Ceritasilat Novel Online

Arok Dedes 4

Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 4


Mendekati tempat pendulangan segerombolan budak bersenjata menampakkan diri, bersujud dan meletakkan kening di atas tanah. Mereka adalah penjaga wilayah emas yang terpercaya.
Semua lidah mereka telah dipotong untuk keselamatan rahasia. Tunggul Ametung turun dari kuda, berkata manis: "Kembali kalian di tempat semula," ia naik ke atas kudanya lagi
dan meneruskan perjalanan. Gusti Putra berlutut dan mengangkat sembah. Tunggul Ametung langsung naik ke panggung dan silpasastrawan itu mengikuti.
"Persembahkan pada kami barang sepuluh ribu saga." "Ampun, Yang Mulia, yang telah dilebur baru meliputi separuh dari jumlah itu." "Itu pun baik."
Gusti Putra membungkus lima ribu saga dalam tapas, diikat dengan tali rotan, dipersembahkannya pada Tunggul Ametung. Sebelum akuwu itu berbalik meninggalkannya ia bersembah:
"Ampun, Yang Mulia, karunialah sahaya kiranya perkenan untuk menengok anak dan istri sahaya."
"Anak dan istrimu akan didatangkan kemari."
"Ampun, Yang Mulia, bukan maksud sahaya menjadikan mereka budak di sini."
"Jadi kau mengerti. Apakah kau merasa dirimu budak""
"Dengan tidak diperkenankan pergi barang ke mana sahaya kehendaki, sahaya memang budak."
"Kau bukan budak. Apakah kurang cukup gelar Gusti untukmu""
"Sejak kecil sahaya belajar keahlian membangunkan rumah-rumah suci bukan untuk mendapatkan gelar Gusti dan bukan untuk tidak diperkenankan meninggalkan tempat."
"Bukankah di sini juga banyak anak dan perempuan""
"Yang Mulia, apalah gunanya ilmu sahaya bila hanya untuk jadi budak bergelar Gusti""
"Kau tinggal di sini. Kau takkan dapat lewati jajaro itu tanpa jadi bangkai. Atau kau kehendaki aku panggilkan jajaro itu'"
"Ampun. Yang Mulia, sahaya masih ingin hidup. Tapi kalau itu Yang Mulia kehendaki, inilah diri sahaya."
Tunggul Ametung tak dapat menundukkan Gusti Putra, juga tak memberinya perkenan meninggalkan tempat. Ia turun dari panggung diiringkan silpasastrawan yang menjinjing lima ribu saga, kemudian mempersembahkannya waktu akuwu itu naik ke kudanya lagi. Ia tinggalkan tempat dengan tambahan emas. Kembali para jajaro keluar dari persembunyiannya untuk menghaturkan penghormatan.
Ia perintahkan sepuluh orang pengawalnya turun dari kuda. Dengan gerak tangan ke atas rombongan jajaro itu meringkus sepuluh orang pengawal itu. Seorang di antaranya mengikat kuda-kuda itu menjadi rentengan d
an mempersembahkan talinya pada Tunggul Ametung.
Dari mulut para prajurit kuda, yang masih sempat belum tersumbat, terdengar raungan memohon ampun. Dan Tunggul Ametung mulai menggerakkan kudanya. Sepuluh kuda dalam rentengan itu mengikuti di belakangnya.
"Tak perlu kalian tunggu teman-teman kalian itu," katanya pada mereka yang menunggunya di pinggir jalanan desa. "Lain kaJi dijemput."
Sekarang ia tidak di depan atau tengah barisan. Di belakang. Dan pasukan kuda itu berjalan seirama seperti sedang berparade.
Kegelapan malam mulai turun waktu pasukan itu sampai di luar Kutaraja. Dari jauh nampak sebuah pasukan Tumapel sedang mempapasi. Pasukan kuda itu masih juga berjalan tenang-tenang. Hutan di kiri dan kanan jalan sudah gelap. Dan justru dari situ terdengar pekik bersama. Kuda-kuda terkejut dan lari. Di depan mereka tiba-tiba membentang sepasang tali menghadang jalanan. Juga Tunggul Ametung jatuh terpental tersapu tali. Namun bungkusan emas itu tidak terlepas dari tangannya. Hujan tombak bambu mengikuti, kemudian serbuan kilat dari kiri dan kanan.
Tunggul Ametung lari membawa bungkusannya, berteriak pada pasukan kaki yang sedang datang. Kuda-kuda di belakang-nya berpusing-pusing dalam kebingungan. Yang telah tersambar tombak terinjak-injak. Yang masih sempat dapat membawa badannya lari mengikuti akuwunya
Pasukan kaki itu datang membantu dan para penyerang yang terdiri atas barang lima puluh orang itu menghilang ke dalam hutan dengan membawa barang rampasan.
Dengan membawa bungkusan emas Tunggul Ametung kembali lagi, memerintahkan pengejaran. Dengan tombak yang tak dapat dipergunakan mereka memasuki hutan. Hanya seorang yang nampak oleh mereka. Yang lain hilang seperti meruap dalam udara.
Yang seorang itu terus lari dan Tunggul Ametung bersama prajuritnya terus mengejar. Pada sebuah tubir jurang orang yang satu itu tak dapat lagi meneruskan larinya. Ia naik ke atas pohon enau. Orang bersorak-sorak memerintahkannya turun. Mata tombak-tombak teracukan ke atas.
"Turun, kau!" perintah Tunggul Ametung. "Kau akan diberi pengadilan yang baik. Turun!"
Yang turun bukan perburuan di atas enau itu, tetapi kegelapan malam.
Akuwu itu membutuhkan keterangan tenung para penyerang. Ia perintahkan terus mengepung sampai orang tersebut menyerah. Kemudian ia sendiri pulang ke Kutaraja, dengan bungkusan tidak terlepas dari tangan. Tetapi baru saja ia keluar dari huun diketahuinya emas rampasan dari biara-biara Syiwa telah terampas oleh para penyerang. Dalam amarahnya ia kembali lagi ke tempat semula, memerintah mengasapinya dari bawah.
Api mulai menyala. Perburuan seorang di atas enau itu menebang dua daun, mengepitnya pada ketiaknya dan menolak diri dengan kaki, kemudian terbang melayang dalam kegelapan menuruni jurang. Dari udara terdengar suaranya yang nyaring:
"Tunggul Ametung! Tunggul Ametung ... ha-ha-ha-ha!"
Akuwu itu murka, memaki dan mencaci sejadi-jadinya Ia pulang ke Kutaraja dengan hanya lima ribu saga. Pasukan kuda yang dibawanya rusak. Tetapi baginya bukan suatu perkara besar atau pun berat. Sejak muda ia hidup dalam alam perampasan, merampas atau dirampas. Juga kehilangan rampasan emas baginya bukan suatu perkara. Yang memukulnya justru Ken Dedes. Dicari-carinya, ditemukannya dalam pura sedang memuja Hyang Durga dan tidak kurang dari tiga patung emas bathari itu juga yang telah dihancurkannya dalam perjalanan. Sekarang, wanita yang dipujanya memujanya hanya dari kayu!
Hyang Durga! Betapa bathari itu banyak menerbitkan kesulitan. Sri Baginda dan Yang Tersuci murka karena ia takut padanya, sekarang Dedes justru memuja dewi kebinasaan itu. Perusuh muda itu juga mengamangkan Hyang Durga Mahisasuramardi-ni kepadanya. Ia membenarkan Kediri: nampaknya ada persekutuan Durga terhadap dirinya. Ia sudah mulai membalaskan dendamnya dengan hancurnya biara-biara Syiwa. Sekarang syakti-nya didirikan di dalam pura pekuwuan. Dan tidak lain dari Dedes yang dipujanya yang mendirikannya.
Kemarahan Kediri menyebabkan ia berbalik mendendam terhadap segala yang bersifat Syiwa. Dahulu ia hanya membun
uhi mereka yang secara terang-terangan memperlihatkannya di depan umum, sekarang ia bernafsu hendak menghancurkannya sama sekali. Tetapi Dedes" wanita yang menjanjikan kebesaran itu"
Dan waktu Dedes menuntutnya mencari mertuanya sekali lagi seorang pemeluk Syiwa, Mpu Parwa itu!
Malam hari itu juga ia datangi rumah mertuanya. Pedepokan yang terpencil jauh dari desa itu sunyi. Tak ada penghuni kecuali binatang piaraan yang mulai jadi liar. Ia periksa semua bilik. Ia bongkari lemari batu tempat rontal-rontal disimpan. Kemudian ia perintahkan bakar semuanya, termasuk rumah dan pura pedepokan.
Beberapa hari lamanya ia mencari dan tidak menemukan. Bila berhasil ia telah bermaksud hendak membelah kepalanya dengan pedangnya sendiri. Pulang dari pengembaraan ia langsung menuju ke rumah Arya Artya. Orang serumahnya telah melarikan diri melihat datangnya bondongan pasukan kuda. Juga Arya Artya.
Dan sekarang ia mencari brahmana yang menggunakan gelar kebesaran itu. Beberapa hari lagi. Yang ditemukan adalah letusan Kelud. Gempa yang melongsorkan tanah telah menumbangkan sebatang pohon. Kudanya melompat tak terkendali. Kemudian binatang itu sendiri tersekat pada cabang pohon yang melintang, jatuh ke samping, rubuh, ia tertindih dan mengalami cedera.
Perawatan Dedes yang berkasih sayang itu menyejukkan harinya. Mau rasanya ia membayar kembali dengan apa saja: gelar, harta benda, dan jiwa orang lain. Tetapi setelah sembuh tingkahnya yang ogah menyerahkan hati dan badan kepadanya sebagai istri yang syah membangkitkan berang. Rasa-rasanya tega ia hendak meremasnya sampai lumat jadi bubur. Mengingat akan ramalan resi candi Erlangga dan tuntutan Ratu Angabaya itu, kembali ia tak berani melakukan kekasaran. Sri Baginda Kretajaya pun akan merampasnya sekali ia pernah melihatnya sebagai Paramesywari Tumapel. Semua telah dipertaruhkan untuk perempuan yang seorang ini. Ia merasa terlalu dungu apabila merusaknya sendiri.
Lohgawe menolak datang ke pekuwuan. Belakangka tetap dapat menahan diri. Tunggul Ametung gusar.
"Semua harus datang karena panggilanku. Semua harus pergi karena usiranku," raungnya.
"Tidak bagi Dang Hyang Lohgawe, Yang Mulia," tegah Belakangka.
"Tidak sembarang orang mendapatkan gelar Dang Hyang tanpa sebab. Yang Mulia," Sang Patih mencoba menasihati.
"Seorang tua tanpa tenaga ," dengus Tunggul Ametung. "Apa artinya dia untuk mata pedangku""
"Seorang brahmana tidak bersenjatakan pedang. Yang Mulia," tegah Belakangka, "dia bersenjatakan kata, setiap patah diboboti sidhi dari para dewa."Waktu mata akuwu itu membeliak padanya, ia tidak peduli. Meneruskan,"Cedera bagi orang seperti dia akan membakar amarah semua pemeluk Syiwa. Dia harus didekati, dibaiki, diambil hatinya."
"Orang tua keparat!"
"Belum pernah terbukti dia menghasut semua kerusuhan ini, Yang Mulia," Sang Patih mengajukan perhatian.
"Apa artinya menolak panggilan kalau bukan hendak membangkang""
"Dia tidak pernah mendapatkan dharma dari Tumapel, Yang Mulia. Dia tak ada kewajiban untuk tunduk pada Yang Mulia." sekali lagi Belakangka menasihati.
Juga sekali lagi Tunggul Ametung membeliak pada Belakangka. Setelah pulang dari Kediri Yang Suci telah berubah dalam penilaiannya. Dia tak lagi dianggapnya teman sekepentingan dalam menumpuk kekayaan, lebih banyak seekor ular yang ikut tidur satu selimut dengannya.
"Dia mendapat pengakuan dari Tumapel, diijinkan membuka perguruan ..."
"Kalau semua dilarang membuka perguruan, Yang Mulia, dalam sepuluh tahun lagi tak ada anak muda bisa baca tulis, tak ada lagi yang mengerti bagaimana memuliakan para dewa, manusia kembali menjadi hewan rimba belantara."
"Apa keberatan Yang Suci kalau semua kembali jadi hewan rimba belantara""
"Keberatan Bapa, semua musnah, juga Tumapel, juga Kediri." "Prajurit-prajurit tidak diperlukan lagi. Yang Mulia, juga akuwu, juga patihnya, juga raja, karena tak ada lagi yang mempunyai sesuatu untuk dipersembahkan," Patih Tumapel memperkuat, "setiap orang harus menjaga keselamatanmu sendiri-sendiri, tak ada orang akan berbuat sesuatu untuk yang lain."
"Justru karena itu Lohgawe harus binasa."
"Kalau itu telah jadi keputusan Yang Mulia, tidak bisa lain, Bapa hari ini juga harus ke Kediri."
"Yang Suci sekali lagi hendak mengadu""
"Bukan mengadu, itulah tugas Bapa. Sekiranya Yang Mulia tidak indahkan lagi nasihat Bapa, memang tak ada gunanya lagi Bapa tinggal di sini ."Tunggul Ametung berjalan mondar-mandir.
"Sri Baginda Kretajaya pun mendengarkan Yang Tersuci Tanakung"
"Tanpa Yang Suci semua akan berjalan lebih mudah."
"Betul, Yang Mulia, akan lebih mudah menukik ke jurang kebinasaan."
"Baik, apa nasihat Yang Suci sekarang""
"Tak bisa lain, Yang Mulia seyogianya datang mengunjunginya. Hanya datang berkunjung, dan orang-orang Syiwa itu akan menganggap Yang Mulia menghormatinya."
"Akuwu Tumapel sowan pada Lohgawe" Nasihat cara apa itu""
"Untuk keselamatan Tumapel sendiri, Yang Mulia."
"Tumapel cukup terjaga oleh prajurit-prajuritnya."
"Yang Mulia," susul Patih Tumapel, "tak ada yang tahu, apakah prajurit-prajurit itu Syiwa atau Wisynu, boleh jadi juga Buddha. Tak ada yang dapat mengetahui hati manusia secara tepat."
Tunggul Ametung menatap patihnya, memancarkan kecurigaan:
"Bukan tugasmu menasihatiku. Kau hanya menjalankan perintahku."
Patih itu terdiam dan mengangkat sembah.
"Tapi Sang Patih tidak keliru, Yang Mulia. Lihatlah prajurit-prajurit Tumapel itu. Apa kekurangannya' Namun kerusuhan tidak semakin reda, malah meningkat."
"Karena Yang Suci membiarkan Lohgawe tinggal hidup"
"Tidak ada bukti dia ikut campur."
"Dang Hyang Lohgawe bukan seorang begawan,[seorang pandita, memisahkan diri dari masyarakat dan
kehidupan duniawi.] dia hanya seorang resi. Pada seorang begawan raja-raja pun patut menyatakan hormat. Seorang resi[seorang pandita, yang pada suatu ketika masih tampil sebagai
satria] setiap saat bisa menjadi prajurit! Bahkan biarawati-biarawati itu tak jarang prajurit Syiwa yang bersembunyi."
"Di mana itu pernah terjadi, Yang Mulia""
Tunggul Ametung tidak menanggapi.
Yang Suci Belakangka melihat mata akuwu itu mengerjap. Ia kenal kerjapan pembunuh itu.
"Sri Baginda tidak kurang-kurangnya kemurahannya, Yang Mulia," katanya memperingatkan. "Katakanlah pada Bapa kapan Yang Mulia bersedia berkunjung ke pedepokan Dang Hyang Lohgawe. Pembicaraan itu akan sangat pentingnya untuk Tumapel, juga untuk Kediri. Apa yang dikerjakan di Kediri seyogianya sejalan dengan yang di sini."
Tunggul Ametung melambaikan tangan menyuruh mereka pergi, ia berbalik dan masuk ke Bilik Agung. Dilihatnya Ken Dedes tiada di dalam ia langsung turun ke Taman Larangan. Juga di sana ia tidak mendapatkannya. Ia tinggalkan taman, melalui pintu gerbang belakang. Di hadapannya muncul pura pekuwuan.
Dengan hati masgul ia masuki pelataran pertama, kedua dan ketiga pura. Dan Dedes tak juga ditemukannya.
Ia keluar lagi, dan dilihatnya istrinya sedang berada di kebun buah yang mengelilingi pura dalam. Melihat suaminya mencarinya ditinggalkannya Rimang dan menghampiri.
"Kakanda nampak rusuh di hati."
"Tiadakah kau melihat kemit lewat kemari""
"Sekali" "Siapakah kiranya yang sudah kau tegur""
"Tiada." "Yang menegurmu"" "Tiada."
"Tempat ini terbuka bagi semua kemit yang lewat."
"Paramesywari Tumapel berkuasa atas rumah tangga pekuwuan. Adakah Kakanda menyesal telah mengangkat aku jadi Paramesywari""
"Sejak pertama kali bertemu kau selalu mengajak bertengkar, Dedes."
"Dan kau selalu berhad rusuh."
"Dewi bumi dan langit, aku tak sudi kehilangan kau. Mari," ia berjalan lebih dahulu kembali melewati pintu gerbang Taman Larangan dan masuk.
Ken Dedes mengikutinya. Mereka duduk di bangku kayu di bawah pepohonan menghindari matahari siang. "Baru sekali ini kakanda mencari aku sejauh ini." "Diamlah kau, brahmani."
Ken Dedes memperhatikan nada suaranya, dan ia tak mendapatkan di dalamnya kegusaran, hanya kerusuhan hati. "Apa lagi kakanda rusuhkan hari ini""
"Ingin aku dengarkan dari istriku, seorang brahmani: apa sebabnya dunia menghormati satria"" "Tidak banyak satria yang dihormati." "Tida
k banyak"" "Terlalu sedikit. Mereka adalah yang bijaksana. Selebihnya tidak pernah dihormati dunia, hanya ditakuti." Melihat suaminya tidak menengahi ia meneruskan, "Mereka ditakuti, karena semua satria adalah pembunuh, penganiaya, penyiksa karena kerakusannya pada kebesaran dunia. Hanya yang bijaksana dengarkan petunjuk para dewa, mendengarkan Hyang Yama."
"Apakah sebabnya brahmana ditakuti""
"Kau tak pernah takut padaku, bahkan kau telah menculik aku dari rumahku"
Tunggul Ametung diam lagi, mengambil tangan istrinya dan mempermain-mainkan cincin pada jari-jarinya. Ia tak tahu istrinya sedang meliriknya.
"Suamiku tidak takut padaku sebagai wanita, dia tetap takut padaku sebagai brahmani, karena Dedes tahu apa yang suaminya tidak tahu."
Tunggul Ametung tertawa: "Apa yang kau tahu tentang ketidak pengetahuanku"" "Bukankah suamiku tidak bisa baca tulis dan aku bisa"" "Baca tulis"" ia tertawa bahak, "setiap yang bisa, bisa juga aku suruh."
"Suamiku bisa menyuruh selama ada yang bisa disuruh."
"Selamanya akan ada dan harus ada."
"Suamiku hanya bisa meminjam tangan dan mata orang."
"Tangan dan mataku lebih berharga untuk kerja baca tulis."
Sekali lagi Dedes melirik pada suaminya untuk mengetahui gusar atau tidak.
"Kalau semua tidak bisa, siapakah yang akan kakanda suruh" Kakanda tak tahu Sansakerta, maka tak tahu bagaimana berte-rimakasih dan bermohon ampun dan petunjuk."
"Maksudmu aku satria yang tidak dihormati""
"Satria baru yang menakutkan," Dedes duduk menjauh, "satria hidup dari ketakutan dunia, maka ia terus juga takut-takuti dunia."
"Maka juga kaum brahmana takut pada satria." "Mereka tidak perlu takut pada kedunguan. Mereka belajar setiap hari untuk tidak jadi dungu."
Tunggul Ametung tersinggung. Tetapi ia diam saja. "Tentu kakanda gusar."
"Orang lain tentu sudah harus rebah di tanah."
Ken Dedes berdiri, bersiap hendak pergi. Tunggul Ametung menangkap tangannya dan mendudukkannya kembali di sampingnya.
"Dengar, Dedes juga brahmana yang semasyhur-masyhurnya, Dang Hyang Lohgawe itu, dia akan takut padaku."
"Seorang brahmana seperti dia tidak perlu takut pada siapa pun. Juga tidak pada Akuwu Tumapel. Dia tidak pernah membutuhkannya. Akuwu Tumapel pada suatu kali akan membutuhkannya, sekalipun karena dungunya ia ingin membunuhnya, seperti dicobanya pada diri Mpu Parwa dan Arya Artya."
"Aku baru tahu seorang brahmani juga seorang pembohong."
"Tak ada seorang brahmana merosot dari sudra untuk mendapatkan keuntungan dari kebohongannya. Jadi Paramesywari Tumapel telah mendapatkan segala-gala yang tidak diperlukannya."
"Tidak patut itu diucapkan oleh seorang istri."
"Katakanlah, apa yang kakanda butuhkan daripadaku."
"Engkau terlalu angkuh, Dedes, seperti semua brahmana."
"Tak ada brahmana angkuh. Mereka hanya lebih mengerti, lebih tahu daripada orang yang menganggap pengetahuan dan ilmu sebagai keangkuhan."
"Baiklah. Tentu semua yang diucapkan oleh Paramesywari Tumapel benar. Hanya, tidakkah bisa kau bersikap manis padaku, seperti wanita-wanita lain""
"Apakah yang kurang manis padaku" Telah kubiarkan diriku kau miliki. Dedes tidak memerlukan segala apa yang kau taburkan padaku, dan dia memiliki apa yang suaminya tidak pernah punya," ia mencoba melepaskan pegangan suaminya. "Dia telah biarkan dirinya kau miliki, karena tadinya menyangka dengan demikian dirinya, ayahnya, akan selamat. Kau haus akan jiwa Mpu Parwa dan kaum brahmana. Sekarang kau datang padaku untuk menyerahkan Dang Hyang Lohgawe padamu."
Tunggul Ametung memelintir lengan istrinya. Dedes memekik kesakitan. "Tak ada satria memekik kesakitan."
"Biarpun begitu kau takkan berani bunuh aku, Tunggul Ametung. Kau membutuhkan anak lelaki pewaris Tumapel. Hanya aku yang tahu, apakah pewaris itu akan kugugurkan atau tidak."
Akuwu itu melepas tangan istrinya.
"Akan kuperintah orang menjagamu siang dan malam Hati-hati kau."
"Kalau Dedes tidak takut padamu, apa lagi pada pengawal-pengawalmu. Aku pun bisa memerintah mereka"
"Betapa dungu aku telah kawini perempuan sial ini
." "Kau-lah satria sial itu, seorang sudra yang tak tahu diuntung, seorang satria gadungan yang tak tahu tempat."
"Diam!" "Ada tanda-tanda Dedes mulai mengandung. Aniayalah aku, sentuh aku lagi, dan akan kusampaikan kepada dunia, benih dalam diriku ini bukan anakmu ..."
Tunggul Ametung menutup mulut istrinya dengan telapak tangannya. Dan Dedes menggeleng berpaling-paling menghindari.
"Perempuan garang semacam ini ..." dibopongnya istrinya dan masuk ke dalam Bilik Agung.
Dua minggu telah berlalu.
Dalam dua minggu Tunggul Ametung tidak lagi mendengar suara istrinya yang membisu, sebagai protes dari hilangnya Rimang. Bahkan matanya pun selalu menghindari pandangnya.
Ia telah pindahkan kembali Dedes dari Bilik Paramesywari ke Bilik Agung. Pintu-pintu depan dan belakang bilik yang pertama ia perintahkan dimatikan. Brahmani itu kini selalu tinggal di Taman Larangan, tidak mau masuk ke Bilik Agung tanpa dibopongnya dengan paksa. Juga sewaktu hujan mulai turun dua-tiga kali belakangan ini.
Dan sekali ini ia bopong lagi Dedes dari Taman Larangan masuk ke Bilik Agung. Mengeluh:
"Betapa kau berkukuh tak mau bermanis pada suami!" sesal Tunggul Ametung. "Masih juga tak mau dengar tak mau bicara" Baik. Aku perintahkan kau berpakaian sebagai Paramesywari Tumapel. Sekarang juga."
Dan Dedes tidak mengindahkan.
Tunggu! Ametung mulai merias istrinya. Dedes membiarkan tubuhnya dirias. Ia mengganti pakaiannya, membedaki wajahnya, mencelak dan menggincu bibirnya, kemudian memasang pita mahkota pada kepalanya. Ia seka binggal kakinya, kemudian menggandengnya, duduk di peraduan.
"Dengarkan, Dedes, Permataku. Pagi ini kita akan pergi agak jauh. Kita akan mengunjungi Dang Hyang Lohgawe. Tak ada yang lebih tepat daripada kau yang bicara. Aku akan mengiringkan kau. Katakan nanti padanya, Akuwu Tumapel dan Paramesywari menjanjikan kemuliaan padanya, kalau dengan pengaruhnya ia sanggup dan berhasil meredakan kerusuhan yang semakin memuncak belakangan ini. Kau sudah dengar, dan kau mengerti. Mari berangkat."
Ia tarik istrinya berdiri. Ken Dedes mengikuti tarikan itu seperti golek tanpa jiwa. Suaminya sendiri juga yang membopongnya ke atas tandu.
Iring-iringan itu berangkat dengan sangat banyak pengikut. Juga Yang Suci Belakangka diangkut dengan tandu. Tunggul Ametung dan Patih Tumapel berkuda. Di belakang mereka berbaris sepuluh ekor kuda yang dimuati dengan hadiah. Di belakangnya lagi pasukan kaki. Dan di depan sana pasukan kuda bertombak. Jauh sebelum iring-iringan telah berjalan lebih dahulu pasukan yang membersihkan jalanan dan sekitarnya dari para perusuh. Seorang peseru mewartakan keberangkatan Paramesywari ke Pangkur untuk sowan Dang Hyang Lohgawe. Dan tak ada perusuh mengganggu mereka. Sepanjang jalan kawula Tumapel memerlukan mengelu-elukan dengan sembah dan hormat. Beberapa kali terdengar seruan lantang dari tengah-tengah mereka. "Dirgahayu, Dewi Kebijaksanaan!"
Beberapa batu telah dilemparkan pada Tunggul Ametung dan Belakangka, api mereka tidak menanggapi untuk tidak menimbulkan kekacauan.
Di jalanan yang diapit oleh jurang curam dan tebing terjal, di mana dahulu ia melihat brahmana muda berkumis sekepal itu berdiri di atas batu ia memerlukan berpaling. Di atas batu hitam itu tak nampak ada seorang pun. Tapi dari sebuah bukit di atasnya lagi terdengar suara seruan yang bergaung-gaung di tengah hutan:
"Tunggul Ametung! Tunggul Ametung! Ha-ha-ha! Rampok yang akhirnya roboh karena rampok kecil!"
Sang Akuwu tidak menanggapi, juga tidak mencari di mana orang yang berseru-seru itu. Ia tahu ia tidak disukai, tidak dicintai, hanya ditakuti. Sekarang pun rampok-rampok kecil itu bahkan mulai berani melawannya terang-terangan.
Tahu istrinya dihormati oleh para kawula, kudanya selalu dipepetkan pada tandu istrinya, di samping Ken Dedes tidak akan ada sesuatu serangan bakal datang.
matahari telah tenggelam. Iring-iringan itu diterangi dengan banyak damar. Mereka tiga kali telah beristirahat untuk makan dan melakukan hajad.
Menjelang tengah malam mereka sampai. Pangkur bermandikan dam
ar. Semua penduduk keluar dari rumah. Jalan-jalan menjadi terang.
Dang Hyang Lohgawe berdiri di depan rumahnya bertumpu pada tongkat. Di belakangnya berdiri para muridnya. Semua berkerodong kain penolak dingin.
"Dirgahayu, Dang Hyang Lohgawe," seru Yang Suci. "Yang Mulia Akuwu Tumapel dan Paramesywari datang berkunjung untuk memuliakan Yang Terhormat."
Tunggul Ametung turun dari kuda, membopong turun istrinya dan menggandengnya menghadap Dang Hyang Lohgawe.
"Inilah Akuwu Tumapel bersama Ken Dedes datang menghadap, Yang Terhormat Dang Hyang Lohgawe." "Dirgahayu kalian semua."
Di bawah curah sinar damar Ken Dedes berlutut, mengangkat sembah, kemudian merangkul kaki Lohgawe:
"Ampuni sahaya, ya. Yang Suci, ampuni sahaya." Lohgawe menunduk, mengusap-usap rambut Dedes "Dedes, cucuku ..." Ken Dedes menangis.
"Masih patutkah sahaya disebut cucu, Yang Suci"" "Takkan ada yang bisa mengubah cucuku Dedes tanpa semau-mu sendiri."
"Yang Suci, Yang Suci," dan Dedes terhisak-hisak dalam tangisnya.
Lohgawe mencium ubun-ubunnya, berbisik:
"Mari, cucu, mari naik ke rumah," ia tarik Dedes berdiri. "Silakan, Yang Mulia, Yang Suci silakan naik."
Dedes memegangi tangan Dang Hyang Lohgawe sambil menciuminya. Mereka mengiringkan masuk. Para murid itu berhenti di depan pendopo untuk menunggu perintah dari Sang Mahaguru.
"Betapa jauh jalan yang telah ditempuh, seperti ada keperluan yang terlalu tidak bisa ditunda, Yang Mulia Akuwu."
Mereka duduk berkeliling di atas tikar. Dan damar menerangi mereka dari dua jurusan.
Pasukan pengawal Tumapel menghalau setiap orang yang hendak mendekati rumah, dan mereka tinggal berdiri di kejauhan. Kemudian mereka menyiapkan diri untuk mesanggrah di kebun buah Lohgawe.
"Kami datang untuk menghaturkan warta keselamatan seluruh Tumapel pada Yang Terhormat Dang Hyang Lohgawe," Tunggul Ametung memulai, "selain hendak menengok dan memang ada keperluan yang tak bisa ditunda."
"Adalah suatu kehormatan diperkenankan menengok Yang Terhormat,"Yang Suci menambahi. "Apalagi setelah Yang Terhormat begitu lama meninggalkan Pangkur. Barangkali ada warta yang patut didengarkan oleh Yang Mulia Akuwu."
"Dan sengaja kami bawa Paramesywari Tumapel untuk memudahkan pembicaraan, Yang Terhormat"
Keesokan harinya pembicaraan itu dimulai. Belakangka menga-carai. Tunggul Ametung lebih banyak menarik diri. Patih Tumapel lebih memperlihatkan kegesitan. Ken Dedes tak juga angkat bicara biar pun oleh Belakangka beberapa kali disebut mewakili Sang Akuwu yang merasa agak kurang sehat.
"Memang tak ada jalan lain lagi yang bisa ditempuh daripada ini, Yang Terhormat," Belakangka kemudian mengambil-alih pembicaraan. "Yang Mulia Akuwu dan Yang Mulia Paramesywari telah sepakat untuk mengajukan beberapa pokok," ia berpaling pada Ken Dedes. Kemudian, "Silakan, Yang Mulia Paramesywari."
Ken Dedes menggigit bibir. Ia mengangkat sembah, kemudian merangkak mencium lutut Dang Hyang Lohgawe. "Apa hendak kau katakan, Cucu""
"Tiada barang sesuatu dari sahaya, ya, Yang Suci. Hanya sahaya mendapat perintah untuk mempersembahkan ini,Yang Suci."
"Katakan, jangan ragu-ragu. Apakah tentang dibakarnya rumahmu dan hilangnya ayahmu""
"Bukan itu yang terkandung dalam perintah, ya. Yang Suci." Cucu, Cucu," Dang Hyang Lohgawe mengangguk-angguk mengerti. "Kalau begitu itu tak perlu kau sampaikan. Apakah perintah yang kau terima, Cucu""
"Yang Suci, kerusuhan semakin lama semakin meruyak, semakin tidak terpadamkan. Apakah sebabnya itu, Yang Suci""
Tunggul Ametung, Belakangka dan Sang Patih menarik diri dari pembicaraan.
"Setiap kerusuhan di sesuatu negeri, bukan hanya Tumapel, adalah pencerminan dari ketidakmampuan yang memerintah, Cucu."
"Di manakah letaknya ketidakmampuan itu, Yang Suci"" Dedes meneruskan.
"Ketidakmampuan itu berasal dari diri semua yang memerintah, Dedes, ketidakmampuan mengerti kawulanya sendiri, kebutuhannya, kepentingannya."
"Apakah Yang Suci bermaksud mengatakan ketidakmampuan itu sama dengan kedunguan"" "Tidak sama, hanya sejenis."
Tunggul Ametung mengerutkan gi
gi. Belakangka menggeletar karena muntab. Sang Patih menunduk lebih dalam. "Dari mana asalnya kedunguan itu, Yang Mulia""
"Dari terlalu banyak mengurus diri sendiri, sehingga buta terhadap yang lain-lain."
"Kalau hanya demikian, Yang Mulia, mengapa timbul kerusuhan""
"Hyang Mahadewa tahu bagaimana membikin Jagad Pramudita seimbang. Kerusuhan mengimbangi kedunguan."
"Kalau soalnya keseimbangan, Yang Terhormat," Tunggul Ametung tak dapat menahan hatinya, "pada imbangan manakah Yang Terhormat berada""
"Kalau soalnya Mahadewa, Yang Mulia, jangan tanyakan kepada Bapa, pergilah ke pura, bertanyalah Yang Mulia kepadanya. Boleh jadi Yang Suci Belakangka dapat Yang Mulia perintahkan untuk itu."
Belakangka menggaruk tenggorokan.
"Kalau kerusuhan itu tidak lain dari soalnya Hyang Mahadewa, masih perlukah Hyang Mahadewa disembah dan dipuja""
"Yang tidak memerlukan Hyang Mahadewa juga tidak diperlukan olehnya. Tetapi hukumnya berjalan terus dengan atau tanpa manusia."
"Yang mempertahankan keseimbangan adalah Hyang Wisynu," Belakangka menyerang.
"Pergilah Yang Suci ke pura, bertanyalah pada Hyang Wisynu. Bukankah tidak perlu melalui jalan belok ke pedepokan Dang Hyang Lohgawe"
"Ampun. Yang Suci." Ken Dedes menengahi awal pertengkaran itu, "kami datang karena Hyang Wisynu telah lupa pada Tumapel, tidak dijaganya keseimbangannya."
"Karena Tumapel sudah lupa pada Hyang Wisynu" "Dharma tetap diberikan pada para brahmana. Yang Terhormat," susul Belakangka, "biara-biara dan para resi yang diakui oleh negeri."
"Sangat baik," Dang Hyang Lohgawe mengangguk-angguk. "Kalau betul dharma mencukupi dan Hyang Wisynu tidak dilupakan, tanpa ada ketidakmampuan, barangtentu para dewa tidak lakukan sendiri memulihkan keseimbangan Jagad Pramudita seperti yang disampaikan sekarang ini."
"Kalau Hyang Wisynu tidak menjawab, bertanyalah pada hati sendiri."
"Kalau hati sendiri tidak menjawab, Yang Terhormat tidak benar."
"Kalau hati sendiri pun tidak menjawab, itulah tanda ketidakmampuan, dan ketidakmampuan itu memanggil kerusuhan."
"Orang tua mau menang sendiri," dengus Sang Akuwu.
"Yang Mulia Akuwu," Lohgawe segera menyambut, "tak ada guna seorang tua hendak menang sendiri. Pada akhirnya para dewa juga yang menang."
"Kami datang ke mari tidak untuk bertengkar, tidak untuk bertikai, Yang Suci," Ken Dedes menyela. "Bukankah Yang Suci juga menghendaki adanya keamanan dan ketertiban di Tumapel""
"Bukan hanya di Tumapel, di seluruh bumi, Cucu."
"Perintah yang diberikan pada sahaya dari sidang negeri Tumapel adalah mengajukan pertanyaan pada Yang Suci: Dapatkah kiranya kerusuhan diredakan dan dipadamkan""
"Tentu saja, mengapa tidak""
"Katakan pada sahaya bagaimana caranya."
"Caranya, Cucu. sama seperti yang pernah dilakukan oleh raja-raja besar terdahulu: bijaksana, berhenti hanya mengurusi diri sendiri, mulai mengurusi kawula."
"Seorang akuwu mengurusi kawula!"Tunggul Ametung tertawa menghinakan. "Penghinaan yang tak dapat ditenggang! Keangkuhan brahmana ..."
"Sabar, Yang Mulia," tegah Belakangka.
"Jangan lupa, Yang Suci, Pangkur masih kawasan Tumapel."
"Yang Mulia membutuhkan penyelesaian soal kerusuhan, bukan pertengkaran dengan Yang Terhormat Dang Hyang Lohgawe."
Tunggul Ametung mengangkat muka dan dada, menuding pada Lohgawe, mengguruh:
"Dia yang mendalangi semua kerusuhan!"
"Lepaskan semua tuduhan Yang Mulia, biar sahaya kumpulkan berapa biji kebenaran yang terkandung dalam kebijaksanaan Tumapel."
"Kau justru yang menuduh kami mengidap ketidakmampuan, tidak mendapatkan petunjuk dari Hyang Wisynu, tidak mempunyai kebijaksanaan," ledak Tunggul Ametung. "Apakah itu tidak keterlaluan""
"Para dewa mengejawantahkan diri pada dunia melalui syak-tinya" Lohgawe berkata pelahan, "ketidakbijaksanaan manusia mengejawantahkan diri dalam kerusuhan lingkungannya."
"Bukan Tunggul Ametung kurang bijaksana, perusuh-perusuh itu yang sengaja merusak kewibawaan."
"Untuk itu ada perlindungan Kediri, ada prajurit Tumapel," sambut Lohgawe. "Apakah mereka kekurangan senjata, maka
kerusuhan tak bisa dipadamkan""
"Dua kali perusuh itu telah merampas angkutan besi dari Hujung Galuh[pelabuhan Gresik] waktu memasuki tapal batas utara Tumapel."
"Dan Tumapel tidak berdaya," susul Lohgawe. "Apakah itu juga kesalahan Lohgawe" Tiada prajurit padaku ..."
"Hadapkan semua muridmu!"
Lohgawe menuding pada murid-muridnya yang duduk berjajar di luar pendopo:
"Marilah kalian ke mari, menghadap untuk menghaturkan sembah dan hormat pada Yang Mulia."
Mereka beringsut-ingsut dalam duduknya, mendekat. Tunggul Ametung berdiri, berbalik dan memeriksa dengan teliti wajah mereka seorang demi seorang. Ia bertolak pinggang. Suaranya menggeletar:
"Siapa di antara kalian bernama Borang, Arih-Arih atau Santing""
"Tak ada di antara mereka," jawab Lohgawe tetap dalam duduknya.
Tunggul Ametung tidak mendapatkan yang dicarinya. Berbalik pada Belakangka:
"Berapa murid yang diperkenankan untuknya"" "Sepuluh, Yang Mulia."
"Mana yang lima lagi"" desak Tunggul Ametung.
"Hanya lima orang itu yang ada pada Lohgawe," jawab Loh-gawe."Cucu, rupa-rupanya tak perlu lagi kita bicara. Sang Akuwu sedang memeriksa aku."
"Bukan memeriksa, Yang Terhormat," Belakangka memperbaiki. "Tak ada sesuatu yang bakal menimpa diri Yang Terhormat. Yang Mulia hanya gusar karena kerusuhan yang tak juga dapat dipadamkan."
"Yang Mulia sendiri adalah juga seorang penasihat perang," Lohgawe menanggapi Belakangka.
"Mana yang lima lagi""
"Tiada, Yang Mulia."
"Mengapa tidak sepuluh""
"Tiada guna mengajar murid dungu. Lima pun sudah berat." Akuwu itu menusukkan pandang menyelidik pada Lohgawe: "Jadi siapa muridmu bernama Borang, Arih-Arih dan Santing""
"Tiada, Yang Mulia."
"Sabar, Yang Mulia," Belakangka menengahi. "Tiada guna mengkasari seorang brahmana. Silakan duduk kembali. Yang Mulia."
"Perkenankan sahaya mengundurkan diri," Ken Dedes memohon pada Lohgawe.
"Mengasohlah, kau, Cucu. Kau sudah dada diperlukan."


Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Paramesywari Tumapel tinggal di tempat," perintah Akuwu.
Para siswa itu beringsut mundur ke tempat semula.
"Biarlah yang lebih tua yang bicara,"Belakangka meneruskan. Dan katanya lagi, "Maafkan ucapan tiada pada tempatnya, Yang Terhormat."
"Ucapan tiada pada tempatnya bukan lahir di rumah ini, Yang Suci, hanya terbawa entah dari mana."
"Maafkan," Belakangka meneruskan, "tak ada gunanya lupa pada pokok semula. Biarlah sahaya yang bicara, Yang Terhormat, Yang Mulia Akuwu dan Paramesywari."
Tunggul Ametung mengangguk mengiakan.
"Adapun kedatangan kami ini bukanlah bermaksud hendak bertengkar. Justru sebaliknya. Kami datang untuk memohon pada Yang Terhormat Dang Hyang Lohgawe untuk ikut memikirkan keprihatinan Tumapel. Yang Terhormat sendiri bukankah juga menghendaki adanya keamanan dan ketertiban" Yang Terhormat, bila demikian halnya, barangtentu Yang Terhormat sudi menggunakan pengaruh Yang Terhormat untuk meredakan kerusuhan-kerusuhan ini."
"Justru setelah ucapan yang tidak tepat seperti itu"" tukas Lohgawe.
"Maafkan semua ucapan yang tidak tepat." "Apakah Yang Mulia Paramesywari juga menghendaki yang demikian"" tanya Dang Hyang Lohgawe. "Sahaya diperintahkan untuk membenarkan, Yang Suci." "Kau tidak berbahagia di pekuwuan, Dedes, cucuku"" "Inilah sahaya, Yang Suci."
"Kerusuhan-kerusuhan barangtentu juga mengancam keselamatan dan kedudukan Yang Mulia Paramesywari," susul Belakangka.
"Tidak ada itu dikatakan oleh Paramesywari."
"Paramesywari akan mengatakannya, Yang Terhormat Dang Hyang Lohgawe," susul Tunggul Ametung.
"Sahaya hanya dharma menjalankan perintah, Yang Suci: keamanan dan kedudukan Paramesywari terancam oleh kerusuhan-kerusuhan."
"Kedudukan dan keamanan Paramesywari Tumapel memang terancam," Lohgawe membenarkan. "Tapi kau sendiri tidak, Dedes. Tak ada sesuatu dosa padamu terhadap siapa pun."
"Tentang dosa itu biarkan para dewa yang menilai," susul Belakangka.
"Kawula Tumapel menggelari Paramesywari Dewi Kebijaksanaan. Mengapakah Yang Mulia dan Yang Suci tidak mencoba mendengarkannya""
"Apakah yang bisa diperbuat oleh seorang perempu
an"" "Gelar itu dipersembahkan pada manusia oleh manusia, maka bukan tanpa alasan."
"Yang mempersembahkan gelar itu barangtentu bermaksud mengadu-domba antara Paramesywari dengan Akuwu," susul Tunggul Ametung tajam. Keningnya berkerut.
"Kalau seluruh kawula Tumapel membenarkan gelar ugama itu, apakah berarti seluruh kawula menjagoi Paramesywari"" tanya Lohgawe.
"Kita tinggalkan semua pertengkaran, Yang Terhormat," susul Belakangka. "Bagaimana pun bila Tumapel terancam, bukan hanya Sang Akuwu dan para narapraja, juga Yang Mulia Paramesywari. Betapa baiknya kalau Yang Terhormat sudi mempergunakan pengaruh besar Yang Terhormat itu untuk meredakannya."
"Kami janjikan hadiah sebagaimana Yang Terhormat kehendaki," Tunggul Ametung menambahi.
"Tiada hadiah diharapkan oleh brahmana, Yang Mulia. Kalau dia sudah dapat memberikan dharma untuk kesejahteraan titah, para dewa akan mengantar kesudahannya."
"Jadi, apa kata Yang Terhormat Dang Hyang Lohgawe""
"Tidak mungkin Dang Hyang Lohgawe bisa menjawab sekarang juga. Berilah waktu barang seminggu," jawab tuan rumah, "Lohgawe akan turun ke Tumapel dan menyampaikan sesuatu. Cukuplah kiranya ucapan ini. Dan kau, Cucu, juga aku akan temui kau di Tumapel seminggu yang akan datang."
Pada hari yang ditentukan Lohgawe datang ke Tumapel, menaiki pendopo dengan masih berterompah tapas. Sang Patih menyambutnya. Akuwu dan Belakangka masih harus dicari.
Kemudian Akuwu itu keluar dari Bilik Agung bersama Ken Dedes. Dan Paramesywari segera bersujud dan membersihkan kaki Dang Hyang Lohgawe dengan penutup kepalanya.
Tamu itu dengan dua belah tangan menengadahkan muka Dedes, merestuinya, kemudian mengangguk-angguk melihat pipi wanita itu yang tembong biru muda.
Akuwu Tumapel mengambil tempat di kursi kebesarannya. Lohgawe tinggal berdiri. Sang Patih duduk di lantai.
Pandita Negeri yang datang kemudian juga tinggal berdiri. Dan Paramesywari Tumapel berdiri mendampingi tamu yang dihormatinya.
"Tiada banyak yang Dang Hyang Lohgawe akan sampaikan," tamu itu memulai. "Seperti pesan yang dahulu juga: mulailah dengarkan Yang Mulia Paramesywari Ken Dedes. Adalah tidak tepat untuk kebijaksanaannya ia mendapatkan warna biru seperti itu pada pipinya. Kalau seorang Paramesywari telah demikian diperlakukan, bagaimana pula kawula kecil""
Belakangka mengawasi pipi Ken Dedes, kemudian membuang muka. Sang Patih tetap menunduk di tempatnya. Tunggul Ametung mendengus
"Kedua, kerusuhan hanya bisa diatasi dengan mewa-ra-warakan, siapa yang sanggup meredakannya. Hendaknya, bila terbukti, orang itu mendapatkan jabatan negeri yang layak. Dan apabila dirasakan memalukan melalui wara-wara, Lohgawe sanggup mencarikan orang yang mampu uncuk melakukan pekerjaan itu."
"Bapa Lohgawe menjanjikan seorang yang lebih mampu daripada prajurit Tumapel"" desak Tunggul Ametung.
"Lohgawe tidak memerlukan kepercayaan manusia. Bila itu diterima, akan aku panggil orang itu beserta beberapa orang temannya."
"Siapa nama calon Yang Terhormat Dang Hyang Lohgawe"" Belakangka bertanya untuk kesopanan. "Arok."
"Siapa Arok itu"" tanya Tunggul Ametung. "Yang Mulia bisa bicara sendiri dengannya." "Panggil dia ke mari." "Dia akan datang ke mari atas perintahku." "Dia akan kehilangan kepalanya bila tidak sesuai dengan yang dijanjikan."
Dang Hyang Lohgawe mengangkat tangan, memberi restu pada Ken Dedes, kemudian meninggalkan pendopo .... "Tua bangka yang banyak mulut!"
"Hanya Arya Artya brahmana yang banyak mulut," Belakangka memperbaiki. Ken Dedes meninggalkan pendopo dengan menghafal nama baru yang terdengar aneh itu: Arok, Arok, Arok.
PERLAWANAN TERHADAP TUNGGUL AMETUNG
Api itu gemeratak memakan tumpukan ranting dan dahan. Asap mengepul langsung ke udara kadang di-bungai oleh percikan. Puluhan pemuda, yang duduk-duduk melingkarinya, riuh bersenda-gurau. Batang, dahan, ranting dan dedaunan hutan di sekeliling mereka melongokkan diri ikut menemani.
Hanya Arok yang berdiri: "Sudah, periksa barang rampasan itu."
"Jagad Dewa!" orang menyebut berbareng, melihat badan dan a
nggota-anggotanya dari emas, suasa, yang berserakan; alat-alat upacara keagamaan dari perak.
"Jangan gentar," tegah Arok. "Bukan kita yang menghancurkannya. Kite telah selamatkan semua ini dari tangan mereka. Kau, Lingsang, yang sudah belajar pandai-emas dari bapakmu. Taksir olehmu berapa saga emas hancuran para dewa itu." Lebih dan enam ribu saga, Arok"
"Semua percaya padamu. Kau yang akan meleburnya, secepat mungkin. Kau yang menyimpannya, sebaik mungkin. Kita belum bisa pergunakan. ada waktunya dia bakal jadi kelengkapan untuk tumbangkan rampok-rampok itu."
"Baik, Arok." "Maju kau, dan ucapkan sumpahmu."
Lingsang duduk bersila, menatap api unggun.
"Demi kau, Hyang Agni, inilah Lingsang yang akan merawat, melebur dan menyimpan emas, perak dan suasa ini, takkan kurang dari bobotnya semula. Tak ada yang mengganggunya kecuali dengan perkenan Arok."
Api dipadamkan. Mereka berjalan bergandengan dalam kegelapan hutan untuk mencapai jalanan desa.
"Nah, pergilah kalian Aku akan datang dua minggu lagi. Kau ikut denganku, Hayam!"
Mereka berpisahan. Rombongan besar berjalan seorang-seorang ke berbagai jurusan. Arok dan Hayam langsung menuju ke selatan Kutaraja.
Anjing itu menggonggong gila waktu Arok dan Hayam menghampiri rumah itu. Pintu pun terbuka dan seorang lelaki berkerudung selimut keluar. Pada tangannya ia membawa tombak, pada pinggangnya tergantung pedang.
"Tim, Tim, ayoh Tim, jangan takut!"
Anjing itu semakin gila menggonggong, menghampiri Arok dan Hayam.
"Diamkan anjing ini, kami hendak singgah," seru Arok.
"Sudah terlalu malam untuk singgah."
Anjing itu memekik terkena gedik punggung pedang, kemudian tak bersuara lagi.
Orang di pintu itu lari masuk ke dalam rumah dan memadamkan damar.
"Percuma kau lari masuk ke dalam. Kami bisa bakar rumah ini, dan tumpas kau bersama anak-binimu. Keluar!"
Orang itu keluar lagi. Dalam kegelapan tak nampak ia membawa senjata atau tidak.
"Kau Empu Gandring, dengarkan aku."
"Siapa kau sesungguhnya""
"Pada tangan kami ada senjata bikinanmu sendiri." "Tentunya kalian pembayar yang baik." "Apakah Akuwu membayarmu dengan baik"" "Aku kawulanya."
"Artinya tidak baik. Aku bisa bayar lebih baik." "Siapa kau""
"Tak perlu kau ketahui. Pada suatu kali kau akan terima perintah buatkan senjata."
"Percuma kalau jumlah kecil, aku tak terima."
"Kau yang bikin, aku yang bayar. Habis perkara."
"Kau harus pertimbangkan kekuasaan Sang Akuwu."
"Kau lakukan perintahnya karena dia Akuwu ataukah karena kau dibayar""
"Dua-duanya," "Kau bisa tidak lakukan perintahnya."
"Tidak mungkin."
"Aku yang memungkinkan."
"Tidak mungkin. Berapa kekuatanmu""
"Bodoh. Kalau angkutan besi ke pabrikmu aku hancurkan, tak bakal lagi kau mempersembahkan sesaji pada Hyang Pancagina. Kau dengar" Hyang Pancagina[dewa kaum sudra, pelindung lima macam pertukangan: pandai besi, pandai tembaga, pandai emas, tukangkayu dan pelukis.] akan tinggalkan kau."
Empu Gandring terdiam. "Kau membikin senjata hanya untuk dapatkan upah. Ingat-ingat itu. Pada suatu kali perintahku akan datang padamu." Arok berbalik dan meninggalkan pelataran Empu Gandring.
Dalam kegelapan Arok berbisik pada Hayam.
"'Kita tidak memasuki Kutaraja malam ini."
"Sudah terlalu malam, Arok."
"Kau sudah mengantuk""
"Semestinya kau lebih mengerti."
"Baik, kita tidur di gubuk ladang."
Mereka memasuki ladang, naik ke atas gubuk dan menggo-lekkan diri.
"Kau tak pernah bercerita, ke mana saja kau selama ini, Arok."
"Melihat aku masih hidup, bukankah kau sudah senang""
"Ah, Arok, kau semakin pendiam sekarang ini. Makin tak dapat aku sampai pada hatimu."
Arok membiarkan temannya bicara dan bicara Ia sendiri mengheningkan cipta dalam malam ditingkah musik serangga dan margasatwa malam itu. Ia tempatkan dirinya sendiri di hadapan matabatinnya, meneliti segala apa yang telah diperbuatnya, didengar dan dilihat dan dipikirkannya sehari itu. Untuk ke sekian kali ia menilai tak ada kekeliruan telah dilakukannya, juga ndak ada sesuatu yang berlawanan dengan
Hyang Yama. Waktu ia bangun dari renungannya, Hayam telah terlena dalam tidurnya. Ia bisikkan pada kuping temannya:
"Hari ini kita belum juga temukan tempat pendulangan emas itu, Hayam. Kau akan menemukannya dalam beberapa hari ini. Aku, Arok, yang memerintahkan. Kau seorang anak pandai emas yang tajam hidung. Tahu saja kau di mana tempatnya. Kalau bukan dengan kau, emas ndak kita peroleh hari ini. Ingat-ingat, Hayam, dalam beberapa hari ini kau akan temukan pendulangan itu ..."
Ia sendiri pun tidur. Pemilik ladang itu membangunkan mereka. Dan Hayam mengucapkan banyak-banyak terimakasih telah mendapatkan penginapan yang baik dan sehat.
Arok telah turun dari gubuk untuk meneruskan perjalanan, terhenti setelah beberapa langkah, mengingat-ingat.
"Kumismu ketinggalan, Arok!" Hayam memperingatkan.
Setelah menerima kumisnya ia berjalan bergegas seorang diri melalui perladangan, menghindari Kutaraja, menuju ke utara. Ia tidak singgah di Pangkur atau pun Kapundungan. Tujuannya sementara ini hanya satu: Karangksetra, keluarga Bango Samparan.
Sampai di rumah yang ditujunya ia tak menemukan barang seorang pun. Rumah itu kosong dengan pintu-pintu terbuka. Ia masuki bilik demi bilik. Tak ada satu barang pun berharga yang nampak. Tikus berkeliaran kehilangan sumber rejeki. Ia pergi ke dapur. Tak sebuah pun belanga berada di tempat, kosong. Ia periksa tungku. Sudah lama tak pernah ada api menyala di dalamnya. Bahkan bekas kucing tidur semalam pun tak ada.
Ia keluar lagi dan masuk ke kandang kerbau. Tak ada bau kerbau atau rumput kering. Bekasnya pun tiada. Ia lihat lubang penimbun kotoran ternak itu kering kerontang. Tak ada lalat bermain-main seperti biasanya. Pekarangan samping dan belakang rumah telah kotor oleh rerumputan.
"Siapa kau"" seseorang menegur.
"Anak pungut Ki Bango Samparan."
"A, kebetulan. Ayoh, ikuti aku."
"Ikuti kau" Siapa kau""
"Semua di atas tanah ini sudah jadi milikku. Biar begitu hutang Ki Bango Samparan belum terlunasi. Dia telah kuserahkan pada Gusti Demang. Memang telah aku terima uang penggan-tian. Ki Bango jadi milik Gusti Akuwu.Tapi anaknya sempat lari. Maka aku menderitakan rugi. Kau sekarang ikut denganku, ke Gusti Demang."
"Terlalu berani kau menghadapi aku," dengus Arok.
"Aku sendiri tak perlu berkelahi denganmu. Ada banyak prajurit yang akan mempertahankan hakku."
"Kaulah kiranya yang membikin Ki Bango jadi budak," ia tersenyum. "Orane-orang seperti kau! Bandar dadu!"
"Juga Ki Bango sudah jual orang lain jadi budak. Apa bedanya" Kalau aku jatuh pun mungkin aku jadi budak juga." "Sudah, pergi kau dengan damai."
"Ganti kerugianku"
"Berapa"" "Tiga ratus catak."
"Pergi kau! Jangan ganggu aku. Sebaliknya katakan padaku, kira-kira ke mana si Umang pergi."
"Bodoh. Kalau aku tahu, aku sendiri yang menangkapnya"
"Kalau aku yang dapat menangkap Umang'"
"Tidak perlu. Kau pun mencukupi untuk menggantinya"
"Kalau aku banting kau""
Orang itu tertawa menghinakan:
"Mana mungkin. Sekali aku berteriak, prajurit-prajurit itu akan datang."
"Kalau aku tikam kau""
"Tidak mungkin. Kalau belum pernah tahu bagaimana hebat lariku."
"Larilah, biar aku kejar kau dengan parangku."
Arok menarik parang dan orang itu lari, tanpa berteriak. Ia lari, membungkuk, tanpa menoleh. Dari kejauhan seperti sabit. Arok tertawa senang, kemudian meneruskan perjalanannya.
Setelah lulus sebagai siswa begini, ia merasa bebas untuk pergi ke mana pun ia suka. Tapi semua pemuda Karangksetra telah tinggalkan desanya. Dengan melalui jalan hutan ia kini menuju ke Randu Alas, ke rumah orangtua pungut pertama-tama: Ki Lembung.
matahari sudah tenggelam waktu dalam hutan itu tiba-tiba muncul serombongan orang muda, lelaki dan perempuan, semua bersenjata. Ia terkepung di tengah-tengah, dan berdiri tanpa bergerak.
Dari atas pohon terdengar lengkingan suara: "Arok!"
Arok mengangkat muka ke arah datangnya suara, ia lihat se-orang turun dari pohon, hanya bercawat. Pada tangannya seba tang tombak dan pada pinggangnya tergantung parang.
Tiba-tiba orang ya ng mengepungnya berlutut.
"Tanca!" "Ya. akulah Tanca," ia memeluk Arok. "Tak bisa aku kembali
pulang pada Bapa Mahaguru. Mereka semua ini menahan aku. Ki Bango... Umang!" pekiknya memanggil. Dari lingkaran pengepung itu bergerak seorang gadis, juga hanya bercawat, pada tangannya membawa tombak, pada pinggangnya tergantung parang. Seperti yang lain-lain juga badannya kotor. Dengan kaki dan hati ragu ia berdiri.
Arok mengikuti arah pandang Tanca. Dan ia dengar bisikan pada telinganya:
"Itulah Umang. Lari tepat pada waktunya. Terutama perintahmu yang tepat pada waktunya."
Umang masih berdiri ragu. "Maju kau. Inilah Arok, pemimpinmu."
ia melangkah, dan kaki itu gemetar.
Arok melangkah menyambutnya, menangkap bahunya:
"Umang"" Umang mengangkat sebelah tangan, menggosok mata dan terhisak-hisak.
"Mengapa kau menangis, Umang"" tegur Tanca, "bukankah semestinya kau gembira bertemu dengan abangmu""
Kaki Umang semakin menggigil, kemudian jatuh berlutut.
"Ampuni aku, Umang, ayah sudah terburu dibudakkan."
Umang menjatuhkan badan di tanah dan menangis sejadi-jadinya.
"Bangun, kau, prajurit!" perintah Tanca. Tangis Umang menjadi keras.
"Umang!" panggil Arok, "bangun kau, dan dengarkan aku." Umang bangun, berdiri di hadapan Arok dan membuang muka.
"Dengarkan, aku bersumpah untuk membebaskan ayahmu!" Dan kepada yang lain-lain: "Siapa yang tidak sanggup membantu""
Kepungan orang itu melompat berdiri:
"Perintahkan! Perintahkan!"
"Kau dengar, Umang" semua temanmu sedia melakukan."
"Dengan pimpinanmu, Arok, pimpinanmu sendiri."
"Selama ini kalian dipimpin Tanca."
"Di daerah sendiri lain dari di tempat lain "
"Baik, aku akan pimpin kalian."
Hutan gelap itu bergema-gema dengan sorak sorai.
Umang semakin keras menangis.
"Adakah tidak sepatutnya kau berterimakasih pada mereka"" tanya Tanca.
Arok menarik bahunya dan dibawanya berjalan ke arah Randu Alas. Yang lain-lain mengikuti di belakangnya.
"Kita tidak ke Randu Alas, Arok. Di sana banyak prajurit." Arok berhenti. "Ada apa di sana""
"Sang Akuwu telah memerintahkan membuka pengaduan untuk hutang-hutang yang tidak terlunasi."
"Bukankah di sana hanya ada dua-empat rumah""
"Dulu, Arok. Sekarang banyak orang Kutaraja pindah ke sana!" Ia berpaling ke belakang, "Bukankah aku tidak keliru""
"Benar, Arok, Tanca benar."
"Belok ke kanan, Arok,"Tanca mendahului berjalan. "Pasang damar, jalan di depan kami!"
Obor damar itu turun naik menerangi jalanan hutan, jalanan setapak yang gundul. Paling depan Tanca. Di belakangnya Arok dan Umang.
"Berhenti dulu, kau," perintah Tanca pada pembawa damar. Ia juga berhenti, berpaling ke belakang, "Umang, lihatlah dulu wajah Arok. Mungkin kau keliru. Boleh jadi bukan Temu yang tinggalkan kau enam tahun yang lalu. Dan kau, Arok. mungkin kau juga keliru. Lihatlah baik-baik, berpandang-pandanglah kalian yang benar."
Arok menangkap muka Umang dan dipandanginya. Airmata gadis itu masih juga meleleh, dan Arok menyekanya dengan tangannya. Umang tidak membalas pandangnya. Tapuk matanya runduk.
"Gadis kecil beringus dulu, kini sudah besar," desau Arok. Ia mundur dan memandangi tubuh kotor yang sehat dan kurus itu. Ia perhatikan dadanya, pinggul dan pinggangnya. Gadis itu telah memasuki kedewasaan.
"Penangis di hadapanmu itu, Arok, adalah gadis terganas dari seluruh rombongannya. Tak ada di antara mereka yang dikasihnya ampun. Haus darah dia, Arok. Hampir-hampir tak pernah bicara Lebih sering melamun."
"Benar itu, Umang""
"Barangkali melamunkan datangnya saat ini."
"Umang! Umang! gadis kecilku yang beringus-ingus dulu!"
"Bicaralah kau, Umang, biar semua dengar," perintah Tanca.
Umang mendahului melangkah, dan tetap tidak bicara.
"Sini damar itu," perintah Tanca. Ia obori Umang. "Tidak patutkah Arok datang jauh-jauh mencari kau" Bahkan senyum pun kau tidak""
Umang lari mendahului dan menangis meraung-raung.
"Hibur dia, Arok. Lihat, dia masuk ke hutan."
Arok lari menyusul. Dan rombongan itu tidak mengikuti masuk. Sebuah damar lain ditancapk
an di pinggir jalanan hutan, dan mereka meninggalkan tempat itu.
"Umang! Umang!" panggil Arok.
Hutan itu tiada ditumbuhi semak-semak, hanya batang-batang pohon raksasa. Ia dengar tangis Umang, dan didapatkannya gadis itu bersujud di bawah sebatang pokok, lupa di mana tombaknya, dan meneruskan tangisnya.
Arok menghampirinya, duduk di sebelahnya dan mengusap-usap rambutnya, Ia tegakkan badan Umang, ia letakkan kepalanya pada pangkuannya. Dan gadis itu masih juga menangis tersengal-sengal.
"Mengapa kau menangis semacam ini" Bukankah semua temanmu cukup memperhatikan kau""
Tangis itu mulai menjadi reda.
"Dengarkan abang akan bercerita," dan ia bercerita tentang negeri-negeri jauh yang pernah didengarnya. Ia perhatikan tangis itu, semakin lama semakin mereda. "Dan ada satu negeri lagi jauh di barat sana, di tempat Hyang Surya setiap sore masuk ke peraduannya. Di situ ada seorang petani mempunyai seekor babi betina. Hanya itu miliknya yang berharga.Tapi sayang babi itu bongkok....
"Kik," terdengar Umang tertawa, teringat pada cerita itu semasa kecilnya.
Arok tidak peduli, pura-pura tidak tahu.
"Petani yang bernama Tumpal itu setiap hari bicara pada babinya yang bongkok, dinamainya dia Ratu Lengkungsari, karena punggungnya begitu melengkungnya seakan pada bongkoknya tepat seorang dewa selalu menariknya ke atas. Pada suatu hari, Tumpal mengumpani babi-bongkoknya dengan potongan-potongan ubi mentah. Apa katanya sekali ini"" Ia tengok Umang yang sudah mulai tenang dan menahan tawa. "Dia bilang; aduh, aduh Sri Ratu Lengkungsari,betapa indah bongkokmu ini, sampai semua babi hormat padamu, tak berani mendekat tak berani menegur. Mendadak terjadi sesuatu. Ratu Lengkungsari berhenti makan, berhenti mengunyah, kupingnya berdiri mengangkat kepala dan memasang moncongnya pada Tumpal, berkata dengan suara besar: "Ha-ha-ha, yang berani dekati cuma si Tumpal. Tumpal jatuh terpelanting saking kagetnya."
"Kik-kik-kik," Umang tertawa mengikik. "Dulu tak begitu ceritanya."
"Bagaimana cerita yang dulu"" "Tak tahu, ah."
"Kau sudah besar, Umang, sudah dewasa." Umang duduk tegak, cepat, terkejut menyedari keadaannya. "Sudah bertiduran saja di pangkuanku." Sejenak Umang tak bisa bicara. Ia tidak menghadapi Temu yang dahulu, tapi seorang lelaki dewasa bernama Arok, nama setelah lulus belajar dari seorang brahmana yang dihormati orang seluruh negeri.
"Maafkan aku. Bang," katanya kemudian.
"Mari kita menyusul yang lain-lain," Arok berdiri.
Umang pun berdiri. "Mengapa kau menangis tadi" Dan begitu lama"" Apalah artinya dibandingkan dengan menunggu selama enam tahun""
"Benar kau menunggu-nunggu aku, Umang""
"Bukankah Abang tak pernah ajari aku berbohong""
Arok berhenti berjalan. Ia tak ingin menyinggung perasaan gadis yang telah menunggunya selama enam tahun ini.
"Tentu, kau menunggu aku selama enam tahun. Kau harapkan sebagai apa waktu dia datang""
"Sebagai kau sekarang ini."
"Sebagai saudara, kenalan, apakah sebagai suami""
"Bang," ia tak dapat meneruskan.
"Mengapa tak kau jawab" Bukankah aku tak pernah mengajarimu membisu""
Umang melangkah berjalan dan menunduk. Dan Arok mengikutinya.
"Jawab, Umang."
"Jawabannya ada padamu sendiri, Bang." "Baik, Umang. Kita akan bebaskan ayah dulu. Mari, kita menyusul mereka."
Mereka keluar dari hutan, mencabut damar di pinggir jalanan desa dan lari memburu.
Antara sebentar Arok melirik Umang di bawah sinar damar yang dipegangnya. Ia tidak rupawan seperti gadis-gadis lain yang pernah ditemuinya. Ia kenangkan semua kebaikan Ki Bango Samparan dan istrinya, juga gadis di sampingnya ini, yang kini lari di malam hari hanya dalam cawat, rambut terurai, dan dingin udara tak dirasakannya sama sekali. Mereka berdua telah bermandi keringat waktu mencapai rombongan. Tanpa ada yang bicara lagi rombongan itu berjalan terus semakin memasuki kandungan belantara.
"Macan!"Tanca memperingatkan dan berpaling ke belakang ke arah tudingan.
Seekor macan besar, loreng kuning hitam berlari-larian kecil mengikuti mereka.
Dan mereka berjalan terus se
akan tiada terjadi sesuatu. Dari kejauhan nampak api unggun, dan mereka menuju ke sana Sebuah gubuk panjang dari kulit kayu beratap daun-daunan yang belum sepenuhnya kering menari-nari dalam sinar unggun yang tidak terang itu. Beberapa orang bertombak mengangkat dua belah tangan menyambut mereka.
"Arok bersama kita," bisik Tanca. "Jangan ribut, ada macan mengikuti kita."
Rombongan itu masuk ke dalam rumah, menancapkan damar mereka di samping unggun. Tiada seorang pun tinggal di luar. Tinggal macan besar loreng kuning hitam itu duduk diam-diam memandangi api. Setelah puas ia pun bangkit dan berjalan kembali ke arah datangnya.
Gubuk panjang itu ditinggali oleh beberapa belas orang pelarian dari Tumapel utara karena terancam akan dibudakkan. Perkara mereka macam-macam. Antaranya karena tak mampu membayar iuran negeri, pertengkaran dengan pejabat, tak mampu membayar hutang, pendatang baru yang menolak menyerahkan istrinya pada seorang prajurit, gagal menyerahkan hewan pada pembesar setempat, karena hewan itu ternyata terserang penyakit dan mati. Mereka terdiri dari laki dan perempuan, dewasa dan kanak-kanak.
Di bawah pimpinan Arok dan Tanca mereka melakukan penyergapan-penyergapan, penyerangan dan perampasan barang-barang Akuwu Tumapel. Dua kali mereka telah menyergap pengangkutan besi dari Hujung Galuh, menghancurkan lima koyang garam [30 pikul. 1 pikul " 67 liter], lima puluh satu pikul beras[Beras diukur dengan pikul juga], dua ratus takar minyak-minyakan[" 25 liter], beratus hasta kain tenun. Mereka telah dengar Tunggul Ametung hendak mengunjungi
Dang Hyang Lohgawe untuk meminta pertolongan. Juga mereka telah dengar adanya bondongan pelarian orang Syiwa dari Kediri Selatan ke arah Tumapel Selatan. Mereka telah mulai membuka perangkap terhadap kekuatan Tumapel, setelah mengetahui tidak lain dari Tunggul Ametung yang melakukan penyerbuan dan penghancuran biara-biara Syiwa.
Arok dan Tanca telah menemui Hayam dan mendapatkan keterangan secukupnya tentang pendulangan emas Kali Kanta, tentang barisan jajaro yang tidak pernah nampak oleh orang dan selalu membunuh orang yang mencoba masuk tanpa ijin, dan menahan yang dengan ijin, untuk kemudian juga dijadikan budak.
Tak ada yang tahu berapa kekuatan mereka. Hayam tidak pernah memasuki daerah pendulangan. Ia hanya memasuki hutan sekitar dengan lima puluh orang anak buahnya, menyisiri selangkah demi selangkah untuk menemukan tempat persembunyian mereka. Tengah malam mereka balik tanpa menemukan sesuatu.
Tanca telah dapat menemui pimpinan pelarian Syiwa dari Kediri. Mereka terdiri atas biarawan dan biarawati yang takkan mungkin lagi bisa berdamai dengan Tunggul Ametung, telah mengucapkan sumpah untuk menumpas Akuwu Tumapel dan semua gerombolannya. Mereka takkan kembali jadi biarawan dan biarawan sebelum sumpah mereka terlaksana.
Dengan Hayam didapatkan persetujuan untuk melakukan serangan besar-besaran atas pendulangan emas, dan dengan demikian merebut sumber kekayaan terpokok dari Tunggul Ametung.
"Kau berani memastikan biarawan dan biarawati itu akan menyertai kita""
"Mulai kapan kau tidak percaya pada Hayam Lumang Celukan""
Dengan demikian Arok dan Tanca kembali ke utara.
Menjelang matahari tenggelam di belakang mereka terdengar teriak para peseru Tumapel akan lalunya Yang Mulia Akuwu, Yang Mulia Paramesywari Ken Dedes dan Yang Suci Belakangka dengan Sang Patih Tumapel.
"Dedes, Tanca, anak Mpu Parwa. Diculik dari desanya di Panawijil."
"Semua sudah dengar."
"Waktu Mpu Parwa ada bersama kami."
"Ya." "Anak brahmana keturunan. Tentunya cantik."
"Ya, semua yang tercantik kepunyaan Tunggul Ametung," Tanca mulai meminggir, "kemari, Arok, ke tempat yang lebih tinggi. Mari kita lihat."
Mereka mendaki tebing di sebelah kanan jalan. Di kejauhan telah nampak iring-iringan itu maju dengan terlalu lambat, didahului dan diikuti oleh pasukan kuda.
"Orang bilang Paramesywari Tumapel tidak berbahagia." Tanca melaporkan.
"Kerbau betina pun takkan berbahagia dengan orang dungu seperti itu, Tanca."
"Untuk apa kau hendak melihat
Dedes" Bukankah sebentar lagi ada padamu Umang""
"Sebentar lagi Tunggul Ametung jatuh, Tanca."
"Dia takkan dapat mengelakkan nasibnya."
Mereka duduk-duduk di bawah pohon memandangi iringan yang merambat maju itu.
"Betapa indahnya kalau kita sergap sekali tangkap. Arok," Tanca memulai lagi.
"Lantas kita mau apa kalau berhasil" Kau pun tak tahu jalan
lagi, seperti orang buta bergerayangan mencari jalan, jadi tertawaan."
"Barangkali benar pendapatmu: kita begini saja sampai para dewa berkenan memberi petunjuk jalan."
"Pendapat lama itu tak perlu diubah, Tanca."
"Tak perlu kita melihat mereka, Arok. Mari langsung ke Randu Alas. Yang lain-lain sudah lama menunggu kita."
Setelah berteriak menghinakan Tunggul Ametung mereka meneruskan perjalanan.
Dengan semakin bergolaknya desa-desa sebelah barat Tumapel, banyak prajurit ditempatkan terpencar di mana-mana. Dua orang itu menghindari setiap desa.
Di tengah hutan Umang menyambut mereka dengan barisan perawan. Di belakangnya barisan pemuda. Semua hanya berca-wat. Damar menyala di mana-mana. Di belakangnya pengangkut besi yang telah menggabungkan diri dari desa-desa lain yang terkena kerja paksa. Di belakangnya lagi menyusul barisan pelarian yang menggabungkan diri. Setiap orang yang mendapatkan kepercayaan untuk memimpin disebut Maarok, yang kemudian berubah menjadi Warok
Barisan besar itu keluar dari hutan, memadamkan damar dan mulai menyapu desa-desa dari para prajurit Tumapel yang sedang berkeliaran mencari mangsa. Tidak kurang dari lima puluh orang prajurit telah berguguran pada malam itu.
Menjelang pagi mereka telah mengepung Randu Alas yang terpencil di dalam hutan. Desa kecil itu kini telah padat dengan gubuk-gubuk para pelarian dari Tumapel. Sawah dan ladang telah melebar lebih sepuluh kali lipat. Tetapi tak ada prajurit Tumapel nampak berkemit.


Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rumah Ki Lembung kini berada di tengah-tengah desa. Arok maju tanpa ragu-ragu ke rumah, kemudian berbalik dan memeriksa kandang. Hanya seekor anak kerbau mendekam tercancang sendirian. Ia periksa tonggak-tonggak pencancang dan memeriksa kelicinannya. ia tahu sudah lama kandang ini telah ditinggalkan oleh rombongan besar ternak yang dulu.
ia kitari rumah sambil memanggil-manggil pelan Ia dengar ambin di dalam berkerait. Kemudian suara:
"Suara siapa itu yang memanggil-manggil kalau bukan suara anakku""
"Akulah ini, Mak, anakmu."
"Temu, anakku""
"Temu, Mak." Pintu depan itu terbuka. "Temu" Temu" Di mana, kau""
Arok menjatuhkan diri di hadapan perempuan yang belum lagi dilihat wajahnya itu, merangkul kaki kanannya. Wanita itu berlutut dan menciumi muka Arok.
"Aku tahu pada suatu kali kau akan datang," ia menangis. "Keterlaluan, kau, begitu lama baru kembali ..."
Arok berdiri dan membopong emaknya masuk ke rumah Dari sinar damar ia lihat wanita itu bukan seorang ibu muda yang dulu, tetapi telah tua dengan muka telah dirusak oleh usia.
"Mak, aku tak mengira kau mengharapkan kedatanganku."
"Terlalu! Terlalu!" ia terhisak-hisak. "Dua puluh tahun yang lalu, Temu ... selalu aku guriskan tanda-tanda tahun pada tiang ... kau mulai mengisap dadaku ... ya dewa, mengapa tak kau keluarkan air dari dadaku untuk anak ini" Biarpun begitu kaulah satu-satunya anakku, ah, Brahmaputra, Brahmaputra
"Emakku, emakku sendiri," Arok mengavun-ayunkan Nyi Lembung dalam bopongan.
Wanita itu tak dapat berbuat sesuatu kecuali menangis.
"Kau tidak sayang padaku, Temu."
"Inilah sahaya datang."
"Kau biarkan aku sendirian selama ini."
"Ah, emak, emakku sendiri," ia letakkan nyi Lembung di atas ambin, dan wanita itu merangkulnya, seakan takkan dilepaskan untuk selama-lamanya. "Kalau emak mau aku bawa..."
"Hendak kau bawa ke mana emakmu ini""
"Ke mana saja emakku suka."
"Begitu kecil kau datang ke rumah ini, sekarang ... bukan tangis kedinginan yang terdengar," ia terhenti untuk melepaskan hisaknya. "Kau tidak diganggu prajurit tadi"" "Prajurit, Mak" Anakmu ini juga prajurit, Mak." "Prajurit"!" Nyi Lembung melepaskan pelukannya, turun dari ambin dan mengawasi Arok
dari sesuatu jarak. "Prajurit" Ikut membunuh bapakmu sendiri""
"Ampun, Mak, tidak, bukan prajurit Tumapel," ia dekati Nyi Lembung, dan wanita tua itu menghindarinya. "Mengapa, Mak"" "Jangan sentuh aku."
Tapi Arok telah membopongnya lagi, berbisik:
"Bukan prajurit Tumapel, Mak, bukan."
"Bapakmu mereka bunuh di desa Kidal, Temu, tidak pernah kembali lagi, sudah lima tahun berselang," ia mulai menangis lagi.
"Diam, Mak, aku sudah dengar. Inilah anakmu yang akan membalaskan dendam brahmaputramu, Mak."
Nyi Lembung dalam bopongan itu memeluk leher anaknya:
"Aku percaya, anakku akan lakukan itu."
"Mari, Mak, aku bawa kau ke tempat lain."
"Tidak, Temu, tempatku di sini. Kau saja yang sering datang ke mari."
"Anak kerbau siapa yang di kandang, Mak""
"Prajurit punya, aku yang diharuskan memeliharanya."
"Kurangajar! Aku bunuh anak kerbau itu, Mak."
"Jangan. Aku tetap tinggal di sini, Temu."
"Siapa memelihara Mak kalau sakit""
"Tak pernah sakit." "Bagaimana makannya"" "Apa saja yang bisa dimakan"
"Mari aku bawa, Mak." "Tidak. Biar aku mati di desa ini, Temu." "Mak, ayam sudah pada berkeruyuk, Sebentar lagi matahari terbit."
"Ya, pergilah kau. Sering-sering kau datang ke mari..."
Gerakan para biarawan dan biarawati di selatan Tumapel mulai merambat dengan cepat sampai ke kaki Gunung Semeru dan kaki Gunung Kawi serta dataran tinggi Kelud. Balatentara Tumapel dikerahkan ke tiga jurusan untuk memadamkan pemberontakan. Prajurit-prajurit yang ditempatkan di desa-desa ditarik ke selatan, tenggara dan baratdaya.
Gerakan itu kemudian berpadu dengan gerakan Arok, kekuasaan setempat dan kaum petani penganut Syiwa.
Kediri, yang murka karena perbuatan Tunggul Ametung, menjadi sibuk. Kretajaya hampir-hampir menjatuhkan perintah untuk menyingkirkan Tunggul Ametung. Tetapi sidang negara memutuskan lain: Biar Akuwu Tumapel menyelesaikan pemberontakan-pemberontakan itu, untuk kemudian Belakangka akan menyelesaikan bagian yang terakhir. Mahisa Walungan. adik Sri Baginda, telah disebut-sebut untuk menggantikan pemegang kekuasaan Tumapel.
Tiga kedemangan di kaki Gunung Semeru ternyata tak dapat dipadamkan oleh Tunggul Ametung. Separoh dari pasukannya binasa. Ia sendiri memimpin perang penindasan di Gunung Kawi dan dataran tinggi Kelud. Di sini pun ia terpaksa mundur. iawannya telah menggunakan alat senjata baru yang belum pernah dikenal sebelumnya: pelempar anak panah yang bisa melepaskan tiga kali lebih cepat.
Kedemangan-kedemangan di tiga tempat tersebut akhirnya tak diurusinya lagi. ia kembali ke Kutaraja dan mengeluarkan perintah pada semua desa dalam kawasannya untuk menyerah-kan dua ratus orang calon prajurit, berumur antara tujuhbelas dan dua puluh tahun.
Tidak semua desa mampu memenuhi jatah. Pemuda-pemuda yang terpanggil banyak yang melarikan diri, masuk ke hutan dan menggabungkan diri dengan kekuatan Arok. Juga lurah-lurah yang takut kena hukuman dengan senang hati meninggalkan desanya, mengungsi ke Gresik, Kediri atau bergabung dengan Arok.
Mengetahui maksud Kediri terhadap dirinya, ia memperkuat pasukan pengawal, dan mengambil semua prajurit Tumapel yang terbaik ke Kutaraja. Untuk itu ia harus lebih banyak mendapatkan perak untuk membiayai mereka. Ia sendiri sudah mulai kehilangan kepercayaan akan kekuasaannya sendiri suatu hal yang membikin kerakusannya akan emas semakin menjadi-jadi. Rencana telah masak dalam hatinya: bila semua tak dapat dipertahankan lagi, ia akan lari ke utara dalam pengawalan kuat, membawa emas dan Dedes.
Ia tak pernah lagi meninggalkan Kutaraja. Juga tidak meninggalkan pekuwuan. Tentara baru sejumlah tujuh ribu lima ratus itu belum menggembirakan hatinya. Lima ratus di antaranya dikerahkannya untuk menjaga keamanan garis antara Kutataja dengan pendulangan emas.
Sikapnya terhadap Dedes semakin hari semakin lunak. Hanya pada brahmani itu ia meletakkan harapan kebesaran di kemudian hari. Ia mewajibkan diri mempercayai ramalan resi candi Erlangga di Belahan. Tanpa kepercayaan itu segala-galanya akan hilang daripadanya.
Ia sengaja tidak meng ganti Rimang dengan siapa pun. Dan ia tak biarkan Ken Dedes mendapatkan teman yang pasti akan dapat disuruhnya untuk mencari keterangan.
Terhadap Belakangka ia sudah mematokkan ketentuan: bila keadaan sudah tak dapat dipertahankan, ia akan membinasakan-nya untuk memenangkan beberapa hari sebelum balatentara Kediri sempat memasuki Tumapel. Tetapi semua mata-matanya tidak pernah mendapatkan siapa-siapa pembantunya. Kemudian tiba pukulan yang tak terelakkan itu.
Malam itu Oti lari dari gubuk meninggalkan suaminya yang telah dilumpuhkan oleh lima orang jajaro. Ia lari menyeberangi padang batu. Tak diindahkannya kakinya yang telah berdarah-darah.
Ia lari ke tempat Gusti Putra.Tanpa mengindahkan tatacara ia daki tangga, mendobrak pintu loteng dan menjatuhkan diri di hadapan silpasastrawan yang sedang membikin perhitungan di atas selembar rontal.
"Ampun, Gusti, sahaya mohon perlindungan."
"Bukankah kau ini Oti""
"Inilah sahaya, Gusti."
"Apakah suamimu tak mampu melindungimu""
"Sudah jatuh menggeletak, Gusti, tolonglah dia."
Gusti Putra bangkit dari tempat duduk, menggunakan ikat pinggang dan memasang pedangnya. Ia ambil dua pucuk tombak:
"Mari," dan diserahkan sepucuk pada Oti. "Bolehkah sahaya ikut berkelahi, Gusti"" "Mari bantu aku."
Oti menerima tombak itu, matanya menatap Gusti Putra.
"Hanya kau dan aku yang bisa menolongnya. Tak ada orang lain bisa diharapkan. Ayoh!"
Mereka mematikan damar, menuruni tangga dan lari melintasi padang batu.
Pada malam itu juga pasukan Arok, diperkuat oleh barisan biarawan dan biarawati dan para petani Syiwa, menyisiri hutan selingkaran pendulangan. Mereka melangkah setapak demi setapak untuk menemukan sarang jajaro. Gua-gua mereka ditemukan kosong.
Umang, dalam semangat untuk membebaskan ayahnya, selalu menjadi panah barisan wanita.
Dan pasukan itu bergerak dalam kegelapan seperti gelombang kucing malam. Tak ada seorang pun yang pernah menginjak tempat ini. Tetapi jalan-jalan setapak jajaro sendiri yang memberi petunjuk lalulintas mereka.
Atas perintah Arok Tanca selalu mendampingi Umang. Mereka mendapatkan seorang jajaro sedang memasak di depan guanya.
Umang mengacukan tombak pada dadanya. Orang itu terkejut. Waktu memekik Tanca menyepak mulutnya. Ia jatuh berguling dan mencabut parang. Umang memasukkan tombak pada iga-iganya. Orang itu mencoba meraung. Mulutnya nampak besar dan gelap seperti gua.
Gerakan selanjutnya juga tidak menemukan jajaro lagi.
Lewat tengah malam mereka semakin menghampiri pendulangan. Mulai ditemukan beberapa orang jajaro. Perlawanan hampir-hampir tidak ada. Mereka menduga akan tetap aman dalam kerajaannya dalam hutan.
Biarawan dan biarawati, yang mengerti pendulangan adalah sumber kekuatan penting bagi kekuatan Tunggul Ametung, bergerak cepat dan tidak ragu-ragu menggunakan senjatanya: pelempar panah cepat itu.
Sebuah bayang-bayang gelap bergerak-gerak di balik batu besar. "Orang Gusti," Oti memperingatkan. "Siapa itu!" gertak Putra.
Bayang-bayang itu mengitari batu berlindung diri. "Budak atau jajaro"" Orang itu lari
"Kalau jajaro aku lempar kau dengan tombak." Bayang-bayang itu berhenti
"Sini." Bayang-bayang itu tidak mau datang, Gusti Putra menghampiri.
Pedangnya ditariknya dari sarong. "Budak atau jajaro""
"Budak," jawab suara perempuan.
"Oti, bawa saudarimu ini. Siapa namamu""
"Rimang." "Mengapa di sini""
"Setiap malam sahaya bersembunyi di ladang batu. Gusti, ah. Gusti Putra, beribu terimakasih Gusti sudi datang begini."
"Takut pada jajaro""
"Siapa tidak takut, Gusti"" jawab Oti.
"Mereka datang bergelombang-gelombang, hampir setiap malam. Celakalah wanita-wanita muda itu harus melayani empat sampai enam orang."
"Dewa Bathara, aku tak pernah keluar malam."
"Inilah barangkali Rimang pengiring Yang Mulia Paramesywari, Gusti."
"Benar, Gusti, juga bekas selir Yang Mulia Akuwu."
"Jagad Dewa! Nanti kita bicarakan lagi. Mari!"
Mereka berjalan bergegas.
"Inilah gubuk sahaya."
"Mundra!" seru Gusti Putra.
"Inilah sahaya, Gusti, malu sahaya
tidak bisa membela diri terhadap mereka. Oti! Oti, kau selamat"" "Mana jajaro itu""
"Sudah pergi lagi, Gusti, ke gubug-gubug lain " "Tolong suamimu itu, Oti. Rimang, kau ikut denganku. Bawa tombak Oti."
Mereka berjalan dan mendengar-dengarkan dari gubuk ke gubuk. Pada sebuah gubuk mereka mendengar seorang wanita merintih. Gusti Putra berbisik pada Rimang:
"Tombak siapa saja yang nanti keluar. Aku masuk."
Ia memasuki gubuk itu dan dengan tangan menggerayangi keadaan di dalam. Suatu raungan lelaki telah memadamkan rintihan.
"Pasang damar!" perintah Gusti Putra pada Rimang yang menunggu di luar.
Rimang masuk "Tidak ada sahaya bawa pembangkit api. Gusti." Mendengar raungan, beberapa orang jajaro terdengar mendatangi. Gusti Putra menarik tangan Rimang, berbisik: "Keluar kita, Rimang."
Di depan gubuk mereka melihat bayang-bayang lima orang membawa parang telanjang.
"Gusti Putra di sini. Panggil kepalamu kemari!"
Lima orang jajaro itu menyerang berbareng ke arah datangnya suara, membelah dinding gubuk. Dengan pedangnya Gusti Putra membabat dua orang di antaranya, langsung jatuh men-jelempah di tanah.
Tombak di tangan Rimang jatuh ke tanah. Ia sendiri pun jatuh. Kakinya gemetar kehilangan tenaga.
Tiga orang jajaro itu menyerang Gusti Putra.
Dengan mengelakkan serangan silpasastrawan itu memekik-mekik memerintah:
"Mundur kalian! Pergi! panggil kepalamu ke mari."
Mereka tidak menggubris. "Kalian melawan Gusti Putra, melawan perintah Sang Akuwu. Kembali! Kembali ke sarang kalian!"
Perkelahian dalam kegelapan itu berpindah-pindah dari depan ke samping gubuk. Dan Rimang, yang malu pada kelemahannya sendiri mulai merangkak berdiri, mengambil tombak dan bisiknya:
"Ya Mahadewa, beri aku kekuatan."
Dengan tombaknya ia tikam seorang jajaro dari belakang. Sekali lagi raungan terdengar, jajaro yang dua orang itu tak dapat lagi memusatkan perhatian, kemudian lari meninggalkan tiga orang temannya.
"Pergi dari sini kita, Rimang, sebentar lagi mereka akan datang dalam jumlah sangat besar, orang-orang buas itu,"
Pasukan biarawan dan biarawati itu maju lebih cepat daripada yang diduga. Mereka berhenti di pinggiran ladang batu Tanca, Umang dan pasukannya tersasar menjauhi pendulangan. Kemudian mereka menempuh jalan kembali karena semakin tak mendengarkan suara-suara isyarat.
Waktu Arok sampai di tepi padang batu ia perintahkan memberikan isyarat. Pasukan biarawan-biarawati dan petani itu sudah menjawab dari sebelah kanan. Tanca dan Umang belum terdengar. Ia perintahkan lima orang untuk mencarinya.
Bulan tua mulai muncul dari atas hutan, mendesak kemutlakan kegelapan. Mereka mulai dapat melihat bayang-bayang bergentayangan di padang batu, di depan gubug-gubug, juga suara-suara manusia.
Bulan itu naik sejengkal lagi dan pasukan Umang-Tanca baru terdengar memberikan isyarat.
Serombongan jajaro nampak berjalan tenang-tenang hendak pulang ke guanya masing-masing.
Tiga pasukan di tepi ladang batu itu bersorak. Rombongan jajaro itu lari menyerbu. Arok, yang mengerti mereka tidak tahu kridagama[olah keprajuritan.] dan tugasnya memang bukan untuk bertempur, membiarkan mereka maju. Sorak mereka bergelombang-gelombang lagi. Semua jajaro meninggalkan gubuk-gubuk dan berlarian ke arah datangnya sorak.
Pasukan panah cepat dari barisan biarawan-biarawati mulai menghujani dengan jarum bambu mautnya. Lima belas orang jajaro itu lari balik meninggalkan beberapa orang korban, menggabungkan diri dengan rombongan besarnya.
Sekarang pasukan jajaro itu meraung berbareng, membentuk garis panjang. Tetapi hanya dengan tombak dan parang mereka tak mengerti bagaimana harus menghadapi anak panah. Mereka masih tetap meraung-raung dengan suara bolong dan terdengar aneh, seperti keluar dari rongga mulut macan.
Pasukan tak dikenal yang berdiri di tepi padang batu di pinggiran hutan itu lari meninggalkan tempat, memasuki padang di depannya dan mendesak pasukan jajaro. Empat ratus orang jajaro buyar memecah diri, sepera sekelompok lebah dilempar batu.
"Semua budak bebas mulai hari ini!" ter
iak Arok. "Semua budak bebas!" pekik bersama.
"Hancurkan jajaro!"
"Hancurkan!" Beberapa jajaro nampak membuang senjata dan mencoba lari memasuki hutan Tetapi tombak temannya sendiri selalu menyambarnya dengan tepat.
Panah-panah beterbangan. Mereka mundur dan mundur. Di belakang mereka para budak nampak sedang kebingungan dan melarikan diri ke arah sungai.
"Hancurkan jajaro itu!" pekik Arok.
Budak-budak yang lari itu setengahnya berhenti.
"Kalian bebas. Sekarang juga. Hancurkan jajaro!"
Seluruh pasukan Arok lari mengejar. Para jajaro mulai mem-buyar lebih tipis dengan raungan hewan.
Dan budak-budak itu mulai melempari para jajaro dengan batu. Terjepit oleh dua kekuatan mereka kemudian berbalik, menerjang pagar budak dengan parang dan tombak dan melarikan diri ke arah Kali Kanta, tanpa berlawan.
Gusti Putra menarik tangan Rimang dan dibawanya lari pulang ke rumah panggungnya. Kaki mereka telah berdarah-darah, Silpasastrawan itu menyalakan damar. Bercak-bercak darah dari kaki keduanya membekasi lantai geladak, "Sudah, kau sembunyi saja di sini." "Jajaro tentu nanti datang kemari."
"Binatang-binatang itu. Kau benar juga."
Pada waktu itu mereka mendengar sorak perang dari kejauhan. Dan mereka mendengar-dengarkan suara aneh itu.
"Sorak, Rimang, bukan raungan Sesuatu telah terjadi di Tumapel."
"Kita turun saja, Gusti."
Sorak itu terdengar lagi, bergelombang, bergema-gema "Bukan suara jajaro."
Tak lama kemudian terdengar raungan simpang-siur pasukan jajaro.
"Memang sesuatu sedang terjadi di Tumapel, Rimang. Mari bantu aku."
ia buka lemari batu dan mengeluarkan batangan-batangan emas dari dalam. Bolak-balik mereka menuruni tangga. Kemudian mereka pikul batangan-batangan itu ke dalam hutan di belakang rumah. Barang dua ratus depa Rimang berhenti, tak kuat meneruskan. Nafasnya sengal-sengal.
"Sampai di sini pun sudah baik. Kita angkut seperempatnya saja, Rimang, dan ditimbunnya yang tiga perempat dengan luruhan dedaunan dan ranting.
Mereka berjalan terus, melalui jalan setapak jajaro. Tiga ratus depa kemudian Rimang berhenti lagi, tak mampu meneruskan.
"Baik. Kita tinggalkan jalan setapak. Bawa beberapa potong ini," sekali lagi Gusti Putra menimbun sisa itu dengan luruhan daun.
Mereka meninggalkan jalan setapak, menempuh jalan liar yang ditumbuhi semak-semak.
"Berani kau seorang diri di hutan ini" Biar aku angkuti sendiri yang lain-lain."
"Kita lupa membawa senjata, Gusti."
Sorak di kejauhan itu bergelombang-gelombang lagi. Dan raungan jajaro tidak terdengar menyambut.
"Jajaro itu lari, Rimang. Boleh jadi akan membuyar melalui tempat ini. Kita bersembunyi saja, Rimang."
Mereka memasuki semak yang lebih rapat. Sekali lagi sorak bergema. Dari arah yang bertentangan terdengar aum macan.
Dan Rimang sendiri tak berani terlalu dekat pada Gusti Putra. Ia tahu banyak cerita tentang keganasan orang-orang yang menguasai terlalu banyak emas. Boleh jadi ia akan dianggap terlalu banyak tahu tentang rahasia penyimpanan.
"Benar kau bekas selir Sang Akuwu"" "Benar, Gusti."
"Bagaimana bisa sampai ke mari""
"Yang Mulia sudah tidak memerlukan, Gusti."
"Kan tidak perlu sampai ke mari" Apa kesalahanmu""
"Terakhir jadi pengiring Yang Mulia Paramesywari."
"Apakah Yang Mulia Paramesywari jahat""
"Tidak, Gusti. Yang Mulia berdua belum pernah rukun. Mungkin karena itu sahaya dituduh menghasut."
"Apakah Yang Mulia Paramesywari seorang putri dari Kediri, Rimang""
Sorak-sorai bertalu-talu terdengar bergema-gema menggelombang, jauh lebih panjang-panjang dan terus-menerus.
"Jajaro itu kalah, Rimang. Raungan mereka tak terdengar sama sekali."
"Sahaya, Gusti."
Mereka diam-diam mendengarkan kalau-kalau ada pecahan jajaro yang menempuh tempat mereka. Tak ada tanda-tanda.
"Apakah Yang Mulia Paramesywari putri dari Kediri""
"Tidak, Gusti. Hanya seorang perawan desa, anak brahmana Mpu Parwa."
"Jagad Dewa!" sebut Gusti Putra. "Dedes""
"Betul, Gusti. "Tak mungkin dengan rela orang tua atau dirinya sendiri."
"Diculik, Gusti."
"D iculik! Jagad Dewa!"
"Kenalkah Gusti pada Yang Mulia""
Gusti Putra mendengus. Kemudian:
"Mari kita selamatkan terus sisa emas itu."
Rimang gemetar. Pada akhir kerja ini tentu dibunuhnya aku, pikirnya, ia laksanakan perintah itu, membawa sesedikit mungkin dan menjaraki sejauh mungkin.
Tiba-tiba terdengar sorak gemuruh, lebih keras, ber-gaung-gaung menyapu padang batu dan hutan.
"Mereka bersorak gembira. Jajaro itu mungkin sudah tumpas Tapi siapa kiranya yang menyerbu" Pasti bukan balatentara Tumapel. Ayoh, Rimang, lebih cepat."
Sinar matan pagi telah mulai menusuki mendung di sebelah timur. Batang-batang emas itu telah terkubur di dalam tumpukan dedaunan dan ranting.
"Mengapa kau selalu jauhi aku""
"Ampun, Gusti. jangan bunuh sahaya setelah membantu kerja begini."
"Gila! Siapa akan bunuh kau" Aku" Gila! Mari keluar hutan," dan Gusti Putra melangkah cepat meninggalkan Rimang.
Rimang berjalan lambat-lambat. Kalau ia tahu jalan pada saat ini juga ia akan melarikan diri. Tak ada jalan baginya daripada mengikuti Gusti Putra keluar dari hutan.
Semua budak, laki-perempuan, tua-muda dan kanak-kanak bersorak-sorai menyambut kedatangan pasukan pembebas itu. Mereka semua dikumpulkan di padang batu.
Arok naik ke atas sebongkah batu, berlutut dan mengucap syukur kepada Mahadewa. Semua mengikuti contohnya. Waktu ia berdiri dilihatnya sekelompok kecil budak lelaki meninggalkan rombongannya, menyelusup di balik-balik batu besar.
"Hayam, ikuti mereka dengan regumu," perintah Arok. Kemudian pada semua budak yang hadir: "Mulai hari ini kalian bebas. Hanya jangan bubar dulu. Tidak lama lagi pasukan Tumapel akan datang merampas lagi tempat ini dan memperbudak kalian kembali. Karena itu semua orang di antara kalian agar bersiap-siap bertempur. Setuju""
Sorak-sorai gemuruh menyambut ajakan itu.
"Tumpas setiap prajurit Tumapel."
"Tak ada senjata pada kami!" teriak seseorang.
"Kalian membantu pasukan yang akan ditinggalkan di sini. Setuju"" ia menuding ke arah sayap kanannya: pasukan
biarawan-biarawati dan petani selatan Tumapel. "Bantu mereka seperti membantu saudara-saudaramu sendiri. Mengerti"" "Mengerti."
"Siapa di antara kalian bernama Bango Samparan"" "Ki Bango! Ki Bango!" orang berseru-seru memanggil. Dari tengah-tengah kumpulan budak itu keluar seorang lelaki jangkung yang sudah mulai agak bongkok, berjalan dengan langkah tegap maju menghampiri Arok. "Inilah Bango Samparan, Yang Mulia!" Arok melompat turun dari batu, bersujud dan mencium kakinya. Ki Bango melangkah mundur kemudian juga berlutut mencium tanah.
"Biarlah aku memuliakan kau, Bapak. Inilah anakmu, anakmu sendiri si Temu." "Jagad pramudita! Temu" Temu anakku"" Berdua mereka bangkit dan berangkul-rangkulan. Arok memimpin Ki Bango Samparan naik ke atas batu.
"Inilah Ki Bango Samparan, bapakku. Hormati dia seperti kalian menghormati aku, karena sebentar lagi aku akan tinggalkan tempat ini. Bapakku ini akan memimpin kalian. Jangan kalian tinggalkan tempat ini sebelum pasukan Tumapel nanti dapat dikalahkan. Semua masuk ke dalam hutan." Ia diam sebentar dan menebarkan pandang ke keliling. Dengan lambaian tangan ia memberi isyarat pada Umang di sayap kiri untuk maju menemui bapaknya.
Sayap kiri yang terdiri dari wanita bercawat dengan hanya seorang lelaki, Tanca, maju serempak dan mengangkat sembah pada Ki Bango Samparan "Bapak, inilah Umang."
Tanca menyorong Umang naik ke atas batu. Dan Umang menangis, tersedu-sedu. Ia tinggalkan tombaknya pada Tanca Budak-budak itu maju melingkari batu itu, bertanya satu pada yang lain.
"Inilah prajurit wanita yang juga membebaskan kalian.
Umang, anak darah Ki Bango Samparan. Aku bukan anak darah, hanya anak pungut."
Ki Bango Samparan memeluk Umang dengan tangan satu dan memeluk Arok dengan tangan yang lain.
"Kami bertiga bertemu di padang perbudakan ini Harap kalian mengingat-ingat ini: perbudakan tidak aku benarkan Siapa pun tidak dibenarkan untuk menjadikan saudaranya sendiri dan bukan saudaranya sendiri menjadi budak."
"Ki Bango Samparan telah menjadikan sah
aya jadi budak," seorang mengadu.
"Juga sahaya jadi budak karena dia."
"Sahaya juga." "Maka itu Ki Bango Samparan juga dijadikan budak oleh orang lain. Untuk selanjutnya tak boleh terjadi lagi, baik karena judi, hutang maupun tak kuat membayar upeti. Kalian mengerti" Maaf-memaafkan kalian mulai hari ini. Nah, beramah-ta-mahan kalian sekarang dengan semua prajurit yang telah membebaskan kalian!"
Budak-budak itu berebutan dulu untuk mencium kulit Arok. Juga Umang mencium tangan Arok. Kemudian juga Ki Bango mengikuti contoh orang banyak.
Arok turun dari batu memasuki tengah-tengah kaum budak. Orang semakin rapat untuk dapat mencium kulitnya. Dengan lambaian tangan ia perintahkan semua prajurit untuk meramahi mereka.
Dan pesta keriangan pun dimulai dengan tari dan nyanyi Ratusan mulut menirukan suara gamelan sambil menari....
Dengan regunya Hayam mengikuti beberapa orang budak lelaki yang memisahkan diri dari rombongannya, lari bercepat-cepat menuju ke rumah panggung Gusti Putra.
Mereka lihat budak-budak itu terus lari tanpa memperhatikan keliling, naik ke tangga dan hilang di dalam panggung. Tak
lama kemudian mereka turun lagi. Dua orang di antaranya kini membawa tombak, seorang membawa pedang. Mereka berpencaran ke sekeliling rumah.
Regu Hayam makin mendekat dan mendengar:
"Cari sampai dapat!"
Dan ia lihat seorang punggawa keluar dari hutan di belakang rumah. Budak-budak itu segera menangkapnya. Tombak diacukan pada dadanya. Secepat kilat punggawa itu telah terpelintir tangannya ke belakang badan.
"Kau simpan di mana semua emas itu""
"Di atas!" raung Gusti Putra, ditujukan pada regu bersenjata yang mendatangi.
Regu Hayam lari mendekati.
Dua orang bertombak dan seorang berpedang itu menghadang regu pembebas, mengancam:
"Kalian orang-orang desa, jangan ganggu kami. Jumlah kalian memang besar, tapi jangan coba melawan bekas prajurit Tumapel, biar jumlahnya kecil."
"Apa yang kalian pertengkarkan"" tanya Hayam.
"Orang-orang ini menghendaki emas," sebelum Gusti Putra menyelesaikan kata-katanya mulutnya telah kena hujan tinju, dan terbisukan. Darah mengucur.
"O, itu"" sambut Hayam. "Kalau begitu kalian ini mau merampok emas kami""
"Emasmu"" "Serbu mereka!" perintah Hayam. Gusti Putra dilepas dari pelintiran tangan Dengan tombak Hayam menyerbu. Dalam hujan tombak yang dilemparkan rombongan kecil budak itu kewalahan. Beberapa orang telah menjelempah tanpa bisa membalas. Kemudian melarikan diri berpencaran ke segala penjuru. "Siapa kau"" tanya Hayam pada punggawa itu. "Gusti Putra, pengurus semua pekerjaan di sini." "Budak-budak itu menanyakan di mana emas disimpan."
"Betul. Bawalah aku pada pemimpinmu yang tertinggi" "Di mana kau simpan emas itu""
"Hanya pada pemimpinmu yang tertinggi akan kusampaikan.
"Baik," diperintahnya beberapa orang anak buahnya untuk menjemput Arok.
Hayam naik ke panggung, memeriksa semua lontar perhi tungan. Gusti Putra menolong menyusunkan. Hayam melongok pada jendela berkisi-kisi, bertanya ke bawah:
"Apa ribut-ribut di bawah itu""
"Perempuan, Hayam."
"Rimang," kata Gusti Putra, "bekas pengiring Paramesywari Tumapel."
"Ah" Suruh dia naik," ia meneruskan bacaannya. "Aku lihat ada tiga puluh ribu saga. Benar""
"Benar. Hanya tidak akan dikatakan di mana ditempatkan."
"Baik ada waktunya sendiri untuk mengatakan. Bakar semua perhitungan itu,"perintah Hayam. "Tiga puluh ribu saga. Jangan lupa."
Rimang naik ke atas waktu Gusti Putra membakar ron-tal-rontal perhitungan.
"Jadi sepuluh ribu saga yang tersedia," Hayam menindas dengan suaranya. "Kalau yang sepuluh ribu itu tidak ada kepalamu tergantung-gantung di ujung pedang," ia berpaling pada Rimang yang duduk di lantai. "Bekas pengiring Paramesywari""
"Sahaya." "Lari waktu dikejar-kejar jajaro, mencari perlindungan kemari," Gusti Putra menerangkan, "kemudian kami berdua bersembunyi dalam hutan."
"Dengar, Gusti Putra, tidak lama lagi pasukan Tumapel akan melakukan serangan pembalasan. Kau berpihak pada siapa""
"Aku pun seorang budak."
"Baik. Sampai kan nanti pada pemimpinku. Jangan salah ucap. Dan kau, Rimang, sudah lama kau jadi budak di sini"" "Belum lagi lama."
"Kau akan dibawa nanti oleh pemimpinku. Bersiap-siap kau. Perjalanan akan sangat jauh." "Sahaya."
Matan makin meninggi. Arok datang dalam iringan pasukan, didampingi oleh Umang dan Tanca. "Sepuluh ribu saga tersedia, Arok."
Arok tak menjawab. Dengan pandang matanya ia selidiki seluruh ruangan. Hayam menceritakan segala yang telah terjadi.
"Berapa bekas prajurit Tumapel dibudakkan di sini"" tanyanya pada Gusti Putra.
"Empat puluh."

Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Perintahkan menghimpun semua mereka dan giring kemari."
Hayam turun. "Laksanakan olehmu sendiri," perintah Arok. Ia menjenguk ke jendela melihat Hayam pergi bersama regunya. "Kau, perempuan, katakan padaku apa yang dipercakapkan Hayam dengan Gusti Putra."
Dan Rimang menceritakan. "Apa saja yang telah kau lihat""
Dan Rimang menceritakan. "Gusti Putra, lihat, tidak mungkin suatu perhitungan bisa menghasilkan tepat sepuluh ribu saga." "Sahaya hanya menjalankan perintah." "Perintah Hayam""
Arok menghampiri Gusti Putra dan menariknya ke jendela. "Ceritakan semua, sebelum pasukan Tumapel datang menyerang kembali." "Lindungilah sahaya."
"Bukan hanya aku lindungi, seluruh pekerjaan ini teruskan pengurusannya. Hanya mereka tidak sebagai budak. Berikan upah yang menjadi hak mereka. Atau kau yang bertindak mem-beli hasil mereka. terserah padamu. Hanya sebelum pasukan Tumapel datang, semua harus ikut berkelahi."
"Bagaimana sahaya harus panggil pimpinan tertinggi"" Arok tertawa.
"Aku berasal dari sudra, berlaku satria, berhati brahmana Panggil sesuka hatimu."
"Siapakah nama pimpinan tertinggi""
"Ceritakan semua yang perlu aku ketahui."
"Bersama Rimang telah kami sembunyikan hasil emas yang ada. Menurut perhitungan rontal tiga puluh ribu saga. Ampun, harap sahaya dilindungi dari pembalasan Hayam."
"Urusanku. Katakan semua."
Silpasastrawan itu melaporkan tentang pembikinan candi dalam persiapan.
"Dan Lihatlah, Pimpinan Tertinggi, semua regol atas dari panggung ini adalah emas belaka, dilapis kayu."
"Mengapa kau sembunyikan dari Tunggul Ametung""
"Silpasastrawan hampir semua dikorbankan pada waktu candi selesai didirikan. Raja-raja itu tak dapat menenggang bila orang lain membuat juga candi dengan tangan ahli yang sama, apalagi sama dalam segala perencanaan dan penggarapan."
"Mengapa kau mau jadi silpasastrawan""
"Sejak dahulu telah diatur oleh raja-raja, maka setiap Silpasastrawan selalu berasal dari sudra."
"Jadi semua silpasastrawan tak pernah ada yang jujur pada rajanya""
"Mereka berusaha lari sebelum candi selesai dibangun."
"Tunggul Ametung tak memerlukan candi," sambar Arok. "Mayatnya cukup dibakar dan disebarkan di Brantas."
"Terimakasih, Pimpinan Tertinggi," jawab Gusti Putra.
"Kau tidak akan dibunuh, karena aku tidak perlu dicandikan sebagai sudra. Juga Tunggul Ametung berasal dari sudra "
"Terimakasih. Adapun semua emas yang Pimpinan Tertinggi telah periksa sendiri sahaya persembahkan. Setiap budak akan membenarkan sahaya. Sisanya Rimang tahu di mana kami telah menyembunyikan."
"Baik. Urus semua pekerjaan dengan baik, karena kami akan segera pergi lagi."
Pasukan Arok ditarik seluruhnya dari pendulangan. Para bekas budak telah dipersenjatai untuk mempertahankan daerah kerja mereka sendiri. Para bekas prajurit Tumapel yang dibudakkan telah dikurung, dan mereka yang mencoba merampas emas dari Gusti Putra ditumpas, dua orang berhasil melarikan diri.
Pasukan Arok ditempatkan di selatan kota. Seorang bekas prajurit telah dihadapkan kepadanya, mendapat perintah untuk menghadap Tunggul Ametung tentang penyerangan dan perampasan daerah pendulangan. Tetapi orang itu tidak menghadap, melarikan diri meninggalkan Tumapel, pergi ke Kediri.
Dari mata-matanya di Kediri Tunggul Ametung mendengar, bahwa sumber emasnya telah dirampas oleh pasukan pemberontak. Dengan serta merta ia perintahkan menjemput Dang Hyang Lohgawe dengan kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda. Tetapi Lohgawe menyatakan
belum lagi berhasil menemukan orang yang diharapkannya.
Pasukan Arok telah memutuskan jalan raya dan jalan air yang menghubungkan Kediri dengan Tumapel dari sebelah selatan. Kekurangan garam dan hasil laut lain membikin penduduk Kutaraja menjadi gelisah.
Dan Tunggul Ametung jarang keluar dari pekuwuan. Kepercayaan pada prajuritnya sendiri mulai goyah; pada pasukan pengawalnya ia menjadi curiga. Pada Belakangka ia hanya menunggu kesempatan untuk membalaskan dendamnya. Jalan satu-satunya yang terbuka baginya hanya berbaikan dengan kaum brahmana. meminta bantuan mereka, berdamai dengan seluruh ummat Syiwa. Dan apakah itu mungkin setelah perbuatannya terhadap mereka selama ini" Ia sendiri ragu. Berdamai dengan mereka tak lain artinya dari memanggil balatentara Kediri, Sekali ia mencoba mengambil hati Ken Dedes, mulai menceritakan padanya tentang keadaan negeri. Setelah selesai mencurahkan semua kesulitan ia hanya mendapat kata penutup dari bibir wanita harapan kebesarannya itu:
"Barangsiapa menyebar angin, dia akan berpanen badai."
Lama ia merenungkan ucapan itu, dan ia mulai mengerti Kemudian ia menawarkan pada Paramesywari untuk ikut bersama-sama memerintah negeri.
Hanya Yang Suci Dang Hyang Lohgawe yang bisa menolong.
Ia perintahkan sekali lagi untuk menjemput brahmana itu.
Dengan Tanca Arok berkunjung ke pabrik senjata Tumapel di luar Kutaraja.
Pabrik itu tak terdengar ramai seperti biasanya.
Mereka berdiri di depan gambar bintang besar bersudut lima, lambang dewa kaum sudra, Hyang Pancagina, pelindung pandai besi, pandai tembaga, tukang kayu, pelukis, dan pandai emas Mereka mengangkat sembah dengan satu tangan, kemudian masuk ke dalam pabrik.
Empu Gandring sedang berdiri sunyi bersedekap tangan dalam kelilingan para pekerjanya. Mendengar seruan dirgahayu ia tinggalkan mereka dan menemui tamunya.
"Tidak bekerja hari ini. Bapak Empu"" tanya Arok.
"Tidak. Tidak ada besi."
"Biasanya datang dari mana besi itu""
"Jauh, jauh sekali, dari Sofala, Wulungga."
"Kami ada besi."
Empu Gandring memandangi Arok dan Tanca berganti-ganti. Ia tertawa dan menggeleng. Jenggot hitamnya yang panjang melambai-lambai dan matanya yang agak sipit mengejek.
"Kami perlukan seribu pedang dan tiga ribu tombak lempar."
"Tidak mungkin. Siapa kau""
"Perintah itu telah kau terima di malam hari di rumahmu sendiri, dan kau sudah menyanggupi."
Empu Gandring menjadi bersungguh-sungguh, meneliti dua orang tamu itu berganti-ganti. Kemudian:
"Hanya Sang Akuwu bisa memesan sebanyak itu."
"Kau sudah berjanji," Arok menetak. "Besi akan datang ke tempat ini. Berapa kau perlukan biaya""
"Banyak kerusuhan sekarang ini."
Tanca menarik Empu Gandring dan dibawanya keluar pabrik. Arok mengiringkan dari belakang. Di bawah lambang Hyang Pancagina, Tanca mendesak:
"Kau terlalu pongah. Empu Gandring. Apakah kau kira kami rak bisa beli kepalamu" Kau telah berjanji."
Memang aku telah berjanji, tapi sebanyak itu" Di bawah lindungan siapa aku" Hanya Sang Akuwu."
Arok memperlihatkan padanya potongan-potongan emas dari sepuluh saga:
"Dua ratus saga untuk panjar."
Empu Gandring menggeleng.
"Tiga ratus saga."
Empu Gandring tertawa. "Bicara kau, orang pongah!"
"Jiwaku lebih mahal daripada panjar tiga ratus."
"Kau bisa katakan berapa perlumu."
"Tak ada besi" "Apakah perlu aku pekikkan pada telingamu"" desak Arok, "Besi itu akan kami antarkan"" "Aku pikirkan dulu."
"Di sini dan sekarang juga kau harus menjawab. Kami sudra, dan kau pun hanya sudra." "Balatentara Kediri," bisik Empu Gandring. "Tak ada urusanmu." "Mereka akan tumpas anak-istriku." "Kami pun bisa lakukan itu pada malam dulu itu" Empu Gandring pucat, Sinar matanya padam. Kepongahan-nya sebagai ahli yang dibutuhkan oleh semua orang, padam saat itu juga.
"Seribu pedang dan tiga ribu tombak lempar bukan sedikit," keluhnya.
"Apa perlu aku carikan tambahan tenaga"" desak Arok.
"Tidak. Aku bisa cari sendiri."
"Jadi kau sanggup."
Kepala pabrik senjata itu mengangguk
"Berapa lama semua selesai""
Gandri ng menghitung-hitung dengan jari kakinya pada pasir tanah. Kemudian: "Setahun." "Kau gila!"
"Sang Akuwu bisa kasih perintah mendadak."
"Itu urusanmu. Setahun terlalu lama. Dengar," desak Arok, "Pada tanggal yang sama enam bulan yang akan datang aku akan ambil semua pesananku. Berapa biaya semua""
"Dengan besi yang mencukupi dari kau," Gandring menjawab, "Seribu saga emas."
"Baik, seribu saga. Kalau kau menetapi janji akan kuberi kau hadiah. Ini, terima yang seribu saga, dan bersenang-senang kau dengan orang-orangmu."
Empu Gandring mengernyitkan dahi dan berkedip-kedip menerima upah dari Arok, kemudian berbalik hendak masuk ke dalam pabriknya.
Arok menangkap bahunya, dan:
"Penipu! Kau belum lagi mengangkat janji pada Hyang Pancagina."
"Kau memang terlalu. Gandring," tegur Tanca. "Pantas semua orang tidak suka padamu. Boleh jadi terlalu banyak kau tipu mereka."
"Dia boleh coba menipu kita. tapi pada 1 Hyang Pancagina dia tidak akan berani. Ayoh. ucapkan janjimu: seribu pedang, tiga ribu tombak lempar akan kau selesaikan dalam enam bulan mulai dengan hari ini, dan untuk itu kau telah menerima seribu saga."
Empu Gandring berlutut, mengangkat hormat dengan satu tangan - hormat seorang sudra pada sesamanya dan pada dewa sudra, - dan mengucapkan janji. Begitu ia berdiri lagi Arok membisikkan pada telinganya: "Akan ada orangku yang mengawasi jalannya pekerjaan. Jangan main-main dengan kami. Dirgahayu."
Dalam perjalanan kembali ke selatan seorang gadis bercawat, membawa busur pada bahu dan tempat anak panah pada pinggang menghentikan mereka.
"Arok," katanya, "Yang Suci Dang Hyang Lohgawe mencarimu Seorang pesuruh telah datang membawa sepucuk surat untukmu. Ini," katanya lagi sambil menggapai tempat anak panah.
Arok membacanya, kemudian berbisik pada Tanca: "Pimpin semua pasukan olehmu, Tanca. Aku harus pergi. Kalau kekuatan mampu, putuskan sama sekali jalan darat dan air ke Kediri. Jangan memaksa. Kalau tidak mampu, bikin jadi sambilan."
ia berikan semua senjatanya pada Tanca. "Kembali kau bersama Tanca gadis."
Mereka berpisahan. Arok berjalan seorang diri memasuki Kutaraja, terus menuju ke utara, kemudian membelok ke barat, ke kaki Gunung Arjuna.
Pagi hari ia sampai di Pangkur, langsung masuk ke asrama. Para siswa sudah berangkat ke sawah. Dan tidurlah ia di tempatnya yang lama.
Dang Hyang Lohgawe yang melihat kedatangannya membiarkan ia berisnrahat. Dan waktu kereta dari Kutaraja datang, ia masuki asrama dan membangunkannya, menyuruhnya mandi.
Dalam kereta Arok baru mendengar maksud gurunya: ia hendak dibawa menghadap Tunggul Ametung untuk meredakan kerusuhan di bagian selatan negeri.
"Garudaku!" bisik Lohgawe, "hanya kau yang dapat tumbangkan Akuwu Tumapel. Hanya cara ini yang bisa ditempuh. Kau harus mendapatkan kepercayaan dari Tunggul Ametung. Dengan kepercayaan itu kau harus bisa menggulingkannya. Semua brahmana di Tumapel, Kediri, di seluruh pulau Jawa, akan menyokongmu. Dengan Tumapel di tanganmu kau akan bisa hadapi Kediri. Demi Hyang Mahadewa, kau pasti bisa."
Arok terpesona oleh tugas yang datang secara mendadak itu Dari medan pertempuran ia harus pindah ke medan siasat.
"Kau pasti bisa," ulang Lohgawe mempengaruhi.
"Sahaya pasti bisa."
"Pegang Tumapel dan hadapi Kediri."
"Pegang Tumapel dan hadapi Kediri, ya. Bapa Mahaguru."
"Demi Hyang Mahadewa."
"Demi Hyang Mahadewa."
"Heningkan cipta dan dengarkan suara para dewa ..." Arok mengheningkan cipta. Dan kereta itu lari laju kembali ke Kutaraja.
Arok tak mendengar suara para dewa. Yang datang padanya adalah seorang gadis bercawat kumal bernama Umang. Suaranya yang terdengar olehnya: Umang akan bersetia padamu sampai akhir hidup. Di sampingnya adalah Ki Bango Samparan. Dan pesta perkawinan di padang budak itu berakhir dalam segala kesederhanaannya.
Ia raba cawatnya sendiri. Dengan selembar kain itu ia nikahi Umang. Dengan itu pula ia akan hadapi Tunggul Ametung hari ini, dan ia akan hadapi dia sebagai musuh semua orang. Pada tangannya tergenggam tugas kaum brahmana untuk menyingkirkan
nya. Dan ia harus menghamba padanya sebagai budaknya yang paling rendah.
Ia tersenyum. "Aku tahu, kau sudah mengerti seluruh sangkut-paut dari tugasmu. Kau tidak akan mengecewakan."
"Sahaya tidak akan mengecewakan, ya Bapa Mahaguru.
Arok memejamkan mata. Dalam hati ia menempa rencana dalam hubungan dengan semua orang yang mencintainya...
Kereta itu berhenti di depan rumah tungguk-kemit. Pangalasan, kepala kemit. ikut naik ke atas kereta dan memimpin kusir melalui samping kanan pekuwuan, membelok di belakangnya.
Mata Arok tajam menghafal semua keadaan, dan sekilas ia lihat pura-dalam di sebelah kirinya, terkurung pagar tanah liat.
Kereta berhenti tepat di tentang pintu gerbang pertama pura. Semua turun. Pangalasan mengetuk pintu gerbang belakang pekuwuan. Waktu pintu itu terbuka Pangalasan menjatuhkan diri dan mengangkat sembah. Lohgawe mengangkat tangan. "Dirgahayu, Yang Terhormat," sapa Tunggul Ametung. "Dirgahayu!"
Rahasia Cinta Tua Gila 2 Raja Naga 03 Misteri Menara Berkabut Dendam Sejagad 20

Cari Blog Ini