Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 18
matahari bagaikan membakar kulit setelah melampaui
puncaknya. Namun mereka tidak menghiraukan lagi
keringat yang bagaikan terperas dari tubuh mereka.
"Apakah kita akan mendekati sarang mereka esok pagi?"
bertanya Witantra. "Sekarang" jawab Mahisa Bungalan.
"Ya, sekareng" desis Pangeran Kuda Padmadata.
"Menjelang gelap?" bertanya Witantra pula.
"Apa salahnya" Kita akan bertempur malam hari" sahut
Pangeran Kuda Padmadata. Witantra mengangguk-angguk. Namun katanya
kemudian "Aku sendiri tidak berkeberatan. Aku mampu
bertempur tiga hari tiga malam demikian aku sampai
diserang mereka. Tetapi entahlah dengan anak-anak itu"
Pangeran Kuda Padmadata dan Mahisa Bungalan
tertegun, mereka mengerti maksud Witantra yang
melanjutkan "Tenaga mereka telah terperas di perjalanan
yang terik. Mereka mendaki tebing dan menuruni jurang.
Kalian dapat saja memaksa mereka untuk bertempur.
Tetapi aku tidak yakin, bahwa mereka masih memiliki tiga
perempat dari kemampuan mereka"
Mahisa Bungalan menarik nafas panjang. Sambil
memandang Pangeran Kuda Padmadata itu berkata
"Apakah kita akan mulai dengan besok pagi-pagi benar
Pangeran?" Pangeran Kuda Padmadata mengangguk. Jawabnya
"Baiklah. Malam ini kita beristirahat di depan sarang
mereka, tetapi jangan terjadi seperti yang kita dengar dan
mereka yang bernasil menyergap lawan mereka justru
sedang menunggui mereka di depan padepokan"
"Kita akan sempat melihat-lihat, apakah yang
sebenarnya kita hadapi" berkata Witantra.
Dengan demikian, maka ketika mereka mendekati sarang
Ki Dukut yang bergelar Rajawali Penakluk itu, maka
pasukan itupun segera menebar. Mereka tidak mau
kehilangan lawan mereka. Karena itu, merekapun
mengawasi sarang itu dari segala arah.
Namun, menjelang senja, mereka masih sempat melihat,
bahwa sarang itu nampaknya terlampau sepi. Mereka tidak
melihat tanda-tanda apapun di muka barak yang terlindung
bukit-bukit kecil. Namun yang justru dapat dilihat jelas dari
bukit-bukit itu. "Sepi sekali" desis Mahisa Bungalan.
"Ya. Tetapi apakah memang demikian" sahut Pangeran
Kuda Padmadata yang mengawasi tempat itu dari atas
bukit kecil. "Kita panggil kedua orang itu" gumam Witantra hampir
kepada diri sendiri. Mahisa Bungalanpun kemudian memerintahkan
memanggil kedua orang tawanan yang mereka bawa
bersama pasukan itu. Dengan hati-hati keduanyapun
mendekati Mahisa Bungalan. Namun seperti orang-orang
lain, iapun merasa bahwa barak itu terlampau sepi.
"Biasanya tidak demikian" berkata kedua orang itu
"Apakah kau ingin menjebak kami?" geram Mahisa
Bungalan. "Tidak. Sama sekali tidak. Aku mengatakan yang
benarnya. Barak itu tidak seperti biasanya"
Mahisa Bungalan yang tidak sabar lagi itupun berata
"Marilah. Kita akan melihat"
"Berhati-hatilah" berkata Witantra "siapkan pasukanmu.
Beberapa orang akan bersama kita"
"Paman juga akan melihat barak itu?" berkata ahisa
Bungalan" "Ya. Aku juga akan pergi" jawab Witantra.
Demikianlah, maka Mahisa Bungalan, Pangeren Kuda
admadata dan Witantra, diantar oleh beberapa orang
ngawal, dengan hati-hati mendekati barak yang nampaknya
sepi itu. Sementara Mahisa Bungalan mendekati barak, kedua
orang tawanan itupun berada di dalam pengawasan yang
ketat. Sedangkan pasukan yang dibawanyapun telah
bersiap. Setiap saat diperlukan, mereka akan segera dapat
bertindak. Mahisa Bungalan, Pangeran Kuda Padmadata, Witantra
dan beberapa orang pengawal, dengan hati-hati mendekati
barak itu. Selangkah demi selangkah mereka maju. Tangantangan
mereka sudah siap mencabut senjata apabila
diperlukan. Tetapi barak itu memang terlalu sepi. Nampaknya tidak
ada seorangpun yang tinggal lagi di dalam barak itu. Pintu
regol barak itu tampak terbuka. Pagar yang rapat dan tinggi
yang mengelilingi barak itupun nampaknya tidak terjaga
sama sekali. Dengan hati-hati, merekapun kemudian memasuki regol
yang terbuka. Demikian mereka menginjakkan kakinya ke
halaman dalam barak itu, mereka merasa, bahwa barak itu
memang sudah sepi. "Gila" geram Mahisa Bungalan "mereka sempat
meninggalkan barak ini"
Wajah Pangeran Kuda Padmadatapun menjadi tegang.
Meskipun demikian ia berkata "Marilah, kita akan melihat
isi barak itu" Mahisa Bungalan mengangguk kecil. Ketika ia
memandang Witantra, orang itupun mengangguk pula.
Demikianlah merekapun kemudian mendekati pintu
barak yang terbuka. Perlahan-lahan mereka melangkah
masuk. Seperti ketika mereka memasuki halaman barak itu,
merekapun semakin yakin, barak itu memang sudah
kosong. Sebenarnyalah, ketika mereka berada di dalam setiap
barak yang ada dilingkungan sarang itu, mereka sama, kali
tidak menemukan apapun juga. Merekapun dapat
menduga, bahwa orang-orang di dalam barak itu telah
memindahkan sarang mereka, karena mereka yakin, bahwa
pada suatu saat, pasukan Singasari dan Kediri akan datang
untuk menangkap mereka. "Tetapi mereka berhasil lolos" geram Mahisa Bungalan
keterlambatan yang sangat mengecewakan"
Witantra tidak manjawab. Sementara Pangeran Kuda
Padmadatapun nampaknya sangat kecewa, bahwa
kehadirannya di tempat itu sama sekali tidak memberikan
hasil apapun juga. "Paman" berkata Mahisa Bungalan kemudian kepada
Witantra "yang terjadi adalah satu pangalaman. Betapa
lambatnya kami bertindak"
Witantra mengangguk-angguk. Namun katanya
kemudian "Yang terjadi atas Ki Dukut itupun satu
pengalaman, bagaimana cepatnya ia bertindak. Tetapi
tanpa perhitungan yang mapan"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
memandang wajah Pangeran yang masih muda itu, iapun
melihat Pangeran itu menjadi sangat kecewa, namun
kepalanyapun terangguk-angguk kecil mendengar jawaban
Witantra itu. "Baiklah" berkata Witantra kemudian "kita datang
setelah sarang ini manjadi kosong. Kita tidak dapat
menyalahkan siapapun juga. Tetapi ini bukan akhir dari
perburuan kita" Mahisa Bungalan mengangguk. Jawabnya "Malam ini
kita akan berada di dalam lingkungan halaman barak ini.
Besok kita akan kembali ke padepokan itu tanpa membawa
hasil apapun juga" Witantra hanya dapat mengangguk-angguk kecil. Ia
mengerti bahwa anak-anak muda itu menjadi kecewa.
Namun iapun merasa wajib untuk kadang-kadang
meredakan gejolak kemudaan mereka itu.
Mahisa Bungalanpun kemudian memerintahkan pasukan
yang dibawanya untuk memasuki halaman barak dan
beristirahat semalam. "Tetapi jangan lengah" berkata Pangeran Kuda
Padmadata kepada para pemimpin kelompok "mungkin
terjadi sesuatu yang tidak kita duga-duga sebelumnya. Jika
orang-orang itu menyingkir tidak terlalu jauh dengan
perhitungan tertentu, maka mungkin sekali malam nanti,
merekalah yang akan manjebak kita"
-oo0dw0oo- Kiriman Langsung Dino ke Tiraikasih Website
Jilid 15 KARENA itu, maka para pemimpin kelompok itupun
segera memerintahkan pasukannya untuk meneliti pagar
halaman barak yang rapat dan cukup tinggi itu. Mungkin
ada kesengajaan para pengikut Rajawali Penakluk itu
membuat pintu-pintu rahasia pada dinding barak yang
dapat mereka masuki dimalam hari untuk menjebak
pasukan yang ada di dalamnya.
Tetapi dinding barak yang rapat dan tinggi itu ternyata
cukup kuat. Tidak ada lubang yang dapat dipergunakan
untuk merayap masuk. Meskipun demikian, para prajurit dan pengawal itupun
seialu berhati-hati dan bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Karena mereka tidak bersiap dengan obor yang cukup
banyak, maka para prajurit itupun telah membuat perapian
di beberapa bagian halaman barak itu, sekaligus untuk
menerangi halaman di sekitar barak, di dalam lingkungan
pagar. Mlerekapun kemudian mengatur giliran untuk berjagajaga,
agar mereka tidak mengalami nasib seburuk pasukan
Rajawali Penakluk yang mengepung padepokan, justru
mereka menjadi lengah karena mereka menganggap
lawannya sama sekali tidak berdaya.
Demikianlah, pasukan itupun bermalam semalam di
dalam lingkungan halaman barak itu. felapi mereka tidak
mengalami sesuatu. Namun dengan demikian, jantung
nereka telah dicengkam oleh perasaan kecewa yang sangat.
"Kita harus menemukan mereka" geram Mahisa
Bungalan. Karena itulah, ketika matahari terbit di keesokan
harinya, maka Mahisa Bungalanpun telah menemui
Witantra untuk membicarakan kemungkinan yang akan
ditempuhnya. "Jika kau ingin mencarinya kemana kita akan pergi?"
bertanya Witantra "apakah kau akan membawa pasukanmu
menjelajahi daerah yang tidak terbatas ini" Atau kita
mencari bahan lebih dahulu sebelum pasukan kita
bergerak" "Jadi kita harus menunggu lagi?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Bukan menunggu. Tetapi kita akan segera mulai.
Bukankah usaha menemukan satu tempat yang akan
menjadi sasaran pasukan kita itupun sudah satu permulaan"
Apakah kau kira kau akan berhasil dengan iring-iringan
pasukan ini mendaki tebing dan menuruni lereng-lereng
jurang tanpa tujuan?"
"Jadi menurut pertimbangan paman, kita akan kembali
lagi ke padepokan itu?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Ya, agar kita tahu apa yang harus kita lakukan" Mahisa
Bungalan tidak menjawab. Namun iapun kemudian
memanggil dua orang tawanannya. Dengan nada keras ia
bertanya, apakah ia mengetahui, kemana perginya seisi
barak yang telah kosong itu.
Tetapi jawabnya benar-benar masuk akal "Bukankah
selama ini aku berada di padepokan itu" Tentu aku tidak
mengetahui kemana mereka pergi"
"Kemungkinan terbesar. Ha, apakah kau tahu sarangsarang
yang lain, yang dapat dipergunakan oleh Rajawali
Penakluk yang licik itu?" bentaK Mahisa Bungalan.
"Aku berasal dari barak ini" jawab keduanya hampir
berbareng. Mahisa Bungalan hanya dapat menggeram. Ternyata
kedua orang itu tidak dapat menunjukkan, kemungkinan
yang dapat menuntun arah pasukan itu tanpa kembali
dahulu ke padepokan. Namun akhirnya Mahisa Bungalan tidak dapat berbuat
lain. Bahkan, betapapun kecewa, namun Pangeran Kuda
Padmadatapun berkata "Tawanan-tawanan itu tentu ada
yang dapat berbicara, kemana kita harus menyusul"
Dengan kesal, Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda
Padmadata telah membawa pasukannya kembali tanpa
hasil apapun juga. Barak yang mereka datangi ternyata
sudah kosong sama sekali, tanpa mendapat petunjuk,
kemana mereka harus mencari Rajawali Penakluk.
Ketika mereka sampai ke Padepokan setelah menempuh
perjalanan panjang yang menjemukan, maka Mahisa
Bungalanpun segera minta, agar Witantra berusaha untuk
mendapatkan petunjuk kemana pasukan yang sudah siap di
padepokan itu harus bergerak.
Witantra menarik nafas dalam-dalam ketika Mahisa
Bungalan berkata "Paman, bukankah kita sudah cukup
lama berjalan menjelajahi daerah yang luas ini" Bukankah
dengan demikian, sudah tiba waktunya bagi kita untuk
bertindak lebih cepat?"
"Ya, aku mengerti Mahisa Bungalan. Biarlah aku
melakukannya secepatnya" jawab Witantra.
Mahisa Agni, Mahendra dan Ki Wastu yang mendengar
persoalan yang dikemukakan oleh Mahisa Bungalan itu
hanya tersenyum saja. Mereka dapat mengerti gejolak darah
muda yang mengalir di dalam tubuh Mahisa Bungalan dan
Pangeran Kuda Padmadata. Namun dalam pada itu, Mahisa Murtini dan Mahisa
Pukat mempunyai pendapat lain "Marilah kita mencarinya
ayah. Kita akan melanjutkan perjalanan mengelilingi
daerah yang luas bersama pasukan yang kuat. Kita akan
dapat melihat-lihat dan mendapatkan pengalaman dari
penjelajahan itu" "Ah, kau" desis Mahendra "kau kira kita sedang
bertamasya" Mungkin kau akan senang menjelajahi daerah
yang luas, menuruni tebing dan memanjang lereng-lereng
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gunung yang terjal bersama kawan yang berjumlah banyak.
Tetapi bukan itu tujuan pasukan Singasari dan Kediri ini
bergerak. Mereka mempunyai tugas yang harus mereka
lakukan sebaik-baiknya. Dengan tenaga yang sedikit
mungkin, akan dapat dicapai hasil yang sebanyakbanyaknya"
"Itu namanya tidak adil. Orang yang ingin mencapai
hasil yang besar, ia harus mau bekerja sekeras-kerasnya"
jawab Mahisa Murti. Mahendra tertawa. Katanya "Tetapi dalam
perbandingan keseluruhan, patokan itu harus
diperhitungkan" "Seperti ayah saja" desis Mahisa Pukat " maunya ayah
membeli barang semurah-murahnya dan dijual dengan
harga yang setinggi-tingginya"
Bukan saja Mahendra, tetapi orang-orang lain yang
mendengarpun tertawa pula. Bahkan Witantra berkata
"Tetapi patokan ayahmu itu memang dapat ditrapkan
dimana-mana Pukat" Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak
menjawab lagi. Namun dalam pada itu, orang-orang tua itupun berusaha
untuk mengimbangi kecepatan gerak anak-anak muda.
Merekapun segera berusaha mencari keterangan diantara
tawanan yang ada di padepokan itu, kemanakah Rajawali
Penakluk itu berpindah tempat.
Tetapi tidak seorangpun dari mereka yang dapat
memberikan petunjuk. Tidak seorangpun yang dapat
menduga, apa yang dilakukan oleh Rajawali Penakluk itu.
Akhirnya Mahisa Bungalan tidak telaten lagi. Kepada
para tawanan itupun ia bertanya, dimanakah tempat-tempat
bersembunyian dan sarang-sarang dari kelompok-kelompok
yang termasuk berada dibawah pnngaruh Rajawali
Panakluk itu. Orang-orang tua yang melihat cara Mahisa Bungalan
menelusuri jejak Ki Dukut itupun mengangguk-angguk.
Nampaknya Mahisa Bungalan ingin mencari Ki Dukut dari
satu tempat ke tempat yang lain
"Hal ini lebih baik aku lakukan, daripada tidak sama
sekali" berkata Mahisa Bungalan.
"Baiklah kita coba" berkata Mahisa Agni " mungkin
usaha ini akan ada hasilnya"
"Karena itu, aku harus mengetahui, kemungkinankemungkinan
yang dapat aku lakukan" sahut Mahisa
Bungalan. Mahisa Agni tidak menghalang-halangi. Ternyata bahwa
dari para tawanan itu, Mahisa Bungalan dapat mengetahui
beberapa tempat yang mungkin dipergunakan oleh Ki
Dukut untuk bersembunyi, atau beristirahat beberapa saat
sebelum ia mulai lagi dengan kerjanya yang gila.
"Kita akan menjelajahi tempat demi tempat" berkata
Mahisa Bungalan kepada Pangeran Kuda Padmadata.
"Kita dapat membagi pasukan" sahut Pangeran Kuda
Padmadata "kau membawa separo, aku membawa separo.
Kita akan pergi kearah yang berbeda setelah kita sepakati
arah kita masing-masing"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk, katanya "Bagus.
Dengan demikian kerja kita akan lebih cepat"
Dengan rencana itu, maka Mahisa Bungalan dan
Pangeran Kuda Padmadatapun segera membicarakannya
dengan Mahisa Agni dan orang-orang tua yang lain.
Orang-orang tua itu hanya dapat mengangguk-angguk.
Namun mereka tidak akan dapat melepaskan anak-anak
muda itu. Karena itu, maka Mahisa Agnipun berkata
"Baiklah. Aku akan pergi bersama Pangeran Kuda
Padmadata, sementara Witantra akan berada di dalam
pasukanmu, Mahisa Bungalan" Mahisa Agni berhenti
sejenak, lalu "sudah barang tentu, padepokan ini tidak
dapat ditinggalkan begitu saja. Satu pengalaman pernah
terjadi, Ki Dukut itu justru menyerang lagi padepokan ini.
Karena itu, maka biarlah Mahendra dan kedua anakanaknya
bersama Ki Wastu tinggal di padepokan ini
bersama beberapa prajurit dan pengawal untuk inarignwasi
para tawanan" Betapa jengkelnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
bahwa mereka harus berada di padepokan itu. Bagaimana
pun juga keduanya menyatakan keinginan mereka, tetapi
Mahendra tetap berkeberatan jika keduanya mengikuti
kakaknya dalam perjalanan yang berat dan tidak menentu.
"Pada saatnya kau akan pergi juga" berkata Mahendra
"tetapi dalam perjalanan yang lain"
Akhirnya keduanya mengerti juga, betapa beratnya tugas
yang sedang dipikul oleh Mahisa Bungalan, sehingga
akhirnya mereka bersedia berada di padepokan bersama
ayahnya dan Ki Wastu. Dalam pada itu, maka Mahisa
Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadatapun telah
mempersiapkan diri. Mereka telah membagi pasukan yang
ada menjadi dua bagian. Yang seorang akan dipimpin oleh
Mahisa Bungalan, yang lain akan langsung dipimpin oleh
Pangeran Kuda Padmadata. Sementara itu masih ada
sekelompok kecil yang akan tinggal di padepokan untuk
membantu para cantrik apabila terjadi sesuatu. Selebihnya,
mereka yang tinggal juga berkewajiban untuk memberikan
latihan-latihan olah kanuragan, agar para cantrik mampu
meningkatkan ilmu mereka.
Demikianlah, pada hari yang tertentu, dua kelompok
pasukan itupun berangkat dari padepokan kecil itu. Seperti
yang direncanakan, maka Mahisa Agni akan menyertai
Pangeran Kuda Padmadata, sedangkan Witantra akan
berada di dalam pasukan yang dipimpin oleh Mahisa
Bungalan. Bersama mereka, dua orang tawanan berada disetiap
kelompok untuk menunjukkan, tempat-tempat yang
mungkin menjadi tempat persembunyian sementara Ki
Dukut Pakering yang bergelar Rajawali Penakluk itu.
Dari para tawanan itu Mahisa Bungalan dan Pangeran
Kuda Padmadata mendapat beberapa petunjuk, bahwa Ki
Dukut yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu
mempunyai beberapa gerombolan pengikut yung semula
saling terpisah. Karena itu. maka mungkin sekuli Ki Dukut
berada diantara pengikut-pengikutnya itu.
"Kita harus mendatangi sarang mereka satu demi satu"
berkata Mahisa Bungalan kepada tawanan yang
menyertainya. Namun dalam pada itu, Pangeran kuda Padmadatapun
berniat demikian. Dengan Mahisa Bungalan Pangeran itu
sudah bersetuju untuk membagi, yang manakah yang harus
didatangi oleh Pangeran Kuda Padmadata, dan yang
manakah yang harus diselesaikan oleh Mahisa Bungalan.
Dengan demikian maka perjalanan kelompok-kelompok
itu adalah perjalanan yang cukup berat. Mereka harus
menyusup hutan, menuruni jurang dan mendaki lereng
bukit-bukit. Sarang gerombolan itu terpencar, dan pada
umumnya berada di tempat yang sulit untuk didatangi.
Namun, sudah menjadi tekad Mahisa Bungalan dan
Pangeran Kuda Padmadata, bahwa perburuan itu harus
lebih mengarah. Bukan sekedar menjelajahi pedepokan
demi padepokan tanpa berbuat apa-apa. Seakan-akan hanya
sekedar menunggu kesempatan, serta menunggu satu
kemungkinan dari berpuluh-puluh kemungkinan yang lain,
bahwa mereka akan bertemu dengan Ki Dukut disatu
tempat. Mahisa Agni, Witantra, Mahendra dan Ki Wastu harus
mengikuti cara berpikir anak-anak muda itu. Sehingga
merekapun kemudian seakan-akan hanyalah mengikuti saja
sambil memberikan pendapat dan mungkin kemampuannya
apabila diperlukan Demikianlah, maka pada hari-hari pertama, kedua
kelompok itu telah menuju ke arah yang berbeda, sehingga
jarak antara keduanya menjadi semakin jauh. Mahisa
Bungalan dan pasukannya, yang di sertai oleh Witantra
menuju ke daerah yang berbukit-bukit, sementara Pangeran
Kuda Padamadata yang diikuti oleh Mehisa Agni serta
pasukannya, menusuk masuk ke dalam kepekatan hutan.
Dari para tawanan mereka mendapat petunjuk, bahwa
sebagian dari sarang gerombolan yang berada di bawah
pengaruh Ki Dukut itu ada di antara bukit-bukit dan
terpencar di seberangnya, sementara yang lain bersembunyi
di hutan-hutan dan lembah-lembah dibalik hutan itu.
Tetapi tidak seorangpun dari para tawanan yang
mengetahui keadaan Ki Dukut yang sebenarnya.
Merekapun tidak tahu apa yang dilakukan oleh pengikutpengikutnya
yang terlepas dari tangan para prajurit dan
pengawal. Mereka tidak mengetahui, bahwa Ki Dukut yang
bergelar Rajawaii Penakluk itu tiba-tiba saja sudah hilang
dari antara pengikutnya. Sementara sarang yang telah
kosong itu telah ditinggalkan oleh penghuninya, atas pesan
Ki Dukut ke tempat yang lebih tersembunyi lagi.
Karena itu, baik Mahisa Bungalan maupun Pangeran
Kuda Padmadata telah dibawa oleh tawanan-tawanan yang
berada di antara mereka menuju ke tampat yang sudah
mereka kenal. Sebenarnyalah, sepeninggal Ki Dukut, setiap kelompok
penjahat itu seakan-akan telah saling memisahkan diri.
Mereka seakan-akan tidak lagi merasa terikat yang satu
dengan lain seperti sebelum Ki Dukut yang mereka kenal
dengan gelar Rajawali Penakluk itu berada di antara
mereka. Hanya bekas-bekas pengaruh Ki Dukut yang mengikat
mereka sajalah yang kadang-kadang masih terlintas di
dalam angan-angan mereka.
"Bila orang itu datang, biarlah kami menjalankan
perintahnya. Jika tidak, kami tidak mempunyai keterikatan
dengan kelompok-kelompok lain" berkata hampir setiap
pemimpin kelompok yang telah mengangkat diri mereka
kembali. Dengan demikian, maka mereka telah terjun kembali ke
dalam kehidupan mereka seperti sediakala. Mereka berada
di jalan-jalan sunyi. Menelusuri bulak-bulak panjang di
malam hari, dan bahkan kadang-kadang memasuki
padukuhan-padukuhan dan selanjutnya memilih rumahrumah
yang paling besar dan mempunyai kemungkinan
menyimpan benda-benda berharga.
Demikianlah mereka telah kembali ke dalam kehidupan
meraba sebagai perampok dan penyamun sepenuhnya tanpa
pegangan dan arah sama sekali.
Dalam pada itu, maka tawanan yang berada di dalam
pasukan Mahisa Bungalan telah membawa pasukan itu
untuk pertama kali ke sarang sekelompok penjahat yang
dianggapnya paling baik. Kelompok yang pertama
berhubungan dengan Ki Dukut yang bergelar Rajawali
Penakluk itu. "Mungkin Rajawali Penakluk itu berada di sana"
katanya di dalam hati "jika tidak, maka meskipun pasukan
ini akan berhasil menghancurkan sarang itu, tetapi pasukan
ini tentu akan mengalami luka yang cukup parah pula. Jika
kemudian aku membawa keternpat yarig terhitung kuat,
maka keadaannya tentu semakin buruk, sehingga akhirnya
akan menjerumuskan pasukan ini ke dalam lingkungan
yang tidak akan memberinya kesempatan untuk meninggal
kan tempat itu. Sarang kelompokku sendiri yang aku kenal
baik-baik" Demikianlah, maka setelah menempuh perjalanan yang
panjang dan beristirahat semalam di lereng sebuah bukit
berbatu padas, maka pasukan itupun mendekati sarang
kelompok yang akan mereka datangi pertama kali.
"Kau jangan menipu kami" berkata Mahisa Bunga lan
kepada kedua orang itu "kami akan menghancurkan kepala
kalian" "Aku hanya menunjukkan. Aku tidak tahu lagi, apakah
isi padepokan itu. Apakah Rajawali Penakluk ada di situ
atau tidak. Atau kemungkinan-kemungkinan lain pada
perkembangan terakhir"
Mahisa Bungalan menggeram. Namun kemudian
katanya "Sebut, darimana arah yang sebaiknya kami
mendekati barak itu?"
"Barak itu menghadap ke tangga yang mendaki lereng
bukit ini. Tetapi di samping beberapa gubug, terdapat pula
sebuah goa yang dalam dan luas. Aku juga tidak tahu,
siapakah yang memimpin kelompok ini sekarang" desis
tawanan itu. Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian iapun minta pertimbangan Witantra, apakah
yang sebaiknya dilakukannya.
"Jika kau sudah siap, maka sebaiknya kita mendekati
barak itu" berkata Witantra "awasi setiap lubang yang
mungkin dapat dijadikan jalan untuk melepaskan diri.
Besok pagi-pagi kita akan menyergap"
"Kau harus memberikan kesempatan kepada orangorangmu
untuk beristirahat. Jangan kau paksa mereka
untuk memeras keringatnya di perjalanan, kemudian
memeras darahnya di pertempuran ini"
Mahisa Bungalan tidak membantah lagi. Iapun
kemudian memerintahkan pasukannya dengan diam-diam
mengepung barak dan goa di hadapan mereka. Tetapi
mereka harus sangat berhati-hati, agar penghuni barak itu
tidak mengetahuinya. "Biarkan orang yang memasuki daerah kepungan ini"
perinlah Mahisa Bungalan "tetapi setiap orang yang keluar
harus kalian ikuti dan kalian tangkap setelah jaraknya
cukup jauh dari barak itu"
Demikianlah, maka ketika senja menjadi semakin gelap,
pasukan yang datang itupun mulai mengatur diri
mengepung sarang gerombolan perampok dari penyamun
yang berada dibawah pengaruh Rajawali Penakluk itu.
Seperti yang diperintahkan oleh Mahisa Bungalan, maka
para prajurit dan pengawal itupun akan menangkap setiap
orang yang keluar dari barak itu, sehingga memungkinkan
mereka menghubungi gerombolan yang lain sehubungan
dengan kehadiran para prajurit dan pengawal
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi ternyata bahwa kehadiran mereka diketahui oleh
penghuni barak itu. Seperti yang selalu mereka lakukan,
mengingat pesan Ki Dukut agar mereka selalu berhati-hati,
maka gerombolan itu telah memasang beberapa orang
untuk mengawasi keadaan siang dan malam. Demikian
mereka melihat sepasukan mendekati barak itu, maka
merekapun segera bertindak cepat.
Sesudah memberikan laporan kepada pemimpin
gerombolan itu. maka dua orang telah diperintahkan untuk
menghubungi gerombolan terdekat. Mereka memang sudah
memperhitungkan bahwa pasukan itu baru akan menyerang
dikeesokan harinya. Menurut perhitungan gerombolan itu,
pasukan yang datang itu tidak akan bergerak dimalam hari,
karena mereka belum mengenal medan sebenarnyalah yang
cukup gawat. "Tetapi bagaimana jika mereka menyerang malam ini"
bertanya salah seorang dari gerombolan itu.
"Kita akan melumatkannya. Kita sudah terbiasa bergerak
dimalam hari. Dan kita sudah mengenal daerah ini seperti
kita mengenal tubuh kita sendiri" jawab pemimpin
gerombolan itu. "Kenapa kita tidak menyerang mereka malam ini?"
bertanya yang lain. "Kita harus keluar dari sarang kita. Merekapun
berpencar mengelilingi barak ini. Apalagi mereka telah
memilih tempat yang paling baik bagi mereka, karena
kitalah yang datang kepada mereka. Agak berbeda jika
merekalah yang datang kepada kita. Mereka tidak dapat
memilih tempat dimana kita akan menjebak" sahut
pemimpin gerombolan "selebihnya, jika orang kita itu
sempat menghubungi kelompok lain yang terdekat, maka
kita akan mendapat kesempatan lebih banyak. Aku sudah
berpesan, agar mereka tetap berada diluar kepungan, dan
mereka akan bertindak pada saat pasukan itu menyerang
kita besok pagi" Para perampok dan penyamun yang berada dibarak
itupun hanya dapat menunggu. Namun mereka selalu siap
menghadapi segala kemungkinan yang bakal datang.
Ternyata bahwa dua orang yang mereka tugaskan untuk
menghubungi kelompok lainnya, berhasil menyusup keluar
sebelum kepungan itu merapat. Mereka dengan tergesagesa,
bahkan berlari-lari kecil menuju kesebuah barak yang
lain. Mereka berharap bahwa sebelum pagi. kelompok yang
lain itu sudah berada di sekitar sarangnya.
Kedatangan kedua orang itu memang mengejutkan.
Sarang yang didatangi itupun selalu dalam kesiagaan seperti
juga yang lain-lain. Sehingga karena itu, kedatangan kedua
orang itu segera diketahui oleh hampir semua orang di
dalam gerombolan itu. "Apa yang terjadi?" bertanya pemimpin gerombolan itu.
