Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 6
padepokan Kenangapun telah menjadi semakin dekat.
Tetapi kegelisahhannyapun rasa-rasanya menjadi semakin
menyala di dalam hatinya. Seolah-olah ia akan dihadapkan
pada suatu pertemuan yang akan dihadiri oleh Mahisa
Bungalan dan beberapa orang lain yang akan minta
pertanggungan jawab kepadanya.
"Akulah yang bodoh" katanya di dalam hati.
Anak muda itu menyesal bahwa ia sudah melakukan
kesalahan karena ketergesa-gasaannya. Ia kurang
mendalami sifat dan watak Mahisa Bungalan sehingga ita
telah tergelincir mengambil kesimpulan yang salah. Mahisa
Bungalan tidak mudah menjadi mata gelap dan kehilangan
nalar. Justru ia merendahkan dirinya sendiri di hadapan
orang yang batinnya tidak memiliki pengaruh apapun juga.
Dengan gelap, Gemak Werdi mencoba membuat
perhitungan. Tetapi rasa-rasanya tidak ada jalan keluar dari
persoalan yang sudah terlanjur dilontarkannya. Jika benarbenar
Ki Watu Kendeng berusaha menemui Ki Selabajra
dan menanyakan masalah Ken Padmi, maka perbuatanku
itu akan segera diketahuinya" berkata Gemak Werdi di
dalam hatinya. Demikian kegelisahan mencengkam jantungnya,
sehingga ia berdesis "Apakah aku akan berterus terang saja
kepada Ken Padmi aku sudah melakukan sesuatu atas
namanya, tetapi di luar pengetahuannya" Mungkin ia akan
marah kepadaku, tetapi tentu akan malu mencabut katakatanya,
bahwa ia tidak akan menerima Mahisa Bungalan
kapanpun anak muda itu akan datang"
Tetapi ia masih tetap ragu-ragu. "Jika Ken Padmi
kemudian justru mengatakannya kepada Ki Selabajra. maka
ia tentu akan sangat marah kepadaku" katanya di dalam
hati. Dalam pada itu, selagi ia merenungi keadaannya Gemak
Werdi telah dikejutkan oleh derap kaki kuda. Ketika ia
berpaling, dilihatnya dua orang penunggang kuda sedang
menyusulnya. "Ki Sanak" terdengar salah seorang dari kedua orang itu
memanggilnya. Dengan hati yang berdebar-debar Gemak Werdjpun
kemudian berhenti. Sejenak ia dirambati olah perasaan,
cemas melihat kedua orang yang menyusulnya itu. Namun
kemudian ia seolah-olah terbangun dari mimpinya dan
menyadari dirinya sendiri. Bahwa ia adalah Gemak Werdi.
Murid terbaik dari perguruan Kenanga.
Karena itu, maka iapun telah mengadakan dadanya
menunggu kedua orang yang menyusulnya itu.
Beberapa langkah di hadapannya Gemak Werdi, kedua
orang itu. Tetapi keduanya agaknya tidak menunjukkan
maksud yang kurang baik terhadapnya.
Salah seorang dari kedua itupun kemudian bertanya "Ki
Sanak. Apakah kau berasal dari padukuhan di ujung bulak
ini dan berdekatan degan padepokan Kenanga?"
Gemak Werdi mengerutkan keningnya. Meskipun kedua
orang itu nampaknya tidak bermaksud buruk terhadapnya,
tetapi pertanyaan itu menegangkan hatinya pula. Justru
karena kecurigaan yang timbul maka Gemak Werdipun
kemudian menjawab "Aku bukan dari padukuhan sebelah.
Tetapi aku orang padukuhan Kriyan, di seberang bulak
kecil di balik padukuhan itu. Tetapi tidak terlalu jauh dari
padepokan Kenanga" Orang-orang itu saling berpandangan sejenak, Kemudian
salah seorang dari mereka bertanya "Apakah kau pernah
mendengar peristiwa yang mengerikan yang terjadi di
padepokan Kenanga" "Ya, Saudara muda Ki Watu Kendeng telah terbunuh"
"Tepat, Berita itulah yang aku dengar. Apakah kau tahu
pasti, siapakah pembunuhnya" Apakah Ki Selabajra dari
padepokan Kenanga?" Gemak Werdi mengerutkan keningnya. Tetapi ia justru
bertanya "Menurut pendengaran kalian, sipakah yang telah
membunuhnya?" Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian salah seorang dari keduanya menjawab
"Pertempuran yang kemudian terjadi seolah-olah adalah
perang brubuh. Tetapi di antara orang-orang padepokan
Kenanga hadir seorang asing yang memiliki kemampuan
melampaui Gagak Branang"
"Tepat" Gemak Werdilah yang menjawab. Dan tiba-tiba
saja tumbuh satu pikiran di dalam kepalanya. Dengan raguragu
iapun kemudian bertanya "Siapa kah kalian berdua?"
Kedua orang itu tidak menjawab. Tetapi salah seorang
dari mereka justru bertanya "Ki Sanak. Apakah kau
mengenal orang asing itu" Dan apakah ia masih berada di
padepokan Kenanga?" Gemak Werdi segera mengetahui bahwa yang dimaksud
tentu Mahisa Bungalan. Iapun kemudian dapat mereka
maksud kedua orang yang berwajah garang itu. Karena itu,
maka iapun kemudian menjawab "Orang asing itu menjadi,
terkenal karenanya, justru karena ia dapat membunuh
Gagak Branang. Dengan bangga karena ia dapat
membunuh Gagak Branang. Dengan bangga ia menyebut
kemenangannya sebagai suatu peristiwa yang banyak
dilakukannya sebelumnya"
"Gila. Siapakah orang itu sebenarnya"
"Ia sudah meninggalkan padepokan Kenanga. Ia singgah
di padepokan Watu Kendeng. Tetapi agaknya ia sudah
meninggalkan padepokan itu pula. Aku tidak tahu, kemana
orang itu akan pergi memawa kebanggaannya. Tetapi ia
memang seorang perantau"
"Apakah hubungannya dengan Ki Selabajra atau Ki
Watu Kendeng yang justru kakak dari Gagak Branang itu
sendiri" "Tidak ada hubungan apa-apa. la adalah suatu ciri dari
orang-orang yang berbangga karena kemenangannya"
Kedua orang itu menegang. Nampak pada wajah mereka
sesuatu yang bergejolak di dalam hati. Justru karena itu
maka Gemak Wesdi berkata "Menurut pendengaranku,
bukan saja Gagak Branang yang terbunuh. Tetapi ada lagi
saudara-saudara seperguruannya"
"Ya. Itulah yang menyakitkan hati" geram salah seorang
dari mereka. "Siapakah kau Ki Sanak" Apakah kau mempunyai
kepentingan tertentu?" bertanya Gemak Werdi kemudian.
"Ya. Aku adalah saudara tertua dari perguruan kami.
Aku tidak ikhlas melepaskan kepergian Gagak Branang
dengan saudara-saudara seperguruan kami yang lebih
muda, seolah-olah perguruan kami adalah perguruan yang
pantas dihinakan dan direndahkan harga dirinya"
Tiba-tiba dada Gemak Werdi menjadi berdebar-debar. Di
luar sadarnya ia berkata "Kalian akan menuntut balas?"
"Ya. Aku ingin tahu, dimana orang itu berada sekarang"
Sejenak Gemak Werdi termangu-mangu. Ia tidak tahu,
apakah yang sebaiknya dilakukan. Tiba-tiba saja terdengar
bisikan lembut di telinga hatinya yang paling dalam
"Jangan tunjukkan"
Tetapi jika terbayang wajah Ken Padmi, maka seolaholah
ia mendapatkan pemecahan dari satu teka-teki yang
maha sulit baginya. Karena Gemek Werdi tidak segera menjawab, maka
salah seorang dari kedua orang itu bertanya sekali lagi "Kau
tahu dimana ia sekarang?"
Perlahan-lahan Gemak Werdi manggeleng. Jawabnya
"Aku tidak tahu, Ki Sanak. Apa yang aku ketahui, adalah
sekedar menurut kata orang"
Keduanya mengangguk-angguk. Yang seorang berkata
"Terima kasih Tentu ia belum jauh dari Watu Kendeng.
Aku harus pergi ke padepokan itu dan bertanya kemana
orang itu pergi" Gemak Werdi menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi
iapun kemudian berkata "Ia tidak berada di Watu Kendeng.
Aku tidak dapat membayangkan, apakah ia akan singgah
pula ke tempat itu" "Kenapa?" Gemak Werdi menjadi bingung. Dalam kebingungannya
itu ia berdesis "Tentu aku tidak tahu apakah yang
sebenarnya dilakukannya. Tetapi apakah mungkin ia justru
berada di tempat saudara tua dari orang yang telah
dibunuhnya" Namun ketika panas di hatinya menyala,
maka ia melanjutkan "Tetapi semuanya memang mungkin.
Kematian anak Ki Watu Kendang karena pokal Gagak
Branang akan memberikan suasana yang aneh bagi
padepokan itu" "Ya. Demikianlah menurut pendengaranku. Karena itu,
aku akan pergi ke Watu Kendeng dan bertanya apakah
orang-orang Watu Kendeng tahu, kemanakah Mahisa
Bungalan pergi" Gemak Werdi tidak tahu lagi apa yang akan dikatakan.
Bahkan iapun menjadi bingung apakah yang sudah
diucapkan. Dengan demikian, maka akhirnya ia berkata
"Selanjutnya terserah kepada kalian. Aku tidak tahu apa
yang dilakukan oleh orang itu. Kemana ia pergi dan apa
pula hubungannya dengan Ki Watu Kendeng"
"Keteranganmu sudah cukup. Terima kasih. Aku akan
pergi ke padepokan Watu Kendeng"
Gemak Werdi tidak menjawab. Ia melihat kedua orang itu
mulai menggerakkan kendali kudanya dan berbalik untuk
pergi ke Watu Kendeng. Pada saat yang demikian itulah, rasa-rasanya ada yang
menggelitik hati Gemak Werdi. Seolah-olah ia melihat cara
yang paling baik untuk menyingkirkan Mahisa Bungalan.
Kedua orang itu tentu orang-orang yang memiliki
kemampuan tidak kurang dari Gagak Branang. Bahkan
tentu melampauinya. Jika keduanya bertemu dengan
Mahisa Bungalan dan bertempur berpasangan, maka akan
sulitlah bagi Mahisa Bungalan untuk melepaskan dirinya.
Gemak Werdi mengangkat wajahnya. Ia melihat kedua
ekor kuda itu mulai berlari. Tetapi ternyata mulutnya tidak
berteriak untuk mengatakan kemanakah Mahisa Bungalan
sebenarnya pergi. Setidak-tidaknya berusaha untuk
membakar kedua orang itu agar ia memburu Mahisa
Bungalan. Sejenak Gemak Werdi termangu-mangu. Ia berdiri
dalam kebimbangan. Ada keinginannya untuk menyusul
dan mengikuti orang-orang itu untuk mendorong mereka
membunuh Mahisa Bungalan. Tetapi akhirnya ia berdesis
"Bukan aku yang melakukannya. Terserahlah apa yang
akan terjadi" Namun ia tidak dapat ingkar, bahwa ia memang
berharap agar keduanya dapat bertemu dengan Mahisa
Bungalan dan membunuhnya. Tetapi jika itu terjadi, bukan
karena kesalahannya atau karena ia telah mendorongnya
untuk melakukan demikian.
Pertentangan di dalam hatinya itu terasa sangat
menggelisahkan. Tetapi kedua orang itu sudah semakin
jauh Meraka dengan dendam yang membara di hati, ingin
bertemu dan membuat perhitungan dengan orang yang
telah membunuh adik-adik seperguruannya. Bukan hanya
seorang, tetapi beberapa orang.
Tetapi kadang-kadang timbul juga kecemasan di hatinya,
seandainya Mahisa Bungalan masih berada di Watu
Kendeng, maka ia tentu mengalami kesulitan.
"Mudah-mudahan ia sudah pergi dan tidak bertemu
dengan kedua orang itu" desisnya. Namun kemudian "Jika
ia bertemu juga, terserahlah. Bukan salahku. Jika ia mati
karenanya, aku tidak tersentuh oleh kesalahan apapun, dan
tidak akan terpercik oleh akibat apapun juga"
Akhirnya Gemak Werdi menggeretakkan giginya sambil
menggeram "Persetan. Yang akan terjadi biarlah terjadi.
Aku tidak peduli dan tidak terlibat ke dalamnya"
Untuk beberapa saat lamanya, Gemak Werdi masih
berada di tempatnya. Tatapan matanya mengikuti debu
yang berhamburan menyusuri bulak panjang. "Terserah,
terserah" ia bergumam sambil menggerakkan kendali
kudanya dan melanjutkan perjalanannya yang tinggal
pendek. Tetapi ketika ia memasuki padepokannya, ia telah
dicengkam oleh perasaan bersalah. Apalagi ketika ia
melihat Ken Padmi jalan melintas longkangan pergi ke
dapur. Rasa-rasanya ia merasa berdosa, bahwa ia telah
melakukan suatu akal yang licik. Bahkan yang sama sekali
tidak berusaha melindungi ketika dua orang yang berbahaya
sedang mencari Mahisa Bungalan.
Ketika kudanya telah ditambatkannya, maka dengan
tergesa-gesa Gemak Werdi langsung pergi ke biliknya.
Dengan keringat yang membasah di seluruh tubuhnya, ia
duduk di bibir pembaringan sambil memandang ke dirinya
sendiri. Seolah-olah ia sedang membuat suatu perhitungan
tetang apa yang baru saja dilakukan.
"Apakah aku sudah gila?" geramnya.
Namun sejenak kemudian ia menarik nafas dalamdalam.
Katanya "Aku tidak berbuat apa-apa. Jika nasib
Mahisa Bungalan baik, maka ia tidak akan bertemu dengan
kedua orang itu. Mungkin Mahisa Bungalan telah menjadi
semakin jauh dari padepokan Watu Kendeng, karena ketika
aku datag. ia sudah bersiap-siap untuk pergi. Tetapi jika
karena kedatanganku kepergiannya tertunda, dan ia
bertemu dengan kedua orang itu, maka nasibnyalah yang
memang sangat buruk. Semuanya sama sekali tidak
terpengaruh oleh perjumpaanku dengan kedua orang itu"
Betapapun kegelisahan masih saja membayanginya,
tetapi Gemak Werdi tidak dapat berbuat lain, kecuali
berusaha melupakannya, dan menghapusnya dari setiap
kesan yang dapat menumbuhkan kecurigaan.
Dalam pada itu, kedua orang yang sedeng mencari
Mahisa Bungalan itu telah berpacu menuju ke padepokan
Watu Kendeng. Mereka berharap, bahwa Ki Watu
Kendeng akan dapat membantu mereka menunjukkan
dimana Mahisa Bungalan berada.
"Mungkin orang-orang Watu Kendeng akan
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyembunyikannya atau melindunginya" berkata salah
seorang dari kedua orang itu.
"Aku memang mempunyai dugaan yang demikian.
Meskipun Gagak Branang itu adiknya, tetapi menurut
pendengaranku, Gagak Branang telah menjadi sebab
kematian anak Ki Watu Kendeng yang semula akan
dipergunakan oleh Gagak Branang sebagai umpan untuk
memancing gadis Padepokan Kenanga"
"Tetapi kita dapat berbuat banyak. Watu Kendeng bukan
apa-apa bagi kami. Kalau pergi, kita akan membongkar
gubug terakhir dari padepokan itu"
Kawannya tidak menjawab. Keduanyapun berpacu lebih
cepat menuju ke padepokan Watu Kendeng.
Namun tiba-tiba saja salah seorang dari keduanya
berkata "Gadis Kenanga itu menurut pendengaranku
memang sangat cantik"
Kawannya tersenyum. Katanya "Itulah yang telah
membuat Gagak Branang menjadi gila. Tetapi lebih gila lagi
adalah anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu. Ia
telah membunuh Gagak Branang. Dan karena
kehadirannya, maka saudara-saudara seperguruanku yang
lainpun telah terbunuh pula. Tanpa Mahisa Bungalan,
maka padepokan Kenanga dan Watu Kendeng. tidak akan
mampu berbuat apa-apa. Gadis Kenanga itu tentu telah
berhasil dibawa oleh Gagak Branang"
"Jika telah dibawa oleh Gagak Branang, apa
keuntunganmu?" Kawannya tertawa. Katanya "Gadis itu sduah berada di
padepokan kita. Kenapa kau bertanya seolah-olah kau tidak
tahu apa yang telah terjadi di padepokan kita?"
Kawannya tertawa. Tetapi tiba-tiba ia berkata "He,
apakah tanpa Gagak Branang, kita tidak dapat membawa
gadis itu?" Yang lain mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja laju
kudanya menjadi berkurang. Sambil mengerutkan
keningnya ia berkata "Ya. Tanpa Gagak Branang, kitapun
dapat mengambil gadis padepokan Kenanga itu"
"Yang mana yang akan kita lakukan lebih dahulu.
Mahisa Bungalan, atau gadis Kenanga itu?"
Namun kawanya menggeretakkan giginya "Mahisa
Bungalan. Gadis itu tidak akan pergi kemana-mana. Besok
atau lusa atau nanti setelah Mahisa Bungalan terkapar mati.
Kita akan membawa kepalanya sebagai hadiah bagi
padepokan Kananga. Sebagai gantinya, kita akan
membawa gadis Kenanga bersama dengan kita. Begitu?"
Yang lain tertawa. Kuda mereka yang berpacu semakin
lambat telah berpacu lagi secepat angin. Semakin lama
kedua orang itupun menjadi semakin dekat dengan
padepokan Watu Kendeng. Rasa-rasanya kuda mereka
berlari terlalu lamban, meskipun orang-orang yang
berpapasan telah berloncatan menepi karena kuda-kuda
yang berpacu. "Orang-orang gila" berkata seseorang yang hampir saja
terlempar ke dalam parit setelah cangkulnya lepas dari
tangannya. "Orang kesurupan" sahut kawannya yang sedang
menunggui air disawah "jika kaki kudanya tergelincir,
maka kepalanya akan pecah terbentur batu jalan"
"Mereka seolah-olah tidak menghargai lagi nyawanya
dan juga nyawa orang lain. Seseorang yang terlanggar oleh
kuda yang berpacu akan terlempar dan mungkin sekali akan
terbunuh" Dengan geram orang-orang itu memandang kuda-kuda
yang berpacu dan kemudian hilang ditikungan. Namun
masih terdengar orang itu bergeramang dengan marah.
Untung lah bahwa kedua orang itu tidak mendengarnya,
dan orang-orang di pinggir jalan itu tidak tahu siapa mereka
yang berpacu itu. Dalam pada itu, maka kedua orang yang berpacu itupun
telah memasuki jalan yang menuju ke padepokan Watu
Kendeng. Dengan hati yang berdebar-debar, maka
keduanyapun mempersiapkan diri untuk menghadapi segala
kemungkinan yang dapat terjadi atas diri mereka apabila
benar Mahisa Bungalan berada di padepokan Watu
Kendeng. Ketika keduanya sampai ke regol padepokan, maka
keduanya telah berhenti. Sejenak mereka termangu-mangu
memandang pintu regol yang meskipun tidak tertutup,
tetapi tidak terbuka seluruhnya.
"Apa yang akan kita katakan kepada Ki Watu
Kendeng?" desis yang seorang.
"Bagaimanakah kira-kira tanggapannya terhadap orang
yang telah membunuh adiknya itu?"
"Tetapi adiknya itu telah menyebabkan kematian
anaknya Anak kandungnya" sahut yang lain.
Keduanya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
salah seorang berkata "Yang paling baik. kita akan
mengaku sebagai sahabat Mahisa Bungalan. Mudahmudahan
Ki Watu Kendeng tidak mencurigai kita"
Yang lain mengangguk-angguk. Lalu "Marilah. Apapun
yang akan kita hadapi, telah kita sengaja untuk
melakukannya" Keduanyapun kemudian menuntun kudanya memasuki
regol. Seorang penghuni padepokan yang segera melihat ke
hadiran kedua orang itu segera menghampirinya dan
bertanya "Apakah keperluan Ki Sanak berdua?"
Keduanya telah memaksa diri mereka untuk
mengangguk dengan hormat dan ramah "Kami akan
menghadap Ki Watu Kendeng"
"O. silahkan, silahkan naik ke pendapa" orang itu
mempersilahkan. Ia menyangka bahwa kedua orang itu
tentu mempunyai niat yang baik, karena keduanya nampak
sopan dan ramah. Sejenak keduanya menunggu. Kemudian Ki Watu
Kendengpun keluar dari ruang dalam dan menemui
mereka. Seperti sikap yang telah ditunjukkannya kepada
para cantrik, maka terhadap Ki Watu Kendengpun orang
itu sangat hormat pula. Sejenak kemudian, setelah Ki Watu Kendeng duduk
bersama mereka, maka salah seorang dari kedua orang
itupun langsung bertanya, apakah Mahisa Bungalan masih
berada di padepokan Watu Kendeng.
"Siapakah kalian berdua Ki Sanak?"
"Aku adalah kawan-kawan baiknya Ki Watu Kendeng.
Meskipun kami berdua hanya mengenalnya dalam
perantauan seperti yang sama-sama kami lakukan, namun
rasa-rasanya kami telah menjadi saudara laki-lakinya.
Mungkin karena sifat-sifat kami yang bersamaan dan
kegemaran kami yang serupa, menjelajahi desa, seolah-olah
menghitung jumlah pintu rumah yang tersebar di seluruh
Singasari ini" Melihat sikap yang ramah dan sopan, Ki Watu Kendeng
sama sekali tidak mencurigainya. Sehingga karena itu,
maka iapun berkata seperti yang sebenarnya. Mahisa
Bungalan telah meninggalkan padepokan Watu Kendeng.
"Apakah Ki Watu Kendeng dapat menunjukkan,
kemanakah Mahisa Bungalan itu pergi?" bertanya salah
seorang dari mereka. Ki Watu Kendeng menggeleng. Jawabnya "Aku tidak
tahu Ki Sanak. Mahisa Bungalan adalah seorang perantau.
Mungkin ia pergi ke daerah yang belum dikenalnya sama
sekali. Tetapi mungkin ia akan kembali ke Singasari karena
persoalan khusus tentang dirinya"
Kedua orang itu semakin tertarik. Apalagi ketika Ki
Watu Kendeng tanpa curiga menceriterakan hubungan
Mahisa Bungalan dengan Ken Padmi, sehingga
kemungkinan terbesar, Mahisa Bungalan akan pulang ke
rumahnya untuk minta kepada orang tuanya, agar mereka
datang ke padepokan Kenanga.
"Tetapi, tidak mustahil bahwa Mahisa Bungalan masih
akan memilih jalan yang panjang untuk sampai ke
Singasari" Kedua orang itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari
merekapun kemudian berkata "Tetapi nampaknya Mahisa
Bungalan masih belum terlalu jauh"
"Tentu belum. Dan anak muda itu hanya berjalan kaki"
jawab Ki Watu Kendeng. "Baiklah Ki Watu Kendeng. Kami akan mencarinya.
Kami akan kecewa sekali, jika kami tidak dapat
menemukannya. Kami bertiga telah mendapat, undangan
untuk menghadiri sebuah peralatan perkawinan dari
seorang puteri Buyut yang pernah kami tolong bersamasama"
"Mudah-mudahan Ki Sanak berdua dapat
menemukannya" berkata Ki Watu Kendeng kemudian.
Kedua orang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Mereka
segera minta diri untuk menyusul Mahisa Bungalan yang
pergi tanpa diketahui arahnya. Ketika keduanya telah
keluar dari padepokan, maka salah seorang dari keduanya
berkata "Tentu bukan arah padepokan Kenanga. Tidak ada
arah lain, kecuali arah yang bertentangan dengan arah
padepokan Kenanga. Agaknya kita tidak akan terlalu sulit
untuk menemukan orang itu. Apalagi ia hanya berjalan
kaki" "Tetapi kesulitan kita pertama-tama adalah karena kita
tidak mengenal orang yang bernama Mahisa Bungalan
Seandainya kita menemukannya, atau justru
melampauinya, kita tidak akan mengetahuinya"
"Kau memang bodoh. Bukankah kita akan dapat
membedakan, seorang yang pergi ke sawah dan seorang
pejalan yang akan menempuh jarak tidak terbatas"
Kawannya kemudian tersenyum. Jawabnya "Ya. Kita
akan dapat membedakannya. Kitapun dapat bertanya
apakah seseorang bernama Mahisa Bungalan atau bukan"
Sejenak kemudian, maka keduanya telah menentukan
arah. Mereka yakin, bahwa Mahisa Bungalan tidak akan
kembali ke padepokan Kenanga, sehingga keduanyapun
telah mengambil jalan yang menuju ke arah sebaliknya.
Ternyata bahwa Mahisa Bungalan memang belum
terlalu |auh. Ia berjalan perlahan-lahan menyusuri bulakbulak
panjang. Ia sama sekali tidak mengira, bahwa dua
orang sedang berpacu menyusulnya. Karena itu, maka ia
ber jalan saja tanpa prasangka apapun. Bahkan ia masih
sempat memandang dengan kagum hijaunya tanaman padi
di sawah, hijaunya padukuhan dan hijaunya lereng-lereng
gunung. Mahisa Bungalan masih sempat pula berhenti
memandangi burung-burung pipit yang berwarna merah
darah terbang berputaran. Burung pipit yang berwarna aneh
itu sangat digemarinya sejak ia masih kanak-anak. tetapi
burung pipit yang demikian memang jarang terdapat.
Beterapa padukuhan telah dilaluinya tanpa beristirahat.
la sudah terbiasa berjalan melalui jalan yang bagaikan
membara dibakar terik matahari. Tetapi juga berjalan di
basahnya embun yang dingin bagaikan membekukan
darahnya. Padukuhan demi padukuhan dilaluinya, la berjalan saja
menyusuri jalan yang dilaluinya sejak ia meninggalkan
padepokan Watu Kendeng. Ia belum ingin membelok
melalui jalan-jalan sempit, la masih menyusuri jalan yang
satu itu juga dari satu padukuhan ke padukuhan berikutnya.
Di sudut-sudut padukuhan Mahisa Bungalan menjumpai
beberapa buah kedai yang menjajakan makanan dan
minuman. Tetapi ia sama sekali tidak tertarik untuk
singgah. Perjalanannya bukannya perjalanan yang akan
ditempuh dalam waktu setengah bahkan satu hari. Tetapi
untuk waktu yang lama. Berhari-hari.
Dalam pada itu, di luar sadarnya, bahwa ia telah
mempermudah usaha dua orang saudara seperguruan
Gagak Branang yang sedang mencarinya, kedua orang
berkuda itupun berpacu menyusuri jalan yang sudah dilalui
oleh Mahisa Bungalan. Sehingga pada suatu saat Mahisa
Bungalan tentu akan dapat disusulnya.
Kepada orang-orang yang dijumpainya di perjalanan.
atau di kedai-kedai. kedua orang itu kadang-kadang
memerlukan bertanya, apakah mereka bertemu dengan
seorang anak muda yang sedang berjalan menempuh jarak
yang sangat jauh. Ada kalanya, seorang petani yang duduk di bawah
sebatang pohon menganggukkan kepalanya. Katanya "Aku
melihat seorang anak muda yang berjalan kaki, tetapi sudah
agak lama. Sebelum aku mulai bekerja, aku melihatnya.
Sekarang aku sedang menunggu anakku membawa makan
dan minum. Karena itu, anak muda itu lenlu sudah berjalan
jauh" Tanpa mengucapkan terima kasih, kedua orang itu
melanjutkan perjalanan mereka. Kadang-kadang timbul
juga keragu-raguan, bahwa Mahisa Bungalan telah memilih
sebuah jalan simpang, karena ia memang tidak mempunyai
tujuan. "Marilah. Mudah-mudahan kita akan dapat
menemukannya. Kita akan bertanya kepada orang-orang
yang kita jumpai. Seandainya hari ini kita tidak
menemukannya, besok kita akan memutari semua
padukuhan di daerah ini. Nampaknya ia memang belum
terlalu jauh" Keduanyapun berpacu semakin cepat. Di sebuah kedai
keduanya berloncatan turun dan bertanya dengan kasar,
apakah orang dikedai itu melihat seorang anak muda yang
lewat. Tetapi karena Mahisa Bungalan memang tidak singgah,
maka orang-orang di dalam kedai itupun menggelengkan
kepalanya. Apalagi sikap kedua orang itu memang tidak
menyenangkan. "Orang-orang gila semacam mereka tidak usah dilayani"
desis seorang bertubuh raksasa dengan kumis sebesar
kepalan tangan. Tidak seorangpun yang menanggapi kata-katanya. Orang
itu adalah orang yang paling disegani di seluruh
padukuhan. Karena itu, tidak seorangpun yang kemudian
berani menjawab pertanyaan kedua orang berkuda yang
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kasar itu. Tetapi agaknya salah seorang dari kedua orang berkuda
itu mendengar kata-kata orang bertubuh raksasa yang
memang dengan sengaja memancing persoalan. Orang
berkumis itu menjadi tidak senang melihat sikap kedua
orang itu. "Orang gila itu sangat menjengkelkan" desis orang
berkumis itu. Tetapi kawannya berkata "Kau telah terjerat untuk
melayani tikus-tikus kecil semacam itu. Waktu kita akan
terbuang sia-sia. Sementara buruan kita akan hilang"
Orang berkumis itu mendengar juga kata-kata orang
berkuda itu. Wajahnya menjadi merah dan kumisnya
bagaikan tegak berdiri. Dengan lantang ia berkata "Kedua
orang gila itu tidak menyadari, dengan siapa ia
berhadapan" Orang-orang di dalam kedai itu menjadi berdebar-debar.
Beberapa orang segera berusaha menyingkir. Mereka sudah
mengenal tabiat orang bertubuh raksasa dan berkumis lebat
itu. Tidak seorangpun yang berani mencegah tingkah
lakunya. Bahkan makan dan minum tanpa membayar
sekalipun. Meskipun hal itu hampir tidak pernah dilakukan,
karena ia bukannya seorang yang kekurangan.
"Marilah" ajak salah, seorang dari kedua orang berkuda
itu "kita akan kehilangan waktu"
Tetapi agaknya temannya yang seorang benar-benar
merasa tersinggung. Katanya "Aku hanya memerlukan
waktu sekejap untuk memilin kumisnya"
Orang berkumis lebat itu tiba-tiba saja telah meloncat
keluar sambil membentak "Berjongkoklah dan minta
ampun kepadaku, agar aku tidak memutar lehermu"
Tetapi salah seorang dari kedua orang berkuda itu justru
tertawa sambil berkata "Kau jangan bergurau Ki Sanak"
"Persetan" orang berkumis itu menggeram "cepat,
berjongkoklah dan minta ampun"
Orang-orang yang menyaksikan dari kejauhan menjadi
berdebar-debar. Seorang yang rambutnya telah memutih
berkata "Kenapa tidak segera dilakukannya sebelum orang
itu dibanting sampai pingsan. Agaknya ia masih bernasib
baik, bahwa ia diberi kesempatan untuk minta ampun"
Namun dalam pada itu, salah seorang dari kedua orang
berkuda itu justru berkata "Kau jangan membuat aku
tertawa di sini karena tingkah lakumu yang jenaka itu.
Berhentilah melawak. Aku akan meneruskan perjalananku.
Tugasku masih banyak"
Kemarahan orang berkumis itu telah memuncak. Ia tidak
dapat lagi mengendalikan dirinya. Karena itu, maka iapun
segera meloncat selangkah sambil mengayunkan tinjunya ke
wajah orang yang dianggapnya telah menghinanya itu.
Tetapi orang berkumis itu terkejut bukan kepalang.
Bahkan orang-orang yang menyaksikanpun terkejut
sehingga beberapa orang telah tertarik karenanya.
Demikian tinju itu terjulur lurus ke wajah orang berkuda
itu, maka orang itupun telah bergeser. Sambil merendahkan
diri ia berputar setengah lingkaran sekaligus menangkap
tangan yang terjulur itu. Demikian cepatnya, bahwa tibatiba
saja orang berkumis itu bagaikan terangkat dan
terlempar ke udara. Yang terdengar kemudian adalah orang kesakitan ketika
tubuh raksasa itu terbanting di tanah. Punggungnya
bagaikan patah dan jantungnya seakan-akan berhenti
berdetak. Orang berkuda itu dengan tenang mendekatinya. Tibatiba
saja ia menggapai rambut orang berkumis itu sambil
berkata "Berhati-hatilah dengan lidahmu orang dungu.
Sebenarnya aku ingin mencabuti kumismu. Sayang, aku
mempunyai tugas yang penting hari ini"
Sambil menghentakkan kepala orang itu, maka orang
berkuda itupun segera pergi meninggalkannya. Namun
masih terdengar ia menggeram "Biasanya aku membunuh
orang yang menghinaku. Tetapi orang berkumis itu
nampaknya orang yang sangat dungu, sehingga
menimbulkan belas kasihanku padanya"
Ketika kedua ekor kuda itu kemudian berpacu, maka
orang berkumis itu berusaha untuk bangkit. Mula-mula ia
bertelekan pada sikunya. Kemudian perlahan-lahan ia
duduk di tanah. Ketika pemilik kedai itu datang untuk menolongnya
maka orang berkumis itupun membentak "Pergi. Kau kira
aku tidak dapat berdiri tanpa pertolonganmu"
Karena pemilik kedai itu masih saja berdiri termangumangu
maka orang itupun membentak "Pergi. Pergi. Atau
kaupun ingin aku banting seperti orang berkuda itu. Eh.
maksudmu akulah yang sudah dibantingnya. Eh, tidak. Aku
tidak apa-apa. Kenapa ia melarikan diri sebelum aku pilin
lehernya?" Pemilik kedai itu menjadi ketakutan. Karena itu, maka
iapun segera beringsut pergi, sementara dengan susah
payah. Sejenak kemudian, ketika ia sudah berhasil berdiri sambil
berpegangan pagar, maka iapun menengadahkan wajahnya
sambil berkata lantang "He, jangan melarikan diri. Marilah,
majulah bersama-sama"
Tetapi kedua ekor kuda itu telah menjadi sangat jauh
sehingga penunggangnya tentu tidak akan mendengar lagi
tantangannya. Namun tiba-tiba orang berkumis itu menjadi berdebardebar.
Orang-orang itu memiliki ilmu yang luar biasa. Jika
mereka juga memiliki ilmu Sapta Pangrungu maka mereka
akan mendengar tantangannya itu pula. Jika demikian,
mungkin sekali yang seorang, yang agaknya seorang
pemarah, akan datang kembali, membantingnya dan
barangkali benar-benar akan mencabuti kumisnya sampai
habis dihadapan banyak orang.
Karena itu, maka tiba-tiba saja orang berkumis itu
melangkah tertatih-tatih meninggalkan kedai itu pulang ke
rumahnya. "Siapakah kedua orang berkuda itu" orang-orang yang
kemudian dengan cemas kembali ke kedai itu saling
berbisik. "Entahlah" desis yang lain "nampaknya mereka orangorang
kasar. Tetapi mereka tidak berbuat apa-apa kepada
orang yang telah menghinanya, bahkan telah sesumbar dan
menyuruh mereka berjongkok sambil minta ampun"
Yang lain menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau
membicarakan lagi orang-orang berkuda yang aneh.
Tetapi yang lain lagi berkata "Ia mencari seseorang"
"Ya" desis yang lain "ia mencari seseorang"
"Yang dicari adalah seorang anak muda "seorang yang
lain berdesis "nampaknya orang itu ingin membuat
perhitungan dengan orang yang dicarinya itu, menilik sikap
dan ketergesa-gesaannya. Kasihan anak muda yang
dicarinya itu. Jika ia diketemukan, maka nasibnya tentu
akan men jadi jauh lebih buruk lagi. Mungkin ia akan
dibantingnya beberapa kali sampai tulang-tulangnya patah.
Kemudian dicekiknya dan diinjaknya sampai setengah
mati" "Aku melihat seorang ariak muda lewat" berkata
seseorang dengan tiba-tiba.
"Kau melihatnya?" bertanya pemilik kedai itu.
"Ya. Tetapi sudah agak lama. Namun demikian, karena
ia hanya berjalan kaki, mungkin ia akan segera dapat
disusul oleh kedua orang berkuda itu. Alangkah malang
nasibnya" Orang-orang itupun kemudian terdiam. Mereka mulai
membayangkan, apa yang akan terjadi, jika kedua orang itu
benar-benar berhasil menyusul seorang anak muda yang
berjalan dengan kepala tunduk melalui jalan padukuhan
mereka. Sementara itu, Mahisa Bungalan masih saja berjalan
menyusuri bulak dan pedukuhan. Ia sama sekali tidak
menyangka, bahwa demikian ia meninggalkan Watu
Kendeng, maka kesulitan sudah menyusulnya.
Ketika Mahisa Bungalan sudah berjalan jauh. dan
mataharipun terasa bagai membakar tubuhnya, justru
setelah melampaui titik puncaknya, maka langkah Mahisa
Bungalanpun menjadi semakin lamban. Ia berjalan di atas
rerumputan di pinggir jalan. Kadang-kadang menyusup di
bawah pepohonan yang tumbuh di tepi parit di sepanjang
bulak panjang. Tetapi Mahisa Bungalan tidak berhenti, la berjalan saja
seperti tidak merasa betapa panas menyengat tubuhnya.
Ketika matahari telah condong turun ke Barat dan
sinarnya mulai lunak, Mahisa Bungalan berhenti di bawah
sebatang pohon preh di pinggir jalan. Sebatang pohon preh
yang besar dan rimbun, yang seolah-olah telah tumbuh di
tempat itu ratusan tahun. Sementara di bawah pohon itu
nampak sebuah batu yang besar yang nampaknya menjadi
tempat sesaji. Terasa tubuh Mahisa Bungalan menjadi segar. Sambil
bersandar batang yang besar itu, ia memandang jalan yang
panjang, yang terbentang di hadapannya. Tetapi memang
sudah dikehendakinya. Ia akan menempuh jalan yang amat
panjang, sebelum ia memilih jalan kembali ke Singasari.
Sekilas masih terbayang padepokan Kenanga dan Watu
Kendeng yang ditinggalkannya. Rasa-rasanya ia tidak akan
dapat mengusir kenangannya atas gadis dari padepokan
Kananga itu. Meskipun ia tidak terlalu lama tinggal
bersamanya; tetapi rasa-rasanya ia sudah terbelenggu oleh
bukan saja wajahnya yang lembut, tetapi sikap dan tingkah
lakunya. "Tetapi sayang" berkata Mahisa Bungalan kepada diri
sendiri "ada sesuatu yang membayangi hubungan yang
nampaknya sangat manis itu. Tetapi aku memang tidak
akan dapat meninggalkan orang tuaku dalam masalah yang
penting bagi kehidupanku kelak"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Bagaimanapun juga ia masih tetap berharap, bahwa
hubungan itu akan dapat disambungnya kembali. Sikap dan
perbuatan Gemak Werdi menurut penilaian Mahisa
Bungalan, justru akan merugikan diri sendiri, karena
menilik pengamatannya, tidak ada perasaan apapun juga
pada Ken Padmi. Jika benih itu memang ada, maka tentu
sudah nampak bersemi karena Gemak Werdi berada di
padepokan itu jauh sebelum ia mengenalnya. Tetapi
nampaknya, memang tidak ada sentuhan pada hati Ken
Padmi. Tetapi Mahisa Bungalan yang sedang merenung itu
beringsut ketika ia melihat seorang laki-laki tua mendekati
pohon preh yang besar itu. Punggungnya sudah agak
bongkok, serta rambutnya telah memutih. Ada bebarapa
lembar kumis dan janggut yang telah putih ula tumbuh
tidak teratur di sekitar mulutnya. Namun ketika orang itu
mendekat, dan tersenyum kepadanya, nampak giginya yang
putih-masih utuh tanpa cacat.
"Oh, nampaknya ada seseorang pula di bawah pohon
ini" berkata orang tua itu.
"Ya, kek" jawab Mahisa Bungalan "aku ingin
menumpang berteduh. Apakah kakek pemilik saweh di
sebelah ini?" "O, bukan, bukan anak muda. Sawahku ada di ujung itu,
di sebelah hutan perdu. Aku adalah orang yang datang
akhir di padukuhan ini. Dan aku harus membuka sawah di
ujung. Meskipun agaknya hutan perdu itu cukup luas, tetapi
tenagakulah yang hanya cukup untuk membuka secabik
sawah yang sekedar cukup untuk makan" jawab orang tua
itu. "O, jadi kakek bukan yang justru cikal bakal di
padukuhan ini?" Orang tua itu menggeleng. Jawabnya "Bukan anak
muda. Aku adalah seorang perantau di masa muda. Aku
kira aku tidak akan menjadi tua dan memerlukan tempat
tinggal yang tetap menjelang akhir hayatku"
"Pada suatu hari kakek menyadari akan hal itu" sahut
Mahisa Bungalan. Orang tua itu tertawa pendek. Nampaknya ia senang
mendengar jawaban Mahisa Bungalan. Karena itu, maka
iapun duduk di sebelah anak muda itu sambil berkata "Kau
akan pergi ke mana anak muda, sehingga agaknya kau
sudah menempuh perjalanan yang jauh?"
"Aku adalah seorang perantau seperti kakek ketika masih
muda" jawab Mahisa Bungalan.
Orang tua itu tertawa. Katanya "Kau senang bergurau
ngger. Ketika aku masih muda, aku juga senang sekali
bergurau. Sayang, rasa-rasanya aku cepat menjadi tua.
Sementara orang-orang setua aku di padukuhanku tidak lagi
senang bergurau" "Dan kakek selalu berkumpul dengan anak-anak muda
saja?" Orang tua itu tertawa berkepanjangan. Jawabnya "Aku
ingin dapat berbuat begitu. Tetapi rasa-rasanya malu juga
untuk setiap sore berada di gardu-gardu atau di sudut-sudut
padukuhan dalam kelompok-kelompok kecil dengan anakanak
muda yang sedang bergurau"
"Tetapi dengan demikian kakek akan menjadi awet
muda" Orang itu tertawa semakin keras. Katanya "Tetapi aku
sudah terlanjur tua. He, apakah aku akan menjadi awet
muda?" Mahisa Bungalanpun tersenyum juga. Orang itu di masa
mudanya tentu seorang yang periang.
"Anak muda" berkata orang tua itu kemudian "apakah
kau menuju ke tempat tertentu dalam perantauanmu, atau
sekedar berjalan mengikuti langkah-langkah kakimu?"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Pertanyaan itu memang agak membingungkan. Seolah-olah
iapun kemudian bertanya kepada diri sendiri, apakah ia
akan segera kembali kepada orang tuanya karena masalah
Ken padmi, ataukah ia masih akan merantau mengikuti
langkah kakinya saja.
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena Mahisa Bungalan tidak segera menjawab, maka
orang tua itupun bertanya lagi "He, apakah kau tidak
mendengar pertanyaanku?"
"Aku mendengar" jawab Mahisa Bungalan "dan aku
sedang memikirkannya, apakah aku sudah punya rencana
atau sekedar berjalan mengikuti langkah kakiku saja"
Orang tua itu tertawa. Katanya "Kau memang lucu. Aku
senang berbicara dengan kau anak muda"
Mahisa Bungalanpun tertawa. Katanya "Aku benarbenar
menjadi bingung. Tetapi aku memang harus
memikirkannya sekarang"
"Baiklah. Pikirkanlah. Tetapi dengan demikian aku
mengambil kesimpulan bahwa kau pergi kemana saja tanpa
tujuan. Bahkan kau tidak peduli sampai kemana saja kaki
mu melangkah" berkata orang tua itu.
"Mungkin kakek benar" jawab Mahisa Bungalan "aku
pergi kemana saja tanpa mengerti arah dan tanpa memilih
tujuan" "Bagus. Kau benar-benar seorang perantau. Kau tentu
seorang yang keras hati" orang tua itu berhenti sejenak, lalu
"tetapi mungkin juga karena kau benar-benar orang
kesrakat" Kata-kata itu benar-benar menggelikan. Sekali lagi
Mahisa Bungalan tertawa. Namun jawabnya "Aku memang
orang kesrakat, kek"
"Jika demikian, tinggalan di sini bersamaku. Kita
bersama-sama mengerjakan sawah. Hasilnya cukup untuk
dimakan. Tanah di ujung bulak masih luas. Kita akan dapat
membuka hutan perdu itu menjadi tanah pertanian. Di
musim hujan kita menanam padi, dan di musim kering kita
menanam palawija" Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Tawaran itu
sangat menarik, la dapat tinggal beberapa lamanya di
padukuhan itu. Tetapi apakah waktunya cukup panjang
untuk menunggu satu dua musim. Sementara ia harus
segera kembali ke Singasari.
"He, kau melamun lagi?" desak orang tua itu.
"Aku sedang berpikir, kek. Apakah aku lebih senang
bekerja disawah atau berjalan saja menyusuri bulak dan
padukuhan" "Jika. kau ingin berjalan saja, apakah yang akan kau
makan di sepanjang perjalananmu?"
"Kadang-kadang aku menemukan orang-orang yang baik
hati. Kadang-kadang aku diperkenankan bermalam di
banjar dan men dapat makan dan minum dari Ki Buyut
dipadukuhan itu" "Uh, nampaknya kau pemalas anak muda. Jangan kau
biasakan menjadi peminta-minta begitu. Bekerjalah. Kau
akan makan hasil keringatmu sendiri. Alangkah
nikmatnya" Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Di luar
sadarnya ia bertanya "Apakah begitu?"
Orang tua itu dengan serta merta menjawab "Tentu,
tentu begitu" . "Kek, apakah tidak lebih senang untuk tidak usah
bekerja apa-apa tetapi mendapat makan dan minum
secukupnya?" "Karena belas kasihan?"
"Karena belas kasihan atau karena kemurahan hati orang
lain" Apakah bedanya?"
"Uh, anak malas. Jika kau benar-benar berpendirian
demikian, maka kau adalah orang yang paling dungu di
dunia ini. Kau masih muda. Apakah kau tidak pernah
memikirkan hari depan?"
Mahisa Bungalan tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.
"Apa saja yang kau lakukan. Cobalah berpikir, apakah
pada suatu saat kau tidak ingin kawin, mempunyai istri dan
anak?" Mahisa Bungalan tertawa. Katanya "Menyenangkan
sekali, Merantau dengan istri dan anak-anak"
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Namun iapun
tertawa pula terbahak-bahak. Namun diantara derai
tertawanya, orang tua itu berkata "Anak muda, aku
menjadi tidak tahu. Siapakah yang dungu diantara kita.
Kau atau aku" Mahisa Bungalan tertawa berkepanjangan. Orang tua itu
mempunyai sifat-sifat khusus yang menarik. Meskipun ia
belum mengenalnya sebelumnya, tetapi seolah-olah ia
sudah lama menjadi kawan yang karib.
Namun dalam pada itu, percakapan mereka terhenti.
Lamat-lamat mereka mendengar derap kaki kuda
mendekat. Semakin lama semakin dekat.
"Siapakah mereka kek?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Darimana aku tahu. Aku berada di sini kemudian dari
padamu. Seharusnya akulah yang bertanya, barang kali kau
mengetahui siapakah orang-orang berkuda itu?" jawab
orang tua itu. "Ah, apa urusanku dengan orang-orang berkuda. Biarlah
mereka lewat" "Bagus. Apakah urusan kita dengan orang-orang berkuda
itu. Biarlah mereka lewat.
Orang tua itupun kemudian bersandar pada pohon preh
yang besar itu sambil memandangi rimbunnya dedaunan di
ujung-ujung ranting. Hampir tidak terdengar ia ber desah
"Berapa ratus tahun umur pohon ini?"
Mahisa Bungalan berpaling. Tetapi ia tidak menjawab.
Iapun bersandar pula seperti orang tua itu.
Sejenak keduanya saling berdiam diri. Namun ternyata
keduanya memperhatikan derap kaki kuda yang menjadi
semakin lama semakin dekat. Tetapi seperti yang telah
mereka katakan, bahwa mereka berdua tidak mempunyai
kepentingan apapun dengan orang-orang berkuda itu.
Tetapi ternyata bahwa orang-orang berkuda itulah yang
agaknya mempunyai kepentingan dengan kedua orang yang
duduk di bawah pohon preh itu. Ternyata ketika kedua
orang berkuda itu melihat mereka, maka derap kuda itupun
menjadi berangsur perlahan-lahan.
Beberapa langkah dari pohon preh itu, maka kedua ekor
kuda itupun berhenti. Kedua penunggangnya memandang
kedua orang itu dengan kerut merut di dahinya.
Mahisa Bungalan dan orang tua itu berpaling sekilas.
Tetapi merekapun kemudian melemparkan pandangan
mata mereka kembali ke kejauhan.
"Ki Sanak" tiba-tiba saja salah seorang penunggang kuda
itu bertanya "siapakah kalian berdua"
Orang tua itu termangu-mangu. Namun kemudian iapun
menjawab "Aku adalah penghuni pedukuhan sebelah. Aku
sedang beristirahat. Punggungku hampir patah
mengayunkan cangkul di sawah"
Orang berkuda itu mengangguk-angguk. Ia memang
melihat orang tua itu sebagai seorang petani. Tetapi anak
muda yang duduk bersandar pohon preh itu sangat menarik
perhatiannya, sehingga orang berkuda itupun bertanya
"Siapa yang seorang?"
"Anakku" berkata orang tua itu "ia menyusulku ke sawah.
Setelah menyelesaikan kerjanya di rumah, ia akan
membantuku bekerja di sawah"
Kedua orang berkuda itu mengerutkan keningnya.
Matanya yang tajam melihat, bahwa anak muda itu
bukannya seorang petani yang siap untuk bekerja di sawah.
Tetapi nampak bahwa anak muda itu adalah seseorang
yang sedang dalam perjalanan.
Karena itu, tiba-tiba saja salah seorang dari kedua orang
berkuda itu bertanya "Siapakah nama anakmu, kek?"
Pertanyaan itu mengejutkannya. Ia belum memikirkan
nama anak muda yang diakunya sebagai anaknya itu.
Kedua orang berkuda itu ternyata menangkap
kebingungan orang tua itu. Maka tiba-tiba saja salah
seorang dari keduanya berkata lantang "Kau adalah Mahisa
Bungalan" Mahisa Bungalan terkejut. Sejenak ia termangu-mangu.
Namun ia tidak dapat mengelak lagi. Orang itu sudah
menyebut namanya. Tentu keduanya mempunyai
kepentingan. Jika ia tidak mengaku bernama Mahisa
Bungalan dan berhasil mengelabui kedua orang itu, maka
mungkin ada orang lain yang sama sekali bukan Mahisa
Bungalan akan mengalami perlakuan yang tidak
sewajarnya, karena orang itu disangka Mahisa Bungalan.
Karena itu, maka dengan masih duduk bersandar pohon
preh Mahisa Bungalan menjawab "Ya, aku Mahisa
Bungalan. Apakah kau mempunyai kepentingan dengan
Mahisa Bungalan?" Kedua orang itu menegang sejenak. Sejenak mereka
saling berpandangan. Kemudian seperti berjanji, maka
keduanyapun segera meloncat turun dari punggung kuda
masing-masing dan menambatkannya pada pohon-pohon
perdu di pinggir jalan. Melihat sikap kedua orang itu, Mahisa Bungalanpun
menjadi tegang. Ia mendapat firasat buruk tentang kedua
orang itu. Karena itu, meskipun ia masih tetap duduk,
namun ia sudah mempersiapkan diri menghadapi segala
kemungkinan. Sejanak kedua orang itu termangu-mangu. Selangkah
mereka maju mendekat. Kemudian katanya "Mahisa
Bungalan. Kami berdua mempunyai kepentingan
denganmu. Berdirilah dan kemarilah"
"Katakanlah. Apakah kau kira aku tidak dapat
mendengar kata-katamu dan tempat ini?" jawab Mahisa
Bungalah yang menjadi semakin curiga.
Dalam pada itu, orang tua yang berada di dekat Mahisa
Bungalan itupun berkata "Aku tidak mengerti. Apakah
yang sedang kalian lakukan. Nampaknya kalian sedang
membicarakan persoalan yang kurang menyenangkan.
Tetapi nampaknya kalian baru saja saling mengenal"
"Jangan ikut campur kakek tua. Kau sudah melakukan
kesalahan. Kau mengaku anak muda itu anakmu. Karena
itu, maka kau sudah pantas dianggap ikut bersalah. Dan
kaupun sudah dapat dibebani dengan hukuman yang
setimpal. Tetapi karena kau orang tua, menyingkir sajalah.
Biar kami menyelesaikan persoalan kami dengan anak
muda yang tidak tahu diri itu"
Orang itu itu menjadi gemetar. Tetapi ia masih berkata
"Terserahlah kepada kalian. Tetapi setiap persoalan tentu
dapat dipecahkan dengan baik, tanpa ketegangan dan tidak
dengan sikap yang garang seperti orang hendak berkelahi"
Di luar dugaan, salah seorang dari kedua orang berkuda
itu menjawab "Kami memang akan berkelahi"
"O" orang tua itu tiba-tiba saja berdiri "jangan di sini.
Pergilah. Orang-orang pedukuhan itu akan menjadi
ketakutan. Mereka akan menderita untuk berhari-hari
karena ada orang berkelahi di sini"
"Tutup mulutmu kakek tua. Aku tidak peduli. Dan aku
tidak melihat orang lain kecuali kau berdua"
"Mereka sedang beristirahat. Waktu begini memang
waktunya beristirahat. Tetapi sebentar lagi, beberapa orang
akan turun lagi ke sawah"
"Aku tidak peduli. Jika kau masih juga berbicara saja
mencampuri persoalan kami, maka aku akan menyobek
mulutmu sampai ke telinga"
Orang itu menjadi ketakutan. Karena itu, ia sama sekali
tidak menjawab. Bahkan tubuhnya yang gemetar menjadi
semakin gemetar. Mahisa Bungalanpun kemudian berdiri pula. Selangkah
ia maju sambil bertanya "Ki Sanak. Aku belum mengenal
kalian. Tetapi agaknya kalian mempunyai persoalan yang
amat penting. Apakah yang sebenarnya kalian kehendaki?"
"Baiklah Mahisa Bungalan" berkata orang berkuda itu
"karena kau berterus terang tentang dirimu, biarlah akupun
langsung menyebut persoalannya. Kami berdua adalah
saudara seperguruan Gagak Branang"
"O" Mahisa Bungalan mengangguk-angguk "aku sudah
tahu. Kau akan menuntut balas atas kematian saudaramu?"
"Ya. Itu sudah menjadi kewajibanku"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Dipandanginya kedua orang itu dengan tajamnya. Pada
wajah mereka memang nampak api dendam yang menyala.
"Ki Sanak" berkata Mahisa Bungalan kemudian "apakah
kau tidak bertanya kepadaku, kenapa Gagak Branang
terbunuh pada saat itu" Dengan demikian, maka kau akan
dapat membuat pertimbangan. Apakah sudah sepantasnya
kematian Gagak branang harus dibela mempertaruhkan
nyawa" "Jangan kau gurui anak muda. Aku sudah tahu
segalanya. Aku sudah tahu apa yang terjadi. Karena itu
menyerah sajalah. Aku tidak hanya kehilangan Gagak
Branang. Tetapi juga saudara-saudara seperguruanku yang
lain, yang mati juga pada saat itu. Kau adalah orang yang
paling bertanggung jawab atas kematian mereka"
"O" tiba-tiba saja orang tua itu berkata dengan suara
gemetar "jadi kau seorang pembunuh anak muda?"
"Aku memang telah membunuh, kek. Tetapi aku
mempunyai alasan yang cukup kuat, kenapa aku harus
membunuh. Karena itu, maka sudah sepantasnya, bahwa
kematian orang-orang itu diusut dan dipertimbangkan.
Apakah mereka masih perlu dibela"
"Cukup" sahut salah seorang dari kedua saudara
seperguruan Gagak Branang. Lalu "Kita tidak usah
mempersoalkan apa-apa lagi. Kami datang untuk
membunuhmu. Menyerahlah, supaya jalan kematianmu
cukup lapang untuk kau lalui. Jika kau melawan, maka kau
akan mengalami siksa di saat yang paling akhir dari
hidupmu" "Cobalah mengerti" berkata Mahisa Bungalan "mungkin
kau mendapat keterangan yang salah tentang saudara
seperguruanmu" "Tidak. Ia sudah bertindak benar. Ia mengorbankan
segala-galanya untuk mendapatkan seorang perempuan
cantik dari padepokan Kenanga. Itu adalah sifat seorang
laki-laki jantan. Perempuan harganya sama dengan
hidupnya. Dan akupun mengerti, bahwa perempuan dari
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
padepokan Kenanga itu agaknya memang sangat cantik.
Karena itu, sudahlah. Menyerahlah. Tundukkan kepalamu
di pinggir jalan, di atas parit itu. Aku akan memenggal
lehermu dan biarlah darahmu membasahi rerumputan, dan
kepalamu menjadi hantu gelundung pringis di bawah pohon
preh yang memang sudah nampak mengerikan ini.
Tubuhmu akan menjadi makanan burung gagak dan anjinganjing
liar dari hutan perdu itu"
"O, mengerikan sekali" teriak orang tua yang gemertar.
"Ya. Memang mengerikan. Tetapi itu masih lebih baik
daripada aku menyeretnya di belakang kaki kudaku
sehingga kulitnya terkelupas. Kemudian menyiramnya
dengan air asam dan garam"
"O, sungguh-sungguh mengerikan. Apakah seseorang
akan dapat berbuat demikian terhadap sesama?"
"Kenapa tidak" Ia sudah membunuh saudara-saudara
seperguruanku. Ia harus mendapat hukuman yang
setimpal" "Tidak mungkin. Itu tidak mungkin" orang tua itu
hampir berteriak. "Tutup mulutmu kakek tua, supaya kau tidak ikut aku
bantai bersamanya" Orang tua itu menutup mulutnya. Namun nafasnya
masih saja memburu lewat lubang hidungnya.
Sementara itu, Mahisa Bungalan merasa, bahwa kedua
orang itu tidak akan dapat diajaknya berbicara lagi. Karena
itu, maka tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan, kecuali
mempertahankan diri. Karena itu, maka katanya kepada kakek tua itu "Kek,
silahkan menyingkir. Agaknya aku benar-benar harus
berkelahi" "Jangan berkelahi ngger. Pergi sajalah. Kaulah yang
menyingkir" "Kakek gila" teriak salah seorang dari kedua orang itu
"ia tidak akan dapat menyingkir. Jika anak itu lari, kami
akan mengejarnya dan menangkapnya. Kemudian
mengikatnya di belakang kaki kuda. Satu dari kuda kami ke
Utara, yang lain ke Selatan, sehingga tubuhnya akan
terbelah, karena kami akan mengikat satu kakinya pada
setiap ekor kuda" "O, itu tidak mungkin. Tidak mungkin"
"Sudahlah kek" berkata Mahisa Bungalan "pergilah.
Aku akan menghadapi segala kemungkinan. Aku memang
sudah membunuh saudara-saudara seperguruannya karena
tingkah laku mereka yang kasar dan liar"
Orang tua itu menjadi semakin gemetar, sementara
Mahisa Bungalan melangkah maju setapak.
"Marilah. Aku tidak akan lari. Jika itu yang kau
kehendaki, maka akupun akan melakukannya" berkata
Mahisa Bungalan. Kedua orang itupun segera bersiap. Mereka menyadari
bahwa Mahisa Bungalan adalah seorang yang perkasa.
Gagak Branang tidak dapat mengimbangi kemampuannya.
Namun kedua orang itu merasa yakin, bahwa mereka
memiliki kemampuan yang tidak kalah dari Gagak Branang
Semetara itu mereka dapat bertempur berpasangan. Dengan
demikian, maka merekapun yakin akan dapat mengalahkan
Mahisa Bungalan betapapun tinggi kemampuannya.
Orang tua itupun kemudian bagaikan melekat batang
preh yang besar itu dengan ketakutan. Tetapi ia tidak lari. Ia
tetap berada di tempat itu. Bahkan nampaknya ia sengaja
atau tidak sengaja, akan menyaksikan pertempuran yang
akan segera terjadi antara Mahisa Bungalan dan kedua
saudara seperguruan Gagak Branang yang telah kehilangan
saudara-saudara seperguruannya itu. Pertempuran yang
dahsyat dan mempertaruhkan hidupnya untuk melepaskan
dendam yang membakar jantung.
Sementara itu, Mahisa Bungalan dan kedua
lawannyapun telah bersiap. Selangkah mereka bergeser.
Namun wajah mereka telah menjadi tegang oleh degup
jantung yang memburu. Kedua orang saudara seperguruan Gagak Branang
itupun kemudian berpencar. Mereka mencari arahnya
masing-masing, sementara Mahisa Bungalan berdiri dengan
tegangnya. Kakinya yang terbuka agak merendah pada
lututnya, sementara tangannya telah bersilang di dadanya.
Sejenak kemudian, tiba-tiba saja bagaikan kilat, justru
Mahisa Bungalanlah yang meloncat menyerang. Kakinya
menyambar seperti sayap seekor burung raksasa yang
menukik dengan dahsyatnya.
Namun lawannya yang memang sudah siap itu berhasil
menghindarinya. Ia tidak langsung menyerang karena
Mahisa Bungalan meluncur dan kemudian meloncat
dengan langkah yang panjang.
"Luar biasa" desis kedua orang lawanya di dalam hati.
Meskipun serangan Mahisa Bungalan tidak menyentuh
tubuh lawannya, tetapi angin yang berdesir seolah-olah
mampu menggoyahkan kedudukan mereka.
Sejenak kemudian, kedua lawan Mahisa Bungalan itulah
yang bersiap untuk menyerang. Hampir berbareng mereka
meloncat mendekat. Ternyata keduanya benar-benar dapat
menempatkan diri, bertempur berpasangan. Ketika yang
seorang menyerang Mahisa Bungalan, dan Mahisa
Bungalan sempat mengelakkannya, hampir saja ia terjebak
pada serangan lawannya yang seorang lagi. Untunglah
bahwa ia memiliki kemampuan bergerak yang luar biasa,
sehingga meskipun ia harus menjatuhkan diri, namun ia
dapat membebaskan diri dari sergapan jari-jari lawannya
yang hampir saja mencengkeram pundaknya.
Melihat serangan itu. Mahisa Bungalan menjadi
berdebar-debar. Lawannya yang mengaku saudara
seperguruan Gagak Branang yang seorang itu mempunyai
cara tersendiri. Seandainya ia benar saudara seperguruan
Gagak Branang, namun tentu ia telah mengembangkan
ilmunya sesuai dengan pengalamannya sendiri Dengan
berdebar-debar Mahisa Bungalen melihat jari-jari lawannya
yang terbuka, siap untuk mencengkeramnya.
"Jari-jari itu tentu berbahaya sekali" geram Mahisa
Bungalan di dalam hatinya. Ia sadar, bahwa jika jari-jari itu
sempat menyentuh tubuhnya, maka segumpal dagingnya
tentu akan terlepas dari tulang-tulangnya.
Tetapi Mahisa Bungalanpun mampu bergerak cepat
sekali. Ia segera meloncat berdiri. Bahkan dengan tiba-tiba
saja ia menyerang lawannya yang sedang berputar,
menyesuaikan diri dengan kedudukan kawannya. Serangan
itu demikian tiba-tiba, namun lawannya masih juga sempat
mengelak. Justru pada saat itu, lawannya yang dengan jarijari
terkembang telah menerkamnya pula. Namun Mahisa
Bungalan yang sudah mengenal cara serangan yang
menggetarkan itu, berhasil bergeser ke samping. Bahkan
dengan kerasnya, tangannya terayun mengarah tengkuk
lawannya. Tetapi lawannyapun cukup tangkas, sehingga serangan
itupun dapat dielakkannya.
Dengan demikian, maka pertempuran itu semakin lama
telah menjadi semakin seru. Kedua orang lawan Mahisa
Bungalan itu bertempur dengan garangnya. Yang seorang
dengan jari-jari terkembang, seolah-olah jari-jari seekor
harimau yang sangat garang dengan kuku-kukunya yang
tajam, yang siap menyobek kulit lawannya. Sementara yang
seorang berloncatan dengan cepat dan tangkas. Tangannya
bergerak dengan cepat dan serangannya datang dengan tibatiba,
kemudian meloncat menjauhinya dengan cepat pula,
seolah-olah Mahisa Bungalan harus bertempur dengan
bayangan yang tidak terasa oleh tangannya.
Karena itulah, maka Mahisa Bungalan harus
mengerahkan kemampuannya. Ia sadar, bahwa dua orang
saudara tua seperguruan Gagak Branang, tentu orang-orang
yang memiliki kelebihan. Bahkan keduanya tentu memiliki
kelebihan dari Gagak Branang sendiri. Sehingga dengan
demikian, maka ia harus berhati-hati Ia harus memelihara
keseimbangan perasaan dan nalarnya. Ia harus bertempur
bukan saja dengan kemampuan tenaganya, tetapi juga
dengan perhitungan nalarnya sehingga setiap geraknya
bukannya sekedar menghambur-hamburkan tenaga tanpa
arti. Apalagi Mahisa Bungalan sadar, bahwa melawan
kedua orang itu. ia harus mampu mempertahankan
ketahanan nafas dan tenaganya untuk waktu yang mungkin
cukup lama. Demikianlah, maka pertempuran itupun menjadi
semakin sengit. Orang tua yang menyaksikan pertempuran
itu menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak beranjak dari
tempatnya. Ia berdiri saja berpengangan batang pohon preh
yang besar itu. Tetapi selain orang tua itu, tidak seorangpun yang melihat
pertempuran itu. Adalah kebetulan sekali, bahwa tidak ada
seorangpun yang pergi ke sawah pada saat yang demikian.
Apalagi bukan saatnya menunggui padi dan mengairi
tanaman sehingga kebanyakan dari para petani lebih senang
beristirahat di rumah sambil menganyam dinding bambu
atau barang-barang lain keperluan mereka sehari-hari.
Sementara itu, perkelahian yang terjadi di bawah pohon
preh itupun benar-benar merupakan pertempuran yang
sangat dahsyat. Kedua lawan Mahisa Bungalan adalah
orang-orang yang menguasai ilmu yang keras, bahkan
kasar. Yang seorang benar-benar bagaikan seekor harimau
yang sedang marah. Bukan saja jari-jarinya mengembang
dan serangan-serangannya yang bagaikan binatang buas
menerkam lawannya, nemun kadang-kadang terdengar pula
seolah-olah ia mangaum dengan dahsyatnya.
"Gila" geram Mahisa Bungalan "apakah orang ini telah
mempergunakan kekuatan dan gaya seekor harimau"
Apakah benar ada harimau jadi-jadian atau ilmu olah
kanuragan yang bersumber pada kekuatan seekor
harimau?" Tetapi sebagai seorang yang memiliki kemampuan
kanuragan, Mahisa Bungalanpun menyadari, bahwa
dengan mempelajari gerak dan kebiasaan binatang, maka
seseorang dapat memperkaya tata gerak pada ilmunya, dan
akan dapat berbahaya bagi lawannya.
Pertempuran itupun semakin lama meningkat semakin
sengit. Kedua orang yang mengaku saudara seperguruan
Gagak Branang itu bertempur semakin keras dan kasar.
Yang seorang bagaikan seekor harimau yang. garang,
sedangkan yang lain bagaikan burung elang yang
menyambal di langit. Bukan saja kukunya yang tajam,
tetapi tiba-tiba saja serangannya bagaikan paruh yang
mematuk dengan dahsyatnya.
Mahisa Bungalan harus menyesuaikan dirinya. Ia
menghadapi dua orang lawan dengan kemampuannya
masing-masing, namun yang nampaknya mereka mampu
bekerja bersama sebaik-baiknya.
Mahisa Bungalan sendiri, memiliki kemampuan yang
menggetarkan hati kedua lawannya. Betapa dahsyatnya
mereka menyerang dengan cara masing-masing, namun
mereka sama sekali tidak berhasil melukai lawannya. Kukukuku
yang garang pada jari-jari yang berkembang dari
lawannya yang kadang-kadang mangaum seperti seekor
harimau, serta patukan paruh yang tajam runcing yang
menyambar-nyambar seperti seekor burung elang, masih
belum mampu memecahkan beteng pertahanan Mahisa
Bungalan. Untuk mengimbangi kekerasan lawannya, Mahisa
Bungalan justru bergerak secepat burung sikatan direrumputan.
Cepat, cekatan dan kadang-kadang tidak dapat
diduga oleh kedua lawannya yang garang. Loncatanloncatan
kecil dan sentuhan-sentuhan yang tidak begitu
keras, telah mulai terasa di tubuh lawannya Meskipun
sentuhan-sentuhan itu tidak mempunyai akibat apapun
juga, tetapi kedua lawannya menjadi semakin cemas.
Dengan demikian berarti, bahwa Mahisa Bungalanlah yang
lebih dahulu mampu menembus pertahanan kedua orang
saudara seperguruan itu. Mahisa Bungalan yang telah berhasil menyentuh tubuh
lawannya, telah membuat pertimbangan-pertimbangan
baru. Jika semula sekedar menjajagi kecepatan geraknya,
maka kemudian ia mulai mempertimbangkan, bagaimana
mungkin ia dapat memperlemah kedudukan lawannya.
Itulah sebabnya, maka Mahisa Bungalanpun kemudian
mulai memperhatikan unsur kekuatan jari-jarinya. Ia tidak
hanya akan menyentuh lawannya. Tetapi ia mulai
mempergunakan kekuatan ujung jari-jarinya pada bagianbagian
yang lemah pada lawannya. Namun iapun tidak
akan segan mempergunakan sisi telapak tangannya dalam
kesempatan yang terbuka. Tetapi agaknya, Mahisa Bungalan mendapat kesempatan
yang sangat kecil. Sebagian besar dari kemampuannya
dipergunakannya untuk menghindari serangan lawannya.
Namun sekaligus dengan serangan-serangannya yang
mengejutkan. Ketika seorang lawannya menerkamnya dengan
dahsyatnya sambil mangaum seperti seekor harimau, maka
Mahisa Bungalan sempat mengelak. Iapun meloncat ketika
serangan dari lawannya yang kedua menyambarnya.
Namun sekaligus Mahisa Bungalan mampu menyusup
diantara keduanya dalam loncatan panjang, sementara jarijarinya
berhasil masuk mematuk rusuk lawannya yang
garang seperti seekor harimau. Mahisa Bungalan tidak lagi
mencoba menyentuhnya saja. Tetapi ia benar-benar telah
mempergunakan kekuatannya yang tersalur pada ketiga
jari-jarinya. Sehingga karena itu, maka terdengar lawannya
mengaduh pendek. Ia merasa tulang iganya bagaikan retak.
Karena itulah, maka iapun segera meloncat surut, sebelum
Mahisa Bungalan memasukkan serangannya yang kedua.
Nemun pada saat Mahisa Bungalan siap untuk
memburu, lawannya yang lain telah menyerangnya pula.
Dengan sepenuh kekuatannya, ia meluncur dengan kaki
terjulur ke samping, sehingga Mahisa Bungalan harus
bergeser menghindar sebelum ia sempat memburu
lawannya yang seorang. Namun anak muda itu terkejut,
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketika tiba-tiba saja tangan lawannya itu berkembang
menyambarnya. Meskipun Mahisa Bungalan sudah beringsut dan mampu
menghindar dari serangan kaki lawannya, namun
tangannya yang tiba-tiba mengembang itu telah
mengejutkannya. Dengan cepat ia mencoba mengelak.
Tetapi tangan itu masih juga sempat menyambar
pundaknya, sehingga Mahisa Bungalan terputar setengah
lingkaran. Pada saat itu, lawannya yang lain telah sempat
memperbaiki keadaannya. Dengan garangnya ia meloncat
menerkam. Kedua tangannya terjulur lurus kedepan
Mahisa Bungalan yang terputar itupun menyeringai
menahan sakit di pundaknya. Apalagi ketika ia melihat
serangan itu datang, justru saat ia belum dapat memperbaiki
keseimbangannya. Karena itu, Mahisa Bungalan justru menjatuhkan
dirinya. Dangan demikian kedua tangan dengan jari-jari ter
kembang itu tidak berhasil menerkam dan mengoyak
dagingnya. Namun sementara itu, Mahisa Bungalan telah
melenting dengan tumpuan tangan dan punggungnya.
Kakinya bagaikan terlontar menghantam dada lawannya
yang tidak berhasil mencengkeram dagingnya.
Sekali lagi orang itu terdorong surut sambil mengeluh
pendek. Tetapi Mahisa Bungalanpun telah terlempar pula
jatuh berbaring di tanah. Namun dengan kecepatan
bagaikan kilat, ia melenting untuk berdiri, tepat ketika
serangan lawannya yang lain menyambarnya.
Tetapi Mahisa Bungalan telah menduganya. Karena Itu,
ia masih sempat meloncat sambil merendahkan diri
menghindari serangan lawannya yang mengarah ke
dadanya. Dalam pada itu, ternyata lawannya yang segarang
harimau itu telah berhasil disakitinya. Ketika ujung jarijarinya
telah dapat membuat tulang iga lawannya itu
bagaikan retak, sementara serangan kakinya, membuat
napasnya menjadi sesak. Namun demikian pundaknya
sendiripun terasa sakit karena sentuhan serangan tangan
lawannya yang telah memutarnya sehingga hampir saja ia
kehilangan keseimbangan. Di saat berikutnya, Mahisa Bungalan menjadi semakin
berhati-hati. Tetapi ia melihat lawannya yang seorang
seolah-olah telah kehilangan sebagian dari kekuatannya.
Sakit di dada dan gangguan pernafasannya, agaknya
membuatnya lebih berhati-hati pula.
Sementara itu, orang tua yang melihat perkelahian
itupun bagaikan membeku di tempatnya. Bahkan nafasnya
bagaikan telah terhenti pula di kerongkongan.
Mahisa Bungalan yang memiliki kekuatan dan kecepatan
bergerak yang mengagumkan itu, harus mengakui, bahwa
melawan dua orang, yang masing-masing memiliki
kelebihannya pula, harus mengerahkan segenap
kemampuan dan kekuatannya. Jika ia melakukan
kesalahan, maka ia tidak akan dapat meninggalkan tempat
itu lagi, karena lawannya tentu akan memperlakukannya
tanpa ampun lagi. Mahisa bungalan menjadi berdebar-debar ketika ia
melihat kedua lawannya itu telah menarik senjatanya.
Keduanya benar-benar sudah dibakar oleh kemarahan yang
tidak terkendali. Dengan senjata masing-masing, keduanya
benar-benar ingin membantai Mahisa Bungalan di bawah
pohon preh yang besar itu.
Sejanak Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun
tiba-tiba saja ia melihat sebilah parang didekat orang tua
yang berdiri ketakutan. Ia tidak ingat lagi, apakah ketika
orang tua itu datang, ia memang membawa sebilah parang.
Tetapi yang diketahuinya, adalah bahwa ada parang di
dekat kaki orang tua itu.
Dengan serta merta, Mahisa Bungalan telah meloncat
memungut parang itu. Meskipun sekedar parang pembelah
kayu, bukan senjata yang khusus untuk bertempur, namun
agaknya memadai juga daripada ia sama sekali tidak
membawa senjata apapun. Perkelahian berikutnya adalah perkelahian yang sangat
dahsyatnya. Senjata kedua saudara seperguruan Gagak
Branang itu benar-benar bagaikan bayangan tangan-tangan
maut yang sedang berusaha memungut nyawa Mahisa
Bungalan dari tubuhnya. Namun Mahisa Bungalan adalah seorang anak muda
yang memiliki ilmu yang tinggi. Ia mempelajari berbagai
macam ilmu mempergunakan berbagai senjata bahkan
apapun yang dapat digenggamnya.
Kini tangannya menggenggam parang pembelah kayu.
Dan parang itupun ternyata telah berubah menjadi senjata
yang sangat dahsyat di tangan anak muda yang perkasa itu.
Kedua murid Gagak Branangpun menjadi heran melihat
kemampuan lawannya yang muda itu. Behkan di dalam
hati mereka berkata "Pentas bahwa Gagak Branang tidak
dapat berbuat apa-apa melawan anak muda itu dan
terbunuh bersama beberapa orang saudara seperguruan
kami yang lain" Namun dalam pada itu, kedua orang itu masih berusaha
untuk dapat menyelesaikan tugas mereka sebaik-baiknya.
Orang yang garang seperti harimau tetapi sudah tersentuh
tangan Mahisa Bungalan itu, rasa-rasanya tidak dapat
melepaskan diri dari himpitan sesak nafasnya. Meskipun
demikian, dalam hentakkan ilmunya, ia masih juga
merupakan bahaya yang sebenarnya bagi Mahisa Bungalan.
Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan harus benarbenar
memeras segenap kemampuan yang ada. Keringatnya
yang mengalir dari setiap lubang dikulitnya, telah
membasahi seluruh tubuhnya. Bahkan pakaianpun telah
kuyup pula. Namun demikian, rasa-rasanya sanjata kedua lawannya
selalu memburunya, kemana ia berkisar. Bahkan semakin
lama manjadi semakin dekat, sehingga akhirnya, Mahisa
Bungalan tidak kuasa lagi untuk menghindarkan diri dari
sentuhan ujung senjata lawannya itu.
Ketika terasa pedih menyengat kulitnya, Mahisa
Bungalan menggeram. Ia sadar, bahwa lawannya telah
melukainya. Ternyata bahwa luka itu telah membuat Mahisa
Bungalan semakin marah. Ia tidak lagi mempunyai
pertimbangan lain, kecuali pengakuan diri, bahwa ia adalah
murid Mahendra dan sekaligus anak laki-lakinya, yang
memiliki paduan Witantra dan Mahisa Agni yang perkasa.
Itulah sebabnya, maka yang kamudian mengalir lewat tata
geraknya adalah segenap ilmu yang ada pada dirinya dan
yang telah luluh menjadi ilmu yang jarang ada tanding
annya. Desakkan dari dalam itu, seolah-olah telah mempertegas
sikap dalam dirinya, bagaikan mengalir seperti banjir
bandang. Kakuatannya yang melampaui kekuatan orang
kebanyakan itu, bagaikan telah berlipat ganda pula.
Sayang, bahwa yang ada di dalam genggaman tangan
Mahisa Bungalan adalah sebuah parang pembelah kayu.
Itulah sebabnya maka dalam banturan yang bagaikan
guntur berlaga di langit, maka parangnyalah yang telah
pecah-pecah pada tajamnya. Dan bahkan semakin lama
menjadi semakin banyak. Namun demikian, senjata itu masih tetap berbahaya di
tangan Mahisa Bungalan. Sekali-sekali ia berhasil
menyusup di antara kedua sanjata lawannya. Bahkan iapun
kemudian berhasil menyentuh lawannya dengan parangnya
pula. Sejenak kemudian, maka goresan di tubuh Mahisa
Bungalanpun telah bertambah pula. Satu membujur dan
segores lagi melintang. Bahkan kemudian terasa luka-luka
itu menjadi sangat pedih oleh keringatnya sendiri.
Namun kemarahannya yang membakar jantungnya,
telah mendorongnya untuk bertempur semakin garang.
Selagi lawannya yang bagaikan seekor harimau itu
menerkamnya dengan senjatanya, maka iapun masih
sempat mengelak dan meloncat ke samping, Namun pada
saat yang sama, lawannya yang lain telah mengayunkan
senjatanya menadatar, menyambar kepalanya. Sekali lagi ia
harus menghindar. Tetapi Mahisa Bungalan bukannya sekedar
membungkukkan badannya. Dengan parangnya, ia berhasil
manyentuh senjata lawannya pada arah putarannya,
sehingga justru mendorong lawannya ke samping. Pada saat
yang tidak terduga-duga, maka tangan Mahisa
Bungalanpun terjulur lurus dengan parang yang sudah
menjadi bergerigi oleh pecah-pecah di bagian tajamnya.
Tetapi lawannya masih sempat melenting, sehingga
parang itu tiduk menyentuhnya. Namun pada saat itulah,
lawannya yang lain telah meloncat mematuk dengan
garangnya langsung mengarah kening.
Muhisa Bungalan terkejut oleh serangan itu. Ia tidak
dapal menghindar lagi, Karena itu, maka iapun langsung
menangkis serangan ilu, meskipun ia sadar, bahwa ia tidak
dapat membenturkan parangnya, karena parangnya
memang bukan senjata yang khusus dibuat unluk
bertempur. Mahisa Bungalan berhasil memukul senjata lawannya
sebelum senjata itu menyentuhnya. Senjata itu meleset
sejengkal dan tidak menyentuhnya. Tetapi pada saat itu,
senjata yang lain lelah menyambarnya mendatar.
Yang dilakukan oleh Mahisa Bungalan kemudian adalah
menjatuhkan dirinya, sehingga senjata ilu berdesing di atas
tubuhnya. Hampir saja mengenai kepalanya.
Sekejap kemudian Mahisa Bungalanpun lelah melenting
berdiri sambil mempersiapkan senjatanya menghadapi
segala kemungkinan. Namun demikian ia berjejak di atas
tanah, senjata lawannya yang lain lelah menyambarnya.
Mahisa Bungalan masih sempal menggeliat. Tetapi ia
lidak dapat membebaskan dirinya sama sekali dari sentuhan
senjata lawannya. Karena itu, maka iapun menyeringai
ketika terasa lambungnya disengat oleh perasaan nyeri.
"Gila" geramnya.
Dan bersamaan dengan itu, maka Mahisa Bungalanpun
bagaikan menjadi wuru. Ia mengerahkan segenap ilmunya
pada senjatanya yang kurang memadai. Namun dengan
demikian, kecepatannya bergeraklah yang lelah
membingungkan lawannya. Meskipun ia harus berhadapan
dengan dua orang, tetapi dengan melenting dan
berloncatan, keduanya benar-benar menjadi bingung
karenanya. Meskipun Mahisa Bungalan telah lerluka, telapi
serangan-serangannya bagaikan badai yang mengamuk.
Sekali-sekali Mahisa Bungalan menyerang, kemudian
menjauhkan dirinya, sementara sekejap kemudian ia lelah
melenting mengayunkan parangnya.
Yang terjadi kemudian adalah perkelahian yang
membingungkan. Orang tua yang menyaksikan
pertempuran ilu berdiri tegak tanpa berkedip, sementara,
Mahisa Bungalan yang terluka itu mengamuk seperti seekor
banteng. Yang dilihat oleh orang tua itu kemudian adalah sangat
mendebarkan. Ketiga orang yang bertempur itu, seolah-olah
lelah mandi keringat dan darah. Ketiganya telah terluka
semakin parah, sementara mereka masih saja bertempur
dengan sengitnya. Orang yang segarang harimau itulah yang menjadi
semakin lemah. Nafasnya masih saja terasa mengganggu,
sementara darahnya yang semakin banyak mengulir,
membuatnya kehilangan sebagian besar tenaganya.
Tetapi Mahisa Bungalanpun lelah mencucurkan
darahnya pula sehingga kecepatannya bergerakpun menjadi
semakin menurun. Namun akhirnya orang tua itu menarik nafas dalamdalam.
Ia melihat, akhirnya Mahisa Bungalan berhasil
mengatasi segata kesulitannya. Orang tua ilu melihat, orang
yang segarang harimau itu. adalah orang yang pertamatama
kehilangan kemampuan untuk bertempur lebih lama
lagi. Darahnya yang semakin banyak mengalir,
membuatnya semakin lamban. Sehingga akhirnya,
meskipun dengan menghentakkan kekuatannya, Mahisa
Bungalan berhasil meloncat dengan ayunan parang yang
dilambari segenap sisa kekuatannya itu.
Terdengar orang itu berteriak tertahan. Parang Mahisa
Bungalan yang menjadi bergerigi ilu lelah menyobek
lambungnya. Namun sementara ilu, ternyata bahwa kawannya telah
berhasil mempergunakan kesempatan di saat Mahisa
Bungalan dengan patukan senjatanya.
Mahisa Bungalan tidak sempal mengelak. Senjata
lawannya lelah mengenai pundaknya, sehingga di tubuh
Mahisa Bungalan itu telah menganga sebuah luka lagi yang
parah. Mahisa Bungalan terdorong surut selangkah, terasa
pundaknya menjadi nyeri dan panas. Sementara ia melihat
lawannya yang juga sudah menjadi lemah itu, masih
berusaha untuk memburunya dan sekali lagi menyerang
dengan sergapan maut. Wajah Mahisa Bungalan terasa menjadi panas. Matanya
menjadi kabur dan kekuatannyapun bagaikan semakin
lenyap. Namun demikian Mahisa Bungalan masih dapat melihat
dengan jelas, lawannya itu siap untuk menerkamnya sekali
lagi dengan serangan yang menentukan.
Dalam pada itu, orang tua yang menyaksikan
pertempuran itu menjadi gemetar. Ia melihat salah seorang
dari ketiga orang yang terlibat dalam pertempuran itu sudah
terbaring di tanah. Darahnya mengalir tanpa dapat
ditahankannya lagi. Sekali-sekali ia masih melihat orang itu
menggeliat menahan sakit.
Sejenak orang tua itu menjadi ragu-ragu. Namun
akhirnya ia tidak tahan lagi melihat orang yang terbaring
ilu. Perlahan-lahan ia melangkah mendekatinya. Dicobanya
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk menahan darah yang mengalir dari luka-lukanya.
Tetapi luka itu sudah terlalu parah Darahnya seolah-olah
tidak lagi dapat dipampatkan, mengalir dari luka-luka yang
menganga di beberapa bagian dari tubuhnya.
Akhirnya, orang tua itu hanya dapat menarik nafas
dalam-dalam. Orang itu ternyata sudah tidak dapat
ditolongnya lagi. Sebuah tarikan nafas terakhir orang itu
telah menandai ujung dari hidupnya yang penuh dengan
bayangan yang kelam. "Mati" desis orang tua itu.
Sejenak orang tua itu mengangkat wajahnya. Ia masih
melihat Mahisa Bungalan dan seorang lawannya bertempur
pada saat-saat terakhir. Keduanya sudah menjadi sangat
lemah, dan bahkan keduanya seolah-olah sudah tidak
mampu lagi berbuat sesuatu.
Namun lawan Mahisa Bungalan masih bernafsu untuk
menyelesaikan pertempuran itu. Kemarahannya telah
membakar nalar dan perhitungannya.. Apalagi ia sadar,
bahwa kawannya yang seorang itu telah terbunuh pula,
sementara dendamnya karena kematian Gagak Branang
dan beberapa orang yang lain masih belum dapat
ditebusnya. Dengan demikian, maka rasa-rasanya jantungnya
bagaikan membara, dan darahnya seakan-akan telah
mendidih di seluruh tubuhnya. Dengan sisa tenaganya, ia
berusaha untuk menyerang Mahisa Bungelan yang telah
menjadi sangat lemah pula.
Ketika senjata mereka beradu, maka keduanya terdorong
selangkah surut. Keduanya terhuyung-huyung dan hampir
kehilangan keseimbangan. Tetapi kemarahan yang luar
biasa telah mendorong lawan Mahisa Bungalan untuk
mengayunkan senjatanya sekali lagi menyambar kepala
Mahisa Bungalan. Mahisa Bungalan masih sempat merendahkan diri
sementara senjata lawannya terayun dengan derasnya.
Tetapi justru lawannya itulah yang kemudian terseret oleh
ayunan tangannya sendiri.
Mahisa Bungalan melihat lawannya kehilangan
keseimbangannya. Dengan serta merta iapun mengayunkan
parangnya. Dengan sisa tenaganya yang ada, ia menyerang
tepat mengenai lambung lawannya yang sedang kehilangan
kemampuannya untuk menghindar dan menangkis.
Terdengar sebuah keluhan tertahan. Mahisa Bungalan
masih melihat lawannya itu terdorong, dan kemudian
terbanting jatuh. Mahisa Bungalan masih melihat lawannya
itu menggeliat. Namun semakin lama menjadi semakin
kabur. Di saat ia menghentakkan kekuatannya yang tersisa,
ternyata dari luka-lukanya darahpun bagaikan dihentakkan
mengalir dengan derasnya. Karena itu, maka tubuh Mahisa
Bungalan menjadi semakin lemah. Matanya menjadi
berkunang-kunang. Semakin lama semakin gelap. Akhirnya
Mahisa Bungalan tidak ingat lagi apa yang telah terjadi.
Semuanya menjadi kelam ketika iapun kemudian terjatuh di
tanah. Pingsan. Mahisa Bungalan sadar, ketika terasa titik-titik air yang
segar di bibirnya. Perlahan-lahan Mahisa Bungalan
mambuka matanya. Mula-mula ia seakan-akan hanya
melihat kabut yang buram. Namun semakin lama semakin
jelas. Ternyata yang mula-mula dilihatnya adalah wajah orang
tua yang dijumpainya di bawah pohon preh. Tetapi orang
tua itu tidak sendiri. Iapun kemudian melihat beberapa
wajah yang lain. yang memandanginya dengan tegang.
"Kakek" desis Mahisa Bungalan "dimanakah aku
sekarang?" "Di rumahku anak muda. Kau berada di rumahku"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sekilas
teringat olehnya, dua orang yang berusaha membunuhnya
Namun yang kemudian berhasil dilumpuhkannya.
"Minumlah ngger" desis orang tua itu sambil menitikkan
beberapa tetes air segar di bibirnya pula.
Terasa ia mencoba untuk bergerak, betapa terasa
tubuhnya itu sakit dan nyeri.
"Jangan bergerak anak muda" berkata orang tua itu.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Dipandanginya beberapa wajah yang ada di sekitarnya
dengan penuh pertanyaan di dalam hati.
"Anak muda" berkata orang tua itu "orang-orang ini
adalah tetangga-tetanggaku. Ketika aku melihat akhir dari
perkelahian yang mengerikan itu, aku tidak tahan lagi. Aku
segera berlari memanggil orang-orang terdekat. Dan
merekapun segera berdatangan. Dua orang yang
menyamun angger itu sudah tidak dapat ditolong lagi
jiwanya. Mereka telah mati. Sementara keadaan angger
sendiri sangat mengkhawatirkan"
Mahisa Bungalan berdesis ketika perasaan nyeri
menggigit kulitnya. "Kedua orang itu sudah dibawa ke banjar dan akan
diselenggarakan sebagaimana seharusnya" berkata orang
tua itu "sementara kami berusaha untuk mengobatimu anak
muda, dengan reramuan yang dapat kami mengerti sesuai
dengan kebiasaan kami di padukuhan ini"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam,
betapapun terasa tubuhnya bagaikan ditusuk dengan seribu
duri. Namun nampaknya orang-orang yang ada di
seputarnya adalah orang-orang yang benar-benar ingin
menyelamatkan dengan obal-obat yang dapat mereka ramu.
Ketika orang-orang itu melihat Mahisa Bungalan yang
mulai menyadari keadaannya, maka nampak wajah-wajah
merekapun menjadi terang. Seorang yang berwajah sayu,
mengangguk-angguk sambil tersenyum. Tanpa
mengucapkan katapun, ia kemudian beringsut dan keluar
dari ruangan itu. Beberapa orang yang lainpun
mengikutinyu pula, sehingga akhirnya ruangan itu terasa
menjadi semakin lapang. Udara seakan-akan menjadi
bertambah segar, sehingga pernafasan Mahisa Bungalan
seolah-oleh menjadi semakin lancar.
"Beristirahatlah" berkata orang tua itu "jangan
memikirkan apa-apa lagi. Semuanya sudah teratasi dan
tetangga-tetangga kami yang baik sudah mengurus
segalanya. Di sudut pembaringanmu itu adalah bungkusan
kecil yang kau bawa. Kami sama sekali tidak melihat dan
apalagi membukanya. Mungkin sebilah keris, atau
barangkali barang-barang lainnya"
"Terima kasih kek" desis Mahisa Bungalan.
Orang itu mengangguk-angguk. Kemudian dengan dua
orang yang masih tinggal di dalam bilik itu, iapun
melangkah pergi sambil berdesis "Tidurlah. Kami berada di
luar pintu. Jika perlu kau dapat memanggil kami. Dan
kamipun akan selalu menengokmu setiap kali"
"Terima kasih" sekali lagi Mahisa Bungalan berdesis.
Sepeninggal orang-orang yang menungguinya, maka
Mahisa Bungalanpun mencoba memperbaiki keadaannya.
Ia mengatur pernafasannya sebaik-baiknya agar perasaan
sakitnya menjadi berkurang dan daya tahannya akan
meningkat sampai kemampuan yang tertinggi yang
mungkin dapat dicapai dalam keadaannya yang demikian.
Ternyata semakin lama tubuh Mahisa Bungalan terasa
semakin baik Obat-obatan yang diramu oleh kakek itu
menurut pengertiannya dan orang-orang di sekitarnya,
dapat membantunya serba sedikit. Meskipun obat-obat yang
disuapkan pada luka-lukanya terasa pedih, dan obat yang
diteteskan di bibirnya terasa pahit, namun obat-obat itu
sangat berguna bagi Mahisa Bungalan. Darahnya tidak lagi
mengalir sementara pernafasannya menjadi semakin teratur
pula. Ketika angin terasa mengusap tubuhnya lewat sela-sela
pintu yang tidak tertutup rapat, maka terasa badan Mahisa
Bungalan menjadi bertambah segar. Oleh letih yang
mencengkam lahir dan batinnya, maka perlahan-lahan mata
Mahisa Bungalan mulai terpejam, Sesaat ia tertidur dan
melupakan perasaan sakit di seluruh tubuhnya.
Orang tua yang berada di luar pintu itu masih saja
nampak gelisah. Tetangga-tetangganya sudah
meninggalkannya pulang ke rumah masing-masing.
Sementara yang lain, anak-anak muda padukuhan itu
sedang sibuk mengurusi mayat yang mereka dapatkan di
bawah pohon preh, yang menurut kakek tua itu, dua orang
yang akan menyamun anak muda yang pingsan itu.
Dengan hati-hati orang tua itu melangkah masuk ke
dalam bilik. Ia berusaha agar langkahnya tidak
membangunkan Mahisa Bungalan Sejenak ia berdiri
termangu-mangu Ketika tangannya terjulur untuk
menyentuh keningnya, orang tua itu mengurungkannya. Ia
ingin mengetahui apakah Mahisa Bungalan menjadi panas.
Tetapi ia tidak ingin membangunkan anak muda yang
sempat tertidur di dalam keadaannya yang sulit itu.
Namun ternyata bahwa Mahisa Bungalan hanya dapat
tidur sejenak. Iapun kemudian dengan gelisah membuka
matanya. Menyeringai menahan nyeri yang mulai terasa
lagi menggigit dagingnya.
"Tidurlah dengan tenang" desis orang tua itu "kau tidak
akan terganggu di sini. Kedua orang itu telah kau
binasakan. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi.
Sementara di sekitar tempat ini banyak anak-anak muda
yang berjaga-jaga. Meskipun mereka tidak memiliki ilmu
yang cukup, tetapi jumlah mereka cukup banyak, sehingga
tidak akan ada orang yang akan mengganggumu"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
sebaliknya duri yang dikatakan oleh orang tua itu. Jika
benar anak-anak muda padukuhan itu ingin melindunginya,
sementara masih ada saudara seperguruan Gagak Branang
yang lain yang mendendamnya, maka tentu akan jatuh
korban yang sangat banyak diantara anak-anak muda
padukuhan itu. Tetapi Mahisa Bungalan tidak mengatakannya.
Mulutnya masih terlalu malas untuk berbicara terlalu
banyak. Bahkan iapun kemudian hanya berdiam diri sambil
kadang-kadang menahan pedih pada luka-lukanya.
Mahisa Bungalan hanya berdesis saja. Tetapi di dalam
hati ia mengeluh "Bagaimana mungkin aku dapat
melupakan perasaan sakit ini"
Namun demikian. Mahisa Bungalan sama sekali tidak
menjawab. Sejenak kemudian orang tua itupun duduk di atas sebuah
dingklik kayu di sebelah pembaringannya. Orang tua
itupun. kemudian tidak mengajaknya berbicara lagi.
Dibiarkannya Mahisa Bungalan berbaring diam, sementara
orang tua itu sendiri agaknya sedang sibuk dengan anganangannya.
Orang tua itu bangkit ketika ia mendengar langkah
mendekati pintu. Kemudian seorang anak laki-laki
membawa sebuah mangkuk memasuki bilik itu sambil
berkata "Kakek, makanan sudah masak"
"Bagus, bagus" sahut orang itu perlahan-lahan "letakkan
di atas geledeg itu. Bukankah masih terlalu panas untuk
dimakan" Anak itu tidak menjawab. Diletakkannya mangkuk berisi
bubur cair itu di atas geledeg di dalam bilik itu.
"Kau sebaiknya makan ngger" berkata orang tua itu
"tetapi, biarlah bubur itu agak dingin"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Terdengar suaranya parau "Kakek terlalu baik"
"Ah, apakah yang sudah aku lakukan" Bukankah wajar
sekali" Aku tidak berbuat satu kebaikanpun, kecuali
memang sudah sewajarnya demikian" jawab orang tua itu.
Mahisa Bungalan tidak menjawab lagi.Tetapi di dalam
hatinya ia merasa berhutang budi kepada orang tua itu.
Ternyata kemudian setelah makanan itu menjadi agak
dingin, dengan telaten orang tua itu menyuapnya ke dalam
mulut Mahisa Bungalan. dengan demikian, maka tubuh
Mahisa Bungalan itupun merasa semakin segar pula. Tetapi
ketika titik-titik keringat mengembun di tubuhnya, lukalukanya
terasa menjadi bertambah nyeri dan pedih.
Namun demikian, kekuatan Mahisa Bungalan yang
seolah-olah telah terhisap habis itu, perlahan-lahan mulai
tumbuh. Darahnya yang serasa berhenti mengalir, mulai
bergerak lagi lewat urat-urat di dalam dagingnya.
"Makanlah sebanyak-banyak dapat kau makan" berkata
orang tua itu. Tetapi Mahisa Bungalan belum dapat menelan terlalu
banyak. Tetapi yang sedikit ilu benar-benar lelah
memberikan kekuatan dan meningkatkan daya tahannya
yang rasa-rasanya hampir lenyap sama sekali.
Ketika Mahisa Bungalan kemudian menggeleng, maka
orang tua itu berkata "Baiklah. Sekarang cobalah untuk
tidur lagi" Mahisa Bungalanpun berdesis "Terima kasih kakek. Aku
akan mencoba untuk dapal tidur lagi barang sekejap"
Orang tua itupun kemudian meninggalkan Mahisa
Bungalan seorang diri sambil menyingkirkan sisa makanan.
Tetapi agaknya orang tua itupun telah meramu pula obat
yang kemudian dipipisnya sendiri bagi Mahisa Bungalan.
Demikianlah, Mahisa Bungalan berada di bawah
perawatan kakek tua itu untuk beberapa hari. Bermacammacam
obat telah diberikan sehingga lambat laun, keadaan
Mahisa Bungalanpun menjadi berangsur baik.
Ketika Mahisa Bungalan telah dapat bangkit dan
berjalan keluar biliknya, maka iapun mulai mengenal
rumah kakek tua itu. Ternyata di dalam rumah itu tinggal
dua orang saja. Kakek tua itu dan seorang anak laki-laki
yang disebutnya sebagai cucunya.
Anakku laki-laki tinggal ditempai yang jauh. Dalam
perantauannya ia menemukan bakal islerinya, sehingga
akhirnya mereka kawin. Dan anak ini adalah anak mereka
yang pertama. Aku membawanya untuk mengawani aku
tinggal di sini" berkata orang tua itu.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Bahkan hatinya
merasa tersentuh oleh ceritera kakek tua itu tentang
anaknya. Seolah-olah ia telah menyindirnya, bahwa di
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perantauan seorang laki-laki muda telah bertemu dengan
bakal isterinya. Beberapa hari kemudian, maka keadaan Mahisa
Bungalanpun berangsur baik. Ia bukan saja sudah dapat
keluar dari biliknya, tetapi ia sudah dapat berjalan-jalan di
halaman dan bahkan turun ke jalan kecil di muka rumah
kakek tua itu. Dari hari kehari, maka akhirnya Mahisa Bungalanpun
rasa-rasanya telah menjadi keluarga sendiri dari padukuhan
itu. Tetangga-tetangga kakek tua yang menolongnya itupun
semakin lama menjadi semakin akrab pula. Di sore hari,
kadang-kadang Mahisa Bungalan ikut bersama beberapa
orang padukuhan itu, duduk-duduk di pojok
padukuhannya. Mereka berbincang tentang berbagai
macam keadaan padukuhan mereka. Dari masalah musim
sampai kemasalah gadis-gadis yang tidak lagi mau
mempelajari kidung. Mereka lebih senang tidur dan
bermalas-malasan atau justru berkejar-kejaran di terangnya
bulan. "Gadis-gadis sekarang tidak menghiraukan dirinya yang
sudah menjadi dewasa. Mereka masih saja seperti kanakanak
yang berkejar-kejaran sambil berteriak-teriak. Tetapi
mereka malas untuk duduk dan mencoba melagukan
kidung" berkata seorang ayah dari dua orang gadis yang
meningkat dewasa. Kawan-kawannya hanya mengangguk-angguk saja.
Namun kemudian pembicaraan itupun telah bergeser pula
kemasalah-masalah yang lain.
Tetapi tiba-tiba saja salah seorang dari mereka bertanya
kepada Mahisa Bungalan "Angger, bagaimana mungkin
angger dapat bertemu dengan dua orang penyamun di
bawah pohon preh itu. Hal itu tidak pernah terjadi
sebelumnya. Daerah ini adalah daerah yang sangat aman
dan tenang. Namun tiba-tiba saja telah terjadi sesuatu yang
menggoncangkan kami. Apalagi kedua penyamun itu
datang dan mencegatmu di siang hari"
Mahisa Bungalan termangu-mangu. Sekilas
dipandanginya orang tua yang telah menolongnya. Ia tidak
tahu pasti, apa saja yang telah dikatakan oleh orang tua itu
kepada tetangga-tetangganya.
Tetapi karena orang tua itu tetap diam, akhirnya Mahisa
Bungalanpun menjawab "Aku tidak tahu, bagaimanakah
keadaan di daerah ini sebelumnya, tetapi inilah yang aku
alami. Tiba-tiba saja aku sudah berhadapan dengan dua
orang yang tidak aku kenal sebelumnya dan memaksa aku
untuk mempertahankan diriku"
"Untunglah bahwa kau adalah seorang yang memiliki
tenaga yang luar biasa, sehingga kau dapat mengalahkan
kedua penyamun itu" berkata yang lain.
Mahisa Bungalan tidak menjawab lagi. Semakin banyak
ia memberikan keterangan, akan dapat memancingnya ke
dalam pembicaraan yang menyulitkannya.
Ternyata orang tua yang menolong Mahisa Bungalan itu
sama sekali tidak menyambung pembicaraan tentang kedua
penyamun itu Sehingga dengan demikian, maka
pembicaraan itupun tidak berkepanjangan.
Tetapi hal itu agaknya telah menimbulkan persoalan
tersendiri bagi orang tua itu di rumahnya. Ketika orang tua
itu kemudian pulang bersama dengan Mahisa Bungalan,
dan mendapatkan cucu laki-lakinya telah tertidur nyenyak,
maka orang tua itupun kemudian mengajak Mahisa
Bungaian duduk di serambi depan rumahnya.
"Ada yang ingin aku bicarakan denganmu ngger"
berkata kakek tua itu. Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Tetapi iapun
pergi juga ke serambi depan mengikuti orang tua itu.
Sejenak mereka duduk sambil berdiam diri, Seakan-akan
dedaunan menyusuri dahan-dahan yang terguncang
perlahan-lahan. orang tua yang duduk di amben bambu di serambi itu
nampak menjadi bersungguh-sungguh. Di bawah obor
lampu minyak di sudut rumahnya, Mahisa Bungalan
melihat, bahwa orang tua itu benar-benar ingin membawa
suatu masalah baginya. Tetapi Mahisa Bungalan tidak ingin bertanya lebih
dahulu. Ia menunggu saja, apa yang akan dikatakan oleh
orang tua itu kepadanya. Namun untuk beberapa saat, orang tua itu masih
berdiam diri. Tatapan matanya merayap ke kejauhan,
menyusup diantara gelapnyu malam. Sekali-sekali nampak
wajahnya menegang. Namun kemudian terdengar ia
berdesah perlahan-lahan. "Padukuhan ini adalah padukuhan yang sepi ngger"
desis orang tua itu perlahan-lahan.
Mahisa Bungalan berpaling. Dipandanginya wajah orang
tua itu sejenak. Kemudian jawabnya "Tetapi padukuhan ini
benar-benar sebuah padukuhan yang tenang kek.
Penghuninya hidup rukun dan ramah. Mereka merasa satu
keluarga besar yang diikat oleh lingkungan dan keadaan"
Orang tua itu mengangguk-angguk. Jawabnya "Ya.
Padukuhan ini seolah-olah sebuah rumah yang besar dari
satu keluarga yang hidup rukun"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun
demikian ia melihat sesuatu yang asing pada tatapan mata
orang tuu itu. Beberapa saat Mahisa Bungalan menunggu. Dan orang
tua itupun berkata perlahan-lahan "Kedatanganmu ke
padukuhan ini, semula memberikan harapan kepadaku
ngger. Tetapi ternyata aku harus malu kepada diriku
sendiri" "Apakah yang kau maksud kek?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Apaboleh buat. Aku memang harus mengatakannya
kepadamu. Siapapun kau sebenarnya, tetapi penilaianku
atasmu dalam waktu yang pendek ini telah menumbuhkan
kepercayaanku, bahwa kau termasuk orang yang berusaha
untuk memberikan pengabdian kepada sesama. Kau tentu
bukan orang yang sejalan dengan kedua orang yang
terbunuh itu, meskipun aku juga belum mengenal mereka"
berkata orang tua itu pula.
Mahisa Bungalan hanya mengangguk-angguk saja.
Tetapi ia tidak tahu arah pembicaraan orang tua itu.
"Angger" berkata orang itu pula "ketika aku melihat kau
duduk di bawah pohon preh, maka akupun berusaha untuk
mengenalmu. Menilik sikap dan keadaan lahiriahmu, maka
kau tentu orang yang memiliki kelebihan. Itulah sebabnya,
maka aku berusaha untuk mengenalmu. Aku berharap,
bahwa kau adalah orang yang baik dan dapat dipercaya.
Dalam pembicaraan yang singkat, aku memang mendapat
kesan yang demikian, sehingga harapankupun menjadi
semakin besar" "Apakah yang sebenarnya kakek harapkan?" bertanya
Mahisa Bungalan. "Baiklah aku berterus terang. Aku berharap, bahwa aku
akan mendapatkan seorang kawan"
"Kawan?" Mahisa Bungalan mengulang.
"Ya. Seorang kawan. Aku sedang mengemban kewajiban
yang dibebankan oleh keluargaku. Ketika aku melihatmu,
maka aku ingin minta bantuanmu untuk melakukan
kewajiban ini. Aku ingin membuatmu anak muda yang
mampu membantuku. Aku ingin mengajarimu barang satu
dua langkah olah kanuragan" orang tua itu berhenti
sejenak, Lalu "tetapi itu adalah angan-anganku sebelum kau
terluka parah" Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Di luar
sadarnya ia bertanya "Kakek menjadi kecewa karena aku
sama sekali tidak mempunyai bekal dalam olah kanuragan"
Kakek kecewa setelah melihat aku jatuh pingsan?"
"Ya. Aku kecewa sekali" berkata orang tua itu.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Demikianlah yang ada padaku kek. Memang sama sekali
tidak berarti. Dan akupun harus mengakui, bahwa aku tidak
akan mampu mengemban tugas yang betapapun ringannya"
Tiba-tiba saja orang tua itu tertawa. Sekilas membayang
kembali sifat orang tua yang agaknya memang periang itu.
Namun kemudian kembali wajahnya menjadi bersungguhsungguh.
Katanya "Angger salah mengerti. Yang aku
maksud, aku menjadi sangat kecewa bahwa aku tidak akan
dapat mengajarimu olah kanuragan dan kemudian
membantuku" "Memang tidak ada kemungkinan sama sekali padaku
kek" Sekali lagi orang tua itu tertawa. katanya pula "Itulah
yang lucu dan membualku malu kepada orang yang
memiliki ilmu yang tinggi, kemudian sengaja atau tidak.
sengaja, kau telah membunuhnya, maka akupun sadar,
bahwa bukan aku yang pantas mengguruimu, tetapi akulah
yang harus berguru kepadamu"
"Ah" Mahisa Bungalan berdesah "kakek memang suka
bergurau. Tetapi kali ini, kakek telah membanting aku ke
dalam suatu pengakuan akan kekerdilanku"
"Sama sekali tidak ngger. Aku berani bersikap demikian
terhadapmu, karena aku tahu, kau bukan saja seorang yang
memiliki ilmu yang sangat tinggi, tetapi kau juga seorang
yang berjiwa seluas lautan"
"Jangan memuji kakek. Katakanlah yang sebenarnya"
"Aku sudah mengatakah yang sebenarnya. Kau ternyata
memiliki kemampuan jauh di atas dugaanku. Karena itu,
justru aku mulai ragu-ragu, apakah aku akan dapat mohon
pertolongan itu kepadamu. Karena dengan keadaanmu
yang aku lihat pada perkelahianmu itu, maka tentu kau
adalah seseorang yang sudah mengemban tugas sekarang
ini" Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dulam. la
menjadi semakin yakin, bahwa orang tua itu memang orang
yang suka bergurau. Untuk menyatakan persoalan yang
sungguh-sungguh itupun ia sempat pula untuk bergurau.
Tetapi Mahisa Bungalan percaya, bahwa orang tua itu
berkata dengan sungguh-sungguh menurut caranya. Orang
tua itu agaknya benar-benar memerlukan pertolongan.
Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun berkata "Kek, jika
benar kakek memerlukan kawan untuk menjalankan
kewajiban kakek yang dibebankan oleh keluarga kakek,
cobalah, barangkali aku yang tidak memiliki bekal apapun
juga ini, akan dapat membantu"
"Ah, kau aneh anak muda" sahut orang tua itu "sudah
aku katakan, kau tentu mengemban tugas yang penting"
"Seandainya demikian, tugasku tidak dibatasi oleh
waktu. Karena itu, jika memang diperlukan, aku dapat
berbuat sesuatu menurut kemampuanku. Asal aku tidak
harus terikat di tempat ini selama-lamanya"
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian "Tugas itu cukup menggelisahkan"
"Apakah yang kakek maksud?"
"Anak itu. Cucuku"
"Bagaimana dengan anak itu?" bertanya Mahisa
Bungalan dengan sungguh-sungguh.
Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya
Mahisa Bungalan yang justru menjadi tegang.
"Anak muda" berkata orang tua itu "jika aku
mengatakan sesuatu kepadamu, maka aku sudah
mempertaruhkan nyawaku. Jika sikapku ini keliru, maka
aku harus mempertanggung-jawabkannya dengan seluruh
hidupku" "Kakek membuat aku berdebar-debar"
"Aku juga menjadi berdebar-debar" jawab orang tua itu
"tetapi aku sudah berniat untuk mengatakannya"
Mahisa Bungalan menjadi bingung. Tetapi ia tidak
berkata apapun juga. Ia menunggu, apa yang akan
dikatakan oleh orang tua itu selanjutnya.
"Angger" berkata orang tua itu " jika aku selah pilih, dan
ternyata angger adalah justru orangnya yang sedang
memburu anak itu, maka nasibnya akan menjadi sangat
buruk" Wajah Mahisa Bungalan benar-benar menjadi tegang.
Dengan nada dalam ia bertanya "Apakah maksud kakek,
bahwa sedang memburu anak itu?"
"Jika. Sekali lagi, jika angger ini justru orang yang
mendapat tugas, atau mendapat upah, atau dengan alasan
apapun juga, justru sedang memburu anak yang aku
sembunyikan itu, maka aku sudah membuka satu pintu
pagar bagi langkah maut dan akibatnya aku harus
mempertaruhkan segala-galanya untuk
mempertahankannya" " Aku menjadi semakin bingung kek"
"Tentu, jika kau bukan orang yang aku maksud kau
menjadi bingung. Tetapi jika kau adalah orang yang aku
maksud, maka kau tentu berpura-pura bingung"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam, lebih baik
baginya untuk diam dan mendengarkan keterangan orang
tua itu. "Angger" orang itu berkata lebih lanjut "baiklah aku
berterus terang, bahwa anak itu adalah cucuku yang lahir
dari anak perempuanku"
Mahisa Bungalan mendengarkan ceritera itu dengan
seksama. "Nyawanya kini ada dalam bahaya" berkata orang tua
itu selanjutnya "kelahirannya tidak disukai oleh keluarga
ayahnya. Dan ibunya telah menjadi korban ketidak-sukaan
mereka" "Apa yang telah dilakukan terhadap ibu anak itu?"
bertanya Mahisa Bungalan.
"Aku kurang mengerti. Tetapi ibunya bagaikan hilang
ditelan bumi. Aku tidak tahu, dimanakah ibunya kini
berada. Namun yang aku tahu, di tengah malam anak itu
datang kepadaku diantar oleh seorang pelayan"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai
menangkap persoalan yang diceriterakan oleh orang tua itu,
Tetapi ia masih menunggu orang tua itu meneruskan
ceriteranya.
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pelayan itu menyerahkan cucuku kepadaku. Tetapi
kami tidak dapat melepaskan diri dari kejaran orang yang
marah itu. Ketika mereka datang menyusul, maka terpaksa
aku mempertahankan cucuku. Demikian pula pelayan yang
setia itu. Tetapi ia bernasib buruk. Ia terbunuh dalam
perkelahian yang tidak seimbang. Sehingga aku terpaksa
melarikan diri menyelamatkan cucuku itu"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk di luar sadarnya.
Sementara ia terkejut ketika orang tua itu berkata "Nah,
sekarang katakan. Apakah kau termasuk salah seorang, atau
orang yang diupah, atau dengan alasan apapun, ikut
memburu cucuku yang aku ajak bersembunyi di sini?"
Sejenak Mahisa Bungalan memandang wajah orang tua
itu. Namun dalam sekilas ia melihat, bahwa pada mata itu
memancar sesuatu yang tidak dilihatnya selama ia berada di
rumahnya. Ia melihat semacam bara yang membakar hati orang tua
itu. Kemarahan, kebencian dan tanggung jawab. Bahkan
pada bara api itu ia melihat, bahwa orang tua itu sama
sekali tidak gentar terhadapnya, meskipun orang tua itu
sudah melihat, bagaimana ia membunuh dua orang yang
mangejarnya dengan dendam karena kematian Gagak
Branang. Karena itu, ketajaman rabaan batin Mahisa Bungalan
segera mengetahui, bahwa orang tua itu bukannya orang
tua yang ketakutan di bawah pohon preh seperti yang
dilihatnya. Sebenarnyalah bahwa orang tua itu tentu
memiliki bekal yang dapat dipergunakannya untuk
menghadapinya apabila perlu.
Namun bagaimanapun juga, Mahisa Bungalan masih
menganggap bahwa orang tua itu adalah orang tua yang
suka bergurau. Orang tua yang sebenarnya seorang periang.
Karena itu, maka sambil menjajaginya Mahisa Bungalan
berkata "Kakek tua. Apakah dengan sikap itu, kakek telah
menantang aku?" -oo0dw0oo- Jilid 06 "AKU TIDAK GILA" berkata kakek itu. Lalu "Aku
tidak bermaksud demikian. Aku ingin meyakinkan, apakah
kau termasuk orang yang berniat buruk itu. Jika demikian,
aku sudah bertekad untuk melindungi cucuku"
"Kakek menantang aku" Baiklah. Aku adalah Mahisa
Bungalan anak Mahendra. Marilah, dengan atau tidak
dengan tuduhan itu" Orang tua itu menjadi tegang. Dipandanginya Mahisa
Bungalan sejenak. Namun tiba-tiba saja ia melihat bibir
Mahisa Bungalan tidak dapat menahan senyum.
"Ah, kau anak muda. Kau bergurau?"
Mahisa Bungalan tertawa. Katanya "Kakek memang
lucu. Kenapa tiba-tiba saja kakek menghubungkan aku
dengan orang-orang yang berniat jahat itu?"
"Aku hanya berhati-hati ngger. Tetapi sejak semula aku
menganggap, bahwa kau tentu bukan dari golongan
mereka" "Dan sekarang" Apakah kakek sudah yakin?"
"Nampaknya aku sudah yakin. Kau adalah Mahisa
Bungalan, anak Mahendra. He, bukankah kau tadi
mengatakannya demikian?"
"Ya. Aku adalah anak Mehendra. Apakah kakek kenal
Mahendra?" Orang tua itu menggelengkan kepalanya, katanya "Tidak
ngger. Aku tidak mengenalnya. Tetapi dengan demikian
aku bertambah yakin, bahwa kau bukan salah seorang yang
sedang memburu cucuku itu"
"Jika kakek sudah yakin, nah, katakanlah. Apa yang
harus aku lakukan" "Aku ingin mendapat bantuanmu melindungi anak itu
ngger" "Kakek juga bergurau. Kakek tentu seorang yang
memiliki ilmu yang luar biasa. Kakek sudah melihat aku
bertempur melawan dua orang itu. Tetapi seandainya aku
adalah pemburu anak itu, maka kakek akan melawan aku"
"Itu adalah kewajibanku" gumam orang tua itu.
"Aku dapat membedakan getar suara kakek yang penuh
dengan keyakinan. Seolah-olah kakek ingin mengatakan,
bahwa jika aku hanya seorang diri, maka aku tidak akan
dapat mengalahkan kakek yang tua ini. Nah, kakek, kakek
jangan bersembunyi lagi. Aku tahu, kakek memerlukan
seorang yang sakti. Mungkin benar kakek masih
memerlukan seorang kawan karena kakek benar-benar
menghadapi kekuatan yang luar biasa"
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Kau bukan saja seorang yang berilmu tinggi. Tetapi kau
adalah seorang anak muda yang cerdik?"
"Jangan memuji lagi, kek. Jika kakek memang
mempercayai aku, katakan, kewajiban apakah yang harus
aku lakukan" Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya
Mahisa Bungalan dengan saksama, seolah-olah ia masih
ingin melihat isi dada anak muda itu.
"Anak muda" desis orang tua itu "aku mempercayaimu.
Karena itu, aku akan mohon kepadamu, bersamaku
menyelamatkan anak itu"
"Ya. Apakah harus aku lakukan?"
"Untuk sementara tidak apa-apa. Belum saatnya kita
berbuat sesuatu. Menurut penilaianku, belum ada
seorangpun diantara mereka yang mengetahui bahwa anak
itu berada disini" Mahisa Bungalanlah yang kemudian menarik nafas
dalam-dalam. Katanya "Sukurlah. Tetapi sampai kapan aku
harus menunggu?" "Angger Mahisa Bungalan. Kita akan menentukan suatu
waktu untuk membawa anak itu pergi ke tempat yang tidak
akan dijangkau lagi oleh orang-orang yang mendengkinya
itu" "Kemana kek?" bertanya Mahisa Bungalan.
Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun
jawabnya "Aku belum perlu mengatakan, apakah sebab
yang sebenarnya dan kemana aku akan membawanya"
"Aku mengerti" jawab Mahisa Bungalan "kecurigaan itu
tentu masih ada" Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Bukan begitu ngger. Tetapi sebelum kita melakukannya,
jika angger berkenan, aku ingin berbuat sesuatu"
"Apakah yang akan kakek lakukan?"
Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Lalu "Angger
Mahisa Bungalan. Aku mohon maaf sebelumnya. Bukan
karena aku deksura atau tidak tahu diri. Tetapi selama ini
aku belum pernah melihat seorang anak muda yang
memiliki kemampuan dan kecerdasan berpikir seperti
angger Mahisa Bungalan. Karena itulah, maka aku ingin
memberanikan diri untuk menawarkan sesuatu kepada
angger" Mahisa Bungalan menjadi semakin berdebar-debar.
"Angger. Aku melihat bahwa ilmu angger adalah ilmu
yang lengkap dan matang. Namun betapapun juga, bahwa
yang dimiliki oleh seseorang, belum tentu dimiliki orang
lain. Meskipun aku adalah orang yang tidak berarti, tetapi
aku memiliki yang agaknya belum angger miliki, meskipun
apa yang angger miliki sudah jauh lebih banyak dari yang
aku miliki" "Mahisa Bungalan. Aku telah menyiapkan sebuah
parang bagi angger saat angger bertempur. Angger memiliki
ilmu pedang yang luar biasa. Tetapi seperti yang aku
katakan, bahwa yang dimiliki oleh seseorang, belum tentu
dimiliki oleh orang lain" orang tua itu berhenti sejenak lalu
"angger Mahisa Bungalan. Karena aku ingin minta tolong
kepadamu, maka akupun ingin agar kau tidak mengalami
sesuatu apabila bahaya yang sebenarnya itu datang. Jika
angger tidak berkeberatan, maka aku ingin memperlengkap
ilmu yang sudah angger miliki. Yang tinggi tingkatnya dan
yang matang. Namun ternyata bahwa aku memiliki sesuatu
yang baru sedikit angger miliki"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Tawaran
itu membesarkan hatinya. Tetapi iapun harus berhati-hati
karenanya. Ia tidak boleh dengan begitu saja mempercayai
seseorang. Karena itu, maka iapun harus menjajaginya.
Ilmu apakah yang akan diberikan oleh orang tua itu.
Mungkin ilmu yang akan dapat meningkatkan
pengabdiannya. Tetapi jika ilmu itu dijiwai dengan ilmu
yang hitam, maka ia akan dapat terperosok ke dalam
keadaan yang bertentangan dengan keinginannya.
Agaknya orang tua itu dapat melihat keragu-raguan pada
wajah Mahisa Bungalan, sehingga iapun kemudian berkata
"Angger Mahisa Bungalan. Sudah barang tentu segalanya
tergantung kepadamu. Tetapi aku bermaksud baik.
Mungkin agak aneh, bahwa seseorang dengan begitu saja
bersedia memberikan ilmunya kepada orang lain jika tidak
ada pamrih apapun juga. Dan akupun mengakui, dan
memang sudah aku katakan, bahwa aku memang
mempunyai pamrih. Dan pamrih itu Sudah aku katakan"
Mahisa Bungalan menarik nafas panjang. Diluar
sadarnya iapun kemudian mengangguk-angguk kecil.
Katanya "Tentu aku akan sangat berterima kasih, kek.
Tetapi aku sebaiknya dapat melihat, apakah yang kakek
maksudkan dengan kelebihan itu. Apakah yang ada pada
Pendekar Gunung Naga 1 Jodoh Rajawali 01 Wasiat Dewa Geledek Pendekar Panji Sakti 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama