Ceritasilat Novel Online

Legenda Kelelawar 1

Legenda Kelelawar Karya Khu Lung Bagian 1


Legenda Kelelawar Karya : Khu Lung Saduran : Gan KL
Supaya lebih mengenal Koh-bwe Taysu, perlu juga
diketahui dulu sejarah Hoa-san-pay. Sudah turun temurun
sejak Ji Siok-cin, ketua Hoa-san-pay selalu dijabat oleh
perempuan, di antara ketujuh aliran besar persilatan juga
cuma Hoa-san-pay saja diketuai oleh perempuan.
Anak murid Hoa-san-pay tidak banyak. akan tetapi
semuanya terpilih, tidak ada murid yang rusak.
Pada waktu jaya-jayanya Hoa-san-pay, anak muridnya
pernah berjumlah lebih 700 orang. Tapi sampai pejabat ketua
Kim-say Taysu, anak muridnya tinggal tujuh orang saja.
Bayangkan betapa keras cara Kim-say Taysu menyaring anak
muridnya. Koh-bwe Taysu adalah ahli waris Kim-say Taysu. Menurut
cerita yang tersiar di dunia Kangouw, pada waktu masih gadis,
demi untuk masuk menjadi murid Hoa-san-pay. Koh-bwe
Taysu telah berlutut selama empat hari empat malam di
puncak Hoa-san, ketika Kim-say Taysu akhirnya menyatakan
mau menerimanya sebagai murid. sementara itu seluruh
badannya sudah hampir terbenam di dalam salju dan hampir
saja jiwanya melayang. Tatkala itu Koh-bwe Taysu konon baru
berusia tiga belas. Tujuh tahun kemudian, ketika Kim-say Taysu jauh keluar
laut selatan dan Koh-bwe Taysu bertugas menjaga Hoa-san,
tiba-tiba datang 'Thay-im-si-kiam' empat gembong penjahat
Thay-im, ingin menuntut balas. Musuh menyerbu secara
besar-besaran dan menyatakan akan membakar kuil Lip-giokkoan
dan menumpas seluruh penghuninya.
Namun Koh-bwe Taysu melakukan perlawanan matimatian,
dia terluka di 39 tempat, tapi masih tetap bertahan
sekalipun sekujur badan mandi darah. Akhirnya tiada seorang
pun dari Thay-im-si-kiam itu bisa turun gunung dengan hidup.
Sejak pertempuran besar itu, orang persilatan menyebut Kohbwe
Taysu sebagai Thi-sian-koh' si dewi besi.
Lima Tahun kemudian tokoh kalangan hitam di Jinghai.
Leng-bin-lo-sat, si iblis muka dingin, mengirim surat tantangan
kepada Hoa-san-pay dan mengajak duel Kim-say Taysu di
puncak Thay-san. Kalau Kim-say Taysu kalah, maka Hoa-sanpay
seterusnya harus menjadi anak buah Lo-sat-pang.
Pertarungan ini menyangkut nasib mati-hidup Hoa-sanpay.
tapi pada saat itu Kim-say Taysu justru mengalami 'Cauhwejip-mo'. yakni penyakit kelumpuhan bagi orang yang keliru
berlatih Lwekang. Dalam keadaan demikian terpaksa Koh-bwe
Taysu mewakili sang guru menghadapi tantangan musuh.
sebab Hoa-san-pay tidak dapai menolak tantangan yang
menghina itu. Koh-bwe sendiri menyadari dirinya bukan tandingan Lengbinlo-sat, maka keberangkatannya ke medan laga itu sudah
bertekad untuk gugur bersama musuh.
Dengan sendirinya Leng-bin-lo-sat lak pandang sebelah
mata pada Koh-bwe Taysu yang masih 'ingusan' waktu itu,
maka dia sengaja memberi kesempatan pada Koh-bwe untuk
menemukan cara bertanding dengan syarat-syaratnya.
Koh-bwe tenang-tenang saja dan tidak banyak omong. Ia
menyuruh muridnya memasak satu wajan minyak mendidih,
lalu dengan tenang ia menjulurkan sebelah tangannya ke
dalam wajan dengan tersenyum. Katanya asalkan Leng-bin-losat
juga berani berbuat seperti dia. maka Hoa-san-pay akan
mengaku kalah dan tunduk Air muka Leng-bin-lo-sat memucat melihat tekad Koh-bwe
itu, tanpa bicara ia melengos dan melangkah pergi. Sejak itu
kakinya tidak pernah menginjak wilayah Tionggoan lagi.
Namun begitu tangan kiri Koh-bwe menjadi hangus juga dan
berubah seperti sepotong kayu kering. Dari kejadian inilah
nama 'Koh-bwe' itu diperolehnya, yaitu artinya kayu Bwe
kering. Sejak itu, nama 'Thi-sian-koh' Koh-Bwe-Taisu tambah
cemerlang dan termasyhur di dunia Kangouw, sebab itu pula
waktu berumur 29 dia sudah menjadi ketua Hoa-san-pay dan
hingga sekarang sudah 30 tahun lamanya.
Selama 30 tahun ini, anak murid Hoa-san, apalagi orang
luar. boleh dikata tak pernah melihat Koh-bwe Taysu
tersenyum. Begitulah pribadi Koh-bwe Taysu, kalau sekarang dibilang
orang dia piara rambut dan menjadi preman lagi. mungkin
tiada seorang pun yang mau percaya.
Akan tetapi mau tak mau Coh Liu-hiang harus percaya,
sebab ini memang kenyataan.
*** Senja, sang surya yang hampir terbenam masih menyinari
air sungai yang mendampar. Di teluk sungai itu berlabuh lima
kapal layar, di atas kapal tampak mengepul asap dapur
sehingga suasana mirip sebuah perkampungan kecil di atas
sungai. Di antara kapal-kapal layar itu ada sebuah yang bukan
cuma lantaran kapal ini masih baru, tapi karena pada jendela
kapal itu terpasang kerai lidi yang setengah tergulung hingga
sinar matahari senja itu dapat menembus ke dalam kabin.
tertampak seorang nenek beruban duduk tenang di dalam
kabin. Air muka si nenek tiada menampilkan sesuatu perasaan,
tetapi berduduk dengan tenang dan tidak bergerak. Dipandang
dan jauh kelihatannya seperti patung.
Perawakannya kurus kecil, tapi kelihatan keren. Siapa pun
kalau berhadapan dengannya. bicara saja pasti tak berani
keras. Nenek itu sudah cukup menarik perhatian orang, apalagi di
sampingnya ada dua anak perempuan yang sangat cantik,
seorang lemah lembut dan selalu menundukkan kepala seperti
malu melihat orang yang tak dikenalnya. Seorang lagi tampak
gagah, jika orang lain memandangnya sekejap, sedikitnya dia
akan melototi orang dua kejap.
Kapal yang baru, nenek yang buruk rupa, gadis yang
cantik... semua mi sangat menonjol. Dari jauh Coh Liu-hiang
sudah dapai melihatnya. Waktu ia ingin lebih mendekat lagi, cepat Oh Thi-hoa
menariknya sambil berkata. "Apakah kau pernah melihat Kohbwe
Taysu?" "Empat tahun yang lalu pernah kulihat dia satu kali," jawab
Coh Liu-hiang. "Waktu itu aku mengiringi Thiam-ji (salah
seorang pacamya) pesiar ke Hoa-san dan kulihat dari
kejauhan." "Dan kau masih ingat mukanya?"
"Kan sudah kukatakan sendiri, barang siapa pernah kulihat
satu kali, selama hidup pasti takkan lupa " kata Coh Liu-hiang.
"Jika begitu, coba kau pandang lagi lebih cermat, yang
duduk di haluan kapal itu dia atau bukan?"
Coh Liu-hiang meraba hidung, katanya sambil menyengir,
"Wah, aku menjadi sangsi terhadap mataku sendiri."
"Hidungmu ada cirinya, apa sekarang matamu juga ada
dirinya" Jika betul demikian, kabar baik juga bagiku." kata Oh
Thi-hoa berseloroh demi melihat Coh Liu-hiang hanya
memandang saja ke arah kapal baru itu tanpa memberi
komentar apa-apa. Bahwa hidung Coh Liu-hiang memang ciri, yakni selalu
buntu seperti orang pilek, hal ini selalu menjadi bulan-bulanan
Oh Thi-hoa bilamana mereka saling mencemoohkan. Sebab
bagi Oh Thi-hoa sedikitnya ia merasa dirinya masih ada
sesuatu yang lebih unggul daripada Coh Liu-hiang.
Coh Liu-hiang tampak termenung, lalu katanya. "Kukira
Koh-bwe-Taysu belum pasti benar-benar Hoan-siok, bisa jadi
dia cuma ingin mengelabui mata telinga orang saja."
"Untuk apa mengelabui mata telinga orang?" tanya Oh Thi
hoa. "Bahwa Koh-bwe Taysu turun gunung, ini jelas karena ada
urusan penting. Padahal kau pun tahu watak Koh-bwe Taysu,
selama hidup pernahkah dia takut kepada siapa pun" Dia
tidak seperti kau, seperti malu dilihat orang,"
Coh Liu-hiang tidak dapat bicara lagi. Dia pandang pula
kapal baru itu, dilihatnya gadis jelita di samping si nenek tadi.
Hah, tidak tersangka Ko A-lam tetap seperti dulu, belum
tambah tua, malahan kelihatan lebih muda, agaknya orang
yang selalu riang gembira memang lebih awet muda."
"Dalam pandanganku, hakikatnya dia mirip seorang nenek.
kukira matamu benar-benar sudah cacat," ujar Oh Thi-hoa.
"Tapi hidungku sekarang menjadi tajam rupanya, sebab
terendus olehku ada bau cuka di sini," demikian Coh Liu-hiang
balas berolok-olok. Pada saat itulah, tiba-tiba terlihat sebuah perahu cepat
meluncur tiba. Di atas perahu ada empat orang, dua orang
mendayung, dua orang lagi berdiri di haluan perahu. Meski
cuma dua orang yang mendayung, namun perahu itu laju
secepat terbang. Hanya sekejap saja sudah meluncur masuk
teluk sungai itu. Si nenek tadi masih duduk di tempatnya, tangan kanan
memegang tongkat. tangan kiri tersembunyi di balik lengan
baju. Wajahnya yang kurus itu penuh codet, sebelah
kupingnya juga hilang sebagian, matanya juga buta sebelah,
sisa satu mata tampak setengah meram setengah melek,
sinar matanya mencorong tajam sehingga siapa pun tak
berani beradu pandang dengannya.
Salah seorang lelaki di perahu itu cepat memberi hormat,
lalu melompat ke atas kapal Koh-bwe Taysu.
Meski hidung Coh Liu-hiang kurang tajam, namun Thian
cukup adil, sebagai kompensasi hidungnya itu, Thian
mengaruniakan dia sepasang mata dan sepasang telinga
yang tajam. Biarpun dia berdiri di kejauhan tapi dapat dilihatnya muka
lelaki itu. ada tanda-tanda orang yang senantiasa hidup di air,
dia dapat berdiri dengan enteng di atas perahu yang naik
turun terdampar ombak, apalagi setelah melihat lompatannva
yang enteng, jelas Ginkangnya cukup kuat.
Coh Liu-hiang juga dapat mendengar ucapan lelaki itu
setelah melompat ke atas kapal. katanya, "Apakah
kedatangan Lo-thay-thay (nyonya tua) ini atas undangan, kami
mendapat perintah agar menyambut di sini...." Sambil bicara,
ia pun melangkah ke ruangan kabin, tapi baru saja dia
berucap "sini". mendadak tongkat Koh-bwe-Taysu menutul
pelan. kontan tubuh lelaki itu mencelat ke belakang dan
kecebur ke sungai. Ketiga orang yang masih berada di perahu tadi sama
pucat, salah seorang yang mendayung serentak berdiri. Lelaki
satunya lagi yang berdiri di haluan lantas berscm, "Kami
diperintahkan menyambut kedatangan kalian, masa kami
salah sasaran?" Belum habis ucapannya. sekonyong-konyong setitik sinar
berkelebat. kupingnya terasa sakit, ia coba meraba telinganya,
seketika mukanya tambah pucat. Kiranya daun kupingnya
telah hilang, hanya dalam sekelebatan sinar pedang. Tiada
nampak seorang pun di depannya kecuali si nona baju hijau di
atas kapal seperti baru saja memasukkan pedang ke
sarungnya, malahan kedengaran pula dia menjengek pelan.
Koh-bwe Taysu juga tetap duduk tenang di tempatnya, si
nona baju ungu di sebelahnya juga sedang membaca kitab
dengan menunduk. mengangkat kepala saja sama sekali
tidak. Di atas kapal. asap dupa wangi tampak mengepul tenang
seperti tak pemah terjadi apapun. Sedangkan perahu tadi
sudah meluncur pergi terlebih cepat daripada datangnya,
agaknya penumpangnya menjadi ketakutan.
Oh Thi-hoa menggeleng, gumamnya. "Sudah lanjut usia
masih begitu keras."
"Ini namanya watak jahe. makin tua makin pedas," ujar
Coh Liu-hiang dengan tersenyum.
"Tapi berlabuhnya kapal Koh-bwe Taysu di sini jelas
karena sudah ada janji dengan orang-orang berbaju hitam itu."
kata Oh thi-hoa. "Ehm. tampaknya begitu." Coh Liu-hiang mengangguk.
"Orang datang menyambut, kenapa malah melabraknya?"
"Tentu disebabkan orang-orang itu tidak cukuP
menghormatinya," ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa. "Meski
seorang beribadat tinggi, tapi Kow-Bwe-taysu paling tidak
tahan bila orang kurang hormat padanya."
Setiap orang Kangouw kenal watak Koh-bwe Taysu yang
keras itu, tapi orang-orang itu justru sengaja mencari
penyakit." "Ini pun disebabkan mereka tidak tahu bahwa orang yang
mereka temui itu ialah Koh-bwe Taysu."
"Aneh, jika orang-orang itu tidak tahu dengan siapa
mereka berhadapan, mengapa mereka bisa mengadakan janji
pertemuan di sini?" "Aku kan bukan malaikat dewata. juga bukan cacing pita di
perut orang, darimana kutahu urusan mereka. Kau tanya
padaku. lalu harus kutanya siapa?"
Oh Thi-hoa mencibir. katanya. "Orang suka bilang Coh Liuhiang
serba tahu. Kiranya ada juga yang tidak diketahui."
Coh Liu-hiang pura-pura tidak mendengar omelan itu.
katanya kemudian dengan pelan, "Beberapa tahun tidak
bertemu. tak tersangka Ko A-lam sudah bertambah cantik,
ilmu pedangnya juga tambah tinggi. Beruntunglah siapa yang
dapat memperistri anak perempuan yang baik ini."
Mendadak Oh Thi-hoa menarik muka, katanya. "Jika kau
suka padanya, biarlah kuberikan padamu saja"
"Ech, memangnya dia milikmu" Hahaha. kiranya kau...."
ucapan Coh Liu-hiang berhenti mendadak. Sebab
diketahuinya perahu tadi kini telah meluncur pula secepat
panah. Di haluan itu berdiri seorang pemuda jangkung. perahu itu
meluncur melawan arus, tapi dia dapat berdiri dengan tegak
seperti terpaku di haluan, bergerak sedikit saja tidak.
"Kiranya mereka lari pergi minta bala bantuan." kata Oh
Thi-hoa. "Tampaknya tidak lemah kekuatan kaki orang ini."
Sementara itu kecepatan perahu tadi sudah dikurangi,
karena jaraknya sudah dekat.
Terlihat pemuda ini berbaju tipis dengan lengan baju
komprang, sikapnya gagah, muka juga tampan, senyum selalu
menghiasi mukanya. dari jauh ia memberi hormat sambil
berseru, "Apakah Na-thayhujin (nyonya besar Na) berada di


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kapal ini?" Suaranya tidak keras, tapi cukup nyaring, sehingga Coh
Liu-hiang dapat mendengarnya dengan jelas. Koh-bwe Taysu
masih tetap duduk tenang di kursinya, dia hanya memberi
isyarat sedikit kepada Ko A-lam yang berbaju hijau ketat itu.
Lalu Ko A-lam berjalan pelan ke haluan kapal dan mengamatamati
pemuda itu sejenak, lalu berkata dengan ketus, "Siapa
kau" Mau apa?" "Teecu Ting Hong." jawab pemuda tadi dengan mengiring
tawa. "Khusus datang menyambut tamu. Tadi bawahan
berlaku kurang sopan, mohon Na-thayhujin dan kedua nona
suka memberi maaf". Bukan saja cara bicaranya sopan, juga sikapnya ramah
Mau tak mau sikap Ko A-lam berubah menjadi halus juga.
Pemuda yang mengaku bernama Ting Hong itu lantas
bicara pula beberapa kata dan dijawab oleh Ko A-lam. Cuma
percakapan mereka ini dilakukan dengan suara rendah
sehingga tak terdengar oleh Coh Liu-hiang.
Lalu Ting Hong tampak naik ke atas kapal dan memberi
hormat kepada Koh-bwe Taysu. Nikoh tua itu tampak
mengangguk-angguk. kapal itu lantas mengangkat sauh dan
mulai berlayar pergi. "Heran. mengapa Koh-bwe Taysu bisa berubah menjadi
Na-thayhujin, sungguh aneh." gumam Oh Thi-hoa sambil
ketuk-ketuk hidung sendiri dengan ujung jari.
Coh Liu-hiang termenung, katanya, "Melihat gelagatnya,
orang-orang berbaju hitam itu memang sudah berjanji dengan
Na-thayhujin. tapi entah mengapa Koh-bwe Taysu
memalsukan nama Na-thayhujin dan datang memenuhi janji
pertemuan ini." "Untuk apa Koh-bwe Taysu menyamar sebagai orang lain,
memangnya nama sendiri kurang cemerlang?" ujar Oh thihoa.
Bisa jadi lantaran namanya terlau tenar, makanya dia perlu
memalsukan nama orang lain," kata Coh Liu-hiang. Tapi kalau
menurut watak Koh-bwe-Taysu hingga dia sudi memalsukan
nama orang lain, maka dapat dibayangkan persoalan ini pasti
lain daripada yang lain."
"Sungguh aku tidak paham ada urusan besar apakah dia?"
ucap Oh Thi-hoa sambil berkerut kening.
Sinar mata Coh Liu-hiang gemerlap, tiba-tiba ia tertawa
katanya, "Mungkin kedatangannya ini adalah untuk mencari
jodoh bagi Ko A-lam. Kau lihat Ting-kongcu tadi gagah dan
cakap, ilmu silatnya juga tidak lernah, kan setimpal
mendapatkan istri pendekar pedang seperti Ko A-lam?"
Mendadak Oh Thi-hoa menarik muka. ucapnya dengan
menyengir, "Hehe, lucu, sungguh lucu, kau keparat kutu busuk
ini memang lucu!" Kehidupan di atas air juga ada tata caranya sendiri. Malam
adalah waktunya mereka istirahat. minum arak. mengobrol
dan menambal jala, asalkan serba kecukupan. jarang ada
yang mau berlayar di waktu malam, sebab itulah agak sukar
menyewa perahu bila hari sudah gelap.
Akan tetapi Coh Liu-hiang tentu mempunyai cara sendiri
Baginya hampir tiada sesuatu yang sukar di dunia ini. apalagi
cuma menyewa sebuah perahu.
Waktu Coh Liu-hiang menyewa sebuah perahu itulah.
dengan gerak cepat Oh Thi-hoa pergi membeli satu poci arak.
Bagi Oh Thi-hoa, boleh tidak punya rumah. tidak perlu duit.
tidak punya pacar. bahkan tidak punya baju juga tak menjadi
soal, tapi sekali-kali tidak boleh tidak punya sahabat dan tidak
punya arak. Malam ini sangat sunyi.juga sangat gelap.
Cuaca di permukaan sungai tampak remang-remang,
entah asap, entah kabut. Dipandang dari jauh kapal yang
ditumpangi Koh-Bwe Taysu itu hanya bayangan layarnya.
Namun kapal itu tetap melaju pesat, perahu sewaan Coh Liuhiang
harus menggunakan kecepatan penuh barulah dapat
mengikuti jejaknya. Oh Thi-hoa nongkrong di haluan perahu, tanpa berkedip ia
mengawasi kapal layar di depan sambil menenggak arak,
sudah cukup lama ia tidak bersuara.
Lama juga Coh Liu-hiang memperhatikan kawannya ini.
tiba-tiba ia bergumam, "Sungguh aneh. orang yang biasanya
suka omong. mengapa sekarang satu patah kata saja tidak
terdengar" Jangan-jangan menanggung pikiran apa-apa ?"
Oh Thi-hoa pura-pura tidak mendengar. tapi akhinya tidak
tahan. serunya. "Aku sangat gembira, siapa bilang aku
menanggung pikiran apa-apa."
"Kalau tidak menanggung sesuatu pikiran. mengapa diam
saja tanpa bicara?" "Mulutku lagi sibuk minum arak. mana ada peluang untuk
bicara. masa kau tidak lihat?" Lalu ia menenggak seteguk
arak-nya dan bergumam pula, "Aneh juga, orang ini biasanya
kalau melihat arak lantas ditubruknya, tapi sekarang satu
teguk saja tidak minum, jangan-jangan dia menanggung suatu
penyakit." Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Kan mulutku lagi sibuk
bicara, darimana ada peluang untuk minum arak?"
Mendadak Oh Thi-hoa menaruh poci araknya, ia menoleh
dan melototi Coh Liu-hiang. katanya kemudian,
"Sesungguhnya kau ingin omong apa" Bicaralah!"
"Suatu hari, kau mendapatkan dua guci arak simpanan
lama, lalu kau pergi mencari si jaring kilat Thio Sam, sebab
ikan panggangnya paling sedap. paling cocok untuk teman
minum arak.... begitu bukan?"
"Ya,"jawab Oh Thi-hoa
"Lalu kalian duduk di haluan perahu sambil makan ikan
panggang dan mmum arak. Tiba-taba sebuah kapal meluncur
lewat dengan cepat, ada tiga penumpang kapal itu. seorang di
antaranya sangat hapal bagimu. betul tidak?"
"Ya," kembali Oh Thi-hoa menjawab singkat.
"Orang yang kau kenal itu ternyata Ko A-lam adanya,
sudah lama sekali kau tidak melihatnya, maka kau ingin
menyapanya, siapa tahu dia sama sekali tidak menggubris
dirimu kau menggapainya, dia juga pura-pura tidak melihat
hendak menyusulnya untuk menanyai dia. tapi kau juga tidak
berani. sebab kau lihat Koh-bwe Taysu juga berada di kapal
itu. Kau tidak takut pada langit. tidak gentar pada bumi, tapi
Koh bwe Taysu cukup membuat ciut nyalimu.... betul tidak?"
Sekali ini kata "ya" saja malas diucapkan Oh Thi-hoa,
hanya menenggak arak. "Padahal sudah lebih 20 tahun Koh-bwe Taysu tidak pernah
keluar, sekali ini dia turun gunung, bahkan berdandan
seba-gai orang preman, hal ini telah membuat kau terkejut.
makanya cepat-cepat kau mencari aku..,. begitu bukan?"
Mendadak Oh Thi-hoa melonjak bangun, teriaknya sambil
mendelik. "Semua ini aku yang bercerita padamu, betul tidak?"
"Betul." jawab Coh Liu-hiang.
"Jika betul, kenapa kau tanya lagi" Kau brengsek, bukan?"
Coh Liu-hiang tertawa, ucapnya, "Kuulangi lagi ceritamu
itu, maksudku hanya ingin mengingatkan beberapa hal
padamu." "Hal apa?" tanya Oh Thi-hoa.
"Waktu Ko A-lam ingin kawin denganmu, apapun juga kau
menolaknya. Sekarang dia tidak menggubrismu. Ini kan
setimpal dan adil" hanya saja...."
"Hanya saja lelaki memang tidak tahu diri. Oh Thi-hoa
lebih-lebih seorang yang tidak punya harga diri. selalu
menganggap perempuan yang sukar dimiliki adalah
perempuan yang paling baik.... begitu bukan maksudmu?"
"Ya, memang begitulah," sahut Coh Liu-hiang tertawa.
Oh Thi-hoa menarik muka pula, katanya. "Kata-kata
demikian entah sudah berapa puluh kali kudengar dari
mulutmu. aku sudah bosan dan tidak perlu kau ingatkan lagi."
"Tapi yang ingin kuingatkan padamu bukanlah hal ini," ujar
Coh Liu-hiang "Ooo.... memangnya hal apa?" tanya Oh Thi-hoa.
"Meski kau ini lelaki bernilai rendah, Namun Ko A-lam tetap
suka padamu, sebabnya dia tidak mau gubris padamu adalah
karena sekarang dia harus melakukan sesuatu urusan yang
sangat berbahaya, dia tidak ingin kau mengetahuinya."
"Sebab apa" tanya Oh Thi-hoa.
"Sebab meski kau tak memahami dia, tapi dia cukup
memaklumi dirimu. Jika kau tahu dia terancam bahaya,
dengan sendirinva kau akan tampil ke muka membelanya,
makanya dia lebih suka dimarahi daripada kau menyerempet
bahaya baginya " Oh thi-hoa melenggong, katanya kemudian dengan
tergagap, "Jadi... jadi sikapnya itu adalah demi kebaikanku?"
"Sudah tentu karena untuk kebaikanmu." jawab Coh liuhiang.
"Sebaliknya bagaimana denganmu" Apa yang telah kau
lakukan baginya?" Ia mendengus. lalu menyambung pula, "Hm... kau hanya
suka marah padanya, hanya bisa duduk di sini minum arak
sendiri, kau berharap lekas mabuk hingga lupa daratan. lalu
tidak perlu tahu lagi apa yang terjadi atas dirinya."
Mendadak Oh Thi-hoa melompat bangun. kontan ia
gampar muka sendiri satu kali, poci arak lantas dibuangnya ke
sungai dengan muka merah ia berteriak. "Betul, ucapanmu si
kutu busuk tua ini memang betul. Akulah yang salah,
hakikatnya aku ini memang telur busuk. Sudah tahu bakal
terjadi peristiwa besar di depan mata, biarpun tenggorokanku
kering dan mati kehausan juga tidak boleh minum arak."
"Nah, beginilah baru anak yang baik." ucap Coh Liu-hiang
dengan tersenyum. "Pantas Ko A-lam suka padamu. jika dia
tahu sekarang kau anti arak. tentu dia akan kegirangan."
"Siapa bilang aku anti arak?" teriak Oh Thi-hoa dengan
mendelik. "Aku cuma bilang. selama beberapa hari ini akan
kukurangi minum arak dan tak pernah menyatakan anti
arak..... kepalaku boleh dipenggal, darahku boleh mengalir.
tapi arak tetap harus kuminum."
"Haha, kau ini meski malas lagi kotor, juga gemar minum
arak dan suka berkelahi, tapi kau tetap orang yang
menyenangkan. Bila aku perempuan, tentu aku pun suka
padamu." Oh Thi-hoa tertawa, katanya, "Jika kau perempuan dan
penujui diriku, sudah, tentu aku sudah lari terbirit-birit sejak
tadi, mana bisa duduk minum arak di sini?"
Selama hidup ini. entah sudah berapa kali Coh Liu-hiang
dan Oh Thi-hoa bersama-sama menghadapi bahaya maut.
Setiap kali mereka mengetahui bakal terjadi urusan besar,
pasti mereka berusaha mempertahankan kejernihan pikiran.
sedapatnya mereka rileks dan bergembira.
Bahwa mereka dapat hidup langgeng hingga sekarang.
bisa jadi lantaran mereka senantiasa hidup gembira ria. setiap
saat pun dapat tertawa. Entah sejak kapan, laju kapal layar di depan mulai lambat
jarak kedua kapal semakin dekat, kabut juga tambah tebal,
bentuk kapal besar itu samar-samar sudah kelihatan.
Apakah penumpang kapal itupun dapat melihat perahu
kecil ini" Selagi Coh Liu-hiang hendak menyuruh tukang perahu
memperlambat laju perahunya agar jarak keduanya ditarik
lebih jauh, tiba-tiba kapal di depan mendadak berhenti,
bahkan tampaknya seperti mulai tenggelam ke bawah.
Jelas Oh Thi-hoa juga melihatnya. katanya cepat, "He,
mengapa lampu di kapal sana semakin rendah ke bawah"
Apakah kapalnya tenggelam?"
"Tampaknya memang begitu." jawab Coh Liu-hiang.
Sementara itu jarak dengan kapal itu tinggal lima-enam
tombak saja jauhnya, sekali lompat dan melayang ke depan,
Coh Liu-hiang sudah berada di haluan kapal itu. Badan kapal
sudah hilang dan miring, kabin kapal sudah kemasukan air.
Suasana di atas kapal sunyi senyap. Koh-bwe Taysu Ko Alam
dan teman gadisnya yang malu-malu itu, si pemuda baju
hitam Ting Hong serta beberapa pendayung perahu tadi,
semua sudah menghilang entah kemana.
"Kapal ini jelas masih baru, mengapa bisa tenggelam
mendadak?" ujar Oh Thi-hoa. "Lantas kemanakah orangorang
tadi" Memangnya sudah ditelan setan air seluruhnya?"
Maksudnya ingin berkelakar, tapi belum habis ucapannya
ia sendiri merasa merinding, tanpa terasa keringat dingin pun
membasahi tangannya. Ia menarik napas dalam. tiba-tiba dirasakan di antara
angin sungai yang meniup semilir itu membawa semacam bau
sengak yang aneh. Ia menjadi heran dan bertanya, "He. bau
apakah ini" Apakah kau......."
Hakikatnya Coh Liu-hiang tak mencium bau apa-apa,
maklum hidungnya memang kurang tajam. Tapi segera
dilihatnya dari hulu sungai sana mengambang tiba selapis
cairan kehitam-hitaman yang mengkilap, dalam waktu singkat
saja cairan hitam yang mengambang di permukaan air sungai
itu telah mengurung rapat perahu serta layar yang sedang
tenggelam. Suara ucapan Oh Thi-hoa tadipun terputus oleh bunyi
mendesing anak panah yang memecah angkasa, tertampak
sinar api berkelebat. sebatang panah berapi terbidik dari jauh
terus menyemplung ke tengah sungai.
Menyusul lantas terdengarlah suara "blung" yang keras,
seketika seluruh permukaan sungai terjilat api dan berkobar
dengan hebat. Hanya dalam sekejap saja Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa
bersama perahunya sudah ditelan oleh lautan api.
*** Air terasa panas, Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa terendam
di dalam air, dahi mereka penuh butiran keringat. Mereka tidak
merasa susah, sebaliknya merasa segar.
Sebab, tempat mereka berada bukanlah sungai yang
terbakar melainkan di sebuah bak mandi yang besar. Rupanya
mereka sedang mandi uap. Oh Thi-hoa membasahi handuknya. setelah diperas kering,
handuk lantas dikerudungkan di atas kepala, lalu ia
memejamkan mata dan menghela napas, gumamnya. "Ehmm,
sama-sama berendam, jelas rasanya berbeda. berendam di
situ memang berlainan dengan berendam di sungai. Sama
halnya dengan manusia, sama-sama manusia, tapi ada yang
pintar dan ada yang bodoh."
Coh Liu-hiang juga sedang memejamkan mata dengan
rileks. Ia bertanya, "Siapa yang bodoh?"
"Kau pintar, aku bodoh," kata Oh Thi-hoa.


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eh, mengapa kau jadi rendah hati?" ujar Coh Liu-hiang
dengan tertawa. "Sebenarnya aku pun tidak mau mengaku bodoh. tapi apa
daya, kenyataan memang demikian." kata Oh Thi-hoa dengan
menyengir. "Coba, kalau tiada kau, mungkin aku sudah terbakar
menjadi abu, mana bisa menikmati mandi uap yang
menyenangkan ini. Cuma sayang, tidak ada gadis pijatnya."
Sejenak kemudian ia menghela napas dan menyambung,
"Terus terang, waktu itu aku benar-benar bingung, aku tidak
habis mengerti, mengapa air sungai bisa terbakar, lebih-lebih
tak terpikir olehku bahwa di bawah api masih ada air sungai
kalau tidak ditarik olehmu, sungguh aku tidak berani terjun ke
bawah." Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Sebelum api berkobar,
bukankah kau mengendus scmacam bau sengak yang aneh?"
"Betul," kata Oh Thi-hoa. "Waktu itu kulupa hidungmu
kurang tajam, malahan kutanya padamu. waktu kuingat
pertanyaan itu hakikatnya percuma, tahu-tahu api sudah
berkobar." "Apakah kau tahu bau apakah itu?"
"Jika tahu, orang yang punya hidung malahan tanya kepada
orang vang tak punya hidung. sungguh anch, sungguh
lucu." Oh Thi-hoa tertawa, katanya. "Tadi kau telah
menyelamatkan aku sehingga tidak mati terbakar. tapi aku
tidak berterimakasih padamu. Betapa sering kau
menyelamatkan aku, toh tetap akan kuhajar kau. Supaya aku,
tidak penasaran. kau harus memberitahukan padaku bau
apakah tadi?" "Darimana kutahu bau apa?" uJar Coh Liu-hiang dengan
tertawa. "Cuma meski aku tak dapat mencium baunyu, namun
sudah kulihat jelas."
"Melihat apa?" tanya Oh Thi-hoa. "Minyak," jawab Coh Liuhiang.
"Minyak" Minyak apa?" tanya Oh Thi-hoa pula.
"Minyak apa, aku sendiri pun tidak jelas. cuma pernah
kudengar cerita orang bahwa di sekitar daerah Tibet, di bawah
tanah terdapat semacam air hitam yang sangat mudah
menyala (minyak bumi zaman ini). Sekali terbakar sukar
dipadamkan." "Ya, betul, aku pun merasa bau itu memang berbau
sengaknya minyak," kata Oh Thi-hoa.
"Tapi di Sungai Panjang (Tiangkang) ini masa terdapat
minyak hitam begitu?"
"Sudah tentu minyak itu tidak muncul sendiri, tapi dituang
oleh orang," kata Coh Liu-hiang.
"Barang cair hitam itu memang aneh, bila dituang ke dalam
air, pasti tetap mengambang di atas permukaan air maka tetap
dapat dinyalakan Tapi mereka lupa kalau minyak
mengambang di permukaan air dan terbakar, air di bawahnya
tidak ikut terbakar, asalkan kau berani terjun ke tengah lautan
api. tentu pula kau dapat selulup ke dalam air."
"Wah. tidaklah mudah bila orang ingin membakar mati kutu
busuk tua macam kau ini." kata Oh Thi-hoa dengan tertawa.
"Tapi orang-orang ini dapat mengangkut minyak hitam jauh
dari Tibet sana ke sini serta berani menyalakan api di sungai,
suatu tanda mereka bukan orang biasa, tapi punya organisasi
yang rapi, besar tenaga dan dananya. pula sangat berani."
"Tapi pada diri bocah she Ting itu tidak kulihat adanya
tanda-tanda sebesar itu kepandaiannya." kata Oh Thi-hoa.
"Orang yang membakar mungkin ialah Ting Hong, tapi
jelas dia bukan pemimpm komplotan rahasia ini.... mengenai
siapa pemimpin mereka, kau pun tidak perlu tanya padaku,
sebab aku pun tidak tahu."
Oh Thi hoa tersenyum sejenak, katanya kemudian,
"Mereka telah mengetahui kita sedang menguntitnya, maka
mereka tidak sayang menenggelamkan kapal yang masih baru
itu, tidak segan-segan menyalakan api di sungai untuk
membakar mati kita.... sesungguhnya apa kehendak orangorang
ini?" "Kan sudah kukatakan sejak tadi, ini pasti menyangkut
urusan besar yang sangat mengejutkan."
"Namun...... namun Koh-bwe Taysu dan Ko A-lam, apakah
mereka pun akan mengalami nasib yang malang?"
"Pasti tidak akan terjadi," kata Coh Liu-hiang.
"Jika demikian, apakah tujuan mereka hanya ingin
membawa pergi Koh-bwe Taysu dan Ko A-lam?"
"Ehm. kukira memang demikian."
"Sungguh aneh. Kalau mereka bermaksud jahat terhadap
Koh-bwe Taysu, mana bisa Nikoh tua itu ikut pergi bersama
mereKa begitu saja" Sebaliknya jika mereka tiada maksud
jahat kepada Koh-bwe Taysu, tentunya mereka tidak perlu
bertindak misterius ini."
Habis ucapannya ini. lalu ia memejamkan mata seolah tak
ingin mendengar lagi tanggapan Coh Liu-hiang. Sebab ia tahu
urusan ini tidak mungkin dapat dijawab oleh siapa pun juga.
*** Tempat mandi dimana Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa
berendam ini bernama "Siau-yau-ti' (kolam serba nikmat,
sebuah tempat mandi uap umum, tarip mandinya tidak murah.
tapi berendam di dalam bak mandi besar yang panas memang
mempunyai cita rasa tersendiri. Sambil mandi dapat puta
mengobrol dengan teman. sebab itulah kaum lelaki di daerah
Kangsoh dan Ciatkang, baik kaya maupun miskin, bila sudah
makan siang sorenya rnereka suka berendam satu dua jam di
tempat mandi uap. Yang berendam di bak mandi raksasa itu tentu saja tidak
cuma mereka berdua saja, namun karena panasnya air
sehingga uapnya cukup tebal, berhadapan saja hampir-hampir
tidak dapat melihat jelas muka masing-masing.
Di pojok bak mandi sebelah sana masih ada dua-tiga
orang yang sedang mencuci kaki dan menggosok punggung.
Selain itu ada pula seorang yang sudah cukup berendam dan
kini sedang mengguyur badan dengan air dingin di tepi sana.
Beberapa orang itu tidak memperhatikan Coh Liu-hiang.
sebaliknya Coh Liu-hiang juga tidak memperhatikan mereka.
Di tempat mandi umum begini semuanya buka baju dan
telanjang bulat, dalam keadaan bugil demikian tiada
perbedaan kelas lagi, apakah keluarga kerajaan, pembesar
negeri atau orang ternama, bahkan dengan kaum kuli
sekalipun. Coh Liu-hiang suka berkunjung ke tempat ini, dia merasa,
seorang yang telanjang bulat dan berendam di dalam air
barulah dapat seluruhnya memahami dirinya sendiri dan
mamandang jelas dirinya sendiri.
Banyak juga saudagar besar yang suka berkunjung ke
tempat mandi uap begini sambil berunding soal bisnis, sebab
mereka pun merasakan bila kedua pihak bertemu dalam
keadaan bugil, maka sifat kecurangannya tentu akan banyak
berkurang. Di pojok bak mandi sana ada dua orang sedang bicara
deugan bisik-bisik. entah apa yang sedang dipersoalkan. Tapi
seorang di antaranya rasanya Coh Liu-hiang sudah pernah
kenal cuma scketika tidak ingat siapa dia.
Orang yang mandi air dingin di tepi bak sana sudah
selesai, sambil memeras handuknya dia terus keluar. Kedua
kaki orang ini sangat panjang dan halus, tapi tubuh bagian
atas jelas sangat kencang bahunya juga bidang. Waktu
berjalan tampak sempoyongan seakan-akan setiap saat bisa
terjatuh. Tapi sekali pandang saja Coh Liu-hiang lantas tahu
Ginkang orang ini sangat tinggi, senjata yang dipakainya tentu
juga berbobot berat, jelas orang ini pun seorang tokoh
persilatan. Padahal orang yang punya ginkang tinggi.
kebanyakan memakai senajta ringan yang mudah dibawa.
Malahan ada yang, cuma menggunakan Amgi (senjata
rahasia) saja. Orang yang punya ginkang tinggi dan memakai
senjata yang berat memang tidak banyak.
Coh Liu-hiang lantas tersenyum, agaknya dia sudah dapat
menerka siapakah gerangan orang tadi. Berendam di bak
mandi sembari mengawasi gerak-gerik orang lain,
menganalisa asal-usul serta menerka kedudukan setiap orang
juga salah satu kesenangan bagi orang yang suka berkunjung
ke tempat mandi uap ini. Waktu si kaki panjang tadi baru sampai di ambang pintu
mendadak dari luar menerjang masuk satu orang.
Orang yang lari masuk ini kelihatan gugup, seperti diburu
setan saja, begitu masuk segera ia terjun ke dalam kolam
mandi. Tentu saja air muncrat dan membasahi muka Oh Thi-hoa.
Baru saja Oh Thi-hoa mendelik dan hendak memaki, tiba-tiba
ia melihat jelas orang itu, rasa gusarnya seketika berubah
gembira, omelnya segera. "Setan alas. kau tidak menjaring
ikan di sungai mengapa lari ke sini" Memangnya kau pun
ingin menangkap ikan di dalam kolam yang keruh ini?"
"Ya, kukira kau harus hati-hati, jangan sampai ke sana
dijaring oleh jaring kilatnya," kata Coh Liu-hiang dengan
tertawa. Kiranya orang yang menerjang masuk itu bukan lain 'si
jaring kilat' Thio Sam yang baru saja mereka bicarakan itu.
Thio Sam selain terkenal mahir berenang dan pmtar
memanggang ikan, pula sangat cerdik dan pandai bicara,
pengalaman luas dan kawannya banyak, dengan sendirinya ia
pun sangat setia kawan. Orang yang serba baik ini hanya mempunyai suatu
kelemahan. yaitu suka pada mutiara. Bila melihat mutiara
yang bagus. maka tangannya lantas gatal. dengan segala
daya upaya tentu dia akan berusaha mendapatkannya.
Benda-benda berharga lain, seperti emas, perak, batu
permata lain tiada sesuatu yang menarik baginya.
Kesukaannya hanya pada mutiara, bila melihat mutiara,
sama halnya Oh Thi-hoa melihat arak. Tapi sekarang ketika
dia melihat Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa juga berada di situ,
rasanya jauh lebih gembira daripada melihat mutiara yang
paling bagus. Ia menghela napas lega dan berkata, "O, syukur
rupanya rezekiku besar, dimana-mana selalu kutemukan
penolong." Dengan tertawa Oh Thi-hoa mengomel, "Setan alas,
melihat tingkahmu ini, jangan-jangan kau bertemu setan"'
Si jaring kilat Thio Sam menghela napas dan menyengir,
jawabnya, "Ketemu setan mungkin akan lebih baik, tapi orang
yang kutemukan ini terlebih buas daripada setan." "Hah,
siapakah dia, bisa lebih buas daripada setan " Aku jadi ingin
melihatnya," ujar Oh Thi-hoa.
"Masa kau...." belum Thio Sam buka suara, mendadak di
luar terdengar suara ribut-ribut. Si kaki panjang tadi sudah
melangkah keluar pintu. kini mendadak mundur ke dalam lagi.
Terdengar suara serak seorang lelaki sedang berseru, "He,
nona, tempat ini tidak pantas didatangi engkau."
"Orang lain boleh datang, mengapa aku tidak boleh"
Berdasarkan apa aku tidak boleh datang?" teriak seorang lagi.
Suaranya cepat seperti bunyi mitraliur, nyaring dan merdu,
seperti seorang perempuan muda.
Terdengar lelaki tadi berkata pula dengan gugup, "Tapi....
tapi tempat ini adalah tempat mandi kaum lelaki, nona mana
boleh masuk ke situ?"
"Kau bilang tidak boleht aku justru mau masuk ke sana.
harus," kata si nona. Dia mendengus lalu berteriak pula,
"Pencuri brengsek, kau lari ke sini dan mengira nona tak
berani mengejar" Hm, supaya kau tahu, biarpun kau lari ke
neraka juga akan kubekuk kau dari depan Giam|o-ong (raja
akhirat)." Oh Thi-hoa melelet lidah. katanya dengan tcrtawa, "Wah,
nona cilik ini benar-benar sangat buas...." Dia melirik Thio
Sam, dilihatnya wajah Thio Sam pucat ketakutan, mendadak
si jaring kilat terjun ke dalam kolam mandi terus selulup ke
bawah tanpa menghiraukan airnya yang panas mengepul itu.
"Haha, kan ada kami di sini, apa yang kau takuti?" ujar Oh
Thi-hoa dengan tertawa. "Tapi kau ternyata lebih suka minum
air cuci badan orang banyak."
Coh Liu-hiang tertawa geli, selamanya dia suka bertemu
dengan orang yang menarik. Nona cilik di luar itu juga sangat
menarik, ia berharap si nona akan menerjang ke dalam.
Tapi masa ada peremPuan yang berani menerobos ke
kamar mandi yang khusus hanya disediakan untuk kaum
lelaki" Terdengar suara ribut di luar sana semakin keras, si
pengurus tempat mandi sedang berteriak-teriak pula, "Jangan,
tidak boleh masuk, tidak boleh...."
Belum habis ucapannya. "plak". agaknva orang itu telah
digampar satu kali sehingga mulutnya bungkam seketika.
Lalu dari luar menerjang masuk dua orang perempuan.
Sudah tentu suasana menjadi panik. Siapa pun tidak
menyangka ada perempuan yang benar-benar berani
menerobos ke kamar mandi kaum lelaki. Si kaki panjang tadi
segera melompat lagi ke dalam kolam dan berjongkok di situ.
Tertampak usia perempuan pemberani ini masih muda
juga sangat cantik, hidungnya mancung. mulutnya kecil.
matanya besar dan berkelip-kelip, mungkin bintang-bintang di
langit juga tidak seterang kerlipan matanya. Berbaju merah
ketat. Yang hebat ialah kopiahnya yang berwarna keemasan
berbentuk mirip mahkota, memakai sabuk emas pula.
dipandang sepintas mirip seorang pangeran yang baru pulang
dari berburu. Yang ikut masuk bersama dia adalah seorang genduk
berusia empat-lima belas tahun, bermuka bundar. cukup
manis bila tertawa. Coh Liu-hiang saling pandang sekejap dengan Oh Thi-hoa.
dalam hati merasa geli. Sebab mereka sudah melihat pada
kopiah emas itu tadinya pasti terbingkai satu biji mutiara
besar, tapi sekarang mutiara itu sudah hilang. hanya kelihatan
bekasnya saja pada kopiah si nona.
Kemanakah mutiaranya" JeIas telah disambar si jaring
kilat Thio Sam. Tentu penyakitnya kumat lagi demi melihat
mutiara orang yang besar lagi bagus itu.
Padahal si jaring kilat Thio Sam ini tidak cuma mahir
berenang dan selulup saja, kungfunya juga tidak lemah.
Ginkang dan Am-gi juga terhitung lumayan, tapi mengapa dia
ketakutan terhadap si nona cilik ini"


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua mata si nona nampak mengerling kesana kemari
.setiap lelaki yang berendam di dalam bak dipelototinya, lebihlebih
Oh Thi-hoa, risi dia. Bayangkan, bagaimana rasanya bila
seorang lelaki telanjang bulat berendam di dalam air dan
dipandang seorang nona cantik....
Air muka si genduk cilik tadi juga berubah merah, ia
sembunyi di belakang si nona baju merah. tidak berani
memandang ke luar, tapi terkadang ia pun melirik ke arah Coh
Liu-hiang. Tentu saja Coh Liu-hiang merasa senang oleh peristiwa
yang aneh dan lucu ini. Tiba-tiba si nona baju merah berseru. "He, barusan ada
seorang lelaki mirip monyet masuk ke sini, apa kau
melihatnya?" Semua orang diam saja, tidak ada yang
menjawab. Nona baju merah itu melotot katanya pula,
"Asalkan kalian memberitahu, tentu akan kuberi hadiah, jika
dusta, awas!" Oh Thi hoa berkedip-kedip. tiba-tiba menanggapi, "Yang
nona katakan Apakah orang yang rada-rada mirip monyet?"
"Ya, betul, kau melihatnya?" jawab si nona.
Jika orang macam begitu, aku memang melihatnya," ujar
Oh Thi-hoa dengan tenang.
Thio Sam yang masih selulup dalam air menjadi berdebardebar,
sungguh ia geregetan, bila mungkin dia akan menjahit
mulut Oh Thi-hoa agar selamanya tak dapat minum arak lagi. Coh
Liu-hiang juga merasa geli. Sudah tentu ia tahu Oh Thi-hoa
bukan orang yang suka menjual kawan, paling-paling cuma
sengaja hendak membikin kapok Thio Sam saja agar berubah
sedikit penyakitnya itu. Tampak mata si nona tadi terbeliak, katanya, "Dimana
orangnya" Lekas katakan, akan kuberi persen."
"Persen apa?" tanya Oh Thi-hoa.
Si nona mendengus, mendadak ia melemparkan sepotong
benda ke dalam air. Mata Coh Liu-hiang sangat tajam, sekilas
dia sudah dapat melihat benda itu adalah sepotong emas.
Sungguh bodoh nona cilik ini, sekali lempar lantas memberi
persen sepotong emas, jelas asal-usulnya pasti lain daripada
yang lain. Segera OH Thi-hoa menggagapi emas itu dalam air,
seperti tak percaya jika emas itu tulen, sengaja mengamati
sekian lama, habis itu baru berkata dengan tertawa. 'Terima
kasih nona." "Lantas dimana orangnya?" tanya si nona.
Oh Thi-hoa meraba hidung, jawabnya pelan, "Orangnya
...." Ia pun tahu saat ini pandangan setiap orang sama tertuju
ke arahnya. Setiap orang sama bersikap menghina padanya.
demi mendapat persen sepotong emas lantas menjuaJ kawan.
betapa rendah perbuatannya ini.
Namun Oh Thi-hoa tetap tenang saja, mukanya tidak
merah, hatinya tidak gelisah, perlahan-lahan ia menjulurkan
tangan dan menunjuk hidung Coh Liu-hiang sambil berkata
dengan tertawa. "Orangnya ialah ini. masa nona tidak
melihatnya?" Tindakan Oh Thi-hoa ini benar-benar di luar dugaan siapa
pun juga. Ada yang melengak, ada yang tertawa geli Tentu
saja Coh Liu-hiang sendiri menjadi serba runyam.
Si nona baju merah tampak gusar, segera ia membentak.
"Kurangajar kau.... kau berani bergurau denganku?"
"Mana Cayhe berani bergurau dengan nona," kata Oh Thihoa
tertawa. "Nah. silakan nona melihat lebih teliti, orang ini
bukankah mirip seekor monyet".... masa orang yang nona cari
bukan dia?" Si nona memelototi Coh Liu-hiang sekejap. melihat
sikapnya yang serba susah itu, tanpa tarasa timbul juga rasa
gelinya. Si genduk cilik tadi sudah tidak tahan geli. sambil
mendekap mulut, ia tertawa cekikikan.
Oh Thi-hoa tambah gembira. katanya pula dengan tertawa.
"Di sini hanya dia saja yang mirip monyet, jika yang dicari
nona bukan dia, maka cayhe tak tau lagi siapa orang yang kau
cari." Si nona baju merah menarik muka, seketika ia menjadi
bingung juga entah cara bagaimana harus bertindak terhadap
orang ini. Betapa pun ia masih muda belia, lelaki yang berkulit
muka setebal ini belum pernah dilihatnya.
Si genduk cilik tadi melirik sekejap pula ke arah Coh Liuhiang,
tiba-tiba ia berkata sambil menahan tawa, "Siocia, mari
kita pergi saja." "Mendadak si nona mendengus, teriaknya,
"Mengapa aku harus pergi. mengapa harus pergi?"
Cara bicaranya kesusu dan cepat pula sehingga satu
kalimat diucapkan dua kali, seolah-olah khawatir orang lain
tidak jelas mendengar ucapannya.
"Pencopet itu sepertinya tidak berada di sini." kata si
genduk cilik tadi. Kembali Si nona baju merah menjengek, katanya,
"Sebenarnya aku pun tidak benar-benar hendak mencari dia
ke sini. soalnya tempat apa pun di dunia ini sudah pernah
kulihat. hanya tempat mandi begini belum pernah kudatangi,
maka aku sengaja masuk ke sini."
"Betul," sambut Oh Thi-hoa sambil berkeplok tertawa.
"Orang hidup baru berarti jika seperti nona. Sungguh Cayhe
sangat kagum terhadap orang seperti nona ini."
Si nona hanya mendengus saja.
Segera Oh Thi-hoa berkata pula, "Cuma sayang, nona
masih tetap kurang berani."
"Apa katamu?" teriak si nona sambil mendelik.
"Kubilang nona tetap kurang berani," sahut Oh Thi-hoa
dengan tertawa. "Apabila nona juga berani terjun ke dalam
kolam mandi ini, barulah kau benar-benar pemberani dan
lihai." Merah padam muka si nona saking gusarnya, mendadak
tangannya sudah ada sebatang pedang panjang yang
bercahaya kemilau. Pedang ini tipis dan sempit, lemas terbut dari baja pilihan,
biasanya melilit di pinggang sebagai sabuk, bila dilepas dan
disendal, seketika terjulur, dan jadilah pedang yang tajam.
Pedang yang lemas dan keras hanya dapat dimainkan
oleh orang yang sudah ahli dan terlatih dengan baik.
Tentu saja orang-orang yang berendam dalam kolam
mandi sama terkesiap, sungguh tak tersangka oleh mereka
bahwa nona cilik galak ini mahir menggunakan pedang lemas
begini. Sementara itu si nona telah melompat ke tepi kolam,
sekali sabet, segera pedangnya menebas ke kepala Oh Thihoa,
gerak pedangnya sedemikian cepat, jitu lagi ganas.
Oh Thi-hoa menjerit terus selulup ke dalam air. Orang lain
mengira dia telah terkena tebasan pedang si nona. Tak
tahunya, sejenak kemudian, tahu-tahu kepalanya menongol
keluar pula dari dalam air.
Katanya sambil tertawa, "Ai., aku cuma mengambil
sepotong emas nona. masa nona lantas mengambil jiwaku."
Saking gemas, mata si nona seperti berapi, dampratnya
dengan bengis. "Jika kau benar-benar lelaki sejati hayo lekas
naik, lekas naik kemari!"
"Sudah tentu aku lelaki sejati" sahut Oh Thi-hoa sambil
cengar cengir. "Cuma sayang. aku tidak memakai celana.
mana boleh kunaik ke atas begini saja?"
Si nona baju merah tambah geregetan, teriaknya sambil
menggentak kaki. "Baik. akan kutunggu kau di luar. masa kau
mampu kabur!" Betapapun dia adalah perempuan, mukanya merah juga
habis bicara segera ia melangkah ke luar.
Si genduk cilik tadi melirik sekejap pula pada Coh Liuhiang,
katanva dengan tersenyum, "Kawanmu ini sudah
berkelebihan kelakarnya, sebaiknya kau bersiap
membereskan jenazahnya."
Habis berkata, dengan prihatin ia pun melangkah keluar.
Coh Liu-hiang menghela napas, gumamnya, "Tampaknya
genduk cilik ini tidak bergurau padamu, terpaksa aku harus
keluar biaya untuk membeli peti mati."
"Tidak perlu peti mati," ujar Oh Thi-hoa dengan tertawa.
"Bakar saja mayatku menjadi abu dan masukkan guci terus
dibuang ke laut." Setelah berkedip-kedip. Oh Thi-hoa berkata pula
"Sebenarnya tiada niatku hendak mempermainkan, si nona,
soalnya dia galak, suka mentang-mentang. sedikit-sedikit
hendak membunuh orang. kalau tidak kuajar adat padanya,
kelak tambah runyam."
"Hah, mungkin kau tidak mampu mengajar adat padanya,
sebaliknya dia yang akan mengajar adat kau," ucap Coh Liuhiang
dengan tak acuh. Tiba-tiba kepala si jaring kilat Thio Sam menongol keluar
dan mendesis pada Oh Thi-hoa. "Betul, kukira Iekas kau lari."
"Lari" Mengapa harus lari" Memangnya kau kira aku jeri
pada nona cilik itu?" ucap Oh Thi-hoa dengan melotot.
"Apakah kau tahu siapa dia?" tanya Thio Sam.
"Memangnya siapa dia" Apakah dia puteri maharaja?" kata
Oh Thi-hoa. "Kalau melibat ilmu pedangnya memang betul
pernah mendapatkan didikan yang baik, gerak serangannya
juga sangat cepat. Tapi kalau dengan beberapa jurus
pedangnya saja lantas mau malang melintang. kukira dia
masih selisih jauh."
"Dia mungkin bukan soal, tapi neneknya, betapa pun kau
tak dapat memusuhinya," tutur Thio Sam.
"Neneknya" Siapakah neneknya itu?" tanya Oh Thi-hoa.
"Neneknya cukup termasyhur, yaitu Kim-thay Hujin dari Bansiuwan (taman panjang umur). Nona tadi adalah cucu
perempuan ke-39 Kim-tayhujin, namanya Kim Leng-ci dan
berjuluk Hwe-hong-hong (phoenix berapi)."
Seketika Oh Thi-hoa melengak demi mendengar
keterangan Thio Sam. Biasanya Oh Thi-hoa tidak kenal takut dan tidak mau
tunduk kepada siapa pun juga. Tapi Kim-tayhujin atau nyonya
besar Kim ini tidak bisa dibuat main-main. Bukan saja dia tidak
berani memusuhinya, hakikatnya juga tiada orang lain yang
berani memusuhi dia. Bicara ilmu silat, memang Kim-tayhujin belum tergolong
top, tapi jika bicara besarnya pengaruh, maka tiada seorang di
dunia Kangouw ini yang mampu menandingi Kim-tayhujin.
Seluruhnya Kim-tayhujin punya sepuluh anak laki-laki dan
sembilan anak perempuan, delapan orang menantu laki=laki
dan 39 cucu lelaki dan perempuan, ditambah lagi 28 cucu luar.
Anak Ldan menantunya terdiri dari macam-macam
kalangan dan profesi, ada yuang menjabat Ciangbunjin suatu
aliran persilatan, ada Congpiauthau (pemimpin perusahaan
pengawalan), Congpothau (kepala opas), ada yang menjadi
Pangcu (pemimpin perserikatan), boleh dikata semuanya
adalah jago kelas tinggi dunia Kangouw.
Selain itu ada seorang anak lelakinya tidak belajar silat.
tapi belajar sastra, kini menjadi pembesar di kotaraja. Seorang
lagi masuk dinas militer, kini adalah panglima kepercayaan
kerajaan yang disegani. Kim-tayhujin mempunyai sembilan anak perempuan. tetapi
cuma delapan orang menantu, soalnya salah seorang anak
perempuannya telah cukur rambut dan menjadi Nikon, kini
menjabat ketua Go-bi-pay.
Cucu-cucunya, baik cucu dalam maupun cucu luar semua
juga sudah dewasa dan cukup terkenal di dunia Kangouw.
Hwe-hong-hong Kim Leng-ci adalah cucunya yang terkecil
juga cucu yang paling disayang Kim-tayhujin.
Yang paling penting adalah cara mendidik Kim-tayhujin
yang sangat keras, anak murid keluarga Kim semuanya
menempuh jalan yang baik, tidak ada yang rusak dan
menyeleweng. Sebab itulah bila orang Kangouw menyebut
Kim-tayhujin. maka past i memberi salut dan memperlihatkan
ibu jari. Nah, coba bayangkan, tokoh besar macam begitu apakah
dapat dimusuhi" Karena itulah Oh Thi-hoa jadi melengak, katanya
kemudian sambil menatap Thio Sam, "Jadi sebelumnya kau
pun sudah tahu dia adalah cucu perempuan Kim-lothaythay?"
"Ehm," Thio Sam mengangguk.
"Dan kau tetap mencuri mutiaranya. Apakah kau sudah
keblinger atau sudah gila?"
"Sebenarnya aku pun tidak berani mengincarnya," tutur
Thio Sam dengan menyengir. "Tapi mutiaranya itu... Ai,
mutiaranva itu menggapai-gapai membangkitkan selera.
Hanya sekali pandang aku lantas tergila-gila dan tanpa terasa
aku lantas turun tangan. Sungguh tak kusangka dia berani
mengejar diriku ke kamar mandi lelaki ini."
Dalam pada itu terdengar Hwe-hong-hong Kim Leng-ci
sedang berteriak. "Hayo keluar. lekas! Masa kau dapat
kabur?" Oh Thi-hoa mengerut kening, katanya, "Watak nona ini
ternyata tidak tahan sabar." Mendadak ia tepuk-tepuk pundak
Coh Liu-hiang dan membujuknya, "Kutahu caramu
menghadapi pereempuan lain daripada yang lain, rasanya
cuma kau saja yang dapat melayani nona ini, terpaksa harus
kuminta bantuanmu." Coh Lan-hiang tertawa, ucapnya dengan tak acuh, "Tidak,
aku tak sanggup. Kan rupaku mirip monyet, mana bisa disukai
perempuan." Oh Thi-hoa menyengir, jawabnya. "Siapa bilang kau mirip
monyet" Siapa bilang" Pasti orang itu bermata juling, masa
dia tak tahu bahwa kau inilah lelaki paiing cakap, lelaki paling
ganteng di dunia?" Coh Liu-hiang tutup mulut dan tidak menanggapi. Dengan
mengiring tawa, Oh Thi-hoa membujuk pula "Padahal ini pun
kesempatan yang baik bagimu. Bisa jadi nanti kau akan
dipungut menjadi cucu menantu Kim-lothaythay, sebagai
kawanmu kan kita pun akan ikut gembira dan bahagia." Coh
Liu-hiang malah memejamkan mata dan tidak menggubrisnya.
Tiba-tiba Thio Sam membisikinya, "Jalan paling selamat
adalah lari, kukira lebih baik kau..."
Mendadak Oh Thi-hoa melompat keluar kolam sambil
berseru, "Tidak, tak perduli apakah dia cucu Kim-lothay-thay
atau bukan, betapapun anak perempuan harus tahu aturan,
jika dia tidak tahu aturan dan bersikap kasar, aku pun bisa
bertindak lebih kasar daripada dia."
Baru sekarang Coh Liu-hiang membuka mata, ucapnya


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan suara pelan. "Selama ini tiada orang bilang kau ini
suka bicara tentang aturan."
Namun Oh Thi-hoa tidak bicara pula, ia bungkus
pinggangnya dengan handuk, lalu menerjang keluar.
Serentak orang-orang yang berendam di bak mandi juga
melompat keluar. Memangnya siapa yang tidak ingin
menonton pertunjukan menarik itu.
Si kaki panjang tadi juga ikut melangkah keluar, waktu
lewat di depan Coh Liu-hiang. tiba-tiba ia tertawa padanya.
Coh Liu-hiang membalasnya dengan tertawa pula.
"Jika tidak salah terkaanku," demikian si kaki panjang
berkata. "Tuan ini kan....." Ia pandang ke belakangnya dan tak
meneruskan ucapannya, tapi melangkah keluar dengan
tersenyum. Orang yang berjalan di belakang si kaki panjang adalah
orang yang seperti sudah dikenal oleh Coh Liu-hiang tadi.
Muka orang ini merah seperti kepiting rebus, entah karena
terlalu lama berendam air panas atau memang pembawaan
sejak dilahirkan, atau berubah merah ketika melihat Coh Liuhiang"
Yang jelas, sejak awal hingga akhir dia tidak pernah
memandang Coh Liu-hiang, hanya orang yang berjalan
bersama dia itulah yang melirik sekejap. tapi ketika Coh Liuhiang
memandangnya, cepat ia menunduk dan buru-buru
melangkah keluar. "Tampaknya kedua orang ini bukan manusia baik-baik,
rasanya seperti pernah kulihat mereka, cuma lupa entah
dimana," bisik si jaring kilat Thio Sam.
Coh Liu-hiang seperti sedang mengingat sesuatu,
jawabnya sekenanya, "Ehm. aku pun seperti pernah melihat
mereka." "Orang berkaki panjang itu pasti juga sangat tinggi
Ginkangnya, lagaknya angkuh, tentu seorang yang
mempunyai asal-usul, tetapi selama ini belum pernah kulihat
dia," setelah tertawa lalu Thio Sam menyambung, "Orang
yang belum pernah kulihat, pasti orang yang jarang bergerak
di dunia Kangouw." "Ehm," Coh Liu-hiang hanya mengangguk saja.
"Meski tempat ini sebuah kota bandar, tapi biasanya jarang
ada kaum persilatan datang kemari, mengapa sekarang bisa
muncul orang sebanvak ini, aku menjadi rada heran."
Tiba-tiba Coh Liu-hiang tertawa, katanya. "Kau mengoceh
terus menerus, tujuanmu cuma ingin menahanku di sini untuk
mengawanimu, betul tidak?"
Muka Thio Sam menjadi merah karena isi hatinya dengan
tepat kena dibongkar. "Padahal orang berkelahi di luar demi membela kau,
sedikitnya kau mesti keluar melihatnya," ujar Coh Liu-hiang.
"Baiklah, mau keluar boleh keluar. kemana pun aku berani
bila berada bersamamu," ucap Thio Sam.
"Sebelum keluar. jangan lupa membawa mutiara yang kau
sembunyikan di dasar kolam," ujar Coh Liu-hiang.
Muka Thio Sam bertambah merah, katanya sambil
menggeleng gegetun, "Aneh. apapun yang kukerjakan selalu
tak dapat mengelabui kau..,."
*** Pintu rumah mandi uap "serba nikmat" itu tidak besar.
Pada umumnya pintu rumah mandi begini memang tidak
besar, bahkan pasti diberi tirai yang tebal, tujuannya agar
angin dingin dari luar tidak meniup ke dalam dan hawa panas
di dalam tidak merembes keluar. Sekarang tirai pintu entah
telah digulung oleh siapa, di luar sana sudah berkerumun
orang-orang ingin menonton keramaian.
Maklum, ada seorang nona cantik berani masuk ke rumah
mandi khusus lelaki, jelas ini berita besar dan luar biasa,
apalagi si nona cantik ini menghunus pedang ingin membunuh
orang. Saat itu OPh Thi-hoa sedang mengenakan pakaiannya
dengan perlahan-lahan. Hwe hong-hong Kim Lneg-ci tampaknya sekali ini dapat
bersabar, dia berdiri di situ dengan muka bersungut, bila ada
orang berani memandangnya, segera ia balas peloloti orang
itu. "Apakah dia benar-benar menghendaki nyawaku?" tanya
Oh Thi-hoa kemudian sambil membetulkan kancing bajunya.
Si nona hanya mendengus saja tanpa menjawab. "Ai, nona
kecil masih muda belia, mengapa sedikit-sedikit lantas
membunuh orang?" kata Oh Thi-hoa dengan menyesal.
Kim Leng-ci mendelik, jawabnya. "Orang yang pantas
dibunuh tentu kubunuh, untuk apa dibiarkan hidup" Untuk
apa" Hanya bikin berjubel dunia saja."
"Seluruhnya sudah berapa banyak orang yang kau
bunuh?" tanya Oh Thi-hoa.
"Seratus, seribu, mungkin lebih, peduli apa denganmu"
Peduli apa?" "Jika tak dapat kau bunuh diriku, lalu bagaimana?" tanya
pula Oh Thi-hoa. "Jika tak dapat kubunuh kau. biar kuberikan kepalaku!"
"Ah. untuk apa kuminta kepalamu?" ujar Oh Thi-hoa sambil
menggeleng. "Begini saja. Jika kau tak dapat membunuh
diriku, kuharap seterusnya jangan lagi kau bunuh orang.
Orang yang pantas mati di dunia ini sesungguhnya tidaklah
banyak." "Baik...." hanya satu kata saja disuarakan si nona. kontan
sinar pedangnya menyambar ke depan dan menusuk
tenggorokan Oh Thi-hoa. Ilmu pedang si nona tidak saja cepat. tapi juga keji. sekali
serang segera mengincar tempat yang mematikan.
Lekas Oh Thi-hoa berkelit, dengan mudah serangan si
nona dapat dihindarinya. Kini Leng-ci tambah gemas, serangannya tambah gencar,
hanya sekejap saja belasan kali dia menusuk.
Pada umumnya ilmu pedang yang dilatih kaum perempuan
mengutumakan enteng dan gesit, Tapi ilmu pedang Kim Lengci
ternyata mengutamakan 'keras', terdengar suara sambaran
angin pedang yang tajam sehingga orang yang berkerumun
sama menyingkir. Ruangan tempat mereka bergebrak ini sebenamya adalah
tempat tukar pakaian tetamu yang mandi uap, ruangannya
tidak luas, di mana ujung pedang Kim Leng-ci menyambar
boleh dikatakan sudah tiada peluang lagi untuk mengelak.
Jika orang lain, mustahil tubuhnya tidak tertusuk belasan
lubang oleh serangan lihai si nona, cuma sayang, lawannya
sekarang adalah Oh Thi-hoa.
Dalam urusan lain, Oh Thi-hoa memang tidak tahan sabar.
tapi bila bertarung dengan orang, sifatnya yang berangasan
bisa lantas berubah sabar. Sebab pengalaman tempurnya
sesungguhnya memang sangat banyak. hakikatnya jarang ada
yang dapat membandingi dia. Biasanya orang yang berkelahi
tentu akan merasa tegang, tapi bila Oh Thi-hoa berkelahi
seperti makan sehari-hari saja. Sekalipun ketemu lawan yang
berilmu silat lebih tinggi juga takkan membuatnya tegang.
Sebab itulah sesuatu perubahan yang tak diketahui orang lain,
pasti akan diketahui oleh Oh Thi-hoa, jurus serangan yang tak
dapat dihindarkan orang lain pasti dapat dielakkannya.
Begitulah kelihaian Oh Thi-hoa terus menggeser ke sana
dan meluncur ke sini, semakin cepat serangan Kim Leng-ci,
semakin cepat pula caranya menghindar.
Waktu Kim Leng-ci menusuk untuk ke-21 kalinya,
mendadak ia tarik kembali pedangnya setengah jalan, katanya
dengan mendelik, "Mengapa kau cuma menghindar saja dan
tidak balas menyerang?"
Oh Thi-hoa tertawa, jawabnya, "Kan kau yang ingin
membunuhku. aku sendiri tidak bermaksud membunuhmu.,,
Kim Leng-ci menggentak kaki, dengan mendongkol ia
berkata, "Baik. akan kulihat akhirnya kau balas menyerang
tidak" Balas menyerang atau tidak?"
Mendadak ia menusuk pula, sekarang permainan
pedangnya telah berubah. Sejauh ini meski ilmu pedangnya sangat cepat dan keji.
tapi tiada gerak serangn yang aneh dan luar biasa. Baru
sekarang, setelah permainannya berubah. tertampak sinar pedang
yang bergulung-gulung memburu seperti air hujan. bukan saja
aneh jurus serangannya, bahkan tidak nampak ada lubang
kelemahan. Seumpama orang yang sama sekali tidak kenal ilmu
pedang pasti juga akan terkesima dan yakin akan permainan
pedang si nona pasti lain daripada yang lain.
Si jaring kilat Thio Sam sedang mengintip dari balik pintu.
diam-diam ia membisiki Coh Liu-hiang, "Ini kan Liu-ji-kiamhoat
dari Go-bi-pay?" "Betul," jawab Coh Liu-hiang.
"Bibinya yang ketujuh adalah pejabat ketua Go-bi-pay, ilmu
pedang ini dipelajarinya dari sang bibi," kata Thio Sam pula.
Coh Liu-hiang mengangguk. belum dia bicara lagi tiba-tiba
terdengar Kim Leng-ci membentak. "Bagus, masa kau masih
tidak balas menyerang.... kau memang hebat jika tidak balas
menyerang!" Di tengah bentakan itu kembali gaya permainan
pedangnya berubah pula. Sinar pedang yang bergulunggulung
dan memburu tadi, kini berubah menjadi lambat dan
jarang-jarang. Hawa pedang tajam memenuhi udara tadi kini
pun lenyap. Tertampak si nona mengangkat tangan kiri ke atas
pundak. pedang tangan kanan terus menebas miring ke
depan, sinar pedangnya seperti ada. juga seperti tidak ada,
gerak serangannya seperti cepat tapi juga seperti lambat.
jalan pedangnya juga seperti lurus ke depan tapi juga seperti
setiap saat bisa berubah.
Orang awam sekali ini pasli tidak melihat sesuatu yang
hebat pada ilmu pedang si nona. Malahan orang pasti akan
menyangka si nona mulai jeri, mulai kehabisan tenaga. maka
serangannya menjadi lamban dan lemah.
Coh Liu-hiang lantas terkesiap demi menyaksikan gerak
serangan si nona. Sebab dikenalnya jurus serangan Kim
Leng-ci ini adalah jurus 'Jing-hong-ji-lay' (angin meniup silirsemilir),
jurus pertama 'Jing-hong-cap-sah-sik' (tiga belas jurus
ilmu pedang angin meniup), yaitu ilmu pedang pusaka Hoasanpay. Hendaklah diketahui bahwa di dunia persilatan ada tujuh
aliran besar yang paling termasyhur, yakni Siau-lim-pay, Butongpay, Tiam-jong-pay, Go-bi-pay, Kun-lun-pay, Hay-lampay
dan Hoa-san-pay. Biasanya orang suka menonjolkan Siau-lim-pay dan Butongpay sebagai dua aliran top yang terkenal dengan
Gwakang dan Lwekangnya. Padahal Hoa-san-pay, Kun -lunpay
dan lain-lain juga mempunyai keunggulan masing masing. sebab itulah ketujuh Pay ini satu sama lain saling
menghormati, sama -sama segan, tapi juga tidak mau saling
mengalah. Kalau bicara tentang ilmu pedang, maka aliran manapun
tak berani bersaing dengan Hoa -san-pay. karena ilmu pedang
Hoa-san-pay yang terkenal dengan Jing -hong-cap-sah-sik itu
memang sangat lihai. Keistimewaan Jing-hong-kiam-hoat adalah gayanya yang
lamban seperti tiupan angin silir. Yang diutamakan adalah
gerakan seperti ada isi dan tidak berisi, seperti sunguh sungguh tapi mendadak berubah tidak ada. Hakikatnya sukar
diraba kemana serangan lawan mengincar dan juga tidak tahu
cara bagai mana harus menghindar.
Ko A-lam, bekas pacar Oh Thi -hoa yang terkenal sebagai
pendekar pedang dari Hoa-san-pay itupun sangat dikagumi
Coh Liu-hiang tapi ia pun tidak pernah lengkap mempelajari
ketiga belas jurus ilmu pedang lihai itu, hanya sembilan jurus
saja yang dikuasainya. Selain kepada Ko A-lam, hakikatnya Koh-bwe-taysu tidak
pernah mengajarkan Jing-hong-kiam-hoat kepada murid mana
pun juga, dengan sendirinya orang luar Hoa-san-pay lebihlebih
tidak dapat mempelajarinya.
Tapi kini Kim Leng-ci ternyata dapat memainkan jurus Jinghong
ji-lay, jurus pertama ketiga belas jurus ilmu pedang
pusaka Hoa-san-pay itu. Tentu saja Coh Liu-hiang terkesiap,
bahkan Oh Thi-hoa juga terperanjat.
"Bret," terdengar suara robeknya kain, lengan Oh Thi-hoa
tergores robek, ujung pedang yang tajam menyerempet lewat
di atas kulit dagingnya, hampir saja melukainya.
Dengan kepandaian Oh Thi-hoa sebenarnya tidak sukar
baginya untuk menghindari jurus serangan Kim Leng-ci sebab
dia pernah melihat Ko A-lam memainkan ilmu pedang lihai ini.
Malahan ia sendiri pun dapat meniru permainan jurus
serangan itu, hanya intisari ilmu pedang itulah yang sukar
dipelajarinya. Dengan sendirinya Ko A-lam juga tidak nanti mengajarkan
ilmu pedang pusaka perguruannya kepada Oh Thi-hoa, sebab
peraturan Hoa-san-pay cukup keras. siapa pun tidak berani
melanggar dan diam-diam mengajarkan ilmu pedang
kebanggaan perguruan sendiri kepada orang luar.
Tapi sekarang Kim Leng-ci ternyata mahir memainkan
jurus serangan lihai itu, bahkan seperti dimainkan sewajarnya.
tanpa canggung atau kaku sedikit pun, tampaknya dia benarbenar
mendapat pelajaran intisari ilmu pedang Hoa-san-pay
itu. Jika orang lain yang tidak kenal kehebatan Hoa-san-kiamhoat
itu mungkin tidak menjadi soal, tapi Oh Thi-hoa cukup
kenal kelihaiannya, dengan sendirinya ia terkejut. Dan karena
terkejut, hampir saja dia celaka.
Setelab jurus pertama berhasil membikin lawan kelabakan
segera jurus kedua dilancarkan lagi oleh Kim Leng-ci. Terlihat
gerakannya lamban. bergerak pelan, seperti orang mengebas
daun bunga atau mengusap tangkai pohon, gayanya indah,
tapi jelas sangat lihai. Nyata inilah salah satu jurus lain Jinghongcap-sah-sik yang disebut Jing-hong-hut-liu atau angin
sejuk mengusap pohon liu.
Di luar dugaan, pada saat genting itu. mendadak bayangan
orang berkelebat. tahu-tahu pergelangan tangan Kim Leng-ci
telah dipegang orang. Kedatangan orang ini sungguh teramat cepat dan hampirhampir
sukar dibayangkan kecepatannya. Baru saja sekilas
Kim Leng-ci mengetahui datangnya orang, tahu-tahu urat nadi
pergelangan tangannya sudah tercengkeram.
Cengkeraman orang itu tidak keras, tapi entah mengapa
begitu tangan terpegang, sekujur badan Kim Leng-ci lantas


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lemas tak bertenaga, keruan ia terkejut dan cepat menoleh,
baru sekarang diketahuinya orang yang mencengkeram
tangannya ini adalah lelaki yang dimaki sebagai monyet dan
juga berendam di kolam mandi tadi. Wajah orang mengulum
senyum seperti tadi. Memang sejak tadi Kim Leng-ci juga merasa senyuman
orang ini tidak menjemukan. bahkan juga menggemaskan.
Segera ia berteriak, "Kau mau apa" Ingin dua mengeroyok
satu" Huh, tidak tahu malu. tidak tahu malu!"
Coh Liu-hiang tenang-tenang saja. ia tunggu si nona habis
memaki barulah menjawab dengan tersenyum. "Aku cuma
ingin tanya sesuatu pada nona."
"Hakikatnya aku tidak kenal kau, berdasarkan apa kau
hendak tanya padaku?" teriak Kim Leng-ci.
"Jika begitu, tak apalah tak jadi kutanya," ucap Coh Liuhiang
dengan tak acuh. "Cuma...." Sampai di sini tiba-tiba ia
tak melanjutkan, sesuai ucapannya, ia benar-benar tak jadi
bertanya. Kim Leng-ci berdiam sejenak, akhirnya ia sendiri yang tak
tahan, tanyanya, "Cuma apa maksudmu?"
Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Apa vang ingin
kutanyakan bisa jadi nona pun ingin tahu."
"Apa yang hendak kau tanyakan?" kata-kata ini terus
tercetus dari mulut si nona tanpa pikir.
Diam-diam Oh Thi-hoa merasa geli dan mengakui 'kutu
busuk tua' ini memang mempunyai beberapa jurus simpanan
terhadap anak perempuan. Coh Liu-hiang pernah berkata,
"Anak perempuan dapat diibaratkan seperti bayangan
manusia, jika kau mengejarnya, maka dia akan selalu berada
di depanmu, tapi begitu kau membalik tubuh, dia yang berbalik
akan lengket mengikuti." Tampaknya kata-kata ini memang
tidak salah sedikit pun. Terdengar Coh Liu-hiang berkata dengan suara tertahan,
"Aku hanya ingin bertanya, ilmu pedang Jing-hong-cap-sah-sik
yang dimainkan nona tadi dipelajari darimana?"
Air muka Kim Leng-ci seketika berubah, serunya "Jinghongcap-sah-sik apa" Bilakah pernah kumainkan ilmu
pedang begitu" Ah. kau salah lihat, kukira matamu kurang
beres dan perlu berobat."
Cara Kim Leng-ci menjawab ini seperti anak kecil yang
mencuri permen dan tertangkap tangau, ketika ditegur orang
tua si anak terpaksa menyangkal, padahal mulutnya penuh
permen. namun tetap menyangkal bilang tidak mencuri.
Coh Liu-hiang hanya tertawa dan tidak mendesak lagi.
Dengan melotot Kim Leng-ci berteriak pula, "Ingin kutanya.
apa kerjamu" Kukira kau ini komplotan pencopet tadi, bisa jadi
kau inilah tukang tadahnya. Jika kau tahu gelagat lekas kau
kembalikan mutiaraku."
Orang tidak bertanya lebih lanjut padanya, sekarang dia
berbalik menanyai orang lain, Pada umumnya orang yang
merasa bersalah memang suka bersikap demikian.
Coh Liu-hiang tetap tenang saja. katanya dengan tertawa,
"Tukang tadah memang betul ada, cuma....cuma bukan aku."
"Bukan kau" Habis siapa?" tanya Kim Leng-ci.
"Ialah...." kata Coh Liu-hiang sambil menjulurkan
tangannya ke depan. pelan ia berputar sehingga jarinya ikut
bergerak. ujung jarinya seakan-akan hendak berhenti di depan
hidung setiap orang. Waktu jarinya menuding sampai di depan
Oh Thi-hoa, diam-diam Oh Thi-hoa mengeluh.
Maklum. tadi ia sengaja berolok-olok dan bilang Coh Liuhiang
mirip monyet, ia mengira sekali ini Coh Liu-hiang pasti
akan membalasnya. Tak terduga ternyata jari Coh Liu-hiang
tidak berhenti di depan hidungnya tapi masih terus
menggeser. Lelaki bermuka merah seperti kepiting rebus tadi kini pun
Sudah berpakaian. Yang dipakainya jubah warna ungu
bersulam bunga, pada pinggangnya terbelit sabuk kemala
yang indah. Perawakan orang bermuka merah ini memang kekar,
waktu telanjang dan berendam di kolam mandi tadi tidak
terlalu menarik. Kini, sesudah berpakaian, jubah warna ungu
berpadu dengan air mukanya yang merah tampak menjadi
tambah gagah dan keren, berpuluh orang yang memadati rumah mandi
uap ini boleh dikata tiada seorang pun yang dapat
membandingi dia. Tadi sebenarnya dia bermaksud pergi. namun di depan
pintll ada orang berkelahi, jalan keluar terhalang, terpaksa ia
ikut berdiri di samping untuk rmenyaksikan ramai-ramai itu.
Ia seperti jeri terhadap Coh Liu-hiang, maka sejak tadi
belum pernah dia memandang ke arah Coh Liu-hiang.
sekarang didengarnya Coh Liu-hiang telah menarik ucapan
"Ialah...." hingga panjang sekali ketika jarinya sampai di depan
hidung si muka merah, barulah ia menyambung ucapannya,
"....dia ini." Ketika melihat pandangan orang banyak tertuju kepadanya
dengan rasa heran, si muka merah sendiri jadi heran juga,
dengan sendirinya ia pun ingin tahu siapa yang ditunjuk jari
Coh Liu-hiang itu. Sungguh tak terduga olehnya ketika diketahuinya jari Coh
Liu-hiang dengan tepat lagi menuding di depan hidungnya,
Terdengar Coh Liu-hiang berkata tenang, "Dia bukan cuma
tukang tadah, mutiara itu justru disembunyikan di tubuhnya."
Seketika muka orang itu bertambah merah. sedapatnya ia
memperlihatkan senyum. katanya dengan suara terputusputus
"Ah, saha.... sahabat ini tampaknya suka berkelakar."
Tapi Coh Liu-hiang menarik muka. katanya dengan serius
"Urusan ini sama sekali tidak boleh berkelakar."
Orang itu tertawa, katanya, "Padahal mutiara nona
bagaimana bentuknya, apakah bulat atau persegi, belum
pernah Cayhe melihatnya, lalu apa kehendakmu kalau bukan
hendak berkelakar denganku?"
Jelas orang ini pun sudah kawakan Kangouw, meski
terkejut, gerak-geriknya tidak menjadi kikuk, tapi segera ia
dapat menenangkan diri. Coh Liu-hiang memandang para hadirin, serunya, "Adakah
di antara para hadirin melihat mutiara yang berbentuk
persegi..." Nah, kalau sahabat ini bilang mutiara berbentuk
bundar saja tidak pernah melihatnya. bukankah dia sengaja
berkelakar jika tidak mau dikatakan hendak menipu anak
kecil?" Melihat sikap orang banyak seperti setuju dengan ucapan
Coh Liu-hiang, si muka merah menjadi rada gugup, betapapun
sabarnya, akhirnya ia menjadi gemas juga, segera ia
menjengek. "Sebenarnya apa maksudmu memfitnah diriku"
Untunglah kenyataannya memang demikian, rasanya aku pun
tak pernah membantah dan banyak omong,.." Sembari
berkata ia melangkah keluar, seakan orang yang kelewat
gusar. lalu hendak tinggal pergi.
Coh Liu-hiang tidak mencegah kepergian orang. hanya
pegangannya pada tangan Kim Leng-ci segera dilepaskan.
Maka berkelebatlah sinar pedang. tahu-tahu Kim Leng-ci
sudah menghadang di depan lelaki itu dan menuding
hidungnya dengan ujunng pedang sambil menjengek, "Hm,
kau ingin kabur ya" Mau kabur kemana kau?"
Orang itu serba susah karena sikap Kim Leng-ci yang
garang ini, terpaksa ia menjawab dengan menyengir. "Ai,
masa nona benar-benar percaya pada ocehannya?"
"Aku cuma ingin tanya padamu. benarkan kau yang
mencuri mutiaraku?" tanya si nona.
Orang itu melirik Coh Liu-hiang sekejap, lalu menjawab,
"Jika kubilang orang inilah yang mencuri mutiaranya, apakah
nona percaya?" Coh Liu-hiang menanggapi dengan tak acuh. katanya.
"Bila mutiara itu berada padaku. sekarang sekalipun aku
dianggap mencuri juga tidak menjadi soal."
Orang tadi seperti menjadi lebih mantap, segera ia
menjengek pula. "Jika demikian, memangnya kau anggap
mutiaranya berada padaku?"
"Kukira memang begitulah," jawab Coh Liu-hiang.
Mendadak orang ini menengadah dan bergelak tertawa
katanya, "Haha, sungguh lucu, sungguh menggelikan."
"Bilamana mutiaranya daPat digeledah dari badanmu,
tentu tak jadi lucu lagi," kata Coh Liu-hiang.
"Padahal yang tahu rahasia ilmu pedang pusaka itu hanya
koh-bwe Taysu dan Ko A-lam, Koh-bwe Taysu sendiri jelas
tidak mungkin membocorkan rahasia ini..."
"Ko A-lam juga pasti tidak!" tukas Oh Thi-hoa tegas.
"Sudah tentu dia juga tidak, sebab itulah dalam hal ini
hanya ada kemungkinan," ujar Coh Liu-hiang.
"Kemungkinan bagaimana?" tanya Oh Thi-hoa.
"Kitab pusaka ajaran Jing-hong-cap-sah-sik telah dicuri
orang," jawab Coh Liu-hiang.
Oh Thi-hoa menghela napas panjang. katanya, "Betul,
kecuali hal ini, tidak nanti Koh-bwe Taysu turun gunung."
"Bila Jing-hong-cap-sah-sik adalah ilmu pusaka Hoa-sanpay
yang tak boleh diketahui orang luar, tentu Koh-bwe Taysu
akan menyimpan kitab pusakanya di tempat tersembunyi..."
"Orang yang mampu mencurinya mungkin cuma si 'pencuri
bagus' Coh Liu-hiang," cepat Oh Thi-hoa menukas.
"Tidak, aku pun tidak mempunyai kemampuan begitu."
jawab Coh Liu-hiang sambil menyengir.
"Peristiwa ini rasanya mirip benar dengan peristiwa
tercurinya air sakti' Sin-cui-kiong (istana air sakti) dahulu," ujar
Oh Thi-hoa. (Baca Maling Romantis - Gan KH).
Dipandang sepintas lalu, kedua peristiwa ini memang rada
mirip, padahal sama sekali berbeda," ujar Coh Liu-hiang.
"Dimana letak perbedaannya?" tanya Oh Thi-hoa.
"Kau tahu anak murid Sin-cui-kong sangat banyak dan
juga berasal dari berbagai unsur, sedangkan Hoa-san-pay
terkenal sangat ketat dalam hal memilih murid. Murid Koh-bwe
taysu sendiri seluruhnya juga tidak lebih dari tujuh orang."
"Betul," kata Oh Thi-hoa.
"Selain itu, air sakti Sin-cui-kiong hanya dijaga oleh anak
muridnya, sedangkan kitab pusaka Hoa-san-pay langsung
disimpan oleh Koh-bwe Taysu..."
"Betul juga, mencuri kitab pusaka Hoa-san-pay memang
jauh lebih sulit daripada mencuri air sakti Sin-cui-kiong."
"Dari sini dapat diketahui bahwa si pencuri kitab pusaka
pasti Juga jauh lebih lihai daripada Bu-hoa Hwesio yang
mencuri air sakti itu."
"Apa kau kira pencuri ini.... Ting Hong atau bukan?" tanya
Oh Thi-hoa. "Andaikan bukan, tentu juga ada sangkut paut dengannya,"
kata Coh Liu-hiang, lalu menyambung pula, "Mungkin sekali
Koh-bwe Taysu Sudah berhasil menemukan petunjuk
hilangnya kitab pusaka, maka dia sengaja menyamar sebagai
Na-thayhujin untuk bertemu di sini dengan Ting Hong."
"Kalau begitu, asalkan dia berhasil menawan Ting Hong,
kan segala persoalannya dapat terpecahkan?" seru Oh Thihoa.
"Sudah tentu Koh-bwe Taysu takkan bertindak seceroboh
itu," ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa. "Dengan sendirinya ia
pun tahu Ting Hong hanya seekor ular kecil saja, di
belakangnya tentu masih ada ular besar...."
"Siapa itu ular besarnya?" tanya Oh Thi-hoa.
"Sampai sekarang ular besar itu masih bersembunyi dalam
semak-semak rumput, hanya dengan membekuk ular besar
ini. baru rahasia di balik persoalan ini dapat dibongkar, kalau
cuma menangkap ular kecil saja jelas tiada gunanya."
Oh Thi-hoa mengangguk dan berpikir sejenak, katanya
kemudian, "Yang dikerjakan Koh-bwe Taysu sekarang
mungkin juga ingin mengusut sesungguhnya di semak rumput
mana ular besar itu bersembunyi. maka dia tak mau bertindak
ceroboh. "Kita pun tak boleh ceroboh dan sembarangan bertindak."
tukas Coh Liu-hiang. "Sebab urusan ini bukan saja
menyangkut Koh-bwe Taysu dari Hoa-san-pay, tapi juga
menyangkut beberapa tokoh lain."
"Oooo?" Oh Thi-hoa berseru heran pula.
"Kecuali Koh-bwe Taysu, kuyakin pasti banyak juga
rahasia orang lain yang jatuh ke tangan ular ebsar ini, orang
yang tersangkut kasus ini pasti tokoh yang punya kedudukan
tinggi." "Ai, kasus ini memang lebih misterius daripada pencurian
'air sakti' dahulu, ujar Oh Thi-hoa gegetun.
"Yang lebih penting lagi, maksud tujuan Bu-hoa Hwesio
mencuri 'air sakti' adalah digunakan untuk keperluan
pribadinya, sedangkan tujuan ular besar ini mencuri rahasia
orang lain adalah untuk dijual!"
"Dijual?" Oh Thi-hoa menegas dengan heran.
"Ya," jawab Coh Liu-hiang. "Coba kau pikir, cara
bagaimana Kim Leng-ci bisa memperoleh rahasia ilmu pedang
pusaka Hoa-san-pay?"
"O, jadi dia membelinya dari Ting Hong?"
"Ya, memang begitu," jawab Coh Liu-hiang. "Jual beli ini
tentu juga sangat dirahasiakan, mungkin sebelumnya Ting
Hong sudah memperingatkan dia agar jangan memperlihatkan
ilmu pedang ini di depan umum, tapi tadi karena gugupnya
nona itu telah mengeluarkannya."
"Dan bagaimana dengan Ting Hong, apakah dia terlebih
lihai daripada Sih Ih-jin, Ciok-koan-im dan sebagainya?"
"Ting Hong tidak perlu ditakuti. tapi ular besar itu..."
"Mengapa kau membesarkan kelihaian orang lain dan
merendahkan pamor sendiri" Memangnya kenapa dengan
ular besar itu" Masakah dia mampu menelan kita?"
"Coba kau pikir, jika seseorang mampu memahami
berbagai ilmu silat dari aliran yang berbeda-beda, apalagi
kalau sampai belasan macam banyaknya, apakah orang
begini tidak lebih menakutkan daripada Ciok-koan-im dan lainlain?"
Oh Thi-hoa hanya mendengus, tampaknya tak
sependapat. Coh Liu-hiang lantas menyambung pula, "Apalagi, orang
yang mampu mempelajari ilmu silat sebanyak itu sekaligus,
maka dapat dibayangkan betapa hebat bakat orang ini. Dari
sini pula dapat diperkirakan betapa licik dan licin orang itu."
"Orang licik dan licin juga sudah cukup banyak kulihat,"
jengek Oh Thi-hoa. "Ya, sebab ada seorang kawanku selalu bicara tentang
Coh-hiangswe di depanku," tutur Kau Cu-tiang. "Katanya,
biarpun aku berlatih sampai tua, Ginkangku takkan mencapai


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setengahnya Coh-hiangswe."
"Ah, kawanmu sengaja membual," ujar Oh Thi-hoa.
"Kawanku itu sering menyatakan bahwa dia berhutang budi
pada Coh-haingswe, keberangkatanku ke sini juga mendapat
titip pesan kawanku itu agar menyampaikan salam hormatnya
kepada Coh-hiangswe, khawatir aku tak kenal Coh-hiangswe,
maka sebelum berangkat, dia telah menceritakan padaku
secara terperinci bagaimana bentuk dan wajah Coh-hiangswe.
Ia tertawa, lalu menyambung pula, "Tapi ketika bertemu
Coh-hiangswe, tetap tak dapat kukenali dengan segera,
sebab...." "Sebab waktu itu dia telanjang bulat mirip anak bayi yang
baru dilahirkan," tukas Oh Thi-hoa. Tentunya kawanmu itu
bukan perempuan, darimana dia mengetahui bentuk si kutu
busuk tua ini waktu bugil."
"Tapi begitu melihat tindak-tanduk Coh-hiangswe, segera
dapat kuduga," kata Kau Cu-tiang dengan tertawa. "Hanya
saja sampai sekarang aku tetap tidak habis mengerti cara
bagaimana mutiara itu bisa lari ke dalam sabuk orang itu."
"Itu cuma permainan sulap saja, sedikit pun tidak perlu
diherankan," ujar Oh Thi-hoa. "Kepandaiannya main sulap
pasti dipelajari dari tukang obat di kaki lima, makanya dia juga
mendapat nama julukan 'si tangan tiga', apakah kau tidak
tahu?" "O, ini... ini tidak pernah kudengar dari kawanku," jawab
Kau Cu-tiang. Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Mulut orang ini
selamanya tidak pernah tumbuh gading, maka jangan kau
percaya pada ocehannya."
"Mulutmu sendiri apakah pernah tumbuh gading?" jawab
Oh Thi-hoa. "Akhir-akhir ini gading memang sangat berharga,
pantas ada sementara nona jelita suka menganggap kau
sebagai mestika pujaannya."
Coh Liu-hiang tidak menggubrisnya lagi, tapi lantas
bertanya pada Kau Cu-tiang, "Entah siapa kawan Kau-heng
itu, darimana dia kenal diriku?"
"Kawanku bernama Ong Ji-ngay." jawab Kau Cu-tiang.
"Ong Ji-ngay?" Coh Liu-hiang mengulang nama itu sambil
mengerutkan kening. "Aku pun tahu nama yang digunakan kawanku itu pasti
nama palsu." tutur Kau Cu-tiang dengan tertawa. "Tapi
sebagai kawan. yang penting adalah ketulusan hati. Bila dia
bersahabat denganku dengan setulus hati, untuk apa mesti
kupersoalkan namanya tulen atau palsu?"
Coh Liu-hiang mengangguk dan tidak bertanya lebih jauh.
Kalau orang lain tidak mau menjelaskan lebih banyak,
biasanya ia pun enggan untuk bertanya lagi.
Begitulah sambil bicara sambil berjalan, kini mereka sudah
dekat dengan tepi sungai, sayup-nyup sudah tercium bau ikan
panggang yang terbawa angin.
"Haha. jelek-jelek Thio Sam memang sahabat sejati, dia
sudah memanggang ikan lebih dahulu dan menantikan
kedatangan kita untuk makan enak," ucap Oh Thi-hoa dengan
tertawa. Si jaring kilat Thio Sam memang sedang memanggang
ikan di atas kapalnya. Kapalnya tidak besar, malah boleh
dikata sudah bobrok, sudah rongsok.
Namun Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa sama tahu bahwa
kapal ini hasil jerih payah Thio Sam sendiri, setiap potong
papannya, setiap pakunyi, semuanya adalah Barang pilihan
setelah mengalami penelitian yang cermat. Maka kapal ini
meski kelihatan sudah tua dan bobrok tapi sebenarnya sangat
kukuh, asalkan berada di kapal ini, gelembung badai betapa
besarnya juga takkan membuat Coh Liu-hiang khawatir. Ia
percaya penuh pada kepandaian membuat kapal Thio Sam,
sebab kapal milik Coh Liu-hiang sendiri juga buatan Thio Sam.
Di haluan kapal Thio Sam tampak ada sebuah anglo, di
samping anglo terdapat belasan kaleng besar dan kecil,
kaleng-kaleng itu berisi macam-macam rempah dan bumbu
masak. Api anglo tidak berkobar, hanya merah menganga saja
dan Thio Sam sedang memegang sebuah garpu dengan
seekor ikan sembari memanggang ikan terkadang ia gunakan
pula sebuah sikat kecil untuk mengusapkan bumbu di atas
ikan. Seluruh perhatian Thio Sam seakan-akan dicurahkan pada
ikan panggangnya, sama sekali ia tak pedulikan datangnya
Liu-hiang bertiga. Di waktu memanggang ikan, biarpun langit ambruk juga
tak dipedulikan olehnya, urusan apapun yang terjadi baru
akan dibicarakannya setelah selesai memanggang ikan.
Sering dikatakannya, "Setiap orang dapat memanggang
ikan, tapi panggang ikanku jauh lebih Iezat daripada orang
lain, sebabnya cara kupanggang ikan lebih tekun daripada
orang lain. Ketekunan, inilah kunci utama caraku
memanggang ikan." Coh Liu-hiang mengakui kebenaran resep Thio Sam itu. ia
anggap orang lain harus belajar meniru ketekunan Thio Sam
ini dalam pekerjaan apapun juga.
Bau sedap semakin menusuk hidung. Oh Thi-hoa tidak
tahan lagi, ia berkata. "Kukira ikan yang kau panggang ini
sudah cukup masak." Tapi Thio Sam tidak menggubrisnya.
"Apakah takkan hangus kalau dipanggang lebih lama lagi?"
kata Oh Thi-hoa pula. Thio Sam menghela napas, ucapnva. 'Karena
gangguanmu ini, perhatianku jadi terpencar, rasa ikan ini pasti
kurang sedap, biar kuberikan padamu saja." Berbareng ia
terus menyodorkan ikan panggang itu pada Oh Thi-hoa sambil
bergumam, "Orang yang kurang sabar mana bisa
mendapatkan makanan enak."
Oh Thi-hoa tertawa, katanya, "Tapi orang tidak sabar
sedikitnya masih bisa makan daripada cuma berdiri mengiler."
Dia benar-benar tidak sungkan, segera ia duduk bersila
dan menggerogoti ikan panggang itu.
Baru sekarang Thio Sam berbangkit menyapa tetamunya.
Katanya dengan tertawa. "Sahabat ini hampir kuseruduk
jatuh ketika mandi tadi seharusnya ikan panggangku
kusuguhkan dia lebih dahulu... Eh, mengapa tidak
diperkenalkan diriku."
"Namaku Kau Cu-tiang, aku tidak makan ikan, bila melihat
ikan, perutku lantas kenyang," kata si jangkung.
Thio Sam melengak, serunya dengan tertawa, "Bagus,
bagus. cara bicara sahabat ini sungguh menyenangkan. Tapi
orang yang tidak makan ikan, kan juga tidak perlu dihukum
berdiri... Hayolah, silakan duduk! Kapalku ini meski sudah
bobrok, tapi tercuci bersih. pasti tidak berbau amisnya ikan."
Dia memang tidak menyediakan kursi atau bangku, siapa
pun bila berkunjung ke kapalnya terpaksa duduk di geladak.
Lebih dulu Kau Cu-tiang menaruh kopernya. lalu ia duduk
di atas kopernya. Thio Sam melototi kopernya itu. Waktu kopernya ditaruh,
seluruh kapal layar ini terasa bergoyang, suatu tanda bobot
koper itu tidak kepalang tanggung.
"Bukannya takut kotor, soalnya kakiku terlalu panjang,
tidak leluasa untuk duduk bersila di lantai," kata Kau Cu-tiang
dengan tertawa. Thio Sam seperti tidak tahu apa yang dikatakan tamunya
ini. Dengan tertawa Kau Cu-tiang lantas berkata pula, "Tentu
kau sedang menerka apa isi koperku ini, tapi selamanya kau
tak bisa menebaknya."
Tampaknya Thio Sam menjadi rikuh, dengan tertawa ia
berkata, "Kutahu isi kopermu pasti bukan ikan."
Gemerdep sinar mata Kau Cu-tiang, katanya pula, "Jika
kau suka, akan kuberi kesempatan menebak tiga kali, bila
berhasil kau tebak, koper ini akan kuberikan kepadamu."
"Aku bukan malaikat dewata, mana bisa menebaknya
dengan jitu?" ujar THio Sam. Walau pun demikian ucapannya,
tidak urung ia menebak juga, katanya, "Benda yang
mempunyai bobot paling berat kan emas?"
"Bukan," jawab Kau Cu-tiang menggeleng. Ia tertawa, lalu
menyambung pula, "Sekalipun emas yang ada du dunia ini
disodorkan ke depanku juga takkan kutukarkan koper ini
padanya." Terbeliak mata Thio Sam. Masa begini tinggi nilai kopermu
ini?" tanyanya. Dalam pandangan orang lain mungkin koperku ini tidak
berharga satu peser pun, tapi bagiku lebih berharga daripada
jiwaku sendiri." "Wah, jika begitu aku harus mengaku tak dapat
menebaknya," kata Thio Sam dengan menyesal. Ia pandang
lekat-lekat kenalan baru ini, lalu menyambung pula, "Benda
berharga begini, tentunya tak sembarangan kau perlihatkan
pada orang lain." "Tapi lambat atau cepat pasti akan kau lihat kelak, jangan
terburu-buru," ujar Kau Cu-tiang dengan tertawa. "Orang yang
tidak sabar tentu tak bisa melihat barang baik."
*** Meski lambat proses memanggang ikan itu, tapi ikan masih
terus dipanggang tanpa berhenti. Sementara itu tiga ekor ikan
panggang sudah pindah ke perut Oh Thi-hoa. tapi dia masih
belum puas, dengan mata melotot dia masih terus mengincar
ikan panggang yang masih berada di atas anglo.
"Oh-heng." kata Kau Cu-tiang tiba-tiba, "Kan malam nanti
masih ada perjamuan di Sam-ho-lau. apakah perut Oh-heng
tidak perlu diberi sedikit tempat luang untuk persediaan nanti?"
"Dalam Hal makan enak agaknya kau belum tergolong
ahli," ujar Oh Thi-hoa dengan tertawa, "Kau tahu, di dunia ini
tiada santapan lain yang lebih lezat daripada ikan panggang
buatan Thio sam. Apalagi perjamuan nanti juga belum pasti
memuaskan seleraku. Bisa jadi dalam santapan nanti malam
akan ditaruh racun, kan bisa konyol?"
Pada saat itulah mendadak Coh Liu-hiang berkata, "He,
mengapa di dalam kaleng cuka ini ada kelabangnya, apakah
kau pun ingin meracuni aku?"
Padahal mana ada kelabang di dalam kaleng"
Segera Oh Thi-hoa hendak menyanggahnya. tapi Coh Liuhiang
telah memberi tanda agar dia tutup mulut. lalu ia ambil
kaleng cuka dan dibawa ke tepi kapal.
Tiada yang tahu apa yang dilakukan Coh Liu-hiang, tapi
segera terlihat kaleng cuka itu dituangnya ke dalam sungai.
"Apakah sinting orang ini?" Belum lagi omelan Oh Thi-hoa
ini tercetus dari mulutnya sekonyong-konyong air sungai yang
semula tenang-tenang itu bergolak, seperti halnya ada seekor
ikan besar sedang meronta di dalam air.
Menyusul tertampak sepotong pipa sebesar ibu jari
mengambang ke permukaan air. Pipa ini terbuat dari logam
campuran perak, sangat tipis, maka bisa terapung.
Baru sekarang Oh Thi-hoa paham duduk perkaranya,
ucapnya dengan tertawa, "Ada orang mendengarkan di dalam
air dengan menggunakan pipa ini."
Coh Liu-hiang mengangguk, ucapnya tertawa, "Untuk
selanjutnya mungkin dia tak dapat mendengar apa-apa lagi."
Orang yang menyelam di bawah air memang tidak dapat
mendengar sesuatu suara di atas hanya dengan memasang
pipa buatan khusus pada telinganya dan dijulurkan ke
permukaan air, maka suara di atas akan dapat ditangkapnya.
Tapi orang itu sama sekali tidak menduga akan dituangi cuka
dari atas. "Telinga dituangi cuka, rasanya tentu enak." ujar Oh
Thi-hoa dengan tertawa. "Masih untung juga baginya, jika aku,
yang kutuang pasti bubuk merica."
Kau Cu-tiang ikut berkata. "Kalau Hiangswe mengetahui
ada orang mengintai di dalam sungai mengapa tidak kau
bekuk saja untuk ditanyai siapa yang mengirimnya ke sini?"
"Kukira tiada gunanya menanyai dia," ujar Coh Liu-hiang.
"Biarpun tak tanya juga kutahu siapa yang mengirimnya ke
mari." "O, siapa?" tanya Kau Cu-tiang.
Belum lagi Coh Liu-hiang menjawab, tiba-tiba tertampak
dua ekor kuda membedal cepat menyusur ke tepi sungai
menuju ke sini. Kedua penunggangnya tampak sangat
cekatan, kudanya juga pilihan. cuma mulut kuda kini sudah
berbusa, jelas telah berlari cepat cukup lama dan jauh.
Waktu berlalu di samping kapal, kedua penunggang kuda
itu seperti bicara apa-apa. Tapi Lantaran lari kuda terlalu
cepat, sekejap saja sudah lewat belasan tombak jauhnya,
maka, tak terdengar apa yang mereka bicarakan. Maklum,
siapa pun tidak memiliki telinga setajam itu, kecuali satu
orang. Dengan sendirinya Oh Thi-hoa tahu siapa orang itu.
Segera ia bertanya, "Kutu busuk tua, apa yang mereka
katakan?" "Yang berjenggot itu bilang, 'Apakah betul Pangcu berada
di kapal itu"'. Lain kawannya menjawab, 'Ya, cepat sedikit
pasti dapat menyusulnya'. Si jenggot berkata pula,
"Diharap....." "Diharap apa?" tanya Oh Thi-hoa. "Sayang.
lanjutannya tak terdengar jelas olehku," jawab Coh Liu-hiang.
Oh Thi-hoa menggeleng kepala, katanya, "Ah, rupanya
telingamu juga tidak terlalu tajam."
Namun begitu uraian Coh Liu-hiang itu sudah cukup
membuat Kau Cu-tiang tercengang. Sungguh sukar
dibayangkan cara bagaimana Coh Liu-hiang mampu
mendengar percakapan kedua orang itu, bukan saja dapat
mendengar percakapan mereka, bahkan dapat mengetahui
yang mana berjenggot dan mana yang tidak, malah dapat
membedakan siapa di antaranya yang berbicara. Sungguh hal
ini membuat Kau Cu-tiang kagum dan takluk. Mendadak Coh
Liu-hiang berkata pula, "Apakah kau tahu berasal
darimanakah kedua orang itu?"
"Dengan sendirinya dari 'Cap-ji-lian-goan-oh',"kata Oh Thihoa
dan Thio Sam berbareng tanpa berjanji. Kedua orang
lantas saling pandang dengan tertawa. Lalu Oh Thi-hoa
menyambung pula, "Yang aneh ialah Bu-lotoa mengapa juga
datang ke sungai sini."
"Cap-ji-lian-goan-oh itu tempat macam apa?" tanya Kau Cu
tiang. "Cap-ji-lian-goan-oh (kode dua belas) adalah markas pusat
Hong-bwe-pang," jawab Oh Thi-hoa.
"Hong-bwe-pang?" tanya Kau Cu-tiang pula,
"Ya." jawab Oh Thi-hoa. "Hong-bwe-pang (Klik ekor Hong)


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah gerombolan paling besar di wilayah Kangsoh dan
Ciatkang. bersejarah lama, pengaruhnya hampir memadai
Kay-pang, tindak-tanduknya juga serupa Kay-pang, tergolong
baik." "Dan siapa pula Bu-lotoa?" tanya Kau Cu-tiang.
"Bu-lotoa adalah Bu Wi-yang pentolan utama Hong-bwepang,"
jawab Oh Thi-hoa. "Bukan saja ilmu silatnya sangat tinggi, jiwa orang she Bu
ini pun tergolong baik. boleh dikata seorang lelaki sejati,"
demikian sambung Thio Sam. "Bila bertemu dengannya, tentu
akan kujamu dia makan ikan panggang."
"Kau harus tahu, tidaklah mudah orang ingin makan ikan
panggang buatan Thio Sam," kata Oh Thi-hoa pula dengan
tertawa, "Misalnya In Ciong-liong dan Sam-liong-pang. sudah
sekian tahun dia kepingin makan ikan panggang, malahan
sudah pesan pada Thio Sam. berapapun harganya. tapi
sebegitu jauh, tetap tak dapat mencicipinya."
"Sebenarnya In Ciong-liong juga bukan orang busuk," tutur
Thio Sam. "Cuma saja dia mengira orang yang berkecimpung
di Tiangkang seperti diriku ini juga harus tunduk pada
perintahnya. Maka aku pun tidak mau menurut kehendaknya,
biar dia hanya bisa memandang dan tak dapat memegang."
"Apakah Tiangkang sini wilayah operasi Sin-liong-pang?"
tanya Kau Cu-tiang. "Betul," sambung Thio Sam. "Sudah cukup lama Sin-Liongpang
bercokol di sepanjang Tiangkang. Siapa pun tidak berani
berebut pangkalan dengan mereka. Justru lantaran dahulu Bu
Wi-yang pernah mengadakan perjanjian dengan Sin-liongpang,
maka dia bersumpah takkan datang ke Tiangkang sini."
"Tapi sekarang dia sudah datang kemari, makanya kita
merasa heran," ujar Oh Thi-hoa.
"Tapi... tapi darimana pula kalian mengetahui kedua
penunggang kuda tadi datang dari Cap-ji-lian-goan-oh?" tanya
Kau Cu-tiang pula. "Masa kau tidak melihat baju yang mereka pakai?" tanya
Oh Thi-hoa. "Ya, seperti berwarna hijau tua." jawab Kau Cu-tiang.
"Tapi orang berbaju hijau tua kan banyak juga."
"Ikat pinggang mereka berupa pintalan tujuh warna benang
yang berbeda, tanda pengenal Hong-bwe-pang yang khas,"
tutur Oh Thi-hoa. Kau Cu-tiang melenggong sejenak, setelah menghela
napas gegetun barulah berkata lagi sambil menyengir. "Ehm.
lihai juga pandangan kalian... "
"Berkecimpung di dunia Kangouw, bukan cuma mata saja
harus cepat, telinga juga harus panjang," ujar Thio Sam
dengan tak acuh. "Kalau cuma mengandalkan tingginya ilmu
silat kukira tidak cukup....."
Pada saat inilah tiba-tiba terdengar pula suara derapan
kuda, due ekor kuda berlari kembali menyusur tepi sangai
yang dilaluinya tadi, tapi sekarang tanpa penunggang.
Kedua ekor kuda ini yang seekor kuda putih dan yang lain
kuda belang. sampai Kau Cu-tiang juga ingat kedua ekor kuda
inilah yang lewat tadi. Kini kudanya berlari kembali dari sana.
tapi penunggangnya sudah lenyap"
Sekonyong-konyong Kau Cu-tiang meloncat tinggi ke atas
dari haluan kapal sekali melayang, dengan enteng dia hinggap
di atas pelana kuda putih. Tangannya masih juga menjinjing
koper kulitnya yang berwarna hitam itu.
Berbareng terdengar pula suara orang memuji, "Ginkang
yang hebat!" Waktu ia berpaling, dilihatnya Oh Thi-hoa juga sudah
berada di atas kuda belang dan sedang memandangnya
dengan tertawa. Lalu kedua orang berbareng menarik tali
kendali menghentikan kedua ekor kuda yang sedang berlari
itu. Baru sekarang Coh Liu-hiang mendekati mereka dengan
pelan, katanya tertawa. "Ginkang kahan berdua sama-sama
tinggi, cuma Ginkang Kau-heng memang lebih tinggi
setingkat." "Betul," ujar Oh Thi-hoa dengan tertawa. "Dia menjinjing
Sebuah koper yang berat. terang dia lebih hebat...."
Tapi sedikit pun Kau Cu-tiang tidak memperlihatkan sikap
pongah cepat ia melompat turun dan berkata, "Kepandaian
Hiangswe yang terpendam tentu juga sukar diukur. Suatu
ketika hendaklah Sudi memperlihatkan sejurus dua untuk
menambah pengalamanku."
"Hm, kau kira kepandaiannya sangat tinggi dan sengaja
disimpan" ucap Oh Thi-hoa dengan tertawa. "Supaya kau
tahu. dasarnya dia memang pemalas. Kalau boleh berbaring,
dia pasti tidak duduk. Kalau boleh berjalan. dia pasti tidak mau
lari." "Kalau boleh tutup mulut, pasti aku pun tidak mau bicara,"
sambung Coh Liu-hiang dengan tertawa.
Kau Cu-tiang berkedip-kedip, tiba-tiba ia bertanya,
"Apakah Hiangswe tahu mengapa kedua ekor kuda ini lari
kembali lagi ke sini dan ke mana perginya kedua penunggang
tadi?" "Kukira Kau-heng sudah bisa menduganya. mereka
mungkin sudah terbunuh," jawab Coh Liu-hiang.
"Apa yang kalian lihat" Darimana mengetahui mereka
sudah terbunuh?" tanya Oh Thi-hoa.
Kau Cu-tiang menunjuk pelana kuda putih. katanya, "Coba
lihat, noda darah di sini belum lagi kering, jelas
penunggangnya telah mengalami kemalangan."
Memang benar, pelana kuda itu berlepotan darah yang
masih basah. Angin meniup kencang di lembah sungai, cuaca sudah
mulai remang-remang. Oh Thi-hoa membedal kudanya menyusuri tepi sungai, tapi
tiada mayat yang dilihatnya, bahkan orang hidup juga tiada
tampak seorang pun. Perahu yang berlayar di sungai juga sangat sedikit.
"Belum ada setanakan nasi kedua ekor kuda ini lari
kembali dari jurusan semula, jelas belum seberapa jauh yang
ditempuhnya, jika penunggangnya diserang orang di tengah
jalan, tak mungkin mayat mereka terbuang sejauh ini." Setelah
ingat hal ini, segera Oh Thi-hoa memutar kudanya kembali ke
arah tadi. Tidak lama kemudian dilihatnya Coh Liu-hiang bertiga
sedang berkerumun di tepi sungai sana, mayat kedua
penunggang kuda itu jelas menggeletak di situ.
Oh Thi-hoa menjadi heran, sebelum melompat turun dari
kudanya ia lantas berserru. "Busyet, kiranya kalian dapat
menemukannya, kenapa aku tidak diberitahu hingga sia-sia
kularikan kuda belang ini sekian jauhnya."
Coh Liu-hiang tertawa. katanya. "Sudah lama kau tidak
menunggang kuda, kukira kauingin pelesir mumpung ada
kesempatan, maka tak berani kuganggu kesenanganmu."
Terpaksa Oh Thi-hoa pura-pura tidak mendengar. segera
bertanya pula. "Dimanakah kalian menernukan mayat
mereka?" "Di sini," jawab Thio Sam. "Di sini" Mengapa aku
tidak melihatnya?" "Kau sendiri bila habis membunuh orang,
apakah mayatnya akan kau tinggalkan di tepi jalan dan
dipertontonkan kepada orang?" tanya Thio Sam dengan
tertawa. Ia menggeleng-geleng, lalu bcrgumam. "Sungguh tak
tersangka. orang yang sudah hidup lebih 30 tahun masih juga
ceroboh... " Seketika Oh Thi-hoa berteriak. "Sialan. kau ini kutu busuk
macam apa, kaupun berani menyentil diriku" Lain kali bila kau
curi mutiara lagi, mustahil aku sudi menutupi perbuatanmu!"
Dia baru diolok-dak Coh Liu-hiang dan lagi mendongkol,
kebetulan Thio Sam dapat dijadikan pelampiasan.
Kau Cu-tiang tidak tahu hubungan karib mereka, ia pun
tidak kenal sifat mereka yang suka ribut mulut itu tidak lebih
hanya sekedar megendurkan urat syaraf yang tegang saja,
maka cepat ia berusaha melerai. "Sudahlah. biar kujelaskan.
Mayat kedua orang itu ditemukan di dalam air."
"Oo?" Oh-Thi-hoa bersuara singkat. Padahal ia pun sudah
tahu kedua sosok mayat itu masih basah kuyup, jelas mayat
itu tadi dilempar pembunuhnya ke dalam sungai.
Kau Cu-tiang lantas menyambung pula, "Pembunuhnya
telah mengisi baju mereka dengan batu dan pasir sehingga
sekali tenggelam mayat-mayat ini tak dapat mengapung lagi.
Syukur Hiangswe dapat melihat noda darah di sini, kalau
tidak, tentu tak dapat menemukannya."
"Jika demikian, jadi kepandaian si kutu busuk tua ini
sangat hebat, begitu bukan?" ucap Oh Thi-hoa dengan tawar.
"Kecermatan Hiangswe memang sukar ditandingi siapa
pun juga," ujar Kau Cu-tiang.
"Dan kau pasti sangat kagum padanya, bukan?" tanya Oh
Thi-hoa pula. "Ya, kagum luar biasa, kagum lahir batin," jawab Kau Cutiang.
"Kau ingin belajar padanya?" tanva Oh Thi-hoa. "Semoga
demikian hendaknya," jawab Kau Cu-tiang.
"Aneh. belajar pada orang lain kan masih banyak,
mengapa mesti belajar padanya?" ucap Oh Thi-hoa dengan
gegetun. Maka tertawalah Kau Cu-tiang dan tidak bicara lagi.
Mendadak tertampak sejalur api warna hijau menjulang
tinggi di angkasa, lalu lenyap ditelan keremangan senja.
Waktu itu hari belum lagi gelap seluruhnya sehingga bunga
api itu tidak terlalu jelas terlihat, namun air muka Kan Cu-tiang
lantas berubah, mendadak ia memberi hormat dan berkata,
"Aku masih ada urusan lain dan harus pergi dulu. Hiangswe,
Oh-heng, sampai bertemu di Sam-ho-lau nanti."
Belum habis ucapannya, ia melangkah pergi. Tampak
kakinya yang panjang cuma melangkah beberapa kali, tahutahu
sudah belasan tombak jauhnya, sekejap saja lenyap di
kejauhan. Selang sejenak Thio Sam menghela napas panjang dan
berkata, "Bicara sejujurnya, Ginkang orang ini memang
hebat." "Memang betul." kata Coh Liu-hiang.
"Dan gaya Ginkangnya itu. berbeda dengan Ginkang
berbagai aliran di dataran tengah kita ini," kata Thio Sam pula.
"Ya, memang rada berbeda," kata Coh Liu-hiang.
"Sebelum ini apakah pernah kau lihat gaya Ginkang ini?"
tanya Thio Sam. "Tidak," jawab Coh Liu-hiang sambil menggeleng dengan
tersenyum. "Kungfu yang masih belum kulihat masih
banyak...." Mendadak Oh Thi-hoa menyela, "Kulihat bukan
saja Ginkangnya yang hebat, Kungfunya menjilat pantat juga
lihai." "Oo?" Coh Liu-hiang bersuara bingung.
"Memangnya kau kira dia benar-benar kagum padamu?"
tanya Oh Thi-hoa lalu ia mendengus dan menyambung pula.
"Hm, dia sengaja berlagak tidak paham apa-apa, sengaja
menjilat dan mengumpak dirimu, kuyakin dia pasti punya
maksud tujuan tertentu, untuk ini kukira kau harus hati-hati
sedikit." Coh Liu-hiang tertawa, katanya. "Bisa jadi dia memang
benar-benar kagum padaku, kenapa kau jadi cemburu?"
"Hm," jengek Oh Thi-hoa. "Manusia memang suka
diumpak, bila tidak mau mendengar nasihatku, kelak kau bisa
terperangkap. Nah, baru tahu rasa dan jangan menyalahkan
diriku." "Kalau menyalahkan dirimu alasannya juga cuma dia tidak
mau menjilatmu makanya setiap tindak-tanduknya tidak cocok
bagi pandanganmu." Thio Sam juga tertawa, tapi lantas berkata dengan
mengerut kening, "Tapi menurut pandanganku, tingkah laku
orang ini memang juga rada mencurigakan. Entah apa isi
kopernya yang aneh itu, paling sedikit mestinya kau tanya
asal-usulnya." "Untuk ini kukira kita tak perlu repot, tentu ada orang lain
yang akan menanyai dia," ujar Coh Liu-hiang dengan tak
acuh. "Siapa?" tanya Thio Sam.
"Ting Hong," jawab Coh Liu-hiang.
"Tapi kalau malam nanti dia tidak ikut hadir di Sam-ho-lau.
lalu bagaimana?" tanya Oh Thi-hoa.
"Perutnya kan belum ditangsal sepotong Ikan panggang,
masa kesempatan enak akan disia-siakan?" ujar Coh Liuhiang
dengan tertawa. Oh Thi-hoa memandang mayat yang menggeletak itu.
tanyanya kemudian, "Apa kau temukan luka yang
menyebabkan kematian mereka?"
"Ya, luka di rusuk kiri," tutur Coh Liu-hiang.
Waktu Oh Thi-hoa mengangkat mayat itu, benar juga
didapati luka di bagian rusuk kiri masing-masing sebesar mata
uang, darah sudah berhenti, luka itu berwarna pucat karena
terendam oleh air sungai. Tampaknya sangat dalam lukanya.
"Ini luka panah," kata Oh Thi-hoa.
"Ehhmm " Coh Liu-hiang.
"Aneh," kata Oh Thi-hoa. "Mereka datang dari arah barat
ke timur dan berjalan menyusur pantai, tapi lukanya bisa
terletak di rusuk kiri, jangan-jangan panah ini dilepaskan dari
kapal yang berada di sungai?"
"Ehm," kembali Coh Liu-hiang mengangguk.
"Perairan tepi sungai ini sangat cetek, sedikitnya belasan
tombak dari tepian, baru kapal dapat berlayar," kata Oh Thihoa.
"Ya, sedikitnya harus 20 tombak lebih," tukas Thio Sam.
"Orang itu dapat membidikkan anak panah dan jarak 20
tombak dan sekaligus menembus rusuk dan merenggut nyawa
mereka, tenaga penyerang ini jarang terlihat," ujar Oh Thi-hoa.
"Ya, memang jarang," kata Coh Liu-hiang.
"Dari luka mereka ini, jelas anak panah yang digunakannya
adalah ukuran besar, bobotnya juga berat, maka busur yang
digunakan pasti juga busur yang kuat."
"Ya, padahal jarang ada orang yang mempunyai tenaga
mementang busur ukuran besar begitu." kata Coh Liu-hiang.
"Seumpama ada. tentu juga tidak dapat membidik dengan
jitu, dapat merenggut nyawa orang dalam jarak 20 tombak
bagaikan sasarannya tidak mampu mengelak."
"Betul." kata Coh Liu-hiang.
Oh Thi-hoa menghela napas lega. katanya. "Jika demikian,
kan urusannya menjadi sangat gamblang?"
"Gamblang?" Coh Liu-hiang menegas. "Tidak kurasakan
malah....."

Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Masa tak dapat kau terka siapa orang itu?"
"Tidak," jawab Coh Liu-hiang.
Wajah Oh Thi-hoa menampilkan rasa senang karena ada
kalanya Coh Liu-hiang juga tidak tahu sesuatu.
Segera ia berkata pula, "Siapa lagi kalau bukan Bu Wiyang?"
"Maksudmu Bu-lotoa, Bu Wi-yang yang membunuh
mereka?" tanya Coh Liu-hiang sambil mengerut kening.
"Betul." kata Oh Thi-hoa sambil mengclus hidung. "Betapa
kuat tenaga Bu Wi-yang. cukup diketahui setiap orang
persilatan. Busur yang dia gunakan juga ukuran besar, anak
panahnya juga bernama Hong-bwe-ci (panah ekor Hong)
hampir tidak pernah meleset. Dahulu waktu pertarungan
dengan Sin-liong-pang. meski kalah lima babak, tapi ke-13
anak panah Bu Wi-yang dengan tepat telah merontokkan panji
komando yang terpancang di tiang Layar kapal Sin-liong-pang
sehingga membuat orang Sin-bong-pang merasa jeri. Kalau
tidak. setelah mendapatkan kemenangan mana In Ciong-liong
mau mengadakan perjanjian tidak saling menyerang lagi
dengannya?" Ia berhenti sejenak, lalu menyambung pula dengan
tertawa, "Peristiwa ini adalah kebanggaan Bu Wi-yang dan
berita besar yang menggemparkan Kangouw waktu itu. masa
kau lupa?" "Lupa sih tidak," jawab Coh Liu-hiang.
"Kalau tidak lupa, mengapa tak terpikir olehmu bahwa
kejadian ini adalah perbuatan Bu Wi-yang" Haha, tampaknya
otakmu akhir-akhir ini bertambah puntul."
Thio Sam melongo, tanpa terasa ia memuji. "Wah, selama
dua tahun ini, tampaknya Siau Oh banyak bertambah pintar."
Tentu saja Oh Thi-hoa makin gembira, katanva pula.
"Selain itu, Thio Sam tentu juga tahu Hong-bwe-ci vang
digunakannya tak terlalu menyolok. maka setelah membunuh
kedua orang ini, dia lantas mencabut anak panahnya serta
menenggelamkan mayat korban, tujuannya supaya orang
tidak menyangka pembunuhnya ialah dia."
"Ehm, benar juga," kata Thio Sam.
"Dalam kasus ini, hanya ada satu hal yang tak kupahami,"
ujar Oh Thi-hoa. "O, hal apa?" tanya Thio Sam. "Jika kedua orang ini anak
buahnya, mengapa dia memunuh mereka?" kata Oh Thi-hoa.
Thio Sam terdiam sejenak. ia melirik Coh Liu-hiang lalu
berkata, "Apakah kau tahu apa sebabnya?"
"Aku tidak tahu apa-apa, yang kutahu cuma pembunuhnya
pasti bukan Bu Wi-yang," kata Coh Liu-hiang.
"Habis siapa kalau bukan Bu Wi-yang?" teriak Oh Thi-hoa.
"Ai, mengapa otakmu sekarang lebih kaku dari sepotong
kayu?" "Tadi kedua orang ini membedal kudanya ke sana,
tujuannya kan hendak menyusul Bu Wi-yang, betul tidak?"
tanya Coh Liu-hiang. "Betul," jawab Oh Thi-hoa. "Cuma sayang, mereka benarbenar
dapat menyusulnya, kalau tidak mereka tentu takkan
terbunuh oleh Bu Wi-yang."
"Jika benar mereka hendak menyusul Bu Wi-yang. setelah
tersusul dan melihat Bu Wi-yang, tentunya mereka akan
melompat turun untuk memberi hormat, betul tidak?"
"Betul," jawab Oh Thi-hoa.
"Bila mereka berdiri berhadapan cara bagaimana anak
panah yang dilepaskan Bu Wi-yang bisa mengenai rusuk kiri
mereka dari samping?" tanya Coh Liu-hiang.
Seketika Oh Thi-hoa melenggong dan tak bisa menjawab.
rasa senangnya tadi segera lenyap tak berbekas.
"Bisa jadi anak panah yang dilepaskan Bu Wi-yang itu bisa
membelok di tengah jalan," seru Thio Sam dengan tertawa.
Oh Thi-hoa melototinya dengan gegetun.
"Pula sudah 20 tahun lebih Bu Wi-yang malang melintang
di dunia persilatan. Dia tergolong orang Kangouw kawakan.
Jika dia hendak melenyapkan mayat untuk menghilangkan
bukti kenapa mayatnya dapat kita temukan?" tanya Coh Liuhiang
pula. "Hahaha, mungkin dia sedang mabuk," ujar Thio Sam
dengan tertawa. "Lalu apa lagi?" tanya Oh Thi-hoa dengan mendongkol.
"Masih ada," kata Coh Liu-hiang. "Kedua ekor kuda ini tadi
kan berlari kencang ke sana, bilamana kedua penunggangnya
terluka dan terguling, seharusnya kedua ekor kuda itu tetap
membedal ke depan, mengapa bisa memutar balik ke sini?"
"Bisa jadi kuda-kuda ini tidak makan rumput, tapi kepingin
makan ikan panggangku." kata Thio Sam dengan tertawa.
Seketika Oh Thi-hoa berjingkrak sambil meraung, "Baik.
kalian semua lebih pintar daripada aku. Nah, silakan kalian
menjelaskan bagaimana perkara yang sebenarnya?"
"Orang yang membidikkan panah pasti bersembunyi di tepi
sungai." tutur Coh Liu-hiang- "Karena kedua orang ini
membedal kuda dengan kencang tanpa menghiraukan
apapun, maka secara mendadak mereka kena terpanah di
rusuk kirinya." "Hmk," jengek Oh Thi-hoa.
"Meski panah yang digunakan penyerang itu ukuran besar,
tapi belum tentu memakai busur besar. Sebab jarak di antara
mereka hakikatnya tiada 20 tombak sebagaimana kita sangka
tadi." "Bukan saja tidak ada 20 tombak, bisa jadi 2 tombak saja
tidak ada," sela Thio Sam. "Dalam jarak cuma dua tombak,
panah yang kubidikkan pasti akan kena sasarannya dengan
jitu." "Dia berbuat begini, tujuannya supaya kita mengira Bu Wiyang
yang melakukan pembunuhan, maka dia sengaja
meninggalkan noda darah di tepi sungai agar dengan mudah
dapat kita temukan mayat kedua orang ini," tutur Coh Liuhiang
pula. "Malahan dia khawatir kita takkan mencari ke sini, maka
sengaja melepaskan kedua ekor kuda ini ke arah semula,
malah sengaja pula meningga'kan darah di atas pelana, betul
tidak?" tanya Thio Sam.
"Betul. padahal rusuk kiri orang itu terkena panah.
mengapa darah bisa tercecer ke atas pelana?" ujar Coh Liuhiang.
Maka Oh Thi-hoa tidak dapat bersuara lagi.
"Tapi dalam hal ini masih ada sesuatu yang tak daPat
kumengerti," kata Thio Sam.
"Hal mana?" tanya Coh Liu-hiang. "Dengan membunuh
kedua orang ini, sebenarnya setan pun tidak tahu, apalagi
manusia. Tapi apa sebabnya dia sengaja membikin kita
mengetahui kejadian ini?"
Sedapatnya Oh Thi-hoa tutup mulut, tapi akhirnya tetap
tidak tahan, timbrungnya mendadak, "Sebab, dia tahu kita
telah melihat lewatnya kedua orang ini dan khawatir kita
mengusut." "Boleh juga gagasanmu ini," ujar Thio Sam.
"Tapi seumpama benar mereka dibunuh oleh Bu Wi-yang.
kejadian ini kan juga urusan Hong-bwe-pang sendiri, orang
Tamu Dari Gurun Pasir 9 Pendekar Hina Kelana 9 Satria Terkutuk Berkaki Tunggal Mustika Kuburan Tua 2

Cari Blog Ini