Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 1
AROK DEDES Pramoedya Ananta Toer Djvu: otoy http://otoy-ebookgratis.blogspot.com/
Edit & Convert to Txt, Pdf, Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Dari Penerbit AROK DEDES adalah novel-sejarah yang seperti juga tetralogi "Bumi Manusia" ditulis Pramoedya Ananta Toer di Pulau Buru. Kesulitan dana akibat bertubi-tubi diberangus oleh kekuasaan represif rejim Orde Baru menyebabkan "Arok Dedes" ini baru sekarang dapat kami terbitkan. Masih ada tulisan penting lain ditulis Pramoedya di Buru yang kami harapkan bisa menyusul terbit dalam waktu dekat, yaitu satu-satunya karya dalam bentuk drama/sandiwara berjudul "Mangir". Sebenarnya masih ada satu karya besar lagi yang berbobot setara dengan "Arus Balik" dan "Arok Dedes", tetapi sangat disesalkan karya besar itu sirna, sudah tidak tentu lagi rimbanya ke mana.
"Mata Pusaran", demikian judul novel-sejarah yang hilang itu, berkisah tentang awalnya disintegrasi kekuasaan Majapahit oleh konflik intern yang mencetuskan perang paregreg antara Ratu Suhita dengan panglima perempuannya Ni Paksini/Ni Ken Su-praba melawan BhreWirabhumi dari Lumajang.
Naskah utuh yang sebenarnya sudah rampung itu pernah dititipkan oleh penulis pada seorang perwira angkatan laut pada saat meninggalkan pulau Buru, tetapi disita oleh penguasa dengan cara dan praktek-praktek kebiasaan Orde Baru: tanpa kejelasan otoritas dan proses penyitaan sehingga tidak memungkinkan mengclaimnya kembali atau bahkan mengusut keberadaannya. Juga tidak ada jaminan sama sekali naskah sitaan itu tersimpan dan terpelihara baik terhadap berbagai kemungkinan kemusnahan. Kekhawatiran ini ternyata beralasan sekali. Seorang ilmuwan Belanda yang rajin mencari literatur di pasar buku tua di pasar Senen Jakarta secara mengherankan sekali menemukan naskah "Mata Pusaran" itu. Apa yang dia temukan masih dalam format ketik-ketikan setengah folio yang sudah difotokopi, namun sangat disayangkan tidak lengkap, tidak utuh.
Orang Belanda itu yang menyadari betapa berharganya penemuannya itu telah menyerahkan apa yang tersisa dari "Mata Pusaran" itu kepada redaksi Hasta Mitra. Dalam hubungan itu kami di sini ingin mengimbau semua pihak agar juga melakukan hal yang sama bila kebetulan dapat menemukan naskah tersebut, dalam keadaan utuh atau pun sepotong-sepotong. Pramoedya dengan sangat kecewa mengatakan bahwa usia dan kesehatannya sudah tidak memungkinkan lagi baginya untuk menulis ulang novel tsb. Oleh karena itu, dari lembaran-lembaran tersisa yang mungkin masih dapat dilacak kembali, redaksi - dengan bantuan pembaca - berniat sedapatnya menghimpun dan merampungkan kembali novel itu agar menjadi naskah utuh untuk dapat dibaca oleh segenap peminat karya-karya Pramoedya.
Kembali mengenai buku "Arok Dedes", mungkin menarik untuk dicatat di sini bahwa novel ini ditulis oleh Pramoedya seperempat abad yang lalu dalam status sebagai tahanan di Buru pada saat kekuasaan rejim Suharto sedang sejaya-jayanya. Ciri yang khas dari kepujanggaan Pramoedya adalah bahwa dia dengan caranya sendiri sebagai sastrawan berkomunikasi dan mencoba menjelaskan kepada bangsa Indonesia, terutama generasi mudanya, tentang mengapa nasib Indonesia menjadi belingsat seperti sekarang ini. Untuk itu dia tetap menggunakan media bahasa yang menjadi ciri kekuatannya dengan tetap berkukuh berada di wilayah sastra - lepas dari slogan, propaganda dan jargon politik - meski kisah yang dia bawa sarat muatan politiknya. Dan lahan serta bahan ramuan yang dipakai untuk berkomunikasi adalah panggung sejarah Nusantara kita sendiri.
Pramoedya pernah mengatakan bahwa kudeta pertama yang terjadi dalam sejarah Nusantara kita adalah ketika Ken Arok tampil merebut kekuasaan Tumapel. Kisah "Arok Dedes" ini merawi-kan peristiwa kudeta pertama dalam sejarah Nusantara kita itu. Kudeta atau coup d'etat adalah pengertian modern tentang perebutan kekuasaan negara, namun dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara perebutan kekuasaan negara seperti itu sudah pernah terjadi pada awal abad 13. Tetapi kudeta di abad 13 itu berlangsung khas dan unik. Pramoedya yang
kenal betul kebu-dayaan Jawa sampai ke tulang sumsum membeberkan bagaimana dengan kelihaian yang canggih Arok berhasil menjadi Akuwu Tumapel menyingkirkan Tunggul Ametung. Dengan dukungan kelompok agama di Jawa - dalam hal ini tokoh pendeta Syiwa - Ken Arok berhasil bertengger di puncak kekuasaan lewat "kudeta a la feodal Jawa", licik munafik, tidak terbuka, lempar batu sembunyi tangan.
Tidak terlalu mengherankan bila para pembaca setelah mengikuti kisah "Arok Dedes" Pramoedya - walau tidak disuruh - asosiasi mereka dengan sendirinya segera pindah dari abad 13 langsung ke abad 20 di tahun 1965-an. Sampai hari ini pun belum selesai orang mengkaji apa yang sebenarnya terjadi di tahun 1965 itu. Bagaimana bisa terjadi "peralihan kekuasaan" dari Presiden Soekarno ke Suharto" Bagaimana orang yang mengkup kekuasaan justru berhasil melempar tuduhan kup itu kepada pihak-pihak lain sampai yang difitnah menjadi korban kesengsaraan dan penderitaan - bagaimana orang yang memberi informasi tentang bakal terjadinya kup, malah ditangkap dan dipendam lebih tigapuluh tabun dalam penjara"
Nalar ilmu mengatakan bahwa sejarah tidak mungkin berulang. Itu betul sekali, akan tetapi dan sejarah itu jugalah akan bisa kita baca berbagai gejala kemiripan masakini dan masa lampau. Cukup banyak terdapat analogi yang dapat memperkaya wa-wasan budaya dan politik kita untuk mengenali diri kita sendiri -membaca hari ini dan masa depan lewat pelajaran hal-ihwal yang diwarisi masa lampau, lewat sejarah yang menjadi asset kaya bagi mereka yang mau belajar dan menarik manfaat dari berbagai pengalaman yang telah terjadi.
Kurang-lebih 25 tahun yang lalu dalam keadaan terkucil di pulau pembuangan Buru, lahirlah kisah AROK DEDES Pramoedya ini. Dengan media sastra dan berpaling ke sejarah kita sendiri, Pramoedya berkisah dan menyampaikan pesan kepada bangsa dan generasi mudanya mengenai keberadaan kehidupan dalam era rejim Orde Baru yang sedang dijalani Indonesia.
Demikianlah catatan pendek tentang "Arok Dedes" sebelum kami menutup pengantar ini dengan satu catatan yang mungkin menarik untuk tidak dilewatkan.
"Arok Dedes" adalah karya Buru Pramoedya AnantaToer terbitan Hasta Mitra yang pertama kali diterbitkan setelah Suharto lengser bulan Mei 1998 tahun lalu. Dalam "era reformasi" dan suasana euforia atas kejatuhan militerisme Orde Baru dan lahirnya "kebebasan pers", patut dicatat di sini bahwa sampai kata pengantar penerbit ini naik ke percetakan, tidak pernah larangan atas buku-buku Pramoedya oleh Kejaksaan Agung itu dicabut. Pramoedya sebagai penulis dan kami sebagai editor/penerbit, memang tidak terlalu mengandalkan keputusan resmi seperti itu. Pencabutan larangan terbit sebenarnya merupakan suatu langkah untuk kepentingan citra Pemerintah sendiri. Bagi kami, ada atau tidak ada pencabutan larangan buku-buku yang dibreidel, kami akan tetap jalan terus seperti biasa selama syarat-syarat beaya cetak masih mampu kami penuhi. Menerbitkan buku adalah kerja politik untuk menegakkan apa yang menjadi hak paling sah dari setiap individu.
Bukankah semua buku-buku Pramoedya - terutama karya-karya Pulau Buru - justru diterbitkan semasa Suharto masih sekuasa-kuasanya" Tidak kami tunggu kebaikan hati para penguasa militer, kejaksaan, kepolisian dan birokrasi sampai mereka menghadiahi kami kebebasan bersuara, kebebasan untuk menerbitkan buku-buku yang kami ingini. Dalam kenyataan bukan kebebasan atau kelonggaran, sebaliknya rejim Suharto tak henti-hentinya memberangus Pramoedya dan Hasta Mitra, tetapi Pramoedya dan Hasta Mitra pun tak henti-hentinya bangkit lagi setiap kali setelah digebuk. Secara ekonomis kami memang ba-bak-belur, tetapi secara politik kami tidak pernah tertaklukkan. Tekad untuk tetap terbit semasa rejim represif Orde Baru adalah bentuk sumbangan Pramoedya dan Hasta Mitra untuk ikut menegakkan demokrasi, karena kami sadar bahwa kebebasan dan hak-hak azasi kami di jaman Orde Baru adalah sesuatu yang harus kami rebut dan tegakkan sendiri, bukan sesuatu yang bisa diharapkan bakal dihadiahi oleh Suharto atau seorang Habibie.
Akhirnya ing in kami sampaikan di sini tentang kepergian untuk selama-lamanya seorang rekan dan salah seorang dari tiga pendiri Hasta Mitra pada bulan Juni yang lalu, bung Hasyim Rachman, pada saat Pramoedya sedang bersafari selama tiga bulan di Amerika Serikat, Kanada, Belanda, Prancis dan Jerman. Bung Hasyim Rachman adalah seorang wartawan yang seperti juga Pramoedya dipenjarakan oleh rejim Suharto selama 14 tahun, sepuluh tahun di antaranya di Pulau Buru. Selepas Buru dia dengan caranya sendiri sejak hampir 20 tahun yang lalu telah ikut mempelopori pertarungan panjang melawan kekerasan rejim Orde Baru. Dia ikut aktif menegakkan demokrasi lewat usaha penerbitan buku, jadi sudah sejak lama dia bekerja sebelum gerakan era reformasi pemuda/mahasiswa mulai bangkit untuk menumbangkan jen-dral Suharto pada 1998 tahun yang lalu.
Apa yang dapat kami lakukan bagi rekan yang sudah pergi lebih dulu, tidak lain adalah ketetapan hati untuk meneruskan segala yang positif yang pernah dia kerjakan - yaitu meneruskan penerbitan buku-buku bermutu - dalam hal ini sekurang-kurangnya menyelenggarakan program penerbitan ulang karya-karya Pramoedya Ananta Toer, terutama buku-buku yang dilarang semasa rejim Orde Baru.
Joesoef Isak, ed. Prakata Terjadilah pada tahun 1215 di inggris: raja john dengan segala keagungannya telah mengumumkan maklumat bersejarah Magna Charta. Dunia peradaban menjadi gempar. Jaman Tengah yang mencekik karena kekuasaan mutlak para raja duniawi dan rohani dengan maklumat itu seakan mendapat pelita di tangan untuk keluar dari pengap cekikan.
Magna Charta memberikan kebebasan pribadi dan kebebasan politik pada kawula Inggris, pada ummat manusia.
Dan berabad lamanya maklumat itu tinggal hanya dongengan indah. Kenyataannya tetap tergantung-gantung di langit biru. Namun bagi ummat manusia yang tercekik itu, dia meniupkan harapan dan kepercayaan, bahwa benar setiap orang adalah sama di hadapan Tuhan dan sesamanya. Adalah tidak benar orang menjadi berbeda-beda dan bertingkat-tingkat hanya karena kadar kekuasaan duniawi dan rohani. Kenyataan tinggal seperti sediakala.
Pada tahun 1215 M. atau 1137 Saka, bukan Magna Charta yang menerangi Bumi Jawa. Inggris tidak mengenal Jawa, Jawa tak mengenal Inggris. Namun Magna Charta yang lebih luas telah berlaku sejak Sri Erlangga naik tahta (1020-1042 M.) di Kahuripan. Pada tahun Raja John mengumumkan maklumatnya yang bersejarah, Magna Charta Erlangga itu telah dilindas oleh keturunannya sendiri yang kelima, Sri Kretajaya, raja Kediri (1185-1222 M.)- Negeri Tumapel, di bawah perlindungan Kediri, diperintah oleh Akuwu Tunggul Ametung, sepenuhnya mengikuti jejak Kretajaya, juga dalam mengimprovisasi perbudakan, yang dua abad lamanya telah dihapuskan sejak Erlangga.
Pada tahun 1215 itu juga seorang bocah berumur belasan, di kemudian hari dikenal dengan nama Arok, telah mengorganisasi perlawanan secara tidak sadar terhadap Tunggul Ametung. Dalam lima tahun kemudian, berumur dua puluh, telah menjadi taktikus perang, yang mengubah cara berperang gaya Hindu di Jawa, juga seorang politikus dan negarawan dengan gaya sendiri.
Pada tahun 1220 M. atau 1142 Saka, ia memasuki pekuwuan Tumapel sebagai prajurit. Dalam hanya dua bulan ia telah gulingkan Tunggul Ametung dan sendiri marak jadi Akuwu, langsung mengembalikan Magna Charta Erlangga pada kedudukan semula.
Pada tahun 1222 M. atau 1144 Saka, hanya dalam dua tahun, ia telah gulingkan raja terkuat di Jawa, Sri Kretajaya, dan dengan demikian mengembalikan Magna Charta Erlangga untuk seluruh Jawa.
Cerita "Arok dan Dedes" terjadi dalam jaman leluhur sudah terbiasa memerintah, berpolitik, berintrik, biasa menggulingkan dan membangunkan negara - suatu kondisi yang mungkin menyebabkan orang Indonesia dewasa ini menganggap terlalu maju untuk jamannya. Kiranya anggapan demikian kurang te-pat.Taktik-taktik Arok sendiri telah dipraktekkan berulang-kali, baik untuk menggulingkannya sendiri oleh anak-tirinya Anusa-pati, Jayakatwang dalam menggulingkan Kretanegara, mau pun oleh turunan Arok keempat, Raden Wijaya, dalam menggulingkan dua m
usuh sekaligus, Jayakatwang dan balatentara Kubilai Khan pada 1293. Juga dekritnya tentang persaudaraan kepercayaan telah dirumuskan dalam pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389 M.) oleh Mpu Tantular: Bhineka Tunggal Ika.
Baik roman sejarah "Arok dan Dedes" mau pun "Dedes dan Arok" tidak lain daripada usaha membangunkan basis sosial-historis bagi sejarah-hidup Arok dan Dedes, yang mulai membukakan peradaban baru di Jawa, makin meninggalkan pengaruh Hindu, untuk data sejarah yang banyak kali terdengar kedongeng-dongengan. Materi sejarah yang paling kuat adalah yang didapatkan pada sisa Tugu Kemenangan Arok, yang kini dimasukkan dalam komplex Candi Singasari - yang sebenarnya bukan candi dan biasa dinamai Candi Tumapel - dan karya Mpu Tanakung "Lubdaka" yang ditulis pada masa-hidup Ken Arok sendiri.
TUMAPEL Ia takkan dapat lupakan peristiwa itu pertama kali ia sadar dari pingsan. Tubuhnya dibopong diturunkan dari kuda, dibawa masuk ke ruangan besar ini juga. Ia digeletakkan di atas peraduan, dan orang yang menggotongnya itu, Tunggul Ametung, berdiri mengawasinya. Ia tengkurapkan diri di atas peraduan dan menangis. Orang itu tak juga pergi. Dan ia tidak diperkenankan meninggalkan bilik besar ini. Gede Mirah menyediakan untuknya air, tempat membuang kotoran dan makanan. matahari belum terbit. Lampu-lampu suram menerangi bilik besar itu. Begitu matahari muncul masuk ke dalam seorang tua mengenakan tanda-tanda brahmana. Ia tak mau turun dari peraduan. Tetapi Tunggul Ametung membopongnya lagi, mendudukkannya di sebuah bangku yang diberi bertilam permadani. Ia tutup mukanya dengan tangan. Tunggul Ametung duduk di sampingnya. Orang dengan tanda-tanda brahmana itu telah menikahkannya. Hanya Gede Mirah bertindak sebagai saksi. Kemudian Tunggul Ametung meninggalkan bilik bersama brahmana itu. Sejak itu ia tidak diperkenankan keluar dari bilik besar ini.
Semua berlangsung secara rahasia. Empat puluh hari telah lewat. Sekarang ini Gede Mirah meriasnya. Ia telah sampai pada riasan terakhir.
ia ingin kerja rias ini tiada kan berakhir. Dalam empat puluh hari ia telah bermohon pada Mahadewa agar melepaskannya dari kungkungan ini, mengembalikannya pada ayahnya tercinta di desa. Semua sia-sia. Hari yang ke empat puluh adalah hari selesainya wadad pengantin, ia menggigil membayangkan seorang lelaki sebentar nanti akan membawanya ke peraduan. Dan ayahnya tak juga datang untuk membenarkan perkawinan ini. ia sendiri juga tidak membenarkan.
"Perawan terayu di seluruh negeri," bisik Gede Mirah.
"Tanpa riasan sahaya pun tiada orang lain bisa menandingi."
Bedak telah menutupi sebagian dari kepucatannya. Sekali lagi airmata merusakkan rias itu.
"Jangan menangis. Berterimakasihlah kepada para dewa. Tak ada seorang wanita yang telah ditempatkan pada satu kedudukan oleh Yang Mulia Tunggul Ametung. Tak pernah Yang Mulia melakukan wadad kecuali hanya untukmu. Pernikahan itu takkan dapat dibatalkan. Yang Suci Belakangka adalah juga seorang brahmana sebagai ayahmu. Mantra-mantranya sama mengikat dengan yang diucapkan oleh ayahmu."
Dedes masih juga belum membuka mulut dalam empat puluh hari ini. Ia selalu terkenang pada ayahnya. Tanpa pembenaran dan restunya, semua hanya akan menuju pada bencana. Dan sebagai gadis yang terdidik untuk menjadi brahmani, ia tahu Tunggul Ametung hanya seorang penjahat dan pendekar yang diangkat untuk jabatan[Tunggul Ametung bukan nama pribadi, tapi gelar jabatan gendar-meri, artinya penggada kayu] itu oleh Sri Kretajaya untuk menjamin arus upeti ke Kediri. Semua brahmana, termasuk ayahnya, membencinya. Dua puluh tahun sebagai Tunggul Ametung pekerjaan pokoknya adalah melakukan perampasan terhadap semua terbaik milik rakyat Tumapel: kuda terbaik, burung terbaik, perawan tercantik.
"Mari, Dara," dan ditariknya perawan itu berdiri dari duduknya.
Dedes tetap tak bicara. Bedak dan mangir itu tak dapat menyembunyikan kepucatannya. Dada telanjangnya mulai ditutup dengan sutra terawang tenunan Mesir tipis laksana selaput kabut menyapu gunung kembar. Peniti pada seutas tali emas membikin su
tra terawang itu menyangsang pada lehernya, sebagian menutup rambut. Dan tali emas itu sendiri kemudian dilibatkan tiga kali pada leher untuk kemudian jatuh pada perutnya. Selembar sutra berselang-seling benang emas dan perak terkaitkan pada kondai dengan tusuk kondai, jatuh melalui kuping kiri ke atas pundak.
"Mari, Dara," katanya lagi dan dipimpinnya Dedes sang cantik, sang ayu, sang segala pujian itu hendak meninggalkan bilik.
Gedung pekuwuan itu dalam segala hal meniru istana Kediri, malahan nampak berusaha hendak mengatasi. Juga tatacara yang berlaku. Sepuluh tahun yang lalu Tumapel masih berupa desa sama dengan desa-desa lain. Kini gedung-gedung bermunculan seperti dari perut bumi. Tumapel berubah menjadi kota dan beratus desa bawahannya berubah jadi kumpulan gubuk dan pondok bobrok. Tunggul Ametung Tumapel melambung naik jadi raja kecil, dengan kekuasaan tanpa batas, hanya takluk pada Kediri.
Dua orang pengawal, mendengar gerincing giring-giring, membuka tabir berat dari potongan ranting bambu petung, menghentakkan pangkal tangkai tombak sebagai penghormatan, membungkuk tanpa memandang pada Dedes.
Gede Mirah menyerahkannya pada rombongan wanita pengiring yang langsung menyerahkannya pada Yang Suci Belakang-ka, Pandita Negeri Tumapel.
Semua menunduk mengikatkan pandang pada lantai. Juga Dedes. Hanya Yang Suci mengangkat muka, memimpin semua meninggalkan keputrian menuju ke pendopo pekuwuan. Iringan itu merupakan permainan warna dalam siraman sinar matahari sore. Di depan sendiri Dedes dalam intan baiduri gemerlapan. Rambutnya dimahkotai dengan pita emas dengan matahari intan bertaburan pada kening. Kulit tubuhnya yang dimangir kuning muncul dari balik terawang sutra Mesir dengan sepasang buahdada seperti hendak bertanding dengan matahari.
Yang Suci Belakangka mengenakan jubah hitam berkalung lempengan emas dengan hiasan dudul bergambar lambang serba Wisynu: cakra dan sangkakala. Kalung jabatan itu diberati dengan patung garuda, juga dari emas. Semua berkilat-kilat memuntahkan pantulan api dari dalamnya.
Di belakang barisan dara pengiring, berselendang aneka warna dengan buahdada penuh menggagahi pemandangan, dengan gelang dan binggal perak dan suasa mengangakan mulut naga.
Iringan itu berjalan selangkah dan selangkah seperti takut bumi jadi rengkah terinjak. Tetap tinggal Yang Suci yang tiada menunduk dengan jubah gemersik pada setiap langkah.
Delapan puluh langkah keluar dari keputrian iringan sampai di pendopo istana sang Akuwu. Empat orang prajurit berbareng meniup sangkakala. Dan keluarlah Tunggul Ametung dengan pakaian kebesaran, menandingi pakaian Sri Kretajaya. Ia diapit oleh barisan narapraja, kemudian diiringkan oleh pasukan pengawal, yang mendadak keluar dari samping-menyamping istana, menaikkan tombak dan menghentakkan pangkalnya ke lantai.
Sangkakala berhenti berseru-seru. Akuwu Tumapel turun dari pendopo menyambut pengantinnya, menggandengnya.
Dua orang prajurit datang membawa dua ekor kuda dengan hiasan serba perak. Mereka mengangkat sembah kemudian mempersembahkan kuda mereka.
Tunggul Ametung menolong Dedes naik ke atas kuda yang seekor. Ia sendiri menaiki yang lain. Dan iringan itu mengikuti di belakang berjalan kaki, meninggalkan pekuwuan, langsung menuju ke alun-alun. Dua orang prajurit itu menuntun kuda pengantin. Juga turun dan kuda Tunggul Ametung sendiri menolong pengantinnya, membimbingnya mendaki tangga panggung. Janur kuning dan daun beringin menyambut kedatangan mereka.
Dan rakyat yang menonton di seputar alun-alun itu hening tanpa sorak-sorai.
Para narapraja ikut naik ke panggung. Para pengiring berbaris bersua di bawah.
Yang Suci Belakangka berdiri di hadapan pengantin, memberi hormat, menyingkir ke samping menghadapi rakyat. Ia angkat tongkat-sucinya. Keadaan semakin hening. Mendadak men-derum genderang dari belakang para penonton. Dengan tangan kanan Yang Suci mengangkat giring-giring emas dan mengge-rincingkannya tiga kali.
Berpuluh pandita dari seluruh negeri Tumapel, yang didatangkan dari kota dan desa dan diturunkan dari gunung-gunung
Arjuna, Welirang, Kawi dan Hanung [Hanung, sekarang dikenal dengan nama Anjasmara.], berbaris seorang-seorang dengan jubah aneka warna dan destar sesuai dengan warna jubahnya. Di tangan mereka terangkat umbul-umbul kecil. Semua berjumlah empat puluh, empat puluh pandita, empat puluh hari pengantin telah mematuhi wadad perkawinan agung tatacara para raja dari jauh di masa silam yang sudah tak dapat diingat lagi kapan.
Di belakangnya lagi sebarisan dara belasan tahun menari dalam irama gamelan. Pemimpinnya membawa bendera sutra merah, besar, pertanda darah perawan pengantin diharapkan. Pakaian mereka kain batik, tanpa selembar pun baju, dengan perhiasan dan mahkota bunga-bungaan.
Waktu sebarisan kepala desa menyusul, memikul patung dewa yang sedang duduk di atas punggung garuda seluruhnya terbuat daripada anyaman rontal, penonton bersorak-sorai, kemudian mengangkat sembah. Hanya para brahmana dan brahmani, yang berada di antara para penonton dan menyembunyikan kepercayaannya selama ini, dalam kediamannya masih dapat mengenal, patung itu sama sekali bukan seorang dewa, hanya seorang raja yang diperdewakan: Erlangga.
Sesampai di depan panggung semua barisan berjalan miring menjauh memasuki tengah-tengah alun-alun. Hanya barisan patung di atas garuda itu tetap berhenti di depan panggung.
Tunggul Ametung berdiri, menggandeng pengantinnya, dan memimpinnya berlutut, kemudian mengangkat sembah.
Para narapraja di belakang pengantin agung juga mengangkat sembah.
Yang Suci melihat tangan Dedes gemetar dalam sembahnya. Dan ia lihat airmatanya titik. Kemudian tangan itu jatuh lunglai di atas pangkuan. Belakangka membantunya mengangkat tangan itu dan memperbaiki sembahnya. Berbisik menindas:
"Dewa Sang Akuwu sekarang juga dewamu."
Tetapi tak dapat lebih lama Yang Suci menunjang sembah Dedes. Ia harus memimpin upacara selesai wadad itu. Sembah pengantin itu jatuh lagi di pangkuan. Belakangka berdiri, mengangkat tongkat sucinya dan giring-giringnya pun gemerincing.
Angin pancaroba meniup keras, berpusing di tengah lapangan, membawa debu, membubung tinggi kemudian membuyar, melarut dalam udara sore.
Yang Suci mengucapkan mantra restu, ditutup dengan suara seratus sangkakala.
Barisan wanita dari semua biara negeri Tumapel yang diakui muncul dalam pakaian warna-warni, mengambil alih pemikul-an patung rontal, membawanya ke tengah alun-alun, menenggelamkannya dalam luapan api. Kemudian barisan pandita dengan abu patung dalam bokor emas mempersembahkannya pada Tunggul Ametung yang telah duduk kembali.
Upacara penutupan brahmacarya telah selesai.
Tunggul Ametung berdiri berseru pada rakyatnya:
"Demi HyangWisynu, pada hari penutupan brahmacarya ini,
kami umumkan pada semua yang mendengar, pengantin kami ini, Dedes, kami angkat jadi Paramesywari, untuk menurunkan anak yang kelak menggantikan kami."
Belakangka mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Terdengar sorak bersambut-sambutan.
Dengan didahului oleh abu patung dalam bokor di atas talam di tangan seorang pandita, Akuwu Tumapel dan pengantinnya menuruni panggung, berjalan kaki menuju ke istananya.
Para narapraja tinggal di pendopo, duduk bersimpuh. Akuwu dan pengantinnya dalam iringan Yang Suci, dan seorang pandita membawa bokor abu Erlangga menuju ke Bilik Agung yang terletak di balik pendopo.
Mereka dapatkan Gede Mirah menyambut di dalam. Diterimanya bokor emas itu dari tangan pandita dan menaruhnya di atas meja, kemudian menyembahnya.
Dedes berjalan tanpa kemauan. Ia dengar Yang Suci sekali lagi berbisik menindas: "Basuhlah kaki Yang Mulia."
Dara itu masih juga tak dapat membendung airmatanya dan menangis tersedan-sedan. Ia memprotes entah pada siapa: seorang brahmani yang harus mencuci kaki seorang sudra yang di-satriakan oleh Kediri.
"Yang Mulia Akuwu Tumapel,"Yang Suci mulai memimpin upacara, "kaki Yang Mulia."
Tunggul Ametung dalam berdiri itu mengangkat kaki kanan pada Dedes yang telah dipaksa berlutut oleh Yang Suci. Air bunga dalam jambang itu bergerak-gerak kecil.
"Bukankah Yang Mulia Akuwu sudah cukup memuliakan
kau, Dedes" Paramesywari Tumapel" telah mengangkat naik kau dalam perkawinan kebesaran ini"" tindas Yang Suci.
Melihat Dedes tak juga mencuci kaki Tunggul Ametung, ia sandarkan tongkat-sucinya pada meja, menangkap tangan lembut Dedes dan memaksanya membasuh kaki kanan suaminya, kemudian yang kiri.
Dedes tak juga bangkit dari berlutut. Kembali Yang Suci juga yang memimpinnya berdiri, membisikkan pada ubun-ubunnya, memberkahinya dengan restu kebahagiaan seru seorang putra calon pemangku Tumapel hendaknya segera dilahirkannya.
Upacara selesai dan malam pun jatuh.
Pesta untuk rakyat, juga pesta di pekuwuan telah selesai. Tumapel mulai sunyi dalam tengah malam. Dan dingin pancaroba membikin orang lari di bawah selimut masing-masing.
Dalam Bilik Agung Dedes berlutut menghadapi peraduan. Airmatanya telah kering. Tapi dalam hadnya masih juga mengucur tiada henti. Gede Mirah dan Rimang tak mampu menghiburnya.
Ia tahu pikirannya tidak kacau. Hatinya masih dapat menilai, mantra yang diucapkan oleh Belakangka dalam Sansakerta mengandung banyak kesalahan ucap dan bahasa. Lima tahun yang lalu pun ia berumur sebelas waktu itu ia sudah mampu menyalahkan, apalagi sekarang. Ia tak bisa terima perkawinan semacam ini: seorang brahmani harus membasuh kaki seorang sudra yang disatriakan. Dan ayahnya, seorang brahmana terpelajar, merasa tidak perlu untuk menengok.
Empat puluh hari ia telah membisu. Hanya itu yang ia bisa berbuat untuk melawan Tunggul Ametung.
Menghadapi peraduan begini, dengan Gede Mirah dan Rimang terus juga mencoba menghiburnya, ia teringat pada suatu cerita pokok tentang perkawinan antara wanita kasta brahmana dengan seorang pria kasta satria. Ayahnya, Mpu Parwa, yang menceritakan padanya dalam suatu pelajaran tentang tata-tertib triwangsa.
Pada suatu kali di tahun 1107 Saka Sri Ratu Srengga javasaba dari Kediri mangkat. Pertentangan terjadi dalam istana siapa yang harus dinobatkan. Raden Dandang Gendis melarikan diri dari istana ke Gunung Wilis. Di sana ia jatuh cinta pada gadis anak brahmana Resi Brahmaraja bernama Amisani.
Waktu itu Dedes menerimanya hanya sebagai pelajaran sejarah, dan sekarang ini ia baru mengerti, semua itu peringatan pada dirinya untuk tidak menerima lamaran dan suami seorang dari kasta satria. Ia sesali dirinya sendiri mengapa ia baru sekarang ini mengerti makna cerita itu. Dan bagaimana cerita itu selanjutnya.
Resi Brahmaraja tidak menyetujui percintaan itu. Amisani ini, kata sang Resi, hanya gadis desa, tidak layak mendampingi Tuan jadi Paramesywan, duduk di singgasana di kemudian hari. Tapi cinta telah membutakan Dandang Gendis. Ia menjawab: Jika aku disuruh memilih antara Amisani dan mahkota, sekarang juga aku dapat katakan, aku pilih Dewi Amisani.
Resi Brahmaraja, yang mengenal betul kehidupan istana, meminta pada Dandang Gendis untuk memikirkannya kembali, jangan sampai hati tertutup oleh nafsu. Anakku, Tuan, aku tahu, dia lebih berbahagia hidup di Gunung Wilis ini daripada di istana.
Dandang Gendis tak dapat dibelokkan kemauannya. Perkawinan dilangsungkan. Tiga tahun ia tinggal di padepokan Resi Brahmaraja. Pada suatu hari datang dari Kediri ke Gunung Wilis Mpu Tanakung dan adiknya sendiri, Mahisa Walungan. Mereka datang menjemputnya untuk dinobatkan jadi raja Kediri. Ini terjadi pada tahun 1110 Saka. Ia tidak lain daripada Sri Kreta-jaya[Kretajaya - gajah yang jaya. Kreta, gajah.] yang memerintah Kediri sekarang.
Di istana Amisani, si anak desa, tidak disukai oleh para putri istana. Orang pun memasang racun untuk membunuhnya. Amisani akhirnya mati termakan racun itu ....
Dedes terbangun dari renungannya. Ia kini sedang mengulangi kisah hidup Amisani. Ia mengerti di Tumapel tersedia banyak racun untuk melenyapkannya dari muka bumi. Aku tidak harus mati karena racun, ia yakinkan dirinya sendiri, yang lain bisa, Dedes tidak! Ia harus hidup. Ia masih akan bersimpuh pada kaki ayahnya untuk memohon ampunnya karena tak mampu membela diri. Ia harus telan semua upacara penghinaan kaum Wisynu atas dirinya. Ia angkat dagu, dan:
"Ayah, sekarang ini sa
haya kalah menyerah. Dengarkan sumpah sahaya, sahaya akan keluar sebagai pemenang pada akhir kelaknya."
Harum mangir pada kulitnya bersama harum dupa-setanggi memadati ruangan besar Bilik Agung itu. Hatinya sendiri semakin sempit terhimpit. Dara yang terasuh dengan cinta-kasih seorang bapa ini tak punya kekuatan untuk melawan. Ilmu dan pengetahuan, yang dituangkan padanya oleh ayahnya, tidak berdaya menghadapi Sang Akuwu.
"Akhir kelaknya sahaya yang menang, Ayah, Agunglah kau, puncak Triwangsa, kaum brahmana. Agunglah Hyang Mahadewa Syiwa!"
Dan Tunggul Ametung hanya seorang jantan yang tahu memaksa, merusak, memerintah, membinasakan, merampas. Bahkan membaca ia tak pernah, karena memang tidak bisa. Menulis apa lagi.
Dedes tak tahu harus berbuat apa. Melawan ia tak mampu-Lari ia pun tak mampu. Meraung tidak mungkin.
Dua orang wanita itu tiba-tiba bersiap-siap, mengangkat sembah padanya dan meninggalkan Bilik Agung.Tanpa mengangkat pandang tanpa berpaling ia mengerti, Sang Akuwu telah meninggalkan pendopo dan memasuki ruang besar ini.
Ia tetap berlutut menghadap ke peraduan. Ia dengar langkah kaki. Juga ia dengar suara terompah: Yang Suci Belakangka.
Langkah-langkah itu semakin mendekat, menghampirinya, ia tahu detik-detik ini adalah upacara menaiki peraduan pengantin.
Ia menggigil. Dedes tak memberikan sesuatu teaksi waktu tangan Tunggul Ametung dengan hati-hati melepas sutra terawang Mesir dari peniti dan tali, dan menyusupkan pada tangannya. Menurut tata-tertib yang diketahuinya, dengan sutra itu ia harus membasuh muka Tunggul Ametung, badan dan tangan sebagai awal upacara.
Tangan Akuwu itu menariknya, dengan lembut memaksanya berdiri dan memimpinnya ke arah jambang air bunga. Tekanan paksa dari Belakangka menyebabkan ia mencelupkan sutra itu ke dalam jambang dan mulai membasuh muka bopeng bekas jerawat besar, kemudian dada dan dua belah tangannya yang berbulu Sutra itu jatuh dari tangannya yang menggigil. Ia tetap menunduk di bawah tembusan pandang Sang Akuwu.
Yang Suci mengambil sutra itu dan menggandengkan tangan Tunggul Ametung pada pengantinnya:
"Yang Mulia, bawalah perempuan ini naik ke peraduan. Para dewa membenarkan. Pimpinlah dalam sanggama untuk mendapatkan karunianya, mendapatkan calon pemangku Tumapel," ia bunyikan giring-giringnya, kemudian meninggalkan Bilik Agung.
Berdua mereka berdiri di depan peraduan, mengawasi lembaran kapas yang tergelar di atas tilam. Sinar empat damar di setiap pojok bilik itu menerangi seluruh ruangan. Dan bayang-bayang hampir-hampir tiada.Tunggul Ametung menoleh pada dua orang wanita yang duduk bersimpuh di pintu. Mereka mengangkat sembah dan pergi, hilang di balik tabir berat potongan-potongan ranting bambu petung.
Tunggul Ametung merabai lembaran kapas itu dan menatap pengantinnya. Dan Dedes mengerti sepenuhnya: kapas itu akan menampung darah perawan yang sebentar lagi harus ia teteskan. Gigilannya semakin menjadi-jadi. Besok sebelum matahari terbit, kapas dengan bercak darah itu akan diambil dengan upacara oleh Gede Mirah.
"Mengapa tak juga aku dengar suaramu, Permata"" ia letakkan tangan pada pundak pengantinnya, dan ia rasai gigilan itu. "Mengapa tak juga kau lepas seluruh pakaianmu" Bukankah kapas itu telah menunggu kesediaanmu""
Dara itu tetap membisu. "Apakah perlu kupanggilkan Gede Mirah untuk membantumu"" Dedes menjawab dengan tangis.
Tunggul Ametung menangkap muka istrinya dan diciumnya pada pipi dan lehernya:
"Keayuan yang keramat ini para dewa semoga takkan merusakkannya Jangan jadi susut keayuan ini. Dengar, Dedes, aku panggilkan keabadian untuk kecantikanmu demi Wisynu Sang Pemelihara aku patrikan keayuanmu dalam keabadian dalam sebutan Ken. Diam kau, sekarang, dengarkan suamimu."
Ken Dedes kehilangan keseimbangan. jatuh berlutut di hadapan peraduan.
Mendengar denting binggal yang bersintuhan tidak wajar Gede Mirah masuk lagi ke dalam, mengangkat sembah, dan:
"Yang Mulia," ia mempersembahkan kehadirannya.
Tanpa menunggu perintah Gede Mirah membuka ikat pinggang emas Ken Dedes, meletakkan dengan ra
pi pada bagian kaki peraduan, kemudian menarik tali pinggang, dan lolos semua pakaian pengantin itu, telanjang bulat seperti boneka. Gede Mirah mengangkatnya ke atas peraduan, tepat di atas lembaran kapas.
Ken Dedes menutup matanya dengan tangan dan menangis tersengal-sengal, laksana boneka emas di atas lembaran perak. Bertahun ia telah mengimpikan saat ini, waktu datang ternyata ia takut dan jijik sekaligus.
Dan Gede Mirah memindahkan tangan penutup mata itu ke samping dan memperbaiki rias, mengeringkan airmata, berbisik:
"Bila Hyang Surya besok mengirimkan restunya, tubuh dan jiwa pengantin ini sudah jadi sepenuh wanita."
Ia tinggalkan Bilik Agung setelah mengangkat sembah.
Tunggul Ametung memperhatikan tubuh istrinya yang indah tertelentang seperti kala dilahirkan. Ia belaikan tangan pengasih pada pipi, leher, dada dan perut pengantinnya, kemudian ia sendiri naik ke atas peraduan dan menenggelamkan Dedes dalam pelukannya.
Kutaraja. ibukota Tumapel. tenggelam dalam dingin pancaroba. Di rumah-rumah penjagaan, para kemit masih sibuk memperbincangkan upacara selesai brahmacarya. Seluruh negeri baru tahu dari upacara itu, bahwa Paramesywari Tunggul Ametung adalah anak brahmana Mpu Parwa dari desa Panawijil. Semua orang tahu brahmana itu tidak mendapatkan pengakuan dari Yang Suci Belakangka, maka juga tidak dibenarkan menerima pelajar. Satu-satunya murid yang resmi adalah anak-tunggalnya: Dedes.
Barangsiapa pada malam itu belum tidur, dia bertanya-tanya, apa sebabnya perkawinan itu dirahasiakan. Dan mengapa Tunggul Ametung justru hanya mengambil gadis desa. Bukankah di Kutaraja sendiri banyak gadis cantik yang patut dipara-mesywarikan"
Peristiwa itu mendesak berita hebat dari hampir dua bulan lalu yang menyebabkan penjagaan istana Tumapel dan seluruh Kutaraja diperketat. Berita itu adalah tentang Borang, seorang pemuda berperawakan kukuh, berani atau nekad, tanpa kegemaran. Ia muncul di tanah lapangan Bantar, setengah hari perjalanan di sebelah barat Kutaraja. Dan orang dengan diam-diam mengagungkan dan membenarkan Borang, bahkan menganggapnya sebagai titisan Hyang Wisynu sendiri.
Bantar adalah sebuah dukuh di kaki Gunung Arjuna, di pinggir jalan negeri yang menghubungkan Tumapel dengan Kediri. Pembangun dukuh adalah Ki Bantar. Beberapa tahun yang lalu ladang Bantar tidak tanah lapang seperti sekarang, karena Ki Bantar setiap musim kemarau menanaminya dengan bawang merah. Seorang narapraja dalam perjalanan ke Kediri telah mengusirnya bersama semua keluarganya. Semua harta milik dan ladangnya dirampas oleh desa.
Di lapangan Bantar ini dua bulan yang lalu Borang muncul dalam terang cahaya bulan. Anak buahnya telah mengerahkan seluruh penduduk untuk berkumpul dan melingkarinya. "Akulah Borang," ia memperkenalkan diri. "Mengapa kalian diam saja waktu Ki Bantar dan keluarganya diusir dari sini" Katakan padaku sekarang: siapa yang bersuka hati karena ke-pergiannya""
Penduduk yang menjadi waspada tidak menjawab. Siapa Bo-rang, orang tak tahu. Selama ini banyak perlawanan terhadap Tunggul Ametung, dan hampir semua telah dipatahkan. Boleh jadi Borang punggawa Tumapel, boleh jadi juga sebaliknya.
"Mengapa kalian diam saja tidak menjawab" Sekarang tidak, waktu Ki Bantar diusir juga tidak. Apakah kalian kurang menyembah dan berkorban pada Hyang Wisynu, maka kurang keberanian dalam hati kalian""
"Bukankah kami tidak bersalah memuja dan mengkorbaninya, ya, Borang"" seseorang bertanya.
"Pemujaan dan korban kalian tiada arti bila kalian tak dapatkan keberanian itu dari Hyang Wisynu."
"Barangkali kau seorang pemuja Hyang Syiwa, Borang. Kalau demikian janganlah disinggung dengan ucapanmu apa yang kami cintai, sembah dan korbani."
"Apakah kekurangan Hyang Wisynu maka Ki Bantar sampai terusir dari desa dan kalian diam saja" Apakah dia kurang memuja dan mengkorbani""
"Tidak, Borang, jangan salahkan juga kami. Tumapel terus-menerus menyalahkan kami. Kalau kau pun demikian, apalah gunanya menggiring kami ke tengah tanah lapang ini""
"Kalian memuja Hyang Wisynu hanya karena Akuwu Tumapel juga
melakukannya"" Angin pancaroba yang dingin itu meniup tanpa mengindahkan puncak pepohonan yang membangkang. Dan yang berselimut kain biru dalam temaram cahaya bulan itu tiada menjawab.
"Kekuasaan Akuwu Tumapel yang diberkahi oleh Hyang Wisynu telah membikin kalian mengidap kemiskinan tidak terkira. Dengan segala yang diambil dari kalian Akuwu Tumapel mendapat biaya untuk bercumbu dengan perawan-perawan kalian sampai lupa pada Hyang Wisynu. Dengan apa yang diambil dari kalian itu juga Sri Baginda Kretajaya di Kediri sana tak lebih baik perbuatannya. Sama sekali tak ada artinya dibandingkan dengan kemuliaan Hyang Wisynu," ia diam untuk memberi kesempatan pada penduduk Bantar untuk mengerti, ia bukan seorang narapraja, juga bukan penyokong Akuwu Tumapel, bahkan menempatkan diri sebagai lawannya.
"Nah, jawab sekarang. Adakah kalian setuju Ki Bantar dan keluarganya diusir""
Seorang bertubuh tinggi-besar juga berselimut gelap, menghampiri Borang, menelakkan tanya: "Siapa kau sesunggahnya""
"Jangan perhatikan siapa aku, dengarkan kata-kataku. Jangan kau kira Borang gentar karena yang datang padaku berperawakan tinggi dan besar. Kau sudah tidak berdaya selama ini. Borang masih berdaya."
