Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 14
yang disebut isterinya itu. Tetapi kini aku tidak akan dapat
mengatakan demikian, sementara beberapa pihak telah
kehilangan kepercayaan kepadaku" desah orang yang
disebut Dukut Pakering itu.
"Tetapi masih dapat diusahakan dengan banyak cara"
berkata pengikutnya. "Sudah banyak orang yang terbunuh, meskipun itu
karena kebodohan mereka sendiri. Menurut keterangan
yang aku dengar, satu orang diantara orang-orang yang me
nolong isteri Pangeran yang gila itu, telah membunuh
beberapa orang sekaligus"
"Kesahalan-kesalahan itu akan dapat dipakai sebagai
pengalaman" berkata Pengikutnya. Lalu "Sebaiknya Ki
Dukut masih berusaha menghubungi beberapa orang yang
dapat dipercaya" "Itu memerlukan waktu. Tetapi dendamku tidak susut
lewat waktu-waktu yang betapapun panjangnya.
Padmadata harus mati dengan cara apapun juga. Mungkin
aku harus menunggu saat yang paling baik. Tapi rasa-rasa
nya aku sudah tidak sabar lagi"
"Segalanya dapat dibicarakan" berkata Pengikutnya
"tetapi siapakah yang masih mungkin dihubungi dalam hal
ini" "Ada dua tiga orang. Mereka masih mempunyai
hubungan ilmu dengan aku. merekapun orang-orang yang
tidak ada tandingnya. Tetapi mereka tentu mempunyai
syarat-syarat yang harus aku penuhi. Itulah yang masih
belum dapat aku ramalkan" berkata Dukut Pekering.
"Apakah tidak ada semacam kesetia kawanan meng
hadapi persoalan ini" Seperti juga jika pada saat lain, salah
seorang dari mereka mengalami kesulitan?"
"Mungkin juga" berkata Dukut Pekering "tetapi aku
harus dapat menyakinkan mereka, bahwa aku telah
dihinakan. Bahwa aku telah diperlakukan dengan licik dan
tidak adil" "Apakah mereka orang-orang yang berpegang pada
keadilan dan mungkin kebenaran?" bertanya Pengikutnya.
Ki Dukut Pakering menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Aku tidak mengerti. Tetapi kebenaran itu sendiri bukannya
sesuatu yang mutlak seperti juga keadilan. Setiap orang
dapat memberikan batasan sesuai dengan kepentingannya"
Pengikutnya mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya
yang terjadi itu adalah sesuatu yang sangat pahit yang harus
ditelan oleh Ki Dukut Pakering, yang sebelumnya sangat
dihormati orang. Sebagai seorang guru dari kakak beradik Pangeran Kuda
Padmadata dan Kuda Rukmasanti, maka ia adalah orang
yang disegani. Ia memang mempunyai ilmu pada tingkat
yang sulit dicapai oleh orang kebanyakan. Namun pada
suatu saat, ia tidak dapat tegak lagi dalam kedudukannya.
Hatinya telah digoyahkan oleh dendam dan kebencian.
Namun kemudian juga nafsu dan ketamakan.
Semula ia kecewa kerena Pangeran Kuda Padmadata
diluar sadarnya telah berhubungan dengan orang yang
paling dibencinya, bahkan kemudian Pangeran Kuda
Padmadata telah kawin dengan seorang perempuan
padukuhan yang masih mempunyai jalur hubungan
meskipun tidak langsung dengan orang yang paling
dibencinya itu. Namun akhirnya, warna-warna hatinya
yang sebenarnya telah mencair pula mengaliri sikapnya. Ia
tidak saja berusaha untuk menjauhkan Pangeran Kuda
Padmadata dari orang yang paling dibencinya itu. Tetapi ia
mulai melihat kekayaan yang tersimpan di dalam istana
Pangeran Kuda Padmadata. Seorang Pangeran yang
memiliki hutan khusus dengan tanaman peliharaan yang
dapat mendatangkan kekayaan, karena ia menamani jenisjenis
kayu yang bergetah arum. Dengan cara yang tidak kasat mata, maka ia memperalat
adik kandung Pangeran Kuda Padmadata untuk
menguasainya. Bukan saja orangnya, tetapi juga segala
kekayaannya. Bahkan telah diaturnya untuk memasukkan
seorang perempuan yang hampir sederajat untuk disebut
sebagai isterinya tanpa dapat menolak, karena isteri
Pangeran itu yang sebenarnya telah dikuasainya.
"Tetapi ternyata hadir orang-orang gila yang tidak
dikenal itu" geramnya didalam hati.
Sebenarnya bahwa kehadiran Mahisa Bungalan yang
tidak diduga-duga itu telah merusak segala rencananya.
Apa yang sudah dimulainya, ternyata pecah berserakkan.
Perempuan yang dapat dipergunakannya untuk
memaksakan kehendaknya atas Pengeran Kuda Padmadata
itu telah terlepas dari tangannya. Betapapun diusahakannya
namun korban-korban jugalah yang jatuh. Sedang
perempuan itu bagaikan telah hilang ditelan bumi.
Setelah kegagalan-kegagalan itulah maka kini harus
mulai lagi dari permulaan sekali meskipun tujuannya sudah
berbeda. Kini ia telah digerakkan oleh dendam yang tidak
tertahankan, seperti dendamnya kepada saudara tua
seperguruan Ki Wastu itu.
Seorang pengikutnya yang semula tidak
diperhitungkannya, kini menjadi satu-satunya orang yang
setia kepadanya. Bersama seorang pengikutnya itulah maka Ki Dukut
Pakering mulai dengan usahanya melepaskan dendamnya.
Setelah beberapa saat lamanya ia berada di pondok kecil
milik pengikutnya itu, maka mulailah ia mencari hubungan
dengan orang-orang yang pernah dikenalnya.
Namun dalam pada itu, ada juga semacam kerinduannya
untuk melihat bekas padepokannya yang tidak lagi
dihuninya, karena ia mempunyai perhitungan tertentu
setelah ia gagal menguasai muridnya yang tua.
"Apakah Ki Dukut akan kembali ke padepokan itu?"
bertanya pengikutnya. "Tidak. Aku hanya ingin melihatnya. Mungkin aku akan
mendapatkan semacam kesan atau bahkan mungkin aku
akan mendapat ilham daripada padepokan itu, apakah yang
sebaiknya aku lakukan" jawab Ki Dukut Pakering.
Demikianlah, maka ia telah mengajak pengikutnya untuk
berjalan mendekati padepokannya. Mereka menem puh
jalan yang jarang dilalui orang, karena Ki Dukut merasa
seolah-olah setiap orang telah mengetahui apa yang telah
dilakukan. Dengan hati'yang ragu-ragu, mereka telah mendekati
sebuah bukit kecil. Dari atas bukit itu mereka akan dapat
melihat, jalur jalan menuju ke padepokannya yang juga ter
letak diatas sebuah bukit kecil yang lain.
Namun jantung Ki Dukut itu serasa berhenti berdetak.
Dari tempatnya ia melihat beberapa ekor kuda berpacu
menuju ke padepokan kecilnya.
"Siapakah mereka?" bertanya pengikutnya.
"Setan itu" geram Ki Dukut" Tentu yang dipaling depan
itu adalah Kuda Padmadata"
"Apakah maksudnya?" bertanya pengikutnya pula.
"Tentu ia mencari aku. Ia membawa beberapa orang
pengawal" "Hanya lima orang" desis pengikutnya "apakah Ki
Dukut tidak berniat membalas dendam sama sekali.
Merekalah yang datang kepedepokan ini"
Ki Dukut menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Meskipun hanya lima orang, tetapi aku tidak tahu,
siapakah mereka. Mungkin salah seorang dari mereka
adalah orang yang telah membebaskan isteri Pangeran gila
itu dengan membunuh beberapa orang sekaligus. Bukan
berarti aku takut kepadanya, tetapi aku harus belajar dari
pengalaman, agar aku tidak gagal lagi, dan apalagi mati
tanpa arti sama sekali"
Pengikutnya mengangguk-angguk. Dari kejauhan ia
memandang derap beberapa ekor kuda menuju ke
padepokan kecil yang telah menjadi kosong itu.
Dimuka regol. Ki Dukut dan pengikutnya melihat kudakuda
itu berhenti. Tanpa berpencar mereka telah meloncat
turun dan memasuki regol. Selanjutnya, dari kejauhan
mereka tidak melihat orang-orang yang memasuki regol
padepokan itu lagi. "Mereka tidak akan menemukan apa-apa" berkata Ki
Dukut "tetapi sikap deksura dari Padmadata membuat
darahku semakin mendidih. Aku semakin bernafsu
mencincangnya meskipun ia pernah menjadi muridku yang
baik" Pengikutnya mengangguk-angguk. Namun tatapan
matanya masih saja mengarah ke padepokan kecil itu.
Tetapi iapun tidak melihat lagi orang-orang berkuda yang
telah memasuki regol padepokan itu sambil menuntun kuda
mereka. Dalam pada itu, Pengeran Kuda Padmadata bersama
Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan diikuti oleh
seorang pengiring, telah memasuki padepokan yang pernah
dihuni oleh Ki Dukut Pakering.
Namun padepokan kecil itu ternyata telah kosong.
Mereka tidak menjumpai seorangpun berada di padepokan
itu. "Semuanya telah pergi" berkata Pangeran Kuda
Padmadata. Mahisa Agni mengangguk-angguk. Sementara Witantra
dan Mahisa Bungalan telah melihat-lihat ke bagian samping
dari padepokan itu. Mungkin sesuatu dapat dijumpainya,
atau barangkali ada semacam petunjuk yang dapat
dipergunakan sebagai alat untuk menelusuri jejak Ki Dukut
Pakering. "Agaknya orang tua itu menyadari, bahwa pada suatu
saat aku akan datang ke padepokan ini" berkata Pangeran
Kuda Padmadata. "Mungkin Pangeran" sahut Mahisa Agni "tetapi
mungkin pula orang tua itu ingin menghalau kegelisahan
hatinya" "Tetapi usahanya untuk membunuh puteri itu adalah
pertanda, betapa ia telah dicengkam oleh kecemasan dan
ketakutan. Dengan demikian, maka ia tidak akan berani
lagi berada di padepokan ini"
Mahisa Agnipun mengangguk-angguk. Ketika iapun
kemudian memutari padepokan itu menyusul Witantra dan
Mahisa Bungalan, maka iapun melihat, betapa padepokan
kecil itu pernah terpelihara dengan baik. Padepokan itu
agaknya memang tidak banyak berpenghuni. Hanya ada
beberapa pondok kecil meskipun cukup baik. Karena
padepokan itu adalah dari seorang guru yang mempunyai
dua orang murid Pangeran yang cukup kaya di Kediri.
"Sayang sekali jika padepokan ini diterlantarkan"
berkata Mahisa Agni. "Siapakah yang berani memakai padepokan ini?" desis
Witantra "meskipun guru Pangeran Kuda Padmadata itu
sudah tidak tinggal disini, tetapi jika ada orang lain yang
berani memilikinya, maka ia tentu akan dianggapnya
musuh yang harus disingkirkan"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya "Agaknya
memang demikian. Karena itu, untuk sementara padepokan
ini akan kosong" "Tidak ada lagi yang akan menyirami tanaman-tanaman
itu" berkata Mahisa Bungalan. Lalu iapun mengeluh
"Burung-burung di dalam sangkar itu mati kelaparan.
Agaknya sudah sejak beberapa hari padepokan ini
ditinggalkan" "Masih ada yang hidup" berkata Mahisa Agni "mungkin
pada suatu saat orang itu atau pengikutnya telah datang dan
memberi sekedar minum makan kepada burung burung
didalam sangkar itu. Tetapi keadaannya sudah tidak terlalu
baik" Mahisa Bungalanpun kemudian membuka pintu sangkar
burung-burung yang masih hidup. Betapa lemahnya
mereka, namun burung-burung itupun kemudian
berterbangan. Satu dua diantara mereka hinggap di pinggir
belum bang yang airnya nampak jernih meskipun dikotori
oleh dedaunan yang gugur dari rantingnya. Sementara yang
lain telah hinggap pada pelepah pisang. Beberapa tandan
buah pisang memang nampak menguning di batangnya.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Rasarasanya
lehernya ikut menjadi sejuk ketika ia melihat
beberapa ekor burung yang minum air belumbang yang
segar, kemudian terbang mencari buah-buahan yang
bertebaran di kebun padepokan itu.
Dalam pada itu, maka ketika mereka sudah melingkari
padepokan itu dari sudut kesudut, maka merekapun
kemudian naik kependapa. Masih ada sehelai tikar pandan
yang putih terbentang. Meskipun Mahisa Bungalan harus
mengibaskan beberapa kali karena debu, namun tikar itu
adalah tikar yang masih baik.
Orang-orang itupun kemudian beristirahat sambil duduk
dipendapa. Pangeran Kuda Padmadata dapat bercerita
serba sedikit, pada saat-saat ia belajar ilmu kanuragan pada
Ki Dukut Pakering di padepokan itu. Ketika ia sudah
menguasai dasar-dasar ilmunya, maka iapun kembali ke
Kediri. Ki Dukutlah yang kemudian selalu datang untuk
meningkatkan dan mematangkan ilmunya. Sehingga
akhirnya pada suatu saat terasa oleh Pangeran Kuda
Padmadata, bahwa gurunya agak berbeda sikap
terhadapnya dan terhadap adiknya. Pangeran Kuda
Rukmasanti. "Tinggal sebuah kenangan yang manis" berkata
Pangeran Kuda Padmadata. Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan dapat
merasa, betapa perasaan kecewa telah mencekam jantung
Pangeran Kuda Padmadata. Padepokan itu agaknya
memang pernah memberinya nafas kehidupan yang sejuk.
Tetapi kemudian, ternyata bahwa gurunya telah
membantingnya pada suatu keadaan yang hampir
menyeretnya pada keputus-asaan dan bahkan akhir hidup
yang sangat pahit. Dalam pada itu, selagi Pangeran Kuda Padmadata dan
beberapa orang yang menyertainya duduk dipendapa
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
padepokan kecil itu, maka Ki Dukut Pakering
memperhatikan padepokannya dengan hati yang bergejolak.
Sekali-sekali terdengar ia mengumpat. Namun kemudian
katanya "Apa saja yang mereka kerjakan di padepokan itu"
Apakah mereka akan merampok sisa-sisa perabot yang
masih ada. Atau mereka akan membakarnya?"
Pangikutnya tidak menyahut. Namun iapun tidak dapat
membayangkan apa yang akan dilakukan oleh beberapa
orang yang sedang berada di dalamnya.
Namun demikian, kedua orang itu sama sekali tidak
ingin mendekat dan melihat ke dalamnya. Mereka tidak
mau mengalami nasib yang buruk, karena menurut
perhitungan Ki Dukut Pakering, orang yang datang itu
tentu bukan orang kebanyakan. Jika ia terlibat dalam satu
perselisihan, maka Ki Dukut tidak yakin, bahwa ia akan
dapat membebaskan dirinya. Sementara ia harus
mempertanggung jawabkan segala peristiwa yang pernah
terjadi di istana Pangeran Kuda Padmadata.
Ternyata Pangeran Kuda Padmadata tidak terlalu lama
berada di padepokan itu. Setelah ia yakin, bahwa
padepokan itu telah ditinggalkan oleh seluruh penghuninya,
maka Pangeran Kuda Padmadatapun segera bersiap-siap
untuk kembali ke istananya.
"Kita harus berusaha mengerti, atau setidak-tidak nya
mengetahui arah kepergian Ki Dukut" berkata Pangeran
Kuda Padmadata "apakah ia benar-benar ingin
meninggalkan daerah ini, atau ia hanya sekedar
bersembunyi dengan menyimpan dendam dihatinya"
"Kemungkinan yang terakhir itulah" sahut Mahisa
Bungalan. Pangeran Kuda Padmadata mengangguk-angguk.
Katanya "Agaknya memang demikian"
"Tetapi untuk menemukannya adalah pekerjaan yang
sangat sulit. Bahkan menemukan lacaknyapun agaknya
memerlukan waktu dan kerja yang tekun" desis Mahisa
Agni. "Benar" sahut Pangeran Kuda Padmadata "dan aku
harus melakukannya. Jika aku tidak menemukan suatu
keyakinan bahwa orang itu tidak akan dapat menggangguku
lagi, maka aku masih akan tetap ragu-ragu untuk
menjemput isteriku ke Singasari"
"Memang sebaiknya Pangeran tidak tergesa-gesa"
berkata Witantra "semuanya memang harus jelas. Jika tidak
demikian, maka selesai isteri Pangeran itu sudah berada
disini, keadaan yang gawat itu masih akan mencekam
istana Pangeran, maka akan dapat timbul kesulitan"
Pangeran Kuda Padmadata mengangguk-angguk.
Namun katanya kemudian "Marilah kita kembali. Kita
tidak menemukan sesuatu disini"
Orang-orang yang ada di padepokan kecil itupun segera
meninggalkan regol halaman, kembali ke Kediri.
Sementara itu, Ki Dukut Pakering masih saja berada
diatas bukit kecil yang tidak begitu jauh dari pedepokannya.
Beberapa kali ia mengumpat. Namun kemudian katanya
"Marilah, Kita melihat, apa yang mereka lakukan di
padepokan itu" Ki Dukut dan pengikutnya itupun segera menuruni
tebing yang rendah turun ke jalan yang menuju ke
padepokan itu. Dengan ragu-ragu merekapun kemudian
memasuki regol yang masih terbuka.
Terasa jantung Ki Dukut itu menjadi berdebar-debar. Ada
juga keseganan meninggalkan padepokan yang sudah
mapan, dengan kebun bunga dan kebun buah-buahan.
Beberapa tandan pisang telah mulai menguning. Buahbuahan
yang tumbuh subur. " Pangeran itu memang anak setan. Nyawanya ternyata
cukup liat, sehingga rencana yang nampaknya sudah
hampir selesai dengan sempurna itu telah gagal" geram Ki
Dukut " tetapi yang harus dibunuh bukannya Pangeran itu
saja, tetapi semuanya. Orang-orang gila yang telah
melibatkan diri itupun harus mati dicincang"
" Apakah Ki Dukut dapat mengetahui salah seorang dari
mereka?" bertanya pengikutnya.
" Sampai saat ini belum. Tetapi aku segera akan
mengetahuinya. Jangan kau kira bahwa orang-orang kita
yang telah dikalahkan seluruhnya akan berkhianat. Kita
akan dapat mencari hubungan dengan mereka.
" Apakah mereka masih dapat dipercaya?" desis
pengikutnya " mereka tentu mengetahui, bahwa harapan
untuk mendapatkan kekayaan Pangeran Kuda Padmadata
telah pudar sama sekali. Dengan demikian, merekapun
tidak dapat mengharapkan apapun juga dengan tugas-tugas
yang akan kita berikan kepada mereka"
" Mungkin " sahut Ki Dukut " tetapi merekapun tentu
ingin hidup mereka lebih panjang. Mereka yang tidak mau
menjalankan perintah, berarti nyawanya akan kita
lenyapkan" Pengikutnya menarik nafas dalam-dalam. Dengan cara
yang demikian, memang mungkin sekali untuk memaksa
satu dua orang diantara mereka untuk tetap mematuhi
perintah Ki Dukut. Tetapi hubungan dengan orang-orang
dalam, bukan berarti tidak mengandung bahaya.
Pengkhianatan masih akan dapat terjadi sehingga akan
dapat menyulitkan keadaan Ki Dukut yang sudah terjepit
itu. Namun dalam pada itu, Ki Dukutpun berkata "Tetapi
kecuali mempergunakan orang-orang yang masih berada di
istana itu, aku akan tetap mencari hubungan beberapa
orang kawanku. Mungkin aku memerlukan waktu barang
dua tiga pekan. Tetapi itu akan lebih baik jika aku tempuh
dengan cara yang lain"
Pengikutnya mengangguk-angguk. Iapun berpendapat
bahwa jalan yang paling baik adalah mencari bantuan
kepada orang-orang yang dianggap mempunyai
kemungkinan untuk melakukan niatnya.
Satu-satunya jalan untuk menguasai harta benda Pangeran
Kuda Padmadata adalah dengan merampoknya Orangorang
yang masih berada di istana itu akan dapat di bujuk,
mungkin dengan di takut-takuti, tetapi mungkin juga
dengan janji bahwa mereka akan mendapat sebagian dari
hasil rampokan itu, jika mereka dapat membantu
terlaksananya" berkata Ki Dukut.
Pengikutnya mengangguk-angguk, sementara Ki Dukut
Pakeringpun dengan wajah buram berdesis " Aku tidak
pernah berpikir sebelumnya bahwa akhirnya, aku hanya
akan menjadi seorang perampok. Tetapi akupun akan tetap
menjaga harga diriku. Aku tidak merampok petani-petani
miskin atau saudagar ternak di padukuhan. Tetapi aku
merampok seorang Pangeran gila yang bernama Kuda
Padmadata, yang karena dendam tiada taranya. Bahkan
kemudian membunuhnya sekali"
Nampak diwajah Ki Dukut, betapa kemarahan dan
dendam menyala diliatinya. Sambil menggeretakkan
giginya ia berkata "Kita kembali. Pondok kecil itu ternyata
jauh lebih baik dari padepokan ini. Kita harus mulai dengan
modal yang ada dan dapat kita pergunakan"
"Maksudmu iblis itu sendiri" bertanya Ki Dukut.
"Ya Ki Dukut. Kita dapat mulai dari iblis itu sendiri.
Kemudian adik seperguruannya. Ayah perempuan itu. Baru
kemudian sampai pada sasarannya"
Pengikutnya sama sekali tidak menjawab. Namun iapun
kemudian mengikutinya ketika Ki Dukut dengan tergesagesa
meninggalkan padepokan yang pernah dihuninya
beserta beberapa orang pengikutnya.
Dengan darah yang bergejolak dijantungnya, Ki Dukut
berjalan menyelusuri jalan yang pernah setiap hari
dilaluinya, keluar masuk padepokannya.
Dalam pada itu. diperjalanan kembali kepondok
kecilnya, Ki Dukut telah menganyam gagasan. Apakah
yang sebaiknya dilakukan lebih dahulu. Apakah ia akan
menghubungi orang-orang yang akan dimintanya untuk
membantu membunuh Pangeran yang pernah jadi
muridnya itu, ataukah ia harus mengambil langkah-langkah
lain. " Ki Dukut " bertanya pengikutnya itu " bukankah ada
sumber kebencian Di Dukut kepada Pangeran Kuda
Padmadata" Tentu bukan tiba-tiba saja Ki Dukut
membencinya, kemudian bersama Pangeran Kuda
Rukmasanti merencanakan segalanya yang telah terjadi itu"
" Ya" berkata Ki Dukut " iblis itulah yang
menumbuhkan kebencianku kepada Kuda Padmadata yang
kemudian mengambil seorang isteri dari padukuhan.
Seandai nya perempuan yang diambil itu bukannya anak
perempuan tikus kecil itu, aku kira aku tidak akan
membencinya. Karena Kuda Padmadata termasuk seorang
murid yang patuh. Tetapi ternyata bahwa ia sama sekali
tidak menghiraukan peringatanku ketika ia mengambil
gadis padesan itu. Apalagi ketika aku mengetahui bahwa
perempuan itu adalah anak dan adik seperguruan iblis
buruk itu" Pengikutnya mengangguk-angguk. Lalu katanya " Tetapi
apakah dengan demikian, Ki Dukut tidak mulai saja dari
sumber kebencian itu"
" Maksudmu iblis itu sendiri?" bertanya Ki Dukut.
" Ya Ki Dukut. Kita dapat mulai dari iblis itu sendiri.
Kemudian adik seperguruannya. Ayah perempuan itu. Baru
kemudian sampai kepada sasarannya. Perempuan dan anak
laki-lakinya, terakhir barulah Pangeran Kuda Padmadata"
" Tidak yang terakhir " potong Ki Dukut "aku ingin
memperlihatkan kematian Pangeran gila itu kepada isteri
dan anak laki-lakinya"
" Jika demikian, apakah Ki Dukut tidak mulai saja dari
orang yang telah menjadi sumber kebencian Ki Dukut.
Mungkin tidak terlalu sulit untuk melakukannya. Jika Ki
Dukut mendapat satu dua orang kawan, maka orang itu,
betapapun saktinya, tentu akan dapat dikalahkan. Memang
agak berbeda dengan Pangeran itu sekarang. Mungkin ia
sedang dikerumuni oleh orang-orang yang memiliki
kelebihan" desis pengikutnya.
" Ya. Kuda Padmadata sedang cukerumuni oleh orangorang
yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi bodoh dan
dungu. Apa yang mereka dapatkan dengan
mempertaruhkan nyawa, mereka melindungi Pangeran dan
istrinya itu" geram Ki Dukut.
" Tetapi apakah mungkin mereka keluarga atau
hubungan perguruan dengan orang tua dari perempuan
yang diambilnya itu?" bertanya pengikutnya.
" Aku tidak tahu" jawab Ki Dukut " tetapi agaknya
mereka orang lain, mungkin mereka adalah petugas-petugas
dari Singasari, atau orang-orang lain sama sekali.
Namun dalam pada itu, pendapat pengikutnya itu
memang menarik perhatian. Jika ia tidak segera dapat
menghukum Pangeran Kuda Padmadata, maka ia akan
mulai dari ujung yang lain. Ia akan dapat menelusuri
kebenciannya kepada musuh bebuyutannya. Kemudian kekepada
orang tua perempuan padukuhan itu. Baru
kemudian ia akan sampai kepada perempuan dan anak lakilakinya
atau Pangeran Kuda Padmadata sendiri, yang kematiannya
ingin ditunjukkannya kepada isterinya yang
diambilnya dari padukuhan itu.
Bahkan tiba-tiba saja Ki Dukut berkata "Aku akan
memikirkannya" " Apa Ki Dukut?" bertanya pengikutnya.
" Aku tidak harus mulai dengan Pangeran Kuda Pad
madata" berkata Ki Dukut " aku akan membunuh iblis itu
lebih dahulu. Mungkin aku akan sulit melakukannya karena
mungkin aku dan iblis itu mempunyai kemampuan
seimbang. Namun aku akan datang kepadanya dengan
beberapa orang tertentu, aku harus yakin bahwa ia akan
mati. Kemudian aku akan merambat kepada orang-orang
yang lebih dekat lagi dengan Pengeran Kuda Padmadata
itu" " Tetapi apakah Ki Dukut tahu, dimanakah orang-orang
itu tinggal atau mungkin padepokannya?" bertanya
pengikutnya. " Aku sudah mengetahuinya. Tetapi perempuan dan
orang tuanya itulah yang tidak aku ketahui dimana mereka
sekarang berada" geram Ki Dukut "namun demikian, aku
akan mulai dari orang yang dapat aku ketemukan dengan
mudah" Pengikutnya tidak menyahut lagi. Tetapi iapun
mengikutinya saja dengan langkah yang semakin cepat.
Ternyata Ki Dukut Pakering benar-benar telah
memikirkan, bahwa ia akan mengambil langkah yang lain
la sudah merasa tidak lagi akan dapat menguasai harta
benda Pangeran Kuda Padmadata seperti yang diperhitung
kan. Karena itu, yang kemudian menyala didadanya bukan
lagi ketamakannya kepada harta benda, tetapi
dendamnyalah yang seakan-akan telah membakar jantung.
Ketika keduanya sampai kepondok kecil tempat tinggal
mereka untuk sementara, maka Ki Dukut masih
mengulangi pembicaraan itu. Bahkan kemudian seakanakan
ia telah mengambil keputusan, untuk mengamati
padepokan kecil tempat tinggal musuh bebuyutannya itu.
" Alangkah buruk nasibnya" berkata Ki Dukut " tiba-tiba
saja aku datang untuk melepaskan dendam dan
kebencianku kepadanya. Mungkin ia tidak menduga sama
sekali. Bermimpipun tidak. Atau bahkan ia sudah dibayangi
oleh mimpi buruk" Pengikutnya mengerutkan keningnya ketika ia melihat
Ki Dukut itu tertawa tertahan-tahan. Sambil menganggukangguk
ia berkata pula " Kenapa baru sekarang aku
menyadarinya, bahwa dengan demikian aku akan
mendapat kepuasan ganda. Meskipun bukan karena aku
dapat membunuh Pangeran Kuda Padmadata dan
mendapat harta bendanya, tetapi aku telah membunuh
orang yang paling aku benci sebelum aku membunuh
muridku yang gila itu"
Dengan demikian, maka Ki Dukut itupun telah
memalingkan untuk sementara perhatiannya kepada musuh
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bebuyutannya. Ia tidak lagi dengan tergesa-gesa ingin
membunuh Pangeran Kuda Padmadata, karena menurut
perhitungannya, orang-orang yang telah melibatkan diri itu
tentu masih tetap berada di istana itu untuk sementara.
" Biarlah mereka terlena dengan Pangeran yang gila itu"
berkata Ki Dukut "aku akan mengambil jalan lain"
Namun demikian, pada saat Ki Dukut memutuskan
untuk menghubungi beberapa orang yang dikenalnya
dengan baik untuk melaksanakan maksudnya, maka pada
saat itu, Mahendra dan Ki Wastu telah berada di Singasari
Bersama Mahendra, maka Ki Wastupun telah masuk ke
dalam lingkungan istana untuk menengok anak perempuan
Ki Wastu dan cucunya ternyata mereka mendapat tempat
yang cukup baik dan perlindungan seperlunya, apalagi
pesan itu diberikan oleh Mahisa Agni.
" Untuk sementara kau akan tetap tinggal disini" berkata
Ki Wastu kepada anak perempuannya.
"Kenapa ayah?" bertanya anak perempuannya itu " aku
berterima kasih kepada para prajurit di Singasari yang telah
melindungi aku dan memperlakukan aku dengan sebaikbaiknya.
Tetapi aku disini tidak lebih dari seekor burung
yang hidup didalam sangkar. Aku mendapat makan
secukupnya. Aku mendapat pakaian dan bahkan aku
mendapat apa saja yang aku perlakukan. Tetapi bukan kali
demikian yang seharusnya dilakukan oleh seorang
perempuan. Aku sudah merindukan panasnya api di dapur.
Aku sudah mulai dibayangi oleh keinginan untuk
mengambil air sumur mengisi pakiwan dengan kelenting.
Aku adalah seorang perempuan yang seharusnya bekerja
seperti kebanyakan srempuan. Tetapi disini aku tidak
sempat melakukannya, justru karena kebaikan hati dan
mungkin juga belas kasihan"
Mahendra menarik nafas, dalam-dalam. Katanya
"jangan memikirkan sesuatu yang dapat memberati
perasaan. Kami sudah bertemu dengan Pangeran Kuda
Padmadata. Segalanya akan segera selesai. Namun
sementara ini, Pangeran itu masih dibayangi oleh dendam
dan kebencian, justru dari gurunya sendiri. Karena itu.
maka untuk sementara kau masih perlu mendapat
perlindungan khusus. Perlindungan yang sebaik-baiknya
tidak akan dapat kau peroleh di rumahku misalnya, karena
orang-orang yang mendendam Pangeran Kuda Padmadata
itu akan dapat bertindak dengan cara yang paling kasar
sekalipun" Perempuan itu dapat mengerti. Tetapi kadang-kadang ia
merasa sulit untuk mengendalikan perasaannya. Bahkan
tanpa disadarinya, matanya menjadi basah Terdengar ia
berdesah " Ayah, sampai kapan aku harus mengalami
himpitan perasaan seperti ini?"
"Anakku" jawab Ki Wastu " sebenarnyalah langit sudah
menjadi merah oleh fajar. Sebentar lagi, pagi akan datang.
Tetapi kau tidak akan dapat mempercepat putaran waktu.
Karena itu, kau harus tetap bersabar"
Perempuan itu menunduk dalam-dalam. Titik air
matanya telah membasahi pangkuannya. Namun ia
mencoba untuk tetap menahan hati dan mengerti, pesan
ayahnya. Karena iapun menyadari, betapa ayahnya, dan
orang-orang yang semula tidak dikenalnya sama sekali,
telah mempertaruhkan nyawanya, untuk melindunginya.
Dalam pada itu, untuk sementara, Ki Wastu tetap berada
di rumah Mahendra. Ia menunggu mungkin sesuatu akan
terjadi di Kediri atau di Singasari.
Namun sementara itu, Ki Wastupun telah memikirkan
saudara seperguruannya. Sumber kebencian guru Pangeran
Kuda Padmadata kepada muridnya itu adalah karena
saudara tua seperguruannya itu, sehingga kebencian itu
lelah mengalir pula kepada Pangeran yang malang itu.
Yang hampir saja menjadi korban. Namun ternyata
bahwa yang berbicara, bukan saja dendam dan kebencian,
tetapi juga nafsu dan ketamakan atas harta benda Pangeran
yang kaya raya itu. "Ki Mahendra" berkata Ki Wastu pada suatu saat "aku
merasa kurang lengkap, jika persoalan ini tidak aku
sampaikan kepada kakak seperguruanku, yang kemudian
aku anggap sebagai pengganti guruku. Ia adalah sumber
dari kebencian Ki Dukut Pakering, guru Pangeran Kuda
Padmadata itu. Jika ia mengetahui persoalan ini, mungkin
ia akan dapat ikut memecahkannya. Dengan demikian
kecemasan kecurigaan dan keragu-raguan ini akan dapat
segera diatasi" Mahendra mengangguk-angguk. Iapun sependapat
dengan Ki Wastu. Namun demikian, ia masih bertanya "
Tetapi Ki Wastu, apakah dalam waktu dekat, saudara
seperguruan Ki Wastu itu perlu diberi tahu" Atau justru
apabila segala sudah selesai, sehingga tidak perlu
melibatkannya ke dalam kegelisahan pula"
" Mungkin juga demikian. Tetapi jika ia sudah
mengetahuinya, maka ia akan dapat ikut mengambil sikap "
bertanya Ki Wastu " bahkan mungkin ia akan dapat
memberikan jalan penyelesaian"
Mahendra masih mengangguk-angguk. Lalu katanya
"Jika demikian, apakah yang sebaiknya kita lakukan?"
" Ki Mahendra" berkata Ki Wastu kemudian " aku kira
tidak ada jalan lain kecuali, aku harus menemuinya di
padepokannya. Menyampaikan segala persoalan yang
berkembang atas anak perempuanku, sehingga berakhir
dengan kematian Pangeran Kuda Rukmasanti"
"Perjalanan itu tetap cukup jauh Ki Wastu. Apakah Ki
Wastu akan menempuh perjalanan itu sendiri"
"Aku kira aku tidak berkeberatan untuk menempuh
perjalanan itu sendiri. Meskipun mungkin aku kembali
bersama dengan saudara seperguruanku itu" sahut Ki
Wastu kemudian. " Mungkin ada kawan lain yang dapat pergi bersama! Ki
Wastu" berkata Mahendra " jika Ki Wastu mau singgah di
Kediri, meskipun barangkali akan bertambah sedikit jauh,
namun Mahisa Bungalan akan dapat menemanimu"
Ki Wastu mengerutkan keningnya. Ia telah mengenal
anak muda yang bernama Mahisa Bungalan. Ia telah
mengetahui tingkat kemampuan anak muda itu. Bahkan
ternyata Mahisa Bungalan telah berhasil mengalahkan
Pangeran Kuda Rukmasanti.
"Tetapi apakah ia masih bersedia mengorbankan
waktunya untuk kepentingan orang yang tidak mempunyai
sangkut paut sama sekali dengan anak muda itu?" bertanya
Ki Wastu, lalu " kami bukan sanak bukan kadang.
Kamipun tidak mempunyai hubungan perguruan. Adalah
karena sikap yang luhur sajalah, maka angger Mahisa
Bungalan, dan bahkan kemudian seluruh keluarganya,
termasuk ayah dan paman-pamannya, telah terlibat pula ke
dalam persoalan ini"
Mahendra tersenyum. Katanya " Ki Wastu. Memang
seharusnya Mahisa Bungalan sudah dipanggil oleh Sang
Maha Prabu di Singasari untuk memasuki lingkungan
keprajuritan. Tetapi agaknya Mahisa Bungalan ingin
melengkapi pengalamannya lebih dahulu. Jika ia sudah
berada didalam lingkungan keprajuritan, maka ia adalah
seorang prajurit yang tidak dapat pergi kemana saja sesuai
dengan keinginannya. Karena itu, untuk sementara ia
masih mohon waktu, agar ia diperkenankan melengkapi
bekalnya sebelum ia memasuki tugas-tugas yang berat dari
seorang prajurit di Singasari yang besar ini"
Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya
kemudian " Tetapi untuk mencari pengalaman, seharusnya
angger Mahisa Bungalan tidak terlalu dekat berjalan
menyentuh bahaya. Mungkin ia ingin melihat kota-kota lain
dan tata kehidupan yang lebih lengkap. Tetapi tidak
bermain-main dengan nyawanya"
"Sentuhan-sentuhan pada bahaya yang gawat itulah yang
diinginkannya, meskipun aku harus berdoa siang dan
malam, agar'ia selalu mendapat perlindungan dari Yang
Maha Kuasa" Ki Wastu mengangguk-angguk. Katanya " Aku
menyadari bahwa aku sedang berbicara dengan ayah
seorang anak muda yang bernama Mahisa Bungalan.
Akupun sadar, bahwa pembicaraan ini sekaligus
merangkum pengertian, bahwa Ki Mahendra tidak
berkeberatan sama sekali jika aku menawarkan kepada
angger Mahisa Bungalan, apakah ia bersedia untuk ikut
bersamaku, pergi ke padepokan saudara seperguruanku itu"
"Ki Wastu benar. Justru aku masih ingin memberikan
kesempatan kepada anakku. Mudah-mudahan dengan tugas
tugas ini menjadi puas dan segera bersedia memasuki
lingkungan keprajuritan yang sudah lama tersedia baginya"
berkata Mahendra. Dengan demikian, maka keduanyapun telah sepakat,
bahwa Ki Wastu akan memberitahukan segala yang telah
terjadi kepada saudara seperguruannya, yang menjadi pusat
dendam Ki Dukut Pakering, sehingga akibatnya telah
menyentifh Pangeran Kuda Padmadata, muridnya sendiri.
Sehingga hampir saja hidupnya telah dikorbankan.
Sementara itu Ki Wastupun akan singgah pula di Kediri
untuk menyampaikan maksudnya kepada Mahisa
Bungalan, apabila ia tidak berkeberatan untuk ikut serta
dalam perjalanan yang agak panjang.
-oo0dw0oo- Jilid 12 PERJALANAN ke Kediri itu sendiri sudah merupakan
perjalanan yang cukup jauh. Namun ternyata bahwa Ki
Wastu pun seorang perantau yang berpengalaman pula.
Karena itulah, maka meskipun perjalanan itu cukup jauh
dan ditempuhnya seorang diri, namun ia sama sekali tidak
menjadi segan karenanya. Apabila perjalanan itu adalah
perjalanan yang dianggapnya sangat penting.
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti ternyata merengek pula
untuk dapat ikut dalam perjalanan itu. Di Kediri mereka
akan bertemu dengan kakaknya dan dengan pamanpamannya.
Tetapi Mahendra melarangnya. Ia masih belum sampai
hati melepaskan kedua anak yang masih sangat muda itu.
meskipun mereka pun telah dibekalinya dengan ilmu
kanuragan. Ketika Ki Wastu telah berada di Kediri pula, maka ia
pun segera menawarkan maksudnya kepada Bungalan
seperti yang dikatakan oleh Mahendra.
Ternyata dengan serta merta Mahisa Bungalan telah
menerimanya, meskipun ia sadar, bahwa perjalanan itu
adalah perjalanan yang berat, yang mungkin akan
mengalami akibat yang gawat pula.
Tetapi seperti yang dikatakan oleh ayahnya, maka ia
ingin melengkapi pengalamannya sebelum ia memasuki
tugas-tugas keprajuritan.
Ternyata Mahisa Agni dan Witantra pun tidak
berkeberatan. Dengan beberapa pesan, maka mereka pun
telah melepaskan Mahisa Bungalan untuk pergi bersama Ki
Wastu. "Berhati-hatilah" pesan Pangeran Kuda Padmadata,
"guruku adalah seorang yang memiliki ilmu yang luar
biasa" "Mudah-mudahan kami tidak bertemu Pengeran"
berkata Ki Wastu. Pangeran Kuda Padmadata mengangguk-angguk lemah.
Tetapi sebenarnyalah bahwa ia menjadi cemas. Jika di
dalam perjalanan itu mereka bertemu dengen Ki Dukut
Pakering, yang mungkin masih disertai satu dua
pengikutnya, maka keduanya akan mengalamai nasib yeng
kurang baik. Tetapi Ki Wastu dan Mahisa Bungalan bukannya orang
yang tidak berilmu. Keduanya adalah orang-orang yang
memiliki kemampuan yang harus diperhitungkan pula.
Demikianlah, maka kemudian Ki Wastu dan Mahisa
Bungalan itu pun meninggalkan Kediri, manuju ke sebuah
padepokan kecil yang agak jauh dari kota. Mereka harus
berkuda melalui daerah pegunungan. Dan mereka pun
harus bermalam sampai dua malam di perjalanan.
Tetapi keduanya sudah memiliki pengalaman
perantauan. Karena itu perjalanan mereka, bukannya
persoalan lagi. Perjalanan yang demikian sudah terlalu
sering mereka lakukan, meskipun sesuai dengan jalur
masing-masing. Bahkan pada permulaan perjalanan itu.
Mahisa Bungalan telah mendapatkan kesegaran baru di
dalam dirinya, Ketika ia memasuki daerah yang berlembah
kehijau-hijauan di-atas tanah berpadas yang kemerahmerahan.
Mahisa Bungalan telah pernah menempuh perjalanan
jauh. Berkuda, bahkan berjalan kaki. Namun ia tidak jemujamunya
mengagumi alam yang cantik meskipun tidak
terlalu ramah. Sekali-sekali kuda-kuda mereka berjalan dengan hati-hati
menuruni tebing. Namun kemudian berlari di lembahlembah
yang hijau menyusuri jalan yang rata. Agaknya
jalur jalan antara padukuhan telah menjadi semakin ramai
dilalui orang. Kadang-kadang mereka bertemu dengan
pedati yang merangkak dengan lambannya. Namun kadang
kadang mereka pun berpapasan dengan kuda yang berpacu
dengan tergesa-gesa. Tetapi mereka tidak selalu berjalan melalui jalan yang
rata. Sekali-sekali mereka harus menempuh jalan sempit
yang melintasi. Agaknya Ki Wastu sudah pernah
menempuh perjalanan serupa sebelumnya. Ia pernah
melintas dari Kediri sampai ke padepokan saudara
seperguruannya itu. Bahkan akhirnya Mahisa Bungalan bertanya, "Apakah
Ki Wastu sudah mengenal jalan yang akan kita tempuh?"
"Tentu ngger. Aku memang pernah pergi ke Kediri pada
saat-saat Pangeran Kuda Padmadata masih belum
dicengkam oleh bayangan kekuasaan gurunya. Aku pernah
melintasi jalan ini, dan agaknya aku masih dapat mengingat
beberapa cirinya. Maskipun kadang-kadang aku menjadi
ragu-ragu. Tetapi agaknya jalan yang kita tempuh sekarang
adalah jalan yang benar" jawab Ki Wastu.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Bahkan
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seandainya jalan itu adalah jalan yang salah sekalipun,
maka mereka berdua tentu akan dapat menemukan
padepokan yang mereka cari.
Di malam pertama, keduanya harus bermalam di lereng
sebuah bukit. Mereka tidak berusaha untuk sampai ke
padukuhan dan mohon agar diperkenankan untuk
bermalam di banjar. Agaknya sebuah lekuk di lereng bukit,
telah dapat mereka pergunakan untuk beristirahat. Apalagi
tidak jauh dari lekuk itu terdapat sebuah mata air yang
meskipun hanya kecil saja, tetapi sudah cukup untuk
memberi kuda mereka minum. Sementara rerumputan yang
hijau di sekitarnya dapat memberi makan kuda-kuda
mereka sekenyang-kenyangnya.
Meskipun tidak saling berjanji, namun kedua-duanya
seakan-akan sudah saling bersetuju untuk tidur bergantian.
Yang mula-mula tidur adalah Mahisa Bungalan. Baru
ketika Mahisa Bungalan terjaga, maka Ki Wastu lah yang
merebahkan dirinya di atas batu-batu padas.
Tetapi keduanya terkejut ketika mereka mendengar kuda
mereka meringkik. Dengan sigapnya Mahisa Bungalan dan
Ki Wastu bangkit dan meloncat keluar dari lekuk lereng
gunung. Tetapi mereka tidak melihat seseorang
"Tetapi seekor binatang buas" berkata Ki Wastu, "di
lereng bukit ini, sering terdapat binatang buas yang
barangkali terpaksa keluar dari hutan sebelah karena
mereka tidak mendapat makan. Mungkin mereka tidak lagi
dapat mengintai dan kemudian menerkam seekor kijang.
Bahkan kelinci-kelinci pun telah lari bersembunyi sejak
petang hari" Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
pun percaya bahwa kuda-kuda mereka agaknya telah
mencium bau binatang buas di sekitarnya.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun kemudian tidak
lagi berada di dalam lekuk lereng bukit. Betapapun terasa
dingin menyentuh kulitnya, tetapi ia tidak akan menunggu
sampai seekor harimau meloncat menerkam kudanya.
Meskipun mungkin ia akan dapat mengusirnya, tetapi jika
kudanya telah terluka, maka akibatnya akan dapat
menyulitkannya. Ki Wastu yang baru sempat beristirahat sejenak itu pun
kemudian berbaring di luar lekuk bukit itu. Ia pun tidak
sampai hati membiarkan kuda mereka ketakutan.
Sekali-sekali mereka masih mendengar kuda mereka
meringkik dengan gelisahnya. Namun Mahisa Bungalan
pun kemudian membelai surinya dan menenangkannya.
