Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 5
"Ya Kiai. Ia sudah datang" jawab orang yang
melaporkan. "Dengan siapa?"
"Sendiri " "Sendiri?" Ki Watu Kendeng mengulang. Namun ia pun
kemudian dengan tergesa-gesa pergi ke pendapa.
Mahisa Bungalan masih berdiri termangu-mangu sambil
memegangi kendali kudanya. Ketika ia melihat Ki Watu
Kendeng, maka iapun segera membungkuk hormat"
"Terimalah kudanya, he, terimalah kuda anakku"
berkata Ki Watu Kendeng kepada seorang cantrik yang
berdiri termangu-mangu di halaman.
Dengan tergesa-gesa cantrik itupun menerima kendali
kuda Mahisa Bungalan dan menuntunnya ke belakang.
"Marilah Mahisa Bungalan" Ki Watu Kendeng
mempersilahkan "akhirnya kau datang juga ke rumah yang
buruk ini" Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi iapun
kemudian naik kependapa dan duduk diatas sehelai tikar
pandan yang putih yang terbentang di antara tiang-tiangnya
yang berukir, meskipun sederhana.
Dalam pada itu nampaklah betapa gembiranya hati Ki
Watu Kendeng dalam saat-saat ia berkabung, sepeninggal
anak dan adiknya. Kedatangan Mahisa Bungalan dapat
menjadi sedikit penawar, meskipun bagaimana juga,
nilainya tidak akan dapat mengimbangi anaknya sendiri
bagi Ki Watu Kendeng. Meskipun segala sesuatunya pada
Mahisa Bungalan berlipat ganda dari Kuda Pramuja, tetapi
bagi Ki Watu Kendeng, Kuda Pramuja adalah anak muda
yang paling berharga baginya, karena anak itu adalah
belahan kulit dagingnya sendiri.
Namun kehadiran Mahisa Bungalan akan dapat menjadi
sekedar pengisi kekosongan di relung hatinya.
Seperti kebiasaan, maka Ki Watu Kendeng itupun
bertanya tentang keselamatan Mahisa Bungalan dan orangorang
yang ditinggalkan di padepokan Kenanga. Kemudian
baru ia bertanya tentang kaadaan padepokan itu karena
peristiwa terakhir yang telah terjadi.
Mahisa Bungalan kemudian menceriterakan dengan
singkat, apa yang telah terjadi. Ia meninggalkan padepokan
Kenanga setelah semuanya dapat dianggap selesai.
"Tinggalah di sini Mahisa Bungalan" berkata Ki Watu
Kandang "kau akan mendapat tempat seperti kau tinggal di
rumahmu sendiri. Meskipun barangkali rumah ini lebih
buruk dari rumahmu, den apalagi rumah-rumah yang lain
di Kota Raja, tetapi hendaknya kau kerasan tinggal di sini"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Tantu ia
tidak akan membantah. Tetapi ia menjadi cemas, bahwa
kelak ia akan sulit untuk meninggalkan padepokan itu. Ia
dapat saja memaksa pergi, tetapi jika hal itu akan membuat
hati orang itu pedih maka iapun akan menjadi ragu-ragu
pula. "Biarlah akan aku pikirkan kelak" berkata Mahisa
Bungalan di dalam hatinya.
Demikianlah, maka sejak saat itu, Mahisa Bungalan
berada di padepokan Watu Kendeng. Seperti di padepokan
Kenanga, maka padepokan itupun tidak banyak
dipengaruhi oleh masalah-masalah yang rumit seperti yang
dikenalnya di Singasari. Orang-orang Watu Kendeng
perhatiannya tidak berkisar terlalu jauh dari sawah,
pategalan, ternak dan sedikit masalah mengenai pakaian.
Selebihnya, bebeberapa orang telah mempelajari olah
kanuragan. Seperti Ki Selabajra maka Ki Watu Kendeng
adalah orang pertama di padepokannya serta daerah di
sekitarnya. "Kau dapat berbuat banyak di sini apabila kau sempat"
berkata Ki Watu Kendeng "kau mempunyai ilmu linuwih.
Mungkin sehitamnya kuku dapat kau berikan kepada orangorang
Watu Kendeng" Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Permintaan itu memang wajar sekali. Namun dalam pada
itu, Mahisa Bungalanpun selalu saja dibayangi oleh
keinginannya untuk meneruskan perantauannya. Ia ingin
menjelajahi daerah yang luas. Pada saatnya ia akan kembali
ke Singasari, kepada ayah dan keluarganya. Kemudian
menerima pengangkatannya menjadi seorang prajurit di
Singasari. Dalam pada itu, selama berada di padepokan Watu
Kendeng, Mahisa Bungalan telah berusaha menyesuaikan
dirinya. Seperti para murid dan para cantrik, pagi-pagi
benar ia sudah bangun dan mengerjakan pekerjaan seharihari.
Jika matahari naik, seperti penghuni-penghuni yang
lain, Mahisa Bungalanpun pergi pula ke sawah dan
pategalan. Adalah diluar dugaan, bahwa pada suatu ketika, selagi
Mahisa Bungalan berada di sawah, Ki Selabajra telah
berada di padepokan Watu Kendeng, Tidak banyak yang
dibicarakan, karena Ki Selabajrapun tidak lama berada di
padepokan Watu Kendeng. Ketika Mahisa Bungalan
kembali dari sawah, ia mendapatkan Ki Selabajra sudah
hampir minta diri untuk kembali ke padepokan Kenanga
berkata Ki Selabajra. "Terima kasih" jawab Mahisa Bungalan "Ternyata Ki
Selabajra masih ingat kepadaku"
Ki Selabajra tertawa. Katanya "Bagaimana aku dapat
melupakanmu. Kau adalah orang yang pertama-tama
mengalahkan aku. Hampir saja aku menjadi mata gelap.
Untunglah aku segera menyadari kesalahanku"
"Apa yang kalian bicarakan?" bertanya Ki Watu
Kendeng. Ki Selabajra tertawa. Katanya "Kedatangannya
hampir saja membuatku marah tanpa terkendali. Tetapi
akhirnya aku menjadi sangat malu kepada diriku sendiri.
Apalagi setelah Mahisa Bungalan dapat mengalahkan
Gagak Branang" "Ah" desah Mahisa Bungalan "Ki Selabajra hanya
sekedar bermain-main"
"Bermain-main?" bertanya Ki Selabajra "kau kira bahwa
aku tidak sudah mengerahkan seganap kemampuan lahir
dan batin, sementara kaulah yang hanya bermain"
Mahisa Bungalan tersenyum. Ketika ia memandang
wajah Ki Watu Kendeng yang keheran-heranan, hampir ia
tidak dapat menahan tertawanya.
"Suatu permainan yang kurang menarik" tiba-tiba Ki
Selabajra berdesis "tetapi kesannya tidak akan terlupakan
sepanjang umurku" "Aku tidak mengerti" desis Ki Watu Kendeng.
"Kelak kau akan mengerti" sahut Ki Selabajra.
Mahisa Bungalan hanya tersenyum-senyum saja
menyaksikan wajah Ki Watu Kandeng. Agaknya ia benarbenar
heran mendengar pembicaraan Ki Selabajra dengan
Mahisa Bungalan. Namun dalam pada itu, Ki Selabajrapun kemudian
minta diri. Keperluannya datang ke Watu Kendeng
agaknya telah selesai sepeninggal Ki Selabajra, Mahisa
Bungalan hampir diluar sadarnya bertanya "Apakah ada
kepentingan khusus, sehingga Ki Selabajra telah datang ke
padepokan ini?" Ki Watu Kendeng menggeleng. Jawabnya "Tidak
Bungalan. Dan kau sudah mendengar sendiri, bahwa ia
datang karena ia ingin sekedar menengokmu"
Mahisa Bungalan tidak bertanya lebih banyak lagi.
Seandainya ada keperluan lain dari Ki Selabajra, maka
nampaknya keduanya menganggap bahwa Mahisa
Bungalan tidak perlu mengetahui persoalan itu.
Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan tidak
bertanya lebih banyak lagi. Ia menganggap bahwa ia tidak
berkepentingan apapun dengan kedatangan Ki Selabajra itu.
Ternyata bahwa Ki Watu Kendeng memang tidak
memberitahukan apapun juga kepadanya. Sepeninggal Ki
Selabajra, seolah-olah tidak terjadi suatu pembicaraan
apapun antara keduanya, sehingga tidak ada kesan yang
dapat dibacanya pada sikap maupun wajah Watu Kendeng.
Mahisa Bungalanpun tidak menghiraukan ketika Ki
Watu Kendeng memanggil beberapa orang pembantunya
untuk berbicara di dalam sanggarnya. Seolah-olah
pembicaraan mereka sekedar pembicaraen yang tidak,
terlalu penting, yang menyangkut masalah padepokan
Watu Kendeng itu. Ternyata pula bahwa disaat berikutnya Ki Watu
Kendeng tidak mengatakan sesuatu kepadanya. Bahkan
sampai hari berikutnya. Ki Watu Kendeng bersikap seperti
biasanya tanpa menyebut sama sekali pembicaraannya
dengan Ki Salabajra. Namun, ketika matahari turun ke Barat, dan Watu
Kendeng mulai dibayangi oleh malam yang gelap, Ki Watu
Kendeng telah memanggil Mahisa Bungalan di pendapa.
Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Ia sudah
hampir melupakan kunjungan Ki Selabajra. Namun
agaknya kedatangan itu bukan tanpa tujuan apapun juga,
seperti yang sudah diduganya.
Ketika Mahisa Bungalan sudah duduk di pendapa, maka
rasa-rasanya ia dihadapkan pada suatu sikap yang sangat
kaku, yang belum pernah nampak pada Ki Watu Kendeng.
Sejenak Ki Watu Kendeng duduk diam menghadapi
semangkuk minuman hangat. Bahkan ketika ia berbicara,
yang diucapkannya hanyalah kata-kata pendek "Minumlah
Mahisa Bungalan" Mahisa Bungalan yang juga menghadapi semangkuk
minumanpun telah mengangkat mangkuknya pula dan
meneguknya. Namun rasa-rasanya iapun menjadi gelisah,
justru karena sikap Ki Watu Kendeng.
Setelah minum seteguk, ia masih, harus menunggu
beberapa saat pula, karena Ki Watu Kendeng rasa-rasanya
baru mengatur kata-kata yang akan diucapkannya.
Baru kemudian terdengar suaranya dalam "Mahisa
Bungalan. Memang ada sesuatu yang ingin aku bicarakan
denganmu. Sebagai seorang ayah yang ingin berbicara
dengan anaknya" Debar jantung Mahisa Bungalan terasa semakin cepat
memukul dinding hatinya. Sekilas dipandanginya wajah Ki
Watu Kendeng yang tunduk. Namun kemudian Mahisa
Bungalanpun menundukkan kepalanya pula.
"Mahisa Bungalan" berkata Ki Watu Kendeng pula
"sebelumnya aku ingin bertanya kepadamu, apakah kau
sudah dapat menempatkan dirimu, benar-benar seperti
anakku sendiri?" Mahisa Bungalan menjadi bingung. Untuk sejenak ia
diam termangu-mangu. Bagaimana ia akan menjawab
pertanyaan itu. "Maksudku, apakah kau benar-benar menerima aku
sebagai ayah angkatmu dengan ikhlas?"
Betapapun juga akhirnya Mahisa Bungalan menjawab
"Ya Ki Watu Kendeng. Aku, menerima kebaikan hati Ki
Watu Kendeng dengan ikhlas"
Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada yang dalam ia melenjutkan "Terima kasih atas
sikapmu itu Mahisa Bungalan"
Mahisa Bungalan menjadi termangu-mangu. Namun
untuk beberapa saat Ki Watu Kendeng justru terdiam.
Agaknya ada kegelisahan juga di dalam hatinya. Untuk
beberapa saat lamanya keduanya justru saling berdiam diri.
Keduanya menundukkan kepala memandangi air hangat di
dalam mangkuk masing-masing. Sekali-sekali tangan
Mahisa Bungalan menyentuh mangkuknya. Namun ia tidak
mengangkatnya dan meneguknya lagi.
Jantung Mahisa Bungalan justru merasa semakin cepat
berdentang justru dalam kediaman. Rasa-rasanya pendapa
itu menjadi sangat tegang. Kediaman Ki Watu Kendeng
menimbulkan berbagai macam tanggapan. Tetapi Mahisa
Bungalan sama sekali tidak dapat menebak, apa yang
sedang dipikirkan oleh Ki Watu Kendeng. Namun ia
mencoba untuk menghubungkannya dengan kedatangan Ki
Selabajra di padepokan itu.
Untuk sejenak keduanya masih berdiam diri. Namun
akhirnya setelah Ki Watu Kendeng menarik nafas dalamdalam,
akhirnya ia berkata "Mahisa Bungalan. Ada yang
penting yang ingin aku katakan kepadamu sebagai seorang
ayah kepada anaknya. Aku tidak dapat ingkar, bahwa
kedatangan Ki Selabajra bukannya tanpa masalah. Aku
telah lebih dahulu datang ke padepokan Kenanga tanpa
setahumu. Sehari kemudian, Ki Selabajra telah datang pula
ke padepokan ini" Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
"Dengarlah" berkata Ki Watu Kendeng "sebagai orang
tua, maka aku mempunyai keinginan-keinginan tertentu.
Beberapa saat yang lampau, aku pernah datang kepada Ki
Selabajra, untuk menyampaikan niatku yang pernah aku
katakan sebelumnya meskipun saat itu tidak bersungguhsungguh.
Aku ingin mengikat hubungan antara padepokan
ini dengan padepokan Kenanga dengan ikatan
kekeluargaan. Tetapi kau tahu sendiri, apakah yang telah
terjadi dengan anakku dan adikku"
Mahisa Bungalan menundukkan kepalanya dalamdalam.
"Tetapi keinginan itu tidak pernah pudar dari dadaku.
Itulah sebabnya, maka aku telah datang pula ke padepokan
Kenanga untuk melanjutkah pembicaraan itu"
Mahisa Bungalan menjadi heran. Tetapi ia tidak
bertanya sesuatu. Ia masih ingin mendengarkan saja
kelanjutannya keterangan Ki Watu Kendeng.
"Mahisa Bungalan" berkata Ki Watu Kendeng "ketika
aku mendapat keyakinan bahwa niat itu tentu akan dapat
dilanjutkan, maka pembicaraanku dengan Ki Selabajra pun
menjadi bersungguh-sungguh. Setelah aku datang sekali
kepadanya, ia telah membalas kunjunganku dengan
membawa kemungkinan yang sangat menggembirakan"
Sejenak Mahisa Bungalan mengangkat wajahnya.
Namun wajah itu pun telah tertunduk lagi.
"Mahisa Bungalan" berkata Ki Watu Kendeng
kemudian "ternyata bahwa niat kami untuk mengikat kedua
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
padepokan ini dengan ikatan kekeluargaan, telah kita
setujui bersama. Karena itu, aku akan datang sekali lagi ke
padepokan Kenanga untuk melamar anak gadisnya yang
bernama Ken Padmi itu"
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Dadanya
berdebar semakin cepat. Hampir di luar sadarnya ia
bertanya "Tetapi, apakah Kuda Pramuja masih mampunyai
saudara laki-laki?" "Aku masih mempunyai seorang anak laki-laki Mahisa
Bungalan" jawab Ki Watu Kendeng.
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya, samantara Ki
Watu Kendeng berkata selanjutnya "Agaknya kali ini Ken
Padmi tidak akan menolak seperti yang pernah
dilakukannya atas Kuda Pramuja"
Terasa keringat dingin mulai mengalir di punggung
Mahisa Bungalan. Tetapi ia masih menunggu, apakah yang
akan dikatakan oleh Ki Watu Kendeng seterusnya.
Ternyata dugaan Mahisa Bungalan tidak meleset.
Dengan suara sendat, akhirnya Ki Watu Kendeng berkata
"Mahisa Bungalan. Aku akan datang ke padepokan
Kenanga untuk melamar Kan Padmi bagi anak angkatku"
Wajah Mahisa Bungalan menjadi merah meskipun ia
sudah menduganya. Sejenak ia tarbungkam oleh gejolak di
dalam dadanya. Ada sepercik kegirangan melonjak di
hatinya. Betapapun juga, ia tidak dapat ingkar, bahwa ia
memang tertarik kepada gadis itu.
"Mahisa Bungalan" berkata Ki Watu Kendeng
kemudian "aku sudah mempersiapkan segalanya yang
sebenarnya memang sudah siap sejak Kuda Pramuja masih
hidup. Lusa aku akan pergi ke padepokan Kenanga bersama
beberapa orang tua serta membawa kau serta. Sekali lagi
aku akan melamar anak Ki Selabajra. Dan kali ini, aku
yakin, bahwa segalanya akan berlangsung dengan baik"
Mahisa Bungalan tidak segera menjawab. Ia mulai
memikirkan hal itu dengan sungguh-sungguh. Ia mulai
menilai dirinya, menilai keadaannya dalam keseluruhan.
"Jangan terlalu banyak pertimbangan" berkata Ki Watu
Kendeng "kau sudah dewasa penuh. Kau adalah seorang
anak muda yang tidak ada duanya. Karena itu, maka sudah
sepantasnya kau mempunyai sisihan, dan akupun akan
melangsungkan niatku untuk menyelenggarakan peralatan
perkawinan anakku dengan penuh kegembiraan"
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi keringat
dinginnya semakin deras mengalir. Pertimbanganpertimbangannya
justru menjadi semakin banyak. Ia tidak
ingin berbuat suatu kesalahan yang akan berakibat pahit
baginya. "Kau diam saja Mahisa Bungalan. Meskipun aku sudah
dapat menebak perasaanmu, tetapi kau wajib mengatakan.
Dengan mendengar jawabmu, hatiku akan menjadi lapang.
Dan yang kemudian akan aku kerjakan, tentu menjadi
semakin lancar pula"
Mahisa Bungalan beringsut setapak. Dengan nada yang
berat ia menjawab "Aku mengucapkan terima kasih Ki
Watu Kendeng" "Kau tidak usah mengatakannya" potong Ki Watu
Kendeng "aku hanya ingin mendengar, apakah lusa kau
bersedia pergi bersama kami"
Mahisa Bungelan menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian Katanya "Sekali lagi aku mengucapkan terima
kasih" ia berhenti sejenak, lalu "tetapi aku minta maaf yang
tiada taranya. Sebenarnya aku akan sangat berbesar hati
akan kebaikan hati dan kesempatan itu. Tetapi, adalah di
luar kuasaku untuk dapat langsung menerimanya. Karena
itu, aku mohon untuk dapat dipertimbangkan sebaikbaiknya"
Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya. Katanya
kemudian "Apakah yang harus dipertimbangkan lagi?"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia
melihat keheranan membayang di wajah Ki Watu Kendeng.
Agaknya sikapnya sama sekali tidak dapat dimengerti.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan telah dapat menebak
seluruhnya. Apakah yang sebenarnya telah terjadi. Ki Watu
Kendeng dan Ki Selabajra tentu sudah membicarakan
hubungannya dengan Ken Padmi. Mungkin Ki Selabajra
pernah melihat atau mendengarnya. Apakah hal itu
didengarnya dari para penghuni padepokan Kenanga,
ataukah karena hal itu telah dilihatnya sendiri, atau justru
karena pengakuan Ken Padmi.
Dengan demikian, maka baik Ki Selabajra maupun Ki
Watu Kendeng tentu menganggap bahwa persoalannya
akan dapat dilaksanakan dengan lancar tanpa kesulitan
apapun juga. Namun Mahisa Bungalan mempunyai pertimbangan
lain. Betapa beratnya ia menyatakan pertimbangannya,
karena ia sadar, bahwa hal itu tentu akan sangat
mengecewakan kedua orang tua yang pada saat-saat
terakhir bersikap sangat baik kepadanya. Bahkan Ki Watu
Kendeng telah dengan penuh harapan, mengangkatnya
sebagai anak setelah anak laki-lakinya terbunuh karena
perbuatan pamannya. Karena Mahisa Bungalan tidak segera menjawab, maka
Ki Watu Kendeng mendesaknya "Mahisa Bungalan. Coba
katakan, apakah yang harus dipertimbangkan lagi?"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Dipandanginya wajah orang tua itu sejenak. Namun
kemudian sambil menundukkan kepalanya ia berkata "Ki
Watu Kendeng. Berulang kali aku katakan, bahwa aku
sangat berterima kasih atas perhatian Ki Watu Kendeng
kepadaku. Tetapi menyangkut masalah hidup berkeluarga,
maka aku tidak akan dapat mengambil keputusan dengan
cepat dan tergesa-gesa"
Wajah Ki Watu Kendeng menegang. Sejenak ia justru
terdiam, namun kemudian Katanya "Mahisa Bunglan, aku
memang sudah mengira, bahwa kau menghormati
hubungan kekeluargaan ini dengan Sungguh-sungguh. Kau
bukan semacam orang yang dengan mudah membiarkan
perasaan mengembara tanpa kendali. Tetapi dalam hal ini,
kami yang tua-tuapun sudah mempertimbangkan sebaikbaiknya.
Bahkan kami yang tua-tua ini tidak melepaskan
perasaan anak-anak muda yang akan langsung terlibat di
dalam masalah ini. Karena itulah maka kami telah berbuat
dengan hati-hati dan penuh pertimbangan"
Mahisa Bungalan menarik keningnya. Ketegangan yang
mencengkam dadanya rasa-rasanya menjadi semakin
menghunjam jantung. "Mahisa Bungalan" berkata Ki Watu Kendeng
kemudian "Seperti yang aku katakan. Aku sudah bertemu
dengan Ki Selabajra. Aku sudah berbicara panjang tentang
hubungan antara kedua padepokan ini. Tentang anak
gadisnya, dan tentang dirimu sendiri. Menurut pembicaraan
kami, maka rasa-rasanya tidak akan ada masalah yang akan
dapat menghambat persoalan ini"
Mahisa Bungalan menjadi semakin gelisah. Tetapi
betapapun juga beratnya, akhirnya ia berkata "Ki Watu
Kendeng. Sekali lagi aku mohon maaf. Bukan berarti aku
menolak, tetapi sebaiknya kita tidak tergesa-gesa
membicarakan masalah ini"
Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya. Dengan
tajam ia memandang wajah Mahisa Bunglaan yang tunduk.
Kemudian dengan nada suara keheranan ia berkata "Aku
tidak mengerti, Mahisa Bungalan. Aku tidak mengerti. Aku
membicarakan masalah ini dengan Ki Selabajra seperti aku
membicarakannya tentang anak kandungku sendiri. Aku
sama sekali tidak menganggap hal ini sebagai sesuatu yang
dicar-cari atau sekedar mengisi kekosongan hati. Tetapi aku
bersungguh-sungguh seperti Ki Selabajra bersungguhsungguh.
Sebab Ki Selabajra akan melepaskan anak
perempuannya yang akan menjalani masa hidupnya yang
panjang di kemudian hari"
Mahisa Bungalan beringsut setapak. Sementara Ki Watu
Kendeng berkata "Apakah masih ada keragu-raguanmu.
bahwa kau masih belum benar-benar menempatkan dirimu
sebagai anakku di sini?"
"Bukan, bukan itu Ki Watu Kendeng" dengan serta
merta Mahisa Bungalan menjawab "aku tidak bermaksud
demikian" ia berhenti sejenak, lalu "Tetapi Ki Watu
Kendeng, perkenankanlah aku berbicara tentang diriku.
Aku adalah seorang anak laki-laki yang meningkat dewasa.
Yang meninggalkan rumah dan keluargaku karena aku
ingin merantau untuk mencari bekal bagi hari depanku.
Karena itu, bagaimanapun juga, aku tidak akan dapat
melepaskan diri dari hubungan keluarga dengan ayah
bundaku sendiri. Dalam hubungan yang besar dan suci ini,
aku harus berbicara dahulu dengan ayah dan seluruh
keluargaku, dan pamanku berdua, yang dalam perjalanan
hidupku, mempunyai arti yang sangat penting. Itulah
sebabnya, mengapa aku menjadi ragu-ragu. Aku sama
sekali tidak akan menolak. Terus terang, bahwa aku dan
Ken Padmi memang telah terjalin hubungan halus yang
tidak terucapkan dengan kata-kata. Tetapi justru karena
masalahnya adalah masalah yang besar, itulah sebabnya,
aku harus menjadi sangat barhati-hati"
Wajah Ki Watu Kendeng menengang sejenak. Tetapi
kemudian orang tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Apakah aku akan gagal lagi?"
"Bukan begitu Ki Watu Kendeng" sahut Mahisa
Bungalan "tetapi aku mohon, perasaanku ini dapat
dimengerti. Aku masih mempunyai keluarga dan orang tua.
Kepada mereka aku harus minta ijin dan restunya"
Ki Watu Kendeng memandang Mahisa Bungalan
dengan mata yang sayu. Tetapi ia pun kemudian
mengangguh-angguk. Katanya "Aku mengerti Mahisa
Bungalan. Dan akupun merasa, bahwa aku hanyalah orang
yang sekedar menumpang mengaku anak. Hakku memang
berbeda dengan hak orang tuamu sendiri"
Dada Mahisa Bungalan bergetar. Ia melihat kekecewaan
yang sangat membayang di wajahnya. Baru saja hatinya
teluka oleh sikap adiknya, yang menyebabkan kematian
anak laki-lakinya. Kini ia dikecewakan oleh sikap anak
angkatnya. Tetapi Mahisa Bungalan tidak dapat berbuat lain. Jika ia
menerima maksud Ki Watu Kendeng, membawanya ke
padepokan Kenanga dan melamar Ken Padmi, maka jika
hal itu didengar oleh ayahnya, maka ayahnyapun akan
menjadi sangat kecewa. Ia tahu, bahwa ayahnya tidak akan
bersikap keras terhadapnya, apalagi melarangnya.
Meskipun hatinya kecewa, tetapi ia tentu tidak akan
mengurungkannya. Namun dengan demikian, maka ia
adalah seorang anak yang tidak mengerti akan dirinya. Ia
adalah anak yang melukai hati orang tuanya.
Dalam hal itu ternyata Mahisa Bungalan masih sempat
memperhitungkan, yang manakah yang lebih baik baginya.
Apakah ia mengecewakan Ki Watu Kendeng atau ia harus
mengecewakan orang tuanya sendiri.
Sementara itu, karena Mahisa Bungalan tidak menjawab,
bahwa menundukkan kepalanya dalam-dalam, Ki Watu
Kendeng berkata "Angger Mahisa Bungalan. Jika kau
berkeberatan, biarlah aku sendiri datang ke padepokan
Kenanga. Aku akan menyampaikan keberatanmu kepada
Ki Selabajra yang tentu akan menjadi sangat kecewa pula.
Bahkan mungkin, ia akan menjadi putus asa dan kehilangan
harapan" "Ki Watu Kendeng" jawab Mahisa Bungaien kemudian
"aku mohon, Ki Selabajra dapat mendengai alasanku. Aku
sama sekali tidak menentang maksud itu. Bahkan aku
sendiri menginginkannya. Tetapi aku tidak dapat
meninggalkan orang tuaku" Mahisa Bungalan berhenti
sejenak, lalu "bahkan jika diperlukan segera, aku akan
menghubungi orang tuaku untuk menyampaikan masalah
ini langsung kepada Ki Selabajra"
Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Terasa
betapa hatinya menjadi sangat kecewa. Dengan nada yang
dalam ia berkata "Ya, Mahisa Bungalan. Agaknya memang
orantuamulah yang berhak melakukannya. Karena itu, agar
Ki Selabajra tidak terlalu gelisah menunggu, aku akan
datang kepadanya besok, dan menyampaikan kepadanya,
bahwa kau tidak dapat memenuhi permintaanku kali ini"
"Tetapi Ki Watu Kendeng" berkata Mahisa Bungalan
dengan serta merta "aku mohon, agar alasan yang aku
kemukakan akan dapat disampaikan selengkapnya,
sehingga Ki Selabajra tidak akan salah mengerti"
Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Betapapun
wajahnya dibayangi oleh perasaannya yang kecewa, namun
ia mengangguk sambil menjawab "Baiklah Mahisa
Bungalan. Aku akan berusaha agar aku dapat menyebutkan
alasanmu seperti yang kau maksudkan. Mudah-mudahan
tidak ada salah paham dan salah mengerti. Dan mudahmudahan
tidak ada parasaan kecewa dan sakit hati"
Dada Mahisa Bungalan terasa semakin berdebar-debar.
Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Karena itu, maka
katanya kemudian " Ki Watu Kendeng. Sekali lagi aku
mohon maaf. Dan akupun mohon maaf kepada Ki
Selabajra, bahwa aku terpaksa menunda masalah ini" Ki
Watu Kendeng mengangguk lemah. Katanya "Aku akan
mencoba" "Tetapi sama sekali aku tidak akan mengingkarinya"
sambung Mahisa Bungalan. "Ya. Aku mengerti. Aku mengerti" suara Ki Watu
kendeng menjadi parau. Mahisa Bungalan menjadi semakin tunduk. Ia tidak
sampai hati memandang wajah orang tua yang kecewa itu.
Tetapi ia sama sakali tidak kuasa merubah sikap dan
pendiriannya, karena hal itu akan menyangkut
hubungannya sebagai anak terhadap orang tuanya.
Sejenak keduanya saling berdiam diri, sehingga pendapa
itu menjadi sepi. Angin yang lembut semilir melintas
pendapa mengusap kulit. Sejenak kemudian, maka Ki Watu Kendengpun berkata
dengan suara yang dalam "Mahisa Bungalan. Yang ingin
aku sampaikan sudah aku sampaikan. Dan kaupun sudah
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengatakan apa yang harus kau katakan. Karena itu, jika
kau ingin beristirahat, beristirahatlah. Besok aku akan pergi
ke padepokan Kenanga untuk menyampaikan persoalanmu
kepada Ki Selabajra. Mudah-mudahan aku dapat
mengatakan seluruh pengertian dari kata-katamu. Dan
mudah-mudahan Ki Selabajra dapat mengertinya pula"
Mahisa Bungalan mengangguk dalam-dalam. Katanya
"Sampaikan permohonan maafku. Jika hal ini harus terjadi,
sebenarnya hanyalah penundaan sesaat saja. Segalanya
akan segera aku selesaikan seperti yang Ki Watu Kendeng
dan Ki Selabajra kehendaki"
Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Katanya "Ya.
Akumangerti" Mahisa Bungalanpun kemudian minta diri. Dengan hati
yang bergejolak ia memasuki biliknya. Namun agaknya
matanya sama sekali tidak dapat dipejamkannya.
Kegelisahan yang sangat terasa menyesak di dadanya.
Malam yang kelam terasa terlelu lama berjalan. Betapa
malasnya suara ayam jantan yang berkokok menjelang
fajar. Namun akhirnya mataharipun mulai mengusik
gelapnya malam. Ketika langit menjadi merah di timur,
Mahisa Bungalan seperti biasanya, keluar dari biliknya dan
melakukan kerja separti yang dilakukan oleh para penghuni
padepokan yang lain. Tetapi, nampaknya anak muda itu tidak gembira seperti
biasanya. Ada semacam kemuraman yang nampak di
wajahnya. Namun setiap kali Mahisa Bungalan selalu,
mencoba menyembunyikannya di balik senyumnya yang.
buram. Seperti yang dikatakan oleh Ki Watu Kendeng semalam,
maka ketika matahari memanjat langit semakin tinggi,
orang tua itupun telah bersiap-siap untuk pergi ke
padepokan Kenanga. Dua orang muridnya yang terpercaya telah dibawanya
untuk menemaninya di perjalanan. Bukan karena Ki Watu
Kendeng cemas bahwa ia akan bertemu dengan kawankawan
atau saudara-saudara seperguruan adiknya yang
telah terbunuh, karena agaknya kematiannya tidak
menumbuhkan goncangan dikalangan perguruannya, justru
karena adiknya telah melepaskan diri dari ikatan
perguruannya setelah ia merasa cukup dewasa dengan
ilmunya, tetapi Ki Watu Kendeng memerlukan kawan
berbincang di sepanjang jalan, karena kadang-kadang teraba
bahwa dadanya menjadi sesak oleh kekecewaan yang tidak
dapat diatasinya dengan sikap apapun juga, justru karena
iapun dapat mengerti, alasan Mahisa Bungalan sebagai
seorang anak yang dilahirkan dan dibesarkan oleh orang
tuanya. Di samping perasaan kecewa dan pahit, Iapun
memuji, di dalam hatinya, betapa anak muda itu mampu
menempatkan dirinya, benar-benar sebagai seorang anak
yang dapat diharapkan oleh kedua orang tuanya. Seorang
anak yang setia, mengerti dan bakti. Betapa ia digoncang
oleh perasaannya sebagai seorang anak muda, sementara
kesempatan telah terbuka baginya, namun ia masih ingat
kewajiban seorang anak kepada orang tuanya.
Namun demikian, Ki Watu Kendengpun digelisahkan
oleh pertemuan yang segera akan dilakukannya dengan Ki
Selabajra di padepokan Kenanga. Masalah yang
nampaknya sudah selesai dan matang itu, ternyata telah
men jadi pecah berserakan.
Mahisa Bungalan yang ikut melepas Ki Watu Kendeng
sampai diregol halaman, melihat, betapa suramnya wajah
Ki Watu Kendeng, meskipun seperti dirinya sendiri, orang
tua itu masih juga mencoba tersenyum.
"Aku akan mencoba menjelaskan alasanmu seperti yang
kau katakan kepadaku" berkata Ki Watu Kendeng ketika ia
sudah siap meninggalkan padepokannya.
"Terima kasih" desis Mahisa Bungalan dengan hati yang
berdebar-debar. Sepeninggal Ki watu Kendeng, Mahisa Bungalan selalu
berdoa di dalam hati, agar tidak terjadi salah paham antara
Ki Selabajra dengan Ki Watu Kendeng, yang selama ini
nampaknya telah menjadi dua orang sahabat yang baik.
"Tetapi aku tidak kuasa untuk mengambil keputusan
yang lain" berkata Mahisa Bungalan kepada diri sendiri.
Sepeninggal Ki Watu Kendeng, Mahisa Bungalan
berusaha melupakan kegelisahannya dengan melakukan
kerja sehari-hari. Namun setiap kali ia masih saja selalu
diganggu oleh bayangan dan angan-angan tentang
perjalanan Ki Watu Kendeng. Namun kadang-kadang
angan-angannyapun membumbung kedunia khayalan yang
baur antara senyum Ken Padmi yang bening dengan wajah
Ki Selabajra yang kecewa dan marah.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak dapat berbuat apapun
juga, kecuali sekedar menunggu. Dan iapun dengan gelisah
telah menunggu di padepokan Watu Kendeng.
Dalam pada itu, di perjalanan ke padepokan Kenanga.
Ki Watu Kendeng telah dibebani oleh kegelisahan perasaan
pula. Ia dengan susah payah berusaha menyusun kata-kata,
bagimana ia akan menyampaikan masalah yang sedang
dihadapinya itu kepada Ki Selabajra yang semula sudah
sepakat untuk menyusun suatu acara yang menurut orangorang
tua itu, paling baik bagi Mahisa Bungalan dan Ken
Padmi. Namun yang ternyata rencana itu harus
dibatalkannya. Sekali-sekali KI Watu Kendeng berbincang pula dengan
pengiringnya yang berduka di sampingnya. Tetapi pengiring
nya itu lebih banyak hanya mengangguk-angguk,
mengiakan dan kadang-kadang berdesah seperti dirinya
sendiri. Karena itu, maka ia tidak menemukan jalan lain yang
dapat ditempuhnya. Semakin dekat perjalanan mereka dengan padepokan
Kenanga maka hati Ki Watu Kendeng manjadi semakin
gelisah. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kewajiban yang
harus dilakukannya. Ia telah melakukan pembicaraan
sebagai ayah angkat Mahisa Bungalan. Dan kini iapun akan
datang ke padepokan Kenanga sebagai ayah angkat anak
muda itu. Namun betapapun juga kegelisahhan mencengkam
jantungnya, akhirnya kuda Ki Watu Kendeng telah
memasuki regol padepokan Kenanga. Bersama para
pengiringnya mereka meloncat turun dan kemudian
menuntun kuda mereka melintasi halaman.
Beberapa orang cantrik padepokan Kenanga itupun
dengan tergesa-gesa menyongsoongnya. Menerima kendali
kuda mereka dan menambatkannya pada tonggak yang
tersedia di pinggir halaman padepokan itu.
Ki Selabajra yang kemudian diberitahu akan kehadiran
Ki Watu Kendeng itupun dengan tergesa-gesa telah keluar
ke pendapa. la terkejut, karena kedatangan Ki Watu
Kendeng ternyata lebih cepat dari yang sudah mereka
bicarakan. "Marilah, silahkan Ki Watu Kendeng "Ki Selabajra
mempersilahkan "kedatanganmu telah mengejutkan aku.
Tetapi duduklah lebih dahulu"
Ki Watu Kendengpun kemudian duduk di pendapa
bersama kedua pengiringnya. Sejenak mereka saling
bertanya tentang keselamatan masing-masing, sementara
minuman dan makananpun telah dihidangkan.
Baru kemudian, setelah para tamu itu minum seteguk
dan makan makanan sepotong, Ki Watu Rendeng berkata
"Aku memang datang lebih awal dari yang kita sepakati
bersama" "Itulah yang mengejutkan aku" jawab Ki Selabajra
"nampaknya ada sesuatu yang penting yang akan kau
sampaikan kepadaku sebelum hari yang kita tentukan itu
tiba" Ki Watu Kendeng mengangguk. Tetapi rasa-rasanya
bibirnya menjadi sangat berat untuk mengatakan, apakah
keperluannya yang sebenarnya datang kepadepokan itu. Ki
Selabajra heran melihat sikap Ki Watu Kendeng. Bahkan
kemudian mulai terasa, bahwa ada sesuatu yang tidak wajar
telah terjadi. Karena itu, maka Ki Selabajrapun kemudian bertanya
"Ki Watu Kendeng. Agaknya ada sesuatu yang telah
terjadi, yang tidak sesuai dengan pembicaraan yang pernah
kita buat sebelumnya"
Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian "Agaknya memang demikian. Tetapi sebenarnya
aku agak sulit untuk menyampaikannya, karena hal itu
sama sekali berada diluar dugaanku"
Ki Selabajra memandang wajah Ki Watu Kendeng
dengan tajamnya. Mulai terasa debar jantungnya seolaholah
menjadi semakin cepat. Dengan nada datar ia berkata
"Katakanlah Ki Watu Kendeng Aku ingin segera
mendengarnya. Apapun yang akan kau katakan, agaknya
lebih baik segera aku dengar daripada membuat jantungku
berdentangan" Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian dengan hati-hati ia berkata "Ki Selabajra. Yang
sudah kita bicarakan, sudah aku sampaikan kepada Mahisa
Bungalan. Aku telah merencanakan membawanya kepada
mu. Aku kira ia akan menjadi sangat gembira dan berterima
kasih kepadaku. Tetapi ternyata ia berbuat lain meskipun
tidak menolaknya" Wajah Ki Selabajra menjadi tegang. Dengan bimbang ia
bertanya "jadi anak muda itu tidak menjadi gembira
karenanya" Apakah sebenarnya yang dikehendakinya?"
"Aku melihat secerah harapan di wajahnya. Tetapi
ternyata ia adalah anak muda yang terlalu baik. Betapapun
inginnya ia menerima tawaranku, tetapi ia akhirnya
terpaksa menolaknya. Bukan persoalan pokoknya, tetapi
sekedar soal pelaksanaannya"
"Apakah yang diinginkannya" bertanya Ki Selabajra "Ia
merasa dirinya seorang anak yang dilahirkan dan
dibesarkan oleh orang tuanya. Karena itulah, maka segala
sesuatunya, harus dibicarakannya lebih dahulu dengan
orang tuanya sendiri. Bukan orang tua angkat seperti aku"
Wajah Ki Selabajra menjadi tegang. Dengan suara
bergetar ia bertanya "Jadi, kita harus menunggu orang
tuanya datang kepadamu kemudian datang kepadaku?"
"Agaknya ia bermaksud demikian" jawab Ki Watu
Kendeng. "Ah" desah Ki Selabajra "apakah benar ia bersikap
seperti yang dikatakannya" Apakah ia tidak sekedar
mencari alasan untuk ingkar?"
"Bagaimana mungkin ia akan ingkar. Bukankah ia
sendiri merasa terikat hatinya di padepokan ini" Hanya
karena perasaan bakti seorang anak terhadap orang tuanya
sajalah yang telah menghambatnya, sehingga ia tidak
dengan serta-merta menerima ajakanku datang ke
padepokan ini" Wajah Ki Selabajra menjadi semakin tegang. Dengan
suara yang tersendat-sendat ia berkata "Ki Watu Kendeng.
Aku tahu, bahwa kau adalah orang yang terlalu baik. Kau
dengan penuh pengertian menghadapi kenyataan, anakku
masih belum dapat menerima lamaran anakmu pada waktu
itu. Kau sama sekali tidak menjadi sakit hati, apalagi
berusaha memaksakan kehendakmu tentang hal itu.
Kaupun akhirnya memaafkan adikmu yang menyebabkan
kematian anak laki-lakimu setelah ia meninggal dengan
menyelenggarakan mayatnya sebaik-baiknya. Adalah jarang
dijumpai didunia ini orang yang berhati longgar seluas
lautan seperti kau" "Aku tidak tahu apa hubungannya dengan Mahisa
Bungalan. Justru kau memuji aku dengan berlebih-lebihan.
Apakah kau bermaksud mengangkat aku setinggi ujung
pohon kelapa, kemudian membantingkan aku jatuh di atas
batu hitam?" "Tidak. Bukan maksudku" jawab Ki Selabajra dengan
serta-merta "aku hanya ingin mengatakan, bahwa agaknya
kau sudah berbuat terlalu baik pula atas Mahisa Bungalan.
Mungkin ia tidak bersikap seperti yang kau katakan.
Mungkin ia memang tidak ingin datang bersamamu untuk
melamar anakku. Kebaikan hatimulah yang menyusun
alasan, seolah-olah Mahisa Bungalanlah orang yang sangat
baik hati itu, yang sangat setia dan bakti kepada orang
tuanya" "Ah itu tidak Ki Selabajra. Aku tidak mengada-ada.
Yang aku katakan, adalah apa yang dikatakan oleh Mahisa
Bungalan kepadaku" sahut Ki Watu Kendeng.
"Jika demikian Ki Watu Kendeng maka sekali lagi
adalah justru karena kau orang yang sangat baik. Karena
kau tidak pernah berkata tidak jujur, maka kau anggap
setiap orangpun jujur pula seperti kau sendiri"
"Aku tidak tahu maksudmu, Ki Selabajra. Kau masih
saja selalu memuji aku, sehingga aku menjadi bingung
karenanya" demikian, itu bukan berarti bahwa lahir dan
batinnya sejalan. Mungkin ia berkata seperti apa yang kau
katakan. Tetapi sebenarnya ia hanyalah ingin
mengingkarinya saja tanpa menyakiti hatimu"
"Jangan berprasangka buruk Ki Selabajra. Mahisa
Bungalan adalah anak yang baik. Yang menurut
pendapatku, ia tidak akan dengan sengaja menipu aku. Aku
melihat kejujuran pada nada kata-katanya seperti pada sorot
matanya" "Karena itu, apakah kita harus menunggu sampai kapan
anak itu kembali kerumahnya, menemui orang tuanya,
kemudian membawanya kemari?" bertanya Ki Selabajra.
Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Dengan
ragu-ragu ia menjawab "Agaknya memang begitu Ki
Selabajra" "Waktu yang diperlukan itu kira-kira berapa tahun" Atau
bahkan melampaui sisa umurku yang masih ada?"
Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Ia
mengerti, betapa Ki Selabajra menjadi sangat kecewa akan
peristiwa itu. Menurut keterangannya, saat Ki Selabajra
bertemu dengannya beberapa waktu yang lewat, hubungan
antara Ken Padmi dan Mahisa Bungalan nampaknya tidak
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan diragukan lagi. Sepeninggal Kuda Pramuja, maka
sebaiknya gadis yang sudah dewasa itu segera mendapatkan
jodohnya, agar tidak terjadi persoalan yang dapat
menumbuhkan benturan kekerasan pula. Karena Ki
Selabajra sadar, bahwa jika anak gadisnya itu masih saja
hidup sendiri, maka kemungkinan-kemungkinan yang
menggelisahkan masih saja dapat terjadi. Tetapi jika anak
gadisnya sudah tidak lagi seorang gadis yang meningkat
dewasa, seperti bunga yang sedang mekar, maka
kemungkinan itu tidak akan terjadi lagi.
Tetapi tiba-tiba harapan yang sudah teranyam itu telah
pecah sama sekali karena sikap Mahisa Bungalan yang
tidak terduga sebelumnya.
Dalam pada itu, Ki Watu Kendeng pun kemudian
berkata "Ki Selabajra. Aku kira ia tidak memerlukan waktu
yang lama. Seperti yang kau katakan, aku merasakan
pengakuannya, bahwa ia merasa dirinya terikat oleh anak
gadismu. Karena itu, iapun tentu akan berusaha
menyelesaikan persoalannya secepat mungkin"
"Jika orang tuanya tidak setuju" Atau orang tuanya telah
menentukan celon isterinya?" bertanya Ki Selabajra.
Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Jika
demikian, maka persoalannya menjadi lain. Dan Ki Watu,
Kendeng tidak berani memberikan tanggapan, karena hal
itu akan dengan mudah menimbulkan salah paham.
Karena Ki Watu Kendeng tidak menjawab, maka Ki
Selabajrapun berkata pula "Karena itu, Ki Watu Kendeng.
Sebaiknya aku tidak usah menunggu. Ki Watu Kendeng
akan dapat bertanya kepadanya, apakah ia bersedia atau
tidak. Jika ia memang bersedia, biarlah ia datang. Jika ia
tidak bersedia datang, maka aku tidak akan terikat sama
sekali dengan anak muda itu"
Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya. Tetapi,
sebelum ia menjawab, tiba-tiba saja pintu berderit. Kedua
orang tua itu terkejut ketika tiba-tiba saja mereka melihat
Ken Padmi berdiri di muka pintu dengan wajah yang
merah. Dengan suara lantang ia berkata "Ayah tidak adil.
Ayah memberi kesempatan laki-laki itu menyatakan
pendapatnya. Tetapi ayah tidak bertanya lebih dahulu
kepadaku, seperti yang pernah terjadi, saat Kuda Pramuja
datang melamarku" Ki Selabajra tergagap. Ia tidak mengira bahwa anak
gadisnya mendengar, dan bahkan langsung mencampuri
persoalan itu. "Ken Padmi" berkata Ki Selabajra "berikan kesempatan
kepadaku untuk membicarakan sesuatu yang paling baik
bagimu dan bagi masa depanmu"
"Ayah sudah bersikap benar pada saat Kuda Pramuja
datang melamar. Ayah saat itu bertanya kepadaku,
bagaimana tanggapanku atas lamaran itu. Dan aku saat itu
menjawab, bahwa aku masih belum merasa tertarik pada
hidup berkeluarga" "Ya, ya. Tetapi jangan kau ulang-ulang lagi hal itu"
"Aku tahu, bahwa ingatan itu pahit bagi Ki Watu
Kendeng. Tetapi aku hanya ingin memperbandingkan sikap
ayah dengan sikap ayah sekarang. Seharusnva ayah
bertanya kepadaku" sambung Ken Padmi.
"Aku tidak mengerti maksudmu" sahut ayahnya.
"Seharusnya ayah bertanya kepadaku. Bukan
memutuskan masalah ini sendiri"
"Aku sudah mengetahui sikapmu Ken Padmi, sehingga
karena itu aku merasa tidak perlu bertanya kepadamu lagi"
"Tidak. Ayah tidak mengetahui sikapku yang
sebenarnya" berkata Ken Padmi.
Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
Katanya "Kemarilah Ken Padmi. Duduklah. Dan
katakanlah maksudmu yang sebenarnya"
Ken Padmi pun kemudian datang mendekat dan duduk
di samping ayahnya. Dengan suara bergetar iapun
kemudian berkata "Ayah. Seharusnya ayah bertanya
kepadaku, apakah aku bersedia menerimanya jika anak
muda itu pada saatnya datang kemari"
"Ken Padmi. Apakah aku masih harus bertanya?"
"Tentu ayah" sahut Ken Padmi "Dan jika ayah bertanya
kepadaku, maka aku akan menjawab, bahwa aku masih
tetap berpendirian seperti saat Kuda Pramuja melamarku.
Aku sama sekali belum tertarik untuk hidup berkeluarga.
Dan bahkan mungkin aku akan menentukan sikapku lebih
tegas lagi. Aku tidak akan menerima lamaran Mahisa
Bungalan seandainya ia datang"
"Ken Padmi" desis ayahnya.
Ken Padmi justru terdiam. Namun nampak di wajahnya
ketegangan yang memuncak. Bahkan kemudian dengan
suara yang parah ia berkata "Ayah tidak adil. Kenapa ayah
membicarakan masalah itu di luar pengetahuanku. Ayah
mengharap anak muda itu datang, tetapi ayah tidak tahu,
betapa hatiku menjadi sakit. Aku tidak mempunyai
perasaan apapun terhadapnya. Dan aku menolak
seandainya ia benar-benar datang"
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam
pada itu, Ken Pedmi pun segera bangkit berdiri dan berlari
ke ruang dalam, langsung masuk ke dalam biliknya.
Dibantingnya dirinya di pembaringannya. Betapapun ia
bertahan, namun akhirnya tangisnya pun telah meledak.
Ki Selabajra yang menyusul anak gadisnya itu pun
kemudian duduk di sisinya dengan wajah menunduk.
Untuk beberapa saat ia duduk berdiam diri. Dibiarkannya
tamunya duduk di pendapa. Tetapi tamunyapun mengerti,
sehingga karena itu, maka Ki Watu Kendengpun telah
menunggu dengan gelisah. Bukan karena ia ditinggalkan
oleh Ki Selabajra, tetapi iapun ikut memikirkan sikap Ken
Padmi yang kurang dimengertinya.
Dalam pada itu, maka Ki Selabajrapun mencoba untuk
menenangkan anaknya yang terisak "Ken Padmi.
Katakanlah yang sebenarnya. Apakah yang kau kehendaki"
"Sudah aku katakan, ayah" jawab Ken Padmi" aku tidak
mau menerima seandainya Mahisa Bungalan datang
melamarku" "Itulah yang membingungkan aku"
"Agaknya ayah sudah membicarakan dengan Ki Watu
Kendeng sebelum ayah bertanya kepadaku. Dan apakah
justru ayah telah menawarkan aku kepada Ki Selabajra
yang baru saja kehilangan anaknya, agar ia datang
membawa Mahisa Bungalan kemari?"
"Kau salah paham Ken Padmi. Yang aku lakukan justru
karena aku melihat, bahwa kau telah berhubungan batin
dengan anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu"
"Itu tidak benar " Ken Padmi hampir berteriak.
Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa
Ken Padmi tentu sudah tersinggung oleh sikap Mahisa
Bungalan. Seandainya Mahisa Bungalan tidak bersikap
demikian, dan ia benar-benar datang pada hari yang
ditentukan, Ki Selabajra yakin, bahwa Ken Padmi tentu
akan menerimanya dengan senang hati.
Tetapi semuanya telah terlanjur. Ia tidak dapat berbuat
apa-apa lagi atas sikap anak gadisnya. Dan agaknya Ken
Padmipun akan tetap berpendirian demikian, jika kelak
Mahisa Bungalan benar-benar datang bersama orang
tuanya. Dalam kegelisahan itu, Ki Selabajra masih mencoba
meredakan ledakan Perasaan Ken Padmi "Ken Padmi.
Cobalah kau menguasai perasaanmu. Cobalah kau timbang
buruk dan baiknya, untung dan ruginya. Aku memang tidak
dapat berbuat apa-apa jika memang kau sudah mengambil
keputusan. Yang aku harapkan adalah, bahwa kau jangan
tergesa-gesa menentukan sikap. Aku mengerti, bahwa
perasaanmu sedang bergejolak. Lebih baik kau
menenangkan hatimu dan baru kemudian menentukan
sikap" "Aku tidak sedang bingung ayah. Hatiku jernih. Dan aku
memang tidak mengambil keputusan dengan pertimbangan
yang matang. Aku tidak akan menerimanya kapapun juga
ia datang" Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Jika sedang
dalam keadaan demikian, ia tidak akan dapat berbicara
apapun juga dengan anak gadisnya itu. Karena itulah, maka
iapun kemudian berkata "Ken Padmi. Aku masih
mempunyai tamu di pendapa. Bagaimanapun juga aku
berharap kau bersikap dewasa menghadapi setiap keadaan"
Ken Padmi tidak menjawab. Tetapi isaknya sama sekali
masih belum mereda. Bahkan ketika ayahnya kemudian
hilang di balik pintu, maka tangisnya telah meledak
kembali, betapapun gadis itu mencoba bertahan.
Ki selabajra yang kembali ke pendapa menarik nafas
dalam-dalam. Kepada Ki Watu Kendeng ia berkata "Gadis
itu mendengar percakapan kita. Ia merasa tersinggung akan
sikap Mahisa Bungalan, karena seolah-olah Mahisa
Bungalan tidak memperhatikannya"
"Aku mohon maaf Ki Selabajra" berkata Ki Watu
Kendeng "kedatanganku telah membuat hati gadismu
menjadi gelap" "Bukan salahmu Ki Watu Kendeng. Bahkan yang kau
lakukan menurut pertimbanganku justru sudah benar. Kau
memberitahukan hal itu kepadaku, sebelum sampai
waktunya. Dengan demikian kami sudah mengetahuinya
lebih dahulu, sehingga kami tidak tersentak olah peristiwa
ini. Hati kami tentu akan menjadi lebih parah, jika baru
pada saat yang sudah ditentukan, kau memberitahu akan
hal ini" Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Katanya
kemudian "Tetapi bagaimanapun juga, aku merasa
bersalah. Aku kurang memperhatikan sikap dan warna hati
Mahisa Bungalan yang sebenarnya. Aku merasa ia adalah
anakku sendiri" "Akulah yang paling bersalah dalam hal ini" sahut Ki
Selabajra " akulah yang menganggap bahwa masalahnya
demikian mudahnya. Aku mengira bahwa hubungan antara
kedua orang anak muda itu sudah pasti. Ternyata bahwa
Mahisa Bungalan mempunyai pertimbangan lain meskipun
seperti yang aku ketahui, hatinya mamang sudah tertambat
kepada Ken Padmi" Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Dengan
ragu-ragu ia bertanya "Tetapi bagaimanakah
pertimbanganmu, jika datang saatnya Mahisa Bugalan
bersama orang tuanya berkunjung ke padepokan ini?"
"Itulah yang masih harus dipertimbangkan sebaikbaiknya.
Saat ini Ken Padmi benar-benar belum dapat
diajak berpikir. Ia tenggelam dalam arus perasaannya.
Mudah-mudahan pada saatnya aku akan dapat melunakkan
hatinya, karena aku tahu perasaannya yang sebenarnya"
Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Masih ada waktu untuk mencobanya. Mudah-mudahan
hatinya tidak mengeras dan tidak dapat diluluhkan
kembali" "Aku masih mempunyai harapan Ki Watu Kandeng"
jawab Ki Selabajra "mudah-mudahan aku berhasil. Ia
adalah anakku. Dan aku ingin akan terjadi jalan kehidupan
yang paling baik baginya. Bagi masa yang masih panjang"
Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Suaranya
dengan nada datar "Mudah-mudahan. Aku menyesal
bahwa hal ini sudah terjadi"
"Kita akan berdoa. Namun aku mohon hal ini dapat
disampaikan kepada Mahisa Bungalan dengan hati-hati,
sehingga tidak menimbulkan salah paham. Ia harus
mengerti, dan aku harap ia tidak tersinggung pula seperti
Ken Padmi" Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Pada
saat Ki Selabajra menyadari, bahwa anak gadisnya telah
tersinggung pula, maka ia justru dapat mengendalikan
perasaan sendiri. Seperti Mahisa Bungalan, maka Ki
Selabajrapun berpesan, agar yang terjadi itu tidak
menyinggung perasaan pihak yang lain.
Agaknya ada penyesalan juga di hati Ki Selabajra bahwa
ia tidak mengendalikan diri, sehingga pembicaraannya
dengan Ki Watu Kendeng telah terdengar oleh anak
gadisnya. Sejenak kemudian, maka Ki Watu Kendeng pun minta
diri. Sekali lagi ia minta maaf, bahwa yang telah mereka
rencanakan bersama terpaksa tidak dapat berlangsung
saparti yang mereka harapkan.
"Kita telah bersama-sama melakukan kesalahan" berkata
Ki Selabajra. "Mudah-mudahan pada suatu saat, kesalahan kita akan
dapat kita perbaiki" jawab Ki Watu Kendeng "aku kira
masih ada kesempatan. Jika gejolak hati sudah mereda,
mudah-mudahan kita semuanya akan dapat
mempergunakan pikiran yang jernih dan tidak tergesa-gesa"
Ki Selabajra mengangguk-angguk. Namun masih
nampak kekecewaan membayang di wajahnya.
Sejenak Ki Watu Kendeng masih termangu-mangu.
Tatapi kemudian bersama pengiringnya, mereka
meninggalkan padepokan Kenanga yang menjadi muram
karenanya. Di perjalanan pulang, Ki Watu Kendeng tidak banyak
berbicara. Sekali-kali terdengar ia berdesah. Rasa-rasanya
kegelisahannya terlalu dalam mencengkam jantungnya.
Sepeninggal Ki Watu Kandeng, maka rasa-rasanya
padepokan Kenanga benar-benar disaput oleh keburaman
Ken Padmi masih berada di dalam biliknya sambil
menangis. Sementara para murid Ki Selabajra yang lain dan
para cantrik serta penghuni lainnya, telah salng
memperbincangkan apa yang telah terjadi di padepokan itu.
Dalam keburaman itu, maka Ki Selabajra telah
memanggil murid-muridnya yang lelah meninggalkan
perguruannya, tetapi yang pada soal itu masih berada di
padepokan Kenanga sejak mereka dipanggil untuk
membantu mengatasi kesulilan, sejak Ki Selabajra diancam
olah Gagak Branang. Maskipun Ki Salabajrapun mengerti, bahwa kedua
muridnya itu telah mendengar pula apa yang terjadi, tetapi
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia masih juga menceriterakan pembicaraannya dengan Ki
Watu Kandeng. Untuk beberapa saat lamanya, Makerti dan Gemak
Werdi masih tetap berada di padepokan Kenanga. Ki
Selabajra masih memperhitungkan kemungkinan yang
pahit, jika masih ada saudara seperguruan Gagak Branang
yang ingin menuntut balas kematiannya di padepokan
Kananga. Makerti dan Gamak Werdi pun telah mondengor
peristiwa yang telah terjadi. Bahwa pembicaraan antara Ki
Watu Kendeng dan Ki Selabajra yang seolah-olah sudah
matang itu, ternyata telah pecah berserakan. Dengan kepala
runduk keduanya menghadap Ki Salabajra yang masih
dicengkam kegelisahan. "Apa katamu Makerti?" bertanya Ki Selabajra.
Makerti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian Katanya
"Aku tidak melihat maksud buruk dari Mahisa Bungalan,
guru. Justru ia telah membuktikan, bahwa ia adalah anak
yang berbakti kepada orang tuanya. Anak yang demikian,
pada dasarnya adalah anak yang setia, tahu diri dan
mengerti sangkan paran kehadirannya di dunia"
Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata "Mungkin kau benar.
Tetapi nalarku agaknya terlampau sulit untuk mengimbangi
kekecewaanku. Kenapa ia tidak melakukannya seperti yang
diminta oleh ayah angkatnya, Ki Watu Kendeng. Baru
kemudian ia menyampaikannya kepada orang tuanya"
"Guru benar" sahut Gemak Werdi "sebaiknya Mahisa
Bungalan datang memenuhi rencana yang sudah tersusun
itu. Baru kemudian ia datang kepada orang tuanya sendiri,
menyampaikan persoalannya. Jika orang tuanya mendengar
penjelasannya tanpa ada yang disembunyikan, maka orang
tuanya tentu tidak akan menolaknya"
Makarti mengerutkan keningnya, sementara Gamak
Werdi meneruskan "Guru, apakah hal itu bukannya
sekedar alasan Mahisa Bungalan untuk menolak rencana
yang sudah tersusun itu"
"Aku kira tidak Gemak Werdi" potong Makerti "Mahisa
Bungalan adalah seorang anak muda yang jujur. Jika ia
tidak menghendaki, maka ia akan dapat barkata berterus
terang. Apa yang ditakutkan" Ia memiliki kelebihan dari
kita semuanya. Apakah kita akan dapat marah kepadanya,
dan memaksakan kehendak kita atasnya" Jika kita mencoba
berbuat demikian, maka kitalah yang harus mengalami
nasib seperti Gagak Branang"
"Bukan begitu" jawab Gamak Werdi "ia masih segan
mempergunakan kelebihan itu. Jika mungkin, ia tentu akan
ingkar tanpa menimbulkan benturan kekerasan, meskipun
ia mempunyai keyakinan untuk menang. Dengan demikian,
jika ia pada suatu saat berubah pendirian, maka ia masih
sempat untuk datang dan memperbaiki sikapnya itu"
"Kau terlalu berprasangka buruk Gemak Wardi" sahut
Makerti. "Aku sama sekali tidak bermaksud demikian. Aku
mangatakan sesuai dengan perhitungan. Mudah-mudahan
aku keliru" berkata Gemak Werdi selanjutnya.
Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Katenya
"Sudahlah. Kita memang dapat menilai sesuai dengan
tanggapan kita masing-masing, yang satu dengan lainnya
akan berbeda. Tetapi biarlah kita melihat perkembangan
sikap Ken Padmi. Ia agaknya tersinggung sekali sehingga
hatinya bagaikan patah sama sekali.
Makerti manarik nafas dalam-dalam. Ia melihat
kebenaran sikap Mahisa Bungalan. Ki Watu Kendeng
memang bukan orang tuanya. Iapun mengerti, bahwa Ki
Watu Kendeng ingin sedikit menghibur hatinya yang pahit,
dengan memberikan usulan yang menurut perhitungan
akan sangat menyenangkan hati Mahisa Bungalan.
Tetapi ternyata bahwa ada yang dilupakan. Mahisa
Bungalan adalah seorang anak yang terikat hubungan
keluarga yang erat dengan orang tuanya sendiri.
Karena itu, yang terjadi justru sebaliknya dari yang
diharapkan oleh Ki Watu Kendeng dan Ki Selabajra. Ken
Padmi ternyata telah benar-benar tersinggung, sehingga
hatinya bagaikan patah. Dalam pada itu, Ki Selabajrapun kemudian berkata
"Beristirahatlah. Kita akan berdoa, agar yang terjadi
kemudian adalah hal yang baik saja. Satu-satunya harapan
kita untuk dapat merubah keadaan adalah memohon
kepada Tuhan Yang Maha Penyayang. Karana kita sandiri
tidak melihat jalan apapun juga yang dapat kita tempuh"
Makerti dan Gemak Werdipun kemudian meninggalkan
Ki Selabajra yang masih beberapa saat lamanya duduk
sendiri menghadapi semangkuk minuman hangat.
Dipandanginya minuman yang mangkuknya kadangkadang
diguncangkannya dengan jari-jarinya. Di air yang
gelisah itu, ia seolah-olah melihat hatinya yang gelisah pula.
Dalam pada itu, Gemak Werdi yang pargi ke gandok
bersama Makerti bergumam seolah-olah kepada dirinya
sendiri "Aku memang sudah mengira"
Makerti berpaling kepadanya. Dengan nada datar ia
bertanya "Apa yang telah kau duga?"
"Mahisa Bungalan" jawabnya pendek.
"Kenapa dengan Mahisa Bungalan?" bertanya Makerti
pula. "Ia menganggap kita semuanya tidak lebih dari
permainan yang menyenangkan"
Makerti mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun
bertanya "Kenapa kau menganggap demikian?"
"Sejak ia melihat aku pertama kali, ia sudah
mempermainkan aku dengan sikapnya yang aneh-aneh. Ia
membiarkan aku tersudut Kemudian ia membantu dengan
membebaskan aku dari kesulitan. Dengan demikian setiap
orang akan menganggap aku orang yang paling buruk,
paling malang dan barangkali perlu dikasihani. Ialah yang
datang dengan kejutan yang mendebarkan jantung. Seorang
yang nampaknya sangat lemah, miskin dan hampir
kelaparan, tiba-tiba telah menjadi seorang kesatria yang
menyelamatkan aku dengan belas kasihan"
Makerti menarik nafus dalam-dalam. Katanya "Kau
memang seorang perasa Gemak Werdi. Tetapi aku kira,
sama sekali bukan maksudnya. Ia memang perantau. Ia
ingin mangetahui kehidupan ini apa adanya. Tanpa
menimbulkan persoalan-persoalan baru dan goncanganangan
yang tidak diinginkannya. Tetapi ia tidak dapat
berdiam diri melihat peristiwa yang terjadi atasmu saat itu"
Gemak Werdi memandang Makerti sekilas. Namun
iapun kemudian memalingkan wajahnya. Meskipun ia tidak
lagi mengatakan sesuatu tentang Mahisa Bungalan, namun
Makerti dapat membawa gejolak perasaan anak muda itu.
Ia pun pernah tersinggung karena sikap Mahisa
Bungalan. Lebih dari itu, Makertipun mengerti, bahwa
sebenarnya Gemak Werdi pun selalu memperhatikan Ken
Padmi sejak ia masih berada di padepokan itu.
Tetapi Makerti tidak menyebutnya. Ia mencoba
menahan diri, karena ia adalah orang yang lebih tua dari
Gemak Werdi, sehingga iapun harus dapat menjaga
perasaan anak muda itu. Meskipun demikian, Makerti menjadi cemas juga
melihat pertumbuhan perasaan Gemak Werdi itu. Jika
perasaan itu kemudian berkembang tanpa kendali, maka hal
itu akan dapat menyulitkan dirinya sendiri. Apalagi apabila
pada suatu saat, keresahan hati Ken Padmi menjadi reda,
dan ia dapat menerima kehadiran Mahisa Bungalan
kembali di hatinya, maka Gemak Werdi akan mendapatkan
goncangan yang sulit untuk diobatinya. Ia akun dapat
terseret oleh arus perasaannya seperti Gagak Branang
meskipun dalam bentuk yang berbeda "Mudah-mudahan
kecemasanku tidak beralasan" berkata Makerti kepada diri
sendiri. Sementara itu, sesaat setelah Ki Watu Kendeng sampai
di padepokannya, dan setelah ia beristirahat sejenak, maka
iapun memanggil Mahisa Bungalan untuk
memperbincangkan keadaannya.
Rasa-rasanya ia tidak lagi dapat menahan persoalan itu
di dalam dadanya yang menjadi pepat. Apapun akibatnya,
ia ingin segera menumpahkan sesak jantungnya kepada
orang yang berkepentingan.
Mahisa Bungalan pun menjadi berdebar-debar melihat
ketegangan di wajah Ki Watu Kendeng. Ia sudah menduga,
bahwa hal itu akan dapat menumbuhkan salah paham.
Tetapi ia tidak dapat berbuat lain kecuali yang telah
dikatakannya kepada Ki Watu Kendeng. Jika benar ia
menuruti permintaan Ki Watu Kendeng, datang melamar
Ken Padmi tanpa setahu ayahnya Mahendra, maka
akibatnya akan dapat kurang baik baginya. Meskipun
mungkin Mahendra hanya akan mengangguk-angguk
sambil berdesah, tetapi akan terbayang betapa orang tua itu
kecewa, bahwa anaknya tidak lagi minta pertimbangannya
untuk menentukan peristiwa yang sangat penting di dalam
hidupnya. Sejenak Mahisa Bungalan duduk termangu-mangu
sambil menundukkan wajahnya. Dengan gelisah ia
menunggu, apakah yang telah terjadi di padepokan
Kenanga "Mahisa Bungalan" berkata Ki Watu Kendeng
kemudian "aku sudah sampai di Padepokan Kenanga dan
bartemu dengan Ki Selabajra"
Mahisa Bungalan monjadi semakin tunduk. Dengan
gelisah ia menunggu, apa yang akan dikatakan olah Ki
Watu Kendeng itu selanjutnya.
Ki Watu Kendengpun terdiam sejenak. Melihat sikap
Mahisa Bungalan, maka Ki Watu Kendeng tidak akan
dapat menuduhnya, bahwa sengaja berbuat demikian
karena maksud yang kurang baik. Dugaannya justru
semakin kuat bahwa Mahisa Bungalan adalah benar-benar
anak muda yang tahu diri dan berbakti kepada orang
tuanya. Karena itu, Ki Watu Kandeng justru menjadi bimbang.
Apakah yang akan dikatakannya kepada Mahisa Bungalan.
Tetapi Ki Watu Kendengpun sadar, bahwa ia tidak boleh
hanya berdiam diri dan membiarkan Mahisa Bungalan
berteka-teki. Karena itu, maka katanya kemudian "Angger
Mahisa Bungalan. Aku sudah menemui Ki Selabajra. Aku
mengatakan apa yang kau pesankan dengan hati-hati"
Mahisa Bungalan mengangkat wajahnya sejenak.
Namun kemudian ia menunduk kembali.
Dalam pada itu, Ki Watu Kendengpun mengatakan apa
yang telah disampaikannya kapada Ki Selabajra. Dengan
hati-hati ia menceriterakan akibat dari keterangannya.
Bahkan ia tidak dapat menyembunyikan kenyataan tentang
Ken Padmi. Menurut Ki Watu Kendeng, hal itu memang
lebih baik diketahui sama sekali oleh Mahisa Bungalan,
agar ia dapat mempersiapkan diri menghadapi masa
datangnya. Jika ia tidak mengetahuinya, dan pada suatu
saat ia akan terbentur pada kenyataan yang demikian, maka
hatinya tentu akan menjadi lebih sakit lagi. Apalagi apabila
ia sudah datang bersama orang tuanya.
Mahisa Bungalan mendengarkan keterangan Ki Watu
Kandeng dengan hati yang berdebar-debar. Meskipun ia
sudah menyangka, namun sikap Ken Padmi telah membuat
hatinya menjadi pedih. Betapapun juga, jika benar hati
gadis itu menjadi patah orang, ia tentu akan merasa
kehilangan. Jika ia tidak dapat datang ke padepokan
Kenanga itu bukannya karena ia bermaksud buruk, apalagi
sekedar mempermainkan perasaan gadis itu dengan sikap
pura-pura atau sekedar mengisi kekosongan hati.
Tetapi Mahisa Bungalan harus menerima akibat itu. In
sadar, bahwa ia memang harus tetap pada sikapnya,
menunda lamarman itu sampai saatnya sampai ayahnya
sendiri akan melakukannya.
"Mahisa Bungalan" berkata Ki Watu Kendeng "aku
sudah mencoba mengatakan dengan baik dan sesuai dengan
tanggapanku atas sikapmu. Tetapi gadis yang kecawa itu
agaknya telah salah paham. Namun aku berdoa, mudahmudahan
hatinya akan menjadi luluh dan menerima hal ini
justru dari sisi yang baik"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Mudah-mudahan Ki Watu Kendeng. Salah paham
memang mudah terjadi dalam hal seperti ini. Aku menyesal
apabila mereka tetap menganggap bahwa aku telah
mempermainkan perasaan mereka. Terutama Ken Padmi
sendiri" "Aku mengerti" sahut Ki Watu Kendeng.
"Namun pada saatnya aku akan menjelaskan apabila
mereka masih bersedia mendengarkan"
"Hal itu agaknya memang perlu kau lakukan Mahisa
Bungalan. Tetapi jangan sekarang. Hati mereka masih
panas. Mungkin justru akan memperdalam kesalahpahaman
ini" "Ya, Ki Watu Kendeng. Aku akan datang pada saat
yang aku anggap baik. Tetapi aku tidak tahu, kapan hal itu
akan aku lakukan" "Kau memang harus sabar ngger. Kau harus menunggu
sampai badai ini menjadi reda. Tetapi kelak kaupun harus
membuktikan bahwa kau tidak sekedar menghembuskan
angin yang akan lenyap tanpa bekas"
Mahisa Bungalan mengangguk dalam-dalam. Katanya
"Aku akan membuktikan, Ki Watu Kendeng"
Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Meskipun ia
masih tetap digelisahkan oleh hubungan yang rasa-rasanya
menjadi agak renggang dengan padepokan Kenanga.
Namun ia masih mempunyai harapan bahwa segala
sesuatunya akan dapat diperbaiki"
"Aku percaya" berkata Ki Watu Kendeng kemudian,
bahwa semuanya masih belum terlambat. Waktu akan
mendinginkan hati gadis itu. Jika tidak ada pihak yang ikut
campur, maka segalanya akan menjadi baik lagi" Mahisa
Bungalan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam Tetapi
ia tidak menjawab. Sejenak keduanya hanya berdiam diri. Dengan penuh
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengertian Ki Watu Kendeng memandangi anak muda
yang menunduk itu. Betapa hatinya menjadi pedih
menghadapi kenyataan yang pahit, la tidak dapat
menempuh jalan sesuai dengan sekedar menyenangkan diri
sendiri. Baru sejenak kemudian Ki Watu Kendeng berkata
"Tabahkan hatimu Mahisa Bungalan. Kau bukan seorang
gadis seperti Ken Padmi. Karena itu, hatimu tentu tidak
akan sehalus perasaan Kan Padmi yang mudah tersentuh"
Mahisa Bungalan mengangguk sambil berkata "Aku
akan mencoba mengerti apa yang telah terjadi Ki Watu
Kendang" "Sekarang, beristirahatlah. Aku harap, bahwa kau tetap
kerasan di sini" Mahisa Bungalan mengangguk kecil. Namun mulai
timbul pertanyaan di dalam hatinya "Sampai kapan aku
harus barada di sini?"
Tetapi pertanyaan itu masih disimpannya di dalam
hatinya. Meskipun ia sadar, bahwa pada suatu saat
pertanyaan itu tentu akan terlontar, karena ia masih
mengemban kewajiban yang dibebankan oleh dirinya
sendiri, menjelang tugas yang lain yang akan diembannya
pada suatu saat. Sejenak kemudian, maka Mahisa Bungalanpun
meninggalkan Ki Watu Kendeng yang kemudian duduk
sendiri. Batapapun juga peristiwa itu tidak dapat begitu saja
lewat dari perasaannya. Untuk waktu yang lama Mahisa
Bungalan tentu akan masih dibayangi oleh peristiwa itu.
Bahkan ia sudah bertekad untuk memulihkan hubungannya
dengan gadis padepokan Kenanga itu.
Ketika satu dua hari lewat, rasa-rasanya kegelisahan
Mahisa Bungalan menjadi semakin mencengkam
jantungnya. Meskipun demikian ia masih tetap berusaha
untuk menahan diri. Ia masih berusaha untuk tetap tinggal
di padepokan Watu Kendeng, betapapun keadaannya. Di
malam hari matanya bagaikan tidak dapat terpejam. Di
siang hari, rasa-rasanya ia selalu diburu oleh ketegangan
dan kegelisahan. Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun kemudian
muncoba menenggelamkan diri ke dalam kerja di
padepokan itu. Dengan sungguh-sungguh ia belajar
berbagai macam pekerjaan anyaman. Dari anyaman belarak
kelapa sampai ke anyaman bambu yang diserut halus. Dari
membuat icir untuk menangkap ikan, sampai pada
membuat tanong tempat makanan dan ceting tempat nasi.
Sementara itu, di padepokan Kenanga, Ken Padmi tidak
dapat menyembunyikan luka di hatinya. Di pagi hari, ketika
ia bangun dari tidur, nampak matanya yang kemerahmerahan
bagaikan membengkak. Sanyumnya sama sekali
telah lenyap dari bibirnya, dan sebagian waktunya telah di
habiskannya di dalam biliknya saja. Namun di sore hari,
ketika senja mulai membayang, ia telah hilang di balik pintu
sanggar yang diselaraknya dari dalam. Ia seolah-olah tidak
memberi kesempatan lagi kepada murid-murid Ki Selabajra
di sore hari, karena Kan Padmi melepaskan luka di hatinya
dengan mesu diri dan berlatih olah kanuragan.
Ki Selabajra menjadi sangat cemas melihat keadaan
anakknya. Ia sadar bahwa anaknya menjadi kacewa. Tetapi
ia cemas bahwa hatinya telah dibakar oleh dendam,
sehingga olah kanuragan akan menjadi cara yang tidak
terpuji untuk melepaskan sakit hatinya.
Tetapi untuk beberapa saat, Ki Selabujru membiarkun
anak gadisnya berlaku demikian. Bahkan iapun berpesan
kepada murid-muridnya yang lain, agar mereka tidak
mengganggunya dan mencari tempat lain untuk berlatih.
Sementara itu, Gemak Werdi dan Makerti yang masih
berada di padepokan menjadi cemas pula. Makerti mulamula
telah menyatakan keinginannya kepada Gemak Werdi
untuk kembali. Tetapi agaknya Gemak Werdi masih belum
sampai hati meninggalkan gurunya dalam keadaan yang
demikian. "Kegelisahannya itu dapat membuatnya kehilangan
akal" berkata Gemak Werdi kepada Makerti.
Makerti menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
katanya "Aku kira Ki Selabajra cukup dewasa. Tetapi jika
kau menganggap bahwa sebaliknya kita menemaninya
untuk berapa hari lagi, akupun tidak berkeberatan"
"Kita akan melihat perkembangan keadaan. Satu atau
dua hari saja lagi" sahut Gemak Werdi.
Dalam pada itu, agaknya Gemak Werdi telah
mempunyai rencana sendiri. Selagi Ken Padmi terlempar
dari angan-angan dan harapan yang melambung tinggi, dan
jatuh terbanting ke dalam jurang yang dalam, maka iapun
berusaha hadir di dalam kehidupan batin gadis itu.
Ada saja yang dilakukannya untuk menarik perhatian
Ken Padmi yang sedang murung. Kadang-kadang, seolaholah
diluar kehendaknya, Gemak Werdi berpapasan di
muka longkangan dengan Ken Padmi yang akan pergi ke
pakiwan. Kadang-kadang mereka bertemu di tempat lain.
pada saat yang berbeda. Adalah seakan-akan tidak sengaja, ketika Ken Padmi
pergi ke Sanggar, tiba-tiba saja ia terkejut. Ketika ia akan
menyelarak pintu dari dalam, ternyata Gemak Werdi sudah
berada di dalam sanggar. "Apa kerjamu disitu?" bertanya Ken Padmi dengan
suara datar. "Aku mencoba mendalami ilmuku Selama ini aku tidak
pernah mendalami ilmuku. aku hanya mempergunakannya
saja sesuai dengan apa adanya"
"Aku akan mempergunakan sanggar ini, sendiri"
Gemak Werdi menarik nafas dalam-dalam, sambil
mengangguk ia berkata "Silahkan, aku mempergunakannya
sebelum soalnya kau pergunakan"
"Terima kasih" berkata Ken Padmi singkat.
"Tetapi" kata-kata Gemak Werdi penuh keragu-raguan
"menurut pendapatku, berlatih sendiri dan berpasangan,
akan jauh berbeda. Hasilnya lebih mantap jika tidak berlatih
seorang diri. Biasanya aku berlatih dengan paman Makerti.
Tatapi saat ini paman Makerti sedang letih. Karena itu, aku
berlatih seorang diri"
Ken Padmi tidak tertarik sama sekali kepada keterangan
itu. Jawabnya "Aku lebih senang berlatih sendiri"
Gemak Werdi menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Baiklah, aku akan pergi"
Gemak Werdipun kemudian meninggalkan sanggar itu,
dan membiarkan Ken Padmi barlatih sendiri. Tetapi Gemak
Werdi tidak pernah mundur. Ada saja usahanya untuk
dapat bertemu dan berbicara satu dua patah kata. Sikapnya
yang lembut dan kata-katanya yang ramah lambat laun
terasa menyentuh perasaan Ken Padmi yang sedang pedih.
Diluar sadarnya, maka Ken Padmipun mulai berbincang
satu dua kata dengan Gemak Werdi mengenai ilmu
pudepokun Kenanga. Seolah-olah mereka tidak sesuai
pendirian. Namun Gemak Werdi sudah mengalah dan
seakan-akan ia menyadari kesalahannya. Bahkan ia seakanakan
selalu mengakui dan minta maaf akan kesalahannya.
Makerti yang melihat sikap Gemak Werdi itu menjadi
berdebar-debar. Ia mangerti, bahwa perasaan itu memeng
sudah tersimpan di hati Gemak Werdi sejak mereka belum
mengenal anak muda yang bernama Mahisa Bungalan.
Namun Gemak Werdi merasa dirinya masih belum saatnya
untuk berbuat sesuatu.. Kehadiran Mahisa Bungalan telah
agak menjauhkannya dari angan-angan itu. Namun anganangan
itu kini rasa-rasanya telah tumbuh kembali di
hatinya. Meskipun pembicaraan yang satu dan dua kali dilakukan
oleh Gemak Werdi dan Ken Padmi itu selalu berkisar pada
ilmu yang sedang mereka pelajari, namun kesempatan yang
demikian itu telah membesarkan hati Gemak Werdi.
Bahkan pada suatu saat, Ken Padmi tidak menolak ketika
Gemak Werdi bersedia untuk membantunya berlatih
kanuragan di dalam sanggar.
Makerti yang melihat perkembangan itu menjadi
semakin gelisah, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Sekali ia pernah mencoba untuk memberikan nasehat
kepada Gemak Werdi, agar ia tidak kehilangan akal.
Namun Gemak Werdi sambil tersenyum menjawab "Aku
tidak berbuat apa-apa paman. Ia adalah murid terbaik di
padepokan ini. Bukankah dengan demikian aku akan dapat
ikut meningkatkan ilmuku pula"
Alasan itu memang wajar sekali nampaknya. Tetapi
Makerti mengerti, bahwa sebenarnya Gemak Werdi sama
sekali bukan mementingkan peningkatan ilmunya. Tetapi
kesempatan untuk bersama Ken Padmi yang sedang
mengalami goncangan batin itulah yang menjadi tujuan
utamanya. 03_SHM_Panasnya_Bunga_Mekar
Gemak Werdi yang dalam olah kanuragan berada di
tataran yang lebih rendah dari Ken Padmi, berusaha untuk
dapat berbuat sebaik-baiknya. Dengan sungguh-sungguh ia
membantu Ken Padmi dalam latihan-latihan yang
dilakukannya untuk mengisi kesepian di hatinya. Namun
seperti yang di katakannya, kecuali kesempatan untuk
berada bersama-sama dengan Ken Padmi di sanggar, maka
iapun dapat memanfaatkan saat-saat itu untuk
mematangkan ilmunya pula.
Kegelisahan Makerti tidak tertahankan lagi melihat
perkembangan keadaan itu. Seolah-olah ingin menghadap
Ki Selabajra dan menyampaikan kegelisahannya itu
kepadanya Tetapi ia masih mampu menahan diri. Ia mencoba untuk
mencari jalan lain yang sebaik-baiknya.
Karena itulah, maka sekali lagi ia mencari kesempatan
untuk berbicara dengan Gemak Werdi.
"Paman, aku sudah cukup dewasa. Aku sudah dapat
menilai, apakah yang sebaiknya aku lakukan" berkata
Gemak Werdi ketika Makerti berusaha untuk memberinya
peringatan. "Benar, Gemak Werdi. Kau memang sudah cukup
dewasa, tetapi apakah setiap orang yang sudah cukup
dewasa tidak pernah melakukan suatu kekhilafan" jawab
Makerti. "Aku sudah mempelajari baik-baik, apakah yang aku
lakukan sekarang. Aku menganggap bahwa yang aku
lakukan itulah yang sebaik-baiknya"
"Kau harus menyadari, bahwa hubungan antara Ken
Padmi dan Mahisa Bungalan adalah hubungan yang
mendasar. Karena itu, maka hubungan yang damikian akan
tidak mudah mereka lupakan. Seandainya ada kabut yang
membayanginya, tetapi itu sifatnya tentu hanya sementara"
"Aku tidak akan mengganggu hubungan itu paman. Aku
sedang memperdalam ilmu kanuragan yang pernah aku
pelajari di padepokan ini"
"Jangan selalu menghindari keadaan yang sebenarnya
Gemak Werdi. Aku ingin berbicara dengan sungguhsungguh
Karena itu, maka marilah kita berpangkal kepada
keadaan yang sebenarnya" berkata Makerti kemudian.
Gemak Werdi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
Katanya "Paman. Sebaiknya paman tidak usah ikut serta
berbicara tentang diriku"
"Gemak Werdi" berkata Makerti "aku selalu
memberimu peringatan meskipun kau tidak pernah
mendengarkannya. Ketika kau pergi ke Watan untuk
menghalau Ki Lambun, akupun sudah memberimu
peringatan. Tatapi kau tidak mengacuhkannya, sehingga
hampir saja kau menjadi korban karenanya. Untunglah
bahwa saat itu hadir seorang anak muda yang bernama
Mahisa Bungalan. Dan kau sekarang justru telah
melakukan kesalahan yang lebih besar. Bukankah kau
melihat, apa yang telah terjadi atas Gagak Branang?"
Gemak Werdi tertawa. Katanya "Jika ingin pulang,
pulanglah. Segala yang terjadi akan menjadi tanggung
jawabku" "Kau benar-benar sudah menjadi gila"
"Tidak paman. Hubungan antara Mahisa Bungalan
dengan Ken Padmi sudah putus. Ken Padmi sudah
mengatakan, bahwa ia tidak akan dapat menerima Mahisa
Bungalan dengan alasan apapun juga"
"Itulah yang sedang dicari jalan" berkata Makerti
"orang-orang tua berusaha untuk memulihkan hubungan
itu, kau sedang mencari keuntungan dari peristiwa itu. Kau
ingin mendapatkan ikannya disaat air sedang keruh"
Makerti menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat
Gemak Werdi justru tertawa. Katanya "Paman
menganggap aku masih kanak-anak. Biarkan saja apa yang
aku lakukan. Aku mengerti sepenuhnya, jangan menasehati
aku saperti paman menasehati para cantrik yang baru
datang di padepokan ini"
"Gemak Werdi" berkata Makerti dengan nada dalam
dan datar "jangan merusak usaha orang-orang tua untuk
memulihkan kembali hubungan antara Mahisa Bungalan
dan Ken Padmi" "Siapa yang merusak" Aku sedang berusaha membuat
hati gadis itu menjadi jernih. Aku harus melakukan sesuatu
agar Ken Padmi tidak membunuh diri. Tidak kehilangan
akal dan nalar. Tidak menjudi gila atau mengalami
peristiwa-peristiwa lain yang mengerikan"
"Bukan itu Gemak Werdi" Makerti menggeleng "kau
masih saja berusaha mengelabui aku. Aku sudah melihat
apa yang sebenarnya kau lakukan. Itulah yang aku
keberatan" Gemak Werdi menggelengkan kepalanya. Katanya "Aku
berbuat atas pertimbangan yang masak. Sudahlah paman.
Pulanglah. Memang sudah waktunya kau meninggalkan
padepokan ini. Biarlah aku tetap di sini untuk sementara,
sehingga karena itu. maka ilmuku akan meningkat dengan
pesat" Makerti menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa
Gemak Werdi yang sudah diracuni olah perasaan yang
tidak terkendali, sulit untuk diajak menilai tingkah lakunya
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendiri. Karena itu, betapapun berat hatinya, ia terpaksa
melepaskan usahanya, karana jika ia ingin memaksakan
pendapatnya, maka ia tentu akan berselisih dengan Gemak
Werdi, sehingga akan dapat menimbulkan akibat yang tidak
dikehendakinya. Dengan demikian, maka Makerti seolah-olah merasa
tidak ikut mencampuri persoalan itu. Ia lebih baik
menghindar dan tidak terlibat dalam kaadaan yang
bagaimanapun juga. -oo0dw0oo- Jilid 05 "Gemak Werdi" berkata Makerti kemudian "aku sudah
berusaha. Tetapi pengaruhku atasmu memang sangat
terbatas. Kau sudah merasa cukup dewasa, sehingga aku
tidak perlu lagi mencampuri persoalanmu, seperti juga
pernah kau katakan sebelum kau pergi ke Watan"
"Setiap kali kau selalu berbicara tentang Watan. Aku
sudah mengakui, bahwa Mahisa Bungalanlah yang telah
menyelamatkan aku. Akupun mengerti, bahwa Mahisa
Bungalan telah menyelamatkan padepokan ini. Tetapi apa
yang dapat kita katakan atas orang yang tidak
menghiraukan padepokan ini lagi" Yang telah pergi jauh
tanpa berpaling" Apakah kau kira sebaiknya Ken Padmi
datang kepadanya, merunduk dan menangisi kepergian
anak muda itu, dan membasuh kakinya dengan air mata?"
Makerti menggeleng lemah. Katanya "Kau mengerti
yang aku maksudkan. Tetapi kau sengaja membaurkannya
dengan pengertian yang berbeda. Karena itu, aku tidak akan
mengatakan apa-apa lagi. Terserah kepadamu yang telah
cukup dewasa. Yang telah dapat mengetahui baik dan
buruk, dan yang telah dapat berdiri di atas sikap yang
bertanggung jawab" "Terima kasih. Jika kau tidak mengganggu aku lagi,
maka kau benar-benar seorang yang mengerti tentang aku"
"Aku mengerti tentang kau" sahut Makerti "tentang
sikapmu dan tentang kekacauan pikiranmu. Aku mengerti
bahwa kau telah memberikan arti yang lain terhadap
penilaianku atas sikapmu"
"Terserah kepada paman. Apapun yang kau katakan,
aku tidak akan berkeberatan. Tetapi aku akan tetap tinggal
di sini seperti saat aku belum meninggalkan padepokan ini.
Meskipun aku sudah menyelesaikan masa berguru dengan
menyadap semua ilmu guru, tetapi aku baru mengenalnya
dan belum memahaminya. Karena itulah maka aku tidak
dapat berbuat banyak ketika aku berada di Watan"
"Apapun yang kau katakan, tidak mengubah penilaianku
atas dirimu. Akupun mengerti bahwa kau tidak
mempedulikan lagi penilaian orang lain atas dirimu. Tetapi
akupun berhak berbuat seperti yang kau lakukan"
Gemak Werdi justru tertawa. Katanya "Terima kasih.
Kapan kau akan kembali?"
"Aku akan kembali secepatnya. Aku masih mempunyai
pekerjaan di rumah" jawab Makerti.
"Secepatnya. Kapan secepatnya itu?"
"Dua atau tiga pekan lagi" jawab Makerti.
"Kau gila. Dua atau tiga pekan adalah waktu yang
sangat panjang" "Ah, jangan bermain-main. Tiga empat atau lima pekan
adalah waktu yang sama sekali tidak berarti bagiku. Aku
tentu sudah tidak letih lagi. Dan aku akan berpacu kembali
Semalam aku akan menginap di rumah Ki Buyut di
perjalanan" Wajah Gemak Werdi menjadi tegang. Katanya Kau
jangan mencoba mengganggu aku paman"
"Jangan hiraukan aku. Aku dapat menentukan diriku
sendiri, sesuai dengan kehendakku dan yang paling baik
bagiku sendiri. Kita masing-masing dapat menentukan
sikap tanpa keterikatan. Kita masing-masing dapat menilai
apa saja tanpa saling membicarakan dan saling menegur"
Gemak Werdi menggeram. Ia mengerti, bahwa Makerti
sudah kehilangan kesabaran. Tetapi iapun menjadi semakin
keras menghadapi sikap itu, ia tidak mau mundur lagi
barang selangkah. Karena itu, maka Katanya "Baik paman. Kita akan
menempuh jalan kita masing-masing. Aku menempuh
jalanku sendiri, dan kau menempuh jalanmu. Tetapi
jika kau berusaha membentur aku, maka akupun akan
berbuat apa saja menurut kehendakku pula"
Makerti menarik nafas dalam-dalam. Ia masih
menyadari keadaannya dan hubungan kadang yang ada.
Karena itu, maka sambil menarik nafas dalam-dalam ia
berkata "Kita akan menempuh jalan kita masing-masing"
Gemak Werdipun kemudian tidak menjawab lagi.
Ditinggalkannya Makerti yang kecewa. Namun Gemak
Werdi tidak akan berubah sikapnya. Ia tidak melihat jalan
lain yang dapat dilaluinya. Seolah-olah ia melihat pintu
yang sudah terbuka, sehingga ia tinggal melangkah masuk,
meloncati tlundak yang rendah.
Makerti hanya dapat menekan dadanya yang serasa
pepat. ia merasa tidak ada perlunya lagi berada di
padepokan Kenanga. Ia tidak mau selalu digelisahkan
melihat sikap Gemak Werdi. Tetapi iapun tidak ingin
mengkhianatinya dengan menghubungi langsung Ki
Selabajra dan memberikan beberapa keterangan yang akan
dapat menimbulkan kakecewaan yang mendalam pada
Gemak Werdi. Karena itu, maka tidak seperti yang dikatakannya, maka
dihari berikutnya, Makerti telah menghadap Ki Salabajra
untuk minta diri. Gemak Werdi menjadi heran mendengar Makerti minta
diri secepatnya. Perubahan sikap itu telah menumbuhkan
berbagai macam tanggapan. Dengan gelisah Gemak Werdi
mencoba menebak, apa yang akan dilakukan oleh Makerti
selanjutnya. ?"Apakah ia akan menemui Mahisa Bungalan di
padepokan Watu Kendeng?" pertanyaan itu telah
mengganggunya. Sementara itu, maka Ki Selabajra telah bertanya telah
bertanya pula kepadanya "Gemak Werdi. Apakah kau juga
akan kembali?" Gemak Werdi termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian jawabnya "Guru. jika guru berkenan, aku masih
akan tinggal beberapa hari lagi di padepokan ini.
Pengalaman yang baru saja terjadi telah memaksa aku
untuk berpikir, agar aku mencari kesempatan mematangkan
ilmuku yang semula dengan bodoh aku anggap sudah
cukup, aku berniat untuk menekuninya lebih lama lagi"
Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Bagus Gemak Werdi. Kau masih muda. Kau masih
mempunyai kesempatan yang panjang. Sejak semula aku
sudah mengatakan, bahwa yang kau miliki baru dasar-dasar
ilmu perguruan ini. Ketika kau bertemu dengan anak muda
yang bernama Mahisa Bungalan, maka kau merasa bahwa
ilmumu itu terlampau kecil dibandingkan dengan ilmu yang
dimilikinya. Bahkan Gagak Branangpun telah berhasil
mengejutkan kau dan juga aku. Karena sebenarnyalah
bahwa ilmu yang ada padaku, tidak akan dapat menjangkau
bahkan hanya mendekati ilmu anak muda yang bernama
Mahisa Bungalan itu"
Gemak Werdi menarik nafas dalam-dalam. ternyata
gurunya sama sekali tidak berkeberatan bahwa ia tetap
tinggal di padepokan itu untuk beberapa saat, seperti pada
saat ia masih berguru. Makerti yang duduk dengan kepala tunduk hanya dapat
menarik nafas dalam-dalam. Namun demikian dadanya
menjadi bagaikan pepat. Ia mengerti ketidak jujuran Gemak
Werdi. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya karena
beberapa macam sebab. "Mudah-mudahan pada suatu saat ki Selabajra dapat
melihat dan mengambil sikap. Tetapi jika Gemak Werdi
kemudian dapat diterima baik, oleh Ken Padmi dan Ki
Selabajra, maka biarlah segalanya itu terjadi. Tetapi jika hal
itu dilakukan dengan licik, maka malanglaj nasib gadis
padepokan Kenanga itu" berkata Makerti kepada diri
sendiri. Ia sudah memutuskan untuk tidak mencampurinya
lebih jauh. Ia tidak ingin terlibat dalam persoalan yang
sangat pribadi itu. Baik atau buruk.
Karena itu, maka Makertipun berniat benar-benar untuk
meninggalkan padepokan itu dengan segera. Beberapa
orang murid padepokan Kenanga dan bahkan Ken Padmi
sendiri, masih mencoba menahannya. Tetapi Makerti sudah
berniat bulat untuk kembali ke rumahnya.
Dengan setengah hati, Makerlipun kemudian minta diri
kepada Gemak Werdi yang masih akan tinggal. Tetapi ia
sama sekali tidak memberikan pesan apapun juga. Ia sudah
bertekad untuk tidak mencampuri persoalannya, apapun
yang akan dilakukan. Ketika Makerti meninggalkan padepokan Kenanga, ada
juga niatnya untuk singgah kepadukuhan Watu Kendeng.
Namun niat itupun diurungkannya. Ia akan menjadi
bingung jika pada suatu ketika Mahisa Bungalan bertanya
tentang Ken Padmi yang sedang tersinggung perasaannya
itu. Karena itu, maka terdorong oleh keburaman hati. maka
Makertipun segera berpacu. Ia tidak ingin bemalam di
perjalanan. Meskipun ia harus menempuh perjalanan
hampir sehari semalam, ia akan melakukannya.
Tetapi Makerti tidak ingin menyiksa kudanya. Ia justru
lebih memperhatikan kudanya daripada dirinya sendiri.
Karena itu, maka di-saat-saat tertentu, iapun berhenti untuk
memberi kesempatan agar kudanya dapat beristirahat,
makan secukupnya dan minum air jernih.
Sementara Makerti dalam perjalanan kembali ke
padepokan Kenanga, Mahisa Bungalan telah dicengkam
pula oleh kegelisahan. Untuk sementara ia masih dapat
memaksa diri tinggal di padepokan Watu Kendeng. Tetapi
keinginannya untuk meneruskan perjalanan sulit untuk
dibendungnya lagi. Apalagi ia telah didesak oleh suatu
keinginan untuk menyampaikan persoalannya kepada
ayahnya, Mahendra. Bahwa ia telah berhubungan dengan
seorang gadis dari padepokan kecil bernama Ken Padmi.
"Mudah-mudahan aku masih mendapat kesempatan"
berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya "aku akan
mohon agar Ki Watu Kendeng sempat menyampaikan
pesan, bahwa sebenarnya Mahisa Bungalan hanya sekedar
mohon penundaan waktu"
"Tetapi Jika hatinya telah patah, maka sulit untuk dapat
direkat kembali" berkata Mahisa Bungalan di dalam
hatinya. Tetapi ia masih tetap berpengharapan, bahwa hal
itu akan dapat terjadi kelak"
Namun demikian dengan hati berdebar-debar ia berkata
kepada diri sendiri "Mudah-mudahan tidak ada orang lain
yang merenggutnya dengan cara apapun juga"
Namun betapapun juga ia mencoba menahan diri,
akhirnya sampai juga pada saatnya, ia harus minta diri.
Dengan ragu-ragu iapun menyampaikan niatnya untuk
melanjutkan perantauannya sebelum ia harus kembal ke
Singasari. Dengan memaksa diri iapun telah
menyampaikan pesannya, bahwa ia masih berharap untuk
dapat kembali ke padepokan Kenanga dengan orang tuanya
seperti yang dikatakannya, meskipun ia tidak akan
melupakan Ki Watu Kendengpun akan menyertainya.
Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Iapun
mengerti bahwa saat yang demikian tentu akan datang. Jika
Mahisa Bungalan bersedia tinggal beberapa saat di
Padepokannya, itupun telah membuatnya berbesar hati.
Karena itu maka ia tidak akan dapat menahannya lagi.
Selama Mahisa Bungalan berada di padepokannya, ia
sudah berusaha berbuat sebaik-baiknya, bahkan ia berusaha
untuk membuatnya berbesar hati pula dengan
pembicaraannya tentang gadis padepokan Kenanga. Tetapi
yang justru berakhir dengan kesalah pahaman. Namun
demikian, Ki Watu Kendeng masih juga bersedia untuk
berbicara dengan Ki Selabajra. Ia ingin sekali lagi
menjelaskan persoalan yang sebenarnya tentang Mahisa
Bungalan. "Mudah-mudah Ken Padmi dapat mengerti " berkata Ki
Watu Kendeng. "Aku mohon maaf, bahwa itu harus terjadi. Tetapi aku
benar-benar berniat baik. Karena aku adalah seorang anak
yang dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tuaku" berkata
Mahisa Bungalan. "Aku mengerti Mahisa Bungalan" jawab Ki Watu
Kendeng "karena itu, akupun akan berusaha"
Dalam pada itu, Mahisa Bungalanpun kemudian minta
diri, meninggalkan padepokan Watu Kendeng, melanjutkan
perantauannya seperti yang ingin dilakukannya sejak ia
meninggalkan Singasari. Tetapi sebelum ia berangkat, maka langkahnya tertegun
ketika seekor kuda memasuki halaman padepokan Watu
Kendeng. "Gemak Werdi" desis Mahisa Bungalan. Ki Watu
Kendeng yang telah mengenal anak muda itupun kemudian
memersilahkannya naik ke pendapa.
"Apakah kau akan pergi Mahisa Bungalan?" bertanya
Gemak Werdi setelah ia duduk di pendapa.
"Ya Gemak Werdi. Aku akan meninggalkan padepokan
Watu Kendeng" jawab Mahisa Bungalan.
"Bukankah ia memang seorang perantau" sahut Ki Watu
Kendeng. Gemak Werdi mengangguk-angguk. Katanya kemudian
"Jika demikian maka dugaan kami memang benar"
Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya. Dengan
ragu-ragu ia bertanya "Dugaan tentang apa ngger?"
"Mahisa Bungalan memang tidak bersungguh-sungguh"
jawab Gemak Werdi. Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Sambil
beringsut setapak ia bertanya "Apakah membawa pesan
dari Ki Selabajra?"
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya Ki Watu Kendeng. Berdasarkan atas pertimbangan
yang matang, maka aku diutusnya datang kemari. Lebih
baik segalanya menjadi jelas daripada masih merupakan
teka-teki yang tidak tertebak"
"Aku tidak mengerti" desis Ki Watu Kendeng. Gemak
Werdi termenung sejenak. Kemudian katanya "Ki Watu
Kendeng. Aku datang untuk menyampaikan sebuah
keputusan" "Keputusan tentang apa ngger?" bertanya Ki Watu
kendeng. "Tentang Mahisa Bungalan" jawab Gemak Werdi.
Dada Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Tetapi
ia tidak mendahului Ki Watu Kendeng. Betapapun juga ia
menunggu, apa yang akan dikatakan oleh Ki Watu
Kendeng kepada Gemak Werdi. Apakah yang akan kau
katakan tentang Mahisa Bungalan itu ngger" Aku kira
masalahnya demikian penting, sehingga apakah Ki
Selabajra menganggap, bahwa kau seorang diri sudah
cukup untuk mewakilinya?"
Gemak Werdi mengerutkan keningnya. Kemudian
Katanya "Kenapa kau bertanya demikian Ki Watu
Kendeng. Aku adalah muridnya. Apakah aku tidak berhak
menjadi utusannya dalam segala hal"
Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Katanya
"Mungkin demikian ngger. Tetapi baiklah, apakah yang
akan kau sampaikan?"
"Ki watu Kendeng. Masalahnya sebenarnya tidak terlalu
penting. Aku mendapat pesan dari Ki Selabajra atas
permintaan anaknya Ken Padmi, agar segala hubungan
diputuskan. Masing-masing tidak usah saling berharap dan
menganggap bahwa antara keduanya, maksudku Mahisa
Bungalan dan Ken Padmi adalah sebagai dua orang
bersaudara. Kakak beradik. Tanpa hubungan yang lain
lagi" berkata Gemak Werdi kemudian.
Wajah Mahisa Bungalan terasa menjadi panas. Tetapi ia
masih saja menahan diri. dan membiarkan Ki Watu
Kendeng menjawab "Angger Gemak Werdi. Menurut
penerimaanku, hal ini adalah hal yang penting. Bukannya
tidak penting seperti yang angger katakan"
"Maksudku Ki Watu Kendeng, bahwa yang aku
sempaikan ini bukannya persoalan yang perlu
diperbincangkan lagi. Adalah berbeda dengan persoalan
yang justru baru mulai dibicarakan. Itu adalah hal yang
sangat penting. Tetapi sekedar menyampaikan sebuah
keputusan yang seolah-olah telah disepakati terlebih dahulu
oleh kedua belah pihak, maka persoalannya tidaklah
sepenting persoalan yang pertama"
"Angger keliru" berkata Ki Watu Kendeng "tidak ada
yang telah menyepakati hal itu. Bahwa Ken Padmi menjadi
salah paham, itu sudah ketahui. Tetapi antara aku dan Ki
Selabajra masih terikat suatu kesediaan untuk saling
berbicara tentang hal ini. Itulah yang agak mengharapkan,
kenapa tiba-tiba saja ia mengutus seorang muridnya.
Meskipun aku tidak menolak pembicaraan yang
disampaikan lewat angger Gemak Werdi"
Gemak Werdi menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Aku mohon maaf Ki Watu Kendeng. Tetapi pesan guruku
sudah jelas. Bahwa tidak ada pembicaraan apapun lagi.
Yang ada adalah hubungan keluarga yang lebih akrab.
Hubungan antara kakak beradik"
Ketika Mahisa Bungalan beringsut setapak, maka dengan
tergesa-gesa Ki Watu Kendang berkata "Angger Mahisa
Bungalan. Aku harap, angger tidak cepat salah paham
seperti Ken Padmi, karena justru Ken Padmi adalah
seorang gadis. Bagaimanapun juga, aku masih merasa
berkewajiban untuk berbicara dengan Ki Selabajra"
Mahisa Bungalan yang sudah hampir menyahut, seakanakan
harus menelan kata-katanya kembali ke dalam ke
rongkongannya. Namun justru karena itu, maka dadanya
serasa menjadi sesak. "Angger Gemak Werdi" berkata Ki Watu Kendeng
kemudian "aku telah menerima angger dengan senang hati.
Semua pesan telah aku terima dan aku mengerti. Namun
demikian, pada suatu saat aku akan mohon waktu kepada
Ki Selabajra untuk dapat sekedar berbicara tentang masalah
yang pelik ini" Wajah Gemak Werdi justru menegang. Dengan
sungguh-sungguh ia berkata "Tidak akan ada gunanya. Ki
Selabajra sudah memutuskan. Karena itu, agaknya tidak
akan dapat ditarik kembali"
Jawaban itu justru sangat menarik perhatian Mahisa
Bungalan. Semula ia sudah hampir kehilangan pengamatan
diri dan akan terperosok ke dalam sikap yang gelap. Namun
justru karena sikap Gemak Werdi, maka tiba-tiba saja ia
berkata "Gemak Werdi, aku mohon maaf bahwa akupun
akan ikut berbicara"
Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya. Tetapi ketika
ia melihat wajah Mahisa Bungalan yang jernih, ia
membiarkan saja anak muda itu berkata "Aku adalah orang
yang paling berkepentingan dengan pesan Ki Selabajra. Aku
mengerti, betapa hati seorang gadis cepat menjadi patah.
Tetapi aku berharap, bahwa Ken Padmi tidak akan berbuat
demikian" "Sayang Mahisa Bungalan" jawab Gemak Werdi
"harapanmu itu tidak akan berarti apa-apa. Ken Padmi
sudah memutuskan, tidak akan berhubungan dengan
Mahisa Bungalan kecuali sebagai seorang kakak yang telah
menyelamatkannya dari bencana yang paling pahit bagi
seorang gadis" "Ternyata ia ingat peristiwa itu" sahut Mahisa Bungalan
"tetapi apakah salahnya jika aku masih akan mencoba
menunggu sampai hatinya Luluh"
Gemak Werdi termangu-mangu sejenak. Agaknya ia
tidak menyangka bahwa Mahisa Bungalan akan bersikap
demikian. Namun Gemak Werdipun kemudian berkata
"Mahisa Bungalan. Sebenarnya aku tidak akan sampai hati
mengatakannya. Tetapi karena nampaknya masih belum
mengerti, maka baiklah aku katakan bahwa saat ini. Ken
Padmi telah menemukan jodohnya. Jodoh yang sesuai
dengan gadis itu dan disetujui pula oleh orang tua masingmasing.
Meskipun anak muda itu tidak memiliki
kemampuan seperti Mahisa Bungalan, namun justru karena
itu, ia berharap, bahwa anak muda itu akan bersikap
sungguh-sungguh dan tidak sekedar mengisi saat-saat
hatinya kosong" Wajah Mahisa Bungalan menegang sejenak. Demikian
pula Ki Watu Kendeng. Bahkan ternyata bahwa perasaan
Ki Watu Kendanglah yang telah bergejolak sehingga
dengan serta merta ia menjawab "Itu tidak mungkin ngger.
Aku masih harus bertemu dan berbicara dengan Ki
Selabajra" "Sudahlah Ki Watu Kendeng" berkata Gemak Werdi
"jangan mengusik kebahagiaan Ken Padmi yang telah
menemukan seseorang yang paling sesuai di dalam
hidupnya" "Siapakah orang itu?" tiba-tiba saja Ki Watu Kendeng
bertanya. "Aku sendiri kurang mengerti. Aku hanya mendapat
perintah dari Ki Selabajra untuk menyampaikan hal ini
kepada Ki Watu Kendeng. Mungkin anak muda itu masihl
mempunyai sangkut paut hubungan darah. Tetapi biarlah
aku tidak memberikan jawaban, karena aku memang tidak
mengerti" Nafas Ki Watu Kendeng tiba-tiba saja menjadi terengahengah
seolah-olah orang tua itu baru saja melakukan
pekerjaan yang sangat berat. Namun dalam pada itu,
Mahisa Bungalan sendiri masih tetap dapat menguasai
dirinya. Bahkan ia masih dapat berkata dengan sareh
"Baiklah Gemak Werdi. Jika itu sudah menjadi keputusan.
Bagiku keputusan itu adalah keputusan sepihak, sehingga
tidak berlaku bagi pihak aku dan Ki Watu Kendeng.
Bagiku, harapan itu masih tetap aku junjung. Aku akan
pulang ke Singasari, mengabarkan hal ini kepada orang
tuaku. Orang tuaku akan datang ke padepokan ini, dan
bersama-sama dengan Ki Watu Kendeng menghadap Ki
Sela bajra menyampaikan-persoalan yang bagiku
merupakan persoalan yang sangat besar"
"Itu hanya akan membuang waktu saja " potong Gemak
Werdi. "Aku tidak memperhitungkan waktu, karena waktu itu
dapat aku petik tanpa kesulitan apapun juga. Aku adalah
seorang perantau yang mempunyai waklu berlimpahlimpah.
Ayahkupun bukan seorang seorang yang sibuk
dengan tugasnya" "Tetapi kerja yang tidak ada gunanya, apakah masih
akan dilakukan?" bertanya Gemak Werdi.
"Aku meragukan, apakah yang akan aku lakukan itu
sama sekali tidak akan berarti"
"Seandainya kau dapat mengusik perasaan Ken Padmi
yang sudah hidup tenang dengan suaminya, apakah itu
bukan berarti bahwa kau telah merampas kedamaian
hatinya" Itulah pertanda cintamu kepada seorang gadis?"
bertanya Gemak Werdi. "Aku tidak sedungu yang kau sangka. Aku dapat berbuat
sesuatu tanpa melukai hati seseorang. Tetapi baiklah, segala
yang dipesankan kepadamu telah kami terima di padepokan
ini. Sampaikan hormatku kepada Ki Selabajra dan salamku
kepada Ken Padmi. Selama yang kau katakan itu belum
terjadi, maka aku masih akan berbuat sesuatu. Dan untuk
mengetahui apakah hal itu sudah terjadi atau belum,
bukankah persoalan yang mudah sekali?" berkata Bungalan
kemudian. Dada Gemak Werdi menjadi berdebar-debar. Ternyata
tidak mudah baginya membakar hati Mahisa Bungalan Ia
menyangka, bahwa Mahisa Bungalanpun akan menjadi
marah dan dengan serta merta memutuskan segala
hubungan. Tetapi Mahisa Bungalan tidak berteriak "Aku
adalah seorang laki-laki. Aku akan dapat mencari jauh lebih
baik dari gadis padepokan Kenanga itu" Bahkan ternyata
Mahisa Bungalan seolah-olah tidak lagi menghargai dirinya
sendiri dan merendahkan diri untuk tetap merangkak
didepan regol padepokan Kenanga.
"Aneh" berkata Gemak Werdi di dalam hatinya. Tetapi
kegelisahan yang sangat telah melanda perasaannya. Jika
benar Ki Watu Kendeng dan bahkan mungkin Mahisa
Bungalan sendiri akan datang ke padepokan Kenanga,
maka akibatnya tentu akan parah baginya.
Yang tidak diketahui oleh Gemak Werdi, bahwa sikap
Mahisa Bungalan adalah justru karena kecurigaannya.
Dengan menahan hati Mahisa Bungalan seakan-akan tidak
menghargai dirinya sendiri. Jika di saat ia mendengar
pembicaraan Gemak Werdi yang mula-mula darahnya
sudah mulai bergejolak, namun kemudian justru ia berhasil
menahan hatinya. Betapapun juga Gemak Werdi menahan kegelisahannya,
tetapi Mahisa Bungalan dapat menangkapnya barang
sekilas di wajah anak muda itu. Dengan demikian maka
kecurigaannyapun menjadi semakin menyala di dalam
dadanya. Meskipun Mahisa Bungalan tidak mengetahui
dengan pasti latar belakang dari sikap Gemak Werdi,
namun seperti yang dikatakannya, ia bukannya seorang
yang sangat dungu, sehingga iapun mulai mencurigai
Gemak Werdi sebagai seorang anak muda. Tetapi Mahisa
Bungalan tidak ingin berselisih dengan anak muda itu.
Baginya Gemak Werdi bukannya apa-apa. Tetapi
perselisihan dengannya hanyalah akan menimbulkan
kesulitan. Jika bukan kesulitan lahir, tentu kesulitan batin.
Gemak Werdi yang merasa salah hitung itu, akhirnya
mencoba juga untuk memutuskan segala hubungan Mahisa
Bungalan dengan Ken Padmi dan padepokan Kenanga.
Katanya "Terserahlah kepadamu Mahisa Bungalan. Aku
sudah berusaha melakukan kewajibanku sebagai seorang
padepokan Kenanga, atau orang lain untuk kepentinganmu,
aku tidak tahu, apakah Ki Selabajra masih dapat melakukan
tugas dengan baik. Dan apakah dengan demikian Ki
Selabajra masih akan menganggapmu sebagai seorang anak
muda yang tahu diri"
Mahisa Bungalan benar-benar telah berhasil menguasai
dirinya. Karena itu jawabnya "Apapun anggapan atasku,
akan aku terima dengan senang hati. Sejak semula aku
memang merasa seorang yang tidak berharga. Itulah
sebabnya aku di Watan bersikap seperti perasaanku. Aku
memang orang yang tidak pantas diperhitungkan. Bahkan
aku mulai berpikir, apakah Ki Selabajrapun mulai
menganggap demikian terhadapku. Tetapi aku bukan
seorang yang mudah berputus asa"
Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya. Ia tidak
mengerti, kenapa Mahisa Bungalan benar-benar telah
merendahkan dirinya tanpa ragu-ragu.
Tetapi dengan demikian, Gemak Werdi justru menjadi
semakin berdebar-debar. Ia sudah berusaha untuk membuat
hati Mahisa Bungalan panas dan patah. Tetapi ternyata ia
gagal. Dengan cemas akhirnya Gemak Werdi minta diri.
Kedatangannya ke Watu Kendeng membuatnya justru
menjadi bingung. Ia berharap untuk selanjutnya Mahisa
Bungalan tidak akan mengganggu perasaan Ken Padmi
lagi. tetapi yang terjadi sama sekali tidak seperti yang
diharapkan. "Anak muda yang tidak tahu malu" katanya di dalam
hati. Sementara itu Mahisa Bungalanpun berkata "Salamku
kepada Ki Selabajra dan Ken Padmi. Aku hari ini
meninggalkan Watu Kendeng untuk datang kembali pada
saat yang lain" Wajah Gemak Werdi menjadi tegang, tetapi ia
menjawab "Semuanya akan aku sampaikan kepada Ki
Selabajra. Dengan demikian Ki Selabajra akan lebih
mengenalmu sebagai seorang anak muda yang lain dari
yang dibayangkannya semula"
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sayang, bahwa ia mendapat kesan yang salah tentang
aku. Tetapi inilah aku yang sebenarnya. Tidak tahu diri,
tidak berharga dan mungkin bukannya anak muda yang
diharapkan" Gemak Werdi tidak menjawab: iapun kemudian
meninggalkan Watu Kendeng dengan hati yang gelisah.
Sementara itu, Mahisa Bungalan yang sudah siap untuk
berangkat, terpaksa kembali duduk di pendapa. Namun ia
sudah berniat tidak akan menunda lagi perjalanan.
"Aku ingin minta penjelasan sebelum kau berangkat
Mahisa Bungalan" berkata Ki Watu Kendeng "aku tidak
mengerti sikapmu. Semula aku menjadi cemas bahwa kau
tidak akan dapat mengendalikan diri. Namun kemudian
justru akulah yang hampir tidak dapat menahan hati,
sementara kau benar-benar telah merendahkan dirimu
sendiri. Aku tahu, bahwa kau memang seorang yang rendah
hati. Seorang yang dengan sengaja merendahkan diri.
Tetapi tidak dihadapan seorang gadis dan orang tuanya.
Jika kau menganggap dirimu seorang perantau, karena kau
ingin menyadap kehidupan ini sedalam-dalamnya. Dengan
wajah seorang perantau, kau lebih banyak melihat dan
mendengar tanpa kecurigaan orang lain. Tetapi apakah
sikap itu berlaku juga dalam hubunganmu dengan Ken
Padmi. Jika seorang gadis sudah menolakmu, apakah kau
masih juga ingin bersimpuh di bawah kakinya"
Mahisa Bungalan tersenyum Jawabnya "Aku kurang
yakin akan pesan yang disampaikan oleh Gemak Werdi.
Apakah pesan itu benar-benar diucapkan oleh Ki Selabajra,
atau sekedar ucapan Gemak Werdi sendiri"
Ki Watu Kendeng mengerutkan dahinya. Sejenak ia
seolah-olah merenungi jawaban Mahisa Bungalan itu.
Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil
berkata "Mungkin kau benar Mahisa Bungalan. Mungkin
Gemak Werdi tidak berbuat jujur terhadapmu"
"Agaknya memang demikian" sahut Mahisa Bungalan
kemudian "sejak aku bertemu dengan anak muda itu untuk
pertama, kalinya di Watan, aku sudah mempunyai kesan
yang kurang mantap terhadapnya. Sekarang, kecurigaanku
menjadi semakin tebal karena sikap dan kata-katanya"
Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk, kemudian iapun
bertanya "Jadi, apakah yang akan kau lakukan?"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian Katanya "Aku akan meneruskan perjalanan,
tetapi aku masih mohon agar Ki Watu Kendeng pada suatu
saat berbicara dengan Ki Selabajra. Tetapi aku juga mohon
agar Ki Watu Kendeng tidak dengan semata-mata
mempersoalkan kedatangan Gemak Werdi. Jika benar yang
dilakukan Gemak Werdi itu atas perintah Ki Selabajra,
maka Ki Selabajra sendiri tentu akan menyebutnya. Tetapi
jika tidak, maka sebaiknya Ki Watu Kendeng tidak usah
mengatakannya, agar Gemak Werdi tidak mendapat cela
dihadapan gurunya" Ki Watu Kendeng termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian Katanya "Aku tahu bahwa kau tidak ingin
mencelakai Gemak Werdi. Itu adalah suatu sikap yang
baik. Tetapi sikap itu tidak akan dapat memperbaiki tingkah
laku Gemak Werdi. Jika karena hal itu Gemak Werdi
dihukum oleh gurunya, maka bukannya hukuman dan
keprihatinan Gemak Werdi itulah yang kita inginkan, tetapi
dengan hukuman itu, tingkah lakunya akan berubah.
Mudah-mudahan ia menjadi baik dan jera melakukan
kesalahan untuk seterusnya"
Tetapi Mahisa Bungalan menggeleng. Katanya
"Sebaiknya kita mencari jalan lain. Sebenarnya aku
sependapat dengan Ki Watu Kendeng. Kesalahan yang
dilakukan oleh seseorang, perlu mendapat peringatan.
Mungkin berat, mungkin ringan. Tetapi masalahnya justru
menyangkut anak gadis Ki Selabajra sendiri, sehingga ada
kemungkinan Ki Selabajra tidak lagi dapat berdiri tegak di
atas pandangan yang adil"
Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Lalu kalanya
"Baiklah Mahisa Bungalan. Aku akan mencoba melakukan
segala pesanmu. Aku akan mencari waktu yang paling baik
untuk bertemu dengan Ki Selabajra. Aku tidak akan datang
ke padepokannya, agar Gemak Werdi tidak menjadi sangat
gelisah jika benar ia telah melakukan kesalahan. Tetapi aku
berharap, bahwa aku akan dapat bertemu dengan Ki
Selabajra pada saat-saat yang tidak terlalu lama"
Mahisa Bungalanpun kemudian sekali lagi minta diri
untuk melanjutkan perjalanan perantauannya, setelah ia
menjelaskan maksudnya, serta memastikan pendiriannya
kepada Ki Selabajra. Dengan berat hati, orang-orang padepokan Watu
Kendeng telah melepasnya pergi. Mereka seolah-olah telah
kehilangan sekali lagi sepeninggal Kuda Pramuja.
Mahisa Bungalanpun sebenarnya merasa berat pula
meninggalkan padepokan itu. Ia mengerti, bahwa Ki Watu
Kendeng yang telah kehilangan anaknya itu, hatinya banarbenar
menjadi kosong. Baginya hari depan padepokannya
dan hari depannya sendiri adalah gelap. Apalagi apabila ia
mengingat, bahwa tidak ada lagi orang yang dapat
melanjutkan keturunannya dan melestarikan ilmunya
seutuhnya. Sampai saat terakhir, ia tidak melihat bahwa
salah seorang muridnya akan dapat menggantikan
kedudukannya kelak, apabila ia sudah menjadi tua dan
pikun. Namun dalam pada itu, Ki Watu Kendeng sendiri
akhirnya telah menemukan sandaran yang paling baik bagi
hidupnya, la tidak melihat yang lain kecuali pasrah diri
kepada Tuhan Yang Maha Pencipta. Apakah yang akan
terjadi padanya, dan apakah yang akan dialami oleh masamasa
mendatang sepeninggalnya bagi padepokannya,
diserahkannya bulat-bulat kepada Yang Maha Agung.
Sementara itu, Mahisa Bungalan yang meninggalkan
padepokan Watu Kendeng, berjalan dengan langkah yang
ragu-ragu. Setiap kali ia menoleh, memandang padepokan
yang menjadi semakin jauh dan akhirnya seakan-akan
tenggelam di bawah cakrawala.
Namun, meskipun padepokan Watu Kendeng sudah
tidak nampak lagi di matanya, tetapi kesan tentang
padepokan itu tidak terhapus dari hatinya, seperti juga
Mahisa Bungalan tidak dapat melupakan padepokan
Kenanga. "Tetapi apakah aku masih mungkin datang ke
padepokan itu lagi" keluhnya.
Kadang-kadang ia merasa menyesal, bahwa ia sudah
mencampuri persoalan Gemak Werdi di Watan. Bukan
karena ia sudah menolong dan menyelamatkan Gemak
Werdi, tetapi bahwa ia kemudian datang ke padepokan
Kenanga, sehingga ia dapat bertemu dengan Ken Padmi
itulah yang telah menumbuhkan penyesalan. Bahwa
akhirnya pertemuannya dengan, gadis Padepokan Kenanga
itu hanya akan menumbuhkan kenangan pahit di dalam
hidupnya kemudian. Tetapi Mahisa Bungalan masih tetap berharap, la benarbenar
tidak yakin bahwa yang dikatakan oleh Gemak Werdi
itu benar-benar pesan Ki Selabajra.
"Orang tua itu tentu tidak akan tergesa-gesa mengambil
sikap meskipun ada juga salah paham" berkata Mahisa
Bungalan di dalam hatinya, seolah-olah ia ingin menghibur
perasaannya sendiri. Mahisa Bungalan sama sekali tidak menghiraukan panas
matahari yang semakin terik di langit. Ia juga tidak
menghiraukan orang-orang yang berpapasan dan
memperhatikannya. Mahisa Bungalan berjalan saja dengan
kepala tunduk dan angan-angannya yang membumbung
tinggi, menyusuri mega-mega di langit yang biru bersih.
Dalam pada itu, Gemak Werdi yang kembali ke
Pendekar Sakti 14 Joko Sableng 13 Titah Dari Liang Lahat Pendekar Pemetik Harpa 32
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama