Ceritasilat Novel Online

Biru Laut 1

Biru Laut Karya Asma Nadia Bagian 1


J-TWO ON A MISSION Birulaut & Asma Nadia /\/-A-\/\ PERINGATAN: DILARANG KERAS MENJUALBELIKAN EBOOK INI!!
EBOOK INI DIBUAT AGAR DIMANAPUN KITA BISA MEMBACA BUKU DENGAN MEDIA HP/PDA!!
BELILAH BUKU ASLINYA......
-ooOoo SELAMAT MEMBACA.... \(^_^)/ OSPEK Wuih... bener-bener keren spanduknya," kata Jai kepada dua sohib kentalnya, Oscar dan Jacko, yang ngiringin dari belakang kayak bodyguard ngawal bos mafia. Kedua sohib Jai itu ikut melihat ke arah spanduk besar yang terpampang di gerbang Kampus IKJ.
"Kayaknya ospek kali ini bakal sukses, nih!" komentar Jai lagi sambil menjentikkan jari.
Waktu itu, Jai, Oscar, dan Jacko sengaja datang pagi ke kampus karena ketiganya sudah tiga hari ini jadi panitia ospek, seksi keamanan atau biasa disebut Sipam. Jadi, selain harus disiplin dan menjadi contoh bagi anak-anak baru, mereka juga bisa liat-liat, kalau-kalau ada ospeker cakep nyasar.
"Gimana" Gaya gue udah oks belum"" tanya Jacko sekonyong-konyong.
Jai dan Oscar memandangi cowok ceking ber-frame kacamata super besar yang berdiri bak jagoan itu beberapa saat, lalu bersamaan menggeleng.
"Belum," jawab Oscar pendek.
Jai dengan santainya malah menambahkan, "Masih kumuh!"
Hm. Jacko kelihatan mikir. Wajahnya terus cerah melihat keran di depan pos satpam, "Wait a moment!"
Langkah cowok itu segera mendekati keran air. Lalu, splash ... splash ... berkali-kali cucuran air keran diusapkan ke rambutnya yang berjambul.
"Wah, kumat lagi die!" celetuk Jai melihat gaya Jacko yang nyeleneh.
Oscar nyengir juga. Gak di mana-mana tuh anak demen banget nyolek air keran, atau air apaan aja kalo kepepet, terus ditaruh di poninya yang mirip Michael Jackson, King of Pop itu. Cuma, kalo orang-orang bikin efek rambut gitu pake styling foam, nah si Jacko karena mainannya paling sering keran atau pompa, sama Jai sering diplesetin styling pump, alias gaya pompa.
"Eh, anak baru tuh!"
Jacko yang masih ngusap-ngusap ujung poninya, nunjuk anak-anak baru yang udah ngumpul di lapangan, di depan gedung Jurusan Teater. Jai dan Oscar langsung mengikuti ujung jari Jacko. Benar aja. Di sana berjejer anak-anak baru yang- dandanannya aneh gak keruan, tapi kelihatan kinclong.
"Udah! Jangan pada melotot kayak ikan mas koki," tegur Jai. "Mending kita pasang tampang serem. Yuk ... tugas!"
"Oke Bos," jawab Oscar dan Jacko kompak.
Ketiga makhluk yang suka nyebut dirinya The Playmaker itu (maklum, ke mana-mana bertiga; jajan, nonton, main di mal, sampai ngutang di warung Mang Toha warung yang ada di belakang kampus tetap bertiga (meski kalau urusan cewek lain lagi) berjalan mendekati sasarannya.
"Weh ... tumben, kalian datang pagi"" sapa Oding, yang hari itu mengenakan blangkon dan surjan, lengkap sama aksesori berupa tiga potong keris. Cowok Batak yang gede di Yogja hingga terdengar aneh dialeknya kalau lagi ngomong mengomentari lagi. "Pasti ada apa-apa nya, nih."
"Ah ... Tulang nih, mau tau aja urusan orang ganteng," sahut Jai ber-tulang ria (tau kan, artinya tulang" Tulangan Matematika, tulangan Biologi ... hihihi, canda!).
Jai en genk terus jalan lagi sambil merhatiin ospeker-ospeker baru. Eman, anak Jurusan Musik, yang kebagian giliran jadi pembawa acara, tangan kanannya menenteng gitar tua yang selalu dibawa, sementara yang kiri memegang megaphone. Langkah cowok berambut gimbal yang badannya nyaingin tiang listrik itu dibuat sewibawa mungkin.
"Ayo, anak-anak... semua pada kumpul!" kata Eman dengan suara lebih berat daripada biasanya, hingga The Playmaker terperangah. Jai malah sempat-sempatnya berbisik,
"Pssst ... tuh anak makan apa ya, suaranya kok jadi berat gitu""
"Susu dua galon, kali!" Jacko menyahuti.
Namun, meski udah pake megaphone, anak-anak baru di depan Eman masih bergeming.
Maka, sekali lagi Eman pun mengulangi perintahnya.
"Ayo, anak-anak ... baris yang rapi, cepaaat!"
"Ya ... Bapak-bapaaak ...!
Jawaban meledek itu, jelas bikin Eman keki banget. Apalagi pas dia nengok ke belakang, disambut pemandangan nyebelin: Jai yang lagi cengar-cengir.
Uh ... kata Eman dalam hati, dasar orang kurang kerjaan. Untungnya, dia ti
dak mungkin marah sekarang sama Jai en genk. Apa kata ospeker-ospeker itu nanti" Mereka kan udah nunggu, dan biar gimana, dia gak boleh dong mengecewakan. Bisa-bisa mereka benci gak cuma sama dia, tetapi juga sama gitar butut kesayangannya. Tidak boleh dibiarkan!
Pikiran itu yang membuat Eman, cowok kelahiran Carut, cool lagi.
"Semua baris teratur!" teriak Eman yang berdiri di atas tangga trap, dan membuatnya bisa memandang lebih jelas anak-anak baru di bawah sana, kali ini dengan intonasi lebih galak.
Dalam sekejap, di lapangan Kampus IKJ berbaris anak-anak baru dengan dandanan khas. Kaos kaki sebelah merah sebelah kuning. Rambut dikucir banyak dengan warna pita yang sesuai dengan nama kelompoknya. Jadi, jangan heran kalau melihat merah kuning ijo bertaburan, kayak lampu merah di perempatan.
Pakaian yang dipakai terdiri dari dua potong kaos bertuliskan "Ospek oke coy!" dan celana model jawara, keduanya berwarna putih. Di sekeliling mereka, Sipam atau seksi keamanan berdiri dengan angker, sambil pasang mata awas, mencari-cari kesalahan anak-anak baru.
Sepanjang sejarah perkuliahan di kampus-kampus, ospek IKJ memang termasuk cukup mengerikan. Hukuman yang diberikan atas pelanggaran, biasanya unik-unik. Pernah ada mahasiswa yang terlambat datang ospek, terus disuruh latihan lari, dengan muter-muter sambil teriak ngeeeng... ngeeeng menirukan bunyi mobil, dan ujung-ujungnya harus nyerudukin kepala ke gardu ronda, yang sengaja dibikin. Memang sih, terbuat dari tripleks, tetapi kalau sering-sering kan, benjol juga.
Belum kejadian kemarin, satu ospeker cowok ketahuan lupa sikat gigi. Hukumannya" Nih, anak baru disuruh bilang: "Darling, I love you!" berkali-kali kepada seorang ibu tua berkonde yang pas lewat, dengan gaya perayu angkatan '45. Gak lupa pamer giginya yang kuning sebaris!
Wajar, kalau anak-anak baru biasanya makin hari, makin stres aja tampangnya.
Gimana dengan Jai, Jacko, dan Oscar" Nah, The Playmaker, yang saat ini masuk semester lima, sedikit berbeda dengan Sipam lain. Mereka gak sadis, tapi jail habis.
Pernah seorang mahasiswi dikerjain Jai. Hanya karena sejak pagi, mahasiswi itu oek... oek mulu. Ngakunya kepada mereka, dia sakit maag. Cuma kan, jadi mengganggu suasana. Maka, atas inisiatif Jai, mahasiswi yang gak enak badan itu diberi hukuman. Demi stabilitas keseluruhan ospeker!
Sebetulnya sih, gak berat-berat banget. Cuma diminta ganjal perutnya pake buntelan kain, dan disuruh akting nguber-nguber seorang bapak, yang lagi duduk di bawah rimbunan pohon dekat gerobak siomay, sambil nangis bombay dan teriak: Bapak harus bertanggung jawab.... Bapak harus bertanggung jawab!
Nah, ketika akhirnya si Bapak, yang ternyata bukan tukang siomay melainkan dosen musik IKJ, marah-marah pada si Mahasiswi, Jai dan teman-temannya sudah ambil langkah seribu.
Lainnya yang masih menyisakan tawa di wajah Jai en genk, gak kalah seru. Kejadiannya di hari pertama ospek. Seorang ospeker cowok yang kaos dalam bagian depannya ketahuan bolong-bolong, kena dikerjain mereka. Cowok yang badannya kurus dan tulang-tulangnya kelihatan menonjol secara mengibakan itu, diminta menaikkan kaos atasannya hingga seluruh kaos dalam yang bolong terlihat jelas.
Setelah itu, Jai dengan santai menunjukkan bagian-bagian kaos dalam, yang konon korban setrikaan tak bertanggung jawab itu, dengan sebuah antene. Lalu dengan gaya pembaca ramalan cuaca profesional, yang sering muncul di televisi dulu, cowok itu mulai menerangkan,
"Seperti yang pemirsa lihat," ujung antene menunjuk sebuah bagian yang bolong, "cuaca hari ini cerah. Langit memang sedikit berawan," lalu menunjukkan sebuah bagian bolong kecil-kecil di beberapa bagian.
"Titik-titik hujan, diperkirakan akan turun lebat seperti terjadi di daerah ini dan ini," ujung antena bergeser sedikit. Kali ini bukan kaos dalam yang ditunjuk, melainkan bagian ketiak si Cowok kurus yang mungkin dari kecil gak pernah dicukur. Hiyyy ....
"Ehm," Jai tersenyum, melanjutkan acaranya.
"Sementara, angin akan berembus secara merata di daerah yang luaaas ini."
Dia menutup ramalan cuacanya, setelah menunjuk ba
gian terkoyak sekitar pusar yang paling luas.
Hihihi .... Tengsin gak, sih" Pokoknya Jai en genk memang terlalu.
Terus sekarang" Jai dan dua sahabat setianya, sedang berhadapan dengan tiga cewek yang berdiri dengan kepala menunduk, khidmat. Resah dan ketakutan. Rasain sendiri deh, kalau kita dicuekin, didiamin beberapa lama, dan cuma dipandangin. Gak enak, kan" Untungnya, kemudian Jacko buka mulut.
"Kamu tahu gak, kesalahan terbesar kamu""
Cewek kurus berambut keriting yang menjadi sasaran pertanyaan Jacko, tampak menundukkan mukanya kian dalam. Perasaan, semua tugas sudah dia kerjakan... batinnya seraya berpikir keras.
"Tahu gak" Jawab dong!" tanya Jacko lagi sambil tolak pinggang mengitari gadis di depannya.
"Tahu, Kak. Hari ini saya gak bawa handphone."
"Nope. Wrong!" "Habis apa, Kak""
"Ihink dong! Think but quick!" perintah Jacko lagi tak sabar. Lelet banget nih cewek, desisnya dalam hati.
Si-Cewek mikir. "Anu, Kak ... e ... e ... hari ini saya gak dianter Papi pake mobil."
Jai sama Oscar langsung nyengir. Gila... benar-benar matre nih cewek. Tetapi, Jacko cepat-cepat menyembunyikan senyum. Meski dalam hati, dia setuju itu kesalahan si Cewek kedua terbesar. Kalau ada mobilnya, kan mereka mungkin bisa nebeng pulang" Pikirnya rada matematis.
"Itu juga! But your big mistake is ujar Jacko sambil mengamati cewek itu dari rambut sampai ujung kaki, "kesalahan kamu yang terbesar adalah ...."
Si Cewek makin cemas. "Kamu terlalu kurus! Ya, nggak friends"
Jai dan Oscar ngangguk aja. Mereka tahu, Jacko paling alergi sama cewek-cewek kurus. Bahkan sejak tahun pertama kuliah, jacko udah bilang mau kawin sama cewek yang badannya gede model Oprah Winfrey atau Ricky Lake. Alasannya sepele: perbaikan keturunan!
Kembali ke gadis kurus yang lagi dimarahin. Doi tampak terkaget-kaget karena usaha dietnya yang mati-matian tidak dihargai sama makhluk begeng di depannya. Padahal, kata si Cewek dalam hati, buat ngurusin badan, sekarang dia gak pernah makan nasi pas sarapan pagi. Paling hanya lontong sayur dan nasi uduk dua porsi. Hihihi ...
"Sudah, jangan sedih begitu." Jai menenangkan cewek di depannya yang mulai mencucurkan air mata. "Masa belum dihukum udah nangis. Itu menyalahi aturan. Yang bener, dihukum dulu, baru kamu boleh nangis."
Si Cewek terkesiap, berusaha menahan tangisnya. Sementara, dua cewek di sampingnya kelihatan tak kalah cemas menunggu giliran mereka.
"Nah, sekarang kamu!"
Kali ini, Jai yang buka suara. Pandangannya terarah ke ospeker manis yang tampak pemalu, dan dari tadi nunduk menatap ujung sepatunya.
"Tahu gak, kesalahan kamu apa""
Eh, bukannya jawab, si Cewek hanya bersuara "mmm... mmm yang mirip desahan seiring kepalanya yang makin nunduk.
"Kamu sadar, kamu salah, kan"" Jai mengulangi pertanyaannya.
"Mmm ...! sambil sudut matanya melirik Jai, terus cepet-cepet nunduk lagi pas mata mereka bertabrakan.
"Wah, saya susah nih menjelaskannya, kalo kamu cuma 'mmm... mmm .. gitu."
"Mmm.. "Mmm ..." kata Jai ikut-ikutan "mmm" ....
Wah, kenapa gue jadi ketularan dia, kata Jai dalam hati, yang kayak gini-gini mending dilimpahin ke Oscar aja deh. Jai pun nyamperin cewek yang satunya lagi. Tampangnya oks juga sih, mirip Lucy Liu ... itu lho, yang main Charlie Angel's. Cuma, yang ini lebih sipit.
"Kamu tau, salahnya apa"" tanya jai.
"Gak tau, Kak!" jawab si Lucy Liu pasang senyum lebar. "Saya cuma disuluh dateng ke sini, tapi gak ngelti mau apa."
"Lho, kalo gak ngerti, nanya dong!" jawab Jai sekenanya, bikin cewek itu bengong.
"Jadi, hukuman saya apa, Kak"" si Cewek begeng yang tadi diinterogasi Jacko nyelak. Keliatan, dia rada sebel juga sebab dicuekin sama tiga Sipam di depannya.
"Let's see ... hm, gimana Jai""
"Suruh si Oscar aja ngasih hukuman!" Jai menunjuk Oscar, yang langsung gelagapan. Tapi, cepat mendekati tiga cewek itu.
"Saya sebelumnya minta maaff," kata Oscar menundukkan kepalanya, "saya cuma menjalankan tugas. Jadi, kalau nanti hukumannya tidak sesuai dengan yang Saudari-saudari haraffkan, saya minta maaff. Ini disebabkan ..."
"Os, cepet dong putusin hukumannya apa!" serobot J
acko gak sabar. "Ffada dasarnya, saya bukan jenis orang yang gampffang menyakiti orang lain. Jadi, ..." lanjut Oscar yang lagi-lagi disamber Jacko.
"Ooos ...," Jacko tambah kesel.
"Seandainya Saudari-saudari sakit hati, maka dari lubuk hati yang ffaling dalam... saya dengan ini menyatakan mohon maaff sebesar-besarnya, dan mohon agar ffersoalan ini tidak dibesar-besarkan sedemi ..."
"Oscaaarrr ...!" akhirnya gak tahan juga Jacko.
"Ada affa"" jawab Oscar gak ngerti, kenapa sohibnya tiba-tiba teriak gitu.
"Gimana Jai"" Jacko malah bertanya kepada Jai.
"Gini deh," kata Jai sambil mikir. Mulutnya langsung manyun niru ikan mujaer, kening berkerut dengan mata disipitkan. Terus, kepala miring dikit ke kanan. Emang lain bener si Jai kalau lagi mikir yang berat-berat.
"Masing-masing ngasih hukuman ke satu cewek!" suara Jai tegas. "Kamu dulu Jack!"
Jacko maju ngedeketin si Cewek kurus.
"Pertama; mulai detik ini, jam ini, hari ini, kamu dilarang diet! No diet at all!" kata Jacko mantap.
"Ya, Kak." Ospeker cewek itu menjawab dengan raut sedih sebab merasa betapa malang hidupnya sejak bertemu Jacko.
"Kedua,...mmm..." Jacko mikir sebentar, "besok kumpulin seratus nama bintang film yang badannya gede-gede. Ok""
"I ... iya, Kak!"
Sekarang giliran Oscar. Dia kebagian ngasih hukuman sama cewek yang cuma jawab "mmm... mmm..."
"Manusia itu tidak luffut dari kesalahan, besar atau kecil, baik yang disengaja mauffun yang tidak disengaja," kata Oscar.
"Mmm ..." jawab si Cewek.
"Saya mungkin lebih beruntung karena lebih dulu kuliah di sini. Taffi, itu bukan berarti bahwa saya bisa bertindak dan berlaku sewenang-wenang, termasuk dalam memberi contoh."
"Mmm ..." lagi si Cewek "ham hem ... ham hem".
"Jadi, hukuman kamu adalah ...," kata Oscar dengan perasaan agak berat, "mulai sekarang harus banyak bicara, kaffan ffun, di mana ffun kamu berada. Sebaiknya gunakan kata-kata yang tidak menyinggung fferasaan orang, dan..
"Cukup, Os!" Oscar sebenarnya belum selesai, tapi dia nurut dan langsung diam mendengar teguran Jai. Terus, cepat-cepat mengambil tempat di belakang cowok itu. Beda dengan Jacko yang kepedean meski badannya ceking, Oscar justru minderan dan gak pede, terutama sama cewek. Padahal, bodinya... wuih... "super duper" atletis! Mendekati Ade Ray-lah ...
Beberapa saat, suasana hening. Jacko, Os, juga Jai, memandang si Lucy Liu yang belum dapet hukuman. Enaknya disuruh ngapain, ya"
"Kamu!" Cewek cantik bermata sipit panjang itu, buru-buru menegakkan posisi berdirinya.
"Ya, saya mau disuluh apa""
Jai miringin kepalanya. Terus, tiba-tiba tersenyum lebar.
"Kamu, keliling lapangan sambil ngangkat ini tinggi-tinggi," jai memberikan sebuah sapu dan pengerok sampah, "jangan lupa, ucapin kalimat di bawah ini ...."
"Belapa kali, Kak"" selak si Lucy Liu rada grogi membayangkan reaksi anak-anak kampus yang melihat pertunjukannya nanti. Malunya ....
"Sepuluh kali!" Jacko mengusulkan.
"Dua saja. Kasian, ah!" Oscar memandang si Mata Sipit dengan perasaan tak tega.
"Sampai gue bilang berhenti." Jai memutuskan. "Tapi, berhubung gue gak boleh otoriter, gimana kalo kita hompimpaan dulu, ok!
Gak peduli tatapan aneh tiga anak baru yang memperhatikan, Jacko, Os, dan Jai, dengan muka girang pun berhompimpa.
Hom pim pa alaiyum gambreng!
"Hore... gue menang!" Jai kesenengan. "Ayo, mulai mutel... eh, muter!"
Tapi, si Lucy Liu tidak bergerak dari tempatnya.
"Kakak belum kasih tahu apa yang halus saya omong""
Oh ... bener juga. "Begini, gayanya udah dapet ya" Sekarang, kalimat yang harus kamu ucapkan adalah..."
Si Cewek menarik napas. Dia pernah denger cerita dulu ada teman yang pernah dikerjain begitu, disuruh keliling lapangan ngangkat tangan dan menyembah-nyembah, sambil teriak berkali-kali: "Toety Hernady... okeee, deh!" menyebut nama salah satu Rektor IKJ angkatan dulu.
Sekarang, apa yang tiga kakak belagu tapi manis ini, ingin dia ucapkan"
"Uler melingker di atas pager, ditarik jalannya serrr ... ok!
Si Lucy Liu, yang memang cadel, langsung pucat.
"Hayo... sana jalan!" teriak Jai gak peduli.
"Hayo... sana jalan!" teriak
Jai gak peduli. Di belakangnya, Oscar cuma menatapnya sayu. Sementara, Jacko seperti joki yang tidak sabar ingin menggebah kudanya.
"Ayo, Sweet Heart jalan dong! Crrr..."
Suasana siang yang panas itu pun berubah segar karena pemandangan manis di lapangan. Cewek cantik mengangkat sapu dengan tangan putih lentik ke udara berkali-kali, dan teriak,
"Ulel melingkel di atas pagel, ditalik jalannya selll ... Ulel melingkel di atas pagel ditalik jalannya selll... Ulel..
Dan jai sama dua sohib karibnya tertawa lebar menyaksikan pertunjukan mereka.
Jamilah en Team, Rembuk! Di rumah, jai ketawa-ketawa cerita ke adiknya soal ospek anak-anak baru. Reaksi Jamilah"
"Bang Jai tega!" serunya tanpa tedeng aling-aling.
"Kok, tega" Itu kan, cuma iseng," kata Jai membela diri, "dan lagi kalau gak pake acara ngerjain begitu, namanya bukan ospek. Gak seru!"
"Ospek sih boleh-boleh aja, cuma belakangan ini kedengarannya makin sadis nindas hak-hak orang lain." Jamilah bersikeras.
"Biar aja, anak baru ini," jawab Jai lagi cuek sambil ngelonjorin kakinya di sofa, mulutnya gak mau diam makan kuaci. "Nanti juga kalau udah kelar ospeknya akrab lagi. Malah ada yang jadi pacar."
Uuh ... dasar cowok! "Bang Jai tahu gak, sih" Orang yang ospek itu bisa aja kakak-kakak kita, adik kita, sepupu kita, keponakan kita, dan bukan sekadar no body" Bayangin dong, Bang. Itu bisa aja Jamilah. Abang mau ya, kalau Ade kuliah terus dikerjain kayak gitu"" sahut Jamilah setengah merajuk.
"O ... jangan dong, adikku yang manis," kata Jai yang emang sayang banget sama adik semata goleknya itu. "Coba aja ada yang berani ngerjain kamu, kalau gak berhadapan dengan ini." Jai mengepalkan tinjunya.
"Makanya jangan keterlaluan!"
"Jim," kata Jai pada adiknya, "ospek kalau gak pake acara yang unik-unik, yang heboh-heboh, nanti gak nimbulin kenangan."
"Meskipun orang sakit hati gara-gara ulah kita""
"Bukan begitu maksudnya."
"Abang pernah denger gak, ada mahasiswa baru yang orangtuanya nuntut panitia ospek ke pengadilan karena gak seneng anaknya disuruh makan kodok"" cecar Jamilah lebih serius. "Ada juga yang sampai meninggal gara-gara ospek."
"Yah... pernah denger juga, sih."
"Gimana kalau anak yang Abang kerjain tadi sampai masuk rumah sakit" Terus, Abang dituntut ke pengadilan""
"Masa cuma gara-gara ngomong 'uler melingker di atas pager ditarik jalannya serrr' aja bisa berakibat yang gak-gak," bela Jai.
"Bisa aja, Bang," Jamilah gak mau kalah. "Coba Abang bayangin, kalau sampai si... siapa tadi yang jadi korban Abang""
"Lucy Liu." "Kalau sampai si Lucy Liu malu, terus gak mau kuliah lagi gara-gara gak bisa ngomong 'uler melingker di atas pager ditarik jalannya serrr', terus tiap tidur ngigaunya ngucapin kalimat itu. Di tempat kuliah, di jalan-jalan, di mal, di toilet, yang diinget cuma omongan tentang uler. Terus, diputusin pacarnya karena tidak tega melihat dia tiap hari belajar ngomong huruf R, lalu cewek itu putus asa dan bunuh diri. Apa Abang tega""
Jai bengong. Bukan karena cerita tentang si Lucy Liu yang akan berakhir dengan tragis, melainkan karena heran ngeliat adiknya nyerocos kayak petasan sundut di tempat khitanan massal.
"Kenapa jadi sadis begitu, Jim""
"Why not"" tambah Jamilah serius. "Sering sekali terjadi di dunia ini, hal-hal besar disebabkan oleh hal-hal yang menurut orang lain sepele. Abang tau gak, kenapa orang-orang Kutub Utara pake bajunya tebal-tebal" Kenapa kalau malam hari jalanan mesti pake lampu penerangan" Kenapa kita kalau beli bakmi harus pake duit" Kenapa kalau kita ada yang bayarin nonton di twenty one hati kita jadi seneng""
"Kok jadi ke situ-situ, Jim"" suara Jai heran. "Apa hubungannya""
"Ngngng... gak ada sih, cuma biar Abang sesekali mikir aja! Hehehe..
Giliran Jai yang sekarang gondok. Tapi, dia seneng juga liat Jamilah, yang lebih sering dipanggil Jim itu, udah bisa ketawa. Kalo si jim ketawa en keliatan hepiiii gitu, romantisme Jai suka kumat. Diraihnya tangan si Adik sambil Jai berlutut, diciumnya punggung tangan Jim Sekarang, Jamilah yang terkaget-kaget. Seketika tawanya berhenti.
"Percayalah sama abangmu, Jim. Gak bakal seserius itu. Seperti Romeo bilang: to be or not to be that is the question!" kata Jai meyakinkan meski diam-diam berpikir, apa hubungannya ospek sama to be or not to be"
Jamilah buru-buru menarik tangannya dari genggaman Jai.
"Udah deh, Bang Jai jangan nakutin gini, ah."
"Eh, mau ke mana, Jim""
Jamilah tak menyahut. Pikiran soal Lucy Liu tadi masih hinggap di benaknya. Kalo dia yang cadel dan diperlakukan begitu, kira-kira gimana perasaannya, ya"
*** "Kami pasti sakit ati!"
Kompak dan mantap suara Inot dan Nunu. Dua anak kembar yang punya postur kayak obelix dalam serial Petualangan Asterix.
Kebetulan waktu itu, Jamilah, Bella, Septian, dan si Kembar; Inot dan Nunu lagi istirahat di kantin sekolah, sambil makan taoge goreng kesukaan mereka.
"Sungguh keterlaluan, dan tidak menghormati perempuan! Jelas-jelas mereka itu tidak menghormati sejarah. Bagaimana sebuah bangsa menjadi besar karena perempuan!"
Septian, atau yang biasa dipanggil Septi, teman Jamilah yang meski cowok, tapi selalu menggembar-gemborkan diri sebagai pembela perempuan dan kaum tertindas itu, berkomentar keras.
"Seharusnya, lanjut cowok langsing berkulit putih itu kenes, "Bang Jai dan cs-nya itu, belajar dari aku, dan menjadi pembela kaum wanita yang tertindas!"
"Merdeka!" serobot Inot dan Nunu, lagi-lagi kompak banget sambil mengacungkan permen kojek favoritnya yang masih terbungkus.
Jamilah mengangguk-angguk. Dia sendiri sebel banget sama ulah Jai, Oscar, dan Jacko. Tapi, gak pernah tahu gimana caranya mengubah kejahilan mereka, terutama abangnya.
"Dulu, waktu muda Ayah juga iseng dan suka ngegodain orang, Jim. Persis abangmu itu."
Begitu penjelasan Ibu dulu. Waktu itu ia masih duduk di kelas dua SD, dan kerap nangis karena jadi korban keisengan Jai. Dan sekarang, baru hatinya berdetak. Ya, ampun... jadi isengnya itu penyakit menular" Eh, penyakit turunan"
"Menurut kamu gimana, Bell""
jamilah mengalihkan pandangannya pada sosok keriting imut yang punya nama lengkap R.A. Rubella Putri Kusumo Mekarsinisono, dan biasa dipanggil Bella. Sohib kental Jamilah yang hobi ngoleksi boneka Barbie itu, tampak berpikir serius. Lalu telunjuknya diarahkan kepada anak-anak, tak ubahnya anak kecil main pistol-pistolan.
"Menurut pendapat yang ada dalam pikiranku, kawan-kawan harus secepat mungkin mengambil tindakan atau keputusan. Ya ... katakanlah semacam antisipasi, supaya tidak ada yang bertindak sewenang-wenang terhadap perempuan, seperti pada leluhur kita dulu," ujar Bella dengan gaya aristokrat.
"Setuju!" timpal Septi seru. "Kita harus membela kaum kita!"
Lah ... Yang lain bengong. Septi yang gak sadar sikap temen-temennya nerusin semangat feminisnya.
"Kita harus berjuang demi keseimbangan dan persamaan hak kaum wanita, yang dalam sejarah gerakan feminisme dunia biasa disebut kesetaraan gender. Dengan tokoh-tokoh gerakannya yang bernama ..."
"Stop!" potong Jamilah, yang sudah tahu kebiasaan cowok itu jika menjelaskan sesuatu. Bukan cuma panjang lebar, tapi detailnya minta ampun.
"Jadi, sekarang gimana"" tanya Inot.
"Ya, gimana sekarang jadinya"" tambah Nunu.
Semua mikir keras. Warga SMU Twenty One lainnya, yang kebetulan mampir juga di kantin, jadi heran melihat Jamilah en genk pada nunduk kayak orang lagi berdoa. Beberapa yang gak tahan, meledek.
"Jamilah sama teman-temannya kenapa tuh"
"Eh, Mpok Milah... kalo mau berdoa salah lompat tuh. Di masjid sono!"
"Alah... mau makan taoge goreng aja pake mengheningkan cipta. Emangnya di taman makam pahlawan""
Lalu, "ger" tawa "hahaha" terdengar.
Inot dan Nunu sebel juga. Tapi, mau marah nanggung bener sebab taoge goreng di piring belum tandas. Bella hanya merengut mendengar ledekan warga Twenty One lain itu. Rambut keritingnya yang mirip supermi baru direbus, digoyang-goyangin ke kiri ke kanan.
Sementara, Jamilah kelihatan gak ambil pusing, Septi sudah bangkit dari duduknya. Mungkin, seandainya tidak ditahan-tahan oleh Inot dan Nunu, sudah terjadi keributan: cowok kurus langsing yang penampilannya dendi itu digebukin banyak orang!
"Gue tahu lo marah, Sep!
Tapi ..." "Taoge'goreng di piring kita berdua belom habis!"
Jamilah nyengir. Dia ngerti, sebetulnya Inot dan Nunu nahan-nahan Septi bukan semata-mata karena taoge goreng, melainkan lebih karena gak tega. Badan ceking Septi gitu mau belain mereka" Mana mungkin!
"Tolong...aku jangan ditahan-tahan! Teman-teman gak pantas meledek mentang-mentang kita semua perempuan! "
Se... semua" Jamilah mengernyitkan keningnya. "Udah Sep, jangan diladenin.... Mending kita cari jalan keluar supaya Bang Jai gak keterlaluan isengnya."
"Gini deh," usul Jamilah, lantas membisiki sohib-sohibnya.
Septi, Inot, Nunu, dan Bella mendekat. Jamilah yang memang sering banget punya ide-ide cemerlang, en kadang gak kalah jahil sama abangnya tampak semangat.
"Kalo gagal gimana"" Inot buka suara.
"Gimana kalo gagal"" Nunu menimpali.
Bella yang menjawab. "Dengarlah, kawanku yang baik," ujarnya seperti biasa dengan nada aristokrat banget, "janganlah dikau takut pada kegagalan."
Bella lalu menunjuk Septi.
"Sebab kawanmu ini juga termasuk produk gagal, tapi lihatlah betapa gagahnya dia menghadapi kegagalan."
Septi sama sekali gak marah. Malah dengan sumringah, cowok itu bergaya mondar-mandir bak gadis-gadis sexy yang membawakan papan ronde tinju. Posturnya yang putih dan tinggi langsing, sangat mendukung. Buktinya, cowok-cowok sekitar mereka mulai "suit-suit". Hihihi....
"Cukup, Sep! Lanjut nih, kalo kita gagal gimana""
Jamilah memain-mainkan rambutnya yang panjang dan dikepang dua. Lalu, "Nu, kalau gagal, anggap aja kita lagi iseng."
Jadi, besok kita mesti datang ke kampus Bang Jai""
"Ya!" "Berarti kita bolos sekolah""
"Ya!" "Tetapi besok pelajaran Kimia, kawan-kawanku yang baik. Bagaimana jika ditunda dulu"" ujar Bella setengah protes.
"Jadi, gimana dong" Demi persatuan dan kesatuan, kita harus kompak!"
"Betul!" Bella menganggukkan kepala. "Tetapi Kawan, janganlah kita bolos sebab itu tidak baik bagi kecerdasan!"
Inot, Nunu, Septi, dan Jamilah kontan menaikkan alis.
"Bagaimana jika pulang sekolah saja, Kawan-kawan""
Wah ... udah siang bolong dong" Tetapi, kan ospek sampai sore, mungkin malah malam. Jadi....
"Yesss!" Serempak Jamilah en her genk, niruin gaya pemain basket. Terus, cabut deh berame-rame. Tapi baru beberapa langkah, Mpok Nur yang punya kantin, kedengeran berteriak.
"Yes sih yes, tapi bayar dulu dong!"
Jamilah en genk jadi rada malu.
"Maaf ya, Mpok!" jawab Jamilah, terus mencolek Inot yang hari itu rambutnya dicat ungu, gak beda dengan Nunu, kembarannya. Dua saudara yang dari perawakannya memang sudah menunjukkan kemakmuran itu, biasa ngebosin genk mereka.
Tanpa perlu disuruh, Inot langsung membuka dompetnya, dan mengeluarkan lima puluh ribuan.
"Ambil kembaliannya, Mpok!" sahutnya murah hati.
Tapi, Mpok Nur tidak lantas berterima kasih. Malah, dahinya berkerut melihat buku catatan di tangan, terus gelengin kepala.
"Gak ada. Kemarin-kemarin permen kojek lo ambil berapa kotak, gak ngitung""


Biru Laut Karya Asma Nadia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hihihi .... Inot langsung ngacir. Namanya juga lupa, gak dosa kan ya"
Jamilah: Under Cover Kampus IKJ. Setelah shalat Zuhur dan makan siang, ospeker-ospeker dikumpulin lagi di tengah lapangan oleh panitia. Seperti biasa, Eman yang jadi komandan alias pembawa acara mulai cuap-cuap, kenceng en penuh semangat, mirip tukang obat belum dapat penglaris.
"Sekarang semuanya gembira! Senyum!" Eman memberi perintah lewat megaphone. Para ospeker langsung senyum. Tetapi, yang namanya lagi diospek, capek diteror habis-habisan, ngantuk, mana bisa senyum dengan baik dan maniez"
"Yang lebaaar...! lagi Eman ngasih komando. Kali ini pasang tampang sesangar mungkin, yang di mata Jai dan genk, mirip-mirip unta unjuk gigi. Hihihi ....
Mendengar Eman, yang biarpun badannya ceking, tapi suaranya keras gitu, langsung anak-anak baru itu buka senyum lebar-lebar. Jujur, sebenarnya bukan Eman yang ditakutin, tapi seksi keamanannya yang galak-galak. Gak bisa sedikit aja pergokin ospeker bikin salah, langsung pada ngumpul, berebut mau nyumbang hukuman.
"Sekarang, acara kenal senior," kata Eman lagi. "Semua ospeker harus minta tanda tangan sa
ma semua senior yang ada di sini. Jika bukunya yang paling banyak dapet tanda tangan, boleh ngajak nonton senior yang paling cakep. Tapi, kalau yang cuma dapet dikit... bayarin nonton semua panitia tiga hari berturut-turut. Oke"
"Okeee ...!" jawab seluruh panitia serempak.
"Sekarang bubar!"
Tanpa diperintah dua kali, anak-anak baru itu segera nyebar mendekati para senior buat minta tanda tangan.
Suasananya bener-bener seru en ribut.
Jamilah, yang mendului genk-nya, dan sempat sukses nyamar jadi salah satu ospeker, bingung juga. Sebab, sama sekali tidak menduga bakal ada acara minta tanda tangan segala. So, .. mana dia siap.
"Heh!" tiba-tiba aja sebuah suara bikin Jamilah kaget. Spontan dia menoleh, dilihatnya seorang panitia dengan tampang galak sudah berdiri satu meter di sampingnya, terus membentak dengan suara menggelegar, "Ngapain bengong""
Jamilah yang tidak ingin penyamarannya terbongkar, buru-buru mendekati beberapa orang senior, tetapi karena dia tidak membawa persiapan apa-apa, gadis itu kembali menjadi perhatian.
"Hei, sini lo!" teriak salah seorang senior cewek, yang tampangnya perpaduan Whoopy Goldberg sama Harry Potter (bingung, kan" Sama dunk!), manggil Jamilah. Adik Jai itu buru-buru nyamperin, soalnya dia gak mau penyamarannya diketahui si Abang.
"Kok, kostum lo beda banget sama yang lain"" tanyanya.
"Ee... pakaian saya lagi dicuci, Kak," jawab Jamilah asal.
"Apa" Dicuci"" teriak cewek itu langsung berdiri dan tolak pinggang, "Lo kan tau peraturannya, kalau kostum itu gak boleh dicuci sebelum ospek selesai."
Jamilah diam. Tetapi, teriakan mbak senior itu sudah telanjur menarik perhatian beberapa senior lain. Mereka pun segera mengerumuni gadis berkepang dua itu.
"Ada apa, Jul""
"Kasih pelajaran aja kalau dia macem-macem!"
"Suruh dia bersihin WC di kampus kita!"
Jamilah makin deg-degan. Ugh, kalau tau suasananya bakal runyam begini, rasanya gak bakalan dia sok jadi pahlawan pake nyelidikin ospek di kampus abangnya.
"Sekarang push up!" perintah mbak yang dipanggil Jul tadi, "Cepaaat!"
Jamilah nurut, merebahkan badannya di tanah. Jengkel juga hatinya sebab seumur-umur belum pernah dibentak-bentak begitu.
Yang resek, selama disuruh push up, si Senior yang ngitung 1... 2... 3... malah enak-enakan duduk di punggung Jamilah. Udah berat, bau lagi, batin Jamilah di tengah tetes keringatnya yang mengalir deras. Panas-panas disuruh olahraga berat, gadis mana yang tahan"
Jamilah makin gak kuat, tetapi Mbak Jul belum juga menghentikan hitungannya. Syukurnya gak lama....
"Stop!" titah si Mbak. Badannya yang besar bangkit dari punggung Jamilah.
"Sekarang, siapa lagi yang mau ngasih pelajaran olah tubuh""
"Gue!" teriak seorang cowok berambut kribo, mendekati Jamilah, "Wah, tampangnya lumayan juga, ya. Tapi di sini, biar tampang lo cakepnya kayak bintang film... gue gak peduli. Sekarang scoat jump. Cepaaat!"
Tergesa, gadis itu mengambil posisi jongkok. Jamilah memilih memaksakan diri meski badannya letih, ketimbang memberi kemenangan pada senior-senior yang menurutnya pengecut itu. Jadi, dengan menegarkan diri, gadis itu mulai menghitung.
1... 2... 3... 7... 8... 9.... la terus menghitung. Bajunya sudah dari tadi basah keringat, dan terkena percikan tanah. Para senior itu menyuruhnya scoat jump di tanah yang becek, bekas hujan semalam. Hingga cipratannya mampir tak hanya di baju atau sepatu, namun juga di wajahnya yang putih, bahkan di kedua kepang rambutnya.
15... 16... 17.... Jamilah merasa badannya lemas, kepalanya pusing, dan pandangannya mulai berkunang-kunang. Tetapi, dia tidak mau menyerah.
22... 23... 24.... Hitungan gadis itu makin lirih. Tepat menjelang angka kedua puluh lima, Jamilah merasa pandangannya gelap, lalu oleng. Tubuh gadis itu limbung beberapa saat, sebelum akhirnya ambruk.
Terakhir, dia dengar cuma sayup-sayup ketawa-ketiwi para senior IKJ.
*** "Jim ... Jim ...."
Jamilah membuka matanya. Dia merasa akrab dengan panggilan itu. Betul saja, ternyata abangnya sudah berdiri di samping tempat lamilah berbaring.
"Bang, maafin...," kata Jamilah dengan suara lemah. T
etapi, belum selesai dia ngomong, seorang perempuan yang mengenakan jilbab menghampiri,
"Istirahat dulu, nanti baru bicara lagi."
Perkataannya menyejukkan hati Jamilah. Wajah cantik yang lembut itu lalu menoleh ke arah Jai, "kamu nunggu di luar aja, ya"!"
Jai nurut meski dari rautnya belum hilang keheranan atas kehadiran Jamilah yang tiba-tiba di kampus. "Sarah, jagain adik gue yah!" pintanya, sebelum mengecup dahi jamilah, dan beranjak keluar.
Cewek yang tadi dipanggil Sarah itu memegang lengan jamilah.
"Kamu Jamilah, kan"" tanya Sarah.
Jamilah mengangguk. Heran sebab Sarah tahu namanya.
"Jai sering cerita kalau pas ada pengajian kampus," ujar Sarah lagi, terus duduk di bangku yang ada di samping tempat tidur.
Pengajian kampus" Bisik Jamilah dalam hati. jadi, abangnya yang dikenal cuek dan jahil abis itu juga ikut pengajian" Jamilah tiba-tiba saja terharu, sekaligus bangga. Ternyata, Jai yang kelihatan urakan gitu masih punya perhatian sama ibadah.
"Cuma, ya begitu...." Sarah tidak melanjutkan bicaranya.
"Begitu kenapa Mbak"" tanya Jamilah penasaran.
"Lebih banyak isengnya," jelas Sarah dengan senyum.
Hhh... kirain ikut pengajian, iseng dan jailnya ilang.
"Jacko sama Oscar ikut pengajian juga"" Jamilah bertanya lagi.
Sarah mengangguk. "Pasti gak beda sama Bang Jai""
Sarah senyum lagi. Melihat senyum Sarah yang manis begitu, Jamilah jadi mikir, jangan-jangan cewek jilbab ini pacarnya Bang Jai"
"Kalau Mbak Sarah dengan Bang Jai..." Jamilah menggantung pertanyaannya.
"Kami satu angkatan, tapi beda jurusan," Sarah menjelaskan, "kebetulan waktu ospek dulu satu grup, ya kitanya jadi akrab. Terus, kalau ada kegiatan Rohis dia suka bantu-bantu."
Bener, kan" Pasti ...
"Mbak Sarah pacar Bang Jai"" akhirnya Jamilah nanya juga.
Sarah tidak menjawab. Dia hanya mengembangkan senyumnya yang memang maniiis banget.
"Kata guru ngaji Mbak, pacaran itu lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya," ujar Sarah dengan lembut, "toh jika kita rajin berdoa, insya Allah Dia akan memberikan yang terbaik."
Jeee ....jangan-jangan Kakak yang satu ini salah jurusan neh. Mestinya yang begini masuk IAIN bukan IKJ.
"Kalau pementasan teater gimana" Campur baur sama cowok banyak, boleh""
"Mbak Jurusan Desain Grafis."
"Ooo ...." "Nah, sekarang kamu istirahat yang cukup!" Sarah langsung beranjak.
"Mau ke mana Mbak""
"Mau shalat dulu, tadi belum sempat. Soalnya banyak yang sakit." Jamilah mengangguk. "Kamu dah shalat""
"Lagi ..."Jamilah ragu-ragu, "palang merah."
"Ya, deh," Sarah berjalan ke pintu, tetapi sebelum keluar dia bicara lagi, "besok-besok gak usah nyamar jadi mahasiswi baru, ya!"
Jamilah mengangguk seneng sebab ternyata ada juga senior yang baik sama dia. Apalagi Sarah tidak hanya cantik dan lembut, juga terlihat cerdas. Melihat penampilan Sarah meski sederhana, Jamilah tahu gadis itu pastilah berasal dari keluarga mapan. Dan dengan semua keberadaannya itu, Sarah memilih berjilbab. Salut, kan"
Diam-diam, anak SMU itu bersyukur bisa kenaL sama Sarah. Sekarang, tinggal gimana menghadapi abangnya yang kelihatan agak marah tadi.
Gadis itu sama sekali tidak tahu bahwa di depan Posko Kesehatan, Jai berdiri termenung, menopangkan tangan di dagunya.
Sungguh, dia cemas banget dengan keadaan Jamilah tadi. Sebelumnya, Jai gak pernah terusik dengan kalimat yang pernah diucapkan Jim, saat menegurnya. Sekarang semua terngiang kembali. Bertambah-tambah perasaannya melihat pucatnya wajah Jim tadi. Mulutnya yang kering.
Baju dan muka serta rambut yang kotor. Malah sempat jatuh lagi. Mudah-mudahan saja tidak gegar otak. Ah, jai tidak bisa membayangkan jika yang terjadi lebih buruk dari itu.
Mendadak, melintas sosok cewek-cewek ospeker baru yang sering mereka kerjain, termasuk si Lucy Liu. Hanya kali ini, sosoknya berganti Jamilah.
"Bang Jai tahu gak, sih" Orang yang ospek itu bisa saja kakak-kakak kita, adik kita, sepupu kita, keponakan kita, dan bukan sekadar no body" Bayangin dong, Bang. Itu bisa aja Jamilah
Angin sore bertiup. Jai bersiap mengajak Jamilah pulang, dengan rasa sesal yang menggumpal di hati. Dia hampir yakin
akan berubah, juga akan mengajak Jacko dan Oscar, dua sohib dekatnya berubah. Ospeker meski anak baru, tetap manusia, la punya hak-hak untuk dihormati dan -dihargai.
Tradisi ospek gak boleh dibiarkan begini! Demikian tekad Jai. Setidaknya sampai Sarah lewat, dan wajah dalam balutan jilbab ungu muda itu melemparkan senyum manis padanya.
Tiba-tiba, semua yang ada di benaknya terbang. Menguap tinggiiii sekali.
"Sarah, pulang bareng yuk"" ajaknya sambil mencangklongkan tas ransel ke bahu. Siap meninggalkan Posko Kesehatan.
"Pulang"" Tetapi, Sarah belum beranjak. Wajahnya tampak ragu. Itu saja sudah membuat Jai senang. Sebab, sebelumnya Sarah sama sekali gak pernah sekadar mempertimbangkan untuk pulang bareng sama cowok.
"Yuk" Nunggu apa lagi""
Sarah terkesiap. Lalu suaranya yang ragu-ragu terdengar.
"Jai"" "Ya"" Sarah memberi kode dengan mengarahkan telunjuknya ke dalam posko. "Adikmu""
Adik" Si Jim" Oh, my God!
Tergesa, masih dengan muka tersipu, Jai lari ke dalam posko. Teriakannya yang sangat "mendamaikan" terdengar kemudian, "Jim!!! Pulang, yok!"
Paman Trouble Maker Apa"" tanya Jamilah, "Adik ayah yang tinggal di luar kota mau datang"" Ibu mengangguk.
"Katanya Ayah gak punya adik"" Jai ikut-ikutan bertanya, "Kenapa sekarang mendadak jadi punya adik""
"Ya, ib-se sendiri gak tau," kata Ibu lagi, "Tapi yang pasti, kalau tidak sekarang, ya... besok pamanmu itu dat-se."
"Paman"" teriak Jai dan Jamilah kompak.
Ibu mereka, yang hari itu pake baju warna merah cabe, menatap keduanya sebel. Apa tiba-tiba anaknya jadi budek, ya" Pake ngulang segala, malah suaranya pada kencang begitu" Heeh. Mendingan dia nyanyi karaokean di kamar!
Ketika akhirnya Ibu masuk ke dalam, obrolan abang-adik itu seputar paman yang mau datang berlanjut.
"Bang," kata Jamilah kepada Jai, "emang bener ya, Ayah punya adik""
"Mmm ..." kata Jai, "yang Abang tau sih,... mmm... punya. Atau gak punya ya""
"Heh, ditanya serius!"
"Jim," kata Jai, "terus, kalau gak salah sih, yang katanya adik Ayah itu datang hari ini."
"Abang tau dari mana""
"Semalam, Ayah ngomong sama Ibu. Kebetulan Abang lewat, ya... sekalian nguping."
"Ih, Bang Jai kayak gak ada kerjaan aja, deh. Jadi, bener hari ini Paman itu mau datang"" tanya Jamilah lagi, cerewet.
"Percayalah sama abangmu. Kalau tidak salah denger juga, di kampungnya Paman termasuk orang besar."
Maksudnya"" tanya Jamilah heran.
"Orang terhormat, kaya, dan punya kedudukan tinggi, atau memang berbadan paling besar di sana hehehe.... Itulah makanya, Ayah dan Ibu bikin persiapan macem-macem buat menyambut kedatangan beliau."
Wah, kesempatan nih," kata Jamilah sambil senyum.
"Kesempatan"'' "Iya, kalau Paman orang kaya pasti banyak duitnya, dan mumpung ada di sini, apa salahnya kita ajak jalan-jalan ke mal atau nonton di twenty one."
"Betul juga." Jai ikut nyengir. Tumben si Jim lebih dulu punya akal begitu.
Begitulah, Jai dan Jamilah akhirnya sibuk berpikir untuk mengambil hati paman mereka. "Pokoknya harus kita yang duluan nyambut!" Usul Jai diterima dengan antusias oleh sang adik. J-Two pun buru-buru lari ke depan, terus gak beranjak-anjak dari ruang tamu seharian. Makan siang dan shalat aja dilakukan di sana.
Benar-benar gak mau kehilangan momen emas, mh.
Tidak berapa lama. "Assalamualaikum...!'terdengar ucapan salam dilanjutkan dengan ketukan di pintu. Nah, kan"
Jai dan Jamilah bertatapan, terus sama-sama tersenyum. Jai membuka pintu. Di sana berdiri seorang laki-laki berumur tiga puluhan, pakaiannya lumayan perlente. Tangannya menjinjing sebuah tas kantor. Dari bau keringatnya... eh, mukanya, kelihatan sekali orang itu habis melakukan perjalanan yang jauh.
"Wa alaikum salam," jawab Jai dengan ramah.
"Apa Bapak... tapi, belum selesai orang itu melanjutkan pertanyaannya, Jai udah meneruskan kalimatnya.
"Masuk aja Om, kita dari tadi emang udah nunggu, kok."
Orang itu terus masuk. Jamilah cepat mengambil segelas sirop dan menyodorkannya.
"Minum Om," ujar Jamilah, "Saya tau, Om habis jalan jauh dan pasti haus."
"Om, kalau mau dipijit," kata Jai sembari menghampiri si Om yang cukup her
an dengan penyambutan itu, "Saya juga biasa mijit lho, Om."
"E... e... gak usah," sergah orang itu, "tapi... kalau mau, saya gak nolak."
Jai pun menyingsingkan lengan bajunya. Memijiti tangan, bahu, kemudian leher. Si Om tampak senang dengan sambutan yang diterimanya.
Jamilah nyaris tertawa melihat raut muka Jai, saat memperhatikan rambut lelaki itu yang klimis dan sangat basah.
Pssst... bau rambutnya aneh, Jim! Kayak bau minyak pelet!" bisik Jai ketika Jamilah mendekat.
"Pssst... udah cuek aja, Bang. Bayangin tiket twenty one! Film lagi bagus-bagus! Bayangin juga dia ngajak kita ke mal, terus bisa beli sepatu, beli baju!" suara Jamilah pelan, dengan mimik tetap dibuat seramah mungkin. Biar si Om gak curiga kalau sewaktu-waktu melihat ke belakang.
Dengan menabahkan hati, cowok gondrong berwajah manis itu pun mengulangi pertanyaannya.
Gimana Om" Enak kan, tangan saya" Ibu aja paling seneng dipijitin Jai, Om! Kepalanya perlu dipijit gak, Om"" Jai menawari dengan suara sengau karena tangan yang satu dipake memencet hidungnya.
Aduh, gak tahan nih, bau minyak rambut si Om, nyengat banget!
"Hm, boleh juga, Jai ya"" si Om dengan lebih rileks lantas menyandarkan tubuhnya ke sofa. Jai yang mendengar jawaban omnya, jadi lemes.
Tiba-tiba, ide cemerlangnya datang. Asal disampaikan dengan cara yang natural dan gak mencolok, pasti oke! Jai memuji idenya sendiri.
"Hm, Om ... kalo bagian kepala, si Jamilah tuh lebih oke!"
"Boleh!" jawab si Om semangat, "Siapa takut"!"
Gue yang takut! Jamilah menjawab dalam hati. Dia kesal karena dikerjain abangnya. Jadi ketumpuan, deh. Padahal kan, bukan dia yang memulai ide soal pijit- memijit tadi"
"Eh, Jim... diservis dong, Om kita! Udah jauh-jauh datang juga! Ingat mal dan twenty one!" Jai menyebut dua kata terakhir hanya dengan gerak bibir.
Jamilah makin menggerutu dalam hati. Jai yang sok pendekatan, dia yang kena efeknya. Segan, gadis itu melirik rambut berminyak di hadapannya. Ih, kebayang deh lengketnya!
Jamilah tak berdaya, mulai memijit. Di depannya, Jai senyum-senyum sambil membaca koran. Tidak lama, cowok itu ke belakang sebentar dan membawa setoples keripik singkong, dan satu piring gorengan.
"Silakan, Om. Barangkali laper udah jalan jauh."
Om mereka mencomot sebuah tahu goreng, dan dalam satu suapan menelan cemilan itu. Glek. Salut juga jai melihatnya.
"Hidup memang gak bisa ditebak, ya Jai, jamilah."
"Panggil dia Jim, Om! Kalo orang-orang deket boleh panggil dia begitu!"
Jamilah mencibir. Tapi, direla-relakannya hatinya.
Si Om kini sandaran di kursi, dengan mata merem melek, menikmati pijatan tangan Jamilah. Jai yang mengambil kursi berhadapan dengan adiknya, malah cengar-cengir melihat Jamilah berkali-kali mengelap keringat yang menetes di pelipisnya. Padahal, si Om sama sekali belum memperlihatkan tanda-tanda akan menyuruh adiknya itu berhenti. Malah, sekarang kelihatan kepalanya terkantuk-kantuk.
Wah, kayaknya bakalan berat nih buat Jamilah, batin jai. Kalau dibiarkan lebih lama, bisa-bisa si Jim menyanyikan lagu Ratapan Anak Tiri, Jai terkekeh sendiri.
Ketika suara bel terdengar dari pintu depan. Jamilah cepat mau melepas tangannya dari kepala si Om, dan terbang membukakan pintu. Tapi, Jai yang melihat gelagat adiknya ingin meloloskan diri, buru-buru memberi kode dengan tangannya.
"Eit, gak usah Jim, biar Abang yang buka."
Jamilah melotot kesal. Tetapi, Jai malah mengedipkan mata,
"Ssst... buat Om kita bangga dan bersyukur punya keponakan berbakti kayak kamu, Jim. Oke""
Huh. Jamilah mendengus kesal, sebel dengan ketidakpedulian Jai. Lebih-lebih melihat cowok sawo matang itu sudah bergegas ke arah pintu, dan membukanya.
"Ada yang bisa saya bantu, Mas"" ujar Jai ramah kepada laki-laki berusia tiga puluh limaan di depannya.
"Ibu ada"" balas lelaki itu dengan senyum tak kalah ramah.
Jai tak langsung menjawab, sebaliknya dia memperhatikan tamu yang datang dengan jeli. Hm, dilihat dari tampang dan tasnya, batin Jai sambil berulangkali memandang laki-laki di depannya dari atas sampai bawah, pasti si Mas ini sales!
"Ibu saya, apa Ibu si Mas"" jawab Jai jahil.
"Hm, ibu Jai dan Jamilah," suara si Mas kalem.
Jai jadi geer. "Wah, Mas oke juga. Sebelum ke sini pasti riset ke tetangga-tetangga dulu, ya. Nama kita memang ngetop banget di lingkungan sini."
Cowok gondrong itu salut juga dengan usaha sales di depannya. Meski Jai orangnya iseng, tapi sebenarnya dia suka orang-orang yang gigih berusaha.
"Siapa Bang"" tanya Jamilah dari ruang tamu.
Jai mendekati adiknya yang sesekali menghapus keringat yang bercucuran, "Bukan siapa-siapa kok, Jim. Cuma sales. Tapi orangnya ok, Jim. Suruh masuk, ya""
Jamilah hanya mengangkat bahu. Yang ada di pikirannya saat ini hanya segera membebaskan kedua tangannya dari kepala om yang makin berat.
"Masuk, deh. Saya panggilkan Ibu."
Laki-laki itu membawa tas kopernya, dan duduk di kursi tamu. Matanya tampak heran melihat Jamilah yang sibuk memijiti kepala lelaki lain di situ.
"Om saya." Jelas jamilah berupaya agar sales yang datang tak salah paham.
"Ooo...," lelaki itu manggut-manggut. Melihat tampangnya yang tidak percaya, Jamilah meneruskan keterangannya.
"Memang mukanya gak mirip, tapi dia Om saya. Baru datang dari jauh!"
Laki-laki itu tersenyum, "Iya. Ya, saya percaya."
Obrolan mereka putus, waktu Jai sama Ibu keluar. Jamilah udah pasang muka senyum, siap menerima pujian dari Ibu mereka. Pasti Ibu bangga karena Jai, terutama Jamilah sudah bersikap baik terhadap adik Ayah yang baru datang.
Betul saja. Ibu yang diam-diam sudah dandan menor sejak tadi di dalam, tersenyum lebar menyambut Om mereka. Mata Ibu yang masih belepotah maskara, tampak riang.
"Aduh, kapan datang, Har-se""
Suara riang Ibu membangunkan laki-laki yang dipijiti jamilah.
Tetapi, kok ... "Belum lama, Mbak."
Jai dan Jamilah saling pandang. Asli bengong. Ibu yang kemudian baru menyadari adanya lelaki lain di ruang tamu yang tak dikenalnya, belakangan ikut heran.
"Lho, Jim lagi ngap-se" Itu siap-se yang kamu pijitin""
Jamilah kaget. "Lho ... ini kan, ..."
"Begini, Bu," suara laki-laki yang sejak tadi disambut dan bahkan diservis habis oleh Jai dan Jamilah, sambil bangkit dan mengangguk hormat, "Ini, Bu. Saya bawa beberapa sample barang. Bagus-bagus dan sekarang lagi harga promosi! Ini ada blender, tapi juga sekaligus berfungsi sebagai mixer. Kalau di toko-toko nanti akan dijual seharga 279 ribu rupiah. Tapi, Ibu beruntung karena sekarang..."
Kalau Ibu dan si Mas yang dipanggil Har lampak melongo, tidak demikian dengan J-Two, terutama Jamilah yang mendadak mau muntah, menyadari tangannya yang lengket dan aroma aneh minyak rambut lelaki yang ternyata sales. Apalagi Jai yang sudah mengerti duduk persoalannya, kini tertawa terbahak-bahak sampai ngegelongsor di lantai putih mereka.
J-Two on A Mission Nah, sekarang tinggal kirim!' kata Ibu setelah memberikan sentuhan terakhir pada parcel bikinannya, "Indah nian ya, bikinan Ib-se"" lanjutnya geer sendiri, "Awas! Jangan sampai salah alamat."
"Heeh...," jawab Jai dan Jamilah bareng dengan suara nyaris tak terdengar. Soalnya, di samping parcel yang akan mereka kirim sekarang, masih bertumpuk parcel-parcel lain setengah jadi. Karena J-Two dianggap paling tinggi mobilitasnya, ya... merekalah yang kebagian kirim-kirim.
Memang, dalam acara-acara tertentu Ibu banyak mendapat pesanan parcel, ukurannya sih, gak besar-besar amat, tetapi semua buatan Ibu spesial banget. Mulai dari bentuknya yang unik dan lucu, sampai aksesorinya yang bikin gemes. Misalnya saja yang sekarang ada di hadapan mereka, bentuknya seperti perahu nelayan ditempeli aksesori berupa buah-buahan.
Ada juga yang berbentuk ikan Lou han lagi mangap lebar-lebar, dan di mulutnya yang terbuka itu dikasih macam-macam. Mereka yang memesan parcel juga beragam. Mulai dari remaja hingga oma-oma. Mulai dari pelajar, pegawai, hingga ibu rumah tangga. Untungnya, Ibu yang terbiasa mendapat pesanan, sudah menyiapkan diri jauh-jauh hari, jadi gak repot pas tiba waktunya.
"Jim, kalau yang in-se alamatnya agak jauhan, terus yang pesen sahabat Ib-se waktu sekolah dul-se. Jadi, bawanya harus ekstra hati-hati. Ok-se"" tegas Ibu sambil memeriksa kalau-kalau da yang kurang
. "Heeh...!'sahut Jai dan Jamilah yang duduk bersandar di bangku, suaranya masih terdengar sayup-sayup.
"Jai... Jim...! Ibu menengok pada Jai dan Jamilah. Mungkin heran juga, kenapa dari tadi kedua anaknya terdengar malas merespons, "Ya, ampun! Kenapa jadi pada tiduran di bangku"" Suara Ibu kaget melihat kedua anak kesayangannya pada ngelonjor di sofa ruang tamu. Cepat perempuan empat puluhan itu membangunkan keduanya.
J-Two mengucek-ngucek mata, kompak.
"Ada apa sih, Mam"" tanya Jai, yang terkadang manggil Bu, Mam, atau Mother, bergantung pada cuaca.
Jeee ... kirain dah ngerti dari tadi dijelasin panjang lebar.
"Makanya, kalau malam jangan suka begaDang My Dear," tegur Ibu.
"Habis Ibu nyanyi, sih," balas Jai sekenanya. Jamilah yang menyetujui sempat senyum dikit. Suara Ibu di waktu malam, memang dahsyat, kalah dah penyanyi opera!
Mendengar celutukan Jai, Ibu tertawa aja.
"Ya... kalo gak nyanyi, kan Ibu man-se bisa nyelesaiin ini. Nyanyi biar gak ngantuk!"
Dua kakak beradik itu manggut-manggut. Ibu mulai senang melihat kepatuhan keduanya.
"Ya, sudah ... sekar-se denger baik-baik."
Jai dan Jamilah cepat-cepat ngangguk meski mata keduanya masih memberat. Maklum, baru setengah sadar.
"Ini alamat parcel yang mesti dikirim. Jangan lup-se bilang terima kasih, dan minta saran kalau-kalau ada yang kurang sreg. Ibu Lusi sahabat Ibu itu, orang kay-se... big boss man! Jadi, ... jaga sikap kalian!"
"Ya!" Jai dan Jamilah mengangguk lagi, mata mereka nyaris tertutup penuh.
Ibu yang melihatnya menarik napas, lalu berlalu sembari ngomong, "Sekarang makan dul-se. Ibu udah siapin opor ayam."
Gak dilalah... kalimat terakhir Ibu manjur sekali, Jai dan Jamilah melompat bangun, kemudian dengan langkah mantap langsung menuju ruang makan. Ibu yang dilewati J-Two, geleng-geleng kepala. Ah, anak-anaknya itu, kalau urusan makan, memang nomor satu!
*** Jai dan Jamilah yang biasa disebut J-Two sudah berdandan lumayan rapi. Sebuah parcel berbentuk unik ada di tangan Jamilah.
"Ini mestinya Abang yang bawa," rungut I.imilah.
"Kalau dulu, memang iya," ujar Jai sambil menghitung-hitung ongkos yang diberikan, "Tapi sekarang kan, zamannya emansipasi."
Jamilah cemberut. "Ya udah, sekalian aja ongkosnya Ade yang pegang, Bang."
"Hm ... nanti dulu, kalau yang ini," Jai tersenyum menunjukkan beberapa lembar uang yang dipegangnya, "harus Abang yang simpan sebab bisa menimbulkan kerawanan."
"Huuu... bilang aja gak mau rugi."
Syukurnya pertengkaran itu tidak berlanjut sebab Ibu keburu muncul. "Kenap-se belum berangkat"" tegur Ibu yang mukanya pagi itu masih berwarna hijau lumut. Kalo gak salah sih, ini hari pertama perawatan wajah dengan masker rumput laut. Tetangga sebelah yang make duluan, konon sekarang udah mulusan wajahnya.
"Jim, siap-siap... tiga hari lagi!" bisik Jai serius, imbil matanya mantengin wajah Ibu yang aneh.
"Tiga hari lagi apa""
Perawatan Ibu selesai."
"Terus"" tanya Jamilah gak ngerti juntrungan-nya.
Terus... Ibu berubah deh jadi Hulk raksasa hijau! Hehehe...." Jai terkekeh, Jamilah menyikut pinggang abangnya.
"Dasar!" "Lho-lho-lho... kok, masih di situ aja"" hardik Ibu lagi, "Jalan dong. Move, move, c'mon!"
J-Two kontan pandang-pandangan.
Wah si Ibu, makin gaul aja omongannya dari hari ke hari.
"Iya, deh," jawab Jamilah, "Ini juga mau berangkat."
Jai dan Jamilah cepat mencium tangan Ibu. Sejurus kemudian, mereka sudah naik ke dalam angkot yang berhenti di depan gang.
"Penuh, Pir! Jalan!" teriak Jai lantang, sambil tangannya menggebah angkot dari luar jendela. Habis, penumpang udah penuh masih ngetem dan bikin jalan macet!
Angkot berwarna merah itu pun mulai bergerak. Di dalamnya sudah ada penumpang yang terdiri atas dua orang mahasiswi, seorang ibu hamil yang membawa tiga orang anak kecil, bapak-bapak tua berpakaian rapi dengan rambut kelimis, yang dengan santainya merokok, serta seorang perempuan muda yang kelihatan dari tampangnya pasti pegawai sebuah perusahaan. Untungnya, biar penuh, kedua abang-adik itu masih kebagian tempat duduk.
Tidak berapa lama. si Kenek membunyi-bunyikan uang recehan
yang dipegangnya ke arah Jai.
"Banyak juga recehannya, Bang," tegur Jai kalem.
Si Kenek mendelikkan matanya. Seolah pengen bilang, payah... nih anak. gak ngerti bahasa isyarat.
"Ongkos!" tagih si Kenek.
'O sebentar ya!" Jai ngangguk, terus mengeluarkan dompetnya.
Si Kenek yang tadi sempat keki sama Jai, mukanya mulai adem. Dia masih adem meski kemudian Jai memasukkan lagi dompetnya. Cowok gondrong itu tampak meraba saku celananya, seperti mencari-cari sesuatu. Mukanya kelihatan bingung.
Barangkali nih anak, lupa duitnya ditaruh di nuna, batin si Kenek mencoba bersabar.
Di tempat duduknya, Jai masih kelihatan panik dan bingung. Barusan cowok itu melihat saku bajunya. Jamilah yang melihatnya jadi cemas. Jangan-jangan uang Bang Jai hilang! Apa hp-nya"
"Bang, ada yang hilang"" kata Jamilah setengah berbisik, "Kalo gak, cepet dong! Kan, gak enak sama keneknya."
"Ah, ini dia." Akhirnya Jai tersenyum girang. Jamilah lega. Si Kenek juga senang.
"Dari tadi dicari-cari, gak taunya ada di sini," kata Jai lagi, tangannya mengeluarkan sehelai saputangan yang diselipkan di kaos kakinya. Lalu dengan santai, cowok berkulit sawo matang itu mengelap keringatnya.
"Panas, ya"!" tegurnya lagi santai pada Jamilah.
Wajar kalau si Kenek jadi keki berat. "Dik, ongkosnya."
"Oh, ya," Jai enteng saja mengeluarkan selembar ribuan dan memberikannya kepada si Kenek.
"Ke mana, nih" Kok, cuman segini""


Biru Laut Karya Asma Nadia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Depan," jawab Jai. "Depan mana" Depan mobil apa depan kereta api"" hardik si Kenek dengan nada tinggi. Jamilah jadi gak enak mendengarnya.
"Bang, tambahin dong," bisik Jamilah yang tidak mau ada keributan, "kan kasihan."
Jai menurut. Dia mengeluarkan lagi selembar ribuan. Berbarengan dengan itu, kendaraan yang mereka tumpangi tiba-tiba melambat.
"Huh, macet lagi macet lagi!" keluh si Sopir menggerutu.
"Kita lewat lapangan aja, Bang!" teriak jai sekonyong-konyong.
"Lapangan mana"" tanya si Sopir menengok ke arah Jai. Girang juga sebab ada penumpang yang mau kasih jalan keluar.
"Lapangan terbang," jawab Jai cekikikan. Jamilah buru-buru menyikut pinggang abangnya meski dalam hati ketawa juga.
Jalanan di depan mereka padat. Angkot kecil yang J-Two tumpangi sempat bergerak, lalu diam lagi. Bergerak lagi, berhenti lagi. Rupanya jalanan betul-betul macet. Penumpang mulai gelisah, ditambah panas yang mulai menyengat. Belum lagi asap rokok. Asap rokok"
Jai yang sejak tadi terganggu dengan asap putih melingkar-lingkar yang diembuskan oleh orang di sampingnya, tiba-tiba dapat ide.
Bapakku yang baik," sapa Jai dengan gaya puitis ke arah bapak yang dari tadi terus asyik merokok.
Seandainya saja dunia ini bebas asap rokok. O... alangkah indahnya. Alangkah sehatnya. Bukan begitu Saudara-saudaraku yang terhormat"" papar Jai lagi, matanya menengok ke arah penumpang lain.
Ajaib. Para penumpang angkot itu mengangguk-angguk dan dengan antusias melihat ke arah si Bapak.
Jamilah, yang memang sejak tadi sebal melihat si Bapak merokok, jadi ikut-ikutan bicara.
"Pak, merokok itu sangat berbahaya. Bayangkan, dalam satu batang rokok terdapat empat ribu bahan kimia. Dua ratus di antaranya, tergolong racun dan 40 tergolong bahan kimia berbahaya. Contohnya, hidrogen sianida. Zat ini sering digunakan sebagai racun bagi terpidana mati. Ada juga amoniak yang sering digunakan sebagai pembersih lantai. Lalu arsen, yang tak lain racun tikus," kata Jamilah mengakhiri pidatonya, dengan bangga.
Mendengar info seram itu, si Bapak tampak grogi lalu cepat-cepat mematikan rokoknya.
"Terima kasih, Pak," Jai tersenyum meski rautnya rada penasaran. Kenapa si Jamilah mendadak pinter begitu"
"Jim, kamu tahu dari mana soal rokok"" tanyanya pelan pada Jamilah.
"Nih!" tangan Jamilah santai aja nunjukkin koran yang sedang dibacanya. Membuat abangnya nyengir.
Mobil melaju lagi, tapi baru sebentar sudah berhenti.
"Bang, apa kita jalan kaki aja, ya"" tanya Jamilah pada abangnya.
Bukannya menjawab pertanyaan Jamilah, ee...si Jai membuka percakapan baru dengan ibu hamil yang duduk persis di depannya.
"Sudah berapa bulan, Bu"" tanya Jai.
"Sudah sembilan bulan. Mungkin
, minggu-minggu ini lahir," jawab si Ibu dengan senyum. Senang ada yang memperhatikan.
"Anak yang tiga ini, anak Ibu"" Jai menunjuk tiga anak kecil-kecil yang duduk mepet di dekat si Ibu. Serta-merta perempuan yang sedang hamil itu mengangguk.
"Oh." Jai ikut mengangguk-angguk. Jamilah yang melihat gelagat abangnya jadi khawatir.
Bener aja. "Saya kagum. Anak Ibu banyak, apa gak capek ngurusnya, Bu" Mendingan Ibu ikut KB! Cak repot!"
Senyum si Ibu hilang. Ganti matanya melototi Jai. Dalam hati, dasar anak muda kurang kerjaan, ikut campur urusan orang tua aja!
Tapi meski kesal, ibu itu diam saja, tidak ingin menarik perhatian lagi. Apalagi suara Jai yang cukup keras barusan, sempat menyedot perhatian penumpang lain.
"Kalo sf Mbak anaknya berapa"" tanya Jai tiba-tiba pada seorang gadis berpakaian seragam, yang duduk di samping ibu tersebut. Si Gadis jelas terperangah dengan keceriwisan Jai.
"Berapa, Mbak" Saya belum dengar jawabannya. Mungkin ibu dengan banyak anak ini jadi bisa belajar dari Mbak," lanjut Jai lagi dengan suara sama kerasnya, membuat si Mbak sesaat salah tingkah.
Tetapi, Jai dan penumpang lain menunggu jawabannya.
"Saya belum menikah," jawab si Mbak cepat-cepat dengan senyum kecut.
Kalau si Mbak kelihatan gak enak hati, sebaliknya Jai tersenyum lebar. Menoleh lagi ke arah ibu-ibu dengan tiga anak yang belum lama menarik napas lega {kirain perhatian anak gondrong iseng ini udah beralih ...).
"Nah, contoh si Mbak ini," kalimat Jai pada si Ibu, "biarpun sudah uzur... eh umur begini, lapi belum menikah. Ini namanya warga negara yang tahu diri. Udah tahu penduduk kita membludak, nambah anak lagi... nambah anak lagi. Ah, payah deh si Ibu!"
"Bang!" Jamilah menghardik jai yang makin gak sadar diri dan gak sadar ruang itu.
Jangan kurang ajar sama orang tua dong! lagian kan, banyak anak banyak rezeki, suka-suka lagi!"
Jai menepiskan tangannya, menghalau kekhawatiran Jamilah. Kemudian dengan gaya ikrab menepuk-nepuk tangan si Ibu di depannya, "Gak apa kan, Bu" Ibu gak tersinggung, kan""
Kalau saja muka benar-benar bisa berwarna. Pastilah paras ibu tadi sudah warna-warni. Gak lama, tanpa kalimat sepatah pun si Ibu meraih anak-anaknya, dan berteriak
Pinggir, Bang! Saya turun sini aja!" teriak si bu dengan pandangan berang ke arah Jai.
"Tuh kan, si Abang!" cetus Jamilah kesal.
Jai yang merasa bertanggung jawab buru-buru teriak juga.
"Jangan Bang, terus aja!" Lalu pada si Ibu, Ibu gimana, sih" Ibu kan, sedang hamil besar. Nanti kalo Ibu kenapa-napa siapa yang jadi susah" Kan, saya juga!"
Gak keruan paras si Ibu, ketika akhirnya duduk lagi. Belakangan, si Ibu memutuskan untuk tidak menengok dan menggubris anak muda kurang ajar di depannya itu.
Mobil kembali dijalankan. Namun ...
"Wah, jangan-jangan ..."
Terdengar suara angkot tersendat-sendat sebentar, sebelum mesinnya benar-benar mati, dan keluhan si Sopir panjang lebar seraya menengok ke arah keneknya.
"Din, dorong dulu deh!"
"Mana bisa sendirian, Bang!"
"Eh, minta bantuan dong, penumpang kan banyak!"
Si Kenek segera saja celingak-celinguk memperhatikan penumpangnya.
"Mmm... boleh minta bantuan gak"" tanya si Kenek kepada penumpang.
"Boleh... boleh...," Jai menunjukkan sikap tanggung jawabnya sebagai penumpang pertama yang melompat turun.
Si Bapak, si Mbak pegawai, dua mahasiswi, si Ibu, bahkan Jamilah yang lagi repot pegang parcel bermaksud turun. Tapi, baru saja mau bangun, Jai sudah mencegah mereka.
"Ibu dan Bapak, juga si Mbak yang cakep. Terus, kamu Jim... tenang saja di mobil," kata Jai mencegah mereka turun, "Biar Abang aja sama Mbak-mbak yang manis ini yang mendorong," kata Jai lagi sambil tersenyum ke arah dua mahasiswi yang sudah telanjur turun.
Begitulah, akhirnya Jai, si Kenek ditambah dua mahasiswi tadi, mendorong angkot yang mogok.
"1... 2... 3 kata Jai memberi aba-aba, yakh, dorong!"
Mobil maju pelan, tapi baru saja distarter udah mati lagi.
"3... 4... 5... dorong!" sekali lagi Jai ngasih iba-aba.
Mobil jalan sebentar, terus mogok lagi. Setelah beberapa kali menghitung, akhirnya terdengarlah bunyi menderum-der
um. Asap hitam pekat yang keluar dari knalpot, pas banget mengenai dua mbak-mbak yang posisi mendorongnya dekat knalpot. Terang saja, keduanya memaki-maki sebab bukan cuma bajunya yang hitam, sebagian mukanya juga belepotan belang hitam.
Tapi, ya... syukurlah angkot mereka bisa hidup lagi,.dan walaupun pelan, mulai jalan. Jai lan si Kenek cepat-cepat lompat masuk.
"Yuk, Bang, kita tancap gas!" teriak Jai pada sopir, yang langsung saja dituruti.
"Tunggu dulu dong," Jamilah protes, "Tuh, masih ada yang ketinggalan." Tangannya menunjuk ke arah dua mahasiwi yang berlari-lari mengejar angkot.
Si Sopir jadi ragu, tapi Jai cepat menengahi.
Bang Sopir, jalanin aja angkotnya tapi pelan-pelan. Nah, tuh cewek dua biar buat serep. Nanti, kalau mogok lagi gimana""
Betul juga, ya .... Si Sopir mikir sebentar, lalu menuruti saran Jai. Angkot pun tetap dijalankan meski pelan-pelan.
Nasib dua mahasiswi manis tadi gimana dong"
Belakangan, setelah dengan susah payah dan lari-lari kecil sampai besar, mereka berhasil juga melompat ke dalam mobil meski dengan kondisi tidak keruan.
Jai pun menyambut dengan pujian hangat.
"Wah, hebat juga ya kalian. Gak nyangka lho, biarpun cewek larinya gak kalah ama angkot," cetus cowok itu kagum. Jempolnya teracung ke arah dua mahasiswi itu yang membalasnya dengan muka merengut.
Balada Parcel Jai dan Jamilah turun dari angkot. "Pir, tunggu!" panggil Jai pada sopir angkot. Kendaraan yang udah mau jalan itu, berhenti g'
"Ada apa" Elo salah turun, ya"" tanya si Kenek waspada sebab tadi sempat kena dikerjain anak muda itu.
"Gak ... cuma mau minta maaf sama Bang Sopir," ujar Jai serius.
"Ah, elo kayak lebaran aja pake maaf-maafan segala."
Tapi, meski kelihatan cuek, si Kenek tampak terharu juga, apalagi si Sopir. Soalnya, lebaran bukan, hari raya kagak, ada anak muda sopan begitu. Mana tuh anak gak ada hubungan darah sama dia. Namun, sebelum terharu lebih jauh, si Sopir keburu ingat ulah Jai waktu di angkot, dan cepat waspada, "eh, ngomong-ngomong elo minta maaf buat apa""
Jai kelihatan ragu. "Udah... ngomong aja terus terang," si Sopir meyakinkan Jai. Mungkin dalam hati berpikir, nanggung kalau gak dituntasin. Biarin deh, dia ngelewatin beberapa penumpang yang berdiri di halte depan, yang seharusnya bisa digaet.
"Eee ... kalau bisa, kalau bisa nih, ya, Jai terlihat keras berusaha mengatur kalimat-kalimatnya dalam hati.
Jamilah yang sudah jalan lebih dulu, menghentikan laju kakinya, melihat pembicaraan serius Jai dengan sopir angkot. Ada apa lagi sih, bang Jai, kata Jamilah dalam hati, kalo intermeso mulu, kapan sampenya"
"Udah, ngomong aja terus terang. Gue sih, orangnya sabar," cetus si Sopir. Tangannya mengetuk-ngetuk setir. Di belakang, penumpang yang duduk sudah mulai teriak-teriak supaya kendaraan dijalankan. Malah, ada yang cabut dari angkot.
"Kelamaan, Pir!"
Toh meski begitu, si Sopir tetap setia menunggu kelanjutan kalimat Jai yang kadung mengundang rasa penasarannya.
"Udah, jangan ragu. Bilang aja timpalnya lagi.
"Gak....! Jai menundukkan wajah, bersikap seperti orang salah tingkah, "Hm ... kalau bisa, mobil jelek ini jangan dipake narik lagi, Bang! cuma nyusahin orang aj ..."
WUSSS ... Tanpa menunggu Jai selesai bicara, si Sopir buru-buru melarikan angkot, seraya memaki-maki panjang pendek.
Ketika angkot sudah tidak kelihatan, Jai melebarkan langkahnya, menyusul Jamilah.
"Ada apa sih, Bang"" tanya Jamilah, curiga dengan senyum yang nangkring di wajah si Abang.
"Ah, gak ada apa-apa. Dia cuma bilang, abangmu ini ganteng. Yah, seperti kata banyak oranglah," jawab Jai sekenanya.
Jamilah memonyongkan bibir. Uh, geer ....
"Sekarang kita ke mana, Jim"" tanya Jai, matanya sudah sibuk lagi memperhatikan cewek berbaju kuning yang kelihatan gelisah.
Jamilah mengeluarkan selembar kertas catatan dari kantong blue jeans-nya. "Kalau gak salah dari sini naik ..."
Dasar Jai. Bukannya mendengarkan penjelasan adiknya baik-baik, malah mendekati si Cewek yang lagi bolak-balik kayak orang bingung, sambil sebentar-sebentar melihat jam tangannya.
"Ehm, ehm, ehm dehem cowok itu beberap
a kali, "gak usah kuatir jamnya hilang, Mbak. Masih di situ, kok."
Cewek di sampingnya diam. Bibirnya dikatupkan erat-erat, hingga terkesan ketus.
"Mbak pasti nunggu bus juga, kan"" kejar Jai dengan nada sok tahu.
Si Cewek hanya melirik sekilas ke arah Jai, dengan raut terganggu. Seolah berkata, leave me alone! Sayang, muka tebalnya Jai udah ngalah-ngalahin tembok Cina, jadi sama sekali gak ngefek.
"Nebeng mobil jemputan saya aja, daripada desak-desakan naik bus. Janji, gak saya tagih ongkos, deh!" Jai komen lagi, seraya pamerin giginya yang kecil-kecil putih.
Bukannya tertarik, cewek berbaju kuning ngejreng itu malah membuang muka. Kelihatan jengkel aksi diamnya diusik. Wajah ketusnya baru berangsur cerah saat mendengar suara klakson, diikuti sebuah Nissan Terrano yang mendekat. Melihatnya, Jai ikut melebarkan senyum.
"Tuh kan, mobil jemputan saya datang. Mau bareng"" tambah Jai meyakinkan, sambil tangannya melambai ke arah si Pengemudi. Ajaibnya, Nissan seri terbaru itu berhenti beneran. Persis di depan Jai.
Pengemudinya, anak muda ganteng berbadan atletis, bahkan melambaikan tangan, sambil nebar senyum seperti aktor dalam iklan pasta gigi di televisi.
Jai takjub. Belum hilang herannya, cewek yang tadi di sampingnya bergerak cepat-cepat masuk mobil, terus "cupika-cupiki" alias cium pipi kanan-cium pipi kiri, ke pengemudinya. Lah"
"Bang," tahu-tahu terdengar teriakan Jamilah, "tuh busnya. Ayo, cepet naik!"
Jai masih bingung. Sesuatu bermain di otaknya. Itu sebabnya, dia tidak langsung mengikuti jamilah. Sebaliknya, Jai memutuskan menghampiri dulu si Cewek yang sudah berada di dalam mobil.
"Sayang," ujar Jai dengan wajah serius melankolis, "aku akan selalu mengingat janji yang barusan kamu ucapkan." Lalu terus jalan, seraya nundukin kepala, pelaaan... slowmotion banget!
Akibatnya, anak muda yang duduk di belakang kemudi, jadi bingung. Terus, memandang ceweknya lurus-lurus.
"Kamu bikin janji apa sama dia""
"Gak bikin janji apa-apa," jawab si Cewek gak ngerti.
"Kamu jangan macam-macam, ya!"
"Lho, apa-apaan sih" Siapa yang macam-macam!"
Begitulah, beberapa saat masih terdengar pertengkaran sebelum kemudian mobil melaju kencang.
Jai yang meski pelan-pelan berlalu, tetapi sebenarnya sempat fokus banget sama adegan barusan, jadi tertawa sendiri. Ah, dia memang aktor jempolan!
"Hebat gak abangmu ini, Jim ... Jim" Eh, ke mana si Jim""
Kepala Jai celingak-celinguk, tetapi bayangan Jamilah tidak kelihatan. Katanya ngajakin naik bus, gimana seh" Omelnya dalam hati. Kebingungan, Jai baru mendapatkan jawaban, saat telinganya menangkap teriakan Jamilah.
"Baaang ...." Jai menoleh, mengikuti suara. Ya, ampun! Barusan memang adiknya yang teriak dari jendela bus. Rupanya Jamilah sudah naik dari tadi.
Tergesa, Jai segera menggenjot kakinya. Terengah-engah, menuju bus yang sudah melaju seratus meter di depan.
Woiii... tungguuu!!!" Teriakan Jai yang dikerahkan sekuat tenaga, syukurnya tidak sia-sia. Bus melambat. Sekali lompat, cowok itu sudah bergabung dengan penumpang lain yang memadati bus. Beberapa orang kelihatan berdiri, termasuk J-Two. Tangan Jamilah memegang erat-erat parcel buatan Ibu yang harus diantar ke sebuah tempat di sekitar Jalan Gajah Mada. Keringat mengucur deras dari dahinya.
Kalau Jamilah terlihat capek, Jai justru sebaliknya. Cowok itu malah enak-enakan berdiri dengan tangan melenggang. Mulutnya bersiul-siul mendendangkan No Woman No Cry-nya Bob Marley.
"Om, daripada suit-suit bikin orang pusing, mendingan baca ini," cetus seorang bocah sambil menyodorkan koran.
"Wah, makasih ya."
Tanpa menunggu ditawari dua kali, tangan cowok itu langsung nyamber gulungan koran.
"Boleh tanya gak, Cil"" tanya Jai yang sudah isyik bolak-balik koran.
"Boleh, Om. Mumpung gak bayar," jawab si Bocah cespleng.
"Lo pasti pernah liat muka gue di tivi, kan, nakanya baik sama gue""
"Kayaknya sih gitu, Om."
"Hm ..." "Boleh tanya gak, Om"" gantian anak itu nanya ke Jai.
"Silakan! Minta tanda tangan juga boleh," jawab Jai yang tiba-tiba aja merasa deket sama si Anak, serasa selebritis sama fans-nya.
Yah, gitu-gi tu kan, dia sempat juga main. Main gundu, main bola, main congklak. Hihihi .... Gak ding. Pernah kok, masuk televisi, waktu jadi figuran hantu di film misteri. Peran yang didapatnya setelah adu urat leher sama Jamilah yang gak setuju. Biar sekali, kan seleb juga. Iya gak, sih"
"Duitnya mana, Om""
Lamunan Jai buyar. Bocah di depannya menadahkan tangan. Uang"
"Buat apaan""
"Buat bayar koran yang lagi Om baca."
"Bukannya gratis, nih koran""
"Di Jakarta mana ada yang gratis, Om. Kentut aja bayar!"
Walau keki mendenger si Anak yang asal buka mulut, Jai merasa berkewajiban menjaga gengsi selebritinya, maka dia serahin juga selembar ribuan pada si Bocah.
"Nih, kembaliannya buat elo."
"Makasih ya, Om, moga panjang umur dan bahagia," si Bocah lalu ngeloyor sambil teriak, "Koran panas, koran panas.
Bus yang ditumpangi mereka terus berjalan. Jai baru membuka halaman kedua korannya, ketika matanya tertarik sama adegan yang terjadi gak jauh dari tempat dia berdiri.
Seorang anak muda berpakaian rapi dan membawa map, sekilas seperti orang mau melamar pekerjaan, sedang berusaha merogoh kantong bapak tua yang duduk dengan mata terpejam. Tangan anak muda itu nyaris mendapatkan sesuatu, jika saja tidak terdengar teriakan keras ....
"COPET!" Si Anak Muda yang ternyata memang copet, kaget. Cepat menarik tangannya, terus pasang sikap seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi, matanya yang rada belo, diedarkannya ke sana kemari, kayak petugas ronda nyari maling ayam.
Jai geli juga, ujung matanya tetap mengikuti gerak-gerik si Copet. Kecurigaan pertama copet amatiran itu, tampaknya tertuju pada seorang ibu setengah umur, yang lagi memandang keluar lendela sambil senyam-senyum sendiri. Apa iya, si Ibu yang teriak, ya" Hm, kayaknya bukan, sergahnya sendiri dalam hati. Tetapi, yang tadi jelas suara laki-laki. Jadi,... pandangan berikut cowok itu tertuju pada bapak tua berpakaian rapi en klimis. Lama dia menatap orang tua itu, tetapi kemudian menggelengkan kepala.
Jangan-jangan nih, copet dulunya punya cita-cita jadi detektif. Batin Jai melihat lagak pencopet amatiran itu. Hm...ke mana lagi matanya sekarang" Jai mengikuti pandangan si Copet yang sekarang tertuju ke arah gerombolan anak-anak cewek sekolahan, yang lagi hot ngegosip. Sesekali terdengar tawa mereka cekikikan meningkahi obrolan yang seru.
Copet itu terus mengamati mereka satu per satu dengan gaya intel ngadepin demo mahasiswa. Matanya nyureng... terus geleng kepala, nyureng lagi, gelengin kepala lagi ....
Dasar copet mata keranjang, rutuk Jai dalam hati, yang tadi teriak kan, suara cowok, masa matanya malah jelalatan ke cewek-cewek" Bilang aja mau ngelaba!
Jai terus pura-pura membaca koran. Diliriknya si Copet yang sekarang memandang ke arahnya, curiga.
Diliatin begitu, Jai keder juga. Bukan lantaran takut menghadapi copet, melainkan memang saat ini dia lagi tidak siap berkelahi. Malah, kedua sohibnya, terutama si Oscar yang badannya gede tidak berada di sisinya lagi.
Tetapi, bukan Jai nama gue kalo gak bisa keluar dari persoalan begini, percuma dong kuliah akting di IKJ. Deuu.... Sejenak cowok itu berkonsentrasi, mutar otak, lalu...
"Hahaha tawa kerasnya mendadak terdengar. Tangannya menunjuk-nunjuk koran, "dasar bloon! Gak makan sekolahan, gak mikir. Hahaha.
Jamilah yang melihat abangnya tertawa ngakak dan langsung merebut perhatian penumpang lain, jadi gak enak.
Ssst ... kontrol dong, Bang!" bisik Jamilah. Ditendangnya kaki abangnya. "Kayak di lapaan bola aja."
Maaf, Jim," bisik Jai. "Eh, kalo di lapangan bola, orang main bola lagi. Gak ada yang ketawa kayak gini nih... hahaha.. Jai nerusin ketawanya.
Jamilah mencubit tangan jai. "Ih ... Bang Jai, gimana, sih!"
"Maaf, Jim. Kebawa suasana. Sorry jawabnya pendek sambil terus menekuni koran di tangannya dengan lebih serius.
Si Copet yang tadi sempat curiga berat sama Jai, geleng-geleng kepala lagi. Mungkin bingung sebab belum bisa menebak, siapa yang tadi udah berani neriakin dia.
Belakangan, laki-laki itu memutuskan untuk meneruskan kembali aksinya. Matanya merem sejenak. Mungkin mengumpulkan semua keberanian
. Satu, dua, tiga, yakh!!
Baru saja tangannya menyentuh saku si Bapak, lagi-lagi terdengar teriakan keras seperti sebelumnya.
"COPET!" Anak muda itu gelagapan. Sadar aksinya memang sudah diketahui orang. Tapi, sumpah disamber layangan, dia tetap tidak tahu siapa orangnya yang udah berani neriakin. Maka, sekali lagi dia mengedarkan pandangan, kali ini disertai gerakan mulut membaca mantra.
Cap cip cup terbang kuncup, kuda lari di atas genteng, Mak Ipah pake baju rombeng!
Hihihi.... Jai berjuang keras menahan tawanya agar tidak meledak. Sebab meskipun pelan, tapi karena jaraknya tidak seberapa jauh dari si Anak Muda, ia masih tetap bisa mendengar mantra si Copet dengan jelas.
Di tempatnya, tampak si Copet mengulang mantranya beberapa kali, namun setiap kali bacaannya berakhir di kata rombeng, setiap kali itu pula pandangannya berhenti tepat di Jai.
Sejenak keduanya bertatapan. Untung pencopet itu, akhirnya membuang pandang ke arah lain.
Fhew! Jai lega. Selamet ... selamet!
"Bang," tiba-tiba terdengar suara keras Jamilah, "ada apa sih, dari tadi teriak-teriak copet melulu" Emangnya ada copet, ya" Mana" Mana ..."'
Yeee, si Jamilah! Gak peka amat, sih.
E... eh," Jai gelagapan. Malah, si Copet sekarang jelas-jelas melototin dia.
"Mana copetnya, Bang"" tanya Jamilah penasaran. "Abang kan, biasanya berani lawan copet," lanjut Jamilah masih sama kerasnya.
Penumpang di bus ikut celingak-celinguk.
"Dik, mana copetnya""
Mana copetnya, Dik""
"Copetnya Dik, mannaaa .."' Suara penumpang riuh rendah, dengan nada panik.
Jai garuk-garuk kepala yang gak gatal. Gara-gara Jamilah error, dia mesti cari siasat lagi. Mata cowok itu mencari-cari, lalu menemukan jawaban yang dikiranya tepat.
Nih, di koran!" sahutnya sambil menunjuk headline koran. Penumpang pun tenang kembali.
'Heeeh, si Abang bikin orang kaget aja," suara Jamilah lebih santai.
Jai yang berdiri di sampingnya, ikut menarik napas lega. Terutama karena si Copet udah gak kelihatan.
"Gajah Mada, Gajah Mada!"
Teriakan kenek bus yang mereka tumpangi, serta-merta membuat Jamilah panik. Gara-gara si Abang teriak-teriak copet tadi, Jaim jadi gak siap-siap mau turun tuh. Padahal bawaan Jaim kan, gak ringan, gerutunya dalam hati.
"Bang, dah nyampe tuh!" tegur Jamilah. Tangannya mencolek Jai yang masih larut baca koran.
Bis melambat. Dua kakak beradik itu bergegas ke pintu belakang bus, menerobos sesak penumpang. Susah payah Jamilah berjalan, sambil satu tangannya memeluk parcel.
Tetapi, belum lagi bus benar-benar berhenti, sebuah tangan kuat di depannya tiba-tiba saja merebut bungkusan parcel itu dari tangan Jamilah.
"Yah ... Bang"!" teriak Jamilah panik.
Jai yang terhalang beberapa orang, dari adiknya, tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya sempat dilihatnya, lelaki yang tadi nyaris beraksi di dalam bus mengedipkan sebelah mata padanya, sebelum lompat dan hilang di antara lalu lalang orang di halte.
Nasib! Sepanjang jalan pulang, Jai dan Jamilah terdiam. Mereka mempersiapkan jawaban yang nanti akan mereka berikan buat Ibu. Kebayang deh, gimana meledaknya Ibu. Tau sendiri kalau Ibu lagi marah, bisa ngalahin macan, galaknya. Dan Ayah, yang mestinya jadi pawang, sedang tidak ada lagi. Huh!
Belum-belum, di mata Jai sudah terbayang Ibu dengan taring-taring macan, rambut berdiri, dan... auman yang memekakkan telinga.
Ah, tetapi kalau dipikir lagi, besarnya harga parcel yang dijambret tadi, belum Ibu yang semalaman menyusun parcel, sambil bernyanyi sampai suaranya serak, dan membuat kuping anak-anaknya berdengung karena power suara Ibu yang jauh di atas rata-rata, hingga tidak mungkin diatasi dengan satu-dua bantal. Yah, kalau ingat itu, rasanya Jai rela deh, dimarahin dengan gaya apa saja. Macan, gajah, harimau, kuda nil... ikhlas, deh!
Dia cuma mau cepat-cepat minta maaf sama Ibu.
"Tabahin hati deh, Jim! Udah nasib," suara Jai lemas. Langkahnya gontai di samping si Adik.
Jamilah pasrah hampir mengiyakan kalimat Jai. Ketika tiba-tiba ...
"Bang, lihat!" "Apaan"" "Itu kan, copet yang tadi! Itu di balik pohon!"
"Mana"" Jai memperhatikan arah yang ditunju
k Jamilah. Betul, dilihatnya si Copet berjongkok di seberang jalan, sedang membongkar isi parcel!
"Jim, jangan ke mana-mana. Tunggu setelah pesan-pesan berikut ini."
Berkata begitu, Jai menggulung lengan kaosnya tinggi-tinggi, mengenakan kacamata hitamnya, lalu dengan membusungkan dada ...
Legenda Kelelawar 1 Pendekar Rajawali Sakti 176 Bidadari Penakluk Ratu Pilihan 4

Cari Blog Ini