Kedua ekor kuda itu seakan-akan mengerti, bahwa
keduanya berada dibawah perlindungan tuannya. Karena
itu, maka kuda-kuda itu pun menjadi tenang dan tidak lagi
meringkik ketakutan. Ketika fajar menyingsing, maka barulah kedua orang itu
yakin, bahwa sebenarnyalah seekor harimau telah
mendekati tempat itu. Mereka dapat melihat jejak kaki
harimau itu di sekitar mata air tidak terlalu jauh dari tempat
mereka bermalam. "Agaknya harimau itu sedang haus" gumam Ki Wastu,
"dan ternyata mata air ini adalah mata air yang terdekat
dari hutan itu" "Ah" sahut Mahisa Bungalan, "tentu di hutan itu ada
juga mata air" jawab Mahisa Bungalan, "bahkan di bawah
pohon-pohon raksasa itu biasanya terdapat belumbang
meskipun kecil" Ki Wastu mengangguk-angguk. Tetapi adalah satu,
kenyataan, bahwa di sekitar mata air itu terdapat jejak
harimau. Namun Ki Wastu pun mengangguk-angguk ketika
Mahisa Bungalan berkata, "Mungkin bau kuda-kuda itu
tercium oleh seekor harimau. Ketika harimau itu mendekat,
maka dijumpainya mata air itu"
Demikianlah setelah berbenah diri, maka keduanya pun
segera melanjutkan perjalanan. Perjalanan mereka masih
cukup jauh. Dan mereka pun masih harus bermalam di
perjalanan. Tetapi pada malam kedua, mereka tidak bermalam di
lereng bukit, atau di tengah-tengah hutan. Tetapi keduanya
memilih untuk bermalam di sebuah padukuhan. Dengan
senang hati Ki Buyut memberikan tempat bagi mereka di
banjar padukuhan. Berbeda dengan saat-saat mereka bermalam di lekuk
sebuah lereng bukit. Di banjar, mereka dapat bermalam
dengan tenang, karena di banjar itu pula, beberapa orang
anak muda berkumpul. Bahkan mereka berdua telah dijamu
pula oleh Ki Buyut dengan makan dan minum secukupnya.
Demikianlah, dipagi hari berikutnya, Ki Wastu dan
Mahisa Bungalan meninggalkan padukuhan itu dengan
ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada Ki Buyut
dan isi padukuhan itu yang telah memberikan tempat
bermalam bagi mereka. Dalam pada itu, perjalanan Ki Wastu dan Mahisa
Bungalan pun manjadi semakin dekat dengan tujuan.
Sebuah padepokan kecil yang terpencil, seolah-olah dengan
sangaja memisahkan diri dari tata hubungan kehidupan
sesama. "Itu adalah padepokan Pucang Wungu" berkata Ki
Wastu kepada Mahisa Bungalan ketika mereka menuruni
bukit kecil, menghadap ke sebuah lembah yg subur. Sebuah
padukuhan kecil terletak di tengah tengah bulak,
dihubungkan dengan sebuah jalur jalan duri jalan yang
mereka lalui. "Itukah padepokan yang kita tuju?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Ya. Ternyata aku masih dapat menemukannya
meskipun sudah cukup lama aku tidak mengunjunginya"
desis Ki Wastu. "Apakah sudah lama sekali?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Sebetulnya juga belum. Tetapi karena aku telah terlibat
dalam persoalan yang merampas segenap perhatianku,
maka rasa-rasanya aku sudah lama sekali terpisah dari
sanak kadang" Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Dengan nada
berat ia berdesis, "Padepokan yang sejuk. Tetapi
kedatangan kita akan membawa udara yang panas bagi
penghuninya" "Apaboleh buat" berkata Ki Wastu, "agaknya itu lebih
baik daripada tiba-tiba saja padepokan itu menjadi terbakar
hangus" Mahisa Bungalan tidak menjawab. Namun ia benarbenar
merasa, betapa padepokan itu merupakan tempat
yang tenang dan tenteram.
Demikianlah maka kedua orang itu pun semakin lama
menjadi semakin dekat. Perlahan-lahan mereka menuruni
tebing bukit kecil itu menuju ke padepokan yang disebut
padepokan Pucang Wungu. Kedatangan Ki Wastu memang telah mengejutkan
penghuninya. Seorang yang rambutnya telah memutih,
namun yang tubuhnya masih nampak sigap dan tangkas,
dengan tergesa-gesa telah mendatanginya.
"Kau Wastu" desisnya.
Ki Wastu mengangguk hormat. Dengan suara bergetar ia
berkata, "Aku telah datang lagi ke padepokan yang tenang
dan damai ini kakang"
"Marilah Wastu. Marilah. Naiklah ke pendapa. He,
siapakah anak muda itu" Muridmu?" bertanya saudara
seperguruan Ki Wastu itu.
"Ah, bukan kakang. Sama sekali bukan. Ia adalah
seorang anak muda yang mumpuni. Yang memiliki ilmu
yang lebih baik dari anak muda yang manapun" jawab Ki
Wastu. "Ah" sahut Mahisa Bungalan, "tentu tidak. Ki Wastu
selalu memuji. Tetapi dengan demikian, aku akan
kehilangan kenyataan tempat berpijak jika aku benar-benar
merasa diriku terlalu besar"
"Siapakah namamu ngger?" bertanya saudara
seperguruan Ki Wastu. "Namaku Mahisa Bungalan" jawab Mahisa Bungalan,
lalu, "dengan sebutan apakah jika aku memanggil kakek?"
Orang tua berambut putih itu mengerutkan keningnya.
Namun Ki Wastu tertawa sambil berkata, "Ia juga
memanggilku kakek ketika kami pertama kali bertemu"
Orang berambut putih itupun tertawa. Lalu jawabnya,
"Panggil aku Ki Kasang Jati"
Mahisa Bungalan mengangguk sambil menyahut,
"Terima kasih. Dengan demikian, aku tidak lagi akan
memanggil kakek" Orang tua itu tersenyum. Sekali lagi ia mempersilahkan,
"Marilah, naiklah ke pendapa"
Mereka pun kemudian duduk di pendapa. Beberapa saat
Ki Wastu dan Ki Kasang Jati saling menanyakan
keselamatan masing-masing. Kemudian dengan nada penuh
harap ia berkata, "Bukankah kau akan tinggal di padepokan
ini untuk beberapa lama?"
Ki Wastu mengangguk. Meskipun terasa keraguraguannya,
namun ia menjawab, "Ya kakang. Aku berada
di padepokanmu untuk beberapa lamanya"
"Baiklah. Baiklah. Jika demikian aku tidak akan
bertanya keperluanmu datang ke padepokan ini. Tentu kau
hanya sekedar ingin menengok aku" berkata Ki Kasang
Jati. "Ya. Aku hanya ingin sekedar bertamu. Sudah lama aku
tidak berkunjung kemari. Bagiku, kakang adalah pengganti
guru yang sudah tidak ada lagi"
"Ah, kau memang suka mumuji. Setelah unak muda itu,
maka sekarang kau memuji aku. Mungkin aku dapat kau
anggap sebagai pengganti guru, karena ketuaanku. Karena
aku sudah terlalu lama hidup sehingga umurku pun
semakin bertambah-tambah. Tetapi dalam hal ilmu, kita
hampir tidak ada bedanya"
"Mungkin aku memang memuji. Tetapi kakang senang
merendahkan diri seperti anuk muda ini pula.
Mereka pun tertawa. Pertemuan itu nampaknya benar
benar memberikan kesan kegembiraan setelah cukup lama
mereka berpisah. Ki Wastu pun ternyata tidak tergesa-gesa menyampaikan
maksudnya. Ia berada di padepokan itu bersama Mahisa
Bungalan. Di hari pertama, sudah terasa, betapa tenangnya
hidup di padepokan itu. Beberapa orang cantrik bekerja
dengan rajin dan gembira. Tanaman pohon buah-buahan
mereka pun nampak subur dan rimbun. Buahnya
bergayutan seoleh-olah akan mamatahkan ranting dan
dahan-dahannya. Namun demikian, Ki Wastu yang gelisah oleh beban
perasaannya, merasa masih, belum lapang dadanya, jika ia
belum mengatakan keperluannya datang ke padepokan itu.
Karena itulah, maka pada hari kedua, ketika mereka duduk
di pendapa bersama Mahisa Bungalan, Ki Wastu berniat
untuk menyampaikan. "Apapun tanggapan kakang Kasang Jati" berkata Ki
Wastu di dalam hatinya. Lalu, "Namun aku tidak akan
dapat menyembunyikannya lebih lama lagi. Bukan saja
karena kegelisahan perasaanku, namun ada kemungkinan
lain yang dapat terjadi dengan tiba-tiba di padepokan ini"
Karena itu, maka Ki Wastupun kemudiun bertekad
untuk segera menyampaikan keperluannya. Sebelum justru
guru Pangeran Kuda Padmadata lah yang telah
mendahului. Dengan agak ragu-ragu, maka Ki Wastu pun kemudian
berkata, "Kakang, sebenarnyalah bahwa kedatanganku
kemari, selain berkunjung karena sudah terlalu lama aku
tidak datang kemari, juga membawa pesan yang barangkali
penting bagi kakang"
Ki Kasang Jati tersenyum. Katanya, "Aku sudah
mengira, bahwa kau tentu mempunyai keperluan, jika tidak,
kau tentu sudah melupakan orang tua yang tidak berharga
ini" "Ah, jangan begitu kakang" jawab Ki Wastu, "kakang
adalah orang tuaku, guruku dan tempat aku bersandar"
"Kau sudah memuji lagi. Tetapi baiklah. Katakan,
apakah keperluanmu?"
Ki Wastu beringsut sejenak. Kemudian katanya, "Apa
kah kakang masih ingat kepada Pangeran Kuda
Padmadata" Orang tua itu mengerutkan keningnya, sementara, Ki
Wastu menjelaskan, "Pangeran yang pernah mengambil
anak perempuanku menjadi isterinya"
"O, tentu. Aku ingat. Nah, bagaimana kabarnya
Pangeran itu sekarang?" bertanya Ki Kasang Jati.
"Dan apakah kakang mengetahui bahwa Pangeran Kuda
Padmadata itu murid Ki Dukut Pakering" bertanya Ki
Wastu pula. Ki kasang Jati menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Ya. Aku sudah mengetahuinya. Ia adalah murid Ki Dukut
Pakering" "Dan kakang masih ingat, hubungan yang buruk antara
kakang dan Ki Dukut Pakering itu?" bertanya Ki Wastu
pula. "Aku berusaha untuk melupakannya. Apakah arti
permusuhan diantara orang tua-tua. yang pada saat yang
pendek akan segera kembali kepada penciptanya" jawab Ki
Kasang Jati. Dada Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar.
Ternyata tanggapan Ki Kasang Jati dan Ki Dukut Pakering
agak bertentangan terhadap masa-masa lampau mereka.
Agaknya Ki Dukut masih selalu mengingat permusuhan
yang tajam sejak masa jauh sebelum mereka menjadi tua.
Sedangkan Ki Kasang Jati telah berusaha untuk
melupakannya. Sejenak Ki Wastu termangu-mangu. Bahkan
kebimbangan yang sangat telah mencekam jantungnya.
Tetapi kemudian ia bertekad untuk segera
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyampaikannya, justru karena sikap Ki Kasang Jati. Jika
orang tua itu tidak mengetahui sikap sebenarnya dari Ki
Dukut, maka mungkin sekali pada suatu saat ia akan
dihadapkan pada keadaan yang sangat membingungkan.
Karena itu, maka Ki Wastu pun kemudian berkata,
"Kakang, kedatanganku kemari agaknya ada hubungannya
dengan kedua orang murid dan guru itu"
"Kenapa dengan mereka?" bertanya Ki Kasang dengan
kerut-merut di kening. Keragu-raguan masih nampak di wajah Ki Wastu.
Sekilas ia memandang Mahisa Bungalan. Namun Mahisa
Bungalan tidak memberikan kesan apapun kepadanya.
Baru sejenak kemudian, Ki Wastu itupun berkata,
"Kakang, mungkin terkejut mendengar ceriteraku. Tetapi
sebenarnyalah bahwa aku tidak berbohong. Anak muda ini
akan dapat menjadi saksi"
"Katakanlah" desis Ki Kasang Jati.
Ki Wastu bergeser lagi setapak. Kemudian dengan
bahasa yang patah-patah iapun menceriterakan, apa yang
diketahuinya tentang Ki Dukut Pakering serta sikapnya
terhadap Pangeran Kuda Padmadata.
Ki Kasang Jati mendengarkan ceritera itu dengan
saksama. Setiap kali nampak kerut-merut dikeningnya.
Bahkan kadang-kadang wajah itu menjadi sangat tegang.
Namun ketika Ki Wastu selesai dengan ceriteranya,
maka Ki Kasang itu berkata, "Wastu. apakah kau bukan
sekedar salah paham menanggapi peristwa itu" Darimana
kau mengetahui bahwa Ki Dukut sudah bersikap demikian
buruknya" "Aku mendengar sebagian dari Pangeran Kuda
Padmadata" jawab Ki Wastu.
"Dan kau mempercayainya begitu suja" Mungkin
sebagian ceriteranya adalah benar, tetapi mungkin sebagian
lagi hanyalah untuk mendukung ceritera yang sebenarnya
itu" "Tidak kakang. Bertanyalah kepada anak muda ini.
Untunglah bahwa aku bersedia singgah di Kediri untuk
membawanya serta. Jika tidak, mungkin aku sama sekali
tidak mempunyai saksi untuk menyatakan kebenaran dari
ceriteraku" Ki Kasang mengerutkan keningnya. Kemudian iapun
bertanya, "Apakah benar ngger. Apa saja yang kau ketahui
tentang Ki Dukut Pakering?"
"Maaf Ki Kasang Jati" jawab Mahisa Bungalan, "aku
tidak tahu apapun juga tentang Ki Dukut Pakering. Tetapi
aku mangetahui serba sedikit kebenaran ceritera Ki Wastu.
Aku tahu bagaimana anak perempuannya mengalami
perlakuan yang keji. Aku tahu bagaimana Ki Dukut telah
membuat jaring-jaring yang sangat rapat. Dan aku tahu, apa
yang dialami Pangeran Kuda Padmadata itu di istananya
sendiri, karena paman Mahisa Agni telah mengabdi di
istana itu pula" "Dengan demikian, maka kalian sampai pada
kesimpulan, bahwa yang berbuat demikian itu adalah Ki
Dukut Pakering?" bertanya Ki Kasang.
"Kakang" berkata Ki Wastu, "puteri yang ikut menjadi
alat pemerasan itulah yang mula-mula mengatakannya.
Kemudian diperkuat dengan gejala-gejala yang dapat
dirasakan oleh Pangeran Kuda Padmadata. Sehingga
karena itu, maka aku percaya, bahwa sumber malapetaka
itu adalah Ki Dukut Pakering. Namun selebihnya dari
dendamnya yang tersimpan, iapun telah didorong oleh
ketamakannya melihat kekayaan Pangeran Kuda
Padmadata itu melimpah, yang kelak akan jatuh ke tangan
orang yang dibencinya. Ki Kasang Jati menarik nafas dalam-dalam, wajahnya
menjadi muram. Dengan nada dalam, iapun kemudian
berkata, "Jika demikian, maka akulah yang paling bersalah
sehingga anak perempuanmu itu mengalami nasib yang
sangat buruk. Bahkan hampir saja merampas jiwanya"
"Tidak. Bukan maksudku menyalahkan kakang." potong
Ki Wastu dengan serta merta, "aku hanya mengatakan,
bahwa kebencian Ki Dukut terhadap kakang Kasang telah
mempengaruhi caranya berpikir menanggapi keadaan
muridnya. Tetapi sudah barang tentu ada pengaruh lain
yang harus diperhitungkan. Tentu adik Pangeran Kuda
Padmadata itu pun mula-mula terkejut dan tidak mau
melihat kenyataan bahwa kakaknya telah kawin dengan
seorang pidak pedarakan. Kekecewaan ini bertemu dengan
keangkuhan, ketamakan dan kedengkian."
Ki Kasang Jati mengangguk-angguk. Katanya kemudian
hampir kepada diri sendiri, "Aku tidak mengira, bahwa
permusuhan yang sudah aku usahakan untuk melupakan
itu, masih saja berakibat buruk. Bukan atas diriku sendiri,
tetapi atas orang-orang yang sebenarnya tidak bersalah."
"Kakang" bertanya Ki Wastu kemudian, "sebaiknya
kakang tidak usah menyesali diri sendiri. Kini anakku telah
bebas, dan bahkan mendapat perlindungan yang sangat baik
di Istana Singasari, diawasi oleh Ki Mahendra, ayah angger
Mahisa Bungalan ini." Ki Wastu berhenti sejenak, lalu,
"kedatanganku kakang, sebenarnya hanyalah ingin
memberikan isyarat kepada kakang."
"Terima kasih" jawab Ki Kasang Jati. Lalu, "Aku
mengerti. Kegagalan Ki Dukut atas rencananya yang
menyangkut muridnya, dan kegagalannya menyingkirkan
puteri itu, mungkin akan menumbuhkan rencananya yang
lain. Sasarannya adalah aku."
"Ya, ya kakang. Aku memang ingin mengatakan
demikian." "Terima kasih Wastu" desis Ki Kasang Jati, "aku sudah
tua. Aku kira aku sudah tidak pantas lagi turun ke dalam
arena perselisihan apapun sebabnya. Karena itu, jika Ki
Dukut datang, biarkan ia mendapatkan apa yang dicarinya.
Jika ia ingin melepaskan dendamnya, biarlah ia
melakukannya." "Aku sudah mengira" berkata Ki Wastu, "Kakang
adalah orang yang baik, murah hati dan barangkali seorang
yang tidak banyak menghiraukan nasibnya sendiri."
Tetapi, di samping itu kakang pun harus bertindak adil.
Adil terhadap diri sendiri dan adil terhadap hubungan
kakang dengan orang lain. Jika kakang membiarkan
dendam itu membakar diri kakang, itu sama sekali bukan
sikap yang adil. Kakang sudah membiarkan kejahatan
berlaku atas seseorang, meskipun seseorang itu kakang
sendiri. Tetapi mungkin kejahatan itu akan menjalar
terhadap orang lain yang lebih buruk lagi, apabila orang itu
sama sekali tidak tahu menahu. "
Ki Kasang Jati mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian berkata, "Kau pandai memaksa aku untuk
berpikir Wastu. Tetapi dengan melepaskan dendamnya
kepadaku, maka aku kira ia sudah puas. Ia tidak akan lagi
mencari sasaran yang lain."
"Tetapi dendamnya telah berkembang dengan
ketamakan dan kedengkian. Ia tidak akan puas dengan
pelepasan dendamnya yang lama saja. Ia kini tentu
mendendam Pangeran Kuda Padmadata pula, serta
keinginannya untuk menguasai harta bendanya tentu tidak
akan dapat segera dilupakannya."
Ki Kasang Jati menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia
merenungi keadaannya. Sekilas terbayang, apa yang pernah
terjadi, sehingga dendam telah menyala antara dirinya
dengan orang yang bernama Ki Dukut Pakering. Ki Kasang
Jati sama sekali tidak mengira, bahwa dendam itu justru
akan membakar anak perempuan dari adik seperguruannya,
sehingga hampir saja perempuan itu menjadi hangus
bersama anak laki lakinya. Bahkan Pangeran Kuda
Padmadata sendiri, hampir saja menjadi korban pula.
Kini nampaknya, kegagalan kegagalan itu telah
menggiring Ki Dukut Pakering untuk menemukan
sasarannya yang semula meskipun hanya sekedar untuk
melepaskan amukan kekecewaan dan kebencian.
"Tetapi apakah benar, bahwa dendam itu akan terhenti
sampai pada pelepasan atas diriku?" bertanya Ki Kasang
Jati kepada diri sendiri.
Tetapi, pertanyaan itu telah membuka pertimbangan
pertimbangannya yang lain. Justru itulah, yang dikehendaki
oleh Ki Wastu, agar kejahatan yang membakar perasaan Ki
Dukut Pakering itu tidak menjalar.
"Wastu," berkata Ki Kasang Jati kemudian, "aku
mengerti maksudmu. Tetapi apakah kata orang, jika orangorang
tua yang sudah berusaha untuk mendekatkan diri
kepada asalnya, kepada Sangkan Paraning Dumadi ini
masih harus berselisih dan bahkan mungkin masih harus
mempergunakan kekerasan pula"
"Kakang" jawab Ki Wastu, "mungkin aku adalah orang
yang lebih kasar dari Kakang. Aku sudah bertempur
mempertahankan anak perempuanku. Bahkan angger
Mahisa Bungalan ini serta ayah dan paman-pamannya telah
mempergunakan pula untuk mencegah menjalarnya
kejahatan" "Mereka adalah orang-orang yang memang mempunyai
kewajiban sebagai seorang Kesatria. Apalagi mereka adalah
orang-orang yang berada dalam lingkungan keprajuritan"
"Tetapi apakah menurut pendapat kakang, membiarkan
kejahatan itu terjadi, juga termasuk kebajikan" Juga
termasuk jalan menuju ke Sangkan Paranging Dumadi"
Apakah dengan demikian kakang sudah menunaikan tugas
pengabdian kakang justru karena kakang mendapatkan
kurnia kelebihan dalam olah kanuragan?" bertanya Ki
Wastu. "Wastu" berkata Ki Kasang Jati, "sejak dahulu aku
selalu merasa terdesak apabila aku harus berbantah dengan
kau. Tetapi biarlah aku mengakuinya. Aku memang harus
mendengarkan pendapatmu. Aku akan mencoba
mempertimbangkannya"
"Kakang masih akan mempertimbangkannya?" berkata
Ki Wastu. Ki Kasang Jati menarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada datar ia berkata, "Kau selalu saja mendesak, Wastu.
Baiklah. Baiklah. Aku tidak akan mempertimbangkannya
lagi. Aku akan berbuat sesuatu untuk menjaga diri"
Ki Wastu menundukkan kepalanya. Katanya dengan
nada dalam, hampir kepada diri sendiri, "Maaf kakang.
Sebenarnya aku hanya didorong oleh kecemasanku, bahwa
sesuatu telah terjadi atas kakang dan padepokan ini, tanpa
ngetahuinya lebih dahulu"
Aku mengerti maksudmu Wastu" desis Ki Kasang Jati.
Ki Wastu tidak menyahut lagi. Tetapi kepalanya masih
tertunduk. Sementara itu, Mahisa Bungalan hanya dapat
mendengarkan percakapan dua orang kakak beradik
seperguruan itu. Dalam pada itu, Ki Kasang Jati pun kemudian berkata,
"Wastu, dengan demikian, maka aku justru minta agar kau
tetap tinggal di sini untuk sementara. Mungkin yang kau
katakan itu segera terjadi, sehingga kau sempat
menyaksikannya. Mungkin kau akan dapat menemukan
jalan keluar jika sebenarnyalah seperti yang kau katakan.
Apalagi jika Ki Dukut membawa orang-orang lain yang
sebenarnya tidak bersangkut paut dengan padepokan ini"
"Baiklah kakang, aku akan tinggal di sini untuk beberapa
saat. Tetapi tentu tidak terlalu lama. Di Singasari anak
perempuan dan cucuku tentu selalu menunggu, kapan
mereka mendapat kesempatan untuk keluar dari lingkungan
istana yang kurang dimengertinya. Meskipun ia mendapat
perlindungan sebaik-baiknya, tentu ia akan lebih kerasan
tinggal di luar lingkungan istana"
Ki Kasang Jati mengangguk. Jawabnya, "Jika yang kau
perhitungkan itu benar-benar akan terjadi, maka tentu tidak
akan terlalu lama lagi hal itu akan terjadi"
Dengan demikian, maka Ki Wastu dan Mahisa Bungalan
masih tetap akan tinggal beberapa lama di padepokan kecil
yang tenang itu. Namun yang karena kedatangan mereka,
telah menjadi goncang. Meskipun Ki Kasang Jati sama
sekali tidak memberitahukan apapun kepada cantrikcantriknya,
namun suasana itu nampaknya terasa oleh
beberapa orang yang berada di padepokan itu pula.
Namun agaknya, apa yang dikatakan oleh Ki Wastu itu
benar-benar mulai membayangi padepokan kecil itu. Pada
suatu sore ternyata salah seorang cantrik melaporkan
kepada Ki Kasang Jati, "Ki Kasang Jati, ketika aku pulang
dari sawah, aku melihat dua orang yang melintas di jalan
sebelah. Beberapa saat lamanya mereka berhenti mengamati
padepokan ini dari jarak yang tidak terlalu dekat. Keduanya
tidak mengetahui, bahwa aku yang bekerja di sawah dan
sedang berada di dalam gubug, adalah penghuni padepokan
ini. Atau barangkali keduanya justru tidak melihat aku,
karena aku sudah duduk di dalam gubug.
"Apa salahnya" bertanya Ki Kasang Jati, "mungkin
keduanya sedang mencari seseorang, atau bahkan keduanya
mamang mencari padepokan ini. Mungkin sanak
kadangnya ada yang tinggal di padepokan ini, atau untuk
keperluan yang lain"
Cantrik itu mengangguk-angguk. Jawabnya, "Mungkin
sekali. Aku tidak tahu, kenapa aku tiba-tiba saja telah
mencurigainya" Ki Kasang Jati mengerutkan keningnya. Agaknya seperti
yang dirasakannya, suasana di padepokannya memang
sudah berubah karena kehadiran Ki Wastu dan Mahisa
Bungalan. Namun iapun mengerti, bahwa Ki Wastu dan
Mahisa Bungalan datang ke padepokan itu dengan maksud
yang baik. Dengan demikian, maka Ki Kasang Jati memang harus
mulai menyatakan sikapnya kepada para cantriknya. Ia
tidak dapat membiarkan orang-orang yang tinggal di
padepokan itu berteka-teki tanpa petunjuk arah sama sekali.
Karena itu, maka pada hari berikutnya, Ki Kasang Jati
telah memanggil dua orang Pututnya untuk diajak
berbincang bersama Ki Wastu dan Mahisa Bungalan.
Dengan hati-hati Ki Kasang Jati memberikan
kemungkinan yang dapat terjadi di padepokan kecil itu.
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebenarnya ia sendiri sudah berusaha melupakan
permusuhan yang sudah terlalu lama tanpa ujung pangkal
itu. Namun pada suatu saat, ia memang harus melihat
kenyataan, bahwa permusuhan itu belum padam sama
sekali. Pada suatu saat, karena terpercik oleh peristiwa yang
terjadi di Kediri, maka api yang telah tidak lagi berasap itu,
bagaikan disiram dengan minyak.
Kedua Putut itu pun mendengarkan keterangan Ki
Kasang Jati dengan saksama. Mereka menarik nafas dalam
dalam ketika Ki Kasang Jati berkata, "Tetapi semuanya itu
adalah salahku. Betapa hatiku ternyata telah ternoda oleh
sikapku sendiri. Jika padepokan ini dimaksudkan untuk
menjauhkan diri dari segala macam kekasaran duniawi,
maka aku masih juga mengajarkan olah kanuragan kepada
kalian berdua. Ternyata pada suatu saat, seolah-olah kita
semuanya telah dituntut untuk mampertanggung
jawabkannya" Kedua Putut itu mengangguk-angguk.
"Nah" berkata Ki Kasang Jati kemudian,
"bagaimanapun juga kita tidak akan dapat ingkar, bahwa
salah satu dari sifat kita, adalah mempertahankan hidup
kita. Karena itu, kita tidak bersalah jika kita bertahan di
dalam lingkungan kita sendiri, jika ada pihak yang ingin
merusak ketenangan padepokan ini"
Kedua Putut itu masih mengangguk-angguk. Salah
seorang dari mereka berkata, "Guru. Agaknya memang
demikian. Kita berhak untuk mempertahankan diri,
sebagaimana yang guru ajarkan. Seperti juga kita makan
dan minum, agar kita akan tetap hidup"
Ki Kasang Jati tersenyum. Katanya, "Baiklah, jika kau
memang menempatkan pengertian itu pada keadaan yang
kita hadapi sekarang. Cobalah sampaikan kepada kawankawanmu
dengan hati-hati, agar mereka tidak salah paham
dan menjadi sangat gelisah karenanya"
"Ya guru. Aku akan mencoba. Tetapi sudah seharusnya
kita bersiaga manghadapi kemungkinan yang betapapun
pahitnya, yang memang jarang sekali terjadi atas
padepokan ini" jawab salah seorang Pututnya.
Ki Kasang Jati menarik nafas dalam-dalam. Dua orang
muridnya yang tertua itu dapat mengerti persoalannya
dengan jelas. Tetapi beberapa orang cantrik yang lain,
mungkin akan mempunyai tanggapan yang berbeda.
Tetapi kedua orang Putut itu akan dapat mewakilinya.
Mereka dalam hidup sehari-hari adalah satu dengan para
cantrik, meskipun sebenarnya kedua orang Putut itu dapat
juga disebut guru dari para cantrik yang lain. Namun setiap
orang padepokan itu menganggap bahwa guru mereka
adalah Ki Kasang Jati. Sementara para Putut Itu adalah
saudara tua mereka. Demikianlah, padepokan kecil yang tenang itu benarbenar
telah di panasi dengan ketegangan yang semakin
memuncak. Ternyata cantrik-cantrik yang lain pun
melaporkan bahwa mereka melihat orang-orang yang tidak
dikenal dan mencurigakan di sekitar padepokan itu"
"Baiklah" berkata Ki Kasang Jati, "kalian harus
menyadari, bahwa bukan Wastu dan angger Mahisa
Bungalan inilah yang membawa ketegangan, di sini.
Bahkan mereka telah mendahului datangnya ketegangan itu
dengan memberitahukan kepada isi padepokan ini. Dengan
demikian, maka datang atau tidak datang Wastu dan angger
Mahisa Bungalan, kita akan menghadapi ketegangan ini
dan sekaligus sentuhan yang kasar," Ki Kasang Jati
berhenti sejenak, lalu katanya kemudian, "tetapi ingat,
kalian tidak perlu mengatakan, bahwa ada dua orang tamu
di padepokan ini. Anggaplah Wastu dan angger Mahisa
Bungalan sebagai keluarga sendiri. Sebut sajalah mereka
sebagai saudara-saudara kalian"
"Kenapa?" bertanya salah seorang dari para cantrik.
"Tidak apa-apa. Tetapi dengan demikian, maka tidak
akan menimbulkan sikap khusus bagi mereka yang berniat
buruk terhadap padepokan ini" jawab Ki Kasang Jati.
Para Putut dan cantrik itu pun mengerti maksud Ki
Kasang Jati. Karena itu. maka mereka pun berusaha untuk
tidak menyebut sama sekali tentang dua orang yang berada
di padepokannya, yang mereka ketahui bahwa salah
seorang dari kedua orang itu adalah adik seperguruan Ki
Kasang Jati sendiri. Sebenarnyalah bahwa perhitungan Ki Wastu dan Mahisa
Bungalan tidak terlalu jauh dari kebenaran. Ki Dukut
Pakering benar-benar telah mendekati padepokan Ki
Kasang Jati dengan dendam yang membara. Karena ia
tidak mempunyai orang-orang yang dapat dipercaya lagi
selain seorang pengikutnya saja, maka ia pun telah
berhubungan dengan beberapa orang yang telah dikenalnya
untuk membantunya. "Ada seorang yang mumpuni di padepokan itu" berkata
Ki Dukut, " tetapi orang itu adalah musuhku. Musuh
bebuyutan. Aku akan menyelesaikannya, sementara kalian
dapat berbuat menurut kehendak kalian atas para
pengikutnya. Mungkin ada satu dua Putut pilihan, tetapi
jarak kemampuannya tentu terpaut panjang dari Ki Kasang
Jati sendiri" "Apakah Ki Dukut yakin?" bertanya salah seorang yang
bersedia membantunya. "Kenapa tidak" Aku mengenal padepokan itu sejak
lama" jawab Ki Dukut.
"Apakah tidak mungkin telah terjadi perubahan dengan
cepat" Selama Ki Dukut tidak melihat padepokan ini, maka
banyak peristiwa dapat terjadi?" bertanya orang lain yang
diajaknya untuk melakukannya rencananya.
"Kita akan dapat mengamatinya untuk beberapa lama"
jawab Ki Dukut, "agar kita dapat menyakinkan, bahwa
kerja kita akan berhasil dengan baik"
"Itu adalah cara yang paling baik" berkata orang lain,
"kita akan melihat padepokan itu dalam keadaannya
sekarang. Bukan beberapa saat yang lampau"
Dengan damikian, maka Ki Dukut dan beberapa orang
yang telah diajaknya melaksanakan rencananya, telah
mengamati padepokan itu. Dengan cermat mereka berusaha
untuk mengamati, apakah ada sesuatu yang dapat
dianggapnya gawat Ternyata bahwa kehadiran Ki Wastu dan Mahisa
Bungalan yang lebih dahulu dari Ki Dukut, telah lepas dari
pengamatan orang-orang yang bermaksud buruk itu.
Tetapi dalam pada itu, ternyata tidak semua orang yang
berada dipihak Ki Dukut mengerti persoalan yang
sebenarnya. Ada diantara mereka yang telah tertipu.
Ternyata Ki Dukut yang mereka kenal mempunyai murid
dua orang Pangeran itu dapat mempergunakan keadaannya
itu untuk mengelabuhi beberapa orang pemimpin
padepokan untuk berdiri dipihaknya.
Meskipun beberapa orang pemimpin padepokan itu
bukannya orang yang dapat disebut memiliki ilmu yang
pinunjul, namun dengan jumlah yang cukup banyak, maka
Ki Dukut akan dapat dengan mudah menghancurkan
padepokan itu, sementara orang-orang yang membantunya
itupun pada saatnya akan mengalami nasib buruk pula.
Dengan janji yang memberikan banyak harapan, dan
apalagi mereka yang merasa berkewajiban untuk
melakukan kebajikan atas Pangeran Kuda Padmadata yang
malang, maka beberapa orang telah bersedia berdiri dipihak
Ki Dukut dengan rencananya yang gila. Menghancur kan
padepokan itu dengan segenap penghuninya.
"Mereka telah menghancurkan keluarga Pangeran Kuda
Padmadata" berkata Ki Dukut dengan orang-orang yang
bersedia membantunya, "bahkan adiknya. Pangeran Kuda
Rukmasanti telah terbunuh. Perampokan itu memang keji.
Tetapi tentu bukan sekedar perampokan biasa. Ki Wastu,
saudara seperguruan Ki Kasang Jati merasa kehilangan
martabatnya ketika ia harus melihat kenyataan, bahwa anak
perempuannya tidak diperlukan lagi oleh Pangeran Kuda
Padmadata. Meskipun Pengeran yang baik hati itu telah
memberikan terlalu banyak pada saat isterinya itu
ditinggalkannya di padukuhan, namun dendam telah
menyala di hatinya. Dan ia berhasil menipu beberapa orang
untuk membantunya. Kematian Pangeran Kuda
Rukmasanti sangat menyakitkan hati kakaknya dan hatiku
sendiri. Karena aku tidak mengetahui rumah Ki Wastu,
maka aku akan membuat perhitungan dengan orang yang
telah membantunya berbuat jahat"
Orang-orang yang sudah bersedia membantunya itu
mendengarkan keterangan Ki Dukut dengan saksama.
Tetapi mereka agak heran mendengar keterangan bahwa Ki
Dukut masih belum mengetahui rumah Ki Wastu, yang
anak perempuannya pernah menjadi isteri muridnya.
Agaknya Ki Dukut dapat melihat keragu-raguan itu.
Maka katanya kemudian, "Bukan berarti bahwa aku belum
pernah melihat tempat tinggalnya, tetapi orang itu telah
pergi meninggalkan rumah dan halamannya. Ia menyadari
bahwa ia telah melakukan sesuatu yang akan dapat
menimbulkan persoalan pada dirinya, sehingga akhirnya ia
talah bersembunyi Persembunyiannya itulah yang belum
dapat aku ketemukan"
Orang-orang yang berada dipihak Ki Dukut tanpa
mengerti keadaan yang sebenarnya itu menganggukangguk.
Ceritera Ki Dukut nampaknya memang
menyakinkan Bahkan Ki Dukut itu berkata kepada mereka,
"Pangeran Kuda Padmadata tentu akan sangat berterima
kasih kepada kalian. Sementara kalian mengetahui bahwa
Pangeran itu adalah Pangeran yang kaya raya"
"Itu tidak penting" berkata seseorang, "tetapi
membebaskan Pangeran itu dari kecemasan, bayanganbayangan
yang suram dan ketidak-pastian atas hari
depannya itulah yang telah mendorong kami untuk
membantu Ki Dukut. Bukan berarti bahwa kami memiliki
kemampuan melampaui Ki Dukut Pakering sendiri, tetapi
mungkin tenaga kami yang tidak berarti itu akan dapat
meringankan tugas Ki Dukut di padukuhan itu"
"Terima kasih" sahut Ki Dukut, "betapapun tinggi ilmu
orang yang menyebut dirinya Kasang Jati itu, maka biarlah
aku akan melumpuhkannya. Sementara kalian akan dapat
menguasai para cantriknya yang tidak banyak berarti"
Demikianlah maka rencana untuk memasuki padepokan
kecil itu telah disusun dengan rapi. Menurut pengamatan
mereka, tidak ada yang perlu mendapat perhatian khusus
pada padepokan itu. Tidak ada kecemasan bahwa Ki
Kasang Jati telah mendatangkan orang-orang yang kuat
yang akan dapat melindungi padepokannya yang mulai
dibayangi oleh keburaman itu.
"Kita tinggal menentukan waktu" berkata Ki Dukut
Pakering. "Jangan terlalu lama" berkata salah seorang yang
bersedia membantunya, "aku tidak mempunyai waktu
terlalu banyak, karena aku harus segera berada kembali di
padepokanku" "Ya" yang lain menyahut, "kasihan Pengeran yang
malang itu. Jika kita berhasil memasuki padepokan itu,
mungkin kita akan dapat memaksa satu dua orang untuk
menunjukkan, dimanakah rumah orang yang bernama Ki
Wastu itu" "Baiklah" berkata Ki Dukut Pakering, "semakin cepat
memang semakin baik. Besok kita akan mengadakan
pengamatan terakhir. Kita akan langsung menyusun
rencana, kapan kita akan memasuki padepokan itu"
Demikianlah seperti yang dikatakan, di keesokan
harinya, maka Ki Dukut dan seorang yang mewakili
beberapa orang yang telah menyatakan bersedia membantu
Ki Dukut telah mengadakan pengamatan terakhir pada
padukuhan kecil itu. Seperti di hari-hari sebelumnya, maka
mereka tidak melihat sesuatu yang baru pada padepokan
itu. Mereka melihat beberapa orang cantrik bekerja seperti
biasa. Mereka melihat, tidak seorang pun dari para cantrik
yang menunjukkan kesiagaan yang berarti.
"Dengan demikian tugas kita tidak terlalu berat.
Bukankah tugas kami hanyalah mencegah, agar Ki Dukut
sempat berhadapan dengan Ki Kasang Jati?" bertanya
orang yang menyertainya. "Ya. Tetapi jika diperlukan, maka kalian dapat
membantu aku menangkap orang itu, karena aku ingin
dapat menangkapnya hidup-hidup. Sudah barang tentu
bahwa jika terpaksa sekali, aku akan membunuhnya.
Namun apabila masih mungkin, aku ingin dapat mendengar
beberapa jawab atas pertanyaan-pertanyaan yang tersimpan
di dalam hati ini" Orang yang menyertainya mengangguk-angguk. Ia
semakin yakin akan kebersihan hati Ki Dukut, ketika Ki
Dukut berkata, "Sebenarnyalah bahwa kematian bukan
akhir dari persoalan ini. Aku, dan tentu juga Pangeran
Kuda Padmadata tidak menginginkan kematiannya. Karena
sebenarnyalah bahwa dendam bukanlah tujuan terakhir,
meskipun betapa sakitnya hati Pangeran yang kehilangan
adiknya itu, dan aku yang telah kehilangan muridku"
"Kita akan berusaha" jawab orang yang menyertainya,
"tetapi kita tidak dapat menentukan" ia berhenti sejenak,
lalu jadi, apakah kita sudah dapat menentukan saat untuk
memasuki padepokan itu?"
"Setelah kita amati beberapa hari. maka nampaknya kita
akan segera dapat melakukannya. Aku akan berbicara
dengan kawan-kawan kita, apakah sebaiknya malam nanti
kita melakukannya" berkata Ki Dukut
"Aku tidak berkeberatan. Malam nanti kita memasuki
padepokan kecil itu lewat regol. Kita minta Ki Kasang Jati
menyerah dan mengakui kesalahannya, sehingga ia
sebaiknya tidak melawan untuk dihadapkan kepada
Pangeran Kuda Padmadata, serta sekaligus menunjukkan
dimana Ki Wastu bersembunyi" berkata orang yang
menyertainya, "mudah-mudahan Ki Dukut mengerti,
bahwa dengan demikian, para cantriknya akan selamat"
"Bagus" sahut Ki Dukut. Namun ia berkata selanjutnya,
"tetapi ia adalah orang yang keras hati dan kepala. Tetapi
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
biarlah kita melihat"
"Kita harus segera membuat rencana sebaik-baiknya"
berkata kawannya, "marilah, kita akan menyusunnya
sekarang. Malam nanti kita masuki padepokan itu"
Ki Dukut pun kemudian mengangguk sambil berkata,
"Sayang bahwa kita harus mengguncang ketenangan
padepokan itu. Tetapi yang isinya sama sekali bukanlah
seperti wadah yang kasat mata"
Bersama dengan beberapa orang yang sudah menyatakan
kesediaannya untuk membantu, maka Ki Dukut Pakering
telah menyusun rencananya. Sebelum tengah malam
mereka akan memasuki padepokan kecil itu. Ki Dukut
Pakering sendiri akan menghadapi Ki Kasang Jati, agar ia
dapat dengan hati-hati berusaha menangkapnya hiduphidup.
"Tetapi jika ia berkeras hati untuk mempertahankan
kesalahannya, apa boleh buat" berkata Ki Dukut, "namun,
jika masih mungkin, sementara aku tidak berhasil
menangkapnya hidup-hidup. Aku akan memerlukan
pertolongan kalian, justru karena aku menginginkannya,
hidup-hidup" "Kami sudah menyatakan kesediaan kami" jawab salah
seorang dari mereka yang berada diantara Ki Dukut
Pakering, "karena itu, kami akan membantunya apa saja
yang kalian perlukan. Sebenarnyalah kami menganggap
bahwa rencanamu untuk menangkap hidup-hidup adalah
rencana yang paling baik"
"Ya. Marilah kita bersiap sambil berdoa. Semoga yang
Maha Agung akan selalu berada bersama kita" berkata Ki
Dukut, "sehingga apa yang kita kerjakan tidak ber
tentangan dengan kehendaknya. Namun aku percaya,
bahwa niat yang baik, akan mendapat jalan yang rancak
pula" Demikianlah, maka Ki Dukut dan kawan-kawannya pun
telah bersiap menjelang gelap. Bagaimanapun juga. mereka
harus mempersiapkan diri untuk bertempur. Mereka akan
bertempur tanpa menjatuhkan korban jiwa apabila
mungkin. Tetapi jika justru jiwa mereka sendiri terancam,
maka mungkin sekali mereka terpaksa membunuh. Namun
pembunuhan yang mereka lakukan telah mereka
perhitungkan sebaik-baiknya, bahwa mereka telah
melakukan satu tugas kemanusiaan yang besar. Jika Ki
Kasang Jati itu tidak ditangkap, atau bahkan jika terpaksa
dibunuh, maka tindakan-tindakannya yang melanggar segi
peradaban manusia akan semakin menjalar. Bahkan ia
sudah berani berbuat jahat terhadap seorang pangeran dari
Kediri dan membunuh Pangeran Kuda Rukmasanti.
Dengan demikian, maka kawan-kawan Ki Dukut itu
merasa diri mereka berpinjak pada alas kebenaran, sehingga
mereka sama sekali tidak ragu-ragu untuk bertindak.
Ketika malam turun, maka Ki Dukut telah menentukan
arah yang akan mereka tempuh. Menurut perhitungan Ki
Dukut, maka mereka tidak perlu datang sambil mengendapendap.
Tetapi mereka akan dapat langsung memasuki regol
dan menyerang padepokan itu dari depan dengan dada
tengadah sebagaimana seharusnya dilakukan oleh seorang
laki-laki. "Kita akan menjaga, agar tidak ada korban yang jatuh.
Baik di antara kita, maupun di antara mereka. Tetapi kita
sudah berpijak pada ujung tanduk. Mungkin kita akan
terluka, tetapi mungkin pula kita terpaksa melukai" desis Ki
Dukut pada saat mereka siap untuk berangkat.
Kawan-kawan Ki Dukut itu hanya mengangguk-angguk.
Mereka menganggap bahwa Ki Dukut adalah orang yang
paling mengetahui persoalannya, sehingga karena itu, maka
mereka menyerahkan segala rencana sebagian terbesar
kepada Ki Dukut. Pada saat yang sudah ditentukan, maka sekelompok
orang yang dipimpin oleh Ki Dukut Pakering telah
menyusuri jalan-jalan setapak menuju ke padepokan kecil
tempat tinggal Ki Kasang Jati. Padepokan yang dalam
keadaan sehari-hari nampak tenang dan tidak dibayangi
oleh sifat-sifat permusuhan. Namun tiba-tiba beberapa
orang bersenjata telah mendatangi padepokan itu dengan
jantung yang panas. Ki Dukut yang berjalan di paling depan pun masih saja
dibayangi oleh keragu-raguan. Jika maksudnya tersingkap,
maka ia akan kehilangan kepercayaan dari kawankawannya.
Bahkan mungkin orang-orang itu akan dapat
menjadi orang yang sangat berbaya baginya.
Semakin dekat mereka dengan padepokan kecil itu,
maka jantung Ki Dukut Pakering itu pun berdegup semakin
keras. Dalam pada itu, padepokan kecil yang dipimpin oleh Ki
Kasang Jati itupun tidak pernah meninggalkah
kewaspadaan. Selama padepokan itu dibayangi oleh orangorang
yang tidak mereka kenal, yang nampaknya selalu
mengamat-amati padepokan kecil itu, maka orang-orang di
padepokan itupun merasa, bahwa mereka harus berhatihati.
Karena itulah, maka setiap malam, beberapa orang
selalu berjaga-jaga di halaman depan, meskipun mereka
sengaja tidak berada di regol. Bahkan mereka dengan
sengaja berada di tempat yang terlindung dari cahaya lampu
di pendapa dan di regol halaman.
Setiap malam, regol dan seluruh halaman itupun selalu
mendapat mengawasan mereka. Kedua orang Putut di
padepokan itu berganti-ganti memimpin para cantrik yang
bertugas meronda. Setiap malam mereka berganti berjagajaga.
Jika yang seorang tidur di gandok, maka yang lain
berada diantara para cantrik yang bertugas.
Sementara itu, selain kedua orang Putut yang bertugas
berganti-ganti itu, Mahisa Bungalan dan Ki Wastupun
selalu bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Meskipun Ki Kasang Jati sendiri nampaknya tidak begitu
menghiraukan ketegangan yang setiap saat terasa semakin
memuncak, namun iapun tidak meninggalkan
kewaspadaan. Bahkan kadang-kadang Ki Kasang Jati
sendiri keluar dari ruang dalam di tengah malam, berjalan
menyusuri sudut-sudut halaman dan menyapa para peronda
di serambi, atau di sudut-sudut yang terlindung,
Dengan demikian, maka setiap saat regol padepokan itu
tidak pernah terlepas dari pengamatan para cantrik
meskipun dari jarak yang tidak terlalu dekat. Namun lampu
minyak regol itu cukup terang, apabila seseorang memasuki
regol halaman itu, tentu akan dapat mereka lihat.
Karena itulah, maka ketika Ki Dukut mendekati regol
dan menganggap regol itu sepi tidak terjaga, maka dengan
dada yang berdebaran, para cantrik pun melihat dengan
jelas, beberapa orang telah melangkahi tlundak pintu regol
halaman padepokan itu. Para cantrik yang mengamati regol itupun saling
menggamit sebagai isyarat. Ternyata bahwa mereka
semuanya telah melihat, beberapa orang memasuki
halaman padepokannya. "Bukan sekedar dugaan" berkata para cantrik itu di
dalam hatinya. Namun mereka terkejut ketika mereka melihat, tiba-tiba
saja Ki Kasang Jati telah berada di sebelah mereka sambil
berbisik, "Aku akan menyapa mereka. Bangunkan kawankawanmu.
Beritahukan Ki Wastu dan Mahisa Bungalan
yang berada di dalam"
Para cantrik itu tidak bertanya lagi. Beberapa orang pun
kemudian berdiri dan tanpa ragu-ragu mereka melangkah
ke gandok dan yang lain masuk ke ruang dalam.
Ternyata bayangan para cantrik itu dapat dilihat oleh Ki
Dukut Pakering. Sejenak itu justru termangu-mangu.
Namun ia pun kemudian menyadari, bahwa kedatangannya
telah dilihat oleh beberapa orang penghuni padepokan itu.
"Gila" geramnya di dalam hati, "apakah ada iblis yang
memberitahukan kepada meraka"
Namun kemudian iapun melanjutkan, "Persetan.
Meskipun mereka mengetahui kehadiran kita, tidak akan
ada kekuatan yang cukup untuk membendung kedatangan
kita" Karena itu, maka Ki Dukut pun sama sekali tidak
merubah rencananya. Ia melangkah terus ke tengah-tengah
halaman padepokan Ki Kasang Jati.
Namun langkahnya terhenti ketika ia mendengar
seseorang menyapanya, "Selamat malam Ki Dukut
Pakering. Kami sudah menunggu kedatanganmu di
padepokan kecil ini"
Ki Dukut mengerutkan keningnya. Dari kegelapan ia
melihat bayangan seseorang diikuti oleh dua orang di
belakangnya. Beberapa langkah di hadapan Ki Dukut,
orang itu berhenti samhil berkata lebih lanjut,
"Kunjunganmu merupakan kehormatan yang sangat besar
bagi kami" "Persetan Kasang Jati. Aku datang untuk membuat
perhitungan. Kau sudah terlalu banyak membuat aku
menahan hati. Tetapi yang kau lakukan terakhir, sehingga
aku harus mengorbankan muridku adalah sudah sampai
pada batasnya. Aku datang untuk menghukummu. Bukan
lagi untuk berbicara panjang lebar"
"Aku sudah mengerti apa yang telah terjadi" sahut Ki
Kasang Jati, "apakah tidak ada cara yang lebih baik dari
yang kau lakukan sekarang?"
"Menyerahlah Ki Kasang Jati" berkata Ki Dukut tanpa
menjawab pertanyaan Ki Kasang Jati, "kau akan aku bawa
menghadap pada pimpinan pemerintahan di Kediri. Kau
harus mendapat pengadilan. Jika kau merasa tidak bersalah,
kau tentu tidak akan berkeberatan, karena dengan demikian
kau akan segera dilepaskan. Tetapi jika kau bersalah, maka
hukuman akan menjadi jauh lebih ringan daripada kau
berusaha hendak melawan"
"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan Ki Dukut
Pakering" jawab Ki Kasang Jati, "karena itu, jelaskanlah,
apa yang akan kau lakukan"
"Aku tidak akan banyak berbicara" geram Ki Dukut,
"kesalahanmu kau dekap di dadamu. Sekarang
menyerahlah. Perintahkan semua orang di dalam
padepokan ini menyerah, agar aku dan kawan-kawanku
yang sebenarnya tidak ingin mempergunakan kekerasan ini
tidak perlu bertindak lebih kasar"
"Aku tidak berkeberatan" berkata Ki Kasang Jati, "tetapi
sebut sebabnya" "Persetan" berkata Ki Dukut. Lalu katanya kepada
kawan-kawannya, "Apa kita masih dapat menunggu lebih
lama lagi dengan pembicaraan yang tidak berkeputusan,
Atau kita tangkap saja orang ini, kemudian kita bawa ke
Kediri?" Ternyata ada juga diantara kawan-kawan Ki Dukut
yang-tidak sabar. Katanya, "Marilah, kita tangkap saja
orang ini. Tentu sulit untuk mendengarkan pengakuannya
selagi ia masih bebas. Tetapi jika ia sudah tidak berdaya,
apalagi di hadapan yang memerintah di Kediri, ia akan
mengaku segala kesalahannya"
"Sebenarnya aku masih ingin berbuat lebih itu lagi"
berkata Ki Dukut, "Tetapi apa boleh buat, ia memaksa aku
mempergunakan kekerasan"
Sebenarnyalah Ki Dukut tidak ingin berbantah lebih
lama. Dengan demikian, maka ia akan membuka
kemungkinan bagi mereka yang datang bersamanya untuk
menilik keadaan. Karena itu, maka kemudian katanya,
"Baik. Jangan menyesal jika dalam usahaku
menangkapmu, kulitmu tersentuh jari-jariku. Atau bahkan
mungkin salah satu orang cantrikmu tergores oleh kuku
kawan-kawanku yang datang bersamaku sekarang atas
nama keadilan pemerintahan di Kediri"
Ki Kasang Jati masih akan menjawab. Tetapi Ki Du
sudah meloncat mendekatinya. Katanya, "Marilah.
Memencarlah. Orang-orang di padepokan ini tidak terlalu
banyak" Mereka yang datang bersama Ki Dukut pun segera
bergeser. Meskipun ada satu dua orang yang terpaksa
memikir kembali pembicaraan antara kedua orang itu,
namun ternyata mereka tidak mempunyai kesempatan
terlalu banyak. Orang-orang yang menghuni padepokan
pun ternyata sudah berpencar pula.
"Ki Dukut" Ki Kasang masih ingin berbicara, "jangan
tergesa-gesa" "Hanya ada dua pilihan" sahut Ki Dukut denhan serta
merta, "menyerahlah, atau kami terpaksa menangkapmu
dan mengikatmu. Kami akan membawamu seperti
membawa seorang penjahat yang paling buas. Meskipun
sebenarnya kau lebih berbahaya dari penjahat itu, namun
aku masih lebih hormat kepadamu"
Ki Kasang Jati masih akan menjawab. Tetapi sekali lagi
Ki Dukut meloncat mendekat, sehingga Ki Kasang Jati
terpaksa mengurungkan kata-kata yang sudah ada
dibibirnya Ia harus bersiap menghadapi segala
kemungkinan yang tiba-tiba saja dapat dilakukan oleh Ki
Dukut Pakering. Pada saat itu, maka kawan-kawan Ki Dukut pun segera
memencar. Mereka sama sekali tidak mengira, bahwa ia
telah mengambil langkah yang keliru, karena mereka terlalu
percaya kepada Ki Dukut yang mereka anggap sebagai
seorang yang selain memiliki ilmu yang tinggi ia seorang
guru dari dua orang kakak beradik yang mempunyai
pengaruh di Kediri. Sehingga karena itu, maka mustahil
bahwa orang yang demikian akan menyesatkan mereka ke
dalam kerja yang salah. Demikianlah, ketika kawan-kawannya sudah berencar,
maka Ki Dukut itupun berkata lantang, "Siapa yang ingin
selamat, menyerah sajalah. Kami bermaksud baik. Kami
hanya memerlukan Ki Kasang Jati. Tidak orang lain.
Karena itu, siapa yang ingin selamat, jangan melibatkan diri
ke dalam persoalan ini"
Namun yang terdengar adalah jawaban dari salah sorang
Pututnya, "Kami adalah murid-muridnya. Kami akan
berbuat apa saja bagi guru kami, dan bagi padepokan kami"
Ki Dukut kemudian menggeram. Tetapi jawaban itu
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemungkinkannya untuk meneriakkan aba-aba, "Baiklah
kawan-kawan. Kita sudah tahu, bagaimana sikap orang
orang yang masih ingin aku hormati. Tetapi ternyata
mereka tidak lebih dari sekelompok orang-orang yang telah
jatuh ke dalam lumpur yang paling rendah. Tidak ada cara
lain yang dapat kita tempuh selain menangkap mereka
hidup-hidup, atau jika tidak ada cara lain. maka kematian
adalah akibat yang sangat wajar dari sikap dan pandangan
hidup mereka" Ki Kasang Jati benar-benar tidak sempat untuk
memberikan penjelasan. Tetapi ia sudah mulai curiga,
bahwa orang-orang yang datang bersama Ki Dukut
Pakering bukanlah orang-orang yang memang bermaksud
jahat. Namun, apabila mereka mempergunakan kekerasan
juga, maka tidak ada cara lain kecuali menyelamatkan diri.
Baru kemudian, apabila keselamatan itu telah
didapatkannya, barulah akan datang kesempatan untuk
memberikan penjelasan. Tetapi jika mereka tidak berhasil
menyelamatkan diri. maka kesempatan untuk memberikan
penjelasan itupun sama sekali tidak akan didapatkannya.
Demikianlah, maka para cantrik itu pun berpencar pula.
Dua orang Putut yang terbaik di antara murid-murid Ki
Kasang Jati itupun berpencar pula. Seorang di sisi kiri dari
pendapa bersama beberapa orang cantrik, yang lain di sisi
kanan. Dalam pada itu, Ki Dukut ingin segera menyelesaikan
rencananya. Ketika orang-orangnya telah berpencar, maka
tiba-tiba saja ia sudah mulai menyerang Ki Kasang Jati
sambil menggeram, "Sebaiknya kau menyerah"
Ki Kasang Jati mengelak. Ia masih sempat berbicara,
"Aku tidak tahu, apakah yang sedang kau kerjakan
sekarang" Karena orang-orang yang berdiri di pihaknya sudah
memencar, maka Ki Dukut itupun menggeram, "Dendam
tidak akan dapat padam sebelum pecah nyawamu. Kau
sumber bencana bagi perguruanku, sehingga akhirnya
seorang dari kedua muridku itu terbunuh"
"Aku sudah tahu. Tetapi bagaimana mungkin kau dapat
mempengarui orang-orang itu, sehingga mereka masih juga
berpihak kepadamu?" bertanya Ki Kasar Jati.
"Mereka adalah orang-orang yang waskita. Mereka
melihat kebenaran yang sejati" berkata Ki Dukut lantang,
agar orang-orang yang tidak terlalu jauh daripadinya dapat
mendengarkannya. Ki Kasang Jati menggigit bibirnya, ia tidak dapat
berteriak melampaui suara Ki Dukut Pakering. karena
lawannya itu pun kemudian mengerahkan segenap
kemampuanya untuk menyerangnya.
Ki Dukut Pakering, guru dari Pangeran Kuda
Padmadata dan adiknya. Kuda Rukmasanti, memang
seorang yang memiliki ilmu yang luar biasa. Ia mampu
bergerak secepat tatit di langit. Namun ia memiliki
kekuatan seperti runtuhnya bukit-bukit batu menimpa
jurang dan lurah yang dalam.
Karena itu. maka Ki Kasang Jati harus berhati-hati
Pertempuran di antara keduanya bukannya baru terjadi
untuk yang pertama kali. Keduanya telah bertempur
beberapa kali. Setiap kali, tidak seorang pun yang dapat
menyebut dirinya memenangkan perkelaian.
Tetapi kedatangan Ki Dukut itu bukanlah sendiri. Jika
berhasil mengalahkan para cantrik dan murid-murid
Kasang Jati dengan mempergunakan tangan beberapa
orang yang bersedia membantunya itu, maka Ki Kasang
tentu akan terpengaruh sehingga ia pun akan menyerah
atau terbunuh. Ki Dukut tidak begitu merisaukan para pengikutnya,
musuh terbesarnya telah dapat diselesaikan, maka yang lain
baginya tidak akan banyak berarti. Ia akan dapat
menjumpai mereka seorang demi seorang. Jika ada diantara
mereka yang menuntut pertanggungan jawabnya, maka
orang itu justru akan diselesaikan sama sekali.
Demikianlah, maka pertempuran antara kedua orang ng
memiliki ilmu yang tinggi dan yang saling mengenal
menjajagi itu, dengan segera meningkat dengan dahsyatnya.
Keduanya tidak lagi berusaha untuk mengetahui kuatan
dan kelemahan lawannya, karena sebenarnyalah duanya
telah saling mengetahuinya.
Yang mereka lakukan kemudian hanyalah menjaga, agar
mereka tetap menyadari keadaan diri. Mereka tidak mudah
terpancing oleh gejolak perasaan sehingga mereka akan
melakukan sesuatu yang tidak perlu. Imbangan kekuatan
sangat mereka perlukan, sehingga mereka tidak akan
melepaskan tenaga mereka tanpa arti sama sekali.
Sementara itu, di halaman itu pun telah menyala berapa
lingkaran pertempuran. Para cantrik memang tidak banyak
dapat berbuat sesuatu. Tetapi dua orang Putut yang terbaik
dari antara murid Ki Kasang Jati itu memang harus
diperhitungkan. Tetapi kedua orang itu tidak dapat melawan semua
orang yang kemudian menghambur di sebelah menyebelah
pendapa. Meskipun kedua Putut itu dengan garangnya
menahan lawan-lawannya, tetapi yang lainpun segera
mendesak para cantrik sehingga mereka terdorong surut.
"Bertahanlah atas nama padepokan ini" teriak salah
seorang Putut, "sebentar lagi aku akan datang membantu"
"Menyerahlah" salah seorang lawannyapun berteriak,
"itu akan lebih baik daripada kalian harus bertempur.
Kemungkinan yang paling buruk pun dapat kita hindari"
"Kami berpijak di tempat kami sendiri" sahut salah
seorang Putut, "jika kalian ingin berbicara dengan kami,
keluarlah dari padepokan ini. Baru kita akan dapat
berbicara dengan wajar dan dalam kedudukan yang sama"
Kawan-kawan Ki Dukut pun tidak menjawab lagi.
Merekapun segera mendesak para cantrik semakin jauh.
Tetapi mereka yang bertempur melawan kedua orang Putut
itu pun harus mengerahkan segenap kemampuan mereka.
Ternyata kedua orang Putut itu memiliki ilmu yang cukup
tinggi. Mereka adalah murid-murid terbaik dari Ki Kasang
jati yang mumpuni. Tetapi para cantrik tidak dapat bertahan lebih lama.
Lawan-lawan mereka adalah orang-orang yang
berpengalaman, sehingga mereka pun segera terdesak
semakin jauh, semakin jauh sampai ke seketeng.
Namun tiba-tiba imbangan pertempuran itu telah
berubah. Di antara para cantrik itu tiba-tiba saja terdapat
seseorang yang berilmu tinggi. Dengan garangnya orang itu
bertempur. Dalam gelapnya malam, lawan-lawan mereka
tidak dapat melihat, siapakah orang yang muncul dari
seketeng dan langsung mendesak mereka dengan
kemampuan yang mendebarkan.
Karena itu, maka pertempuran di depan seketeng itu pun
berlangsung semakin sengit. Ternyata dua tiga orang
sekaligus merasa mendapat tekanan karena salah seseorang
yang tiba-tiba saja telah berada di depan seketeng.
"Siapa kau?" bertanya salah seorang kawan Ki Dukut
Pakering. "Aku cantrik padepokan ini seperti saudara-saudaraku,"
yang lain jawab orang itu.
"Tetapi adalah mustahil bahwa di antara para cantrik
telah terdapat orang yang memiliki ilmu yang
mengejutkan." Karena itu, maka pertempuran di dalam gelap di depan
seketeng itupun berlangsung dengan sengitnya. Beberapa
orang kawan Ki Dukut harus bertempur melawan orang
yang memiliki ilmu yang mengejutkan itu. Orang itu
mampu meloncat dengan cepat, menyerang dengan tibatiba
dan bahkan kakinya seolah-olah tidak lagi berjejak di
atas tanah. Para cantrik yang semula merasa terdesak itupun
menjadi heran. Namun mereka pun segera mengerti, bahwa
orang itu adalah tamu-tamu Ki Kasang Jati.
Sebenarnyalah bahwa Ki Wastu dan Mahisa Bungalan
telah membagi diri. Yang seseorang berada di sebelah
kanan pendapa, sedang lainnya berada di sebelah kiri.
Ketika mereka melihat para cantrik terdesak, maka mereka
pun segera turun ke arena lewat seketeng sebelah
menyebelah. Kawan-kawan Ki Dukut pun menjadi heran bahwa di
antara para cantrik terdapat orang-orang yang memiliki
ilmu yang mengejutkan. Dua orang Putut yang bertempur
di sebelah pendapa itupun telah membuat mereka heran.
Apalagi tiba-tiba saja di antara para cantrik terdapat orangorang
yang segera dapat mendesak mereka.
Karena itulah, maka baik Mahisa Bungalan maupun Ki
Wastu segera berhadapan dengan lawan yang tidak hanya
seorang. Sementara para cantrik berkesempatan untuk
bertempur berpasangan. Karena itu, maka para cantrik tidak lagi merasa terdesak
dan tidak lagi merasa terlalu sulit untuk bertahan.
Mahisa Bungalan ternyata mendengar semua
pembicaraan antara Ki Dukut dan Ki Kasang Jati. Ia
memang menjadi curiga, apakah kawan-kawannya juga
memiliki sifat seperti orang itu. Agaknya Ki Dukut telah
menunjukkan sikap yang kurang wajar. Ia tidak berterus
terang dengan segala peristiwa yang telah terjadi.
Karena itu, maka tiba-tiba saja ia bertanya kepadalawannya,
"Apakah sebenarnya yang kalian kehendaki di
padepokan ini?" "Menyerahlah" geram lawannya, "kau akan mengetahui,
apa yang pernah dilakukan oleh gurumu, jika kau benarbenar
cantrik padepokan ini"
"Aku memang cantrik padepokan ini. Tetapi sebut
kesalahan guruku" desis Mahisa Bungalan.
"Jangan memancing belas kasihan kami" berkata
lawannya, "tetapi jika kau menyerah, maka kau akan
mendapat perlakuan yang baik. Kami dapat berbuat baik,
Tetapi kami dapat juga berbuat kasar Bahkan kami pun
dapat berbuat sesuatu, sehingga akan jatuh korban.
Mungkin kawan-kawanmu, tetapi mungkin korban itu
adalah kau sendiri" "Atau kau" desis Mahisa Bungalan, "jika jatuh korban di
antara kami, maka kami adalah korban dalam tugas seorang
cantrik yang setia kepada gurunya dan kepada
padepokannya. Kami akan menjadi korban yang tidak siasia.
Tetapi jika kau mati, apakah sebenarnya arti
kematianmu" "Persetan" lawannya menyerang semakin dahsyat sambil
menggeram, "Kau benar-benar tidak mau menyerah"
Tetapi Mahisa Bungalan pun ternyata mulai menjadi
jemu. Karena itu, ketika ia bertempur semakin keras, maka
lawannyapun menjadi semakin sulit menghadapinya,
meskipun mereka sudah bertempur berpasangan.
"Gila" geram lawannya di dalam hati, "orang ini agak
aneh" Namun adalah suatu kenyataan, bahwa cantrik yang
seorang itu adalah cantrik yang sangat mendebarkan
jantung karena tata geraknya yang membayangkan ilmu
yang tinggi dan mapan. Tetapi di lingkaran pertempuran yang lain, terdapat pula
seorang cantrik yang mumpuni. Meskipun nampaknya
orang itu sudah agak tua. Tetapi ia sudah mengejutkan
lawan-lawannya. Dengan tangkasnya ia bertempur di
antara beberapa orang lawannya, sehingga para cantrik
yang lain mempunyai kesempatan untuk membenahi diri
setelah mereka terdesak beberapa saat lamanya.
Kehadiran Mahisa Bungalan dan Ki Wastu benar-benar
telah mempengaruhi keadaan. Kawan-kawan Ki Dukut
yang semula dengan cepat menguasai keadaan, rasarasanya
telah membentur dinding pertahanan yang sangat
kuat. Di samping dua orang Putut padepokan itu yang
tangguh dan tanggon, maka masih ada dua orang cantrik
yang bertempur ditempat terpisah, namun memiliki
kemampuan yang luar biasa. Bahkan semakin lama kawankawan
Ki Dukut menjadi ragu-ragu, apakah dua orang itu
benar-benar cantrik dari padepokan kecil itu.
Namun dalam pada itu, pertempuran masih berlangsung
dengan sengitnya. Ki Dukut yang bertempur dengan penuh
dendam, berusaha untuk dapat mendesak lawannya,
meskipun ia sadar, bahwa untuk melakukannya, akan
sangat terpengaruh oleh keadaan dalam keseluruhan.
"Tetapi sebentar lagi, kawan-kawanku akan menguasai
keadaan" berkata Ki Dukut di dalam hatinya, " jika orang
ini telah mati, maka tidak sulit bagiku untuk mengatasi
tikus-tikus kecil ini, "
Ki Dukut merasa, bahwa usahanya akan segera berhasil.
Kematian Ki Kasang Jati, akan mengurangi tekanan
batinnya karena kegagalan rencananya, bahkan dengan
terbunuhnya Pangeran Kuda Rukmasanti. Jika kawankawannya
telah berhasil menghalau para cantrik, maka
mereka tentu akan segera membantunya, atau setidaktidaknya
akan mempengaruhi tekad berlawanan Ki Kasang
Jati. Tetapi ternyata bahwa kawan-kawan Ki Dukut itu tidak
segera dapat menguasai halaman padepokan kecil itu.
Bahkan semakin lama pertempuran di halaman itu rasarasanya
menjadi semakin sengit. Agak berbeda dengan apa
yang diperhitungkan oleh Ki Dukut. Ia mengira bahwa
yang akan terjadi, hanyalah sekedar menakut-nakuti,
kemudian menangkapi atau menghalau cantrik-cantrik yang
tidak berarti, meskipun sudah diperhitungkan pula bahwa
ada satu dua diantara mereka yang akan nampu
memberikan perlawanan. "Putut-putut itu agaknya memiliki kemampuan yang
tinggi pula" geram Ki Dukut di dalam hatinya.
Sebenarnya Putut-putut di padepokan itu memiliki
kemampuan yang cukup untuk menahan lawan-lawannya.
Tetapi jumlah lawan-lawannya memang cukup banyak,
sehingga para cantrik untuk beberapa saat telah terlesak.
Tetapi ternyata kemudian, bahwa kawan-kawan Ki Dukut
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pakering itu tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa
mereka telah membentur kekuatan di luar kemampuan
mereka. Perlahan-lahan Mahisa Bungalan, Ki Wastu dan para
cantrik telah berhasil mendesak lawannya. Demikian pula
dua orang Putut dari padepokan itu pun mampu bertahan
meskipun harus mengerahkan segenap kemampuan yang
dimilikinya. Sementara itu, ternyata Ki Dukut sendiri tidak berhasil
mendesak lawannya. Ternyata keseimbangan kemampuan
mereka masih tetap seperti yang beberapa tahun yang lalu.
Masih seperti setiap kali mereka bertemu dan bertempur.
"Gila" geram Ki Dukut, "nampaknya kau masih juga
ingat mempertahankan namamu"
"Tidak Ki Dukut. Tetapi adalah wajar bahwa aku ingin
mempertahankan umurku"
"Persetan. Perguruanmu yang hampir punah ini tentu
tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Apabila apabila
kau sekarang mati di halaman ini" desis Ki Dukut.
"Kau salah" sahut Ki Kasang, "jika aku mati, ada
muridku yang akan melanjutkan cabang perguruan kecil ini.
Ia akan segera datang dan tinggal di antara para cantrik.
Sebelum muridku yang sudah sempurna memiliki ilmuku
itu datang, kedua Putut yang hampir mencapai tingkat
tertinggi itupun akan dapat bertahan untuk beberapa saat
lamanya" "Omong kosong" bentak Ki Dukut, "kedua cantrikmu
itu pun akan mati pula sekarang, mungkin akan lebih
dahulu daripadamu" "Ia akan dapat bertahan" sahut Ki Kasang. Sekilas Ki
Dukut memang melihat, bahwa pertempuran di sebelahmenyebelah
pendapa itu masih berlangsung dengan
sengitnya, Ia pun manyadari, bahwa kawan-kawannya
tentu tidak segera dapat menguasai kedua Putut dan para
cantrik, sehingga karena itu ia mengumpat di dalam hati,
"Orang-orang dungu, jika mereka sudah berani menyebut
dirinya pemimpin padepokan, kenapa mereka sama sekali
tidak dapat menguasai dua orang Putut dan beberapa orang
cantrik kecil" Tetapi kenyataan itu sudah terjadi. Kawan-kawannya
tidak segera berhasil menguasai cantrik-cantrik kecil yang
dipimpin oleh dua orang Putut itu.
"Jangan menyesal kawan-kawanmu" berkata Ki Kasang
Jati yang seolah-olah melihat kekesalan di hati lawannya,
"mereka tidak akan dapat berbuat banyak. Apalagi jika aku
sempat memanggil muridku yang sudah putus segala
macam ilmu, yang tidak jauh berbeda dengan aku sendiri,
dan seorang muridku yang lain, yang meskipun belum
sempurna seperti kakak seperguruannya, tetapi aku kira
akan dapat dengan mudah menghalau orang-orangmu,
karena ia telah memiliki ilmu jauh lebing tinggi dari kedua
Putut yang sekarang ada disini"
"Persetan" geram Ki Dukut, "soalnya adalah waktu.
Akhirnya akan datang saatnya, kau berlutut di bawah
kakiku dengan kepala tunduk. Aku akan memenggal
lehermu dengan tanganku sendiri"
Ki Kasang Jati tidak menjawab. Tetapi ia harus
mengimbangi tekanan lawannya yang didorong oleh
dendam dan kebencian yang tiada taranya.
Namun bagaimanapun juga. Ki Ki Dukut ternyata tidak
mampu merubah dirinya menjadi seorang yang memiliki
ilmu yang melampaui lawannya yang telah menjadi
bebuyutan. Karena itu, maka pertempuran antara kedua orang
itupun justru menjadi semakin dahsyat. Ternyata Ki Kasang
Jati dan Ki Dukut Pakering adalah dua orang yang
memiliki ilmu yang sulit dicari bandingnya. Demikian
sengitnya pertempuran di antara keduanya, maka seolaholah
di halaman padepokan itu telah terjadi angin prahara
yang berputaran. Dedaunan pun bagaikan diguncang,
sehingga lembaran-lembaran yang mulai menguningpun
telah berguguran di tanah.
"Luar biasa" desis Ki Wastu yang melihat pertempuran
itu. Ki Kasang Jati adalah saudara tua seperguruannya.
Tetapi ternyata bahwa ia telah meninggalkan kemampuan
ilmunya agak jauh. Agaknya Ki Kasang Jati dalam
padepokannya telah sempat menyempurnakan ilmunya
jauh lebih baik dari Ki Wastu. yang dalam waktu yang lama
telah direpotkan oleh anak perempuannya.
Mahisa Bungalan yang sempat melihat pertempuran itu
sekilas juga mengagumi kemampuan kedua orang yang
sedang bertempur itu. Ia telah mengalami pertempuran
dengan murid Ki Dukut Pakering. Meskipun ia berhasil
mengalahkannya, tetapi iapun harus mengerahkan puncak
ilmunya, sehingga dengan demikian ia dapat menduga,
betapa tinggi tingkat ilmu Ki Dukut Pakering dan Ki
Kasang Jati. Namun demikian, Mahisa Bungalan masih yakin,
seandainya pamannya Mahisa Agni dan Witantra atau
ayahnya ada di tempat itu, maka mereka tidak akan berada
di bawah tataran ilmu kedua orang yang sedang bertempur
itu. Dalam pada itu, oleh perhatiannya yang terpecah, maka
Mahisa Bungalan tidak berusaha mendesak lawannya.
Namun ketika ia hampir saja dikenai oleh lawannya yang
bertempur tidak hanya seorang melawan seorang itupun
bagaikan menjadi sadar akan keadaannya. Dengan serta
merta iapun meloncat dan memperbaiki kedudukannya.
Mahisa Bungalan mulai memperhatikan lawannya
seorang demi seorang. Meskipun malam terjadi semakin
gelap, tetapi ia menjadi semakin jelas melihat lekuk-lekuk
wajah lawannya. Mahisa Bungalan terkejut ketika ia melihat seseorang
meloncat menghadapinya bersama beberapa orang yang
lain, setelah beberapa lamanya lawan lawannya tidak
berhasil mendesaknya. Dengan suara berat orang itu
berkata, "Yang seorang ini harus dapat kita kuasai lebih
dahulu. Baru kita akan menguasai para cantrik yang tidak
banyak berarti" "Ya" sahut yang lain, "kita menangkap orang ini. Baru
kita akan dangan mudah menundukkan para cantrik"
Sejenak Mahisa Bungalan harus memperkuat
pertahanannya. Namun kemudian ia sempat
memperhatikan orang yang baru dalam lingkaran
pertempuran melawannya itu.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak segera menyapanya Ia
ingin menyakinkan, apakah yang dilihatnya itu benar-benar
orang yang pernah dikenalnya.
Namun dalam pada itu, orang itupun agaknya telah
terkejut pula. Bahkan nampak pada tata geraknya, bahwa ia
menjadi ragu-ragu. Tetapi seperti Mahisa Bungalan, orang
itupun agaknya ingin menyakinkan, siapakah sebenarnya
orang yang sedang dihadapinya.
Dalam pada itu, Ki Wastupun bertempur dengan
garangnya pula. Meskipun ia tidak segarang Ki Kasang Jati.
Tetapi ia memiliki beberapa kesamaan. Tata geraknya dan
langkah sikapnya. Bahkan dalam keadaan yang memaksa,
maka Ki Wastupun telah bertempur dengan dahsyatnya.
Lawan-lawannya menjadi semakin heran. Di padepokan
itu ada seorang cantrik yang luar biasa. Yang jauh
melampaui para cantrik yang lain, bahkan melampaui
kedua Putut kebanggaan Ki Kasang Jati.
Tetapi lawan-lawan Ki Wastu tidak sempat terlalu
banyak membuat pertimbangan-pertimbangan. Berbeda
dengan Mahisa Bungalan, maka Ki Wastu sama sekali tidak
terganggu oleh pengenalannya terhadap salah seorang
lawannya. Karena itu, maka ia pun kemudian justru berhasil
Darah Pendekar 20 Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Bocah Sakti 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama