Ceritasilat Novel Online

Arok Dedes 5

Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 5


Tunggul Ametung memimpin dua orang tamunya duduk di bangku. Pangalasan menutup pintu dan pergi. Arok berdiri di belakang Lohgawe.
"Siapakah yang Bapa bawa, maka tidak mengindahkan kesopanan pekuwuan""
"Dia-lah Arok, orang yang aku janjikan."
Tunggul Ametung berdiri, menghampiri Arok dan menyelidik dengan matanya. Tiba-tiba ia membuang muka beberapa bentar kemudian menyelidik lagi dengan matanya.
"Aku pernah lihat mau ini," katanya. "Arok namamu. Di mana sekarang kumismu""
"Hormati Sang Akuwu, Arok!" perintah Dang Hyang Loh-gawe, Arok menjatuhkan diri dan mengangkat sembah.
"Yang Terhormat Bapa Dang Hyang, aku mengenal mata itu. Suruhlah dia mengaku asalnya, perbuatannya selama ini."
"Yang Mulia membutuhkan bantuannya untuk memadamkan kerusuhan. Kalau perjanjian yang didasarkan permintaan dari Yang Mulia tidak berlaku, sebaiknya kami tinggalkan tempat ini" Tunggu! Ametung berbalik. kemudian berjalan mondar-mandir dari tempat itu ke pintu Bilik Agung Tiga kali ber-jalan mondar-mandir kemudian ia masuk ke dalam bilik.
"Begitulah tingkah seorang sudra yang tak tahu diuntung, kata Lohgawe, "tidak pernah bisa menghormati orang. Juga tidak bisa menghormati dirinya sendiri.Tak ada sesuatu pun yang perlu dihormatinya."
Arok menunduk mempersiapkan pikiran untuk dapat menundukkan penguasa liar ini. Pada waktu itu Tunggul Ametung keluar dari Bilik Agung. Di belakangnya muncul Ken Dedes yang mengangkat sembah pada Dang Hyang Lohgawe. Orang tua itu mengangguk membalas. Dan Dedes hilang lagi dari lubang pintu.
Tunggul Ametung langsung duduk di hadapan Lohgawe:
"YangTerhormat," katanya dengan nada hormat, "Yang Mulia Paramesywari Tumapel menghendaki agar Tumapel mempercayai Yang Terhormat."
"Setiap persetujuan menuntut bea, Yang Mulia."
"Boleh jadi." "Arok datang karena persetujuan denganku, bukan atas perintah Yang Mulia. Dia tidak akan menerima perintah Yang Mulia sebelum Bapa ini meminta padanya untuk menjalankannya."
"Baik. Seperti kita perbincangkan sebelumnya, Bapa menjanjikan seorang yang akan dapat meredakan dan menindas kerusuhan di Tumapel."
"jadi Yang Mulia terima anak ini""
"Dia sendiri belum menjanjikan sesuatu."
"Katakan, Arok."
"Ya, Bapa Mahaguru, sesuai dengan perintahmu, sahaya akan redakan dan tindas kerusuhan di seluruh Tumapel. Hanya perkenankan sahaya membawa lima puluh orang anak buah sahaya."
"Yang Mulia dengar sendiri permohonannya" "Kau boleh datangkan anak buahmu, hanya ucapkan sebelumnya kesetianmu pada Sang Akuwu Tunggul Ametung dan Paramesywari. bahwa kau akan menjaga keselamatannya, dan keselamatan Tumapel." "Ucapkan janjimu, Arok."
"Sahaya berjanji akan bersetia dan menjaga keselamatan Sang Akuwu dan Paramesywari dan Tumapel."
"Kau, Syiwa, Wisynu ataukah Buddha""
"Dia datang tidak untuk diperiksa, Yang Mulia," tegur Lohgawe. "Dia telah bersedia untuk meredakan dan memadamkan kerusuhan, dan itu sudah segala-gala yang Yang Mulia kehendaki. Persetujuan telah kita terima, sisanya hanya pelaksanaan." "Apa katamu, Arok""
"Sahaya akan datang membawa anak buah sahaya."
"Baik Panggil anak buahmu, m
emperkuat pasukan pengawal pekuwuan sebelum kau siap meredakan dan memadamkan kerusuhan."
Pasukan Umang telah menahan perahu-perahu yang ditarik mudik oleh lima puluh orang dharmana,[Di sini berarti sebutan ironi untuk orang-orang sudra yang dikenakan kerjapaksa dalam masa tertentu untuk menarik perahu dari tepi Brantas untuk bra memudik ke Tumapel.] membawa perbekalan untuk Tumapel dari Hujung Galuh melalui Kediri. Semua awak kapal ia tahan dan semua dharmana ia lepaskan.
Muatan itu terdiri dari besi dari Sofala dan hasil laut dari Gresik.
Pesangon yang diberikannya pada para dharmana itu menyebabkan mereka pulang dengan girang, membawa oleh-oleh untuk keluarga, juga ketakutan mendapat hukuman dan Kediri...
Tahun Saka 1142 (1220 Masehi).
AROK DAN DEDES Ia menyedari dalam suasana hati yang aneh. Kadang merasa takut, kadang kuatir, kadang mengalami kegembiraan batin, kadang sendu. Suasana hati tidak tetap, turun-naik biar pun tanpa sebab yang nyata. Kadang kebenciannya pada Tunggul Ametung tiba-tiba hilang. Dengan diam-diam ia amati wajah suaminya, yang jelas tak mengandung seujung jarum pun darah Hindu, hidungnya yang lengkung ke dalam, tulang pipinya yang terlalu tinggi sehingga membikin rongga mata itu nampak dalam, gelap secara tidak wajar.
Dua kali ia tidak datang bulan. Ia tahu: ia mulai mengandung. Rimang telah menanamkan untuknya sebatang pohon srigading di Taman Larangan. Ia takkan lupa pada bisikannya: Beginilah batangnya, dan beginilah daunnya; bunganya putih berkembang datar seperti payung, batang bunganya sama besar dengan pangkal lidi enau berwarna kuning; terserah pada Yang Mulia Paramesywari hendak gugurkan anak Sang Akuwu atau tidak, Yang Mulia cukup minum air seduan bunganya, dan anak itu akan larut meninggalkan kandungan.
Rimang sudah tiada dan kandungan itu nampaknya memang hendak menjadi.
Haruskah anak ini anak yang makin sedikit darah Hindu dalam dirinya dibiarkan hidup dan dengan demikian memberikan pada Tunggul Ametung seorang pewaris Tumapel"
Minumlah seduan bunga srigading pada waktu kandungan masih sangat muda, kata Rimang; makin tua akan makin berbahaya bagi Yang Mulia; dan bila terlalu tua ada kemungkinan Yang Mulia mengalami pengguguran berat dan tak dapat mengandung lagi.
Tapi anak itu bukan hanya anak Tunggul Ametung, juga anaknya sendiri. Ia ragu-ragu untak mengambil keputusan.
Kemudian terjadi peristiwa itu: Tunggul Ametung untuk pertama kali minta nasihat apakah Arok yang dibawa oleh Dang Hyang Lohgawe ia terima atau tidak. Ia tindas kegembiraan hadnya dan menjawab dingin:
"Yang Suci Dang Hyang Lohgawe berlidah dan bermata dewa, ia tidak mungkin keliru."
Untuk pertama kali ia lihat suaminya memejamkan tapuk matanya yang mulai menggelambir karena usia, memejamkan-nya keras-keras sehingga cakar ayam pada sudut-sudut luar matanya menjadi semakin nyata, mengangguk, kemudian meninggalkan Bilik Agung.
Ia memerlukan menjenguk ke Taman Larangan, mengangkat sembah pada Dang Hyang Lohgawe dan menyapukan pandang pada Arok yang duduk di tanah. Sekaligus ia melihat jago Lohgawe mentah-mentah berdarah sudra. Tak ada sedikit pun darah Hindu dalam dirinya, nampak pada tingginya tulang pipi dan lengkung hidung ke dalam, mulut yang agak lebar dan mukanya yang lebar pula, tak jauh berbeda dari Tunggul Ametung sewaktu mudanya barangkali.
Agar suaminya tidak mengetahui kecucukannya ia sengaja menindas keinginan untuk bertemu dengan brahmana itu dan jagonya. Dan justru karena itu ia sibuk menimbang-nimbang seorang diri: adakah seorang sudra tanpa sedikit pun darah Hindu bisa melakukan hal-hal besar" Ia pandangi wajahnya sendiri pada cermin perunggu, membelai batang hidungnya yang tinggi dan lurus, pada tulang pipinya yang tidak begitu tinggi, dan meyakinkan diri: darah Hindu ini semestinya menjamin diriku untuk juga bisa lakukan hal-hal besar. Kalau Arok bisa ditunjuk oleh Yang Suci, semestinya aku bisa juga menunjuk diriku sendiri.
Belum pernah seorang tanpa darah Hindu, sudra itu, membuktikan diri bisa lakukan hal-hal besar sepanjang sejarah Ia
takkan lupakan kata-kata ayahnya: Terlalu sedikit darah Hindu mengalir dalam tubuh Sri Erlangga Dharma Dayana; itu sebabnya tindakan-tindakannya menyimpang dari kemestian, ia bisa lakukan itu hanya karena menguasai balatentara sepenuhnya. Dan penguasaan mutlak atas balatentara kemudian menjadi tradisi wangsa Isana. Sampai Sri Kretajaya sekarang.
Tunggul Ametung menyampaikan padanya setelah pertemuan:
"Arok akan datang beberapa hari lagi, membawa pasukannya sebanyak barang lima puluh orang."
"Hanya lima puluh""
"Tiada lagikah kepercayaanmu pada Lohgawe""
"Kakanda harus tambah kekuatannya."
"Akan kulihat dulu. Dia akan kutempatkan di pekuwuan,"ia mendengus. "Anak tani biasa. Aku agak ragu. Hanya matanya, matanya, Dedes, entah mata hantu ataukah drubiksa, apakah gandarwa."
"Suatu kali akan kunilai sendiri kemampuannya."
"Tentu," jawabnya lunak. "Dan setelah jelas kau mulai mengandung begini, sebaiknya kau mendapatkan pengasuh barang tujuh orang. Kau boleh pilih gadis-gadis putri para bangsawan Kediri mana saja, Dedes."
"Tidak perlu,"jawabnya. Ia tahu putri-putri bangsawan akan lebih cepat bersekutu untuk meracunnya. Ia tak hendak menjadi Amisani anak Resi Brahmaraja.
"Atau gadis-gadis sudra""
"Berikan kembali padaku Rimang, atau tidak sama sekali Aku masih mampu mengurus diriku sendiri."
"Kandunganmu, Dedes. Atau perlukah kiranya tenaga para putri anak selir""
"Terimakasih, Kakanda, tidak perlu," Dedes bermanis-manis, "hanya bila berkenan di hati Kakanda, perbolehkan aku membacai rontal-rontal yang ada."
Dalam beberapa hari menunggu kedatangan jago Lohgawe dengan pasukannya ia membacai rontal. Sebagian terbesar adalah agama sejak Erlangga sampai pada seluruh wangsa Isana yang berkuasa. Semua itu tidak pernah ditemuinya, hanya diperkenalkan padanya oleh Mpu Parwa secara lisan. Apapun kekurangan wangsa ini ia mulai mengagumi dharma mereka pada kehidupan, penghapusan kasta waisyia, karena memang tak ada kaum waisyia berdarah Hindu. Ia mulai melihat adanya pembagian triwangsa Erlangga itu secara lebih jelas: kasta brahmana dan satria yang berdarah Hindu dan kasta sudra yang tidak mengandungnya dalam dirinya. Kasta itu ternyata ditentukan oleh darah. Dan ia merasa senang karena tidak termasuk sudra, berdarah Hindu, dan juga tidak senang karena akan melahirkan seorang bayi dengan semakin kurang darah mulia itu dalam tubuhnya. Terpaksa ia hibur dirinya; setidak-tidaknya masih ada dalam dirinya dia bukan sudra sebagai bapaknya.
Sebuah rontal yang sangat tua terpaksa ia cuci dengan minyak kelapa, tetapi tulisannya sudah terlalu kabur. Waktu ia gosok kembali dengan jelaga, yang bisa terbaca pun sangat sedikit. Dua nama yang terbaca olehnya adalah Wasista, putra Brahma. Kemudian: Cinadara. Selanjutnya tidak terbaca lagi. Kemudian potongan-potongan kalimat tentang Mahacina Kramasara yang tidak jelas duduk-perkaranya. Kemudian lagi kalimat yang agak lengkap, diucapkan oleh Kramasara:
"Wanita itu Dewa; Wanita itu Kehidupan; Wanita itu Perhiasan..."
ia mengerti sepenuhnya kalimat tidak selesai itu, tetapi tak tahu sangkut-pautnya. Pada waktu itulah Tunggul Ametung memberitahukan padanya, Arok telah datang dengan pasukannya. Semua hanya berca-wat, dan ia telah memerintahkan untak membagikan celana dan kain penutup, destar dan senjata. Juga telah diperintahkannya membangunkan asrama baru di samping asrama pasukan pengawal yang telah ada.
"Pada waktunya," sambut Dedes, "berilah aku perkenan untuk melihat dan bicara dengannya. Aku ingin tahu bagaimana macam dan kemampuan jago Yang Suci Dang Hyang."
"Sama dengan semua anak buahnya: gesit, kurus dengan mata menyala-nyala seperu si kelaparan melihat makanan."
"Salah kesan bisa berbahaya, Kakanda," tegur Dedes.
Dan Tunggul Ametung yang mulai belajar bermanis pada istrinya pada hari-hari sesak ini bertanya:
"Apa salah kesan itu, Dedes""
"Ada diajarkan oleh kaum Brahmana: orang kaya terkesan pongah di mata si miskin; orang bijaksana terkesan angkuh di mata si dungu; orang gagah-berani terkesan dewa di mata si pengecut; juga sebali
knya, Kakanda: orang miskin tak berkesan apa-apa pada si kaya; orang dungu terkesan mengibakan pada si bijaksana; orang pengecut terkesan hina pada si gagah-berani. Tetapi semua kesan itu salah. Orang harus mengenal mereka lebih dahulu."
Akuwu itu meninggalkan Taman Larangan untuk menemui Arok dan anak buahnya sekali lagi.
Ia menunduk pada perutnya, membelainya dan berbisik: "Kau tidak akan sedungu ayahmu. Kau takkan bikin malu
ibumu. Kalau kau wanita, kau adalah dewi, kalau kau pria kau adalah dewa. Ayahmu tak punya persangkutan dengan kau.
Dengar, kau, jabang bayi" Kau berdarah Hindu, ayahmu sudra hina."
Pasukan Arok melakukan latihan di bawah Kebo Ijo dan dibantu oleh Dadung Sungging. Waktu Arok dikenalkan pada nama mereka sekaligus ia tahu Kebo Ijo adalah seorang Wisynu, nampak jelas dari nama binatang[Terutama nama binatang ternak yang membantu pertanian.] yang dipergunakannya. Dadung Sungging ia belum tahu, boleh jadi Buddha atau Syiwa.
Seminggu lamanya dengan pasukan ia berlatih mempertahankan pekuwuan, mengenal tempat-tempat, pojokan dan pedalaman pekuwuan melalui gambar. Ia tahu tepat di mana para selir tinggal di bagian keputrian. Bilik Paramesywari dan Bilik Agung, Taman Larangan dan Taman Sari. Matanya yang tajam tidak melewatkan sesuatu pun tanpa tertanam kuat dalam ingatannya. Ia dapat mengingat dengan pasti goresan-goresan, macam dan jumlahnya pada paduraksa, benda apa saja yang ada dalam Balai Agung di halaman dua pura-dalam, dan gambar apa saja yang menghiasi pagar tanah liat pura itu.
Waktu pasukannya mulai mendapat giliran kemit, semua perhatiannya tertuju bukan saja pada bentuk, juga suara-suara yang keluar dari pedalaman pekuwuan. Pada umumnya suara wanita, tertawa dan bicara.
Ketiga kali ia melakukan kemit terjadilah peristiwa bersejarah itu. Ia hanya bertiga waktu berkemit itu. Waktu membelok di jalanan antara belakang gedung pekuwuan dan kebun buah yang melingkari pura-dalam, dari ujung jalan yang lain ia melihat sebuah tandu dipikul oleh empat orang budak dengan tapas penutup kepala.
Dalam iringan dua orang ia memelankan jalan. Tandu itu berhenti di depan pintu gerbang belakang pekuwuan. Ia berhenti memberi hormat dan menggedikkan pangkal tombak pada bumi.
Paramesywari turun dari tandu. Ia terpesona oleh kecantikannya. Kulitnya gading. Angin meniup dan kainnya tersingkap memperlihatkan pahanya yang seperti pualam. Arok mengangkat muka dan menatap Dedes. Dengan sendirinya ekagrata ajaran Tantripala bekerja. Cahaya matanya memancarkan gelombang menaklukkan wanita yang di hadapannya itu.
Dedes terpakukan pada bumi. Ia menundukkan kepala, merasa mata seorang dewa sedang menumpahkan pengaruh atas dirinya. Ia gemetar. Dengan tangan menggigil ia buka pintu Taman Larangan itu, tapi tak mampu.
Arok datang membantunya, dan ia dengar suara dewa itu:
"Sahayalah orang Yang Suci Dang Hyang Lohgawe."
"Dirgahayu untukmu, Arok."
"Beribu terimakasih. Yang Mulia."
Pintu itu terbuka. Arok dapat melihat Taman Larangan itu. Dedes masuk ke dalam dan pintu ditutup kembali.
"Makhluk kahyangan, Arok," bisik prajuritnya.
Arok tak menanggapi dan berjalan terus berkemit di belakang pekuwuan, di belakang pura-dalam, di dalam kebun buah, memutari gedung pekuwuan itu barang lima kali kemudian kembali ke tungguk kemit.
Ia diterima oleh Pangalasan dengan perintah baru:
"Demi perintah Yang Mulia Akuwu, kau, Arok, diharapkan menghadap sekarang juga di Taman Larangan."
Dan Arok berangkat lagi ke belakang gedung pekuwuan.
Pintu gerbang itu tidak terkunci dari dalam. Ia sorong dan terbuka. Dua orang pengawal gerbang itu mengangguk mengia-kan. Setelah menutup pintu di belakangnya ia mengangkat sembah pada Sang Akuwu yang duduk bersanding di bangku kayu taman, di bawah rindangan pepohonan.
Ia duduk bersila di hadapan Akuwu dan mengangkat sembah.
"Inilah Arok, jago pilihan Yang Terhormat Dang Hyang." ia dengar Tunggul Ametung memulai.
Arok mengangkat sembah pada Paramesywari.
"Jadi kaulah yang bernama Arok," kata Dedes. Suaranya agak gemetar.
"Inilah sahay a, Yang Mulia." "Berapa umurmu""
"Dua puluh, Yang Mulia Paramesywari."
"Pernah kau belajar pada Yang Suci Dang Hyang""
"Sampai tamat, Yang Mulia Paramesywari."
"Semuda itu sudah tamat" Ampuni aku, berapa banyak syair dalam karya Mpu Panuluh Hariwangsa""
"Enam belas ribu bait, Yang Mulia."
"Bisakah kau mengucapkan barang sepuluh bait""
Arok membacakan bagian awal dalam Sansakerta.
"Sansakerta!" Paramesywari mendesis, "Jagad Dewa." Matanya membeliak dan ditebarkan membikin lingkaran berdiri pada alam semesta. Berbisik pada Tunggul Ametung: "Dalam Sansakerta seindah itu. Bukan manusia, dewa itu sendiri." Ia berdiri, tak tahu apa harus diperbuatnya, matanya sebak. Berbisik lagi pada suaminya. "Tidak patut dia duduk di tanah begitu rupa."
"Arok,"Akuwu memulai, "ketahuilah, Yang Mulia Paramesywari Tumapel telah berkenan untuk mengenal dirimu." Arok mengangkat sembah terimakasih. "Tunjukkan pada kemurahan Yang Mulia Paramesywari, bahwa kau akan segera dapat memadamkan kerusuhan di selatan Tumapel."
"Bila Yang Mulia Paramesywari menjatuhkan titah melaksanakan sekarang juga, akan sahaya laksanakan."
"Balatentara Tumapel tidak mampu, banyak binasa, bagaimana caranya kau berani menyanggupi""
"Yang Mulia Akuwu dan Yang Mulia Paramesywari tinggallah berbahagia di pekuwuan. Sahaya akan padamkan dalam waktu cepat"
"Kau harus tahu, lima ratus jajaro pengawal telah dihancurkan. Sisanya melarikan diri dan bakal binasa di hutan-hutan. Engkau dengan gampang mempersembahkan janji kemenangan gampang."
"Inilah Arok, Prajurit Yang Mulia sendiri." "Kau percaya, Permata""
"Yang Mulia Akuwu sebaiknya belajar percaya padanya."
"Baik, padamkan kerusuhan di selatan. Kau akan mendapat tambahan lima ratus prajurit lama yang berpengalaman. Dengan kepala pasukannya kau akan pelajari medan."
"Sedia, Yang Mulia."
"Kalau berhasil, kau akan lanjutkan pekerjaan ke barat daya, Kawi dan Kelud." "Sedia, Yang Mulia."
Sementara itu Ken Dedes tetap mengawasi dan memperhatikan Arok.
"Bicaralah, Permata. Sekarang giliranmu."
"Arok, katakan padaku siapa sesungguhnya Kramasara""
"Seorang mahayogin. Yang Mulia Paramesywari, dari negeri Cina. Setengah orang memanggilnya Mahacina."
Kembali Ken Dedes berdiri, membeliak, dan Tunggul Ametung memperhatikan tingkah istrinya yang aneh itu.
"Apa mahayogin itu""
"Seorang mahaguru, Yang Mulia Paramesywari, yang menguasai ilmu tantri dan yoga." "Jagad Dewa!"
"Ada apa, Permata"" bisik Tunggul Ametung.
"Tak pernah diajarkan padaku tentang tantri dan yoga."
"Apa guna semua itu untuk Paramesywari""
"Coba katakan padaku yang masih bodoh ini," Dedes me-neruskan,"apa saja yang kau ketahui dari ucapan Kramasara tentang wanita""
Arok mengangkat muka dan pandang, memancarkan sinar ekagrata, berkilauan menelan semua yang dilihatnya. Tunggul Ametung merasa seperti lumpuh di tempat duduknya.
"Dengarkan sahaya ulangi kata-katanya Wanita adalah Dewa; Wanita adalah Kehidupan; Wanita adalah Perhiasan untuk pria ...Yang Mulia. Sahaya membenarkan, hanya alasannya tidak. Yang Mulia, menyesatkan ..."
Dengan susah payah Ken Dedes berbalik, melangkah cepat-cepat meninggalkan Taman Larangan, masuk ke Bilik Agung. Sepanjang perjalanan ia menyebut-nyebut:
"Jagad Dewa, Jagad Pramudita!"
Tunggul Ametung meninggalkan tempat duduk, berjalan cepat memburu istrinya. Arok menutup mata memusatkan ekagrata pada pendengarannya, dan ia dengar:
Tunggul Ametung : Mengapa, Permata" Mengapa"
Ken Dedes : Jagad Dewa! Jagad Pramudita!
Tunggul Ametung :Ya-ya, mengapa"
Ken Dedes : Bukan semestinya dia duduk di tanah begitu di hadapan Dedes. Tunggul Ametung : Mengapa"
Ken Dedes: Akulah yang semestinya menyeka kakinya. Tunggul Ametung dengan nada sengit : Mengapa" Ken Dedes : Dari Sansakertanya jelas dia telah kuasa semua ilmu. Dia tahu yang aku tidak tahu .... seorang sudra yang mendaki naik ke tempat brahmana.
Tunggul Ametung : Jangan risau, dia takkan kembali dari medan pertempuran.
Dari pintu Tunggul Ametung menjenguk keluar dan melambaikan tangan men
gusir Arok. Arok mengangkat sembah, berdiri, melalui pintu gerbang belakang pekuwuan, meninggalkan Taman Larangan.
Sebelum berangkat ke medan pertempuran Arok telah memerintahkan anak buahnya untuk menghubungi Tanca dan Umang, membawa penntah untuk menjebak pasukan Tumapel dari angkatan lama yang akan dipimpinnya. Perjalanan akan menempuh jalan negeri, maka penjebakan itu akan terlalu mudah dilakukan.
Anak buah itu datang membawa rencana Tanca di samping surat khusus yang melaporkan tugas pengawasannya terhadap Hayam. Surat itu pendek, menceritakan bahwa Hayam merasa tidak senang tidak diperbolehkan ke pendulangan dan padang batu. ia telah menuduh, ada sesuatu yang disembunyikan dari-padanya, dan ia menyatakan kehilangan kepercayaan pada Arok dan Tanca. Kemudian ia menarik pasukannya dan katanya dibawa ke kaki Gunung Kawi.
Tentara Tumapel berangkat dengan kekuatan tujuh ratus orang. Pasukan Arok sendiri berangkat paling dahulu. Sampai di jebakan pertama tak terjadi sesuatu. Di jebakan ke tiga terjadi perang semu dan sorak-sorai riuh. Pasukan Arok berbalik membantu teman-temannya sendiri. Pasukan Tumapel yang kedua dan ketiga segera masuk dalam jebakan yang tidak pernah diduga-duganya, menderitakan penumpasan darah. Panah cepat para biarawan dan biarawati, tombak, pedang dan pasangan-pasangan bambu hampir-hampir membinasakan seluruh tentara Tumapel. Mayat bergelimpangan sepenuh jalanan. Perkelahian hampir-hampir tidak terjadi. Sorak riuh-rendah menandakan kemenangan pada tentara Arok. Prajurit-prajurit Tumapel yang dapat meloloskan diri dari maut dibiarkannya lari. Mereka takkan berani kembali ke asramanya, dan akan tetap menghilang dari Tumapel.
Bagi Arok semua itu hanya sebuah latihan untak menghadapi pertempuran yang jauh lebih berarti di kemudian hari. Padanya telah ada tempat resmi sebagai prajurit Tumapel. Ia dapat bergerak bebas di antara mereka, dan lebih bebas di tengah-tengah pasukannya sendiri.
Memasuki padang batu ia disambut oleh Gusti Putra, Mundra dan Umang.
Dari Umang ia menerima laporan, bahwa jalan air dan darat ke Kediri telah jatuh seluruhnya ke tangannya. Berpuluh-puluh perahu telah dirampas, dan beratus dharmana telah diperintahkannya kembali pada keluarganya. Tetapi sebagian terbesar tak berani pulang dan menggabungkan diri.
"Berikan padaku lima ratus orang dharmana."
"Kau akan mendapatkannya pada hari ini juga. Suami."
"Dan persiapkan mereka untuk berangkat bersama denganku ke Tumapel."
"Mereka akan berangkat mengiringkan kau."
Gusti Putra melaporkan, bahwa seluruh pertahanan di pendulangan dan perbatuan dipegang oleh Mundra. Untuk itu ia mendapatkan kehormatan nama Mundrayana. "Berapa jumlah pasukanmu, Mundrayana"" "Semua orang dewasa. Pimpinan Tertinggi, laki dan perempuan, kecuali kanak-kanak."
"Baik. Berangkat kau dengan dua ratus orang pada malam ini juga. Hindari jalanan negeri, dan berkampung kalian di desa Randu alas. Muliakan ibuku, Nyi Lembung. Binasakan semua prajurit Tumapel yang tidak takluk padamu. Isilah namamu, Mundrayana, dengan kemenangan gilang-gemilang."
Malam itu ia beristirahat dengan Umang di gubuk Ki Bango Samparan. Dan pada keesokannya ia berangkat pulang ke Kutaraja dengan membawa lima ratus prajurit tambahan bekas dharmana Kediri dan sebagian dari anak buah Tanca. Mereka semua berpakaian prajurit Tumapel, juga persenjataannya.
Memasuki Kutaraja mereka berbaris dan bersorak-sorai memberitakan kemenangannya. Penduduk kota pada keluar dari rumah masing-masing, menyambut balatentara pulang itu tanpa sorak, hanya diam-diam menonton. Mereka berbaris di depan pekuwuan untuk menerima pujian dari Sang Akuwu.
Damar-damar pendopo itu telah ditambah dengan sepuluh lagi. Empat orang menteri Tumapel dan Belakangka hadir. Tetapi Sang Akuwu belum juga muncul.
Malam telah tiba waktu akhirnya pintu Bilik Agung terbuka. Yang muncul bukan Akuwu, tetapi Paramesywari dalam pakaian kebesaran yang serba gemilang. Diiringkan oleh para menteri dan Belakangka ia menyeberangi pendopo, berdiri pada anak tangga. mengumumkan:
Yang Mulia Sang Akuwu sedang berhalangan, telah berangkat pada siang hari tadi ke sebelah barat Tumapel."
Arok, yang berdiri di depan pasukannya mengerti, Sang Akuwu sedang memimpin sendiri penindasan kerusuhan di sebelah barat.
Ia melaporkan hasil pertempurannya: para perusuh di selatan ditumpas seluruhnya. Tentara Tumapel kehilangan dua puluh lima orang prajurit.
"Arok, setiawan Tumapel, terimakasih atas jasamu yang sangat besar pada Tumapel. Asramakan anak buahmu untuk kemudian menghadap padaku."
Dan Arok mengasramakan prajuritnya sendiri yang enam ratus orang, dengan regu-regu dipimpin oleh anak buah lama. Ia tahu: hari ini adalah hari awal kemenangannya dan awal keruntuhan Tunggul Ametung.
Penghadapan itu terjadi di pendopo. Ken Dedes sebagai Paramesywari Tumapel duduk di Singgasana menggantikan Sang Akuwu. Empat orang menteri duduk di bawah mengapitnya. Yang Suci Belakangka berdiri, bertumpu pada tongkat. Sang Patih tidak hadir, karena dibawa oleh Sang Akuwu dalam menindas kerusuhan.
Paramesywari memerintahkan padanya menceritakan jalannya pertempuran.
Arok mengangkat muka dan mengagumi kecantikan Dedes. Dalam hati ia membenarkan Tunggul Ametung mendudukkannya pada tahta Tumapel. Ia adalah mahkota untuk kerajaan mana pun, karena kecantikannya, karena pengetahuannya, karena ke-brahmanaannya, karena ketangkasannya, karena keinginannya untuk mengetahui persoalan negeri.
Ia melaporkan jalannya pertempuran dalam Sansakerta. Dan selama itu mereka berdua berpandang-pandangan seperti dua orang yang sudah lama saling mengenal dan mengerti hati masing-masing.
Dedes tak menguasai istilah perang, lebih-lebih tak menguasai hati sendiri lagi. Dengan jujur ia mengakui pada dirinya telah jatuh cinta pada pemuda sudra tanpa darah Hindu setetes pun itu, yang demikian fasih berbahasa ilmu para dewa dan mahir
dalam yuddhagama. Dan begitu muda, hanya terpaut tiga tahun dari dirinya sendiri.
Dialah yang patut jadi suamiku, pemegang kekuasaan atas Tumapel, seorang brahmana yang akan dapat memuliakan cakrawarti Hyang Syiwa. Ia pejamkan mata, menikmati musik yang terdengar dalam Sansakerta Arok. Dan ia membiarkan dirinya dipandangi sepuasnya oleh seorang lelaki yang bukan suaminya.
"Selesai, Yang Mulia Paramesywari."
"Terimakasih Arok, akan aku teruskan pada Yang Mulia Akuwu," ia berpaling pada Belakangka yang berdiri agak jauh di sampingnya, "Yang Suci, silakan ajukan pertanyaan padanya untuk melengkapi gambaran." Ia tahu Belakangka tak dapat mengikuti laporan itu, apalagi para menteri Tumapel.
Dan Belakangka menggaruk-garuk tenggorokan.
Tawaran diteruskannya pada para menteri. Salah seorang mengakui tidak mengerti Sansakerta.
Ken Dedes tersenyum. Kesempatan itu ia pergunakan untuk berpesan pada Arok agar menemuinya di Taman Larangan nanti tengah malam.
Dan dengan demikian penghadapan bubar.
Malam itu juga ia ambil-alih tugas kemit, dan dengan demikian pasukannya sendiri yang telah terpercaya yang melakukannya. Ia mengerti, Paramesywari sedang menantang maut dan menawar maut untuk dirinya dengan undangan malam itu.
Dedes masuk ke Bilik Agung dengan tubuh menggigil. Begitu Arok menyatakan kesanggupannya ia mengerti, ia telah ber-sekutu dengan pemuda itu untuk menjatuhkan Tunggul Ametung. Kesedaran, bahwa ia sedang menempa makar, dirasakannya suatu hal yang terlalu besar dan tubuhnya kurang kuat menampung. Melintas wajah Mpu Parwa di hadapannya Ayah tercinta itu mengangguk membenarkan. Kemudian melintas wajah Dang Hyang Lohgawe Brahmana itu dilihatnya mengangguk membenarkan. Ia perintahkan untuk mengawalnya dari pintu gerbang belakang pekuwuan ke pura dalam.
Dilintasinya Taman Larangan. Di luar ia disambut oleh empat orang pengawal.
"Pasukan siapa kalian"" tanyanya pelan.
"Arok, Yang Mulia."
"Aku merasa lebih aman dalam pengawalan kalian." "Beribu terimakasih. Yang Mulia."
Mereka mengiringkannya memasuki halaman pertama, kedua dan ketiga pura. Penunggu itu mengangkat sembah menyambutnya kemudian menyilakannya naik ke atas.
"Tinggalkan aku seorang diri," perintahnya.
Pedupaan itu t elah mengepulkan harum. Ia tahu tak ada patung-patung Mahadewa dan syakti-syaktinya. Tetapi selama ini ia telah membiasakan tanpa dengan mereka.
Ia lenyapkan perasaan pribadi, segala pamrih yang menggumuli hati, memadamkan pancaindra dengan hanya membawakan satu macam permohonan untuk mendapatkan petunjuk yang benar dan dibenarkan pada Hyang Mahadewa Syiwa.
Dan lenyaplah ia dalam alam puja. Seluruh wujudnya padam, memasuki alam sinar dan getaran kemudian ke alam sunnya tanpa sesuatu. Kemudian sayup-sayup menggeletar, makin lama makin nyata, dan terdengar suara tawa. Muncul di hadapannya seorang tua buncit berjenggot putih panjang sampai ke pusar, telanjang dada dan bertongkat, berbisik padanya:
"Kembali kau. Cucu, kembali, mahkota kerajaan mana pun yang kau inginkan sudah ada pada kepalamu."
Sekarang alam sunnya itu padam. Ujung-ujung ibujarinya menggeletar, merambat naik ke kaki, ke badan, ke leher dan kepala. Baru ia dapat menggerakkan tubuhnya. Ia mengangkat sembah pada Hyang Bathara Guru dalam bayangan, kemudian beringsut mundur, bangkit dan meninggalkan pura.
Waktu ia menuruni tangga, ia teringat, bahwa ia tidak seorang diri menghadap Hyang Mahadewa Syiwa Bathara Guru. ia beserta anak dalam kandungan. Ia raba perutnya dan berbisik:
"Jangan kau kaget, anakku. Sesuatu harus terjadi, dan kau ikut menyertai bundamu sejak semula."
Para pengawal itu menghormatinya dengan gedikan pangkal tombak. Ia melangkah pelan-pelan ke pintu gerbang belakang pekuwuan. Sebelum masuk ia berpaling dan berbisik:
"Tenmakasih, prajurit. Aku merasa aman dalam pengawalan pasukan Arok. Maka pintu gerbang ini tak perlu dikawal," dan ia masuk ke dalam.
Lambat-lambat ia menutup pintu sambil memperhatikan apakah para pengawal telah pergi. Memang mereka semua telah pergi dan berbalik ia menghadap ke Taman Larangan. Bulu ro-manya menggermang, terkejut, melihat sesosok tubuh berdiri di hadapannya. Hampir ia terpekik. "Dirgahayu untukmu, anak Mpu Parwa." Demi dilihatnya orang itu Arok, ia berlutut dan mengangkat sembah: "Dirgahayu, ya, Guru."
"Ketahuilah, telah aku antarkan ayahmu Mpu Parwa kembali ke Gunung Kawi setelah pulang melihat rumahmu dibakar habis oleh Tunggul Ametung."
"Tenmakasih beribu kali, ya, Guru."
"Ayahmu takkan melihat kau sebelum suamimu tumpas karena senjata."
Sahaya mendengarkan, ya, Guru."
"Ketahuilah, bahwa persidangan kaum brahmana puncak di candi Agastya, Gunung Kawi, telah berjanji untuk menjatuhkan Tunggul Ametung dan Kediri. Kaulah yang menyebabkan persidangan mengutuk dan menghukum penculikan itu. Kau mengerti semua yang aku katakan, anak Mpu Parwa""
"Sahaya mendengarkan, ya, Guru."
"Belum patut aku jadi gurumu, Dedes"
"Beribu terimakasih atas pemberitaan itu, ya, Kakanda."
"Katakan padaku, pada pihak siapa kau berada."
"Sahaya ada pada pihak para brahmana, pada pihak Kakanda."
"Apakah cukup dengan hanya pemihakan""
"Sahaya serahkan suami sahaya, hidup dan matinya, pada Kakanda," ia menunduk,"semua yang dituntun oleh tangan Dang Hyang Lohgawe pasti kebenaran yang tak dapat ditawar."
"Apakah kau tidak menyesal kehilangan suami""
"Sahaya serahkan diri dan hidup sahaya kepada Kakanda, demi Hyang Mahadewa."
Arok menarik Dedes berdiri, dan ia rasai tubuh Paramesywari menggigil:
"Bangun kau, Dedes, dan kembali kau ke Bilik Agung."
"Akan Kakanda tinggalkan sahaya begini seorang diri""
"Tidak. Setiap saat aku akan kunjungi kau di sini. Terserah pada panggilanmu."
Arok memimpinnya ke arah Bilik Agung. Sampai di tangga ia minta diri dan melangkah cepat menyeberangi gerbang belakang pekuwuan, kemudian keluar.
Ken Dedes jatuh tak berdaya di depan peraduan, ia letakkan kepalanya. Matanya tertutup, ia merasa sangat, sangat berbahagia. Ia merasa tidak berdosa pada para dewa, juga tidak pada ayahnya. Ia menggeliat waktu menyedari adanya saksi percakapan mereka: anak dalam kandungan. Dibelainya perutnya:
"Duh, anakku, jangan kaget telah aku serahkan hidup dan mari ayahmu pada musuh-musuhnya. Kalau kelak kau nnggalkan rahim ibumu, kau akan tiba di duni
a yang tidak seperti ini; dunia yang dikehendaki oleh para dewa."
Dengan dua ratus prajurit sendiri dan dua ratus prajurit Tumapel, dan dengan restu resmi Paramesywari, Arok berangkat menyusul Tunggul Ametung untuk menumpas kerusuhan di utara dan barat Kutaraja.
Di desa Asam Bagus kesatuannya berhenti untuk mesanggrah. Dua puluh orang dari prajuritnya sendiri ia perintahkan menghubungi Arih-Arih dan Santing untuk menumpas buntut pasukan yang dibawanya. Ia sendiri akan berbalik dan ikut menghancurkan.
Dengan pengawalan empat orang pada malam itu juga ia berangkat ke Pangkur untuk menemui Dang Hyang Lohgawe. Ia menyampaikan Tumapel sudah hampir berada di tangannya. Setiap waktu ia dapat gulingkan Tunggul Ametung.
"Aku percaya. Kau telah bekerja lebih cepat daripada perhitungan. Untuk itu waktu belum mengijinkan. Penggulingan atas Sang Akuwu, garudaku, belum tentu berarti kemenangan bagimu, bisa berarti awal dari kehancuran kita semua."
"Ya, Bapa Mahaguru, sahaya mengerti: Kediri tidak akan tinggal diam. Pasukan gajahnya yang perkasa akan segera datang menghancurkan Tumapel."
"Itu bisa kau hadapi Arok. Tergulingnya Tunggung Ametung berarti kau menjadi raja Tumapel. Di situ letak kesulitannya. Belum pernah terjadi seorang sudra, tanpa darah Hindu, marak jadi raja. Erlangga yang mula-mula marak dengan terlalu sedikit darah Hindu dalam tubuhnya. Tetapi darah itu ada. Padamu sama sekali tiada. Kau tidak bisa mengajukan silsilah yang bisa dibenarkan oleh kaum brahmana. Takkan ada raja lain yang bakal dapat mengakuimu." "Tak pernah ini Bapa ajarkan pada sahaya." "Sekarang ini aku sampaikan, Arok. Tanpa darah Hindu orang tak bisa jadi raja."
"Apakah ini berarti sahaya hanya baik untuk berperang saja untuk orang lain""
"Bukan. Kau bukan semestinya jadi prajurit bayaran. Dengarkan, garudaku: begitu dunia mendengar seorang sudra telah menggulingkan kepercayaan Kediri di Tumapel, semua raja di Jawa. orang-orang yang berdarah Hindu itu, akan bangkit dan berbaris untuk membinasakan kau. Kau bisa gulingkan Sang
Akuwu dengan mudah. Memang setiap waktu bisa.Tapi jadi raja bukankah tidak cita-citamu" Jadi satu-satunya dari yang selebihnya" Bukan, Arok. Jalan ke tahta terlalu mudah bagi orang seperti kau. Hanya jangan kau lupa, kau membawa tugas dari semua brahmana dan penganut Hyang Mahadewa. Tugasmu adalah menggulingkan wangsa Isana yang sudah tak dapat menenggang lagi itu."
"Sahaya mengerti sepenuhnya, Bapa Mahaguru."
"Mungkin kau lupa. Jatuhkan Tunggul Ametung seakan tidak karena tanganmu. Tangan orang lain harus melakukannya. Dan orang itu harus dihukum di depan umum berdasarkan bukti tak terbantahkan. Kau mengambil jarak secukupnya dari peristiwa itu. Tanpa jatuhnya Tumapel, kita takkan bisa menghadapi Kediri. Tumapel adalah modal pertama, Arok. Jangan kau lupa."
Ia diam, memejamkan mata, kemudian meneruskan:
"Segera setelah jatuhnya Tunggul Ametung, Belakangka akan bertindak sebagai wakil Kediri. Ia akan menempatkan seseorang untuk jadi pengganti sementara. Itu tidak boleh. Dedes harus segera memegang kekuasaan pengganti suaminya. Dia harus mampu menjatuhkan hukuman bagi yang bersalah dan karunia bagi yang berjasa. Kaulah harus jadi tempat ia menyandarkan diri."
Dan Arok sepenuhnya mengerti. Ia menyampaikan, bahwa Tumapel Selatan sepenuhnya sudah berada di tangannya. Sebentar lagi juga sebelah barat dan utara.
"Kau memang putra Hyang Brahma sendiri."
Arok mengangkat sembah. "Sudah kau bertemu dengan anak Mpu Parwa""
"Sudah, ya, Bapa Mahaguru."
"Sudah kau bicara dengannya""
Ia menceritakan pertemuan di malam hari dalam Taman Larangan itu.
"Hanya orang seperti kau yang berhak memiliki dia. Ingat, Arok, dia berdarah Hindu. Bila dia memegang kekuasaan atas Tumapel adalah sudah wajar menurut kebiasaan lama. Bukan kau. Dari perkawinanmu dengannya saja syarat-syarat baru tersedia untukmu."
"Tiadakah Bapa mahaguru menaruh banyak, terlalu banyak kepercayaan pada sahaya"" "Kau hanya menjalani kehendak kaum brahmana." Dan Arok pulang pada kesatuannya.
Waktu hendak memasuki ru mah penginapannya di Asam Bagus dari rimbunan semak di pinggir jalan terdengar teguran dari seseorang: "Arok, aku tahu dari mana kau." "Siapa itu!" "Bana."
Ia telah mencabut pedang dan para pengawalnya dengan tombak mulai mengepung semak-semak itu. "Bana siapa!"
"Anak buahmu dulu. Dengar, aku mau bicara denganmu." "Keluar kau dari situ."
"Jangan bunuh aku. Aku akan keluar mendapatkan kau." Orang itu keluar dari semak-semak.
"Ah, kau"" seru Arok. "Bagaimana kau bisa di sini" Tempatmu di utara."
"Kau tak perhatikan aku dan kami sejak tadi. Aku prajurit Tumapel. Tak bisa lolos dari wajib tentara. Semua temanku yang dalam pasukanku adalah anak-anak kemarin, anak tani semua. Apakah kau tega tumpas kami seperti yang kau bawa ke selatan""
"Lantas apa maumu""
"Aku dan kami menggabungkan diri denganmu, Arok."


Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana bisa orang seperti kau tidak bisa lari waktu kena wajib tentara""
"Mereka mengancam Bapak dan emak."
"Ketahuilah, sesungguhnya prajurit Tumapel sukar untuk dapat dipercaya. Juga kau. Tempatmu tidak di sini, di barisanmu sendiri"
"Aku tak mampu melihat bapak dan emak teraniaya Sudah kukatakan tadi. Aku mengerti, kau menghendaki jaminan dari kami. Mari aku bawa ke penginapan kami"
"Tidak perlu." "Baik, aku bawa jaminan kami kepadamu." Arok masuk ke rumah penginapannya dalam iringan para pengawalnya.
Beberapa bentar kemudian terdengar suara dari luar rumahnya: "Bana datang untuk menemui Arok."
"Bawa dia masuk," perintahnya pada kemit.
Ia masuk membawa sepuluh orang tamtama angkatan lama yang telah terikat, diiringkan oleh pengawal-pengawal dari angkatan baru.
"Inilah jaminan kami. Terserah padamu hendak kau apakan binatang-binatang ini."
Di bawah cahaya damar nampak muka Bana yang masih muda belia, belum lagi tumbuh kumis dan cambang. Pipinya barut dan berdarah.
"Beri kami hidup, Arok," seorang tamtama memohon. "Kejahatan kalian tak mungkin melindungi hidup kalian," jawab Arok.
"Kami tangkap sedang melakukan kejahatan terhadap orang desa, Arok."
"Hanya itu yang kalian bisa perbuat selama ini hanya menindas dan merampoki orang desa."
"Hidupi kami. Akan kami persembahkan apa saja: harta, anak bini, untuk dibudakkan, untuk milik sendiri...," seorang memohon.
"Dengar," kata Arok pada semua yang hadir, juga prajurit-prajurit yang terbangun dari tidurnya, "kami tidak memberikan pengampunan dan hukuman. Kami memberikan keadilan pada siapa saja, pada semua sejauh kemampuan kami. juga keadilan untuk kalian, para tamtama angkatan lama untuk semua kejahatanmu selama jadi prajurit Tumapel. Bana, nyahkan mereka dari pandanganku, dan segera kau kembali kemari."
Mereka berangkat, dan Arok meneliti makan dan minum yang disediakan untuk dirinya dan para pengawalnya.
Ia mulai makan dan hujan turun dengan derasnya. Bana datang lagi, basah kuyup:
"Arok, kita sama-sama anak desa, anak tani, mengapa kau kehilangan kepercayaan pada kami""
"Apakah tamtama tadi bukan anak tani" Anak tani pun bisa jadi sampar untuk bekas tetangga dan teman sepermainan sendiri di desanya yang dulu. Juga kau bisa jadi sampar." "Tidak, aku tetap bersama denganmu." "Tidak semudah itu. Kau sudah mendapat contoh busuk dari prajurit Tumapel." "Berilah keadilan padaku, pada kami semua." "Baik, berangkat kau bersama pasukanmu malam ini, gabungkan diri dengan Mundrayana di Randu Alas. Lari pindah kalian ke utara Tumapel, bergabung dengan Santing dan Arih-Arih bila melihat kami datang, dan bersorak kalian Arok datang." "Siapa Mundrayana""
"Si-mata-satu. Salam dari Pimpinan Tertinggi padanya, dan pergi kalian."
"Belum tentu dia percaya."
"Kalau begitu, itulah nasib prajurit Tumapel."
"Baik, kami berangkat, Pimpinan Tertinggi."
Salah seorang pengawalnya berbisik:
"Kau terlalu keras, mereka adalah anak buahmu sendiri."
"Mereka prajurit Tumapel waktu menghadap aku. Mereka tetap prajurit Tumapel sebelum bergabung dengan Mundrayana. Kita anak tani, tidak memerlukan lain kecuali diri kita sendiri. Dia harus belajar mengerti."
"Dia masih terlalu muda, dan telah menyerahkan j
aminan." "Dia memerlukan keadilan, dia harus belajar mengenalnya dengan seluruh tubuh dan jiwanya, bukan hanya suara hampa untuk bunga bibir dan bunga hati Juga untukmu sendiri. Juga untukku sendiri. Juga untuk kita semua. Setiap orang."
Dedes merasa berbahagia telah terbebas dari tingkah laku pura-pura selama kepergian Tunggul Ametung. Ia merasa menemukan diri sendiri, tidak dibiarkan tersasar seorang diri di tengah rimba belantara kedunguan. Ia merasa berada di antara orang-orangnya sendiri, dijaga keselamatannya, diperhatikan dan dihargai.
Dan ia jatuh cinta. Terlalu sering ia ambil cermin perunggu dan berhias. Dan kadang pun ia malu pada diri sendiri: seorang wanita, istri seseorang, mengandung dua bulan, jatuh cinta pada seorang sudra! Tanpa darah Hindu dalam dirinya! Apakah jadinya anak ini dengan hati ibunya yang berubah-ubah semacam ini" Kalau ada Rimang, boleh jadi akan lebih mudah mengambil keputusan untuk menggugurkannya. Dia tak ada, dan hubungan dengan orang lain pun tiada.
Arok pun pergi. Ia merasa: dia akan datang kembali untuk menengoknya. Waktu Tunggul Ametung pergi ia tak punya perasaan itu, bahkan tak mengharapkan melihatnya kembali. Ia tahu: ia jatuh cinta. Dan ia merasa bersyukur dapat mencintai seorang pria.
Dan kalau teringat ia pada pembenaran Arok, Wanita adalah Dewa, Wanita adalah Kehidupan, Wanita adalah Permata, kebahagiaannya mendapatkan pengukuhan. Apa yang Tunggul Ametung tahu tentang itu" Tak sedikit pun. Orang yang jatuh cinta pada diri dan nama sendiri karena sekeping kekuasaan dari Kediri itu tak tahu sesuatu pun kecuali nikmatnya kekuasaan. Dan Arok tak menyetujui alasan Mahayogin Kramasara. Dia tidak membenarkan seorang mahaguru! Tentu dia punya alasan, ah, Arok yang mengenal para dewa itu. Umur dua puluh telah dilepas oleh Yang Suci Dang Hyang Lohgawe, menumpas kerusuhan di selatan, dan kini akan menumpas lagi di barat dan utara. Bukankah dia juga yang mengaku brahmana dari utara" dengan kumis sekepal"
Teka-teki itu pada suatu kali akan ditanyakannya padanya. Juga teka-teki kemenangannya di selatan. Karena, bukankah semua itu gerakan Syiwa melawan Tunggul Ametung" Bagaimana mungkin ia menindas mereka para pelawan Akuwu itu"
Makin ia pikirkan, Arok semakin menjadi teka-teki baginya. Dan justru karena itu semakin agung dalam penilaiannya - anak sudra itu!
Sedap sore ia memuja di pura dalam untuk keselamatan Arok. Dan setiap berangkat tidur ia bicara pada anak dalam kandungan tentang ketidakpantasan ayahnya, Sang Akuwu, meyakinkan dirinya sendiri bukan seorang istri yang tidak tahu bersetia, tetapi seorang brahmani yang hendak mengebaskan diri dari kungkungan kedunguan dan musuh dari ajaran.
Kebahagiaan ini akan ia kokohi untuk selama-lamanya.
Ia hindari Patih dan para Menteri. Semua keputusan mereka harus disampaikan kepadanya melalui Belakangka. Hendak diperlihatkannya pada Penghulu Negeri itu, bahwa ia tidak pernah takluk kepadanya. Dan bahwa ia harus mendengarkan katanya dan perintahnya.
Dari Rimang ia mengetahui, semua kerusuhan mengangkat tinggi nama Hyang Bathari Durga. Kini dalam meluasnya kerusuhan, bathari itu tak banyak lagi terdengar. Ia juga tidak mengerti sebabnya.
Sekarang dua orang lelaki yang mengisi hidupnya berangkat untuk berperang, seorang suami dan seorang pujaan hati. Ia tindas perasaan malu tidak mengharapkan kembalinya sang suami. Ia memohon agar pujaan hati saja yang bakalnya pulang kepadanya.
Dalam keadaan hati penuh dengan bahagia dan harapan ia keluar dari gedung pekuwuan dalam iringan para pengawal, memeriksa seluruh halaman, memasuki tungguk kemit dan memerlukan berunya pada kepala kemit: "Anak buah siapa yang berjaga sekarang"" "Arok, Yang Mulia Paramesywari."
"Siapa yang mengatur giliran"" "Pangalasan, Yang Mulia."
"Mengapa bukan anak buah Pangalasan"" "Sahaya kurang periksa, ampun." "Panggil Pangalasan."
Dan waktu Pangalasan datang, ia mempersembahkan:
"Ampun. Yang Mulia, anak buah sahaya sebagian dibawa oleh
Arok, sebagai gantinya ia menukar dengan anak buahnya." Ken Dedes membuang muka untuk menyem
bunyikan senyum. "Baik. Kau tidak bersalah. Juga Arok tidak, barangkah ia membutuhkan tamtama yang lebih berpengalaman."
"Memang itu sebabnya, Yang Mulia Paramesywari."
"Kau boleh pergi." Pangalasan pergi dan ia bertanya pada kepala kemit, "Kau anak buah Arok, apakah kau orang Syiwa""
"Ampun. Yang Mulia," ia gugup dan terdiam.
"Mengapa takut" Apakah semua anak buah Arok orang Syiwa""
"Tidak. Yang Mulia"
"Apa sebabnya kau ikut dia""
"Hanya dia yang membikin kami tidak teraniaya. Yang Mulia." "Apakah Arok tidak menganiaya seperti prajurit Tumapel"" "Ampun. Yang Mulia, sahaya tidak patut menjawab." "Apa perintah Arok padamu dan kalian"" "Sepenuhnya menjaga keselamatan Yang Mulia." "Lainnya""
"Hanya Yang Mulia, tak ada lain." "Apakah kau dan kalian mencintai Arok"" "Tanpa dia mungkin kami sudah lama binasa." "Mengapa""
"Ampun. Yang Mulia, sahaya tidak patut menjawab." "Siapa yang patut"" "Arok sendiri."
Ia tinggalkan tungguk kemit. Dalam iringan para pengawal ia masuki keputrian, memasuki Bilik Paramesywari tempat ia pertama kali tinggal, kemudian memasuki tempat para selir. Para wanita rupawan itu berlutut di depan bilik masing-masing dan mengangkat sembah. Mereka adalah bunga kecantikan seluruh Tumapel, dan sebagian dalam keadaan menyusui. Tanpa bicara ia perhatikan seorang demi seorang di antara mereka, adakah kiranya memancarkan kebencian padanya. Tak ada yang membencinya, hanya ia melihat hormat mereka kepadanya sungguh tidak keluar dari hati. Ia berpaling pada para pengawalnya:
"Lihat, bukankah cantik semua mereka" Tidakkah kalian ingin memiliki salah seorang di antaranya""
Para pengawal itu membuang muka, dan para selir membere-ngut merasa dihinakan.
"Bukan," katanya kemudian, "puaskah kalian tinggal di sini jadi selir""
Seorang mengangkat mata dan melirik kepadanya. Ia tahu, semua mereka datang kemari karena paksa, seperti dirinya sendiri.
Ia berjalan ke bilik terujung, tempat istri syah Tunggul Ametung sewaktu ia masih muda. Wanita tua itu menjatuhkan diri dengan kening di tanah pada kaki Dedes.
"Di manakah anak-anak Bibi"" tanyanya.
"Semua sudah jadi prajurit, Yang Mulia."
Ken Dedes terperanjat dan berpaling pada para pengawalnya. Buru-buru ia bertanya tentang hal lain:
"Tidakkah Bibi ingin pulang ke desa""
"Sahaya hanya menunggu perintah Yang Mulia."
"Bukan aku yang menghendaki. Aku hanya bertanya."
Perempuan tua itu mengangkat sembah dan tidak bicara se-patah pun.
"Marilah aku lihat bilikmu," tanpa menunggu jawaban ia masuk. Bilik itu terdiri atas empat ruangan. Ia masuki semua. Setiap ruangan berisi benda-benda berharga.
"Semua di sini, Yang Mulia, adalah pemberian anak-anak sahaya."
"Betapa berbakti anak-anak Bibi. Berapa semua, Bibi"" "Tujuh, Yang Mulia."
Keluar dari keputrian ia memasuki dapur untuk pertama kali. Semua budak wanita menjatuhkan diri mencium tanah dan tidak lagi bergerak dari tempatnya.
"Buang tapas dari kepala kalian. Tak ada lagi yang mengenakan tapas di pekuwuan ini."
Mereka semua membuang penutup kepala itu dan menangis terhisak-hisak. Tak seorang pun mengucapkan kata.
Dedes berpaling pada para pengawalnya:
"Dengarkan, tak ada lagi budak di pekuwuan ini. Atas perintah Paramesywari. Sampaikan pada kepalamu."
Ia tinggalkan dapur dan masuk ke Taman Larangan dari belakang, duduk di bangku di bawah rindangan pepohonan dan membacai rontal.
Pasukan Arok berjalan cepat ke arah Gunung Arjuna. Desa-desa yang dilalui sepi. Penduduk telah mengungsi ke hutan-hutan sekitar, atau bergabung dengan kaum perusuh.
Canang dan genderang pasukan itu bertalu tiada henti-henti, memberitahukan pada kaum pelawan akan kedatangannya.
Tunggul Ametung, Sang Patih dan pasukannya terkepung di desa Jarak Sempal dan telah lebih sehari semalam kelaparan.
Pasukan Arok bersorak lari menyibak para pengepung. Dan para pengepung, seperti telah disetujui sebelumnya berpekikan:
"Arok datang! Arok datang!" dan lari buyar mengundurkan diri.
Pasukan Arok bergerak seakan mengejar musuh.
Sorak-sorai pertempuran kedengar
an di kejauhan, semakin lama semakin menjauh, kemudian padam.
Arok mendapatkan Mundrayana di desa Randu Alas. Ia peluk warok baru itu. Dan Mundrayana tak berani membalas pelukannya, hanya erat-erat memegangi lengan kirinya.
"Betapa banyak orang yang dapat kau kerahkan, Mundra."
"Sebelumnya sahaya telah datang ke desa sahaya sendiri. Orang desa sahaya murka luar biasa mendengar perbudakan Kali Kanta, Pimpinan Tertinggi, langsung mengambil senjata mereka dan ikut bergerak."
Tak lama kemudian Bana muncul dan melaporkan tugasnya. "Baik, kau pergi ke sebelah utara Tumapel, Bana." "Apakah sudah cukup jaminan dari aku dan kami"" "Cukup."
"Aku pergi, Arok!"
"Ya, kau pergi," ia tarik Mundrayana masuk ke rumah Nyi Lembung dan membisikkan: "Membuyarlah kalian ke semua desa barat Tumapel ini. Ajak semua membersihkan desa masing-masing dari prajurit Tumapel. Beri aku lima puluh orang bekas budak dan lima puluh lagi dari desamu sendiri."
Dengan tambahan seratus orang ia balik ke Jarak Sempal. Didapatkannya Tunggul Ametung sedang berlutut di samping seorang perwira Tumapel yang tewas, dan jari-jarinya memperbaiki letak destar mayat itu. Sang Patih berjongkok di tentangnya, menunduk.
"Anakku yang gagah berani," Tunggul Ametung terdengar mengulanginya untuk entah berapa kali, "mati membela bapa...."
Melihat bayang-bayang panjang dari matahari sore yang melintasi mayat itu ia menengok.
Arok mengangkat sembah: "Inilah sahaya, Yang Mulia. Jalan ke Kutaraja telah bersih dari kaum perusuh."
Tunggul Ametung melirik curiga pada Arok dan tidak bicara sepatah pun.
"Mari sahaya iringkan kembali"
Sang Patih memerintahkan prajuritnya untuk mengangkat mayat perwira itu, dan dengan demikian pasukan Tumapel yang telah sampai pada puncak kelelahan dan kelaparan itu berangkat pulang ke Kutaraja.
Di Asam Bagus Arok mempersembahkan agar menginap. Tunggul Ametung menyetujui. Segera kemudian ia murka karena tak ada penduduk desa yang menghadap.
"Mereka semua celah melarikan diri, Yang Mulia."
Sang Akuwu memerintahkan membongkari lumbung untuk memberi makan pasukan dan dirinya sendiri. Ternyata ternak besar juga dibawa pergi oleh pemiliknya.
Sang Patih memerintahkan agar menjejak ternak besar dengan damar. Dan Arok mencegahnya, bahwa obor damar itu memanggil kebinasaan. Kaum perusuh bisa menyergap di mana saja.
Arok melihat Tunggul Ametung untuk ke sekian kali melirik padanya. Dalam hati ia mentertawakannya. Ia tahu dirinya dan pasukannya tetap waspada terhadap segala gerak-gerik prajurit Tumapel dan Akuwu. Dan sekarang pun anak buahnya terus membayangi semua prajurit Tumapel.
Tunggul Ametung nampaknya tak ada keinginan untuk menanyakan tentang penindasannya di sebelah selatan. Dan Arok sendiri menyimpan persembahan itu untuk waktu yang lebih tepat.
Malam itu Tunggul Ametung dan seluruh pasukan hanya makan nasi dengan daun-daunan, tanpa garam, dan semua orang makan dengan lahap. Gula pun tiada, tuak apalagi. Pada waktu semua terlelap dalam kelelahan hanya prajurit-prajurit Arok yang berjaga. Juga mereka yang menjaga mayat putra pertama Tunggul Ametung, Kidang Handayani. Akuwu sendiri tidur di antara perwira-perwira puteranya sendiri, yang berjaga bergantian.
Kutaraja berkabung karena gugurnya Kidang Handayani. Seperti ikut berbelasungkawa seluruh Tumapel dalam keadaan damai. Tak ada persembahan tentang terjadinya kerusuhan baru pada Sang Akuwu.
Jenasah itu dibakar di depan pura dalam dengan segala upacara kebesaran. Menurut keputusan negeri abunya akan ditaburkan di Laut Selatan, sehingga tidak bakal diterjang oleh perahu dan kapal yang mondar-mandir di Brantas.
Dalam persidangan negeri sehari setelah abu Kidang Handa-yani disimpan dengan upacara di pura dalam, yang juga dihadiri oleh Paramesywari Tumapel, baru Arok mendapat kesempatan untuk melaporkan pemadaman kerusuhan di selatan.
Tunggul Ametung menatap Arok dengan pandang tajam:
"Belum ada bukti kerusuhan di selatan telah padam."
"Apakah kiranya bukti yang Yang Mulia Akuwu harapkan dari sahaya""
"Seluruh Kutaraja bert
eriak kekurangan garam, dan hasil laut belum juga datang sampai sekarang. Jalan air dan darat di selatan masih rusuh."
"Bukankah lembah Brantas tepat pada waktu sungai membelok ke barat bukan lagi kawasan Tumapel, Yang Mulia, tetapi Kediri"" kata Arok tidak pasti.
"Yang Suci, belum pernah Kediri menyatakan yang demikian."
"Yang Mulia, memang belum pernah ada pernyataan yang demikian selama dua puluh tahun ini. Selama ini baik jalan air maupun darat dipergunakan oleh Tumapel dan Kediri bersama, jadi selayaknya keamanannya harus ditanggung bersama-sama. Artinya, sebagai orang yang mewakili Kediri. Yang Mulia, jalur darat, jalan negeri dan air lembah Brantas. Sebelah utara jalan negeri menjadi bagian Kediri, bagian selatan Brantas menjadi bagian Tumapel. Itu pun kalau Yang Mulia dapat menyetujui."
"Apakah dengan itu Yang Suci bermaksud mengurangi kawasan Tumapel""
"Bukan. Bapa telah persembahkan, sekiranya Yang Mulia Akuwu menyetujui. Kewilayahan tergantung pada kenyataan apakah keamanannya dapat dipertahankan atau tidak. Bila tidak, dia menjadi kawasan siapa saja."
"Kediri selama ini tidak pernah mengirimkan balatentara untuk mengamankannya. Tumapel sudah, sampai pada tikungan Brantas."
"Jadi sampai di tikungan itu wilayah Tumapel."
"Jagad Dewa!" seru Tunggul Ametung murka. "Telah aku bersihkan daerah selatan itu, dari tikungan ke barat sampai ke bendungan Sri Erlangga Ringan Sapta. Telah aku persembahkan separoh dari wilayah itu kepada Sri Kretajaya atas titahnya sendiri, karena Kediri membutuhkan daerah Ganter karena pendulangan emas yang kaya. Sekarang aku harus bertanggungjawab dari Ganter sampai tikungan itu, wilayah yang tak menghasilkan apa-apa. Apakah ini cukup adil, Yang Suci Bapa Belakangka""
"Terserahlah pada Yang Mulia, kalau Yang Mulia menghendaki dari Ganter ke Timur sampai tikungan tetap wilayah Tumapel, Yang Mulialah yang perlu turun tangan membersihkannya. Bapa telah mengusulkan kerjasama Kediri-Tumapel."
"Apakah Yang Suci pasti dibenarkan oleh Kediri""
"Tak dapat diragukan. Yang Mulia."
"Apakah Akuwu Tumapel ini hanya petani huma yang setiap waktu harus membabat kembali""
"Karena ladang tidak terawat, Yang Mulia."
"Jagad Dewa, Jagad Pramudita!" ia berpaling pada Paramesywari dan bertanya, "Kaulah yang bicara, Paramesywari."
"Bukankah itu tergantung pada kesanggupan Tumapel sendi-ri. Yang Mulia"" Dedes menjawab, "Dan bukankah kesanggupan Tumapel terletak pada para prajuritnya sendiri""
"Panggil para Kidang. Yang Suci, Bapa tidak diperlukan lagi."
"Ampun." Belakangka meninggalkan sidang.
Hanya tiga orang putra Tunggul Ametung yang dapat dihadap-kan. TungguI Ametung menerangkan pada mereka tentang sengketa kewilayahan dengan Kediri. Kemudian:
"Apakah kalian rela wilayah dari tikungan Brantas ke barat sampai Ganter hilang dari Tumapel""
Putra termuda mempersembahkan:
"Ampun, Yang Mulia Ayahanda, sejengkal pun dari Tumapel tidak seyogianya gumpil."
Kalau begitu siapa di antara kalian sanggup mengamankan daerah itu, dan memulihkan lalu lintas air dan darat""
Ketiga-tiganya menyatakan sanggup dan diperintahkan meninggalkan sidang.
"Arok, kau telah dengar semua keterangan dari Yang Suci, Yang Mulia Paramesywari dan para Kidang. Wilayah itu milik Tumapel. Kau mempersembahkan telah memadamkan kerusuhan di selatan. Persembahkan sekarang, adakah Gusti Putra masih selamat" Dan di mana kau telah menjumpainya"" "Sahaya tidak mengenal Gusti Putra, Yang Mulia." "Apakah penghalauan para perusuh itu tidak sampai ke tempat pemahatan batu di tepi Kali Kanta""
"Sampai, Yang Mulia."
"Jagad Dewa! Jadi siapa yang melakukan kerusuhan itu, hei, Arok""
"Seorang perusuh yang tertawan mengakui mereka berasal dari Lodaya. Yang Mulia, dan bergabung dengan para jajaro."
"Jagad Dewa. Kalau kau tidak temui Gusti Putra, di mana orang-orang lain, laki dan perempuan, yang bekerja di tempat itu""
"Sahaya datang dan tempat itu sudah kosong." "Jagad Dewa."
"Kau membikin teka-teki. Tak mungkin perempuan dan kanak-kanak itu hilang lenyap tanpa bekas."
" Boleh jadi mereka semua telah bergabung dengan para perusuh."
"Apakah Paramesywari bisa mempercayai persembahan seaneh itu""
"Apakah tak ada seorang pun di antara pekerja itu yang tertangkap olehmu, Arok"" tanya Ken Dedes.
"Hanya seorang. Yang Mulia Paramesywari, itu pun karena luka pada telapak kakinya, seorang perempuan, bernama Rimang."
"Rimang!" seru Paramesywari.
Tunggul Ametung mengernyitkan dahi dan membisu. "Apakah maksudmu Rimang bekas selir pekuwuan"" "Betul, Yang Mulia."
"Kau tidak diperlukan lagi," perintah Sang Akuwu.
Arok memerintahkan anak buahnya yang dapat mengendarai kuda untuk menghubungi Tanca dan Umang, dan menanyakan apa sebabnya perintahnya untuk membuka lalu lintas darat dan air tidak juga dilaksanakan.
Menjelang pagi utusan itu kembali dan melaporkan, lalu lintas itu tidak diganggu lagi. Umang dan pasukannya telah ditarik ke pendulangan. Tetapi Hayam, yang katanya menarik pasukannya ke Gunung Kawi, ternyata dengan tindakannya telah menentang kekuatan Arok. Dengan pasukannya ia menguasai jalur dari tikungan ke barat sampai Ganter.
Hayam telah menolak peringatan Tanca untuk menyingkir dari jalur itu. Jawaban yang diterimanya adalah tantangan untuk semua kekuatan Arok. Bahkan telah menyebarkan fitnah, bahwa Arok tak dapat dipercaya, rakus, dan menimbun emas untuk kepentingannya sendiri. Bahwa dalam penyerbuan Kali Kanta, Arok telah menyembunyikan rampasan paling sedikit tujuh puluh ribu saga emas, dan dia tidak berniat memperlihatkannya pada anak buahnya.
Tanca telah membalas fitnah itu, bahwa Hayamlah yang selalu dipercayai oleh Arok untuk mengurus semua yang berbentuk emas. Bahwa sampai sekarang Arok tidak punya apa-apa kecuali sekeping mata-uang emas persembahan teman-temannya sendiri.
Tetapi, bahwa pengaruh Hayam Lumang Celukan nampaknya ditampung juga oleh sementara biarawan dan petani adalah yang paling berbahaya. Ia bisa berubah sikap setiap saat, bisa tiba-tiba bergabung dengan Kediri, bisa dengan Tumapel, dengan tujuan hanya untuk menjatuhkan Arok.
Arok menggeleng-geleng mendengar laporan itu. Dari pengalamannya selama ini ia telah menghadapi beberapa orang yang tak berpendirian, kecuali pada keuntungan dirinya sendiri, dan berpihak pada siapa saja yang dapat memuaskan kerakusannya. Dan Hayam yang paling berbahaya: dia membawa satu pasukan utuh.
"Ingat-ingat kejadian ini," ia memperingatkan utusannya, "bahwa setiap orang yang berlaku demikian akan mendapatkan keadilan sebagaimana dia sendiri sudah tahu sebelumnya. Untuk menghindari pengadilan itu dia berlindung di balik anak buahnya. Siapa pun boleh mencoba, dan keadilan itu takkan dapat dihindarinya, karena dia adalah tumit manusia sendiri."
ia keluar dari asrama dan mendapatkan Dadung Sungging di hadapannya, berbisik:
"Tuan, marilah berjalan-jalan, karena ada pesan sangat penting."
Arok mengawasi prajurit pengawal itu dengan mata curiga, dan ia berjalan di sampingnya menuju ke belakang asrama. Ia tak mencoba bertanya.
"Dari Yang Mulia Paramesywari ..."
Arok menangkap lengan Dadung Sungging.
"Ampun, terserah pada Tuan hendak percaya atau tidak."
"Tak mungkin Yang Mulia Paramesywari berpesan sesuatu padaku. Kau pemancing Yang Suci""
"Apakah sahaya harus mati terjepit antara dua gajah""
"Siapa kau""
"Dadung Sungging sahaya."
"Bagaimana Yang Mulia Paramesywari bisa mempercayai orang seperti kau""
Ia bercerita tentang peristiwa meletusnya Kelud
"Kau orang Syiwa""
"Sahaya." "Bagaimana kau bisa dipercaya""
"Siapakah yang tahu rahasia para dewa kalau bukan kaum brahmana" Dengarkan pesan Yang Mulia, Tuan."
"Tidak. Tak ada sesuatu persekutuan menghubungkan aku dengan Yang Mulia. Pergi kau."
"Sahaya tidak akan pergi dari hadapan Tuan. Tuan harus dengarkan," Dadung Sungging memaksa. Arok berbalik, dan ia mengikuti. "Yang Mulia Akuwu akan saksikan sendiri pekerjaan Tuan di selatan."
Arok menyambar ikat pinggang Dadung Sungging:
"Dan kau bilang itu pesan dari Yang Mulia."
"Demi Hyang Mahadewa."
"Apa urusanmu dengan Yang Mulia Paramesywari."
"Ha nya kepercayaan, Tuan."
"Siapa lagi yang mendapat pesannya selama ini""
"Sekali, hanya Tuan."
"Kau anggota kelompok rahasia""
Dadung Sungging tak menjawab dan Arok mengguncangnya.
"Terserah hendak diapakan sahaya ini, hanya pesan Yang Mulia agar Tuan bercepat-cepat mendahului."
"Selatan telah aku bersihkan. Sang Akuwu dapat saksikan."
"Telah sahaya persembahkan pada Yang Mulia Paramesywari, ada sesuatu yang tidak beres di selatan."
"Apa yang kau maksudkan tidak beres""
"Bukan tidak beres untuk Tuan, hanya untuk Sang Akuwu."
Arok melepas ikat pinggang Dadung Sungging dan mulai memperhatikan prajurit itu lebih teliti.
"Apa yang kau ketahui tentang selatan""
"Bagi Sang Akuwu yang penting adalah emas. Sahaya hanya meneruskan pesan: Bercepat-cepatlah Tuan."
"Aku tidak percaya padamu. Pergi kau."
Arok bercepat-cepat balik ke asrama dan memerintahkan seorang anak buahnya untuk berkuda ke selatan, menghubungi Tanca dan Umang. Ia tahu pasukan biarawan dan biarawati telah ditarik ke sebelah timur maka ia tidak perlu menghubungi.
ia sebarkan beberapa orang anak buahnya untak mengetahui adanya persiapan dari Tunggul Ametung atau tidak. Empat orang ia perintahkan untuk menyelidiki Dadung Sungging. Untuk pertama kali ia mengetahui, bahwa ia belum banyak tahu tentang Kutaraja.
Tunggul Ametung ternyata mempunyai persiapan untuk berangkat ke selatan. Ia menunggu-nunggu barangkali mendapat panggilan untuk mengawal. Dan dari seorang yang ditempatkan di pabrik senjata diketahuinya Dadung Sungging sering datang ke pabrik, juga ke rumah Empu Gandring.
Ia tak mendapat panggilan untuk mengawal. Tunggul Ametung diiringkan oleh para Kidang dan pasukannya.
Ia datang pada Pangalasan dan memberinya libur selama dua hari dan mengambil alih penjagaan. Pada kesempatan itu ia latih anak buahnya untuk melakukan pembelaan atas pekuwuan sehingga menggemparkan para penghuni. Suara sorak dan aba-aba bergema-gema seakan ada serbuan sesungguhnya sedang terjadi. Dan yang demikian tidak pernah dilakukan sebelumnya.
Ken Dedes keluar dari pekuwuan dan memerintahkan memanggil Arok, yang segera datang dan duduk mengangkat sembah.
"Apa yang sedang terjadi, Arok""
"Ampun,Yang Mulia, dengan banyaknya kerusuhan belakangan ini sahaya menganggap penting adanya latihan mempertahankan pekuwuan."
Ken Dedes tinggal berdiri di pendopo. Kemudian mencangkung dan berbisik:
"Adakah telah Kakanda persiapkan di selatan sana""
"Sepenuhnya sudah. Siapa sesungguhnya Dadung Sungging""
"Sahaya hanya hendak mencoba adakah dia bisa dipercaya."
"Aku tidak percaya padanya."
"Kalau begitu sahaya akan hentikan."
"Kembalilah ke tempatmu, anak Mpu Parwa!"
"Tiadakah sahaya dapat menemui Kakanda nanti di Taman larangan'"
"Sayang tidak, Akuwu akan segera kembali."
"Beritahulah sahaya siapa Dadung Sungging sesungguhnya." "Akan kau dapatkan."
Dedes menegakkan badan, mengangkat tangan memberi isyarat agar Arok pergi. Dan ia pun mengangkat sembah kemudian menyingkir pergi
Latihan itu diteruskan. Para penghuni pekuwuan kini pada keluar untuk menonton.
Dedes menduga Sang Akuwu akan murka bila mengetahui adanya ladhan tanpa perintah dan tanpa sepengetahuannya. Tetapi ia menyerahkan segalanya pada kebijaksanaan Arok.
Waktu Tunggul Ametung datang pada malam hari segera diperintahkan Arok menghadap.
"Aku mengerti alasanmu dengan membikin latihan sewaktu aku tiada. Kewajibanmu adalah memadamkan kerusuhan," suaranya dingin.
Arok dapat merasa kekecewaan Sang Akuwu karena lenyapnya para budak dan Gusti Putra. Sumber emasnya binasa.
"Apakah kau berpendapat kerusuhan bisa pada suatu kali menjamah pekuwuan""
"Latihan itu justru peringatan bagi para perusuh. Yang Mulia, agar melepaskan niat sekiranya mereka mempunyai rencana. Sahaya tidak tahu hati orang lain, Yang Mulia."
"Jadi benar dugaanku: kau tidak yakin kerusuhan telah kau padamkan."
"Mereka belum seluruhnya tumpas dari muka bumi."
Dedes mendengarkan semua percakapan dari Bilik Agung. Kadang suara suaminya tidak terdengar. Tetapi sua
ra Arok keras dan lantang. Ia ikuti dalih Arok yang selalu mengelakkan tuduhan dan kecurigaan.
"Arok, coba persembahkan padaku, apa sebabnya semua perbuatanmu menerbitkan kecurigaanku""
"Yang Mulia, apabila sahaya memang tidak patut menerima kepercayaan dari Yang Mulia, ijinkanlah sahaya beserta pasukan sahaya meninggalkan Kutaraja."
"Maka kau juga akan memulai kerusuhan baru"" desis Tunggul Ametung. "Aku yang memerintahkan. Bukan kau yang memohon. Dengar, sudah sejak kulihat sendiri kau menghalau perusuh di barat Kutaraja, kau sendiri telah membuktikan diri punya persekutuan dengan mereka.Tidak mungkin para perusuh yang begitu gigih melawan pasukan Tumapel lari hanya karena kedatanganmu."
"Yang Mulia, kalau demikian halnya memang sepatutnya sahaya tidak datang untuk tidak merusak kepercayaan Yang Mulia."
"Diam, kau sudra hina. Telah aku angkat kau dari orang gelandangan bercawat menjadi prajurit Tumapel. Jawab pertanyaanku: persekutuan apa terjadi antara kau dengan perusuh di selatan""
"Yang Mulia menghendaki jawaban yang tidak terdapat pada sahaya."
"Pembohong. Sudah sejak semula datang mukamu menunjukkan hari yang tidak bisa dipercaya. Persembahkan."
"Sahaya hanya memadamkan kerusuhan, lain tiada."
"Apa kau dan pasukanmu perbuat di rumah Gusti Putra""
"Tempat itu telah kosong sewaktu sahaya datang. Juga orang-orang sudah ndak ada lagi."
"Apa telah kau ambil dari rumah panggung itu""
"Tiada sesuatu pada rumah satu-satunya, rumah panggung itu."
"Akan aku perintahkan periksa anak buahmu. "Bila Yang Mulia berkenan."
"Baik. Hati-hati kau. Apa sebabnya bila aku tiada di pekuwuan kau mengambil alih tugas kemit""
"Sahaya tidak percaya pada prajurit Tumapel yang tidak mampu memadamkan kerusuhan Keselamatan Yang Mulia Akuwu dan Yang Mulia Paramesywari bukankah telah menjadi tanggungan sahaya sejak pertama persetujuan itu diterima" Bila tugas itu tidak dibenarkan lagi sahaya lakukan, pastilah bukan sahaya yang tidak mematuhi."
Untuk waktu agak lama Tunggul Ametung tidak bicara. Dari Bilik Agung Dedes mengerti suaminya kehabisan kata. Orang yang terbiasa menggunakan kekerasan dan kekuasaan itu tak mampu menghadapi Arok yang terbiasa menggunakan kekerasan dan pikiran sekaligus.
Dengan muka merah terbakar ia masuk ke Bilik Agung dan mendapatkannya sedang duduk mempermain-mainkan kalung, yang tergantung rendah pada perut.
"Kuda liar yang sulit ditertibkan," dengusnya.
Dedes pura-pura tak mendengar, berdiri dan menghampiri:
"Sudah malam, Kakanda."


Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku telah keliru menempatkan durjana di bawah atapku, mungkin juga dalam bilikku sendiri."
Dedes menatapnya, menduga-duga barangkah kecurigaan itu kini jatuh pada dirinya.
"Kalau benar begitu sebaiknya dibuang dari bawah atap dan dari dalam bilik."
"Setelah semua sandiwaranya tak bisa dimainkannya lagi," ia tangkap muka Dedes dan dua belah tangan, menembuskan pandang pada matanya, dan: "Kau brahmani orang Syiwa, dia jago Lohgawe Syiwa, sudah bicara apa saja kau padanya""
"Pernah aku panggil dia, kutanyakan apa saja gunanya berlatih di pekuwuan."
"Dan apa kau bicarakan padanya""
"Apakah aku harus bisikkan padanya""
Dua belah tangan Tunggul Ametung bergerak cepat mencengkam kuping Dedes. Paramesywari itu menangis kesakitan dan tidak mengaduh.
"Bukan saja kuping ini bisa putus," ia sorong istrinya langkah demi langkah, "Apa kau bisikkan padanya""
"Perintah itu belum aku terima dari Yang Mulia Akuwu."
"Paramesywari bisa bikin perintah untuk dirinya sendiri," ia mendorongnya sekali lagi, "Jawab!"
"Jatuhkan perintahmu, dan akan aku laksanakan!"
Tunggul Ametung menampar mulut Dedes dengan telapak tangan dan membuang muka dari tantangan mata perempuan di hadapannya.
"Betapa pandai Akuwu Tumapel membikin orang benci padanya!"
"Diam! Kalau sekali waktu aku panggil sepuluh budak yang kuat-kuat, aku perintahkan meniduri kau sampai mati, baru kau mengerti siapa Tunggul Ametung."
"Paramesywari hanya darma jalani perintah," tantang Dedes, "tak pernah yang semacam itu disebutkan dalam rontal."
Tu nggul Ametung berbalik, mengambil semua rontal yang terjajar dalam ikatan-ikatan dalam lemari batu, membawanya keluar dari Bilik Agung, dan kembali, langsung menghampiri Dedes:
"Orang yang mengajar mulutmu begini tajam, patut dibelah empat dengan kapak, tepat pada mulutnya."
Ia angkat Dedes pada pinggangnya, ia angkat, digendongnya kemudian dilemparkannya di peraduan.
Arok menjatuhkan perintah pada semua anak buahnya untuk tidak menjawab pertanyaan orang yang tidak dikenal dan mereka yang bukan dari barisan sendiri. Justru karena perintah itu mereka terheran-heran melihat banyaknya orang mencoba bicara dengan mereka.
Perintah lain adalah: membela diri terhadap setiap serangan, dari siapa pun dan kapan pun. Penjagaan atas asrama sendiri diperketat dan seorang pun di luar barisan sendiri tak iperkenankan masuk atau pun mendekati.
Dadung Sungging semakin sering mencoba mendekatinya. Ia tampung semua katanya dan tidak menanggapi. Sekali disampaikan padanya, bahwa Yang Mulia Akuwu sedang mempersiapkan gerakan pembersihan besar-besaran untuk membuka kembali lalu lintas darat dan air di selatan. Dan Arok akan ditunjuk sebagai pimpinan dengan para Kidang sebagai pembantunya.
"Awas, Tuan, para Kidang akan mencari kesempatan untuk membunuh Tuan."
"Terimakasih," juga ia tidak menanggapi.
Arok menduga, peringatan itu benar. Hanya belum jelas baginya dari kelompok mana prajurit seorang yang aneh ini. ia baru sampai pada pengetahuan dia sering bicara dengan Empu Gandring. Dan ia berharap semoga Dedes tidak menaruh banyak kepercayaan padanya. Bagaimanapun Dadung Sungging hanya prajurit Tumapel, yang tedatih dalam semua macam kejahatan terhadap kawula Tumapel yang tidak berdaya dan tidak bisa membela diri....
PEMBERSIHAN DI SELATAN Hujan yang jatuh tak henti-hentinya itu memudahkan Arok mengirimkan beberapa orang bergantian untuk berteduh di pabrik senjata Hyang Pancagina. juga di rumah pribadi Empu Gandring di pinggiran Kutaraja.
Dalam waktu cepat ia dapat ketahui ada tiga orang bekas jajaro telah menggarap ladang Empu Gandring. Di pabrik terdapat lima orang. Semua dimasukkan oleh Empu Gandring sendiri.
Juga ia mengetahui Dadung Sungging sering menemui empu[pandai besi] itu, baik di pabrik atau pun di rumahnya.
Arok memerintahkan seorang anak buahnya yang dianggapnya cerdas untuk mendekati Dadung Sungging, mendapatkan siapa-siapa saja temannya, dan didapatkannya jaring-jaring yang tidak begitu luas tetapi ketat.
Benar Dadung Sungging seorang anggota gerakan rahasia, dan semua gerakan itu berpusat pada Empu Gandring.
Belum lagi lengkap pengetahuannya tentang itu Tunggul Ametung telah memerintahkannya bersiap-siap dalam seminggu untuk melakukan gerakan pembersihan terbesar di daerah selatan.
Tiga hari sebelum berangkat ia telah memasuki Taman iarangan di malam hari dan mendapatkan taman itu lengang. Ia masuki Bilik Agung dan mendapatkan Tunggul Ametung sedang nyenyak dalam tidurnya. Suara keruhnya berderai-derai berpan-tulan dari dinding ke dinding. Hanya sebuah damar menyala.
Dirabanya kaki Dedes. Wanita itu membuka mata, menyingkirkan tangan Akuwu yang memeluknya, duduk memandanginya. Ia melambaikan tangan dan Dedes turun dari peraduan.
Mereka turun ke Taman Larangan.
"Dedes, anak Mpu Parwa, aku minta, cabut kembali kepercayaanmu dari Dadung Sungging."
"Sahaya mengerti maksud Kakanda. Sekarang juga sahaya cabut. Hanya, berilah sahaya keterangan."
"Dia anggota gerakan rahasia yang aku belum temukan kun-ci-kuncinya. Cobalah kau yang lakukan itu."
"Berilah sahaya sedikit petunjuk."
"Dia punya hubungan terlalu rapat dengan Empu Gandring." "Bila Kakanda lusa pergi, dan Sang Akuwu menyertai, sahaya akan panggil dia."
"Berilah janji setinggi-tingginya padanya. Boleh jadi dia orang Syiwa atau Wisynu dan kira-kira pasti bukan Buddha."
"Sahaya, Kakanda, dan ingat-ingadah, hati-hatilah, Sang Akuwu akan pergunakan pembersihan yang berhasil untuk menyingkirkan Kakanda sendiri. Waspadalah terhadap para Kidang."
"Terimakasih, Dedes. Akan aku tinggalkan satu regu
untuk menjaga keselamatanmu. Hati-hatilah setelah kepergianku. Jangan timbulkan kecurigaan. Kembali kau ke Bilik Agung, dan tolong sekakan bekas kakiku dari lantai."
Ia tinggalkan Taman Larangan. Sesanti meliputi dirinya. Di asrama ia disambut oleh anak buahnya yang melaporkan jalannya pertemuan di rumah Empu Gandring! Mereka telah memutuskan untuk mencoba memasukkan Kebo Ijo dalam pasukan pembersihan yang hendak diberangkatkan, dan dengan kesatuannya akan menempati buntut barisan. Kebo Ijo harus membelok ke Kali Kanta dengan diam-diam dan merampas emas yang tersimpan oleh Gusti Putra. Dua orang bekas jajaro akan dimasukkan sebagai penunjuk jalan yang bakal menempuh jalanan jajaro.
Sekali lagi ia kirimkan utusan pada Tanca dan Umang untuk menyingkirkan semua orang dari padang batu dan pendulangan. Dan khusus pada Tanca dipesankan agar memancing Hayam agar terlibat dalam pertempuran dengannya.
Ia menunjukkan padanya jalan-jalan yang akan ditempuhnya dan agar menyiapkan pasukan untuk membantunya bila para Kidang dan Tunggul Ametung nanti menyerang pasukannya dari belakang.
Laporan, bahwa dari belakang Kebo Ijo kemudian harus menyusul dan menumpas Tunggul Ametung, para Kidang dan Arok untuk kemudian secara serentak menyerbu pendulangan emas Kediri di selatan Ganter oleh Arok tak begitu diperhatikan.
Tumapel kosong dari balatentara.
Oleh Paramesywari Belakangka dan para narapraja diperintahkannya meninggalkan pendopo. Seorang pengawal anak buah Arok ia perintahkan menjemput Empu Gandring.
Orang yang sedang sampai pada tingkat kemasyhurannya sebagai pandai besi itu datang dengan lambang Hyang Pancagina pada dadanya, sebuah bintang segi-lima selebar telapak tangan, terbuat dari emas, dilingkari oleh rangkaian daun beringin, juga dari emas. Pada lehernya tersilangkan selendang kuning, terikat pada pinggang sebelah kiri.
Sebelum menaiki pendopo telah diangkatnya sembah tiga kali dan dengan isyarat Ken Dedes ia mulai naik sambil terus mengangkat sembah dan duduk di bawah tempat duduk Sang Paramesywari:
"Dirgahayu untukmu, Empu Gandring!" "Semoga para dewa melimpahkan kemurahan tiada terhingga pada Yang Mulia Paramesywari."
"Terimakasih, Empu. Ada aku dengar kau sedang membikin banyak, terlalu banyak senjata. Kau terlalu sibuk."
Empu Gandring nampak mengernyit. Kemudian buru-buru menjawab:
"Kiranya tidak perlu diperhatikan warta seperti itu, Yang Mulia. Sudah lama tak ada datang besi dari Hujung Galuh."
"Bukankah tahun yang lalu Yang Mulia Akuwu telah menyerahkan sepuluh ribu saga pada Yang Mulia Ratu Angabaya Kediri untuk membeli besi dari Sofala""
"Sampai sekarang belum ada sekepal pun yang datang, Yang Mulia."
"Orang bilang, pabrik itu selalu riuh."
"Banyak senjata rusak belakangan ini, Yang Mulia, terialu banyak dipergunakan untuk menghalau perusuh."
"Kapan terakhir Yang Mulia Akuwu menitahkan membikin senjata baru""
"Tahun lalu, Yang Mulia, dan belum bisa dikerjakan sampai sekarang ini. Empat ribu pedang, lima belas ribu tombak lempar, dan empat ribu tombak tangan.
"Empu Gandring, kau yang terahli dalam membikin senjata, aku panggil kau menghadap karena merasa kuatir akan kesela-matanku sendiri di hari-hari belakangan ini. Sebagai kepala pabrik senjata kiranya kau mengetahui jumlah senjata yang ada di Tumapel ini, baik di tangan perusuh atau pun balatentara Tumapel. Dari manakah kiranya para perusuh itu mendapatkan senjatanya""
"Setidak-tidaknya, Yang Mulia, bukan bikinan sahaya yang ada di tangan kaum perusuh itu. Boleh jadi mereka membelinya dari Gresik, boleh jadi juga dari Kediri sendiri."
"Kau mencurigai Kediri, Empu""
"Hanya dugaan, Yang Mulia. Baik di Tumapel maupun Kediri, semua pandai besi berada dalam pengawasan negeri. Tetapi tidak mustahil pejabat-pejabat yang rakus itu menjualnya untuk dirinya sendiri. Besi dari Sofala itu terlalu kotor, dan tak bisa ditentukan secara pasti berapa sampahnya. Dari perhitungan yang tidak pasti itu mereka dapat memperkaya dirinya."
"Lihatlah. Gandring, aku panggil kau pada waktu Sang Akuwu pergi. Bukankah kau tak
pernah dipanggil menghadap""
"Tak pernah, Yang Mulia."
"Kaulah satu-satunya yang mengetahui tentang senjata yang ada di Tumapel ini. Aku mengadu padamu, aku kuatir akan ke-selamatanku pribadi. Bukankah aku diambil dari desa, ditempatkan di pekuwuan ini bukan untuk mengalami kematian di ujung senjata para perusuh""
Empu Gandring terdiam dan berpikir keras.
"Kerusuhan semakin meruyak di mana-mana. Adakah kau tidak melihat, bahwa senjata bikinanmu pada suatu kali membunuh aku" Mungkin juga membunuh dirimu sendiri pula""
"Ampun, Yang Mulia, demikianlah sudah kehendak para dewa, hanya untuk membunuhlah gunanya senjata. Waktu Hyang Pancagina turun dari Gunung Hyang, berjalan ke barat selama sehari dan semalam, sampailah ia di kaki Gunung Semeru. Di situlah ia melihat dua orang kakak-beradik sedang berkelahi. Si abang terbanting ke tanah, lehernya digigit sampai putus, dan matilah ia. Hyang Pancagina bertanya pada pemenang itu: Telah aku ajarkan pada kalian berbagai kepandaian. Sekarang kau berkelahi dan membunuh abangmu sendiri dengan gigi dan jari-jarimu. Mari ikuti aku, akan kuajari kau membikin senjata. Juga hewan membunuh lawan dan mangsanya dengan gigi dan kukunya. Dengan senjata buatanmu sendiri itu kelak kau akan berbeda daripada binatang. Demikianlah, Yang Mulia, dengan senjata itu manusia tidak lagi menjadi hewan, karena dia telah bisa membunuh dengan senjata."
"Biadab! Hanya sudra yang bisa punya cerita begitu hina." "Ampun. Yang Mulia, sahaya hanyalah sudra hina." "Jadi karena kaulah manusia bukan binatang lagi, kaulah pusat kemanusiaan."
"Ampun, bukan itu maksud sahaya. Pusat kemanusiaan akan tetap kaum brahmana. Apalah artinya sudra hina ini dibandingkan dengan mereka" Dengan Yang Mulia Paramesywari""
"Dengan sadarmu kau menjadi empu agar manusia dapat bunuh-membunuh dengan layak""
"Bukan, Yang Mulia, sudah sejak manusia lebih dari tiga, sejak itu juga mereka berbunuh-bunuhan, dan untuk itu para dewa mengadakan kasta brahmana untuk menyelamatkan mereka dari haus darahnya sendiri."
"Dalam hal itu kau benar. Walau demikian, kau memandang dunia ini dari segi bunuh-membunuh."
"Tidak, Yang Mulia. Lihatlah, sekiranya sahaya tidak membikin senjata, siapakah yang bisa mempertahankan Tumapel dan keselamatan Yang Mulia"" Empu Gandring menunduk dan menelan senyumnya sendiri.
"Baiklah, memang ada kemuliaan dalam hadmu. Sekarang aku hendak bertanya padamu: bagaimanakah sikapmu bila pada suatu kali aku terancam mati karena kerusuhan makin memuncak""
"Tidak mungkin, Yang Mulia. Para perusuh tidak memusuhi Yang Mulia. Mereka membuat kerusuhan untuk mendirikan Hyang Syiwa."
"Apakah kau sendiri bukan Syiwa""
"Sahaya adalah seperti Sang Akuwu apa agama raja, itulah agama sahaya." "Wisynu."
"Wisynu, Yang Mulia."
"Kalau Sang Akuwu jadi Syiwa""
"Maka Syiwalah sahaya."
Ken Dedes membuang muka. Kemudian dengan cepat ia menatap Empu Gandring yang duduk di bawahnya:
"Kau pembikin senjata agar orang bunuh-membunuh tidak seperti binatang, kau sendiri ternyata yang paling membutuhkan keselamatan."
"Inilah sahaya."
"Ya, itulah kau. Tapi bagaimana kau tahu para perusuh itu tidak memusuhi aku""
"Seorang brahmani putri seorang brahmana terkemuka ..."
"Kerusuhan itu sudah ada sebelum aku ada di pekuwuan."
"Sama saja, Yang Mulia, semua tidak akan melukai Yang Mulia. Tentara Tumapel tidak akan mengusik Yang Mulia. Perusuh demikian juga."
"Mengapa tentara Tumapel tidak akan mengusik aku""
"Karena Yang Mulia Paramesywari Tumapel."
"Maksudmu orang Wisynu pun tidak akan mengusik aku""
"Pasti tidak. Yang Mulia."
"Bagaimana kau bisa tahu""
Empu Gandring memegang lambang dewa yang tergantung pada dadanya, mengangkat muka, dan: "Demi Hyang Pancagina."
"Kau bersumpah pada dewamu, kehormatanmu. Dan kau tidak persembahkan segala seluk-beluk yang kau ketahui."
"Ada waktunya sendiri, Yang Mulia. Hanya, yang perlu Yang Mulia ketahui, ada beberapa tamtama yang selalu memperhatikan keselamatan Yang Mulia."
Sekaligus Dedes membayangkan Dadung Sungging, tetapi dia ha
nya prajurit, bukan tamtama.
"Bukan perwira""
"Yang Mulia, jangan percayai perwira mana saja dari Tumapel ini. Mereka semua sanak-keluarga Sang Akuwu. Dan Yang Mulia Tunggul Ametung adalah sudra, sejauh sahaya ketahui sejak ia muda."
"Terimakasih atas kebaikanmu, Empu."
"Kalau Yang Mulia memerlukan, sahaya bersedia menceritakan semua tentang Sang Akuwu, siapa orangtuanya, bagaimana naiknya sampai menjadi Akuwu ..."
"Tenmakasih, Empu, barangkali lain kali," ia menyeka bibir dengan setangan,"Sungguh engkau orang mulia hati. Bahwa kau memperhitungkan keselamatanku, sudah menjadi bukti dari kebaikanmu, sekalipun engkau orang Wisynu, dan sekalipun engkau sangat mementingkan keselamatanmu sendiri sebagaimana halnya dengan diriku. Aku ingin selalu berhubungan denganmu. Siapa yang dapat menghubungkan, Empu""
"Pada suatu kali akan Yang Mulia temui seseorang dengan berkalung bintang emas kecil pada dadanya, bintang Hyang Pancagina, Yang Mulia."
"Terimakasih, Empu yang baik hati, kau boleh pergi."
Desas-desus yang ditiupkan oleh Belakangka mendapatkan bumi yang subur: Setelah Tunggul Ametung kehilangan putranya yang pertama, ia ingin segera terbebas dari enam putranya yang selebihnya, dengan demikian, hanya anak dari Paramesy-wari-lah yang bakalnya jadi pewaris Tumapel tanpa penggugat.
Tak ada di antara prajurit Tumapel yang mengambil sikap terhadap desas-desus itu. Bagi mereka hidup atau matinya para Kidang bukanlah urusan mereka. Di antara para tamtama memang ada yang tersenyum dalam hati. Tumpasnya para Kidang akan membuka kemungkinan bagi mereka untuk naik jadi perwira.
Belakangka juga meniupkan: sudah berkali-kali Tunggul Ametung mohon perkenan dari Kediri untuk menempatkan putra-putranya jadi kepala-kepala kawasan Tumapel, tetapi selalu ditolak oleh Sri Baginda. Kediri tidak suka melihat Tumapel menjadi lebih kuat daripada sebelumnya.
Pandita Negeri itu tidak mempunyai keyakinan Sang Akuwu akan bisa mengatasi kerusuhan dalam negerinya. Ia bekerja sebagai yang ia bisa untuk menarik kesetiaan kawula Tumapel pada Kediri. Orang yang tak lagi bakal mampu memberinya emas itu sudah tak perlu ia timbang berat lagi.
Satu-satunya yang jadi penghalangnya adalah Ken Dedes. Ia mengetahui benar, Paramesywari itu didukung oleh para perusuh. Untuk meredakan kerusuhan, Lohgawe harus ditekan untuk dapat mempergunakan Dedes sebaik-baiknya untuk menggulingkan Tunggul Ametung. Ia tahu suami-istri itu belum pernah nampak rukun. Dan dua-duanya menentang dirinya. Paramesywari bisa tetap. Akuwu boleh berganti.
Tetapi munculnya Arok menjadi masalah yang agak sulit baginya- Para perusuh itu takut atau sebaliknya patuh padanya. Buktinya, ke mana ia mendatangi mereka, tak pernah diberitakan ada anak buahnya yang tewas. Hanya Tunggul Ametung yang tidak pernah memperhatikan. Kekuasaan seluruh balatentara ada pada tangannya, seperti penguasa-penguasa wangsa Isana semua. Tetapi Akuwu, tak pernah mengetahui pedalaman balatentaranya sendiri. Seperti sewaktu masih jadi gerombolan liar yang menindas desa demi desa, ia menganggap semua anak buahnya patuh pada dirinya, hanya karena pribadinya.
Ia telah berhasil memasukkan anak buahnya ke dalam barisan pengawal Sang Akuwu yang memeriksa pendulangan Kali Kanta, dan daripadanya mengetahui: pendulangan itu telah ditinggalkan sama sekali, baik oleh para budak mau pun para jajaro, rumah Gusti Putra telah rusak, dinding-dindingnya bertebaran, peleburan emas telah hancur, tinggal hanya padang batu yang masih utuh.
Juga lenyapnya pendulangan menimbulkan teka-teki baginya. Dan ia tidak berani mempersembahkan ini pada Kediri, karena ia sendiri mempunyai kepentingan pribadi. Kediri pun tak pernah menanyakan sumber emas Tumapel. Sang Akuwu sendiri menganggapnya sebagai rahasia negeri sendiri dan takkan mengatakan pada siapa pun. Sumber emas itu adalah miliknya pribadi.
Ia menduga, Aroklah yang telah menyulap pendulangan itu menjadi daerah kosong tanpa manusia. Pastilah Arok telah membunuh semua orang untuk dapat memiliki semua emas yang telah tersedia. Juga Gusti Putra telah di
bunuhnya. Kadang ia ragu pada pikirannya sendiri. Dan ke manakah para jajaro yang terkenal buas dan tak pernah gentar pada mati itu" Adakah mereka bisa menyerah dengan mudah untuk ditumpas begitu saja"
Atas pertanyaannya orang melaporkan: tidak ada bangkai orang nampak di pendulangan atau pun padang batu.
Apakah itu cukup menjadi buka, pertempuran tidak pernah ada"
Dan dengan demikian ia kerahkan pembantu-pembantunya untuk membayang-bayangi Arok.
Pasukan Tumapel itu berbaris laju ke selatan seakan hendak menggempur Kediri. Enam kesatuan di bawah pimpinan para Kidang merupakan benteng pemisah antara pasukan Arok di depan dan pasukan yang dipimpin sendiri oleh Tunggul Ametung. Tak ada pasukan kuda serta, karena mereka ditugaskan untuk menjaga keamanan Kutaraja.
Kebo Ijo tidak berhasil mendapatkan tempat di buntut barisan. Ia langsung berada di bawah pimpinan Kidang Telarung, tepat di belakang pasukan Arok.
Waktu pasukan Kidang Telarung membelok ke kanan mengikuti tikungan sungai, dari kantongnya ia keluarkan sum-pitan kecil dan melepaskan anak sumpit beracun pada pemimpinnya. Telarung memekik kemudian roboh tanpa bersuara lagi.
Pasukan Arok berjalan terus tanpa menoleh ke belakang. Prajurit barisan terakhir lari ke depan dan melaporkan kejadian itu padanya. Ia hanya mengangguk. Dan pasukannya berjalan terus. Tentara Tumapel terhenti semua di tikungan. Kebo Ijo membuang sumpitannya ke samping dan menolong pemimpinnya, memperlihatkan diri sedang sibuk mencari sebab-sebab bencana itu dan memerintahkan anak buahnya untuk menggotongnya ke pinggir jalan di bawah pohon.
Tunggul Ametung mengerutkan dahi melihat balatentara yang tersekat itu dan melarang turun dari kuda. Mengetahui Kidang Telarung telah menghembuskan nafas penghabisan ia membungkuk! mayat anaknya dan memerintahkan Kebo Ijo dengan tiga regu kembali ke Kutaraja membawa mayat.
Setelah mendengar desas-desus Tunggul Ametung sendiri menghendaki kematian para Kidang, orang tidak terkejut melihat peristiwa itu
Tunggul Ametung naik ke atas kudanya lagi dan dengan bentakan memerintahkan balatentara berjalan terus.
Pasukan Arok telah jauh meninggalkan mereka, sengaja lari. Arok menuju langsung ke tempat perkubuan Hayam barang tiga ribu depa sebelah barat dari tikungan Brantas[Sekarang masuk wilayah Kesamben].
Tepat sebagaimana direncanakan, barang dua ribu depa sebelah barat tikungan, dari kiri jalan pasukan Tanca melakukan serangan mendadak dengan tombak lempar dan panah. Kacau balau tentara Tumapel. Buntut barisan itu dengan sendirinya membelok ke kiri untuk membikin lingkaran kepung terhadap penyerang, menyebar berlarian ke arah Sungai Brantas yang hanya dua ribu depa dari jalan negeri. Mereka tidak bisa bergerak lebih lanjut, tersekat oleh ranjau-ranjau bambu.
Tak lama kemudian pasukan Umang, pasukan wanita yang hanya bercawat itu menyerang dengan anak panah yang dapat dilepaskan empat sekaligus. Dengan pedang lebar Oti memimpin regunya dan melanggar daerah ranjau itu untuk menebangi prajurit Tumapel yang didendaminya. Ia memekik, meraung, mengayunkan pedang lebarnya dengan tangan perkasa. Dalam sebentar waktu pedangnya telah bermandi darah para prajurit yang tersekat oleh ranjau dan tak dapat membela diri.
Umang memerintahkan pasukannya untuk segera menarik diri dari kemungkinan serangan pembalasan, Oti menolak mundur. Ia ditinggalkan oleh anak buahnya dan menyerbu seorang diri untuk memuaskan dendamnya Melalui jalur-jalur bebas ranjau ia lari menikam dan menebang, memekikkan kata-kata yang tak ada seorang pun mengerti artinya. Melalui jalur bebas itu juga ia menembusi daerah ranjau, membelok ke kiri, menerobosi hutan belantara dan menggabungkan diri dengan buntut pasukan Umang.
Pasukan Tanca melarikan diri seluruhnya ke arah Sungai Bran-tas, kemudian membikin tikungan tajam ke kiri dan memasuki daerah ranjau dengan pasukan buntut Tumapel yang sudah bergelimpangan dalam jebakan. Pasukan itu terus bergerak melingkar ke arah buntut baru lawannya.
Pasukan Arok terus lari meninggalkan tentara Tumapel, membelok ke kiri meni
nggalkan jalan negeri, memasuki jalur antara jalan raya dan Sungai Brantas, langsung mengepung perkubuan Hayam. Tanca telah gagal memancingnya keluar dari perkubuannya.
"Arok datang!" pasukan Arok berseru-seru. "Jangan sampai bertempur! Keluarkan Hayam!"
"Arok datang!" pasukan Hayam berteriak menyambut. "Jangan lebih mendekat!"
"Keluarkan Hayam!"
Enam ratus prajurit Arok itu makin ketat mengepung perkubuan Hayam.
"Dengan satu gelombang serangan kalian akan hancur-binasa. Menyerah kalian!" teriak Arok. "Keluarkan Hayam!"
Dan yang keluar menghadapi Arok bukan Hayam, seorang setengah umur berjubah coklat berkalung emas dan bertongkat gading.
"Diam kau, Arok! Kau, yang sudah khianati teman-teman sendiri bersumpah melawan Tumapel dan Kediri sekarang justru ikut dengan Tumapel, melawan teman-teman sendiri menyembunyikan emas rampasan dari teman-teman sendiri ... Dengar itu, kalian, pengikut-pengikut Arok! Tangkap oleh kalian musang berbulu macan itu!"
"Dengarkan semua prajurit Arok!" teriak Arok. "Barangsiapa percaya pada mulutnya, inilah Arok, tangkap dan lumatkan dengan tombak kalian."
"Orang tidak percaya pada Arok, orang lebih percaya pada seorang brahmana," orang berjubah itu mencoba mempengaruhi semua orang. "Apakah Arok" Sejak kecil bernama Temu, mendapat sedikit kemenangan bernama Borang, sekarang, dalam barisan Tumapel bernama Arok! Orang lebih percaya padaku, Arya Artya, brahmana."
"Katakan lebih cepat!" pekik Arok, "dan keluarkan jagomu, si Hayam Lumang Celukan."
"Tak perlu! Sebentar lagi pun kau akan dilumat oleh anak buahmu sendiri. Keroyok dia!" perintah Arya Artya pada anak buah Arok. "Keroyok dia, perintahku. Dengarkan perintah brahmana, kalian sudra, anak-anak tani dan tukang!"
"Yang Suci Arya Artya!" seorang warok berteriak, "Yang Suci belum pernah berbukti berbuat sesuatu untuk kepentingan kami."
"Tanpa berniat laksanakan perintah brahmana kalian telah menantang Hyang Yama."
"Dia anggap dirinya Hyang Yama sendiri," pekik Arok. "Dengarkan suara brahmana palsu itu. Dengarkan aku, kalian, tak ada brahmana menggunakan nama para dewa untuk kepentingannya sendiri, kecuali brahmana palsu." Dan ia memekik, "Hayam, singkirkan brahmanamu ini, keluar kau, dan hadapi Arok.Jangan bersembunyi pada tengkuk anak buah! Kau, penghasut, pemfitnah!"
Hayam tak juga keluar. Arok memerintahkan satu regu untuk mengawasi jalan negeri, agar tidak tersusul oleh tentara Tumapel.
"Dan kalian, anak buah Hayam. jangan angkat senjatamu. Biar kita semua selesaikan pertengkaran ini. Keluarkan pemimpinmu, seorang warok yang tak dapat dipercaya mulutnya itu."
"Lumatkan Arok!" perintah Arya Artya.
"Sama saja nilaimu dengan Hayam, brahmana! Dengan modal fitnah dan hasut hendak dapatkan segala-galanya."
"Katakan kau tidak khianati teman-temanmu sendiri, bergabung dengan balatentara Tumapel."
Perkubuan itu terbuat dari tumpukan balok batang kayu. Nampaknya Hayam telah menyiapkannya dengan terburu-buru setelah mendapat tantangan Tanca. Ia tahu akan kalah perbawa dan kalah jumlah. Ia tidak mengeluari tantangan dan lebih suka berlindung di balik balok-balok. Menarik pasukan lebih ke barat ia kuatir akan tertumbuk oleh tentara Kediri. Menarik ke utara ia hanya menemui padang rumput dan daerah pegunungan yang tak menguntungkan. Menarik diri ke selatan menyeberangi hutan Lodaya dan hutan pegunungan Kendeng Selatan pasukannya akan kelaparan. Maka ia lebih suka tetap berdiri di tempat menguasai lalulintas air dan darat.
Arok berdiri di atas tunggul kayu, melihat seluruh daerah perbentengan Hayam. Anak buah Hayam dengan tombak di tangan berlindung di balik-balik pohon mendengarkan semua perselisihan.
"Kalau kau jujur," pekik Arya Artya dengan mengamangkan tongkatnya, "jelaskan pada semua temanmu ini, yang di luar maupun di dalam perkubuan, mana saja emas yang kalian peroleh selama ini. Jangan ragu-ragu, katakan!"
"Kau brahmana palsu yang rakus akan emas. Dari mana asal tombak dan pedang di tangan orang-orang semua ini" Apa kau kira dari brahmana Arya Artya" Siapa yang membantu keluarga
mereka, yang semua teman ini telah tinggalkan kalau bukan emas kami bersama" Setidak-tidaknya belum pernah Arya Artya membantu, biarpun hanya dengan sebutir beras. Apa kau kira hanya orang-orang yang nampak olehmu ini saja yang membutuhkan biaya""
"Penipu! Jangan percayai mulutnya."
"Kalau begitu terangkan, berapa yang sudah aku tipu. Bukankah tidak lain dari Hayam sendiri pemegang semua benda ber-bentuk emas" Keluarkan Hayam Lumang, biar dia terangkan lebih jelas. Hayam, keluar kau!"
Hayam keluar dari balik dinding balok. Dua tombak ada pada tangannya, kiri dan kanan. Pada pinggangnya tergantung pedang lengkung sempit.
"Jangan gegabah mulurmu, Temu. Tombak ini bisa masuk ke tenggorokanmu. Betul aku yang mengurus emas sebelum penyerbuan ke Pendulangan. Setelah itu lain lagi yang terjadi, semua hasil kau kangkangi sendiri. Kau mencoba tidak akui""
"Hei, semua pengikut Arok!" pekik Arok."Satu-satunya emas yang aku punya hanya mata uang ini," ia keluarkan dari pinggang mata uang emas dengan huruf tak terbaca dan dengan gambar kepala orang sampai leher itu. "Ini pun pemberian kalian pada pertemuan tahun yang lalu. Adapun emas dari pendulangan, semua telah dalam pengurusan Gusti Putra."
"Gusti Putra punggawa Tumapel, Arok prajurit Tumapel. Apakah itu suatu kebetulan""
"Berapa yang kau perkirakan emas pada Gusti Putra""
"Tiga puluh ribu saga!"
"Penipu!" bentak Arok. "Bukan tiga puluh ribu saga. Dengarkan yang baik, semua yang mencurigai aku atau percaya padaku: lebih dari tujuh puluh ribu saga."
Arya Artya pucat. Tongkatnya jatuh dari tangan.
"Dengarkan kalian, jangan ada yang keliru dengar: lebih dari tujuh puluh ribu saga."
Anak buah Hayam yang bersiaga dari balik-balik pohon kehilangan kewaspadaannya, keluar dari persembunyian masing-masing dan berjalan mendekati Hayam.
"Beri kami penjelasan," tuntut salah seorang- "Kau mengatakan Hayam, kau sendiri yang memasuki rumah Gusti Putra. Kau bersumpah demi Hyang Pancagina, tiga puluh ribu, katamu." "Dia penipu kalian! Tak ada sebanyak itu."
"Arok," seorang dari dalam perkubuan bertanya, "Benarkah kau menipu dengan jumlah sebesar itu""
"Pada saatnya kalian semua akan dapat melihat sendiri, tidak secuwil pun bakal kurang, apabila pembiayaan sehari-hari tetap dikeluarkan oleh Hayam. Lihat, Hayam telah lari dari kita membawa kalian Tanyakan padanya, berapa sisa yang ia telah bawa""
Arya Artya duduk pada sebongkah batu besar, kehilangan lidahnya.
"Jelaskan, Hayam.!" desak anak buahnya. "Kau seorang Warok, patut bisa dipercaya oleh anak buahmu."
"Rampok-rampok yang rampok-merampok!" pekik Arya Artya. Ia bangun dari duduknya dan berjalan hendak meninggalkan perkubuan.
"Untuk perlindungannya Hayam mengambil orang luar, brahmana palsu itu!" pekik Arok, kemudian menegurnya dalam Sansakerta, "brahmana yang karena emas telah lupa daratan lupa lautan, menyarangkan diri di tengah-tengah anak-anak muda yang punya perkara sendiri. Cih!"
Arya Artya berhenti berjalan dan menamatkan pandangnya pada Arok.
"Jawab, Hayam!" pekik orang-orang dalam barisannya sendiri. "Arok, berapa kira-kira yang masih ada padanya""
"Pengeluaran belakangan ini memang tiga kali lipat. Semestinya masih ada sebelas ribu saga padanya."
"Penipu!" raung Hayam dan melemparkan tombaknya pada Arok.
Barisannya sendiri serentak mengepung Hayam dan melucutinya dari semua senjatanya.
"Jawab dengan kata!" pekik mereka beramai-ramai. "Kaulah sendiri yang tidak jujur."
"Jangan biarkan orang luar itu mengetahui semua tentang kita," perintah Arok pada anak buah Havam.
Sepucuk tombak melayang. Arya Artya terjungkal di tanah bermandi darah.
"Terkutuk, kau, Arok, sudra pembunuh brahmana!" seru Arya Artya sebelum menghembuskan nafas penghabisan. Mulutnya menyeringai, kemudian tak keluar lagi kata-kata daripadanya. "Lepaskan, aku!" pekik Hayam.
"Kaulah kiranya warok palsu," pekik anak buah Havam dengan muka tiada terkendali.
"Jangan bunuh dia," teriak Arok. "Buka pintu perkubuan."
Orang berlarian membuka. Tapi Hayam tetap tertelikung tangan dalam kep
ungan anak buah sendiri. Barisan Arok masuk ke dalam perkubuan dan melingkar menjadi gelang raksasa mengepung Hayam.
Hayam sendiri dipaksa berlutut dan tangan tetap tertelikung:
"Aku tahu kalian hendak bunuh aku secara hina."
"Tidak," bentak Arok. "Kau yang pernah berjasa pada kami semua, kau tidak layak mendapatkan maut secara hina. Lepaskan dia"
Hayam berdiri sambil membersihkan lututnya. Matanya menyala-nyala menyemburkan dendam.
"Sebentar lagi tentara Tumapel akan datang kemari. Kalian, anak buah Hayam, bersorak-sorai perang kalian bersama prajuritku. Kami akan mundur, dan kalian mengejar. Kami akan masuk dalam tubuh tentara Tumapel, dan kalian menyerang. Kami akan keluar dari tubuh Tumapel, menyerang kalian, dan kalian lari ke selatan, melewati perkubuan ini, seberangi Brantas, berhenti di sana. Mengerti""
Hutan itu gegap gempita oleh pekik jawaban.
"Pilihlah pimpinan kalian sendiri. Angkat seorang warok baru."
"Hayam Lumang tak layak jadi warok," seseorang mengusulkan.
"Jatuhkan hukumanmu, Arok." "Apa keinginanmu""
"Biarkan aku lalu meninggalkan tempat ini, meninggalkan kalian semua. Jangan hinakan seorang bekas teman."
"Adakah Arok dan semua temannya pernah menghinakan orang" Mengapa kau takut dihinakan" Kau adalah sepenuhnya apa yang kau perbuat sendiri terhadap semua kita. Maju."
Hayam melangkah maju lambat-lambat. Ia berhenti di hadapan Arok dengan dendam menyala-nyala pada matanya.
"Beri aku kesempatan tinggalkan tempat ini."
"Kau tidak akan mengkhianati kami semua di tempat lain, bekas warok! Berikan dia tombak!"
Seseorang memberikan padanya sebilah tombak tangan. Secepat kilat ia mulai menyerang, menggunakan sikap Arok yang belum menyiapkan diri. Dalam mengelakkan jojohan, Arok melangkah ke samping, tertumbuk oleh akar dan jatuh terbalik.
Orang terpekik melihat Hayam menyambar lambung Arok. Pimpinan tertinggi itu melompat bangun dengan kulit teriris dan darah mulai memerahi kain penutup celana dan celana itu sendiri. Ia mendapat kesulitan dalam menarik pedangnya. Kemudian bersama dengan sarongnya ia mulai membela diri. Hayam menyerang dengan kalap, tahu bakalnya pasti mati. Tetapi tombak yang terlalu panjang untuk perkelahian dekat itu mengganggu serangannya.
Arok makin merapati. Dengan pukulan sungsang pedang bersarung ia kenai dagu Hayam sehingga terhuyung ke belakang, dan ia susulkan ayunkan kaki menyepak hulu hatinya. Hayam jatuh pingsan.
Kebo Ijo tidak langsung menuju ke Kutaraja. Dengan petunjuk para jajaro yang dibawanya ia membelok bersama pasukannya, memasuki hutan, melalui jalanan setapak jajaro menuju ke pendulangan. Mayat Kidang itu mereka tinggalkan di dalam hutan tanpa penunggu.
Mereka berjalan beriring. Tak bisa melangkah lebih cepat daripada yang dikehendaki. Di bawah petunjuk para jajaro mereka langsung menuju ke rumah panggung Gusti Putra. Tetapi rumah itu telah tiada sekarang tinggal tumpukan puing hitam.
"Di mana disimpan emas itu"" pekik Kebo Ijo murka.
Jajaro yang tidak berlidah itu pada menuding ke arah timbunan puing hitam dan mengeluarkan suara keruh besar dari teng-gorokan.
"Di mana Gusti Putra""
Mereka memberi isyarat tidak tahu.
Dengan murka Kebo menendangi mereka, memerintahkan untuk membongkar puing. Tak ada didapatkan sesuatu kecuali debu, arang, tanah yang terbakar jadi bata dan batu-batu kali. Ia perintahkan membongkari bawahnya lagi, menggali tanah.Yang didapatkan hanya beberapa tulang pinggul babi.
Malaikat Dan Iblis 2 Dewi Sri Tanjung 1 Jasa Susu Harimau Pendekar Pedang Pelangi 5

Cari Blog Ini