraan ke hal-hal lainnya. Menurutnya, para
bangsawan dan pejabat istana tengah dihadapkan pada
beberapa masalah. Masalah ini sedikitnya telah membuat
gejolak-gejolak yang bila tak segera diselesaikan
dikhawatirkan akan membahayakan sendi-sendi kekuatan
negara. "Bagi yang akan bicara perihal penyebab gejolak, silakan,
kami memberi waktu," kata Pangeran Yogascitra.
Seorang pejabat berpakaian bedahan lima beludru hitam
dengan ornamen indah warna kuning emas memberi tanda
ingin bicara. "Silakan Pangeran Sutaarga berbicara," kata Pangeran
Yogascitra memberi izin. Pangeran yang bernama Sutaarga ini membeberkan
beberapa situasi yang dianggapnya bisa membahayakan
keberadaan negara. Situasi yang paling rawan yang tengah
di hadapi Pakuan adalah semakin banyaknya negara-negara
kecil yang dulu ada di bawah Pakuan sekarang berani
memalingkan muka. Sudah tak bisa dipungkiri lagi kalau
negara-negara kecil di wilayah timur melepaskan diri dari
kekuasaan Pajajaran karena merasa lebih dekat kepada
pengaruh Cirebon. Tapi kata pangeran ini, banyak juga
negara-negara kecil yang melepaskan diri bukan karena
pengaruh kekuatan negara lain, tapi karena ketidaksetujuan
dengan kebijaksanaan Pakuan.
"Dengan demikian kita mendapatkan kenyataan bahwa
banyak negara kecil memisahkan diri bukan saja karena
pengaruhnya telah direbut kekuasaan negara baru,
melainkan karena tidak setuju dengan kebijaksanaan
Pakuan. Ini perlu menjadi perhatian dari semua pejabat
agar kita sama-sama mengajukan masalah ini pada Sang
Prabu," kata Pangeran Sutaarga.
Selesai bangsawan ini mengemukakan pendapatnya,
muncul lagi pendapat lain.
"Silakan Pangeran Jayaperbangsa mengemukakan
pendapatnya," kata Pangeran Yogascitra melirik pada
bangsawan berpakaian gagah dengan bendo corak
batikhihinggulan ornamen emas.
"Maafkan bila ucapan sayaa menyinggung perasaan
semua orang, termasuk juga perasaan Pangeran
Yogascitra," kata bangsawan berwajah putih dengan kumis
tipis indah ini. Sebelum melanjutkan pembicaraannya, dia melirik ke
segala arah dan terakhir pandangannya hinggap ke mata
Pangeran Yogscitra. "Silakan berbicara apa adanya. Hal-hal menyakitkan tak
selamanya membahayakan. Obat yang terasa pahit pun
sebenarnya menyehatkan," kata Pangeran Yogascitra
dengan sedikit senyum. Pangeran Jaya Perbangsa mengangguk hormat tanda
setuju dengan ucapan tuan rumah.
"Kemelut-kemelut di Pajajaran ini sebetulnya tidak
terlepas dari sikap kebijaksanaan Sang Prabu yang saya
anggap kurang berkenan di banyak hati dan perasaan,"
katanya. "Sang Prabu mudah terombang-ambing oleh
pengaruh-pengaruh yang datang dari luar dirinya. Tidak
mengapa bila pengaruh yang datang dari luar adalah hal-hal
baik dan bermanfaat bagi kemajuan dan kebesaran negara.
Tapi bila pengaruh itu hanya membuat kemelut
berkepanjangan, maka ini adalah sebuah kehancuran!" kata
bangsawan ini. "Saya ingin mengajak saudara sekalian
untuk memikirkan, bagaimana caranya agar Sang Prabu
tidak tergelincir ke jurang kekeliruan," kata bangsawan ini
dengan suara berapi-api. Mendengar pendapat Pangeran Jaya Perbangsa, semua
hadirin saling pandang, sesudah itu akhirnya semua
menatap ke arah Pangeran Yogascitra. Bangsawan ini tidak
segera tampil untuk berbicara, melainkan menoleh pada
Purohita Ragasuci. Sang Purohita yang berwajah sabar dan penuh wibawa
ini segera berdehem, sebagai tanda bahwa dirinya akan
mengemukakan pendapat. "Semua yang barusan dikemukakan sebetulnya sudah
jadi pembicaraan kita semua," kata Purohita, "Sang Prabu,
apa pun beliau kemampuannya, sebenarnya hanyalah
manusia biasa yang memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan beliau adalah semangat dan cita-citanya yang
begitu tinggi dalam upaya mengembalikan kejayaan
Pajajaran ke puncak kejayaan seperti zamannya Sri Baduga
Maharaja. Namun kekurangannya, beliau terlalu percaya
kepada gagasan-gagasan yang datang dari orang-orang yang
ingin berusaha dekat dengannya. Dalam memimpin negara,
Raja hanyalah dibutuhkan titahnya, sebab itu yang menjadi
komando utama. Tapi titah itu harus datang setelah
mendapatkan berbagai saran dan masukan dari para
pembantu dekatnya. Raja akan mengeluarkan titah yang
bijaksana kalau dia mendapatkan saran atau masukan dari
para pembantunya dengan gagasan-gagasan yang bijaksana.
Tapi titah Raja juga bisa jadi malapetaka kalau terlahir dari
kebijaksanaan yang salah. Itulah sebabnya dalam
memimpin negara, dibutuhkan para pembantu yang selain
cakap juga jujur dalam menyodorkan saran dan gagasan.
Apakah kita memiliki Raja yang baik atau sebaliknya, itu
semua juga berpulang pada kita semua selaku
pembantunya. Bila kita menginginkan Raja berlaku adil,
bijaksana dan jujur, mari kita bantu Sang Prabu dengan
jalan pikiran kita yang bijaksana dan penuh kejujuran pula,"
kata Purohita Ragasuci. "Selama ini kami berusaha membantu Raja agar
memiliki kebijaksanaan yang adil dan jujur. Tapi di Pakuan
banyak sekali pejabat yang mencoba mendekati Sang Prabu,
mencoba memberi pengaruh yang semua didasarkan demi
kepentingan pribadi mereka semata," sanggah seorang
bangsawan lainnya. "Banyak pejabat yang paling berambisi mencari
kedudukan bahkan yang paling bersemangat mendekati
Sang Prabu. Sehingga akibatnya, pejabat yang benar-benar
ingin membela negara tapi tak mau menjilat, sedikit demi
sedikit tersisih oleh mereka," kata yang lain.
"Saya selaku Purohita selalu berdoa dan berusaha selalu
memberi nasihat pada Sang Prabu bahwa tak selamanya
orang yang selalu ingin dekat dengan Raja adalah orangorang yang ingin membantunya. Dan nampaknya Sang
Prabu sudah mulai mendengar saran saya. Sebagai bukti,
beliau mau mengangkat Pangeran Yogascitra sebagai
penasihatnya. Pangeran Yogascitra adalah pejabat setia
sejak zaman Sang Prabu Ratu Dewata, namun tak pernah
berusaha menjilat Raja untuk mendapatkan pujian atau
kenaikan pangkat. Saya anjurkan pada Sang Prabu agar
sudi memperhatikan dan mempercayaai pembantu yang
selalu setia tapi tanpa memiliki pamrih kepentingan pribadi,
dan nampaknya beliau mulai mengerti," kata Purohita
Ragasuci panjang-lebar. "Tapi Purohita, bagaimana halnya dengan rencanarencana Sang Prabu dalam merencanakan perkawinannya
dengan putri Bangsawan Bagus Seta?" tanya seseorang. Dan
pertanyaan ini seolah-olah mengingatkan yang lainnya
untuk bertanya hal yang serupa.
"Adalah pantang bagi Raja-raja Pajajaran mengawini
perempuan larangan. Nyimas Layang Kingkin yang saya
ketahui sudah bertunangan dengan Raden Banyak Angga.
Mengapa sekarang hendak dipersunting Raja?"
"Ya, Sang Prabu telah melanggar aturan moral. Kalau
hal ini berlangsung, hanya akan menjadi aib bagi
Pajajaran!" kata lagi yang lainnya.
"Turunkan Raja!" kata Pangeran Jayaperbangsa keras.
Pertemuan ini hampir jadi hiruk-pikuk karena adanya
silang pendapat. Bukan terjadi pro dan kontra menilai
tindakan dan perbuatan Sang Prabu, melainkan terdapat
perbedaan dalam menimbang keputusan. Para bangsawan
muda cenderung ingin melakukan tindakan tegas dengan
mengganti Raja, sedangkan bangsawan tua lebih memilih
cara-cara bijaksana. Pangeran Yogascitra berujar, bahwa pendapat Purohita
Ragasuci benar, kebijaksanaan Raja banyak dipengaruhi
oleh saran dan gagasan para pembantu dekatnya. Kalau
para pembanru Raja di istana sanggup berbuat jujur dan
mendorong Raja dalam memberikan titah dan keputusan
demi kepentingan negara dan rakyat, maka Raja pun akan
terpengaruh baik. "Berupaya mengganti Raja sama dengan pemberontakan.
Adalah pantang bagi bangsawan tulen melakukan
pemberontakan, sebab itu adalah perbuatan pengkhianatan
yang amat hina!" kata Pangeran Yogascitra.
"Tapi pengabdian saya selama ini bukan kepada Raja,
melainkan kepada Pajajaran. Kalau saya tak setuju dengan
cara kepemimpinan Raja yang satu bukan berarti berkhianat
terhadap bangsa dan negara!" cetus bangsawan muda
lainnya. "Kita juga sama. Saya pun hanya mengabdi kepada
Pajajaran. Tapi Raja adalah pilihan Hyang (Yang Maha
Kuasa). Hanya keputusan Hyang yang sanggup
menurunkan atau mengangkat Raja. Kendati kita berusaha
menyingkirkan Raja, kalau Hyang tak berkenan maka
kedudukan Raja akan selalu kuat," kata Purohita Ragasuci.
"Saya sebagi pendeta istana tidak menganjurkan kalian
menggeserkan kedudukan Raja. Kita semua tahu, kemelut
berkepanjangan ini, di samping kita ditekan oleh kekuatan
negara baru, juga karena kelemahan Raja dalam memilih
keputusan. Raja sedang sakit. Dan yang sakit bukan
dijatuhkan, melainkan disembuhkan. Para bangsawan yang
benar-benar setia tanpa pamrih pribadilah yang akan
menjadi pengobat orang sakit," kata orang tua bijaksana ini.
Para bangsawan muda agak sedikit reda mendapatkan
pandangan dari Purohita, Tapi sesudah itu hampir semua
hadirin mendesak agar secepat mungkin berupaya
"mengobati" sakitnya Sang Prabu. Butir-butir pendapat
yang paling keras yang dituntut oleh para bangsawan muda
beserta para ksatria Pakuan dalam upaya mengubah
keadaan adalah pertama membendung pengaruh para
pejabat yang terlalu banyak berpikir untuk kepentingan
pribadi dan yang kedua mencegah Raja melakukan
tindakan yang bisa dikategorikan sebagai melanggar aturan
moral. "Kita semua harus sama-sama berusaha mencegah
perkawinan Sang Prabu dengan wanita larangan, Nyimas
Layang Kingkin termasuk wanita larangan dan ditabukan
bagi Raja untuk mengawininya, sebab putri KI Bagus Seta
itu sedianya sudah dipertunangkan dengan Raden Banyak
Angga," kata Pangeran Jaya Perbangsa.
"Purohita bersama Pangeran Yogascitra sebagai calon
penasihat Raja harus segera menghadap Raja untuk
mengemukakan hasil pertemuan ini," kata yang lainnya.
Mendengar usulan ini, Pangeran Yogascitra menunduk
dan menghela napas. "Sungguh berat, terutama mengenai
urusan perjodohan, sebab sedikitnya akan melibatkan
keluarga kami. Bila Sang Prabu salah tanggap, bisa
diartikan usulan ini sebagai perjuangan pribadi fihak
keluarga kami dalam upaya mempertahankan hak, sebab
memang benar, pertunangan itu, kami masih memiliki hak,
kami tak pernah memutuskan, sebab fihak Bagus Seta yang
secara sefihak memutuskan pertunangan ?" kata Pangeran
Yogascitra sedikit mengeluh.
Ginggi melirik dengan sudut matanya, nampak Banyak
Angga tertunduk dengan wajah muram.
"Kita semua berbicara atas nama kepentingan Pajajaran,"


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pangeran Sutaarga bicara.
"Ya " saya mengerti dan akan saya coba kerjakan,"
sahut Pangeran Yogascitra pendek tapi membuat semua
orang lega. Dan akhirnya pertemuan pun selesailah. Ginggi bisa
melihat adanya rasa puas pada semua orang, terutama
setelah mendapatkan kenyataan bahwa Pangeran
Yogascitra dan Purohita Ragasuci bersedia menjadi juru
bicara mereka dalam mengajukan hasil pertemuan ini pada
Raja. (O-anikz-O) Sakit Hati Ki Bagus Seta Malam itu, malam ketiga bagi Ginggi tinggal di puri
Yogascitra. Selama itu pikirannya bergalau kacau. Apa
sebenarnya tujuannya tinggal di sini, dia sendiri pun tak
tahu. Bila dia masih memikirkan "tugas" yang dibebankan
Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta, sepertinya dia bisa
mentaati mereka, yaitu berhasil mengenyahkan Suji
Angkara kendati bukan dia yang bunuh. Sepertinya Ginggi
pun bisa menyusup ke puri Yogascitra bagaikan apa yang
diharap Ki Banaspati. Padahal dia bisa masuk bahkan tibatiba dianggap pahlawan oleh keluarga Yogascitra, segalanya
hanya serba kebetulan saja. Ginggi dianggap berharga dan
memiliki jasa oleh keluarga itu karena dianggap telah
berhasil menjauhkan aib yang hampir menimpa Nyimas
Banyak Inten. Padahal dia mengagalkan niat jahat Suji
Angkara lebih condong membela kepentingan dirinya
sendiri ketimbang untuk kepentingan keluarga Pangeran
Yogascitra. Barangkali pengalaman pahit kembali menimpa dirinya
dalam urusan cinta-kasih. Dulu Ginggi merasa mencintai
Nyi Santimi. Tapi kenyataan membuktikan, gadis dari Desa
Cae itu telah ditunangkan pada orang lain. Dan Ginggi
berlaku nekad. Hanya karena cintanya ingin terpuaskan, dia
berani mati melakukan perbuatan buruk, bercinta dengan
Nyi Santimi secara gelap.
Sekarang rasa cintanya beralih kepada seorang putri
bangsawan. Dan gilanya lagi, tak tanggung-tanggung mesti
bersaing dengan orang-orang yang kedudukan serta
derajatnya lebih tinggi. Siapa yang tak berani mati bersaing
memperebutkan cinta dengan seorang raja" Beranikah dia
melawan raja" Jangankan harus berhadapan dengan orang
yang derajatnya demikian tinggi, sekadar melawan cintanya
Suji Angkara saja, dia sudah tak mampu. Kalau belakangan
Suji Angkara bisa dia kalahkan, itu bukan dengan cintanya,
melainkan karena dicabut secara paksa. Secara tak langsung
Ginggi telah memisahkan cinta mereka, ya cinta antara
Nyimas Banyak Inten dengan Suji Angkara! Boleh saja
Ginggi bilang bahwa Suji Angkara orang jahat, manusia
cabul, pengkhianat licik dan lain sebagainya. Tapi urusan
cinta tak pernah dipertalikan dengan keburukan atau pun
kebaikan. Asalkan kedua belah fihak saling merasakan
cocok, maka cinta akan berlaku.
Nyi Santimi begitu mencintainya, sehingga bersamanya
mau saja melakukan sebagaimana layaknya suami-istri. Nyi
Santimi tak pernah menilai, apakah Ginggi laki-laki baik
atau sebaliknya. Kalu dia seorang laki-laki baik, mengapa
serampangan mengajak hubungan badan. Kalau Nyi
Santimi berpikiran jernih, bisa saja dia menilai Ginggi lelaki
cabul dan hidung belang, sebab seorang lelaki yang mudah
mengajak kencan begitu saja, tak mungkin hanya
melakukan pada satu wanita. Tapi karena Nyi Santimi telah
dibutakan oleh cinta, dia tak punya waktu menilai Ginggi.
Apa yang dilakukan pemuda itu serasa wajar-wajar saja
bagi seorang gadis yang lagi dimabuk asmara.
Begitu pun rupanya yang dirasakan Nyimas Banyak
Inten. Dia tidak pernah menilai keberadaan Suji Angkara.
Yang dilihatnya, dia adalah pemuda tampan, ramah dan
baik budi. Sebab memang begitu yang ditampilkan pemuda
itu padanya. Perasaan cintanya bersemi, apalagi sesudah
pemuda itu jadi "pahlawan" mengusir penjahat yang
hendak memperkosa dirinya. Rasa cinta gadis itu karena
"pembelaan" Suji Angkara semakin menggebu. Nyimas
Banyak Inten bahkan tak melihat satu hal ganjil ketika Suji
Angkara coba melarikannya. Mungkin gadis itu berpikir,
karena cinta pemuda itu begitu menggebu terhadap dirinya,
sehingga dia nekad membawa gadis itu secara diam-diam
setelah tahu gadis itu akan dipersunting Raja. Ya, itu wajarwajar saja. Suji Angkara berjuang mendapatkan cintanya
kendati menantang bahaya dan Nyimas Banyak Inten
menyambut serta menghargai kebesaran cinta pemuda itu.
Inilah yang menyakitkan Ginggi. Pahit sekali rasanya.
Dia serasa berjuang menolong gadis itu dari peristiwa aib,
tapi si gadis merasa dijauhkan cintanya.
Itulah sebabnya, tiga hari tinggal di puri Yogascitra,
kendati dia dipuji dan dihormat oleh seisi puri, tidak sedikit
pun merasa bangga. Hatinya serasa beku, atau juga sakit,
apalagi setelah kejadian di Pulo Parakan Baranangsiang tiga
malam lalu, Nyimas Banyak Inten tidak pernah keluar dari
purinya. Hanya para dayang saja yang mengabarkan bahwa
gadis bangsawan itu tengah menderita sakit.
(O-ani-kz-O) Malam itu Ginggi tidur di sebuah bangunan terpisah.
Bukan lagi sebuah gudang seperti di puri Bagus Seta, atau
sebuah kamar sempit di sudut istal kuda ketika berada di
puri Suji Angkara, melainkan tinggal di sebuah bangunan
yang cukup indah dan nyaman. Banyak bunga dipasang di
sudut kamar tidurnya dan menyebarkan bau semerbak. Di
sudut dekat pembaringan, selain dipasang penerangan dari
lampu minyak kelapa, juga ada tempat menyimpan buahbuahan. Banyak jenis buah-buahan di sana, dari mulai buah
rambutan hingga mangga, dari buah dukuh hingga sarikaya.
Ginggi tinggal mengambilnya saja bila mau.
Seharusnya Ginggi berbahagia, sebab orang lain akan
amat mendambakan kedudukan seperti ini. Menjadi ksatria
yang bekerja di sebuah puri, siapa tak mau" Sekali pun
kelak pekerjaannya adalah dalam bidang keamanan, tapi
dia berada beberapa tingkat di atas jagabaya, atau masih
lebih atas lagi dari sekadar prajurit. Kalau bekerja dalam
bidang kemiliteran, maka dia akan jadi perwira. Kalau
kesetiaan terhadap Raja sudah diperlihatkan, maka akan
sangat mudah diangkat ke dalam seribu pasukaan pengawal
raja, sebuah pasukan elit yang sejak zaman Sri Baduga
Maharaja, bahkan sejak zaman Prabu Wangi yang gugur di
Bubat semasa Kerajaan Sunda hampir 200 tahun silam
dipertahankan keberadaannya.
Kepandaian tinggi Ginggi sudah punya, tinggal
melengkapinya dengan ilmu strategi kemiliteran saja untuk
bisa memasuki jabatan perwira kerajaan.
Ginggi tinggal menunggu hari baik saja, kapan dia akan
dilantik di kuil agung sebagai ksatria. Barangkali kelak dia
akan bergelar bangsawan juga dan orang akan menyapanya
sebagai raden atau juragan, sebuah gelar kebanggaan bagi
orang-orang Pakuan. Tapi aneh sekali, Ginggi tak merasakan satu kebanggaan.
Pangkat dan jabatan seperti tak membuatnya bergairah. Dia
malah sedih dengan segalanya. Untuk apa semua ini" Lalu,
apa pula sebenarnya tujuan hidupnya"
Ginggi jadi teringat lagi pada Ki Darma. Ginggi
mengingat-ingat lagi omongan Ki Darma. Sudah benarkah
dia kini bila dipertalikan dengan amanat Ki Darma"
"Kau belalah rakyat dari kesengsaraannya," kata-kata Ki
Darma ini selalu terngiang-ngiang di telinganya. Mudah
diucapkan sulit dikerjakan. Ki Banaspati benar, membela
rakyat jangan berupa satuan-satuan kecil sebab tak mungkin
berarti. Tapi buatlah sebuah gerakan yang bisa
mengakibatkan perubahan tatanan. Seperti apa gerakan itu"
Seperti yang kini dikerjakan oleh Ki Banaspatikah"
Ginggi menggelengkan kepala. Dia tak pernah faham
apa yang dikerjakan Ki Banaspati. Dalam melaksanakan
perjuangannya, murid Ki Darma ini selalu menggunakan
berbagai cara, termasuk pula mengorbankan rakyat sendiri
yang sebetulnya tengah dibelanya seperti penafsirannya.
Berupaya membentuk pasukan gelap yang tugasnya di
antaranya menjegal dan merampok iring-iringan seba
(pajak) adalah sesuatu yang Ginggi anggap ganjil. Begitu
pun tindakan Ki Bagus Seta yang dalam melaksanakan
amanat Ki Darma dia menyelundup menjadi pejabat di
Pakuan tapi melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
ganjil bila dihubungkan dengan amat Ki Darma. Ki Darma
mengeluh akan kebijaksanaan Raja yang memberati rakyat
dengan pajak tinggi. Tapi belakangan Ginggi mendapatkan
kenyataan, sebenarnya kebijaksanaan pajak tinggi yang
menjadi titah Raja bermula dari gagasan Ki Bagus Seta
sebagai pejabat muhara, Memang Ki Bagus Seta ada
menerangkan, bahwa itu merupakan taktik agar dirinya
dipercaya bekerja di Pakuan.
Katanya untuk menanamkan pengaruh, pertama kali
harus berusaha menanamkan kepercayaan terhadap Raja.
Raja yang berambisi mengembalikan kejayaan negara
seperti masa silam, membutuhkan banyak dana. Dana
harus diambil dari dalam negri sebab dari luar seperti
perdagangan antar pulau sudah tak mungkin dilakukan
sesudah semua pelabuhan milik Pajajaran direbut Banten
dan Cirebon. "Raja yang sudah punya dasar keperluan seperti itu,
kalau disodori gagasan yang sejalan dengan jalan
pikirannya, maka akan segera menyambut baik dan kita
akan dipercaya sebagai pembantu yang tahu memikirkan
kebutuhan. Itulah cara untuk menanamkan pengaruh," kata
Ki Bagus Seta. Katanya bila pengaruh sudah mulai kokoh
menguasai sendi kehidupan di pemerintahan, maka
selanjutnya akan sangat mudah untuk menyusun tatanan
baru. "Pada saat itulah sebenarnya perjuangan sebenarnya
kita lakukan. Kita rombak negara, campakkan yang buruk
dan yang tak cocok lalu kita tegakkan sendi-sendi yang
terbaik yang bisa membuat rakyat sejahtera!" kata Ki Bagus
Seta ketika itu. Sudah benarkah gaya perjuangan yang dilakukan Ki
Bagus Seta dan kelompoknya" Entahlah. Yang jelas, dalam
upaya menjaga nama baik negara juga banyak
dikemukakan oleh fihak lain dengan cara yang berbeda.
Purohita Ragasuci dan Pangeran Yogascitra pun
sebenarnya merasakan bahwa tatanan negara sedang tak
sehat dan perlu perbaikan. Tapi cara memperbaiki keadaan
yang mereka inginkan tidak melalui cara-cara perombakan.
Mereka bilang tak perlu merombak, apalagi merusak.
"Raja belum melakukan tapa di nagara dengan baik.
Seorang Raja harus teuas peureup leuleus usap (tegas tapi
punya rasa kasih sayang). Ini belum sempurna dilaksanakan
oleh Raja. Raja harus teuas peureup (tegas) saja sehingga
akibatnya hanya menyakiti orang yang ditegasi saja. Raja
juga mudah tergoda kehidupan lahiriah. Menyenangi
kekayaan dan mudah jatuh cinta pada wanita cantik. Ini
sebetulnya kurang sehat bagi kehidupan bernegara. Raja
sedang menderita sakit dan harus segera disembuhkan agar
bisa kembali memimpin dengan baik," kata lagi Purohita
Ragasuci. Ucapan-ucapan ini hanya menegaskan pada
semua orang bahwa dalam mengembalikan keberadaan
negara yang dibanggakan rakyat beserta seluruh isinya,
tidak perlu diadakan perombakan, tidak perlu menggusur
Raja dan tidak perlu melakukan pemberontakan.
"Pemberontakan adalah perbuatan hina bagi orang-orang
Pajajaran!" kata Pangeran Yogascitra ketika pertemuan di
purinya hari kemarin. Jelas banyak perbedaan dalam mempertahankan
keberadaan negara. Ginggi mau ikut ke mana, dia sendiri
pun tak tahu. Itulah sebabnya, baik ketika berada di puri Ki
Bagus Seta mau pun kini sesudah berada di puri Yogascitra,
Ginggi merasa tidak betah, sebab semua percakapan dan
cara berpikir mereka tentang kehidupan bernegara, pemuda
ini tidak faham sama sekali.
Terlalu banyak yang dipikirkannya, sampai-sampai
Ginggi tak bisa tidur padahal kantuk sudah amat hebat
menyerangnya. Ketika dia hampir memejamkan mata karena rasa pedih
pada kelopaknya, pemuda itu malah mendengar suara
berkeresekan yang amat mencurigakan dirinya. Itu bukan
suara kaki kucing atau kelepak sayap burung malam, tapi
seperti benda yang lebih berat hingga di atas atap sirap.
Ginggi semakin menajamkan telinganya menggunakan
ilmu dengar Hiliwir Sumping, Bunyi keresekan itu semakin
meyakinkan dirinya bahwa itu langkah kaki seseorang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Siapakah dia" Untuk
meyakinkannya, Ginggi segera meniup pelita sehingga
ruangan menjadi gelap. Rupanya orang yang berjalan di
atas atap pun merasakan bahwa lampu tiba-tiba gelap,
sehingga Ginggi segera mendengar ada gerakan angin yang
menandakan orang itu meloncat turun dari atas atap.
Ginggi tak membuang waktu, segera membuka jendela
dan loncat lewat lubang jendela. Bulan sudah bersinar
kurang dari setengahnya tapi cukup terang untuk melihat
gerakan orang yang melarikan diri dari tempat itu. Ginggi
segera mengejarnya. Ternyata orang misterius itu berlari
menuju tepi benteng. Ginggi pun terus membuntutinya.
Ketika bayangan itu meloncati benteng, Ginggi pun segera
meloncat mengejar. Kini terjadi kejar-mengejar di antara
keduanya. Ginggi belum tahu, siapa bayangan misterius itu. Hanya
yang membikin pemuda itu heran, bayangan itu seperti
membimbingnya ke suatu tempat.
Ginggi terus mengikutinya. Bayangan itu telah
menyebrangi Sungai Cipakancilan. Berlari cepat lagi
menuju arah timur. Dan nampaknya orang itu
membawanya ke tepi Sungai Cihaliwung. Sesudah tiba di
tepiannya, dia berlari menyusuri sungai, menuju arah utara.
Dia melewati Leuwi Kamala Wijaya, masih terus ke utara.
Tibalah di tempat tambatan perahu yang menyambungkan
tepian itu dengan gugusan delta Pulo Parakan
Baranangsiang. Bayangan itu tidak menaiki perahu,


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melainkan meloncat ke permukaan sungai dan berlari
menggunakan ilmu Napak Sancang, yaitu ilmu
meringankan tubuh untuk berlari cepat di atas permukaan
air. Ginggi berhenti sejenak di tepi sungai, pertama merasa
heran mengapa orang misterius itu membawanya ke tempat
itu. Yang kedua, dia juga heran, sebab sejak tadi sebenarnya
ada orang lain berlari di belakangnya. Siapa pula orang di
belakangnya, pemuda itu pun sama tak mengenalinya.
Namun yang jelas, orang yang di belakang memang
berupaya mengejar dirinya. Adakah hubungan orang yang
dikejarnya dengan orang yang kini berada di belakangnya"
"Biar aku buktikan nanti ?" gumamnya seorang diri.
Sesudah berpikir begitu, Ginggi segera melompat ke
tengah sungai dan berlari Napak Sancang menuju gugusan
delta Pulo Parakan Baranangsiang.
Ginggi mendarat di gugusan delta tengah Sungai
Cihaliwung dan segera mendapatkan seorang lelaki berdiri
bertolak pinggang sambil sepasang kaki terpentang lebar.
Laki-laki itu memang sengaja menantinya di
depanpesanggrahan, "Ki Bagus Seta?" tanya Ginggi heran. Sebagai
jawabannya, Ki Bagus Seta mendengus.
"Ada apa malam-malam mengajakku ke sini?" tanya
Ginggi lagi. "Aku ingin melihat di mana tempat anakku dibunuh ?"
gumam Ki Bagus Seta dengan suara dingin. Kain penutup
pinggangnya nampak berkibar-kibar karena tertiup angin
malam. "Bukan aku yang bunuh ?" kata Ginggi sedikit terkesiap
dengan ucapan Ki Bagus Seta.
"Ya aku tahu. Orang-orang puri Yogascitra yang
melakukannya. Tapi mereka tak berarti apa-apa bagiku.
Kalau aku mau, malam ini juga bisa kubantai semuanya
sampai habis. Yang aku perlukan hanya engkau," kata Ki
Bagus Seta lagi dengan suara berdesis.
"Aku tak membunuh putramu ?" kata Ginggi mundur
setindak. "Tapi kau yang memberi peluang sehingga memudahkan
orang-orang Yogascitra membantai anakku. Kau
lumpuhkan anakku sehingga tak berdaya dan menjadi
bulan-bulanan mereka. Kalau kau tak memukul Suji
Angkara, setidaknya anakku masih bisa melawan atau
bahkan menyelamatkan diri," kata lagi Ki Bagus Seta.
Serasa lumpuh sendi-sendi tulang Ginggi disudutkan
seperti ini. Kalau dipikir, memang benar, Suji Angkara
begitu saja dibantai oleh para prajurit dengan amat
mudahnya karena sudah terlebih dahulu dibuat lumpuh
olehnya dan tak sanggup mengadakan perlawanan lagi.
Dengan kata lain, yang membunuh pemuda itu sebetulnya
dirinyalah. Ki Bagus Seta mungkin benar tak begitu suka pada anak
tirinya karena selalu bercuriga pada kegiatannya. Tapi
sebagai orang tua, tentu dia merasa sakit hati melihat anak
tirinya mati secara mengenaskan. Ginggi memang melihat
jasad Suji Angkara. Dia mati dengan tubuh hampir hancur
karena banyak tusukan benda tajam bersarang.
Ginggi hanya menunduk, sebab dia ikut merasakan
kehancuran hati seorang ayah ditinggal mati anaknya,
kendati sekadar anak tiri. Ya, mengapa tidak begitu, sebab
Suji Angkara pernah menjadi tangan kanannya dalam
mengawasi kegiatan pengiriman seba di wilayah timur.
"Harus kau akui, engkaulah pembunuh anakku!" kata
lagi Ki Bagus Seta. "Bisa dikatakan, memang begitu ?" gumam Ginggi
masih menunduk. "Bagus kalau kau sudah akui!" bentak Ki Bagus Seta
sambil menghambur ke depan dengan gerakan cepat sekali.
Barangkali benar Ginggi mengaku ikut terlibat dalam
pembunuhan. Tapi untuk disalahkan begitu saja dia tak
terima. Apalagi sekarang harus mandah menerima
hukuman. Maka ketika Ki Bagus Seta menghambur melancarkan
pukulan deras, Ginggi segera menghindar ke samping
sehingga pukulan Ki Bagus Seta mengenai tempat kosong.
Ginggi sudah pernah berhadapan dengan Ki Bagus Seta
di ruangan paseban purinya. Dalam pertandingan di
paseban keduanya saling melancarkan angin pukulan dan
kedua-duanya terlontar menabrak dinding di belakangnya.
Ginggi tak tahu, sejauh mana kekuatan tenaga dalam yang
dimiliki Ki Bagus Seta. Apakah pukulan yang dilontarkan
Ki Bagus Seta waktu itu dilakukan sepenuhnya atau tidak.
Ginggi sendiri waktu itu hanya hanya melontarkan
tiga-perempat bagian saja sebab berkhawatir pukulan itu
mencelakakan baik pada dirinya mau pun pada lawan.
Barangkali sekarang akan diketahui, siapa dari kedua
murid Ki Darma yang memiliki angin pukulan paling baik.
Dan adu tenaga dalam nampaknya akan segera
dilakukan, sebab Ki Bagus Seta segera mendoyongkan
tubuhnya ke depan seperti kodok hendak meloncat. Hanya
bedanya, sepasang tangannya dibuka lebar dan siap sedia
mendorong ke depan. (O-anikz-O) Jilid 21 Ginggi pun terpaksa harus melayaninya. Tidak sekadar
bertahan, mungkin akan sama melakukan serangan juga.
Kalau hanya bertahan, Ginggi takut tak akan kuat,
mengingat Ki Bagus Seta akan melakukan serangan
sungguh-sungguh karena rasa ingin membalas dendam atas
kematian anak tirinya. Bagaimana agar tenaga dalam yang keluar dari tubuhnya
semakin deras, Ginggi mengingat-ingat apa yang pernah
dikatakan Ki Rangga Guna.
Bila diterjemahkan melalui bahasa ilmiah masa kini,
maka Ki Rangga Guna mengatakan bahwa pengembangan
tenaga dalam merupakan pelampiasan penggunaan sistem
sumber daya tubuh (biolistrik). Di dalam tubuh manusia
sebenarnya terdapat satu triliyun sel. Antara satu sel dengan
sel yang lainnya ada suatu gaya yang memancar keluar
(dalam ilmu bela diri masa kini yang diteliti secara ilmiah
rasional pancaran tenaga ini disebut sebagai gaya
elektromagnetik-pen). Bagi orang biasa yang tak pernah
melatihnya, pancaran gaya ini keluar tidak teratur sehingga
kekuatannya tidak terbukti secara khas. Oleh orang yang
gemar melatih diri, pancaran gaya ini bisa dihimpun
menjadi satu dan membentuk satu kekuatan yang maha
hebat. Apakah orang sanggup menghimpun sebanyakbanyaknya dari jutaan sel energi ini, bergantung sejauh
mana melakukan latihan. Ginggi tak pernah mengaku seorang yang ulet. Apalagi
ketika berada di bawah bimbingan Ki Darma. Orang itu
selalu memaksa agar Ginggi berlatih keras. Tapi bila Ginggi
sudah ogah-ogahan, Ki Darma selalu membiarkannya
seenak perut Ginggi. Namun kendati begitu, belakangan dia
sadar akan perlunya ilmu kedigjayaan setelah berhadapan
dengan Ki Rangga Wisesa. Kalau saja tidak ditolong Ki
Rangga Guna, barangkali nyawanya sudah lama melayang.
Ketika sudah bersama Ki Rangga Guna saja Ginggi mau
berlatih keras. Di samping memperdalam kembali apa-apa
yang sudah diberikan oleh Ki Darma, Ginggi pun
sungguh-sungguh menerima gemblengan ilmu-ilmu aneh Ki
Rangga Guna yang katanya didapat dari negri sebrang.
Ketika Ki Bagus Seta mendorong sepasang telapak
tangannya ke depan, terasa ada hawa panas menerjang ke
arah dada Ginggi. Pemuda itu pun segera menghimpun
tenaganya, jauh lebih besar ketika tenaga yang dipancarkan
di ruang paseban itu. Dan dua tenaga besar berhawa panas
beradu keras. Akibatnya terdengar ledakan keras yang
diikuti kilatan-kilatan api. Tubuh Ginggi limbung ke
belakang dengan dada terasa sesak dan berat. Matanya pun
terasa berkunang-kunang, sehingga bila ada serangan
susulan, sudah tak mungkin berkelit.
Tapi Ginggi heran, sehingga perlu membuka matanya,
mengapa serangan susulan tak pernah dilakukan. Dan di
keremangan cahaya bulan pemuda itu melihat tubuh Ki
Bagus Seta telentang di tangga bangunan pasanggrahan,
hampir enam depa darinya.
Ginggi terkejut karena tubuh itu seperti tak bergerak.
Sambil tubuh sedikit limbung, Ginggi mencoba mendekati
tubuh Ki Bagus Seta yang telentang dengan kaki mengarah
padanya. Ginggi khawatir kalau-kalau orang tua setengah
baya itu mati karena benturan tenaga dalam yang saling
dikerahkan dengan kekuatan penuh. Kalau benar demikian,
dia akan berdosa telah kembali membunuh orang.
Namun satu depa sebelum dia sampai ke tubuh telentang
itu, secara kilat Ki Bagus Seta bangun sambil membuat
lentingan tubuhnya. Sedangkan sepasang tangannya
mengembang melakukan pukulan ke arah dada pemuda itu.
Ginggi tidak menduga sehingga tidak punya kesempatan
untuk menangkisnya. Pukulan itu langsung menuju
dadanya. Maka karena tak mungkin ditangkis atau dikelit,
pemuda itu membusungkan dadanya, memusatkan inti
tenaga di seputar dadanya sehingga jutaan
selelektromagnetik berkumpul di sana. Sel-sel yang
memiliki daya tolak ini kalau pertahanannya betul-betul
sempurna, akan mendatangkan daya yang kekuatannya
sebanding dengan tenaga yang datangnya dari luar. Kian
besar tenaga yang datang menyerang maka akan kuat pula
daya lontarannya. Meneliti angin pukulan yang dilancarkan Ki Bagus Seta
sepertinya tidak mengandung kekuatan penuh. Mungkin Ki
Bagus Seta ragu-ragu melontarkannya, mungkin pula
karena dia sudah luka dalam ketika terjadi adu-tenaga tadi.
Ginggi lega hatinya, sebab dengan keterbatasan tenaga itu,
akan terbatas pula akibatnya.
Pukulan sepasang tangan Ki Bagus Seta menerobos
masuk ke dada bidang Ginggi. Duk! Pukulan itu menerpa
keras sehingga tubuh pemuda itu terlontar ke belakang.
Tapi bersamaan dengan itu terdengar pula jeritan keras
keluar dari mulut Ki Bagus Seta. Tubuh orang tua itu
terpental jauh sekali, berguling-guling masuk ke rimbunan
semak-belukar. "Hebat!" kata-kata ini keluar dari mulut Ki Banaspati
yang tahu-tahu sudah berada di sana. Tapi Ginggi yang
masih telentang karena pukulan tadi, tak begitu heran
melihat Ki Banaspati di sana secara tiba-tiba. Sejak dari tadi
sebenarnya dia telah dikuntit orang. Baru belakangan ini
Ginggi tahu bahwa yang menguntitnya adalah Ki
Banaspati. "Kau hebat Ginggi! Sudah lebih dari pantas untuk
menjadi pembantu utamaku kelak!" katanya berdiri
menatap pemuda itu bangun. Dengan seluruh tubuh terasa
sakit-sakit dan dada sesak, Ginggi hanya menatap Ki
Banaspati dengan heran. Heran, mengapa orang ini malah
memuji dirinya ketimbang cepat-cepat menolong Ki Bagus
Seta yang Ginggi duga menderita luka berat karena
peristiwa barusan. "Coba kau periksa Ki Bagus Seta ?" kata Ginggi dengan
tarikan napas memburu karena sesak.
"Bagus Seta hatinya masih dipengaruhi urusan pribadi.
Tidak cocok untuk melakukan perjuangan besar seperti
yang tengah kita lakukan," gumam Ki Banasapti datar.
"Tapi dia perlu kita tolong ?" kata Ginggi.
"Mengapa kau membunuhnya kalau harus ditolong?"
tanya Ki Banaspati enteng saja.
"Aku tak membunuhnya. Dia yang menyerangku. Tapi
aku tak mau bunuh dia ?" kata Ginggi dengan dada masih
terasa sesak. Ginggi kemudian terhuyung-huyung menuju
semak-semak untuk mencari tubuh Ki Bagus Seta. Tapi
sebelum Ginggi mencarinya, Ki Bagus Seta nampak keluar
dari semak dan bergerak menggunakan gerakan tangan.
Ginggi menarik tubuh Ki Bagus Seta menjauhi semak.
Sesudah berhasil diangkat, Ki Bagus Seta disuruhnya bersila
untuk mengatur pernapasan. Ginggi juga menyeka darah
yang meleleh dari sudut bibir Ki Bagus Seta.
"Engkau hebat, anak muda?" gumam Ki Bagus Seta,
dikomentari oleh kekeh tawa Ki Banaspati.
"Engkau bodoh Bagus Seta. Sudah aku katakan,
bertempur dengan kawan sendiri hanya membuat rugi
tujuan kita!" kata Ki Banaspati.
Yang diomeli diam saja sebab perhatiannya tengah
terpusat dalam pengaturan napas.
"Anakku mati?" gumamnya kemudian.
"Memang sudah diputuskan. Suji Angkara harus mati
sebab hanya akan menghalangi perjuangan kita. Kalau kau
terganggu oleh urusan percintaan, anak itu sebetulnya
sudah akan melapor tentang kegiatan kita," kata Ki
Banaspati. "Tapi sayang sekali, seharusnya Ginggi bunuh
pemuda itu sesudah Suji Angkara membunuh Pangeran
Yogascitra. Sekarang Yogascitra masih hidup. Kau yang
harus bertugas membunuhnya, Ginggi?" lanjut pula Ki
Banaspati. Ginggi diam mematung. "Engkau amat berpeluang membunuh bangsawan itu
sebab kau sudah dipercaya penuh olehnya. Berita mengenai
engkau akan dilatik menjadi ksatria puri Yogascitra sudah
tersebar di Pakuan. itu amat baik!" kata Ki Banaspati lagi.
"Bagaimana kalau anak muda ini tak membunuh
Yogascitra bahkan menyebrang memihak mereka?" tanya
Ki Bagus Seta tiba-tiba. "Tidak mungkin sebab Ginggi sudah terlanjur
menyayangi Rangga Guna yang kita tawan. Kalau tak
dibebaskan, Ki Rangga Guna akan menjadi mayat begitu
saja. Kalau Ginggi tak mau menjalankan perintah kita,
artinya Ginggi telah biarkan Rangga Gunai mati. Bukan
oleh kita tapi oleh surat ini," kata Ki Banaspati sambil
membuka buntalan kecil yang sejak tadi diikatkannya pada
sabuk kainnya. Bungkusan itu dibuka. Di dalamnya ternyata ada satu
kotak surat dan ada satu kumpulan daun nipah. Ki


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Banaspati hanya membuka ikatan daun nipahnya saja.
"Apakah itu?" tanya Ginggi ingin tahu.
"Itulah surat yang ditulis sebelum Rangga Guna
tertangkap di Sagaraherang. Adakah surat itu untukmu?"
kata Ki Bagus Seta. "Begitu pentingkah surat itu untukku?" tanya Ginggi lagi
menyipitkaan sebelah matanya.
"Ya, penting sekali karena nyawamu ada di dalam sini,"
kata Ki Banaspati mengangkat lembaran daun nipah yang
diikat benang putih itu. "Bacakan, apa isinya!" kata Ginggi.
"Coba serahkan surat itu padanya, Banaspati!" kata Ki
Bagus Seta. "Percuma memperlihatkan surat itu secara langsung, dia
tak bisa baca-tulis!" kata Ki Banaspati.
(O-anikz-O) Lagi, Tugas Rahasia Ginggi sebetulnya ingin sekali membaca langsung, apa
isi surat yang katanya amat berkaitan erat dengan
nyawanya. Tapi dia ingin mempertahankan pendapat orang
lain bahwa dirinya tak bisa baca-tulis.
Dulu Ki Darma memang memerintahkan dirinya untuk
pura-pura tak mengenal tulisan, sebab suatu hari sifat
kepura-puraan itu akan berguna.
"Ini, aku bacakan!" kata Ki Banaspati membeberkan
susunan daun nipah, mendekatkannya pada kedua matanya
karena cahaya bulan sepotong samar-samar saja cahayanya.
"Teruskan perjuanganmu sesuai perintah Ki Darma!"
kata Ki Banaspati membaca surat daun nipah. Kemudian
dibacanya pula penandatangan surat itu, sebagai Ki Rangga
Guna tertuju kepada Ginggi.
"Surat itu tak punya arti khusus dan tak membahayakan
diriku," kata Ginggi. Ki Banaspati terkekeh-kekeh.
"Kalau surat ini sampai ke tangan orang-orang Pakuan,
kau akan dikejar dan diburu sebab punya kaitan erat dengan
Ki Darma!" katanya. "Aku juga bisa katakan bahwa kalian punya hubungan
erat," jawab Ginggi.
"Hahaha! Hanya engkau yang bisa dibuktikan. Kami
bertahun-tahun sudah berada di sini dan tak ada orang yang
tahu. Ki Darma sudah mati, kemudian Rangga Guna pun
nyawanya ada di tangan kami dan kata-katamu tak akan
dipercaya orang," Ki Banaspati tertawa lagi.
Ginggi tetap terpaku dan hatinya membenarkan
kesulitan ini, bila surat dari Ki Rangga Guna disampaikan
kepada orang-orang Pakuan.
"Untuk keselamatanmu di Pakuan, maka selamanya kau
terikat padaku. Kau laksanakan perintah-perintahku dan
kau bisa hidup dengan aman?" kata Ki Banaspati lagi.
Kemudian dia menoleh pada Ki Bagus Seta.
"Bagus Seta, kini kendali aku yang pegang, sebab
ternyata kau bodoh dan beberapa kali mengalami kegagalan
saja!" katanya. Ki Bagus Seta berdiri tapi dengan tubuh terbungkuk.
Mungkin karena luka di dadanya masih terasa sakit.
"Tidak. Aku yang pegang kendali, sebab kau terlalu
kasar, Banaspati!" kata Ki Bagus Seta.
"Di sini kekuasaan dan pengaruhmu sudah lumpuh.
Bangsawan Soka yang kau banggakan dan kau gunakan
untuk tempat berlindung sudah tak berguna lagi. Sedangkan
selama ini kau di sini hanya mengandalkan orang itu!"
"Kita semua memang mengandalkan Bangsawan Soka!"
"Tidak! Aku mengandalkan diriku sendiri!" potong Ki
Banaspati. "Kekuatanmu apa sehingga berani berkata begitu?" tanya
Ki Bagus Seta. Ditanya seperti itu, Ki Banaspati malah
tertawa terkekeh-kekeh kemudian berubah menjadi tawa
mengakak ketika melihat Ki Bagus Seta mengerutkan alis.
"Ginggi, kau terangkanlah apa kekuatanku sesungguhnya.
Jangan katakan aku selama ini berlindung pada pengaruh
pejabat tinggi bernama Ki Bagus Seta!" kata Ki Banaspati
sambil menoleh pada Ginggi. Ki Bagus Seta sama menoleh
pada pemuda itu dengan wajah amat heran. "Kalian punya
persekongkolan lain selain denganku?" tanya Ki Bagus seta.
Ginggi tak menjawab sesuatu.
Hahaha ! Katakanlah apa yang kau ketahui, Ginggi!"
kata Ki Banaspati dan sepertinya mencoba memanasmanasi rasa penasaran Ki Bagus Seta, menyebabkan dia
nampak marah sekali sambil menatap ke kiri dan ke kanan.
"Kau katakanlah, anak muda, jangan permainkan aku
pula!" teriak Ki Bagus Seta pada Ginggi.
"Ki Banaspati telah menyusun pasukan di wilayah
timur!" kata Ginggi.
"Aku sudah tahu itu. Pasukan di wilayah timur sengaja
dibentuk untuk dipakai melawan Raja. Pasukan itu akan
dipimpin Kandagalante Sunda Sembawa yang berambisi
menggantikan Raja!" kata Ki Bagus Seta.
"Ya, lanjutkan pengetahuanmu itu sampai mana?" tanya
Ki Banaspati masih terkekeh-kekeh. "Sunda Sembawa
hanya dijadikan penggerak saja, sebab kau Banaspati yang
sebetulnya memegang kendali. Kemudian di Pakuan, aku
yang memegang kendali dengan menyulut Bangsawan Soka
untuk berambisi menjadi penasihat Raja?"
"Ya, engkau di Pakuan punya satu orang saja yang
pengaruhnya sudah buruk. Sedangkan aku di luar Pakuan
punya ribuan pasukan yang kesemuanya ada di bawah
pengaruhku!" potong Ki Banaspati.
"Apa maksudmu dengan bicara seperti itu?" tanya Ki
Bagus Seta menatap tajam.
"Maksudku, akulah yang paling kuat di Pajajaran ini dan
bukan engkau!" kata Ki Banaspati.
"Terangkan maksudmu yang sebenarnya!" desis Ki
Bagus Seta. "Maksudku yang sebenarnya, bahwa akulah kelak yang
akan menjadi raja di Pakuan!" kata Ki Banaspati mantap.
Tubuh Ki Bagus Seta seperti tersentak ke belakang ketika
mendengar pernyataan ini.
Ginggi merasa heran menyaksikannya. Bukan heran oleh
ambisi Ki Banaspati sebab sejak dulu dia telah tahu. Tapi
pemuda itu amat heran mengapa Ki Bagus Seta terlihat
kagetnya mendengar perkataan Ki Banaspati seperti itu.
Apakah sebelumnya memang tidak tahu akan cita-cita Ki
Banaspati seperti itu"
"Engkau"engkau mengkhianati aku, Banaspati! Bukan
engkau, akulah kelak yang harus jadi raja!" desis Ki Bagus
Seta. "Hahaha! memang benar para wiku istana kerapkali
berbicara bahwa yang jadi raja teu mudu pinter tapi
mudung arti jeung kaharti (tidak harus pintar tapi harus
mengerti dan harus dimengerti). Namun engkau selain
bodoh juga tak mengerti dan sulit dimengerti orang lain.
Kau tak cocok jadi raja karena bodoh. Kau juga tak cocok
karena tak pernah mengerti keadaan. Gerakanmu yang
bodoh hanya membuat orang bercuriga saja pada kegiatan
kita. Itulah sebabnya. Kau urungkanlah cita-citamu untuk
menjadi raja, sebab akulah yang lebih cocok menduduki
jabatan paling tinggi seperti itu!" kata Ki Banaspati.
Ginggi menyaksikan, betapa menggigilnya tubuh Ki
Bagus Seta setelah mendengar penjelasan seperti itu. Juga
pemuda itu sekaligus mulai mengetahui bahwa Ki Bagus
Seta pun punya ambisi sama untuk menjadi raja.
"Sudah tiga orang yang dirinya punya keinginan untuk
menjadi raja," gumam Ginggi tak sadar.
"Hahaha! Bukan hanya tiga orang, tapi empat orang
Ginggi. Sebab selain Sunda Sembawa, Bagus Seta dan aku,
Bangsawan Soka pun punya keinginan seperti!" kata Ki
Banaspati. "Bangsawan Soka keinginannya terbatas. Dia hanya
berjuang untuk jabatan penasihat saja!" potong Ki Bagus
Seta. "Bangsawan Soka tak setuju cara-cara kepemimpinan
Ratu Sakti. Dia juga suka mengejek kemampuan Raja yang
sekarang. Sedangkan dia orang angkuh. Mustahil dia ingin
jadi penasihat raja bodoh. Dia inginkan lebih dari itu. Kau
akan dimanfaatkan. Dia juga akan memanfaatkan aku
sambil sebelumnya mendorong Raja mengeluarkan
keputusan agar aku disetujui membangun kekuatan di
wilayah timur. Aku tahu maksud buruknya. Kekuatan yang
aku miliki kelak akan dia pinta untuk mendukung citacitanya! Hahaha! Tidak! Akal bulusnya sudah aku ketahui
seluruhnya dan aku tidak akan terkecoh!" kata Ki
Banaspati. "Engkau jangan serakah Banaspati. Akulah yang lebih
pantas menjadi raja sebab aku pulalah yang pertama kali
memasuki lingkungan istana. Kau tidak akan berarti apaapa tanpa bantuanku!" seru Ki Bagus Seta dengan suara
menggigil menahan kemarahan. Sedangkan Ki Banaspati
hanya tertawa-tawa saja dengan nada penuh ejekan. Ki
Bagus Seta semakin panas dengan sikap-sikap sombong Ki
Banaspati. Dia akan bergerak memburu ke depan, namun
sebentar kemudian jatuh terjerembab karena tubuhnya
limbung. "Hahaha! Jangan melawanku Bagus Seta. Tenagamu
habis dan tubuhmu luka dalam karena kau memaksa
berhadapaan dengan pembantu utamaku. Pilihlah, kau
hidup sejahtera di bawah kepemimpinanku, atau kau mati
malam ini juga!" kata Ki Banaspati dengan nada
sungguh-sungguh dan penuh ancaman.
Aneh sekali, mendengar ancaman ini, Ki Bagus Seta
langsung menjatuhkan dirinya seperti karung goni. Orang
yang sehari-harinya gagah dan angkuh itu, kini menangis
sesenggukan karena ancaman saudara seperguruannya.
"Kau pulanglah ke purimu dan tunggulah perintahperintahku. Pergerakan besar akan segera dimulai!" kata Ki
Banaspati. Ki Bagus Seta dalam keadaan berlutut menatap
tajam Ki Banaspati sambil berlinang airmata.
"Kau harus berpikir matang, Bagus Seta. Cita-cita kita
adalah melaksanakaan amanat Ki Darma dalam membela
kepentingan rakyat Pajajaran. Sekarang kau harus yakin,
akulah yang akan bisa memimpin Pakuan sehingga
kehidupan rakyat terjamin. Kalau kau membantuku, berarti
kau murid setia Ki Darma dan dosa-dosamu karena
memerintahkan pasukan perwira kerajaan menyerbu
Puncak Cakrabuana terampuni," kata Ki Banaspati.
Ki Bagus Seta menyeka airmatanya. Namun setelah itu
dia bangun berdiri dan berjalan terhuyung-huyung
Selir Raja 1 Siluman Ular Putih 15 Pengasuh Setan Si Kangkung Pendekar Lugu 4

Cari Blog Ini