"Siapa kau"" desak orang itu.
"Kalau kau narapraja dari Tumapel, kebetulan, biar semua orang lihat dan tahu siapa Borang. Apa maumu""
Orang-orang dukuh Bantar, laki dan perempuan, mulai mendesak mendekati.
"Katakan berdepan-depan pada semua orang ini," si tinggi besar meneruskan, "Kau musuh Tumapel."
"Aku bukan musuh Tumapel Aku musuh Akuwu Tunggul Ametung. Apa perlu kuulangi""
"Katakan kau musuh Sri Baginda Kretajaya."
"Musuh dari semua yang membenarkan Tunggul Ametung, juga musuh dari ketidaktahuan, kebodohan. Maka itu, dengar, hanya mereka yang tidak mengenal Hyang Mahadewa Syiwa selalu dalam cengkeraman kebodohan dan ketidaktahuan. Hyang Bathara Guru tahu segalanya. Hyang Mahadewa, juga Hyang Bathara Guru, Maha Pencipta."
"Jadi kau memusuhi kami penyembah Wisynu""
"Tidak, Kalian membutuhkan pancaran Hyang Mahadewa untuk dapat mengerti, bahwa tinggal jadi petani pemelihara sawah, ladang dan ternak saja, membikin kalian tidak tahu untuk siapa kalian bekerja. Sewaktu kalian tekun bekerja memelihara apa saja, elang berdatangan menggondol segala yang kalian usahakan. Apakah Hyang Wisynu menitahkan agar kalian memelihara elang itu dengan tekun juga""
"Kau menghujat, Borang."
"Aku, Borang, menghujat ketidaktahuan kalian."
"Suaramu masih kekanak-kanakan, belum mantap. Berapa umurmu maka berani bicara urusan para dewa""
"Dilahirkan boleh jadi pada waktu kau mendapatkan restu perkawinan."
"Masih bocah tahu apa kau tentang urusan dewa""
"Setidak-tidaknya dari Hyang Bathara Guru aku tahu, dua hari lagi kalian akan mendapat perintah untuk mengangkut upeti ke Kediri. Dari Hyang Wisynu aku tahu, kalian akan lakukan itu dengan patuh."
"Penghujat!" Orang-orang yang melingkari mereka berdua diam mendengarkan pertengkaran dalam malam dingin menggigit itu.
"Para pandita, malahan Yang Suci sendiri tak pernah terdengar bicara selancang kau."
"Maka Borang yang memulai."
"Berani mati, kau, bocah kemarin."
"Yang lebih muda belum tentu lebih tidak tahu, belum tentu lebih pengecut daripada kau. Dengarkan bisikan Hyang Syiwa." "Bisikan kepadamu""
"Dengarkan kau, si-lebih-tua-daripadaku, bergabung kalian semua yang malam ini di Bantar. Demi Hyang Wisynu, angkut semua upeti ke Kediri. Sampai ke Sanggarana, lihat kalian ke sebelah kiri ...jangan hampiri aku, demi Hyang Durga, hancur kau bila tak mundur lima langkah ... hancur kalian, bukan karena narapraja Tumapel, tapi demi Hyang Durga sendiri."
Orang itu mundur tiga langkah dengan ragu-ragu.
"Dua langkah lagi.'" orang itu mengikuti perintahnya. "Dan hancur kau dan kalian di Sanggarana sana, bila tidak berhenti di bawah pohon beringin sebelah kiri jalan, dengan tanduk Nan-di, karena kalian tidak boleh terus, kalian harus membelok ke kiri. tunggu di bekas pertapaan Bonardana."
Anak buah Borang bertugal mengepung penduduk Bantar tanpa
membuka mulut. "Ayoh, siapa harus menjawab aku" Mengapa kau diam saja"" kata Borang ditujukan pada si tinggi-besar. "Hanya badanmu saja yang tinggi-besar" Kalau kau harus menjawabkan untuk seluruh Bantar, jawablah."
Orang itu tidak menjawab. Seorang kakek maju padanya. Dalam cahaya rembang itu nampak ia telah bongkok dan bertongkat:
"Tentara Tumapel akan antarkan anak-anak yang memikul." "Kalian penyembah Hyang Wisynu yang kurang baik. Kesetiaan telah kalian persembahkan pada Tunggul Ametung, bukan pada Hyang Wisynu. Yang kalian sembah bukan dewa cinta-ka-sih, bukan Sri Dewi, bukan Hyang Wisynu, tapi gandarwa ketakutan. Dengarkan, kalian, bila seorang brahmana bicara: tentara Tumapel akan tumpas di Sanggarana. Juga setiap orang di antara kalian yang tidak setia pada perintah ini. Juga setiap orang di antara kalian yang lebih takut pada Akuwu Tumapel dan tentaranya Dan kalian takkan dapatkan sesuatu jawaban. Karena apa yang aku katakan ini adalah juga dari para dewa."
Angin meniup keras. Borang memperketat selimut tubuhnya. Ia angkat tangan dan mengucap:
"Dirgahayu! Pulanglah kalian," ia berjalan meninggalkan kepungan, dan orang-orang meminggir memberi jalan.
"Borang!" orang tua bongkok itu menahan dengan pang-gilannya "Pemikul-pemikul ke Kediri tidak hanya dari Bantar, juga dari dukuh lain dari desa-desa lain."
"Semua harus berlaku seperti orang-orang Bantar." "Jangan pergi dulu. brahmana muda. Perlihatkanlah mukamu biar kami mengenal kau. Biar penduduk Bantar menyalakan api unggun."
Borang berjalan menghampiri si tua bongkok:
"Nyalakan api, kenalilah wajah Borang."
Ranting kekayuan di sekeliling lapangan Bantar dikumpulkan cepat beramai-ramai. Api unggun menyala setelah kawul itu menyambar api dari gesekan kayu sadang.
Borang berdiri menatap api, mengangkat tangan:
"Inilah Borang. Dia tidak lari karena sinar api atau pun matahari."
Orang melihat seorang pemuda berumur mendekati dua puluh, berpakaian rapi berwarna coklat tanah: destar, selimut badan, kain bawah. Matanya menyala seperti menyemburkan api menandingi unggun.
"Telah kalian kenal wajah Borang. Perhatikan," ia buka selimut badannya dan muncul kalung perak dari lempengan yang ber-taut-tautan dengan gambar dudul hamsa[hamsa, angsa.], garuda dan nandi. Pada tangannya ia membawa trisula pendek dari perunggu.
Melihat lambang-lambang para dewa dipersatukan di kalung dan pada tangan, berkilat-kilat memantulkan sinar api unggun, orang pun menjatuhkan diri bersimpuh di tanah dengan puncak hidung menyentuh bumi. Lama, menunggu perkenan untuk mengangkat kembali kepala. Dan perkenan itu tiada juga datang. Waktu mereka memaksa diri mengangkatnya, Borang telah tiada, juga anak buahnya .....
Malam itu para kemit tidak membicarakannya lagi. Juga tidak membicarakan iring-iringan pengangkut upeti dari seratus desa yang hilang di hutan Sanggarana dan tumpasnya tentara pengawal Tumapel.
Darah perawan itu telah menetes pada lembaran kapas.
Waktu Gede Mirah memasuki Bilik Agung, Akuwu dan Ken Dedes sudah tiada. Kapas itu digulungnya setelah ditaburinya dengan daun bunga, diletakkan di atas talam, dan dengan iringan Rimang dibawa pergi ke Bilik Larangan untuk disimpan.
Waktu Hyang Surya terbit,Yang Suci Belakangka di pendopo mengumumkan pada sekalian pembesar pekuwuan, bahwa Ken Dedes adalah seorang perawan suci yang mematuhi ajaran nenek moyang, para dewa dan para guru. Pengumuman itu sebentar kemudian merembesi seluruh pekuwuan dan ibukota Tumapel. Berita dikirimkan juga ke desa-desa dan ke biara-biara di gunung-gunung, sebagai perintah isyarat dari Yang Suci Belakangka kepada para biarawan dan pandita, agar bersama memanjatkan terimakasih dan puja sekaligus agar pengantin yang baru meninggalkan keremajaannya, memasuki kedewasaan penuh itu, dilimpahi karunia lebih banyak, dan semoga seorang calon pemangku Tumapel mulai dikandung dalam rahimnya.
Di dapur pekuwuan, seorang penanak nasi berbisik pada temannya:
"Tak mungkinkah darah itu berasal dari seratus nyamuk kenyang, misalnya, atau Yang Mulia Paramesywari menggigit j
arinya sendiri dan meneteskannya pada kapas itu""
"Stt. Kepalamu bisa hilang dengan darah nyamukmu," temannya memperingatkan.
"Kepercayaanku sudah hilang pada kesucian," Oti berbisik lagi.
"Tentu, karena kau sendiri tak pernah suci sejak bayi."
"Banyak benar orang merasa puas dengan kesuciannya, hanya karena tak ada yang mengganggunya, seperti Yang Mulia Paramesywari Ken Dedes. Berapakah banyak jumlah dan kau tak bakal tahu orang yang justru tak boleh punya kesucian""
"Hyang Wisynu memuliakan kesucian.Tak perlu kau ikut-ikut dengan orang Syiwa gila itu."
"Dan siapa bakal mengganti kesucian yang hilang tanpa mau sendiri" Hyang Wisynu"" Oti membantah.
Gadis berumur dua puluh itu datang dari sebuah pulau jauh yang ia tak pernah mau menyebut namanya. Perompak telah menyerang kampungnya waktu ia sedang berdayung seorang diri di muara sungai untuk mengumpulkan telor penyu. Umur be rapa ia waktu itu" Ia tak tahu. Yang teringat olehnya ia dapat menghitungnya dengan dua kali banjir besar di kampungnya. Yang terakhir banjir itu begitu derasnya. Rumah-rumah panggung ditumbangkan. Orang dibantingkan oleh arus pada batang-batang kayu hutan. Dengan surutnya banjir hujan tak turun lagi sampai seratus hari. Kali pada kering hutan di pegunungan mulai menyala terbakar, dan pagi itu ia disergap di atas biduknya oleh serombongan perahu yang merompak kampungnya.
Setelah itu ia dijual sebagai budak, dari pulau satu ke yang lain. Dari sebanyak itu lelaki yang menggunakan dirinya ia tak mendapatkan seorang bayi pun. Para dewa tak membenarkan lahirnya bocah dengan terlalu banyak bapak, pernah seorang wanita senasib sependeritaan mengatakan padanya, juga para leluhur tidak; kalau tidak, anak dengan terlalu banyak bapak akan lahir seperti lipan, dengan kaki seratus.
Terakhir kali dijual ialah sewaktu kapal besar itu membawanya ke pelabuhan Gresik. Ia dibeli oleh seorang pedagang ikan kering. Pekerjaannya mempesiangi ikan dan menjemurnya, sampai pada suatu kali ia terbujuk oleh seorang pengangkut garam ke pedalaman. Orang itu setiap bulan dua kali dengan perahunya hilir dan mudik di kali Brantas. Seorang narapraja telah merampasnya dari tangan lelaki itu, karena perahu garam dan ikan asin itu tenggelam, dan orang itu tak mampu mengganti harganya. Dan istana Kediri ia dihadiahkan pada Tunggul Ametung karena mempunyai keahlian istimewa: membuat sambel jeruk yang menimbulkan gairah makan.
"Kau perlu pengampunan, Oti, demi Hyang Wisynu," bisik temannya.
Dengan Jawa yang kaku dan selalu salah tekanan ia membantah, juga dalam bisikan:
"Justru mereka yang memperlakukan aku sekehendak hatinya yang memerlukan pengampunan."
"Boleh jadi dahulu kau orang Buddha atau Syiwa."
"Semua yang tak kau sukai kau anggap orang Buddha atau Syiwa."
"Semua yang jahat berasal dari orang-orang Syiwa yang memuliakan kama[Kama, nafsu.] tanpa batas itu" "Stt. Lurah dapur datang."
"Nyi Lurah, berilah ijin pada kami untuk sekali ini bisa ikut mengagumi Yang Mulia Paramesywari."
Wanita tua itu tersenyum senang, dan:
"Tak ada yang lebih ayu daripada Ken Dedes. Kalian perlu lihat. Sebentar lagi Yang Mulia Akuwu dan Paramesywari akan keluar dari pura. Semua rakyat pekuwuan akan mengelu-elukan sepanjang jalan. Mengapa tidak""
Oti membuang muka. Ia hanya seorang budak, tak mungkin bisa bercampur dengan orang banyak yang bebas. Apalagi menyaksikan orang-orang besar. Lambat-lambat ia melangkah keluar dari dapur.
"Oti!" lurah dapur, Sina, memanggilnya. Dan waktu budak itu berdiri di hadapannya, dengan kepala menunduk, ia meneruskan, "lepas tapasmu, sekali ini mari ikut."
"Tanpa tapas penutup kepala, mereka akan tangkap dan aniaya sahaya ini."
Lurah Sina memberinya kain penutup kepala:
"Berjalan kalian berdua di belakangku. Semua ingin melihat
Yang Mulia Paramesywari." Juga budak yang lain itu, Unggok, melepas tapas penutup kepala sebagai tanda budak, dan menggantinya dengan selendang.
Semua pekerja dapur keluar, bermandi sinar matan pagi yang sedang mengusir kabut. Puncak pegunungan di kejauhan pun mulai berjenguk
an berebut dulu untuk melihat pengantin yang baru keluar dari pura. Dingin pagi telah berkurang. Dan jalan pendek dari batu, penghubung antara pura pekuwuan dengan gerbang belakang gedung itu, telah tertutup oleh penghuni pekuwuan, terjaga oleh pasukan pengawal.
Akuwu yang mendekati lima puluh itu berjalan seiring dengan pengantinnya yang berumur enam belas. Mereka berjalan lambat seakan takut membangunkan cengkerik tidur. Di belakangnya mengiringkan beberapa orang abdidalam membawa jam-bang-jambang kuningan berisikan air bunga.
Para penonton bersimpuh dan mengangkat sembah.
Dari bawah keningnya Oti dapat melihat kesuraman yang meliputi wajah Ken Dedes dan kebahagiaan yang terpancar pada mata Sang Akuwu. Dedes berwajah bulat, berhidung bangir-tipis, pertanda berdarah Hindu mengalir dalam tubuhnya. Tunggul Ametung berwajah bulat, berhidung pesek, berpipi tebal, tak ubahnya dengan petani Tumapel lainnya. Mata mereka sama besar dan bulat. Dedes menunduk sedang Tunggul Ametung mengangkat dagu seperti sedang memimpin perang.
Begitu muda dan suci Oti menjatuhkan pandang pada tanah di antara dua kaki Lurah Sina. Barangkali lima atau enam musim lebih muda daripadaku, cantik gilang-gemilang, semua bakal berada di bawah perintahnya semua, pria dan wanita. Sungguh seorang dewi di atas bumi.
Kemudian ia lihat kaki Dedes yang berhartal itu melangkah lambat-lambat, kemudian pada buahdada yang menggeletar dari balik sutra terawang itu pada setiap langkah. Ia rasai setiap ayunan kakinya menginjak-injak pada kepala dan tengkuknya.
Dia memiliki segala. Dia dewi di atas bumi itu. Dan aku" Diriku sendiri pun tidak, dan selama ini tak pernah jadi milikku sendiri.
Di pulaunya tak ada orang pernah didewikan atau didewakan. Orang berperang dan mati, mengaduk hutan dan laut tanpa pernah jadi budak. Orang berladang, menangkap ikan, mencari telor penyu untuk seluruh kampung. Orang bersesaji hanya untuk para leluhur. Di sini semua untuk dua orang itu saja .... Dan semua kebesaran hanya milik para dewa. Ia tahu betul, di kampungnya dewa tak pernah berkuasa.
Kembali ke dapur ia kenakan lagi tapas kelapa penutup kepaia Ia menjadi terdiam. Ia menyesal telah ikut melihat kebesaran yang terlampau besar tergelar di hadapannya: manusia dan perhiasannya.
Beberapa tahun yang lalu ia belajar membaca dari temannya yang bukan budak, si Polang. Dari temannya itu juga ia dapat membaca rontal lepas dari Arjuna Wiwaha salinan dari karya Mpu Kanwa. Ia mengherani adanya raksasa dan ia tak dapat membayangkannya. Ia mengherani adanya satria yang mendapatkan kelebihan-kelebihan dari para dewa. Dan betapa banyak dewa, raksasa dan satria dalam pikiran orang Tumapel. Juga di Jawa ini ia banyak dengar orang menyebutkan kebesaran para dewa dan satria, dan dengan diam-diam ia mencoba pahami kehinaan dirinya sendiri sebagai budak.
Ah, hanya budak. Jangankan para dewa dan satria, seorang lelaki biasa pun tak ada datang untuk merayunya apalagi mela-marnya. Wanita budak paling baik hanya untuk pria budak. Dan di istana Tumapel ini dia tak ada. Setidak-tidaknya ia belum pernah menemui. Mereka ditempatkan jauh dari Kutaraja. Ia tak tahu di mana. Setidak-tidaknya tak diperkenankan menginjak bumi mulia yang terjamah oleh kaki Sang Akuwu. Ia pernah dengar budak lelaki dipekerjakan di pembakaran batu bata dan di pembelahan batu. Ia merindukan tempat yang tak diketahui namanya itu. Ia merindukan salah seorang di antara mereka yang bakal melamarnya. Ia merindukan seorang bayi, yang dapat digendong dan ditimangnya. Ia akan nyanyikan untuknya lagu-lagu dari kampungnya dulu di muara sungai. Mungkinkah itu" Maukah dan mampukah orang itu menebusnya dari pekuwuan ini, sedang mereka tak mampu menebus dirinya sendiri"
Apa saja yang telah dilakukan oleh para dewa itu maka ia sampai kehilangan hak untuk menikmati apa yang patut dinikmati oleh manusia seperti halnya dengan Ken Dedes" Samsara" Tahu apa aku tentang hidupku terdahulu sampai aku harus jadi budak orang lain sekarang ini"
"Awas!" budak Unggok memekik.
Oti melompat. Budak-budak wanita lain yang memik
ul belanga tembaga berisi air mendidih itu tergoncang-goncang karena pemikul terdepan terpeleset oleh ceceran kuah. Badan mereka kukuh seperti lelaki, mengkilat karena panas dan keringat.
"Tonga, tonga!" budak pemikul itu mendengus.
Tak ada orang mengerti maksudnya. Tak ada orang yang mau mengenal bahasanya.
Hari ini hati Oti rusuh tiada menentu. Ia tak bisa berdamai dengan nasibnya. Ia mengiri pada Ken Dedes. Ia tak dapat mengerti mengapa semua orang menganggap perkawinan agung itu sebagai sesuatu yang semestinya. Dan dirinya sendiri" Mengapa harus menjadi budak, sekedar dapat makan dan secabik pakaian agar tetap hidup dan tetap menjadi budak" Direnggang-kannya tali tapas kelapa penutup kepala itu. Ia sengaja hendak membikin lambang kehinaan itu jatuh dan akan pura-pura tidak tahu. Tahun demi tahun, siang dan malam benda coklat itu semakin berat juga menekan hatinya.
Waktu tapas itu akhirnya jatuh tepat di bawah kaki Lurah Sina, suatu pukulan rotan telah menghantam pipinya. Jalur merah segera melintang pada mukanya, ia tak mengerang, tidak mengaduh. Ia tahu, itulah yang bakal diterimanya. Tapi ia telah mencoba. Dan benar-benar tanda budak itu harus tetap dikenakannya.
"Kau sendiri tahu, bukan aku yang mengizinkan." bentak Lurah Sina.
Tanpa bicara ia tutup kembali kepalanya.
Lurah Sina duduk lagi di ambin, membantu merajang bawang merah, seakan tiada terjadi sesuatu atas diri siapa pun.
Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pagi itu Arya Artya duduk termenung di tepian kolam pemandian. Memasuki umurnya yang ke empat puluh ia nampak semakin suram. Pengesahan gelar Arya dari Yang Suci setahun yang lalu belum juga membawa pengaruh baik atas dirinya.
Yang Suci tidak pernah membantah kebenaran silsilah, benar ia berdarah Arya, juga mengakui ia seorang brahmana. Semua orang Kutaraja tahu, di puranya sendiri ia mempersembahkan korban. Bahwa ia seorang yang berpengetahuan luas tentang sifat-sifat semua dewa, syakti dan lambang-lambang serta tafsirnya. Bahwa ia menguasai Bharatayuddha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, menguasai Mahabharata dan Ramayana asli, juga Ramayana dari jaman Rakai Balitung, tiga ratus tahun yang lalu, Sansakerta dan Jawa. Tetap:Yang Suci Belakangka tak juga memberinya ijin untuk mengajar.
Tidak seperti brahmana lain, ia memilih tempat di pinggiran ibukota. Bila mengikuti kebiasaan kaum brahmana selama dua ratus tahun belakangan ini, ilmu dan pengetahuan hanya akan tersebar di lereng gunung-gunung sepi. Ia mencoba mematahkan kebiasaan itu. Dan ia tidak berhasil. Bahkan tak ada seorang narapraja pun pernah datang berkunjung, apalagi belajar. Betapa rendahnya harga brahmana di mata Tumapel.
Seperti kaum brahmana lain selama dua ratus tahun belakangan ini ia pun menyesali Erlangga, orang yang serba bisa itu, juga bisa membikin terdesaknya kaum brahmana. Dialah pula yang melarang adanya paria, perbudakan. Dia hanya mengakui triwangsa; biara, candi, bahkan pura negara pun kehilangan pamor dengan hilangnya perbudakan, kaum paria hina itu, makhluk serendah hewan di luar triwangsa.
Untuk mengambil hati kaum brahmana Sri Baginda Kreta-jaya menghidupkan kembali perbudakan untuk merawat bangunan-bangunan suci Yang Suci Belakangka dengan serta-merta membenarkan. Suatu telah ditemukannya untuk men-ciptakan perbudakan. Akuwu Tumapel menyokong dan meman-faatkannya. Dan dipergunakan budak-budak itu untuk memperkaya diri mereka berdua.
"Sekumpulan ular bermuka dua," sebut Arya Artya."Mem-perbudak orang-orang tak berdaya, dan membikin orang tak berdaya untuk dijadikan budak."
Duduk di bawah naungan pohon beringin muda di tepi kolam pemandian ini benar-benar ia tak dapat memusatkan pikirannya. Belakangka mempunyai kedudukan terlalu kuat. ia tak mampu untuk dapat mendesaknya. Akuwu Tumapel telah tergenggam dalam cengkeramannya. Ia mencoba mengenangkan kembali perayaan selesai brahmacarya kemarin. Ken Dedes kini telah jadi milik Tunggul Ametung. Dan Akuwu itu menoleh padanya pun tidak dalam upacara kemarin. Bukankah telah dinasihatinya Akuwu itu untuk mengambil gadis itu dengan segala cara yang mungkin. Dia telah mengambiln
ya, dan ia tak juga mendapatkan ucapan terimakasih, apalagi memberikan kedudukan Belakangka pada dirinya.
Ia menyesal telah menghadiri upacara kemarin. Tidak hadir pun tidak mungkin pengkokohannya sebagai brahmana bisa dicabut oleh Tunggul Ametung. Ia akan kehilangan bantuan negeri, dan akan terpaksa membuka perguruan di lereng gunung juga seperti brahmana yang selebihnya.
Ia tahu, Mpu Parwa dengan diam-diam telah menerima beberapa orang pelajar. Sampai sebegitu jauh ia tak persembahkan itu pada Sang Akuwu. Orang berilmu, berpengetahuan dan berbakat itu tak boleh punah. Jabatan Pandita Negeri untuknya belum lagi berarti dibandingkan dengan hancurnya brahmana itu. Ia hanya dapat persembahkan nasihat untuk mengambil Dedes. Dan untuk jasanya itu ia tidak mendapat apa-apa. Uh, melihat padanya pun Tunggul Ametung tidak.
Ia sudah tak punya jalan untuk dapat bercengkerama dengan penguasa Tumapel itu. Orang sebodoh itu, tapi gesit, tangkas dan cerdik seperti tikus pada umumnya. Seluruh ilmu dan pengetahuanku tak dapat menembus ketidaktahuannya.Tapi sekali kau akan terjatuh dalam pengaruhku
Ia tak dapat berdamai dengan nasibnya: seorang brahmana yang dipersamakan kedudukan dan kehormatannya dengan seorang kepala desa.
Dalam usahanya untuk memusatkan pikiran ia bangkit kemudian berjalan mengelilingi kolam pemandian. Sebentar ia berhenti mengawasi bambu pancuran yang tak henti-hentinya memuntahkan air, tepat seperti pancuran candi Belahan. Ia berjalan lagi, dan kini ingatannya menggapai kembali peristiwa Belahan itu ....
Tiga bulan yang lalu ia ikut dalam rombongan pengiring Sang Akuwu berkunjung ke candi Belahan di lereng utara Gunung Penanggungan. Tunggul Ametung hendak meminta berkah pada Hyang Wisynu, pada arwah Sang Sri Erlangga untuk rencananya mengambil Dedes, agar tidak memungkinkan amarah kaum brahmana.
Sebagai brahmana penganut Syiwa ia tak rela mengangkat sembah pada arwah seorang raja, biar pun dikeramatkan sebagai titisan Hyang Wisynu. Seperti kaum brahmana selebihnya ia juga tidak membenarkan adat baru mengangkat arwah raja menjadi dewa yang harus disembah dan dipinta restunya. Tak pernah itu diajarkan dalam kitab-kitab suci purba. Orang-orang Wisynu dimulai dengan Erlangga yang membuka adat memuja arwah leluhur, perbuatan khianat pada para dewa. Semua para dewa yang menentukan, bukan petani-petani bodoh itu.
Orang tak menegurnya waktu ia tak ikut mengangkat sembah. Mereka semua tenggelam dalam kekhidmatan, tak memperhatikannya. Waktu rombongan memasuki candi dengan jalan menekuk lutut, tak habis-habisnya ia menyumpah harus berlaku seperti itu terhadap arwah seorang raja tani. Dan abu Sri Erlangga itu ditanam di bawah lantai pemandian. Orang beringsut-ingsut mengelilingi kolam, dengan kepala menekuri air. Kemudian semua menuju ke dinding belakang candi. Entah berapa kali orang mengangkat sembah pada patung pada dinding itu: Erlangga di atas garuda bertubuh manusia, dipahat dari sebuah batu kali besar. Dan di bawah patung itu berdiri dua orang Paramesywarinya: Sri dan Laksmi, dua-duanya putri Sri Teguh Dharmawangsa. Dua-duanya tidak dipahat dari batu, hanya dari tanah liat bakar, merah kecoklatan. Tentu saja, karena Paramesywari adalah Syiwa.
Ia tak dapat menghapus gambar Erlangga sebagai Wisynu itu dari ingatannya. Dan patung potret itu tidak berhidung bangir seperti dirinya, bukan hidung warisan Hindu, hanya warisan Sudra terkutuk. Kalau ia harus menyembah, ia akan tujukan pada Sri dan Laksmi, yang nyata berhidung bangir Hindu dan Syiwa pula, bukan Wisynu.
Betapa ia benci pada Erlangga, raja pertama yang mulai tidak mengindahkan ajaran, mengangkat diri dan nenek-moyangnya jadi dewa dengan nama dewa-dewa Hindu. Seluruh keturunannya mengikutinya, juga Akuwu Tumapel yang bukan keturunan hanya seorang Akuwu! Itu pun ia tak dapat mempengaruhinya.
Mereka semua patut jadi isi nerakanya Wairocana. Takkan mendapatkan ampun sebagaimana diperoleh Purnawijaya.
Ingatannya kembali melayang pada perayaan kemarin. Sejoli pengantin baru.Yang Suci memimpin seluruh upacara. Dari cara upacara itu dila
ngsungkan dan mantra-mantra itu diucapkan ia mengambil kesimpulan: Yang Suci tidak pernah meniupkan dalam kesedaran Tunggul Ametung rahasia hidup yang mempertautkan atman[Atman, diri, mikrokosmos.] dengan brahman[Brahman, semesta yang suci, makrokosmos.]. Kalau tidak mana mungkin rumah Tiwan, hanya karena atapnya lengkung berbentuk tanduk Nandi, kendaraan Hyang Mahadewa Syiwa itu, dibakar, dan Tiwan sendiri dengan anak bininya diikat dengan nagabanda[Nagabanda, tali berbentuk naga, pengikat mayat sebelum dibakar.] dan dipaksa masuk ke dalam api"
Arya Artya tak dapat menanggung cemburuan Wangsa Erlangga[Wangsa (dinasti) Erlangga disebut juga Wangsa Isana.] bahkan juga akuwunya terhadap segala yang berbau Syiwa.
"Kalau aku tak berhasil mendudukkan cakrawarti Hyang Syiwa di Tumapel, terkutuklah kalian Wangsa Erlangga! Terkutuk! Juga seluruh adipati, bupati dan akuwunya! Terkutuk!"
Ia turun ke pemandian dan mulai berenang-renang dalam air hangat itu, mondar-mandir beberapa kali, kembali duduk di atas batu di pinggir kolam dan menggosok badan. Turun lagi ke air kemudian ia berendam.
Sampai ia dalam perjalanan menuju ke rumah ia masih juga tak dapat menentukan apa harus ia perbuat selanjutnya. Sekiranya begitu bakal jadinya, ia tak bakal bisikkan Dedes pada kuping Tunggul Ametung. Ia dapat mempersuntingkan untuk diri sendiri.
Sampai di rumah untuk ke sekian kalinya ia bertanya pada diri sendiri: Jadi apakah aku ini, yang bernafsu untuk jadi pandita negeri, seorang brahmana pemuja Sang Hyang Mahadewa Syi-wa, yang gagal melaksanakan keinginan untuk jadi pandita akuwu Wisynu" Sudah sedemikian hinakah arya Hindu di bawah Wisynu Jawa ini"
Karena tak mendapat kepuasan dari pergulatannya ia jatuhkan diri duduk di atas tikar pandan, menyanyikan sebuah karya Baga-watgita dalam Sansakerta ....
Pancaroba yang cemerlang itu menjanjikan panen palawija gilang-gemilang sebagai restu Dewi Sri untuk pernikahan Tunggul Ametung.Yang Suci telah mengukuhkan kenyataan ini dan mempersembahkannya pada Sang Akuwu. Ia sendiri pada pagi itu telah mengeluarkan perintah pada semua petani untuk memuliakan Dewi Sri dengan lebih meriah. Patung dari jerami huma harus didirikan di semua pelataran lumbung desa dan keluarga, dan sesaji di pura desa harus dipenuhi.
Tunggul Ametung menjanjikan karunia emas lima puluh saga[ukuran berat untuk emas, " 1 gram] dan perak seratus lima puluh catak[ukuran berat untuk perak, " 20 gram.] pada desa dengan panen terbaik untuk memperbaiki pura desanya. Menyusul janji karunia seratus saga emas dan dua ratus catak perak kepada barangsiapa dapat menangkap Borang hidup atau mati. Atau Santing, atau Arih-Arih, atau nama apa pun yang dipergunakannya.
Pengumuman itu diserukan di panggung alun-alun. Belum lagi tersebar ke semua desa seorang kepala pasukan telah menjatuhkan diri di hadapan Tunggul Ametung di pendopo.
"Ampun Yang Mulia, kerusuhan terjadi di barat Kutaraja Sahaya mohon balabantuan. Mereka terlalu kuat."
"Siapa bangkitkan kerusuhan itu" Borang" Santing""
"Bukan, Yang Mulia."
"Arih-Arih lagi""
"Tidak jelas,Yang Mulia."
"Bukankah yang dipadamkan Kidang Tandingan sebulan lalu bernama Arih-Arih"" "Tepat, Yang Mulia." "Juga yang sekali ini orangnya muda"" "Boleh jadi, Yang Mulia."
"Siapkan pasukan kuda, aku sendiri yang bakal tangkap bajingan muda itu."
Tunggul Ametung tak pernah marah mendapatkan laporan adanya kerusuhan. Apalagi bila yang memimpin seorang muda. Ia sendiri meningkat ke atas melalui cara yang demikian juga Dan ia mengerti perasaan pemuda-pemuda yang juga ingin jadi Tunggul Ametung. Soalnya bagaimana cara ia mempertahankan kedudukannya dan bagaimana ia mengadu-domba antara gerombolan pemuda yang satu dengan yang lain. Ia tahu Arih-Arih, Santing dan Borang, barangkali tiga orang pemuda atau seorang dengan tiga nama, mempunyai cara-cara yang ia belum pernah melakukan, bahkan belum pernah mengenal. Tetapi ia senang dengan tantangan itu. Ia akan memberikan kesempatan berkelahi, dan kemenangan hanya untuk dirinya sendiri.
ia berpaling pada Belakangka:
"Yang Suci, tambahkan pada karunia itu, sebuah patung Hyang Wisynu dari emas dan tamtama dalam pasukan pengawal pekuwuan, barangsiapa bisa menangkap mereka bertiga atau dia dengan tiga nama itu dalam keadaan hidup."
"Tetapi Yang Mulia tidak diperkenankan meninggalkan pengantin."
"Untuk hadiah bagi Paramesywari."
"Hadiah yang dijanjikan itu semua memang akan jatuh ke tangan Yang Mulia sendiri. Jangan lakukan.Yang Mulia. Panjang hari tidak mencukupi. Lagipula belum dibenarkan Yang Mulia meninggalkan pengantin masih sepuluh hari lagi."
Tunggul Ametung tertawa meremehkan. Hari ini juga ia akan perlihatkan apa yang ia bisa pada Paramesywari. Resi Talu pengurus Candi Belahan itu bukankah sudah meramalkan diri bakal lebih besar, jauh lebih besar daripada Sri Baginda Kretajaya" Sebelum matan tenggelam ia sudah akan mengutip karunia yang ia janjikan sendiri.
Kuda Tunggul Ametung lari mencongklang diikuti oleh dua buah pasukan. Desa-desa Pangkur, Karangksetra dan Randualas telah dilewati. Bukit-bukit telah dilewati, dan di hadapan mereka membubung puncak Gunung Arjuna. Sampai di pertigaan jalan ke Kediri dan desa Kapundungan Tunggul Ametung berhenti. Jalan itu semakin mendaki, dan ia tahu kudanya telah lelah. Pasukan telah menyusulnya.
"Memang desa-desa sebelah barat ini agak sulit diatur," serunya, sengaja untuk didengar juga oleh orang-orang desa. "Lihat, kotor. Lain kali semua desa dengan jalan kotor begini bukan saja hanya malah harus diperingatkan, diperiksa." "Diperiksa, Yang Mulia""
"Diperiksa, mulai sekarang. Kekotoran ini sarang perusuh."
"Mulai sekarang belum mungkin, Yang Mulia, tempat kerusuhan justru sudah dekat."
"Apa kataku" Sarang perusuh," ia memberi perintah agar sebuah pasukan berjalan di depannya. Pasukan lainnya diperintahkannya berhenti.
Pasukan itu mencongklang seirama. Debu berkepulan di udara. Tak urung Tunggul Ametung melecut kendaraannya dan menyusul di belakangnya. Mereka menjurus lurus ke Gunung Arjuna.
Kepala pasukan di depan mendadak berhenti di tikungan, berpaling ke belakang dan memekik: "Balik, Yang Mulia! Cepat!"
Tepat di bawah lereng terjal Tunggul Ametung berhenti. Ia tertawa dalam hatinya diperingatkan untuk balik. Dari pengalaman ia tahu, pohon di belokan jalan sana itu jatuh karena ditebang. Perusuh sedang pesta-pora di desa selanjutnya. Beberapa kali dahulu ia sendiri telah merobohi jalanan dengan pohon untuk menghalangi pengejaran pasukan kuda Kediri.
Suatu gerak mencurigakan membikin ia memegangi hulu senjatanya. Ia angkat pandangnya ke tebing di samping kanannya. Di atas sebuah batu berdiri seorang berkumis sekepal, ber-destar hitam dan berpenutup dada hitam pula. Pada tangannya ia membawa trisula. Ia tahu benar itu bukan trisula untuk berkelahi, tapi untuk upacara keagamaan orang-orang Syiwa. Cawatnya berwarna coklat dan nampak sudah tua. Terompah tapas dikenakan pada kakinya.
"Siapa yang kau cari, Akuwu Tumapel"" tegur orang berkumis sekepal itu.
"Siapa kau"" bentak kepala pasukan yang segera datang untuk melindungi Akuwu.
"Diam kau, prajurit. Tidakkah kau tahu aku sedang bicara dengan Akuwu Tumapel" Jangan terlalu dekat. Daging kalian bisa buyar di bawah seratus lima puluh mata tombak. Siapa kau cari Akuwu" Aku""
Dari atas kudanya Tunggul Ametung menggerang:
"Kau! Borang, Arih-Arih, Santing. Melihat dari kekurang-ajaranmu, kaulah Borang."
"Tak aku kenal nama Borang."
"Arih-Arih""
"Tidak" "Santing""
"Kalau seorang berani menghadapi Tunggul Ametung seorang diri begini, dia tak perlu berbohong." "Siapa kau"" "Brahmana dari utara."
"Tak ada tempat untuk brahmana di Tumapel."
Kepala pasukan itu mengangkat tombak untuk dilemparkan.
"Apakah kau anggap prajurit Tumapel saja yang bisa lemparkan tombak" Lihat trisula ini. Sekali aku angkat kilat Sang Mahakala akan sambar kalian dengan seratus limapuluh mata tombak."
"Jadi cantrik Arya Artya pun kau belum patut," Tunggul Ametung mengejek orang berkumis sekepal itu.
"Di pekuwuan kau bebas bicara seperti itu. Tunggul Ametung. Dalam apitan gunung dan jurang begini aku lebih
kuasa daripada kau, dan seribu orang seperti kau." "Siapa kau""
"Ingat-ingat wajahku ini, dan kembali kau segera pada pengantinmu. Apa kau relakan dia jadi janda""
"Tidak percuma pasukan kuda ada di depan dan belakangku."
"Apa artinya pasukan kudamu dalam apitan gunung dan jurang" Tak mengerti kau tentang perang" Kembali! Dengarkan nasihatku sebelum murka Hyang Mahadewa jatuh di atas kepalamu."
Orang berkumis sekepal itu membuka kain penutup dada. Muncullah perak bergambar dudul Durga Mahisasuramardini[Durga Sang Pembunuh Yaksa Banteng].
Tunggul Ametung menutup mata dari pantulan tajam itu dengan lengan. Dari adi pun ia sudah tak tahan terhadap ketajaman pandang mata orang itu. Sebagai orang yang berpengalaman dalam adu kekuatan dan adu senjata ia tahu, barangsiapa kalah pandang, dialah pula yang bakal kalah berlawan.
Ia turunkan lengannya, memalingkan muka, menarik kendali kuda dan berjalan lambat-lambat meninggalkan tempat itu Kepala pasukan itu memburunya dan memprotes: "Ijinkanlah kami menumpasnya."
"Kembali! bukan lawanmu. Bukan lawan kita. Seorang brahmana yang akan menyelesaikannya."
Sampai pada pasukan kedua ia gerakkan tangan memberi isyarat untuk pulang.
Di pekuwuan ia perintahkan pada Yang Suci untuk memanggil Arya Artya. Dan karena orang yang merasa diri brahmana dari kadar puncak itu tak punya dan tak dapat menunggang kuda, baru di malam hari ia tiba.
"Apa yang Bapa ketahui tentang seorang brahmana muda di Tumapel ini""
"Tak ada brahmana muda di Tumapel ini. Semua sudah tercatat dalam ronta! Yang Suci. Yang Mulia.Yang diijinkan mengajar dan yang tidak. Bapa termasuk yang tidak diijinkan."
"Maksudku seorang brahmana muda."
"Sekiranya ada, dia akan sowan pada Bapa ini untuk mendapatkan restu. Bila demikian Bapa akan segera menyampaikan pada Yang Suci. Lagi pula, tak mungkin seorang muda bisa jadi brahmana. Untuk dapat menguasai Sansakerta paling tidak dia membutuhkan sepuluh tahun. Tanpa itu bagaimana seorang muda dapat mengenal Atharwaweda dan menjadi brahmana" Berapa umur orang yang mengaku brahmana muda itu. Yang Mulia""
"Dari kumisnya yang setebal kepalan, kiranya tiga puluh."
"Dengan umur tiga puluh orang baru bisa menghafal mantra-mantra pentahbisan,"Arya Artya mengangguk. "Belum pernah terdengar ada brahmana berkumis sekepal. Di mana Yang Mulia jumpai dia""
Tunggul Ametung tak menjawab. Pada waktu itu Belakangka datang. Menghormat kedua-duanya dan memulai:
"Yang Mulia, mendengar dari para prajurit tentang brahmana muda itu ..."
"Tak ada brahmana muda berkumis sekepal, Yang Mulia, percayalah," sumbar Arya Artya.
"Serahkan persoalan ini pada sahaya,Yang Mulia. Bukan suatu perkara yang sulit."
"Tak ada brahmana seperti itu. Dia hanya penipu. Yang Mulia, sepatutnya dihancurkan badannya dengan garukan kerang."
"Pada dadanya terpasang lembaran perak panjang, selebar satu setengah jengkal, dengan gambar Hyang Durga Mahisasuramar-dini,"Tunggul Ametung mengadu.
"Patut disobek-sobek kulitnya diumpankan pada anjing hutan, penipu itu," Arya Artya membenarkan. "Tiadakah Yang Mulia salah lihat"" Belakangka menguji. "Jagad Pramudita! Apakah aku sudah dianggap rabun"" "Di manakah Yang Mulia pernah lihat Hyang Durga seperti itu"" Belakangka mendesak menyisihkan Arya Artya.
Tunggul Ametung menyedari, Belakangka sedang menyelidiki kepercayaannya. Dia bisa mengadu pada Yang Tersuci di Kediri, dan nasibnya akan terjerembab. Ia perintahkan dua orang itu pergi.
Sebelum meninggalkan jenjang Yang Suci Belakangka berbisik padanya:
"Hanya Lohgawe yang harus dituntut tanggungjawabnya. Yang Mulia, biar Belakangka ini mengurusnya."
Ken Dedes dari dinding Bilik Agung mendengar semua pembicaraan itu. Untuk pertama kali ia tersenyum, membayangkan brahmana muda dengan Sang Hyang Durga Mahisasuramardini pada dadanya. Cepat-cepat ia tinggalkan Bilik Agung dan turun di Taman Larangan di sebelahnya.
Begitu meninggalkan pendopo Yang Suci Belakangka mengirimkan utusan kilat berkuda untuk melaporkan peristiwa genting itu pada Yang Tersuci Tanakung di Kediri.
Sementara itu jatuhnya tapas penutup kepala menyebabkan Oti digiring meninggalkan dapur pekuwuan, meninggalkan Kutaraja, ibukota Tumapel. Ia berjalan dan berjalan memunggungi Gunung Arjuna. Welirang dan Hanung. Menengok ke kiri pandangnya tertatap pada puncak Gunung Semeru. Menengok ke kanan pada puncak Gunung Kawi dan puncak Gunung Ke-lud di belakangnya lagi.
Ke mana pun mata memandang - memandang dengan mencuri, karena budak harus selalu menundukkan kepala - hutan, rimba belantara yang memagari. Pada apa pun pendengaran dipusatkan, yang terdengar hanya desing margasatwa, dan dengung bersahut-sahutan mengagungkan kebesaran hidup. Bahkan langkah kakinya sendiri di atas jalanan baru itu tiada didengarnya. Langkah pengawalnya pun tidak.
Jalan negeri telah ditinggalkan, membelok ke kanan, memasuki jalanan hutan lebar sedepa hampir seluruhnya telah tertutup oleh rumput aneka jenis, berebut hijau. Hanya bagian yang sering terinjak kaki nampak merana.
Setengah hari perjalanan ia telah melewati delapan jembatan besar dan sepuluh jembatan kecil, dua titian. Jalanan itu kemudian terputus oleh kali Kanta. Di tepian sungai, di antara batu-batu gunung, hitam kelabu dalam segala bentuk dan besar, seperti cendawan, tersebar gubuk-gubuk dedaunan. Dari cerita yang pernah didengarnya, itulah perkampungan budak. Dari kejauhan telah terdengar bunyi orang membelah dan memahat batu. Hanya bunyi saja. Belum lagi ia melihat orangnya.
Pengawalnya menyuruh ia makan. Dari gendongannya ia keluarkan ketupat dan kalabasa labu kerdil tempat air minum - air gula merah; tulang punggung babi yang berdaging dan seikat kacang panjang mentah. Juga pengawalnya mengambil perbekalan dan mulai makan di tempat yang agak jauh.
Gercik dan desir air yang menerjangi batu terdengar menyanyi memanggil-manggil.
Oti ternyata tidak ngeri, juga tidak takut, pada hukuman ini. Ia sebaliknya merasa senang dapat meninggalkan dapur pekuwuan, memasuki alam bebas seperti dulu di kampungnya sendiri dan gercik air itu terdengar Jebih indah daripada deburan laut, daripada suara gamelan. Dan betapa pepohonan raksasa di sekitar itu memberinya kesejukan!
Sehabis makan ia digiring menuruni tepian. Ribuan wanita sedang melimbang emas dari pasir kali sumber upeti sebanyak sepuluh ribu saga setiap tahun ke Kediri. Ia tahu pekerjaannya kini adalah mendulang emas. Matanya tidak melihat pada emas itu, tapi pada gemerlap air yang bermain-main dengan matahari.
Pengawal itu menyerahkannya pada lurah pendulangan, seorang perempuan tua yang telah kisut, dengan buahdada seperti kantong kempes tergeong-geong hampir sampai pada pusat. Dan hampir seluruh pendulang itu berhenti bekerja untuk menyambut teman baru dengan matanya. Seorang budak dengan bayi dalam selendang sambil meneteki naik ke darat dengan dulangnya, kemudian duduk di tanah, menyanyi sebentar, mengumpulkan dedaunan dan menidurkan anaknya di atasnya, di bawah sebatang pokok kayu. Ia turun lagi dan meneruskan pekerjaannya.
Juga anak-anak kecil banyak bermain-main di air menemani ibunya. Yang agak lebih besar ikut juga mendulang, karena bocah anak budak dianggap sebagai budak perempuan.
"Ya, mulai besok ikut mendulang. Oti namamu, bukan" Sore ini usahakan olehmu sendiri membikin pondok," kata Lurah Moleng.
"Tak ada alat padaku."
"Kau masih muda. Carilah lelaki muda. Dia akan suka membantumu."
Oti meninggalkan kali! menuju ke tempat para pembelah batu. Jantungnya berdebaran. Ia akan mencari seorang lelaki muda menurut pilihannya sendiri. Di pekuwuan tiada seorang lelaki sudi didekati oleh budak. Di sini semua budak Dan betapa lama ia mengharapkan seorang lelaki yang menaruh perhatian atas dirinya, menghiburnya, menyayanginya dan merayunya.
Memasuki daerah penggarapan batu ia melihat seorang kakek sedang memahat sebuah relief Banaspati. Orang itu tak mengangkat pandang padanya. Matanya yang lemah harus selalu terpusat untuk tidak membikin salah pahat. Oti berhenti sebentar dan memperhatikan kakek itu selalu menggerayangi tempat yang habis dipahatnya.
ia berjalan lagi barang sepuluh depa dan meli
hat seorang setengah baya sedang memahat bagian dalam sikara[bagian atap candi.] kuil. Pahatan itu hanya berupa garis-garis lurus. Ia ragu. Tak adakah yang lebih muda, yang memiliki keperkasaan berkasih sayang" Ia berhenti di hadapannya dan menimbang-nimbang.
"Aku hendak membikin pondok. Siapa mau membantu aku""
Orang itu meletakkan baji baja dan penohok, memandanginya dengan mata berapi-api seperti hendak menelan seluruh kehadirannya:
"Orang baru""
"Baru datang." "Sayang. Sebenarnya aku juga suka. Coba pergi ke ujung sana, dia belum punya perempuan. Sana, di bawah pohon jamblang sana. Kalau dia tidak suka, kau boleh kembali padaku."
Oti mengucapkan terimakasih dan berjalan cepat ke arah itu. Ia tak perhatikan lagi pemahat dan pembelah batu lainnya. Ia pun tak perhatikan pedih telapak kakinya terkena runcingan gum-pilan batu.
Di bawah jamblang ia dapatkan seorang pemuda, berbadan kukuh, hampir telanjang bulat. Hanya selembar cawat kecil menutup kawatnya[garis lipat pada dasar badan manusia, dari bawah kemaluan melalui dubur, naik ke atas.]. Tapas kelapa pada kepala itu menutupi rambutnya. Dan rambut itu sendiri jatuh terurai pada punggungnya yang lebar. Sekaligus ia tertarik pada bahunya yang bidang dan tubuhnya yang tinggi-besar seperti raksasa.
ia letakkan tangannya pada bahu pemuda itu dan tidak menegurnya, hanya untuk dapat meraba kulit dan otot-ototnya yang nampak terbuat dari tembaga itu.
Dan pemuda itu meneruskan pekerjaannya tanpa memperhatikan rabaannya sedang memahat sebuah cakra di tangan seorang bathara yang belum sempurna wajahnya. Ia tak menoleh.
Otot sekuat ini betapa tidak menjadi berkah bagi hidupnya, pikir Oti. Dengan otot semacam ini dunia pun dapat dipanggulnya untuk hidupnya, dibawa pulang ke pondok untuk dinikmati.
"Mau kau menolong aku""
Pemuda itu menoleh, memandanginya. Matanya hanya satu. Ia lemparkan pahat dan penohok. Berdiri. Matanya mengerjap.
"Baru datang"" ia lemparkan pandang ke seluruh ladang batu yang membubungkan suara pikuk itu. Ia mengangguk membenarkan sikap semua pemahat dan pembelah batu. Kemudian menatap Oti, yang masih terkejut karena kematasatuannya.
"Bikin pondok""
Oti menunduk. "Para dewa pun tak mampu beri aku pengganti mata. Kau pandangi kakimu seperti kakimu berubah jadi biji mata untukku. Dari mana kau""
"Kutaraja." "Apa kesalahanmu""
"Tolong aku dibantu membikin pondok."
"Hanya karena mataku satu kau mau punya pondok sendiri""
Betapa tidak adilnya para dewa orang Tumapel: tubuh seindah itu dan maunya dikurangi satu.
"Kau menyesal datang padaku" Pergi!"
Oti membuang muka.Tak dapat ia membendung air matanya, menyesali tubuh sesempurna itu dicacatkan oleh dewa-dewanya sendiri.
"Mengapa tak pergi" Tak usah punya dan bikin pondok sendiri. Di pondokku masih ada tempat untuk tubuhmu." Ia cari muka Oti. "Mari."
Dan tubuh Oti gemetar mendengar suaranya, dan nadanya, dan keteguhannya, dan kekerasan hatinya. Seperti bayang-bayang ia iringkan si matasatu. Ke mana, ia tak tahu.
Melewati padang batu yang hiruk mereka berjalan dan berjalan sampai ke tepi hutan. Mereka menuju ke satu-satunya rumah panggung dari kayu. Seorang berpakaian serba indah, dada berbulu, sedang berdiri di bawah geladak rumah.
Si matasatu mengangkat sembah setelah menjatuhkan lutut ke tanah. Dan Oti mengikuti perbuatannya.
"Mundra, aku lihat akhirnya kau dapatkan juga seorang perempuan. Aku lihat dia kuat, kokoh. Seimbang denganmu. Perempuan itu memang sepadan untukmu. Tunggu!"
Ia naik ke atas dan turun lagi membawa dua lembar kain, memberikannya pada Mundra. Yang selembar pada Oti.
"Kau, perempuan, siapa namamu" Oti" Bagus. Berikan Mundra sebanyak anak yang bisa kau berikan. Pergi kalian pulang dengan restuku."
Mereka pergi, berjalan beriringan menuju ke tepian kali Kanta. Di bawah sebatang pohon jambu raksasa, di situlah pondok Mundra. Seperti yang lain-lain terbuat dari dedaunan yang dijepit dengan bambu belah, tebal sejengkal. Atapnya dari ilalang. Tinggi tiga depa, lebar empat dan panjang lima depa.
"Kau akan sena ng tinggal di sini. Gusti Putra sudah benarkan kita."
"Gusti""[gelar untuk sudra yang kaya atau berkeahlian]
"Ya, dia hanya dari kasta sudra."
Mereka masuk, duduk di atas tumpukan daun kering
"Siapa Gusti Putra""
"Silpasastrawan Tumapel."
"Apa silpasastrawan""
"Yang merancang dan membangun gedung-gedung suci. Kau bisa masak""
Oti merasa tersinggung oleh pertanyaan itu.
"Kalau tidak, aku yang masak sebelum kita turun bekerja. Senang aku, kau datang untuk jadi biniku."
"Bini"" ia angkat kepalanya dan dipandanginya si matasatu seorang lelaki yang tiba-tiba saja jadi suaminya. Mundra tersenyum membujuk. Pikirannya melayang ke Kutaraja. Semua mendapat gerincing giring-giring pandita pada pernikahannya, dan percikan air suci. "Pandita," bisiknya.
"Untuk budak cukup dengan anggukan seorang pembesar. Kau akan senang tinggal di sini, dengan aku. Lihat," ia memperlihatkan lengannya yang kuat. "Tangan ini menjamin kesetiaan-mu padaku, lebih berharga daripada mataku." "Bagaimana menjaminnya"" "Untuk mematahkan batang leher." "Batang leherku""
"Terserah, bisa kau bisa orang lain. Hidupku sudah cukup sesak. Seorang bini tak perlu semakin menyesakkan. Apa kau" Buddha" Syiwa" Wisynu" Brahma""
Dan Oti tak tahu. "Tahu mantra Sansakerta""
Oti menggeleng. "Bagus." "Apa yang bagus""
"Sansakerta yang bikin pening orang. Tak ada berkah sesuatu. Kakek dan nenek kita sudah mulai tidak menggunakan lagi. Tak tahu aku mengapa para dewa itu memilih Sansakerta sebagai bahasanya."
"Mengapa kau jadi budak""
"Ayahku penjudi, pemain dadu, tertimbun hutang, jadi budak. Aku terseret dalam perbudakan. Di mana orang tuamu""
Oti tak dapat mengikuti pertanyaan-pertanyaan yang begitu cepat dan tercampur dengan keterangan yang tidak kurang cepatnya. Ia masih sibuk mengherani betapa mendadaknya ia mendapatkan seseorang pria, seorang saja, yang ia impikan selama ini dan ternyata dia kekurangan sebuah mata.
"Bicaralah." Kekasaran suaminya dirasainya seperti belaian kasih sayang. Di Tumapel semua lelaki jauh lebih halus daripada Mundra, dan semua memincingkan mata terhadapnya. Akhirnya dewa-dewa orang Jawa itu melemparkan seorang suami di pangkuannya. Dan ia belum juga habis heran. Berbaris sekian banyak pria yang selama ini pernah memperlakukannya seperti sebatang pisang, tanpa perlu mengajak bicara. Suatu anggapan, bahwa pria adalah makhluk paling menjijikkan di dunia ini, sekaligus juga menakutkan, untuk waktu lama pernah membunuh impiannya tentang indahnya hubungan lelaki dengan perempuan. Tapi belakangan ini ia sungguh-sungguh merindukan seorang pria, seorang saja. Itu pun tak pernah berwajah. Sekarang di hadapannya seorang suami, berwajah, gagah, tinggi besar, bermata satu. Dan semua impiannya bubar. Ia merasa kosong. Boleh jadi Mundra sendiri seorang dewa, mungkin juga menyimpan banyak kesaktian pada dirinya.
"Kau menangis sekarang. Kau sesali mataku yang satu""
Oti merobohkan diri pada pangkuan Mundra. Dan si matasatu itu membelai rambutnya, pipinya ah, belaian yang diimpikannya tahun-tahun belakangan ini.
Waktu tangan kasar itu mengangkat mukanya, dari sebakan mata ia lihat lelaki itu tersenyum. Giginya kuning gading berkilat-kilat seperti terbuat daripada suasa. Dan ia lihat sepasang gigi taring yang tajam dan kuat.
"Kalau kau pernah berbenah rumah, mulailah. Aku akan rapikan alat-kerjaku."
Ia tegakkan duduk Oti, mencium pada pipinya, kemudian meninggalkan pondok.
AROK matahari SUDAH HAMPIR TENGGELAM WAKTU IA SAMPAI Di kebun buah Dang Hyang Lohgawe. Dihindarinya mahagurunya dan berjalan menepis mencari tempat air. Adalah tidak patut ditemukan dalam keadaan begini kotor. Setelah membenihkan diri ia berganti pakaian dan masuk ke pemondokan teman-temannya seperguruan.
Tujuh orang itu sedang sibuk menghadapi rontal menghafal paramasastra Sansakerta, ketahuan dari dengung ucapan mereka yang pelahan. "Tiada Bapa menanyakan aku"" ia bertanya. Semua mengangkat kepala. Dang Hyang Lohgawe tidak menanyakan. Mereka menyingkirkan rontalnya dan dengan pandang bertanya
menatapnya. "Dari mana saja kau" Mukamu sudah hitam biru begitu. Sudah lama kau tak belajar."
"Kau bisa diusir," seseorang memperingatkan, "biarpun ingatanmu mendapatkan pancaran dari Hyang Ganesya[dewa ilmu pengetahuan; berkepala gajah.]." Arok tak pernah belajar paramasastra Sansakerta. Untuknya setiap mata pelajaran terlalu mudah untuk disimpannya dalam ingatannya.
Dan malam itu bukan paramasastra yang keluar.
Dang Hyang Lohgawe agak lama duduk termenung di atas tikar pandan berwarna-warni. Para pelajar menunduk menanti. Dan waktu ia angkat pandangnya, matanya tertuju padanya:
"Sudah lama aku timbang-timbang. Kau seorang muda yang cerdas, giat, gesit, ingatanmu sangat baik, berani, tabah menghadapi segalanya. Aku tidak tahu apakah yang kau perbuat selama ini tumbuh dari hatimu yang suci dan pertimbanganmu yang masak," ia buka sebuah bungkusan dan mengeluarkan dari dalamnya seikatan tebal rontal. "Kau kenal tulisan ini""
"Kenal, ya, Bapa mahaguru."
"Bukankah ini tulisan gurumu yang lama""
"Benar, ya, Bapa mahaguru, Bapa Tantripala."
"Tahu kau apa yang ditulisnya di sini""
"Tahu, ya, mahaguru, catatan tentang pribadi sahaya."
"Benar. Adakah waktu kau serahkan padaku pada hari pertama kau datang ke sini telah kau baca lebih dahulu""
"Ampun, ya Bapa, adalah bukan menjadi hak sahaya untuk membacanya, maka tak pernah sahaya lakukan."
Dang Hyang Lohgawe menghembuskan nafas. Sinar lampu damar itu menyoroti lehernya yang dihiasi dengan keriputan usia.
"Kau semestinya mengerti, aku tak boleh ragu-ragu. Apakah yang kau perbuat di luar pengetahuanku selama ini keluar dari hati yang sakit ataukah hati yang dapat menampung karunia para dewa, biarlah malam ini kita selesaikan dengan baik. Setelah ini, kau bebas tanpa ikatan padaku. Kalau benar tulisan Tantripala ini kau seorang pemuda yang bisa merusakkan kehidupan dan aturan, itu pun terserah padamu. Setelah ini aku tidak lagi mengharapkan kedatanganmu, sekalipun kau bebas datang dan pergi. Kau mengerti maksudku""
"Ya, Bapa mahaguru, sahaya telah menimbulkan prihatin Bapa mahaguru Lohgawe sesuatu yang semestinya tidak terjadi, dan tidak perlu terjadi."
"Baik. Tentu kau belum pernah melihat laut."
"Belum, ya, Bapa."
"Apakah yang lain-lain belum pernah ke Gresik"" Ternyata seorang pun belum pernah meninggalkan Tumapel. "Baik. Mari aku ceritai. Ada sebuah daerah luas di selatan Gresik. Seluas pandang ditebarkan, hanya sawah, sawah dan sawah - sawah hanya untuk musim kering seperti sekarang ini. Dan kau, kau dengarkan saja," Lohgawe memperingatkan padanya. "Coba, seorang di antara kalian sekarang terangkan duduk perkaranya," ia menuding dengan lidi enau.
"Ya, Bapa mahaguru," yang tertuding memulai, "Pada mulanya sawah-sawah itu adalah rawa genangan Kali Brantas pada setiap penghujan. Sri Baginda Erlangga telah titahkan untuk membuka sebuah porong sampai ke laut. Tanah galian itu kemudian dibikin menjadi tanggul pada kiri dan kanan. Kemudian porong itu dipergunakan untuk mengurangi beban muara Brantas, menjadi jalanan kapal perang bila pulang mudik." Seorang pelajar yang mendapat tudingan giliran meneruskan: "Panjang porong itu melebihi garis tengah negeri Janggala, diselesaikan selama tiga kali tiga puluh hari." "Dilaksanakan pada tahun Saka Seribu ..." Dang Hyang Lohgawe mendeham. Ia memindahkan perhatian kepadanya tanpa bicara. Dan ia memulai:
"Ya, Bapa Mahaguru, sahaya belum pernah melihat Gresik, porong, pengedukan dan penanggulan Brantas pada bagian-bagian yang diperlukan. Semua untuk kesejahteraan kawula dan negeri, mengurangi penyakit dan bencana tahunan, meningkatkan perdagangan dan pertahanan negeri"
Dang Hyang Lohgawe untuk kedua kali mendeham.
"Katakan apa yang kau ketahui, bukan pendapatmu tentangnya. Ayoh."
"Ya, Bapa, apalah artinya pengetahuan tanpa pendapat"'" "Baik, aku harus percaya kau telah mengetahui semua itu, dan kemudian berpendapat. Aku harus percaya bukan sebaliknya yang terjadi. Berpendapat tanpa berpengetahuan hukuman mati bagi seorang calon brahmana. Dia takkan mungkin jadi brahmana yang bi
sa dipercaya." "Sahaya, Bapa."
"Baik, aku anggap kau banyak tahu, lebih banyak daripada yang kau peroleh daripadaku. Kau telah dapat membaca sendiri rontal tanpa bantuanku lagi. Ingin aku mengetahui sampai di mana dan seberapa pengetahuanmu." ia terdiam, menutup matanya seperti hendak memulai samadhi. Ia membuka mata dan mengangguk tenang, "Baik, apa pendapatmu tentang Sri Baginda Kretajaya""
"Bukankah ada larangan membicarakan nama Sri Baginda""
"Hanya sampai di situ pengetahuanmu""
"Bahwa kita semua, murid dan mahaguru bisa dituduh membikin persekutuan gelap dan jahat."
"Apakah gunanya pendapat kalau hanya untuk diketahui sendiri"" tolak Lohgawe.
"Di dekat Tunggul Ametung anjing pun takut menggonggong. Barangsiapa takut pada pendapatnya sendiri....," Lohgawe menuding pada pelajar lain.
"Ya, Bapa, dia tak perlu belajar untuk tahu dan untuk punya pendapat."
"Betul, ya, Bapa, tidak percuma Hyang Ganesya menghias tangan yang satu dengan parasyu[ kapak, lambang Ganesya.] dan tangan lain dengan aksa-mala[tasbih, lambang Ganesya] ketajaman dan irama hidup. Tanpa keberanian hidup adalah tanpa irama. Hidup tanpa irama adalah samadhi tanpa pusat. Ampuni sahaya, Bapa."
"Ya, sekarang katakan pendapatmu."
"Pendapat sahaya, dengan tegas sekarang ini, ialah: Bapa Mahaguru Dang Hyang Lohgawe tidak suka pada Sri Baginda Kretajaya, apalagi pada akuwunya di Tumapel. Tunggul Ametung. Bapa percaya pada kami, maka juga percaya, persekutuan gelap dan jahat tiada bakal dituduhkan pada kami semua ini. Bapa Mahaguru Dang Hyang Lohgawe menimbang kami semua sebagai telah dewasa untuk bergabung dalam persekutuan para brahmana, mendudukkan kembali Hyang Mahadewa Syiwa pada cakrawartinya. Ampuni sahaya, ya, Bapa Mahaguru." Lohgawe membelalak. Lidi enau di tangannya jatuh. Ia pura-pura tidak tahu dan meneruskan: "Bapa Mahaguru Dang Hyang Lohgawe telah bersekutu dengan kami semua yang mendengarkan sahaya, suka atau tidak bersekutu melawan Akuwu Tumapel Tunggul Ametung dan Sri Baginda Kretajaya."
"Tak pernah aku katakan atau nyatakan itu!" Lohgawe membantah. Dagunya terangkat menantang.
"Tidak percuma Bapa Mahaguru pernah ajarkan pada kami tenung sikap tak suka kaum brahmana terhadap wangsa Isana, keturunan Sri Baginda Erlangga."
"Dengarkan kata-katanya, hai, kalian," Lohgawe berpaling pada para murid lainnya. "Tidak lain dari aku sendiri yang selalu memuji-muji Sri Baginda Erlangga sebagai raja pembangun terbesar: kali-kali ditanggul dan dikeduk untuk lalulintas dan untuk keselamatan pertanian dan kawula, pelabuhan-pelabuhan terutama Gresik dan Tuban, rumah-rumah suci, bendungan dan jalanan negeri di mana-mana: karunia prasasti dan dharma pada para pembangun... .juga di mana-mana..."
"Tak ada yang bisa bantah Sri Erlangga seorang pembangun besar. Satu yang pada waktunya akan Bapa Mahaguru katakan: hanya satu yang tidak pernah dibangunkannya kedudukan kaum brahmana. Dan yang belum lagi Bapa katakan: Sri Baginda Erlangga melecehkan ajaran, menjungkir-balikkan para dewa Hindu yang kita semua puja, hormati dan takuti, kita semua harapkan karunianya dan takuti murkanya. Diagungkannya Hyang Wisynu sebagai dewa tertinggi dewa kaum petani itu, Dewa Pemelihara itu dan karena Hyang Wisynu saja menitis pada manusia terbaik di seluruh negeri, manusia terbijaksana di jagad pramudita dan dengan demikian ia sendiri dapat nyatakan diri titisan Hyang Wisynu.Ya, Bapa Mahaguru, dengan demikian dia sendiri telah dapat mengangkat diri sebagai seorang dewa dengan segala kebesarannya, dan mengangkat nenek-moyangnya yang disukainya, raja-raja terdahulu, juga sebagai dewa dengan nama-nama Hindu."
"Kau .... !" tegah Lohgawe.
"Bapa Mahaguru menghormati Sri Erlangga sebagai pembangun agung bagi kemakmuran dan kesejahteraan negeri dan kawula, tapi dirugikannya kaum brahmana. Semua teman sahaya ini masih ingat kecaman Bapa atas diri Sri Erlangga sebagai pen-dangkal ajaran. Bukankah atas perintahnya, Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha dalam Jawa, dan cuma saduran dari Aranyapar-wa atau parwa ketiga dari Mahabharata" Dan karena parwa
itu mirip dengan riwayat Sri Baginda sendiri" Bukankah dengan demikian baginda telah mendangkalkan kitab agung itu" Bahkan baginda tidak menyerahkan tugas itu pada pertimbangan kaum brahmana yang lebih berhak! Masih ingatkah Bapa Mahaguru pada ucapan sendiri: 'Hendak menandingi Sansakerta" itu bahasa Jawa bahasa paria: Kemuliaan Mahabharata hilang, kedangkalan menggantikan"'"
Lohgawe dan teman-teman sepengajarannya tenggelam dalam pidatonya.
"Tidak, Bapa Mahaguru, orang tak patut melupakannya. Juga sahaya tidak patut membisukan suatu hal: para brahmana siapa saja yang pernah sahaya temui, hanya mengecam-ngecam, menyumpah dan mengutuk. Tak seorang pun pernah berniat menghadap Sri Baginda Kretajaya untuk mempersembahkan pendapatnya. Kaum brahmana itu sendiri yang sebenarnya tak punya keberanian, mereka ketakutan dan justru ketakutan sebelum berbuat, ketakutan untuk berbuat itu yang menyebabkan para brahmana telah kehilangan kedudukannya selama dua ratus tahun ini. Apa sebabnya ketakutan. Bapak Mahaguru" Bukankah itu juga pendapat sendiri" Dan apalah artinya mengetahui, berpendapat, kemudian takut padanya" Lihatlah, ini murid Bapa sudah bicara."
Lohgawe menunduk dengan mata tertutup menikmati kefasihan muridnya dan buah daripada pelajaran yang diberikannya. Kata-kata itu turun naik, sarat dan kosong, melesit tinggi dan jauh menukik.
"Pada waktu Sang Hyang Mahadewa Bathara Guru memercikkan pengertian pada manusia, pada waktu itu hidup manusia dihidupinya.Ya, Bapa Mahaguru, maka pengertian adalah hidup, hidup adalah dihidupi dan menghidupi."
"Cukup," Dang Hyang Lohgawe membuka matanya. "Kau masih sangat, sangat muda. Hatimu berani dan mulutmu lebih berani lagi. Apakah kau, sebagai akibat dari pengetahuan dan pendapatmu sanggup bicara seperti itu juga di hadapan Sri Baginda""
"Dia yang terlalu tinggi di atas singgasana tidak pernah melihat telapak kakinya. Dia tak pernah ingat, pada tubuhnya ada bagian yang bernama telapak kaki. Pendengarannya tidak untuk menangkap suara dewa, juga tidak suara segala yang di bawah telapak kaki. ia hanya dengarkan diri sendiri. Suara murid Bapa ini takkan sampai kepadanya. Untuknya yang paling tepat hanya dijolok."
"Dijolok"" Lohgawe tercengang. "Dan akan berdamai dia dengan telapak kakinya sendiri."
Mahaguru itu lambat-lambat berdiri, berjalan hati-hati meng-hampiri muridnya yang masih juga duduk di tempatnya, masih terus menghamburkan kata-katanya. Ia letakkan tangan pada bahu pemuda itu. menutup mulutnya dengan telapak tangan, berkata pelan:
"Jangan, jangan teruskan sekarang. Ada waktunya kau ucapkan semua itu di suatu tempat yang lebih baik. Yang kudengar bukan lagi keluar dari mulut seorang calon brahmana. Itu lebih patut diucapkan oleh seorang calon raja, di medan perang, di medan tikai, kemudian di atas singgasana."
Semua diam seakan takut bergerak. Damar itu menyala dengan api tak henti menari-nari terkena puputan angin yang menerobosi dinding bambu.
"Medan perang, medan tikai dan singgasana," Lohgawe meneruskan. "Tidak sia-sia kuberikan ilmu padamu. Kaulah harapan bagi semua brahmana." Ia buka tangan dari mulut muridnya, melepas destar pemuda itu, mencium ubun-ubunnya. "Dengan api Hyang Bathara Guru dalam dadamu, dengan ketajaman para-syu Hyang Ganesya, dengan keperkasaan Hyang Durga Mahisa-suramardini, kaulah Arok[pembangun.], kaulah pembangun ajaran, pembangun negeri sekaligus. Dengarkan kalian semua, sejak detik ini, dalam kesaksian Hyang Bathara Guru, yang berpadu dalam Brahma, Syiwa dan Wisynu dengan semua syaktinya, aku turunkan pada anak ini nama yang akan membawanya pada kenyataan sebagai bagian dari cakrawarti. Kenyataan itu kini masih membara dalam dirimu. Arok namamu."
Semua murid mengangkat sembah.
Malam itu acara ditutup dengan samadhi. Dang Hyang Lohgawe meninggalkan tempat belajar, memasuki malam.
Semua murid kini mengepung Arok. Sejenak ia masih belum bisa bicara. Kemudian keluar bisikannya:
"Salah seorang di antara kalian berangkat besok pagi-pagi benar ke Kapundungan. Dalam beberapa hari ini Bapa Mahaguru akan masih memerl
ukan aku. Tak dapat aku pergi meninggalkannya. Sampaikan pada mereka untuk tetap bekerja selama aku tidak ada. Dan hati-hati. Nah, tidurlah!"
Ia tinggal seorang diri. Diambilnya bungkusan rontal hadiah dan Lohgawe. Dibukanya bungkus dari kain hitam itu. Tetap ia belum punya selera untuk membacanya. Ia masih juga tak dapat merumuskan perasaan apa sedang menggelombang dalam dadanya. Nama yang diberikan padanya adalah tanda lulus setinggi-tingginya. Untuk mendapat pengakuan dari Dewan untuk menjadi seorang brahmana, ia tinggal meminta pada Lohgawe untuk dihadapkan. Apa kemudian setelah jadi brahmana" Ia terlalu muda untuk itu. Apa yang bisa dicapai seorang brahmana" Akan seperti yang lain-lain, hanya mengecam-ngecam Erlangga sampai Kretajaya dan tidak bisa berbuat apa-apa"
Saat lulus yang tak diduga-duga itu seakan membikinnya kehilangan mata arah.
Ia angkat rontal itu, tetapi matanya menolak membacanya. Dan masih terdengar-dengar bisikan pelahan gurunya:
"Sejak ini kau boleh pergi dan datang, boleh meninggalkan aku untuk sementara atau selama-lamanya. Hanya pintaku, tinggallah kau dalam beberapa hari ini bersama denganku."
Boleh jadi ia masih hendak mendengarkan pendapatku tentang rontal ini.
Dan dengan demikian ia mulai membaca. Tulisan setumpuk itu adalah catatan Tantripala, gurunya yang pertama, tentang dirinya.
Isi catatan itu lebih kurang sebagai berikut:
Pada suatu sore yang suram dengan gerimis tipis datang ke perguruan Tantripala dua orang bocah, Temu dan Tanca. Guru itu bertanya:
"Siapa yang menyuruh kalian belajar kemari'" "Bapa Bango Samparan."[Bango, bangau]
Siapa tidak mengenal nama Bango Samparan" Seorang penjudi yang lebih sering ditemukan di tempat perjudian daripada di rumah" Seorang penjudi yang mengirimkan bocah-bocah untuk belajar!
Pendekar Guntur 24 Pendekar Naga Putih 46 Petualangan Di Alam Roh Gerbang Nasib 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama