Ceritasilat Novel Online

168 Jam Dalam Sandera 1

168 Jam Dalam Sandera Karya Meutya Hafid Bagian 1


168 JAM DALAM SANDERA Meutya Hafid "buku ini berisi kegigihan seorang reporter, komitmen kepada profesi, serta keberanian dan keteguhan sikap. Saya sebagai pimpinan Metro TV. yang telah mengupayakan keselamatan Meutya dan Budiyanto, berbangga hati dengan terbitnya buku ini"
- Surya Paloh Pemimpin Umum Media Group
" ... sangat menarik, berisi pengalaman pahit yang langka, dilukis oleh gejolak hati anak manusia yang mengalaminya. Melalui memoar ini sekali lagi terbukti bahwa perbedaan dapat dipertemukan oleh kemanusiaan dan bahwa setelah, bahkan bersama, kesulitan ada kemudahan."
- Prof. Dr. M. Quraish Shihab
Direktur Pusat Studi Al-Quran Jakarta
"..dengan keyakinan yang teguh kepada Allah.Swt, komitmen yang utuh pada profesinya, serta ketegaran dalam tekanan dan musibah kehidupan, seorang Meutya Hafid akhirnya lolos dan lulus dari kelompok Jaisy Al-Mujahidin"
- Prof. Dr. M. Amien Rais
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Gajah Mada. Jogyakarta
"Dalam buku kecil ini penulis mengisahkan pengalamannya selama ditahan oleh Mujahidin Irak. Mereka adalah tentara Alah yang perjuangannya semata mata membela Islam dan kaum Muslim ....
Karena tujuan perjuangannya semata-mata mencari ridha Allah, bukan kemewahan dunia, maka dalam melaksanakan tugas suci ini mereka dibimbing oleh syariat Islam sehingga berakhlak mulia."
- Ustad Abu Bakar Ba'asyir
Ketua Majelis Mujahidin Indonesia
"Pengalaman Meutya. perempuan yang tegar dan penuh tawakal dalam menghadapi musibah, selama tujuh hari di bawah penyanderaan, sangat bermanfaat untuk menyadarkan kita. betapa kekerasan atas nama agama tidak dapat dibenarkan walau dilakukan atas dalih melawan kelaliman."
- Prof Dr. M. Din Syamsuddln
Ketua Umum PP Muhammadiyah
"Dengan buku ini. terbukti kebenaran ungkapan tiada yang ditakuti kecuali ketakutan itu sendiri."
KH. Abdurrahman Wahid Mantan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama
"Sangat menggugah dan informatif, memberi gambaran kepada setiap orang yang bekerja ataupun yang tertarik pada dunia jurnalistik mengenai suka duka dan lika liku di dalamnya "
- Nicholas Saputra Pekerja Seni
Pujian untuk 168 Jam dalam Sandera "Saya pujikan memoar Meutya Hand, 168 Jam dalam Sandera agar dibaca oleh wartawan,khu-susnya reporter televisi, radio, surat kabar, dan majalah. Gaya bertutur yang kencang, percakapan salam batin ( monologue interieur) yang dikaitkan dengan pengamatan cermat alam panca indera, pelaporan yang tanpa takut dan prasangka, penerapan kilas balik, ketegangan, konflik, solusi saat ringan (takut sama tikus), penguras air mata atau tearjerker (ketika diberi-tahu tentang tayangan televisi [di Indonesia] lalu menangis), doa yang pasrah, kearifan yang tampak jelas, semua itu ada dalam arus dan alur cerita. Meminjam analisis dramaturgi, 168 Jam dalam Sandera mempunyai premis iman yang teguh sanggup mengatasi bahaya dan kesulitan. Meutya Hafid telah membuktikan premis ini secara cemerlang, dengan setting medan perang Irak yang sampai sekarang dihantam gejolak terus. Dan, mengutip judul film aktris tenar tahun 1940-an, Janet Gaynor, saya katakan dengan tampilnya Meutya: a star is born. Seorang bintang telah lahir."
- H. Rosihan Anwar Wartawan Senior "Mengharukan dan menyentuh ... beberapa kali saya terpaksa berhenti membaca karena tak kuasa menahan tangis. Tidak hanya bercerita tentang ketabahan dan ketangguhan penulis dalam menghadapi cobaan berat, memoar ini juga menyadarkan pentingnya arti kepasrahan dan penyerahan diri kepada kuasa Tuhan."
- Dian Sastrowardoyo Pekerja Seni "Bukan saja para jurnalis, tetapi kita semua anak bangsa dapat memahami serta menghayati bagaimana dengan keyakinan yang teguh kepada Allah Swt, komitmen yang utuh pada profesinya, serta ketegaran dalam tekanan dan musibah kehidupan, seorang Meutya Hafid akhirnya lolos dan lulus dari kelompok Jaisy Al-Mujahidin, yang demikian menegangkan dan menguras perhatian kita semua."
- Prof. Dr. M. Amien Rais
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
"Dalam buku kecil ini penulis mengisahkan pengalama
nnya selama ditahan oleh Mujahidin Irak. Mereka adalah tentara Allah yang perjuangannya semata-mata membela Islam dan kaum Muslim.
Karena tujuan perjuangannya semata-mata mencari ridha Allah, bukan kemewahan dunia, maka dalam melaksanakan tugas suci ini mereka dibimbing oleh syariat Islam sehingga berakhlak mulia. Oleh karena itu penulis sebagai seorang wanita ketika ditahan oleh mujahidin Irak diperlakukan dengan sopan, sebagaimana keterangan penulis dalam buku ini. Pengalaman penulis ini adalah merupakan pelajaran bagi penulisan khususnya dan bagi umat Islam umumnya bahwa: (1) Allah akan selalu menguji iman dengan berbagai macam ujian yang tidak menyenangkan sebagaimana difirmankan dalam surah Al-Baqarah: 155, 'Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.' (2) Allah menunjukkan bahwa mujahidin yang membela dien-Nya di dalam perjuangannya harus dilandasi oleh niat ikhlas dan akhlak mulia."
- Ustaz Abu Bakar Ba'asyir
Ketua Majelis Mujahidin Indonesia
"Memoar yang sangat menarik, berisi pengalaman pahit yang langka, dilukis oleh gejolak hati anak manusia yang mengalaminya. Melalui memoar ini sekali lagi terbukti bahwa perbedaan dapat dipertemukan oleh kemanusiaan dan bahkan bersama kesulitan ada kemudahan."
- Prof. Dr. M. Quraish Shihab
Direktur Pusat Studi Al-Quran Jakarta
"Buku ini berisi kegigihan seorang reporter, komitmen kepada profesi, serta keberanian dan keteguhan sikap. Saya sebagai pemimpin Metro TV, yang telah mengupayakan keselamatan Meutya dan Budiyanto, berbangga hati dengan terbitnya buku ini."
- Surya Paloh Pimpinan Media Group 168 Jam DALAM SANDERA MEMOAR JURNALIS INDONESIA YANG DISANDERA DI IRAK
- Meutya Hafid - 168 JAM DALAM SANDERA Memoar Jurnalis Indonesia yang Disandera di Irak
Karya Meutya Hafid Copyright " Meutya Hafid, 2007
Penulis Pendamping: Mauluddin Anwar,
A. Latief Siregar, Ninok Laksono
Penyunting: Hermawan Aksan
Penyelaras aksara: Emi Kusmiati
Pewajah sampul: Windu Tampan
Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika)
Anggota IKAPI Jin. Puri Mutiara Raya No. 72
Cilandak Barat, Jakarta Selatan 12430
Telp. 021-75915762, Fax. 021-75915759
E-mail: hikmahku@cbn.net.id, hikmah_publisher@yahoo.com
http://www.mizan.com/hikmah
ISBN: 978-979-114-121-5 Cetakan I, September 2007
Didistribusikan oleh Mizan Media Utama (MMU)
Jln. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146
Ujungberung, Bandung 40294
Telp.: (022) 7815500 (hunting) Faks.: (022) 7802288
E-mail: mizanmu@bdg.centrin.net.id
JAKARTA: (021) 7661724, 7661725,
MAKASSAR (0411) 871369, SURABAYA: (031) 60050079, (031) 8286195,
MEDAN: (061) 820469 THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
Kata Pengantar Oleh Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono
SAYA menyambut baik penerbitan buku "168 Jam dalam Sandera"
oleh Meutya Hafid yang menceritakan pengalamannya sewaktu disandera di Irak.
Saya sendiri tidak akan pernah melupakan kejadian itu. Masih segar dalam ingatan saya ket-ikapada tanggal 19 Februari 2005 saya dibangunkan oleh ajudan yang mengatakan ada telepon dari staf khusus Dino Patti Djalal. Pada waktu itu, saya langsung merasa pasti ada hal yang sangat mendesak, karena tidak biasanya saya dibangunkan di tengah malam. Dino menyampaikan perkembangan terakhir yang cukup memprihatinkan mengenai situasi penyanderaan Meutya Hafid dan Budiyanto di Irak. Dari laporan intelijen, sebagian besar korban penculikan di Irak berakhir tragis, dan tidak banyak yang kembali dengan selamat, itu pun biasanya setelah proses perundingan yang rumit dan memakan waktu lama. Sementara itu, kita menghadapi masalah bahwa jaringan informasi dan relasi kita di Irak sangat minim,karena KBRI di Bagdad sudah dikosongkan sejak perang Irak dan yang tinggal hanyalah satu orang staf lokal warga Irak, bernama Walid Gatag.
Setelah mempertimbangkan beberapa opsi, saya segera memutuskan untuk membuat pernyataan melalui televisi malam itu juga. Kru TV segera dipanggil untuk merekam himbauan say
a kepada pihak penculik yang kemudian disiarkan di televisi internasional, terutama Al Ja-zeera. Himbauan tersebut pada intinya menegaskan bahwa Meutya dan Budiyanto adalah wartawan Indonesia yang berada di Irak untuk menjalankan tugas jurnalistik mereka tanpa maksud politis, dan mereka sedang meliput kondisi rakyat Irak untuk dilaporkan ke pemirsa di Indonesia. Saya mengetuk hati nurani para penculik untuk segera membebaskan Meutya dan Budiyanto agar keduanya bisa pulang ke pelukan keluarga mereka di Indonesia yang sangat mengkhawatirkan nasib mereka.
Selama beberapa hari setelah peristiwa penculikan tersebut pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia terfokus pada penyanderaan ini. Segala upayakita lakukan untuk mencari informasi, mencoba melakukan kontak dengan penculik, dan mengirim pesan kepada kelompok penyandera. Selama masa penungguan yang tegang itu, saya tetap optimis bahwa penyanderaan akan berakhir dengan baik, karena Indonesia bukan pihak yang terlibat dalam konflik Irak.
Karena itulah, kita semua lega ketika akhirnya, setelah 168 jam, penyandera membebaskan Meutya dan Budiyanto, yang kemudian ditemukan dalam keadaan selamat. Saya juga gembira karena setelahnya, Meutya dan Budiyanto mengatakan bahwa mereka diperlakukan dengan baik.
Buku ini menceritakan secara rinci pengalaman dan pandangan Meutya menjadi sandera di negeri orang, dalam lingkungan yang sangat asing bagimereka, jauh dari tanah air. Kebanyakan kita melihat konflik berdarah di Irak dari layar televisi atau membacanya di Koran, namun Meutya dan Budianto menyaksikan dan merasakannya sendiri dari bilik salah satu kelompok bersenjata di Irak. Meutya berinteraksi dengan mereka, menatap mata mereka, mendengar amarah mereka, melihat cara hidup mereka, dan Alhamdulillah kemudian berhasil keluar dengan selamat dari penyanderaan.
Pengalaman Meutya dan Budiyanto tersebut penting untuk diketahui komunitas wartawan, terutama mereka yang seringkah berada dalam situasi konflik yang penuh risiko. Hal-hal yang diceritakan Meutya di sini juga bermanfaat pula bagi aparat dan yang sehari-hari bergelut dengan kasus-kasus penyanderaan.
Saya ucapkan selamat bagi Meutya yang telah tegar dalam menghadapi cobaan yang sangat berat dan sanggup menuangkannya dalam sebuah tulisan yang menggugah. Dengan pengalaman yang sangat langka ini, saya yakin Meutya dan Budiyanto akan terus berkarya memperkaya khasanah jurnalisme Indonesia dan menjadi tauladan bagi wartawan Indonesia.
Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono
Ucapan Terima Kasih TIDAK terasa sudah lebih dari dua tahun sejak detik-detik menegangkan itu terjadi. Selama itupula saya kembali tenggelam dalam hiruk pikuk kesibukan seharihari sebagai seorang wartawan.
Sesekali, sebelum memejamkan mata untuk tidur, bayang-bayang akan peristiwa tersebut menyeruak alam pikir. Saya teringat saat berdoa di dalam gua penyekapan, memohon semoga Tuhan mengembalikan saya ke tanah air, agar saya dapat berbagi cerita tentang pengalaman ini. Ketika itulah terbit niat awal saya, untuk mewujudkan janji tersebut dalam bentuk buku, sebelum perlahan memori kian pupus.
Perhatian dan ucapan simpati dari masyarakat yang masih saya terima hingga saat ini menyadarkan, bahwa kisah ini bukan hanya milik saya seorang diri.Saya tidak mungkin dapat melewati cobaanini dengan baik tanpa dukungan yang begitu besar, tidak hanya dari keluarga namun dari saudara setanah air. Adapun pembelajaran ataupun manfaat yang saya petik dari kejadian ini sudah selayaknyajuga menjadi sesutau yang dimiliki bersama. Dengan dorongan dan bantuan dari beberapa rekan saya coba untuk menulis, dengan segala keterbatasan saya.
Buku ini juga saya tulis untuk perjuangan warga Irak. Juga untuk mereka yang menyandera saya, Jaish Al Mujahideen, sebagai pemenuhan janji seorang wartawan untuk memberitakan yang berimbang. Sesuai permintaan Rois ketika membebaskan saya dan Budiyanto, "Tolong ceritakan [kejadian selama penyanderaan ini] apa adanya, tidak dilebihkan, tidak dikurangkan." Harapan besar saya, semoga keadaan di Irak membaik dan warga Irak diberipe-tunjuk
-Nya atas cara perjuangan yang terbaik.
Buku ini saya dedikasikan untuk profesi saya,yang senantiasa membawa beribu warna dalam hidup saya. Semoga menjadi semangat bagi teman-teman seprofesi, dan Anda yang ingin bergabung dalam profesi ini. Juga untuk rekan seprofesi yang gugur dalam peliputan, demi menyampaikan informasi. Semoga bangsa ini dapat lebih menghargaidan menyadari, betapa dua menit paket berita televisi ataupun satu kolom tulisan di koran, terkadang risikonya nyawa.
168 jam dalam penyanderaan juga menyadarkan saya, bahwa untukmeliput dalam daerah konflik ternyata butuh tak sekadar keahlian dan keberanian, tetapi juga wisdom, kedewasaan untuk menilai kapan harus maju terus, kapan harus berhenti. Berhenti bukan hanya untuk diri kita, tetapi juga untuk orang-orang yang mencintai dan menunggu kepulangan kita. Saya persembahkan buku ini kepada keluarga; mama, Metty Hafid; kakak, Fitriana dan Iss Savitri, serta kakak ipar, Kemal Massi, dukungan dan doa mereka tak pernah putus.
Terima kasih atas kesabaran menghadapi cobaan, ketabahan dalam mengorbankan waktu, perasaan, emosi, dan air mata. Untuk kakak saya, (Alm.) Farid Fitrah Syawal, dan tentunya untuk ayah, (Alm.) DR. Anwar Hafid, Ph.D., sebagai sumber ketabahan dan sumber inspirasi saya dalam bekerja keras. Saya bersyukur kepada Allah atas karunia cinta-Nya yang begitu besar, yang saya rasakan melalui dukungan dan simpati begitu banyak orang di negeri ini.
Terima kasih kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Pemimpin Umum Media Group Surya Paloh, Departemen Luar Negeri dan instansi pemerintah lainnya, Badan Intelijen Nasional, atas upaya yang mereka lakukan untuk mengembalikan saya ke tanah air. Terima kasih kepada seluruh organisasi media dan asosiasi jurnalis, lokal maupun internasional, yang turut menekan penculik untuk membebaskan saya.
Terima kasih kepada sahabat dan rekan kerja yang senantiasa menyayangi saya, dalam setiap langkah, guru-guru pendidik, dan juga Anda yang telah turut mendoakan untuk keselamatan saya dan Budiyanto. Terima kasih untuk waktu, untuk perhatian, untuk air mata yang begitu tulus, yang telah tercurahkan, yang telah memudahkan langkah saya kembali ke dalam pelukan orang-orang tercinta, kepada bangsa tercinta.
Saya mungkin tidak dapat membalas lebih dari persembahan buku ini, semoga Allah Swt. Membalas kebaikan kalian, saudara sebangsa, dengan beribu kali lipat kebaikan yang telah kalian berikan bagi saya dan Budiyanto. Amin Allahumma Inni as aluka ridhaaka wal jannah.Ya Allah, aku mohon rida-Mu dan surga-Mu. Amin.[]
ISI BUKU Kata Pengantar oleh Dr. H. Susilo BarnbangYudhoyono ~
Ucapan Terima kasih ~ Bab 1. Jangan Berontak,, Jangan Bergerak! ~
Bab 2. Aku Benar-Benar Diculik ~
Bab 3. Gua Terpencil di Tengah Gurun ~
Bab 4. Selamat Jalan, Budi ~ Bab 5. Memelihara Harapan ~ Bab 6. Harapan yang Pupus ~ Bab 7. Hilangnya kesabaran ~ Bab 8. Kabar Pembebasan ~ Bab 9. Pembebasan yang berliku ~
Bab lO. Tegang Tiada Akhir ~ Bab 11. Aku Pulang ~ Bab 12. Kapan Harus Berhenti" ~
Lampiran ~ Pergolakan Sebuah Ruang Redaksi oleh Don Bosco Selamun ~
Failure is not an Option oleh Dr. R.M. Marty M. Natalegawa Tentang Penulis ~ Bab 1 Jangan Berontak, Jangan Bergerak!
SELASA, 15 Februari 2005 "Bangun, Mut! Bangun!"
Aku kaget mendengar teriakan Budiyanto. Lebih kaget lagi ketika tas yang kupakai sebagai bantal tidur pun terenggut dari bawah kepalaku. Kenapa Budi menarik tasku" "Bangun, Mut! Bangun!"
teriaknya lagi. Aku bangkit duduk.
Apa gerangan yang sedang terjadi" Otakku belum bekerja seratus persen. Namun, bisa kurasakan nada kepanikan dalam lengkingan suara Budi. Budi adalah lelaki Jawa dan setahuku tutur katanya halus. Tak pernah dia meninggikan suara kepadaku seperti itu. Belum sempat aku bertanya, Budi kembali berteriak, "Paspor, Mut! Paspor...!"
Paspor" Kenapa ada yang meminta paspor" Pada hal, rasanya aku sudah lama tertidur sejak melintas perbatasan.
Tetapi, tanganku refleks merogoh tas mencari paspor.
"Cepat, Mut! Cepat!" L
agi-lagi Budi berteriak, kali ini lebih keras.
Mungkin karena panik, tanganku sulit sekali menemukan paspor.
Ku aduk-aduk isi tas. Mataku yang belum awas benar mencoba memandang sekeliling.
Rupanya kami berada di sebuah POM bensin. Posisi mobil GMC
yang kutumpangi seperti tengah mengisi bensin. Mataku menangkap tiga sosok lelaki mengepung mobil kami. Wajah mereka tertutup kain serban yang biasa disebut kafiyeh. Hanya mata mereka yang kelihatan. Aku yakin mereka warga Irak.
Budi, yang duduk di jok depan, memutar badannya ke arahku yang duduk di jok tengah. Pasti dia tak sabar menungguku mencari paspor tanpa hasil. Di sebelah kiri Budi, kursi pengemudi tampak kosong. Ke mana Ibrahim"
Namun,perhatianku tersedot oleh suara orang menghardik dalam bahasa Arab. Mata orang itu memelototiku.
"Paspor!" Hanya itu yang bisa kupahami dari rentetan kata-kata Arab yang mencerocos dari mulutnya.
Aku semakin bingung, tetapi aku yakin pasti ada yang tidak beres. Bukan hanya satu, kini tiga lelaki itu memaksaku dengan tatapan menikam dan tidak sabar. Ketika kutemukan pasporku, salah seorang dan mereka langsung menyambarnya.
Pada saat bersamaan, Ibrahim muncul entah dari mana.
Rautnya panik dan pucat. "Sahafi.' Sahafi.' Muslim.' Andonesi!" Setengah berteriak, Ibrahim menjelaskan kepada tiga lelaki itu bahwa kami wartawan Muslim dari Indonesia.
Namun, ketiga lelaki itu tak memedulikan berondongan penjelasan Ibrahim. Malah mereka membalas dengan rentetan pernyataan yang terdengar lebih sengit. Wajah Ibrahim semakin pucat. Pasti posisinya tak berdaya.
Pintu mobil dibuka. Tubuh Ibrahim yang tinggi besar didorong paksa ke arahku. Lalu, seorang lelaki memaksa masuk dari samping Ibrahim, dan melompat ke kursi paling belakang. Tangannya menenteng senjata laras panjang jenis AK. Dia mengarahkan moncong senjata buatan Uni Soviet itu padaku sambil berteriak dalam bahasa Arab. Sepertinya dia mengatakan, "Jangan berontak, jangan bergerak!"
Lelaki kedua menerjang masuk dari pintu kanan jok depan, memepet tubuh Budi. Dan, lelaki ketiga masuk dari pintu depan kiri, melemparkan tubuhnya di belakang kemudi. Dia membalik ke arah Ibrahim dan merebut kunci mobil dari tangannya. Kasar dan beringas.
Tubuh Budi pun didorongnya ke jok tengah sehingga posisinya kini terjepit tubuhku dan Ibrahim.
Mesin dihidupkan, dan dengan entakan kuat,mobil pun melesat sangat kencang. Sekelebatan aku melihat beberapa orang di POM
bensin hanya melongo tanpa mampu menolong.
Mobil melaju kencang di jalan yang agak lengang, membuat barang-barang bawaan kami, termasuk kamera video, handycam, tripod, laptop, dan lain-lain perangkat liputan kami, terguncang-guncang. Semuanya terjadi begitu cepat. Aku berharap ini hanya bagian dari mimpi tidurku. Kakiku serasa melayang, tubuhku seakan-akan tak lagi menempel di kursi.
Mimpikah" Bukan! Walau perasaanku sulit menerima, otakku yang sudah terjaga terus-menerus meyakinkan, "Ini kenyataan, Mut, bukan mimpi!"
Akhirnya, aku pasrah."Inilah akhir hidupmu."
Di tengah kepasrahanku, Ibrahim mencoba lagi menjelaskan bahwa kami wartawan Muslim dari Indonesia. Namun ketiga orang ini, dengan tubuh terguncang-guncang karena laju mobil tak keruan, tidak kalah sengit menjelaskan dalam bahasa Arab, entah apa. Suasana semakin tegang. Lagi-lagi usaha Ibrahim sia-sia belaka. Ini membuatku tidak mau lagi menghiraukan perdebatan mereka.
Percuma. Kalau memang harus mati saat inii, aku mau mati dalam keadaan baik.
Tanganku menggapai tas, merogoh buku Yasin 40 hari meninggalnya ayahku yang hari ini belum genap satu tahun wafat.
Mungkin hari inii aku akan menyusulmu, Ayah.
Lelaki di belakangku menodongkan senjata AK ke tubuhku.
Mungkin dia menyangka aku merogoh tas untuk mengambil pistol atau senjata pembela diri. Nyaliku semakin ciut.
Namun tiba-tiba Ibrahim berteriak, "Quran!Quran!" Telunjuknya mengarah ke buku Yasin di tanganku.
Aku sendiri sadar betul bahwa dalam situasi ini tak ada yang bisa kulakukan kecuali berdoa. Tak kupedulikan lagi mereka yang terus menatapku. Kubuka buku dan kubaca Surat Yasin dal
am hati. Tak kusangka, ketidakacuhanku rupanya membuat mereka melunak.
Salah satu lelaki di jok depan menoleh dan berbicara padaku dengan nada suara yang lebih lembut. Ibrahim menerjemahkan, "Kami bukan pencuri. Kami Muslim. Kami tidak akan melukaimu. "Benarkah"
Mungkin bisa membaca rona kesangsian di wajahku, Ibrahim menambahkan, "Mereka adalah Mujahidin." Mujahidin" Apa urusannya dengan kami"
Kuberanikan diri menatap lelaki yang tadi berbicara padaku.
Sorot matanya kini tampak lebih lembut, bersahabat. Dari balik lilitan kafiyeh-nya yang melorot, sepertinya aku melihat senyuman yang tertahan di bibirnya. Dia menganggukkan kepala seolah-olah membenarkan Ibrahim. Entah kenapa aku menjadi yakin kembali.
Mungkin Tuhan masih memberiku kesempatan hidup.
Mataku memandang ke luar ketika iring-iringan tentara Amerika Serikat berpapasan dengan mobil kami. Iring-iringan yang sangat panjang. Puluhan tank, jip humvee, kendaraan antitank, dipenuhi tentara. Ketiga penangkap kami tampaknya tak menyangka bakal berpapasan dengan rombongan besar tentara Amerika. Wajah mereka kelihatan menegang.
Terdengar kokangan senjata AK di belakangku. Ya Tuhan, kami akan diberondong puluhan tentara Amerika jika tiga lelaki ini nekat.
Tiba-tiba, sopir membanting setir ke sebelah kanan, membuat posisi mobil terlempar dari ruas jalan. Untunglah gerakan itu tak membuat rombongan tentara curiga. Di depan dan belakang mobil kami memang banyak kendaraan lain yang juga memberikan jalan bagi mng-mn-gan serdadu itu.
Setelah iring-iringan serdadu lewat, ketiga penangkap kami berdiskusi setengah berbisik. Sesaat kemudian, mereka menutup mata Ibrahim dengan kafiyeh. Punggung Ibrahim didorong sehingga posisi tubuhnya membungkuk. Lalu, giliran mata Budiyanto dililit. Dia juga dipaksa merunduk. Mungkin mereka khawatir kami akan berteriak meminta tolong saban berpapasan dengan kendaraan lain.
Aku memandang ke arah lelaki di jok depan. Matanya seperti meyakinkan bahwa mereka tak akan mencelakaiku. Sempat kulirik jam tanganku, pukul 4 sore Waktu Indonesia Barat. Pukul 12 siang waktu Irak. Lalu, tiba-tiba mataku pun ditutup. Lelaki bersenjata di belakangku melilitkan kafiyeh-nya.. Kencang sekali, membuatku sulit bernapas. Tangannya menekan punggungku, memaksa tubuhku merunduk. Hanya deru mesin mobil yang kini kudengar, bersahutan dengan suara jantungku yang semakin kencang berdegup.
Dunia kini benar-benar gelap.
Inikah perjalanan menuju kematian"[]
Bab 2 Aku Benar-Benar Diculik HARI itu, Senin, 31 Januari 2005, aku agak terlambat tiba di kantor.
Ini hari pertamaku muncul lagidi studio Metro TV Kedoya, Jakarta Barat, setelah dua pekan bertugas di Aceh, tepatnya di Meulaboh.Sepulang dari Aceh, aku sempatkan pergi ke Makassar, untuk menuntaskan urusan pensiunan almarhum ayah yang terbengkalai. Dan pagi itu, karena keberangkatan pesawatku dari Makassar tertunda, agak molor juga kedatanganku di Bandara Soekano- Hatta. Kemacetan Jakarta di awal pekan semakin menghambat kehadiranku di Kedoya.
Suasana kantor ekstra sibuk. Sisa bencana tsunami yang meluluhlantakkan Aceh, 26 Desember 2004, masih menjadi berita yang dinanti pemirsa. Dan, Metro TV adalah stasiun terdepan yang menayangkan informasi pasca bencana tsunami dari berbagai pelosok Aceh dan Nias. Lebih separuh kru redaksi Metro TV saat itu seperti pindah kantor ke berbagai daerah di Aceh yang diterjang tsunami: Banda Aceh, Meulaboh, Galang, dan Lhokseumawe. Itu berarti kurang 50 persen SDM yang tertinggal di kantor pusat harus bekerja ekstra keras. Tentu saja termasuk anchor (penyiar berita atau presenter) sepertiku, yang harus siap menjalani jadwal siaran panjang dalam sehari karena banyaknya program khusus tambahan selain program reguler yang ditayangkan. Kantor biasa menyebutnya "siaga satu".
Setelah menyampaikan rangkaian informasi mengenai bencana tsunami di studio, aku mampir keruang redaksi, yang menjadi jantung sebuah media berita. Di sinilah semua berita diolah, dari bahan mentah menjadi materi siap tayang. Di ruang ini pula kebijakan-kebijakan penting redaksi
dibahas. Juga, kalau tidak ingin ketinggalan isu dan rumpian aktual, wajib hukumnya menyambangi ruangan ini.
"Horee, Meutya sudah balik. Mana oleh-olehnya""
"Wah, kulitmu lebih manis, nih."
Begitulah candaan teman-teman di redaksi menyambut rekan yang baru pulang tugas cukup lama di luar kota. Sepulang dari Aceh, kulit mukaku memang kersang terbakar. Maklumlah, selama di Aceh aku kerap masuk ke daerah terisolasi. Teunom dan Phang Ha di Kabupaten Aceh Jaya, misalnya, lu-luh lantak sehingga tidak ada satu pun pohon rindang atau bangunan untukku berlindung dari sengatan matahari pantai yang terik.
Saling canda masih berlanjut ketika lamat-lamat kudengar dari ruang Koordinator Liputan (Korlip), perbincangan soal kru yang akan mendapat tugas ke Irak. Ruangan Korlip adalah satu bagian kecil dari ruang redaksi yang lebih sibuk karena dari sanalah semua gerakan pasukan peliput alias reporter dan kontributor dikomandokan. Aku coba mencuri dengar sambil melanjutkan obrolan dengan teman-teman. Kupikir, memang tidak berlebihan jika Metro TV mengirim tim untuk meliput pemilu Irak. Warga Irak tengah merayakan pesta demokrasi pertama setelah Saddam Hussein, pemimpin Irak selama hampir 24 tahun, jatuh. Juga, mengingat pemberitaan MetroTV mengenai Irak sebelumnya cukup intens, baik sebelum, selama, maupun setelah invasi pasukan Amerika Serikat dan sekutunya.
Dari ruangan kecil itu, kudengar namaku juga disebut-sebut.
Rasa ingin tahu membuatku tak berpikir dua kali langsung menerobos ke ruang korlip. Beberapa koordinator liputan tengah berembuk.
Kulihat juga Budiyanto, koordinator juru kamera MetroTV yang beberapa kali ditugasi bersamaku. Penugasan kami terakhir adalah November 2004, meliput amnesti atau pengampunan yang diberikan pemerintah Malaysia kepada para tenaga kerja ilegal, termasuk dari Indonesia. Peliputan kami selama hampir satu bulan di Malaysia itu dinilai cukup sukses oleh Metro TV.
"Lah, ini kebetulan ada Meutya, dia kan mahir berbahasa Inggris," ujar Budiyanto dengan logat Jawanya yang medok, sambil tersenyum ke arahku.
"Ada apa sih, Mas, kok seru sekali ngobrolnya"" tanyaku.
Selain Budiyanto, ada juga Dadi R. Sumaat-madja, Wakil Kepala Peliputan, dan Irfan Mau-lana,Koordinator Liputan.
"Ada rencana penugasan ke Irak. Kalau jadi, harus berangkat secepatnya, biar tidak kehilangan momentum," kata Budiyanto. Dia menjelaskan, kalau tidak pergi segera, lebih baik rencana penugasan dibatalkan saja.
"Apa saja yang perlu disiapkan, Bud" Kita tidak punya banyak waktu. Bagaimana dengan visa"" tanya Dadi.
Budiyanto memang sudah dua kali meliput di Irak. Pertama, ketika sebelum invasi militer Amerika Serikat, dan kedua sesaat setelah Saddam jatuh.
"Setahu saya, dua tahun lalu kita bisa minta visa on arrtval ke Yordania. Paling tidak, masuk dulu ke Yordan. Urusan visa Irak kita pikirkan nanti. Yang penting berangkat dulu." Budiyanto menegaskan kemungkinan untuk mengejar waktu. Yordania merupakan negara tetangga Irak yang berbatasan langsung dan terbilang aman.
Aku memilih tidak banyak bicara.
"Baik, kita akan segera rapat soal jadi tidaknya berangkat, dan siapa yang akan ditugaskan. Kita masih tunggu Don." Dadi menyebut nama Don Bosco Selamun, Pemimpin Redaksi Metro TV.
Keluar dari ruangan kecil itu, aku tersenyum. Asyik, juga kalau aku yang dipilih. Tetapi, kute-pis pikiran itu karena aku tak mau berharap banyak. Lagipula, aku belum cukup istirahat sejak kembali dari Meulaboh. Bayangan kehancuran Kota Meulaboh, bau kematian, dan sosok Yundha, bocah berusia empat tahun yang kehilangan ayah ibunya, masih melekat dalam ingatanku. Hampir setiap sore sepulang liputan di sana, aku bermain bersama Yundha. Kebetulan kami sama-sama mengungsi di Kompi C, satu-satunya markas TNI di Meulaboh yang lolos dari terjangan tsunami. Aku ingat betul mimik muka Yundha, senyumnya yang tertahan, dan sorot matanya yang kosong tetapi masih sanggup membelalak senang ketika disodori susu kotak dari bantuan kemanusiaan.
Aku melenggang ke ruang presenter. Di sini biasanya aku dan teman-teman presenter mendiskusikan beragam
topik, mulai dari pemberitaan yang tengah aktual, urusan jadwal siaran, hingga restoran-restoran enak dan murah sekitar kawasan Kedoya, yang akan jadi sasaran makan siang kami berikutnya. Koordinator Presenter, Usi Karundeng, sibuk memelototi jadwal siaran presenter. Raut mukanya agak muram hari itu. Segera kutebak artinya: akan ada seorang presenter yang mendapat tugas "keluar" ke luar kota atau ke luar negeri sehingga dia harus merombak ulang jadwal yang sudah puluhan kali dirombaknya. Menyadari kedatanganku, Usi membalik ke arahku.
"Nah, ini Meutya. Kamu siap-siap berangkat ke Irak, yah."
"Ke Irak, Mbak" Ada apa"" Aku pura-pura tidak tahu agar dia memberikan penjelasan lebih terperinci.
"Kan lagi pemilu, Muti. Kita sudah terlambat, kamu harus segera berangkat."
"Segera" Kapan"" Raut mukaku sedikit memprotes penugasan dadakan itu, tetapi tak bisa kututupi, semangatku muncul seketika.
"Ehm, mungkin malam ini. Tetapi, kamu koordinasi sama Korlip, yah," jawab Usi.
"Hah, malam ini" Berapa lama, Mbak"" Walau bersemangat, aku terkejut harus berangkat malam itu juga. Padahal, waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang. Otakku langsung berhitung: perjalanan ke rumahku saja di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, paling cepat satu jam. Belum lagi mengepak baju dan perlengkapan liputan.
Ini berarti aku hanya bisa meluangkan maksimum dua jam untuk mempersiapkan segala materi yang berhubungan dengan Irak.
"Satu minggu, Muti. Tetapi, kamu siap-siaplah untuk dua minggu." Senyuman Usi mengingatkanku pada penugasan di Aceh yang rencananya hanya satu minggu, tetapi kenyataannya molor hingga dua minggu.
"Ini Irak, lho, Mbak. Harus pasti, satu atau dua minggu"" Aku memikirkan berapa banyak pakaian yang harus kubawa karena siapa tahu tidak ada laundry di hotel Irak yang masih porak-poranda.
"Oke, Mut, gini aja deh. Kamu segera pastikan semuanya sama Claudius dan Dadi," Usi menyebutkan nama Kepala Divisi Peliputan Metro TV, Claudius Boekan, dan wakilnya, Dadi R. Suraatmadja.
Kibasan tangannya mengisyaratkan agar aku segera pergi ke ruang redaksi.
Belum sampai kakiku di ruang redaksi, telepon selulerku berdering. Nama "Dadi RS" tertera di layar telepon.
"Siang, Mut. Rapat memutuskan kamu yang kita pilih berangkat ke Irak bersama Budiyanto. Sekretariat Redaksi sekarang sedang mengusahakan tiket untuk berangkat malam ini juga."
"Mas, ini Irak, lho. Bukan Bogor. Apa harus berangkat malam ini juga" Tidak bisa besok""
"Tidak bisa, Mut. Proses pemilu sudah berjalan. Maaf, tetapi kita harus mengejar waktu. O ya, satu hal lagi. Saya cuma mau sampaikan bahwa kamu kita pilih dengan pertimbangan peliputan kamu di Aceh menunjukkan kamu tough, energi kamu seperti tiada habisnya, dan lobi kamu bagus. Harapan kita,di Irak kamu bisa melakukan hal yang sama." Ucapan Dadi membuatku terdiam. Haruskah kuterima sebagai pujian, atau malah beban berat" Kantor berharap peliputan di Irak harus lebih baik, atau paling tidak sebanding dengan peliputanku di Aceh. Padahal, medannya sangat berbeda.
"Oke, Mas," jawabku pendek. Ucapan Dadi tadi membuatku kesulitan merangkai kata-kata lain.
Di ruang Koordinator Liputan, aku berdiskusi untuk mematangkan target dan strategi peliputan di Irak bersama Claudius, Dadi, dan Irfan. Budiyanto, camera person yang ditugasi menyertaiku, sibuk mempersiapkan peralatan di ruang camstore. Claudius dan Dadi menegaskan, satu yang harus terpenuhi dan penugasanku: menjawab keingintahuan masyarakat Indonesia tentang pemilu bebas pertama di Irak setelah Saddam Hussein tumbang.
Keingintahuan masyarakat! Tugas seorang jurnalis untuk memenuhinya. Itulah kalimat kunci yang menggerakkanku untuk melangkah tanpa ragu ke medan tersulit sekalipun. Itu pula yang membuatku menerima penugasan ini dengan senang hati. Keyakinan dan rasa percaya diriku memuncak saat itu. Ucapan Dadi di telepon pun kuanggap sebagai tantangan yang harus kupenuhi. Ini awal yang baik. Dilengkapi dengan persiapan dan strategi peliputan yang matang, termasuk meminta tim riset redaksi untuk mencarikan segala informasi menyangkut Irak, tentu semuanya akan berjal
an lancar dan baik-baik saja.
LANCAR dan baik-baik saja" Sungguh, peristiwa yang kini kualami, jangankan terbahas dalam diskusi kami di Kedoya, terlintas di benakku pun tidak pernah.
Mobil GMC yang membawa kami tiba-tiba berhenti. Entah di mana aku sekarang. Mataku masih tertutup kafiyeh. Sepanjang perjalanan tadi, sambil berdoa kucoba mengikuti gerakan mobil.
Kuhitung berapa kali mobil belok kanan, berapa kali belok kiri. Tetapi akhirnya, aku menyerah. Aku tak mampu menghitung lagi. Sebab, sang sopir cukup cerdas, melajukan kendaraan kami dengan zig-zag.
Padahal yang kukenal, jalanan di Irak jarang yang berkelok-kelok seperti itu.
Lagi pula, konsentrasiku buyar karena kaki kananku mulai kram dan terasa sangat sakit. Pasti karena sepanjang perjalanan posisi tubuhku merunduk sehingga harus banyak bertumpu pada kaki yang tertekuk. Sesekali kudengar rintihan Budi. Pasti dia pun sangat tersiksa. Aku sudah membayangkan banyak risiko yang akan dihadapi dalam peliputan di Irak. Tetapi, penderitaan seperti mi tak pernah terlintas!
Mesin mobil dimatikan. Aku tak kuat lagi menahan kram yang luar biasa di kaki. Tetapi, aku masih bisa merasakan jemari tangan melucuti ikatan kafiyeh di kepalaku. Pasti tangan lelaki di belakangku.
Meskipun belum sepenuhnya mampu beradaptasi dengan cahaya terang setelah sekian lama terbenam dalam gelap, mataku bisa melihat letak jarum jam tanganku. Itulah yang pertama kali kulakukan setelah mataku terlepas dari lilitan kafiyeh. Pukul 6 sore WIB. Berarti persis dua jam kami menempuh perjalanan dengan mata tertutup.
Percuma aku menerka di mana posisi keberadaan kami kini.
Pukul 6 sore WIB! Mestinya saat ini aku menyampaikan laporan untuk Metro Hari Ini. Kantor memang mengharuskanku muncul di layar melaporkan hasil liputan Irak setidaknya satu kali sehari, pada program Metro Hari Ini (MHI). Untuk program yang tayang pada prime time ini, beberapa kali aku melaporkan secara live dari studio Associated Press Television Netswork (APTN) di Bagdad.
Biasanya, menjelang pukul 6 sore WIB, produser MHI sibuk meneleponku untuk memastikan materi apa saja yang akan kulaporkan. Sesungguhnya kemunculanku di layar tidak hanya mewartakan kondisi terkini Irak kepada pemirsa di Indonesia.
Tampilanku juga sekaligus meyakinkan pada keluarga dan kerabatku bahwa aku baik-baik saja. Dan sore ini, aku tidak muncul menyapa mereka.
Tahukah mereka bahwa aku tengah menghadapi masalah"
Tahukah mereka saat ini hidupku diujung tanduk"
Mesin mobil telah dimatikan, tetapi para penculik belum membolehkan kami turun. Posisiku pun masih merunduk, tak berani memandang ke luar. Dua lelaki yang duduk di jok depan sudah turun.


168 Jam Dalam Sandera Karya Meutya Hafid di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku bisa mendengar percakapan mereka, seperti tengah membahas dan mempersiapkan sesuatu. Apa yang akan mereka lakukan pada kami" Siapa yang dapat menolongku" Budi dan Ibrahim sama tak berdayanya denganku. Moncong senjata milik lelaki di jok belakang masih mengarah ke kepala kami.
Kami tak mampu berbuat apa-apa. Mengharapkan bantuan datang dan luar rasanya mustahil. Aku menyesal tak mengontak Muhammad Nasser, guide kami di Bagdad, untuk mengabarkan bahwa kami akan kembali ke Bagdad. Mister Wail, sopir kami di Bagdad, juga pasti tak bakal menunggu, dan tak akan bertanya-tanya kenapa kami belum juga tiba di sana karena aku tak mengabarinya. Jadi, siapa yang bakal menyadari kami menghilang" Satu-satunya harapan adalah kantorku di Kedoya. Hanya mereka yang tahu persis posisi terakhir kami. Tetapi, tahukah mereka apa yang tengah kualami"
Aku yakin tidak. Sebab, korlip dan produser di Kedoya sudah tahu bahwa sore ini aku tidak akan muncul di layar. Bukan karena aku tengah "menghadapi masalah" ini, melainkan karena mereka sudah kukabari bahwa aku tengah dalam perjalanan darat dari Amman, Ibu Kota Yordania, ke Bagdad. Ya, pukul 2.30 dini hari, aku dan Budiyanto bertolak dari Amman dengan menyewa mobil GMC milik Ibrahim.
Sekitar pukul 7 pagi, kami tiba di perbatasan Yodania-Irak. Ini kali kedua kami memasuki Irak melalui perbatasan ini. Dua belas hari sebelumnya, kami juga men
embus Irak melalui perbatasan yang sama.
Seperti yang sudah kuduga, persoalan di pos imigrasi cukup rumit. Alasannya sama dengan ketika kami masuk sebelumnya, yakni ada travel ban untuk warga negara Indonesia, yang dilarang pergi ke Irak karena pemerintah tidak menjamin keselamatan mereka setelah kedutaan Indonesia untuk Irak ditarik sejak invasi tahun 2003.
Namun, persoalan kali ini lebih rumit karena kepala imigrasi mempertanyakan alasan kami masuk kembali ke Irak dalam waktu singkat. Meski begitu, dia tetap ramah menyambut kami yang sudah dikenalnya 12 hari lalu, dengan menyuguhkan chai, teh khas Irak, di ruangannya. Setelah memaklumi penjelasanku kenapa kembali ke Bagdad, dia pun menandatangani surat izin, bertepatan dengan ketika chai di gelas kecil itu sudah habis kuseruput.
Perjalanan berlanjut dari perbatasan menuju Bagdad. Biasanya, tak jauh dari perbatasan, sinyal GSM akan hilang. Karenanya kusempatkan mengirim pesan singkat, SMS, kepada keluarga dan teman-teman. Sudah menjadi kebiasaanku setiap meliput didaerah konflik, memohon maaf dan doa kepada kerabat terdekat. Aku secara khusus menelepon mamaku. "Halo Mama, ini baru masuk perbatasan Irak menuju Bagdad. Paling lama lima jam lagi sam-pai.Nanti dikabari lagi kalau sudah di Bagdad, InsyaAllah."
Ke nomor ponsel Koordinator Liputan, kukabarkan posisi kami saat itu, dan perkiraan tiba di Bagdad sore hari Waktu Indonesia Barat. Kutulis pula bahwa selama perjalanan, kemungkinan banyak daerah tak bersinyal bakal kulewati sehingga akan sulit mereka menghubungi kami. Setelah mengirimkan semua SMS itu, aku merasa lebih siap masuk kembali ke Irak. Kure-bahkan kepala pada tas di sampingku sebagai bantal. Aku memang paling mudah tidur di perjalanan walau dalam suasana tegang sekalipun. Sebelum lelap, sempat kuberharap, ketika membuka mata nanti, kami sudah tiba di Bagdad.
Ternyata harapan itu tak kesampaian. Teriakan Budi dan entakan tangannya pada tasku membuatku kaget. Lalu, peristiwa demi peristiwa yang tak pernah kubayangkan itu terjadi dalam sekejap, bermula di POM bensin. Tiga lelaki menghardik meminta paspor, memaksa masuk ke dalam mobil, menodongkan moncong senjata AK, menutup mata kami, dan melarikan mobil kami entah ke mana.
Sebelum mata kami ditutup, Ibrahim menjelaskan bahwa tiga lelaki ini adalah anggota Mujahidin. Setahuku, itulah kelompok gerilyawan yang dijuluki pemerintah Amerika Serikat sebagai pemberontak,dan biasa meledakkan kawasan-kawasan tertentu di Irak, terutama Bagdad, dengan bom mobil. Baru beberapa hari lalu, aku meliput peristiwa ledakan bom mobil di Bagdad. Dan kini, aku bersama kelompok pelakunya"
Mungkinkah mereka akan menggunakan mobil ini untuk bom bunuh diri, lengkap dengan kami di dalamnya" Rasanya tak mungkin bom bunuh diri dilakukan beramai-ramai. Setidaknya,yang kutahu, belum pernah terjadi.
Otakku terus bekerja ketika mataku hanya bisa melihat kegelapan. Boleh jadi mereka hanyalah para perampok yang dikenal di Irak sebagai Ali Baba, yang menculik orang asing demi uang. Mereka melakukannya karena tak lagi memiliki pekerjaan, akibat porak-porandanya ekonomi Irak pasca-invasi. Tetapi, kenapa kami harus dibawa ke sebuah tempat entah di mana" Kenapa mereka tak mengambil saja uang dan barang bawaan kami, lalu membiarkan kami pergi" Mungkinkah mereka kelompok perlawanan anti-Amerika Serikat dan sekutunya, yang biasa menculik orang asing di Irak, dan memenggal leher sanderanya kalau tuntutan mereka tak dipenuhi"
Aku akan mati dipenggal"
* * * RASA sakit dan kejang di kakiku belum pulih. Kulirik Budiyanto.
Wajahnya meringis. Pasti dia juga merasakan kejang dan sakit luar biasa di kakinya yang tertekuk dan menahan beban tubuhnya selama dua jam.
Lelaki di belakangku memberikan isyarat dengan senjata yang digerakkan kedua tangannya, meminta kami turun dari mobil yang pintunya telah terbuka. Wajahnya yang tak lagi tertutup kafiyeh sangat tidak bersahabat, berbeda sekali dengan lelaki yang tadi duduk di jok depan. Tertatih kakiku menjejak tanah. Bukan tanah ternyata, melainkan pasir. Kulihat butiran-butiran
nya seperti kebanyakan pasir pantai yang biasa kunikmati selagi liburan, hanya bentuknya lebih besar-besar dan kasar.
Namun, ketika mataku menyapu sekeliling, aku terpana. Kamu tidak sedang menikmati liburan dipantai, Meutya! Ini gurun!
Ya, ini gurun pasir. Ke arah mana pun mata memandang, hanya lautan pasir kelabu yang tampak. Tidak ada rumah, pepohonan, tidak juga makhluk hidup lain, kecuali kami berenam. Mengapa kami dibawa ke sini" Kalaupun benar kami diculik, setahuku dari tayangan-tayangan televisi dan dari berbagai pemberitaan yang pernah kubaca, para sandera biasanya ditempatkan di dalam rumah atau digedung terbengkalai, bukan di gurun pasir seperti ini.
Keringat mengucur dari dahiku. Sekujur tubuhku juga mulai basah. Padahal, sebenarn-ya,cuaca siang hari saat Irak memasuki akhir musim dingin sama sekali tidak menyengat. Namun, rasa takutku mendorong keringat dingin itu keluar melalui pori-pori kulit. Apakah tiga lelaki ini akan mendirikan tenda tempat kami berteduh"
Ternyata tidak. Mataku menumbuk sebuah gua kecil yang letaknya agak menjorok ke bawah. Aku benar-benar diculik! Aku disandera!
Aku makin yakin kami bakal disekap dalam gua ketika tiga lelaki itu masuk ke gua tersebut. Sepertinya mereka tidak khawatir membiarkan kami di luar. Lagi pula, akan lari ke mana kami karena, sejauh mata memandang, yang tampak hanya gurun pasir. Gurun kelabu yang kekuningan karena tersiram cahaya matahari. Melarikan diri malah bisa mati konyol.
Toh, meskipun rasa takut tak bisa kutepis, otakku terus meyakinkan diriku untuk tetap ten-ang.Dalam kondisi seperti ini, aku tidak boleh salah langkah. Jangan mengumbar emosi, lawanlah dengan diplomasi!
Kulirik layar ponsel. Tidak ada sinyal. Meskipun sudah kuduga sebelumnya, aku tetap berharap sinyal ponselku muncul, tetapi satu titik pun tak apa. Aku ingin mengirim SMS ke Kedoya: "Kami Diculik! "Aku juga ingin meminta mamaku mendoakan keselamatanku.
Tentu saja aku tak bakal mengabarinya bahwa aku diculik. Aku tak ingin membuatnya bersedih. Aku hanya ingin minta doa. Itu saja.
Dua jam aku, Budi, dan Ibrahim hanya bisa diam. Padahal, biasanya kami tak pernah berhenti mengoceh hingga rasa kantuk mendera. Terutama Budi, selalu saja ada kisah lucu yang meluncur dari mulutnya. Tetapi dalam suasana mencekam seperti ini, kami memilih tak bicara. Lagi pula, kami khawatir para penculik akan salah mengerti jika aku dan Budi berbicara dalam bahasa Indonesia. Dengan Ibrahim,aku juga tak bicara. Aku yakin tiga lelaki itu tak mengerti bahasa Inggris, bahasa sehari-hariku dengan Ibrahim.
Namun, ketika tiga lelaki itu masuk ke gua, aku mencuri kesempatan untuk bertanya kepada Ibrahim, "Di mana kita""
Setelah melirik ke dalam gua dan merasa aman, Ibrahim menjelaskan, "POM bensin tempat kita diciduk tadi adalah Ramadi, tetapi sekarang entah dimana. Mungkin antara Ramadi dan Fallujah."
Mendengar penjelasannya, tubuhku semakin lemas. Kalau dugaan Ibrahim benar, berarti kami berada tepat di zona pertempuran antara gerilyawan Irak dan tentara koalisi. Aku langsung teringat riset yang kukumpulkan bersama tim Metro TV sebelum berangkat. Ramadi dan Fallujah adalah basis perlawanan kelompok gerilyawan, yang masuk dalam wilayah segitiga Sunni setelah Bagdad. Hampir seluruh warga di wilayah ini anti pendudukan. Dua wilayah ini digempur habis-habisan tentara koalisi ketika menginvasi Irak tahun 2003. Tak mengherankan kalau gerakan perlawanan tumbuh subur di sini.
Pertempuran masih kerap meletus, tak peduli siang ataumalam.
Ya Allah, apakah mereka menjadikan kami sebagai tameng"
Jika pertempuran pecah, tubuhku akan jadi sasaran empuk berondongan peluru dari dua sisi berlawanan. []
Bab 3 Gua Terpencil di Tengah Gurun
AKU masih tak bisa memercayai peristiwa yang tengah kami jalani.
Bukan untuk menjalani ini aku jauh-jauh datang ke Irak. Dua belas hari lalu, tanggal 3 Februari, aku dan Budi bertolak dari Amman ke Bagdad bersama Ibrahim, melalui rute yang sama. Tak ada masalah di perjalanan. Ibrahim memang harus menyiapkan uang recehan untuk diberikan kep
ada orang-orang yang kerap menghentikan mobil kami sepanjang perjalanan.
"Ini salah satu akibat buruk invasi," kata Ibrahim menjelaskan fenomena baru itu.
Aku maklum. Toh di Jakarta juga banyak "polisi cepe" di persimpangan jalan, padahal tidak sedang mengalami darurat perang.
Di Bagdad, kami menyewa dua kamar di hotelyang tidak terlalu besar, Coral Palace. Wartawan asing umumnya lebih memilih Hotel Palestine, yang berada di kawasan green zone atau zona hijau.
Kawasan ini dianggap lebih aman karena dijaga ketat pasukan pendudukan. Tetapi, sebenarnya tidak bisa dibilang aman benar.
Sebab, ternyata serangan bom bunuh diri oleh gerilyawan Irak justru lebih sering diarahkan ke kawasan yang konsentrasi pasukan pendudukannya tinggi, seperti green zone. Itu juga salah satu alasan kenapa kami memilih tinggal di Coral Palace, yang terletak di kawasan red zone atau zona merah. Di hotel ini pula, Budi menginap ketika pertama kali meliput Irak saat invasi baru berlangsung dua tahun lalu.
Kami menyewa Muhammad Nasser, yang sebelumnya juga membantu Budi sebagai penerjem-ah,sekaligus guide untuk menembus akses ke kelompok Sunni. Nasser adalah seorang Muslim Sunni Irak.
Dia selalu mencoba menjelaskan secara objektif berbagai informasi tentang Irak. Tetapi, dia tak bisa menyembunyikan keberpihakannya kepada mantan Presiden Saddam Hussein. Dalam kondisi tak menentu di Irak, Nasser paham betul risiko yang mengancamnya sebagai guide wartawan asing.
"Tapi saya harus menghidupi keluarga," kata Nasser, yang juga sopir KBRI di Bagdad.
Dia memang kehilangan pekerjaan setelah kantor Kedutaan Indonesia ditutup pasca-invasi. Kami membayar Nasser 80 dolar Amerika per hari. Angka yang lumayan besar sebenarnya jika dalam kondisi damai. Untuk kendaraan liputan, kami menyewa mobil seorang lelaki tua yang mengerti bahasa Inggris dan biasa kami panggil Mister Wail. Entah apa merek sedan tua berwarna abu-abu milik Mister Wail karena bagian tulisan mereknya sudah dipereteli. Harga sewanya 50 dolar per hari, termasuk bensin.
Selama meliput, aku merasakan suasana mencekam di Bagdad.
Kota ini tampak seperti kota tua yang terbengkalai. Jalan-jalannya sebenarnya lebar dan sangat baik kualitasnya, tetapi sayang di beberapa ruas jalan utama kadang tampak lubang besar bekas serangan roket atau bom. Jembatan-jembatan layang yang tidak terkena serangan masih terlihat kukuh. Rambu-rambu lalu lintas penunjuk jalan terpampang sangat besar dan bagus.
Dibandingkan dengan Jakarta, langit Bagdad sesungguhnya tampak begitu biru dan indah, tidak da polusi, tidak ada asap. Walau hati tertekan dengan kondisi kota, setidaknya kami bisa menghirup udara bersih dan sejuk.
Tidak banyak orang berlalu-lalang kalau tidak ada kepentingan yang mendesak. Jarang sekali ada yang keluar sekadar untuk "jalan-jalan" sore. Kebanyakan orang memilih untuk tinggal di rumah agar lebih aman. Pernah sore hari, aku dan Budi mencoba mampir di sebuah kedai kopi di daerah pusat kota,sayangnya pemilik kafe hanya mau membuka toko dari pagi sampai usai makan siang. Dia tidak berani buka sampai sore, kami pun terpaksa kecewa. Banyak lagi toko lain yang seperti itu. Walau tetap buka, mereka membatasi diri dengan waktu dan melihat situasi. Kalau merasa tidak aman, mereka akan tutup semau mereka.
Gerakan perlawanan secara sporadis terhadap pasukan koalisi masih membara. Pelaksanaan pemilu juga menambah ketegangan itu.
Maklumlah, selama ratusan tahun, kelompok Sunni, yang jumlahnya hanya 30 persen, memegang kendali kekuasaan politik. Kini, dengan pemilu demokratis pertama, diyakini dominasi mereka akan rontok oleh kelompok Syiah yang jumlahnya mencapai 60 persen di Irak.
Meliput di Irak juga selalu diwarnai kejutan. Pengalaman hari pertama, misalnya,membuatku tersentak. Lewat tengah hari waktu itu. Kami tengah menuju Hotel Al-Rasyid, tempat Komisi Pemilihan umum Irak bermarkas, ketika tiba-tiba mobil kami dihentikan dan dikepung kira-kira sepuluh orang berjaket hitam. Raut wajah mereka penuh amarah, dan tangan kanan mereka menodongkan pistol.
Mereka berteriak da lam bahasa Arab, memaksa kami keluar dari mobil. Salah seorang dan mereka yang bertubuh jangkung mengunci leher Budi dengan tangan kanannya dan menekankan pistol ke pinggang Budi dengan tangan kirinya. Budi digiring entah kemana.
Aku bergegas mencoba menyusulnya, tetapi seorang dari mereka menghentikan langkahku dengan tangan kanan yang terus mengarahkan moncong pistol.
"Jangan khawatir, mereka tidak akan membunuh Budi. Hanya memeriksa," kata Mister Wail. Kenapa harus menodongkan pistol"
Kira-kira dua puluh menit kemudian, Budi dikembalikan.
Rupanya, kami tidak sengaja melewati salah satu pos rahasia pasukan koalisi. Ketika mobil kami melintas, Budi tengah mengambil gambar suasana jalanan dari dalam mobil. Menakjubkan! Berarti mereka memonitor gerak-gerik setiap pengendara yang melintas. Padahal, yarak antara pos rahasia dan jalan raya cukup jauh, dan mobil kami sedang melaju.
"Mereka curiga kalian mata-mata," kata Mister Wail, menjelaskan kenapa Budi diperiksa.
Menurut Budi, dia diperiksa di pos tersebut. Letaknya masuk gang sehingga cukup tersembunyi. Luas bangunan dari beton itu hanya 1x1 meter, dan tingginya tiga meter. Oleh orang-orang Irak tak berseragam itu, Budi diinterogasi dan diminta memutar gambar yang telah dia rekam sepanjang hari itu. Mereka ingin memastikan tidak ada gambar pos di kamera ka-mi.Menurut Budi, wajah mereka tampak kesal karena ada adegan pasukan sipil Irak turun dari mobil jip yang terekam kamera. Mereka memanggil serdadu Amerika, yang juga meminta rekaman tersebut diputar ulang. Mereka minta adegan itu dihapus.
"Selama kuputar ulang, ujung senjata laras panjang AK-47 tak pernah lepas dari leherku. Blen-des, untung nggak ada gambar pos yang terekam." Budi masih mencoba bercanda, padahal ketegangan belum sirna dari wajahnya.
Setelah itu, pada hari yang sama, terjadi pengalaman serupa.
Saat itu Budi sedang memasang tripod di pembatas jalan utama kota, dekat Kedutaan Amerika Serikat. Kami ingin merekam suasana Bagdad yang porak-poranda. Ketika Budi baru saja menempatkan kamera di atas tripod, terdengar teriakan menghardik dari arah kedutaan. Kali ini dalam bahasa Inggris.
"Stop shooting! Stop shooting!" Dua senjata laras panjang mengarah ke tubuh kami.
Apa lagi ini" Dan kejauhan,kulihat tangan Nasser dan Mister Wail memberi isyarat agar kami segera kembali ke mobil.
Namun, kudengar teriakan lain: "Don't move!"
Komandan jaga kedutaan berlari ke arah kami. Dia kemudian meminta Budi memutar ulang rekaman gambar. Rupanya dia tak memercayai penjelasanku bahwa kami tak mengambil gambar kedutaan. Kali ini sikapnya lebih sopan ketimbang sepuluh lelaki Irak tak berseragam tadi. Dia pun meminta maaf sebelum mempersilakan kami berlalu.
Baru beberapa jam di Irak, dua kali aku ditodong senjata!
Bagaimana dengan warga Irak yang sudah menjalani kepahitan akibat invasi selama hampir dua tahun" Tak mengherankan kalau Nasser sering mengeluh hidup tertekan.
Pengalaman itu membuat kami harus lebih hati-hati. Tetapi, tentu saja sikap itu menyiksa Budi. Dia tak bisa bebas merekam gambar. Bagaimana mau merekam gambar, baru memasang tripod saja sudah dibidik senjata. Padahal, gambar adalah modal utama laporan televisi. Budi mengaku liputan di Irakkah ini jauh lebih sulit dibandingkan tahun 2003. Saat itu,war-tawan masih bisa memetakan zona tempur atau battlefield, dan masih ada wilayah yang aman.
Betul kata Budi. Saat ini semua wilayah adalah zona tempur.
Gerilyawan dapat meledakkan bom dimana saja. Tentara koalisi juga bisa melepas tembakan di mana saja karena merasa terancam.
Itulah alasan kenapa pengamanan di kawasan zona hijau sangat ketat dan merepotkan. Itu kualami ketika membuat kartu identitas wartawan atau ID card khusus yang dikeluarkan seksi penerangan tentara koalisi, pada hari kedua liputan kami. ID ini penting kami miliki guna mempermudah masuk kekawasan yang dijaga pasukan pendudukan.
Tanda pengenal wartawan ini dikeluarkan di Hotel Al-Rasyid, Markas Komando Pasukan Koalisi. Untuk memasuki markas ini, seseorang harus melewati tujuh atau delapan
lapis pos jaga. Aku tak ingat secara tepat. Di bagian paling luar, ada pos yang dijaga tentara dan polisi Irak. Di lapis-lapis berikutnya, pos dijaga pasukan koalisi dari negara-negara Asia yang mengirimkan tentaranya, seperti Korea Selatan dan Jepang. Barulah di lapis terdalam, kulihat pos dijaga tentara kulit putih.
Pemeriksaan di setiap pos pun berbeda-beda. Ada pos pemeriksaan tas dan tubuh. Perempuan sepertiku akan digeledah oleh petugas perempuan. Pemeriksaan berlangsung cermat, bahkan kotak kosmetikku pun dibuka satu per satu. Ada juga pos yang pemeriksaannya dibantu anjing pelacak. Tas yang kami bawa diletakkan di lantai dan diendus anjing selama beberapa saat. Di pos lainnya, dilakukan tes tingkat keasaman, menggunakan kertas lakmus untuk mengukur Ph yang dimasukkan ke tas kami. Ada juga pos pemeriksaan alat elektronik. Telepon seluler dibuka, baterai dan casingnya dipisahkan. Adapun telepon berkamera harus ditinggal dipos dan diambil kembali ketika pulang. Budi menjalani pemeriksaan yang lebih rumit karena harus melepas baterai kamera. Benda ini memang kerap dicurigai sebagai pemicu bom.
Perjalanan dari satu pos ke pos lainnya berbelok-belok, dengan tumpukan karung pasir di kiri-kanan setinggi dua meter. Di atas pos-pos jaga itu tampak tentara pengintai. Untuk lolos melalui semua tes ini dibutuhkan waktu setengah jam. Barulah kami tiba di pintu utama gedung yang dulu lebih dikenal sebagai Hotel Al-Rasyid.
Namun, dengan kartu identitas khusus pun, keselamatan kami belumlah terjamin. Dulu, sebelum invasi, Presiden Saddam Hussein masih melindungi keselamatan wartawan asing. Tentunya untuk kepentingan propagandanya ke dunia internasional. Sesaat setelah invasi, pasukan koalisi juga menjaga keselamatan wartawan, dengan alasan yang sama. Tetapi kini, tidak ada lagi yang punya kepentingan melindungi wartawan. Bahkan,keadaan berbalik: kehadiran wartawan tidak diinginkan.
Akibatnya, kami harus mencari jalan keluar ditengah serba keterkekangan ini. Kantor sudah memberikan kepercayaan penuh.
Jauh-jauh ke Irak. percuma kalau liputannya asal-asalan!. Lagi pula, ini penugasan yang mahal. Di luar tiket dan akomodasi peliputanku, biaya lain yang cukup besar adalah pengiriman gambar melalui satelit atau feeding. Sekali mengirim gambar berdurasi 10 menit saja biayanya 800 dolar. Padahal, feeding dilakukan minimal satu kali sehari.
Budi tak kehilangan akal. Dia mengambil gambar dari balkon kamar hotel pada malam hari. Cara ini tentu berisiko karena sepanjang jam malam setiap hotel dan gedung disorot lampu besar dari tank-tank tentara koalisi. Kalau tindakan Budi ketahuan,dia bisa ditembak. Sebab, posisi Budi yang memanggul kamera di bahu kanannya ketika merekam gambar mirip dengan gerak gerik kelompok perlawanan yang tengah melontarkan roket jenis PPG ( Rocket Propelled Grenades). Jika kamera ditempatkan di atas tripod pun kerap dicurigai sebagai alat pelontar roket.
Cara lain adalah dengan lebih memfokuskan peliputan di daerah zona merah karena di sana lebih sedikit tentara koalisi yang berpatroli.
Aku pun bisa bebas mewawancarai warga Irak. Memang berisiko karena di kawasan inilah bermukim kelompok-kelompok garis keras dan anti-invasi. Tetapi, itulah risiko yang harus dihadapi.
Kalau takut risiko, pergi saja dari Irak!
Hari-hari berikutnya, aku menjadi terbiasa dengan rutinitas Bagdad. Ledakan bom menjadi menu harian dan letusan senjata lebih sering lagi. Belum lagi listrik yang dimatikan pada malam hari sehingga aku harus tidur di tengah kegelapan dan di antara bunyi desingan peluru.
Suatu hari, aku dan Budi menonton tayangan televisi tentang pembunuhan seorang reporter televisi Al-Hurra, stasiun televisi lokal yang dikabarkan didanai Amerika. Dia diberondong gerilyawan ketika tengah tidur di kediamannya di Bagdad.
"Tenang aja, Mut, biarpun ada puluhan ribu peluru berdesing di sekitar kita, kalau nama kita nggak tertera di situ, ya kita nggak kena." Aku tertawa mendengar ucapan Budi dalam logat Jawanya yang kental. Padahal, Budi tidak sedang guyon sebab kulihat mimiknya sangat serius. Kup
ikir, benar juga ucapannya. Sebagai orang beragama, aku harus percaya takdir.
*** SEBENARNYA, tiga hari lalu, kami telah menyelesaikan liputan di Irak. Kami sudah melaksanakan tugas kami meliput pemilu di Irak.
Kami meliput tingkat partisipasi masyarakat Irak dalam pemilu, yang ternyata cukup tinggi, di atas 60 persen, walau memang di daerah segitiga Sunni, termasuk Ramadi,banyak TPS yang kosong karena ada serangan-serangan ataupun ancaman ledakan bom. Untuk melihat transparansi pelaksanaan pemilu, kami rajin menyambangi kantor Komisi Pemilihan Umum Irak. Hampir setiap hari ada konferensi pers untuk mengumumkan sudah sejauh mana penghitungan suara dilakukan. Sayang, proses penghitungan dilakukan sangat tertutup, tidak seperti di Indonesia, kita bisa melihat penghitungan suara di TPS-TPS. Alasannya, demi keamanan para penghitung suara (menghindari mereka dari sabotase yang dilakukan pihak-pihak yang tidak menghendaki pemilu karena menganggap pemilu adalah hasil rekayasa Amerika). Walhasil, penghitungan suara tidak transparan dan jurnalis tidak bisa betul-betul yakin penghitungan suara dilakukan secara jurdil atau tidak.
Sayangnya, ketika itu pengumuman hasil pemilu tertunda-tunda terus. Tenggat waktu seminggu pun lewat.
Selama menunggu hasil pemilu diumumkan, aku dan Budi meliput sisi-sisi lain dari Irak. Kami merekam sebanyak mungkin suasana Kota Bagdad. Sembari meliput itulah, aku memerhatikan betapa menyedihkannya Bagdad. Ibu kota negeri yang dulu disebut negeri seribu satu malam ini kini penuh kehancuran, berantakan, dan mencekam. Jalan-jalan kota dipenuhi tank-tank militer. Hampir di setiap sudut dijumpai tentara dengan senjata siap meletus. Gedung-gedung hancur. Museum Irak yang berisi karya-karya peninggalan sastra Islam/Timur Tengah juga hancur dan banyak karya berharga itu hilang. Kawat-kawat berduri dan tumpukan karung pasir bertebaran di jalan-jalan utama kota. Orang-orang, baik berpakaian seragam maupun preman, dengan santai berjalan memanggul senjata laras panjang. Dan yang lebih menyedihkan, orang Irak, yang dulu kabarnya terkenal ramah dan sangat menghormati tamu, kini lebih banyak yang ketakutan melihat orang asing. Tatapan mereka awalnya selalu curiga dan tidak bersahabat, barulah setelah kami bicara baik-baik mereka biasanya melunak. Banyak warga yang tidak mau bicara melihat kami membawa kamera. Mereka tidak banyak yang berani berbicara didepan kamera jika kami minta wawancara.
Trauma dan ketakutan, itulah yang membayangi Kota Bagdad.
Liputan kami juga mencakup kehidupan sehari-hari warga Bagdad.
Kami meliput suasana di pasar Syahdun. Keramaian pasar bisa dijadikan tolok ukur pergerakan ekonomi. Di sebuah pasar di Kota Bagdad terlihat hanya beberapa toko yang buka. Menurut para pedagang, selama menunggu hasil pemilu diumumkan, masyarakat lebih banyak yang memilih tidak keluar rumah akibat khawatir dengan aksi-aksi perlawanan dari kelompok penentang pemilu. Jadi, pasar terlihat sepi, penjual juga tidak bergairah.
Tiga hari setelah menyelesaikan tugas meliput itulah, kami berada di perbatasan Irak-Yordania, menuju Amman. Di perbatasan itu, kami harus menunggu untuk mendapatkan visa on arrival baru sebagai izin masuk ke Yordania. Kedutaan Yordania memang hanya memberikan visa model ini untuk sekali masuk, dan itu sudah kami gunakan ketika masuk dari Indonesia.
Di perbatasan, hanya ada satu komputer yang dapat digunakan.
Sial, sistem on line keimigrasiannya sedang hang. Kami terpaksa menunggu tujuh jam hingga komputer tersambung kembali dengan kantor imigrasi di Amman. Meski siang hari, embusan angin serasa seperti ujung-ujung jarum dingin yang menembus hingga tulang. Chai, teh hangat khas Irak, tak mampu menghadang rasa dingin yang membekukan tubuhku. Di luar kantor imigrasi, butiran-butiran salju berjatuhan seperti kerikil putih yang ditaburkan dari langit.
Telepon seluler dalam tasku berbunyi tanda SMS masuk. Dari nomor Koordinator Liputan di Kedoya.
"Maaf Mut, Bud, rapat redaksi memutuskan kalian membatalkan pulang ke Amman dan tetap di Irak untuk meliput peringata
n Asyura, 10 Muharram mendatang. Dadi RS."
Kami terkejut membacanya. Aku dan Budi hanya bisa saling pandang.
Kembali ke Irak" Posisi kami telah keluar dari perbatasan Irak, tetapi belum lolos dan imigrasi perbatasan Yordania karena terganjal masalah visa. Untuk kembali ke Irak, kami harus mengurus visa d iKedutaan Irak di Amman. Sebab, visa masuk Irak pun hanya berlaku sekali. Mereka pikir kembali ke Irak. segampang membalik telapak, tangan! Setidaknya butuh waktu dua hari untuk memperoleh lagi visa Irak.
Apa mau dikata. Ini perintah.
Dan sebenarnya,aku juga berharap bisa meliput Asyura, peristiwa kematian cucu Nabi Muhammad Saw, Hussein bin Ali, yang diperingati kaum Syiah secara besar-besaran di Kota Kar-bala. Pada masa Saddam Hussein berkuasa, peringatan itu dibatasi. Tetapi setelah invasi, kaum Syiah dari luar Irak pun berdatangan.
Esok paginya, kami mengurus visa di Kedutaan Irak di Amman.
Tentu saja pejabat kedutaan yang lebih sepekan lalu kami temui terkejut.
"Kenapa baru kemarin keluar dari Irak kini mau masuk lagi""
Berbagai alasan kami ajukan, termasuk soal janji wawancara dengan sejumlah tokoh pemenang pemilu yang belum sempat dipenuhi. Rencana peliputan Asyura sengaja kami rahasiakan. Kami tak ingin alasan ini justru menghambat pemberian visa.
Maklum, selama dua tahun peringatan besar-besaran Asyura, selalu terjadi peristiwa kekerasan yang disinyalir dilakukan kelompok Sunni.
Walaupun terlihat enggan, pejabat kedutaan itu akhirnya meminta kami kembali esok paginya untuk mengambil paspor dan visa. Selama sehari menunggu itulah, aku dan Budi berdiskusi panjang soal rencana masuk kembali ke Irak. Jujur, perasaanku menjelang keberangka-tan kedua ini jauh berbeda dengan kali pertama. Ada keraguan yang terus menggelayut. Mungkin karena secara fisik mulai lelah. Tetapi, faktor psikis lebih banyak berperan.
Beberapa hari berada di Bagdad yang tak menentu memang membuat kami tertekan. Wajar saja jika banyak warga Irak, terutama para perempuan, yang kabarnya kini selalu mengonsumsi obat penenang.
Berat rasanya bagiku harus mengulang semua pemandangan itu.
Bahasan pertama diskusi kami adalah apakah kami siap atau tidak masuk kembali ke Irak. Aku dan Budi sepakat, semua keputusan ada di tangan kami.
"Jakarta boleh menugaskan, tetapi dalam kondisi begini, kita di lapanganlah yang memutuskan," kataku meyakinkan Budi.
Peliputan Asyura di Kota Karbala bukan hal mudah. Karbala, yang dihuni mayoritas kaum Syiah, berjarak dua jam perjalanan dari Bagdad. Tentu saja, untuk memasukinya kami harus punya akses orang Syiah. Nasser yang Sunni tidak akan mau menemani kami ke Karbala. Peringatan Asyura tahun lalu diwarnai insiden ledakan bom, yang mengakibatkan lebih dari 200 orang tewas. Hampir di seluruh wilayah Karbala juga belum ada sinyal GSM. Ini berarti, selama meliput di sana, kami akan lost contact dengan Jakarta. Semua kendala ini menjadi bahan pertimbangan.
Namun, kami juga memahami keinginan Kedoya. Peringatan Asyura adalah peristiwa yang sarat nilai berita, baik dari sisi visual maupun nilai sejarah.
"Mas Bud siap"" tanyaku setelah menimbang semua kendala terburuk yang mungkin kami hadapi.
Budi mengangguk. "Kamu gimana, Mut""
Aku pun menganggukkan kepala tanda kesiapanku meliput Asyura. Aku percaya, jika diawali dengan niat baik, semua akan baik-baik saja. Insya Allah.
Kami memutuskan, sebelum ke Karbala, kami masuk ke Bagdad lebih dahulu. Kota ini sudah kami kenal. Dari situ pula, kami akan mengatur strategi masuk ke Karbala. Bagaimanapun, kami harus segera masuk ke Irak karena satu minggu sebelum dan sesudah peringatan Asyura, semua perbatasan masuk dan keluar Irak akan ditutup. Itu keputusan pemerintah Irak untuk mengamankan peringatan Asyura. Tampaknya mereka tidak mau insiden yang menewaskan ratusan orang kembali berulang.
Bahasan berikutnya adalah lewat jalur mana kami masuk Irak: darat atau udara. Dua-duanya memang tidak aman. Dan, kami harus memilih yang terbaik di antara yang buruk. Jalur darat, berarti kami harus melewati Kota Ramadi dan Fallujah, yang d
ikenal sebagai basis gerakan perlawanan, dan karena itu dua wilayah ini sangat rawan pertempuran.
Jalur udara, selain masih jarang pesawat komersial yang beroperasi, juga tidak lebih aman. Selama peliputan di Bagdad, kami sering mendengar pesawat menjadi target serangan gerilyawan karena kebanyakan yang menggunakan jasa pesawat adalah orang asing.
Banyak pesawat yang jatuh, baik sipil maupun militer, diberitakan karena mengalami kegagalan mesin (engine failure). Padahal, sebenarnya jatuh ditembak gerilyawan. Setelah aman mendaratpun, ancaman masih menghadang. Bandara Bagdad kini digunakan juga sebagai pangkalan militer pasukan koalisi sehingga kerap menjadi target serangan para gerilyawan.
Dengan berbagai pertimbangan itu, akhirnya aku dan Budi merasa lebih yakin untuk menggunakan jalur darat. Menyelusup di tengah-tengah warga lokal pada umumnya.
"Kalau kita harus memilih dua kondisi yang sama berbahayanya, kita ikuti feeling saja, Mas," kataku meyakinkan keputusan kami.
Lagi pula, berdasarkan pengalaman wartawan Indonesia yang meliput Irak sebelum dan selama invasi, semua masuk ke Irak melalui jalur darat. Dan, terbukti aman.
Dan, keputusan kami ternyata salah.
Rasa sesal terus menghunjam kalbuku. Andai saja kami memilih jalur udara, aku pasti tidak akan terdampar di gurun antah-berantah ini. Aku pasti siap bermalam dalam kenyamanan kamar Hotel Coral Palace di Bagdad, sebelum menempuh perjalanan ke Karbala. Aku keliru terlalu mengandalkan feeling. Atau inikah takdirku" Seberapa pun ikhtiarku, aku tak.bisa menghindari takdir!
Ah, lebih baik menerima kenyataan ini, sambil memikirkan langkah apa yang harus kuambil dalam ketidak berdayaanku. Aku tak mau dikacaukan pikiran-pikiran yang membuatku makin mumet. Lagi pula, jangan-jangan, kalau aku naik pesawat, malah pesawatku meledak ditembak gerilyawan. Atau, aku mati di pinggiran bandara yang diledakkan bom mobil. Mengingat dua kemungkinan terakhir itu, aku merasa lebih beruntung dengan kondisi yang kualami sekarang.
* * * GUA itu sedikit melesak ke bawah sehingga tidak mudah dilihat dari permukaan gurun. Sepertinya ini bukan gua alami, melainkan ciptaan manusia. Buktinya, ada tumpukan batu yang tertata rapi disekeliling mulut gua, membentuk tempat berlindung yang boleh jadi sengaja dirancang untuk persembunyian. Warna bebatuannya yang kusam menunjukkan gua itu sudah tua. Mungkin gua ini semula dibangun untuk menyimpan perlengkapan pertanian karena wilayah Ramadi yang dialiri Sungai Eufrat dikenal sebagai daerah pertanian yang subur. Namun pasca-invasi,terutama setelah muncul gerakan perlawanan terhadap pasukan koalisi, gua ini beralih fungsi menjadi tempat persembunyian gerilyawan. Dan kini, akan menjadi tempat penyekapanku"
Aku tetap berharap dugaanku salah, tetapi ternyata tidak meleset. Tiga lelaki penculik itu keluar dari gua, dan salah satunya mendatangi Ibrahim. Setelah keduanya berbincang sejenak, Ibrahim menghampiriku, memberitahukan bahwa kami harus masuk ke gua.
Tubuhku masih berdiri kaku, padahal tangan Ibrahim beberapa kali memberikan isyarat agar aku mengikuti perintah mereka. Budi juga terlihat lunglai. Kerut di wajah dan sorot matanya mengekspresikan seribu tanya yang tak terjawab. Kami tetap terpaku saat Ibrahim dan tiga lelaki itu mengeluarkan barang-barang dari mobil, dan memasukkan semuanya ke gua.
Setelah saling pandang seolah-olah mempertanyakan apa yang tengah terjadi, aku dan Budi dengan enggan melangkah ke dalam gua.
Aku harus sedikit merunduk ketika memasuki mulut gua yang sempit, padahal tinggiku hanya 159 sentimeter. Mungkin tinggi mulut gua itu hanya satu setengah meter. Pasti Ibrahim lebih tersiksa, lantaran tubuhnya tinggi besar, mungkin lebih dari 185 sentimeter. Udara lem-bap gua langsung menyerbu hidungku. Untunglah, langit-langit gua lebih tinggi dibandingkan pintunya, sekitar dua meter. Aku duduk di sisi kiri gua, berjejer bersama Budi dan Ibrahim.
Ya Tuhan, kami harus berdesakan di gua kecil ini"
Mataku menyisir ruangan gua. Luasnya mungkin tak lebih dari 3x4 meter. Ada satu lubang di bagian
belakang gua yang dipasangi teralis besi sehingga mirip sel penjara. Persis di tengah gua terdapat perapian kecil berbentuk persegi panjang. Dibagian tengahnya terlihat bekas arang yang dibakar. Beberapa bungkus rokok berceceran di antara bebatuan gua. Langit-langitnya hitam gelap, mungkin karena bertahun-tahun menerima asap dari perapian.
Karena saat itu masih musim dingin, suhu udara tak lebih dari sepuluh derajat. Tentu saja ini bagian yang paling menyiksa.
Jangankan kasur, tikar pun tak ada. Kami duduk hanya beralaskan pasir dan bebatuan. Tubuh Ibrahim tampak menggigil. Apalagi aku dan Budi, yang tak terbiasa dengan cuaca seperti ini. Dalam kondisi ini, rasanya nasib kami tak lebih baik dibandingkan tunawisma di kolong-kolong jembatan Jakarta.
Inikah takdirku" Aku tak mau mengingkarinya. Tetapi, bukankah ada sisi lain yang harus dilakukan sebelum menerima takdir: ikhtiar"
Kalau saja aku dan Budi menolak perintah kantor untuk kembali ke Irak. Andai saja aku tidak kembali ke Irak melalui darat. Kalau saja aku naik pesawat dari Amman ke Bagdad. Pasti penculikan ini tak akan terjadi. Mungkinkah aku bisa menghindari takdir"
Beberapa menit setelah kami mulai tersimpuh di dalam gua, seorang penculik berbicara kepada Ibrahim,yang kemudian menyampaikannya kepadaku dan Budi dengan penuh keyakinan.
"Mereka menunggu Rois. Kalau dia datang, kita bisa bebas malam ini atau esok. Dia yang akan memutuskan."
Rois, kata Ibrahim, adalah pemimpin kelompok yang menculik kami. Hanya itu yang dijelaskan Ibrahim, padahal rasanya banyak sekali penjelasan lelaki penculik itu kepada Ibrahim. Sesudah itu, kami terdiam dalam dingin yang makin membekukan. Hanya mata kami yang kadang saling tatap.
Walaupun berharap penjelasan Ibrahim benar, aku enggan terlalu percaya pada omongan para penculik itu.
Sinar mentari di luar gua tampak sudah redup. Gua pun menjadi temaram. Pasti omongan pen-culik itu hanya untuk menghibur.
Namun tiba-tiba, di luar gua sayup-sayup terdengar suara. Pasti itu suara kendaraan! Di tengah gurun yang sangat sunyi ini, suara langkah kaki saja sangat jelas terdengar, apalagi kendaraan. Aku tak sangsi lagi, derum suara yang makin mendekat itu pasti suara mobil.
Mereka tidak, bohong. Rois datang dan segera membebaskan kami!
Rasanya aku ingin melonjak. Wajah Budi yang tengah berjuang menahan hawa dingin juga berubah sumringah. Ibrahim pasti merasakan hal yang sama. Namun, ketika suara mobil itu makin mendekat ke mulut gua dan kemudian berhenti, kesangsianku berganti harapan. Seorang penculik yang dari tadi menjaga kami menjemput keluar gua. Suara obrolan dan derap kaki makin mendekat. Harapanku untuk segera bebas pun kian membulat.
Tiga lelaki melangkah ke dalam gua, salah satunya yang tadi menjemput keluar. Yang mana Rois" Kenapa mereka membawa selimut, alas tidur, dan lampu minyak"
Persendianku langsung lemas. Melihat barang-barang yang mereka bawa, berarti kami harus menginap di gua. Rois tidak datang.
Dua orang itu hanya anggota biasa kelompok penculik, dan mereka datang untuk mengantar logistik.
"So we sleep here tonight"" Aku tak bisa menahan diri untuk bertanya kepada Ibrahim.
Mata para penculik langsung memandang tajam ke arahku.
Ibrahim buru-buru menjelaskan pertanyaanku dalam bahasa Arab, agar mereka tidak salah sangka. Seorang penyandera menjelaskan panjanglebar kepada Ibrahim, sambil sesekali menatap kearahku seolah-olah dapat membuatku mengerti.
"Yes, we sleep here tonight. Tomorrow Rois will come and he will decide whether we can be freed or not. Now Rois can not come here because it's too late to come to Ramadi," kata Ibrahim, menerjemahkan penjelasan seorang penculik.
Aku yakin penjelasan penculik sebenarnya lebih panjang dan berbelit. Tetapi intinya, aku dan Budi harus menginap di gua itu.
Dua lelaki pembawa logistik kemudian pergi. Hari makin gelap.
Kami bertiga ditinggal di tengah gurun bersama tiga orang bersenjata.
Tiba-tiba saja, perutku terasa mual.
Apa yang akan terjadi padaku kemudian"
Ketiga penyandera itu mulai sibuk membentangkan selimut
untuk alas tidur kami. Seorang penyandera yang terlihat lebih tua dan sebagian wajahnya masih ditutup kafiyeh menyuruhku beristirahat di pojok kiri gua. Untukku seorang. Rupanya dia masih menghormati privasi seorang wanita meski dalam kondisi darurat. Tetapi, seorang lelaki lain yang tadi menodongkan senjata AK dan duduk di jok mobil belakang masih saja tak bersahabat. Bahkan, sorot matanya kerap membuatku risih.
Budi harus berbagi pojokan lain dengan Ibrahim. Satu pojokan lagi untuk ketiga penyandera. Tumpukan perangkat liputan kami dua kamera, tripod, dua laptop, videophone, telepon satelit di salah satu sisi lantai membuat gua itu makin terasa sempit sehingga kami tidak bisa bergerak di pojok masing-masing. Dalam posisi tidur, kakiku pasti mengenai kepala Budi dan Ibrahim, sementara posisi kaki Budi tidak jauh dari kepala para penyandera.
Lampu minyak dinyalakan. Perapian di tengah-tengah gua juga diisi kayu dan dibakar untuk memberikan kehangatan. Seolah-olah ada yang menggerakkan, kami mulai berkumpul di dekat perapian, menjulurkan tangan yang mulai membeku ke dekat api. Tak terkecuali para penyandera.
Suasana pun terasa lebih cair. Rasa kebersamaan tiba-tiba muncul, meruntuhkan "tembok besar" yang mengadang penyandera dan tersandera.
Untuk pertama kalinya, kami bertukar senyum dengan dua lelaki yang lilitan kafiyeh-nya. sudah melorot, sambil menikmati hangatnya perapian kayu bakar. Adapun seorang lelaki yang dari tadi sudah tak berpenutup muka tetap saja membuatku curiga. Sebagai perempuan dewasa, aku sangat mengerti arti tatapannya.
Namun,kepada dua penculik lain,aku mulai berani menatap wajah. Mereka tidak berbeda dengan warga Irak umumnya. Aku yakin mereka masih muda. Mungkin yang satu malah lebih muda dariku meski garis-garis pada wajahnya membuatnya kelihatan lebih tua.
Untuk, apa mereka melakukan semua ini"
Namun, mendadak dadaku berdebar-debar. Wajah mereka mengingatkanku pada peristiwa ledakan bom mobil di lapangan At-Tahrir (Monumen Pembebasan) di pusat Kota Bagdad. Anak-anak muda seperti merekakah pelakunya" Masih terngiang ketika sebuah suara ledakan yang sangat besar terdengar hingga ke hotel kami.
Waktu itu, aku dan Budi langsung bergegas menuju lokasi, meninggalkan sarapan pagi kami yang belum tuntas. Di lokasi, kerumunan massa sudah ramai. Darah berceceran dijalanan. Pecahan kaca berserakan. Luar biasa, ini merupakan salah satu ledakan terbesar selama peliputanku di Irak.
Lokasi ledakan persis di jantung kota, dan hanya dipisahkan jembatan dan markas Komando Militer Amerika. Ini menandakan eskalasi gangguan keamanan terus meningkat dan semakin berani.
Berhubungan atau tidak dengan hasil pemilu yang tertunda-tunda, entahlah. Aku dan Budi berpencar. Dia mengambil gambar sebanyak mungkin, sementara aku menggali informasi dari para saksi. Kami seperti terlarut dalam liputan yang mengasyikkan.
Nasser, dengan wajah yang tampak tegang, berlari ke arahku.
"Meutya, segera tinggalkan tempat ini. Berbahaya!"
Tetapi, aku tak menggubrisnya. Sikap Budi juga demikian ketika Nasser mengingatkannya. Kami malah berlari ke arah serpihan mobil yang dijaga ketat polisi. Kendaraan pembawa bom itu luluh lantak.
Aku menelisik serpihan di dekat mobil. Ada pecahan dan rangkaian bom yang tidak turut meledak. Arus deras adrenalin kewartawananku secara refleks mendorongku untuk melakukannya tanpa kekhawatiran sedikit pun. Budi pun secara refleks merekam gambarku memegang potongan bom. Sambil memegang potongan bom, aku menjelaskan peristiwa ledakan tersebut di depan kamera.
Nasser kembali memohon aku melepaskan potongan bom itu dan segera meninggalkan lokasi.
Merasa sudah cukup, kami pun segera kembali ke mobil. Mister Wail, yang rupanya dari tadi gelisah, langsung menancap gas menjauh dan lokasi ledakan.
"Berbahaya, Meutya. Kamu terlalu mencolok sebagai wartawan, padahal banyak pihak yang tidak suka wartawan masuk begitu dekat.
Kamu tahu, mungkin pelaku peledakan juga masih berada di sekitar lokasi dan melihat kamu memegang potongan bom. Apa kamu tidak berpikir bom itu bisa m
eledak"" Nasser menjelaskan panjang lebar kenapa dia memaksa kami segera pergi. Sebenarnya, aku juga sependapat dengan Nasser. Tetapi, entah kenapa saat itu aku begitu larut tanpa rasa takut sama sekali.
DAN kini, aku berhadap-hadapan dengan tiga manusia yang pasti memiliki kenekatan seperti pelaku bom bunuh diri itu. Meski bisa tersenyum, aku tak bisa meredakan debaran jantungku dan menutupi rasa cemasku. Kecemasan itu tambah memuncak ketika kami bersiap untuk istirahat dan mulai bersandar di pojok masing-masing. Budi dan Ibrahim tampaknya mulai nyaman walaupun kaki mereka harus ditekuk dan saling berebut selimut. Ketiga penyandera juga sudah bersandar dengan senjata laras panjang tergeletak meski masih dalam jangkauan tangan mereka.
Dalam keadaan begini, rasa mual di perutku kembali terasa dan mendadak aku menjadi rindu rumah. Belaian tangan mamaku selalu membuat rasa mual di perutku sirna seketika. Petuah-petuahnya bagai menyirami hatiku saban aku gundah. Aku rindu Mama. Aku butuh kehangatannya.
Aku masih ingat wajah kagetnya ketika kukabari akan berangkat ke Irak, padahal baru saja Mama kutinggal pergi ke Aceh dan Makassar.
"Hah, ke Irak" Mau ngapain"" Mama lebih kaget lagi karena aku harus berangkat malam itu juga. "Nanti malam" Jam berapa" Sama siapa aja" Berapa orang, Bingbing"" Pertanyaan itu tak bisa distop dari mulut Mama, yang biasa memanggilku Bingbing.
"Jam 12 malam berangkat. Udah ah, Mama jangan tanya-tanya dulu, cape nih," jawabku merajuk. "Mending Mama bantuin ngepakin barang aja yuk. Katanya di sana musim dingin, harus beli kaus kaki dan sarung tangan, Ma." Marna kemudian sibuk membantu persiapanku. Tak terucap lagi protes dari mulutnya walau aku bisa membaca kekhawatiran yang memancar dari wajahnya.
Aku juga teringat Teh Finny. Kakakku inilah yang menggantikan peran Ayah menjaga keluarga, selepas kepergian Ayah. Dia juga selalu menjadi teman curhat kalau Mama tidak ada di sampingku. Kemarin, aku masih mengiriminya SMS. "Teh Finny, Meutya diminta kembali ke Irak, pulang masih lama, tanggal 25. Diambil positifnya sajalah. They like my reporting, I guess. Nggak apa-apa kok, I'll be fine." Pasti Teh Finny tidak tahu aku sedang menghadapi masalah. Pasti saat ini dia sudah tertidur lelap.
Di sini, meski malam makin larut, aku belum juga mampu memejamkan mata, padahal rasa lelah mendera tubuhku. Aku masih sulit menerima keberadaanku di gua ini, bersama lima lelaki, empat di antaranya baru kukenal. Masih terbayang raut beringas para penyandera ketika menculik kami di pompa bensin.
Jangan-jangan mereka akan menganiayaku ketika aku terlelap.
Terutama lelaki yang satu itu, yang matanya selalu menatapku penuh nafsu. Tadi dia mencoba merapikan selimutku, tetapi urung karena tangannya kutepis. Siapa yang mau menolongku jika mereka membunuh Budi dan Ibrahim lebih dulu, lalu memerko ... ahh.
Tidak! Aku harus tetap berpikir positif. Kekhawatiran dan ketakutan hanya membuat panik dan mengikis kemampuanku berpikir jernih.
Kupandang sekali lagi dua penyandera yang mulai terlelap, juga lelaki yang satu itu. Betulkah mereka tidur, atau..." Badan mereka jauh lebih besar dariku. Kupandang sekali lagi senapan Kalashnikov mereka. Pasti sudah merenggut nyawa hanyak,orang. Batu besar di bawah selimutku serasa menusuk punggung. Cahaya lampu minyak semakin redup. Dengkuran kelima lelaki itu mulai terdengar bersahutan.
Rasanya tak ada yang bisa kulakukan saat ini kecuali pasrah dan berdoa.
Semoga Tuhan melembutkan hati para penyandera, membuat mereka terlelap malam ini.[]
Bab 4 Selamat Jalan. Budi UDARA seperti beku dan aku menggigil di dalamnya. Ah, pasti aku lupa mengecilkan volume air conditioner sebelum tidur. Kantuk masih memberati pelupuk mataku.Tetapi hawa dingin ini, dan lamat-lamat suara percakapan orang di telinga, memaksaku perlahan membuka mata. Kenapa langit-langit Hotel Corel Palace hitam legam" Kugosok kedua kelopak mataku. Ya Tuhan, aku tidak, sedang menginap dihotel.
Aku terperanjat bangun. Budi dan Ibrahim sedang mengobrol dengan lelaki yang kemudian
tersenyum ke arahku. "Shobahal khoir, Meutya!" sapa lelaki itu.
Dia mengenal namaku. Pasti Budi dan Ibrahim memberitahunya.
Atau, mungkin dia mengetahui namaku dari pasporku.
"He said, good morning, Meutya," ucap Ibrahim tersenyum.
Aku sudah akrab dengan sapaan shobahal khoir, yang kerap diucapkan Nasser dan Mister Wail saat menjemputku di lobi Hotel Coral Palace, Bagdad.
"Maaf, aku terlambat bangun. Tidurku lelap sekali." Aku membalas senyum mereka. "Wah, kamu beruntung. Setiap dua jam aku selalu terjaga."
Ibrahim lalu menjelaskan, tidurnya tak nyenyak karena saban dua jam selalu diganggu deru pesawat tempur yang terbang di atas gua. Kalau saja pesawat itu berhasil melacak keberadaan kami, mungkin mereka akan menembak atau menjatuhkan bom.
"Kita berada di wilayah basis perlawanan. Siapapun di gua ini pasti dianggap terlibat gerakan perlawanan," kata Ibrahim lagi.
Terima kasih, ya Allah. Kau telah membuat tidurku lelap.
Kalaupun pesawat tempur itu menjatuhkan bom, aku akan menghadap-Mu dalam tidur, tanpa iringan rasa cemas seperti Ibrahim.
Aku juga merasa lebih segar pagi ini.
Lelaki yang tadi menyapaku, yang kini wajahnya tak lagi ditutup kafiyeh, beranjak ke luar gua.
"Ke mana yang lain"" tanyaku mengenai dua lelaki lain yang tak tampak.
"Mereka di luar. Kamu tidak diganggu si sontoloyo itu, kan""
Rupanya Budi juga memerhatikan lelaki yang tingkahnya selalu membuatku risih. Hmm, cocok juga julukan Budi untuk lelaki itu: si sontoloyo.
Panjang umur dia! Lelaki yang kami bincangkan itu masuk dengan menenteng senjata kesayangannya, AK-47. Dia berjalan ke arahku. Mau apa lagi dia" Tanpa berkata-kata, tangan kirinya menggapai dan merapikan kerudungku. Kurang ajar! Tak cukup dengan tindakan memuakkan itu, dia kemudian meraih lenganku, mencoba menyeretku ke luar. Tentu saja aku menepisnya dengan kasar. Budi dan Ibrahim hanya melongo. Mereka ragu untuk menolong karena bisa saja senjata di tangan kanan lelaki itu menyalak.
Namun, aku tak peduli. Kali ini kupukul tangannya ketika mencoba meraih lagi pergelanganku.
"No!" bentakku. Dia bersungut-sungut. Entah apa yang dikatakannya. Matanya beringas. Tak berhasil menyeretku, dia berkata kasar pada Ibrahim.
Setengah berbisik, Ibrahim menerjemahkannya pada Budi, "Kita berdua harus keluar."
Apa maunya lelaki ini" Kenapa kami dipisah" Tubuhku bergidik.
Pikiran-pikiran buruk yang melintas semalam kembali berkecamuk.
Aku sangat takut lelaki ini akan memerkosaku di dalam gua, lalu membunuhku sebelum menghabisi Budi dan Ibrahim. Ya Allah, kalaupun aku harus mati, janganlah dengan cara nista seperti ini.
Lelaki itu beranjak keluar, mengiringi Budi dan Ibrahim. Tatapan mata di wajah ketusnya menusuk jantungku. Jangan-jangan dia akan kembali setelah "mengamankan" Budi dan Ibrahim. Perasaanku masih terguncang oleh peristiwa tadi. Aku teringat ucapan lelaki yang lebih bersahabat ketika melarikan kami di mobil, "Kami tak akan mencelakaimu." Jaminan itu kini sulit kupercaya. Boleh jadi ketiganya sama saja. Bedanya, yang dua orang lebih banyak senyum dan sok bersahabat, sedangkan yang satu lagi kasar. Tetapi, ketiganya sama-sama penculik dan penjahat!
Suara tembakan memecah kesunyian. Ya Tuhan, mereka benar-benar melakukannya"
Kesunyian yang sejenak pecah lagi oleh beberapa letusan.
Butir-butir keringat dingin membasahi tubuhku yang kian menggigil.
Selamat jalan, Budi, selamat jalan Ibrahim. Aku akan segera menyusulmu, mungkin dengan cara yang lebih menyiksa. Mama, maafkan aku.
Aku tak mampu lagi berpikir jernih. Bayangan-bayangan mengerikan makin menghantui. Potongan-potongan gambar para sandera di Irak yang pernah kusaksikan di televisi, dan beberapa di antaranya pernah kubacakan di layar, berkelebat satu demi satu. Beberapa hari lalu, ketika mengirimkan gambar di kantor APTN Bagdad, aku juga menonton rekaman gambar kiriman orang tak dikenal, yang memperlihatkan kelompok perlawanan menembak seorang sandera.
Tentara Amerika Serikat itu ditembak berkali-kali dari jarak sangat dekat. Matanya tertutup kafiyeh. Tubuhnya ambru
k dengan kepala yang bersimbah darah. Tak ada kata-kata terakhir yang terucap dari mulutnya.
Dan kini, aku tengah menunggu giliran menjalani nasib sang serdadu.
Gambaran lain muncul. Seorang tawanan, dengan posisi tubuh bertumpu pada lutut, tengah menyongsong sang maut. Beberapa orang berdiri dibelakangnya dengan muka tertutup. Tangan mereka mengokang senjata laras panjang. Seorang lagi, dengan wajah yang juga tertutup, membacakan pernyataan di kertas yang digenggamnya.
"Ini peringatan bagi tentara Amerika dan sekutunya yang menolak hengkang dari bumi kami." Begitulah salah satu baris pernyataan yang dibacakan. Sang algojo itu kemudian menggorok leher sandera dengan sebilah parang, setelah mulutnya mengagungkan nama Allah. Jeritan sang sandera menggema, diikuti takbir dari para lelaki di belakangnya.
Tubuhnya tersungkur. Cara kematian inikah yang akan kujalani" Aku pasrah. Seperti apa pun bentuknya, aku ingin mati dengan tersenyum. Ampuni dosa-dosaku, ya Allah.
Derap langkah kaki menghampiri mulut gua. Seperti langkah tergesa. Inikah ajalku" Si sontoloyo muncul. Wajahnya tidak segarang ketika menggelandang Budi dan Ibrahim keluar. Malah dia mencoba tersenyum. Mungkin dia ingin memberikan kesan manis dengan menebar senyum di penghujung hayatku. Tetapi, rasa takut dan benciku tak luruh. Tangan si sontoloyo memberikan isyarat agar aku keluar. Bayangan kematian semakin nyata, menyeret ingatanku pada hari terberat yang pernah kualami.
* * * HARI itu, 2 Mei 2004, tepat satu hari sebelum perayaan hari jadiku yang ke-26. Ayah sudah beberapa hari sakit. Awalnya kupikir batuk biasa, disertai gangguan lambung yang membuatnya terus-menerus buang air dan sempat muntah. Wajahnya tampak lemas.
Setiap menuju ruang makan dari kamarnya, Ayah minta dipapah anak-anaknya, termasuk aku. Kupikir itu hanya cara Ayah bermanja bersama kami. Kadang kuturuti, kadang lebih sering Mama atau kakak-kakakku yang membantu. Ayah memang begitu, selalu ingin dimanja olehku. Namun, seringkah kesibukan kerja dan aktivitasku membuat semua keinginan Ayah terabaikan.
Dan pagi itu, Mama memintaku mengantar Ayah ke dokter, yang hanya beberapa blok jauhnya dari rumah kami. Di mobil, kuajak Ayah bercanda, tetapi dia diam saja. Beberapa kali dia mengeluh bagian lambungnya sakit.


168 Jam Dalam Sandera Karya Meutya Hafid di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau tetap tak mau makan, Ayah harus masuk rumah sakit,"
kataku. Kuharap ucapanku bakal membuat Ayah, yang sangat membenci rumah sakit, akhirnya mau makan.
Ayah tetap diam, sambil merebahkan kepalanya di pangkuan mamaku. Walaupun lemas dan mengaku sakit di lambung, bagiku Ayah masih terlihat cukup sehat. Mungkin mata dan hatiku dibutakan, atau memang mengingkari kenyataan di hadapanku. Aku lebih memilih menepati janji makan siang dengan teman dan meninggalkan Ayah di rumah, setelah kembali dari dokter. Ayah pasti sembuh. Mana mungkin pelindungku sakit parah. Itulah alasanku meneruskan aktivitas.
Ketika siang hari kakakku mengabarkan bahwa Ayah dibawa ke rumah sakit karena kondisinya tak membaik, aku juga tidak langsung pulang. Baru sekitar dua jam kemudian, aku tiba di Rumah Sakit Fatmawati, langsung menuju ruang gawat darurat. Kudapati Ayah masih sadar dan cukup kuat untuk bangkit dari tempat tidurnya. Dia memaksa pulang.
"Ayah banyak pekerjaan, Ayah mau pulang," begitu alasannya setiap kali kami menolak keinginannya. Ayah kemudian memintaku mendekatkan telingaku ke mulutnya. "Ayah mau pulang, Bing, Ayah mau pulang ..." bisiknya pelan.
Aku tak punya firasat apa pun ketika dia bilang "mau pulang".
Aku malah balik menjelaskan, Ayah tidak mungkin pulang kalau belum sembuh. Aku menurut saja ketika kakakku memintaku pulang menemani Mama. Ayah dirawat di ruang ECU yang tak bisa ditunggui keluarga karena di ruang yang sama juga dirawat banyak pasien lain.
Hanya kakak dan pamanku yang tinggal di rumah sakit. Aku akan menjagamu nanti, esok. hari, Ayah. Aku tidur di rumah dengan "hanya" sedikit rasa khawatir.
Pukul dua dini hari, aku terjaga oleh ketukan keras di pintu kamar. Aku tersadar, bukan hanya dari tidurku, tetapi dari kenyataan.
Semua nya tampak begitu jelas. Seketika aku dibuat mengerti. Tidak ada lagi kata "nanti". Aku berlari ke mobil. Air mata mulai berjatuhan saat aku menyadari bahwa pada saat yang sama ayahku tengah berjuang mempertahankan hidup. Berbeda dari biasanya, aku bergerak cepat. Namun perjalanan mobil, yang se-benarnya bisa mencapai rumah sakit dari kediaman kami hanya lima menit, rasanya seperti setengah jam.
Jago Kelana 7 Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Suling Emas Dan Naga Siluman 3

Cari Blog Ini