Ceritasilat Novel Online

Pelangi Di Langit Singosari 30

03 Pelangi Di Langit Singosari Karya S H Mintardja Bagian 30


"O, Dan dimalam hari?"
Prajurit itu menjadi heran. Selama ini masih belum ada perubahan apa-apa. Namun demikian ia menjawab juga,"Lima orang tuanku dan dua orang penghubung. Tetapi pada saat-saat yang dianggap gawat, kadang-kadang ditambah lagi dengan dua orang pengawal."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya, meski-pun ia hampir tidak mendengar jawaban itu. Apalagi ketika pengawal itu menambahkan,"Bahkan kadang-kadang masih ditambah lagi apabila perlu."
Anusapati masih mengangguk-angguk. Bahkan masih tersenyum-senyum meski-pun angan-angannya sama sekali tidak melekat pada jawaban prajurit-prajurit itu.
"Jagalah baik-baik," katanya kemudian,"aku akan pergi sebentar."
Sekali lagi prajurit itu menjadi heran. Pangeran Pati itu hampir tidak pernah memberikan pesan seperti itu disiangi hari. Jika ia pergi, maka ia-pun pergi sajalah.Jika ia datang, ia-pun hanya sekedar berpaling dan tersenyum sedikit. Memang kadang-kadang Putera Mahkota itu menghampiri mereka dan bercakap-cakap. Tetapi hampir tidak pernah berpesan seperti itu disiang hari, selain apabila memang sedang timbul persoalan. Itu-pun dimalam hari, seperti pada saat-saat terjadi hal-hal yang aneh disekitar bangsal ini.
Tetapi prajurit itu tidak menjawab. Ia hanya mengangguk dalam-dalam. Demikian juga seorang kawannya. Dengan wajah yang aneh keduanya memandang Anusapati yang melangkah perlahan-lahan meninggalkan mereka."Tampaknya Pangeran Pati itu sedang gelisah," berkata seorang prajurit.
"Ya. Akhir-akhir ini tampaknya sibuk sekali. Hilir mudik setiap kali."
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Dalam pada itu, Anusapati berjalan melintasi halaman istana Singasari menuju ke bangsal pamannya Anusapati selama ia berada di Singasari. Betapa-pun ia tergesa-gesa untuk segera menyampaikan ceritera tentang keris yang kini sudah ada ditangannya, namun langkah Pangeran Pati itu tampaknya tenang-tenang saja, dan bahkan seakan-akan tanpa maksud sama sekali.
Sementara itu, sepasang mata memandanginya dengan tajamnya dari balik gerumbul perdu agak jauh dari bangsal Mahisa Agni. Ketika ia melihat Anusapati dari kejauhan, ia-pun segera berlindung dibalik segerumbul pohon bunga soka merah.
Tetapi orang itu terkejut ketika tiba-tiba saja seorang juru Jaman yang membawa sebuah cangkul telah berdiri di sebelahnya sambil menggamitnya.
"Gila, kau lagi," ia menggeram.
Juru taman itu adalah Sumekar. Katanya sambil tersenyum,"Kau harus berterima kasih kepadaku, karena aku tidak menyebutmu akan membunuhku malam itu."
Orang itu memandang Sumekar dengan tajamnya. Betapa dendam memancar dari sorot matanya itu.
"Jangan memandang aku begitu," berkata Sumekar,"aku dapat mati kaku disini."
"Persetan. Kau memang harus mati."
"Tidak. Kau sudah gagal membunuh aku. Seharusnya, kau tidak boleh berusaha mengulanginya."
"Apa katamu" Nanti malam aku akan membunuhmu."
"Benar?" "Ya, pasti." Sumekar tidak segera menyahut. Dilontarkannya pandangan matanya kehalaman, dan ternyata Anusapati sudah tidak tampak lagi.
Prajurit itu-pun kemudian berpaling juga. Dan ia-pun kehilangan Anusapati pula.
"Kau memang gila," bentak prajurit itu,"nanti malam aku akan benar-benar membunuhmu."
"Jangan." "Aku tidak peduli."
"Jika demikian, sekarang aku akan melaporkan kepada para prajurit pengawal, bahwa kaulah yang akan membunuhku malam itu."
"Gila," prajurit itu membelalakkan matanya.
"Jangan, nanti aku akan berteriak."
Prajurit itu menjadi ragu-ragu.Jika juru taman itu benar-benar berteriak, maka para pengawal akan mendengarnya. Mereka akan berlari-larian datang dan ia kehilangan kesempatan untuk ingkar.
"Apakah aku harus berteriak."
Tiba-tiba prajurit itu tersenyum,"Aku tidak bersungguh-sungguh. Sebenarnya malam itu-pun aku tidak ingin membunuhmu. Aku hanya ingin membuatmu jera, agar kau tidak menipuku lagi. Tetapi kau sudah berteriak. Seandainya kau tidak berteriak, aku-pun tidak akan benar-benar mencekikmu. Aku bukan pembunuh seperti yang kau sangka."
"Benar begitu?"
"Ya. Bukanlah aku seorang prajurit. Prajurit pengawal" Tugasku adalah melindungi setiap orang didalam istana ini dan tentu bukan untuk membunuhmu."
Tatapan Sumekar memancarkan keragu-raguan.
"Kau ragu-ragu," prajurit itu tertawa pendek,"tentu kau ragu-ragu. Tetapi tidak apa, pada saatnya kau akan mengetahui bahwa aku berkata sebenarnya. Aku benar-benar tidak akan membunuh. Selama aku menjadi seorang prajurit, aku belum pernah membunuh. Apalagi membunuh seorang juru taman, sedang dipeperangan-pun aku tidak membunuh."
Sumekar memandang orang itu sejenak.Namun ia-pun ikut tertawa pula. Katanya,"Apa benar yang kau katakan?"
"Tentu, apakah kau masih belum percaya."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu,"Baiklah. Aku percaya. Dan sekarang, apakah yang akan kau lakukan disini?"
"Dan kau?" prajurit itu-pun bertanya.
Sumekar mengerutkan keningnya. Katanya,"Bukankah aku seorang juru taman yang bertugas di halaman ini. Aku mengurusi semua tanaman bersama beberapa orang kawanku. Tanaman perdu, pohon-pohon bunga, sampai pohon sawo kecik dan pohon beringin. Itu semua adalah tugas kami."
Prajurit itu mengangguk-angguk.
"Nah, aku 'minta diri. Aku akan bekerja lagi."
Prajurit itu tersenyum meski-pun didalam hati ia mengumpat-umpat. Ia tidak melihat kemana Anusapati menghilang. Tetapi ia hampir pasti, bahwa Anusapati masuk kedalam bangsal Mahisa Agni.
Sejenak kemudian Sumekar-pun meninggalkan prajurit itu seorang diri. Namun langkahnya tertegun ketika Sumekar mendengar prajurit itu berkata,"He, nanti malam aku pergi kepondokmu.Aku akan membawa makanan yang paling enak buatmu."
"Benar?" bertanya Sumekar.
"Ya. Apakah kau tinggal dibelakang diantara para kamba Istana ini?"
"Ya, aku tinggal digubug paling ujung."
Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya."Tunggulah, aku pasti datang."
"Kau sangat baik. Aku minta maaf bahwa aku pernah berprasangka buruk terhadapmu."
"Aku nanti malam bertugas. Tetapi lewat tengah malam, aku sudah beristirahat. Aku akan datang saat itu."
"Lewat tengah malam?" bertanya Sumekar,"kenapa lewat tengah malam" Tetangga-tetangga kadang-kadang marah jika mereka terganggu dimalam hari. Mereka bekerja sehari penuh, sehingga dimalam hari mereka ingin beristirahat."
"Apakah kau sangka aku akan berteriak-teriak?"
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Lalu jawabnya,"Baiklah jika demikian. Aku akan menunggu."
"Baiklah, pergilah kepekerjaanmu."
Sepeninggal Sumekarj prajurit itu menggeram. Katanya kepada diri sendiri,"Nanti malam aku harus dapat membunuhnya dengan cara apapun. Tanpa mengeluarkan tenaga aku akan dapat membunuhnya. Tetapi ia tidak boleh mendapat kesempatan untuk berteriak. Ia harus terdiam pada serangan yang pertama."
Sambil menggeretakkan giginya prajurit itu-pun kemudian berlalu. Ia tidak mendapatkan bahan apa-pun juga tentang Anusapati. Juru taman itu telah mengganggunya lagi.
Namun ia sama sekali tidak menyangka bahwa apabila benar-benar ia berusaha untuk membunuh juru taman itu, maka pada suatu ketika juru taman itu akan kehilangan kesabarannya dan bahkan juru taman itu akan dapat membunuhnya tanpa mengadakan perlawanan apapun.
Dalam pada itu, Anusapati-pun telah sampai kebangsal pamannya.Dengan ragu-ragu Anusapati menceriterakan, apa yang sudah terjadi.
"Keris itu sekarang sudah aku simpan baik-baik paman."
Mahisa Agni-pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,"Dengan demikian, kau sudah mengurangi kemungkinan pahit yang dapat terjadi atasmu Anusapati. Keris mPu Gandring adalah keris yang sangat tajam. Bukan saja tajam ujungnya, tetapi juga tuahnya. Setiap goresan betapa-pun kecilnya, akan berarti maut."
"Ya paman," jawab Anusapati. Lalu,"tetapi yang sekarang menjadi pikiranku, apakah yang dapat dikatakan oleh ibunda Permaisuri apabila ayahanda bertanya kepadanya tentang keris itu."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
"Mungkin ayahanda Sri Rajasa dapat menjadi sangat marah dan menimpakan kesalahannya kepada ibunda."
Mahisa Agni merenung sejenak. Namun kemudian katanya,"Aku kira ia tidak akan berani berbuat begitu terhadap ibundamu Anusapati. Selain Sri Rajasa harus mengingat asal usul kekuasaannya yang besar itu sekarang, juga karena ibundamu mempunyai seorang anak laki-laki yang digelari oleh rakyat Singasari sebagai Kesatria Putih. Disamping Kesatria Putih, ibundamu adalah adikku, yang ikut serta dalam perjuangan mempersatukan tanah Singasari. Setiap prajurit Singasari mengetahuinya dan setiap prajurit Singasari mengakuinya."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia-pun kemudian bertanya,"Jadi apakah tidak mungkin ayahanda mengambil suatu tindakan mendahului peristiwa-peristiwa yang dapat terjadi menurut perhitungannya?"
"Maksudmu, Sri Rajasa mengambil tindakan terhadap ibundamu dan lebih daripada itu, berusaha untuk mendapatkan keris itu kembali?"
"Demikianlah paman."
"Memang mungkin Anusapati," berkata Mahisa Agni,"namun jika demikian, maka persoalannya akan menjadi terbuka. Setiap prajurit di halaman istana ini harus memilih. Dan Sri Rajasa tidak akan berani menghadapi akibat itu pada saat ini."
Anusapati mengerutkan keningnya. Namun ia masih tetap dibayangi oleh kegelisahan tentang ibunya,"Paman, jika ayahanda Sri Rajasa tidak dapat mengendalikan kemarahannya, maka yang pertama-tama akan mengalami akibatnya adalah ibunda. Apakah aku dapat berdiam diri jika ayahanda Sri Rajasa berbuat sesuatu atas ibunda Ken Dedes meski-pun ibunda seorang Permaisuri, yang didalam persoalan keris itu pasti akan mempunyai pertimbangan tersendiri?"
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Kalanya,"Tentu kita tidak dapat membiarkan ibundamu menjadi sasaran kemarahan Sri Rajasa. Tetapi bukankah itu baru merupakan dugaan" Meski-pun demikian Anusapati, aku akan pergi kebangsal Permaisuri. Aku akan pura-pura menengoknya dan menungguinya. Jika pada saat itu Sri Rajasa datang, aku akan dapat membantu ibundamu didalam persoalan keris yang kau bawa itu." Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu,"tetapi bukankah keris itu sudah bertahun-tahun ada ditangan ibundamu dan Sri Rajasa tidak pernah bertanya sesuatu tentang keris itu" Tentu tidak dengan tiba-tiba saja ia datang hari ini dan mempersoalkannya. Kecuali jika ada seseorang yang melihat keris itu ditanganmu."
"Aku kira tidak ada seorang-pun yang melihatnya paman."
"Jika demikian tentu tidak ada pula yang menyampaikannya kepada Sri Rajasa, dan ia-pun tidak akan berbuat apa-apa hari ini."
"Mudah-mudahan. Tetapi aku berharap agar paman dapat menengok ibunda barang sejenak. Mungkin ada orang yang melihatnya diluar pengetahuanku. Aku akan segera kembali kebangsal. Jika ayahanda langsung mencari keris itu kebangsal. maka isteriku akan mati ketakutan."
"Dan jika kau ada di bangsalmu?"
"Tentu aku akan mempertahankan keris itu. Jika ayahanda memaksa apaboleh buat. Seperti kata paman Mahisa Agni, persoalannya akan menjadi persoalan terbuka. Dan aku akan kehilangan baktiku kepada ayahanda Sri Rajasa. Aku berharap bahwa orang-orang Singasari akan mengetahui bahwa aku berbuat dengan wajar. Bukan berbuat sebagai seorang anak yang durhaka."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Itulah tekad yang sebenarnya yang tersimpan didada Anusapati. Tetapi Mahisa Agni masih berharap bahwa hal itu tidak akan segera terjadi. Meski-pun demikian, Anusapati memang harus berhati-hati menanggapi keadaan yang berkembang dengan pesatnya.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahisa Agni ingin melihat keris itu.Apakah benar keris yang diberikan kepada Anusapati itu keris mPu Gandring. Mungkin ibunya hanya sekedar menenangkan hatinya, sementara keris itu masih tetap disimpannya sendiri.
Karena itu, maka Mahisa Agni-pun kemudian berkata,"Anusapati, apakah aku dapat melihat keris itu."
"Tentu paman. Apabila paman berkenan melihat keris itu, aku persilahkan setiap saat paman datang kebangsalku."
"Aku akan datang sore nanti Anusapati. Setelah aku menengok ibundamu, maka aku akan singgah di bangsalmu."
"Silahkan paman. Aku akan menerima paman dengan senang nati, bahkan aku ingin mendapat keterangan dari paman Mahisa Agni, apakah benar keris itu keris mPu Gandring yang telah mengambil nyawa ayahanda Akuwu Tunggul Ametung."
Dada Mahisa Agni berdesir. Ternyata Anusapati-pun mempunyai keragu-raguan meski-pun tidak terlampau besar.
Demikianlah maka Anusapati-pun kemudian minta diri. Sementara Mahisa Agni-pun kemudian berkemas untuk pergi menghadap Permaisuri.
Dengan dada yang berdebar-debar Mahisa Agni memasuki bilik Ken Dedes. Dilihatnya adik angkatnya itu terbaring di pembaringan berselimut kain panjang yang berwarna kelam. Sementara dua orang emban duduk disebelah pintu bilik yang tidak tertutup rapat,"Kau kakang," desis Ken Dedes.
"Berbaringlah," berkata Mahisa Agni sambil melangkah masuk.
Ken Dedes-pun kemudian menyuruh kedua embannya itu meninggalkannya.
"Rasa-rasanya aku benar-benar menjadi sakit kakang," desis Permaisuri itu,"kepalaku menjadi pening dan badanku menjadi dingin."
Mahisa Agni-pun kemudian duduk diatas sebuah dingklik kayu yang dialasi dengan kulit domba yang lunak. Sambil memandang wajah Ken Dedes yang buram Mahisa Agni berkata,"Tuan Puteri terlampau memikirkan keadaan yang berkembang dengan cepatnya saat ini. Sebaiknya tuan Puteri mencoba melupakannya."
Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata dengan nada yang dalam dan perlahan-lahan seakan-akan hanya ingin didengarnya sendiri,"Tetapi bagaimana aku akan melupakannya.Baru saja Anusapati datang kepadaku dan minta keris mPu Gandring itu. Aku sudah mencoba untuk mengingkarinya, bahwa akulah yang membawa keris itu. Tetapi aku tidak berhasil."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya,"Mungkin itu bukan kesalahan Pangeran Pati, tetapi hambalah yang bersalah. Namun bukan maksud hamba untuk mendorong Pangeran Pati berbuat sesuatu. Tetapi sebenarnyalah bahwa hamba ingin pengamanan yang lebih jauh lagi, karena keris itu akan dapat menjadi bahaya yang sebenarnya bagi Pangeran Pati."
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang Mahisa Agni berkata selanjutnya,"Tetapi hamba masih belum memikirkan bahwa hal itu memang dapat menimbulkan kepedihan pada tuan Puteri. Kegelisahan dan mungkin juga kecemasan, jika kemudian tuanku Sri Rajasa datang untuk mengambil keris itu."
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.
"Itulah yang ingin hamba tanyakan kepada tuan Puteri apakah hal itu yang membuat tuan Puteri gelisah dan bahkan merasa benar-benar menjadi sakit."
Ken Dedes menggelengkan kepalanya. Katanya,"Bukan kakang. Aku sudah pasrah kepada Yang Maha Agung. Aku akan mengatakan bahwa keris itu hilang. Aku tidak tahu lagi dimana aku menyimpannya karena sudah bertahun-tahun tidak aku hiraukan lagi."
"Apakah tuanku Sri Rajasa akan mempercayainya?"
"Mungkin tidak. Tetapi aku bertekad untuk tidak mengatakan yang sebenarnya apa-pun yang akan terjadi atasku."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.Pada suatu saat, Ken Dedes memang sampai pada suatu pilihan, bahwa ia harus menyelamatkan anaknya.
"Apakah tuan Puteri benar-benar sudah mengambil keputusan demikian?"
"Ya. Aku sudah mengambil keputusan."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya,"Tuan Puteri. Hamba rasa seandainya tuan Puteri berkata demikian, Sri Rajasa tidak akan dapat memaksa. Selama hamba berada di Singasari, sudah tentu hamba akan ikut bertanggung jawab.Jika pada suatu saat Sri Rajasa mengambil sikap yang keras, maka apaboleh buat. Tentu hamba tidak akan membiarkan tuan Puteri mengalami sesuatu akibat keris itu."
Tiba-tiba saja Ken Dedes bangkit duduk dibibir pembaringan."Apa yang akan kau lakukan kakang?"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya,"Hamba tidak ingin berbuat apa-apa tuan Puteri. Tetapi adalah kuwajiban hamba melindungi tuan Puteri, karena hamba adalah saudara tua tuan Puteri. Memang yang paling berhak melindungi tuan Puteri adalah suami tuan Puteri, didalam hal ini adalah tuanku Sri Rajasa. Tetapi jika bahaya itu datang justru dari Sri Rajasa, maka aku masih berhak untuk berbuat sesuatu jika tuan Puteri menghendakinya."
Ken Dedes memandang Mahisa Agni sejenak. Namun kemudian wajahnya segera tertunduk. Terbayang didalam rongga matanya Mahisa Agni itu dimasa mudanya. Ketika ia hampir saja menjadi korban nafsu Kuda Sempana yang ingin melarikannya dari Panawijen dan mengambilnya langsung dari bendungan ketika ia sedang mencuci. Mahisa Agni yang tiba-tiba muncul dari balik tanggul telah menyelamatkannya, setelah Wiraprana tidak berdaya berbuat sesuatu atas Kuda Sempana, yang saat itu menjadi prajurit Tumapel.
Kemudian dengan penuh tanggung jawab, Mahisa Agni selalu melindunginya. Bahkan kemudian ia mendengar pula, bahwa Mahisa Agni pernah berperang tanding melawan Mahendra dengan menyebut dirinya sebagai Wiraprana, sehingga ia berhasil mengalahkannya. Dan pada saat ia diambil dengan kekerasan dari Panawijen, Mahisa Agni hampir saja terbunuh oleh sebuah keris justru ia berusaha mempertahankannya.
Dan kini, ketika umurnya telah bertambah dengan puluhan tahun, Mahisa Agni masih tetap melindunginya sebagai seorang kakak yang bertanggung jawab, meski-pun sebenarnya ia hanyalah seorang saudara angkat.
Namun Ken Dedes tidak dapat melihat tembus kepusat jantung Mahisa Agni. Betapa hati anak muda yang bernama Mahisa Agni itu terguncang ketika ia mendengar dengan telinganya sendiri, bahwa Ken Dedes, gadis padepokan Panawijen itu mencintai seorang anak muda bernama Wiraprana. Pada saat itu Mahisa Agni hampir menjadi gila karenanya, dan bahkan ia serdirilah yang hampir saja membinasakan Wiraprana karena hatinya yang gelap.
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Masa muda yang penuh dengan khayalan-khayalan yang manis itu kini telah lalu. Panawijen yang hijau subur itu tinggallah kenangan, karena daerah itu kini menjadi kering kerontang. Panawijen telah menjadi kering karena kutuk ayahnya yang tidak dapat menahan luapan kemarahan dan memecahkan bendungan yang sanggup mengairi tanah persawahan. Meski-pun kini ada padukuhan baru yang hijau di pinggir padang Karautan, namun padukuhan yang baru ini tidak dapat memberikan kenangan semanis Panawijen yang lama, Panawijen tempat ia dibesarkan sampai saatnya ia menjadi seorang gadis remaja.
Dalam pada itu selagi Ken Dedes tenggelam didalam dunia kenangan, Mahisa Agni-pun duduk sambil menundukkan kepalanya pula. Dalam keheningan itu-pun ia telah dibayangi oleh berbagai persoalan. Tetapi berbeda dengan Ken Dedes yang mengenangkan masa lalunya, Mahisa Agni sedang mereka-reka apakah yang dapat dilakukan seandainya Sri Rajasa tiba-tiba saja mengambil sikap yang keras dan terbuka.
"Mungkin Sri Rajasa telah mempersiapkan diri," berkata Mahisa Agni didalam hatinya,"lewat beberapa orang Senapati yang dapat dipengaruhinya untuk menyingkirkan Anusapati, ia sudah menyiapkan sepasukan prajurit untuk bertindak dengan cepat didalam istana ini. Jika persoalannya telah dapat dikuasainya didalam istana, maka ia akan dapat menyebarkan keterangan sekehendak hatinya, dan memberikan kepercayaan kepada prajurit yang tersebar di seluruh Singasari.Bahkan para Panglima yang ada dipusat pemerintahan ini-pun akan dapat kelabuinya. Sri Rajasa dapat saja menuduh Anusapati melawan kehendaknya dan tidak lagi tunduk kepadanya. Dan ia masih dapat membuat alasan-alasan yang bagaimana-pun juga."
Namun dalam pada itu, selagi Ken Dedes mengenangkan masa-masa remajanya yang indah, dan yang menjadi semakin indah didalam bayangan masa lampau, dan selagi Mahisa Agni sibuk dengan perhitungan yang mendebarkan, Sri Rajasa sendiri sedang duduk merenung. Semua orang yang mendekatinya diusirnya, seakan-akan ia ingin duduk dalam kesepian. Dalam dunianya yang terasing.
Seperti Ken Dedes dan Mahisa Agni, maka yang bermain didalam diri Sri Rajasa-pun adalah angan-angannya.Angan-angan yang bergeser dari waktu kewaktu. Dari masa lampau kemasa kini dan kemasa yang mendatang.
Dengan nafas yang berat, Sri Rajasa duduk bersandar tiang di serambi belakang bangsalnya yang sepi. Dilihatnya dedaunan yang bergerak ditiup angin. Rasa-rasanya angin yang bertiup perlahan-lahan itu telah mengusap keningnya pula, seperti usapan tangan yang lembut.
Ken Arok, yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi itu belum pernah merasakan kelembutan tangan ibunya di masa kanak-anak. Sejak bayi ia sudah tersisih dari keluarganya dan hidup dalam lingkungan yang tidak terpuji.
Dalam suatu dunia yang gelap. Ia hidup dari rumah seorang pencuri, berpindah ke rumah seorang penjudi dan perampok. Kemudian hidup dipandang Karautan dan menghantui sesamanya. Sehingga pada suatu saat ia terlempar kedalam istana yang megah ini.
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu menarik nafas dalam-dalam. Adalah jauh berbeda dengan angan-angan Mahisa Agni dan Anusapati, bahkan Ken Dedes.Pada saat terakhir, Sri Rajasa seakan-akan mulai mampu melihat kedalam dirinya sendiri. Seakan-akan ia dihadapkan pada sebuah bayangan yang jelas tentang dirinya dan segala perbuatannya.
"Sudah cukup," tiba-tiba saja ia berdesah,"aku sudah cukup lama menerima kurnia Yang Maha Agung. Mungkin aku memang kekasih dewa-dewa. Tetapi aku tidak dapat ingkar melihat kenyataan pada diri Ken Dedes. Ia adalah perempuan pinunjul yang pantas melahirkan seorang besar di tanah ini."
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang kedalam semak-semak yang rimbun, ia tidak melihat lagi warna bunga-bungaan yang beraneka. Tetapi yang membayang adalah semak-semak di padang Karautan. Semak yang bahkan kadang-kadang berduri. Tetapi ia sama sekali tidak menghiraukan. Apabila ia ingin bersembunyi, maka ia-pun menyusup saja kedalamnya tanpa menghiraukan kulitnya yang berjalur-jalur merah tersangkut duri.
"Betapa hidup ini bagaikan mimpi di malam-malam yang panjang dan terputus-putus," berkata Ken Arok didalam hatinya."Seperti hidupnya sendiri bagaikan mimpi yang patah-patah hampir tidak dapat dipercaya. Sebagai seorang anak liar di padang Karautan, kini ia cepat duduk dengan megahnya di atas tahta Singasari."
"Aku telah menyia-nyiakan kesempatan yang ada padaku. Didalam kamukten ini aku tidak berusaha membersihkan diriku, tetapi aku justru lebih banyak menodai diriku sendiri dengan berbagai macam kesenangan dan cita-cita yang menyimpang dari keinginan Yang Maha Agung," desisnya ketika terbayang di wajahnya seorang gadis yang ditemuinya dihutan perburuan dan berhasil menjebaknya. Seperti kehidupan liar yang ditempuhnya dimasa mudanya, dengan memperkosa gadis-gadis, maka ia-pun terjebak dalam kehidupan yang liar bukan atas kehendaknya. Maka ia-pun terjebak untuk mengambil Ken Umang menjadi isterinya, sehingga lahirlah anak demi anak. Namun kini ia melihat, bahwa ia tidak dapat lagi mengelakkan pengaruh perempuan itu yang justru semakin lama terasa semakin kuat.
Ken Arok bergeser setapak. Angan-angannya menjadi semakin tajam menyoroti dirinya sendiri. Dan ia-pun melihat dirinya sendiri kini telah berdiri di tengah-engah arus sungai yang deras. Berhenti atau terus, ia sudah terlanjur basah."Jika aku harus berjalan terus, aku tidak lagi berbuat karena suatu keyakinan." ia berkata kepada diri sendiri,"yang aku lakukan hanyalah karena semuanya sudah terlanjur. Dan didalam saat yang paling sulit, tentu aku tidak akan dapat melepaskan Tohjaya yang tamak itu."
Namun Ken Arok tidak juga dapat menyalahkan Tohjaya. Ia telah ikut membentuk Tohjaya menjadi seorang pemimpin. Seorang yang bercita-cita terlampau tinggi tanpa mengingat alas yang diinjaknya. Jika perlu, ia akan berdiri diatas alas mayat Anusapati dan siapa-pun juga untuk mencapai singgasana Singasari.
Bayangan-angan itulah agaknya yang selalu menghantui Ken Arok. Bayangan-angan yang saling berbenturan antara warna-warna yang bertentangan didalam hatinya.
Namun dalam pada itu, selagi Ken Arok itu merenung, terdengar desir perlahan-lahan mendekatinya. Ketika ia berpaling dilihatnya dikejauhan, Tohjaya berdiri termangu-mangu. Agaknya ia sudah mendengar dari para prajurit yang bertugas, bahwa Sri Rajasa sedang tidak mau dikunjungi oleh siapapun. Tetapi agaknya Tohjaya masih ingin juga mencobanya.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Justru pergolakan di dalam hatinya itulah yang telah mendorongnya untuk memanggil Tohjaya menghadap, karena ia tidak mau dengan tiba-tiba saja bersikap lain.
Dengan dada yang berdebar-debar Tohjaya mendekati Ken Arok. Beberapa langkah daripadanya ia berhenti termangu-mangu. Baru ketika Ken Arok mengangguk, ia maju lagi beberapa langkah.
"Kenapa kau ragu-ragu?" bertanya Ken Arok.
"Ampun ayahanda," sahut Tohjaya,"para prajurit mengatakan bahwa ayahanda sedang ingin duduk sendiri."
"Ya, aku tidak ingin diganggu oleh masalah-masalah yang membuat kepalaku bertambah pening.Aku ingin beristirahat barang sejenak, karena badanku-pun terasa kurang enak."
"Ampun ayahanda. Hamba tidak ingin membicarakan sesuatu. Hamba hanya ingin datang menghadap."
Sri Rajasa mengangguk-angguk."Baiklah. Jika demikian, duduklah sebaik-baiknya. Aku agak segan berbicara tentang persoalan-persoalan yang dapat memberati pikiranku hari ini."
Tohjaya mengerutkan keningnya. Namun ia-pun berkata,"Ampun ayahanda.Hamba memang tidak ingin mempersoalkan sesuatu. Tetapi hamba hanya ingin sekedar bertanya."
"Apa?" "Apakah sakit ibunda Permaisuri masih cukup parah ayahanda?"
"O," Ken Arok merenung sejenak. Lalu,"aku tidak tahu. Mudah-mudahan sakitnya sudah sembuh sama sekali."
"Sebenarnya ibunda Ken Umang ingin menghadap ibunda Permaisuri untuk sekedar menengoknya. Tetapi ibunda Ken Umang agak merasa takut kalau-kalau ibunda Permaisuri tidak menerimanya."
"Kenapa tidak menerima?"
"Mungkin karena ibunda Permaisuri ingin beristirahat, tetapi mungkin juga karena ibunda tidak ingin bertemu dan berbicara didalam keadaan itu dengan ibunda Ken Umang."
"Aku tidak tahu. Aku tidak tahu," sahut Sri Rajasa.
"Itulah sebabnya maka ibunda mohon pertimbangan ayahanda."
Sri Rajasa tidak segera menjawab. Sebenarnya ia tidak senang mendengar pertanyaan itu. Ia sedang menenteramkan hatinya dan menerawang hidupnya sendiri. Namun demikian ia tidak sampai hati untuk menolak pertanyaan itu.
Karena itu, maka Sri Rajasa kemudian menjawab, meski-pun seakan-akan asal saja terlontar dari mulutnya,"jangan pergi sekarang."
Tohjaya mengerutkan keningnya. Tetapi menilik sikap Sri Rajasa, Tohjaya-pun sadar, bahwa ayahandanya itu sedang dirisaukan oleh sesuatu yang tidak dimengertinya.
"Mungkin kakanda Anusapati," berkata Tohjaya didalam hatinya. Baginya setiap persoalan yang tidak menyenangkan bagi ayahandanya, adalah persoalan yang ditumbuhkan oleh Anusapati.
Namun jawaban itu sebenarnya bagi Sri Rajasa adalah jawaban yang dapat diucapkannya waktu itu.Dengan demikian maka Tohjaya pasti tidak akan bertanya apa-pun lagi.
Tetapi ternyata bahwa Tohjaya masih tetap tidak beranjak. Bahkan sejengkal ia bergerak maju sambil bertanya,"Ayahanda. Tampaknya ayahanda sedang memikirkan sesuatu. Jika berkenan dihati ayahanda, apakah hamba dapat mengetahuinya dan apakah hamba dapat ikut membantu memecahkannya?"
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Tetapi ia-pun kemudian mencoba tersenyum dan menjawab,"Tidak Tohjaya. Tidak ada apa-apa yang sedang aku pikirkan. Aku hanya ingin beristisahat karena aku terlampau lelah."
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun dihatinya ia masih saja diganggu oleh sikap dan kerut-merut di wajah ayahandanya.
"Tohjaya," berkata Sri Rajasa,"tinggalkan aku seorang diri.Sebentar lagi aku akan beristirahat dipembaringan. Rasa-rasanya badanku terlampau letih beberapa hari ini."
Tohjaya memandang ayahanda dengan heran. Biasanya ayahnya tidak pernah tampak begitu letih dan lesu. Sri Rajasa adalah seorang yang penuh gairah menanggapi kehidupan ini. Wajahnya selalu memancarkan luapan perasaan dan matanya bagaikan menyala. Sri Rajasa tidak pernah menjadi tampak terlalu murung dan merasa seperti saat itu.
"Ayahanda," tiba-tiba saja Tohjaya bertanya,"apakah ayahanda merasa bahwa badan ayahanda tidak enak?"
"Tidak Tohjaya, aku tidak apa-apa. Aku hanya letih. Akhir-akhir ini aku menghadapi banyak persoalan yang menyangkut kelangsungan hidup Singasari."
"Tetapi ayahanda tidak memberitahukan kepada hamba. Jika hamba mengetahuinya, maka biarlah hamba ikut memikirkannya. Selama ini ayahanda selalu mempersoalkan keadaan Singasari dengan hamba. Dan ayahanda menganggap bahwa pikiran hamba baik juga dipertimbangkan oleh ayahanda."
"Ya. Aku memang memerlukan bantuan pikiranmu. Aku-pun akan mendengarkan pendapatmu. Tetapi tidak sekarang. Aku ingin beristirahat. Aku ingin tidur senyenyak-nyenyaknya."
Tohjaya menjadi semakin heran. Tetapi ia tidak mau menimbulkan kegelisahan yang semakin mengganggu ayahandanya, sehingga karena itu ia tidak mendesaknya lagi. Bahkan ia mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. Katanya,"Ayahanda. Mungkin ayahanda memang terlampau lelah. Sudah lama ayahanda tidak pergi berburu."
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu tidak menyahut.
"Apakah ayahanda tidak ingin berburu" Dengan demikian ayahanda dapat melupakan kelelahan yang agaknya mulai mengganggu."
Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam.
"Jika ayahanda berkenan, hamba akan ikut serta berburu untuk mendapatkan kesegaran baru."
Sri Rajasa memandang Tohjaya sejenak. Lalu katanya,"Dalam keadaan serupa ini, aku tidak dapat meninggalkan Istana."
"Bukankah ada para Panglima yang dapat ayahanda serahi pemerintahan?"
Sri Rajasa menggelengkan kepalanya. Namun tanpa disangkanya Tohjaya berkata,"O, apakah ayahanda berpikir tentang pamanda Mahisa Agni yang kini sedang berada di istana ini. Ayahanda dapat mengusirnya. Biarlah ia segera pergi dan kembali ke Kediri."
Sri Rajasa tidak segera menjawab. Dan karena itu Tohjaya berkaca terus,"Ayahanda, kehadiran pamanda Mahisa Agni memang memberikan pengaruh yang buruk di istana ini. Kakanda Anusapati selalu saja hilir mudik dari bangsalnya sendiri kebangsal ibunda Permaisuri, kemudian ke bangsal pamanda Mahisa Agni. Bukan hanya sekali dua kali sehari, tetapi berulang kali. Kemudian pamanda Mahisa Agni pergi mengunjunginya dan kemudian pergi ke bangsal ibunda Permaisuri."
"Ken Dedes sedang sakit Tohjaya. Adalah wajar sekali jika pamanmu Mahisa Agni menungguinya. Ia adalah saudara tua ibundamu Permaisuri. Kegelisahan Anusapati-pun dapat dimengerti. Bukankah ibunya sedang sakit. Mungkin ia memang diminta oleh ibundanya untuk menghubungi pamannya. Tidak hanya sekali, mungkin sekali dua kali sehari."
"Tetapi tentu bukan karena sakit ibunda Permaisuri saja ayahanda."
"Jangan berprasangka terlalu jauh Tohjaya."
"Tetapi sikap kakanda Anusapati sudah menjadi semakin memuakkan. Bukankah kita sudah berkeputusan untuk mengusirnya dari kedudukannya dan dari istana ini" Ayahanda, jika ayahanda tidak cepat bertindak didalam keadaan ini, maka ia akan sempat memperbaiki kedudukannya."
Dada Sri Rajasa berdesir. Ia memang pernah mengatakan, bahwa sebenarnya Anusapati tidak diperlukannya lagi. Tetapi ketika ia mendengarnya hal itu sekali lagi, rasa-rasanya sesuatu bergetar dihatinya. Sekilas terbayang cahaya yang silau pada diri Ken Dedes. Dan Ken Arok pernah mendengar bahwa cahaya yang demikian adalah pertanda bahwa orang itu akan meneteskan keturunan agung.
Tohjaya memandang wajah ayahnya yang berubah-rubah itu. Kadang-kadang tegang, namun kadang-kadang seolah-olah Sri Rajasa sudah pasrah pada keadaan yang terjadi. Bahkan sekali-sekali ia memejamkan matanya dan melihat didalam kekelaman, dunia yang tidak dapat dimengertinya membentang dihadapannya.
"Ayahanda," Tohjaya menjadi cemas.
"Aku memang lelah sekali Tohjaya," jawab Sri Rajasa,"aku ingin beristirahat sejenak. Apakah keperluanmu sudah selesai?"
"Hamba tidak mempunyai keperluan yang khusus ayahanda.Hamba hanya ingin menghadap ayahanda. Barangkali ada titah ayahanda yang harus hamba lakukan." Tohjaya berhenti sejenak. Lalu,"atau, jatuhkanlah perintah atas namba ayahanda. Hamba akan melakukannya. Dengan, beberapa orang prajurit, hamba dapat menyelesaikan tugas ini."
"Maksudmu membunuh Anusapati?"
Dada Tohjaya berdesir. Tetapi ia mengangguk sambil menyahut,"Hamba ayahanda."
"Ah, kau. Apakah kau masih saja berusaha menyembunyikan kenyataan. Beberapa kali usaha itu dilakukan, tetapi selalu gagal. Kiai Kisi bahkan telah terbunuh. Tidak mustahil bahwa sebenarnya Anusapati telah menciun rencana itu."
"Aku memang pernah mendengar tentang Kiai Kisi meski-pun tidak begitu jelas. Tetapi itu tentu karena kebodohannya."
"Kemudian sepasukan prajurit yang berusaha membinasakan Kesatria Putih. Namun justru senjata prajurit-prajurit yang menyamar itu tertumpuk dipintu gerbang pada pagi harinya. Apakah kau masih mempunyai rencana lain?"
"Ayahanda, hamba tidak ingin berpura-pura.Jika hamba harus membunuhnya, maka hamba akan datang dengan dada tengadah dan membunuhnya. Melawan atau tidak melawan."
"Kau akan menjadikan persoalan ini terbuka?"
Tohjaya ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia mengangguk."Ya. Apaboleh buat."
"Kau memang bodoh sekali Tohjaya."
Tohjaya terkejut mendengar kata-kata yang keras itu. Hampir tidak pernah Sri Rajasa mengatakan demikian tentang dirinya. Karena itu untuk beberapa saat lamanya ia tidak dapat berkata apa-pun juga.
"Tohjaya," berkata Sri Rajasa,"saat ini Mahisa Agni berada di Singasari. Ia dapat berbuat banyak apabila kita terlibat dalam benturan terbuka."
"Tentu tidak ayahanda. Jika ayahanda menjatuhkan perintah kepada para Panglima untuk menangkapnya. Betapa-pun kuatnya pamanda Mahisa Agni, namun para Panglima adalah bukan orang kebanyakan pula."
"Tohjaya," tiba-tiba suara Sri Rajasa merendah,"tinggalkan aku seorang diri. Aku lelah sekali. Aku sedang segan sekali memikirkan apa-pun juga, termasuk Anusapati dan Mahisa Agni. Bahkan tentang Singasari sekalipun."
Tohjaya menjadi semakin termangu-mangu. Ia tidak dapat mengerti sikap ayahandanya yang belum pernah dijumpainya itu.
Namun kesimpulan dihatinya adalah, bahwa ayahandanya memang benar-benar sedang terlalu lelah dan benar-benar ingin beristirahat.
Karena itu, maka ia-pun kemudian berkata,"Sudahlah ayahanda.Agaknya ayahanda memang benar-benar harus beristirahat.Perkenankan hamba mohon diri."
Sri Rajasa mengangguk."Ya. Aku memang akan beristirahat sama sekali tanpa persoalan apapun."
"Baiklah ayahanda. Dan hamba akan mengatakannya kepada ibunda Ken Umang, bahwa untuk saat ini ibunda Ken Umang tidak sebaiknya pergi kebangsal ibunda Permaisuri."
"Ya," jawab Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu agar Tohjaya tidak mempersoalkannya lagi.
Tohjaya-pun segera minta diri. Di halaman bangsal Sri Rajasa ia berhenti sejenak. Dilihatnya seorang prajurit berdiri termangu-mangu dikejauhan.
"He," katanya kepada pengawalnya,"apakah prajurit itu ingin menghadap aku?"
"Hamba akan bertanya kepadanya tuanku," jawab prajurit itu.
Sejenak kemudian seorang pengawal Tohjaya mendekati prajurit yang termangu-mangu itu. Ketika ia bertanya kepadanya, maka prajurit itu menjawab,"Aku akan menyampaikan sesuatu kepada tuanku Tohjaya."
"Marilah. Tuanku Tohjaya melihat kau termangu-mangu. Karena itu aku diperintahkannya bertanya kepadamu."
Prajurit yang termangu-mangu itu-pun kemudian dibawa menghadap. Dengan dahi yang berkerut merut Tohjaya bertanya,"Apa yang akan kau katakan?"
"Ampun tuanku," berkata prajurit itu dengan ragu-ragu.
"Jangan ragu-ragu. Katakan yang ingin kau katakan. Bahkan seandainya kau mempunyai permintaan sekalipun."
"Hamba tuanku. Memang ada yang ingin hamba katakan." ia berhenti sejenak. Lalu,"apakah hamba diperkenankan mengucapkannya."
"Katakan. Mungkin tentang kuda atau tentang senjata atau kau prajurit yang sering ikut bersamaku berburu?"
"Ya tuanku. Hamba kadang-kadang mengawal tuanku didalam dan diluar istana."
"Aku tahu." "Hamba, tuanku, sebenarnyalah hamba ingin mengatakan sesuatu tentang Putera Mahkota."
"He?" Tohjaya terbelalak.
"Tentang kakanda tuanku itu. Kesibukannya luar biasa setelah pamanda Mahisa Agni ada di halaman istana."
Tohjaya tidak menyahut. Dibiarkannya orang itu berbicara terus. Katanya,"Apakah tuanku tidak menaruh perhatian terhadap kesibukan kakanda tuanku itu?"
Tohjaya menganguk dan berkata,"Tentu, tentu."
"Nah, hamba menyaksikan sendiri, tuanku Pangeran Pati itu selalu mondar mandir dari bangsal tuan puteri Ken Dedes kebangsal pamanda tuanku Mahisa Agni."
"Aku sudah tahu. Tetapi apa yang akan kau katakan selanjutnya?"
"O," orang itu menjadi kecewa,"jadi tuanku sudah mengetahuinya."
"Aku sudah tahu. Sekarang katakan yang ingin kau katakan tentang kakanda Anusapati," geram Tohjaya.
"Itulah yang akan hamba katakan tuanku."
"Hanya itu?" "Hamba tuanku."
Wajah Tohjaya menegang sesaat. Namun kemudian sambil mendorong orang itu dengan kakinya sehingga orang itu terjatuh berguling ditanah.
"Pergi kau penjilat bodoh," bentak Tohjaya yang hatinya memang sedang gelap,"aku tidak perlu keteranganmu itu."
Orang itu dengan takutnya bangkit dan duduk ditanah. Tetapi ia sama sekali tidak berani memandang lagi wajah Tohjaya yang sedang marah."
Tohjaya-pun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Dengan tergesa-gesa ia-pun pergi meninggalkan prajurit yang duduk dengan kepala tunduk itu diiringi oleh para pengawalnya.
Ketika Tohjaya sudah tidak tampak lagi, maka orang tu-pun segera berdiri sambil mengumpat perlahan-lahan.Tetapi ia tidak berani menunjukkan kemarahannya itu kepada orang lain. Sekali ia berpaling memandang para prajurit yang bertugas di bangsal Sri Rajasa. Ketika ia melihat prajurit-prajurit itu tersenyum, sekali lagi ia mengumpat.
Dengan tergesa-gesa ia-pun kemudian meninggalkan halaman bangsal itu.Mulutnya tidak hentinya mengumpat, meski-pun tidak ada seorang-pun yang mendengarnya.
Prajurit itu tertegun ketika ia mendengar suara seseorang yang tertawa dibalik gerumbul. Ketika ia berpaling dilihatnya seorang juru taman yang berjongkok sambil menyiangi sebatang pohon. Namun prajurit itu tahu pasti bahwa orang itulah yang sedang tertawa.
"Kenapa kau tertawa he?" prajurit itu membentak.
Juru taman itu berpaling sambil menjawab,"Aku tidak bermaksud tertawa. Tetapi aku tidak dapat menahannya."
"Gila. Aku bunuh kau," orang itu membelalakkan matanya,"kau juru taman yang gila itu. Seharusnya kau benar-benar sudah mati."
Wajah juru taman itu menjadi pucat.
"Jangan menyesal. Aku memang akan membunuhmu."
"jangan." "Apa peduliku. Aku akan mencekikmu."
"Aku akan berteriak."
"Persetan." "Prajurit-prajurit itu akan datang kemari. Dan aku akan berceritera bahwa pada malam hari itu, kau pulalah yang akan membunuhku. Sekarang kau berusaha memfitnah Pangeran Pati dengan mengatakan ceritera-ceritera bohong kepada tuanku Tohjaya. Kau dapat dituduh mengadu domba."
"Gila, gila kau."
"Nah, aku akan berteriak sekarang. Matamu menjadi liar. Kau benar-benar akan membunuhku."
Mata prajurit itu memang menjadi liar. Dipandanginya prajurit-prajurit yang bertugas didepan bangsal. Belum begitu jauh.
Jika juru taman itu berteriak, diantara mereka pasti akan datang dan mengusut persoalannya.
"Aku akan berteriak," juru taman itu mengulang.
"Jangan, jangan."
"Apa peduliku. Aku akan berteriak."
"Jangan, jangan. Aku tidak benar-benar akan membunuhmu. Bukankah aku sudah mengatakan. Aku akan berkunjung ke rumahmu membawa oleh-oleh buat anak binimu."
"Aku tidak mempunyai anak bini. Aku hidup sendiri."
"O, jika demikian aku akan membawa oleh-oleh buatmu."
"Bawalah uang sebanyak-banyaknya. Aku lebih senang kau membawa uang."
Prajurit itu membelalakkan matanya. Tetapi ia-pun segera memaksa dirinya untuk tersenyum.
"Baik, baik. Aku akan membawa uang buatmu. Aku benar-benar akan datang malam nanti. O, malam nanti adalah malam yang baik untuk berkunjung ke rumahmu."
"Terima kasih. Aku akan menunggumu."
Prajurit itu tidak menyahut lagi. Sambil mengkibas-kibaskan pakaiannya yang kotor oleh debu maka ia-pun kemudian meninggalkan juru taman itu sendiri.
Sepeninggal prajurit itu, Sumekar-pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya didalam hati,"Tentu bukan ia sendiri penjilat didalam istana ini. Tentu masih banyak orang-orang yang berusaha mengambil keuntungan dari setiap perkembangan persoalan. Jika penjilat-penjilat semacam itu masih juga mendapat kesempatan, maka istana ini pasti akan segera terbakar."
Sejenak Sumekar berdiri termangu-mangu. Kemudian ia-pun meninggalkan pohon yang sedang disianginya. Ia tiba-tiba saja ingin berbicara dengan Anusapati atau Mahisa Agni.


03 Pelangi Di Langit Singosari Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin ada perkembangan yang belum aku mengerti," berkata Sumekar didalam hati.
Sumekar-pun kemudian meninggalkan tempat itu. Sambil membawa alat-alat seorang juru taman, maka ia-pun pergi ketaman di halaman bangsal Mahisa Agni. Ternyata seorang juru taman yang lain sedang membersihkau daun-daun kuning yang berguguran karena angin yang agak kencang.
"He, dimana kau?" bertanya juru taman itu kepada Sumekar.
"Aku sedang menyiangi pohon ceplok piring itu."
"Halaman ini menjadi sangat kotor. Bukankah ini tugasmu?"
"Ya," jawab Sumekar,"baiklah, aku selesaikan."
Juru taman itu-pun kemudian menyerahkan sapu lidinya kepada Sumekar sambil berkata,"Pekerjaanku sendiri sudah selesai. Jika masih sibuk biarlah aku selesaikan pekerjaan ini."
"Kenapa kau serahkan sapu ini kepadaku?"
Juru taman itu tersenyum. Katanya,"Jadi bagaimana" Apakah aku harus melanjutkannya."
"Tidak," jawab Sumekar,"aku akan membersihkannya. Jika bukan aku, tentu tuanku Mahisa Agni akan marah karena tidak akan dapat sebersih bekas tanganku."
"Macam kau. Coba biarlah aku yang menyelesaikan. Nanti, kita tunggu, apakah tuanku Mahisa Agni akan marah atau tidak. Kita bertaruh. Rangsum makan kita tiga hari."
Sumekar merenung sejenak, lalu menggelengkan kepalanya,"Tidak mau.Aku tidak tahan untuk tidak makan tiga hari."
"Nah, jika demikian jangan sombong."
"Baik. Aku tidak akan sombong."
Juru taman itu memandang Sumekar dengan kerut-merut dikeningnya. Lalu ia-pun meninggalkannya sambil menggerutu,"Kau sudah mulai kambuh lagi."
Sumekar tertawa. Dipandanginya saja kawannya itu sampai hilang dibalik gerumbul-gerumbul pohon bunga di sudut halaman, ia memang menghendaki agar orang itu pergi meninggalkan bangsal itu.
Sambil membersihkan halaman Sumekar mendekati dua orang prajurit yang bertugas di regol. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian ia-pun bertanya,"Ki Sanak, apakah tuanku Mahisa Agni ada didalam bangsal?"
"Kenapa?" bertanya prajurit itu.
"Tidak apa-apa. Aku hanya akan membersihkan pohon-pohon bunga sampai ke longkangan samping.Jika tuanku Mahisa Agni sedang beristirahat, aku takut, kalau aku mengejutkannya.Tuanku Mahisa Agni menurut pendengaranku adalah seorang Senapati yang keras hati. Jika sekali aku dipukulnya, maka kepalaku akan dapat lepas karenanya."
"Tidak," jawab prajurit itu,"tuanku Mahisa Agni sedang keluar."
"Kemana?" "Aku tidak tahu. Tuanku Mahisa Agni tidak pernah membawa seorang pengawalpun.Bukan saja di halaman istana, tetapi juga jika ia pergi keluar. Mirip sekali dengan tuanku Pangeran Pati."
Sumekar menganggukakan kepalanya. Lalu katanya,"Jika demikian, mumpung tuanku Senapati itu tidak ada, aku akan menyiangi tanaman dilongkangan. Selama tuanku Mahisa Agni ada di Singasari, aku hampir tidak pernah mendapat kesempatan melakukannya, sehingga pohon bunga-bunga di longkangan itu menjadi kurus dan layu."
" Lakukanlah." Sumekar-pun kemudian pergi kelongkangan samping. Dilihatnya pintu butulan bangsal itu tertutup. Dan ia-pun sama sekali tidak mendekati pintu yang tertutup itu.
Demikianlah untuk beberapa saat lamanya Sumekar berada dilongkangan. Ia memang menunggu sampai Mahisa Agni datang. Ia ingin mendengar sesuatu tentang perkembangan terakhir dari hubungan yang kalut antara Sri Rajasa, Permaisurinya dan Putera Mahkota.
Ternyata dalam pada itu, Mahisa Agni masih duduk merenung di bangsal Permaisuri. Tetapi tidak lama kemudian berkata,"Sudahlah tuan Puteri, hamba akan kembali ke bangsal hamba. Untuk waktu yang sejauh dapat hamba usahakan, hamba akan tetap berada di Singasari.Kecuali jika hamba tidak mempunyai kesempatan lagi karena perintah Sri Rajasa. Tetapi sebelum perintah itu mendesak, hamba masih akan tetap disini."
"Terima kasih kakang. Awasilah Anusapati. Hatiku selalu cemas bagaikan melepaskan anak yang baru pandai merangkak di pinggir jurang."
"Baiklah tuan Puteri, hamba akan selalu mencoba mengawasinya. Hamba akan mencoba mengendalikannya agar Putera Mahkota itu tidak bertindak tergesa-gesa."
"Terima kasih." suaranya-pun kemudian merendah,"tidak ada orang lain yang kini dapat aku percaya selain kau kakang."
Terasa dada Mahisa Agni berdesir.Kata-kata itu diucapkan oleh Ken Dedes. Tetapi kini setelah rambutnya hampir berwarna rangkap.
"Tuan Puteri," berkata Mahisa Agni kemudian,"aku menjunjung tinggi kepercayaan itu. Baik sebagai seorang saudara laki-laki, mau-pun sebagai seorang Senapati Agung di Smgasari."
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,"Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu."
Mahisa Agni mengangguk-angguk pula. Namun terasa betapa kecemasan yang sangat selalu membayangi Permaisuri itu.
Sejenak kemudian maka Mahisa Agni-pun mohon diri sambil berpesan perlahan-lahan sekali,"Tuan Puteri. Tuan Puteri harus tetap menyadari, bahwa sesungguhnya tuan Puteri tidak sedang sakit. Jika tuan Puteri tidak menyadarinya, maka akan dapat terjadi, tuan Puteri benar-benar menjadi sakit, atau rasa-rasanya seakan-akan tuan Puteri benar-benar sakit."
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Sambil mencoba tersenyum ia menjawab,"Ya kakang. Kadang-kadang aku lupa bahwa sebenarnya aku hanya berpura-pura saja sakit, sehingga rasa-rasanya aku benar-benar menjadi sakit."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia melihat bahwa sebenarnyalah Ken Dedes sedang menderita sakit. Bukan badannya, tetapi hatinya yang kemudian mempengaruhi jasmaniahnya.
Sejenak kemudian Mahisa Agni-pun meninggalkan bangsal Ken Dedes. Namun agaknya masih terlampau siang untuk singgah di bangsal Anusapati. Karena itu, maka ia-pun berjalan-jalan saja di halaman tanpa tujuan sekedar untuk mengisi waktu.
Tanpa disadarinya ia-pun menyusuri dinding yang membatasi halaman istana Singasari yang lama dengan istana yang dibangun oleh Ken Arok untuk isterinya yang muda Ken Umang. Dan tanpa sesadarnya pula Mahisa Agni melangkah didepan regol yang terbuka.
Mahisa Agni terkejut ketika ia mendengar seseorang-menyapanya,"Kakang Mahisa Agni."
Mahisa Agni berpaling. Hatinya bagaikan berguncang ketika dilihatnya Ken Umang berdiri diseberang regol yang terbuka itu sambil tersenyum.
"O, ampun tuan Puteri," sahut Mahisa Agni dengan suara gemetar."Hamba tidak tahu bahwa tuan Puteri berdiri disitu."
"Ah, kenapa kau masih saja mempergunakan basa-basi itu" Kita sama-sama berasal dari keturunan orang kecil. Panggil saja aku Ken Umang."
"Tentu tidak tuan Puteri," jawab Mahisa Agni,"keturunan kita tidak mempengaruhi kedudukan kita sekarang. Tuan Puteri adalah isteri Maharaja di Singasari."
"Dan kau adalah Senapati Agung dan sekaligus wakil Mahkota di Kediri. Selisih kedudukanmu dengan Sri Rajasa sendiri hanya selapis."
"Ampun tuan Puteri Hamba sangat berterima kasih atas kemurahan Sri Rajasa itu.Dan karena itulah>hamba merasa betapa kecilnya diri hamba."
Ken Umang tertawa. Katanya,"Sikapmu belum berubah kakang.Kau masih saja takut kepadaku. Bukan karena kedudukanku. Aku tahu, bahwa kau menganggapi aku seorang wanita yang sangat rendah. Meski-pun aku berkedudukan tinggi, yang kini menjadi perempuan kedua sesudah Permaisuri, tetapi sikapmu dan tatapan matamu tetap tidak ingkar, bahwa setelah aku tinggal di istana ini, aku masih juga mencoba menyeretmu kedalam perbuatan yang tercela itu. Tetapi itu dahulu kakang."
"Ampun tuan Puteri. Hamba sekali-kali tidak pernah menganggap tuanku sebagai seorang perempuan yang rendah. Sama sekali tidak."
Ken Umang tertawa. Sekali ia berpaling memandang beberapa orang emban yang duduk agak jauh daripadanya.
Mahisa Agni yang masih berdiri diseberang regol menjadi semakin berdebar-debar. Meski-pun umur mereka sudah menjadi semakin tua, tetapi kesan yang ada didalam hatinya tentang Ken Umang-pun masih belum dapat dilupakannya. Agaknya Ken Umang menyadarinya sehingga seakan-akan ia dapat membaca isi hati Mahisa Agni.
"Kakang," berkata Ken Umang."sekarang kita sudah merayapi tahun demi tahun. Meski-pun tampaknya kau masih lebih muda dari umurmu yang sebenarnya, dan barangkali aku masih juga pantas untuk mengganggumu, tetapi aku kira sekarang aku mempunyai kepentingan yang lain."
Mahisa Agni menundukkan kepalanya. Katanya,"Sebenarnyalah kata tuan Puteri.Hamba memang sudah tua."
"Itu tidak penting," sahut Ken Umang. Lalu,"Kakang Mahisa Agni. Kakang tentu sudah melihat perkembangan istana Singasari sekarang ini."
"Ya tuan Puteri, perkembangan Singasari benar-benar menggembirakan."
"Bukan itu yang aku maksud. Tetapi penghuni-penghuni istana ini. Tegasnya keluarga kita, keluarga Sri Rajasa."
"O," Mahisa Agni memandang wajah Ken Umang sejenak.Tetapi kepalanya-pun segera tertunduk kembali.
"Kakang Mahisa Agni," berkata Ken Umang,"bukankah kau adalah paman dari Anusapati?"
"Hamba tuan Puteri," jawab Mahisa Agni dengam jantung yang berdebaran.
"Sebagai seorang ibu aku senang melihat anak-anak hidup dalam kegembiraan. Apalagi Anusapati sudah mempunyai seorang anak laki-laki yang menjadi semakin besar." Ken Umang berhenti sejenak. Lalu,"Tetapi alangkah sedih hati seorang ibu bila melihat anak-anaknya bertengkar. Bagiku, Tohjaya dan Anusapati adalah anak-anakku. Aku tidak membeda-bedakannya. Tetapi Anusapati bersikap aneh terhadapku dan terhadap adiknya Tohjaya. Seakan-akan kami berdua adalah musuhnya. Nah, tolong, sampaikan kepada Anusapati, bahwa kami menganggapnya sebagai keluarga yang tidak terpisah. Anusapati adalah anakku dan Tohjaya-pun putera kakanda Permaisuri, dan sebaliknya. Apakah kau mengerti maksudku?"
"Hamba tuan Puteri."
"Nah, jika demikian, nasehatkan kepada Anusapati, agar ia dapat bersikap lebih baik. Agar ia dapat sedikit mendekatkan diri kepada adiknya."
Mahisa Agni menarik nafas, tetapi ia menyahut,"Hamba tuan Puteri. Hamba akan memperingatkannya. Anusapati memang harus bersikap baik terhadap tuanku Tohjaya."
Jawaban itu sama sekali tidak diharapkan oleh Ken Umang. Ia ingin mendengar Mahisa Agni membantahnya agar timbul persoalan untuk memancing pendapat Mahisa Agni yang sebenarnya terhadap keadaan yang sedang berkembang itu.
Dan justru karena itu maka untuk sesaat Ken Umang terdiam. Dipandanginya Mahisa Agni dengan sorot mata yang aneh. Sebenarnyalah Ken Umang menjadi heran, kenapa Mahisa Agni begitu saja mengiakan kata-katanya tentang Anusapati.
Karena Ken Umang tidak segera menyahut, maka Mahisa Agni melanjutkannya,"Tuan Puteri. Perkenankanlah hamba mohon maaf atas segala kelakuan dan tingkah laku Anusapati sampai saat ini apabila tidak berkenan dihati tuan Puteri Ken Umang."
Ken Umang masih tetap berdiam diri.Sekali-sekali wajahnya menjadi tegang. Namun sejenak kemudian tampaklah ia menjadi kebingungan.
Baru sejenak kemudian Ken Umang berkata patah-patah,"jadi, jadi kau membenarkan kata-kataku bahwa Anusapati memang anak muda yang tidak tahu diri?"
"Karena hamba tidak berada di Singasari tuanku, maka hamba tidak dapat menyebutkannya. Tetapi karena menurut tuanku, Anusapati telah berbuat kurang baik, maka biarlah hamba memperingatkannya."
Justru Ken Umanglah yang menjadi jengkel karenanya. Ia tidak berhasil memancing pertengkaran. Jika Mahisa Agni menjadi marah, dan mereka berbantah, maka ada alasan untuk segera minta kepada Sri Rajasa, agar Mahisa Agni segera diperintahkan kembali ke Kediri, karena Mahisa Agni sudah menghinakan isteri Sri Rajasa.
Tetapi usaha itu ternyata belum berhasil. Namun demikian Ken Umang masih juga berusaha. Katanya,"Kakang Mahisa Agni. Siapakah yang bertanggung jawab atas segala perbuatan Anusapati itu?"
"Ampun tuan Puteri. Tentu tanggung jawab Anusapati sendiri. Apalagi Anusapati kini sudah bukan anak-anak lagi. Ia sudah seorang dewasa, bahkan ia sudah seorang ayah. Itulah sebabnya maka ia harus sudah bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Sadar atau tidak sadar."
"Tetapi ia tidak tiba-tiba saja menjadi dewasa.Tentu ada yang mendidiknya sejak kanak-anak. Orang itulah yang bertanggung jawab atas segala macam tingkah laku Anusapati."
"Maksud tuanku, apakah yang bertanggung jawab tuanku Permaisuri?"
Ken Umang menjadi ragu-ragu sejenak. Namun untuk memancing pertengkaran ia menjawab,"Ya. kanda Permaisuri dan kau."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang sekilas kesudut halaman itu, dilihatnya beberapa orang prajurit bertugas. Demikian juga didepan regol bangsal Ken Umang.
Karena itu Mahisa Agni harus berhati-hati. Bukan karena ia takut menghadapi tindakan kekerasan, tetapi ia sadar sepenuhnya bahwa Ken Umang memang sedang memancing perselisihan. Jika ia bersikap keras dan berbantah, tentu prajurit-prajurit itu akan menjadi saksi. Demikian juga beberapa orang emban yang duduk tidak begitu jauh dari Ken Umang.
Jika demikian, maka akan timbul berbagai macam akibat yang barangkali terlalu jauh baginya.
Karena kesadaran itulah maka Mahisa Agni tetap pada sikapnya. Ia sekali-sekali membungkukkan kepala dengan tangan bersilang. Sama sekali tidak ada sikap menentang dan melawan setiap kata-kata Ken Umang.
"Apa katamu Mahisa Agni," Ken Umanglah yang mulai membentaknya.
Sekali lagi Mahisa Agni membungkukkan kepalanya. Jawabnya,"Ampun tuan Puteri. Jika menurut pendapat tuan Puteri hamba ikut bertanggung jawab, maka baiklah hamba akan mencoba membetulkan kesalahan hamba. Sudah hamba katakan, bahwa hamba akan mencegah Anusapati, agar ia kemudian bersikap baik dan tidak memusuhi tuanku Tohjaya. Tetapi tentang sikap dan tanggung jawab tuanku Permaisuri, itu ada diluar kekuasaan hamba. Hamba tidak berhak menegurnya meski-pun ia adalah adik hamba."
"Kenapa kau tidak berhak" Kau adalah saudara tuanya. Meski-pun ia seorang Permaisuri, ia tetap adikmu."
"Hamba tidak berani melakukannya. Hamba takut kepada tuanku Sri Rajasa. Tuanku Permaisuri kini bukan menjadi tanggungan hamba lagi sejak ia bersuami. Segala tingkah laku dan perbuatannya telah menjadi tanggung jawab suaminya."
"O. jadi kau menyalahkan tuanku Sri Rajasa?"
"Bukan maksud hamba. Tetapi sebaiknya tuanku Sri Rajasalah yang memberinya peringatan. Hamba justru takut kepada Sri Rajasa."
"Pengecut" Kenapa kau takut" Tentu Sri Rajasa tidak sempat berbuat seperti itu. Tuanku Sri Rajasa adalah Maharaja yang berkuasa di Singasari. Ia tidak sempat mengurusi isterinya saja. Apalagi kakanda Permaisuri yang hampir tidak pernah menarik perhatian Sri Rajasa."
Terasa dada Mahisa Agni berguncang.Tetapi ia masih harus menahan hati. Sambil membungkukkan kepalanya ia berkata."Sebenarnyalah hamba akan menjalankan semua perintah karena hamba hanyalah seorang abdi di istana ini. Meski-pun hal itu bertentangan dengan kemauan hamba sendiri misalnya, tetapi apabila hal itu harus hamba kerjakan, hamba akan mengerjakannya. Jika memang tuanku Sri Rajasa memerintahkan kepada hamba untuk memberikan peringatan kepada tuanku Permaisuri."
"Kau memang bodoh sekali," Ken Umang menjadi marah,"Jika tuanku Sri Rajasa sempat memerintahkan kepadamu, ia tidak memerlukan kau lagi. Mengerti?"
Mahisa Agni menahan nafasnya sejenak. Lalu,"Hamba mengerti tuanku."
"Jadi kaulah yang bertanggung jawab seluruhnya atas kelakuan Anusapati itu. Mengaku atau tidak mengaku."
Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia masih tetap sadar. Jika ia bersikap seperti Ken Umang pula, maka orang-orang yang melihatnya akan dapat menjadi saksi, bahwa ia telah berani menentang isteri Sri Rajasa.
Karena itu, sambil membungkuk dalam-dalam ia berkata betapa-pun ia menahan hati,"Hamba tuan Puteri.Hamba memang bersalah karena hamba tidak dapat mengajar anak itu bersikap baik. Tetapi hamba berjanji untuk memperbaiki kesalahan itu."
"O, gila, gila.Kau memang bukan laki-laki jantan.Kau hanya berani merunduk seperti budak yang paling hina. Apakah kau sadar, bahwa sikapmu sama sekali bukan sikap seorang Senapati besar?"
"Mungkin tuan Puteri benar," jawab Mahisa Agni,"hamba memang tidak dapat bersikap lain kali ini, karena hamba berhadapan dengan junjungan hamba. Memang sangat berbeda dengan sikap seorang Senapati dipeperangan."
Kemarahan Ken Umang sudah sampai ke puncaknya sehingga ia berteriak,"Apakah kau dapat bersikap yang lebih baik dari sikap seorang penjilat."
Sebenarnya kesabaran Mahisa Agni-pun sudah sampai diujung ubun-ubun. Tetapi ia masih memaksa diri untuk tetap bersabar.
Sementara itu beberapa orang prajurit yang melihat dari kejauhan-pun menjadi heran. Semula mereka memang menjadi berdebar-debar. Jika Mahisa Agni berbantah dengan Ken Umang, meski-pun Mahisa Agni adalah seorang Senapati, tetapi ia dapat dianggap bersalah dan ia dapat dengan serta-merta diperintahkan untuk meninggalkan istana Singasari ke Kediri.Tetapi ternyata sikap Mahisa Agni itu diluar dugaan mereka. Mahisa Agni sama sekali tidak menunjukkan sikap menentang. Bahkan sikap hormatnya agak berlebih-lebihan.
"Apakah sebenarnya yang dikehendaki oleh tuan Puteri," berkata para prajurit itu didalam hati. Namun sebenarnyalah mereka dengan mudah dapat menduga, bahwa Ken Umang sengaja memancing persoalan agar Mahisa Agni segera diperintahkan meninggalkan Singasari. Tetapi para prajurit itu tidak mengetahui persoalan yang sebenarnya telah terjadi. Mereka hanya menganggap bahwa kehadiran Mahisa Agni itu menguntungkan Anusapati, karena setiap orang-pun mengetahui bahwa Anusapati dan Tohjaya agaknya sukar dirukunkan, dan setiap orang tahu bahwa Sri Rajasa agak berpihak kepada Tohjaya. Bukan kepada Anusapati. Bagi mereka yang mengetahui keadaan Anusapati yang sebenarnya-pun mengerti, bahwa Sri Rajasa ternyata tidak dapat menerima kehadiran anak Tunggul Ametung itu dengan sepenuh hati.
Sedang prajurit yang lain, yang mengetahui persoalan yang sedang dihadapinya itu-pun berkata,"Mahisa Agni memang seorang yang bijaksana. Sebagai seorang Senapati Agung di Singasari ia membiarkan dirinya dicaci maki oleh isteri muda Sri Rajasa. Tampaknya itu suatu kekalahan baginya, tetapi sebenarnyalah bahwa Mahisa Agnilah yang menang, jika ia tetap dapat bertahan.
Prajurit itu terkejut ketika ia melihat tiba-tiba saja Ken Umang menghentak-hentakkan tangannya sambil berteriak,"Pengecut yang paling buruk diseluruh Singasari. Aku akan mengatakannya kepada Sri Rajasa, bahwa kau tidak pantas menjadi seorang Senapati Agung di Singasari.Kau hanya pantas menjadi seorang penjilat yang rendah dan hina. Ternyata kau tidak dapat mempertahankan sikapmu dan mempertanggung jawabkan segala macam perbuatanmu."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia masih harus berlahan sedikit lagi. Ternyata bahwa Ken Umang sendiri sudah kehilangan kesabarannya meski-pun ia telah dengan sengaja memancing persoalan.
"Pergi, pergi dari hadapanku penjilat yang rendah," berkata Ken Umang,"aku tidak mau berhubungan lagi dengan orang semacam kau. Kau hanya pantas berhubungan dengan budak-budakku, dengan hamba-hambaku yang paling rendah."
Dada Mahisa Agni bagaikan retak karenanya. Tetapi ia masih tetap bertahan dengan segenap kemampuan perasaannya. Rasanya lebih mudah untuk bertahan melawan sepuluh orang prajurit dalam benturan jasmaniah daripada harus bertahan membiarkan dirinya dihinakan.
"Pergi, pergi," teriak Ken Umang kemudian.
"Hamba tuanku, hamba akan pergi jika memang tuanku kehendaki."
"Aku tidak mau melihat wajahmu lagi."
Mahisa Agni membungkuk dalam-dalam.Namun ia-pun kemudian terkejut ketika ia mendengar seseorang berkata,"Paman, kita tetap disini. Aku adalah Putera Mahkota. Paman harus mendengarkan segala perintahku."
Semua orang yang mendengar suara itu-pun berpaling. Mereka melihat Anusapati berdiri bertolak pinggang dengan wajah yang merah padam.
Ternyata bukan Mahisa Agnilah yang kehabisan kesabaran, tetapi justru Anusapati yang justru sedang mencarinya.
Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Perlahan-lahan ia mendekatinya dan berbisik,"Tahankan perasaanmu Anusapati. Ingat, kau mempunyai kepentingan yang lebih besar daripada harga dirimu. Aku sudah membiarkan diriku dihinakan dihadapan banyak orang karena kepentingan yang lebih besar itu."
Anusapati menggeretakkan giginya. Bahkan ia masih juga berkata,"Hanya perintah ayahanda Sri Rajasa sajalah yang berada diatas perintahku, karena aku adalah Pangeran Pati. Bahkan ibunda Permaisuri-pun tidak dapat mengubah keputusanku."
Semua orang yang menyaksikan hal itu menjadi berdebar-debar. Para prajurit yang sedang bertugas menjadi termangu-mangu. Prajurit yang bertugas di halaman bagian istana yang lama dan bagian istana yang baru. Kedua pihak tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Yang mereka cemaskan adalah apabila Tohjaya mengetahui persoalan itu. Ia pasti tidak akan tinggal diam.
Sementara itu, wajah Ken Umang menjadi bagaikan menyala mendengar kata-kata Anusapati orang yang paling dibencinya itu. Sehingga justru karena itu, maka mulutnya bagaikan terbungkam karenanya.
Anusapati yang sudah sampai pada batas kesabarannya itu masih juga berkata,"Paman Mahisa Agni. Aku perintahkan paman tetap tinggal disini. Paman harus mengawasi setiap orang yang ada di halaman ini. Seluruh halaman istana Singasari. Yang lama mau-pun yang baru adalah wewenang ayahanda Sri Rajasa.Dan limpahan kekuasaan Putera Mahkota adalah sama dengan kekuasaan Maharaja."
"Omong kosong," teriak Ken Umang."kau sudah gila. Kau sangka Sri Rajasa senang melihat tampangmu?"
Anusapati sama sekali tidak menjawab kata-kata Ken Umang. Bahkan kemudian dibelakanginya perempuan itu sambil berkata lantang,"Aku akan merobah halaman istana ini. Aku akan menutup regol ini dengan dinding batu."
Kemarahan Ken Umang bagaikan memecahkan dadanya.Hampir diluar sadarnya ia berteriak,"Emban, panggil Tohjaya. Ada orang gila masuk kedalam istana."
Emban itu tidak menunggu lebih lama. Berlari-lari ia pergi ke bangsal Ken Umang untuk memanggil Tohjaya yang ada didalamnya.
"Anusapati," desis Mahisa Agni kemudian,"kau lihat, akibat dari peristiwa ini akan berkepanjangan."
"Aku sudah siap paman. Apa-pun yang akan terjadi, aku akan menghadapinya. Meski-pun seandainya harus ada pertentangan terbuka dengan Sri Rajasa. Aku akan menyatakan diriku di depan setiap orang, bahwa akulah yang berhak atas tahta ini."
"Anusapati," potong Mahisa Agni,"kendalikan perasaanmu."
"Maaf paman. Aku akan mengendalikan persaanku. Tetapi tidak sekarang."
Mahisa Agni masih akan menjawab. Tetapi ia terkejut ketika ia mendengar suara Ken Umang,"Nah, itulah orang gila itu Tohjaya. Kau harus mengusirnya. Bukan saja mengusir dari regol itu, tetapi kau harus mengusirnya dari istana dan bahkan dari Singasari."
Tohjaya tidak menghiraukan apa-pun lagi. Ia tidak rela menyaksikan ibunya yang dihinakan oleh siapa-pun juga, meski-pun ia seorang Pangeran Pati.Apalagi ia sadar, bahwa Pangeran Pati ini memang harus disingkirkan.
Karena itu maka ia-pun segera mendekati Anusapati sambil berkata lantang,"Apakah kau memang sudah mulai gila kakanda Anusapati?"
Anusapati memandang Tohjaya sejenak. Namun kemudian terdengar ia tertawa,"Ha, aku memang menunggu kau adinda. Aku ingin memberitahukan kepadamu, bahwa aku punya hak untuk berbuat apa saja di istana ini, karena aku adalah Pangeran Pati. Jika sampai saat ayahanda Sri Rajasa tidak lagi memegang pemerintahan, entah karena atas kehendak sendiri, atau karena umurnya yang pendek."
"Tutup mulutmu," teriak Tohjaya.
"Anusapati," Mahisa Agni masih ingin mencegah,"kenapa kau kehilangan akal he" Apakah kau memang benar-benar gila?"
Tetapi Anusapati benar-benar tidak menghiraukannya lagi.Bahkan katanya,"Kau mau apa Tohjaya.Coba berbuatlah sesuatu kalau kau berani."
Tohjaya benar-benar terbakar mendengar tantangan itu. Karena itu, makan tiba-tiba saja ia meloncat menyerang dengan garangnya.Tetapi Anusapati sudah memperhitungkannya. Karena itu, ia sama sekali tidak terkejut. Bahkan serangan membabi buta itulah yang ditunggu-tunggunya.
Dengan gerak yang lebih cepat dari gerak Tohjaya, maka Anusapati-pun menghindar. Tetapi ia tidak sekedar menghindari serangan Tohjaya. Bahkan sekaligus ia menyerangnya pula.
Serangan itu benar-benar tidak diduga oleh Tohjaya. Apalagi kecepatan bergerak Anusapati jauh melampaui kemampuannya, sehingga karena itu, maka Tohjaya-pun kemudian terlempar dan jatuh terguling ditanah.
Ternyata Anusapati yang sudah kehabisan akal itu tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Ia masih ingin meloncat membunuhnya. Namun ia tidak dapat menghindarkan diri dan sebuah benturan yang dahsyat sehingga Anusapati itulah yang kemudian terlempar dan jatuh terguling.
Dengan serta-merta Anusapati meloncat bangkit. Namun ia tertegun ketika ia melihat, pamannya Mahisa Agnilah yang berdiri dihadapannya.
Sejenak Anusapati melihat Tohjaya tertatih-tatih bangun. Namun kemudian dipandanginya wajah pamannya yang tegang.
"Anusapati," berkata Mahisa Agni. Betapa tegang wajahnya, namun kata-katanya tetap sareh dan tenang,"Apakah kau memang sengaja ingin membuat tontonan di halaman Istana ini atau kau ingin memamerkan kemampuanmu. Aku berterima kasih bahwa kau mempertahankan martabatku. Tetapi aku kurang senang melihat darahmu yang masih terlampau mudah menyala. Cobalah, tenanglah sedikit. Lihatlah banyak orang yang menonton peristiwa ini, seperti orang melihat ayam bersabung. Padahal kalian adalah bangsawan tertinggi di Singasari saat ini. Apakah kau mengerti?"
Anusapati tidak segera menjawab. Dengan wajah yang tegang dipandanginya pamannya yang berdiri tegak seperti batu karang. Alangkah garangnya. Tentu dipeperangan Mahisa Agni akan tampak lebih garang lagi. Dengan senjata di tangan dan wajah yang tegang.
Ternyata perbawa itu meresap kedalam dada Anusapati.Perlahan-lahan kepalanya tertunduk lesu. Sebuah penyesalan telah merayapi hatinya. Tetapi semuanya sudah terjadi. Dan rasa-rasanya semakin lama semakin banyak mata yang memandanginya.
Perlahan-lahan terdengar suaranya bergumam didalam mulutnya,"maafkan aku paman. Ternyata aku telah kehilangan pengamatan diri. Penghinaan yang tiada batasnya itu membuat dadaku bagaikan terbelah."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi berlega hati ketika dilihatnya bahwa Anusapati sudah mulai berhasil menguasai perasaannya.
Namun selagi Mahisa Agni mulai merasa tenang, setelah ketegangan yang sangat mencengkam hatinya, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara Tohjaya lantang,"Ayahanda, inilah orang gila yang ingin mengacaukan istana itu."
Dengan serta-merta Mahisa Agni berpaling. Dadanya berdesir ketika dilihatnya Sri Rajasa berdiri tegak diiringi oleh beberapa orang pengawal. Dengan sorot mata yang menyala dipandangnya Mahisa Agni dan Anusapati berganti-ganti.
"Sudah tiba saatnya bagi ayahanda untuk bertindak."
Tetapi Sri Rajasa masih tetap berdiri diam seperti patung.
Tohjaya menjadi heran sejenak. Demikian ibunya Ken Umang. Perlahan-lahan isteri muda Sri Rajasa itu melangkah maju sambil berkata,"Kakanda Sri Rajasa.Alangkah cemasnya hati hamba melihat ananda Anusapati berbuat diluar sadarnya. Hamba tidak tahu apa yang seharusnya hamba lakukan. Sedangkan kakang Mahisa Agni sama sekali tidak berbuat apa-pun juga untuk menenangkan keadaan.Bahkan ia sama sekali tidak bersikap seperti orang tua."
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia melangkah maju mendekati Anusapati yang berdiri termangu-mangu disebelah Mahisa Agni. Beberapa langkah daripadanya berdiri Tohjaya dengan wajah yang tengadah.
"Kakanda," berkata Ken Umang,"sebaiknya kakanda menimbang dengan adil. Hamba lihat pakaian Tohjaya yang kotor dan kusut itu" Ananda Anusapatilah yang telah melakukannya tanpa disangka-sangka."
Sri Rajasa menjadi semakin dekat, sehingga dada Mahisa Agni-pun menjadi semakin berdebar-debar.
"Jika semuanya harus terjadi saat ini, apaboleh buat," berkata Mahisa Agni didalam hatinya,"meski-pun aku tidak dapat memperhitungkan, bagaimana akhir dari setiap persoalkan yang dapat timbul karenanya."
Agaknya Anusapati-pun mencemaskannya pula. Jika ayahandanya tidak dapat mengekang dirinya pula, maka yang terjadi adalah bencana yang maha dahsyat. Bukan saja bagi pimpinan tertinggi Singasari, tetapi bagi Singasari dan rakyatnya.
Gejolak hati Anusapati itu telah mendorongnya berbisik ditelinga Mahisa Agni,"Paman, Trisula itu aku bawa sekarang."
"Ah," Mahisa Agni berdesah. Tetapi ada semacam air yang menitik di jantungnya yang sedang membara. Sadar atau tidak sadar, Mahisa Agni harus mengakui, bahwa Sri Rajasa adalah bukan manusia kebanyakan. Ia memiliki kelebihannya. Ia memiliki kelebihan yang tidak dapat dimengerti oleh sesamanya.
Sejenak Sri Rajasa berdiri dengan tegang. Namun kemudian ia berkata,"Aku mengerti apa yang telah terjadi. Seorang perwira yang melihat peristiwa ini langsung menyampaikannya kepadaku. Dengan tergesa-gesa aku datang kemari, karena yang terjadi adalah sepercik noda yang paling kotor pada keluarga Maharaja di Singasari. Dan aku melihait bagian terakhir dari tontonan yang mengasyikkan ini."
Semua orang yang mendengar kata-kata itu menjadi gemetar. Suara Sri Rajasa sudah menjadi agak gemetar oleh perasaaan yang tertahan didalam dadanya.
Ken Umang memandang Sri Rajasa tanpa mengedipkan matanya. Seakan-akan ia menunggu, keputusan apakah yang akan diambilnya didalam keadaan itu.
Sementara itu Tohjaya bergeser selangkah mendekati ayahandanya. Dalam ketegangan itu ia berkata,"Ayahanda dapat bertindak sekarang."
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya.Katanya,"Ya, aku memang dapat bertindak. Dan aku memang akan bertindak sebaik-baiknya."
"Tentu ayah," sahut Tohjaya.
Anusapati membeku ditempatnya, sedang wajah Mahisa Agni tidak lagi disaput ketegangan yang dalam membayang di wajah itu.
Sekilas ia memandang berkeliling. Dilihatnya beberapa orang Senapati berdiri tegang.Bahkan Panglima pasukan pengawalnya-pun telah ada di halaman itu pula.
"Benar seperti sabungan ayam," berkata Mahisa Agni didalam hatinya,"Tetapi apaboleh buat.Aku tidak dapat menduga, apa saja yang akan dilakukan oleh para prajurit ini."
Sejenak Mahisa Agni memandang ke kejauhan menembus kesuraman senja yang mulai turun. Seorang juru taman berdiri disebelah gerumbul yang lebat. Sekali-sekali ia berlindung dibalik gerumbul itu, dan sekali ia menampakkan dirinya jika kebetulan Mahisa Agni memandangnya. Juru taman itu adalah Sumekar.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Juru taman itu akan dapat ikut menentukan akhir dari peristiwa yang tidak diinginkannya apabila hal itu terpaksa terjadi di halaman ini, dibatas antara istana yang lama dan yang baru.
Sejenak orang-orang yang berdiri berpencaran itu termangu-mangu. Mereka memandang Sri Rajasa dan Mahisa Agni berganti-ganti. Tanpa mereka sadari, nafas mereka-pun seakan-akan berkejaran. Yang berdiri dengan tegang itu adalah dua orang Raksasa yang tidak ada bandingnya di Singasari.
Sri Rajasa adalah seorang yang bagi Mahisa Agni adalah orang yang aneh. Orang yang memiliki kelebihan tanpa dicarinya. Karena itulah maka orang mengatakan bahwa Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu adalah kekasih dewa-dewa.
Tetapi bagi Sri Rajasa, Mahisa Agni adalah orang yang aneh. Satu-satunya anak muda yang mampu mengimbanginya selagi ia masih berkeliaran di Padang Karautan. Dan Ken Arok vang bergelar Sri Rajasa itu mengetahui, bahwa Mahisa Agni pada waktu itu, memiliki sebuah pusaka yang baginya sangat mengerikan.Jauh lebih mengerikan dari pusaka yang selama ini dianggapnya pusaka yang paling keramat, Keris mPu Gandring. Dan pusaka itu hanyalah sebuah trisula yang tidak seberapa besarnya. Tetapi dapat bercahaya seperti matahari yang menyilaukan.
Namun Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu memang tidak akan berbuat apa-apa. Setelah beberapa kali ia menarik nafas dalam-dalam, maka ia-pun berkata,"Aku minta kalian kembali kebangsal masing-masing."
Tohjaya terkejut mendengar perintah itu. Bahkan yang lain-pun tidak kalah terkejut pula. Mahisa Agni yang tegang dan Anusapati yang berdebar-debar saling berpandangan sejenak.
"Aku tidak senang melihat pertengkaran itu," berkata Sri Rajasa lebih lanjut,"sejak lama aku selalu memperingatkan, sikap bermusuhan itu sangat memalukan. Apalagi kalian adalah Putera seorang Maharaja yang sangat dihormati. Tindakan kalian itu tentu merendahkan martabatku sebagai seorang Raja yang memerintah seluruh Singasari sekarang ini."
Ken Umang memandang ken Arok dengan sorot mata yang aneh. Memang ia tidak mengerti akan perintah itu. Ia berharap agar Sri Rajasa mengambil tindakan yang paling keras terhadap Anusapati. Hukuman yang dapat merendahkan nilainya sebagai seorang Putera Mahkota. Menghinakannya, dan akan lebih baik lagi jika kemudian mengusirnya dari Istana.
Ken Umang menjadi lebih heran lagi ketika ia mendengar Sri Rajasa itu berkata,"Aku mengucapkan terima kasih kepadamu Mahisa Agni."
Tohjaya menjadi tegang sejenak. Dan ia mendengar Sri Rajasa melanjutkan,"Aku melihat dari kejauhan apa yang kau lakukan. Ternyata bahwa kau berdiri diatas ikatan keluarga yang ada pada dirimu. Meski-pun kau paman Anusapati dari saluran darah ibunya, retapi kau sudah berusaha sebaik-baiknya mencegah pertengkaran ini. jika kau tidak menghalangi Anusapati, maka aku kira Tohjaya akan mengalami cidera yang dapat membahayakan jiwanya. Jika demikian maka tidak akan ada gunanya lagi aku membina daerah ini dengan mempertaruhkan semua yang ada padaku."
Tidak seorang-pun yang menyahut. Bahkan tidak seorang-pun yang bergerak meski-pun hanya sekedar ujung jari kakinya.
"Jika Tohjaya mengalami cedera, apalagi sampai membahayakan jiwanya, maka Anusapati harus dihukum. Dengan demikian aku akan kehilangan kedua-duanya sekaligus. Kehilangan Pangeran Pati yang akan menggantikan kedudukanku, dan kehilangan Tohjaya satu-satunya orang akan dapat menggantikan kedudukan Anusapati apabila terjadi sesuatu dengannya. Memang aku masih mempunyai beberapa orang anak laki-laki. tetapi aku harus membinanya dari permulaan sekali."Sri Rajasa berhenti sejenak. Lalu,"karena itu tindakan Mahisa Agni memang pantas dipuji."
Betapa mereka yang mendengar kata-kata Sri Rajasa itu tidak dapat mengartikannya dengan segera. Ada yang heran, ada yang tidak percaya kepada pendengarannya, tetapi ada yang menganggap, bahwa itu adalah sikap yang bijaksana.
"Nah," sekali lagi Sri Rajasa berkata,"Sekarang kembalilah kebangsal masing-masing.Jangan menjadi tontonan di sini. Semakin cepat semakin baik."
"Kakanda," Ken Umanglah yang akan memotong kata-kata Sri Rajasa. Tetapi Sri Rajasa mendahuluinya,"Kau-pun sebaiknya meninggalkan tempat ini. Adalah kurang baik jika kau berada diantara wajah-wajah yang tegang dan sikap bermusuhan."
Ken Umang menahan gejolak didalam dadanya. Tetapi ia tidak berani membantahnya.Digamitnya Tohjaya dan dengan isyarat diajaknya Tohjaya meninggalkan tempat itu.
Dalam pada itu Mahisa Agni-pun kemudian menggandeng Anusapati meninggalkan tempat itu sambil berkata kepada Sri Rajasa,"Sikap Tuanku sangat bijaksana. Hamba mengucapkan terima kasih."
"Apakah mungkin aku berbuat lain?" bertanya Sri Rajasa.
Mahisa Agni terkejut mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia-pun menjawab,"Memang tidak ada sikap lain bagi seorang yang bijaksana."
"Bagi yang tidak bijaksana?"
"Tuanku, hamba tidak dapat mengatakannya, karena ternyata yang ada adalah seorang yang sangat bijaksana."
Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apa-pun lagi. Dipandanginya langkah Anusapati disamping Mahisa Agni, dan diarah yang lain Tohjaya berjalan dibelakang ibunya, Ken Umang.
Sri Rajasa menggelengkan kepalanya ketika perasaannya mulai menilai kedua anak muda itu. Ia tidak mau melihat kenyataan bahwa ternyata anak Tunggul Ametung itu mempunyai banyak kelebihan dari anaknya.
"Ibunyalah yang memiliki kelebihan. Adalah bodoh sekali bahwa aku tidak pernah memikirkan dengan sungguh-sungguh kemungkinan yang ada pada Mahisa Wonga Teleng."
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu merenung sejenak. Ia mulai membayangkan kemungkinan yang ada pada Mahisa Wonga Teleng. Ia adalah anaknya dan anak Ken Dedes. Jika benar Ken Dedes memiliki kemungkinan yang besar pada keturunannya, maka Mahisa Wonga Teleng-pun pasti memiliki kelebihan dari orang kebanyakan.
"Tetapi sudah terlambat," ia berkata didalam hatinya,"Anusapati sudah mulai meloncati pagar yang selama ini berhasil aku lingkarkan mengelilingi.Tetapi ternyata pada suatu saat anak itu telah melepaskan dirinya dari semua kungkungan. Sebelumnya ia tidak pernah berani berbuat apa-apa-pun jangankan seperti yang dilakukannya saat ini."
Tiba-tiba terlintas didalam angan-angannya. Ken Dedes yang sedang terbaring dipembaringannya. Tentu Ken Dedes sudah mengatakan semuanya tentang Anusapati. Tentu Ken Dedes juga mengatakan saat-saat kematian Tunggul Ametung, dan tentu sekarang Anusapati sedang didalam gejolak yang paling dahsyat yang pernah dialaminya.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.Seakan-akan ia sudah dihadapkan pada suatu keadaan yang sama-sama. Seakan-akan ia sedang memandang cahaya matahari yang kemerah-merahan, yang sebentar lagi akan turun dan hinggap dipunggung pegunungan. Kesempatan itu adalah kesempatan terakhir untuk memandang wajah bumi karena sebentar lagi matahari itu akan tenggelam.
"Tentu tidak akan mungkin lagi dapat terbit di Timur," katanya didalam hati,"aku memang bukan matahari. Jika saat tenggelam itu datang, maka biarlah namaku tenggelam pula bersamanya. Tetapi jangan Singasari."
Ken Arok itu-pun kemudian perlahan-lahan melangkahkan kakinya kembali kebangsalnya. Pengawal-pengawalnya-pun mengikutinya dari kejauhan. Ketika Ken Arok kemudian masuk kedalam bangsalnya, maka para prajurit itu-pun tinggal di gardu penjagaan mereka.
Dalam pada itu, Mahisa Agni membawa Anusapati kebangsalnya. Ketika mereka berjalan lewat didepan seorang juru taman yang sedang berjongkok, maka Mahisa Agni-pun memberikan isyarat kepadanya sambil berbisik,"Nanti malam aku datang kegubugmu."
Sumekar sama sekali tidak menyahut. Justru ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Baru ketika keduanya sudah menjadi semakin jauh. Sumekar itu baru berdiri dan berjalan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu.
Dalam pada itu, cahaya matahari memang sudah mulai pudar.Semakin lama semakin suram. Dan sebentar lagi, maka seluruh Singasari itu-pun ditelan oleh kegelapan malam.
Di bangsal Anusapati, Mahisa Agni duduk tepekur dihadap oleh Anusapati.Agak sulit baginya untuk memberikan beberapa nasehat kepada Putera Mahkota itu.Karena ia tahu, bahwa selama ini Anusapati selalu menjaga perasaan isterinya. Ia selalu berusaha untuk menghindarkan semua pembicaraan yang dapat membuat isterinya menjadi semakin berkecil hati. Sebagai seorang perempuan yang hidup dilingkungan yang asing, maka ia memerlukan ketenangan didalam lingkungannya yang baru itu.
Karena itu, maka Mahisa Agni-pun menunggu hingga pada suatu kesempatan ia dapat mengatakannya.
Ketika Mahisa Agni yakin bahwa isteri Anusapati itu tidak berada didalam bilik sebelah yang mungkin dapat mendengar suaranya, barulah ia berkata,"Anusapati. Ternyata keadaan sudah menjadi semakin panas dan gawat. Tetapi aku melihat perkembangan lain pada Sri Rajasa itu."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya hampir berbisik,"Aku masih belum yakin paman. Tetapi mudah-mudahan ayahanda Sri Rajasa dapat melihat kebenaran tentang hubunganku dengan adinda Tohjaya.Tetapi seandainya demikian, hal itu tentu sudah terjadi beberapa saat lamanya."
"Pikiran dan perasaan seseorang dapat berkembang Anusapati," berkata Mahisa Agni kemudian,"dan aku berharap, bahwa Sri Rajasa akan mengalaminya."
"Mungkin pada suatu saat paman. Tetapi jika ibunda Ken Umang mendapat kesempatan berbicara maka ayahanda tentu akan bersikap lain pula."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Memang sulit bagi Ken Arok untuk berjalan surut. Dan jika ia tetap maju, maka jarak perjalanan itu menjadi semakin dekat.
"Hati-hatilah Anusapati," berkata Mahisa Agni kemudian,"aku berharap keadaan bertambah baik. Tetapi aku juga berharap agar kau tidak lengah. Sudah sepantasnya kau membawa trisula kecil itu kemana-pun kau pergi.Tetapi ingat, jangan kau pergunakan jika kau tidak dalam keadaan terpaksa. Terpaksa sekali.
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku berjanji akan menemui Sumekar.Malam sudah menjadi semakin gelap. Besok aku kembali melihat keris itu. Sekarang waktunya agaknya kurang baik bagiku untuk melihat keris itu. Jika ada satu dua orang yang sempat melihatnya, maka udara yang panas ini tentu akan mendidih. Besok aku akan kembali untuk melihat keris itu."
"Apakah aku harus membawanya kebangsal paman?"
Mahisa Agni menggeleng,"Aku tidak mengatakan demikian sekarang. Aku tidak tahu, jika keadaan besok akan berkembang."
Anusapati menundukkan kepalanya.
"Sekarang, biarlah aku pergi ke gubug Sumekar. Aku perlu berbicara sedikit dengan juru taman itu."
"Silahkanlah paman."
"Ingat, dalam keadaan serupa ini, trisula kecil itu jangan terpisah dari dirimu. Bukanlah trisula itu tidak mengganggumu jika kau sembunyikan didalam lapisan ikat pinggangmu."
Anusapati menganggukkan kepalanva. Pesan itu menyatakan bahwa Mahisa Agni-pun menjadi sangat cemas terhadap perkembangan keadaan.
Namun Mahisa Agni itu-pun kemudian berpesan,"Tetapi ingat pula Anusapati, bahwa trisula itu bukan senjata dan yang dipergunakan jika itu bukan cara terakhir satu-satunya jalan yang dapat kau tempuh."
Sekali lagi Anusapati mengangguk sambil menjawab,"Ya paman, aku mengerti."
"Nah, tinggal sajalah di bangsalmu. Kau dapat sedikit memberikan pesan, meski-pun tidak berterus-terang terhadap para pengawal di halaman, agar mereka-pun berhati-hati pula."
"Ya paman." "Nah, biarlah aku pergi sekarang. Bukankah anakmu sudah tidur?"
"Sudah paman." "Besok saja aku menemuinya."
Demikianlah maka Mahisa Agni-pun kemudian meninggalkan bangsal itu.Ia tidak segera pergi kegubug Sumekar tetapi ia berjalan kebangsalnya sendiri. Perlahan-lahan seperti seorang jejaka berjalan dibawah cahaya bulan yang sedang purnama.
Mahisa Agni harus yakin bahwa tidak ada orang yang mengetahui sedap pertemuannya dengan Sumekar, mau-pun Anusapati dengan Sumekar agar Sumekar tidak segera terlibat dalam keadaan yang panas itu. Dengan demikian ada seorang yang kuat, yang masih dapat diharapkan berbuat sesuatu diluar perhitungan Sri Rajasa.
Tetapi jika pertentangan yang tampaknya akan menjadi terbuka itu berkembang, Mahisa Agni memerlukan kekuatan diluar istana itu. Jika kemudian terjadi bentrokan-bentrokan senjata dengan terbuka, dan Sri Rajasa mempergunakan kekuasaan dan haknya sebagai seorang Maharaja, maka dengan sangat terpaksa Mahisa Agni-pun harus menghadapinya dengan cara serupa. Tetapi karena ia tidak berhak memberikan perintah langsung kepada para prajurit yang ada di Singasari, maka ia harus mendapatkan kekuatan lain yang dapat melindungi Anusapati bersamanya. Bukan sekedar melindunginya karena ia takut mati, tetapi melindungi dirinya dan Anusapati bersama segala macam cita-cita dan kemungkinannya.
Setelah malam menjadi semakin gelap, maka Mahisa Agni-pun keluar lagi dari bangsalnya. Kepada prajurit yang mengawal bangsalnya ia berkata,"Udara sangat panas didalam. Aku akan keluar sebentar."
Prajurit-prajurit itu memandanginya sejenak. Seakan-akan ingin bertanya, kemanakah ia akan pergi didalam keadaan yang bagi para prajurit, agak kalut itu" Meski-pun mereka tidak melihat pertentangan sampai keakar hati Mahisa Agni, Anusapati, Tohjaya dan orang-orang yang terlibat lainnya termasuk Sri Rajasa sendiri, namun mereka melihat pertengkaran antara Anusapati dan Tohjaya sebagai anak-anak muda yang kian tidak mau hidup dalam suasana persaingan. Sayang persaingan diantara mereka itu sama sekali tidak mendorong mereka kearah yang lebih baik dari pertengkaran yang kasar. Seperti pertengkaran anak-anak seorang rakyat kebanyakan saja. Bahkan hampir saja mereka berkelahi dalam arti yang sebenarnya di hadapan banyak orang.
Mahisa Agni dapat menangkap dari sorot mata para prajurit itu, pertanyaan-pertanyaan yang bergulat didalam hati mereka. Karena itu ia-pun tersenyum sambil berkata,"jangan cemas. Anak-anak itu tidak akan berkelahi lagi, apalagi memperluas pertengkaran mereka, meski-pun orang-orang tua terpaksa ikut campur."
Para prajurit itu-pun tersenyum pula. Bahkan tersipu-sipu karena Mahisa Agni dapat menebak pertanyaan didalam hatinya dengan tepat.
Jilid 77 "MEMANG MEMALUKAN," berkata Mahisa Agni lebih lanjut,"tetapi mereka adalah anak-anak muda. Seperti anak muda kebanyakan. Hanya karena mereka tinggal diistana ini maka sorotan bagi mereka menjadi lebih tajam karenanya. Setiap orang memperhatikannya dan menilainya. Tetapi sebagai manusia biasa mereka sebenarnya tidak ada bedanya dengan anak-anak muda yang tinggal di padukuhan yang paling terpencil. Darahnya masih terlampau mudah mendidih dan kurang pengendalian diri. Tetapi jika mereka meningkat semakin tua, maka keadaannya pasti akan jauh berbeda. Anusapati yang kini sudah mempunyai seorang anak itu ternyata sudah jauh berkurang, sudah jauh mengendap dibandingkan beberapa saat yang lampau."
Para prajurit yang mendengarkan kata-kata Mahisa Agni itu menganggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak mengatakan suatu apa.
"Sudahlah, bertugaslah dengan baik. Aku akan menghirup udara malam dihalaman dan dipertamanan. Mudah-mudahan badanku menjadi segar dan pikiranku menjadi bening."
Prajurit-prajurit itu menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Ketika Mahisa Agni melangkah meninggalkan halaman bangsalnya, dua orang prajurit mengiringinya sebagai yang seharusnya mereka lakukan. Tetapi seperti biasa pula Mahisa Agni tersenyum sambil berkata,"Biarlah aku berjalan sendiri. Bukankah demikian kebiasaanku" Didalam halaman istana ini tidak akan ada gangguan apapun. Meski-pun kadang-kadang terjadi hal-hal yang tidak dapat dimengerti, orang-orang berkerudung, orang yang tidak dikenal yang hampir saja membunuh juru taman itu, dan bermacam-macam lagi, tetapi mereka tidak akan mengganggu aku."
Prajurit-prajurit itu saling berpandangan sejenak, namun mereka-pun menganggukkan kepalanya dalam-dalam sekali lagi. Salah seorang dari mereka berkata,"jika itu perintah tuan."
"Ya," jawab Mahisa Agni,"itu perintahku."
"Baik tuan. Kami akan menunggu disini," sahut salah, seorang dari keduanya. Didalam hati mereka berkata,"Sebenarnyalah pengawalan itu tidak perlu bagi Mahisa Agni."
Prajurit-prajurit itu-pun kemudian hanya dapat memandang Mahisa Agni yang berjalan menjauhi regol dan hilang didalam gelap.
Sambil manarik nafas dalam-dalam seorang prajurit berkata,"Bagaimana mungkin orang dapat memiliki ilmu seperti Senapati besar itu?"
"Ilmunya adalah kurnia Yang Maha Agung. Tidak semua orang dapat memilikinya meski-pun ia berlatih setiap hari sepanjang umurnya."
Yang lain hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan salah seorang berdesis,"Seperti juga Sri Rajasa, ia-pun seorang manusia yang aneh."
"Tidak banyak manusia seperti mereka itu.Dan kini tampaknya Putera Mahkota itu-pun akan tumbuh seperti ayahanda dan pamannya."
Prajurit-prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dalam pada itu Mahisa Agni yang sudah berada dikegelapan itu berjalan menyusuri tempat-tempat yang sepi dipetamanan. Sejenak ia berdiri ditempat yang terlindung. Bagaimana-pun juga ia memang harus berhati-hati. Apalagi dihalaman istana ini sering terjadi sesuatu yang tidak dapat diperhitungkannya lebih dahulu.
Tetapi ternyata bahwa taman itu benar-benar sepi. Tidak ada seorang-pun yang berada disekitarnya dengan alasan apapun.
Karena itu, maka Mahisa Agni-pun bergeser pula mendekati gubug Sumekar.
Dengan hati-hati Mahisa Agni-pun kemudian mengetuk pintu gubug itu.
"Siapa?" Sumekar berbisik dibalik pintu.
"Agni." Mahisa Agni tidak perlu mengulanginya. Pintu gubug itu-pun kemudian terbuka dan Sumekar-pun melangkah keluar.
"Ikuti aku," desis Mahisa Agni.
Keduanya-pun kemudian menyusup kedalam taman. Beberapa langkah dibalik rimbunnya pohon bunga-bungaan, kedua berhenti sejenak.
"Sumekar," berkata Mahisa Agni,"aku ingin minta pertolongan lebih lanjut setelah sampai saat ini kau mengawasi dan melindungi Anusapati. Agaknya keadaan menjadi semakin gawat, sehingga aku perlu mempersiapkan diri lebih baik lagi dari saat-saat yang lewat."
"Apakah yang harus aku lakukan?"


03 Pelangi Di Langit Singosari Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak sempat membuat hubungan dengan Witantra. Aku tidak sampai hati meninggalkan Anusapati dalam keadaan seperti sekarang. Apakah kau bersedia?"
"Apakah aku harus pergi ke Kediri menghubungi kakang Kuda Sempana."
"Tidak. Aku kira, Witantra atau Mahendra masih juga sering berkeliaran disekitar istana ini.Mereka-pun tentu ingin mengetahui perkembangan keadaan ini lebih lanjut."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,"Aku kira demikianlah. Apalagi dengan perkembangan terakhir. Ceritera tentang pertengkaran langsung yang terjadi ini, tentu akan sampiai ketelinga mereka, karena hal itu pasti akan segera tersebar."
"Ya. yang bertengkar adalah putera Sri Rajasa. Tentu ceritera itu tersebar luas dalam waktu yang singkat. Akibatnya, maka rakyat Singasari pasti akan terbelah. Sebagian akan berpihak kepada Anusapati dan sebagian akan berpihak kepada Tohjaya, karena mau tidak mau mereka akan langsung menghubungkan pertengkaran itu dengan sikap Sri Rajasa yang tampak dengan jelas, agak kurang adil terhadap kedua puteranya."
"Orang-orang tua akan tahu sebabnya. Tetapi bagi yang muda tanggapannya pasti akan agak berbeda."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ia-pun kemudian berkata,"Sumekar, apakah kau bersedia mencari Witantra atau Mahendra disekitar istana ini" Tentu saja kau harus keluar dari istana ini tidak lewat regol depan atau regol butulan."
"Aku sudah mempunyai jalan sendiri," Sumekar tersenyum.
"Terima kasih. Sampaikan pesanku kepada mereka, bahwa aku memerlukan mereka setiap saat, apabila keadaan benar-benar tidak terkendali. Jika kau dapat mengusahakan, bawalah salah seorang dari mereka masuk kedalam taman, dan berilah aku isyarat apabila kau berhasil."
"Apakah isyarat itu?"
"Kau dapat menirukan suara burung tertentu?"
Sumekar mengerutkan keningnya.
"Kalau tidak, lemparlah atap bangsalku dengan kerikil kecil. Aku akan segera keluar dan pergi ketaman ini. Jika bukan malam ini, tentu malam-malam berikutnya. Tetapi aku berharap kau berhasil malam ini. Bukankah tempat kau sering menemui mereka itu masih dapat dijadikan ancer-ancer, kemana kau pertama-tama harus pergi?"
"Baiklah. Aku akan mencobanya. Mereka-pun tentu akan menyadari keadaan."
"Selagi aku masih ada di Singasari. Perintah dari Sri Rajasa dapat datang setiap saat."
"Aku mengerti."
"Baiklah. Cobalah malam ini. Aku menunggu isyaratmu."
"Aku akan memberikan isyarat. Jika aku melempar atap rumahmu, atau menirukan suara burung kedasih beberapa kali, tandanya aku berhasil. Tetapi jika aku memberi isyarat hanya tiga kali, maka malam ini aku belum dapat menemuinya. Dan kau tidak usah menunggu semalam suntuk."
"Terima kasih. Di hari-hari terakhir, Sri Rajasa-pun tentu telah berbuat sesuatu. Dan kita-pun harus mengimbanginya."
Demikianlah maka Sumekar-pun mempersiapkan dirinya untuk keluar halaman istana mencari hubungan dengan Witantra atau Kuda Sempana. Ia masih berharap bahwa kedua orang itu belum jemu menunggu kesempatan untuk mendapat hubungan dengan Mahisa Agni.
Mahisa Agni-pun kemudian kembali ke bangsalnya. Tetapi ia tidak langsung masuk kedalam bangsal itu. Sejenak ia masih sempat berbincang dengan para prajurit,"Aku ingin beristirahat," berkata Mahisa Agni kemudian,"sudah terlalu malam.Jika aku tidak tidur malam nanti, maka kalian tidak mempunyai tugas lagi."
Para prajurit itu tertawa. Mereka memang menyadari, bahwa tugas mereka hanyalah mengawasi bangsal itu, karena jika terjadi sesuatu, akhirnya Mahisa Agni sendirilah yang harus melindungi dirinya sendiri.
Namun yang menarik perhatian para prajurit itu adalah sikap Mahisa Agni. Ia adalah Senapati Agung yang kedudukannya diatas para Panglima. Apalagi bagi Kediri. Tetapi sikapnya masih tetap seperti Mahisa Agni yang dahulu, Mahisa Agni anak Panawijen.
Jarang sekali seorang Panglima sempat bercakap-cakap dengan para prajurit. Jika ada satu dua prajurit yang mengawalnya, maka sikapnya adalah sikap seorang Panglima terhadap seorang prajurit bawahan. Bahkan satu dua orang perwira yang lain-pun sudah bersikap demikian.
"Ia adalah seorang Senapati besar. Bukan saja kedudukannya sebagai Senapati Agung dan wakil Mahkota di Kediri, tetapi jiwanya-pun ternyata cukup besar."
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,"Pengaruh itu tampak pula pada Putera Mahkota. Selain sikapnya, maka keduanya tidak menaruh prasangka buruk terhadap sesamanya. Ternyata keduanya tidak memerlukan pengawalan seperti tuanku Tohjaya dan putera-putera Sri Rajasa yang lain."
"Ya, selain mereka tidak berprasangka, mereka-pun terlalu percaya kepada diri sendiri. Coba katakan, siapakah yang dapat melampaui kemampuan tuanku Mahisa Agni, dan tuanku Pangeran Pati selain Sri Rajasa.Dan tentu Sri Rajasa tidak akan berbuat apa-apa atas mereka."
"Orang berkerudung yang sempat masuk kehalaman itu?"
"Seandainya mereka sempat bertemu dengan keduanya atau salah seorang dari pada mereka, maka sejauh-jauh dapat dilakukan adalah seimbang saja."
Prajurit-prajurit itu mengangguk-anggukkan kepala. Mereka memang sependapat bahwa Mahisa Agni adalah seorang yang berjiwa besar, ramah dan rendah hati.
Dalam pada itu, Sumekar yang telah berhasil meloncati dinding tanpa diketahui oleh para peronda itu-pun segera menyelusuri jalan kota Singasari. Yang pertama-tama didatanginya adalah tempat yang biasa dipergunakan oleh Witantra atau Mahendra menunggu hubungan dari dalam istana.
Tetapi Sumekar tidak melihat seorangpun, sehingga karena itu ia-pun mengambil keputusan untuk pergi saja mengelilingi kota. Mungkin disatu tempat ia bertemu dengan salah seorang dari keduanya.
Namun belum lagi ia beringsut, terdengar suara seseorang memanggilnya. Dan suara itu bukan suara Witantra dan bukan pula suara Mahendra.
Sumekar berhenti sejenak. Dari dalam kegelapan dibalik bayangan dedaunan Sumekar melihat sesosok bayangan yang muncul.
"Bukankah kau Sumekar?" bertanya bayangan itu.
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Katanya,"Kakang Kuda Sempana. Justru kakang yang ada disini?"
"Ya, Beberapa hari ini giliranku. Keduanya hampir jemu menunggu. Tetapi tidak seorang-pun yang datang. Lalu akulah yang mendapat giliran tidur disini. Aku sudah empat malam selalu menungu salah seorang dari kalian di istana Singasari."
Sumekar-pun kemudian mendekati Kuda Sempana, dan keduanya-pun duduk dibalik gerumbul sambil membicarakan masalah yang sedang dihadapinya.
"Jadi persoalan itu seakan-akan menjadi panas?"
"Ya. Bahkan hampir terjadi dengan terbuka."
"Lalu apakah pesan Mahisa Agni."
"Sekedar persiapan. Jika setiap saat meledak. Dan rasa-rasanya kita memang berada diatas ujung tanduk. Setiap saat, jika kita kurang berhati-hati, maka perut kita dapat berlubang."
"Apakah aku harus menyampaikannya kepada Witantra."
"Ya. Dan Mahendra."
"Baiklah. Tentu bukan sekedar kami bertiga yang diharap oleh Mahisa Agni. Dan aku akan menyampaikannya kepada Witantra. Mungkin ia mengerti, apa yang sebaiknya harus aku kerjakan."
"Tetapi agaknya Mahisa Agni-pun ingin bertemu."
"Jangan sekarang," berkata Kuda Sempana,"aku harus menemui Witantra, kita bersama-sama akan bertemu dengan Mahisa Agni besok malam disini."
"Barangkali ia perlu pesan kepadamu. Aku dimintanya untuk memberikan isyarat apabila aku dapat menemui kalian salah seorang atau semuanya."
Kuda Sempana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata,"Kenapa tidak besok?"
"Malam ini, dan sehari besok, bermacam-macam persoalan dapat terjadi."
"Tetapi tidak mungkin malam ini aku mencari Witantra."
"Mungkin tidak perlu. Tetapi sekedar bahan yang akan kalian bicarakan perlu kau dapat malam ini."
"Baiklah. Aku menunggu disini."
"Terima kasih. Aku akan membawa Mahisa Agni keluar halaman istana malam ini."
Demikianlah Sumekar-pun segera berusaha untuk dapat memberikan isyarat kepada Mahisa Agni. Ia sama sekali tidak menemui kesulitan untuk memasuki halaman istana, seperti pada saat ia keluar.
Dan ia-pun tidak mendapat banyak kesulitan untuk mendekati bangsal Mahisa Agni. Tetapi Sumekar tidak dapat segera memberikan isyarat dengan melemparkan kerikil keatas atap bangsal itu, karena pengawasan yang ketat. Karena itu Sumekar mempergunakan cara yang lain. Dari sudut halaman ia menirukan bunyi seekor burung kedasih beberapa kali. Ia berharap bahwa Mahisa Agni akan dapat mendengarnya dan menangkap isyaratnya.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Agni dapat menangkap isyarat itu. Ia mendengar bunyi kedasih itu dan mengerti maknanya. Karena itu, maka Mahisa Agni-pun sagera berusaha untuk dapat keluar dari bangsalnya tanpa diketahui oleh siapa-pun juga.
Itu-pun bukan suatu kesulitan bagi Mahisa Agni. Dan dengan demikian, maka ia-pun segera bersama-sama dengan Sumekar keluar dari halaman istana menemui Kuda Sempana.
"Kuda Sempana," berkata Mahisa Agni kemudian,"aku memerlukan Witantra saat ini. Aku masih menganggap bahwa nama Witantra belum terhapus sama sekali dari hati para prajurit dan perwira pasukan pengawal, terutama yang sudah berusia pertengahan."
Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,"Ya. Aku kira demikian."
"Karena itu, aku mengharap kedatangannya. Mungkin pada suatu saat, kita memerlukan pengaruhnya didalam lingkungan para pengawal Aku tidak tahu, apakah yang akan dilakukan oleh Panglimanya yang sekarang seandainya terjadi persoalan yang terbuka antara Tohjaya dan Anusapati."
Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tentu Witantra tidak akan dapat berterus terang berada diistana Singasari."
Kuda Sempana menganggukkan kepalanya."Aku mengerti," jawabnya,"aku kira Witantra-pun tidak akan berkeberatan."
Demikianlah maka, Kuda Sempana-pun segera pergi meninggalkan Singasari. Ia harus menghubungi Witantra dan membawanya menemui Mahisa Agni besok malam. Dalam keadaan yang panas itu, perubahan dapat terjadi setiap saat itu merupakan waktu yang sangat berharga. Sepeninggal Kuda Sempana maka Mahisa Agni-pun segera kembali kebangsalnya dan Sumekar masuk kedalam gubugnya yang kecil tanpa mengganggu tetangga-tetangganya yang tinggal disebelah menyebelah gubugnya.
Namun ia tidak dapat segera tidur. Persoalan-persoalan itu masih tetap tersangkut dikepalanya. Dan bahkan dorongan didalam dadanya untuk berbuat sesuatu rasa-rasanya tidak dapat dikendalikan lagi.
Tetapi Sumekar masih harus menghormati usaha Mahisa Agni. Ia tidak dapat merusak rencana Mahisa Agni itu."Tetapi apabila datang saatnya, aku benar-benar harus bertindak. Lebih baik aku menjadi tumbal daripada harus terjadi persoalan dan pertentangan yang lebih luas lagi. Jika dengan alas pengorbananku, persoalan ini dapat selesai tanpa melibatkan prajurit dan rakyat Singasari, maka alangkah baiknya. Singasari yang selama ini dipupuk dan disirami tidak akan segera layu dan bagaikan daun yang kering, menguning dan berguguran ditanah," berkata Sumekar didalam hatinya.
Dalam pada itu, seperti Sumekar.Mahisa Agni-pun tidak segera dapat tidur nyenyak malam itu. Ia selalu dipengaruhi oleh berbagai macam angan-angan. Memang mungkin terjadi sesuatu dengan Anusapati didalam sepinya malam. Tetapi Anusapati bukannya orang yang mudah menyerah pada keadaan. Apalagi ia memiliki kemampuan yang dapat melindunginya. Bahkan seandainya Sri Rajasa sendiri datang ke bangsal itu. Anusapati pasti akan dapat bertahan beberapa lama. Dengan trisula kecilnya, Anusapati akan dapat berusaha mempertahankan dirinya. Sementara itu tentu terjadi keributan di halaman ini, sehingga ia akan sempat mendengarnya dan ikut campur secara langsung.
"Tetapi bagaimana jika Sri Rajasa berhasil memasuki bangsal itu dengan diam-diam, dan dengan diam-diam pula bertindak atas Anusapati?" ia bertanya kepada diri sendiri.
Mahisa Agni tidak dapat melepaskan kemungkinan itu, karena yang pernah dilakukan oleh Sri Rajasa adalah tindakan licik serupa itu. Ia telah membunuh mPu Gandring, Tunggul Ametung dan dengan licik sekali menjerumuskan Kebo Ijo ke dalam jebakannya.
"Tentu ia dapat berbuat licik pula terhadap Anusapati," berkata Mahisa Agni didalam hatinya.
Namun ia percaya bahwa Anusapati tentu tidak akan lengah. Meski-pun Sri Rajasa dapat meremas dinding kayu yang secengkang tebalnya, tetapi Anusapati-pun tentu dapat mendengar gemerisik yang betapa-pun lembutnya. Dan bahkan mungkin sekali Anusapati sama sekali tidak dapat tidur dimalam hari.
Karena itulah, maka di pagi-pagi benar. Mahisa Agni telah telah terbangun. Ia hanya sekejap saja dapat memejamkan matanya. Tetapi bagi Mahisa Agni, yang sekejap itu telah cukup untuk menyegarkan tubuhnya.
Ketika ia kemudian keluar dari bangsalnya, dilihatnya suasana yang wajar di halaman istana. Para prajurit masih tetap bertugas dan yang lain bahkan masih berbaring didalam gardu. Dengan tergesa-gesa mereka-pun berloncatan bangun ketika tiba-tiba saja mereka melihat Mahisa Agni sudah berada didepan gardu itu.
Tak Mungkin Kuhindar 2 Goosebumps - Pantai Hantu Titik Muslihat 10

Cari Blog Ini