"Barak kami telah didatangi otuli sepasukan yang kuat
berkata kedua orang petugas itu "mereka mengepung barak
kami. Menurut perhitungan kami, mereka akan menyerang
besok pagi" Pemimpin gerombolan itu mengangguk-angguk. Iapun
segera mengerti bahwa kedatangan kedua orang itu tentu
akan memerlukan bantuan. Untuk menjaga kepentingan bersama, juga apabila
gerombolan itu sendiri mengalami, maka pemimpin
gerombolan itupun berkata "Kau tentu memerlukan
bantuan. Baiklah, kita akan menghadapi mereka bersamasama"
"Terima kasih. Kamipun akan melakukan hal yang
serupa apabila barak inilah yang mengalami serangan pada
kesempatan lain" jawab petugas itu.
"Tetapi apakah menurut perhitungan kalian, kami akan
dapat melawan mereka?" bertanya pemimpin gerombolan
itu. "Jumlah mereka tidak terlalu banyak. Tetapi kita sudah
dapat mengukur kemampuan mereka. Ketika orang-orang
lerbaik kita menyerang mereka, maka diantara kita jaluh
banyak korban" berkata petugas itu "tetapi sekarang,
meskipun bukan orang-orang terbaik, kita dapat
mengarahkan semua orang yang ada. Tidak hanya beberapa
orang terpilih saja. Bagaimanapun juga, jumlah akan ikut
menentukan akhir dari pertempuran yang bakal datang itu"
"Aku sependapat" jawab pemimpin gerombolan itu
"tentu orang-orang yang tertawan itulah yang telah
menunjukkan barakmu itu"
"Tentu. Kami sudah memperhitungkan, seperti juga
perhitungan Rajawali Penakluk itu, sehingga ia
memerintahkan sarang induk kita itu dipindahkan"
Demikianlah, maka gerombolan itupun segera
mempersiapkan diri. Mereka harus dengan cepat bertindak.
"Kesempatan untuk melepaskan dendam" berkata
pemimpin gerombolan itu "merekalah yang kini datang.
Dengan jumlah yang banyak kita akan menghancurkan
mereka. Meskipun kita tidak lagi memilih orang-orang
terbaik, tetapi justru kita semuanya akan bergerak"
Sejenak kemudian, maka gerombolan itupun telah
meninggalkan sarang mereka. Hanya beberapa orang
sajalah yang kemudian tinggal menunggui harta benda yang
tersimpan di dalam barak itu.
Dengan petunjuk dari kedua orang yang datang
memberitahukan keadaan baraknya itu, maka gerombolan
yang datang itupun telah mengatur diri. Pemimpin
gerombolan itu telah memberikan beberapa petunjuk, agar
kehadiran mereka tidak diketahui oleh orang-orang
Singasari dan Kediri itu.
"Kita baru akan bergerak jika orang-orang Singasari dan
Kediri itu sudah mulai menyerang" berkata pemimpin
gerombolan itu, lalu "sehingga dengan demikian, maka
pasukan itu akan terjepit. Di depan mereka adalah orangorang
yang berada di dalam barak, sementara dibelakang
mereka adalah kita yang datang untuk membalas dendam"
Demikianlah, maka dengan cepat gerombolan itu
bergerak. Mereka mendekati sarang yang terkepung itu
menjelang ayam jantan berkokok untuk yang ketiga kalinya.
"Ada waktu sedikit untuk beristirahat" berkata
pemimpin gerombolan itu "memencarlah. Bukankah kalian
telah mengenal daerah ini, setidak-tidaknya beberapa orang
diantara mereka" Kalian akan menyerang setelah aku
memberikan isyarat dengan suara kentongan kecil ini.
Kalian tidak perlu mengapung daerah ini. Tetapi kalian
cukup berkumpul kelompok demi kelompok di tempat yang
terpencar, sehingga pada saatnya kalian akan dapat
menyergap dari segala arah. Sementara kalian menunggu
fajar, kalian sempat tidur barang sejenak"
Demikianlah, maka dengan sangat hati-hati, maka
gerombolan itupun telah terpencar. Mereka berkumpul
dalam kelompok-kelompok kecil yang sudah ditentukan
diseputar barak itu. Pada saatnya mereka sudah ditentukan
diseputar barak itu. Pada saatnya mereka akan menyerang
dari segenap penjuru"
Waktu yang sesaat itu telah mereka pergunakan sebaikbaiknya
untuk beristirahat. Beberapa orang diantara mereka
sempat mengunyah makanan yang mereka bawa dari barak
mereka. Yang lain langsung tertidur. Tetapi kawannya
segera membangunkannya sambil berdesis "Jangan
mendengkur. Suaramu seperti babi hutan. Jika orang-orang
Singasari dan Kediri itu mendengar, maka mereka akan
datang menangkapmu" "Apa aku mendengkur?" ia bertanya.
"Keras sekali" jawab kawannya.
"Aku tidak merasa" jawabnya.
"Dan kau tentu tidak mendengarnya pula" sahut
kawannya yang lain. Orang itu terdiam. Tetapi iapun kemudian tidur sambil
memiringkan kepalanya, agar tidak mendengkur lagi.
Tetapi ternyata kawannya telah membangunkannya lagi.
"Pergilah jauh-jauh. Tidurnya sendiri" geram kawannya.
"Nanti aku dimakan harimau" katanya "baiklah. Aku
tidak akan tidur. Aku hanya sekedar bertiduran untuk
menghilangkan telah"
Tetapi sebentar kemudian ia sudah mendengkur lagi.
Namun kawan-kawannya tidak menghiraukannya lagi.
Merekapun sedang mencoba untuk dapat tidur barang
sekejap. Tetapi kesempatan itu memang tidak terlalu lama.
Sejenak kemudian langitpun mulai dibayangi oleh warna
fajar. Dalam pada itu, maka para prajurit dan pengawal yang
mengepung barak itupun telah bersiap-siap untuk
melakukan tugas mereka. Barak itu akan segera mereka
serang dari segala arah. Mereka masih mempunyai
harapan, bahwa mereka akan dapat menemukan Rajawali
Penakluk atau setidak-tidaknya mendapat keterangan
tentang dirinya. "Ingat" berkata Mahisa Bungalan kepada pemimpinpemimpin
kelompok yang dikumpulkannya menjelang pagi
kami bukan datang untuk membunuh. Tetapi tugas kami
adalah memburu orang yang bernama Ki Dukul dan
bergelar Rajawali Penakluk itu. Meskipun porumpok dan
penyamun tidak dibenarkan adanya, tetatamai ditelatah
Kediri dan Singasari, namun cara kita menghadapi mereka
berbeda dengan apa yang harus kita lakukan terhadap Ki
Dukut Pakering" Para pemimpin kelompok itu mengerti apa yang
dimaksudkan oleh Mahisa Bungalan. Karena itu. maka
merekapun mengangguk dan siap menyampaikan perintah
itu kepada anak buah mereka.
"Kalian akan mendengar suara panah sendaren. Kami
disini akan melepaskan panah itu kesegenap arah. Suara
sendaren yang kalian dengar adalah perintah, bahwa kalian
harus segera menyerang" berkata Mahisa Bungalan
kemudian. Demikianlah maka para pemimpin kelompok itupun
segera kembali ke tempat masing-masing dan segera
menyampaikan pesan itu pula kepada anak buahnya.
Sementara itu, di dalam barak itupun telah terjadi
kesibukan. Orang-orang di dalam barak itu menjadiberdebardebar pula. Kedua orang yang ditugaskannya
mencari hubungan dengan gerombolan terdekat tidak
kembali lagi kepada mereka.
"Keduanya tentu mempunyai perhitungan tersendiri"
berkata pemimpin gerombolan itu "mereka tidak akan
berani menembus kepungan. Jika mereka tertangkap, maka
rahasia hubungan mereka dengan kawan kita diluar barak
ini akan terungkap" Bagaimana jika mereka tertangkap ketika mereka
berangkat?" bertanya seseorang.
"Memang mungkin. Karena itu, kita harus bersiaga
sebaik-baiknya. Mungkin kita memang harus bertempur
tanpa bantuan pihak yang lain" jawab pemimpin
gerombolan itu "sementara kita belum tahu pasti, seberapa
besar kekuatan lawan. Tetapi kita yakin, bahwa kita akan
dapat mempertahankan diri. Dan kitapun yakin, bahwa
orang itu akan dapat menghubungi kawan kita. Mereka
akan datang membantu kita dengan cara yang kita
pesankan" Namun demikian, pemimpin gerombolan itupun telah
memerintahkan orang-orangnya Untuk mempergunakan
segala cara yang dapat mereka lakukan tanpa mengharap
bantuan pihak lain. "Jumlah kita cukup banyak" geramnya.
Beberapa orang diantaranya mereka telah siap dengan
budur dan batu besar yang dapat mereka lontarkan pada
lereng-lereng yang mungkin akan dipanjat oleh para prajurit
dan pengawal. Juga di hadapan tangga yang menjadi jalan
induk memasuki sarang mereka. Sementara yang lain telah
menyiapkan lembing-lembing bambu yang ujungnya diberi
sekeping besi. Lembing-lembing itu akan dapat mereka
lontarkan kepada lawan yang akan mendaki bukit.
Dengan senjata-senjata itu, mereka telah menghadap
kesegala arah yang mungkin akan ditempuh oleh para
prajurit dan pengawal. Meskipun satu sisi dari barak itu
agaknya terlalu sulit untuk ditempuh, namun mereka telah
menempatkan-beberapa orang untuk mengawasinya juga.
Mungkin sekali para prajurit dan pengawal itu justru meng
ambil arah yang dianggapnya terlalu sulit itu, sehingga
mereka dapat menyergap tanpa mendapat perlawanan yang
berarti. Tetapi prajurit dan pengawal yang dipimpin oleh Mahisa
Bungalan itu tidak mempergunakan jalan yang terlalu sulit
itu. Kepungannya pada bagian yang sulit itupun tidak
terlalu rapat, karena mereka menganggap, jalan itu tidak
akan mungkin dilakui. Dengan hati yang berdebar-debar, setiap orang telah
menunggu langit menjadi terang. Para prajurit dan
pengawal, orang-orang yang berada di dalam kepungan dan
gerombolan yang datang untuk membantu.
Dengan demikian, maka rasa-rasanya tempat itu justru
menjadi semakin sepi. Orang-orang yang ada di sekitar
tempat itu telah menahan nafas masing-masing dengan
tangan dihulu senjata. Sementara yang lain telah siap untuk
melontarkan senjata-senjata mereka, sementara orang lain
menggenggam tangkai ketongan dengan eratnya sedangkan
tangannya yang lain menggenggam pemukulnya.
Tiba-tiba kesenyapan pagi itu telah dikoyak oleh
lengking panah sendaren. Beberapa panah sendaren telah
berterbangan kesegala arah, seolah-olah gaung suara burung
aneh yang memenuhi langit yang masih buram.
Pada saat itulah pasukan Mahisa Bungalan mulai
bergerak. Merekapun menyadari kemungkinankemungkinan
yang dapat terjadi pada saat mereka
mendekati barak. Karena itulah, maka pasukan yang paling
kuat adalah justru pasukan yang datang dari arah sayap.
Meskipun mereka menempuh jalan yang agak sulit, tetapi
mereka mendaki tebing tidak tepat di hadapan barak yang
menjadi sasaran serangan mereka, sehingga mereka tidak
akan mendapat hambatan langsung dari orang-orang di
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam barak itu. Tetapi satu hal yang tidak diperhitungkan oleh Mahisa
Bungalan adalah, kedatangan orang-orang dari gerombolan
lain yang akan menyerang mereka dari belakang.
Perlahan-lahan pasukan Mahisa Bungalan itu bergerak
maju. Hal-hal yang akan terjadi telah diduga sebelumnya.
Demikian pasukan induk itu mendekati tangga, maka
orang-orang di dalam gerombolan itu telah siap
melontarkan batu-batu yang besar untuk menghambat
lawan mereka, sementara yang lain akan melemparkan
lembing-lembing bambu yang ujungnya diberi kepingankepingan
besi tajam. Tetapi para prajurit dan pengawal itupun cukup
mempunyai pengalaman. Karena itu, maka mereka yang
dihadapkan langsung pada jalan induk itu adalah prajuritprajurit
dan pengawal pilih yang mampu mengatasi kesulit
an yang bakal mereka hadapi dengan perlengkapan khusus
Mereka adalah prajurit-prajurit yang bersenjata pedang dan
perisai. Demikian prajurit-prajurit pengawal yang melalui jalan
di hadapan sarang mereka itu mulai mendaki, di-antaranya
lewat tangga yang memang sudah ada disitu, maka batubatu
besar itupun mulai dilontarkan, diiringi dengan
lemparan lembing dan anak panah.
Bebatuan dan senjata-senjata itu momang dapat
menahan pasukan Mahisa Bungalan. Mereka tidak segera
dapat memanjat. Sebagian dari mereka berusaha untuk
mendaki di sebelah menyebelah, tetapi batu-batu itupun
meluncur dengan derasnya diiringi dengan lontaran
lembing dan anak panah. Namun agaknya para prajurit dan pengawal itu tidak
menjadi gelisah. Hal itu memang sudah diperhitungkan.
Pasukan yang datang dari sayap harus mendahului
menghimpit gerombolan itu, sehingga sebagian dari mereka
akan ditarik ke daerah benturan yang terjadi itu.
Sebenarnyalah bahwa sebagian sayap pasukan Mahisa
Bungalan telah berhasil mendaki tebing. Merekapun segera
merayap mendekati sarang gerombolan itu dari samping.
Dengan demikian, maka pertempuran yang berkobar
lebih dahulu justru sayap pasukan Mahisa Bungalan.
Pasukan itu seolah-olah telah datang menghimpit dari
sebelah menyebelah. Kekuatan pasukan Mahisa Bungalan ternyata sangat
mengejutkan. Jumlah mereka memang tidak sebanyak
orang-orang yang ada disarang itu. Tetapi kemampuan
mereka ternyata jauh melampaui kemampuan orang-orang
yang berada digerombolan itu.
Namun dalam pada itu, sejenak kemudian telah
terdengar suara kentongan dari arah yang agak jauh, justru
di bagian yang dianggap sulit. Suara kentongan yang
memberikan aba-aba kepada gerombolan yang akan datang
membantu gerombolan yang telah diserang oleh pasukan
Mahisa Bungalan itu. Tetapi sebenarnyalah, yang berada di tempat itu
hanyalah beberapa orang saja yang bertugas membunyikan
isyarat itu. Sementara itu, pasukan yang sebenarnya telah memencar
dari segenap arah, seperti pasukan Mahisa Bungalan.
Isyarat itu mengejutkan Mahisa Bungalan dan
pasukannya. Dengan demikian, maka mulailah Mahisa
Bungalan menyadari kelengahannya.
Batu dan lembing yang dilontarkan dari atas tebing tidak
mengejutkan pasukannya. Kestagaan itu dapat saja
berlangsung setiap saat, sejak terjadi permusuhan dengan
padepokan kecil itu, karena mereka yang berada disarang
gerombolan itu sudah menduga, bahwa pada suatu saat
akan datang serangan balasan seperti itu. Tetapi bahwa
diluar kepungan pasukan dari Singasari dan Kediri itu
masih terdapat selapis lawan yang menyergap mereka,
adalah merupakan satu peristiwa yang seharusnya tidak
perlu terjadi. "Satu kelengahan" desis Witantra.
"Ya. Satu kelengahan" gumam Mahisa Bungalan "kita
tidak tahu, apakah kelengahan ini akibatnya akan parah
bagi pasukan ini" Witantra tidak menjawab. Tetapi ia mulai melihat,
orang-orang yang bermunculan dari gerumbul-gerumbul liar
diseputar mereka. Dengan senjata teracu dan teriakanteriakan
yang gempita, merekapun berlari-lari dengan
garangnya. Para prajurit Singasari dan pengawal dari Kediri yang
sudah berada di atas tebingpun terkejut. Sayap pasukan
yang mulai menghimpit lawannya itu harus mengambil
sikap. Tetapi para pemimpin kelompok para prajurit dan
pengawal itu memiliki pengalaman yang luas di dalam
pertempuran yang paling garang. Karena itu, maka
merekapun dengan cepat menyesuaikan diri. Meskipun
mereka tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa lawan
meraka menjadi sangat banyak dikedua arah.
Kehadiran gerombolan itu telah membuat orang-orang di
dalam sarang yang terkepung itu bersorak-sorak pula.
Mereka merasa seakan telah terlepas dari ancaman yang
mencemaskan dari pasukan yang kuat itu.
Sejenak kemudian, pertempuran yang dahsyatpun telah
terjadi. Bukan saja disayap pasukan yang sudah mulai
menyerang dari sebelah menyebelah. Tetapi pasukan yang
sudah mulai memanjat dari bagian depan barak itupun
harus menghentikan langkah mereka untuk meng -hadapi
gerombolan yang menyerang mereka dari arah belakang.
"Keadaan kita gawat paman" berkata Mahisa Bungalan.
Witantra memang melihat keadaan yang gawat itu.
Pasukan lawan jumlahnya menjadi semakin banyak.
"Aku akan membunyikan isyarat untuk menyelamat kan
pasukan ini" berkata Mahisa Bungalan.
Tidak ada pilihan lain. Karena itu, maka Witantrapun
mengangguk kecil. Namun Mahisa Bungalan masih nampak ragu-ragu
ketika tiga orang penghubung telah siap di hadapannya.
"Bagaimana paman?" sekali lagi ia bertanya.
"Keadaan pasukanmu memang gawat" berkata
Witantra. Mahisa Bungalan mengangguk sambil berkata "Baiklah.
Marilah kita lepaskan isyarat itu. meskipun sebenarnya baru
akan aku lepaskan disaat-saat yang memaksa. Bahkan kami
berharap bahwa isyarat itu tidak perlu. Tetapi keadaan yang
tidak terduga-duga ini telah mencemaskan pasukan kita.
Meskipun pertempuran ini baru mulai. Agaknya kita tidak
boleh membiarkan pasukan ini hancur di ujung
pertempuran" Ketiga orang itupun kemudian siap dengan busur dan
anak panah mereka. Panah sendaren.
Dengan segera ketiganyapun menyiapkan diri. Sejenak
kemudian, maka meluncurlah berturut-turut tiga panah
sendaren keudara. Isyarat itu telah mengejutkan setiap pemimpin kelompok
pasukan Singasari dan Kediri. Namun dengan demikian
mereka menyadari, bahwa keadaan mereka mulai gawat
demikian mereka mulai terlibat ke dalam pertempuran.
Isyarat itu adalah isyarat untuk bertempur dengan
kekuatan tertinggi dan kemungkinan yang paling buruk.
Pasukan itu harus mengurangi jumlah lawan mereka
sebanyak-banyaknya. Karena itulah, maka pertempuran itupun segera telah
meningkat semakin dahsyat. Pasukan Singasari dan Kediri
itu tidak sempat melihat keseluruhan medan. Karena itu,
merekapun segera dapat membayangkan, ketika isyarat itu
mereka dengar. "Tidak ada cara lain" berkata seorang pemimpin
kelompok kepada anak buahnya.
Sebenarnyalah para prajurit dan pengawal itupun telah
bertempur tanpa pengekangan diri. Ketika satu dua orang
kawan mereka mulai terluka, maka merekapun yakin,
bahwa sebenarnyalah isyarat itu telah dilontarkan tepat
pada saatnya, demikian pertempuran itu mulai.
Karena itulah, maka pasukan Mahisa Bungalanpun telah
mengerahkan segenap kemampuan mereka. Justru mereka
merapat dan menyempit garis benturan antara pasukan
mereka dengan lawan. Dengan demikian, maka mereka
berhasil membatasi jumlah lawan yang akan langsung
mereka hadapi, meskipun dengan demikian, lapisan lawan
menjadi semakin tebal. Tetapi kelebihan kemampuan dan ketrampilan
bertempur pada para prajurit dan pengawal itu telah
membuat lawan mereka menjadi ngeri.
Pada saat-saat yang gawat itu, Mahisa Bungalan dan
Witantra tidak dapat tinggal diam. Sementara mereka
belum pasti bahwa di tempat itu terdapat seorang yang
menyebut dirinya Rajawali Penakluk, maka Witantrapun
harus membantu para prajurit dan pengawal yang gelisah
melihat jumlah lawan mereka.
Witantra dan Mahisa Bungalan tidak segera memisahkan
diri. Witantra masih menunggu perkembangan. Jika benar
ada orang bernama Rajawali Penakluk itu, dan yang
dipilihnya ternyata Mahisa Bungalan untuk menjadi
lawannya, maka mau tidak mau Witantra harus berusaha
menghindarkannya. Apalagi pertemuan antara dua orang
yang memiliki ilmu yang tinggi itu bukannya di dalam
perang tanding. Karena itu, maka Witantra dan Mahisa Bungalan yang
justru berada diinduk pasukan yang menghadap langsung
kemulut sarang gerombolan itu, telah bertempur pula
diantara para prajurit dan pengawal yang tidak sempat
untuk memanjat naik. Kecuali lawan merekalah
melontarkan batu dan senjata tajam, juga karena sergapan
yang tiba-tiba saja datang dari belakang.
Sebenarnyalah bahwa jumlah induk pasukan itu justru
tidak sebesar sayap pasukan yang mendapat tugas
menghimpit lawan dari arah yang berlawanan. Menurut
perhitungan, memang sayap itulah yang akan
membenturkan kekuatannya lebih dahulu karena mereka
tentu tidak akan mendapat hambatan yang sangat besar
disaat-saat mereka memanjat tebing untuk mencapai
ketinggian lawan mereka. Kehadiran Witantra dan Mahisa Bungalan langsung
dimedan pertempuran itu telah mengejutkan lawan mereka,
justru karena keduanya nampaknya tidak berdebar dengan
orang-orang lain dalam pasukannya, dan senjata
merekapun tidak lebih dari sebilah pedang seperti yang
diperguna kan oleh orang-orang lain di dalam pasukan itu.
Namun ternyata bahwa ujung senjata mereka itu,
bagaikan memiliki ketajaman penglihatan, sehingga setiap
geraknya telah berhasil menyusup senjata lawan, dan
menyentuh kulit dan mengoyak daging.
Meskipun Mahisa Bungalan telah melepaskan isyarat
untuk bertempur dengan kemampuan tertinggi dan
kemungkinan yang terburuk bagi lawan, namun keduanya
memang bukan pembunuh-pembunuh yang tidak berperikemanusiaan.
Karena itu, justru mereka yang tersentuh oleh
senjata Witantra dan Mahisa Bungalan, sebagian besar
masih mempunyai kemungkinan untuk tetap hidup
meskipun mereka tidak berdaya lagi untuk melawan.
Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin dahsyat.
Orang-orang yang mempertahankan sarang mereka dan
mereka yang datang untuk membantu, mulai merasa,
bahwa lawan mereka benar-benar sepasukan prajurit dan
pengawal yang mumpuni. "Tetapi jumlah kita jauh lebih banyak" berkata
pemimpin gerombolan yang bertahan. Hampir bersamaan
pula, maka pemimpin gerombolan yang datang
membantupun berteriak pula.
Teriakan-teriakan itu memang dapat memberikan
dorongan tekad yang dilambari dengan dendam seperti
yang sengaja ditiup ketelinga mereka oleh para pemimpin
mereka. Dengan demikian, meskipun diinduk pasukan itu,
jumlah prajurit dan pengawal terlalu sedikit dibandingkan
dengan jumlah lawan mereka, namun pertempuran itupun
seolah-olah menjadi seimbang. Orang-orang yang berada di
atas tebing itu tidak lagi dapat melontarkan batu dan
lembing-lembing bambu yang ujungnya diberi kepingan besi
tajam, karena di dalam pertempuran itu seakan-akan telah
berbaur kedua belah pihak.
Disayap pasukan Mahisa Bungalan yang sudah berada di
tempat yang lebih tinggi, dan sudah mulai menghimpit
lawan telah mengalami kesulitan pula. Mereka bertempur
menghadap kesegala arah. Justru merekalah yang kemudian
seolah-olah telah terkepung.
Namun pengalaman mereka berada diberbagai medan
yang paling berai, segera menempatkan mereka pada
kedudukan yang paling mungkin untuk mengatasi kesulitan
itu. Dalam medan yang sempit itu, prajurit dan pengawal
yang berada di dalam pasukan Mahisa Bungalan itu telah
membentuk gelar bulat memanjang. Dengan demikian,
maka sebagian lawan mereka yang berusaha mengepung
pasukan itu, telah berada di pinggir tebing yang meskipun
tidak sangat linggi, tetapi seseorang yang terlampar akan
berguling dan jatuh dilembah yang memungkinkan mereka
menjadi luka-luka pada kulit dan daging. Mungkin luka itu
tidak terlalu parah. Namun luka-luka itu akan dapat
mengganggu kemampuan tempur mereka.
Sebenarnyalah, bahwa medan yang sempit itu membuat
orang-orang yang bertempur sambil berdesak-desak an itu
menjadi kebingungan. Adalah satu perhitungan yang
mapan, bahwa setiap kali pasukan Mahisa Bungalan yang
berada disayap itu telah berusaha mendesak lawan mereka.
Satu dua diantara mereka berguling kebawah.
Dengan mendesak mereka maka mereka tidak akan
dapat bertahan lagi. Mereka lebih baik berguling-guling di
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lereng itu, dari pada perut mereka dilubangi dengan ujung
pedang prajurit dan pengawal dari Kediri yang ternyata
memiliki ketrampilan yang luar biasa dalamilmu pedang.
Namun serangan gerombolan itu bagaikan gelombang
yang menghempas pantai. Bergulung-gulung susul
menyusul. Jika lapisan pertama berhasil disapu oleh prajurit
dan pengawal itu, mati terluka atau terguling dijurang,
maka lapisan berikutnya telah menghantam mereka dengan
ujung senjata teracu. Dalam pada itu, orang-orang yang terguling di tebing itu
tidak lagi berusaha untuk memanjat. Sambil menyeringai
menahan pedih merekapun segera bangkit dan
menggabungkan diri dengan kawan-kawan mereka yang
berada dibawah, bertempur melawan induk pasukan
Mahisa Bungalan. Mereka menganggap bahwa lawan
terlalu sedikit di induk pasukan itu, sehingga mereka akan
dengan mudah dapat segera menumpas mereka sampai
orang terakhir Tetapi demikian mereka mendekat, maka mereka mulai
melihat satu kenyataan yang sama sekali lain dengan yang
mereka duga. Meskipun jumlah mereka tidak terlalu
banyak, namun kawan-kawan gerombolan yang sudah
berada di hadapan pasukan yang sedikit itu sama sekali
tidak berhasil mendesak maju. Bahkan satu dua orang
diantara mereka terlempar diantara kawan-kawan mereka
yang berdesakan. Yang lain merangkak sambil mengerang.
Sementara yang lain lagi terkapar tidak bergerak.
"Luar biasa" desis salah seorang dari mereka "tentu ada
diantara mereka yang memiliki ilmu iblis"
Dalam pada itu, maka dua orang diantara mereka yang
datang menyerang itu benar-benar mendebarkan jantung.
Ternyata bukan saja Rajawali Penakluk yang mampu
berbuat sesuatu diluar nalar mereka. Para prajurit dan
pengawal sudah membuat mereka berdebar-debar. Apalagi
kedua orang itu. Mereka mampu berbuat sesuatu seperti
yang pernah diperlihatkan oleh Rajawali Penakluk itu.
Karena itulah, maka kedua orang itu benar-benar
menjadi hantu di medan pertempuran yang semakin
dahsyat itu. Keduanya benar-benar mampu menyapu lawan
yang mengepung mereka. Meskipun luka-luka senjata yang
tergores di tubuh lawannya, bukan goresan dan tikaman
yang membunuh, namun mereka benar-benar telah berhasil
melumpuhkan lawan yang tidak terhitung jumlahnya. Jika
diantara mereka ternyata ada satu dua orang yang
terbunuh, agaknya bukan itulah tujuan mereka.
Tetapi sebenarnyalah bahwa Witantra dan Mahisa
Bungalan tidak akan dapat menghindarkan diri dari
pembunuhan. Lawan demikian banyak yartg datang dari
segala arah. Karena itu, maka kadang-kadang yang terjadi
tidak lagi dapat dihindarinya. .
Dalam pada itu, pertempuran di sebelah menyebelah,
masih berlangsung dengan sengitnya pula. Pasukan induk
yang jumlahnya tidak begitu banyak itu harus bertempur
dengan segenap kemampuan mereka. Tetapi pada
umumnya mereka adalah orang-orang terpilih yang
bersenjata pedang dan perisai sehingga orang-orang dari
gerombolan yang datang membantu dan menyerang
pasukan induk itu dari arah belakang, terkejut karenanya,
karena seolah-olah mereka telah membentur kekuatan yang
tidak akan tertembus. Dengan demikian maka pertempuran itu semakin lama
menjadi semakin sengit. Matahari yang kemudian
memanjat langit, bagaikan semakin memanasi arena yang
terbakar oleh kemarahan, dendam dan kebencian.
Mereka yang bertempur itu telah basah oleh keringat.
Tetapi ada pula diantara mereka yang menjadi basah oleh
darah yang mengalir dari luka.
Yang terdengar diarena pertempuran itu adalah teriakanteriakan
kemarahan, hentakan senjata dan umpatanumpatan
kasar. Namun kadang-kadang juga lengking
kesakitan dan kejutan dari mereka yang tergelincir ke dalam
jurang. Orang-orang yang berada di dalam sarang gerombolan
itupun sudah seluruhnya ikut melibatkan diri. Mereka yang
semula melemparkan batu dan lembing, telah berlari-lari
menuruni tebing dan melibatkan diri malawan pasukan
induk Mahisa Bungalan, sehingga seperti pasukan yang
berada disayap, mereka berhadapan dengan lawan yang
datang dari arah yang berlawanan.
Namun kekuatan yang turun dari barak itupun telah
membentur kekuatan yang seakan-akan tidak tergoyahkan.
Mereka membentur prajurit dan pengawal terpercaya yang
bersenjata pedang dan perisai.
Bagi para prajurit, maka adalah kebetulan sekali bahwa
lawan merekalah yang justru menuruni tebing. Karena itu
maka mereka tidak perlu lagi memanjat, menghadapi hujan
batu, lembing dan anak panah.
Sementara itu, disayap pasukan Mahisa Bungalan,
pertempuranpun berlangsung dengan garangnya. Masingmasing
pihak telah mengerahkan segenap kemampuan.
Para prajurit dan pengawal yang sudah mendengar isyarat
untuk bertempur dengan kemampuan tertinggi, tidak raguragulagi untuk mengayunkan senjata mereka, meskipun
akan berakibat kematianbagi lawannya.
Untuk waktu yang cukup lama, pertempuran itu masih
belum dapat dinilai dengan cermat.
Karena itulah, maka Mahisa Bungalan tidak ingin
menjadi korban. Dengan demikian, maka sejak ia mulai
menggerakkan pedangnya, ia sudah bertekad untuk merangi
lawan sejauh-jauh dapat dilakukan. Namun ia tetap berdiri
di atas landasan bahwa kedatangannya bukan untuk
membunuh. Kematian yang timbul adalah akibat yang
memang tidak dapat. dihindari dalam satu peperangan
betapapun kecilnya. Dua gerombolan yang terhitung kuat itu telah
mengerahkan segenap orang yang ada diantara mereka.
Terlebih-lebih lagi, gerombolan yang baraknya telah
diserang oleh Mahisa Bungalan itu. Meskipun masih ada
satu dua orang yang tersisa di dalam goa untuk melindungi
barang-barang mereka, tetapi selebihnya telah dikerahkan
semuanya di dalam arena pertempuran.
Bahkan pada saat-saat terakhir, telah terdengar suara
kentongan yang memanggil semua orang dimanapun
mereka sedang berada untuk menghadapi para prajurit dan
pengawal yang datang menyerang itu.
Sampai saatnya matahari mendekati puncaknya
pertempuran itu masih berlangsung terus. Para prajurit dan
pengawal yang berada disayap benar-benar telah terkepung.
Namun mereka masih tetap bertahan di tempat mereka.
Arena yang sempit di pinggir jurang, sehingga setiap saat,
mereka dapat melontarkan lawan mereka menggelinding
ditebing yang meskipun tidak begitu tinggi, namun batubatu
padasnya sempal mengelupas kulit diheberapa bagian
tubuh. Ternyata kedua belah pihak merasa, bahwa kekuatan
lawan mereka melampaui perhitungan. Para prajurit dan
pengawalpun merasa telah terperosok ke dalam kekuatan
yang memaksa mereka mengerahkan segenap kekuatan di
saat-saat pertama benturan itu terjadi. Sementara orangorang
di dalam kedua gerombolan yang melihat jumlah
lawan mereka tidak terlalu banyak, namun ternyata
memiliki kekuatan yang mengejutkan.
Di saat matahari melampaui puncak langit, kekuatan di
kedua belah pihak telah menurun. Gerombolan yang
bertempur dengan keras dan kasar itu telah banyak
kehilangan kekuatan mereka. Beberapa orang terbaring
sambil mengerang. Sementara yang lain masih juga
bertempur meskipun dari tubuhnya telah menitik darah.
Bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang sudah
tidak dapat ditolong lagi jiwanya.
Pada para prajuritpun telah jatuh korban. Tetapi terlalu
sedikit dibanding dengan lawan mereka. Para prajurit dan
pengawal itu memiliki kemampuan pribadi dan kerja sama
yang jauh lebih baik dari lawan mereka, meskipun jumlah
mereka jauh lebih sedikit.
Pada saat-saat yang demikian, maka Mahisa Bungalan
dan Witantrapun mengambil kesimpulan bahwa di sarang
itu tentu tidak ada orang yang disebut Rajawali Penakluk.
Jika orang itu ada, ia tentu terjun ke arena. Seandainya
tidak diinduk pasukan, tentu berada di sayap pasukan.
Mahisa Bungalan telah memberikan pesan, jika orang itu
muncul di manapun, maka agar para prajurit dan pengawal
memberikan isyarat agar ia segera dapat mengambil
tindakan sebelum orang itu menelan banyak korban.
Tetapi isyarat itu belum terdengar.
Karena itu, maka Witantra dan Mahisa Bungalan pun
mengambil kesimpulan, bahwa orang itu tidak ada di barak
itu. Dengan demikian, maka keduanya berusaha untuk
segera mengakhiri pertempuran. Tetapi tidak mudah untuk
melakukannya. Kedua belah pihak telah terlibat terlalu jauh
dalam perang brubuh. Ketika Witantra kemudian mendekati Mahisa Bungalan,
maka katanya "Aku akan mencoba untuk mencegah
jatuhnya korban lebih banyak lagi"
"Apa yang akan paman lakukan?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Menemui pemimpin perampok ini" jawab Witantra.
"Menurut pengamatanku, ada dua gerombolan yang kita
hadapi. Kalengahanku ternyata telah menyeret pasukan ini
ke dalam pertempuran yang berat, dan menyebabkan
korban semakin banyak jatuh dari kedua belah pihak"
berkata Mahisa Bungalan. "Aku akan naik. Tentu pemimpin gerombolan ini masih
ada di atas" desis Witantra.
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya "Terserahlah kepada paman"
Witantrapun kemudian mempersiapkan dirinya. Ketika
ia siap meninggalkan arena diinduk pasukan, iapun telah
berpesan "Hati-hatilah. Aku akan memanjat"
Mahisa Bungalan mengangguk. Namun iapun segera
tenggelam ke dalam pertempuran yang riuh.
Witantrapun kemudian bergeser meninggalkan arena
pertempuran itu. Sesaat dipandanginya tangga yang
memanjat naik. Namun ternyata Witantra lebih senang
memanjat tebing tidak melalui tangga itu.
Tidak ada lagi orang yang sempat melontarkan batu atau
lembing atau senjata apapun juga karena pertempuran di
sayap pasukan Mahisa Bungalan telah semakin mendekati
sarang. Sehingga dengan demikian, maka Witantra pun
segera dapat naik sampai ke depan barak.
Sejenak ia mengamati pertempuran. Namun kemudian
iapun berteriak nyaring sambil meloncat berdiri di atas
sebuah batu padas "He, pemimpin gerombolan yang sedang
mempertahankan baraknya. Apakah kau dengar suaraku?"
Beberapa orang yang bertempur tidak terlalu jauh
daripadanya telah tertegun Melihatnya. Namun seolah-olah
mereka merasa wajib untuk tidak berbuat sesuatu atas orang
itu. "Dengarlah, he, pemimpin gerombolan ini" teriak
Witantra pula. Seorang yang bertubuh tinggi, tegap dan berwajah kasar
telah berjalan mendekatinya sambil menjawab "Untuk apa
kau cari pemimpinku"
"Aku ingin berbicara. Apakah kau pemimpin
gerombolan ini?" bertanya Witantra.
"Bukan aku. Tetapi ia akan mendengar kata-kataku.
Apakah maksudmu. Apakah kau dan orang-orangmu akan
menyerah?" orang itu ganti bertanya.
"Itu tidak akan terjadi" jawab Witantra "sebentar lagi
kami akan menyapu semua orang-orangmu dan
gerombolan yang justru datang dari arah belakang kami"
"Omong kosong. Jadi kau mau apa?" bertanya orang itu.
"Aku ingin berbicara dengan pemimpinmu" jawab
Witantra. "Bicaralah cepat, sebelum aku membunuhmu" geram
orang itu. Witantra termangu-mangu sejenak. Tetapi ia melihat
sayap pasukan Mahisa Bungalan telah semakin mendesak,
meskipun lapis demi lapis masih harus dihadapi, kaiena
banyaknya jumlah lawan dibanding dengan para prajurit
dan pengawal. "Dengarlah" berkata Witantra "apakah kalian tidak
cemas melihat korban yang jatuh tanpa hitungan di pihak
kalian?" Orang itu menggeram. Sekilas ia melayangkan
pandangannya karena yang semakin dahsyat di sekitarnya.
Ia melihat apa yang sedang terjadi. Namun ia mencoba
untuk berkata dengan garang "Orang-orangmu akan segera
tumpas" Orang-orangku atau orang-orangmu akibatnya adalah
hilangnya berpuluh-puluh nyawa" sahut Witantra "mana
pemimpinmu. Aku kira ia akan dapat mempertimbangkan,
sebaiknya kalian menyerah"
"Persetan" orang itu berteriak "aku akan membunuhmu"
Jangan bodoh. Katakan kepada pemimpinmu" sahut
Witantra. Tetapi orang itu tidak mendengarkannya. Dengan
garangnya ia meloncat menyerang. Senjatanya yang
dahsyat, canggah dengan tajam eri pandan tiba-tiba saja
telah mengarah keleher Witantra. Jika canggah itu berhasil
menjepit lehernya, maka leher itu tentu akan terkerat
dengan urat dan daging tersayat.
Tetapi Witantra sama sekali tidak terkejut melihat
serangan itu. la mengelak dengan gerak yang sederhana,
sementara canggah itu meluncur dekal telinga kanannya.
Namun dengan tangkasnya Witantra memukul canggah
itu dengan pedang yang dibawanya. Demikian kerasnya
sehingga canggah itu bagaikan direnggut oleh kekuatan
raksasa, dan terlepas dari tangannya.
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang bertubuh tinggi kekar itu terkejut. Orang yang
dihadapinya itu tubuhnya tidak terlalu besar. Tidak sebesar
dirinya. Tetapi ternyata memiliki kekuatan yang luar biasa.
"Kau akan mengambil senjatamu?" geram Witantra
"ambillah. Aku tidak akan menghalangimu"
Orang itu berdiri termangu-mangu.
"Cepat. Aku ingin membuktikan kepadamu, bahwa kau
tidak berarti apa-apa bagiku. Juga orang-orang yang lain.
Yang sebenarnya ingin aku cari adalah Rajawali Penakluk
yang menurut keterangan yang aku dapat, ia berada
diantara sarang-sarang gerombolan perampok, sehingga aku
akan menyusuri tempat-tempat yang tersembunyi namun
yang mungkin sekali menjadi tempat persembunyian
Rajawali Penakluk" Orang itu menjadi semakin tegang. Dengan nada rendah
ia berkata "Rajawali Penakluk tidak ada disini"
"Aku sudah mengira. Karena itu, katakan kepada
pemimpinmu sebelum kalian semuanya menjadi punah.
Para prajurit dan pengawal sudah mendapat perinlah untuk
bertempur dalam tataran tertinggi, sehingga sulit untuk
mengendalikannya" berkata Witantra.
Orang itu berdiri kebingungan. Sekali-sekali
dipandanginya senjata yang tergolek disamping Witantra.
Namun kemudian Witantra itu berkata sekali lagi "Ambil
senjatamu. Kita akan bertempur"
Orang itu justru semakin kebingungan. Berapa orang
yang melihat peristiwa itupun merasa aneh. Apalagi ketika
mereka mendengar bahwa orang itu sedang mencari
Rajawali Penakluk. "Cepat" geram Witantra "atau kau panggil saja
pemimpinmu. Aku akan berbicara dengan orang itu tentang
kematian-kematian yang tidak berarti dari orang-orang
gerombolan ini dan gerombolan yang telah berhasil kalian
hubungi. Tetapi kehadirannya telah membuat prajurit dan pengawal yang berada di dalam pasukan kami bertempur
dalam tataran tertinggi"
Sejenak orang itu masih berdiri mematung. Namun tibatiba
seseorang meloncat disampingnya sambil berkata "Aku
pemimpin gerombolan ini. Kau sudah datang mengganggu
ketenangan kami disini. Karena itu, kalian semuanya harus
dimusnakan" "Terima kasih, bahwa kau bersedia menemui aku" sahut
Witantra "tetapi jangan mencoba membutakan "diri
terhadap kenyataan. Aku melihat kesulitan pada
gerombolanmu dan gerombolan yang datang
membantumu" "Omong kosong" geram orang itu.
"Dengarlah. Aku datang untuk memburu Rajawali
Penakluk. Aku ingin menangkapnya hidup atau mati.
Karena itu, tidak sewajarnyalah jika jatuh korban tidak
terhitung, sementara orang yang aku cari tidak ada disini"
"Kalau kalian menjadi ketakutan, menyerahlah" berkata
pemimpin gerombolan itu. "Jangan main-main" berkata Witantra "aku minta kau
menarik pasukanmu dengan isyarat apapun yang dapat kau
berikan. Aku berjanji untuk tidak membunuh lebih banyak
lagi. Kami akan meninggalkan gerombolan ini dan
melanjutkan perjalanan kami, memburu orang yang
menyebut dirinya Rajawali Penakluk"
"Jangan sombong. Orang itu memiliki kemampuan
seperti kuasa dewa-dewa dilangit" berkata orang yang
menyebut dirinya pemimpin gerombolan itu.
"Aku akan menangkapnya" berkata Witantra.
Pemimpin gerombolan itu menggertakkan giginya.
Katanya "Kau terlalu sombong. Aku akan membunuhmu,
mencincangmu dan melemparkan sayatan kulit dagingmu
kepada orang-orangmu"
"Jangan mimpi. Menyerahlah" geram Witantra. Orang
itu menjadi semakin marah. Tetapi Witantra berkata lebih
lanjut "Ambil senjatamu. He raksasa dungu. Bersama
pemimpinmu, buktikan bahwa aku benar-benar mampu
menangkap Rajawali Penakluk itu jika ia berada disini"
Tetapi pemimpin gerombolan itu tidak menunggu
kawannya mengambil senjatanya. Dengan pedangnya ia
meloncat menyerang. kitatan cahaya yang terpantul pada
batang pedangya bagaikan nyala yang meloncat dari
matahari itu sendiri. Witantra melihat serangan yang dahsyat itu. Namun
sebenarnyalah tidak lebih dari lontaran kekuatan wadag
yang kosong. Karena itu, maka Witantra dengan sengit
telah menangkis serangan itu dengan membenturkan
pedangnya pula. Benturan yang keras telah terjadi. Namun ternyata
bahwa benturan itu telah mengejutkan pemimpin
gerombolan yang menyangka bahwa ia mempunyai
kekuatan yang luar biasa.
Dalam pada itu, demikian kerasnya benturan itu terjadi,
sementara Witantra dengan sengaja ingin menunjukkan,
bahwa ia benar-benar ingin menangkap Rajawali Penakluk,
maka pedang di tangan pemimpin gerombolan itu tidak
dapat diselamatkan lagi. Bukan saja senjata itu terlepas dari
tangannya, tetapi senjata itu telah terloncat beberapa
langkah dari padanya. Sejenak pemimpin gerombolan itu termangu-mangu.
Namun kemudian iapun menyadari keadaannya. Dengan
gigi gemeretak ia meloncat beberapa langkah surut. Sambil
mengumpat ia menyambar pedang seorang gerombolan
yang berdiri kehingungan melihat pedang pemimpinnya
yang terlempar beberapa langkah itu.
Dengan pedang yang bergetar di tangannya orang itu
melangkah mendekati Witantra lagi ia menggeram "Anak
Setan. Kau kira apa yang kau lakukan itu dapat menakutnakuti
aku he?" "Cobalah" jawab Witantra "sebaiknya kau mencoba
meyakini apa yang aku katakan. Panggil Rajawali
Penakluk, atau jika ia tidak ada disini, menyerah sajalah.
Kami tidak akan berbuat apa-apa. Yang kami cari adalah
Rajawali Penakluk itu"
Pemimpin gerombolan itu tidak menghiraukannya.
Langkah demi langkah ia maju. Pedangnyapun kemudian
terjulur lurus kedepan. Tetapi Witantrapun seolah-olah tidak menghiraukannya.
Bahkan iapun kemudian memungut canggah yang tergolek
di tanah. Sambil melemparkan canggah itu ia berkata
kepada orang bertubuh tinggi tegap "Pakailah senjatamu.
Bantu pemimpinmu. Aku memang ingin meyakinkan,
bahwa perlawanan kalian akan sia-sia"
Sambil menangkap senjatanya orang- bertubuh tinggi
tegap itu menggeram. "Marilah. Kalian harus yakin bahwa kalian memang
harus menyerah sebelum orang-orangmu tuntas habis" desis
Witantra. Kedua orang itupun segera mempersiapkan diri. Seperti
berjanji, maka keduanyapun kemudian mengambil arah
yang berbeda. Bahkan dua orang yang lainpun telah
mendekat pula. Mereka telah bersiap pula membantu
pemimpinnya. Sementara itu. di sekitar tempat itu pertempuran menjadi
semakin seru. Sayap pasukan Mahisa Bungalanpun menjadi
semakin mendekati barak. Mereka berusaha mendesak
lawan mereka dari barak itu, sementara merekapun
berusaha menghalau serangan gerombolan yang datang
membantu, sambil bergeser.
Sebenarnyalah seperti ymg dikatakan oleh Witantra.
Prajurit Singasari dan pengawal, dan Kediri telah bertempur
tanpa pengekangan diri. justru karena lawan mereka terlalu
banyak. Namun dengan demikian, maka korban diantara
gerombolan itupun menjadi semakin banyak pula.
Dalam pada itu, orang-orang yang berada di sekitar
Witantrapun telah siap menyerangnya. Namun
Witantrapun telah siap sepenuhnya. Bahkan iapun
kemudian berkata "Marilah. Mulailah"
Hampir berbareng orang-orang itupun menyerangnya.
Namun betapa mereka terperanjat. Dengan satu ayunan,
dua diantara senjata lawannya telah terlempar. Bahkan
dengan ayunan berikutnya, maka sekali lagi pedang di
tangab pemimpin gerombolan itupun terlepas pula. Dengan
putaran berikutnya, maka canggah yang mulai bergetar di
tangan orang bertubuh tinggi tegap itupun telah terlempar
pula. Tetapi Witantra tidak berhenti, la benar-banar ingin
memaksa pemimpin gerombolan itu menyerah. Karena itu,
maka tiba-tiba saja ujung pedangnya telah menyentuh
pundak lawannya. Segores luka telah memerah pada
kulitnya. "Aku baru memberimu peringatan" berkata Witantra
"jika aku bersungguh-sungguh, maka pundakmu akan
patah" Pemimpin gerombolan yang kehilangan senjatanya itu
meloncat mundur. Dirabanya pundaknya. Dan terasa di
tangannya, darah telah menitik dari luka itu.
"Menyerahlah" geram Witantra. Pemimpin gerombolan
itu termangu-mangu. "Aku memperingatkan sekali lagi. Jika kau tidak
mendengarkan peringatanku ini, maka kami akan benarbenar
mengambil sikap untuk mengakhiri pertempuran ini
dengan memusnahkan kalian semuanya, karena disini kita
tidak menemukan Rajawali Penakluk"
Pemimpin gerombolan itu berdiri tegak seperti patung.
Sementara Witantra berkata "Berilah isyarat agar pemimpin
gerombolan yang menyerang kami dari luar kepungan
inipun menyadari bahwa mereka tidak akan berarti apa-apa
lagi, selain sekedar mengotori senjata kami"
Nampaknya memang tidak ada jalan untuk menghindar.
Ketika sekali lagi pemimpin gerombolan itu memandang
berkeliling, maka dilihatnya orang-orangnya menjadi
semakin terdesak meskipun jumlahnya masih memadai.
Tetapi lambat laun jumlah itu akan cepat menjadi susut,
tiga empat kali lipat dari jumlah susut para prajurit dan
pengawal. "Nah. apakah kau akan mengorbankan semua orangorangmu?"
bertanya Witantra. Pemimpin gerombolan itu termangu-mangu.
"Kami tidak akan berbuat apa-apa terhadap kalian"
berkata Witantra "karena yang kami perlukan adalah
Rajawali Penakluk itu"
Pemimpin gerombolan itu masih diam dicengkam oleh
kebingungan. Tetapi Witantra sengaja memberinya waktu. Ia tidak
berbuat apa-apa ketika pemimpin gerombolan itu sekali lagi
memperhatikan arena pertempuran yang semakin gawat
mereka orang-orangnya. "Kau yakin sekarang?" bertanya Witantra.
Sebenarnyalah bahwa pemimpin gerombolan itupun
tidak dapat ingkar melihat medan yang gawat itu. Ia
melihat orang-orangnya yang terluka mengerang kesakitan,
merangkak-rangkak dan berusaha menghindar dari
pertempuran. "Pasukan kami dapat membunuh setiap orang di dalam
gerombolanmu dan gerombolan yang datang
membantumu" berkata Witantra "tetapi apakah itu perlu
kami lakukan?" Pemimpin gerombolan itupun kemudian bertanya
"Apakah yang akan kau lakukan jika kami menyerah"
"Tidak apa-apa" berkata Witantra " selain menuntut
agar kalian merubah cara hidup kalian yang sesat ini"
"Omong kosong" geram orang itu.
"Apa gunanya aku menipumu, karena aku yakin bahwa
kami akan dapat memusnahkan kalian dalam sehari ini"
jawab Witantra. Orang itu tercenung sejenak. Namun akhirnya iapun
percaya bahwa pasukan yang datang itu akan dapat
menusnakan orang-orangnya dalam sehari itu.
Karena itu, maka ia memang tidak mempunyai pilihan
lain. Pemimpin gerombolan itupun memperhitungkan
bahwa pemimpin gerombolan yang lain, yang datang
menolongnya, tidak melihat keadaan sejelas seperti yang
dilihatnya, karena orang itu berada di dalam kelompok
yang menghadapi induk pasukan para prajurit dan
pengawal. Tetapi sebenarnyalah bahwa pemimpin gerombolan
itupun mengetahui keadaan yang dihadapinya. Ternyata
bahwa induk pasukan lawan yang nampaknya hanya terdiri
dari sejumlah kecil parajurit dan pengawal, namun ternyata
mereka mempunyai kekuatan yang tidak diduganya.
Namun demikian, karena ia tidak dapat melihat
pertempuran itu dalam lingkup yang lebih luas, maka ia
tidak dapat mengambil sikap.
Sementara itu, pemimpin gerombolan yang tinggal di
dalam barak yang didatangi oleh Mahisa Bungalan dan
pasukannya itu tidak dapat ingkar lagi, bahwa pasukannya
sendiri dan gerombolan yang datang untuk membantunya
itu tidak dapat bertahan lebih lama. Karena itulah, maka
iapun kemudian berkata kepada pengawalnya yang paling
dipercaya "Bunyikan isyarat"
"Isyarat apa?" pengawalnya bertanya.
"Bodoh kau. Kita hentikan perlawanan" berkata
pemimpin gerombolan itu. Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia bertanya "Apakah kita dapat
mempercayainya?" "Aku percaya kepadanya" jawab pemimpin gerombolan
itu. Lalu "Terkutuklah jika ia berbohong"
"Aku berkata sebenarnya" sahut Witantra "jika kau
berniat memenuhi permintaanku untuk menyerah, aku akan
turun dan berada dipasukan induk untuk memberikan
perintah, agar para prajurit dan pengawalpun menghentikan
pertempuran" "Kami akan menghentikan perlawanan" berkata
pemimpin gerombolan itu.
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Witantra kemudian meninggalkan tempat itu. Dengan
tergesa-gesa iapun menuruni lereng yang tidak terlalu
dalanwintuk menemui Mahisa Bungalan.
"Mereka akan menyerah" berkata Witantra.
"Apakah mereka tidak akan menipu kita?" bertanya
Mahisa Bungalan. "Aku kira tidak" jawab Witantra "jika mereka dengan
licik menjebak kita, maka kita tidak akan mengampuni
setiap orang yang ada di dalam barak itu"
Sejenak kemudian, ternyata mereka telah mendengar
isyarat. Dengan kentongan pemimpin gerombolan itu
memerintahkan orang-orangnya untuk menghentikan
perlawanan. Sementara Mahisa Bungalanpun telah
menyiapkan isyarat pula dengan panah sendaren, agar para
prajurit dan pengawal juga menghentikan pertempuran.
Beberapa orang prajurit telah melepaskan anak panah
keudara berturut-turut pada jarak yang agak jarang. Susul
menyusul untuk waktu yang agak panjang.
Dengan demikian, maka kedua belah pihak telah
mendapat aba-aba dari induk pasukan masing-masing untuk
menarik diri dari benturan senjata. Batikan gerombolan
yang datang membantu itupun mengerti pula isyarat itu,
sehingga merekapun kemudian telah bergeser menjauh.
Sementara para prajurit dan pengawal juga tidak
memburu mereka. Sementara itu, maka masih terdengar pula isyarat, bahwa
gerombolan itu ternyata telah menyarah.
Mahisa Bungalan dan Witantrapun kemudian naik
tebing untuk menemui pemimpin gerombolan itu. Mereka
masih minta agar pemimpin gerombolan itu
memerintahkan anak buah mereka untuk meletakkan
senjata. Meskipun agak ragu, tetapi perintah itupun telah
diberikan lewat suara kentongan. Sehingga dengan
demikian maka orang-orangnya telah mengumpulkan
senjata mereka dan sama sekali mengakhiri perlawanan.
Tetapi sebenarnyalah bahwa merekapun menyadari,
bagaimanapun juga mereka tidak akan dapat melawan
pasukan yang dipimpin oleh anak muda yang bernama
Mahisa Bungalan itu. Sesaat kemudian, medan yang semula hiruk pikuk oleh
suara dentang senjata, sorak kemenangan dan jerit
kesakitan, telah menjadi hening. Orang-orang yang berdiri
tegak bagaikan patung yang membeku. Mereka menunggu
perintah apa lagi yang harus mereka lakukan.
Mahisa Bungaianpun kemudian memerintahkan kepada
para pemimpin kelompok untuk menarik pasukan mereka
dalam himpunan gelar masing-masing. Sementara beberapa
orang dari merekapun telah berusaha menolong kawankawan
mereka yang terluka. Namun sekali-sekali masih juga terdengar gemeretak
gigi, bahwa beberapa orang terpaksa menjadi korban.
Bukan hanya terluka parah, tetapi ada diantara mereka
yang harus melepaskan nyawanya.
Tetapi korban dipihak gerombolan ternyata bagaikan
tidak terhitung lagi. Yang luka dan yang terbunuh
berserakkan silang melintang.
Mahisa Bungalanlah yang kemudian memanggil kedua
orang pemimpin gerombolan yang menyerah itu. Katanya
"Kita akan berbicara. Kumpulkan orang-orangmu dan
lakukanlah apa yang dapat kalian lakukan terhadap orang
orang kalian yang terluka. Kumpulkan mereka untuk menj
dapat pengobatan" Kedua orang itupun kemudian mengikuti Mahisa,
Bungalan dan Witantra sesudah mereka memerintahkan
pengawal kepercayaannya untuk mengurus orangorangnya.
Mengumpulkan mereka yang tidak cidera, tetapi
juga yang terluka dan terbunuh.
Di tempat yang terpisah, Mahisa Bungalan dan Witantra
berbicara langsung dengan kedua orang pemimpin
gerombolan yang sudah menyerah itu. Apa yang harus
mereka lakukan, dan apa yang mereka kehendaki.
"Kami masih menyayangkan jiwa orang-orang yangt
tidak tahu pasti, apa yang sedang mereka lakukan" berkata
Mahisa Bungalan. "Apakah kami semuanya akan ditangkap?" bertanya
pemimpin gerombolan yang tinggal dibarak itu.
"Apakah ada yang lebih baik dari menangkap kalian"
bertanya Mahisa Bungalan.
Kedua orang itu saling berpandangan. Namun keduanya
tidak dapat mengatakan sesuatu. Agaknya mereka memang
menganggap bahwa menyerah akan lebih baik dari
membunuh diri bersama-sama dalam jumlah yang besar.
Karena kedua orang itu tidak menjawab, maka Mahisa
Bungalanpun berkata "Aku akan berada disini sampai
besok, Kami akan mengambil keputusan, apa yang
sebaiknya kami lakukan. Aku minta, kalian dan orangorang
kalian tidak melakukan sesuatu yang akan
mencelakakan kalian semuanya"
"Kami, akan mengatur mereka" jawab pemimpin
gerombolan yang datang untuk membantu, namun yang
ternyata, merekapun telah dijenak oleh kekalahan yang
gawat. Setelah memberikan beberapa janji, maka Mahisa
Bungalan dan Witantrapun meninggalkan kedua orang itu
untuk mengatur pasukannya. Mereka kemudian ditarik
beberapa puluh langkah dari barak. Namun pasukan itu
masih tetap mengawasi barak itu dari segala arah.
Sementara beberapa orang petugas khusus telah berusaha
untuk menolong orang-orang yang terluka dan
mengumpulkan beberapa orang yang gugur dipeperangan
itu. Demikian pula yang dilakukan oleh orang-orang di
dalam barak gerombolan itu, Merekapun mengumpulkan
korban yang berserakan. Sementara beberapa orang
diantara merekapun berusaha menolong kawan-kawan
mereka yang terluka. Dalam pada itu, para prajurit dan pengawal telah
mengumpulkan senjata orang-orang yang menyerah itu dan
menimbunnya dibawah pengawasan. Dengan demikian,
maka para prajurit dan pengawal akan yakin, bahwa orangorang
dari gerombolan itu tidak akan melakukan perbuatan
yang dapat menjerat mereka ke dalam keadaan yang lebih
gawat lagi. palam suasana yang muram, para prajurit dan pengawal
terpaksa menguburkan kawan-kawan mereka yang terluka
senjata di tempat itu. Tetapi mereka berusaha untuk
mendapatkan tempat yang baik dan ditandai dengan ciri
yang akan mudah mereka kenal, sehingga apabila pada
suatu saat akan dilakukan upacara bagi mereka, maka
mereka akan segera dapat mengenal kembali kubur itu.
Malam itu, Mahisa Bungalan. Witantra dan beberapa
orang perwira telah mengadakan pembicaraan. Mereka
kemudian sepakat untuk tidak menangkap semua orang.
Hanya pemimpin mereka sajalah yang akan dibawa ke
Kediri, sementara orang-orangnya yang lain harus
menghentikan kegiatan mereka yang merugikan orang lain
itu. "Tentu akan merupakan satu kesulitan untuk membawa
mereka semuanya" berkata salah seorang perwira
"sementara beberapa orang masih ada di padepokan itu.
Namun agaknya cara itulah yang paling baik. Kita akan
dapat mengancam mereka, jika ternyata mereka masih
melakukan kegiatan serupa, maka mereka akan kita tumpas
habis disaat lain" "Aku sependapat" berkata perwira yang lain "kini
mereka nampaknya harus melihat kenyataan. Korban
terlalu banyak jatuh diantara mereka, sehingga kekuatan,
mereka telah susut jauh dari kekuatan mereka sebelumnya.
Yang lain mengangguk-angguk. Mereka tidak
mempunyai keberatan, meskipun ada juga semacam
dendam yang membara di hati mereka, karena beberapa
kawa mereka, yang berangkat bersama-sama, ternyata tidak
dapat kembali bersama dengan pasukan itu.
"Apaboleh buat" desis mereka. Dan merekapun
mengerti, bahwa akibat seperti itu akan dapat terjadi
terhadap setiap prajurit dan pengawal yang mengemban
tugas. Demikianlah, maka pasukan yang dibawah pimpinan
Mahisa Bungalan itu telah mengambil satu sikap terhadap
gerombolan yang nyaris mereka hancurkan. Dengan
demikian, maka pada pagi hari berikutnya, Mahisa
Bungalan telah menemui kedua orang pemimpin
gerombolan itu. Kepada mereka disampaikan, hasil
pembicaraan yang menyangkut kedua orang pemimpin
gerombolan itu. "Kalian berdua dan orang-orang terpenting dari
gerombolan kalian akan kami bawa ke Kediri" berkata
Mahisa Bungalan. "Kami tidak akan membantah" jawab salah seorang dari
kedua orang itu "tetapi kamipun mohon agar nasib kami
mendapat perlindungan"
"Aku akan berusaha" jawab Mahisa Bungalan "sebentar
lagi kami akan meninggalkan tempat ini. Kumpulkan
orang-orangmu. Aku ingin berbicara kepada mereka"
Demikianlah, maka di hadapan orang-orang yangj
semula termasuk dalam gerombolan yang terhitung kuat
itu, Mahisa Bungalan telah memberikan beberapa petunjuk
agar mereka meninggalkan cara hidup mereka yang hitam
itu. "Kalian akan dapat mencari jalan lain untuk memberi
makan dan pakaian keluarga kalian" berkata Mahisa
Bungalan "apa yang kalian lakukan selama ini adalah
perbuatan yang tercela. Kalian telah membuat orang lain
menjadi korban untuk kepentingan kalian"
Orang-orang itupun mendengarkan keterangan itu
dengan sungguh-sungguh. Mereka tidak dapat berbuat lain.
Seandainya mereka masih menggenggam senjata, mungkin
mereka akan bersikap lain. Mungkin mereka akan berteriak
untuk membungkam mulut Mahisa Bungalan. Katau
Mahisa Bungalan masih juga berbicara, mereka akan dapat
membungkam dengan cara lain, dengan ujung senjata
kalian. Tetapi senjata mereka telah mereka serahkan Mereka
sudah tidak berdaya lagi. Dengan demikian, maka mereka
tidak mempunyai pilihan lain daripada mendengarkan
keterang an Mahisa Bungalan itu.
Namun Mahisa Bungalanpun menyadari. Orang-orang
yang untuk waktu yang lama hidup dalam lingkungan yang
seolah-olah tidak terjamah oleh tata kehidupan dan
pergaulan antara manusia yang berusaha meningkatkan
peradaban mereka, tentu tidak akan dengan mudah
menerima pengertian-pengertian yang dikatakannya.
Karena itu, aka iapun kemudian juga mempergunakan
bahasa orang-rang yang sedang dihadapinya. Katanya "Kali
ini kalian kami ampuni. Tetapi kami berharap, bahwa
pesan-pesan kami dapat kalian lakukan. Jika tidak dan
ternyata kami masih melihat dan menjumpai kalian dalam
tingkah laku alian sekarang ini, maka kami tidak akan dapat
mengampuni kalian lagi. Kami akan menumpas setiap
orang yang tertinat dalam kegiatan yang bertentangan
dengan tata hidup yang tertib dan saling menghormati"
Terasa juga jantung mereka tersentuh oleh kata-kata itu.
Ancaman itu harus mereka pertimbangkan. Dan agaknya
ancaman itu terpahat lebih dalam di hati mereka dari pada
beberapa pengertian tentang tata kehidupan dan pergaulan
antar manusia, karena sebenarnyalah mereka masih terlalu
sulit untuk mengerti, bahwa merugikan orang lain itu
adalah salah satu perbuatan yang harus dikutuk.
Karena bagi mereka, kekuatan memiliki kemungkinan
terbesar di dalam hubungan antar manusia. Yang
menanglah yang menentukan atas yang lemah.
Beberapa kali Mahisa Bungalan menekankan pesanpesannya.
Sehingga Mahisa Bungalan yakin, bahwa orangorang
itu benar-benar mengerti yang dimaksudkan, dan
benar-benar ngeri mengalami hukuman yang bakal
dijatuhkan kepada mereka, apabila mereka melanggar pesan
pesan itu. Setelah selesai dengan pesan-pesannya, maka Mahisa
Bungalanpun kemudian minta diri. Dua orang pemimpin
mereka dari dua lingkungan akan dibawa oleh pasukan
Mahisa Bungalan bersama dua orang terpenting dari
lingkungan masing-masing. Sehingga dangan demikian,
maka Mahisa Bungalan akan menjadi lebih yakin lagi,
bahwa gerombolan itu tidak akan mampu lagi berbuat apaapa.
Selain segala macam pesan itu, Mahisa Bungalan masih
mengambil satu sikap yang sebenarnya sangat berat bagi
mereka. Semua harta kekayaan yang ada dan bernilai tinggi
akan dibawa oleh pasukan itu untuk diserahkan kepada
pimpinan di Kediri. Adalah sangat baik apabila barangbarang
itu dapat diserahkan kembali kepada yang
memilikinya. Tetapi jika hal itu tidak mungkin lagi
dilakukan, karena pemiliknya sudah tidak dapat mengenali
orang-orang mereka yang sudah terlalu lama hilang, atau
karena sebab-sebab lain, sehingga barang-barang itu tidak
dapat lagi sampai kepada para pemiliknya, maka barangbarang
itu akan dapat dipergunakan untuk kepentingan
yang lebih berarti bagi Kediri.
Demikianlah, maka ketika matahari naik lebih tinggi
lagi, pasukan itu meninggalkan barak gerombolan yang
dianggap paling kuat di daerah yang luas, yang seolah-olah
jarang sekali dapat dijangkau oleh tangan-tangan pasukan
yang dapat memberikan perlindungan kepada rakyat yang
lemah. "Kita akan menyusun rencana baru" berkata Ma hisa
Bungalan kepada Witantra "tetapi pada dasarnya, aku akan
datang kesetiap sarang seperti yang sudah kita"
"Apakah tidak ada cara lain" bertanya Witantra kepada
diri sendiri. Tetapi ia masih belum mengucapkan
pertanyaan itu kepada siapapun juga. rencanakan, dan yang
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah disepakati bersama dengan Pangeran Kuda
Padmadata" Witantra mengangguk-angguk. Tetapi iapun sadar,
bahwa perburuan ini tentu akan memakan waktu, beaya
dan korban yang tidak sedikit.
Ketika iring-iringan pasukan itu sampai di padepokan
kecil, yang seakan-akan merupakan pangkatan samentara di
daerah yang jauh itu, maka Pangeran Kuda Padmadatapun
telah berada di padepokan itu pula. Pengalaman pasukan
yang dipimpin oleh Pangeran Kuda Padmadata itupun
hampir bersamaan dengan yang terjadi atas Mahisa
Bungalan. Meskipun sebelumnya mereka tidak berjanji,
tetapi keputusan yang mereka ambilpun jampir bersamaan
pula. Seperti Mahisa Bungalan, maka Pangeran Kuda Pad
madata tidak membawa semua orang yang tergabung dalam
gerombolan yang didatanginya.
"Aku mencoba untuk memberikan peringatan-peringatan
keras terhadap mereka" berkata Pangeran Kuda Padmadata
"hanya tiga orang yang aku bawa bersama kami"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Dengan nada
datar ia berkata "Mudah-mudahan mereka menepati janji.
Jika tidak, kami terpaksa melakukan seperti apa yang telah
kami katakan kepada mereka"
"Ya" berkata Pangeran Kuda Padmadata "untuk
menegakkan wibawa Singasari dan Kediri. Tetapi juga
untuk kepentingan rakyat yang selaku diancam oleh
ketakutan" Untuk beberapa hari, maka pasukan yang di padepokan
itu beristirahat. Mereka menunggu kawan-kawan mereka
yang terluka menjadi sembuh kembali, atau setidaktidaknya
luka-luka itu menjadi bertambah ringan.
Namun demikian, Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda
Padmadata masih dalam pendirian mereka, bahwa
perburuan harus dilanjutkan.
Witantra yang sempat berbicara dengan Mahisa Agni,
Mahendra dan Ki Wastu menjadi prihatin. Jika usaha itu
dilanjutkan dengan cara yang sama, maka korban tenu akan
menjadi semakin banyak. Setiap kali Mahisa Bungalan dan
Pangeran Kuda Padmadata mendatangi sarang-sarang
gerombolan, maka tentu ada satu dua orang prajui dan
pengawal yang gugur. Meskipun mereka juga akan berhasil
membunuh jauh lebih banyak. Namun kematiian yang
demikian seharusnya dapat dihindari, karena yang mereka
cari sebenarnya adalah Ki Dukut Pakering.
Tetapi ketika hal ini mereka sampaikan kepada Mahisa
Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata, maka sikap
keduanyapun hampir sama. "Paman" berkata Mahisa Bungalan kepada Witantra
"bukankah dengan demikian kita akan mendapi hasil
ganda. Selain mencari Ki Dukut Pakering kita sudah
berbuat sesuatu bagi keamanan di daerah ini. Bukankah
dengan demikian kita sudah menghancurkan sarang-sarang
gerombolan yang bengis bagi rakyat di sekitarnya.
Bukankah dengan demikian kita dapat merampas kembal
apa yang pernah mereka rampas dari rakyat" Usaha kita
bukan sekedar mencari dan membunuh Ki Dukut Pakering.
Tetapi sekaligus dengan tugas yang tidak kalah pentingnya
dari mencari Ki Dukut itu sendiri"
Orang-orang tua yang menyertai mereka sampai ke
padepokan itu tidak dapat membantahnya. Yang dikatakan
anak-anak muda itu memang tidak terlalu salah. Tetapi
apakah tidak ada cara yang lebih baik agar korban dapat
dikurangi sejauh-jauhnya.
Namun orang-orang tua itu hanya dapat menggelenggelengkan
kepala, ketika anak-anak muda itu berbicara di
hadapan para prajurit dan pengawal. Mereka telah berhasil
menempa hati para prajurit dan pengawal, sehingga
merekapun justru mengharap, kapan mereka akan
berangkat lagi untuk menumpas tindakan-indakan terkutuk
dari orang-orang yang sama sekali tidak bertumpu pada
peradaban manusia itu. Akhirnya, datang pula saatnya Mahisa Bungalan dan
Pangeran Kuda Padmadata berangkat lagi dalam tugas
mereka. Dari orang-orang yang tertawan mereka mendapat
petunjuk-petunjuk tempat-tempat lain yang mungkin
menjadi tempat persembunyian Ki Dukut Pakering.
Karena itu, maka pada saatnya, Mahisa Bungalan dan
Pangeran Kuda Padmadata telah menyiapkan pasukan
mesing-masing. Seperti sebelumnya, maka merekapun
menuju kesasaran yang berbeda. Dan seperti yang pernah
mereka lakukan, orang-orang tuapun tidak sampai hati
melepaskan mereka pargi tanpa pangawasan.
Witantra tetap pada pasukan Mahisa Bungalan, dan
Mahisa Agni tetap pada pasukan Pangeran Kuda
Padmadata. Sementara Mahendra, anak-anaknya yang lain
dan Ki Wastu tetap berada di padepokan.
Sebenarnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mendesak ayahnya sekali lagi, agar mereka diperkenankan
mengikuti perjalanan kedua yang dilakukan oleh Mahisa
Bungalan. Namun seperti yang terdahulu, ayahnya tetap
berkeberatan untuk melepaskan mereka pergi, karena
menurut ceritera yang didengarnya, maka medan yang di
hadapi oleh pasukan-pasukan itu adalah meden yang cukup
berat. "jadi kapan kita akan pergi?" bertanya Mahisa Murti.
"Kita tidak pergi bertamasya" jawab ayahnya "aku akan
memberitahukan kepada kalian, jika menurut
perhitunganku hal itu memungkinkan. Tetapi jika tidak,
maka kita akan tetap menunggu di sini. Itu bukan berarti
bahwa kita tidak berbuat apa-apa. Disini kita mambantu
menjaga para tawanan. Bahkan mungkin Ki Dukut
Pakering yang kita cari kemana-mana itu justru datang
kemari dengan maksud yang paling buruk yang pernah
direncanakan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat
memaksa. Karena itu, betapapun mereka sangat kecewa,
mereka harus tetap tinggal di padepokan itu bersama
ayahnya dan beberapa orang prajurit dan pengawal yang
mengawasi beberapa orang tawanan bersama para cantrik
padepokan itu. Tetapi yang terjadi kemudianpun tidak berbeda dengan
yang baru saja dilakukan oleh Mahisa Bungalan dan
Pangeran Kuda Padmadata. Mereka hanya menemukan
sarang gerombolan tanpa orang yang menyebut dirinya
Rajawali Penakluk. Merekapun hanya menemukan
kematian tanpa arti, karena mereka tidak berhasil
menangkap buruan mereka. Namun demikian, Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda
Padmadata masih merasa bahwa mereka telah berbuat
sesuatu. Mereka telah berhasil membuat orang-orang itu
mengakui dan menyesali kesalahan mereka, sehingga
mereka berjanji tidak akan melakukannya lagi.
Dalam pada itu, daerah yang bagaikan diaduk oleh
prahara karena kehadiran pasukan Mahisa Bungalan dan
Pangeran Kuda Padmadata di daerah yang luas, telah
menjadi perhatian beberapa orang yang meskipun tidak
langsung, namun ikut berkepentingan. Orang-orang yang
memiliki ilmu yang cukup, namun yang telah memilih
daerah hitam sebagai arena hidup mereka.
Yang memperhatikan segala peristiwa itu dengan darah
yang mendidih adalah Ki Dukut Pakering sendiri.
Meskipun ia tidak berada di antara orang-orang yang
dihancurkan oleh pasukan Singasari dan Kediri itu, namun
ia mendengar apa yang telah terjadi. Pasukan yang telah
dikumpulkannya untuk mendukung usahanya itu ternyata
telah hancur berserakan. Tetapi itu adalah suatu hal yang sangat wajar. Mereka
tidak mempunyai kekuatan untuk bertahan terhadap
pasukan Kediri, apalagi pasukan Singasari.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah ada orang-orang
yang lebih baik yang dapat dihubungi oleh Ki Dukut
Pakering. Namun dengan demikian, Ki Dukut harus
berjuang mengatasi hambatan dari dalam dirinya sendiri.
"Aku harus terjun ke dalam warna yang kelam itu pula"
berkata Ki Dukut di dalam hatinya.
Tetapi ia sudah tidak mempunyai pilihan lain. Apa yang
dilakukan selama ini, sebenarnyalah bahwa tidak berbeda
dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang hidup di
dunia yang hitam. Karena itu, maka Ki Dukutpun segera memutuskan
bahwa ia akan berada di tengah-tengah orang-orang yang
disebut golongan hitam. "Aku akan hadir diantara mereka" berkata Ki Dukut
"meskipun mungkin memerlukan pengorbanan perasaan"
Demikianlah, maka Ki Dukutpun telah membulatkan
tekadnya. Berita kehancuran dari gerombolan-gerombolan
yang pernah menjadi tempat penyangga niatnya itupun
merupakan dorongan baginya untuk memilih tempat,
karena tidak ada tempat lain yang akan dapat menerimanya
lagi. "Kepada penjahat-penjahat kecil aku dapat memberikan
janji-janji kecil" berkata Ki Dukut kepada dirinya sendiri
"mereka sudah berangan-angan dan berpengharapan jika
aku berbicara tentang istana Pangeran Kuda Padmadata
yang menyimpan beberapa puluh keping emas, berlian dan
pusaka-pusaka. Tetapi kepada orang-orang yang jauh lebih
besar, akupun harus memberikan harapan-harapan yang
besar" Karena itu, maka yang kemudian akan disebut-sebut oleh
Ki Dukut dengan orang-orang yang dianggapnya cukup
besar dilingkungan orang-orang berilmu hitam, adalah
Kediri itu sendiri. "Kita sudah terlalu lama berada di bawah kekuasaan
Singasari" berkata Ki Dukut Pakering dengan seorang yang
dikenal bernama Macan Wahan.
Macan Wahan itu tertawa. Katanya "Apa yang dapat
kita lakukan?" "Kau berhati kerdil" berkata Ki Dukut yang datang ke
padepokan Macan Wahan. "Jangan berkata begitu Ki Dukut" jawab Macan Wahan
"kau yang telah terusir dari istana muridmu itu, nampaknya
menjadi sakit hati dan berusaha untuk mendapatkan
dukungan yang kuat agar kau dapat membalas dendam"
"Pandanganmu cukup tajam" jawab Ki Dukut "tetapi
ada yang kurang. Kau belum menyebut apakah
kepentinganku dengan kedua orang muridku itu"
"Katakan" "Niatku untuk merebut Kediri dari tangan Singasari
itulah yang membekali aku untuk memasuki lingkungan
para bangsawan di Kediri" berkata Ki Dukut "tetapi aku
gagal, karena seorang dari muridku itu ternyata seorang
pengecut" "Kuda Padmadata?" bertanya Macan Wahan.
"Ya. Adiknya memiliki keberanian yang dapat aku
banggakan. Aku berusaha untuk memupuknya. Tetapi
keberanian itu telah terbentur pada sikap kakaknya. Bahkan
kakaknya telah sampai hati menjerumuskan adiknya ke
lubang kematian" "Kau berkata sebenarnya?" bertanya Macan Wahan.
Ki Dukut menjadi berdebar-debar. Menurut djgaannya,
tidak banyak orang yang mengetahui persoalan yang
sebenarnya antara dirinya dengan Pangeran Kuda
Padmadata. Tidak banyak orang yang tahu persoalan yang
timbul antara dirinya dengan seorang perempuan yang
ternyata anak Ki Wastu yang kemudian diperisterikan oleh
Pangeran Kuda Padmadata. Karena itu, maka iapun mencoba menjajagi "Menurut
pendapatmu. apakah aku telah berdusta?"
"Aku tidak mengatakan demikian. Tetapi kau dapat saja
membuat ceritera yang sangat menarik tentang dirimu
sendiri dan murid-muridmu itu" jawab Macan Wahan.
Ki Dukut tidak segera menjawab. Ia masih tetap
bimbang, apakah sebenarnya Macan Wahan sudah
mengetahui keadaan dirinya yang sebenarnya.
Namun Ki Dukut Pakering itu menarik nafas dalamdalam
ketika Macan Wahan itu berkata "Ki Dukut. Tentu
aku tidak akan dapat mempercayai ceritera yang tersebar di
Kediri, bahwa kematian Pangeran Kuda Rukmasanti itu
karena satu kecelakaan. Karena ada perampok yang
memasuki istana. Bahkan ada diantara mereka yang
terbunuh. Tetapi sudah tentu bahwa akupus tidak dapat
langsung mempercayai segala macan ceriteramu tentang
kedua murid-muridmu itu"
Ki Dukutpun kemudian tertawa. Katanya "Memana
aneh. Aku sudah barang tentu akan tertawa mendengar
ceritera tentang perampok-perampok itu. Tetapi
sebenarnyalah, bahwa Pangeran Kuda Padmadata memiliki
kecakapan yang licik untuk membunuh adiknya. Ada
beberapa alasan. Ia merasa iri, bahwa adiknya memiliki
kemampuan yang lebih tinggi dari Pangeran Kuda
Padmadata. Tetapi yang lebih parah adalah perasaan
cemburu yang membakar jantungnya. Namun ada pula
perselisihan pendapat diantara mereka tentang masa depan
Kediri" "Kau kira aku berkepentingan dengan masadepan Kediri
dan Singasari" bertanya Macan Wahan.
"Ada atau tidak ada, tetapi apakah kira-kira sama sekali
tidak ada rasa tanggung jawabmu barang setitik terhadap
tanah kelahiranmu?" bertanya Ki Dukut.
"He, kau kira aku lahir dimana?" tiba-tiba Macan
Wahan tertawa "aku tidak lahir di tlatah Kediri atau
Singasari" "Dimana kau lahir?" bertanya Ki Dukut.
"Aku lahir diatas tanah perdikan. Seperti sekarang aku
merasa tidak berada dibawah pemerintahan Kediri maupun
Singasari" jawab Macan Wahan.
Ki Dukut menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya
"Tetapi bagaimanapun juga. sebenarnya kau dapat berbuat
sesuatu. Aku masih akan selalu berusaha, agar Kediri dapat
bangkit untuk melepaskan diri dari Singasari. Bahkan aku
ingin mengembahkan kebesaran Kediri dengan
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menghapuskan arti Singasari dan menjadikan kembali
sebagai Tanah Pakuwon. dibawah pimpinan seorang
Akuwu" "Kau sedang bermimpi" desis Macan Wahan.
"Tidak. Orang-orang Kediri sekarang sedang tidur
nyenyak. Soalnya, bagaimana membangunkan mereka.
Aku sama sekali tidak mempunyai satu keinginan intuk
mendapatkan derajad atau pangkat apapun juga, selain
didorong oleh satu perasaan tanggung jawab terhadap bumi
kelahiranku" berkata Ki Dukut. "orang yang akan bangkit
untuk mengedalikan pemerintahan di Kediri. Semula aku
telah mempersiapkan kakak beradik Kuda Padmadata dan
Kuda Rukmasanti untuk mengimbangi dua orang saudara
sepupu yang memerintah di Singasari. Aku yakin, kedua
Pangeran dari Kediri itu akan mempunyai Pengaruh jauh
lebih besar di Kediri itu sendiri, sehingga kekuatan di Kediri
akan bangkit. Tetapi sayang, salah seorang dari kedua
Pangeran itu ternyata tidak jujur" desis Ki Dukut.
"Apakah kau masih mungkin dapat berhubungan dengan
para bangsawan di Kediri?" bertanya Macan Wahan.
"Aku yang tidak percaya lagi kepada para bangsawan.
Mereka masih tetap hidup senang dalam keadaan yang
seperti sekarang ini. Itulah kelicikan orang-orang Singasari,
sehingga para bangsawan di Kediri seolah-olah telah
tertidur karenanya di atas alas keresahan rakyatnya.
Macan Wahan mengerutkan keningnya. Ia tidak segera
mengetahui arah pembicaraan Ki Dukut Pakering,
Meskipun ia tidak segera bertanya, tetapi terasa oleh Ki
Dukut, bahwa pertanyaan itu telah menyangkut di hatinya,
"Kita harus lebih teliti melihat kenyataan yang terjadi di
daerah Kediri" berkata Ki Dukut kemudian "karena itu aku
menganggap bahwa kekuatan yang terbaik tidak terletak
pada para bangsawan yang telah dibius dengan hidup
bermewah-mewah oleh orang-orang Singasari. Tetapi kita
harus menggerakkan rakyat yang hampir kehilangan nilainilai
kemanusiaannya oleh penderitaan yang tidak
tertanggungkan" Macan Wahan mengerutkan keningnya. Namun katanya
kemudian "Aku menjadi semakin bingung. Apakah
keresahan diantara rakyat Kediri itu terasa ditumbuhkan
oleh sikap para bangsawan. He, apakah kau tidak
mendengar, betapa para perampok-perampok kerdil telah
menggelisahkan rakyat dipadesan. Bukankah Kediri justru
merasa wajib untuk menindas para perampok ditlatah
Kediri seperti yang terjadi akhir-akhir ini?"
Jantung Ki Dukut berdesir. Ia mengerti, bahwa Singasari
dan Kediri agaknya sudah mengambil sikap tegas terlalu,
kenapa kau datang kemari" bertanya Macan Wahan.
"Kita dapat berbicara tentang masa depan Kediri" jawab
Ki Dukut. Macan Wahan tertawa pula. Katanya "Kau memang
orang aneh. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak
mempunyai kepentingan apa-apa dengan Kediri"
"Aku sudah tidak mempunyai pamrih apapun bagi diriku
sendiri" sahut Ki Dukut.
"Terserah kepadamu" gumam Macan Wahan "tetapi
agaknya aku memang berbeda. Jika aku berbuat sesuatu,
tentu aku mempunyai pamrih"
"Untuk perbuatan yang lain dari ungkapan rasa
tanggung jawab terhadap bumi kelahiran, terserah. Tetapi
apakah kau juga mempunyai pamrih pribadi jika kau
berbuat sesuatu atas Kediri" bertanya Ki Dukut.
"Tentu. Apalagi aku memang merasa bukan orang yang
lahir dalam lingkup kekuasaan Kediri" jawab Macan
Wahan. "Jika pamrih pribadi itu ada, apakah kau dapat
menyebutkannya?" bertanya Ki Dukut.
"Tentu. Misalnya, bahwa aku akan dikukuhkan
kedudukanku sebagai pemimpin atas tanah yang aku
anggap tanah perdikan ini. Bahwa dengan daerah yang dua
tiga kali lebih luas dari yang aku kuasai sekarang. Mungkin
seluas Tanah Pakuwon atau mendekati kekuasaan seorang
Akuwu di atas tanah yang tidak dibawah perintah" berkata
Macan Wahan. "Itu berlebih-lebihan. Kekuasaanmu akan melampaui
kekuasaan-seorang Akuwu" desis Ki Dukut.
"Apa pedulimu" Tetapi sudahlah, jangan bermimpi. Aku
juga tidak ingin mimpi. Marilah kita berbicara tentang
persoalan-persoalan yang sewajarnya kita hadapi"
"Persoalan Kediri itupun persoalan wajar. Tetapi aku
kira yang kau katakan itupun tidak mustahil, asal kita
sendiri dapat ikut menentukan jalannya pemerintahan
kelak" berkata Ki Dukut.
"Maksudmu?" bertanya Macan Wahan.
"Kita harus mempunyai pengaruh yang kuat terhadap
ladap para perampok yang telah digerakkannya dengan
nama Rajawali Penakluk"
Namun ia berkata "Perampok-perampok yang malang,
tetapi kau tahu, apakah sebenarnya yang telah memaksa
mereka menjadi perampok" Memang agak berbeda dengan
apa yang kau lakukan. Kau tidak dapat disebut perampok
seperti mereka, karena kau memang tidak merampok dan
menyamun dalam pengertian sewajarnya"
"Jangan menyinggung perasaanku" potong Macan
Wahan. "Bukan maksudku. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa
perampok-perampok kerdil yang tumbuh dimana-mana di
tlatah Kediri itu adalah gambaran keresahan rakyat. Mereka
tidak lagi mengerti apa yang sebaiknya mereka lakukan.
Karena itulah, maka merekapun dengan mudah
dipengaruhi oleh beberapa orang penjahat kecil. Mereka
telah dibakar dengan keterangan-keterangan yang memang
dapat membangkitkan kedengkian dan iri hati. Perampokperampok
kecil itu dengan tajam telah memberikan
gambaran yang tajam tentang perbedaan tataran kehidupan
rakyat Kediri. Karena itu maka mereka yang Kehilangan
nalar, akan dengan cepat mengambil keputusan, benar atau
salah" "Lalu, apakah kau akan berbuat serupa?" beritanya
Macan Wahan. "Ya. Tetapi untuk kepentingan yang besar bagi kejayaan
Kediri" jawab Ki Dukut "kita harus menggerakkan mereka"
"Mereka siapa?" bertanya Macan Wahan.
"Rakyat Kediri yang malang" jawab Ki Dukut.
Macan Wahan termangu-mangu sejenak. Sementara Ki
Dukutpun melanjutkannya "Rakyat harus berbuat sesuatu
tidak sebagai perampok-perampok kecil yang justru
merugikan rakyat Kediri sendiri. Bukan harus saling
memeras, saling menghisap dan saling merampas. Tetapi
mereka harus bangkit untuk membangunkan para
bangsawan yang telah tertidur. Barulah, jika para
bangsawan itu telah terbangun dari mimpi mereka yang
nikmat, maka Kediri akan bangkit kembali untuk
menghancurkan Singasari yang semula tidak lebih dari
sebuah Pakuwon, yang dipimpin oleh Tunggul Ametung,
dan yang kemudian direbut oleh anak perampok bernama
Ken Arok itu" "Lalu apa keuntungannya?" bertanya Macan Wahan.
"Kau ikut menjadi penentu. Karena itu, marilah kita
berdiri di depan. Kita akan dapat menentukan ujud yang
paling baik dari Kediri mendatang. Para bangsawan yang
terbangun dari mimpi itu, akan terterima kasih kepada kita
jika kelak mereka berhasil. Dengan demikian, meskipun
kita tidak berdiri di paling depan, juga tidak mungkin untuk
berada di atas tahta, namun kita telah ikut membuat pola
dari satu pemerintahan yang besar di Kediri. Kita akan
dapat ikut menantukan, siapakah yang sudah dianggap
berjasa, dan mendapat imbalan yang sepadan. Mungkin
tanah perdikan yang luas. Mungkin pangkat dan derajad,
sebagai Akuwu misalnya. Atau imbalan-imbalan lain yang
memadai" "Apakah modal kita" Padepokan kecilku ini?" bertanya
Macan Wahan. "Ya. Tetapi sudah barang tentu kita tidak akan berbuat
bodoh. Kita akan mulai dengan perbuatan-perbuatan kecil
yang akan dapat menarik perhatian. Mungkin kita akan
dapat menghimpun orang-orang sesat yang menjadi
perampok-perampok kerdil itu"
"Untuk apa?" bertanya Macan Wahan.
"Ada dua keuntungan" jawab Ki Dukut "Pertama kita
akan mendapat kekuatan. Kedua, rakyat akan berterima
kasih kepada kita, karena kita berhasil menghentikan
kelakuan mereka" Macan Wahan tertawa. Katanya "Orang-orang Kediri
telah melakukannya lebih dahulu. Mereka telah menyapu
para penjahat kecil itu"
"Tidak apa. Biarlah mereka melakukannya sekarang.
Tetapi kita akan dapat melakukannya dengan cara lain.
Kekerasan akan menumbuhkan dendam. Dan orang-orang
yang mendendam itu akan kita pergunakan. Selebihnya,
bukankah kita mempunyai beberapa orang kawan yang
tinggal di padepokan-padepokan yang terpencar?" bertanya
Ki Dukut. "Padepokan yang mana?" bertanya Macan Wahan.
Anjing Kematian 3 Seandainya Mereka Bisa Bicara If Only They Could Talk Karya James Herriot Pendekar Remaja 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama